PENGEMBANGAN PERIKANAN BERBASIS KARAKTERISTIK SPESIFIK DARI POTENSI DAERAH
TRI WIJI NURANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2008
Tri Wiji Nurani NIM C 561030011
RINGKASAN TRI WIJI NURANI. Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, SUDIRMAN SAAD, dan ERNANI LUBIS. Pengembangan kegiatan perikanan hendaknya dilakukan berdasarkan karakteristik potensi yang dimiliki suatu wilayah. Perairan Selatan Jawa mewakili kondisi karakteristik sumberdaya perikanan yang memerlukan pengelolaan secara spesifik. Potensi sumberdaya ikan yang dimiliki sangat besar, namun kegiatan perikanan baru berkembang di beberapa tempat saja yaitu di Palabuhanratu, Cilacap dan Prigi. Penelitian ini bertujuan: 1) menentukan implikasi karakteristik aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan, 2) membangun model pengembangan perikanan sesuai karakteristik wilayah, dan 3) merumuskan kebijakan strategis pengembangan perikanan berbasis kewilayahan. Metode pendekatan sistem digunakan untuk menganalisis permasalahan dan membangun model. Rekayasa sistem disusun dalam suatu model, dengan tiga submodel yaitu 1) usaha perikanan (submodel USAHA), 2) kebutuhan pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas (submodel PELABUHAN) serta 3) kebijakan dan kelembagaan (submodel LEMBAGA). Model diawali dengan penentuan sumberdaya ikan unggulan. Perumusan kebijakan strategis menggunakan analisis SWOT dan balanced scorecard. Strategi implementasi model menggunakan teknik interpretative structural modelling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kondisi geo-topografi dari pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan (PP/PPI) di Wilayah Selatan Jawa tidak menguntungkan dari akses pemasaran, sempitnya lahan berupa dataran menghambat berkembangnya industri kepelabuhanan, serta lokasi PP/PPI yang terisolir menyebabkan terhambatnya perkembangan industri perikanan. Lokasi strategis hanya PPS Cilacap, dengan lokasi berada di wilayah yang relatif datar dan tingkat aksesibilitas yang tinggi. Kondisi biologi perairan merupakan perairan yang subur, secara umum kaya akan berbagai jenis sumberdaya ikan, baik jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, dan udang. Peluang pengembangan masih terbuka untuk sumberdaya ikan pelagis besar, pelagis kecil dan lobster. Kegiatan perikanan belum mendapatkan dukungan teknologi dan kualitas SDM yang memadai. Penggunaan dan penguasaan teknologi oleh nelayan yang rendah, menyebabkan daerah penangkapan ikan terkonsentrasi di perairan dekat pantai. Penggunaan dan penguasaan teknologi yang rendah, juga menyebabkan pendapatan nelayan rendah, yang berdampak pada kondisi sosial-ekonominya. Faktor lain penyebab perkembangan perikanan berjalan lambat, adalah rendahnya dukungan pemerintah. Perikanan belum merupakan prioritas utama pembangunan. Permodelan sistem pengembangan perikanan dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan sumberdaya ikan unggulan. Jenis ikan unggulan meliputi tuna, udang, tongkol, cakalang, layur, lobster, dan bawal putih. Penelitian menghasilkan dua model pengembangan, yaitu model pengembangan perikanan lepas pantai (SIMPELA) dan pengembangan perikanan pantai (SIMPETAI).
Pada model pengembangan perikanan lepas pantai, usaha perikanan yang dapat dikembangkan adalah perikanan tuna. Bisnis atau usaha perikanan tuna merupakan perikanan skala industri, dengan risiko usaha yang sangat tinggi (high risk). Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung usaha, seperti kenaikan BBM memberikan dampak ancaman yang besar bagi keberlanjutan usaha. Perikanan tuna menggunakan kapal longline berukuran >30 GT, didukung dengan sistem manajemen usaha yang baik. Jumlah kapal yang direkomendasikan adalah 170 unit. Pelabuhan perikanan tuna yang direkomendasikan adalah PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Kuota jumlah kapal dibagi rata yaitu 50% atau 85 unit, dengan asumsi PPN Palabuhanratu akan ditingkatkan statusnya menjadi PPS. Good manufacturing practices (GMP) dan standar sanitation operational procedure (SSOP), perlu diterapkan di kapal dan pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan sebagai basis perikanan tuna, yaitu PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu harus ditingkatkan statusnya menjadi pelabuhan perikanan berskala internasional. Penambahan fasilitas perlu dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendaratan kapal longline. Kebutuhan utama terkait dengan fasilitas pokok, yaitu lebar alur masuk pelabuhan dan kedalaman kolam pelabuhan. Kebutuhan lebar alur masuk pelabuhan adalah 43,44-57,92 m, sedangkan kedalaman kolam pelabuhan sekitar 6,20-7,40 m. Kebutuhan solar, umpan, es, air tawar dan kebutuhan ABK per tahun yang harus disediakan, masing-masing sekitar 24.000 kilo liter solar, 1.920 ton umpan, 336.000 balok es, dan air tawar 840.000 m3. Kebutuhan ABK 2.400 orang. Pengembangan perikanan lepas pantai tidak dapat dilakukan secara parsial per kabupaten, melainkan harus dilakukan secara terintegrasi. Pengembangan menghendaki dibentuknya kelembagaan pengelolaan terpadu, yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan lepas pantai. Struktur kelembagaan dapat mengakomodasikan kepentingan antar wilayah provinsi dan kabupaten serta antar stakeholder. Kelembagaan berperan melakukan pengelolaan dan pengembangan perikanan secara berkelanjutan, serta memberikan kontribusi masukan kebijakan kepada pemerintah. Kewenangan pembuatan kebijakan pengelolaan sumberdaya tetap pada pemerintah. Pada model pengembangan perikanan pantai, upaya pengembangan dilakukan dalam skala kecil dan menengah. Perikanan skala menengah adalah untuk perikanan udang, tongkol dan cakalang. Unit penangkapan yang digunakan trammel net, pancing tonda, gillnet dan purse seine. Perikanan skala kecil adalah untuk perikanan layur, bawal putih, dan lobster. Unit yang digunakan umumnya bersifat multipurpose, menggunakan kapal fiberglass berukuran sekitar 1-2 GT. Pengembangan perikanan pantai diharapkan tidak terkonsentrasi di perairan dekat pantai, melainkan pada jarak lebih jauh dari pantai (>4 mil). Pengembangan perikanan pantai perlu didukung oleh keberadaan pelabuhan perikanan yang memadai. Pembangunan dan pengembangan fasilitas masih diperlukan, khususnya pada pelabuhan perikanan yang berstatus PPP/PPI. Ketersediaan sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, serta ketersediaan input produksi seperti ABK yang menguasai teknik penangkapan ikan, ketersediaan solar dengan harga terjangkau, merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Kelembagaan Dinas Perikanan masih belum berperan optimal dalam pengembangan perikanan di daerah. Sebagian besar Dinas Perikanan Kabupaten, bergabung dengan dinas dari sektor lain. Kondisi ini menjadikan porsi anggaran
untuk pembangunan perikanan kecil. Kelembagaan usaha seperti KUD Mina dan kelembagaan masyarakat nelayan lainnya, diharapkan dapat ditingkatkan fungsi dan perannya bagi pengembangan perikanan pantai di masing-masing wilayah. Hasil kajian merekomendasikan Kabupaten Cilacap dan Sukabumi dapat menerapkan model pengembangan perikanan lepas pantai dan perikanan pantai. Kabupaten Garut, Kebumen, Gunung Kidul, Pacitan, Trenggalek dan Malang hanya menerapkan model pengembangan perikanan pantai. Pola sentra industri pada pengembangan perikanan lepas pantai adalah Satellite Flat Form, sedangkan pada pengembangan perikanan pantai pola Marshalian. Kebijakan strategis yang perlu dilakukan dalam pengembangan perikanan lepas pantai, pertama adalah peningkatan sistem usaha perikanan tuna, yang disertai dengan peningkatan sarana dan prasarana, penerapan standar kualitas produk, peningkatan peran kebijakan dan kelembagaan, serta peningkatan kinerja SDM. Kedua, peningkatan koordinasi antar sektor dan antar daerah, peningkatan kerjasama regional dan internasional, serta penegakan hukum. Indikator strategis meliputi: 1) biaya input produksi rendah, 2) akses pasar ekspor meningkat, 3) usaha perikanan menguntungkan, 4) pemanfaatan sumberdaya optimal, 5) pelabuhan perikanan berfungsi optimal, 6) kebijakan dan kelembagaan mendukung, 7) kerjasama antar daerah, 8) pembagian (share) manfaat yang adil, serta 9) keikutsertaan Indonesia dalam kerjasama regional dan internasional. Kebijakan strategis pengembangan perikanan pantai, pertama adalah membangun sistem usaha perikanan pantai, disertai dengan peningkatan teknologi penangkapan, kualitas nelayan, peningkatan fasilitas dan pelayanan PP/PPI, penanaman kesadaran akan pentingnya menghasilkan produk perikanan berkualitas, serta pengembangan diversifikasi produk olahan. Kedua, peningkatan koordinasi antar sektor maupun antar daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Indikator strategis meliputi: 1) biaya input produksi rendah, 2) peningkatan teknologi dan penguasaan teknologi oleh nelayan, 3) peningkatan kualitas sumberdaya manusia di PPP/PPI, 4) usaha perikanan menguntungkan, 5) pemanfaatan sumberdaya optimal, 6) peningkatan konsumsi ikan penduduk, serta 7) akses nelayan terhadap permodalan meningkat. Strategi untuk penerapan model pengembangan perikanan di Selatan Jawa mencakup tujuh elemen, yaitu elemen sektor masyarakat yang terpengaruh, kebutuhan untuk terlaksananya program, kendala utama pelaksanaan program, tujuan program, tolok ukur keberhasilan program, aktivitas yang perlu dilakukan untuk terselenggaranya program dan lembaga yang terlibat dalam program. Elemen kunci yang perlu diperhatikan pada pengembangan perikanan lepas pantai, diantaranya adalah pemilik kapal/pengusaha perikanan, keberpihakan dari pemerintah pusat dan provinsi, permasalahan tingginya harga BBM, peningkatan efektivitas kebijakan serta pembentukan kelembagaan. Elemen kunci pada pengembangan perikanan pantai, diantaranya meliputi nelayan, keberpihakan dari pemerintah kabupaten, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan, permasalahan tingginya harga BBM, serta peningkatan peran kelembagaan perikanan.
Kata kunci: pengembangan perikanan, karakteristik spesifik, potensi daerah
ABSTRACT TRI WIJI NURANI. Regional Fisheries Development Focusing on Specific Local Potency. Under the direction of JOHN HALUAN, SUDIRMAN SAAD, and ERNANI LUBIS. Development of fishery activity should based consider on specific characteristic of local potency. Fisheries resources in Southern Java waters region need specific approach management. The region has a significant fisheries potency, but fishery activities have just developed in a certain places, namely Palabuhanratu, Cilacap and Prigi. The research aims to build models of fisheries development proposed to the areas. System approach was used to analyse problems and to develop the models. System engineering compiled in a model with three submodels: 1) fishery business (submodel USAHA), 2) requirement of fishing port: functionality and accessability (submodel PELABUHAN) and 3) policy and institution (submodel LEMBAGA). Firstly, the model determined commodity’s priority. Strategic policy formulated using SWOT and balanced scorecard analysis. Strategy of model implementation using interpretative structural modelling (ISM) technique. The study resulted two models: 1) tuna fisheries development model and 2) coastal fisheries development model. In the model of tuna fisheries development, tuna fishery business represent high risk business, but some government policies do not support the business, e.g. increasing the fuel price giving big impact for continuing the business. Fishing port which capable to support tuna fishery’s business are PPS Cilacap and PPN Pelabuhanratu. Intregrated institution need to accommodate the stakeholder interests. In the model of coastal fisheries development, the priority commodity’s are bonito, skipjack, white pomfret, hair tail, lobsters, shrimps and anchovies. Fishery business, covers gillnet multifilament, gillnet monofilament, purse seiner, trolling,’payang’, trammel net and ‘pancing rawai’. Sizing fleets both middle scale or small scale. Most existing PP/PPI are able to support fisheries acivity in the region. Roles of KUD, HNSI and group of fisherman need to be improved for fisherman empowerment. Research recommends the region of Sukabumi and Cilacap to develop the two models, both tuna fisheries dan coastal fisheries. The region of Garut, Kebumen, Gunung Kidul, Pacitan, Trenggalek and Malang are recomended for the coastal fisheries. Strategy for successful implementations the model requirs to pay attention the key elements from 1) affected society sector, 2) requirement for executing the program, 3) main constrain of the program, 4) main target of the program, 5) measuring method for successfull of the program, 6) activity which require to be conducted and also 7) the institution which involved in this program. Keyword: fisheries development, specific characteristic, local potency
@ Hak cipta IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
PENGEMBANGAN PERIKANAN BERBASIS KARAKTERISTIK SPESIFIK DARI POTENSI DAERAH
TRI WIJI NURANI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Disertasi Nama NRP Program Studi
: Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik dari Potensi Daerah : Tri Wiji Nurani : C561030011 : Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc. Ketua
Dr. Sudirman Saad, SH, MHum. Anggota
Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc.
Tanggal Lulus:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini telah berhasil diselesaikan. Disertasi berjudul Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik dari Potensi Daerah, disusun berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan di delapan kabupaten yang ada di Selatan Pulau Jawa. Wilayah kabupaten yang menjadi lokasi penelitian, memiliki wilayah perairan laut yang berada di Samudera Hindia atau Wilayah Penglolaan Perikanan (WPP IX). Disertasi menghasilkan suatu konsep pengembangan perikanan yang didasarkan pada karakteristik spesifik yang dimiliki daerah, dengan tidak mengkotak-kotakkan wilayah perairan. Pengembangan perikanan dapat dilakukan melalui kerjasama antar daerah, dengan mengeliminasi konflik dan bersinergi untuk mendapatkan tujuan pengembangan perikanan yang berkelanjutan. Semoga disertasi ini bermanfaat, kritik dan saran untuk penyempurnaan disertasi ini sangat kami harapkan.
Bogor, April 2008
Tri Wiji Nurani
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1) Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc., Dr. Sudirman Saad, SH, M.Hum. dan Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan disertasi ini. 2) Dr. Ir. Budy Wiryawan, Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro sebagai dosen penguji pada ujian tertutup tanggal 10 Maret 2008. 3) Dr. Ir. Ali Supardan, MSc. dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, MSi., sebagai dosen penguji pada ujian terbuka tanggal 29 April 2008. 4)
Ir. H. Suparwoko Adisoemarto, MM, Kepala Sub Dinas Kelautan dan Perikanan dan Ir. Eko Mulbyantoro, MM, Kepala Sub Dinas Penyusunan Program Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur beserta staf.
5) Mulyono, Kasie Pengusahaan Jasa dan Kasie Kenelayanan PPP Pondokdadap Sendangbiru, beserta staf. 6)
Ir. H. Syuhada Abdullah, MSi., Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Trenggalek, beserta staf.
7)
Drh. I Ketut Suwena, Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pacitan, beserta staf.
8) Kepala dan staf Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi. 9) Ir Suwarman, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta, beserta staf. 10) Ir. Bahari Susilo, staf Dinas Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul. 11) Drh. Djatmiko, Kepala Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kebumen, beserta staf. 12) Ir. Julius Silaen, MS, Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, beserta staf. 13) Ir. Mansur, Kepala Bidang Pengusahaan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. 14) Kepala dan staf Dinas Perikanan Kabupaten Cilacap. 15) Kepala dan staf Dinas Perikanan Kabupaten Ciamis.
16) Kepala dan staf Dinas Perikanan Kabupaten Garut. 17) K.H. Nashiruddin, Wakil Bupati Kabupaten Kebumen. 18) H. Nashori, Ketua BAPPEDA Kabupaten Sukabumi, beserta staf. 19) Dr. Ir. Bustami Mahyuddin, MM, Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, beserta staf. 20) Ir Ibrahim Ismail, MM, Direktur Pelabuhan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan beserta staf, khususnya Ir. Abdur Rouf, MM. 21) Para responden di PPP Pondokdadap, PPN Prigi, PPI Tamperan, PPI Wawaran, PPI Sadeng, PPI Baron, PPI Pasir, PPI Karangduwur, PPI Argopeni, PPI Cilautereun dan PPN Palabuhanratu. 22) H.A.U. Ayodhyoa, MSc. (Almarhum). 23) Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. 24) Teman Sejawat Dosen Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB. 25) Staf pegawai Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB. 26) Heri Widiastuti, SPi., Hanifah Meilani, SPi., Dr. Ir. Mustaruddin, Pandu Saptoriantoro, SPi., Koko Komara, SPi., Siti Kurniati, SPi., Nurhayati, SPi., Dhian Kurnia Widyamayanti, SPi., Mohamad Nuramin, SPi., Teguh Saptono, SPi., Nani Suryaningsih, SPi., Oscar Aryadi SPi., Rama Putra Pratama, SPi., dan mahasiswa lainnya yang telah turut membantu dalam pengumpulan data lapangan dan penyusunan disertasi. 27) Rekan mahasiswa TKL, khususnya Angkatan tahun 2003/2004. 28) Orang tua, suami dan anak-anak tercinta. 29) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah pada tanggal 24 Juni 1965 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, dari Bapak H. Iskak Dwijosoepadmo (alm) dan Ibu Rochyatun. Menikah pada tahun 1990 dengan Ir. Rudi Haryanto, dikaruniai anak Rianti Dyah Hapsari, Andhika Nur Rahman dan Rahadi Fauzan. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan IPB, lulus pada bulan September 1987 sebagai lulusan terbaik Fakultas Perikanan. Pada tahun 1993 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Program Studi Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2003, kembali mendapat beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional untuk melanjutkan ke program doktor di program studi yang sama. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, sejak tahun 1989. Jabatan fungsional saat ini sebagai Lektor Kepala di Bagian Sistem dan Optimasi Perikanan Tangkap, Departemen PSP-FPIK-IPB. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Jurusan PSP pada tahun 1998-2001 dan Wakil Ketua Program Studi PSP pada tahun 2005-2007. Mendapat penghargaan sebagai Dosen Teladan II Fakultas Perikanan pada tahun 1993, dan penghargaan Karya Satya Lencana 10 tahun pada tahun 1999. Penulis menjadi anggota Ikatan Sarjana Wanita Indonesia. Keanggotaan organisasi lainnya yaitu Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap, saat ini menjabat sebagai Koordinator Komisi Hubungan Masyarakat. Karya berkaitan dengan disertasi, diantaranya telah diterbitkan dalam buku yaitu Bisnis Perikanan Tuna Longline. Artikel berjudul Model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Potensi Daerah, telah diseminarkan dan dipublikasikan dalam prosiding Konferensi Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia I. Publikasi lain telah diterbitkan di Buletin PSP, dengan judul Model Pengembangan Perikanan di Perairan Selatan Jawa. Satu artikel berikutnya, dengan judul Rekayasa Pengembangan Perikanan Tuna di Perairan Selatan Jawa, telah siap diterbitkan di Jurnal Forum Pascasarjana.
DAFTAR ISI halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………...
xvii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………..........
xix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………...
xxii
1
PENDAHULUAN ………………………………………………... 1.1 Latar Belakang ……………………………………….............. 1.2 Perumusan Masalah ………………………………………….. 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….. 1..4 Manfaat Penelitian …………………………………………...
1 1 5 8 8
2
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ………………………..... 2.2 Beberapa Contoh Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ……………………………………………………... 2.3 Pengembangan Perikanan sebagai Sebuah Sistem …………... 2.3.1 Subsistem Kegiatan Usaha Perikanan .………………... 2.3.2 Subsistem Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan Aksesibilitas …………………………………................ 2.3.3 Subsistem Kebijakan dan Kelembagaan Perikanan …... 2.4 Pendekatan Sistem …………………………………………… 2.5 Metode Analisis ……………………………………………… 2.5.1 Perancangan Model Sistem Dinamis untuk Analisis Usaha Perikanan ………………………………….......... 2.5.2 Analisis Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan Aksesibilitas ……………………………………........... 2.5.3 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan Perikanan ……... 2.5.4 Analisis untuk Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan ..…………………………… 2.6 Beberapa Penelitian yang Sudah Dilakukan …………………
9 9
3
METODOLOGI PENELITIAN …………………………………... 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah ……………………………..... 3.2 Pendekatan Sistem …………………………………………... 3.2.1 Analisis Sistem ………………………………………... 3.2.2 Permodelan Sistem ………………………………......... 3.3 Metode Penelitian …………. ……………………………….. 3.4 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………….......... 3.5 Metode Analisis …………………………………………........ 3.5.1 Penentuan Implikasi Karakteristik Aspek Geotopografi, Biologi, Teknologi, Sosial, Ekonomi dan Politik terhadap Kinerja Perikanan di Wilayah Selatan Jawa …........................................................................... 3.5.2 Penyusunan Model Pengembangan Perikanan ……….. 3.5.3 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan .......................................................................
11 14 15 17 19 21 22 22 24 26 28 32 34 34 34 34 41 44 46 47
47 48 66
4
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN …………….......... 4.1 Provinsi Jawa Barat …………………………………………... 4.1.1 Keadaan Umum Daerah Provinsi Jawa Barat ….......... 4.1.2 Kegiatan Perikanan Provinsi Jawa Barat ……………... 4.2 Kabupaten Sukabumi ……………...…………………............. 4.2.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi ............. 4.2.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Sukabumi ……….......... 4.3 Kabupaten Garut ………………………………….…............. 4.3.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Garut …………... 4.3.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Garut ………………… 4.4 Provinsi Jawa Tengah ………….………………...…...…….. 4.4.1 Keadaan Umum Daerah Provinsi Jawa Tengah ……... 4.4.2 Kegiatan Perikanan Provinsi Jawa Tengah . .…….......... 4.5 Kabupaten Cilacap …………………………………………… 4.5.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Cilacap ………….. 4.5.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Cilacap ……………..... 4.6 Kabupaten Kebumen ………………........................................ 4.6.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Kebumen ..…......... 4.6.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Kebumen ……….......... 4.7 Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta …......................... 4.7.1 Keadaan Umum Provinsi DI Yogyakarta …………….. 4.7.2 Kegiatan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta ………….. 4.8 Kabupaten Gunung Kidul …………………………………… 4.8.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Gunung Kidul …... 4.8.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul ………... 4.9 Provinsi Jawa Timur ………………...…………………......... 4.9.1 Keadaan Umum Daerah Provinsi Jawa Timur ……........ 4.9.2 Kegiatan Perikanan Provinsi Jawa Timur ……….......... 4.10Kabupaten Pacitan …………………………………………... 4.10.1Keadaan Umum Derah Kabupaten Pacitan …………… 4.10.1Kegiatan Perikanan Kabupaten Pacitan ….. …….......... 4.11Kabupaten Trenggalek ……………………………………..... 4.11.1Keadaan Umum Daerah Kabupaten Trenggalek ............ 4.11.2Kegiatan Perikanan Kabupaten Trenggalek... .………… 4.12Kabupaten Malang ………………………………………....... 4.12.1Keadaan Umum Daerah Kabupaten Malang ……......... 4.12.2Kegiatan Perikanan Kabupaten Malang .. .………..........
73 73 73 74 75 75 76 79 79 79 81 81 81 83 83 84 86 86 87 88 88 89 90 90 91 92 92 93 95 95 96 97 97 98 101 101 102
5
KONDISI SISTEM PERIKANAN TANGKAP ............................. 5.1 Subsistem Usaha Perikanan Tangkap ………………….......... 5.1.1 Perikanan Tuna Longline ………………………............ 5.1.2 Perikanan Pancing Tonda …………………………...... 5.1.3 Perikanan Gillnet Multifilament ………………………. 5.1.4 Perikanan Payang ……………………………………... 5.1.5 Perikanan Purse Seine ……………………………........ 5.1.6. Perikanan Trammel Net ………………………….......... 5.1.7 Perikanan Gillnet Monofilament ……………………… 5.2 Subsistem Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan
104 104 104 109 113 115 118 122 125
6
7
8
Aksesibilitas ………………………………………………..... 5.2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi ……………......... 5.2.2 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Cilautereun, Kabupaten Garut ………………….…………………... 5.2.3 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap, Kabupaten Cilacap ……………………………............. 5.2.4 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasir, Kabupaten Kebumen …………………………………………......... 5.2.5 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul ………….……………......... 5.2.6 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tamperan, Kabupaten Pacitan ……………………………………... 5.2.7 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Kabupaten Trenggalek .…………………………......... 5.2.8 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap, Kabupaten Malang …………………………………..... 5.3 Subsistem Kebijakan dan Kelembagaan ……………….......... 5.3.1 Kebijakan Perikanan …………………………….......... 5.3.2 Kelembagaan Perikanan ……………………………..... 5.3.3 Beberapa Kebijakan dan Program Pengembangan Perikanan ……………………………………………... IMPLIKASI KONDISI WILAYAH TERHADAP PENGEMBANGAN PERIKANAN ……………………………...
128 129 132 134 137 139 141 143 145 147 147 158 166 170
6.1 Implikasi Karakteristik Aspek Geo-Topografi ………………
170
6.2 Implikasi Karakteristik Aspek Biologi ………………............
175
6.3 Implikasi Karakteristik Aspek Teknologi ………………........
178
6.4 Implikasi Karakteristik Aspek Sosial-Ekonomi ………….......
182
6.5 Implikasi Karakteristik Aspek Politik ………………..............
185
PERMODELAN SISTEM ………………………………............ 7.1 Verifikasi ………………………….......................................... 7.2 Analisis Sumberdaya Ikan Unggulan ………………………... 7.3 Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai ....................... 7.3.1 Analisis Sistem Perikanan Lepas Pantai ........................ 7.3.2 Permodelan Sistem Pengembangan Perikanan Lepas Pantai ................................................................. 7.4 Model Pengembangan Perikanan Pantai ……………………... 7.4.1 Analisis Sistem Perikanan Pantai ……………………... 7.4.2 Permodelan Sistem Pengembangan Perikanan Pantai .............................................................................. 7.5 Validasi Model ......................................................................... KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN .. 8.1 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan …. 8.1.1 Perumusan Strategi Pengembangan Perikanan Lepas Pantai ………………………………... 8.1.2 Perumusan Strategi Pengembangan Perikanan Pantai ...
190 190 190 192 193 214 226 226 247 253 256 256 256 262
8.2 Strategi Implementasi Model Pengembangan Perikanan ……. 8.2.1 Strategi Implementasi Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai .................................................................... 8.2.2 Strategi Implementasi Model Pengembangan Perikanan Pantai ............................................................................... 9
10
267 267 282
PEMBAHASAN ………………………………………………… 9.1 Model Pengembangan Perikanan .………………………....... 9.1.1 Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai ..……... 9.1.2 Model Pengembangan Perikanan Pantai ..…………..... 9.2 Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan Berbasis Kewilayahan ...........................................................................
296 296 297 308
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………..... 10.1 Kesimpulan ............................................................................ 10.1.1 Implikasi Karakteristik Wilayah terhadap Kinerja Perikanan ..................................................................... 10.1.2 Model Pengembangan Perikanan ............................... 10.1.3 Kebijakan Strategis ..................................................... 10.2 Saran ………………………………......................................
327 327
DAFTAR PUSTAKA ..............…………………………………..
331
LAMPIRAN ……………………………………………………....
346
319
327 327 329 330
DAFTAR TABEL halaman 1
Potensi lestari, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Samudera Hindia (WPP IX) tahun 2001 ……............................................................................
2
Pelaku dan kebutuhan dari pelaku Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik dari Potensi Daerah ...
36
Teknik analisis, kebutuhan data dan hasil yang diharapkan untuk memenuhi tujuan penelitian …………………………………….
43
Elemen dan subelemen strategi implementasi Model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah ..............................................................................
71
Spesifikasi kapal tuna longline di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu …………………………………………………...
105
6
Spesifikasi alat tangkap tuna longline …………………………..
106
7
Spesifikasi alat penangkapan ikan pancing tonda
……………..
110
8
Arah kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan provinsi dan kabupaten di Selatan Jawa .....................................................
157
Kelembagaan dinas di tingkat provinsi dan kabupaten di Selatan Jawa ...................………………………………………………...
161
Kelembagaan usaha perikanan yang ada di kabupaten di Selatan Jawa …..........................................................................................
165
Implikasi karakteristik aspek geo-topografi, biologi, teknologi, social, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan di Wilayah Selatan Jawa …………………………………………...
188
12
Hasil analisis komoditas ikan unggulan untuk setiap kabupaten ..
191
13
Peningkatan prosentase kebutuhan pembiayaan pada usaha tuna longline .........................................................................................
197
14
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk tuna ekspor ......
201
15
Input untuk penerimaan usaha perikanan tuna longline per trip ...
202
16
Biaya investasi pada usaha perikanan tuna longline …................
203
17
Biaya tetap pada usaha perikanan tuna longline .………………..
203
18
Biaya operasi per trip operasi penangkapan tuna longline ..........
204
19
Hasil perhitungan kelayakan usaha pada perikanan tuna longline
205
20
Analisis pendekatan kerangka hukum (legal framework) perikanan lepas pantai ..................................................................
212
2 3 4
5
9 10 11
21
Penilaian kinerja kelembagaan perikanan lepas pantai di Selatan
Jawa ..............................................................................................
214
Input faktor teknis untuk program sistem dinamis pada submodel USAHA .......................................................................................
216
Input kelayakan finansial untuk program dinamis pada submodel USAHA .......................................................................................
216
24
Faktor teknis yang perlu diperhatikan pada perikanan pantai ......
232
25
Input untuk menghitung penerimaan usaha perikanan pantai ….
234
26
Biaya investasi pada beberapa usaha perikanan pantai ...............
235
27
Biaya tetap pada beberapa usaha perikanan pantai ......................
236
28
Biaya operasi per trip pada beberapa usaha perikanan pantai .......
236
29
Nilai kelayakan usaha pada beberapa usaha perikanan pantai ......
237
30
Analisis pendekatan kerangka hukum (legal framework) pada perikanan pantai ...........................................................................
245
31
Penilaian kinerja kelembagaan perikanan pantai di Selatan Jawa
246
32
Input faktor teknis dan finansial untuk program sistem dinamis pada submodel USAHA perikanan udang ...................................
248
22 23
33
34 35
36
Balanced scorecard: sasaran strategis dan indikator untuk pencapaian sasaran strategis pengembangan perikanan lepas pantai ……………………………………………………………
260
Balanced scorecard: sasaran strategis dan indikator untuk pencapaian sasaran strategis pengembangan perikanan pantai …
265
Elemen, elemen kunci, subelemen pada sektor III dan sektor IV strategi implementasi pengembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa ……………………………………………………..
281
Elemen, elemen kunci, subelemen pada sektor III dan sektor IV strategi implementasi pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa ……………………………………………………………...
295
DAFTAR GAMBAR halaman 1
Sistem dalam berbagai kondisi (David 2002) ..............................
29
2
Balanced scorecard menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam empat perspektif yang saling berhubungan (Yuwono et al. 2006 adaptasi dari Kaplan et al. 1996) ...............................
29
Diagram sebab akibat (causal loop) Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah …….
39
Diagram input-output Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah .........................
40
Struktur Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah …………………............
41
Diagram alir deskriptif kerangka analisis, permodelan sistem, perumusan kebijakan dan implementasi model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik dari Potensi Daerah ..
42
7
Diagram alir deskriptif penentuan sumberdaya ikan unggulan ...
50
8
Diagram alir deskriptif analisis submodel USAHA …………...
51
9
Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan fishing ground …….................................................................................
55
10
Diagram alir deskriptif analisis teknis pelabuhan ……………...
56
11
Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (analisis aksesibilitas dan peluang bangkitan pergerakan) …………………………………………
59
12
Diagram alir deskriptif analisis kebijakan perikanan …….........
60
13
Diagram alir deskriptif analisis kelembagaan …………………
61
14
Model sistem dinamis untuk melakukan simulasi pengembangan pada submodel USAHA ………………………
63
Diagram alir deskriptif teknik interpretative structural modelling (ISM) (Saxena 1992 diacu dalam Marimin 2004) ….
72
16
Catch per Unit Effort tuna di PPS Cilacap ……….... ……........
194
17
Simulasi jumlah effort, produksi, keuntungan pada pengembangan perikanan tuna menggunakan model sistem dinamis …………………………………………………………
217
Simulasi kebutuhan input produksi pada pengembangan perikanan tuna menggunakan model sistem dinamis ………….
218
Struktur Organisasi The Western Pacific Regional Fishery Management Council (WPRFMC) (Leung 1998) ………..........
221
3 4 5 6
15
18 19 20
Struktur kelembagaan “Pengelolaan Perikanan Tuna di Selatan
Jawa” …………………………………………………………..
222
21
Kerangka model pengembangan perikanan lepas pantai ............
225
22
Kerangka model pengembangan perikanan pantai .....................
252
23
Peta rekomendasi untuk implementasi model pengembangan perikanan di Selatan Jawa (SIMPEPODA) ................................
25
Diagram model struktural dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada program pengembangan perikanan lepas pantai ..........................................................................................
268
Matriks driver power-dependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada program pengembangan perikanan lepas pantai …………………………………………
269
Diagram model struktural dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan lepas pantai …………………………………………………………..
270
Matriks driver power-dependence dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan lepas pantai ..........................................................................................
271
Diagram model struktural dari elemen kendala utama pada program pengembangan perikanan lepas pantai .........................
272
Matriks driver power-dependence dari elemen kendala utama pada program pengembangan perikanan lepas pantai ................
273
Diagram model struktural dari elemen tujuan utama program pada pengembangan perikanan lepas pantai ...............................
274
Matriks driver power-dependence dari elemen tujuan utama program pada pengembangan perikanan lepas pantai ................
274
Diagram model struktural dari elemen tolok ukur untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai ..........................................................................................
275
Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai ..........................................................................................
276
Diagram model struktural elemen aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program pengembangan perikanan lepas pantai .................................................................................
277
Matriks driver power-dependence elemen aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program pada pengembangan perikanan lepas pantai ………………………...
278
Diagram model struktural dari elemen lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai .................................................................................
279
24
25
26
27
28 29 30 31 32
33
34
35
36
37
Matriks driver power-dependence dari elemen lembaga yang
38 39 40 41 42
43
44 45 46 47 48 49
50 51
terlibat untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai ................................................................
280
Diagram model struktural dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada pengembangan perikanan pantai ...................
282
Matriks driver power-dependence elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada pengembangan perikanan pantai ...........
283
Diagram model struktural dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai ..
284
Matriks driver power-dependence dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai ..
285
Diagram model struktural dari elemen kendala utama yang perlu diatasi untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai ………………………......................................
286
Matriks driver power-dependence dari kendala utama yang perlu diatasi untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai ……………....................................................
287
Diagram model struktural dari elemen tujuan program pada pengembangan perikanan pantai ………....................................
288
Matriks driver power-dependence dari elemen tujuan program pada pengembangan perikanan pantai …………………………
288
Diagram model struktural dari elemen tolok ukur keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai .........................
289
Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai ...
290
Diagram model struktural dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai ..
291
Matriks driver power-dependence dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai ..........................................................................
292
Diagram model struktural dari elemen lembaga yang terlibat pada program pengembangan perikanan pantai ………………
293
Matriks driver power-dependence dari elemen lembaga yang terlibat pada program pengembangan perikanan pantai ……..
294
DAFTAR LAMPIRAN halaman 1
Peta lokasi penelitian (PPN Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi; PPP Cilautereun Pameungpeuk Kabupaten Garut; PPS Cilacap Kabupaten Cilacap; PPI Pasir Kabupaten Kebumen; PPI Sadeng Kabupaten Gunung Kidul; PPI Tamperan Kabupaten Pacitan; PPN Prigi Kabupaten Trenggalek; PPP Pondokdadap, Sendangbiru Kabupaten Malang) ………………………………………………...
347
2
Foto kegiatan perikanan di beberapa lokasi penelitian …….............
348
3
Lay out Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan ...............
349
4
Statistik perikanan Provinsi Jawa Barat Selatan Jawa periode tahun 1993-2006 ..........................................................................................
350
5
Statistik perikanan Kabupaten Sukabumi periode 1994-2006 ……..
351
6
Statistik perikanan PPN Palabuhanratu periode tahun 1994-2006 ...
352
7
Statistik perikanan Kabupaten Garut periode tahun 1994-2006 .......
353
8
Statistik perikanan di Provinsi Jawa Tengah Selatan Jawa periode tahun 1994-2005 ………………......................................................
354
9
Statistik perikanan Kabupaten Cilacap periode tahun 1994-2005 ....
355
10
Statistik perikanan PPS Cilacap periode tahun 1996-2006 ..……….
356
11
Statistik perikanan Kabupaten Kebumen periode 1994-2005 ……..
357
12
Statistik perikanan Provinsi DI Yogyakarta periode tahun 19942004 ………………………………………………………………..
358
13
Statistik perikanan Kabupaten Gunung Kidul periode 1994-2004 ...
359
14
Statistik perikanan Provinsi Jawa Timur Selatan Jawa periode tahun 1993-2006 ..........................................................................................
360
15
Statistik perikanan Kabupaten Pacitan periode 1994-2006 ...............
361
16
Statistik perikanan Kabupaten Trenggalek periode 1994-2006 .........
362
17
Statistik perikanan PPN Prigi periode 1999-2006 ………………….
363
18
Statistik perikanan Kabupaten Malang periode 1994-2006 ...............
364
19
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPN Palabuhanratu tahun 2006 …
365
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPP Cilautereun tahun 2006 …….
366
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPS Cilacap tahun 2006 …………
367
20 21 22
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang,
kondisi serta pemanfaatannya di di PPI Pasir, Kabupaten Kebumen tahun 2005 ………………………………………………………….
369
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di di PPI Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul tahun 2005 …………………………………………………..
370
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di di PPN Prigi, Kabupaten Trenggalek tahun 2005 ………………….......................................
371
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di di PPP Pondokdadap, Kabupaten Malang tahun 2005 ………………………………………………..
373
26
Karakteristik responden penelitian ...................................................
374
27
Kecenderungan nilai CPUE perikanan tuna .....................................
375
28
Perhitungan kelayakan usaha perikanan tuna longline ....................
376
29
Input analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) (daya tarik PP/PPI bagi pendaratan kapal longline) .........................
378
Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) (daya tarik PP/PPI bagi pendaratan kapal longline) .........................
379
Penilaian analisis aspek teknis lokasi pelabuhan pada pengembangan perikanan lepas pantai .............................................
380
Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) perikanan lepas pantai .............
381
Hasil analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) perikanan lepas pantai ...........
382
Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI di masa datang) pada pengembangan perikanan lepas pantai ..............................................
383
Hasil analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI di masa datang) pada pengembangan perikanan lepas pantai ...............................................
384
Penilaian secara keseluruhan analisis subsistem pelabuhan: fungsionalitas dan aksesibilitas pada perikanan lepas pantai ...........
385
37
Hasil analisis CPUE beberapa jenis alat tangkap di Selatan Jawa ....
386
38
Perhitungan kelayakan finansial perikanan trammel net ...................
389
39
Input analisis keterkaitan dengan fishing ground (daya tarik PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai .................................
391
Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground (daya tarik PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai .................................
392
23
24
25
30 31 32 33 34
35
36
40 41
Penilaian aspek teknis pelabuhan pada pengembangan perikanan
42
43
44
45
46 47
48 49
pantai ................................................................................................
393
Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai .................................................................................................
395
Hasil analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai ……………………………………………………………….
396
Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI di masa datang) pada pengembangan perikanan pantai .......................................................
397
Hasil analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI di masa datang) pada pengembangan perikanan pantai ........................................................
398
Penilaian secara keseluruhan analisis subsistem pelabuhan: fungsionalitas dan aksesibilitas pada perikanan pantai ......................
399
Penjualan solar, air tawar, dan es di PPN Palabuhanratu tahun 1993-2006 dan penjualan solar, air tawar, dan es di PPS Cilacap tahun 2004 ………………………………………………………….
400
Analisis SWOT perumusan strategi pengembangan perikanan lepas pantai .................................................................................................
402
Analisis SWOT perumusan strategi pengembangan perikanan pantai .................................................................................................
405
CD LAMPIRAN 1
Bab 4.3 Kabupaten Garut (halaman 79) sampai dengan 4.12 Kabupaten Malang (halaman 101-103)
2
Bab 7.4 Model Pengembangan Perikanan Pantai (halaman 226) sampai dengan 7.4.2 Permodelan Sistem Perikanan pantai (halaman 247-252)
3
Bab 8.1.2 Perumusan Strategi Pengembangan Perikanan Pantai (halaman 262-266)
4
Bab 8.2.2 Strategi Implementasi Pengembangan Perikanan Pantai (halaman 282-295)
5
Lampiran 4 (halaman 350) sampai dengan Lampiran 49 (halaman 405-407)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar, diperkirakan sebesar 6,41 juta ton per tahun. Potensi tersebut terdiri atas ikan pelagis besar 1,17 juta ton, pelagis kecil 3,61 juta ton, demersal 1,37 juta ton, ikan karang 145,25 ribu ton, udang penaeid 94,80 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton dan cumi-cumi 28,25 ribu ton. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 80% dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun (PRPT 2001). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia sampai saat ini, secara umum belum optimal dan masih berpeluang untuk dikembangkan. Karakteristik wilayah yang berbeda, menyebabkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan. Pada satu sisi, ada wilayah yang perkembangan kegiatan perikanannya telah berkembang dengan pesat, sementara di sisi lain masih banyak wilayah lain yang kegiatan perikanannya sulit berkembang. Perkembangan perikanan terkait erat dengan faktor-faktor yang melingkupinya yang merupakan satu kesatuan sistem. Wilayah perairan Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu wilayah perairan dengan wilayah perairan yang lain. Perbedaan yang ada diantaranya meliputi perbedaan kondisi geografi, topografi, demografi, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, budaya dan sosio-kultural masyarakat, karakteristik sumberdaya ikan, teknologi, kemampuan investasi dan permodalan pemerintah dan masyarakat setempat serta faktor-faktor lainnya. Karakteristik tersebut merupakan komponen dari sistem perikanan yang bersifat spesifik atau khas dimiliki daerah. Komponen sistem tersebut perlu dikelola dan diperhatikan dengan baik dalam upaya pengembangan perikanan, karena akan menentukan bagi arah pengembangan perikanan di daerah tersebut. Perairan Selatan Jawa merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Samudera Hindia (WPP IX), dengan wilayah perairan terbuka. Luas wilayah mencakup wilayah perairan teritorial dan perairan ZEE Indonesia.
2
Perairan memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensial, baik untuk sumberdaya ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan udang. Potensi lestari sumberdaya ikan di WPP IX, yang meliputi Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai dengan Selatan Flores diperkirakan sebesar 1,08 juta ton, dengan produksi pada tahun 2001 sebesar 623,78 ribu ton atau baru dimanfaatkan 57,92% (Tabel 1). Tabel 1 Potensi lestari, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Samudera Hindia (WPP IX) tahun 2001 Kelompok Sumberdaya Ikan pelagis besar Ikan Pelagis kecil Ikan demersal Ikan karang konsumsi Udang Penaeid Lobster Cumi-cumi Total
Potensi (x 1.000 ton per tahun) 386,26 526,57 135,13 12,88 10,70 1,60 3,75 1.076,89
Produksi (x 1.000 ton per tahun) 188,28 264,56 134,83 19,42 10,24 0,16 6,29 623,78
Pemanfaatan (%) 48,74 50,21 99,78 > 100 95,70 10,00 > 100 57,92
Sumber: PRPT (2001)
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan (UU 31/2004), menyatakan bahwa potensi sumberdaya perikanan Indonesia perlu dikelola dengan baik.
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan berdasarkan pada asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada Oktober 2003 telah mencanangkan Gerakan Mina Bahari (GMB), yaitu suatu program percepatan pembangunan nasional yang dilakukan secara terpadu, sinergis dan kontinu (longlive movement). Program dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat dengan tiga
3
pilar ekonomi kelautan utama yaitu perikanan (budidaya dan tangkap), pariwisata bahari dan perhubungan laut. GMB bertujuan: 1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya; 2) meningkatkan penerimaan devisa negara dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB); 3) menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 4) meningkatkan konsumsi ikan dan penyediaan bahan baku industri di dalam negeri; serta 5) memelihara kelestarian sumberdaya hayati perairan beserta ekosistemnya. Beberapa kebijakan dilakukan untuk mencapai tujuan GMB di bidang perikanan tangkap, yaitu 1) kebijakan pelayanan dan penertiban perizinan; 2) kebijakan restrukturisasi armada, relokasi nelayan dan pembangunan solar packed dealer untuk nelayan (SPD/SPDN); 3) kebijakan revitalisasi pelabuhan perikanan sebagai wujud DKP mini; dan 4) kebijakan peningkatan mutu hasil perikanan. Pemberlakuan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), telah mendesentralisasikan kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Ketentuan UU 32/2004 tersebut pada Pasal 2 menyebutkan bahwa Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota, masing-masing mempunyai pemerintah daerah. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Selanjutnya pada Pasal 18, dijabarkan kewenangan daerah di wilayah laut yang meliputi: 1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; 2) pengaturan administratif; 3) pengaturan tata ruang; 4) penegakan hukum terhadap peraturan daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; 5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Pada Pasal 4 diatur kewenangan pengelolaan sumberdaya yaitu paling jauh 12 (dua belas) mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut untuk pemerintah provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
4
Daerah Kabupaten/Kota (PP 25/2000) yang diperbaharui dengan PP 38/2007 telah menyatakan dengan jelas aturan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Pada Pasal 6 Ayat 1 PP 38/2007 dinyatakan bahwa, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintah yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat 1 menjadi kewenangannya. Pada Ayat 2 disebutkan urusan pemerintahan dimaksud pada Ayat 1 terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Pasal 7 Ayat 3 menyatakan, urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Ayat 4, urusan pilihan meliputi: kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumberdaya mineral, pariwisata, industri, perdagangan dan ketransmigrasian. Pada Ayat 5 dinyatakan, penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintah daerah. Mengacu pada PP 38/2007 tersebut, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk menentukan urusan pilihan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerahnya. Kekhasan yang dimiliki beberapa kabupaten di Selatan Jawa, berupa potensi kelautan dan perikanan dapat dijadikan pilihan untuk dikelola dan dikembangkan dengan baik. Berdasarkan pemaparan di atas, jelas dinyatakan Wilayah Perairan Selatan Jawa memiliki sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan perekonomian daerah. Searah dengan kebijakan yang telah dicanangkan DKP, percepatan pembangunan perikanan hendaknya dapat dilakukan oleh seluruh daerah yang memiliki wilayah perairan.
Penerapan UU
32/2004 membawa
konsekuensi diperlukannya sistem pengelolaan perikanan terpadu, bagi daerahdaerah yang memiliki wilayah perairan berdekatan. Wilayah perairan tidak dapat dibagi-bagi, kegiatan nelayan dalam melakukan operasi penangkapan tidak dapat dibatasi dalam suatu wilayah perairan tertentu saja. Diharapkan ada kerjasama pengelolaan sumberdaya terintegrasi, berlandaskan azas kerjasama saling menguntungkan diantara para pelaku yang terlibat.
5
Kondisi pada saat ini, beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota di Selatan Jawa mulai memprioritaskan pembangunannya pada wilayah laut. Berbagai prasarana dan sarana, telah dibangun untuk mendukung pengembangan perikanan. Namun upaya pembangunan yang dilakukan, tidak dilakukan secara terintegrasi. Pengembangan lebih berorientasi pada kepentingan masing-masing provinsi atau kabupaten/kota, dan masih bersifat ego sektoral. Hal ini terindikasi dari pembangunan perikanan masih berjalan lambat, serta fasilitas sarana prasarana perikanan yang dibangun tidak termanfaatkan dengan baik. Penelitian ini dilakukan dalam kerangka memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut di atas. Penelitian ini penting untuk dilakukan, mengingat Wilayah Perairan Selatan Jawa merupakan satu kesatuan wilayah perairan yaitu Perairan Samudera Hindia. Terdapat beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki wilayah perairan tersebut, dan baru beberapa daerah saja yang kegiatan perikanannya berkembang dengan baik. Diperlukan suatu konsep pengembangan perikanan terpadu, yang dapat mengakomodasikan kepentingan dari seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah ini.
1.2 Perumusan Masalah Keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan akan tergantung pada banyak faktor.
Potensi sumberdaya ikan yang melimpah yang ada di suatu
wilayah atau daerah, belum cukup menggambarkan bahwa kegiatan perikanan di daerah tersebut akan dapat berkembang dengan baik. Letak geografis yang terisolir, topografi wilayah yang menyulitkan untuk akses dari luar daerah ke lokasi basis penangkapan, keterbatasan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, kondisi budaya dan sosio-kultural masyarakat, karakteristik sumberdaya ikan, teknologi, kemampuan investasi dan permodalan yang minim dari pemerintah dan masyarakat setempat, ketiadaan pasar atau konsumen serta situasi politik yang ada, diduga dapat menjadi faktor penghambat bagi perkembangan perikanan di daerah tersebut. Untuk itu perlu dicarikan model pengembangan perikanan yang tepat, sesuai karakteristik potensi dan permasalahan yang dimiliki daerah bersangkutan.
6
Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan perikanan di Perairan Selatan Jawa. Perairan Selatan Jawa memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar, baik sumberdaya ikan pelagis, demersal, tuna dan udang. Diberlakukannya UU 22/1999 yang diperbaharui dengan UU 32/2004, membuat beberapa kabupaten mulai memprioritaskan pembangunan di bidang perikanan dengan membangun berbagai fasilitas perikanan. Namun pembangunan perikanan yang dilakukan belum melalui perencanaan secara terpadu, dan belum terintegrasi antar sektor dan antar daerah. Dampak yang terjadi adalah, pembangunan perikanan masih tetap berjalan lambat, serta banyak fasilitas perikanan yang dibangun tidak termanfaatkan secara optimal. Pusat pendaratan ikan telah banyak dibangun di wilayah ini, diantaranya sekitar 53 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), 3 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), 2 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dan 1 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) (Lubis et al. 2005). Beberapa pusat pendaratan baru, dibangun di beberapa wilayah kabupaten, seperti di Kabupaten Kebumen, Gunung Kidul dan Pacitan. Menjadi pertanyaan, akan efektifkah pusat-pusat pendaratan tersebut untuk mendukung pengembangan perikanan di masing-masing wilayah? Beberapa faktor diduga menjadi sebab belum berkembangnya perikanan di Perairan Selatan Jawa, diantaranya: 1) sulitnya akses dari luar daerah menuju basis penangkapan, 2) kesulitan pemasaran, 3) masih rendahnya daya beli masyarakat terhadap produk perikanan, 4) masih minimnya investasi di bidang perikanan, 5) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia perikanan, 6) faktor budaya dan kondisi sosio-kultural yang telah mengakar dari masyarakat setempat, 7) orientasi pembangunan yang masih berpijak ke darat, serta 8) kebijakan dan kelembagaan perikanan yang belum mendukung. Faktor geo-topografi penting untuk mendapatkan perhatian dalam pengembangan perikanan, terkait dengan aksesibilitas pusat-pusat kegiatan perikanan yang ada. Sebagian besar Wilayah Pantai Selatan Jawa merupakan wilayah pegunungan kapur yang tandus, dengan morfologi berbukit-bukit dan bergunung-gunung pada ketinggian sekitar 5001.000 m di atas permukaan laut (dpl). Lokasi basis penangkapan berada di lokasi terisolir, dengan prasarana jalan dan sarana transportasi terbatas. Keadaan tersebut diduga menjadi salah satu sebab sulitnya akses pemasaran.
7
Pendekatan pembangunan kewilayahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengembangkan perikanan di berbagai wilayah perairan Indonesia.
Dalam
pendekatan tersebut perencanaan didasarkan pada kondisi, potensi dan kebutuhan kewilayahan secara keseluruhan dan memerlukan koordinasi lintas sektoral, sehingga pembangunan akan berjalan secara terpadu, efisien dan berkelanjutan. Partisipasi aktif masyarakat diperlukan melalui keterlibatannya dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasil pembangunan. Berdasarkan pada kerangka pemikiran di atas, dapat disarikan beberapa permasalahan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut: 1) Perairan Selatan Jawa memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensial untuk dimanfaatkan (Tabel 1). Besarnya potensi sumberdaya ikan di Perairan Selatan Jawa, belum dapat menjamin berkembangnya kegiatan perikanan di wilayah ini. Diduga banyak faktor menjadi sebab atau menjadi kendala bagi perkembangan kegiatan perikanan di Perairan Selatan Jawa, yaitu seperti telah disebutkan di atas. Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut, bersifat spesifik atau khas untuk masing-masing daerah. 2) Pengembangan perikanan yang dilakukan daerah saat ini, belum dilakukan secara terintegrasi, serta masih berorientasi pada kepentingan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Sebagai satu wilayah perairan yaitu Perairan Samudera Hindia, pengembangan perikanan perlu dilakukan secara terpadu oleh daerah provinsi dan kabupaten/kota yang ada di wilayah ini. Upaya pengembangan perlu dilakukan berdasarkan pada asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Untuk itu perlu dirancang suatu model pengembangan perikanan yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan tersebut. 3) Model pengembangan perikanan yang tepat untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang bersifat spesifik untuk masing-masing daerah adalah pendekatan pembangunan kewilayahan. Pembangunan kewilayahan dalam penelitian ini, akan dilakukan berdasarkan pada potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki daerah serta berdasarkan pada prinsip-prinsip keterpaduan, partisipatif, muatan lokal dan spesifik lokasi.
8
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk: 1) Menentukan implikasi dari karakteristik aspek-aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan dari daerah lokasi penelitian. 2) Membangun model pengembangan perikanan sesuai karakteristik potensi masing-masing daerah. 3) Merumuskan kebijakan strategis untuk pengembangan perikanan berbasis kewilayahan.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah berupa konsep pengembangan perikanan berbasis kewilayahan, yang dapat diimplementasikan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan yang mereka miliki. Hasil penelitian akan memberikan pedoman langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk dapat mendayagunakan sumberdaya perikanan yang dimilikinya, agar dapat memberikan kontribusi bagi daerah dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan nelayan khususnya dan masyarakat secara umum, peningkatan pendapatan daerah, serta pengembangan perekonomian dan pembangunan daerah. Melalui penelitian ini diharapkan sektor perikanan akan dapat memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan daerah.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Naskah pembukaan hukum laut internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah mengisyaratkan, perlu adanya suatu konvensi tentang hukum laut yang baru dan yang dapat diterima secara umum. Dalam naskah tersebut dinyatakan, permasalahan ruang samudera merupakan permasalahan yang berkaitan erat satu sama lain dan perlu dianggap sebagai suatu kebulatan. Melalui suatu konvensi, suatu tertib hukum diberlakukan untuk dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan penggunaan laut dan samudera secara damai, pendayagunaan sumberdaya alam secara adil dan efisien, melakukan konservasi sumberdaya alam hayati dan pengkajian, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Indonesia telah turut meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU 17/1985. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara bertanggungjawab. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan meliputi: 1) Pelaksanaan hak menangkap ikan disertai upaya konservasi; 2) Pengelolaan berasaskan pada mempertahankan kualitas sumberdaya, keanekaragaman hayati dan keberlanjutan; 3) Pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumberdaya; 4) Perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti ilmiah; 5) Pengelolaan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary approach); 6) Pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumberdaya; 7) Mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) Perlindungan dan rehabilitasi terhadap habitat sumber-sumber perikanan kritis; 9) Pengintegrasian pengelolaan sumber-sumber perikanan kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; serta 10) Penegakan hukum melalui penerapan monitoring, controlling and surveillance (MCS) (Manggabarani 2006). Undang-Undang 31/2004 pada Bab I Pasal 1 menyatakan, pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari
10
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pada Pasal 2
disebutkan, pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu: 1) meningkatkan taraf hidup nelayan/pembudidaya skala kecil, 2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, 3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, 4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi protein ikan, 5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya, 6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, 7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, 8) mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, serta 9) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik, karena sumberdaya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumberdaya akan mengalami tekanan secara ekologi dan akan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Sumberdaya perikanan terdiri atas sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan, serta segala sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungannya, serta pengelolaan kegiatan manusia. Secara lebih ekstrim dapat dikatakan, manajemen sumberdaya perikanan adalah manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya. Diberlakukannya UU 32/2004 membawa konsekuensi berupa perubahan dalam tata pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Berdasarkan UU tersebut, Pemda memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu, mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya dalam
11
upaya menerapkan pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya secara terpadu dari setiap provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyusun zonasi kawasan perairan untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau suatu sumberdaya tertentu.
Selanjutnya membuat rencana aksi (action plan) yang
memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Perencanaan hendaknya dilakukan secara partisipatif, artinya segenap komponen daerah terlibat dalam proses dan tahapan perencanaan pengelolaan tersebut (Dahuri 2003).
2.2 Beberapa Contoh Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Beberapa contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang disarikan dari beberapa tulisan di jurnal ilmiah, adalah sebagai berikut: 1) Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan mengetengahkan kerjasama pihak yang terkait (stakeholder) melalui peraturan perikanan terpadu di Teluk Murcielagos, Pantai Utara Mindanau, Philipina (Panorel 2004).
Potensi
sumberdaya ikan di Teluk Murcielagos pada awalnya sangat besar, nelayan dengan mudah mendapatkan hasil tangkapan 100 kg per hari. Seiring dengan perkembangan waktu, terjadi migrasi secara besar-besaran penduduk ke daerah ini untuk mencari kesempatan kerja. Berbagai kegiatan perikanan ilegal dan penangkapan destruktif kemudian terjadi, mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan dan tekanan besar terhadap sumberdaya. Pada tahun 1980-1990-an, terjadi penurunan catch per unit effort secara drastis. Pada tahun 2000, hasil tangkapan rata-rata hanya 1-3 kg untuk 3-4 jam penangkapan. Kondisi ini berdampak menurunnya pendapatan nelayan dari sekitar 5.000 peso pada tahun 1995 menjadi 2.000 peso pada tahun 2000.
Secara sosial politik, Teluk
Murcielagos pada kondisi yang kompleks. Teluk terbentang diantara empat kotamadya yaitu Baliangao, Sapang Dalaga, Rizal dan Sibutad pada dua provinsi yaitu Misamis Occidental dan Zamboanga del Norte serta wilayah pengelolaan yang berbeda (wilayah pengelolaan IX dan X). Sebelumnya, telah
12
dilakukan kerjasama kedua provinsi untuk pengembangan perikanan di daerah ini, namun kerjasama tidak berlanjut karena rendahnya koordinasi dan rendahnya prioritas pembangunan perikanan dari pemerintah.
Menghadapi
kondisi demikian, pihak-pihak yang berkepentingan di teluk ini, kemudian membentuk suatu institusi untuk bekerjasama mengelola sumberdaya. Dua pihak yang sangat berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya adalah, komunitas nelayan miskin yang tersebar di 24 desa pantai dan pemerintahan setempat yang meliputi pemerintah daerah, pejabat dan agen pemerintah. Pihak lain yang berkepentingan adalah kelompok gereja dan LSM. Mereka kemudian sepakat mendirikan organisasi pengelolaan sumberdaya yang disebut UFO (Unified Fisheries Ordinance). Ciri utama organisasi ini adalah: (1) proses pengambilan keputusan didasarkan pada ketersediaan informasi, yang berasal dari hasil-hasil penelitian oleh ilmuwan dan pengalaman nelayan, (2) adanya partisipasi aktif dari pengguna langsung sumberdaya dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan program/proyek, (3) adanya jaringan kerja dan advokasi yang terbina baik diantara kelompok-kelompok sosial dan pemerintah, (4) adanya diseminasi informasi dan penegakan aturan, serta (5) monitoring untuk selalu mentaati peraturan yang ada. 2) Peraturan perikanan anchovy di Divisi VIII Eropa (Del Valle et al. 2001). Perikanan anchovy di Divisi VIII Eropa dieksploitasi secara eksklusif oleh armada purse seine Cantabrian, dengan pengaturan pengelolaan oleh “Cofradias de Pescadores” (kelompok nelayan), sampai awal tahun 80-an. Beberapa pengaturan pengelolaan mengacu pada kebijakan pengelolaan pemerintah Spanyol. Bersamaan dengan masuknya Perancis kedalam organisasi masyarakat Eropa, Perancis meningkatkan keberadaan nelayannya dalam perikanan anchovy tersebut dengan menggunakan armada trawl pelagis. Keberadaan nelayan Perancis ini menjadikan permasalahan yang kompleks bagi kerangka kerja institusi Cofradias.
Kepemilikan armada trawl tidak
kooperatif, tidak sesuai dengan kapasitas izin yang diberikan Cofradias. Armada trawl Perancis terus meningkat secara spektrakuler, yang secara bersamaan terjadi penurunan armada purse seine Spanyol. Terjadi penurunan produksi yang sangat drastis, yaitu dari sekitar 80.000 ton pada pertengahan
13
tahun 1960-an menjadi sekitar 5.000-8.000-an di pertengahan tahun 1980-an. Kondisi ini memaksa organisasi masyarakat Eropa turun tangan dalam pengelolaan sumberdaya anchovy di Divisi VIII, melalui sistem pengelolaan supranational dengan penetapan TAC (total allowable catch) dan perizinan. 3) Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat model “sasi” di Haruku, Kepulauan Maluku, Indonesia (Kissya and Dwisasanti 2004). Dalam makalah ini diketengahkan suatu model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang menarik dan penting di Haruku yaitu lompa sasi. Keunikan lompa sasi adalah cakupannya yang meliputi sasi laut dan sasi sungai. Ikan lompa (Thryssa baelama) merupakan ikan kecil sejenis sarden, yang dapat berkembang dengan baik diantara perairan laut dan air tawar. Lompa sasi juga memasukkan aspek modernitas pada kegiatan nelayannya, yaitu dengan penggunaan perahu motor. Keberadaan lompa ditunjukkan secara nyata, yaitu dengan adanya sistem tutup sasi dan buka sasi.
Tutup sasi
dilakukan untuk melindungi ikan lompa yang sedang melakukan pemijahan di sungai. Buka sasi dilakukan sekitar tujuh atau sembilan bulan kemudian yaitu sekitar bulan November, setelah ikan lompa dewasa. Buka sasi mengikut sertakan seluruh komunitas masyarakat yang berada di sekitar pulau untuk melakukan panen ikan, yang didahului dengan upacara adat. Sistem lompa sasi menggambarkan suatu tradisi yang kuat dalam masyarakat, tentang solidaritas dan perhatiannya pada kesejahteraan masyarakat secara bersama. Peraturan sasi diputuskan bersama oleh ketua adat dan partisipasi masyarakat, yang diimplementasikan oleh persatuan Kewang.
Berdasarkan kewenangannya,
Kewang berfungsi sebagai polisi adat, yang dapat memberikan hukuman dan sangsi pada pelanggar. Hukuman atau sangsi yang diberikan dapat berupa hukuman fisik atau teguran. Pada kenyataannya tradisi ini masih berakar kuat dalam masyarakat, masyarakat desa lebih takut terhadap Kewang dari pada terhadap tentara pemerintah. Berdasarkan pada beberapa contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan seperti tersebut di atas, jelas dinyatakan bahwa sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik, agar dapat memberikan manfaat kepada pelaku pemanfaat sumberdaya secara keberlanjutan. Pengelolaan sumberdaya perikanan
14
harus dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan pada kajian-kajian ilmiah,sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan CCRF. Pengelolaan sumberdaya perikanan menghendaki keterlibatan dari seluruh stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, mulai dari perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
2.3 Pengembangan Perikanan sebagai Sebuah Sistem Upaya pengembangan perikanan haruslah dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Sistem perikanan mencakup tiga subsistem yaitu: 1) sumberdaya ikan dan lingkungannya, 2) sumberdaya manusia beserta kegiatannya, dan 3) manajemen perikanan. Sumberdaya ikan dan lingkungannya meliputi tiga komponen yaitu ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik. Sumberdaya manusia meliputi empat komponen yaitu nelayan dengan kegiatan memproduksi ikan; kegiatan pasca panen, distribusi, pemasaran dan konsumen; rumahtangga nelayan dan masyarakat perikanan; serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Subsistem manajemen perikanan meliputi tiga komponen yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan; pengelolaan perikanan; serta pengembangan dan penelitian. Sistem perikanan bersifat dinamis, komponen-komponennya mengalami perubahan sepanjang waktu (Charles 2001). Selanjutnya Charles (2001) juga menyatakan, perhatian penting dalam hal keberlanjutan (sustainability) tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah tangkapan dan ketersediaan stok, melainkan mencakup keseluruhan aspek perikanan mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai
kepada
masyarakat
perikanan
dan
kelembagaan
pengelolaan.
Keberlanjutan secara ekologi terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap sumberdaya. Keberlanjutan sosial ekonomi, terkait dengan manfaat makro bagi penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan secara layak bagi pelaku pemanfaat sumberdaya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan kelembagaan keuangan, penatausahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka panjang. Perikanan menurut UU 31/2004 adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
15
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Dalam hal ini perikanan didefinisikan meliputi kegiatan bisnis dan pengelolaan. Pengertian pengelolaan perikanan telah didefinisikan pada bagian terdahulu. Berdasarkan definisi sistem menurut Charles (2001) dan menurut UU 31/2004, serta berdasarkan pada analisis kebutuhan dan permasalahan sistem (lebih lanjut lihat Bab 3.2), maka kajian Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah dirancang dalam suatu konsep sistem yang terdiri atas tiga subsistem. Ketiga subsistem tersebut yaitu 1) subsistem kegiatan usaha perikanan, 2) subsistem pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas, serta 3) subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan.
2.3.1
Subsistem Kegiatan Usaha Perikanan Seperti telah disebutkan dalam UU 31/2004, bahwa perikanan adalah suatu
kegiatan bisnis atau usaha, dengan cakupan mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. Berdasarkan cara produksinya perikanan dikelompokkan menjadi dua, yaitu penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha perikanan merupakan proses untuk menghasilkan produksi ikan yang dilakukan nelayan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada, selanjutnya dilakukan proses penanganan, pendistribusian dan pemasaran, dengan tujuan akhir adalah memperoleh nilai manfaat atau keuntungan. Untuk dapat terselenggaranya kegiatan menghasilkan produksi ikan, digunakan berbagai sarana seperti kapal, alat tangkap dan perlengkapan lainnya.
Dalam keseluruhan kegiatan usaha
perikanan terkait antara sumberdaya ikan, manusia, teknologi, modal dan sumberdaya informasi, yang masing-masing komponennya perlu dikelola dengan baik agar tujuan untuk mencapai keuntungan usaha dapat tercapai.
16
Menurut Dahuri (2003), kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya (stok) ikan dengan tingkat penangkapan pada setiap wilayah penangkapan ikan sangat penting, untuk dapat menjamin sistem usaha perikanan yang efisien atau menguntungkan (profitable) secara berkelanjutan. Apabila tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah melebihi potensi lestarinya (maximum sustainable yield, MSY), maka akan terjadi fenomena tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit effort), pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Sebaliknya, jika tingkat penangkapan di bawah potensi lestari (MSY) atau MEY (maximum economic yield), maka terjadi kondisi yang kurang optimal (underutilization). Kondisi ini tidak baik, karena ikan di laut kalau tidak ditangkap akan mati secara alamiah (natural mortality). Perikanan masa depan Indonesia yang harus diwujudkan adalah sebuah sistem bisnis perikanan tangguh, yang dapat menghasilkan keuntungan berkelanjutan, sehingga dapat mensejahterakan para pelakunya, berkontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi, dan mampu menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Berkembangnya kegiatan usaha perikanan, akan membentuk pusat kegiatan perikanan (sentra industri). Menurut Kuncoro (2002) diacu dalam Sahubawa (2006), sentra industri pada dasarnya merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja. Menurut Porter (1998, 2000) diacu dalam Sahubawa (2006) sentra merupakan konsentrasi geografis dari berbagai perusahaan dan industri yang saling terkait dalam satu wilayah tertentu. Markusen (1996) dan Scorsone (2002) diacu dalam Sahubawa (2006) mengajukan tiga pola sentra industri yaitu sentra Marshalian, Hub and Spoke, dan Satellite Flat Form. Pola sentra Mashalian dicirikan oleh skala ekonomi rendah, kerjasama horizontal yang tinggi, serta kerjasama vertikal dan hubungan eksternal yang sangat rendah. Pola sentra Hub and Spoke mempunyai ciri-ciri diantaranya dominasi satu atau beberapa perusahaan besar yang terintegrasi secara vertikal dan dikelilingi oleh sejumlah pemasok, kerja sama yang rendah antar sesama kompetitor perusahaan besar, dan skala ekonomi yang cukup tinggi. Pola Satellite Flat Form, mempunyai ciri-ciri dominansi perusahaan besar yang dimiliki oleh pemilik eksternal, aktivitas dagang
17
yang minimal antar pembeli dan pemasok di dalam sentra, pengambilan keputusan investasi dilakukan secara eksternal, serta derajat kerjasama dan keterkaitan yang tinggi dengan perusahaan-perusahaan diluar sentra terutama perusahaan induk.
2.3.2
Subsistem Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan Aksesibilitas Terkait dengan lokasi dari sebuah pelabuhan perikanan yang merupakan
pusat kegiatan industri perikanan, faktor geo-topografi merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan. Yani et al. (2004) menyatakan, aspek geo-topografi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap kegiatan industri. Pengambilan keputusan penentuan lokasi industri mempunyai kerangka kerja yang prospektif, yaitu pemilihan lokasi strategis atau dengan kata lain lokasi tersebut memiliki pilihan-pilihan menguntungkan dari sejumlah akses. Semakin strategis lokasi industri, semakin besar peluang untuk meraih keuntungan. Selanjutnya dikatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menentukan lokasi industri yang strategis adalah bahan baku, modal, tenaga kerja, sumber energi, transportasi, komunikasi, pasar, teknologi, peraturan, iklim dan ketersediaan sumber air. Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan, karena tidak semua unsur pendukung dapat tersedia di suatu tempat. Lokasi ideal jarang ditemukan, penempatan lokasi industri harus memilih diantara lokasi-lokasi yang paling menguntungkan. Dalam ilmu perencanaan wilayah dan perkotaan, setiap tata guna lahan mempunyai beberapa ciri dan persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam perencanaan dan perancangannya. Daerah pemukiman, industri, pertokoan, fasilitas hiburan, dan fasilitas sosial, semuanya mempunyai beberapa persyaratan teknis dan non teknis yang harus dipenuhi dalam menentukan lokasinya. Beberapa ciri teknis yang sering dipakai adalah kondisi topografi (datar, bukit, pegunungan), kesuburan tanah dan geologi. Akibatnya, lokasi kegiatan tersebar secara heterogen di dalam ruang yang ada yang menyebabkan perlu adanya pergerakan atau transportasi yang digunakan untuk proses pemenuhan kebutuhan. Transportasi merupakan satu kesatuan antara aspek alam (iklim, morfologi, keadaan tanah, dan struktur geologi) dan aspek manusianya (aktivitas ekonomi, politik, dan teknologi). Alam sangat berpengaruh terhadap keberadaan jaringan transportasi baik darat, laut, maupun udara. Adanya transportasi memungkinkan
18
hubungan antar daerah, antar-hinterland dan foreland, serta menimbulkan dampak terhadap sosial ekonomi penduduk dan penggunaan lahan (Tamin 2000). Keberadaan infrastruktur jalan dan sarana transportasi termasuk didalam pengkajian ini. Sebagian besar Wilayah Pantai Selatan Jawa secara geo-topografi berada pada lokasi yang tidak strategis untuk kegiatan industri perikanan. Lokasi yang terisolir, dengan bentuk permukaan bumi yang berbukit-bukit dan berlereng terjal, infrastruktur jalan belum dibangun secara memadai, serta sarana transportasi yang tidak memadai merupakan faktor potensial yang menghambat berkembangnya kegiatan industri perikanan di daerah ini. Biaya transportasi yang tinggi, tidak efisien bagi upaya untuk mendistribusikan ikan ke tempat tujuan pemasaran, dan berpotensi untuk meningkatkan biaya faktor-faktor produksi. Jika dilihat dari aspek geo-topografinya, daerah pusat-pusat kegiatan perikanan yang telah berkembang dengan baik di Selatan Jawa, memiliki aspekaspek yang positif untuk menunjang pengembangan industri perikanan di daerah tersebut. Cilacap misalnya, kondisi topografinya relatif datar, sarana infrastruktur berupa jalan dan sarana transportasi telah terbangun dengan baik. Hubungan dari Cilacap ke daerah-daerah yang menjadi hinterland-nya yaitu Bandung, Semarang, Jakarta dan kota-kota lainnya untuk memasarkan produksi ikan mudah dilakukan. Aspek geo-topografi terkait juga dengan pemilihan lokasi wilayah daratan yang tepat untuk pembangunan pelabuhan perikanan. Lokasi pelabuhan perikanan mensyaratkan wilayah daratan yang cukup luas, dengan bentuk permukaan yang hampir rata. Areal tanah yang luas diperlukan untuk pembangunan fasilitas, seperti tempat pelelangan ikan, tempat menjemur jaring, tempat pengolahan ikan, bengkel, pabrik es, cold storage, parkir kendaraan, dan sebagainya (Murdiyanto 2002). Kondisi permukaan tanah yang rata memungkinkan untuk memudahkan di dalam aliran barang dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya di dalam lokasi pelabuhan. Fasilitas-fasilitas tersebut tentunya akan lebih mudah dibangun pada permukaan tanah yang datar, dari pada permukaan tanah yang berbukit-bukit. Pelabuhan
perikanan
meningkatkan kerja.
berfungsi
sebagai
sarana
penunjang
untuk
Fungsinya meliputi berbagai aspek yaitu sebagai pusat
pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan
19
kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi, pusat pembinaan, penyuluhan dan pengumpulan data (Penjelasan UU 31/2004 tentang Perikanan). Kramadibrata (1985) menyatakan, untuk dapat merealisir pembangunan pelabuhan minimal ada 7 data pokok yang dibutuhkan, yaitu: 1) asal, tujuan dan jenis muatan; 2) klimatologi, meliputi angin, pasang surut dan sifat air laut; 3) topografi, geologi dan struktur tanah; 4) rencana pembiayaan, ukuran keberhasilan secara ekonomis dilihat dari segi investasi; 5) pendayagunaan modal ditinjau dari segi operasional, terutama dalam penanganan muatan; 6) kaitan pelabuhan dengan kapal yang menyinggahi dan sarana prasarana angkutan lain, yang mendukung kegiatan pelabuhan dengan daerah pendukungnya; 7) kaitan pelabuhan dengan pelabuhan lain dalam rangka lalu lintas dan jaringan pendukung perdagangan.
2.3.3
Subsistem Kebijakan dan Kelembagaan Perikanan Menurut definisi, politik adalah hal yang berkaitan dengan cara bagaimana
masyarakat diperintah oleh lembaganya, penguasanya, dan hukumnya (Baggini 2003). Politik akan berkaitan dengan bentuk pemerintahan, ideologi, hukum, kelembagaan, peraturan dan kebijakan. Secara umum orang dapat memahami dan sadar bahwa politik berpengaruh kuat dalam segenap aspek kehidupan manusia, karena manusia beserta seluruh kegiatannya ada dalam lingkup kekuasaan negara. Menurut Saad (2003), politik hukum dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, yang implementasinya meliputi aspek-aspek: 1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaharuan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan; dan 2) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegakan fungsi-fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum. Selanjutnya dikatakan, politik hukum perikanan merupakan keseluruhan kebijakan pemerintah mengenai perikanan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk produk hukum. Berdasarkan hal di atas, terlihat bahwa produk hukum perikanan merupakan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, hukum, peraturan, kelembagaan dan orang-orang yang terlibat.
20
Politik mencakup pula aspek kelembagaan, karena hukum atau peraturan dalam implementasinya dilakukan oleh fungsi lembaga atau kelembagaan yang ada. Politik terkait pula dengan orang-orang yang berada di dalam kelembagaan atau pemerintahan. Siapa orang yang berperan sebagai pengambil keputusan di bidang perikanan, akan menentukan arah bagi pengembangan kegiatan perikanan. Kelembagaan menurut Purwaka (2003) merupakan suatu perangkat perundang-undangan yang mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement) dan mekanisme tata kerja kelembagaan (institutional framework). Kelembagaan memiliki kapasitas yaitu kapasitas potensial (potential capacity), kapasitas daya dukung (carrying capacity) dan kapasitas daya tampung atau daya lentur (absorptive capacity). Kinerja dari suatu kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya. Kelembagaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu 1) kelembagaan sebagai institusi, merupakan organisasi berbadan hukum untuk mengelola suatu kegiatan, dan 2) kelembagaan sebagai pelembagaan nilai atau institutionalized. Kelembagaan sebagai organisasi merupakan kumpulan orang yang tergabung dalam suatu wadah yang disatukan untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan. Kelembagaan sebagai organisasi mencakup beberapa komponen yaitu 1) orang, sebagai pelaksana tugas, 2) teknologi, yang digunakan untuk melaksanakan tugas, 3) informasi, sebagai pengetahuan untuk melaksanakan tugas, 4) struktur, merupakan peraturan dan pembagian tugas, serta 5) tujuan, merupakan alasan dan tujuan dari pelaksanaan tugas organisasi. Kelembagaan sebagai pelembagaan nilai merupakan nilai-nilai yang dilembagakan yang dihasilkan lembaga, misalnya peraturan perundang-undangan (Soepanto 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa, dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan. Kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) mencakup himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai
hak-haknya,
kewajiban
dan
tanggungjawabnya.
Kelembagaan
memberikan suatu kondisi, setiap anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman dan hidup sewajarnya.
21
2.4 Pendekatan Sistem Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, oleh karena itu diperlukan suatu kerangka pikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Perihal dalam pendekatan sistem tidak hanya didekati dari satu segi saja, namun dari beberapa segi yang dipandang penting untuk mendapatkan pemecahan yang objektif. Pendekatan dari satu segi akan mempunyai peluang yang besar untuk memperlihatkan dampak negatif di masa mendatang. Pendekatan integratif diperlukan untuk mengkaji seluruh faktor guna mendapatkan pemecahan yang optimal. Pemecahan masalah tersebut dapat mencapai sasarannya dengan pengelolaan fungsi-fungsi dan elemen-elemen sistem ke dalam kesatuan yang terpadu (Eriyatno 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa, pengkajian dengan menggunakan metode pendekatan sistem mencakup berbagai tahap yaitu: 1) analisis, 2) permodelan, 3) implementasi dan 4) operasi sistem. Tahap analisis sistem pada dasarnya adalah upaya untuk dapat memahami kinerja dan tingkah laku sistem, identifikasi faktorfaktor penting yang akan mempengaruhi kinerja sistem, identifikasi permasalahan dan solusi yang mungkin. Analisis sistem mencakup enam tahap, yaitu 1) analisis kebutuhan, 2) identifikasi sistem, 3) formulasi masalah, 4) pembentukan alternatif sistem, 5) determinasi dari realitas fisik, sosial dan politik, serta 6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Permodelan sistem mencakup suatu pemilihan dari karakteristik perwakilan abstrak yang paling tepat pada situasi yang terjadi. Permodelan terdiri atas beberapa tahap, yaitu: 1) seleksi konsep, 2) rekayasa model, 3) implementasi komputer, 4) validasi model, 5) analisis sensitivitas, 6) analisis stabilitas dan 7) aplikasi model. Wilson (1990) menyatakan bahwa metodologi pendekatan sistem mencakup empat tahap utama yang kemudian dapat diuraikan ke dalam sub-sub tahap. Tahap utama tersebut terdiri atas: 1) analisis sistem, mencakup perumusan masalah, pengorganisasian, pendefinisikan sistem, perumusan tujuan sistem, penggalian informasi, serta pengumpulan data teoritis dan lapang; 2) desain sistem, mencakup peramalan, bangunan model, optimasi, kontrol, dan teruji (reliability); 3) implementasi, mencakup dokumentasi dan konstruksi; 4) operasi, mencakup operasi awal, evaluasi, dan pengembangan operasi.
22
Jogiyanto (1989) menyatakan bahwa analisis sistem dapat didefinisikan sebagai penguraian dari suatu sistem informasi yang utuh ke dalam bagian-bagian komponennya dengan maksud untuk mengidentifikasikan dan mengevaluasi permasalahan-permasalahan, kesempatan-kesempatan, hambatan-hambatan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan sehingga dapat diusulkan perbaikan-perbaikannya. Tahap analisis merupakan tahap yang kritis dan sangat penting, karena kesalahan di dalam tahap ini akan menyebabkan juga kesalahan di tahap selanjutnya. Dalam tahap analisis sistem terdapat langkah-langkah dasar yang harus dilakukan yaitu 1) mengidentifikasi masalah (identify), 2) memahami kerja dari sistem yang ada (understand), 3) menganalisis sistem (analyze), dan 4) membuat laporan hasil analisis (report). Menurut Simatupang (1995) sistem dikembangkan untuk mendukung fungsi-fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan. Pengembangan sistem berangkat dari suatu kebutuhan untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi pada kegiatan fungsi. Tahap utama siklus hidup pengembangan sistem meliputi: perencanaan sistem (system planning), analisis sistem (system analysis), desain sistem (system design), seleksi sistem (system selection), implementasi sistem (system implementation) dan perawatan sistem (system maintenance). Berdasarkan pemahaman sistem di atas, secara umum pengkajian dengan menggunakan metode pendekatan sistem mencakup empat tahap yaitu: 1) analisis sistem, 2) permodelan sistem, 3) implementasi sistem dan 4) operasi sistem. Tahap analisis sistem penting untuk dapat mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi alternatif pemecahan masalah.
2.5 Metode Analisis
2.5.1 Perancangan Model Sistem Dinamis untuk Analisis Usaha Perikanan Untuk dapat menjamin sistem usaha perikanan yang menguntungkan secara berkelanjutan, harus ada keseimbangan antara stok sumberdaya ikan dengan tingkat upaya penangkapan yang dilakukan. Tingkat upaya penangkapan di suatu daerah penangkapan ikan bersifat dinamis, yang berdampak pada stok ikan juga akan mengalami perubahan secara dinamis. Kegiatan usaha akan dapat optimal
23
dan memberikan keuntungan berkelanjutan, jika upaya penangkapan berada pada suatu keadaan keseimbangan MEY (maximum economic yield). Sushil (1993) menyatakan, model sistem dinamis merupakan gambaran dari sistem nyata yang dapat digunakan untuk mempelajari tingkah laku sistem pada pengujian dengan berbagai kondisi. Model mengorganisasikan struktur, alur informasi dan kebijakan dari sistem ke dalam model komputer berdasarkan pada struktur ketidakpastian, yang merupakan umpan balik sebab-akibat dalam sistem. Representasi dapat dilakukan melalui simulasi komputer untuk mempelajari tingkah laku sistem dan dilakukan manipulasi perubahan kebijakan untuk dapat melihat atau memperbaiki tingkah laku sistem. Pembuatan model sistem dinamis terdiri dari dua tahap utama yaitu: 1) bagian konsep dan 2) bagian teknik.
1) Bagian konsep Bagian konsep merupakan bagian permodelan untuk dapat menjustifikasi permasalahan dan identifikasi model. Struktur dasar model yang terbentuk, akan tergantung pada experience manajer dan justifikasi dari kondisi permasalahan. Experience dan justifikasi diperlukan untuk menyusun struktur uji coba model. Bagian konsepsi meliputi beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu: (1) Identifikasi dan definisi sistem Upaya untuk mengidentifikasi situasi masalah yang relevan merupakan bagian yang sangat krusial dalam pembuatan model sistem dinamis. Identifikasi terhadap situasi masalah penting untuk dapat menganalisis secara mendalam terhadap kondisi masalah yang dihadapi. Berbagai pendekatan dapat dilakukan diantaranya yaitu, pemeriksaan formal secara rutin, brainstorming, perencanaan kebijakan secara berkala, pemeriksaan kebijakan maupun formulasi kebijakan yang baru. Hal-hal penting dalam menganalisis situasi masalah adalah: (a) data atau catatan latar belakang yang dapat memberikan gambaran permasalahan; (b) identifikasi isu-isu; (c) mendefinisikan perilaku dinamis seperti pertumbuhan, stabilitas, siklus fluktuasi, dan lain-lain; (d) mendefinisikan ruang lingkup studi sebagai batasan model; serta (e) mengumpulkan dan menyajikan data yang relevan dengan situasi masalah. Hasil identifikasi dan definisi sistem adalah data, informasi dan catatan-catatan penting sebagai basis permodelan.
24
(2) Konsepsualisasi sistem Sistem dinamis menawarkan metode permodelan yang fleksibel, dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna dan situasi masalah yang dihadapi. Sistem dinamis memberikan kebebasan kepada pemodel untuk memilih dan mendesain tujuan yang akan dicapainya melalui pendekatan yang disajikan dalam bentuk matematika terhadap situasi masalah yang dihadapinya. Pemodel dapat melakukan pemrosesan secara fleksibel dan dapat menggunakan berbagai kombinasi diagram yaitu subsistem diagram, policy structure diagram, diagram sebab akibat dan diagram alir (flow diagram). (3) Model simulasi Suatu model yang memuaskan perlu divalidasi melalui pengujian-pengujian. Pengujian atau simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi model pada model sistem dinamik bertujuan untuk dapat memahami gejala, perilaku atau proses, membuat analisis dan peramalan perilaku sistem di masa depan. Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap pembuatan model komputer, pemrograman komputer, simulasi dan validasi hasil simulasi.
2) Bagian teknik Bagian teknik merupakan bagian penerapan model. Model dapat digunakan untuk melakukan analisis perilaku sistem melalui simulasi. Analisis kebijakan dilakukan dengan mensimulasi berbagai kebijakan dan bagaimana dampaknya terhadap sistem. Evaluasi terhadap model perlu dilakukan untuk dapat melihat validitas model terhadap berbagai perubahan situasi dan kedinamisan lingkungan.
2.5.2
Analisis Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan Aksesibilitas Pelabuhan
perikanan
sebagai
pusat
kegiatan
industri
perikanan
mensyaratkan tingkat aksesibilitas yang baik, untuk memudahkan suplai bahan baku bagi keperluan operasi penangkapan ikan, distribusi dan pemasaran hasil tangkapan serta komunikasi dengan dunia luar. Sebagai sarana penunjang kegiatan perikanan, pelabuhan perikanan diharapkan dapat berfungsi dengan baik sehingga dapat turut mendorong kemajuan bidang perikanan.
25
Menurut Vigarié (1979) diacu dalam Lubis (1989), ada tiga komponen yang harus diperhatikan dalam menganalisis suatu pelabuhan umum yakni avant pays marin (foreland), port de pêche (fishing port) dan arrière-pays terrèstre (hinterland) yang disebut tryptique portuaire. Selanjutnya menurut Lubis (2006), secara geografis dalam perencanaan pelabuhan perlu dianalisis terhadap tiga elemen yaitu foreland, pelabuhan perikanannya itu sendiri dan hinterland. Foreland berkaitan dengan fishing ground atau daerah penangkapan, sedangkan hinterland berkaitan dengan daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan . Ismail (2005) juga menyatakan, pembangunan pelabuhan perikanan harus didasarkan pada berbagai pertimbangan, agar pelabuhan yang dibangun dapat berfungsi dengan baik dan memberikan manfaat yang sepadan dengan besarnya investasi yang ditanamkan. Pertimbangan tersebut diantaranya yaitu: (a) faktor kedekatan dengan daerah penangkapan (forward linkages), dan (b) aksesibilitas pasar (backward linkages). Lubis (2006) juga menyatakan, apabila perlu diseleksi terhadap beberapa calon pelabuhan perikanan yang ada, maka perlu dilakukan beberapa persyaratan yang lebih khusus, antara lain: 1) Jarak calon pelabuhan terhadap fishing ground. Apabila lokasi tersebut diperuntukkan bagi perikanan semi industri maupun perikanan industri, maka kedekatan lokasi tidak diperlukan, sebaliknya jika diperuntukkan untuk perikanan tradisional maka lokasi pelabuhan harus relatif dekat dengan daerah penangkapannya disamping juga dekat dengan pemukiman nelayan karena fishing trip relatif pendek. 2) Secara geografis, posisi lokasi tersebut cukup baik terhadap potensi pasar yang ada maupun untuk rencana pengembangan pasar. 3) Mempunyai prasarana jalan yang baik menuju daerah konsumen dan terdapat fasilitas infrastruktur lainnya seperti listrik, sumber air bersih dan sarana telekomunikasi. 4) Alur masuk cukup lebar dan kolam labuh cukup terlindung baik secara alami maupun buatan agar kapal-kapal dapat berlabuh dengan aman. 5) Secara fisik-teknik, lokasi tersebut tidak memerlukan pembiayaan yang terlalu besar baik dalam pembangunan maupun pemeliharaannya, sebagai
26
contoh di lokasi tersebut diharapkan sedimentasi dan litoral drift yang ada sekecil mungkin. 6) Terdapat lahan yang cukup untuk rencana pengembangan pelabuhan yang ada dan apabila diperlukan pembebasan lahan, maka harga lahan tersebut tidak mahal dan sesuai dengan rencana tata ruang daerah atau dengan kata lain, lokasi tersebut sesuai dengan rencana pengembangan wilayah. Berdasarkan pemahaman terhadap konsep pembangunan pelabuhan perikanan seperti tersebut di atas, ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan pelabuhan perikanan. Ketiga aspek tersebut yaitu: 1) faktor keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages); 2) aspek teknis pelabuhan, dan 3) keterkaitan dengan aksesibilitas pasar (backward linkages).
2.5.3
Analisis Kebijakan dan Kelembagaan Perikanan Peraturan perundang-undangan sangatlah penting dalam pengembangan
perikanan, karena hukum atau peraturanlah yang akan menentukan aturan main dalam pelaksanaan pengembangan perikanan. Analisis kebijakan atau peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk mengkaji sampai seberapa jauh tingkat efektivitas kebijakan atau hukum/peraturan perikanan yang ada, mampu berperan dalam mendorong pengembangan perikanan. Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu berdasarkan pada struktur hukum (legal sructure), mandat hukum (legal mandate), dan penegakan hukum (legal enforcement). Berdasarkan struktur hukum, sistem perundang-undangan haruslah terdapat kesalinghubungan antara yang ada di level bawah dengan yang ada di level atas, kesalinghubungan antara tujuan pengelolaan sumberdaya dengan strategi dan petunjuk pelaksanaan untuk pencapaian tujuan. Berdasarkan mandat hukum, peraturan perundang-undangan harus jelas mendeskripsikan kepada siapa mandat hukum diberikan. Penegakan hukum merupakan pilar utama untuk menegakkan kebijakan atau peraturan. Keterpaduan sistem perundang-undangan perlu dibangun untuk dapat menjamin terlaksananya pengelolaan secara optimal, efisien dan efektif (Purwaka 2003). Kelembagaan terkait dengan mandat hukum yang diberikan oleh hukum/peraturan yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan, analisis kelembagaan adalah memisahkan hukum atau peraturan (kelembagaan) dari strategi yang
27
ditetapkan oleh pelaku (organisasi). Tujuan analisis kelembagaan yaitu untuk melihat perbedaan kesenjangan antara kelembagaan yang bersifat normatif dengan organisasi yang sangat bernuansa subyektif.
Ketika seseorang melaksanakan
analisis kelembagaan, mutlak baginya untuk mengkaji aspek-aspek organisasi karena strategi organisasi dapat berpengaruh pada suatu kelembagaan atau bahkan dapat memberi arah supaya terjadi pergantian atau perubahan kelembagaan. Menurut Purwaka (2003), kelembagaan (K) adalah satu set atau satu perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement, IA) dan mekanisme/kerangka kerja kelembagaan (institutional framework, IF) dalam rangka fungsionalisasi kapasitas potensial (potencial capacity, PC), daya dukung (carrying capacity, CC) dan daya tampung (absorptive capacity, AC). Analisis kelembagaan dimaksudkan untuk dapat mengoptimalkan kapasitas kelembagaan atau meningkatkan kualitas kinerja, dalam kerangka tata kelembagaan dan kerangka kerja dari kelembagaan yang ada. Selanjutnya dikatakan, kinerja dari suatu kelembagan dapat dilihat melalui beberapa indikator. Indikator kinerja suatu kelembagaan dapat dilihat berdasarkan pendekatan aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi: 1) Aspek politik, kelembagaan perikanan memiliki bargaining yang kuat dalam penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di tingkat lokal maupun nasional, yang tercermin dalam tata kelembagaan, kerangka kerja dan kapasitasnya. 2) Aspek sosial budaya, kelembagaan perikanan akan dapat menumbuhkan kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai luhur yang telah berakar kuat pada adat tradisi masyarakat.
Secara sosial, kelembagaan
perikanan dapat menumbuhkan jiwa sosial masyarakat yang kuat, bersinergi diantara stakeholder perikanan dan menjauhkan konflik. 3) Aspek ekonomi, kelembagaan perikanan secara nyata memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum. 4) Aspek hukum, kelembagaan perikanan memperoleh mandat yang jelas dari hukum/peraturan yang ada, baik tata kelembagaan, kerangka kerja maupun kapasitas kelembagaannya. Hal ini terkait dengan aspek legal, pengaturan operasional dan teknis, dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang jelas.
28
5) Aspek teknologi, pemanfatan dan tanggap terhadap dinamika perubahan teknologi yang tercermin pada tata kelembagaan, kerangka kerja dan kapasitas kelembagaannya untuk dapat mengembangkan perikanan secara produktif, efisien, berkualitas dan aman.
2.5.4
Analisis untuk Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan Suatu kebijakan strategis yang efektif dapat dirumuskan secara sistematis
dengan membandingkan kondisi internal dan eksternal dari suatu sistem. Kondisi internal mencakup kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), sedangkan kondisi eksternal berupa peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Strategi dirumuskan berdasarkan pada logika memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman (SWOT) (Rangkuti 1998). Proses dalam perumusan strategi mencakup 3 tahap yaitu: 1) Evaluasi faktor internal dan eksternal. 2) Pembuatan matriks internal, eksternal dan matriks SWOT. 3) Pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan untuk memilih alternatif strategi terbaik, dilakukan setelah mengetahui kondisi internal dan eksternal sistem saat ini. Kondisi sistem dapat dikelompokkan dalam 4 kuadran, yaitu seperti dapat dilihat pada Gambar 1. Perumusan strategi yang tepat dalam berbagai kondisi adalah sebagai berikut: 1) Kuadran 1, merupakan kondisi yang sangat menguntungkan, yaitu sistem memiliki kekuatan dan peluang yang baik. Strategi yang tepat adalah strategi yang mendukung pertumbuhan agresif. 2) Kuadran 2, sistem memiliki kekuatan namun menghadapi berbagai ancaman. Strategi yang tepat adalah strategi diversifikasi, yaitu menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang. 3) Kuadran 3, sistem memiliki peluang yang baik, namun terkendala kelemahan internal. Strategi yang tepat adalah meminimalkan masalah-masalah internal, sehingga dapat merebut peluang eksternal dengan lebih baik. 4) Kuadran 4, kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Strategi yang tepat adalah strategi defensif, yaitu dengan meminimalkan kerugian-kerugian yang kemungkinan akan timbul.
29
Peluang Kuadran 3
Kuadran 1
Kelemahan
Kekuatan Kuadran 4
Kuadran 2
Ancaman
Gambar 1 Sistem dalam berbagai kondisi (David 2002). Pengukuran kinerja kebijakan strategis dilakukan dengan menggunakan balanced scorecard, yaitu tolok ukur operasional jangka pendek untuk mengukur keberhasilan strategi jangka panjang. Balanced scorecard memandang organisasi dari kurang lebih empat perspektif, yaitu: 1) keuangan, 2) pelanggan, 3) bisnis internal, serta 4) pembelajaran dan pertumbuhan. Pengendalian dilakukan dengan memfokuskan diri pada rasio-rasio kunci yang kritis dan strategis melalui target yang dapat dijangkau (stretch target) (Yuwono et al. 2006) (Gambar 2).
Gambar 2 Balanced scorecard menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam empat perspektif yang saling berhubungan (Yuwono et al. 2006 adaptasi dari Kaplan et al. 1996).
30
Selanjutnya untuk keberhasilan dalam implementasi model pengembangan, dianalisis dengan menggunakan teknik interpretative structural modelling (ISM). Interpretative structural modelling (ISM) adalah suatu permodelan deskriptif yang bernilai efektif bagi proses perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis. Perencanaan strategis mencakup suatu totalitas sistem yang tidak dapat dianalisis bagian demi bagian, melainkan harus dipahami secara keseluruhan. Teknik ISM memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi sistem yang cukup kompleks. Teknik ISM menganalisis elemen-elemen sistem, dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Data dan informasi yang tersedia dalam perencanaan strategis, biasanya didominasi oleh data dan informasi yang bersifat kualitatif dan normatif, sehingga tidak tepat jika dianalisis dengan menggunakan teknik penelitian operasional atau metode statistik deskriptif (Eriyatno 2003; Marimin 2004). Teknik ISM merupakan proses pengkajian kelompok (group learning process), dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem. Model dirancang melalui pola yang dirancang secara seksama menggunakan grafik serta kalimat. Teknik ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (misalnya: “lebih penting dari”, atau “sebaiknya dipelajari terlebih dahulu”) dan kategori ide (misalnya: “termasuk dalam kategori yang sama dengan”). Metodologi tersebut memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi sistem yang cukup kompleks (Eriyatno 2003; Marimin 2004). Selanjutnya dinyatakan bahwa, metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Pada tahap pertama diterapkan alat pembangkit (generating tool), diantaranya yaitu 1) diskusi ahli, melalui proses musyawarah dan brainstorming oleh para panelis yang terseleksi; 2) expert survey, melalui wawancara secara mendalam dari pakar lintas disiplin; 3) metode DELPHI, melalui pengumpulan informasi terkendali dan 4) media elektronik (computerized conferencing, generating graphics atau teleconference). Tahap kedua adalah pemilihan hubungan-hubungan yang relevan,
31
sehingga elemen-elemen dapat diformasikan. Prinsip dasar teknik ISM adalah identifikasi dari struktur di dalam sebuah sistem, yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur sistem berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji (Eriyatno 2003). Aspek yang terkait dalam implementasi model atau program pengembangan dibagi menjadi elemen-elemen, dimana setiap elemen diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Menurut Saxena (1992) diacu dalam Eriyatno (2003), aspek yang terkait dalam penerapan program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: 1) sektor masyarakat yang terpengaruh, 2) kebutuhan dari program, 3) kendala utama program, 4) perubahan yang dimungkinkan, 5) tujuan dari program, 6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, 7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, 8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan 9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Output teknik ISM berupa ranking masing-masing subelemen dan plot subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Sektor tersebut yaitu: 1) Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels (autonomus). Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau mempunyai hubungan sedikit. Subelemen pada sektor 1, jika: nilai driver power (DP) ≤ 0,5X dan nilai dependence (D) ≤ 0,5X, X adalah jumlah subelemen. 2) Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (dependent). Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Subelemen pada sektor 2, jika: nilai DP ≤ 0,5X dan nilai D > 0,5X. 3) Sektor 3; strong driver-strongly dependent variabels (linkage). Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara subelemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan balik dapat memperbesar dampak. Subelemen pada sektor 3, jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D > 0,5X. 4)
Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (independent). Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut
32
peubah bebas. Subelemen pada sektor 4, jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D ≤ 0,5X, X adalah jumlah subelemen.
2.6 Beberapa Penelitian yang Sudah Dilakukan Beberapa penelitian berkaitan dengan pengembangan perikanan tangkap di Selatan Jawa, diantaranya yaitu Wiyono et al. (2006) melakukan penelitian mengenai Fishing Strategy for Target Species of Small-Scale Fisheries in Pelabuhanratu Bay, Indonesia. Hasil penelitian menyatakan, penangkapan ikan di Teluk Pelabuhanratu bersifat musiman. Selama musim kemarau, nelayan menggunakan lebih banyak jenis alat tangkap, dengan komposisi jenis ikan hasil tangkapan lebih beragam. Pada musim hujan, nelayan lebih intensif menggunakan hand line, dengan variasi jenis hasil tangkapan lebih rendah yaitu lebih ditujukan untuk menangkap ikan layur. Suherman (2007) meneliti mengenai Rekayasa Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap.
Hasil penelitian menyatakan,
prioritas pengembangan PPS Cilacap perlu dilakukan, yaitu melalui pengerukan alur pelayaran dan kolam pelabuhan, perluasan darmaga, pengembangan kedua TPI, pengembangan area industri, serta penambahan fasilitas SPBU dan logistik. Strategi yang diterapkan adalah optimalisasi pemanfaatan potensi SDI sekaligus pengamanan wilayah perairan Indonesia, menyediakan fasilitas yang memenuhi standar internasional, pemeliharaan dan perbaikan fasilitas PP, peningkatan kapasitas kelembagaan, serta pengawasan dan penegakan hukum. Jatmiko, et al. (2007) melakukan penelitian Model Pengembangan Agroindustri Perikanan Berbasis Partisipasi Masyarakat: Studi Kasus Daerah Cilacap-Jawa Tengah.
Hasil penelitian menyatakan produk jelly fish terpilih
sebagai produk unggulan, berdasarkan pada pertimbangan ketersediaan teknologi, nilai tambah dan kontinuitas bahan baku terjamin. Pengembangan agroindustri perlu dilakukan secara terpadu oleh semua pelaku sistem yang terlibat. Mahyuddin (2007) meneliti mengenai Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Tryptique Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Penelitian menyatakan PPN Palabuhanratu dapat dikembangkan melalui optimalisasi fungsi PP. Dalam rangka memenuhi target
33
peningkatan produksi dari 6.601 ton menjadi 19.000 ton, maka beberapa kapasitas dari fasilitas PP perlu ditingkatkan. Prioritas pengembangan diarahkan pada peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah produksi, peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan tenaga kerja dan peningkatan PAD. Sutisna (2007) melakukan penelitian mengenai Model Pengembangan Perikanan Tangkap di Pantai Selatan Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menyatakan sumberdaya ikan unggulan Jawa Barat adalah lobster, udang, tuna, cakalang, dan layur. Jenis unit penangkapan pilihan yang dapat dikembangkan adalah purse seine, payang, pancing, gillnet dan trammel net. Beberapa penelitian di atas memiliki cakupan penelitian yang terbatas, yaitu Wiyono et al. (2006) pada perikanan skala kecil, Jatmiko et al. (2007) pada bidang agroindustri perikanan, Suherman (2007) dan Mahyuddin (2007) pada lingkup pelabuhan perikanan, serta Sutisna (2007) dalam lingkup perikanan Jawa Barat dan belum terintegrasi dalam satu sistem perikanan. Penelitian yang penulis lakukan memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu sistem perikanan. Penelitian mencakup seluruh komponen sistem perikanan di Wilayah Selatan Jawa, dengan membuat model pengembangan terpadu dan spesifik wilayah. Hasil penelitian dari peneliti terdahulu, dijadikan sebagai bahan masukan bagi penelitian yang penulis lakukan.
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah Penelitian dimulai dengan pengumpulan data melalui survei lapangan untuk mengetahui kondisi umum dan kondisi perikanan wilayah studi. Berdasarkan kondisi tersebut, model pengembangan perikanan dibangun dengan menggunakan pendekatan sistem. Dalam penelitian ini, sistem perikanan tangkap didefinisikan terdiri atas subsistem usaha penangkapan ikan, subsistem pelabuhan perikanan, dan subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan (lihat Bab 2.3 dan Bab 3.2). Model pengembangan tersebut selanjutnya dijelaskan dengan menggunakan hasil analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats), balanced scorecard dan interpretative structural modelling (ISM). Analisis SWOT menghasilkan rumusan strategi model pengembangan, sedangkan balanced scorecard menghasilkan tolok ukur operasional jangka pendek untuk mengukur keberhasilan strategi jangka panjang. Teknik ISM menghasilkan strategi implementasi model yang dibangun. Penjelasan dari setiap metodologi diberikan dalam sub-bab berikut.
3.2 Pendekatan Sistem Pendekatan sistem digunakan untuk keperluan pembangunan model pengembangan perikanan (tujuan penelitian ke 2). Pendekatan sistem merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang komplek, bersifat dinamis dan penuh ketidakpastian.
Pengkajian dengan
menggunakan metode pendekatan sistem mencakup empat tahap yaitu: 1) analisis sistem, 2) permodelan sistem, 3) implementasi sistem dan 4) operasi sistem (Wilson
1990; Eriyatno 2003; Jogiyanto 1989; Simatupang 1995).
Pada
penelitian ini, dilakukan tahap analisis sistem dan permodelan sistem.
3.2.1 Analisis sistem Analisis
sistem
digunakan
untuk
memahami
perilaku
sistem,
mengidentifikasi faktor-faktor penting yang terkait dengan keberhasilan sistem,
35
permasalahan yang dihadapi dan alternatif solusi yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan. Tahap-tahap yang perlu dilakukan yaitu: 1) Analisis kebutuhan, merupakan permulaan pengkajian sistem. Analisis kebutuhan ditentukan berdasarkan kebutuhan pelaku sistem (stakeholder). Untuk keperluan analisis, terlebih dahulu dilakukan identifikasi pelaku secara selektif melalui pengamatan lapangan secara langsung, selanjutnya dilakukan identifikasi kebutuhan pelaku melalui wawancara semi terstruktur. 2) Formulasi masalah, merupakan permasalahan-permasalahan spesifik yang dihadapi sistem yang menyebabkan sistem tidak dapat bekerja secara optimal. Formulasi masalah dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara semi terstruktur terhadap pelaku sistem. 3) Identifikasi sistem, merupakan gambaran sistem yang memperlihatkan rantai hubungan antara kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem digambarkan dalam bentuk diagram struktur sistem, diagram sebab-akibat (causal loop), dan diagram input-output. Berdasarkan pengamatan dan pendalaman awal terhadap perilaku Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah diperoleh analisis kebutuhan dari pelaku sistem, formulasi permasalahan yang dihadapi sistem dan identifikasi sistem, serta alternatif permodelan sistem. Deskripsi awal sistem seperti dijelaskan pada bagian berikut.
1) Analisis kebutuhan pelaku sistem Komponen pelaku yang terlibat dalam Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Potensi Daerah, diidentifikasi melalui pemahaman dan pendalaman terhadap kondisi di lapangan, yaitu di Wilayah Selatan Jawa. Pelaku dan kebutuhan masing-masing pelaku sistem, seperti terlihat pada Tabel 2.
2) Formulasi permasalahan yang ada dalam Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Potensi Daerah Permasalahan dalam pengembangan perikanan adalah, adanya konflik kepentingan diantara para pelaku untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Sistem dirancang untuk dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan para pelaku, baik yang bersifat memberikan sinergi positif maupun yang merugikan kepentingan
36
pelaku lain. Keberhasilan sistem sangat dipengaruhi oleh kemampuan para pelaku untuk mengeliminir kepentingan yang dapat merugikan kepentingan pelaku lain, dan bersinergi untuk mencapai tujuan pengembangan perikanan secara optimal. Tabel 2 Pelaku dan kebutuhan dari pelaku Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah No.
Pelaku
Kebutuhan
No.
Pelaku
Kebutuhan
1
Nelayan/ Kelompok nelayan
- Peningkatan produksi - Keberlanjutan kerja - Peningkatan pendapatan - Peningkatan kesejahteraan
7
PEMDA/ BAPPEDA/ Dinas Perikanan
2
Pemilik kapal/ pengusaha perikanan
- Keberlanjutan usaha - Kemudahan memperoleh input produksi - Peningkatan produksi - Peningkatan keuntungan
8
Departemen Kelautan dan Perikanan
3
Bakul/ pedagang/ eksportir
- Pengelolaan perikanan secara berkelanjutan - Peningkatan aktivitas perikanan - Peningkatan lapangan kerja - Peningkatan pendapatan daerah (PAD) - Peningkatan perekonomian daerah - Pemberdayaan nelayan - Pemberian izin usaha - Perlindungan sumberdaya ikan - Penegakan hukum - Peningkatan konsumsi ikan - Peningkatan devisa - Kelayakan usaha untuk pemberian modal - Keterjaminan pengembalian modal
- Keberlanjutan usaha 9 Pemberi - Ketersediaan ikan dengan modal kualitas yang baik - Kemudahan (aksesibilitas) pasar - Peningkatan keuntungan - Pemberdayaan 10 Organisasi - Keberlanjutan usaha 4 Pengolah/ nelayan Pemerintah/ perusahaan - Ketersediaan bahan - Peningkatan aktivitas Non baku pengolah perikanan Pemerintah - Kemudahan memperoleh ikan - Perlindungan input pengolahan sumberdaya ikan - Kemudahan pasar - Penegakan hukum - Peningkatan keuntungan 11 Buruh - Aktivitas pelabuhan - Terlaksananya 5 Pengelola Pelabuhan perikanan tinggi pelelangan ikan TPI - Pendapatan - Terpenuhi target meningkat kontribusi lelang - Terbuka lapangan 12 Masyarakat 6 Pengelola - Fasilitas PP/PPI yang kerja sekitar PP/PPI terus meningkat - Ekonomi masyarakat pelabuhan - Pemberian pelayanan meningkat dengan baik - Aktifitas pendaratan ikan terus meningkat Sumber: Hasil pendalaman terhadap sistem dan wawancara dengan responden (2005-2006)
37
Pengembangan perikanan pada intinya adalah mengembangkan kegiatan usaha atau bisnis perikanan. Kelangsungan kegiatan usaha perikanan akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan sumberdaya ikan.
Ciri utama dari keberadaan
sumberdaya ikan adalah keberadaannya tidak menetap disuatu kolom perairan, melainkan selalu bergerak bebas secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, produksi tidak dapat diprediksikan dengan pasti, produksi akan sangat dipengaruhi oleh kondisi biologi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Pemanfaatan sumberdaya ikan memerlukan teknologi yang tepat sesuai jenis sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Jenis sumberdaya ikan yang berbeda, memerlukan teknologi penangkapan ikan berbeda. Penggunaan teknologi penangkapan ikan memerlukan SDM dengan skill dan pengetahuan yang berbeda, serta penggunaan modal berbeda sesuai dengan tingkat teknologi yang digunakan. Produksi dari kegiatan perikanan, baru akan dapat memberikan manfaat bagi para pelaku usaha setelah produksi sampai ke tangan konsumen. Distribusi dan pemasaran menjadi faktor penting, untuk dapat memberikan nilai tambah pada produksi. Sifat produksi ikan yang sangat mudah busuk (highly perisable), memerlukan penanganan produksi yang tepat untuk dapat mengendalikan mutu produk. Pengendalian mutu produk menjadi sesuatu yang sangat penting, agar produk dapat sampai ke tangan konsumen dengan mutu yang baik. Memahami kondisi seperti tersebut di atas, maka kebutuhan para pelaku sistem dapat tidak terpenuhi, karena berbagai permasalahan yang melingkupi sistem. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dicarikan solusi pemecahannya melalui perancangan sistem. Secara spesifik, permasalahan yang dihadapi sistem dapat diformulasikan sebagai berikut: (1)
Keberadaan stok sumberdaya ikan tidak dapat diprediksikan dengan tepat. Prediksi jumlah stok ikan sangat penting untuk dapat menentukan jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan tetap memperhatikan kelangsungan sumberdaya.
Prediksi jumlah stok dilakukan dengan suatu pendekatan
analisis, prediksi diperlukan sebagai basis pemanfaatan sumberdaya ikan. (2)
Pemerintahan provinsi dan kabupaten berlomba-lomba membangun prasarana dan sarana untuk pengembangan kegiatan perikanan, tanpa
38
mempertimbangkan nilai manfaat yang akan diperoleh dibandingkan besarnya investasi yang ditanamkan. (3)
Penguasaan teknologi oleh nelayan masih terbatas. Sebagian besar nelayan bermata pencaharian sebagai nelayan secara turun temurun. Pengetahuan penggunaan teknologi didasarkan pada pengalaman langsung dalam pekerjaan, tanpa dilandasi pengetahuan secara ilmiah. Kemampuan permodalan yang lemah, juga menyebabkan teknologi yang digunakan adalah teknologi yang sudah diwariskan secara turun temurun.
(4)
Mutu produk sangat rendah. Ikan memiliki karakteristik cepat mudah busuk (highly perisable). Pengendalian mutu ikan harus dilakukan sejak mulai ikan ditangkap, saat ikan didaratkan di pelabuhan dan selanjutnya pada saat pendistribusian serta pemasaran sampai ke tangan konsumen. Kesadaran pengendalian mutu ikan, utamanya di tingkat nelayan masih sangat rendah.
(5)
Aksesibilitas pemasaran terbatas. Aksesibilitas pemasaran terkait dengan jarak jangkau dan kemudahan mencapai daerah tujuan pemasaran, serta akses informasi pasar.
(6)
Iklim usaha di bidang perikanan belum tercipta dengan baik. Berbagai kebijakan pemerintah menimbulkan dampak yang kontra produktif bagi usaha perikanan, misalnya kenaikan BBM.
(7)
Prasarana dan sarana terbatas. Prasarana dan sarana untuk pengembangan kegiatan perikanan belum terdistribusikan secara merata.
(8)
Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung. Pengembangan perikanan di suatu wilayah, sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang ada.
(9)
Kelembagaan perikanan. Peran dan fungsi dari kelembagaan perikanan yang ada masih belum memberikan dukungan yang nyata bagi pengembangan perikanan di suatu wilayah. Permasalahan-permasalahan yang ada seperti tersebut di atas, akan dicari
solusi pemecahan permasalahannya dengan perancangan suatu permodelan Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah. Model bertujuan untuk dapat mengembangkan perikanan di suatu wilayah, berdasarkan
pada
karakteristik
spesifik
potensi
yang
dimiliki
daerah.
Karakteristik spesifik potensi perikanan, tidak saja mencakup karakteristik
39
sumberdaya ikan, melainkan juga mencakup potensi sumberdaya manusia, penggunaan teknologi, penyediaan prasarana dan sarana kegiatan perikanan, aksesibilitas pasar, kemampuan permodalan, kebijakan serta kelembagaan. Model dirancang untuk dapat meminimalisasi konflik kepentingan diantara para pelaku, sehingga tercipta sinergi serta dapat memanfaatkan potensi-potensi keunggulan yang dimiliki daerah. Harapannya adalah pengembangan perikanan akan dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pelaku yang terlibat, tanpa harus menanamkan investasi besar yang tidak berguna.
3) Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan rantai hubungan antara pernyataan-penyataan kebutuhan pelaku sistem dengan permasalahan yang telah diformulasikan dalam sistem.
Identifikasi sistem digambarkan dalam diagram sebab-akibat (causal
loop) dan diagram input output. Diagram lingkar sebab akibat menggambarkan keterkaitan antar komponen di dalam sistem, sehingga dapat terlihat mekanisme kinerja sistem dalam memenuhi kebutuhan para pelaku sistem (Gambar 3).
Gambar 3 Diagram sebab akibat (causal loop) Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
40
Pada diagram causal loop terlihat keterkaitan di dalam sistem, yaitu usaha perikanan memiliki unit teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Interaksi antara unit penangkapan dengan sumberdaya ikan diperoleh hasil tangkapan. Hasil tangkapan akan dijual ke daerah tujuan pasar dengan dukungan aksesibilitas dari lokasi PP/PPI yang tinggi. Unit penangkapan akan dapat beroperasi dengan baik, jika mendapatkan layanan input produksi dari PP/PPI. Pasar akan memberikan imbalan berupa pendapatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kesejahteraan yang meningkat, akan dapat menarik tenaga kerja untuk berusaha di bidang perikanan. Pasar memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah sebagai fasilitator dan regulator berperan menyediakan prasarana dan sarana, membuat peraturan dan kebijakan untuk dapat mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan suasana yang kondusif dan iklim usaha yang menguntungkan, yang bermanfaat bagi pengembangan perikanan di Indonesia Diagram lingkar causal loop selanjutnya direpresentasikan dalam diagram input output, yang menggambarkan output yang harus dikeluarkan oleh sistem sesuai dengan tujuan sistem yang sudah dirancangkan (Gambar 4). Output sistem dapat dipenuhi dengan merekayasa input-input yang masuk ke dalam sistem. Input yang masuk ke dalam sistem berupa input terkendali dan input tak terkendali.
Gambar
4
Diagram input-output Sistem Pengembangan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
Perikanan
41
Sistem mendapat pengaruh dari lingkungan. Adanya input tak terkendali dan pengaruh faktor lingkungan, dapat menyebabkan sistem menghasilkan output tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keberhasilan sistem memerlukan suatu mekanisme pengendalian, agar kinerja sistem sesuai dengan yang direncanakan. Mekanisme pengendalian mendapatkan input balik (feed back) dari output yang tidak dikehendaki yang dikembalikan ke dalam sistem. Berdasarkan hasil identifikasi sistem, konsep sistem yang diajukan dalam kajian ini mencakup tiga subsistem yaitu: (1) subsistem usaha perikanan (2) pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas pasar, serta (3) subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan. Keberhasilan pengembangan perikanan akan sangat tergantung pada berfungsinya ketiga subsistem tersebut (Gambar 5).
Gambar 5
Struktur Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
3.2.2 Permodelan Sistem Permodelan sistem dimulai dengan melakukan analisis terhadap kinerja sistem saat ini, dan mencari faktor-faktor yang menjadi penyebab kenapa
42
permasalahan sistem timbul.
Hasil analisis dijadikan sebagai landasan untuk
mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah. Secara umum kerangka pemikiran penelitian seperti terlihat pada Gambar 6. Teknik analisis, kebutuhan data, dan hasil yang diharapkan dari penelitian seperti tercantum pada Tabel 3.
Gambar 6 Diagram alir deskriptif kerangka analisis, permodelan sistem, perumusan kebijakan dan implementasi model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
Tabel 3 Teknik analisis, kebutuhan data dan hasil yang diharapkan untuk memenuhi tujuan penelitian. No.
Tujuan Penelitian
Teknik analisis
Kebutuhan data
1
Menentukan implikasi karakteristik aspek-aspek geotopografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap perkembangan perikanan dari daerah penelitian
Deskriptif (grafik dan tabel)
-
2
Membangun model pengembangan perikanan berbasis karakteristik wilayah
1) Analisis sumberdaya ikan unggulan 2) Pendekatan sistem: (1) Analisis sistem - Usaha perikanan (analisis teknis dan finansial) - Pelabuhan perikanan (analisis keterkaitan dengan fishing ground, teknis pelabuhan, dan aksesibilitas pasar) - Kebijakan dan kelembagaan (analisis pendekatan kerangka hukum dan analisis pendekatan kerangka kelembagaan (2) Permodelan sistem - Submodel USAHA - Submodel PELABUHAN - Submodel LEMBAGA
- Data time series jenis ikan per kabupaten dan provinsi - Data dan informasi terkait dengan kondisi subsistem usaha perikanan - Data dan infotmasi terkait dengan kondisi subsistem pelabuhan perikanan, fungsionalitas dan aksesibilitas - Data dan informasi terkait dengan kondisi subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan - Pustaka pendukung
Jenis ikan unggulan sebagai basis penyusunan model
-
Kebijakan strategis pengembangan perikanan berbasis kewilayahan
3
Merumuskan kebijakan strategis 1) Perumusan kebijakan strategis: - Analisis SWOT untuk pengembangan perikanan - Balanced scorecard berbasis kewilayahan 2) Implementasi model pengembangan - Interpretative structural modelling (ISM)
Kondisi umum wilayah Kondisi umum perikanan Kondisi sistem perikanan Pustaka pendukung
Hasil analisis dan permodelan sistem Permodelan normatif Pendapat pakar Pendapat pengkaji sistem Pustaka pendukung
Hasil yang diharapkan Implikasi karakteristik geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap perkembangan perikanan dari daerah penelitian
Model pengembangan berbasis pada karakteristik spesifik potensi daerah
43
44
3.3 Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan teknik survei, dengan aspek yang dikaji meliputi 1) kegiatan usaha perikanan, 2) pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas, serta 3) kebijakan dan kelembagaan. Metode pengumpulan data meliputi tiga kegiatan, yaitu 1) menggali sumber-sumber sekunder, 2) pengamatan atau observasi langsung di lapangan, dan 3) wawancara semi terstruktur.
1) Menggali Sumber-Sumber Sekunder Sumber-sumber sekunder dikumpulkan dari instansi atau lembaga-lembaga pemerintah, non pemerintah maupun swasta yang ada di daerah maupun di pusat. Sumber sekunder meliputi juga buku pustaka dan sumber informasi lainnya. Berdasarkan sumber-sumber sekunder ini, dapat diperoleh data dan informasi yang relevan untuk dapat mengetahui kondisi saat ini (existing system) dari kegiatan perikanan di masing-masing lokasi penelitian. Sumber-sumber sekunder yang dikumpulkan meliputi: (1) Data statistik perikanan selama 5-15 tahun terakhir; (2) Laporan tahunan (5-15 tahun) perikanan kabupaten/kota atau provinsi; (3) Peta lokasi penelitian dan tata ruang wilayah; (4) Studi kelayakan pembangunan PP/PPI dan rencana pengembangan PP/PPI ke depan; (5) Rencana strategis pembangunan daerah (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang); (6) Rencana strategis pembangunan perikanan (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang); (7) Kebijakan perikanan, hukum/peraturan perikanan yang ada dan programprogram pembangunan perikanan yang sedang berjalan; (8) Rencana kebijakan dan program-program pembangunan perikanan ke depan; (9) Keberadaan lembaga-lembaga perikanan beserta fungsi dan perannya bagi pembangunan perikanan di masing-masing lokasi penelitian; (10) Sumber sekunder lainnya yang terkait dengan materi penelitian.
45
2) Pengamatan atau Observasi Langsung Pengamatan langsung dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami secara langsung kegiatan perikanan di masing-masing lokasi penelitian. Pengamatan langsung yang dilakukan meliputi: (1) Pengamatan langsung terhadap kondisi fisik lokasi penelitian - Pengamatan terhadap bangunan fisik PP/PPI, mencakup fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. - Pengamatan terhadap kemudahan aksesibilitas menuju lokasi PP/PPI, dilihat dari fasilitas infrastruktur berupa jalan dan sarana transportasi. - Pengamatan terhadap prasarana penunjang, berupa jaringan telekomunikasi, sumber air bersih dan listrik. (2) Pengamatan terhadap aktivitas kegiatan perikanan - Pengamatan kegiatan bongkar ikan dan penanganan hasil tangkapan. - Pengamatan proses pelelangan, distribusi dan pemasaran ikan. - Pengamatan muat bahan bakar, air tawar dan perbekalan lainnya. - Pengamatan kegiatan kapal dan nelayan selama istirahat di PP/PPI. (3) Pengamatan terhadap keberadaan dan aktivitas kelembagaan perikanan - Pengamatan terhadap keberadaan dan peran lembaga-lembaga perikanan yang ada, baik kelembagaan pemerintah, non pemerintah maupun swasta. - Pengamatan terhadap pelaksanaan kebijakan dan penegakan hukumnya.
4) Wawancara semi terstruktur Wawancara semi terstruktur dilakukan berdasarkan pada beberapa pertanyaan dan topik yang sudah ditentukan sebelumnya. Pertanyaan lebih detail berkembang dan diajukan pada saat wawancara berlangsung. Pertanyaan diajukan sesuai daftar kuesioner yang fleksibel, sebagai pedoman dan bukan merupakan angket formal.
Wawancara dilakukan dengan dua cara yaitu (1) wawancara
dengan responden kunci, dan (2) wawancara kelompok terfokus. (1) Wawancara dengan responden kunci Wawancara dengan responden kunci atau pihak-pihak yang terlibat (stakeholder) kegiatan perikanan, bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan khusus, yaitu pengetahuan terkait dengan berbagai aktivitas kegiatan perikanan.
46
Responden kunci meliputi nelayan, bakul/pedagang/eksportir, konsumen, Pengelola PP/PPI, pemilik kapal atau pengusaha penangkapan ikan, pengusaha industri pengolahan/pengolah ikan, Dinas Perikanan, BAPPEDA, PEMDA, Pengelola KUD, tokoh masyarakat formal/informal, LSM dan pihak lainnya. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kondisi saat ini kegiatan perikanan, harapan, hambatan-hambatan atau permasalahan-permasalahan yang dihadapi, serta usulan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan. (2) Wawancara kelompok terfokus Wawancara kelompok terfokus dimaksudkan untuk dapat menghasilkan rumusan kebijakan pengembangan berbasis kewilayahan yang tepat untuk direkomendasikan. Wawancara kelompok terfokus dilakukan terhadap pakar di bidang perikanan yang diperkirakan memiliki pengetahuan yang dalam untuk merumuskan kebijakan pengembangan perikanan ke depan.
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Wilayah Perairan Selatan Jawa (Lampiran1), meliputi Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Lokasi penelitian yaitu Palabuhanratu (Sukabumi, Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), dan Prigi (Trenggalek, Jawa Timur) mewakili wilayah yang telah berkembang dengan baik. Beberapa wilayah, dengan kegiatan perikanan yang belum berkembang yaitu Pameungpeuk (Garut) (Jawa Barat), Kebumen (Jawa Tengah), Gunung Kidul (DI Yogyakarta) serta Pacitan dan Malang (Jawa Timur). Setiap kabupaten diwakili oleh satu pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan (PP/PPI), yang merupakan PP/PPI paling berkembang di lokasi penelitian. Penelitian lapang dilakukan mulai dari bulan Agustus 2005, yaitu di PPP Pondokdadap, Kabupaten Malang, PPN Prigi Kabupaten Trenggalek dan Perairan Kabupaten Pacitan. Penelitian lapang berikutnya dilakukan pada bulan November 2005, yaitu di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Kebumen dan Cilacap. Penelitian lapang diakhiri pada sekitar bulan September 2006 di Pameumpeuk Kabupaten Garut dan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Secara keseluruhan penelitian dilaksanakan selama 27 bulan, yaitu dari bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Juli 2007.
47
Penelitian lapang dilakukan dalam dua tahap.
Penelitian lapang tahap
pertama dimaksudkan untuk dapat mendalami lebih jauh sistem perikanan yang ada di masing-masing lokasi penelitian. Tahap pertama dari penelitian lapang ini digunakan untuk kepentingan: 1) analisis kegiatan usaha perikanan, 2) evaluasi fungsionalitas dan aksesibilitas dari pelabuhan perikanan, 3) analisis peraturan dan kelembagaan perikanan, serta 4) penyusunan permodelan sistem. Penelitian lapang tahap kedua dimaksudkan untuk dapat menggali lebih jauh persepsi stakeholders melalui wawancara terfokus terhadap perumusan kebijakan pengembangan ke depan perikanan. Perumusan kebijakan didasarkan pada arahan hasil analisis yang sudah diperoleh dari tahap pertama.
3.5 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini mencakup keseluruhan analisis yang digunakan untuk dapat menjawab tujuan penelitian, yaitu mencakup: 1) penentuan implikasi karakteristik geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan di Wilayah Selatan Jawa, 2) penyusunan model pengembangan perikanan, dan 3) perumusan kebijakan strategis pengembangan perikanan. Teknik analisis, kebutuhan data dan hasil yang diharapkan untuk memenuhi tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di atas.
3.5.1
Penentuan Implikasi Karakteristik Aspek Geo-topografi, Biologi, Teknologi, Sosial, Ekonomi dan Politik terhadap Kinerja Perikanan di Wilayah Selatan Jawa Penentuan implikasi karakteristik spesifik dari aspek-aspek geo-topografi,
biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik dari daerah lokasi penelitian, dilakukan dengan menggunakan analisis secara deskriptif terhadap: 1) keadaan umum daerah dan keadaan perikanan dari masing-masing daerah penelitian, serta 2) kondisi sistem perikanan, yang mencakup (1) subsistem usaha perikanan tangkap, (2) subsistem pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas, serta (3) subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan. Aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik yang dikaji, mencakup berbagai hal dari keenam aspek tersebut, yang terkait dan berimplikasi terhadap perkembangan kegiatan perikanan.
48
3.5.2 Penyusunan Model Pengembangan Perikanan 1) Penentuan sumberdaya ikan unggulan Pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan harus didasarkan pada keberadaan sumberdaya ikan. Sumberdaya ikan memiliki karakteristik biologi dan ekologis yang berbeda. Jenis ikan yang berbeda akan memerlukan faktorfaktor input yang berbeda untuk pemanfaatannya, serta akan menghasilkan tingkatan output yang berbeda pula. Prioritas diperlukan, agar upaya pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara optimal. Prioritas untuk mengembangkan perikanan berdasarkan pada sumberdaya ikan unggulan yang dimiliki daerah. Pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan, diharapkan dapat memberikan nilai manfaat lebih tinggi bagi daerah tersebut, dibandingkan dengan memanfaatkan jenis ikan yang bukan komoditas unggulan. Penentuan jenis ikan unggulan dilakukan dengan teknik comparative performance index (CPI). Teknik CPI merupakan indeks gabungan (composite indeks) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan pada beberapa kriteria (j) (Marimin 2004). Diagram alir deskriptif untuk penentuan ikan unggulan seperti terlihat pada Gambar 7, sedangkan formula yang digunakan adalah sebagai berikut: Aij
= Xij (min) x 100 / Xij (min)
A(i + 1.j)
= (X(i + 1.j) / Xij (min) x 100
Iij
= Aij x Pj
Ii
=
(Iij)
Keterangan : Aij
: nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j
Xij (min)
: nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j
A(i + 1.j)
: nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j
(X(i + 1.j)
: nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j
Pj
: bobot kepentingan kriteria ke-j
Iij
: indeks alternatif ke-I
Ii
: indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-I
i
: 1, 2, 3, ..., n
j
: 1, 2, 3, ..., n
49
Analisis sumberdaya ikan unggulan didasarkan pada 3 kriteria yaitu: (1)
Nilai location quotient (LQ) dari produksi ikan. LQ dianalisis dengan perbandingkan produksi dari satu jenis ikan terhadap total produksi ikan di suatu kabupaten, dibandingkan dengan perbandingan produksi jenis ikan tersebut terhadap produksi total dari provinsi yang bersangkutan.
(2)
Nilai location quotient (LQ) dari nilai produksi ikan. LQ dianalisis dengan perbandingkan nilai produksi satu jenis ikan terhadap total nilai produksi ikan di suatu kabupaten, dibandingkan dengan perbandingan nilai produksi jenis ikan tersebut terhadap nilai produksi total provinsi yang bersangkutan.
(3)
Jenis ikan yang potensial untuk diekspor. Penilaian dilakukan berdasarkan data ekspor. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skor, yaitu skor 3 untuk jenis ikan yang potensial tinggi untuk diekspor (tuna dan udang), skor 2 untuk jenis ikan potensial sedang (cakalang, lobster, bawal putih, bawal, layur) dan skor 1 untuk jenis ikan yang potensial rendah untuk diekspor (jenis ikan selain yang telah disebutkan). Nilai LQ yang dianalisis dengan menggunakan CPI, hanya yang memiliki
nilai LQ lebih besar dari 1 dengan data time series lima tahun. Nilai LQ (location quotient) >1 untuk produksi dan nilai produksi menggambarkan, komoditas ikan tersebut dari sisi produksi dan nilai produksi lebih unggul dibandingkan dengan komoditas ikan lainnya. Formula untuk menentukan nilai LQ diadaptasi dari Budiharsono (2001). Menurut Budiharsono, metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan nasional. Pada penelitian ini penentuan LQ dengan kriteria pendapatan diganti dengan kriteria produksi dan nilai produksi ikan. Formula matematis penentuan nilai LQ adalah sebagai berikut:
vi LQi =
vi
vt vt
keterangan : vi
= Pendapatan (produksi/nilai produksi) sektor ke i (jenis ikan ke i) pada tingkat kabupaten.
50
vt
= Pendapatan (produksi/nilai produksi ikan) total kabupaten.
vi
= Pendapatan (produksi/nilai produksi) sektor ke i (jenis ikan ke i) pada tingkat provinsi.
vt
= Pendapatan (produksi/nilai produksi ikan) total provinsi.
Gambar 7 Diagram alir deskriptif penentuan sumberdaya ikan unggulan. 2) Permodelan sistem pengembangan perikanan Permodelan sistem dimulai dengan melakukan analisis terhadap kondisi sistem saat ini, selanjutnya dilakukan penyusunan model. Teknik analisis dan permodelan yang dikembangkan dalam penelitian, dijelaskan pada bagian berikut.
51
(1) Analisis Subsistem USAHA Analisis pada subsistem USAHA dimaksudkan untuk dapat membangun bisnis perikanan sesuai dengan jenis ikan unggulan. Untuk keperluan pembuatan model diperlukan analisis terhadap potensi sumberdaya, dilanjutkan dengan penjabaran faktor teknis dan kelayakan finansial usaha. Diagram alir deskriptif analisis dan permodelan pada subsistem USAHA seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Diagram alir deskriptif analisis submodel USAHA.
52
(a) Analisis teknis usaha Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Kegiatan usaha penangkapan ikan meliputi kegiatan dari pra produksi, produksi, pasca produksi, distribusi dan pemasaran. Ketersediaan input-input produksi merupakan faktor penting agar kegiatan usaha dapat berjalan dengan lancar. Input-input produksi meliputi: - Ketersediaan unit penangkapan: kapal, alat tangkap, mesin kapal, serta perlengkapan operasi penangkapan ikan lainnya. - Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang handal dan terampil. - Permodalan: modal investasi dan modal operasi. - Ketersediaan perbekalan operasi penangkapan ikan: BBM solar, minyak tanah, air tawar, es, umpan, dan perbekalan makanan. Proses produksi pada usaha perikanan adalah mengubah input produksi menjadi produksi atau hasil tangkapan. Efisiensi dan efektivitas produksi dapat diukur dari output yang dihasilkan dibandingkan dengan input yang digunakan. Kegiatan pasca produksi berkaitan dengan penanganan hasil tangkapan. Penanganan hasil tangkapan merupakan hal yang penting untuk menjaga kualitas hasil tangkapan, mengingat sifat ikan yang sangat mudah busuk. Penanganan ikan juga sangat penting untuk jenis ikan yang berkualitas ekspor, karena pasar ekspor mensyaratkan kualitas yang tinggi. Penanganan harus dilakukan mulai dari saat ikan ditangkap, yaitu penanganan di atas kapal, saat pembongkaran di pelabuhan perikanan dan pada saat pendistribusian ke pasar atau ke konsumen. Distribusi dan pemasaran merupakan rantai akhir dari suatu kegiatan usaha perikanan. Penanganan yang baik saat distribusi diperlukan untuk tetap menjaga kualitas ikan. Pemasaran yang tepat akan memberikan nilai penerimaan yang besar bagi kegiatan usaha perikanan. (b) Analisis finansial usaha perikanan Kelayakan usaha atau kelayakan bisnis dari suatu kegiatan industri akan memerlukan pertimbangan teknik dan ekonomi. Dengan kata lain apabila suatu kegiatan bisnis telah memenuhi kelayakan teknik, maka perlu juga dipertanyakan bagaimana kelayakan ekonominya. Pada dasarnya tujuan suatu kegiatan bisnis haruslah memperoleh keuntungan (profit).
53
Oleh karena itu perhitungan analisis finansial usaha, perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan bisnis dari suatu kegiatan industri perikanan (Gaspersz 1992; Gray et al. 1992). Perhitungan kelayakan usaha dilakukan dengan kriteria: - Keuntungan usaha, merupakan selisih antara penerimaan usaha dengan biaya total per tahun.
- Net present value (NPV), digunakan untuk menghitung pendapatan bersih usaha selama umur proyek dengan memperhitungkan diskon faktor (discount factor).
- Net B/C, digunakan untuk mengetahui rasio antara pendapatan (benefit) dengan biaya (cost) selama umur proyek dengan memperhitungkan diskon faktor (discount factor).
-
Internal rate of return (IRR), digunakan untuk mengetahui pada tingkat suku bunga (discount rate) berapa usaha tidak untung dan tidak rugi. Dalam perhitungan kelayakan usaha ada dua item pokok yang harus dihitung
yaitu penerimaan dan pembiayaan. Penerimaan dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama satu tahun dikalikan dengan harga. Pembiayaan dihitung berdasarkan pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama satu tahun. Biaya digolongkan menjadi tiga yaitu biaya investasi, biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk memulai usaha, yaitu untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan investasi lainnya, termasuk modal kerja. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang tetap harus dikeluarkan, walaupun tidak melakukan operasi penangkapan. Biaya tetap diantaranya meliputi biaya perawatan kapal, alat tangkap, mesin dan perawatan alat tangkap lainnya, gaji ABK (jika ABK diberi upah dengan sistem gaji), penyusutan, operasional kantor, pajak dan bunga bank. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang baru akan dikeluarkan jika melakukan operasi penangkapan ikan. Biaya variabel mencakup biaya bekal operasi penangkapan seperti biaya pembelian solar, olie, minyak tanah, air tawar, es, perbekalan makanan, izin operasi, retribusi dan bagi hasil (jika menggunakan sistem bagi hasil untuk pendapatan ABK).
(2) Analisis Subsistem PELABUHAN Analisis subsistem PELABUHAN dimaksudkan untuk melakukan evaluasi terhadap PP/PPI yang ada, terhadap perannya untuk dapat mendukung kegiatan
54
usaha perikanan. Analisis meliputi: (a) keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages), (b) aspek teknis pembangunan pelabuhan perikanan, dan (c) keterkaitan (aksesibilitas) pasar (backward linkages) (adaptasi dari Vigarié (1979) diacu dalam Lubis (1989); Lubis 2006; Ismail 2005) (lihat Bab 2.5.2). (a) Analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Keterkaitan pelabuhan perikanan dengan fishing ground (forward linkages) berkaitan dengan tingkat efisiensi penggunaan input produksi, seperti penggunaan bahan bakar dan perbekalan operasi. Ketertarikan pengguna pelabuhan untuk mendaratkan ikannya di suatu pelabuhan (tarikan pergerakan), selain faktor kedekatannya dengan fishing ground dipengaruhi juga oleh beberapa hal diantaranya yaitu kemudahan memasuki alur masuk kolam pelabuhan, kemudahan mendapatkan pelayanan bongkar ikan, muat perbekalan, dan fasilitas lain yang diperlukan, serta daya tarik pasar atau harga jual ikan. Analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) dilakukan melalui penilaian atau membandingkan beberapa PP/PPI yang ada di suatu wilayah perairan, berkaitan dengan daya tariknya bagi kapal-kapal perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan di PP/PPI tersebut. Analisis
mencakup:
kemudahan memasuki alur masuk kolam pelabuhan, kebutuhan fasilitas pelabuhan sesuai dengan unit yang akan melakukan pendaratan, dan potensi pasar. Diagram alir deskriptif analisis seperti terlihat pada Gambar 9. (b) Analisis teknis pelabuhan Penetapan lokasi untuk dibangun suatu pelabuhan perikanan harus mempertimbangkan kelayakan teknis, dari aspek perairan dan aspek daratan. Diagram alir deskriptip analisis disajikan pada Gambar 10. Pembangunan pelabuhan memiliki kriteria teknis, diantaranya yaitu: Aspek perairan - Bentuk pantai: pantai yang merupakan wilayah terbuka akan membutuhkan biaya besar untuk pembangunan breakwater, pantai yang baik untuk dibangun pelabuhan adalah pantai yang terlindung. - Alur masuk pelabuhan: alur masuk pelabuhan memiliki standar ukuran minimal sesuai ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan (formula yang digunakan dapat dilihat pada permodelan sistem hal: 64-66)
55
- Kolam pelabuhan: kolam pelabuhan memiliki standar ukuran minimal sesuai dengan ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan, - Darmaga: darmaga memiliki standar ukuran minimal sesuai dengan ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan.
Gambar 9 Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan fishing ground. Aspek daratan - Luas lahan: luas lahan yang diperlukan oleh suatu pelabuhan berkaitan dengan kebutuhan penempatan fasilitas darat, utamanya untuk fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta kebutuhan untuk lahan industri dan pengembangan. - Fasilitas penyediaan kebutuhan kapal: penyediaan kebutuhan kapal baik berupa BBM, air tawar, es, umpan, dan kebutuhan perbekalan lainnya. - Fasilitas penanganan ikan: keberadaan fasilitas penanganan ikan sangat penting, khususnya untuk produk-produk ekspor.
56
Gambar 10 Diagram alir deskriptif analisis teknis pelabuhan. (c) Analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografi dengan jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi dicapai melalui jaringan transportasi (Black 1981 diacu dalam Tamin 2000). Tingkat aksesibilitas PP/PPI dianalisis dengan menggunakan konsep yang dikembangkan Tamin (2000) (kriteria penilaian disesuaikan dengan kebutuhan). Sistem tata guna lahan dan transportasi mempunyai tiga komponen utama yaitu, tata guna lahan, prasarana transportasi dan lalu lintas. Hubungan antara ketiga komponen terlihat dalam 6 konsep analitis, yaitu aksesibilitas, bangkitan
57
pergerakan, sebaran pergerakan, pemilihan moda, pemilihan rute dan arus lalu lintas pada jaringan jalan. Formulasi yang digunakan pada analisis dalam penelitian ini terbatas pada formula bangkitan pergerakan. Bangkitan pergerakan adalah fungsi dari tata guna lahan. Jumlah bangkitan pergerakan yang dihasilkan oleh suatu zona berbanding lurus dengan tipe dan intensitas tata guna lahan di zona tersebut: PA = f (LA)
………………………………………………… (1)
Hal yang sama berlaku pada tarikan pergerakan : AB = f (LB)
…………………………………………………. (2)
Berdasarkan pada pemahaman konsep di atas. Kajian untuk menganalisis aksesibilitas lokasi PP/PPI didasarkan pada kriteria sebagai berikut: (a) Jarak, jarak berkaitan dengan jarak satu lokasi ke lokasi lain. Kedekatan jarak antara dua tempat menunjukkan aksesibilitas tinggi, sedangkan jarak yang berjauhan menunjukkan aksesibilitasnya rendah. Aksesibilitas satu lokasi PP/PPI yang utama adalah keterkaitannya dengan daerah tujuan pemasaran. (b) Waktu tempuh, satu lokasi yang dapat ditempuh dari lokasi lain dengan waktu pendek dikatakan memiliki aksesibilitas yang tinggi,
sedangkan jika perlu
waktu yang lama menunjukkan aksesibilitasnya rendah. (c) Biaya, biaya berkaitan dengan kemampuan membayar seseorang untuk menjangkau suatu daerah, dalam hal ini berdampak pada mobilitas atau tingkat pergerakan. Biaya yang rendah menunjukkan aksesibilitas tinggi, sedangkan biaya yang mahal berdampak pada aksesibilitas rendah. (d) Kualitas prasarana transportasi, kondisi prasarana akan berpengaruh pada tingkat kemudahan suatu lokasi dijangkau. Kondisi prasarana yang jelek menyebabkan suatu lokasi sulit dijangkau, dapat diartikan bahwa tingkat aksesibilitasnya rendah.
Sebaliknya, kondisi prasarana yang baik akan
memudahkan suatu lokasi dijangkau, atau tingkat aksesibilitasnya tinggi. (e) Sarana transportasi, seperti halnya dengan prasarana transportasi, sarana transportasi berpengaruh pada tingkat kemudahan suatu lokasi dijangkau. Kondisi sarana yang jelek menyebabkan suatu lokasi sulit dijangkau, berarti bahwa tingkat aksesibilitasnya rendah. Kondisi sebaliknya, jika sarana transportasi baik akan memudahkan suatu lokasi dijangkau, atau dengan kata
58
lain aksesibilitasnya tinggi. Kondisi sarana transportasi berkaitan dengan kuantitas (kapasitas dan ketersediaan) dan kualitas (frekuensi dan pelayanan). (f) Hambatan perjalanan, mengukur tingkat kemudahan suatu lokasi dicapai. Hambatan perjalanan yang tinggi menjadikan aksesibilitas suatu lokasi rendah, sedangkan hambatan perjalanan yang rendah menjadikan tingkat aksesibilitas lokasi tinggi. Hambatan perjalanan, misalnya berupa kemacetan jalan, jalan yang melewati daerah perbukitan atau pegunungan dengan tebing yang terjal, jalan sempit, atau sarana jalan yang rusak. Aksesibilitas lokasi dari PP/PPI di wilayah kajian, akan dapat meningkat dengan peningkatan prasarana dan sarana transportasi. Peningkatan prasarana dan sarana transportasi akan efektif dilakukan, jika peningkatan prasarana dan sarana tersebut akan berdampak pada peningkatan mobilitas pergerakan dari lokasi PP/PPI menuju daerah tujuan pasar atau sebaliknya. Untuk melihat apakah pembangunan prasarana dan sarana transportasi akan berdampak baik pada mobilitas, dianalisis dengan menggunakan model bangkitan pergerakan. Tujuan dasar model bangkitan pergerakan adalah, menghasilkan model hubungan yang mengkaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona, atau jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Zona asal dan zona tujuan biasanya juga menggunakan istilah trip end. Model bangkitan pergerakan akan meramalkan besarnya tingkat bangkitan pergerakan di masa datang, dengan mempelajari beberapa variasi hubungan antara ciri pergerakan dengan tata guna lahan. Analisis menggunakan data berbasis zona, misalnya tata guna lahan, kepemilikan kendaraan, populasi, jumlah pekerja, kepadatan penduduk dan juga moda transportasi (Tamin 2000). Analisis bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI dimasa datang dilakukan melalui kriteria berikut: (a) Tata guna lahan, tata guna lahan berkaitan dengan peruntukan suatu lahan. Peruntukan suatu lahan yang banyak misalnya untuk kegiatan perikanan, pariwisata, industri akan membangkitkan pergerakan yang lebih besar dibandingkan jika hanya diperuntukkan untuk kegiatan perikanan saja. (b) Jumlah penduduk, jumlah penduduk yang banyak memiliki peluang untuk melakukan pergerakan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang kecil.
59
(c) Keberadaan dan perkembangan sektor perikanan, industri, perdagangan, dan pariwisata. Keberadaan dan perkembangan dari keempat sektor di suatu zona, memberikan peluang peningkatan pergerakan dari dan menuju zona tersebut. (d) Keberadaan pusat pemerintahan kabupaten atau kecamatan di suatu zona, memberikan peluang peningkatan pergerakan dari dan menuju zona tersebut. Diagram alir deskriptif analisis tingkat aksesibilitas dan peluang peningkatan bangkitan pergerakan dari lokasi PP/PPI disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (analisis aksesibilitas dan peluang bangkitan pergerakan).
60
(3) Analisis Subsistem LEMBAGA Kebijakan dan kelembagaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kegiatan perikanan di suatu wilayah.
Kebijakan dan kelembagaan berkaitan
dengan dukungan dan komitmen dari institusi atau lembaga yang berwenang dan terlibat dalam kegiatan perikanan. Analisis kebijakan dan kelembagaan perikanan dimaksudkan untuk dapat menentukan kebutuhan kebijakan dan kelembagaan yang tepat, untuk mendukung pengembangan perikanan. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka hukum. Pendekatan kerangka hukum (legal framework) dilakukan untuk melihat hukum/peraturan perundang-undangan dari sisi struktur (legal structure), mandat (legal mandate) dan penegakan hukum (legal enforcement) (lihat Bab 2.5.3).
Gambar 12 Diagram alir deskriptif analisis kebijakan perikanan. Analisis kebijakan dilakukan melalui evaluasi kebijakan yang ada, baik berupa kebijakan tertulis maupun kebijakan tidak tertulis.
Kebijakan tertulis
berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang dibuat oleh
61
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kebijakan tidak tertulis berupa peraturan tidak tertulis, seperti kearifan-kearifan lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya. Diagram alir deskriptif analisis kebijakan seperti terlihat pada Gambar 12. Analisis kelembagaan dilakukan berdasarkan pada pendekatan kerangka kelembagaan (institutional framework). Kinerja kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan (institutional arrangement), mekanisme kelembagaan (institutional framework), dan kapasitas kelembagaan. Kinerja dari suatu kelembagaan dapat dilihat melalui beberapa indikator, yaitu berdasarkan pendekatan aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi (Purwaka 2003) (lihat Bab 2.5.3). Analisis kelembagaan dilakukan melalui evaluasi kelembagaan yang ada, baik berupa kelembagaan formal maupun non formal. Diagram alir deskriptif analisis kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Diagram alir deskriptif analisis kelembagaan.
62
2) Permodelan Sistem Permodelan sistem terdiri atas beberapa tahap yaitu: (1) seleksi konsep, (2) rekayasa model, (3) implementasi komputer, (4) validasi model, (5) analisis sensitivitas, (6) analisis stabilitas dan (7) aplikasi model (Eriyatno 2003). Permodelan sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah, dirancang untuk mengembangkan sistem dari kondisi yang sudah ada saat ini, dan bukan membuat suatu sistem yang baru. Penyusunan model dilakukan dengan mengintegrasikan tiga submodel yaitu (1) submodel USAHA, (2) submodel PELABUHAN, dan (3)submodel LEMBAGA.
(1) Submodel USAHA Berdasarkan hasil pada analisis sistem, submodel USAHA dimaksudkan untuk dapat membangun usaha perikanan yang menguntungkan, efektif dan efisien sesuai dengan potensi sumberdaya ikan unggulan. Keterkaitan antara hasil analisis potensi sumberdaya, analisis teknis usaha dan analisis finansial usaha perikanan digambarkan dalam suatu model sistem dinamis. Model sistem dinamis digunakan untuk melakukan simulasi pengembangan perikanan. Hasil simulasi dari model sistem dinamis berupa hubungan antara penambahan jumlah effort (unit usaha) sesuai dengan rencana pengembangan dengan kebutuhan input produksi ( tenaga kerja, solar, air tawar, umpan dan es, serta kebutuhan input produksi lainnya), serta output dari kegiatan usaha perikanan berupa keuntungan usaha dan retribusi bagi daerah. Model sistem dinamis yang telah dirancang, seperti terlihat pada Gambar 14. Model menggunakan perangkat lunak (software) Powersim Versi 2.5. Hasil simulasi dari model sistem dinamis pada submodel USAHA, dapat digunakan oleh submodel PELABUHAN untuk perencanaan penyediaan kebutuhan input produksi usaha perikanan dan pengembangan fasilitas yang dibutuhkan. Bagi submodel LEMBAGA, hasil simulasi dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang tepat untuk dapat mendukung kegiatan usaha perikanan.
63
kebutuhan_tenaga_kerja kebutuhan_solar kebutuhan_umpan konstanta_peningkatan_effort
effort
kebutuhan_es
laju_peningkatan_effort
target_produksi fraksi_penangkapan
kebutuhan_air_tawar produksi_tuna
hasil_tangkapan_tertunda tangkapan_tuna
produksi_lokal produksi_ekspor retribusi keuntungan_per_unit keuntungan
harga_ekspor
harga_lokal
laju_peningkatan_harga_ekspo
laju_peningkatan_harga_lokal
biaya_total laju_peningkatan_biaya
inflasi
Gambar 14 Model sistem dinamis untuk melakukan simulasi pengembangan pada Submodel USAHA.
64
(2) Submodel PELABUHAN Submodel PELABUHAN dikembangkan sesuai dengan hasil analisis sistem terhadap kondisi pelabuhan saat ini, dan kebutuhan pelabuhan perikanan yang dapat mendukung usaha perikanan sesuai dengan hasil analisis pada submodel USAHA. Hasil simulasi submodel USAHA menghasilkan pertambahan kebutuhan input produksi, sesuai dengan penambahan jumlah effort (unit usaha). Submodel PELABUHAN menggunakan besaran input produksi ini untuk menentukan pengembangan fasilitas yang akan dilakukan, guna dapat memenuhi kebutuhan input produksi bagi pengembangan usaha perikanan. Untuk keperluan pengembangan fasilitas pelabuhan diperlukan perhitungan ukuran fasilitas. Beberapa formula untuk menentukan pembangunan fasilitas pelabuhan perlu digunakan, diantaranya yaitu sebagai berikut (Lubis 2005): (a) Alur pelayaran Lebar alur pelayaran diusahakan untuk kapal dapat mudah bernavigasi memasuki kolam pelabuhan, lebar bersih alur pelabuhan di luar kemiringan dasar dan tanggul adalah sebagai berikut : - ukuran kapal < 50 GT, berkisar antara 8~10 kali lebar kapal terbesar; - ukuran kapal 50-200 GT, berkisar antara 6~8 kali lebar kapal terbesar; - ukuran kapal > 200 GT, lebar bersih lebih dari 6 kali lebar kapal terbesar. Jika pintu gerbang terletak pada tikungan, lebar alur masuk ke kolam pelabuhan harus ditambah sesuai dengan radius tikungan. (b) Luas kolam pelabuhan Penentuan luas kolam pelabuhan adalah tidak kurang dari:
L = Lt + (3 x n x l x b) Keterangan: Lt = luas untuk memutar kapal (m2) n = jumlah kapal maksimum yang berlabuh l
= panjang kapal (m)
b = lebar kapal (m) Lt adalah luas untuk memutar kapal, radius pemutarannya minimum satu kali panjang kapal terbesar.
65
Lt
=
π x r2
=
π x l2
Keterangan: Lt = luas untuk memutar kapal (m2) π = 3,14 l
= panjang kapal terbesar (m)
(c) Kedalaman kolam pelabuhan Kedalaman perairan di wilayah kolam pelabuhan pada saat muka air terendah (lower level water survace/LLWS) ditentukan dengan menggunakan rumus:
D=d+ ½H+S+C Keterangan: D = kedalaman perairan (cm) d = draft kapal terbesar (cm) H = tinggi gelombang maksimum (H maks = 50 cm) C = jarak aman dari lunas kapal ke dasar perairan (25-100 cm) (d) Panjang darmaga Panjang dermaga yang dibutuhkan menggunakan rumus sebagai berikut:
L=
(l + s ) xnxaxh uxd
Keterangan: L = panjang dermaga (m) l
= panjang kapal (m)
s
= jarak antara kapal (m)
n = jumlah kapal yang memakai dermaga a
= berat kapal (ton)
h = lama kapal di dermaga u = produksi per hari (ton) d = lama fishing trip (jam) atau dengan perhitungan sederhana: L= M/P x (l atau b) x 1.2
66
Keterangan: M
= jumlah kapal rata-rata sehari yang akan berlabuh
P
= periode penggunaan dermaga dengan cara merapat, jam kerja efektif dianggap 6 jam.
l dan b = panjang dan lebar kapal yang rata-rata berlabuh (tergantung dari cara kapal merapat; memanjang, tegak lurus atau miring)
(3) Submodel LEMBAGA
Submodel LEMBAGA dimaksudkan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang dapat mendukung usaha perikanan. Penentuan kebijakan yang tepat dilakukan perdasarkan pada hasil evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kebijakan (Bab. 3.4.1). Begitu pula dengan penentuan kelembagaan yang tepat, juga didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kelembagaan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kelembagaan (Bab. 3.4.1). Selain itu submodel LEMBAGA juga akan menghasilkan kelembagaan usaha dalam bentuk sentra industri.
Menurut Kuncoro (2000) diacu dalam
Sahubawa (2006), sentra industri merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja.
Markusen (1996) dan Scorsone (2002) diacu dalam
Sahubawa (2006) mengajukan tiga pola sentra industri yaitu sentra Marshalian, Hub and Spoke, dan Satellite Flat Form. Submodel LEMBAGA akan menghasilkan pola sentra industri yang tepat untuk masing-masing kabupaten. Pola sentra ini akan ditentukan berdasarkan (a) skala ekonomi dari usaha perikanan yang akan dikembangkan, (b) kerjasama yang terjadi antar para pelaku usaha, dan (c) hubungan dengan pihak eksternal.
3.5.3 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan
Perumusan kebijakan strategis pengembangan perikanan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Pengukuran kinerja kebijakan strategis dengan analisis balanced scorecard. Implementasi model pengembangan perikanan menggunakan teknik interpretative structural modeling (ISM).
67
Analisis SWOT didahului dengan pembuatan matriks internal strategic factor analysis summary (IFAS) dan external strategic factor analysis summary (EFAS). Penyusunan matriks IFAS dan EFAS didasarkan pada hasil analisis terhadap sistem, yaitu dengan melihat faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan ancaman eksternal (David 2002). Penyusunan matriks IFAS adalah seperti berikut: 1) Melakukan identifikasi faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan sistem. 2) Pembobotan terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00. 3) Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap permasalahan. dengan 1 (poor).
Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai
Pemberian nilai rating untuk kekuatan bersifat positif
(semakin besar kekuatan semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk kelemahan dilakukan sebaliknya. 4)
Selanjutnya dilakukan perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor terbobot untuk masing-masing faktor.
5) Jumlah dari skor terbobot menentukan kondisi internal sistem. Jika nilai total skor terbobot ≥2,5 berarti kondisi internal sistem memiliki kekuatan untuk mengatasi situasi. Penyusunan matriks EFAS adalah seperti berikut: 1) Melakukan identifikasi faktor-faktor yang merupakan peluang dan ancaman. 2) Pembobotan terhadap masing-masing faktor berkaitan dengan pengaruhnya terhadap faktor strategis, mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00. 3) Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap kondisi sistem. dengan 1 (poor).
Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai
Pemberian nilai rating untuk peluang bersifat positif
(semakin besar peluang semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk ancaman dilakukan sebaliknya (semakin besar ancaman semakin kecil nilai rating yang diberikan).
68
4) Selanjutnya dilakukan perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor terbobot untuk masing-masing faktor. 5) Jumlah skor terbobot menentukan kondisi eksternal sistem. Jika total skor terbobot ≥ 2,5 berarti sistem mampu merespon kondisi eksternal yang ada. Matriks SWOT dibuat untuk menyusun alternatif strategi. Alternatif strategi disusun berdasarkan pada logika untuk dapat memanfaatkan peluang dan kekuatan yang ada, serta mengeliminir kelemahan dan ancaman sistem. Analisis balanced scorecard didahului dengan analisis untuk menentukan strategi pengembangan sistem. Berdasarkan strategi yang telah disusun, dibuat tolok ukur jangka pendek untuk dapat mengendalikan kinerja sistem. Tahap dalam penyusunan balanced scorecard yaitu: 1) Merinci visi berdasarkan masing-masing perspektif dan merumuskan strategi. 2) Identifikasi faktor-faktor penting keberhasilan kinerja sistem. 3) Mengembangkan tolok ukur, identifikasi sebab akibat dan menyusun keseimbangan sistem. 4) Merinci scorecard dan tolok ukur unit sistem. 5) Merumuskan tujuan-tujuan. 6) Implementasi. Permodelan sistem yang telah dihasilkan diharapkan dapat diterapkan pada sistem nyata. Strategi implementasi perlu dilakukan agar model pengembangan perikanan dapat berhasil dengan baik. Strategi implementasi dilakukan dengan menggunakan teknik interpretative structural modelling (ISM). Langkah-langkah dalam penggunaan ISM adalah sebagai berikut (Eriyatno 1999; Marimin 2004): 1) Identifikasi elemen sistem. 2) Membangun sebuah hubungan kontekstual antar elemen yang disesuaikan dengan tujuan model. 3) Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM). Matriks dibuat berdasarkan persepsi responden yang dimintakan melalui wawancara kelompok terfokus. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan adalah: V:
hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.
69
A:
hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.
X:
hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya).
O:
menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.
4) Pembuatan matriks ”interaksi yang terjadi” (reachability matrix/RM): sebuah RM yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan: •
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM;
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM;
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM;
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1. 5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem : reachability set (Ri), adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan antecedent set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai, adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda. 6) Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
70
digraph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8) Pembangkitan Interpretative structural modelling: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Penentuan strategi implementasi model pengembangan perikanan dengan menggunakan teknik ISM, memerlukan identifikasi elemen penting yang akan dimasukkan kedalam model atau program. Menurut Saxena (1992) diacu dalam Eriyatno (2003) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh. 2) Kebutuhan dari program. 3) Kendala utama program. 4) Perubahan yang dimungkinkan dari program. 5) Tujuan dari program. 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan. 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. 8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas. 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Pada penelitian ini ditetapkan tujuh elemen sistem, yang terdiri atas beberapa subelemen sistem.
Selanjutnya elemen dan subelemen sistem ini,
digunakan sebagai input yang dianalisis dengan teknik ISM (Tabel 4). Untuk keperluan pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM), diperlukan persepsi responden. Pada penelitian ini, responden yang dimintakan pendapatnya melalui pengisian kuesioner adalah pakar di bidang perikanan tangkap. Output teknik ISM berupa ranking dari setiap subelemen dan plot masingmasing subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Berdasarkan ranking masing-masing sub-elemen , maka dapat dibuat hierarki setiap subelemen secara manual dimana subelemen dengan ranking yang lebih tinggi akan berada pada hierarki yang lebih rendah. Diagram alir deskriptif teknik analisis ISM seperti terlihat pada Gambar 15.
71
Tabel 4 Elemen dan subelemen strategi implementasi Model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah No.
Elemen Sistem
Subelemen
1
Sektor masyarakat yang terpengaruh dari pengembangan perikanan
nelayan, pemilik kapal/pengusaha perikanan, industri pembuat kapal, industri pembuat alat tangkap, industri pembuat mesin kapal, industri pengolah ikan, pedagang/pengumpul, eksportir, nelayan penyedia umpan, penyedia perbekalan, pengusaha jasa transportasi, pekerja atau buruh angkut di PP/PPI, masyarakat sekitar PP/PPI
2
Kebutuhan untuk terlaksananya program pengembangan perikanan
keberpihakan pemerintah pusat, keberpihakan pemerintah provinsi, keberpihakan pemerintah kabupaten, partisipasi masyarakat, peran serta tokoh masyarakat, kerjasama antar wilayah, koordinasi antar sektor, ketersediaan anggaran pengembangan, dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan, ketersediaan SDI, ketersediaan SDM, teknologi, data dan informasi, penegakan hukum
3
Kendala utama pengembangan perikanan
kualitas SDM yang masih rendah, teknologi penangkapan ikan yang masih terbatas, harga BBM yang tinggi, pemahaman mutu ikan masih rendah, akses dan informasi pasar masih terbatas, kemampuan permodalan nelayan rendah, kualitas dan kuantitas pengelola perikanan masih terbatas, konflik kepentingan antar pemerintah daerah, konflik kepentingan antar sektor, prioritas dana pembangunan untuk kegiatan perikanan masih rendah
4
Perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari pengembangan perikanan
optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan keuntungan usaha perikanan, peningkatan fungsionalitas PP/PPI, peningkatan aksesibilitas PP/PPI, peningkatan peran dan fungsi kelembagaan perikanan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebijakan yang mendukung kegiatan perikanan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, peningkatan PAD/devisa, peningkatan perekonomian daerah
5.
Tolok ukur keberhasilan pengembangan perikanan
terbentuknya kelembagaan pengelolaan bersama, terlaksananya program pengembangan, pemanfaatan sumberdaya optimal, efisiensi pembiayaan program, nilai manfaat yang seimbang antar daerah, pendapatan usaha perikanan meningkat, penyerapan tenaga kerja meningkat, PAD/devisa meningkat, perekonomian daerah meningkat
6
Aktivitas yang diperlukan dalam pengembangan perikanan
koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan, pembentukan kelembagaan bersama untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya, pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha di bidang perikanan, pengembangan akses pasar, peningkatan akses informasi
7
Lembaga yang terlibat dalam pengembangan perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten, Dinas Perhubungan Laut, Dinas Imigrasi, Dinas Perdagangan, Pengelola PP/PPI, Kelompok Nelayan, Asosiasi Pengusaha, Lembaga Pemberi Modal, LSM, Akademisi/Peneliti, Kelompok Pengawas Masyarakat (POKWASMAS), Koperasi, HNSI dan Penegak Hukum
72
Gambar 15 Diagram alir deskriptif teknik interpretative structural modelling (ISM) (Saxena 1992 diacu dalam Marimin 2004).
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Daerah penelitian meliputi daerah-daerah di Sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa, mencakup empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Jawa Timur. Provinsi Jawa Barat diwakili oleh Kabupaten Sukabumi dan Garut. Jawa Tengah diwakili oleh Kabupaten Cilacap dan Kebumen. Provinsi DI Yogyakarta diwakili oleh Kabupaten Gunung Kidul. Jawa Timur diwakili oleh Kabupaten Pacitan, Trenggalek dan Kabupaten Malang. Masing-masing kabupaten secara spesifik diwakili oleh satu pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan (PP/PPI). Kabupaten Sukabumi diwakili oleh
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Garut
diwakili Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Cilauteureun, Kabupaten Cilacap diwakili Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap, Kabupaten Kebumen oleh Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasir, Kabupaten Gunung Kidul oleh PPI Sadeng, Kabupaten Pacitan oleh PPI Tamperan, Kabupaten Trenggalek diwakili PPN Prigi dan Kabupaten Malang diwakili oleh PPP Pondokdadap (Lampiran 2 dan Lampiran 3).
4.1 Provinsi Jawa Barat
4.1.1 Keadaan Umum Daerah Provinsi Jawa Barat 1) Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Jawa Barat terletak di bagian barat Pulau Jawa, letak geografis pada 5o50’-7o50’ LS dan 104°48’-104°48’ BT. Luas wilayah 35.746,26 km² atau 3.574.626 ha, atau sekitar 32,80% dari keseluruhan luas Pulau Jawa. Bentuk topografis Provinsi Jawa Barat memiliki ciri utama yaitu bagian busur kepulauan gunung api aktif dan tidak aktif, yang membentang dari ujung Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dibedakan atas wilayah pegunungan curam di Wilayah Jawa Barat Bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut (dpl), wilayah lereng bukit landai di bagian tengah dengan ketinggian 100-1.500 meter dpl, dataran luas di utara dengan ketinggian 0-10 meter dpl, dan wilayah aliran sungai.
74
2) Kondisi Sosial dan Ekonomi Provinsi Jawa Barat terdiri atas 16 kabupaten dan 10 kota, dengan ibukota provinsi di Bandung. Jumlah penduduk 40.740.000 jiwa pada tahun 2006 dengan kepadatan penduduk 1.391,47 jiwa per km², merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Sebagian besar penduduk Suku Sunda, dengan bahasa daerah Bahasa Sunda. Penduduk sebagian besar beragama Islam yaitu sebesar 96.51% dari total jumlah penduduk (BPS Jawa Barat 2007). Kontribusi PDRB Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp 231.764,00 milyar, menyumbang sekitar 14-15% dari total PDB nasional. Pendapatan per kapita sekitar Rp 5.476.034,00. Sebagian besar penduduk bekerja pada bidang pertanian, kehutanan dan perikanan (31%), industri (17%), perdagangan, hotel dan restoran (22,5%) serta jasa (29%). Kontribusi PAD Dinas Perikanan Jawa Barat tahun 2005 sebesar Rp 4.065.467.542,00 (Diskan Provinsi Jawa Barat 2005).
4.1.2 Kegiatan Perikanan Provinsi Jawa Barat 1) Unit penangkapan ikan Kapal/perahu di Provinsi Jawa Barat Selatan Jawa terdiri atas perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor (Lampiran 4a). Seiring dengan upaya modernisasi kapal perikanan, keberadaan perahu tanpa motor digantikan perannya oleh perahu motor tempel atau kapal motor. Perahu motor tempel cenderung meningkat, mencapai puncaknya tahun 2000 berjumlah 5.087 unit. Tahun 2001 menurun tajam menjadi 2.502 unit, tahun 2003 kembali meningkat menjadi 3.443 unit dan tahun 2006 menurun menjadi 2.515 unit. Jumlah kapal motor cenderung meningkat, mencapai puncaknya tahun 1999 berjumlah 1.334 unit. Tahun 2001 menurun drastis menjadi 143 unit, namun tahun 2003 kembali meningkat menjadi 274 unit dan terus meningkat menjadi 382 unit tahun 2006. Jumlah alat tangkap terus meningkat, puncaknya terjadi pada tahun 2002 yaitu sebanyak 11.411 unit. Tahun 2003 jumlah alat tangkap menurun menjadi 7.106 unit. Kelompok alat tangkap dominan periode tahun 1994-2006 adalah jaring insang dengan jumlah terendah pada tahun 1995 yaitu 2.187 unit dan tertinggi 5.834 unit pada tahun 1998. Alat tangkap dominan berikutnya pancing, dengan jumlah tertinggi tahun 2004 yaitu 7.496 unit (Lampiran 4b). Longline dan
75
purse seine jarang beroperasi di Selatan Jawa Barat. Purse seine tidak mengalami perkembangan berarti, yaitu berjumlah 78 unit tahun 1994, terus menurun menjadi 25 unit tahun 2006. Purse seine yang digunakan merupakan jenis mini purse seine, yang banyak dioperasikan oleh nelayan di PPP Cilautereun Garut.
2) Produksi dan nilai produksi Produksi utama dari kelompok ikan pelagis diantaranya yaitu ikan tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), kembung (Rastrelliger spp.). Kelompok ikan demersal adalah cucut (Charcharinus sp.) kakap (Lates calcarifer), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), layur (Trichiurus spp.), pari (Dasyatis sp.), dan pepetek (Leiognathus sp.). Jenis udang yang banyak tertangkap lobster (Panulirus spp.). Kelompok binatang berkulit keras yang banyak tertangkap adalah rajungan (Portunus pelagicus). Jumlah produksi ikan pada periode 1993-2006 berfluktuasi (Lampiran 4c). Produksi cukup tinggi pada periode 1993-2000, yaitu rata-rata di atas 40.000 ton. Pada periode 2001-2006, produksi cenderung menurun yaitu rata-rata kurang dari 20.000 ton per tahun. Penurunan produksi terkait dengan berbagai kendala dalam kegiatan operasi penangkapan ikan, diantaranya terkait dengan kenaikan harga BBM. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 1999, yaitu berjumlah 47.852 ton. Pada periode 1994-2006 nilai produksi ikan berfluktuasi (Lampiran 4d). Terjadi peningkatan pada periode 1994-2000, menurun tahun 2001, selanjutnya cenderung meningkat hingga tahun 2006. Nilai produksi tertinggi tahun 2000, yaitu Rp 155.755.204,00, menurun drastis menjadi Rp 51.865.100.000,00 tahun 2001. Nilai produksi meningkat tahun 2006 menjadi Rp 112.852.999.000,00.
4.2 Kabupaten Sukabumi
4.2.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi 1) Kondisi Geografi dan Topografi Luas wilayah Kabupaten Sukabumi 3.934,47 km2 atau 393. 447 ha. Kondisi topografi sebagian besar adalah pegunungan, kecuali di sebagian pantai selatan
76
yang berupa dataran rendah. Beberapa puncak gunung terdapat di bagian utara, diantaranya yaitu Gunung Halimun, Gunung Salak, dan Gunung Gede. Beberapa sungai mengalir dan bermuara di Samudera Hindia, diantaranya yaitu Sungai Cimandiri dan Sungai Cikaso. PPN Palabuhanratu terletak di Kecamatan Palabuhanratu. Topografi daerah perairan dangkal dengan kedalaman sekitar 200 m, pada jarak sekitar 300 m dari garis pantai, diluar itu kedalaman sekitar 600 m. Banyaknya sungai bermuara di Teluk Palabuhanratu menyebabkan potensi sedimentasi besar. Tinggi pasang surut sekitar 2,1 m, dengan kecepatan arus sedang (PT Perencana Jaya 2004).
2) Kondisi Sosial dan Ekonomi Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas di Provinsi Jawa Barat, dengan luas wilayah 3.934,47 km2 atau 393.447 ha. Ibukota Kabupaten Sukabumi berada di Palabuhanratu. Secara administratif, wilayah Kabupaten Sukabumi terdiri atas 45 wilayah kecamatan, 335 wilayah desa dan 3 wilayah kelurahan. Jumlah penduduk tahun 2006 sekitar 2.240.901 jiwa, dengan kepadatan penduduk sekitar 709 jiwa per km2 (BPS Jawa Barat 2007). Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2001 sekitar 15,4 milyar. Mata pencaharian penduduk Sukabumi sebagian besar dalam bidang pertanian. Palabuhanratu sebagai pusat pemerintahan, diarahkan untuk mengakomodir perkembangan perdagangan, jasa, perikanan laut serta pariwisata (http://id.wikipedia.org/Kabupaten_Sukabumi).
4.2.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Sukabumi 1) Unit penangkapan ikan Kapal/perahu di Kabupaten Sukabumi meliputi perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Jumlah kapal/perahu selama periode tahun 1994-2006 terlihat berfluktuasi (Lampiran 5a). Peningkatan jumlah terbanyak terjadi pada tahun 2000 sebesar 1.441 unit, pada tahun berikutnya jumlah kapal/perahu terus menurun hingga berjumlah 1.323 unit pada tahun 2006. Perahu tanpa motor cenderung menurun, yaitu dari 630 unit tahun 1994, menjadi 10 unit tahun 2003, tidak digunakan lagi tahun 2004. Penurunan jumlah perahu tanpa motor, diimbangi dengan keberadaan perahu motor tempel yang terus
77
meningkat, yaitu dari 527 unit tahun 1994 menjadi 966 unit tahun 2006. Seiring dengan upaya perkembangan kegiatan perikanan, nelayan telah beralih dari penggunaan perahu tanpa motor menjadi perahu motor tempel. Sekitar 50% dari kapal motor di Sukabumi adalah kapal yang beroperasi di PPN Palabuhanratu. Kapal/perahu yang beroperasi di PPN Palabuhanratu, terdiri atas perahu motor tempel dan kapal motor. Jumlah kapal motor dan motor tempel berfluktuasi (Lampiran 6a). Armada penangkapan periode 1993-2006 didominasi jenis perahu motor tempel, yaitu sekitar 60%. Kapal purse seine tidak banyak beroperasi di PPN Palabuhanratu. Kapal purse seine yang ada kebanyakan adalah kapal andon yang berasal dari Pantai Utara Jawa, berjumlah sekitar 5-7 unit. Kapal longline mulai mendaratkan ikannya di PPN Palabuhanratu pada tahun 2003 berjumlah 29 unit, seiring dengan peningkatan fasilitas yang ada di PPN Palabuhanratu. Pada tahun 2006 kapal longline di PPN Palabuhanratu berjumlah 34 unit. Pada periode 1994-2006 jumlah alat tangkap di Kabupaten Sukabumi berfluktuasi (Lampiran 5b). Jumlah alat tangkap menurun, yaitu dari 1.294 unit tahun 1994 menjadi 4.256 unit tahun 2006. Periode selanjutnya, jumlah alat tangkap meningkat. Alat tangkap dominan adalah jaring insang dan pancing. Jaring angkat meningkat tajam pada tahun 2001, mencapai jumlah 1.500 unit. Jenis alat tangkap di PPN Palabuhanratu terdiri atas rampus, rawai, bagan, payang, pancing, purse seine, gillnet, trammel net dan longline (Lampiran 6b). Alat tangkap dominan adalah pancing, gillnet, bagan dan payang.
Gillnet
berjumlah 295 unit pada tahun 1993, menurun menjadi 94 unit pada tahun 2006. Bagan berjumlah 34 unit pada tahun 1993, meningkat menjadi 263 unit pada tahun 2006. Longline, purse seine, dan trammel net merupakan alat tangkap yang jarang dioperasikan. Jumlah alat tangkap longline 29 unit tahun 2003, meningkat menjadi 34 unit tahun 2006. Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhanratu selama tahun 19932006 berfluktuasi (Lampiran 6c). Pada tahun 1993 nelayan berjumlah 3.028 orang, menurun menjadi 2.608 orang tahun 1994. Penurunan jumlah nelayan relatif besar terjadi tahun 2000, yaitu menjadi 2.354 orang. Jumlah nelayan kembali meningkat pada tahun 2003 yaitu berjumlah 3.340 orang, dan terus meningkat menjadi 4.371 orang pada tahun 2006.
78
2) Produksi dan Nilai Produksi Produksi ikan di Kabupaten Sukabumi terutama dari kelompok ikan pelagis dan ikan demersal. Kelompok pelagis yaitu jenis tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), kembung (Rastrelliger spp.) dan tembang (Sardinella fimbriata). Ikan demersal meliputi ikan cucut (Charcharinus sp.), layur (Trichiurus spp.), pari (Dasyatis sp.), dan pepetek (Leiognathus sp.). Produksi ikan periode 1994-2006 berfluktuasi (Lampiran 5c).
Produksi
meningkat pada periode 1994-1997, dari 7.318 ton tahun 1994 menjadi 10.498 ton pada tahun 1997. Tahun 2000, produksi menurun tajam menjadi 4.338 ton. Tahun berikutnya, produksi meningkat kembali hingga menjadi 9.347 ton tahun 2006. Sebagian besar produksi ikan Kabupaten Sukabumi berasal dari PPN Palabuhanratu, yaitu sekitar 40-50%. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu selama periode 1994-2006 berfluktuasi (Lampiran 6d). Jumlah produksi relatif tetap yaitu berjumlah 3.425 tahun 1994, dan jumlahnya tidak jauh berbeda pada tahun 2004 yaitu 3.368 ton. Produksi meningkat cukup signifikan tahun 2005 berjumlah 6.600 ton, merupakan produksi tertinggi di PPN Palabuhanratu periode tahun tersebut. Nilai produksi ikan di Kabupaten Sukabumi periode 1994-2006 cenderung meningkat (Lampiran 5d). Pada tahun 1994 berjumlah Rp 8.444.153.000,00 menjadi Rp 78.882.052.000,00 pada tahun 2006, atau meningkat sekitar 70% per tahun. Nilai produksi menurun tajam tahun 2000 dibandingkan tahun 1999, yaitu Rp 21.437.100,00, sementara tahun 1999 berjumlah Rp 41.122.725,00. Persentase peningkatan nilai produksi lebih besar dibandingkan peningkatan jumlah produksi, atau dapat dikatakan terjadi peningkatan harga ikan. Searah dengan jumlah produksi, nilai produksi ikan di Kabupaten Sukabumi sekitar 40-50% berasal dari PPN Palabuhanratu. Nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode 1994-2006 cenderung meningkat (Lampiran 6e), yaitu dari Rp 3.617.532.450,00 pada tahun 1994 meningkat menjadi Rp 15.273.292.570,00 pada tahun 2003. Peningkatan nilai produksi cukup tajam terjadi pada periode 2005-2006, yaitu menjadi Rp 32.550.910.000,00 pada tahun 2006. Peningkatan nilai produksi tahun 2006, tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah produksi, atau dapat dikatakan terjadi peningkatan harga ikan di tahun tersebut.
79
4.3 Kabupaten Garut
4.3.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Garut 1) Kondisi Geografi dan Topografi Letak geografis Kabupaten Garut pada 6o57’34”-7o44’57” LS dan 10o24’3”108o7’34” BT. Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat dengan batas wilayah sebelah utara Kabupaten Sumedang, timur Kabupaten Tasikmalaya, selatan Samudera Hindia serta sebelah barat Kabupaten Bandung dan Cianjur. Keadaan topografi wilayah sangat beragam, Garut Utara merupakan daerah perbukitan, Garut Tengah berupa daerah pegunungan, sedangkan Garut Selatan sebagian besar berupa dataran rendah sampai pantai. Wilayah Garut berada pada ketinggian 7-1.244 m dpl. Panjang pantai sekitar 80 km, dengan 7 kecamatan pantai yaitu Cibalong, Cikelet, Pakenjeng, Mekarmukti, Bungbulan, Caringin, dan Pameungpeuk. PPP Cilautereun berada di Kecamatan Pameungpeuk, topografi wilayah datar, berombak, dan berbukit (Dispetkanlut Kabupaten Garut 2005).
2) Kondisi Sosial dan Ekonomi Wilayah Garut meliputi luas areal 3.065,19 km2, terdiri dari 42 kecamatan, 402 desa dan 19 kelurahan. Penduduk tahun 2005 berjumlah 2.348.162 jiwa, terdiri atas laki-laki 1.256.287 jiwa (53,50%) dan perempuan 1.091.880 jiwa (46,50%). Angkatan kerja 987.895 jiwa atau 58,60% dari total jumlah penduduk (Dispetkanlut Kabupaten Garut 2005). Mata pencaharian penduduk sebagian besar di bidang pertanian, yaitu sekitar 40% dari total jumlah penduduk. Sektor pertanian mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan.
Mata
pencaharian penduduk lainnya yaitu di bidang perdagangan (22%), industri (10%), dan jasa (13%) (BPS Kabupaten Garut 2004).
4.3.2 Keadaan Perikanan Kabupaten Garut 1) Unit penangkapan Kapal/perahu yang digunakan nelayan di Kabupaten Garut terdiri atas perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Jumlah kapal/perahu
80
pada periode tahun 1994-2006 cenderung meningkat, yaitu dari 152 unit tahun 1994 menjadi 364 unit pada tahun 2006 atau meningkat sekitar 12% per tahun (Lampiran 7a). Peningkatan terbesar pada jenis perahu motor tempel, yaitu dari 87 unit tahun 1994 menjadi 356 unit tahun 2006, atau meningkat sekitar 28% per tahun. Kapal motor menurun, dari 52 unit tahun 1994 menjadi 19 unit pada tahun 2006. Perkembangan jumlah perahu motor tempel yang tinggi, mengindikasikan perkembangan perikanan di Kabupaten Garut adalah pada perikanan skala kecil. Pada periode 1994-2006 jumlah alat tangkap di Garut berfluktuasi (Lampiran 7b). Jumlah alat tangkap meningkat tajam pada tahun 2002, yaitu menjadi 2.843 unit dari 311 unit pada tahun 1994. Periode selanjutnya, jumlah alat tangkap relatif tetap, yaitu sekitar 2.860 unit pada tahun 2005. Alat tangkap didominasi oleh pancing, jaring sirang dan gillnet. Pancing berjumlah 2.132 unit tahun 2005, atau sekitar 68% dari total alat tangkap.
2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan di Kabupaten Garut meliputi berbagai jenis, didominasi oleh ikan demersal dan ikan pelagis kecil. Produksi utama dari kelompok demersal yaitu cucut (Charcharinus sp.), kakap (Lates calcarifer), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), layur (Trichiurus spp.), dan pari (Dasyatis sp.). Jenis ikan pelagis kecil meliputi tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), teri (Stoleophorus spp.), japuh (Dussumeria sp.) dan tigawaja (Johnius spp.). Produksi tahun 1994-2006 berfluktuasi (Lampiran 7c). Produksi meningkat tajam pada tahun 2002 yaitu 7.573 ton, atau naik sekitar 471% dari tahun 2001. Peningkatan produksi tidak sebesar peningkatan jumlah kapal yang hanya sekitar 54%. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan produktivitas kapal. Produksi tahun 2005 berjumlah 4.879 ton, menurun menjadi 2.916 ton pada tahun 2006. Searah dengan jumlah produksi, nilai produksi juga berfluktuasi (Lampiran 7d). Nilai produksi tahun 1994 sekitar Rp 3.483.350.000,-, meningkat menjadi Rp 5.499.340.000,00 tahun 2001. Nilai produksi meningkat tajam di tahun 2002 yaitu Rp 22.660.200.000,00 atau meningkat 313%, terus meningkat menjadi Rp 48.065.490.000,00 pada tahun 2004. Persentase peningkatan nilai produksi yang tajam, mengindikasikan adanya kenaikan harga ikan di tahun tersebut.
81
4.4 Provinsi Jawa Tengah
4.4.1 Keadaan Umum Daerah Provinsi Jawa Tengah 1) Kondisi Geografi dan Topografi Letak geografis Provinsi Jawa Tengah pada 5o40'-8o30' LS dan 108o30'111o30' BT, termasuk Kepulauan Karimunjawa. Luas wilayah 32.548,20 km2 atau sekitar 25,04% dari luas Pulau Jawa dan 1,70% dari luas wilayah Indonesia. Secara topografis wilayah Jawa Tengah meliputi dataran rendah yang sempit di pantai utara. Disebelah selatannya terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng. Pegunungan Serayu Utara dan Serayu Selatan, merupakan rangkaian utama pegunungan di wilayah bagian tengah. Dibagian selatan merupakan kawasan pantai yang sempit, dengan lebar sekitar 10-25 km. Perbukitan landai membentang sejajar dengan pantai, dari Kabupaten Cilacap hingga Yogyakarta menyambung hingga Pantai Selatan Jawa Timur.
2) Kondisi Sosial dan Ekonomi, Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah 32.548,20 km² atau 3.254.820 ha. Secara administratif terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota, 545 kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan. Jumlah penduduk tahun 2005 sekitar 31.820.000 jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata 977 jiwa per km2. Penduduk umumnya terkonsentrasi di pusat-pusat kota. Pertumbuhan penduduk sekitar 0,67% per tahun. Penduduk angkatan kerja sekitar 47%. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama, yaitu sekitar 42,34% dari jumlah penduduk. Sektor lain adalah perdagangan (20,91%), industri (15,71%), dan jasa (10,98%). Mayoritas penduduk Suku Jawa, dengan bahasa sehari-hari Bahasa Jawa. Sebagian besar penduduk beragama Islam, toleransi agama diantara penduduk sangat tinggi (http://id.wikipedia.org/ wiki/Jawa_Tengah).
4.4.2 Kegiatan Perikanan Provinsi Jawa Tengah 1) Unit penangkapan Kapal/perahu di Provinsi Jawa Tengah Perairan Selatan Jawa terdiri atas perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Jumlah kapal/perahu
82
periode tahun 1994-2005 berfluktuasi, dengan kecenderungan meningkat (Lampiran 8a). Selama periode tersebut jumlah perahu/kapal meningkat dari 2.466 unit tahun 1994 menjadi 4.546 unit tahun 2002, menurun menjadi 3.352 pada tahun 2005. Perahu tanpa motor cenderung menurun, yaitu dari 1.009 unit tahun 1994 menjadi 834 unit tahun 2003, menurun drastis menjadi 73 unit pada tahun 2005. Perahu motor tempel cenderung meningkat, dari 1.124 unit tahun 1994 menjadi 3.308 unit tahun 2002, namun kemudian menurun menjadi 1.631 unit pada tahun 2005. Kapal motor berukuran 5–30 GT, meningkat dari 333 unit tahun 1994 menjadi 1.648 unit tahun 2005. Kondisi ini menggambarkan adanya peningkatan skala usaha dari perikanan skala kecil ke perikanan skala menengah. Alat tangkap didominasi oleh jaring insang dan pancing (Lampiran 8b). Jaring insang berfluktuasi, dari 2.318 unit tahun 1994 menjadi 4.127 unit tahun 2005 atau meningkat rata-rata 7% per tahun. Alat tangkap pancing berfluktuasi, yaitu dari 1.146 unit tahun 1994, menjadi 889 unit tahun 2002 dan meningkat tajam tahun 2003 menjadi 1.783 unit, kembali menurun menjadi 1.100 unit pada tahun 2005. Pukat kantong cenderung tetap hingga tahun 2002, yaitu berjumlah 570 unit dari 580 unit tahun 1994. Pukat kantong mengalami peningkatan tajam tahun 2003 yaitu berjumlah 1.390 unit. Secara umum terjadi peningkatan jumlah alat tangkap yang signifikan di Jawa Tengah Selatan Jawa pada tahun 2003.
2) Produksi dan nilai produksi Produksi utama dari kelompok pelagis yaitu tuna (Thunnnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), kembung (Rastrelliger sp). Demersal adalah cucut (Charcharinus sp.), kakap (Lates calcarifer), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), layur (Trichiurus spp.), pari (Dasyatis sp.). Udang meliputi udang windu (Penaeus monodon), dogol (Metapenaeus sp.) dan lobster (Panulirus sp.). Jumlah produksi ikan periode tahun 1994-2005 berfluktuasi (Lampiran 8c). Produksi meningkat periode 1994-1997, yaitu dari 17.182 ton tahun 1994 menjadi 25.053 ton tahun 1997 atau rata-rata meningkat 15% per tahun. Tahun berikutnya produksi menurun sekitar 12% per tahun, hingga menjadi 7.240 ton tahun 2003. Tahun 2005 produksi sedikit meningkat yaitu menjadi 8.572 ton.
83
Nilai produksi ikan di Jawa Tengah berfluktuasi, cenderung menurun pada periode 2000-2003. Nilai produksi berjumlah Rp 122.101.309.000,00 pada tahun 2000, menurun menjadi Rp 60.719.918.000,00 pada tahun 2003 atau menurun sekitar 50% dalam waktu 3 tahun. Nilai produksi meningkat kembali tahun 2005 yaitu berjumlah Rp 90.607.494.000,00 (Lampiran 8d).
4.5 Kabupaten Cilacap
4.5.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Cilacap 1) Kondisi Geografi dan Topografi Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah bagian selatan, secara geografis terletak pada 108o4’30”-109o30’30” BT dan 7o30’7o45’20” LS. Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah, yaitu sekitar 56,6% dari luas Wilayah Jawa Tengah. Luas wilayah 225.360,840 Ha, panjang garis pantai 202 km (Dislutkan Kabupaten Cilacap 2006). Bentuk topografis berupa dataran rendah, dataran tinggi dan pantai. Bagian selatan merupakan dataran rendah, terdapat Pulau Nusakambangan dengan cagar alam Nusakambangan dan Segara Anakan. Kedalaman perairan sekitar 10 m pada jarak sekitar 2,5 km dari garis pantai. Tinggi pasang surut sekitar 2,1 m, dengan kecepatan arus sedang dan potensi sedimentasi tinggi (PT Perencana Jaya 2004).
2) Kondisi Sosial dan Ekonomi, Luas wilayah Kabupaten Cilacap 2.142,59km². Secara administratif terdiri atas 24 kecamatan, yang terbagi atas beberapa desa/kelurahan. Kultur masyarakat di wilayah bagian barat banyak dipengaruhi oleh Kultur Sunda, hal ini karena pengaruh masa lalu di mana daerah ini pernah dikuasai Kerajaan Sunda. Jumlah penduduk tahun 2005 sekitar 1.716.188 jiwa, laki-laki 857.462 jiwa dan perempuan 858.7260 jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata 767 jiwa per km2, pertumbuhan penduduk sekitar 0,31%. Angka ketergantungan sebesar 54,02%, berarti setiap 100 orang usia produktif menanggung 54 orang usia non produktif. Pertanian merupakan sektor utama perekonomian penduduk. Subsektor perikanan laut merupakan mata pencaharian utama masyarakat di pesisir selatan.
84
Cilacap merupakan tiga kawasan industri utama di Jawa Tengah selain Semarang dan Surakarta. Potensi perikanan laut yang besar masih belum dimanfaatkan secara optimal. Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) sebesar Rp 7.999,12 milyar pada tahun 2003, banyak disumbang oleh sektor pertanian dan industri.
4.5.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Cilacap 1) Unit penangkapan ikan Kapal/perahu di Kabupaten Cilacap meliputi jenis perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Periode 1994-2005, kapal didominasi oleh perahu motor tempel, yaitu sekitar 40% (Lampiran 9a). Jumlah berfluktuasi, tahun 1994 berjumlah 2.099 unit, meningkat menjadi 2.788 unit tahun 2005 atau rata-rata meningkat 3% per tahun. Keberadaan perahu tanpa motor digantikan perannya oleh perahu motor tempel dan kapal motor. Perahu tanpa motor terus menurun, dari 892 unit tahun 1994 menjadi 151 unit tahun 2005 atau rata-rata turun 8% per tahun. Perahu motor tempel meningkat, dari 874 unit tahun 1994 menjadi 2.297 unit tahun 2005. Jumlah kapal motor cenderung tetap, yaitu dari 333 unit pada tahun 1994 menjadi 340 unit tahun 2005. Kapal perikanan di PPS Cilacap adalah kapal motor berukuran 10 GT, 1020 GT, 20-30 GT, dan >30 GT (Lampiran 10a). Secara umum jumlah kapal menurun, yaitu dari 7.366 unit tahun 1994 menjadi 2.830 tahun 2006. Penurunan terjadi sejak tahun 2003, terkait dengan pendangkalan kolam pelabuhan. Ukuran kapal dominan 10-20 GT, jumlahnya meningkat periode 1996-1998, dari 3.394 unit tahun 1996 menjadi 4.561 tahun 1998, selanjutnya menurun hingga menjadi 645 unit tahun 2006. Kapal 20-30 GT berjumlah 2.153 unit tahun 1998, menurun menjadi 1.789 unit tahun 2006. Kapal motor >30 GT cenderung tetap periode 1996-2000, yaitu sekitar 1.400 unit, menurun menjadi 229 unit pada tahun 2006. Jenis alat tangkap di Kabupaten Cilacap meliputi trammel net, sirang, gillnet, pancing, payang, lampara dasar atau arad, dan jaring apong. Jenis alat tangkap dominan yang digunakan nelayan di Cilacap selama periode tahun 19982006 adalah pancing, jaring sirang, trammel net dan gillnet. Alat tangkap yang ada di PPS Cilacap adalah gillnet, trammel net, dan longline (Lampiran 10b). Jenis alat tangkap dominan adalah trammel net. Alat
85
tangkap longline dioperasikan mulai tahun 1998 berjumlah 252 unit, meningkat menjadi 3.773 unit tahun 2001. Alat tangkap longline menurun tajam menjadi 426 unit tahun 2003, hal ini terkait dengan pendangkalan kolam pelabuhan. Tahun 2004-2006 kapal longline terus menurun, yaitu berjumlah 68 unit. Jumlah nelayan di Cilacap pada tahun 1998-2006 cenderung meningkat, dengan persentase yang kecil yaitu sekitar 3%. Jumlah nelayan meningkat dari 18.032 orang tahun 1998, menjadi 20.905 orang tahun 2006. Nelayan Cilacap merupakan nelayan asli dan nelayan andon yang sudah lama menetap di Cilacap. Nelayan Cilacap sekitar 30% berada di PPS Cilacap. Jumlah nelayan di PPS Cilacap meningkat, dari 6.078 orang tahun 1998 menjadi 11.642 tahun 1999. Jumlah nelayan menurun tajam menjadi 2.745 tahun 2003, selanjutnya meningkat kembali menjadi 8.245 pada tahun 2006 (Lampiran 10c). Penurunan jumlah nelayan searah dengan penurunan jumlah kapal yang beroperasi di PPS Cilacap.
2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan di Kabupaten Cilacap meliputi berbagai jenis ikan. Produksi utama dari kelompok pelagis yaitu tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), dan kembung (Rastrelliger sp). Kelompok demersal seperti cucut (Charcharinus sp), kakap (Lates calcarifer), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), layur (Trichiurus spp.), dan pari (Dasyatis sp.). Udang meliputi jenis udang windu (Penaeus monodon), udang dogol (Metapenaeus sp.) dan udang krosok (Metapenaeus burkenroadi).
Perairan
Cilacap merupakan penghasil udang utama di Selatan Jawa. Produksi ikan di Kabupaten Cilacap periode tahun 1994-2005 berfluktuasi, cenderung menurun di periode akhir (Lampiran 9c). Pada periode 1994-1999 produksi cenderung meningkat, yaitu dari 20.112 ton pada tahun 1994 menjadi 35.528 ton pada tahun 1999 atau meningkat rata-rata 15% per tahun. Selanjutnya produksi terus menurun hingga menjadi 7.616 ton pada tahun 2005. Produksi ikan di PPS Cilacap cenderung menurun pada periode 1996-2006 (Lampiran 10d). Produksi menurun dari 10.140 ton tahun 1996, menjadi 1.721 ton pada tahun 2004 yang merupakan produksi terendah. Penurunan produksi
86
disebabkan penurunan jumlah kapal yang mendaratkan ikannya di PPS Cilacap. Penurunan jumlah kapal, khususnya terjadi pada kapal longline yang melakukan bongkar di PPS Cilacap, karena faktor pendangkalan pada alur masuk pelabuhan. Searah dengan produksi, nilai produksi ikan di Cilacap juga menurun tahun 2000-2003 (Lampiran 9d). Nilai produksi tertinggi Rp 149.833.671.000,00, terjadi pada tahun 2000. Nilai produksi menurun tajam menjadi Rp 30.325.334.000,00 tahun 2003. Hal ini terkait penurunan jumlah kapal yang beroperasi di tahun tersebut. Tahun 2005 nilai produksi meningkat, menjadi Rp 78.929.726.000,00. Nilai produksi ikan di PPS Cilacap berfluktuasi, cenderung menurun pada periode 2000-2005. Nilai produksi berjumlah Rp 44.370.000.000,00 pada tahun 2000, menurun menjadi Rp 17.235.000.000,00 pada tahun 2005 atau menurun sekitar 61,16% dalam waktu 5 tahun. Nilai produksi meningkat tajam tahun 2006 yaitu berjumlah Rp 47.499.000.000,00 (Lampiran 10e).
4.6 Kabupaten Kebumen
4.6.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Kebumen 1)
Kondisi Geografi dan Topografi Kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Tengah, dengan luas wilayah sekiatr 1.281,115 km2. Secara geografis terletak pada 109°22’-109°50’ BT dan 7°27’-7°50’ LS.
Batas wilayah administratif
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, selatan Samudera Hindia, barat Kabupaten Banyumas dan Cilacap, timur Kabupaten Purworejo dan Wonosobo (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kebumen). Bentuk topografis wilayah umumnya meliputi permukaan daratan, daerah aliran sungai serta daerah pantai. Bagian selatan merupakan dataran rendah dan sedang, utara berupa pegunungan, dan selatan Gombong terdapat rangkaian pegunungan kapur yang membujur hingga pantai selatan. Kabupaten Kebumen memiliki panjang pantai yang membentang dari Kecamatan Ayah (perbatasan Kebumen-Cilacap/Sungai Bodo) sampai Mirit (perbatasan Purworejo-Kebumen/ Sungai Wawar) sepanjang 57,5 km. Wilayah pantai meliputi delapan Kecamatan dan 32 desa pantai. PPI Pasir terletak di Desa Pasir Kecamatan Ayah.
87
2) Kondisi Sosial dan Ekonomi Kabupaten Kebumen terdiri atas 26 kecamatan, 460 desa/kelurahan. Penduduk pada tahun 2005 tercatat 1.212.809 jiwa, laki-laki 612.467 jiwa dan perempuan sebanyak 600.342 jiwa. Pertumbuhan penduduk 0,79%. Kepadatan penduduk 947 jiwa per km2. Mata pencaharian penduduk sebagian besar di bidang pertanian, termasuk peternakan (Dispetkanlut Kabupaten Kebumen 2005). Potensi perikanan dan kelautan Kabupaten Kebumen yang sangat besar, sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Investasi yang dilakukan di bidang itu juga masih kecil dibandingkan dengan peluang yang ada. Bidang usaha yang memiliki prospek cerah meliputi usaha penangkapan ikan, budidaya ikan di waduk dan di kolam, usaha pembenihan ikan/udang, dan jasa kelautan.
4.6.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Kebumen 1) Unit penangkapan ikan Armada penangkapan di Kebumen periode 1994-2005 didominasi perahu motor tempel (Lampiran 11a). Perahu tanpa motor berjumlah 117 unit tahun 1994, menurun menjadi 17 unit tahun 2000. Tahun 2001 meningkat, hingga menjadi 146 unit tahun 2003, tahun 2005 sudah tidak digunakan. Perahu motor tempel cenderung meningkat dari 250 unit tahun 1994 menjadi 834 unit tahun 2005. Jenis alat tangkap diantaranya adalah payang, jaring sirang, gillnet, trammel net, dan rawai. Jumlah alat tangkap cenderung menurun, yaitu berjumlah 9.139 unit, tahun 1994, menurun menjadi 2.148 unit tahun 2005. Jumlah nelayan tahun 1994 berjumlah 6.746 orang, meningkat menjadi 11.069 orang tahun 1999, namun tahun 2005 menurun menjadi 3.910 orang. (Lampiran 11b).
2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan meliputi berbagai jenis, khususnya adalah pelagis kecil, demersal dan udang. Produksi utama kelompok pelagis, yaitu tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni) dan kembung (Rastrelliger sp.). Kelompok demersal seperti cucut (Charcharinus sp.), kakap (Lates calcarifer), bawal putih (Pampus argentus), dan layur (Trichiurus spp.). Jenis udang adalah lobster (Panulirus sp.).
88
Jumlah produksi ikan periode 1994-2005 berfluktuasi, produksi tertinggi tahun 1999 berjumlah 3.352 ton (Lampiran 11c). Produksi tahun 1994 berjumlah 944 ton, meningkat menjadi 2.418 ton tahun 2001 atau meningkat sekitar 22% per tahun. Produksi menurun tajam tahun 2002 menjadi 1.070 ton, dan terus menurun menjadi 918 ton tahun 2005. Penurunan produksi tidak searah dengan jumlah perahu yang meningkat, menggambarkan kegiatan usaha kurang produktif. Nilai produksi ikan di Kebumen periode 1998-2005 relatif tetap, kecuali pada tahun 1999 yang merupakan nilai produksi tertinggi yaitu sebesar Rp 39.109.241,000,00 (Lampiran 11d). Nilai produksi sebesar Rp 11.809.214.000,00 tahun 1998, relatif tidak berubah pada tahun 2005 yaitu Rp 11.356.688.000,00. 4.7 Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta
4.7.1 Keadaan Umum Daerah Provinsi DI Yogyakarta 1) Kondisi Geografi dan Topografi Propinsi DI Yogyakarta, terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota yaitu Kota Yogyakarta dengan luas 32,5 km2, Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2, Bantul dengan luas 506,85 km2, Kulonprogo dengan luas 586,28 km2, dan Gunung Kidul dengan luas 1.485,36 km2. Letak geografis pada 7°30’8°15’ LS dan 110°00’-110°52’ BT. Batas administratif meliputi sebelah barat laut Kabupaten Magelang, sebelah timur Kabupaten Klaten, sebelah tenggara Kabupaten Wonogiri, selatan Samudera Hindia, dan barat Kabupaten Purworejo. Keadaan topografis berupa Pegunungan Seribu terletak di sebelah selatan dengan ketinggian sekitar 130-500 m dpl, merupakan lokasi Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul. Pegunungan Menoreh sebelah barat dengan ketinggian sekitar 150-1.000 m dpl lokasi Kabupaten Kulonprogo, dan Gunung Merapi di sebelah utara termasuk wilayah Kabupaten Sleman. Dialiri empat buah sungai besar yaitu Sungai Opak, Progo, Glagah, dan Bogowonto yang bermuara di Samudera Hindia. Provinsi DI Yogyakarta memiliki wilayah pantai dengan dua karakteristik. Pertama adalah wilayah pantai di Gunung Kidul, dengan karakteristik pantai berkarang dan curam. Wilayah kedua meliputi pantai di Bantul dan Kulonprogo, dengan karakteristik pantai yang landai, bertanah endapan pasir dan gundukan.
89
2) Kondisi Sosial dan Ekonomi Luas wilayah Provinsi Yogyakarta 3.185,80 km2. Jumlah penduduk pada tahun 2005 sekitar 3.243.277 jiwa, dengan kepadatan penduduk 1.019 jiwa per km². Sebagian besar perekonomian disokong oleh hasil cocok tanam, berdagang, kerajinan perak, kerajinan wayang kulit, dan kerajinan anyaman, serta wisata (www.bapeda.pemda-diy.go.id). Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawa. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Tradisi merupakan hal penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Seni dan budaya menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Yogyakarta.
4.7.2 Kegiatan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta 1) Unit penangkapan ikan Kapal/perahu yang beroperasi di DI Yogyakarta yaitu perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Kapal/perahu periode tahun 1994-2004 didominasi oleh perahu motor tempel (Lampiran 12a).
Jumlah kapal/perahu
cenderung meningkat, yaitu dari 142 unit tahun 1994 menjadi 527 unit pada tahun 2004. Perahu tanpa motor, menurun dan sejak 1999 sudah tidak ada. Perahu motor tempel meningkat, dari 81 unit tahun 1994 menjadi 515 unit tahun 2004. Kapal motor menurun, yaitu 48 unit tahun 1994 menjadi 12 unit pada tahun 2004. Jumlah alat tangkap periode 1994-2004 berfluktuasi, cenderung meningkat sampai tahun 2001, menurun tahun 2002 dan 2004 (Lampiran 12b). Jenis alat tangkap dominan adalah jaring insang dan pancing. Jaring insang periode 19942004 berfluktuasi, meningkat dari 1.557 unit tahun 1994 menjadi 7.536 unit tahun 1997, selanjutnya menurun menjadi 2.694 unit tahun 2004. Jumlah alat tangkap pancing meningkat dari 69 unit tahun 1994, menjadi 472 unit pada tahun 2004. Pukat kantong awalnya banyak dioperasikan yaitu tahun 1994 berjumlah 2.258 unit, namun tidak dioperasikan lagi sejak 1999. Perangkap dioperasikan tahun 1994-1996 sekitar 400 unit, tahun 1997-2000 tidak dioperasikan, tahun 2001-2004 dioperasikan kembali dengan jumlah 932 unit pada tahun 2004. Perahu yang digunakan nelayan bersifat multipurpose.
Nelayan dapat
mengganti alat tangkapnya, sesuai dengan musim ikan tanpa harus mengganti
90
perahu. Penggunaan alat tangkap sirang, trammel net, dan krendet dioperasikan dengan menggunakan perahu yang sama.
2) Produksi dan nilai produksi Produksi utama dari kelompok pelagis yaitu tuna (Thunnus sp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp.), kembung (Rastrelliger sp) dan lemuru (Sardinella longiceps). Kelompok demersal, cucut (Charcharinus sp.), kakap (Lates calcarifer), bawal putih (Pampus argentus), dan layur (Trichiurus spp.). Ikan berkulit keras rajungan (Portunus sp.). Tuna dan cakalang ditangkap dengan pancing tonda, merupakan inovasi baru bagi nelayan di PPP Sadeng. Jumlah produksi selama periode 1994-2004 berfluktuasi (Lampiran 12c). Produksi berjumlah 1.171 ton pada tahun 1994, meningkat menjadi 1.428 ton pada tahun 2000 atau meningkat sekitar 4% per tahun. Produksi tahun 2001 sedikit menurun, meningkat kembali menjadi 1.444 ton pada tahun 2004. Nilai produksi meningkat searah dengan peningkatan jumlah produksi. Kecenderungan peningkatan nilai produksi lebih tajam dibandingkan dengan jumlah produksi (Lampiran 12d), dapat dikatakan terjadi peningkatan harga ikan yang cukup signifikan. Nilai produksi meningkat dari Rp 1.929.685.000,00 tahun 1994, menjadi Rp 14.743.950.000,00 pada tahun 2000, atau rata-rata terjadi peningkatan sebesar 40% per tahun. Nilai produksi menurun menjadi Rp 10.264.660.000,00 pada tahun 2004.
4.8 Kabupaten Gunung Kidul
4.8.1
Keadaan Umum Kabupaten Gunung Kidul
1) Kondisi Geografi dan Topografi Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu dari lima kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta, dengan ibukota Wonosari. Secara geografis terletak antara 110o21’-110o50’BT dan 7o46’-8o09’ LS. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri, Samudera Hindia di sebelah selatan, serta Kabupaten Bantul dan Sleman di sebelah barat (www.gunungkidulkab.go.id).
91
Luas wilayah 1.485,36 km2, merupakan kabupaten terluas di Provinsi DI Yogyakarta, yaitu sekitar 46,63% dari total wilayah. Sebagian besar wilayah berupa perbukitan dan pegunungan kapur, yakni bagian dari Pegunungan Sewu. Oleh karena itu sebagian besar wilayah merupakan daerah tandus, dimana pada musim kemarau sering terjadi bencana kekeringan.
2)
Kondisi sosial dan ekonomi Kabupaten Gunung Kidul terdiri atas 18 kecamatan, yang dibagi lagi atas
144 desa/kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Gunung Kidul tahun 2005 sebesar 759.859 jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata 512 jiwa per km2 (www.gunungkidulkab.go.id). Gunung Kidul merupakan wilayah tandus dan berkapur. Sebagian besar lahan pertanian berupa lahan kering, dengan komoditas utama tanaman palawija. Sektor pertanian lahan kering merupakan mata pencaharian utama penduduk. Subsektor perikanan laut mulai diusahakan. Pembangunan PPI Sadeng diarahkan untuk peningkatan perekonomian masyarakat pesisir selatan Gunung Kidul.
4.8.2 1)
Kegiatan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Unit penangkapan ikan Kapal/perahu yang beroperasi di Kabupaten Gunung Kidul meliputi jenis
perahu motor tempel dan kapal motor. Jumlah kapal/perahu selama periode 19992004 cenderung meningkat, yaitu dari 110 unit pada tahun 1999 menjadi 261 unit pada tahun 2004 atau rata-rata meningkat 10% per tahun (Lampiran 13a) . Perahu tanpa motor sudah tidak beroperasi di Gunung Kidul. Perahu motor tempel terus meningkat, dari 108 unit tahun 1999 menjadi 253 unit tahun 2004. Jumlah kapal motor relatif sedikit, berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kapal motor berjumlah 2 unit tahun 1999, meningkat menjadi 8 unit tahun 2004. 2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan meliputi berbagai jenis ikan. Produksi utama dari kelompok pelagis yaitu ikan tuna (Thunnus sp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), kembung (Rastrelliger sp) dan lemuru (Sardinella longiceps). Kelompok demersal seperti cucut (Charcharinus sp.), kakap (Lates
92
calcarifer), bawal putih (Pampus argentus), dan layur (Trichiurus spp.). Jenis ikan berkulit keras yaitu rajungan (Portunus pelagicus). Rumput laut banyak dibudidayakan nelayan di Kabupaten Gunung Kidul. Jumlah produksi ikan berfluktuasi (Lampiran 13b). Produksi tahun 1994 berjumlah 794 ton, meningkat menjadi 940 ton tahun 1997 atau meningkat sekitar 18% dalam waktu 3 tahun. Produksi menurun tahun 1998 menjadi 726 ton atau turun 23%, meningkat kembali hingga menjadi 782 ton pada tahun 2003 dan menurun menjadi 581 ton pada tahun 2004. Nilai produksi periode tahun 1994-2004 berfluktuasi (Lampiran 13c). Nilai produksi berjumlah Rp 1.051.290.000,00 pada tahun 1994, meningkat menjadi Rp 4.417.250.000,00 tahun 1998 atau meningkat sekitar 320% selama 4 tahun. Nilai produksi menurun tahun 1999 menjadi Rp 3.639.719.000,00 atau turun 18% dari nilai produksi tahun 1998. Nilai produksi kembali meningkat pada tahun 2000 menjadi Rp 9.714.385.000,00 atau meningkat sekitar 167% dari tahun 1999. Selanjutnya nilai produksi berfluktuasi, meningkat menjadi Rp 7.206.040.000,00 pada tahun 2003, dan menurun menjadi Rp 2.479.936.200,00 pada tahun 2004.
4.9 Provinsi Jawa Timur
4.9.1 Keadaan Umum Daerah Provinsi Jawa Timur 1) Kondisi geografi dan topografi Provinsi Jawa Timur secara geografis terletak pada 110°54’ BT sampai dengan 115°57’ BT dan 5° 37’ LS sampai dengan 8°48’ LS. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, timur Selat Bali, barat Provinsi Jawa Tengah, serta selatan Samudra Hindia. Luas wilayah 47.157,72 km2. Terdiri atas 229 pulau, dengan panjang pantai sekitar 2.833,85 km. Secara topografi, Jawa Timur terbagi atas empat wilayah. Dataran tinggi di bagian tengah yang merupakan wilayah subur dan telah berkembang, dataran rendah bagian utara merupakan wilayah dengan kesuburan sedang dan tingkat perkembangan sedang, pegunungan kapur selatan merupakan wilayah tandus, tidak subur dan belum berkembang, serta wilayah kepulauan di Perairan Laut Jawa dengan aksesibilitas rendah dan belum berkembang .
93
2) Kondisi sosial dan ekonomi Secara administrasi Provinsi Jawa Timur terdiri atas 29 daerah kabupaten, 8 daerah kota, 637 kecamatan, 660 kelurahan dan 8.418 desa. Persebaran geografis permukiman penduduk dipengaruhi oleh nilai ekonomis lokasi terhadap fasilitas, baik jalan maupun fasilitas perhubungan lainnya. Jumlah penduduk tahun 2004 sebesar 36.535.527 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 787 jiwa per km2. Jawa Timur potensial menyediakan tenaga kerja guna mendukung program-program pembangunan yang ada. Secara nasional merupakan pemasok pangan terbesar, dengan kegiatan pertanian merupakan lapangan usaha yang sangat menentukan. Lapangan usaha lainnya adalah bidang industri, perdagangan dan jasa (www.jatim.go.id).
4.9.2
Kegiatan Perikanan Propinsi Jawa Timur
1) Unit penangkapan ikan Kapal/ perahu di Provinsi Jawa Timur Perairan Selatan Jawa terdiri atas perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal motor. Armada penangkapan selama periode tahun 193-2006 didominasi oleh jenis perahu tanpa motor dan perahu motor tempel (Lampiran 14a).
Jumlah perahu/kapal berfluktuasi, cenderung
meningkat. Perahu/kapal tahun 1993 berjumlah 12.839 unit, meningkat menjadi 14.178 unit pada tahun 2006. Keberadaan perahu tanpa motor terus menurun, digantikan oleh perahu motor tempel dan kapal motor.
Perahu tanpa motor
berfluktuasi, dari 8.203 unit tahun 1993 menurun menjadi 1.734 unit tahun 2006. Perahu motor tempel berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat, yaitu dari 4.524 unit pada tahun 1993 menjadi 11.077 unit pada tahun 2006. Perahu motor tempel dominan digunakan nelayan, yaitu sekitar 40-70% dari jumlah total perahu/kapal selama periode 1994-2006. Jumlah kapal motor meningkat dari 112 unit pada tahun 1993, menjadi 1.367 unit pada tahun 2006. Jumlah alat tangkap berfluktuasi, dengan peningkatan/penurunan sekitar 10-40% periode 1993-2006 (Lampiran 14b). Peningkatan cukup tajam terjadi tahun 2000, yaitu 34.764 unit atau naik sekitar 81% dari tahun sebelumnya. Alat tangkap dominan adalah jaring insang dan pancing. Jaring insang pada tahun 1993 berjumlah 5.924 unit, meningkat menjadi 8.135 unit tahun 2003 dan menurun
94
menjadi 2.454 unit tahun 2006. Pancing berjumlah 3.899 unit pada tahun 1993 meningkat menjadi 28.568 unit tahun 2000, menurun menjadi 6.580 unit tahun 2006. Pukat cincin 1.913 unit tahun 1993, menurun menjadi 142 unit tahun 2006. Nelayan di Selatan Provinsi Jawa Timur digolongkan dalam dua kategori yaitu nelayan asli dan andon. Nelayan andon berasal dari Pantai Utara Jawa atau Sulawesi Selatan. Nelayan andon ini, khususnya dijumpai di PPP Pondokdadap. Perkembangan nelayan periode 1993-2006 berfluktuasi cenderung menurun, yaitu dari 81.022 orang tahun 1993 menjadi 51.376 orang tahun 2006 (Lampiran 14c).
2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan mencakup berbagai ragam jenis ikan. Produksi utama kelompok pelagis yaitu tuna (Thunnnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), kembung (Rastrelliger sp), layang (Decapterus sp.), selar (Caranx sp.), teri (Stolephorus sp.) tigawaja (Otolithus sp.), dan ikan kuwe (Carangoides spp.). Kelompok demersal seperti cucut (Charcharinus sp.), kakap (Lates calcarifer), ikan merah (Lutjanus sp.), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), layur (Trichiurus spp.), pari (Dasyatis sp.), manyung (Tachysurus sp.), dan pepetek (Leiognathus sp.). Jenis udang adalah lobster (Panulirus sp.). Produksi ikan selama periode 1993-2006 berfluktuasi, meningkat tajam pada tahun 2003 (Lampiran 14d). Produksi tahun 2003 berjumlah 158.401 ton, atau naik 124% dari tahun 2000, menurun menjadi 110.344 ton pada tahun 2006. Peningkatan jumlah produksi tidak searah dengan jumlah kapal, mengindikasikan terdapat peningkatan produktivitas unit penangkapan. Nilai produksi relatif datar periode 1993-1997, meningkat di tahun 1998 dan melonjak tajam di tahun 2003 (Lampiran 14e). Nilai produksi tahun 1993 sebesar Rp 35.126.713.100,00, menurun menjadi Rp 23.137.596.000,00 pada tahun 1995. Tahun 1999 naik menjadi Rp 200.620.285.000,00. Nilai produksi menurun tahun 2000, dan meningkat kembali tahun 2003 menjadi Rp 407.217.814.000,00 atau naik sekitar 164%. Nilai produksi tahun 2006 mencapai Rp 455.858.040.000,00. Fluktuasi nilai produksi searah dengan fluktuasi produksi, dengan persentase lebih tinggi, atau dapat dikatakan terdapat perbaikan harga ikan di Jawa Timur.
95
4.10 Kabupaten Pacitan
4.10.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Pacitan 1) Kondisi geografi dan topografi Kabupaten Pacitan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Pacitan merupakan pintu gerbang bagian barat bagi Jawa Timur. Letak geografis pada 110o55’-111o25’ BT dan 7o55’-8o17’ LS. Batas sebelah timur Kabupaten Trenggalek, sebelah selatan Samudera Hindia, barat Kabupaten Wonogiri dan utara Ponorogo (Dislutkanpet Kabupaten Pacitan 2005). Luas wilayah 1.389.87 km2, topografi wilayah berupa pegunungan kapur selatan yang membujur dari Gunung Kidul ke Trenggalek menghadap Samudera Hindia. Kondisi topografis memiliki kemiringan cukup tinggi, yaitu sekitar 63% wilayah memiliki kemiringan lebih besar dari 40%. Topografi terdapat bentangan daratan, yaitu kawasan tepi pantai meliputi 4,36% dari luas wilayah, kawasan dataran 6,60%, dan kawasan cocok untuk tanaman tahunan 15-40%. Sekitar 25,17% dari luas wilayah, merupakan kawasan yang difungsikan sebagai penyangga tanah dan air serta untuk menjaga ekosistem. Ketinggian lokasi ratarata 7-25 m dpl 2,62% wilayah, 25-100 m dpl 2,67% wilayah, 100-500 m dpl 52,68%, serta 500-1000 m dpl dan diatas 1000 m dpl 5,59% wilayah.
2) Kondisi sosial dan ekonomi Wilayah administrasi terdiri atas 12 kecamatan, 5 kelurahan dan 159 desa. Luas wilayah 1.389,87 km2 atau 138.987 ha. Terdapat 7 Kecamatan pantai, yaitu Donorojo, Pringkuku, Pacitan, Kebonagung, Tulakan, Ngadirojo dan Sudimoro. Jumlah penduduk tahun 2003 sebesar 538.000 jiwa, kepadatan rata-rata 387 jiwa per km2 dan tingkat pertumbuhan 0,4% per tahun. Tahun 1999, PDRB sebesar 342.609.940.000,00, pendapatan per kapita Rp 639.440,49. Kontribusi PDRB dari sektor pertanian 39,5%, jasa 19,40%, hotel, perdagangan dan restoran 10,50%. Masyarakat Pacitan umumnya memiliki karakter yang religius, toleransi dan tenggang rasa yang sangat besar. Kehidupan bergotong royong, rukun, ramah tamah, menjunjung nilai-nilai agama, menghormati adat yang sudah turun menurun, jujur, berdisiplin, beretos kerja tinggi, dan berakhlak mulia.
96
4.10.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Pacitan 1) Unit penangkapan ikan Kapal/perahu di Pacitan terdiri atas perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal motor. Armada penangkapan periode 1994-2006 didominasi perahu motor tempel. Perahu tanpa motor semakin jarang digunakan, yaitu hanya berjumlah 31 unit pada tahun 2006 (Lampiran 15a). Perahu motor tempel meningkat dari 210 unit tahun 1994, menjadi 886 unit pada tahun 2006. Kapal motor dalam persentase yang kecil, yaitu hanya berjumlah 15 unit pada tahun 2006. Jumlah perahu/kapal berfluktuasi, yaitu dari 610 unit tahun 1994, menjadi 1.680 unit tahun 2003, namun menurun menjadi 932 unit tahun 2006. Penurunan terjadi terkait dengan jumlah perahu tanpa motor yang menurun dari 393 unit tahun 1994 menjadi menjadi 31 unit tahun 2006. Perahu motor tempel terus meningkat, yaitu dari 210 unit tahun 1994 menjadi 886 unit pada tahun 2006. Alat tangkap di Pacitan terdiri atas payang, parel, gillnet, pancing dan krendet (Lampiran 15b). Jumlah alat tangkap terus meningkat, yaitu dari 5.347 unit tahun 2001, menjadi 10.348 unit tahun 2006 atau naik sekitar 50% dalam waktu 6 tahun. Alat tangkap dominan periode 2001-2006 adalah pancing. Pancing berjumlah 1.323 unit tahun 2001, cenderung tetap yaitu menjadi 1.215 unit tahun 2006. Krendet digunakan untuk menangkap lobster, meningkat dari 910 unit tahun 2001 menjadi 5.615 unit tahun 2006, atau naik rata-rata 103% per tahun. Nelayan di Kabupaten Pacitan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah pemilik kapal, yang bertanggungjawab dalam permodalan. Nelayan buruh merupakan nelayan yang terlibat langsung dalam operasi penangkapan. Nelayan buruh sekitar 70-80 % dari total nelayan. Jumlah nelayan cenderung meningkat pada periode tahun 2000-2006, dengan peningkatan rata-rata sekitar 10% per tahun. Jumlah nelayan 2.157 orang pada tahun 1994, meningkat menjadi 4.086 orang pada tahun 2003. Tahun 2006 menurun menjadi 3.316 orang (Lampiran 15c).
2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan di Kabupaten Pacitan terutama jenis ikan yang berada di perairan pantai. Produksi dari kelompok pelagis yaitu tenggiri (Scomberomorus
97
commersoni), kembung (Rastrelliger sp.), selar (Caranx sp.), tigawaja (Otolithus sp.) dan ikan kuwe (Carangoides spp.). Kelompok demersal seperti cucut (Charcharinus sp.), kakap (Lates calcarifer), merah (Lutjanus sp.), bawal putih (Pampus argentus), layur (Trichiurus spp.), pari (Dasyatis sp.), dan ikan lidah (Cynoglossus biloineatus). Jenis udang yang banyak tertangkap adalah lobster (Panulirus spp.). Ikan karang banyak tertangkap jenis kerapu (Epinephelus sp.). Jumlah produksi ikan selama periode 1994-2006 berfluktuasi (Lampiran 15d). Peningkatan dan penurunan produksi tidak begitu besar, rata-rata sekitar 525% per tahun. Peningkatan cukup tinggi terjadi di tahun 1997, yaitu sekitar 38% dari tahun sebelumnya. Penurunan produksi cukup tinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu sekitar 28% dari tahun sebelumnya. Produksi berjumlah 2.365 ton tahun 1994, meningkat menjadi 2.462 ton tahun 1998. Pada tahun-tahun berikutnya produksi cenderung menurun, hingga menjadi 1.605 ton pada tahun 2006. Nilai produksi ikan berfluktuasi, searah dengan fluktuasi yang terjadi pada jumlah produksi (Lampiran 15e). Nilai produksi sebesar Rp 2.995.870.000,00 pada tahun 1994, menurun di tahun 1995, selanjutnya meningkat kembali hingga mencapai Rp 15.013.080.000,00 pada tahun 2000. Persentase peningkatan nilai produksi yang tinggi terjadi pada tahun 1998-1999 yaitu sekitar 70-80%, atau dapat diartikan terjadi peningkatan harga yang relatif tinggi pada periode tersebut. Hal ini terkait dengan jenis ikan yang merupakan komoditas ekspor yaitu lobster. Nilai produksi mencapai puncak tertinggi pada tahun 2000 yaitu Rp 15.013.080.000,00. Pada tahun-tahun berikutnya nilai produksi ikan cenderung menurun, hingga menjadi Rp 12.809.950.000,00 pada tahun 2006.
4.11 Kabupaten Trenggalek
4.11.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Trenggalek 1) Kondisi geografi dan topografi Kabupaten Trenggalek terletak pada 111°24’-112°11’ BT dan 7°53’-8°34’ LS.
Batas administratif sebelah utara dengan Kabupaten Tulungagung dan
Ponorogo, sebelah timur dengan Kabupaten Tulungagung, selatan Samudera Hindia dan sebelah barat dengan Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan.
98
Luas wilayah 1.205,22 km2 atau 120.522 ha. Topografi sebagian besar wilayah merupakan dataran tinggi dan sebagian kecil lainnya merupakan dataran rendah. Ketinggian sekitar 0-1.500 m dpl. Kemiringan tanah berkisar antara 15% sampai dengan 25%. Panjang pantai sekitar 96 km, sebagian besar berbentuk teluk yaitu Teluk Panggul, Teluk Munjungan dan Teluk Prigi. Sekitar sepertiga dari panjang pantai keseluruhan yaitu 96 km, berupa tebing dan batu karang. Teluk Prigi mempunyai tiga pantai yaitu Pantai Damas, Ngresep, dan Pantai Karanggongso. Perairan Prigi merupakan perairan teluk yang terlindung, dengan kedalaman rata-rata 9-35 m. Dasar laut lumpur bercampur pasir, sedikit berbatu karang, dengan kedalaman 15-61 m (Dislutkan Kabupaten Trenggalek 2004).
2) Kondisi sosial dan ekonomi Kabupaten Trenggalek secara administratif terdiri atas 14 kecamatan. Perkembangan ekonomi Trenggalek relatif lebih lambat dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur. Penduduk tahun 2004 berjumlah 675.994 jiwa, dengan pertumbuhan sekitar 0,7%. Penyebaran penduduk di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa relatif merata. Mobilitas penduduk rendah, kecuali sebagian angkatan kerja yang mencari pekerjaan keluar daerah. Penduduk Watulimo tahun 2003 berjumlah 61.038 jiwa (Dislutkan Kabupaten Trenggalek 2004). Sebagian besar masyarakat Kecamatan Watulimo bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Sepanjang pantai Teluk Prigi terutama Pantai Ngresep menjadi pusat kegiatan perikanan, dengan keberadaan PPN Prigi, Perum Prasarana Perikanan Samudera, dan Balai Benih Udang Galah. 4.11.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Trenggalek 1) Unit penangkapan ikan Kapal/perahu yang beroperasi di Kabupaten Trenggalek yaitu jenis perahu tanpa motor, motor tempel, dan kapal motor.
Jumlah perahu/kapal yang
beroperasi selama periode tahun 1994-2006 berfluktuasi, dengan kecenderungan meningkat (Lampiran 16a). Perahu/kapal berjumlah 1.253 unit pada tahun 1994, meningkat dengan peningkatan rata-rata sekitar 10% hingga berjumlah 1.306 pada tahun 1997.
Tahun 1998 dan 1999 jumlahnya menurun, namun meningkat
kembali pada tahun 2000 hingga mencapai 2.312 unit pada tahun 2006.
99
Armada penangkapan didominasi oleh jenis perahu motor tempel. Perahu tanpa motor secara berangsur-angsur digantikan oleh perahu motor tempel dan kapal motor. Perahu tanpa motor 628 unit tahun 1994, menurun menjadi 190 unit tahun 2006. Perahu motor tempel 537 unit pada tahun 1994, meningkat menjadi 1.212 pada tahun 2006. Seiring dengan peningkatan fasilitas di PPN Prigi, jumlah kapal motor yang beroperasi di Kabupaten Trenggalek semakin meningkat. Jumlah kapal motor meningkat dari 88 unit tahun 1994, menjadi 910 unit pada tahun 2006 atau meningkat sekitar 1.000% dalam waktu 10 tahun. Sebagian besar kapal/perahu yang ada di Kabupaten Trenggalek merupakan kapal/perahu yang beroperasi di PPN Prigi.
Jumlah kapal/perahu di PPN Prigi
periode 1999-2006 cenderung meningkat, namun dalam jumlah yang relatif kecil. Tahun 1999 berjumlah 690 unit, meningkat menjadi 1.107 unit tahun 2006 atau meningkat sekitar 60% dalam kurun waktu 7 tahun (Lampiran 17a). Jenis alat tangkap di Kabupaten Trenggalek meliputi pukat cincin (purse seine), gillnet, pukat pantai, bagan apung, jaring klitik, trammel net, pancing, payang dan longline.
Jumlah alat tangkap periode 1994-2006 cenderung
meningkat (Lampiran 16b), yaitu dari 1.182 unit tahun 1994, meningkat menjadi 4.934 pada tahun 2005, namun menurun menjadi 3.783 unit tahun 2006. Alat tangkap dominan adalah pancing dan jaring klitik. Jumlah pancing terus meningkat, yaitu dari 611 unit tahun 1994 menjadi 1.743 unit tahun 2006. Jaring klitik meningkat, dari 256 unit tahun 1994 menjadi 1.461 unit tahun 2006. Purse seine dari 72 unit tahun 1994, meningkat menjadi 120 unit tahun 2003, menurun menjadi 81 unit tahun 2006. Pukat pantai dan trammel net termasuk alat yang banyak digunakan, masing-masing berjumlah 81 dan 122 unit pada tahun 2006. Gillnet meningkat yaitu dari 35 unit pada tahun 1994, menjadi 251 unit tahun 2006. Longline sedikit digunakan, berjumlah 16 unit periode 1994-2001, berkurang menjadi 4 unit tahun 2003 dan tidak digunakan lagi pada tahun 2006. Sebagian besar alat tangkap yang ada di Kabupaten Trenggalek merupakan alat tangkap yang beroperasi di PPN Prigi. Alat tangkap yang beroperasi di PPN Prigi meliputi purse seine, jaring insang, payang, pukat pantai, pancing rawai, pancing ulur, pancing tonda, dan jaring klitik. Jumlah alat tangkap meningkat dari 705 unit tahun 1999, menjadi 1.757 unit tahun 2005 (Lampiran 17b).
100
Pancing ulur alat tangkap yang dominan, terus meningkat yaitu dari 450 unit tahun 1999 menjadi 1.298 unit tahun 2005 atau meningkat 188% selama periode 6 tahun. Pukat cincin terus meningkat, yaitu dari 96 unit tahun 1999 menjadi 240 unit tahun 2005. Pancing tonda mulai beroperasi di PPN Prigi pada tahun 2004 dengan jumlah 28 unit, meningkat hampir 50% menjadi 51 unit tahun 2005. Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Trenggalek periode 2002-2006 cenderung meningkat (Lampiran 16c). Nelayan berjumlah 5.771 orang pada tahun 2002, meningkat menjadi 8.573 orang pada tahun 2006. Sebagian besar jumlah nelayan yang ada di Trenggalek adalah nelayan yang beroperasi di PPN Prigi. Jumlah nelayan di PPN Prigi periode 1999-2000 cenderung meningkat. Jumlah nelayan pada tahun 2005, bertambah menjadi 6.235 orang atau meningkat sebesar 13% dibandingkan dengan jumlah nelayan tahun 2004 (Lampiran 17c). 2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan di Trenggalek meliputi beragam jenis ikan. Produksi utama dari kelompok pelagis yaitu tongkol (Euthynnus spp. dan Auxis spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri papan (Scomberomorus spp.), kembung (Rastrelliger sp.), teri (Stolephorus commersoni), selar (Caranx sp.), dan layang (Decapterus sp.). Kelompok demersal yaitu merah (Lutjanus sp.), bawal hitam (Formio niger), layur (Trichiurus spp.), dan pepetek (Leiognathus sp.). Produksi ikan periode tahun 1994-2006 cenderung meningkat (Lampiran 16d). Produksi tahun 1994 berjumlah 5.782 ton, menurun menjadi 1.129 ton tahun 1996. Pada tahun 2002 peningkatan produksi sangat tajam yaitu menjadi 57.472 ton dan terus meningkat menjadi 67.220 ton pada tahun 2003. Tahun 2004 produksi menurun secara signifikan yaitu menjadi 14.506 ton. Produksi ikan sebagian besar adalah dari PPN Prigi. Produksi PPN Prigi selama periode tahun 1999-2006 cenderung meningkat, terjadi penurunan pada tahun 2004 dan 2005 (Lampiran 17d). Produksi tahun 1999 berjumlah 13.340 ton, menurun pada tahun 2000.
Produksi meningkat kembali tahun 2002
berjumlah 57.293 ton. Penurunan produksi secara tajam terjadi pada tahun 2004 menjadi 17.794 ton atau menurun 62% dari tahun sebelumnya. Produksi ikan meningkat kembali menjadi 121.199 ton pada tahun 2006.
101
Nilai produksi selama periode 1994-2003 terus meningkat, dengan peningkatan tajam terjadi pada tahun 2002 (Lampiran 16e). Tahun 1994 sebesar Rp 1.716.083.000,00, terus meningkat mencapai Rp 121.198.950.000,00 pada tahun 2006. Peningkatan nilai produksi cukup tajam terjadi pada tahun 2002 yaitu menjadi Rp 120.692.250.000,00 atau meningkat 270% dari nilai produksi tahun 2001. Peningkatan nilai produksi yang sangat besar tersebut, dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan harga ikan yang sangat tinggi di tahun tersebut. Nilai produksi ikan di Trenggalek sebagian besar adalah dari PPN Prigi. Nilai produksi dari PPN Prigi selama periode tahun 1999-2006 cenderung meningkat, peningkatan tajam terjadi tahun 2002 (Lampiran 17e). Tahun 1999 berjumlah Rp 26.094.479.200,00, menurun menjadi Rp 14.353.566,00 pada tahun 2000. Nilai produksi meningkat tajam tahun 2002 menjadi Rp 53.836.786.000,00, atau meningkat 122% dari tahun sebelumnya. Tahun 2004 meningkat menjadi Rp 58.309.700.000,00, terus meningkat menjadi Rp 83.485.900.000,00 tahun 2006.
4.12 Kabupaten Malang
4.12.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Malang 1) Kondisi geografi dan topografi Kabupaten Malang secara geografis terletak pada 112°17’10,90”122°57’00” BT dan 7°44’55,11”- 8°26’35,54” LS. Batas administratif sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo, utara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Jombang, serta sebelah barat dengan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri. Luas wilayah 4.576 km2, sebagian besar wilayah berupa pegunungan. Kondisi topografis bagian selatan berupa pegunungan kapur dengan ketinggian 0500 m dpl, meliputi Ampelgading, Tirtoyudo, Sumbermanjing Wetan, Pagak, Gedangan, Bantur, Donomulyo dan Kalipare. Dataran tinggi berupa pegunungan berada di Malang Selatan, Malang Timur yaitu Pegunungan Tengger dan Semeru, barat Pegunungan Arjuno, Anjasmoro, Kelud dan Panderman. Daerah dataran tinggi pada ketinggian antara 500–3600 m dpl, terdapat di Malang Selatan, lereng Tengger dan Semeru, serta disekitar Gunung Kawi dan Gunung Arjuno.
102
2) Kondisi sosial dan ekonomi Secara administratif Kabupaten Malang meliputi 33 kecamatan, 377 desa dan 12 kelurahan. Kabupaten Malang adalah kabupaten terluas di Jawa Timur sesudah
Banyuwangi.
Perkembangan
perekonomian
relatif
lebih
cepat
dibandingkan kabupaten lainnya di Jawa Timur. Perekonomian ditopang oleh sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman sayur dan buah-buahan. Sektor berikutnya adalah perdagangan, pariwisata dan jasa. Perikanan merupakan mata pencaharian pokok penduduk di pesisir selatan, khususnya di PPI Sendangbiru, PPI Licin dan PPI Sipelot. Jumlah penduduk pada tahun 2002 sebanyak 2.245.870 jiwa, terdiri atas 1.110.302 laki-laki, 1.135.568 perempuan. Kepadatan penduduk mencapai 97,78 jiwa per km2. Jumlah penduduk di Kecamatan Sumbermanjing wetan 90.038 jiwa, terdiri atas 44.607 laki-laki dan 45.433 perempuan (www@ malang. go.id).
4.12.2 Kegiatan Perikanan Kabupaten Malang 1) Unit penangkapan ikan Kapal/perahu di Kabupaten Malang dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu kapal motor, perahu motor tempel, perahu tanpa motor. Jumlah armada periode 1994-2006 didominasi oleh jenis perahu tanpa motor (Lampiran 18a). Jumlah kapal/perahu meningkat, yaitu pada tahun 1994 berjumlah 332 unit menjadi 937 unit pada tahun 2006. Jumlah perahu motor tempel terus meningkat, dari 57 unit tahun 1994 menjadi 223 unit tahun 2006. Kapal motor mulai meningkat tahun 2000, pada tahun 2006 berjumlah 344 unit. Peningkatan jumlah kapal motor, terutama adalah perkembangan kapal tonda di PPP Pondokdadap, seiring dengan upaya pemerintah Kabupaten Malang untuk mengembangkan sektor perikanan. Alat tangkap meliputi pancing, jaring, gillnet, payang, tonda, rawai dan purse seine. Jumlah alat tangkap periode tahun 1994-2006 meningkat (Lampiran 18b). Peningkatan jumlah alat tangkap cukup signifikan yaitu pada tahun 2003 yang berjumlah 2.369 unit dari jumlah 979 unit pada tahun 2002 atau meningkat 142%. Jumlah alat tangkap menurun menjadi 1.892 unit pada tahun 2006. Jenis alat tangkap dominan adalah pancing, jaring, gillnet, payang, jaring dan alat lainnya. Pancing tonda mulai dioperasikan di Malang pada tahun 2004, terus
103
meningkat menjadi 1.570 unit pada tahun 2006.
Saat ini pancing tonda
merupakan alat tangkap yang paling produktif terutama untuk penangkapan tuna dan cakalang dengan rumpon laut dalam di PPP Pondokdadap. Jumlah nelayan pada periode 1996-2006 berfluktuasi, cenderung meningkat (Lampiran 18c). Nelayan tahun 1994 berjumlah 1.583 orang, berfluktuasi naik turun sekitar 10-20%. Periode 2001-2005 jumlah nelayan meningkat, menjadi 2.009 orang pada tahun 2005 dan menurun menjadi 1.597 pada tahun 2006.
2) Produksi dan nilai produksi Produksi ikan di Kabupaten Malang terutama dari jenis ikan pelagis dan demersal. Produksi utama dari kelompok ikan pelagis diantaranya yaitu ikan tuna (Thunnnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), layang (Decapterus sp.), selar (Caranx sp.), teri (Stolephorus sp.) dan tigawaja (Otolithus sp.). Kelompok ikan demersal seperti cucut (Charcharinus sp.), ikan merah (Lutjanus sp.), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), layur (Trichiurus spp.), dan ikan pari (Dasyatis sp.). Produksi ikan selama periode 1994-2006 berfluktuasi (Lampiran 18d). Produksi tahun 1995 menurun 64% dari tahun 1994 yang berjumlah 2.999 ton. Produksi tahun 1996 naik 184%, menjadi 3.052 ton. Tahun 1997-2000 produksi cenderung menurun, dengan penurunan tertinggi terjadi pada tahun tahun 1999 sebesar 50% dari tahun sebelumnya. Produksi tahun 2001 meningkat tajam yaitu sekitar 294% dari tahun sebelumnya, menjadi 3.261 ton. Produksi tahun 20022003 terus meningkat. Produksi meningkat cukup tajam tahun 2003 sekitar 100% dari produksi tahun sebelumnya. Produksi pada tahun 2006 berjumlah 7.879 ton. Searah dengan produksi, nilai produksi berfluktuasi, dengan fluktuasi yang rendah pada periode 1994-2000 dan meningkat tajam tahun 2001-2006 (Lampiran 18e). Nilai produksi berjumlah Rp 2.079.932.000,00 pada tahun 1994, menurun menjadi Rp 1.859.490.000,00 tahun 1995 atau turun sekitar 11%. Nilai produksi naik kembali pada tahun 1996 sebesar 70% menjadi Rp 3.172.180.000,00. Tahun 2001-2006 nilai produksi cenderung meningkat, hingga pada tahun 2006 menjadi Rp 59.848.800.000,00. Peningkatan nilai produksi cukup tinggi terjadi pada tahun 2002 dan 2003 yaitu sekitar 74% per tahun.
5 KONDISI SISTEM PERIKANAN TANGKAP
5.1 Subsistem Usaha Perikanan Tangkap Kegiatan usaha perikanan tangkap di Perairan Selatan Jawa meliputi berbagai skala usaha, baik skala kecil, menengah maupun besar. Usaha skala kecil merupakan usaha yang dominan dilakukan nelayan. Usaha skala kecil pada umumnya menggunakan perahu motor tempel (out board engine), terbuat dari bahan fiberglass ukuran 1-2 GT. Perahu bersifat multipurpose, dilengkapi beberapa alat tangkap yang dapat digunakan sesuai dengan musimnya.
Alat
tangkap dominan adalah pancing, jaring insang monofilament, dan pukat kantong. Tujuan utama penangkapan adalah ikan pelagis kecil, demersal dan udang, dengan fishing ground terbatas di sepanjang perairan pantai. Perikanan skala menengah, terutama adalah perikanan gillnet multifilament, rawai dan purse seine. Perikanan gillnet multifilament menggunakan kapal motor 5-30 GT, mesin 60-160 PK. Ikan tujuan tangkap adalah ikan pelagis besar, seperti tongkol dan cakalang. Rawai terutama untuk menangkap ikan cucut, banyak dioperasikan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Perikanan purse seine beroperasi di PPN Prigi, tujuan utama penangkapan adalah ikan pelagis kecil. Hasil tangkapan terutama adalah untuk diolah dalam bentuk tepung ikan. Purse seine dalam bentuk mini purse seine digunakan oleh nelayan di PPI Cilautereun. Perikanan skala besar khususnya perikanan tuna longline, menggunakan kapal motor >30 GT, mesin 250-400 PK. Perikanan tuna longline memanfaatkan sumberdaya tuna di Perairan Lepas Pantai dan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Tujuan utama hasil tangkapan adalah tuna kualitas ekspor.
5.1.1 Perikanan Tuna Longline 1) Deskripsi umum Tujuan utama penangkapan tuna longline adalah jenis tuna yang berada di perairan samudera atau perairan laut yang dalam, yaitu pada kedalaman sekitar 50 m sampai 300 m. Perikanan tuna longline menggunakan kapal 30 -150 GT, mesin utama berkekuatan 250-400 PK ditambah 1 atau 2 mesin tambahan. Aktivitas usaha perikanan tuna longline berada di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu.
105
Tujuan utama penangkapan adalah sumberdaya tuna yang tercakup dalam kelompok tuna besar, diantaranya yaitu southern bluefin atau tuna sirip biru selatan (Thunnus thynnus maccoyii), bigeye atau tuna mata besar (Thunnus obesus), yellowfin atau madidihang (Thunnus albacares) dan albacore (Thunnus alalunga). Tertangkap juga beberapa jenis ikan non tuna bernilai ekonomis tinggi seperti swordfish atau ikan pedang (Xiphias gladius), marlin atau ikan setuhuk (Makaira sp.) dan sailfish atau ikan layaran (Istiophorus orientalis). Hasil tangkapan terutama untuk tujuan ekspor. Pasar ekspor utama adalah Jepang, dengan produk tuna segar (fresh tuna), sebagai bahan sushi dan sashimi. Tuna untuk bahan sushi dan sashimi menetapkan syarat kualitas yang tinggi.
2) Deskripsi unit penangkapan ikan Kapal longline berbentuk panjang dan ramping, dengan tujuan agar kapal dapat lincah atau mudah berolah gerak. Kapal umumnya terbuat dari material kayu, ada juga yang terbuat dari fiberglass. Bentuk dasar kapal berbentuk “V” bottom, kapal memiliki kemampuan yang besar untuk membelah gelombang dan daya perlawanan air terhadap kapal lebih kecil. Kelincahan kapal longline sangat ditentukan oleh ukuran-ukuran utamanya, yaitu panjang (L), lebar (B), dalam (D) dan nilai perbandingan L/B, L/D dan B/D (Ayodhyoa, 1981). Spesifikasi kapal tuna longline di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Spesifikasi kapal tuna longline di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu No. 1
Spesifikasi
Keterangan
Dimensi utama - Panjang kapal
21,02 – 26,42 m
- Lebar kapal
5,10 – 7,24 m
- Dalam kapal
1,30 – 3,27 m
- Draft kapal
0,90 – 2,90 m
2
Tonnage (GT)
33 - 137 GT
3
Material konstruksi
Kayu
4
Tahun pembuatan
1996 - 2004
5
Mesin utama
250 – 400 PK
6
Kapasitas palkah
8 - 40 ton
Sumber: Hasil survei di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, 2006
106
Konstruksi alat longline terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), pancing (hook), tali pelampung (floating line), pelampung (float), lampu-lampu pelampung (floating lights), bendera (flag) dan tiang bamboo (pole) (Tabel 6). Alat tangkap longline tersusun dalam basket, satu basket terdiri atas 413 pancing. Setiap kali operasi menggunakan sekitar 200-400 basket, atau sekitar 1000-2000 pancing. Panjang longline dapat mencapai 100 km. Tabel 6 Spesifikasi alat tangkap tuna longline No.
Nama Bagian
Bahan
1 2
Diameter/No. (mm, No) Ø 5,5
Main line vinylon Branch line - eye rope Vinylon Ø - branch line vinylon Ø - swivel kuningan no. - kanamaya vinylon Ø - sekiyama vinylon Ø - wire leader kawat baja Ø - hook baja no. - snap kawat baja Ø 3 Float line vinylon Ø 4 Bouy plastik Ø Sumber: Hasil survei di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, 2006
4,6 4,6 22 3,6 3,6 1,5 5 4 5,5 600
Panjang (m) 50 - 70 0,2 17 - 20 0,06 12 2,5 2,5 0,065 0,13 3,5 -
Jumlah ABK pada kapal longline berkisar antara 10 sampai dengan 15 orang.
Tugas dan pembagian kerja di kapal longline yaitu 1 orang sebagai
nakhoda, 1 orang wakil nakhoda, 1 orang bertanggungjawab dalam operasi penangkapan ikan, 1 orang bertanggungjawab dalam penanganan ikan, 1 orang juru masak dan ABK lainnya bertugas dalam operasi penangkapan ikan.
3) Kegiatan operasi penangkapan ikan Umpan merupakan faktor penting bagi perikanan longline. Jenis umpan yang umum digunakan yaitu ikan layang, kembung, bandeng, lemuru, ikan terbang, belanak dan cumi-cumi. Ikan umpan yang digunakan merupakan ikan mati yang telah dibekukan.
Umpan yang digunakan mempunyai persyaratan
khusus yaitu dalam keadaan segar, struktur tubuh tahan dalam penangkapan, warna kulit terang dan mengkilat, bau cukup tajam, ukuran sesuai (panjang 15-25 cm dan lebar 4-5 cm), penampakan baik, umpan agak lemas dan kelihatan seolaholah hidup jika berada di dalam air, harga murah dan tersedia sepanjang tahun.
107
Kegiatan operasi penangkapan ikan meliputi tiga tahap yaitu setting, drifting, dan hauling.
Sebelum setting, terlebih dahulu dilakukan persiapan-
persiapan yang meliputi penyiapan umpan, branch line, radio buoy, pelampung dan light buoy serta penyambungan main line pada line thrower. Setting dimulai pada pagi hari sekitar pukul 04.00 sampai pukul 09.00 WIB. Setting dilakukan di bagian buritan kapal. Biasanya ABK yang bertugas melakukan setting dibagi dalam kelompok, berjumlah 7 orang yang bertugas secara bergantian. Setting dimulai setelah Fishing Master memberi perintah agar setting segera dilaksanakan. Radio buoy pertama dibuang disusul dengan 2 pelampung, line thrower dihidupkan, pancing dilempar dan snap branch line dipasang pada main line setiap kali bel berbunyi. Pada bel ke 14 atau ke 7 (sesuai dengan konstruksi longline), dipasang snap tali pelampung dan pelampungnya. Begitu seterusnya sampai pembuangan radio buoy terakhir. Pada bel ke 8 atau 15, diberi lempengan seng berscotlight dan setiap 30 pelampung dipasang 1 light buoy (atau disesuaikan dengan konstruksi longline yang digunakan). Penggunaan scotlight dan light buoy adalah agar longline dapat terlihat pada malam hari. Drifting berlangsung sekitar 5 jam, longline dibiarkan hanyut. Pada saat drifting, mesin kapal dimatikan untuk menghemat BBM dan ABK dapat beristirahat. Sekitar pukul 14.00 WIB, kapal mulai mendeteksi radio buoy yang ada di longline. Lokasi radio buoy dapat dideteksi dari kapal dengan Radio Detection Finder (RDF). Setelah diketemukan, kapal menuju ke tempat radio buoy terdeteksi. Persiapan hauling dilakukan, setiap ABK mulai mempersiapkan diri dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan untuk melakukan hauling. Hauling dimulai sekitar pukul 14.00 WIB. Penarikan longline saat hauling dibantu dengan line hauler. Saat hauling mulai dilakukan, kapal bergerak mendekati radio buoy dan selanjutnya menaikkan radio buoy ke kapal. Main line dilewatkan line hauler melalui side roller, diteruskan ke belt conveyor, ditarik line arranger dan diatur ke dalam boks. Snap branch line dilepas, digulung dengan bran leel sampai kanayama, disusun 12 atau 13 branch line (sesuai konstruksi longline) dan 1 tali pelampung diikat dibawa ke gudang di buritan kapal. Jika ada ikan yang tertangkap, snap segera dilepaskan, ikan ditarik dan dibawa ke pintu pagar, lalu ikan diganco ke geladak kapal untuk segera dilakukan penanganan.
108
4) Penanganan dan pengolahan ikan Perikanan tuna adalah perikanan industri, kualitas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini terkait dengan tujuan utama perikanan tuna adalah pasar ekspor. Pasar ekspor, khususnya Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa mensyaratkan kualitas tinggi untuk produk yang masuk ke negaranya. Penanganan tuna perlu dilakukan secara hati-hati dan diperlukan fasilitas khusus. Penyimpanan ikan tuna dalam palkah dilakukan dengan menggunakan teknik chilling water. Sebelum dimasukkan ke dalam palkah, ikan dibungkus kantung plastik dan dimasukkan ke dalam boks berisi satu atau dua ekor tuna. Pembongkaran ikan di pelabuhan perlu dilakukan dengan hati-hati, dengan tetap menjaga kualitas ikan. Pembongkaran sedapat mungkin menghindarkan ikan dari terpaan sinar matahari. Kondisi suhu tubuh ikan dijaga agar tidak naik, dengan menyemprotkan air ke tubuhnya. Satu prinsip penanganan yang perlu diperhatikan, ikan harus dijaga tetap dalam kondisi dingin dengan suhu <4,4 oC. Sistem mutu produk perikanan di Indonesia diatur dalam UU 31/2004 tentang Perikanan. Penerapan sistem mutu telah diatur dalam Kepmen Pertanian 41/Kpts/IK 1210/1998, yang diubah menjadi Kepmen Kelautan dan Perikanan 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Penegasan sistem mutu produk perikanan tertera dalam UU Perikanan 31/2004 Bab IV tentang Pengelolaan Perikanan yaitu pada Pasal 20. Sistem mutu yang digunakan untuk produk perikanan adalah sistem manajemen mutu HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points).
5) Distribusi dan pemasaran Produksi tuna Indonesia sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor. Tujuan utama ekpor produk tuna adalah pasar Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pasar Jepang khusus untuk produk tuna segar dan tuna beku sashimi. Pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk produk-produk olahan tuna, dapat juga untuk tuna segar dengan kualitas di bawah sashimi. Menurut Riyadi (2006), dalam perdagangan ekspor penting untuk diperhatikan adalah resiko-resiko yang mungkin akan dialami, diantaranya mencakup (1) country risk, (2) sovereignity, (3) trading risk, (4) transportation
109
risk, dan (5) foreign exchange risk. Country risk adalah resiko yang berkaitan dengan kondisi negara, seperti kebijakan politik pemerintah, terjadinya perang, kerusuhan dan lain sebagainya. Sovereignity merupakan resiko yang berkaitan dengan aturan yang berlaku di negara tujuan ekspor, seperti penentuan tarif. Trading risk adalah resiko berkaitan dengan transaksi atau pembayaran ekspor. Pembayaran ekspor yang bisa meminimalkan resiko, adalah melalui documentary credit atau letter of credit (L/C). Transportation risk berkaitan dengan resiko pengiriman barang seperti kapal tenggelam atau gangguan lainnya, untuk itu perlu perlindungan asuransi. Ada tiga cara yang dapat dilakukan yaitu free on board (FOB), eksportir hanya mengirim barang sampai di pelabuhan ekspor dan biaya asuransi ditanggung importir. Cost and freight (CNF), eksportir mengirim barang sampai pelabuhan tujuan dan biaya asuransi ditanggung eksportir. Cost insurance and freight (CIF), semua biaya
ditanggung importir. Foreign exchange risk
adalah resiko berkaitan deengan pertukaran nilai mata uang asing. Pasar ekspor terbuka, namun demikian untuk memulai kegiatan ekspor, perusahaan harus aktif mencari pasar baik langsung di negara tujuan atau melalui perusahaan eksportir.
Dokumen ekspor yang diperlukan diantaranya yaitu (1)
kontrak jual beli (sales contract), (2) invoice, (3) packing list, (4) pemberitahuan ekspor barang (PEB), (5) letter of credit (L/C), (6) laporan pemeriksaan ekpor (LPE), (7) bill of lading (B/L) atau air way bill, (8) surat keterangan asal (SKA), (9) surat pernyataan mutu (SPM) dan (10) sertifikat mutu (Retno 2006).
5.1.2
Perikanan Pancing Tonda
1) Deskripsi umum Tujuan utama perikanan pancing tonda (troll line) adalah ikan tuna (Thunnus spp.) dan ikan tongkol (Auxis sp. dan Euthynus sp.). Jenis tuna yang tertangkap dengan pancing tonda, umumnya masih berukuran kecil (baby tuna). Selain itu tertangkap juga ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus commersoni) dan madidihang (Thunnus albacares). Pancing tonda mulai dikembangkan untuk menangkap tuna dan cakalang di Perairan Selatan Jawa, pada beberapa tahun terakhir. Pancing tonda dioperasikan nelayan di PPP Pondokdadap, PPI Sadeng, PPN Prigi dan PPN Palabuhanratu.
110
Pada umumnya pancing tonda dioperasikan di sekitar rumpon. Rumpon termasuk salah satu alat pengumpul ikan (fish aggregating device) yang dipakai secara luas di Indonesia. Keistimewaan alat ini adalah mampu mengumpulkan ikan supaya terkonsentrasi ke suatu daerah penangkapan, sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Rumpon terbuat dari daun kelapa. Rumpon dimasukkan kedalam perairan, untuk menarik ikan berteduh, mencari makan, atau bertelur. Berdasarkan lokasi pengoperasiannya, ada dua jenis rumpon yaitu (1) rumpon laut dangkal untuk menangkap ikan pelagis kecil, dan (2) rumpun laut dalam untuk menangkap ikan pelagis besar.
2) Deskripsi unit penangkapan ikan Konstruksi kapal tonda terbuat dari kayu. Ruang kemudi terletak di bagian buritan, ruang mesin berada di bagian tengah, di bagian atas ruang kemudi terdapat ruang ABK, palkah ikan terletak di bagian haluan. Kapal pancing tonda berukuran sekitar 3-10 GT, terbuat dari kayu jati (Tectona grandis) dan kayu ulin (Eusiderrixylon spp). Dimensi kapal adalah panjang (LOA) 10,75-12 m, lebar (B) 2,85-3,5 m, dalam (D) 1-1,5 m. Kapal tonda menggunakan mesin dalam (inboard engine), berkekuatan sekitar 20-40 PK. Berbagai merek mesin biasa digunakan nelayan seperti mesin Kubota atau mesin Yanmar. Satu kapal tonda akan menarik 4 tali pancing di sisi kanan kapal, 4 di sisi kiri dan dua di belakang. Tabel 7 Spesifikasi alat penangkapan ikan pancing tonda No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama Bagian Gulungan Tali utama Kili-kili (Swivel) Tali cabang Dudukan Umpan Pancing
Bahan Kayu Benang monofilament Stainless Steel) Benang monofilament Plastik Plastik, kayu stainless steel Baja
Ukuran 22 cm x 12 cm x 1,5 cm PA no.400-800 (12 m) Tipe siku (3,5 m ) PA no. 200-500 (panjang 4 m) Diameter 0,1 cm 5-15 m 10 cm
Sumber : Hasil survey di PPP Pondokdadap, PPN Prigi dan PPN Palabuhanratu, 2006
111
Konstruksi alat terdiri atas tali utama, tali anak, pancing (hook), pelampung (float), pemberat dan umpan buatan. Pancing tonda dioperasikan menggunakan umpan dari plastik berbentuk rumbai-rumbai, dengan satu warna atau kombinasi beberapa warna. Umpan juga dapat berupa bulu ayam. Ukuran umpan tergantung ukuran mata pancing, pancing ukuran 10 menggunakan ukuran umpan 2,5 cm; pancing ukuran 9 umpan 6,5 cm, pancing ukuran 5-7 umpan ukuran 10,5 cm. Spesifikasi alat tangkap pancing tonda seperti pada Tabel 7. Rumpon terbuat dari pelampung dari besi, rope dari nylon multifilament, atraktor dari daun kelapa. Pelampung berbentuk tabung diameter 80-100 cm dan tinggi 200-250 m. Tali terbuat dari nylon multifilament berdiameter 2,5 cm. Pemberat terbuat dari cor semen berjumlah 3-4 buah. Rumpon diletakkan sejauh 50-200 mil dari pantai, pada kedalaman 50-100 m. Jumlah ABK pada kapal tonda berkisar antara 4 sampai 6 orang. Terdiri atas satu orang nakhoda yang merangkap sebagai fishing master, 1 KKM, dan 2-4 orang ABK lainnya bertugas dalam operasi penangkapan ikan. Nakhoda bertanggungjawab penuh atas keberhasilan operasi penangkapan ikan.
3) Kegiatan operasi penangkapan ikan Pengoperasian tonda dimulai dengan pencarian fishing ground. Perjalanan dari fishing base ke fishing ground berlangsung sekitar 12-24 jam tergantung pada jauh dekatnya letak rumpon dipasang. Sebelum pemancingan dimulai, nelayan menebarkan umpan hidup berupa ikan rucah ke perairan agar ikan tuna mengumpul dan naik ke permukaan. Pemancingan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara pertama adalah metode handline. Pemancingan dimulai dengan pemasangan umpan pada kail, kemudian tali pancing diturunkan ke perairan. Nelayan menunggu sampai umpan dimakan, setelah itu pancing ditarik perlahan ke permukaan. Metode berikutnya disebut trolling. Pada metode ini, umpan dipasang kuat di kail sebelum pancing diturunkan ke perairan. Pancing ditarik disekitar rumpon. Benang pancing ada yang dipegang nelayan, ada juga yang diikatkan pada kayu-kayu di bagian buritan kapal. Satu kapal dapat mengoperasikan 8 pancing. Metode lain adalah dengan menggunakan alat bantu berupa layang-layang.
Pancing yang sudah diberi
112
umpan, diikatkan dibagian ekor layang-layang. Layang-layang diterbangkan di atas kapal. Ketinggian layang-layang diatur sehingga umpan bisa secara tepat di area renang ikan. Layang-layang diatur supaya bergerak naik turun. Gerakan naik turun umpan tersebut sangat menarik perhatian tuna untuk memakannya.
4) Penanganan dan pengolahan ikan Perikanan pancing tonda telah melakukan upaya penanganan ikan di atas kapal dengan baik. Kapal dilengkapi dengan palkah yang terbuat dari fiberglass. Dalam melakukan operasi penangkapan ikan, palkah-palkah yang tersedia di kapal akan diisi dengan es untuk persiapan penyimpanan ikan. Penanganan di atas kapal, diawali dengan melepaskan ikan yang terjerat pada mata jaring. Ikan dibersihkan dari sampah atau kotoran yang melekat dan dicuci dengan air laut. Ikan disortir menurut jenis dan ukuran ikan, kemudian dimasukkan ke dalam palkah, diberi es curah sesuai jumlah ikan yang ditangkap. Proses penanganan secara khusus di PPP Pondokdadap, dilakukan untuk ikan tuna berukuran > 20 kg dan berkualitas baik. Penanganan yang dilakukan adalah pemotongan kepala, ekor, insang dan pengeluaran isi perut.
Ikan
selanjutnya dimasukkan ke dalam boks yang dicampur dengan es curah untuk siap dikirim ke perusahaan ekspor tuna di Bali.
Hasil tangkapan lainnya yang
berkualitas baik akan dikirim ke perusahaan pengolahan tuna beku dan pengalengan tuna yang ada di Surabaya, Muncar Banyuwangi dan Bali.
5) Distribusi dan pemasaran Hasil tangkapan tonda terutama adalah ikan tuna berukuran kecil (baby tuna), tongkol dan cakalang. Baby tuna tidak memenuhi kualitas ekspor dalam bentuk segar. Ikan tuna pada umumnya akan didistribusikan ke industri-industri pengolahan tuna, yang akan diolah dalam bentuk tuna beku dan tuna kaleng. Tuna hasil tangkapan pancing tonda dari PPP Pondokdadap, PPN Prigi dan PPI Sadeng didistribusikan ke industri pengolahan tuna, diantaranya yaitu PT Aneka Tuna di Pandaan (Surabaya), Avila Prima dan Maya (Muncar, Banyuwangi). Hasil tangkapan tonda dari PPN Palabuhanratu dipasarkan ke Bandung dan dikirim ke industri pengolahan tuna yang ada di Jakarta.
113
5.1.3 Perikanan Gillnet Multifilament 1) Deskripsi umum Gillnet umum digunakan oleh nelayan di Perairan Pantai Selatan Jawa. Gillnet multifilament berukuran besar, banyak dioperasikan oleh nelayan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Jenis ikan tujuan tangkap dari gillnet nylon multifilament adalah ikan pelagis, diantaranya yaitu tongkol dari genus Auxis maupun Euthynnus, tenggiri (Scomberomorus commersonii), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan lemadang (Coryphaena hippurus). Gillnet dapat juga menangkap berbagai jenis ikan tuna. Gillnet terbuat dari bahan jaring empat persegi panjang, mempunyai mata jaring (mesh size) bervariasi tergantung pada jenis ikan tujuan tangkap. Ukuran mata jaring sama pada seluruh tubuh jaring (webbing), dengan tinggi jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjang jaring. Tinggi jaring disesuaikan dengan jenis atau densitas ikan, sementara jumlah piece jaring yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan kapal. Gillnet atau dikenal sebagai jaring insang, hal ini disebabkan prinsip penangkapannnya adalah dengan membelit insang ikan.
2) Deskripsi unit penangkapan ikan Ukuran kapal yang digunakan tergantung pada besar kecilnya skala usaha, umumnya sekitar 5-40 GT, beroperasi pada perairan 4-12 mil dari garis pantai. Kapal berdimensi panjang (LOA) 12-16 m, lebar (B) 2,7-3,2 m, dan dalam (D) 1,8-2,2 m. Kapal umumnya dilengkapi palkah untuk tempat penyimpanan ikan. Ruangan palkah terletak dibawah lantai dek kapal dengan panjang 1,5-2 m, lebar 1 m, dan dalam 1-1,5 m. Kapal terbuat dari kayu, yaitu kayu bungur (Lagerstoemia speciosa), dan kayu laban (Vitex pubescens). Kapal dilengkapi mesin dalam (inboard engine), kekuatan mesin bervariasi anatar 22-160 PK sesuai dengan ukuran kapal yang digunakan. Bahan bakar yang digunakan adalah solar. Konstruksi alat tangkap gillnet secara garis besar terdiri atas badan jaring (webbing) yang berbentuk empat persegi panjang, pelampung tanda, pemberat, tali ris atas, tali ris bawah dan tali selambar. Badan jaring terbuat dari bahan nylon multifilament. Pada umumnya jaring gillnet yang terbuat dari multifilament adalah dari bahan PA 210 D 15, ukuran mesh size 4,5-5 inchi. Panjang jaring
114
setiap piece 45 m, lebar atau dalam 24 m. Jaring dilengkapi dengan tali ris pada bagian atas untuk mengikatkan pelampung (float) dan tali ris pada bagian bawah untuk mengikatkan pemberat (sinker). Fungsi pelampung dan pemberat adalah agar tubuh jaring dapat terapung dan terentang secara vertikal. Setiap kali operasi menggunakan 40-60 piece, sehinggga panjang jaring mencapai 1800- 2700 m. Nelayan gillnet
berjumlah 5-12 orang. Pendapatan nelayan diperoleh
melalui bagi hasil, yaitu hasil kotor dikurangi 25% untuk biaya operasi, 19% perbaikan jaring, 6% upah nakhoda. Sisanya 40% untuk buruh dan 60% pemilik.
3) Kegiatan operasi penangkapan ikan Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan usaha perikanan, diharuskan memiliki Surat Izin Kepemilikan Perahu (SIKP) dan surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan setempat. Pemilik kapal juga diharuskan memiliki surat izin berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar. Surat Izin harus diperbaharui setiap tahunnya oleh pemilik kapal. Kapal berangkat dari fishing base pukul 16.00 WIB, dengan lama trip berkisar antara 7-15 hari. Waktu yang diperlukan menuju fishing ground sekitar 1-6 jam, bergantung jarak yang ditempuh. Fishing ground nelayan gillnet Palabuhanratu antara lain berada di Ujung Genteng, Cisolok, Jampang dan Deli. Fishing ground nelayan gillnet Cilacap meliputi Perairan Selatan Jawa Tengah, Selatan Gunung Kidul dan Perairan Pangandaran. Metode operasi meliputi setting, drifting, dan (hauling). Setting dilakukan sekitar pukul 18.00 WIB berlangsung sekitar 1-2 jam, berakhir sekitar pukul 20.00 WIB. Setting dimulai dengan penurunan pelampung tanda, penurunan badan jaring sampai pada penurunan pelampung tanda yang terakhir. Jaring akan terentang dengan mengikuti arah arus atau angin, dibiarkan hanyut (drifting) 5-10 jam. Hauling dilakukan pagi hari sekitar pukul 04.00 WIB, berlangsung sekitar 23 jam. Penarikan jaring dilakukan piece demi piece, dari bagian jaring yang terdekat dengan kapal. Jumlah hasil tangkapan per trip, akan tergantung pada musim. Pada saat musim puncak hasil tangkapan bisa mencapai 5 ton, saat musim peralihan berkisar antara 2-3 ton dan pada saat musim panceklik sekitar 5 kwintal-1 ton.
115
4) Penanganan dan pengolahan ikan Penanganan ikan diawali dengan melepaskan ikan yang terjerat pada mata jaring.
Ikan dibersihkan dari sampah atau kotoran yang melekat dan dicuci
dengan air laut. Ikan disortir menurut jenis dan ukuran ikan, selanjutnya ikan dimasukkan kedalam palkah yang diberi es curah sesuai dengan banyaknya ikan. Hasil tangkapan disimpan dalam palkah, jika hasil tangkapan melimpah dapat disimpan ke dalam blong (drum plastik) yang diletakkan di geladak kapal. Kualitas hasil tangkapan tergolong baik, hasil tangkapan dibersihkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam palkah. Penyimpanan di dalam palkah atau blong dilakukan menggunakan es curah, sehingga kualitas ikan masih baik. Ikan dipasarkan dalam kondisi segar atau olahan. Ikan yang masih dalam kondisi baik, akan djual dalam bentuk segar. Ikan yang sudah dalam kualitas jelek, akan dilakukan pengolahan dalam bentuk ikan pindang atau ikan asin.
5) Distribusi dan pemasaran Hasil tangkapan gillnet multifilament masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Hasil tangkapan dibatasi oleh mutu ikan yang tidak memenuhi standar ekspor. Tujuan pemasaran dapat berupa pasar lokal yaitu penduduk di sekitar pelabuhan, maupun untuk pemasaran keluar daerah. Peluang ekspor hasil tangkapan terbuka untuk jenis ikan cakalang, namun karena mutunya kurang baik saat ini cakalang dari hasil tangkapan gillnet belum diekspor. Hasil tangkapan gillnet dari PPN Palabuhanratu, dipasarkan untuk konsumsi lokal penduduk Palabuhanratu dan daerah sekitarnya. Pemasaran keluar daerah meliputi Jakarta, Bandung dan Bogor. Pemasaran keluar daerah dalam bentuk segar, khususnya untuk ikan pelagis besar seperti tongkol, tenggiri dan cakalang. Pemasaran dalam bentuk olahan seperti pindang dan asin. Distribusi melalui angkutan darat, diantaranya menggunakan truk, mobil bak terbuka dan mobil box.
5.1.4 Usaha Perikanan Payang 1) Deskripsi umum Payang termasuk dalam kelas surroundingnet, dengan tujuan utama penangkapan adalah jenis ikan pelagis yang umumnya hidup bergerombol.
116
Prinsip penangkapan ikan dengan payang yaitu dengan cara membatasi gerak renang ikan, sehingga ikan terkurung pada tabir jaring dan selanjutnya masuk ke dalam kantong. Ciri khusus jaring payang adalah bibir bawah yang lebih menonjol di banding bibir atas (Nomura and Yamazaki 1977). Payang merupakan alat utama yang digunakan oleh nelayan di PPN Pelabuhanratu. Jenis ikan pelagis tersebut, diantaranya yaitu layang (Decapterus ruselli), lemuru (Sardinella sp.), kembung (Rastrelliger spp.), tongkol (Euthynnus spp.) serta cakalang (Katsuwonus pelamis).
2) Deskripsi unit penangkapan ikan Perahu terbuat dari kayu, yaitu kayu bungur (Lagerstoemia speciosa), bayur (Pterospermun javanicum), dan jati (Tectona grandis). Kayu untuk lunas kapal adalah kayu ulin (Eusiderrixylon spp.). Daya tahan perahu dapat mencapai 10 tahun. Dimensi perahu LOA: 10-12 m, B: 2,5-2,8 m, dan D: 1-1,5 m. Perahu dilengkapi palkah ikan, dengan panjang 2,4 m, lebar 1 m, dan dalam 1 m. Kapal bermesin outboard, dengan kekuatan mesin rata-rata 40 PK, kecepatan 4,0-4,5 knot. Bahan bakar yang digunakan adalah bensin dicampur minyak tanah. Alat tangkap terdiri atas bagian sayap (wing), badan (body) dan kantong (cod end). Payang terbuat dari bahan nylon multifilament, panjang keseluruhan mencapai 500 m. Jumlah mata keliling kantong 850 mata, bagian badan 825-625 mata, sayap 300-250 mata, dan bagian wing 40 mata. Mesh size pada bagian kantong 2,6-18,2 cm, terdiri dari 17 macam ukuran mata jaring. Mesh size bagian badan 20,3 sampai 33,1 cm. Mesh size bagian sayap 34-35 cm, dengan 3 macam ukuran. Mesh size wing tip 37,5 cm. Pelampung yang digunakan berupa jirigen plastik dan pelampung bambu. Jirigen plastik berjumlah 7 buah. Enam buah ukuran 20 liter dan 1 buah ukuran 50 liter yang digunakan untuk unjul-unjul. Pelampung diikatkan pada tali ris atas pada bagian mulut jaring. Unjul-unjul diletakkan di tengah-tengah bago-bago. Pelampung bambu 46 buah dengan ukuran panjang 100-150 cm dan diameter 10 cm. Jarak antar pelampung 6 meter terhitung dari ujung sayap. Pemberat berupa timah hitam, berjumlah 39 buah, ukuran 1,5-2 kg. Pemberat diikatkan langsung pada tali ris bawah dan dipasang diantara 2
117
pelampung bambu. Tali pelampung terbuat dari polyethylene (PE), diameter 3 mm panjang 400 m. Tali pemberat diameter 5 mm, dengan panjang 325 m. Tali penarik berdiameter 16 mm dengan penarik depan yaitu pada sayap kiri berukuran 15 m, tali penarik belakang atau tali selambar belakang berukuran 150-200 m. Jumlah ABK sekitar 18-20 orang. Satu orang sebagai ‘tekong’, dua orang sebagai anak payang, satu orang sebagai juru mudi, dan lainnya bertugas dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan memperoleh pendapatan melalui bagi hasil yaitu dengan cara nilai jual hasil tangkapan dibagi 50% untuk pemilik dan 50% untuk nelayan buruh, setelah terlebih dahulu dikurangi dengan biaya operasi.
3) Kegiatan operasi penangkapan ikan Pengoperasian payang dimulai dari persiapan, perjalanan ke fishing ground, penentuan fishing ground, penurunan jaring (setting) dan penarikan jaring (hauling). Kapal berangkat dari fishing base menuju ke fishing ground sekitar pukul 06.00 WIB. Penentuan fishing ground biasanya dengan cara menduga-duga berdasarkan pengalamanan dan tanda-tanda alam yang ada di perairan. Waktu yang diperlukan dari fishing base menuju fishing ground sekitar 1-1,5 jam. Setting dimulai setelah kapal sampai di fishing ground dan menemukan gerombolan ikan, jaring diturunkan dimulai dengan penurunan pelampung tanda. Penurunan jaring dilakukan sampai semua badan jaring diturunkan. Selanjutnya kedua sayap didekatkan. Anak payang meloncat ke dalam lingkaran jaring untuk menghadang dan menakut-nakuti ikan agar tetap berada dalam lingkaran jaring. Hauling dilakukan dengan cara menarik jaring, mulai dari tali selambar hingga bagian kantong ke atas kapal. Saat bagian kantong sudah berada di atas kapal, hasil tangkapan mulai diangkat dan dimasukkan ke keranjang, blong ataupun palkah ikan. Jaring ditata kembali untuk melakukan kegiatan setting berikutnya. Perikanan payang bersifat musiman. Musim panceklik terjadi pada bulan September sampai Desember, biasanya pada saat tersebut terjadi penurunan hasil tangkapan. Musim puncak terjadi pada bulan Juni-Agustus, pada musim ini hasil tangkapan nelayan melimpah. Nelayan umumnya melakukan upaya penangkapan lebih tinggi pada saat musim banyak ikan atau musim puncak.
118
4) Penanganan dan pengolahan ikan Proses penanganan dan pengendalian hasil tangkapan di kapal yaitu ikan terlebih dahulu disortir atau dipisahkan berdasarkan jenis ikan ataupun nilai ekonomisnya. Ikan hasil tangkapan yang telah disortir disimpan ke dalam blong, palkah ataupun keranjang bambu. Untuk mempertahankan kondisi ikan tetap dalam keadaan baik, ikan dicampur dengan es.
Kesadaran nelayan untuk
membawa es dalam kegiatan operasi penangkapan ikan sudah mulai meningkat. Hasil tangkapan yang berkualitas baik dijual dalam kondisi segar, sedangkan yang berkualitas jelek akan diolah oleh industri-industri pengolahan. Pengolahan biasanya dalam bentuk ikan pindang, ikan asin dan abon ikan.
5) Distribusi dan pemasaran Hasil tangkapan payang dipasarkan hanya untuk konsumsi lokal dan keluar daerah. Tujuan pemasaran tangkapan payang dari PPN Palabuhanratu antara lain untuk konsumsi lokal daerah Palabuhanratu dan wilayah sekitarnya. Pemasaran keluar daerah meliputi Jakarta, Bandung, Bogor, Tasikmalaya dan Cianjur. Alat transportasi yang digunakan untuk pendistribusian ikan berupa truk, mobil bak terbuka dan mobil box. Ikan segar yang akan didistribusikan disimpan dalam blong atau styrofoam yang sudah diberi es, sedangkan untuk ikan olahan menggunakan keranjang plastik atau keranjang bambu.
5.1.5 Perikanan Purse Seine 1) Diskripsi umum Alat tangkap purse seine di Indonesia sering disebut juga dengan nama pukat cincin. Salah satu keunikannya adalah kemampuan mengurung kawanan ikan sejenis dalam jumlah besar, dengan cara melingkari dan merapatkan kedua sisi bawah jaring hingga membentuk cawan raksasa yang akan mengurung ikan tersebut dalam jaring. Purse seine dapat dioperasikan dengan menggunakan satu kapal (one boat system) atau dua kapal sekaligus (two boat system). Ayodhyoa (1981) mengemukakan, tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-ikan yang merupakan pelagic shoaling spesies (membentuk kumpulan padat) dan berada dekat permukaan air (sea surface) atau jenis-jenis ikan yang
119
mempunyai sifat tertarik oleh suatu atraktor, seperti rumpon dan cahaya lampu. Kelompok ikan tersebut, diantaranya yaitu layang (Decapterus ruselli), lemuru (Sardinella longicep), kembung (Rastrelliger spp.), tongkol (Euthynnus spp.) serta cakalang (Katsuwonus pelamis). Pada awalnya jenis purse seine mempunyai kantong, lama kelamaan berubah dan ternyata jaring tanpa kantong lebih praktis.
2) Deskripsi unit penangkapan ikan Purse seine di Perairan Selatan Jawa banyak dioperasikan olah nelayan di PPN Prigi. Purse seine yang digunakan berukuran sedang, untuk menangkap ikan pelagis di perairan 4-12 mil. Purse seine juga digunakan oleh nelayan di PPP Cilautereun, dengan ukuran lebih kecil atau biasa disebut dengan mini purse seine. Purse seine yang beroperasi di PPN Prigi menggunakan dua kapal, namun cara pengoperasian alat tangkap termasuk dalam kategori one boat system. Kapal disebut dengan istilah kapal ”ketinting” dan kapal ”johnson”. Kapal ”ketinting” berukuran LOA: 15-16 m, D: 3,5-4 m dan D: 2-2,3 m. Ukuran kapal sekitar 2030 GT, inboard engine sekitar 200 PK dan bahan bakar solar. Kapal ”johnson” berukuran 10-15 GT, dengan LOA: 13-16 m, D: 3-3,5 m, d: 1,5-1,7 m. Kapal menggunakan mesin luar (outboard engine), berukuran sekitar 80 PK. Kapal mini purse seine di PPP Cilautereun berukuran panjang (LOA) sekitar 12 m, lebar (D) 1,8 m dan dalam (d) 0,7 m. Ukuran GT kapal 2-3 GT, dengan mesin dalam (outboard engine) ukuran sekitar 40 PK. Kapal dilengkapi dengan dua buah katir yang terbuat dari bambu dengan panjang 5 m, diikatkan dengan 2 kayu berukuran 1,5 m. Katir berfungsi menjaga keseimbangan kapal. Kapal dilengkapi pula dengan dua tiang sebagai penyangga bambu yang dipasang di atas kapal, berfungsi untuk memantau keberadaan ikan. Konstruksi purse seine terdiri atas kantong (bag), wing (tubuh jaring), corck line (floating line), lead line (sinker line), purse line, ring (cincin), dan bridle ring. Tubuh jaring terbuat dari bahan polyamide (PA) 210 D/6, mesh size 1-1,25 inci. Kantong dapat terbuat dari bahan yang sama polyamide atau menggunakan bahan polyethylene (PE), mesh size 0,75-1 inci. Srampad (selvedge), dipasang pada bagian pinggiran jaring yang berfungsi untuk memperkuat jaring pada waktu dioperasikan terutama pada waktu penarikan jaring. Srampad (selvedge) dipasang
120
pada bagian atas, bawah, samping kanan dan kiri. Panjang jaring purse seine sekitar 650-700 m dan lebar jaring 60-75 m. Panjang jaring mini purse seine sekitar 360-400 m, dengan lebar sekitar 40 m. Dilengkapi dengan pelampung dan pemberat, pelampung dari bahan synthetic rubber dan pemberat dari bahan timah. Cincin dari bahan kuningan, digantungkan pada tali pemberat dengan jarak 3 m. Kedalam cincin ini dimasukkan tali pengerut atau tali kolor (purse line). Alat bantu gardan (winch), digunakan untuk menarik tali kolor. Kapal dilengkapi dengan palkah ikan untuk menyimpan hasil tangkapan, berjumlah 3-4 buah. Pada kapal yang berukuran kecil, tidak dilengkapi palkah ikan. Ikan ditempatkan di blong berkapasitas 100 kg. Nelayan per unit purse seine di PPN Prigi berjumlah 20-25 orang. Jumlah nelayan per unit mini purse seine di PPP Cilautereun berjumlah 8-10 orang. Pembagian tugas yaitu, 1 orang bertugas sebagai juru mudi atau nakhoda yang bertindak juga sebagai fishing master, 1 orang bertugas mengemudikan kapal, 1 orang bertugas sebagai juru mesin, 1 orang sebagai pemantau ikan, 8-10 orang sebagai penarik jaring, 2-4 orang penarik tali pengerut dan 1 orang penguras. Bagi hasil pada perikanan purse seine yaitu pemilik kapal mendapatkan bagi hasil 50% dan ABK 50 % dari hasil tangkapan, setelah sebelumnya dikurangi dengan biaya operasi penangkapan. Bagian ABK akan dibagi untuk semua ABK, dengan bagian untuk nakhoda kapal biasanya lebih besar.
3) Kegiatan operasi penangkapan ikan Purse seine yang melakukan penangkapan ikan pada siang hari, mulai melakukan persiapan sekitar pukul 04.00 WIB. Pukul 05.00 kapal berangkat menuju fishing ground, dengan lama perjalanan 1-1,5 jam. dengan penurunan pelampung tanda, badan dan sayap.
Setting dimulai
Satu orang nelayan
bertugas menggiring ikan dengan cara memukulkan tongkat dari bambu. Lama setting sekitar 30 menit. Setelah ikan masuk jaring tali selambar ditarik, sehingga terbentuk seperti mangkuk. Hauling dilakukan dengan menarik jaring secara perlahan, sampai cincin dan bagian kantong terangkat. Ikan dimasukkan ke dalam palkah. Jaring dirapihkan kembali untuk melakukan setting berikutnya.
121
Purse seine yang beroperasi pada malam hari, melakukan persiapan sekitar pukul 14.00 WIB. Kapal berangkat menuju fishing ground sekitar pukul 16.00 WIB, dengan lama perjalanan 1-2 jam. Operasi penangkapan dimulai dengan pemasangan lampu. Penurunan lampu dilakukan oleh 1–2 orang tukang lampu, lampu dibiarkan selama 2–3 jam dengan tujuan ikan berkumpul di sekitar lampu. Setelah ikan berkumpul di sekitar lampu, proses penurunan jaring dilakukan. Jaring dilingkarkan mengelilingi kelompok ikan dan purse line ditarik secepat mungkin, agar kelompok ikan tidak dapat meloloskan diri kearah horizontal maupun vertikal. Penarikan purse line dilakukan dengan menggunakan gardan. Hauling dilakukan dengan mengangkat tali pelampung, tali pemberat dan badan jaring ke atas kapal, bagian kantong tetap berada di atas air. Kegiatan setting dan hauling umumnya dilakukan 3 kali, jika 1 atau 2 kali setting hasil tangkapan sudah banyak dan keranjang ikan terisi penuh, operasi penangkapan dihentikan. Nakhoda memberikan perintah untuk kembali ke fishing base. Alat tangkap ditata seperti semula, lampu petromak disimpan diatas kapal, jangkar ditarik kembali, dan mesin dinyalakan untuk kembali ke fishing base.
4) Penanganan dan pengolahan ikan Penanganan hasil tangkapan dimulai setelah ikan masuk ke dalam jaring purse seine dan diangkat ke atas kapal. ABK mengambil hasil tangkapan dengan menggunakan serok. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan secara hati-hati agar ikan tidak rusak. Penyortiran ikan dilakukan di atas kapal, ikan disortir berdasarkan jenis ikan dan ukuran ikan. Ikan yang sudah disortir disimpan dalam palkah atau blong dicampur dengan es curah. Dalam kondisi hasil tangkapan banyak, ikan ditimbun begitu saja di dalam palkah tanpa menggunakan es. Pada operasi purse seine dengan trip harian, penanganan ikan dan penggunaan es hanya dilakukan sekedarnya saja, sebagian besar nelayan tidak membawa es. Umumnya hasil tangkapan purse seine dalam kondisi mutu yang kurang baik. Ikan-ikan hasil tangkapan diolah oleh industri pengolahan menjadi ikan asap, ikan kaleng, ikan pindang maupun ikan asin. Ikan-ikan yang ukurannya tidak memenuhi standar atau kualitasnya rendah dan tidak layak untuk dikonsumsi, diolah menjadi pakan ternak atau tepung ikan.
122
5) Distribusi dan pemasaran Kualitas ikan yang kurang baik dari hasil tangkapan purse seine, menyebabkan jarang hasil tangkapannya dijual dalam kondisi segar. Sebagian besar hasil tangkapan dibeli oleh pengolah ikan untuk diolah menjadi produk olahan. Pengolahan dapat dalam bentuk ikan pindang, ikan asin atau tepung ikan. Dominasi alat tangkap purse seine di PPN Prigi, terlihat dari sebagian besar pemasaran hasil perikanan dari PPN Prigi adalah dalam bentuk ikan olahan. Tahun 2004, produksi yang dipasarkan dalam bentuk ikan asin mencapai 13.599 ton yang terdiri dari 7.885 ton ikan asin, ikan pindang 1.749 ton dan 3.965 ton ikan asap. Sementara pemasaran dalam bentuk ikan segar berjumlah 4.195 ton.
5.1.6 Perikanan Trammel Net 1) Deskripsi umum Trammel net merupakan alat tangkap yang terdiri atas lembaran jaring berlapis tiga. Dua lapis jaring bagian luar (outer net), yang mengapit jaring bagian dalam (inner net). Mesh size jaring bagian dalam lebih kecil. Berdasarkan cara pengoperasiannya, trammel net termasuk jenis bottom gillnet. Trammel net dioperasikan didasar perairan, dengan tujuan utama menangkap udang. Trammel net banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Cilacap. Pasca pelarangan trawl tahun 1980, trammel net digunakan oleh kapal eks trawl di Kabupaten Cilacap, khususnya oleh kapal yang mendaratkan ikannya di PPI Sentolokawat. Pada saat ini keberadaan unit trammel net juga masih dominan dioperasikan oleh nelayan di PPS Cilacap, disamping unit gillnet dan longline.
2) Deskripsi unit penangkapan ikan Kapal yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan dengan trammel net dapat berukuran kecil, ataupun kapal berukuran sedang. Perahu berukuran kecil terbuat dari bahan fiberglass, ukuran LOA: 9-10 m, B: 1-1,5 m dan D: 0,8-1 m. Perahu menggunakan motor tempel (outboard engine), ukuran sekitar 15 PK berbahan bakar bensin.
Kapal ukuran sedang yaitu 7-10 GT,
dengan LOA: 10-12 m, B: 3-4 m dan D: 1,5-2 m. Kapal dilengkapi mesin motor dalam (inboard engine) 30 PK, berbahan bakar solar.
123
Konstruksi trammel net tidak berbeda dengan konstruksi gillnet pada umumnya. Tubuh jaring terdiri atas 3 lapis, yaitu 1 lapis jaring bagian dalam dan 2 lapis jaring bagian luar. Ukuran mata jaring lapisan dalam lebih kecil dari pada ukuran mata jaring lapisan luar. Umumnya jaring lapisan dalam terbuat dari bahan polyamide (PA) monofilament berukuran 210 D/6-210 D/4, ukuran mata jaring antara 1,5-1,75 inchi ( 3,8 cm-4,4 cm ). Setiap lembar jaring mempunyai ukuran panjang 65,25 m ( 1.450 mata ) dan tingginya 51 mata. Jaring lapisan luar juga terbuat dari polyamide (PA), ukuran benang lebih besar yaitu 210 D/6 mesh size 5,5-6 inchi. Satu unit trammel net biasanya terdiri atas 7-12 piece. Pinggir jaring sebelah atas dan bawah dilengkapi dengan srampad (selvade). Selvade berfungsi untuk memperkuat tubuh jaring pada penggantungnya,. Selvage berupa mata jaring yang dijurai dengan benang rangkap sehingga lebih kuat. Selvage berukuran mata jaring 4,5 cm, terdiri dari 1-2 mata pada pinggiran jatas dan 5-6 mata pada pinggiran bawah. Selvage dari bahan polyethylene (PE). Trammel net dilengkapi dengan tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan garis tengah tali 2-4 mm. Panjang tali ris atas berkisar antara 25,5-30 m, tali ris bawah antara 30-32 m. Dilengkapi pelampung dan pemberat yang berfungsi agar jaring dapat tegak di kolom air, dan mampu menghadang ikan atau udang. Jenis pelampung yang digunakan adalah plastik no. 18 dengan jarak pemasangan antara 40-50 cm. Tali pelampung terbuat dari bahan polyethylene dengan garis tengah 3-4 mm. Pemberat terbuat dari bahan timah, berat antara 10-13 gram. Pemberat dipasang dengan jarak antara 19-25 cm, pada sebuah tali yang terbuat dari bahan polyethylene dengan garis tengah 2 mm. Nelayan yang mengoperasikan trammel net terdiri atas 3-5 orang. Satu orang sebagai juru mudi yang bertindak juga sebagai fishing master. Nelayan lainnya bertugas mengoperasikan jaring dan menangani hasil tangkapan.
3) Kegiatan operasi penangkapan ikan Cara pengoperasian trammel net dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan cara ditarik (sweeping) dan kebanyakan dioperasikan pada siang hari. Cara kedua dilakukan dengan cara dihanyutkan mengikuti arus seperti cara pengoperasian gillnet, biasanya cara ini dilakukan pada malam hari.
124
Trammel net yang dioperasikan oleh nelayan di Cilacap pada umumnya menggunakan metode ditarik (sweeping). Trammel net dipasang di dasar perairan dengan posisi membentuk setengah lingkaran. Posisi jaring seperti demikian dapat tercapai, karena perahu bergerak melingkar membentuk setengah putaran. Setelah terbentuk garis lurus yang menghubungkan posisi umbal dengan posisi perahu, arah haluan diputar sehingga posisinya membelakangi umbal. Perahu bergerak cepat menjauhi umbal guna menarik jaring yang telah dipasang, sehingga jaring menyapu (sweeping) permukaan dasar perairan. Udang di dasar perairan, akan terkejut dan bergerak meloncat keatas, lalu terjerat pada jaring.
4) Penanganan dan pengolahan ikan Unit trammel net yang berukuran kecil tidak dilengkapi dengan palkah ikan. Udang hasil tangkapan dimasukkan kedalam blong plastik atau kotak styrofoam. Pada unit berukuran besar, kapal dilengkapi dengan palkah ikan. Udang hasil tangkapan dimasukkan kedalam blong, selanjutnya disimpan dalam palkah. Hasil tangkapan utama trammel net adalah udang.
Udang merupakan
komoditas ekspor. Penanganan di atas kapal dilakukan secara hati-hati. Udang disortir menurut jenis, ukuran dan keutuhannya. Dicuci bersih menggunakan air laut, selanjutnya dimasukkan kedalam blong plastik berisi air laut atau air tawar dan diberi es curah. Blong-blong disimpan di dalam palkah , jika air keruh diganti dengan air baru dan ditambah dengan es.
5) Distribusi dan pemasaran Hasil tangkapan udang khususnya dari PPS Cilacap dijual ke industriindustri pengolahan udang beku di PPS Cilacap, atau ke kota lain seperti Semarang, Surabaya dan Jakarta. Pemasaran dilakukan oleh bakul-bakul besar. Udang segar juga dipasarkan secara langsung ke restoran atau supermarket. Pasar ekspor udang beku dari PPS Cilacap meliputi Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapora, Thailand, China, Vietnam, USA, Jerman, Finlandia, Belgia dan Yunani. Ekspor dilakukan langsung melalui pelabuhan Cilacap, maupun pelabuhan di Semarang, Surabaya dan Jakarta.
125
5.1.7 Perikanan Gillnet Monofilament 1) Deskripsi umum Gillnet monofilament merupakan jaring insang yang umum digunakan untuk menangkap ikan demersal, seperti layur (Trichiurus savala), bawal putih (Pampus argentius) dan lobster (Panulirus sp.). Penggunaan alat ini dilakukan secara multipurpose sesuai dengan musim penangkapan Ikan. Gillnet monofilament, biasanya disebut sebagai jaring sirang. Jaring sirang memiliki mesh size berlainan, sesuai dengan ikan tujuan tangkap.
Gillnet
monofilament banyak digunakan oleh nelayan skala kecil, karena disamping harganya murah juga sesuai dengan kapasitas kapal yang berukuran kecil.
2) Deskripsi unit penangkapan ikan Perahu berukuran 1-2 GT, terbuat dari bahan fiberglass. Perahu dilengkapi katir untuk menjaga keseimbangan kapal. Perahu bermesin outboard, kekuatan mesin 5-15 PK, berbahan bakar bensin. Kapal berdimensi LOA: 8 – 9 m, B: 0,7 1,0 m, dan D: 0,7 - 1,0 m. Kapal tidak dilengkapi dengan palkah ikan, hasil tangkapan biasanya ditempatkan dalam blong ataupun kotak styroform. Konstruksi jaring terdiri atas badan jaring (webbing) berbentuk empat persegi panjang, pelampung tanda, pemberat, tali ris atas, tali ris bawah dan tali selambar. Badan jaring terbuat dari bahan nylon monofilament, ukuran mata jaring yang digunakan berbeda untuk jenis ikan yang berbeda. Pada penangkapan bawal putih, mesh size 4,5-5 inchi, nomor benang 70, panjang jaring 40 m dan lebar 8 m. Pelampung berjumlah 27 buah, jarak antar pelampung 1,5 m. Untuk menangkap layur disebut jaring ciker, mesh size 2-3 inchi, nomor benang 30. Panjang jaring ciker sekitar 60 m dan lebar 8 m. Jumlah pelampung sebanyak 40 buah, jarak antar pelampung 1,5 m, diantara dua pelampung terdapat satu pemberat. Mesh size untuk menangkap lobster 3-5 inchi, tali ris PE diameter 4 mm, lebar 1,5 m. Panjang per piece 75-90 m dan lebar 1m, panjang jaring 5-20 piece per unit. Nelayan berjumlah 2-3 orang. Nelayan memperoleh pendapatan dengan sistem bagi hasil, yaitu 80% nelayan pemilik dan 20% nelayan buruh dari hasil tangkapan kotor.
Semua biaya operasi yang meliputi bensin dan perbekalan
konsumsi, serta biaya perawatan ditanggung oleh pemilik.
126
3) Kegiatan operasi penangkapan ikan Tahap operasi meliputi setting, drifting dan hauling. Setelah kapal sampai di fishing ground, kecepatan kapal dikurangi dan dua orang pandega mulai menurunkan jaring. Setting dimulai sekitar pukul 7-8 pagi. Setting dilakukan dari lambung kiri kapal dimulai dengan penurunan pelampung tanda dan pemberat pertama, dilanjutkan dengan penurunan pelampung, badan jaring, pemberat, pelampung tanda dan diakhiri pemberat terakhir. Setelah semua badan jaring diturunkan ke laut, tali selambar yang terhubung dengan tali ris atas diikat pada haluan kapal, mesin kapal dimatikan dan melakukan drifting selama 4-6 jam. Saat penarikan jaring (hauling), tali yang menghubungkan kapal dengan gillnet dilepas. Haluan kapal diputar, agar posisi alat tangkap ada di sebelah kiri lambung kapal, mesin kapal dimatikan.
Hauling dilakukan dengan menarik
pemberat dan pelampung tanda, diikuti penarikan pelampung, badan jaring dan pemberat. Ikan dipisahkan menurut jenisnya di atas kapal. Hauling diakhiri dengan penarikan pelampung tanda dan pemberat yang pertama kali diturunkan. Pada penangkapan lobster, operasi penangkapan biasanya dilakukan sekitar pukul 03.00 WIB.
Pada saat setting, mesin dihidupkan dan perahu berjalan
dengan kecepatan rendah.
Hauling dilakukan sekitar 2 jam setelah setting.
Nelayan biasanya melakukan setting 2 kali per trip penangkapan, setelah itu kembali ke fishing base dan sampai sekitar pukul 9.00-10.00 WIB. Musim penangkapan lobster berlangsung sepanjang tahun. Musim puncak biasanya bersamaan dengan jatuhnya musim penghujan, yaitu sekitar bulan September-Januari. Musim paceklik terjadi sekitar April-Mei bersamaan dengan musim kemarau dan angin kencang serta ombak besar. Penangkapan biasanya dilakukan di perairan karang.
Keadaan ini sangat beresiko, jaring seringkali
tersangkut karang dan menyebabkan sobek dan tidak dapat digunakan lagi. 4) Penanganan dan pengolahan ikan Kapal gillnet berukuran kecil dan tidak dilengkapi dengan palkah ikan. Nelayan membawa blong plastik atau kotak styrofoam untuk tempat menyimpan hasil tangkapan. Nelayan biasa juga meletakkan hasil tangkapan di atas dek kapal, kondisi ini sangat mempengaruhi mutu ikan.
127
Lama trip penangkapan bersifat harian (one day fishing), menyebabkan nelayan jarang membawa es. Hanya sebagian nelayan saja yang membawa es, biasanya sekitar 3 balok. Harga es per balok yang sekitar Rp 7.000,00, dirasakan cukup mahal oleh nelayan dan menambah beban biaya operasi penangkapan. Pada penangkapan lobster, proses penanganan dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) menggunakan pasir kering, dan (2) lobster ditaruh pada jaring dibiarkan terkena air laut. Penanganan menggunakan pasir kering dilakukan dengan cara menaburkan pasir ke seluruh tubuh lobster. Lobster dimasukkan kedalam kotak styrofom atau blong plastik. Pasir berguna untuk tetap menjaga kelembaban tubuh lobster.
Pada cara penanganan yang kedua, lobster dimasukkan kedalam jaring
dan dibiarkan terkena air laut. Lobster yang berada dalam jaring diikatkan pada bagian samping kapal, sehingga lobster tetap hidup.
5) Distribusi dan pemasaran Khusus untuk hasil tangkapan bawal putih dan layur yang berkualitas ekspor, biasanya ikan dibeli oleh bakul ikan dan pengumpul ikan dari luar kota. Oleh pengumpul bawal putih atau layur akan dibawa ke perusahaan eksportir untuk dilakukan penanganan lebih lanjut. Sistem transportasi lobster hidup ada 2 macam, yaitu sistem basah dan sistem kering. Transportasi sistem basah dilakukan dengan menggunakan wadah berisi air laut. Transportasi dapat dilakukan secara tertutup atau terbuka. Pada sistem tertutup, lobster dimasukkan ke dalam kantung plastik tebal berisi air dan diberi oksigen secukupnya, selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak styrofoam. Pada sistem terbuka, lobster dimasukkan kotak fiberglass dan dipertahankan hidup dengan sistem aerasi. Suhu air dipertahankan stabil, dengan memasukkan beberapa kantung plastik berisi es. Sistem kering dilakukan dengan membius lobster sampai pingsan. Media yang digunakan adalah serbuk gergaji atau serutan kayu atau kertas koran yang lembab dan bahan karung goni. Media harus dicuci terlebih dahulu sampai bersih untuk menghilangkan bau, kotoran, atau bahan berbahaya. Media yang digunakan harus dibuat lembab, dengan memasukkannya ke dalam frezeer. Pendinginan media, dapat juga menggunakan es balok yang dibungkus plastik.
128
5.2 Subsistem Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan Aksesibilitas Undang-Undang 31/2004 tentang Perikanan memberikan fungsi yang strategis bagi keberadaan pelabuhan perikanan. Pembangunan pelabuhan perikanan diperlukan dalam rangka menunjang usaha serta pengembangan ekonomi perikanan secara menyeluruh, terutama dalam menunjang perkembangan industri perikanan baik hulu maupun hilir. Salah satu tujuan dari dibangunnya pelabuhan perikanan di berbagai wilayah di Indonesia, adalah tercapainya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang seimbang, merata dan proporsional. Keberadaan
pelabuhan
perikanan
sebagai
suatu
lingkungan
kerja,
diharapkan akan mampu menjadi pusat pertumbuhan dan pengembangan kegiatan perikanan di suatu wilayah yang berbasis perikanan tangkap. Pada akhirnya, pembangunan pelabuhan perikanan diharapkan akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perkembangan ekonomi wilayah. Keberadaan pelabuhan perikanan juga mengemban tugas sebagai pusat pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan. Pembangunan pelabuhan perikanan telah dimulai secara ide dasar dan persiapan konstruksi sejak repelita I yang dibebankan pada APBN. Pada awalnya pemerintah pusat hanya akan membangun pelabuhan perikanan terutama untuk mengakomodasikan atau memodernisasi perikanan terutama di tempat-tempat strategis. Namun atas desakan BAPPENAS dan desakan politik, maka pemerintah pusat didorong juga untuk membangun pangkalan pendaratan ikan. Direktorat Jenderal Perikanan pada Pelita I mulai menganggarkan rehabilitasi PPI yang sudah ada dan membangun yang baru. Hal ini menimbulkan berbagai kesulitan baik konseptual perencanaan yang panjang, persiapan dan pelaksanaan konstruksi mengingat luasnya wilayah Indonesia dan PPI sebenarnya merupakan kewajiban Pemda, kekurangpengetahuan pemerintah pusat menimbulkan banyak kurang berfungsinya dan efektifnya PPI yang dibangun pemerintah (Suboko 2005). Pembangunan
pelabuhan
perikanan
pada
dasarnya
adalah
untuk
meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Nusantara dan ZEE Indonesia, dalam menunjang pengembangan perikanan tangkap baik skala kecil maupun skala industri. Suatu lokasi industri menghendaki akses yang mudah ke suplai bahan baku dan daerah tujuan pasar. Oleh karena itu dalam
129
pemilihan lokasi pelabuhan perikanan, harus diperhatikan keterkaitannya dengan fishing ground (forward linkages) dan tujuan pasar atau hinterland (backward linkages) (Vigarié 1979 diacu dalam Lubis 1989; Lubis 2006; Ismail 2005). Pembangunan pelabuhan perikanan merupakan kegiatan yang kompleks dan memerlukan biaya yang sangat mahal, karena meliputi pekerjaan darat dan laut serta menyangkut aspek sosial ekonomi nelayan. Pembangunan pelabuhan perikanan memerlukan perencanaan yang matang dan komprehensif. Berbagai pengkajian perlu dilakukan sebelum sebuah pelabuhan perikanan dibangun. Pengkajian dimaksud diantaranya meliputi studi kelayakan, investigasi, studi detail design, konstruksi, operasi dan perawatan (maintenance) serta kelayakan ekonomi, sosial dan politik (Soeboko 2005) Pada kenyataannya, saat ini banyak PPI/PP yang terlantar dan tidak termanfaatkan. Hasil observasi lapang ke sejumlah PP/PPI, ada beberapa PP/PPI yang telah dibangun dengan dana sangat besar, tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini menekankan bahwa, pembangunan suatu pelabuhan perikanan harus didahului dengan suatu pengkajian dan perencanaan yang matang dari berbagai aspek sesuai dengan kompleksitas yang dimiliki. Operasional pelabuhan harus dikelola oleh pengelola yang mampu menjalankan manajemen pelabuhan dengan baik. Pengendalian dan pengawasan operasional pelabuhan, perlu dilakukan dengan baik dan secara berkelanjutan.
5.2.1
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu berada di sudut timur
laut Teluk Pelabuhanratu. Lokasi pelabuhan berada pada 7o LS dan 106o30’ BT. Teluk Pelabuhanratu merupakan teluk terbuka yang menghadap ke barat daya. Teluk dikelilingi oleh pegunungan terjal yang berkelanjutan ke bawah, sehingga perairan memiliki kedalaman lebih dari 200 m (PT Perencana Djaya 1994). Kompleks pelabuhan dibangun di atas tanah seluas 10,6 ha, di daerah muara Sungai Cipalabuhan dan Cipangairan. Pembangunan pelabuhan dimulai sejak bulan April 1991 dan selesai pada bulan Desember 1992. Operasional PPN Palabuhanratu dimulai pada 18 Pebruari 1993. Dasar pembangunan pelabuhan
130
adalah studi pendahuluan oleh JICA tahun 1980 dan DARUDEC tahun 1984, pra studi kelayakan oleh PCI/ATELIER tahun 1985, studi kelayakan oleh RODGEINCONEB 1986 dan Perencanaan Teknik oleh TRIPATRA ENG tahun 1989. Pelaksanaan konstruksi oleh PT PEMBANGUNAN PERUMAHAN (PP). Studi Master Plan untuk Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pelabuhan Jangka Pendek dan Jangka Panjang dilakukan oleh PT ASTRI ARENA tahun 1993. Pembangunan pelabuhan dibiayai dari dana APBN, APBD Jawa Barat, Asean Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (ISDB). Total dana sampai tahun 1993 sekitar Rp 16.800.000.000,00 (PT Perencana Djaya 1994). Sejak beroperasi tahun 1993 hingga saat ini, PPN Palabuhanratu telah berkembang dan menambah berbagai fasilitas kepelabuhanan. Pada tahun 2002, PPN Palabuhanratu telah menambah fasilitas kolam pelabuhan dengan luas sekitar 2 ha, dengan biaya SPL-OECF INP-22. Kolam baru tersebut mulai dioperasikan sejak November 2002, dikhususkan untuk pendaratan kapal berukuran besar.
1) Fasilitas dan aktivitas PPN Palabuhanratu Hasil pengamatan terhadap kondisi fisik dari PPN Palabuhanratu menunjukkan, fasilitas yang ada telah termanfaatkan dengan baik. Alur masuk ke kolam pelabuhan, didesain untuk alur masuk kapal berukuran 100 GT. Kolam pelabuhan ada dua, yaitu 1 kolam dikhususkan untuk berlabuh kapal longline dengan kedalaman sekitar -3 m. Kolam lainnya untuk berlabuh kapal berukuran sedang dan kecil, dengan kedalamam sekitar -2 m dan -2,5 m. Panjang dermaga 509 m dan 410 m. Pemecah gelombang (breakwater) berukuran 125 m, 294 m, 200m dan 50 m (PPN Palabuhanratu 2006). Sesuai dengan statusnya sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara, PPN Palabuhanratu telah dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap, baik fasilitas pokok, fungsional maupun fasilitas penunjang (Lampiran 19). Aktivitas PPN Palabuhanratu cukup ramai. Kapal didominasi oleh kapal berukuran kecil, yaitu perahu motor tempel dengan alat tangkap payang, bagan, pancing dan jaring rampus. Kapal motor berukuran <10 GT meliputi jenis purse seine, gillnet dan rawai. Kapal berukuran 11-30 GT terdiri atas gillnet dan rawai, sedangkan kapal berukuran >30 GT hanya unit longline. Kapal longline mulai beroperasi sejak
131
tahun 2002, yaitu dengan selesai dibangunnya kolam untuk kapal ukuran besar. Jumlah kapal longline di PPN Palabuhanratu sebanyak 34 unit pada tahun 2006. Permasalahan utama PPN Palabuhanratu adalah dominasi kapal kecil yang masuk ke PPN. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan rencana awal pembangunan PPN, yang diharapkan dapat mengakomodir pelayanan kapal ukuran sedang dan besar. Kondisi ini juga berdampak pada tidak optimalnya fungsi pelabuhan. Kebutuhan solar di PPN Palabuhanratu terus meningkat. Peningkatan secara signifikan terjadi pada tahun 2004, yaitu berjumlah 10.380.781 l dari sebelumnya 4.821.870 l pada tahun 2003. Kebutuhan minyak tanah bervariasi, tahun 2003 sebanyak 1.119.078 l, menurun menjadi 889.965 l tahun 2004. Kebutuhan air tawar cenderung meningkat, tahun 2003 berjumlah 1.591.300 l, meningkat tajam tahun 2005 menjadi 6.034.700 l. Peningkatan kebutuhan BBM dan air tawar yang meningkat tajam pada tahun 2004, terjadi karena peningkatan aktivitas unit longline di PPN Palabuhanratu. Kebutuhan es berfluktuasi, terjadi penurunan pada tahun 1999-2001, dengan jumlah lebih kecil dari 100.000 balok per tahun. Kebutuhan es meningkat tahun 2004, yaitu 285.470 balok, tahun 2006 menurun menjadi 196.863 balok. Penurunan kebutuhan es tahun 1999-2001 dan peningkatan kebutuhan tahun 2004, tidak setajam jika dibandingkan dengan peningkatan kebutuhan BBM. Hal ini disebabkan tidak semua kapal longline menggunakan es. Beberapa kapal longline menggunakan palkah berpendingin untuk menjaga kualitas ikan. Kebutuhan umpan di PPN Palabuhanratu baru dicatat sejak tahun 2002, dengan jumlah kebutuhan 39.458 kg. Tahun 2004 meningkat menjadi 92.559 kg dan 2.013.400 ekor (tahun 2006 tidak ada data). Kebutuhan umpan tercatat, dengan mulai beroperasinya unit longline di PPN Palabuhanratu tahun 2002.
2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Perahu berukuran kecil, dengan alat tangkap payang, bagan, pancing dan jaring rampus yang beroperasi terbatas di perairan sekitar Teluk Palabuhanratu. Kapal gillnet, purse seine, pancing ulur dan rawai berukuran <10 GT, beroperasi di sekitar Teluk Palabuhanratu hingga Perairan Ujung Genteng. Kapal gillnet dan rawai ukuran 10-30 GT beroperasi di luar Teluk Palabuhanratu, hingga mencapai
132
Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa Tengah. Fishing ground kapal longline meliputi Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa dan barat Sumatera. Lokasi fishing ground perahu berukuran kecil, menggunakan motor tempel ukuran sekitar 40 PK berada di sekitar Teluk Palabuhanratu, sekitar 1-12 mil dari garis pantai atau 1-2 jam perjalanan. Kapal berukuran lebih besar, dengan tenaga penggerak juga lebih besar mampu menjangkau fishing ground yang lebih jauh. Kapal gillnet bermesin inboard sekitar 160 PK, beroperasi 5-7 hari per trip. Jangkuan kapal longline lebih jauh, dengan lama trip 2-4 bulan per trip. 3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Lokasi PPN Palabuhanratu berjarak 1 km dari Kota Palabuhanratu. Akses jalan menuju Kota Palabuhanratu dari kota-kota terdekat, seperti Bogor, Cianjur dan Sukabumi relatif mudah. Akses dari Bogor dapat melalui ruas jalan BogorCibadak-Palabuhanratu, dengan jarak sekitar 100 km dan waktu tempuh sekitar 23 jam. Akses dari Bandung dapat ditempuh melalui jalur Bandung-SukabumiPalabuhanratu, berjarak 155 km dan waktu tempuh 3-4 jam. Jalur CibadakPalabuhanratu, dapat ditempuh melalui jalur alternatif Palabuhanratu-CikidangCibadak dan Palabuhanratu-Cikembang-Cibadak. Palabuhanratu-Cibadak sekitar 40 km, waktu tempuh sekitar 1 jam. Prasarana jalan hotmix, lebar sekitar 6-7 m. Akses menuju Pelabuhan Udara Cengkareng Jakarta, untuk produk tuna segar (fresh tuna) berjarak sekitar 145 km, waktu tempuh 4-5 jam dalam kondisi jalan lancar.
Hambatan utama menuju pasar adalah jalan yang sempit dan
berkelok-kelok pada ruas Palabuhanratu-Cibadak. Kemacetan sering terjadi pada ruas Cibadak-Bogor, khususnya antara Rancamaya menuju Ciawi. Selanjutnya kemacetan sering terjadi di jalan tol Ciawi-Jakarta, terutama pada jam-jam sibuk di hari kerja atau saat hari libur dengan banyaknya kendaraan menuju Puncak.
5.2.2 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Cilautereun, Kabupaten Garut Kabupaten Garut memiliki 5 PPI dan 1 PPP, yaitu PPI Sancang, PPI Cimarimuara, PPI Tanggeuleuk, PPI Bungbulang, PPI Rancabuaya dan PPP Cilautereun. PPP Cilautereun merupakan pusat kegiatan perikanan paling ramai, karena lokasi yang berdekatan dengan lokasi pariwisata.
133
Secara geografis PPP Cilautereun terletak pada posisi 7o40’06” LS dan 107o41’06’ BT. PPP Cilautereun berada di Muara Sungai Cilautereun, dengan dasar perairan berlumpur. PPP Cilautereun menempati suatu kawasan dengan luas 2,5 ha. Lokasi PPP yang berada di muara sungai, menyebabkan tingkat sedimentasi yang tinggi dari lumpur yang dibawa oleh aliran sungai.
1) Fasilitas dan aktivitas di PPP Cilautereun PPP Cilautereun dilengkapi darmaga yang terletak memanjang di sisi sungai, dengan panjang 400 m. Kolam pelabuhan ada dua, yaitu untuk kapal kecil yang berada di muara sungai, luas 100 m dan kapasitas tambat 35 kapal per hari. Kolam kedua, luas 300 m2 dan kapasitas 10 kapal berukuran 25 GT. Kolam kedua terkadang dimanfaatkan juga oleh kapal-kapal kecil, pada saat air laut surut dan kapal tidak dapat masuk ke kolam yang ada di muara sungai. PPP Cilautereun sebagai pelabuhan perikanan tipe B, memiliki fasilitas cukup lengkap (Lampiran 20). Beberapa fasilitas saat ini banyak yang mengalami kerusakan, khususnya pada fasilitas tambahan. Aktivitas cukup ramai, karena lokasi PPI selain untuk kegiatan perikanan juga digunakan untuk kegiatan wisata.
2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Fishing ground nelayan di PPP Cilautereun beroperasi terbatas di perairan pantai. Kapal atau perahu yang digunakan, masih terbatas pada kapal atau perahu berukuran kecil. Alat tangkap yang utama digunakan adalah mini purse seine, gillnet monofilament dan multifilament, serta pancing rawai. Lokasi fishing ground dari kapal-kapal yang ada, hanya mampu menjangkau perairan di sekitar pantai sampai batas sekitar 8 mil dari pantai. Kapal beroperasi di sekitar selatan Kabupaten Garut, bergerak kearah timur mencapai perairan Pangandaran dan kebarat mencapai perairan selatan Cianjur dan Palabuhanratu.
3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Jarak PPP Cilautereun menuju kota Kecamatan Pamempeuk sekitar 6 km, merupakan jalan desa beraspal hotmix dengan lebar 4-5 m. Jalan relatif datar, kondisi jalan baik dan sedikit kendaraan. Jarak menuju Kota Garut sekitar 85 km,
134
waktu tempuh sekitar 3-4 jam. Kondisi jalan merupakan jalan kabupaten, lebar sekitar 8-9 m, berkelok-kelok naik turun pegunungan dan terjal. Jarak menuju Bandung sekitar 154 km, waktu tempuh sekitar 4-6 jam. Jalan yang dilewati adalah jalan provinsi yang cukup ramai, yaitu jalur Bandung-Tasikmalaya. Akses dari Kota Garut menuju Jakarta melewati jalan tol
Cikampek-
Padalarang-Cileunyi, berjarak sekitar 330 km dengan waktu tempuh 8-9 jam. Hambatan utama akses pemasaran adalah kondisi prasarana jalan, khususnya pada ruas jalan Garut-PPP Cilautereun. Kondisi jalan pada beberapa ruas rusak, sempit dan berliku-liku. Pada umumnya pedagang dari luar kota, tidak setiap hari datang ke lokasi PPP. Pedagang luar kota datang pada waktu-waktu tertentu, khususnya saat musim ikan. Kondisi ini menyebabkan harga tidak dapat bersaing. 5.2.3 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap, Kabupaten Cilacap Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap merupakan pelabuhan perikanan kelas A. Lokasi pelabuhan berada di Teluk Penyu. PPS Cilacap mulai beroperasi bulan April 1996, dengan status PPN, tahun 2001 naik statusnya menjadi PPS berdasarkan SK Menteri Kelautan 261/2001. Perencanaan pembangunan pelabuhan telah dimulai sejak 1989. Dana pembangunan dan pengembangan pelabuhan dari berbagai sumber, diantaranya APBN, Pertamina, Dana Pengembangan ZEE Indonesia, SPL-OECF, dan BP4CA (PPS Cilacap 2005b). Alat tangkap dominan di PPS Cilacap adalah gillnet, longline dan trammel net, dengan jumlah 130 unit, 68 unit dan 73 unit pada tahun 2004. Kapal trammel net memanfaatkan alur masuk pelabuhan, tetapi hanya sebagian mendaratkan ikannya di PPS Cilacap. Trammel net mendaratkan ikan didepo-depo sepanjang Kaliyasa dan di TPI Tegal Katilayu dengan hasil tangkapan utama udang. Hasil tangkapan utama adalah tuna, cakalang, layaran, setuhuk dan cucut yaitu sekitar 76,75% dari total tangkapan. Jenis ikan tersebut ditangkap menggunakan longline dan gillnet, ukuran >30 GT. Albakor, madidihang dan baby tuna lebih banyak ditangkap oleh unit longline. Cakalang dan lisong oleh gillnet. Setuhuk, layaran dan cucut merupakan hasil tangkap sampingan unit longline dan gillnet. Kendala utama PPS Cilacap adalah kondisi alur masuk yang mengalami pendangkalan, akibat dari aliran Sungai Kaliyasa. Pendangkalan alur masuk
135
mempengaruhi frekuensi kunjungan kapal, yang berdampak pada penurunan hasil tangkapan sekitar 56% tahun 2003-2004. Tahun 2006, produksi telah meningkat kembali (lihat Bab 4.5).
1) Fasilitas dan aktivitas PPS Cilacap Kompleks pelabuhan memiliki lahan sekitar 307.826 m2. Lahan seluas 180.522 m2 merupakan hak pakai, yang digunakan untuk area kolam pelabuhan, perkantoran, TPI dan perumahan. Lahan lainnya, sekitar 127.304 m2 merupakan hak pengelolaan, diperuntukkan untuk area industri dan pengembangan. Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap sebagai pelabuhan perikanan tipe A, telah memiliki fasilitas kepelabuhanan yang sangat lengkap, baik fasilitas pokok, fungsional dan fasilitas penunjang (Lampiran 21). Pembangunan fasilitas dan peningkatan kapasitas terus dilakukan. Fasilitas pada umumnya berfungsi dengan baik. Pelabuhan dikelola dengan baik, didukung SDM pengelola yang memadai. Area industri dan pengembangan disewakan, dengan perjanjian sewa 5, 10, 15 dan 20 tahun. Lahan yang telah memiliki surat perjanjian sewa 5 tahun, yaitu SPBU 1 unit luas 5.000 m2, gudang dan bengkel 7 unit luas 5.372 m2, pengolahan dan cold storage 7 unit luas 9.283 m2, toko BAP 2 unit luas 5.000 m2. Izin sewa 10 tahun, yaitu pengolahan dan cold storage seluas 360 m2. Perjanjian sewa 15 tahun yaitu gudang dan bengkel 1 unit luas 720 m2, pengolahan dan cold storage 1 unit luas 5.405 m2. Perjanjian 20 tahun, yaitu pabrik es 1 unit luas 2.250 m2, pengolahan dan cold storage 1 unit luas 4.500 m2. Area industri masih cukup luas, terbuka bagi investor untuk melakukan investasi usaha di PPS Cilacap. Pelayanan kebutuhan es, diantaranya dipasok oleh PT Andalan Mino Saroyo, PT Sumber Asrep, PD Sari Petodjo, PT Rias Samudera, dan CV Cilacap. Pada tahun 2006 jumlah es yang digunakan sebanyak 148.515 balok dengan nilai Rp 1.188.120.000,-. Harga jual per balok sebesar Rp 8.000,00. Jumlah pelayanan es menurun dibandingkan dengan tahun 2002 yang berjumlah 332.842 balok. Pelayanan solar disuplai oleh KUD Mino Saroyo dan PT Wijaya Kusuma. Kebutuhan solar tahun 2006 berjumlah 4.966 l, dengan nilai Rp 21.353.800,00, jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2005 yang berjumlah 12.428 l dan bernilai Rp 53.440.400,00.
136
Fasilitas air tawar disalurkan oleh KUD Mino Saroyo kerjasama dengan PDAM Kabupaten Cilacap. Air tawar dijual dengan harga Rp 17.500,00 per m3. Kebutuhan air tawar tahun 2006 sebesar 5.799 m3, nilai Rp 185.581.700,00. Untuk memenuhi kebutuhan air minum saat melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan membawa persediaan air sendiri berupa air mineral dalam galon. Mekanisme pasar dilakukan melalui sistem lelang. Ikan tuna tidak dilelang, karena dibawa langsung ke Jakarta untuk diekspor. Pemilik kapal tetap dikenakan retribusi sesuai Perda 13/2000 tentang Retribusi Pasar Grosir. Penjualan ikan dan udang tahun 2002 mencapai Rp 33,14 milyar, retribusi Rp 1,66 milyar. Sebesar 0,95% dari retribusi disetorkan sebagai PAD Kabupaten Cilacap. Tahun 2003, jumlahnya menurun menjadi 17,51 milyar. Tahun-tahun berikutnya tidak ada data.
2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Unit trammel net bermotor outboard, beroperasi di perairan pantai hingga 12 mil. Fishing ground meliputi perairan di sekitar Teluk Penyu, Karangbolong dan Teluk Pananjung di Pangandaran. Kapal gillnet dan kapal trammel net bermesin inboard, ukuran 10-30 GT beroperasi pada fishing ground yang lebih luas. Operasi penangkapan ikan ke barat mencapai Perairan Pamempeuk hingga Palabuhanratu dan kearah timur mencapai Perairan Selatan Kabupaten Pacitan. Kapal longline >30 GT beroperasi di fishing ground perairan ZEE Indonesia Perairan Selatan Jawa, kearah barat beroperasi hingga Perairan Barat Sumatera dan kearah timur mencapai Perairan Selatan Bali dan Laut Flores. Kapal longline beroperasi dalam waktu yang lama, yaitu sekitar 2-4 bulan per trip.
3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap berjarak 251 km dari Semarang, 2 km dari kota Kecamatan Cilacap Selatan. Kota Cilacap dapat ditempuh melalui jalur timur dan jalur barat. Jalur timur melalui Kebumen atau Purwokerto, dari jalur barat melalui Ciamis. Akses jalur timur relatif lebih mudah, prasarana jalan lebar dan beraspal. Jalur barat relatif lebih sempit, berbukit dan berkelok. Hasil tangkapan dari PPS Cilacap, sebagian besar merupakan komoditi ekspor, diantaranya tuna, albakor, meka, udang dogol, udang jerbung dan ubur-
137
ubur. Tuna segar diekspor melalui Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Akses jalan menuju Jakarta melalui jalur Cilacap-Purwokerto-Cirebon-Jakarta atau CilacapCiamis-Bandung-Jakarta, akses jalan dengan kondisi yang baik. Hambatan utama jika melalui jalur Purwokerto-Cirebon, berupa kemacetan. Saat hari “pasaran”, sejumlah pasar dipenuhi pengunjung hingga ke sisi jalan, menyebabkan kemacetan dan antrian panjang. Pada ruas jalan Cirebon-Jakarta sering terjadi kemacetan, karena ruas jalan ini merupakan akses utama jalan di Pantai Utara Jawa (PANTURA). Ruas jalan Cirebon-Jakarta sangat ramai, baik untuk angkutan penumpang maupun angkutan barang. Jika melalui jalur CilacapCiamis-Bandung, jalan relatif sempit dan berkelok-kelok naik turun perbukitan. Jalur ini tidak seramai PANTURA, dan jarang terjadi kemacetan. Sebagian produksi diekspor melalui perusahaan di Jakarta yaitu 1.230 ton pada tahun 2004. Sedangkan sekitar 7.423 ton produk olahan tuna (beku, segar, kaleng), udang beku, keong beku, layur beku dan ubur-ubur kering diekspor dari Pelabuhan Cilacap. Negara tujuan ekspor adalah Jepang, USA, Thailand, China, Singapura, Hongkong, Vietnam, Inggris, Jerman, Finlandia, Belgia dan Yunani. Jenis ikan yang diekspor memiliki harga yang tinggi. Harga rata-rata ekspor tuna segar adalah 4,80 US $, tuna beku 2,11$, udang beku 9,26 $, keong beku 0,50 $, layur beku 4,80 $, ubur-ubur kering asin 0,60 $, tuna kaleng 1,77 – 2,82 $. Ekspor dari PPS Cilacap telah melalui uji mutu di Laboratorium Pengujian dan Pengawasan Mutu Hasil Perikanan Kabupaten Cilacap.
5.2.4 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasir, Kabupaten Kebumen Kabupaten Kebumen memiliki 3 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yaitu PPI Pasir, PPI Karangduwur dan PPI Argopeni. Searah dengan semangat otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Kebumen telah membangun beberapa PPI yaitu PPI Tanggulangin, PPI Rowo, dan PPI Srati. PPI Pasir merupakan PPI yang terbesar. PPI Pasir mulai beroperasi pada tahun 1978. PPI Pasir telah dibangun dengan menghabiskan biaya sampai dengan tahun 1998, sebesar Rp 3,7 milyar. Anggaran pembangunan PPI Pasir berasal dari Anggaran Pendapatan dan Balanja Negara (APBN) dan Anggaran Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kebumen.
138
1) Fasilitas dan aktivitas PPI Pasir PPI Pasir memiliki fasilitas memadai untuk sebuah pelabuhan berstatus PPI, baik fasilitas pokok, fungsional maupun fasilitas penunjang (Lampiran 22). Fasilitas yang ada diantaranya darmaga, kolam pelabuhan, breakwater, rambu suar, TPI, rumah mesin, pabrik es mini dan sumur gali. Dalam perkembangannya, banyak fasilitas yang sudah dibangun tidak termanfaatkan dengan baik. Sedimentasi yang tinggi dari aliran sungai yang bermuara dekat pelabuhan, mengakibatkan kolam pelabuhan mengalami pendangkalan. Kolam pelabuhan memerlukan pengerukan, namun keterbatasan dana pemerintah daerah menjadi kendala. Tahun 2006, kolam sudah berupa daratan dan tidak dapat difungsikan. Aktivitas nelayan di PPI Pasir sebenarnya cukup tinggi, namun banyaknya fasilitas yang rusak menyebabkan pelayanan terganggu.
Pendaratan kapal
dilakukan di pantai terbuka, sangat berbahaya, kemungkinan hanyut terbawa gelombang.
PPI Pasir merupakan salah satu PPI yang terimbas gelombang
tsunami pada Mei 2006, banyak kapal pecah dan tidak dapat diperbaiki lagi. (2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Perahu nelayan di PPI Pasir berukuran kecil sekitar 1 GT, terbuat dari bahan fiberglass dan kayu. Jarak jangkau operasi penangkapan ikan hanya terbatas di sekitar perairan Kebumen, sampai sekitar 4 mil dari garis pantai. Fishing ground nelayan berada di sekitar pantai, menyusur ke timur hingga Perairan Selatan Purworejo dan ke barat hingga Perairan Srandil Kabupaten Cilacap. Perairan pantai berkarang di Karangbolong dan sekitar PPI Karangduwur, merupakan fishing ground yang baik bagi unit penangkapan lobster. Pada penangkapan lobster, nelayan melakukan operasi penangkapan ikan di pinggirpinggir pantai sekitar lokasi PPI, sehingga tidak membutuhkan BBM yang besar. Aktivitas nelayan di PPI Pasir sebenarnya cukup tinggi, namun kurangnya modal dari pemerintah kabupaten menyebabkan fasilitas yang sudah dibangun tidak dapat dioperasionalkan dan pelayanan menjadi terganggu. Pendaratan kapal dilakukan di pantai terbuka. Kondisi ini menimbulkan bahaya besar bagi kapal yang bertambat, diantaranya dapat hanyut terbawa gelombang.
139
3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Lokasi PPI Pasir merupakan lokasi yang terisolir. Lokasi PPI berada di balik perbukitan kapur, dengan dataran yang sempit. Desa di sekitar lokasi PPI masih jarang dihuni penduduk, sehingga pergerakan transportasi relatif jarang. Jarak dari kota kabupaten ke PPI Pasir sekitar 45 km, ditempuh sekitar 1-1,5 jam. Akses jalan dari arah Kebumen-Gombong-Karangbolong-Pasir, atau KebumenGombong-Logending-Pasir. Prasarana jalan pada beberapa kilometer mendekati PPI Pasir, melalui pegunungan kapur yang berkelok-kelok dan terjal. Pemerintah telah merencanakan membangun jalur lintas pantai selatan, yang direncanakan dapat menghubungkan daerah-daerah pantai di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Saat ini, sebagian besar ruas jalan di Pantai Selatan Jawa Tengah sudah dibangun. Lokasi PPI Pasir telah dilalui jalan yang menghubungkan daerah di wilayah Cilacap dan Purworejo.
5.2.5 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul Kabupaten Gunung Kidul memiliki 10 PPI, yaitu PPI Sadeng, Wediombo, Siung, Sundak, Drini, Krakal, Kukup, Baron, Ngrenehan dan PPI Gesing. PPI Sadeng terletak di sebelah tenggara dari Kota Wonosari. PPI Sundak, Drini, Krakal, Kukup dan PPI Baron, terletak di sebelah barat dari PPI Sadeng. PPI Sadeng terletak di Desa Pucung, Kecamatan Girisubo. PPI Sadeng dibangun pada akhir tahun 80-an, dengan menggunakan biaya APBN dan mulai dioperasikan pada Juli 1991. Lokasi PPI Sadeng berada di perairan terbuka, sedikit menjorok ke darat. Secara alami lokasi tidak terlindung dari ancaman gelombang besar. Kondisi ini terbukti dengan adanya gelombang tsunami pada Mei 2006, beberapa fasilitas hancur terimbas tsunami. PPI Sadeng berpotensi tinggi terjadi pengendapan dari aliran sungai, yang membawa lumpur dari perbukitan di belakang pelabuhan.
1) Fasilitas dan aktivitas PPI Sadeng Fasilitas kepelabuhanan di PPI Sadeng telah dibangun, baik untuk fasilitas pokok, fungsional maupun penunjang.
Kolam pelabuhan dibuat dengan
mengeruk wilayah daratan, sehingga kolam pelabuhan menjorok ke darat.
140
Breakwater dibangun di muka kolam pelabuhan, tegak lurus menutup daerah yang menjorok ke darat dengan menyisakan pintu masuk untuk alur pelayaran. Fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang juga telah dibangun relatif lengkap (Lampiran 23). Hanya saja fasilitas yang ada belum dapat berfungsi secara optimal, dan belum dikelola dengan baik. Kondisi ini disebabkan terbatasnya kualitas dan kuantitas personil pengelola PPI Sadeng. Pengelola PPI Sadeng berjumlah sekitar 10 orang, dengan pendidikan tertinggi diploma. Aktivitas perikanan di PPI Sadeng cukup ramai, dengan aktivitas utama adalah perikanan tonda. Pemerintah DI Yogyakarta sangat membuka pintu bagi nelayan dari daerah lain yang mau mendaratkan ikannya di PPI Sadeng, sebagai nelayan andon atau menetap. Pemerintah DI Yogyakarta mendatangkan nelayan dari daerah lain, khususnya dari Cilacap untuk menetap di PPI Sadeng. Sebagian besar nelayan di PPI Sadeng adalah nelayan andon dari Cilacap dan sebagian kecil dari Jawa Timur. Nelayan diberikan fasilitas perumahan di area pelabuhan. Satu hal yang menarik dari keberadaan PPI Sadeng, adalah minat dari generasi muda untuk terjun di bidang perikanan. Mereka melihat keberadaan PPI Sadeng sebagai peluang lapangan kerja yang lebih menjanjikan, setelah mereka berusaha mencari pekerjaan bahkan sampai bekerja di luar negeri. Penduduk asli yang bekerja sebagai nelayan di PPI Sadeng, sebagian besar masih berusia muda.
2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Nelayan di PPI Sadeng yang menggunakan perahu berukuran kecil, beroperasi terbatas pada fishing ground di sekitar perairan pantai. Fishing ground berjarak sekitar 1-4 mil dari garis pantai. Fishing ground lobster berada di perairan karang, dekat tebing-tebing terjal di sepanjang pantai Gunung Kidul. Nelayan tonda beroperasi di sekitar rumpon yang telah dipasang oleh Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Pemasangan rumpon berada sekitar 50-100 mil dari garis pantai, di Perairan Selatan Yogyakarta.
3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Jarak PPI Sadeng menuju Kota Wonosari sekitar 46 km, dengan waktu tempuh sekitar 1-1,5 jam. Kondisi jalan dari Wonosari menuju PPI Sadeng cukup
141
baik, berupa jalan hotmix dengan lebar 5-6 m. Hambatan utama perjalanan adalah jalan yang berkelok-kelok, naik turun pegunungan dengan bibir jalan yang terjal. Sarana angkutan relatif jarang, dan sangat sepi. Jumlah penduduk di Kecamatan Girisubo relatif kecil, sehingga pergerakan transportasi sangat jarang. Akses jalan dari Wonosari menuju Kota Yogyakarta sekitar 45 km, dengan waktu tempuh sekitar 1-1,5 jam. Kondisi jalan Wonosari-Yogyakarta cukup baik, yaitu merupakan jalan provinsi dengan lebar sekitar 8-10 m. Jalan menanjak naik pegunungan pada beberapa kilometer mendekati Kota Wonosari. Beberapa ruas jalan sedang dibangun jalan tembus, sehingga ruas jalan lebih pendek dan relatif datar. Jalan tembus dibangun dengan membuat jalan membelah pegunungan. 5.2.6 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tamperan, Kabupaten Pacitan Kabupaten Pacitan memiliki
beberapa pangkalan pendaratan ikan yang
tersebar di sepanjang pantai Pacitan. Sebagian besar dari pangkalan pendaratan ikan yang ada, berupa pangkalan pendaratan alami yang dirintis oleh penduduk setempat. Nelayan memanfaatkan pantai yang sedikit menjorok ke laut, atau muara-muara sungai untuk tempat mendaratkan ikannya. Beberapa PPI yang ada di Pacitan yaitu PPI Watukarung di Kecamatan Pringkuku, PPI Tamperan di Kecamatan Pacitan, PPI Teleng di Kecamatan Pacitan, PPI Pancer Wetan di Kecamatan Pacitan, PPI Wawaran di Kecamatan Kebonagung, dan PPI Tawang di Kecamatan Ngadirojo. Pemerintah Pacitan mulai berupaya melakukan pembangunan di bidang perikanan dengan melengkapi berbagai fasilitas di PPI yang ada. Tamperan merupakan PPI yang diprioritaskan untuk dikembangkan dan menjadi andalan pengembangan perikanan Kabupaten Pacitan. Pangkalan Pendaratan Ikan mulai dibangun pada tahun 2001. Pembangunan didasarkan pada studi detail desain yang dibuat Tahun 2001. Pembangunan PPI Tamperan secara keseluruhan direncanakan akan memerlukan dana sebesar Rp 43.043.446.000,00 (empat puluh tiga milyar empat puluh tiga juta empat ratus empat puluh enam ribu rupiah). Pekerjaan pembangunan PPI Tamperan yang sudah terealisasi sampai tahun 2004, telah menghabiskan dana sebesar Rp 14.329.478.000,00. Pembangunan yang sudah dilakukan, meliputi pembangunan (1) breakwater sepanjang 361,2 m
142
dengan biaya Rp 10.903.926.000,00; (2) pembuatan revetment sepanjang 120 m dan reklamasi seluas 6.050 m2 dengan total dana Rp 2.750.000.000,-; (3) pembangunan gedung TPI luas 160 m2, menghabiskan dana Rp 300.000.000,00; dan (4) bangunan drainase sepanjang 120 m, dengan dana Rp 375.552.000,00.
1) Fasilitas dan aktivitas PPI Tamperan Fasilitas yang sudah dibangun di PPI Tamperan, belum dapat difungsikan dengan baik. Darmaga belum berfungsi, jumlah perahu atau kapal ikan di PPI masih sedikit. TPI belum berfungsi, nelayan menjual ikannya langsung ke bakul. Aktivitas perikanan di PPI Tamperan dan secara umum di Kabupaten Pacitan didominasi perahu berukuran kecil, menggunakan alat tangkap yang digunakan secara multipurpose sesuai musim ikan. Alat tangkap yang umum digunakan adalah gillnet monofilament, pancing dan krendet. Aktivitas perikanan di Pacitan tidak jauh berbeda dengan aktivitas perikanan di Gunung Kidul.
2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Fishing ground nelayan Pacitan terbatas di sekitar Teluk Pacitan. Nelayan melakukan operasi penangkapan di sekitar perairan pantai yaitu sekitar 1-4 mil dari garis pantai. Terdapat beberapa teluk yang merupakan fishing ground nelayan Pacitan, yaitu Teluk Pacitan, Panggul, Taman, Sidomulyo dan Teluk Sudimoro. Nelayan melakukan penangkapan ikan di perairan Pacitan, ke barat hingga selatan Wonogiri dan Gunung Kidul, dan kearah timur mendekati perairan Prigi. Nelayan terkadang menetap untuk beberapa waktu di pantai terdekat, keluar dari Pacitan. Tidak mengherankan jika kita dapat menemukan nelayan Pacitan, sedang melakukan operasi penangkapan ikan di Pantai Baron Kabupaten Gunung Kidul. 3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Kabupaten Pacitan berjarak sekitar 256 km dari Surabaya, 117 km dari Solo dan 114 km dari kota Yogyakarta. Akses jalan dapat ditempuh melalui tiga jalur utama, kondisi jalan beraspal dan dapat dilalui dengan berbagai jenis kendaraan. Tiga jalur tersebut adalah Solo-Wonogiri-Pacitan dengan waktu tempuh sekitar 45 jam, Ponorogo-Pacitan waktu tempuh 3-4 jam dan Trenggalek-Pacitan dengan
143
waktu tempuh sekitar 3-4 jam. Jalur utama yang menghubungkan Pacitan dengan wilayah lain dalam kondisi baik, namun beberapa diantaranya beresiko terhadap longsor dan beberapa ruas kurang memadai untuk beban berat. Pemerintah Kabupaten Pacitan telah berencana mengembangkan perikanan tuna. PPI Tamperan direncanakan sebagai tempat pendaratan kapal tuna, dengan hasil tangkapan ikan tuna yang ditujukan untuk pasar ekspor. Ekspor akan dilakukan melalui pelabuhan udara Adi Sumarmo Surakarta. Akses jalan menuju Kota Surakarta melalui Kabupaten Wonogiri, dengan kondisi jalan yang baik.
5.2.7 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Kabupaten Trenggalek Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi dibangun diatas lahan seluas 27,5 ha dengan luas tanah 11,5 ha dan luas kolam pelabuhan 16 ha. Lokasi PPN Prigi terletak pada 111° 43’58” BT dan 08°17’22” LS, di Desa Tasikmadu, Kecamatan Watulimo. Pemukiman penduduk terletak di sebelah utara dan barat PPN Prigi, di sebelah utara juga terdapat rawa-rawa yang telah diolah menjadi lahan pertanian. Pelabuhan Perikanan Prigi mulai dibangun sejak tahun 1978/1979 sebagai Pelabuhan Perikanan (PP), dan mulai beroperasi pada tahun anggaran 1981/1982. Pada tahun 2001 statusnya meningkat menjadi pelabuhan perikanan tipe B, yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi. Lokasi pelabuhan berada di teluk yang cukup terlindung dari gelombang yaitu Perairan Teluk Prigi. Kedalaman kolam pelabuhan dipengaruhi pasang surut rata-rata sekitar 2 m, dengan arus sedang.
1) Fasilitas dan aktivitas PPN Prigi PPN Prigi sebagai pelabuhan perikanan tipe B, memiliki fasilitas yang cukup lengkap, baik fasilitas pokok, fungsional dan penunjang (Lampiran 24). Kolam pelabuhan ada dua, satu untuk berlabuh kapal-kapal kecil dan kolam lainnya untuk berlabuh kapal besar (>30 GT). Fasilitas kepelabuhanan lainnya dalam kapasitas yang memadai, termasuk ketersediaan lahan untuk industri dan pengembangan yang masih luas. Dalam lingkungan pelabuhan terdapat pabrik tepung ikan, namun saat ini belum beroperasi. Keberadaan industri tepung ikan ini diharapkan dapat menampung hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang cukup melimpah di PPN Prigi, khususnya hasil tangkapan dari unit purse seine.
144
Lingkungan PPN Prigi cukup ramai, dikarenakan adanya kegiatan pariwisata dan perekonomian lainnya. Aktivitas pariwisata turut mendorong perkembangan perikanan di PPN Prigi, dengan dipasarkannya hasil tangkapan untuk restoran dan pengunjung wisata, baik untuk konsumsi segar maupun produk olahan. Kegiatan perikanan didominasi oleh unit penangkapan yang beroperasi harian (one day fishing). Purse seine merupakan unit penangkapan utama. Pancing tonda mulai digiatkan di PPN Prigi, dengan melihat keberhasilan nelayan Sendangbiru. Pelayanan kebutuhan BBM dilakukan oleh Pertamina melalui SPBU, SPDN (solar packed dealer nelayan), dan para pengecer lainnya. Kebutuhan BBM per tahun tergantung dari jenis kapal yang digunakan dan frekuensi pemberangkatan kapal. Pada tahun 2005 penjualan solar 2.098 ton, minyak tanah 157 ton dan bensin 527 ton. Kebutuhan rata-rata bulanan solar 100-300 ton, minyak tanah 530 ton, dan bensin 20-40 ton. Total penjualan BBM tahun 2005 sebesar 2.782 ton, terbesar adalah solar yaitu 74,28%, diikuti bensin 18,94% dan minyak tanah 6,78%. Pada tahun 2005 tersebut, terjadi peningkatan penggunaan BBM sebesar 839 ton atau 38,65%, dibandingkan tahun 2004 yang berjumlah 2.171 ton. Penjualan es tahun 2005 sebanyak 5.579 ton, meningkat 1.743 ton atau 45,44% dibandingkan tahun 2004 yang berjumlah 3.836 ton. Penggunaan es yang meningkat tahun tersebut, namun tidak searah dengan jumlah produksi ikan, menunjukkan kesadaran nelayan akan pentingnya mutu ikan semakin meningkat Fasilitas air tawar berupa sumur artesis dengan kedalaman sekitar 90 meter, kapasitas 70 ton per hari. Fasilitas air tawar dimiliki dan dikelola oleh Perum PPS Cabang Prigi. Pelayanan air tawar dilakukan oleh PT. Prima Indobahari Sentosa. Kebutuhan minum selama di laut, nelayan membawa air mineral dalam galon.
2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Dominasi unit penangkapan yang melakukan trip operasi harian, menjadikan fishing ground nelayan yang mendaratkan ikannya di PPN Prigi tidak terlalu jauh. Nelayan beroperasi di perairan-perairan teluk atau di pinggir pantai di sekitar perairan pantai Damas, Munjungan maupun Teluk Popoh. Kapal purse seine, gillnet, ataupun pancing rawai dengan ukuran lebih besar, beroperasi selain di perairan Trenggalek, juga keluar daerah diantaranya meliputi
145
perairan Kabupaten Blitar, Tulungagung maupun Pacitan. Nelayan pancing tonda beroperasi di sekitar rumpon, yang dipasang sekitar 50-200 mil dari garis pantai.
3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi terletak di Desa Tasikmadu, berjarak sekitar 4 km dari Watulimo. Lokasi dapat dicapai dengan menggunakan angkutan darat berupa mobil angkutan kota dari Kota Trenggalek sejauh 47 km, melalui terminal Punung. Sarana angkutan umum cukup banyak, beroperasi dari pukul 5.00-24.00 WIB. Kondisi jalan sempit berkelok-kelok, naik turun perbukitan. Trenggalek berjarak sekitar 153 km dari Surabaya, dapat dijangkau dari arah timur yaitu Surabaya-Malang-Blitar-Tulungagung-Trenggalek atau SurabayaMalang-Kediri-Tulungagung-Trenggalek. Jalur barat, dari Surakarta-PonorogoTrenggalek. Kondisi jalan umumnya baik, merupakan jalan provinsi, dengan sarana angkutan umum bus atau mini bus dalam frekuensi dan jumlah banyak.
5.2.8 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap, Kabupaten Malang Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap terletak di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Lokasi pelabuhan berhadapan langsung dengan Perairan Samudera Hindia, terlindung Pulau Sempu. Pelabuhan dibangun tahun 1990, menggunakan dana APBN. Luas areal pelabuhan 5 ha, dengan wilayah daratan yang sempit. Belakang pelabuhan berupa daerah perbukitan. Kegiatan perikanan terus berkembang, dengan kegiatan utama perikanan pancing tonda. Penggunaan rumpon telah memberikan keuntungan, karena dapat menghemat BBM dan musim penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun. Permasalahan utama di PPP Pondokdadap adalah jumlah dan kualitas SDM Badan Pengelola PPP yang dirasakan masih kurang memadai. Jumlah SDM Pengelola PPP kurang dari 10 orang, dengan pendidikan sarjana (S1) hanya 1 orang, lainnya berpendidikan SMA, SMP dan SD.
1) Fasilitas dan aktivitas PPP Pondokdadap Pelabuhan Perikanan Pondokdadap sebagai pelabuhan tipe C, telah memiliki fasilitas yang memadai (Lampiran 25). Kekurangannya adalah fasilitas darmaga
146
yang belum permanen, dan kolam pelabuhan yang sangat dangkal saat air laut surut. Beberapa fasilitas perlu ditambahkan, diantaranya yaitu pabrik es, dan bantuan rumpon untuk nelayan. Fasilitas rumpon yang terbatas, sering menimbulkan konflik antara nelayan tonda dan nelayan payang yang turut beroperasi di sekitar rumpon. Aktivitas pelelangan ikan berjalan baik, dilaksanakan berdasarkan Perda 14/1998 tentang Retribusi Pasar Grosir dan Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di Jawa Timur, serta SK Gubernur 105/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Timur 14/1998. Retribusi yang diperoleh dari hasil pelelangan ikan di PPP Pondokdadap tahun 2003 berjumlah Rp 863.497.299,00.
2) Keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Daerah penangkapan ikan nelayan PPP Pondokdadap di sekitar perairan Malang yaitu Pantai Ngliyep, Balaikambang, Kondang Merah dan Sendangbiru. Kapal berukuran lebih besar dapat mencapai perairan daerah lain, diantaranya yaitu ke timur mencapai Perairan Kabupaten Jember dan ke barat menuju Perairan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Tulungagung. Nelayan pancing tonda beroperasi disekitar rumpon.
Rumpon biasanya
dimiliki oleh kelompok-kelompok nelayan, yang melakukan operasi bersamasama di sekitar rumpon. Rumpon di pasang di Perairan Selatan Kabupaten Malang, yaitu pada jarak sekitar 50-200 mil dari garis pantai.
3) Keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Lokasi PPP Pondokdadap terletak di Desa Tambakrejo, berjarak 29 km dari Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Lokasi dapat ditempuh melalui jalur MalangTuren-Sendangbiru sekitar 69 km, atau Malang-Kepanjen-Turen-Sendangbiru sekitar 75 km, waktu tempuh 2-3 jam. Jalan berupa jalan hotmix, lebar sekitar 5-8 m, berkelok-kelok dan terjal. Sarana transportasi berupa mini bus, colt dan ojek. Jarak PPP Pondokdadap dari Kota Surabaya sekitar 157 km. Aksesibilitas dari Surabaya menuju Malang sangat baik, yaitu menggunakan jalan tol dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Kasus lumpur LAPINDO yang turut menggenangi jalan tol Surabaya-Malang, menjadikan akses Surabaya-Malang terhambat.
147
5.3 Subsistem Kebijakan dan Kelembagaan Konvensi hukum laut menyatakan bahwa permasalahan ruang samudera merupakan permasalahan yang berkaitan erat satu sama lain dan perlu dianggap sebagai suatu kebulatan. Suatu tertib hukum diberlakukan untuk memudahkan komunikasi internasional dan memajukan penggunaan laut dan samudera secara damai, pendayagunaan sumberdaya alam secara adil dan efisien, melakukan konservasi sumberdaya alam hayati dan pengkajian, perlindungan serta pelestarian lingkungan laut. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara bertanggungjawab. Upaya pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia adalah mewujudkan pengelolaan sumberdaya yang memiliki daya saing dan berkelanjutan (sustainable competitive advantage). Untuk mencapai tujuan tersebut, upaya pengelolaan yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan sumberdaya (resource-based management), pendekatan masyarakat (community-based management) dan pendekatan pasar (market-based management) (Purwaka 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa, kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia. Kelembagaan menghasilkan peraturan atau kebijakan yang merupakan aturan main (rule of the game) dalam pengelolaan sumberdaya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, hendaknya terdapat keselarasan perundangundangan yang dibuat. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan antara pusat dengan daerah atau antar daerah.
Kerjasama, koordinasi dan sinergi
diperlukan untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja pengelolaan sumberdaya perikanan. Penegakan hukum diperlukan untuk dapat menjamin kepastian hukum. Peraturan dibuat untuk dapat mengatur pengelolaan sumberdaya, agar dapat berjalan baik dan dipatuhi pengguna sumberdaya, hendaknya pembuatan peraturan haruslah menyerap aspirasi masyarakat.
5.3.1
Kebijakan Perikanan Keterpaduan sistem perundang-undangan untuk pengelolaan sumberdaya
perikanan Indonesia perlu dibangun untuk dapat menjamin terlaksananya
148
pengelolaan sumberdaya secara optimal, efisien dan efektif. Keterpaduan sistem perundangan-undangan mencakup materi hukum, agar tidak terjadi tumpang tindih atau ketidaksesuaian antara satu perundang-undangan dengan perundangundangan lainnya. Keterpaduan antara peraturan perundang-undangan yang ada di tingkat nasional dengan di daerah dan juga dengan di tingkat internasional. Peraturan atau kebijakan mencakup juga peraturan atau kebijakan tidak tertulis yang sudah mengakar di masyarakat. Peraturan atau kebijakan tersebut merupakan kearifan lokal yang perlu dihargai dan dipertahankan.
1) Kebijakan pemerintah pusat Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah Indonesia, sudah dibuat dan sudah diberlakukan. Sebagai salah satu acuan dalam pembuatan peraturan perundangundangan tentang perikanan adalah Konvensi PBB tentang hukum laut yaitu United Nation Convention on the Law of the Sea, dimana Indonesia telah turut merativikasi dan mensahkannya dalam UU 17/1985. Ketentuan batas Wilayah Perairan Indonesia, telah diatur diantaranya melalui (1) UU 1/1973 tentang Landas Kontinen, (2) UU 5/1983 tentang ZEE Indonesia, (3) UU 6/1996 tentang Perairan Indonesia, dan (4) PP 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Peraturan berkaitan dengan pengelolaan perikanan, diantaranya adalah PP 15/1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Undang-Undang tentang Perikanan yaitu UU 9/1985 yang diperbaharui dengan UU 31/2004.
Selanjutnya berbagai peraturan kebijakan
diturunkan dari UU tersebut diantaranya yaitu: (1)
PP 15/1990 tentang Usaha Perikanan.
(2)
PP 46/1993 tentang Perubahan Atas PP 15/1990 tentang Usaha Perikanan.
(3)
Kepmen Pertanian 815/Kpts/IK.120/11/1990 tentang Perizinan Usaha Perikanan.
(4)
Kepmen Pertanian 805/Kpts/IK.120/12/1995 tentang Ketentuan Penggunaan Kapal Pengangkut Ikan.
149
(5)
Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Perhubungan Nomor 492/KPTS/IK.120/7/96 dan SK.1/AL.003/PHB-96 tentang Penyederhanaan Perijinan Kapal Perikanan.
(6)
Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Perhubungan Nomor 493/KPTS/IK.410/7/96, No. SK.2/AL.106/PHB-96 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Perikanan sebagai Prasarana Perikanan.
(7)
Kepmen Pertanian 508/KPTS/PL.810/7/96, tentang Pengadaan Kapal Perikanan dan Penghapusan Sistem Sewa (Charter) Kapal Perikanan Berbendera Asing.
(8)
Kepmen Pertanian 646/KPTS/KP.150/7/96,
tentang Pembentukan Tim
Pengendali Pengadaan Kapal Perikanan. (9)
Keputusan bersama Direktur Jenderal Perikanan dan Direktur Jenderal Perhubungan
Laut
IK.120/DJ.7172/96
dan
PY.68/1/12-96
tentang
Pemberian Surat Izin Berlayar Kapal Perikanan dan Kapal Pengangkut Ikan. (10) Kepmen Pertanian 428/Kpts/IK.120/4/1999 tentang Perubahan Surat Kepmen Pertanian 815/Kpts/IK.120/11/90 tentang Perizinan Usaha Perikanan. (11) Kepmen Kelautan dan Perikanan 60/MEN/2001
tentang Penataan
Penggunaan Kapal Perikanan di ZEE Indonesia. (12) Kepmen Eksplorasi Laut dan Perikanan 45/2000 tentang Perizinan Usaha Perikanan. (13) PP 141/2000 tentang Perubahan Kedua Atas PP 15/1990 tentang Usaha Perikanan. (14) Kepmen Kelautan dan Perikanan 46/MEN/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (15) Kepmen Kelautan dan Perikanan 47/MEN/2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Peraturan mengenai pembagian wewenang pengelolaan perikanan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tercantum dalam UU 22/1999 yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini diperjelas pelaksanaannya melalui PP 25/2000 yang diperbaharui dengan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
150
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan terkait juga dengan permasalahan pembiayaan dan nilai manfaat yang akan diperoleh. Untuk itu perlu ada aturan yang jelas, mengenai pembagian urusan keuangan antara pusat dan daerah. UU 34/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah mendeskripsikan dengan jelas hal-hal berkaitan dengan pembagian urusan tersebut.
Berbagai peraturan berkaitan dengan permasalahan keuangan atau
pungutan perikanan juga telah dibuat, diantaranya yaitu: (1) UU 20/2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. (2) PP 142/2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. (3)
Kepmen Kelautan dan Perikanan 23/2001 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan.
(4)
Kepmen Keuangan 316/KMK.06/2001 tentang Tatacara Penggunaan dan Pengenaan Pungutan Perikanan.
(5)
Kepmen Perindustrian dan Perdagangan 213/MPP/KEP/7/2001 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan untuk Perhitungan Pungutan Hasil Perikanan.
(6) Kepmen Kelautan dan Perikanan 45/MEN/2001 tentang Tatacara Pemungutan Perikanan yang Terutang. (7)
Kepmen Keuangan 654/KMK.06/2001 tentang Perubahan atas Kepmen 316/KMK.06/2001 tentang Tatacara Pengenaan dan Penyetoran Pungutan Perikanan.
(8) PP 62/2002 Pengganti PP 142/2000, tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di Departemen Kelautan dan Perikanan.
(1) Undang-Undang 31/2004 tentang Perikanan Undang-Undang 31/2004 tentang Perikanan telah mengatur secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan perikanan, tercakup dalam 17 bab. dan dijabarkan dalam 111 pasal. Cakupan materi perundangan, mulai dari ketentuan umum pada Bab I; ruang lingkup; wilayah pengelolaan perikanan; pengelolaan perikanan pada Bab IV dengan 19 pasal; Bab V usaha perikanan dengan 21 pasal; sistem informasi dan data statistik; pungutan perikanan; penelitian dan pengembangan perikanan; pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan; pemberdayaan
151
nelayan dan pembudidaya ikan kecil; penyerahan urusan dan tugas pembantuan; pengawasan perikanan; pengadilan perikanan; penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan; ketentuan pidana pada Bab XV dengan 22 pasal; ketentuan peralihan dan ketentuan penutup pada Bab XVII. Pada Bab IV mengenai pengelolaan perikanan, dijabarkan secara lengkap hal-hal terkait dengan pengelolaan perikanan. Pasal 7 menyatakan bahwa, untuk mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, menteri menetapkan rencana pengelolaan, potensi dan alokasi sumberdaya ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, jenis, jumlah dan ukuran alat penangkapan ikan, jenis, jumlah dan penempatan alat bantu penangkapan, daerah, jalur dan ukuran alat tangkap, persyaratan dan standar prosedur operasi penangkapan ikan, sistem pemantauan, pencegahan pencemaran, rehabilitasi dan pengaturan sumberdaya, ukuran dan berat minimum ikan yang boleh ditangkap, suaka perikanan, jenis ikan yang dilarang diperdagangkan dan jenis ikan yang dilindungi. Pada Bab V dijabarkan hal-hal yang berkaitan dengan usaha perikanan, diantaranya meliputi perizinan usaha perikanan, kelaiklautan kapal perikanan, dan peran pelabuhan perikanan.
(2) Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pada Bab III mengenai pembagian urusan pemerintahan, menyatakan bahwa pemerintah (pusat) memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya sistem pembagian wewenang diatur dalam pasal demi pasal. Pasal 12 Ayat (1) menyatakan urusan pemeritah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian dengan urusan yag didesentralisasikan, Pasal 12 Ayat (2) menyatakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Menurut Pasal 13 Ayat (1), urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
152
(c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (d) penyediaan sarana dan prasarana umum; (e) penanganan bidang kesehatan; (f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (g) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (j) pengendalian lingkungan hidup; (k) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (m) pelayanan administrasi pemerintahan; (n) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 13 Ayat (2) menyatakan, urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Sedangkan pada Pasal 14 Ayat (1) dinyatakan, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota.
(3) Peraturan Pemerintah 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. PP 38/2007 pada Pasal 9 menyatakan, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, menteri/lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. Pada Pasal 20, dinyatakan bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian urusan pemerintahan, wajib mendasarkan dan menyesuaikan dengan PP ini. Pada saat PP ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari PP 25 tahun
153
200 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara RI tahun 2000 Nomor 54, Tambahan lembaran Negara RI Nomor 3952) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan PP ini. Pada PP 25/2000 dijabarkan pembagian tugas dan wewenang antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bidang perikanan. Tugas dan kewenangan dibedakan kedalam 6 subbidang yaitu kelautan, umum, perikanan tangkap, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, serta penyuluhan dan pendidikan. Tugas dan kewenangan pemerintah adalah pada penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan tugas dan wewenang, sementara tugas dan kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lebih pada pelaksanaan kebijakan. Urusan pemerintah dalam subbidang kelautan diantaranya adalah penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah nasional, ZEEI dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada dibawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan; penataan ruang laut, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengawasan dan penegakan hukum; pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah; perizinan terpadu; pemberdayaan masyarakat pesisir; penyerasian riset kelautan; pengelolaan dan konservasi, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM; batas-batas maritim wilayah antar negara; pengesahan pemberlakuan perjanjian
internasional;
pemetaan
potensi;
pengharmonisan
peraturan;
pengelolaan wilayah laut di luar 12 mil; pencegahan pencemaran dan kerusakan SDI dan lingkungan; rehabilitasi SDI dan lingkungan; jenis ikan yang dilarang diperdagangkan; serta jenis ikan yang dilindungi. Urusan dalam subbidang perikanan tangkap diantaranya meliputi estimasi stok dan JTB; pemberian izin kapal di atas 30 GT atau di bawah 30 GT yang menggunakan ABK asing; pelaksanaan pungutan perikanan; usaha perikanan; pemberdayaan nelayan kecil; peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan; sistem permodalan; promosi dan investasi; penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan; operasional dan penempatan syahbandar; pendaftaran kapal di atas 30 GT; pembangunan kapal perikanan; pembuatan alat
154
penangkapan ikan; pembangunan dan pemasukan kapal impor; produktivitas kapal; pemeriksaan fisik kapal di atas 30 GT; kelaikan kapal dan penggunaan alat tangkap; penempatan rumpon serta rekayasa dan teknologi penangkapan ikan. Urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota pada subbidang kelautan diantaranya meliputi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah provinsi atau kabupaten/kota; penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi atau kabupaten/kota; penegakan hukum dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran diluar batas wilayah laut kewenangan provinsi atau kabupaten/kota; pengelolaan terpadu pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi (sementara urusan kabupaten/kota adalah koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota); perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi (urusan
kabupaten/kota
adalah
pelaksanaan
dan
koordinasi
perizinan);
pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota; koordinasi penyerasian riset kelautan kelautan; penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut; peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM; reklamasi pantai dan mitigasi bencana; pelaksanaan koordinasi batas-batas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi (urusan kabupaten/kota adalah pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu); pemetaan potensi sumberdaya kelautan; pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut; pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut; pencegahan pencemaran; pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya (urusan kabupaten/kota adalah pelaksanaan koordinasi); pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah RI (urusan kabupaten/kota adalah dalam pelaksanaan); jenis ikan yang dilindungi; mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut; pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman; pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi; penyusunan zonasi dan tata ruang perairan; pengelolaan kawasan
155
konservasi dan rehabilitasi perairan; perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut; pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya; rehabilitasi sumberdaya pesisir; pulau-pulau kecil dan laut. Urusan provinsi dan kabupaten/kota pada subbidang perikanan tangkap meliputi pengelolaan dan pemanfaatan perikanan; koordinasi dan pelaksanaan estimai stok ikan; fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota; perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan, pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan; pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan di atas 10 sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing (untuk kabupaten/kota sampai dengan 10 GT); pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal dari luar negeri (impor); penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan; pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap; pemberdayaan nelayan kecil; peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan; sistem permodalan, promosi
dan
investasi;
pelaksanaan
dan
koordinasi
penetapan
lokasi
pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan (urusan kabupaten/kota ditambah dengan pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di TPI; dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan; pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan; pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT (kabupaten/kota sampai dengan 10 GT); pembuatan alat penangkap ikan; dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan; penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan; pemeriksaan fisik kapal >10 sampai dengan 30 GT (untuk kabupaten/kota sampai dengan 10 GT); standarisasi kelaikan kapal dan penggunaan alat tangkap; pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon; dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan. Berdasarkan PP 25/2000 dijabarkan dengan jelas pembagian wewenang pemerintah dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota, seperti tersebut di atas. Pada subbidang kelautan ada 30 butir kewenangan. Kewenangan pemerintah pusat secara umum dalam hal penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria. Kewenangan provinsi dan kabupaten/kota lebih ditekankan pada
156
pelaksanaan kebijakan serta pelaksanaan dan koordinasi. Kewenangan penuh, diantaranya dalam hal pengawasan pelaksanaan penegakan hukum; penetapan kebijakan reklamasi dan mitigasi bencana; pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut; perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut; serta rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut. Pada subbidang perikanan tangkap ada 24 butir kewenangan. Beberapa hal dilaksanakan oleh pemerintah pusat yaitu pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil; estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan/JTB); fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi; pembuatan dan penyebaraluasan pola mitigasi bencana; pemberian izin penangkapan di atas 30 GT; pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain; pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT; pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal dari luar negeri (impor); serta rekayasa dan teknologi penangkapan ikan. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diberi kewenangan, diantaranya dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah yang menjadi kewenangannya; fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota; pemberian izin penangkapan, penetapan kebijakan pungutan perikanan; dukungan pembangunan pelabuhan perikanan; produktivitas kapal penangkap ikan; serta dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
2) Kebijakan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Secara umum pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berwenang untuk membuat kebijakan, yang tertuang dalam bentuk Rentra Pembangunan Daerah, Rentra
Pembangunan
Perikanan,
Rencana
Aksi
(Action
Plan),
Arah
Kebijaksanaan Umum (AKU), Nota Kesepakatan Anggaran, dan Rencana Pembangunan Perikanan dan Kelautan. Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten di bidang perikanan dan kelautan, berwenang menyusun kebijakan perikanan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang diembannya. Arah
157
kebijakan pembangunan perikanan dari masing-masing provinsi dan kabupaten daerah penelitian seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Arah kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan provinsi dan kabupaten di Selatan Jawa No.
Provinsi/ Kabupaten
Kebijakan Pembangunan Perikanan
1
Jawa Barat
Akselerasi pembangunan perikanan tangkap di Pantai Selatan Jawa Barat.
2
Sukabumi
3
Garut
4
Jawa Tengah
5
Cilacap
Peningkatan kemampuan manajemen, peningkatan usaha perikanan, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan produksi, inventarisasi sumberdaya, pengendalian pemanfaatan sumberdaya, dan pengembangan Segara Anakan dan Nusakambanagn
6
Kebumen
Meningkatkan kuantitas dan kualitas pembinaan dan pelatihan bagi bakul ikan dan nelayan dengan metode partisipatif, meningkatkan sosialisasi arti penting sumberdaya hayati perikanan dan kelautan, memfasilitasi kemudahan usaha perikanan melalui koperasi, meningkatkan intensifikasi keberadaan kelembagaan kelompok, serta meningkatkan/penyempurnaan sarana prasarana.
7
DI Yogyakarta
Pembangunan sistem bisnis perikanan yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan hidup serta tersedianya prasarana fisik perikanan untuk mendukung kegiatan usaha perikanan
8
Gunung Kidul
Peningkatan produksi perikanan laut dan pengembangan usaha.
9
Jawa Timur
Pemantapan dan pengembangan kelembagaan perikanan, pegelolaan dan pengendalian sumberdaya ikan berkelanjutan, peningkatan pelayanan dalam rangka pemberdayaan komunitas perikanan dan kelautan, pengembangan IPTEK dan pengembangan jaringan informasi, pemasaran dan prasarana.
10
Pacitan
Pemberdayaan masyarakat pesisir, penyediaan sarana dan prasarana perikanan, pembangunan dan pengembangan kawasan pesisir, pengembangan usaha, pemetaan potensi dan peningkatan produksi
11
Trenggalek
Peningkatan pertumbuhan ekonomi sektor kelautan dan perikanan sesuai kemampuan lestari sumberdaya ikan dan daya dukung lingkungan, peningkatan kesejahteraan nelayan, pengelolaan lingkungan dan peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa
12
Malang
Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dan kelautan, utamanya penangkapan ikan dari jalur satu ke jalur dua keatas secara bertahap dan berkelanjutan khususnya untuk jenis ikan ekonomis penting penunjang ekspor dengan diikuti pengembangan pusat pendaratan ikan yang strategis
Penerapan teknologi tepat guna dalam penangkapan ikan, pemberian modal usaha perikanan dan pemberian bantuan alat tangkap.
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan provinsi/kabupaten
158
Sesuai dengan wewenang yang telah didesentralisasikan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pada PP 25/2000, terdapat 30 butir wewenang pada subbidang kelautan dan 24 butir pada subbidang perikanan tangkap. Butir-butir kewenangan tersebut sebagian besar belum diakomodasikan dalam peraturan-peraturan pelaksanaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Beberapa peraturan daerah yang sudah dibuat, diantaranya yaitu : (1)
SK
Direksi
PERUM
Prasarana
Perikanan
Samudera
005/PPPS/KPTS/DIR.A/III/2001 tentang Ketentuan Tarip Penggunaan Fasilitas, Barang dan Jasa yang Dikelola PERUM Prasarana Perikanan Samudera. (2)
SK Gubernur Jawa Timur 188/14/SK/014/2000 tentang Pembentukan Tim Pembina Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di Jawa Timur.
(3)
Peraturan Pemerintah Kabupaten Trenggalek 11/2004 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan di Kabupaten Trenggalek.
(4)
Perda Kabupaten Trenggalek 16/2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Trenggalek.
(5)
SK Bupati Trenggalek 61/2003 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di Kabupaten Trenggalek.
(6)
SK Bupati Kebumen 524.2/402/KEP/2003 tentang Penetapan Biaya Pelaksanaan Pelelangan Ikan di TPI Kabupaten Kebumen.
(7)
SK Bupati Cilacap 44/2004 tentang Perizinan Usaha Perikanan di Wilayah Kabupaten Cilacap.
(8)
Perda Kabupaten Gunung Kidul 3/2001 tentang Retribusi TPI.
5.3.2 Kelembagaan Perikanan Kelembagaan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelembagaan pemerintah, kelembagaan swasta dan kelembagaan masyarakat. Kelembagaan pemerintah berperan sebagai regulator, fasilitator dan administrator dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya.
Kelembagaan swasta berperan
sebagai pelaksana kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan masyarakat mencakup lembaga swadaya masyarakat, lembaga non pemerintah dan lembaga masyarakat lain yang bersifat independen. Peran aktif lembaga masyarakat adalah
159
sebagai kontrol sosial terhadap pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya. Kontrol sosial sangat besar peranannya dalam kerangka mengikuti
dinamika
perubahan teknologi dan transformasi sosial yang terjadi.
1) Kelembagaan pemerintah (1) Departemen Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lembaga pemerintah pusat, berperan sebagai regulator, fasilitator dan administrator dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia. Lebih lanjut, berbagai hal yang berkaitan dengan perikanan tangkap, dijalankan oleh Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap
(DJPT),
yang
dalam
menjalankan
tugasnya,
akan
berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal lainnya dalam lingkup DKP. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) telah merumuskan visi bagi pembangunan perikanan tangkap, yaitu mewujudkan industri perikanan tangkap yang lestari, kokoh dan mandiri tahun 2020. Untuk mewujudkan visinya, misi yang diemban adalah sebagai berikut: (1) Mengelola sumberdaya ikan secara bertanggungjawab. (2) Mendorong dan memfasilitasi tersedianya prasarana dan sarana pelabuhan perikanan, kapal perikanan, alat tangkap serta sarana pendukung lainnya. (3) Mendorong dan memfasilitasi pengembangan industri perikanan tangkap. Tujuan yang ingin dicapai adalah : (1) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan guna menyediakan ikan konsumsi dalam negeri dan bahan baku industri. (2) Meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional. (3) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Selanjutnya dinyatakan bahwa, sasaran yang ingin dicapai adalah : (1) Peningkatan produksi perikanan tangkap sebesar 2,2% per tahun sehingga mencapai 5.438.840 juta ton pada tahun 2009. (2) Peningkatan penyerapan tenaga kerja menjadi 6.185.000 orang. (3) Pendapatan nelayan minimal Rp 1.500.000,00 per orang per bulan tahun 2009. (4) Peningkatan kontribusi perikanan tangkap terhadap PDB.
160
(5) Peningkatan volume ekspor dan nilai ekspor hingga mencapai 1,26 juta ton dan US $ 3,8 milyar, atau masing-masing tumbuh rata-rata sebesar 8,8% dan 17,4% per tahun. Dalam menjalankan misinya Departemen Kelautan dan Perikanan harus berkoordinasi dengan lembaga lain seperti Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, dan Kementerian Negara dan UKM. Terdapat beberapa panitia ad-hoc seperti Dewan Maritim Nasional, Komisi Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan dan Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA).
(2) Kelembagaan dinas di tingkat provinsi dan kabupaten Kelembagaan Dinas yang ada saat ini mengacu pada PP 3/2003 tentang Kelembagaan Dinas. Tugas Dinas Perikanan adalah melaksanakan kewenangan otonomi daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi di bidang kelautan dan perikanan. Kelembagaan Dinas di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten, searah dengan pelaksanaan otonomi daerah dinamakan sesuai dengan kepentingan daerah. Kelembagaan dinas diatur melalui Peraturan Daerah, sedangkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas diatur melalui Keputusan Bupati. Salah satu contoh kelembagaan dinas yaitu Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, merupakan penggabungan dari Dinas Peternakan dan Dinas Kelautan dan Perikanan berdasarkan pada Perda 4/2004 dan SK Bupati Malang 95/2004 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang merupakan unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten Malang di bidang peternakan, kelautan dan perikanan, dipimpin oleh Kepala Dinas yang melaksanakan tugasnya di bawah dan bertanggugjawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Penamaan kelembagaan dinas, dasar pembentukan kelembagaan dan visi dari kelembagaan dinas, seperti terlihat pada Tabel 9.
161
Tabel 9 Kelembagaan dinas di tingkat provinsi dan kabupaten di Selatan Jawa No. 1
Provinsi/ Kabupaten Jawa Barat
Kelembagaan dinas Dinas Perikanan
2
Sukabumi
3
Garut
Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
4
Jawa Tengah
5
Cilacap
6
Kebumen
7
DI Yogyakarta
Dasar Pembentukan
Visi
PERDA Provinsi Jawa Barat No. 15 tahun 2001 tentang Kelembagaan Dinas.
Pengaturan dan pelayanan prima mewujudkan perikanan yang berorientasi agribisnis/marine bisnis, berwawasan lingkungan dan berbasis ekonomi rakyat.
PERDA Kabupaten Garut No. 8 tahun 2004 tentang Kelembagaan Dinas. Keputusan Bupati Garut No. 317 dan No. 330 tahun 2004 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja.
Bersama masyarakat peternak dan nelayan menuju ketahanan pangan yang berwawasan agribisnis pada tahun 2010.
Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas Kelautan PERDA Kabupaten dan Perikanan Cilacap No. 36 tahun 2003 tentang Kelembagaan Dinas. Keputusan Bupati Cilacap No. 18 tahun 2004 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Dinas PERDA Kabupaten Peternakan, Kebumen No. 25 tahun Perikanan dan 2004 tentang Kelautan Kelembagaan Dinas.
Dinas SK Gubernur No.99 Perikanan dan tahun 2001 Susunan Kelautan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Mewujudkan Kabupaten Cilacap sebagai pusat kegiatan perikanan dan kelautan yang berbasis pembangunan ekonomi dan sosial
Terwujudnya masyarakat sejahtera melalui pengembangan potensi dan peningkatan produksi peternakan, perikanan dan kelautan yang berwawasan agribisnis dan berbasis sumberdaya yang tersedia Terwujudnya usaha yang profesional dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan secara rasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
162
Tabel 9 Lanjutan No.
Provinsi/ Kabupaten Gunung Kidul
Kelembagaan dinas Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan
9
Jawa Timur
Dinas PERDA Provinsi Jawa Perikanan dan Timur No. 36 tahun Kelautan 2000 tentang Kelembagaan Dinas.
10
Pacitan
PERDA Kabupaten Dinas Pacitan No. .. tahun Kelautan, Perikanan dan ..tentang Kelembagaan Dinas. Peternakan
11
Trenggalek
12
Malang
Dinas Kelautan PERDA Kabupaten dan Perikanan Trenggalek No. 8 tahun 2003 tentang Kelembagaan Dinas Keputusan Bupati Trenggalek No. 804 tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas PERDA Kabupaten Dinas Malang No. 4 tahun Peternakan, tentang Kelautan dan 2004 Kelembagaan Dinas. Perikanan Keputusan Bupati Malang No. 95 tahun 2004 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
8
Dasar Pembentukan
Visi
PERDA Kabupaten Gunung Kidul No. 23 tahun 2000 tentang Kelembagaan Dinas.
Terwujudnya instansi pelayanan pembangunan pertanian dan perikanan untuk memantapkan ketahanan pangan dan peningkatan sistem dan usaha agribisnis di Kabupaten Gunung Kidul. Pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Terwujudnya masyarakat kelautan, perikanan dan peternakan yang produktif melalui optimalisasi sumberdaya yang berwawasan lingkungan. Terwujudnya masyarakat perikanan yang berdaya, sejahtera dan berwawasan lingkungan
Terwujudnya masyarakat yang sehat dan sejahtera melalui pembangunan peternakan, kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, berdaya saing, berwawasan agribisnis dan berbasis sumberdaya lokal
Peran kelembagaan dinas yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai unsur pelaksanan pemerintah provinsi/kabupaten di bidang perikanan dan kelautan, memiliki kewenangan desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang perikanan dan kelautan. Kewenangan dan besarnya porsi pembangunan yang
163
dilakukan oleh dinas, akan dipengaruhi oleh struktur kelembagaan dinas yang ada. Sebagai contoh Struktur Dinas Perikanan Kabupaten Gunung Kidul yang mencakup 5 subdinas, yaitu Subdinas Produksi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Perlindungan, Usaha Tani, Penyuluhan dan Subdinas Perikanan. Berdasarkan struktur yang demikian, maka porsi pembangunan perikanan akan kecil. Berbeda dengan struktur dinas di Kabupaten Sukabumi, Cilacap, dan Trenggalek, dimana struktur dinas tidak bergabung dengan sektor lain tetapi berdiri sendiri. Porsi pembangunan perikanan dengan struktur yang demikian, memiliki porsi pembangunan perikanan yang lebih besar.
(3) Kelembagaan di pelabuhan perikanan Pelabuhan perikanan sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan bisnis perikanan, sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan (Bab I Pasal 1 UU 31/ 2004). Untuk menunjang peran tersebut, terdapat kelembagaan di pelabuhan perikanan diantaranya yaitu: (a) UPT Pelabuhan, berwewenang dan bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana pokok, dan penunjang. Menyelenggarakan pelaksanaan teknis terhadap kapal perikanan, ketertiban, kebersihan. Mengkoordinasikan kegiatan instansi terkait di pelabuhan perikanan. (b) PERUM Prasara Pelabuhan Perikanan Samudera, berwewenang dan bertanggungjawab melaksanakan pelayanan barang dan atau jasa dan pengusahaan sarana komersial pelabuhan perikanan. (c) Dinas Perikanan, berwewenang dan bertanggungjawab melaksanakan pembinaan teknis perikanan sesuai kewenangan daerah di bidang perikanan. (d) Kantor Syahbandar, berwewenang dan bertanggungjawab memberikan perizinan kapal dan melaksanakan pengawasan yang berkaitan dengan keselamatan bagi kapal perikanan. (e) Pengawas perikanan, mempunyai wewenang dan tanggungjawab memberikan perizinan dan melaksanakan pengawasan dokumen kapal. (f) Kantor Kesehatan Pelabuhan, mempunyai wewenang dan tanggungjawab melakukan penanganan dan pengawasan kesehatan di pelabuhan perikanan.
164
(g) Kantor imigrasi, mempunyai wewenang dan tanggungjawab melaksanakan pengawasan terhadap ABK asing yang keluar atau masuk wilayah RI. (h) Kantor Bea dan Cukai, berwewenang dan bertanggungjawab melaksanakan pengawasan terhadap barang-barang muatan kapal perikanan dari atau ke luar negeri yang berkaitan dengan pabean. (i) Karantina ikan, mempunyai wewenang dan tanggungjawab melaksanakan karantina ikan baik antar daerah atau antar negara. (j) POLRI/AIRUD, mempunyai wewenang dan tanggungjawab melaksanakan penangkapan, penyelidikan dan penanggulangan kasus-kasus kriminal.
2) Kelembagaan usaha Kelembagaan usaha terdiri dari usaha skala besar, skala menengah dan skala kecil.
Kelembagaan usaha berperan sebagai pelaksana kegiatan pemanfaatan
sumberdaya baik dalam kegiatan penangkapan, pengolahan, maupun pemasaran. Pada umumnya peran dari kelembagaan usaha lebih menekankan pada keuntungan, serta sedikit kepeduliannya pada kelestarian sumberdaya. Permasalahan kelembagaan usaha perikanan menurut Dirjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP (2005), diantaranya adalah : (1) Usaha perikanan sebagian besar merupakan usaha skala kecil dengan tingkat produktivitas dan efisiensi usaha yang rendah. (2) Kemampuan permodalan rendah, selalu kalah dengan tatanan ekonomi lokal. (3) Sistem tata niaga perikanan yang tidak berpihak kepada nelayan. (4) Kesulitan akses terhadap faktor produksi, harga jual hasil tangkapan murah. (5) Lembaga usaha belum sepenuhnya mengakomodasikan kebutuhan nelayan. Kelembagaan usaha yang umum adalah dalam bentuk Koperasi (Tabel 10). Kelembagaan usaha lain diantaranya dalam bentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB), dan Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR). Fasilitasi dari pemerintah diperlukan untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas kelembagaan usaha.
3) Kelembagaa masyarakat Kelembagaan masyarakat mencakup lembaga swadaya masyarakat, lembaga non pemerintah dan lembaga masyarakat lain yang bersifat independen. Peran
165
aktif lembaga masyarakat adalah sebagai kontrol sosial terhadap pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya. Kontrol sosial sangat besar peranannya dalam kerangka mengikuti dinamika perubahan teknologi dan transformasi sosial yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya. Tabel 10 Kelembagaan usaha perikanan yang ada di kabupaten di Selatan Jawa No. 1
Provinsi/ Kabupaten Sukabumi
Kelembagaan swasta
Keanggotaan
Kegiatan
1. KUD Mandiri Mina Sinar Laut
Nelayan
- Penyediaan perbekalan melaut - Penyaluran BBM dan alat penangkapan ikan - Penyelenggara pelelangan Ikan
2. Koperasi Karyawan Mina Nusantara 1. Forum Komunikasi Usaha Perikanan (FKUB KUB Kabupaten garut
Pengelola Perikanan
- Pemeliharaan fasilitas - Penyelenggaraan pemasaran ikan - Menumbuhkembangkan usaha di bidang perikanan dan kelautan
2
Garut
3
Cilacap
4 5
Kebumen Gunung Kidul
1. KUD Mino Saroyo 2. BUMR PT Mina Mitra Sejahtera 3. KUB Minowati 1. KUD Mino Pawurni 1. KUD Mina Samodra
6
Pacitan
1. KUD Mina
KUB Laut, KUB Pembudidaya Ikan, KUB Pemasaran
Nelayan Nelayan
Nelayan, bakul
Nelayan
7
8
Trenggalek
Malang
2. Koperasi Nelayan Mina Upadi 1. KUD Mina Teluk Prigi (SINATI) 2. Koperasi Bakul Ikan (KBI) 1. KUD Mina Jaya
- Penyediaan perbekalan - Pengeringan ikan - Usaha telepon - Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan - Penyediaan kebutuhan operasi penangkapan - Usaha simpan pinjam - Penangkapan Ikan - Usaha kapal fiberglass - Kegiatan perbengkelan
Nelayan
Pedagang Nelayan, pengolah ikan dan pedagang
- Penyelenggara pelelangan ikan - Penyedia perbekalan melaut
166
Ostrom (1992) diacu dalam Nikijuluw 2002, menyatakan bahwa ada dua atribut kunci yang merupakan faktor pendorong masyarakat untuk bekerjasama. Faktor tersebut adalah (1) Jika masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi dalam hubungan kekerabatan, etnis, agama, kepentingan, kepercayaan, budaya, serta strategi pengembangan mata pencarian; dan (2) Jika ketergantungan masyarakat cukup tinggi atas sumberdaya perikanan serta kesempatan yang kurang bagi masyarakat untuk menggeluti mata pencaharian lain. Kelembagaan masyarakat yang sudah berkembang, diantaranya adalah Rukun Nelayan. Rukun Nelayan umumnya berfungsi sebagai sarana silaturahmi antar nelayan. Pertemuan anggota, biasanya rutin dilakukan setiap bulan sekali untuk membahas hal-hal yang terkait dengan kepentingan mereka. Rukun Nelayan cukup efektif untuk membangun rasa kebersamaan, menyelesaikan permasalahan atau konflik serta berbagai upaya pembangunan perikanan berbasis masyarakat. Sebagai upaya membangun sistem pengawasan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (SISWASMAS), telah dibentuk kelompok-kelompok pengawas masyarakat (POKWASMAS). Contohnya adalak POKWASMAS Jala Bahari di Cilacap dan POKWASMAS Prigi Lestari di Trenggalek. Tujuan dibentuknya POKWASMAS adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat dalam usaha pelestarian sumberdaya ikan dan habitat serta meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya.
5.3.3 Beberapa Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan Dalam rangka melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya di Perairan Selatan Jawa, berbagai kebijakan dan program telah dilakukan. Kebijakan dan program tersebut diantaranya yaitu: 1) Pembentukan Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) Koordinasi dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan telah diupayakan oleh pemerintah, dengan dibentuknya Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan
Sumberdaya
Ikan
(FKPPS),
melalui
Kepmen
Pertanian
994/Kpts/KP.150/9/99. Forum terdiri atas FKPPS Nasional dan FKPPS Wilayah. FKPPS Nasional bertugas membantu Menteri Pertanian dalam merumuskan dan menetapkan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya ikan di laut.
167
Pertemuan oleh FKPPS Nasional minimal diselenggarakan sekali dalam dua tahun. Pertemuan digunakan untuk: (1) membahas hasil inventarisasi/masukan data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan serta permasalahan yang timbul; (2) memberi pertimbangan, pendapat maupun saran pemecahan, sebagai upaya menyelesaikan permasalahan; (3) memberi masukan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya ikan di laut, khususnya sumberdaya ikan lintas propinsi. Untuk FKPPS Wilayah, pertemuan diadakan minimal sekali dalam satu tahun. Dimaksudkan untuk membantu FKPPS Nasional dalam: (1) mempercepat arus data dan informsi; (2) identifikasi dan pemecahan masalah/kasus; (3) merumuskan konsep kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya ikan, termasuk alokasi pengembangannya yang merupakan hasil kesepakatan di dalam upaya pengelolaan bersama sumberdaya ikan di wilayah masing-masing. Cakupan FKPPS Wilayah IX yaitu Perairan Samudera Hindia, Selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Keanggotaannya meliputi Dinas Perikanan Provinsi yaitu NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menganggarkan dana yang cukup besar untuk kegiatan FKPPS, anggaran tahun 2005 sebesar Rp 82.572.500,00 untuk kegiatan pertemuan FKPPS regional dan nasional (Diskan Provinsi Jawa Barat 2005). Kedepan FKPPS ini diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya untuk dapat memberikan konstribusi nyata bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan, baik secara nasional maupun wilayah.
2) Program Mitra Bahari Program Mitra Bahari (PMB) dibentuk dalam rangka melakukan akselerasi pembangunan masyarakat pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Program ini
diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen KP3K), pada tahun 2002. Program bertujuan memecahkan permasalahan yang ada di pesisir, dalam mengelola sumberdaya yang terdapat di daerah mulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program. Program melibatkan unsur Dinas Perikanan, Perguruan Tinggi, LSM, Tokoh Masyarakat dan stakeholder lainnya.
168
Untuk wilayah Jawa Barat telah dibentuk kelembagaan PMB yang disebut Konsorsium PMB Sub Regional Center Jawa Barat, dengan koordinator Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK IPB). Dalam pelaksanaannya, kelembagaan PMB belum memberikan kontribusi nyata bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di daerah, sesuai dengan tujuan yang diembannya. 3) Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (PMP2SP) atau Co-Fish Proyek PMP2SP dilaksanakan di Kabupaten Trenggalek mulai tahun 1998 dan berakhir tahun 2005, bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pantai dan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan lestari. Kegiatan meliputi: (1) pengelolaan keragaman hayati, (2) pengelolaan kawasan pelestarian alam (PKPA), (3) pengembangan usaha ekonomi, dan (4) penguatan kelembagaan. Kegiatan Co-Fish telah berperan besar bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Trenggalek. Berbagai kelembagaan masyarakat terbentuk melalui kegiatan Co-Fish, diantaranya Kelompok Pengelolaan Masyarakat Berbasis Komunitas (PSBK) Watulimo, Komite Perikanan Lokal (KPL) Kecamatan Panggul dan Munjungan,
serta organisasi Peningkatan Peranan
Wanita Tani Nelayan (P2WTN) Wanita Bahari Kecamatan Watulimo dan di kecamatan lainnya. Secara umum kegiatan Co-Fish telah banyak meningkatkan wawasan, pengetahuan dan memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir, namun belum terlihat adanya upaya keberlanjutan program, setelah Co-Fish berakhir.
4) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui penyaluran dana untuk kegiatan usaha bagi masyarakat. Program PEMP dibiayai melalui dana Program Jaring Pengaman Sosial yang secara khusus diambilkan dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak. Program PEMP telah dilaksanakan sejak tahun anggaran 2001. Bertujuan: (1) meningkatkan partisipasi masyarakat pesisir dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengembangan kegiatan ekonomi; (2) menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (3) mengelola dan memanfaatkan sumberdaya
169
pesisir dan laut secara optimal, dan
berkelanjutan dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan; (4) memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan; (5) mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yag partisipatif dan transparan dalam kegiatan masyarakat; (6) serta mengurangi beban masyarakat miskin di pesisir yang diakibatkan oleh kenaikan BBM. Dana PEMP diberikan kepada masyarakat pesisir yang menetap di daerah pantai, yang bekerja atau berusaha sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pedagang, pengolah ikan, usaha jasa perikanan, dan pariwisata serta usaha lain yang terkait dengan usaha perikanan dan kelautan.
Dana diberikan kepada kelompok-
kelompok usaha, yang disebut sebagai Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP). Perguliran dana PEMP dikelola oleh Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPPM3). Dalam pelaksanaannya LEPPM3 sebagai lembaga ekonomi mikro, belum memiliki legalitas dan standar operasional yang jelas.
Hal ini menjadikan tujuan program PEMP dalam memberdayakan
masyarakat pesisir, memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda di tiap daerah.
5) Proyek Manajemen Unit (PMU) Proyek Manajemen Unit (PMU) merupakan program dari Pemerintah Daerah Jawa Timur dalam rangka mengembangkan potensi perikanan di Perairan Selatan Jawa Timur. Program ini berupa pinjaman armada kapal kepada nelayan sebagai sarana penangkapan ikan. Tujuan PMU: (1) mengurangi overfishing di Perairan Utara Jawa; (2) optimasi pemanfaatan Perairan Selatan Jawa Timur; (3) serta menekan pencurian ikan oleh nelayan asing di Perairan Selatan Jawa Timur. PMU dipusatkan di kawasan PPP Pondokdadap Sendangbiru Kabupaten Malang. Komponen PMU terdiri atas unsur nelayan serta KUB, Pengusaha, Investor, Perbankan, Intansi Teknis (Petugas Lapangan, Dinas, TPI) serta komponen masyarakat bisnis yang lain, yang berperan sebagai pembina dan partner dalam rangka pembukaan dan pengembangan wilayah perairan selatan Jawa Timur. Distribusi pengadaan kapal penangkap ikan dialokasikan kepada Kelompok Usaha Bersama (KUB), berupa dana bergulir (revolving) melalui sistem bagi hasil. Dalam pelaksanaannya program ini tidak berhasil dengan baik.
6 IMPLIKASI KONDISI WILAYAH TERHADAP PENGEMBANGAN PERIKANAN Pemahaman karakteristik suatu wilayah untuk pengembangan perikanan menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Perkembangan kegiatan perikanan tidak terlepas dari keberadaan sumberdaya ikan dan lingkungannya, teknologi, sumberdaya manusia, permodalan, kebijakan, kelembagaan, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan faktor-faktor lainnya.
Masing-masing daerah
memiliki potensi sumberdaya perikanan dengan karakteristik yang bersifat spesifik atau khas untuk daerah tersebut. Karakteristik sumberdaya perikanan yang bersifat khas tersebut di atas, berimplikasi terhadap kinerja kegiatan perikanan di suatu wilayah. Sebagai contoh, terkait dengan kondisi geo-topografi wilayah dari pusat pendaratan ikan yang berada pada lokasi yang masih terisolir dengan kondisi topografi pada daerah yang berbukit atau pegunungan, akan berimplikasi terhadap sulitnya aksesibilitas pasar dari produksi ikan yang dihasilkan. Pada Bab ini akan dibahas kaitan antara kondisi aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial-ekonomi dan politik dari Wilayah Selatan Jawa terhadap implikasinya bagi kinerja perikanan di wilayah ini. Pembahasan didasarkan pada keadaan umum daerah penelitian yang telah dijelaskan pada Bab 4, dan kondisi sistem perikanan tangkap pada Bab 5.
6.1 Implikasi Karakteristik Aspek Geo-Topografi Geo-topografi dimaksudkan sebagai letak suatu wilayah ditinjau dari bentuk permukaan buminya berdasarkan pada posisi geografis. Kondisi geo-topografi suatu wilayah menjadi penting, hal ini terkait dengan tingkat aksesibilitas dari wilayah tersebut. Secara umum pusat-pusat pendaratan ikan di Selatan Jawa berada di daerah yang masih terisolir. Wilayah Selatan Jawa sebagian besar berupa pegunungan atau perbukitan. Kondisi geo-topografi seperti ini, menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya kegiatan perikanan di Selatan Jawa. Yani et al. (2004) menyatakan, suatu kegiatan industri biasanya berada di suatu wilayah yang strategis. Lokasi yang strategis adalah suatu lokasi yang dapat
171
mendukung berkembangnya kegiatan industri, yaitu terkait dengan ketersediaan bahan baku, modal, tenaga kerja, sumber energi, transportasi dan komunikasi, pasar, teknologi, peraturan, iklim dan ketersediaan sumber air. Tamin (2000) juga menyatakan, daerah pemukiman, industri, pertokoan, fasilitas hiburan, dan fasilitas sosial, mempunyai beberapa persyaratan teknis dan non teknis yang harus dipenuhi dalam menentukan lokasinya. Ciri teknis yang sering dipakai adalah kondisi topografi (datar, bukit, pegunungan), kesuburan tanah dan geologi. Pusat-pusat kegiatan perikanan berada di suatu wilayah pantai, yang secara umum berada di suatu lokasi dengan kepadatan penduduk rendah. Produksi ikan yang dihasilkan harus didistribusikan ke daerah-daerah lain, agar produk dapat dipasarkan dengan baik. Disini penting diperhatikan bahwa suatu lokasi pusat kegiatan perikanan harus memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi, sehingga pasar produk terjamin. Aksesibilitas atau kemudahan akses, dimaksudkan bahwa daerah produksi mudah diakses pasar. Aksesibilitas terkait dengan kemudahan suatu lokasi dijangkau dengan berbagai sarana transportasi. Transportasi merupakan faktor penting untuk dapat mendistribusikan ikan ke tempat-empat tujuan pasar. Biaya transportasi yang tinggi, tidak efisien bagi upaya untuk mendistribusikan ikan ke tempat tujuan pemasaran, dan berpotensi meningkatkan biaya faktor-faktor produksi. Adanya transportasi memungkinkan terjadinya hubungan antar daerah, antar-hinterland dan foreland, serta menimbulkan dampak terhadap sosial ekonomi penduduk dan penggunaan lahan. Berdasarkan pada pemahaman tersebut di atas, terlihat bahwa lokasi suatu wilayah secara geo-topografi berpengaruh besar terhadap perkembangan kegiatan perikanan.
Perkembangan industri perikanan mensyaratkan suatu kemudahan
akses yang terkait dengan ketersediaan prasarana dan sarana transportasi, sehingga memudahkan orang untuk melakukan perjalanan. Aksesibilitas untuk kegiatan perikanan, terkait dengan kemudahan mendapatkan input untuk melakukan proses produksi, serta akses untuk memasarkan hasil produksi. Secara umum, sebagian besar Wilayah Pantai Selatan Jawa secara geotopografi berada pada lokasi yang tidak strategis untuk kegiatan industri perikanan. Lokasi yang terisolir, dengan bentuk permukaan bumi yang berbukitbukit dan berlereng terjal, infrastruktur jalan belum dibangun secara memadai,
172
serta sarana transportasi yang tidak memadai merupakan faktor potensial yang menghambat berkembangnya kegiatan industri perikanan di daerah ini. Kondisi geo-topografi Kabupaten Sukabumi sebagian besar adalah daerah pegunungan, kecuali di sebagian pantai selatan yang berupa dataran rendah. Lokasi PPN Palabuhanratu berada di sebelah barat daya Kabupaten Sukabumi. Secara geo-topografi lokasi PPN Palabuhanratu merupakan daerah yang sulit dijangkau. Akses menuju lokasi PPN Palabuhanratu dapat melalui dua pintu masuk, yaitu melalui Bogor atau Sukabumi.
Perjalanan dari Bogor menuju
Palabuhanratu dapat melalui jalur Bogor-Cikidang-Palabuhanratu atau BogorCibadak-Palabuhanratu. Kedua jalur tersebut akan melewati daerah pegunungan dan perbukitan, dengan prasarana jalan yang berkelok dan berliku. Jalur Sukabumi-Cibadak-Palabuhanratu, juga dalam kondisi yang sama. Kabupaten Garut berada pada ketinggian 7 sampai dengan 1.244 m dpl, memiliki topografi wilayah sangat beragam. Lokasi PPP Cilautereun berada di Kecamatan Pamempeuk, merupakan lokasi yang cukup terisolir.
Lokasi PPI
Cilaeteureun dapat ditempuh dengan menggunakan sarana angkutan perkotaan atau kendaraan berkapasitas kecil. Jalan menuju PPI Cilautereun melewati daerah perkebunan teh di Pegunungan Cikurai, kondisi jalan sempit, berkelok dan terjal. Secara geo-topografi wilayah Jawa Tengah di bagian selatan merupakan kawasan pantai yang sempit, dengan lebar sekitar 10-25 km. Wilayah perbukitan landai membentang sejajar dengan pantai, dari Cilacap hingga Yogyakarta. Bentuk topografis Kabupaten Cilacap bagian selatan merupakan dataran rendah, terdapat Pulau Nusakambangan dengan cagar alam Nusakambangan dan Segara Anakan. Lokasi PPS Cilacap terletak di Kecamatan Cilacap Selatan tepatnya di Kelurahan Tegal Kamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan. Secara geo-topografi, lokasi PPS Cilacap mudah dijangkau. Terdapat dua akses masuk yaitu dari arah timur dan arah barat. Akses masuk dari timur sangat baik, dengan kondisi jalan yang cukup datar dan lebar. Sementara itu, akses masuk dari arah barat yaitu dari arah Jeruk Legi, prasarana jalan tidak cukup baik dan melalui daerah perbukitan. Kabupaten Kebumen memiliki topografi wilayah umumnya meliputi permukaan daratan, daerah aliran sungai serta daerah pantai.
Selatan daerah
Gombong, terdapat rangkaian pegunungan kapur yang membujur hingga pantai
173
selatan. PPI Pasir terletak di Desa Pasir Kecamatan Ayah, dengan aksesibilitas rendah. Lokasi PPI berada di daerah terisolir, berjarak sekitar 45,5 km dari kota kabupaten. Jalan menuju lokasi melalui daerah pegunungan, berkelok dan terjal. Sarana jalan adalah jalan kabupaten, dengan kondisi sempit dan rusak. Sarana angkutan berupa angkutan pedesaan. Sementara itu keadaan topografi berupa Pegunungan Seribu terletak di Selatan Yogyakarta dengan ketinggian sekitar 130-1.000 m dpl. Wilayah Gunung Kidul sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan kapur, yakni bagian dari Pegunungan Sewu. PPI Sadeng terletak di Kecamatan Girisubo. Kondisi jalan dari Wonosari menuju PPI Sadeng cukup baik. Prasarana jalan berupa jalan hotmix, dengan lebar 5-6 m.
Hambatan utama perjalanan adalah jalan yang
berkelok-kelok mengikuti kountur pegunungan, naik turun dengan bibir jalan yang terjal. Sarana angkutan relatif jarang, dan sangat sepi. Jumlah penduduk di Kecamatan Girisubo relatif kecil, sehingga pergerakan transportasi sangat jarang. Kondisi topografi Jawa Timur bagian selatan berupa pegunungan kapur selatan. Wilayah pegunungan kapur selatan merupakan wilayah tandus, tidak subur dan belum begitu berkembang. Wilayah Pacitan memiliki topografi berupa pegunungan kapur selatan yang membujur dari Gunung Kidul ke Trenggalek menghadap Samudera Hindia. Terdapat tiga jalur utama dari dan menuju Pacitan, yaitu jalur Solo-Wonogiri-Pacitan, Ponorogo-Pacitan dan Trenggalek-Pacitan. Jalur tersebut dalam kondisi baik, namun beberapa diantaranya beresiko longsor dan beberapa ruas kurang memadai untuk beban berat. Secara topografi, sebagian besar wilayah Trenggalek merupakan dataran tinggi dan sebagian kecil lainnya merupakan daerah dataran rendah. Kecamatan Watulimo tempat PPN Prigi berada, memiliki ketinggian dari 0-450 m dpl. Kemiringan tanah berkisar antara 15% sampai dengan 25%. Jalan menuju PPN Prigi berupa jalan hotmix dengan lebar sekitar 3-8 m, melalui daerah pegunungan yang berkelok-kelok, sempit dan terjal. Sarana transportasi berupa colt, sementara itu untuk perdagangan digunakan sarana truk. Kondisi topografis Kabupaten Malang, di bagian selatan merupakan daerah pegunungan kapur dengan ketinggian 0-500 m dpl. PPP Pondokdadap berjarak 29 km dari Kecamatan Sumbermanjing, 75 km dari Kepanjen dan 157 km dari
174
Kota Surabaya. Aksesibilitas menuju PPP Pondokdadap melalui Kota MalangTuren-Sendangbiru dengan jarak sekitar 69 km. Kondisi jalan berupa jalan hotmix dengan lebar sekitar 3-8 m, berkelok-kelok dan terjal. Sarana transportasi yang dapat digunakan berupa mini bus, colt dan ojek. Jika dilihat dari aspek geo-topografinya, daerah pusat kegiatan perikanan yang telah berkembang dengan baik di Selatan Jawa adalah PPS Cilacap. Lokasi PPS Cilacap berada di suatu lokasi yang secara geo-topografi memiliki nilai positif untuk menunjang pengembangan kegiatan industri perikanan. Daerah Cilacap memiliki kondisi topografinya relatif datar, sarana infrastruktur berupa jalan dan sarana transportasi telah terbangun dengan baik. Hubungan dari Cilacap ke daerah-daerah yang menjadi hinterland-nya yaitu Bandung, Semarang, Jakarta dan kota-kota lainnya untuk memasarkan produksi ikan mudah dilakukan. Kota Cilacap sebagai kota pusat pemerintahan kabupaten, perdagangan, industri dan wisata, menjadikan Cilacap memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Pergerakan orang dan barang sangat tinggi, didukung fasilitas transportasi yang sangat baik. Suatu lokasi tidak selamanya akan merupakan daerah yang terisolir. Perkembangan pembangunan dapat membuka isolasi suatu daerah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa lokasi pelabuhan perikanan yang telah berkembang. Seperti misalnya lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi. Perkembangan perikanan di kedua lokasi ini, telah membuka isolasi daerah tersebut. Saat ini Palabuhanratu dan Prigi, sudah cukup ramai. Perkembangan wilayah ini selain dari kegiatan perikanan juga sebagai dampak dari perkembangan kegiatan pariwisata. Aspek geo-topografi terkait juga dengan pemilihan lokasi wilayah daratan yang tepat untuk pembangunan pelabuhan perikanan. Lokasi pelabuhan perikanan mensyaratkan wilayah daratan yang cukup luas, dengan bentuk permukaan yang hampir rata (Murdiyanto 2002). Beberapa lokasi PPI memiliki luas wilayah daratan yang tidak begitu lebar. Pusat kegiatan perikanan seperti di PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap memiliki wilayah dataran yang sempit. Daerah sekitar pelabuhan merupakan areal perbukitan, yang tentunya akan memerlukan biaya mahal untuk menjadikannya pusat kegiatan industri perikanan. Berdasarkan pada pembahasan di atas, terlihat jelas bahwa kondisi geotopografi suatu wilayah akan menentukan bagi perkembangan perikanan di daerah
175
tersebut. Kondisi geo-topografi suatu wilayah akan berimplikasi: 1) kondisi geotopografi lokasi basis penangkapan yang melalui daerah perbukitan dan pegunungan yang terjal akan berpengaruh terhadap aksesibilitas pemasaran produk perikanan; 2) luas lahan berupa dataran yang sempit di suatu lokasi pelabuhan, menghambat berkembangnya kegiatan industri di pelabuhan tersebut; dan 3) lokasi basis penangkapan yang terisolir akan berimplikasi pada sulitnya mendapatkan input produksi, tenaga kerja dan akses dengan dunia luar yang berdampak pada terhambatnya perkembangan kegiatan industri perikanan.
6.2 Implikasi Karakteristik Aspek Biologi Karakteristik biologi terkait dengan keberadaan sumberdaya ikan di suatu perairan. Keberadaan ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu, salinitas, massa air, front, upwelling, termoklin, dan kondisi arus perairan (Subani dan Barus 1988). Keberadaan sumberdaya ikan di suatu perairan berasosiasi dengan kondisi-kondisi tertentu seperti sebuah teluk, muara sungai, perairan karang, serta keberadaan hutan mangrove. Indonesia yang tergolong perairan tropis memiliki perairan karang cukup luas karena karang-karang hanya dapat hidup subur pada perairan yang bersuhu diatas 20oC, sedang suhu rata-rata perairan Indonesia berkisar antara 27oC-30oC (Subani 1984). Faktor musim dan perubahan suhu tahunan juga akan mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan suatu jenis ikan, karena terjadi perubahan kelimpahan makanan (Gunarso 1985). Faktor lingkungan perairan di Indonesia dipengaruhi oleh perubahan musim. Secara umum Wilayah Perairan Selatan Jawa dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat yang berlangsung pada bulan Desember-Maret dan musim timur pada bulan Juni-Agustus. Kedua musim tersebut berpengaruh terhadap kondisi lingkungan perairan dan keberadaan sumberdaya ikan. Pada musim barat sering terjadi hujan lebat, angin sangat kencang, dan ombak yang besar.
Kondisi
perairan akan bersalinitas sangat rendah saat musim hujan. Kondisi salinitas yang rendah pada musim hujan ini, juga disebabkan pengaruh aliran sungai besar yang banyak bermuara di Samudera Hindia. Pada musim timur keadaan perairan relatif lebih tenang, jarang terjadi hujan, dan angin yang bertiup tidak terlalu kencang. Kadar garam pada umumnya tinggi di musim timur.
176
Keberadaan kedua musim ini, juga mempengaruhi aktivitas nelayan dalam melakukan operasi penangkapan. Seringnya terjadi hujan lebat, angin sangat kencang, dan ombak yang besar pada musim barat, menyebabkan nelayan tidak banyak melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan. Sebaliknya kondisi perairan yang relatif lebih tenang, jarang terjadi hujan, dan angin yang bertiup tidak terlalu kencang, memungkinkan nelayan untuk turun ke laut. Perairan Samudera Hindia secara umum merupakan perairan yang memiliki tingkat produktivitas perairan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya sungai besar yang bermuara di Samudera Hindia. Beberapa sungai yang bermuara di Samudera Hindia yaitu Sungai Cimandiri dan Cikaso di Perairan Palabuhanratu, Sungai Cilautereun di Perairan Pameungpeuk, Sungai Serayu, Citandui, Yasa dan Sungai Donan di Perairan Cilacap, Sungai Lukulo di Perairan Kebumen, serta Sungai Opak, Sungai Progo, Sungai Glagah, dan Sungai Bogowonto di Wilayah Perairan DI Yogyakarta. Sungai-sungai tersebut membawa unsur hara yang menyuburkan perairan, dan merupakan tempat yang potensial bagi sumberdaya ikan termasuk di dalamnya adalah sumberdaya udang. Adanya pengaruh peristiwa penaikan massa air (upwelling) yang terjadi di Perairan Samudera Hindia, membawa unsur hara yang ada di lapisan bawah ke lapisan permukaan.
Kondisi ini telah menjadikan Perairan Samudera Hindia
merupakan perairan yang subur. Berdasarkan kajian PRPT yang dilakukan pada bulan Oktober-Nopember 2001, upwelling di Selatan Pulau Jawa berlangsung pada suhu 26,2 oC, makin ke timur maka upwelling semakin mendekati pantai. Kesuburan perairan juga didukung oleh banyaknya hutan bakau (hutan mangrove), khususnya di Perairan Cilacap yaitu di sekitar Segara Anakan. Hutan bakau ini merupakan tempat yang baik bagi post larva udang untuk berlindung dan mencari makan (nursery dan feeding ground). Udang hidup di permukaan dasar laut dengan substrat lumpur bercampur pasir. Udang penaeid umumnya hidup di dasar perairan dengan dasar lumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Selain keadaan dasar laut dan aliran sungai, beberapa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan udang penaeid yaitu suhu, salinitas, kadar oksigen, curah hujan, sedimentasi, kekeruhan, arus dan pasang surut air, fase bulan, keadaan siang hari atau malam, unsur hara dan keadaan hutan mangrove.
177
Daerah penangkapan udang penaeid di Selatan Pulau Jawa terdapat di Perairan Penanjung Pangandaran, Teluk Penyu Cilacap sampai Gombong serta Yogyakarta sampai Pacitan. Kebanyakan udang penaeid tertangkap di Penanjung Pangandaran dan Teluk Penyu Cilacap dan yang tertangkap di Perairan Selatan Yogyakarta sampai Pacitan, merupakan sesuatu yang kebetulan dari migrasi sebagian kecil udang penaeid dari Teluk Penyu Cilacap sampai Gombong karena pengaruh perluasan arus pantai (Naamin 1984). Banyaknya teluk yang berada di Perairan Samudera Hindia juga merupakan fishing ground yang baik bagi sumberdaya ikan. Perairan teluk merupakan perairan yang relatif dangkal, sehingga produktivitas primer di perairan ini relatif tinggi. Perairan teluk diantaranya yaitu Teluk Palabuhanratu di Kabupaten Sukabumi, Teluk Penyu di Kabupaten Cilacap, Teluk Panggul, Teluk Munjungan dan Teluk Prigi di Kabupaten Trenggalek. Perairan Selatan Jawa banyak memiliki pantai berkarang dan curam. Kondisi ini dipengaruhi oleh topografi wilayah, dimana Wilayah Selatan Jawa banyak daerah berupa perbukitan dan pegunungan kapur.
Perairan karang
merupakan fishing ground yang baik untuk perikanan udang karang (lobster). Suman et al. (1993) menyatakan bahwa daerah penangkapan udang karang pada umumnya terdapat di daerah karang dengan kedalaman 3-20 m dengan jarak dari pantai antara 4-7 mil. Lokasi daerah penangkapan biasanya terdapat di sekitar Pulau Nusakambangan, Pangandaran, Parigi, Batukaras, Legok Jawa, Bagolok dan kadang-kadang sampai ke daerah Perairan Selatan Garut. Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa kaya berbagai jenis sumberdaya ikan, baik pelagis besar, pelagis kecil, demersal, dan udang. Potensi sumberdaya pelagis besar sekitar 323,64 ton per tahun, termasuk sumberdaya pelagis besar adalah tuna dan cakalang. Menurut Subani dan Barus (1988), daerah penangkapan tuna berada di Indonesia Bagian Timur dan daerah lain yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Keberadaan tuna sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu, salinitas, massa air, front, upwelling, termoklin, dan kondisi arus perairan. Kondisi perairan yang berubah sesuai dengan perubahan musim yang terjadi di Samudera Hindia, menyebabkan keberadaan tuna tidak tetap sepanjang tahun. Tuna terbiasa untuk melakukan migrasi dari satu perairan ke perairan lain.
178
Potensi sumberdaya ikan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi dan termasuk komoditi ekspor adalah layur dan bawal putih. Layur dan bawal putih termasuk jenis ikan demersal. Kedua jenis ikan ini ditemukan di hampir seluruh perairan pantai di Indonesia. Burhanuddin et al. (1998) menyatakan, ikan bawal umumnya hidup di perairan pantai yang dalam dengan dasar perairan berlumpur. Hasil kajian PRPT yang dilakukan pada bulan Oktober-Nopember 2001 menyatakan, penyebaran sumberdaya pelagis di Samudera Hindia pada kedalaman 5-100 m tercatat di seluruh Perairan Jawa Timur dan secara sporadis di Perairan DI Yogyakarta serta Cilacap. Keberadaan konsentrasi ikan pelagis bertepatan dengan nilai suhu antara 27-29 oC dan nilai salinitas 33-34 psu. Hasil kajian PRPT (2001) juga menyatakan bahwa, tingkat pemanfaatan sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, dan lobster di Wilayah Perairan Samudera Hindia (WPP IX) masih ≤50%, sehingga masih besar peluang untuk dimanfaatkan. Sementara itu untuk sumberdaya demersal, ikan karang, udang penaeid dan cumi-cumi sudah >95%. Berdasarkan pada kondisi biologi Perairan Selatan Jawa seperti tersebut di atas, implikasinya terhadap kinerja kegiatan perikanan adalah: 1) perairan yang subur, khususnya adalah pada daerah-daerah yang berasosiasi dengan perairan teluk, perairan karang, muara sungai, hutan mangrove dan perairan terjadinya upwelling, perairan tersebut merupakan fishing ground yang baik untuk kegiatan penangkapan ikan; 2) beberapa jenis sumberdaya ikan yang potensial dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat dimanfaatkan adalah tuna, cakalang, udang, lobster, layur dan bawal putih; 3) peluang pemanfatan yang masih cukup besar adalah untuk sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil dan lobster.
6.3 Implikasi Karakteristik Aspek Teknologi Secara umum struktur perikanan tangkap didominasi oleh perikanan skala kecil. Kapal/perahu yang digunakan nelayan pada umumnya telah menggunakan mesin, dengan kekuatan mesin rata-rata 15 PK. Jenis perahu yang digunakan sebagian besar adalah jenis perahu fiberglass dengan ukuran 1-2 GT. Dominasi perahu-perahu fiberglass nyata terlihat pada pusat-pusat pendaratan nelayan tradisional. Jenis alat tangkap dominan adalah pancing dan jaring insang (gillnet
179
monofilament dan multifilament). Nelayan lokal merupakan nelayan turun temurun, dengan pengetahuan dan keterampilan terbatas. Dominasi perikanan skala kecil, menyebabkan daerah penangkapan terkonsentrasi di perairan pantai. Dampak dari kondisi tersebut adalah perairan pantai, dengan potensi utama sumberdaya demersal telah mengalami tangkap penuh (fully exploited). Kelompok alat tangkap dominan di Provinsi Jawa Barat adalah jaring insang dan pancing. Jaring insang dan pancing banyak digunakan nelayan di Jawa Barat bagian selatan, utamanya oleh nelayan skala kecil dengan daerah penangkapan ikan di perairan pantai. Alat tangkap skala menengah maupun besar, seperti longline dan purse seine jarang beroperasi. Alat tangkap mini purse seine banyak dioperasikan oleh nelayan di PPP Cilautereun Kabupaten Garut. Pusat kegiatan perikanan terbesar di Selatan Jawa Barat adalah di Kabupaten Sukabumi yaitu di PPN Palabuhanratu. Palabuhanratu telah memiliki pelabuhan perikanan bertipe B, namun demikian unit penangkapan ikan yang digunakan masih didominasi oleh unit skala kecil dan menengah. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang dan pancing.
Jaring angkat
mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2001, yaitu mencapai 1.500 unit. Kelompok jaring angkat utama yang digunakan nelayan adalah bagan. Keberadaan bagan telah menimbulkan permasalahan yang serius, dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan. Permasalahan serius yang ditimbulkan oleh bagan adalah terlalu banyaknya jumah unit yang ada, sehingga hampir menguasai seluruh Perairan Teluk Palabuhanratu.
Disamping itu, banyaknya konstruksi
bagan di laut telah menyulitkan operasi penangkapan ikan oleh jenis unit penangkapan lain. Unit payang juga banyak dioperasikan di PPN Palabuhanratu untuk menangkap ikan pelagis, khususnya ikan tongkol dan cakalang. Pusat kegiatan perikanan terbesar di Garut berada di PPP Cilautereun. Kapal yang digunakan didominasi oleh perahu motor tempel, yang keberadaannya terus meningkat setiap tahun. Perkembangan perikanan di Kabupaten Garut lebih didominasi oleh perikanan skala kecil, dengan unit penangkapan yang digunakan adalah mini purse seine.
Hal yang menarik dari kegiatan perikanan di PPP
Cilautereun adalah peningkatan nilai produksi dengan persentase yang lebih tinggi dari pada produksi. Hal ini mengindikasikan, jenis ikan yang tertangkap memiliki
180
nilai ekonomis yang tinggi. Jenis ikan tersebut diantaranya seperti layur, bawal putih dan kerapu yang merupakan komoditi ekspor. Perikanan di Kabupaten Cilacap didominasi oleh kelompok pancing, trammel net dan gillnet. Alat tangkap pukat kantong cenderung tetap hingga tahun 2002, yaitu berjumlah 570 unit dari sebelumnya berjumlah 580 unit pada tahun 1994. Pukat kantong mengalami peningkatan tajam tahun 2003 yaitu berjumlah 1.390 unit. Pukat kantong yang digunakan, sebagian besar adalah payang dan jaring arad. Jaring arad digunakan nelayan untuk menangkap udang krosok. Kegiatan perikanan di Cilacap merupakan yang terbesar di Selatan Jawa. Pusat kegiatan perikanan terbesar berada di PPS Cilacap. Unit penangkapan longline mulai berkembang di
Cilacap sekitar tahun 1998.
Perkembangan
longline di Cilacap bersamaan dengan dioperasikannya PPN Cilacap. Aktivitas longline terus mengalami peningkatan yaitu dari 252 trip pada tahun 1998, meningkat sampai sebesar 3.773 trip pada tahun 2001. Setelah tahun tersebut, aktivitas longline terus menurun dikarenakan berbagai sebab.
Salah satunya
adalah kenaikan biaya operasional yang tinggi, dengan peningkatan harga solar. Usaha tuna longline di Indonesia secara komersial mulai dijajaki oleh PN Perikani pada tahun 1960. Pada saat itu usaha longline ini kurang berkembang dan akhirnya berhenti karena berbagai kesulitan. Pada awal Pelita I, kembali usaha perikanan tuna longline dirintis yaitu dengan adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha perikanan industri melalui UU Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada saat itu dibentuk proyek perintis usaha longline di Indonesia, yaitu PT. Perikanan Samudera Besar (PT. PSB) pada Mei 1972. Produksi yang dihasilkan adalah tuna beku (frozen tuna), tetapi tidak dapat digunakan untuk bahan baku sashimi karena temperatur palkah hanya mencapai -35 ºC, produksi hanya dapat digunakan untuk ikan kaleng. Pada tahun 1984 PT PSB mulai merintis usaha tuna segar (fresh tuna). Rintisan usaha longline oleh PT PSB mempunyai dampak positif terhadap perkembangan usaha tuna longline di Indonesia (Batubara 1988). Selain longline, Cilacap juga merupakan pusat kegiatan perikanan udang di Selatan Jawa. Jenis komoditi udang yang banyak tertangkap dan merupakan komoditi ekspor, diantaranya yaitu udang dogol dan udang jerbung. Perikanan
181
udang di Cilacap menggunakan alat tangkap trammel net. Trammel net di Cilacap berkembang pasca pelarangan trawl, yaitu pada tahun 1983. Jenis alat tangkap di Kebumen diantaranya adalah payang, jaring sirang, gillnet multifilament, trammel net, dan rawai. Alat tangkap dominan adalah jaring sirang. Jaring sirang digunakan oleh nelayan secara multipurpuse, yaitu dengan menggunakan satu kapal. Jaring sirang digunakan untuk menangkap layur, bawal putih dan lobster, yang akan digunakan nelayan sesuai dengan musimnya. Struktur perikanan di Kabupaten Gunung Kidul tidak jauh berbeda dengan di Kebumen. Unit penangkapan ikan dominan adalah jaring insang dan pancing. Pukat kantong pada awalnya banyak dioperasikan nelayan yaitu pada 1994-1998 berjumlah 800 unit, namun tidak dioperasikan lagi di tahun berikutnya. Nelayan Gunung Kidul juga menggunakan unit penangkapan multipurpose. Nelayan dapat mengganti alat tangkap sesuai dengan musim ikan, tanpa harus mengganti perahu. Unit penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Pacitan terdiri atas payang, gillnet, pancing dan krendet. Jumlah alat tangkap terus mengalami peningkatan, yaitu dari 5.347 unit tahun 2001, menjadi 7.423 unit tahun 2003 atau naik sekitar 39% dalam waktu 2 tahun. Alat tangkap yang dominan di Kabupaten Pacitan selama periode tahun 2001-2003 adalah pancing. Krendet merupakan alat yang digunakan untuk menangkap lobster. Alat tangkap yang dominan digunakan nelayan Trenggalek adalah pancing dan jaring klitik. Rawai banyak digunakan untuk menangkap layur. Purse seine merupakan alat tangkap yang banyak digunakan di PPN Prigi. Purse seine digunakan untuk menangkap ikan pelagis, khususnya tongkol dan cakalang. Pada musim tertentu purse seine digunakan untuk menangkap ikan teri dan lemuru. Alat tangkap yang digunakan nelayan di Malang meliputi pancing, jaring, gillnet, payang, tonda, rawai dan purse seine. Secara umum, jumlah alat tangkap mengalami peningkatan. Pancing tonda mulai dioperasikan di Malang pada tahun 2004, saat ini merupakan alat tangkap yang paling produktif terutama untuk penangkapan tuna dan cakalang. Pancing tonda merupakan alat tangkap yang sangat terkenal di kalangan nelayan Indonesia, karena harganya yang relatif murah dan pengoperasiannya sangat mudah untuk menangkap tuna kecil di dekat permukaan. Tonda merupakan
182
pancing dengan umpan hidup atau umpan palsu yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal (Farid et al. 1989). Subani dan Barus (1988) menyatakan, tonda dioperasikan pada siang hari dengan cara menduga-duga, berlayar kesana kemari dengan terlebih dahulu mencari kawanan ikan seperti tongkol dan cakalang, operasi dapat juga dilakukan disekitar rumpon. Perkembangan perikanan tonda di Malang, telah mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten lain untuk mengembangkan rumpon. Pemasangan rumpon pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam hal ini Diskanlut Jawa Timur. Pemasangan rumpon dilakukan di Perairan Selatan Malang, dengan pusat pendaratan di PPP Pondokdadap. Keberhasilan program ini telah mendorong Dinkanlut Jawa Timur menempatkan rumpon di tempat lain, yaitu di Perairan Trenggalek dan Pacitan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta (Gunung Kidul) dan Jawa Barat (Sukabumi), juga terdorong untuk melakukan hal yang serupa. Saat ini telah berkembang kegiatan perikanan tonda di PPN Prigi, PPI Sadeng dan PPN Palabuhanratu. Perkembangan perikanan tonda ini patut diwaspadai, karena hasil tangkapan umumnya berukuran kurang dari 10 kg. Jika kondisi ini dibiarkan berkembang tanpa perencanaan dan pengendalian yang tepat, dikuatirkan akan membahayakan bagi keberlanjutan sumberdaya tuna. Implikasi dari karakteristik teknologi penangkapan ikan yang ada di Selatan Jawa adalah: 1) diperlukan pengembangan teknologi, dengan skala usaha yang lebih besar; 2) jenis ikan tujuan tangkap akan menentukan terhadap jenis teknologi yang digunakan; 3) pengembangan perikanan pancing tonda untuk memanfaatkan sumberdaya tuna dengan pemasangan rumpon laut dalam yang sedang gencar dikembangkan oleh beberapa pemerintah daerah patut diwaspadai terhadap keberlanjutan sumberdaya tuna.
6.4 Implikasi Karakteristik Aspek Sosial-Ekonomi Mayoritas penduduk di Wilayah Selatan Jawa, khususnya yang bermukim di Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur adalah Suku Jawa. Bahasa sehari-hari penduduk adalah Bahasa Jawa. Mayoritas penduduk Provinsi Jawa Barat adalah Suku Sunda, bahasa sehari-hari Bahasa Sunda. Komunitas campuran terlihat sangat jelas pada daerah-daerah perbatasan, seperti di Cirebon dan Ciamis.
183
Pada kedua daerah ini, bahasa yang digunakan adalah campuran Bahasa Jawa dan Sunda. Agama sebagian besar penduduk adalah Agama Islam. Karakteristik sosial budaya masyarakat Selatan Jawa secara umum adalah bersifat jujur, nrimo, apa adanya, mudah diatur, berdisiplin tinggi, beretos kerja tinggi, menjunjung nilai-nilai kegotongroyongan dan kekeluargaan, serta berakhlak mulia. Kehidupan bergotongroyong dan kekeluargaan masih melekat di masyarakat. Pepatah Jawa yang mengatakan “mangan ora mangan asal kumpul” (makan tidak makan asal berkumpul), sepertinya masih dianut oleh sebagian besar masyarakat. Walaupun dalam perkembangannya banyak juga anggota masyarakat yang kemudian merantau untuk mencari nafkah di kota, namun keterikatan dengan masyarakat desa asal tidak dapat dihilangkan. Perantau ini yang kemudian membawa karakter masyarakat perkotaan ke desa asal dan membawa perubahanperubahan sosial-ekonomi, baik dalam hal positif maupun negatif. Dalam kehidupan bermasyarakat, toleransi dan tenggang rasa diantara penduduk sangat besar. Selain itu, karakter individu penduduk pedesaan di sebagian besar wilayah kajian memiliki sifat ramah, mudah menerima inovasi, menjunjung nilai-nilai agama dan menghormati adat yang sudah turun menurun. Kondisi kehidupan bermasyarakat yang demikian, dapat dijadikan modal sosial yang sangat berarti bagi program pembangunan perikanan. Ruddle et al. (1999) diacu dalam Arsyad et al. (2007) menyatakan, faktor tradisi, hukum adat, kebiasaan penduduk, pengaruh agama dan lain-lain di kalangan komunitas nelayan, memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kelangsungan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan. Secara ekonomi, beberapa kabupaten di Selatan Jawa termasuk kabupaten miskin, seperti Kabupaten Kebumen, Pacitan dan Trenggalek, kecuali Cilacap dan Malang yang termasuk kabupaten kaya. Kondisi ekonomi masyarakat sebagian besar penduduk memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Pertanian merupakan sektor utama perekonomian dan mata pencaharian penduduk. Pertanian mencakup tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Subsektor perikanan laut, memiliki prioritas pembangunan yang lebih rendah dari subsektor pertanian lainnya. Diberlakukannya UU 22/1999, yang diperbaharui dengan UU
184
32/2004, telah mendorong pemerintah kabupaten di Pantai Selatan Jawa mengarahkan prioritas pembangunannya ke subsektor perikanan laut. Secara umum, terdapat perbedaan strata sosial-ekonomi antara masyarakat kota dengan masyarakat desa atau masyarakat nelayan. Masyarakat perkotaan pada umumnya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik. Perkembangan prasarana infrastruktur transportasi, listrik dan telekomunikasi telah memudahkan orang untuk melakukan berbagai kegiatan dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat perkotaan.
Kondisi
sebaliknya terjadi pada masyarakat desa, atau masyarakat nelayan. Secara sosialekonomi masyarakat nelayan pada strata yang rendah. Smith (1981) diacu dalam Kusnadi (2000); Winahyu dan Santiasih (1993) diacu dalam Kusnadi (2000); Simatupang et al. dalam Suryana et al. (1990) menyatakan, secara sosialekonomi nelayan merupakan kelompok masyarakat yang paling termarjinalkan. Tingkat pendidikan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan dimanapun berada. Tingkat kehidupan nelayan sedikit di atas pekerja migran atau setaraf dengan petani kecil. Bahkan, jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan khususnya nelayan buruh dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling bawah. Kondisi sosial-ekonomi nelayan pada strata paling bawah, selain disebabkan faktor intrinsik usaha, juga dipengaruhi oleh teknologi, kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Simatupang et al. dalam Suryana et al. (1990) menyatakan, usaha perikanan merupakan usaha yang penuh resiko, musiman dan padat modal. Besarnya kebutuhan modal, cenderung membuat kedudukan pemilik modal sangat kuat. Hal ini menyebabkan ketimpangan bagian keuntungan yang diterima oleh pemilik modal dan nelayan. Kondisi ini nyata terlihat di pemukiman nelayan, juragan/pemilik kapal biasanya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik. Selain perbedaan karakteristik sosial-ekonomi antara masyarakat kota dan masyarakat nelayan, terdapat pula perbedaan karakteristik sosial-ekonomi masyarakat nelayan dari 8 kabupaten yang menjadi obyek penelitian. Masyarakat nelayan di Palabuhanratu, Cilacap dan Prigi, umumnya lebih maju dari pada masyarakat
nelayan
di
kabupaten
lainnya.
Sentuhan
program-program
pembangunan perikanan dan keberadaan fasilitas pusat pendaratan ikan yang telah
185
mengarah ke perikanan industri, menjadikan kondisi masyarakat nelayan memiliki wawasan yang lebih luas dan kondisi sosial-ekonominya lebih baik. Program COFISH yang telah berjalan selama 2 periode di Kabupaten Trenggalek, telah mampu merubah cara pandang masyarakat terhadap perilaku pengelolaan sumberdaya perikanan. Program pemberdayaan nelayan dilakukan melalui pembentukan dan penguatan kelompok-kelompok nelayan, dalam bentuk pelatihan dan paket bantuan modal dan peralatan, serta fasilitas peningkatan akses terhadap lembaga keuangan.
Program COFISH di Trenggalek terasa sekali
manfaatnya bagi peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Berbagai program pembangunan lainnya, seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), juga telah mampu merubah kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan ke tingkat yang lebih baik. Program PEMP telah menyentuh hampir semua masyarakat nelayan di lokasi wilayah kajian. Berbagai organisasi kenelayanan seperti KUB, Rukun Nelayan dan Kelompok Wanita Nelayan, juga telah berperan dalam peningkatan kondisi sosial-ekonomi nelayan. Karakteristik sosial-ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat nelayan berimplikasi terhadap: 1) pengembangan perikanan diharapkan lebih berpihak ke nelayan, sehingga dapat meningkatkan strata sosial-ekonomi nelayan; 2) inovasi teknologi baru maupun pengembangan skala usaha nelayan dapat dilakukan, karena secara umum nelayan di Selatan Jawa mudah untuk menerima perubahan atau inovasi baru; 3) diversifikasi usaha perlu diberikan, sehingga nelayan mendapatkan hasil tambahan dan dapat meningkatkan strata sosial-ekonominya.
6.5 Implikasi Karakteristik Aspek Politik Menurut Saad (2003) , politik hukum dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum perikanan merupakan keseluruhan kebijakan pemerintah mengenai perikanan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk produk hukum. Berdasarkan hal tersebut, produk hukum perikanan merupakan wujud dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, hukum, peraturan, kelembagaan dan orang-orang yang terlibat di
186
dalamnya. Politik mencakup aspek kelembagaan, karena hukum atau peraturan dalam implementasinya dilakukan oleh fungsi dari lembaga yang ada. Politik terkait dengan orang-orang yang berada di dalam kelembagaan atau pemerintahan. Siapa orang yang berperan sebagai pengambil keputusan di bidang perikanan, akan menentukan arah bagi pengembangan perikanan. Terkait dengan kondisi di atas, peran dari kelembagaan perikanan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota sangatlah penting bagi keberlanjutan pengembangan perikanan di wilayahnya. Hal ini jelas terlihat pada kabupaten dengan kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan yang berdiri sendiri, seperti di Kabupaten Cilacap, Sukabumi dan Trenggalek. Perkembangan perikanan di ketiga kabupaten tersebut telah berkembang dengan baik. Selain kelembagaan dinas, keberadaan kelembagaan lainnya, seperti KUD, HNSI dan kelompok-kelompok nelayan juga berperan penting bagi pembangunan perikanan. Disamping faktor kelembagaan, keterpaduan sistem perundang-undangan perlu dibangun untuk dapat menjamin terlaksananya pengelolaan sumberdaya secara optimal, efisien dan efektif. Keterpaduan sistem perundangan-undangan mencakup materi hukum, agar tidak terjadi ketidaksesuaian antara perundangundangan yang satu dengan yang lainnya.
Keterpaduan antara peraturan
perundangan di tingkat nasional dengan di daerah dan juga dengan di tingkat internasional. Peraturan atau kebijakan mencakup juga peraturan atau kebijakan tidak tertulis yang sudah mengakar di masyarakat. Peraturan atau kebijakan tersebut merupakan kearifan lokal yang perlu dihargai dan dipertahankan. Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah Indonesia, sudah dibuat dan sudah diberlakukan. Sebagai salah satu acuan dalam pembuatan peraturan perundangundangan tentang perikanan adalah Konvensi PBB tentang hukum laut yaitu United Nation Convention on the Law of the Sea, dimana Indonesia telah turut merativikasi dan mensahkannya dalam UU 17/1985. Ketentuan batas wilayah perairan Indonesia, telah diatur diantaranya melalui: 1) UU 1/1973 tentang Landas Kontinen, 2) UU 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, 3) UU 6/1996 tentang Perairan Indonesia, dan 4) PP 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Peraturan berkaitan
187
dengan pengelolaan perikanan, diantaranya adalah PP 15/1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Undang-Undang tentang Perikanan yaitu UU 9/1985 yang diperbaharui dengan UU 31/2004.
Selanjutnya berbagai peraturan kebijakan diturunkan dari UU
tersebut diantaranya seperti yang telah disebutkan pada Bab 5.3.1. Peraturan mengenai pembagian wewenang pengelolaan perikanan antara pusat dan daerah tercantum UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini diperjelas pelaksanaannya melalui PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Berbagai peraturan daerah telah dibuat dalam rangka pelaksanaan mandat sesuai dengan kewenangannya seperti telah disebutkan di Bab 5.3.1. Terlihat bahwa peraturan atau kebijakan yang dibuat daerah masih sangat terbatas, serta belum
dapat
mengakomodasikan
tugas
dan
wewenang
yang
telah
didesentralisasikan pemerintah kepada daerah sesuai dengan UU 32/2004 dan PP 38/2007.
Berbagai faktor menjadi sebab masih terbatasnya peraturan dan
kebijakan perikanan di daerah. Lambannya pembuatan peraturan atau kebijakan di bidang perikanan di daerah, diantaranya terkait dengan keterbatasan SDM, masih rendahnya pemahaman terhadap kegiatan pengelolaan perikanan, situasi politik daerah dan kepentingan ego sektoral, serta mahalnya proses untuk pembuatan peraturan atau kebijakan. Kondisi politik wilayah berimplikasi terhadap: 1) pengembangan perikanan masih berjalan lambat, karena dukungan politik pemerintah masih rendah; 2) diperlukan pembuatan kebijakan-kebijakan perikanan untuk dapat mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan wewenang pengelolaan yang telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah; 3) kelembagaan dinas terkait dengan perikanan dan kelautan diharapkan dapat berdiri sendiri tidak tergabung dengan sektor lain. Berdasarkan pemahaman di atas, nyata bahwa kondisi aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial-ekonomi dan politik berimplikasi terhadap kinerja perikanan di Wilayah Selatan Jawa. Secara keseluruhan implikasi karakteristik berbagai aspek tersebut terhadap kinerja perikanan terangkum dalam Tabel 11.
188
Kebijakan strategis untuk penerapan model di atas memiliki nilai konsistensi yang cukup tinggi, sehingga model cukup valid untuk dapat diterapkan dalam sistem. Nilai konsistensi dari setiap elemen secara berurut untuk pengembangan perikanan tuna dan pengembangan perikanan pantai yaitu: 1) sektor masyarakat yang terpengaruh (93,5%), (97,22%) ; 2) kebutuhan untuk terlaksananya program (98,2%), (91,71%) ; 3) kendala utama pengembangan program (93,0), (93,83); 4) perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari program (97,0%), (97,00%); 5)
189
tolok ukur keberhasilan program (96,3%), (97,53%); 6) aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program (97,0%), (97,53%) ; serta 7) lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program (93,5%), (96,80%).
Analisis finansial dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha pada perikanan tuna longline.
Perhitungan kelayakan usaha meliputi perhitungan
keuntungan usaha, net present value (NPV), net benefit cost ratio (B/C) dan internal rate of return (IRR) (Gaspers 1992; Gray et al. 1992).
190
Tabel 11 Implikasi karakteristik aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan di Wilayah Selatan Jawa Aspek
Karakteristik
1
GeoTopografi
- Basis penangkapan secara geografi merupakan di daerah cukup terisolir. - Secara topografi sebagian besar wilayah merupakan rangkaian pegunungan kapur selatan, dengan bentuk permukaan bumi yang berbukit-bukit dan berlereng terjal. - Infrastruktur jalan belum dibangun secara memadai. - Sarana transportasi masih terbatas. - Secara umum merupakan lokasi yang tidak strategis untuk kegiatan industri perikanan. - Terkecuali Cilacap, memiliki wilayah daratan relatif rata dan tingkat aksesibilitas tinggi.
2
Biologi
- Perairan termasuk Wilayah Samudera Hindia (WPP IX), kaya akan sumberdaya ikan, baik pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan udang. - Perairan yang subur, khususnya adalah pada daerah-daerah yang berasosiasi dengan perairan teluk, perairan karang, muara sungai, hutan mangrove dan perairan terjadinya upwelling. - Pemanfaatan sumberdaya demersal, udang, ikan karang dan cumi-cumi dalam kondisi fully exploited (pemanfaatan mencapai hampir 100%). - Potensi sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil dan lobster masih memiliki peluang untuk diusahakan (pemanfaatan baru sekitar 50%).
- Perairan yang subur, khususnya adalah pada daerahdaerah yang berasosiasi dengan perairan teluk, perairan karang, muara sungai, hutan mangrove dan perairan terjadinya upwelling, merupakan fishing ground yang baik untuk kegiatan penangkapan ikan - Beberapa jenis sumberdaya ikan potensial dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat dimanfaatkan adalah tuna, cakalang, udang, lobster, layur dan bawal putih - Peluang pemanfatan yang masih cukup besar untuk sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil dan lobster.
3
Teknologi
-
- Diperlukan pengembangan teknologi, dengan skala usaha yang lebih besar. - Jenis ikan tujuan tangkap akan menentukan terhadap jenis teknologi yang digunakan. - Pengembangan perikanan pancing tonda untuk memanfaatkan sumberdaya tuna dengan pemasangan rumpon laut dalam yang sedang gencar dikembangkan oleh beberapa pemerintah daerah patut diwaspadai terhadap keberlanjutan sumberdaya tuna.
-
Usaha perikanan didominasi usaha perikanan skala kecil, unit teknologi didominasi oleh jaring monofilament (jaring sirang), multifilament (gillnet) dan pancing, kapal jenis fiberglass, 1-2 GT, bermesin luar (outbord engine) sekitar 15 PK, digunakan secara multipurpose untuk menangkap bawal putih, bawal hitam, cucut, layur, lobster serta sumberdaya ikan lain di perairan pantai. Unit skala menengah khususnya untuk menangkap tongkol, cakalang, tenggiri, dengan alat tangkap gillnet, purse seine dan pancing tonda. Unit skala besar untuk menangkap tuna, dengan alat tangkap longline.
Implikasi karakteristik wilayah terhadap perkembangan perikanan - Sulitnya akses pemasaran dari produk perikanan yang dihasilkan. - Luas lahan berupa dataran yang sempit di suatu lokasi pelabuhan, menghambat berkembangnya kegiatan industri di pelabuhan tersebut - Lokasi basis penangkapan yang terisolir sulit untuk mendapatkan input produksi, tenaga kerja dan akses ke dunia luar, sehingga berdampak pada terhambatnya perkembangan kegiatan perikanan.
188
No.
184
Tabel 11 Lanjutan No.
Aspek
Karakteristik
4
SosialEkonomi
-
5
Politik
-
-
Dukungan politik pemerintah provinsi, kabupaten/kota terhadap perkembangan perikanan masih rendah, prioritas pembangunan perikanan dan kelautan masih rendah, orientasi pembangunan masih terfokus ke darat. Kebijakan atau regulasi di bidang perikanan masih terbatas. Kelembagaan perikanan, khususnya kelembagaan pemerintah (dinas perikanan) belum berperan optimal, karena masih bergabung dengan sektor lain. Pada daerah yang dinas perikanannya berdiri sendiri tidak bergabung dengan sektor lain, perkembangan perikanannya relatif lebih baik. Kelembagaan usaha (KUD) dan kelembagaan lainnya juga masih belum berperan nyata dalam memajukan perikanan di daerahnya. Kelembagaan yang tumbuh dari rasa kebersamaan nelayan seperti Rukun Nelayan, relatif lebih memiliki peran dalam pembangunan perikanan lokal.
- Pengembangan perikanan masih berjalan lambat, karena dukungan politik pemerintah masih rendah. - Diperlukan pembuatan kebijakan-kebijakan perikanan untuk dapat mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan wewenang pengelolaan yang telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah. - Kelembagaan dinas terkait dengan perikanan dan kelautan diharapkan dapat berdiri sendiri tidak tergabung dengan sektor lain.
189
-
Termasuk kabupaten miskin, kecuali Cilacap, Sukabumi dan Malang. Strata sosial-ekonomi nelayan termasuk kelompok yang termarjinalkan. Nelayan bersifat terbuka terhadap perubahan/ inovasi teknologi baru. Hubungan kekerabatan, rasa gotong royong dan kekeluargaan masih cukup tinggi. Sebagian nelayan memiliki mata pencaharian lain yaitu sebagai petani dan peternak. Secara umum, nelayan yang memiliki mata pencaharian lain memiliki kondisi sosial-ekonomi yang lebih baik. Nelayan pemilik memiliki strata ekonomi yang lebih baik dari pada nelayan buruh. Nelayan pada unit usaha dengan skala yang lebih besar, umumnya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik. Terdapat perbedaan strata sosial-ekonomi antara daerah yang kegiatan perikanannya sudah berkembang seperti Cilacap, Palabuhanratu dan Prigi dengan daerah lain yang kegiatan perikanannya belum berkembang. Pada daerah yang kegiatan perikanannya sudah berkembang umumnya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik.
Implikasi karakteristik wilayah terhadap perkembangan perikanan - Pengembangan perikanan diharapkan lebih berpihak ke nelayan, sehingga dapat meningkatkan strata sosial-ekonomi masyarakat nelayan. - Inovasi teknologi baru maupun pengembangan skala usaha nelayan dapat dilakukan, karena secara umum nelayan di Selatan Jawa mudah untuk menerima perubahan atau inovasi baru. - Diversifikasi usaha perlu diberikanan, sehingga nelayan mendapatkan hasil tambahan dan dapat meningkatkan strata sosial-ekonomi nelayan.
7 PERMODELAN SISTEM 7.1 Verifikasi Verifikasi untuk penyusunan permodelan sistem dilakukan melalui penelitian yang dilakukan di 8 kabupaten yang berlokasi di Selatan Jawa. Data dan informasi yang dikumpulkan berasal dari tingkat provinsi, kabupaten dan pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan (PP/PPI). Data dan informasi dikumpulkan melalui observasi langsung di lapangan, wawancara dan pengumpulan data sekunder dari berbagai instansi yang terkait. Wawancara melibatkan sekitar 117 responden, mewakili para pelaku sistem perikanan tangkap meliputi: Pemerintah Daerah/BAPPEDA, Dinas Perikanan Provinsi, Dinas Perikanan Kabupaten, Pengelola PP/PPI, KUD, Penyuluh Perikanan,
Badan
Usaha,
Pedagang/Eksportir,
Pengolah
Ikan,
Pemilik
Kapal/Nelayan (longline, pancing tonda, purse seine, gillnet multifilament, gillnet monofilament, payang, trammel net, rawai dan bagan) (Lampiran 26).
7.2 Analisis Sumberdaya Ikan Unggulan Rancangan model didahului dengan penentuan jenis ikan unggulan, yang akan dijadikan dasar bagi daerah untuk mengembangkan perikanan di wilayahnya. Selanjutnya variabel-variabel model pengembangan, akan disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya perikanan untuk ikan unggulan tersebut. Hasil analisis ikan unggulan menyatakan, ikan tuna merupakan ikan unggulan utama untuk Sukabumi, Cilacap dan Malang. Cakalang unggulan kedua untuk Sukabumi dan Malang, serta unggulan ketiga untuk Cilacap dan Trenggalek, Lobster merupakan unggulan pertama untuk Kebumen, kedua untuk Pacitan dan unggulan kelima untuk Gunung Kidul. Layur merupakan komoditas unggulan untuk beberapa kabupaten, diantaranya yaitu unggulan kedua untuk Gunung Kidul dan Kebumen, keempat untuk Sukabumi dan kelima untuk Pacitan dan Trenggalek. Trenggalek memiliki komoditas unggulan ikan teri. Garut dan Pacitan memiliki komoditas unggulan pertama bawal putih. Cilacap merupakan kabupaten satu-satunya di Selatan Jawa yang memiliki komoditas ikan unggulan dari jenis udang, yaitu udang windu dan udang dogol (Tabel 12).
191
Tabel 12 Hasil analisis komoditas ikan unggulan untuk setiap kabupaten LQ LQ Nilai Nama ikan Produksi produksi Peluang Olahan CPI Sukabumi Tuna 3,11 2,94 3 225,33 199,08 Cakalang 3,03 2,69 2 219,11 182,43 Cucut 1,65 2,00 2 119,59 135,28 Layur 1,54 1,67 2 111,64 113,02 Rumput Laut 1,94 1,48 1 140,17 100,00 Pari 1,38 1,54 1 100,00 104,20 Garut Bawal Putih 11,06 2,18 2 1.017,84 150,88 Kerapu 3,18 3,97 2 293,06 275,11 Cucut 2,94 3,51 2 270,86 242,66 Kakap 3,34 2,32 2 307,65 160,49 Pari 2,10 1,91 1 193,04 132,15 Tongkol 1,09 1,44 1 100,00 100,00 Cilacap Tuna 1,11 1,21 3 109,41 107,56 Udang windu 1,11 1,21 3 109,41 107,56 Cakalang 1,11 1,20 3 109,03 106,85 Udang dogol 1,01 1,13 3 100,00 100,43 Cucut 1,05 1,12 2 103,78 100,00 Cumi-Cumi 1,09 1,19 1 107,93 105,82 Kebumen Lobster 6,45 6,18 3 292,86 175,44 Layur 5,71 7,97 2 259,24 226,37 Kembung 7,24 5,59 1 328,63 158,86 Bawal putih 4,13 3,52 2 187,56 100,00 Kakap 2,20 3,95 2 100,00 112,10 Pari 4,36 3,85 1 197,90 109,36 Gunung Kidul Cucut 1,24 1,24 2 102,54 117,34 Layur 1,21 1,14 2 100,00 107,85 Tongkol 1,56 1,35 1 128,61 127,37 Rumput laut 1,54 1,36 1 126,84 128,61 Lobster 1,26 1,39 1 104,10 130,78 Kembung 1,29 1,06 1 106,35 100,00 Pacitan Bawal putih 12,62 8,52 2 475,40 575,85 Lobster 12,2 6,49 3 452,72 438,61 Kakap 9,95 4,24 2 374,74 286,33 Cucut 6,25 2,97 2 235,32 200,52 Layur 2,65 1,48 2 100,00 100,00 Pari 4,12 2,09 1 155,25 141,07 Trenggalek Bawal hitam 4,43 4,26 1 275,98 284,93 Teri Cakalang Peperek Layur
4,88 2,40 2,84 1,61
2,41 1,63 2,10 1,50
1 3 1 2
303,64 149,41 176,44 100,00
160,99 108,68 140,45 100,00
Jumlah 300 200 200 200 100 100
Prioritas
724,42 601,54 454,87 424,66 340,17 304,20
1 2 3 4
200 1.368,72 200 768,17 200 713,52 200 668,14 100 425,20 100 300,00
1 2 3 4 5 6
300 300 300 300 200 100
516,97 516,97 515,87 500,43 403,78 313,75
1 2 3 4 5 6
300 200 100 200 200 100
768,29 685,61 587,49 487,56 412,10 407,25
1 2 3 4 5 6
200 200 100 100 100 100
419,87 407,85 355,98 355,45 334,88 306,35
1 2 3 4 5 6
200 1.251,25 300 1.191,33 200 861,07 200 635,84 200 400,00 100 396,32
1 2 3 4 5 6
100
660,91
1
100 300 100 200
564,63 558,09 416,89 400,00
2 3 4 5
6
192 Kuwe
1,87
1,56
1
116,45
104,27
100
320,70
6
Tabel 12 Lanjutan LQ LQ Nilai Nama ikan Produksi produksi Peluang Olahan CPI Malang Tuna 12,79 10,90 3 765,29 745,76 Cakalang 6,65 4,65 3 397,87 318,05 Merah 7,09 3,44 1 424,25 235,49 Cucut 2,64 2,22 2 157,82 151,92 Layang 2,68 1,46 1 160,30 100,00 Tongkol 1,67 1,49 1 100,00 102,17 Sumber: Hasil olahan data
300 300 100 200 100 100
Jumlah
Prioritas
1.811,06 1.015,92 759,74 509,74 360,30 302,17
1 2 3 4 5 6
Jenis ikan unggulan tersebut, menjadi acuan komoditas unggulan untuk pengembangan perikanan bagi setiap kabupaten. Pengembangan perikanan tuna berbeda dengan jenis ikan lainnya seperti cakalang, tongkol, cucut, layur, bawal putih, udang dan lobster, yang relatif tidak berbeda dalam aspek usaha, kebutuhan fasilitas pelabuhan, aksesibilitas pasar, serta kebijakan dan kelembagaan. Perbedaan tersebut, pertama berkaitan dengan sifat dan keberadaan sumberdaya tuna yang berada di perairan lepas pantai dan melakukan migrasi jarak jauh, kondisi ini menyebabkan kebutuhan teknologi penangkapan ikan yang tinggi dan kerjasama antar wilayah untuk pengelolaannya. Kedua, tuna sebagai komoditi ekspor yang mensyaratkan kualitas tinggi, membutuhkan proses dan fasilitas penanganan yang baik saat di atas kapal, di pelabuhan dan selama pendistribusian. Berdasarkan kondisi tersebut, rancangan sistem dikembangkan dalam dua model. Kedua model tersebut yaitu: 1) model pengembangan perikanan lepas pantai (SIMPELA), dan 2) model pengembangan perikanan pantai (SIMPETAI).
7.3 Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai Model pengembangan perikanan lepas pantai dalam kajian ini lebih difokuskan pada pengembangan perikanan tuna, yaitu untuk pemanfaatan sumberdaya tuna di ZEE Indonesia. Unit penangkapan yang tepat untuk pemanfaatan sumberdaya di ZEE Indonesia adalah longline. Pengembangan dilakukan dengan terlebih dahulu membangun usaha atau bisnis perikanan. Pengembangan bisnis perikanan tuna memerlukan sistem manajemen yang profesional, karena perikanan tuna adalah perikanan skala
193
industri. Tujuan utama usaha perikanan tuna adalah produk dengan kualitas ekspor, khususnya dalam bentuk tuna segar (fresh tuna). 7.3.1
Analisis Sistem Perikanan Lepas Pantai
1) Analisis subsistem USAHA Usaha perikanan tuna memerlukan teknologi penangkapan ikan yang canggih, permodalan yang besar, SDM yang terampil dan berpengalaman, serta kebutuhan lainnya yang pada umumnya haruslah berkualitas tinggi. Keberhasilan usaha, akan sangat tergantung pada tiga faktor utama yaitu potensi sumberdaya ikan, faktor teknis usaha dan kelayakan ekonomi dari usaha.
(1) Analisis potensi sumberdaya Analisis potensi sumberdaya ikan tuna dilakukan berdasarkan pendekatan nilai catch per unit effort (CPUE) ikan tuna yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPN Pondokdadap. Hasil analisis menunjukkan, nilai CPUE ikan tuna untuk pancing tonda di PPP Pondokdadap berfluktuasi (Lampiran 27a). Produksi ikan tuna meningkat pada tahun 2004 dibandingkan dengan produksi pada tahun 2000, yaitu dari 19.213 kg pada tahun 2000 menjadi 1.738.369 kg pada tahun 2004. Upaya penangkapan meningkat dari 888 trip pada tahun 2000, menjadi 5.011 trip pada tahun 2004. Nilai catch per unit effort (CPUE) atau produktivitas meningkat dari 21,64 kg per trip pada tahun 2000, menjadi 346,91 kg per trip pada tahun 2004. Produksi ikan tuna di PPS Cilacap berfluktuasi. Produksi pada tahun 1996 berjumlah 216.774 kg, meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2001, yaitu berjumlah 2.112.901 kg. Pada tahun 2003 produksi tuna menurun menjadi 487.450 kg. Penurunan produksi terkait dengan sedikitnya kapal longline yang masuk ke PPS Cilacap, karena terjadinya pendangkalan pada alur masuk ke kolam pelabuhan. Upaya penangkapan berjumlah 41 trip pada tahun 1996, meningkat menjadi 3.773 trip pada tahun 2001. Upaya penangkapan menurun drastis pada tahun 2002 menjadi 429 trip dan 127 trip pada tahun 2003. Nilai catch per unit effort (CPUE) cenderung menurun selama periode 1996-2001. Produktivitas terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 560,01 kg per trip. Produktivitas
194
meningkat pada tahun 2002 menjadi 3.452,24 kg per trip, dan terus meningkat menjadi 4.703 kg per trip pada tahun 2005 (Gambar 16).
6
CPUE (ton/trip)
5 4 3 2 1 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 16 Catch per unit effort tuna di PPS Cilacap. Kegiatan perikanan tuna di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2002 menggunakan payang dan gillnet, periode 2003-2006 menggunakan unit longline. Produksi berfluktuasi, pada tahun 2000 berjumlah 142.048 kg, menurun menjadi 85.733 kg tahun 2001 dan meningkat menjadi 710.131 kg tahun 2004. Upaya penangkapan berjumlah 4.458 trip tahun 2000, menurun pada tahun 2001 dan meningkat tajam tahun 2002 yaitu sebesar 9.379 trip. Tahun 2003, upaya penangkapan longline sebesar 164 trip, meningkat menjadi 281 trip tahun 2004. Produktivitas rendah pada periode 2000-2002 yaitu sebesar 31,86 kg per trip tahun 2000, menurun menjadi 18,92 kg per trip tahun 2002. Nilai catch per unit effort (CPUE) meningkat pada tahun 2003 menjadi 668,78 kg per trip, dan terus meningkat menjadi 2.527,16 kg per trip tahun 2004 (Lampiran 27b). Potensi sumberdaya ikan pelagis besar, menurut kajian PRPT tahun 2001 sebesar 386.260 ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 188.280 ton atau baru dimanfaatkan 48,74% (Tabel 1 Bab 1). Hasil analisis dengan pendekatan CPUE dari tiga lokasi yaitu PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPP Pondokdadap menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Berdasarkan CPUE dan hasil pengkajian stok oleh PRPT tahun 2001, dapat disimpulkan bahwa masih tersedia peluang yang besar untuk pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa.
(2) Analisis teknis usaha perikanan
195
Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Kegiatan usaha penangkapan ikan meliputi kegiatan dari pra produksi, produksi, pasca produksi dan pemasaran. Kondisi existing sub sistem usaha perikanan tuna di Selatan Jawa, telah dideskripsikan pada Bab 5.1.1. (a) Kegiatan pra poduksi Ketersediaan input produksi merupakan faktor penting agar kegiatan usaha dapat berjalan lancar. Input produksi pada perikanan tuna meliputi: -
Ketersediaan unit penangkapan;
-
Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang handal dan terampil;
-
Permodalan: modal investasi dan modal operasi;
-
Ketersediaan perbekalan: solar, minyak tanah, air tawar, es, dan umpan. Ketersediaan unit penangkapan yang meliputi kapal perikanan, alat tangkap,
mesin dan peralatan bantu penangkapan lainnya merupakan faktor yang sangat penting. Kapal memiliki umur teknis yang terbatas. Kapal longline yang terbuat dari kayu, memiliki umur teknis sekitar 15-20 tahun. Pada Tabel 3 dalam Bab 5.1.1, disebutkan bahwa kapal-kapal longline yang ada saat ini dibuat tahun 19962004, maka setiap tahun akan ada kapal yang rusak dan perlu diganti dengan yang baru. Mengingat bahwa saat ini tingkat pemanfaatan sumberdaya pelagis besar di WPP IX baru sekitar 48,74%, maka masih diperlukan banyak unit kapal untuk pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di WPP IX. Unit longline memerlukan SDM yang handal, terampil dan berpengalaman. Kebutuhan rata-rata ABK longline adalah 15 orang. Hasil wawancara usia produktif untuk bekerja di kapal longline adalah umur 20-50 tahun. Setiap tahun akan ada regenerasi ABK. Penyediaan SDM harus lebih baik dari kondisi yang ada saat ini, khususnya dari aspek kualitas. Rata-rata ABK yang bekerja di kapal longline saat ini lulus SD dan SMP. Pengetahuan operasi penangkapan, diperoleh berdasarkan pengalaman setelah ikut dalam kegiatan operasi penangkapan ikan. ABK pada unit longline mensyaratkan keahlian dan keterampilan yang khusus, terkait dengan medan yang berat, lautan yang luas dan harus tahan hidup lama di laut. Penyediaan ABK untuk bekerja di kapal longline tidaklah mudah. Satu karakteristik nelayan Selatan Jawa yang mungkin sulit dirubah adalah kebiasaan melakukan trip harian (one day trip). Diperlukan adaptasi yang besar
196
untuk berubah menjadi nelayan yang harus melakukan trip bulanan. Sebagian besar nelayan longline yang ada saat ini, berasal dari nelayan Pantai Utara Jawa. ABK longline memerlukan keahlian yang baik, utamanya untuk posisi Fishing Master/Nakhoda, Kepala kamar mesin (KKM), Kepala pengoperasian alat tangkap dan Kepala penanganan kualitas ikan. Fishing Master bertanggungjawab untuk keberhasilan penangkapan ikan, khususnya dalam pencarian fishing ground yang tepat. Kepala kamar mesin bertanggungjawab menangani mesin kapal, agar operasi penangkapan dapat berjalan lancar. Kepala pengoperasian alat tangkap bertanggungjawab dalam pengoperasian longline. Alat tangkap longline dalam pengoperasiannya, yaitu saat setting harus dilakukan dengan kecepatan tinggi. Kesalahan dalam perangkaian longline dapat berakibat fatal, ABK dapat tercebur ke laut atau tersangkut pancing. Kepala penanganan ikan, bertanggungjawab dalam pengendalian kualitas tuna. Ikan tuna perlu dijaga dalam kondisi fresh dan berkualitas baik, untuk itu diperlukan tenaga yang ahli dalam penanganan tuna. Semua posisi tenaga ABK tersebut memerlukan keahlian dan sertifikasi khusus. Saat ini telah tumbuh sekolah setingkat SMA khusus perikanan. Beberapa diantaranya yaitu di Turen, Kabupaten Malang dan di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Trenggalek. Keberadaan sekolah ini diharapkan dapat menggantikan tenaga-tenaga perikanan yang lebih menguasai ilmu dan teknologi penangkapan ikan. Disamping tenaga-tenaga yang telah dihasilkan sebelumnya dari Sekolah Usaha Menengah Perikanan (SUPM) yang telah berdiri cukup lama di Tegal, dan juga pusat-pusat pelatihan ketenagakerjaan lainnya. Peran pemerintah diperlukan untuk dapat menjamin bahwa, lulusan sekolah perikanan tersebut memang benarbenar akan bekerja di bidangnya dan tidak bekerja di bidang lainnya. Ketersediaan permodalan merupakan faktor penting lainnya. Biaya investasi yang tinggi untuk pembelian kapal, mesin, alat dan perlengkapan lainnya yaitu sekitar Rp 1.100.000.000,00, menjadikan pengusaha cukup sulit untuk melakukan investasi kembali kapal penangkapan ikannya. Akibatnya banyak digunakan kapal longline yang sebenarnya sudah tidak ekonomis lagi. Biaya operasi penangkapan ikan pada kapal longline tinggi, yaitu sekitar Rp 192.330.000,00 per trip. Jika kapal melakukan rata-rata 6 trip per tahun, maka dibutuhkan biaya operasi sebesar Rp 1.243.782.000,00. Kenaikan BBM yang
197
tinggi yaitu hampir 100% pada tahun 2005, merupakan pukulan berat bagi usaha tuna longline. Banyak kapal longline yang tidak mampu melakukan trip operasi. Kenaikan BBM menyebabkan peningkatan persentase kebutuhan biaya yang cukup signifikan bagi perusahaan. Berdasarkan pengalaman dari PT Bonecom, kenaikan BBM telah menyebabkan meningkatnya persentase biaya BBM dari 33% menjadi 52% dari total biaya yang dikeluarkan perusahaan (Tabel 13). Kedepan, diperlukan kajian untuk penggunaan teknologi penangkapan tuna yang hemat BBM. Diperlukan juga kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada usaha perikanan, hal ini mengingat usaha yang beresiko tinggi (high risk). Bantuan permodalan dengan bunga rendah, harga BBM yang tidak memberatkan usaha, serta kebijakan lain yang mendukung usaha perikanan sangat diperlukan. Tabel 13 Peningkatan prosentase kebutuhan pembiayaan pada usaha tuna longline No.
Kebutuhan
1 2 3 4 5
Biaya ABK BBM (solar) Operasional Marketing Administrasi + kantor
Sebelum kenaikan BBM (%) 21 33 35 7 4
Sesudah kenaikan BBM (%) 15 52 25 5 3
Sumber: Tahmid 2006
Input produksi lainnya yang berperan penting adalah ketersediaan solar, air tawar, es, dan umpan. Kebutuhan solar per unit longline berkisar antara 20-30 kilo liter, kebutuhan es sekitar 300-400 balok, kebutuhan air tawar 10-15 m3 dan kebutuhan umpan sekitar 2-3 ton. Semakin banyak unit longline yang beroperasi di pelabuhan perikanan, menghendaki pihak pelabuhan untuk dapat menyediakan kebutuhan perbekalan tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan pelanggan. (b) Proses Produksi Proses produksi pada perikanan tuna mengandung resiko tinggi, dengan hasil yang tidak dapat diprediksi dengan pasti. Berbagai faktor akan berpengaruh terhadap keberhasilan produksi. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: - Ukuran kapal dan mesin kapal Ukuran kapal merupakan fungsi dari panjang (L), lebar (B) dan dalam (D). Ukuran kapal berkaitan dengan volume ruangan yang akan mempengaruhi terhadap keleluasaan tata ruang kapal, keleluasaan kerja ABK, keleluasaan dalam
198
melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan, daya muat alat tangkap dan kelengkapannya, kapasitas muat perbekalan maupun hasil tangkapan. Ukuran kapal longline yang mendaratkan ikannya di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, relatif lebih kecil dibandingkan dengan kapal yang mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman Jakarta. Ukuran kapal berkisar antara 33-137 GT, sementara itu di PPS Nizam Zachman mencapai 150-200 GT. Ukuran mesin kapal berkaitan dengan kemampuan jelajah kapal, jarak dan luas fishing ground yang dapat dijangkau dan lama operasi penangkapan ikan. Ukuran mesin kapal juga terkait dengan konsumsi bahan bakar, semakin besar ukuran mesin semakin banyak konsumsi bahan bakar. Kapal longline yang berbasis di Selatan Jawa menggunakan mesin berukuran sekitar 250-400 HP. - Palkah ikan dan fasilitas penanganan ikan di atas kapal Ukuran palkah ikan berkaitan dengan kapasitas produksi ikan yang dapat dimuat. Jumlah produksi dibatasi oleh kapasitas palkah ikan yang tersedia, jika palkah ikan sudah terisi penuh kapal akan segera kembali ke fishing base, walaupun perbekalan lainnya masih ada. Ukuran palkah ikan yang semakin besar, kapasitas muat akan semakin besar. Ukuran palkah berkisar antara 8-20 ton. Pada saat ini, kapasitas palkah tidak dimanfaatkan optimal karena produksi per trip rata-rata hanya 8 ton. Perlu dilakukan peningkatan produksi dengan mencari fishing ground yang lebih potensial. Fasilitas penanganan di atas kapal akan berkaitan dengan kualitas ikan. Produksi tuna menghendaki kualitas yang tinggi agar dapat memenuhi standar mutu ekspor. Ketersediaan fasilitas palkah berpendingin atau perbekalan es perlu diperhatikan, disamping ketersediaan ABK yang berkualitas dan profesional dalam melakukan penanganan ikan. Teknik penyimpanan ikan di kapal longline menggunakan teknik chilling water, yaitu penyimpanan di dalam palkah berisi air laut yang didinginkan. Teknik penyimpanan ada dua, yaitu penyimpanan ikan di dalam palkah berisi es dan dicampur air laut, atau menggunakan air laut yang didinginkan dengan menggunakan mesin dan suhunya tetap dijaga dalam kondisi konstan 0oC. Pada teknik kedua, kapal harus dilengkapi dengan mesin untuk menjaga suhu air laut tetap dalam kondisi konstan. Teknik ini memerlukan biaya investasi tambahan
199
yaitu untuk pembelian mesin, namun akan mengurangi biaya untuk pembelian es. Berdasarkan pada beberapa pengamatan di lapangan, terlihat bahwa penanganan dengan menggunakan teknik kedua mampu menjaga kualitas ikan tuna dengan baik dalam kondisi trip operasi yang lama. - Jumlah mata pancing dan ketersediaan umpan Jumlah mata pancing yang digunakan pada saat setting, akan berkaitan dengan suatu nilai peluang harapan untuk mendapatkan ikan. Semakin banyak mata pancing digunakan, maka peluang untuk mendapatkan ikan semakin besar. Jumlah mata pancing yang digunakan berkisar antara 1.500 -2.500 mata pancing. Umpan merupakan faktor penting. Keterbatasan umpan dapat menjadi faktor pembatas terhadap operasi penangkapan ikan. Jumlah umpan yang dipergunakan berkaitan dengan jumlah setting dan jumlah mata pancing yang digunakan. Umpan yang digunakan adalah umpan mati yang sudah dibekukan. Jenis umpan diantaranya yaitu layang, lemuru dan bandeng. Umpan yang digunakan memiliki ciri, berwarna cerah yang dapat memikat ikan, memiliki daya tahan yang lama di dalam air, tersedia dalam jumlah banyak dan harga relatif murah. - Jumlah trip penangkapan Jumlah trip operasi diharapkan dapat dilakukan secara optimal sepanjang tahun. Jika kapal tidak dapat melakukan trip yang optimal, akan berdampak pada kerugian usaha. Trip operasi berkaitan dengan ketersediaan biaya. Mengingat bahwa biaya operasi pada perikanan longline cukup tinggi, banyak usaha longline yang tidak dapat mengoptimalkan jumlah trip yang seharusnya dilakukan. Kurangnya trip operasi, akan berdampak pada kurangnya pendapatan usaha yang dapat diperoleh, sedangkan fixed cost harus tetap dikeluarkan. - Bahan bakar solar Jumlah bahan bakar yang dibawa, biasanya disesuaikan dengan kapasitas tangki bahan bakar. Persediaan bahan bakar akan berpengaruh terhadap luasan fishing ground yang dapat dijangkau dan lama trip. Semakin banyak perbekalan bahan bakar dibawa, semakin luas fishing ground dapat dijangkau dan semakin lama trip operasi penangkapan, semakin besar peluang produksi dapat diperoleh. Kapal longline yang beroperasi di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, membawa solar relatif lebih sedikit dibandingkan yang mendaratkan ikannya di
200
PPS Nizam Zachman. Kedekatannya dengan fishing ground, merupakan satu keuntungan tersendiri bagi kapal-kapal yang mendaratkan ikannya di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Kapal membawa solar sekitar 20-30 kilo liter, sementara itu yang mendaratkan ikannnya di Jakarta membawa solar sekitar 40-60 kilo liter. Kenaikan harga BBM telah meningkatkan beban biaya operasi yang besar bagi kapal-kapal longline. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi beban pengusaha tuna, melalui sistem transhipment di tengah laut. - Tenaga kerja (ABK) Tenaga kerja (ABK) memiliki peran yang sangat penting bagi keberhasilan operasi penangkapan. ABK menangani secara penuh kegiatan produksi di laut. Kejujuran dan komitmen untuk menghasilkan yang terbaik dapat ditanamkan, yang harus diimbangi dengan pemberian gaji dan kesejahteraan yang memadai. Disamping faktor-faktor produksi seperti di atas, terdapat faktor lain yang tidak dapat dikendalikan. Faktor lingkungan berpengaruh penting bagi keberhasilan operasi penangkapan. Keadaan oseanografis seperti arus, pasang, gelombang, suhu, salinitas, produktivitas primer dan keadaan meteorologis seperti angin, hujan, cuaca dapat berubah setiap saat, yang dapat mengacaukan terhadap rencana operasi penangkapan yang telah dilakukan. (c) Pasca produksi Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal dari proses penanganan tuna. Kesalahan penanganan ikan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya. Ikan yang sudah terlanjur berkualitas jelek dari atas kapal, akan menjadi produk reject yang tidak memenuhi kualitas ekspor.
Ikan tersebut
memiliki harga yang berbeda sangat jauh dengan produk kualitas ekspor. Proses penanganan ikan yang benar sejak ikan ditangkap, dimatikan, penanganan di atas kapal, penyimpanan, pembongkaran ikan di pelabuhan dan penanganan pada saat pendistribusian, telah dijelaskan sebelumnya pada Bab 5.1.1. Produk tuna yang akan diekspor harus dilengkapi dengan sertifikat mutu. Sertifikat mutu dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan pengujian mutu ke laboratorium pengujian mutu hasil perikanan. Petugas laboratorium akan melakukan pengecekan mutu ke perusahaan, dengan mengambil beberapa contoh atau sampel untuk dilakukan pengujian. Perusahaan tuna akan diberikan sertifikat
201
mutu berdasarkan hasil pengujian sampel. Produk tuna yang akan diekspor harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI untuk produk tuna ekspor seperti terlihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk tuna ekspor No.
Jenis uji
1
Organoleptik - nilai minimum Uji mikrobiologi - Jumlah bakteri (total plate count/ TPC/gram maksimum) - E. coli (MPN/gram maksimum) - Vibrio chorella - Salmonella Kimia - Histamin (mg % maksimum) - Merkuri (Hg) (mg/kg) - Kadmium (Cd) (mg/kg) - Timbal (Pb) (mg/kg) Fisika - Suhu pusat maksimum Sumber: BBPMHP (1993/1994)
2
3
4
Tuna beku sashimi
Tuna segar (fresh tuna)
8
7
Tuna beku
500.000
500.000
3 negatif negatif
2 negatif negatif
20 0,5
50 0,5 0.1 0.4
-50 oC
Kualitas tuna akan terkait dengan harga. Harga tuna paling tinggi adalah kualitas fresh tuna (kualitas A) untuk bahan sahimi. Kualitas dibawahnya adalah fresh tuna (kualitas B+) untuk tujuan pasar Amerika dan Uni Eropa. Kualitas Bdan C masuk ke industri pengolahan tuna beku untuk dibuat loin, saku, chunk dan sejenisnya. Tuna yang masuk kualitas ekspor, fresh ataupun beku adalah yang berukuran di atas 10 kg per ekor. Tuna berukuran kecil dan kualitas lebih rendah akan masuk ke industri pengolahan tuna, dengan harga yang jauh lebih rendah. Semakin banyak ikan yang berkualitas A, akan semakin besar penerimaan usaha yang akan didapatkan perusahaan. Nurani et al.(1997) menyatakan, komposisi kualitas hasil tangkapan longline adalah 40% kualitas ekspor, 40% reject dan 20% non tuna. Sementara itu Murdaniel (2007) menyatakan, proporsi tuna kualitas ekspor hasil tangkapan longline sebesar 50% dan 50% lainnya produk reject. Peningkatan kualitas produksi tuna sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan penerimaan usaha. Peningkatan persentase kualitas tuna ekspor, diharapkan juga dapat mengimbangi kenaikan biaya akibat kenaikan harga BBM.
(3) Analisis finansial usaha perikanan tuna longline
202
Analisis finansial dilakukan menggunakan program
Excel.
Masukan
program meliputi penerimaan usaha, biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Hasil analisis meliputi perhitungan keuntungan usaha, net present value (NPV), net benefit cost ratio (B/C) dan internal rate of return (IRR).
(a) Penerimaan usaha tuna longline Hasil tangkapan longline meliputi berbagai jenis seperti southern bluefin, bigeye, yellowfin, albacore, marlin, swordfish, dan sailfish. Hasil tangkapan dominan yellowfin, yaitu sekitar 75% dari hasil tangkapan. Southern bluefin merupakan salah satu jenis tuna yang harganya mahal, tetapi jarang ditemukan. Tujuan utama produksi adalah untuk pasar ekspor. Produksi sekitar 10-20 ton per trip, dengan trip sekitar 2-3 bulan. Kondisi saat ini, secara umum baru sekitar 50% dari produksi yang memenuhi standar kualitas ekspor untuk produk fresh tuna. Sementara itu sekitar 50% lainnya adalah untuk dijual lokal. Harga jual ekspor produk fresh tuna berkisar antara 800 yen sampai dengan 1.500 yen per kg, tergantung dari grade tuna yang diekspor. Dalam melakukan ekspor tuna ini, akan dikenakan biaya untuk pengangkutan dengan pesawat terbang, yaitu sekitar 250 yen per kg ikan tuna. Produk lokal memiliki harga yang bervariasi, diantaranya yaitu albacore dijual dengan harga Rp 20.000,00 per kg, yellowfin dengan harga Rp 14.000,00 per kg, swordfish harga Rp 25.000,00 per kg, lemadang harga Rp 9.000,00 per kg, sailfish harga Rp 11.500,00 per kg, dan marlin dengan harga Rp 19.000,00 per kg. Produk lokal akan dikenakan biaya retribusi sebesar 5%. Penerimaan usaha sangat bervariasi, dan fluktuasinya dapat sangat tajam. Kurang optimalnya trip per tahun, akan mengakibatkan penurunan penerimaan usaha secara drastis. Demikian pula dengan jumlah produksi, produksi 8 ton dan 6 ton akan memberikan penerimaan usaha yang berbeda secara signifikan. Masukan input sebagai dasar penghitungan kelayakan usaha seperti terlihat pada Tabel 15. Input untuk penerimaan usaha yang disajikan adalah kondisi pada saat ini dan dalam kondisi ideal. Dasar untuk perhitungan penerimaan usaha adalah produksi 8 ton per trip, harga ekspor rata-rata 1.250 yen per kg dengan kurs Rp 76,00 per yen dan harga produk lokal rata-rata Rp 10.000,00.
203
Tabel 15 Input untuk penerimaan usaha perikanan tuna longline per trip No. 1 2 3 4
Input penerimaan usaha Harga ekspor (Rp) Harga lokal (Rp) Retribusi (% x penerimaan lokal) Gaji Nakhoda (%x pendapatan bersih)
Nilai 76.000,00 10.000,00 5 10
(b) Pembiayaan usaha tuna longline - Biaya investasi Bisnis perikanan tuna memerlukan biaya yang cukup besar, baik untuk biaya investasi maupun biaya operasional. Biaya investasi bervariasi tergantung pada ukuran kapal, mesin dan jumlah mata pancing yang digunakan. Input untuk penghitungan biaya investasi didasarkan pada biaya untuk kapal berukuran 50-100 GT, mesin 450 PK dengan pancing sekitar 1.500 mata pancing (Tabel 16). Tabel 16 Biaya investasi pada usaha perikanan tuna longline No. Rincian investasi 1 2 3 4
Investasi kapal Investasi Alat tangkap Investasi Mesin kapal Modal Kerja Total investasi
Jumlah (Rp x 1.000) 800.000 125.000 125.000 50.000 1.100.000
- Biaya tetap Biaya tetap meliputi biaya penyusutan, biaya perawatan, biaya operasional kantor, pajak dan bunga bank. Biaya perawatan, sangat bervariasi tergantung pada tingkat perawatan atau perbaikan kapal, alat tangkap dan mesin. Biaya perawatan mahal, khususnya saat kapal melakukan docking dan over haul mesin. Perawatan alat tangkap mahal, jika putus akibat tertabrak kapal, atau karena sebab lainnya. Perhitungan biaya tetap dideskripsikan pada Tabel 17. Perhitungan biaya tetap tersebut belum memperhitungkan pajak dan bunga bank. Tabel 17 Biaya tetap pada usaha perikanan tuna longline No. Rincian biaya 1
Biaya perawatan - Biaya perawatan kapal - Biaya perawatan mesin
Jumlah (Rp x 1.000) 100.000 100.000
204
75.000
- Biaya perawatan alat tangkap Biaya penyusutan - Penyusutan kapal - Penyusutan mesin - Penyusutan alat tangkap Biaya kantor Total biaya tetap
2
3
80.000 12.500 12.500 125.000 505.000
- Biaya variabel Biaya variabel merupakan biaya yang hanya akan dikeluarkan perusahaan jika melakukan operasi penangkapan ikan.
Biaya variabel terdiri atas biaya
operasi penangkapan, serta biaya retribusi lelang untuk produk lokal.
Biaya
variabel mencakup juga biaya untuk nakhoda kapal, yang besarnya 10-15% dari pendapatan bersih per trip. Biaya operasi penangkapan, meliputi biaya untuk pembelian perbekalan solar, olie, es, umpan, gas/minyak tanah, air tawar, biaya perjalanan, dokumen kapal, serta gaji ABK. Perhitungan kebutuhan biaya untuk melakukan operasi penangkapan, dengan trip operasi sekitar 80 hari, seperti terlihat pada Tabel 18. Tabel 18 Biaya operasi per trip operasi penangkapan tuna longline No. 1 2 3 4
5 6 7 8 9
Rincian Kebutuhan kebutuhan per trip 25.000 Solar (l) 400 Olie (l) 350 Es (balok) Umpan 50 - layang (dus) 100 - lemuru (dus) 50 - bandeng (dus) 100 Gas/minyak 10 tanah Air tawar (ton) Konsumsi ABK Biaya perizinan dan perjalanan Gaji dan premi ABK Total
Harga (Rp) 4.300 8.000 8.000 125.000 85.000 90.000 3.000 18.000
Jumlah (Rp x 1.000) 107.500 3.200 2.800 6.250 8.500 4.500 3.000 180 15.000 5.000 36.400
192.330
Anak buah kapal (ABK) longline dibayar dengan menggunakan sistem gaji ditambah dengan premi. Gaji dan premi diterima ABK hanya jika melakukan trip, gaji dihitung secara harian. Besarnya gaji bervariasi antara Rp 20.000,00 sampai
205
dengan Rp 30.000,00 per hari. Premi diberikan kepada ABK per trip, dengan kisaran antara Rp 500.000,00 sampai dengan Rp 2.000.000,00 per ABK. Nakhoda mendapatkan bagi hasil sekitar 10-15% dari pendapatan bersih per trip. Pada saat ini kapal-kapal longline fresh tuna melakukan trip operasi penangkapan lebih lama, yaitu sekitar 60-120 hari per trip. Terdapat pula kapal yang melakukan trip operasi mencapai 280 hari, yaitu kapal yang beroperasi di perairan internasional di sekitar Perairan Srilangka dan India. Penambahan lama waktu dalam satu trip penangkapan, merupakan langkah yang ditempuh para pengusaha tuna longline untuk mengefisiensikan penggunaan bahan bakar. (c) Perhitungan kelayakan usaha tuna longline Kriteria untuk perhitungan kelayakan finansial yaitu nilai NPV, B/C dan IRR. Perhitungan nilai NPV, dan B/C dilakukan dengan menggunakan discount rate 15% (Tabel 19). Berdasarkan pada hasil perhitungan kelayakan usaha, usaha perikanan longline saat ini sedang dalam kondisi yang tidak menggembirakan. Nilai NPV sebesar Rp 409.009.625,00 akan sangat sulit bagi perusahaan untuk melakukan investasi kembali. Demikian pula dengan nilai B/C dan nilai IRR yang sangat rendah. Nilai B/C mengindikasikan kondisi usaha hanya sedikit di atas titik impas. Nilai IRR yang dihasilkan, mengindikasikan perusahaan hanya dapat bertahan pada kondisi suku bunga yang rendah. Tabel 19 Hasil perhitungan kelayakan usaha pada perikanan tuna longline Kriteria kelayakan usaha
Nilai
Penerimaan usaha per tahun (Rp) Biaya variabel per tahun (Rp) Biaya tetap per tahun (Rp) Biaya total per tahun (Rp) Keuntungan (Rp) NPV (Rp) B/C IRR (%)
2.052.000.000,00 1.243.782.000,00 505.000.000,00 1.748.782.000,00 303.218.000,00 409.009.625,00 1,37 31,00
Program excel untuk penghitungan kelayakan usaha, dapat disimulasikan untuk mengetahui sensitivitas dari berbagai variabel model (Lampiran 28). Hasil simulasi menunjukkan, jumlah trip memiliki nilai sensitivitas yang tinggi. Jika operasi penangkapan ikan hanya dilakukan 5 kali trip per tahun, usaha sudah merugi, keuntungan usaha menurun sebesar 44,42%, nilai NPV turun sebesar
206
163,90%, nilai net B/C turun 44,53% dan nilai IRR turun 70,96%. Demikian juga jika produksi tuna turun sebesar 5%, maka usaha sudah tidak menguntungkan. Produksi turun 5%, nilai keuntungan akan turun sebesar 30,45%, nilai NPV turun 112,35%, net B/C turun sebesar 30,66% dan nilai IRR turun 54,84 %. Kondisi sebaliknya, jika ada subsidi solar, peningkatan tuna kualitas ekspor atau peningkatan nilai tukar yen terhadap rupiah, maka nilai kelayakan usaha akan meningkat. Subsidi solar sebesar 10% akan meningkatkan keuntungan sebesar 19,14%, nilai NPV naik 70,63%, nilai net B/C naik 18,98% dan nilai IRR naik sebesar 19,35%. Kualitas ekspor naik menjadi 60%, keuntungan naik sebesar 94,74%, nilai NPV naik 349,55%, nilai net B/C naik 94,89% dan nilai IRR naik sebesar 64,52%. Nilai tukar yen terhadap rupiah naik 10%, akan meningkatkan keuntungan usaha sebesar 54,14%, nilai NPV naik 199,74%, nilai net B/C naik 54,01% dan nilai IRR naik sebesar 45,16%. Berdasarkan hasil simulasi terhadap kelayakan usaha, terlihat dengan sangat jelas bahwa usaha perikanan tuna longline memiliki resiko usaha yang sangat besar. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung terhadap kelangsungan usaha, atau kondisi ekonomi yang tidak kondusif sangat beresiko sekali terhadap usaha perikanan tuna longline. Jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka usaha perikanan tuna longline akan dapat berkembang dengan baik. Usaha perikanan tuna memiliki nilai sensitivitas yang sangat tinggi pada variabel persentase produk yang memenuhi standar kualitas ekspor. Peningkatan efektivitas dan efisiensi usaha, dapat dilakukan dengan meningkatkan persentase kualitas ikan tuna yang memenuhi standar kualitas ekspor. Penerapan good manufacturing practices (GMP) dan standar sanitation operational procedure (SSOP), penting untuk diterapkan di kapal tuna longline.
2) Analisis Subsistem PELABUHAN Perikanan tuna longline membutuhkan pelabuhan perikanan yang lebih khusus dibandingkan dengan kegiatan perikanan lainnya. Dalam kaitannya dengan fishing ground, faktor kedekatan dengan fishing ground bukan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kapal mendaratkan ikannya di pelabuhan. Kapal akan lebih mempertimbangkan kondisi pelabuhan dari sisi teknis seperti kondisi
207
fisik pelabuhan dapat nyaman untuk berlabuhnya kapal, ketersediaan kebutuhan operasi penangkapan serta kemudahan pemasaran produk. Ukuran kapal yang besar mensyaratkan alur masuk kolam pelabuhan yang lebar, kedalaman kolam pelabuhan yang dalam dan fasilitas darmaga pelabuhan yang memadai. Tujuan utama hasil tangkapan yaitu produk tuna segar, mensyaratkan adanya fasilitas penanganan ikan yang memadai, serta aksesibilitas yang baik menuju pelabuhan udara untuk pengangkutan ekspor. Analisis
subsistem
PELABUHAN
dimaksudkan
untuk
menganalis
karakteristik pelabuhan perikanan yang diperlukan dalam “Pengembangan Perikanan Lepas Pantai”.
Analisis lebih menekankan keterkaitannya dengan
fishing ground (forward linkages), keterkaitannya dengan akses pemasaran (backward linkages) dan kebutuhan teknis dari sisi pelabuhannya sendiri. Kondisi existing PP/PPI sebagai dasar analisis telah dideskripsikan pada Bab 5.2.
(1) Analisis keterkaitan dengan fishing ground Analisis keterkaitan dengan fishing ground dilakukan melalui penilaian PP/PPI, berkaitan dengan daya tariknya bagi kapal-kapal perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan di PP/PPI tersebut. Daya tarik PP/PPI akan menimbulkan tarikan pergerakan kapal longline untuk mendaratkan ikannya di PP/PPI tersebut. Faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik dibedakan menjadi tiga, yaitu fasilitas perairan, fasilitas darat dan potensi kemudahan pemasaran. Fasilitas perairan meliputi kriteria lebar dan kedalaman alur masuk pelabuhan, serta kedalaman kolam. Fasilitas darat meliputi kriteria fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan. Potensi kemudahan pemasaran meliputi keberadaan industri pengolahan, eksportir dan akses pasar. Input data untuk analisis adalah PP/PPI yang menjadi obyek kajian, dengan beberapa karakteristik kriteria sesuai yang dibutuhkan. Input data untuk analisis seperti disajikan pada Lampiran 29. Hasil analisis adalah tingkat daya tarik PP/PPI sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh unit longline (Lampiran 30). Hasil analisis menunjukkan, PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap memiliki tingkat daya tarik tinggi (sekitar 70% dari kriteria yang dibutuhkan) bagi kapal longline untuk berlabuh. Kedua pelabuhan perikanan tersebut belum memenuhi
208
100% dari kriteria yang dibutuhkan. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan, masih sedikitnya kapal-kapal yang masuk ke PPN Palabuhanratu maupun PPS Cilacap. Sebagian besar kapal-kapal longline lebih tertarik untuk mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman Jakarta atau ke Pelabuhan Benoa Bali. Daya tarik yang masih belum terpenuhi dari PPN Palabuhanratu adalah fasilitas penanganan produk fresh tuna yang belum tersedia, seperti transit sheed dan fasilitas bongkar tuna yang terlindung dari sinar matahari. Daya tarik lainnya adalah keberadaan industri pengolah tuna masih belum ada di PPN Palabuhanratu. Produk tuna akan dibawa oleh pedagang pengumpul, untuk suplai bahan baku bagi industri pengolahan tuna yang ada di PPS Nizam Zachman Jakarta. Ekspor tuna segar dari PPN Palabuhanratu belum dapat dilakukan dari Palabuhanratu, ekspor harus melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta Jakarta.
(2) Analisis aspek teknis pelabuhan Analisis aspek teknis pelabuhan dilakukan melalui analisis dari kebutuhan untuk lokasi sebuah pelabuhan perikanan. Kebutuhan dibedakan menjadi dua, yaitu kebutuhan fasilitas perairan dan kebutuhan fasilitas darat.
Kebutuhan
fasilitas perairan meliputi profil perairan dan aspek oseanografi perairan dalam keterkaitannya dengan pengaruh gelombang. Aspek darat meliputi bentuk topografi lahan pelabuhan dan luasan lahan yang tersedia untuk pengembangan. Hasil analisis teknis pelabuhan seperti disajikan pada Lampiran 31. Secara teknis pelabuhan perikanan yang dibangun pada suatu lokasi yang terlindung secara alami, akan membutuhkan biaya pembangunan yang relatif lebih murah dibandingkan lokasi pada perairan terbuka. Pembangunan pelabuhan sedikit memerlukan pembangunan breakwater, yang memerlukan biaya besar. Lokasi geologi Indonesia yang sangat rentan terhadap bahaya gelombang tsunami, memerlukan lokasi pelabuhan yang benar-benar terlindung. Lokasi PPS Cilacap telah teruji bebas dari bahaya gelombang tsunami yang menerjang perairan selatan Jawa pada tahun 2006. Sementara itu, di PPI Pasir puluhan kapal nelayan pecah dan beberapa fasilitas pelabuhan PPI Sadeng hancur terkena gelombang tsunami. Hasil analisis menyatakan pelabuhan perikanan yang secara teknis layak untuk pendaratan kapal tuna longline yaitu PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan
209
PPN Prigi. Ketiga pelabuhan yaitu PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPN Prigi, saat ini secara teknis memenuhi syarat untuk pendaratan kapal longline. Untuk pengembangan kedepan, akan memerlukan penambahan kapasitas dari beberapa fasilitas pokok seperti luas kolam pelabuhan dan darmaga. Secara teknis, PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng, PPI Tamperan dan PPP Pondokdadap tidak layak untuk pendaratan kapal longline. Keempat pelabuhan tersebut memiliki kelayakan teknis yang sangat rendah. Seperti lokasi PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap yang tidak cukup terlindung dari ancaman gelombang besar. Kedua PPI/PPP tersebut juga memiliki lahan darat yang berupa dataran cukup sempit, karena belakang pelabuhan berupa daerah perbukitan. Kebutuhan lahan untuk pengembangan industri, harus meratakan perbukitan. Hal ini disamping memerlukan biaya besar, juga harus ada koordinasi dengan Perhutani karena kawasan tersebut merupakan hak pengelolaan Perhutani. Lokasi PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI Tamperan sangat tidak mendukung untuk pengembangan perikanan tuna.
Lokasi PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI
Tamperan selain tidak terlindung, juga berada di muara sungai dengan tingkat pengendapan sangat tinggi. Pengembangan PP/PPI tersebut untuk mendukung pengembangan perikanan tuna akan memerlukan biaya pembangunan yang besar.
(3) Analisis keterkaitan dengan pasar Analisis keterkaitan dengan pasar dimaksudkan untuk menentukan tingkat aksesibilitas PP/PPI dan analisis bangkitan pergerakan untuk menentukan peluang peningkatan aksesibilitas suatu lokasi PP/PPI. Analisis meliputi penilaian kondisi aksesibilitas saat ini, dengan input untuk analisis adalah jarak, waktu, biaya, prasarana jalan, sarana transportasi dan hambatan perjalanan (Lampiran 32). Hasil analisis terhadap tingkat aksesibilitas lokasi, hanya PPN Palabuhanratu yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi (Lampiran 33). PPN Palabuhanratu memiliki jarak, waktu dan biaya yang rendah menuju pelabuhan ekspor yaitu pelabuhan udara Soekarno-Hatta Jakarta. PPN Palabuhanratu memiliki prasarana jalan yang cukup baik, hanya saja hambatan perjalanannya tinggi, yaitu jalan berkelok-kelok, mendaki dan menurun. PPS Cilacap memiliki prasarana jalan, sarana transportasi yang baik dan hambatan perjalanan relatif kecil, namun jarak,
210
biaya dan waktu tempuh relatif tinggi. PPN Prigi, PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat rendah. Model bangkitan pergerakan digunakan untuk mengkaji kemungkinan peluang bangkitan pergerakan dari suatu zona lokasi pelabuhan perikanan di masa datang. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan bangkitan pergerakan yaitu tata guna lahan, jumlah penduduk, keberadaan dan perkembangan sektor perikanan, industri, pariwisata, perdagangan dan pusat pemerintahan (Lampiran 34). Hasil analisis peluang bangkitan pergerakan (Lampiran 35) menunjukkan bahwa zona lokasi PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap, PPI Tamperan dan PPN Prigi. memiliki peluang tingkat bangkitan pergerakan yang tinggi. Peruntukan lahan yang beragam yaitu untuk sektor perikanan, pariwisata, industri dan perdagangan serta perkembangan dari sektor tersebut akan memberikan peluang bangkitan pergerakan yang besar dari orang maupun barang. Jumlah penduduk di tingkat kecamatan yang besar serta zona tersebut sebagai pusat pemerintahan, mempunyai peluang meningkatnya pergerakan dari dan menuju zona tersebut. Sementara itu PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap memiliki peluang bangkitan pergerakan yang rendah.
(4) Analisis keseluruhan subsistem PELABUHAN Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground, aspek lokasi pelabuhan dan keterkaitan dengan pasar (Lampiran 36), menunjukkan hanya PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap yang memenuhi kebutuhan untuk pengembangan perikanan tuna. PPN Palabuhanratu dari keseluruhan kriteria dapat memenuhi kebutuhan untuk pengembangan perikanan tuna, hanya faktor hambatan perjalanan yang tinggi yang tidak memenuhi kriteria. Lokasi PPS Cilacap, pada aspek keterkaitan pasar tidak memenuhi untuk pengembangan perikanan tuna. Hal ini disebabkan jarak yang terlalu jauh dengan pelabuhan ekspor yaitu Bandara Soekarno-Hatta, yang menyebabkan waktu tempuh dan biaya perjalanan yang mahal. Pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa, menghendaki tersedianya fasilitas pelabuhan udara di lokasi basis penangkapan untuk memudahkan ekspor. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi dan Pemkab Cilacap, telah merencanakan pembangunan pelabuhan udara untuk menunjang pengembangan
211
perikanan tuna di wilayahnya. Pemkab Cilacap merencanakan pengembangan Pelabuhan Udara Tunggul Wulung, menjadi pelabuhan ekspor. Jika rencana terealisasi, pengembangan PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap sebagai basis pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa akan lebih mudah diwujudkan. 3) Analisis Subsistem LEMBAGA Analisis kebijakan dan kelembagaan dimaksudkan untuk dapat menentukan kebijakan dan kelembagaan yang tepat, yang dapat mendukung pengembangan perikanan tuna. Analisis didahului dengan mengevaluasi keberadaan, serta peran yang telah difungsikan oleh kebijakan dan kelembagaan perikanan tuna yang ada.
(1) Analisis kebijakan perikanan lepas pantai Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka hukum. Pendekatan kerangka hukum (legal framework) dilakukan untuk melihat hukum/peraturan perundang-undangan dari sisi struktur (legal structure), mandat (legal mandate) dan penegakan hukum (legal enforcement) (Purwaka 2002). Indonesia telah turut menandatangani berbagai persetujuan internasional maupun konvensi yang berkaitan dengan perikanan. Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, merupakan salah satu konvensi dimana Indonesia turut meratifikasi dengan UU 17/1985. Selanjutnya untuk pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, FAO telah memutuskan suatu standar internasional “Code of Conduct for Responsible Fisheries”, yang mulai diberlakukan sejak 1995. Peraturan perundang-undangan untuk pengelolaan tuna di Indonesia, mengacu pada kedua ketentuan internasional tersebut. UNCLOS 1982 pada Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif pada Pasal 56 paragraf 1a menyatakan, suatu negara pantai (seperti Indonesia) mempunyai hak kedaulatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati dan non hayati yang terkandung di dalamnya. Pasal 61, mensyaratkan kewajiban bagi negara pantai untuk menentukan hasil tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch: TAC)) dari perikanan ZEE. Berkaitan dengan perikanan tuna, sesuai dengan Pasal 64, Indonesia sebagai negara pantai dan negara lain yang turut mengelola sumberdaya tuna di area di luar dan sekitar ZEE Indonesia, berkewajiban bekerjasama secara
212
langsung atau melalui beberapa organisasi internasional untuk menjamin konservasi dan melakukan promosi terhadap pemanfaatan optimum dari sumberdaya tersebut, baik di dalam maupun di luar Perairan ZEE Indonesia. Pada tingkat nasional, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengembangan perikanan tuna, diantaranya yaitu: (a) UU 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (b) PP 15/1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (c) UU 9/1985 yang diperbaharui dengan UU 31/2004 tentang Perikanan. Beserta peraturan perundang-undangan lainnya yang telah banyak dibuat oleh pemerintah, terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha perikanan, perizinan usaha perikanan dan pungutan perikanan seperti telah disebutkan pada Bab 5.3.1. Pada Bab 5.3.1 telah dideskripsikan bahwa, PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota telah dengan jelas menjabarkan pembagian tugas dan wewenang antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bidang perikanan. Secara umum butir-butir kewenangan tersebut telah dibuatkan peraturan norma atau kebijakannya oleh pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden maupun Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Namun pada level bawah, yaitu pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum secara terinci diatur pelaksanaannya. Hasil analisis pendekatan kerangka hukum terhadap kebijakan dan peraturan yang ada dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Analisis pendekatan kerangka hukum (legal framework) perikanan lepas pantai No. 1
Kriteria Struktur hukum (legal structure)
2
Mandat hukum (legal mandate)
3
Penegakan hukum (legal
Penilaian Peraturan perundang-undangan yang ada di level atas belum sepenuhnya diterjemahkan dalam peraturan kebijakan pelaksanaan pada level bawah, yaitu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Peraturan perundang-undangan yang ada telah memiliki mandat hukum yang jelas, namun yang sering menjadi permasalahan adalah dalam pelaksanaannya sering tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dilaksanakan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran, seperti dalam kasus illegal, unregulated and unreported (IUU) fishing
213
enforcement)
masih lemah. Sanksi hukum terhadap pelanggaran, belum memberikan efek jera bagi pelaku. Keterbatasan personil pengawas dan sarana prasarana pengawasan menjadi faktor lainnya, yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
Sumber: olahan data
(2) Analisis kelembagaan perikanan tuna Analisis kelembagaan dilakukan melalui pendekatan kerangka kelembagaan (institutional framework). Pendekatan kerangka kelembagaan adalah untuk melihat kinerja dari kelembagaan yang ada. Mandat hukum diberikan kepada lembaga, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat, untuk melaksanakan kegiatan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Purwaka (2003), kinerja suatu kelembagaan dapat dilihat melalui indikator aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi (lihat Bab 2.5.3 dan Bab 3.5.2). Berkaitan dengan upaya kerjasama pengelolaan sumberdaya tuna secara berkelanjutan, berbagai kelembagaan tuna dunia telah dibentuk, diantaranya yaitu: (a) Indian Ocean Tuna Commision (IOTC), organisasi ini secara aktif bekerjasama untuk melakukan konservasi dan pengelolaan tuna di Samudera Hindia. Keanggotaan tidak saja mencakup negara di sekitar Samudera Hindia, melainkan di luar itu seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, Uni Eropa, Perancis dan Inggris. Negara tetangga Indonesia telah turut serta menjadi anggota, diantaranya yaitu Malaysia, Thailand dan Australia. Indonesia telah menjadi anggota IOTC, untuk itu dapat turut serta secara aktif mengambil bagian dalam upaya konservasi dan pengelolaan tuna di Samudera Hindia. (b) Commision for Conservation Southern Bluefin Tuna (CCSBT), merupakan kerjasama konservasi tuna sirip biru selatan antara Australia, Jepang dan New Zealand, meliputi juga daerah Samudera Hindia Selatan Jawa yang termasuk dalam ZEEI. Indonesia belum bergabung, dan diharapkan turut bergabung. Secara nasional kelembagaan untuk pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan telah dibentuk yaitu Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS), yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian 994/Kpts/KP.150/9/99. Forum bertugas membantu Menteri Pertanian dalam merumuskan dan menetapkan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di laut (lihat Bab 5.3.3). Peran yang telah dijalankan FKPPS diantaranya adalah mengadakan pertemuan anggota, untuk mendiskusikan berbagai hal terkait dengan
214
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya di laut lintas provinsi. Forum juga telah berperan memberikan masukan kepada Menteri, dalam upaya menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Disamping itu, ada juga kelembagaan yang dibentuk oleh pengusaha perikanan tuna yaitu Asosiasi Pengusaha Perikanan Tuna Indonesia (ASTUIN). Pada tingkat provinsi dan kabupaten kota, kelembagaan perikanan tuna belum ada. Secara umum, kinerja dari kelembagaan tuna dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Penilaian kinerja kelembagaan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa No. 1
Kriteria Politik
2
Sosial Budaya
3
Ekonomi
4
Hukum
5
Teknologi
Penilaian Kelembagaan perikanan tuna belum memiliki bargaining yang kuat dalam penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di tingkat lokal maupun nasional. Kelembagaan tuna belum mampu menumbuhkan kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai luhur yang telah berakar kuat pada adat tradisi masyarakat. Secara sosial, kelembagaan juga belum mampu menumbuhkan jiwa sosial masyarakat yang kuat, bersinergi diantara stakeholder perikanan serta menjauhkan konflik. Kelembagaan perikanan belum secara nyata memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum. Kelembagaan perikanan telah memperoleh mandat yang jelas dari hukum/peraturan yang ada, baik tata kelembagaan, kerangka kerja maupun kapasitas kelembagaanya. Namun dalam pelaksanaannya, sering tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan akan sangat tergantung kepada siapa pemegang jabatan, bukan kepada sistem hukum yang berlaku. Kelembagaan yang ada belum memberikan kepedulian yang besar terhadap pengembangan perikanan secara produktif, efisien, berkualitas dan aman. Khususnya dalam jaminan produk perikanan yang bermutu tinggi, dengan sarana dan prasarana penanganan ikan yang mendukung di kapal dan di pelabuhan perikanan.
Sumber: olahan data
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka perlu dibentuk suatu kelembagaan perikanan tuna terpadu, yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan stakeholders. Hal ini juga dalam rangka memenuhi ketentuan UNCLOS 1982 dan Code of Conduct for Responsible Fisheries, supaya ada suatu kelembagaan tersendiri yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi terhadap sumberdaya tuna di Selatan Jawa.
7.3.2 Permodelan Sistem Perikanan Lepas Pantai
215
Permodelan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa, atau untuk selanjutnya diberi nama SIMPELA. Model dibangun berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada kondisi existing sistem saat ini, seperti telah dianalisis pada Bab. 7.3.1. Model dibangun untuk memberikan solusi atau memperbaiki kondisi sistem yang ada. Pembangunan model dilakukan dengan mengintegasikan tiga submodel yaitu 1) submodel usaha perikanan (USAHA), 2) submodel pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas (PELABUHAN) dan 3) submodel kebijakan dan kelembagaan (LEMBAGA).
1) Submodel USAHA Submodel USAHA dibangun dalam sebuah model sistem dinamis, dengan struktur model seperti telah dideskripsikan pada Gambar 14, pada Bab 3.5.2. Model sistem dinamis ini bersifat sangat fleksibel. Model akan menghasilkan output sesuai dengan input yang dimasukkan ke dalam model. Model sistem dinamis tersebut dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sumberdaya ikan di berbagai perairan, dengan melakukan modifkasi pada input yang disesuaikan dengan kondisi dari sumberdaya perikanan di masing-masing perairan. Model sistem dinamis pada kajian ini, telah disimulasikan untuk pengelolaan sumberdaya tuna di Selatan Jawa. Model dapat digunakan untuk memperkirakan atau memproyeksikan, berapa jumlah kapal yang akan diberikan izin untuk memanfaatkan sumberdaya tuna di Perairan ZEE Indonesia. Batasan target produksi akan menjadi faktor pembatas bagi maksimal jumlah effort unit kapal tuna longline yang boleh beroperasi. Simulasi telah diujicobakan kedalam model untuk pengembangan perikanan tuna di Perairan Selatan Jawa, dengan menggunakan target produksi sebesar 8.000 ton. Target produksi ini disesuaikan dengan hasil tangkapan tuna saat ini, yang berkisar antara 4.000-5.000 ton per tahun. Berdasarkan asumsi tingkat pemanfaatan saat ini sekitar 48,7%, yaitu sesuai dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya pelagis besar di Selatan Jawa (PRPT 2001). Target produksi sebesar 8.000 ton, adalah sesuai dengan aturan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau total allowable catch (TAC) yang besarannya adalah sekitar 80% dari besarnya potensi.
216
Pada analisis usaha dalam bagian sebelumnya, telah diperoleh faktor-faktor teknis yang berperan penting bagi keberhasilan usaha perikanan tuna. Faktorfaktor teknis tersebut, selanjutnya dijadikan input bagi model sistem dinamis dari submodel USAHA. Nilai parameter dari variabel teknis yang digunakan pada model sistem dinamis seperti terlihat pada Tabel 22. Tabel 22 Input faktor teknis untuk program sistem dinamis pada submodel USAHA No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor Produksi Tenaga Kerja (ABK) (orang) Solar (liter) Umpan (ton) Es (balok) Air tawar (m3) Jumlah trip per tahun (trip) Produksi per trip (ton) Produksi kualitas eskpor (%) Produksi lokal (%)
Kebutuhan 15 25.000 2 350 10 6 8 50 50
Pada bagian sebelumnya, dari hasil analisis finansial usaha perikanan tuna telah diperoleh besaran-besaran nilai untuk kelayakan finansial usaha. Besaran tersebut selanjutnya diintegrasikan dengan hasil analisis teknis, yang digunakan secara bersama sebagai input model sistem dinamis untuk membangun submodel USAHA. Input hasil analisis finansial usaha yang dimasukkan ke dalam model sistem dinamis submodel USAHA, seperti terlihat pada Tabel 23. Output model sistem dinamis akan memberikan gambaran hubungan antara jumlah effort unit kapal yang diizinkan beroperasi, dengan berbagai variabel lainnya. Variabel yang ada dalam model adalah jumlah produksi, jumlah keuntungan, nilai retribusi, kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan, solar, jumlah kebutuhan es dan jumlah kebutuhan air tawar per tahun. Tabel 23 Input kelayakan finansial untuk program sistem dinamis pada submodel USAHA No. 1 2 3 4 5
Rincian Harga ikan ekspor (Rp) Harga ikan lokal (Rp) Biaya total (Rp) Retribusi (% penerimaan lokal) Inflasi per tahun
Kebutuhan 76.000,00 10.000,00 1.748.782.000,00 5,00 0,06
217
Output model sistem dinamis akan memberikan gambaran hubungan antara jumlah effort unit kapal yang diizinkan beroperasi, dengan berbagai variabel lainnya. Variabel yang ada dalam model adalah jumlah produksi, jumlah keuntungan, nilai retribusi, kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan, solar, jumlah kebutuhan es dan jumlah kebutuhan air tawar per tahun. Gambar 17 menampilkan simulasi perubahan jumlah effort, jumlah produksi dan keuntungan sebagai fungsi dari perubahan waktu. Berdasarkan target produksi 8.000 ton ikan tuna per tahun, maka peningkatan jumlah produksi hingga mencapai target, akan dapat terpenuhi dalam periode waktu sekitar 30 tahun. Asumsi dasar yang digunakan pada simulasi model sistem dinamis adalah, jumlah produksi tuna saat ini yang didaratkan di PP/PPI selatan Jawa berjumlah 5.000 ton dan kenaikan rata-rata per tahun unit longline adalah 10%. Kenaikan keuntungan relatif kecil di periode awal, meningkat relatif tinggi pada periode tahun berikutnya, meningkat terus sampai terpenuhinya target produksi. Perubahan kenaikan yang tinggi pada keuntungan di periode akhir, disebabkan perubahan nilai mata uang akibat pengaruh faktor inflasi. 8,000,000 160
8e11
effort 120
keuntungan
produksi_tuna
7,000,000 140
6,000,000
6e11
4e11
2e11
5,000,000 100
0
10
20
30
Time
40
50
0
10 20 30 40 50
Time
0
10
20
30
40
50
Time
Gambar 17 Simulasi jumlah effort, produksi, keuntungan pada pengembangan perikanan tuna menggunakan model sistem dinamis. Jumlah effort atau unit kapal longline optimal yang diberikan izin beroperasi di Selatan Jawa, sebesar 170 unit. Berdasarkan perkembangan yang terjadi sekitar 10 tahun terakhir, yaitu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2005, perkiraan jumlah kapal tuna yang ada saat ini adalah sekitar 90 kapal, yaitu sekitar 60 unit kapal berada di PPS Cilacap dan 30 unit kapal di PPN Palabuhanratu.
218
Berdasarkan pertimbangan pembagian kuota 50%, maka kapal tuna di PPS Cilacap akan bertambah sekitar 25 unit dan di PPN Palabuhanratu bertambah 55 unit, menjadi masing-masing 85 unit. Perhitungan belum memperhatikan jumlah kapal yang beroperasi di Selatan Jawa, tetapi mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman Muara Baru Jakarta dan di Pelabuhan Benoa Bali. Pada Gambar 18, terlihat output hasil simulasi yang menggambarkan keterkaitan antara perubahan effort dengan perubahan kebutuhan input produksi, diantaranya terkait dengan kebutuhan solar, umpan, es, air tawar dan tenaga kerja. Kenaikan effort menjadi 170 unit, akan meningkatkan kebutuhan solar menjadi sekitar 24.000 kilo liter, umpan meningkat menjadi 1.920 ton, kebutuhan es berjumlah 336.000 balok dan kebutuhan air tawar sekitar 840.000 m3 per tahun. Kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan untuk operasi 170 unit kapal longline, berjumlah 2.400 orang. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus tersedia, dengan basis operasi penangkapan tuna di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. 350,000
15,000,000
kebutuhan_es
20,000,000
1,800 1,600 1,400 1,200
100
160
effort
1,000,000
kebutuhan_air_tawar
2,000
kebutuhan_umpan
kebutuhan_solar
25,000,000
300,000
250,000
200,000 100
160
effort
100
160
effort
900,000 800,000 700,000 600,000 100
160
effort
Gambar 18 Simulasi kebutuhan input produksi pada pengembangan perikanan tuna menggunakan model sistem dinamis.
2) Submodel PELABUHAN Berdasarkan hasil analisis pada subsistem PELABUHAN, telah ditetapkan bahwa pelabuhan perikanan yang dapat mendukung kebutuhan pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa adalah PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Untuk kebutuhan pengembangan perikanan tuna, kedua pelabuhan perikanan tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan kualitas tuna berstandar kualitas
219
ekspor. Penerapan good manufacturing practices (GMP) dan standar sanitation operational procedure (SSOP), penting diterapkan di kedua pelabuhan tersebut. Hasil simulasi model sistem dinamis dari submodel USAHA seperti telah disebutkan di atas, menyatakan jumlah effort atau unit kapal longline optimal yang diberikan izin sebesar 170 unit kapal longline. Kuota perizinan dibagi sama yaitu 50% untuk PPS Cilacap dan 50% untuk PPN Palabuhanratu, dengan asumsi bahwa PPN Palabuhanratu nantinya akan dikembangkan menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS). Peningkatan jumlah unit penangkapan yang akan mendaratkan ikannya di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, menjadikan perlunya peningkatan fasilitas kepelabuhanan. Beberapa contoh fasilitas yang perlu ditingkatkan adalah kedalaman kolam pelabuhan, dan lebar alur masuk pelabuhan. Kedalaman kolam pelabuhan sekitar 6,20-7,40 m, sedangkan lebar alur masuk pelabuhan sekitar 43,44-57,92 m. Untuk dapat memenuhi kebutuhan perbekalan, perlu ditambah fasilitas penyediaan BBM solar, umpan, air tawar dan es. Kebutuhan BBM solar yang perlu disediakan per tahun sekitar 24.000 kilo liter, kebutuhan umpan 1.920 ton, kebutuhan es 336.000 balok, air tawar berjumlah 840.000 m3 dan kebutuhan ABK berjumlah 2.400 orang. Pemenuhan kebutuhan tersebut dibagi dua, yaitu untuk PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap.
3) Submodel LEMBAGA Sistem Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa, akan dapat berhasil dengan baik, dengan membentuk suatu kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan terpadu. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya terpadu, dimaksudkan untuk dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan dari para pelaku sistem. Pengelolaan hendaknya dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan ZEE Indonesia Selatan Jawa, tidak dilakukan secara parsial per provinsi atau per kabupaten. Bentuk kelembagaan yang akan diwujudkan, dapat mencontoh dari beberapa bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan di berbagai perairan lain di dunia. Kelembagaan tentunya perlu dimodifikasi dengan karakteristik yang dimiliki perikanan tuna di Selatan Jawa.
220
Satu contoh bentuk pengelolaan sumberdaya terintegrasi adalah organisasi pengelolaan sumberdaya perikanan The Western Pacific Regional Fishery Management Council (WPRFMC). Organisasi WPRFMC merupakan salah satu dari delapan dewan regional yang dibentuk oleh US Fishery Conservation and Management Act pada tahun 1976 (Magnuson Act) (Leung 1998). Organisasi pengelolaan perikanan WPRFMC merupakan organisasi yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan perikanan di Perairan ZEE Hawai. Organisasi ini bertanggungjawab kepada pemerintah pusat dan lokal, dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil. Struktur organisasi WPRFMC terdiri atas empat unsur utama yaitu Scientific and Statistical Committee (SSC), Fishing Industry Advisory Panel (AP), Fishery Management Plant (PTs) dan Standing Committees (SCs). Keempat unsur dalam struktur organisasi, mewakili keanggotaan dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan industri perikanan. Keanggotaan WPRFMC meliputi sekitar 70 anggota, berasal dari latar belakang yang berbeda dalam industri perikanan di Hawai. Fishery Management Plant (PTs) terdiri atas 15 anggota, yang terbagi dalam empat tim, yaitu tim perencanaan pengelolaan perikanan pelagis, perikanan demersal, perikanan crustacea dan perikanan ikan karang. Fungsi utama PTs yaitu melakukan evaluasi dan mengorganisir isu-isu, dan membuat laporan tahunan. PTs juga diharuskan, untuk dapat menghasilkan rekomendasi riset dan data yang diperlukan bagi penelitian dan evaluasi alternatif-alternatif kebijakan perikanan. Advisory Panel (AP) juga terbagi dalam empat tim. Fungsi AP adalah memberikan arahan atau dorongan kepada industri perikanan, untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya. Keanggotaan AP terdiri atas sekitar 50 anggota. Dalam kenyataannya, AP lebih berfungsi sebagai wahana komunikasi antara masyarakat perikanan dengan pembuat kebijakan. Scientific and Statistical Committee (SSC) terdiri atas 15 anggota, yang memiliki fungsi utama untuk mereview rekomendasi ilmiah dan data statistik yang diberikan oleh PTs. Hal ini dimaksudkan agar rekomendasi maupun data statistik, yang
akan digunakan dalam perencanaan atau perubahan kebijakan
memiliki tingkat validitas yang tinggi. Sebagai dewan penasehat ilmiah, pada kenyataannya rekomendasi yang diberikanan SSC secara umum meyakinkan.
221
Standing Committees (SCs) terdiri atas 9 Bagian yang meliputi Bagian eksekutif, Bagian perikanan demersal dan seamount groundfish, Bagian anggaran dan program, nelayan lokal, ikan karang, ekosistem pesisir, crustacea, pelagis dan Bagian pelaksana. Fungsi SCs adalah membantu Dewan dalam memahami dan mencerna informasi dan isu-isu yang berkembang dalam setiap pertemuan. Secara administratif WPRFMC mempunyai satu direktur eksekutif, staf profesional dan sekretaris yang bertanggungjawab mengorganisir, menyediakan draft perencanaan pengelolaan perikanan dan tugas-tugas administratif lainnya. Organisasi WPRFMC memiliki struktur, fungsi dan tugas yang jelas seperti terlihat pada Gambar 19.
Gambar 19
Struktur organisasi The Western Pacific Regional Fishery Management Council (WPRFMC) (Leung 1998).
“Sistem Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa” secara kelembagaan dapat mencontoh struktur kelembagaan WPRFMC. Struktur kelembagaan dibentuk dengan melibatkan seluruh pelaku sistem (stakeholder), sehingga kinerja kelembagaan nantinya akan dapat mengakomodir kepentingan para pelaku sistem.
222
Unsur pembentuk struktur kelembagaan perikanan lepas pantai terdiri atas beberapa unsur, yang merupakan pelaku (stakeholder) perikanan tuna di Selatan Jawa meliputi kelompok (1) pengusaha atau industri (bussiness), (2) pemerintah (goverment), (3) akademisi/peneliti (academic), (4) pemodal (financing), dan (5) masyarakat (community). Kelompok pengusaha atau industri meliputi (1) usaha penangkapan ikan; (2) usaha pengolahan; (3) usaha transportasi dan pemasaran; (4) usaha penyedia perbekalan atau penyedia input produksi. Kelompok masyarakat mencakup masyarakat nelayan dan bukan nelayan. Pemodal meliputi lembaga-lembaga pemberi modal, seperti perbankan (Gambar 20). Kelembagaan bekerja menjalankan fungsi-fungsi manajemen (pengelolaan) sumberdaya tuna, yaitu membuat perencanaan pengelolaan, membuat program kerja, melaksanakan program kerja, melakukan pengawasan dan evaluasi serta memberikan kontribusi kebijakan-kebijakan pengelolaan yang tepat kepada pemerintah. Untuk itu sebagai badan pelaksana pengelolaan sumberdaya tuna di Selatan Jawa, kelembagaan memiliki struktur yang terdiri atas (1) Bagian riset dan pengembangan, (2) Bagian perencanaan dan manajemen perikanan, (3) Bagian advokasi atau penasehat industri perikanan tuna, dan (4) Komite Pelaksana yang terdiri atas: Bagian anggaran, Bagian kebijakan, Bagian program, Bagian pembinaan nelayan, Bagian penegakan hukum, serta Bagian monitoring dan evaluasi. Kunci sukses dari kelembagaan ini akan tergantung pada net working, kepercayaan dan komunikasi antar stakeholder yang terlibat.
223
Gambar 20 Struktur kelembagaan “Pengelolaan Perikanan Tuna di Selatan Jawa”. Secara nasional telah dibentuk FKPPS (lihat Bab 5.3.3), namun hingga saat ini FKPPS belum berperan optimal dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Beberapa kelemahan menjadi sebab belum optimalnya peran dari FKPPS, diantaranya yaitu: (1) Mandat yang diberikan kepada FKPPS adalah membantu menteri dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan pengelolaan perikanan. Forum tidak memiliki otoritas melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan; (2) Keanggotaan FKPPS baru dari unsur pemerintah, belum melibatkan unsur dari pelaku sistem yang lain. Oleh karena itu, masukan kebijakan belum mewakili aspirasi seluruh pelaku sistem (stakeholder); (3) Forum tidak dapat cepat merespon isu-isu terbaru, karena pertemuan anggota tidak dapat dengan cepat dilaksanakan. Cakupan bahasan permasalahan dan masukan kebijakan yang dihasilkan juga tidak akan optimal. Bentuk kelembagaan yang diusulkan ini, diharapkan dapat berperan lebih optimal. Kelembagaan bertugas seperti halnya suatu manajemen perusahaan, yang memiliki kewenangan atau otoritas penuh untuk melaksanakan pengelolaan dan pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa. Kelembagaan bertanggungjawab
224
langsung kepada pemerintah. Kelembagaan, dapat saja sebagai penyempurnaan dari FKPPS. Syaratnya, keanggotaan diperluas dengan melibatkan seluruh pelaku sistem (stakeholder) dan bentuk struktur kelembagaan seperti pada Gambar 20.
4) Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai Integrasi dari submodel USAHA, submodel PELABUHAN dan submodel LEMBAGA membentuk Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa (SIMPELA) (Gambar 21). Model merekomendasikan: (1) Pengembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa, dilakukan dengan terlebih dahulu membangun usaha perikanan tuna skala industri. Perikanan tuna menggunakan kapal longline berukuran >30 GT, didukung dengan manajemen usaha yang baik. Usaha memerlukan dukungan ketersediaan input produksi berupa kapal, alat tangkap beserta perlengkapannya serta perbekalan operasi. Usaha dilakukan berdasarkan pada prinsip efisiensi, efektivitas dan produktivitas. Standar good manufacturing practices (GMP) dan standar sanitation operational procedure (SSOP) penting diterapkan di kapal longline. (2) Jumlah kapal yang direkomendasikan untuk Selatan Jawa, dengan basis penangkapan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu adalah 170 unit longline. Kuota dibagi rata yaitu 50% atau 85 unit, dengan asumsi bahwa PPN Palabuhanratu akan ditingkatkan statusnya menjadi PPS. Fasilitas di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu perlu ditingkatkan. Kebutuhan utama terkait dengan fasilitas pokok yaitu lebar alur masuk pelabuhan, dan kedalaman kolam pelabuhan. Kebutuhan lebar alur masuk pelabuhan adalah 43,44-57,92 m, sedangkan kedalaman kolam pelabuhan sekitar 6,20-7,40 m. (4) Kebutuhan input produksi yang harus dipenuhi di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu
untuk
mendukung
kegiatan
perikanan
tuna
longline,
diantaranya yaitu terkait dengan kebutuhan solar, umpan, es, air tawar dan kebutuhan ABK. Kebutuhan per tahun yang harus disediakan yaitu solar sekitar 24.000 kilo liter, 1.920 ton umpan, 336.000 balok es, air tawar berjumlah 840.000 m3. Kebutuhan ABK
berjumlah 2.400 orang, dengan
kompetensi memiliki sertifikasi pelaut internasional sesuai standar SCTW (Standar of Training Certification Watch Keeping for Seaferers).
225
(5) Kedua pelabuhan perikanan sebagai basis perikanan tuna, yaitu PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu perlu dikembangkan menjadi pelabuhan perikanan berskala internasional. Hal ini dilakukan dengan pembangunan pelabuhan yang dikhususkan hanya untuk perikanan skala industri, kelengkapan fasilitas kepelabuhanan, manajemen kepelabuhanan yang baik yang dilakukan oleh Pengelola Pelabuhan yang kompeten, serta penerapan sistem mutu yang teruji, khususnya penerapan GMP dan SSOP. (6) Peraturan perundang-undangan serta kebijakan perikanan perlu dibuat untuk dapat mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan secara optimal berkelanjutan. Peraturan dan kebijakan dibuat secara sinergi antara pusat dan daerah, disertai dengan mandat yang jelas, serta penegakan hukum yang adil. (7) Perlu dibentuk kelembagaan tuna terpadu, untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya tuna terintegrasi, yang dapat mengakomodasikan kepentingan antar wilayah provinsi dan kabupaten, serta antar stakeholder. Kelembagaan berperan sebagai pelaksana pengelolaan dan pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa secara berkelanjutan.
226
7.4 Model Pengembangan Perikanan Pantai Berbeda dengan model perikanan lepas pantai yang lebih difokuskan untuk pengembangan perikanan tuna, pengembangan perikanan pantai berdasarkan pada beberapa jenis ikan unggulan. Ikan unggulan meliputi jenis pelagis besar yaitu tongkol dan cakalang, pelagis kecil adalah teri, demersal yaitu layur, ikan cucut, bawal putih dan lobster serta dari jenis udang. Sesuai jenis ikan unggulan, unit penangkapan yang digunakan meliputi gillnet multifilament, pancing tonda, purse seine, gillnet monofilament, trammel net, payang dan pancing rawai. Pengembangan perikanan pantai, untuk jenis ikan tongkol dan cakalang dapat dilakukan oleh Kabupaten Sukabumi, Cilacap, Gunung Kidul, Trenggalek dan Malang. Pengembangan perikanan pantai untuk ikan tongkol dan cakalang dilakukan dalam usaha skala menengah, dengan unit penangkapan ikan yang digunakan adalah gillnet multifilament, pancing tonda dan purse seine. Pengembangan perikanan pantai untuk jenis ikan layur, bawal putih, dapat menggunakan pancing rawai, dan gillnet monofilament. Kabupaten yang dapat mengembangkan perikanan layur dan bawal putih yaitu Sukabumi, Garut, Kebumen, Gunung Kidul, Pacitan dan Trenggalek. Pengembangan perikanan lobster menggunakan gillnet monofilament. Kabupaten yang dapat mengembangkan perikanan lobster adalah Kebumen, Gunung Kidul dan Pacitan. Perikanan udang hanya dapat dikembangkan oleh Kabupaten Cilacap, dengan unit penangkapan trammel net. Ikan teri menggunakan unit payang dan purse seine, dapat dikembangkan di Trenggalek. Perikanan cucut menggunakan pancing rawai, dapat dikembangkan oleh Kabupaten Sukabumi, Garut, Cilacap, Gunung Kidul, Pacitan dan Malang. Seperti halnya pada pengembangan perikanan lepas pantai, penyusunan model pengembangan perikanan pantai dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap sistem. Sistem yang dianalisis meliputi subsistem USAHA, subsistem PELABUHAN, dan subsistem LEMBAGA.
7.4.1 Analisis Sistem Perikanan Pantai Pengembangan perikanan pantai dalam kajian disertasi ini lebih difokuskan pada pengembangan perikanan tongkol, cakalang, layur, bawal putih, lobster,
227
cucut, udang, teri dan pepetek. Unit penangkapan ikan yang potensial digunakan untuk pengembangan perikanan pantai adalah gillnet multifilament, pancing tonda, purse seine, gillnet monofilament, trammel net, payang, dan rawai. Seperti halnya pada pengembangan perikanan lepas pantai, pengembangan perikanan pantai juga perlu dilakukan dengan terlebih dahulu membangun bisnis atau usaha perikanan. Usaha pada perikanan pantai, dilakukan pada usaha skala menengah atau usaha skala kecil. Usaha perikanan pantai tidak membutuhkan modal yang besar seperti halnya pada perikanan lepas pantai.
1) Analisis subsistem USAHA Usaha perikanan pantai dilakukan pada usaha skala menengah dan skala kecil. Usaha pada umumnya tidak menggunakan teknologi penangkapan ikan yang canggih, dan tidak memerlukan permodalan yang besar. Usaha perikanan ini dapat dilakukan oleh semua kabupaten yang ada di Selatan Jawa, dengan fokus usaha pada beberapa jenis ikan unggulan daerah. Usaha perikanan pantai tidak memerlukan dukungan pelabuhan perikanan besar, dengan fasilitas yang lengkap seperti halnya pada perikanan lepas pantai. Seperti halnya pada pengembangan perikanan lepas pantai, keberhasilan usaha pada perikanan pantai juga akan tergantung pada tiga faktor utama, yaitu potensi sumberdaya ikan, teknis usaha dan kelayakan ekonomi dari usaha.
(1) Analisis potensi sumberdaya Sebagian besar wilayah kajian telah mengembangkan perikanan pantai. Operasi penangkapan ikan, umumnya dilakukan oleh nelayan pada daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang terkonsentrasi hanya pada daerah tertentu saja di pinggir pantai, dekat dengan pusat-pusat pendaratan ikan (fishing base). Hal ini menyebabkan pada beberapa wilayah perairan, kondisi sumberdaya ikan telah mencapai kondisi tangkap penuh (fully exploited). Pada perikanan tongkol dan cakalang di PPS Cilacap dengan menggunakan alat tangkap gillnet multifilament periode tahun 1999-2005, terlihat memiliki kecenderungan nilai CPUE relatif datar. Effort unit penangkapan gillnet selama periode 1999-2005 berfluktuasi cenderung menurun, yaitu dari 1.858 trip tahun
228
1999 menjadi 745 trip pada tahun 2005. Produksi tongkol dan cakalang di PPS Cilacap juga berfluktuasi dan terjadi penurunan, yaitu dari 1.999 ton pada tahun 1999 menjadi 679,00 ton tahun 2005. Nilai CPUE tertinggi pada tahun 2003 yaitu 1,77 ton/trip, menurun menjadi 0,91 ton/trip tahun 2005 (Lampiran 37a). Nilai CPUE perikanan udang di PPS Cilacap periode tahun 1996-2005 berfluktuasi, yaitu dari 0,12 ton/trip pada tahun 1996 menurun menjadi 0,09 ton/trip pada tahun 2005. Penurunan effort trammel net pada periode 2002-2005, telah dapat meningkatkan nilai CPUE pada periode tersebut. Produksi udang berfluktuasi, yaitu dari 483,32 ton tahun 1996 menurun menjadi 105,70 ton pada tahun 2005. Jumlah effort berfluktuasi, yaitu dari 4.178 trip tahun 1996 menurun menjadi 1.141 trip tahun 2005 (Lampiran 37b). Perikanan pukat cincin di PPN Prigi, dengan hasil utama adalah cakalang dan juga ikan pelagis kecil seperti ikan teri pada periode 199-2005, memiliki nilai CPUE berfluktuasi. Fluktuasi nilai CPUE dari tahun ke tahun sangat tinggi. Pada periode 1999-2002, nilai CPUE 0,25 ton/trip tahun 1999 meningkat menjadi 26,08 ton/trip pada tahun 2002. Nilai CPUE menurun secara drastis pada tahun 2003 menjadi 0,88 ton/trip (Lampiran 37c). Pada perikanan rawai dengan hasil tangkapan utama ikan layur di PPN Prigi periode 1999-2005, nilai CPUE berfluktuasi. Jumlah effort berfluktuasi, yaitu dari 474 unit tahun 1999 meningkat menjadi 1.462 unit pada tahun 2005. Produksi rawai berfluktuasi, yaitu dari 383 ton pada tahun 1999, meningkat menjadi 1.288 ton pada tahun 2005. Nilai CPUE berfluktuasi, meningkat tajam pada tahun 2003 yaitu sebesar 3,45 ton per unit. Tahun 2004 nilai CPUE menurun menjadi 0,31 ton per unit (Lampiran 37d). Perikanan bawal putih di Kebumen periode 1995-2001 menunjukkan nilai CPUE berfluktuasi. Produksi berfluktuasi, yaitu dari 35,99 ton tahun 1995 meningkat menjadi 53,57 ton pada tahun 2001, dengan peningkatan tajam terjadi pada tahun 1998. Effort berfluktuasi, yaitu dari 1.853 trip tahun 1995 menjadi 11.063 trip pada tahun 2001. Peningkatan effort yang tajam tahun 2001 telah menurunkan nilai CPUE secara drastis pada tahun tersebut (Lampiran 37e). Nilai CPUE perikanan layur di Kebumen periode 1995-2001 berfluktuasi, dari 0,03 ton/trip tahun 1995 meningkat menjadi 0,14 ton/trip tahun 1999 dan
229
menurun menjadi 0,02 ton/trip tahun 2001. Produksi berfluktuasi, dari 63,83 ton tahun 1995 meningkat menjadi 222,98 ton tahun 2001, dengan peningkatan tajam terjadi tahun 1999 berjumlah 540,99 ton. Effort berfluktuasi, yaitu dari 1.853 trip pada tahun 1995 meningkat menjadi 11.063 trip pada tahun 2001. Peningkatan effort yang tajam pada tahun 2001 telah menurunkan nilai CPUE secara drastis pada tahun tersebut, yaitu dari 0,30 ton/trip menjadi 0,02 ton/trip (Lampiran 37f). Nilai CPUE perikanan lobster di PPP Cilautereun periode 1999-2003, berfluktuasi. Produksi berfluktuasi, yaitu dari 47,50 ton tahun 1999 menurun menjadi 37,18 ton pada tahun 2003. Effort berfluktuasi, yaitu dari 1.960 trip pada tahun 1999 meningkat menjadi 2.640 trip pada tahun 2003. Peningkatan effort secara terus menerus dari tahun ke tahun, telah menurunkan nilai CPUE lobster di PPP Cilautereun, yaitu dari 0,02 ton/trip menjadi 0,01 ton/trip (Lampiran 37g). Perikanan gillnet dengan hasil tangkapan cakalang di PPN Palabuhanratu periode 1994-2003, menunjukkan nilai CPUE menurun. Produksi berfluktuasi, yaitu dari 1777,70 ton pada tahun 1994 menurun menjadi 1.151,60 ton pada tahun 2003. Jumlah effort berfluktuasi, yaitu dari 427 unit pada tahun 1994 meningkat menjadi 656 unit pada tahun 2003. Peningkatan effort terjadi pada periode tahun 2001-2003. Penurunan nilai CPUE telah terjadi sejak tahun 1998 (Lampiran 37h). Nilai CPUE perikanan rawai dengan produksi utama ikan cucut di PPN Palabuhanratu periode 1994-2003, cenderung menurun. Produksi cenderung menurun, yaitu dari 1.296,20 ton tahun 1994 menjadi 654,40 ton tahun 2003. Jumlah effort berfluktuasi, dari 101 unit tahun 1994 menurun menjadi 56 unit tahun 2003. Nilai CPUE berfluktuasi, meningkat tajam tahun 1996 yaitu sebesar 23,04 ton per unit. Peningkatan effort yang tajam tahun 1997, telah menurunkan CPUE menjadi 2,15 ton per unit pada tahun tersebut (Lampiran 37i). Berdasarkan hasil analisis CPUE seperti di atas, terlihat bahwa kondisi sumberdaya ikan pada perikanan pantai sangat sensitif terhadap tekanan upaya penangkapan yang berlebih. Peningkatan upaya, akan dapat menurunkan nilai CPUE secara drastis. Sebaliknya penurunan tingkat upaya, akan memulihkan kembali sumberdaya yaitu terlihat dari meningkatnya nilai CPUE. Untuk itu dalam pengembangan perikanan pantai, sangat penting untuk diperhatikan jumlah upaya penangkapan yang boleh diizinkan agar potensi sumberdaya tetap lestari.
230
(2) Analisis teknis usaha perikanan Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Kegiatan usaha meliputi kegiatan dari pra produksi, produksi, pasca produksi dan pemasaran. Kondisi sistem dari beberapa usaha perikanan, telah dideskripsikan pada Bab 5.1.2 sampai dengan Bab 5.1.7. (a) Kegiatan pra poduksi Seperti halnya pada usaha perikanan lepas pantai, ketersediaan input produksi merupakan faktor penting agar usaha dapat berjalan dengan lancar. Input produksi pada kegiatan perikanan pantai meliputi ketersediaan unit penangkapan ikan, yang terdiri atas kapal, alat tangkap, mesin kapal, dan perlengkapan penangkapan lainnya; ketersediaan sumberdaya manusia (SDM); ketersediaan modal, baik modal investasi maupun modal operasi; serta ketersediaan perbekalan operasi yang meliputi BBM solar, minyak tanah, air tawar, es, dan makanan. Ketersediaan unit penangkapan yang meliputi kapal perikanan, alat tangkap, mesin kapal dan peralatan bantu penangkapan lainnya merupakan faktor yang sangat penting. Kapal secara umum memiliki umur teknis yang terbatas, yaitu sekitar 8-15 tahun. Kebutuhan akan material kapal, khususnya material kayu semakin terbatas. Untuk itu perlu dicari alternatif lain pengganti material kayu. Kebutuhan sumberdaya manusia yang memahami karakteristik laut, menjadi hal yang penting dalam penyediaan sumberdaya manusia. Pekerjaan sebagai nelayan sangat berbeda dengan pekerjaan lain di darat. Umum yang terjadi saat ini di Selatan Jawa adalah, pekerjaan nelayan hanya sebagai sambilan. Sebagian besar nelayan memiliki alternatif mata pencaharian lain, diantaranya sebagai petani sawah atau petani ladang dan juga sebagai peternak. Ketersediaan permodalan merupakan faktor penting lainnya. Biaya investasi yang tinggi untuk pembelian kapal, mesin, alat tangkap dan perlengkapan lainnya, serta biaya operasional yang tinggi menjadikan usaha perikanan hanya dikuasai oleh pemilik modal saja. Sebagian besar nelayan hanya berperan sebagai nelayan buruh, dengan pendapatan yang diterima menggunakan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil pada umumnya kurang berpihak kepada nelayan. Sebenarnya pemerintah telah berupaya memberdayakan nelayan melalui pemberian pinjaman, salah satunya adalah melalui program kredit usaha mikro,
231
kecil dan menengah (UMKM). Program ini diberikan tanpa menggunakan agunan, karena pemerintah juga sudah menyertakan program penjaminan melalui Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perusahaan Umum Sarana Penyedia Usaha (Perum SPU). Pada tahun 2007 program penjaminan digulirkan oleh pemerintah sebesar Rp 1,45 triliun. Program ini berlaku selama tiga tahun kedepan (Kompas, 14 Desember 2007). Dalam pelaksanaannya di lapangan, program masih sulit diakses oleh nelayan dengan adanya berbagai hambatan. Kebutuhan akan perbekalan melaut, merupakan salah satu faktor penting berikutnya. Kebutuhan terutama adalah terkait dengan kebutuhan BBM. BBM merupakan komponen biaya operasi yang besar dalam usaha penangkapan, yaitu sekitar 40-50% dari keseluruhan biaya operasi. Kenaikan harga BBM hampir 100% pada akhir tahun 2005, masih dirasakan dampaknya oleh nelayan hingga saat ini. Dampak kenaikan BBM sangat dirasakan baik oleh nelayan skala kecil, menengah maupun besar. Pada waktu itu banyak nelayan yang tidak dapat melaut karena kenaikan harga BBM tersebut. Pada akhir tahun 2007 ini, sebenarnya usaha perikanan sudah mulai membaik. Kondisi ini sepertinya tidak akan bertahan lama, karena wacana akan adanya kenaikan BBM sudah mulai terdengar. (b) Proses produksi Proses produksi pada kegiatan usaha perikanan merupakan proses yang mengandung resiko tinggi, dengan hasil yang tidak dapat diprediksi dengan pasti. Berbagai faktor akan mempengaruhi terhadap keberhasilan dari proses produksi tersebut. Sama halnya dengan perikanan lepas pantai, faktor–faktor produksi diantaranya meliputi ukuran kapal dan mesin kapal, ukuran palkah ikan dan fasilitas penanganan ikan di atas kapal, ukuran alat tangkap, jumlah mata pancing dan ketersediaan umpan, jumlah trip penangkapan, bahan bakar, dan ABK. Kebutuhan faktor-faktor produksi pada usaha perikanan pantai sangat bervariasi, tergantung pada besarnya skala usaha. Penggunaan faktor produksi dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan faktor produksi yang berlebihan, merupakan pemborosan. Peningkatan efisiensi dan efektivitas produksi, dapat dilakukan dengan penggunaan faktor produksi yang tepat. Salah satu contoh penggunaan faktor produksi pada kegiatan usaha perikanan, adalah penggunaan ABK kapal. Kebutuhan ABK kapal bervariasi,
232
tergantung pada jenis usaha dan skala usaha. Pada perikanan gillnet multifilament, tenaga ABK yang diperlukan berjumlah sekitar 5-12 orang. Pada unit purse seine sekitar 15-20 orang, trammel net 5-7 orang, gillnet monofilament 2-3 orang, payang 15-20 orang, pancing tonda 5-7 orang, dan pancing rawai sekitar 3-5 orang. Penggunaan ABK ini harus diperhitungkan dengan cermat. Penggunaan ABK yang berlebih, akan berdampak pada peningkatan biaya operasi. Sementara itu dari sisi ABK, pendapatannya akan menjadi lebih kecil. Tabel 24 menyajikan gambaran faktor-faktor teknis yang perlu diperhatikan untuk efisiensi dan efektivitas proses produksi, pada beberapa usaha perikanan pantai. Masing-masing usaha memiliki faktor-faktor teknis berbeda untuk optimalisasi produksi. Hal ini akan disesuaikan dengan karakteristik usahanya. Umumnya faktor teknis akan terkait dengan ukuran kapal, ukuran alat tangkap, penggunaan bahan bakar dan penggunaan tenaga kerja. Tabel 24 Faktor teknis yang perlu diperhatikan pada perikanan pantai No. 1 2 3
4 5 6 7
Faktor Gillnet teknis multifilament Ukuran 9 kapal dan mesin kapal Palkah ikan 9 dan fasilitas penanganan Jumlah mata pancing dan 9 ketersediaan umpan Panjang dan 9 lebar jaring Jumlah trip 9 penangkapan Jumlah 9 bahan bakar Jumlah 9 tenaga kerja
Pancing Gillnet tonda monofilament
Purse seine
Payang
Trammel net
Pancing rawai
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
-
-
-
-
9
-
9
9
9
9
-
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
Keterangan: √ = perlu diperhatikan
(c) Pasca produksi Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal proses penanganan ikan. Kesalahan penanganan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya. Secara umum penanganan ikan di atas kapal belum dilakukan dengan baik. Kesadaran nelayan tentang kualitas dan penanganan ikan masih rendah. Pada operasi penangkapan ikan harian, kebanyakan nelayan tidak membawa es.
233
Sementara itu pada trip operasi penangkapan ikan yang memerlukan waktu lebih lama, biasanya nelayan tidak membawa es dalam jumlah yang cukup. Ketersediaan es atau suplai es dari pabrik yang berada di sekitar PP/PPI masih terbatas. Beberapa PPI tidak memiliki fasilitas pabrik es. Persediaan es untuk kebutuhan melaut, didatangkan dari daerah lain dengan jarak yang cukup jauh. Cold storage hanya tersedia di pelabuhan perikanan berkelas PPN atau PPS. Fasilitas penanganan ikan dan cara penanganan ikan di PP/PPI, pada umumnya belum dilakukan dengan benar. Penanganan sanitasi dan higienitas di PP/PPI belum mendapatkan prioritas. Keterbatasan sumber air tawar atau air bersih, terkadang menjadi salah satu hambatan untuk dapat melakukan penanganan ikan dengan baik.
Disamping juga faktor keterbatasan sarana
penanganan ikan di pelabuhan, serta kebiasaan nelayan yang sulit dirubah. Beberapa jenis hasil tangkapan merupakan komoditi ekspor, seperti layur, bawal putih, lobster dan udang. Penanganan kualitas ikan sesuai standar kualitas ekspor, penting diperhatikan agar produk dapat diterima pasar. Semakin banyak ikan yang memenuhi standar kualitas ekspor, diharapkan akan semakin besar penerimaan usaha yang akan didapatkan nelayan. Penanganan kualitas dengan benar akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan efektivitas usaha. Produk yang akan diekspor harus dilengkapi sertifikat mutu. Sertifikat mutu dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan pengujian mutu ke laboratorium pengujian mutu hasil perikanan. Petugas laboratorium akan melakukan pengecekan mutu ke perusahaan, dengan mengambil beberapa contoh atau sampel untuk dilakukan pengujian. Perusahaan akan diberikan sertifikat mutu berdasarkan hasil pengujian sampel. Produk ikan yang akan diekspor harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI).
(3) Analisis finansial usaha perikanan pantai Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari beberapa jenis usaha perikanan pantai. Analisis dilakukan dengan menggunakan program Excel. Masukan program meliputi penerimaan usaha, biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Hasil analisis meliputi perhitungan keuntungan usaha, NPV, B/C dan IRR.
234
(a) Penerimaan usaha Penerimaan pada usaha perikanan, umumnya bersifat tidak pasti. Penerimaan usaha, akan dipengaruhi oleh jumlah produksi dan harga. Produksi ikan umumnya dipengaruhi musim. Harga selain dipengaruhi oleh jenis ikan, ukuran dan kualitas, dipengaruhi juga oleh musim ikan. Pada saat musim ikan, biasanya harga akan turun. Sebaliknya saat musim paceklik, harga akan naik. Hasil tangkapan gillnet multifilament diantaranya terdiri atas berbagai jenis ikan, dengan hasil utama tongkol dan cakalang. Tujuan utama hasil tangkapan adalah untuk pasar lokal atau antar daerah. Hasil tangkapan gillnet multifilament umumnya tidak memiliki kualitas yang bagus, sehingga cakalang yang dihasilkan tidak memenuhi standar ekspor. Hasil tangkapan utama pancing tonda adalah tuna dan cakalang. Tuna hasil tangkapan pancing tonda, pada umumnya berukuran kecil (baby tuna) sebagai bahan baku pabrik pengolahan tuna. Trammel net hasil utamanya adalah udang, yang merupakan komoditi ekspor. Purse seine dan payang dapat digunakan utuk menangkap jenis ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Jenis ikan pelagis besar yang tertangkap seperti tongkol, cakalang, dan tenggiri, sedangkan pelagis kecil seperti teri dan pepetek. Ikan pepetek banyak tertangkap dengan purse seine di Trenggalek. Ikan pepetek dan beberapa jenis ikan pelagis kecil lainnya, sebagian besar diolah dalam bentuk tepung ikan yang merupakan komoditi ekspor. Gillnet monofilament dapat digunakan untuk menangkap lobster, bawal putih dan layur. Tabel 25 memberikan gambaran perkiraan harga ikan, jumlah produksi dan retribusi yang dikenakan pada beberapa jenis usaha perikanan pantai. Nilai-nilai yang digunakan berasal dari beberapa responden, nilai tersebut digunakan sebagai acuan dalam penghitungan kelayakan usaha perikanan. Tabel 25 No.
Input untuk menghitung penerimaan usaha perikanan pantai
Input Gillnet penerimaan multifilament usaha 1 Harga ikan 5.369,20 (Rp) 2 Jumlah 3.505 produksi (kg) per trip 3 Retribusi (% 5 x penerimaan) Sumber: hasil olahan data
Pancing tonda
Gillnet monofilament
Purse seine
Payang
Trammel net
7.890,46
7.647,29
4.500
4.387,54
42.735,28
616
26
300
340
104
3
5
3
5
3
235
(b) Pembiayaan usaha perikanan Biaya investasi Biaya investasi digunakan untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan perlengkapan lainnya. Biaya investasi yang diperlukan sangat bervariasi, tergantung pada besar kecilnya skala usaha. Tabel 26 memberikan gambaran biaya investasi yang diperlukan pada beberapa usaha perikanan pantai. Biaya investasi tersebut didasarkan pada biaya investasi yang umum digunakan nelayan. Biaya investasi untuk kapal gillnet multifilament berkisar antara Rp 150.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00. Gillnet multifilament yang digunakan nelayan di PPS Cilacap secara umum lebih besar dibandingkan dengan gillnet di PPN Palabuhanratu. Purse seine umum digunakan oleh nelayan di PPN Prigi, di PPP Cilautereun dengan ukuran yang lebih kecil, biasa disebut mini purse seine. Pancing tonda digunakan oleh nelayan di Sendangbiru. Trammel net terdiri atas berbagai skala usaha, biaya investasi yang diperlukan sangat bervariasi. Gillnet monofilament umum digunakan oleh nelayan skala kecil, dengan modal investasi berkisar antara Rp 15.000.000,00 sampai Rp 25.000.000,00. Payang banyak digunakan nelayan di Palabuhanratu untuk menangkap tongkol dan cakalang. Biaya investasi sekitar Rp 70.000.000,00 per unit. Tabel 26 No. U Uraian 1 2 3
Kapal Alat tangkap Mesin
Biaya investasi pada beberapa usaha perikanan pantai
Gillnet multifilament (Rp x 1.000) 60.000 100.000 12.000
Total 172.000 Sumber: hasil olahan data
Pancing tonda (Rp x 1.000) 35.000 4.000+3.000
Purse seine Gillnet monofilament (Rp x 1.000) (Rp x 1.000) 8.000 80.000 3.250 60.000 10.500 50.000
Payang Trammel Net (Rp x 1.000) (Rp x 1.000) 30.000 21.250 17.500
78.266,667 12.550 24.125
70.350
114.941,667
8.000 50.000
21.750
190.000
Biaya tetap Biaya tetap meliputi biaya penyusutan, biaya perawatan, biaya operasional kantor, pajak dan bunga bank. Biaya perawatan unit penangkapan, sangat bervariasi sekali tergantung pada tingkat perawatan atau perbaikan pada kapal, alat tangkap dan mesin. Biaya perawatan yang mahal, khususnya dikeluarkan pada saat kapal melakukan docking dan over haul mesin kapal.
236
Perhitungan biaya tetap untuk beberapa usaha perikanan pantai seperti terlihat pada Tabel 27. Biaya tetap tersebut belum memperhitungkan pajak dan bunga bank yang harus dibayarkan perusahaan. Tabel 27 Biaya tetap pada beberapa usaha perikanan pantai No. 1
2
3
Uraian Perawatan - kapal - mesin - alat tangkap Penyusutan - kapal - mesin - alat tangkap Administrasi Total biaya tetap
Pancing Gillnet Gillnet monofilament multifilament Tonda (Rp x 1.000) (Rp x 1.000) (Rp x 1.000) 1.000 2.000 1.100
5.000 3.000 500
5.400 1.080 10.000 240
3.150 720 600 -
10.820
12.970
2.000 3.000 500 720 945 500+150 7.815
Purse seine (Rp x 1.000)
Payang (Rp x 1.000)
Trammel net (Rp x 1 .000)
20.000
4.200 400 1.800
1.387,50 3.000,00 616,67
7.200 4.375 12.000 360
2.988 1.969 4.250 99
6.723,33 1.612,50 6.275,00 215,00
44.060
15.706
19.930,00
Sumber: hasil olahan data
Biaya variabel Biaya variabel merupakan biaya yang hanya akan dikeluarkan perusahaan jika melakukan operasi penangkapan ikan. Biaya variabel, pada umumnya terdiri atas biaya untuk kapal melakukan operasi penangkapan, bagi hasil, serta retribusi lelang. Biaya untuk kapal melakukan operasi penangkapan, meliputi biaya untuk pembelian perbekalan solar, olie, es, umpan, gas/minyak tanah, air tawar, biaya perjalanan, dokumen kapal, serta pembayaran gaji ABK. Perhitungan kebutuhan biaya untuk melakukan operasi penangkapan ikan pada beberapa usaha perikanan pantai seperti terlihat pada Tabel 28. Tabel 28 Biaya operasi per trip pada beberapa usaha perikanan pantai No . 1 2 3 4 5 6 7
Biaya variabel per tahun Solar/minyak tanah (Rp) Olie (Rp) Es (Rp) Minyak tanah (Rp) Air tawar (Rp) Konsumsi (Rp) Perizinan (Rp) Total (Rp)
Gillnet multifilament 3.440.000
Pancing tonda 2.850.000
200.000 1.100.000
13.043,48 165.217,39
75.000
30.978,26
16.000 400.000 5.231.000
Sumber: hasil olahan data
2.789.239
Purse Gillnet monofilament seine
Payang
Trammel net
45.000
15,000
135.000
442.900
-
200,000 22,000
60.000 22.000
90.000 64.040
-
40,500
468.000
25.000
685.000
454.400 1.080.340
15.000 60.000
-
477,500
237
(c) Perhitungan kelayakan usaha Hasil perhitungan kelayakan finansial dari usaha perikanan pantai meliputi kriteria nilai NPV, B/C dan IRR. Perhitungan nilai NPV, B/C dilakukan dengan menggunakan discount rate 15% (Tabel 29). Perhitungan kelayakan usaha seperti tertera pada Lampiran 38. Tabel 29 Kriteria kelayakan usaha Penerimaan per tahun (Rp) Biaya variabel per tahun (Rp) Biaya tetap per tahun (Rp) Biaya total per tahun (Rp) Keuntungan (Rp) NPV (Rp) B/C IRR (%)
Nilai kelayakan usaha pada beberapa usaha perikanan pantai
Pancing Gillnet multifilament tonda
Gillnet monofilament
Purse seine
Payang
Trammel net
395.200.000
184.700.000
51.700.000
270.000.000
270.720.000
160.000.880
295.126.600
148.953.000
34.682.500
182.750.000
214.934.100
101.265.030
10.820.000
12.970.000
7.815.000
43.735.000
15.705.750
19.930.000
305.946.600
161.923.000
42.497.500
226.485.000
230.639.850
121.195.031
89.253.400 306.909.487 2,78 54,92
22.777.000 70.591.339 2,41 47,09
9.202.500 33.692.933 2,55 50,25
43.515.000 121.620.891 1,64 30,90
40.080.150 85.898.870 2,22 49,97
38.805.849 130.259.354 2,13 41,62
Sumber: hasil olahan data
2) Analisis subsiste, PELABUHAN Analisis subsistem PELABUHAN dimaksudkan untuk melihat peran dari PP/PPI yang ada di lokasi penelitian, dalam hal dukungannya terhadap kegiatan usaha perikanan. Peran PP/PPI penting sebagai tempat pendaratan hasil tangkapan, penyedia fasilitas perbekalan atau input produksi, fasilitas penanganan ikan, distribusi, pemasaran dan peran administratif lainnya.
Pada subsistem
PELABUHAN dianalisis tiga aspek yaitu keterkaitan pelabuhan perikanan dengan fishing ground, aspek teknis pelabuhan dan aksesibilitas pasar.
(1) Analisis keterkaitan dengan fishing ground Analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) dilakukan melalui penilaian atau evaluasi terhadap lokasi PP/PPI, berkaitan dengan daya tariknya bagi kapal-kapal perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan di PP/PPI tersebut. Daya tarik yang ada di suatu PP/PPI, akan meningkatkan minat nelayan untuk mendaratkan ikannya di PP/PPI tersebut. Dalam hal ini adalah meningkatkan tarikan pergerakan barang atau orang ke suatu lokasi PP/PPI.
238
Faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik dibedakan menjadi tiga, yaitu (a) fasilitas perairan, (b) fasilitas darat dan (c) potensi kemudahan pemasaran. Fasilitas perairan meliputi kriteria lebar dan kedalaman alur masuk pelabuhan, serta kedalaman kolam pelabuhan. Fasilitas darat meliputi kriteria fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan ikan. Potensi kemudahan pemasaran meliputi keberadaan industri pengolahan, eksportir dan akses pasar. Input untuk analisis adalah PP/PPI yang menjadi obyek kajian, dengan karakteristik kriteria sesuai yang dibutuhkan model (Lampiran 39). Keberadaan fasilitas perairan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPN Prigi dan PPI Sadeng cukup baik. Keempat pelabuhan tersebut telah memiliki kolam pelabuhan, dengan alur masuk yang dapat dilewati oleh kapal-kapal ukuran kecil sampai menengah. Pada beberapa lokasi, kolam pelabuhan yang ada tidak dapat lagi berfungsi dikarenakan adanya proses pendangkalan. Kolam pelabuhan di PPP Pondokdadap belum berupa kolam pelabuhan. Tempat berlabuh kapal berada di tepi pantai yang terlindung oleh sebuah pulau. Pada saat air laut surut, terlihat di beberapa tempat berubah menjadi tanah daratan. Lokasi PPP Cilautereun berada di muara sungai, darmaga dibangun di tepi-tepi sungai. Saat ini kondisi kolam pelabuhan masih cukup baik, walaupun berada di muara suatu, kedalaman dengan tingkat pengendapan yang tidak begitu tinggi. Pada saat air surut, nelayan masih dapat keluar masuk pelabuhan. Sementara itu kondisi kolam pelabuhan di PPI Pasir tidak dapat difungsikan lagi. Sebenarnya lokasi PPI Pasir cukup representatif untuk pendaratan kapal, dengan lokasi yang cukup terlindung. Tingginya aktivitas pengendapan di muara sungai yang berada dekat kolam pelabuhan dan tidak adanya biaya untuk pengerukan, mengakibatkan kolam pelabuhan saat ini telah berubah menjadi tanah daratan. Keberadaan fasilitas darat, terkait dengan fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan ikan di pelabuhan perikanan di Selatan Jawa yang telah berstatus PPS dan PPN, sudah sangat mendukung untuk kegiatan perikanan pantai. Pada pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI secara umum masih belum memadai. Fasilitas darmaga tempat bongkar ikan dan muat perbekalan di PPP Pondokdadap masih belum memadai. Darmaga belum permanen, berupa darmaga terapung (darmaga ponton). Kapasitas darmaga
239
sangat terbatas, sehingga terlihat sangat penuh pada saat banyak kapal melakukan bongkar ikan. Keberadaan fasilitas darat di PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI Tamperan belum memadai. Keberadaan TPI tidak difungsikan dengan baik. Fasilitas pemenuhan kebutuhan perbekalan melaut, seperti solar, es dan perbekalan lain belum tersedia. Nelayan sebagian besar mengusahakan perbekalan sendiri, dengan membeli dari daerah lain di luar pelabuhan. Potensi kemudahan pemasaran meliputi keberadaan industri pengolahan, eksportir dan akses pasar. Secara umum untuk pemasaran lokal dalam lingkup pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan di masing-masing wilayah kabupaten, lokasi PP/PPI memiliki akses yang cukup baik. Untuk pemasaran lokal antar daerah, beberapa lokasi memiliki akses yang kurang.
Sementara itu untuk
pemasaran ekspor, banyak lokasi PP/PPI di Selatan Jawa kurang mendukung. Industri pengolahan dan eksportir di PPS Cilacap cukup banyak, di PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi masih terbatas.
Industri pengolahan yang ada,
sebagian besar adalah industri pengolahan tradisional seperti ikan asin, pindang, kerupuk ikan dan terasi. Industri pengolahan ikan di PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng, PPI Tamperan dan PPP Pondokdadap masih sangat terbatas. Industri pengolahan juga masih berupa pengolahan ikan tradisional, dengan skala usaha yang masih kecil. Eksportir di PPP dan PPI tersebut tidak ada, hanya pada saat musim ikan tertentu seperti musim layur, bawal putih dan lobster, eksportir yang berada di daerah lain akan datang ke lokasi tersebut. Eksportir akan membawa produk yang dibeli ke daerah lain seperti Cilacap, Semarang dan Surabaya untuk diekspor. Biasanya pada saat musim ikan, harga komoditas ikan yang berkualitas ekspor dapat lebih tinggi dibandingkan pada saat tidak musim ikan. Hasil analisis terhadap keterkaitan dengan fishing ground adalah tingkat daya tarik PP/PPI bagi pendaratan kapal, sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh usaha penangkapan ikan (Lampiran 40). Hasil analisis menunjukkan bahwa, semua PP/PPI yang ada di Selatan Jawa memenuhi kriteria (60-90%) untuk mendukung pengembangan perikanan pantai di wilayahnya masing-masing. Hasil analisis menyatakan bahwa PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi dan PPP Pondokdadap memiliki tingkat keterkaitan dengan fishing ground yang tinggi. PPP Cilautereun, PPI Sadeng dan PPI Tamperan memiliki keterkaitan sedang.
240
PPI Pasir memiliki keterkaitan rendah.
PPI Pasir memiliki keterkaitan yang
rendah disebabkan dari seluruh kriteria yang ada, hampir semuanya memiliki nilai yang rendah. Peningkatan daya tarik PPI Pasir untuk mendaratkan kapalnya di lokasi tersebut, memerlukan upaya yang besar. Beberapa PPI perlu peningkatan fasilitas perairan maupun fasilitas daratnya. Permasalahan pendangkalan pada kolam pelabuhan, merupakan permasalahan yang umum terjadi pada sebagian besar lokasi PP/PPI yang ada. Pendangkalan kolam pelabuhan akan menyebabkan kapal kesulitan untuk melakukan pendaratan di PP/PPI tersebut. Pembangunan fasilitas darmaga permanen, khususnya di PPP Pondokdadap akan dapat meningkatkan aktivitas kegiatan perikanan di PPP tersebut. Penyediaan fasilitas kebutuhan melaut, seperti BBM, es dan perbekalan makanan, menjadi faktor kunci untuk meningkatkan daya tarik PPP/PPI, khususnya untuk PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPI Tamperan.
(2) Subsistem teknis Analisis teknis pelabuhan dimaksudkan untuk melihat secara teknis kemungkinan pengembangan pelabuhan, dilihat dari aspek wilayah perairan dan daratan yang dimiliki. Fasilitas perairan meliputi bentuk topografi lokasi pelabuhan. Fasilitas darat meliputi kebutuhan luasan lahan minimal dan ketersediaan sumber air tawar. Bentuk topografi wilayah perairan yang tepat untuk dibangun sebuah pelabuhan perikanan adalah suatu lokasi yang terlindung secara alami, baik berupa lokasi yang menjorok ke darat, sebuah teluk atau suatu lokasi yang terlindung pulau. Lokasi yang paling baik adalah PPS Cilacap, yang terlindung secara alami oleh keberadaan P. Nusakambangan. PPN Palabuhanratu cukup baik, yaitu berupa di daerah teluk yang luas sehingga hempasan gelombang kurang begitu terasa. PPN Prigi juga cukup baik, yaitu berada di Teluk Prigi. PPI Sadeng, PPP Pondokdadap, PPI Pasir dan PPI Tamperan, lokasinya tidak cukup terlindung dan memerlukan biaya besar untuk pembangunan breakwater. Lokasi PPP Cilautereun cukup terlindung, namun lokasinya yang berada di muara sungai sangat rentan dengan pengendapan.
241
Luas lahan darat di PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun dan PPI Tamperan cukup tersedia untuk kegiatan industri. Sementara itu ketersediaan lahan darat untuk kegiatan industri di PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap sangat terbatas. Lahan berupa dataran di ketiga lokasi tersebut sangat sempit, sebagian besar berupa perbukitan. Ketersediaan sumber air tawar di semua lokasi PP/PPI cukup baik. Sumber air cukup melimpah dan tidak payau. Hasil analisis teknis disajikan pada Lampiran 41. Hasil analisis menyatakan PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun, PPP Pondokdadap, dan PPI Sadeng memenuhi kriteria teknis tinggi (sekitar 85%) untuk pendaratan kapal. Lokasi PPI Tamperan memiliki kelayakan teknis sedang (sekitar 60%) dan PPI Pasir memiliki kelayakan teknis rendah (sekitar 15%). Tingginya tingkat pengendapan di PPI Pasir dan PPI Tamperan, menjadikan fasilitas kolam pelabuhan dan darmaga yang dibangun tidak berfungsi. Lokasi PPI dengan potensi pengendapan tinggi, luas lahan darat sempit dan beberapa keterbatasan lainnya, menjadikan PPI Pasir memiliki tingkat kelayakan teknis yang rendah.
(3) Analisis keterkaitan pasar Analisis keterkaitan pasar dilakukan untuk menentukan tingkat aksesibilitas PP/PPI dan analisis bangkitan pergerakan untuk menentukan peluang peningkatan aksesibilitas suatu lokasi PP/PPI.
Model meliputi penilaian terhadap kondisi
aksesibilitas saat ini, dengan input model terdiri atas jarak, waktu, biaya, prasarana jalan, sarana transportasi dan hambatan perjalanan (Lampiran 42). Tingkat aksesibilitas lokasi menuju tempat-tempat tujuan pasar, baik pasar lokal, antar daerah maupun ekspor menunjukkan bahwa PPI Pasir dan PPI Sadeng memiliki tingkat aksesibilitas yang rendah.
PPN Prigi, PPI Tamperan, PPP
Cilautereun dan PPP Pondokdadap memiliki aksesibilitas sedang. PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi (Lampiran 43). Pemasaran lokal kabupaten, antar kota dan ekspor untuk produk perikanan dari PPS Cilacap sangat baik.
Keberadaan lokasi PPS yang sangat mudah
dijangkau, ditunjang dengan jumlah penduduk yang cukup banyak di sekitar lokasi dan berkembangnya sektor lain seperti pariwisata, perdagangan dan industri menjadikan potensi pasar untuk produk perikanan di Cilacap sangat baik.
242
Sementara itu untuk lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi, untuk pemasaran antar daerah dan ekspor sedikit mengalami hambatan yaitu dari akses sarana dan prasarana transportasi. Lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi harus melewati daerah pegunungan dan perbukitan. Kondisi ini cukup menyulitkan untuk dilewati kendaraan berjenis container, walaupun prasarana jalan sudah dibangun dan cukup memadai untuk dilewati kendaraan kecil. Lokasi PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap, untuk pemasaran antar daerah masih cukup terisolir. Lokasi PPP/PPI dapat dicapai dengan terlebih dahulu melewati daerah pegunungan dan perbukitan, sementara itu prasarana jalan yang ada cukup sempit. Lokasi PPI Tamperan, walaupun berada di pusat kota kabupaten namun lokasi Kota Kabupaten Pacitan cukup sulit dijangkau. Ibukota Kabupaten Pacitan dapat dijangkau dari arah timur atau arah barat. Arah barat dari Kota Yogyakarta atau Surakarta, melewati Kabupaten Wonogiri. Prasarana jalan cukup bagus dan lebar, namun pada beberapa lokasi harus melewati daerah pegunungan yang berkelok dan terjal. Perjalanan dari arah timur, melalui Kota Trenggalek atau Ponorogo. Kondisi prasarana jalan juga cukup memadai, namun pada beberapa lokasi juga harus melewati daerah pegunungan yang berliku-liku. Waktu tempuh baik dari arah timur maupun barat hampir sama, yaitu sekitar 3-4 jam. Model bangkitan pergerakan digunakan untuk mengkaji kemungkinan peluang bangkitan pergerakan dari suatu zona lokasi pelabuhan perikanan di masa datang. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan bangkitan pergerakan yaitu tata guna lahan, jumlah penduduk, keberadaan dan perkembangan sektor perikanan, sektor industri, sektor pariwisata, sektor perdagangan dan keberadaan pusat pemerintahan (Lampiran 44). Suatu lokasi tidak selamanya akan terisolir dari daerah lain di sekitarnya. Pembangunan prasarana jalan atau perubahan tata guna lahan, akan dapat mengubah daerah yang dulunya terisolir menjadi daerah yang mudah diakses. Pembuatan prasarana jalan dan perubahan tata guna lahan dapat membuka peluang bangkitan pergerakan orang maupun barang ke lokasi tersebut. Hasil analisis peluang bangkitan pergerakan menunjukkan bahwa zona lokasi dari PP/PPI yang ada di Selatan Jawa memiliki peluang bangkitan pergerakan yang tinggi di masa datang. Pembangunan prasarana jalan yaitu jalur
243
Lintas Selatan Jawa, yang menghubungkan daerah-daerah di Selatan Jawa mulai dari Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur akan dapat membuka keterisoliran daerah-daerah, khususnya pusat-pusat pendaratan ikan di Pantai Selatan Jawa (Lampiran 45).
(4) Analisis keseluruhan subsistem PELABUHAN Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground, aspek lokasi pelabuhan dan keterkaitan dengan pasar, menunjukkan bahwa semua PP/PPI yang ada di Selatan Jawa memenuhi syarat (70-90%) untuk mendukung perkembangan perikanan pantai di masing-masing wilayah kabupaten, kecuali PPI Pasir.
Pelabuhan
perikanan yang berstatus PPN dan PPS, yaitu PPN Palabuhanratu, PPN Prigi dan PPS Cilacap telah cukup baik untuk mendukung pengembangan perikanan pantai. Pada pelabuhan perikanan yang berstatus PPP dan PPI masih diperlukan penambahan fasilitas dan peningkatan pelayanannya (Lampiran 46). Kelemahan utama dari pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI untuk mendukung pengembangan perikanan pantai adalah pada kualitas dan kuantitas sumberdaya pengelola pelabuhan perikanan yang masih terbatas. Lokasi yang cukup terisolir dengan fasilitas hidup yang terbatas, menjadikan staf pengelola yang ditugaskan di lokasi PPP/PPI jarang berada di tempat. Mereka pada umumnya tinggal di daerah lain, dengan jarak yang jauh dari lokasi PPP/PPI.
3) Analisis Subsistem LEMBAGA Analisis subsistem kebijakan dan kelembagaan dimaksudkan untuk dapat melihat peran dari kebijakan dan kelembagaan yang ada, dalam mendukung kegiatan usaha perikanan. Kebijakan terkait dengan berbagai peraturan ataupun perundang-undangan yang telah dibuat pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Analisis kelembagaan terkait dengan keberadaan dan peran dari lembaga atau institusi yang terlibat dalam kegiatan perikanan.
(1) Analisis kebijakan Code of Conduct for Responsible Fisheries telah menjabarkan dengan jelas prinsip-prinsip umum dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang
244
bertanggungjawab. Prinsip umum tersebut merupakan acuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten. Kebijakan untuk pengelolaan perikanan pantai pada beberapa kabupaten belum banyak dibuat.
Pada tahun-tahun lalu, sektor perikanan laut belum menjadi
prioritas pembangunan dari beberapa kabupaten. Beberapa kabupaten di Selatan Jawa, baru memberikan prioritas pembangunan di sektor perikanan laut setelah diberlakukannya UU 22/1999 yang diperbaharui 31/2004 yaitu terkait dengan otonomi daerah. Pada tingkat nasional, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha perikanan, perizinan usaha perikanan dan pungutan perikanan telah dibuat, seperti telah disebutkan pada Bab 5.3.1. Pada Bab 5.3.1 telah dideskripsikan bahwa, Peraturan Pemerintah 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota telah dengan jelas menjabarkan pembagian tugas dan wewenang antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bidang perikanan. Tugas dan kewenangan dibedakan kedalam 6 subbidang yaitu subbidang kelautan, umum, perikanan tangkap, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, serta subbidang penyuluhan dan pendidikan. Tugas dan kewenangan pemerintah secara umum adalah pada penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan tugas dan wewenang, sementara tugas dan kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lebih pada pelaksanaan kebijakan. Pada subbidang kelautan, dijabarkan 30 butir urusan kewenangan. Pada subbidang perikanan tangkap dijabarkan 24 butir urusan kewenangan. Secara umum butir-butir kewenangan tersebut telah dibuatkan peraturan norma atau kebijakannya oleh pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden maupun Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Namun pada level bawah, yaitu pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum secara terinci diatur pelaksanaannya. Provinsi dan kabupaten/kota baru membuat peraturan dalam jumlah yang terbatas. Beberapa kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh provinsi dan kabupaten/kota, khususnya lebih terkait dengan pemasukan daerah yaitu seperti peraturan mengenai pelelangan ikan dan perizinan usaha perikanan.
245
Tabel
30
Analisis pendekatan kerangka hukum (legal framework) pada perikanan pantai
No. 1
Kriteria Struktur hukum (legal structure)
2
Mandat hukum (legal mandate)
3
Penegakan hukum (legal enforcement)
Penilaian
Peraturan perundang-undangan yang ada di level atas, belum sepenuhnya diterjemahkan dalam peraturan kebijakan pelaksanaan pada level bawah yaitu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berbagai kendala menjadi faktor penghambat untuk dibuatnya peraturan atau kebijakan di bidang perikanan. Kendala tersebut diantaranya terkait dengan keterbatasan sumberdaya manusia, banyaknya persoalan yang harus ditangani dan mahalnya cost (waktu, tenaga, pikiran dan biaya) untuk membuat kebijakan. Mandat hukum biasanya telah jelas diberikan kepada siapa, namun dalam pelaksanaannya di lapangan sering tidak sejalan dengan apa yang seharusnya. Mandat hukum diberikan kepada seseorang berkaitan dengan jabatannya. Dalam kenyataannya, berganti pejabat akan berganti kebijakan. Kepentingan pribadi akan lebih mendominasi dalam pelaksanaan peraturan dan kebijakan. Telah umum diketahui bahwa penegakan hukum terhadap peraturan-peraturan yang ada di Indonesia masih sangat lemah. Peraturan atau kebijakan belum ditegakkan untuk seluruh lapisan masyarakat, sarat dengan berbagai pengaruh kepentingan.
Sumber: olahan data
Tabel 30 memperlihatkan bahwa hasil analisis pendekatan kerangka hukum (legal framework) terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan untuk mengatur kegiatan perikanan pantai, belum menunjukkan hal yang positif. Kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten, belum dapat mengakomodir wewenang yang didesentralisasikan pemerintah pusat kepada daerah di bidang perikanan.
(2) Analisis kelembagaan Analisis
dilakukan
(institutional framework).
melalui
pendekatan
kerangka
kelembagaan
Pendekatan kerangka kelembagaan adalah untuk
melihat kinerja dari kelembagaan yang ada. Mandat hukum diberikan kepada lembaga, baik lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk melaksanakan kegiatan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan.
246
Kinerja dari suatu kelembagan dapat dilihat melalui beberapa indikator, yaitu berdasarkan pendekatan aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi. Kinerja dari kelembagaan perikanan pantai yang ada seperti terlihat pada Tabel 31. Tabel 31 Penilaian kinerja kelembagaan perikanan pantai di Selatan Jawa No. 1
Kriteria Politik
Penilaian
2
Sosial Budaya
3
Ekonomi
4
Hukum
kelembagaan perikanan memperoleh mandat yang jelas dari hukum/peraturan yang ada , baik tata kelembagaan, kerangka kerja maupun kapasitas kelembagaanya. Hal ini terkait dengan aspek legal serta pengaturan operasional dan teknis, dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang jelas.
5
Teknologi
kelembagaan diharapkan tanggap terhadap dinamika perubahan teknologi untuk dapat mengembangkan perikanan secara produktif, efisien, berkualitas dan aman. Pada kenyataannya, adopsi teknologi di daerah belum begitu baik. Keterbatasan penguasaan SDM perikanan terhadap IPTEKS perikanan masih rendah, sehingga kemampuan untuk mengembangkan perikanan secara produktif, efisien dan aman belum optimal.
Kelembagaan perikanan seharusnya memiliki bargaining yang kuat dalam penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di tingkat lokal maupun nasional, namun hal ini belum terjadi. Seharusnya kelembagaan perikanan dapat menumbuhkan kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai luhur yang telah berakar kuat pada adat tradisi masyarakat. Kelembagaan perikanan diharapkan dapat menumbuhkan jiwa sosial masyarakat yang kuat, bersinergi diantara stakeholder perikanan dan menjauhkan konflik. Namun pada saat ini, peran tersebut belum dapat difungsikan dengan baik. Kelembagaan perikanan diharapkan secara nyata memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum. Kenyataan yang ada, seperti keberadaan KUD dan kelembagaan ekonomi nelayan lainnya, justru lebih mementingkan kesejahteraan pengurus atau kepentingan segelintir orang saja.
Sumber: olahan data
Kelembagaan perikanan, khususnya kelembagaan Dinas Perikanan masih belum berperan optimal dalam pengembangan perikanan daerah. Sebagian besar Dinas Perikanan Kabupaten, bergabung dengan dinas dari sektor lain seperti sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan.
Kondisi ini
menjadikan porsi anggaran untuk pembangunan perikanan laut masih kecil.
247
Demikian juga dengan peran kelembagaan perikanan yang lain, seperti KUD dan HNSI, juga belum memberikan peran yang nyata bagi pengembangan perikanan. Kelembagaan masyarakat nelayan seperti Kelompok Usaha Bersama (KUB) dan kelompok-kelompok nelayan lainnya, baik yang bersifat ekonomi maupun sosial perlu dikembangkan untuk dapat memberdayakan nelayan. Kelompokkelompok nelayan seperti Rukun Nelayan terlihat lebih efektif dalam menggerakkan potensi masyarakat untuk pembangunan perikanan. 7.4.2 Permodelan Sistem Perikanan Pantai
1) Submodel USAHA Submodel USAHA dibangun dalam sebuah model sistem dinamis, dengan struktur model seperti telah dideskripsikan pada Gambar 14, Bab 3.5.2. Model dinamis pada perikanan pantai, dapat digunakan untuk mensimulasi berapa unit usaha yang boleh diberikan izin melakukan usaha perikanan di wilayah tersebut, disesuaikan dengan potensi sumberdaya atau target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten. Dalam penentuan besarnya potensi sumberdaya atau target produksi,
pemerintah
kabupaten
diharapkan
dapat
bekerjasama
dengan
pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi yang berdekatan. Model dinamis memberikan output berupa simulasi jumlah effort unit penangkapan sesuai dengan target produksi yang diharapkan. Selain itu, dapat untuk mensimulasikan jumlah kebutuhan melaut, seperti BBM solar, es, tenaga kerja dan lainnya, sesuai dengan kebutuhan dari unit usaha perikanan tersebut. Model sistem dinamis pada pengembangan perikanan pantai, disimulasikan untuk pengembangan perikanan udang di Cilacap dengan basis penangkapan di PPS Cilacap. Model digunakan untuk memproyeksikan jumlah unit trammel net yang diizinkan untuk memanfaatkan sumberdaya udang di Cilacap. Batasan target produksi menjadi faktor pembatas bagi maksimal jumlah effort kapal trammel net yang boleh beroperasi. Simulasi diujicobakan, dengan menggunakan target produksi sebesar 400 ton. Target produksi ini disesuaikan dengan hasil tangkapan udang saat ini, yang berkisar antara 300-400 ton per tahun. Target produksi didasarkan pada asumsi tingkat pemanfaatan saat ini sekitar 99,0% (PRPT 2001).
248
Pada analisis usaha dalam bagian sebelumnya, diperoleh faktor-faktor teknis yang berperan penting bagi keberhasilan usaha perikanan udang. Faktor-faktor teknis tersebut, selanjutnya diintegrasikan dengan faktor finansial, dijadikan input bagi model sistem dinamis dari submodel USAHA.
Nilai parameter yang
digunakan pada model sistem dinamis seperti terlihat pada Tabel 32. Tabel 32 Input faktor teknis dan finansial untuk program sistem dinamis pada submodel USAHA perikanan udang No. Faktor Produksi 1 Tenaga Kerja (ABK) (orang) 2 Solar (liter) 3 Es (balok) 4 Jumlah trip per tahun (trip) 5 Produksi per trip (kg) 6 Produksi kualitas eskpor (%) 7 Produksi lokal (%) 8 Harga udang ekspor (Rp) 9 Harga udang lokal (Rp) 10 Biaya total (Rp) 11 Retribusi (% penerimaan lokal) 12 Inflasi per tahun Sumber: olahan data
Kebutuhan 7 103 6 36 100 55 45 60.000,00 25.000,00 1.748.782.000,00 5,00 0,06
Output model sistem dinamis akan memberikan gambaran hubungan antara jumlah effort unit kapal yang diizinkan beroperasi, dengan berbagai variabel lainnya. Variabel yang ada dalam model adalah jumlah produksi, jumlah keuntungan, nilai retribusi, kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan, solar, dan jumlah kebutuhan es per tahun untuk unit trammel net yang diberikan izin. Hasil simulasi model sistem dinamis dari submodel USAHA pada perikanan udang, yaitu jumlah effort unit trammel net optimal yang diberikan izin melakukan penangkapan udang di perairan Cilacap, sebesar 111 unit. Kebutuhan tenaga kerja (ABK) untuk 111 unit trammel net adalah 777 orang. Kebutuhan solar untuk 111 unit trammel net, diperkirakan sebesar 418.248 liter per tahun. Sementara itu kebutuhan es berjumlah 23.976 balok per tahun.
2) Model PELABUHAN Secara umum pelabuhan perikanan yang berstatus PPS dan PPN telah cukup untuk dapat mendukung pengembangan perikanan pantai di wilayahnya. Pada pelabuhan perikanan yang berstatus PPP dan PPI, untuk dapat mendukung
249
perkembangan perikanan pantai di wilayahnya, masih perlu membangun berbagai fasilitas kepelabuhanan dan peningkatan pelayanan. Peningkatan fasilitas kepelabuhanan terkait dengan fasilitas pokok, fasilitas penunjang maupun fasilitas tambahan. Fasilitas pokok, utamanya terkait dengan kedalaman kolam pelabuhan dan darmaga.
Tingginya tingkat sedimentasi di
sebagian besar PP/PPI, menghendaki pengerukan kolam pelabuhan dapat dilakukan secara reguler. Sebagian besar PP/PPI yang dikaji sudah memiliki fasilitas darmaga, hanya PPP Pondokdadap yang memerlukan pembangunan fasilitas darmaga. Luas lahan darat di PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun dan PPI Tamperan cukup tersedia untuk kegiatan industri. Sementara itu ketersediaan lahan darat untuk kegiatan industri di PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap sangat terbatas. Perluasan lahan berupa dataran perlu disediakan di ketiga lokasi tersebut. Ketersediaan kebutuhan input produksi seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap dan lainnya, perlu direncanakan dengan baik untuk pengembangan perikanan pantai di masing-masing wilayah. Kebutuhan melaut, seperti solar, air tawar, es dan kebutuhan lainnya merupakan faktor yang sangat mendesak untuk dipenuhi disebagian besar PP/PPI. Kebutuhan-kebutuhan input produksi dapat disimulasikan dengan model sistem dinamis pada submodel USAHA. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM pengelola pelabuhan perikanan di PPP/PPI perlu diupayakan oleh pemerintah.
Sudah saatnya sebuah PPP/PPI
dikelola oleh SDM perikanan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Lulusan dari perguruan tinggi bidang perikanan, khususnya dari Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan atau Ilmu dan Teknologi Kelautan dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekurangan kualitas dan kuantitas SDM di pelabuhan perikanan berstatus PPP/PPI tersebut.
3)
Submodel LEMBAGA Submodel LEMBAGA merekomendasikan untuk dibuat peraturan ataupun
kebijakan-kebijakan perikanan oleh daerah. Peraturan atau kebijakan perikanan, dibuat guna dapat mengakomodasikan kewenangan
pengelolaan sumberdaya
perikanan yang sudah didesentralisasikan oleh pemerintah pusat kepada
250
pemerintah daerah sesuai PP 38/2007. Pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan pengelolan sumberdaya perikanan pantai dengan lebih bijaksana dan berkelanjutan, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tepat. Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah lain, yang memiliki wilayah pantai berdekatan. Kerjasama tersebut, akan menciptakan upaya pengelolaan perikanan terintegrasi dan meminimalkan biaya. Penguatan kelembagaan perikanan perlu dilakukan untuk mendukung pengembangan perikanan pantai. Penguatan kelembagaan dilakukan terhadap kelembagaan perikanan yang sudah ada, baik kelembagaan pemerintah, kelembagaan usaha maupun kelembagaan masyarakat. Kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan diupayakan untuk dapat berdiri sendiri tidak bergabung dengan sektor lain. Kelembagaan Dinas yang mandiri, akan lebih memudahkan untuk mewujudkan upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan. Kelembagaan yang telah tumbuh di masyarakat, seperti KUD Mina, Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok Wanita Nelayan, Rukun Nelayan dan Kelompok Pengawas Masyarakat perlu lebih ditingkatkan fungsi dan perannya. Kelembagaan usaha yang dikembangkan pada perikanan pantai, perlu lebih melibatkan banyak nelayan. Peningkatan akses terhadap permodalan, dapat dilakukan melalui kelompok-kelompok nelayan (KUB) dan organisasi usaha lainnya. Hubungan kekerabatan, suku, agama, budaya dan kesamaan mata pencaharian, akan lebih memudahkan mereka untuk dapat bekerjasama dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Pendampingan dan pembinaan terhadap kelembagaan masyarakat ini perlu dilakukan secara terus menerus.
4) Rekomendaasi Model Pengembangan Perikanan Pantai Integrasi dari submodel USAHA, submodel PELABUHAN dan submodel LEMBAGA membentuk model pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa (SIMPETAI) (Gambar 22). Model merekomendasikan: (1) Pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa, dilakukan dengan terlebih dahulu membangun usaha perikanan, yaitu usaha skala kecil atau skala menengah. Usaha skala kecil dilakukan secara multipurpose, dengan alat tangkap gillnet multifilament, gillnet monofilament, dan pancing rawai,
251
komoditas unggulan layur, bawal putih dan lobster. Pada skala menengah, adalah usaha perikanan tongkol, cakalang dan udang, menggunakan unit penangkapan gillnet multifilament, pancing tonda dan purse seine. Perikanan udang menggunakan unit trammel net. Ketersediaan input produksi berupa kapal, alat tangkap beserta perlengkapannya serta perbekalan operasi perlu diupayakan. Usaha dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas dan produktivitas, terutama peningkatan kesadaran pentingnya menjaga mutu ikan. (2) Setiap kabupaten yang ada di Selatan Jawa dapat mengembangkan usaha perikanan pantai, dengan fokus pada komoditas ikan unggulan daerah. Secara umum untuk pengembangan perikanan pantai khususnya pada usaha skala kecil, perlu ditingkatkan pada skala usaha yang lebih besar sehingga dapat menjangkau fishing ground yang lebih jauh dari pantai (>4mil). (3) Secara umum pada pelabuhan perikanan yang telah berstatus PPS dan PPN, fasilitas kepelabuhanan yang ada telah dapat mendukung untuk perkembangan perikanan pantai di wilayahnya. Pada pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP/PPI, masih diperlukan peningkatan pembangunan fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM pengelola pelabuhan perikanan di PPP/PPI, perlu segera diupayakan untuk dapat memfungsionalkan keberadaan PPP/PPI yang ada. Pengelolaan pelabuhan yang baik, akan dapat mendukung perkembangan perikanan di daerah. (4) Peraturan perundang-undangan dan kebijakan perikanan untuk pengelolaan dan pengembangan perikanan pantai dibuat oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Peraturan dan kebijakan yang dibuat adalah dalam rangka pelaksanaan wewenang yang didensentralisasikan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah sesuai UU 32/3004 dan PP 38/2007. (5) Peningkatan fungsi dan peran dari kebijakan dan kelembagaan di tingkat kabupaten, sangat diperlukan untuk dapat mendukung perkembangan perikanan. Model merekomendasikan perlunya penguatan kelembagaan perikanan. Kelembagaan Dinas Perikanan diupayakan untuk dapat berdiri sendiri tidak bergabung dengan sektor lain. Penguatan kelembagaan juga perlu dilakukan di tingkat nelayan, terutama pengembangan usaha mandiri yang dapat meningkatkan akses nelayan terhadap permodalan.
252
253
7.5 Validasi Model Model pengembangan perikanan lepas pantai dan pengembangan perikanan pantai cukup valid untuk diterapkan di Wilayah Selatan Jawa. Semua kabupaten yang ada di Selatan Jawa dapat menerapkan pengembangan perikanan pantai, sementara itu untuk pengembangan perikanan lepas pantai, pelabuhan perikanan yang direkomendasikan hanya PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu (Gambar 23). Kabupaten Cilacap dan Sukabumi dapat mengembangkan kedua model, namun dengan lokasi pelabuhan perikanan yang terpisah. Validasi model dilakukan dengan mengamati perilaku unjuk kerja sistem. Pengamatan perilaku penting supaya model yang dibuat dapat diterima sebagai suatu penggambaran keadaaan yang sebenarnya. Suatu perilaku dapat dikatakan mempunyai tingkat validitas tinggi, bila mempunyai ketepatan yang tinggi untuk menirukan dan menjelaskan sistem yang sebenarnya. Berkaitan dengan ini, maka validasi merupakan tahap kritis pengembangan model atau unjuk kerja sistem. Menurut Eriyatno (2003), umumnya validasi dimulai dengan uji sederhana seperti pengamatan terhadap: 1) Tanda aljabar (sign); 2) Tingkat kepangkatan dari besaran (order of magnitude); 3) Format respons (linier, eksponensial, logaritmik dan sebagainya); 4) Arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti; 5) Nilai batas peubah sesuai batas parameter sistem. Selanjutnya dikatakan bahwa, setelah uji-uji tersebut, dilakukan pengamatan lanjutan sesuai dengan jenis model. Jika model mempernyatakan sistem yang sedang berjalan (existing system), maka dipakai uji statistik untuk mengetahui kemampuan model didalam mereproduksi perilaku sistem terdahulu. Pada permasalahan yang kompleks dan mendesak, disarankan proses validasi parsial, yaitu tidak dilakukan pengujian keseluruhan model. Hal ini mengakibatkan rekomendasi pemakaian model bersifat terbatas (limited application), dan bila perlu menyarankan penyempurnaan model pada pengkajian selanjutnya. Pada kajian ini, digunakan validasi secara parsial terhadap setiap submodel yang digunakan, untuk itu penyempurnaan terhadap model yang dibuat masih diperlukan. Model yang dikembangkan sudah diverifikasi berdasarkan data dan
254
informasi kondisi sistem perikanan dari lokasi penelitian. Beberapa model yang digunakan yaitu: 1) Perhitungan kelayakan usaha dengan kriteria yaitu keuntungan usaha, NVP, net B/C dan IRR. Perhitungan didasarkan pada sampel dari unit usaha perikanan yang ada di lokasi penelitian. Asumsi yang digunakan adalah: (1) penggunaan nilai variabel bersifat tetap, (2) harga ikan berdasarkan tahun penelitian, (3) discount rate atau tingkat suku bunga yang digunakan adalah suku bunga kredit yang secara umum berlaku, yaitu 15%. 2) Model sistem dinamis untuk memproyeksikan jumlah unit usaha yang dizinkan beroperasi, didasarkan pada target pengembangan produksi. Validasi telah dilakukan berdasarkan pada kinerja model, yaitu dengan melihat pola simulasi dibandingkan terhadap kondisi aktual. Input produksi dan penentuan target produksi telah sesuai kondisi saat ini (lihat Bab 7.3.1 dan Bab 7.4.2). Data untuk validasi kebutuhan solar, es, air tawar dan umpan digunakan data dari PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu (lihat Lampiran 47). 3) Submodel PELABUHAN, meliputi (1) keterkaitan dengan fishing ground, 2) aspek teknis pelabuhan, 3) keterkaitan dengan pasar. Model telah diverifikasi berdasarkan pada data dan informasi dari Pelabuhan Perikanan maupun Pangkalan Pendaratan Ikan yang menjadi lokasi penelitian. 4) Submodel LEMBAGA, meliputi (1) kebijakan perikanan dan (2) kelembagaan perikanan. Model telah diverifikasi berdasarkan pada peraturan perundangundangan dan kebijakan serta kelembagaan yang telah ada di bidang perikanan, baik di tingkat internasional, nasional, maupun daerah.
8 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN
8.1 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan Kajian Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik dari Potensi Daerah menghasilkan dua model pengembangan perikanan, yaitu model pengembangan perikanan lepas pantai (SIMPELA) dan pengembangan perikanan pantai (SIMPETAI). Perumusan strategi pengembangan perikanan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Rangkuti 1998; David 2002), dan balanced scorecard (Kaplan and Norton 1996; Yuwono et al. 2006). Penggunaan balanced scorecard dilakukan untuk dapat mengukur kinerja dari strategi pengembangan yang dirumuskan, dengan menggunakan indikator-indikator pengukuran kinerja yang seimbang diantara subsistem yang ada.
8.1.1 Perumusan Strategi Pengembangan Perikanan Lepas Pantai Perumusan strategi pengembangan menggunakan analisis SWOT dilakukan dengan membandingkan antara faktor-faktor internal kekuatan dan kelemahan sistem, dengan faktor-faktor eksternal peluang dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa. Kajian internal dan eksternal dilakukan berdasarkan hasil pada Bab terdahulu, yaitu kondisi sistem perikanan (Bab 5) dan model pengembangan perikanan lepas pantai (Bab 7.3). Hasil evaluasi faktor internal dan eksternal, serta perumusan strategi pada pengembangan perikanan lepas pantai dapat dilihat pada Lampiran 48.
1) Evaluasi faktor internal pengembangan perikanan lepas pantai Hasil analisis faktor internal, diperoleh faktor-faktor kekuatan dan kelemahan strategis pada pengembangan perikanan lepas pantai sebagai berikut: (1) Faktor-Faktor kekuatan sistem pengembangan perikanan lepas pantai (a) Ketentuan internasional tentang hak pengelolaan sumberdaya di perairan ZEE yaitu UNCLOS 1982, Indonesia sudah meratifikasi ketentuan tersebut melalui UU 17/1985 (lihat Bab 5.3.1) (K1). (b) Undang-Undang terkait dengan perikanan dan pengelolaan sumberdaya di ZEE Indonesia sudah dibuat (lihat Bab 5.3.1) (K2).
257
(c) Kegiatan usaha perikanan lepas pantai telah berkembang di Indonesia, khususnya perikanan tuna longline (lihat Bab 5.1.1) (K3). (d) Sumberdaya manusia/ahli perikanan telah banyak dihasilkan (K4). (e) Prasarana dan sarana pelabuhan perikanan telah banyak dibangun, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (lihat Bab 5.2) (K5). (2) Faktor-Faktor kelemahan sistem pengembangan perikanan lepas pantai (f) Akses basis penangkapan atau pelabuhan perikanan ke pasar ekspor, dalam hal ini melalui pelabuhan udara internasional (Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bali) masih rendah (lihat Bab 5.2) (L1). (g) Biaya operasional usaha perikanan lepas pantai sangat tinggi, dengan adanya kenaikan BBM yang hampir 100% pada bulan Oktober 2005 (lihat Bab 7.3.1) (L2). (h) Fasilitas perikanan yang dibangun belum memenuhi standar pelabuhan perikanan berstandar internasional, khususnya dalam jaminan hasil tangkapan berkualitas ekspor (lihat Bab 7.3.1) (L3). (i) Peran kelembagaan usaha perikanan masih lemah (lihat Bab 7.3.1) (L4). (j) Kebijakan pemerintah belum banyak mendukung bagi pengembangan perikanan lepas pantai (lihat Bab 7.3.1) (L5). (k) Diplomasi perdagangan luar negeri oleh pemerintah masih lemah (L6).
2) Evaluasi faktor eksternal pengembangan perikanan lepas pantai Hasil analisis faktor eksternal diperoleh fator-faktor peluang dan ancaman pada pengembangan perikanan lepas pantai yaitu sebagai berikut: (1) Faktor-Faktor peluang pengembangan perikanan lepas pantai (a) Potensi sumberdaya tuna di perairan ZEE Indonesia belum dimanfaatkan optimal (lihat Tabel 1 Bab 1) (P1). (b) Permintaan pasar ekspor produk tuna cukup tinggi (P2). (c) Peluang mendapatkan devisa dari perdagangan ekspor tuna (P3). (d) Diberlakukannya peraturan internasional berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggungjawab (code of conduct for responsible fisheries/CCRF, dan international plan of action/IPOA on illegal, unregulated and Unreported (IUU) fishing ). Berdasarkan hal
258
tersebut, kepentingan Indonesia dalam pengelolaan perikanan akan terlindungi, khususnya dari praktek IUU fishing (P4). (e) Adanya organisasi kerjasama pengelolaan sumberdaya ikan seperti IOTC dan CCSBT, merupakan peluang bagi Indonesia turut bersama negara lain melakukan pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab (P5). (2) Faktor-Faktor ancaman pengembangan perikanan lepas pantai (a) Hambatan perdagangan ekspor tuna tinggi, khususnya hambatan teknis (technical barrier) terkait penerapan standar kualitas produk (A1). (b) Diterapkannya perdagangan bebas, menjadikan persaingan usaha akan semakin tinggi (A2). (c) Menurunnya stok sumberdaya tuna diperairan dunia, dikhawatirkan praktek IUU fishing di perairan Indonesai akan semakin marak (A3). (d) Ancaman embargo produk tuna, akan menjadi suatu kesulitan tersendiri bagi pengusaha tuna Indonesia untuk melakukan ekspor (A4). (e) Dimanfaatkannya stok sumberdaya tuna di ZEE Indonesia oleh negara lain, sebagai konsekwensi Indonesia belum dapat memanfaatkan sumberdaya di perairan ZEE secara optimal (A5). (f) Koordinasi antar sektor dan antar daerah masih lemah, menyebabkan pengelolaan perikanan belum dilakukan secara terintegrasi (A6).
3) Strategi pengembangan perikanan lepas pantai Berdasarkan hasil analisis faktor internal dan eksternal, dapat dirumuskan strategi kebijakan pengembangan perikanan lepas pantai sebagai berikut: (1) Peningkatan sistem usaha perikanan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan pemenuhan kebutuhan pasar ekspor tuna dunia (K2, K3, K4, K5, P1, P2, P3). (2) Peningkatan sarana dan prasarana produksi berkualitas untuk optimalisasi produksi dan pemenuhan kebutuhan ekspor (L1, L2, L3, dan P1, P2, P3). (3) Penerapan standar kualitas sesuai persyaratan negara importir di kapal dan pelabuhan perikanan (L2, L3, A1, A2, A3). (4) Peningkatan peran kebijakan dan kelembagaan perikanan untuk mendukung usaha perikanan (L4, L5, L6, P1, P2).
259
(5) Penegakan hukum dari kebijakan atau peraturan yang ada (K2, A1, A2). (6) Meningkatkan kinerja SDM perikanan Indonesia untuk dapat mengatasi hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional (K4, A1, A2). (7) Peningkatan koordinasi antar sektor, atau antar daerah untuk meningkatkan posisi tawar pemerintah dalam diplomasi luar negeri (L6, A3, A4, A5, A6). (8) Meningkatkan kerjasama regional/internasional dalam rangka meningkatkan posisi Indonesia dalam perdagangan tuna dunia (K1, K2, K3, P4, P5).
4) Indikator strategis pengembangan perikanan lepas pantai Balanced scorecard digunakan untuk mengukur keberhasilan kinerja atau indikator keberhasilan kebijakan strategis. Indikator dibedakan menjadi dua, yaitu indikator sebab dan indikator akibat. Indikator sebab adalah ukuran yang menyatakan hasil dari suatu sasaran strategis. Indikator ini akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan indikator sebab atau faktor pendorong kinerja, yang menyatakan bagaimana ukuran hasil tersebut dapat dicapai. Hasil analisis SWOT di atas, menyatakan bahwa ada 8 sasaran strategis jangka panjang yang perlu dicapai pada model pengembangan perikanan lepas pantai. Kedelapan sasaran strategis tersebut, merupakan sasaran yang bersifat komprehensif dari tiga submodel yang ada. Untuk dapat melihat kinerja dari sasaran strategis tersebut, dijabarkan dalam 9 indikator akibat atau ukuran hasil yang saling terkait (Tabel 33). Indikator akibat bermuara pada satu indikator yaitu usaha perikanan tuna yang dapat berjalan dengan baik, terlihat dari usaha perikanan yang menguntungkan serta dapat memanfaatkan sumberdaya tuna secara optimal berkelanjutan. Indikator akibat diterjemahkan kedalam indikator sebab, yang menyatakan bagaimana kesembilan indikator sebab tersebut dapat dicapai. Indikator sebab merupakan faktor pendorong kinerja jangka pendek, yang secara operasional lebih mudah untuk dilaksanakan. Beberapa faktor pendorong kinerja jangka pendek yang dapat dilakukan untuk pencapaian indikator kinerja jangka panjang dalam pengembangan perikanan lepas pantai, yaitu penurunan biaya input produksi, peningkatan akses pasar ekspor, penerapan standar kualitas GMP dan SSOP di kapal dan pelabuhan perikanan, dan faktor pendorong kinerja lainnya.
260
261
5) Pola sentra industri perikanan lepas pantai Berdasarkan perumusan strategi tersebut, pengembangan perikanan lepas pantai akan membentuk sentra industri dengan pola Satellite Flat Form. Pola industri ini memiliki karakteristik: (1) industri skala besar, (2) investasi dikuasai pengusaha besar dari luar sentra, (3) aktivitas dagang minimal di dalam sentra, serta (4) kerjasama dan keterkaitan yang tinggi dengan perusahaan diluar sentra. Tujuan utama produksi pada pengembangan perikanan lepas pantai adalah produk fresh tuna kualitas ekspor. Usaha yang dikembangkan adalah usaha perikanan tuna skala industri. Usaha skala industri ini akan dikuasai oleh pemilik modal besar yang umumnya sudah memiliki pengalaman yang cukup dalam dunia usaha. Pengusaha tersebut, biasanya memiliki beberapa cabang perusahaan di beberapa pelabuhan perikanan yang dapat mendukung jaringan bisnisnya. Pola sentra Satellite Flat Form memiliki keterkaitan yang tinggi dengan perusahaan di luar sentra, hal ini dalam kaitannya dengan pemasaran produk. Produk yang dihasilkan adalah produk ekspor, bukan untuk konsumsi lokal. Aktifitas penjualan hasil tangkapan di dalam pelabuhan relatif sedikit. Produk akan langsung dibawa keluar pelabuhan untuk diekspor. Aktifitas pelelangan ikan tidak diperlukan, karena akan memerlukan waktu yang dapat menurunkan kualitas ikan. Kemudahan hubungan dengan dunia luar menjadi penting, baik dalam hal kemudahan transportasi maupun informasi pasar. Pengembangan usaha tuna di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu dapat menarik investor dari luar daerah. Investor tersebut, khususnya adalah pengusahapengusaha perikanan yang sudah berhasil mengembangkan usahanya di PPS Nizam Zachman Jakarta atau Pelabuhan Benoa Bali. Industri tuna skala besar dengan tujuan produksi pasar ekspor, menghendaki dukungan pelabuhan perikanan berskala internasional, yang dapat menjamin produksi ikan berstandar kualitas ekspor. Pelabuhan perikanan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas kepelabuhanan berstandar internasional, khususnya dalam penerapan GMP dan SSOP, serta semua kebutuhan kapal tersedia (Ismail 2005). Pelabuhan perikanan bersifat khusus untuk pendaratan kapal-kapal tuna longline, dan tidak tergabung dengan pendaratan kapal-kapal kecil. Jaminan kualitas, terkait dengan hieginitas kapal dan sarana prasarana perlu dipenuhi dengan baik.
262
8.1.2 Perumusan Strategi Pengembangan Perikanan Pantai Perumusan strategi untuk pengembangan perikanan pantai dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT dan balanced scorecard. Analisis SWOT dilakukan dengan membandingkan antara faktor-faktor internal kekuatan dan kelemahan, dengan faktor-faktor eksternal peluang dan ancaman. Kajian internal dan eksternal dilakukan berdasarkan pembahasan pada Bab terdahulu, yaitu kondisi sistem perikanan (Bab 5) dan model pengembangan perikanan pantai (Bab 7.4). Evaluasi faktor internal, eksternal, serta perumusan strategi pengembangan perikanan pantai dapat dilihat pada Lampiran 49.
1) Evaluasi faktor internal pengembangan perikanan pantai (1) Faktor-Faktor kekuatan sistem pengembangan perikanan pantai (a) Ketentuan internasional tentang hak pengelolaan sumberdaya di perairan ZEE yaitu UNCLOS 1982, Indonesia sudah meratifikasi ketentuan tersebut melalui UU 17/1985 (lihat Bab 5.3.1) (K1). (b) Undang-Undang terkait dengan perikanan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Indonesia sudah dibuat (lihat Bab 5.3.1) (K2). (c) Aturan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah ada, yaitu UU 32/2004 dan PP 38/2007 ( lihat Bab 5.3.1) (K3) (d) Kegiatan usaha perikanan pantai telah berkembang di Indonesia (lihat Bab 5.1.2 sampai dengan Bab 5.1.7) (K4). (e) Sumberdaya manusia /ahli perikanan telah banyak dihasilkan (K5). (f) Prasarana dan sarana pelabuhan perikanan telah banyak dibangun, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (lihat Bab 5.2) (K6). (2) Faktor-Faktor kelemahan sistem pengembangan perikanan pantai (a) Biaya operasional usaha perikanan pantai tinggi (lihat Bab 7.4.1) (L1). (b) Usaha perikanan pada umumnya berskala kecil, dengan teknologi yang masih rendah ( lihat Bab 5.1.2 sampai dengan Bab 5.1.7) (L2). (c) Sumberdaya nelayan sebagian besar masih berkualitas rendah (lihat Bab 5.1.2 sampai dengan Bab 5.1.7 dan Bab 7.4) (L3). (d) Akses permodalan rendah (lihat Bab 7.4.1) (L4). (e) Pelabuhan perikanan belum berfungsi optimal (lihat Bab 7.4.1) (L5).
263
(f) SDM pengelola pelabuhan perikanan (PPP/PPI) masih lemah (L6). (g) Kebijakan dan kelembagaan pemerintah belum banyak mendukung bagi pengembangan perikanan pantai (lihat Bab 7.4.1) (L7).
2) Evaluasi faktor eksternal pengembangan perikanan pantai (1) Faktor-Faktor peluang pengembangan perikanan pantai (a) Potensi sumberdaya ikan di Perairan Selatan Jawa belum dimanfaatkan optimal (P1). (b) Potensi jumlah penduduk yang besar sebagai peluang pasar produk perikanan (P2). (c) Potensi pasar beberapa jenis ikan komoditi ekspor masih terbuka (P3). (d) Menghasilkan pendapatan bagi daerah (PAD) (P4). (e) Peluang kesempatan kerja di bidang perikanan (P5). (f) Peluang berkembangnya industri hulu dan hilir (P6). (2) Faktor-Faktor ancaman sistem pengembangan perikanan pantai (a) Hambatan perdagangan ekspor perikanan tinggi, khususnya hambatan teknis (technical barrier) terkait penerapan standar kualitas produk (A1). (b) Diterapkannya perdagangan bebas, menjadikan persaingan usaha akan semakin tinggi (A2). (c) Ancaman embargo ekspor produk perikanan Indonesia (A3). (d) Substitusi terhadap produk perikanan untuk konsumsi tinggi (A4). (e) Koordinasi antar sektor pembangunan masih lemah (A5). (f) Perbedaan kepentingan pengelolaan perikanan antar daerah provinsi dan atau kabupaten/kota (A6).
3) Strategi pengembangan perikanan pantai Berdasarkan hasil analisis faktor internal dan eksternal, maka dapat dirumuskan strategi kebijakan pengembangan perikanan pantai sebagai berikut: (1) Membangun sistem usaha perikanan pantai dalam dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dan pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk dan ekspor (K1, K2, K3, K4, K5, K6, P1, P2, P3).
264
(2) Meningkatkan teknologi penangkapan dan kualitas SDM dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dan pemenuhan konsumsi penduduk dan ekspor (L2, L3, P1, P2, P3)). (3) Meningkatkan fungsionalitas pelabuhan melalui peningkatan fasilitas dan pelayanan dalam rangka peningkatan kesempatan kerja, menghasilkan pendapatan bagi daerah dan berkembangnya industri hulu dan hilir (L5, L6, P4, P5, P6). (4) Menanamkan kesadaran kepada semua pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan perikanan akan pentingnya menghasilkan produk berkualitas ekspor (K5, A1, A2, A3, A4). (5) Mengembangkan diversifikasi produk olahan dalam rangka pengembangan pasar dalam negeri, menutup biaya produksi dan meningkatkan akses nelayan terhadap permodalan (L1, L3, L4, A4). (6) Peningkatan koordinasi antar sektor maupun antar daerah untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya secara bertanggungjawab, melalui peningkatan peran kelembagaan perikanan dan pembuatan kebijakan perikanan yang tepat (L7, A5, A6).
(4) Indikator strategis pengembangan perikanan pantai Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja strategis pengembangan perikanan pantai, dibedakan menjadi indikator sebab dan indikator akibat (Tabel 34). Indikator akibat terdiri atas beberapa indikator yang bersifat komprehensif, untuk mengukur keberhasilan sasaran strategis jangka panjang pada perikanan pantai. Indikator akibat bermuara pada keberhasilan usaha perikanan pantai, dengan indikator usaha perikanan pantai yang menguntungkan, disertai kemampuannya untuk dapat memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara optimal berkelanjutan. Indikator akibat diterjemahkan kedalam indikator operasional jangka pendek, yang merupakan faktor pendorong untuk pencapaian kinerja jangka panjang. Indikator sebab atau faktor pendorong kinerja jangka pendek yang perlu diwujudkan, diantaranya yaitu peningkatan skala usaha, penurunan biaya input produksi, pemahaman tentang pentingnya menjaga kualitas ikan dan lainnya.
226
Tabel 34 Balanced scorecard: sasaran strategis dan indikator untuk pencapaian sasaran strategis pengembangan perikanan pantai Sasaran Strategis Peningkatan sistem usaha perikanan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan pemenuhan konsumsi penduduk Meningkatkan teknologi penangkapan dan kualitas SDM perikanan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan pemenuhan konsumsi penduduk Meningkatkan fungsionalitas pelabuhan perikanan melalui peningkatan fasilitas dan pelayanan dalam rangka peningkatan kesempatan kerja, menghasilkan pendapatan bagi daerah dan berkembangnya industri hulu dan hilir Mulai menanamkan kesadaran kepada seluruh pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan perikanan akan pentingnya menghasilkan produk berkualitas tinggi Mengembangkan diversifikasi produk ikan olahan dalam rangka pengembangan pasar dalam negeri, menutup biaya produksi dan meningkatkan akses nelayan terhadap pemodalan Pengelolaan koordinasi antar sektor maupun antar pemerintah daerah untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan secara
Ukuran Strategis Indikator Akibat menguntungkan Usaha perikanan tuna menguntungkan Pemanfaatan sumberdaya perikanan optimal
Indikator Sebab Biaya input produksi rendah Konsumsi ikan penduduk meningkat Skala usaha perikanan meningkat
Penggunaan teknologi dan penguasaan teknologi penangkapan ikan oleh nelayan baik
Kualitas SDM perikanan meningkat
Pelabuhan perikanan berfungsi dengan baik, aktivitas kegiatan perikanan tinggi
Kualitas dan kuantitas SDM pelabuhan perikanan (PPP/PPI) meningkat
Jaminan kualitas produk perikanan meningkat
Fasilitas PPP/PPI meningkat
Penyuluhan pemahaman pentingnya menjaga kualitas hasil tangkapan kepada nelayan Diversifikasi produk ikan olahan Daya saing produk perikanan meningkat
Pendapatan nelayan meningkat dan kemampuan terhadap akses permodalan meningkat
Nelayan dan keluarga terlibat langsung dalam diversifikasi produk Koordinasi antar sektor meningkat
Pengelolaan sumberdaya perikanan terintregasi, sehingga mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan dan meminimalkan biaya pengelolaan
Kerjasama antar daerah meningkat Peran kelembagaan meningkat
265
Kebijakan/peraturan lebih banyak dibuat untuk mendukung kegiatan usaha
266
5) Pola sentra industri perikanan pantai Berdasarkan perumusan strategi tersebut di atas, maka pengembangan perikanan pantai akan membentuk sentra industri dengan pola Marshalian. Pola industri Marshalian memiliki karakteristik: (1) industri dengan skala ekonomi rendah, (2) kerjasama horizontal yang tinggi, serta (3) kerjasama vertikal dan hubungan eksternal yang sangat rendah. Usaha skala kecil dan menengah tepat diterapkan di semua kabupaten di Selatan Jawa. Potensi sumberdaya ikan yang ada, perlu dimanfaatkan dengan baik sebagai alternatif solusi mengatasi kondisi ekonomi bangsa yang sedang terpuruk saat ini. Pengembangan perikanan pantai di setiap kabupaten, diharapkan dapat menghasilkan produksi ikan dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan penduduk. Disamping itu juga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, meningkatkan pemerataan ekonomi masyarakat khususnya nelayan dengan lebih baik, serta dapat peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hal ini seperti dinyatakan Tambunan (2002), usaha skala kecil dan menengah cenderung memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik, dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak serta tingkat pemerataan ekonomi yang lebih baik. Usaha perikanan yang dikembangkan hendaknya lebih ditingkatkan dari kondisi saat ini. Penggunaan perahu jukung fiberglass, berukuran 1 GT yang sangat banyak dan dihampir diketemukan di semua tempat-tempat pendaratan ikan, sangat berbahaya bagi keberlanjutan sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan operasi terbatas dan terkonsentrasi pada fishing ground di perairan dekat pantai. Usaha perikanan perlu ditingkankan pada skala usaha yang lebih besar, minimal dengan menggunakan kapal motor >5GT. Unit penangkapan bersifat multipurpose, sehingga nelayan dapat mengoptimalkan musim penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang tepat. Kepemilikan kapal dapat dilakukan secara berkelompok 5-7 orang, melalui kelompok usaha bersama (KUB). Pemerintah perlu memfasilitasi berkembangnya kegiatan perikanan ini dengan memberikan kebijakan yang tepat. Subsidi harga BBM merupakan salah satu diantaranya. Kebijakan pemberian modal usaha dengan bunga pinjaman lunak, disertai dengan upaya pendampingan usaha. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan nelayan dapat mengelola usahanya dengan lebih baik
267
8.2 Strategi Implementasi Model Pengembangan Perikanan Teknik interpretative structural modelling (ISM) digunakan untuk strategi implementasi, agar model pengembangan perikanan berbasis karakteristik spesifik potensi daerah ini dapat diterapkan dengan baik. Model pengembangan perikanan merupakan suatu sistem yang kompleks, untuk itu harus dilakukan melalui perencanaan yang sistematis dan terintegrasi dari seluruh komponen sistem. Teknik ISM digunakan untuk melihat hubungan antar komponen di dalam sistem. Pada implementasi model pengembangan perikanan berbasis karakteristik potensi daerah ini, terdapat 7 elemen sistem yang perlu diperhatikan yaitu: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh; 2) Kebutuhan untuk terlaksananya program; 3) Kendala utama pengembangan program; 4) Perubahan yang dimungkinkan atau tujuan utama program; 5) Tolok ukur keberhasilan program; 6) Aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program; 7) Lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program; Setiap elemen sistem terdiri atas beberapa subelemen. Teknik ISM digunakan untuk melihat struktur hubungan antara subelemen-subelemen di dalam sistem. Teknik ISM juga menghasilkan output berupa matrix driver powerdependence, yaitu plot subelemen ke dalam empat sektor yang menggambarkan besarnya tingkat daya dorong dan ketergantungan elemen di dalam sistem.
8.2.1 Strategi Implementasi Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh Output ISM menghasilkan model struktural dari sektor masyarakat yang terpengaruh seperti terlihat pada Gambar 24. Pemilik kapal/pengusaha perikanan tuna merupakan elemen kunci, yang akan dapat mempengaruhi atau menggerakkan subelemen-subelemen dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh lainnya untuk keberhasilan program. Investasi yang ditanamkan oleh pemilik kapal/pengusaha perikanan tuna akan menyerap tenaga kerja/nelayan untuk bekerja menjadi ABK perikanan tuna. Kegiatan operasi penangkapan tuna membutuhkan penyediaan umpan dan perbekalan yang disuplai oleh nelayan
268
penangkap ikan umpan dan para penyedia perbekalan. Pengembangan perikanan tuna akan menghasilkan produksi yang dapat menggerakkan tumbuhnya industri pengolahan tuna di lingkungan pelabuhan. Kegiatan operasi penangkapan ikan akan menggerakkan masyarakat di sekitar
pelabuhan
untuk
beraktivitas.
Produksi
didistribusikan
oleh
pedagang/pengumpul ke luar daerah atau oleh eksportir ke luar negeri. Produksi tuna akan menumbuhkan industri jasa transportasi dan memberikan lapangan kerja bagi tenaga angkut di pelabuhan atau tenaga pembersih kapal, pereparasi mesin kapal dan lapangan kerja lainnya. Investasi yang ditanamkan juga akan menggerakkan industri pembuat kapal, industri pembuat alat tangkap dan industri pembuat mesin kapal untuk menyediakan sarana operasi penangkapan tuna.
Level 1
3. Industri pembuat kapal
4. Industri pembuat alat tangkap
Level 4
Level 5
Gambar 24
11. Pengusaha jasa transportasi
12. Buruh pelabuhan
9. Nelayan penyedia umpan
10. Penyedia perbekalan
13. Masyarakat sekitar pelabuhan
6. Industri pengolah ikan
Level 2
Level 3
5. Industri pembuat mesin kapal
7. Pedagang/ pengumpul
8. Eksportir
2. Nelayan
1. Pengusaha tuna
Diagram model struktural dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada program pengembangan perikanan lepas pantai.
Matriks driver power-dependence untuk subelemen masyarakat yang terpengaruh seperti terlihat pada Gambar 25. Subelemen terdistribusi kedalam tiga sektor yaitu sektor II, III dan sektor IV. Subelemen pengusaha tuna dan nelayan berada di sektor IV, subelemen pada sektor ini memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sistem, namun memiliki daya dorong kuat untuk
269
keberhasilan sistem. Nelayan penangkap umpan, penyedia perbekalan, industri pengolahan tuna, industri jasa transportasi, pedagang/pengumpul, dan eksportir berada di sektor III. Subelemen yang berada di sektor III, merupakan subelemen yang labil. Kurangnya perhatian pada subelemen tersebut dapat menjadi penghambat berhasilnya pengembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa. Daya Dorong (1) 13
(7)(8) (9)(10)
(2)
(6)
12 11 10 SEKTOR IV
9
SEKTOR III
8 (11) 7 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
5 SEKTOR I
4 3
12
13
Ketergantungan SEKTOR II (4)(5) (3)(12)(13)
2 1 0
Gambar 25
Matriks driver power-dependence elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada program pengembangan perikanan lepas pantai.
Keterangan: 1. pengusaha tuna 2. nelayan 3. industri pembuat kapal 4. industri pembuat alat tangkap 5. industri pembuat mesin kapal 6. industri pengolah ikan 7. pedagang/pengumpul 8. eksportir 9. nelayan penyedia umpan 10. penyedia perbekalan 11. pengusaha jasa transportasi 12. buruh pelabuhan 13. masyarakat sekitar pelabuhan
270
2) Kebutuhan untuk terlaksananya program Digram model struktural dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan lepas pantai seperti terlihat pada Gambar 26. Ketersediaan sumberdaya tuna dan ketersediaan data dan informasi merupakan elemen kunci untuk terlaksananya program. Kebutuhan tersebut diikuti dengan kebutuhan ketersediaan sumberdaya manusia, dan kebutuhankebutuhan lain di level atasnya. Ketersediaan teknologi, ketersediaan dana, keberpihakan atau dukungan (komitmen) dari pemerintah pusat, keberpihakan pemerintah provinsi, keberpihakan pemerintah kabupaten, kerjasama antar wilayah, partisipasi masyarakat dan penegakan hukum berada dalam satu level.
Gambar 26 Diagram model struktural dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan lepas pantai. Berdasarkan hasil plot subelemen dalam matriks driver power-dependence (Gambar 27), subelemen terdistribusi sebagian besar di sektor III, kecuali
271
ketersediaan sumberdaya tuna dan ketersediaan sumberdaya manusia di sektor IV. Hal ini menunjukkan bahwa, sebagian besar subelemen dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program memiliki ketergantungan yang kuat terhadap sistem dan memiliki daya dorong kuat untuk keberhasilan program. Kebutuhan akan subelemen-subelemen tersebut harus terpenuhi, jika salah satu diabaikan akan memberikan dampak yang kuat untuk ketidakberhasilan program.
Gambar 27
Matriks driver power-dependence dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan lepas pantai.
Keterangan: 1. keberpihakan (dukungan dan komitmen) pemerintah pusat 2. keberpihakan (dukungan dan komitmen) pemerintah provinsi 3. keberpihakan (dukungan dan komitmen) pemerintah kabupaten 4. partisipasi masyarakat 5. peran serta tokoh masyarakat 6. kerjasama antar wilayah 7. koordinasi antar sektor 8. ketersediaan anggaran/dana pengembangan/pembangunan 9. dukungan kebijakan pemerintah 10. dukungan kelembagaan 11. ketersediaan sumberdaya ikan 12. ketersediaan SDM 13. ketersediaan teknologi 14. ketersediaan data dan informasi 15. penegakan hukum
272
3) Kendala utama pengembangan program Diagram model struktural untuk elemen kendala utama program hasil output ISM seperti terlihat pada Gambar 28. Harga BBM yang tinggi, prioritas dana pembangunan yang masih rendah dan kemampuan permodalan dari pengusaha tuna terbatas merupakan elemen kunci dari kendala utama program. Kendala utama atau permasalahan utama ini harus terlebih dahulu ditangani, sebelum mengatasi permasalahan-permasalahan yang lainnya. Kendala berikutnya yang harus ditangani adalah kualitas SDM, teknologi penangkapan dan pemahaman mutu ikan oleh nelayan yang masih rendah.
Gambar 28 Diagram model struktural dari elemen kendala utama pada program pengembangan perikanan lepas pantai. Hasil plot elemen dalam matriks driver power-dependence (Gambar 29), sebagian besar subelemen terdistribusi pada sektor III, kecuali harga BBM yang tinggi dan prioritas dana pembangunan yang rendah yang berada di sektor IV. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subelemen memiliki ketergantungan dan daya dorong yang tinggi terhadap sistem. Tidak tertanganinya salah satu subelemen, akan berpengaruh besar terhadap tidak tertanganinya permasalahan elemen sistem yang lain, serta akan memberikan umpan balik yang besar bagi ketidakberhasilan sistem.
273
Gambar 29 Matriks driver power-dependence dari elemen kendala utama pada program pengembangan perikanan lepas pantai. Keterangan: 1. kualitas SDM yang masih rendah 2. teknologi penangkapan ikan yang masih rendah 3. harga BBM yang tinggi 4. pemahaman mutu ikan oleh nelayan masih rendah 5. akses dan informasi pasar masih terbatas 6. kemampuan permodalan pengusaha tuna masih terbatas 7. kualitas dan kuantitas pengelola PP/PPI masih terbatas 8. konflik kepentingan antar pemerintah daerah 9. konflik kepentingan antar sektor 4) Perubahan yang dimungkinkan atau tujuan utama program Subelemen dari tujuan utama program terstruktur dalam empat level. Optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta peningkatan penyerapan tenaga kerja merupakan elemen kunci dari tujuan utama program. Tujuan program ini harus dapat diwujudkan terlebih dahulu, sebelum diwujudkannya tujuan dari subelemen yang lain (Gambar 30). Terwujudnya tujuan dari subelemen-subelemen tersebut, akan mendorong untuk terwujudnya tujuan program yang lain, yaitu peningkatan PAD/devisa dan perkembangan perekonomian daerah.
274
Gambar 30 Diagram model struktural dari elemen tujuan utama program pada pengembangan perikanan lepas pantai. Kesepuluh elemen terdistribusi dalam tiga sektor dari matriks driver powerdependence, yaitu sektor II, III dan IV (Gambar 31). Optimalisasi pemanfaatan SDI berada di sektor IV, menyatakan subelemen memiliki ketergantungan rendah terhadap sistem namun memiliki daya dorong kuat untuk keberhasilan program.
Gambar 31 Matriks driver power-dependence dari elemen tujuan utama program pada pengembangan perikanan lepas pantai.
275
Keterangan: 1. optimalisasi pemanfaatan SDI 2. peningkatan keuntungan usaha 3. peningkatan fungsionalitas pelabuhan perikanan 4. peningkatan aksesibilitas pelabuhan perikanan 5. peningkatan peran dan fungsi kelembagaan perikanan 6. peningkatan kualitas dan kuantitas kebijakan yang mendukung usaha perikanan 7. peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan 8. peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan 9. peningkatan PAD/devisa 10. peningkatan perekonomian daerah Peningkatan keuntungan usaha, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan fungsionalitas pelabuhan, peningkatan aksesibilitas pelabuhan, peningkatan PAD/devisa dan perekonomian daerah berada di sektor III. Tidak terpenuhinya subelemen pada sektor ini, akan berpengaruh terhadap tidak terpenuhinya subelemen tujuan program yang lainnya. 5) Tolok ukur untuk keberhasilan program Semua subelemen dari elemen tolok ukur untuk keberhasilan program, kecuali terbentuknya kelembagaan pengelolaan terpadu perikanan tuna dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan elemen kunci. Hal ini menyatakan, subelemen dari tolok ukur keberhasilan program memiliki prioritas yang hampir sama sebagai penentu keberhasilan program (Gambar 32).
Gambar 32 Diagram model struktural dari elemen tolok ukur untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai.
276
Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur keberhasilan program memplot semua subelemen kedalam sektor III (Gambar 33). Hal ini menyatakan bahwa semua subelemen memiliki ketergantungan yang kuat di dalam sistem dan memiliki daya dorong tinggi sebagai tolok ukur keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa.
Gambar 33
Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai.
Keterangan : 1. terbentuknya kelembagaan pengelolaan bersama 2. terlaksananya program pengembangan 3. pemanfaatan sumberdaya optimal 4. efisiensi pembiayaan program 5. nilai manfaat yang seimbang antar daerah 6. pendapatan usaha perikanan meningkat 7. penyerapan tenaga kerja meningkat 8. PAD/devisa meningkat 9. perekonomian daerah meningkat 6) Aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program Subelemen dari elemen aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program terstruktur kedalam lima level (Gambar 34). Aktivitas pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya tuna merupakan elemen kunci, yang harus ada terlebih dahulu sebelum aktivitas yang lain yang berada di level atasnya.
277
Gambar 34 Diagram model struktural elemen aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program pengembangan perikanan lepas pantai. Aktivitas berikutnya adalah pembuatan peraturan perundang-undangan untuk pengelolaan sumberdaya menjadi hal yang penting, agar upaya pengelolaan dapat dikelola dengan baik. Pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha dan pengembangan akses pasar berada pada satu level di atasnya. Subelemen dari aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program terdistribusi kedalam tiga sektor pada matriks driver power-dependence (Gambar 35). Pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha, pengembangan akses pasar dan peningkatan akses informasi berada pada sektor III. Pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya dan pembuatan peraturan-peraturan untuk pengelolaan sumberdaya berada di sektor IV. Subelemen tersebut memiliki
278
ketergantungan yang rendah di dalam sistem, namun memiliki daya dorong yang kuat untuk keberhasilan program.
Gambar 35 Matriks driver power-dependence elemen aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program pada pengembangan perikanan lepas pantai. Keterangan: 1. koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan perikanan tuna 2. pembentukan kelembagaan bersama untuk pengelolaan sumberdaya 3. pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya 4. pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya 5. pendidikan dan pelatihan SDM 6. pengembangan teknologi 7. penyediaan sarana prasarana 8. penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha 9. pengembangan akses pasar 10. peningkatan akses informasi
7) Lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program Diagram model struktural dari elemen lembaga yang terlibat untuk keberhasilan progam terdiri atas 6 level (Gambar 36). Elemen kunci yaitu DKP, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten/Kota, Asosiasi Pengusaha Tuna dan Lembaga Permodalan.
279
Gambar 36
Diagram model struktural dari elemen lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai.
Subelemen dari elemen lembaga yang terlibat untuk keberhasilan sistem terdistribusi pada sektor II, III dan IV (Gambar 37). Dinas Perikanan Kabupaten, Dinas Perhubungan Laut, Dinas Perdagangan, Pengelola Pelabuhan, Kelompok Nelayan, Asosiasi Pengusaha Tuna, Lembaga Permodalan, POKWASMAS, dan Lembaga Penegak Hukum berada di sektor III. Lembaga-lembaga tersebut memiliki keterkaitan yang kuat dan memiliki daya dorong tinggi untuk keberhasilan sistem. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Perikanan Provinsi berada di sektor IV, menyatakan bahwa lembaga ini memiliki keterkaitan yang rendah kedalam sistem namun memiliki daya dorong yang kuat untuk keberhasilan program. Dinas Imigrasi, LSM, Akademisi/Peneliti berada di sektor II, menyatakan bahwa lembaga tersebut memiliki keterkaitan kuat dengan elemen lain, namun memiliki daya dorong yang kecil untuk keberhasilan program.
280
Gambar 37 Matriks driver power-dependence dari elemen lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai. Keterangan: 1. Departemen Kelautan dan Perikanan 2. Dinas perikanan dan kelautan provinsi 3. Dinas perikanan dan kelautan kabupaten/kota 4. Dinas perhubungan laut 5. Dinas imigrasi 6. Dinas perdagangan 7. Pengelola pelabuhan perikanan 8. Asosiasi pengusaha perikanan tuna 9. Lembaga permodalan 10. LSM 11. Akademisi/peneliti 12. POKWASMAS 13. Lembaga penegak hukum Hasil dari analisis ISM memperlihatkan elemen-elemen mana di dalam sistem yang merupakan faktor kunci bagi keberhasilan implementasi program. Hasil ISM juga menyatakan elemen yang memiliki pengaruh kuat terhadap elemen lain di dalam sistem, serta yang memiliki daya dorong kuat untuk keberhasilan program, yaitu elemen pada sektor III dan IV. Elemen kunci dan plot elemen yang masuk ke dalam sektor III dan IV seperti terlihat pada Tabel 35.
281
Tabel 35 Elemen, elemen kunci, subelemen pada sektor III dan sektor IV strategi implementasi pengembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa No.
Elemen sistem Sektor masyarakat yang terpengaruh
Elemen kunci pemilik kapal/pengusaha perikanan
2
Kebutuhan untuk terlaksananya program
ketersediaan sumberdaya tuna, ketersediaan data dan informasi
3
Kendala utama
Harga BBM yang tinggi, prioritas dana pembangunan yang rendah, kemampuan permodalan dari pengusaha tuna rendah
4
Perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari program
optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, peningkatan penyerapan kerja
5
Tolok ukur keberhasilan program
Hampir semua, kecuali terbentuknya kelembagaan, pemanfaatan sumberdaya optimal
6
Aktivitas yang diperlukan
pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya
7
Lembaga yang terlibat
DKP, Diskanlut Provinsi, Diskanlut Kabupaten/Kota, Asosiasi Pengusaha Tuna dan Lembaga Permodalan.
1
sumber: olahan data
Elemen pada sektor III nelayan penangkap umpan, penyedia perbekalan, industri pengolahan tuna, industri jasa transportasi, pedagang/pengumpul, dan eksportir Keberpihakan pemerintah pusat, keberpihakan pemerintah provinsi, keberpihakan pemerintah kabupaten, partisipasi masyarakat, peran serta tokoh masyarakat, kerjasama antar wilayah, koordinasi antar sektor, ketersediaan anggaran pengembangan, dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan, , teknologi, data dan informasi, penegakan hukum Kualitas SDM rendah, teknologi penangkapan ikan terbatas, pemahaman mutu ikan rendah, akses dan informasi pasar terbatas, kemampuan permodalan pengusaha tuna rendah, kualitas dan kuantitas pengelola perikanan masih terbatas, konflik kepentingan antar pemerintah daerah, konflik kepentingan antar sektor, prioritas Peningkatan keuntungan usaha, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan fungsionalitas pelabuhan, peningkatan aksesibilitas pelabuhan, peningkatan PAD/devisa dan perekonomian daerah
Elemen Pada sektor IV nelayan, pemilik kapal/pengusaha perikanan
Peningkatan peran kelembagaan perikanan, terlaksananya program pengembangan, pemanfaatan sumberdaya optimal, efisiensi pembiayaan program, nilai manfaat yang seimbang antar daerah, pendapatan usaha perikanan meningkat, penyerapan tenaga kerja meningkat, PAD/devisa meningkat, perekonomian daerah meningkat Pendidikan dan pelatihan SDM, Pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha, pengembangan akses pasar dan peningkatan akses informasi
tidak ada
Dinas Perikanan Kabupaten, Dinas Perhubungan Laut, Dinas Perdagangan, Pengelola Pelabuhan, Kelompok Nelayan, Asosiasi Pengusaha Tuna, Lembaga Permodalan, POKWASMAS, dan Lembaga Penegak Hukum
ketersediaan sumberdaya tuna, ketersediaan sumberdaya manusia
Harga BBM yang tinggi, prioritas dana pembangunan yang rendah
optimalisasi pemanfaatan SDI
pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya, DKP dan Diskanlut Provinsi
282
8.2.2 Strategi Implementasi Model Pengembangan Perikanan Pantai 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh Output ISM menghasilkan model struktural dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh seperti terlihat pada Gambar 38. Nelayan merupakan elemen kunci, yang akan dapat mempengaruhi atau menggerakkan elemen-elemen masyarakat lainnya untuk keberhasilan program.
Level 1
3. Industri pembuat kapal
4. Industri pembuat alat tangkap
5. Industri pembuat mesin kapal
Level 2
9. Penyedia perbekalan
6. Industri pengolah ikan
10. Pengusaha jasa transportasi
Level 3
11.Buruh pelabuhan
12.Masyarakat sekitar pelabuhan
Level 4
1. Pengusaha/ pemilik kapal
7. Pedagang/ pengumpul
Level 5
Gambar 38
8. Eksportir
2. Nelayan
Diagram model struktural dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada pengembangan perikanan pantai.
Matriks driver power-dependence untuk subelemen sektor masyarakat yang terpengaruh, seperti terlihat pada Gambar 39. Subelemen terdistribusi ke dalam tiga sektor. Penyedia perbekalan, pengusaha transportasi, buruh pelabuhan dan masyarakat sekitar pelabuhan berada di sektor III. Elemen pada sektor III ini,
283
merupakan elemen yang memiliki ketergantungan tinggi dan merupakan elemen pengkait sistem, serta memiliki daya dorong kuat untuk keberhasilan program. Nelayan, pengusaha/pemilik kapal, industri pengolah ikan, pedagang pengumpul dan eksportir berada di sektor IV.
Gambar 39
Matriks driver power-dependence elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada pengembangan perikanan pantai.
Keterangan: 1. pengusaha/pemilik kapal 2. nelayan 3. industri pembuat kapal 4. industri pembuat alat tangkap 5. industri pembuat mesin kapal 6. industri pengolah ikan 7. pedagang / pengumpul 8. eksprtir 9. penyedia perbekalan 10. pengusaha jasa transportasi 11. buruh pelabuhan 12. masyarakat sekitar pelabuhan
284
2) Kebutuhan untuk terlaksananya program Diagram model struktural dari elemen kebutuhan program seperti terlihat pada Gambar 40. Kebutuhan ketersediaan sumberdaya ikan dan ketersediaan data dan informasi, merupakan elemen kunci atau merupakan kebutuhan yang utama untuk terlaksananya program.
Level 1
3. Peran serta tokoh masyarakat
4. Kerjasama antar wilayah
8 Dukungan kelembagaan
11. Ketersediaan teknologi
Level 2
7. Dukungan kebijakan pemerintah
Level 3
5. Koordinasi antar sektor
10. Ketersediaan SDM
Level 4
1. Keberpihakan (dukungan dan komitmen) pemerintah kabupaten
6. Ketersediaan anggaran/dana pengembangan/ pembangunan
Level 5
Level 6
13. Penegakan hukum
2.Partisipasi masyarakat
9. Ketersediaan sumberdaya ikan
12. Ketersediaan data dan informasi
Gambar 40 Diagram model struktural dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai. Berdasarkan hasil plot elemen dalam matriks driver power-dependence (Gambar 41), subelemen sebagian besar terdistribusi pada sektor III. Hal ini menyatakan bahwa semua subelemen, kecuali peran serta tokoh masyarakat dan kerjasama antar wilayah memiliki ketergantungan yang kuat kedalam sistem dan memiliki daya dorong yang kuat untuk keberhasilan program. Peran serta tokoh
285
masyarakat dan kerjasama antar wilayah berada di sektor II, yang berarti bahwa kedua elemen memiliki ketergantungan yang kuat terhadap sistem tetapi tidak memiliki daya dorong yang kuat untuk keberhasilan program.
Gambar 41 Matriks driver power-dependence dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai. Keterangan: 1. keberpihakan (dukungan dan komitmen) pemerintah pusat 2. keberpihakan (dukungan dan komitmen) pemerintah provinsi 3. keberpihakan (dukungan dan komitmen) pemerintah kabupaten 4. partisipasi masyarakat 5. peran serta tokoh masyarakat 6. kerjasama antar wilayah 7. koordinasi antar sektor 8. ketersediaan anggaran/dana pengembangan/pembangunan 9. dukungan kebijakan pemerintah 10. dukungan kelembagaan 11. ketersediaan sumberdaya ikan 12. ketersediaan SDM 13. ketersediaan teknologi 14. ketersediaan data dan informasi 15. penegakan hukum
286
3) Kendala utama program Analisis ISM untuk kendala utama yang perlu diatasi terlebih dahulu dalam implementasi program pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa, menghasilkan model struktural seperti terlihat pada Gambar 42. Harga BBM yang tinggi dan prioritas dana pembangunan yang masih rendah merupakan elemen kunci dari kendala utama program.
Gambar 42
Diagram model struktural dari kendala utama yang perlu diatasi untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai.
Pada matriks driver power-dependence, sebagian besar subelemen dari kendala utama program berada di sektor III. Subelemen-subelemen yang berada di sektor III ini menyatakan bahwa subelemen-subelemen dari kendala utama program, seperti
kualitas SDM yang masih rendah, kualitas dan kuantitas
pengelola PP/PPI yang masih rendah, teknologi, serta kemampuan permodalan yang rendah harus dapat diatasi dengan baik, karena tidak teratasinya satu kendala akan mempengaruhi atau berdampak besar pada kendala-kendala lainnya. Sementara itu harga BBM yang tinggi dan prioritas dana pembangunan yang masih rendah berada di sektor IV (Gambar 43).
287
Gambar 43 Matriks driver power-dependence dari kendala utama yang perlu diatasi untuk keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai. Keterangan: 1. kualitas SDM yang masih rendah 2. teknologi penangkapan ikan yang masih rendah 3. harga BBM yang tinggi 4. pemahaman mutu ikan oleh nelayan masih rendah 5. akses dan informasi pasar masih terbatas 6. kemampuan permodalan pengusaha tuna masih terbatas 7. kualitas dan kuantitas pengelola PP masih terbatas 8. konflik kepentingan antar sektor 9. Prioritas dana pembangunan masih rendah
4) Tujuan utama program Diagram struktural model dari elemen tujuan program seperti terlihat pada Gambar 44. Optimalisasi pemanfaatan SDI merupakan elemen kunci dari tujuan utama program. Tujuan program ini harus dapat diwujudkan terlebih dahulu. Tujuan berikutnya yang harus diwujudkan adalah peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Terwujudnya ketiga tujuan program tersebut, akan dapat mendorong terwujudnya tujuan program lainnya, yang semua berada satu level di atasnya.
288
Gambar 44
Diagram model struktural dari elemen tujuan program pada pengembangan perikanan pantai.
Kesepuluh elemen hanya terdistribusi dalam dua sektor dari matriks driver power-dependence, yaitu
pada sektor III dan IV (Gambar 45). Optimalisasi
pemanfaatan SDI, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta peningkatan penyerapan tenaga kerja berada di sektor IV.
Gambar 45 Matriks driver power-dependence dari elemen tujuan program pada pengembangan perikanan pantai.
289
Keterangan: 1. optimalisasi pemanfaatan SDI 2. peningkatan keuntungan usaha 3. peningkatan fungsionalitas pelabuhan perikanan 4. peningkatan aksesibilitas pelabuhan perikanan 5. peningkatan peran dan fungsi kelembagaan perikanan 6. peningkatan kualitas dan kuantitas kebijakan yang mendukung usaha perikanan 7. peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan 8. peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan 9. peningkatan PAD/Devisa 10. peningkatan perekonomian daerah Peningkatan keuntungan usaha, peningkatan fungsionalitas pelabuhan perikanan, peningkatan aksesibilitas pelabuhan perikanan, peningkatan peran dan fungsi kelembagaan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebijakan yang mendukung usaha perikanan, peningkatan PAD/devisa dan peningkatan perekonomian daerah berada di sektor III. 5) Tolok ukur keberhasilan program Diagram model struktural dari elemen tolok ukur keberhasilan program terstruktur kedalam 3 level (Gambar 46). Peningkatan peran kelembagaan perikanan merupakan elemen kunci sebagai tolok ukur keberhasilan program.
Gambar 46
Diagram model struktural dari elemen tolok ukur keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai.
290
Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur keberhasilan program memplot subelemen kedalam dua sektor (Gambar 47).
Subelemen
meningkatnya peran kelembagaan perikanan berada di sektor IV. Subelemen lainnya, seperti terlaksananya program pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya opimal berada di sektor III.
Hal ini menyatakan bahwa, semua
subelemen memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan memiliki daya dorong kuat untuk keberhasilan program.
Gambar 47
Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur keberhasilan program pada pengembangan perikanan pantai.
Keterangan: 1. meningkatnya peran kelembagaan perikanan 2. terlaksananya program pengembangan 3. pemanfaatan sumberdaya optimal 4. efisiensi pembiayaan program 5. nilai manfaat yang seimbang antar daerah 6. pendapatan usaha perikanan meningkat 7. penyerapan tenaga kerja meningkat 8. PAD/devisa meningkat 9. perekonomian daerah meningkat 6) Aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program Gambar 48 menunjukkan model struktural dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai. Koordinasi
291
antar sektor yang terlibat dalam program pengembangan dan meningkatkan peran kelembagaan perikanan merupakan elemen kunci. Subelemen tersebut merupakan aktivitas yang memiliki prioritas utama untuk dilaksanakan. Koordinasi antar sektor pembangunan sangat penting untuk pengembangan perikanan, misalnya dengan sektor transportasi dan perdagangan.
Gambar 48
Diagram model struktural dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program pada pengembangan perikanan pantai.
Matriks driver power dependence dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program, memplot hampir semua subelemen di sektor III. Hal ini menyatakan bahwa, subelemen dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program harus dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak berjalannya aktivitas dari salah satu subelemen akan berdampak besar bagi subelemen yang lain. Subelemen yang berada di sektor III ini, juga memiliki daya dorong yang kuat untuk keberhasilan program, jika seluruh aktivitasnya dapat terlaksana dengan baik. Koordinasi antar sektor dan peningkatan peran kelembagaan perikanan berada di sektor IV, merupakan subelemen yang tidak terkait erat kedalam sistem, namun memiliki daya dorong yang kuat untuk keberhasilan program (Gambar 49).
292
Gambar 49
Matriks driver power dependence dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program pengembangan perikanan pantai.
Keterangan: 1. koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan perikanan 2. meningkatkan peran kelembagaan perikanan 3. pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya 4. pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya 5. pendidikan dan pelatihan SDM 6. pengembangan teknologi 7. penyediaan sarana prasarana 8. penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha 9. pengembangan akses pasar 10. peningkatan akses informasi 7) Lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program Diagram model struktural dari elemen lembaga yang terlibat dalam keberhasilan progam terdiri atas 6 level (Gambar 50). Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten merupakan elemen kunci dari elemen yang terlibat. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten, akan dapat menggerakkan elemen-elemen lain di level atasnya untuk keberhasilan program pengembangan perikanan pantai. Pada level berikutnya adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan model struktural tersebut, terlihat bahwa kelembagaan pemerintah memiliki peran yang sangat penting untuk keberhasilan program pengembangan perikanan pantai.
293
Gambar 50 Diagram model struktural dari elemen lembaga yang terlibat pada program pengembangan perikanan pantai. Sebagian besar subelemen dari lembaga yang terkait terdistribusi pada sektor III, kecuali Dinas Perhubungan Laut dan Dinas Imigrasi (Gambar 51). Hal ini dapat dikatakan bahwa, hampir semua subelemen dari lembaga yang terlibat dalam pengembangan perikanan pantai memiliki keterkaitan dan daya dorong yang kuat kedalam sistem. Semua lembaga yang terlibat akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan program. Dinas Perhubungan Laut dan Dinas Imigrasi berada di sektor II, menyatakan bahwa dalam pengembangan perikanan pantai, peran dari Dinas Perhubungan Laut dan Dinas Imigrasi tidak begitu penting.
294
Gambar 51 Matriks driver power-dependence dari elemen lembaga yang terlibat pada program pengembangan perikanan pantai. Keterangan: 1. Departemen Kelautan dan Perikanan 2. Dinas perikanan dan kelautan provinsi 3. Dinas perikanan dan kelautan kabupaten/kota 4. Dinas perhubungan laut 5. Dinas imigrasi 6. Dinas perdagangan 7. Pengelola pelabuhan perikanan 8. Kelompok Nelayan 9. Lembaga permodalan 10. LSM 11. Akademisi/peneliti 12. POKWASMAS 13. Lembaga penegak hukum 14. KUD 15. HNSI Elemen kunci dan elemen yang berada di sektor III dan IV dari ketujuh elemen sistem pada pengembangan perikanan pantai, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 36. Elemen-elemen tersebut, merupakan elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam keberhasilan program pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa.
295
Tabel 36 Elemen, elemen kunci, subelemen pada sektor III dan sektor IV strategi implementasi pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa No.
Elemen sistem Sektor masyarakat yang terpengaruh
Elemen kunci nelayan
Elemen pada sektor III penyedia perbekalan, pengusaha transportasi, buruh pelabuhan dan masyarakat sekitar
2
Kebutuhan untuk terlaksananya program
ketersediaan sumberdaya ikan, ketersediaan data dan informasi
3
Kendala utama
Harga BBM yang tinggi, prioritas dana pembangunan yang rendah
4
Perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari program
optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan pendapatan nelayan, peningkatan penyerapan kerja
Ketersediaan SDI, keberpihakan pemerintah pusat, keberpihakan pemerintah provinsi, peran serta tokoh masyarakat, kerjasama antar wilayah, koordinasi antar sektor, ketersediaan anggaran pengembangan, dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan, , teknologi, data dan informasi, penegakan hukum kualitas SDM, teknologi penangkapan ikan terbatas, pemahaman mutu ikan rendah, akses dan informasi pasar terbatas, kemampuan permodalan nelayan rendah, kualitas dan kuantitas pengelola perikanan terbatas, konflik kepentingan antar pemerintah daerah, prioritas dana pembangunan rendah Peningkatan keuntungan usaha, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan fungsionalitas pelabuhan, peningkatan aksesibilitas pelabuhan, peningkatan PAD/devisa dan perekonomian daerah
5
Tolok ukur keberhasilan program
meningkatnya peran kelembagaan perikanan
6
Aktivitas yang diperlukan
Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan, meningkatkan peran kelembagaan perikanan
7
Lembaga yang terlibat
Diskanlut Kabupaten
1
sumber: olahan data
terlaksananya program pengembangan, pemanfaatan sumberdaya optimal, efisiensi pembiayaan program, nilai manfaat yang seimbang antar daerah, pendapatan usaha perikanan meningkat, penyerapan tenaga kerja meningkat, PAD/devisa meningkat, perekonomian daerah meningkat pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya, pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha di bidang perikanan, pengembangan akses pasar, peningkatan akses informasi Dinas Perikanan Kabupaten, Dinas Perhubungan Laut, Dinas Perdagangan, Pengelola Pelabuhan, Kelompok Nelayan, Kelompok nelayan, Lembaga Permodalan, POKWASMAS, KUD, HNSI, dan Lembaga Penegak Hukum
Elemen Pada sektor IV Nelayan, Pengusaha/pemilik kapal, industri pengolah ikan, pedagang pengumpul dan eksportir Tidak ada
Harga BBM yang tinggi, konflik kepentingan antar sektor
optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan pendapatan nelayan, peningkatan penyerapan kerja meningkatnya peran kelembagaan perikanan
Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan, meningkatkan peran kelembagaan perikanan, peningkatan akses informasi Tidak ada
9 PEMBAHASAN
Penelitian mengenai Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah dimaksudkan untuk mendapatkan konsep yang tepat dalam melakukan upaya pengembangan perikanan. Perikanan merupakan suatu kegiatan berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (UU 31/2004). Pengelolaan dan pemanfaatan harus dilakukan dengan baik, karena sumberdaya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan, sumberdaya akan mengalami tekanan secara ekologi dan akan menurun kualitasnya (Nikijuluw 2002). Perhatian utama dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah keberlanjutan (sustainability). Charles (2001) menyatakan, keberlanjutan tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah tangkapan dan ketersediaan stok ikan, melainkan mencakup keseluruhan aspek mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada masyarakat perikanan dan kelembagaan pengelolaan. Berdasarkan pada pemahaman tersebut, terlihat bahwa perikanan merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Pengembangan perikanan tidak dapat dilakukan bagian per bagian, melainkan harus secara keseluruhan aspek atau totalitas sistem. Kompleksitas bidang perikanan memiliki permasalahan dan karakteristik yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pengkajian menggunakan pendekatan sistem, diharapkan dapat menghasilkan suatu konsep pengembangan perikanan yang tepat, sesuai karakteristik perikanan yang dimiliki suatu wilayah. Pada Bab ini pembahasan lebih jauh akan difokuskan pada tujuan penelitian kedua dan ketiga, yaitu: 1) model pengembangan perikanan di Selatan Jawa, dan 2) kebijakan strategis pengembangan perikanan di Selatan Jawa. Tujuan penelitian pertama telah diuraikan dengan jelas pada Bab 6.
9.1 Model Pengembangan Perikanan Penelitian telah menghasilkan model pengembangan perikanan yang sesuai karakteristik wilayah. Model dibedakan menjadi dua, yaitu Pengembangan
297
Perikanan Lepas Pantai (SIMPELA) dan Pengembangan Perikanan Pantai (SIMPETAI). Kedua model memiliki kebutuhan yang sangat berbeda dalam hal usaha, kebutuhan pelabuhan perikanan, serta kebijakan dan kelembagaan. Penerapan kedua model di dalam sistem, akan memiliki konsekuensi diperlukannya perbaikan-perbaikan dari kondisi sistem saat ini. Komitmen dan dukungan dari pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten, sebagai pemegang kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan, sangat diperlukan. Keberhasilan penerapan model, juga memerlukan komitmen dan dukungan dari semua pihak yang terlibat di dalam sistem. Upaya perbaikan di dalam sistem, akan diperlukan pendanaan yang cukup besar. Pendanaan diperlukan, baik untuk pembangunan sarana, prasarana serta infrastruktur, maupun untuk modal usaha. Modal usaha bagi para pelaku usaha, dapat diupayakan melalui pemberian kredit berbunga rendah. Bagi pelaku usaha perikanan pantai, saat ini telah tersedia berbagai program pemberian kredit, diantaranya yaitu kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), kredit usaha rakyat (KUR), serta program pemberdayaan masyarakat lainnya (lihat Bab 7.4.1). Program-program tersebut diharapkan dapat lebih banyak menjangkau nelayan. Untuk pelaku usaha perikanan lepas pantai yang umumnya merupakan pengusaha besar, akan lebih mudah untuk mengakses permodalan dari bank pemberi kredit. Pembangunan ataupun perbaikan sarana, prasarana dan infrastruktur dapat didanai oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, melalui APBN ataupun APBD. Pendanaan dapat juga dilakukan melalui kerjasama dengan dunia usaha, pinjaman luar negeri atau melalui penerbitan obligasi.
9.1.1 Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai Pada pengembangan perikanan lepas pantai, fokus utama adalah perikanan tuna. Daerah yang memiliki ikan unggulan tuna, tidak serta merta menjadikannya prioritas pengembangan. Walaupun hasil analisis menyatakan, tuna merupakan ikan unggulan untuk Kabupaten Sukabumi, Cilacap dan Malang, namun tidak semua kabupaten tersebut harus mengusahakan pengembangan perikanan tuna. Berdasarkan kajian pada model pengembangan perikanan lepas pantai (Bab 7.3), Kabupaten Malang tidak cocok untuk pengembangan perikanan tuna.
298
Pengembangan perikanan lepas pantai harus dilakukan secara terpadu untuk seluruh Wilayah Perairan Selatan Jawa, tidak dilakukan secara parsial per daerah provinsi atau kabupaten. Wewenang pembuatan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan lepas pantai ada di pemerintah pusat, yang dalam pelaksanaannya berdasarkan kajian penelitian ini disarankan untuk dibentuk lembaga pengelola. Basis perikanan tuna di Selatan Jawa berada di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Wilayah provinsi atau kabupaten lain yang bukan merupakan basis perikanan tuna, diharapkan dapat memperoleh pembagian (share) manfaat pengelolaan yang besarnya diperhitungkan sesuai dengan kontribusinya masing-masing. Penerapan model, akan membutuhkan berbagai perbaikan terhadap usaha pengelolaan sumberdaya tuna di Selatan Jawa yang sudah berlangsung saat ini. Perbaikan dilakukan terhadap totalitas sistem, yang mencakup: 1) submodel USAHA, 2) submodel PELABUHAN, dan 3) submodel LEMBAGA.
1) Submodel USAHA Tujuan utama usaha perikanan tuna adalah untuk ekspor. Dillon dan Suryana dalam Suryana et al. (1990) menyatakan, dalam perdagangan ekspor tidak terlepas dari aktivitas domestik dan perilaku pasar internasional. Pengembangan ekspor sangat terkait dengan perilaku pasar internasional, negara pesaing dan partner dagang serta upaya penataan perdagangan internasional yang dikembangkan dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade). Ekspor tuna dihadapkan pada berbagai hambatan, baik hambatan tarif, non tarif maupun administrasi, yang dapat meningkatkan biaya produksi dan beban tambahan bagi pengusaha (Nalendra
2007). Peningkatan kerjasama dan diplomasi perdagangan dengan
negara tujuan ekspor, perlu dilakukan untuk kemudahan ekspor tuna Indonesia. Usaha perikanan tuna termasuk usaha skala besar. Menurut Tambunan (2002), usaha skala besar biasanya sangat rentan terhadap gejolak perubahan ekonomi. Hal ini dialami usaha tuna longline, saat krisis ekonomi tahun 1997 dimana terjadi perubahan nilai mata uang, usaha mengalami keuntungan yang besar. Kondisi sebaliknya, yaitu dengan adanya kenaikan BBM Oktober 2005, usaha tuna banyak yang bangkrut.
299
Ketersediaan input produksi merupakan hal yang penting, agar proses produksi dapat dilakukan dengan baik. Input produksi terkait dengan ketersedian kapal, alat tangkap beserta peralatan lainnya, serta ketersediaan ABK. Tenaga kerja atau ABK memiliki peran yang sangat penting bagi keberhasilan operasi penangkapan tuna. Kegiatan produksi ditangani secara penuh oleh ABK. Kejujuran dan komitmen untuk menghasilkan yang terbaik dari ABK dapat ditanamkan, diimbangi dengan pemberian gaji dan kesejahteraan memadai. Tenaga kerja pada kapal longline, diharapkan memiliki sertifikasi pelaut internasional sesuai standar SCTW (Standar of Training Certification Watch Keeping for Seaferers) tahun 1978. Optimalisasi proses produksi menjadi faktor penting, dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha. Berbagai faktor produksi harus dipertimbangkan, agar proses produksi dapat dilakukan secara optimal (Gaspersz 1992; Nurani et al. 1997). Proses produksi pada perikanan tuna merupakan proses yang mengandung resiko tinggi, dengan hasil yang tidak dapat diprediksi dengan pasti. Berbagai faktor akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses produksi tersebut. Umpan merupakan faktor penting dalam perikanan longline. Keterbatasan umpan dapat menjadi faktor pembatas terhadap operasi penangkapan ikan (Nurani et al. 1997). Faktor lain yang harus diperhatikan adalah jumlah trip operasi. Jumlah trip diharapkan dapat dilakukan secara optimal sepanjang tahun. Trip operasi berkaitan dengan ketersediaan biaya. Mengingat bahwa biaya operasi pada perikanan longline cukup tinggi, menyebabkan jumlah trip tidak optimal. Kurangnya trip operasi, akan berdampak pada kurangnya pendapatan usaha yang dapat diperoleh, sedangkan fixed cost harus tetap dikeluarkan. Kenaikan harga BBM telah meningkatkan beban operasi yang besar bagi kapal-kapal tuna longline. Menurut Nalendra (2007), kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 menjadi Rp 6.000,00 per liter, bahkan dengan harga subsidi Rp 4.200,00 per liter, kapal tuna masih kesulitan untuk beroperasi.
Kondisi ini
menjadi permasalahan yang serius, karena jika tidak beroperasi penghasilan menjadi tidak ada (zero revenue), berakibat perusahaan tidak mampu memenuhi kewajibannya terhadap karyawan, pemerintah, bank, pembeli dalam dan luar negeri maupun pengusaha pendukung.
300
Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi beban pengusaha, yaitu melalui sistem transhipment (Umarwanto 2006). Melalui kebijakan ini, kapal longline dapat menitipkan ikannya kepada kapal lain yang mau mendaratkan ikannya ke pelabuhan. Kapal dapat melanjutkan operasi penangkapan ikan, tanpa harus kembali dulu ke pelabuhan dan dapat mengurangi biaya untuk pembelian BBM. Melalui kebijakan ini, kesulitan yang dihadapi pengusaha diharapkan dapat sedikit tertolong. Namun di sisi lain, transhipment di tengah laut dapat merugikan dari aspek pendataan hasil tangkapan dan kemungkinan peluang terjadinya penangkapan ilegal lebih besar. Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal dari proses penanganan tuna. Kesalahan penanganan ikan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya. Ikan yang sudah terlanjur berkualitas jelek dari atas kapal, akan menjadi produk reject yang tidak memenuhi kualitas ekspor. Ikan tersebut memiliki harga yang berbeda sangat jauh dengan produk kualitas ekspor, dengan perbedaan harga >300%. Proses penanganan ikan harus dilakukan secara benar sejak ikan ditangkap, dimatikan, penanganan di atas kapal, penyimpanan, pembongkaran ikan di pelabuhan dan penanganan dalam pendistribusian. Produk tuna yang akan diekspor harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan negara importir. Hal ini terkadang menjadi suatu hambatan tersendiri bagi pengusaha tuna, karena negara importir terkadang memiliki kriteria yang berbeda (Abdullah dalam Aziz 1993; Nalendra 2007). Hal ini misalnya terkait dengan kandungan logam berat, yang mensyaratkan batas sangat rendah yang sulit dipenuhi dari hasil tangkapan tuna di fishing ground perairan Indonesia. Kualitas tuna akan terkait dengan harga. Harga tuna paling tinggi adalah kualitas fresh tuna (kualitas A) untuk bahan sashimi, yang dapat mencapai >1.000 yen per kg. Kualitas dibawahnya adalah fresh tuna (kualitas B+) untuk tujuan pasar Amerika dan Uni Eropa. Kualitas B- dan C masuk ke industri pengolahan tuna beku untuk dibuat loin, saku, chunk dan sejenisnya. Tuna kualitas ekspor, fresh ataupun beku adalah yang berukuran >10 kg per ekor. Tuna berukuran kecil dan kualitas lebih rendah akan masuk ke industri pengolahan, dengan harga yang jauh lebih rendah, yaitu sekitar Rp 15.000,00-Rp 25.000,00.
301
Semakin banyak ikan yang berkualitas A, akan semakin besar penerimaan usaha yang akan didapatkan perusahaan. Peningkatan kualitas hasil tangkapan tuna sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan penerimaan usaha. Peningkatan persentase kualitas tuna ekspor, diharapkan juga dapat mengimbangi kenaikan biaya akibat kenaikan harga BBM. Berdasarkan hasil simulasi terhadap kelayakan usaha, terlihat dengan sangat jelas bahwa usaha perikanan tuna longline memiliki resiko usaha yang sangat besar. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung terhadap kelangsungan usaha, atau kondisi ekonomi yang tidak kondusif sangat beresiko sekali terhadap usaha perikanan tuna longline. Jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka usaha perikanan tuna longline akan dapat berkembang dengan baik. Model sistem dinamis, digunakan untuk memproyeksikan jumlah effort optimal yang diberikan izin beroperasi. Model baru mempertimbangkan jumlah kapal yang beroperasi di Selatan Jawa, dengan basis di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Model belum mempertimbangkan kapal yang beroperasi di Selatan Jawa, namun mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman dan di Benoa Bali. Berdasarkan target produksi 8.000 ton per tahun, jumlah kapal longline yang diizinkan beroperasi di Selatan Jawa sekitar 170 unit. Kenaikan effort menjadi 170 unit, akan meningkatkan kebutuhan solar menjadi sekitar 24.000 kilo liter. Kebutuhan umpan menjadi 1.920 ton, kebutuhan es berjumlah 336.000 balok dan kebutuhan air tawar sekitar 840.000 m3 per tahun. Kebutuhan ABK berjumlah 2.400 orang. Kebutuhan ABK disesuaikan dengan jumlah ABK yang sudah ada saat ini, dan kebutuhan untuk regenerasi. Penting untuk diperhatikan, adalah peningkatan kualitas ABK sesuai standar SCTW. Kebutuhan ABK berskala internasional, diantaranya untuk posisi deck officer, engine officer, bosun, ice master, chief cook, electrician, welding dan fiiter (Harini 2007).
2) Submodel PELABUHAN Berkembangnya kegiatan usaha perikanan tidak terlepas dengan keberadaan pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan kerja. Fungsinya meliputi berbagai aspek yaitu sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat
302
pendaratan ikan hasil tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi, pusat pembinaan, penyuluhan dan pengumpulan data (Penjelasan UU 31/2001 tentang Perikanan). Ismail (2005) menyatakan, faktor utama untuk mendukung usaha perikanan adalah tersedianya prasarana penangkapan ikan berupa pelabuhan perikanan, yang siap melayani kebutuhan pengguna secara memuaskan baik sebagai tempat berlabuh, mengisi perbekalan, mendaratkan ikan, memasarkan, maupun pengolahan ikan. Perikanan tuna membutuhkan pelabuhan perikanan yang lebih khusus dibandingkan dengan perikanan lainnya. Ukuran kapal yang besar menyaratkan alur masuk kolam pelabuhan yang lebar, kedalaman kolam pelabuhan yang dalam dan fasilitas darmaga yang memadai. Tujuan utama adalah produk tuna segar kualitas ekspor, untuk itu perlu pelabuhan berstandar internasional. Pelabuhan perlu dilengkapi dengan fasilitas penanganan yang memadai untuk penanganan tuna segar, serta aksesibilitas yang baik menuju pelabuhan ekspor. Pelabuhan perikanan sebagai pusat industri perikanan mensyaratkan tingkat aksesibilitas yang baik untuk memudahkan suplai bahan baku, distribusi dan pemasaran serta komunikasi. Pembangunan pelabuhan perikanan harus didasarkan pada berbagai pertimbangan, agar pelabuhan yang dibangun dapat berfungsi dengan baik dan memberikan manfaat yang sepadan dengan besarnya investasi yang ditanamkan. Pertimbangan tersebut diantaranya, yaitu: (1) keterkaitan dengan daerah penangkapan, (2) faktor teknis pelabuhan, dan (3) keterkaitan dengan pasar (Vigarie 1979 diacu dalam Lubis 1989; Lubis 2006; Ismail 2005). Tidak semua PP/PPI yang ada di Selatan Jawa dapat mendukung kegiatan usaha perikanan tuna. Hasil analisis menunjukkan, hanya PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap yang mampu mendukung perkembangan perikanan tuna di Selatan Jawa. Pelabuhan perikanan lainnya, seperti PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng, PPI Tamperan, PPN Prigi dan PPP Pondokdadap, jika akan ditetapkan sebagai basis perikanan tuna akan memerlukan biaya yang sangat mahal. PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap walaupun berdasarkan analisis mampu untuk mendukung perkembangan perikanan tuna di Selatan Jawa, namun belum 100% dari kebutuhan dapat terpenuhi. Pembangunan fasilitas dan pelayanan di PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap masih diperlukan, agar kebutuhan
303
operasional kapal longline dapat terpenuhi dengan baik. Kondisi saat ini, kapalkapal longline masih lebih tertarik untuk mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman Jakarta atau di Pelabuhan Benoa Bali. Fasilitas penanganan produk fresh tuna, seperti tersedianya fasilitas tuna landing center (TLC) dan industri pengolah tuna di PPN Palabuhanratu belum tersedia. Produksi tuna akan dibawa oleh pedagang pengumpul, untuk suplai bahan baku bagi industri pengolah tuna di PPS Nizam Zachman Jakarta. Ekspor tuna dari PPN Palabuhanratu dilakukan melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta, dengan hambatan perjalanan yang cukup tinggi. Untuk mendukung perkembangan perikanan tuna, ekspor diharapkan dapat langsung dari Palabuhanratu. Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap memenuhi syarat untuk mendukung perkembangan perikanan tuna di Selatan Jawa, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Fasilitas kolam pelabuhan, alur masuk dan darmaga telah dibangun dan cukup memadai untuk pendaratan kapal longline. Permasalahannya adalah, tingkat pendangkalan alur masuk kolam pelabuhan yang tinggi menyebabkan kapal berukuran besar kesulitan untuk masuk ke kolam pelabuhan. Hal ini merupakan salah satu penyebab menurunnya jumlah kapal longline yang masuk ke PPS Cilacap pada tahun 2003-2004. Suherman (2007) menyatakan, penurunan aktivitas produksi di PPS Cilacap diakibatkan oleh pendangkalan alur pelayaran, untuk mengatasi hal ini diperlukan perbaikan dan pengerukan alur masuk pelabuhan, sehingga aktivitas produksi dapat ditingkatkan kembali. Penanganan tuna sudah tersedia di PPS Cilacap. Fasilitas TLC sudah tersedia, namun belum dilengkapi dengan transit sheed. Industri pengolahan tuna sudah berkembang di PPS Cilacap. PT Lautan Murti dan PT Jui Fa International Foods merupakan dua perusahaan diantara perusahaan lainnya yang bergerak dalam pengolahan dan eksportir tuna di PPS Cilacap. Produk dari Cilacap ada yang diekspor langsung dari Cilacap atau melalui Jakarta. Untuk pengembangan perikanan tuna, diharapkan ekspor dapat dilakukan langsung dari Cilacap. Cilacap memiliki prasarana jalan, sarana transportasi yang baik dan hambatan perjalanan relatif kecil, namun jarak, biaya dan waktu tempuh relatif tinggi. Ekspor tuna segar yang harus melalui pelabuhan udara Soekarto-Hatta, menyebabkan waktu tempuh dan biaya perjalanan yang mahal.
304
Untuk dapat mendukung pengembangan perikanan lepas pantai, dengan fokus pada pengembangan perikanan tuna, PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu harus ditingkatkan dengan fasilitas pelabuhan perikanan bertaraf internasional. Khususnya dalam penerapan standar sanitasi SSOP (sanitation system operational procedure) dan GMP (good manufacturing practices). Model merekomendasikan peningkatan jumlah kapal longline yang diberi izin beroperasi di Selatan Jawa, yaitu dari 90 unit menjadi 170 unit, dengan basis di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Peningkatan jumlah unit penangkapan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, menjadikan perlunya peningkatan fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan. Beberapa contoh fasilitas yang perlu ditingkatkan adalah kedalaman kolam pelabuhan, dan lebar alur masuk pelabuhan. Kedalaman kolam pelabuhan sekitar 6,20-7,40 m, sedangkan lebar alur masuk pelabuhan sekitar 43,44-57,92 m. Untuk dapat memenuhi kebutuhan perbekalan, perlu ditambah fasilitas penyediaan BBM solar, umpan, air tawar dan es (sesuai simulasi pada submodel USAHA). Kebutuhan tersebut dibagi rata 50% untuk PPS Cilacap dan 50% untuk PPN Palabuhanratu, dengan asumsi peningkatan status PPN Palabuhanratu menjadi PPS. Pengembangan PPN Palabuhanratu ke type A telah diwacanakan dalam pertemuan antara Dirjen Perikanan Tangkap dengan Gubernur Jawa Barat bulan Oktober 2005 (Mahyuddin 2007).
3) Submodel LEMBAGA Submodel LEMBAGA dimaksudkan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang tepat, untuk mendukung perkembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa. Model didahului dengan melakukan analisis terhadap kebijakan dan kelembagan yang ada. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka hukum. Indonesia telah turut menandatangani berbagai persetujuan internasional maupun konvensi yang berkaitan dengan perikanan. Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, merupakan salah satu konvensi dimana Indonesia turut meratifikasi dengan UU No. 17 tahun 1985.
Selanjutnya untuk pelaksanaan
pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, FAO telah memutuskan suatu standar internasional “Code of Conduct for Responsible Fisheries”, yang mulai
305
diberlakukan sejak 1995. Peraturan perundang-undangan untuk pengelolaan tuna di Indonesia, mengacu pada kedua ketentuan internasional tersebut. UNCLOS 1982 pada Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif pada Pasal 56 paragraf 1a menyatakan, suatu negara pantai (seperti Indonesia) mempunyai hak kedaulatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati yang terkandung di dalamnya. Pasal 61, mensyaratkan kewajiban bagi negara pantai untuk menentukan hasil tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch: TAC)) dari perikanan ZEE. Indonesia telah berupaya mengakomodir ketentuan tersebut, melalui Kepmen Pertanian 995/Kpts/IK.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Perairan RI dan Jumlah Hasil Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB). Potensi sumberdaya ikan dan JTB di wilayah Perikanan Indonesia ditetapkan sebagai berikut (1) Di Perairan Indonesia, potensi sumberdaya ikan sebesar 6,258 juta ton/tahun, JTB sebesar 5,006 juta ton/tahun; (2) Di perairan ZEE Indonesia, potensi sumberdaya ikan sebesar 1,858 juta ton/tahun, JTB sebesar 1,487 juta ton/tahun. Pasal 4 Kepmen. No.995/Kpts/IK.210/9/99 menyebutkan bahwa JTB di perairan Indonesia dan di ZEE Indonesia dipergunakan sebagai dasar untuk (1) memberikan izin usaha perikanan (IUP), surat penangkapan ikan (SPI), dan atau surat izin penangkapan ikan (SIPI); dan atau (2) melakukan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan. Hasil pengkajian yang dilakukan oleh PRTP pada tahun 1997, menyatakan estimasi potensi sumberdaya ikan di Perairan Indonesia sebesar 6,276 juta ton per tahun. Hasil estimasi berbeda dinyatakan berdasarkan kajian yang dilakukan pada tahun 2001, yaitu sebesar 6,409 juta ton per tahun. Walaupun hasil kajian menyatakan hal yang berbeda, saat ini estimasi tersebut yang dijadikan acuan oleh pemerintah dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Pada tingkat nasional, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan tuna, diantaranya yaitu (1) UU 5/1983 tentang ZEE Indonesia; (2) PP 15/1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di ZEE Indonesia; (3) UU 31/2004 tentang Perikanan. Beserta peraturan perundang-undangan lainnya yang telah banyak dibuat oleh pemerintah, terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha perikanan, perizinan dan pungutan perikanan seperti disebutkan pada Bab 5.3.1.
306
Berdasarkan analisis pendekatan kerangka hukum (legal framework), dapat diketahui bahwa penegakan hukum (legal enforcement) terhadap peraturanperundang-undangan di Indonesia masih sangat lemah (Dahuri 2003). Demikian juga dalam bidang perikanan, khususnya perikanan tuna. Penegakan hukum terhadap pelanggaran, seperti dalam kasus IUU fishing masih lemah. Untuk mengatasi masih lemahnya dukungan kebijakan pengelolaan perikanan tuna, diharapkan pemerintah sebagai regulator pengelolaan sumberdaya perikanan dapat meningkatkan perannya. Peningkatan peran dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang tepat, pelaksanaan kebijakan yang sudah dibuat sesuai dengan yang seharusnya, serta penegakan hukum dilakukan dengan baik. Analisis kelembagaan dilakukan melalui pendekatan kerangka kelembagaan (institutional framework). Pendekatan kerangka kelembagaan adalah untuk melihat kinerja dari kelembagaan. Mandat hukum diberikan kepada lembaga, baik lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk melaksanakan kegiatankegiatan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Secara nasional kelembagaan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan telah dibentuk yaitu Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS). Kelembagaan perikanan yang lain diantaranya adalah Asosiasi Perikanan Tuna Indonesia (ASTUIN), Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), dan lainnya. Berdasarkan hasil analisis, kelembagaan yang ada tersebut belum sepenuhnya memiliki kinerja yang baik (lihat Bab 7.3.1). Berkaitan dengan perikanan tuna, sesuai dengan Pasal 64 UNCLOS 1982, Indonesia sebagai negara pantai dan negara lain yang turut mengelola sumberdaya tuna di area di luar dan sekitar ZEE Indonesia, berkewajiban bekerjasama secara langsung atau melalui organisasi internasional untuk menjamin konservasi dan melakukan promosi terhadap pemanfaatan optimum dari sumberdaya tersebut, baik di dalam maupun di luar ZEE Indonesia. Berbagai organisasi pengelolaan perikanan dunia (Regional Fishing Management Organization: RFMO) telah dibentuk, diantaranya yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for Conservation Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Western and Central Pacific Fishery Commision (WCPFC), International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ECCAT) dan Inter-American Tropical Tuna Commission
307
(IATTC). Keanggotaan Indonesia dalam RFMO sangat penting, khususnya keanggotaan dalam IOTC dan CCSBT karena Indonesia berkepentingan di perairan tersebut. Menurut Nalendra (2007), berdasarkan ketentuan FAO (UNIA95/Fish Stok Agreement-95) dinyatakan bahwa, hanya negara-negara yang menjadi anggota RFMO saja yang memiliki hak akses untuk memanfaatkan SDI di laut lepas. Ketidakikutsertaan Indonesia dalam organisasi regional tersebut, menyebabkan pelarangan produk southern bluefin tuna dari Indonesia sejak bulan Juli 2005. Kedepan, pemerintah Indonesia diharapkan dapat turut berperan aktif, serta meningkatkan kerjasama regional maupun internasional dalam upaya pengembangan perikanan lepas pantai. Sistem Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa, akan dapat berhasil dengan baik, dengan membentuk suatu kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan tuna terpadu. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya terpadu, dimaksudkan untuk dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan dari para pelaku sistem. Pengelolaan hendaknya dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan ZEE Indonesia Selatan Jawa, tidak dilakukan secara parsial per provinsi atau per kabupaten/kota. Bentuk kelembagaan yang akan diwujudkan, dapat mencontoh dari beberapa bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan di berbagai perairan lain di dunia. Kelembagaan tentunya perlu dimodifikasi dengan karakteristik yang dimiliki perikanan tuna di Selatan Jawa. Contoh lembaga pengelola seperti di Taman Nasional Bunaken adalah Dewan Pengelola, sedangkan di Great Barrier Reef National Park adalah GBR Marine Park Autority (Wiryawan dalam Sondita dan Solihin 2006), organisasi pengelolaan sumberdaya perikanan The Western Pacific Regional Fishery Management Council (WPRFMC) (Leung 1998), serta UFO (Unified Fisheries Ordinance) (Panorel 2004). Ciri utama kelembagaan tersebut, adalah: (1) proses pengambilan keputusan didasarkan pada ketersediaan informasi dari hasil-hasil penelitian, serta pengalaman nelayan, (2) adanya partisipasi aktif dari pengguna sumberdaya dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan program, (3) adanya jaringan kerja dan advokasi yang terbina baik diantara kelompokkelompok sosial dan pemerintah, (4) adanya diseminasi informasi dan penegakan aturan, serta (5) monitoring untuk selalu mentaati peraturan yang ada.
308
Badan serupa telah dibentuk oleh DKP yaitu Badan Pengelola Sumberdaya Ikan Laut Arafura. Badan ini merupakan badan pertama yang dibentuk oleh DKP, dengan tugas khusus mengelola Wilayah Laut Arafura (Kompas 16 Agustus 2007). Badan tersebut diharapkan dapat melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di Laut Arafura secara berkelanjutan, karena saat ini diindikasikan terjadi eksploitasi berlebih di Laut Arafura. Rekomendasi pengelolaan diantaranya adalah, pembatasan penangkapan melalui upaya menutup perairan dari kegiatan penangkapan selama beberapa bulan dalam satu tahun, disamping itu dilakukan juga dengan cara tidak memperpanjang izin penangkapan ikan di Laut Arafura. Sistem pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa secara kelembagaan dapat mencontoh struktur kelembagaan WPRFMC. Struktur kelembagaan dibentuk dengan melibatkan seluruh pelaku sistem (stakeholder). Kelembagaan bekerja menjalankan fungsi-fungsi manajemen, yaitu merencanakan pengelolaan, melaksanakan, mengawasi dan melakukan evaluasi serta memberikan kontribusi kebijakan-kebijakan pengelolaan yang tepat kepada pemerintah. Kelembagaan perikanan juga pernah disarankan Wiryawan dalam Sondita dan Solihin (2006), yaitu untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) (Pembelajaran dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur). Kelembagaan berperan untuk menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, penyelesaian permasalahan, dan penyampaian informasi. Prinsip-prinsip yang perlu dikembangkan adalah (1) keterbukaan, (2) jenjang pengawasan yang efektif dengan struktur yang efisien, (3) dapat dipertanggungjawabkan, (4) kejelasan wilayah kewenangan pengelolaan, (4) adanya kelengkapan yang mengatur sistem, (5) mampu mengakomodasikan dan memfasilitasi norma dan lembaga setempat, (6) dikelola secara profesional dan legal, serta (7) menerapkan prisip dan norma hukum dalam rangka pengelolaan.
9.1.2
Model Pengembangan Perikanan Pantai Pada model pengembangan perikanan pantai, ada beberapa jenis ikan
unggulan yang dapat dijadikan fokus oleh pemerintah kabupaten untuk pengembangan kegiatan perikanan di daerahnya. Pengembangan perikanan pantai lebih diarahkan pada perikanan skala kecil dan menengah.
309
Perikanan skala menengah, khususnya adalah untuk perikanan cakalang dan udang. Cakalang merupakan komoditas unggulan untuk Kabupaten Sukabumi, Malang, Cilacap dan Trenggalek. Sesuai dengan kegiatan perikanan yang telah berkembang selama ini, untuk perkembangan perikanan cakalang di Malang menggunakan pancing tonda, Trenggalek menggunakan purse seine, sedangkan Cilacap dan Sukabumi menggunakan gillnet multifilament. Cilacap merupakan kabupaten satu-satunya di Selatan Jawa yang memiliki komoditas unggulan udang, dengan unit penangkapan trammel net. Perikanan lobster, layur, bawal putih pada umumnya merupakan usaha perikanan skala kecil. Penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan kapal jukung yang terbuat dari fibreglass. Alat tangkap utama adalah jaring sirang (gillnet monofilament). Lobster merupakan ikan unggulan untuk Kabupaten Kebumen, Pacitan dan Gunung Kidul. Layur merupakan komoditas ikan unggulan untuk Kabupaten Gunung Kidul, Kebumen, Sukabumi, Pacitan dan Trenggalek. Trenggalek memiliki komoditas unggulan dari jenis pelagis kecil, yaitu ikan teri. Kabupaten Garut dan Pacitan memiliki komoditas unggulan ikan bawal putih. Secara umum, perikanan Indonesia didominasi oleh armada perikanan skala kecil (99,04%), yang terdiri atas perahu tanpa motor (45,50%), perahu motor tempel (23,60%) dan kapal motor <30 GT (23,60%). Usaha perikanan skala kecil memiliki banyak permasalahan, diantaranya yaitu produktivitas dan efisiensi usaha rendah, penguasaan dan penerapan teknologi rendah, akses modal dan pasar lemah, penyerapan kredit kurang, tidak adanya insentif modal bagi nelayan, serta rantai tata niaga cenderung merugikan nelayan (Sunoto 2006). Di beberapa negara, dominasi perikanan skala kecil juga masih terlihat, seperti di Perairan Cyclades. Perikanan di wilayah ini, didominasi oleh kapal skala kecil (87,50% dari total jumlah kapal) dan melibatkan lebih dari 30.000 nelayan (85% dari total nelayan) (Stergiou et al. 2001). Model
pengembangan
perikanan
pantai
dirancang
untuk
dapat
mengakomodir kegiatan perikanan, yang secara umum telah berkembang di sebagian besar wilayah Selatan Jawa. Model telah dirancang untuk dapat membangun kegiatan perikanan pantai yang efektif dan efisien, serta mencarikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada pada sistem saat ini.
310
1) Submodel USAHA Sebagian besar wilayah kajian telah mengembangkan perikanan pantai. Operasi penangkapan ikan, umumnya dilakukan oleh nelayan pada daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang terkonsentrasi hanya pada daerah tertentu saja di pinggir pantai, dekat dengan pusat-pusat pendaratan ikan (fishing base). Hal ini menyebabkan pada beberapa wilayah perairan, kondisi sumberdaya ikan telah mencapai kondisi tangkap penuh (fully exploited). Secara umum potensi sumberdaya perikanan pantai masih memungkinkan untuk dilakukan pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa. Potensi sumberdaya pelagis kecil, baru dimanfaatkan sekitar 50%. Lobster baru dimanfaatkan sekitar 10%. Sementara untuk sumberdaya demersal, cumi-cumi, ikan karang konsumsi dan udang, sudah dimanfaatkan penuh (PRPT 2001). Berdasarkan hasil pendekatan analisis CPUE, terlihat bahwa kondisi sumberdaya ikan pada perikanan pantai sangat sensitif terhadap tekanan upaya pemanfaatan sumberdaya yang berlebih. Peningkatan jumlah upaya akan dapat menurunkan nilai CPUE. Sebaliknya penurunan upaya, akan dapat memulihkan kembali sumberdaya, terlihat dari meningkatnya kembali nilai CPUE. Untuk itu dalam pengembangan perikanan pantai, sangat penting diperhatikan jumlah upaya penangkapan yang boleh diizinkan agar potensi sumberdaya ikan tetap lestari. Keberhasilan usaha akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Sama halnya dengan usaha perikanan lepas pantai, ketersediaan input produksi pada perikanan pantai merupakan faktor penting agar kegiatan usaha dapat berjalan dengan lancar. Input produksi secara umum meliputi ketersediaan unit penangkapan, ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), ketersediaan modal, serta ketersediaan perbekalan operasi penangkapan ikan. Ketersediaan unit penangkapan yang meliputi kapal perikanan, alat tangkap, mesin kapal dan peralatan bantu penangkapan lainnya merupakan faktor yang sangat penting. Kapal secara umum memiliki umur teknis yang terbatas, yaitu sekitar 8-15 tahun. Kebutuhan akan material kapal, khususnya material kayu semakin terbatas. Untuk itu perlu dicari alternatif lain pengganti material kayu. Kebutuhan sumberdaya manusia yang memahami karakteristik laut, menjadi hal yang penting dalam penyediaan sumberdaya manusia.
Pekerjaan sebagai
311
nelayan sangat berbeda dengan pekerjaan lain di darat. Umum yang terjadi saat ini di Selatan Jawa adalah, pekerjaan nelayan hanya sebagai sambilan. Sebagian besar nelayan memiliki alternatif mata pencaharian lain, diantaranya sebagai petani sawah atau petani ladang dan juga sebagai peternak. Ketersediaan permodalan merupakan faktor penting lainnya. Biaya investasi dan biaya operasional yang tinggi, menjadikan usaha perikanan hanya dikuasai oleh pemilik modal saja. Sebagian besar nelayan hanya berperan sebagai nelayan buruh, dengan pendapatan yang diterima menggunakan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil umumnya kurang berpihak kepada nelayan, yaitu 50-60% pemilik dan 40-50% ABK. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan kondisi sosial-ekonomi dalam masyarakat nelayan. Hal ini seperti disebutkan Simatupang et al. dalam Suryana (1990), usaha perikanan merupakan usaha yang penuh resiko, musiman dan padat modal. Sifat-sifat ini membuat usaha perikanan tidak menarik bagi pemilik modal. Modal menjadi faktor langka. Kelangkaan penawaran dan besarnya kebutuhan modal, cenderung membuat kedudukan pemilik modal sangat kuat. Hal ini membuat keuntungan yang diterima pemilik modal melebihi kontribusi riilnya. Kondisi nelayan skala kecil ini secara sosial ekonomi juga tidak jauh berbeda dengan kondisi nelayan skala kecil di negara lain. Tzanatos, et al. (2006) dengan hasil penelitiannya pada nelayan skala kecil di Pantai Greek Yunani, menyatakan nelayan skala kecil pada perikanan pantai di Greek, umumnya relatif telah berumur, berpendidikan rendah dan berpendapatan rendah. Sebenarnya pemerintah telah berupaya memberdayakan nelayan melalui pemberian pinjaman, salah satunya melalui program kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) (lihat Bab 7.4.1). Dalam pelaksanaannya, program kredit masih sulit diakses oleh nelayan, hal ini terkait dengan proses administrasi yang sulit dipenuhi nelayan. Kebutuhan akan perbekalan melaut, merupakan salah satu faktor penting berikutnya. Kebutuhan terutama terkait dengan BBM, yang merupakan komponen biaya operasi paling besar dalam usaha perikanan, yaitu sekitar 40-50% dari keseluruhan biaya operasi. Kenaikan harga BBM hampir 100% pada Oktober 2005, masih dirasakan dampaknya oleh nelayan hingga saat ini. Pada waktu itu banyak nelayan yang tidak dapat melaut karena kenaikan harga BBM tersebut.
312
Untuk membangkitkan kembali usaha perikanan, diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada pengembangan usaha. Hal ini mengingat usaha perikanan merupakan usaha yang beresiko tinggi (high risk). Bantuan permodalan dengan bunga rendah, kebijakan harga BBM yang tidak memberatkan usaha, serta kebijakan lain yang mendukung usaha sangat diperlukan. Pada saat ini, kebijakan subsidi BBM untuk nelayan skala kecil masih tetap diperlukan. Proses produksi pada perikanan pantai adalah menghasilkan produksi hasil tangkapan. Sama halnya dengan perikanan lepas pantai, faktor–faktor produksi diantaranya meliputi ukuran kapal dan mesin kapal, ukuran palkah ikan dan fasilitas penanganan ikan, ukuran alat tangkap, jumlah trip penangkapan, bahan baker, tenaga kerja (ABK). Kebutuhan faktor-faktor produksi sangat bervariasi, tergantung besarnya skala usaha. Penggunaan faktor produksi dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan faktor produksi yang berlebihan, merupakan suatu pemborosan. Peningkatan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan, dapat dilakukan dengan penggunaan faktor produksi yang tepat. Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal proses penanganan ikan. Kesalahan penanganan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya. Secara umum penanganan ikan di atas kapal belum dilakukan dengan baik. Kesadaran nelayan tentang kualitas dan penanganan ikan masih rendah. Pada operasi penangkapan ikan harian, kebanyakan nelayan tidak membawa es. Sementara itu pada trip operasi penangkapan ikan yang memerlukan waktu lebih lama, biasanya nelayan tidak membawa es dalam jumlah yang cukup. Ketersediaan es atau suplai es dari pabrik yang berada di sekitar lokasi PP/PPI juga masih terbatas. Beberapa PPI tidak memiliki fasilitas pabrik es. Persediaan es, didatangkan dari daerah lain dengan jarak yang cukup jauh. Fasilitas cold storage hanya tersedia di pelabuhan perikanan berkelas PPN atau PPS. Fasilitas penanganan ikan dan cara penanganan ikan di PP/PPI, pada umumnya belum dilakukan dengan benar. Penanganan sanitasi dan higienitas di PP/PPI belum mendapatkan prioritas. Keterbatasan sumber air tawar atau air bersih, terkadang menjadi salah satu hambatan untuk dapat melakukan penanganan ikan dengan baik.
Disamping juga faktor keterbatasan sarana
penanganan ikan di pelabuhan, serta kebiasaan nelayan yang sulit dirubah. Hal ini
313
seperti pernyataan Wahyuni (2004), hingga saat ini di Indonesia, produsen dan pejabat yang berwenang dalam pembinaan, pengaturan, dan pengawasan seringkali tidak menegakkan mutu dan keamanan pangan produk perikanan. Padahal masalah ini merupakan masalah strategis karena menyangkut kesehatan dan keselamatan masyarakat serta mewakili citra negara di pasar internasional. Selanjutnya Fauzi (2004) juga menyatakan, perubahan pola konsumsi yang terjadi secara global menyebabkan konsern konsumen terhadap food safety semakin meningkat. Produk perikanan yang bersifat sangat mudah busuk (high perisable) menghendaki penanganan khusus dari saat diproduksi sampai transportasi dan distribusi. Diharapkan terjadi perubahan paradigma di tingkat nelayan dari filosofi “here is what produce” menjadi “ we will take note what you want”. Beberapa jenis hasil tangkapan merupakan komoditi ekspor, seperti layur, bawal putih, lobster dan udang. Penanganan kualitas ikan sesuai standar kualitas ekspor, penting diperhatikan agar produk dapat diterima pasar. Semakin banyak ikan yang memenuhi standar kualitas ekspor, diharapkan akan semakin besar penerimaan usaha yang akan didapatkan perusahaan. Penanganan kualitas dengan benar akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan efektivitas usaha. Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari beberapa jenis usaha perikanan pantai. Hasil perhitungan kelayakan finansial pada beberapa usaha perikanan pantai, dengan menggunakan
discount rate 15%,
menunjukkan usaha perikanan pantai secara umum masih layak untuk dikembangkan. Nilai B/C berkisar antara 1,6-2,8, menunjukkan bahwa usaha masih berada di atas titik impas. Nilai IRR berkisar antara 30-55%, menyatakan usaha masih dapat menguntungkan pada kisaran tingkat suku bunga tersebut. Model dinamis pada submodel USAHA pada perikanan pantai, digunakan untuk mensimulasi berapa unit usaha yang diberikan izin melakukan usaha perikanan di wilayah tersebut, sesuai target produksi yang ditetapkan. Dalam penentuan besarnya target produksi, pemerintah kabupaten diharapkan dapat bekerjasama dengan pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi yang berdekatan. Model dinamis juga akan memberikan output hasil simulasi berupa proyeksi jumlah kebutuhan input produksi, seperti kebutuhan solar, es, ABK dan kebutuhan lainnya.
314
Penerapan model sistem dinamis menghendaki ketersediaan data yang akurat, terkait dengan sumberdaya ikan dan usaha perikanan. Data dan informasi tentang sumberdaya ikan, diantaranya adalah potensi sumberdaya ikan dan target produksi untuk pengembangan perikanan. Data dan informasi usaha perikanan, diantaranya meliputi produksi, kebutuhan operasional produksi dan biaya produksi, serta penerimaan usaha.
2) Submodel PELABUHAN Submodel PELABUHAN dimaksudkan untuk melihat peran dari PP/PPI yang ada di lokasi penelitian, dalam hal dukungannya terhadap kegiatan usaha perikanan. Peran PP/PPI penting sebagai tempat pendaratan hasil tangkapan, penyedia fasilitas perbekalan atau input produksi, fasilitas penanganan ikan, distribusi, pemasaran dan peran administratif lainnya. Hasil analisis terhadap keterkaitan dengan fishing ground, menunjukkan hampir semua PP/PPI yang ada di Selatan Jawa telah memenuhi syarat untuk mendukung pengembangan perikanan pantai di wilayahnya masing-masing. Hasil analisis menyatakan bahwa PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi dan PPP Pondokdadap memiliki keterkaitan dengan fishing ground yang tinggi. Pelabuhan lainnya memiliki keterkaitan sedang, PPI Pasir memiliki keterkaitan rendah. Hasil analisis teknis menyatakan PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun, PPP Pondokdadap, dan PPI Sadeng memiliki kelayakan teknis yang tinggi untuk pendaratan kapal. PPI Tamperan memiliki kelayakan teknis sedang dan PPI Pasir memiliki kelayakan teknis rendah. Tingginya tingkat pengendapan di PPI Pasir, menjadikan fasilitas kolam pelabuhan dan darmaga yang dibangun tidak berfungsi. Lokasi PPI dengan potensi pengendapan yang tinggi, luas lahan darat yang sempit dan beberapa keterbatasan lainnya, menjadikan PPI Pasir memiliki tingkat kelayakan teknis yang rendah. Pendekatan dalam penentuan lokasi dan besaran kegiatan pembangunan PP/PPI yang telah dilakukan pemerintah selama ini yaitu menggunakan pendekatan berdasarkan pada (1) pendekatan sumberdaya ikan, (2) sentraliasi dan distribusi hasil, serta (3) daerah berkembang (Ismail 2005). Berdasarkan pada pendekatan ini, menyebabkan tidak semua lokasi PP/PPI yang ada memenuhi
315
secara optimal untuk mendukung perkembangan kegiatan perikanan pantai. Permasalahan pendangkalan kolam pelabuhan, merupakan permasalahan yang umum terjadi pada sebagian besar lokasi PP/PPI yang ada. Tingkat sedimentasi yang tinggi nyata terlihat di PPS Cilacap, PPI Pasir, PPI Tamperan dan PPP Pondokdadap. Tidak adanya dana untuk pengerukan kolam pelabuhan di PPI Pasir, menyebabkan kolam pelabuhan sudah tidak dapat difungsikan lagi. Kebutuhan luasan lahan yang cukup, merupakan salah satu persyaratan penentuan lokasi pembangunan pelabuhan (Murdiyanto 2002). Luas lahan darat di PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun dan PPI Tamperan cukup tersedia untuk kegiatan industri. Sementara itu ketersediaan lahan darat untuk kegiatan industri di PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap sangat terbatas. Lahan berupa dataran di ketiga lokasi tersebut sangat sempit, sebagian besar berupa perbukitan. Ketersediaan sumber air tawar di semua lokasi PP/PPI cukup baik. Sumber air cukup melimpah dan tidak payau. Keberadaan fasilitas darat, terkait dengan fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan ikan di pelabuhan perikanan yang telah berstatus PPS dan PPN, sudah sangat mendukung untuk kegiatan perikanan pantai. Pada pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI secara umum masih belum memadai. Fasilitas darmaga tempat bongkar ikan dan muat perbekalan di PPP Pondokdadap masih belum memadai. Darmaga belum permanen, berupa darmaga terapung (darmaga ponton). Kapasitas darmaga sangat terbatas, sehingga terlihat sangat penuh pada saat banyak kapal melakukan bongkar ikan. Keberadaan fasilitas darat di PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI Tamperan belum memadai.
Keberadaan TPI tidak difungsikan dengan baik.
Fasilitas kebutuhan perbekalan melaut, seperti BBM, es dan perbekalan lain belum tersedia. Nelayan sebagian besar mengusahakan perbekalan sendiri, dengan membeli dari daerah lain di luar pelabuhan. Analisis keterkaitan pasar dilakukan untuk menentukan tingkat aksesibilitas PP/PPI dan analisis bangkitan pergerakan untuk menentukan peluang peningkatan aksesibilitas suatu lokasi PP/PPI. Tingkat aksesibilitas lokasi menuju daerah tujuan pasar, khususnya pasar lokal dan antar daerah menunjukkan PPI Pasir dan PPI Sadeng memiliki tingkat aksesibilitas rendah. Aksesibilitas sedang untuk
316
PPN Prigi, PPI Tamperan, PPP Cilautereun dan PPP Pondokdadap. Lokasi PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Hasil analisis peluang bangkitan pergerakan menunjukkan, zona lokasi dari PP/PPI di Selatan Jawa memiliki peluang bangkitan pergerakan yang tinggi di masa datang. Industri pengolahan dan eksportir di PPS Cilacap cukup banyak, di PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi sedikit. Industri pengolahan yang ada, sebagian besar adalah industri pengolahan tradisional seperti ikan asin, pindang, kerupuk ikan dan terasi. Industri pengolahan ikan di PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng, PPI Tamperan dan PPP Pondokdadap masih sangat terbatas. Industri pengolahan juga masih berupa pengolahan ikan tradisional, dengan skala usaha yang masih kecil. Eksportir di PPP dan PPI tersebut tidak ada, hanya pada saat musim ikan tertentu seperti musim layur, bawal putih dan lobster, eksportir yang berada di daerah lain akan datang ke lokasi tersebut. Eksportir akan membawa produk yang dibeli ke daerah lain seperti Cilacap, Semarang dan Surabaya untuk diekspor. Biasanya pada saat musim ikan, harga komoditas ikan yang berkualitas ekspor dapat lebih tinggi dibandingkan pada saat tidak musim ikan. Pemasaran lokal kabupaten dan antar kota dari PPS Cilacap sangat baik. Keberadaan lokasi PPS yang mudah dijangkau, ditunjang dengan berkembangnya sektor lain seperti pariwisata, perdagangan dan industri menjadikan potensi pasar untuk produk perikanan di Cilacap sangat baik. Sementara itu untuk lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi, sedikit mengalami hambatan yaitu dari akses sarana dan prasarana transportasi. Lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi harus melewati daerah pegunungan dan perbukitan. Lokasi PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap, untuk pemasaran antar daerah cukup terisolir. Lokasi PPI Tamperan, walaupun berada di pusat kota kabupaten namun lokasi kota Kabupaten Pacitan cukup sulit dijangkau. Sesuai dengan semangat otonomi daerah, saat ini berbagai program pembangunan dilakukan di setiap kabupaten, hingga ke pelosok pedesaan. Pengembangan di berbagai sektor, seperti perdagangan, industri, pariwisata, telekomunikasi dan lain sebagainya, diharapkan dapat membuka aksesibilitas lokasi dari PP/PPI yang ada. Dimasa depan diharapkan faktor aksesibilitas bukan lagi menjadi faktor penghambat bagi perkembangan perikanan di Selatan Jawa.
317
Submodel PELABUHAN merekomendasikan untuk peningkatan fasilitas dan pelayanan PP/PPI, agar dapat memberikan dukungan yang lebih baik bagi perkembangann perikanan pantai di wilayahnya. Sebagian besar PP/PPI dibangun pada lokasi yang memiliki potensi sedimentasi sangat tinggi. Diharapkan ketersediaan dana untuk pengerukan kolam pelabuhan secara reguler. Darmaga pelabuhan perlu dibangun di PPP Pondokdadap, agar proses bongkar muat dapat dilakukan dengan baik. Penyediaan fasilitas kebutuhan melaut, seperti solar, minyak tanah, es, dan air tawar diharapkan dapat menjadi prioritas utama pengembangan PP/PPI di Selatan Jawa.
3) Submodel LEMBAGA Kebijakan untuk pengelolaan perikanan pantai pada beberapa kabupaten belum banyak dibuat. Pada tahun-tahun lalu, sektor perikanan laut belum menjadi prioritas pembangunan. Beberapa kabupaten, baru memberikan prioritas pembangunan di sektor perikanan laut setelah diberlakukannya UU terkait otonomi daerah. Pada tingkat nasional, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha perikanan, perizinan usaha perikanan dan pungutan perikanan telah dibuat, seperti telah disebutkan pada Bab 5.3.1. Pada Bab 5.3.1 telah dideskripsikan, PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, telah dengan jelas menjabarkan pembagian tugas dan wewenang pemerintah dalam bidang perikanan. Secara umum butir-butir kewenangan telah dibuatkan peraturan norma atau kebijakannya oleh pemerintah pusat, dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden maupun Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Namun pada level bawah, yaitu pada tingkat provinsi dan kabupaten di Selatan Jawa belum secara terinci diatur pelaksanaannya. Pemerintah provinsi dan kabupaten baru membuat peraturan dalam jumlah yang terbatas, khususnya terkait dengan pemasukan daerah yaitu seperti peraturan pelelangan ikan dan perizinan usaha perikanan. Dalam hal kelembagaan perikanan, kelembagaan meliputi kelembagaan pemerintah, kelembagaan usaha dan kelembagaan masyarakat. Kelembagaan pemerintah di bidang perikanan di daerah, khususnya adalah Dinas Perikanan dan
318
Kelautan Kabupaten. Penamaan Dinas Perikanan dan Kelautan di daerah, berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Hal ini tergantung pada kepentingan dari daerah kabupaten tersebut. Kabupaten yang belum menganggap sektor perikanan sebagai prioritas utama pembangunan di daerahnya, akan menggabungkan kelembagaan dinas perikanan dengan dinas dari sektor lain. Sebagian besar Dinas Perikanan Kabupaten yang ada, seperti di Garut, Kebumen, Gunung Kidul, Pacitan dan Malang, bergabung dengan dinas dari sektor lain seperti sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Kondisi ini menjadikan perhatian pemerintah dan porsi anggaran, untuk pembangunan perikanan di wilayah tersebut rendah. Hal ini berbeda, jika Dinas Perikanan dan Kelautan berdiri sendiri tidak bergabung dengan sektor lain, seperti di Kabupaten Sukabumi, Cilacap dan Trenggalek. Pembangunan perikanan di ketiga kabupaten ini lebih maju dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kelembagaan usaha terdiri dari usaha skala besar, skala menengah dan skala kecil. Kelembagaan usaha berperan sebagai pelaksana kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, baik dalam kegiatan penangkapan, pengolahan, maupun pemasaran. Kelembagaan usaha pada tingkat masyarakat nelayan, dibentuk dengan harapan dapat mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan nelayan. Salah satu kelembagaan usaha bersama yang telah mengakar di kehidupan masyarakat nelayan adalah KUD Mina. Keberadaan KUD Mina diharapkan dapat menumbuhkembangkan daya kreasi dan potensi yang dimiliki, untuk dapat meningkatkan produksi, tingkat pendapatan serta taraf hidup mereka. Namun keberadaan KUD Mina umumnya masih sangat lemah dalam bidang organisasi, manajemen dan usaha (Wiyono
2004). Kondisi tersebut menyebabkan KUD
Mina, belum memberikan peran nyata bagi pemberdayaan masyarakat nelayan. Kelembagaan masyarakat nelayan yang telah tumbuh cukup lama adalah HNSI. Peran HNSI, belum terlihat dalam menggerakkan roda pembangunan perikanan di daerah. Berbagai organisasi yang tumbuh dari bawah, seperti Rukun Nelayan justru lebih terlihat perannya dalam membela kepentingan nelayan. Pada pengembangan perikanan pantai, diharapkan kelembagaan yang ada, baik kelembagaan pemerintah, kelembagaan usaha dan kelembagaan masyarakat dapat bekerjasama untuk dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan lebih baik.
319
9.2 Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan Berbasis Kewilayahan Hasil penelitian merekomendasikan, untuk pengembangan perikanan di Selatan Jawa, tidak dapat dilakukan secara seragam antar wilayah yang satu dengan wilayah lain. Kondisi karakteristik wilayah yang berbeda, menghendaki penanganan dan kebijakan pengembangan perikanan yang berbeda. Model pengembangan perikanan lepas pantai dan pengembangan perikanan pantai, secara umum lebih banyak perbedaan dari pada persamaannya. Persamaan yang prinsip dari kedua model adalah, melakukan perbaikan dan peningkatan dari kondisi sistem yang ada saat ini. Perbedaan utama pada submodel USAHA, adalah pada skala usaha dan jenis usaha. Skala usaha pada pengembangan perikanan lepas pantai, adalah usaha skala besar atau skala industri. Sementara itu, pada perikanan pantai adalah usaha skala kecil dan menengah. Jenis usaha pada perikanan lepas pantai, dikhususkan pada perikanan tuna longline. Jenis usaha pada perikanan pantai, diperuntukkan sesuai dengan jenis ikan unggulan masing-masing kabupaten, seperti usaha cakalang dengan gillnet multifilament, cakalang dengan pancing tonda, atau usaha perikanan udang dengan menggunakan trammel net. Pada submodel PELABUHAN terdapat perbedaan, yaitu pelabuhan yang dapat mendukung perkembangan perikanan lepas pantai hanya PPS Cilacap dan PPN Pelabuhanratu. Pada pengembangan perikanan pantai, secara umum semua PP/PPI yang dikaji memenuhi syarat untuk mendukung pengembangan perikanan pantai di wilayahnya. Walaupun, semua PP/PPI diharuskan untuk dapat meningkatkan fasilitas kepelabuhanan dan pelayanannya. Perbedaan utama pada submodel LEMBAGA adalah, diperlukannya pembentukan kelembagaan terpadu untuk melakukan pengelolaan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa. Pengembangan perikanan lepas pantai harus dikelola secara terintegrasi oleh pemerintah pusat. Pada pengembangan perikanan pantai, wewenang pengelolaan berada di pemerintah provinsi atau kabupaten. Berkembangnya kegiatan usaha perikanan, akan membentuk pusat kegiatan perikanan (sentra industri) (Kuncoro 2002; Porter
1998, 2000 diacu dalam
Sahubawa 2006). Pengembangan perikanan tuna termasuk dalam pola Satellite Flat Form. Pengembangan perikanan tuna perlu mendatangkan investor bermodal
320
kuat dari luar daerah. Dalam hal ini, dapat menarik pengusaha tuna yang telah berhasil mengembangkan usahanya di PPS Nizam Zachman Jakarta atau Benoa Bali. Perdagangan tuna, tujuan utamanya adalah untuk ekspor. Kerjasama perlu dilakukan dengan negara tujuan ekspor. Peran pemerintah sangat diperlukan dalam menjalin kerjasama dan diplomasi perdagangan dengan negara importir, khususnya dalam mengatasi hambatan teknis dalam perdagangan ekspor tuna. Pengembangan perikanan pantai membentuk pola Marshalian. Skala usaha yang dikembangkan adalah skala kecil dan menengah. Penguatan modal dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok-kelompok nelayan atau koperasi, sehingga akses terhadap permodalan akan lebih mudah dilakukan. Penjualan produk dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, dalam bentuk ikan segar maupun produk-produk olahan. Kebijakan strategis pertama pengembangan perikanan lepas pantai adalah membangun sistem usaha perikanan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dan pemenuhan pasar ekspor. Sistem yang dibangun adalah usaha skala industri, dengan jaminan produk berkualitas ekspor. Tingginya biaya produksi, perlu diatasi dengan penurunan biaya produksi dan peningkatan akses ke pasar ekspor. Kebijakan strategis pertama perlu didukung dengan kebijakan strategis kedua dan ketiga yaitu peningkatan sarana, dan prasarana produksi bermutu tinggi, sehingga jaminan kualitas tuna berstandar ekspor dapat terpenuhi. Penerapan good manufacturing practices (GMP) dan sanitation system operational procedur (SSOP) sebagai persyaratan awal standar kualitas produk perikanan perlu diterapkan, baik di kapal maupun di pelabuhan perikanan. Kebijakan strategis keempat, kelima dan ketujuh pada pengembangan perikanan lepas pantai, berkaitan dengan peran kebijakan dan kelembagaan perikanan serta koordinasi antar sektor dan antar daerah dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan. Model merekomendasikan untuk dibentuk lembaga pengelolaan terintegrasi. Dalam melakukan perannya, kelembagaan perikanan tersebut harus dapat memfungsikan seluruh komponen yang ada dalam struktur kelembagaannya. Setiap masukan kebijakan yang diberikan kepada pemerintah, haruslah didasarkan pada data dan informasi ilmiah untuk menjawab permasalahan yang ada. Masukan kebijakan diantaranya terkait dengan penentuan
321
kuota dan perizinan, pembuatan kebijakan yang mendukung usaha, penentuan pembagian (share) manfaat pengelolan sumberdaya, dan lain sebagainya. Kebijakan strategis keenam dan kedelapan berkaitan dengan diplomasi luar negeri Indonesia dalam perdagangan ekspor tuna. Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha tuna, diantaranya terkait dengan hambatan ekspor, berupa hambatan teknis (technical barrier), ancaman embargo, pelarangan produk southern bluefin tuna dari Indonesia, dan lain sebagainya, menghendaki Indonesia untuk dapat bekerjasama dalam organisasi pengelolaan tuna dunia. Sesuai dengan Pasal 64 UNCLOS 1982, Indonesia berkewajiban bekerjasama secara langsung atau melalui beberapa organisasi internasional untuk menjamin konservasi dan melakukan promosi terhadap pemanfaatan optimum. Pada pengembangan perikanan pantai, kebijakan strategis pertama yang diperlukan adalah membangun sistem usaha perikanan pantai, dalam rangka pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan pemenuhan konsumsi ikan penduduk. Usaha perikanan yang dibangun adalah dalam skala kecil atau skala menengah. Usaha bersifat multigear dan multispesies. Pengembangan perikanan pantai lebih difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk, baik disekitar lokasi basis penangkapan maupun ke luar daerah. Kebijakan strategis pertama, perlu didukung dengan kebijakan strategis kedua, yaitu peningkatan teknologi penangkapan ikan dan peningkatan kualitas SDM (nelayan). Rendahnya teknologi yang digunakan, menyebabkan fishing ground yang dapat dijangkau berada terbatas di perairan dekat pantai. Keadaan ini menyebabkan, potensi sumberdaya ikan di sekitar pantai sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited). Untuk keberlanjutan usaha, penting untuk memperhatikan potensi sumberdaya ikan yang ada. Pengembangan perikanan pantai khususnya pada usaha skala kecil, perlu ditingkatkan pada skala usaha yang lebih besar sehingga dapat menjangkau fishing ground yang lebih jauh dari pantai. Kebijakan strategis ketiga, meningkatkan fungsionalitas pelabuhan melalui peningkatan fasilitas dan pelayanan. Pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI, masih memerlukan pengembangan fasilitas kepelabuhanan dan meningkatkan pelayanan. Beberapa fasilitas kepelabuhanan yang sudah dibangun di beberapa PPP/PPI, ternyata tidak dapat difungsikan secara optimal. Hal ini
322
diantaranya terkait dengan terbatasnya SDM pengelola PPP/PPI. Pada Bab terdahulu sudah dinyatakan bahwa, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM pengelola pelabuhan perikanan di PPP/PPI perlu diupayakan oleh pemerintah. Sudah saatnya sebuah PPP/PPI dikelola oleh SDM perikanan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Lulusan dari perguruan tinggi bidang perikanan, khususnya dari Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan atau Ilmu dan Teknologi Kelautan dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekurangan kualitas dan kuantitas SDM di pelabuhan perikanan berstatus PPP/PPI tersebut. Kebijakan strategis berikutnya adalah, penanaman kesadaran akan pentingnya penanganan ikan untuk menjaga mutu ikan tetap baik. Kualitas ikan yang baik, akan dapat terjual dengan harga cukup tinggi. Saat ini, kesadaran nelayan untuk menjaga mutu ikan masih cukup rendah. Hal ini terkait dengan pemahaman, menjaga mutu berarti harus mengeluarkan biaya untuk pembelian es. Penyuluhan kepada nelayan akan pentingnya menjaga mutu ikan, perlu dilakukan. Penyuluhan dilakukan dengan memberikan pengertian, biaya untuk pembelian es dapat tertutup dengan harga ikan yang tinggi, jika ikan berkualitas baik. Pengembangan diversifikasi produk olahan ikan perlu dilakukan, dalam rangka meningkatkan minat penduduk untuk mengkonsumsi ikan. Pengembangan diversifikasi produk juga dapat membuka kesempatan kerja baru bagi nelayan dan keluarganya, manfaat berikutnya adalah peningkatan pendapatan keluarga nelayan. Usaha tersebut juga akan memudahkan dalam akses permodalan. Peningkatan fungsi dan peran dari kebijakan dan kelembagaan di tingkat kabupaten, sangat diperlukan untuk dapat mendukung perkembangan perikanan. Model merekomendasikan perlunya penguatan kelembagaan perikanan. Untuk dapat menerapkan model dengan baik, ada tujuh elemen sistem yang perlu diperhatikan, yaitu 1) sektor masyarakat yang terpengaruh, 2) kebutuhan untuk terlaksananya program, 3) kendala utama program, 4) tujuan utama program, 5) tolok ukur keberhasilan program, 6) aktivitas yang diperlukan untuk terselenggaranya program dan 7) lembaga yang terlibat. Keberhasilan program pengembangan, perlu lebih memprioritaskan atau menekankan pada subelemen yang menjadi elemen kunci. Elemen kunci tersebut akan mampu menggerakkan subelemen lainnya di dalam sistem, untuk keberhasilan program.
323
Pada matriks driver power-dependence, dapat dilihat subelemen-subelemen didalam sistem yang memiliki ketergantungan kuat. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa subelemen-subelemen tersebut bersifat sangat labil, atau mudah terjadi perubahan oleh pengaruh perubahan pada subelemen yang lain. Subelemensubelemen sistem juga memiliki daya dorong yang bisa bersifat kuat atau lemah untuk mendorong keberhasilan sistem (Eriyatno 2003; Marimin 2004). Keberhasilan program, penting untuk lebih memprioritaskan subelemensubelemen di sektor III, yaitu subelemen yang memiliki ketergantungan kuat kedalam sistem dan memiliki daya dorong kuat untuk keberhasilan program. Perhatian juga perlu diberikan pada subelemen yang berada di sektor IV, dengan pertimbangan subelemen di sektor ini merupakan variabel bebas yang dapat mempengaruhi subelemen lainnya, serta memiliki daya dorong yang kuat untuk keberhasilan program. Subelemen-subelemen yang menjadi elemen kunci pada sektor masyarakat yang terpengaruh dari program pengembangan perikanan di Selatan Jawa, berbeda untuk pengembangan perikanan lepas pantai dan pengembangan perikanan pantai. Pada pengembangan perikanan lepas pantai, pemilik kapal/pengusaha perikanan tuna merupakan elemen kunci. Sementara itu pada pengembangan perikanan pantai, subelemen yang menjadi elemen kunci adalah nelayan. Hal di atas dapat dipahami, karena pada perikanan lepas pantai, modal yang harus dikeluarkan untuk biaya operasional pada perikanan tuna sangatlah tinggi. Ketidakmampuan pengusaha untuk melakukan trip operasi, misalnya karena kenaikan BBM, akan melumpuhkan subelemen-subelemen yang lain. Dalam hal ini, contohnya adalah banyak ABK yang akan menganggur, industri pengolahan tuna kekurangan suplai bahan baku, buruh di pelabuhan akan menganggur, eksportir tuna kekurangan produk tuna untuk diekspor dan lain sebagainya. Pada perikanan pantai, nelayan menjadi elemen kunci. Hal ini disebabkan, sebagian besar nelayan berperan juga sebagai pemilik kapal. Nelayan yang menentukan dilakukan atau tidaknya operasi penangkapan ikan, karena faktor ketidakadaan modal atau lainnya. Ketidakberlangsungan operasi penangkapan ikan, akan berdampak pada subelemen lain. Misalnya adalah, bakul tidak dapat membeli produk, pengolah ikan kekurangan bahan baku, dan lain sebagainya.
324
Matriks driver power-dependence untuk subelemen masyarakat yang terpengaruh dari program pengembangan perikanan lepas pantai menyatakan, nelayan penangkap umpan, penyedia perbekalan, industri pengolahan tuna, industri jasa transportasi, pedagang/pengumpul, dan eksportir berada di sektor III. Sementara itu untuk pengembangan perikanan pantai, subelemen yang berada di sektor III adalah penyedia perbekalan, pengusaha transportasi, buruh pelabuhan dan masyarakat sekitar pelabuhan. Pada pengembangan perikanan pantai, buruh pelabuhan dan masyarakat sekitar pelabuhan akan lebih merasakan dampak dari pengembangan perikanan pantai dari pada pengembangan perikanan lepas pantai. Ketersediaan sumberdaya ikan dan ketersediaan data dan informasi merupakan elemen kunci dari kebutuhan untuk terlaksananya program, baik pada pengembangan perikanan lepas pantai maupun pada pengembangan perikanan pantai. Informasi mengenai ketersediaan atau jumlah stok ikan, merupakan landasan dasar bagi upaya pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Informasi mengenai hal tersebut saat ini belum tersedia dengan baik, diperlukan upaya berkelanjutan untuk dapat melakukan kajian sumberdaya ikan dengan baik. Berdasarkan hasil plot subelemen dalam matriks driver power-dependence subelemen terdistribusi sebagian besar di sektor III, baik untuk pengembangan perikanan lepas pantai maupun perikanan pantai. Hal ini menunjukkan, sebagian besar subelemen dari kebutuhan program harus terpenuhi, jika salah satu diabaikan akan memberikan dampak yang kuat pada ketidakberhasilan program. Harga BBM yang tinggi, prioritas dana pembangunan yang masih rendah serta kemampuan permodalan terbatas, merupakan elemen kunci dari kendala utama program. Pada model pengembangan perikanan pantai, harga BBM yang tinggi dan modal dana pembangunan yang rendah, juga merupakan kendala utama program. Harga BBM yang tidak memihak kepada usaha perikanan, merupakan faktor penting yang menjadi kendala bagi pengembangan perikanan. Pada perikanan industri seperti halnya pada perikanan tuna, biaya BBM sekitar 30% dari keseluruhan kebutuhan operasional usaha. Adanya kenaikan harga BBM pada Oktober 2005, telah meningkatkan biaya BBM menjadi sekitar 50% dari total kebutuhan usaha. Kenaikan harga BBM, menyebabkan pengusaha menghadapi permasalahan yang berat dan kesulitan untuk beroperasi (Nalendra 2007).
325
Pengembangan perikanan lepas pantai dan pengembangan perikanan pantai memiliki tujuan utama yang sama. Pengembangan perikanan ditujukan untuk pemanfaatan sumberdaya dengan baik, serta memberikan manfaat yang besar bagi pelaku usaha dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Hal ini searah dengan pernyataan Dahuri (2003) yang menyatakan, kebijakan dan program yang berkaitan dengan optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya ikan dengan tingkat penangkapan pada setiap wilayah sangat penting, untuk menjamin usaha perikanan yang efisien (menguntungkan, profitable) secara berkelanjutan. Tujuan
program
peningkatan
keuntungan
usaha,
pendapatan
dan
kesejahteraan nelayan, kesempatan kerja, fungsionalitas pelabuhan perikanan, aksesibilitas, peningkatan PAD/devisa dan peningkatan perekonomian daerah berada di sektor III.
Pada perikanan pantai, juga menempatkan subelemen-
subelemen yang hampir sama, subelemen tersebut memiliki ketergantungan kuat dan daya dorong tinggi terhadap keberhasilan program. Subelemen dari tolok ukur keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai, hampir seluruhnya merupakan elemen kunci, kecuali terbentuknya kelembagaan pengelolaan terpadu perikanan tuna dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan. Pada perikanan pantai, peningkatan peran kelembagaan merupakan elemen kunci sebagai tolok ukur keberhasilan program. Peningkatan peran dari kelembagaan yang sudah ada seperti HNSI, KUD ataupun kelompok nelayan, penting untuk dapat memberdayakan nelayan. Wiyono dalam Sondita dan Solihin (2006) menyatakan, di negara yang perikanannya maju, koperasi berperan sangat sentral dalam kegiatan perikanan, sehingga kehidupan nelayan bisa meningkat dan sumberdaya ikan terkendali. Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur keberhasilan program memplot semua subelemen kedalam sektor III pada pengembangan perikanan lepas pantai, dan hampir semua subelemen kecuali meningkatnya peran kelembagaan pada pengembangan perikanan pantai. Hal ini menyatakan, semua subelemen memiliki ketergantungan yang kuat di dalam sistem dan memiliki daya dorong tinggi untuk keberhasilan program. Tidak terpenuhinya satu subelemen dari tolak ukur keberhasilan program, akan memiliki dampak yang besar bagi tidak terpenuhinya subelemen tolok ukur keberhasilan program yang lainnya.
326
Aktivitas pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya tuna merupakan elemen kunci. Pada perikanan pantai, koordinasi antar sektor yang terlibat dalam program pengembangan dan meningkatkan peran kelembagaan perikanan merupakan elemen kunci. Koordinasi antar sektor pembangunan sangat penting untuk pengembangan perikanan. Dahuri (2003) menyatakan, lemahnya koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pembangunan perikanan, menjadi salah satu sebab bidang perikanan tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha, pengembangan akses pasar dan peningkatan akses informasi berada pada sektor III. Pada pengembangan perikanan pantai, hampir semua subelemen berada di sektor III. Hal ini menyatakan, subelemen dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program, harus dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak berjalannya aktivitas salah satu subelemen, akan berdampak besar bagi tidak berjalannya aktivitas yang lain. Lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program dalam pengembangan perikanan lepas pantai, menempatkan Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Provinsi, Dinas Perikanan Kabupaten, Asosiasi Pengusaha Tuna dan Lembaga Permodalan sebagai elemen kunci. Subelemen-subelemen tersebut akan mampu menggerakkan subelemen lainnya untuk keberhasilan program. Pada pengembangan perikanan pantai, Dinas Perikanan Kabupaten merupakan elemen kunci. Dinas Perikanan Kabupaten, akan mampu menggerakkan subelemen lain untuk keberhasilan pengembangan perikanan pantai di wilayahnya. Kebijakan strategis untuk penerapan model di atas memiliki nilai konsistensi yang cukup tinggi, sehingga model cukup valid untuk dapat diterapkan dalam sistem. Nilai konsistensi dari setiap elemen secara berurut untuk pengembangan perikanan tuna dan pengembangan perikanan pantai yaitu: 1) sektor masyarakat yang terpengaruh (93,5%), (97,22%) ; 2) kebutuhan untuk terlaksananya program (98,2%), (91,71%) ; 3) kendala utama pengembangan program (93,0), (93,83); 4) perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari program (97,0%), (97,00%); 5) tolok ukur keberhasilan program (96,3%), (97,53%); 6) aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program (97,0%), (97,53%) ; serta 7) lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program (93,5%), (96,80%).
10 KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan
10.1.1 Implikasi Karakteristik Wilayah terhadap Kinerja Perikanan Karakteristik Wilayah Selatan Jawa berpengaruh nyata terhadap lambatnya perkembangan perikanan di wilayah ini. Secara biologi, perairan kaya akan berbagai jenis sumberdaya ikan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti tuna, cakalang, udang, lobster, layur dan bawal putih. Namun, potensi sumberdaya ikan tersebut belum dapat memberikan dukungan secara optimal bagi perkembangan perikanan, karena kurangnya dukungan dari faktor yang lain. Kondisi geo-topografi dari pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan (PP/PPI) tidak menguntungkan dari akses pemasaran. Lokasi PP/PPI yang terisolir, menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan input produksi dan secara keseluruhan menyebabkan terhambatnya perkembangan industri perikanan. Kegiatan perikanan belum mendapatkan dukungan teknologi dan kualitas SDM yang memadai. Penggunaan dan penguasaan teknologi oleh nelayan yang rendah, menyebabkan daerah penangkapan ikan terkonsentrasi di perairan dekat pantai. Penggunaan dan penguasaan teknologi yang rendah, juga menyebabkan pendapatan nelayan rendah, yang berdampak pada kondisi sosial-ekonominya. Faktor lain penyebab perkembangan perikanan berjalan lambat, adalah rendahnya dukungan pemerintah. Perikanan belum merupakan prioritas utama pembangunan.
10.1.2 Model Pengembangan Perikanan Kajian perikanan di Selatan Jawa menghasilkan dua model pengembangan yaitu, pengembangan perikanan lepas pantai (SIMPELA) dan pengembangan perikanan pantai (SIMPETAI). Pengembangan perikanan lepas pantai, dilakukan dengan membangun bisnis perikanan tuna skala industri, didukung oleh pelabuhan perikanan berstandar internasional. Good manufacturing practices (GMP) dan standar sanitation operational procedure (SSOP), perlu diterapkan di kapal dan pelabuhan perikanan. Perikanan tuna menggunakan kapal longline berukuran >30 GT, didukung sistem manajemen usaha yang baik. Pelabuhan perikanan yang
328
direkomendasikan adalah PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, dengan jumlah kapal 170 unit longline. Peningkatan fasilitas dan pelayanan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan kapal longline. Kebutuhan utama terkait dengan fasilitas pokok, yaitu lebar alur masuk kolam pelabuhan 43,4457,92 m, dan kedalaman kolam pelabuhan 6,20-7,40 m. Kebutuhan input produksi yang harus disediakan per tahun yaitu, solar 24.000 kilo liter, 1.920 ton umpan, es 336.000 balok, dan air tawar 840.000 m3. Kebutuhan ABK sekitar 2.400 orang. Pengembangan perikanan lepas pantai tidak dapat dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten, melainkan harus dilakukan secara terintegrasi untuk Perairan Selatan Jawa. Pengembangan menghendaki dibentuknya kelembagaan terpadu, yang memiliki otoritas sebagai pelaksana pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelembagaan berperan melakukan pengelolaan dan pengembangan perikanan, dengan mengakomodasikan kepentingan antar wilayah provinsi dan kabupaten serta antar stakeholder. Wewenang pembuatan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan tetap ada di pemerintah. Pengembangan perikanan pantai dilakukan dalam skala kecil dan menengah. Perikanan skala menengah untuk perikanan udang, tongkol dan cakalang, dengan unit trammel net, pancing tonda, gillnet dan purse seine. Perikanan skala kecil untuk perikanan layur, bawal putih, dan lobster, unit penangkapan multipurpose, menggunakan kapal fiberglass ukuran 1-2 GT. Pengembangan perikanan pantai diharapkan tidak terkonsentrasi di perairan dekat dengan pantai, melainkan lebih jauh dari pantai (>4mil). Terdapat indikasi untuk beberapa jenis sumberdaya, seperti udang dan ikan demersal telah dimanfaatkan secara penuh (fully exploited). Pengembangan perikanan pantai perlu didukung oleh keberadaan pelabuhan perikanan yang memadai. Pembangunan dan pengembangan fasilitas masih diperlukan, khususnya pada pelabuhan perikanan yang berstatus PPP/PPI. Ketersediaan sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, serta ketersediaan input produksi seperti ABK yang menguasi teknik penangkapan ikan, ketersediaan solar dengan harga terjangkau, merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Kelembagaan Dinas Perikanan masih belum berperan optimal dalam pengembangan perikanan daerah. Sebagian besar Dinas Perikanan Kabupaten,
329
bergabung dengan dinas dari sektor lain. Kondisi ini menjadikan porsi anggaran untuk pembangunan perikanan kecil. Kelembagaan usaha seperti KUD Mina dan kelembagaan masyarakat nelayan lainnya, diharapkan dapat ditingkatkan fungsi dan perannya bagi pengembangan perikanan pantai di masing-masing wilayah. Model pengembangan perikanan lepas pantai membentuk pola sentra industri Satellite Flat Form. Pengembangan perikanan tuna perlu mendatangkan investor bermodal kuat, dalam hal ini dapat menarik pengusaha dari PPS Nizam Zachman Jakarta atau dari Benoa Bali. Peran pemerintah sangat diperlukan dalam menjalin kerjasama dengan negara eksportir, khususnya dalam mengatasi hambatan teknis dalam perdagangan ekspor tuna. Pengembangan perikanan pantai membentuk pola Marshalian. Skala usaha yang dikembangkan adalah skala kecil dan menengah. Penguatan modal dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok-kelompok nelayan atau koperasi, sehingga akses terhadap permodalan akan lebih mudah dilakukan. Penjualan produk dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, dalam bentuk ikan segar maupun produk-produk olahan.
10.1.3 Kebijakan Strategis Kebijakan strategis untuk pengembangan perikanan di Selatan Jawa merekomendasikan, pengelolaan dan pengembangan perikanan lepas pantai dilakukan oleh pemerintah. Kelembagaan perlu dibentuk, dengan otoritas penuh untuk melakukan pengelolaan perikanan. Pengelolaan perikanan lepas pantai dilakukan secara terpadu untuk seluruh Perairan Selatan Jawa, dengan basis penangkapan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Pembagian (share) manfaat perlu diberikan kepada kabupaten lain yang tidak memiliki pelabuhan perikanan. Sementara itu, pengembangan perikanan pantai dapat dilakukan oleh seluruh kabupaten dengan fokus pada komoditas unggulan daerah. Kebijakan strategis yang perlu dilakukan dalam pengembangan perikanan lepas pantai, pertama adalah peningkatan sistem usaha perikanan tuna, yang disertai dengan peningkatan sarana dan prasarana, penerapan standar kualitas produk, peningkatan peran kebijakan dan kelembagaan, serta peningkatan kinerja SDM. Kedua, peningkatan koordinasi antar sektor dan antar daerah, peningkatan
330
kerjasama regional dan internasional, serta penegakan hukum. Kebijakan strategis pada pengembangan perikanan pantai, pertama yaitu membangun sistem usaha perikanan pantai, disertai peningkatan teknologi penangkapan, kualitas nelayan, fasilitas dan pelayanan PP/PPI, kesadaran akan pentingnya menghasilkan produk bermutu tinggi, serta diversifikasi produk olahan. Kedua, peningkatan koordinasi antar sektor maupun antar daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Keberhasilan penerapan model perlu memperhatikan tujuh elemen sistem, yaitu sektor masyarakat yang terpengaruh, kebutuhan untuk terlaksananya program, kendala utama, tujuan utama program, tolok ukur keberhasilan program, aktivitas yang perlu dilakukan dan lembaga yang terlibat dalam program. Elemen kunci pada pengembangan perikanan lepas pantai maupun pantai, diantaranya yaitu pengusaha perikanan, nelayan, ketersediaan sumberdaya ikan, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, keberpihakan pemerintah, permasalahan harga BBM, serta peningkatan peran dan efektivitas kebijakan dan kelembagaan perikanan.
10.2 Saran Model pengembangan perikanan berbasis karakteristik spesifik potensi daerah, dapat diterapkan oleh kabupaten yang ada di Selatan Jawa dengan baik. Model telah memasukkan berbagai faktor pertimbangan terkait dengan sistem perikanan, serta sesuai dengan karakteristik yang dimiliki masing-masing wilayah. Kajian mengenai potensi sumberdaya ikan perlu dilakukan secara regular, karena informasi mengenai potensi sumberdaya ikan merupakan basis bagi upaya pengembangan perikanan berkelanjutan. Untuk dapat menerapkan model pengembangan perikanan lepas pantai, langkah pertama
adalah
membentuk
kelembagaan pengelolaan
terpadu.
Selanjutnya kelembagaan ini, yang akan berperan melakukan pengelolaan dan pengembangan perikanan secara terintegrasi untuk Perairan Selatan Jawa. Pengelolaan dan pengembangan dilakukan sesuai dengan hasil penelitian ini. Keberhasilan penerapan model, sangat diperlukan komitmen berkelanjutan, kerjasama yang baik dan mengeliminir kepentingan ego sektoral. Model dapat diterapkan pada wilayah perairan lain dengan beberapa penyesuaian.
DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Arsyad A, Kusumastanto T, Dahuri R, Saefudin A. 2007. Karakteristik dan Tipologi Hak-Hak Kepemilikan dalam Perikanan Artisanal. Buletin PSP Vol. XVI. No. 2: 161-187. Baggini J. 2003. Lima Tema Utama Filsafat. Hae NZ, penerjemah; Zain M, editor. Jakarta: Penerbit Teraju. Terjemahan dari: Philosophy: Key Themes. Batubara. 1988. Pengusahaan Ikan Tuna Segar sebagai Rintisan yang Dilakukan PT Perikanan Samudera Besar (Persero) dan Petunjuk Penanganan Ikan Tuna Segar pada PT Perikanan Samudera Besar (Persero) (Makalah). Di dalam Seminar Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia, Jakarta, 3 Nopember 1988. Black JA. 1981. Urban Transport Planning: Theory and Practice. London: Cromm Helm. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2007. Jawa Barat Dalam Angka. Bandung: Badan Pusat Statistik. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita. Burhanuddin, Djamali A, Genisa AS, Hutomo M. 1998. Sumberdaya Ikan Bawal di Indonesia. Jakarta: LON-LIPI. [BP] Badan Pengelola PPI Pondokdadap. 1996. Laporan Tahunan Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 1995/1996. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang. __________________________________ 1997. Laporan Tahunan Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 1996/1997. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang. __________________________________ 1998. Laporan Tahunan Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 1997/1998. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang. __________________________________ 2000. Laporan Tahunan Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 1999/2000. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang. __________________________________ 2002. Laporan Tahunan Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 2002. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang. __________________________________ 2003. Laporan Tahunan Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 2003. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang. __________________________________ 2004. Laporan Tahunan Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 2004. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang. __________________________________ 2005. Program Kerja Pangkalan Pendaratan Ikan Tahun 2005. Malang: Dinas Perikanan Kabupaten Malang.
332
Charles AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. Canada: Blakwell Science Ltd. C-MAP. 2000. Software Navigasi. C-MAP Norwegia. Daerah Istimewa Yogyakarta. www.bapeda.pemda-diy.go.id. 17 April 2008. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan [Orasi Ilmiah Guru Besar]. Bogor: IPB. David FR. 2002. Manajemen Strategis. Ed ke-7. Jakarta: Prenhallindo. Del Valle I, Astorkiza I, Astorkiza K. 2001. Is the Current Regulation of the VIII Division European Anchovy Optimal. Environmental and Resources Economics 19: 53-72. Dillon HS, Suryana A. 1990. Permasalahan dan Kebijaksanaan Pengembangan Ekspor Hasil Pertanian. Di dalam: Suryana A, Kasryno F, Pasandaran E, editor. Kontribusi Sektor Pertanian dalam Peningkatan Ekspor Non Migas. Jakarta: PPAE, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, hlm: 1-19. [DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005. Kemitraan Strategis antara Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dengan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Makalah). Di dalam: Lokakarya Kemitraan Strategis antar Pelaku di Bidang Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Bogor, 22 September 2005. [Diskan] Dinas Perikanan Propinsi DI Yogyakarta. 1995. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta. 1994. Yogyakarta: Diskan Propinsi DI Yogyakarta. ___________________________________________ 1996. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta 1995. Yogyakarta: Diskan Propinsi DI Yogyakarta. ___________________________________________ 1997. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta 1996. Yogyakarta: Diskan Propinsi DI Yogyakarta. ___________________________________________ 1998. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta 1997. Yogyakarta: Diskan Propinsi DI Yogyakarta. [Diskan] Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. 1994. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 1994. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 1995. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 1995. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 1996. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 1996. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 1997. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 1997. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
333
____________________________________________________________ 1999. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 1999. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 2000. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 2000. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 2001. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 2001. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 2002. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 2002. Bandung: Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 2003. Laporan Statistik Perikanan Jawa Barat 2003. Bandung: Diskan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. ____________________________________________________________ 2004. Laporan Tahunan Perikanan Jawa Barat Tahun 2003. Bandung: Diskan Propinsi Jawa Barat. ____________________________________________________________ 2005. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat Tahun 2004. Bandung: Diskan Propinsi Jawa Barat. ____________________________________________________________ 2006. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat Tahun 2005. Bandung: Diskan Propinsi Jawa Barat. [Diskan] Dinas Perikanan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. 1995. Buku Tahunan Statistik Tingkat Propinsi 1994. Semarang: Diskan Propinsi Jawa Tengah. ______________________________________________________ 1996. Buku Tahunan Statistik Tingkat Propinsi 1995. Semarang: Diskan Propinsi Jawa Tengah. ______________________________________________________ 1997. Buku Tahunan Statistik Tingkat Propinsi 1996. Semarang: Diskan Propinsi Jawa Tengah. ______________________________________________________ 1998. Buku Tahunan Statistik Tingkat Propinsi 1997. Semarang: Diskan Propinsi Jawa Tengah. [Diskan] Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. 1994. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 1993. Surabaya: Diskan Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________________ 1996. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 1995. Surabaya: Diskan Propinsi Jawa Timur.
334
____________________________________________________________ 1997. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 1996. Surabaya: Diskan Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________________ 1999. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 1998. Surabaya: Diskan Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________________ 2000. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 1999. Surabaya: Diskan Propinsi Jawa Timur. [Diskan] Dinas Perikanan Pemerintah Kabupaten Malang. 1997. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Pemerintah Kabupaten Malang 1996. Malang: Diskan Kabupaten Malang __________________________________________________ 1999. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Pemerintah Kabupaten Malang 1998. Malang: Diskan Kabupaten Malang. [Diskan] Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek. 1999. Laporan Tahunan Perikanan Kabupaten Trenggalek 1998. Trenggalek: Diskan Kabupaten Trenggalek. ___________________________________________ 2000. Laporan Tahunan Perikanan Kabupaten Trenggalek 1999. Trenggalek: Diskan Kabupaten Trenggalek. ___________________________________________ 2001. Laporan Tahunan Perikanan Kabupaten Trenggalek 2000. Trenggalek: Diskan Kabupaten Trenggalek. [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DI Yogyakarta 2004. Data Base Perikanan dan Pesisir Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 19992003. Yogyakarta: Diskanlut Propinsi DI Yogyakarta. [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah. 2000. Buku Tahunan Statistik Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah 1999. Semarang: Diskanlut Propinsi Jawa Tengah. _______________________________________________________ 2001. Buku Tahunan Statistik Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah 2000. Semarang: Diskanlut Propinsi Jawa Tengah. ______________________________________________________ 2002. Statistik Perikanan Tangkap Jawa Tengah 2001. Semarang: Diskanlut Propinsi Jawa Tengah. ______________________________________________________ 2003. Statistik Perikanan Tangkap Jawa Tengah 2002. Semarang: Diskanlut Propinsi Jawa Tengah. ______________________________________________________ 2004. Statistik Perikanan Tangkap Jawa Tengah 2003. Semarang: Diskanlut Propinsi Jawa Tengah.
335
______________________________________________________ 2005. Statistik Perikanan Tangkap Jawa Tengah 2004. Semarang: Diskanlut Provinsi Jawa Tengah. _____________________________________________________ 2006. Statistik Perikanan Tangkap Jawa Tengah 2005. Semarang: Diskanlut Provinsi Jawa Tengah. [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur. 2001. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 2000. Surabaya: Diskanlut Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________ 2002. Review Perencanaan Strategis Tahun 2001-2005. Surabaya: Diskanlut Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________ 2003. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 2003. Surabaya: Diskanlut Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________ 2004. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 2004. Surabaya: Diskanlut Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________ 2005. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 2005. Surabaya: Diskanlut Propinsi Jawa Timur. ____________________________________________________ 2006. Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 2006. Surabaya: Diskanlut Propinsi Jawa Timur. [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap. 2002. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap 2001. Cilacap: Diskanlut Kabupaten Cilacap. ___________________________________________________ 2003. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap 2002. Cilacap: Diskan Kabupaten Cilacap. [Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap 2004. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap 2003. Cilacap: Dislutkan Kabupaten Cilacap. ________________________________________ 2005. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap 2004. Cilacap: Dislutkan Kabupaten Cilacap. ______________________________________ 2006. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap 2005. Cilacap: Dislutkan Kabupaten Cilacap. [Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Trenggalek. 2002. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Trenggalek 2001. Trenggalek: Dislutkan Kabupaten Trenggalek.
336
_____________________________________________________ 2003. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Trenggalek 2002. Trenggalek: Dislutkan Kabupaten Trenggalek. _____________________________________________________ 2004. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Trenggalek 2003. Trenggalek: Dislutkan Kabupaten Trenggalek. _____________________________________________________ 2005. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Trenggalek 2004. Trenggalek: Dislukan Kabupaten Trenggalek. [Dispetkanlut] Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Malang 2002. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang 2001. Malang: Dispetkanlut Kabupaten Malang. ____________________________________________________________ 2003. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang 2002. Malang: Dispetkanlut Kabupaten Malang. ____________________________________________________________ 2005. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang 2004. Malang: Dispetkanlut Kabupaten Malang. [Dispetkanlut] Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Garut. 2003 Laporan Tahunan Bidang Perikanan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan 2003. Garut: Dispetkanlut Kabupaten Garut. ____________________________________________________________ 2004. Laporan Tahunan Bidang Perikanan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan 2004. Garut: Dispetkanlut Kabupaten Garut. ____________________________________________________________ 2005. Laporan Tahunan Bidang Perikanan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan 2005. Garut: Dispetkanlut Kabupaten Garut. ____________________________________________________________ 2003. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Tahun 2003-2008. Garut: Pemerintah Kabupaten Garut. ____________________________________________________________ 2005. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Tahun 2006-2007. Garut: Pemerintah Kabupaten Garut. ____________________________________________________________ 2006. Pembangunan Bidang Peternakan, Perikanan dan Kelautan: Strategi, Arah Kebijakan, Permasalahan, Potensi dan Peluang Pengembangan. Garut: Pemerintah Kabupaten Garut. [Dispetkanlut] Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kebumen. 2003a. Laporan Tahunan dan Data Base Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan 2002. Kebumen: Dispetkanlut Kabupaten Kebumen. ___________________________________________________________ 2003b. Perencanaan Strategik Visi-Misi Tahun 2003-2007. Kebumen: Dispetkanlut Kabupaten Kebumen.
337
____________________________________________________________ 2004. Laporan Tahunan dan Data Base Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan 2003. Kebumen: Dispetkanlut Kabupaten Kebumen. ____________________________________________________________ 2005. Laporan Tahunan dan Data Base Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan 2004. Kebumen: Dispetkanlut Kabupaten Kebumen. [Dispertangankan] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Gunung Kidul. 2002. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan. Gunung Kidul: Dispertangankan Kabupaten Gunung Kidul. ____________________________________________________________ 2003. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan. Gunung Kidul: Dispertangankan Kabupaten Gunung Kidul. ____________________________________________________________ 2004. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan. Gunung Kidul: Dispertangankan Kabupaten Gunung Kidul. ____________________________________________________________ 2001. Potensi dan Rencana Pengembangan Perikanan. Gunung Kidul: Dispertangankan Kabupaten Gunung Kidul. ____________________________________________________________ 2005. Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan dan Kelautan. Gunung Kidul: Dispertangankan Kabupaten Gunung Kidul. [Dispetkanlut] Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pacitan. 2005. Pemetaan Potensi dan Penetapan Batas Wilayah Laut Kabupaten Pacitan. Pacitan: Dispetkanlut Kabupaten Pacitan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, DKP. 2004. GMP dan SSOP pada Unit Pengolahan Ikan. Di dalam: Pelatihan Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) pada Agroindustri Perikanan dan Peternakan (Angkatan VI), Bogor, 16-20 Agustus 2004. Djajuli N. 2004. HACCP. Di dalam: Pelatihan Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) pada Agroindustri Perikanan dan Peternakan (Angkatan VI), Bogor, 16-20 Agustus 2004. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Farid A, Fauzi, Bambang N, Fachrudin, Sugiono. 1989. Teknologi Penangkapan Tuna. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Fauzi, A. 2004. Pengembangan Kelembagaan Kelautan dan Perikanan: Perspektif Ekonomi Kelembagaan. Di dalam: Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Perikanan dalam Mewujudkan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan Perikanan bagi Kesejahteraan Bangsa, Bogor, 13 April 2004.
338
Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gaspersz V. 1992. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Bandung: Tarsito. Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspaitella PFL, Varley RCG. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek (edisi kedua). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Goodstein, Leonard D, Timothy MN, Peiffer JW. 1993. Applied Strategic Planning: A Comprehensive Guide. New York: McGraw-hill. Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan. Bogor: Fakultas Perikanan IPB. Hogwood BW, Gunn LA. 1984. Policy Analysis for the Real World. New York: Oxford University Press. Ismail I. 2005. Perencanaan Pengembangan Pelabuhan Perikanan (PP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Indonesia, Utamanya di Pulau Jawa dalam Era Otonomi Daerah (Makalah). Di dalam: Semiloka Internasional Revitalisasi Dinamis Peran Pelabuhan Perikanan dan Perikanan Tangkap Pulau Jawa dalam Pembangunan Perikanan di Indonesia, Bogor, 6-7 Juni 2005. Jatmiko B, Haluan J, Wahyuni M, Hardjoamidjoyo H. 2007. Model Pengembangan Agroindustri Perikanan berbasis Partisipasi Masyarakat: Studi Kasus Daerah Cilacap-Jawa Tengah. Buletin PSP Vol. XVI 2: 216231. Jawa Timur. www.jatim.go.id. 28 Maret 2007. Jogiyanto HM. 1999. Analisis dan Desain Sistem Informasi Manajemen, Pendekatan terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis. Yogyakarta: Andi Offset. Kadarwiyati W. 2006. Prosedur dan Dokumen Ekspor. Di dalam: Pelatihan Prosedur Ekspor, Jakarta, 4-6 April 2006. Kaplan RS, Norton DP. 1996. Balanced Scorecard Menerapkan Strategi Menjadi Aksi (Alih bahasa Pasla PRY, Ed. Sumiharti Y 2000). Jakarta: Penerbit Erlangga. Kabupaten Gunung Kidul. www.gunungkidulkab.go.id. 17 April 2008 Kabupaten Kebumen. Maret 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kebumen.
28
Kabupaten Malang. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Malang. 28 Maret 2007. Kabupaten Pacitan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pacitan. 28 Maret 2007. Kabupaten Sukabumi. Maret 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sukabumi.
Kramadibrata S. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Bandung: Ganeca Exact.
28
339
Kissya E. and Dwisasanti N. 2004. Sasi Model of Governance in CBCRM in Haruku, the Mollucas, Indonesia. Learning a Regional Newsletter in CBCRM, page: 25-28. Kusnadi. 2000. Nelayan, Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Kuncoro. 2002. Analisis Spasial dan Regional. Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. UPP AMP YKPN. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Dr. Soetomo Surabaya. 2001. Pemetaan Potensi dan Penetapan Batas Wilayah Laut Kabupaten Pacitan. Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pacitan Leung PS, Muraoka J, Nakamoto ST and Pooley S. 1998. Evaluating Fisheries Management Option in Hawai using Analytic Hierarshy Process (AHP). Fisheries Research 36: 171-183. Lubis E. 1989. Le Organization et L’aménagement des port de pêche Indonésienscomparaison avec L’organisation et L’aménagement des port de pêche Français set Européens [Disertasi]. France: Universite de Nantes. Lubis E. 2005. Metodologi Sistem Pengelolaan Pelabuhan Perikanan [bahan kuliah Pengembangan Pelabuhan Perikanan]. Bogor: Program Pascasarjana. Lubis E, Pane AB, Kurniawan Y, Chaussade J, Lamberts C, Pottier P. 2005. Altas Perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa Suatu Pendekatan Geografi Perikanan Tangkap Indonesia. Bogor:IPB, France: Université de Nantes. Lubis E. 2006. Pengantar Pelabuhan Perikanan (Bahan Kuliah m.a Pelabuhan Perikanan). Ed ke-3. Bogor: FPIK, IPB. Malang. www.malang.go.id. 28 Maret 2007. Mahyuddin B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Tryptique Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. [Disertasi]. Bogor: IPB. Manggabarani H. 2006. Pelaksanaan dan Evaluasi Kebijaksanaan Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab (CCRF) di Indonesia. Di dalam: Seminar Nasional Perikanan Tangkap “Menuju Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan, Bogor, 10 Agustus 2006. Markusen A. 1996. Sticky Places in Slippery Space: A Typology of Industrial District. Economy Geography 72: 293-314. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan, Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Muhammadi E, Aminullah B, Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Murdaniel RPS. 2007. Pengendalian Kualitas Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta [Skripsi]. Bogor: IPB.
340
Murdiyanto B. 2003. Pelabuhan Perikanan: Fungsi, Fasilitas, Panduan Operasional, Antrian Kapal. Bogor: FPIK, IPB. Nachrowi NJ. dan Usman H. 2004. Teknik Pengambilan Kebutusan. Jakarta: Grasindo. Naamin N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguensis de Man) Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya [Disertasi]. Bogor: IPB Nakamura H. 1969. Tuna Distribution and Migration. London: Fishing News Books Ltd. Nikijuluw. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: PT Pustaka Cisendo. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Nomura M and Yamazaki T. 1977. Fishing Technique (1). International Cooperation Agency.
Tokyo: Japan
Nurani TW, Haluan J, Monintja DR, Eriyatno. 1997. Peluang Pengembangan Perikanan Longline untuk Produk Tuna Beku Sashimi. Buletin PSP Vol. VI. 3:1-18. Nurani TW, Wisudo SH 1998. Kajian Tekno-Ekonomi Usaha Perikanan Longline untuk Fresh dan Frozen Tuna Sashimi. Buletin PSP Vol. VII. 1: 1-15. Nurani TW, Wisudo SH. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline. Bogor: Intramedia. Panorel AR. 2004. Forging a Unified Fisheries Ordinance in Murcielagos Bay: Lessons in Stakeholders’ Cooperation. Philipina: Learning a Regional Newsletter in CBCRM, page: 6-14. [PEMKAB] Pemerintah Kabupaten Pacitan. 2001. Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Pacitan Tahun 2001-2005. Pacitan: PEMKAB Pacitan. ____________________________________ 2001b. Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Kabupaten Pacitan Tahun 2001-2005. Pacitan: PEMKAB Pacitan. ____________________________________ 2001c. Rencana Strategis (RENSTRA) Kabupaten Pacitan Tahun 2001-2005. Pacitan: PEMKAB Pacitan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Porter ME. 1998. Cluster and the New Economic of Competition. Harvard Business Review, November-Desember. Porter ME. 2000. Location, Competition, and Economic Development: Local Cluster in a Global Economy. New York: The Free Press.
341
[PPN] Pelabuhan Perikanan Nusantara Cilacap. 2001. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Cilacap Tahun anggaran 1999/2000. Cilacap: PPN Cilacap. [PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. 2003. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap Tahun 2002. Cilacap: PPS Cilacap, DKP. ____________________________________ 2004. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap Tahun 2003. Cilacap: PPS Cilacap, DKP. ____________________________________ 2005a. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap Tahun 2004. Cilacap: PPS Cilacap, DKP. ____________________________________ 2005b. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) PPS Cilacap Tahun 2004. Cilacap: PPS Cilacap, DKP. ____________________________________ 2005c. Rencana Stratejik Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap Tahun 2005- 2009. Cilacap: PPS Cilacap, Departemen Kelautan dan Perikanan. ____________________________________ 2005d. Evaluasi Kegiatan PPS Cilacap Tahun 2005 dan Program Kerja Tahun 2006. Cilacap: PPS Cilacap, DKP. ____________________________________ 2005e. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Cilacap: PPS Cilacap, DKP. ____________________________________ 2006. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap Tahun 2005. Cilacap: PPS Cilacap, DKP. ____________________________________ 2007. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap Tahun 2006. Cilacap: PPS Cilacap, DKP. [PPN] Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2001. Laporan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2000. Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu, DKP. _____________________________________________ 2002. Laporan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2001. Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu, DKP. _____________________________________________ 2003. Laporan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2002. Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu, DKP. _____________________________________________ 2004. Laporan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2003. Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu, DKP.
342
_____________________________________________ 2005. Laporan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2004. Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu, DKP. _____________________________________________ 2006. Laporan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2005. Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu, DKP. _____________________________________________ 2007. Laporan Tahunan Tingkat Operasional Tahun Anggaran 2006. Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu, DKP. [PPN] Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi. 2000. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 1999. Prigi: PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2001. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2000. Prigi: PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2002. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2001. Prigi: PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2003. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2002. Prigi; PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2004. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2003. Prigi: PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2005a. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2004. Prigi: PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2005b. Laporan Statistik Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2004. Prigi: PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2006. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2005. Prigi: PPN Prigi, DKP. ____________________________________ 2007. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2006. Prigi: PPN Prigi, DKP. PT Astri Arena. 1993. Laporan Akhir Studi Master Plan PP Pelabuhanratu. Proyek Peningkatan Produksi Perikanan Pusat, Bagian Proyek Pembinaan Prasarana Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. PT Perencana Djaya. 1994. Laporan Akhir Pekerjaan Detail Design dan Master Plan Pelabuhan Perikanan Prigi. Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di ZEE, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. PT Puri Fadjar Mandiri. 1995. Laporan Akhir Sementara Studi Pengembangan Pelabuhan Perikanan Cilacap Tahap II. Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di ZEE Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. PT Perencana Djaya. 2004. Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Master Plan Pengembangan Pelabuhan perikanan di Lingkar Luar (outer Ring Fishing port) Wilayah Indonesia. Bagian Proyek Pengembangan Prasarana Perikanan Tangkap, DJPT, DKP.
343
Purwaka. 2003. Bunga Rampai Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelautan Perikanan (Bahan Kuliah Pascasarjana). Jakarta. [PRPT] Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta: PRPT-BRKP-DKP, P3O LIPI. Rangkuti F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Industri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Retno H. 2006. Overview Kegiatan Ekspor dan Impor. Di dalam: Pelatihan Prosedur Ekspor, Jakarta, 4-6 April 2006. Riyadi S. 2006. Sistem Pembayaran Ekspor. Di dalam: Pelatihan Prosedur Ekspor, Jakarta, 4-6 April 2006. RYO. 16 Agustus 2007. DKP Batasi Penangkapan Ikan di Laut Arafura Mulai 2008. Kompas: halaman 18 kolom 3. Saad S. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Jakarta: Dian Pratama Printing. Sahubawa R. 2006. Skala Ekonomi, Keterkaitan Usaha, dan Ekspor Sentra Usaha Perikanan Tangkap di Provinsi Maluku [Disertasi]. Yogyakarta: UGM. Saul S. 2006. Prosedur Transportasi dan Penanganan Cargo. Pelatihan Prosedur Ekspor, Jakarta, 4-6 April 2006.
Di dalam:
Saxena JJP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Elements Using Interpretative Structural Modelling. System Practice Vol. 5 (6): 651-670. Scorsone A. 2002. Industrial Cluster: Enhancing Rural Economics Through Business Linkages. Souterm Rural Development Central No. 23. Simatupang TM. 1995. Teori Sistem, Suatu Perspektif Teknik Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Simatupang P, Sawit MH, Manurung VT. 1990. Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Nelayan dan Kaitannya dengan Teknologi Kelembagaan dan Kebijakan Pemerintah. Di dalam: Suryana A, Kasryno F, Pasandaran E, editor. Kontribusi Sektor Pertanian dalam Peningkatan Ekspor Non Migas. Jakarta: Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, hlm: 125-153. Siskawati. 2004. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 pada Perusahaan Perikanan (Studi Contoh Kajian Kemungkinan Penerapannnya di PT Indomaguro Tunas Unggul) [Skripsi]. Bogor: IPB. Smith NJH. 1981. Man, Fishes, and the Amazon. University Press.
New York: Columbia
Soeboko B. 2005. Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan dalam Perspektif Industri Perikanan. Di dalam: Semiloka Internasional Revitalisasi Dinamis Peran Pelabuhan Perikanan dan Perikanan Tangkap Pulau Jawa dalam Pembangunan Perikanan di Indonesia, Bogor, 6-7 Juni 2005.
344
Soemarto. 1985. Daerah Penangkapan Ikan. Jakarta: AUP. Stergiou KI, Moutopoulus DK, Erzini K. 2002. Gillnet and Longlines Fisheries in Cyclades Water (Aegean Sea): Species Composition and Gear Competition. Fisheries Research 57: 25-37. Subani W. 1984. Studi mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny Lobster, Panulirus spp.) Kaitannya dengan Hasil Tangkapan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 30: 99-105. Subani W, dan Barus HR. 1988. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta: BPPL dan BPPP, Departemen Pertanian. Sudwikatmono. 1993. Sistem Kelembagaan dan Model Pengusahaan Agroindustri Tuna. Di dalam Aziz, M.A, editor. Agroindustri Tuna dan Udang: Prospek Pengembangan pada PJP II. Jakarta: Yayasan Bangkit, hlm. 37-51. Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Suharto RT. 2003. Efisiensi Teknis-Ekonomis Usaha Penangkapan Ikan Pelagis Besar dengan Alat Tangkap Gillnet dan Rawai Tuna (Longline) di Cilacap [Skripsi]. Bogor: IPB. Suherman A. 2007. Rekayasa Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap [Disertasi]. Bogor: IPB. Sujianto dan Maulana S. 2002. Kelembagaan Masyarakat Pesisir dan Kepulauan. Pakanbaru: COREMAP. Suman A, Rijal M, Subani W. 1993. Status Perikanan Udang Karang di Perairan Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 81: 1-7. Sunoto. 2006. Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap.Di dalam: Silaturahmi Akbar Mahasiswa Perikanan Tangkap se-Indonesia, Bogor, 2006. Suryana A, Kasryno F, Pasandaran E., editor. 1990. Kontribusi Sektor Pertanian dalam Peningkatan Ekspor Non Migas. Jakarta: Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sushil. 1993. System Dynamics, Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi: Wiley Eastern Limited. Sutisna DH. 2007. Model Pengembangan Perikanan Tangkap di Pantai Selatan Provinsi Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: IPB. Suwito P. 1999. Analisis Pengelolaan Usaha Penangkapan Ikan Tuna di PT Harini Asri Bahari, Jakarta: Studi Kasus Produk Tuna Beku untuk Sashimi [Skripsi]. Bogor: IPB. Tambunan M. 2002. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah [Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya]. Bogor: IPB. Tamin OZ. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: ITB. Tahmid. 2006. Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Indonesia Berbasis Nelayan Tradisional dengan Sistem Pertaksian. Di dalam: Silaturahmi Akbar Mahasiswa Perikanan Tangkap se-Indonesia, Bogor, 2006.
345
Tzanatos E, Dimitriou E, Papaharisis L, Roussi A, Somarakis S, Koutsikopoulos C. 2006. Prinsipal Socio-Economic Characteristic of Greek Small Scale Fishermen. Ocean and Coastal Manajemen 49: 511-527. Umarwanto. 14 Februari 2006. Sistem Titip Ikan Cara Baru Atasi Kesulitan Nelayan. Agroindonesia Vol. II, No. 86: 09. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Vicere, Albert A, Robert M, Fulmer. 1997. Crafting Competitiveness: Developing Leaders in the Shadow Pyramid. Oxford: Capstone Publishing Ltd. Wahyuni M. 2004. Dilema Industri Pengolahan Ikan di Indonesia. Di dalam: Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan dalam Mewujudkan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan bagi Kesejahteraan Bangsa, Bogor, 13 April 2004. Wilson B. 1990. System: Concepts, Methodologies, and Applications. Ed ke-2. Canada: John Wiley & Sons. Wiyono ES. 2006. Analisis Kebijakan Perikanan Pantai di Indonesia. Di dalam: Sondita MFA, Solihin I, editor. Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor: PSP, FPIK, IPB, hlm: 136-138. Wiyono E.S, Yamada S, Tanaka E, Kitakado T. 2006. Fishing Strategy for Target Species of Small-Scale Fisheries in Pelabuhanratu Bay, Indonesia. Bulletin de la Société Franco-Japonaise d’océanographie 44:85-93. Wiyono W. 2004. Fungsi dan Peran Koperasi Perikanan sebagai Lembaga Ekonomi Masyarakat Nelayan/Pembudidaya Ikan dalam Pemanfatan Sumberdaya Perikanan bagi Kesejahteraan Bangsa. Di dalam: Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan dalam Mewujudkan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan bagi Kesejahteraan Bangsa, Bogor, 13 April 2004. Winahyu R, Santiasih. 1993. Pengembangan Desa Pantai. Di dalam: Mubyarto et al., editor. Yogyakarta: Aditya Media, hlm: 137-151. Wiryawan B. 2006. Kawasan Konservasi Laut sebagai Instrumen Pengelolaan Tangkap: Pembelajaran dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Di dalam: Sondita MFA dan Solihin I, editor. Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Perikanan tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor: PSP, FPIK, IPB, hlm: 95-113. Yuniarta S. 2003. Evaluasi Kegiatan Penangkapan Ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap dan Alternatif Kebijakan Pengembangannnya. [Skripsi]. Bogor: IPB. Yuwono S, Sukarno E dan Ichsan M. 2006. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian (PPN Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi; PPP Cilautereun Pameungpeuk Kabupaten Garut, PPS Cilacap Kabupaten Cilacap; PPI Pasir Kabupaten Kebumen, PPI Sadeng Kabupaten Gunung Kidul, PPI Tamperan Kabupaten Pacitan, PPN Prigi Kabupaten Trenggalek dan PPI Pondokdadap, Sendangbiru Kabupaten Malang)
U
Skala 1: 4.000.000
Sumber: C-MAP (2000), ditambahkan nama lokasi penelitian
347
Sumber: C-MAP (2000), ditambahkan nama lokasi penelitian
Gambar 23 Peta rekomendasi untuk implementasi Model Pengembangan Perikanan di Selatan Jawa (SIMPEPODA)
255
348
Lampiran 2 Foto kegiatan perikanan di beberapa lokasi penelitian
PPN Palabuhanratu
PPP Cilautereun Garut
PPS Cilacap
PPI Pasir Kebumen
PPI Tamperan Pacitan
PPP Sadeng Gunung Kidul
PPN Prigi
PPP Pondokdadap Malang
349
Lampiran 3 Lay out Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan
Lay out PPS Cilacap (sumber 1) KETERANGAN GAMBAR: A
C D E F G H
: KOLAM PELABUHAN : BREAK WATER : DERMAGA : GROIN : REVETMENT : KANTOR : TPI : POS JAGA
J
: AREAL
B
INDUSTRI
Lay out PPI Tamperan (sumber 2)
Lay out PPN Prigi (sumber 3)
Sumber: 1) PPS Cilacap 2004 2) Dispetkanlut Kabupaten Pacitan tahun 2005 3) PPN Prigi tahun 2005
350
Lampiran 4 Statistik perikanan Provinsi Jawa Barat Selatan Jawa periode tahun 1993-2006
Jumlah kapal (unit)
6000 5000 4000 PTM MT
3000
KM 2000 1000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
a. Perkembangan jumlah perahu/kapal
Alat tangkap (unit)
8000
Jaring insang
7000
jaring angkat
6000
pancing
5000
Pukat Cincin
4000
pukat kantong
3000
perangkap alat peng.karang
2000
Alat peng. rumput
1000
lain-lain
0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap
Produksi ikan (ton)
60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
c. Perkembangan jumlah produksi ikan
Nilai produksi (Rp x juta)
180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
d. Perkembangan nilai produksi ikan Sumber: Diskan Provinsi Jawa Barat 1993-2006
351
Lampiran 5 Statistik perikanan Kabupaten Sukabumi periode tahun 1994-2006 Jumlah kapal (unit)
1200 1000 800 PTM MT
600
KM 400 200 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
a. Perkembangan jumlah perahu/kapal
Alat tangkap (unit)
2500
Pukat kantong 2000
Jaring insang Jaring angkat
1500
Pancing 1000
Perangkap alat peng rumput
500
lainnya 0 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap Produksi ikan (ton)
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Nilai produksi (Rp x juta)
c. Perkembangan jumlah produksi ikan 100000 80000 60000 40000 20000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
d. Perkembangan nilai produksi ikan di Sukabumi Sumber: Diskan Provinsi Jawa Barat 1994-2006
352
Lampiran 6 Statistik perikanan PPN Palabuhanratu periode 1993-2006 Jum lahpera(unit) Jumlah kapal
600 500 400 300
MT KM
200 100 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
a. Perkembangan jumlah perahu/kapal 350
Jum lahalat tang
Alat tangkap (unit)
300
Rampus Pancing
250
Payang bagan
200
Purse seine
150
Gillnet Rawai
100
Trammel net long line
50 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
b.
Perkembangan jumlah alat tangkap
5000 4500
nelayan (orang) Ju m la hn ela y
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
c.
Perkembangan jumlah nelayan
produksi ikan(
Produksi ikan (ton)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
d. Perkembangan jumlah produksi ikan
Nilai produksi (j Nilai produksi (Rp x juta)
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
e. Perkembangan jumlah nilai produksi ikan Sumber: PPN Palabuhanratu 2001-2007.
2005
2006
353
Lampiran 7 Statistik perikanan Kabupaten Garut periode tahun 1994-2006
Jumlah kapal (unit)
400 350 300 250
PTM
200
MT KM
150 100 50 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal
Alat tangkap (unit)
2500
2000
pc GN 1500
PY SR PP
1000
500
0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap
Produksi ikan (ton)
8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2004
2005
2006
Tahun
c. Perkembangan produksi ikan
Nilai produksi (Rp x juta)
60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
d. Perkembangan nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Barat 1994-2003 2) Dispetkanlut Kabupaten Garut 2003-2005
354
Lampiran 8 Statistik perikanan Provinsi Jawa Tengah Selatan Jawa periode 19942005
Jumlah kapal JumlahK apal (u(unit)
3500 3000 2500 PTM
2000
MT 1500
KM
1000 500 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal/perahu 5000
Alat tangkap Jumlah al(unit)
4500 4000 Jaring insang 3500
jaring angkat
3000
pancing
2500
pukat kantong
2000
perangkap alat peng. karang
1500
lain-lain 1000 500 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap
produksiikan (to Produksi (ton)
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
c. Perkembangan jumlah produksi ikan
nilai produksi ( Nilai produksi (Rp x juta)
140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
d. Perkembangan jumlah nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Tengah 1995-1999 2) Diskanlut Provinsi Jawa Tengah 2000-2006
2005
355
Lampiran 9 Statistik perikanan Kabupaten Cilacap periode tahun 1994-2005
Jumlah kapal (unit)
3000 2500 2000 PTM 1500
MT KM
1000 500 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal
Produksi produksi ikan ikan (t(ton)
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
b. Perkembangan produksi ikan
ilai produk(Rp si (Rp Nilai nproduksi xxju juta)
160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
c. Perkembangan nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Tengah 1995-1999 2) Diskanlut Provinsi Jawa Tengah 2000-2005 3) Statistik perikanan Diskan Kabupaten Cilacap 2002-2006
2004
2005
356
Lampiran 10 Statistik perikanan PPS Cilacap periode tahun 1996-2006 5000
Jumlah kapal Jum lah kapal ((unit) U nit)
4500 4000 3500
10
3000
10 sampai 20
2500
20 sampai 30
2000
> 30
1500 1000 500 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal di PPS Cilacap 7000
Alat tangkap Jumla halat tangka(unit) p(unit)
6000 5000 gillnet 4000
trammel net compreng
3000
longline 2000 1000 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Jumlah nelayan Jumlah(Orang)(orang)
b. Perkembangan jumlah alat tangkap 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Produksi Jumlahprikan oduksi (ton) (ton)
c. Perkembangan jumlah nelayan 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
d.
Perkembangan produksi ikan
Nilai produksi ikan (j Nilai produksi (Rp x juta)
50000 40000 30000 20000 10000 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
e.
Perkembangan nilai produksi ikan
Sumber: PPS Cilacap 2003-2007
2005
2006
357
Lampiran 11 Statistik perikanan Kabupaten Kebumen periode tahun 1994-2005 900
JumlahJukapal (unit) m lahpe rah
800 700 600 500
PTM
400
MT
300 200 100 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
a. Perkembangan kapal/perahu Jumla h(Orang) (orang) Jumlah nelayan
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
Tahun
b. Perkembangan jumlah nelayan
Produksi produksiikan ikan (t(ton)
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
c. Perkembangan jumlah produksi ikan
nilai produ Nilai produksi (Rp x juta)
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
d. Perkembangan jumlah nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Tengah 1995-1999 2) Diskanlut Provinsi Jawa Tengah 2000-2006 3) Dispetkanlut Kabupaten Kebumen 2002, 2003a, 2004
358
Lampiran 12 Statistik perikanan DI Yogyakarta periode tahun 1994-2004
Jumlah kapal (unit)
600 500 400
PTM MT
300
KM
200 100 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal/perahu 10000
Alat tangkap (unit)
9000 JI
8000
JA
7000
JL
6000
PC
5000
PK
4000
PR
3000
AP
2000
LL
1000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap
Produksi ikan (ton)
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
c. Perkembangan jumlah produksi ikan
Nilai produksi (Rp x juta)
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun
d. Perkembangan nilai produksi Sumber: 1) Diskan Provinsi DI Yogyakarta 1994-1999 2) Diskanlut Provinsi DI Yogyakarta 2000-2004
2002
2003
2004
359
Lampiran 13 Statistik perikanan Gunung Kidul periode tahun 1994-2004 Jumlah kapal (unit)
300 250 200 PTM 150
MT KM
100 50 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
a.
Perkembangan jumlah kapal/perahu
Produksi ikan (ton)
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
tahun
b.
Perkembangan jumlah produksi ikan
Nilai produksi (Rp x juta)
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0 1994
1995
1996
1997
1998 1999 tahun
2000
2001
c. Perkembangan nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan DI Yogyakarta 1994-1999 2) Dislutkan DI Yogyakarta 2000-2003 3) Dispertangankan Kabupaten Gunung Kidul 2002-2004
2002
2003
360
Lampiran 14 Statistik perikanan Provinsi Jawa Timur Selatan Jawa periode tahun 1993-2006 Jum lahkapal(unit) (u Jumlah kapal
12000 10000 8000 PTM 6000
MT KM
4000 2000 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2003
2004
2005
2006
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal/perahu Alat tangkap (unit) Jum lahalat ta ngk
30000
25000 Jaring insang 20000
jaring angkat pancing
15000
Pukat cincin pukat kantong perangkap
10000
lain-lain 5000
0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2003
2004
2005
2006
Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap um lahnelayan((orang) ora Jumlah Jnelayan
90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2003
2004
2005
2006
Tahun
c. Perkembangan jumlah nelayan ProduksiProikan (ton) d u k siik an (
180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2003
2004
2005
2006
tahun
d. Perkembangan jumlah produksi nilai produksi (j Nilai produksi (Rp x juta)
500000 450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2003
2004
Tahun
e. Perkembangan jumlah nilai produksi Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Timur 1994-2000 2) Diskanlut Provinsi Jawa Timur 2001-2006
2005
2006
361
Lampiran 15 Statistik perikanan Kabupaten Pacitan periode tahun 1994-2006 1000 u m la hk a p a l(u Jumlah Jkapal (unit)
900 800 700 600
PTM
500
MT
400
KM
300 200 100 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal/perahu Alat tangkap Jum la(unit) hal
6000
5000
4000
Payang Gillnet
3000
Parel Pancing Krendet
2000
1000
0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap Jum lahnelay Jumlah nelayan (orang)
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
c. Perkembangan jumlah nelayan Produksi ikan (ton) pro du ksiik an(to
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
d. Perkembangan jumlah produksi ikan ai produ Nilai produksinil(Rp xk juta)
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
e. Perkembangan jumlah nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Timur 1994-2000 2) Diskanlut Provinsi Jawa Timur 2001-2006 2) Dispetkanlut Kabupaten Pacitan 2005
2005
2006
362
Lampiran 16 Statistik perikanan Kabupaten Trenggalek periode tahun 1994-2006 Jum lah kapal (u(unit) Jumlah kapal
1400 1200 1000 PTM
800
MT 600
KM
400 200 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal/perahu Alat Jumtangkap lah alat tang (unit)
2500
2000
Pukat Cincin Gill Net Bagan Apung
1500
Pukat Pantai Jaring Klitik Trammel Net
1000
Pancing Payang Long Line
500
0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
c. Perkembangan jumlah alat tangkap Produksi produksiikan ikan(to (ton)
80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2005
2006
Tahun
c. Perkembanganjumlah produksi ikan nilai produk Nilai produksi (Rp x juta)
140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
d. Perkembangan nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Timur 1994-2000 2) Diskanlut Provinsi Jawa Timur 2001-2006 3) Diskan Kabupaten Trenggalek 1999-2001 4) Dislutkan Kabupaten Trenggalek 2002-2005
363
Lampiran 17 Statistik perikanan PPN Prigi periode tahun 1999-2006 Jumlah kapal J u m lahkap al(u n it)(unit)
1200 1000 800 PTM
600
KM
400 200 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal/perahu.
Alat tangkap (unit) Ju m la halattan g ka p(u n it)
1400 1200
Pukat Cincin Jaring Insang Payang Pukat Pantai Pancing Prawe Pancing Ulur Pancing Tonda Jaring Klitik
1000 800 600 400 200 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Jumlah nelayan (orang) J u m la hn e la y a n(o r a n g )
b. Perkembangan jumlah alat tangkap 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
c. Perkembangan nelayan
Produksi ikan (ton) J u m la hn e la y a n(o r a n g )
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Jum lahn(Rp ilai prx od uksi (Rpx Nilai produksi juta)
d. Perkembangan jumlah produksi ikan 90000000 80000000 70000000 60000000 50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
e. Perkembangan nilai produksi ikan. Sumber: Statistik perikanan PPN Prigi tahun 1999-2006
2005
2006
364
Lampiran 18 Statistik perikanan Kabupaten Malang periode 1994-2006 u m la hk a p a l(unit) (u Jumlah Jkapal
400 350 300 250
PTM M T
200
KM
150 100 50 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
a. Perkembangan jumlah kapal/perahu 1800
Alat tangkap (unit) Jum lahalat ta ngk
1600 1400
Purse Seine Gill Net
1200
Payang 1000
Pancing Tonda
800
Rawai 600
Jaring angkat Lain-lain
400 200 0 1994
1995
1996
1997
1998
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
b. Perkembangan jumlah alat tangkap Jumlah nelayan (orang) J u m la hn e la y
2500
2000
1500
1000
500
0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
c.
Perkembangan jumlah nelayan
Produksi ikan produ ksiikan(t(ton) o
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
d. Perkembangan jumlah produksi ikan nilai prod uksi (tax h juta) Nilai produksi (Rp
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
e. Perkembangan jumlah nilai produksi ikan Sumber: 1) Diskan Provinsi Jawa Timur 1994-2000 2) Diskanlut Provinsi Jawa Timur 2001-2006 3) Dislutkan Kabupaten Malang 1997-1999 4) Dislutkan Kabupaten Malang 2002-2005
2005
2006
365
Lampiran 19 Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPN Palabuhanratu, tahun 2006 Fasilitas Fasilitas Pokok
Alur dan kolam pelabuhan Dermaga
Pemecah gelombang Penangkap pasir Turap penahan tanah Jalan kompleks pelabuhan Tempat parkir Fasilitas Fungsional Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pabrik Es Gdg. Cold Storage Tangki bahan bakar Tangki air tawar Galangan kapal Bengkel Slipway Penjemuran jaring Penjemuran ikan Ruang mesin Pasar ikan Gudang keranjang ikan Gudang jaring Fasilitas komunikasi Fasilitas Penunjang
Ukuran/ Kapasitas Kondisi
Alur : 294 m Kolam : sekitar 3 ha kedalaman -2,-5 dan -3 m
Baik
509 m & 410 m
Baik
125 m, 294 m, 200 m, 50 m
Baik
75 m 200 m
Baik Baik
Pemanfaatan Alur masuk pelabuhan dapat digunakan untuk kapal 100 GT. Terdapat dua kolam pelabuhan, Satu kolam dikhususkan untuk kapal longline. Kolam lainnya digunakan untuk kapal berukuran sedang dan kecil, namun dominasi kapal kecil lebih besar. Darmaga belum dipisahkan antara darmaga bongkar dan darmaga muat. Berfungsi dengan baik untuk melindungi kapal-kapal ikan berlabuh dan bersandar di dermaga dari hantaman gelombang Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Baik Dimanfaatkan Baik Dimanfaatkan 920 m2
Baik Kurang dimanfaatkan
320 m3, 208 m2 400 m3 ada ada ada 3000 m2 ada ada 352 m2 74 m2 500 m2 ada
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Dimanfaatkan Dimanfaatkan, diisi oleh PDAM Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Untuk penjualan produksi hasil perikanan Untuk menyimpan keranjang ikan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Berfungsi sebagai pusat administrasi Kantor Pengelola 528 m2 Baik pelabuhan, kantor syahbandar, bea cukai, PP/PPI imigrasi, kepolisian dan kesehatan Baik Dimanfaatkan Kantor syahbandar 190 m2 Baik Dimanfaatkan Ruang operator 2 unit Baik Dimanfaatkan Mess 1 unit Baik Dimanfaatkan Mushola 45 m2 Baik Dimanfaatkan MCK Baik Dimanfaatkan Poliklinik Sumber: PPN Palabuhanratu 2006 dan hasil pengamatan lapang
366
Lampiran 20 Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPP Cilautereun tahun 2006 Fasilitas Pokok Prasarana Perairan
(1) Alur dan kolam pelabuhan Pra dan Sarana Tambat (2) Dermaga (3) Tiang penambat kapal Pra dan Sarana Pelindung (7) Pemecah gelombang (8) Penangkap pasir (9) Turap penahan tanah Prasarana Transportasi (11) Jalan kompleks pelabuhan (12) Jembatan
Ukuran/ Kapasitas
Kondisi
Pemanfaatan
Alur ada yaitu mulut muara sungai Kolam = 350 m, Kolam = 100 m
Baik
Alur masuk pelabuhan berupa muara sungai, hanya dapat dimasui kapal ukuran kecil pada saat air surut
400 m
baik
-
Rusak
Darmaga berfungsi dengan baik untuk tempat bertambat Tidak digunakan maksimal
200 m2 247 m 247 m
Rusak -
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
150 m (50x50) m
Baik Baik
(13) Tempat parkir Fasilitas Fungsional 160 m2 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tangki bahan bakar Tangki air tawar Galangan kapal Bengkel Slipway
9 m2 (4 x 4) m2 (25 x 25) m2 87 m (25 x 25) m2 ada
Dimanfaatkan Sedang dibangun Dimanfaatkan selain oleh pedagang, pengisi perbekalan, juga oleh pengunjung wisata
Tidak dimanfaatkan untuk pelelangan Tidak dimanfaatkan Sedang Tidak operasi Baik Tradisional Baik Mesin, las Baik Tidak dimanfaatkan Jaring biasanya dijemur dekat tempat parkir kendaraan Ikan dijemur di pinggir pantai Tidak dimanfaatkan Baik Baik
Tempat penjemuran jaring ada Tempat penjemuran ikan Ruang mesin Fasilitas komunikasi Fasilitas Tambahan (12 x 10) m2 Rusak Kantor Pengelola PP/PPI 6 – 8 m2 Rusak Kantor syahbandar 64 m2 Rusak Mess 255 m2 Baik Mushola 9 m Rusak MCK Sumber: PPP Cilautereun 2006 dan hasil pengamatan lapang
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
367
Lampiran 21
Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPS Cilacap tahun 2006
Fasilitas Pokok (1) Alur dan kolam pelabuhan (2) Areal Pelabuhan (3) Dermaga - pendaratan - tambatan - pemeriksaan (4) Tiang penambat kapal (5) Pelampung tambat (6) Bollard (7) Pier (8) Pemecah gelombang (breakwater) utara selatan (9) Turap penahan tanah (10) Groin
(11) Revetment (11) Jalan kompleks pelabuhan (12) Jembatan (13) Tempat parkir Fasilitas Fungsional
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gudang trays
Ukuran/ Kapasitas Kondisi
7,74 Ha 33,00 Ha 2 unit a. 171,2 m 8 unit a. 78,8 m2 240 m2 6 per dermaga 6 per dermaga
247,57 m 146,84 m 116 m 146 m 1.120.64 m 348 m 2.968 m 1.500 m
Baik Baik
Baik
Baik
Alur pelabuhan mengalami pendangkalan sehingga menghambat kapal untuk masuk dan keluar pelabuhan
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Berfungsi melindungi kolam pelabuhan dari hempasan gelombang Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Dimanfaatkan
3.830 m
Baik
Dimanfaatkan
1 168 m2
Baik Baik
Dimanfaatkan Dimanfaatkan
baik
Berfungsi dengan baik untuk pemasaran hasil tangkapan. TPI sebelah timur untuk kapal>30 GT, sebelah barat untuk kapal<30 GT
2, baru&lama 1264 m2 (sebelah timur) 420 m2 (sebelah barat) 100 m2
Pabrik Es
Baik
Cold torage
Baik 2 SPBB 8000 liter dan 7 m2
Baik
Tangki air tawar
65 m3 dan 4 m 3
Baik
Galangan kapal
5 unit
Baik
Tangki bahan bakar
Pemanfaatan
Dimiliki oleh perusahaanperusahaan yang berada di sekitar kompleks pelabuhan Dimiliki oleh perusahaanperusahan yang berada disekitar kompleks pelabuhan Berfungsi dengan baik untuk pelayanan kebutuhan BBM nelayan Berfungsi dengan baik untuk menampung air sebagai pelayanan kepada pengguna pelabuan Berfungsi untuk pembangunan kapal-kapal perikanan
368
Tabel 21 Lanjutan Fasilitas Pokok Bengkel
Slipway Tempat penjemuran jaring Tempat pengolahan ikan Ruang mesin, pompa air Fasilitas komunikasi
Ukuran/ Kapasitas 75 m 3120 m2 1.000 m2 120 m2 5 unit
Kondisi Pemanfaatan
Baik Baik Baik Baik
Shelter nelayan
120 m2
Baik
Balai pertemuan nelayan
400 m
Baik
Rambu suar Instalasi penampung air limbah
2 buah
Baik
1 unit 2.500m 400 m 500 m 244 m
Baik
544 m2
Baik
Pagar kompleks Saluran drainase Fasilitas Penunjang Kantor Pengelola PP/PPI
Berfungsi dengan baik untuk perbaikan kapal, dengan ratarata 15 kapal per hari Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Digunakan untuk tempat istirahat nelayan Digunakan untuk rapat-rapat dan pertemuan dengan nelayan Berfungsi memandu kapal memasuki kolam pelabuhan Berfungsi mengolah limbah pelabuhan
Berfungsi Berfungsi
Kantor syahbandar 36 m2 Baik Ruang operator Mess 14 unit Baik Mushola Baik MCK 66 m2 Baik Laboratorium BMHP 200 m2 Baik Kawasan industri 1,85 ha Zona pengembangan 14,98 ha Sumber: PPS Cilacap 2006 dan hasil pengamatan lapang
Berfungsi dengan baik untuk kegiatan administrasi pelabuhan Berfungsi dengan baik untuk kantor operasional syahbandar Dimanfaatkan Ditempati oleh staf pelabuhan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Belum optimal Belum optimal
369
Lampiran 22 Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPI Pasir, Kabupaten Kebumen tahun 2005 Fasilitas Pokok
(1) Alur dan kolam pelabuhan
(2) Dermaga (3) Tiang penambat kapal (4) Pelampung tambat
(5) Pemecah gelombang (6) Jalan kompleks pelabuhan (7) Jembatan (8) Tempat parkir Fasilitas Fungsional
(1) Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Ukuran/ Kondisi Pemanfaatan Kapasitas Alur : panjang mengalami 50 m, kedalaman pendangka Kolam pelabuhan sudah tidak 6m lan dapat difungsikan lagi Kolam : 600 m x 175 m Mengalam 435 m (kapal <5 i Darmaga sudah tidak berfungsi GT, 25 unit) pendangka lan Sudah tidak berfungsi Sudah tidak berfungsi Berupa tetrapod berasalal Tidak berfungsi, hancur 75 m x 5 m dari semen diterjang stunami corTidak berfungsi Ada
Dimanfaatkan
Ada Ada
Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Luas gedung 30 x 10 m, luas lantai lelang 23 m x 10m Ada
(2) Pabrik Es mini
Tidak berfungsi Tidak berfungsi dengan baik Tidak berfungsi Baru dibangun tahun 2004 dengan dana 75 juta dengan baik Air sumur gali diameter 1 m kealaman 5 m Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Ada (5) Tangki air tawar (6)Tempat penjemuran jaring Ada (7) Tempat penjemuran ikan Ada 10 unit ukuran 3x3 dan 1 unit ukuran 4x4 m (8) Ruang mesin Ada (9) Gudang jaring Tidak ada Fasilitas komunikasi Fasilitas Tambahan (1) Kantor Pengelola PP/PPI Ada Tidak ada (2) Ruang operator Ada (3) Mushola Ada (4) MCK Sumber: PPI Pasir 2005 dan hasil pengamatan lapang
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
370
Lampiran 23 Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPI Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul tahun 2005 Fasilitas Pokok Prasarana Perairan (1) Alur dan kolam pelabuhan Pra dan Sarana Tambat
Keberadaan
Ukuran/ Kapasitas
Kondisi
Ada
Lebar 40 m
Baik
Dimanfaatkan
baik
Dimanfaatkan
Baik
Dimanfaatkan
baik
Dimanfaatkan
Ada (2) Dermaga (3) Tiang penambat kapal (4) Pelampung tambat Pra dan Sarana Pelindung (7) Pemecah gelombang (9) Turap penahan tanah Prasarana Transportasi (11) Jalan kompleks pelabuhan (12) Jembatan (13) Tempat parkir Fasilitas Fungsional Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pabrik Es Cold Strogae Tangki bahan bakar
Ada Ada Ada
4 tahap. 150 m 50 m.100 m kapal < 30 GT Optimalisasi dari jalur 1 150 m
Pemanfaatan
Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Ada
Dimanfaatkan
Ada Ada
Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Ada Ada
Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Ada
Dimanfaatkan 100 tangki/hari
Ada Tangki air tawar Ada Bengkel Ada Tempat penjemuran jaring Tempat penjemuran ikan Ada Ruang mesin Ada Gudang jaring Fasilitas komunikasi Fasilitas Tambahan Ada Rusak Kantor Pengelola PP/PPI Kantor syahbandar Ruang operator Ada Baik Ada Rusak Mess Ada Rusak Mushola Ada Rusak MCK Sumber: PPI Sadeng 2005 dan hasil pengamatan lapang
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
371
Lampiran 24 Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPN Prigi, Kabupaten Trenggalek tahun 2005 Fasilitas Pokok
Ukuran/ Kapasitas 11,5 ha 16 ha
Kondisi
Pemanfaatan
Baik Baik
Lahan tanah ada yang diusahakan oleh Perum Prasarana untuk pertokoan dan penjemuran ikan Kolam pelabuhan berfungsi dengan baik untuk berlabuh kapal dengan kedalaman sekitar 3 m. Terdapat dua kolam yaitu di sebelah barat untuk berlabuh kapal > 30 GT dan di sebelah timur untuk berlabuh kapalkapal berukuran kecil (< 3 GT). Berfungsi dengan baik untuk tempat bertambat kapal
(1) (2)
Lahan Kolam pelabuhan o Sebelah barat o Sebelah Timur
(3)
Dermaga
552 m2
Baik
(4) (5)
Revetment Pemecah gelombang (breakwater)
830 m2 710 m2
Baik
(6)
Jalan kompleks pelabuhan
Panjang : 1.123.5 m; lebar : 6 m
Baik, beraspal
(7)
Tempat parkir
168 m2
Baik, beraspal
Fasilitas Fungsional (1) Kantor
655 m2
Baik
Berfungsi dengan baik untuk kegiatan administrasi dan pengelolaan pelabuhan
940 m2 400 m2 20 ton/hari 50 ton
Baik Baik Baik Baik
30 ton
Baik
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Belum beroperasi Berfungsi dengan baik untuk menyediakan kebutuhan solar nelayan Sumber air berasal dari sumur artesis dengan kedalaman sekitar 90 m, dalam kondisi baik
40 ton 120 m2 250 KVA
Baik Baik Baik
90 m2
Baik
(2)
(3) (4)
Gedung TPI : o Sebelah Barat o Sebelah Timur Pabrik Es SPDN / BBM
(5)
Tower Air
(6) (7) (8)
Bak Air Bengkel Jaringan Listrik PLN
(9)
MCK
Berfungsi maksimal untuk melindungi kapal dari hempasan gelombang Berfungsi dengan baik untuk lalu lintas transportasi keluar masuk pelabuhan Berfungsi dengan baik untuk parkir kendaraan yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan
Berfungsi dengan baik, selain untuk penerangan jalan dan perumahan, juga dimanfaatkan untuk kebutuhan pabrik esm bengkel, cold storage dan perkantoran Berfungsi dengan baik untuk pelayanan pengguna pelabuhan
372
Tabel 24 Lanjutan Fasilitas Pokok (10)
(11) (12)
Ukuran/ Kapasitas
Kondisi
Pos Keamanan : o Pos Satpam
26 m2
Baik
o Pos Terpadu Telepon Lampu Suar
120 m2 7 unit 4 unit
Baik Baik Baik
1 unit (70 m2)
Baik
Fasilitas Penunjang (1) Rumah Kepala Dinas
Pemanfaatan Berfungsi dengan baik, sebagai tempat pemungutan pas masuk pelabuhan dan keamanan pelabuhan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Berfungsi dengan baik untuk memandu nelayan atau kapal masuk ke pelabuhan
(2)
Rumah Dinas
4 unit (@ 120 m2) 4 unit (@ 50 m2)
Baik
(3)
Guest House
1 unit (150 m2)
Baik
(4)
Balai Pertemuan Nelayan
300 m2
Baik
(5)
Kios BAP
54 m2
Baik
200 m2 16 unit x 24 m2 14 unit x 22,5 m2 180 m2
Baik Baik Baik Baik
Berfungsi dengan baik untuk tempat kepala Perum Prasarana Pelabuhan Perikanan Samudera cabang Prigi Berfungsi dengan baik dan dihuni oleh Kepala Pelabuhan staf PPN dan para pelaksana Perum Prasarana, 1 unit rumah dimanfaatkan untuk kantor dan mess Satpolairud Berfungsi dengan baik untuk sarana akomodasi tamu Berfungsi dengan baik untuk tempat pertemuan nelayan, dengan kapasitas sekitar 200 orang. Fasilitas juga digunakan untuk pertemuan dan rapat-rapat instansi/lembaga lain seperti HNSI dan Koperasi Mina Dimanfaatkan oleh Perum Prasarana untuk tempat pelayanan perbekalan BBM dan alat tangkap Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
10 unit 3 unit 1 unit 120 m2
Baik Baik Baik Baik
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
(6) (7) (8) (9) (10)
Gudang Kios Tertutup Kios Terbuka Gudang pengepakan Kendaraan Dinas o roda 2 o roda 3 o roda 4 (11) Bangunan Parkir
Sumber: PPN Prigi 2005 dan hasil pengamatan lapang
373
Lampiran 25 Jenis fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang, kondisi serta pemanfaatannya di PPP Pondokdadap, Kabupaten Malang tahun 2005 Fasilitas Pokok
Ukuran/ Kapasitas
(1) Alur dan kolam pelabuhan (2) Dermaga
Kondisi Baik, alami
4 unit
Baik
(3) Tiang penambat kapal (4) Tanah
5 Ha
Pemanfaatan Digunakan dengan baik untuk alur keluar masuk pelabuhan Berupa dermaga phonton, dengan frekuensi penggunaan yang tinggi Berfungsi baik Sebagian besar sudah digunakan untuk pembangunan fasilitas Lokasi terlindung secara alami oleh P. Sempu Berfungsi dengan baik Jalan dimanfaatkan dengan baik untuk memasok perbekalan kapal dan distribusi ikan Luas area parker cukup
(5) Pemecah gelombang
Tidak ada
(6) Turap penahan tanah
1900 m2
(7) Jalan kompleks pelabuhan
300 m2
Cukup
(9) Tempat parkir Fasilitas Fungsional Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
2.000 m2
Cukup
720 m2
Baik
Gudang es
200 m2
Baik
1 Unit (1m3)
Baik
Tangki air tawar
16 m2
Baik
Bengkel
60 m2
Baik
Gedung genset
60 m2
Baik
Los ikan segar
84 m2 (7 unit)
Baik
204 m2 450 m2 (3 unit) Radio SSB
Baik
Pelelangan ikan berjalan baik Berupa ruangan untuk menyimpan es, dimanfaatkan dengan baik Kebutuhan solar belum dapat dipepuhi oleh sarana yang ada Memenuhi kebutuhan air tawar di pelabuhan Digunakan untuk memperbaiki peralatan kapal yang rusak Tersedia 2 unit genset (65 kva) Dimanfaatkan untuk penanganan tuna berukuran besar sebelum dikirim ke Surabaya atau Bali Dimanfaatkan
Baik
Dimanfaatkan
Baik
130 m2
Baik
Dimanfaatkan, tidak ada sinyal HP Dimanfaatkan untuk acara pertemuan nelayan dan kegiatan masyarakat lainnya
150 m 3 unit (tipe 150,120, 70) ada 60 m2
baik
Dimanfaatkan
70% baik
Dimanfaatkan
Tangki bahan bakar
Gudang penyimpan garam Gedung pemindangan Fasilitas komunikasi Balai pertemuan nelayan Fasilitas Tambahan Kantor Pengelola PP/PPI Mess Mushola MCK
Baik Baik
Kios
38 m2
Baik
Pos Keamanan
2 unit
Baik
Mess Nelayan
8 unit
Baik
Sumber: PPP Pondokdadap 2005 dan hasil pengamatan lapang
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan untuk tempat berjualan makanan Dimanfaatkan Dimanfaatkan untuk tempat tempat tinggal nelayan
374
Lampiran 26 Karakteristik responden penelitian
No.
Responden
Jumlah (orang)
1.
Longline
13
2.
Purse seine
14
3.
Gillnet multifilament
8
4.
Gillnet monofilament
30
5.
Trammel net
8
6.
Payang
3
7.
Rawai
2
8.
Pancing tonda
11
9.
Pedagang
13
10.
Pengolah ikan
6
11.
Pengelola PP/PPI
6
12.
PEMDA/BAPPEDA
3
13.
Dinas Provinsi
2
14.
Dinas Kabupaten
3
15.
Penyuluh lapangan
1
16.
PMU
3
17.
KUD
2
18.
Tokoh Masyarakat
2
19.
Responden grup pakar
5
375
Lampiran 27 Kecenderungan nilai CPUE Perikanan Tuna 400
CPUE (kg/trip)
350 300 250 200 150 100 50 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
a. CPUE tuna dengan alat tangkap tonda di PPP Pondokdadap
6
CPUE (ton/trip)
5 4 3 2 1 0 2000
2001
2002
2003 Tahun
b. CPUE tuna di PPN Palabuhanratu
2004
2005
2006
376
Lampiran 28 Perhitungan kelayakan finansial perikanan tuna longline 1.
2.
3.
4.
Deskripsi umum unit penangkapan Panjang kapal Lebar kapal Dalam kapal Draft kapal Tonnage (GT) Material konstruksi Tahun pembuatan Mesin utama Kapasitas palkah Biaya investasi kapal Alat tangkap Mesin kapal Modal Kerja Investasi total Biaya tetap Biaya perawatan - kapal - alat tangkap - mesin kapal Biaya penyusutan - kapal - alat tangkap - mesin kapal Biaya kantor Biaya tetap total Biaya variabel Biaya operasi per trip Solar : 25.000 l x Rp 4.300,00 Olie : 400 l x Rp 8.000,00 Es : 350 balok x Rp 8.000,00 Umpan : - layang : 50 dus x Rp 125.000,00 - lemuru : 100 dus x Rp 85.000,00 - bandeng :50 dus x Rp 90.000,00 Gas/minyak tanah : 100 l x Rp 3.000,00 Air tawar : 10 ton x Rp 18.000,00 Konsumsi ABK Biaya perizinan dan perjalanan Gaji dan premi ABK Total biaya operasi per trip Pendapatan Nakhoda (10% x pendapatan bersih) Total biaya variabel Biaya total
21,02 – 26,42 m 5,10 – 7,24 m 1,30 – 3,27 m 0,90 – 2,90 m 33 – 137 GT Kayu 1996 – 2004 250 – 400 PK 8 – 40 ton Rp 800.000.000,00 Rp 125.000.000,00 Rp 125.000.000,00 Rp 50.000.000,00 Rp 1.100.000.000,00
Rp Rp Rp
100.000.000,00 100.000.000,00 75.000.000,00
Rp Rp Rp Rp Rp
80.000.000,00 12.500.000,00 12.500.000,00 125.000.000,00 505.000.000,00
Rp 107.500.000,00 Rp 3.200.000,00 Rp 2.800.000,00 Rp 6.250.000,00 Rp 8.500.000,00 Rp 4.500.000,00 Rp 300.000,00 Rp 180.000,00 Rp 15.000.000,00 Rp 5.000.000,00 Rp 36.400.000,00 Rp 192.330.000,00 Rp 14.967.000,00 Rp 1.243.782.000,00 Rp 1.748.782.000,00
377
Lampiran 28 Lanjutan Penerimaan Usaha No.
Tujuan pemasaran
1. 2.
Ekspor Lokal Sub Total Retribusi (5 % x penerimaan lokal) Sub Total Biaya operasi per trip Pendapatan bersih per trip Pendapatan Nakhoda (10 % x pendapatan bersih) Pendapatan ABK - Gaji - Premi
3.
4. 5. 6.
Jumlah hasil tangkapan (kg) 4.000 4.000
Harga (Rp/kg) 76.000 10.000
Penerimaan (Rp x 1.000) 304.000,00 40.000,00 344.000,00 2.000,00 342.000,00 192.330,00 149.670,00 14.967,00 2.427,00 1.700,00 727,00
Kelayakan Usaha No. 1.
Kriteria Keuntungan usaha
Nilai Rp
2. 3. 4.
NPV B/C IRR (%)
Rp
303.218.000,00 889.518.836,00 1,81 31,00
Kelayakan Usaha Hasil Simulasi No.
Kriteria
1. 2. 3. 4.
Keuntungan usaha NPV B/C IRR (%)
No.
Kriteria
Subsidi BBM 10 %
1.
Keuntungan usaha NPV B/C IRR (%)
Rp
2. 3. 4.
5 Trip per tahun Rp 168.515.000,00 Rp
5.685.568,00 1,01 9,00
Turun (%) 44,42 99,36 44,20 70,96
Produksi turun 5 % Rp 210.878,000,00
Turun (%) 30,45
Rp 283.643.956,00 1,26 14,00
68,11 30,39 54,84
361.268.000,00
Naik (%) 19,14
Kualitas ekspor naik Naik menjadi 60 % (%) Rp 590.498.000,00 94,74
Rp 1.270.405.090,00 2,15 37,00
42,82 18,78 19,35
Rp 2.774.462.906,00 211,91 3,52 94,48 51,00 64,52
Lampiran 29 Input analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) (daya tarik PP/PPI bagi pendaratan kapal longline) No.
PP/PPI
Fasilitas perairan - alur masuk pelabuhan - kedalaman kolam pelabuhan
Fasilitas darat - fasilitas bongkar muat - fasilitas penanganan ikan
1.
PPN Palabuhanratu
- alur masuk: 294 m - kedalaman kolam: - 3 m
- fasilitas tangki BBM: 320 m3, 208 m2 - tidak ada fasilitas tempat penanganan tuna
2.
PPP Cilautereun
- alur masuk dangkal - kedalaman kolam dangkal, luas kolam: 350 m, 100 m
- fasilitas tangki BBM: 9 m2 - tidak ada tempat penanganan tuna
3.
PPS Cilacap
- alur masuk: lebar 40 m - kedalaman kolam pelabuhan: - 3 m
- fasilitas tangki BBM: 8000 l, 7 m2 - pabrik es, cold storage
4.
PPI Pasir
- alur masuk pelabuhan tidak berfungsi - kolam pelabuhan tidak berfungsi
- tidak ada fasilitas tangki BBM - tidak ada tempat penanganan tuna
5.
PPI Sadeng
- alur masuk lebar: 40 m - kolam pelabuhan dangkal
- fasilitas BBM ada - tersedia pabrik es, tempat khusus penanganan tuna tidak ada
6.
PPI Tamperan
- alur masuk dangkal - kolam pelabuhan dangkal
- fasilitas tangki BBMtidak ada - tidak ada tempat penanganan ikan
7.
PPN Prigi
- alur masuk lebar - kolam pelabuhan: - 3 m
- fasilitas tangki BBM 50 ton - pabrik es di luar pelabuhan
8.
PP Pondokdadap
- alur masuk cukup lebar - kolam pelabuhan dangkal
- TPI 720 m2, tangki solar 1 unit: 1m3 - gedung penyimpan es 200 m2, tempat penanganan tuna
Potensi pemasaran - keberadaan industri pengolah tuna - keberadaan eksportir - akses pasar - industri pengolah tuna tidak ada - ekspor melalui eksportir yang ada di Jakarta - akses pasar tinggi - industri pengolah tuna tidak ada - ekspor melalui eksportir di Jakarta - akses pasar rendah - industri pengolah tuna cukup banyak - eksportir cukup banyak, dapat langsung dari Cilacap atau melalui Jakarta - akses jalan tinggi - tidak ada industri pengolah tuna - eksportir tidak ada - akses pasar rendah - industri pengolah tuna tidak ada - eksportir tidak ada, tuna dibawa pengumpul ke Surabaya atau Jakarta - akses pasar rendah - industri pengolah tuna tidak ada - eksportir tidak ada - akses pasar rendah - industri pengolah tuna tidak ada - eksportir tuna tidak ada, ikan tuna dibawa oleh pengumpul ke Surabaya atau Bali - akses pasar rendah - industri pengolah tuna tidak ada - eksportir tidak ada, ikan tuna dibawa pengumpul ke Surabaya atau Bali - akses pasar rendah
378
Lampiran 30 Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) (daya tarik PP/PPI bagi pendaratan kapal longline) No.
PP/PPI
Fasilitas perairan - alur masuk pelabuhan - kedalaman kolam pelabuhan
Fasilitas darat - fasilitas bongkar muat - fasilitas penanganan ikan
Potensi pemasaran
- tidak memenuhi - tidak memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi
1.
PPN Palabuhanratu
- memenuhi - memenuhi
- memenuhi - tidak memenuhi
2.
PPP Cilautereun
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
3.
PPS Cilacap
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
- memenuhi - memenuhi
4.
PPI Pasir
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
5.
PPI Sadeng
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
- tidak memenuhi - memenuhi
6.
PPI Tamperan
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
7.
PPN Prigi
- memenuhi - tidak memenuhi
- memenuhi - memenuhi
8.
PP Pondokdadap
- memenuhi - tidak memenuhi
- tidak memenuhi - memenuhi
- keberadaan industri pengolah tuna - keberadaan eksportir - akses pasar
Tingkat daya tarik
tinggi
rendah
tinggi
rendah
rendah
rendah
rendah
rendah
Kriteria keputusan : 51 - 100 % memenuhi kriteria : tingkat kelayakan teknis tinggi 0 - 50 % memenuhi kriteria : tingkat kelayakan teknis rendah 379
Lampiran 31 Penilaian analisis aspek teknis lokasi pelabuhan pada pengembangan perikanan lepas pantai No.
PP/PPI
Perairan - profil perairan lokasi pelabuhan - aspek oseanografi perairan
Penilaian
Darat - bentuk topografi lahan - luas lahan yang telah disediakan untuk pembangunan pelabuhan
Penilaian
Kelayakan teknis
1.
PPN Palabuhanratu
- teluk yang luas, lokasi pelabuhan cukup terlindung - pengaruh gelombang tidak begitu besar
- baik - baik
- baik
tinggi
2.
PPP Cilautereun
- sungai, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - pengaruh hempasan gelombang tidak begitu besar
- tidak baik - baik
- baik - baik
rendah
3.
PPS Cilacap
- teluk yang luas, lokasi pelabuhan cukup terlindungi oleh P. Nusakambangan - pengaruh hempasan gelombang tidak begitu besar
- baik
- lahan datar di sekitar lokasi pelabuhan cukup luas - luas lahan yang tersedia 10,6 ha - lahan datar di sekitar lokasi pelabuhan cukup luas - luas lahan yang tersedia terbatas - lahan datar di sekitar pelabuhan cukup luas - luas lahan : 33,00 ha
- tidak baik - baik
tinggi
- teluk sempit, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - pengaruh hempasan gelombang cukup besar
- tidak baik
- lahan datar di sekitar pelabuhan sempit, lahan di belakang pelabuhan berbukit - luas lahan yang tersedia terbatas
- tidak baik
- teluk sempit, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - pengaruh hempasan gelombang cukup besar - teluk sempit, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - pengaruh hempasan gelombang cukup besar - teluk yang luas, lokasi pelabuhan terlindung - pengaruh hempasan gelombang tidak begitu besar
- tidak baik
- lahan datar di sekitar pelabuhan sempit, lahan di belakang pelabuhan berbukit - luas lahan terbatas - lahan datar di sekitar lokasi pelabuhan cukup luas - luas lahan yang tersedia terbatas - lahan datar di sekitar lokasi pelabuhan cukup luas - luas lahan tersedia 11,5 ha - lahan datar di sekitar pelabuhan sempit, lahan di belakang pelabuhan berbukit - luas lahan : 5 ha
-tidak baik - tidak baik
rendah
- baik
rendah
- tidak baik - baik
tinggi
- baik - tidak baik
rendah
4.
PPI Pasir
5.
PPI Sadeng
6.
PPI Tamperan
7.
PPN Prigi
8.
PP Pondokdadap
- perairan terbuka,lokasi pelabuhan sedikit terlindungi oleh P. Sempu - pengaruh hempasan gelombang tidak begitu besar
- baik
- tidak baik
- tidak baik - tidak baik - tidak baik - baik - baik - baik - baik
- baik rendah
- tidak baik
- tidak baik
Kriteria keputusan : 51 - 100 % baik : tingkat kelayakan teknis tinggi 0 - 50 % baik : tingkat kelayakan teknis rendah 380
Lampiran 32 Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) perikanan lepas pantai PP/PPI
Jarak
Waktu
Biaya
1.
PPN Palabuhanratu
PPN PalabuhanratuBandung: 155 km Jakarta: 145 km
PPN PalabuhanratuBandung: 4-5 jam Jakarta: 4-5 jam
PPN PalabuhanratuBandung: 4-5 jam Jakarta: 4-5 jam
2.
PPP Cilautereun
3.
PPS Cilacap
4.
PPI Pasir
PPP CilautereunPamempeuk: 5 km, Garut: 84 km Bandung : 190 km Jakarta : PPS Cilacap Cilacap: 2 km Semarang: 251 km Jakarta: 350 km PPI KebumenKebumen: 45 km Semarang: 200 km Jakarta: 400 km
PPP CilautereunPamempeuk: 15’ Garut : 3-4 jam Bandung: 4-5 jam Jakarta: 6-7 jam PPS CilacapCilacap: 5 menit Semarang: 5-6 jam Jakarta: 7-8 jam PPI KebumenKebumen: 1-1,5 jam Semarang: 4-5 jam Jakarta: 8-9 jam
PPP CilautereunPamempeuk: 15’, Garut: 3-4 jam Bandung: 4-5 jam Jakarta: 6-7 jam PPS CilacapCilacap: 5 menit Semarang: 3-4 jam Jakarta: 7-8 jam PPI KebumenKebumen: 1-1,5 jam Semarang: 4-5 jam Jakarta: 8-9 jam
5.
PPI Sadeng
PPI SadengWonosari: 46 km Yogyakarta: 90 km
SadengWonosari: 1-1,5 jam Yogyakarta: 2-3 jam
SadengWonosari: 1-1,5 jam Yogyakarta: 2-3 jam
6.
PPI Tamperan
PPI TamperanSurabaya: 256 km Surakarta: 117 km Yogyakarta: 114 km
PPI TamperanSurabaya: 6-7 jam Surakarta: 3-4 jam Yogyakarta: 3-4 jam
PPI TamperanSurabaya: 6-7 jam Surakarta: 3-4 jam Yogyakarta: 3-4 jam
7.
PPN Prigi
PPN PrigiWatulimo: 4 km Trenggalek: 47 km Surabaya: 260 km
PPN Prigi Watulimo: 10 menit Trenggalek: 1-2 jam Surabaya: 6-7 jam
PPN PrigiWatulimo: 4 km Trenggalek: 47 km Surabaya: 260 km
8.
PPP Pondokdadap
PPP PondokdadapKepanjen: 75 km Malang: 69 km Surabaya: 157 km
PPI PondokdadapKepanjen: 2-3 jam Malang: 2-3 jam Surabaya: 5-6 jam
PPI PondokdadapKepanjen: 75 km Malang: 69 km Surabaya: 157 km
Prasarana jalan -Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; - Jalan tol - Kondisi: baik - Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Sarana transportasi Truk, colt, mini bus
Hambatan perjalanan Jalan sempit, Berkelok-kelok, kemacetan
Truk, bus
mini
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
- Jalan hotmix, lebar jalan 8-9 m; - Jalan tol - Kondisi : baik - Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Truk, colt, mini bus, bus, container,
Pada beberapa ruas jalan kadang terjadi kemacetan
Truk, colt
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
- Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Truk, colt
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
Truk, colt, mini bus, bus, container
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol Surabaya: 260 km Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Truk, bus
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
colt,
colt,
Truk, colt
mini
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
381
No.
Lampiran 33 Hasil analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) perikanan lepas pantai Sarana transportasi
Hambatan perjalanan
Tingkat aksesibilitas
kecil (baik)
Kualitas Prasarana jalan baik
baik
tinggi (tidak baik)
tinggi
lama (tidak baik)
besar (tidak baik)
baik
jelek
tinggi (tidak baik)
rendah
jauh (tidak baik)
lama (tidak baik)
besar (baik)
baik
baik
rendah (baik)
tinggi
PPI Pasir
jauh (tidak baik)
lama (tidak baik)
besar (tidak baik)
jelek
jelek
tinggi (tidak baik)
rendah
5.
PPI Sadeng
dekat (baik)
cepat (baik)
kecil (baik)
jelek
jelek
tinggi (tidak baik)
rendah
6.
PPI Tamperan
jauh (tidak baik)
lama (tidak baik)
besar (tidak baik)
baik
jelek
tinggi (tidak baik)
rendah
7.
PPN Prigi
jauh (tidak baik)
lama (tidak baik)
besar (tidak baik)
jelek
jelek
tinggi (tidak baik)
rendah
8.
PPP Pondokdadap
dekat (baik)
cepat (baik)
kecil (baik)
jelek
jelek
tinggi (tidak baik)
rendah
No.
PP/PPI
jarak
waktu
biaya
1.
PPN Palabuhanratu
dekat (baik)
cepat (baik)
2.
PPP Cilautereun
jauh (tidak baik)
3.
PPS Cilacap
4.
* Pengukuran : Zona PP/PPI dari dan menuju tujuan pasar primer: PPN Palabuhanratu, PPP Cilautereun, PPS Cilacap, PPI Pasir: Jakarta PPI Sadeng: Yogyakarta PPI Tamperan: Surakarta, Yogyakarta PPN Prigi, PPP Pondokdadap: Surabaya Kriteria keputusan : 51 - 100 % nilai baik = tingkat aksesibilitas tinggi 0 - 50 % nilai baik = tingkat aksesibilitas rendah
382
Lampiran 34
Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI di masa datang) pada pengembangan perikanan lepas pantai
PP/PPI
Peruntukan lahan
Jumlah Penduduk tingkat Kecamatan (jiwa)
1.
PPN Palabuhanratu
Lebih dari 50.000
2.
PPP Cilautereun
3.
PPS Cilacap
Peruntukan lahan: perikanan, pariwisata, industri, dan perdagangan Peruntukan lahan: perikanan dan pariwisata Peruntukan lahan: perikanan, pariwisata, industri, perdagangan Besar
4.
PPI Pasir
Peruntukan lahan: perikanan dan pariwisata
Kurang dari 50.000
5.
PPP Sadeng
Peruntukan lahan: perikanan
Kurang dari 50.000
6.
PPI Tamperan
Peruntukan lahan: perikanan, industri dan pariwisata
62.282
7.
PPN Prigi
61.120
8.
PPP Pondokdadap
Peruntukan lahan: perikanan, pariwisata, dan industri, Peruntukan lahan: perikanan
35.546
77.132
sedikit
Perkembangan sektor perikanan - keberadaan - perkembangan - jumlah produksi - ada - sudah berkembang - 3.367.517 kg - ada - sudah berkembang - 2.391.770 kg - ada - sudah berkembang -5.955.170 kg - ada - belum berkembang - 444.297 kg - ada - belum berkembang - 232.193 kg - ada - belum berkembang - 592.954 kg - ada - sudah berkembang - 17.794.000 kg - ada - sudah berkembang - 6. 660.702 kg
Perkembangan sektor industri - keberadaan - perkembangan
Perkembangan sektor pariwisata - keberadaan - perkembangan
- ada - industri pengolahan ikan
- ada - wisata pantai
- tidak ada
Keberadaan pusat pemerintahan
Perkembangan sektor perdagangan - keberadaan - perkembangan - ada - sedang berkembang
Pusat pemerintahan kabupaten
- ada - wisata pantai
- tidak ada
bukan
- ada - industri semen, tepung terigu, pengolahan ikan, pakan ternak, kilang minyak - tidak ada
- ada - wisata pantai
- ada - sektor perdagangan maju
Pusat pemerintahan kecamatan
- ada - wisata pantai
- tidak ada
bukan
- tidak ada
- tidak ada
- tidak ada
bukan
- ada - industri kapal fiberglass
- ada - wisata pantai
- ada
Pusat pemerintahan kabupaten
- ada - industri tepung ikan
- ada - wisata pantai
- tidak ada
bukan
- tidak ada
- tidak ada
- tidak ada
bukan
383
No.
Lampiran 35 Hasil analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI di masa datang) pada pengembangan perikanan lepas pantai
ada
Keberadaan pusat pemerintahan ya
Tingkat bangkitan pergerakan tinggi
ada
tidak ada
bukan
rendah
ada
ada
ada
ya
tinggi
belum
tidak ada
ada
tidak ada
bukan
rendah
belum
tidak ada
ada
tidak ada
bukan
rendah
belum
tidak ada
ada
ada
ya
tinggi
sudah
tidak ada
ada
tidak ada
bukan
tinggi
sudah
tidak ada
ada
tidak ada
bukan
rendah
Perkembangan perdagangan
ada
Perkembangan sektor pariwisata ada
sudah
tidak ada
sudah
No.
PP/PPI
Peruntukan lahan
Jumlah penduduk
Perkembangan sektor perikanan
Perkembangan sektor industri
1.
banyak
besar
kecil
sedikit
besar
besar
4.
PPI Pasir
kecil
sedikit
5.
PPP Sadeng
kecil
kecil
6.
PPI Tamperan
besar
besar
7.
PPN Prigi
besar
besar
8.
PPP Pondokdadap
kecil
sedikit
ada, berkembang ada, berkembang ada, berkembang ada, berkembang ada, berkembang ada, berkembang ada, berkembang ada, berkembang
sudah
3.
PPN Palabuhanratu PPP Cilautereun PPS Cilacap
2.
Kriteria keputusan : 51 - 100 % nilai baik = tingkat peluang bangkitan pergerakan tinggi 0 - 50 % nilai baik = tingkat peluang bangkitan pergerakan rendah
384
Lampiran 36 Penilaian secara keseluruhan analisis subsistem pelabuhan: fungsionalitas dan aksesibilitas pada perikanan lepas pantai No.
PP/PPI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PPN Palabuhanratu PPP Cilautereun PPS Cilacap PPI Pasir PPP Sadeng PPI Tamperan PPN Prigi PPP Pondokdadap
Keterkaitan dengan fishing ground (tingkat daya tarik) tinggi rendah tinggi rendah rendah rendah rendah rendah
Kelayakan teknis lokasi pelabuhan tinggi rendah tinggi rendah rendah rendah tinggi rendah
Keterkaitan dengan pasar (tingkat aksesibilitas lokasi pelabuhan) tinggi rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
Keterkaitan dengan pasar (tingkat peluang bangkitan pergerakan lokasi pelabuhan) tinggi rendah tinggi rendah rendah tinggi tinggi rendah
Penilaian
baik tidak baik baik tidak baik tidak baik tidak baik tidak baik tidak baik
Kriteria keputusan : 51 - 100 % nilai tinggi = keberadaan pelabuhan perikanan baik untuk mendukung perkembangan perikanan tuna 0 - 50 % nilai tinggi = keberadaan pelabuhan perikanan tidak baik untuk mendukung perkembangan perikanan tuna
385
386
Lampiran 37 Hasil analisis CPUE beberapa jenis alat tangkap di Selatan Jawa Kabupaten Cilacap a. Alat tangkap gillnet
CPUE (ton/trip)
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
b. Alat tangkap trammel net 0.14
CPUE (ton/trip)
0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Kabupaten Prigi c. Alat tangkap purse seine 30
CPUE (ton/trip)
25 20 15 10 5 0 1999
2000
2001
2002 Tahun
2003
2004
2005
387
Lampiran 37 Lanjutan d. Alat tangkap Rawai 4 3.5
CPUE (ton/trip)
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Kebumen e. Bawal putih di PPI Pasir dengan alat tangkap jaring insang monofilament 0.16 0.14
CPUE (ton/trip)
0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Tahun
f. Layur di PPI Pasir dengan alat tangkap jaring insang monofilament 0.6
CPUE (ton/trip)
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1995
1996
1997
1998 Tahun
1999
2000
2001
388
Lampiran 37 Lanjutan Garut g. Lobster 0.03
CPUE (ton/trip)
0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0 1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Kabupaten Sukabumi h. Cakalang dengan alat tangkap gillnet 30
CPUE (ton/trip)
25 20 15 10 5 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
i. Cucut dengan rawai 25
CPUE (ton/trip)
20
15
10
5
0 1994
1995
1996
1997
1998 Tahun
389
Lampiran 38 Perhitungan finansial perikanan trammel net Keadaan unit penangkapan ikan
Keterangan
I. Investasi Kapal dan perlengkapannya (umur teknis 10 tahun)
77,300,000
Mesin (umur teknis 10 tahun)
24,125,000
Alat tangkap 2 set (umur teknis 2 tahun)
12,550,000
Life Jacket (umur teknis 5 tahun; 8 x Rp.120.833,00)
966,667 Jumlah
114,941,667
II. Penerimaan (A) Musim Paceklik : - Udang Jerbung : 30 kg/trip x Rp57.643,00 x 8 trip
13,834,320
- Udang Dogol : 25 kg/trip x Rp27.409,00 x 8 trip
5,481,800
Musim Biasa : - Udang Jerbung : 55 kg/trip x Rp53.378,00 x 12 trip
35,229,480
- Udang Dogol : 40 kg/trip x Rp23.937,00 x 12 trip
11,489,760
Musim Puncak : - Udang Jerbung : 75 kg/trip x Rp57.107,00 x 16 trip
68,528,400
- Udang Dogol : 60 kg/trip x Rp26.497,00 x 16 trip
25,437,120 Jumlah A
160,000,880
Biaya Tetap (B) Penyusutan kapal dan perlengkapannya
6,530,000
Penyusutan mesin
1,612,500
Penyusutan Alat tangkap
6,275,000
Penyusutan life jacket
193,333
Perawatan Kapal
1,487,500
Perawatan Alat tangkap
616,667
Perawatan mesin
3,000,000
SIUP
65,000
Pas Biru
150,000 Jumlah B
19,930,000
Perbekalan (C) Retribusi (3 % x A)
4,800,026
Solar (103 liter/trip x 36 trip x Rp4.300,00/liter) Konsumsi : Beras (0,6 kg/ABK/Hari x 288 hari x 8 ABK x Rp3.500,00/kg)
15,944,400
Rokok ( 1 bks/ABK/Hari x 288 hari x 8 ABK x Rp5.000,00/bks)
11,520,000
4,838,400
Oli (6 liter/trip x 36 trip x Rp15.000,00/liter)
3,240,000
Es balok (5,67 balok/trip x 36 trip x Rp12.000,00/balok)
2,449,440
Minyak Tanah (10 liter/trip x 36 trip x Rp2.500,00/liter)
900,000 Jumlah C
Keuntungan Sebelum Bagi Hasil (D = A - C) Bagi Hasil ABK (E = 45% x D) Bonus Nahkoda (F = 4,5% x D)
43,692,266 116,308,614 52,338,876 5,233,888
Total Biaya Operasional (G = C + E + F)
101,265,030
TOTAL BIAYA (H = B + G)
121,195,031
390 Lampiran 38 Lanjutan
Keuntungan Bersih Pemilik Setelah Bagi Hasil (A - H) DF = 15% NPV Net B/C IRR
130,259,354 2.1333 0.41623
38,805,849
Lampiran 39 Input analisis keterkaitan dengan fishing ground (daya tarik PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai No.
Kriteria *)
Fasilitas perairan - alur masuk pelabuhan - kedalaman kolam pelabuhan
Fasilitas darat - fasilitas bongkar muat - fasilitas penanganan ikan
1.
PPN Palabuhanratu
- alur masuk: 294 m - kedalaman kolam: - 3 m
2.
PPP Cilautereun
- alur masuk dangkal - kedalaman kolam dangkal, luas kolam: 350 m, 100 m
- TPI: 920 m2, fasilitas BBM: 320 m3, 208 m2 - fasilitas penanganan ikan ada - TPI: 160 m2, tangki BBM: 9 m2 - tidak ada tempat penanganan tuna
Potensi pemasaran - keberadaan industri pengolah ikan - keberadaan eksportir - akses pasar - industri pengolah ikan ada - eksportir ada - akses pasar tinggi - industri pengolah ikan ada - pedagang pengumpul ada, eksportir tidak ada - akses pasar rendah
3.
PPS Cilacap
- alur masuk: lebar 40 m - kedalaman kolam pelabuhan: - 3 m
4.
PPI Pasir
- alur masuk pelabuhan tidak berfungsi - kolam pelabuhan tidak berfungsi
- TPI: 1264 m2, 420 m2, fasilitas BBM: 8000 l, 7 m2 - pabrik es, cold storage - TPI: 230 m2, tidak ada fasilitas BBM - tidak ada tempat penanganan tuna
- industri pengolah ikan banyak - eksportir cukup banyak - akses jalan tinggi - tidak ada industri pengolah ikan - pedagang pengumpul ada, eksportir tidak ada - akses pasar rendah
5.
PPI Sadeng
- alur masuk lebar: 40 m - kolam pelabuhan dangkal
- TPI tersedia, fasilitas BBM ada - tersedia pabrik es
6.
PPI Tamperan
- alur masuk dangkal - kolam pelabuhan dangkal
7.
PPN Prigi
- alur masuk lebar - kolam pelabuhan: - 3 m
8.
PP Pondokdadap
- alur masuk cukup lebar - kolam pelabuhan dangkal
- TPI: 160 m2, fasilitas BBM: tidak ada - tidak ada tempat penanganan ikan - TPI: 940 m2, 400 m2, fasilitas BBM: 50 ton - Pabrik es di luar pelabuhan - TPI 720 m2, tangki solar 1 unit: 1m3 - gedung penyimpan es 200 m2, tempat penanganan tuna
- industri pengolah ikan tidak ada - pedagang pengumpul ada, eksportir tidak ada - akses pasar rendah - industri pengolah ikan tidak ada - pedagang pengumpul ada, eksportir tidak ada - akses pasar tinggi - industri pengolah ikan ada - pedagang pengumpul ada, eksportir ada - akses pasar tinggi - industri pengolah ikan ada - pedagang pengumpul ada, eksportir tidak ada - akses pasar tinggi
391
Lampiran 40 Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground (daya tarik PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai No.
Kriteria *)
Fasilitas perairan - alur masuk pelabuhan - kedalaman kolam pelabuhan
Fasilitas darat - fasilitas bongkar muat - fasilitas penanganan ikan
Potensi pemasaran
- memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi - memenuhi
1.
PPN Palabuhanratu
- memenuhi - memenuhi
- memenuhi - memenuhi
2.
PPP Cilautereun
- memenuhi - memenuhi
- memenuhi - tidak memenuhi
3.
PPS Cilacap
- memenuhi - memenuhi
- memenuhi - memenuhi
4.
PPI Pasir
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
5.
PPI Sadeng
- memenuhi - memenuhi
- memenuhi - memenuhi
6.
PPI Tamperan
- memenuhi - tidak memenuhi
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
7.
PPN Prigi
- memenuhi - tidak memenuhi
- memenuhi - memenuhi
8.
PP Pondokdadap
- memenuhi - tidak memenuhi
- memenuhi - memenuhi
Tingkat daya tarik
tinggi
sedang
tinggi
rendah
sedang
sedang
tinggi
tinggi
392
Keputusan : 6 -7 kriteria memenuhi = daya tarik tinggi 3 - 5 kriteria memenuhi = daya tarik sedang 0 - 2 kriteria memenuhi = daya tarik rendah
- keberadaan industri pengolah tuna - keberadaan eksportir - akses pasar
Lampiran 41 Penilaian aspek teknis pelabuhan pada pengembangan perikanan pantai No.
Kriteria *)
1.
PPN Palabuhanratu
2.
PPP Cilautereun
3.
4.
5.
6.
PPS Cilacap
PPI Pasir
PPI Sadeng
PPI Tamperan
Fasilitas perairan - profil lokasi pelabuhan - alur masuk pelabuhan - kedalaman kolam pelabuhan - panjang darmaga - teluk yang luas, lokasi pelabuhan terlindung - alur masuk: 294 m - kedalaman: – 3 m - panjang darmaga : 509 m, 410 m - sungai, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - alur masuk pelabuhan sempit dan dangkal - kedalaman kolam pelabuhan dangkal - panjang darmaga: 400 m - teluk yang luas, lokasi pelabuhan cukup terlindungi oleh P. Nusakambangan - alur masuk pelabuhan 40 m, namun sering mengalami pendangkalan - kedalaman kolam: - 3 m - panjang darmaga: (2x171m), (8x78,8 m), 240 m - teluk sempit, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - alur masuk tidak berfungsi - kedalaman kolam pelabuhan sudah kering - darmaga tidak berfungsi - teluk sempit, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - alur masuk pelabuhan sempit - kedalaman kolam dangkal - panjang darmaga cukup - teluk sempit, lokasi pelabuhan tidak cukup terlindung - alur masuk pelabuhan sempit - kedalaman kolam pelabuhan dangkal - darmaga tidak berfungsi
Penilaian
Fasilitas darat - luas lahan - fasilitas bongkar muat - fasilitas penanganan ikan
Penilaian
Kelayakan teknis
- baik - memenuhi - memenuhi
- luas lahan: 10,6 ha - tersedia TPI, fasilitas BBM, fasilitas perbekalan lainnya - tersedia es - cukup - tersedia TPI, fasilitas BBM, fasilitas perbekalan lainnya - tersedia es,namun tempat khusus untuk penanganan ikan belum ada - luas lahan: 33,00 ha - TPI: 1.264 m2, 420 m2 fasilitas BBM: 8.000 l, 7 m2 - pabrik es banyak, cold storage tersedia
- memenuhi - memenuhi
tinggi
- luas lahan terbatas - tersedia TPI, fasilitas lain masih terbatas - tersedia es, namun tempat khusus untuk penanganan ikan belum ada - luas lahan tidak cukup luas - tersedia TPI, fasilitas BBM, fasilitas perbekalan masih terbatas - tersedia pabrik es mini
- tidak memenuhi - tidak memenuhi
- luas lahan cukup luas - Ada TPI tetapi tidak berfungsi, fasilitas lain belum ada - fasilitas penanganan ikan tidak ada
- memenuhi - tidak memenuhi
- tidak baik - memenuhi - memenuhi - memenuhi - baik - memenuhi - memenuhi - memenuhi - tidak baik - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak memenuhi - tidak baik - memenuhi - memenuhi - memenuhi - tidak baik - memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi
- baik - memenuhi - baik
tinggi
- baik - memenuhi - memenuhi
tinggi
- memenuhi
rendah
- memenuhi - baik - memenuhi
tinggi
- memenuhi sedang
- tidak memenuhi
393
Lampiran 41 Lanjutan No.
Kriteria *)
7.
PPN Prigi
8.
PPP Pondokdadap
Fasilitas perairan - profil lokasi pelabuhan - alur masuk pelabuhan - kedalaman kolam pelabuhan - panjang darmaga - teluk yang luas, lokasi pelabuhan terlindung - alur masuk pelabuhan: lebar - kedalaman kolam pelabuhan: - 3 m - panjang darmaga: 552 m2 - perairan terbuka,lokasi pelabuhan terlindungi oleh P. Sempu - alur masuk lebar - kedalaman kolam pelabuhan dangkal - darmaga phonton 4 unit
Penilaian
Fasilitas darat - luas lahan - fasilitas bongkar muat - fasilitas penanganan ikan
Penilaian
Kelayakan teknis
- baik - memenuhi - memenuhi - memenuhi
- luas lahan: 11,5 ha - TPI: 940 m2, 400 m2 Fasilitas BBM: 50 ton - tersedia es, namun tempat khusus untuk penanganan ikan belum ada - luas lahan : 5 ha - tersedia TPI, fasilitas BBM dan fasilitas perbekalan lainnya - tersedia es, tempat khusus untuk penanganan ikan ada
- memenuhi - memenuhi - memenuhi
tinggi
- memenuhi - memenuhi - memenuhi
tinggi
- baik - memenuhi - memenuhi - tidak memenuhi
Keputusan : 67-100% memenuhi : tingkat kelayakan teknis tinggi 34-66% memenuhi : tingkat kelayakan teknis sedang 0-33% memenuhi : tingkat kelayakan teknis rendah
394
Lampiran 42 Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (bacward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai Kriteria *)
jarak
waktu
biaya
1.
PPN Palabuhanratu
PPN PalabuhanratuBandung : 155 km Jakarta : 145 km
PPN PalabuhanratuBandung : 4-5 jam Jakarta : 4-5 jam
PPN PalabuhanratuBandung : 4-5 jam Jakarta : 4-5 jam
2.
PPP Cilautereun
3.
PPS Cilacap
4.
PPI Pasir
PPP CilautereunPamempeuk: 5 km Garut : 84 km Bandung: 190 km Jakarta: PPS Cilacap Cilacap: 2 km Semarang: 251 km Jakarta: 350 km PPI KebumenKebumen: 45 km Semarang: 200 km Jakarta: 400 km
PPP CilautereunPamempeuk: 15’, Garut: 3-4 jam Bandung: 4-5 jam Jakarta: 6-7 jam PPS CilacapCilacap: 5 menit Semarang: 5-6 jam Jakarta: 7-8 jam PPI KebumenKebumen: 1-1,5 jam Semarang: 4-5 jam Jakarta: 8-9 jam
PPP CilautereunPamempeuk: 15’ Garut : 3-4 jam Bandung: 4-5 jam Jakarta: 6-7 jam PPS CilacapCilacap: 5 menit Semarang: 3-4 jam Jakarta: 7-8 jam PPI KebumenKebumen: 1-1,5 jam Semarang: 4-5 jam Jakarta: 8-9 jam
5.
PPI Sadeng
PPI SadengWonosari: 46 km Yogyakarta: 90 km
SadengWonosari: 1-1,5 jam Yogyakarta: 2-3 jam
SadengWonosari: 1-1,5 jam Yogyakarta: 2-3 jam
6.
PPI Tamperan
PPI TamperanSurabaya: 256 km Surakarta: 117 km Yogyakarta: 114 km
PPI TamperanSurabaya: 6-7 jam Surakarta: 3-4 jam Yogyakarta: 3-4 jam
7.
PPN Prigi
PPN PrigiWatulimo: 4 km Trenggalek: 47 km Surabaya: 260 km
8.
PPP Pondokdadap
PPP PondokdadapKepanjen: 75 km Malang: 69 km Surabaya: 157 km
Prasarana jalan -Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; - Jalan tol - Kondisi : baik - Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Sarana transportasi Truk, colt, mini bus
Hambatan perjalanan Jalan sempit, Berkelok-kelok, kemacetan
Truk, colt, mini bus
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
- Jalan hotmix, lebar jalan 8-9 m; - Jalan tol - Kondisi: baik - Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Truk, colt, mini bus, bus, container,
Pada beberapa ruas jalan kadang terjadi kemacetan
Truk, colt
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
Truk, colt
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
PPI TamperanSurabaya: 6-7 jam Surakarta: 3-4 jam Yogyakarta: 3-4 jam
- Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Truk, colt, mini bus, bus, container
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
PPN Prigi Watulimo: 10 menit Trenggalek: 1-2 jam Surabaya: 6-7 jam
PPN PrigiWatulimo: 4 km Trenggalek: 47 km Surabaya: 260 km
Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak Jalan tol Surabaya:260 km
Truk, colt, mini bus
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
PPI PondokdadapKepanjen: 2-3 jam Malang: 2-3 jam Surabaya: 5-6 jam
PPI PondokdadapKepanjen: 75 km Malang: 69 km Surabaya: 157 km
Jalan hotmix, lebar jalan 5-6 m; sebagian ada yang rusak - Jalan tol
Truk, colt
Jalan sempit, berkelok-kelok, sebagian ruas jalan rusak
395
No.
Lampiran 43 Hasil analisis analisis keterkaitan dengan pasar (bacward linkages) (tingkat aksesibilitas lokasi PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai No.
Kriteria *)
jarak
waktu
biaya
1.
PPN Palabuhanratu
jauh
lama
2.
PPP Cilautereun
jauh
3.
PPS Cilacap
4.
Sarana transportasi
Hambatan perjalanan
Tingakat aksesibilitas
besar
Kualitas Prasarana jalan baik
baik
tinggi
sedang
lama
besar
jelek
jelek
tinggi
rendah
dekat
cepat
kecil
baik
baik
rendah
tinggi
PPI Pasir
jauh
lama
besar
jelek
jelek
tinggi
rendah
5.
PPI Sadeng
jauh
lama
besar
baik
jelek
tinggi
rendah
6.
PPI Tamperan
dekat
cepat
kecil
baik
baik
tinggi
tinggi
7.
PPN Prigi
jauh
lama
besar
baik
jelek
tinggi
rendah
8.
PP Pondokdadap
jauh
lama
besar
baik
jelek
tinggi
rendah
* Pengukuran Zona PP/PPI dari dan menuju tujuan pasar primer: PPN Palabuhanratu: lokal Sukabumi PPP Cilautereun: lokal Garut PPS Cilacap: lokal Cilacap PPI Pasir: lokal Kebumen PPI Sadeng: lokal Yogyakarta PPI Tamperan: lokal Pacitan PPN Prigi: lokal Trenggalek PPP Pondokdadap: lokal Malang
396
Keputusan : 70 - 100 % nilai kebaikan = tingkat aksesibilitas tinggi 30 - 69 % nilai kebaikan = tingkat aksesibilitas sedang 0 - 29 % nilai kebaikan = tingkat aksesibilitas rendah
Lampiran 44
Input untuk analisis keterkaitan dengan pasar (bacward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai
No.
PP/PPI
Peruntukan lahan
Jumlah Penduduk tingkat Kecamatan (jiwa)
1.
PPN Palabuhanratu
Lebih dari 50.000
2.
PPP Cilautereun
3.
PPS Cilacap
Peruntukan lahan: perikanan, pariwisata, industri, dan perdagangan Peruntukan lahan: perikanan dan pariwisata Peruntukan lahan: perikanan, pariwisata, industri, perdagangan Besar
4.
PPI Pasir
Kurang dari 50.000
5.
PPP Sadeng
Peruntukan lahan: perikanan dan pariwisata Peruntukan lahan: perikanan
6.
PPI Tamperan
62.282
7.
PPN Prigi
8.
PPP Pondokdadap
Peruntukan lahan: perikanan, industri dan pariwisata Peruntukan lahan: perikanan, pariwisata, dan industri, Peruntukan lahan: perikanan
35.546
77.132
Kurang dari 50.000
61.120
sedikit
Perkembangan sektor perikanan - keberadaan - perkembangan - jumlah produksi - ada - sudah berkembang - 3.367.517 kg - ada - sudah berkembang - 2.391.770 kg - ada - sudah berkembang -5.955.170 kg
- ada - belum berkembang - 444.297 kg - ada - belum berkembang - 232.193 kg - ada - belum berkembang - 592.954 kg - ada - sudah berkembang - 17.794.000 kg - ada - sudah berkembang -6. 660.702 kg
Perkembangan sektor industri - keberadaan - perkembangan
Perkembangan sektor pariwisata - keberadaan - perkembangan
- ada - industri pengolahan ikan
- ada - wisata pantai
- tidak ada
Keberadaan pusat pemerintahan
Perkembangan sektor perdagangan - keberadaan - perkembangan - ada - sedang berkembang
Pusat pemerintahan kabupaten
- ada - wisata pantai
- tidak ada
bukan
- ada - industri semen, tepung terigu, pengolahan ikan, pakan ternak, kilang minyak - tidak ada
- ada - wisata pantai
- ada - sektor perdagangan maju
Pusat pemerintahan kecamatan
- ada - wisata pantai
- tidak ada
bukan
- tidak ada
- tidak ada
- tidak ada
bukan
- ada - industri kapal fiberglass - ada - industri tepung ikan
- ada - wisata pantai
- ada
- ada - wisata pantai
- tidak ada
Pusat pemerintahan kabupaten bukan
- tidak ada
- tidak ada
- tidak ada
bukan
397
Lampiran 45 Hasil analisis analisis keterkaitan dengan pasar (bacward linkages) (peluang bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI) pada pengembangan perikanan pantai
Ada
Keberadaan pusat pemerintahan ya
Tingkat bangkitan pergerakan tinggi
Ada Ada Ada
Tidak ada Ada Tidak ada
Bukan ya Bukan
rendah tinggi rendah
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Bukan
rendah
Tidak ada
Ada
Ada
ya
tinggi
Tidak ada Tidak ada
Ada ada
Tidak ada Tidak ada
Bukan bukan
tinggi rendah
Perkembangan perdagangan
Ada
Perkembangan sektor pariwisata Ada
Tidak ada Ada Tidak ada
No.
PP/PPI
Peruntukan lahan
Jumlah penduduk
Perkembangan sektor perikanan
Perkembangan sektor industri
1.
Banyak
Besar
Ada, sudah berkembang
2. 3. 4.
PPN Palabuhanratu PPP Cilautereun PPS Cilacap PPI Pasir
Kecil Besar Kecil
Sedikit Besar Sedikit
5.
PPP Sadeng
Kecil
Kecil
6.
PPI Tamperan
Besar
Besar
7. 8.
PPN Prigi PPP Pondokdadap
Besar kecil
Besar sedikit
Ada, sudah berkembang Ada, sudah berkembang Ada, belum berkembang Ada, belum berkembang Ada, belum berkembang Ada, sudah berkembang Ada, sudah berkembang
Penilaian peluang bangkitan pergerakan :
- Tinggi - Sedang - Rendah
: memenuhi 6 - 7 kriteria : memenuhi 3 - 5 kriteria : memenuhi 0 - 2 kriteria
398
Lampiran 46 Penilaian secara keseluruhan analisis subsistem pelabuhan: fungsionalitas dan aksesibilitas pada perikanan pantai No.
PP/PPI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PPN Palabuhanratu PPP Cilautereun PPS Cilacap PPI Pasir PPP Sadeng PPI Tamperan PPN Prigi PPP Pondokdadap
Keterkaitan dengan fishing ground (tingkat daya tarik) tinggi sedang tinggi rendah sedang sedang tinggi tinggi
Kelayakan teknis lokasi pelabuhan tinggi tinggi tinggi rendah tinggi sedang tinggi tinggi
Keterkaitan dengan pasar (tingkat aksesibilitas lokasi pelabuhan) sedang rendah tinggi rendah rendah tinggi rendah rendah
Keterkaitan dengan pasar (tingkat peluang bangkitan pergerakan lokasi pelabuhan) tinggi rendah tinggi rendah rendah tinggi tinggi rendah
Penilaian
baik sedang baik tidak baik sedang baik baik sedang
Kriteria keputusan : 70 - 100 % nilai tinggi = keberadaan pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan baik untuk mendukung perkembangan perikanan pantai 30 - 69 % nilai tinggi = keberadaan pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan sedang untuk mendukung perkembangan perikanan pantai 0 - 29 % nilai tinggi = keberadaan pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan tidak baik untuk mendukung perkembangan perikanan pantai
399
400
Lampiran 47
Penjualan solar, air tawar, dan es di PPN Palabuhanratu tahun 1993-2006 dan penjualan solar, air tawar, dan es di PPS Cilacap tahun 2004
Penjualan solar, air tawar dan es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2006 solar 12000000 10000000 BBM/Solar(lit
8000000 6000000 4000000 2000000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
air tawar 7000000 6000000
4000000
Air (liter)
Air (liter
5000000
3000000 2000000 1000000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
es 300000 250000
150000
Es (balok)
Es (Balok
200000
100000 50000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
401
Lampiran 47 Lanjutan Penjualan solar, es dan air tawar di PPS Cilacap tahun 2004 Penjualan air bulanan pada tahun 2004 900 800
Air3(m3 Air (m )
700 600 500 400 300 200 100 0 8
13
15
16
19
20
20
24
26
33
39
44
26
33
39
44
26
33
39
44
Frekuensi kunjungan kapal
Penjualan solar bulanan tahun 2004 900000 800000 700000
Solar (lite Solar (liter)
600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 8
13
15
16
19
20
20
24
Frekuensi kunjungan kapal
Penjualan es bulanan tahun 2004 14000 12000
Es (balo Es (balok)
10000 8000 6000 4000 2000 0 8
13
15
16
19
20
20
24
Frekuensi kunjungan kapal
400
Lampiran 47
Penjualan solar, air tawar, dan es di PPN Palabuhanratu tahun 1993-2006 dan penjualan solar, air tawar, dan es di PPS Cilacap tahun 2004
Penjualan solar, air tawar dan es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2006 solar 12000000 10000000 BBM/Solar(lit
8000000 6000000 4000000 2000000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
air tawar 7000000 6000000
4000000
Air (liter)
Air (liter
5000000
3000000 2000000 1000000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
es 300000 250000
150000
Es (balok)
Es (Balok
200000
100000 50000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
401
Lampiran 47 Lanjutan Penjualan solar, es dan air tawar di PPS Cilacap tahun 2004 Penjualan air bulanan pada tahun 2004 900 800
Air3(m3 Air (m )
700 600 500 400 300 200 100 0 8
13
15
16
19
20
20
24
26
33
39
44
26
33
39
44
26
33
39
44
Frekuensi kunjungan kapal
Penjualan solar bulanan tahun 2004 900000 800000 700000
Solar (lite Solar (liter)
600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 8
13
15
16
19
20
20
24
Frekuensi kunjungan kapal
Penjualan es bulanan tahun 2004 14000 12000
Es (balo Es (balok)
10000 8000 6000 4000 2000 0 8
13
15
16
19
20
20
24
Frekuensi kunjungan kapal
Lampiran 48 Analisis SWOT perumusan strategi pengembangan perikanan lepas pantai Matriks evaluasi faktor internal (internal strategic factors analysis summary: IFAS)) pengembangan perikanan lepas pantai Faktor-faktor internal kunci Kekuatan 1) Ketentuan internasional tentang hak pengelolaan sumberdaya di perairan ZEE (UNCLOS 1982 sudah diratifikasi) 2) UU terkait dengan perikanan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan ZEE Indonesia sudah ada 3) Kegiatan usaha perikanan lepas pantai telah berkembang di Indonesia 4) Sumberdaya manusia/ahli perikanan telah banyak dihasilkan (S1, S2, S3) 5) Prasarana dan sarana pelabuhan perikanan telah dibangun Kelemahan 1) Akses basis penangkapan ke pasar ekspor masih rendah 2) Biaya operasional usaha perikanan lepas pantai sangat tinggi 3) Fasilitas pelabuhan perikanan yang dibangun belum memenuhi standar pelabuhan bertaraf internasional 4) Kelembagaan usaha perikanan lepas pantai masih lemah 5) Kebijakan pemerintah belum banyak mendukung 6) Diplomasi perdagangan luar negeri oleh pemerintah masih kurang Jumlah
Bobot
Rating
Nilai terbobot
0,15
3
0,45
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,07
3
0,71
0.10
3
0,30
0,08
1
0,08
0,10
1
0,10
0,08
2
0,18
0,07
2
0,14
0,08
2
0,16
0.07
1
0,14
1,00
2,86
Lampiran 48 Lanjutan Mtriks evaluasi faktor eksternal (external srategic factors analysis summary: EFAS) pengembangan perikanan lepas pantai Faktor-faktor eksternal kunci Peluang 1) Potensi sumberdaya tuna di perairan ZEE Indonesia belum dimanfaatkan optimal 2) Permintaan pasar ekspor produk tuna cukup tinggi 3) menghasilkan devisa dari perdagangan ekspor tuna 4) Aturan internasional berkaitan dengan pengelolaan ikan secara bertanggungjawab (CCRF, IPOA) 5) Kerjasama regional dan internasional (RMFO) Ancaman 1) Hambatan perdagangan ekspor tuna tinggi, khususnya hambatan teknis (technical barrier) 2) Diterapkan perdagangan bebas, menjadikan tingkat persaingan usaha akan semakin tinggi 3) Menurunnya stok sumberdaya tuna di perairan dunia 4) Ancaman embargo produk tuna Indonesia 5) Dimanfaatkannya stok sumberdaya tuna di perairan ZEE Indonesia olah negara lain 6) Koordinasi antar sektor dalam pembangunan perikanan masih lemah Jumlah
Bobot
Rating
Nilai terbobot
0,12
4
0,48
0,12
3
0,36
0,08
4
0,32
0,08
3
0,28
0.08
3
0,24
0,10 0,07
1 2
0,01 0,14
0,07
2
0,14
0,08
2
0,16
0,10
1
0,10
0,10
1
0,10
1,00
2,33
Lampiran 49 Analisis SWOT perumusan strategi pengembangan perikanan pantai Matriks evaluasi faktor internal (internal strategic factors analysis summary: IFAS)) pengembangan perikanan pantai Faktor-faktor eksternal kunci Kekuatan 1) Ketentuan internasional tentang hak pengelolaan sumberdaya di perairan ZEE (UNCLOS 1982 sudah diratifikasi) 2) UU terkait dengan perikanan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Indonesia sudah ada 3) Aturan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya telah ada 4) Kegiatan usaha perikanan pantai telah berkembang di Indonesia 5) Sumberdaya manusia/ahli perikanan telah banyak dihasilkan (S1, S2, S3) 6) Prasarana dan sarana pelabuhan perikanan telah dibangun Kelemahan 1) Biaya operasional usaha perikanan pantai tinggi 2) Usaha perikanan dengan teknologi yang masih sederhana 3) Sumberdaya nelayan sebagian besar masih berkualitas rendah 4) Akses permodalan rendah 5) Fasilitas pelabuhan perikanan yang dibangun belum berfungsi secara optimal 6) SDM pengelola pelabuhan perikanan masih lemah 7) Kebijakan dan kelembagaan pemerintah belum banyak mendukung Jumlah
Bobot
Rating
Nilai terbobot
0,09
3
0,27
0,08
3
0,24
0,08
3
0,24
0,09
3
0,27
0,07
3
0,21
0,07
3
0,21
0,08
1
0,08
0,10
2
0,20
0,08 0,06
2 2
0,16 0,12
0,06
2
0,12
0.07
2
0,14
0,07
2
0,14
1,00
2,40
Lampiran 49 Lanjutan Mtriks evaluasi faktor eksternal (external srategic factors analysis summary: EFAS) pengembangan perikanan pantai Faktor-faktor eksternal kunci Peluang 1) Potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia Selatan Jawa belum dimanfaatkan optimal 2) Potensi jumlah penduduk yang besar sebagai peluang pasar produk perikanan 3) Potensi pasar untuk beberapa jenis ikan komoditi ekspor masih terbuka 4) Menghasilkan pendapatan bagi daerah (PAD) 5) Peluang kesempatan kerja di bidang perikanan 6) Peluang berkembangnya industri hulu dan hilir Ancaman 1) Hambatan perdagangan ekspor produk perikanan tinggi, khususnya hambatan teknis (technical barrier) 2) Diterapkan perdagangan bebas, menjadikan tingkat persaingan usaha akan semakin tinggi 3) Ancaman embargo produk ekspor perikanan Indonesia 4) Substitusi terhadap produk perikanan untuk konsumsi tinggi 5) Koordinasi antar sektor dalam pembangunan perikanan masih lemah 6) Perbedaan kepentingan pengelolaan perikanan antar daerah provinsi atau kabupaten/kota Jumlah
Bobot
Rating
Nilai terbobot
0,10
4
0,40
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,08
3
0,24
0.07
3
0,21
0,07
3
0,21
0,09
1
0,09
0,09
2
0,18
0,09
2
0,18
0,07
2
0,14
0,07
2
0,14
0,07
2
0,14
1,00
2,53
Lampiran 48 Lanjutan Matriks SWOT pengembangan perikanan lepas pantai Kelemahan 1) Akses basis penangkapan ke pasar ekspor masih rendah 2) Biaya operasional usaha perikanan lepas pantai sangat tinggi 3) Fasilitas pelabuhan perikanan yang dibangun belum memenuhi standar pelabuhan bertaraf internasional 4) Kelembagaan usaha perikanan lepas pantai masih lemah 5) Kebijakan pemerintah belum banyak mendukung 6) Diplomasi perdagangan luar negeri oleh pemerintah masih kurang
Peluang 1) Potensi sumberdaya tuna di perairan ZEE Indonesia belum dimanfaatkan optimal 2) Permintaan pasar ekspor produk tuna cukup tinggi 3) Menghasilkan devisa dari perdagangan ekspor tuna 4) Aturan internasional berkaitan dengan pengelolaan ikan secara bertanggungjawab (CCRF, IPOA) 5) Kerjasama regional dan internasional (RMFO)
Strategi SO 1) Peningkatan sistem usaha perikanan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan SDI dan pemenuhan kebutuhan tuna dunia 2) Meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam rangka meningkatkan posisi Indonesia dalam perdagangan tuna dunia
Strategi WO 1) Peningkatan sarana dan prasarana produksi berkualitas untuk optimalisasi produksi dan pemenuhan kebutuhan ekspor 2) Peningkatan peran kebijakan dan kelembagan untuk mendukung usaha perikanan
Ancaman 1) Hambatan perdagangan ekspor tuna tinggi, khususnya hambatan teknis (technical barrier) 2) Diterapkan perdagangan bebas 3) Menurunnya stok sumberdaya tuna di perairan dunia 4) Ancaman embargo produk tuna Indonesia 5) Dimanfaatkannya stok sumberdaya tuna di perairan ZEE Indonesia olah negara lain 6) Koordinasi antar sektor dalam pembangunan perikanan masih lemah
Strategi ST 1) Meningkatkan kinerja SDM perikanan Indonesia untuk dapat mngatasi hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional 2) Penegakan hukum dari peraturan perundangundangan yang telah dibuat
Strategi WT 1) Penerapan standar kualitas sesuai persyaratan negara importir di kapal dan pelabuhan perikanan 2) Peningkatan koordinasi antar sektor untuk meningkatkan posisi tawar pemerintah dalam diplomasi luar negeri
404
Kekuatan 1) Ketentuan internasional tentang hak pengelolaan sumberdaya di perairan ZEE (UNCLOS 1982 sudah diratifikasi) 2) UU terkait dengan perikanan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan ZEEI sudah ada 3) Kegiatan usaha perikanan lepas pantai telah berkembang di Indonesia 4) Sumberdaya manusia/ahli perikanan telah banyak dihasilkan (S1, S2, S3) 5) Prasarana dan sarana pelabuhan perikanan telah dibangun
Lampiran 49 Lanjutan Matriks SWOT pengembangan perikanan pantai
Strategi ST 1) Mulai menanamkan kesadaran kepada seluruh pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan perikanan akan pentingnya menghasilkan produk perikanan berkualitas tinggi
Kelemahan 1) Biaya operasional usaha perikanan pantai tinggi 2) Usaha perikanan dengan teknologi yang masih sederhana 3) Sumberdaya nelayan sebagian besar masih berkualitas rendah 4) Akses permodalan rendah 5) Fasilitas pelabuhan perikanan yang dibangun belum berfungsi secara optimal 6) SDM pengelola pelabuhan perikanan masih lemah 7) Kebijakan dan kelembagaan belum mendukung usaha perikanan Strategi WO 1) Meningkatkan teknologi penangkapan dan kualitas SDM perikanan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan pemenuhan konsumsi ikan penduduk 2) Meningkatkan fungsionalitas pelabuhan perikanan melalui peningkatan fasilitas dan pelayanan dalam rangka peningkatan kesempatan kerja, menghasilkan pendapatan bagi daerah dan berkembangnya industri hulu dan hilir Strategi WT 1) Mengembangkan diversifikasi produk ikan olahan dalam rangka pengembangan pasar dalam negeri, menutuk biaya produksi dan meningkatkan akses nelayan terhadap permodalan 2) Peningkatan koordinasi antar sektor/ antar daerah untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan secara bertanggungjawab, melalui peningkatan peran kelembagaan dan pembuatan kebijakan perikanan yang tepat
407
Peluang 1) Potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia Selatan Jawa belum dimanfaatkan optimal 2) Potensi jumlah penduduk yang besar sebagai peluang pasar produk perikanan 3) Potensi pasar untuk beberapa jenis ikan komoditi ekspor masih terbuka 4) Menghasilkan pendapatan bagi daerah (PAD) 5) Peluang kesempatan kerja di bidang perikanan 6) Peluang berkembangnya industri hulu dan hilir Ancaman 1) Hambatan perdagangan ekspor tinggi, khususnya hambatan teknis (technical barrier) 2) Diterapkan perdagangan bebas, menjadikan tingkat persaingan usaha akan semakin tinggi 3) Ancaman embargo produk perikanan Indonesia 4) Substitusi terhadap produk perikanan tinggi 5) Koordinasi antar sektor pembangunan lemah 6) Perbedaan kepentingan pengelolaan perikanan antar daerah provinsi atau kabupaten/kota
Kekuatan 1) Ketentuan internasional tentang hak pengelolaan sumberdaya di perairan ZEE (UNCLOS 1982 sudah diratifikasi) 2) UU terkait dengan perikanan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Indonesia ada 3) Aturan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya telah ada 4) Kegiatan usaha perikanan pantai telah berkembang di Indonesia 5) SDM/ahli perikanan telah banyak dihasilkan 6) Prasarana dan sarana pelabuhan perikanan telah dibangun Strategi SO 1) Membangun sistem usaha perikanan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk
Lampiran 9 Syarat minimal untuk penilaian sub sub model TEKNIS PELABUHAN Kebutuhan Fasilitas Perairan (Lubis 2002; Murdiyanto 2002) (1) Alur Pelayaran Lebar alur pelayaran diusahakan untuk kapal dapat mudah bernavigasi memasuki kolam pelabuhan, lebar bersih alur pelabuhan di luar kemiringan dasar dan tanggul adalah : - Untuk kapal sampai dengan 50 GT, berkisar antara 8 ~10 kali lebar kapal terbesar; - Untuk kapal antara 50-200 GT, berkisar antara 6 ~ 8 kali lebar kapal terbesar; - Untuk kapal > 200 Gt, lebar bersih lebih dari 6 kali kapal terbesar Jika pintu gerbang terletak pada suatu tikungan, lebar harus ditambah sesuai dengan radius tikungan Kebutuhan alur pelayaran minimal untuk perikanan tuna : ukuran kapal sekitar 150 GT : 6 ~ 8 x 7,24 m = (43,44~57,92) m (2) Kedalaman kolam pelabuhan Kedalaman kolam pelabuhan : draft kapal terdalam + beda tinggi pasang surut + 1,3 ~ 2,5 m Kebutuhan kedalaman minimal pelabuhan : 2,90 m + 2 m + (1,3 ~ 2,5) m = 6,20 ~ 7,4 m (3) Panjang darmaga Panjang darmaga bentuk sejajar garis pantai, dengan posisi berlabuh kapal sejajar sisi darmaga : d = n.L + (n-1) 15,0 m + 50,0 m ; d = 35 (26,42) + (35-1) 15,0 m + 50,0 m = 1.485 m Panjang darmaga berbentuk wharf memanjang : d = n.L + (n-1) 15 m + 50 m; d = 35 (26,42) + (35-1) 15,0 m + 50,0 m = 1.485 m
381
Lebar kolam : b = 2B + (30,0 ~ 40,0 m); b = 2 (7,24) + (30,0 ~ 40,0 m) = 44,24 ~54,24 m Keterangan : d : panjang darmaga b : lebar kolam n : jumlah kapal L : panjang kapal B : lebar kapal Kebutuhan panjang darmaga minimal untuk perikanan tuna : Asumsi : (1) jumlah unit kapal berdasarkan rencana pengembangan pemanfaatan 20 % JTB sumberdaya pelagis besar WPP 9 : 1.030 kapal (2) hanya 3 pelabuhan yang layak yaitu PPS Cilacap, PPN Prigi dan PPN Palabuhanratu, masing-masing dengan kuota yang sama : 343 kapal (3) per bulan ada 10 % kapal yang berlabuh di pelabuhan : 35 kapal Kebutuhan Fasilitas Darat (1) Kebutuhan Luasan Lahan : minimal 15 ha (2) Kebutuhan Fasilitas Perbekalan Solar : 343 kapal x 120 KL per kapal per tahun = 4.116 KL per tahun Air tawar : 343 kapal x 80 m3 per kapal per tahun = 27.440 m3 per tahun Es : 343 kapal x 1.400 balok per kapal per tahun = 480.200 balok per tahun (3) Kebutuhan Fasilitas Penanganan Ikan Minimal tersedia : - transit sheed - fasilitas pelindung untuk bongkar ikan 490
Lampiran 15 Perhitungan untung pengembangan sub model TEKNIS PELABUHAN Kebutuhan Fasilitas Perairan (Lubis 2002; Murdiyanto 2002) (1) Alur Pelayaran Lebar alur pelayaran diusahakan untuk kapal dapat mudah bernavigasi memasuki kolam pelabuhan, lebar bersih alur pelabuhan di luar kemiringan dasar dan tanggul adalah : - Untuk kapal sampai dengan 50 GT, berkisar antara 8 ~10 kali lebar kapal terbesar; - Untuk kapal antara 50-200 GT, berkisar antara 6 ~ 8 kali lebar kapal terbesar; - Untuk kapal > 200 Gt, lebar bersih lebih dari 6 kali kapal terbesar Jika pintu gerbang terletak pada suatu tikungan, lebar harus ditambah sesuai dengan radius tikungan Kebutuhan alur pelayaran minimal untuk perikanan tuna : ukuran kapal sekitar 150 GT : 6 ~ 8 x 7,24 m = (43,44~57,92) m (2) Kedalaman kolam pelabuhan Kedalaman kolam pelabuhan : draft kapal terdalam + beda tinggi pasang surut + 1,3 ~ 2,5 m Kebutuhan kedalaman minimal pelabuhan : 2,90 m + 2 m + (1,3 ~ 2,5) m = 6,20 ~ 7,4 m (3) Panjang darmaga Panjang darmaga bentuk sejajar garis pantai, dengan posisi berlabuh kapal sejajar sisi darmaga : d = n.L + (n-1) 15,0 m + 50,0 m ; d = 35 (26,42) + (35-1) 15,0 m + 50,0 m = 1.485 m Panjang darmaga berbentuk wharf memanjang : d = n.L + (n-1) 15 m + 50 m; d = 35 (26,42) + (35-1) 15,0 m + 50,0 m = 1.485 m Lebar kolam : b = 2B + (30,0 ~ 40,0 m); b = 2 (7,24) + (30,0 ~ 40,0 m) = 44,24 ~54,24 m
Keterangan : d : panjang darmaga b : lebar kolam n : jumlah kapal L : panjang kapal B : lebar kapal Kebutuhan panjang darmaga minimal untuk perikanan tuna : Asumsi : (1) jumlah unit kapal berdasarkan rencana pengembangan pemanfaatan 20 % JTB sumberdaya pelagis besar WPP 9 : 1.030 kapal (2) hanya 3 pelabuhan yang layak yaitu PPS Cilacap, PPN Prigi dan PPN Palabuhanratu, masing-masing dengan kuota yang sama : 343 kapal (3) per bulan ada 10 % kapal yang berlabuh di pelabuhan : 35 kapal Kebutuhan Fasilitas Darat (1) Kebutuhan Luasan Lahan : minimal 15 ha (2) Kebutuhan Fasilitas Perbekalan Solar : 343 kapal x 120 KL per kapal per tahun = 4.116 KL per tahun Air tawar : 343 kapal x 80 m3 per kapal per tahun = 27.440 m3 per tahun Es : 343 kapal x 1.400 balok per kapal per tahun = 480.200 balok per tahun (3) Kebutuhan Fasilitas Penanganan Ikan Minimal tersedia : - transit sheed - fasilitas pelindung untuk bongkar ikan
Manajemen Pengelolaan: Pemerintah Pusat manajemen
Kebijakan strategis: SWOT (strenght weakness opportunities threats) Implementasi model: ISM (interpretative structural modelling)
manajemen
Submodel USAHA Submodel PELABUHAN Lokasi pelabuhan: keterkaitan dengan fishing ground aspek teknis pelabuhan keterkaitan dengan pasar
Pelabuhan pendukung usaha perikanan: Pelabuhan berstandar internasional Dukungan fasilitas dan pelayanan Penerapan GMP dan SSOP Ketersediaan tuna landing center (TLC) Penyediaan input produksi
kebutuhan
mendukung
Perikanan tuna Unit: longline Skala usaha: besar/industri Potensi sumberdaya tuna JTB: 80% x potensi Aspek teknis usaha Ketersediaan input produksi Proses produksi optimal Penanganan: % kualitas ekspor Pemasaran: ekspor Aspek finansial Perhitungan: keuntungan usaha NPV, B/C, IRR Model sistem dinamis input: aspek teknis usaha aspek finansial usaha output: keuntungan retribusi kebutuhan ABK kebutuhan input produksi
memberikan manfaat bagi Peningkatan keuntungan usaha Peningkatan kesejahteraan nelayan Peningkatan penyerapan tenaga kerja Peningkatan penerimaan devisa/PAD Perkembangan perekonomian dan pembangunan daerah
Submodel LEMBAGA Kebijakan: struktur hukum mandat hukum penegakan hukum
Kelembagaan: kinerja politik sosial budaya ekonomi hukum teknologi
Kebijakan/UU internasional nasional daerah
Kelembagaan terpadu: perencanakan pengorganisasian pengawasan evaluasi
kebutuhan
mendukung
Manajemen Pengelolaan: Pemerintah Daerah
manajemen
Kebijakan strategis: SWOT (strenght weakness opportunities threats) Implementasi model: ISM (interpretative structural modelling)
manajemen
Submodel USAHA Submodel PELABUHAN Lokasi pelabuhan: keterkaitan dengan fishing ground aspek teknis pelabuhan keterkaitan dengan pasar
Pelabuhan pendukung usaha perikanan: Pelabuhan perikanan: PP/PPI Dukungan fasilitas dan pelayanan Penyediaan input produksi
Perikanan cakalang, tongkol, udang, lobster, bawal puti, layur, teri Unit: gillnet multifilament, tonda, purse seine, trammel net, payang, gillnet monofilament Skala usaha: menengah, kecil Potensi sumberdaya ikan JTB: 80% x potensi Aspek teknis usaha Ketersediaan input produksi Proses produksi optimal Penanganan: peningkatan kualitas Pemasaran: lokal, nasional, ekspor Aspek finansial Perhitungan: keuntungan usaha NPV, B/C, IRR
kebutuhan
mendukung
Model sistem dinamis input: aspek teknis usaha aspek finansial usaha output: keuntungan retribusi kebutuhan ABK kebutuhan input produksi
memberikan manfaat bagi Peningkatan keuntungan usaha Peningkatan kesejahteraan nelayan Peningkatan penyerapan tenaga kerja Peningkatan penerimaan PAD/devisa Perkembangan perekonomian dan pembangunan daerah
Submodel LEMBAGA Kebijakan: struktur hukum mandat hukum penegakan hukum
Kelembagaan: kinerja politik sosial budaya ekonomi hukum teknologi
Kebijakan/UU internasional nasional daerah
Kelembagaan: peningkatan peran kelembagaan yang ada: kelembagaan dinas kelembagaan usaha kelembagaan nelayan
kebutuhan
mendukung
Lampiran 15 Analisis Kebijakan Perikanan (PP 25/2000) tentang Pembagian Wewenang antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota No. 5. 6. 7. 8.
10. 11. 13. 15. 16. 17. 18. 26. 28 29.
30.
Urusan Kewenangan Pemerintah Pusat Sub Bidang Kelautan (30 butir) Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam di dalamnya Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyerasian riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan dan konservasi Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM) Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria batas-batas wilayah maritim Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemetaan, potensi wilayah dan sumberdaya kelautan Pengharmonisan peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 mil Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungan Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan kdan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEE Indonesia Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dan laut nasional
Urusan Kewenangan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi Pelaksanaan bijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah kewenangan provinsi Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM) Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batas-batas wilayah maritim Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan, potensi wilayah dan sumberdaya kelautan Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provin si Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungan Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang dalam wilayah kewenangan provinsi Perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut di wilayah kewenangan provinsi Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kdan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi Rehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenanganan provinsi 465
Lampiran 15 Lanjutan No. 1.
Urusan Kewenangan Pemerintah Pusat Sub Bidang Perikanan Tangkap (24 butir) Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil
2.
Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan yang diperboolehkan (JTB)
3. 5.
Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional dan ZEE Indonesia termasuk landas kontinen Pemberian izin penangkapan dan/atau pengengkutan ikan pada kapal berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing
6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14 15. 16. 17.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangnan pemerintah Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria usaha perikanan tangkap Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi perikanan tangkap Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan Pembangunan dan pengelolaan pembangunan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria operasional dan penempatan syahbandar di pelabuhan perikanan Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembangunan kapal perikanan Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan
Urusan Kewenangan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di wilayah kewenanganan provinsi Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan nasional di wilayah kewenangan provinsi Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangann provinsi Pemberian izin penangkapan dan/atau pengengkutan ikan pada kapal berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangnan provinsi Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam kewenangan provinsi Penetapan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi perikanan tangkap Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan Dukungan pembangunan dan pengelolaan pembangunan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkapan ikan
466