PENGEMBANGAN PENGGUNAAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK ESTIMASI PRODUKSI PADI WILAYAH (STUDI KASUS KABUPATEN BEKASI)
EKA RUDIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Estimasi Produksi Padi Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Bekasi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2017 Eka Rudiana NRP A156140064
RINGKASAN EKA RUDIANA. Pengembangan Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Estimasi Produksi Padi Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Bekasi). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan MUHAMMAD FIRDAUS. Data produksi padi mempunyai peranan penting dalam penyusunan kebijakan pembangunan terutama di bidang ketahanan pangan. Data tersebut merupakan hasil perkalian antara data luas panen dan produktivitas yang dikumpulkan, dicatat, dan dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan Kementerian Pertanian (Kementan) melalui pendekatan konvensional. Metode tersebut mempunyai beberapa kekurangan diantaranya: 1) memakan banyak waktu, biaya, dan proses 2) sistem pelaporan yang berjenjang sering kali menyebabkan keterlambatan informasi yang diterima 3) masih adanya unsur subjektivitas dalam kegiatan pengumpulan data. Oleh karena itu perlu dikembangkan metode baru yang lebih murah, lebih cepat, dan lebih objektif untuk meningkat kualitas data produksi padi yang ada saat ini. Perkembangan bidang penginderaan jauh memungkinkan untuk dilakukan upaya perbaikan terhadap pendekatan metode konvensional yang selama ini digunakan kearah pendekatan metode spasial statistik. Penelitian ini memanfaatkan produk penginderaan jauh satelit Landsat-8 (OLI) untuk melakukan pendugaan luas area panen dan produktivitas tanaman padi dengan menggunakan parameter Enhanced Vegetation Index (EVI) yang merupakan pendekatan baru untuk menghasilkan data peramalan produksi padi wilayah. Dengan terlebih dahulu melakukan pemantauan terhadap fase dan umur tanaman padi berdasarkan nilai parameter EVI, maka estimasi waktu panen beserta luasan areanya dapat diketahui. Pendugaan produktivitas didasarkan pada model regresi linier antara nilai parameter EVI yang diperoleh dari hasil analisis citra satelit dengan nilai produktivitas tanaman padi yang dikumpulkan dari hasil kegiatan Survei Ubinan BPS. Data produksi padi sendiri diperoleh dari hasil perkalian antara data luas panen dan produktivitas padi yang sudah diestimasi terlebih dahulu. Pada akhirnya, dilakukan perbandingan antara data luas panen, produktivitas, dan produksi padi hasil analisis citra satelit dengan data BPS yang diperoleh melalui pendekatan konvensional untuk melihat sejauh mana perbedaan diantara kedua data tersebut. Berdasarkan hasil analisis citra satelit tanggal akuisisi bulan Mei-Agustus 2015, diperoleh hasil perkiraan luas panen padi sawah di Kabupaten Bekasi periode bulan Juli-Oktober 2015 adalah seluas 15.86 ribu ha atau lebih kecil 7.74 (32.79%) ribu ha dibandingkan angka BPS pada periode yang sama. Berdasarkan keeratan hubungan antara nilai produktivitas hasil ubinan BPS dengan nilai EVI maksimum, diperoleh model persamaan pendugaan produktivitas tanaman padi sawah sebagai berikut: Produktivitas (ku/ha) = 36.818 + 44.965 EVImax. Nilai R2 yang diperoleh sebesar 0,809. Berdasarkan model tersebut diperoleh pendugaan produktivitas padi sawah di Kabupaten bekasi periode bulan Juli-Oktober 2015 sebesar 47.40 ku/ha atau lebih kecil 12.66 ku/ha dibandingkan angka produktivitas subround I 2015, lebih kecil 6,77 ku/ha dibandingkan angka produktivitas subround II 2015, lebih kecil 10.15 ku/ha dibandingkan angka produktivitas subround III 2015, dan lebih kecil 6.62 ku/ha dibandingkan angka produktivitas periode Januari-Desember 2015 yang dipublikasikan BPS. Sementara itu, perkiraan produksi padi sawah periode
panen bulan Juli- Oktober 2015 berdasarkan analisis citra satelit yakni sebanyak 75.16 ribu ton GKG atau lebih kecil 55.35 ribu ton GKG (42.41%) dibandingkan angka BPS pada periode yang sama. Kata kunci: estimasi produksi padi, Landsat-8 (OLI), EVI
SUMMARY EKA RUDIANA. Development of Remote Sensing Application for Regional Rice Production Estimation (A Case Study in Bekasi District). Supervised by ERNAN RUSTIADI and MUHAMMAD FIRDAUS Rice production has an important role in the formulation of development policies, especially in the field of food security. Rice production data in Indonesia is generated by multiplying harvested area and yield. The data are collected, recorded, and calculated by BPS-Statistics Indonesia in cooperation with the Ministry of Agriculture using conventional approach. The approach has several weaknesses, such as: 1) time-consuming, costly, and inefficient process; 2) delaying infomation because of tiered reporting system; 3) subjectivity in data collection activities. It is necessary to develop a cheaper, faster, and more objective approach to improve the existing quality of rice production data. The development of remote sensing allows for improvement on the existing conventional approach into the spatial statistics approach. This study employed Landsat-8 (OLI) remote sensing imagery data analysis to estimate harvested area and yield of rice fields using EVI parameters and also forecast regional rice production. The monitoring of phases and age of rice field have been done by using EVI parameters to estimate harvest time and harvested area. Yield estimation was based on linear regression model between EVI satellite image analysis results with rice yield data from BPS. Estimated rice production data were obtained from the multiplication of harvested area and rice yield. Furthermore, comparison between estimation results of harvested area, yield, and rice production with data BPS. Based on the analysis of the satellite imagery acquisition during May-August 2015, the estimation of rice harvested area in Bekasi District during July-October 2015 is 15.86 thousand ha or 7.74 thousand ha (32.79%) lower than BPS figures in the same period. Based on the relationship between yield (from the crop cutting survei, BPS) and EVI maximum, the equation model for rice yield estimation is: Yield (qu/ha) = 36.818 + 44.965 EVImax. R2 value is 0.809. Based on the model, the estimation of rice yield in Bekasi District during July-October 2015 is 47.40 qu/ha. Compared to the data published by BPS, the result is 12.66 qu/ha lower than the yield figure in subround I 2015, 6.77 qu/ha lower than the one in subround II 2015, 10:15 qu/ha lower than the one subround III 2015, and 6.62 qu/ha lower than the one in January-December 2015. Meanwhile, based on satellite imagery analysis, the estimation of rice production in the period of July-October 2015 is 75.16 thousand tons of GKG or 55.35 thousand tons of GKG (42.41%) lower than BPS figures during the same period. Keywords: rice production estimation, Landsat-8 (OLI), EVI.
Β© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN PENGGUNAAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK ESTIMASI PRODUKSI PADI WILAYAH (STUDI KASUS KABUPATEN BEKASI)
EKA RUDIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Kadarmanto, MADrajat Martianto, MS
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Marimin, MS Dr Ir Naresworo Nugroho, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taβala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Pengembangan Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Estimasi Produksi Padi Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Bekasi). Karya ilmiah ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB. Dalam penyusunan karya ilmiah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada: 1. Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Prof.Dr. Muhammad Firdaus, M.Si selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan kesabaran yang diberikan 2. Dr. Dede Dirgahayu, M.Si dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) LAPAN atas saran dan bantuannya dalam pengolahan dan pengumpulan data citra satelit Landsat-8 (OLI). 3. Kepala BPS Kabupaten Bekasi beserta jajarannya, khususnya bidang statistik produksi yang telah membantu dalam penyediaan data 4. Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (STPHP) BPS-RI beserta jajarannya, khususnya Subdit Statistik Tanaman Pangan yang telah memberikan izin tugas belajar dan juga dukungannya 5. Seluruh dosen pengajar dan staf program Ilmu Perencanaan Wilayah. 6. Kepala Pusbindiklatren Bappenas dan seluruh pegawainya yang telah memberikan kesempatan beasiswa 7. Rekan-rekan program studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah membantu penulis menyelesaikan tesis ini 8. Istriku tersayang Wina Wahyuni, anak-anakku Nadhira Zahra Putri Yuana dan Arsyilla Putri Yuana yang telah menjadi inspirasi dan motivasi serta keluarga besar atas pengorbanan selama ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna, sehingga semua masukan yang positif sangat diperlukan untuk memperbaiki karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Juni 2017 Eka Rudiana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 4 7 7 7
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Umur dan Fase-fase pertumbuhan padi Metode Pengumpulan Data Statistik Tanaman Pangan Pengumpulan Data Statistik Pertanian (SP) Pengumpulan Data Produktivitas Konsep Penginderaan Jauh Citra Landsat Tinjauan Studi Terdahulu
10 10 11 12 12 13 15 16 18
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Bahan dan Alat Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Ekstraksi Nilai Indeks Vegetasi Tanaman Pendugaan Umur dan Fase Tanaman Padi Analisis Hubungan Nilai Indeks Vegetasi dengan Produktivitas Tanaman Padi Perbandingan dengan Data BPS.
19 19 19 20 20 22 22 23
4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Lokasi Daerah Penelitian Iklim Hidrografi Topografi Geomorfologi Penggunaan Lahan Pertanian
29 29 29 30 30 31 31 33
26 27
DAFTAR ISI (lanjutan) 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Spasial dan Pendugaan Luas Panen Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Bekasi Hubungan Nilai EVI dengan Produktivitas Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Bekasi Pendugaan Produksi Padi Sawah di Kabupaten Bekasi
35
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
42 42 42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
54
35 37 40
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Hubungan fase pertumbuhan padi dengan fase fisiologi De Datta 12 Parameter satelit LCDM (satelit Landsat-8) 17 Karakteristik band-band yang terdapat pada citra Landsat-8 17 Deskripsi jenis dan sumber data, teknik analisis, dan output yang diharapkan tiap tujuan penelitian 21 Kisaran nilai EVI pada interval umur padi 25 Data estimasi awal tanam, letak EVI maksimum, dan waktu panen data EVI 16 harian 26 Rata-rata curah hujan menurut bulan di Kabupaten Bekasi, 2010-2014 29 Rata-rata hari hujan menurut bulan di Kabupaten Bekasi, 2010-2014 30 Pengunaan lahan di Kabupaten Bekasi tahun 2014 32 Luas lahan sawah dan lahan kering menurut kecamatan di Kabupaten Bekasi tahun 2014 32 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi, 2010-2014 34 Estimasi luas panen per kecamatan di Kabupaten Bekasi tahun 2015 berdasarkan hasil analisis citra satelit 36 Estimasi produktivitas tanaman padi sawah per kecamatan di Kabupaten Bekasi berdasarkan hasil analisis citra satelit 39 Perbandingan data estimasi produktivitas padi sawah hasil analisis citra dan BPS 39 Estimasi produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi berdasarkan hasil nalisis citra periode Juli-Oktober 2015 40
DAFTAR GAMBAR Tahapan penelitian Bagan arus pelaporan daftar SP dan SUB-S (Ubinan) Ilustrasi prinsip kerja proses perekaman data permukaan bumi oleh sensor penginderaan jauh 4 Peta lokasi penelitian 5 Model pertumbuhan tanaman padi berdasarkan data MODIS 6 Model pertumbuhan padi berdasarkan data MODIS pada fase vegetatif 7 Model pertumbuhan padi berdasarkan data MODIS pada fase generatif 8 Diagram metodologi penelitian 9 Sebaran spasial luas panen tanaman padi sawah berdasarkan perkiraan waktu panen hasil analisis citra satelit 10 Perbandingan luas panen hasil analisis citra dengan data BPS periode Juli-Oktober 2015 11 Hubungan antara produktivitas tanaman padi sawah dengan nilai EVI maksimum 12 Perbandingan estimasi produksi padi sawah hasil analisis citra dengan data BPS di Kabupaten Bekasi periode Juli-Oktober 2015
1 2 3
9 15 16 19 23 24 24 28 35 37 38 41
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Citra komposit band 6,5,3 satelit Landsat-8 tanggal akuisisi sepanjang bulan Mei-Agustus 2015 Daftar lokasi sampel dan produktivitas hasil ubinan BPS Peta sebaran lokasi sampel Hasil analisis regresi
48 49 50 51
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penting di dunia. Tanaman tersebut merupakan penghasil beras yang menjadi sumber pangan pokok bagi sebagian besar penduduk di negara-negara Asia. Menurut Suryana (2007) setidaknya ada empat alasan utama yang menempatkan beras -yang dihasilkan dari tanaman padi- sebagai komoditas strategis bagi perekonomian nasional negaranegara di Asia yaitu: (1) usaha tani padi masih digeluti oleh jutaan petani, (2) bagi sebagian Negara, seperti Vietnam, Thailand, Burma, India, dan China, beras merupakan salah satu penyumbang devisa yang cukup besar, (3) bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang jumlahnya dominan, beras masih merupakan makanan pokok. Tidak heran jika sebagian besar negara di Asia mengalokasikan sumberdaya (khususnya dana) untuk memacu pertumbuhan produksi padi. Bagi Indonesia sendiri, menurut Simatupang dan Rusastra (2004) menyatakan bahwa walaupun sedikit mengalami penurunan, beras masih tetap memegang peranan strategis bagi perekonomian nasional, karena: (1) beras masih merupakan makanan pokok penduduk sehingga sistem agribisnis beras berperan strategis dalam pemantapan ketahanan pangan, (2) sistem agribisnis beras mampu menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang besar karena sampai saat ini usaha tani padi masih dominan dalam sektor pertanian, dan (3) sistem agribisnis beras sangat instrumental dalam upaya pengentasan kemiskinan karena kebanyakan penduduk miskin terlibat dalam usaha tani padi. Beras juga merupakan komoditas unik, karena di wilayah perdesaan beras dipandang sebagai symbol status ekonomi rumah tangga. Ketidakstabilan persediaan pangan dan atau fluktuasi harga beras dapat memicu munculnya kerusuhan yang mengarah pada tindakan kriminal (Saliem, 2001). Sebagian besar masyarakat tetap menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu, dan terdistribusi secara merata, dan dengan harga terjangkau (Sawit, 2001). Lebih lanjut Sawit (2001) menjelaskan bahwa pengalaman sejarah menunjukan kerusuhan tahun 1966 dan 1998 akibat goncangan politik dapat berubah menjadi krisis ekonomi politik akibat harga pangan melonjak tinggi dalam waktu singkat sehingga menyebabkan terjadinya eskalasi politik di Indonesia. Sebaliknya pada kondisi pangan aman masalah pangan tidak menjadi pendorong eskalasi politik, namun debat politik selalu muncul tatkala harga beras melonjak tajam atau harga gabah turun tajam. Hal ini menunjukan bahwa beras masih merupakan komoditas strategis secara politik. Hal senada juga dikemukakan oleh Arifin (1997) yang menyatakan bahwa beras -yang dihasilkan dari tanaman padi- mempunyai kedudukan yang vital sekaligus fatal. Vital, karena beras merupakan kebutuhan dasar penduduk Indonesia, dan fatal apabila penyediaannya defisit dapat dijadikan sebagai alat oleh kekuatan politik, baik yang sedang berkuasa maupun yang sedang berada di luar kekuasaan. Tidak heran jika beras selalu ditempatkan sebagai komoditas utama dalam penyusunan konsep dan implementasi kebijakan perekonomian Indonesia (Karsyono dan Pasandaran, 2004).
2 Menurut Asyad dan Rustiadi (2008), kunci dari ketahanan pangan terletak pada ketersediaan, keterjangkauan dan stabilitas pengadaaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai yang ketersediaan pangannya selalu ada sepanjang waktu, keterjangkauan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi. Kebijakan pangan pada tataran praktis diwarnai oleh kebijakan ekonomi beras dengan sasaran utama penyediaan beras dari produksi domestik dengan harga terjangkau oleh sebagian besar penduduk. Dalam upaya penyediaan beras domestik, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala internal dalam hal keterbatasan kapasitas produksi nasional yang disebabkan antara lain oleh: (a) konversi lahan pertanian ke pertanian, (b) menurunnya kualitas dan kesuburan tanah akibat degradasi lingkungan dan kerusakan daerah aliran sungai (DAS), (c) Produksi beras di Indonesia cenderung fluktuatif akibat bencana alam, OPT, dan kenaikan harga pupuk dan pestisida, dan (d) kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi, dan (e) semakin tidak menentunya pola musim akibat perubahan iklim global (Suryana, 2007). Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan aksi program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebesar 2 juta ton beras pada tahun 2007 dan selanjutnya kenaikkan 5% untuk setiap tahunnya. P2BN merupakan program yang mendukung ketahanan pangan dimaksudkan agar terjadi surplus beras nasional sekitar 1 juta ton sebagai stok beras di Bulog (Badan Urusan Logistik), sehingga harga beras lebih mudah dikontrol. Program P2BN digulirkan selain dilatarbelakangi oleh kondisi pemerintah RI yang masih mengimpor beras sekitar 3% untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional pada tahun 2007, juga dilatarbelakangi pula oleh ketidakstabilan kondisi perberasan nasional dimana diantaranya disebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam dan luas areal panen akibat konversi lahan sawah produktif, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), semakin terbatasnya sumberdaya air serta perubahan iklim (dampak fenomena iklim) yang sulit diprediksi (Kementan, 2011). Bahkan saat itu, pemerintah telah merevisi target surplus berasnya menjadi 10 juta ton. Dalam rangka mendukung berbagai program kebijakan yang akan diambil, maka diperlukan ketersediaan data dan informasi yang akurat, tepat, dan mutakhir. Data statistik produksi padi merupakan salah satu data strategis yang dapat dijadikan sebagai informasi rujukan dalam kegiatan penyususan berbagai kebijakan pembangunan terutama pembangunan di bidang pertanian tanaman pangan (khususnya komoditas padi) dan juga kebijakan pangan di Indonesia. Data tersebut dapat dijadikan sebagai indicator makro pertanian karena berisi informasi mengenai kondisi umum pertanian (khususnya tanaman padi) di Indonesia. Di samping itu, data statistik produksi padi juga dapat dijadikan sebagai informasi yang dapat menggambarkan potensi (estimasi) produksi pangan yang mungkin dicapai yang tentu saja sangat berperan dalam menunjang program ketahanan pangan di Indonesia (Nuarsa, 2012). Estimasi produksi yang akurat dan tepat waktu dapat memberikan informasi bagi perencana dan pembuat keputusan untuk menformulasikan suatu kebijakan yang tepat manakala kondisi kekurangan ataupun kelebihan pangan (Mosleh et al., 2015). Data statistik produksi padi di Indonesia diperoleh dari kegiatan statistik pertanian tanaman pangan yang di laksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hal tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1992 dan Keppres
3 No. 6 Tahun 1992 yang mengaskan bahwa pelaksanaan tugas pengumpulan data statistik pertanian tanaman pangan dan hortikultura di BPS dilakukan oleh Bagian Statistik Tanaman Padi dan Bagian Statistik Tanaman Palawija dan Hortikultura, Biro Pusat Statistik. Kemudian diperkuat lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 tentang statistik yang mengatur berkaitan dengan kegiatan perstatistikan di Indonesia dan menunjuk BPS sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan lembaga yang berwenang dalam melakukan kegiatan perstatistikan di Indonesia dimana salah satunya adalah melakukan perhitungan produksi tanaman pangan. Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan Statistik pertanian tanaman pangan, yaitu data laporan statistik Pertanian (SP) tanaman pangan dan data laporan kegiatan survei Ubinan (produktivitas). Pengumpulan data laporan Statistik Pertanian (SP) tanaman pangan dilakukan secara lengkap melalui pendekatan area di seluruh kecamatan. Informasi yang dikumpulkan berupa luas tanaman, informasi penggunaan lahan, alsintan, dan perbenihan. Sementara itu data produktivitas tanaman pangan (padi dan palawija) dilakukan secara sampel melalui survei ubinan dengan pendekatan rumah tangga. Metode pengumpulan data produktivitas tanaman pangan menerapkan metode pengukuran langsung pada plot ubinan terpilih (ukuran 2,5 m x 2,5 m) dan metode wawancara dengan petani sampel untuk karakteristik-karakteristik yang berkaitan dengan produktivitas seperti penggunaan pupuk, benih, pengairan, pestisida, cara penanaman dan sebagainya. Metode pengambilan sampel yang diterapkan dalam Survei Ubinan adalah metode pengambilan sampel multi-stage sampling design. Menurut Mosleh et al. (2015) kedua pendekatan di atas mempunyai 3 kelemahan utama, yaitu: (i) memakan banyak waktu, mengandung unsur subjektivitas, dan ada kecenderung hasil yang diperoleh berbeda nyata akibat dari kesalahan dalam proses pengamatan di lapangan sehingga menyebabkan tidak tepatnya estimasi produksi tanaman pangan pangan, (ii) output baru dapat diperoleh setelah selang waktu beberapa bulan setelah panen terjadi, sehingga informasi tersebut kurang bermanfaat untuk tujuan ketahanan pangan, dan (iii) biaya yang sangat mahal, hal tersebut tergantung pada cakupan wilayah dan periode pelaksanaan survei. Setali tiga uang dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Dirgahayu (2005) yang menyatakan bahwa metode konvensional yang selama ini digunakan dalam rangka inventarisasi luas tanam, luas panen, dan produksi padi memakan banyak waktu, proses, dan biaya. Sistem pelaporan yang berjenjang dari mulai tingkat kecamatan hingga provinsi telah mengakibatkan terjadinya keterlambatan penerimaan informasi. Lebih lanjut Dirgahayu (2005) menyatakan bahwa tingkat akurasi data yang dilaporkan tergantung pada tingkat pengetahuan petugas βmantri tani dan mantri statistik- dalam mengenali wilayah kerjanya (kecamatan) masing-masing. Semakin tinggi tingkat pengetahuannya terhadap wilayah kerjanya, maka semakin tinggi pula tingkat akurasi datanya, demikian sebaliknya. Hal tersebut diperparah dengan masih banyaknya kendala dan keterbatasan baik itu secara teknis maupun non-teknis yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan pendataan di lapangan. Di sisi lain, dalam rangka mendukung program ketahanan pangan, maka dituntut kecepatan dan ketepatan informasi sumberdaya pertanian yang lebih kuantitatif (Wahyunto, 2006). Untuk itu diperlukan sarana pengumpul data dan informasi sistem produksi pertanian yang lebih akurat dalam waktu yang secepat
4 mungkin. Sementara itu Hammar et al. (1996) dan Reynold et al. (2000) menyatakan bahwa untuk memperoleh informasi yang tepat waktu dan akurat tentang status perkembangan dan produktivitas tanaman, maka diperlukan suatu sistem monitoring tanaman yang up-to-date yang mampu menyediakan informasi terkait prediksi hasil panen jauh sebelum masa panen datang. Semakin awal dan akurat informasi yang diperoleh, maka semakin berharga pula informasi tersebut. Hal-hal yang telah disampaikan di atas melatar belakangi dan mendorong dilakukannya penelitian ini. Penerapan metode baru dalam rangka menunjang penyediaan data produksi padi di Indonesia perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan dan evaluasi terhadap data produksi padi yang ada saat ini. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh memungkinkan untuk mempertinggi keterandalan dan efisiensi pengumpulan data untuk penyediaan informasi tanaman pangan yang diperlukan bagi kepentingan perekonomian Negara (Rambe, 1989). Beberapa satelit penginderaan jauh milik negara maju (seperti USA, Uni-Eropa dan Jepang), mengitari bumi dan merekam datanya secara periodik dalam selang waktu tertentu (Brownsveld et al., dan Lillesand and Keifer, 1994). Menurut Dirgahayu (2005) penginderaan jauh satelit yang mengindera permukaan bumi secara periodik dan mencakup luasan lahan tertentu mampu memonitor kondisi fisik tanaman padi. Pendekatan ini mempunyai keunggulan dalam hal kecepatan penyediaan informasi, akurat, kontinyuitas data spasial, periodik, lebih mudah dan objektif, serta mencakup wilayah yang luas termasuk daerah yang jauh dan terpencil (Widagdi et al., 1999, Suparmi et al., 2001, Ritung dan Sunaryo, 2006). Tersedianya data digital satelit penginderaan jauh telah memberi kesempatan yang seluas-luasnya dalam mengkaji potensi data satelit tersebut, baik untuk pengembangan ilmu, seni, dan teknologi, maupun dari segi aplikasi data penginderaan jauh dalam berbagai bidang salah satunya adalah bidang survei pertanian. Parameter tingkat kehijauan tanaman (vegetation index) yang diturunkan melalui analisis citra satelit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengestimasi umur tanaman padi dan produktivitas tanaman padi. Selanjutnya dengan menghitung luas areal tanaman yang dimonitor pada citra satelit, dapat diestimasi produksi padi yang akan dipanen di suatu wilayah (Wahyunto, 2006). Metode estimasi produksi padi dengan memanfaatkan informasi penginderaan jauh diharapkan dapat menjadi metode alternatif dalam upaya mengevaluasi dan memperbaiki kegiatan penyediaan data statistik produksi padi di Indonesia yang lebih baik, lebih akurat, dan tepat waktu. Perumusan Masalah Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS, produksi padi di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai angka 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 42,75 juta ton beras (asumsi: angka konversi yang digunakan adalah 0,57). Jika angka konsumsi beras per kapita 255,46 juta penduduk Indonesia adalah sebesar 114,12 kg per tahun, maka kebutuhan beras nasional pada tahun yang sama diperkirakan sebanyak 29,15 juta ton. Berdasarkan perhitungan di atas, Indonesia masih mengalami surplus beras sekitar 14 juta ton. Angka ini melebihi target yang ditetapkan oleh pemerintah yang hanya menargetkan surplus sebesar 10 juta ton beras. Namun ironisnya, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan impor beras dengan dalih untuk mengamankan cadangan beras nasional sebagai langkah
5 antisipasi dampak el-nino yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Hal tersebut tentu saja menimbulkan polemik dan perdebatan dari berbagai kalangan. Data statistik produksi padi diduga mengalami over estimate sehingga perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan terhadap data yang ada saat ini. Kabupaten Bekasi merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Posisi geografisnya yang berbatasan langsung dengan ibu kota Jakarta menjadikannya sebagai salah satu kabupaten yang memiliki perkembangan yang relatif pesat. Sektor industri merupakan penyumbang terbesar pendapatan daerah Kabupaten Bekasi yaitu sebesar 79,02 persen disusul sektor kontruksi sebesar 5,94 persen dan sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 5,82 persen. Sementara itu, sektor pertanian sendiri hanya menyumbang sebesar 1,28 persen terhadap PDRB Kabupaten Bekasi. Total luas lahan sawah di Kabupaten Bekasi mencapai 51.966 ha atau 40,79 persen dari total luas wilayah keseluruhan. Sebagian besar dari lahan sawah tersebut merupakan lahan sawah irigasi yakni 88,19 persen, sisanya adalah lahan sawah tadah hujan sebesar 11,67 persen dan lahan sawah yang tidak ditanami padi sebesar 0,14 persen. Wilayah yang memiliki lahan sawah terluas adalah Pebayuran, Sukawangi, dan sukakarya, masing-masing seluas 6,827 ha, 4.801 ha, dan 3.802 ha. Produksi padi diKabupaten Bekasi pada tahun 2014 mencapai 516.982 juta ton (GKG). Walaupun mengalami penurunan setiap tahunnya, namun Kabupaten Bekasi masih merupakan wilayah penyokong produksi padi di Jawa Barat. Saat ini, penggunaan aplikasi dan produk teknologi penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Di bidang pertanian sendiri, aplikasi yang banyak digunakan adalah dalam mengestimasi produksi suatu komoditas tanaman tertentu βmisalnya tanaman padi-. Menurut Sakamoto et al. (2005) pemanfaatan teknik penginderaan jauh merupakan pendekatan yang efektif dalam rangka memantau perubahan vegetasi tanaman musiman pada skala regional maupun global. Sementara itu, menurut Mosleh et al. (2015) teknologi penginderaan jauh telah terbukti efektif dalam memetakan areal sawah dan meramal produksi padi. Lebih lanjut Mosleh et al. (2015) mengemukaan beberapa keuntungan dari penerapan teknologi penginderaan jauh diantaranya adalah: (i) cakupan wilayah meliputi area geografi yang luas (ii) informasi atau data tersedia sepanjang musim (iii). Relatif lebih murah (iv). Analisis lebih efisien (v). dapat menyediakan data/informasi secara tepat waktu, dan (vi). dapat memetakan area sawah secara detail. Di samping itu, penelitian berkaitan dengan pemantauan fase pertumbuhan tanaman padi dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai respon terhadap perubahan di bidang pertanian secara global, dan menyediakan referensi serta gambaran umum mengenai produksi pangan di masa yang akan datang. Salah satu parameter yang banyak digunakan dalam berbagai penelitian tentang vegetasi skala global adalah indeks vegetasi. Indeks Vegetasi adalah pengukuran optis tingkat kehijauan (greenness) kanopi vegetasi, sifat komposit dari klorofil daun, luas daun, struktur dan tutupan kanopi vegetasi (Huete, 2011). Ada berbagai macam variasi algoritma untuk menghitung indeks tersebut. Di samping itu terdapat juga berbagai penurunan dan alternatif NDVI telah diusulkan oleh sejumlah peneliti untuk menyempurnakan berbagai kekurangan parameter yang ada. Murthy et al. (1995), Theruvengadachari dan R. Skathivadivel (1997) dan Lapan (2000), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kehijauan
6 tanaman (greenness) dengan produktivitas tanaman padi sawah (didapat dari ubinan/crop cutting experiment). Fase pertumbuhan tanaman yang diduga mempunyai hubungan erat dengan produktivitas tanaman padi adalah tanaman pada fase awal generatif (pinnacle initiation) yaitu pada saat tanaman padi sedang produksi. Penelitian terkait pendugaan produksi padi di Indonesia dengan memanfaatkan informasi penginderaan jauh diantaranya adalah yang dilakukan oleh Marwah (2008), Nuarsa (2012), dan Wilona (2014). Marwah (2008) melakukan estimasi produksi padi di Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Subang dari hasil analisis citra terra MODIS dengan menggunakan parameter Enhanced Vegetation Index (EVI). Hal serupa dilakukan oleh Wilona (2014) dengan melakukan analisis luas lahan sawah berbasis citra MODIS di provinsi Jawa Barat tahun 2002-2012 menggunakan data citra MODIS dengan type produk pada level data MOD13A1 16 harian dan resolusi 500 m dan juga parameter EVI. Sementara itu, Nuarsa (2012) melakukan pemetaan dan pendugaan produksi padi di Provinsi Bali dengan menggunakan data citra yang berbeda yaitu citra MODIS dan Landsat ETM+. Pada penelitian tersebut sebuah indeks vegetasi baru diberi nama Rice Growth Vegetation Index (RGVI). Lebih lanjut Nuarsa (2012) menjelaskan bahwa Citra Landsat dan MODIS mempunyai potensi yang bagus untuk pemetaan lahan sawah dan pendugaan produksi padi. Namun, Citra Landsat ETM+ mempunyai kemampuan yang bagus dalam memonitor dan memetakan lahan sawah dengan menggunakan parameter RGVI. Citra tersebut memliki resolusi temporal, spasial, dan spektral dalam memonitoring tanaman padi. Resolusi temporal citra Landsat adalah 16 harian, dengan resolusi spasial 30m. Sementara itu, citra MODIS memiliki resolusi temporal 16, 6, bahkan harian, namun memiliki keterbatasan dalam hal resolusi spasialnya yaitu 250, 500, dan 1000 m. Penelitian ini mencoba untuk mengaplikasikan dan memvalidasi hasil penelitian sebelumnya terkait pendugaan produksi padi dengan menggunakan salah satu informasi penginderaan jauh yaitu citra Landsat-8 (OLI). Adanya hubungan antara umur, fase pertumbuhan dan nilai produktivitas padi dimanfaatkan untuk melakukan pendugaan terhadap parameter-parameter penyusun data produksi padi di Indonesia yakni luas panen dan produktivitas. Adapun indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Enhanced Vegetation Index (EVI) yang dilandaskan pada pendapat Dirgahayu (2005) yang menyatakan bahwa salah satu indeks vegetasi yang handal dalam hal mengestimasi umur tanaman padi adalah Enhanced Vegetation Index (EVI). EVI ini merupakan indeks vegetasi yang dibuat untuk mengoreksi nilai NDVI yang berkurang akibat kandungan aerosol atmosfir yang terdeteksi oleh kanal biru serta mempertajam nilai NDVI dengan factor L (kondisi tanah/lahan) untuk kondisi latar belakang kanopi. Lebih jauh Dirgahayu (2005) membuat suatu model pertumbuhan tanaman padi untuk menduga umur dan fase pertumbuhan padi dengan menggunakan parameter EVI dari analisis citra MODIS. Sehingga diperoleh tabel kriteria umur tanaman padi berdasar kisaran nilai EVI yang digunakan dalam penelitian ini sebagai rujukan dalam menduga umur tanaman padi. Pada tahap awal penelitian dilakukan proses ekstraksi terhadap nilai EVI pada citra multitemporal Landsat-8 (OLI). Pada proses tersebut dihasilkan series data nilai EVI yang dijadikan sebagai rujukan dalam mengestimasi fase dan umur tanaman padi berdasarkan nilai kisaran EVI yang dibuat oleh Dirgahayu (2005).
7 Informasi estimasi waktu panen dapat diketahui dengan menggunakan asumsi bahwa umur rata-rata tanaman padi di daerah tropis berkisar antara 110-120 HST (Wahyunto et al., 2006). Tahapan selanjutnya dilakukan pemodelan untuk menduga nilai produktivitas berdasarkan parameter indek vegetasi. Hasil dari kedua analisis di atas diaplikasikan pada citra penginderaan jauh yang telah dimasking oleh peta luas baku lahan sawah sehingga diperoleh peta sebaran lahan sawah berdasarkan kategori umur, waktu panen, dan nilai produktivitasnya. Proses overlay dengan menggunakan peta administrasi wilayah penelitian dilakukan untuk memperoleh estimasi luasan panen dan produktivitas per kecamatan. Perkalian antara data luas panen dan produktivitas dilakukan untuk menghasilkan data produksi padi per kecamatan. Pada akhirnya, data-data statistik yang diperoleh dari hasil analisis citra satelit diperbandingkan dengan data BPS selaku official statistics di Indonesia yang selama ini diperoleh melalui pendekatan konvensional. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan sebagai salah satu metode ini dapat menjadi alternatif dalam upaya mengevaluasi dan menyediakan data statistik produksi padi di Indonesia agar lebih baik, akurat, dan tepat waktu. Tujuan Penelitian 1. 2.
3.
Tujuan dari penelitian ini adalah: Melakukan pendugaan umur dan fase tanaman padi dalam rangka monitoring pertumbuhan padi dan pendugaan luas panen di Kabupaten Bekasi; Membuat model hubungan antara indeks vegetasi dengan produktivitas tanaman padi guna melakukan pendugaan produktivitas tanaman padi di Kabupaten Bekasi; Melakukan perbandingan kuantitatif angka statistik tanaman padi menggunakan teknik penginderaan jauh dengan data yang dipublikasikan oleh BPS. Manfaat Penelitian
Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai salah satu pendekatan alternatif dalam melakukan estimasi data statistik tanaman pangan khususnya komoditas padi di Kabupaten Bekasi, dan Indonesia pada umumnya. Sehingga kedepannya dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas data statistik tanaman pangan menjadi lebih baik dan lebih akurat. Kerangka Pemikiran Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu upaya perbaikan kegiatan survei di bidang pertanian dalam rangka menyediakan data statistik pertanian yang handal dan akurat. Seiring perkembangannya, telah banyak sekali pendekatan metode dan produk penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Menurut Poh et al. (2006) penginderaan jauh, yang merupakan ilmu yang mampu menyediakan informasi terkait dengan permukaan bumi tanpa melakukan kontak fisik, semakin berperan penting dalam berbagai bidang dimana salah satunya adalah dalam hal aplikasi pemantauan tanaman padi.
8 Menurut Wahyunto et al. (2006) kunci interpretasi dalam mengenali tanaman padi dengan menggunakan citra satelit adalah dengan terlebih dahulu mempelajari karakteristik spektral (spektral reflectance) fase-fase pertumbuhan tanaman padi sejak awal tanam sampai siap panen. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pemantauan tanaman padi dapat dilakukan dengan menggunakan data citra satelit yang diarahkan untuk memprediksi luas areal tanam, umur tanaman padi, luas areal panen dan estimasi produktivitasnya. Mengingat wilayah Indonesia yang cukup luas, terdiri dari banyak pulau dan banyak diantaranya yang terpencil, dengan menggunakan citra satelit dari beberapa tanggal perekaman secara berurutan (seri multi temporal data), monitoring luas areal tanaman padi dan produktivitasnya dapat dilakukan lebih akurat dan lebih tepatwaktu. Dalam tahapan pengolahan citra satelit, sebelum melakukan analisis lebih jauh terhadap data citra hasil penginderaan jauh perlu dilakukan tahapan image pre processing. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempertajam data geografis dalam bentuk digital menjadi suatu tampilan yang lebih bermakna bagi pengguna, memberikan informasi kuantitatif suatu objek, serta dapat memecahkan masalah. Selain itu, data citra yang terekam sensor sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, sudut sensor, dan waktu pengambilan data, sehingga menimbulkan bias yang harus dikoreksi. Ada dua jenis koreksi yang harus dilakukan, yaitu koreksi geometrik dan radiometrik. Salah satu parameter yang banyak dianalisis pada citra satelit adalah indeks vegetasi. Parameter ini merupakan turunan dari hasil analisis citra penginderaan jauh. Tujuannya adalah untuk menganalisa keadaan vegetasi dari suatu wilayah. Hasil beberapa penelitian terdahulu di berbagai Negara menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara indeks vegetasi dengan biomassa hijau dan produksi pertanian, meskipun mempunyai tingkat kegagalan yang cukup besar jika diterapkan pada daerah yang vegetasinya rapat atau pengaruh reflektan tanah lebih dominan Anon dalam Sobirin et al. (2007). Model pertumbuhan tanaman padi dapat dibangun guna melakukan monitoring pertumbuhan tanaman padi untuk mengidentifikasi luas areal tanam sekaligus luas areal panen. Di samping itu model pendugaan produktivitas juga dibangun untuk menduga produktivitas tanaman padi dengan menganalisa keterkaitan antara nilai indeks vegetasi dengan produksi/produktivitas tanaman. Kedua model tersebut kemudian diaplikasikan pada citra penginderaan jauh, sehingga diperoleh sebaran spasial lahan sawah berdasarkan kriteria tertentu (umur, fase pertumbuhan, dan produktivitas tanaman padi). Proses overlay dilakukan menggunakan luas baku lahan sawah yang sudah ada untuk memperoleh perkiraan luas tanam dan perkiraan nilai produktivitasnya. Dengan asumsi umur padi rata-rata 110-120 HST (Hari Setelah Tanam) (Wahyunto et al., 2006) maka estimasi waktu panen dan luasan areal yang dipanen dapat dihitung. Dari hasil perkalian antara estimasi luas panen dengan estimasi produktivitas yang diperoleh dari analisis di atas, maka diperoleh nilai estimasi produksi padi. Data-data statistik inilah yang nantinya diperbandingkan secara kuantitatif dengan data statistik produksi padi yang telah dipublikasikan secara resmi oleh BPS selaku official statistics di Indonesia. Upaya tersebut dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan data yang dihasilkan antara metode konvensional yang selama ini digunakan dengan data yang dihasilkan melalui
9 pendekatan pemanfaatan informasi penginderaan jauh. Diagram alir kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Peta Luas Baku Lahan hasil audit lahan 2010
Peta Administrasi Wilayah Bekasi
Citra Landsat-8 (Path 122 Row 64) tanggal akuisisi sepanjang tahun 2015
Pre image Processing (Koreksi Geometrik, Radiometrik, Cropping daerah penelitian)
Citra Terkoreksi (secara geometrik, radiometrik, maupun validasi lapangan)
Ekstraksi Nilai Indeks Vegetasi (IV)
Masking Area sawah
Pendugaan Umur dan Fase Pertumbuhan Padi
Analisis Hubungan IV dengan Produktivitas padi
Sebaran spasial sawah berdasar umur, fase pertumbuhan, dan produktivitas padi
Pendugaan luas area panen, produktivitas, dan produksi padi
Perbandingan kuantitatif antara data hasil pengolahan citra dengan data BPS
Gambar 1 Tahapan penelitian
Data hasil ubinan dan Data Tabular BPS
10
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Jika dilihat dari asal usulnya, menurut Chevalier dan Neguier dalam Andarwulan et al.(2011) tanaman padi berasal dua Benua yaitu Benua Asia dan Benua Afrika. Tanaman padi yang berasal dari Benua Asia yaitu Oryza fatua Koening dan Oryza sativa L, sedangkan tanaman padi yang berasal dari Benua Afrika yaitu jenis Oryza glaberrima Stund. Dua jenis lainnya yaitu Oryza sativa Koenig dan Oryza minuta presl berasal dari India Himalaya. Padi termasuk golongan rumput-rumputan (Gramineae) dengan klasifikasi sebagai berikut: Genus: Oryza Linn, Famili: Gramineae (Poaceae), Species: 25 species, dimana dua di antaranya ialah yang disebutkan di atas yaitu: Oryza sativa L , Oryza glaberima steund (Girisonta, 1990). Menurut Joy dan Wibberly (1979) dalam Girisonta (1990), tanaman padi yang mempunyai nama botani Oryza sativa dengan nama lokal padi (paddy), dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu padi kering yang tumbuh di dataran tinggi dan padi sawah yang memerlukan air menggenang. Menurut Yandianto (2003), padi kering merupakan jenis padi yang tidak membutuhkan banyak air sebagaimana padi sawah. Bahkan padi kering ini dapat tumbuh hanya mengandalkan curah hujan. Padi kering ini pada umumnya ditanam di daerah-daerah yang kurang atau sedikit air. Padi jenis ini dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu: 1. Padi ladang, sejenis padi kering yang ditanam di wilayah hutan yang baru dibuka. 2. Padi gogoh rancah, sejenis padi kering yang ditanam di tegalan pada saat musim hujan. Sementara itu padi sawah ditanam di lahan sawah, yaitu lahan yang cukup memperoleh air. Padi sawah pada waktu-waktu tertentu memerlukan genangan air, terutama sejak musim tanam sampai mulai berbuah. Padi sawah jelas dapat menghasilkan lebih banyak daripada padi kering (Yandianto, 2003). Lebih lanjut Yandianto (2003) membedakan tanaman padi berdasarkan kegunaannya yaitu: 1. Padi beras, jenis tanaman padi yang hasilnya untuk dijadikan makanan pokok sehari-hari. Beras sebagai hasil akhir tanaman padi dijadikan sumber utama karbohidrat, dimasak menjadi nasi dan dikonsumsi. 2. Padi ketan, jenis tanaman padi yang hasilnya bukan untuk dijadikan makanan pokok sehari-hari. Beras ketan umumnya dibuat tepung sebagai bahan pangan olahan. Dengan demikian padi ketan tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan pokok sebagaimana padi beras. Perbedaan jenis padi pada umumnya terletak pada: usia tanaman, jumlah hasil, mutu beras, dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit Komoditas padi dikonsumsi oleh hampir setengahnya dari populasi di dunia. Di Indonesia sendiri, mayoritas penduduk Indonesia menjadi beras yang dihasilkan tanaman padi sebagai makanan pokok sehari-hari. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, beras dapat digantikan atau disubstitusi oleh bahan makanan lainnya, namun beras memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat dengan mudah digantikan dengan bahan makanan yang lain.
11 Menurut Girisonta (1990), beras atau nasi mengandung berbagai zat makanan yang diperlukan oleh tubuh, antara lain: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Sementara menurut Hasanah (2007), kandungan gizi yang terdapat pada tanaman padi antara lain karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, abu, dan vitamin. Di samping itu, beras juga terkandung berbagai macam unsur mineral, antara lain kalsium, magnesium, sodium, fosfor, dan lain sebagainya. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia (Girisonta, 1990). Produksi padi di Indonesia menempati urutan pertama terbesar jika dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan lainnya. Hal tersebut tidak diragukan lagi karena seperti dijelaskan di atas, bahwa beras merupakan makanan pokok bagi mayoritas penduduk di Indonesia. Selain itu, budidaya tanaman padi juga masih menjadi mata pencaharian utama bagi lebih dari 17 juta rumah tangga petani di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia membudidayakan tanaman padi di lahan sawah. Jika dilihat dari segi produksi, prospek produksi padi di Indonesia memang sangat menjanjikan. Namun dari perspektif ekonomi, budidaya tanaman padi masih belum mampu meningkatkan taraf hidup petani pelaku usaha budidaya padi itu sendiri. Kondisi ini memicu fenomena alih fungsi lahan, sehingga semakin hari jumlah lahan sawah di Indonesia semakin berkurang, pun demikian dengan luas lahan sawah yang digarap petani semakin menyempit. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman padi serta efektivitas usaha tani yang lebih baik guna mencukupi kebutuhan padi dan meningkatkan taraf hidup petani padi di Indonesia. Umur dan Fase-fase pertumbuhan padi Dalam pertumbuhannya, tanaman padi mengalami beberapa fase pertumbuhan. Secara garis besar ada 3 fase dalam pertumbuhan tanaman padi yaitu fase vegetatif, generatif dan fase pematangan (De Datta, 1981). Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan organ- organ vegetatif, seperti pertambahan jumlah anakan, tinggi tanaman, bobot, dan luas daun. Lama fase ini beragam, yang menyebabkan adanya perbedaan umur tanaman (De Datta, 1981; Yoshida, 1981). Sementara itu fase reproduktif ditandai dengan: 1) memanjangnya beberapa ruas teratas batang tanaman, 2) berkurangnya jumlah anakan (matinya anakan tidak produktif), 3) munculnya daun bendera, 4) bunting dan 5) pembungaan. Inisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum heading dan waktunya hampir bersamaan dengan pemanjangan ruas-ruas batang yang terus berlanjut sampai berbunga. Oleh sebab itu, stadia reproduktif disebut juga stadia pemanjangan ruas. Sementara itu menurut Rambe (1989) fase tumbuh padi dikelompokan ke dalam 6 fase yaitu 1) perendaman, pengolahan, penanaman, 2) pertumbuhan, 3) penutup tajuk penuh, 4) pematangan, 5) matang panen, dan 6) panen. Kustiyo (2003) merangkum hubungan 6 fase pertumbuhan yang dikemukakan oleh Rambe (1989) dengan 3 fase yang dikemukakan oleh De Datta (1981) disajikan pada Tabel 1.
12 Tabel 1 Hubungan fase pertumbuhan padi dengan fase fisiologi De Datta No (1) 1
Fase Tumbuh (2) Perendaman, pengolahan lahan, penanaman 2 Pertumbuhan 3 Penutup tajuk penuh 4 Pematangan 5 Matang Panen 6 Panen Sumber: Kustiyo (2003).
Fase Fisiologi De Datta (3) (4) Penyemaian, penanaman Vegetatif Pembentukan tiller Pembungaan Reproduksi Pengerasan biji Pematangan pematangan biji Panen
Metode Pengumpulan Data Statistik Tanaman Pangan Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan lembaga yang berwenang dalam melakukan kegiatan perstatistikan di Indonesia dimana salah satunya adalah melakukan perhitungan produksi tanaman pangan. Hal tersebut dilandaskan pada Perarturan Pemerintah No. 2 Tahun 1992 dan Keppres No. 6 Tahun 1992, pelaksanaan tugas pengumpulan data statistik pertanian tanaman pangan dan hortikultura di BPS dilakukan oleh Bagian Statistik Tanaman Padi dan Bagian Statistik Tanaman Palawija dan Hortikultura, Biro Pusat Statistik. Kemudian diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang tahun 1997 tetang statistik yang mengatur berkaitan dengan kegiatan perstatistikan di Indonesia dan menunjuk BPS sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Seperti telah diuraikan sebelumnya, semula pengumpulan data statistik tanaman pangan dan hortikultura dilakukan oleh BPS dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura serta Badan Pengendali Bimas secara terpisah. Cara ini mengakibatkan tersedianya data produksi padi dan palawija yang berbeda-beda. Untuk mengatasi hal ini telah dikeluarkan Instruksi Bersama Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan Kepala BPS No. I.HK.050.84.86/04110.0288 tanggal 17 Desember 1984 Tentang Keseragaman Metode untuk Memperoleh Kesatuan Angka. Data produksi padi/palawija diperoleh dari perkalian data luas panen dan hasil per hektar (produktivitas). Menurut Buku Pedoman Pengumpulan Data Tanaman Pangan (2012) yang diterbitkan oleh BPS, ada dua kegiatan utama yang dilaksakan dalam rangka penyediaan data tanaman pangan di Indonesia yakni kegiatan pengumpulan data Statistik Pertanian (SP) dan kegiatan pengumpulan data produktivitas (Survei Ubinan). Berikut disajikan uraian kedua kegiatan pengumpulan data tersebut. Pengumpulan Data Statistik Pertanian (SP) Pengumpulan data Statistik Pertanian (SP) tanaman pangan dilakukan secara lengkap melalui pendekatan area di seluruh kecamatan. Informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan kegiatan statistik tanaman pangan khususnya komoditas padi meliputi luas tanam, luas panen, dan luas puso menurut jenis lahan, varietas, dan pengairan. Adapun periode waktu pengumpulannya adalah bulanan. Petugas pelaksana kegiatan pengumpulan data SP tanaman pangan adalah Mantri Tani atau KCD (Kantor Cabang Dinas) yang berada di setiap kecamatan. Kelancaran pemasukan dokumen SP dan akurasi isiannya menjadi tanggung jawab Distan Provinsi/Kabupaten/Kota.
13 Adapun metode untuk memperoleh data luas tanam dan luas panen padi, dilakukan melalui metode-metode sebagai berikut: 1. Mendapatkan data luas panen, tanam dan puso berdasarkan peta luas baku lahan sawah (audit lahan) dengan menggunakan citra satelit. 2. Dengan menggunakan sistem blok pengairan Biasanya desa yang sudah mempunyai pengairan teknis, sawah dalam desa tersebut dibagi dalam beberapa blok pengairan, kemudian tanggal penanaman ditentukan untuk setiap blok pengairan. Contoh: Sawah desa A mempunyai 3 blok pengairan. Volume air yang tersedia dalam desa tersebut bisa mengairi sawah seluas 3 hektar dalam waktu 1 minggu. Untuk menggarap sawah blok 1 diperlukan pengairan selama 2 minggu, untuk blok 2 diperlukan pengairan selama 3 minggu dan untuk blok 3 diperlukan pengairan selama 1 minggu. Dari informasi di atas bisa diperkirakan luas tanaman yang ada pada sawah desa A secara keseluruhan = 2 x 3 hektar + 3 x 3 hektar + 1 x 3 hektar = 18 hektar. 3. Laporan petani kepada Kepala Desa Petani biasanya melaporkan kepada Kepala Kelompok/Kontak Tani lebih dahulu dan Kepala Kelompok/Kontak Tani selanjutnya melaporkan kepada Kepala Desa, tetapi ada juga petani yang langsung melaporkan kepada Kepala Desa tanpa melalui Kepala Kelompok/Kontak Tani. 4. Banyaknya benih yang digunakan Berdasarkan pada banyaknya benih yang digunakan, petugas akan bisa mengetahui luas tanaman. Contoh: Untuk satu hektar padi sawah, digunakan benih 30 kg gabah (tergantung pada kebiasaan daerah masing-masing). Apabila jumlah benih yang digunakan pada desa tersebut sebanyak 150 kg gabah, maka perkiraan luas sawah di desa tersebut adalah 150/30 x 1 ha = 5 ha. 5. Eye estimate (pandangan mata) berdasarkan luas baku Metode ini dilakukan dengan cara perkiraan berdasarkan pencatatan yang dilakukan oleh pegawai/petugas desa, dengan syarat bahwa luas baku lahan telah diketahui terlebih dahulu dan yang melakukan taksiran sudah berpengalaman. 6. Sumber informasi lain Sumber informasi lain yang dapat digunakan sebagai dasar atau rujukan dalam memperoleh data luas misalnya Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Petugas Pengawas Benih, dll. Pengumpulan data tersebut berupa laporan pencatatan luas tanam, panen, dan puso serta mencakup keseluruhan wilayah. Laporan yang dibuat sebanyak 4 rangkap (arsip KCD, BPS Kabupaten/Kota, Distan Kabupaten/Kota dan BPS Provinsi). Di samping itu, hierarki pelaporan yang berjenjang mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional semakin memakan banyak waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pengumpulan Data Produktivitas Pengumpulan data produktivitas tanaman pangan (padi dan palawija) dilakukan secara sampel melalui survei ubinan dengan pendekatan rumah tangga. Metode pengumpulan data produktivitas tanaman pangan menerapkan metode pengukuran langsung pada plot ubinan terpilih dan metode wawancara dengan
14 petani sampel untuk karakteristik-karakteristik yang berkaitan dengan produktivitas seperti penggunaan pupuk, benih, pengairan, pestisida, cara penanaman dan sebagainya. Pelaksanaan ubinan dilakukan dalam tiga periode; yaitu subround I (periode Januari-April), subround II (periode Mei-Agustus) dan subround III (periode September-Desember). Pemutakhiran rumah tangga dan pendaftaran petak di setiap bidang lahan untuk suatu subround dilakukan pada bulan terakhir subround sebelumnya. Unit pencacahan Survei Ubinan adalah rumah tangga usaha tanaman pangan yang melakukan panen pada subround tertentu. Metode pengambilan sampel yang diterapkan dalam Survei Ubinan adalah metode pengambilan sampel multi-stage sampling design. 1. Tahap pertama, dari kerangka sampel desa, dipilih sejumlah desa secara Probability Proportional to Size (PPS) dengan size petani tanaman pangan. 2. Tahap kedua, dari setiap desa/kelurahan terpilih, dipilih 1 (satu) blok sensus secara PPS dengan sizejumlah petani tanaman pangan. Pada setiap blok sensus terpilih dilakukan pemutakhiran rumah tangga. Khusus untuk strata yang jumlah sampel blok sensusnya lebih dari jumlah sampel desa dalam strata, maka beberapa desa terpilih yang memiliki luas baku lahan terbesar harus dibuat subdesa (dalam frame) terlebih dahulu, selanjutnya setiap desa/subdesa tersebut tetap dipilih 1 blok sensus. 3. Tahap ketiga, dari hasil pemutakhiran rumah tangga, dipilih rumah tangga yang akan panen pada subroundtertentu secara sistematik. 4. Tahap keempat, dari setiap petani terpilih, dipilih satu petak secara acak untuk dilakukan ubinan. 5. Tahap kelima, pada petak terpilih, dipilih satu plot (berukuran 2,5 Γ 2,5 m2) untuk dilakukan ubinan. Petugas yang melakukan survei ubinan adalah KSK dan KCD dimana pembagiannya adalah nomor urut ubinan ganjil, pelaksanaannya menjadi tanggung jawab KSK/Mantri Statistik dan nomor urut ubinan genap pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala Cabang Dinas (KCD)/Mantri Tani. Laporan dibuat 2 rangkap yakni untuk KSK dan KCD. Gambar 2 menunjukan arus pelaporan dokumen SP Padi dan Survei Ubinan.
15
BPS Arsip - SP TP - SUB-S Arsip - SP TP - SUB-P - SUB-S
Ditjen TP Database SP-TP
Database SP-TP
Database SP-TP
BPS Propinsi
Distan Propinsi SP-TP (2) SP TP (1) SUB-S (1) SUB-S Genap (2) Database TP
BPS Kab/Kota SUB-P (1) SUB-DS SUB-S Ganjil (2) SP TP
Database SP-TP Distan Kab/Kota
Database SP-TP Data Sample SUB-DS KSK/Man-tis
KCD/Man-tan PPL(BPP)
SUB-P (1) SUB-S Ganjil (2)
Arsip - SP TP SUB-S Genap (2) SUB-DS SP TP (3) POPT-PHP Data Puso
Arsip SP-TP
SP-TP Desa
SUB-S Genap (2)
Lapangan/Petani
Kerjasama, Koordinasi, Sinkronisasi, Pelaporan Pengumpulan data Penyerahan dokumen
Gambar 2 Bagan arus pelaporan daftar SP dan SUB-S (Ubinan) Konsep Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperolah informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994). Alat yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah alat pengindera atau sensor. Pada umumnya sensor dibawa oleh wahana baik berupa pesawat, balon udara, satelit maupun jenis wahana yang lainnya (Sutanto,1987). Hasil perekaman oleh alat yang dibawa oleh suatu wahana ini selanjutnya disebut sebagai data penginderaan jauh. Lindgren (1985 dalam Sutanto, 1987) mengungkapkan bahwa penginderaan jauh adalah berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi, infomasi ini khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Secara garis besar ada 3 komponen utama dalam penginderaan jauh yaitu: Objek yang di Indera, sensor untuk merkam, gelombang. dipancarkan oleh permukaan bumi. Interaksi dari ketika komponen ini menghasilkan data penginderaan jauh yang selanjutnya melalui proses interpretasi dapat diketahui jenis obyek area ataupun fenomena yang ada. Seiring dengan perkembangannya, wahana dan sensor yang digunakan dalam penginderaan jauh mengalami kemajuan yang pesat. Pada tahap awal
16 perkembangannya wahana yang paling banyak digunakan dalam pengideraan jarak jauh yaitu pesawat udara dan balon udara. Namun saat ini, perekaman data permukaan bumi sudah beralih menggunakan wahana satelit. Demikian pula dengan penggunaan sensor yang semakin berkembang baik dalam jenis maupun tingkat kedetaialnnya. Pada hakekatnya prinsip perekaman oleh sensor penginderaan jauh didasarkan pada perbedaan daya reflektansi elektromagnetik masing-masing objek di permukaan bumi. Objek-objek yang mempunyai daya reflectansi yang berbeda akan didefinisikan oleh sensor sebagai objek yang berbeda. Ilustrasi prinsip kerja proses perekaman data permukaan bumi oleh sensor penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Ilustrasi prinsip kerja proses perekaman data permukaan bumi oleh sensor penginderaan jauh Hasil perekaman data permukaan bumi oleh sensor penginderaan jauh dapat berupa citra. Citra sendiri didefinisikan sebagai gambaran rekaman suatu objek yang biasanya berupa foto yang dihasilkan dengan cara optik, elektro optik atau elektronik (Simonet et al., 1983, dalam Sutanto, 1994). Sementara itu Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2004) mendefisiskan citra satelit sebagai citra hasil penginderaan jauh suatu jenis satelit (wahana satelit) tertentu. Citra Landsat Pada tanggal 23 Juli 1972 NASA (lembaga antariksa Amerika Serikat) meluncurkan satelit sumberdaya alam yang pertama yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite). Tiga tahun berselang, yaitu tahun 1975 satelit ERTS-2 menyusul diluncurkan dan membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spektral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 kemudian berganti nama menjadi Landsat 1 dan Landsat 2 yang diteruskan dengan seri-seri berikutnya yaitu Landsat 3, 4,5,6,7. Pada tanggal 11 Februari 2013 NASA meluncurkan Landsat Data Continuity Mission (LDCM) yaitu satelit Landsat seri ke 8 dan mulai menyediakan produk citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013. Satelit Landsat-8 terbang pada ketinggian ketinggian
17 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km. Satelit tersbut hanya memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan memiliki resolusi temporal yang sama dengan versi sebelumnya yaitu setiap 16 hari. Parameter satelit LCDM (Landsat-8) disajikan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Parameter satelit LCDM (satelit Landsat-8) Parameter Satelit LCDM (Satelit Landsat-8) (1) (2) Jenis orbit Mendekati lingkaran sinkron matahari Ketinggian satelit 705 km Inklinasi 98,2Λ Periode 99 menit Resolusi temporal (waktu liput ulang) 16 hari Waktu melintasi Garis katulistiwa Pukul 10.00 β 10.15 pagi Sumber: https://directory.eoportal.org/web/eoportal/satellite-missions/content//article/landsat-8-ldcm. Satelit Landsat-8 membawa 2 instrumen yaitu OLI (Operational Land Imager) yang mempunyai 9 kanal dan TIRS (Thermal Infrared Sensor) dengan 2 kanal. Kanal-kanal tersbebut sebagian besar memiliki karakteristik yang mirip dengan landsat 7. Sensor pencitra OLI mempunyai kanal-kanal yang baru yaitu: kanal-1: 443 nm untuk aerosol garis pantai dan kanal 9: 1375 nm untuk deteksi cirrus, tetapi tidak dilengkapi dengan kanal inframerah termal. Sementara itu, sensor pencitra TIRS (Thermal Infrared Sensor) ditetapkan sebagai pilihan (optional) pada misi LDCM (Landsat-8) yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI. Berikut disajikan tabel karakteristik band-band yang terdapat pada citra Landsat-8. Tabel 3 Karakteristik band-band yang terdapat pada citra Landsat-8 Band Panjang Gelombang Resolusi (1) (2) (Β΅m) usi(3) Band 1 β coastal aerosol 0,43-0,45 30 m Band 2 β blue 0,45-0,51 30 m Band 3 β green 0,53-0,59 30 m Band 4 β red 0,64-0,67 30 m Band 5 - Near Infrared (NIR) 0,85-0,88 30 m Band 6 - Short-wave Infrared 1,57-1,65 30 m Band 2,11-2,29 30 m (SWIR)7 1 - Short-wave Infrared Band 8 β2Panchromatic 0,50-0,68 15 m (SWIR) Band 9 β Cirrus 1,36-1,38 30 m Band 10 β TIRS 1 10,60-11,19 100 * (30) m Band 11 β TIRS 2 11,50-12,51 100 * (30) m Sumber: http://landsat.usgs.gov/band_designations_landsat_satellites.php
18 Tinjauan Studi Terdahulu Wilona (2014) dalam penelitiannya mengenai analisis luas lahan sawah berbasis citra MODIS di provinsi Jawa Barat tahun 2002-2012 menggunakan data citra MODIS dengan type produk pada level data MOD13A1 16 harian dan resolusi 500 m. Adapun parameter yang digunakan adalah Enhanced Vegetation Index (EVI). Sementara itu untuk mengidentifikasi lahan sawah menggunakan metode pengklasifikasian terbimbing dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Classification (MLC). Pada tahap awal pengolahan dilakukan analisis luas areal sawah di Jawa Barat dengan metode yang disebutkan di atas kemudian dihitung laju pertumbuhan dan penyusustannya. Di samping itu dilakukan juga proyeksi luas panen dan produksi padi. Luas lahan diproyeksi dengan terlebih dahulu mencari rasio antara luas panen dengan luas lahan sawah menurut BPS. Rasio inilah yang dijadikan factor pengali terhadap luas lahan sawah hasil interpretasi citra MODIS sehingga diperoleh proyeksi luas panen padi di wilayah Jawa Barat berdasarkan citra MODIS. Sementara itu proyeksi produksi padi berdasar analisis citra dihasilkan dari perkalian antara proyeksi luas panen hasil analisis citra MODIS dengan data produktivitas BPS. Data luas panen dan produksi yang dihasilkan dari analisis citra selanjutnya diperbandingkan dengan data dari BPS dan diperoleh hasil bahwa rasio antara luas panen hasil analisis citra MODIS dengan data dari BPS adalah berkisar antara 1.09 β 2.14. Sementara itu rasio antara produksi padi hasil analisis citra MODIS dengan data BPS berkisar antara 0.96-1.77. Marwah (2008) dalam penelitiannya yang berjudul estimasi produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Subang bertujuan untuk mengetahui pola keruangan dan produksi padi sawah pada tahun 2007. Dalam analisisnya digunkan citra terra MODIS. Adapun parameter yang digunakan adalah parameter Enhanced Vegetation Index (EVI). Pada tahap awal dilakukan pendugaan umur tanaman padi dengan menggunakan parameter EVI dan kriteria dari hasil penelitian Dirgahayu (2005). Selanjutnya dibuat peta distribusi spasial umur tanaman padi sawah sepanjang tahun 2007. Di samping itu, pada penelitian ini juga dilakukan estimasi produksi dengan memanfaatkan hubungan antara nilai EVI dengan Produktivitas tanaman padi. Nilai EVI yang diukur adalah nilai EVI tanaman padi pada umur 80-90 HST. Dari hasil analisis diperoleh persamaan regresi untuk menduga nilai produktivitas. Selanjutnya persamaan tersebut digunakan untuk megestimasi produksi dan diaplikasikan pada 3 peta yang berbeda yaitu citra dengan tanggal akuisisi 10 Februari 2007, 10 Juni 2007, dan 24 Oktober 2007. Estimasi produksi dilakukan dengan mengekstraksi nilai piksel estimasi produktivitas dan luas tanam pada ketiga peta di atas untuk menduga produksi tiap subround. Penjumlahan dari ketiga subround ini menghasilkan produksi padi pada tahun 2007. Kemudian hasil ini diperbandingkan dengan data BPS dan menghasilkan angka perbedaan sebesar 4.09% dimana angka pada penelitian ini lebih kecil dibanding dengan angka yang dikeluarkan oleh BPS.
19
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Bekasi berada pada posisi 6ΒΊ 10β53β- 6ΒΊ30β 6β Lintang Selatan dan 106ΒΊ 48β 28β -107ΒΊ 27β 29β Bujur Timur. Kabupaten Bekasi memiliki luas wilayah mencapai 127.388 ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor; Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang; serta Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Adapun pelaksanaan penelitian mulai dari persiapan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan selama satu tahun terhitung dari bulan Juni 2015 sampai dengan bulan Mei 2016. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Peta lokasi penelitian Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan perangkat penerima GPS untuk memperoleh titik koodinat lokasi petak sampel ubinan BPS subround III (periode panen September-Desember) 2015. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait dan juga hasil dari mendownload di situs earthexplorer.usgs.gov. Jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, asumsi yang digunakan serta output yang diharapkan sebagai hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
20 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data produktivitas hasil ubinan BPS subround III tahun 2015, peta luas baku lahan sawah skala 1: 50.000, peta administrasi wilayah Kabupaten Bekasi skala1:100.000, dan citra Landsat-8 dengan lokasi path/row 122/44 selama periode bulan Mei sampai dengan Agustus tahun 2015. Pemilihan periode tanggal akuisisi di atas dilandaskan pada kendala adanya tutupan awan di permukaan bumi. Citra dengan tanggal akuisisi pada periode Mei-Agustus tahun 2015 memiliki kondisi permukaan bumi yang relatif bersih dari tutupan awan sehingga dapat dianalisis lebih lanjut. Sementara periode di luar itu, tidak dapat dianalisis lebih lanjut dikarenakan kondisi citra yang dihasilkan memiliki tutupan awan yang tebal dan menyelimuti hampir sebagian besar permukaan bumi. Citra komposit band 6,5,3, satelit Landsat-8 tanggal akuisisi sepanjang bulan Mei-Agustus 2015 dapat dilihat pada Lampiran 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat penerima GPS, perangkat computer yang dilengkapi dengan software Windows Office 2007, STATISTIKA, ENVI 11.0 dan ArcGIS 10. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Data primer meliputi data lokasi koordinat petak sampel ubinan BPS periode panen bulan September-Desember (subround III) tahun 2015. Data tersebut diambil dengan menggunakan perangkat penerima GPS dengan mendatangi setiap lokasi petak yang diubin. Ada sebanyak 53 titik lokasi petak sampel ubinan BPS pada periode subround tersebut, namun hanya 19 yang dapat divalidasi dan dimasukan ke dalam model persamaan. Lokasi titik koordinat sampel dan nilai produktivitas hasil ubinan yang diperoleh dapat dilihat pada Lampiran 2. Sementara itu, sebaran spasial sampel dapat dilihat pada Lampiran 3. Data sekunder yang digunakan meliputi peta administrasi wilayah penelitian, peta luas baku sawah Kabupaten Bekasi, data produktivitas tanaman padi sawah Kabupaten Bekasi hasil survei ubinan BPS subround III (periode panen SeptemberDesember) tahun 2015, dan citra hasil penginderaan jauh satelit Landsat-8 (OLI). Data tersebut diperoleh dari dinas/instansi terkait seperti BPS dan LAPAN. Sementara itu, untuk data citra satelit Landsat-8 (OLI) yang digunakan didownload dari situs earthexplorer.usgs.gov dengan lokasi path/row 122/ 44 dan tanggal akuisisi sepanjang tahun 2015.
21 Tabel 4 Deskripsi jenis dan sumber data, teknik analisis, dan output yang diharapkan tiap tujuan penelitian No 1
Teknik Analisis Data Melakukan - Peta - BPS, LAPAN- Ekstrasksi pendugaan umur adminisnilai dan fase tanaman trasi, peta Enhanced padi dalam luas baku Vegetation rangka sawah Index (EVI) monitoring dan pertumbuhan - Citra - analisis padi dan sateli Website spasial pada pendugaan luas Landsat- NASA: data multipanen di 8 (OLI) earthexplorer. temporal Kabupaten usgs.gov satelit Bekasi; Landsat-8 (OLI) Tujuan
Jenis Data Sumber Data
Output yang Diharapkan Peta sebaran spatial luas panen tanaman padi sawah berdasarkan perkiraan waktu panen; Data tabular estimasi luas panen tanaman padi per bulan panen dan per kecamatan di Kabupaten Bekasi;
2
Membuat modelhubungan antara indeks vegetasi dengan produktivitas tanaman padi guna melakukan pendugaan produktivitas tanaman padi di Kabupaten Bekasi;
Nilai EVI maksimum Data produktivitas padi hasil ubinan Data lokasi koordinat petak ubinan
Hasil analisis - Analisis - Model Estimasi tahap 1 regresi produktivitas linier tanaman padi BPS - Data Estimasi Kabupaten Produktivitas Bekasi tanaman padi; - Data tabular estimasi Survey produktivitas lapangan tanaman padi per kecamatan di Kabupaten Bekasi;
3
Melakukan perbandingan Kuantitatif angka statistik tanaman padi menggunakan teknik penginderaan jarak jauh dengan data referensi yang dikelauarkan oleh BPS.
Data Estimasi luas panen; Data Estimasi Produktivitas; Data statistik tanaman padi
Hasil analisis- Deskriptif Perbandingan tahap 1 Kuantitatif kuantitatif data statistik padi hasil analisis Hasil analisis citra satelit dan tahap 2 data yang dipublikasikan oleh BPS. BPS Kabupaten Bekasi
22 Metode Analisis Data Penelitian ini mencoba menganalisa citra Landsat-8 (OLI) pada periode tanggal akuisisi sepanjang tahun 2015 untuk menunjang penyediaan data produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi. Hanya citra dengan tanggal akuisisi pada periode bulan Mei-Agustus yang dapat dianalisis lebih lanjut. Kondisi tutupan permukaan bumi pada periode tersebut masih memungkinkan untuk dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sementara itu, citra di luar periode tanggal akuisisi MeiAgustus tidak dapat dianalisis karena sebagian besar permukaan buminya ditutupi oleh kabut. Hasil analisis citra tersebut nantinya digunakan untuk mengestimasi luas panen, produktivitas, dan produksi padi sawah pada periode Juli-Oktober 2015 di Kabupaten Bekasi. Metode analisis data dalam penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan, meliputi ekstraksi nilai indeks vegetasi untuk memperoleh sebaran nilai EVI tanaman padi di lahan sawah, analisis pendugaan umur dan fase pertumbuhan tanaman padi untuk memprediksi fase, umur, dan waktu panen beserta luasannya, analisis hubungan indeks vegetasi tumbuhan dengan produktivitas untuk melakukan pendugaan produktivitas tanaman padi, dan analisis perbandingan data statistik tanaman padi hasil pengolahan citra satelit dengan data BPS untuk mengetahui sejauh mana perbedaan kedua data tersebut. Hasil akhir yang diharapkan adalah dari tahapan-tahapan analisis data tersebut adalah sebuah pendekatan alternatif yang dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan terhadap kegiatan penyediaan data statistik tanaman padi khususnya di Kabupaten Bekasi dan di Indonesia pada umumnya. Diharapkan kedepannya informasi perkiraan luas panen, produktivitas, dan produksi padi yang dihasilkan dapat lebih baik,akurat, tepat, dan mutakhir. Tahapan penelitian yang dilaksanakan adalah sebagai berikut. Ekstraksi Nilai Indeks Vegetasi Tanaman Citra penginderaan jauh yang dianalisis dalam penelitian ini adalah hasil perekaman sensor satelit Landsat-8 (OLI). Tanggal akuisisi yang dipilih adalah pada periode bulan Mei-Agustus 2015. Adapun persamaan untuk memperoleh nilai EVI seperti yang dirumuskan oleh Dirgahayu (2005) yaitu: 2.5 (π2βπ1)
πΈππΌ = (1+π2+6βπ1β7.5βπ3).................................................................................. [1] dengan: Ο1,2,3 = reflektansi kanal Red, NIR, dan Blue. Dirgahayu (2005) mengkombinasikan formula EVI akhir dengan SAVI dalam kondisi pengaruh atmosfer yang tidak signifikan yang diindikasikan oleh reflektansi kanal biru lebih besar dari reflektansi kanal merah. Sehingga algoritma komputasi EVI dapat ditulis sebagai berikut: 2.5 (π2βπ1)
πΌπ ππππ’π β€ ππππ ππ ππππ β€ ππππ πβππ πΈππΌ = (1+π2+6βπ1β7.5π3)
πΈππ π πΈππΌ =
1.5 (π2βπ1) ........................................................................................................ [2] (0.5+π2+π1)
23 Persamaan tersebut diaplikasikan ke dalam citra Landsat-8 (OLI) multi temporal sehingga diperoleh series data dan sebaran nilai EVI pada lahan sawah di Kabupaten Bekasi. Pendugaan Umur dan Fase Tanaman Padi Data EVI multitemporal yang diekstraksi pada tahapan sebelumnya akan dianalisis secara spasial dan dihitung nilai minimum, maksimum, rataan, kovarian, slope, dan skewness dari seri data yang terkumpul. Nilai-nilai tersebut dapat dimanfaatkan dalam pengolahan data lebih lanjut untuk menentukan obyek yang diduga tanaman padi. Jika IV dari EVI maksimum > 0.45, selisih EVI maksimum dan minimum >0.3 dan rasio dari IV generatif dengan vegetatif > 0.75 maka areal tersebut merupakan tanaman padi dan selainnya bukan tanaman padi. Disamping itu, nilai-nilai tersebut juga digunakan sebagai dasar untuk melakukan pendugaan terhadap fase pertumbuhan, umur, awal tanam, dan waktu panen tanaman padi. Dirgahayu (2005) membangun model pertumbuhan padi menggunakan parameter EVI yang diturunkan dari citra MODIS. Menurut Dirgahayu (2005) model pertumbuhan tanaman padi berbentuk spline kubik berbentuk lonceng simetris (Gambar 5). Untuk menghindarkan kesalahan obeservasi yang tidak terwakili akibat bertambahnya kesalahan regresi, maka model tersebut perlu dibagi menjadi dua model yang berbeda untuk memisahkan fase vegetatif (Gambar 6) dan reproduktif (Gambar 7).
Sumber: Dirgahayu, 2005 Gambar 5 Model pertumbuhan tanaman padi berdasarkan data MODIS
24
Sumber: Dirgahayu, 2005 Gambar 6 Model pertumbuhan padi berdasarkan data MODIS pada fase vegetatif
Sumber: Dirgahayu, 2005 Gambar 7 Model pertumbuhan padi berdasarkan data MODIS pada fase generatif
25 Lebih lanjut Dirgahayu (2005) menyatakan bahwa untuk dapat membedakan fase antara fase vegetatif dan generatif setidaknya diperlukan dua citra yang berbeda tanggal akuisisinya (t dan t-1). Kondisi fase pertumbuhan tanaman padi pada lahan sawah dapat dideteksi dari perubahan nilai EVI atau DEVI. Fase vegetatif ditandai dengan adanya perubahan nilai EVI yang positif, sementara itu fase generatif ditandai dengan perubahan nilai EVI yang negatif. Adapun kriteria penentuan fase pertumbuhan padi adalah sebagai berikut: π·πΈππΌπ‘ = πΈππΌπ‘ β πΈππΌπ‘β1 ................................................................................. [3] a) Fase Dominan air, jika EVI(t) β€ 0.19 b) Fase Bera, jika EVI(t) > 0.19 dan EVI(t) < 0.22 c) Fase Vegetatif, jika nilai DEVI > 0 d) Fase generatif, jika nilai DEVI < 0. Adapun untuk penentuan umur tanaman padi didasarkan pada tabel kriteria yang dibangun oleh Dirgahayu (2005), yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kisaran nilai EVI pada interval umur padi No.
HST
(1) (2) 1 0-5 2 5-10 3 10-15 4 15-20 5 20-25 6 25-30 7 30-35 8 35-40 9 40-45 10 45-50 11 50-55 12 55-60 13 60-65 14 65-70 15 70-75 16 75-80 17 80-85 18 85-90 19 90-95 20 95-100 21 100-105 22 Bera Sumber: Dirgahayu (2005).
Kisaran EVI
DEVI
(3) <0-0.102 0.103-0.139 0.140-0.192 0.211-0.255 0.256-0.327 0.328-0.402 0.403-0.478 0.479-0.551 0.552-0.617 0.618-0.672 0.673-0.714 0.715-0.739 0.682-0.738 0.637-0.681 0.580-0.636 0.517-0.579 0.450-0.516 0.386-0.449 0.327-0.385 0.278-0.326 0.243-0.277 0.193-0.211
(4) >0 >0 >0 >0 >0 >0 >0 >0 >0 >0 >0 <0 <0 <0 <0 <0 <0 <0 <0 <0 <0 β€0
Fase Pertumbuhan (5) Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Vegetatif Generatif Generatif Generatif Generatif Generatif Generatif Generatif Pematangan Pematangan Pematangan Bera
EVI maksimum diasumsikan terjadi ketika padi berumur 60 HST (Hari Setelah Tanam), yaitu setelah pembungaan dan saat terbentukan bulir. Jika
26 Informasi nilai EVI maksimum diperoleh maka akan diketahui pula letak EVI maksimum (LM) pada data EVI 16 harian. Berdasarkan informasi letak nilai EVI maksimum tersebut maka awal tanam dan panen padi pada data EVI 16 harian dapat diketahui dengan menggunakan persamaan: AT = LM β 60/16 = LM β 4 ............................................................................. [4] WP = LM + 60/16 = LM + 4 ............................................................................ [5] dimana: LM = letak maksimum, AT = awal tanam, dan WP = waktu panen Dari persamaan diatas maka diperoleh informasi estimasi waktu awal tanam dan panen pada data EVI 16 harian (Tabel 6). Tabel 6 Data estimasi awal tanam, letak EVI maksimum, dan waktu panen data EVI 16 harian Awal Tanam (1) 24 Maret 2015 09 April 2015 25 April 2015 11 Mei 2015 27 Mei 2015 12 Juni 2015 28 Juni 2015
Letak Maksimum (2) 11 Mei 2015 27 Mei 2015 12 Juni 2015 28 Juni 2015 14 Juli 2015 30 Juli 2015 15 Agustus 2015
Waktu Panen (3) 14 Juli 2015 30 Juli 2015 15 Agustus 2015 31 Agustus 2015 16 September 2015 02 Oktober 2015 18 Oktober 2015
Untuk membuat profil pertumbuhan tanaman padi EVI multitemporal berdasarkan piksel-piksel yang relatif homogen, maka data EVI tersebut harus diekstrak berdasarkan poligon yang memiliki waktu panen yang sama. Proses overlay dilakukan dengan menggunakan peta administrasi wilayah Kabupaten Bekasi untuk memperoleh estimasi luasan area panen per wilayah kecamatan. Sehingga dihasilkan data tabular berupa luasan areal panen yang dirinci berdasarkan wilayah kecamatan dan estimasi waktu panen tanaman padi di Kabupaten Bekasi. Analisis Hubungan Nilai Indeks Vegetasi dengan Produktivitas Tanaman Padi Angka produktivitas tanaman padi sawah diambil dari hasil survei ubinan yang dilakukan oleh BPS. Sampel yang diambil merupakan sampel ubinan periode panen September-Desember 2015. Jumlah sampel ubinan terpilih sebagai titik pengamatan di Kabupaten Bekasi pada periode tersebut ada sebanyak 53 titik sampel. Hal ini didasarkan pada kelengkapan dokumen terkait dengan waktu pelaksanaan ubinan. Namun hanya 19 sampel yang memenuhi syarat untuk dijadikan titik pengamatan dalam penelitian ini. Sebagian besar dokumen ubinan yang ada di BPS tidak menyertakan waktu pelaksanaan ubinan. Informasi waktu pelaksanaan ubinan ini sangat diperlukan karena diasumsikan sebagai waktu panen. Di samping itu, lokasi ubinan yang berada dalam satu blok sawah mengakibatkan
27 terjadinya data redundant yang mengakibatkan model yang dibuat menjadi tidak layak. Pengukuran EVI dilakukan pada setiap titik pengamatan yang merupakan sampel dari kegiatan survei ubinan. Pengukuran EVI dilakukan pada tanaman padi yang berumur 10-11 MST (Minggu Setelah Tanam) atau pada saat nilai EVI mencapai maksimum. Model estimasi produktivitas dibangun berdasarkan keeratan korelasi antara nilai EVI dengan produktivitas. EVI diukur dari citra satelit, sedangkan untuk produktivitas digunakan data lapangan berupa hasil ubinan setelah tanaman padi dipanen pada tempat-tempat yang telah diukur nilai EVI-nya. Pada wilayah yang telah diukur nilai EVI-nya pada waktu panen dilakukan ubinan dengan ukuran 2.5 x 2.5 m untuk mengetahui produktivitas padi (kg/ubinan) kemudian ditransformasikan ke dalam satuan kuintal/hektar. Model regresi linier digunakan dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS), dengan formula: πππππ’ππ‘ππ£ππ‘ππ (ππ’/βπ) = πΌ + π½(πΈππΌπππ₯ ) + π .......................................... [6] Dimana:Ξ± = konstanta, Ξ² = intercept, Ξ΅ = komponen error, EVImax = Nilai EVI saat mencapai nilai tertinggi. Dari persamaan tersebut diperoleh koefisien determinasi (R2) yang menerangkan keeratan korelasi antara produktivitas padi dengan nilai EVI. Kemudian persamaan tersebut diaplikasikan pada citra sehingga diperoleh sebaran peta lahan sawah dengan kriteria nilai estimasi produktivitasnya. Persamaan regresi yang diperoleh diaplikasikan pada peta sebaran EVI pada lahan sawah di Kabupaten Bekasi. Proses identifikasi dilakukan terlebih dahulu untuk mengidentifikasi EVI maksimum berdasar nilai series EVI yang sudah diperoleh sebelumnya. Setelah Nilai EVI maksimum teridentifikasi maka nilai tersebut dimasukan ke dalam persamaan regresi sehingga diperoleh nilai estimasi produktivitas tanaman padi pada lahan sawah di Kabupaten Bekasi. Untuk memperoleh nilai estimasi per kecamatan, maka peta sebaran produktivitas dimasking dengan peta administrasi wilayah Kabupaten Bekasi. Nilai produktivitas per kecamatan yang diperoleh merupakan angka pada hakikatnya adalah nilai ratarata dari produktivitas seluruh lahan sawah yang ada di kecamatan tersebut. Perbandingan dengan Data BPS. Tahapan analisis data berikutnya adalah dengan melakukan perbandingan data-data statistik padi (luas panen, produktivitas, dan produksi) yang diperoleh dari analisis sebelumya dengan data yang dipublikasikan oleh BPS. Untuk data produksi padi merupakan hasil dari perkalian antara data luas panen dan produktivitas yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya. Teknik kuantitatif digunakan untuk menganalisa sejauh mana perbedaan pada kedua data tersebut. Analisis ini dilengkapi dengan gambar grafik dan plot untuk memudahkan melihat hubungan diantara kedua data tersebut. Secara umum tahapan metode analisis data dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 8.
28
Citra Multitemporal Landsat-8
Peta Luas Baku Lahan Sawah
Peta Administrasi Wilayah
Titik Koordinat Petak Ubinan
Data Produktivitas Ubinan
Ekstraksi Nilai EVI Pembangunan Model Pendugaan Produktivitas Tanaman Padi Berdasarkan Keeratan hubungan EVI Max dengan Produktivitas
Series Data EVI di lahan sawah di Kabupaten Bekasi
Identifikasi EVI Maksimum
Pendugaan Umur dan Fase Tanaman Padi Sawah
Model Pendugaan Produktivitas
Pendugaan Waktu Panen Beserta Luasannya
Aplikasi Model
Statistik Luas Panen Padi Wilayah
Statistik Produksi Padi Wilayah
Statistik Produktivitas Wilayah
Data Resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Selaku Officials Statistics di Indonesia
ο ο ο
Data Luas Panen Padi Sawah Data Produktivitas Padi Sawah Data Produksi Padi Sawah
Gambar 8 Diagram metodologi penelitian
29 4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Lokasi Daerah Penelitian Kabupaten Bekasi merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Secara administratif mempunyai 23 kecamatan, 5 kelurahan, dan 182 desa dengan luas wilayah mencapai 127.388 ha. Secara geografis Kabupaten Kabupaten Bekasi berada pada posisi 6ΒΊ 10β53β- 6ΒΊ30β 6β Lintang Selatan dan 106ΒΊ 48β 28β -107ΒΊ 27β 29β Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor; Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang; serta Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Iklim Suhu udara di Kabupaten Bekasi berkisar antara 280-320 C dengan tingkat kelembabannya mencapai 80.00%. Rata-rata jumlah curah hujan pertahun di Kabupaten Bekasi sebanyak 1 405.95 mm/tahun. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 316.64 mm/tahun dan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 23.16 mm/tahun (Tabel 7). Sementara itu, jika dilihat dari rata-rata jumlah hari hujan, rata-rata jumlah hari hujan pertahun di Kabupaten Bekasi sebanyak 88 hari hujan. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari dan terendah terjadi pada bulan Agustus (Tabel 8). Tabel 7 Rata-rata curah hujan menurut bulan di Kabupaten Bekasi, 2010-2014 Bulan
2010 (1) (2) Januari 304.10 Februari 187.00 Maret 108.50 April 80.70 Mei 95.40 Juni 103.00 Juli 62.30 Agustus 49.30 September 196.00 Oktober 292.20 November 149.40 Desember 112.30 Total 1 739.90 Sumber: BPS (2015).
Curah Hujan (mm/tahun) 2011 2012 2013 (3) (4) (5) 138.50 228.80 351.60 99.90 156.30 199.70 50.40 145.20 125.50 138.70 134.70 180.40 92.20 33.00 145.90 41.70 47.00 52.50 44.50 1.60 108.00 4.50 22.50 2.10 12.60 8.30 43.90 12.00 71.00 110.10 157.40 82.00 152.10 154.60 263.90 918.50 1 083.20 1 611.30
2014 (6) 560.22 291.32 105.57 119.75 80.82 111.29 96.07 16.32 4.25 12.64 146.21 132.39 1 676.86
30 Tabel 8 Rata-rata hari hujan menurut bulan di Kabupaten Bekasi, 2010-2014 Bulan (1) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Sumber: BPS (2015).
2010 (2) 13 8 6 5 6 6 5 4 9 10 10 9 92
2011 (3) 9 8 6 7 7 4 2 4 7 10 64
Hari Hujan 2012 (4) 17 9 10 6 5 3 1 2 9 10 74
2013 (5) 14 11 9 11 10 8 8 5 6 7 9 14 112
2014 (6) 15 13 10 10 9 11 7 1 3 1 9 10 98
Hidrografi Kondisi hidrologi dapat dibedakan dalam air permukaan tanah, air tanah dan air tanah dangkal. Di Kabupaten Bekasi terdapat 16 aliran sungai besar yaitu: Sungai Citarum, Sungai Bekasi, Sungai Cikarang, Sungai Ciherang, Sungai Belencong, Sungai jambe, Sungai Sadang, Sungai Cikedokan, Sungai Ulu, Sungai Cilemahabang, Sungai Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai Siluman, Sungai Serengseng, Sungai Sepak dan Sungai Jaeran. Lebar sungai tersebut berkisar antara 3 sampai 80 meter. Di Kabupaten Bekasi terdapat 13 situ yang tersebar di beberapa kecamatan yaitu: Situ Tegal Abidin, Situ Bojongmangu , Situ Bungur, Situ Ceper, Situ Cipagadungan, Situ Cipalahar, Situ Ciantra, Situ Taman, Situ Burangkeng, Situ Liang Maung, Siru Cibeureum, Situ Cilengsir dan Situ Binong. Luas situ tersebut berkisar antara 3-40 Ha. Sekitar 15.50 persen wilayah Kabupaten Bekasi memiliki air tanah yang terintrusi air laut terutama di Kecamatan Muaragembong dan Tarumajaya, 20.10 persen memiliki air tanah dalam dan 64.40 persen memiliki air tanah dangkal. Kondisi air tanah yang ada di wilayah Kabupaten Bekasi sebagian besar merupakan air tanah dangkal yang berada pada kedalaman 5-25 meter dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada umumnya didapat pada kedalaman antara 90-200 meter. Topografi Dilihat dari kondisi topografinya, Kabupaten Bekasi terbagi atas dua bagian, yaitu dataran rendah yang meliputi sebagian wilayah bagian utara dan dataran bergelombang di wilayah bagian selatan. Ketinggian lokasi antara 6β115 meter dan kemiringan 0 β 250 meter. Kabupaten Bekasi yang terletak di sebelah Utara Provinsi Jawa Barat dengam mayoritas daerah merupakan dataran rendah, 72.00 persen wilayah Kabupaten Bekasi berada pada ketinggian 0-25 meter di atas
31 permukaan air laut. Berdasarkan karakteristik topografinya, sebagian besar Kabupaten Bekasi masih memungkinkan dikembangkan untuk kegiatan budidaya. Geomorfologi Kondisi geomorfologi di Kabupaten Bekasi secara umum sebagian besar diliputi oleh endapan berumur kuarter dan sebagian kecil lainnya berumur tersier. Kondisi geologi dapat dibedakan menjadi geologi permukaan dan bawah permukaan. Kondisi geologi permukaan meliputi satuan batu pasir konglomerat dan batu lanau, satuan konglomerat, dan batu pasir tufaan, endapan pantai dan tanggul pantai, endapan dangkal, rawa, dan dataran banjir, endapan sungai tua dan sungai muda. Kondisi geologi bawah permukaan, kedudukan equifer dibedakan menjadi tiga bagian yaitu aquifier dengan pembagian (1) kedudukan kurang dari 70 m; (2) antara 70-148 m; dan (3) lebih dari 148 m. Sebagain besar struktur geologi yang ada berupa aluvium dan Pleistocene Volcanic Faces dengan luas areal sekitar 15 421.59 Ha atau 75.11 persen dari luas keseluruhan. Luas areal lainnya sekitar 5 110.41 Ha atau 24.89 persen berupa Pliocene Sedimentary Faces dan Miocene Sedimentary Faces Pleistocene Volcanic Faces, kedua areal ini merupakan lokasi yang cukup layak untuk dikembangkan. Jenis tanah di Kabupaten Bekasi diklasifikasikan dalam tujuh kelompok. Kelompok yang paling layak untuk pengembangan pembangunan memiliki luas sekitar 16.68 ribu ha (81.25%), yang terdiri dari jenis asosiasi podsolik kuning dan hidromorf kelabu; komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat, dan podsolik merah; aluvial kelabu tua; asosiasi glei humus dan alluvial kelabu; dan asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit. Klasifikasi cukup layak seluas 3.74 ribu ha (18.24%), terdiri dari jenis tanah asosiasi alluvial kelabu dan alluvial coklat kekelabuan. Sisanya sekitar 0.10 ribu ha (0.51%) dari jenis podsolik kuning merupakan areal yang kurang layak untuk pembangunan. Ditinjau dari tekstur tanahnya, sebagian besar wilayah ini memiliki tekstur tanah halus sekitar 15.55 ribu ha (75.76%) dan bertekstur sedang sekitar 4.75 ribu ha (23.16%) berada di sebelah utara dan sebelah selatan yakni, sedangkan sisanya sekitar 0.22 ribu ha (1.08%) bertekstur kasar berada di sebelah barat. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi cukup baik/stabil. Tingkat kepekaan ini diklasifikasikan tiga bagian yakni stabil (tidak peka), peka, dan sangat peka. Sekitar 17.22 ribu ha (83.87%) dari luas lahan merupakan lahan stabil yang layak untuk dikembangkan untuk berbagai macam kegiatan perkotaan. Seluas 3.13 ribu ha (15.23%) dari lahannya memiliki kondisi peka dan masih cukup layak untuk dibangun. Sedangkan di bagian selatan, lahannya sangat peka terhadap erosi yakni sekitar 018 ribu ha (0.9%), kurang layak untuk dikembangkan. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi dibedakan atas lahan sawah dan lahan kering seperti ditunjukan pada Tabel 9. Dari total luas wilayah 127.39 ribu ha, persentase lahan sawah mencapai 40.79 persen atau 51.96 ribu ha, sisanya berupa lahan kering. Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Bekasi sendiri didominasi oleh lahan sawah beririgasi yakni seluas 45.82 ribu ha (88.19%), sisanya terdiri dari lahan sawah tadah hujan seluas 6.06 ribu ha (11.67%) dan lahan sawah yang tidak ditanami padi seluas 0.07 ribu ha (0.14%). Untuk lahan kering di
32 Kabupaten Bekasi, penggunaannya didominasi oleh penggunaan bukan lahan pertanian seperti untuk jalan, pemukiman, perkantoran, dan sungai yang luasnya mencapai 33.33 ha (44.19%) disusul oleh penggunaan lahan untuk tambak, kolam, empang, hutan negara seluas 23.75 ribu ha (31,48%) dan penggunaan untuk tegal, kebun seluas 14.24 ribu ha (18,88%). Lahan sawah terluas terdapat di Kecamatan Pebayuran yaitu seluas 6.87 ribu ha dan paling sempit terdapat di Kecamatan Tambun Selatan yaitu seluas 0.20 ribu ha. Lahan kering terluas terdapat di Kecamatan Muaragembong yaitu seluas 14.00 ribu ha dan paling sempit terdapat di Kecamatan Sukakarya yaitu seluas 0.44 ribu ha (Tabel 10). Tabel 9 Pengunaan lahan di Kabupaten Bekasi tahun 2014 Jenis Penggunaan (1)
Luasan Area (ha) (2) Irigasi / Irrigation 45 825 Tadah Hujan / Rain Rawa Pasang Surut 6 062 Rawa Lebak Tidak Ditanami Padi 74 Jumlah Lahan Sawah 51 961 Tegal, Kebun 14 240 Ladang, Huma 368 Perkebunan 514 Ditanam Pohon, Hutan Rakyat 1 674 Penggembalaan, Padang Rumput 332 Tambak, Kolam, Empang, Hutan Negara 23 746 Tanah Sementara Tidak Diusahakan 1 222 Bukan Lahan Pertanian (Jalan, Pemukiman, Perkantoran, Sungai) 33 331 Jumlah Lahan Kering 75 427 Jumlah/Total 127 388 Sumber: BPS (2015). Tabel 10 Luas lahan sawah dan lahan kering menurut kecamatan di Kabupaten Bekasi tahun 2014 Kecamatan (1) Setu Serang Baru Cikarang Pusat Cikarang Selatan Cibarusah Bojongmangu Cikarang Timur Kedungwaringin Cikarang Utara Karangbahagia Cibitung
Lahan Sawah (ha) (%) (2) (3) 1 538 24.74 1 653 25.91 780 16.39 300 5.80 1 696 33.66 1 730 28.80 2 463 48.00 1 890 59.94 380 8.78 2 859 62.02 1 748 38.59
Lahan Kering (ha) (%) (4) (5) 4 678 75.26 4 727 74.09 3 980 83.61 4 874 94.20 3 343 66.34 4 276 71.20 2 668 52.00 1 263 40.06 3 950 91.22 1 751 37.98 2 782 61.41
Jumlah (ha) (%) (6) (7) 6 216 100.00 6 380 100.00 4 760 100.00 5 174 100.00 5 039 100.00 6 006 100.00 5 131 100.00 3 153 100.00 4 330 100.00 4 610 100.00 4 530 100.00
33 Tabel 10 (lanjutan) Kecamatan (1) Cikarang Barat Tambun Selatan Tambun Utara Babelan Tarumajaya Tambelang Sukawangi Sukatani Sukakarya Pebayuran Cabangbungin Muaragembong Kabupaten Bekasi 2013 2012 2011 2010 Sumber: BPS (2015).
Lahan Sawah (ha) (%) (2) (3) 502 9.35 201 4.66 1 746 50.73 3 105 48.82 2 864 52.43 3 063 80.80 4 801 71.45 2 770 73.83 3 802 89.67 6 827 70.86 3 313 66.66 1 930 13.78 51 961 40.79 n/a n/a 52 966 41.58 53 703 42.16 53 584 42.06
Lahan Kering (ha) (%) (4) (5) 4 867 90.65 4 109 95.34 1 696 49.27 3 255 51.18 2 599 47.57 728 19.20 1 918 28.55 982 26.17 438 10.33 2 807 29.14 1 657 33.34 12 079 86.22 75 427 59.21 n/a n/a 74 422 58.42 73 685 57.84 73 804 57.94
Jumlah (ha) (%) (6) (7) 5 369 100.00 4 310 100.00 3 442 100.00 6 360 100.00 5 463 100.00 3 791 100.00 6 719 100.00 3 752 100.00 4 240 100.00 9 634 100.00 4 970 100.00 14 009 100.00 127 388 100.00 n/a n/a 127 388 100.00 127 388 100.00 127 388 100.00
Pertanian Pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting di Kabupaten Bekasi. Walaupun kontribusinya kecil terhadap terhadap pendapatan daerah yakni hanya sebesar 1.28 persen dari PDRB total, namun sektor tersebut mampu menyediakan lapangan kerja bagi 135.35 ribu orang angkatan kerja atau 10.45 persen dari total angkatan kerja di Kabupaten Bekasi. Seiring dengan proses pembangunan dan perkembangan wilayah Jabodetabek, sektor ini menjadi salah satu sektor yang terancam akibat kegiatan industrialisasi yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) yang dilakukan oleh BPS, jumlah rumah tangga pertanian di Kabupaten Bekasi sebanyak 85.59 ribu rumah tangga tani (ruta). Angka tersebut lebih kecil sebanyak 117.41 ribu (57.84%) rumah tangga tani (ruta) jika dibandingkan dengan data Sensus Pertanian tahun 2003 yang mencapai angka 202.99 ribu rumah tangga tani (ruta) atau dengan kata lain, terjadi penurunan jumlah rumah tangga tani (ruta) rata-rata 5.7 persen setiap tahunnya di Kabupaten Bekasi. Subsektor tanaman pangan merupakan subsektor yang paling banyak diusahakan yaitu sebanyak 64.95 ribu rumah tangga tani (ruta) atau 75.88 persen dari total rumah tangga tani (ruta) hasil ST2013 yang mencapai angka 85.60 rumah tangga tani (ruta). Produk utama sub sektor tanaman pangan adalah padi sawah. Pada tahun 2014 produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi sebesar 496.78 ribu ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 112.81 ribu ton (18.51%) dibanding produksi tahun 2013 yaitu sebesar 609.59 ribu ton. Luas panen padi sawah di Kabupaten Bekasi pada tahun 2014 mencapai 85.35 ribu hektar, mengalami penurunan sebesar 13.07 ribu hektar (13.28%) dibanding luas panen padi sawah
34 tahun 2013 yaitu 98.42 ribu hektar. Sementara itu, produktivitas tanaman padi sawah di Kabupaten Bekasi pada tahun 2014 sebesar 58.20 kuintal/hektar, mengalami penurunan sebesar 3.73 kuintal/hektar (6.02%) dibanding produktivitas padi sawah pada tahun 2013 yaitu sebesar 61.93 kuintal/hektar. Pada Tabel 11 disajikan informasi luas panen, produktivitas, dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Bekasi. Tabel 11 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi, 2010-2014 Luas Panen Produktivitas Produksi Kecamatan (ha) (ku/ha) (ton GKG) (1) (2) (3) (4) Setu 2 473 62.03 15 339 Serang Baru 2 863 62.29 17 833 Cikarang Pusat 1 625 62.17 10 103 Cikarang Selatan 600 61.28 3 677 Cibarusah 3 260 61.06 19 904 Bojongmangu 3 460 62.10 21 487 Cikarang Timur 4 756 62.67 10 103 Kedungwaringin 3 647 60.63 22 111 Cikarang Utara 735 60.00 4 410 Karangbahagia 5 136 60.77 31 209 Cibitung 3 316 60.22 19 968 Cikarang Barat 1 070 60.71 6 496 Tambun Selatan 225 61.20 1 377 Tambun Utara 2 516 59.26 14 909 Babelan 3 118 62.12 19 369 Tarumajaya 3 034 59.16 17 948 Tambelang 4 730 55.07 26 047 Sukawangi 4 944 60.46 29 889 Sukatani 4 475 60.05 26 872 Sukakarya 7 168 60.71 43 517 Pebayuran 13 615 60.18 81 930 Cabangbungin 6 174 60.78 37 525 Muaragembong 2 413 61.14 14 753 Kabupaten Bekasi 85 353 58.20 496 776 2013 98 425 61.93 609 585 2012 98 288 62.25 597 027 2011 100 790 63.11 636 093 2010 104 245 60.17 627 202 Sumber: BPS (2015).
35
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Spasial dan Pendugaan Luas Panen Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Bekasi Berdasarkan analisis multitemporal citra satelit Landsat-8 (OLI) dapat terlihat bahwa estimasi luas panen padi sawah periode Juli-Agustus 2015 di Kabupaten Bekasi yaitu seluas 15.86 ribu ha. Jika dilihat secara sebaran spasialnya seperti ditunjukan pada Gambar 9, Kecamatan Sukawangi, Sukakarya, dan Cabangbungin merupakan tiga kecamatan yang memiliki area panen padi sawah terluas di Kabupaten Bekasi yaitu masing-masing seluas 1.83, 1.80, dan 1.79 ribu ha. Kecamatan Tambun Selatan, Cikarang Utara, dan Cikarang Barat merupakan tiga kecamatan yang mempunyai luas panen terendah pada periode yang sama di Kabupaten Bekasi yaitu masing-masing sebesar 0.03, 0.04, dan 0.15 ribu ha.
Gambar 9 Sebaran spasial luas panen tanaman padi sawah berdasarkan perkiraan waktu panen hasil analisis citra satelit Jika dilihat berdasarkan perkiraan waktu panen periode Juli-Agustus 2015 seperti ditunjukan pada Tabel 12, sebagian besar tanaman padi sawah di wilayah Kabupaten Bekasi diperkirakan dipanen pada bulan Juli yakni seluas 10.62 ribu ha, disusul bulan Agustus seluas 3.48 ribu ha. Luas panen padi sawah terkecil diperkirakan dipanen pada bulan september yakni seluas 0.44 ribu ha.
36 Tabel 12 Estimasi luas panen per kecamatan di Kabupaten Bekasi tahun 2015 berdasarkan hasil analisis citra satelit Kecamatan (1) Muaragembong Kedungwaringin Cikarang Utara Cabangbungin Setu Serang Baru Cikarang Pusat Cikarang Selatan Cibarusah Bojongmanggu Cikarang Timur Karangbahagia Cibitung Cikarang Barat Tambun Selatan Tambun Utara Babelan Tarumajaya Tambelang Sukawangi Sukatani Sukakarya Pebayuran Total
Juli (2) 437.04 128.07 2.34 1 591.56 21.33 315.00 180.90 60.21 259.92 804.42 257.22 134.46 85.77 22.68 3.15 331.11 382.77 227.88 865.62 1 789.29 177.39 1 298.88 1 248.12 10 625.13
Luas Panen Bulan (ha) Agustus September (3) (4) 20.25 6.84 332.01 35.46 21.51 6.48 141.03 37.53 132.30 10.08 178.74 3.33 159.48 12.33 72.54 5.40 153.63 0.18 145.53 1.62 782.91 84.78 267.84 29.97 44.64 29.07 95.94 16.20 16.56 9.45 25.20 8.46 18.54 2.07 5.31 0.54 40.68 13.14 39.96 1.35 127.17 13.32 461.79 29.07 196.47 85.32 3 480.03 441.99
Oktober (5) 5.22 567.09 9.90 16.74 10.98 0.63 5.13 41.94 0.54 281.34 202.05 46.35 12.78 0.36 2.88 1.44 0.90 10.17 3.15 8.19 11.97 69.66 1 309.41
Jumlah (6) 469.35 1 062.63 40.23 1 786.86 174.69 497.70 357.84 180.09 413.73 952.11 1 406.25 634.32 205.83 147.60 29.52 367.65 404.82 234.63 929.61 1 833.75 326.07 1 801.71 1 599.57 15 856.56
Jika diperbandingkan dengan data yang dipublikasikan BPS seperti ditunjukan pada Gambar 10, secara umum dapat terlihat bahwa data luas panen yang dihasilkan dari analisis citra satelit Landsat-8 (OLI) relatif lebih kecil dibandingkan dengan data luas panen yang dipublikasikan oleh BPS. Total luas panen padi sawah di Kabupaten Bekasi pada periode bulan Juli sampai dengan Oktober tahun 2015 hasil analisis citra satelit adalah seluas 15.86 ribu ha. Angka tersebut lebih kecil 7.74 ribu ha (32.79%) dari angka luas panen yang publikasikan oleh BPS pada periode yang sama yaitu seluas 23.59 ribu ha. Selisih terluas antara luas panen hasil analisis citra satelit dengan data yang dipublikasikan BPS terjadi pada periode panen bulan September 2015. Luas panen padi sawah hasil analisis citra satelit pada periode panen bulan September 2015 adalah seluas 0.44 ribu ha atau lebih kecil 3.14 ribu ha (87.64%) dibanding data BPS yaitu seluas 3.58 ribu ha pada periode panen yang sama. Selisih luas panen padi sawah yang paling kecil terjadi pada periode panen bulan Juli 2015. Luas panen padi sawah periode panen bulan Juli 2015 hasil analisis citra sebesar 10.62 ribu hektar atau lebih kecil 0.31 ribu hektar (2.80%) dibandingkan dengan luas panen BPS yaitu seluas 10.93 ribu ha pada periode panen yang sama.
37
LUAS PANEN (RIBU HA)
25 20 15 10 5 0 Citra BPS Selisih
Juli 10 625 10 930 305(2.79%)
Agustus September Oktober Total 3 480 442 1 309 15 857 5 181 3 577 3 906 23 594 1 701(32.83%) 3 135(87.64%) 2 597(66.48%) 7 737(32.79%)
Gambar 10 Perbandingan luas panen hasil analisis citra dengan data BPS periode Juli-Oktober 2015 Hubungan Nilai EVI dengan Produktivitas Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Bekasi Untuk melihat hubungan antara nilai EVI maksimum dengan produktivitas tanaman padi, maka pada tahap awal dilakukan penghitungan nilai korelasi diantara kedua variabel tersebut. Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan, diperoleh nilai korelasinya sebesar 0.899. Angka korelasi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hubungan positif antara nilai EVI maksimum dengan produktivitas. Semakin besar nilai EVI maksimum, maka semakin tinggi produktivitasnya. Di samping mempunyai arah positif, korelasi diantara kedua variabel tersebut juga diinterpretasikan sebagai hubungan korelasi yang kuat. Hal ini sesuai dengan pendapat Guilford (1980) dalam Marwah (2008) yang menginterpretasikan nilai korelasi antara 0.70-0.90 sebagai hubungan korelasi yang kuat. Pada tahap selanjutnya dilakukan pemilihan model hubungan yang seusai antara variable EVI maksimum dengan produktivitas. Berdasarkan hasil analisis statistik, model yang sesuai untuk menggambarkan hubungan diantara keduanya adalah model regresi linier seperti yang ditunjukan pada Gambar 11. Model persamaan regresi pendugaan produktivitas tanaman padi sawah di atas dibangun berdasarkan data produktivitas sampel ubinan pada periode panen subround III (September-Desember). Model regresi linier yang diperoleh adalah sebagai berikut: Produktivitas (ku/ha) = 36.818 + 44.965 EVImax ..................................... [6]
38
Produktivitas (ku/ha)
80,00 75,00 70,00 65,00 60,00 55,00 50,00
y = 44.965x + 36.818 RΒ² = 0.809
45,00 40,00 0,30
0,35
0,40
0,45
0,50
0,55
0,60
0,65
0,70
0,75
0,80
EVI
Gambar 11 Hubungan antara produktivitas tanaman padi sawah dengan nilai EVI maksimum Berdasarkan model hubungan antara nilai EVI maksimum dengan angka produktivitas tanaman di Kabupaten Bekasi, diperoleh nilai konstanta a = 36.818 dan b = 44.965 dengan nilai R2 = 0.809. Model persamaan di atas menunjukan bahwa produktivitas akan meningkat sebesar 44.965 satuan jika terjadi peningkatan nilai EVI maksimum satu satuan. Dari nilai R2 yang diperoleh menunjukan bahwa model regresi linier di atas mampu menjelaskan 80.9 persen keragaman yang ada, sementara sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Model regresi linier yang terbentuk diaplikasikan pada citra untuk menduga nilai produktivitas tanaman padi di Kabupaten Bekasi per wilayah kecamatan. Hasil pendugaan model regresi yang disajikan pada Tabel 13 menunjukan bahwa ratarata produktivitas tanaman padi sawah hasil analisis citra di Kabupaten Bekasi pada periode Juli-Oktober 2015 adalah sebesar 47.40 ku/ha. Kecamatan Sukawangi merupakan kecamatan yang memiliki angka produktivitas tanaman padi sawah tertinggi di Kabupaten Bekasi yakni sebesar 57.55 ku/ha, disusul oleh Kecamatan Tambelang dan Sukakarya masing-masing sebesar 53.71 dan 52.89 ku/ha. Kecamatan Cikarang Pusat merupakan kecamatan yang mempunyai nilai produktivitas padi sawah terendah di Kabupaten Bekasi yaitu sebesar 31.43 ku/ha disusul oleh Kecamatan Setu dan Kecamatan Cibarusah masing-masing sebesar 32.90 dan 35.84 ku/ha. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 13) dapat terlihat juga bahwa ada beberapa kecamatan yang mempunyai nilai produktivitas yang rendah, bahkan beberapa diantaranya harus diimputasi dengan nilai rataannya. Kecamatan-kecamatan yang nilai produktivitasnya diimputasi dengan nilai rataannya meliputi Kecamatan Cikarang Barat, Cikarang Selatan, Cikarang Utara, Muara Gembong, dan Tambun Selatan. Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan resolusi temporal dari satelit Landsat-8 (OLI) yang relatif panjang yakni 16 harian sehingga tidak dapat mendeteksi secara tepat kapan EVI mencapai maksimum. Ketika nilai EVI yang
39 terdeteksi oleh satelit Landsat-8 ternyata bukan merupakan nilai maksimumnya, kemudian nilai tersebut dimasukan ke dalam model persamaan regresi, maka nilai produktivitas yang dihasilkan relatif kecil bahkan kecil sekali sehingga perlu diimputasi menggunakan nilai rataan. Tabel 13 Estimasi produktivitas tanaman padi sawah per kecamatan di Kabupaten Bekasi berdasarkan hasil analisis citra satelit No Kecamatan Produktivitas No Kecamatan Produktivitas (ku/ha) (ku/ha) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 Babelan 52.46 13 Muara Gembong 47.40* 2 Bojongmangu 14 Pebayuran 39.75 50.45 3 Cabangbungin 15 Serang Baru 49.15 36.58 4 Cibarusah 16 Setu 35.84 32.90 5 Cibitung 17 50.03 Sukakarya 52.89 6 Cikarang Barat 18 Sukatani 47.40* 50.25 7 Cikarang Pusat 19 Sukawangi 31.43 57.55 8 Cikarang Selatan 20 Tambelang 47.40* 53.71 9 Cikarang Timur 21 Tambun Selatan 43.63 47.40* * 10 Cikarang Utara 22 Tambun Utara 47.40 41.69 11 Karangbahagia 23 Tarumajaya 47.45 44.31 12 Kedung Waringin Rata-rata 47.40 42.13 * Angka rata-rata Jika diperbandingkan dengan data BPS untuk setiap subround, maka secara umum rata-rata produktivitas padi sawah hasil analisis citra mempunyai nilai yang lebih kecil (Tabel 14). Angka produktivitas tanaman padi hasil analisis citra lebih kecil 12.66 ku/ha (21.08%) jika dibandingkan dengan angka produktivitas padi sawah pada subround I yang dipublikasikan BPS yaitu sebesar 60.06 ku/ha. Angka produktivitas tanaman padi hasil analisis citra lebih kecil 6.77 ku/ha (12.50%) jika dibandingkan dengan angka produktivitas padi sawah pada subround II yang dipublikasikan BPS yaitu sebesar 54.17 ku/ha. Demikian pula pada periode JanuariDesember 2015, rata-rata produktivitas tanaman padi hasil analisis citra lebih kecil 6.62 ku/ha atau 12.25 persen jika dibandingkan dengan angka produktivitas padi sawah yang dipublikasikan BPS pada periode yang sama yaitu sebesar 54.02 ku/ha. Tabel 14 Perbandingan data estimasi produktivitas padi sawah hasil analisis citra dan BPS Periode
Produktivitas (ku/ha)
Selisih
Analisis Citra
BPS
ku/ha
%
(2)
(3)
(4)
(5)
Subround I
47.40
60.06
-12.66
-21.08
Subround II
47.40
54.17
-6.77
-12.50
Subround III
47.40
57.55
-10.15
-17.64
Januari-Desember
47.40
54.02
-6.62
-12.25
(1)
40 Pendugaan Produksi Padi Sawah di Kabupaten Bekasi Angka produksi padi sawah per kecamatan di Kabupaten Bekasi diperoleh dengan cara melakukan perkalian antara data estimasi luas panen dan produktivitas yang dihasilkan dari tahapan sebelumnya. Berdasarkan hasil perhitungan seperti ditunjukan pada Tabel 15, estimasi produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi pada periode Juli-Oktober 2015 berdasarkan hasil analisis citra satelit adalah sebesar 75.16 ribu ton GKG. Kecamatan Sukawangi merupakan kecamatan dengan estimasi produksi padi sawah tertinggi yakni sebesar 10.55 ribu ton GKG disusul oleh Kecamatan Sukakarya dan Kecamatan Cabangbungin masing-masing sebesar 9.53 dan 8.78 ribu ton GKG. Kecamatan Tambun Selatan merupakan kecamatan yang mempunyai estimasi produksi padi sawah terendah yakni sebesar 139.92 ton GKG disusul oleh Kecamatan Cikarang Utara dan Setu masing-masing sebesar 0.19 dan 0.57 ribu ton GKG. Tabel 15 Estimasi produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi berdasarkan hasil analisis citra periode Juli-Oktober 2015 Kecamatan (1) Babelan Bojongmangu Cabangbungin Cibarusah Cibitung Cikarang Barat Cikarang Pusat Cikarang Selatan Cikarang Timur Cikarang Utara Karang bahagia Kedung Waringin Muara Gembong Pebayuran Serang Baru Setu Sukakarya Sukatani Sukawangi Tambelang Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Jumlah/Rata-rata * Angka rata-rata
Luas Panen (ha) (2) 404.82 952.11 1 786.86 413.73 205.83 147.60 357.84 180.09 1 406.25 40.23 634.32 1 062.63 469.35 1 599.57 497.70 174.69 1 801.71 326.07 1 833.75 929.61 29.52 367.65 234.63 15 856.56
Produktivitas (ku/ha) (3) 52.46 39.75 49.15 35.84 50.03 47.40* 31.43 47.40* 43.63 47.40* 47.45 42.13 47.40* 50.45 36.58 32.90 52.89 50.25 57.55 53.71 47.40* 41.69 44.31 47.40
Produksi (ton GKG) (4) 2 123.69 3 784.64 8 782.42 1 482.81 1 029.77 699.62 1 124.69 853.63 6 135.47 190.69 3 009.85 4 476.86 2 224.72 8 069.83 1 820.59 574.73 9 529.24 1 638.50 10 553.23 4 992.94 139.92 1 532.73 1 039.65 75 160.09
41 Angka estimasi produksi padi sawah berdasar hasil analisis citra satelit secara umum di bawah angka yang resmi yang dirilis oleh BPS (Gambar 12). Data estimasi produksi padi sawah menurut BPS pada periode Juli-Oktober 2015 mencapai angka 130.51 ribu ton GKG. Jika diperbandingkan antara data keduanya, angka estimasi produksi padi sawah hasil analisis citra satelit lebih kecil sebesar 55.35 ribu ton (42.41%) dibanding dengan angka produksi padi sawah yang dipublikasikan BPS. Perbedaan estimasi produksi padi sawah yang paling besar terjadi ada bulan panen September. Estimasi produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi pada bulan September hasil analisis citra satelit sebesar 2.09 ribu ton GKG atau lebih kecil 18.49 ribu ton GKG (89.82%) dari angka BPS yakni sebesar 20.59 ribu ton GKG pada periode yang sama. Perbedaan estimasi produksi padi sawah yang paling kecil terjadi pada bulan Juli. Pada bulan Juli, produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi hasil analisis citra satelit sebesar 50.36 ribu ton GKG atau lebih kecil 8.85 ribu ton GKG atau 14.95 persen dibanding data produksi padi sawah yang dipublikasikan BPS yakni sebesar 59.21 ribu ton GKG pada periode yang sama. Produksi (Ribu Ton GKG)
140
120 100 80 60 40 20 0
Juli 50 363 59 213
Agustus 16 495 28 228
September 2 095 20 586
Oktober 6 207 22 479
Total 75 160 130 506
Citra BPS Selisih -8.850(14,95%) -11.733(41,56%) -18.491(89,82%) -16.272(72,39%) -55.346(42,41%)
Gambar 12 Perbandingan estimasi produksi padi sawah hasil analisis citra dengan data BPS di Kabupaten Bekasi periode Juli-Oktober 2015
42
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dapat dijadikan sebagai metode alternatif yang dapat digunakan untuk melakukan pemantauan pertumbuhan padi dan pendugaan luas panen padi wilayah. Berdasarkan hasil analisis diperoleh perkiraan luas panen padi sawah di Kabupaten Bekasi periode bulan JuliOktober 2015 hasil analisis citra satelit sebesar 15.86 ribu hektar atau lebih kecil 7.74 (32.79%) ribu hektar dari angka yang dipublikasikan BPS yakni sebesar 23.59 ribu hektar pada periode yang sama. 2. Model persamaan regresi linier hubungan antara nilai EVI maksimum dengan produktivitas padi adalah: Produktivitas (ku/ha) = 36.818 + 44.965 EVI maksimum. Nilai R2 yang diperoleh sebesar 0,809. Berdasarkan model tersebut diperoleh pendugaan produktivitas padi sawah di Kabupaten Bekasi periode bulan Juli-Oktober 2015 berdasar hasil analisis citra satelit sebesar 47.40 ku/ha. Angka ini lebih kecil 12.66 ku/ha jika dibandingkan angka produktivitas subround I, lebih kecil 6,77 ku/ha jika dibandingkan angka produktivitas subround II, lebih kecil 10.15 ku/ha jika dibandingkan angka produktivitas subround III, dan lebih kecil 6.62 ku/ha jika dibandingkan angka produktivitas periode Januari-Desember 2015 yang dipublikasikan BPS. 3. Perkiraan produksi padi sawah di Kabupaten Bekasi berdasarkan hasil analisis citra satelit pada periode panen Juli-Oktober 2015 sebesar 75.16 ribu ton GKG atau lebih kecil 55.35 ribu ton GKG (42.41%) dari angka yang dipublikasikan BPS yakni sebesar 130.51 ribu ton GKG pada periode yang sama. Saran Peta baku lahan sawah merupakan komponen penting dalam penelitian ini. Sebagai peta dasar, informasi yang terkandung dalam peta baku lahan sawah harus senantiasa diperbarui dan sesuai dengan kondisi aktual di lapangan. Penentuan parameter tanaman padi sawah sekiranya perlu dikaji lebih lanjut guna mendeteksi tanaman padi lebih akurat. Pendugaan model estimasi produktivitas juga perlu dikaji ulang dengan penggunaan sampel yang lebih besar dan cakupan wilayah yang lebih luas di samping perlu pengujian untuk wilayah selain di Kabupaten Bekasi. Di samping itu, pemanfaatan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi dan resolusi temporal yang lebih pendek memungkinkan untuk memperoleh hasil luasan area panen yang lebih akurat.
43
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Arifin B. 1997. Manajemen Krisis Pangan. Dalam 30 Tahun Peranan Bulog dalam Ketahanan Pangan. Jakarta (ID): Bulog Arsyad S, Rustiadi E. 2008. Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan. Bogor (ID): Crespent Press. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Pedoman Pengumpulan Data Tanaman Pangan. Jakarta (ID): BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2015. Bekasi (ID): BPS Kabupaten Bekasi [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka 2016. Bandung (ID): BPS Provinsi Jawa Barat Brownsveld K, S Chuturattanapan, B Pattanakanok, R Suwanwerakamtorm, P Trakooldit. 1994. The Use of Local Knowledge in Landuse/Landcover Mapping from Satellite Images. ITC Journal. 331-336. De Datta SK. 1981. Principles and Practises of Rice Production. New York (USA): John Wiley Sons. Dirgahayu D. 2005. Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data MODIS Untuk Pendugaan Umur Padi Sawah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV; Surabaya 14-15 Septermber 2005. Surabaya (ID). Gallego J. 1995. Sampling Frames of Square Segment, Institute for Remote Sensing Application, MARS. Joint Research Centre. Italy. Girisonta. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta (ID): Kanisius. Guilford JP. 1980. Fundamental Statistics in Psicology and Education. New York (USA): McGraw Hill. Huete AR, Glenn EP. 2011. Recent advances in remote sensing of ecosistem structure and function. Advances in Environmental Remote Sensing: Sensors, Algorithms, and Applications. 291-319. Joy D, EJ Wibberley. 1979. A Tropical Agriculture Handbook. London (UK): Cassel Kasryno F, E Pasandaran. 2004. Reposisi Padi dan Beras dalam Perekonomian Nasional. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Kustiyo. 2003. Model Estimasi Fase Tumbuh dan Luas Panen Padi Sawah dengan Menggunakan Data Landsat 7 [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Jakarta (ID): Kementan. [LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2000. Model Estimasi Produksi Tanaman Padi Berdasarkan Indeks Vegetasi. Jakarta (ID): Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN. Lillesand TM, RW Keifer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. New York (USA): John Willey and Sons. Marwah. 2008. Estimasi Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Subang [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
44 Mosleh MK, Quazi KH, Ehsan HC. 2015. Application of Remote Sensors in Mapping Rice Area and Forecasting Its Production: A Review. Sensorβs Journal. 15(1):769-791. Murthy CS, S Jana, PV Raju, S Thiruvengadachari, KA Hakeen. 1995. Paddy Yield Prediction in Bharada Project Command Area Using Remote Sensing Data. Asia Pasific remote Sensing Journal. 8(1):79-83. Nuarsa IW. 2012. Rice Field Mapping and Production Estimation Using Remote Sensing Data in Bali Province, Indonesia [dissertation]. Chiba (JPN): Chiba University. Poh CT, Koay JY, Lim KS, Saiful B, Ewe HT, Chuah HT. 2006. Applications of Remote Sensing In the Monitoring Of Rice Crops. The Institution of Engineers. 67(4). Rambe A. 1989. Analisis digital satelit untuk menduga areal tanaman padi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Reynolds CA, Yitayew M, Slack DC, Hutchinson CF, Huete A, Petersen MS. 2000. Estimating crop yields and production by integrating the FAO crop specific water balance model with real-time satellite data and ground-based ancillary data. International Journal of Remote Sensing. (21):3487β3508. Sakamoto, T Yokozawa, M Toritani, H Shibayama, M Ishitsuka, N Ohno. 2005. A crop phenology detection method using time-series MODIS data. Remote Sensing of Environment. (96):366β374. Saliem P. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sawit, M.H. 2001. Kebijakan Harga Beras: Periode Orba dan Reformasi Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta (ID): LPEM-UI Press. Simatupang, P dan W. Rusastra. 2004. Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Sobirin, Revi Hernina, Dewi Indah, dan Suprayogi. 2007. Modul Praktikum Interpretasi Citra Digital (Menggunakan ER Mapper 6.4). Depok (ID): Universitas Indonesia. Suryana, A. 2007. Menelisik Upaya Menggapai Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Sutanto, 1987. Penginderaan Jauh. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Sutanto, 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Swastika DKS, J Wargiono, Soejitnom dan A Hasanudin. 2007. Analisis kebijakan peningkatan produksi padi melalui pemanfaatan lahan sawah di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 5(1): 36-52. Thiruvengadachari, R Skathivadivel. 1997. Satellite Remote Sensing for Assessment of Irrigation Sistem Performance: A Case Study in India. Colombo (LK): International Irrigation Management Institute. Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 Tentang statistik. http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/46/454.bpkp diakses taggal 14 Januari 2016.
45 Wahyunto, Widagdo, Heryanto B. 2006. Pendugaan Produktivitas Tanaman Padi Sawah Melalui Analisis Citra Satelit. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Wilona, E. Rustiadi. 2014. Analisis Luas Lahan Sawah Berbasis Citra Modis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2014 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yandianto, 2003. Bercocok Tanam Padi. Bandung (ID): Penertbit M2S. Yoshida S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. Laguna (PH): IRRI.
46
LAMPIRAN
47
48 Lampiran 1 Citra komposit band 6,5,3 satelit Landsat-8 (OLI) tanggal akuisisi sepanjang bulan Mei-Agustus 2015
Tanggal akusisi:11-05-2015
Tanggal akusisi:27-05-2015
Tanggal akusisi:12-06-2015
Tanggal akusisi:28-06-2015
Tanggal akusisi:14-07-2015
Tanggal akusisi:30-07-2015
Tanggal akuisisi:15-08-2015
49 Lampiran 2 Daftar lokasi sampel dan produktivitas hasil ubinan BPS No.
No. Urut Sampel
(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
(2) 1 2 3 4 5 8 11 15 23 31 37 40 41 45 49 50 51 52 53
Lokasi East (3) 738061.87 737747.62 737617.06 737678.76 737680.30 735264.09 735361.67 734738.25 748860.76 748621.74 748760.74 748381.74 748628.65 745365.10 745319.37 745096.02 744936.63 745518.66 745688.17
North (4) -680173.52 -680603.90 -680226.71 -680502.40 -680544.67 -674561.12 -674579.64 -674531.61 -683146.96 -682589.16 -682998.96 -682660.27 -682789.64 -681405.42 -681593.96 -681014.46 -680815.00 -681860.62 -682073.73
Produktivitas Hasil Ubinan BPS (ku/ha) (5) 70.08 68.00 66.08 72.64 72.32 59.04 60.96 57.28 74.08 65.60 76.00 69.60 70.56 54.56 51.68 49.76 52.64 49.60 52.96
50 Lampiran 3 Peta sebaran lokasi sampel
51 Lampiran 4 Hasil analisis regresi Descriptive Statistics Mean Yield EVI Max
Std. Deviation
N
62.812632
9.0612244
19
.578105
.1812518
19
Correlations Yield Yield
EVI Max
1.000
.899
.899
1.000
.
.000
.000
.
Yield
19
19
EVI Max
19
19
Pearson Correlation EVI Max Yield
Sig. (1-tailed)
EVI Max
N
Variables Entered/Removeda Model
Variables
Variables Removed
Method
Entered EVI Maxb
1
.
Enter
a. Dependent Variable: Yield b. All requested variables entered.
Model Summaryb
Model 1
R .899a
R
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Square
Estimate
.809
a. Predictors: (Constant), EVI Max b. Dependent Variable: Yield
.798
4.0750661
Durbin-Watson 1.364
52 Lampiran 2 (lanjutan) ANOVAa Model
Sum
df
of Squares Regression
F
Sig.
71.997
.000b
t
Sig.
Square
1195.599
1
1195.599
282.305
17
16.606
1477.904
18
1 Residual Total
Mean
a. Dependent Variable: Yield b. Predictors: (Constant), EVI Max
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B
Std. Error
(Constant)
36.818
3.203
EVI Max
44.965
5.299
Beta 11.495
.000
8.485
.000
1 .899
Coefficientsa Model
95.0% Confidence Interval for B Lower Bound
Upper Bound
(Constant)
30.060
43.576
EVI Max
33.784
56.145
1 a. Dependent Variable: Yield
Coefficient Correlationsa Model
EVI Max Correlations
EVI Max
1.000
Covariances
EVI Max
28.082
1
a. Dependent Variable: Yield
53 Lampiran 2 (lanjutan)
54
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi Provinsi Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1983 dari Ayah yang bernama Uhin Elwinarya dan Ibu yang bernama Ihat Supriatin. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Cihanjawar pada tahun 1996. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan menengah di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Nagrak (lulus Tahun 1999) dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Cibadak (lulus tahun 2002). Penulis menempuh pendidikan sarjana mulai tahun 2002 sampai 2007 pada program studi Statistika, jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si). Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil mulai tahun 2009 di Badan Pusat Statistik (BPS-RI) sebagai staff Seksi Evaluasi dan Pelaporan Subdit Statistik Tanaman Pangan. Pada tahun 2014, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke jenjang S2 yang dibiayai oleh Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yaitu pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bagian dari tesis ini sedang dalam proses penerbitan pada Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan judul βPenggunaan Penginderaan Jauh untuk Estimasi Produksi Padi Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Bekasi)β yang rencananya akan diterbitkan pada tahun 2017. Penulis menetap di Tambun Utara Kabupaten Bekasi, menikah tahun 2011 dengan Wina Wahyuni dan telah dikarunia dua orang anak yaitu Nadhira Zahra Putri Yuana dan Arsyilla Putri Yuana.