Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” PENGEMBANGAN PEMAHAMAN DAN SIKAP TERHADAP NILAI NASIONALISME SISWA DENGAN METODE KOMPREHENSIF TERINTEGRASI DALAM PEM
Nufikha Ulfah Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)/PKn memiliki peran strategis untuk mempersiapkan warga Negara muda di sekolah menjadi warga negara yang memegang teguh nilai-nilai luhur bangsa (nasionalisme) sekaligus siap menghadapi perubahan di era global abad ke21. Untuk mempersiapkan warga negara muda yang memiliki pemahaman global (global understanding) yang baik sekaligus mampu menjadikan Pancasila sebagai jangkar transendental perlu dikembangkan strategi pembelajaran PPKn/PKn yang bermutu dan berkualitas dalam membentuk karakter bangsa. Pendidikan Kewarganegaraan/PPKn sebaiknya tidak hanya mengajarkan materi pelajaran yang mendorong anak untuk memperoleh pengetahuan saja, tetapi akan lebih baik jika Pendidikan Kewarganegaraan/PPKn sebagai program pendidikan nilai yang Comprehensive. Tulisan ini merupakan pengembangan hasil penelitian tesis, adapun tujuan dari penelitian untuk mengetahui: 1) perbedaan skor pada pemahaman dan sikap terhadap nilai nasionalisme siswa dengan metode Comprehensive dan metode konvensional; 2) keefektifan metode Comprehensive dalam mengembangkan nilai nasionalisme dalam pembelajaran PPKn di SMP. Metode yang digunakan dalm penelitian ini adalah metode eksperimen (quasi eksperimen). Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMPIT Abu Bakar Yogyarta dan sampelnya adalah siswa kelas VIIIB dan VIIIE.Data dianalisis dengan teknik statistik Multivariate Analysis Of Variance (MANOVA) dengan uji signifikansi α = 0,05.Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Metode Comprehensive lebih efektif untuk mengembangkan pemahaman nilai nasionalisme siswa dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh nilai F = 12,070 dan nilai signifikansi 0,001 atau kurang dari 0,05, maka Ha diterima (F = 12,070 dengan ρ = 0,001 < 0,05); 2) Metode Comprehensive lebih efektif untuk mengembangkan sikap terhadap nilai nasionalisme siswa dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh nilai F = 13,436 dan nilai signifikansi 0,001 atau kurang dari 0,05 maka, Ha diterima (F = 13,436 dengan ρ = 0,001 < 0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode Comprehensive efektif untuk mengembangkan nilai nasionalisme (pemahaman nilai nasionalisme dan sikap terhadap nilai nasionalisme siswa) dalam pembelajaran PPKn di SMP. Kata kunci: MEA, Komprehensif, Nasionalisme
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang. Istilah „globalisasi‟ (globalization) tengah menjadi sangat popular di semua kalangan masyarakat, hamper seluruh lapisan masyarakat mengenal istilah tersebut. Fenomena globalisasi tidak dapat dihindari dalam kehidupan nasional. Globalisasi itu sendiri mengandung pengertian suatu proses perubahan menuju kesatuan dunia. Globalisasi merujuk pada kondisi dimana dunia ini berkembang, atau yang dikenal dengan istilah kampong dunia/global village (Tobroni, dkk. 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, Gerzon (2010) menjelaskan 8 tingkatan tentang diri kita di era global yang sesungguhnya, yaitu: (1) Our genes are global; (2) Our bodies are global,dimaksudkan bahwa jika kita selidiki apa yang kita makan, obat yang kita ambil, banyak terdapat bahan-bahan yang bukan merupakan bahan lokal; (3) Our societies are global. Jika kita amati orang-orang di sekitar kita, tetangga, maupun rekan kerja kita atau bahkan teman sekelas anak-anak kita, mereka menjadi lebih beragam, Mereka datang dari tempat lain dan budaya lain. Dalam sebagian masyarakat kita, mereka datang dari seluruh dunia; (4) Our economies are global. Ketika krisis keuangan melanda, seperti arus global yang akhir-akhir ini terjadi terutama pada tahun 2008. Pasar saham menurun di sejumlah negara di dunia, nilai mata uang ditentukan oleh pasar mata uang global. Dan kemungkinan besar bahwa pekerjaan, karir anak-anak kita kelak akan semakin bergantung pada ekonomi global; (5) Our environment is global. Pemanasan iklim, berkurangnya lahan hutan dan erosi yang meningkat, pengasaman lautan, kelangkaan air minum segar, hal ini merupakan tren global. Kebijakan nasional sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan (air, udara, tanah, dan pasokan makanan) saja dinilai tidak cukup. Pada akhirnya, kebijakan yang diperlukan yaitu kebijakan yang melampaui batas-batas Negara; (6) Our possessions are global. Hampir semua apa yang kita miliki dalam sebuah hunian, kendaraan yang kita kendarai, bahkan harta yang kita miliki, mengandung komponen yang dibuat di luar negara kita/Negara lain; (7) Our civic life is global. Tidak ada Negara yang ada di bumi ini yang politiknya tidak dipengaruhi oleh kekuatan luar negeri. Akhirakhir ini persoalan „internal‟ yang menjadi perdebatan politik nasional lebih sering dibentuk oleh factor „eksternal‟/internasional; (8) Even our religions are global. Keyakinan yang kita pegang (atau yang mungkin, telah kami tolak) telah terbentuk selama berabad-abad dan melalui banyak budaya. Apapun iman seseorang (Kristen, Islam, Yahudi, Budha, dan Hindu) yang dihubunghubungkankan, telah dimulai dan hidup jauh di negara lain, budaya lain atau bahkan benua lain. Iskandar (2008), timbulnya globalisasi digambarkan dengan: Pertama, konsep ruang dan waktu; Kedua, pertumbuhan perdagangan internasional; Ketiga, peningkatan interaksi budaya; dan Keempat, meningkatnya permasalahan umum (Rahman, Aang & Puspita, 2012:1). Selain itu globalisasi ditandai oleh perubahan ruang dan waktu yang disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, ketergantungan antarnegara dan bangsa diakibatkan dari pertumbuhan perdagangan dunia, meningkatnya interaksi kebudayaan melalui perkembangan media massa (cetak maupun elektronik) yang memunculkan gagasan dan gaya hidup baru. Hal tersebut jika tidak dikendalikan dengan baik dikhawatirkan dapat mengakibatkan lunturnya nasionalisme menyebabkan terjadinya krisis identitas nasional di kalangan masyarakat.Identitas nasional Indonesia meliputi segenap hal yang dimiliki bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain seperti kondisi geografis, sumber kekayaan alam, kependudukan, ideologi dan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” agama, politik negara, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Banyak penduduk Indonesia, terutama generasi muda, telah melupakan unsur-unsur kebudayaan yang merupakan salah satu basis dari identitas nasional suatu bangsa. Budaya asing yang menumpang masuk melalui perahu globalisasi telah banyak mengubah pola hidup generasi muda saat ini, termasuk melupakan kultur budaya bangsa sendiri.Era globalisasi dewasa ini menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap negara, tidak terkecuali Indonesia sebagai anggota masyarakat dunia yang tentunya tidak dapat dan tidak akan mengasingkan diri dari pergaulan internasional. Sutrisna (2015) menggambarkan berbagai tantangan globaliasasi pada abad ke-21 saat ini.
China-ASEAN 2010
India-ASEAN 2011
ASEAN Economic Community /Masyarak at Ekonomi ASEAN 2015
+130 Negara 2020
(Materi disajikan pada Konferensi Nasional Kewarganegaraan Ke-I, pada 19 Oktober 2015, di Ruang Sidang Utama Universitas Negeri Yogyakarta)Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)/ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara ASEAN 2020. Adapun visi dari ASEAN tersebut adalah aliran bebas barang (free flow of goods) dimana tahun 2015 perdagangan barang dapat dilakukan secara bebas tanpa mengalami hambatan, baik tarif maupun non-tarif. Selain itu untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang berintegrasikan dalam membangun ekonomi yang merata dan dapat pula mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi. Adapun tujuan utama MEA 2015 adalah untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang setara dengan negara anggota-anggota ASEAN dan untuk membuat ASEAN menjadi sebuah kawasan ekonomi yang sangat kompetitif yang akan sepenuhnya dapat terintegrasi dalam ekonomi global. Dengan adanya MEA 2015 akan dapat mendorong terciptanya pembangunan jaringan-jaringan kerja produksi dan juga akan memperkuat integrasi regional pada sektor-sektor ekonomi dan dapat juga terciptanya pergerakan bebas pelaku-pelaku usaha dan tenaga kerja yang terdidik dan berwawasan Tahun 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas ASEAN saat ini sudah berlaku dan berjalan. Hadirnya MEAmenjadi tantangan global yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia terutama para pelaku industri dalam negeri. MEA, dimana momen tersebut menjadi arus perpindahan barang dan jasa antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan berjalan tanpa hambatan. Untuk itu, Herni Susanti (2015) menerangkan bahwa masyarakat Indonesia harus mampu memberdayakan diri dalam memanfaatkan peluang arus globalisasi yang sesuai dengan nilai-nilai luhur, seperti kejujuran dan akuntibilitas di atas dasar keadilan dan kebenaran, 2 nilai ini penting dalam menyikapi dan menyiasati arus globalisasi, sebab gejala persaingan dunia bisnis
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” di arena globalisasi ini semakin dilanda oleh ketidakjujuran sebagai akibat persaingan yang semakin ketat. Periode akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21 memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia. Periode ini, juga dipandang sebagai periode krisis multidimensi yang cukup memprihatinkan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial serta budaya. Keadaan yang dianggap rancu saat ini, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemahaman yang parsial terhadap nilai-nilai luhur bangsa. Terutama terkait rendahnya pemahaman generasi muda akan nasionalisme serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman mengenai nilai Pancasila pada siswa SMP dominan berada pada kategori kurang paham dengan presentase 42% (Leni Puspita, Adelina Hasyim & Hermi Yanzi, 2013: 2). Dan berdasarkan pengamatan dan observasi yang dilakukan di SMP IT Abu Bakar Yogyakarta tanggal 2 Feb 2015, pada saat pelaksanaan upacara pengibaran bendera, masih banyak ditemui siswi masih kurang antusias dan menjiwai makna pelaksanaan upacara pengibaran bendara yang dilakuakan setiap hari senin, hal tersebut dapat dilihat dari sikap pada saat hormat yang kurang sempurna, dan siswa yang bertugas menyanyikan lagu Indonesia Raya terlihat main-main. Persoalan yang cenderung mengarah pada kondisi global saat ini yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (keyakinan, norma-norma, nilai-nilai dan perilaku, serta ekonomi dan perdagangan) perlu dihadapi dan diberikan jalan keluar. Yaitu dapat dilakukan dengan penguatan nilai-nilai luhur bangsa yang dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur pendidikan. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki peran strategis dalam mempersiapkan warga negara yang siap dalam menghadapi perubahan di era global abad ke-21 yang meiliki pemahaman global (global understanding) yang memegang teguh nilai-nilai Pancasila (Mukhamad Murdiono, 2015). Pendidikan adalah upaya memberikan nilai-nilai agar bangsa Indonesia mampu menjadi besar di segala bidang. Sementara, nasionalisme merupakan suatu nilai yang menunjukkan rasa kebangsaan atau cinta tanah air, sehingga anak bangsa yang terdidik pada gilirannya mampu berbuat sebaik-baiknya bagi bangsa dan negaranya. Kalau pendidikan mengharapkan anak bangsa tumbuh dan berkembang dengan intelektualitas tinggi dan SDM berkualitas, sedangkan nasionalisme merupakan wilayah yang terpenting bagi terbentuknya Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dalam pertarungan global khususnya dalm menghadapi MEA. Pendidikan karakter bangsa (nation character building) tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan itu sendiri. Pendidikan Kewarganegaraan/PPKn sebaiknya tidak hanya mengajarkan materi pelajaran yang mendorong anak untuk memperoleh pengetahuan saja, tetapi akan lebih baik jika Pendidikan Kewarganegaraan/PPKn sebagai program pendidikan nilai yang Comprehensive. Aspek-aspek utama pendidikan kewarganegaraan/PPKn meliputi pengetahuan untuk menjadi warga negara yang baik, apresiasi terhadap sistem demokrasi dan nilai-nilai kewarganegaraan, keterampilan berpikir kritis, keterampilan berkomunikasi, keterampilan bekerja sama, dan keterampilan mengatasi konflik. Kirschenbaum (Darmiyati, Zuhdan, dan Muhsinatun., 2013: 13). Pemaknaan terhadap kewarganegaraan harus diperluas, bukan hanya lagi sekedar pemahaman kewarganegaraan sebagai status, tetapi lebih dari itu, kewarganegaraan juga harus dimaknai sebagai praktik. Dengan demikian hakikat Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pelajaran yang menekankan pada pembentukan warga negara yang mampu melaksanakan hak dan kewajiban menjadi warga negara Indonesia yang trampil,
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” cerdas, dan berkarakter sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Kajian Pendidikan Kewarganegaraan konteks ke-Indonesiaan di pengaruhi oleh isu kontemporer Pendidikan Kewarganegaraan perspektif global. Seperti pendapat Cogan J.J (1998:7) yang menegaskan bahwa ada tiga permasalahan global utama yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia meliputi: (1) berkembangnya ekonomi global; (2) semakin pesatnya kemajuan teknologi dan komunikasi; dan (3) meningkatnya populasi penduduk dunia yang diikuti dengan munculnya permasalahan lingkungan. Menyikapi hal ini, tentu saja jati diri Pendidikan Kewarganegaraan yang berkonteks ke Indonesiaan yakni yang tetap menjadikan Pancasila sebagai jangkar transendental tidak boleh pudar. Secara kontekstual Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia di pengaruhi oleh aspek-aspek yang berupa agama, nilai, demokrasi dan masalahmasalah kontemporer Indonesia seperti masalah globalisasi. Senada dengan hal ini, Mukhamad Murdiono (2014:1): “...terdapat nilai-nilai dasar yang harus dikembangkan di pendidikan kewarganegaraan dalam rangka membangun wawasan global warga negara muda dalam konteks Indonesia antara lain adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, kompetisi, menghormati orang lain, kemerdekaan, dan perdamaian”. Untuk mempersiapkan generasi muda menjadi warga negara global yang memiliki pemahaman global (global understanding) dan berkarakter Indonesia (nasionalisme) sekaligus mampu menjadikan Pancasila sebagai jangkar transendental perlu adanya strategi yang dikembangkan melalui pembelajaran PPKn/PKn, karena kondisi masa kini sangat berbeda dengan kondisi masa lalu. Pendekatan pendidikan karakter yang dahulu cukup efektif, tidak sesuai lagi untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Bagi generasi masa lalu, pendidikan yang bersifat indoktrinatif sudah cukup memadai untuk mendorong terjadinya perilaku menyimpang dari norma-norma kemasyarakatan, meskipun hal itu tidak mungkin dapat membentuk pribadi-pribadi yang memiliki kemandirian. Sebagai gantinya, diperlukan pendekatan pendidikan karakter yang memungkinkan subjek didik mampu mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai-nilai yang saling bertentangan, seperti yang terjadi pada kehidupan saat ini. Strategi tunggal tampaknya sudah tidak cocok lagi, apalagi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan saja kurang efektif diterapkan, karena sulitnya menentukan yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Dengan kata lain, diperlukan multipendekatan atau yang oleh Kirschenbaum (1995) disebut dengan pendekatan Comprehensive. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimen, selanjutnya metode eksperimen yang dipilih adalah eksperimen semu (quasi eksperimen). Metode ini dipilih dikarenakan dalam penelitian ini menggunakan kelompok kontrol tetapi tidak berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variable-variabel luar yang mempengaruhi eksperimen. Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas VIII (VIIIB sebagai kelas eksperimen dan VIIIE sebagai kelas control) di SMP IT Abu Bakar Yogyakarta pada bulan Februari-April 2015. B. PEMBAHASAN Pada bagian ini, penulis akan membahas mengenai beberapa 2 bagian, yaitu pertama, pengembangan nilai nasionalisme pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah. Kedua, metode Comprehensive sebagai metode dalam
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” pembentukan karakter bangsa (nation character building) pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. 1. Pengembangan Nilai Nasionalisme pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah a. Nilai Nasionalisme Nilai merupakan sebuah kepercayaan yang positif, yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam bersikap/berkelakuan melalui beberapa tahapan yaitu menerima-merespon-menghargai dan berkomitmen menginternalisasikan dalam masyarakat. Hal tersebut dalam dunia pendidikan merupakan bagian dari pendidikan afektif. Andriani (2002: 55) istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya, “keberhargaan” (worth) atau kebaikan (goodness). Nilai juga menunjuk kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Nilai mengandung cita-cita, harapan, dambaan, dan keharusan. Nilai bagi manusia dipakai dan diperlukan untuk menjadi landasan alasan, motivasi dalam segala sikap, perilaku, dan perbuatannya. Terkait dengan pendekatan nilai, Kirschenbaum (1995: 31) menyarankan pendidikan nilai yang Comprehensive yang meliputi Inculcation (inkulkasi), Modelling (keteladanan), Fasilitation (fasilitasi), dan Skills Building (pengembangan keterampilan). Pendidikan nilai merupakan sebuah pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilaksanakan. Sedangkan Smith (Tilaar, 2004: 108) merumuskan definisi nasionalisme adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, identitas dari suatu populasi yang anggota-anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial. Nasionalisme berkaitan erat dengan identitas nasional yang merupakan kesinambungan reproduksi dan interpretasi atas pola nilai, simbol, kenangan, mitos, dan tradisi yang membentuk warisan bangsa yang unik, serta identifikasi individu dengan pola dan warisan tersebut beserta unsurunsur budaya yang melekat pada setiap bangsa. Sebagai suatu paham kebangsaan, nasionalisme merupakan “ruh” sosial-kultur untuk membentuk dan memperkokoh identitas nasional sebagai jati diri bangsa yang telah memiliki martabat kemerdekaan. Nasionalisme Indonesia didasarkan kepada paham kebangsaan yang dicetuskan melalui Sumpah Pemuda tahun 1928 yang dipicu oleh suatu keinginan untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah, muncullah suatu gaerakan yang puncaknya pada Proklamasi 17 Agustus 1945 yang juga didorong oleh kesatuan tekad untuk melawan sisa-sisa kolonialisme Indonesia yang semakin berlanjut pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan Indonesia yang dipengaruhi setelah Perang Dunia II. b. Pancasila sebagai Landasan Nasionalisme (Kebangsaan) Dalam perjalanan sebuah bangsa diperlukan adanya nilai-nilai sebagai perekat dan pengikat antarbangsa yang berkembang menjadi sebuah masyarakat. Kristalisasi nilai-nilai tersebut, tidak lain yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Dalam Pancasila tercantum kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang harus dipahami bersama agar dapat menjawab tantangan Indonesia masa depan yang, pada kenyataannya bahwa sampai saat ini kurang dihayati oleh semua generasi bangsa. Salah satu bentuk perwujudan dari nilai nasionalisme yang ditunjukkan melalui sikap nasionalisme yaitu mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam berperilaku di masayarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, dalam mengembangkan nilai
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” nasionalisme diperlukan adanya jiwa yang Pancasilais. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sila yang paling berkaitan dengan nilai nasionalisme (kebangsaan) ialah sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Sila Persatuan Indonesia mengandung arti persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Kebangsaan Indonesia bukanlah paham kebangsaan yang sempit (chauvinistik) yang hanya mengagungkan bangsa dan merendahkan bangsa lain. Paham kebangsaan Indonesia adalah satu dasar kebangsaan yang menuju kepada persaudaraan dunia, yang menghendaki antarbangsa untuk saling menghormati dan menghargai. Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Proklamasi Kemerdekaan merupakan peristiwa yang bersejarah terhadap perkembangan dalam menjaga persatuan bangsa Indonesia. c. Nilai-nilai Nasionalisme Nilai-nilai nasionalisme perlu ditanamkan dan dikembangkan kepada generasi muda lewat kesadaran nasional yang diajarkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme seperti menanamkan rasa cinta tanah air dan semangat patriotisme diharapkan dapat membentengi mental generasi muda dari kekuatan materialisme, konsumerisme, serta dampak globalisasi lainnya. Nasionalisme merupakan tujuan pembelajaran yang sangat penting dalam rangka membangun karakter bangsa seperti yang tercantum dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sebagaimana dikutip oleh Aman (2010 :45-46). Pendidikan Kewarganegaraan/PPKn merupakan mapel yang fokus pada pembinaan karakter bangsa/warga negara dalam perspektif kenegaraan. Senada dengan Somantri (2001: 276) bahwa objek studi civics adalah tingkah laku, hak dan kewajiban, cita-cita dan aspirasi, kesadaran (patriotisme, nasionalisme, pengertian internasional, moral Pancasila), usaha atau kegiatan dan partisipasi serta tanggung jawab. Hal ini diperkuat dengan pendapat Winarno (2008: 114) yang memandang bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan nilai dan karakter yang bertugas membina dan mengembangkan nilai-nilai bangsa yang baik sehingga terbentuk warga negara yang berkarakter baik. Nilai-nilai nasionalisme yang dimaksud dalam penelitian adalah nilainilai yang berlandaskan pada Pancasila. Adapun aspek nilai-nilai nasionalisme yang perlu dikembangkan dalam penelitian ini meliputi: (1) Bangga sebagai bangsa Indonesia; (2) Cinta tanah air dan bangsa; (3) Rela berkorban demi bangsa; (4) Menerima kemajemukan; (5) Menghargai budaya yang beraneka ragam; (6) Menghargai jasa para pahlawan; (7) Mengutamakan kepentingan umum dan rasa persatuan; dan (8) Ptariotisme dan berprestasi. Dalam hal ini nilai-nilai nasionalisme yang dikembangkan, melalui pemahaman mengenai nilai-nilai nasionalisme dan sikap terhadap nilai nasionalisme. Harapannya dalam menghadapi MEA para peserta didik yang merupakan sebagai bagian dari masyarakat bangsa, memahami pentingnya nilai-nilai nasionalisme serta mampu mengaplikasikan kedalam sikap di kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai filter dalam menghadapi arus globalisasi. Perlu dijelaskan bahwa dalam pembelajaran PPKn yang menjadi target yaitu terintegrasinya ketiga aspek pendidikan yaitu aspek pemahaman (teoritik), sikap (afektif) dan tingkah laku (praktik). Atas pemahaman yang benar diharapkan suatu materi pembelajaran (nilai-nilai) diharapkan dapat diwujudkan dalam sikap dan perilaku warga negara yang baik. Darmiyati Zuchdi (2008: 41-42)
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” menyatakan bahwa “Untuk menjadi warga negara yang efektif diperlukan keterampilan berkomunikasi yang baik. Dengan mengekspresi sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai secara efektif, kita akan lebih mungkin memengaruhi orang lain sehingga nilai-nilai yang kita anut menjadi bagian dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat secara luas”. 2. Metode Comprehensive sebagai Metode dalam Pembentukan Karakter Bangsa (Nation Character Building) terintegrasi pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Secara konseptual pendidikan kewarganegaraan/PPKn diartikan sebagai penyiapan generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, kecakapan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakatnya (Samsuri, 2011: 28). Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang dalam Kurikulum 2013 dikenal dengan nomenklatur PPKn merupakan mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Mata pelajaran PPKn merupakan bagian integral dari muatan kurikulum yang memikul tanggung jawab dalam mewujudkan salah satu aspek yang berkaitan dengan kepribadian. Somantri (2001:154) memberikan perumusan pengertian sebagai berikut : “Pkn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.” Winarno (2008: 114) memandang bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan karakter. Pendidikan karakter diartikan sebagai proses dimana anak/peserta didik belajar untuk melakukan penyesuaian sosial yang sehat didalam situasi yang membingungkan. Van Alstyne (Temple, 2013: 47) menerangkan tentang aspek pelatihan karakter, yaitu: (1) pencegahan, membantu anak/peserta didik belajar untuk melakukan penyesuaian yang sehat dalam berbagai situasi kehidupannya sehari-hari yang sering muncul konflik sehingga anak terbentuk lebih kuat secara fisik, intelektual, dan emosional; (2) pengobatan, membantu anak untuk mengatasi penilaian yang keliru dan mengganti kebiasaan buruk anak dengan kebiasaan yang baik. Dalam hal ini pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan karakter bertugas membina dan mengembangkan nilai-nilai bangsa yang dianggap baik serta mencegah dan mengobati kebiasaan buruk peserta didik sehingga terbentuk warga negara yang berkarakter baik bagi bangsa yang bersangkutan. Dari segi metode, Kirrschenbaum (Darmiyati Zuchdi, 2013: 18-21) mengutarakan pendekatan comprehensive/comprehensive meliputi: inkulkasi (inculcation), pendidikan nilai/moral seharusnya tidak menggunakan metode indoktrinasi yang memiliki ciri-ciri bertolak belakang dengan inkulkasi. Inkulkasi merupakan suatu istilah sebagai lawan dari indoktrinasi; keteladanan (modeling), keteladanan merupakan suatu strategi yang biasa dan dapat digunakan dalam pendidikan nilai dan spiritual. Pemberian teladan hanya mungkin dilakukan jika para guru dan orang tua memiliki perilaku yang patut diteladani, sedangkan para murid atau anak-anak mau mempelajari keluhuran budi pekerti tokoh-tokoh masa lalu. Tujuan dari pemberian teladan untuk membentuk kebiasaan siswa berperilaku yang baik (sabar, hormat, jujur, adil, sopan, dan sayang). Untuk mencapai tujuan tersebut, guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan menyimak; fasilitasi (facilitation), Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada anak didik cara yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” melatih anak didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dalam metode fasilitasi adalah pemberian kesempatan kepada anak didik. Kirschenbaum (1995: 37&41) menjelaskan bahwa “...The use facilitation activities in values education is most apparent in the area of personal values development. There are many choices and decisions in life-careers, relationships, leisure time, politics, health, use of money, life balanc, spirituality, to name a few-which involve personal value decisions”; dan pengembangan keterampilan (skill building), Pengembangan keterampilan (skill building) merupakan pelengkap dari metode comprehensive. Ada berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas disebut dengan keterampilan akademik dan keterampilan sosial. Dua dari keterampilan akademik dan keterampilan sosial tersebut yakni keterampilan berpikir kritis dan keterampilan mengatasi konflik . Berdasarkan penemuan dalam penelitian penulis, pembelajaran PPKn dengan menggunakan metode comprehansive lebih efektif untuk meningkatkan/mengembangkan pemahaman nilai nasionalisme dan sikap terhadap nilai nasionalisme siswa dibandingkan dengan metode konvensional. Hal ini sesuai dengan pembuktian hipotesis yang telah dilakukan dan lengkapnya diuraikan lebih rinci sebagai berikut: a. Pemahaman Nilai Nasionalisme Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa ada perbedaan pemahaman nilai nasionalisme antara siswa yang mengikuti pembelajaran PPKn dengan menggunakan metode comprehensive (kelas eksperimen) dan siswa yang menggunakan metode konvensional (kelas kontrol). Hipotesis dalam penelitian ini diterima karena hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pemahaman nilai nasionalisme di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan pemahaman nilai nasionalisme di kelas kontrol. Secara statistic, hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan dan membandingkan peningkatan pemahaman nilai nasionalisme pada kelas eksperimen sebesar 73,9% dengan frekuensi 17, sedangkan pada kelas kontrol sebesar 69,6% dengan frekuensi 16. Selain itu berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian bahwa pemahaman nilai nasionalisme siswa menunjukkan F = 12,070 dan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (ρ = 0,001< 0,05). b. Sikap terhadap Nilai Nasionalisme Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa ada perbedaan pengembangan/peningkatan sikap terhadap nilai nasionalisme antara siswa yang mengikuti pembelajaran PPKn dengan menggunakan metode comprehensive (kelas eksperimen) dan siswa yang menggunakan metode konvensional (kelas kontrol). Hipotesis dalam penelitian ini diterima karena hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan sikap terhadap nilai nasionalisme di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan sikap terhadap nilai nasionalisme di kelas control. Secara statistic, hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan dan membandingkan peningkatan sikap terhadap nilai nasionalisme pada kelas eksperimen sebesar 73,95% dengan frekuensi 17, sedangkan pada kelas kontrol 52,2% dengan frekuensi 12. Selain itu berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian bahwa sikap terhadap nilai nasionalisme siswa
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” menunjukkan Fhitung = 13,436 dan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (ρ = 0,001< 0,05). Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode comprehensive yang diintegrasikan dalam pembelajaran PPKn memiliki dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan metode yang hanya bersifat indoktrinasi. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian Darmiyati Zuchdi, Zuhdan Kun Prasetya, dan Muhsinatun Siasah Masruri (2010), pendidikan karakter dengan pendekatan Comprehensive yang diintegrasikan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS yang didukung dengan pengembangan kultur sekolah terbukti efektif untuk meningkatkan pengamalan nilai-nilai target yang ingin dicapai, sekaligus meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Temuian tersebut mendukung pandangan Kirschenbaum (1995) bahwa keberhasilan pendidikan karakter hanya dapat dicapai dengan menggunakan multi pendekatan (Comprehensive) yang mencakup isi, metode, strategi, aktor atau pendidik, dan tempat. Metode dan strategi yang digunakan antara lain penggunaan cerita bergambar dan bermain peran dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, strategi holistik (kognitif, afektif, psikomotor) dalam IPA, dan ARCS (attention, relevance, confidence, satisfaction) dalam IPS. Semua strategi dan metode tersebut selaras dengan empat metode dalam pendekatan Comprehensive, yakni inkulkasi, keteladanan, fasilitasi nilai, dan pengembangan life skill. Aktor atau pendidiknya tidak hanya guru agama dan PKn, tetapi juga guru-guru bidang studi yang lain, pimpinan bahkan orang tua. Tempat pendidikan karakter di sekolah selain di kelas juga di luar kelas dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di warung/kantin sekolah. Senada dengan hal tersebut, Budimansyah (2015) mengungkapkan bahwa “… PKn harus memainkan peran sebagai program kurikuler pada lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Program kurikuler merupakan pembuka cakrawala kewarganegaraan.” C. PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan pada pembahasan, dapat disimpulkan: Pertama, metode comprehensive lebih efektif untuk mengembangkan pemahaman nilai nasionalisme siswa, dibandingkan dengan metode pembelajaran secara konvensional. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji hipotesis penelitian bahwa pemahaman nilai nasionalisme siswa menunjukkan F = 12,070 dan nilai signifikansi sebesar 0,001 atau kurang dari 0,05 (F = 12,070 dan ρ = 0,001 < 0,05). Kedua, metode comprehensive lebih efektif untuk mengembangkan sikap terhadap nilai nasionalisme siswa, dibandingkan dengan metode pembelajaran secara konvensional. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji hipotesis penelitian ini bahwa sikap terhadap nilai nasionalisme menunjukkan F = 13,436 dan nilai signifikansi sebesar 0,001 atau kurang dari 0,05 (F = 13,642 dan ρ = 0,001 < 0,05). Ketiga, pembelajaran PPKn dengan menggunakan metode comprehensive lebih efektif dalam mengembangkan nilai nasionalisme (pemahaman nilai nasionalisme dan sikap terhadap nilai nasionalisme siswa) dibandingkan dengan metode konvensional. Secara statistik, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil peningkatan pemahaman nilai nasionalisme pada kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu sebesar 73,9% (kelas eksperimen) dan 69,6% (kelas kontrol). Sedangkan peningkatan sikap terhadap nilai nasionalisme pada kelas eksperimen sebesar 73,95% dan kelas kontrol sebesar 52,2%. Dan berdasarkan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” hasil uji hipotesis multivariat menunjukkan bahwa nilai signifikansi kurang dari 0,05 (< 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 dan 2 dinyatakan dapat diterima. Keberhasilan pendidikan karakter hanya dapat dicapai dengan menggunakan multi pendekatan (Comprehensive) yang mencakup isi, metode, strategi, aktor atau pendidik, dan tempat. Metode Comprehensive/Comprehensive yang merupakan bagian dari pendekatan Comprehensive yang meliputi: inkulkasi, keteladanan, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan yang terintegrasi dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan karakter bertugas membina dan mengembangkan nilai-nilai bangsa yang dianggap baik serta mencegah dan mengobati kebiasaan buruk peserta didik sehingga terbentuk warga negara yang berkarakter baik bagi bangsa yang bersangkutan. 2. Rekomendasi. a. Bagi Pembuat Kebijakan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dalam mengembangkan bidang Pendidikan Kewarganegaraan dari segi isi, konsep, dan kajian Pendidikan Kewarganegaraan yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, khususnya dalam pengembangan Karakter Bangsa. Bagi Kepala Sekolah sebagai pengambil kebijakan, hendaknya menyarankan kepada para guru untuk mengintegrasikan nilai nasionalisme sebagai salah satu solusi dalam mengembangkan Karakter Bangsa melalui proses pembelajaran. b. Bagi dosen dan guru Pendidikan Kewarganegaraan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dan sumbangan pemikiran bagi para dosen dan guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam mengembangkan strategi pembelajaran PKn/PPKn guna mengembangkan serta penguatan nilai-nilai luhur bangsa yang semakin memudar.
Daftar Pustaka
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Aman. (2010). Pengembangan model evaluasi pembelajaran sejarah di SMA. Disertasi doktor, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Cogan, J.J. & Derricott, R. (1998).Citizenship for the 21st century: an international perspektif on education. London: Kogan Page. Darmiyati Zuchdi. (2008). Humanisasi pendidikan menemukan kembali pendidikan yang manusiawi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Darmiyati Zuchdi., Prasetya, Z.K., & Masruri, M.S. (2010). Pengembangan model pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran bidang studi di Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan, 29, Edisi Khusus Dies Natalis UNY, 1-12 Darmiyati Zuchdi., Prasetya, Z.K., & Masruri, M.S. (2013). Model pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran dan pengembangan kultur sekolah. Yogyakarta: Multi Presindo. Dasim Budimansyah. (2015). Reposisi pendidikan kewarganegaraan untuk pembangunan karakter bangsa. Dalam Sapriya, et al. (Penyunting), Prosiding Seminar Nasional: Penguatan komitmen akademik dalam memperkokoh jatidiri pendidikan kewarganegaraan (Hal 66-74). Bandung: Laboraturium PKn FPIPS UPI. Gerzon, M. (2010). Global citizen. London: Rider. H. A. R., Tilaar. (2004). Multikulturalisme: tantangan-tangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo. Herni Susanti. (2015). Menyikapi pengaruh globalisasi. Dalam Harian Ekonomi Neraca diambil dari www.neraca.co.id/article/54331/menyikapi-pengaruh-globalisasi. Diakses pada tanggal 15 Maret 2016. Kirschenbaum, H. (1995). Enhance value and morality in schools and youth. Boston: Allyn and Bacon. L. Andriani Purwastuti. (2002). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Leni Puspita, Adelina Hasyim, & Hermi Yanzi. (2013). Hubungan pemahaman materi tentang nilai Pancasila dengan perubahan sikap nasionalisme siswa SMP. Jurnal Kultur Demokrasi, Vol.1, No.3, 1-15. Diambil pada tanggal 16 Mei 2015, dari http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JKD/article/view/2359/0 Mukhamad Murdiono. (2014). Pendidikan kewarganegaraan untuk membangun wawasan global warga negara muda. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Cakrawala Pendidikan, Oktober 2014, Th. XXXIII, No. 3. Yogyakarta. Mukhamad Murdiono. (2015). Tantangan profesionalisme guru pendidikan kewarganegaraan di Abad 21. Dalam Samsuri & Halili (Penyunting), Prosiding KNKn I: Meneguhkan peran profesi kewarganegaraan dalam merespons dinamika ke-Indonesiaan kontemporer:perspektif politik, hokum, dan pendidikan (Hal 7486). Yogyakarta: Laboraturium PKn FIS UNY.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Rahman, A.F., Kunaifi, A., & Puspita, A.F. (Agustus 2012). The impact of civics education in enhancing nationalism of accounting departement college student to deal with IFRS implementation. Asian Journal of Multidimensional Research, Vol.1 Issue 3: 1-17. Diambil pada tanggal 3 Mei 2015, dari http://www.tarj.in/images/download/ajmr/AJMR%20%20AUGUST%202012%20P APERS%20%20PDF/AJMR%20AUGUST%202012%20PAPERS%20PDF/8.1,% 20Ayu%20Fury%20Puspita.pdf Samsuri. (2011). Pendidikan karakter warga negara, kritik pembangunan karakter bangsa. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia. Somantri, M.N. (2001). Menggagas pembaharuan pendidikan IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Temple, A. (06 September 2013). A new textbook on methods of teaching reading, some additions to the Childhood Education Series, a comprehensive program in character education. Childhood Education, Vol.7, No.1, 45-48. Diambil pada tanggal 9 Mei 2015,darihttp://gen.lib.rus.ec/scimag/index.php?s=comprehensive+methods+in+ch aracter+education&journalid=&v=&i=&p=&redirect=1b Tobroni, dkk. (2007). Pendidikan kewarganegaraan: demokrasi, HAM, Civil Society, dan multikulturalisme. Jawa Timur: PuSAPoM. Sutrisna Wibawa. (2015). Arah & kebijakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi:penguatan pendidikan kewarganegaraan sebagian inti dari desain pembangunan Indonesia. Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan Ke-I,Sabtu, 19 Desember 2015 di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Yogyakarta. Winarno. (2008). Paradigma baru pendidikan kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.