20 BAB II KAJIAN FILM DAN NILAI-NILAI NASIONALISME DALAM ISLAM
2.1. Kajian Film 2.1.1.
Pengertian Film Film atau gambar hidup atau biasa disebut dengan movie dihasilkan dari rekaman orang dan benda dengan menggunakan kamera (Aziz, 2009: 425). Selain itu, film biasa disebut dengan sinema. Film tidak lagi dimaknai sebagai karya seni, tetapi lebih kepada praktek sosial serta komunikasi massa. Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi juga melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi. Sedangkan dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi, yang memahami hakikat fungsi dan efeknya (Irawanto, 1999: 11). Film merupakan karya cipta yang menjadi media komunikasi massa dengar – pandang dan dibuat berdasarkan asas sinematografi. Bahan baku film adalah celluoid, pita video, piringan video, dan atau bahan penemuan teknologi lainnya. Bentuk, jenis, dan ukuran film dibuat melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya. Film ada yang dihasilkan tanpa suara atau film bisu dan film
21 bersuara. Film yang telah selesai diproduksi ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. Film mempunyai peran yang besar dalam pengembangan budaya bangsa dan pembangunan nasional. Film juga mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, pembangunan budaya bangsa, dan hiburan juga mempunyai fungsi ekonomi (Kristanto, 2004: 469). Film adalah cerita singkat yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan suara yang dikemas sedemikian rupa dengan permainan kamera, teknik editing, dan skenario yang ada. Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga
memberikan
visual
yang
berkelanjutan.
Kemampuan film melukiskan gambar hidup dan suara memberinya daya tarik tersendiri. Media ini pada umumnya digunakan untuk tujuan-tujuan hiburan, dokumentasi, dan pendidikan. Ia dapat menyajikan informasi, memaparkan proses,
menjelaskan
mengajarkan
konsep-konsep
ketrampilan,
yang
rumit,
menyingkatkan
atau
memperpanjang waktu, dan mempengaruhi sikap (Arsyad, 2005: 49). 2.1.2.
Sejarah Film Tahun 1873, mantan gubernur California, Leland Stanford, bertaruh dengan temannya. Dia berpendapat bahwa kuda ketika berlari kencang, keempat kakinya tidak menapak ke tanah dan dia harus membuktikannya. Pada
22 tahun
1877, Muybridge menyiapkan kamera sepanjang
lintasan balap. mengambil
Ketika
gambar
kuda berlari, dan
hasil
setiap
gambar
kamera tersebut
memenangkan Stanford. Hal ini memberikan Muybridge ide tentang gambar bergerak yang dihasilkan dari aksi manusia dan
hewan.
Untuk
mewujudkannya,
Muybridge
menciptakan zoopraxiscope, yaitu sebuah mesin yang dapat menampilkan salindia ke permukaan yang jauh. Tahun 1888, Muybridge bertemu dengan penemu produktif, Thomas Edison. Edison meminta William Dickson, ilmuwan terbaiknya, untuk mengembangkan suatu sistem yang lebih baik. Dickson menggabungkan penemuan terbaru dari Hannibal Goodwin yang menemukan gulungan film dengan George Eastman dengan temuannya yaitu kamera Kodak yang mudah dan dapat mengabil 40 foto dalam satu detik (Baran, 2011: 199). Pada tahun 1903, Edwin S. Porter memperkenalkan film dengan judul “The Great Train Robbery” di Amerika Serikat. Film yang bukanlah pertama kali diproduksi oleh Edwin ini, memiliki durasi 11 menit. Orang-orang menyadari bahwa yang diinginkan publik, adalah sebuah cerita yang lengkap dari babak awal, babak tengah dan babak akhir. Pada tahun 1913 dan 1916, seorang sutradara Amerika Serikat, David Griffith, telah membuat film berjudul “Birth of Nation” dan “Intolerance” dengan durasi
23 waktu tiga jam. Teknik perfilman ini, dikembangkan lagi oleh dua orang ahli Rusia, yaitu Vsevolond Pudovskon dan Sergei Einstein. Film-film yang dihasilkan ini merupakan film bisu. Hal ini membuat orang-orang yang berkecimbung dalam dunia perfilman menyadari bahwa film bisu belum merupakan tujuannya. Tahun 1927 di Broadway, Amerika Serkat, muncullah film bicara pertama meskipun dalam keadaan belum sempurna. Tahun 1935, film bisa dikatakan mencapai kesempurnaan. Waktu pemutaran cukup lama dan ceritanya cukup panjang, karena banyak yang berdasarkan novel. Akan tetapi sesudah Perang Dunia II muncullah televisi atau TV yang merupakan ancaman bagi orang-orang film. Sejak di rumah-rumah terdapat TV, dunia perfilman mengalami kemerosotan jumlah pengunjung sampai lebih dari setengah. Oleh karena itu, dicarilah kelemahan TV. Meskipun dengan biaya yang cukup banyak, dibuatlah filmfilm kolosal dan spektakular agar dapat disaksikan oleh banyak orang (Kurniati, 2000: 201). Menurut sejarah, perfilman Indonesia pertama berjudul “Lely van Java” yang diproses di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Film ini masih merupakan film bisu. Film bicara pertama yaitu “Terang Bulan”. Dipenghujung tahun 1941, perang Asia Timur Raya pecah. Perusahaanperusahaan film seperti, Wong Brother, South Pacific dan
24 Multi Film diambil alih oleh Jepang. Saat itu pemerintahan Belanda menyerah kepada tentara Jepang. Perusahaanperusahaan film ini berubah nama menjadi Nippon Eiga Sha (Kurniati, 2000: 203). Tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya secara resmi. Tanggal 6 Oktober 1945, lahirlah Berita Film Indonesia atau B.F.I. Dunia perfilman Indonesia mulai memasuki masa yang cerah. Tampak kegiatan yang dilakukan para sineas film dalam bentuk perusahaan-perusahaan film yang dipelopori oleh “Sticoting Hiburan Mataram” yang sudah berdiri sejak zaman revolusi. Mulai dekade itu diikuti oleh perusahaan film lainnya (Kurniati, 2000: 218). Industri film pada awal tahun kemerdekaan ditandai dengan semangat revolusioner yang digambarkan dalam film-filmnya. Industri film berkembang pesat. Produksi film yang bermula dari enam film pada tahun 1949 menjadi 22 film pada tahun 1950 hingga 58 film pada tahun 1955 (Irwanto, 1999: 78). 2.2.3.
Jenis-jenis Film Film dapat dibedakan atas sifat yang umumnya terdiri dari jenis-jenis berikut: 1. Film Cerita (Story Film) Film cerita adalah film yang mengandung cerita, yaitu yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung
25 bioskop dengan para bintang filmnya. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagang dan diperuntukan semua publik di mana saja. Banyak sekali unsur yang terkandung dalam film cerita ini seperti, humor, tegang, gembira,
sedih,
marah,
kejahatan
dan
lain-lain
(Kurniati, 2000: 211). Cerita yang diambil untuk membuat sebuah film cerita ini, dapat diambil dari kisah-kisah nyata dari sejarah, cerita nyata dari kehidupan sehari-hari ataupun berasal dari khayalan yang kemudian diolah menjadi film, sehingga ada unsur menarik (Elvinaro, 2007: 148). 2. Film Berita (Newsreel) Film berita atau newsreel merupakan film mengenai fakta atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan oleh publik haruslah mengandung nilai berita (Kurniati, 2000: 212). Film berita bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu direkam dengan suara pemerannya atau film beritanya
bisu
dengan
pembaca
berita
yang
membacakan narasi (Elvinaro, 2007: 148). 3. Film Dokumenter (Documentary Film) Istilah documentary pertama kali digunakan oleh seorang sutradara Inggris yaitu Jhon Girson. Film documenter ini merupakan film yang menggambarkan fakta atau kenyataan yang benar-benar terjadi (Kurniati,
26 2000:
214).
Berbeda
dengan
film
berita
yang
merupakan rekaman kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi atau gambaran mengenai kenyataan (Elvinaro, 2007: 149). 4. Film Kartun (Cartoon Film) Film kartun merupakan film yang diambil dari gambar hewan, tumbuhan, benda atau manusia dibuat untuk konsumsi anak-anak. Sebagian besar film kartun membuat kita tertawa karena kelucuannya. Namun ada juga film kartun yang membuat iba penontonnya karena penderitaan tokohnya (Elvinaro, 2007: 149). 2.2.4.
Unsur-Unsur Dalam Film 1. Produser Produser mengepalai department produksi yang menjadi penggerak awal sebuah produksi film. Prosedur juga
akan
mengambil
resiko
keuangan
dengan
mengeluarkan uang mereka sendiri khususnya selama periode pra-produksi, sebelum sebuah film dapat terdanai sepenuhnya (Effendi, 2009: 40). 2. Sutradara Kerja sutradara dimulai dari membedah sekenario ke dalam konsep pengambilan gambar. Selanjutnya sutradara bekerja sebagai pemimpin pengambilan gambar, menentukan apa saja yang akan dilihat oleh penonton,
mengatur
laku
di
depan
kamera,
27 mengarahkan akting dan dialog, menentukan posisi dan gerak kamera, suara, pencahayaan, dan turut melakukan editing (Effendi, 2009: 42). 3. Skenario Skenario
merupakan
naskah
cerita
yang
digunakan sebagai landasan bagi penggarapan sebuah produksi film. Isi dari skenario merupakan dialog dan istilah teknis sebagai perintah kepada crew atau tim produksi. Skenario juga memuat informasi tentang suara dan gambar ruang, waktu, peran, dan aksi (Effendi, 2009: 17). 4. Penata Artistik Penata artistik bertugas menyusun segala sesuatu yang melatarbelakangi cerita sebuah film, melakukan setting tempat-tempat dan waktu berlangsungnya cerita film. Penata artistik juga bertugas menterjemahkan konsep visual dan segala hal yang meliputi aksi di depan kamera (setting peristiwa) (Effendi, 2009: 45). 5. Penata Fotografi Penata fotografi seringkali disamakan dengan operator kamera atau kameraman. Hal ini sebenarnya berbeda. Operator kamera atau kameraman merupakan orang yang mengoperasikan kamera, sedangkan penata fotografi merupakan pemimpin
departemen yang
mengkoordinir sejumlah operator kamera (Effendi,
28 2009: 46). 6. Penata Musik Penata musik bertugas menata paduan musik yang tepat. Fungsinya menambah nilai dramatik seluruh cerita
film.
Tugas
penata
musik
ini
sangat
mempengaruhi efek pengambilan gambar. Musik dapat memberikan efek yang ingin ditimbulkan oleh sutradara (Effendi, 2009: 68). 7. Penata Suara Penata suara dibantu tenaga perekam lapangan yang bertugas merekam suara baik di lapangan maupun di studio. Selain itu, penata suara bertugas memadukan unsur-unsur suara yang nantinya akan menjadi jalur suara yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang diputar di bioskop (Effendi, 2009: 68). 8. Pemeran Pemeran atau cast bertugas untuk memrankan tokoh yang ada dalam naskah film. Pemeran harus bisa mengubah karakternya sesuai dengan apa yang telah digambar oleh sutradara. Proses pemilihan pemeran disebut casting. Casting semula dilakukan oleh casting director atau orang yang bertugas mencari pemeran, setelah itu daftar nama calon pemeran ini akan dipilih kembali oleh sutradara (Effendi, 2009: 53).
29 9. Kameraman Penyunting disebut juga kameraman yaitu orang yang bertugas menyusun hasil shoting sehingga membentuk rangkaian cerita sesuai konsep yang diberikan oleh sutradara. Ada beberapa teknik yang digunakan oleh kameraman dalam mengambil gambar. Pengambilan gambar ini mempengaruhi penggambaran dari naskah (Effendi, 2009: 53). 10. Editor Editor bekerja setelah film diproduksi. Editor bertugas membenahi kembali film yang mentah menjadi film yang matang untuk ditayangkan. Editor akan berdiskusi dengan sutradara dalam mengedit film mentah ini (Effendi, 2009: 82). Unsur-unsur di atas mempengaruhi keberhasilan pembuatan film. Membuat film membutuhkan kerjasama banyak orang. Komunikasi antar tim sangat dibutuhkan. Setiap kepala departemen harus paham apa yang dibutuhkan dalam departemennya. Selain itu, adapula unsur teknik yang juga mempengaruhi pembuatan film, anatara lain: 1. Audio terdiri dari dialog, musik dan sound effect a. Dialog digunakan untuk menjelaskan perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta. Dialog yang digunakan dalam film Sang Kyai
30 ini menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jepang dan bahasa Arab (Effendi, 2009: 67). b. Musik yang bertujuan untuk mempertegas adegan agar
lebih
kuat
maknanya.
Apabila
musik
dimaksudkan hanya untuk latar belakang, maka ini termaksud dalam sound effect atau effek suara. Contoh yang termaksud musik adalah musik diskotik ketika adegan berada dalam ruangan diskotik (Effendi, 2009: 68). c. Sound Effect atau effek suara adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatarbelakangi adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk membentuk nilai dramatik dan estetika sebuah adegan (Effendi, 2009: 69). 2. Visual terdiri dari angle, lighting, teknik pengambilan gambar dan setting. a. Angle Angle
kamera
dibedakan
menurut
karakteristik dari gambar yang dihasilkan ada 3 yaitu: 1. Straight Angle, merupakan sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggian kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang gambarnya tetap. Pengambilan angle ini mengesankan situasi yang normal, bila
31 pengambilan straight angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah obyek atau pemain
dalam
memainkan
karakternya,
sedangkan pengambilan straight angle secara zoom out menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari obyek atau pemain. 2. Low Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang letaknya lebih rendah dari obyek. Hal ini membuat seseorang nampak kelihatan mempunyai kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya. 3. High Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi dari obyek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa superioritas. b. Pencahayaan (Lighting) Pencahayaan adalah tata lampu dalam film. Ada dua macam pencahayaan yang dipakai dalam produksi yaitu natural light (matahari) dan artifical light (buatan), misalnya lampu. Jenis pencahayaan antara lain: 1. Cahaya Depan (Front Lighting) Cahaya yang diambil dari depan akan merata dan tampak natural atau alami. 2. Cahaya Samping (Side Lighting)
32 Subyek
lebih
terlihat
memiliki
dimensi.
Biasanya banyak dipakai untuk menonjolkan suatu benda karakter seseorang. 3. Cahaya Belakang (Back Lighting) Cahaya yang berada di belakang membuat bayangan dan dimensi. 4. Cahaya Campuran (Mix Lighting) Merupakan gabungan dari tiga pencahayaan sebelumnya. Efek yang dihasilkan lebih merata dan meliputi setting yang mengelilingi obyek. c. Teknik Pengambilan Gambar Pengambilan atau perlakuan kamera juga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat dalam
film.
Proses
tersebut
akan
dapat
mempengaruhi hasil gambar yang diinginkan, apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting yang ada dalam sebuah film. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan beberapa kerangka dalam perlakuan kamera yang ada, yakni: 1. Full Shot (FS) Teknik ini memperlihatkan interaksi antara subyek utama dengan subyek lain, interaksi tersebut menimbulkan aktivitas sosial tertentu.
33 2. Long Shot Setting (LSS) Audience diajak oleh sang kameramen untuk melihat keseluruhan obyek dan sekitarnya. Mengenal subyek dan aktivitasnya berdasarkan lingkup setting yang mengelilinginya. 3. Medium Shot (MS) Teknik ini memperlihatkan bagian pinggang ke atas pemeran. Audience diajak untuk sekedar mengenal
obyek
dengan
menggambarkan
sedikit suasana dari arah tujuan kameramen. 4. Over Sholdier Shot (OSS) Teknik
ini
mengambil
objek
dengan
memperlihatkan punggung lawan mainnya, sehingga terkesan sedang berbicara dengan lawan mainnya. 5. Close up (CU) Pengambilan gambar ini hanya memperlihatkan wajah tokoh. Gambar dengan tekniki ini memiliki efek yang kuat sehingga menimbulkan perasaan emosional karena audience hanya melihat hanya pada satu titik interest. Pembaca dituntut untuk memahami kondisi subyek. 6. Pan up atau Frog Eye Teknik ini dilakukan dengan mengarahkan kamera ke atas. Film dengan teknik ini
34 menunjukkan kesan bahwa obyek lemah dan kecil. 7. Pan down atau Bird Eye Pengambilan
gambar
dengan
teknik
ini
mengarahkan kamera ke arah bawah. Teknik ini menunjukkan kesan obyek sangat agung, berkuasa, kokoh dan berwibawa. Namun bisa juga
menimbulkan
kesan
bahwa
subyek
dieksploitasi karena hal tertentu. d. Setting Setting yaitu tempat atau lokasi untuk pengambilan sebuah visual dalam film. Setting atau lokasi disesuaikan dengan cerita yang ada dalam naskah. Lokasi ini akan mempengaruhi penggambaran yang ada pada naskah. 2.2.5.
Film sebagai Media Dakwah Film dapat menjangkau banyak segmen sosial. Selain itu,
film
juga
dapat
mempengaruhi
khalayaknya.
Karakteristik film sebagai media masa juga mampu membentuk khalayak secara visual. Film selalu bertautan dengan masyarakat dan selera yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, film dapat merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat (Irawanto, 1999: 14).
35 Film
dapat
dijadikan
sebagai
media
dakwah.
Keunikan film sebagai media dakwah antara lain, pertama, secara psikologis penyuguhan secara hidup dan tampak mempermudah khalayak menerima pesan yang ingin disampaikan sutradara. Banyak hal yang abstrak dan samar serta sulit diterangkan, dapat disuguhkan kepada khalayak lebih baik dan efisien. Kedua, media film menyuguhkan pesan hidup mengurangi keraguan yang disuguhkan, lebih mudah diingat dan mengurangi kelupaan (Aziz: 2009. 426). Film bisa dikatakan sebagai media dakwah ketika film tersebut memasukkan pesan-pesan keagamaan baik secara eksplisit maupun tidak (Muhtadi, 2012: 112). Selain itu, pembuatan film harus memiliki misi utama yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Usaha penyampaian keagamaan ini menitik beratkan pada usaha yang bersifat menerangkan dan memotivasi. Gerakan-gerakan pemain dan juga dialog akan sangat mempengaruhi penyampaian pesan keagamaan (Muhtadi, 2012 : 115). Pada tahun 1970-an ribuan orang menyaksikan film The Massege. Penonton film dakwah tersebut sangat terkesan
oleh
perjuangan
Rasulullah
SAW.
dalam
berdakwah di kota Makkah yang penuh tantangan (Aziz, 2004: 426). Pengaruh film sangatlah besar terhadap jiwa manusia.
Penonton
tidak
hanya
terpengaruh
ketika
36 menyaksikan film tersebut, tetapi diyakini juga setelah menyaksikannya. 2.2. Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Islam 2.2.1. Pengertian Nilai-Nilai Nilai atau value dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan (Worth) atau kebaikan (Goodness). Nilai bisa dikatakan sebagai kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda yang
menyebabkan
menarik
minat
seseorang
atau
kelompok. Jadi, nilai bisa dikatakan sebagai sifat atau kualitas
yang
melekat
pada
suatu
objek.
Sesuatu
mengandung nilai memiliki arti bahwa ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu, misalnya bunga itu indah. Indah merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada bunga (Kaelan, 2008: 87). Menilai berarti menimbang, yaitu suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, indah, baik dan seterusnya), atau sebaliknya, bernilai negatif. Dengan demikian, nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin (Darmodiharjo, 2006; 233). Nilai merupakan suatu kecenderungan luas untuk
37 lebih menyukai atau memilih keadaan-keadaan tertentu dibanding dengan yang lain. Selain itu nilai dapat dikatakan sebagai suatu proses perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak-tanduk perilaku anggota masyarakat (Dayakisni, 2003: 233). Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sudut pandang masingmasing orang. Max Sceler yang dikutip oleh Kaelan mengemukakan bahwa nilai itu tidak memiliki tinggi yang sama.
Menurut
tinggi
rendahnya,
nilai-nilai
dapat
dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu (Kaelan, 2008: 88): 1. Nilai-nilai kenikmatan Dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakan dan tidak, sehingga mengakibatkan orang senang atau menderita. 2. Nilai-nilai kehidupan Tingkatan penting
dalam
ini
mengandung
kehidupan,
tingkatan
misalkan
yang
kesehatan,
kesegaran jasmani, kesejahteraan umum. 3. Nilai-nilai kejiwaan Tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah
38 keindahan, kebenaran dan pengetahuan murni. 4. Nilai-nilai kerohaniaan Dalam tingkatan ini terdapat modalitas dari yang suci dan tidak suci. Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. Berdasarkan
penjabarannya,
nilai-nilai
dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu (Kaelan, 2008: 91): 1. Nilai dasar Merupakan intisari atau makna yang terkandung dalam nilai-nilai tersebut. Setiap nilai pasti memiliki nilai dasar. Nilai dasar ini bersifat universal atau menyeluruh, karena menyangkut hakikat kenyataan objektif dari segala sesuatu. 2. Nilai instrumental Dalam merealisasikan ke dalam kehidupan nilai dasar harus memiliki parameter atau ukuran yang jelas. Parameter nilai dasar adalah nilai instrument. Nilai instrument sendiri merupakan pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Misalkan nilai instrumental ini diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka berkaitan dengan tingkah laku manusia atau disebut dengan norma moral. 3. Nilai praktis Nilai praktis ini merupakan penjabaran dari nilai
39 instrumental dalam kehidupan nyata atau dengan kata lain nilai praktis merupakan perwujud dari nilai instrumental. 2.2.2.
Pengertian Nasionalisme Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu secara antropologi dan sosiologi, serta pengertian secara politik. Secara antropologi dan sosiologi, bangsa merupakan suatu kelompok masyarakat yang berdiri sendiri dan masingmasing anggota tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Sedangkan pengertian secara politik adalah masyarakat dalam suatu pengertian yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi di luar dan di dalam (Nur, 1967: 87). Kohn sendiri memiliki pendapat bahwa nasion atau bangsa didirikan oleh faktor-faktor kesamaan objektif yang membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain seperti bahasa, adat-istiadat, persamaan turunan, atau agama. Kohn menyatakan bahwa hal-hal di atas bukanlah faktor hakiki sebagai penentu hadirnya suatu bangsa (Kohn, 1984: 11). Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno yang dikutip oleh Yatim mengatakan nasionalisme terdiri dari rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib serta persatuan antara orang dan tempat (Yatim; 1999, 60).
40 Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbedabeda. Menurut Mulkhan nasionalisme merupakan gagasan mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan. Teori politik membagi manusia ke dalam berbagai bangsa, sedangkan nasionalisme sebagai nilai rohaniah yang mendorong kehendak untuk hidup sebagai satu bangsa serta mempertahankan kelangsungan hidup kebangsaan itu (Mulkhan, 1996: 14). Smith memaknai nasionalisme sebagai gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja (Smith, 1979: 1). Menurut Marzuki yang dikutip oleh Moesa hampir sama dengan Smith, bahwa pijakan nasionalisme para kyai merupakan semangat ketika melawan penjajah. Fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945 merupakan wujud nyata dari nasionalisme Indonesia (Moesa, 2007: 174). Djamhari dikutip oleh Moesa mengatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu paham yang menunjukkan sebuah kecintaan terhadap tanah air yang diwujudkan dalam
41 instrumen untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan disegala aspek kehidupan (Moesa, 2007: 207). Menurut Syaifudin yang dikutip oleh Moesa bahwa nasionalisme merupakan cinta tanah air, di mana sebab pokok berdiri dan tegaknya sebuah negara-bangsa karena kebutuhan rakyat akan adanya lembaga yang mengatur mereka, sehingga demokrasi di anggap penting. Setiap negara yang dibentuk berdasarkan agama tertentu, maka yang terjadi adalah tindakan
penindasan
terhadap
agama
lain
(Moesa,
2007:182). 2.2.3.
Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Islam Pendapatan tentang agama dan nasionalisme masih sering diperdebatkan. Kelompok sekuler mengatakan bahwa Islam dan negara merupakan dua kubu yang berseberangan. Menurut kelompok ini Islam dan agama-agama lain tidak mengatur
masalah
keduniaan
sebagaimana
sistem
kenegaraan. Ada pula kelompok konservatif yang tetap mempertahankan integritas Islam dan negara. Menurut mereka
Islam
sudah
mengatur
semua
sistem
kemasyarakatan. Berbeda dengan kelompok modern yang mengatakan bahwa Islam dan negara merupakan dua kubu yang saling berhubungan satu sama lainnya (Abdillah: 1999, 57). Nasionalisme merupakan cinta tanah air dan bangsa, sedangkan Islam mendasarkan diri pada keyakinan agama. Jadi dalam Islam, negara memang diperlukan untuk
42 mengatur hal-hal yang bersangkutan dengan keduniaan yang
selalu
berubah.
Pengaturan
ini
tidak
boleh
menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan Hadits. Al Qur’an dan Hadits ini mengatur hal-hal yang tidak berubah-ubah tentang manusia (Sjamsuddin, 1993: 69). Menurut Marzuki yang dikutip oleh Moesa bahwa negara Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki berbagai agama, suku, bahasa dan kawasan yang berlainan. Jika masing-masing elemen melihat keentingan golongan atau pribadinya sendiri, maka akan mengalami kesenjangan sosial yang berujung pada keruntuhan bangsa dan negara. Moesa mengatakan bahwa para kyai sepakat untuk mempertahankan dan memantapkan nasionalisme tanpa membedakan agama, umur, golongan dan kepentingannya sendiri (Moesa, 2007:231). Setiap orang mengartikan nasionalisme berbedabeda sesuai dengan pandangan masing-masing mengenai nasionalisme.
Nilai-nilai
nasionalisme
sendiri
dapat
disimpulkan sebagai perasaan yang mendalam yang hanya dapat difikirkan dan dihayati oleh manusia dalam membela serta mempertahankan tanah airnya dan juga agama sebagai wujud jihad fi sabilallah. Ada
beberapa
pandangan
tentang
nilai-nilai
nasionalisme. Menurut Kartodirjo, antara lain: (1) kesatuan
43 (unity); (2) kebebasan (liberty); (3) kesamaan (equality); (4) kepribadian (individuality) dan (5) prestasi (performance) (Kartodirdjo,
1994:
16).
Selain
itu
Moesa
dalam
penelitiannya mengatakan bahwa nilai-nilai nasionalisme merupakan
rasa
ash’abiyah)
yang
keterikatan memiliki
sekelompok kesamaan
orang
tujuan
(aluntuk
membangun suatu sistem tatanan kehidupan. Nilai-nilai nasionalisme ini menurutnya dibangun atas pluralitas, persaudaraan, solidaritas dalam keberagaman, kesederajatan dan cinta tanah air (Moesa, 2007: 307). Menurut Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Moesa bahwa nilai-nilai nasionalisme terdiri dari cinta tanah air, kebersamaan yang disertai jiwa patriotism dan juga perlawanan melawan penjajah (Moesa, 2007: 216). Yatim mengatakan bahwa nilai nasionalisme sudah dianggap muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara dan bangsa (Yatim, 1999: 59). Setiap orang memiliki pandangan masing-masng tentang
nilai-nilai
nasionalisme
seperti
yang
telah
dipaparkan oleh peneliti. Dalam menganalisis nilai-nilai nasionalisme dalam film Sang Kyai peneliti menyimpulkan nilai-nilai nasionalisme yang ada di atas, antara lain: 1. Nilai Kesatuan Nilai kesatuan tercermin dari keinginan bersatu yang dimiliki oleh masyarakat dalam suatu bangsa
44 karena persamaan
nasib
yang mereka
rasakan.
Soekarno mengatakan nasionalisme terdiri dari rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib (Yatim, 1999: 60). Stoddard juga mengatakan bahwa suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan yang dianut sejumlah orang membuat mereka membentuk suatu kebangsaan. Indonesia
merupakan
negara
yang
beranekaragam suku, budaya, Bahasa dan perbedaan lainnya. Nasionalisme warga Indonesia berangkat dari cita-cita kesatuan dalam pluralisme. Puncak kesatuan warga Indonesia ketika berbagai kelompok berkumpul untuk menyatakan tekad dalam membela negara. Tekad
yang
kuat
inilah
yang
mengantarkan
kemerdekaan warga Indonesia saat melawan penjajah (Moesa, 2007: 36). Islam mengajarkan kepada umat Muslim dalam Surat al-Hujuraat ayat 13, Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
45 supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Kemenag. RI., 2010: 167). Ayat di atas menjelaskan tentang keberagaman suku dan bangsa yang ada. Islam justru mengajarkan umat Muslim untuk mengenal satu sama lain dan bersatu. Allah berfirman bahwa hanya ketaqwaan yang dapat membedakan satu orang dengan orang lain, sehingga Allah mengajarkan umat-Nya untuk bersatu. Negara Indonesia merupakan negara yang beranekaragam, dari suku, Bahasa, budaya, adat istiadat dan lainnya, namun inilah yang seharusnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Keragaman ini sebenarnya dapat memicu lahirnya fanatisme buta, persaingan tidak sehat, perselisihan yang bisa meluluh lantahkan nilai persatuan dan kehancuran bangsa kita ini. Perpecahan itu ibarat lidi yang keluar dari ikatannya, maka hilang pula kekuatannya. 2. Nilai Solidaritas Nilai solidaritas atau
kesetiakawanan
atau
kekompakkan ini tidak dapat dihitung dengan harta benda karena nilai solidaritas ini bersifat kemanusiaan.
46 Solidaritas bisa dikatakan sebagai rasa kepedulian terhadap sesama. Dalam merebut kemerdekaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia saat dijajah dapat menjadi contoh wujud solidaritas di mana semua warga Indonesia saling tolong-menolong. Menurut
Suparlan
bahwa
nasionalisme
merupakan kesadaran solidaritas diri di antara warga masyarakat. Menurut Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Moesa mengatakan bahwa asal-usul berdirinya sebuah negara adalah rasa solidarisasi dalam kelompok (alashabiyah) (Moesa, 2007: 181). Allah SWT. menjelaskan tentang solidaritas dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 32, Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki hubungan) anatara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (Kemenag. RI., 2010: 167). Dari ayat di atas menjelaskan bahwa sebagai umat Muslim haruslah bersaudara dan memiliki rasa setiakawan. Tidak ada perselisihan di antara manusia. Untuk itu, Islam melarang terhadap hal-hal yang dapat
47 memicu perselisihan dan perpecahan di antara manusia. 3. Nilai Kemandirian Smith mengatakan bahwa nasionalisme sebagai gerakan untuk meraih dan memelihara otonomi, serta membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja (Smith, 1979: 1). Nilai kemandirian dalam nasionalisme ini memiliki
prinsip
kebebasan,
kesamarataan
dan
kepribadian sebagai nilai kehidupan (Suwarsono, 2007: 41). Nilai kemandirian merupakan keinginan dan tekad untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan yang absolut dan juga mendapatkan hak-haknya secara wajar. Sikap kemandirian menurut KH. Mibah Abrar yang dikuti oleh Moesa, merupakan sikap yang selalu menjaga keseimbangan dalam berbagai hal dalam rangka
menciptakan
keadilan.
Kemandirian
ini
diwujudkan dari berbagai hal, antara lain dari segi moral, ekonomi, politik dan berbagai hal lainnya (Moesa, 2007: 259). Dalam Islam mengajarkan tentan sifat mandiri, seperti yang tertera dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 10, yaitu
48
Artinya : Apabila teah selesai mengerjakan shalat, segeralah kamu menyebar di muka bumi dan carilah karunia Allah dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung (Kemenag. RI., 2010: 554). Kemandirian seperti yang dijelaskan ayat di atas, bahwa sebagai umat tidak boleh berpangku tangan saja. Mandiri itu perlu dalam segala hal. Seperti yang djelaskan ayat di atas bahwa Allah menyuruh hambaNya untuk mandiri dalam mencari nafkah. Dalam nasinalisme mandiri di artikan bahwa bangsa dan negara dapat menentukan kebijakan sendiri baik dari ekonomi, social, politik, pendidikan dan hal lainnya tanpa ada campur tangan negara atau pihak lain.