PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN-RHL) (Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
HASRIANI MUIS
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GN-RHL): Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2007
Hasriani Muis NIM E051050061
ABSTRACT HASRIANI MUIS. Development of Community Participation in Land and Forest Rehabilitation Movement: Case in Sub-District of Layana East Palu and SubDistrict of Lambara North Palu in Palu Regency, Central Sulawesi. Under the direction of NURHENI WIJAYANTO and LETI SUNDAWATI This research generally aimed to study the level of community participation on GN-RHL programs, relations among factors that influencing participation with level of community participation, and also making the strategy of development of community participation in GN-RHL. Method which applied is consisting of descriptive-quantitative and descriptive-qualitative by using Spearman Rank test, and SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). In both reaserch location, Layana and Lambara, level of participation at evaluation and planning phase pertained is low, while at execution phase, pertained height. Community participation in both location of admission in passive participation, where community only receiving notification of result which have been decided by the side of program executor, regardless of community comments as programs targets, and interchangeable information limited to outsider group. Strategy development of community participation in GN-RHL programes to be done with strategy WO (Weakness - Opportunitiess) that is to improve internal weakness and exploiting opportunity from external environment. Keyword: Community participation, forest and land rehabilitation, GN-RHL
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN-RHL) (Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
HASRIANI MUIS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
4
Judul Tesis :
Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) (Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)
Nama
:
Hasriani Muis
NIM
:
E 051050061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS Ketua
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc
Tanggal Ujian : 22 Agustus 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga saya dapat merampungkan tesis ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya selama perkuliahan dan penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada yang terhormat Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Leti Sundawati MSc selaku pembimbing anggota. Beliau-beliau telah mengarahkan, membukakan pikiran, dan meluangkan waktunya untuk membimbing saya melalui pertanyaanpertanyaan kritis dan saran-saran yang diajukan kepada saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Dudung Darusman MA, yang telah bersedia sebagai dosen penguji pada ujian tesis saya. Terimakasih saya kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua Jurusan Manajemen Hutan, Universitas Tadulako (Bapak Ir. H. Akhbar Zain MT), atas izin dan dorongannya sehingga saya dapat melanjutkan studi pada program Magister di IPB. Kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa yang diberikan, saya ucapkan banyak terimakasih. Kepada Ketua Kelompok Tani Kelurahan Layana, Bapak Hasyim dan Ketua Kelompok Tani Kelurahan Lambara, Bapak Nasruddin, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Palu, Pimpinan Proyek Program GN-RHL, Pimpinan Pelaksana kegiatan GN-RHL dan semua pihak yang telah banyak membantu selama penelitian ini dilakukan diucapkan banyak terimakasih. Demikian halnya dengan rekan-rekan: Mbak Vanny, Mbak Mely, Pak Sedek, Pak Ajun, Urip dan rekanrekan yang lain, serta kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya yang telah diberikan kepada saya selama ini. Terakhir, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya haturkan kepada ayahanda saya H. Abdul Muis dan ibunda saya Hj. Rahmawati, yang selama ini tak putus-putusnya selalu memanjatkan doa untuk kebahagian saya, dan berharap agar saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Juga kepada Suami saya tercinta, Golar dan kedua anak saya Misykah Aulia Golar dan
6
Ahmad Fadlan Golar, yang selalu mendampingi dalam suka dan duka, dan memberikan semangat
kepada saya saat menempuh studi ini. Semoga Allah
SWT membalasnya lebih baik. Saya berharap tesis ini merupakan amalan sholeh, amin.
Bogor, Agustus 2007 Hasriani Muis
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan
di
Desember 1976 dari ayah
Walenrang
Kabupaten Luwu pada tanggal 11
H. Abdul Muis dan ibu Hj. Rahmawati. Penulis
merupakan anak ke delapan dari tigabelas bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Walenrang Kab. Luwu. Penulis kemudian melanjutkan studi program sarjana pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus pada Tahun 2001. Pada tahun 2004 sampai sekarang, penulis diterima sebagai dosen pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
8
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia saat ini sebagian besar dalam kondisi rusak. Di sisi lain, kebutuhan akan keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan kualitas yang baik, yang dapat menopang seluruh kehidupan di muka bumi ini, masih cukup tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa terlepas dari wujud biofisik lahan saat ini, apabila sesuai dengan karakteristik biofisiknya, sebidang lahan harus berwujud dan berfungsi sebagai hutan. Dengan demikian, peruntukan lahan tersebut harus dipertahankan sebagai hutan. Artinya, jika hutan tersebut dalam kondisi baik maka harus tetap dipertahankan, dipelihara, dan dimanfaatkan secara lestari. Sebaliknya, jika dalam kondisi rusak maka harus direhabilitasi (Suhendang 2004). Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2006), luas kawasan hutan Indonesia ± 126,8 juta ha. Kawasan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (23,2 juta ha), kawasan lindung (32,4 juta ha), kawasan produksi terbatas (21,6 juta ha), kawasan produksi (35,6 juta ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha). Dari total luasan tersebut, kawasan yang telah terdegradasi sampai dengan tahun 2004 mencapai luas 59,17 juta ha. Sementara itu, lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan tercatat ± 41,47 juta hektar. Sebagian dari lahan-lahan tersebut tersebar di 282 Daerah Aliran Sungai (DAS). Laju deforestasi menunjukkan angka yang berubah-ubah, dan cenderung menurun bukan karena berhasilnya kegiatan rehabilitasi, namun lebih dikarenakan semakin sulitnya bahan baku kayu dijangkau oleh penebang liar. Bila pada tahun 2003 diperkirakan laju kerusakan sebesar 3,2 juta hektar, pada tahun 2005 diperkirakan laju kerusakan hutan mencapai angka ± 2,4 juta hektar (WALHI 2004).
Situasi tersebut terjadi pula di kawasan hutan dan DAS di Propinsi
Sulawesi Tengah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas pembalakan komersial, baik secara illegal maupun legal, konversi hutan untuk perkebunan skala besar maupun kecil, dan pemungutan hasil hutan secara serampangan.
9
Penggundulan hutan di Sulawesi Tengah saat ini telah mencapai luasan ± 625.257 ha. Sekitar 35,25% atau seluas 220.288 ha kerusakan terjadi di dalam kawasan hutan. Selain menimbulkan dampak ekologis, kerusakan hutan tersebut berpengaruh terhadap kualitas kehidupan masyarakat pedesaan, terutama mereka yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan, dan menjadikan hutan sebagai bagian dari sumber pendapatan keluarga (YBAHL 2004). Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam meredam laju degradasi hutan, utamanya melalui kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan. Namun, upaya tersebut hingga saat ini belum juga mampu memberikan hasil nyata. Hal ini disebabkan karena pemerintah masih memandang masalah deforestasi sebagai masalah fisik semata, sehingga pendekatan teknologi selalu diandalkan untuk memecahkannya. Kegagalan tersebut di atas dapat dilihat dari dua sisi, pertama: deforestasi hanyalah gejala dari masalah lain, baik dibidang ekonomi, sosial, politik, dan kebijakan. Tanpa upaya untuk memecahkan masalah yang sebenarnya, kegiatan rehabilitas akan terus mengalami kegagalan; kedua: kegiatan rehabilitasi tidak menarik (atraktif) bagi masyarakat pengguna lahan untuk berpartisipasi, karena tidak mampu memecahkan masalah mereka secara langsung, misalnya: meningkatkan
pendapatan
atau
mengurangi
resiko
kegagalan
panen
(Kartodihardjo 2006). Upaya terkini yang ditempuh pemerintah dalam meredam laju degradasi hutan, yang sekaligus mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, adalah melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Namun demikian, setelah lebih dari empat tahun pelaksanaannya, keberhasilan kegiatan ini masih tergolong rendah. Hal ini terindikasi melalui banyaknya keluhan terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut di daerah-daerah. Salah satu faktor yang menjadi keluhan penerapan kegiatan GN-RHL adalah ”rendahnya tingkat partisipasi masyarakat”. Terdapat sejumlah kajian terdahulu yang menjelaskan hubungan antara tingkat partisipasi masayrakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan, diantaranya: Pujo(1998), Sunartana (2003), Safei (2003), Trison (2005). Namun demikian, belum dijumpai kajian yang secara khusus menjelaskan faktor-faktor
10
dominan apa saja, baik internal maupun eksternal, yang meyebabkan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, serta strategi apa yang dapat diupayakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitas hutan, utamanya dalam kegiatan GN-RHL.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengetahui tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL 2. mengetahui hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL. 3. Menyusun strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GNRHL Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Peserta kegiatan GN-RHL memiliki tingkat partisipasi yang rendah 2. Terdapat hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL
Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini dapat diketahui tingkat partisipasi masyarakat di setiap tahapan kegiatan dan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat, sehingga dapat diupayakan pengembangan terhadap partisipasi masyarakat.
11
TINJAUAN PUSTAKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). RHL mengambil posisi dalam mengisi kesenjangan, ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi lahan. RHL juga sangat berperan dalam meningkatkan luas areal bertegakan hutan dan bangunan konservasi tanah; memulihkan fungsi hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; memulihkan fungsi perlindungan tanah dan stabilitas iklim mikro; meningkatkan produksi Oksigen (O2) dan penyerap gas-gas pencemar udara; memulihkan dan melestarikan sumberdaya plasma nutfah; membuka peluang kesempatan
berusaha dan
kesejahteraan masyarakat; membuka peluang untuk pengembangan ekowisata; memulihkan citra negara, bangsa, pemerintah, dan masyarakat di mata dunia (WALHI 2004). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki beberapa prinsip, di antaranya: (a) meminimumkan kegagalan kebijakan (policy failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (government failure) dan kegagagalan pasar (market failure). Arahnya adalah mewujudkan good policy, good implementation, good performance; (b) RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; (c) RHL menggunakan DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; (d) adanya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; (e) memanfaatkan potensi masyarakat lokal (f) tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran rehabilitasi; (g) perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan/ kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; (h) kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat; dan (i) adanya penguatan kelembagaan (Timpakul 2004). Upaya-upaya RHL yang telah dilakukan selama ini disajikan pada Tabel 1.
12
Tabel 1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) selama Periode (1951 – 2004) No 1
Tahun
Kegiatan
1951 – 1960 Penanaman karangkitri pada tanah-tanah pekarangan/tegalan melalui kegiatan Rencana Kesejahteraan Indonesia
2
1967-1970
Proyek Deptan 001 s/d 037 (penghijauan sektoral belum berbasis DAS)
3
1970-1976
Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP/world food program ( hasil kurang memadai)
4
1973-1979
Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development /TA. INS/72/006 di Solo bantuan FAO/UNDP, mulai dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)
5
1981-1989
Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/ model farm.
6
1976/1977– 1996/1997
INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek2 di daerah (P3RPDAS), reboisasi dilaksanakan pemda propinsi dan penghijauan oleh pemda kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah – sedang
7
1990/1991– 1997/1998
Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhasilan: 57% realisasi pengembalian kredit)
8
2000 – 2004 RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Dephut (keberhasilan : rendah/bermasalah)
9
2000–2004
RHL DR (60 %) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan : rendah-cukup)
10
2003–2007
GN-RHL di DAS-DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPT nya, penyediaan bibit oleh BP DAS, penanaman/ konservasi tanah oleh Pem. Kab/Kota dan BKSDA/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat
Sumber : DEPHUT 2006
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah merehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ± 469.256 ha, dan penghijauan, termasuk hutan rakyat seluas ± 1.785.149 ha. Selain itu, di tahun
13
tahun 2003 pemerintah melului Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) telah mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas 3 juta ha, dengan sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Selain itu direncanakan pula pembangunan hutan tanaman seluas 5 juta ha dan hutan rakyat seluas 2 juta ha. Gerakan tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002, dengan tema: ”Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan”, sebagai komitment bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat (WALHI 2004). Lingkup kegiatan GN-RHL terdiri atas: (a) Kegiatan pencegahan perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan (b) Kegiatan penanaman hutan dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi, dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan teras (terasering), sumur resapan (grass barrier), dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat 2003). GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien. Tugas Kementerian/ Departemen/Non-Departemen/Lembaga
dilaksanakan
dalam
rangka
mensukseskan penyelenggaraan GN-RHL (Hidayat 2003). Secara garis besar peran masing-masing stakeholder adalah sebagai berikut : (a) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang perekonomian, dan Kementerian Bidang Politik dan Keamanan bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan GN-RHL.
14
(b) Departemen Kehutanan bertugas menyiapkan perencanaan dan pembibitan, pembinaan teknis dalam penanaman dan pemeliharaan, serta sebagai koordinator dalam pelaksanaan GN-RHL. (c) Departemen Keuangan bertugas menyiapkan anggaran dan pendanaan bagi pelaksanaan GN-RHL. (d) Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah bertugas memilih prioritas DAS yang kritis untuk ditangani dan menyiapkan peta DAS bagi dasar perencanaan. (e) Departemen
Pertanian
bertugas
pembinaan
pemeliharaan
tanaman
pertanian/perkebunan yang ditanam dalam kegiatan GN-RHL. (f) Departemen Dalam Negeri bertugas menggerakkan jajaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan penanaman bibit dan pemeliharaan tanaman, serta melaksanakan sosialisasi. (g) Departemen Pendidikan Nasional bertugas mengerahkan siswa/mahasiswa untuk terlibat aktif dalam upaya GN-RHL, dan meningkatkan kepedulian siswa/mahasiswa terhadap kelestarian lingkungan. (h) Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia bertugas melaksanakan penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan. (i) Kementerian Lingkungan Hidup bertugas melakukan pemantauan pelaksanaan perkembangan perbaikan lingkungan serta sebagai koordinator dalam pencegahan perusakan lingkungan. (j) Kementerian Riset dan Teknologi bertugas menyediakan informasi dan evaluasi tentang perbaikan kondisi lingkungan yang diperoleh dari citra satelit. (k) Tentara
Nasional
Indonesia
(TNI)
bertugas
menggerakkan
personil/anggotanya untuk melaksanakan upaya-upaya penanaman bersamasama masyarakat. (l) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) bertugas mengamankan pelaksanaan kegiatan GN-RHL.
15
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bentuk Partisipasi Partisipasi memiliki arti yang luas. Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi sebagai keikutsertaan masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo 1992). Demikian halnya Davis (1967) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental, pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab terhadap usaha bersangkutan. Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Sementara itu, Oakley (1991) lebih memandang partisipasi sebagai wujud perbaikan sistem atau sebagai suatu proses, yang dimaksudkan untuk memberi penguatan pada kemampuan masyarakat desa, agar mereka berinisiatif terlibat secara langsung dalam pembangunan. Sejalan dengan itu, Soetrisno (1995) mengemukakan bahwa defenisi partisipasi adalah kerjasama antar rakyat dan pemerintah
dalam
merencanakan,
melaksanakan,
melestarikan,
dan
mengembangkan hasil pembangunan. Dalam konteks ini diasumsikan bahwa rakyat mempunyai aspirasi dan nilai budaya, yang perlu diakomodasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan. Derajat Partisipasi Tjokroamidjojo (1991) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat meliputi tiga tahap, yakni (1) keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan
16
kebijaksanaan pembangunan, (2) keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan (3) keterlibatan dalam memetik hasil dalam pembangunan secara berkeadilan. Lebih jauh, Ndraha (1987) mengemukakan enam tahapan partisipasi, di antaranya: (a) partisipasi dalam menerima dan memberikan informasi; (2) partisipasi dalam memberikan tanggapan dan saran terhadap informasi yang diterima, baik yang bersifat “mengiyakan“ atau yang menerima dengan syarat; (3) partisipasi dalam perencanaan pembangunan;
(4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional
pembangunan; (5) partisipasi dalam menerima kembali hasil-hasil pembangunan dan (6) partisipasi dalam menilai pembangunan. Terkait
dengan
partisipasi
dalam
pengelolaan
dan
pemanfaatan
sumberdaya alam, Borrini-Feyerabend (2000) mengemukakan bahwa partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan, dan sumberdaya lainnya digerakkan dan dilaksanakan secara totalitas. Partisipasi berarti bahwa masyarakat lokal diberdayakan untuk menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola sumberdaya, membuat keputusan, dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Cernea 1985). Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994) telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi, konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan masyarakat (lihat Gambar 1).
Supporting
Acting together Degree of control
Substantial Participation
Deciding together Consultation
Information
Gambar 1. Tahapan dari Partisipasi (Wilcox 1994:9).
17
Menurut model Wilcox, tingkatan yang paling rendah dalam mengontrol sumber daya alam secara keseluruhan adalah tingkatan ”informasi”, di mana masyarakat diberitahu apa yang direncanakan dengan maksud untuk mendidik partisipan. Tingkatan selanjutnya dari partisipasi adalah ”konsultasi” yang berarti menawarkan beberapa opsi atau pilihan dan menerima masukan. Selanjutnya, ”keputusan bersama” berarti masyarakat didorong untuk memberikan beberapa ide, dan memutuskan bersama sebagai jalan terbaik ke depan. Tingkatan partisipasi yang lebih tinggi adalah ”bertindak secara bersama-sama”, untuk mencapai keputusan
yang terbaik di antara kepentingan yang beragam atau
berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah ketika masyarakat ”mendapatkan bantuan” berdasarkan apa yang mereka inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya. Secara lebih rinci, Nanang dan Devung (2004) mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya: Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka. Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu Ini disebut “partisipasi interaktif.” Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll. Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan.
18
Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar. Tingkat 1.
Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.
Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Peningkatan
partisipasi
merupakan salah satu upaya
untuk
memberdayakan dan mengembangkan kekuatan lokal. Partisipasi masyarakat dapat dipandang pula sebagai satu kekuatan penting dan menentukan keberhasilan proses pembangunan dan hal yang penting adalah pemberdayaan ataupun partisipasi masyarakat hendaknya berjalan dengan sukarela, tanpa paksaan (Mubyarto1994).
Keuntungan partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan hutan di antaranya: (a) sasaran-sasaran lokal, pengelolaan lokal dan keuntungan-keuntungan lokal.
Penduduk akan lebih antusias, tentang suatu
rencana seperti miliknya sendiri, dan mereka akan lebih berkeinginan berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengawasannya; (b) mereka akan lebih sadar akan permasalahan dan peluang-peluang penggunaan dan pengelolaan sumberdaya hutan; (c) rencana dapat memberikan perhatian yang dekat pada desakan-desakan lokal, meskipun ini dikaitkan dengan sumberdaya alam dan masalah-masalah sosial-ekonomi dan budaya; dan (d) informasi yang lebih baik akan memberi sumbangan pada tingkat perencanaan yang lebih tinggi (Pujo1998). Ada dua sumber yang menyebabkan munculnya partisipasi, yaitu: partisipasi yang muncul dari dalam diri manusia itu sendiri dan partisipasi karena dorongan dari luar. Kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi. Partisipasi dari luar dapat berupa paksaan atau rangsangan dari luar. Masyarakat dengan kesadaran sendiri melaksanakan pembangunan (Koentjaraningrat 1980). Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan
19
sering dijumpai berbagai hambatan, di antaranya; pertama, belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksanan pembangunan. Di lingkungan aparat perencana dan pelaksanaan pembangunan, partisipasi merupakan kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak kegiatan-kegiatan pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Hambatan kedua yang ditemukan di
lapangan adalah lemahnya kemauan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya peraturan/ perundang-undangan, yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi (Soetrisno 1995). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan partisipasi. Lapisan penduduk yang berstatus sosial lebih tinggi biasanya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelasa sosial menegah lebih banyak terlibat dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelasa sosial yang lebih rendah lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan. Sallatang
(1986), menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang
menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan atau pelaksanaan proyek, di antaranya: (1) Proyek-proyek yang dilaksanakan sebelumnya tidak dibicarakan secara tuntas dengan masyarakat. Masyarakat merasakan sekedar diminta dan diharapkan menerima dan melaksanakan saja. Sehingga, proyek-proyek yang dilaksanakan tidak atau kurang merupakan hasil kesepakatan (commitment) di antara para pelaku.
Karenanya, masyarakat kurang memiliki rasa
tanggung jawab. (2) Tidak atau kurang diikutsertakannya masyarakat berpartisipasi dalam tahap perencanaan sebagai tahap pertama dalam menyelenggarakan suatu proyek, yang justru dalam penilaiannya merupakan suatu rangkaian kegiatan penting dirasakan oleh masyarakat. Demikian, masyarakat kurang ikut serta dalam proyek atau sedikitnya mereka merasa tidak diperhatikan. (3) Di antara proyek-proyek yang dilaksanakan, banyak yang dirasakan oleh masyarakat tidak atau kurang menyentuh kebutuhan terasa (felt need) nya.
20
(4) Para warga masyarakat sukar mengambil atau memainkan peranan dalam berbagai kegiatan proyek, karena mereka tidak atau kurang mengetahui aturan-aturan teknis operasional dan prosedurnya. (5) Pengorbanan yang dilepaskan ataupun keuntungan yang diperoleh berkenaan dengan pelaksanaan proyek-proyek, acapkali kurang berimbang dan kurang memenuhi rasa keadilan khususnya di kalangan mereka yang terkena langsung oleh proyek-proyek yang bersangkutan. Hal tersebut sejalan dengan Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa setiap individu dapat mengalihkan partisipasinya dari suatu sistem ke sistem yang lain karena: (1) tingkat keuntungan (imbalan) yang diperoleh tidak ada atau rendah, (2) tidak adanya kesesuaian terhadap nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan dalam lingkungan kehidupan seseorang dan kelompok yang lebih mengandung harapan dan keuntungan lebih besar. Partisipasi muncul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu yang disebut faktor intrinsik dan faktor dari luar diri disebut faktor lingkungan. Faktor intrinsik meliputi; umur, ukuran keluarga, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan (dari dalam dan luar kegiatan), luas lahan milik, kekosmopolitan, pendapatan rumah tangga, dan kepahaman kontrak. Sedangkan untuk faktor lingkungan meliputi; aksesibilitas lahan andil, peran pembinaan teknis, peran penyuluh, peran kelembagaan formal, peran kelembagaan informal, peran petugas lapangan dan luas lahan andil. Slamet (1980) menyatakan bahwa dalam usaha menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi dipengaruhi beberapa hal yaitu: (1) adanya kesempatan untuk ikut dalam kegiatan, (2) ada kemauan untuk berpartisipasi dan (3) ada kemauan untuk memanfaatkan kesempatan. Iqbal (1988) dalam Sunartana (2003) menambahkan bahwa faktor-faktor yang termasuk dalam kesempatan yaitu peluang petani untuk menjadi peserta kegiatan, status keanggotaan, sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kemampuan yaitu pendidikan formal dan non formal, pengalaman petani dalam berusaha tani, usia petani, dan luas lahan. Sementara untuk faktor yang termasuk dalam kemauan yaitu motivasi petani dan jarak tempat tinggal petani dengan lokasi kegiatan.
21
Tingkat partisipasi masyarakat juga
dipengaruhi oleh dua faktor; yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu, meliputi; umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, pendapatan, motivasi, persepsi, jumlah tenagah kerja, status petani, dan kekosmopolitan. Sementara itu, faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik individu meliputi; ketersediaan saprodi, intensitas penyuluhan, dukungan pemerintah, dukungan lingkungan fisik, dukungan kelembagaan sosial, daya tarik kerjasama, kepadatan penduduk, dan jarak lahan garapan (Trison 2005). Demikian halnya Sunartana (2003) yang menjelaskan bahwa faktor internal meliputi: umur, tingkat pendidikan, status sosial, kekosmopolitan, pengalaman berorganisasi, pendapatan rumah tangga, motivasi, luas lahan garapan, dan persepsi. Untuk faktor eksternal meliputi; peran pendamping, peran pemerintah, kejelasan hak dan kewajiban, dan aspek sosial budaya masyarakat. Analisis SWOT Rangkuti (2005) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi suatu rencana kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknes) dan ancaman (Threats), sehingga proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001) kekuatan (Strengths) adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan (Weakness) merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang (Opportunities) merupakan situasi yang menguntungkan perusahaan, berbagai kecenderungan adalah salah satu peluang seperti peraturan-peraturan, dan perubahan teknologi. Sedangkan ancaman (Threaths) adalah situasi yang tidak menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan teknologi dan peraturan baru atau perubahan yang direvisi. Analisis Swot
22
didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimumkan kelemahan dan ancaman kemudian dilakukan pembandingan antar unsur-unsur SWOT maka perlu diketahui nilai masing-masing unsur SWOT tersebut. Diagram SWOT merupakan perpaduan antar perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Penempatan selisih nilai S (kekuatan) – W (kelemahan) pada sumbu (x) dan penempatan selisih nilai antara O (peluang) – T (ancaman) pada sumbu (y) maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan menentukan arah strategi yang akan digunakan dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL).
BERBAGAI PELUANG 1. Mendukung strategi turnaround
3. Mendukung strategi agresif
KELEMAHAN INTERNAL
KEKUATAN INTERNAL 2. Mendukung strategi defensif
4. Mendukung strategi diversivikasi
BERBAGAI ANCAMAN Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2005)
Pada sel 1 (support an agresive strategy) merupakan situasi yang paling menguntungkan. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL memiliki peluang dan kekuatan. Jika rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL pada sel 2 (support a diversification strategy), meskipun menghadapi berbagai macam ancaman, namun masih memiliki kekuatan. Apabila rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam
23
kegiatan GN-RHL berada pada sel 3 (support a turnaround oriented strategy) berarti rencana tersebut mempunyai peluang tetapi dihambat oleh adanya kelemahan-kelemahan internal. Sedangkan jika rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL berada pada sel 4 (support a difensive strategy) berati rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap sel pada diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda suatu unit usaha, sehingga diperlukan strategi yang berbeda dalam penanganannya. Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2005) mengemukakan bahwa alat yang dapat dipakai untuk menyusun faktor-faktor perusahaan adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Keunggulan matrik SWOT adalah dapat mempermudah dalam memformulasikan strategi berdasarkan gabungan antara faktor internal dan eksternal.
24
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003, dalam penerapannya dijumpai berbagai kendala dan hambatan. Kehadiran kegiatan tersebut cenderung “bernuansa proyek” semata, lebih bersifat sentralistik, dan tidak partisipatif. Masyarakat hanya dijadikan obyek pelaksana teknis di lapangan, sehingga cukup beralasan bila dijumpai beberapa kasus penerapan kegiatan GN-RHL yang cenderung “gagal”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah hingga saat ini masih belum memahami ”makna sebenarnya” dari konsep partisipasi (la. Soetrisno 1995; Setyarso 2004). Pemahaman partisipasi yang berlaku di lingkungan aparat perencana adalah "kemauan masyarakat untuk mendukung secara mutlak kegiatan-kegiatan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah”. Kegiatan GN-RHL diistilahkan sebagai proyek pembangunan kehutanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga “harus dilaksanakan”. Kondisi tersebut menyebabkan respon dan partisipasi masyarakat bersifat semu terhadap kegiatan . Prasyarat agar suatu partisipasi dapat disebut sebagai “partisipasi yang sesungguhnya” sedikitnya memiliki enam tolak ukur (Ostrom et a.l 1993), di antaranya: (a) adanya akses dan kontrol (penguasaan) atas lahan dan sumberdaya hutan oleh warga, (b) adanya keseimbangan kesempatan dalam menikmati hasilhasil dari hutan, (c) adanya komunikasi (tukar wacana) yang baik dan hubungan yang konstruktif (saling menopang) antar pihak yang berkepentingan terhadap hutan, (d) adanya keputusan kampung yang dibuat oleh warga kampung tanpa tekanan dari luar (masyarakat tidak didikte saja oleh pihak luar), dan prakarsaprakarsa dilakukan sendiri oleh warga kampung tanpa tekanan pihak manapun, (e) adanya pengaturan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan kepentingan yang berkaitan dengan sumberdaya hutan, dengan cara yang mengarah pada penghindaran terjadinya perselisihan dan pengadaan penyelesaian perselisihan secara adil, dan (f) adanya kemampuan teknis warga kampung dalam mengelola hutan.
25
Dari uraian tersebut nampak bahwa tinggi-rendahnya partisipasi masyarakat ditentukan pula oleh seberapa jauh kegiatan tersebut mampu melembaga dan memenuhi kebutuhan masyarakat, serta memberikan jaminan atas kepastian hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian, partisipasi masyarakat harus dipandang sebagai bentuk ”kerjasama” antara pemerintah dan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan. Kajian terkini tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terkait
pengelolaan sumberdaya hutan, mengklasifikasikannya ke
dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal di antaranya: umur, tingkat pendidikan formal dan informal, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, pendapatan dari dan di luar kegiatan, pengalaman berorganisasi, pekerjaan sampingan, status sosial petani, kepahaman kontrak, kekosmopolitan, peranan kelembagaan informal, persepsi, dan motivasi. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas: peran
pemerintah, peran pendamping lapangan, kejelasan hak dan
kewajiban, serta aspek sosial budaya masyarakat (Pujo 2003; Sunartana 2003; Trison 2005). Lebih jauh, Slamet (1989) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempegaruhi tahapan partisipasi, di antaranya adalah status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan). Lapisan sosial penduduk yang berstatus lebih tinggi umumnya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah lebih banyak dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih rendah biasanya terlibat pada proses pemanfaatan. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menggunakan konsepsi pemikiran dan temuan di atas sebagai landasan analisis terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL di Propinsi Sulawesi Tengah. Faktor-faktor yang dianalisis terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan
yang
dikuasai,
tingkat
pendapatan,
pekerjaan
sampingan,
kekosmopolitan, persepsi, dan motivasi yang dimiliki. Faktor eksternal meliputi; intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping lapangan, dan kejelasan hak dan kewajiban. Secara skematis disajikan pada Gambar 3.
26
Program GN-RHL
Tahap Pelaksanaan (Y2)
- Umur peserta (X1.1) - Tingkat pendidikan (X1.2) - Jumlah anggota keluarga (X1.3) - Luas lahan garapan (X1.4) - Tingkat pendapatan (X1.5) - Kekosmopolitan (X1.6) - Pekerjaan sampingan (X1.7) - Persepsi (X1.8) - Motivasi instrinsik (X1.9) - Motivasi Ekstrinsik (X1.10)
Tahap Evaluasi (Y3)
Tahap Pemanfaatan (Y4)
-
Partisipasi masyarakat
-
Intensitas sosialisasi program (X2.1) Peran pendamping lapangan (X2.2) Kejelasan hak dan kewajiban (X2.3)
Strategi Pengembangan Partisipasi masyarakat Peubah Internal
Peubah Eksternal
Unsur Kekuatan Unsur Kelemahan
Unsur Peluang Unsur Ancaman
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Faktor Eskternal
Faktor Internal
Tahap Perencanaan (Y1)
27
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur Kotamadya Palu dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan utama bahwa kedua lokasi tersebut merupakan eks-lokasi kegiatan pembuatan tanaman GN-RHL tahun 2004. Pertimbangan lainnya adalah kedua lokasi ini memiliki tipologi hutan dan sistem penerapan GN-RHL yang berbeda, sehingga baik untuk dibandingkan. Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan mulai dari Bulan Januari 2007 – Juni 2007.
Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, yang mendeskripsikan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nasir 1993). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara terbuka, penyebaran kuesioner, wawancara mendalam, dan diskusi pakar. Tenik-teknik tersebut digunakan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam menjelaskan hubungan di antara peubah-peubah yang telah ditetapkan sebelumnya, serta menyusun strategi pengembangan partisipasi masyarakat (Singarimbun dan Effendi 1995).
Metode Pengambilan Contoh Responden
yang terpilih adalah responden yang terlibat langsung
(peserta) dalam kegiatan GN-RHL. Pemilihan responden dilakukan dengan metode sensus. Untuk Lambara, responden yang diambil adalah sebanyak 45 orang, sedangkan untuk Layana sebanyak 50 orang. Mengacu pada pendapat Arikunto (1993) dalam Safei (2005), bahwa apabila subyeknya kurang dari 100 orang, sebaiknya diambil secara keseluruhan. Selain itu, ditetapkan pula 5 orang responden ahli, yang diambil dari perwakilan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan GN-RHL, baik yang berinteraksi langsung dengan GN-RHL maupun tidak, namun masih memiliki keterkaitan dengan kegiatan GN-RHL. Responden ahli terdiri atas: 1 orang dari
28
unsur perguruan tinggi, 2 orang dari dinas kehutanan propinsi dan kabupaten, 1 orang dari penyuluh lapangan, 1 orang dari lembaga swadaya masyarakat yang terlibat. Pengumpulan Data Data primer diperoleh secara langsung dari responden dengan teknik wawancara dan atau mengisi daftar isian (kuesioner) serta pengamatan langsung di lapangan. Data primer meliputi: identitas responden, jenis kegiatan, kelembagaan, dan manfaat kegiatan GN-RHL. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan kajian-kajian penelitian terdahulu melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada, dan dari berbagai instansi terkait (balai pengelolaan daerah aliran sungai, dinas lingkup pertanian dan kehutanan, badan perencana pembangunan daerah, kantor statistik daerah). Data sekunder meliputi keadaan geografis, demografi, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Variabel Pengamatan Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Karakteristik individu (faktor internal) meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah
anggota
keluarga,
luas
lahan
garapan,
tingkat
pendapatan,
kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, dan motivasi. 2. Faktor eksternal meliputi: intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping kelembagaan dan kejelasan hak dan kewajiban. 3. Tingkat partisipasi masyarakat (keterlibatan peserta dalam kegiatan GN-RHL mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi dan tahap pemanfaatan) Metode Analisis Data a. Pengolahan Data Sebelum dianalisis, data terlebih dahulu diedit. Khusus data yang bersifat kuantitatif, proses pengeditan terdiri atas: (a) penghitungan total skor tiap-tiap variabel dan (b) pengelompokan data sesuai dengan variabel masing-masing. Sementara itu, data kualitatif diproses melalui tiga tahap, yaitu (a) tahap
29
interpretasi dan penjelasan hasil catatan lapangan serta kategorisasi data, (b) mendeskripsikan kategori-kategori data, dan (c) mengelompokkan data. b. Analisis Data Analisis data penelitian digunakan untuk menjawab tujuan dan menguji hipotesis yang telah diajukan. Adapun metode analisis yang digunakan sebagai berikut: 1. Untuk menjawab tujuan pertama, yakni mengkaji tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL dijelaskan secara deskriptif-kuantitatif. Analisis ini digunakan untuk menghitung jumlah dan persentase dari data-data yang dikumpulkan, melalui cara tabulasi yang selanjutnya disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. 2. Untuk menjawab tujuan yang kedua, yakni mengkaji hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL, dijelaskan secara deskriptif-kualitatif dengan menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji korelasi Spearman Rank, dengan rumus : (Walpole 1992; Sugiyono 2000).
ρ =1−
6∑ bi 2 n(n 2 − 1)
di mana:
ρ bi n
= Koefisien korelasi Spearman Rank = Selisih peringkat X dan Y = Banyaknya sampel
Untuk kemudahan dan ketepatan pengolahan digunakan bantuan komputer dengan program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi 14. 3. Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu menyusun strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL , digunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat).
Analisis ini
dilakukan
dengan melihat kekuatan, peluang, kelemahan dan ancaman. Faktor-faktor tersebut diperoleh dari berbagai informasi, literatur, wawancara pakar dan pihak terkait, sehingga didapatkan sejumlah faktor yang dapat kembali
30
diajukan sebagai bahan pertanyaan dalam kuisioner, peubah-peubah yang menjadi faktor internal
sehingga didapatkan
dan eksternal yang dapat
mempengaruhi pengembangan partisipasi masyarakat. Analisis dilakukan ke dalam tiga tahapan pokok, yaitu: (1) Tahapan identifikasi. Pada tahap ini, terlebih dahulu dibuat Internal Factors Evaluations Matrix (Matriks IFE) dan External Factors Evaluation Matrix (Matriks EFE). Matriks IFE (Tabel 2) digunakan untuk menganalisis peubah-peubah internal dan mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan. Demikian halnya dengan matriks EFE (Tabel 3) digunakan untuk menganalisis peubah-peubah eksternal, dan mengklasifikasikannya menjadi peluang dan ancaman. Tabel 2 Matriks Internal Factor Evaluation Strategi Internal (1) Kekuatan
Bobot (2)
Rating (3)
Skor = Bobot x Rating (4)
........
........
........
........
10.
........
........
........
Kelemahan 1.
........
........
........
........
........
........
........
10.
........
........
........
1.
Total Sumber: Rangkuti (2000).
31
Tabel 3 Matriks Eksternal Factor Evaluation Peubah Strategi Eksternal (1)
Bobot (2)
Rating (3)
Skor = Bobot x Rating (4)
Peluang 1.
........
........
........
........
........
........
........
10. Ancaman
........
........
........
1.
........
........
........
........
........
........
........
10.
........
........
........
Total Sumber: Rangkuti (2000).
Terdapat 6 tahapan untuk membuat matrik IFE dan EFE, yaitu: (a) Pada kolom pertama (1) ditentukan faktor-faktor strategis internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). (b) Pada kolom kedua (2) pemberian bobot masing-masing peubah dengan skala mulai dari 1 (paling penting) sampai 0 (tidak penting) berdasarkan pengaruh peubah-peubah tersebut. Metode tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap peubah strategis internal dan eksternal dengan cara membandingkan variabel horisontal terhadap variabel vertikal. Penentuan bobot untuk setiap variabel dilakukan dengan memberikan nilai 1, 2, 3; di mana nilai 1 = jika indikator horisontal kurang penting daripada indikator vertikal, nilai 2 = jika indikator horisontal sama pentingnya dengan indikator vertikal, nilai 3 = jika indikator horisontal lebih penting daripada indikator vertikal. (c) Pada kolom ke tiga (3) pemberian rating mulai dari nilai 1 – 4 untuk masing-masing peubah dengan pengaruh kecil-sedang-besar-sangat besar. (d) Pada kolom ke empat (4), bobot pada kolom kedua (2) dikalikan dengan rating pada kolom ketiga (3). Kemudian hasil kali tersebut dijumlahkan bobot skor pada kolom ke empat untuk memperoleh total skor pembobotan.
32
(2) Tahapan pemaduan. Tahapan ini berfungsi untuk memadukan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Alat analisis yang digunakan adalah diagram SWOT atau diagram internal-eksternal. (3) Tahapan perumusan strategi pengembangan partisipasi masyarakat. Tahapan ini digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman seperti disajikan pada matriks SWOT (Tabel 4)
Tabel 4 Matrik analisis SWOT Faktor Internal
Kekuatan
Kelemahan
Faktor Eksternal Peluang
Strategi kekuatan-peluang
Strategi kelemahanpeluang
Ancaman
Strategi kekuatan-ancaman
Strategi kelemahanancaman
Penjelasan: a. Strategi kekuatan – peluang,
strategi ini didasarkan pada pemanfaatan
seluruh kekuatan dari pengembangan partisipasi masyarakat pada kegiatan GN-RHL yang telah dilakukan untuk memanfaatkan peluang sebesarbesarnya. b. Strategi kekuatan – ancaman, strategi ini didasarkan pada pemamfaatan seluruh kekuatan dari pengembangan partisipasi masyarakat yang telah dilakukan untuk mengatasi ancaman yang ada. c. Strategi kelemahan – peluang, strategi ini didasarkan pada pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan. d. Strategi kelemahan – ancaman, strategi ini didasarkan pada meminimalkan kelemahan
yang ada dalam pengembangan partisipasi masyarakat pada
kegiatan GN-RHL serta menghindari ancaman.
33
Definisi Operasional 1. Umur
adalah usia responden yang dihitung dari tahun lahir sampai saat
penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun, di mana pembulatan ke atas bila usia responden 5 bulan keatas dan pembulatan ke bawah bila usia responden kurang dari 5 bulan. Umur responden diukur dalam tahun dan terdiri atas tiga kategori, meliputi : rendah (< 40); sedang (40-55); dan tinggi (>55) 2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh responden yang dinyatakan dengan tidak sekolah dan tidak tamat SD, tamat SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pendidikan diukur berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh dan terbagi atas tiga kategori, meliputi; rendah (<3); sedang (3); dan tinggi (>3). 3. Jumlah anggota keluarga
adalah jumlah keseluruhan
anggota keluarga
meliputi suami, istri, anak dan keluarga lain yang menjadi tanggungan keluarga. Jumlah anggota keluarga diukur berdasarkan jumlah orang yang terbagi kedalam dikategorikan, meliputi; rendah (<3 orang); sedang (3-4 orang); dan tinggi (>4 orang) 4. Luas lahan garapan adalah keseluruhan luas lahan yang di garap oleh responden, diukur dalam hektar (ha) dan terdiri atas tiga kategori yaitu: kecil (<1 ha); sedang (1-2.5 ha); dan tinggi (>2.5 ha). 5. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang diperoleh dari berbagai sumber dan diukur dalam Rp/bulan. Pendapatan responden terdiri atas tiga kategori, yaitu: rendah (
Rp750.000,-). 6. Kekosmopolitan adalah sifat responden yang selalu mencari informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan kegiatan GN-RHL, diukur berdasarkan frekuensi dalam kunjungan ke tempat lain, mengadakan kontak dan berdiskusi dengan sumber informasi (teman, tetangga, tokoh masyarakat, pendamping dan lembaga pemerintahan. Kekosmopolitan dikategorikan ke dalam tiga yaitu: rendah (<7); sedang (7-12); dan tinggi (>12).
34
7. Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang dilakukan responden di luar pekerjaan utamanya dalam satu tahun terakhir. Pekerjaan sampingan diukur berdasarkan berapa jumlah pekerjaan yang digeluti dan dikategorikan ke dalam: rendah (<2); sedang (2); dan tinggi (>2). 8. Persepsi adalah pandangan dan penilaian responden terhadap tujuan, manfaat
dan pelaksanaan kegiatan GN-RHL, diukur berdasarkan penilaian responden terhadap kegiatan GN-RHL yang terdiri atas tiga kategori, yaitu: rendah (<5); sedang (5-8); dan tinggi (>8) 9. Motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam untuk mewujudkan harapan
dengan adanya interaksi yang dilakukan. Motivasi instrinsik ini diukur berdasarkan
keinginan
untuk
memenuhi
kebutuhan
di
antaranya;
1) Peningkatan pendapatan, 2) Peningkatan pengetahuan, 3) Peningkatan status sosial, dan dikategorikan ke dalam; rendah (<4); sedang (4-6); dan tinggi (>6). 10. Motivasi ekstrinsik adalah dorongan dari luar untuk mewujudkan harapan dengan adanya interaksi yang dilakukan. Motivasi ekstrinsik, diukur berdasarkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan di antaranya; 1) Ajakan dari tokoh masyarakat, 2)Ajakan anggota keluarga, 3) Penghasilan dan bantuan yang menarik, 4) Ancaman kerusakan hutan dan dikategorikan ke dalam; rendah (<5); sedang (5-8); dan tinggi (>8). 11. Peran petugas lapangan adalah seseorang yang diberikan tugas khusus oleh Dinas Kehutanan Kota Palu terkait pelaksanaan kegiatan GN-RHL, meliputi: penerangan, bimbingan teknis yang
diberikan kepada peserta dalam
pelaksanaan kegiatan di lapangan pada satu tahun terakhir. Diukur berdasarkan frekuensi dalam menjalankan tugas dan dikategorikan ke dalam: rendah (<6); sedang (6-10); dan tinggi (>10). 12. Intensitas sosialisasi adalah jumlah kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh pelaksana
kegiatan
GN-RHL untuk
meningkatkan
pengetahuan dan
keterampilan peserta dalam pelaksanaan kegiatan, yang dilaksanakan oleh petugas Dinas Kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Di mana hal ini diukur berdasarkan frekuensi pertemuan, peyuluhan, dan pelatihan, dan dikategorikan ke dalam: rendah (<3); sedang (3-5); dan tinggi (>5).
35
13. Kejelasan hak dan kewajiban adalah kejelasan tentang aturan main pelaksanaan kegiatan GN-RHL, yang meliputi kejelasan hak dan kewajiban dalam kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat dan pemerintah dan pengetahuan responden tentang kejelasan batas-batas kewenangan masyarakat dan pemerintah dalam kegiatan ini. Hal diukur berdasarkan pengetahuan dan pemahaman responden tentang aturan main pelaksanaan kegiatan, dan dikategorikan ke dalam: rendah (<3); sedang (3-6); dan tinggi (>6). 14. Partisipasi adalah keterlibatan peserta kegiatan GN-RHL dalam setiap tahapan kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan). 15. Partisipasi
masyarakat
pada
tahap
perencanaan
adalah
keterlibatan
(keikutsertaan) peserta pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan yang rasional pada kegiatan GN-RHL. Hal ini diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. 16. Partisipasi
masyarakat
pada
tahap
pelaksanaan
adalah
keterlibatan
(keikutsertaan) peserta dalam tahap pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. 17. Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi adalah keterlibatan (keikutsertaan) peserta dalam tahap evaluasi kegiatan GN-RHL. diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. 18. Partisipasi
masyarakat
pada
tahap
pemanfaatan
adalah
keterlibatan
(keikutsertaan) peserta pada tahap pemanfaatan hasil kegiatan GN-RHL. diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. 19. Strategi pengembangan partisipasi masyarakat adalah suatu rencana alternatif yang cermat dan sistematik, terkait dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan serta memanfaatkan peluang yang ada dengan mengatasi ancaman yang datang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Biofisik Letak dan Luas Kelurahan Layana memiliki luas ± 1.779 ha, dan
merupakan bagian dari
Kecamatan Palu Timur, dan berjarak tempuh 6 km dari Ibukota Kecamatan. Wilayah sebelah Utara Layana berbatasan dengan Kelurahan Mamboro, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tondo, sebelah Barat Laut Sulawesi, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong. Sementara itu, Kelurahan Lambara memiliki luas ± 1.637,92 ha, dan merupakan bagian dari Kecamatan Palu Utara, berjarak tempuh 10 Km dari Ibukota Kecamatan. Di sebelah Utara wilayahnya berbatasan dengan Kelurahan Baiya, sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Kayu Malue, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi, dan sebelah Timur Kelurahan Nupa Bomba (BPS 2005). Eksistensi Kegiatan GN-RHL Pencanangan kegiatan GN-RHL di Sulawesi Tengah, khususnya di kedua lokasi penelitian dilakukan pada tahun 2004. Namun, pelaksanaan kegiatan baru terealisasi pada Oktober 2005. Untuk Layana, kegiatan ini dilaksanakan pada Hutan Rakyat (HR) yang berada di Dusun Layana dan Wintu. Sedangkan di Lambara dilaksanakan pada Hutan Produksi Terbatas (HPT), yang berbatsan dengan Dusun Lulu. Luas areal di kedua lokasi penelitian masing-masing seluas 50 ha. Jenis tanaman untuk kegiatan ini di Layana terdiri atas: Jati (Tectona grandis. L) dan kemiri (Aleurites moluccana. L. Wild). Sedangkan jenis tanaman di Lambara terdiri atas: Jati (Tectona grandis. L), Nyatoh (Palaquium spp) dan kemiri (Aleurites moluccana. L. Wild). Untuk lebih jelasnya peta lokasi kegiatan penanaman GN-RHL Kelurahan Layana dan Lambara disajikan pada Lampiran 2 dan 3.
Keadaan Iklim dan Topografi
Layana beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata pertahun 3,22 mm dan suhu udara rata-rata 27,2 oC. Demikian pula halnya dengan Lambara yang beriklim tropis, dengan curah hujan rata pertahun 3,22 mm dan suhu udara rata-rata 24,12 oC. Layana berada pada ketinggian 2,5 m di atas permukaan laut, dengan topografi yang beragam; dataran 50%, perbukitan 45%, dan pegunungan 5%. Berbeda dengan Layana, Lambara berada pada ketinggian 25 m di atas permukaan laut, dan hampir seluruh wilayahnya bertopografi datar (Kantor BPS 2005). Penggunaan Lahan Dari total luas lahan Layana (± 1.779 ha), 814 ha (45,76%) merupakan tanah yang belum diolah,
seluas 550 ha (30,92%) merupakan hutan, 170 ha (9,56%)
merupakan perkebunan,
80 ha (4,50%) merupakan bangunan, dan yang
diperuntukkan untuk lainnya seluas 115 (^,46%). Sementara itu, untuk Lambara, dari total luas lahan sekitar 1.637,92 ha, penggunaan lahan terbesar adalah sawah seluas 105 ha (6,41%) dan perkebunan seluas 67 ha (4,09%). Informasi untuk penggunaan lahan selebihnya tidak tersedia, baik dari data monografi Kelurahan Lambara maupun dari data yang tersedia di Kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Struktur penggunaan lahan di lokasi penelitian No 1 2 3 4 5 6 7
Penggunaan Lahan Bangunan Sawah Perkebunan Hutan Hutan Rakyat Tanah yang belum Diolah Lainnya
Lokasi (Kelurahan) Layana Lambara Luas (Ha) % Luas (Ha) % 80 4,50 0 0 105 6,41 170 9,56 67 4,09 550 30,92 50 2,81 814 45,76 115 6,46 -
Jumlah
1.779
100
Sumber : Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007
Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah Penduduk dan Golongan Usia
-
-
Jumlah penduduk Kelurahan Layana yang tercatat hingga tahun 2007 adalah sebanyak 3.017 orang, terdiri atas laki-laki sebanyak 1.561 orang dan perempuan sebanyak 1.456 orang, yang tersebar ke dalam 768 KK.
Sementara itu, jumlah
penduduk Kelurahan Lambara sampai dengan tahun 2007 adalah sebanyak 2.311 orang, terdiri atas laki-laki 1.211 orang dan perempuan 1.100 orang, dan tersebar ke dalam 578 KK (Data Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007). Sementara itu, jumlah penduduk menurut golongan usia di Layana dan Lambara dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu usia kurang dari 15 tahun (anak-anak atau belum produktif), Usia 15 – 55 tahun (produktif), dan usia di atas 55 tahun (Tidak produktif). Struktur penduduk berdasarkan golongan usia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi penduduk menurut golongan usia No
Golongan Usia
Layana Jumlah (Orang)
Lokasi (Kelurahan) Lambara %
Jumlah (Orang)
%
1
<15 Tahun
1.002
33,21
741
32,06
2
15 -55 Tahun
1.887
62,55
1.462
63,26
3
>56 Tahun
128
4,24
108
4,67
3.017
100.00
2.311
100,00
Jumlah
Sumber: Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Layana dan Lambara didominasi oleh usia produktif, dengan persentase usia produktif untuk Kelurahan Layana sebesar 62,55% dan Kelurahan Lambara sebesar 63,26% Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan di Kelurahan Layana masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Lambara. Di Layana, sebagian besar penduduknya (41,76%) hanya mampu menamatkan pendidikan sekolah dasar, dan hanya 25,34% yang berhasil tamat SLTA. Sementara itu di Lambara tergolong sedang, di mana sebagian besar penduduknya mampu menamatkan hingga jenjang SLTA. Tingkat pendidikan yang ditempuh penduduk di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Distribusi Penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No
1 2 3 4 5 6
Lokasi (Kelurahan)
Tingkat Pendidikan
Layana
Buta Huruf Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Diploma/PT Jumlah
Lambara
Jumlah (Orang) 31 58 834 498 506 70
% 1,55 2,90 41,76 24,94 25,34 3,51
Jumlah (Orang) 65 104 217 265 460 12
% 5,79 9,26 19,32 23,60 40,96 1,07
1.997
100.00
1.123
100,00
Sumber : Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007
Mata Pencaharian Pada umumnya penduduk di dua lokasi penelitian memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Di Layana, penduduk yang berprofesi petani sebanyak 300 orang (59,06%). Sementara itu di Lambara sebanyak 573 orang (50,18%). Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian di dua lokasi penelitian No
1 2 3 4 5 6 7
Mata Pencaharian
PNS/TNI/POLRI Pegawai Swasta Wiraswasta/Pedagang Tani Nelayan Jasa Lain-lain Jumlah
Lokasi (Kelurahan) Layana Lambara Jumlah Jumlah (Orang) % (Orang) % 20 3,94 76 6,65 95 18,70 52 4,55 75 14,76 172 15,06 300 59,06 573 50,18 10 1,97 2 0,18 3 0,59 8 0,70 5 0,98 259 22,68 508
100,00
1.142
100,00
Sumber : Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Faktor Internal dan Eksternal Responden Karakteristik internal dan eksternal responden merupakan faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan GN-RHL di
Sulawesi Tengah, khususnya di Layana dan Lambara. Karakteristik internal dimaksud terdiri atas: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, tingkat pendapatan, kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, dan motivasi. Sementara itu, karakteristik eksternal terdiri atas: intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping lapangan, serta kejelasan hak dan kewajiban. Karaktersitik Internal Responden a. Umur Umur merupakan salah satu variabel yang sering digunakan untuk menganalisis berapa besarnya tenaga kerja (manpower), angkatan kerja (labor force) serta proporsi dari penduduk berusia dewasa yang terlibat dalam kegiatan ekonomis secara aktif di suatu tempat. Tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja. Dalam literatur biasanya adalah seluruh penduduk
berusia 15-64 tahun.
Sementara itu, besarnya angkatan kerja tergantung pada tingkat partisipasi angkatan kerja (labor force participation rate), yaitu berapa persen dari tenaga kerja yang menjadi angkatan kerja (Lembaga Demografi UI 2004).
Kategori responden
berdasarkan umur disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kategori responden berdasarkan umur di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Lokasi (Kelurahan) Layana
Umur (tahun) Rendah (<40) Sedang (40-55) Tinggi ( >55) Total
Lambara
Jumlah 13 31 6
% 26,00 62,00 12,00
Jumlah 32 8 2
% 76,19 19,05 4,76
50
100,00
42
100,00
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Layana dan Lambara masuk dalam kategori umur produktif / usia tenaga kerja (15-64 tahun), dengan persentase masing-masing sebesar 44 jiwa (88,00%) dan 40 jiwa (95,24%). Di mana, kisaran umur responden di Kelurahan Layana adalah 27-80 tahun, dengan rata-rata umur sekitar 46,66 tahun . Sedangkan di Kelurahan Lambara adalah 19-70 tahun, dengan rata-rata sekitar 33,40 tahun. Namun demikian, bila dibandingkan dengan
total jumlah tenaga kerja, khususnya di sektor pertanian pada masing-masing lokasi, maka jumlah angkatan kerja yang terserap pada kegiatan GN-RHL masing-masing sebesar 14,67% dan 6,98%. b. Tingkat Pendidikan Dalam kajian-kajian sosial kemasyarakatan, diketahui bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu dari tiga komponen sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan), yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang pada setiap tahapan kegiatan. Mereka yang berpendidikan tinggi lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Sebaliknya, bagi mereka yang berpendidikan rendah lebih banyak terlibat pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan (Slamet 1989). Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat pendidikan yang tergolong rendah meliputi: tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD. Untuk kategori sedang meliputi: tamat SLTP atau sederajat, sedangkan untuk kategori tinggi meliputi; Tamat SLTA, diploma, dan perguruan tinggi. Untuk lebih jelasnya disajikan pada
Tabel 10.
Tabel 10 Kategori karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Kategori Tingkat Pendidikan Rendah (<3) Sedang (3) Tinggi (>3) Total
Lokasi (Kelurahan) Layana Jumlah 38 12 0 50
% 76,00 24,00 0,00 100,00
Lambara Jumlah 29 12 1 42
% 69,05 28,57 2,38
100,00
Tabel 10 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden di kedua lokasi tergolong rendah, masing masing sebesar 76% untuk Layana dan 69,05% untuk Lambara. Kisaran untuk Lambara lebih tinggi dari Layana, di mana untuk Layana berada pada kisaran 1 – 3 (jenjang SD sampai SMP), dengan rata-rata tingkat pendidikan yang ditempuh adalah tamat SD. Sedangkan untuk Lambara pada kisaran 1 – 4 (jenjang SD – SMA), dengan rata-rata pendidikan yang ditempuh responden adalah tamat SD. c. Jumlah anggota keluarga
Pengelolaan lahan oleh suatu rumah tangga merupakan bagian dari keseluruhan pengelolaan sumberdaya keluarga atau rumahtangga. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam keluarga, yang secara langsung berpengaruh terhadap pilihannya berpartisipasi dalam suatu kegiatan pengelolaan lahan. Pada kasus pedesaan di Jawa, diketahui bahwa rumah tangga yang kekurangan tenaga kerja, utamanya pada musim-musim tertentu cenderung membudidayakan lahannya dengan tanaman pohon-pohon karena budidaya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang lebih tinggi (Van Der Poel dan Van Dijk 1987 diacu dalam Suharjito et al. 2003). Jumlah anggota keluarga responden secara rinci disajikan pada Tabel 11. Tabel 11
Kategori karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Lokasi (Kelurahan)
Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Rendah (<3) Sedang (3-4) Tinggi (>4) Total
Layana Jumlah 3 23 24 50
Lambara % 6,00 46,00 48,00 100,00
Jumlah 11 23 8 42
% 26,19 54,76 19,05 100,00
Jumlah anggota keluarga responden yang masuk kategori sedang dan tinggi cukup berimbang di Layana, masing-masing sebesar 46% dan 48%. Sementara itu, di Lambara didominasi oleh kategori sedang (54,76%), dengan kisaran jumlah anggota keluarga masing-masing adalah 2 - 10 orang (rata-rata 4,48 orang) untuk Layana dan 1 – 8 orang ( rata-rata 3,5 orang) untuk Lambara. d. Luas lahan garapan Luas lahan garapan yang dimiliki berpengaruh terhadap pilihan sikap seseorang dalam memutuskan untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk ditanami pohon-pohonan. Hal tersebut berlaku sebaliknya, pemilikan lahan yang sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman
perdagangan daripada pohon-pohonan (Suharjito et al. 2003). Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12
Kategori karakteristik responden berdasarkan luas lahan Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara
Luas lahan Garapan (ha) Kecil (<1) Sedang (1-2.5) Luas (>2.5) Total
garapan
di
Lokasi (Kelurahan) Layana Jumlah 25 25 0 50
% 50,00 50,00 0,00 100,00
Lambara Jumlah % 9 21,43 33 78,57 0 0,00 42
100,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa lahan garapan yang dikuasai oleh tiap-tiap responden di kedua lokasi berbeda. Untuk Layana, kisaran luas lahan yang dikuasai oleh responden adalah sebesar 0,5 – 2,5 ha, dengan rata-rata seluas
1,02 ha.
Sedangkan di Lambara, kisaran luas lahan yang dikuasai responden sebesar
1–2
ha, dengan rata-rata seluas 0,96 ha. e. Tingkat pendapatan Tingkat pendapatan responden dikelompokan ke dalam tiga kategori yaitu: rendah
(< Rp500.000),
sedang
(Rp500.000,- - Rp750.000,-), dan tinggi
(> Rp750.000,-). Di Layana tingkat pendapatan responden pada umumnya rendah (58%). Selebihnya masuk dalam kategori sedang (38%) dan tinggi (4%). Demikian halnya di Lambara, di mana umumnya responden mempunyai tingkat pendapatan rendah (76,19%), selebihnya masuk dalam kategori
sedang (19,05%) dan tinggi
(4,76%). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Kategori karakteristik responden berdasarkan tingkat pendapatan di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Tingkat Pendapatan (* Rp1.000/bln) Rendah (<500) Sedang (500-750)
Lokasi (Kelurahan) Layana Lambara Jumlah % Jumlah % 29 58,00 32 76,19 19 38,00 8 19,05
Tinggi (>750) Total
2
4,00
2
4,76
50
100,00
42
100,00
Kisaran pendapatan di kedua lokasi penelitian berbeda, untuk Layana kisaran pendapatan responden antara Rp200.000,- – Rp1.000.000,-. Di Lambara kisaran pendapatan responden antara Rp150.000,- – Rp800.000,-. Sementara itu, rata-rata pendapatan responden di Layana lebih besar dari Lambara, masing – masing sebesar Rp499.000,- dan Rp381.000,-. f. Sifat kekosmopolitan Sifat kekosmopolitan merupakan keterbukaan dan kemauan seseorang untuk mencari atau menerima informasi dari luar, khususnya informasi-informasi yang berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan pada GN-RHL. Responden di kedua lokasi
penelitian mempunyai kategori sifat kekosmopolitan yang berbeda. di Layana, sebagian besar responden masuk dalam kategori rendah (58%).
Sebaliknya, di
Lambara sifat kekosmopolitan responden lebih baik, di mana pada umumnya masuk dalam kategori sedang (71,43%). Tingginya kekosmopolitan di Lambara lebih disebabkan adanya peran aktif dan
dukungan
tokoh-tokoh
masyarakat
setempat,
terutama
dalam
mengkomunikasikan berbagai informasi yang terkait dengan GN-RHL kepada para peserta. Kategori kekosmopolitan di dua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14
Kategori karakteristik responden berdasarkan sifat kekosmopolitan di Layana dan Lambara
Sifat Kekosmopolitan Rendah (<7) Sedang (7-12) Tinggi (>12) Total
Lokasi (Kelurahan) Layana Lambara Jumlah % Jumlah % 29 58,00 12 28,57 21 42,00 30 71,43 0 0,00 0 0,00 50
100,00
42
100,00
g. Pekerjaan sampingan Pekerjaan sampingan merupakan pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang dipunyai oleh responden di luar pekerjaan utamanya. Pekerjaan tersebut utamanya dilakukan untuk menambah pendapatan, guna pemenuhan kebutuhan hidup seharihari. Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan, diketahui bahwa pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh responden baik di Layana maupun Lambara tergolong rendah, hanya memiliki kisaran 0 - 1. Pekerjaan sampingan yang umumnya digeluti oleh responden di kedua lokasi tersebut adalah mencari rotan, pencari kayu bakar dan buruh bangunan, seperti disajikan pada Tabel 15. Tabel 15
Kategori karakteristik responden berdasarkan pekerjaan sampingan di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Lokasi (Kelurahan) Layana
Pekerjaan sampingan Rendah (<2) Sedang (2) Tinggi (>2) Total
Jumlah 50 0 0 50
% 100,00 0,00 0,00 100,00
Lambara Jumlah % 42 100,00 0 0,00 0 0,00 42
100,00
Pekerjaan sampingan responden di kedua lokasi penelitian merupakan cerminan terhadap ancaman eksistensi sumberdaya hutan, bila permasalahan tersebut tidak diatasi segera. Hal ini dimungkinkan karena lahan dan hutan akan menjadi alternatif mereka untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. h. Persepsi Persepsi merupakan pengetahuan, pandangan,
dan penilaian responden
terhadap tujuan dan manfaat pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Persepsi dikelompokkan ke dalam tiga kategori: kategori rendah (skor <3), sedang (skor 3-5), dan tinggi (skor >5). Persepsi di dua lokasi penelitian menunjukkan adanya perbedaan. Perbedaan tersebut lebih disebabkan adanya variasi tingkat pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh responden, terkait penyelenggaraan kegiatan GN-RHL. Hal ini tentunya
erat kaitannya dengan intensitas sosialisasi yang dilakukan pihak pelaksana, efektifitas pendampingan, pelatihan, dan penyuluhan yang dilaksanakan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Kategori karakteristik reponden berdasarkan persepsi di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Lokasi (Kelurahan)
Persepsi Layana Rendah (<5) Sedang (5-8) Tinggi (>8) Total
Jumlah 29 20 1
% 58,00 40,00 2,00
50
100,00
Lambara Jumlah % 15 35,71 6 14,29 21 50,00 42
100,00
Di Layana umumnya responden memiliki persepsi rendah (58%). Selebihnya masuk dalam kategori sedang (40%) dan tinggi (2%). Sementara itu, persepsi di Lambara umumnya tergolong tinggi (50%), selebihnya masuk dalam kategori sedang (14,29%) dan rendah (35,71%). i. Motivasi Motivasi merupakan dorongan yang diperoleh dari dalam maupun dari luar diri responden dalam mewujudkan harapan-harapannya, melalui proses interaksi yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Motivasi terbagi dua, yaitu: motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam, meliputi: (a) keinginan untuk meningkatkan pendapatan/kesejahteraan keluarga, (b) menambah pengetahuan dan keterampilan, dan (c) meningkatkan status sosial (kedudukan) dalam masyarakat. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan dorongan dari luar, meliputi: (a) ajakan dari anggota keluarga, teman, dan tetangga, tokoh atau pemuka masyarakat,
(b) penghasilan dan tawaran bantuan yang
menarik, dan (c) adanya ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Di Layana sebagian besar responden memiliki motivasi instrinsik dan ekstrinsik yang tergolong rendah, dengan persentase masing-masing sebesar 88% dan 100%. Demikian halnya di Lambara, di mana umumnya responden memiliki motivasi intrinsik rendah (78,57%) dan motivasi ekstrinsik yang tergolong sedang (59,52%).
Motivasi ekstrinsik responden di Lambara lebih disebabkan oleh sejumlah pengalaman buruk yang dialami masyarakat akibat bencana banjir bandang yang melanda desa mereka beberapa waktu lalu. Banyak kebun dan lahan pertanian masyarakat tersapu oleh banjir dan tanah longsor. Olehnya sebab itu, mereka termotivasi untuk ikut dalam kegiatan rehabilitasi hutan, utamanya melalui kegiatan GN-RHL tersebut. Kategori karakteristik responden berdasarkan motivasi disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Kategori karakteristik responden berdasarkan motivasi di kelurahan Layana dan Lambara Lokasi (Kelurahan) Layana Jumlah
Motivasi 1. Intrinsik Rendah (<4) Sedang (4-6) Tinggi (>6) Total 2. Ekstrinsik Rendah (<5) Sedang (5-8) Tinggi (>8) Total
Lambara %
Jumlah
%
44 6 0
88,00 12,00 0,00
33 9 0
78,57 21,43 0,00
50
100,00
42
100,00
50 0 0
100,00 0,00 0,00
17 25 0
40,48 59,52 0,00
50
100,00
42
100,00
Karakteristik Eksternal Responden a. Intensitas sosialisasi kegiatan Seperti
diuraikan
sebelumnya,
bahwa
intensitas
sosialisasi
kegiatan
diterminologikan sebagai frekuensi pelaksanaan kegiatan sosialisasi kegiatan GNRHL, yang diaktualisasikan melalui sejumlah kegiatan-kegiatan, di antaranya:
(a)
pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh pihak pelaksana dengan LSM dan peserta kegiatan; (b) kegiatan penyuluhan; dan (c) pelatihan. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18
Kategorisasi faktor eksternal responden berdasarkan intensitas sosialisasi kegiatan di Layana dan Lambara
Intensitas Sosialisasi Kegiatan Rendah (<3)
Lokasi (Kelurahan) Layana Jumlah % 30 60,00
Rendah (<2)
Lambara Jumlah % 8 19,05
Sedang (3-5)
15
30,00
Sedang (2-3)
8
19,05
Tinggi (>5)
5
10,00
Tinggi (>3)
26
61,90
Total
50
100,00
42
100,00
Intensitas sosialisasi kegiatan di kedua lokasi penelitian menunjukkan hasil yang berbeda. Di Layana, intensitas sosialisasi kegiatan yang diikuti oleh responden umumnya tergolong rendah, dengan persentase sebesar 60%. Sementara itu, di Lambara umumnya masuk dalam kategori tinggi, dengan nilai persentase sebesar 61,90%. Kisaran intensitas sosialisasi kegiatan untuk Kelurahan Layanan sebanyak 0 – 8 kali, dengan rata-rata 3,36 dan kisaran untuk Kelurahan Lambara sebanyak 0 – 5 kali, dengan rata-rata 2,76. b. Peran petugas lapangan Petugas lapangan adalah seseorang yang diberikan tugas khusus oleh Dinas Kehutanan Kota Palu terkait pelaksanaan kegiatan GN-RHL.
Tugas yang harus
dilakukan meliputi: melaksanakan penerangan atau pengarahan dan bimbingan teknis pada pelaksanaan kegiatan di lapangan. Terkait dengan hal tersebut maka penilaian terhadap peran petugas lapangan didasarkan sepenuhnya pada intensitas mereka di lapangan, melalui informasi yang digali secara langsung dari peserta kegiatan. Peran petugas lapangan di kedua lokasi penelitian menunjukkan hasil yang berbeda. Di Layana, peran petugas lapangan umumnya tergolong tinggi dengan persentase sebesar 42%. Sementara itu, di Lambara umumnya masuk dalam kategori sedang, dengan nilai persentase sebesar 42,85%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Kategorisasi faktor eksternal responden berdasarkan peran petugas lapangan di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Lokasi (Kelurahan)
Peran Petugas Lapangan Layana
Lambara
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (<6) Sedang (6-10) Tinggi (>10)
17 12 21
34,00 24,00 42,00
16 18 8
38,10 42,85 19,05
Total
50
100,00
42
100,00
Kisaran peran petugas lapangan di kedua lokasi penelitian berbeda, untuk Layana kisaran peran petugas lapangan adalah 1 – 15, dengan rata-rata 7,94. Sedangkan untuk Lambara berada dalam kisaran 1 – 13, dengan rata-rata 7,10. c. Kejelasan Hak dan Kewajiban Kejelasan hak dan kewajiban merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan. Hal tersebut menjadi dasar bagi peserta kegiatan dalam menentukan sikap untuk terlibat secara total atau tidak pada kegiatan GN-RHL tersebut. Kejelasan hak dan kewajiban merupakan salah satu aktualisasi aturan main pelaksanaan kegiatan GN-RHL, yang meliputi: hak-hak apa saja yang diperoleh masyarakat, kewajiban yang harus dijalankan oleh masyarakat, dan bentuk-bentuk kesepakatan antara masyarakat pelaksana kegiatan. Kejelasan hak dan kewajiban dikategorikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. Di Layana, kejelasan hak dan kewajiban antara pihak pelaksana dengan masyarakat peserta kegiatan masuk dalam kategori rendah (68%). Sementara itu, untuk Lambara masuk dalam kategori sedang (90,48%). Kisaran kejelasan hak dan kewajiban di kedua lokasi penelitian adalah sama, sebesar 1 -6. Namun, rata-rata kejelasan hak dan kewajiban menurut responden di Layana lebih rendah dari Lambara, masing – masing sebesar 2 dan 5,19. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Kategori faktor eksternal responden berdasarkan kejelasan hak dan kewajiban di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara. Lokasi (Kelurahan)
Rendah (<4)
Layana Jumlah 34
% 68,00
Sedang (4-6)
15
30,00
40
95,24
1
2,00
0
0,00
Kejelasan Hak dan Kewajiban
Tinggi
(>6)
Lambara Jumlah % 2 4,76
Total
50
100,00
42
100,00
Tingkat Partisipasi Masyarakat Peserta Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan atau keikutsertaan peserta kegiatan GN-RHL dalam setiap tahapan kegiatan. Partisipasi masyarakat mencakup empat tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap evaluasi kegiatan dan tahap pemanfaatan kegiatan. Tahap Perencanaan Kegiatan Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan meliputi enam item, di antaranya: (1) penyusunan dan penandatanganan kontrak kerjasama, (2) penentuan lokasi, (3) Penentuan luas lahan, (4) pemasangan patok batas lahan milik, (5) penentuan jenis tanaman, (6) pembentukan kelompok tani. Tingkat partisipasi masyarakat di Layana dan Lambara disajikan pada Tabel 21. Penilaian terhadap tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL di Layana dan Lambara untuk tiap-tiap kegiatan pada tahap perencanaan, dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) partisipasi masyarakat tergolong rendah, apabila peserta hanya mengikuti siosialisasi dari pihak pelaksana untuk
tiap-tiap item
kegiatan, namun mereka tidak pernah hadir dalam rapat atau pertemuan;
(b)
Partisipasi masyarakat tergolong sedang, apabila pada tiap-tiap item kegiatan peserta kegiatan mengikuti sosialisasi kegiatan, selalu hadir dalam rapat atau pertemuan, tetapi tidak pernah aktif memberikan usulan atau saran maupun pertanyaan; (c) Partisipasi masyarakat tergolong tinggi, apabila pada tiap-tiap item kegiatan peserta kegiatan mengikuti sosialisasi kegiatan, selalu hadir dalam rapat atau pertemuan yang diadakan, dan aktif memberikan usulan atau saran maupun pertanyaan. Tabel 21
Item 1 2
R 49 34
Distribusi responden menurut tingkat partisipasi masyarakat (Rendah, Sedang, Tinggi) pada tahap perencanaan GN-RHL di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara Tingkat Partisipasi Masyarakat Tahap Perencanaan Kelurahan Layana Kelurahan Lamabara % S % T % Total R % S % T 98,0 1 2,0 0 0,0 50 41 97,6 1 2,4 0 68,0 15 30,0 1 2,0 50 38 90,5 4 9,5 0
% 0,00 0,00
Total 42 42
3 28 56,0 20 40,0 2 4,0 50 42 100,0 0 0,0 0 0,00 42 4 21 42,0 29 58,0 0 0,0 50 0 0,0 41 97,6 1 0,02 42 5 50 100,0 0 0,0 0 0,0 50 40 95,2 0 0,0 2 0,05 42 6 18 36,0 32 64,0 0 0.0 50 0 0,0 39 92,9 3 0,07 42 Keterangan : (1) penyusunanan dan penandatanganan kontrak kerjasama, (2) penentuan lokasi, (3) Penentuan luas lahan, (4) pemasangan patok batas lahan milik, (5) penentuan jenis tanaman, (6) pembentukan kelompok tani.
Tabel di atas menunjukkan, bahwa secara menyeluruh keterlibatan responden di setiap tahapan kegiatan tergolong rendah. Di Layana, Persentase paling rendah terdapat pada kegiatan penyusunan dan penandatanganan kontrak kerjasama (98%) dan penentuan jenis tanaman (100%). Hal tersebut berarti bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan di Layana tergolong rendah. Sementara itu, mereka hanya terlibat pada dua item kegiatan saja (item 4 dan 6) dari enam item kegiatan yang ada. Bahkan sebagian responden menyatakan sama sekali tidak pernah dilibatkan pada empat item kegiatan lainnya. Padahal keempat item kegiatan tersebut, yaitu: penyusunan dan penandatanganan kontrak kerjasama, penentuan lokasi, penentuan luas lahan, dan penentuan jenis tanaman, merupakan item yang penting dan akan mempengaruhi keterlibatan responden pada tahap berikutnya, dan juga akan mempengaruhi hasil dari kegiatan secara keseluruhan. Demikian halnya di Lambara, di mana partisipasi peserta kegiatan GN-RHL, utamanya untuk item 1, 2, 3, dan 5 tergolong rendah. Sementara itu,
partisipasi
masyarakat peserta kegiatan untuk item 4, dan 6 masuk dalam ketegori sedang. Rendahnya partisipasi masyarakat, utamanya dalam penentuan lokasi dan penentuan luas lahan (item 2 dan 3), lebih disebabkan oleh status lokasi yang merupakan kawasan hutan produksi terbatas, di mana dasar penetapan lokasi sepenuhnya mengacu pada hasil kajian masterplan lahan kritis Sulawesi Tengah tahun 2003. Hal ini berbeda dengan di Layana, di mana kegiatan GN-RHL dilaksanakan pada hutan rakyat, dan penetapan lokasi serta luasannya dilakukan secara bersama-sama antara pihak pelaksana dan masyarakat pemilik lahan. Tahap Pelaksanaan Kegiatan Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan meliputi 11 (sebelas) item kegiatan, di antaranya: (1) penyuluhan yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan, (2) pertemuan kelompok tani, (3) pembuatan larikan tanaman, (4) pembuatan lubang
tanaman, (5) pemeriksaan bibit tanaman, tanaman yang diprogramkan, (9) pendangiran/pengerubusan tanah,
(6) pemasangan ajir, (7) menanam (8) penyiangan/pembersihan rumput, (10) menyulami tanaman mati, dan
(11) pemeliharaan tanaman. Penilaian terhadap tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL untuk tiap-tiap item kegiatan pada tahap pelaksanaan dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) partisipasi masyarakat tergolong rendah, apabila peserta hanya mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana untuk tiap-tiap item kegiatan, serta tidak pernah hadir dalam kegiatan penyuluhan, rapat atau pertemuan;
(b) partisipasi
masyarakat tergolong sedang, apabila pada tiap-tiap item kegiatan peserta kegiatan mengikuti sosialisasi kegiatan, selalu hadir dalam kegiatan penyuluhan, rapat atau pertemuan tetapi tidak pernah aktif memberikan usulan atau saran maupun pertanyaan; dan (c) partisipasi masyarakat tinggi, apabila pada tiap-tiap item kegiatan peserta kegiatan mengikuti sosialisasi kegiatan, selalu hadir dalam kegiatan penyuluhan, rapat atau pertemuan dan aktif memberikan usulan atau saran maupun pertanyaan.
Tabel 22
Distribusi responden menurut tingkat partisipasi masyarakat (Rendah, Sedang, Tinggi) pada tahap pelaksanaan GN-RHL di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara
Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
R 22 2 13 12 47 13 0 13 13 50 50
% 44,0 4,0 26,0 24,0 94,0 26,0 0,0 26,0 26,0 100,0 100,0
Tingkat Partisipasi Masyarakat Tahap Pelaksanaan Kelurahan Layana Kelurahan Lamabara S % T % Total R % S % T 28 56,0 0 0,0 50 29 69,05 13 30,95 0 46 92,0 2 4,0 50 12 28,57 28 66,67 2 11 22,0 26 52,0 50 0 0,0 10 23,8 32 11 22,0 27 54,0 50 0 0,0 10 23,8 32 0 0,0 3 6,0 50 9 21,4 15 35,7 18 11 22,0 26 52,0 50 0 0,0 10 23,8 32 0 0,0 50 100,0 50 0 0,0 0 0,0 42 11 22,0 26 52,0 50 0 0,0 10 23,8 32 11 22,0 26 52,0 50 0 0,0 10 23,8 32 0 0,0 0 0,0 50 42 100,0 0 0,0 0 0 0,0 0 0,0 50 42 100,0 0 0,0 0
Total % 0,00 4,76 76,2 76,2 42,9 76,2 100,0 76,2 76,2 0,0 0,0
42 42 42 42 42 42 42 42 42 42 42
Keterangan : (1) penyuluhan yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan, (2) pertemuan kelompok tani, (3) pembuatan larikan tanaman, (4) pembuatan lubang tanaman, (5) pemeriksaan bibit tanaman, (6)
pemasangan ajir, (7) menanam tanaman yang diprogramkan, (8) penyiangan/pembersihan rumput, (9) pendangiran/pengerubusan tanah, (10) menyulami tanaman mati, (11) pemeliharaan tanaman
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara umum tingkat partisipasi peserta kegiatan GN-RHL di Layana dan Lambara tergolong tinggi. Di Layana, sebagian besar responden terlibat dalam beberapa item kegiatan, terutama pada kegiatan pembuatan larikan tanaman (item 3), pembuatan lubang tanaman (item 4), pemasangan ajir (item 6), penanaman (item 7), penyiangan (item 8), dan pendangiran (item 9). Untuk kegiatan penyuluhan (item 1) dan pertemuan kelompok tani (item 2), tingkat partisipasi masyarakat tergolong sedang. Sementara itu, item kegiatan yang memiliki tingkat partisipasi masyarakat rendah di antaranya : pemeriksaan bibit tanaman (item 5), penyulaman (item 10), dan pemeliharaan tanaman (item 11). Rendahnya partisipasi masyarakat pada ketiga item tersebut lebih disebabkan alasan teknis, di mana wewenang untuk kegiatan pemeriksaan bibit dipegang sepenuhnya oleh institusi independent bentukan proyek. Bahkan dalam kegiatan pemeriksaan yang dilakukan, keterlibatan masyarakat hanya sebatas mendampingi tim pemeriksa, tanpa memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan bibit yang disediakan. Demikian pula halnya terhadap kegiatan penyulaman dan pemeliharaan tanaman, di mana kedua item tersebut tidak pernah terealiasi di Layana. Beberapa argumen yang
mengemuka terkait masalah tersebut antara lain: (a) Bibit yang
disalurkan tidak mencukupi untuk kegiatan penyulaman. Bahkan persediaan bibit untuk kegiatan penanaman saja tidak mencukupi. Dari target luasan yang akan di tanami (50 ha), dengan total jumlah bibit yang dibutuhkan sekitar 40.000 batang, hanya terpenuhi sekitar 30.000 batang dengan kualitas yang beragam. Jumlah bibit yang terbatas ini menyebabkan target luasan penanaman tidak terpenuhi.
(b)
Persentase tumbuh yang rendah, di mana dari sekitar 35 ha luasan yang berhasil ditanami, hanya 30% saja tanaman yang berhasil tumbuh di lapangan. Hal ini menyebabkan tim penilai tanaman tidak merekomendasikan untuk dilakukan kegiatan pemeliharaan. Sementara itu, di Lambara tingkat partisipasi peserta pada tahap pelaksanaan juga tergolong tinggi. Sebagian besar responden menyatakan terlibat dalam beberapa item kegiatan, terutama kegiatan pembuatan larikan tanaman (item 3), pembuatan
lubang tanaman (item 4), pemeriksaan bibit, (5) pemasangan ajir (item 6), penanaman (item 7), penyiangan (item 8), dan
pendangiran (item 9). Namun,
kegiatan
pertemuan kelompok tani (item 2), tingkat partisipasi masyarakat tergolong sedang. Kegiatan yang memiliki tingkat partisipasi masyarakat rendah di antaranya: penyuluhan (item 1), penyulaman tanaman (item 10) dan pemeliharaan tanaman (item 11). Rendahnya partisipasi masyarakat pada kegiatan penyuluhan disebabkan banyak masyarakat yang tidak memperoleh informasi sebelumnya menyangkut akan diadakannya kegiatan tersebut. Sementara itu, rendahnya partisipasi masyarakat pada kedua item tersebut (item 10 dan 11) disebabkan oleh permasalahan yang sama dengan yang dialami desa Layana, yaitu alasan teknis terkait ketersediaan bibit tanaman. Menurut masyarakat, akibat tidak dilakukannya penyulaman menyebabkan tingkat keberhasilan tumbuh tanaman berada di bawah rata-rata (55%) (Permenhut 2004). Sementara tim independent penilai bibit tidak menerima alasan tersebut sebagai salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, rekomendasi yang dihasilkan oleh tim penilai bibit sama seperti yang dihasikan di Layana, yaitu tidak merekomendasikan kegiatan pemeliharaan tanaman di Lambara. Padahal, kualitas tumbuh tanaman di Lambara tergolong baik bila dibandingkan di Layana dan lokasi lainnya, meskipun persentasi tumbuh tanamannya tergolong rendah. Gambaran kondisi tanaman di kedua lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5 berikut.
Gambar 4. Kondisi Tanaman di Layana (a) dan Lambara (b) (Foto Hasriani 2007)
Tahap Evaluasi Kegiatan Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi meliputi 2 (dua) item kegiatan, di antaranya: (1) Mengikuti kegiatan penilaian keberhasilan kegiatan, dan (2) Membantu dalam memberikan informasi kepada tim evaluasi, terkait dengan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Penilaian terhadap tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL untuk tahap evaluasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Partisipasi masyarakat tergolong rendah, apabila peserta hanya mengikuti siosialisasi dari pihak pelaksana untuk tiap-tiap item kegiatan tidak pernah hadir dalam kegiatan penilaian, rapat, atau pertemuan 2.
Partisipasi masyarakat tergolong sedang, apabila pada tiap-tiap item kegiatan peserta kegiatan mengikuti sosialisasi kegiatan,
selalu hadir dalam kegiatan
penilaian, rapat, atau pertemuan tetapi tidak pernah aktif memberikan saran atau masukan dalam pertemuan serta tidak aktif dalam memberikan informasi kepada tim evaluasi. 3. Partisipasi masyarakat tinggi, apabila pada tiap-tiap item kegiatan peserta kegiatan mengikuti sosialisasi kegiatan, selalu hadir dalam kegiatan penilaian, rapat atau pertemuan
dan aktif memberikan masukan atau masukan serta aktif dalam
memberikan informasi kepada tim evaluasi. Tabel 23
Distribusi responden menurut tingkat partisipasi masyarakat (Rendah, Sedang, Tinggi) pada tahap evaluasi GN-RHL di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara
Item
R
%
1
50
100,0
Tingkat Partisipasi Masyarakat Tahap Evaluasi Kelurahan Layana Kelurahan Lamabara S % T % Total R % S % T 0
0,0
0
0,0
50
42
100,0
0
0,0
0
%
Total
0,0
42
2 48 96,0 2 4,0 0 0,0 50 40 95,2 2 4,8 0 0,0 42 Keterangan : (1) Mengikuti kegiatan penilaian keberhasilan kegiatan, (2) Membantu dalam Memberikan informasi kepada tim evaluasi terkait dengan pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Tabel 23 di atas menunjukkan bahwa partisipasi peserta kegiatan GN-RHL di Layana dan Lambara, tergolong rendah. Sebagian besar responden di kedua lokasi tersebut menyatakan tidak pernah terlibat pada kedua item kegiatan evaluasi. Hanya beberapa dari mereka, termasuk di antaranya ketua kelompok, dan bendahara kegiatan
yang menyatakan pernah dimintai informasi tentang pelaksanaan kegiatan di lapangan, serta dimintai bantuan untuk menunjukkan lokasi penanaman (guide), bahkan sebahagian dari mereka tidak pernah mengetahui bahwa telah dilakukan kegiatan evaluasi. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan evaluasi dikedua lokasi penelitian, bila dikaitkan dengan konsep yang dikembangakan Wilcox (1994); Nanang dan Devung (2004), maka masuk dalam kategori
partisipasi informasi
(tingkat 1), di mana masyarakat hanya menerima pemberitahuan hasil yang telah diputuskan oleh orang luar (pihak Pelaksana kegiatan), tanpa memperhatikan tanggapan-tanggapan masyarakat sebagai sasaran kegiatan, dan informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan di kedua lokasi penelitian masuk dalam kategori partisipasi plakasi/konsiliasi (tingkat 4), di mana masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting, keikutsertaan peserta kegiatan lebih pada dorongan insentif berupa uang, barang, dan lain-lain. Harapan yang nyata dan objektif dari masyarakat untuk berpartisipasi pada suatu kegiatan keadaannya sangat beragam, seperti: harapan untuk memperoleh kesempatan kerja, memperoleh pendapatan, memperoleh kesempatan berusaha dan memperoleh transfer ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen menjadi tidak tepat sasaran.
Harapan-harapan inilah yang dapat memotivasi seseorang untuk
berpartisipasi secara aktif pada kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan GN-RHL. Kesempatan kerja dapat memberi arti bagi hidupnya karena memberikan kesempatan untuk mengekspresikan kemampuannya dan merasa berguna, sehingga memiliki harga diri (dignity). Kesempatan memperoleh pendapatan (income), yakni melalui upah/gaji, yang memberi kekuatan untuk membeli (daya beli), dan kemudian mengkonsumsi barang dan jasa yang dibutuhkannya untuk dapat merasakan kesejahteraan. Demikian halnya dengan kesempatan berusaha, yang diangap mempunyai derajat yang lebih tinggi, karena tidak hanya untuk diri/keluarganya sendiri tetapi juga untuk semakin maju lagi dikemudian hari. Kesempatan memperoleh transfer ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen, yang diharapkan
dapat meningkatkan motivasi dan kemampuan untuk semakin maju di kemudian hari (Darusman 2002). Dengan demikian, partisipasi masyarakat yang rendah secara pasti akan menghambat, bahkan mengeliminir semua harapan nyata dan objektif dari masyarakat terhadap kegiatan GN-RHL. Tahap Pemanfaatan Hasil Kegiatan Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pemanfaatan hasil dari kegiatan GN-RHL di Layana dan Lambara belum dapat diukur. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan kegiatan GN-RHL di Propinsi Sulawesi Tengah yang tergolong baru (tahun anggaran 2004-2005), di mana efektif pelaksanaan kegiatan baru dilakukan pada tahun 2005. Olehnya, tanaman berkayu yang dijadikan sebagai komoditi utama seperti: Jati, Kemiri, Nantu dan Johar belum memberikan kontribusi berarti yang bagi masyarakat peserta. Hubungan Antara Faktor Internal dan Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Hubungan faktor internal dan eksternal responden dengan tingkat partisipasi masyarakat memberikan gambaran tentang bagaimana peranan tiap-tiap faktor, internal maupun eksternal terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Dalam melihat hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL di Layana dan Lambara pada setiap tahapan kegiatan (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) digunakan uji korelasi Spearman Rank. Hubungan antara Faktor Internal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Faktor-faktor internal responden yang dikaji dalam penelitian ini adalah: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, tingkat pendapatan, sifat kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Faktor-faktor internal responden yang memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Layana pada tahap perencanaan adalah: tingkat pendidikan, sifat kekosmopolitan, persepsi dan motivasi instrinsik, sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: jumlah anggota keluarga, sifat
kekosmopolitan, persepsi dan motivasi instrinsik. Sementara itu, faktor-faktor internal respoden yang memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Lambara pada tahap perencanaan adalah: umur, tingkat pendapatan, sifat kekosmopolitan, persepsi, motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: umur, sifat kekosmopolitan, persepsi,motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Hubungan faktor internal responden dengan tingkat partisipasi di Layana dan Lambara disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24 Hubungan faktor internal dengan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara
No Faktor Internal Layana 1 Umur (X1.1) 2
Tingkat Pendidikan (X1.2)
3
Jumlah Anggota Keluarga (X1.3)
4
Luas Lahan Garapan (X1.4)
5
Tingkat Pendapatan (X1.5)
6
Sifat Kekosmopolitan (X1.6)
7 8
Partisipasi Masyarakat Perencanaan Pelaksanaan (Y1) (Y2)
-0,233 0,322*
0,014 0,012 0,382
Evaluasi (Y3)
-0,088 0,121
0,267 0,091 0,057
**
Pekerjaan Sampingan (X1.7)
0,635** 0,195
0,690** -0,046
-0,025 -0,242
Persepsi (X1.8)
0,668**
0,556**
0,027
0,429** 0,244
0,282*
-0,093 -0,036
9 Motivasi Instrinsik (X1.9) 10 Motivasi Instrinsik (X1.10) Lambara 1 Umur (X1.1) 2 Tingkat Pendidikan (X1.2) 3
Jumlah Anggota Keluarga (X1.3)
4
Luas Lahan Garapan (X1.4)
5 6
Tingkat Pendapatan (X1.5) Sifat Kekosmopolitan (X1.6)
7
Pekerjaan Sampingan (X1.7)
8 9
Persepsi (X1.8) Motivasi Intrinsik (X1.9)
0,656** -0,224 0,172 -0,057 0,389* 0,690** 0,263 0,734** 0,637**
0,162 -0,06
0,243 0,647** -0,221 0,175 -0,152 0,264 0,786** 0,221 0,841** 0,657**
-0,118 0,072 0,001
0,120 0,104 -0,061 0,056 0,190 -0,157 0,141 0,044 0,156
10 ** *
Motivasi Ekstrinsik (X1.10)
0,573**
0,595**
-0,043
Berpengaruh nyata pada α = 0,01 Berpengaruh nyata pada α = 0,05
1. Hubungan antara Umur dengan tingkat partisipasi masyarakat Hasil uji korelasi Sperman menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (keeratan hubungan) antara variabel umur responden dengan partisipasi masyarakat di Layana, di setiap tahapan kegiatan masing-masing sebesar -0,233 (tahap perencanaan); 0,014 (tahap pelaksanaan); dan -0,088 (tahap evaluasi). Nilai korelasi tersebut menunjukkan hubungan yang lemah dengan tingkat partisipasi pada setiap tahapan kegiatan. Sementara itu, di Lambara nilai koefisien korelasi yang dihasilkan masing-masing sebesar 0,656** (tahap perencanaan); 0,647** (tahap pelaksanaan); dan 0,120 (tahap evaluasi). Nilai korelasi tersebut
menunjukkan bahwa variabel
umur memiliki hubungan yang sangat nyata dengan tingkat partisipasi di Lambara, utamanya pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi umur responden di Lambara, semakin tinggi pula partisipasinya pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. 2. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan untuk variabel tingkat pendidikan di Lambara, masing-masing sebesar 0,322* (tahap perencanaan); 0,012 (tahap pelaksanaan); dan 0,121 (tahap evaluasi). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan responden memiliki hubungan yang nyata dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan. Sedangkan untuk tahap pelaksanaan dan evaluasi memiliki hubungan yang lemah. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka semakin tinggi pula partisipasinya pada tahap perencanaan. Sedangkan di Lambara, partisipasi masyarakat tidak berkorelasi secara nyata dengan variabel tingkat pendidikan, dengan nilai koefisien korelasi masingmasing sebesar -0,224 (tahap perencanaan); -0,221 (tahap pelaksanaan); dan 0,104 (tahap evaluasi). Hal ini berarti bahwa tinggi-rendah partisipasi masyarakat di Lambara tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan responden. 3. Hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat partisipasi masyarakat
Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan untuk variabel jumlah anggota keluarga di Layana, masing masing adalah sebesar 0,267 (tahap perencanaan); 0,382** (tahap pelaksanaan); dan -0,118 (tahap evaluasi). Variabel jumlah anggota keluarga berkorelasi positif dengan partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan di Layana. Sedangkan untuk tahap perencanaan dan evaluasi, variabel jumlah anggota keluarga memiliki hubungan yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan dalam keluarga, semakin tinggi pula partisipasi responden pada tahap pelaksanaan. Kondisi tersebut dapat terjadi karena semakin tinggi jumlah anggota keluarga, semakin besar tingkat kebutuhan kesehariannya. Hal inilah yang memotivasi mereka untuk berpartisipasi pada tahap pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan harapan dapat memperoleh hasil berupa upah. Sementara itu, di Lambara nilai koefisien korelasi yang dihasilkan adalah sebesar 0,172 (tahap perencanaan); 0,175 (tahap pelaksanaan); dan -0,061 (tahap evaluasi). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel jumlah anggota keluarga memiliki hubungan yang lemah dengan tingkat partisipasi responden. 4. Hubungan antara luas lahan garapan dengan tingkat partisipasi masyarakat Variabel luas lahan garapan di Layana memberikan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,091 (tahap perencanaan); 0,162 (tahap pelaksanaan); dan 0,072 (tahap evaluasi). Nampak bahwa variabel luas lahan garapan memiliki hubungan yang lemah dengan tingkat partisipasi masyarakat di setiap tahapan kegiatan. Demikian halnya di Lambara, di mana nilai korelasi yang dihasilkan adalah sebesar -0,057 (tahap perencanaan); -0,152 (tahap pelaksanaan); dan
-0,061
(tahap evaluasi). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel luas lahan garapan memiliki hubungan yang lemah dan bersifat negatif terhadap
tingkat partisipasi
masyarakat. 5. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan untuk variabel tingkat pendapatan responden di Layana, masing masing sebesar 0,057 (tahap perencanaan); -0,06 (tahap pelaksanaan); dan 0,001 (tahap evaluasi). Hal ini menunjukkan bahwa variabel tingkat pendapatan memiliki hubungan yang lemah dengan partisipasi masyarakat. Sementara
itu, di Lambara nilai koefisien korelasi yang dihasilkan adalah sebesar: 0,172 (tahap perencanaan); 0,175 (tahap pelaksanaan); dan -0,061 (tahap evaluasi). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel jumlah anggota keluarga memiliki hubungan yang lemah dengan tingkat partisipasi responden. Sementara itu, di Lambara variabel tingkat pendapatan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, dengan nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,389*.
Melalui hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat
pendapatan responden, semakin tinggi pula partisipasinya pada tahap perencanaan. Tingkat pendapatan erat kaitannya dengan kedudukan sosial seseorang.
Slamet
(1989) menyatakan bahwa status sosial dipengaruhi oleh pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan penduduk. Lapisan penduduk yang berstatus sosial lebih tinggi, lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Hal inilah yang dijumpai di Lambara, di mana tingkat pendapatan responden telah memposisikan mereka pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dan terhormat. Oleh karenanya, mereka lebih banyak terlibat pada tahap perencanaan kegiatan GN-RHL. 6. Hubungan antara sifat kekosmopolitan dengan tingkat partisipasi masyarakat Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan untuk variabel sifat kekosmopolitan di Layana, masing-masing sebesar 0,635** (tahap perencanaan); 0,690** (tahap pelaksanaan); dan -0,025 (tahap evaluasi). Variabel sifat kekosmopolitan berkorelasi positif dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Sedangkan untuk tahap evaluasi memiliki hubungan yang lemah. Demikian pula halnya di Lambara, nilai korelasi yang dihasilkan masing masing adalah sebesar 0,690** (tahap perencanaan); 0,786** (tahap pelaksanaan); dan -1,157 (tahap evaluasi). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa, baik di Layana maupun di Lambara variabel sifat kekosmopolitan memiliki korelasi positif dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Sedangkan untuk tahap evaluasi memiliki hubungan yang lemah. Hasil korelasi tersebut menggambarkan bahwa semakin tinggi sifat kekosmopolitan, semakin tinggi pula partisipasi responden pada tahap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Sifat kekosmopolitan ini sangat erat kaitannya dengan proses adopsi inovasi dan proses difusi masyarakat. Dalam proses tersebut, masyarakat di dua lokasi penelitian melakukan upaya pengenalan, di antaranya dengan meningkatkan sifat
kekosmopolitan terhadap kegiatan GN-RHL. Kekosmopolitan yang dicirikan oleh upaya reponden mencari dan menggali informasi kepada pihak-pihak yang lebih memahami tentang kegiatan ini. Pihak-pihak yang dimaksud di antaranya; sesama anggota, tokoh-tokoh masyarakat, pendamping dan petugas lapangan, serta Dinas Kehutanan Kota Palu. 7. Hubungan antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan untuk variabel pekerjaan sampingan responden di Layana, masing-masing sebesar 0,195 (tahap perencanaan);
-0,046
(tahap pelaksanaan); dan -0,242 (tahap evaluasi). Nilai koefisien tersebut menunjukkan bahwa variabel pekerjaan sampingan memiliki korelasi yang lemah terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Demikian pula halnya di Lambara, di mana nilai korelasi yang dihasilkan masing-masing sebesar 0,263 (tahap perencanaan); 0,221 (tahap pelaksanaan); dan 0,141 (tahap evaluasi). Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan yang dimiliki responden tidak memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat. Seperti diketahui bahwa, sebagian besar responden memiliki pekerjaan sampingan yang sifatnya tidak tetap (musiman), sehingga mereka tetap memiliki waktu luang untuk dapat terlibat dalam kegiatan GN-RHL. 8. Hubungan antara persepsi dengan partisipasi masyarakat Nilai koefisien korelasi di Layana pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan menujukkan korelasi yang sangat nyata, dengan nilai masing masing sebesar 0,668** dan 0,556**. Sementara di Lambara sebesar 0,735** pada tahap perencanaan dan 0,772** pada tahap pelaksanaan. Persepsi yang baik terhadap kedua tahapan kegiatan didukung oleh kegiatan sosialisasi kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak Dinas Kehutanan Kota Palu. Selain itu, masyarakat telah didampingi oleh salah satu LSM yang ditunjuk oleh pihak pelaksana, yang bertugas membantu dalam penyiapan masyarakat, utamanya melalui kegiatan pendampingan tersebut masyarakat dikenalkan dan diberikan pemahaman tentang tujuan, sasaran, dan manfaat GNRHL. 9. Hubungan antara motivasi intrinsik dengan partisipasi masyarakat Nilai koefisien korelasi pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan memiliki hubungan yang sangat nyata pada kedua lokasi penelitian. Nilai korelasi
yang diperoleh masing-masing sebesar 0,637** dan 0,621** untuk Lambara.
0,429**
dan 0,282* untuk Layana dan
Nilai-nilai tersebut menujukkan bahwa
semakin tinggi motivasi responden, semakin meningkat pula partisipasinya. Korelasi yang terjalin erat kaitannya dengan tingkat pendapatan responden yang tergolong rendah. Dengan demikian, motivasi mereka untuk mencari pendapatan tambahan melalui kegiatan GN-RHL semakin tinggi.
10. Hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan partisipasi masyarakat Variabel motivasi ekstrinsik di Lambara memiliki korelasi yang sangat nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan. Nilai korelasi yang dihasilkan masing-masing sebesar 0,573** untuk tahap perencanaan dan 0,461** untuk tahap pelaksanaan. Hubungan yang sangat nyata tersebut sangat dipengaruhi oleh motivasi responden dalam upaya mencegah dan mengatasi ancaman banjir dan tanah longsor, yang kerap melanda daerah mereka. Berbeda dengan Layana, di mana motivasi ekstrinsik tidak memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat. Hal ini disebabkan karena motivasi masyarakat ikut kegiatan GN-RHL lebih dikarenakan ajakan dari anggota keluarga, teman atau tetangga. Hubungan antara faktor eksternal responden dengan tingkat partisipasi masyarakat Faktor-faktor eksternal responden yang dikaji dalam penelitian ini adalah: intensitas sosialisasi kegiatan, peran petugas lapangan, dan kejelasan hak dan kewajiban. Faktor-faktor eksternal responden yang memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Layana pada tahap perencanaan adalah: intensitas sosialisasi kegiatan dan peran petugas lapangan, demikian halnya pada tahap pelaksanaan adalah: intensitas sosialisasi kegiatan dan peran petugas lapangan. Sementara itu, faktor-faktor eksternal responden yang memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Lambara pada tahap perencanaan adalah: intensitas sosialisasi kegiatan dan peran petugas lapangan. Sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: intensitas sosialisasi kegiatan, peran petugas lapangan, dan
kejelasan hak dan kewajiban. Hubungan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat di kedua lokasi penelitian, disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Hubungan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara
No Faktor Eksternal Layana Intensitas Sosialisasi Kegiatan (X2.1) Peran Petugas Lapangan (X2.2) Kejelasan Hak dan Kewajiban (X2.3) Lambara Intensitas Sosialisasi Kegiatan (X2.1) Peran Petugas Lapangan (X2.2) Kejelasan Hak dan Kewajiban (X2.3) ** *
Partisipasi Masyarakat Perencanaan Pelaksanaan (Y1) (Y2)
Evaluasi (Y3)
0,602** 0,655** 0,032
0,885** 0,759** 0,264
-0,03 -0,006 -0,003
0,860** 0,499** 0,245
0,879** 0,521** 0,379*
0,183 0,052 0,157
Berpengaruh nyata pada α = 0,01 Berpengaruh nyata pada α = 0,05
1. Hubungan antara intensitas sosialisasi kegiatan dengan partisipasi masyarakat Intensitas sosialisasi kegiatan merupakan variabel yang sangat penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Melalui kegiatan sosialisasi, responden akan mengetahui dan memahami eksistensi kegiatan GN-RHL secara lebih baik. Dengan demikian, akan memberikan pengaruh yang baik pula terhadap keputusan inovasi responden dalam menerima kegiatan GN-RHL . Intensitas sosialisasi kegiatan di Layana memiliki koefisien korelasi masingmasing sebesar 0,602** untuk tahap perencanaan dan 0,885** untuk tahap pelaksanaan. Sedangkan di Lambara, nilai korelasi yang diperoleh masing-masing sebesar 0,860** untuk tahap perencanaan dan 0,879** untuk tahap pelaksanaan. Nilai koefisien tersebut menujukkan korelasi positif yang sangat nyata. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi intensitas sosialisasi kegiatan maka semakin meningkat pula partisipasi responden pada setiap tahapan kegiatan.
2 Hubungan antara peran petugas lapangan dengan partisipasi masyarakat Nilai koefisien korelasi peran petugas lapangan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan di Layana masing-masing sebesar 0,655** dan 0,759**. Hal ini berarti bahwa terdapat korelasi positif antara peran petugas lapangan dengan tingkat partisipasi responden, baik di tahap perencanaan maupun pelaksanaan. Meskipun demikian, peran petugas lapangan di Layana belum sepenuhnya dirasakan optimal dalam menjalankan tugasnya, di mana, tugas yang dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan teknis belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh sebagian rersponden. Sementara itu, nilai korelasi yang dihasilkan di Lambara adalah sebesar 0,496** pada tahap perencanaan dan sebesar 0,450** pada tahap pelaksanaan. Nilai koefisien pada tiap-tiap variabel di atas menunjukkan adanya korelasi positif, yang berarti semakin tinggi peran petugas lapangan maka semakin tinggi pula tingkat partisipasinya pada tahap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. 3. Hubungan antara kejelasan hak dan kewajiban dengan partisipasi masyarakat Variabel kejelasan hak dan kewajiban di Layana tidak berkorelasi secara nyata pada semua tahapan kegiatan. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan main yang jelas antara pihak pelaksana dengan masyarakat (responden), baik berupa kejelasan hak-hak yang diperoleh maupun kewajiban yang harus dijalankan oleh responden. Ketidakjelasan aturan main akan berdampak terhadap besaran kontrol yang dimiliki responden dalam menentukan secara bebas arah kehidupannya, bila terlibat dalam kegiatan GN-RHL tersebut. Hal ini dapat menimbulkan disinsentif bagi masyarakat, dan berdampak secara langsung terhadap efektifitas penyelengaraan GNRHL (Kartodihardjo 2001). Berbeda dengan di Lambara, variabel kejelasan hak dan kewajiban memiliki hubungan yang nyata pada tahap pelaksanaan dengan nilai korelasi sebesar 0,379*, yang berarti bahwa semakin tinggi kejelasan hak dan kewajiban maka semakin tinggi pula partisipasi masyarakat. Kondisi ini lebih disebabkan karena kegiatan GN-RHL dilaksanakan pada Hutan Negara (Hutan Produksi Terbatas). Sehingga sejak awal dilaksanakannya kegiatan ini, aturan main antara pihak pelaksana dengan masyarakat telah diatur jelas, terutama mengenai bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan masyarakat dan hak yang dapat diterima melalui kegiatan tersebut.
Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GN-RHL) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL masih sangat dibutuhkan. Hal ini didasari pertimbangan, bahwa rendahnya partisipasi masyarakat telah menyebabkan terhambatnya keberhasilan penerapan kegiatan
GN-RHL di
lapangan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui perumusan strategi pengembangan partisipasi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, teridentifikasi sejumlah faktor-faktor internal maupun eksternal, yang dijadikan dasar dalam penyusunan strategi pengembangan partisipasi masyarakat di kedua lokasi sampel. Di dalam strategi pengembangan partisipasi masyarakat pada kegiatan GNRHL di gunakan metode Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT). Pendekatan ini didasarkan pada potensi, isu, permasalahan, dan peluang yang ada di kedua lokasi penelitian (Layana dan Lambara), dengan memperhatikan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur, kelembagaan, dan kebijakan pendukung. Tahapan analisis yang dilakukan meliputi: (a) identifikasi dan penilaian faktor internal dan eksternal; (b) pemaduan faktor internal dan ekternal; dan (c) analisis keterkaitan unsur SWOT, yang menjadi dasar perumusan strategi pengembangan partisipasi masyarakat. a. Unsur Kekuatan (Strength) Peubah
strategi
internal, berupa
kekuatan
(Strength) yang memiliki
pengaruh terhadap pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Peubah-peubah unsur kekuatan dan nilai pengaruhnya Peubah Strategi Internal 1 Respon masyarakat terhadap kegiatan GN-RHL Kerjasama kelompok Ketersediaan tenaga kerja produktif Tingkat Keterbukaan masyarakat Dukungan Stakeholder terhadap GN-RHL
Bobot
Rating
2
4
Nilai pengaruh 5
0,237
3
0,71
0,134
4
0,53
0,161
3
0,48
0,152
3
0,46
0,198
2
0,40
Keterjangkauan lokasi (aksesibilitas)
0,119
3
Total
0,36 2,94
Tabel di atas menunjukkan bahwa peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah ”respon masyarakat terhadap kegiatan GN-RHL”, dengan nilai pengaruh sebesar 0,71. Sedangkan peubah yang memiliki nilai pengaruh terendah adalah ” keterjangkauan lokasi” dengan nilai pengaruh sebesar 0,36. 1. Respon masyarakat terhadap kegiatan GN-RHL Respon masyarakat yang tinggi disebabkan oleh persepsi dan motivasi yang dimiliki responden terhadap pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa persepsi responden yang baik disebabkan karena kegiatan sosialisasi dan pendampingan yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan, telah mampu memberikan pengetahuan dan pemahaman, serta menambah keyakinkan responden tentang eksistensi kegiatan GN-RHL.
Persepsi yang baik secara tidak langsung
mendorong motivasi responden untuk berpartisipasi aktif pada setiap tahapan kegiatan GN-RHL. 2. Kerjasama kelompok Peubah ”kerjasama kelompok” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,53. Hal ini didukung oleh kuatnya modal sosial masyarakat di kedua lokasi penelitian. Modal sosial dimaksud adalah sistem nilai gotong-royong dan kepercayaan (trust) kepada orang-orang yang dituakan, telah mempererat jalinan kerjasama dan kekompakkan di antara mereka, terutama dalam pelaksanaan GN-RHL. Hal ini nampak jelas pada pelaksanaan GN-RHL di Lambara, di mana pelaksanaan kegiatan GN-RHL dilakukan secara berkelompok, dan tiap-tiap responden telah mengetahui fungsi dan perannya masing-masing dalam kelompok tersebut. 3. Ketersediaan tenaga kerja produktif Peubah ketersediaan tenaga kerja produktif memiliki nilai pengaruh sebesar 0.48. Di kedua lokasi penelitian, sebagian besar responden masuk dalam kategori umur produktif/usia tenaga kerja (15-64 tahun). Namun demikian, ketersediaan tenaga kerja produktif di kedua lokasi penelitian tidak seimbang dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan. Sehingga keberadaan kegiatan GN-RHL dapat membantu menyerap usia produktif yang ada di Layana dan Lambara menjadi angkatan kerja (labor force).
4. Tingkat keterbukaan masyarakat Peubah ”tingkat keterbukaan masyarakat” terhadap kegiatan GN-RHL memiliki nilai pengaruh sebesar 0,46. Keterbukaan yang dimaksud terkait dengan proses adopsi inovasi dan proses difusi masyarakat. Dalam proses tersebut, masyarakat di dua lokasi penelitian melakukan upaya pengenalan, di antaranya dengan meningkatkan sifat kekosmopolitan terhadap kegiatan GN-RHL. Sifat kekosmopolitan yang dicirikan oleh upaya mereka dalam mencari dan menggali informasi dengan pihak-pihak yang lebih memahami tentang kegiatan ini. Pihak-pihak yang dimaksud di antaranya; sesama anggota, tokoh-tokoh masyarakat, pendamping dan petugas lapangan, serta Dinas Kehutanan Kota Palu. Dalam proses adopsi inovasi, proses pengenalan merupakan salah tahapan yang dilakukan untuk mencapai tahap persuasi, di mana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. Bila tahapan ini dapat dilalui dengan baik, maka seseorang akan memutuskan pilihannya untuk menerima atau menolak inovasi tersebut (Hanafi 1987). 5. Dukungan stakeholder Peubah ”dukungan stakeholder” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,40. Di Layana dan Lambara, stakeholder yang memiliki komitmen terhadap kegiatan GNRHL di antaranya: Dinas kehutanan Kota Palu selaku pihak pelaksana, perguruan tinggi, LSM, TNI, BPDAS, pemerintah desa, dan tokoh-tokoh masyarakat. Dukungan stakeholder tersebut sangat penting dan dibutuhkan dalam hal peningkatan efektifitas pelaksanaan kegiatan GN-RHL. 6. Keterjangkauan lokasi Peubah ”keterjangkauan lokasi” (aksesibilitas) memiliki nilai pengaruh sebesar 0,36. Baik di Layana maupun Lambara keterjangkauan lokasi tergolong baik. Di Lambara, lokasi kegiatan penanaman GN-RHL memiliki jarak yang relatif dekat
dengan pemukiman penduduk (± 2 km). Sedangkan di Layana, memilik jarak ± 0,5 – 1 km dari pemukiman penduduk. Kemudahan aksesibilitas tersebut sangat mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan GN-RHL, terutama dalam proses pengangkutan dan distribusi bibit yang akan ditanam, serta kegiatan pemeliharaannya. b. Unsur Kelemahan (Weakness) Peubah strategi internal berupa kelemahan (weakness) yang
memiliki
pengaruh terhadap pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL dan nilai pengaruhnya disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Peubah-peubah unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya Peubah Strategi Internal
Bobot
Rating
Skor
1 Penyaluran dana kegiatan GN-RHL ke daerah sering terlambat Ketersediaan bibit tanaman, utamanya jenis kayukayuan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2 0,195
4 4
5 0,78
0,181
4
0,72
0,175
4
0,70
0,114
3
0,34
0,127
2
0,25
0,107
2
0,21
0,102
2
0,20
Curah hujan rendah, sumber air terbatas Kegiatan bimbingan teknis pembuatan pemeliharaan tanaman tidak efektif,
dan
Tingkat pendidikan tergolong rendah Pemberian peran kepada masyarakat berkeadilan (recruitment calon peserta sepenuhnya berdasar pada KK/rumahtangga).
kurang belum
Terbatasnya sarana-prasarana pendukung pelaksanaan GN-RHL di Lokasi Total
3,22
Tabel di atas menunjukkan bahwa peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah ”Penyaluran dana kegiatan GN-RHL ke daerah sering terlambat”, sehingga mempengaruhi item kegiatan lainnya di lapangan”, dengan nilai pengaruh sebesar 0,78. Sedangkan
peubah yang memiliki nilai pengaruh terendah adalah
”Terbatasnya sarana-prasarana pendukung pelaksanaan GN-RHL di Lokasi”, dengan nilai pengaruh sebesar 0,20.
1. Penyaluran dana kegiatan GN-RHL yang sering terlambat
Peubah ”penyaluran
dana kegiatan GN-RHL” , memiliki nilai pengaruh
sebesar 0,78. Penyaluran dana kegiatan GN-RHL ke daerah yang sering terlambat mempengaruhi item kegiatan lainnya di lapangan. Salah satu item kegiatan yang terkena dampaknya adalah kegiatan penanaman. Sering dijumpai kegiatan penanaman dilakukan di luar jadwal yang telah ditentukan akibat keterlambatan distribusi bibit. Hal tersebut akan berdampak pada persentase tumbuh tanaman yang rendah. 2. Ketersediaan bibit tanaman yang kurang sesuai Peubah ”Ketersediaan bibit tanaman” kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,72. Ketersediaan bibit tanaman, utamanya jenis kayu-
kayuan, kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini disebabkan pihak kontraktor penyedia bibit tidak mampu memenuhi target jumlah bibit yang dibutuhkan untuk luasan tersebut. Sehingga bibit yang disediakan tidak sesuai denga kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sebagai contoh, selain jenis tanaman kehutanan (jati, kemiri) masyarakat di Layana dan Lambara membutuhkan pula jenis tanaman MPTS seperti: nangka, mangga dan sukun. Namun bibit yang didatangkan tidak sesuai dengan kebutuhan tersebut. 3. Curah hujan rendah Peubah ”curah hujan rendah” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,70. Di Kota Palu, utamanya di kedua lokasi penelitian, rata-rata curah hujan per tahun hanya 3,22 mm, jauh lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Faktor pembatas ini menyebabkan sumber air yang dibutuhkan untuk prosdes penanaman terbatas, sehingga tanaman banyak yang mati. Kendala ini diperburuk oleh waktu pelaksanaan penanaman yang tidak sinkron dengan musim penghujan, sehingga banyak bibit yang mati sebelum di tanam.
4. Kegiatan bimbingan teknis pembuatan dan pemeliharaan tanaman tidak efektif Peubah ”kegiatan bimbingan teknis pembuatan dan pemeliharaan tanaman tidak efektif” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,34. Hal tersebut lebih disebabkan oleh tidak optimalnya fungsi dan peran petugas lapangan sebagai pendamping teknis. Intensitas pertemuan yang rendah antara petugas penyuluh lapangan dengan
masyarakat menjadi salah satu indikator lemahnya bimbingan terknis kegiatan GNRHL di kedua lokasi penelitian. 5. Tingkat Pendidikan yang tergolong rendah Peubah ”tingkat pendidikan peserta kegiatan GN-RHL yang tergolong rendah” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,25. Sebagian besar responden di kedua lokasi penelitian
hanya
menamatkan
pendidikannya
pada
jenjang sekolah
dasar.
Keterbatasan tingkat pendidikan mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi mereka pada tahap perencanaan kegiatan GN-RHL. Dengan tidak terlibat pada tahap perencanaan, sejumlah keinginan dan kebutuhan yang dimilikinya tidak dapat dikomunikasikan dengan baik kepada pihak pelakana kegiatan GN-RHL.
6. Pemberian peran kepada masyarakat kurang berkeadilan Peubah ”pemberian peran kepada masyarakat yang kurang berkeadilan” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,21. Pemberian peran terkait dengan sistem penetapan peserta GN-RHL di kedua lokasi penelitian belum sepenuhnya berdasar pada KK/rumahtangga, sehingga dijumpai beberapa kk yang tidak mendapat kesempatan terlibat. 7. Terbatasnya sarana-prasarana pendukung pelaksanaan GN-RHL
Peubah ”terbatasnya sarana-prasarana pendukung pelaksanaan GN-RHL” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,20. Terbatasnya sarana-prasarana pendukung di lokasi menjadi salah satu faktor pembatas pelaksanaan kegiatan penanaman. Sarana dan prasarana yang dimaksud antara lain: penampungan air, alat penyiram tanaman, dan pondok kerja. c. Unsur Peluang Peubah
strategi
eksternal berupa
peluang (Opportunity) memiliki
pengaruh terhadap pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL dan nilai pengaruhnya disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28 Peubah-peubah unsur peluang dan nilai pengaruhnya Peubah Strategi Eksternal
Bobot
Rating
1 Lahan kritis dan hutan rusak di dalam dan di luar kawasan hutan cukup luas.
2 0,222
3 4
Nilai pengaruh 4 0,89
Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan cukup tinggi.
0,183
4
0,73
Komitmen Pemerintah Kota Palu dalam menyelenggarakan kegiatan GN-RHL.
0,169
3
0,51
0,159
3
0,48
0,140
3
0,42
0,127
3
0,38
Kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Peraturan perundangan bidang kehutanan mendukung penyelenggaranaan GN-RHL. Kebutuhan terhadap hasil hutan kayu dan non kayu tinggi. Total
3,41
Tabel di atas menunjukkan bahwa peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah ” Lahan kritis dan hutan rusak di dalam dan di luar kawasan hutan yang cukup luas” dengan nilai pengaruh sebesar 0,89. Sedangkan peubah yang memiliki
nilai pengaruh terendah adalah ” Kebutuhan terhadap hasil hutan kayu dan non kayu tinggi”, dengan nilai pengaruh sebesar 0,38.
1. Lahan kritis dan hutan rusak di dalam dan di luar kawasan hutan yang cukup luas. Peubah ”lahan kritis dan hutan rusak di dalam dan di luar kawasan hutan yang cukup luas” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,89. Lahan kritis di Sulawesi Tengah memiliki luas kurang-lebih 11.318 ha di dalam kawasan dan seluas 3.506 ha di luar kawasan hutan. Luasan tersebut hanya sekitar 20% dari total luas lahan kritis di Sulawesi Tengah (± 625.257 ha).
2. Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang tinggi Peubah ”Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang tinggi” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,73. Masyarakat di kedua lokasi penelitian pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, perotan, dan pencari kayu bakar. Sampai saat ini, kayu masih merupakan sumber bahan bakar yang sangat penting artinya bagi masyarakat di Layana dan Lambara. Hal ini semakin diperparah dengan tingginya harga bahan bakar minyak tanah, sehingga hampir seluruh masyarakat menggunakan kayu bakar sebagai subtitusi bahan bakar minyak. Di sisi lain, masyarakat juga membutuhkan kayu sebagai bahan baku pertukangan, yang digunakan untuk keperluan membangun rumah dan kepentingan lainnya.
3. Komitmen Pemerintah Kota Palu dalam menyelenggarakan kegiatan GN-RHL Peubah ”Komitmen Pemerintah Kota Palu dalam menyelenggarakan kegiatan GN-RHL”memiliki nilai pengaruh sebesar 0,51. Pemerintah Kota Palu memiliki tekat yang kuat untuk mengatasi lahan kritis di Kota Palu. Komitmen tersebut dapat menjadi faktor pendukung dalam meningkatkan keberhasilan pelaksanaan dan keberlanjutan kegiatan GN-RHL di kota Palu. 4. Kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan Peubah “kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,48. Keterbatasan lapangan pekerjaan menjadikan tingkat pengangguran di desa-desa menjadi meningkat. Hal tersebut dapat menimbulkan kerawanan, utamanya terhadap ancaman perambahan hutan dan perubahan fungsi lahan. Melalui kegiatan GN-RHL diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif mata pencaharian bagi masyarakat dalam mengurangi jumlah pengangguran di desa. 5. Peraturan perundangan bidang kehutanan mendukung penyelenggaranaan GNRHL. Peubah ”peraturan perundangan bidang kehutanan yang mendukung penyelenggaranaan GN-RHL” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,42. Dukungan peraturan perundangan tersebut menjadi salah satu insentif terhadap keberhasilan kegiatan GN-RHL. Insentif yang dimaksud utamanya terhadap kejelasan aturan main penyelenggaraan kegiatan. Dengan demikian, kepastian hak dan kewajiban setiap
peserta akan semakin jelas.
Peraturan perundangan bidang kehutanan yang
mendukung penyelenggaraan GN-RHL di antaranya adalah Peraturan perundangan yang dimaksud meliputi; UU nomor 41 tahun 1999, UU nomor 32 tahun 2004, Permenhut nomor 03 tahun 2004. 6. Kebutuhan terhadap hasil hutan kayu dan non kayu tinggi. Peubah “kebutuhan terhadap hasil hutan kayu dan non kayu tinggi” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,38. Permintaan yang tinggi terhadap hasil hutan kayu dan non kayu membutuhkan dukungan ketersediaan stok hasil hutan kayu dan non kayu yang memadai. Hal tersebut dapat disinergikan melalui kegiatan GN-RHL yang berbasis pada jenis-jenis tanaman yang bersifat komersil, utamanya pada lahan-lahan milik rakyat atau pada kawasan hutan produksi. d. Unsur Ancaman Peubah
strategi
eksternal berupa ancaman (Threath), yang memiliki
pengaruh terhadap pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL disajikan pada Tabel 29 Tabel 29 Peubah-peubah unsur ancaman dan nilai pengaruhnya Peubah Strategi Eksternal
Bobot
Rating
Skor
1 Penduduk di dalam dan sekitar hutan masih tergolong miskin Kebutuhan lahan untuk berbagai kepentingan
2 0,261
3 4
4 1,04
0,255
3
0,76
Peraturan pemerintah di bidang RHL yang sering berubah-ubah
0,165
3
0,49
Kepastian hak kelola dan pelayanan usaha dibidang kehutanan masih rendah
0,119
4
0,48
Intensitas gangguan hama
0,201
2
0,40
Total
3,18
Tabel di atas menunjukkan bahwa peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah ”Penduduk di dalam dan sekitar hutan masih tergolong miskin”, dengan nilai pengaruh sebesar 1,04. Sedangkan
peubah yang memiliki nilai pengaruh
terendah adalah ” Intensitas gangguan hama (ternak) yang tinggi” dengan nilai pengaruh sebesar 0,40. 1. Penduduk di dalam dan sekitar hutan masih tergolong miskin Peubah “penduduk di dalam dan sekitar hutan masih tergolong miskin”, memiliki nilai pengaruh sebesar 1,04.
Hal ini erat kaitannya dengan tingkat
pendapatan penduduk di kedua lokasi yang tergolong rendah (>Rp500.000,-) dan adanya pengangguran di kalangan masyarakat petani, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Penduduk yang miskin menjadi salah satu ancaman serius terhadap keberlanjutan kegiatan rehabilitasi hutan, termasuk kegiatan GN-RHL. Ancaman serius yang dimaksud adalah laju konversi lahan untuk keperluan ekonomi sesaat, akibat desakan kebutuhan ekonomi keluarga, seperti perubahan fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan pencurian hasil hutan kayu secara illegal. Kegiatan tersebut berdampak pada kerusakan hutan yang semakin lama semakin meningkat. 2. Kebutuhan Lahan untuk Berbagai Kepentingan Peubah “kebutuhan lahan untuk berbagai kepentingan” yang sangat tinggi memiliki nilai pengaruh sebesar 0,76. Kondisi ini dapat menjadi pemicu terjadinya konversi lahan di dalam dan di luar kawasan hutan, baik skala besar maupun kecil. Seperti dijelaskan sebelumnya, lahan hutan di Kota Palu paling banyak di konnversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan ekonomi jangka pendek, baik berskala kecil (tingkat masyarakat) maupun skala besar (tingkat perusahaan). Bila tidak segera diatasi, maka situasi ini akan menciptakan lahan-lahan kritis baru dalam skala yang lebih luas di Kota Palu. 3. Peraturan Pemerintah yang Berubah-Ubah Peubah “peraturan pemerintah yang berubah-ubah” memiliki nilai pengaruh sebesar 0,49. Ketidakjelasan aturan dapat memicu munculnya ketidakpastian dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Situasi ini menyebabkan pelaksanaan di tingkat lapangan tidak optimal. 4. Kepastian hak kelola dan pelayanan usaha dibidang kehutanan masih rendah.
Peubah “kepastian hak kelola dan pelayanan usaha dibidang kehutanan masih rendah”, memiliki nilai pengaruh sebesar 0.48. Kepastian hak kelola dan pelayanan usaha erat kaitannya dengan kontribusi yang diberikan oleh masyarakat dalam kegiatan GN-RHL.
Semakin jelas kepastian hak kelola dan pelayanan terhadap
masyarakat perserta kegiatan, dapat menjadi insentif yang menjamin keberlanjutan kegiatan. Sebaliknya, semakin tidak jelas hak kelola dan pelayanan usaha kepada masyarakat peserta kegiatan, akan memicu terciptanya disinsentif bagi keberlanjutan kegiatan GN-RHL. 5. Intensitas Gangguan Hama (ternak) Peubah “intensitas gangguan hama (ternak) sangat tinggi”, dan memiliki nilai pengaruh sebesar 0,40. Selain disebabkan oleh ancaman gangguan hama babi hutan, juga disebabkan oleh ancaman gangguan dari ternak milik masyarakat. Peternakan merupakan salah satu mata pencaharian yang penting bagi masyarakat di kedua lokasi penelitian, dan merupakan kegiatan ekonomi untuk mengembangkan modal dan sekaligus sebagai tabungan. Namun peternakan bagi sektor kehutanan
dapat
menimbulkan gangguan terhadap kerusakan hutan (Simon 1994). Hal ini disebabkan karena perkembangan jumlah ternak masyarakat tidak didukung oleh sumber makanan ternak yang cukup, sehingga masalah tersebut dipecahkan oleh masyarakat dengan emmanfaatkan rumput di sekitar tanamana GN-RHL. Namun, cara pemanfaatan tersebut hanya dengan melepaskan ternak di dalam areal GN-RHL, maka menimbuklkan kerusakan tanaman yang tidak dapat dihindari. Diagram dan Matriks SWOT Berdasarkan matrik IFE dan EFE, dapat di susun diagram SWOT dengan menghitung selisih total nilai pengaruh unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan selisih nilai pengaruh unsur eksternal (peluang dan ancaman). Hasil analisis menunjukkan bahwa total nilai peubah strategi internal berupa unsur kekuatan kekuatan adalah sebesar 2,94 dan unsur kelemahan sebesar 3,22. Sedangkan untuk peubah strategi eksternal berupa unsur peluang sebesar 3,41; peubah eksternal, yaitu unsur ancaman 3,18. Berdasarkan nilai-nilai ini diperoleh posisi strategi pengembangan partisipasi masyrakat terletak pada sel 3 dengan nilai
koordinat (-0,28 ; 0,23). Untuk lebih jelasnya, diagram SWOT disajikan pada gambar 6.
0,3 Peluang (O)
-0,28; 0,23
0,25 0,2
Sel 3
Sel 1 0,15 0,2 0,1
Kelemahan (W)
0
-0,35 -0,3 -0,25 -0,2 -0,15 -0,1 -0,05 0 -0,05
Kekuatan (S) 0,05 0,1 0,15 0,2
0,25 0,3
0,35
-0,1
Sel 4
-0,15
Sel 2
-0,2 -0,25 -0,3
Ancaman (T)
Gambar 5. Diagram SWOT pengembangan partisipasi masyarakat
Diagram SWOT di atas menunjukkan bahwa posisi pengembangan partisipasi masyarakat terdapat pada sel ketiga (strategi WO). Strategi tersebut bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar (Salusu 1999). Menurut Pearce II and Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001) posisi pada sel 3 tersebut berarti bahwa pengembangan partisipasi masyarakat memiliki peluang tetapi dihambat oleh adanya kelemahan-kelemahan internal. Dengan demikian, perlu menciptakan suatu strategi yang dapat meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa matriks SWOT, menggambarkan dengan rinci tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki untuk pengembangan partisipasi masyarakat, yang dipadukan dengan unsur peluang dan ancaman yang dimilikinya. Matriks SWOT tersebut memberikan kemungkinan empat sel alternatif strategi SO,
ST, WO, dan WT, yang dirumuskan dengan menyesuaikan kekuatan dan kelemahan berdasarkan ancaman dan peluang yang ada dan secara lengkap disajikan pada Tabel 30 Tabel 30. Matriks SWOT pengembangan partisipasi masyarakat KEKUATAN (S) S1: Respon masyarakat terhadap program GNRHL tergolong baik (0,71). FAKTOR INTERNAL
S2: Kerjasama kelompok tergolong baik (0,53). S3: Ketersediaan tenaga kerja di kedua lokasi cukup memadai dalam menunjang kegiatan GN-RHL (0,48). S4: Tingkat keterbukaan masyarakat terhadap kegiatan GN-RHL tinggi (0,46).
FAKTOR EKSTERNAL
S5: Dukungan Stakeholder terhadap GN-RHL (0,40). S6: Keterjangkauan lokasi (aksesibilitas), baik di Layana maupun Lambara tergolong baik) (0,36).
KELEMAHAN (W) W1: Penyaluran dana kegiatan GNRHL ke daerah sering terlambat (0,78). W2: Ketersediaan bibit tanaman, utamanya jenis kayu-kayuan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (0,72). W3: Curah hujan rendah, sumber air terbatas (0,70). W4: Kegiatan bimbingan teknis pembuatan dan pemeliharaan tanaman tidak efektif (0,34). W5: Tingkat pendidikan peserta rendah. (0,25). W6: Pemberian peran kepada masyarakat kurang berkeadilan (recruitment calon peserta belum sepenuhnya berdasar pada KK/rumahtangga) (0,21).
PELUANG (O) O1: Lahan kritis dan hutan rusak di dalam dan di luar kawasan hutan cukup luas (0,89). O2: Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan cukup tinggi (0,73).
STRATEGI SO •
Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat dan Percepatan kegiatan reboisasi pada kawasan hutan produksi dan lindung (S, O1, O2, O3, O4, O5)
•
Peningkatan pemanfaatan aneka fungsi kehutanan (S4, O3, O5, O6)
O3: Komitmen Pemerintah Kota Palu dalam menyelenggarakan kegiatan GN-RHL (0,51).
•
Peningkatan kemitraan dengan kelembagaan lokal dalam pelaksanaan GN-RHL (S2, S6, O3, O5, O6)
O4: Kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Sementara, di kedua lokasi penelitian, jumlah usia produktif cukup memadai (0,48) .
•
Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan berbasis tanaman MPTS (S1, S3, S4, S6, 01, 02, 05, 06)
W7: Terbatasnya sarana-prasarana pendukung pelaksanaan GNRHL di Lokasi (0,20). STRATEGI WO •
Peningkatan persen tumbuh tanaman GN-RHL melalui pembuatan penampungan air yang di sekitar lokasi penanaman. (W4, W7, O2, O4)
•
Pembangunan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat berbasis tanaman jarak pagar (W4, O1,O5)
•
Penyiapan bibit tanaman GNRHL sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan iklim Lembah Palu (W2, W4, O3, O5) Peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran (W1, W5, O3, O5)
•
O5: Peraturan perundangan bidang kehutanan mendukung penyelenggaraan GN-RHL (0,42). O6: Kebutuhan terhadap hasil hutan kayu dan non kayu tinggi (0,38). ANCAMAN (T)
STRATEGI ST
T1: Penduduk di dalam dan sekitar hutan masih tergolong miskin (1,04).
•
T2: Kebutuhan lahan untuk berbagai kepentingan sangat tinggi (0,76).
•
T3: Peraturan pemerintah di bidang RHL yang sering berubah-ubah (0,49). T4: Kepastian pelayanan
hak kelola dan usaha dibidang
•
Sinkronisasi penyelengaaraan antara pusat dan daerah dalam rangka optimalisasi (S6, T5) Peningkatan Koordinasi para pihak pada pemanfaatan lahan (S1,S2, S6, T1, T4, T5) Peningkatan kegiatan pemantapan kawasan hutan, perlindungan dan pengamanan kawasan hutan (S6, T1, T2, T4 , T5 )
•
•
STRATEGI WT Pemantapan analisis kebutuhan masyarakat dalam rangka penyiapan kegiatan GN-RHL (W2, W5, W6, T1, T2, T4) Peningkatan peran serta masyarakat, mulai penyiapan kelembagaan kelompok, penyiapan bibit tanaman, pembuatan tanaman hingga pemeliharaan dan pemanfaatan hasil tanaman GN-RHL (W2, W5,
kehutanan masih rendah (0,48) T5: Intensitas gangguan hama tinggi (0,40).
• •
Pengembangan kegiatan GN-RHL berbasis sistem silvopastoral (S1, T1, T2, T3) Peningkatan pembinaan kelompok tani hutan (HR dan reboisasi) pada tiga aspek kelola (kelola areal/kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha) (S1, S2, S3, S6, T1, T3)
•
W6, W7, T1, T2, T3, T4) Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan (T1, T3)
Berdasarkan Tabel 30, nampak bahwa strategi SO yang dapat diterapkan antara lain: (a) Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat dan
percepatan
kegiatan reboisasi pada kawasan hutan produksi dan lindung, (b) Peningkatan pemanfaatan aneka fungsi kehutanan, (c) Peningkatan kemitraan dengan kelembagaan lokal dalam pelaksanaan GN-RHL, dan (d) Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan berbasis tanaman MPTS. Strategi ST: (a) Sinkronisasi penyelengaaraan antara pusat dan daerah dalam rangka optimalisasi, (b) Peningkatan koordinasi para pihak pada pemanfaatan lahan, (c) Peningkatan kegiatan pemantapan kawasan hutan dan perlindungan serta pengamanan kawasan hutan, (e) Pengembangan kegiatan GN-RHL berbasis sistem silvopastoral, dan (f) Peningkatan pembinaan kelompok tani hutan (HR dan reboisasi) pada tiga aspek kelola (kelola areal/kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha). Strategi WO: (a) Pemeliharaan tanaman GN-RHL melalui pembuatan penampunganpenampungan air yang berdekatan dengan lokasi penanaman,
(b) Pembangunan
hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat berbasis tanaman jarak pagar, (c) Penyiapan bibit tanaman GN-RHL sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan iklim Lembah Palu, (d) Peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran, dan
(e) Pembangunan sarana dan
prasaranan bangunan hutan (jalan pemeriksaan dan pondok kerja/pertemuan dan penyuluhan). Strategi WT: (a) Pemantapan analisis kebutuhan masyarakat dalam rangka penyiapan kegiatan GN-RHL, (b) Peningkatan peran serta masyarakat, mulai penyiapan kelembagaan kelompok, penyiapan bibit tanaman, pembuatan tanaman hingga pemeliharaan dan pemanfaatan hasil tanaman GN-RHL, dan Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
(c)
Strategi Pengembangan Partisipasi Berdasarkan hasil analisis SWOT, dihasilkan sejumlah arahan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan GN-RHL. Peubah-peubah bersifat strategis unsur kelemahan dan peluang (WO) dalam partisipasi masyarakat pada kegiatan GN-RHL di Layana dan Lambara, merupakan prioritas tertinggi untuk segera ditangani. Seperti dijelaskan sebelumnya, di kedua lokasi penelitian memiliki curah hujan yang sangat rendah, sehingga ketersediaan air untuk keperluan penanaman dan pemeliharaan tanaman sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan persen tumbuh tanaman menjadi rendah. Hasil evaluasi tim independen, yang bertugas dalam menilai persen tumbuh tanaman melaporkan bahwa di Layana persentase tumbuh tanaman hanya mencapai 30% dan di Lambara mencapai 45%. Bila mengacu pada aturan yang berlaku tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota GN-RHL (Permenhut no.3 2004), maka
Kelurahan
Layana dan Kelurahan Lambara masuk dalam kategori gagal (di bawah 55%). Selain faktor pembatas berupa iklim, kegagalan tumbuh tanaman disebabkan pula oleh keterbatasan sarana dan prasarana penunjang di lapangan, seperti sarana penampungan air dan pondok kerja. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembuatan sarana dan prasarana penunjang, utamanya bak-bak penampungan air. Hal ini penting mengingat adanya faktor pembatas iklim yang tergolong ekstrim. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memilih jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Salah satu jenis yang dapat dikembangkan adalah tanaman jarak. Menurut masyarakat, jenis ini lebih mudah tumbuh, tahan terhadap kekeringan, dan memiliki nilai ekonomis. Selain itu, jenis ini juga tidak disukai oleh ternak sehingga gangguan hama dapat dikurangi. Penanaman tanaman jarak berskala besar melalui kegiatan GN-RHL, baik di hutan rakyat maupun hutan tanaman rakyat, dapat memberikan peluang terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, sekaligus membuka kesempatan kerja bagi penduduk produktif yang belum memiliki pekerjaan. Terlebih lagi, luas lahan kritis di Sulawesi Tengah masih cukup tersedia untuk pengembangan tanaman jarak yang
berskala luas. Untuk mengupayakan hal tersebut, dukungan pemerintah daerah dan instansi terkait sangat dibutuhkan. Komitmen yang diberikan oleh pemerintah daerah dan stakeholder lainnya dapat dijadikan entry point pengembangan GN-RHL yang menggunakan tanaman-tanaman komersil berskala lokal. Hal penting lain yang juga harus diperhatikan adalah penyiapan jenis tanaman yang betul-betul dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat, sesuai dengan kondisi iklim Kota Palu, serta diupayakan jenis yang dapat pula memberikan nilai tambah ekonomis secara langsung bagi masyarakat. Hal ini penting mengingat permintaan kayu dan hasil hutan non kayu yang cukup tinggi di Sulawesi Tengah. Jenis kayu yang banyak dibutuhkan antara lain: nyatoh, meranti dan palapi. Sedangkan untuk non kayu antara lain: rotan, damar dan aren. Untuk menunjang hal tersebut, diperlukan peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran.
Hal ini penting, sebab tingkat pendidikan peserta kegiatan GN-RHL
tergolong rendah dan pelaksanaan kegiatan bimbingan teknis pembuatan dan pemeliharaan tanaman selama ini yang dinilai belum efektif. Agar solusi alternatif yang ditawarkan tersebut dapat memperoleh dukungan nyata dari pihak pelaksana dan stakeholder lainnya, maka perlu memperbaiki rencana strategis pengembangan GNRHL yang lebih partisipatif, dan mampu mengakomodasi kepentingan publik yang luas. Masyarakat mempunyai kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan dengan kesejahteraan yang baik maka kesadaran untuk memelihara dan memperbaiki fungsi lahan menjadi semakin tinggi. Pemerintah mempunyai kepentingan untuk memelihara dan meningkatkan kestabilan ekonomi dan sosial, menyediakan infrastruktur sosial ekonomi, dan menjaga ketertiban umum. Kepentingan publik yang luas terletak pada lancarnya dukungan fungsi kehidupan, yakni terjaganya penyediaan dan kualitas air, udara, dan keanekaragaman penunjang kehidupan, termasuk melalui kegiatan GN-RHL ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat partisipasi masyarakat, baik di Layana maupun Lambara, pada tahap perencanaan dan evaluasi GNRHL tergolong rendah, dan masuk dalam kategori partisipasi informasi (tingkat 1), sedangkan pada tahap pelaksanaan tergolong tinggi, dan masuk dalam kategori partisipasi partisipasi plakasi/konsiliasi (tingkat 4). 2. Faktor–faktor internal masyarakat yang memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat
pada tahap perencanaan di
Layana adalah: tingkat
pendidikan, sifat kekosmopolitan, persepsi, dan motivasi intrinsik, sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: jumlah anggota keluarga, sifat kekosmopolitan, persepsi dan motivasi intrinsik. Adapun faktor eksternal masyarakat yang memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan adalah: intensitas sosialisasi program dan peran petugas lapangan. 3. Faktor–faktor internal masyarakat yang memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan di Lambara adalah: umur, tingkat pendapatan, sifat kekosmopolitan, persepsi, motivasi intrinsik dan ekstrinsik, sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: umur, sifat kekosmopolitan, persepsi dan motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Adapun faktor eksternal masyarakat adalah: intensitas sosialisasi program dan peran petugas lapangan. Sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: intensitas sosialisasi program,peran petugas lapangan dan kejelasan hak dan kewajiban. 4. Strategi
pengembangan partisipasi: masyarakat dalam program GN-RHL
sebaiknya difokuskan pada strategi WO (Weakness– Opportunitiess) diantaranya: Peningkatan persen tumbuh tanaman,
pembangunan hutan rakyat dan hutan
tanaman rakyat, penyiapan bibit tanaman GN-RHL sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan iklim setempat, dan peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran.
Saran 1.
Pelaksanaan kegiatan GN-RHL, khususnya di Kota Palu perlu memperhatikan pelibatan aktif masyarakat dan skateholder lainnya secara optimal, utamanya pada tahap perencanaan. Hal ini penting dalam menjamin terciptanya partisipasi yang sesungguhnya terhadap pelaksanaan kegiatan GN-RHL di masa mendatang.
2.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan GN-RHL, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan dengan analisis peran stakeholder dan evaluasi keberhasilan kegiatan GN-RHL khususnya di Kota Palu
DAFTAR PUSTAKA
Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Comanagement of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning-byDoing. Heidelberg Germany: GTZ and IUCN, Kasparek Verlag. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Kecamatan Palu Timur dan Palu Utara dalam Angka. Palu: Kantor BPS. Cernea MM. 1985. Putting People First: Sociological Variables in Rural Development. World Bank, UK: Oxford University Press. Cohen JM, Uphoff. 1977. Rural Development Participation. New York: Ithaca. Davis LS et.al. 2001. Forest Management To Sustain Ecological, Economic, and Social Values. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Higher Education. Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Bogor: Lab Politik Ekonomi Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 – 2025. Jakarta: Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan. Hanafi A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional. Hidayat N. 2003 Bahan Masukan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Departemen. Jakarta: Sekjen Kehutanan. http://www.dephut.go.id/email.asp, html [24 Oktober 2006]. Kartodihardjo H. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan: Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kartodiharjo H et al. 2001. Pengembangan Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan/ Penghijauan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Kartodihardjo H et al. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Bogor: K3SB. Kementerian Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. 03 tahun 2004: Tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota dan Hutan Rakyat Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). http://www.dephut.go.id/email.asp, html [22 Desember 2006]. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2003. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 18 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. http://www.menlh.go.id. html [22 Desember 2006]. [LDFEUI] Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Arti dan Tujuan Demografi. Di dalam Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Nanang N, Devung GS. 2004. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Center for Social Forestry (CSF), Universitas Mulawarman Institute for Global Environmental Strategies (IGES), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nasir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Grahalia Indonesia Ndraha T. 1987. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakatar: Rineka Cipta. Oakley P et. al. 1991. Project with People. The Practice of Participation in Rural Development. Genewa: ILO. Pujo. 2003. Partisipasi Masyarakat pada Program Kehutanan Sosial di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. (Kasus di Desa Cileuya, Kecamatan Cimahi, Kabupaten Kuningan dan Desa Margamukti, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertranian Bogor. Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Safei LM. 2005. Kajian Partisipasi masyarakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove: Studi Kasus Desa Marobo Kecamatan Bone dan Desa Labulu-bulu Kecamatan Parigi Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setyarso A. 2004. Aktualisasi Nilai dan Manfaat Sosial Ekonomi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jurnal Hutan Rakyat. Pusat Kajian Hutan Rakyat. Jogyakarta. Fakultas Kehutana UGM. Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Slamet M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press Bogor. Slamet M. 1980. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Slamet Y. 1989. Konsep-konsep Dasar Partisipasi Sosial. Pusat Antar Universitas Studi Sosial. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sugiyono. 2000. Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta Suharjito D, Sundawati L, Suyanto, Utami SR . 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bahan Ajaran Agroforestry. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF): 5. Sallatang A. 1986. Masyarakat Budaya dan Lingkungan. Makassar:Materi Diklat TMPP Angkatan XXI UNHAS. Makassar: Universitas hasanuddin. Salusu J. 1999. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Grasindo. Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian.
Sunartana YEP. 2003. Partisipasi Anggota Dalam Kelompok Pengelolaan dan Pelestarian Hutan (KPPH). (Kasus di Kawasan Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung Lampung). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius Tjokroamidjojo B. 1991. Pengantar Pembangunan dalam Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Pustaka Press. Trison S. 2005. Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan (Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [WALHI]. 2004. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Butuh Perencanaan yang Matang dan Partisipatif serta Pengawasan Aktif Masyarakat: http://www.walhi.or.id/ . html [12 Agustus 2006]. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Wijayanto N. 2001. Faktor Dominan dalam Sistem Pengelolaan HKM (Studi Kasus di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wilcox D. 1994. The Guide of Effective Participation. http://www.partnership.org.uk/guide/index.html [22 Desember 2006]. [YBAHL] Yayasan Bina Agro Hutani Lestari. 2004. Rencana Pendampingan dan Pemberdayaan Kelompok Tani Peserta GN- RHL Palu. Palu: Sulawesi Tengah.