Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BARONG, KALTIM M. Fakhrudin, Gunawan P. Yoga, Iwan Ridwansyah, dan Hadiid Agita Rustini ABSTRAK Penelitian ini bertujuan meyusun model pengelolaan Daerah Aliran Sungai di DAS Barong, Kalimantan Timur. Dari penelitian ini diketahui bahwa : Pada simulasi kondisi saat ini, DAS Mentiwan yang memiliki luas 538.782,65 Ha memberikan total limpasan sebesar 683.723,2 m3 dan 169,32 ton sedimen. Sementara DAS Tabai dengan luas 445.641 Ha memberikan total limpasan sebesar 1.284.390,95 m3 dan 1835,79 ton sedimen. Pada simulasi kedua dengan mengasumsikan bahwa semua kelas hutan dialihgunakan menjadi pertanian dan semua kelas pertanian menjadi permukiman diperoleh total limpasan dan total sedimen DAS Mentiwan dan DAS Tabai secara berturut-turut adalah 1.304.681,47 m3 / 1099,73 ton dan 1.595.454,52 m3 / 5790,177 ton. Apabila lahan pertanian dialihgunakan menjadi permukiman, DAS Mentiwan memberikan total limpasan 833.915,69 m3 dan 365,98 ton sedimen bagi Danau Barong. Sementara DAS Tabai memberikan total limpasan 1.488.185,99 m3 dan 4853,58 ton sedimen bagi Danau Barong. Pada simulasi 3, DAS Mentiwan memberikan total limpasan sebesar 729.645,62 m3 dan 204,39 ton. Sementara total limpasan dari DAS Tabai adalah 1.281.869,3 m3 dengan total sedimen 2524,13. Asumsi yang digunakan pada simulasi 3 hanya berbeda dalam hal teknik konservasi pertanian dan kepadatan permukiman. Kata Kunci : erosi, sedimentasi, teknik pertanian, modelling
ABSTRACT The objectives of this research are to develop a management model and evaluate agricultural techniques suitable to be applied in Barong Watershed of the East Kalimantan. It is concluded that currently, a 4 hours of 80 mm rainfall in the 538,782.65 Ha Mentiwan Watershed yields the total runoff and sediment of 683,723.2 m3 and 169.32 tons respectively. While the same amount of rain in 445,641 Ha Tabai Watershed yields 1,284,390.95 m3 of runoff and 1835,79 tons of sediment. The second simulation which assumed that all forests area were changed into agricultural area whilst the existing agricultural area converted into settlement gave the total runoff / sediment yield of Mentiwan and Tabai respectively are 1,304,681.47 m3 / 1099.73 tons and 1,595,454.52 m3 / 5790.177 tons. Assuming that the existing agricultural area converted into settlement gave the total runoff / sediment yield of Mentiwan and Tabai respectively are 833.915,69 m3 / 365.98 tons and 1.488,185,99 m3 / 4853.58 tons. Differed from simulation 3 only by the settlement density and conservation techniques adopted in agricultural area, simulation 4 gave 729,645.62 m3 runoff and 204.39 tons of sediment from Mentiwan, and 1,281,869.3 m3 runoff and 2524.13 tons of sediment from Tabai. Keywords : erosion, sedimentation, agricultural techniques, modeling.
PENDAHULUAN Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam merupakan salah satu DAS terluas dan sungai terpanjang di Indonesia, yang mencakup lima kabupaten di Kalimantan Timur. Kondisi DAS saat ini sudah mengalami degradsi akibat aktivitas manusia, baik itu di daerah hilir maupun hulu sungai. Degradasi akibat aktivitas penebangan hutan dan pertambangan, berakibat pada peningkatan erosi dan sedimentasi yang cukup besar.
466
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Menurut Departemen PU pada Tahun 1992, laju sedimentasi di danau-danau Mahakam bagian tengah mencapai 1 - 2 cm/tahun. Kerusakan pada tanah yang tererosi berupa kemunduran sifat kimia dan fisika tanah, seperti kehilangan unsur hara, peningkatan kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, penurunan kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air. Akibat selanjutnya adalah produktivitas lahan menurun, pengisian air tanah menurun dan peningkatan resiko banjir (Arsyad, 2006) Danau Barong merupakan salah satu danau yang cukup penting yang terdapat di Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Kutai Barat, yang merupakan daerah hulu Sungai Mahakam. Daerah tangkapan air Danau Barong seluas 9.844 ha. Di kawasan ini telah dibangun Waduk Mentiwan yang mempunyai fungsi utama sebagai sumber air irigasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mikrohidro, yang saat ini kondisinya tidak berfungsi lagi. Sebagai daerah perkembangan baru, kawasan ini (Kecamatan Barong Tongkok dan Melak) menjadi daya tarik penduduk untuk bermukim atau migrasi, hal ini dicerminkan oleh pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi antara tahun 1990 sampai tahun 2000, yaitu di Kecamatan Barong Tongkok yang ditetapkan sebagai ibukota kabupaten pertumbuhan naik dari 0,93 % menjadi 2,89 % dan Kecamatan Melak dari 1,18 % menjadi menjadi 2,19 %. Kawasan ini memiliki curah hujan yang cukup tinggi, sebesar 2884 mm/tahun; fisiografi berbukit hingga bergunung dengan lereng antara 30 –50 %; dan tanah mempunyai kandungan liat yang tinggi, kandungan pasir halus dan debu rendah; dan berada pada ketinggian antara 18 – 267 meter dari permukaan laut. Kondisi ini merupakan faktor pendorong terjadinya erosi tanah yang tak terkendali, sedimentasi dan kekeringan. Berdasarkan kondisi tersebut daerah tangkapan Danau Barong mempunyai potensi kerusakan lahan yang serius dan ini akan mengancam kelestarian Danau Barong dan Waduk Mentiwan. Makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan optimasi penggunaan lahan dengan pendekatan model simulasi yang diharapkan sebagai dasar dalam pengelolaan DAS Barong.
467
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
BAHAN DAN METODE 1. Pengumpulan Data dan Informasi Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan pengamatan atau pengukuran langsung di lapangan, sedangkan data sekunder didapatkan dari data yang telah dikumpulkan penelitian sebelumnya atau yang telah dikumpulkan oleh instansi terkait, antara lain : data curah hujan, peta penggunaan lahan, peta tanah, dan peta topografi. Pengukuran di lapang dilakukan pada penggal - penggal sungai untuk mendapatkan data morfometri sungai dan debit, serta dilakukan pemetaan batimetri danau dan pengambilan sampel tanah. 2. Pengolahan dan analisa data Pengolahan
data
lebih
ditekankan
pada
analisis
kuantitatif
dengan
menggunakan Model Simulasi SEDIMOT II (SEdimentology by DIstributed MOdel Treatment), dengan parameter input, antara lain : stuktur model, curah hujan, run-off curve number, waktu konsentrasi, routing aliran sungai, parameter Waduk Mentiwan dan parameter Soil Loss. Struktur model dan batasan DAS Barong dianalisis dari peta topografi dengan menggunakan perangkat lunak berbasis GIS. Struktur model DAS Barong dibagi menjadi dua sub-routing yaitu outlet Mentiwan dan outlet Tabai di mana outlet dari keduanya sebagai inlet dari Danau Barong sebelum mengalir ke Sungai Mahakam. Skematik model SEDIMOT DAS Barong diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skematik model SEDIMOT DAS Barong
468
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Hidrograf banjir pada model Sedimot ini menggunakan pola hujan SCS’s II dengan curah hujan sebesar 3.19 inci, durasi hujan 4 jam, time increment perhitungan tiap 0.25 jam. Data curah hujan merupakan data hujan maksimum yang terjadi pada tanggal 23 April 2007 di DAS Barong. Parameter Run-off Curve Number (CN) menunjukkan potensi air larian terhadap besarnya curah hujan, bilangan CN ditentukan oleh kondisi tanah (soil Group) dan tutupan lahan dengan mengacu pada U.S.Soil Conservation Service (1972) dan Ward,A.D. dan Elliot,W.J. (1995). Untuk mendapatkan nilai CN di DAS Barong didapat dari overlay peta tutupan lahan hasil interpertasi Citra satelit Landsat TM, Tahun 2002 dengan Peta Tanah Skala 1 : 250.000 terbitan Pusat Penelitian Pertanian dan Agroklimat (Puslittanak). Metode yang digunakan untuk menghitung sediment yield pada suatu kejadian hujan tertentu digunakan metode MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation). Sediment yield dihitung pada setiap sub-DAS, dan dilakukan routing ke struktur pengontrol sedimen kemudian dikombinasikan untuk menentukan total sedimen yang masuk struktur dari semua hulu sub-DAS. 3. Simulasi Penggunaan Lahan DAS Barong Untuk mengetahui respon hidrologi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan di DAS Barong dilakukan simulasi dengan menggunakam Model SEDIMOT II. Skenario pertama, mengasumsikan hutan berubah menjadi pertanian dan pertanian berubah menjadi daerah pemukiman. Skenario kedua, lahan untuk hutan masih dapat dijaga/dipertahankan, lahan pertanian berubah menjadi pemukiman. Skenario ketiga. penggunaan lahan untuk hutan tetap, lahan pertanian diolah dengan menggunakan teknik konservasi, dan areal pemukiman pada luasan tetap tetapi kepadatan bertambah.
HASIL DAN PEMBAHASAN I.
Karakteristik DAS Barong
1. Luas dan Letak Lokasi penelitian meliputi Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Barong yang terdiri dari sistem hidrologi DAS Barong dan DAS Tabai yang merupakan Sub DAS Mahakam dengan luasan total 9.925 hektar. Secara Geografis terletak antara 00012’30”-
469
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
00018’42” Lintang Selatan dan 115040’42” sampai 115049’48” Bujur Timur. Secara administratif lokasi penelitian terletak pada Kabupaten Kutai Barat , meliputi Kecamatan Melak dan Barong Tongklok, dan terdiri dari 12 desa.
3. Iklim Berdasarkan data stasiun penakar hujan yaitu stasiun Melak (ketinggian 75 m dpl) dan Barong Tongkok (ketinggian 202 m dpl), rata-rata curah hujan tahunan masingmasing sebesar 2.603 dan 2.884 mm, dengan jumlah hari hujan sebesar 135 hari. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli (144 mm) untuk stasiun Melak dan Agustus (133 mm) untuk stasiun Barong Tongkok. Sedangkan curah hujan tertinggi terjadi November yaitu sebesar 302 mm pada stasiun Melak dan Desember yaitu sebesar 389 mm pada stasiun Barong Tongkok. Perbedaan distribusi karakteristik hujan di lokasi penelitian diduga disebabkan oleh perbedaan ketinggian.. Berdasarkan metode Schmidt dan Ferguson (1951) lokasi penelitian tergolong tipe hujan A (sangat basah), sedangkan klasifikasi iklim menurut Koppen termasuk iklim Af (iklim tropika basah) dengan ciri hujan sepanjang tahun.
3. Topografi dan Tanah Kondisi lahan di daerah penelitian memiliki topografi yang bervariasi mulai dari datar (lereng 0-3 %) hingga agak curam (lereng 30 – 45 %), dengan ketinggian berkisar 18 – 267 m dpl, panjang lereng tunggal berkisar antara 22 meter sampai 155 meter. Menurut klasifikasi tanah sistem USDA, tanah-tanah di lokasi penelitian tergolong tanah Typic Hapludults dan Typic Dystropepts, atau Orthic Acrisols dan Dystric Cambisols (menurut sistem FAO/UNESCO,1988), dengan bahan induk sedimen (Sand Stone) dan batuan beku jenis Neogen Volkanic Rock (Tanaka, 1994 dan Faperta Unmul 1998). . Berdasarkan data analisa sampel tanah menunjukkan bahwa permeabilitas tanah (hydraulic conductivity) berkisar antara 0,9 - 21,59 yang tergolong tinggi, hal ini sebagai cerminan gerakan air dalam tanah mempunyai dinamika yang besar. Kandungan bahan organik berkisar antara 0,27 - 11,64 %, kandungan bahan organik mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan agregat tanah. Menurut Voroney et al 1981
470
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
dalam Asdak 2001, sifat erobilitas tanah turun secara linier dengan kenaikan unsur organik tanah. Nilai erodibilitas tanah di lokasi penelitian yang dianalisa dengan metode Wischmeier dan Smith (1978) menunjukkan nilai erodibilitas tanah berkisar antara 0,01 sampai 0,52, yang termasuk sangat rendah sampai sedang.
4. Bilangan Kurva Aliran (Run-off Curve Number) Bilangan kurva aliran menunjukkan bagian air hujan yang menjadi aliran permukaan, yang nilainya berkisar antara 1 – 100. Semakin besar nilai kurva aliran ini semakin banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan, sehingga bilangan kurva aliran ini dapat dijadikan sebagai indikator respon hidrologi terhadap perubahan kondisi tutupan lahan. Bilangan kurva aliran DAS Barong cukup beragam yang lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Bilangan kurva larian air Das Barong
5. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Barong saat ini sebagian besar terdiri dari semak belukar (3.865 ha), kebun karet (2.551 ha), dan ladang (2.031 ha). Sedangkan sawah seluas 394 ha, pemukiman dan kebun campuran 440 ha dan hutan 644 ha (Gambar 3). Berdasarkan hasil verifikasi di lapangan dan wawancara dengan masyarakat setempat, menyatakan bahwa semak belukar berasal dari lahan pertanian yang pernah diusahakan dan kemudian ditinggalkan untuk beberapa tahun. Peningkatan luas lahan semak belukar ini mencirikan belum optimalnya pemanfaatan lahan usah atani.
471
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Bila dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 1991 semak belukar, ladang dan hutan kebun mengalami penurunan, tetapi kebun karet mengalami peningkatan yang sangat besar dari 432 ha menjadi 2.119 ha. Ladang pada umumnya ditanami padi gogo setahun sekali, kemudian diberakan setelah ditanami ubi kayu. Hanya sebagian kecil petani yang mengusahakan ladangnya terus-menerus dalam setahun. Jenis tanaman pada ladang yang diusahakan terusmenerus selama setahun terdiri dari jagung, kacang tanah, kacang panjang, tanaman sayuran, ubi kayu dan padi gogo.
Gambar 3. Peta penggunaan lahan saat ini
ANALISA RESPON HIDROLOGI Untuk mengetahui respon hidrologi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan di DAS Barong dilakukan simulasi dengan menggunakam Model SEDIMOT II. Simulasi pertama, mengasumsikan hutan berubah menjadi pertanian dan pertanian berubah menjadi daerah pemukiman. Simulasi ini dianggap pada kondisi lingkungan yang terburuk, sebagai pertimbangan adalah wilayah ini merupakan Ibukota Kabupaten Kutai Barat dengan pertumbuhan penduduk cukup tinggi tapi tingkat pendidikannya kurang memadai, sumber daya alam yang melimpah.
Simulasi kedua, kondisi
lingkungan sedang, lahan untuk hutan masih dapat dijaga/dipertahankan, pertanian berubah menjadi pemukiman.
lahan
Sebagai pertimbangan adalah seperti pada
simulasi kedua tapi pemerintah daerah bersama Departemen Kehutanan dapat mempertahankan wilayah lahan untuk kehutanan dan produksi pertanian dapat dicukupi oleh wilayah disekitarnya (lahan pertanian di Melak sudah berubah menjadi areal
472
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
pemukiman, sebagai konsekuensi perkembangan daerah urban). Simulasi ketiga. kondisi lingkungan yang baik, penggunaan lahan untuk hutan tetap, lahan pertanian diolah dengan menggunakan teknik konservasi, dan areal pemukiman pada luasan yang tetap tetapi kepadatan bertambah. 1. Outlet Waduk Mentiwan Simulasi pada Waduk Mentiwan dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas waduk dalam mereduksi aliran permukaan dan konsentrasi sedimen. Pada saat ini Waduk Mentiwan dapat menurunkan debit puncak sekitar 31% ( dari 24,08 m3/dtk menjadi 16,56 m3/dtk). Pada simulasi 1, waduk dapat mereduksi puncak banjir sebesar 27,31%, yaitu dari 62.840,17 m3/dtk menjadi 45.678,79 m3/dtk, dan juga meningkatkan sediment yield dari 79 ton menjadi 861 ton. Pada simulasi 2 dihasilkan debit puncak inlet waduk sebesar 28,66 m3/dtk yang dapat dikurangi menjadi 22,58 m3/dtk oleh Waduk Mentiwan dan juga meningkatkan sediment yield dari 79 ton menjadi 321 ton. Perubahan penggunaan lahan pada simulasi 3 menghasilkan debit puncak inlet waduk sebesar 25,06 m3/dtk yang dapat diturunkan menjadi 16,85 m3/dtk dan juga meningkatkan sediment yield dari 79 ton menjadi 166 ton.
2. Inlet Danau Barong Danau Barong yang mempunyai dua inlet yang berasal dari DAS Mentiwan dan DAS Tabai dilakukan simulasi penggunaan lahan dengan model SEDIMOT II. Hasil simulasi terhadap respon hidrologi yang berupa hidrograf dan sedimengraf pada DAS
Debit (m^3/dtk)
Barong dari kedua DAS 50 (Mentiwan dan Tabai) disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
Waktu (Jam) Simulasi Kini
Simulasi 1
Simulasi 2
Simulasi 3
Gambar 4a. Simulasi hidrograf dari DAS Mentiwan.
473
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
350 Debit (m^3/dtk)
300 250 200 150 100 50 0 0
5
10
15
Waktu (Jam) Simulasi Kini
Simulasi 1
Simulasi 2
Simulasi 3
Gambar 4b. Simulasi hidrograf inlet dari DAS Tabai.
Konsentrasi (g/L)
15 12 9 6 3 0 0
5 Simulasi Kini
10 Simulasi 1
Waktu (Jam) Simulasi 2
15
20
Simulasi 3
Gambar 5a. Simulasi Sedimengraf inlet D.Barong dariDASMentiwan
Konsentrasi (g/L)
6.5 5.2 3.9 2.6 1.3 0 0
5 Simulasi Kini
Waktu (Jam) 10
Simulasi 1
Simulasi 2
15 Simulasi 3
Gambar 5b. Simulasi sedimengraf inlet D. Barong dari DAS Tabai
Pada simulasi dengan kondisi tutupan lahan saat ini, DAS Mentiwan yang memiliki luas 538.783 ha memberikan total limpasan sebesar 729.646 m3 dan 204 ton
474
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
sedimen. Sementara DAS Tabai dengan luas 445.641 ha memberikan total limpasan sebesar 1.284.391 m3 dan 2.524 ton sedimen. Pada simulasi I, yang mengasumsikan bahwa semua areal hutan dikonversi menjadi pertanian dan areal pertanian diubah menjadi permukiman, pada DAS Mentiwan akan meningkatkan total limpasan dari 729.646 m3 menjadi 1.304.681,47 m3 dan sedimen dari 204 ton menjadi 1.100 ton. Sedangkan pada DAS Tabai total total limpasan meningkat 1.284.391 m3 menjadi 1.595.454,52 m3 dan sedimen dari 2.524 ton menjadi 5.790 ton. Hal ini dikarenakan perubahan areal hutan menjadi pertanian dan areal lahan pertanian menjadi pemukiman, padahal areal hutan sangat baik untuk menyerapkan air hujan (koefisien run-off sekitar 90 %) sehingga bila terjadi hujan hanya sebagian kecil yang menjadi surface runoff dan erosi sangat kecil. Tetapi pada lahan pertanian pada umumnya kondisinya terbalik, surface run-off dan erosi besar, walaupun dengan teknik-teknik tertentu hal ini dapat diturunkan. Pada areal pemukiman besaran surface run-off akan semakin besar lagi tapi erosinya sangat kecil. Pada simulasi II, yang mengasumsikan lahan untuk hutan tetap dan lahan pertanian dialihgunakan menjadi permukiman, pada DAS Mentiwan akan meningkatkan total limpasan dari 729.646 m3 menjadi 833.916 m3 dan sedimen dari 204 ton menjadi 366 ton. Sedangkan pada DAS Tabai total total limpasan meningkat 1.284.391 m3 menjadi 1.488.186 m3 dan sedimen dari 2.524 ton menjadi 4.854 ton. Pada simulasi III, yang mengasumsikan areal lahan untuk hutan dan pertanian tetap, tetapi sudah diintroduksi teknik-teknik pertanian konservasi dan areal pemukiman lebih padat , pada DAS Mentiwan akan menurunkan total limpasan dari 729.646 m3 menjadi 683.723 m3 dan sedimen dari 204 ton menjadi 169 ton. Sedangkan pada DAS Tabai total limpasan menurun 1,281,869 m3 menjadi 1.284.391 m3 dan sedimen dari 2.524 ton menjadi 1.836 ton.
KESIMPULAN 1. DAS Barong - Melak merupakan salah satu cerminan kondisi daerah hulu Sungai Mahakam, saat ini, bila hujan sesaat dengan intensitas 30 mm/jam yang menjadi limpasan sebesar 67 % dan sedimen yang terangkut aliran sungai setara
475
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
0,28 ton/ha. Prosentase limpasan dan sedimen yang besar ini menunjukkan ketidak seimbangan hidrologi, mengingat lahan kedap air (pemukiman) hanya 4 %. 2.
Dimasa yang akan datang diperkirakan kondisi wilayah ini semakin kritis, mengingat pertumbuhan mempunyai pertumbuhan penduduk tinggi tapi tingkat pendidikannya kurang memadai dan kekayaan alam yang melimpah serta merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Kutai (seperti pada simulasi pertama). Pada kondisi ini diperkirakan limpasan yang berasal dari DAS Mentiwan meningkat lebih dari 70% dan sediment yield meningkat lebih dari 400%. Sedangkan yang berasal dari DAS Tabai limpasan meningkat lebih dari 24% dan sediment yield meningkat kurang lebih 120%.
3. Untuk mengurangi prosentase curah hujan yang menjadi limpasan dan menurunkan sediment yield pada DAS Barong diperlukan optimasi penggunaan lahan dan teknik-teknik pertanian yang ramah lingkungan, seperti : pengolahan lahan pertanian dengan teras sering, penggunaan mulsa untuk melindungi lahan pertanian, dan penanaman lahan terbuka dengan rumput.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Madda University Press. BPS Kutai Barat, 2003, Kutai Barat Dalam Angka 2003. Fakultas Pertanian Unmul dan Rio Tinto. 1998. Penentuan Kapabilitas Lahan Untuk Tanaman Padi di Kecamatan Melak, Barong Tongkok, Long Iram dan Damai. Laporan Hasil Survey. Sintala Arsyad, 2006, Konservasi Tanah dan Air, IPB press, 396 hal. Tanaka N. 1994. Characteristic of Soils Develoved on Volkanic Parent Materials in Barong Tongkok Area, East Kalimantan. PUSREHUT and JICA Expert Report 1994-No.7.
476
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
U.S.Soil Conservation Service. 1972. Hydrology. National Engineering Handbook. Section 4, Washington D.C. dalam : Sitanala Arsyad. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB. Bogor. Ward,A.D. and Elliot,W.J.1995. Environmental Hydrology. Lewis Publishers. New York. USA. Warner, R. C., B. N. Wilson, B.J. Barfield, D. S. Logsdon, and P. J. Nebgen, 1989. A Hydrology and Sedimentology Watershed Model. Part II: User's Manual, Department of Agricultural Engineering, University of Kentucky, Lexington, Kentucky. Weischmeier, W. H. and D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. US Dept. Agric. Hand Book No. 537. Wilson, B. N., B.J. Barfield, and J. D. Moore, 1989. A Hydrology and Sedimentology Watershed Model. Part I: Model Techniques, Department of Agricultural Engineering, University of Kentucky, Lexington, Kentucky. www.pu.go.id/satminkal/Dijen_SD, 2008, Profile Wilayah Sungai Kalimantan III, Direktorat Jendral Sumberdaya Air, PU.
477
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
HUBUNGAN PARAMETER FISIKA KIMIA AIR TERHADAP PARAMETER NUTRIEN DAN PARAMETER INDIKATOR PENCEMAR MENURUT MUSIM DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)CIMANUK Siti Aisyah* ABSTRAK Sungai Cimanuk mensuplai air tawar yang sekaligus mengandung sedimen hasil erosi yang cukup besar dan juga polutan lain yang berasal dari limbah rumah tangga dan pertanian. Pengumpulan data dilakukan untuk sebagai dasar referensi atau bahan pengambilan keputusan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Studi tentang hubungan parameter fisika-kimia (suhu, turbiditas, pH, konduktivitas, dan suspendid solid) terhadap parameter nutrien dan parameter indikator pencemar dilakukan mengingat besarnya pengaruh parameter tersebut dalam mengontrol keberadaan zat-zat penentu baik buruknya kualitas air suatu perairan. Variabel iklim/cuaca termasuk dalam hal ini faktor musim, sangat mempengaruhi kondisi ekohidrologi suatu DAS disamping faktor lainnya.Studi ini bertujuan untuk melihat distribusi spasial setiap parameter, melihat perbedaan jumlah rata-rata setiap parameter berdasarkan musim hujan dan musim kemarau, dan mengungkap hubungan antar parameter di kedua musim. Data diambil dari Laporan Tahunan Pemantauan Kualitas Air DAS CimanukCisanggarung tahun 1999-2005, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air. Data diolah secara piktorial menggunakan software MS Excell 2003 dan dan analisis statistik dengan software Statistic’99 terhadap parameter suhu, pH, turbiditas, konduktivitas, suspendid solid (SS), nitrat-N, ortofosfat-P, oksigen terlarut (DO), BOD, dan COD. Secara spasial berdasarkan parameter yang dianalisis kualitas air Sungai Cimanuk menurun dari hulu ke hilir. Perbedaan rata-rata yang signifikan antara musim hujan dan kemarau terdapat pada parameter turbiditas, suspendid solid, nitrat-N, DO, BOD, dan COD. Hubungan parameter fisika-kimia air terhadap parameter nutrien dan parameter indikator pencemar lebih signifikan pada musim hujan dibandingkan pada musim kemarau. Parameter pH, turbiditas dan SS adalah faktor yang berkorelasi paling signifikan terhadap parameter nutrien dan parameter indikator pencemar. Kata kunci: hubungan, fisika-kimia, nutrien, pencemar, Cimanuk. ABSTRACT Cimanuk river supplies freshwater that contain sediment of errosion result and pollutant material from domestic waste and agriculture. The collected data is considered to be used as basic reference or tool of decission making in the watershed management. Study about correlations of physicochemical parameters ( temperature, turbidity, pH, conductivity, and suspended solid) to nutrient and pollutant indicator parameters is considered because these parameters may controls presence of the parameters determinant of water quality. Climate variabels including the season factor have high influence on watershed ecohydrology condition. The aim of study were to reveal spatial distribution of each parameter, average quantity differences between the wet and dry season, and correlation between parameter on the wet and dry season. Data was taken from Annual Report of Cimanuk-Cisanggarung watershed Water Quality Monitoring (1999-2005), Water Resources Management Centre. Data of temperature, pH, turbidity, conductivity, suspendid Solid (SS), ortofosfat-P, nitrat-N, DO, BOD, and COD were processed into pictogram by Ms Excell 2003 and were analized using statistic’99 software. Spatially, water quality of Cimanuk River was decreased from upstream to downstream. There were significant differences between wet and dry season for turbidity, suspended solid, nitrat-N, DO, BOD, and COD parameters. In the wet season, correlation between physico-chemical parameters to nutrien and pollution indicator parameters were significantly stronger than in the dry season. pH, turbidity, and suspendid solid are physico-chemical factors that shows very significant correlation to nutrient and pollutant indicator parameters.
*
Pusat Penelitian Limnologi LIPI e-mail :
[email protected]
478
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Sungai sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir karena fungsifungsinya untuk transfortasi, sumber air bagi masyarakat, perikanan, pemeliharaan hidrologi, rawa, dan lahan hujan. Sebagai alat angkut, sungai membawa sedimen (lumpur, pasir), sampah, limbah dan zat hara melalui berbagai macam kawasan lalu akhirnya ke laut. Seandainya debit sungai berkurang dan beban penggunaannya makin banyak, maka kualitas air makin menurun sampai titik resiko yang merugikan untuk kegiatan produksi atau bahkan membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk mempunyai luas 3.752 km2 membentang dari Kabupaten Garut hingga Kabupaten Indramayu. Penggunaan lahan didominasi oleh areal persawahan (39,3%) dan Ladang (15,1%) sedangkan hutan hanya sekitar 7,6% dan pemukiman 6,9%. Sedimentasi yang terjadi cukup mengkhawatirkan yaitu setiap tahunnya S. Cimanuk membuang hasil sedimen sebesar 8 juta ton ke laut Jawa (20 ton/ha/tahun). Percepatan pembangunan yang diiringi dengan peningkatan populasi penduduk, pembukaan hutan, dan praktek tata guna lahan yang tidak layak dapat merubah struktur hidrologi dan kualitas air sungai. Penurunan kualitas air yang disebabkan oleh berbagai sumber polutan akan semakin meningkat. Eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya perairan dapat merubah sruktur dan fungsi ekosistem. Studi tentang hubungan parameter fisika-kimia (suhu, turbiditas, pH, konduktivitas, dan suspendid solid) terhadap parameter nutrien dan parameter indikator pencemar dilakukan mengingat besarnya pengaruh parameter tersebut dalam mengontrol keberadaan zat-zat penentu baik buruknya kualitas air suatu perairan. Suhu, turbiditas, dan suspended solid dalam air sungai dapat diakibatkan oleh aktivitas manusia diantaranya praktek pertanian, penebangan hutan dan penggunaan air sebagai pendingin. Variabel
iklim/cuaca
termasuk dalam
hal
ini
faktor
musim,
sangat
mempengaruhi kondisi ekohidrologi suatu DAS disamping faktor lainnya. Perubahan variabel iklim akan mempengaruhi proses-proses yang ada dalam DAS seperti neraca air dan kondisi hidrologi serta proses-proses biokimia yang ada di dalamnya. Karena itu studi ini juga melakukan evaluasi untuk melihat pengaruh perbedaan musim. 479
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
TUJUAN Studi ini bertujuan untuk: 1. Melihat distribusi spasial setiap parameter berdasarkan musim kemarau dan musim hujan. 2. Melihat perbedaan jumlah rata-rata setiap parameter berdasarkan musim kemarau dan musim hujan. 3. Mengungkap hubungan antar parameter pada musim kemarau dan musim hujan.
BAHAN DAN METODE Lokasi sampling Studi ini menggunakan data dari Laporan Tahunan Pemantauan Kualitas Air tahun 1999-2005, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, Balai Pendayagunaan Sumberdaya air wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung. Lokasi pengambilan sampel terdiri dari enam titik pada ruas sungai utama yaitu, CMK1, CMK 2, dan CMK3 (Garut), dan CMK 4 (Sumedang), CMK 5 (Majalengka), dan CMK 6 (Indramayu) (Gambar 1). Analisis Data Analisis data dilakukan terhadap parameter suhu, pH, turbiditas, konduktivitas, susupendid solid (SS), nitrat-N, ortofosfat-P, oksigen terlarut (DO), BOD, COD. Data diolah secara piktorial menggunakan software MS Excell 2003 untuk menggambarkan distribusi spasial berdasarkan musim kemarau (Juni dan September 1999, Juni 2001, September 2002, Mei dan Agustus 200) dan musim hujan (Nopember 1999, Maret dan Oktober 2000, Oktober 2001, Nopember 2002, Nopember 2005). Dan untuk melihat hubungan antar parameter menggunakan metode statistik ( matriks korelasi dan uji signifikansi t pada limit konfidensi 95%) dengan software Statistic’99.
480
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Air di DAS Cimanuk
HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi spasial berdasarkan musim Gambar 2. menunjukan distribusi spasial dari suhu, pH, dan konduktivitas air Sungai Cimanuk pada pengukuran musim kemarau dan musim hujan. Secara spasial nilai ketiga parameter memiliki pola yang cenderung meningkat dari hulu ke hilir baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Pola yang sama terjadi pada nilai parameter turbiditas dan SS (Gambar 3). Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya penambahan bahan-bahan tersuspensi akibat sedimentasi yang terjadi sepanjang DAS Cimanuk. Effendi (2003) mengemukakan bahwa SS atau padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan turbiditas atau kekeruhan. Kekeruhan di sungai disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar, yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan (Effendi, 2003).
481
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Suhu, m usim kem arau
Suhu, m usim hujan 40
40
30
30
Nop,99 o
sept,99 Juni'01 Sept'02 M ei'05
10
20
C
20
o
C
Juni'99
M ar'00 Okt '00
10
Okt '01 Nop'02
Agust '05
Nop'05
0
0
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
pH, m usim kemarau
pH, m usim hujan 10
10
8
6 Juni'99
4
pH
pH
8
6
Nop,99 M ar'00
4
sept,99
Okt '00
Juni'01
2
Okt '01
2
Sept'02
Nop'02 Nop'05
0 CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
Konduktivitas, musim kem arau
Konduktivitas. m usim hujan
700 600 500 400 300 200 100 0
400
Juni'99 sept,99
300
Juni'01 Sept '02
uS/cm
uS/cm
0
200
Nop,99 M ar'00
100
Okt '00 Okt '01
0
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
Gambar 2. Distribusi spasial parameter fisika-kimia yang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua musim
Perbedaan yang signifikan antara musim hujan dengan musim kemarau terjadi pada parameter turbiditas dan SS. Sedangkan untuk parameter suhu, pH, dan konduktivitas
tidak
terdapat
perbedaaan
yang
signifikan.
Chapman
(1996)
mengungkapkan bahwa pada musim hujan debit air meningkat akibatnya kekeruhan air
482
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Turbiditas, m usim hujan
Turbiditas, m usim kem arau 120
2000
100 TTU
80
Juni'99 sept ,99
60
Juni'01 Sept '02
40
TTU
1600 1200
M ar'00 Okt '00 Okt '01 Nop'02
800 400
20 0
0 CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6
Lokasi
Lokasi SS, m usim kem arau
SS, m usim kemarau 140
1400
120 100
1200 Juni'99 sept ,99 Juni'01 Sept '02 M ei'05 Agust '05
80 60 40 20
1000 mg/l
mg/l
Nop,99
Nop,99 M ar'00 Okt '00 Okt '01 Nop'02 Nop'05 Juni'99
800 600 400 200 0
0 CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
Gambar 3. Distribusi spasial parameter fisika-kimia yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua musim
permukaan meningkat dan sejumlah padatan tersuspensi (suspendid solid) turut terbawa oleh aliran air. Gambar 4. menunjukkan distribusi spasial parameter ortofosfat-P air Sungai Cimanuk yang diukur pada waktu musim kemarau dan musim hujan. Meskipun sempat meningkat tajam pada lokasi CMK 3 tetapi secara keseluruhan nilai ortofosfat-P meningkat dari hulu ke hilir pada kedua musim. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara observasi yang dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan. Parameter nitrat-N menunjukkan distribusi yang cenderung merata dari hulu ke hilir baik pada musim kemarau maupun musim hujan (Gambar 5). Perbedaan yang signifikan terjadi antara observasi yang dilakukan pada musim kemarau dengan musim hujan. Begitu juga dengan parameter DO, BOD dan COD (Gambar 6). Sub surface runoff
melepaskan karbon organik terlarut dan nutrien ( N dan P ) dari
tanah
483
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
ortofosfat-P, m usim kem arau
ortofosfat-P, m usim hujan 1.6
1.2
Juni'99 sept,99
0.8
Juni'01 Sept'02 M ei'05 Agust '05
0.4
mg/l
mg/l
1.6
1.2
Nop,99 M ar'00 Okt '00 Okt '01
0.8
Nop'02 Nop'05
0.4
0
0 CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
Gambar 4. Distribusi spasial parameter nutrien yang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua musim Nitrat-N, m usim hujan
Nitrat-N, m usim kem arau Juni'99 sept ,99 Juni'01 Sept '02 M ei'05 Agust '05
mg/l
3 2 1
Nop,99 M ar'00 Okt '00 Okt '01 Nop'02
7.5 6 mg/l
4
4.5
Nop'05
3 1.5
0
0 CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
Gambar 5. Distribusi spasial parameter nutrien yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua musim
(Chapman, 1996). Berdasarkan distribusi spasial, nilai parameter DO cenderung menurun dari hulu ke hilir pada waktu musim kemarau. Ini diikuti dengan meningkatnya nilai BOD dan COD yang cenderung meningkat dari hulu ke hilir pada kedua musim. Secara umum dari hasil pengukuran parameter tersebut diatas terhadap enam titik pengambilan sampel menunjukkan bahwa kualitas air DAS Cimanuk menurun dari hulu ke hilir. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya bahan-bahan terlarut baik nutrien maupun bahan
organik
yang
masuk
kedalam
perairan
sepanjang
DAS.
Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air tahun 1999-2005 yang dilakukan oleh Balai Pendayagunaan Sumberdaya air wilayah Sungai Cimanuk - Cisanggarung secara umum
484
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DO, musim kem arau
DO, m usim hujan
9
Nop,99 M ar'00 Okt '00 Okt '01 Nop'02 Nop'05
10 8 Juni'99 sept ,99 Juni'01 Sept '02
3
6 mg/l
mg/l
6
2
M ei'05 Agust '05
0
4
0 CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
BOD. m usim kem arau 16
8
Nop,99 M ar'00 Okt '00 Okt '01 Nop'02 Nop'05
50 40 mg/l
12 mg/l
BOD, m usim hujan
Juni'99 sept ,99 Juni'01 Sept '02 M ei'05 Agust'05
4
30 20 10
0
0
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
COD. musim kem arau
COD, m usm hujan
100 50
120 Juni'99 sept ,99 Juni'01 Sept '02 Agust '05
mg/l
mg/l
150
Nop,99 M ar'00 Okt'00 Okt'01 Nop'02
160
200
Nop'05
80 40 0
0 CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
CMK CMK CMK CMK CMK CMK 1 2 3 4 5 6 Lokasi
Gambar 6. Distribusi spasial parameter indikator pencemar yang menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kedua musim
menyimpulkan bahwa mutu kualitas air pada lokasi CMK 1 dan CMK 2 masuk katagori tercemar ringan dan sedang. Sedangkan untuk lokasi CMK 3, CMK 4, CMK 5, dan CMK 6 sudah masuk kategori tercemar berat dan kritis.
485
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Rata-rata nilai parameter pada musim kemarau dan hujan Tabel 3. menunjukkan hasil uji signifikansi t pada tingkat konfidensi 95% untuk rata-rata nilai setiap parameter pada musim kemarau dan musim hujan. Perhitungan didasarkan pada himpunan data hasil observasi selama musim hujan dan musim kemarau tahun 1999-2005. Hasil observasi menunjukkan rata-rata nilai
ketiga
parameter yaitu suhu, pH, dan DO tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Sedangkan sisanya menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tabel 1. Uji Signifikansi t pada tingkat konfidensi 95% antara musim kemarau dan musim hujan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 *)
Parameter
Unit
Suhu pH Turbiditas Konduktivitas Suspendid Solid Nitrat Ortofosfat DO BOD COD
oC TTU mS/cm mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Rata-rata Musim kemarau 27,49 7,69 40,61 248,77 62,03 1,018 0,396 6,223 5,369 17,131
Uji signifikansi pada P>0,05 TBS*) TBS*) BS**) BS**) BS**) BS**) BS**) TBS*) BS**) BS**)
Rata-rata Musim hujan 26,58 7,77 267,91 229,493 252,889 2,337 0,450 5,288 10,243 28,853
tidak berbeda secara signifikan berbeda secara signifikan
**)
Hubungan antar parameter pada musim hujan dan kemarau Nitrat-N Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Rata - rata konsentrasi nitrat-N diperairan DAS Cimanuk ini melebihi kriteria perairan alami. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya intensifikasi sistem usaha tani dan perluasan areal pertanian yang terjadi di hulu Sungai Cimanuk. Kadar nitrat-N yang melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan eutrofikasi. (Davis dan Cornwell, 1991). Korelasi yang cukup signifikan
486
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
terjadi antara nitrat dengan SS pada musim kemarau maupun musim hujan (Tabel 4 dan Tabel 5). Ortofosfat Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan aquatik. Konsentrasi fosfat yang tinggi dapat menunjukkan tercemarnya suatu perairan (Chapman, 1996). Ortofosfat berkorelasi secara signifikan dengan parameter BOD dan COD dan berkorelasi lemah dengan turbiditas pada musim kemarau (Tabel 4). Oksigen terlarut (DO) Oksigen penting bagi semua bentuk kehidupan di air, termasuk organisme yang berperan dalam proses pemurnian diri (self-purification) pada perairan alami. Variasi nilai DO dapat dipengaruhi oleh suhur dan aktivitas biologi (fotosintesis dan respirasi). Pengukuran DO dapat digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran bahan organik, pemecah bahan organik, dan tingkat pemurnian diri dari perairan serta untuk mengukur kebutuhan oksigen secara biologi, BOD (Chapman, 1996). Nilai DO cukup berkorelasi dengan BOD dan COD pada musim hujan (Tabel 5). Kebutuhan Oksigen secara Biologi (BOD) Kebutuhan Oksigen secara Biologi didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik untuk mengoksidasi bahan organik menjadi bentuk senyawa anorganik yang stabil (Chapman, 1996). Nilai BOD berkorelasi kuat dengan nilai fosfat dan COD pada musim kemarau (Tabel 4). Sedangkan pada musim hujan antara BOD dan turbiditas berkorelasi lemah (Tabel 5). Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) COD
menggambarkan
jumlah
total
oksigen
yang
dibutuhkan
untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Korelasi yang cukup signifikan terhadap nilai ortofosfat-P dan BOD pada musim kemarau ditunjukkan pada Tabel 4. Sedangkan pada
487
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
musim hujan (Tabel 5) menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan dengan nilai pH, SS, dan BOD. Tabel 2. Matriks korelasi untuk pengukuran musim kemarau. N=34, signifikan pada P<0,05, r tabel 0,339 Suhu Suhu pH Turb. Kond. SS NO3-N PO4-P DO BOD COD
pH
Turb.
1 1 0.344
Kond. 0.755
SS
NO3-N
PO4-P
0.344 1
0.755
DO
BOD
0.385 1 -0.474
-0.474 1 -0.557
COD
0.460
0.561
0.773
0.752
1 0.625
0.625 1
-0.557 1
0.385
1 1
0.460 0.561
0.773 0.752
Tabel 3. Matriks korelasi untuk pengukuran musim hujan. N=26, signifikan pada P<0,05, r tabel 0,388 Suhu Suhu pH Turb. Kond. SS NO3-N PO4-P DO BOD COD
1 0.643
pH 0.643 1
Turb.
Kond. 0.797
SS
NO3-N
PO4-P
DO
BOD -0.643
1 0.797
0.940
COD -0.650 0.548
1 0.940
1 0.456
0.456 1
0.698 1
-0.643 -0.650
0.548
0.698
-0.577 -0.536
-0.577 1 0.811
-0.536 0.811 1
KESIMPULAN Secara spasial, berdasarkan parameter kualitas air yang dianalisis dalam studi ini terhadap beberapa titik pengambilan sampel pada ruas sungai utama menunjukkan bahwa kualitas air DAS Cimanuk menurun dari hulu ke hilir. Terdapat perbedaan yang signifikan antara musim kemarau dengan musim hujan untuk parameter turbiditas, SS, nitrat-N, DO, BOD, dan COD. Sedangkan untuk parameter suhu, pH, konduktivitas, dan ortofosfat-P tidak mengalami perbedaan yang signifikan.
488
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Berdasarkan rata-rata nilai setiap parameter dari beberapa waktu pengambilan, hanya parameter suhu, pH, dan DO yang nilainya tidak berbeda secara signifikan baik pada pengambilan sampel musim kemarau maupun musim hujan. Sedangkan sisanya berbeda secara signifikan. Hubungan parameter fisika-kimia air terhadap parameter nutrien dan parameter indikator pencemar lebih signifikan pada musim hujan. pH, turbiditas dan SS adalah parameter yang mempunyai korelasi yang sangat signifikan terhadap parameter nutrien dan parameter indikator pencemar.
UCAPAN TERIMAKASIH Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada teman-teman di Bidang Sistem Komputasi Perairan Darat yang telah banyak membantu hingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1999 – 2005. Laporan Tahunan Pemantauan Kualitas Air. Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, Balai Pendayagunaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung. Chapman, 1996. Water Quality Assessments. A Guide To The Use of Biota, Sediments and Water in Environmental Monitoring. Second edition. Printed in Great Britain at the University Press, Cambridge. 626p. Davis, M.L. and Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering, Second edition. Mc-Graw-Hill, Inc., New York. 822p. Effendi Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Edisi pertama. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta. 257p. Wetzel, R.G. 1975. Limnologi. W.B. Saunders Co. Philadelphia, Pennsylvania. 743p.
489
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI UNTUK AGEN BIOREMOVAL LOGAM BERAT MERKURI (Isolation and Characterization Bacteria for Bioremoval Agent of Mercury Heavy Metal)
Muhammad Badjoeri1), Sekar Larashati1), Awalina1), M.S. Syawal1), Sugiarti1), Hafidh Zarkasyi2) dan Mardiasyah2) 1
ABSTRAK Bioremoval logam berat dapat dilakukan dengan memanfaatkan bakteri pengakumulasi logam berat. Beberapa jenis diantaranya, yaitu Pseudomonas, Leptotrix, Klebsiella, Citrobacter dan Bacillus. Bakteri-bakteri tersebut dapat diperoleh dengan mengisolasi sampel dari lingkungan tercemar. Tujuan penelitian untuk mendapatkan isolat murni bakteri untuk agen bioremoval logam berat merkuri. Sampling air dan sedimen di tiga titik, yaitu outlet limbah PT. Indah Kiat, bendungan baru dan tanjung burung di hilir Sungai Cisadane. Analisa sampel di Lab. Mikrobiologi Puslit Limnologi LIPI. Isolasi bakteri menggunakan nutrien agar dengan metode streak dan spread plate, inkubasi suhu ruang selama 24 jam. Karakterisasi meliputi pengamatan morfologi koloni, pewarnaan Gram, pengamatan mikroskopis dan uji resistensi terhadap Hg. Identifikasi di Balitvet-Bogor. Uji viabilitas pada media mengandung logam Hg dengan konsentrasi 1.5, 3, 5, 7 dan 10 ppm. Isolat uji yaitu isolat A.SI.3A (sampel air) dan SIII 5.1.2 (sample sedimen). Pengamatan pertumbuhan dengan mengukur kerapatan optik (OD) kultur dengan masa inkubasi 0 jam dan 24 jam. Berhasil diisolasi bakteri sebanyak 4 isolat (dari air) dan 11 isolat (dari sedimen). Uji viabilitas menunjukan isolat A.SI.3A dan S III 5.1.2 mampu beradaptasi dan tumbuh pada media mengandung Hg sampai 10 ppm selama 24 jam. Pertumbuhan isolat A.SI.3A pada media [Hg] 1,5 ppm dan [Hg] 3 ppm tidak menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan, namun pada media dengan [Hg] 5 ppm, 7 ppmdan 10 ppm memperlihatkan penurunan pertumbuhan. Sedangkan isolat S III 5.1.2 pertumbuhannya mengalami hambatan pada media [Hg] 1,5 – 10 ppm, namun demikian isolat S III 5.1.2 masih dapat tumbuh. Hasil identifikasi isolat A.SI.3A adalah Bacillus megaterium. Berdasarkan hasil penelitian ini maka isolat bakteri Bacillus megaterium yang diambil dari hilir Sungai Cisadane dapat dijadikan isolat terpilih untuk agen bioremoval logam berat Hg. Kata kunci: Isolasi, karakterisasi, bakteri,bio-removal, logam berat merkuri, identifikasi
ABSTRACT Mercury (Hg) is one a dangerous heavy metal, and in Indonesia has many found contamination case of river by mercury. Various bacteria types is known to has ability to absorb heavy metal. This approach recognized bio-removal process by using bacteria. Downstream Cisadane river is good location to get collection of bacteria. Isolation and characterization of bacteria is step which must be done to get bio-removal bacteria agent. Has been done research of isolation and characterization of bacteria from Cisadane downstream for bio-removal agent of mercury heavy metal. Research is done in laboratory of microbiology in Research Center for Limnology LIPI. Isolation by spread plate and streak plate method, observation of morphology and cell bacteria at agar nutrient media and Gram staining technique and microscopy. Viability test is done by growing bacteria at media containing mercury heavy metal with different concentration during 24 hours. identification of Bacteria is done in microbiology laboratory in Research Center for Veterinary (Balitvet) Bogor. Successfully is purified and characterization 4 isolate of bacteria from water coloum and 11 isolates from sediment. Result of viability test is got 1 isolate (isolat A.SI.3A) having ability of adaptation to grow at media containing mercury heavy metal and made as pre-eminent isolate for agent bio-removal mercury heavy metal. Result of identification of bacteria (isolat A.SI.3A) is Bacillus megaterium. Key Words: Isolation, characterization, ,bacteria, bio-removal, mercury heavy metal, identification
1 2
Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
490
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Logam berat merupakan komponen alami tanah. Beberapa jenis logam dalam konsentrasi sangat kecil, seperti tembaga (Cu), selenium (Se) dan seng (Zn) merupakan elemen yang dibutuhkan tubuh organisme dalam membantu proses metabolisme tubuh, namun demikian logam-logam tersebut berpotensi menjadi racun jika terdapat di dalam tubuh organiseme dalam konsentrasi tinggi (Nugroho 2001) Pada lingkungan perairan maupun daratan, bila telah tercemar logam berat maka proses pembersihannya relatif sulit dilakukan (Nordberg et al. 1986 dalam Putra & Putra 2005). Menurut Wild (1995) USEPA melaporkan ada 13 elemen logam berat merupakan elemen pencemar berbahaya dan beberapa diketahui dapat membahayakan kesehatan manusia dan kelangsungan kehidupan organisme di lingkungan. Merkuri (Hg) merupakan salah satu logam berat yang berbahaya. Kasus keracunan merkuri pertama kali dilaporkan terjadi di Minamata, Jepang pada tahun 1953. Di Indonesia, kasus kontaminasi merkuri ditemukan pada sungai di Surabaya tahun 1996. Proses metilisasi merkuri terjadi di alam pada kondisi tertentu membentuk elemen berbahaya, dalam bentuk ini merkuri mudah terakumulasi pada rantai makanan. Oleh karena itu penggunaan fungisida alkilmerkuri dalam pembenihan tanaman tidak diizinkan di banyak negara (Suhendrayatna 2001). Beberapa jenis mikroorganisme (bakteri) diketahui mampu menyerap logam berat melalui aktivitas metabolismenya. Pendekatan ini yang dijadikan dasar penelitian untuk mengembangkan bioremoval menggunakan bakteri. Pemanfaatan bakteri sebagai agen bioremoval logam berat untuk sistem perairan tercemar perlu dikembangkan karena salah satu alternatif pendekatan biologis yang potensial, ekonomis dan ramah lingkungan untuk pengelolaan kualitas air. Secara
alamiah
bakteri
berkembang
dan beradaptasi
dengan
kondisi
lingkungannya. Pada kolom air dan surface sediment yang banyak terakumulasi logam berat akan ditumbuhi oleh berbagai kelompok bakteri yang dapat memanfaatkan logam berat (Atlas & Bartha 1993). Untuk mendapatkan jenis bakteri yang resisten terhadap toksisitas ion logam berat harus melalui isolasi, karakterisasi dan seleksi yang ketat (Suhendrayatna 2001). Isolasi dan karakterisasi bakteri dari lingkungan yang tepat merupakan langkah awal
491
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
yang sangat menentukan untuk mendapatkan isolat bakteri agen bioremoval logam berat (Badjoeri et al. 2006). Sungai Cisadane adalah salah satu sungai di Jawa Barat yang diketahui tercemar logam merkuri. Sungai Cikaniki salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Cisadane telah teridentifikasi tercemar logam merkuri (Syawal & Yustiawati 2004). Oleh karena itu Sungai Cisadane dapat dijadikan lokasi eksplorasi untuk mendapatkan isolat bakteri agen bioremoval logam berat. Bioremoval adalah suatu keadaan dimana terkonsentrasi dan terakumulasinya bahan pencemar dalam tubuh mikroorganisme (material biologi), dan material biologi tersebut mampu me-recovery polutan sehingga dapat dibuang dan ramah terhadap lingkungan (Suhendrayatna 2001, Putra & Putra 2005). Mekanisme bioremoval melibatkan proses biologis dan kimiawi. Secara biologis, proses bioremoval logam berat terdiri dari proses active uptake dan passive uptake (Suhendrayatna 2001). Umumnya mekanisme bioremoval logam berat oleh mikrooganisme yaitu proses pertukaran ion, dirumuskan sebagai berikut:
A2++(B-biomassa)-->B2++(A-biomassa). Mekanisme
berlangsung atas 3 cara yaitu berdasarkan metabolisme sel, posisi logam berat diremove dan biosorpsi logam (Putra & Putra 2005). Passive uptake adalah proses yang terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel biosorben (material biologi). Mekanisme passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1). Pertukaran ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion logam berat. 2). Pembentukan senyawa kompleks antara ion logam berat dengan gugus fungsional seperti karbonil, amino, thiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat (Putra & Putra 2005). Sebagai contoh adalah pada Sargassum sp. dan Eklonia sp. di mana Cr(VI) mengalami reaksi reduksi pada pH rendah menjadi Cr(III) dan Cr(III) di-remove melalui proses pertukaran kation. Active uptake terjadi pada berbagai sel hidup. Mekanisme ini secara simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan mikroorganisme (akumulasi intraselular ion logam) dan proses ini dipengaruhi oleh pH dan suhu (Suhendrayatna 2001). Dengan demikian proses bioremoval logam berat proses kimiawi dan biologis tidak dapat dipisahkan.
492
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi bakteri indigenous dari perairan hilir Sungai Cisadane untuk agen bioremoval logam berat merkuri (Hg).
BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan pada tahun 2007 di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Hidrokimia Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cibinong. Pengambilan sampel air dan sedimen sebagai sumber isolat bakteri dilakukan di perairan hilir Sungai Cisadane, pada 3 titik sampling, yaitu: 1). Outlet limbah PT. Indah Kiat Tangerang yang masuk ke sungai), 2). Bendungan Baru Cisadane, dan 3) Tanjung Burung (dekat muara sungai). Pengambilan sampel air dilakukan secara aseptik menggunakan botol steril sebanyak 250 ml, sedangkan pengambilan sampel sedimen menggunakan ekman grab. Sampel disimpan dalam kotak pendingin (cooling box) untuk selanjutnya di analisa di laboratorium. Isolasi bakteri menggunakan metode streak plate dan spread plate (Cappuccino & Sherman 1996) dan teknik pengenceran sampel air dari 10-1 sampai 10-6 (Pikoli & Radiatuti 2003) pada media nutrien agarNA. Karakterisasi bakteri meliputi pengamatan morfologi sel bakteri, pewarnaan Gram, pengamatan mikroskopis, dan uji resistensi bakteri terhadap logam berat Hg.
Isolasi bakteri : Suspensi bakteri diinokulasikan pada permukaan media dengan menggunakan spatula L sampai merata dan disterilkan dengan mencelupkan dalam alkohol 70% lalu dibakar menggunakan lampu spiritus. Kultur bakteri dinkubasikan pada suhu ruang selama 24 - 48 jam, sampai didapatkan koloni bakteri yang terpisah. Setiap koloni bateri dipindahkan pada tabung reaksi dengan media NA agar miring dan diberi kode isolat. Isolasi dari sample sedimen dilakukan dengan metoda dan kondisi inkubasi yang sama. Pengenceran dilakukan dengan melarutkan 1 gram sediment dalam 9 ml larutan aquadest steril.
493
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Pewarnaan Gram : Preparat bakteri setelah difiksasi diteteskan larutan Hucker crystal violet (larutan A: 2g crystal violet + 20 ml ethanol 95% dan larutan B: 0,8g ammonium oxalate + 80 ml distilled water), dibiarkan selama 1 menit lalu dibilas dengan akuades mengalir. Kemudian preparat diberi beberapa tetes larutan iodine dan dibiarkan selama 1 menit lalu dibilas dengan akuades yang mengalir. Selanjutnya preparat dibilas dengan alkohol 96% (± 30 detik), lalu dibilas dengan akuades mengalir. Selanjutnya diberikan beberapa tetes larutan safranin, lalu dibiarkan selama 1 menit dan dibilas dengan akuades yang mengalir. Preparat dikeringkan dengan kertas saring atau diangin-anginkan sampai kering (Rhodina 1972). Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri: Pengamatan morfologi koloni bakteri menggunakan mikroskop binokuler, meliputi parameter warna, tepi, tipe dan permukaan koloni pada koloni bakteri berumur 24 jam. Pengamatan mikroskopis menggunakan preparat kering yang telah diwarnai dengan pewarnaan Gram dengan menggunakan mikroskop (Nikon Diaphot 300, pada perbesaran 100 sampai 1000 kali).
Uji Viabilitas Bakteri pada media yang mengandung logam Hg Isolat bakteri yang diuji ialah isolat dengan kode: A.SI.3A (berasal dari sampel air) dan isolat dengan kode: SIII 5.1.2 (berasal dari sample sedimen). Masing-masing isolat uji diinokulasikan pada media nutrient broth (NB) yang mengandung logam berat Hg dengan konsentrasi 1,5 ppm, 3 ppm, 5 ppm, 7 ppm dan 10 ppm. Inkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 24 jam, pada suhu ruang. Untuk pengamatan pertumbuhan sel bakteri dilakukan pengukuran kerapatan optik (OD) pada panjang gelombang (λ) 600 nm. dengan spektrofotometer, pada kultur dengan masa inkubasi 0 jam dan 24 jam.
HASIL Berhasil dimurnikan sebanyak 4 isolat bakteri yang berasal dari sampel air dan 11 isolat dari sedimen (Tabel 1). Berdasarkan hasil isolasi terlihat bahwa sedimen
494
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
sungai merupakan sumber isolat yang lebih potensial untuk mendapatkan koleksi isolat bakteri. Hasil pewarnaan Gram dari 4 isolat bakteri asal air didapatkan 2 isolat Gram negatif dan 2 isolat Gram positf (Gambar 1), dan isolat asal sedimen didapatkan 5 isolat Gram negatif dan 6 isolat Gram positif (Gambar 2) 1
2
3
4
Gambar 1. Hasil pewarnaan Gram isolat bakteri asal air
495
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 1. Hasil isolasi dan karakterisi isolat bakteri asal hilir Sungai Cisadane
No
Kode dan asal isolat Tipe
1
A.SI.3A, air
Irreguler
2
A.SII.3X, air
Circular
3
A.SII.3Y, air
Circular
4
A.SIII.2, air
Irreguler
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
S III4.KCB, sedimen S III.3.TB, sedimen S III.5.BBZ, sedimen S III.5.AT, sedimen S I.5.A, sedimen S III.3.TR, sedimen S I.7*, sedimen S III.5.1.2(2) sedimen S II.5.I, sedimen S III.5.1.2, sedimen S III.4.LB sedimen
Circular Rhizoid Circular Irregular Circular Circular Circular Irregular Irregular Circular Rhizoid
496
Karakterisasi koloni dan sel bakteri Morfologi koloni Warna/pigmen Tepi Tepi: bening kejinggaan Tengah: jingga Tepi: bening Tengah: putih krem Tepi: bening Tengah: bening Tepi: putih krem Tengah: bening Krem dan Mengkilat Krem dan Mengkilat Pinggir bening, tengah pudar Pinggir bening, tengah putih dan mengkilat Krem dan tidak mengkilap Bening agak keputihan dan tidak mengkilap Pinggir bening, tengah putih dan mengkilat Putih dan mengkilat Pinggir bening, tengah putih dan mengkilat Pinggir bening, tengah putih dan mengkilat Pinggir koloni mengkilat, tengah bening
Lobate
Umbonate
Pewarnaan Gram dan bentuk sel Negatif, bacill
Entire
Convex,
Positif, coccus
Entire
Convex
Negatif, bacill
Undulate
Convex
Positif, bacill
Lobate Filamentous Entire Lobate Entire Undulate Entire Undulate Undulate Entire Filamentous
Convex Convex Convex Convex Raised Flat Flat Raised Convex Convex Flat
Negatif, coccus Positif, bacill Positif, bacill Positif, bacill Negatif, bacill Negatif, coccus Positif, coccus Positif, coccus Negatif, bacill Negatif, bacill Positif, bacill
Permukaan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Gambar 2. Hasil pewarnaan Gram isolat bakteri asal sedimen
497
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Optical Density (OD) kultur Bakteri A.SI.3A
Optical Density (OD) kultur Bakteri S III 5.1.2 0.9
1.2
0.8
1
OD (600 nm)
OD (600 nm)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2
0.8 0.6 0.4 0.2
0.1
0
0 Kontrol
1,5 ppm
3 ppm
5 ppm
7 ppm
Kontrol 1,5 ppm
10 ppm
OD 0 jam
3 ppm
5 ppm
7 ppm
10 ppm
Konsentrasi Hg (mg/L)
Konsentrasi Hg (mg/L) OD 24 jam
OD 0 jam
OD 24 jam
Gambar 3. Uji Viabilitas isolat bakteri A.SI.3A dan S III 5.1.2 pada media yang mengandung logam berat merkuri
PEMBAHASAN Bakteri sangat responsif terhadap keberadaan oksigen dilingkungannya. Apabila dibandingkan, isolat bakteri yang berhasil diisolasi dari kolom air lebih sedikit keragamannya dibanding dengan bakteri yang berhasil diisolasi dari sedimen. Hal ini di karenakan bakteri yang hidup di kolom air kebanyakan
bersifat aerob obligat,
sedangkan bakteri yang hidup di sedimen ada yang bersifat anaerob obligat, anaerob fakultatif dan bakteri fermentatif. Selain itu di duga karena di sedimen terjadi akumulasi nutrien (bahan organik) menyebabkan
bakteri dapat tumbuh lebih baik. Hal ini
mendukung penelitian Rheinheimer (1985) yang mengamati bakteri nitrifikasi, dimana perbandingan jumlah bakteri nitrifikasi di kolom air dengan di sedimen adalah 1: 2. Perbedaan
komposisi
dinding
sel
bakteri
terhadap
pewarnaan
Gram
menyebabkan terjadinya reaksi Gram yang berbeda. Bakteri akan memberikan reaksi Gram positif dikarenakan diding sel memiliki kandungan lipid yang rendah (1 – 4 %), ketebalan dinding selnya berkisar 15 - 80 nm, berlapis tunggal dan rentan terhadap penisilin dan gangguan fisik. Rendahnya kandungan lipid pada dinding selnya menyebabkan mudah terdehidrasi, sehingga pada pembilasan dengan alkohol menyebabkan pori-pori dinding sel mengecil dan permebilitasnya berkurang, maka senyawa komplek Cristal violet-Yodium (UK-I) tidak dapat terekstraksi dan warna ungu (violet) dari crystal violet terperangkap didalam dinding sel (reaksi Gram positif), (Pelczar & Chan 1986).
498
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Bakteri Gram negatif memiliki kandungan lipid yang tinggi (11 – 22 %), struktur dinding sel yang tipis (10-15 nm) dan berlapis tiga, tahan terhadap penisilin dan gangguan fisik. Pembilasan dengan alkohol menyebabkan lipid terekstraksi sehingga pori-pori dinding sel memperbesar, maka kompleks UK-I (ungu kristal) yang telah terbentuk dan memasuki dinding sel dapat diekstraksi dan warna ungu menjadi hilang dan yang tertinggal warna merah dari safranin (reaksi Gram negatif), (PELCZAR & CHAN, 1986). Berdasarkan pengamatan optical density (kerapatan optik), pertumbuhan isolat bakteri A.SI.3A (asal air) pada media yang mengandung logam Hg 1,5 ppm (OD 0,901) dan Hg 3 ppm (OD 1,04) lebih tinggi dari pada kontrol (OD 0,747), hal ini menunjukkan pertumbuhan isolat bakteri tidak mengalami penghambatan, namun pada media yang mengandung Hg 5 ppm (OD 0,51), 7 ppm (OD 0,32) dan 10 ppm (OD 0,507) terlihat terjadi penurunan, ini menunjukan telah terjadi penghambatan pertumbuhan bakteri oleh logam Hg. Sedangkan isolat bakteri S III 5.1.2 (asal sedimen), pertumbuhannya mengalami hambatan pada media yang mengandung Hg, namun demikian terlihat isolat bakteri S III 5.1.2 masih dapat tumbuh pada media yang mengandung Hg 10 ppm. Uji viabilitas menunjukan isolat bakteri A.SI.3A dan S III 5.1.2 mempunyai kemampuan daya tumbuh yang cukup baik pada media yang mengandung logam berat Hg. Diperkirakan kedua isolat bakteri tersebut dapat tumbuh dan mampu beradaptasi pada lingkungan ekstrim seperti pada sungai tercemar logam merkuri. Bakteri yang telah lama hidup di lingkungan tercemar logam maka bakteri tersebut akan mampu beradaptasi terhadap cemaran logam (Gaudy & Gaudy 1981). Kedua isolat yang diuji bila dibandingkan terlihat bahwa isolat bakteri A.SI.3A mempunyai daya adaptasi dan daya tahan yang lebih baik dibanding isolat S III 5.1.2. Perbedaan kemampuan kedua isolat bakteri tersebut diduga berhubungan dengan karakteristik dari bakteri tersebut. Dengan demikian dari kedua isolat uji, isolat A.SI.3A dijadikan isolat terpilih untuk uji bioremoval logam berat merkuri. Kemampuan adaptasi dan daya tahan mikroorganisme terhadap logam merkuri (Hg) berbeda-beda (Nofiani & Gusrizal 2004). Perbedaan ini berhubungan dengan mekanisme respon bakteri terhadap stress merkuri, yaitu:
1). penghambatan proses
499
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
metabolisme sel sehingga pertumbuhan sel lambat atau sel mati. 2). Menginduksi sistem operon resisten merkuri untuk bekerja sehingga sel tetap hidup dalam kondisi stress. Dan 3). Adanya plasmid yang mengandung gen resisten merkuri di dalam sel (Smith et al. 1998). Bakteri mampu bertahan hidup pada lingkungan yang mengandung logam merkuri dapat terjadi karena bakteri memiliki mer operon (gen resisten merkuri) (Silver & Phung 1996), namun setiap jenis bakteri mempunyai struktur mer operon berbeda. Umumnya struktur mer operon terdiri dari gen metaloregulator (merR), gen transport merkuri (merT, merP, merC), gen merkuri reduktase (merA) dan organomerkuri liase (merB), (De 2004). Bakteri yang memiliki protein merkuri reduktase (merA) disebut bakteri resisten merkuri spektrum sempit. Beberapa bakteri selain memiliki protein merkuri reduktase (merA) juga memiliki protein organomerkuri liase (merB) yang berfungsi dalam mengkatalisis pemutusan ikatan merkuri-karbon sehingga dihasilkan senyawa organik dan ion Hg yang berupa garam tiol. Bakteri yang memiliki kedua protein merkuri reduktase (merA) dan protein organomerkuri liase (merB) disebut bakteri resisten merkuri spektrum luas (Silver & Phung 1996, Smith et al. 1998, De 2004). Hasil identifikasi isolat uji A.SI.3A adalah Bacillus megaterium. Pemanfaatan bakteri untuk bioremoval logam berat, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh ZEROUAL, et al., (2001 dalam DE, 2004) ialah bakteri dari genus Pseudomonas, Leptotrix, Klebsiella, Citrobacter dan Bacillus. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wagner-Dobler et al. (2000) menyatakan jenis Pseudomonas putida, Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas fulva dapat digunakan dalam proses bioremoval logam merkuri (Hg) secara in vitro.
KESIMPULAN Berhasil diisolasi sebanyak 4 isolat murni asal kolom air dan 11 isolat asal sedimen dari perairan hilir Sungai Cisadane. Isolat bakteri (kode: A.SI.3A) dijadikan sebagai isolat terpilih untuk agen bioremoval logam berat merkuri.
500
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Atlas, R. M. & R. Bartha. 1993. Microbial Ecology. Fundamentals and Applications. 3 rd (Ed.). The Benjamin and Cummings Publishing Co. Inc, Redwood. 563 pp. Badjoeri, M., S. Larashati, M.S. Syawal, Awalina, Sugiarti, dan V. Indarwati. 2006. Kajian Potensi Bakteri Indigenous Sebagai Agen Bioremoval Senyawa Logam Pada Sistem Perairan Sungai Cisadane. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Cibinong, Bogor. Cappuccino, J.G & Sherman. N. 1996. Microbiology : A Laboratory Manual. 4th. Ed. The Benjamin and Cumming Publishing Company Inc, California. De, Jaysankar. 2004. Mercury-resistant Marine Bacteria and Their Role in Bioremediation of Certain Toxicants. Thesis. National Institute of Oceanography Goa University, India. Gaudy, A. F. & E. T. Gaudy. 1981. Microbiology for Environmental Scientist and Engineers. International Student Edition, McGraw-Hill International Book Company, Auckland. p 176-195. Nugroho. 2001. Ekologi Mikroba pada Tanah Terkontaminasi Logam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. pp 13. Nofiani, R. & Gusrizal. 2004. Bakteri Resisten Sempit dari Daerah Bekas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Mandor, Kalimantan Barat. Jurnal Natur Indonesia. 6(2) : 67-64. Putra, S. E. & Putra, J. A. 2005. Bioremediasi, Metode Alternatif untuk Menanggulangi Pencemaran Logam Berat. Rheinheimer, G. 1985. Aquatic microbiology. 3rd Ed. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. Chichester. 257 pp. Rhodina, A. G. 1972. Methode in Aquatic Microbiology. University Park Press. Baltimore. 461 pp. Silver, S. & Phung, L.T. 1996. Bacterial Heavy Metal Resistance: new surprises. Annual. Rev. Mirobiol. 50: p753-789. Smith, E.,Wolters, A. & Elsas, J.D.V. 1998. Self Transmissible Mercury Resistance Plasmids with Gene Mobilizing Capacity in Soil Bactery Populations: Influence of Wheat Roots and Mercury Addition. Appl. Environment. Microbiol. 64 : 1210-1219. Suhendrayatna. 2001. Bioremoval Logam Berat dengan Menggunakan Mikroorganisme : Suatu Kajian Kepustakaan. Institute for Science and Technology Studies (ISTECS). Japan. Syawal, M.S. & Yustiawati. 2004. Kajian Pencemaran Merkuri Akibat Pengolahan Biji Emas di Sungai Cikaniki, Sub Das Cisadane, Bogor. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Vouck. 1986. General Chemistry of Metal. Handbook on the Toxicology of Metal. Elsivier. New York. Wagner-Dobler, H.V. Canstein, Y. LI, K. N. Timmis, & W.D. Deckwer. 2000. Removal of Mercury from Chemical Wastewater by Microorganisms in Technical Scale. Environmental Science. 34. Wild, A. 1995. Soils and The Environment : An Introduction. Cambridge University Press. Cambridge, Great Britain.
501
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KARAKTERISTIK SUBDAS CILILIN SEBAGAI DATA DASAR PENGEMBANGAN DEMOSITE EKOHIDROLOGI Iwan Ridwansyah* ABSTRAK Pengelolaan air di Indonesia hingga awal tahun 2000 masih bersifat eksploitatif. Perilaku lama ini mulai berubah dengan diresmikannya UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, yang mengamanatkan pengelolaan yang seimbang antara eksploitasi dan konservasi. Untuk mewadahi perubahan ini berkembang konsep ekohidrologi, yang didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi proses hidrologi dengan dinamika biologi dalam berbagai kondisi spatial dan temporal. Program ekohidrologi merupakan program global UNESCO yang dikelola oleh LIPI selaku koordinator program IHP (International Hydrology Program). Program ekohidrologi yang terkait dengan dijadikannya Indonesia sebagai Pusat Ekohidrologi Asia Pasifik (Asia Pacific Center for Ecohydrology). Khususnya dalam kegiatan lapangan di Waduk Saguling sebagai demo-site, Das Cililin dengan luas das 425 ha dipilih karena das ini langsung berhubungan dengan waduk yang termasuk dalam pengelolaan PT Inhutani sehingga cocok sebagai stasiun demosite. hasil analisis spasial menunjukan kemiringan lereng das ratarata mencapai 25% dan kerapatan sungai 402 m2/m, penggunaan lahan das didominasi oleh semak belukar (39%) kebun (24,7%) dan ladang (28%) sedangkan luas hutan hanya 2,11% hasil analisis kualitas air pH 8.12, temperatur 23,8oC dan konduktivitas 0,076 mS/cm. Penelitian ini dilakukan sebagai data dasar yang selanjutnya digunakan untuk pelatihan, penelitian, monitoring dan implementasi model. Kata kunci : ekohidrologi, IHP, DAS, demosite ABSTRACT Since year 2000, Water management in Indonesia has been exploitatively. This behavior begin to change after UU No.7/2004 about Water Resources is legitimated, that mandating balance management in exploitation and conservation. Ecohydrology concept develop to coordinated this change. Ecohydrology is definite as science that study about interaction hydrology process with biology dynamic in spatial and temporal condition. Ecohydrology programmed is UNESCO global program that are managing by LIPI as IHP (International Hydrology Program) programmed coordinator. Ecohydrology program is connected with formation of Asia Pacific Center for Ecohydrology in Indonesia. Especially in field activity in Saguling Reservoir as Demo-site, Cililin catchment area have 425 ha. This catchment has been selected to be demo-site for Ecohydrology because this catchment connected directly with reservoir and this area is belong to PT Inhutani. Spatial analyst result show slope average is 25%, stream density is 402 m2/m, land use dominated with scrub (39%), plantation (24%) and agricultural field (28%) whereas forest only 2.11 % from total area. Water quality is show; pH 8.12, temperature 23.8oC dan conduktivity 0,076 mS/cm. This resource is done to be basic data that furthermore used for training, research, monitoring and model implications. Keywords : Ecohydrology, IHP, catchment area, demo-site
PENDAHULUAN Ekohidrologi adalah ilmu yang mempelajari
interaksi proses hidrologi dan
dinamika biologi dan/atau ekologi dalam berbagai kondisi spatial (ruang) dan temporal (waktu). Ini adalah sebuah ilmu terapan baru yang mengajak kita semua untuk melihat dan mengelola air bukan sekedar hanya sebagai air tetapi sebagai sumber daya air (Zalewski, 2000). Dengan demikian keberlanjutan kehadiran air tidak terlepas dari *
Pusat Penelitian LImnologi LIPI e-mail :
[email protected]
502
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
seluruh komponen ekosistem yang terkait dengan proses alam menyediakan air, proses abadi yang dikenal dengan nama daur hidrologi atau siklus hidrologi. Dalam proses ini ada gerakan abadi penguapan air dari samudera dan daratan menjadi uap air naik ke angkasa, menjadi awan, naik ke ketinggian, lalu jatuh sebagai hujan dan salju, mengalir di permukaan dan tersimpan di dalam tanah untuk kemudian bermuara kembali ke laut untuk selanjutnya mengulangi dan mengulangi lagi proses siklus ini. Pendirian pusat ekohidrologi Asia Pasifik diprakarsai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan stasiun lapangan di reservoir Saguling. Kegiatan ini maupun stasiun lapangan tersebut dipilih karena mewakili berbagai masalah pembangunan nyata yang masih memerlukan masukan hasil kajian penelitian untuk dapat menuju kepada realitas konsep ideal pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Perkembangan pandangan modern menunjukan adanya perubahan terhadap pengelolaan sumberdaya air, perubahan pardigma tersebut disebabkan oleh dua hal yakni semakin krisisnya sumberdaya air dan gerakan pelestarian lingkungan hidup. Implikasi dari hal tersebut disimpulkan dalam International Conference on Water and Environmental di Dublin, 26-31 Januari 1992. Konsekuensi dari paradigma tersebut air yang semula hanya berupa benda sosial, bergeser menjadi sutu b enda ekonomi yang memiliki fungsi sosial (Sunaryo dkk, 2007) Stasiun lapangan di Waduk Saguling (Sungai Citarum) dipilih karena mewakili berbagai masalah pembangunan nyata yang masih memerlukan masukan hasil kajian penelitian untuk dapat menuju kepada realitas konsep ideal pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Subdas ini terletak di DAS Citarum hulu dengan luas subdas 425 Ha, terletak 1 km selatan dari Waduk saguling (Gambar 1). Secara administratif terletak di desa Karangtanjung Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji karakteristik das Cililin sebagai data dasar pengembangan subdas cililin sebagai demosite ekohidrologi sehingga dapat digunakan sebagai sarana pelatihan, monitoring dan penerapan model pengelolaan das.
503
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 1. Daerah penelitian di DAS Citarum Hulu
METODOLOGI Pengaruh DAS terhadap air larian (surface runoff) adalah melalui bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi, dan tata guna lahan (Asdak, 2002). Morfometri das dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak berbasis Sistem Informasi Geografi (GIS)
yaitu ArcView 3.1 dengan dilengkapi extension
SpatialAnalyst dan 3D Analyst. Adapun data yang digunakan didapat dari peta digital Rupa Bumi Indonesia, skala 1 : 25.000 terbitan Bakosurtanal Tahun 2000. Data dan informasi yang diperlukan terdiri dari data primer dan sekunder, data primer diperoleh melalui pengukuran/pengamatan langsung di lapangan. Untuk mempermudah pengamatan debit air dilakukan pemasangan V-Notch pada sungai utama (V-notch1) dan anak sungai (V-notch2), Gambar 2 memperlihatkan lokasi penempatan V-notch dan pengambilan sampel air. V-notch 2 dipasang pada saluran air dengan lebar 2 m dengan jarak dasar saluran ke titik terendah sebesar 15 cm (Gambar 3). Penentuan debit berdasarkan pada persamaan matematik. Q = K.h5/2 .............................................................................................1
504
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Dan K = 8,2 + Dimana :
0,24 12 h 2 + (8,4 + )( − 0,09) ................................................2 h D B
Q : Debit m3/detik K : Koefesien debit h : tinggi muka air (m) B : Lebar saluran (m) D : tinggi dari dasar saluran ke titik terendah dari bendungan (m)
Estimasi aliran puncak menggunakan persamaan matematik rasional (Suyono, 1977) yaitu;
Q = 0.0028 C i A........................................................................................3 Dimana :
Q : aliran debit puncak (m3/det) C : Koefesien air larian I : intensitas hujan (mm/Jam) A : Luas DAS (Ha)
Gambar 2. Lokasi V-notch dan pengeambilan sampel di DAS cililin
505
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 3. V-notch 2 di salah satu anak sungai Cililin
Pengukuran dilakukan pada dua titik pengamatan pada anak sungai dan sungai utama, selain pengukuran hidrologi dilakukan juga pengambilan dan analisis sampel sebagai data awal kualitas air. Pengukuran parameter fisik pH, Temperatur, Konduktivitas, dan Oksigen terlarut menggunakan WQC (Horiba U-10). Selain itu dilakukan juga analisis parameter lainnya; sedimen terlarut, TN, TP dan COD yang dianalisis berdasarkan Standar Methods. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi, antara lain: Data iklim diperoleh dari stasiun pengamatan iklim, data hidrologi diperoleh dari Dinas Pengairan, data perubahan penggunaan lahan diperoleh dari Bakosurtanal, Bappeda, BPN, dan intrepretasi citra satelit dengan menggunakan software ErMapper 5.5, data karakteristik tanah diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Data dan informasi mengenai stasiun demosite Saguling diintegrasikan dalam bentuk digital dengan format ArcView 3.1 yang berbasis Sistem Informasi Digital (GIS) sehingga lebih mudah digunakan dalam kegiatan penelitian, pelatihan, monitoring dan penerapan model.
HASIL DAN PEMBAHASAN Morphometri DAS Dari hasil analisis keruangan dengan menggunakan 3DAnalyst Subdas Cililin dengan luas 425 Ha, elevasi tertinggi pada 1.227 m dpl dan outlet Subdas menjadi inlet 506
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Waduk Saguling pada ± 660 m dpl. Panjang total sungai pada Subdas Cililin mencapai 10.572 m dan panjang sungai utama 3,094 m, kerapatan sungai sungai 0,0024 km2/km dengan kemiringan sungai utama 18%. V-notch 2 mencakup luas das 203 Ha dengan total panjang sungai mencapai 5.648 m, sehingga kerapatan alirannya adalah 0,0027 km2/km dengan kemiringan sungai 12%. Secara umum makin besar kerapatan aliran semakin baik sistem pengaliran, besar kecilnya juga tergantung kepada presipitasi bentuk das dan tipe batuan dasar (Asdak, 2002). Ada dua jenis batuan mendasari das ini yaitu batuan intrusi bersifat andesit dan batuan gunung api yang terdiri dari tuffa dan breksi.
Gambar 4. Peta kemiringan lereng Subdas Cililin
Pola drainase sungai cenderung rektangular menunjukan adanya sesar yang berkembang. Menurut Black dalam Asdak (2002) pola aliran mempunyai peranan lebih menentukan dari pada kerapatan drainase dalam mempenraruhi besarnya debit puncak dan lama waktu berlangsung debit puncak tersebut.
507
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Kemiringan lereng das Cililin didapat dari hasil pengolahan peta digital topografi dirubah kedalam bentuk model elevasi digital (DEM) dan kemudian dihitung persen lereng dengan menggunakan 3DAnalyst, Hasil analisis memperlihatkan rata-rata kemiringan subdas sekitar 25% (Gambar 4), Kemiringan lahan tidak hanya menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam besarnya aliran (runoff) tetapi juga menentukan besarnya unsur hara yang terbawa oleh aliran seperti sedimen dalam bentuk erosi. Hasil overlay dengan menggunakan GIS memperlihatkan das cililin terletak pada dua jenis tanah yaitu ultic hapludalfs dan typic hapludalfs dibagian hulu sedangkan di bagian hilir jenis typic eutropepts dan typic hapludalfs. Tanah hapludalfs secara umum Sedangkan Tanah typic eutropepts mempunyai stabilitas aggregat yang kuat. Gambar 5 memperlihatkan peta tanah di das Cililin.
Gambar 5. Peta tanah di das Cililin
508
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Besar koefisien air larian yang didapat dari Puslit Pengairan untuk daerah DAS Citarum di Stasiun pengamatan saguling pada Tahun 1975 mencapai 0,48 (dalam Asdak, 2002).
Loading sedimen dan nutrien Hasil pengukuran debit sesaat di masing-masing titik pengukuran didapat pada dua tinggi muka air yaitu 3,2 l/detik dan 13,7 l/detik, sedangkan data pengukuran kualitas air disajikan pada tabel 1 dan tabel 2. Tabel 1. Hasil pengukuran parameter fisik air. Lokasi
Tinggi
Debit
muka air
l/det
(cm)
Konduktivitas
Turbiditas
DO
pH
( mS/cm)
(NTU)
(mg/L)
Temp oC
V-notch1
11
-
8.26
0.071
39
8
23.3
V-notch1
19
-
7.96
0.086
142.5
8.27
24.3
V-notch2
9
3,3
8.44
0.063
-
9
23
V-notch2
16
13,7
7.85
0.084
84.6
7.27
24.6
Tabel 2. Hasil analisis sedimenterlarut dan nutrien (TP dan TN) Lokasi
Tinggi muka air
SS
Total Phospor
Total Nitrogen
(cm)
( mg/L)
( mg/L)
(mg/L)
V-notch1
11
0.21
0.0023
0.7362
V-notch1
19
0.87
0.0224
0.5859
V-notch2
9
0.14
0.014
0.7759
V-notch2
16
0.39
0.0408
0.6291
Perhitungan loading sedimen dan nutrien baru hanya pada V-notch 2 karena Vnotch 1 masih terdapat kebocoran pada bangunan weir. Pengambilan sampel dilakukan pada dua tinggi muka air (tma) yang berbeda yaitu 9 dan 16 cm. Hasil perhitungan memperlihatkan loading sedimen 0,46 dan 5,4 mg/ltr/detik, sedangkan loading nutrien yang diwakili oleh parameter Total P adalah 0,05 dan 0,6 mg/ltr/detik, Total N 2,5 dan 8,6 mg/ltr/detik.
509
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tutupan Lahan Faktor tutupan lahan salah satu faktor yang penting dalam pengelolaan das karena tidak hanya mempengaruhi kuantitas air tetapi juga kualitas air, dan tutupan lahan selalu akan berubah sesuai dengan kepentingan manusia. Data tutupan lahan didapat peta digital Rupa bumi hasil analisis keruangan memperlihatkan tutupan lahan didominasi oleh semak belukar (39%), tanah ladang (28%) dan perkebunan (25.6%), sedangkan tutupan hutan luasnya 12 ha atau 2.83 % (Tabel 3. dan Gambar 6). Tutupan hutan sendiri merupakan hasil reboisasi yang dilakukan oleh Inhutani berupa hutan pinus (pinaceae) karena kawasan ini juga dikelola oleh instansi tersebut. Gambar 7 memperlihatkan beberapa tutupan lahan di Subdas Cililin.
Gambar 6. Peta penggunaan lahan di Subdas Cililin
Tabel 3. Luasan tutupan lahan di rencana demosite basin Tutupan lahan Belukar Hutan Kebun Pemukiman Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tanah Ladang
510
Luas (ha) 166.255 12.0266 104.8889 17.2788 2.7682 2.1878 119.9482 425
% 39.09 2.83 24.66 4.06 0.65 0.51 28.20 100
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 7. Kondisi tutupan lahan di Subdas Cililin
KESIMPULAN DAN SARAN Das Cililin merupakan das berhubungan langsung dengan waduk saguling sehingga dapat dijadikan kondisi alamiah das citarum hulu, luas das mencapai 425 ha, dengan kerapatan aliran 0,0024 dan kemiringan lereng rata-rata 28%. Tutupan lahn didominasi oleh semak belukar (39%) kebun (24,7%) dan ladang (28%) sedangkan luas hutan hanya 2,11%. Das ini cocok untuk dijadikan stasiun demosite yang dimanfaatkan oleh para peneliti dan pelajar dalam mempelajari ekohidrologi. Tidak hanya karena masih dalam kawasan waduk saguling tetapi juga karena dalam pengelolaan PT inhutani. Selain itu di das ini juga bisa dilakukan penerapan model-model yang berhubungan dengan ekohidrologi. Perlu dilakukan monitoring kuantitas dan kualitas air dengan melakukan pemasangan data logger sehingga didapat data yang lebih detail dalam segi waktu.
DAFTAR PUSTAKA Asdak, C., 2002, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Sostrodarsono S., 1977, Hidrologi untuk Pengairan, Assosiasion for Technical Promotion, Tokyo. Sunaryo, M., Tjoek Waluyo S., dan A. Harnanto, 2007, Pengelolaan Sumberdaya Air, Konsep dan Penerapannya, Bayu Media Publishing. Zalewski M. 2000. Ecohydrology - the scientific background to use ecosystem properties as management tools toward sustainability of water resources. Guest Editorial Ecological Engineering 16:1-8. 511
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KONSERVASI DAERAH TANGKAPAN AIR EMBUNG SEBAGAI MODEL ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DI KAWASAN BERIKLIM KERING NTT Wahyu Widiyono∗ ABSTRAK Untuk menanggulangi keterbatasan air, telah dibangun 334 embung ’kecil’ oleh Pemda Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dapat menampung air 8.318.152 m3, melayani 31.597 keluarga, 105.522 ternak dan pertanian 1.319 ha. Setiap embung ini memiliki daerah tangkapan air seluas antara 3 dan 40 ha; sehingga dari total embung yang ada dapat mencakup luasan 3.281 ha. Embung besar (irigasi) dan waduk mempunyai daerah tangkapan air hingga ratusan hektar. Daerah tangkapan air embung menghadapi kendala rendahnya tutupan vegetasi, laju aliran permukaan dan erosi yang tinggi, gangguan ternak serta kegiatan pertanian masyarakat di sekitar. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah prioritas untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka proyek pembangunan bersih (CDM). Mengingat konservasi daerah tangkapan air merupakan tindakan yang mutlak harus dilakukan dalam mempertahankan fungsi eko-hidrologis embung maka kegiatan ini perlu ditingkatkan peranannya sebagai kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka mekanisme pembangunan bersih. Pengkajian dan upaya awal aforestasi/reforestasi pada daerah tangkapan air embung akan didiskusikan. Kata Kunci: konservasi, aforestasi/reforestasi, daerah tangkapan air, embung, perubahan iklim global.
PENDAHULUAN Dampak perubahan iklim global secara signifikan ditandai oleh kenaikan permukaan air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia; Musim tanam dan musim panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan; Banjir melanda sebagian jalan raya di berbagai kota besar di pesisir; Air laut menyusup ke delta sungai, menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan; dan Anak-anak menderita kurang gizi akut. Dampak tersebut merupakan kelanjutan dari penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa serta hilangnya serapan karbondioksida. Perubahan iklim telah mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Bangsa Indonesia akan menjadi korban perubahan iklim bila tidak segera melakukan adaptasi dengan lingkungan yang baru ini dan jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya. Perubahan iklim memberikan ancaman terhadap ketersediaan air, sumber nafkah, kesehatan dan ketahanan Pangan (UNDP, 2007). Ketersediaan air yang tidak
∗
Peneliti Madya Bidang Botani-Puslit Biologi LIPI Kompleks CSC, JL. Raya Jakarta-Bogor, Km. 46, Cibinong E-mail:
[email protected]
512
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
menentu terlihat dari pola curah hujan yang berubah-ubah sehingga mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan air bersih. Di wilayah pesisir, kesulitan air tanah disertai kenaikan permukaan air laut juga akan memungkinkan air laut menyusup ke sumber-sumber air bersih; Pengaruh perubahan iklim mempengaruhi pencarian sumber nafkah masyarakat paling miskin; Curah hujan yang lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakitpenyakit yang menular lewat air seperti diare dan kholera dan wilayah-wilayah termiskin juga cenderung mengalami rawan pangan. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di Nusa Tenggara Timur, misalnya sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di barbagai daerah di seluruh propinsi ini. Dilaporkan oleh UNDP (2007), beberapa data perubahan iklim antara lain (1). Sumber air berkurang, ditandai oleh perubahan pola curah hujan berakibat menurunkan ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Di Pulau Lombok dan Sumbawa antara tahun 1985 dan 2006, jumah titik air menurun dari 580 menjadi hanya 180 titik. Di seluruh Indonesia makin banyak sungai yang makin dangkal; (2). Kehancuran hutan Indonesia berlangsung makin cepat, yaitu 600.000 hektar per tahun pada tahun 1980an dan menjadi sekitar 1,6 juta hektar di penghujung tahun 1990an. Akibatnya, tutupan hutan menurun secara tajam, dari 129 juta hektar tahun 1990 menjadi 82 juta hektar tahun 2000, dan diproyeksikan menjadi 68 juta hektar di tahun 2008, sehingga kini setiap tahun Indonesia semakin mengalami penurunan daya serap karbon dioksida; (3). Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1950 dan 2005 konsentrasi karbondioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat. Tindakan yang perlu dilakukan untuk berdaptasi terhadap kondisi lingkungan hidup yang baru ini ialah adaptasi untuk penyediaan air, adaptasi di wilayah pesisir, adaptasi dalam pertanian, adaptasi untuk bidang kesehatan, adaptasi untuk wilayah perkotaan, dan adaptasi dalam pengelolaan bencana (UNDP, 2007).
513
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Kegiatan adaptasi tersebut sejalan dengan salah satu kegiatan dari Millenium Development Goals (MDGs), yaitu konservasi lingkungan yang bertujuan menelaah seberapa besar penutupan vegetasi di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini seperti disebutkan dalam laporan Bappenas dan UNDP (2007), bahwa selama periode 19972000, Indonesia kehilangan 3,5 juta Ha hutan per tahun atau seluas propinsi Kalimantan Selatan. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut serta meratifikasi Protokol Kyoto 1997 dan Konperensi Perubahan Iklim di Bali,
tahun 2007 dalam rangka
penurunan emisi karbon melalui mekanisme pembangunan bersih/Carbon Development Mecanism (CDM) dengan kegiatan aforestasi/reforestasi. Provinsi Nusa Tenggara Timur dikenal sebagai wilayah yang memiliki kualitas lahan dan curah hujan amat rendah dibandingkan di wilayah lain di Indonesia. Topografi wilayah yang bercorak pegunungan di banyak Pulau di NTT telah menghambat upaya-upaya kegiatan ekstensifikasi pertanian. Provinsi yang terletak di lingkar terluar dari kepulauan Sunda Kecil ini merupakan bagian dari wilayah di mana tanda-tanda ENSO-El Niňo amat terasa. Hal ini hampir dapat dipastikan, bahwa sekali dalam tiga tahun daerah ini kemungkinan besar
dilanda kekeringan. Catatan tahun-tahun terjadinya kekeringan
dahsyat di NTT selama seabad terakhir, telah menggambarkan sebuah kisah yang menyedihkan, yaitu : 1909, 1911,1912, 1914, 1919, 1924, 1940, 1948, 1951, 1958, 1965, 1969, 1972, 1976, 1979. Tahun 1983 merupakan tahun yang amat buruk dan tahun 1997-1998 merupakan salah satu di antara masa-masa kekeringan terburuk pada abad ini (Fox, 2006). Embung merupakan salah satu sistem penampungan air buatan untuk mengantisipasi keterbatasan air di NTT. Sejak 1986 hingga 2005 sebanyak 334 embung telah dibangun oleh Pemda NTT. Untuk kepentingan pengendalian aliran permukaan dan erosi, serta pelestarian sumberdaya air embung upaya konservasi daerah tangkapan air embung merupakan suatu tindakan yang mutlak harus dilakukan. Kegiatan konservasi ini sejalan dengan kegiatan aforestasi/reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih. Dalam tinjauan ini disampaikan kajian kemungkinan pemanfaatan daerah tangkapan air embung untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka mekanisme pembangunan bersih dan upaya awal yang telah dilakukan.
514
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
METODE PENDEKATAN Mengkaji kondisi daerah tangkapan air embung-embung di NTT yang meliputi daerah tangkapan air, penampungan dan pemanfaatan air dikaitkan dengan (1). Prioritas wilayah kegiatan aforestasi/reforestasi mekanisme pembangunan bersih di Indonesia (Murdiyarso et al., 2006);
(2). Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2004
Tentang tata cara aforestasi/ reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih; (3). Penyusunan Dokumen Rancangan Proyek aforestasi/reforestasi mekanisme pembangunan bersih (CIFOR, 2005); (4) Upaya kegiatan aforestasi/reforestasi di daerah tangkapan air embung Oemasi, Kupang dan Embung Leosama, Belu.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Provinsi NTT daerah prioritas kegiatan CDM Disebutkan dalam laporan Murdiyarso et al. (2006), berdasarkan kepadatan penduduk 29-98 orang per km2, indeks pembangunan manusia 53-64 dan indeks resiko kebakaran, Nusa Tenggara Timur termasuk ke dalam wilayah prioritas pengembangan mekanisme pembangunan bersih (CDM) dengan frekuensi kebakaran yang rendah. Sebesar 30-63% luas area di wilayah NTT memenuhi syarat untuk kegiatan aforestasi dan reforestasi dalam rangka mekanisme pembangunan bersih (Tabel 1). Indeks pembangunan manusia dapat dilihat
dari tingkat kemiskinan,
perekonomian dan kesejahteraan suatu masyarakat. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan
salah satu daerah termiskin di Indonesia.
Perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat NTT masih tertinggal dibandingkan rata-rata nasional. Dalam Data BPS 2004 disebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di NTT sebesar 28% (1,152 juta jiwa), sedangkan penduduk miskin di Indonesia hanya 17%. Diperkirakan rata-rata pendapatan masyarakat per kapita per tahun di NTT adalah Rp 2,9 juta, sedangkan pendapatan di tingkat nasional mencapai Rp 9,5 juta. Hampir 90% penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan dan 82% diantaranya bekerja di sektor pertanian (Suharyo,
2006). Disebutkan oleh Blyth et al. (2006) angka kemiskinan di NTT
mencapai 60% dari jumlah penduduk.
515
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 1.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Luas area memenuhi syarat untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka mekanisme pembangunan bersih di Nusa Tenggara Timur Wilayah Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao
Luas Area (ha) 392908,2 680117,1 551793,5 401686,9 268107,3 226307,1 296432,4 127451,1 178248,6 179409 223173,2 300446,5 690517,7 129459,9
Luas Area memenuhi syarat (ha) 202669,42 389712,05 263263,77 205819,22 167745,53 109178,64 86318,46 41604,44 52899,53 74550,66 99139,75 123395,01 209002,96 57475,79
Persentase (%) 51,58 57,30 47,71 51,24 62,57 48,24 29,12 32,64 29,68 41,55 44,42 41,07 30,27 44,40
Sumber: Murdiyarso et al. (2006). Meskipun kebakaran menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dengan budaya pertanian tebas bakar masyarakat petani di NTT, namun resiko kebakaran ini masih lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang memiliki resiko kebakaran lebih besar seperti pada beberapa tempat di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Oleh karena itu, beberapa wilayah di kedua Pulau Besar tersebut oleh Murdiyarso et al. (2006), dimasukkan dalam wilayah yang memiliki resiko kebakaran tinggi. Dari ketiga indikator tersebut di atas (kepadatan penduduk, indeks pembangunan manusia dan indeks resiko kebakaran) amatlah tepat bila NTT termasuk daerah prioritas pengembangan CDM.
Hal ini karena dana insentif yang akan diperoleh melalui
kegiatan aforestasi/reforestasi, bukan hanya mendorong terwujudnya konservasi lingkungan tetapi juga akan menambah semangat kerja masyarakat lokal. Kegiatan aforestasi/reforestasi pada lahan-lahan seperti tersebut di atas amat penting, mengingat luas hutan di NTT dengan berbagai peruntukannya yakni 1.808.990 atau tersisa 38,2% dari luas daratan yang ada. Selama 20 tahun terakhir, luas lahan kritis 2,1 juta hektar dengan laju perluasan sebesar 15 ribu hektar per tahun, sedangkan kemampuan rehabilitasi lahan hanya 3,6 juta hektar atau 40% (Hutabarat, 2006).
516
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
2. Keberadaan embung di NTT Berdasarkan sumber air, luasan daerah tangkapan air (DTA) dan kapasitas tampungnya, embung-embung di NTT, diklasifikasikan sebagai embung kecil, embung besar dan waduk (bendungan). Embung ‘kecil’ ialah embung yang sumber airnya berasal dari air hujan, mempunyai wilayah DTA kurang dari 1 km2, dengan kapasitas tampung maksimum 100.000 m3. Embung ‘besar atau embung irigasi’ adalah embung yang sumber airnya dari air hujan dan sungai, memiliki luas DTA antara 1 (satu) hingga 10 km2 dan berkapasitas tampung antara 100.000 hingga 5 juta m3. Sedangkan ‘waduk’ sumber airnya berasal dari hujan dan sungai, luas wilayah DTA lebih dari 10 km2 dan berkapasitas tampung lebih dari 5 juta m3. Sebuah embung kecil di NTT dapat dimanfaatkan oleh 16 hingga 1.642 kepala keluarga (KK). Air embung kecil dialirkan melalui pipa bawah tanah ke bak air di perkampungan penduduk mengikuti aliran air secara gravitasi. Pemanfaatan air terutama untuk memenuhi keperluan rumah tangga, pertanian dan peternakan, pada musim kemarau (Dinas Kimpraswil Provinsi NTT, 2000). Sejak tahun 1986 hingga tahun 2005, di Provinsi Nusa Tenggara Timar terdapat 334 embung yang tersebar pada 14 Kabupaten mencakup luas daerah tangkapan air 3281 ha, daya tampung 8.318.152 m3 dengan target pelayanan 31.597 KK, 105.522 ekor ternak dan 1.319 ha pertanian (Tabel 2). Daerah tangkapan air embung yang pada umumnya berupa padang savana, areal pertanian lahan kering dan penggembalaan ternak merupakan bagian dari areal lahan kritis di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan pengamatan penulis, daerah
tangkapan air embung kecil, embung besar (irigasi) maupun waduk umumnya belum dikelola secara optimal.
517
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 2. Jumlah, luas daerah tangkapan air, daya tampung dan target pelayanan embung di Nusa Tenggara Timar tahun 1986-2005 Total Target Pelayanan Daya Luas Pembangunan tampung Manusia Ternak No. Lokasi Jumlah Pertanian DTA ha m3 KK Ekor ha (Tahun Anggaran) 1 Kodya Kupang 8 110 222.879 828 2.478 41 1992/1993-1995/1996 2 Kab. Kupang 83 773 2.309.254 8.885 26.284 412 1990/1991-2005 3 Timor Tengah Sel 61 455 1.080.834 3.882 11.698 190 1986/1987-2004 4 Timor Tengah Utara 58 514 1.121.318 4.086 12.071 236 1986/1987-2000 5 Belu 26 282 783.992 3.868 7.512 150 1993/1994-2001 6 Alor 4 30 82.450 324 1.151 11 1997/1998-2005 7 Sumba Timur 16 199 470.816 1.502 6.716 78 1995/1996-2005 8 Sumba Barat 10 89 391.637 1.323 5.067 81 1996/1997-2005 9 Ende 12 158 292.636 1.233 2.430 19 1996/1997-2006 10 Ngada 18 142 622.716 1.859 12.641 45 1997/1998-2005 11 Sikka 13 210 314.537 1.569 7.124 19 1994/1995-2003 12 Flores Timur 12 190 336.979 1.282 6.957 25 1994/1995-2003 13 Lembata 10 62 137.220 672 2.328 6 1997/1998-2002 14 Manggarai 3 71 150.884 284 1.065 6 2002 Total 334 3.281 8.318.152 31.597 105.522 1.319 1986/1987-2005 Sumber: Dinas Kimpraswil Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2006.
Daerah tangkapan air embung memiliki luas dan lingkungan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan aforestasi/reforestasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan, No. P.14/Menhut-II/2004 dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih, yakni: Aforestasi adalah penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan `merupakan hutan; Reforestasi adalah penghutanan lahan yang sejak 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan; Hutan dalam mekanisme pembangunan bersih (MPB) ialah lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dan ditumbuhi oleh pohon dengan persentasi penutupan tajuk minimal 30% yang pada akhir pertumbuhan mencapai ketinggian 5 m. Dilihat dari persyaratan luasan, embung-embung kecil NTT yang memiliki luas daerah tangkapan air bervariasi antara 3,1 ha dan 43,2 ha dengan persentase luasan meliputi 65% (< 10 ha), 26% (10-20 ha), dan hanya 9% (>20-50 ha) berpotensi besar digunakan sebagai lahan kegiatan aforestasi dan reforestasi.
Demikian pula untuk
embung-embung irigasi dan waduk yang memiliki daerah tangkapan air hingga ratusan hektar.
3. Aforestasi/reforestasi daerah tangkapan air embung Daerah tangkapan air embung mengalami degradasi berat, hal ini tampak dari tutupan vegetasi rendah, ditandai oleh jumlah spesies dan jumlah individu pohon yang
518
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
rendah, seperti di Oemasi (12 dan 55), Oelomin (21 dan 72) dan Oeltua (13 dan 122).masing. Kondisi ini mengakibatkan erosi dan sedimentasi embung sebesar 5% per tahun. Tanpa upaya konservasi nyata kondisi ini mengakibatkan embung-embung NTT akan tenggelam dalam usia tidak lebih dari 20 tahun (Widiyono, 2002). Kondisi yang sama, yakni degradasi daerah tangkapan air yang berat juga terjadi pada embung Leosama, Belu telah mengakibatkan pendangkalan sebesar 0,6 m setiap tahun (Widiyono et al., 2006). Dari penelitian di Oemasi ditunjukkan rerumputan Dichantium caricosum yang terbakar setiap tahun, lahan di bawah tegakan Gmelina arborea dan budidaya jagung secara berturut-turut telah mengakibatkan erosi yang tinggi; sedangkan semak Chromolaena odorata, rumpun bambu (Bambussa multiplex) dan lahan di bawah tegakan dadap (Erythrina orientalis) yang bersemak berturut-turut berdampak positif terhadap erosi yang rendah (Widiyono, 2007). Upaya aforestasi/reforestasi untuk konservasi daerah tangkapan air telah dilakukan penulis pada embung Oemasi, Kabupaten Kupang melalui kegiatan penelitian dan pengembangan Puslit Biologi-LIPI, tahun 1994. Pada areal daerah tangkapan air embung Oemasi,
telah ditanami dengan pohon Gmelina arborea,
seluas 0,68 ha
2
dengan jarak tanam 3,5 x 3 m . Penanaman juga dilakukan pada lahan-lahan marginal di Dusun Nisum dan Masikolen, Desa Oemasi seluas 0,48 ha serta sebagai tanaman pinggir jalan dari Desa menuju ke embung sejauh 2 km (Widiyono et al., 1994). Setelah berusia 11 tahun, pada pengamatan tahun 2005 pohon Gmelina mencapai diameter pohon 20-61 cm dan tinggi 5-11,5 m. Budidaya pertanian secara agroforestry menggunakan berbagai jenis tanaman seperti sengon (Paraserianthes falcataria), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan kaliandra (Calliandra sp.) juga dilakukan oleh Harahap et al. (1998) di daerah tangkapan air embung Oemasi, Kupang. Upaya konservasi daerah tangkapan air embung di Desa Leosama, Kabupaten Belu telah dilakukan pada periode tahun 2006-2008. Pada lahan daerah tangkapan air seluas 5 ha, ditanam 4000 bibit untuk penghijauan, dari berbagai jenis tanaman yaitu asam, mahoni, lamtoro, kusambi, nitas, johar, kelor, jati, jarak pagar dan gmelina. Penanaman secara berblok sesuai jenis tanaman, dengan jarak tanam 2,5 x 3 m2. Mengingat kondisi lingkungan cukup kering akibat curah hujan rendah (1000
519
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
mm/tahun) dan lahan marginal, tanaman perlu pemeliharaan intensif antara lain melalui penyiraman dan pemulsaan. Pemeliharaan intensif dari gangguan kekeringan dan ternak perlu dilakukan saat tanaman berusia 3-5 tahun. Sejalan dengan upaya konservasi daerah tangkapan air untuk konservasi flora, pengendalian aliran permukaan dan erosi serta pelestarian sumberdaya air kegiatan ini perlu ditambah luasannya dan ditingkatkan peranannya sebagai aforestasi/reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih.
4. Persiapan kegiatan CDM daerah tangkapan air embung Beberapa tahap perlu dilakukan untuk mendapatkan dana melalui mekanisme CDM, yaitu (1). Penyusunan Dokumen Rancangan Proyek (DRP) aforestasi/reforestasi mekanisme pembangunan bersih; (2) Mendapat persetujuan Komisi Nasional CDM; (3) Validasi dan pendaftaran DRP; (4) Verifikasi dan Sertifikasi untuk melakukan perhitungan di akhir kegiatan terhadap penyerapan karbon sejak kegiatan dimulai; (5). Penerbitan CER kepada penyelenggara kegiatan. Proyek CDM dapat menghasilkan output konvensional seperti kayu dan hasil hutan lainnya serta karbon kredit dalam bentuk CER yang merupakan fungsi dari kuantitas dan harga CER di pasar global dan biaya transaksi dan implementasi. Proyek skala besar memiliki biaya transaksi lebih rendah dibandingkan proyek skala kecil. Namun karena disederhanakan, proyek skala kecil dapat menghemat biaya hingga 67% (CIFOR, 2005). Beberapa contoh kegiatan proyek aforestasi/reforestasi antara lain: Dilaporkan oleh Leimona et al. (2006) dalam kegiatan di daerah tangkapan air Danau Singkarak, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat dilakukan rehabilitasi lahan bekas alangalang pada lahan seluas 15.000 ha dengan berbagai jenis tanaman sesuai keinginan masyarakat, yaitu jati, mahoni, surian, coklat, mangga, durian, kemiri, alpokat dan cengkeh. Proyek ini diprediksikan akan menghasilkan serapan karbon pada usia proyek 10, 15 dan 20 tahun masing-masing sebesar 0,54; 1,7 dan 4 ton CO2e (ekuivalen karbon). Penelitian Boer et al.
(2006)
pada tiga Desa, di Kecamatan Loksado,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan masing-masing seluas 475 ha,
945 ha dan 1.150 ha (total 2.570 ha). Lahan yang pada mulanya telantar
dibudidayakan menggunakan tanaman karet, kayu manis, gmelina dan mahoni
520
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
diprediksikan akan menghasilkan 402,747 tCO2e (ton ekuivalen karbon) atau setara dengan 78,467 tCER (sertifikat penurunan emisi) pada tahun ke 10; 207,474 tCER pada tahun ke 15 dan 401,784 tCER pada tahun ke 20. Hutan tanaman dan hutan alam masing-masing
memiliki
kemampuan
menyerap
24
ton
dan
200-300
ton
karbon/hektar/tahun. Harga karbon di pasar dunia bervariasi antara US $ 5-40 per ton karbon (Timpakul, 2007).
KESIMPULAN 1. Derah tangkapan air embung merupakan bagian dari daerah marginal dan termasuk dalam katagori prioritas untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih di Nusa Tenggara Timur. 2. Berdasarkan persyaratan luas lahan tentang tata cara pelaksanaan mekanisme pembangunan bersih, kepentingan untuk pengendalian aliran permukaan dan erosi serta pelestarian sumberdaya air embung maka daerah tangkapan air embung amat potensial digunakan sebagai model kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka pembangunan bersih. 3. Upaya awal aforestasi/reforestasi menggunakan jenis pohon Gmelina arborea pada embung Oemasi, Kupang menunjukkan hasil pertumbuhan yang bagus. Namun demikian meskipun luas penanaman 0,68 ha telah melebihi persyaratan minimal (0,25 ha) untuk diajukan dalam proyek CDM, luasan penanaman perlu ditambah demikian pula jumlah embung yang dihijaukan. Di bawah tegakan Gmelina juga memberikan resiko erosi yang besar maka bila akan ditanam Gmelina perlu dikombinasikan dengan tumbuhan bawah lainnya. 4. Kegiatan konservasi daerah tangkapan air embung Leosama, Belu dengan berbagai jenis tanaman perlu pemeliharaan intensif dan berkelanjutan agar dapat ditingkatkan peranannya sebagai model kegiatan aforestasi/reforestasi di wilayah beriklim kering.
521
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Bappenas dan UNDP. 2007. Kita suarakan Millenium Development Goals/MDGs demi pencapaiannya di Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan United Nations Development Programme Indonesia. Jakarta. 42p. Blyth, M., S. Djoeroemana, J. Russell-Smith & B. Myers. 2006. Integrated rural development in Esat Nusa Tenggara, Indonesia: overview of opportunities, constraints and options for improving livelihoods. Integrated rural development in Esat Nusa Tenggara, Indonesia. Proceeding of a workshop to identify sustainable rural livelihoods. Kupang, Indonesia, 5-7 April 2006. S. Djoeroemana, B. Myers, J. Russell-Smith, M. Blyth & E.I.T Salean (Eds.). Australian Centre for International Agricultural Research, Canbera: 9-30. Boer, R., J.M. Roshetko, Hardjanto, L. Kolopaking, A. Akbar, U. R. Wasrin, B. D. Dasanto & S. Rahayu. 2006. Loksado grassland reforestation, Indonesia. In: Murdiyarso, D. & M. Skutsch (Eds.). Community Forest Management as a Carbon Mitigation Option. CIFOR: 85-93. CIFOR.
2005. Penyusunan Dokumen Rancangan Proyek Aforestasi/Reforestasi Mekanisme Pembangunan Bersih. Carbon Brief. No. 1, Februari 2005.
Dinas Kimpraswil Provinsi NTT. 2000. Profile Project. Proyek Pengembangan dan Konservasi Sumber Air Flores, Dinas Permukiman dan Pengembangan Prasarana Wilayah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang. 50 hlm (Tidak dipublikasikan). Fox, J.J. 2006. Perspectives on Development in NTT. SMERU. The Smeru Research Institute. No. 20, Oct - Dec 2006: 29-32. Harahap, R. 1998. Prospek dan permasalahan pengembangan budidaya lorong pada lahan kering di Desa Oemasi, Kecamatan Kupang Barat NTT. Proyek Litbang dan Pendayagunaan Potensi Wilayah. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. Tahun Anggaran 1997/1998:103-108. Hutabarat, S. 2006. Forestry development through development of non-timber forest products in East Nusa Tenggara. Integrated rural development in Esat Nusa Tenggara, Indonesia. Proceeding of a workshop to identify sustainable rural livelihoods. Kupang, Indonesia, 5-7 April 2006. S. Djoeroemana, B. Myers, J. Russell-Smith, M. Blyth & E.I.T Salean (Eds.). Australian Centre for International Agricultural Rsearch, Canbera: 51-55. Leimona, B., R. Boer, B. Arifin, D. Murdiyarso & M. van Noordwijk. 2006. Singkarak: Combining environmental service markets for carbon and watershed fungtions? In: Murdiyarso, D. & M. Skutsch (Eds.). Community Forest Management as a Carbon Mitigation Option. CIFOR: 60-73. Murdiyarso, D., A. Puntodewo, A. Widayati & M. van Noordwijk 2006. Determination of eligible lands for A/R CDM Project Activities and of Priority Districts for Project Development Support in Indonesia. CIFOR. 39p.
522
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Suharyo, W.I. 2006. Development Challenges in East Nusa Tenggara. SMERU. The Smeru Research Institute. No. 20, Oct – Dec 2006: 4-10. Timpakul. 2007. Pemanasan global dan obral karbon. www.google.com/ perdagangan karbon/5 Desember 2007. UNDP. 2007. Sisi lain perubahan iklim, Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. United Nations Development Programme Indonesia. Jakarta. 20p. Widiyono, W., R. Harahap, B. Paul Naiola dan H. Oematan. 1994. Konservasi tanah marginal di Desa Oemasi Kupang Barat - NTT melalui budidaya pertanian lorong, perhutanian rakyat, penghijaun dan penataan pekarangan. Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH. Puslitbang Biologi - LIPI, Bogor. Tahun Anggaran 1993/1994: 254 -262. Widiyono, W. 2002. Konservasi embung di Nusa Tenggara Timur melalui analisis tutupan vegetasi dan sumber daya air. Tesis Magister Sains, Jurusan Biologi, FMIPA, UI. Bag. I. 68 p dan Bag. II. 101 p. Widiyono, W., R. Abdulhadi dan B. Lidon. 2006. Erosi dan pendangkalan embung di Pulau Timor – NTT (Studi Kasus: Embung Oemasi – Kupang dan embung Leosama - Belu). LIMNOTEK, Perairan Darat Tropis di Indonesia. Puslit Limnologi-LIPI 13(2): 21-28. Widiyono, W. 2007. Relationship between vegetation and runoff-erosion: consequences on embung water balance in West Timor East Nusa Tenggara Province. Disertasi Bidang Biologi Konservasi, FMIPA, UI. 176p.
523
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
MORFOMETRI DAN KARAKTERISTIK DAS DANAU DIATAS SUMATERA BARAT Iwan Ridwansyah dan M. Suhaemi Syawal* ABSTRAK Danau Diatas merupakan danau bertipe tektonik yang berada pada tegasas sumatera, disebelah baratlaut terdapat Danau Dibawah. Danau Diatas merupakan salah satu danau yang digunakan Pemerintah Sumatera Barat sebagai daerah wisata, selain itu digunakan juga sebagai sumber daya air untuk daerah irigasi. Hasil pemetaan batimetri dengan mengunakan metoda akustik dan pengolahan data dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) menghasilkan luas danau 1245 Ha dengan kedalaman maximum 47 m dan kedalaman rata-rata 24,3 m, volume danau 302 x 106 m3, dan retention time mencapai 7,7 tahun. Luas Das D. Diatas mencapai 4086 ha sehingga mempunyai rasio 1: 3,03 antara luas permukaan air dengan luas DAS. Kemiringan lereng didominasi pada 3% – 15% dengan luas 51% dari luas DAS. Penggunaan lahan didominasi oleh semak belukar (59%), sedangkan hutan 22%, ladang 6 % dan sawah tadah hujan13% dari total luas DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik morfometri danau dan Daerah aliran sungainya. Informasi tentang morfometri danau dapat menolong antisipasi perubahan pada sistem danau dan memperediksi terhadap habitat danau sehingga menambah mitigasi setiap dampak-dampak yang tidak diinginkan dengan perencanaan teknik-teknik pengelolaan. Kata Kunci : Batimetri, DAS, Morfometri, Danau, SIG ABSTRACT Diatas Lake is tectonic lake located on sumatera depresión, in Seawest direction find Dibawah lake. The lake is used by West Sumatera goverment as tourism until used for water resources for irrigation. Result of batimetry survey are; lake area is 1245 ha, maximum depth 47 m, mean depth 24.3 m, water valume is 302 x 106 m3, and retention time is 7.7 years. The area of Diatas Lake attain 4086 ha with the result that have ration 1 : 3.03 between surface water area and catchment area. Slope of ctachment area is dominated by 3% – 15% and landuse is dominated by scrub (59%) whereas forest is 22%, agricultural field is 6%, and paddy non irrigated is 13% from total area. This study is aim to obtain information about morphometric and wathershed characteristic, the information can used for anticipation of changes on lake system and for prediction on lake hábitat until increasing mitigation for each negatif impacts with management tecnique planning. Keywords: Batimetric, Watershed, Morphometric, Lake, GIS.
PENDAHULUAN Studi tentang ciri-ciri cekungan danau dikenal sebagai morfologi danau dan sangat penting dalam pengelolaan danau dimana pengelola danau dapat mengetahui fungsi-fungsi danau dengan mempelajari karakteritik morfometrik danau. Sebagai contoh dengan mengetahui bentuk dan struktur cekungan danau dapat memprediksi kondisi cuaca atau pengaruh aktivitas manusia bahkan akibat dari perubahan permukaan air pada semua sistem danau.
*
Pusat Penelitian Limnologi LIPI e-mail :
[email protected]
524
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Morfometri danau merupakan karakteristik fisik dari badan danau yang dapat menggambarkan berbagai potensinya, sebagai sumber air maupun potensi produksi hayati,
serta tingkat kepekaan terhadap pengaruh beban material dari daerah
tangkapannya. Untuk mempelajari karakteristik atau morfometri danau dilakukan pemetaan batimetri dengan metoda pemeruman/akustik yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk permukaan (topografi) dasar perairan. Proses penggambaran dasar perairan tersebut (pengukuran, pengelolaan, dan visualisasi) disebut sebagai survey batimetri (Poerbondono, 2005). Sebagai obyek penelitian dan pengelolaan danau informasi tentang morfometri danau dapat menolong antisipasi setiap perubahan pada sistem danau dan memperediksi akibatnya terhadap habitat danau. Selain itu juga bisa dilakukan simulasi berdasarkan morfologi danau sehingga menambah upaya mitigasi setiap dampak-dampak yang tidak diinginkan dengan melakukan perencanaan dan menerapkan teknik-teknik pengelolaan yang berkelanjutan. Daerah tangkapan (catchment area; watershed) suatu danau merupakan daerah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggungan-punggungan gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudin menyalurkannya ke danau melalui sungai-sungai (Asdak, 2002). Kondisi suatu Das akan memberikan peranan yang cukup besar dalam menentukan kondisi danau. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik morfometri danau sebagai dasar bagi pengelolaan danau dan penelitian limnologis tingkat lanjut. Informasi karakteristik Das disajikan sebagi dasar dalam pengelolaan daerah aliran sungai yang berdampak juga pada peraiaran D. Diatas.
Studi Area Danau Diatas secara geografis terletak pada koordinat 100o 43” 1” – 100o 50’ 26” BT dan 1o 1’ 51” – 1o 7’ 39” LS, merupakan salah satu dari danau kembar sehingga masyarakat minang/Sumatera Barat menamai Danau diatas dan disebelah utara dari danau dijumapai danau dibawah. Kedua danau terletak pada tegasan sumatera yang berarah baratlaut tenggara sehingga dipastikan keduanya terbentuk akibat aktivitas tektonik (P. Lehmusluoto dan B. Machbub, 1997). Suatu hal yang menarik adalah
525
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
walaupun kedua danau berdampingan tetapi secara hidrologi batas kedua danau merupakan batas satuan wilayah sungai (SWS) dimana D. Dibawah mengalir ke SWS Indragiri sedangkan D. Diatas mengalir ke SWS Batanghari. Secara administratif danau ini terletak pada dua kecamatan; yaitu Kecamatan Lembangjaya dan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. (Gambar 1). Selain digunakan sebagai sumber perairan keindahan danau ini juga diminati sebagai sarana rekreasi bagi masyarakat sekitar atau sumatera Barat pada umumnya. Oleh karena ini Pemda Tingkat II Solok membangun sarana untuk menunjang kegiatan tersebut.
Lokasi pengukuran tinggi muka air danau dan stasiun hujan
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Danau diatas mempunyai daerah tangkapan 4086 Ha dengan ketinggian maksimal 1995 mdpl. Sungai-sungai yang masuk ke danau berupa sungai-sungai intermiten hanya beberapa sungai aja yang tetap mengalir sepanjang tahun. Sedangkan aliran keluar dari danau diperuntukan bagi irigasi. Tutupan lahan didominasi oleh semak belukar dan dibeberapa tempat digunakan sebagai lahan pertanian sayuran oleh penduduk sekitar danau.
526
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
METODOLOGI Untuk mengetahui pola hujan yang mempengaruhi muka air danau didapat dari pengukuran curah hujan dan Muka air danau dari Agustus 2002 sampai dengan Agustus 2005. Stasiun pengukuran terletak di outlet danau yang secara administratif masuk ke Kecamatan Lembah Gumanti.
GIS
Peta Batimetri: - DEM - Kontur
Gambar 2. Lintasan pengukuran dan peralatan yang digunakan ( Fishfinder dan GPS)
Morfometri danau ditinjau berdasar pola kedalaman danau untuk itu dilakukan pemetaan batimetrik
menggunakan metoda akustik. Alat yang digunakan berupa
Fishfinder merk Garmin tipe Fishfander 250 sedangkan frekunsi yang digunakan 200 Hz dimana gelombang akustik dipantulkan pada permukaan sedimen bagian atas (top sediment). Pemetaan dilakukan dengan membuat lintasan yang meliputi permukaan danau. Pada lintasan ini data kedalaman direkam tiap 50 m dari lintasan kapal yang disimpan dan disinkronkan dengan data posisi dan lintasan dengan menggunakan GPS Garmin 76C. Gambar 2 memperlihatkan lintasan dan peralatan yang gunakan.
527
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Data hasil pengukuran diloading dari GPS berbentuk tabel, baris data berupa titik-titik pengukuran sedangkan kolom data berupa ID, waktu pengambilan data, koordinat, altitude, dan kedalaman. Kemudian data tabel dirubah menjadi bentuk spatial dan diolah dengan menggunakan program Sistem Informasi Geografi (GIS) Arcview 3.1 yang dilengkapi extention 3DAnalyst. Luas danau didapat dari Peta Topografi lembar Alahanpanjang diterbitkan oleh Djawatan Topografi Angkatan Darat (Djantop AD) pada Tahun 1978. Ciri-ciri morfometrik danau dilihat dari
kedalaman relatif (zr) dan indeks
pengembangan garis pantai (DL) (Wetzel, 1983); dengan rumus : zr DL
= (50zm√ π)/√ A0 = L / (2√πA0)
zmax =
kedalaman maksimum
A0 = luas permukaan L =
panjang garis pantai
Untuk mendapatkan nilai retension time air danau diperlukan data debit air masuk atau keluar danau dan volume air danau, debit air keluar danau didapat dari pengukuran kecepatan arus yang diukur dengan menggunakan Current Meter, sedangkan penampang basah sungai didapat dari lebar dan kedalaman per jarak 0,5 meter pada outlet danau. Retention time danau dihitung dengan menggunakan rumus:
Re tension time ( Rt ) =
Volume debit
Batas Daerah Aliran Sungai (DAS) didapat hasil analisis keruangan dengan menggunakan 3DAnalyst dan SpatialAnalyst (extention dari ArcView 3.1 dari ESRI). Data SRTM dengan grid 90 x 90 m sebagai masukan data model elevasi digital setelah diproses penghilangan sink, kemudian dibuat peta arah aliran dan akumulasi aliran. Kemudian dari peta akumulasi aliran dibangun saluran sungai yang dibangun berdasarkan jumlah sel/grid yang mengalir pada sel tertentu. Pada proses ini Sub-DAS dapat dibagi berdasarkan jumlah sel/grid diatas.
528
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Dengan data model elevasi digital dan jaringan sungai selain didapat luas dan bentuk das juga didapat parameter lain dari morfometri DAS, yaitu : Kemiringan lereng, panjang sungai utama dan kerapatan aliran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim Secara umum bagian pegunungan Bukit Barisan mempunyai iklim antara superhumid (curah hujan antara 2.500 -3.000 mm/th, dan 140 - 170 hari hujan/th), dan hyperhumid (curah hujan >3.000 mm/th dan 180 - 220 hari hujan/th). Data curah hujan dan tinggi muka air direkam di Stasiun Lembah Gumanti dari tahun 2002 sampai dengan 2005, stasiun pengukuran terletak di dermaga dan diperlihatkan pada di Gambar 3. Dari tiga tahun data pengukuran curah hujan dan tinggi muka air danau terjadi penurunan. Muka air danau terendah terjadi pada bulan september 2004. Dari data rata-rata curah hujan bulanan menunjukan puncak musim hujan terjadi pada Bulan April dan Oktober sedangkan Musim kemarau terjadi pada Bulan mei sampai Juni (Gambar 4.)
Gambar 3. Curah Hujan dan tinggi muka air Danau Diatas dari tahun 2002 sampai dengan 2005.
529
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 4. Rata-rata Hujan Bulanan di Stasiun Lb. Gumanti.
Karakteristik DAS Diatas Hasil analisa keruangan dari data SRTM didapat batas DAS Danau Diatas dengan luas 4104 H, dengan bentuk hampir memanjang searah dengan tegasan Sumatera (BaratlautTenggara). Batas das ini selanjutnya menjadi dasar untuk pegelolaan danau karena proses yang terjadi di dalam das akan mempengaruhi proses-proses dalam danau. Sungai-sungai yang mengalir berasal dari tiga arah, yaitu; baratlaut, baratdaya dan tenggara. Sedangkan outlet danau mengalir kearah timurlaut dan kemudian bersatu dengan Sungai Batanghari yang bermuara di Selat Malaka.
Gambar 4. DAS Danau Diatas dan Danau Dibawa
530
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Penggunaan lahan di DAS Danau diatas didominasi oleh semak belukar yang mencapai 58% dari total area, diikuti hutan 22% dan luas pemukiman 0,5%. gambar 5 merperlihatkan komposisi penggunaan lahan di Das danau. Hutan menutupi daerah hulu sungai pada daerah yang curam, sedangkan semak belukar dijumpai di daerah dekat danau. Peta penggunaan lahan diperlihatkan pada gambar 6.
Gambar 5. Komposisi penggunaan lahan di Das danau Diatas
Gambar 6. Penggunaan Lahan di DAS Danau Diatas
531
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Secara umum kemiringan lereng di Das Danau Diatas dan dibawah cenderung curam terutama didaerah bagian hulu das di arah timur
dan tenggara dengan
kemiringan rata-rata 15% sampai lebih dari 45%, daerah curam yang langsung berhubungan dengan tepi danau dijumpai di bagian timur danau. Kemiringan lereng dengan kelas curam ini hampir 30% dari total loas dan dan akan menjadi sumber terjadinya erosi yang selanjutnya akan ditransport ke tubuh air danau sebagai bagian terendah dimana sedimen atau pertikel-partikel yang terbawa aliran air akan diendapkan di danau. Daerah yang landai dijumpai pada bagian baratlaut dan tenggara didaerah tepian danau. dengan kemiringan 0 – 15%. Gambar 6 memperlihatkan kemiringan lereng di Das Diatas.
Gambar 6. Kemiringan lereng di DAS Danau Diatas
Jenis tanah di Das D. Diatas didominasi oleh tiga jenis tanah yaitu; KandiulutsHapludults-Dystropepts,
Kandiuluts-Paleodult-Humitropepts
dan
Paleodults-
Kandiudults-Distropepts. Sedangkan jenis tanah Eutropepts-Hapludalfs-Troporthents hanya dijumpai dalam luasan kecil di bagian tenggara danau. Gambar 7 memperlihatkan peta tanah Das D. Diatas.
532
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 7. Peta tanah Das D. Diatas
Karakteristik Morfometri Danau Diatas Danau Diatas yang merupakan danau tektonik pada ketinggian 1535 mdpl, mempunyai bentuk cekungan dengan arah memanjang Baratlaut-Tengara sebagai hasil proses tektonik tegasan sumatera. Bagian terdalam terdapat disekitar Telukdalam dengan kedalaman maksimal (Zmax) mencapai 47 m hal ini sedikit berbeda dengan hasil pengukuran tim Expedition Indodanau pada tahun 1977 (Zmax 44 m), perbedaan kemungkinan dikarena menggunakan metode atau peralatan yang berbeda. Hasil pemetaan batimetri danau yang diolah dengan menggunakan perangkat GIS dengan extension 3DAnalysis memperlihatkan distribusi kedalaman dan ditunjukan pada Gambar 7, dan selanjutnya akan digunakan sebagai dasar perhitungan parameterparameter morfometri danau.
533
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
A
B’
B
A’
Gambar 7. Peta batimetri dan penampang Danau Diatas
Penampang danau menunjukan arah baratlaut cenderung melandai, tetapi arah Timurlaut baratdaya terlihat lebih curam pada bagian Timurlaut dengan kemiringan sekitar 75o. Hasil analisis dengan extension SpatialAnalyst dan 3DAnalyst memperlihatkan Luas permukaan air Danau Diatas (A) didapat sebesar 1245 Ha dan kedalaman maksimum (Zm) 47 m, dan kedalaman rata-rata sebesar 24,3 m. Data luas dan kedalaman danau sangat terkait dengan perilaku alamiah danau dimana pengadukan air
534
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
danau sangat tergantung kepada kedua parameter tersebut dan kecepatan angin yang mempengaruhinya. Selain itu peta batimetri hasil pengukuran juga diperoleh volume air Danau sebesar 302,06 x 106 m3 dengan panjang garis pantai 19,9 km dimana besarnya volume dan panjang garis pantai akan berubah sesuai dengan tinggi muka air seperti yang diperlihatkan pada hubungan antara luas, volume dan kedalaman perairan D. Diatas pada gambar 8.
Gambar 8. Hypostratigrafi kedalaman, luas, dan volume D. Diatas
Luas dan kedalaman Danau Diatas relatif kecil dibandingkan dengan Danaudanau lain di pulau sumatera seperti Toba (1130 km2 dan 529 m), Singkarak (107 km2 dan 268 m) dan Maninjau (97,9 km2 dan 169 m), sedangkan dibandingkan dengan luas danau kembarnya cenderung lebih besar (D. Dibawah luas : 11.2 Ha) tetapi Danau dibawah mempunyai kedalaman sampai 309 m (P. Lehmusluoto, et al, 1995). Salah satu parameter penting dalam pengelolaan danau adalah Short Line Development (SLD) merupakan rasio antara panjang garis pantai dan kebundaran dari permukaan danau. Makin bundar suatu danau seperti danau bertipe crater makan nilai SLD akan mendekati nilai minimum, sedangkan danau-danau bertipe dataran banjir akan mempunyai nilai lebih besar karena mempunyai garis pantai yang lebih panjang. Panjang garis pantai D. Diatas mencapai 19933 m dan luas permukaan 1245 ha maka didapat nilai SLD 1,56. 535
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Pengukuran sesaat kecepatan arus pada outlet danau (Gambar 7.) menunjukan nilai rata-rata 0,92 m/det dan luas penampang basah pada saat pengukuran 1,25 m2 (Gambar 8). Debit yang terukur di oulet sebesar 1.25 m3/det maka didapat retention time danau sekitar 7,7 tahun. Parameter morphometrik di atas sangat penting sebagai dasar pengelolaan danau, baik digunakan sebagai budidaya perikanan maupun sebagai obyek wisata. Tabel 1 memperlihatkan data morfometri D. Diatas. Tabel 1. Ciri-ciri Morfologi Danau Diatas
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter
Dimensi
Luas permukaan
Keliling
2
(m )
(km)
Panjang maksimum Lebar maksimum Kedalaman maksimum Volume
Kedalaman rata-rata
(m) (m) (m) (m3)
(m)
Kedalaman relatif (Zr) (%) Rasio luas permuakaan Air dan luas das Pengembangan garis pantai (SLD)
Expedidi Indodanau
12451642 19,97 6419 2878 47 302,06 x 106 24,3 1,18
Peta Rupa bumi idem idem idem Lapangan Peta batimetrik Perhitungan idem idem 1 : 3,03 1,56 -
Gambar 7. Lokasi Pengukuran debit di outlet danau
536
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KESIMPULAN -
D. Diatas terbentuk akibat aktivitas tektonik tegasan sumatra sehingga bentuknya memanjang searah dengan tegasan.
-
Trend muka air danau dan curah hujan berdasarkan pengamatan dari tahun 2002 sampai dengan 2005 cenderung menurun.
-
Luas Das mencapai 4086 ha dengan rasio antara luas permukaan air dengan luas Das 1 :
3,03, Penggunaan lahan didominasi oleh semak belukar (59%)
sedangkan luas hutan mencapai 870 ha atau 22% dari luas total area. Das ini cenderung landai dengan kemiringan lereng berkisar 3% – 15% yang mencapai 51% dari luas total das, sedangkan komposisi jenis tanah terdiri dari KandiulutsHapludults-Dystropepts, Kandiuluts-Paleodult-Humitropepts dan PaleodultsKandiudults-Distropepts. -
Dari pengukuran batimetri didapat volume danau sebesar 302 x 106 m3, dengan debit outlet 1,25 m3/detik didapat nilai retention time sebesar 7,7 m3/tahun.
DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. P. Lehmusluoto, et all, 1995, National Inventory of The Major Lakes and Reservoirs in Indonesia, Research Institute for Water Resources Development Ministry of Public Works Agency for Research and Development Bandung, Indonesia. D. N. Poerbondono dan E Djunarsjah, 2005, Survey Hidrografi, Refika Aditama, Bandung. WETZEL, R. G. 1983. Limnology. W. B. Saunders College Publ., Philadelphia. 743 pp.
537
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENGARUH SUHU TERHADAP DAYA KOMPETISI TUMBUH ALGA HIJAU Tjandra Chrismadha∗ & Mey R. Widoretno* ABSTRAK Pemanasan global diperkirakan memberikan tekanan perubahan kondisi habitat perairan bagi kelansungan hidup organisme di dalamnya. Fitoplankton merupakan salah satu kelompok organisme yang tumbuh di habitat perairan tersebut. Sebagai upaya antisipasi dampak perubahan iklim terhadap komunitas fitoplankton di perairan, pada penelitian ini dikaji respon daya kompetisi kelompok alga hijau terhadap variasi suhu air di laboratorium. Tiga jenis alga hijau: Chlorella vulgaris, Scenedesmus dimorphus, dan Ankistrodesmus convulutus ditumbuhkan secara bercampur dalam kolom gelas volume 2 L dan tinggi 50 cm dengan menggunakan media PHM pada intensitas cahaya rata-rata di permukaan kultur 3000 luks. Kultur dilengkapi aerasi dan diaduk sehari dua kali. Perlakuan variasi suhu diberikan dengan menempatkan kolom kultur pada beberapa akuarium yang suhu airnya dikontrol menggunakan waterbath. Perlakuan tiga taraf suhu diberikan, yaitu 25 oC, 35 oC, dan 40 oC, masing-masing dengan dua ulangan. Daya kompetisi ketiga jenis alga tersebut dibandingkan dengan mengamati perkembangan biomassa serta menghitung indeks tumbuhnya. Biomassa diekspresikan dalam ukuran volume total masing-masing jenis, sementara indeks tumbuh dihitung berdasar rasio laju tumbuh spesifik masingmasing jenis terhadap laju tumbuh spesifik rata-ratanya. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa peningkatan suhu lingkungan menyebabkan daya kompetisi tumbuh jenis C vulgaris cenderung menurun dibandingkan dengan kedua jenis alga hijau lainnya Kata kunci: Suhu, kompetisi, fitoplankton, Chlorella vulgaris, Scenedesmus dimorphus, Ankistrodesmus convulutus.
PENDAHULUAN Penelitian-penelitian
komunitas
fitoplankton
memperlihatkan
dinamika
keragaman dan dominasi jenis baik dilihat dari aspek spasial dan temporal (Lipsey et al., 1980; Sulawesty & Sumarni, 2004; Sulastri & Nomosatrio, 2005; Sulawesty, 2007; Chrismadha & Ali, 2007). Hal tersebut pada umumnya dikaitkan dengan kondisi iklim serta aktivitas anthropogenik yang berdampak pada karakter kimia-fisik air yang menjadi habitat fitoplankton tersebut. Baik
keragaman maupun dominasi jenis
bergantung pada daya adaptasi dan daya kompetisi jenis-jenis fitoplankton yang menyusun komunitas dalam perairan tersebut. Banyak upaya-upaya untuk memahami proses dinamika komunitas tersebut telah dilakukan, namun hingga saat ini masih belum banyak mengalami kemajuan (Chrismadha & Ali, 2007). Berbagai kejadian ledakan populasi fitoplankton dilaporkan tanpa adanya korelasi yang jelas dengan parameter kimia fisik perairannya (Ratna, 2002; Lipsey, 1980; Bufford & Pearson, 1998; Evgenidou et al., 1999; Kobayashi et al., ∗
Puslit Limnologi LIPI, Kompleks CSC, JL. Raya Jakarta-Bogor, Km. 46, Cibinong e-mail :
[email protected]
538
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
2005). Kajian faktor nutrien N, P, dan Si secara ekofisiologis di lapangan maupun di laboratorium juga belum dapat memberikan pemahaman yang berarti terhadap mekanisme perkembangan komunitas fitoplankton di suatu perairan Levich, 1999). Demikian juga
(Bulgakov &
hubungan rantai makanan komunitas fitoplankton
dengan komunitas hewan planktonik lain, khususnya yang bersifat herbivor dilaporkan menambah kompleksitas faktor dinamika kominitas fitoplankton tersebut (Weithoff et al., 2000). Sementara Elliott et al. (2001) mengemukakan hipotesis tentang perubahan kondisi air (distrurbance) terhadap pengayaan niche dan keragaman
organisme
plankton dalam suatu badan air. Pemanasan global diperkirakan akan menambah kompleksitas faktor dinamika kominitas fitoplankton di perairan. Hal ini terutama berkaitan dengan perubahan suhu air serta kondisi hidrologi perairan yang menyertainya. Sebagai langkah awal untuk upaya antisipasi hal tersebut, pada penelitian ini dilakukan kajian respon daya kompetisi alga hijau terhadap variasi suhu air. Hasil kajian diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi untuk prediksi serta pengelolaan komunitas fitoplanton dalam antisipasi dampak pemanasan global di lingkungan perairan darat.
METODE Organisme uji yang digunakan terdiri dari Chlorella vulgaris, Scenedesmus dimorphus, dan Ankistrodesmus convulutus. Masing-masing diambil dari kultur stok di Lab Planktologi Puslit Limnologi LIPI berumur sekitar 10 hari. Tiga jenis alga hijau tersebut ditumbuhkan secara bercampur dalam kolom gelas volume 2 L dan tinggi 50 cm dengan menggunakan media PHM pada intensitas cahaya rata-rata di permukaan kultur 3000 luks berasal dari 2 buah lampu TL 40 watt. Kultur dilengkapi aerasi dan diaduk sehari dua kali. Perlakuan variasi suhu diberikan dengan menempatkan kolom kultur pada beberapa akuarium yang suhu airnya dikontrol menggunakan waterbath. Perlakuan tiga taraf suhu diberikan, yaitu 25 oC, 35 oC, dan 40 oC, masing-masing dengan dua ulangan. Daya kompetisi ketiga jenis alga tersebut dibandingkan dengan mengamati perkembangan biomassa serta menghitung indeks tumbuhnya. Biomassa diekspresikan dalam ukuran volume total masing-masing jenis, yang didapat dari kalkulasi konsentrasi
539
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
sel dengan volume rata-rata sel. Konsentrasi sel alga dihitung di bawah mikroskop menggunakan haemocytometer. Sementara volume rata-rata sel diukur menggunakan inverted microscope yang dilengkapi kamera digital. Sel-sel alga difoto di atas haemocytometer dan hasil foto disimpan dalam bentuk soft file JPG. Untuk pengukuran panjang dan lebar sel alga, file tersebut dibuka dalam aplikasi Exel dan pengukuran dilakukan dengan referensi panjang garis kotak haemocytometer. Hasil pengukuran volume sel dapat dilihat pada Tabel 2. Indeks tumbuh dihitung berdasar rasio laju tumbuh spesifik masing-masing jenis terhadap laju tumbuh spesifik rata-ratanya, sementara laju tumbuh spesik alga dihitung berdasarkan fungsi lon perkembangan selnya terhadap waktu. Tabel 1. Media PHM (cek pH awal, adjust to 6 – 7) Bahan KNO3 K2HPO4 MgSO4. 7H2O Na2SiO3.9H2O Fe Solution Trace elements
Konsentrasi 1,0 g/l 0,2 g/l 0,2 g/l 0,05 g/l (u/ diatom) 1 ml 1 ml
Fe solution Bahan Na2 EDTA FeCl3 6H2O
Konsentrasi 189 mg/l 244 mg/l
Trace elements Bahan H3BO3 MnCl2. 4H2O ZnCl2 Na2MoO4. 4H2O CuSO4. 5H2O CoCl2. 6H2O
Konsentrasi 0,061 g/l 0,041 g/l 0,041 g/l 0,038 g/l 0,006 g/l 0,0051 g/l
Tabel 2. Volume rata-rata sel C vulgaris, S. dimorphus, dan A. convulutus
540
Chlorella
Scenedesmus
Anistrodesmus
Jumlah sampel (sel)
30
30
30
Rata-rata volume (L)
0,22
0,67
1,21
Simpangan baku (L)
0,13
0,33
1,29
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan perkembangan biomassa kultur campuran C. vulgaris, S. dimorphus, dan A. convulutus dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis alga S dimorphus dan A convulutus merespon kenaikan suhu media kultur dengan meningkatkan laju pembelahan selnya. Berdasar perhitungan rata-rata laju tumbuh ketiga jenis alga, kenaikan suhu pada umumnya meningkatkan laju tumbuh (Tabel 3). Sedangkan laju tumbuh jenis C vulgaris justru menurun akibat peningkatan suhu media kultur tersebut. Penelitian-penelitian sebelumnya melaporkan pola respon laju tumbuh berbagai jenis alga terhadap perubahan temperatur membentuk kurva normal
dimana laju
tumbuh alga tertinggi terjadi pada nilai suhu optimum (Eppley, 1972; Goldman, 1979). Raven (1988) memberikan hipotesis bahwa kondisi sub-optimum mengurangi efisiensi reaksi katalitik sel-sel alga. Hipotesis ini didukung oleh Torzillo et al. (1992) yang melaporkan kenaikan laju respirasi pada suhu tinggi di malam hari yang menyebabkan penurunan laju pembentukan biomassa kultur Spirulina platensis. Hasil percobaan ini memperlihatkan pola penurunan laju tumbuh yang konsisten pada jenis C vulgaris sejalan dengan kenaikan suhu kultur dari 25 oC menjadi 40 oC, yaitu mencapai lebih dari 11%. Pola penurunan laju tumbuh ini menunjukkan bahwa suhu optimum bagi pertumbuhan alga ini adalah di bawah 25 oC, sehingga pada suhu 25 o
C dan di atasnya merupakan kondisi sub optimum. Hal sebaliknya terjadi pada kultur S
dimorphus dan A. convulutus, dimana pola kenaikan laju tumbuh masih teramati hingga suhu 40 oC. Bahkan kenaikan laju tumbuh kedua jenis alga tersebut mencapai 1,5 kali dan 1,9 kali lebih cepat pada suhu 40 oC dibandingkan pada suhu 25 oC. Hal ini dapat diartikan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan kedua jenis alga tersebut di atas 40 o
C. Perbedaan preferensi suhu optimum ini berakibat pada kemampuan kompetisi satu
jenis alga terhadap alga lainnya. Preferensi suhu optimum yang lebih rendah menyebabkan jenis C vulgaris tumbuh lebih cepat dan mempunyai daya kompetisi tinggi pada suhu rendah. Sebaliknya pada suhu tinggi daya kompetisi ini menurun sehingga dominasinya diambil alih oleh jenis S dimorphus dan A convulutus yang mempunyai preferensi suhu optimu lebih tinggi. Perubahan daya kompetisi ini dapat dilihat dari nilai indeks tumbuh masing-masing alga yang dihitung secara relatif terhadap latu tumbuhh rata-rata ketiga jenis fitolplankton tersebut (Gambar 2).
541
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Fenomena serupa juga telah dilaporkan oleh Goldman & Rhyter (1976) terjadi pada kultur 5 jenis alga laut. Goldman et al. (1982) juga telah melaporkan fenomena perubahan dominasi jenis mengikuti faktor pH kultur. o
Biomassa ( µ l/ml)
25 C 100000 10000 1000 100 10 1
2
3
4
5
hari keChlorella
Scenedesmus
Ankistrodesmus
o
Biomassa ( µ l/ml)
35 C 100000 10000 1000 100 10 0
3
6
10
13
hari keChlorella
Scenedesmus
Ankistrodesmus
o
Biomassa ( µ l/ml)
40 C 100000 10000 1000 100 10 1 0
3
6
10
13
hari keChlorella
Scenedesmus
Ankistrodesmus
Gambar 1. Pertumbuhan biomassa kultur alga hijau pada variasi suhu
Tabel 3. Pengaruh suhu terhadap laju tumbuh alga hijau Jenis
Laju Tumbuh (/hari) o
Chlorella
542
25 C
35 oC
40 oC
0,96
0,94
0,86
Scenedesmus
0,24
0,38
0,62
Ankistrodesmus
0,17
0,17
0,50
Rata-rata
0,46
0,50
0,66
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Meskipun fenomena di atas secara jelas menggambarkan pengaruh faktor suhu yang signifikan terhadap daya kompetisi jenis-jenis fitoplanton, namun mekanisme perubahan dominasi jenis di lapangan kemungkinan berlangsung lebih kompleks. Hanagata et al. (1992) misalnya, melaporkan jenis alga C vulgaris dan Scenedesmus sp. tidak dapat tumbuh pada suhu 40 oC. Diduga faktor ontogenik juga berperan dalam kemampuan adaptasi jenis-jenis fitoplankton terhadap faktor lingkungannya. Sebagai catatan, jenis C vulgaris yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil isolasi dari air kolam yang relatif dalam dengan suhu rata-rata 25 – 30 oC, sementara dua jenis lainnya diisolasi dari kolam dangkal yang suhunya relatif lebih tinggi. Faktor asal isolat jenis fitoplankton yang digunakan ini diduga turut mempengaruhi hasil percobaan pada penelitian ini.
Indeks Tumbuh
2,5 2 1,5 1 0,5 0 25 C
35 C
40 C
Suhu
Chlorella
Scenedesmus
Ank istrodesmus
Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap daya kompetisi tumbuh tiga jenis alga hijau
KESIMPULAN Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa faktor suhu mempengaruhi daya kompetisi jenis-jenis fitoplankton, dimana peningkatan suhu lingkungan menyebabkan daya kompetisi tumbuh jenis C vulgaris cenderung menurun dibandingkan dengan jenis S dimorphus dan A convulutus.
543
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Bulgakov, N.G. and A.P. Levich 1999. The Nitrogen:phosphorous ratio as a factor of regulating phytoplankton community struckture. Archiv fur Hydrobiologie Chrismadha, T & F. Ali. 2007. Dynamical komunitas fitoplankton pada kolam sistem tertutup berarus deras. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 33(3): 325-338. Elliot, J.A., E. Irish, and C.S. Reynold. 2001. The effects of vertical mixing on a phytoplankton community: a modelling approach to intermediate disturbance hyphothesis. Fresh Water Biology 46: 1291 – 1297. Eppley, R.W. 1972. Temperature and phytoplankton growth in the sea. Fishery Bulletin, 70:1063-1085 Goldman, J.C. 1979. Outdoor algal mass culture-II. Photosynthetic yield limitation. Water Research, 13: 119-136 Goldman, J.C & J.H. Ryther. 1976. Temperature-infuenced species competition in mass culture of marine phytoplankton. Biotechnology and Bioengineering. 18: 1125-1144. Lipsey, L.L.Jr. 1980. Phytoplankton of selected borrow pit in Northern Illinois. Ohio Journal of Science 80: 108 – 113. Ratna, E. 2001. Hubungan fitoplankton dengan kualitas air pada perairan tambak udang di Serang, Banten. Skripsi Jurusan Biologi, F.MIPA UNPAD: 52 hal. Raven, J.A. 1988. Limits to growth. In: Microalgam Biotechnology. Borowitzka, M.A. & L.J. Borowitzka (Eds). Cambridge: Cambridge University Press. Pp. 331356 Sulastri & S. Nomosatrio. 2005. Perubahan komposisi dan kelimpahan fitoplankton di Situ Cibuntu, Cibinong, Jawa Barat. Limnotek, 12(2): 92-102. Sulawesy, F. 2007. Distribusi vertikal fitoplankton di Danau Singkarak. Limnotek, 14(1): 37-46. Sulawesty, F. & Sumarni. 2004. Komunitas fitoplankton di Situ Pondoh, Kabupaten Tanggerang. Limnotek, 11(2): 36-44. Szyper, J.P. and J.M. Ebeling. 1993. Photosynthesis and community respiration at three depths during a period of stable phytoplankton stock in a eutrophic brackish water culture pond. Marine Ecology Progress Series 94: 229 – 238. Torzillo, G., A. Sacchi, R. Materassi, and A. Richmond. 1992. Effect of temperature on yield and night biomass loss in Spirulina platensis grown outdoors in tubular photobioreactor. Journal of Applied Phycology, 3: 103-109. Weithoff, G., A. Lorke and N. Walz. 2000. Effect of water-column mixing on bacteria, phytoplankton, and rotifers under different levels of herbivory in a shallow eutrophic lake. Oecologia 125 (1): 91-100. Zimba, P.V., C.C. Grimm, C.P. Dionigi and C.R. Weirich. 2001.. Phytoplankton community structure, biomass, and off-flavour: Pond size relationship in Lousiana cat fish ponds. Journal of the World Aquaculture Society 32 (1): 96 – 104.
544
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENGEMBANGAN METODA UNTUK EKSTRAKSI TOTAL MERCURY DALAM MATRIKS BIOTA HEWAN DAN TUMBUHAN DAN APLIKASI PENGUKURANNYA DENGAN HG ANALYZER BERBASIS PADA COLD VAPOR ATOMIC ABSORPTION SPECTROPHOTOMETRY (CVAAS) Awalina Satya1, Senny Sunanisari dan Fachmijany Sulawesty ABSTRAK Perubahan iklim akan berpengaruh terhadap dinamika siklus biogeokimia di lingkungan akuatik. Determinasi logam berat dalam biota baik tumbuhan maupun hewan sangat penting dilakukan dalam studi limnologis terlebih bila menyangkut siklus biogeokimia, bioakumulasi, biomagnifikasi dan sebagainya. Tahun 2006-2007, telah dilakukan sebuah studi untuk menentukan methoda ekstraksi hasil adopsi dari berbagai sumber untuk determinasi Total Mercury dalam matriks biota hewan dan tumbuhan yang applicable diterapkan di laboratorium Hidrokimia Puslit Limnologi-LIPI. Instrumen digester yang digunakan adalah hotplate, waterbath, dan autoclave. Sedangkan instrument berbasis CVAAS yang digunakan ada dua type yaitu (1) Mercury Analyzer Hitachi type 180-0450 dan (2) Mercury Analyzer Hiranuma HG-310. Kriteria pemilihan methoda ekstraksi yang applicable ini adalah besarnya nilai % recovery analit, singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses ekstraksi, optimumnya tingkat konsumsi reagensia oksidator-reduktor dan energi listrik . Instrumen Mercury Analyzer type 1 masih berfungsi dengan baik dari sisi repeatability pembacaannya namun kelemahannya adalah lebih lama dan lebih rumit proses inisiasi operasionalnya, perlu volume reagensia yang lebih banyak, resiko terjadinya kebocoran yang lebih besar dan limit deteksi hanya mencapai 0,05 mg/L sebaliknya instrument type 2 limit deteksi alat mencapai 1 ng/L dengan inisiasi proses hanya 30 menit dengan konsumsi reagensia dan resiko terjadinya kebocoran yang jauh lebih rendah dibanding type 1. Digester autoclave adalah yang terbaik (rerata prosentase recovery 101.25 % untuk biota tumbuhan dan 102.52 % untuk biota hewan), waktu total digesti, konsumsi listrik, konsumsi reagensia oksidator dan reduktor berturut-turut hanya 17.14 menit, 18,18 watt dan 8 mL per sample. Water bath digester adalah pilihan terbaik kedua. Hotplate digester paling murah pada saat investasi awal namun termahal pada saat operasional bila dibandingkan kedua digester lainnya. Kata kunci: ekstraksi, mercury, digester, autoclave, waterbath, hot plate ABSTRACT Climate change will be affect to the aquatics biogeochemistry cycle dynamics. Metals determination in biota both of plants and animals is important to be conducted in limnological studies moreover if related to biogeochemistry cycle, bioaccumulation, biomagnifications, etc. During 20062007, a study have conducted to develop an applicable-adopted extraction methods which originated from various literature in order to Total Mercury in aquatics biota both of plants and animals matrix in Hydrochemistry Laboratory in RC for Limnology-LIPI. The chosen digester Instruments were hotplate, waterbath, and autoclave. While main instrument based on Cold Vapor Atomic Absorption Spectrometry (CVAAS) we have used two type respectively (1) Mercury Analyzer Hitachi type 180-0450 and (2) Mercury Analyzer Hiranuma HG-310. Criteria of extraction methods were quantity of % analyte recovery, consumption time which required to conduct the extraction process, consumption grade of oxidator and redactor reagents and electrical energy consumption. Mercury Analyzer type 1 have still in good function in terms of measurements repeatability but this kind of instrument have several in advantages respectively take more longer time and more be intricate during its operational process moreover during in initialization step, its also required more volume of regents, higher risk in mercurial gas leakage and lower on instrumental detection limit ( only 0,05 mg/L) than instrument type 2 which has instrumental limit detection reach 1 ng/L ,initiation step only takes 30 minutes, reagents consumption and mercurial gas leakage risk far below instrument type 1. Autoclave digester is the best choice (average recovery respectively 101.25 % for plants biota and 102.52 % for animals biota), total digestion time, electric energy consumption, redactor-oxydator reagents consumption respectively only 17.14 minutes, 18.18 watt and 8 mL for each of sample. Water bath digester is the second best choice. Hotplate digester is the cheapest in early infestations but its becomes most expensive when run in operations step compared to other digesters Keywords: extraction, mercury, digester, autoclave, waterbath, hot plate 1
Puslit Limnologi-LIPI. LIPI Cibinong Life Science Center. Email:
[email protected] 545
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Fenomena perubahan iklim akhir-akhir ini sudah begitu banyak dirasakan dampaknya secara ekologis. Dari pemberitaan di berbagai media massa, fenomena ini menyebabkan terjadinya banjir, badai, bahkan kekeringan berkepanjangan di beberapa bagian bumi, dan lain-lain. Kesemuanya tentu ikut memicu terjadinya perubahan dinamika siklus biogeokimia dilingkungan perairan darat juga. Mercury atau air raksa (Hg) adalah logam berat cair yang dikenal luas sangat toksik tapi banyak digunakan dalam berbagai kegiatan anthropogenic. Meskipun begitu, sumber utama pergerakan Hg di lingkungan adalah dari natural degassing pada kerak bumi (25.000-15.000 ton Hg/tahun) yang kemudian dilepaskan ke atmosfir. Bukan lah tidak mungkin bahwa Hg di atmosfir mencapai 4 kali lipat dibandingkan tanah yang terkontaminasi oleh Hg ini. Hg di atmosfir ini akan dengan mudah memasuki habitat daratan dan perairan melalui deposisi partikulat dan presipitasi (hujan). Hg yang ada di atmosfir memeiliki waktu tinggal sampai beberapa hari (Weiner, 2000). Determinasi logam berat (termasuk juga Hg) dalam biota baik jenis tumbuhan maupun hewan sangat penting untuk dilakukan dalam studi limnologis terlebih jika ingin membahas tentang siklus biogeokimia, bioakumulasi, biomagnifikasi, transfer materi, toksikologi lingkungan, dsb (Csuros and Csuros, 2002; Wetzel, 2001). Metoda untuk melakukan determinasi dapat saja dengan mudah didapatkan dari berbagai sumber /literature seperti artikel jurnal, textbook, makalah dalam proceeding, dll, tetapi perbedaan kondisi dan fasilitas laboratorium antara yang dideskripsikan di literature dengan kenyataan yang kita miliki tentu berpengaruh terhadap validitas data yang dihasilkan karena mau tidak mau beberapa modifikasi metode adopsi dari literature harus dilakukan untuk menyesuaikan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah nilai hasil determinasi ini sudah mendekati nilai sebenarnya (true value)? Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas adalah dengan melakukan in house verification terhadap metoda hasil adopsi tersebut. Basis dari langkah ini adalah penggunaan suatu Certified Reference Material (CRM) yang sesuai dengan jenis matriks sample yang akan dideterminasi.True value dari analit dapat dengan mudah dilihat pada sertifikat yang menyertai CRM ini saat pembelian. Kedekatan data hasil determinasi terhadap true value inilah yang akan dihitung sebagai % recovery (Quevauviller, 2002).
546
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Laboratorium Hidrokimia P2L-LIPI memiliki dua jenis Hg analyzer. Type pertama adalah Hg analyzer Hitachi type 180-0450 dan type kedua adalah Hg analyzer Hiranuma HG-310. Meskipun keduanya berbasis pada Cod Vapor Atomic Absorption Spectrofotometry, perbedaan mendasar kedua type ini adalah kemampuan alat untuk mendeteksi kadar terendah Hg dalam suatu matriks sample (limit deteksi alat). Type 1 hanya mampu mendeteksi pada 0,05 mg/L (5 ppb) (Hitachi, Ltd, 1996) sedangkan type 2 mampu sampai pada 1 nanogram /L (1 ppt) (Hiranuma Sangyo, 2006). Perbedaan lainnya adalah type 1 memerlukan jumlah reagensia yang jauh lebih banyak dibandingkan type 2, waktu pengerjaan yang lebih lama dan lebih rumit dan resiko terjadinya kebocoran uap mercury saat dilaksanakannya proses pembacaan instrument lebih besar pada type 1 dibandingkan type 2. Type ke dua juga memungkinkan Laboratorium Hidrokimia P2L-LIPI untuk mendeterminasi Hg pada kisaran jenis sample yang jauh lebih luas mulai dari plankton, perifiton, serangga, tumbuhan baik air maupun darat, benthos, ikan, tanah, sediment, dll. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian kami ini bertujuan untuk mengembangkan suatu metoda ekstraksi total Hg dalam matriks biota hewan dan tumbuhan yang applicable diterapkan di Laboratorium Hidrokimia P2L-LIPI. Kriteria pemilihan methoda ekstraksi yang applicable ini adalah besarnya nilai % recovery analit, singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses ekstraksi, optimumnya tingkat konsumsi reagensia oksidator-reduktor dan energi listrik. Dengan terpenuhinya criteria tersebut maka Laboratorium Hidrokimia P2L-LIPI (Lab HK) akan memiliki metoda determinasi Total Hg yang terpercaya hasil datanya (bagus), cepat, dan hemat biaya.
BAHAN DAN METODE Kegiatan ini berlangsung 2006-2007, dengan diawali studi literature dari berbagai sumber. Setelah diperoleh beberapa metode yang paling mendekati kondisi Lab HK (Nater and Cook, 1996; Capiomonti, et al., 2000; Csuros and Csuros, 2002; Smoley, 1992; Akagi et al., 1995; Rojas and Espinoza, 2006 dan Veinott and Sjare, 2006) maka dilakukanlah penyiapan semua glass wares khusus untuk kegiatan ini. Proses pencucian glasswares dengan dua jenis larutan asam agar bebas logam ini dilakukan sesuai dengan (Csuros and Csuros, 2002). Setelah itu dilakukan conditioning
547
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
alat/optimasi alat baik type 1 ( Hg analyzer Hitachi type 180-0450) pada tahun 2006 dan type 2 (Hg analyzer Hiranuma HG-310) pada tahun 2007 agar siap untuk digunakan. Tahun 2006 difokuskan pada penyiapan type 1 dengan materi ujinya (dua buah CRM) yaitu NIST-SRM1515 Apple leaves dan NRC-DORM2 Dogfish muscle sebagai representative matriks sample biota tumbuhan dan hewan. True value untuk Hg pada kedua CRM ini berturut-turut sebesar 0,044 ± 0,004 µg/g bobot kering dan 4,64 ± 0,26 µg/g. Sub sample terhadap kedua jenis CRM dilakukan 15-35 buah. Jenis Digester yang akan diaplikasikan adalah Hot plate, waterbath (Memmert type 550 west Germany), dan autoclave(Type S-90N Tomy Seiko, Co. Japan). Parameter yang akan ditentukan adalah % recovery total Hg dalam kedua jenis CRM, total waktu digesti yang dibutuhkan untuk setiap sample, konsumsi energi listrik, konsumsi campuran bahan kimia yang digunakan setiap samplenya, dan Scoring terhadap resiko terkontaminasi oleh lingkungan, harga digester vessel, harga digester instrument dan tingkat kemudahan pengerjaan. Khusus untuk perhitungan konsumsi energi listrik dilakukan menurut (Paschal, 2001). Pengoperasian Hg analyzer type 1 dilakukan sesuai dengan manual Hitachi (1996) sementara pengoperasian manual untuk Hg analyzer type 2 dilakukan sesuai dengan manual Hiranuma Sangyo (2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil studi literature diperoleh delapan buah artikel yang paling sesuai untuk diadopsi sebagai calon metoda yang applicable diterapkan di Lab HK. Kriterianya adalah prospek aplikasinya yang lebih memungkinkan dilakukan di Lab HK tetapi mutu data hasil determinasi tetap terjamin (dilihat dari besarnya % recovery). Kegiatan tahun 2006 hanya difokuskan pada type 1 karena type 2 baru diinstall dan siap digunakan pada akhir September 2006. Pertimbangan lainnya adalah type 1 meskipun pengoperasiannya lebih sulit dan mahal, kami masih ingin mencoba untuk bereksperimen mengaplikasikannya pada materi uji berupa dua jenis CRM tersebut. Hasilnya adalah Instrumen CVAAS type Mercury Analyzer Accessory (Model 1800450) yang telah dimiliki P2L-LIPI sejak 10 tahun yang lalu, tidak mampu memenuhi syarat untuk digunakan menganalisis kandungan logam berat dalam matriks biota baik tumbuhana maupun hewan karena limit deteksinya yang hanya mencapai 0,05 mg/L
548
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
atau 50 µg/L saja. Meskipun dari segi repeatibility pembacaan masih acceptable karena memberikan nilai standard deviasi yang rendah dalam pembacaan absorbansi. Melalui perhitungan dapat diperoleh bobot minimum CRM yang harus ditimbang agar dapat terbaca oleh CVAAS type Mercury Analyzer Accessory (Model 180-0450) yaitu harus sekitar ± 0,500 g untuk NIST-SRM1515 Apple leaves dan ± 0,300 g untuk NRCDORM2 Dogfish muscle. Tapi kenyataannya bila ditimbang pada nilai bobot tersebut, ketika melalui tahapan proses digesti baik menggunakan digester hot plate, water bath maupun autoclave terbentuk sejenis foam yang melimpah sehingga sangat mengganggu proses pembacaan instrumental terhadap absorbance dan konsentrasi. Agar foam tidak terjadi , maka bobot awal sample harus lebih rendah lagi, tetapi kendalanya adalah CVAAS type Mercury Analyzer Accessory (Model 180-0450) yang ada di lab Hidrokimia P2L-LIPI meskipun tetap dapat membaca nilai absorbansi dari sampel, tetapi tidak dapat memunculkan
nilai konsentrasi sample karena keterbatasan limit
deteksinya. Oleh sebab itu, untuk keperluan analisis logam berat Hg dalam matriks biota
harus menggunakan alat CVAAS type lain yang berlimit deteksi lebih rendah lagi yaitu Hg analyzer type kedua (Hiranuma HG-310 series). Proses digesti dengan menggunakan hot plate memberikan hasil recovery terbaik untuk kedua jenis matriks biota jika dilakukan pembacaan pada basis kalkulasi P/H (karena paling bagus linearitas kurva kalibrasinya, Gambar tidak disajikan di makalah ini). Bila pembacaan dilakukan dengan kurva kalibrasi pada basis integrasi (menggunakan Hg analyzer type Hiranuma HG-310, Gambarnya juga tidak disajikan di sini) matriks biota tumbuhan memberikan nilai % recovery mencapai 135,58 sedangakan untuk matriks biota hewan justru hanya 2,92. Hal ini terjadi karena bobot awal kedua matriks biota hanya ± 0,0500 g.
Waterbath bila digunakan sebagai digester untuk menganalisis matriks biota baik hewan maupun tumbuhan juga pada bobot awal ± 0,0500 g memberikan nilai %
recovery sebesar 70,55 (biota tumbuhan) dan 85,14 (biota hewan). Tetapi sayangnya pembacaan harus dilakukan pada basis kalkulasi integrasi (menggunakan Hg analyzer type Hiranuma HG-310 ) sedangkan bila pada basis P/H (kurva kalibrasi gambar tidak disajikan di makalah ini) hanya absorbansi saja yang terbaca dan konsentrasi sama sekali tidak dapat terbaca. Bila kuantitas bobot awal dinaikkan hingga 10 kalinya (±
549
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
0,500 g) pembacaan dengan basis integration justru sangat rendah yaitu 24,71 (biota tumbuhan) dan 2,37 (biota hewan). Dan bila dilakukan pada basis P/H (dimana linearitas tertinggi dapat diperoleh, gambar tidak disajikan di makalah ini) maka
recovery pada matriks biota hewan mencapai 95,40. Bila autoclave digunakan nilai recovery yang terbaik dijumpai pada matriks biota tumbuhan (81,57) sedangkan pada matriks biota hewan sangat rendah yaitu hanya 2,44. Sayangnya hasil ini baru dapat diperoleh bila menggunakan Hg analyzer type Hiranuma HG-310. Sebaliknya bila menggunakan Mercury Analyzer Accessory (Model 180-0450), hanya akan terbaca absorbansisaja meskipun bobot awal matriks sample ± 0,1000 g (penggunaan kurva kalibrasi Gambar nya tidak disajikan di makalah ini). Kegiatan tahun 2007 dimulai dengan pengulangan kembali pemakaian kedua jenis CRM tapi dengan menggunakan reagensia oksidator dan reduktor yang berbeda dengan tahun 2006. Tujuannya adalah agar diperoleh operational cost yang lebih murah dibanding sebelumnya dari sisi reagensianya saja. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar1 yang merupakan nilai rata-rata dari keseluruhan pengukuran. Nilai % recovery Hg dalam NIST-SRM1515 apple leaves dengan digester hot plate II (118,50%) sama bagusnya dengan autoclave digester (101,25%). Hot plate I di sini adalah kisaran bobot sample hanya pada 0,04750-0,0621 gram sedangka Hot plate II 0,3004-0,3096 gram. Nilai % recovery untuk Hot plate I ternyata paling rendah (11,47%). Digester water bath sedikit lebih tinggi (27,61%). Sedangkan pada NRC-DORM2 Dogfish muscle diadakan sedikit tambahan dibandingkan pada eksperimen pada apple leves yaitu pada hot plate II pengenceran selain dilakukan dengan volumetric flask 50 mL juga dilakukan pengenceran 100 kali dengan test tube, tujuannya agar Demineralized Water dapat lebih dihemat penggunaannya. Jenis CRM berbahan ikan ini ternyata menghasilkan “foaming agent” yang banyak terutama bila di digest menggunakan hotplate sehingga pengenceran 100 x memang harus dilakukan. Meskipun begitu nilai % recovery tetap saja lebih rendah rendah bila dibandingkan dengan waterbath (104,47 %) dan autoclave (102,52%). Hasil perhitungan rata-rata persampel untuk total waktu yang harus dijalani sample pada tahap digesti (preparasi) jelas terlihat pada Gambar 2. Digester autoclave
550
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
paling bagus dijadikan pilihan karena hanya perlu 17,14 menit jauh lebih rendah dibandingkan hotplate digester (26,17-27,53 menit) maupun waterbath (21,50 menit). Tingkat konsumsi energi listrik per sample pada autoclave digester (hanya 18,18 watt) juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan hotplate digester (44,93 watt-62,79 watt). Sedangkan waterbath berada pada posisi medium (hanya 27,90 menit atau 28,30 menit). Hal ini mudah dimengerti karena pada hotplate digester waktu pemanasan jauh lebih lama dibandingkan kedua jenis digester lain. Selain itu karena lebih terbukanya sistem pemanasan pada hotplate (menggunakan erlenmeyer 125 mL yang ditutupi dengan kaca alroji) dibandingkan dengan waterbath dan autoclave (digester vessel berupa pyrex test tube dengan tutup berulir berlapis teflon). Dari sisi tingkat rata-rata konsumsi campuran bahan kimia (oksidator-reduktor) per sample, autoclave digester juga jauh lebih sedikit dibandingkan hotplate digester sementara waterbath berada diantaranya (Gambar 4). Berikutnya pada Tabel 1 ditunjukkan hasil scoring dari skala intensits dengan kriteria potensi resiko terkontaminasi oleh lingkungan lab, harga digester vesselsnya (erlenmeyer untuk hotplate dan pyrex test tube dengan tutup berulir berlapis teflon untuk autoclave), harga digester instrumen dan tingkat kemudahan pelaksanaan digesti. Hasilnya adalah autoclave digester menempati posisi preferensi tertinggi, diikuti oleh waterbath dan terakhir hotplate digester. Dalam Tabel tersebut terlihat bahwa hotplate paling murah pada investasi awalnya dibandingkan dua jenis digester lainnya. Tetapi bila melihat uraian sebelumnya biaya operasionalnya jauh lebih mahal.
KESIMPULAN Dari uraian hasil dan pembahasan diatas maka kami dapat simpulkan bahwa autoclave adalah pilihan pertama terbaik yang memenuhi kriteria % recovery tinggi, lebih singkatnya waktu yang diperlukan untuk melalui tahap digesti, lebih rendahnya tingkat konsumsi energi listrik dan campuran bahan kimianya, lebih kecilnya potensi kontaminasi oleh lingkungan dan tingkat kemudahan pelaksanaanya. Waterbath dapat dijadikan pilihan kedua bila jenis matriks samplenya berasal dari biota hewan. Bila matriks biota tumbuhan pilihan kedua terbaik adalah hotplate digester.
551
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Csuros, M. and Csuros , C. 2002 Cold vapour AAS for Solid and semi solids dalam Environmental Sampling and Analysis for metals. Hal 149., Lewis Publishers. 372 pp Hirokatsu Akagi and Hajime Nishimura. 1991. Speciation of Mercury in the Environment. Dalam Advances in Mercury Toxicology, edited by T. Suzuki et al. Plenum Press, New york, 1991 Nater, E A and Cook., B. 1996. Mercury in plankton. Dept. of Soil water and Climate 439 Borloug Hill. University of Minnesota St. Paul, MN 5518. October 8, 1996 Wetzel, R.G.2001. Limnology. 3 th Ed. W.B. Sounders College Company Publishing. Philadelphia. London.743 p. Copiomonti, A; Piazzi,L and Pergent, G. 2000. Seasonal variations of Total mercury in foliar tissues of Posidonia oceanica. Journal Marine Biology Ass.UK (2000), 80, 1119-1123 CK. Smoley.1992. Determination of Mercury in Tissues by Cold vapor Atomic Absorption Spectrometry. Dalam Text book Methods for the Determination of metals in Environmental samples. USEPA. CRC Press. Hitachi.
1987. Analysis Guide for Polarized Zeeman Atomic Absorption Spectrophotometry. Instruction Manual for 180-0450 Mercury Analyzer Accessory. Part No. 171-9107-3. KM-R (MT-NK 22111)
Hiranuma sangyo Co, Ltd. 2006. Mercury Analyzer HG-310 instruction manual. 1739 Motoyoshida-cho. Mitoshi Ibaraki.Japan De Leon-Chavira, M.A. Huerta-Diaz, A. Chee-Barragan. 2003. New Methodology for extraction of total metals from macro alagae and its application to selected samples collected in pristine zones from Baja california, Mexico. Bull.Environ.Toxicol. 70:809-816. Springer Verlag. New York Inc. JO Rojas, LML Espinoza. 2006. Metal content in ulva lactuta (Linnaeus) from Navachiste bay (Southaest Gulf of California Sinaloa, Mexico). Bulletin of Environmental and Toxicology Vol 77 No.4. Springer. P 574-580 G. Veinott and B. Sjare. 2006. Mercury, Cdamium, Selenium, and seven other elements in muscle, renal and hepatic tissues of harbour seals (Phoca vitulina) from New Foundland and Labrador, Canada. Bulletin of Environmental and Toxicology Vol 77 No.4. Springer. P 597-607
552
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Average % recovery in Apple leaves 118.50 120.00
101.25
100.00
%
80.00 60.00 27.61
40.00
11.47
20.00 0.00
hotplateI
hot plateII
waterbath
autoclave
digester
Average % recovery in dog fish muscle 120.00
104.47
102.52
100.00
%
80.00 60.00 40.00 20.00
6.52
4.39
3.77
0.00 hotpalte I
hot plateII (test tube)
hot plateII (vol flask)
waterbath
autoclave
digeste r
Gambar 1. Nilai % recovery dari masing-masing jenis CRM Total waktu pelaksanaan digesti/sample
30.00 25.00 20.00 me nit
26.17
27.53 26.50
15.00
21.50 17.14
10.00 5.00 0.00 hotplate I
hot plateII (tes t tube)
hot plateII (vol flas k)
waterbath
autoclave
type dige ste r
Gambar 2. Hasil perhitungan rata-rata waktu yang dibutuhkan unuk mendigest setiap sample. Konsumsi e ne rgi listrik pe r sample
70 60 50 62.79 62.79
40 w att 30
44.93
20 27.90 10
18.18
0 hotplate I
hot plateII (tes t tube)
hot plateII (vol flas k)
waterbath
autoclave
Type digester
Gambar 3. Hasil perhitungan rata-rata energi listrik yang dibutuhkan unuk mendigest setiap sample
553
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
konsumsi campuran bahan kimia 14
14
14
mili Liter
15
11 8
10 5 0 1 Jenis Digester
hotplate I
hot plateII (test tube)
hot plateII (vol flask)
waterbath
autoclave
Gambar 4. Hasil perhitungan rata-rata campuran bahan kimia (oksidator-reduktor) yang dibutuhkan untuk mendigest setiap sample Tabel 1. Scoring intensitas pemilihan jenis digester menurut empat kriteria. Semakin tinggi nilai skor menunjukkan tingginya preferensi.
Resiko kontaminasi oleh lingkungan Harga digester vessel Harga digester instrument Tingkat kemudahan Skor Keterangan 1= murah sekali, sedikit 2= tidak mahal, tidak banyak 3=agak mahal, agak banyak 4= mahal,banyak 5= paling mahal,paling banyak
554
Hot plate 5 1 3 1 10
Skala intensitas Waterbath 3 5 3 2 13
Autoclave 1 5 5 5 16
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
VIABILITAS REPRODUKSI DAN PERTUMBUHAN IKAN PELANGI MUNGIL Melanotenia praecox PADA HABITAT TERKONTROL Djamhuriyah S.Said * ABSTRAK Ikan pelangi mungil (Melanotaenia praecox) merupakan salah satu ikan hias perairan darat komoditas eksport. Ikan tersebut termasuk dalam kelompok Rainbowfish yang hidup endemis di daerah Iritoi dan Dabra Irian (Papua). Perubahan kondisi habitat dan penangkapan yang intensif menyebabkan menurunnya populasi alami ikan tersebut Oleh sebab itu pengembangan di luar habitat alaminya perlu dilakukan guna memperthankan keberadaannya, akan tetapi informasi biologisnya masih sangat jarang dilaporkan. Ikan jantan dan betina memiliki penampilan warna yang sama yaitu berwarna biru neon. Tanda seks sekunder untuk pembedaan antara kelaminnya terletak pada warna sirip yang ditampilkan, dimana pada individu jantan berwarna jingga kemerahan, sedangkan individu betina dengan warna kuning sampai jingga, sehingga individu jantan berpenampilan lebih menarik. Penelitian dilakukan di laboratorium Puslit Limnologi-LIPI dengan tujuan mengungkapkan kemampuan reproduksi, pertumbuhan dan porsentase individu jantan ikan tersebut pada habitat terkontrol. Viabilitas reproduksi rata-rata dari 6 pasang ikan (ukuran 4—6 cm) dapat berlangsung pada umur awal 8 bulan. Rerata jumlah telur total (JTT) yang dihasilkan pada sistem reproduksi dengan rasio kelamin jantan:betina (1:1) dapat mencapai 27 telur/ekor/pemijahan dengan puncak pemijahan pada musim hujan. Derajat pembuahan (FR) mencapai 92,93% dengan derajat penetasan (HR) sebesar 98,18%, dengan lama waktu inkubasi telur (LIP) selama 8 (7—9) hari, dan sintasan tujuh hari pertama (SR7) dapat mencapai 89,45%. Pertumbuhan selama 6 bulan mencapai lebih kurang 3 cm, dengan ukuran rata-rata akhir 4,41 cm, dengan sintasan akhir 94%. Tanda seks sekunder mulai tampak pada ikan umur 3 bulan. Porsentase individu jantan meningkat dari 10% (usia 3 bulan) hingga 42,58% pada usia ikan 6 bulan. Kata Kunci: Ikan Pelangi Mungil, habitat terkontrol, pertumbuhan, porsentase jantan, viabilitas ABSTRACT Reproduction viability and growth rate of Dwarfrainbowfish Melanotaenia praecox in the Laboratory Condition. Melanotaenia praecox is distributed and endemic species of Iritoi and Dabra (middle portion of Membramo River), northern Irian Jaya. Attractive colours and shape of this fish has the economical value (export comodity) as ornamental fish. Over exploitation and habitat degradation could decrease population of the fish. Therefore, is due to rearing the species at the ex-situ habitat. The research was conducted at RC for Limnology-LIPI Laboratory to get biology information of the fish such as viability, growth rate, survival rate, and male percentage. Observations were conducted in six replicates on viability regarding to number of eggs (NOE), fertilization rate (FR), hatching rate (HR), length of incubation period (LIP), and survival rate in seven days old (SR7). While observations of growth rate, survival rate, and male percentage were conducted until 6 months old in three replicates. The average of NOE was 27 eggs/spawning, FR was 92.93%; HR was 98.18%; LIP was 8 days (7—9), and SR7 was 89.45% respectivelly. The growth rate until 6 months old is 3 cm with daily growth rate (0.02 cm/days), while survival rate was 94 (92—96)%, and male percentage was 42.58%. Keywords: growth rate, laboratory condition, Melanotaenia praecox, survival rate, viability
*
Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Jl. Raya Bogor Km 46,6 Cibinong Bogor-16911 e-mail:
[email protected] dan
[email protected] 555
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Ikan Pelangi atau yang dikenal dengan Rainbowfish termasuk dalam Famili Melanotaeniidae terdiri atas enam genus dan 53 spesies (Allen, 1995) dan bahkan informasi terakhir menyatakan bahwa telah terjadi perkembangan jumlah genus dan spesies sehingga menjadi tujuh genus dan 70 spesies (kom.prib 8 September 2004, Henny: Univ. Indonesia). Ikan-ikan tersebut tersebar di daerah Australia, Papua New Gini, dan Irian dan beberapa spesies diantaranya
bersifat endemic. Ikan pelangi
memiliki penampilan ukuran yang unik dan berwarna atraktif sehingga memiliki nilai ekonomis sebagai ikan hias terutama individu jantan. Salah satu diantaranya yaitu ikan Pelangi mungil (Melanotaenia praecox). Ikan pelangi mungil M. praecox merupakan ikan pelangi asli Indonesia yang hidup endemis di darah Iritoi dan Dabra Irian (Papua) (Allen, 1995). Ukurannya sekitar 5 cm yang relatif kecil dibandingkan ikan pelangi jenis lainnya sehingga dinamakan ikan pelangi mungil (dwarfrainbowfish). Penampilan warnanya sangat indah karena memantulkan warna biru neon mengkilap dengan sluruh sirip berwarna kuning, jingga hingga kemerah-merahan. Perbedaan antara individu jantan dan betina terletak pada ukuran tubuh dan warna sirip, di mana individu jantan memiliki ukuran tubuh relatif besar dan sirip berwarna jingga menyala hingga merah, sedangkan individu betina dengan warna yang lebih muda. Oleh karena keindahan yang dimilikinya menyebabkan eksploitasi alam terhadapnya sangat intensif. Aktifitas penangkapan dan penurunan kualitas habitat dikhawatirkan dapat mengakibatkan kepunahan. Untuk menyikapi hal tersebut maka pengembangan diluar habitat alami (pengembangan pada habitat terkontrol) sangat mutlak dibutuhkan. Untuk dapat melakukan pengembangan suatu spesies pada habitat ex-situ tersebut maka diperlukan informasi biologis, namun informasi biologis ikan M.praecox masih jarang dilaporkan terutama informasi kemampuan reproduksi, pertumbuhan, dan lain-lain. Penelitian ini memiliki tujuan mencari informasi mengenai kemampuan reproduksi ikan M.parecox pada habitat terkontrol yang mengambil parameter jumlah telur yang dihasilkan, derajat pembuahan, derajat penetasan, periode inkubasi telur, pola pertumbuhan, sintasan, pemunculan tanda seks sekunder, nisbah kelamin, dan lain lain. Data hasil penelitian ini 556
sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha budidaya
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
maupun penentuan kebijakan perdagangan ikan M.praecox agar konsep pemanfaatan berkelanjutan dapat terwujud. Dengan demikian diharapkan terwujudnya penyelamatan spesies,
pengurangan eksploitasi alam, dan kebutuhan pasar terhadap M.praecox.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di laboratorium Akuatik Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong yang berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap pengamatan viabilitas reproduksi dan tahap kedua pengamatan pertumbuhan dan rasio kelamin.
Pemasangan induk Induk ikan diukur panjang dan beratnya kemudian dipasangkan baik sesama jenis
(Tabel 1). Induk ikan yang digunakan merupakan hasil tetasan sendiri dengan
umur 8 bulan. Masing-masing pasangan dipelihara dalam akuarium ukuran 30x30x25 cm3. Akuarium berisi air 20 cm dilengkapi dengan aerasi dan bagian dasarnya diberi kerikil. Ikan dipelihara aklimatisasi
dan diaklimatisasi selama dua minggu. Setelah masa
ke dalam akuarium diletakkan substrat artificial
sebagai tempat
penmpelan telur. Substrat tersebut terbuat dari plastik/tali raffia yang telah diuraiuraikan sehingga menyerupai akar tanaman air. Selama pengamatan induk ikan diberi pakan Chironomus dengan periode pemberian dua kali sehari (pagi dan sore). Tabel 1.
Ukuran Induk ikan M.praecox
Ukuran Induk jantan No Pasangan pjg (cm) 1. 5.85 2. 6.11 3. 5.80 4. 5.34 5. 5.30 6. 5.75 Rerata 5.69±0,31
Berat (g) 2.25 3.05 2.28 3.61 3.60 3.21 3.00±0,61
betina pjg (cm) 5.25 5.13 5.20 4.30 4.83 4.41 4.85±0,41
berat (g) 2.08 2.06 2.08 2.07 2.07 2.65 2.17±0,24
Koleksi telur Setelah 24 jam sejak peletakkan substrat. dilakukan pengamatan terhadap telur yang dipijahkan yang tertempel pada substrat. Apabila terdapat telur maka dilakukan perhitungan jumlah telur total. Setelah itu juga diamati jumlah telur yang terbuahi maupun tidak terbuahi untuk mendapatkan nilai derajat pembuahan (Fertilization 557
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
rate/FR). Telur terbuahi akan tampak transparan dan mengkilap, sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna putih dan kusam. Substrat yang tertempeli telur tersebut dipindahkan ke akuarium lain ukuran 25x25x20 cm3 yang telah dilengkapi dengan aerator dengan aliran udara yang sangat pelan/halus. Terhadap telur tersebut dilakukan pengamatan tiap hari sampai berlangsungnya penetasan. Jumlah larva yang dihasilkan dihitung untuk mendapatkan nilai derajat penetasan (Hatching Rate/HR) Sedangkan untuk substrat yang tidak mengandung telur dicuci dan diletakkan kembali dalam akuarium induk. Pekerjaan tersebut berulang-ulang sampai data dianggap telah cukup memadai.
Pemeliharaan larva Larva hasil penetasan dihitung jumlahnya kemudian dipelihara. Larva diberi pakan pellet yang telah dihaluskan sejak larva berumur dua hari dengan periode pemberian sebanyak dua kali sehari (pagi dan sore hari). Larva diamati tiap hari dan setelah usia tujuh hari dilakukan perhitungan jumlah larva yang masih bertahan hidup pada masing-masing perlakuan untuk mendapatkan data sintasan tujuh hari pertama (Survival Rate/SR7)
Parameter viabilitas yang diamati Parameter viabilitas yang diamati seperti tertera berikut ini sesuai dengan metode yang dilakukan Said et.al.,(2000), yaitu meliputi: 1. 1.Jumlah telur total (Number of ovulated eggs/NOE): jumlah telur total yang dihasilkan oleh satu pasangan dalam satu periode pemijahan. 2. Derajat Pembuahan (Fertlization rate/FR) porsentase dari jumlah telur hidup terhadap jumlah telur total yang dihasilkan dalam satu periode pemijahan 3. Jumlah larva (Number of larvas/NOL): jumlah larva total yang dapat menetas dalam satu periode pemijahan 4. Derajat penetasan (Hatching rate/HR): porsentase jumlah larva yang dihasilkan terhadap jumlah telur hidup dalam satu periode penetasan 5. Ketahanan hidup 7 hari (Survival rate7/ SR7): porsentase jumlah larva yang mampu hidup sampai tujuh hari terhadap jumlah larva awal 6. Lama masa inkubasi
(Length of incubation period/LIP): jumlah hari yang
dibutuhkan sejak telur dipijahkan sampai penetasan berlangsung.
558
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Pertumbuhan Larva ikan yang digunakan untuk pengamatan pertumbuhan diambil dari hasil perkawinan massal ikan M praecox (15 individu jantan:10 individu betina).Pengamatan pertumbuhan dilakukan dalam tiga kali ulangan, dan tiap ulangan terdiri dari masingmasing 50 individu anakan ikan umur satu bulan. Tiap individu larva diukur panjangnya dan dipelihara dalam tiga jaring halus yang berukuran 100x50x40 cm3. Jaring-jaring tersebut terletak dalam bak fiberglass ukuran 210x100x60 cm3 yang dilengkapi filter yang menggunakan sistem resirkulasi. Selama pengmatan ikan diberi pakan cacing Tubificidae dan larva Chironomus secara
ad libitum sebanyak dua kali sehari (pagi dan sore hari). Pengamatan pertumbuhan (panjang) dan sintasan dilakukan setiap empat minggu (satu bulan) sampai enam kali pengamatan. Semua sampel ikan diukur panjangnya masing-masing dengan menggunakan wadah kaca yang bagian bawahnya berskala mili meter. Sedangkan pengamatan pemunculan tanda seks sekunder dengan parameter warna sirip yang ditampilkan oleh setiap individu. Ikan yang menunjukkan warna sirip menyala ditandai sebagai individu jantan. Sistem resirkulasi untuk pemeliharaan, yaitu air dari bak filter didistribusikan dengan menggunakan pompa submersible yang berkekuatan 25 watt, melalui pipa PVC berukuran ¾ inch., dan ½ inch. Menuju bak pemeliharaan.Air yang didistribusikan jatuh pada masing-masing kotak jaring, dimana air jatuhan tersebut juga berfungsi sebagai aerasi. Air dari bak pemeliharaan mengalir secara gravitasi melalui pipa berukuran 2 inch yang terletak di bawah bak pemeliharaan menuju bak filter. Bak filter terdiri dari dua bagian yaitu bagian
terisi batu/filter dan bagian
pengendapan. Filter yang digunakan terbuat dari susunan batu-batu kecil/ kerikil. Air dari bak pemeliharaan masuk ke bagian filter tersebut, yang selanjutnya air melimpah ke bagian pengendapan dan kemudian didistribusikan kembali ke bak pemeliharaan. Sistem pemeliharaan terletak di luar ruangan namun tidak terkena sinar matahari secara langsung.
559
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas Ukuran induk ikan yang digunakan bervariasi yaitu untuk induk betina dengan panjang 4,3—5,25 cm dengan berat 2,06—2,68 g (Tabel 1). Namun ukuran tersebut merupakan kisaran ukuran ikan M.praecox dewasa yang mungil ini (Allen, 1995). Penentuan induk ikan yang digunakan dalam penelitian ini, selain berdasarkan ukuran juga berpatokan pada umur yaitu 8 bulan, karena untuk jenis ikan pelangi, pematangan gonad telah mulai berlangsung pada usia enam bulan atau lebih (Allen, 1995; Said, 2000) dan pada saat yang bersamaan proses pertumbuhan masih tetap berlangsung. Jumlah telur total (NOE) rata-rata yang dihasilkan 27 (15-43) butir. Kisaran jumlah telur tersebut lebih lebar bila dibandingkan dengan hasil Said et.al (2000) yang memperoleh kisaran 20-40 butir. Hal tersebut kemungkinan terdapatnya pengaruh musim saat pengamatan berlangsung, dimana pasangan induk nomer 1-3 dilakukan pada saat musim hujan sedangkan pasangan induk nomer 4-6 dilakukan pada saat musim kemarau. Menurut Allen (1995) bahwa ikan pelangi bereproduksi sepanjang tahun namun puncak pemijahan berlangsung pada musim hujan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Said (2000) yang mengamati fenomena reproduksi pada ikan pelangi M.boesemani. Selain itu menurut Woynarovich & Horvart (1980) bahwa jumlah telur ikan dapat dipengaruhi oleh bobot tubuh induk betina dan ukuran diamater telur. Demikian pula halnya penelitian Said (2000) terhadap ikan M.boesemani dan ikan pelangi Glossolepis
incisus juga mendapatkan hal yang serupa bahwa makin berat ukuran induk betina maka makin banyak telur yang dihasilkannya. Parameter viabilitas selanjutnya adalah derajat pembuahan (FR) yang merupakan perbandingan antara jumlah telur yang hidup/terbuahi terhadap jumlah telur toatal yang diovulasikan. Telur terbuahi dapat dilihat dari penampilan yang jernih dan transparan serta memiliki daya lekat yang kuat baik sesama telur maupun terhadap substrat penempelan telur. Sedangkan telur atau embryo yang mati menampilkan warna putih buram dan keruh serta tidak memiliki daya lekat pada benda lain. Derajat pembuahan (FR) ikan M. praecox rata-rata 92,93 (73,33-100)% (Tabel 2). Nilai FR yang dicapai ini masih lebih baik daripada hasil penelitian sebelumnya yang mencapai 87,4%. Nilai FR lebih dipengaruhi oleh kemampuan sel jantan (sperma)
560
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
untuk membuahi sel betina (telur) sehingga tercipta embryo ikan. Dengan demikian tinggi-rendahnya nilai FR dapat diakibatkan oleh faktor fisiologis. Akan tetapi menurut Chervas (1981) dalam Azwar (1994) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi nilai FR adalah faktor genetik, faktor fisiologis (seperti kualitas sperma individu jantan), faktor morfologi/struktur (seperti kesesuaian lubang mikrofil telur dengan kepala spermatozoa). Nilai derajat penetasan (HR) pada penelitian ini mencapai 98,18 % (Tabel 2). Nilai HR ini lebih baik daripada HR ikan pelangi kerabatnya seperti ikan M.boesemani,
G.incisus yang masing-masing 83,61 dan 77,69% (Said et al., 2000). Derajat penetasan embryo dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dari embryo itu sendiri dan juga faktor eksternal atau lingkungan tempat embryo tersebut terinkubasi atau berada. Menurut Efendi (1977) faktor eksternal yang berpengaruh tersebut antara lain suhu, pergerakkan air, atau zat-zat terlarut dalam air. Pada penelitian ini suhu air penetasan dalam kisaran 24,5—26,5 oC. Kondisi suhu tersebut dapat dikatakan merupakan suhu optimal untuk inkubasi telur ikan M.praecox. Tabel 2. Viabilitas reproduksi ikan M.praecox No Pasangan
NOE (butir) 1 2 3 4 5 6
Rerata SD
43 30 30 15 15 27 26.67 10.60
JTHidup 41 30 30 15 11 24 25.17 10.98
FR (%) 95.35 100 100 100 73.33 88.89 92.93 10.55
NOL (individu) 31 30 30 15 10 24 23.33 8.89
HR (%) 75,60 100 100 100 90.90 100 98.18 4.07
SR7 (%) 100 100 100 66.7 70 100 89.45 16.38
LIP (hari) 8 7 7 9 9 8 8.00 0.89
Lama waktu inkubasi telur atau LIP ikan M.praecox rata-rata 8 (7—9) hari Nilai tersebut relatif lebih lama dibandingkan ikan M.macculochi yang mencapai 6,33 hari (Said et al., 2000). Akan tetapi masih dalam kisaran waktu inkubasi telur untuk kelompok ikan rainbow lainnya karena ikan M.boesemani memiliki LIP antara 7—12 hari. Nilai LIP juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat telur diinkubasi seperti suhu air, pergerakkan air, dan zat-zat terlarut dalam air pemeliharaan. Selain itu perbedaan kualitas telur seperti ketebalan choion, ketahanan chorion, dan efektifitas enzim pelunakkan chorion dapat mempengaruhi LIP. Dan yang lebih utama bahwa
561
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
masing-masing spesies memiliki laju pertumbuhan embryo yang berbeda (Efendi, 1997). Nilai SR7 yang dicapai oleh M.praecox adalah 89,45 (66,7—100)%. Nilai SR7 tersebut termasuk dalam katagori lebih baik daripada SR7 ikan G.incisus yang mencapai hanya 49,93% (Said et al., 2000) tapi lebih rendah daripada SR7 M boesemani yang mencapai 100% (Said, 2004). Embryo yang berhasil menetas kemudian tumbuh menjadi larva. Pada stadium ini ketahanan hidup relatif kritis dan kelangsungan hidupnya tergantung pada kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Khusus untuk ikan pelangi kematian tertinggi umumnya berlangsung pada usia larva 4—7 hari, karena periode tersebut merupakan periode perubahan jenis pakan dari yolk (dari dalam) ke bentuk pakan dari lingkungan (Said et.al., 2000). Menurut Effendi (1997) bahwa kematian larva dapat disebabkan oleh kerusakan kuning telur dan sistem pencernaan. Berdasarkan fenomena tersebut maka sintasan 7 hari pertama (SR7) merupakan salah satu faktor viabilitas larva.
Pertumbuhan Dalam enam bulan pengamatan ukuran rata-rata akhir mencapai 4,41±0,664 (3—5,7) cm. Dari 3 populasi sampel ukuran terbesar yang dicapai 5,7 cm dan terkecil 3 cm, dari ukuran awal (usia 1 bulan) rata-rata 1,01±0,11 (0,8—1,7)cm, ini berarti terjadi pertambahan panjang sebesar rata-rata 3,4 cm dengan pertumbuhan harian 0,02 cm/hari. Parameter ukuran yang diambil adalah panjang karena ikan M.praecox adalah jenis ikan hias dan perhitungannya dalam jumlah individu dan ukuran panjang. Dan menurut Elseth & Baumgardner (1984) bahwa parameter panjang merupakan parameter yang paling mudah dan aman untuk diukur. Pola tumbuh seperti ini mungkin dapat berubah apabila sistem pemeliharaan berbeda, seperti halnya bila dilakukan sistem penyortiran atau pemisahan berdasarkan ukuran atau jenis kelamin. Pemisahan demikian dapat mengurangi kompetisi intraspesies dalam memperoleh makanan ataupun tempat sehingga pola tumbuh dapat berubah. Ukuran akhir yang dicapai oleh M.praecox tersebut dapat dikatagorikan sebagai calon induk, karena menurut Allen (1995) bahwa ukuran terbesar ikan M.precox yang ditemukan di alamnya yaitu 5 cm.
562
dapat
Panjang (cm)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
6
Umur ikan (bulan) Gambar 1. Pola tumbuh ikan M.praecox pada habitat terkontrol Sintasan
Pada tiga wadah pemeliharaan terlihat sintasan ikan M.praecox yang relatif tinggi dan hampir seragam yaitu rata-rata akhir mencapai 94 (92—96)% (Tabel 3, Gambar 2). Kemungkinan jumlah ikan sampel dan luas wadah/jaring pemeliharaan adalah optimal, juga pemanfaatn bak pemeliharaan yang memiliki volume air yang relatif banyak. Berbeda halnya apabila sistem pemeliharaan dengan ukuran wadah yang sama, kepadatan ikan sama namun tidak menggunakan air dengan volume banyak. Penggunaan air pada penelitian yang dilakukan bahwa pada bak fiber ukuran 210x100x60 cm3 ditempati oleh 4 jaring ukuran 50x100x40 cm3 dan masing-maing jaring berisi 50 individu ikan.
Tabel 3. Sintasan ikan M.praecox dalam pemeliharaan terkontrol Umur (bulan) 1 2 3 4 5 6
Ulangan 1 100 100 100 100 96 92
Sintasan (%) Ulangan 2 Ulangan 3 100 100 100 100 100 100 100 96 96 94 96 94
Rata-rata 100 100 100 98.67 95.33 94
SD 0 0 0 2.31 1.15 2
Sintasan pada 4 bulan pertama masing-masing 100%, ini menunjukkan sintasan yang sangat baik. Menurunnya sintasan mulai berlangsung sejak ikan berumur 5 bulan, 563
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
dimana pada saat itu ikan terserang penyakit jamur. Kemungkinan besar penurunan sintasan tersebut akibat kematian beberapa individu ikan yang terserang jamur. Pendataan sintasan ikan pelangi sampai umur 6 bulan (matang gonad) masih jarang dilaporkan. Penelitian lain pada ikan M.boesemani dalam 4,5 bulan dapat mencapai sintasan sebesar 95,71% dalam keadaan sehat/tanpa serangan penyakit. 100
100
100
100
98.67
95.33
94
1
2
3
4
5
6
90 80
SR (%)
70 60 50 40 30 20 10 0
Umur ikan (bulan)
Gambar 3. Sintasan ikan M.praecox pada habitat terkontrol
Pemunculan tanda seks sekunder dan nisbah kelamin Ikan pelangi Irian memiliki kwkhasan pada pola warna yang ditampilkan, dengan demikian pola warna ini merupakan salah satu sebagai tanda seks sekunder selain ukuran dan bentuk tubuh. Ikan M.praecox jantan memiliki warna tubuh putih keperak-perak atau seperti warna sinar lampu neon, bentuk tubuh memipih dengan ukuran relatif besar, tumbuh lebih cepat serta memiliki sirip berwarna jingga menyala. Sedangkan individu betina dengan pola warna tubuh yang hampir sama namun cenderung kebiru-biruan, ukuran lebih kecil, bentuk tubuh agak tebal dengan sirip berwarna kuning. Pada umur muda penampilan anakan ikan tampak seragam, namun makin bertambah umur terlihat perbedaan penampilan baik itu ukuran, bentuk tubuh maupun pemunculan warna terutama warna sirip. Pemunculan warna tersebut mulai terlihat pada ikan usia
3 bulan dengan persentase yang kecil, dan bertambah terus seiring
dengan bertambahnya umur ikan M.praecox yang mencapai 42,58% pada ikan umur 6 bulan (Tabel 3). Tampaknya proses pendewasaan individu berbeda antara individu satu dan lainnya walaupun memiliki umur yang sama, namun tampak relatif cepat
564
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
dibandingkan jenis ikan lainnya. Penelitian Said (1994) terhadap ikan Cichlasoma
severum mendapatkan bahwa determinasi seks mulai berlangsung pada ikan umur 5 bulan, dan pada ikan M.boesemani determinasi seks mulai tampak pada ikan umur 4,5 bulan. Tabel 3. Persentase individu jantan ikan M.praecox selama 6 bulan
No
Jumlah Individu jantan (%) pada umur (bulan) 1
2
3
4
5
6
1
-
-
12,00
32,00
45,24
45,65
2
-
-
14,00
18,00
35,42
41,67
3
-
-
06,00
24,00
40,43
40,43
Rerata
-
-
10,67
24,67
40,36
42,58
Pendataan dilangsungkan sampai ikan berumur 6 bulan, karena beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umur 6 bulan ikan telah menjadi calon induk (matang gonad). Dari tabel 3 tersebut terlihat bahwa porsentase ikan jantan lebih kecil daripada ikan betina. Menurut Allen (1995) ikan M.praecox merupakan ikan yang hidup bregerombol dan jumlah individu jantan dalam setiap populasi
selalu lebih kecil
daripada jumlah individu betina. Hal serupa juga terlihat pada populasi ikan pelangi lainnya seperti M.boesemani, Marosatherina ladigesi (Said et al., 2008) dan jenis ikan bergerombol lainnya.
KESIMPULAN 1. Ikan M.praecox memiliki jumlah telur yang relatif sedikit, namun derajat pembuahan, derajat penetasan, serta sintasan minggu pertama (SR7) relatif baik dengan nilai masing-masing 92,33%; 98,18%; dan 89,45% dengan masa inkubasi telur 8 hari. 2. Ikan M.praecox dapat tumbuh baik pada sistem pemeliharaan terkontrol dengan pertumbuhan (panjang) harian sebesar 0,02 cm/hari, dengan sintasan akhir 94%. 3. Determinasi seks mulai berlangsung sejak ikan berusia 3 bulan dan nisbah kelamin jantan sebesar 42,58%.
565
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan pada Sdri Novi Mayasari dan teman-teman yang telah banyak membentu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Allen, G R. 1995. Rainbowfish. In Nature and Aquariums. Christensens Research Institute, Madang 268 hal. Azwar. 1994. Pengaruh Triploidisasi dan Hibridisasi terhadap Karakter Fenotipe Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Thesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 78 hal. Effendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal. Elseth, G.D. & K.D. Baumgardner. 1984. Genetics. Addison, Weshley Publishing Company Readning Massachussets. 780 hal Said, D.S. 1994. Pola pertumbuhan ikan Severum (Cichlasoma severum) pada Sistem Aliran Tertutup. Limnotek 2 (1): 19—24. Said, D.S., O.Carman, & Abinawanto. 2000. Intergenus Hybridization of Irian’s Rainbowfishes, Melanotaenia Family. Proceeding of JSPS-DGHE International Symposium. Suistanable Fisheries in Asia in the New Millenia 280—283. Said, D.S. 2000. Kemampuan Pemjahan ikan pelangi Melanotaenia boesemani pada temperatur berbeda. Laporan teknik Proyek Penelitian, Pengembangan, dan Pendayagunaan Biota Darat Tahun 1999/2000. Puslitbang Biologi Bogor. Said, D.S. 2004. Viabilitas Hibrida pada Penyilangan Interspesies Melanotaenia boesemani dengan Melanotaenia praecox (Famili Melanotaeniidae). Limnotek 12 (2): 50—56. Said, D.S., Triyanto, & N. Mayasari. 2008. Ikan pelangi Sulawesi Marosatherina ladigesi pada Habitat Alami dan Habitat Terkontrol. Makalah Seminar Perikanan dan Kelautan. Jurusan Perikanan Faperta Univ.Gajah MadaYogyakarta, 26 Juli 2008 Woynarovich, E. & L.Horvart. 1980. The Artificial Propagation of War Water Finfishes. A manual for Extention, FAO Fish. Tech. Pap.
566