PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN CONNECTIVISM PADA MODUS PEMBELAJARAN ONLINE Taufik Ikhsan Slamet Dedi Kuswandi Jurusan Teknologi Pendidikan, FIP, Unversitas Negeri Malang
[email protected];
[email protected] Abstracts Pengembangan ini bertujuan untuk merancang sebuah model pembelajaran yang sesuai dengan modus pembelajaran online, terutama yang menggunakan platform social learning network bahkan yang menggunakan platform social media. Model ini dinamakan dengan connectivism, dan dikembangkan melalui metode pengembangan ADDIE yang disesuaikan. Indikator keberhasilan pengembangan, ditentukan dari kelayakan produk pengembangan untuk dijadikan sebuah model pembelajaran online, yang diambil dari uji validasi media dan uji lapangan. Namun dalam pengembangan ini, dilihat pula nilai pengaruh model pengembangan terhadap tingkat kontribusi (CI) peserta ujicoba dan tingkat kekayaan konten (CRs) yang didapatkan. Berdasarkan uji validasi media dan uji lapangan, didapatkan hasil bahwa model berada pada kriteria layak untuk dijadikan model pembelajaran pada sampel. Dengan persentase kelayakan sebesar 85,45% untuk hasil dari validasi ahli media dan 77,30% untuk hasil uji lapangan. Nilai persentase dari tingkat kontribusi (CI) sebesar 11,67%, dan nilai persentase kekayaan konten (CRs) sebesar 37,66%. Kedua variabel tersebut berada pada kategori sangat rendah dan rendah. Diiindikasikan kedua variabel ini rendah dikarenakan lemahnya pengetahuan peserta ujicoba terhadap aspek yang diukur dalam pembelajaran dengan prinsip social learning. Dapat disimpulkan bahwa produk pengembangan sudah sesuai dengan gaya belajar peserta didik saat ini yang terbiasa sekali bersosialisasi dalam sebuah jaringan virtual. Keywords : social learning, schoology, indeks kontribusi, kekayaan konten Kekurangan yang terjadi dalam proses belajar seperti ini adalah kebiasaan tersebut akan membentuk mereka menjadi pribadi dengan individualitas yang tinggi. Hal ini sama seperti yang sudah dipediksi banyak orang mengenai dampak negatif dari penggunaan teknologi, terutama internet dalam pembelajaran. Padahal, proses diskusi dengan cara berbagi informasi lebih memberikan banyak pengaruh terhadap peningkatan informas
PENDAHULUAN Kebiasaan belajar peserta didik saat ini dapat diwakili kata ketidakaturan. Ketidakaturan ini dilihat dari waktu dan sumber yang digunakan agar terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Kebanyakan peserta didik saat ini tidak sadar bahwa mereka sedang belajar disaat mengakses beragam informasi yang ada dalam sebuah halaman web di internet.
1
dalam individu ketimbang seoang inividu hanya sebatas membaca sebuah sumber infomasi. Hal ini mengakibatkan diperlukannya sebuah teori yang menjelaskan bagaimana proses belajar terjadi dalam pembelajaran virtual. Dan sebuah model yang dapat meningkatkan mutu proses belajar peserta didik dalam sebuah jaringan besar. CLT adalah teori belajar dalam era digital, dimana teori ini berangkat dari pemahaman bahwa terciptanya proses belajar dimulai ketika peserta didik membagi pengetahuannya kepada learning community (Kop & Hill, 2008). Dari teori ini muncullah asumsi bahwa model pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dalam pembelajaran online dapat didasarkan dari teori belajar yang memang menjelaskan proses belajar dalam lingkungan digital. Didasarkan hal tersebut, maka pengembangan model pembelajaran connectivism dalam modus pembelajaran online ini dimaksudkan untuk menghasilkan satu prototipe model pembelajaran berbasis web yang efektif, efisien, dan berdaya tarik, yang memfasilitasi kegiatan kooperatif dan kolaboratif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama. Didasarkan hal tersebut, maka pengembangan model pembelajaran connectivism dalam modus pembelajaran online ini dimaksudkan untuk menghasilkan satu prototipe model pembelajaran berbasis web yang efektif, efisien, dan berdaya tarik, yang memfasilitasi kegiatan kooperatif dan kolaboratif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama. Melalui pengembangan ini, diharapkan akan berkembang pembelajaran dengan paham konstruktivisme lainnya sebagai pendukung kemajuan pembelajaran online.
METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode pengembangan, dengan model yang dipilihan adalah model ADDIE. ADDIE merupakan akronim dari Analysis, Design, Development, Implementation, dan Evaluation. Dipilihnya model ini berdasarkan pertimbangan berikut: 1. ADDIE merupakan salah satu fondasi model pengembangan desain pembelajaran yang lainnya, sehingga ADDIE merupakan inti dari segala bentuk model pengembangan 2. Fleksibilitas yang tinggi memungkinkan paradigma ini digunakan untuk tidak hanya mengembangankan model pembelajaran, media pembelajaran, bahkan keduanya secara berdampingan 3. Mengembangkan produk pembelajaran dengan menggunakan ADDIE memiliki peluang pembelajaran berlangsung secara efektif, karena ADDIE merupakan kerangkan pengembangan untuk semua kondisi pembelajaran yang kompleks sendiri (Branch, 2009:2). 4. ADDIE memiliki peran lain, yaitu sebagai projek manajemen yang mengkoordinasikan ragam langkah pembelajaran. Model ADDIE dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pengembang, oleh karenanya, tiap tahapan perlu ditentukan langkah-langkah yang lebih spesifik dan secara sistematik menuju tahapan selanjutnya. Langkah-langkah rill tersebut dapat dijabarkan dalam tabel berikut. Tabel 1. Prosedur pengembangan Tahapan Analysis (analisis) Tujuan: Menemukan perbedaan antara kebutuhan dan realita. Termasuk analisis pada aspek berikut: • Tujuan pembelajaran • Karakteristik peserta didik
2
Kegiatan • Mengembangkan tujuan umum pembelajaran • Melakukan analisis pembelajaran (instructional analysis) • Menganalisis tujuan pembelajaran menjadi unit kompetensi terkecil
•
Melakukan analisa peserta
• Lingkungan pembelajaran
didik, meliputi apa yang sudah mereka ketahui, cara belajar, dan minat belajar mereka Merancang model pembelajaran connectivism Membuat program mamping dan learning object Memilih sumber belajar yang kredibel Merancang alat penilaian
Design (perancangan)
•
Tujuan: Merancang bagaimana informasi baru akan ditransformasikan pada peserta didik. Beberapa hal yang harus dirancang dalam pengembangan ini adalah: • Model pembelajaran connectivism • Blueprint portal belajar • Materi pembelajaran • Instrumen penilaian
•
Development (pengembangan)
• Membuat portal belajar • Mewujudkan materi menjadi bentuk learning object
• •
Sebelum ujicoba lapangan, validasi ahli media dilakukan untuk melihat kesesuian plaform social learning yang digunakan, shoology, dengan model yang dikembangkan. Hal ini sangat dibutuhkan karena platform yang digunakan haruslah sesuai dengan karakteristik model social learning. Ahli media akan memvalidasi aspekaspek berikut: 1) tampilan dan navigasi, 2) rancangan presentasi informasi, 3) tools, dan 4) aksesibilitas. Empat hal tersebut merupakan variabel yang ada pada course yang dijadikan lingkungan belajar. Untuk ujicoba lapangan, aspek-aspek yang diukur adalah: 1) rancangan pembelajaran, 2) materi pembelajaran, 3) lingkungan belajar, dan 4) aktivitas belajar. Data yang diambil bersifat kuantitatif, dan dikumpulkan melalui angket. Skala sikap digunakan dalam pengembangan ini, untuk melihat persepsi peserta ujicoba mengenai penggunan model yang dikembangkan. Pengolahan data untuk uji validasi ahli media adalah:
Tujuan: Memproduksi material rancangan sebelumnya, seperti: • Portal e-learning • Learning object Implementation (implementasi) Tujuan: Melihat kelayakan model pembelajaran secara nyata
Evaluation (evaluasi) Tujuan: Melakukan perbaikan atas dasar implementasi produk
• Mengujicobakan produk kepada ahli (desk evaluation) • Mengujicobakan produk kepada kelompok individu • Mengujicobakan produk kepada kelompok kecil • Mengujicobakan produk kepada kelompok besar (field testing) Melakukan revisi atas saran dan kelemahan yang terdapat pada produk
Keterangan: P : persentase (%) X : jumlah skor jawaban tiap aspek Xi : jumlah skor maksimal tiap aspek
Untuk pengolahan data dari lapangan adalah sebagai berikut:
Subjek ujicoba dalam pengembangan ini adalah mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan angkatan 2014 yang sedang menempuh Mata Kuliah Pengembangan Media Foto (Fotografi). Sementara itu, pokok bahasan yang dipilih adalah manajemen pameran. Dipilihnya mata kuliah dan pokok bahasan ini dikarenakan jenis konten yang dipilih bersifat dinamis dan berkembang. Artinya, dalam pokok bahasan ini memfasilitasi pesertanya untuk bebas berpikir kreatif.
ujicoba
Keterangan: P : persentase (%) ∑X : jumlah skor seluruh subjek ∑Xi : jumlah skor maksimal keseluruhan
Setelah didapatkan hasil dari data yang diolah dengan menggunakan rumus diatas, hasil tersebut dibandingkan dengan kriteria kelayakan sebagai berikut:
3
Tabel 3. Kriteria indeks kontribusi
Tabel 2. Kriteria tingkat kelayakan model pembelajaran connectivism (Sugiyono, 2008: 417-421) Kategori 4 3 2 1
Persentase 86% s.d. 100% 76% s.d. 85% 56% s.d. 75% < 56%
Kualifikasi Tidak direvisi Tidak direvisi Perlu direvisi Harus direvisi
Interval -0,4 s.d. -1
Keterangan cenderung lebih banyak menerima pesan atau komentar +0,4 s.d. +1 cenderung lebih banyak mengirim pesan atau komentar -0,3 s.d. +0,3 berhasil membangun dialog interaktif
Ekuivalen Sangat layak Layak Cukup layak Tidak layak
Sementara untuk menghitung Content Richness Scores (CRs) dapat menggunakan rumus berikut:
Selanjutnya dalam konteks social learning, ada dua istilah yang sangat esensial, terutama ketika mengukur keberhasilan sebuah model dalam meningkatkan kemampuan pesera. Kedua istilah tersebut adalah contribution index (CI) dan content richness (CRs). Indeks kontribusi (CI) adalah istilah yang digunakan untuk mengukut tingkat partisipasi individu dalam kontekn social learning (Gloor et. al, dalam Chung & Paredes, 2015). Sementara itu, Content Richness Score (CRs) adalah pengukuran tingkat keterlibatan atau sumbangih individu dalam pembelajaran bermakna diantara para peserta belajar lainnya, dan sbagai bukti kemajuan dalam pembelajaran (Chung & Paredes, 2015). Kedua variabel ini akan diukur untuk melihat keandalan model dari sisi hasil. Untuk menghitung indeks kontribusi dapat menggunakan formula berikut:
Keterangan: CRq mci mahasiswa n mahasiswa max(mc)
: Content Richness Score mahasiswa : nilai dari pesan yang disampaikan : jumlah total pesan yang dikirim oleh : Jumlah maksimal nilai dari pesan
(Chung & Paredes, 2015:248) Tabel 4. Kriteria keaktifan peserta berdasar Content Richness Interval 0 0,1 s.d. 0,3 0,4 s.d. 0,6 0,7 s.d. 1
Keterangan Tidak memiliki kontribusi Kontribusi rendah Kontribusi rerata (sedang) Kontribusi tinggi
Rentang skor Contribution Index berada pada 0 s.d. 1. Dengan pemaknaan, jika skor berada pada angka 0 maka tingkat kontribus mahasiswa tersebut tidak konsisten. Dilain pihak, jika skor berada pada angka 1, maka mahasiswa tersebut berpartisipasi secara aktif dan belajar bermakna dalam diskusi kelompok terbuka ataupun tertutup. Tabel 5. Kriteria pesan pada content richness
Keterangan: CIi : Contribution index mahasiswa ∑si : Jumlah pesan yang dikirim mahasiswa ∑ri : Jumlah pesan yang diterima mahasiswa
Weight 0
(Chung & Paredes, 2015:248)
1
Rentang skor Contribution Index berada pada -1 s.d. 1. Dengan pemaknaan, jika skor berada pada rentang negatif maka kontribusi mahasiswa dimaknai kurang. Yang diharapkan terjadi adalah skor berada pada rentang 0 s.d. 1.
2
3
4
Content category Message example Empty Alright, see you later! ; Bye, ; Thanks. Team Building Excellent work, team! ; The last task has really got me enjoying this group work. Dissemination I submitted the last version of our report! The deadline has been extended. Coordination Let’s meet tomorrow at 7pm, I can write this section of the report. John, can you do the other
4
Collaboration
Berdasarkan tabel di atas, social media atau ESN (enterprise social network) yang paling banyak digunakan diantara para peserta adalah Facebook. Kemudian menyusul Instagram diperingkat kedua, dan kemudian Twitter. Facebook nampak jelas menjadi yang terpopuler dikarenakan Facebook adalah media sosial yang memiliki komunitas terbesar diseluruh dunia. Jumlah 213 akun dihimpun dari 76 peserta uji coba, karena seorang peserta bisa saja memiliki lebih dari satu akun social media. Data pada tabel di bawah ini akan menjelaskan peta individu dengan jumlah kepemilikan akun di social media. Tabel di bawah secara eksplisit mendeskripsikan bahwa satu peserta bisa saja memiliki sampai enam akun di lima portal social media yang berbeda. Tabel 7. Jumlah akun sosmed yang dimiliki tiap peserta
part and Emily integrate it all? Dear Peter, I think your answer to the question is correct. However, I found this article in which the authors analyse the issues from the different perspective. Please consider also...
Untuk memastikan adaptabilitas model dan platform yang digunakan, terlebih dulu karakteristik peserta uji coba diidentifikasi. Cara yang digunakan dalam pengembangan ini adalah dengan menggunakan learning contract (kontrak belajar). Learning contract ditujukan untuk mengambil data-data berikut: 1) intensitas berinteraksi dalam jaringan internet; 2) penggunaan social media; 3) gadget yang digunakan; 4) keperluan interaksi; dan 5) perencanaan dalam pembelajaran online. Learning contract diisi melalui Google Form yang sudah didesain, sehingga memudahkan pengisi dan pengembang dalam mengumpulkan data.
No. 1 2 3 4 5 6
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Subjek Ujicoba Peserta uji coba pada pengembangan ini adalah mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan angkatan 2014 sejumlah 76 mahasiswa yang dibagi kedalam dua offering (kelas), yang sedang menempuh Mata Kuliah Pengembangan Media Foto (Fotografi). Berikut data profil peseta ujicoba. Tabel 6. Platform ESN/Social Media yang digunakan oleh peserta uji coba No. 1 2 3 4 5 6
Social Media Facebook Twitter Instagram Google+ Path Tumblr ∑
Jumlah Akun Sosmed Kepemilikan 6 5 4 3 2 1 ∑
Frekuensi 0 1 15 27 20 13 76
Dari tabel di atas, bisa disimpulkan bahwa tidak ada satu orang pun peserta uji coba pada pengembangan ini yang tidak memiliki akun media sosial. Setidaknya, data ini menjelaskan bahwa peserta sudah siap dan terbiasa melakukan aktivitas pada platform social media, seperti posting, sharing, tagging, comment, atau polling. Tabel-tabel selanjutnya menjelaskan intensitas penggunaan internet per pekan, gadget yang digunakan, dan tujuan penggunaan internet.
Frekuensi 76 48 60 27 1 1 213 (akun)
Tabel 8. Intensitas penggunaan internet per
5
keterbaruan informasi yang diterima masih tergolong dalam kriteria yang upto-date. c. Aksesibilitas yang tinggi dimiliki subjek coba dikarenakan kepemilikan fasilitas pribadi untuk mengakses internet secara real time. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa karakteristik dari subjek coba sudah sangat cocok untuk dijadikan sampel dalam pengembangan model pembelajaran connectivism, dengan menggunakan sebuah social learning platform.
pekan No. 1 2 3 4
Intensitas Penggunaan Setiap hari 5 s.d. 6 hari per pekan 3 s.d. 4 hari per pekan 1 s.d. 2 hari per pekan ∑
Frekuensi 48 5 14 9 76
Tabel 9. Variasi gadget yang digunakan peserta ujian No. 1 2 3 4
Gadget yang Digunakan
Frekuensi
PC Laptop/netbook Tablet PC Smartphone ∑
4 26 0 46 76
Ujcoba Ahli Media Dalam pengembangan ini, validasi media merupakan kegiatan penilaian dari seorang ahli terhadap kelayakan platform SLP yang dipilih, kualitas tools, dan kualitas material yang digunakan. Uji coba ahli media dalam pengembangan ini menilai apakah course yang digunakan dapat memfasilitas jalannya model connectivism yang dikembangkan. Ahli media dalam pengembangan ini adalah Ibu A.H. Beliau merupakan salah satu Dosen Jurusan Teknologi Pendidikan di FIP Universitas Negeri Malang. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dari proses validasi media ini merupakan angket tertutup dan komentar saran mengenai produk.
Tabel 10. Tujuan penggunaan internet No. 1 2 3 4
Kepentingan Utama Penggunaan Browsing (mengisi waktu luang) Mengerjakan tugas Menggunakan sosial media Gamming ∑
Frekuensi 49 15 11 1 76
Dari ketiga tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa subjek uji coba dalam pengembangan ini memiliki akses yang mudah dalam berinteraksi di lingkungan online. Kepemilikan gadget pribadi memudahkan mereka dalam mengakses informasi dari platform-platform social media, sehingga tidak salah jika beberapa subjek uji coba memiliki lebih dari satu akun social media sekaligus. Dari data yang bisa diambil dari learning contract, karakteristik subjek uji coba dapat dideskripsikan dalam poin-poin berikut: a. Subjek coba adaptif terhadap interface yang variatif dari berbagai social media, dari yang kompleks seperti Facebook, hingga yang bersifat microblogging seperti Twitter. b. Subjek coba mengakses platform social media dan informasi lainnya paling sedikit empat hari per pekan, sehingga
Tabel 11. Hasil penilaian ahli media terhadap SLP yang digunakan (Schoology) No. Kriteria Nilai Maks. 1) Tampilan dan navigasi 15 2) Rancangan presentasi 20 informasi 3) Kelengkapan pendukung 10 model 4) Aksesibilitas 10 55 Jumlah poin
Nilai Real 13 17
% 87% 85%
9
90%
8 47
80% 85,45%
Berdasarkan perhitungan, diperoleh persentase dari proses validasi media
6
3) 4)
sebesar 85,45%. Jika dikonversikan kedalam kriteria tingkat kelayakan, hasil validasi media ini berada pada tingkat layak dan tidak perlu direvisi. Beberapa catatan yang dapat diberikan oleh validator terkait kelayakan platform SLP dapat dirangkum dalam poin-poin berikut: a. Menambahkan material pendukung atau contoh karya dari dosen b. Jika memungkinkan, ditambahkan media audio (podcast) untuk pembelajaran mandiri c. Platform dan course yang dikembangkan sudah user friendly, hanya perlu menambahkan material atau karya dari dosen pengampu mata kuliah d. Mahasiswa harus dimotivasi untuk lebih terbiasa di platform yang dipilih
1) 2)
Rancangan pembelajaran Material pembelajaran
Nilai Maks. 1590 2120
Nilai Real 1228 1717
74,33% 76,41% 77,30%
Tabel 13. Kriteria kelayakan tiap aspek dan keseluruhan No. 1) 2) 3) 4)
Aspek Rancangan pembelajaran Material pembelajaran Lingkungan belajar (SLP) Aktivitas belajar Model Connectivism
Persentase 77,23% 80,99% 74,33% 76,41% 77,30%
Kriteria Layak Layak Cukup layak Layak Layak
Berdasarkan perhitungan, diperoleh persentase dari proses uji coba lapangan terhadap model pembelajaran connectivism sebesar 77,30%. Keseluruhan butir pernyataan merupakan jenis pernyataan positif, sehingga tidak membingungkan subjek uji coba dalam mengukur sikap terhadap pernyataan tersebut. Skala yang digunakan adalah Likert, dengan rentang 1 sampai dengan 5, dimulai dengan sikap tidak setuju hingga sangat setuju. Indeks Kontribusi (CI) Ditegaskan kembali, aktivitas kolaboratif bersamaan dengan interaksi seperti membaca posting pebelajar yang lain memiliki nilai untuk pebelajar yang memposting dan menambah keinginan belajarnya, ini dikatakan sebagai kegiatan kooperatif yang bermakna (Graham et al, 2001, dalam Dixon, 2010:2). Karena itu nilai indeks kntribusi penting untuk diukur. Nilai indeks kontribusi akan berada diantara rentang -1 hingga +1. Jika peserta lebih banyak menerima pesan, maka kontribusinya akan mendekati arah -1. Sebaliknya, jika peserta lebih banyak mengirim pesan maka nilai indeks akan mendekati +1 (Gloor dalam Chung &
Tabel 12. Hasil penilaian ahli media terhadap SLP yang digunakan (Schoology) Kriteria
985 3240 7170
Berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan kepada 53 subjek uji coba, dapat dihasilkan data sebagai berikut:
Ujcoba Lapangan Uji coba lapangan atau kelompok besar difokuskan pada keandalan model dan kelayakannya pada tingkat populasi. Uji coba ini dilakukan pada sebanyak 77 mahasiswa, dan dibagi kedalam dua kelas (offering), A dan B. 77 mahasiswa ini merupakan mahasiswa angkatan 2014 Jurusan Teknologi Pendidikan UM, yang sedang mengontrak mata kuliah Pengembangan Media Foto (Fotografi). Para responden, dengan bimbingan pengembang, melaksanakan aktivitas model connectivism. Dan pada pekan selanjutnya, mereka diminta untuk mengisi angket yang berkaitan dengan kelayakan model yang digunakan pada aktivitas online. Data yang diterima, hanyalah berjumlah 53 subjek ujicoba.
No.
Lingkungan belajar (SLP) 1325 Aktivitas belajar (Connectivism) 4240 9275 Jumlah poin
% 77,23% 80,99%
7
∑S ∑R CI
Paredes, 2015:248). Pada pengembangan model connectivism ini, yang dicari adalah dialog interaktif yang tinggi, yaitu yang mendekati angka 0, atau berada pada rentang -0,5 hingga +0,5. Data indeks kontribusi dapat dipaparkan pada tabel berikut:
Kriteria Tabel 15. Kriteria indeks kontribusi Interval -0,4 s.d. -1
Keterangan cenderung lebih banyak menerima pesan atau komentar +0,4 s.d. +1 cenderung lebih banyak mengirim pesan atau komentar -0,3 s.d. +0,3 berhasil membangun dialog interaktif
Tabel 14. Indeks kontribusi tiap peserta dalam model connectivism Nama AHZI AF AR AS AMC AB AR BRA BO FDL IKP IS LM LAN LNH MRZ M MZA MFM MA MR MNDP NH NST NDH PAE RAPS RN RA RAP SA SNH SR SL SR TMN VECP WAP YN YA
∑S 0 0 3 1 2 6 1 1 1 12 2 2 6 0 0 2 3 1 4 1 2 1 6 0 11 7 2 0 1 0 0 17 2 4 0 1 2 2 5 0
∑R 0 0 0 0 0 2 0 0 0 12 0 0 5 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 4 1 1 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0
CI 1 1 1 0,5 1 1 1 0 1 1 0,09 1 1 1 1 0 1 1 1 0,46 0,75 0,33 1 0,36 1 1 1 1 1 1 1
Nama AAA AGS BD DNW DCK DPS DA FAF FZ HD HDS HAW IMW IJ LS MBAN MWS MZA MR MAM MZM MAW MITG NN NRM NI RS RIPA RSI RTL RY RF RN VSP WLY YA ZDMH
∑S 9 0 6 6 1 0 3 6 7 2 1 3 3 9 3 10 19 0 4 4 0 8 5 8 1 5 1 12 1 6 2 0 6 1 1 2 4
: jumlah pesan yang dikirim oleh individu : jumlah pesan yang diterima oleh individu : indeks kontribusi
∑R CI 2 0,63 0 0 1 1 0,71 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 9 -0,5 0 1 7 0,125 0 1 24 -0,41 7 0,46 0 0 1 0 1 0 2 0,6 1 0,7 2 0,6 0 1 9 -0,28 0 1 6 0,33 0 1 5 0,09 0 1 0 1 0,71 0 1 0 1 2 0 0 1
Dari data tabel di atas, dapat disajikan tabel frekuensi di bawah ini. Tabel 16. Tabel frekuensi Indeks Kontribusi Kelas Interval -0,4 s.d. -1 +0,4 s.d. +1 -0,3 s.d. +0,3 Tidak mengirim/ menerima pesan (-) n
Frekuensi 2 51 9 15 77
Model connectivism yang dikembangkan, atau dipraktekkan pertama kali, menampilkan data pada tabel di atas. Dengan data 2 subjek uji coba yang cenderung menerima pesan lebih banyak ketimbang mengirim pesan. 51 subjek uji coba lebih banyak mengirim pesan ketimbang frekuensi menerima pesan. 15 subjek coba yang tidak aktif dalam pembelajaran, dengan ketiadaan interaksi dan komunikasi. Dan 9 peserta yang diperkirakan berhasil membangun dialog interaktif dalam lingkungan, dan mengarahkan komunitas (lingkungan) menuju tujuan pembelajaran. Sembilan subjek uji coba yang dianggap berhasil membangun dialog interaktif dalam lingkungan diprediksi merupakan ketua masing-masing tim pada pameran, karena terdapat sembilan ketua tim. Kesembilan subjek uji coba ini memiliki tanggung jawab untuk memimpin tim untuk mengerjakan tugas dan
Keterangan
8
kewajibannya. Diharapkan model yang dikembangkan mampu menampilkan 70% dari subjek coba yang tergolong kedalam kriteria berhasil membangun dialog yang interaktif. Namun, pada pengembangan ini yang tergolong pada kriteria tersebut adalah: (9/77)*100% = 11,67%.
MNDP NH NST NDH PAE RAPS RN RA RAP SA SNH SR SL SR TMN VECP WAP YN YA
Content Richness Scores (CRs) Pada pengaturan social learning yang dilakukan dalam sebuah social learning platform, diperhitungkan pula kekuatan pesan yang muncul dalam interaksi yang dibangun oleh elemen-elemen sosial didalamnya. Dari model connectivism yang dikembangkan, dapat ditabulasikan jumlah kriteria pesan sebagai berikut:
n 133
Team Building Dissemination (1) (2)
x 0
n 1
x 1
n 17
Coordination (3)
x 34
n 98
x 294
x 84
270
Interval 0 0,1 s.d. 0,3 0,4 s.d. 0,6 0,7 s.d. 1
Tabel 18. Content Richness Score tiap peserta dalam model connectivism Nama AHZI AF AR AS AMC AB AR BRA BO FDL IKP IS LM LAN LNH MRZ M MZA MFM MA MR
∑S 0 0 3 1 2 6 1 1 1 12 2 2 6 0 0 2 3 1 4 1 2
∑mc 0 0 3 0 0 10 0 0 0 22 0 3 17 0 0 0 3 0 0 3 0
CRi 0,25 0 0 0,42 0 0 0 0,46 0 0,38 0,71 0 0,25 0 0 0,75 0
Nama AAA AGS BD DNW DCK DPS DA FAF FZ HD HDS HAW IMW IJ LS MBAN MWS MZA MR MAM MZM
∑S 9 0 6 6 1 0 3 6 7 2 1 3 3 9 3 10 19 0 4 4 0
∑mc 3 0 10 9 0 0 6 0 20 4 0 9 9 19 0 21 34 0 0 7 0
0 0,5 0,57 0,71 0,88 0 0,41 0,38 0,31 0 0 0,37 0,3 -
MAW MITG NN NRM NI RS RIPA RSI RTL RY RF RN VSP WLY YA ZDMH
8 5 8 1 5 1 12 1 6 2 0 6 1 1 2 4
12 6 8 0 10 2 21 0 12 3 0 5 0 0 7 6
0,375 0,3 0,25 0 0,5 0,5 0,44 0 0,5 0,38 0,21 0 0 0,88 0,38
Kriteria Tabel 19. Kriteria keaktifan peserta berdasar Content Richness
Collaboration (4)
n 21
0 12 0 25 20 7 0 0 0 0 28 3 5 0 0 0 3 6 0
Keterangan ∑S : jumlah pesan yang dikirim oleh individu ∑mc : akumulasi nilai tiap pesan CRi : nilai content richness
Tabel 17. Jenis pesan yang tampil dari keseluruhan peserta Empty (0)
1 6 0 11 7 2 0 1 0 0 17 2 4 0 1 2 2 5 0
CRi 0,08 0,42 0,38 0 0,5 0 0,71 0,5 0 0,75 0,75 0,53 0 0,52 0,48 0 0,43 -
Keterangan Tidak memiliki kontribusi Kontribusi rendah Kontribusi rerata (sedang) Kontribusi tinggi
Dari data tabel di atas, dapat disajikan tabel frekuensi di bawah ini. Tabel 20. Tabel frekuensi Indeks Kontribusi Kelas Interval 0 0,1 s.d. 0,3 0,4 s.d. 0,6 0,7 s.d. 1 Tidak mengirim/ menerima pesan (-) n
Frekuensi 23 8 23 8 15 77
Berdasarkan tingkat content richness, terdapat 15 subjek uji coba yang tidak memiliki interaksi sama sekali. 23 subjek uji coba tidak memiliki kontribusi,
9
Dipilihnya portal ini dikarenakan beberapa hal. Yang terutama adalah Schoology merupakan portal yang paling identik dengan integrasi antara learning management system dan enterprise social network. Artinya, dalam schoology, terdapat dua aktivitas secara bersamaan, pengelolaan pembelajaran dan social media. Hal yang pertama. Schoology menawarkan fasilitas layaknya sebuah LMS. Seperti pengelolaan materi pembelajaran, daftar hadir, forum dan diskusi, chating, unggah tugas, blogging, student analytics, kuis, dan grading. Fasilitas tersebut langsung diberikan kepada instruktur yang mendaftar pada platform schoology, dan dengan keinginan instruktur, fasilitas tersebut dapat diupgrade untuk lebih lengkap dan sempurna. Seperti dalam hal kurikulum dan pengelolaan pembelajaran, dapat ditambahkan dengan fasilitas pelacak aktivitas pembelajaran dan assesmen pembelajaran berbasis kurikulum. Fasilitas LMS yang sering digunakan dalam pembelajaran, utamanya ditingkat pendidikan tinggi adalah sebagai berikut: a. Waktu tes. Fasilitas ini dapat digunakan jika ingin memberikan durasi pengerjaan untuk setiap pertanyaan. Fasilitas ini menghalangi peserta belajar untuk menyontek atau mencari jawaban di internet, karena tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari jawaban. b. Pertanyaan acak. Setiap peserta dapat memiliki susunan pertanyaan yang berbeda, karena susunan pertanyaan diacak untuk setiap peserta. Jika pertanyaan dalam bentuk pilihan ganda, maka pilihan jawaban pun dapat diacak. c. Formula matematika. Fasilitas ini dapat digunakan jika kuis terdapat notasi matematika pada soal. d. Periodik tes. Tes dapat diberikan satu kali atau lebih kepada para peserta. Hal
walaupun telah menyampaikan pesan atau komentar. 8 subjek uji coba memiliki kontribusi rendah, 23 subjek uji coba memiliki kontribusi sedang. Dan terakhir, 8 orang memiliki kontribusi tinggi dalam mencapai atau menjalani proses pembelajaran (diskusi). Kriteria yang memiliki kontribusi dimulai dari kriteria ketiga atau pada rentang 0,4 s.d. 0,6 hingga 0,71 s.d. 1. Sehingga peserta yang memiliki kontribusi berjumlah 29 peserta uji coba. Dalam sebuah komunitas belajar, diharapkan 70% dari komunitas memiliki kontribusi, dimulai dari kontribusi yang sedang (rerata). Jika diubah dalam persentase, maka jumlah peserta yang berkontribusi positif adalah: (29/77)*100% = 37,66%. Fakta bahwa peserta uji coba yang memiliki kontribusi masih setengah dari jumlah yang diharapkan berkaitan dengan kualitas model yang dikembangkan. Variabel intervening dan moderator yang mungkin berdampak ikut memberikan pengaruh kepada retensi informasi yang berjalan pada pola komunikasi yang terjadi pada komunitas. Variabel intervening dan moderator yang mungkin menjadi penyebab kurangnya kontribusi dari peserta adalah karakteristik pribadi, seperti introvert atau ekstrovert. Bisa jadi hubungan sosialnya dilingkungan sebenarnya atau didalam kelas. Untuk melihat hubungan ini, bisa juga dilihat dengan memberikan instrumen sosiometri untuk para peserta. Sehingga hipotesis bahwa nilai kontribusi yang kurang memang berasal dari karakteristik peserta dilingkungan sebenarnya. KESIMPULAN DAN SARAN Profil Course dalam SLP Model connectivism yang dikembangkan diterapkan dalam sebuah social learning platform, yang dinamakan dengan schoology (http://schoology.com).
10
timely). Kurikulum pada mata kuliah Pengembangan Media Foto harus bersifat adaptif terhadap perkembangan teknologi pengambilan gambar yang sedang berkembang, khususnya pada teknologi kamera. Misal, kurikulum sebelumnya tidak menyertakan kamera digital mirrorless sebagai bahan perkuliahan, namun untuk kurikulum saat ini materi tersebut terintegrasi dengan bahasan jam praktikum. Kompetensi dasar dan indikator dari pokok bahasan terakhir, yaitu manajemen pameran, dapat dijabarkan dalam tabel berikut:
ini dapat mencegah peserta untuk mencari jawaban dari internet. Dengan mengizinkan mengambil tes hanya satu kali, peserta akan melakukan persiapan ekstra sebelum benar-benar mengambil tes. e. Tersedia beragam jenis pertanyaan. Seperti: benar/salah, pilihan ganda, melengkapi, menyusun kembali, mencocokkan, dan jawaban singkat. f. Manajemen kuis dan tugas. Schoology membantu instruktur untuk mengelola tugas atau kuis yang dapat dikerjakan tiap pekannya. Hal yang kedua, dilihat dari sisi enterprise social network. Schoology dirancang hampir menyerupai interface milik Facebook. Dimana navigasi dan layout sangat menyerupai desain social media terbesar di dunia tersebut. Dari sisi fasilitas social media, schoology memfasilitas kolaborasi diantara peserta dalam kelas, kelompok, bahkan sekolah. Schoology dapat diintegrasikan dengan laporan dan sistem informasi, dan sistem keamanan yang dibutuhkan oleh lebaga pendidikan.
Tabel 21. KD dan indikator yang dikembangkan menjadi model Kompetensi Dasar Membuat konsep dan display pameran foto
Indikator • Memahami manfaat dan tujuan penyelenggaraan pameran • Menganalisis komponen tahapan manajemen pameran • Menganalisis perlengkapan pameran • Melakukan kurasi foto • Membuat desain pameran foto
Pada hakikatnya, manajemen pameran merupakan substansi ilmu yang bersifat teoritis dan konseptual. Namun, pada versi kurikulum yang digunakan saat ini, materi manajemen pameran harus sampai pada pelaksanaan pameran seni secara nyata. Sehingga keterukuran keberhasilan penyampaian materinya bisa diukur secara objektif.
Karakteristik dan Analisa Model Connectivism Pada bagian ini akan dibahas hasil pengembangan berdasarkan aspek-aspek desain pembelajaran, lebih spesifik aspek yang identik dengan penerapan model pembelajaran. a. Rancangan pembelajaran 1) Keterpaduan antara tujuan dan kurikulum Tujuan pembelajaran dalam pengembangan ini diwujudkan dalam unit kompetensi dasar dan lebih spesifik lagi kedalam beberapa indkator. Penyusunan KD dan indikator disusun berdasarkan prinsip SMART (specific, measurable, attainable, relevance, dan
2) Aktivitas dan Penilaian Aktivitas pembelajaran pada modus pembelajaran online diwujudkan dalam sebuah perencanaan yang dinamakan dengan learning activity rubrics. Rubrik aktivitas belajar ini bisa dilihat pada lampiran. Model dikembangkan sesuai dengan prinsip connectivism, yang pada prinsipnya
11
poin materi dapat disajikan sebagai berikut: a) Proses kurasi, teknik pemilihan kelayakan foto yang siap dipamerkan. b) Elemen penyelenggara pameran. c) Tema unik dan kreatif pameran foto. d) Desain artistik penataan pameran. e) Manajemen pameran (prosedur pelaksanaan). Dari daftar materi tersebut, kemudian dibuat aktivitas online untuk menyampaikan materi-materi tersebut. Dan diskusi secara tatap muka untuk mendukung aktivitas yang terjadi di course.
membuat jaringan belajar sehingga tercipta personal learning network. Untuk aktivitas penilaian pada pengembangan ini, dilihat dari hasil karya foto, dan dievaluasi disaat proses kurasi. Pada proses kurasi, foto didiskusikan bersama, ditinjau dari beberapa aspek, seperti kualitas eksposur, kualitas teknik, kualitas elemen of art, dan kemenarikan tema. Selanjutnya kemudian akan dipilih fotofoto masing-masing subjek uji coba yang akan dipamerkan. Foto-foto sudah diambil sebelum materi manajemen pameran, sehingga yang dilakukan pada materi manajemen pameran terkait foto adalah proses kurasi.
2) Rancangan presentasi informasi Presentasi informasi yang digunakan dalam mendukung pengembangan model pembelajaran ini adalah dalam bentuk teks, gambar, video audio, dan aktivitas diskusi. Material disediakan dalam bagian materials dan dapat diakses kapan saja. Karena jenis materi bukanlah prosedural, namun lebih kepada hierarki. Maka, material apapun yang pertama kali digunakan dapat menjadi pemicu informasi untuk memulai proses pembelajaran. Hal ini dirancang untuk memfasilitasi kecenderungan cara belajar subjek uji coba, melalui membaca, melihat bagan dan gambar, atau menyaksikan video audio. Kumpulan gambar dan foto pada course bisa disajikan dalam bentuk album, dan dilihat secara keseluruhan, seperti gambar berikut:
b. Material pembelajaran 1) Kualitas isi Substansi dari materi ini didasarkan dari konten mata kuliah manajemen pameran yang digunakan oleh beberapa perguruan tinggi lainnya yang notabene memiliki mata kuliah spesifik untuk ini. Selanjutnya substansi juga didasarkan dengan jajak pendapat yang dilakukan kepada subjek uji coba atau peserta perkuliahan, untuk mengetahui informasi tentang apa yang ingin dipelajari peserta mata kuliah mengenai penyelenggaraan pameran. Isi dari bahan ajar ini dirancang didasarkan atas informasi kebutuhan para siswa yang diambil pada tahap diagnostik kebutuhan, sehingga membuat kualitas isi bahan ajar ini menjadi adaptif (De Bra, 2000; Fletcher, 1992 dalam Inan & Grant, 2008:585). Berdasarkan identifikasi karakter dari subjek uji coba, diperoleh data mengenai pengetahuan yang diharapkan dari bagian materi manajemen pameran. Berdasarkan data yang terkumpul, poin-
12
c. Lingkungan belajar Pada bagian ini, akan dibahas mengenai profil schoology dipandang dari segi penggunaan oleh user atau subjek uji coba. Subjek uji coba merupakan user baru dari platform yang digunakan, maka dari itu, uji coba ini sangatlah baik untuk melihat kemungkinan adaptasi platform schoology terhadap penerimaan oleh subjek uji coba. Sekali lagi, platform yang dipilih didasarkan pada social media yang paling banyak dan sering digunakan oleh para subjek uji coba, yaitu Facebook. 1) Aksesibilitas Subjek uji coba merupakan mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan UM semester tiga. Pada tingkat ini mahasiswa sudah mulai mempelajari sistem pembelajaran online secara formal maupun nonformal. Dari data yang dihimpun, kebanyak subjek uji coba mengakses internet di dua tempat, yaitu a) tempat tinggal pribadi dan b) kampus. Ini dapat diartikan bahwa subjek uji coba sudah memiliki fasilitas pendukung yang memungkinkan mereka untuk mengakses informasi secara mobile. Mayoritas dari subjek coba mengakses schoology melalui smartphone, sehingga versi android dari aplikasi schoology terlebih dulu dipasang di smartphone masing-masing. Aplikasi berjalan baik, walaupun dalam tampilan di smartphone, ada fasilitas pendukung dari schoology tidak bisa tampak. Namun, untuk interaksi antar subjek uji coba dan instruktur, proses berjalan lancar. Seperti diskusi ataupun upload tugas. Dari segi aksesibilitas, platform schoology bisa diasumsikan memiliki tingkat yang tinggi. Kecepatan akses
Gambar 1. Album dalam schoology Desain yang digunakan schoology dalam menampilkan album sama seperti yang dilakukan Facebook dalam menayangkan sebuah album (koleksi gambar). Selain sebagai sarana berbagi dengan khalayak, schoology memfasilitasi user untuk melakukan tagging dengan user lain yang diinginkan. Melalui fasilitas ini, user akan segera mengetahui bahwa ada karya baru yang ditampilkan dalam sebuah album.
Gambar 2. Album dalam schoology Modul perkuliahan disertakan dalam bentuk file .pdf. Modul dimaksudkan untuk tidak dicetak, supaya penyebaran modul mudah dan murah. Bebas untuk dibagikan ataupun diadaptasi konten didalamnya. Elemen multimedia dalam modul terbatas pada teks dan gambar, untuk elemen lainnya disertakan pada file independen, terpisah dari modul. Untuk pendukung disertakan pula file presentasi yang juga diunggah di course, dapat diunduh anggota course dan mudah disebarkan.
13
Aspek kemenarikan tidak terlalu memiliki nilai tinggi diprediksi bukan karena tampilan yang monoton, namun lebih kepada kemiripan yang tinggi antara schoology dengan Facebook. Sehingga dimungkinkan subjek uji coba mengalami kebosanan dengan tampilan yang ditayangkan, karena tidak memiliki perbedaan dengan Facebook. Hal yang berbeda muncul pada aspek kelengkapan fasilitas social media yang ditawarkan dalam platform. Aspek ini mendapatkan nilai yang tinggi, 79,24%, dan dalam kategori layak, tidak perlu direvisi. Fasilitas social media yang ditawarkan platform schoology hampir sama dengan yang ditawarkan Facebook. Sehingga diantara platform social learning lainnya, schoology menempati posisi yang pertama dalam hal kelengkapan fasilitas enterprise social network.
yang dialami oleh para subjek coba ketika mengakses platform tidak menimbulkan permasalahan atau keluhan, tergantung dari kekuatan koneksi yang dimiliki user ketika mengakses. Akses yang stabil pula dapat didapatkan di lingkungan kampus secara gratis. 2) Fleksibilitas penggunaan Instrumen angket yang diberikan kepada peserta menunjukkan aspek fleksibilitas yang dimiliki oleh platform schoology. Fleksibilitas disini dimaksudnya sebagai kenyamanan dan kemudahan dalam menggunakan schoology sebagai sebuah lingkungan belajar yang sesuai dengan subjek uji coba. Aspek fleksibilitas diukur dengan beberapa indikator yang lebih spesifik, yaitu: a) kemudahan (layout); b) kemenarikan tampilan (interace); dan c) fasilitas social learning. Pada aspek kemudahan, diantara ketiga indikator tersebut, memiliki nilai yang paling rendah, yaitu sekitar 69,81%. Tingkat ini menandakan bahwa platform dalam kriteria cukup layak, namun perlu direvisi. Untuk meningkatkan kemudahan penggunaan, akan lebih baik nantinya diberikan pengarahan khusus untuk menggunakan platform ini. Tingkat ini sama seperti dengan level kemenarikan (interface) yang didapat dari hasil angket. Tingkat aspek kemenarikan tampilan platform hanya lebih tinggi 3% dari tingkat kemudahan, dan masih jauh dibawah aspek fasilitas social media. Tingkat kemudahan dan kemenarikan sebuah platform diindikasikan saling berhubungan. Jika tingkat kemudahan memiliki tingkat rendah, maka dimungkinkan merupakan akibat dari kemenarikan tampilan sebuah platform.
d. Aktivitas belajar Pada bagian ini, akan dibahas secara teoritis dan temuan lapangan mengenai hasil pengembangan model pembelajaran connectivism yang dilakukan pada subjek uji coba. Pembahasan akan dilakukan pada tiap tahapan connectivism yang dikembangkan sebagai model. Proses belajar yang terjadi pada model connectivism memiliki karakteristik sebagai berikut (Moral, Cernea, dan Villalustre, 2013:106): a) Distribusi pengetahuan melalui jaringan (internet) b) Eksplorasi jejak pengetahuan c) Landasan berpikir dalam sumber yang diambil d) Kemudahan adaptasi gaya belajar dalam setiap jaringan e) Transfer pengetahuan terfasilitasi dalam jaringan
14
(sosial) (Greenhow and Robelia 2009a, 2009b; Madge et al. 2009; Selwyn 2009, dalam Cliff et. al, 2011). Intruksi dilakukan dengan mempresentasikan tampilan dan penggunaan schoology kepada para subjek uji coba. Ketertarikan subjek uji coba terhadap platform cenderung besar, karena ini kali pertama para subjek uji coba melaksanakan pembelajaran online. Pengarahan kepada subjek uji coba didukung dengan tampilan-tampilan slide sebagai berikut:
1) Awareness and receptivity (kesadaran dan penerimaan) Dalam konteks social learning network, akar dari motivasi belajar merupakan komunikasi dan pemeliharaan hubungan (Dwyer et.al, 2007). Pada pembelajaran model connectivism, yang dilakukan pertama kali bukanlah langsung pada poin utama kegiatan pembelajaran, namun yang dilakukan adalah mempersiapkan mereka dalam belajar. Persiapan yang dilakukan meliputi dua hal. Persiapan minat dan motivasi belajar, dan persiapan untuk menggunakan platform yang digunakan. Terdapat dua tujuan dari tahap kesadaran dan penerimaan, yaitu : a) memicu minat dan motivasi belajar melalui hubungan antara peserta belajar; dan b) menyiapkan mahasiswa untuk terbiasa dengan portal belajar, seperti tools, layout, dan activity. Hal yang dilakukan untuk membangun minat dan motivasi subjek uji coba adalah pertama kali dengan memberikan arahan mengenai perkuliahan online di schoology, ini dilakukan secara tatap muka.
Gambar 4. Perkenalan schoology pada pertemuan tatap muka Setelah pemaparan garis besar perkuliahan, subjek uji coba diperkenalkan proses registrasi dan enroll course di schoology. Tahapan ini dilakukan masih pada proses tatap muka. Walaupun begitu, beberapa subjek uji coba inisiatif segera melakukan registrasi di platform schoology melalui smartphone. Sehingga pada tahapan perkenalan, beberapa subjek uji coba sudah langsung terdaftar pada course yang dikembangkan.
Gambar 3. Perkenalan schoology pada pertemuan tatap muka Pengenalan platform selalu dilakukan melalui perbandingan dengan fasilitas dan interaksi yang ada pada Facebook. Disampaikan pula, bahwa beberapa penelitian menunjukkan penggunaan social network sites (seperti Facebook) digunakan untuk keperluan diskusi formal (akademik) dan informal
Gambar 5. Tahapan registrasi dan enroll course di schoology Selanjutnya,
15
proses
awal
dirangkum dalam poin-poin berikut. a) Mengidentifikasi konten yang diharapkan dipelajari oleh subjek uji coba b) Mengukur substansi (kedalaman) pokok bahasan yang akan dipersiapkan c) Mengidentifikasi kesiapan belajar para subjek uji coba d) Mengidentifikasi karakter subjek uji coba e) Memprediksi tindakan khusus untuk subjek uji coba yang memiliki kelemahan berinteraksi dalam pembelajaran f) Membantu mengidentifikasi langkah pembelajaran yang dapat digunakan
pembelajaran dimulai dengan para subjek uji coba mengisi dokumen bernama learning contracts. Learning contract ditujukan untuk memprediksi subjek uji coba mengenai segi kesiapannya dalam mengikuti model pembelajaran. Learning contract merupakan kesepakatan antara peserta belajar dan instruktur, dan kadang menyertakan orang tua (wali), yang dibuat untuk pengukuran kesungguhan peserta belajar dalam menjalani proses pembelajaran nantinya. Learning contract bertujuan untuk beberapa hal berikut: a) Identifikasi konten yang akan dipelajari b) Identifikasi metode dan strategi yang akan digunakan untuk mempelajari konten c) Identifikasi sumber belajar yang akan digunakan d) Identifikasi contoh-contoh konkrit dari sumber yang akan didemonstrasikan e) Identikasi bagaimana contoh-contoh akan dibuktikan oleh peserta belajar (www.wpi.edu)
Berdasarkan proses awal pembelajaran, learning contract memegang peran penting dalam mempersiapkan subjek uji coba. Oleh karena itu, learning contract dapat direkomendasikan sebagai awal yang baik untuk aktivitas pembelajaran online. 2) Stages of learning experience Aktivitas pengelompokkan (grouping) terjadi diawal proses pembelajaran, ini dilakukan agar subjek uji coba memiliki tanggung jawa dan rasa memiliki antara rekan satu kelompok. Forum diskusi bukan hanya dilakukan berdasarkan kelompokkelompok kecil, namun, dilakukan juga forum secara umum atau dalam lingkungan kelas. Kelompok kecil yang dimaksudkan untuk diskusi ini didasarkan pada standar penyelenggaraan pameran, sehingga terdapat enam tim (kelompok) untuk menyelenggarakan sebuah pameran yang baik dan terencana. Kelompok diskusi (tim) tersebut yaitu: a) tim acara; b) tim publikasi; c)
Form ini disajikan melalui Google Forms, sehingga mudah diakses, disajikan, dan dianalisis. Bagian inti dari learning contract yang dibuat mengidentifikasi perencanaan dari subjek uji coba dalam belajar. Dari form ini bisa dilihat bagaimana sikap subjek uji coba dalam melaksanakan pola pembelajaran kemudian. Berdasarkan perencanaan, learning contract berhasil menjadi prediktor untuk keperluan keberhasilan pembelajaran, khususnya untuk pembelajaran dengan modus online. Beberapa hal yang bisa diprediksi dan meningkatkan efektifitas pembelajaran
16
lainnya. Kegiatan ini, walaupun dilakukan tidak dalam konteks yang serius, namun memberikan dampak yang baik untuk meningkatkan self-esteem subjek uji coba. Hal ini bisa dipantau dari berbedanya karakter subjek uji coba ketika pertemuan tatap muka dan disaat pertemuan online. Misal, subjek uji coba yang biasanya di kelas tidak pernah bertanya atau menjawab, namun pada pertemuan online subjek uj coba tersebut berhasil meningkatkan kepercayaan dirinya untuk lebih berkontribusi dalam konteks kelas.
tim logistik; d) tim dokumentasi; e) tim desain artistik; dan f) tim kurasi. Pada tiap tim dipaparkan permasalah yang harus diselesaikan oleh semua anggota kelompok pada tim tersebut. Permasalahan yang diberikan pada tiap kelompok haruslah memiliki relevansi kepada kelompok lainnya, tidak bisa parsial. Walaupun tidak memiliki relevansi, namun individu pada kelompok lain diwajibkan untuk mengetahui apa yang terjadi pada kelompok lain. Hal ini dimaksudkan agar antar subjek uji coba terjalin satu koneksi hubungan membagi informasi, disinilah peran model connectivism. Memperluas jaringan belajar individu untuk mengembangkan personal learning network miliknya sendiri. Kegiatan diskusi bisa interaktif manakala terdapat seorang admin atau pemimpin diskusi. Kekurangan yang terjadi adalah pada bagian forum kelompok besar, tidak terdapatnya admin kelas, sehingga instruktur yang harus memegang peran ini sekaligus. Namun, dimasing-masing tim, admin kelompok memegang peranan penting dalam kelancaran penyelesaian masalah yang ada di tim masing-masing. Untuk meningkatkan kebermaknaan tiap idividu, subjek uji coba diinstruksikan untuk aktif dalam berinteraksi di timnya masing-masing. Walaupun bukan komunikasi secara bermakna, tiap subjek uji coba berusaha untuk menghadirkan dirinya dalam interaksi yang terjadi didalam tim. Misal dengan membalas pesan-pesan dengan cara bercanda ataupun sekedar pesan kosong. Untuk meningkatkan interaksi pula, subjek uji coba diperintahkan untuk tidak ragu-ragu dalam replying, mentioning, atau tagging subjek uji coba
3) Contribution and involvement Interaksi yang terjadi pada course bisa menjadi prediktor keberhasil pelaksanaan pembelajaran connectivism. Sisi kooperatif dan kolaboratif dalam model ini merupakan hal penting dalam belajar didalam sebuah jaringan yang amat luas, dimana jaringan merupakan sebuah lingkungan belajar yang terdapat dalam lingkungan yang sebenarnya. Satu dampak yang paling sering muncul dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi adalah kreasi dari sebuah “pemikiran kelompok” dimana setiap komponen dalam kelompok secara kolaboratif terlibat dalam proses generalisasi gagasan, menggunakan manfaat dari pengetahuan yang didapat dari proses inkuiri di internet (Weick dalam Cliff et. al, 2011). Dalam pembelajaran online, hal ini merupakan tujuan utama yang harus ditingkatkan. Connectivism memberikan peluang yang cukup besar untuk membantu subjek uji coba untuk meningkatkan kemampuannya dalam belajar mandiri secara kolaboratif atau disebut sebagai self-directed learning. Terdapat dua tujuan utama dalam
17
dengan baik, otomatis keterikatan antara anggota dalam tim dengan sendirinya akan meningkat. Terutama jika penilaian dilakukan berdasarkan kerjasama dan performa kelompok, sehingga setiap individu memiliki peran penting dalam gradding kelompoknya masing-masing. Connectivism walaupun dalam prinsipnya berangkat dari prinsip ketidakaturan, namun perlu adanya suatu proses tambahan dimana peserta belajar tetap berhubungan dengan aktivitas yang ada pada portal. Connectivism menjadikan lingkungan belajar sebagai bagian untuk berbagi informasi dan berkolaborasi, bukan sebagai sumber belajar, namun lebih kepada tempat dimana menyatukan ragam informasi menjadi sebuah kesatuan.
tahapan ini, yaitu membangun persepsi positif didalam kelompok dengan meningkatkan intensitas diskusi internal kelompok, dan meningkatkan solidaritas antar anggota kelompok. Hasil dari tahapan ini sangat menentukan keberhasilan subjek uji coba dalam membangun pengetahuan dan membangun aspek sosial dengan lingkungan. Semakin banyak subjek uji coba berinteraksi, seperti comment, post, tag, atau share, semakin banyak informasi yang didapat dan semakin luas sumber belajar yang dimilikinya. Untuk membangun intensitas diskusi, setiap subjek uji coba memberikan referensi tentang hal yang harus diselesaikannya. Tidak semua subjek uji coba mencoba untuk menyumbang referensi materi, hal ini diprediksi merupakan pengaruh dari kurangnya inisiatif subjek uji coba dalam melakukan eksplorasi mengenai materi. Sedikit dari populasi yang memang menjadi pengarah diskusi atau penyumbang informasi yang bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan yang disajikan untuk tiap tim. Usaha yang dilakukan untuk memaksimalkan interaksi salah satunya adalah dengan memberikan jadwal pertemuan online secara real-time. Dengan ini, instruktur bisa memantau secara langsung proses pembelajaran tiap peserta melalui fasilitas analisa yang disediakan oleh schoology. Dalam model connectivism, sangat perlu jika sebuah social learning platform memiliki fasilitas untuk mengetahui kegiatan seorang peserta belajar dalam kurun waktu tertentu, misal satu pekan. Dalam kurun waktu tersebut, harus terdapat aktivitas yang terjadwal dengan baik, misal kuis, polling, atau diskusi. Dengan aktivitas yang terjadwal
4) Reflection and metacognition Tahap ahir dari model connectivism merupakan kegiatan reflection dan metacognition. Inti dari kedua kegiatan ini sama dengan kegiatan konfirmasi dan evaluasi pada pembelajaran konvensional. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui keandalan model yang dikembangkan, bagaimana pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Bentuk dari kegiatan reflection dan metacognition harus disesuaikan dengan jenis tujuan pembelajaran yang diharapkan, sama halnya dengan prinsip evaluasi. Berdasarkan tujuan pembelajaran, maka bentuk refleksi dan metakognisi pada pengembangan ini adalah melalui diseminasi hasil diskusi tiap tim dalam pameran kepada keseluruhan anggota belajar lainnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya proses konfirmasi antara peserta belajar terlebih dulu, sebelum pada akhirnya akan dievaluasi bersama dengan instruktur (misal: dosen). Proses
18
ini, pada pengembangan, ternyata tidak mampu dilaksanakan sepenuhnya pada modus online, sehingga harus dilengkapi pula dengan pertemuan tatap muka. Hasil akhir dari proses ini mengukur persiapan pameran foto yang akan dilaksanakan. Dari hasil refleksi dan metakognisi yang dilakukan, model sudah berhasil menciptakan konsep pameran yang matang dan siap dikerjakan oleh peserta pengembangan. Hasil ini terlihat sekali melalui kualitas pameran yang diselenggarakan oleh peserta perkuliahan. Tujuan pembelajaran yang diujicobakan dalam pengembangan ini mengarahkan model sebagai protipe model pembelajaran berbasis proyek. Sehingga evaluasi pun didasarkan pada proyek yang diselenggarakan.
Privacy Concern Within Social Networking Sites: A Comparison of Facebook and MySpace. Dalam AMCIS (Americas Conference on Information Systems) 2007 proceedings. Paper 339. Cliff Lampe, et. al. (2011). Student use of Facebook for organizing collaborative classroom activities. Dalam Computer-Supported Collaborative Learning (2011) 6:329– 347. USA: Springer. wpi.edu. Learning contract. https://www.wpi.edu/Academics/AT C/Collaboratory/Idea/contractbenefits .html. Diakses 14 Desember 2015. Inan, Fethi, & M.Grant. (2008). Individualized Web-Based Instructional Design. Dalam Terry T. Kidd & Holim Song (Eds.), Handbook of Research on Instructional Systems and Technology Vol.II (hlm 582-595). New York: Information Science Reference. Dixon, Marcia D. 2010. Creating Effective Student Engagement in Online Courses. Dalam Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 10, No. 2, June 2010, pp. 1 – 13. (Online). URL josotl.indiana.edu/article/download/1 744/1742. (diakses pada 10 Mei 2015).
DAFTAR PUSTAKA Kop, Rita & Adrian Hill. (2008). Connectivism: Learning Theory of The Future or Vestige of The Past. Branch, Robert M. 2009. Instructional Design: The ADDIE Approach. New York: Springer. Chung, K. S. K., & Paredes, W. C. (2015). Towards a Social Networks Model for Online Learning & Performance. Dalam Journal of Educational Technology & Society, 18 (3), 240– 253. Moral, M.Esther Del, dkk. 2013. Connectivist Learning Objects and Learning Style. Dalam Interdisciplinary Journal of Elearning and Learning Objects, Vol.9, 2013. (Online). URL http://www.ijello.org/Volume9/IJELL Ov9p105-124Moral0830.pdf. (diakses pada 11 Mei 2015) Dwyer, Catherine; et.al. (2007). Trust and
19