PENGEMBANGAN MI GLOSOR INSTAN DARI TEPUNG SAGU AREN DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG LABU KUNING SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
AGUS SETYABUDI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRACT AGUS SETYABUDI. Development of instant noodle “Mi Glosor” from Sagoo Flour Substituted by Pumpkin Flour as Alternative for Food Diversification. Supervised by AHMAD SULAEMAN. “Mi Glosor” is quite attractive to community in the area of Cianjur, Sukabumi and Bogor. Mi Glosor is a kind of noodle made from sagoo flour and therefore it is high in carbohydrates but very low in protein, fat and other nutrients contents. Mi Glosor is usually sold in wet conditions which make its shelf life very limited. Pumpkin is a potential food resources with high production capacity in Indonesia. It’s use in the manufacturing of mi glosor may function as a natural coloring and may increase nutritional content, especially beta-carotene. The purpose of this study was to develop instant noodle “mi glosor” using pumpkin flour as coloring agent and beta-caroten source. Pumpkin flour was used to substitute basic ingredients in the manufacturing of instant noodle “mi glosor”. Substitution levels were applied from 0% to 40%. To increase it’s protein content in order to meet the instant noodle standard, 5% of soy protein isolates was added to each formula. Substitution of pumpkin flour significantly (p<0.01) affected ash, protein, fat and beta caroten content, but there was no effect on water and carbohydrate content of the product. Physical analysis showed that substitution of pumpkin flour tended to cause the value of Luminant and Hue of the product declined. Substitution of pumpkin flour also shortened the cooking time of the product. The result of sensory analysis showed that the formula with 30% substitution of pumpkin flour was the most acceptable product. This formula had medium yellownes color, caramel and pumpkin flavour and medium elasticity. This formula also contained 408 µg/100mg betacaroten, 4,84 % water, 3,27 % ash, 3,71 % protein, 0,11 % lipid and 88,05 % charbohydrat. Keywords: mi glosor, sagoo flour, pumpkin flour, substitution, betacaroten
RINGKASAN AGUS SETYABUDI. Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk Diversifikasi Pangan. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN. Mi glosor merupakan salah satu makanan tradisional masyarakat Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2007). Selain dari segi gizi yang kurang, mi glosor juga memiliki kelemahan dalam hal usia simpan. Mi glosor diperjualbelikan sebagai mi basah. Kandungan air yang tinggi pada produk ini menjadikan mi ini cepat rusak dan tidak tahan lama. Penggunaan labu kuning dalam pembuatan makanan dapat menambah wana makanan menjadi menarik. Tepung labu kuning masih jarang di Indonesia, tetapi di Amerika labu sudah dimanfaatkan menjadi tepung. Penggunaan tepung labu kuning sebagai bahan pensubstitusi dalam pembuatan mi glosor diharapkan mampu sedikit mengurangi kelemahan gizi dari mi glosor. Selain itu untuk meningkatkan daya simpan, mi glosor dibuat dalam bentuk mi instan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan pembuatan mi glosor instan yang menggunakan pewarna alami dan memiliki kandungan beta karoten yang berasal dari tepung labu kuning sebagai alternatif diversifikasi pangan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap kandungan gizi, karakteristik fisik dan organoleptik dari produk yang dihasilkan. Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung labu kuning, kemudian dilanjutkan dengan formulasi dan pembuatan produk. Formulasi produk didasarkan pada tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren sebagai bahan utama pembuatan mi glosor. Tingkat substitusi tepung labu kuning sebesar 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Isolat Protein kedelai sebanyak 5% dari tepung yang digunakan ditambahkan pada formulasi untuk memenuhi standar kadar protein mi instan menurut SNI, yaitu sebesar 4%. Uji organoleptik melibatkan 30 orang panelis. Selain itu, dilakukan analisis karakteristik kimia yang terdiri dari analisis proksimat dan analisis kandungan beta karoten. Analisis lain yang juga dilakukan adalah analisis karakteristik fisik yang meliputi elongasi, warna, waktu masak optimum dan daya serap air. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap sagu aren. Keseluruhan data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010S dan PSS 16.0 for Windows. Labu kuning dengan umur 2-2,5 bulan dikupas dan dipisahkan antara daging buah dan bijinya. Daging buah labu kuning yang telah dipotong-potong kemudian disawut. Tahapan selanjutnya adalah perendaman irisan daging buah labu kuning ke dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5) dengan konsentrasi 0,25% selama 20 menit. Irisan labu kuning kemudian dikeringkan dengan cabinet driyer pada suhu 60 - 700C selama ± 8 jam. Labu kuning setelah kering kemudian dihaluskan dengan disc mill. Hasil proses penggilingan kemudian diayak untuk mendapatkan tepung labu kuning dengan ukuran 100 mesh. Rendemen tepung labu kuning yang diperoleh sebesar 4,9%. Kandungan beta karoten pada tepung labu kuning sebesar 1690 µg/100g. Tepung labu kuning yang dihasilkan memiliki kandungan air 11,94%, abu 7,15%, protein 4,25%, lemak 1,15% dan karbohidrat 75,51%.
Pembuatan produk terdiri dari tiga tahapan yaitu: pembuatan binder, pembuatan adonan, dan pencetakan mi. Binder dibuat dengan menggelatinkan 40 gram tepung sagu aren dan air dengan perbandingan 1:2 b/b. Binder dikatakan siap apabila suspensi telah mengental dan berwarna transparan. Tepung sagu aren kering dicampur dengan tepung labu kuning dengan jumlah sesuai formula, guar gum sebanyak 1 % dari total tepung, 0,2 g soda abu, 10 gram isolate protein kedelai dan garam. Semua bahan dicampur dengan metode dry mixing hingga dirasa homogen. Binder dimasukkan ke dalam bahan kering kemudian diuleni secara manual hingga adonan tercampur rata. Adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder untuk dicetak. Pencetakan dilakukan dua kali agar terbentuk untaian mi yang lebih kompak dan homogen. Mi kemudian dikukus tiga kali masing-masing selama 1 menit. Mi kemudian di keringkan dengan cabinet driyer pada suhu 60-700C hingga mi terlepas dari loyang. Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air mi semakin menurun. Uji secara statistik menunjukkan bahwa hingga substitusi sebesar 40% tidak memberikan kontribusi secara nyata terhadap perbedaan kadar air pada mi glosor instan (p>0,05). Seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, kadar abu pada mi glosor instan cenderung meningkat. Uji secara statistik menunjukkan bahwa substitus berpengaruh sangat nyata terhadap perbedaan kadar abu mi glosor instan (p<0,01). Labu kuning memiliki kandungan mineral yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tepung sagu aren. Residu natrium metabisulfit merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar pada saat pengabuan sehingga terhitung sebagai kadar abu dari pangan. Peningkatan persentase substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan kadar protein mi glosor instan. Semakin meningkatnya persentase substitusi tepung labu kuning, kadar protein mi glosor instan yang dihasilkan semakin tinggi. Kandungan lemak pada mi glosor instan meningkat seiring dengan meningkatnya persentase substitusi tepung labu kuning. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa peningkatan persentase subtitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat signifikan (p<0,01) terhadap perbedaan kandungan lemak pada mi glosor instan yang dihasilkan. Kandungan karbohidrat pada mi glosor instan ditentukan dengan menggunakan metode by difference. Berdasarkan hasil analisis, semakin tinggi persentase tepung labu kuning, kandungan karbohidrat pada mi glosor semakin sedikit. Namun hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat substitusi tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan kandungan karbohidrat mi glosor instan (p>0,05). Analisis betakaroten dikenakan terhadap tiga formula dengan tingkat substitusi terbesar. Seiring dengan meningkatnya tingkat substitusi tepung labu kuning, kandungan betakaroten memiliki kecenderungan yang semakin meningkat pula. Hasil ini didukung oleh sidik ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan substitusi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan kandungan betakaroten dari tiga formula tersebut. Sidik ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung labu kuning memberikan perbedaan yang sangat nyata pada nilai L produk (P<0,01). Pada substitusi tepung labu kuning 10%, nilai meningkat dibandingkan F0. Namun seiring dengan meningkatnya substitusi nilai L cenderung terus turun. Substitusi tepung labu kuning sebesar 10% menyebabkan nilai Hueo meningkat. Namun seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, nilai Hueo produk cenderung menurun. Berdasarkan sidik ragam, perlakuan perbedaan tingkat substitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap perbedaan nilai elongasi produk. Semakin tinggi persentase substitusi tepung labu kuning, waktu masak optimum dari produk semakin pendek. Sidik ragam
menunjukkan bahwa perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan daya serap air. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, daya serap air F0 berbeda dengan daya serap air dari formula tersubstitusi tepung labu kuning. Berdasarkan hasil uji organoleptik, diketahui bahwa F3 (30%) merupakan produk dengan persen penerimaan terbesar menurut panelis. F3 memiliki karakteristik warna kuning biasa, dengan aroma karamel dan labu sedang, rasa pahit, asin dan manis yang lemah dan elastisitas sedang. Produk ini mengandung 408 µg/100mg beta karoten. Sementara itu kandungan gizi lainnya dari produk ini adalah air 4,84%, abu 3,27%, protein 3,71%, lemak 0,11% dan karbohidrat sebesar 88,05%.
PENGEMBANGAN MI GLOSOR INSTAN DARI TEPUNG SAGU AREN DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG LABU KUNING SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
Oleh: Agus Setyabudi I14080081
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
HALAMAN PENGESAHAN Judul
: Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan Substitusi Tepung
Labu Kuning
sebagai Alternatif
Diversifikasi Pangan Nama
: Agus Setyabudi
NIM
: I14080081
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD NIP. 19620331 199811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
untuk
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan kemudahan sehingga skripsi yang berjudul “Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk Diversifikasi pangan” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW juga atas keluarga, sahabat dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman kelak. Keberhasilan penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah
banyak
membantu
dan
membimbing
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi. 2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS selaku dosen penguji skripsi atas berbagai kritik dan saran yang sangat membangun untuk memperbaiki penulisan skripsi ini. 3. Hanto Suwito dan Saminem selaku orang tua yang tak pernah lelah mendidik dan memberi semangat dengan cinta dan kasih sayang yang tiada tara. 4. Teman-teman anggota kelompok PKMP Saepul Rahman, Dessi Amelia dan Ade Cucu Wahyudin atas semangat dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian. 5. Teknisi laboratorium departemen gizi masyarakat (Pak Mas, Bu Nina, Bu TIti, Bu Risqy) yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian. 6. Sahabat-sahabat saya J’Co (Jawa Comunity) di Departemen Gizi Masyarakat yang senantiasa bisa menjadi tempat berbagi. 7. Teman-teman satu jurusan yang selalu memberikan semangat dan dukungan. 8. Kakak kelas dan adik kelas yang banyak membantu pelaksanaan skripsi ini saya ucapkan terima kasih. Kritik dan saran sangat diharapkan penulis agar dapat memperbaiki dan menambah wawasan penulis. Bogor, Februari 2013
Agus Setyabudi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukoharjo, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1990. Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Hanto Suwito dan Saminem. Pendidikan penulis diawali dengan taman kanak-kanak di TK Dharma Wanita Pundungrejo. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SDN 1 Pundungrejo dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan oleh penulis di SLTPN 1 Tawangsari. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah tingkat atas di SMAN Tawangsari, Sukoharjo, Jawa Tengah. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 dengan jurusan Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat melalui jalur USMI. Selama melaksanakan pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam keanggotaan Ecogrifarma selama dua masa kepengurusan yaitu tahun 2010 dan 2011. Penulis juga pernah ikut serta dalam kepanitian MPF (Masa Perkenalan Fakultas) dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) pada tahun 2009, panitia Seminar Gizi 45 “Senzational 2” tahun 2011 dan kepanitian Seminar Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012. Selain itu penulis melaksanakan KKP (Kuliah Kerja Profesi) di Desa Limbangan, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan pada tahun 2011 serta Internship bidang Dietetika di RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor. Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat dengan melakukan penelitian yang berjudul “Pengembangan Mi Glosor Instan dengan Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk Diversifikasi Pangan” yang merupakan Program Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian (PKMP) yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2012.
x
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA .......................................................................................................... viii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar belakang ................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................. 3 Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 4 TINJAUAN PUSTAKA Mi Glosor.......................................................................................................... 5 Sagu Aren ........................................................................................................ 6 Tepung Labu Kuning ........................................................................................ 7 Beta Karoten .................................................................................................... 8 Mi instan........................................................................................................... 9 Pembuatan Mi Instan ..................................................................................... 11 Isolat Protein Kedelai ..................................................................................... 13 METODE Waktu dan Tempat ......................................................................................... 15 Bahan dan Alat............................................................................................... 15 Metode ........................................................................................................... 15 Rancangan Percobaan................................................................................... 20 Pengolahan dan Analisis data ........................................................................ 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Labu Kuning ................................................................... 22 RendemenTepung Labu Kuning ..................................................................... 24 Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning ............................................................ 24 Pembuatan Mi ................................................................................................ 28 Kandungan Zat Gizi Mi ................................................................................... 32 Karakteristik Fisik Mi ...................................................................................... 35 Karakteristik Organoleptik Mi.......................................................................... 42 Hubungan Karakteristik Produk dengan Tingkat Kesukaan Produk ................ 55 Formula Terbaik ............................................................................................. 55 Kontribusi terhadap Angka Kecukupan Gizi ................................................... 55 Analisis Biaya Pembuatan Mi ......................................................................... 56 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .................................................................................................... 58 Saran ............................................................................................................. 59 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 60 LAMPIRAN ........................................................................................................ 64
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kandungan energi dan zat gizi mi glosor (per 100 g) ........................................ 6 2 Komposisi dan kandungan gizi sagu aren (per 100 g)....................................... 7 3 Kandungan gizi tepung labu kuning .................................................................. 8 4 Syarat Mutu mi instan ..................................................................................... 10 5 Formulasi produk ............................................................................................ 17 6 Kandungan zat gizi tepung labu kuning .......................................................... 24 7 Kandungan zat gizi mi..................................................................................... 33 8 Hasil analisis warna produk ............................................................................ 36 9 Nilai elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air mi .......................... 39 10 Nilai elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air mi ........................ 39 11 Hasil uji hedonik produk ................................................................................ 49 12 Kontribusi terhadap AKG .............................................................................. 56 13 Analisis biaya pembuatan dan harga jual mi ................................................. 56
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram proses pengolahan pati sagu menjadi mi glosor ................................. 5 2 Struktur kimia beta karoten ............................................................................... 9 3 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning ................................................... 16 6 Diagram alir pembuatan binder adonan .......................................................... 18 5 Diagram Alir pembuatan adonan mi ................................................................ 18 6 Diagram alir pencetakan mi glosor instan ....................................................... 19 7 Labu kuning .................................................................................................... 22 8 Tepung labu kuning ........................................................................................ 24 9 Binder adonan ................................................................................................ 29 10 Multifunctional noodle machine ..................................................................... 31 11 Proses ekstruksi ........................................................................................... 31 12 Mi glosor instan............................................................................................. 32 13 Nilai rata-rata mutu hedonik produk .............................................................. 48 14 Persentase panelis yang menerima warna mi ............................................... 50 15 Persentase panelis yang menerima aroma mi .............................................. 51 16 Persen penerimaan panelis terhadap tekstur mi ........................................... 52 17 Persentase penerimaan panelis terhadap rasa produk ................................. 53 18 Persentase penerimaan panelis terhadap mi secara keseluruhan ................ 54
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lembar uji organoleptik mutu inderawi produk ................................................ 65 2 Lembar uji hedonik mutu inderawi produk ....................................................... 66 3 Uji statistik mutu inderawi ............................................................................... 67 4 Uji statistik data hedonik ................................................................................. 70 5 Hasil analisis proksimat produk ....................................................................... 73 6 Uji statistik analisis proksimat produk .............................................................. 78 7 Hasil analisis betakaroten ............................................................................... 80 8 Uji statistik analisis beta karoten ..................................................................... 80 9 Nilai warna produk .......................................................................................... 81 10 Uji Statistik warna produk ............................................................................. 82 11 Hasil uji elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air produk ............ 85 12 Uji Statistik elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air produk ....... 86 13 Prosedur analisis fisikokimia produk ............................................................. 87
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Melimpahnya sumber daya pangan yang ada di Indonesia merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang sepatutnya kita syukuri. Keadaan ini memungkinkan terjadinya diversifisikasi atau variasi pangan dari satu daerah dengan daerah yang lainnya. Ketika belajar di bangku Sekolah Dasar, kita mendapatkan pengetahuan bahwa berbagai daerah di Indonesia memiliki makanan pokok yang berbeda dari daerah lainnya. Sebagai contoh adalah masyarakat Gunung Kidul, Jogjakarta yang memiliki makanan pokok thiwul yang berasal dari gaplek (singkong kering), masyarakat Madura yang terkenal dengan makanan pokok jagung, dan masyarakat Maluku serta Papua yang biasa mengkonsumsi sagu. Revolusi hijau yang mulai dilaksanakan pada masa pemerintahan Orde Baru menyebabkan perubahan pola komsumsi masyarakat. Revolusi hijau mengutamakan penanaman tanaman pangan serealia. Jenis serealia yang diutamakan ditanam di Indonesia dalam program revolusi hijau adalah padi. Pergeseran kebiasaan konsumsi masyarakat tidak terhindarkan. Masyarakat lebih cenderung menyukai mengkonsumsi nasi dari pada pangan lokal yang sebelumnya biasa mereka konsumsi. Keadaan ini jelas berdampak besar terhadap ketahanan pangan dan diversifikasi pangan. Salah satu produk serealia selain padi yang juga banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah gandum. Gandum biasanya digiling menjadi tepung terigu yang merupakan bahan baku produk seperti roti, kue, mi dan lainlain. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa pada tahun 2011 diperkirakan sebanyak 5 juta ton gandum diimpor dari luar negeri. Nilai tersebut terus bertambah pada tahun 2012. Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia. United State Departement of Agriculture (USDA) pada tahun 2012, memperkirakan bahwa impor gandum indonesia pada tahun 2012 meningkat sebanyak 12% menjadi 7,4 juta ton. Produk hilir industri terigu yang sangat diminati oleh masyarakat adalah mi. Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat mulai mencari pensubstitusi nasi dengan mi yang berbahan baku terigu. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa harga beras premium lebih mahal dari pada harga terigu (Kemendag RI 2011). Mi instan menjadi produk mi yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Unsur
2
praktis dan ekonomis menjadi alasan masyarakat dalam memilih produk ini untuk menjadi pilihan menu makanan. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap orang Indonesia mengkonsumsi mi 73 bungkus/ tahun dan terus meningkat sebesar 6%. Ini menjadikan Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pengkonsumsi mi di dunia (BPPT 2011). Kondisi tersebut di atas tidak dapat dibiarkan terus menerus karena akan berdampak kurang baik. Pemerintah harus mengimpor terigu dari luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Trend peningkatan konsumsi terigu dari tahun ke tahun menyebabkan peningkatan jumlah terigu yang harus diimpor. Oleh karena itu, pemberdayaan sumber daya lokal sebagai tepung alternatif sangat mutlak diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu. Sagu aren merupakan sumber daya lokal yang bisa menjadi alternatif substitusi tepung terigu sebagai bahan baku dalam pembuatan mi. Salah satu produk lanjutan dari sagu aren adalah mi glosor atau mi berbasis pati sagu aren, yang merupakan makanan tradisional. Jenis mi seperti ini lebih banyak dikonsumsi oleh penduduk di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur (Djoefrie 1999). Mi glosor termasuk ke dalam mi basah. Mi glosor dikenal juga dengan sebutan mi gleser, mi aci, mi leor, atau mi sruput. Mi glosor diperjualbelikan dalam bentuk mi basah, sehingga terkendala dalam usia simpan produk. Pembuatan mi glosor dalam bentuk instan merupakan salah satu cara dalam mengatasi masalah masa simpan produk ini. Kandungan air yang sedikit di dalam mi instan menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan daya simpannya dibandingkan dengan mi basah. Selain itu, kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000).
Oleh
karena itu diperlukan adanya tindakan untuk meningkatkan nilai kandungan gizi dalam produk mi glosor. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengkombinasikan bahan dasar pembuatan mi glosor dengan bahan lain untuk menambah nilai kandungan gizi. Salah satu bahan pangan yang memiliki potensi untuk meningkatkan kandungan gizi pada produk mi glosor adalah labu kuning (Cucurbita moschata Durch). Labu kuning merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan gizi yang sangat potensial terutama provitamin A. Labu kuning mengandung 1596 µg beta karoten per 100 gramnya (Persagi 2009). Selain itu, harga labu kuning relatif murah dan produksinya melimpah di Indonesia.
3
Produksi Labu kuning di Indonesia sebesar 107.000 ton/tahun pada tahun 2003 dan sebesar 114.000 ton/tahun pada tahun 2004 (http://www.hortikultura.go.id). Labu kuning di negara-negara maju telah diolah dalam skala industri seperti produk-produk jam, jelly, kue, produk kalengan serta bahan pengisi untuk produk-produk tersebut. Di Indonesia, buah Labu kuning masih dikonsumsi dengan cara diolah menjadi kolak, manisan dan dodol (Atika 2003). Tepung labu kuning dapat dimanfaatkan untuk bahan campuran pada pembuatan berbagai aneka makanan, seperti Lee et al. (2002) yang menggunakan tepung labu kuning untuk ditambahkan dalam pembuatan mi instan yang digoreng (instant fried noodles). Semakin bertambahnya tingkat penambahan tepung labu kuning, kandungan beta karoten dari mi semakin meningkat. Mi dengan 5,0% tepung labu kuning memiliki penampilan, rasa, tekstur dan penerimaan yang paling baik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) penambahan tepung labu kuning pada mi berbahan dasar tepung ubi kayu mampu meningkatkan kadar zat gizi selain karbohidrat seperti kandungan abu, protein dan lemak. Tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi mi glosor terutama di kota Bogor menjadi salah satu potensi. Selama ini mi glosor diperjual belikan dalam keadaan basah, sehingga tidak akan bertahan lama untuk penyimpanan. Menjadikan mi glosor menjadi mi instan adalah suatu terobosan yang kreatif. Namun untuk membuat mi glosor instan terutama yang memiliki nilai gizi lebih (mengandung provitamin A) membutuhkan penelitian yang lebih dalam. Oleh karena itu perlu diadakan studi laboratorium mengenai potensi pembuatan mi glosor instan dengan substitusi tepung labu kuning. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan mi glosor instan yang menggunakan pewarna alami dan memiliki kandungan beta karoten yang berasal dari tepung labu kuning sebagai pangan alternatif. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1.
Mempelajari cara pembuatan tepung labu kuning.
2.
Menentukan formula substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren dalam pembuatan mi glosor instan.
3.
Mempelajari cara pembuatan mi glosor instan.
4
4.
Mempelajari
pengaruh
substitusi
tepung
labu
kuning
terhadap
kuning
terhadap
kandungan zat gizi dan beta karoten mi glosor instan. 5.
Mempelajari
pengaruh
substitusi
tepung
labu
karakteristik fisik (warna, elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air) mi glosor instan. 6.
Mempelajari
pengaruh
substitusi
tepung
labu
kuning
terhadap
karakteristik organoleptik mi glosor instan. Kegunaan Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
kepada
masyarakat mengenai adanya pangan alternatif non terigu yang sudah cukup familiar di masyarakat, tetapi sudah mengalami modifikasi berupa penggunaan tepung labu kuning sebagai sumber beta karoten dan pewarna alami sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat dan dalam bentuk yang lebih tahan lama dan mudah penyiapannya (instan). Hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan bidang pangan dan gizi masyarakat terutama dalam pemanfaatan sumber daya lokal dalam memenuhi kebutuhan pangan dan zat gizi masyarakat.
5
TINJAUAN PUSTAKA Mi Glosor Salah satu produk lanjutan dari sagu aren adalah mi glosor. Mi ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur (Djoefrie 1999). Mi glosor termasuk ke dalam produk basah. Mi glosor dikenal juga dengan sebutan mi aci, mi leor, atau mi sruput. Mi yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat terbuat dari tepung terigu yang harganya cukup mahal bila dibandingkan dengan mi glosor yang terbuat dari sagu aren. Jika dilihat sekilas dari bentuk fisiknya, mi glosor tidak berbeda jauh dengan mi yang terbuat dari tepung terigu, tetapi jika dilihat secara seksama mi glosor memiliki warna yang lebih mengkilap dan lebih keras (Taufiq 2005). Proses pengolahan pati sagu menjadi mi dapat dilihat pada Gambar 1. Suspensi pati sagu
air
Gelatinasi Pati sagu
Gel/ binder Pengadukan Pencetakan Pemasakan Perendaman Penirisan
Minyak
Mi glosor Sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (2004).
Gambar 1 Diagram proses pengolahan pati sagu menjadi mi glosor. Mi glosor memiliki sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan mi yang terbuat dari terigu yaitu memiliki tekstur yang lebih kenyal namun tidak elastis dan licin waktu dimakan. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000). Tabel 1 menyajikan kandungan energi dan zat gizi yang terkandung di dalam mi glosor yang dijual di pasar.
6
Tabel 1 Kandungan energi dan zat gizi mi glosor (per 100 g) Komposisi Air (%) Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Kalsium (mg) Pospor (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Β- karoten (µg) Vitamin C (mg) Sumber: Persagi (2009)
Kandungan 82,9 71 0,2 0,8 15,9 0,1 117 5 0
Mi glosor dipasarkan dalam keadaan basah dan dijual dalam keadaan curah atau dibungkus kantong plastik. Mi glosor biasanya berwarna kuning transparan tetapi sebagian ada yang berwarna kuning kemerahan. Harga mi glosor sangatlah murah, tidak lebih dari 1500/kg. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat jelas bahwa segmen pasar mi glosor adalah kalangan menengah ke bawah. Pada bulan puasa makanan ini merupakan salah satu hidangan favorit untuk berbuka puasa. Sagu Aren Sagu aren merupakan pati yang diekstrak dari batang aren. Aren (Arenga pinnata Merr.) termasuk suku Aracaceae (pinang-pinangan), merupakan tumbuhan berbiji tertutup (angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus oleh daging buah. Tanaman aren banyak terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara (Iswanto 2009). Aren memiliki beberapa nama di berbagai negara. Aren dikenal dengan sebutan lain yaitu enau dan kawung (Sunda). Sementara itu di Inggris, aren disebut sugar palm dan disebut kaong di Philipina. Firdayati dan Handajani (2005) menyebutkan bahwa pembuatan sagu aren dilakukan terlebih dahulu dengan menebang batang pohon aren kemudian dipotong-potong sepanjang 1,25 – 2 meter. Tepung dan ampas pohon aren di pisahkan dengan cara diinjak-injak. Selain dimanfaatkan sebagai bahan dasar dalam pembuatan mi glosor, sagu aren juga digunakan dalam pembuatan makanan lain. Sagu aren dapat dimanfaatkan untuk pembuatan aneka produk makanan, terutama produk yang
7
sudah dikenal luas di masyarakat, yaitu soun, cendol, bakmi, dan hun kwe. Tabel 2 menyajikan data mengenai komposisi dan kandungan gizi sagu aren. Tabel 2 Komposisi dan kandungan gizi sagu aren (per 100 g) Komposisi
Kandungan
Air (%)
11,9
Energi (kkal)
355
Protein (g)
0,6
Lemak (g)
1,1
Karbohidrat (g)
85,6
Serat (g)
0,3
Kalsium (mg)
91
Pospor (mg)
167
Natrium (mg)
-
Kalium (mg)
-
Β- karoten (µg)
-
Vitamin C (mg) Sumber: Persagi (2009)
0
Tepung Labu kuning Labu kuning (Cucurbita moschata Durch) diperkirakan berasal dari Peru dan Meksiko, Amerika Tengah. Awal penyebarannya tidak diketahui secara pasti. Tanaman ini banyak ditanam di daerah tropis seperti Asia Tenggara termasuk Indonesia), Afrika, Amerika Tengah dan Karibia (Setiawan & Trisnawati 1993). Setiawan dan Trisnawati (1993) menambahkan bahwa labu kuning memiliki daya adaptasi yang tinggi. Tanaman ini dapat menyesuaikan diri terhadap keadaan iklim yang berlainan atau tahan terhadap suhu dan curah hujan tinggi, sehingga labu kuning dapat ditanam di tempat yang berhawa panas dan dingin. Saat ini di beberapa negara maju labu kuning telah diolah dalam skala industri seperti produk-produk jam, jelly, kue, produk kalengan. Sedangkan di Indonesia, buah Labu kuning masih dikonsumsi dengan cara diolah menjadi kolak, manisan dan dodol (Atika 2003). Tepung labu kuning merupakan salah satu produk lanjut dari pengolahan labu kuning. Namun tepung labu kuning masih jarang di Indonesia, tetapi di Amerika labu sudah dimanfaatkan menjadi tepung. Tepung labu tersebut telah diperdagangkan dengan menggunakan pengemas berbentuk kantung-kantung kecil (Cruess 1958). Tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60 mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning, kadar air ± 3%. Kondisi fisik tepung labu kuning ini sangat dipengaruhi oleh kondisi bahan dasar
8
dan suhu pengeringan yang digunakan. Semakin tua labu kuning, semakin tinggi kandungan gulanya. Oleh karena kandungan gula labu kuning yang tinggi ini, apabila suhu yang digunakan pada proses pengeringan terlalu tinggi, tepung yang dihasilkan akan bergumpal dan berbau karamel (Hendrasty 2003). Kualitas tepung labu kuning ditentukan oleh komponen penyusunnya yang menentukan sifat fungsional adonan maupun produk tepung yang dihasilkan serta suspensinya dalam air. Protein tepung labu kuning mengandung protein jenis gluten yang cukup tinggi sehingga mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang kohesif dan elastis (Hendrasty 2003). Sifat ini akan berfungsi pada pengembangan volume roti dan produk makanan lain yang memerlukan pengembangan volume. Tepung labu kuning mempunyai kualitas tepung yang baik karena mempunyai sifat gelatinisasi yang baik, sehingga akan dapat membentuk adonan dengan konsistensi, kekenyalan, viskositas maupun elastisitas yang baik, sehingga roti yang dihasilkan akan berkualitas baik pula. Karbohidrat tepung labu kuning juga cukup tinggi. Karbohidrat ini sangat berperan dalam pembuatan adonan pati. Granula pati akan melekat pada protein selama pembentukan adonan. Kelekatan antara granula pati dan protein akan menimbulkan kontinuitas struktur adonan (Hendrasty 2003). Tepung labu kuning sudah cukup banyak digunakan dalam beberapa penelitian mengenai pengembangan produk. Tabel 3 menyajikan kandungan gizi tepung labu kuning yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Pongjanta et al. 2006. Tabel 3 Kandungan gizi tepung labu kuning Komposisi zat gizi Kandungan Air % 6,01 Protein (g) 3,74 Lemak (g) 1,34 Karbohidrat (g) 78,77 Serat (g) 2,9 Betakaroten µg 7290 Sumber: Pongjanta et al. (2006)
Beta Karoten Beta karoten merupakan karotenoid, salah satu pigmen tanaman yang dikenal memiliki sifat antioksidan dan efek lainnya. Zat ini cepat dikonversi oleh tubuh menjadi vitamin A (Harnowo 2011). Menurut Fennema (1996), sekitar 25 % dari beta karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh,
9
sedangkan 75 % sisanya diubah menjadi vitamin A (retinol dengan bantuan enzim 15, 15’ β-karoten dioksigenase. Beta karoten dengan dua cincin β-ionon merupakan provitamin A dengan aktivitas paling tinggi. Sedangkan karotenoid provitamin A lainnya yang mempunyai satu cincin β-ionon seperti alpha karoten dan gamma karoten, memiliki aktivitas yang lebih rendah (Gross 1991).Struktur kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Struktur kimia beta karoten. Beta karoten populer dengan sifat antioksidannya, sehingga dapat melindungi sel tubuh dari kerusakan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa orang yang banyak mengkonsumsi buah dan sayuran kaya beta karoten dan mineral lainnya menurunkan risiko mengidap beberapa jenis penyakit kanker dan penyakit jantung (Harnowo 2011). Penyerapan dan penggunaan beta karoten di dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah, tipe dan bentuk fisik karotenoid dalam makanan. Selain itu dipengaruhi juga oleh asupan lemak, vitamin E, serat, kecukupan protein dan zinc (Rodriguez-Amaya 1997). Beta karoten memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2.5 mg/Kg berat badan (Kitts 1996). Mi instant Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3551-2000, yang dimaksud dengan mi instan adalah adonan terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya. Mi instan dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses pregelatinisasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya. Mi instan memilki sebutan nama lain yaitu ramen. Setelah diperoleh mi segar, beberapa proses dapat ditambahkan untuk membuat mi instan. Proses tambahan itu seperti pengukusan, pembentukan, dan pengeringan. Kadar air mi instan umumnya sekitar 5-8% sehingga memilki daya simpan yang lama (Astawan 2000). Astawan
(2000)
menyatakan
bahwa
mi
instan
berdasarkan
pembuatannya dengan proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua. Mi instan goreng yang pengeringannya dengan cara digoreng (instant fried noodle), dan mi
10
instan kering (instant dried noodle) yang pengeringannya dengan udara panas. Daya serap minyak mi instan goreng dapat mencapai hingga 20% selama penggorengan (dalam proses pembuatan mi) sehingga mi instan goreng memiliki keunggulan rasa dibandingkan mi jenis lain. Syarat dari mi instan goreng adalah pada saat perebusan tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air dan hasilnya mi harus cukup kompak dan permukaannya tidak lengket. Dalam perkembangannya, mi instan yang beredar di pasaran sangat banyak dan diproduksi oleh banyak perusahaan industri makanan. Sehingga pemerintah melalui Badan Standarisasi Nasional mengeluarkan peraturan mengenai mi instan yang diperbolehkan untuk dipasarkan ke konsumen di tanah air. SNI yang mengatur mengenai mi instan adalah SNI 01-3551-2000 yang merupakan revisi dari SNI sebelumnya yaitu SNI 01-3551-1996. Ruang lingkup dari SNI ini meliputi definisi, komposisi dan syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, higiene, cara pengemasan dan syarat penandaan mi instan. Suatu produsen pangan yang hendak meluncurkan produk berupa mi instan ke pasaran harus memenuhi beberapa syarat mutu menurut SNI 01-35512000. Tabel 4 menyajikan syarat mutu yang harus dipenuhi dalam suatu produk mi instan. Tabel 4 Syarat Mutu mi instan No
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
2)
1.
Keadaan
1.1
Tekstur
-
Normal/dapat diterima
1.2
Aroma
-
Normal/dapat diterima
1.3
Rasa
-
Normal/dapat diterima
1.4
Warna
-
Normal/dapat diterima
-
Tidak boleh ada
2. 3.
Benda asing Keutuhan
1)
1)
%b/b
Min. 90
1)
4.
Kadar air
4.1
Proses penggorengan
%b/b
Maks. 10,0
4.2
Proses pengeringan
%b/b
Maks. 14,5
%b/b
Min. 8,0
%b/b
Min. 4,0
Mg KOH/g minyak
Maks. 2
1)
5.
Kadar protein
5.1
Mi dari terigu
5.2
Mi dari bukan terigu
6.
Bilangan asam
1) 2)
7.
Cemaran logam
7.1
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks. 2,0
7.2
Raksa (Hg)
mg/kg
Maks. 0,05
11
No 8.
1) 2)
Kriteria Uji Arsen (As)
Satuan
2)
mg/kg
Persyaratan Maks. 0,5
2)
9.
Cemaran mikroba
9.1
Angka lempeng total
9.2
E. coli
9.3
Salmonela
Koloni/g APM/g -
9.4 Kapang Koloni/g Berlaku untuk kepingan mi Berlaku untuk kepingan mi dan bumbunya
Maks. 1,0 x 10
6
<3 Negatif per 25g Maks. 1,0 x 10
3
Pembuatan Mi Instan Tahapan dalam pembuatan mi instan terbadi atas beberapa langkah. Berikut adalah tahapan pembuatan mi instan menurut Astawan (2000): a. Pengadukan adonan Tahapan awal dalam pembuatan mi instan adalah pencampuran zat warna (umumnya tartrazine) dengan air, kemudian dimasukkan ke mesin pengaduk material yang di dalamnya telah terdapat tepung terigu. Campuran di aduk sampai menjadi adonan yang merata, lama proses ini kira-kira lima belas menit. Adonan yang terbentuk diharapakan, lunak, lembut, halus, dan kompak. b. Pelempengan mi Setelah adonan menjadi homogen, campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin pelempeng. Dalam mesin pelempeng (roll press), adonan akan dibentuk menjadi lempengan-lempengan, dimana pada proses ini serat-serat gluten akan menjadi halus. Pada awalnya, adonan yang keluar dari mesin pelempeng bersifat rapuh dan kasar dengan ketebalan sekitar 1,5 cm. Dengan melalui lima pasang silinder yang berbeda ketebalannya, akhirnya adonan akan membentuk lempengan yang halus, homogen, tidak terputus, serta mempunyai ketebalan sekitar 1,5 mm. Pembentukan lempengan yang baik tersebut tertunjang oleh panas yang ditimbulkan mesin. c. Pencetakan mi Lempengan adonan yang telah terbentuk, kemudian dimasukkan ke mesin pencetak mi. Lempengan tersebut akan dipotong menjadi pilinan-pilinan mi dengan lebar 1-2 mm dan berombak-ombak. Pada proses ini pula, pilinan mi dibagi menjadi lima bagian yang memanjang. Mi dibuat dalam bentuk pilinan (bergelombang) karena memiliki beberapa keuntungan, di antaranya adalah mempercepat laju penguapan dan
12
penggorengan karena adanya konduksi panas dan sirkulasi panas dari minyak di dalamnya. d. Pemasakan mi Pilinan mi hasil dari pencetakan kemudian dikukus selama 135 detik. Panas yang digunakan berasal dari uap sehingga pilinan mi yang keluar sudah masak, kadar air menurun dan padat. Pada waktu pengukusan tersebut terjadi gelatinasi pati dan koagulasi gluten sehingga ikatan menjadi keras dan kuat, mi menjadi kenyal, serta mi tidak menyerap minyak terlalu banyak dan lembut. e. Pemotongan awal Setelah melalui pemasakan awal, mi dikeringkan dengan kipas supaya agak kering. Selanjutnya dipotong-potong sekitar 12 cm dan bobot sekitar 80 gram. f.
Penggorengan Mi yang telah dipotong-potong dengan ukuran dan berat tertentu
kemudian diangkut menuju penggorengan. Dalam proses penggorengan ini, digunakan minyak dengan suhu 150 0C selama 109 detik sehingga kadar air menurun dan mi menjadi kering serta padat. Suhu minyak yang tinggi akan menyebabkan air menguap dengan cepat dan membentuk pori-pori halus yang dapat mempercepat proses rehidrasi (penyerapan air pada saat mi dimasak). g. Pendinginan Mi yang telah digoreng didinginkan dengan menggunakan kipas angin dalam mesin pendingin. Proses ini akan menyebabkan pengerasan minyak yang terserap dan menempel pada mi sehingga mi pun menjadi keras. Apabila proses pendinginan tidak sempurna, uap air yang tersisa akan mengembun dan menempel pada permukaan mi sehingga akan memicu tumbulnya jamur. Dalam perkembanganya, teknik yang dipaparkan oleh Astawan (2000) lebih dikenal dengan teknik kalendering. Pembuatan mi dengan teknik kalendering, secara garis besar terdiri dari empat tahapan yaitu pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pencetakan (pressing, sheeting dan slitting) dan perebusan. Teknik ini sangat cocok untuk mi yang berbahan dasar tepung terigu. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan tepung terigu dalam mebentuk adonan yang kohesif, ekstensibel dan elastis (Ekafitri 2010). Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, mulailah dicoba pembuatan mi dengan berbahan dasar non terigu. Berbagai macam tepung non terigu yang telah dicoba untuk dibuat produk mi antara lain adalah tepung
13
jagung, tepung beras dan tepung sagu. Perbedaan karakteristik tepung terigu dan tepung non terigu mengakibatkan sulit dilakukannya teknik calendering dalam pembuatan mi berbahan dasar non terigu. Pengggunaan teknik calendering pada produk mi non terigu sulit dilakukan karena adonan tidak dapat
membentuk
lembaran
yang
kohesif,
ekstensibel
dan
elastis.
Pembentukan adonan sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi, sehingga teknik yang dianggap paling sesuai dalam pembuatan mi non terigu adalah teknik ekstruksi (Ekafitri 2010). Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan bahwa teknik ekstruksi dapat berupa pengolahan suhu rendah seperti pasta, atau pengolahan suhu tinggi seperti pada pengolahan makanan ringan. Tekanan yang digunakan dalam ekstruder berfungsi mengendalikan bentuk, menjaga air dalam kondisi cair yang sangat panas, dan meningkatkan pengadukan. Tekanan yang digunakan bervariasi antara 15 sampai lebih dari 200 atm. Tujuan utama ekstruksi adalah untuk meningkatkan keragaman jenis produk pangan dalam berbagai bentuk, tekstur, warna dan cita rasa. Pemasakan ekstruksi dengan proses suhu tinggi waktu pendek (HTST, high temperature short time) dapat mencegah kontaminasi dan inaktivasi enzim. Secara lebih lanjut di dalam Estiasih dan Ahmadi (2011) dijelaskan alat ekstrusi (ekstruder) terdiri suatu ulir (sejenis ulir bertekanan) yang menekan bahan baku sehingga berubah menjadi bahan semi padat. Bahan tersebut ditekan keluar melalui lubang terbatas (cetakan/ die) pada ujung ulir. Jika bahan baku tersebut mengalami pemanasan maka proses ini disebut pemasakan ekstruksi. Ciri utama proses eksruksi adalah sifatnya yang kontinu. Alat ekstruder dioperasikan dalam kondisi kesetimbangan dinamis, yaitu input setara dengan output, atau bahan yang masuk setara dengan produk yang dihasilkan. Untuk mendapatkan karakteristik ekstrudat tertentu, bahan yang masuk dan kondisi pengoperasian harus diatur sedemikian rupa sehingga perubahan kimia yang terjadi pada barel (tabung dalam ekstruder) sesuai dengan yang diinginkan (Estiasih dan Ahmadi 2011). Isolat Protein Kedelai Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar proteinnya minimum 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya
14
kauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai. Isolate protein kedelai biasanya digunakan sebgai bahan campuran dalam makanan olahan daging dan susu (Santoso 2005). Dari pembuatan minyak kedelai dihasilkan bungkil kedelai tanpa kulir dengan kadar protein 40 – 50 persen. Bungkil ini dapat dibuat tepung, isolat dan konstrat protein kedelai. Konsentrat dan isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah (untuk isolat dapat juga dari kedelai utuh) yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein pada konsentrat kedelai adalah minimum 70 %, sedangkan isolat minimum 95 % . Kedua produk ini sangat dibutuhkan dalam insustri pangan karena banyak sekali digunakan dalam formulasi berbagai jenis makanan (Santoso 2005). Isolat protein digunakan dalam industri pangan untuk beberapa alasan, diantaranya gizi (meningkatkan kandungan protein), faktor inderawi (rasa yang lebih enak) dan alasan fungsional (kebutuhan akan emulsifier, penyerapan air dan minyak dan sifat adhesive). Isolat protein kedelai biasanya digunakan dalam produk-produk seperti: makanan ringan, cereal untuk sarapan, bar tinggi energi dan protein, ice crea, yogurt, produk peternakan seperti daging, unggas dan ikan (www.soya.be). Isolate protein juga sering digunakan dalam penelitian pengembangan produk dalam skala lab. Christina (1996) menggunakan isolat protein sebagai bahan dalam pembuatan sponge cake dan minuman.
15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai dengan bulan September 2012. Tempat pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tempat. Pembuatan tepung labu kuning dan pembuatan produk dilaksanakan di SEAFAST CENTER, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan di dua laboratorium
Departemen Gizi Masyarakat yaitu Laboratorium Uji
Sensoris untuk uji organoleptik dan Laboratorium Analisis Kimia Makanan dan Zat Gizi untuk analisis kandungan zat gizi produk. Tempat terakhir adalah Laboratorium Balai Besar Industri Agro Bogor untuk analisis kandungan beta karoten. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari bahanbahan yang digunakan untuk pembuatan mi glosor instan dan bahan-bahan untuk analisis kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat mi glosor instan atara lain: pati sagu aren yang diperoleh dari Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi, labu kuning umur 2-2,5 bulan yang diperoleh dari Kabupaten Sukabumi, isolat protein kedelai, air, STPP (sodium tripoly phospat), guar gum, dan soda abu. Sementara itu bahan-bahan pendukung antara lain asam sulfat pekat, asam klorida 0,1 N, selenium mix, natrium hidroksida, indikator bromkresol hijau dan metil merah, asam borat, aquades, n-heksan. Alat-alat yang akan digunakan untuk penelitian ini terdiri atas peralatan pembuatan tepung labu kuning, peralatan pembuatan mi dan peralatan analisis kimia. Peralatan yang digunakan untuk membuat tepung labu kuning antara lain: pisau, talenan, mesin penyawut, pengering rak (cabinet drier), discmill dan alat pengayak. Sementara itu alat untuk membuat mi antara lain: timbangan digital, kompor, panci, baskom, alat pencetak mi (ekstruder), pengering rak (cabinet drier). Metode 1.
Persiapan Bahan Baku Salah satu bahan baku dalam pembuatan mi glosor instan adalah
tepung labu kuning. Karena tidak adanya tepung labu kuning yang dijual secara komersial, maka tepung labu kuning harus dibuat sendiri. Proses awal dari penelitian ini adalah membuat tepung labu kuning.
16
Tepung labu kuning dibuat dari labu kuning yang berumur 2-2,5 bulan setelah masa tanam. Labu kuning kemudian dikupas kulitnya. Tindakan selanjutnya adalah pemisahan antara daging buah dan biji serta bagian hati dari labu kuning. Potongan dari labu kuning kemudian di sawut untuk menghasilkan irisan yang lebih kecil lagi. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses pengeringan. Hasil sawutan kemudian direndam ke dalam larutan natrium metabislufit 0,25% selama 20 menit dan ditiriskan. Labu kemudian dimasukkan ke dalam cabinet drier untuk dikeringkan pada suhu sekitar 60-70 oC selama kurang lebih 8 jam. Proses penepungan labu kuning disajikan pada Gambar 3. Labu kuning
Pengupasan dan pemotongan
Pemisahan biji
penyawutan
Perendaman larutan Na-metabisulfit selama 20 menit
Penirisan
0
0
Pengovenan suhu 60 – 70 C ± selama 8 jam Penggilingan dan pengayakan 100 mesh
Tepung labu kuning
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning. 2.
Formulasi Mi Glosor Instan Formulasi mi didasarkan pada perbandingan antara bahan baku utama,
yaitu tepung sagu aren dengan bahan pensubstitusinya, tepung labu kuning dan bahan lain. Detail mengenai formulasi produk mi glosor instan disajikan pada Tabel 5.
17
Tabel 5 Formulasi produk.
F0
200
0
Isolate protein kedelai (g) 10
F1
180
20
10
0,4
0,4
2
0,2
F2
160
40
10
0,4
0,4
2
0,2
F3
140
60
10
0,4
0,4
2
0,2
F4
120
80
10
0,4
0,4
2
0,2
Formula
Tepung sagu aren (g)
Tepung labu kuning (g)
Guar gum (g)
Garam (g)
STPP (g)
Soda abu
0,4
0,4
2
0,2
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mi glosor instan substitusi tepung labu kuning terdiri atas tepung sagu aren, tepung labu kuning, isolate protein kedelai, garam, STPP (sodium tripoly phospat), guar gum dan air. Sebanyak 40 gram tepung sagu aren dari setiap formula akan berperan sebagai binder adonan. Sementara itu, sisanya akan dicampurkan menjadi adonan dalam bentuk kering. Tepung labu kuning yang digunakan untuk mensubstitusi tepung sagu aren meningkat dengan interval 20 gram (10%). Mi yang diperoleh dari sagu alami tanpa penambahan bahan tambahan pangan masih memiliki berbagai kelemahan. Oleh karena itu diperlukan bahan tambahan untuk memperbaiki karakteristiknya (Sugiyono 2008). Jenis bahan tambahan pangan yang digunakan untuk adonan adalah garam alkali berupa sodium tripoliphospat (STPP), thickner berupa guar gum, dan pengatur keasaman berupa soda abu. Penambahan STTP ditentukan berdasakan standar CODEX untuk mi instan, yaitu CODEX STAN 249-2006. Jumlah maksimum STPP yang dapat ditambahkan sebesar 2000 mg/kg. Penambahan guar gum sebanyak 1% dari total tepung yang digunakan. Soda abu yang dicampurkan sebanyak 0,2 gram untuk setiap formula. Berdasarkan astawan (2000), jumlah garam yang diberikan dalam pembuatan mi instan sebesar 0,2% dari adonan. 3.
Pembuatan Produk
3.1 Pembuatan binder adonan Tahap pertama pembuatan mi sagu adalah pembuatan binder adonan. Sugiyono et al. (2008) menyatakan bahwa binder adonan mi terbaik dibuat dari perbandingan tepung sagu aren dan air sebesar 1:2. Binder adonan yang baik akan berpengaruh terhadap karakteristik mi yang dihasilkan nanti. Karakteristik
18
mi yang diharapkan adalah yang tidak hancur jika ditekan, tidak mudah putus jika ditarik dan tidak lengket antar untaian. Tepung sagu sebanyak 40 gram dicampurkan dengan air seberat 80 gram. Suspensi yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinasi. Binder yang telah terbentuk ditandai dengan kekentalan suspensi yang meningkat dan warna yang berubah menjadi transparan. Diagram alir pembuatan binder adonan disajikan pada Gambar 4. 40 g tepung sagu aren
+
0,4 g STTP + 80 gram air
Dicampur rata
Dipanaskan sambil diaduk-aduk
Binder
Gambar 4 Diagram alir pembuatan binder adonan. 3.2 Pembuatan adonan Binder adonan yang telah terbentuk kemudian dicampurkan dengan tepung sagu dan tepung labu kuning yang telah ditambahkan guar gum, soda abu dan garam sesuai dengan komposisi masing-masing pada setiap formula Binder diuleni bersama dengan campuran tepung sagu aren dan tepung labu kuning hingga merata. Gambar 5 menunjukkan prosedur pencampuran adonan dalam pembuatan mi glosor instan dalam penelitian ini.
t. sagu aren + t. Labu kuning + soda abu + guar gum
dicampur rata
+
binder
diuleni
adonan
Gambar 5 Diagram alir pembuatan adonan mi.
19
3.3 Pencetakan Adonan
diekstruksi
dengan
menggunakan
multifunctional
noodle
machine. Untaian mi yang keluar dari ekstruder dikukus pada suhu ± 950C selama tiga kali pengukusan. Pengukusan pertama dilakukan selama 1 menit. Untaian mi kemudian dikeluarkan dan dibalik. Untaian mi yang telah dibalik kemudian di kukus lagi selama 1 menit. Setelah itu untaian mi dicetak dan di kukus kembali selama 1 menit. Selanjutnya untaian mi dikeringkan di dalam oven udara pada suhu 60-70 0C selama 1 jam. Diagram alir dalam pembuatan mi glosor instan substitusi tepung labu kuning disajikan pada Gambar 6. adonan
dimasukkan ke ekstruder
untaian mi
dimasukkan ke ekstruder
dikukus 3 menit
0
dioven; 60 C; 1 jam
mi glosor instan
Gambar 6 Diagram alir pencetakan mi glosor instan. 4.
Analisis Karakteristik Penerimaan Produk
Sensori,
Tingkat
Kesukaan
dan
Persen
Karakteristik sensori, tingkat kesukaan dan persen penerimaan produk diketahui dengan menggunakan uji organoleptik. Uji organoleptik produk meliputi parameter rasa, warna, aroma dan tekstur. Uji organoleptik terhadap produk terdiri atas uji mutu hedonik dan uji hedonik. Uji mutu hedonik merupakan uji yang dipergunakan untuk mengetahui karakteristik sensori produk menurut panelis. Pengukuran skala mutu hedonik dilakukan dengan menggunakan skala garis dari mulai bernilai satu (amat sangat lemah) sampai sembilan (amat sangat kuat). Sementara itu uji hedonik dipergunakan untuk mengetahui tingkat kesukaan dan persen penerimaan panelis terhadap produk. Skala yang digunakan dalam uji hedonik dimulai dari satu (amat sangat tidak
20
suka) sampai sembilan (amat sangat suka). Panelis yang dilibatkan dalam uji organoleptik ini sebanyak 30 orang yang merupakan mahasiswa yang sudah cukup sering dilibatkan dalam uji organoleptik berbagai produk penelitian mahasiswa. 5.
Analisis Karakteristik Kimia Produk Analisis karakteristik kimia produk terdiri atas analisis proksimat dan
analisis kadar beta karoten. Analisis proksimat digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makro produk seperti air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Kadar air dan abu produk ditentukan secara gravimetri. Kadar lemak produk ditentukan dengan menggunakan metode soxhletasi. Metode mikro-kjedahl digunakan untuk mengetahui kandungan protein pada produk. Sementara itu kandungan karbohidrat produk ditentukan secara by-difference, yaitu dengan mengurangi 100% dengan (% air + % abu + % lemak + % protein). Kadar beta karoten pada produk dihitung dengan menggunakan metode HPLC. 6.
Analisis Karakteristik Fisik Produk Analisis karakteristik fisik produk meliputi analisis warna dan elongasi.
Analisis warna produk dilakukan dengan menggunakan kromameter. Sementara itu analisis elongasi dilakukan dengan menggunakan alat Tensile Strenght tester. Hasil dari analisis ini dipergunakan untuk mengetahui derajat warna dan daya rentang mi secara objektif. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan dari penelitian ini adalah Rancang Acak Lengkap (RAL). Model yang digunakan adalah Yij = µ + Ti + εij Keterangan: Yij
: Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
: Banyaknya perlakuan (i=5)
j
: Banyanyaknya ulangan (j=2)
µ
: Rataan umum
Ti
: Rasio antara tepung sagu aren dan tepung labu kuning
εij
: Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
21
Pengolahan dan Analisis Data Data hasil uji organoleptik dan analisis fisik dan kimia diolah dengan menggunakan MS. Excel 2010. Program SPSS 16.0 for Windows digunakan untuk analisis data secara statistik meliputi uji ragam (Anova), uji lanjut Duncan dan uji crosstab. Data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif menggunakan nilai rata-rata dan persentase penerimaan panelis terhadap formula mi. Data hasil uji organoleptik dianalisis statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA), apabila hasil ini menunjukkan adanya perbedaan diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Comparation Test.
Uji
mutu hedonik dan uji hedonik dilakukan analisis Korelasi Spearman untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara hasil uji mutu hedonik dan hedonik. Nilai kandungan gizi mi glosor instan dianalisis statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA), apabila hasil ini menunjukkan adanya perbedaan diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Comparation Test.
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Labu Kuning Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung labu kuning. Tepung labu kuning memiliki peran ganda yaitu sebagai pewarna alami pada produk mi glosor instan dan sebagai sumber beta karoten pada produk tersebut. Penggunaannya adalah dengan mensubstitusi tepung sagu aren yang merupakan bahan utama. Labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu kuning yang tergolong masih mengkal. Usia labu kuning yang digunakan antara 2 sampai 2,5 bulan. Menurut Hendrasty (2003) labu kuning yang masih mengkal adalah labu kuning yang berumur hingga 10 hari sebelum mencapai masa panen. Labu kuning lokal biasanya dipanen pada usia antara 3 sampai 4 bulan (Hendrasty 2003). Selanjutnya, panen labu kuning dilakukan terus menerus dengan interval 2-3 kali perminggu (Kirana et al. 2012). Gambar 7 merupakan bentuk utuh dan belah dari labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 7 Labu kuning. Pembuatan tepung labu kuning diawali dengan pengupasan kulit. Labu kuning memiliki kulit luar yang keras. Nurhayati (2005) menyatakan bahwa selama proses pematangan berlangsung, kulit luar labu kuning akan semakin keras. Kulit luar yang keras pada labu kuning disebabkan oleh massa sklerenkima yang berada di bagian luar. Bagian labu kuning yang akan ditepungkan adalah daging buahnya saja. Oleh karena itu, bagian lain selain daging buah, seperti kulit luarnya, biji dan bagian tengah dari labu kuning dibuang. Daging buah labu kuning yang telah dipotong-potong kemudian disawut menjadi irisan-irisan yang lebih kecil. Tujuan dari proses penyawutan adalah untuk mempercepat pada saat proses pengeringan. Semakin banyak permukaan dari labu kuning yang terpanaskan, maka waktu pengeringan akan semakin
23
singkat. Tahapan selanjutnya adalah perendaman irisan daging buah labu kuning ke dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5). Berdasarkan
Apriyantono
(2002)
sulfit
dapat
berperan
sebagai
antioksidan. Hal ini dibuktikan pada penelitian Widyowati (2007) bahwa penurunan vitamin C pada tepung ubi jalar kuning semakin kecil seiring dengan peningkatan jumlah natrium bisulfit yang digunakan dalam larutan perendaman. Selain
itu
perlakuan
menghasilkan
keripik
perendaman wortel
dalam
dengan
larutan
kandungan
Natrium
metabisulfit
karotenoid
tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sulaeman et al. 2001). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan natrium metabisulfit dapat menghambat laju kerusakan karotenoid yang di dalamnya termasuk beta karoten. Pada penelitian ini kosentrasi larutan Natrium metabisulfit yang digunakan untuk perendaman adalah 0,25%. Irisan labu kuning direndam selama 20 menit. Tahapan selanjutnya adalah pengeringan. Irisan labu kuning yang telah tiris kemudian ditempatkan ke dalam trey atau loyang secara merata. Irisan labu kuning kemudian dimasukkan ke dalam pengering rak (cabinet driyer) untuk diturunkan kadar airnya. Pengeringan dilakukan pada suhu antara 60 0C sampai 70 0C. Waktu pengeringan dilaksanakan selama ± 8 jam. Irisan labu kuning dikatakan kering apabila irisan labu kuning sudah memiliki tekstur rapuh dan mudah patah ketika di remas-remas. Suhu pengeringan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengeringan bahan-bahan pangan yang mengandung beta karoten. Histifarina et al. (2004) menyatakan bahwa suhu tinggi menyebabkan degradasi karoten pada irisan wortel yang dikeringkan. Selanjutnya Herastuti et al. (1983) menyatakan bahwa senyawa karoteniod mudah teroksidasi terutama pada suhu tinggi yang disebabkan oleh adanya sejumlah ikatan rangkap dalam struktur molekulnya. Namun karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya berkisar dari 130 0C sampai 220 0C (Hendry dan Houghton 1996). Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menggiling dan mengayak irisan labu kuning hasil proses pengeringan. Penggilingan dilakukan dengan menggunakan disc mill. Mesin penepungan ini dapat digunakan untuk membuat tepung dari aneka bahan seperti tepung beras, kedelai, cabe kering, kopi, jagung, bahan-bahan industri, bahan obat-obatan herbal, bumbu kering dan lain sebagainya. Hasil proses penggilingan kemudian diayak untuk mendapatkan
24
tepung labu kuning dengan ukuran 100 mesh. Tepung labu kuning yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Tepung labu kuning. Rendemen Tepung Labu Kuning Penghitungan rendemen dilakukan dengan cara membandingkan tepung labu kuning yang dihasilkan dengan berat labu kuning utuh sebagai bahan pembuatan tepung labu kuning. Labu kuning utuh seberat 11. 799 gram dikupas dan daging buahnya dipisahkan dari kulit, biji dan bagian tengah buah. Setelah dilakukan penggilingan dengan ukuran 100 mesh, diperoleh tepung labu kuning seberat 578 gram tepung labu kuning, sehingga diperoleh rendemen tepung labu kuning sebesar 4,9%. Nilai rendemen tepung labu kuning mendekati dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratama pada tahun 2009. Pratama (2009) memperoleh
hasil
bahwa
rendemen
tepung
labu
kuning
yang
dalam
pembuatannya tidak dikenai perlakuan memiliki rendemen sebesar 5,93%. Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning Kandungan gizi dari tepung labu kuning yang disajikan pada Tabel 6 merupakan hasil analisis proksimat dan analisis kadar beta karoten. Tabel 6 Kandungan zat gizi tepung labu kuning. Komponen Air (% bb) Abu (% bk) Protein (% bk) Lemak (% bk) Karbohidrat (% bk) Beta karoten µg/100 g
11,94 8,11 4,83 1,30 85,74 1690
Kandungan zat gizi Anggraini et al. Widowati et al. (2006) (2001) 10,8 11,14 6,60 5,89 10,07 5,04 0,78 0,08 81,52 77,65 10752 -
25
Kadar air Pada penelitian ini labu kuning yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 11,94% (bb). Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) yang bernilai 10,8% bb dan Widowati et al. (2001) sebesar 11,14% bb. Perbedaan nilai ini diduga disebabkan oleh perbedaan dalam metode pengeringan yang dilakukan. Desrosier (1988) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak. Pada penelitian ini suhu pemanasan yang digunakan adalah 60
0
C
sampai 70 0C. Waktu pemanasan hingga irisan labu di anggap kering adalah sekitar 8 jam. Sementara itu Anggraini et al. (2006) menyatakan bahwa pengeringan labu kuning dilakukan pada suhu 60 0C dengan waktu 15 jam. Winarno (1993) menjelaskan bahwa pengeringan dipengaruhi utamanya oleh luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap udara dan waktu pengeringan. Kadar Abu Pada penelitian ini, kadar abu dari tepung labu kuning sebesar 8,11% bk. Hasil tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kadar abu dari tepung labu kuning yang diperoleh pada penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu 6,60% bk dan Widowati et al. (2001) sebesar 5,89% bk. Penggunaan natrium metabisulfit pada pembuatan tepung labu kuning diduga mempengaruhi kadar abu yang diperoleh. Rahayu (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan dalam perlakuan perendaman, maka residu natrium metabisulfit pada bahan pangan pun akan semakin tinggi. Residu natrium metabisulfit merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar pada saat pengabuan sehingga terhitung sebagai kadar abu dari pangan. Kadar Protein Kandungan protein dari tepung labu kuning yang dihasilkan sebesar 4,83% bk. Nilai ini setengah dari kadar protein tepung labu kuning pada penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu sebesar 10,07% bk. Namun nilai kadar protein tidak terpaut jauh dari hasil penelitian Widowati et al. (2001) sebesar 5,04% bk.
26
Kadar Lemak Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar lemak tepung labu kuning pada penelitian ini sebesar 1,30% bk. Apabila dibandingkan dengan penelitian Anggraini et al. (2006) nilai ini sedikit lebih besar (0,78% bk). Sementara itu kandungan lemak tepung labu kuning pada penelitian Widowati et al. (2001) sangat kecil, yaitu 0,08% bk. Kadar Total Karbohidrat Kadar total karbohidrat ditentukan secara kasar dengan menggunakan metode by difference. Total karbohidrat yang diperoleh dengan metode by defference merupakan 100% kandungan total zat gizi bahan pangan setelah dikurangi oleh kadar air, abu, protein dan lemak dari bahan yang bersangkutan. Berdasarkan hasil perhitungan, kadar total karbohidrat tepung labu kuning sebesar 85,74% bk. Kandungan karbohidrat berdasarkan basis kering lebih besar jika dibandingkan dengan hasil pada penelitian Anggraini et al. (2006) dan Widowati et al. (2001) dimana kandungan karbohidrat sebesar 81,52% bk dan 77,65% bk. Kadar beta karoten Labu kuning merupakan salah satu bahan pangan yang tinggi akan beta karoten. Labu kuning mengandung 1569 µg beta karoten dalam 100 gram BDDnya. Pembuatan tepung akan membuat bahan lebih awet, lebih praktis dalam penggunaannya, serta lebih mudah dalam pengemasan maupun penyimpanan
(Muchtadi
1989).
Namun
perlakuan
pemanasan
sangat
berpengaruh terhadap kandungan zat gizi dari suatu bahan pangan terutama beta karoten. Kadar beta karoten dari tepung labu kuning dalam penelitian ini sebesar 1690 µg/100g. Anggraini et al. (2006) melaporkan bahwa kandungan beta karoten pada tepung labu kuning sebesar 17,92 RE/g. Jika setiap RE mengandung 6 µg beta karoten, maka kandungan beta karoten tepung labu kuning dalam penelitian tersebut sebesar 10.752 µg/100g. Hal ini berarti kandungan beta karoten tepung labu kuning dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan Anggraini et al. (2006). Perbedaan kandungan beta karoten tepung labu kuning pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2006) diduga disebabkan oleh beberapa hal. Perbedaan varietas dan tingkat kematangan labu kuning yang akan dibuat menjadi tepung berpengaruh terhadap perbedaan kadar beta
27
karoten pada tepung labu kuning. Selain itu, tempat tumbuh dari labu kuning sangat berpengaruh terhadap kandungan kimia dalam labu kuning. Pada penelitian ini labu kuning diperoleh dari daerah Sukabumi, Jawa Barat. Sementara itu, Anggraini et al. (2006) memperoleh labu kuning dari daerah Kopeng, Magelang, Jawa Tengah. Metode
dalam pembuatan tepung labu kuning terutama dalam tahap
pemanasan berpengaruh terhadap kadar beta karoten pada tepung labu kuning yang dihasilkan. Pada penelitian ini dilakukan perendaman terhadap irisan labu kuning ke dalam larutan natrium metabisulfit sebelum pengeringan. Perlakuan ini tidak dilakukan pada Anggraini et al. (2006). Berdasarkan Apriyantono (2002) sulfit dapat berperan sebagai antioksidan. perlakuan ini diharapkan mampu menekan laju oksidasi terhadap beta karoten selama proses pembuatan tepung labu kuning berlangsung. Perlakuan perendaman dalam larutan Na-metabisulfit menghasilkan
keripik
wortel
dengan
kandungan
karotenoid
tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sulaeman et al. 2001). Irisan labu kuning direndam di dalam larutan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,25% selama 20 menit. Perendaman irisan labu kuning dalam larutan bisulfit ini selain memberi keuntungan juga memberikan kerugian. Proses penyawutan mengakibatkan rusaknya matriks dari setiap sel labu kuning. Sehingga pada saat irisan labu kuning direndam di dalam larutan bisulfit terdapat beta karoten yang terekstrak bersama air karena rusaknya matriks sel. Setelah semua irisan di tiriskan, air bekas rendaman tersebut berwarna kuning. Kehilangan beta karoten pada proses ini diduga cukup besar. Metode pengeringan yang digunakan dalam penelitian ini dan penelitian yang dilaksanakan oleh Anggraini et al. (2006) sama, yaitu menggunakan cabinet drier (pengering rak). Namun suhu yang digunakan relatif berbeda. Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan beta karoten pada proses pembuatan tepung. Histifarina et al. (2004) menyatakan bahwa pada suhu tinggi menyebabkan degradasi karoten pada irisan wortel yang dikeringkan. Anggraini et al. (2006) menjaga suhu pengeringan irisan labu kuning tetap stabil pada suhu 60 OC. Worker (1957) mengemukakan bahwa karotenoid belum mengalammi kerusakan karena pemanasan pada suhu 60 OC. Sedangkan pada penelitian suhu pemanasan dijaga konstan pada suhu antara 60 OC sampai 70 O
C. Suhu pemanasan yang digunakan pada penelitian ini dapat dikatakan lebih
tinggi. Sehingga diduga tingkat kerusakan beta karoten pada penelitian ini
28
cenderung lebih tinggi. Pengaruh metode pengeringan pada beta karoten terlihat bahwa semakin tinggi suhu yang
digunakan, maka kerusakan beta karoten
semakin besar (Azhariati et al. 2007). Pembuatan Mi Metode pembuatan mi glosor instan pada penelitian ini mengikuti metode pembuatan mi sagu instan pada penelitian Sugiyono et al. (2008). Metode yang digunakan adalah metode ekstruksi. Ekstruksi adalah suatu proses yang mengombinasikan
beberapa
proses
meliputi
pencampuran,
pemasakan,
pengadonan, penghancuran, pencetakan dan pembentukan (Estiasih & Ahmadi 2011). Sugiyono et al. (2008) melakukan penelitian berupa pembuatan mi instan dengan bahan baku sagu. Sagu yang digunakan merupakan sagu yang langsung didatangkan dari Sentani, Papua. Sementara itu, mi glosor instan yang dibuat dalam penelitian ini berbahan dasar tepung sagu aren. Tepung labu kuning digunakan untuk mensubstitusi tepung sagu aren pada pembuatan mi glosor instan. Taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren dimulai dari 0% (F0), 10% (F1), 20% (F2), 30% (F3), 40% (F4). Penentuan taraf substitusi tepung labu kuning didasarkan atas trial and error. Berdasarkan trial and error tersebut diperoleh hasil bahwa produk dengan tingkat substitusi tepung labu kuning di atas 40% memiliki kenampakan warna yang sangat gelap. Oleh karena itu, diputuskan batas maksimal tingkat substitusi adalah 40%. Sagu aren dan tepung labu kuning berperan sebagai bahan baku utama pada pembuatan mi glosor instan. Bahan pendukung lainnya antara lain air, garam, STPP, guar gum, isolat protein kedelai, dan soda abu. STPP (sodium tripoly phosphat) merupakan garam alkali. Guar gum berperan sebagai thickener. Sementara itu soda abu merupakan pengatur keasaman. Pembuatan mi glosor instan terbagai ke dalam tiga tahapan. Tahapan dalam pembuatan mi glosor instan adalah pembuatan binder adonan, pembuatan adonan dan pencetakan. Pembuatan Binder adonan Karakteristik pati sagu aren berbeda dengan tepung terigu yang biasa digunakan dalam membuat produk mi. Keterbatasan pati sagu aren adalah tidak terdapatnya gluten di dalamnya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap pembentukan adonan. Pembentukan adonan pada produk mi yang berasal dari
29
tepung non terigu sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi (Ekafitri 2010),
sehingga
diperlukan
metode
khusus
dalam
proses
pembuatan
adonannya, yaitu dengan pembuatan lem sagu terlebih dahulu. Binder terbuat dari 40 gram sagu aren yang dicampur air dengan perbandingan 1:2 (b/b). Air yang digunakan dalam pembuatan binder sebelumnya telah dicampur dengan STPP sebesar 0,4 gram. Campuran sagu aren tersebut diaduk rata hingga terbentuk suspensi. Suspensi tersebut kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi. Binder telah terbentuk ditandai dengan kekentalan suspensi yang meningkat dan warna berubah menjadi transparan (Sugiyono et al. 2008).
Lem sagu yang telah
terbentuk nantinya akan digunakan dalam pembuatan adonan mi. Binder adonan yang dimaksudkan seperti Gambar 9.
Gambar 9 Binder adonan. Pembuatan Adonan Tepung sagu aren kering dicampur dengan tepung labu kuning dengan proporsi sesuai dengan masing-masing formula, guar gum sebanyak 1% dari total tepung, 0,2 gram soda abu, 10 gram isolate protein kedelai dan garam. Semua bahan dicampur dengan metode dry mixing. Binder yang telah terbentuk kemudian dicampurkan ke dalam tepung sagu aren kering yang telah bercampur dengan bahan lain. Campuran antara binder dan tepung sagu aren kering diuleni hingga
merata.
Proses
pengadonan
dilakukan
secara
manual
dengan
menggunakan tangan. Fungsi dari binder adalah untuk mengikat bahan-bahan kering lain dalam proses pembuatan adonan.
30
Pencetakan Mi Karakteristik
sagu
aren
sangat
berbeda
dengan
tepung
terigu.
Kandungan gluten dalam terigu menyebabkan adoanan mampu membentuk lembaran yang kohesif, ekstensibel dan elastis. Namun pembentukan adonan pada tepung non terigu sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi, sehingga teknik yang dianggap paling sesuai dalam pembuatan mi non terigu adalah teknik ekstruksi (Ekafitri 2010). Adonan mi yang akan dicetak harus dimasukkan ke dalam mesin pencetak dalam keadaan hangat. Oleh karena itu, proses pengadonan harus dilakukan dengan cepat. Apabila adonan mi masuk ke dalam mesin pencetak dalam keadaan dingin, adonan akan lengket dan tidak keluar dengan baik. hal ini akan mempengaruhi terbentuknya untaian mi menjadi kurang kompak. Alat pencetak mi yang digunakan adalah multifunctional noodle machine. Mesin ini merupakan mesin yang bekerja dengan menggunakan prinsip ekstruksi. Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan alat ekstrusi (ekstruder) terdiri dari suatu ulir (sejenis ulir bertekanan) yang menekan bahan baku sehingga berubah menjadi bahan semipadat. Bahan tersebut ditekan keluar melalui lubang terbatas (cetakan/ die) pada ujung ulir. Selama proses ekstruksi berlangsung, putaran ulir yang mendorong adonan akan menimbulkan panas akibat pergesekan antara adonan dengan ulir dan dinding bagian dalam mesin. Sugiyono et al. (2008) menyatakan bahwa panas yang timbul akan menyebabkan peningkatan suhu adonan, penurunan kadar air dan terjadinya gelatinasi pada adonan. Menurut Estiasih dan Ahmadi (2011),
pemanasan terhadap bahan baku yang mengalami proses ekstruksi
disebut pemasakan ekstruksi. Secara lebih lanjut Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan bahwa ekstruksi adalah suatu proses yang mengombinasikan beberapa
proses
meliputi
pencampuran,
pemasakan,
pengadonan,
penghancuran, pencetakan dan pembentukan. Gambar 10 adalah Gambar dari Multifunctional noodle mesin.
31
Gambar 10 Multifunctional noodle machine. Ciri utama dari proses ekstruksi adalah sifatnya yang kontinu. Adonan yang dimasukkan ke dalam mesin ekstruksi akan keluar menjadi untaian mi melalui lubang yang terletak pada ujung ulir. Untaian yang keluar melalui die kemudian dimasukkan kembali ke dalam mesin ekstruksi untuk dicetak ulang. Pengulangan ini bertujuan untuk mendapatkan untaian mi yang lebih kuat, tidak mudah putus dan seragam. Proses ekstruksi dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Proses ekstruksi. Untaian mi selanjutnya dikukus dengan menggunakan mesin steamer pada suhu ± 95 oC selama tiga kali pengukusan. Untaian mi yang keluar dari mesin ekstruksi dikukus selama satu menit. Setelah satu menit selesai, untaian mi kemudian dikeluarkan dan dibalik. Untaian kembali dimasukkan ke dalam mesin steamer untuk dikukus kembali selama satu menit. Untaian mi kemudian dikeluarkan kembali untuk dicetak. Mi yang telah dicetak kemudian dikukus
32
kembali selama satu menit. Setelah proses pengukusan selesai, mi dikeringkan dalam oven selama satu jam. Mi glosor instan dikemas dalam kemasan plastik. Menurut Astawan (2000), mi instan berdasarkan pembuatannya dengan proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua. Mi instan goreng yang pengeringannya dengan cara digoreng (instan fried noodle), dan mi instan kering (instant dried noodle) yang pengeringannya dengan udara panas. Mi glosor instan dalam penelitian ini tergolong kedalam instant dried noodle. Seluruh produk yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 12.
F0 (0%)
F1 (10%)
F2 (20%)
F3 (40%)
F3 (30%)
Gambar 12 Mi glosor instan. Kandungan Zat Gizi Mi Mi glosor merupakan jenis mi yang lebih banyak dikonsumsi oleh penduduk di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur (Djoefrie 1999). Di saat bulan ramadhan tiba, mi glosor menjadi salah satu hidangan favorit untuk berbuka puasa. Namun kandungan gizi dari dapat dikatakan sangat kurang. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000). Sehingga diperlukan suatu tindakan dengan mengkombinasikan tepung sagu aren dengan bahan lain untuk meningkatkan kandungan gizi dari mi glosor. Penelitian ini melakukan substitusi tepung labu kuning dengan taraf yang dimulai dari 0% hingga 40%. Perlakuan substitusi dengan menggunakan tepung labu kuning diharapkan mampu memperbaiki kandungan zat gizi dari mi glosor yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh sebuah produk mi glosor yang telah mengalami modifikasi yang memiliki kelebihan dalam hal gizi jika dibandingkan dengan produk yang telah ada saat ini.
33
Analisis kandungan zat gizi dilakukan terhadap seluruh formula. Tindakan ini
dilakukan untuk mengetahui apakah perlakuan perbedaan taraf substitusi
berpengaruh terhadap kandungan zat gizi dari mi glosor instan. Analisis zat gizi meliputi analisis proksimat dan analisis kandungan beta karoten. Analisis proksimat terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Analisis kandungan beta karoten pada mi glosor instan hanya dilakukan pada 3 formula dengan tingkat substitusi tepung labu kuning terbesar. Kandungan zat gizi dari setiap formula mi glosor instan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Kandungan zat gizi mi Kandungan Zat Gizi Formula
Air (% bb)
Abu (% bb) b
Protein (% bb) a
a
Lemak (% bb)
Karbohidrat (% bb)
a
βkaroten (µg/100)
b
F0 (0%) 6,43 1,81 2,53 0,06 89,15 b b b b ab F1 (10%) 6,04 2,27 3,05 0,09 88,53 ab c b bc ab a F2 (20%) 5,88 2,70 3,15 0,10 88,15 303 ab d c bc ab b F3 (30%) 4,84 3,27 3,71 0,11 88,05 408 a e d c a b F4 (40%) 4,20 4,17 4,22 0,12 87,26 461 Keterangan: (-) tidak dilakukan analisis * Nilai dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncan
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air pada mi cenderung semakin menurun seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning. Namun setelah diuji secara statistik menunjukkan bahwa hingga substitusi sebesar 40% tidak memberikan kontribusi secara nyata terhadap perbedaan kadar air pada mi glosor instan (p>0,05). Kadar air pada suatu bahan pangan sangat bergantung pada metode pengeringan yang digunakan. Standar nasional mengenai mi instan diatur dalam SNI 01-3551-2000. Kandungan air dalam mi yang dikeringkan dengan proses penggorengan (instant fried noodle) maksimal memiliki kadar air 10,0% bb. Mi instan yang menggunakan proses pengeringan (instan dried noodle) maksimal memiliki kadar air 14,5% bb. Berdasarkan hasil analisis keseluruhan formula sudah masuk standar yang ditetapkan oleh Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren, kadar abu pada mi glosor instan cenderung meningkat. Uji secara statistik menunjukkan bahwa substitusi berpengaruh sangat nyata terhadap perbedaan kadar abu mi glosor instan (p<0,01). Labu kuning memiliki kandungan mineral yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
34
tepung sagu aren. Kandungan kalsium, pospor, natrium, dan kalium dalam labu kuning sebesar 40 mg, 180 mg, 220 mg dan 220 mg per 100 g BDD labu kuning (Depkes RI 2001). Hasil analisis proksimat juga menunjukkan bahwa kadar abu pada tepung labu kuning lebih tinggi jika dibandingkan tepung sagu aren. Oleh karena itu semakin meningkatnya subtitusi tepung labu kuning akan semakin meningkatkan kadar abu dari mi glosor instan yang dihasilkan. Peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan kadar protein mi glosor instan. Kadar protein mi glosor instan terendah adalah F0 (0%). Sedangkan mi glosor yang memiliki kadar protein tertinggi adalah F4 (40%). Semakin meningkatnya taraf substitusi tepung labu kunig, kadar protein mi glosor instan yang dihasilkan cenderung semakin tinggi. Setiap 100 g BDD labu kuning mengandung 1,7 g protein (Depkes RI 2001). Pengeringan akan mengakibatkan air pada bahan akan menguap. Akibatnya konsentrasi zat gizi lain pada bahan tersebut akan meningkat (Muchtadi 1998). Berdasarkan pernyataan tersebut, kandungan protein pada tepung labu kuning akan lebih besar jika dibandingkan labu kuning. Hasil anallisis proksimat menunjukkan bahwa kadar protein pada tepung labu kuning lebih besar jika dibandingkan dengan kadar tepung sagu aren. Sehingga peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren akan meningkatkan kandungan protein pada mi glosor yang dihasilkan. SNI 01-3551-2000 menyatakan bahwa mi instan yang berasal dari terigu mengandung minimal 8,0% bb protein dari keseluruhan berat total. Sedangkan mi yang berasal dari non terigu, mengandung minimal 4% bb protein. Mi glosor pada penelitian ini termasuk kedalam mi instan yang berasal dari non terigu. Mi glosor F0 sampai F3 belum mampu memenuhi standar ini karena memiliki kadar protein kurang dari 4%. Formula 4 menjadi satu-satunya mi yang berhasil memenuhi standar protein dari SNI 01-3551-2000. Kadar protein mi glosor instan F4 sebesar 4,22%. Berdasarkan hasil analisis, kandungan lemak pada tepung labu kuning yang dihasilkan pada penelitian in sebesar 1,15% bb. Kandungan lemak pada mi glosor instan cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren. Kadar lemak terkecil terkandung pada mi glosor instan formula 0 (0%) sebesar 0,06%. Sementara itu, Formula 4 (40%) memiliki kandingan lemak tertinggi di antara formula lainnya, yaitu 0,12%.
35
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren berpengaruh sangat signifikan (p<0,01) terhadap perbedaan kandungan lemak pada mi glosor instan yang dihasilkan. Kadar mi instan metode pengeringan biasanya akan memiliki kandungan lemak lebih rendah jika dibandingkan dengan mi instan metode penggorengan. Astawan (2000) menyatakan bahwa daya serap mi instan goreng dapat mencapai hingga 20% selama penggorengan (dalam proses pembuatan mi). Sehingga mi instan goreng memiliki keunggulan rasa dibandingkan dengan mi jenis lain. Namun kadar lemak yang lebih rendah pada mi instan pengeringan menyebabkan daya simpan pada mi jenis ini lebih lama jika dibandingkan dengan mi instan goreng. Hal ini disebabkan sedikitnya lemak yang menimbulkan ketengikan pada pangan (Rahayu 2009). Kandungan karbohidrat pada mi glosor instan ditentukan dengan menggunakan metode by difference. Berdasarkan hasil analisis, semakin tinggi taraf substitusi tepung labu kuning, kandungan karbohidrat pada mi glosor semakin sedikit. Namun hasil uji statistik menunjukkan bahwa taraf substitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan kandungan karbohidrat mi glosor instan (p>0,05). Analisis beta karoten dilakukan terhadap tiga formula dengan taraf substitusi tepung labu kuning terbesar. Formula tersebut adalah F2 (20%), F3 (30%), dan F4 (40%). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode HPLC, diketahui bahwa nilai rata-rata kandungan beta karoten terendah dimiliki oleh F2 (20%) sebesar 3,03 µg/100 g. Sementara itu F3 (30%) memiliki kandungan beta karoten sebesar 4,08 µg/100 g. Nilai rata-rata kandungan beta karoten tertinggi adalah F4 (40%), yaitu sebesar 461 µg/100 g. Seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning, kandungan beta karoten memiliki kecenderungan yang semakin meningkat pula. Hasil ini didukung oleh analisis sidik ragam anova yang menunjukkan bahwa perlakuan substitusi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan kandungan beta karoten dari tiga formula tersebut. Karakteristik Fisik Mi a)
Karakteristik Warna Penentuan jenis warna suatu bahan makanan dapat dilakukan secara
subjektif
maupun
objektif.
Penentuan
warna
secara
subjektif
dengan
36
menggunakan mata sebagai alat penentu warna. Sementara itu penentuan warna secara objektif adalah dengan menggunakan alat pengukur warna. Pengamatan dengan menggunakan kromameter menghasilkan lima parameter yang digunakan untuk menentukan warna produk. Parameter tersebut adalah L (luminant) untuk kecerahan, a untuk derajat warna merah, b untuk derajat warna kuning, C (croma) untuk intensitas warna dan Hue untuk warna kromatik. Hasil pengukuran karakteristik warna produk disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil analisis warna produk Formula F0 (0%) F1 (10%) F2 (20%) F3 (30%) F4 (40%)
Luminant b 45,02 d 52,75 c 49,86 a 37,90 a 35,97
Croma a 12,33 d 30,28 e 36,72 c 28,85 b 27,58
Hue a 58,40 e 78,86 d 76,23 c 67,73 b 66,61
Formula nol (F0) memiliki nilai Hue sebesar 58,40 yang berarti bahwa F0 memiliki warna kromatis kuning-merah. Intensitas warna F0 bernilai 12,33 dan memiliki tingkat kecerahan 45,02. Substitusi sebesar 10% menyebabkan nilai Hue meningkat menjadi 78,86. Hal ini berarti bahwa F1 (10%) memiliki warna yang sama dengan F0 (0%) yaitu kuning merah. Nilai intensitas warna dak kecerahan F1 lebih besar jika dibandingkan dengan F0. Formula 1 (F1) memiliki kecerahan warna sebesar 52,75 dan merupakan warna paling cerah diantara yang lain. Intensitas warna F1 berdasarkan pengukuran bernilai 30,28. Berdasarkan nilai hue yaitu 76,23 dan 67,73, F3 dan F4 memiliki warna kromatis kuning-merah. Dari segi intensitas, F2 memiliki intensitas warna yang lebih besar jika dibandingkan dengan F3. Formula 2 (F2) memiliki nilai croma sebesar 36,72. Sementara F3 memiliki nilai croma sebesar 28,85. Tingkat kecerahan warna dari kedua formula memiliki kecenderungan yang sama dengan nilai intensitas warnanya. Formula dua lebih cerah jika dibandingkan dengan F3. Formula 4 (F4) dengan substitusi tepung labu kuning paling besar, memiliki nilai parameter warna paling rendah jika dibandingkan dengan formula lain yang juga tersubstitusi tepung labu kuning. Nilai hue F4 sebesar 66,61 yang berarti bahwa F4 memiliki warna kromatis kuning-merah. Intensitas warna hasil pengukuran bernilai 27,58. Semetara itu, tingkat kecerahan warna F4 hanya sebesar 35,97. Berdasarkan nilai tersebut, F4 merupakan formula yang paling gelap warnanya.
37
Luminant merupakan parameter untuk menggambarkan kecerahan suatu warna. Nilai L yang dihasilkan dari pengujian memiliki nilai rentang 0 sampai 100. Nilai 0 (nol) menujukkan warna hitam sedangkan 100 menunjukkan warna putih. Artinya adalah jika nilai L semakin mendekati angka 0 (nol) maka warna akan cenderung semakin gelap. Akan tetapi jika nilai L yang dihasilkan semakin mendekati nilai 100, maka warna akan semakin cerah. Hasil Sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa taraf substitusi tepung labu kuning memberikan perbedaan yang sangat nyata pada nilai L produk (P<0,01). Hasil pengukuran nilai L pada produk menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning, produk akan semakin berwarna gelap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren berbanding terbalik dengan kecerahan warna produk yang dihasilkan. Kondisi serupa juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh See et al. (2007) . Suplementasi tepung labu kuning secara nyata berpengarung terhadap warna roti yang dihasilkan. Seiring dengan meningkatnya suplementasi tepung labu kuning, nilai L semakin kecil. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh adanya rekasi maillard antara protein pada gandum dan penambahan gula dan karamelisasi yang dipengaruhi oleh perpindahan air dari gula yang ditambahkan dan asam amino. Labu kuning merupakan bahan pangan yang tinggi kandungan gulanya. Seiring dengan meningkatnya persentase subtitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren, kandungan gula pada formula produk semakin tinggi. Kandungan gula yang tinggi pada labu kuning diduga menjadi penyebab semakin mencoklatnya warna produk seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning. Proses pencoklatan pada produk dapat sebabkan melalui rekasi karamelisasi maupun maillard. Karamelisasi
merupakan
sekumpulan
reaksi
yang
terjadi
ketika
karbohidrat terpapar oleh suhu tinggi tanpa keterlibatan gugus amino dalam reaksi tersebut (Quintas et al. 2007). Reaksi karamelisasi ini dalam industri pangan dapat berperan sebagai hal yang dapat meningkatkan mutu produk maupun menurunkan mutu dari produk. Contoh dari reaksi pencoklatan antara lain adalah terbentuknya warna coklat pada kembang gula karamel atau roti yang dibakar.
38
Reaksi Maillard disebut juga dengan istilah browning. Reaksi Maillard didefinisikan sebagai serangkaian kejadian yang diawali adanya reaksi antara gugus amino dari asam amino, peptida atau protein dengan gugus hidroksil glikosida dari gula. Pada umumnuya lisin merupakan asam amino yang paling reaktif Reaksi ini menghasilkan pigment berwarna colat dan aroma (DeMan 1997). Gula pereduksi yang terkandung di dalam labu kuning bereaksi dengan asam amino yang terkandung dalam bahan baku pembuatan produk. Reaksi maillard dari keduanya menghasilkan pigmen coklat dan aroma seperti karamel. Seiring dengan meningkatnya jumlah subtitusi tepung labu kuning, kandungan gula pereduksi di dalam produk semakin besar pula, sehingga Reaksi Maillard yang terjadi semakin banyak dan pigmen coklat yang dihasilkan semakin banyak pula. DeMan (1997) menyebutkan pula bahwa intensitas warna dari pigmen meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Selain parameter L, parameter lain yang perlu diperhatikan dalam pengukuran warna adalah C. Parameter C (croma) mewakili intensitas atau ketajaman warna. Semakin tinggi nilai chroma menunjukkan semakin kuat intensitas warna yang dihasilkan. Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan ketajaman warna dari sampel. Substitusi tepung labu kuning sebesar 10% menyebabkan peningkatan nilai intensitas warna dari produk. Intensitas warna produk berada pada nilai tertinggi ketika substitusi tepung labu kuning yang dilakukan sebesar 20%. Namun seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning, nilai chroma cenderung menurun. Substitusi tepung labu kuning sebesar 30% menyebabkan ketajaman warna produk turun menjadi 28,85. Nilai chroma terkecil ditunjukkan pada taraf substitusi tepung labu kuning paling besar, yaitu 40%. Parameter terakhir yang digunakan dalam pengukuran warna adalah Hueo. Nilai hueo yang diperoleh berada dalam bentuk nilai derajat radian kemudian diinterpretasikan ke dalam bola imajiner mussell. Bola imajiner munsell memiliki pembagian wilayah warna pada sudut-sudut tertentu. Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap nilai Hueo produk. Formula kontrol memiliki nilai Hueo paling rendah jika dibandingkan
39
dengan formula yang lain. Formula kontrol (F0) memiliki nilai Hueo sebesar 58,40. Berdasarkan nilai tersebut , F0 memiliki warna kromatis kuning-merah (Yellow-red). Substitusi tepung labu kuning sebesar 10% menyebabkan nilai Hueo meningkat. Namun seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, nilai Hueo produk cenderung menurun. Kondisi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh See et al. (2007). Nilai Hueo cenderung menurun seiring
dengan meningkatnya suplementasi tepung
labu kuning dalam
pembuatan roti. Analisis karakterstik fisik produk tidak hanya terhadap warna produk, tetapi juga terhadap karakteristik lain. Karakteristik fisik non warna produk terdiri dari persen elongasi, waktu masak optimum dan daya serap. Ketiga karakteristik tersebut merupakan karakteristik yang biasa diukur dalam produk mi. Tabel 9 menampilkan data hasil uji elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air dari produk. Tabel 9 Nilai elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air mi Formula F0 F1 F2 F3 F4
Elongasi (%) ab 52 ab 55 a 45 b 75 ab 49
Waktu masak optimum (mnt) d 9 c 7,11 b 4,8 a 3,75 a 3,43
Daya serap air (g) b 214,9 a 165,2 a 160,1 a 163,1 a 149,2
b) Persen Elongasi Elongasi
mengGambarkan
kemampuan
mi
untuk
merenggang
(memanjang) dari ukuran awal pada saat menerima tekanan dari luar. Pengukuran elongasi dilakukan dengan menggunakan Tensile Strength Tester. Sampel uji di antara dua penjepit kemudian penarikan dilakukan. Jarak antara tanda diikuti dengan menggunakan penggaris khusus. Berdasarkan sidik ragam, perlakuan perbedaan tingkat substitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap perbedaan nilai elongasi produk. Formula dua (20%) merupakan formula dengan nilai elongasi terkecil, sebesar 45%. Sementara itu F3 (30%) memiliki nilai elongasi terbesar, yaitu sebesar 75%. Formula lain seperti F0 (0%), F1 (10%) dan F4 (40%) memiliki nilai elongasi berturut-turut 52%, 55% dan 49%. Nilai elongasi produk pada penelitian ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai elongasi dari mi instan komersial. Rucita (2010) menuliskan bahwa mi instan komersial memiliki persen elongasi 443,22%. Bahan
40
dasar dalam pembuatan mi sangat berpengaruh terhadap sifat fisik mi seperti elongasi. Mi instan komersial berbahan dasar tepung terigu. Sementara itu bahan dasar mi pada penelitian ini adalah tepung sagu aren. c)
Waktu Masak Optimum Waktu masak optimum adalah waktu yang dibutuhkan mi untuk menyerap
air selama proses pemasakan berlangsung sehingga teksturnya menjadi kenyal dan elastis. Waktu masak optimum tercapai apabila bagian tengah dari mi telah terhidrasi dengan sempurna. SNI 01-3551-2000 menetapkan bahwa waktu masak optimum untuk mi instan adalah 3 menit. Penentuan waktu masak optimum dimulai dari awal mi dimasukkan kedalam air yang mendidih dan berakhir saat bagian mi telah basah. Penentuan waktu masak optimum penting untuk dilakukan untuk menghasilakan tekstur mi matang yang diinginkan. Jika mi terlalu matang, maka mi akan terlalu lengket dan mudah hancur. Kim (1996) menyatakan bahwa tekstur mi yang diinginkan adalah kenyal, sedangkan tekstur mi yang dihindari adalah terlalu lembek seperti bubur. Pada penelitian ini seluruh formula akan dihitung waktu masak optimumnya. Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap tapung sagu aren berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan nilai waktu masak optimum produk. Formula nol (0%) menjadi produk dengan waktu masak optimum paling panjang. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai waktu masak optimum berbanding terbalik dengan perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning. Seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning, waktu masak optimum semakin pendek. Sehingga F4 (40%) merupakan produk dengan waktu masak optimum paling pendek. Formula nol (0%) memiliki rata-rata waktu masak optimum sebesar 9 menit. Sementara itu untuk memasak F1 (10%), diperlukan waktu yang lebih pendek, yaitu selama 7,11 menit. Waktu masak yang diperlukan untuk memasak F2 (20%) lebih pendek jika dibandingkan dengan F1 (10%), yaitu selama 4,8 menit. Waktu yang masak optimum yang diperlukan untuk waktu masak F3 (30%) selama 3,75 menit. F4 (40%) sebagai formula dengan tingkat substitusi tepung labu kuning paling besar, waktu masak optimumnya paling kecil yaitu selama 3,43 menit. Substitusi tepung labu kuning berpengaruh terhadap waktu masak optimum produk. Semakin tinggi taraf substitusi tepung labu kuning, waktu
41
masak optimum dari produk semakin pendek. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan karakteristik dari tepung labu kuning. Menurut Anggraini et al. (2006), tepung
labu
kuning
bersifat
higroskopis.
Higroskopis
artinya
memiliki
kecenderungan atau mudah untuk menyerap air. Hal ini diakibatkan oleh struktur fisik dari tepung yang bersangkutan memiliki banyak pori sehingga memudahkan air dari luar untuk masuk ke dalam granula pati. Menurut SNI 01-3551-1996 cooking time mi instan maksimum adalah 3 menit. Pada penelitian ini, F4 (40%) memiliki cooking time tercepat adalah 206 detik atau sekitar 3,5 menit. Sementara itu formula lain memiliki cooking time yang lebih besar dibandingkan dengan F4 (40%). Sehingga dapat disimpulkan hanya F4 (40%) yang hampir memenuhi standar SNI. d) Daya Serap Air Daya serap air merupakan kemampuan mi untuk menyerap air secara maksimal. Nilai daya serap air dihitung dari banyaknya air yang diserap per berat kering sampel. Rahayu (2009) menyatakan bahwa secara umum daya serap air mengGambarkan perubahan bentuk mi selama proses pemasakan. Semakin besar daya serap air, maka semakin banyak jumlah air yang dapat diserap oleh mi dan mi semakin mengembang. Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan daya serap air. Formula nol menjadi formula dengan daya serap air paling besar, yaitu rata-rata menyerap air sebanyak 214,9%. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, daya serap air formula nol berbeda dengan daya serap air dari formula tersubstitusi tepung labu kuning. Daya serap air formula tersubstitusi tepung labu kuning, lebih kecil jika dibandingkan dengan formula kontrol (0%). Sementara itu seluruh formula yang tersubstitusi tepung labu kuning, memiliki daya serap air yang tidak berbeda menurut uji lanjut Duncan. Perebusan menyebabkan terjadi pengembangan mi akibat bertambahnya massa granula pati seiring dengan masuknya air.
Semakin banyak air yang
terperangkap kedalam susunan amilosa dan amilopektin kadar air mi semakin bertambah (Anggraini et al. 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) diperoleh hasil bahwa pada mi ubi kayu yang ditambahkan tepung labu kuning, semakin besar penambahan tepung labu kuning mengakibatkan semakin besar tingkat pengembangan mi karena air yang terserap semakin banyak.
42
Daya serap air pada penelitian ini memiliki kecenderungan yang berbeda jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Anggraini et al. (2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kekompakan untaian mi pada produk ini sangat rendah. Banyaknya air yang menyusup kedalam untaian mi pada saat proses hidrasi berlangsung, menyebabkan granula pati pati menjadi pecah. Sehingga diduga banyak padatan mi yang terlarut bersama air perebusan. Anggraini et al. (2006) mendapatkan hasil bahwa nilai cooking loss mi ubi kayu yang ditambah tepung labu kuning berbeda nyata dengan yang tanpa ditambah tepung labu kuning. Nilai cooking loss cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya persentase
penambahan
tepung
labu kuning.
Anggraini
et
al.
(2006)
menambahkan bahwa sifat higroskopis tepung labu kuning menyebabkan banyak air pada mi dan mengakibatkan semakin banyak padatan terlarut selama proses pemasakan mi. Kondisi ini menyebabkan sampel yang diukur daya serap airnya berkurang. Karakteristik Organoleptik Mi Uji organoleptik yang dilaksanakan meliputi uji mutu hedonik dan uji hedonik atau kesukaan. Tujuan dari uji organoleptik adalah untuk mengetahui karakteristik mutu produk menurut persepsi panelis (uji mutu hedonik) dan mengetahui tingkat kesukaan dan penerimaan panelis terhadap produk yang diujikan (uji hedonik). Uji organoleptik melibatkan 30 orang panelis semi terlatih. Sementara itu skala garis yang digunakan adalah 1 sampai 9. Uji Mutu Hedonik Uji mutu hedonik yang dilakukan meliputi atribut warna permukaan, keseragaman warna, aroma karamel, aroma labu, rasa pahit, rasa asin, rasa manis dan tekstur. Uji mutu hedonik dilakukan terhadap produk mi yang telah mengalami rehidrasi dan disajikan tanpa kuah. Nilai skala yang digunakan adalah 1 sampai 9 yang diinterpretasikan menjadi mutu produk yang telah diklasifikasikan terlebih dahulu. Atribut warna menggunakan skala 1 = amat sangat pucat dan 9 = amat sangat gelap. Pada atribut keseragaman warna, nilai 1 = amat sangat tidak seragam dan 9 = amat sangat seragam. Untuk aroma karamel dan labu, nilai 1 = amat sangat tidak beraroma karamel/labu dan 9 = amat sangat beraroma karamel/ labu. Nilai 1 = amat sangat tidak berasa manis/asin/pahit dan 9 = amat sangat berasa manis/asin/pahit. Parameter terakhir adalah tekstur, nilai 1 = amat
43
sangat rapuh dan 9 = amat sangat elastis. Nilai rata-rata dari mutu hedonik setiap atribut untuk setiap formula dapat dilihat pada Gambar 13.
warna 6,1
6,6 6,6 6,6 6,6 6,6 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,2 6,2 6,2 6,2 6,2 6,2 6,2 6,1 6,1 6,1 6,1 6,1 6,1 6,1 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 5,9 5,9 5,9 5,9 5,9 5,9 5,9 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,6 5,6 5,6 5,6 5,6 5,6 5,6 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,4 5,4 5,4 5,4 5,4 5,4 5,4 5,3 5,3 5,3 5,3 5,3 5,3 5,3 5,3 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,2 5,1 5,1 5,1 5,1 5,1 5,1 5,1 5,0 5,0 5,0 5,0 5,0 5,0 5,0 4,9 4,9 4,9 4,9 4,9 4,9 4,9 4,9 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,7 4,7 4,7 4,7 4,7 4,7 4,7 4,6 4,6 4,6 4,6 4,6 4,6 4,6 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,4 4,4 4,4 4,4 4,4 4,4 4,4 4,4 4,3 4,3 4,3 4,3 4,3 4,3 4,3 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,1 4,1 4,1 4,1 4,1 4,1 4,1 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,7 3,7 3,7 3,7 3,7 3,7 3,7 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,4 3,4 3,4 3,4 3,4 3,4 3,4 3,3 3,3 3,3 3,3 3,3 3,3 3,3 3,2 3,2 3,2 3,2 3,2 3,2 3,2 3,1 3,1 3,1 3,1 3,1 3,1 3,1 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 2,7 2,7 2,7 2,7 2,7 2,7 2,7 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,6 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9 1,8 1,8 1,8 1,8 1,8 1,8 1,8 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0
5,8
elastisitas 5,0 4,7 4,6 4,2
3,3
3,2
3,0 4,0 3,9 3,2
rasa manis
6,6keseragama 6,3 n warna 5,9 5,6
5,1
4,4
FO F1 4,7 4,9 5,2
2,9
3,7 2,4 2,8
2,5 3,0 3,2
rasa asin
aroma karamel
F2 F3 F4
3,1 4,1 5,2
5,6 5,7
aroma labu
rasa pahit
Gambar 16 Nilai rata-rata mutu hedonik produk Keterangan: Warna
Keseragaman Warna, Aroma, Rasa, Elastisitas
: 1. Amat sangat pucat, 2. Sangat pucat, 3. Pucat, 4. Agak Pucat, 5. sedang, 6. agak gelap, 7. Gelap, 8. Sangat gelap, 9. Amat sangat gelap : 1 amat sangat lemah, 2. Sangat lemah, 3. Lemah, 4. Agak lemah, 5. Sedang, 6. Agak kuat, 7. Kuat, 8. Sangat kuat, 9. Amat sangat kuat : 1. Amat sangat rapuh, 2. Sangat rapuh, 3. Rapuh, 4. Agak rapuh, 5. Sedang, 6. Agak elastis, 7. Elastis, 8. Sangat elastis, 9. Amat sangat elastis.
Warna Warna merupakan sebuah atribut yang penting dalam penilaian terhadap suatu makanan. Warna merupakan atribut yang nampak secara visual oleh mata. Sehingga warna akan menjadi atribut pertama yang akan muncul pada diri seseorang ketika mendapati suatu makanan. Anak-anak misalnya, mereka cenderung lebih menyukai warna makanan yang terang dan mencolok. Warna pada suatu makanan sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan penyusunnya. Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap warna mi glosor instan matang antara 3,2 sampai 6,1. Nilai ini berkisar antara pucat hingga agak gelap. Seiring
44
dengan peningkatan persentase subtitusi tepung sagu aren, nilai rata-rata penilaian mutu warna produk menurut panelis semakin meningkat. Hal ini menjadi indikasi bahwa semakin tinggi persentase subtitusi warna mi semakin gelap. Semakin tinggi kandungan tepung labu kuning pada produk, tingkat pencoklatan pada permukaan mi semakin tinggi. Hendrasty (2003) menyatakan bahwa kandungan gula pada labu kuning tinggi, jika terkena panas akan terjadi karamelisasi. Karamelisasi identik dengan warna yang berubah coklat dan bau karamel yang tajam. Hasil sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap warna yang dihasilkan. Formula empat (40%) memiliki nilai rata tertinggi sebesar 6,1, yang berarti F4 (40%) memiliki warna agak gelap menurut panelis. Rata-rata terendah untuk atribut warna adalah F0 (10%) sebesar 3,2. Nilai tersebut menunjukkan bahwa F0 (10%) memiliki warna yang pucat menurut pendapat panelis. Uji statistik kemudian dilanjutkan dengan uji duncan. Berdasarkan hasil analisis uji lanjut Duncan (Lampiran 11), F4 (40%) tidak berbeda dengan F3 (30%). Formula dua (20%) merupakan formula yang paling berbeda dengan yang lain. Sementara itu F0 (0%) dan F1 (10%) dinyatakan tidak berbeda dari segi warna. Keseragaman Warna Warna yang cantik, namun tidak seragam antar bagian juga menjadi parameter penting dalam pemilihan suatu produk. Keseragaman warna dapat menjadi indikasi apakah pencampuran bahan dilakukan dengan merata atau tidak. Selain itu merata tidaknya proses pemasakan juga berpengaruh terhadap keseragaman warna pada produk yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik yang dilakukan oleh panelis, keseragaman warna mi glosor instan berada pada nilai antara 4,4 sampai 6,6. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keseragaman warna mi glosor instan menurut panelis adalah agak tidak seragam hingga agak seragam. Nilai rata-rata tertinggi adalah F3 (30%) sebesar 6,6 dan nilai terendah adalah adalah F1 (10%). Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 3) taraf subtitusi berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan tingkat keseragaman warna produk. uji statistik kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa F0
(0%) berbeda dengan formula lainnya. Kondisi
serupa juga terjadi pada F1 (10%). Formula dua (F2) berbeda nyata dengan
45
formula yang lain. Formula dua (F2) tidak berbeda nyata dengan F4 (40%), tapi berbeda nyata dengan formula yang lain. Sementara itu F4 (40%) tidak berbeda nyata dengan F3 (30%). Aroma Aroma menjadi atribut selanjutnya yang dinilai dalam uji mutu hedonik. Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung. Atribut aroma dari mmi glosor instan terdiri dari aroma karamel dan aroma labu. Aroma Karamel. Kandungan gula yang tinggi pada tepung labu kuning akan
mengakibatkan
terjadinya
karamelisasi
pada
permukaan
produk.
Karamelisasi sangat identik dengan warna coklat dan bau karamel yang khas. Reaksi karamelisasi merupakan reaksi pencoklatan non enzimatik yang terjadi ketika karbohidrat terpapar oleh panas yang tinggi tanpa keterlibatan dari gugus amino pada rekasi tersebut (Clarke et al. 1997). Berdasarkan hasil uji sidik ragam (Lampiran 3), peningkatan jumlah subtitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap aroma karamel yang dihasilkan pada produk. Nilai rata-rata uji mutu hedonik berada pada kisaran 2,9 sampai 5,2. Nilai penilain tertinggi diberikan oleh panelis kepada F3 (30%). Hal ini berarti aroma karamel pada F3 biasa. Sementara itu nilai terendah adalah F0. Berdasarkan penilaian panelis, F0 sangat tidak berbau karamel. Uji statistik dilajutkan dengan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa aroma karamel pada F0 (0%) dan F1 (10%) berbeda nyata dengan formula yang lain. Sementara itu F2 (20%), F3 (30%), dan F4 (40%) tidak berbeda secara nyata. Terbentuknya aroma karamel diduga tidak hanya dipengaruhi oleh pemanasan tetapi juga oleh merata atau tidaknya paparan panas terhadap produk. Seharusnya F4 (40%) memiliki aroma karamel yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan F3, karena tingkat subtitusi F4 (40%) lebih tinggi. Namun penilaian panelis menunjukkan bahwa F3 (30%) merupakan produk yang paling beraroma karamel meskipun tidak ditemukan perbedaan yang nyata dengan F4 (40%) dan F2 (20%). Hal ini diduga berkaitan dengan kemerataan panas pada saat mengoven. Panas pada F3 (30%) lebih merata jika dibandingkan dengan F4 (40%). Hal ini dibuktikan dengan keseragaman warna pada F3 (30%) juga lebih besar dibandingkan dengan F4 (40%) meskipun tidak berbeda secara nyata.
46
Aroma Labu. Aroma merupakan pengGambaran dari bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk. Bahan
yang penggunaannya
dominan biasanya akan mendominasi dari aroma keseluruhan dari produk tersebut. Uji mutu hedonik aroma labu bertujuan untuk mengetahui apakah peningkatan suntitusi tepung labu kunng berpengaruh terhadap aroma labu yang dihasilkan pada mi glosor instan. Nilai rata penilaian panelis terhadap mutu aroma labu pada mi glosor instan untuk semuar formula berkisar antara 3,1 sampai 57. Nilai rata-rata mutu aroma labu
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah substitusi. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan substitusi meningkatkan aroma pada produk mi glosor instan menurut persepsi panelis. Hasil sidik ragam (Lampiran 3) menyatakan bahwa peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan aroma labu yang timbul. Nilai rata-rata tertinggi nilai mutu aroma labu adalah formula dengan substitusi tepung labu kuning terbesar, yaitu F4 (40%). Formula empat dinilai oleh panelis memiliki aroma labu beraroma labu dengan nilai 5,7. Sementara nilai rata-rata terendah adalah F0 (0%) yang merupakan formula yang tidak mengalami substitusi tepung labu kuning sama sekali. Nilai rata-rata mutu aroma labu F0 (0%) adalah 3,1 yang berarti tidak beraroma labu . Hasil nyata pada sidik ragam kemudian diteruskan dengan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan menyatakan bahwa dari segi aroma labu F0 (0%) berbeda nyata dengan F1 (10%). Kondisi serupa dengan aroma karamel, F2 (30%), F3 (30%) dan F4 (40%) tidak berebda menurut uji lanjut Duncan. Rasa Rasa merupakan salah satu atribut penting dalam menilai suatu produk terutama makanan. Rasa suatu produk sangat dipengaruhi oleh komposisi dari bahan makanan penyusun. Rasa merupakan salah satu parameter dimana indera pengecap sangat memegang peranan penting dalam penilaiannya. Setiap bagian lidah memiliki tingkat kepekaan terhadap rasa yang berbeda-beda. Bagian lidah yang depan berguna untuk merasakan rasa asin, bagian yang sebelah samping untuk rasa asam, bagian tepi depan berfungsi untuk merasakan rasa manis dan bagian lidah yang belakang untuk rasa pahit. Pengujian mutu hedonik mi glosor instan untuk parameter rasa terdiri dari tiga rasa, yaitu rasa pahit, rasa asin, dan rasa manis. Hasil pengujian ini akan menentukan mutu dari berbagai rasa yang timbul setelah panelis mencicipi mi
47
glosor instan yang telah matang. Berikut adalah penjabaran dari hasil pengukuran setiap rasa yang diujikan: Rasa Pahit. Rasa pahit merupakan rasa yang dapat dirasakan oleh lidah bagian belakang. Perlakuan substitusi tepung labu kuning terhadap tepung labu kuning menimbulkan efek rasa pahit produk. Karamelisasi gula pada produk diduga menjadi penyebab dari timbulnya rasa pahit pada produk. Berdasarkan penilaian panelis nilai rata-rata rasa pahit mi glosor instan berada pada nilai antara 2,5 – 3,2. Nilai menunjukkab bahwa rasa pahit pada produk berada pada kisaran sangat tidak pahit sampai tidak pahit. Hal ini menunjukkan bahwa rasa pahit pada produk sangat kecil menurut penilaian panelis. Hasil sidik ragam (Lampiran 3) menyatakan bahwa peningkatan tingkat substitusi tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap perbedaan nilai rasa pahit yang timbul pada produk. Nilai rata-rata rasa pahit tertinggi justru dimiliki oleh F0 (0%). Sementara itu nilai rata-rata terendah adalah F3 (30%). Rasa Asin. Rasa asin merupakan rasa yang dapat dirasakan oleh lidah bagian depan. Rasa asin ini biasanya lebih diakibatkan oleh penggunaan bumbu, terutama garam dalam proses pengolahan. Berdasarkan hasil uji sidik ragam (Lampiran 3), tingkat substitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap perbedaan rasa asin produk. Menurut penilaian panelis nilai rata-rata rasa asin produk berada pada kisaran 2,4 – 2,8. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rasa asin pada produk sangat tidak berasa. Formula yang memiliki nilai rasa asin paling kecil adalah F1 (10%). Sementara itu F4 (40%) memiliki rasa asin paling besar menurut persepsi panelis. Rasa Manis. Rasa manis merupakan rasa yang dapat dirasakan oleh bagian tepi lidah sebelah depan. Kandungan gula pada tepung labu kuning diduga menjadi penyebab timbulnya rasa manis pada produk. Berdasarkan penilaian panelis, mi glosor instan matang yang disajikan memiliki rasa manis pada kisaran 3,0 – 4,0. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rasa manismi glosor instan berada pada kisaran tidak manis sampai agak tidak manis. Hasil sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan rasa manis yang timbul pada setiap produk. penilaian panelis menyatakan nilai bahwa rata-rata rasa manis meningkat seiring dengan peningkatan substitusi tepung labu kuning. Nilai rata-rata rasa manis
48
terendah adalah F0 (0%). Nilai rata-rata rasa manis tertinggi adalah F4 (40%). Seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning, rasa manis yang terasa pada produk cenderung meningkat. Uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan hasil bahwa F0 (0%), F1 (1%), dan F2 (20%) berada pada subset yang sama. Hal ini berarti bahwa ketiga produk tersebut tidak berbeda secara nyata. Formula saatu (10%), F2 (20%), dan F3 (30%) juga berada pada subset yang sama. Sementara itu F2 (20%), F3 (30%) dan F4 (40%) dinyatakan tidak berbeda menurut uji lanjut Duncan. Elastisitas Tekstur merupakan salah satu parameter fisik yang penting dalam menilai suatu produk.Tekstur yang dinilai dapat berupa kekerasan, elastisitas dan kerenyahan. Penilaian terhadap parameter tekstur ini biasanya disesuaikan dengan jenis makanan yang diuji. Penilaian tekstur pada produk dalam penelitian ini adalah elastisitas mi. Elastisitas mi dinilai dengan cara menarik secara perlahan. Semakin mudah putus mi ketika di tarik, maka nilai elastisitas dari produk tersebut tergolong kecil. Elastisitas mi juga dipengaruhi oleh komposisi tepung yang digunakan dalam pembuatan produk tersebut. Hingga saat ini, elastisitas terbaik adalah mi yang terbuat dari terigu. Berdasarkan penilaian panelis, produk mi glosor instan yang disajikan memiliki nilai rata-rata elastisitas pada kisaran 4,2 – 5,2. Nilai ini menunjukkan bahwa menurut persepsi panelis elastisitas mi glosor instan matang berada pada kisaran agak tidak elastis sampai biasa. Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 3), peningkatan substitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap perbedaan elastisitas mi glosor instan matang. Formula satu (F1) menjadi formula dengan tingkat elastisitas paling rendah menurut panlisis. Sementara itu F3 (30%) merupakan formula dengan elastisitas paling besar. Hedonik (Kesukaan) Uji hedonik merupakan bagian dari uji organoleptik. Uji hedonik burtujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap berbagai atribut dari produk yang disajikan. Uji hedonik ini juga berguna untuk mengetahui seberapa besar penerimaan panelis terhadap produk. Skala yang digunakan dalam uji hedonik sama dengan skala yang digunakan dalam uji mutu hedonik, yaitu 1 sampai 9. Nilai 1 berarti sangat amat tidak suka dan nilai 9 berarti amat sangat suka. Dalam uji hedonik kali ini, mi yang diujikan adalah mi yang telah matang dan disajikan
49
tanpa bumbu. Pada uji hedonik kali ini, atribut yang diujikan adalah warna, aroma, tekstur dan keseluruhan. Hasil uji hedonik disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil uji hedonik produk Formula Warna Aroma Tektur Rasa Keseluruhan a F0 (0%) 3,87 a 4,32 a 4,49 a 3,89 4,27 a b F1 (10%) 3,87 a 5,11 b 3,86 ab 4,55 4,11 a bc b b bc F2 (20%) 5,54 5,25 5,04 4,75 5,23 b bc F3 (30%) 6,06 b 5,43 b 5,46 c 5,10 5,64 b c b b c F4 (40%) 5,75 5,30 5,44 5,19 5,51 b Keterangan: Nilai pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (menurut uji Duncan). 1. amat sgt tdk suka 4. agak tidak suka 7. suka 2. sangat tidak suka 5. biasa 8. sangat suka 3. tidak suka 6. agak suka 9. amat sgt suka
Warna Warna merupakan atribut yang paling pertama dapat dikenali oleh konsumen sebelum menerima suatu produk. warna suatu produk makanan sangat ditentukan oleh bahan-bahan yang digunakan dan cara pengolahan yang dilakukan. Pembuatan mi glsosr instan pada penelitian menggunakan bahan pensubstitusi tepung labu yang berperan sebagai pewarna. Berdasarkan uji kesukaan ini akan diketahui produk manakah yang paling disukai dan dapat diterima oleh panelis berdasarkan atribut warna. Hasil pengujian hedonik menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna berbagai formula mi glosor instan matang antara 3,8 – 6,0. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis berada pada kisaran tidak suka sampai agak suka. Nilai terendah merupakan produk kontrol (F0). Sedangkan nilai tertinggi merupakan F3 (30%). Tingkat kesukaan panelis cenderung meningkat dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan tingkat substitusi tepung labu berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kesukaan panelis terhadap warna mi glosor instan matang. Sementara itu uji lanjut Duncan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap mi glosor instan matang F0 (0%) dan F1 (10%) tidak berbeda secara nyata. Namun kesukaan panelis terhadap kedua formula tersebut berbeda nyata terhadap tiga formula lain yaitu F2 (20%) , F3 (30%) dan F4 (40%), dimana kesukaan panelis terhadap F2 (20%) , F3 (30%) dan F4 (40%) tidak berbeda secara nyata.
50
Persentase penerimaan panelis terhadap atribut warna dari mi glosor instan matang dapat dilihat pada Gambar 14. Panelis dikatakan menerima suatu atribut apabila tingkat kesukaan terhadap atribut tersebut bernilai ≥ 5 pada uji hedonik. Tingkat penerimaan panelis terhadap warna dari formula kontrol (F0) merupakan nilai yang paling kecil jika dibandingkan dengan formula yang mendapatkan perlakuan substitusi tepung labu kuning. Formula yang memiliki tingkat penerimaan terbesar adalah F3 (30%). Sebanyak 81,6% panelis menyatakan dapat menerima produk.
81,6 75
31,6
F0
78,3
36,6
F1
F2
F3
F4
Gambar 14 Persentase panelis yang menerima warna mi
Aroma Perlakuan substitusi tepung labu kuning berpengaruh terhadap aroma yang dihasilkan pada mi glosor instan matang yang disajikan kepada panelis. Aroma labu kuning dan aroma karamel yang timbul akan mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap produk. Pada Uji hedonik yang dilakukan, panelis menilai atribut aroma secara keseluruhan. Sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren pada pembuatan mi glosor instan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap aroma yang timbul pada produk. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk yang dihidangkan adalah 4,3 – 5,4. Nilai tersebut menunjukan bahwa panelis agak tidak suka sampai biasa terhadap aroma mi glosor instan matang. Persen penerimaan panelis terhadap aroma labu menunjukkan nilai yang bervariasi. Panelis yang menyatakan menerima terhadap aroma dari F0 (0%)
51
sebesar 60%. Nilai tersebut merupakan nilai terkecil dari seluruh formula yang diujikan. Formula dua menjadi formula yang persen penerimaannya terbesar. Sebanyak 75% panelis menyatakan mampu menerima aroma dari formula tersebut. Data lengkap mengenai penerimaan panelis terhadap aroma mi glosor instan matang yang disajikan dapat dilihat pada Gambar 15.
75
73,3
73,3 66,6
60
F0
F1
F2
F3
F4
Gambar 15 persentase panelis yang menerima aroma mi Tekstur Tekstur merupakan faktor yang paling penting sebagai atribut fisik dalam penilaian produk mi. Mi yang memiliki kekompakan tekstur atau tidak hancur akan cenderung untuk disukai oleh konsumen jika dibandingkan dengan mi yang hancur menjadi mirip bubur ketika direbus. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 4) tingkat subtitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap tingkat penerimaan panelis dalam hal tekstur. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mi glosor instan matang yang disajikan berada pada kisaran 3,8 – 5,4. Nilai tersebut menunjukkan tingkat kesukaan panelis berada pada rentang agak tidak suka sampai biasa terhadap tekstur mi glosor instan matang. Nilai rata-rata terendah adalah mi F1 (10%). Sedangkan nilai rata-rata kesukaan panelis untuk tekstur mi adalah F3 (30%). Setelah
diketahui
bahwa
tingkat
substitusi
tepung
labu
kuning
berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mi, uji statistik dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mi F1 (10%) tidak
52
berbeda nyata dengan F0 (0%), tetapi berbeda nyata terhadap formula yang lain. Sementara itu tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mi F0 (0%) tidak berbeda nyata dengan F2 (20%), tetapi berbeda nyata dengan F3 (30%) dan F4 (40%). Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur F2 (20%) tidak berbeda nyata terhadap F3 (30%) dan F4 (40%).
70
70
68,3
F2
F3
F4
51,6 41,6
F0
F1
Gambar 16 Persen penerimaan panelis terhadap tekstur mi Berdasarkan tabel diatas, persentase penerimaan terendah panelis terhadap tekstur mi adalah F1 (10%). Sebanyak 41,6% yang menyatakan menerima tekstur mi glosor instan matang F1 (10%). Sementara itu persen penerimaan terbesar panelis berikan untuk dua formula, yaitu F2 (20%) dan F3 (30%). Sebanyak 70% panelis menyatakan dapat menerima tekstur dari mi glosor instan dari kedua formula tersebut. Rasa Rasa merupakan atribut produk yang diukur menggunakan indera pengecap. Rasa menjadi salah satu atribut yang penting untuk menilai suatu produk makanan. Suatu produk makanan yang memiliki warna yang cantik, tekstur yang sesuai dan aroma yang menggugah namun tidak disertai dengan rasa yang enak, tidak akan diterima oleh konsumen. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 4) tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk berkisar pada nilai 3,8 sampai 5,2. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk berada diantara tidak suka dan agak suka. Formula dengan nilai penerimaan tertinggi adalah F0 (0%),
53
sedangkan F4 (40%) menjadi formula yang memiliki rata-rata penerimaan paling besar. Seiring dengan meningkatnya tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren, tingkat kesukaan panelis cenderung meningkat. Uji lanjut menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap F0 (0%) berbeda dengan keempat formula yang lain. Tingkat kesukaan penelis terhadap rasa dari F1 (10%), F2 (20%) dan F3 (30%) tidak berbeda menurut uji lanjut Duncan. Sementara itu tingkat kesukaan panelis terhadap rasa dari F2 (20%), F3 (30%) dan F4 (40%) tidak berbeda secara nyata. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 23. Persen penerimaan panelis terhadap rasa produk diukur seperti mengukur persen penerimaan terhadap atribut lain. Seorang panelis dikatakan menerima atribut suatu produk apabila panelis memberikan nilai ≥ 5 pada uji hedonik. Gambaran mengenai persen penerimaan panelis terhadap rasa produk dapat dilihat pada Gambar 17.
66,6
68,4
F1
F2
78,4
76,6
F3
F4
48,4
F0
Gambar 17 Persentase penerimaan panelis terhadap rasa produk Persentase penerimaan panelis terhadap rasa produk bervariasi. Persentase penerimaan terkecil diberikan oleh panelis terhadap F0 (0%). Persentase penerimaan panelis terhadap rasa F0 (0%) hanya sebesar 48,4%. Sementara itu persentase penerimaan tertinggi dalam segi rasa adalah F3 (30%) sebesar 78,4%. Keseluruhan Variabel keseluruhan merupakan hasil penilaian panelis yang merupakan kombinasi antara variabel penerimaan panelis terhadap atribut warna, aroma dan
54
tekstur dari mi glosor instan matang yang disajikan. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan mi berada pada kisaran 4,1 sampai 5,8. Nilai tersebut berada pada kisaran antara agak tidak suka sampai biasa. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan mi berada pada nilai terendah yaitu 4,1 untuk F1 (10%). Sementara itu nilai rata-rata kesukaan keselurahan tertinggi untuk F3 (30%). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan. Uji lanjut (Duncan) (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan terhadap F1 (10%) dan F0 (0%) tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata terhadap tiga formula mi yang lain. Sementara itu tingkat kesukaan panelis terhadap F2 (20%) ridak berbeda nyata dengan F4 (40%) tapi berbeda nyata dengan F3 (30%). Sementara iitu F3 (30%) tidak berbeda nyata dengan F4 (40%). Persentase penerimaan panelis terhadap mi secara keseluruhan berada pada kisaran 30% sampai 80%. Persentase penerimaan secara keseluruhan terendah diberikan oleh panelis terhadap F0 (0%). Sementara itu persentase penerimaan terbesar diberikan kepada F3 (30%). Gambaran mengenai persentase penerimaan panelis untuk seluruh formula disajikan pada Gambar 18.
80 65 58,3
30
F0
35
F1
F2
F3
F4
Gambar 18 Persentase penerimaan panelis terhadap mi secara keseluruhan Hasil uji organoleptik menjadi acuan utama dalam menentukan formula terpilih. Formula terpilih ditentukan dengan mempertimbangkan persentase
55
penerimaan panelis secara keseluruhan. Formula terpilih adalah F3 (30%), karena memiliki persentse penerimaan secara keseluruhan paling tinggi. Formula tiga merupakan formula mi glosor instan dengan tingkat substitusi tepung labu kuning sebesar 30%. Hubungan Karakteristik Produk dengan Tingkat Kesukaan Produk Hubungan antara karakteristik produk dengan tingkat kesukaan produk dianalisis dengan menggunakan uji korelasi spearman. Uji korelasi spearman digunakan karena data hasil uji organolpetik merupakan data beskala ordinal. Mutu hedonik warna produk terbagi menjadi dua, yaitu kecerahan dan keseragaman warna. Hasil korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara kedua mutu organoleptik warna dengan tingkat kesukaan produk. Sementara itu mutu hedonik aroma produk juga terbagi menjadi 2, yaitu aroma karamel dan aroma labu yang tercium dari produk. Terdapat hubungan antara mutu hedonik aroma produk terdapat tingkat kesukaan produk. Mutu hedonik tekstur produk adalah elastisitas mi. Uji korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara mutu hedonik produk dengan tingkat kesukaan produk. Sementara itu mutu hedonik rasa terbadi menjadi tiga, yaitu rasa pahit, asin dan manis. Terdapat hubungan antara mutu hedonik rasa asin dan manis dengan tingkat kesukaan produk. Namun tidak terdapat hubungan antara mutu hedonik rasa pahit dengan tingkat kesukaan produk. Formula Terbaik Formula terbaik yang dihasilkan dari penelitian ini adalah F3 (30%). Formula tiga (F3) memiliki persentase penerimaan terbesar dibandingkan dengan formula lain. Pertimbangan lain yang digunakan dalam menentulan F3 (30%) sebagai formula terbaik adalah karakteristik fisiknya, yaitu persen elongasi dan waktu masak optimum. Persen elongasi F3 (30%) merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan formula lain. Sementara itu waktu masak optimumnya kurang dari tidak berbedanyata dengan F4 (40%) yang memiliki waktu masak optimum paling pendek. Kandungan beta karoten dari F3 (30%) juga tidak berbeda nyata dengan kandungan beta karoten dari F4 (40%). Kontribusi terhadap Angka Kecukupan Gizi Formula yang akan dihitung kontribusinya terhadap AKG adalah formula terpilih, yaitu F3. Kontribusi produk terhadap AKG dengan takaran saji seberat 100 g dapat dilihat pada Tabel 12.
56
Tabel 12 Kontribusi terhadap AKG Kandungan per takaran saji Energi (Kal) 368,03 Protein (g) 3,71 Lemak (g) 0,11 Karbohidrat (g) 88,05 Keterangan: Berdasarkan diet 2000 Kal Zat gizi
% AKG 18,4% 4,94% 0,28% 26,09%
Total karbohidrat yang terkandung pada setiap takaran saji dari mi glosor instan adalah 88,05 g atau memenuhi 26,09% AKG. Sebanyak 3,71% dan 0,28% AKG protein dan lemak akan terpenuhi dengan mengkonsumsi mi glosor instan. Total energi yang terkandung dalam setiap takaran saji dari mi glosor instan sebesar 368,03 Kal. Analisis Biaya Pembuatan Mi Produk yang akan dianalisis biayanya adalah formula terpilih, yaitu F3. Perhitungan diambil berdasarkan harga bcahan dasar yang meliputi bahan baku, biaya produksi, pekerja, dan trasnport. Perkiraan harga jual diperoleh dengan menambahkan persen keuntungan yang diinginkan dengan biaya produksi. Perhitungan biaya secara lengkap disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Analisis biaya pembuatan dan harga jual mi Jenis Pengeluaran Tepung sagu aren
Harga/kg (Rp) 3500
Pemakaian (gr) 140
Harga Sesuai Pemakaian 490
Tepung labu kuning
70000
60
4200
IPK
85000
10
850
STPP
45000
0,4
18
Guar gum
15000
2
30
Soda abu
20000
0,2
4
Garam
6000
0,4
2,4
Air
3000
80
240
Total adonan Total harga bahan dasar
213 5834,4
Proses produksi
500
Pekerja
100
Transport
50
Kemasan
500
Total harga produksi
6984,4
harga per 100 g
3279,06
keuntungan 25%
819,77
Harga jual
4098,83
57
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa harga mi glosor sebesar Rp 4.098,83 per 100 g. Sementara itu harga mi telur komersial merk x berharga Rp 3.500,- per 200 g. Harga mi glosor instan pada penelitian ini lebih mahal jika dibandingkan dengan mi telur komersial merk x. Kompensasi biaya yang lebih tinggi pada mi glosor yang dihasilkan pada penelitian ini dirasa sebanding mengingat kandungan gizi dan aspek kesehatan yang lebih baik dari mi glosor instan. Mi glosor instan menggunakan tepung labu kuning sebagai pewarna alami sekaligus sumber beta karoten. Sementara mi telur komersial merk x menggunakan pewarna sintetis dalam pembuatannya. Oleh karena itu, mi glosor akan lebih menyehatkan untuk dikonsumsi.
58
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pembuatan mi glosor instan diawali dengan pembuatan binder adonan (lem kanji). Binder berfungsi untuk mengikat bahan lain dalam pembuatan adonan. Adonan yang terbentuk sulit membentuk lembaran adonan yang kohesif, ekstensibel dan elastis. Pembentukan adonan sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi, sehingga digunakanlah teknik ekstruksi dalam pembuatan untaian mi. Tepung labu kuning memiliki kandungan protein, lemak, dan abu yang lebih besar dari pada sagu aren. Substitusi tepung labu kuning meningkatkan kandungan protein, lemak dan abu dari mi glosor instan. Selain itu substitusi tepung labu kuning akan membuat warna mi glosor menjadi lebih kuning akibat adanya pigmen warna beta karoten pada tepung labu kuning. Substitusi tepung labu kuning hingga 40% memberikan penampakan warna yang masih dapat diterima. Subsitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p< 0,01) terhadap kadar abu, kadar protein dan kadar lemak produk. Seiring dengan meningkatnya tingkat substitusi tepung labu kuning, kandungan ketiga macam zat gizi tersebut cenderung meningkat. Substitusi tepung labu kuning berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kandungan beta karoten produk. kandungan beta karoten produk berbanding lurus dengan peningkatan subtitusi tepung labu kuning. Namun subsitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kandungan air dan karbohidrat produk. Tingkat
substitusi
tepung
labu
kuning
terbukti
secara
statistik
berpengaruh sangat nyata (p< 0,01) terhadap perbedaan nilai parameter L, a, b, C dan Hue dari hasil pembacaan warna produk dengan menggunakan kroma meter. Seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, nilai L cenderung semakin turun. Kondisi terbalik justru terlihat pada paramater a. Nilai a cenderung meningkat seiring dengan peningkatan substitusi tepung labu kuning. Nilai parameter b dan c mencapai titik terbesar pada subsitusi sebesar 20% dan semakin substitusi ditingkatkan nilainya cenderung turun. Nilai Hue hasil pengukuran cenderung menurun seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning. Substitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh terhadap nilai elongasi dari produk. Berdasarkan sidik ragam nilai elongasi setiap produk tidak berbeda
59
secara nyata (p>0,05). Di sisi lain, perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan waktu masak optimum produk dan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap daya serap air produk. Seiring dengan meningkatnya tingkat substitusi tepung labu kuning, waktu masak produk semakin pendek. Sementara itu, perlakuan tungkat substitusi tepung labu kuning menyebabkan daya serap air produk yang tersubstitusi tepung labu kuning cenderung lebih kecil dari kontrol. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik, substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap atribut warna, keseragaman warna, aroma karamel, aroma labu dan rasa manis. Namun substitusi tepung labu kuning tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap rasa pahit, rasa asin dan tekstur. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna, aroma, tekstur, rasa dan keseluruhan. Berdasarkan hasil uji hedonik, F3 (30%) merupakan formula terpilih. Pertimbangan yang dilakukan untuk memilih F3 (30%) sebagai formula terpilih adalah persen penerimaan panelis terhadap F3 (30%) merupakan yang terbesar. Selain itu mi ini memiliki nilai elongasi paling besar jika dibandingkan dengan formula lainnya. Kandungan beta karoten F3 (30%) juga tidak berbeda nyata dengan F4 (40%). Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukannya metode lain dalam pembuatan tepung labu kuning yang mampu mengurangi efek kandungan gula terhadap tepung yang dihasilkan. Kendali stabilitas beta karoten dirasa sangat penting untuk meminimalkan kerusakan beta karoten baik dalam pembuatan tepung labu kuning maupun mi glosor instan tersubstitusi tepung labu kuning. Perlu dilakukan formulasi ulang ataupun modifikasi metode pembuatan mi glosor instan untuk mendapatkan mi yang lebih baik dalam segi kekompakan untaian maupun keelastisitasannya.
60
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of Association of Official Analytical Chemist. Ed ke-14. Airlington: AOAC inc [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2011. Mi Sagu: mi sehat berbahan lokal. http://www.bppt.go.id [20 Sep 2011]. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2892-1992. Cara uji makanan dan minuman. Jakarta: pusat standardisasi Industri, departemen perindustrian. [Persagi]. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel komposisi pangan Indonesia. Jakarta: PT Elex media Komputindo. [USDA] United States Departement of Agriculture. 2012. Indonesia Grain and Feed Annual Report 2012. USA Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. Anggraini S, Ratnawati I, Murdijati A. 2006. Pengkayaan β-karoten mi ubi kayu dengan tepung labu kuning (Cucurbita maxima Dutchenes). Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 26: 2. Apriyantono et al. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisi Pangan. Bogor: Penerbit Institut Pertanian Bogor. Astawan M. 2000. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. Atika MAN. 2003. Pengaruh pengawetan iradiasi gamma terhadap kualitas tepung labu parang (Cucurbita pepo L.) selama penyimpanan [Skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Azhariati R, Anggrahini S, Noor Z. 2007. Pengaruh motode pengeringan terhadap kerusakan ß-karoten mi ubi kayu yang diperkaya tepung labu kuning. Agritech Vol:22 No.4 Hal: 153-157. Carvalho et al. 2011. Total carotenoid content, a-carotene and ß-carotene, of landrace pumpkins (Cucurbita moschata Duch): A preliminary study. J.Foodres 07:040 Clarke MA., Edye LA., & Eggleston G. (1997). Sucrose decomposition in aqueous solution, and losses in sugar manufacture and refining. Advances in Carbohydrate Chemistry and Biochemistry, 52, 441–470. Cruess WV. 1958. Commercial Fruit and Vegetables Product. McGraw Hill Book Co. Inc., New York-Toronto-London. DeMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua. Terjemahan K. Padwadinata. Bandung: Penerbit ITB. Departemen Pertanian. 2006. Data Statistik Tanaman Aren. Jakarta: Departemen Pertanian. Desrosier WN. 1988. Teknologi Pengawetan Muldjohardjo. Jakarta: UI-Press.
Pangan.
Terjemahan
M.
Dinas Perdagangan dan Perindustrian RI. 2011. Tinjauan pasar Tepung Terigu.
61
Djoefrie, M. H. B. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ekafitri R. 2010. Teknologi pengolahan mi jagung: upaya menunjang ketahanan pangan indonesia. Jurnal Pangan, Vol 19 No. 3 September 2010: 283293. Erawati CM. 2006. Kendali stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar (Ipomea batatas L.) [Thesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut pertanian Bogor. Estiasih T dan Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara. Flach M. 1997. Sagu Palm: Metroxylon Sagu Rottb. Institut of Plant Genetics and Crops Plant Research (Gatersleben) and International plant Genetic Resource Institut (Rome, Italy). httpftp://ftp.cgiar.org/ipgri/Publications/.../238.PDf [20 Agu 2011]. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Third Edition. New York: marcel Dekker Inc. Firdayati M dan Handajani M. 2005. Studi karakteristik dasar limbah industri tepung aren. Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan vol I No. 2 Gross J. 1991. Pigment in Vegetables: Chlorophyls and Carotenoids. New York: Van Nostrand Reinhold. Gusmalini dan Rahzanni. 1999. Upaya peningkatan mutu mi ubi kayu dengan memanfaatkan labu kuning sebagai bahan alternatif, Procceding Seminar Teknologi Pangan. Gusmalini A, Evawati H, Rahzarni. 1999. Pengolahan Labu Menjadi Berbagai Produk Makanan Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Masyarakat Desa Melalui Pendekatan Pengembangan Usaha Kecil Berbasis Pertanian. Laporan Penelitian Pemerintah Daerah TK II Kabupaten 50 Kota kerjasama dengan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Harnowo PA. 2011. Beta-karoten, vitamin untuk kesehatan mata. http://health.detik.com/read/2011/09/07/094328/1717079/769/betakaroten-vitamin-untuk-kesehatan-mata [12 Nop 2012] Hendrasari R. 2000. Pengaruh penambahan tepung kedelai terhadap sifat fisik, kimia dan daya terima bihun dan mi golosor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Hendrasty HK. 2003. Tepung Labu Kuning Pembuatan dan Pemanfaatanya. Yogyakarta: Kanisius. Herastuti SR et al. 2000. Stabilitas provitamin A dalam emb autan tepung wortel (Dauscus carota L.) [Cukilan Thesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hidayah
R. 2010. Manfaat Kandungan Gizi Labu http://www.borneotribune.com [20 Sep 2011].
Kuning
(waluh).
Histafarina D, Musaddad D, Murtiningsih E. 2004. Teknik pengeringan dalam oven untuk irisan wortel kering bermutu. J. Hort 14 (2): 107-112.
62
Iswanto AH. 2009. Aren (Arenga pinnata) [Karya Tulis]. Medan: Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Karabulut et al. 2006. Effect of hor air drying and sun drying on color values and β-carotene content of apricot (Prunus armenica L.). LWT 40: 753-758. Kitts D. 1996. Toxicity and Safety of Fats and Oils. Bailey’s Industrial Oil and Fats Products. Edisi ke-5. Volume 1 Edible Oil and Fat Product: general applications. Hui YH, editor. Canada: john Wiley and Sons, Inc. Latapi G dan Barret DM. 2006. Influence of pre-drying treatments on quality and safety of sun-dried tomatoes. Part II. Effects of storage on nutritional and sensory quality of sun-dried toamtoes pretreated with sukfur, sodium metabisulfite, or salt. Journal of Food Science vol 71. Lee et al. 2002. Enhancing β-Caroten Content in asian noodles by adding pumpkin powder. Cereal chem 79 (4): 593-595. Muchtadi TR. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor Nurhayati MN. 2006. Pengaruh jenis asidulan terhadap mutu pure labu kuning (Cucurbita pepo L.) selama masa penyimpanan dan aplikasinya dapam pembuatan puding [Skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Plantamor. 2005. Labu kuning. http://www.plantamor.com. [22 Sep 201]. Pongjanta J, A Naulbunrang, S Kawngdang, T Manon, T Thepjaikat. 2006. Utilization of Pumpkin Powder in Bakery Products. J.Scn. Techno 28: 71-79 Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. 2001. Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Quintas et al. 2007. Modelling colour during the caramelisation reaction. Jornal of Food Engineering 83: 483-491. Rahayu MP. 2009. Pemanfaatan tepung wortel (Daucus carota L.) sebagai sumber β-karoten alami pada produk mi instan [Skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Gizi, Fakultas Ekkologi Manusia, Intitut Pertanian Bogor. Rahim A. 2008. Pengaruh cara bihun terhadap sifat fisikokimia pada pembuatan instant starch noodle dari pati aren. Rianto BF. 2006. Desain proses pembuatan dan formlasi mie basah berbahan baku tepung jagung [Skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rodriguez-Amaya DB. 1997. Carotenoids and Food Preparation. The Retention of Provitamin A Carotenoids in Prepared, Processed and Stored Food. Brazil: Universidade Estadual de Campinas. Rucita N. 2010. Pemanfaatan Red Pal Oil (RPO) sebagai sumber provitamin A alami pada produk mi instan untuk anak balita [Skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor. Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan kedelai (Teori dan Praktik). Malang: Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Widyagama.
63
See EF, Wan Nadiah WA, Noor Aziah AA. 2007. Phsyco-chemical and sensory evaluation of breads supplemented with pumpkin flour. ASEAN Food Journal 14 (2): 123-130. Setiawan AI & Y Trisnawati. 1993. Pare dan Labu. Jakarta: Penebar Swadaya. Sugiyono et al. 2008. Laporan Hasil Kegiatan: Peningkatan Kualitas Mi Instan Sagu Melalui Modifikasi Sifat Fisiko-Kimia Pati Sagu dan Optimasi Formulasi Serta Proses Produksi. LPPM IPB bekerja sama BPPP: Bogor. Suhendra. 2012. RI Pengimpor Gandum Terbesar Kedua di Dunia. http://finance.detik.com/read/2012/06/12/103707/1938780/1036/ripengimpor-gandum-terbesar-kedua-di-dunia [30 Nov 2012]. Sulaeman et al. 2003. Changes in carotenoid, physicochemidal and sensory values of deep-fried carrot chips during storage. International journal of Food Science and Technology 38: 603-613. Sulaeman et al. 2001. Carotenoid content and physicochemical and sensory characteristics of carrot chips deep-fried in different oils at several temperatures. Journal of Food Science vol 6: 9 Sunanto H. 1993. Aren Budidaya dan Multiguna. Yogyakarta: kanisius. Taufiq MZ. 2005. Model dinamik pengolahan dan rantai pasokan mie berbasis pati sagu kasus Kotamadya sukabumi [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknik pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widiyowati II. 2007. Pengaruh lama perendaman dan kadar natrium metabisulfit dalam larutan perendaman pada potongangan ubi jalar kuning (Ipomea batatas (L.) Lamb) terhadap kualitas tepung yang dihasilkan. Samarinda: Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan, Unmul. Widowati et al. 2001. Studi Potensi dan Peningkatan Dayaguna Sumber Pangan Lokal untuk Penganekaragaman Pangan di Sulawesi Selatan. Laporan hasil penelitian, Bogor. Yiu et al. 2008. Physiochemical Properties of Sago Starch Modified by Acid Treatmen In Alcohol. American Jurnal of Applied Sciences 5 (4): 307311.
64
LAMPIRAN
65
Lampiran 1. Lembar uji organoleptik mutu inderawi produk. Nama Panelis : Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : Mi Glosor instan subsitusi tepung labu kuning Tanggal pengujian : Kode Sampel : Dihadapan saudara/i disajiakan 6 sampel mi instan. Anda diminta untuk menentukan sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda SILANG (X) pada garis atas nomor yang disediakan dari 1-9 yang tepat mengGambarkan persepsi saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum anda menilai sampel berikutnya 3. Mohon TIDAK membandingkan antar sampel saat anda melalukan penilaian. MUTU HEDONIK Warna Permukaan 1
2
3
4
5
6
7
8
Amat sangat pucat
9 amat sgt gelap
Keseragaman warna 1
2
3
4
5
6
7
8
Amat Sangat tidak seragam
9 amat sgt seragam
Aroma Karamel 1
2
3
4
5
6
7
8
Amat sgt Tdk bau karamel
9 amat sgt bau karamel
Aroma Labu 1
2
3
4
5
6
7
8
Amat sgt Tdk bau labu
9 amat sgt bau labu
Rasa Pahit 1 Amat sgt tdk pahit
2
3
4
5
6
7
8
9 amat sgt pahit
2
3
4
5
6
7
8
9 amat sgt asin
2
3
4
5
6
7
8
9 Sangat Manis
2
3
4
5
6
7
8
9 Amat sangat elastis
Rasa Asin 1 Amat sgt tdk asin
Rasa Manis 1 Tidak manis sama sekali
Elastisitas 1 Amat sangat rapuh
66
Lampiran 2. Lembar uji hedonik mutu inderawi produk. Nama Panelis : Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : Mi Glosor instan subsitusi tepung labu kuning Tanggal pengujian : Kode Sampel : Dihadapan saudara/i disajiakan 6 sampel mi instan. Anda diminta untuk menentukan sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda SILANG (X) pada garis atas nomor yang disediakan dari 1-9 yang tepat mengGambarkan persepsi saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum anda menilai sampel berikutnya 3. Mohon TIDAK membandingkan antar sampel saat anda melalukan penilaian. HEDONIK Warna Permukaan 1 Amat sgt Tidak suka
2
3
4
5
6
7
8
9 amat sgt suka
2
3
4
5
6
7
8
9 amat sgt suka
2
3
4
5
6
7
8
9 amat sgt suka
2
3
4
5
6
7
8
9 amat sgt suka
Aroma 1 Amat sgt Tidak suka
Rasa 1 Amat sgt Tidak suka
Tekstur 1 Amat sgt Tidak suka
KOMENTAR/SARAN ................................................................... ............ ............................................................................... TERIMA KASIH
67
Lampiran 3. Uji statitstik mutu inderawi. ANOVA Jumlah Kuadrat WARNA
KESERAGAMAN WARNA
AROMA KARAMEL
AROMA LABU
RASA PAHIT
RASA ASIN
RASA MANIS
TEKSTUR
df
Kuadrat tengah F hitung
Perlakuan
399.985
4
99.996
Galat
817.097
295
2.770
Total
1217.082
299
Perlakuan
195.820
4
48.955
Galat
651.609
295
2.209
Total
847.429
299
Perlakuan
229.967
4
57.492
Galat
1069.707
295
3.626
Total
1299.674
299
289.635
4
72.409
Galat
1059.527
295
3.592
Total
1349.162
299
19.130
4
4.782
Galat
1164.796
295
3.948
Total
1183.926
299
5.323
4
1.331
Galat
895.601
295
3.036
Total
900.924
299
45.360
4
11.340
Galat
1207.690
295
4.094
Total
1253.050
299
37.044
4
9.261
Galat
1163.696
295
3.945
Total
1200.740
299
Perlakuan
Perlakuan
Perlakuan
Perlakuan
Perlakuan
KECERAHAN WARNA Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
2
3
F0
60
3.2600
F1
60
3.3533
F2
60
F3
60
5.8717
F4
60
6.1417
Sig.
5.1167
.745
1.000
.348
Sig.
36.102
.000
22.163
.000
15.855
.000
20.161
.000
1.211
.306
.438
.781
2.770
.028
2.348
.055
68
KESERAGAMAN WARNA Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
2
3
4
F1
60
4.4583
F0
60
F2
60
5.9333
F4
60
6.3583
F3
60
5.1350
6.3583 6.6567
Sig.
1.000
1.000
.118
.272
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. AROMAKARAMEL Duncan Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
2
3
F0
60
2.8933
F1
60
F2
60
4.7667
F4
60
4.9367
F3
60
5.2483
3.7233
Sig.
1.000
1.000
.194
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
AROMALABU Duncan Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
2
3
F0
60
F1
60
F2
60
5.2583
F3
60
5.6033
F4
60
5.7050
Sig.
3.1433 4.1583
1.000
1.000
.226
69
AROMALABU Duncan Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
2
3
F0
60
F1
60
F2
60
5.2583
F3
60
5.6033
F4
60
5.7050
Sig.
3.1433 4.1583
1.000
1.000
.226
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
RASAMANIS Duncan Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
F0
60
3.0517
F1
60
3.2067
3.2067
F2
60
3.5167
3.5167
3.5167
F3
60
3.9333
3.9333
F4
60
Sig.
2
3
4.0417 .238
.063
.182
Means for groups in homogeneous subsets are displayed
70
Lampiran 4. Uji statistik data hedonik ANOVA Jumlah Kuadrat warna
aroma
tekstur
Rasa
keseluruhan
df
Kuadrat tengah F hitung
Perlakuan
271.418
4
67.854
Galat
908.568
295
3.080
Total
1179.986
299
46.393
4
11.598
Galat
755.329
295
2.560
Total
801.721
299
Perlakuan
111.945
4
27.986
Galat
1054.457
295
3.574
Total
1166.402
299
64.968
4
16.242
Galat
776.692
295
2.633
Total
841.660
299
Perlakuan
134.695
4
33.674
Galat
536.582
295
1.819
Total
671.277
299
Perlakuan
Perlakuan
warna Duncan Subset for alpha = 0.05 formula
N
1
2
F0
60
3.8750
F1
60
3.8767
F2
60
5.5417
F4
60
5.7533
F3
60
6.0667
Sig.
.996
.123
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Sig.
22.031
.000
4.530
.001
7.830
.000
6.169
.000
18.513
.000
71
aroma Duncan Subset for alpha = 0.05 Formula
N
1
2
F0
60
4.3267
F1
60
5.1133
F2
60
5.2533
F4
60
5.3033
F3
60
5.4333
Sig.
1.000
.325
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
tekstur Duncan Subset for alpha = 0.05 formula
N
1
2
3
F1
60
3.8667
F0
60
4.4933
F2
60
F4
60
5.4467
F3
60
5.4667
Sig.
4.4933 5.0400
.070
.114
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
5.0400
.247
72
rasa Duncan Subset for alpha = 0.05 formula
N
1
2
3
F0
60
F1
60
4.5517
F2
60
4.7583
4.7583
F3
60
5.1000
5.1000
F4
60
Sig.
3.8933
5.1967 1.000
.081
.165
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. keseluruhan Duncan Subset for alpha = 0.05 formula
N
1
2
3
F1
60
4.1875
F0
60
4.2145
F2
60
5.2050
F4
60
5.4850
F3
60
Sig.
5.4850 5.8317
.913
.256
.160
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
73
Lampiran 5. Hasil analisis proksimat produk kadar air Sampel
TL
TS
F01
F02
F11
F12
F21
F22
F31
F32
F41
F42
1
2,2100
Berat cawan + sampel awal (g) 7,6709
2
2,0382
7,5372
7,4150
6,00
1
3,3036
9,5715
9,0926
14,50
2
3,6316
10,5694
10,0576
14,09
1
2,0114
7,4880
7,3266
8,02
2
2,0783
8,4916
8,3307
7,74
1
2,0032
8,4764
8,3752
5,05
2
2,0892
9,0146
8,9116
4,93
1
2,0387
8,2226
8,1029
5,87
2
2,0478
8,1224
8,0015
5,90
1
2,0221
7,6442
7,5192
6,18
2
2,0103
7,7012
7,5757
6,24
1
2,0550
8,2298
8,0845
7,07
2
2,0799
7,6959
7,5479
7,12
1
2,0598
7,4359
7,3389
4,71
2
2,0548
8,5049
8,4093
4,65
1
2,0958
9,2898
9,1663
5,89
2
2,0278
8,2409
8,1250
5,72
1
2,0800
8,1017
8,0221
3,83
2
2,1016
7,9144
7,8314
3,95
1
2,0587
8,4251
8,3456
3,86
2
2,0290
7,6018
7,5268
3,70
1
2,0211
7,867
7,7744
4,58
2
2,0408
8,1033
8,0081
4,66
Ulangan
Berat sampel (g)
Berat Cawan + sampel akhir (g) 7,5543
Kadar air (%) 5,28
Ratarata (%) 5,63
14,29
6,43
6,04
5,88
4,84
4,20
74
kadar protein Sampel
TL
TS
F01
F02
F11
F12
F11
F22
F31
F32
F41
F42
1
Berat sampel (g) 0,4315
2
0,4318
4,21
1
1,1021
0,25
2
1,0793
0,13
1
0,2469
2,31
2
0,3504
2,24
1
0,2210
2,90
2
0,2792
2,68
1
0,3172
3,03
2
0,2656
2,95
1
0,2693
3,17
2
0,2894
3,08
1
0,2238
3,02
2
0,3324
2,89
1
0,3163
3,27
2
0,3714
3,45
1
0,3111
3,66
2
0,1706
3,76
1
0,1755
3,65
2
0,1275
3,77
1
0,4606
4,10
2
0,1584
4,27
1
0,5020
4,33
2
0,4228
4,21
Ulangan
Kadar Protein (%) 4,29
Rata-rata ulangan (%)
Rata-rata keseluruhan (%)
4,25
4,25
0,95
0,95
2,27 2,53 2,79
2,99 3,05 3,13
2,96 3,16 3,36
3,71 3,71 3,71
4,18 4,22 4,27
75
Kadar Abu
Sampel
TL
TS
F01
F02
F11
F12
F21
F22
F31
F32
F41
F42
Ulangan
Berat cawan (g)
Berat sampel (g)
1
22,3272
3,5205
Berat cawan + sampel setelah diabukan (g) 22,5693
2
21,8176
3,3757
22,0680
7,42
1
22,9090
3,4283
22,9180
0,26
2
33,7674
3,0112
33,7730
0,19
1
22,7125
2,6497
22,7566
1,66
2
25,0761
3,0261
25,1270
1,68
1
22,3148
3,1452
22,3711
1,79
2
25,7108
2,4276
25,7628
2,14
1
24,4481
2,1584
24,4985
2,34
2
17,9672
1,7728
18,0055
2,16
1
27,0163
2,2298
27,1577
2,31
2
33,2970
3,1620
33,3690
2,28
1
22,5025
2,1389
22,5592
2,65
2
15,9266
2,3711
15,9891
2,64
1
17,4766
2,3754
17,5372
2,55
2
27,3648
2,2052
27,4300
2,96
1
23,8270
2,2594
23,9055
3,47
2
295032
2,3075
29,5680
2,81
1
19,0869
2,0351
19,1541
3,30
2
22,7368
2,0589
22,8091
3,51
1
25,7124
2,3827
25,8129
4,22
2
26,9991
2,2013
27,0911
4,18
1
25,14
2,2251
25,2321
4,14
2
23,7622
2,2253
23,8551
4,17
Kadar abu (%) 6,88
Ratarata ulangan (%)
Rata-rata keseluruhan (%)
7,15
7,15
0,22
0,22
1,67 1,82 1,97
2,25 2,27 2,29
2,64 2,70 2,75
3,14 3,35 3,41
4,20 4,18 4,16
76
Kadar lemak Sampel
TL
TS
F01
F02
F11
F12
F21
F22
F31
F32
F41
F42
1
Berat labu lemak (g) 53,7141
2
Ulangan
Berat sampel (g)
Berat labu + minyak (g)
Kadar lemak (%)
3,1005
53,7494
1,14
37,0508
3,0366
37,0861
1,16
1
36,6364
3,1329
36,6366
0,01
2
53,7124
3,0978
53,7126
0,01
1
53,6068
3,1775
53,6093
0,08
2
51,0825
3,0401
51,0845
0,07
1
37,0331
3,0247
37,0342
0,04
2
54,1921
3,0867
54,1934
0,04
1
53,7111
3,168
53,715
0,12
2
37,0314
3,1175
37,0345
0,10
1
53,714
3,1015
53,7164
0,08
2
36,8427
3,1049
36,8449
0,07
1
56,3435
3,1233
56,3471
0,12
2
37,0326
2,9896
37,0353
0,09
1
54,1932
3,0204
54,1963
0,10
2
39,133
3,0535
39,1365
0,11
1
56,3464
3,0212
56,3498
0,11
2
36,6363
2,9657
36,6396
0,11
1
54,1914
3,1033
54,1952
0,12
2
39,1924
3,0771
39,1961
0,12
1
54,2019
3,0165
54,2058
0,13
2
36,8391
3,046
36,8424
0,11
1
56,3441
3,0085
56,3483
0,14
2
36,6381
3,0157
36,6421
0,13
Ratarata ulangan (%)
Rata-rata keseluruhan (%)
1,15
1,15
0,006
0,006
0,07 0,06 0,04
0,11 0,09 0,07
0,10 0,105 0,11
0,11 0,115 0,12
0,12 0,13 0,14
77
Kadar karbohidrat Formula F01
F02
F11
F12
F21
F22
F31
F32
F41
F42
Ulangan
KH
Rata-rata
1
87.93
2
88.27
1
90.22
2
90.21
1
88.64
2
88.89
1
88.26
2
88.33
1
87.14
2
87.26
1
89.37
2
88.83
1
86.87
2
87.6
1
89.1
2
88.65
1
87.69
2
87.74
1
86.81
2
86.83
88,1 89,16 90,22
88,76 88,53 88,29
87,2 88,15 89,1
87,24 88,06 88,88
87,72 87,27 86,82
78
Lampiran 6. Uji statistik hasil analisis proksimat produk ANOVA Jumlah Kuadrat KAIR
KABU
KPROTEIN
Kuadat tengah F hitung
Perlakuan
13.754
4
3.439
Galat
18.752
15
1.250
Total
32.506
19
Perlakuan
13.451
4
3.363
Galat
.577
15
.038
Total
14.028
19
6.759
4
1.690
Galat
.547
15
.036
Total
7.306
19
Perlakuan
.011
4
.003
Galat
.004
15
.000
Total
.015
19
14.825
4
3.706
Within Groups
20.790
15
1.386
Total
35.615
19
Perlakuan
KLEMAK
df
KKARBOHIDRAT Between Groups
2.751
.067
87.467
.000
46.326
.000
11.245
.000
2.674
.073
KABU Duncan Subset for alpha = 0.05
FORM ULA
N
1
F0
4
F1
4
F2
4
F3
4
F4
4
Sig.
2
3
4
5
1.8175 2.2725 2.7000 3.2725 4.1775 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
1.000
Sig.
1.000
79
KPROTEIN Duncan Subset for alpha = 0.05
FORM ULA
N
1
2
F0
4
2.5325
F1
4
3.0575
F2
4
3.1575
F3
4
F4
4
3
4
3.7100 4.2275
Sig.
1.000
.470
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
KLEMAK Duncan Subset for alpha = 0.05
FORM ULA
N
1
2
3
F0
4
F1
4
.0925
F2
4
.1050
.1050
F3
4
.1150
.1150
F4
4
Sig.
.0575
.1275 1.000
.077
.077
80
Lampiran 7. Hasil analisis betakaroten Beta karoten (ppm) 16,9
Sampel Tepung labu kuning F21
2,73
F22
3,34
F31
3,97
F32
4,19
F41
4,32
F42
4,90
Rata-rata 16,9 3,03
4,08
4,61
Lampiran 8. Uji statistik analisis beta karoten
ANOVA betakaroten Jumlah Kuadrat Perlakuan
df
Kuadrat tengah F hitung
2.569
2
1.285
Galat
.378
3
.126
Total
2.947
5
10.182
betakaroten Duncan Subset for alpha = 0.05
Formul a
N
1
2
F2
2
3.0350
F3
2
4.0800
F4
2
Sig.
4.0800 4.6100
.060
.232
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Sig. .046
81
Lampiran 9. Nilai warna produk Sampel F01
F02
F11
F12
F21
F22
F31
F32
F41
F42
Ulangan
L
A
b
Croma
Hue
1
43.88
6.74
10.33
12.33
57
2
44.1
6.69
10.23
12.22
56.9
3
44.08
6.69
10.21
12.2
56.8
1
45.91
6.33
10.95
12.64
60
2
46.3
6.19
10.6
12.27
59.8
3
45.89
6.2
10.66
12.33
59.9
1
53.57
6.1
30.37
30.97
78.7
2
53.66
6.02
29.3
29.91
78.5
3
53.66
6.04
29.25
29.86
78.4
1
50.74
5.68
29.6
30.14
79.2
2
50.77
5.67
29.48
30.02
79.2
3
54.1
5.79
30.22
30.76
79.2
1
51.73
8.74
37.3
38.31
76.9
2
51.51
8.74
37.05
38.06
76.8
3
51.75
8.74
37.18
38.19
76.9
1
47.64
8.85
34.46
35.57
75.7
2
47.67
8.84
34.44
35.55
75.7
3
48.87
8.79
33.51
34.64
75.4
1
34.63
10.47
25.63
27.68
67.8
2
35.15
10.83
27.01
29.1
68.2
3
35.3
10.89
27.14
29.24
68.2
1
40.62
10.26
26.13
29.21
67.4
2
40.82
10.28
26.64
28.97
67.4
3
40.93
10.27
26.3
28.95
67.4
1
36.96
11.31
26.94
26.58
67.3
2
37.8
11.34
26.66
26.68
67.1
3
37.93
11.34
26.64
26.69
67
1
34.3
11.63
24.52
28.6
66.1
2
34.38
11.7
24.62
28.73
66.1
3
34.47
11.74
24.64
28.24
66.1
82
Lampiran 10. Uji Statistik warna produk ANOVA Jumlah Kuadrat L
A
B
Croma
Hue
Perlakuan
df
Kuadrat tengah F hitung
1278.296
4
319.574
Galat
104.683
25
4.187
Total
1382.979
29
144.061
4
Galat
1.162
25
Total
145.223
29
2081.131
4
Galat
24.686
25
Total
2105.817
29
Perlakuan
1944.318
4
Galat
21.875
25
Total
1966.193
29
Perlakuan
1606.155
4
Galat
19.148
25
Total
1625.303
29
Perlakuan
Perlakuan
76.320
.000
36.015 775.123
.000
.046
520.283 526.897
486.079 555.508
401.539 524.248 .766
Subset for alpha = 0.05 N
1
2
F4
6
35.9733
F3
6
37.9083
F0
6
F2
6
F1
6
Sig.
3
4
45.0267 49.8617 52.7500 .114
1.000
.000
.875
Duncan
LA
.000
.987
L
FORMU
Sig.
1.000
1.000
.000
83
a Duncan Subset for alpha = 0.05
FORM ULA
N
1
F1
6
F0
6
F2
6
F3
6
F4
6
Sig.
2
3
4
5
5.8833 6.4733 8.7833 10.5000 11.5100 1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
b Duncan Subset for alpha = 0.05
FORM ULA
N
1
2
3
F0
6
F4
6
25.6700
F3
6
26.4750
F1
6
F2
6
4
10.4967
Sig.
29.7033 35.6567 1.000
.173
1.000
1.000
Croma Duncan Subset for alpha = 0.05
FORM ULA
N
1
F0
6
F4
6
F3
6
F1
6
F2
6
Sig.
2
3
4
5
12.3317 27.5867 28.8583 30.2767 36.7200 1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
84
Hue Duncan Subset for alpha = 0.05
FORM ULA
N
1
F0
6
F4
6
F3
6
F2
6
F1
6
Sig.
2
3
4
5
58.4000 66.6167 67.7333 76.2333 78.8667 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
1.000
1.000
85
Lampiran 11. Hasil uji elongasi, daya serap air dan waktu masak optimum Elongasi (%) Formula
F0
F1
F2
F3
F4
Ulangan I 30 30 30 20 20 30 30 20 10 30 30 20 20 30 30 50 50 50 60 30
Ulangan II 70 70 70 80 100 80 70 70 90 120 60 60 60 70 70 90 90 90 120 120
50 50 50 60 60
40 40 40 50 50
Daya serap air (%)
Waktu masak optimum (dtk) Ulangan Ulangan I II
Ulangan I
Ulangan II
230,07
169,38
570
450
230,07
169,38
570
450
148,33
191,14
480
360
148,33
191,14
480
360
169,03
166,52
285
300
169,03
166,52
285
300
186,17
162,17
225
240
186,17
162,17
225
240
180,07
103,74
180
210
180,07
103,74
180
210
86
Lampiran 12. Uji statistik elongasi, daya serap air dan waktu masak optimum ANOVA Jumlah Kuadrat Elongasi Perlakuan
DSA
WMO
df
Kuadrat tengah F hitung
5448.000
4
1362.000
Galat
32400.000
45
720.000
Total
37848.000
49
Perlakuan
10476.621
4
2619.155
Galat
8242.666
15
549.511
Total
18719.287
19
325462.500
4
81365.625
Galat
26212.500
15
1747.500
Total
351675.000
19
Perlakuan
1.892
.128
4.766
.011
46.561
.000
DSA Duncan Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
2
F4
4
149.2750
F2
4
160.1725
F3
4
163.1225
F1
4
165.2500
F0
4
214.9975
Sig.
.389
1.000
Waktu Masak Optimum Duncan Subset for alpha = 0.05 FORMULA
N
1
2
F4
4 2.0625E2
F3
4 2.2500E2
F2
4
F1
4
F0
4
Sig.
3
4
2.8875E2 4.2750E2 5.4000E2 .535
1.000
1.000
Sig.
1.000
87
Lampiran 13. Prosedur analisis fisiko kimia produk a. Penetapan ß - karoten metode II (Apriantono et al. 1996). a. Pembuatan Kurva Baku ß - Karoten 100 mg ß- karoten murni ditimbang dengan teliti, himpitkan hingga tanda batas dalam larutan campuran aseton;n-heksan (1:9) dalam labu 100 ml hingga didapat kosentrasi 1000 ppm, lakukan pengenceran 5 variasi kosentrasi 10,
20, 30, 40, 50 ppm., masing-
masing kosentrasi tesebut diukur absorbannya dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 436 nm, grafik hubungan dibuat antara absorbansi dengan konsentrasi ß-karoten. b. Penetapan Kadar ß - Karoten 5–10 g sampel diekstrak dengan campuran 40 mL aseton dan 60 mL heksana dan 0,1 g magnesium karbonat dalam blender selama 5 menit, saring dengan Menggunakan buchner, residu dicuci dua kali masing-masing dengan 25 mL aseton, kemudian cuci lagi dengan 25 mL heksana,
seluruh ekstrak yang diperoleh digabungkan, aseton dari
ekstrak dipisahkan dan ambil/buang dengan pencucian menggunakan air 5x100mL, fasa organik dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL yang telah berisi 9 mL aseton dan encerkan sampai tanda tera dengan nheksana, evaporasi selama 5 menit pada suhu 40C, kolom kromatografi disiapkan dengan adsoben campuran Magnesia aktif dan supercell (1+1) setinggi 10 cm, lapisan natrium sulfat anhydrous ditempatkan setinggi 1 cm di atas lapisan adsorben, ekstrak pigmen hasil evaporasi dimasukkan ke dalam kolom dengan menggunakan vakum secara kontinu, elusi dengan menggunakan pelarut aseton heksana (1:9) sebanyak 50 ml, selama operasi jaga supaya lapisan atas selalu terisi dengan pelarut, karoten akan melewati kolom secara cepat. “Band” (pita) santofil, produk oksidasi karoten dan klorofil akan teradsorpsi dalam kolom, hasil elusi dikumpulkan dalam labu 100 ml, himpitkan dengan menggunakan aseton:heksana (1:9), sampel diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada 436 nm, digunakan blangko aseton : heksana (1:9) konsentrasi karoten dalam sampel ditentukan berdasarkan kurva standar yang dibuat.
88
Analisis sifat fisik mi Karakteristik
fisik
mi
instan
yang
diukur
adalah
warna
menggunakan
Chromatometer, elongasi menggunakan alat Texture Analyzer, daya serap air dan waktu masak optimum. a. Warna (Chromatometer) Sampel diletakkan dan ditumpuk pada cawan petri dengan alas putih sampai mi terisi penuh dan rapat dalam cawan petri. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, b. nilai L menunjukkan tingkat kecerahan suatu produk yang dianalisis serta memiliki kisaran antara 0 (hitam) hingga 100 (putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+= 0-100) untuk warna merah, a- =0-(80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+=0-70), untuk warna kuning, b-=0-(-70) untuk warna biru). Nilai o
Hue dikelompokkan sebagai berikut: oHue 18-54= Red, oHue 54-90=Yellow red,
o
Hue 90-126= Yellow, oHue 126-162= Yellow Green, oHue 162-198= Green, oHue
198-234=Blue green, oHue 234-270= Blue, oHue 270-306= Blue purple, oHue 306-342=purple, oHue 342-18= Red purple. b.
Elongasi (Tensile Strength Tester) Elongasi atau pemanjangan mi diukur dengan menggunakan alat Tensile
Strength Tester. Sampel uji di antara dua penjepit kemudian penarikan dilakukan. Jarak antara tanda diikuti dengan menggunakan penggaris khusus. Untuk menghitung elongasi dilakukan sampai sampel putus. Panjang sampel mula-mula adalah 20 cm. E (%)= L-Lo x100% Lo Keterangan:
E
= Perpanjangan putus/elongasi (%)
Lo
= Panjang antara dua tanda garis mula-mula (mm)
L
= Panjang garis saat contoh putus (mm)
c. Waktu masak optimum (Sugiyono et al. 2008) Waktu pemasakan optimum diukur dengan cara merebus 5 g mi dengan ukuran 2-3 cm didalam 200 ml air mendidih. Mi diambil setiap 30 detik dan ditekan diantara 2 batang gelas pengaduk. Waktu pemasakan optimum tercapai ketika bagian tengah mi sudah terhidrasi sempurna. d. Daya serap air Daya serap air dihitung dengan membandingkan berat mi sebe,um mi direbus dengan berat mi setelah mengalami perebuasan sesuai dengan waktu masak optimum.