Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Pengembangan Metodologi untuk Penekanan Susut Hasil pada Proses Pemipilan Jagung Muhammad Aqil Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl Dr. Ratulangi 274 Maros, Sulawesi Selatan
Abstrak Membaiknya harga jagung di pasaran internasional telah meningkatkan produksi jagung nasional menjadi dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. Namun demikian, peningkatan produksi tersebut tidak diikuti dengan penanganan pascapanen yang baik sehingga peluang kerusakan biji akibat kesalahan penanganan dapat mencapai 12-15% dari total produksi. Lebih lanjut, diantara semua tahapan pascapanen, segmen pemipilan yang paling tinggi peluang kehilangan hasilnya yang mencapai 8% sehingga proses ini dianggap sebagai proses kritis dalam penanganan pascapanen. Perkiraan kehilangan hasil akibat susut pada proses pemipilan mencapai 630 ribu ton – 720 ribu ton per tahun. Kondisi alat pemipil yang juga tidak memenuhi standar (konstruksi sarangan dan silinder pemipil) juga berpeluang merusak biji. Makalah ini membahas dua topik penting terkait pemipilan jagung yaitu pengembangan metodologi untuk mengukur susut secara tepat serta kajian perbaikan teknologi pemipilan untuk menekan kehilangan hasil. Pengembangan metodologi pengukuran susut telah dibahas dengan melibatkan pakar pascapanen dari perguruan tinggi, badan litbang serta BPS dalam upaya menetapkan standar baku pengukuran kehilangan hasil. Lebih lanjut, perbaikan teknologi pemipilan dapat dicapai melalui penetapan secara hati-hati disain peralatan pemipil (konstruksi sarangan, gigi perontok, kecepatan putar) sehingga akan didapatkan produk hasil jagung yang berkualitas dan memenuhi standar perdagangan. Kata Kunci. Pascapanen, pemipil, jagung, susut hasil
minasi cendawan Asprgillus flavus yang menghasilkan aflatoksin yang akan semakin mempercepat degradasi mutu hasil dan menimbulkan permasalahan bagi kesehatan manusia (Aqil dan Firmansyah, 2011). Kegiatan pascapanen terdiri dari sejumlah tahapan dimulai dari panen, pengupasan, pengeringan, pemipilan, penyimpanan dan pengangkutan (Muhidong, 1998). Unitunit teknologi untuk setiap segmen kegiatan telah banyak dihasilkan dan diterapkan pada berbagai wilayah di Indonesia. Namun demikian, masalah yang sering dijumpai adalah pemilihan jenis, luas layanan serta jumlah peralatan pada masing-masing komponen teknologi untuk menyelaraskan kegiatan pascapanen jagung. Permasalahan lain adalah produksi tidak terdistribusi normal sepanjang tahun tetapi menumpuk pada musim-musim
Pendahuluan Program peningkatan produktivitas jagung yang telah berhasil meningkatkan produksi nasional mencapai 18,02 juta ton pada Tahun 2010 (BPS, 2010) hendaknya diikuti dengan perbaikan proses penanganan pascapanen. Hal ini disebabkan karena sebagian besar produksi ( 57%) dihasilkan pada musim hujan yang berpotensi menurunkan kualitas produk biji apabila tidak tertangani dengan baik. Perkiraan kehilangan hasil karena susut (kualitas) dan tercecer (kuantitas) di petani pada musim hujan dan kemarau berkisar 5,2 % - 15,2 % (Purwadaria, 1988). Selain itu pola kebiasaan petani yang cenderung menumpuk hasil panen untuk mengoptimalkan penggunaan air hujan untuk pertanaman kedua juga berpeluang menimbulkan konta464
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
tertentu, biasanya pada akhir musim hujan. Hal ini menjadi masalah karena apabila jagung tidak segera diproses maka akan terjadi penundaan yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada biji. Permasalahan diatas dapat menjadi kenyataan pada wilayah-wilayah sentra utama produksi jagung di Indonesia. Sebagai ilustrasi, proyeksi total produksi jagung Provinsi NTT tahun 2011 sebesar 800 ribu – 900 ribu ton. Dengan asumsi kapasitas alat pemipil jagung mekanis rata-rata 1 ton/jam, kerja efektif alat 8 jam/hari atau 40 hari per tahun (mengacu kepada nisbah pendapatan dan biaya untuk mesin pemipil jagung oleh Purwadaria, 1988) maka dibutuhkan kira-kira 2500 – 3000 unit mesin pemipil jagung. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah jumlah mesin pemipil sudah optimal dikaitkan dengan: 1. Kapasitas panen, 2. Waktu panen yang serentak, dan 3. Kapasitas pengeringan dan penyimpanan. Tulisan ini membahas dua sub topik yaitu: Kondisi susut hasil pada proses pasca-
panen dan pengembangan metodologi untuk menentukan susut secara tepat, serta kajian penekanan kehilangan hasil melalui perbaikan teknologi perontokan/pemipilan jagung sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Susut Hasil pada Proses Pascapanen Diantara tahapan penanganan pascapanen jagung, tahapan pemipilan yang mempunyai peluang susut hasil yang tertinggi (Tabel 1). Peluang kehilangan hasil terjadi dalam bentuk biji tidak terpipil, biji terpental keluar dari lubang pengeluaran biji (scattered), serta biji terbawa pada lubang blower. Hal ini diperparah oleh kondisi wilayah dimana hampir 57% jagung dipanen pada musim hujan dengan kadar air biji yang masih tinggi, 25-30% sehingga menyulitkan kegiatan pemipilan sehingga biji banyak yang tidak terontok/terpipil dengan sempurna. Pada musim tanam 2009/2010, luas panen jagung secara nasional mencapai 4 juta hektar, setara dengan produksi 18,02 juta ton jagung. Apabila terjadi susut tercecer selama pemipilan sebe-
Tabel 1. Perkiraan susut jumlah dan mutu pada proses pascapanen jagung Kegiatan pascapanen
Susut jumlah (%)
Susut mutu (%)
Jagung dipanen pada KA 20-25% Panen Pengangkutan Perontokan Penjemuran Jumlah
<0,1 <0,1 4,0 0,5 4,5
3,0 4,0 2,0 9,0
Jagung dipanen pada KA 25-30% Panen Pengangkutan Penjemuran jagung tongkol Perontokan Penjemuran jagung pipil Jumlah
<0,1 <0,1 0,5 4,0 0,5 5,0
2,0 2,0 4,0 2,0 10,0
Purwadaria, 1988 465
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
sar 3-4% saja (perkiraan susut tercecer oleh Purwadaria, 1988), maka total susut yang terjadi selama proses pemipilan berlangsung adalah sebesar 540 ribu sampai 720 ribu ton jagung atau setara dengan total produksi jagung Propinsi NTT yang mencapai 700 ribu ton pada Tahun 2010. Selain susut tercecer, mutu hasil pipilan juga belum memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan, dilihat dari tingkat kerusakan biji yang mencapai 4% (Tabel 1). Kerusakan dan keberagaman biji hasil perontokan disebabkan karena beragam dan kakunya konstruksi sarangan dan silinder pemipil yang beroperasi disamping faktor kadar air biji yang umumnya masih tinggi. Apabila setiap kenaikan satu persen kerusakan biji jagung terjadi penurunan harga sebesar Rp. 100/kg – Rp 300/kg (Data survei ke pedagang pengumpul, 2008) maka dampak dari kerusakan biji jagung pada segmen pemipilan dapat menimbulkan kerugian sebesar Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu per ton jagung pipilan. Gambaran ini menunjukkan pentingnya penanganan pascapanen jagung yang tepat termasuk pemilihan peralatan yang sesuai.
penekanan susut hasil padi, jagung dan kedelai pada tahun 2011. Workshop ini menghadirkan pakar lintas institusi seperti perguruan tinggi (IPB dan UGM), Direktorat Pascapanen, Badan Litbang Pertanian, BPS, dan PUSDATIN. Diantara sejumlah kesepakatan yang didapatkan adalah sebagai berikut: Ruang Lingkup Susut pemipilan/perontokan adalah kehilangan hasil selama proses pemipilan jagung, yang dilakukan dengan metoda/cara perontokan sesuai dengan kebiasaan petani di lokasi terpilih. Susut pemipilan/perontokan terdiri dari (1) susut yang akibat adanya butir jagung pipilan yang hilang/tercecer karena terlempar keluar dari alas pemipilan/perontokan, (2) butir pipilan jagung yang melekat pada tongkol, dan (3) butir pipilan jagung yang terbawa kotoran dan menempel pada alat pemipil/perontok. Susut dibagi menjadi dua bagian yaitu susut pemipilan manual dan susut pemipilan mekanis. Susut Pemipilan Manual Prinsip pengukuran susut tercecer pemipilan manual jagung adalah: Sampel yang digunakan adalah 50 kg jagung tongkol. Pemipilan dilakukan dengan cara yang umum digunakan oleh petani. Pemipilan dikondisikan dilakukan di atas alas pengamatan berukuran 5 m x 5 m. Biji tercecer terdiri dari tiga tipe yaitu: Biji tercecer 1 adalah berat biji jagung yang berada di luar alas pengamatan, Biji tercecer 2 adalah berat biji jagung yang masih melekat pada sampel 10 kg tongkol biji yang telah
Pengembangan Standar Baku Pengukuran Susut Diakui, saat ini belum terdapat standar baku (SNI) untuk mengukur kehilangan/losis pada proses pascapanen jagung. Hal ini berdampak pada beragamnya data dan informasi terkait losis pascapanen, baik yang dikeluarkan oleh BPS maupun direktorat terkait. Dengan dibentuknya direktorat pascapanen pada Tahun 2010 maka telah mulai diinisiasi pengembangan metodologi untuk menentukan susut hasil tanaman pangan dalam bentuk workshop pengembangan metodologi untuk 466
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
dipipil, dan Biji tercecer 3 adalah berat biji jagung yang masih melekat pada sampel 1 kg tongkol dan kotoran yang hancur selama proses pemipilan. Besarnya nilai susut tercecer menggunakan rumus perhitungan susut tercecer pemipilan manual. Perhitungan Susut Pemipilan Manual dapat dilihat pada Tabel 2.
tumpukan. Kemudian dilakukan pemipilan secara manual tangan dan hati-hati dan analisis komponen mutunya. b. Ambil 500 gram biji jagung hasil pemipilan secara acak dan homogen. Kemudian dilakukan analisis mutunya. c. Untuk memudahkan hasil analisis dibuat seperti pada Tabel 3. d. Pilih persentase tingkat kerusakan yang
Tabel 2. Perhitungan susut pemipilan manual Biji jagung
Berat kg/kgcuplikan
Susut ercecer
kg/50 kg contoh
Hasilpipilan
-
R
Tercecer 1
T1
T1
T1/J x 100% = %
Tercecer 2
T2
T2 x berat tgkol/10
T2/J x 100% = %
Tercecer 3
T3
T3 x berat kotoran
T3/J x 100% =%
Jumlah
J
%
Tabel 3. Perhitungan susut mutu pemipilan manual
Komponen mutu
Biji jagung (%)
Tingkat kerusakan (%)
Sebelum pemipilan
Sesudah pemipilan
Biji rusak Biji pecah Benda asing
-
-
-
Kotoran
-
-
-
Pada proses pemipilan juga serdapat peluang susut mutu pemipilan. Penentuan susut mutu pemipilan manual adalah: a. Ambil 1 kg jagung tongkol sebelum pemipilan, secara acak dan homogen dari suatu
terbesar. Kemudian bandingkan dengan persyaratan mutu terhadap standar mutu yang berlaku. e. Perhitungan susut mutu pemipilan secara manual (A) adalah: 467
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
A = Kerusakan terbesar—% standar mutu
Ketersediaan Peralatan serta Perbaikan Teknologi Pemipilan untuk Menekan Kehilangan hasil
yang terkait f.
Apabila selisihnya sama dengan atau < nol, hal ini sebagai tidak ada susut mutu.
Dewasa ini telah berkembang berbagai macam peralatan pemipilan mulai dari pemipil manual sampai dengan pemipil mekanis. Program-program pemerintah juga membantu dalam pengadaan peralatan pemipil diantaranya Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang tersebar pada berbagai Gapoktan. Secara umum, pemipilan jagung secara tradisional dilakukan dengan tangan. Metode ini kapasitasnya rendah, namun efektif untuk memisahkan biji dari tongkol dengan tingkat kerusakan mekanis yang relatif kecil. Selain itu dapat dilakukan pemisahan biji yang rusak atau yang terserang hama. Cara pemipilan manual lainnya yang sering dilakukan oleh petani adalah: (1) pemipilan dengan menggunakan tongkat pemukul pada jagung dalam bentuk tongkol, cara ini sebaiknya tidak dilakukan karena menyebabkan kerusakan yang tinggi pada biji; (2) pemipilan dengan alat pemipil jagung dari kayu yang dibuat oleh Tropical Product Institute (TPI) dan modifikasinya, alat ini cukup berdaya guna untuk meningkatkan kapasitas pemipilan denan tangan. Jenis pemipil semi mekanis dan mekanis yang banyak digunakan adalah alat pemipil tipe pedal, tipe sepeda dan tipe TH-M2 (Bali-
Susut Pemipilan Mekanis Prinsip Pengukuran susut tercecer pemipilan mekanis adalah sebagai berikut : a. Sampel yang digunakan adalah 1000 kg jagung tongkol b. Penanganan menggunakan mesin pemipil dilakukan dengan cara yang umum digunakan oleh petani. Biji terdiri dari tiga tipe yaitu : Biji tercecer 1 adalah berat biji jagung yang berada di luar alas pengamatan, Biji tercecer2 adalah berat biji jagung yang masih melekat pada sampel 10 kg tongkol biji yang telah dipipil, Biji tercecer 3 adalah berat biji jagung yang masih melekat pada sampel 1 kg tongkol dan kotoran yang hancur selama pemipilan. Besarnya nilai total susut tercecer menggunakan rumus perhitungan susut tercecer seperti pada Tabel 4. Susut tercecer praktis dihitung dengan menggunakan persamaan : Berat awal - (berat jagung pipil + berat tongkol + berat kotoran ———————————————- x 100 % Berat jagung pipil
Tabel 4. Perhitungan susut pemipilan mekanis Biji jagung
Berat kg/kg cuplikan
kg/50 kg contoh
Susut tercecer
1. Hasilpipilan
-
R
2. Tercecer 1
T1
T1
T1/J x 100% = %
3. Tercecer 2
T2
T2 x berat tngkol/10
T2/J x 100% = %
4. Tercecer 3
T3
T3 x berat kotoran
T3/J x 100% =%
Jumlah
-
J 468
%
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
tjas). Kapasitas dan mutu hasil pipilan jagung pada berbagai jenis alat dapat dilihat pada Tabel 5.
Balitsereal telah memodifikasi mesin pemipil model PJ-M1 (kapasitas kerja 1,1 ton/ jan) dan PJ-M5 (kapasitas kerja 1,3 ton/jam)
Tabel 5. Kapasitas dan mutu hasil pipilan jagung pada berbagai jenis alat Jenis alat/cara
Kadar air (%)
Kapasitas
Biji pecah (%)
Kotoran (%)
Pemipil tangan
21
12,5
5,9
0,25
Model TPI
16
13,6
5,15
0,25
Modifikasi TPI
11
15,4
3,10
0,1
Tipe pedal
21
14,2
6,78
0,40
Tipe sepeda
16
18,9
4,25
0,32
TH-M2
14
512
3,15
1,77
Anonim, 1996 dan Thahir, dkk, 1988
Pemipilan secara mekanis bertenaga gerak enjin atau motor listrik telah dibuat oleh bengkel alat dan mesin pertanian. Sebagian besar alat pemipil yang ada di pasar saat ini hanya cocok untuk pemipilan jagung dengan kadar air <18%. Pemipil jagung bertenaga gerak enjin yang banyak digunakan petani di Jawa Timur menunjukkan tingkat kerusakan biji 18-21% untuk jagung dengan kadar air 32,5-35% pada putaran silinder perontok 600 rpm. Tingkat kerusakan biji tersebut melebihi standar yang ditetapkan oleh BULOG, yaitu 3%. Kapasitas kerja pemipil jagung bertenaga gerak enjin berkisar antara 0,8-1,2 t/jam. Alat pemipil jagung bertenaga enjin 8-10 HP sudah banyak digunakan petani di sentra produksi jagung di Kediri dan Pare (Jawa Timur). Kapasitas pemipil tersebut ± 2 ton jagung tongkol per jam dengan rendemen biji pipilan 7080% pada kadar air biji <18%.
yang dilengkapi dengan komponen pengayak (Gambar 1). Komponen pengayak tersebut dimaksudkan untuk memisahkan biji jagung dengan serpihan tongkol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa biji jagung yang dipipil dengan PJ-M1 telah memenuhi persyaratan SNI pada kadar air biji 15% saat pemipilan. Biaya pemipilan dengan mesin pemipil model PJ-M1 lebih murah (Rp 25/kg) dibanding mesin pemipil yang digunakan oleh umumnya petani (Rp 30/kg). Mesin pemipil model PJM5Balitsereal telah teruji untuk memproses benih jagung dan hasil pipilannya untuk konsumsi memenuhi standar SNI dan kapasitas pemipilannya dapat mencapai 1,3 ton per jam lebih produktif dibanding mesin pemipil sejenis di Kabupaten Bulukumba, yaitu hanya kurang dari 1 ton per ton (Aqil et al. 2008).
469
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Gambar 1. Alsin pemipil jagung model PJ-M1-Balitsereal
Tabel 6. Kinerja mesin pipil jagung model PJ-M1 Balitsereal Uraian
Cara Pemipilan
Standar Mutu SNI
Manual
Alsin di Petani
PJ-M1
I
II
III
Kapasitas (kg/jam/orang)
20,0
500,0
1100,0
-
-
-
Biaya pemipilam (Rp/kg)
50,0
30,0
25,0
-
-
-
Biji pecah (%)
-
3,7
0,2
1,0
2,0
3,0
Biji tidak terpipil (%)
-
4,2
0,1
-
-
-
Kotoran (%)
-
6,5
0,2
1,0
1,0
2,0
Kualitas pipilan :
Yang perlu diperhatikan sebelum proses pemipilan menggunakan mesin pemipil adalah sebagai berikut :
harus diperhatikan dalam mendisain mesin pemipil karena sangat berpengaruh terhadap kinerja alat dalam merontok jagung. Mesin pipil yang baik sebaiknya terbuat dari bahan besi solid berdiameter 13 – 14 mm dan tinggi gigi berkisar 30 – 40 mm.
1. Bentuk dan kontruksi gigi pemipil Bentuk dan konstruksi gigi pemipil merupakan salat satu faktor penting yang 470
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
2. Jarak ujung gigi pemipil dengan sarangan
Untuk menghasilkan hasil pipilan yang baik, tongkol sebaiknya dipipil pada kadar air 17% karena pada kadar air tersebut biji jagung mudah lepas dari janggel dan kulit biji lebih keras serta kotorannya lenih ringan, sehingga persentase biji yang pecah relatif rendah dan persentase kotoran juga rendah. Sebaliknya, kadar air biji yang tinggi saat pemipilan dapat mengakibatkan benih mudah rusak. Sinuseng et al. (2004) melaporkan bahwa pemipilan menggunakan metode mekanis pada jagung varietas Lamuru dengan tiga tingkatan kadar air (15%, 21,5%, dan 28%) menghasilkan tingkat kerusakan yang berbeda pula (Tabel 7).
Jarak antara ujung gigi pemipil dengan sarangan berpengaruh terhadap mutu jagung hasil pipilan dan kapasitas pemipilan. Apabila jaraknya terlalu besar (renggang) dapat mengakibatkan susut yang tinggi karena jumlah biji jagung yang tidak terpipil masih tinggi dan apabila terlalu rapat berdampak pada persentase biji pecah yang tinggi. Oleh karena itu disarankan menggunakan alat pemipil yang memiliki jarak ujung gigi pimipil dengan sarangan sama dengan ¾ dari diameter rata-rata jagung bertongkol. 3. Kadar air
4. Kecepatan putaran silinder pipil
Faktor kadar air juga sangat menentukan kualitas hasil pipilan. Hasil evaluasi kinerja mesin-mesin pipil yang ada di desa Tajau Pecah, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa penundaan pemipilan tongkol jagung pada kadar air berkisar 20-30% menurunkan kapasitas pemipilan jagung sebesar 1020% dari kapasitas optimalnya. Kapasitas pemipilan menjadi lebih rendah bila kadar air biji jagung pada tongkol jagung tinggi.
Kecepatan putaran silinder selalu berbanding lurus dengan persentase butir pecah dan kapasitas pemipilan. Penggunaan putaran (rpm) yang tinggi pada proses pemipilan akan menghasilkan persentase butir pecar dan kapasitas pemipilan yang tinggi. Oleh karena itu dalam kegiatan pemipilan perlu kesesuaian antara kecepatan (rpm) silinder pipil dengan kadar air jagung yang akan dipil. Untuk mendapatkan mutu pipilan jagung yang baik, putaran
Tabel 7. Mutu pipilan menggunakan mesin pipil model PJ-M1-Balitsereal pada tiga tingkatan kadar air Kadar air (%)
Mutu pipilan Biji pecah (%)
Kotoran (%)
Tidak terpipil (%)
15,0
0,20
0,20
0,10
21,5
1,21
1,30
1,54
28,0
3,19
1,51
3,82
Sinuseng dkk, 2004
471
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
silinder pipil sebaiknya 600 – 700 rpm dengan kadar air biji jagung 15 – 17 % untuk pakan dan 14 – 15 % untuk benih. Kecepatan putaran silinder pemipil biasanya diukur dengan alat ukur putaran poros (tachometer) yang umumnya tidak dimiliki oleh pengelola jasa pemipilan jagung atau petani pemilik mesin pemipil jagung. Namun sebagai pedoman umum memperkirakan putaran poros silinder mesin pemipil dengan enjin penggerak 5,5 Hp adalah mengatur tangkai kecepatan enjin penggerak pada posisi 60 % dari panjang langkahnya. Dengan catatan bahwa diameter puli (pulley) enjin penggerak 3 inci (inch) dan diameter puli pada poros silinder perontok 12 inci (Firmansyah, 2010).
Daftar Pustaka Anonim, 1996. Pengembangan Jagung Hibrida dan Komposit di Sulawesi Selatan. IPPTP Departemen Pertanian Propinsi Sulawesi Selatan. Aqil, M. Dan Firmansyah. 2011. Teknologi Pascapanen Jagung. Makalah disampaikan pada Diklat PPL Mendukung Peningkatan Produksi Jagung di Jawa Tengah. Ungaran Jawa Tengah. Aqil, M., Firmansyah, I. U., Suarni, J. Tandiabang, O. Komalasari, A. Nadjamuddin, Suwardi, O. Komalasari. 2008. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan kualitas produk biji jagung berskala industry dan ekspor. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian. BPS, 2000. Produksi Jagung Nasional Tahun 2010.
Kesimpulan
Firmansyah, 2010. Teknologi Pengeringan dan Pemipilan untuk Perbaikan Kualitas Biji Jagung. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009.
Proses pascapanen khususnya pada segmen pemipilan merupakan salah satu faktor kunci yang perlu mendapat perhatian dalam upaya menekan kehilangan hasil jagung. Perkiraan kehilangan hasil akibat susut pada proses pemipilan mencapai 630 ribu ton – 720 ribu ton per tahun. Selain faktor kadar air biji, kondisi alat pemipil yang juga tidak memenuhi standar (konstruksi sarangan dan silinder pemipil) juga berpeluang merusak biji. Dalam upaya mendapatkan hasil biji yang berkualitas maka factor penting yang harus diperhatikan dalam proses pemipilan adalah kadar air, bentuk dan konstruksi gigi pemipil, jarak antara sarangan dengan ujung gigi pemipil, serta kecepatan putaran silinder pemipil. Dengan menerapkan standar prosedur baku dalam kegiatan pemipilan maka diharapkan akan dapat menghasilkan produk biji yang berkualitas dan memenuhi standar yang dipersyaratkan.
Purwadaria, H. K. 1988. Buku Pegangan: Teknologi Penanganan Pascapanen Jagung. Edisi Kedua. Deptan, FAO, UNDP. Development and Utilization of Postharvest Tools and Equipment, INS/088/077. Sinuseng, Y., I.U. Firmansyah, S. Saenong dan Rahmawati. 2004. Teknik pengeringan, pemipilan dan penyimpanan benih jagung. Makalah disampaikan pada Pelatihan Peningkatan Kemampuan Petugas Produksi Benih Serealia. Balitsereal, 14 – 16 Juli 2004. Thahir, R. Sudaryono, Soemardi dan Soeharmadi. 1988. . Teknologi pasca panen jagung dalam Subandi, M. Syam dan Adi Widjono (Eds.). Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
472