BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Telur Selama proses inkubasi, telur akan mengalami penyusutan yang dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Tetas Kelompok (Spesific Gravity)
Perlakuan P1
P2
P3
……………………………………….. (%) ......……………………………. K1 10.52 9.77 16.67 K2 12.76 12.42 10.73 K3 10.49 11.30 12.36 K4 10.76 11.59 12.20 K5 8.06 10.99 10.56 ∑ 52.60 56.06 62.52 10.52 11.21 12.50 Keterangan: P1 P2 P3 K1 K2 K3 K4 K5
: Umur induk 25-35 minggu : Umur induk 36-55 minggu : Umur induk 56-65 minggu : SG 1,074 : SG 1,078 : SG 1,082 : SG 1.086 : SG 1.090
30
Berdasarkan hasil analisis statistik, umur induk dan specific gravity tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05) terhadap susut tetas (Lampiran 1). Umur induk yang semakin tua akan menghasilkan bobot telur yang tinggi dan mempunyai kerabang yang lebih tipis dan memiliki nilai specific gravity (SG) yang rendah (Butcher dan Miles, 2014). SG yang memiliki nilai yang rendah akan memiliki susut tetas normal (1214%), tetapi dalam penelitian ini susut tetas tidak dipengaruhi oleh umur induk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate (1996) yang menyatakan bahwa tidak ada efek umur induk terhadap penyusutan bobot telur pada hari ke 25. Telur pada fase muda dan fase puncak memiliki kerabang yang lebih tebal dan kualitas kerabang yang baik jika memiliki nilai specific gravity lebih dari 1.080 (North, 1984). Nilai SG fase muda dan pada masa puncak produksi pada penelitian ini yaitu antara 1,080-1,090. Kerabang telur pada fase muda dan fase puncak produksi tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, sehingga akan memiliki penyusutan yang sempurna, tetapi berbeda dengan hasil pada penelitian ini. Susut bobot telur itik dibawah rata-rata. Rata-rata peyusutan bobot telur menurut Rahn dkk., (1981) selama inkubasi berkisar 12-14% pada telur broiler dan kalkun. Hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa susut tetas pada fase puncak sangat rendah, dan berada dibawah rata-rata. Susut telur pada penelitian ini berada pada kisaran 10-12%. Rata-rata penyusutan bobot telur pada P1 adalah 10,52%, P2 11,21%, dan P3 12,51%. Kisaran penyusutan bobot telur berdasarkan pengaruh umur induk dan specific
31
gravity dari hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Rahn, dkk., (1981). Penyusutan bobot telur hari ke-25 tidak berpengaruh disebabkan oleh proses inkubasi yang tidak sempurna selama penelitian. Pada saat proses inkubasi, terjadi ketidakstabilan tegangan listrik, sehingga menyebabkan suhu dan kelembapan tidak stabil. Suhu yang baik untuk pertumbuhan embrio adalah berkisar diantara 35 – 37oC (Jasa, 2006). Suhu mesin tetas pada saat penelitian terkadang menurun hingga 330C pada hari ke 14 dan hari ke-21. Suhu dibawah rata-rata ini menyebabkan pertumbuhan embrio menjadi lambat (Jasa, 2006), dan menyebabkan kelembaban yang berlebih pada embrio serta menyebabkan gangguan pertukaran gas (Romanof 1930 dalam Nackage 2003). Menurut Buhr dan Wilson (1991), kelembaban memiliki hubungan terbalik dengan persentase kehilangan berat telur. Menurut Paimin (2003), kelembaban yang dibutuhkan pada penetasan umur 1-25 hari yang ideal antara 60-70% sedangkan pada hari ke-26 sampai menetas membutuhkan lebih tinggi yaitu 75%. Penyusutan bobot telur yang rendah menunjukkan perkembangan embrio menjadi lebih rendah dan dapat menyebabkan embrio mati. Peebles dan Brake (1985) menyatakan bahwa penyusutan berat telur selama masa pengeraman menunjukkan adanya perkembangan embrio yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbondioksida serta penguapan air melalui kerabang telur. Hal ini disebabkan telur itik tidak dapat menyerap panas, dan beradaptasi dengan seluruh permukaan telur melalui reabsorbsi air dari allantois, tidak seperti telur ayam yang mampu
32
beradaptasi dan mengalami penyusutan selama dalam mesin tetas (Tullett, 1981) dan mampu menyerap air dari allantois (Hoyt, 1979). 4.2
Pengaruh Perlakuan Terhadap Lama tetas Telur itik secara umum menetas setelah dierami selama 28 hari. Lama menetas telur itik dengan mesin tetas adalah hari ke-27-28 hari (655-684 jam). Hasil penelitian pengaruh perlakuan terhadap lama menetas disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Lama Menetas KELOMPOK (Spesific Gravity)
Perlakuan P1 P2 P3 ………………………………………. jam ...………………………………. K1 681.00 681.00 666.43 K2 681.80 664.08 664.25 K3 655.75 674.00 680.00 K4 693.20 660.33 682.09 K5 677.03 658.67 684.00 ∑ 3388.78 3338.08 3376.77 677.75 667.62 675.35 Keterangan : Rata-rata lama menetas menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan
Umur induk itik dan specific gravity tidak berpengaruh nyata terhadap lama tetas telur itik (P > 0,05). Umur induk muda dan puncak memiliki SG diatas 1,080 yang memungkinkan memiliki lama tetas yang ideal (28 hari), tetapi dalam penelitian ini, rata-rata lama menetas telur adalah lebih dari 28 hari. Penyusutan bobot yang rendah juga mempengaruhi lama tetas. Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata lama
33
menetas adalah 677,75 (28,91 hari), 667,62 (28,50 hari), dan 675,35 (28,13 hari). Lama tetas yang tidak tepat ini dipengaruhi oleh lingkungan dalam penetasan. Hal ini sesuai dengan peryataan Soesanto (2002) bahwa lama tetas sangat dipengaruhi oleh lingkungan didalam inkubator. Salah satu faktor lingkungan inkubator adalah suhu. Suhu yang tidak stabil pada penelitian ini menjadi faktor perbedaan lama menetas karena embrio akan berkembang pada temperatur yang optimal. Suhu embrio yang tidak sesuai dengan kondisi pada proses penetasan alami menggunakan induk akan menyebabkan telur lebih lama menetas (Nafiu L.O, dkk, 2014). Suhu normal selama proses penetasan, maka akan memberikan waktu tetas yang tepat (misal : telur puyuh masa inkubasi 17 hari, ayam 21 hari, itik 28 hari). Peningkatan dan penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat menyebabkan kematian embrio, hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Mc Daniel (1979), menyatakan peningkatan suhu penetasan pada saat hari ke-16 akan mengurangi telur fertil yang menetas. Hodgtts (2000) menyatakan bahwa embrio muda sangat sensitif terhadap perubahan suhu penetasan. Suhu di ruang inkubasi tidak boleh lebih panas atau lebih dingin 2°C dari kisaran suhu standar. Suhu standar untuk penetasan berkisar antara 36°C - 39°C (Ningtyas, dkk., 2013). Jika terjadi penurunan suhu terlalu lama biasanya telur akan menetas lebih lambat dari 21 hari dan jika terjadi kenaikan suhu melebihi dari suhu normal maka embrio akan mengalami dehidrasi dan akan mati (Hamdy, 1991). Hal ini sesuai dengan pernyataan Jasa (2006), apabila suhu dan kelembaban inkubator stabil,
34
maka embrio dapat berkembang dengan normal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa agar embrio dapat berkembang dengan baik, maka suhu di dalam ruang penetasan diatur dengan kisaran suhu 35 – 480C sehingga menjamin embrio mendapatkan suhu yang ideal untuk perkembangan yang normal (Nafiu L.O, dkk.,2014). Lingkungan pada mesin tetas saat hatcher juga sangat menentukan perbedaan waktu menetas pada telur. Mesin tetas yang sangat lembab pada hari ke 26-28 membuat embrio lebih lemah dan lebih lama dalam proses pipping. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suwardjo (2012) bahwa untuk melakukan pemecahan pada kulit telur (proses pipping), si embrio membutuhkan
energi
atau
tenaga
untuk
proses
pipping,
yang
mana dibutuhkan suhu sekitar 101 – 102 derajat Fahrenheit dan kelembaban 70 – 80 %, jika suhu dan kelembaban tak terpenuhi maka akan terjadi kegagalan menetas.
4.3
Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Tetas Umur induk dan spesific gravity pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot tetas. Berdasarkan hasil analisis statistik, menunjukkan (P > 0.05). Penempatan kelompok pada penelitian ini sangatlah tepat dan menunjukkan peneliti berhasil mengurangi kesalahan percobaan dengan cara mengelompokkan materi percobaan ke dalam kelompok. Pengaruh perlakuan terhadap bobot tetas pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5
35
Tabel 5 Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Tetas Kelompok (Spesific Gravity)
Perlakuan P1
P2
P3
……………………………………… gram ..………………………………. K1 51.00 52.33 50.14 K2 45.80 46.57 50.50 K3 48.50 49.50 50.40 K4 51.00 47.33 49.91 K5 54.15 51.33 58.00 ∑ 250.45 247.07 258.95 50.09 49.41 51.79 Keterangan: Rata-rata bobot tetas tidak menunjukkan perbedaan signifikan
Tabel 5 menerangkan bahwa bobot tetas tidak berpengaruh nyata terhadap umur induk. Bobot tetas DOD (Day Old Duck) sangat dipengaruhi oleh bobot awal telur. Telur yang besar akan menghasilkan DOD yang besar pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gunawan (2001) mengatakan bahwa bobot tetas itik memiliki hubungan erat dengan bobot telurnya, semakin besar bobot telur maka anak itik yang menetas semakin besar. Hal ini didukung oleh Hasan, dkk., (2005) yang menyatakan bahwa semakin besar bobot telur tetas, maka semakin besar pula bobot tetas yang dihasilkan. Rahayu (2005) menyatakan bahwa anak itik yang dihasilkan dari penetasan telur sangat dipengaruhi oleh berat telur karena telur mengandung nutrisi seperti vitamin, mineral dan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan selama pengeraman. Ukuran telur yang digunakan untuk penetasan sangat penting karena mempunyai korelasi yang tinggi antara ukuran telur yang ditetaskan dengan ukuran DOD yang dihasilkan (Leeson, 2000)
36
Hasil bobot tetas disebabkan oleh susut tetas yang tidak berpengaruh. Menurut Tullet dan Burton (1982), penyusutan bobot telur diakibatkan oleh pengaruh suhu dan kelembaban selama masa pengeraman yang dapat mempengaruhi daya tetas dan kualitas anak ayam yang dihasilkan. Pada saat penyusutan telur maka bobot telur juga akan menurun yang disebabkan oleh penguapan gas-gas dan cairan yang berada dalam telur. Cairan dalam telur berfungsi untuk melarutkan zat zat nutrisi untuk pertumbuhan embrio. Jika cairan itu tidak ada maka zat-zat nutrisi tidak dapat terlarut dan perkembangan embrio tidak akan sempurna sehingga akan mempengaruhi bobot tetas. Menurut Leeson (2000), bobot tetas rata-rata adalah 62% dari bobot telur.