Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. SUSUT TELUR, LAMA DAN BOBOT TETAS ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN TETAS THE EGG LOSES, HATCH PERIOD AND WEIGHT AT HATCH OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON THE PATTERNS OF INCUBATOR TEMPERATURE SETTING Nisa Nurika Manggiasih *, Dani Garnida **, Andi Mushawwir ** Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2015 **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Unpad e-mail:
[email protected]
Abstrak Temperatur merupakan faktor penting dalam proses penetasan telur itik. Perubahan temperatur dapat mempengaruhi proses perkembangan embrio itik. Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan susut telur, lama menetas dan bobot tetas itik lokal (Anas sp.) berdasarkan pola pengaturan temperatur mesin tetas. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 April - 10 Mei 2015 di Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dengan menggunakan 70 butir telur itik lokal (Anas sp.) fertil hari ke-7 pada setiap perlakuan, bobot telur 59,5-70,8 gram. Penelitian menggunakan uji Kruskal-Wallis dengan tiga pola pengaturan mesin tetas yaitu T1 (37,5oC (hari 1-25) dan 37oC (hari 26-28)), T2 (37,5oC (hari 1-21), 39,5oC (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5oC (hari 25) dan 37oC (hari 26-28)), serta T3 (37,5oC (hari 1-21), 40,5oC (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5oC (hari 25) dan 37 oC (hari 26-28)). Perlakuan berbeda nyata terhadap susut telur dan lama menetas, namun perlakuan tidak berbeda nyata terhadap bobot tetas. T2 lebih efektif dan efisien dalam pencapaian hasil tetas optimal. Kata kunci: Susut Telur, Lama Menetas, Bobot Tetas, Itik Lokal, Temperatur Mesin Tetas Abstract Temperature is an important factor in the process of hatching eggs of ducks. Changes in temperature can be affected to the process of embryonic development ducks. The research was held to determine differences in egg loses, hatch period and weight at hatch of local ducks (Anas sp.) based on the pattern of the incubator temperature setting. The research was held on April 11 to May 10, 2015 in the Laboratory of the Poultry Production Faculty of Animal Husbandry Padjadjaran University using 70 fertile eggs of a local duck (Anas sp.) in days-7 for every treatment , the weight is 59.5 to 70.8 grams. Research using the Kruskal-Wallis test with three setting patterns incubator temperatur i.e. T 1 (37,5oC (days 1-25) and 37°C (day 26-28)), T2 (37,5oC (days 1-21), 39,5oC (days 22-24) for 3 hours per day, 37,5oC (day 25) and 37 ° C (days 26-28)), and T3 (37,5oC (days 1-21), 40,5oC (days 22-24) for 3 hours per day, 37,5oC (day 25) and 37°C (days 26-28)). The patterns of temperature incubation setting significantly different egg loses and hatch period, but was not significantly different on weight at hatch. T2 more effective and efficient to reach an optimum hatched result. Keywords :
Egg Loses, Hatch Period, Weight at hatch, Local Duck, Incubator Temperature 1
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. Pendahuluan Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai telur pecah menghasilkan anak ayam. Penetasan dapat dilakukan secara alami oleh induk atau secara buatan dengan menggunakan mesin (Suprijatna dkk., 2008). Dua kondisi inkubasi yang paling penting yang diketahui mempengaruhi perkembangan embrio adalah suhu dan O2 (Meijerhof, 2009). Suhu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur itik tidak jauh berbeda dengan suhu yang digunakan untuk ayam, yaitu sekitar 100-101,9oF (Rasyaf, 1984). Apabila digunakan still air incubator maka suhu di dalam inkubator hendaknya diusahakan antara 101-103oF (38,33-39,44oC), tetapi bila digunakan forced draft incubator suhunya berkisar antara 98,5100oF (36,94-37,78oC). Suhu embrio dianggap sebagai faktor penting mempengaruhi perkembangan embrio, daya tetas, dan performa setelah menetas (Lourens dkk., 2005). Tingkat metabolisme meningkat seiring dengan peningkatan suhu inkubasi (Nichelmann dkk., 1998). Proses fisiologis embrio dipengaruhi temperatur inkubasi. Temperatur inkubasi tinggi terus menerus (40,6oC) antara 16 dan 18 hari inkubasi pada penetasan telur ayam broiler mempengaruhi kadar glukosa darah, pertumbuhan embrio, tekanan parsial CO2 dalam darah (pCO2), tingkat glikogen hati, dan tingkat laktat darah pada titik-titik waktu yang berbeda dibandingkan dengan suhu inkubasi rendah (34,6 oC) (Willemsen dkk., 2010). Suhu inkubasi memiliki efek utama pada penurunan berat telur dan waktu menetas (Shahein, 2002). Penyusutan bobot telur selama masa pengeraman terjadi menunjukkan adanya perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida serta penguapan air melalui kerabang telur (Prasetyo dan Susanti, 2000). Suhu inkubasi yang lebih tinggi dari optimal yang pada akhirnya telur kehilangan air yang berlebihan (lebih tinggi dari 14%), sehingga dapat menyebabkan kematian embrio karena dehidrasi. Suhu di bawah optimal menurunkan daya tetas karena berkurangnya kehilangan air (<12%), yang menyebabkan over-hidrasi embrio dan gangguan pertukaran gas (Romanoff (1930) dalam Nakage, 2003). Waktu menetas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia induk, waktu penyimpanan telur, kondisi penyimpanan, dan kondisi inkubasi (Tona dkk., 2003). Embrio ayam merespon peningkatan suhu inkubasi dengan dipercepat pertumbuhan dan perkembangan (Christensen dkk., 1999). Jika suhu di dalam mesin tetas di bawah normal maka telur akan menetas lebih lama dari waktu yang ditentukan. Apabila suhu di atas normal, maka waktu menetas lebih awal dari waktu yang ditentukan, sedangkan suhu yang 2
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. terlalu tinggi dapat menyebabkan telur mengalami dehidrasi atau kekeringan, sehingga Day Old Duck (DOD) yang dihasilkan akan lemah, akibatnya DOD akan mengalami kekerdilan dan mortalitas yang tinggi (Rarasati, 2002). Setiap perubahan suhu inkubasi dapat mempengaruhi ukuran embrio, pertumbuhan organ, tingkat metabolisme, perkembangan fisiologis dan keberhasilan penetasan (Yalcin dan Siegel, 2003). Bobot tetas yang normal berkisar antara 61 sampai 68 persen dari bobot telur yang ditetaskan (Gultom,1996). Pada akhir inkubasi embrio ayam, konsentrasi metabolit plasma mencerminkan nutrisi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi selama proses penetasan. Simpanan glikogen sebagian besar dimobilisasi selama periode ini (Freeman, 1969 dalam Molenaar, 2011). Bobot rata-rata DOD itik Pajajaran menurut Hidayat (2013) adalah 42,36 gram, itik Rambon 41,39 gram dan itik Cihateup 40,98 gram. Kenaikan temperatur (39,5 dan 40,7oC) yang dilakukan selama 3 jam per hari pada masa inkubasi 15-17 pada dua strain ayam lokal Mesir yaitu Gimmizah dan Mandarah menunjukkan perbedaan yang signifikan (p≤ 0,05) pada bobot tetas, persentase bobot susut telur dan lama menetas. Lama menetas untuk suhu 39,5oC 10 jam sedangkan untuk suhu 40,7oC 8 jam lebih cepat (Elsayed, 2009). Berdasarkan kerangka tersebut, penulis menerapkan perlakuan pada penetasan itik yaitu (39,5oC dan 40,5oC) dilakukan selama 3 jam per hari pada masa inkubasi 22-24 pada itik lokal.
Bahan dan Alat, Objek dan Metode Bahan dan objek penelitian yang digunakan yaitu 450 butir telur tetas itik lokal, umur telur 1-3 hari dengan kisaran bobot telur 59,5-70,8 gram. Umur induk 9-12 bulan. Bahan fumigasi mesin tetas terdiri atas formalin 40% dan KMnO 4. Alat yang digunakan yaitu tiga unit mesin tetas thermohygro digital elektronik kapasitas 70 butir, timbangan digital untuk menimbang bobot susut telur dan bobot tetas, candler, dan jam tangan untuk mengetahui lama menetas. Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi : 1) Tahap persiapan (proses pemilihan, pembersihan, penomoran telur, fumigasi mesin tetas, warming up mesin tetas hingga 37,5oC, hingga telur masuk mesin tetas). 2) Tahap penelitian Telur di bagi menjadi 150 butir setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan pada 70 butir telur fertil setelah candling hari ke-7. Pemutaran telur secara otomatis pada hari ke-2 3
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. sampai hari ke-25 dengan frekuensi pemutaran setiap satu jam sekali. Candling dilakukan pada hari ke-3, 7, 21 dan 25 untuk mengetahui telur yang fertil. Pola pengaturan temperatur mesin tetas yang dilakukan adalah
T1 adalah 37,5oC (hari 1-25) dan 37oC (hari 26-28)
T2 37,5oC (hari 1-21), 39,5oC (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5oC (hari 25) dan 37oC (hari 26-28)
T3 37,5oC (hari 1-21), 40,5oC (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5oC (hari
25) dan 37oC (hari 26-28). Perlakukan temperatur yang ditingkatkan dilakukan pada siang hari. Temperatur dinaikkan selama 3 jam dihitung sejak suhu mesin tetas stabil. Kelembaban mesin tetas adalah 55% pada hari 1-14, 65% pada hari 15-25 dan 75% pada hari 26-28. Pendinginan dilakukan mulai hari ke-15 sampai hari ke-28 dengan menurunkan temperatur mesin tetas menjadi 32oC selama 15 menit setelah temperatur stabil kemudian dinaikkan kembali ke temperatur awal. Pendinginan dilakukan dua kali sehari pagi dan sore. Pengamatan dilakukan terhadap susut telur, lama menetas, dan bobot tetas dengan cara : Susut telur (persen) dihitung berdasarkan penelitian Van der Pol (2013), presentase bobot susut telur dari hari inkubasi ke-0 sampai hari ke-18 pada ayam dihitung dengan rumus : Susut telur (%) = bobot telur hari ke-0 (g) – bobot telur hari ke-18 (g)
x 100%
bobot telur hari ke-0 (g)
Jadi pada penelitian ini susut telur itik (%) dihitung dengan rumus : Susut telur (%) = bobot telur hari ke-0 (g) – bobot telur hari ke-25 (g)
x 100%
bobot telur hari ke-0 (g) Lama menetas (jam) dihitung sejak masuk ke mesin tetas sampai keluar dari kerabang dalam satuan jam. Bobot tetas (gram) diketahui dengan menimbang DOD saat pulling (pengeluaran DOD dari mesin tetas setelah bulu kering 95%) atau sekitar 6 jam setelah menetas dengan menggunakan timbangan digital untuk mengetahui bobot tetas. 4
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. Analisis Statistik Semua parameter yang diukur di analisis dengan uji Kruskal-Wallis.
Hasil dan Pembahasan Susut Telur dari Berbagai Perlakuan Penyusutan bobot telur dapat terjadi akibat temperatur dan usia embrio melalui proses penguapan air. Data susut telur akibat perlakuan pola pengaturan temperatur mesin tetas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Susut Telur Akibat Perlakuan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mesin Rata-rata Susut Telur Signifikansi ..................%................. T1 15,0 a T2 13,7 b T3 13,8 c Keterangan : Rata-rata susut telur yang diikuti abjad yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05). Berdasarkan Tabel 1, rataan penyusutan bobot telur pada T1 adalah 15%, T2 13,7%, dan T3 13,8% menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P < 0,05). Menurut Rahn dkk. (1981), kehilangan air merupakan proses normal selama inkubasi, biasanya 12 sampai 14% air yang hilang dalam telur broiler dan kalkun. Penyusutan tertinggi terjadi pada T1 yaitu 15%, hal ini berbeda dengan pernyataan Romanoff (1930) dalam Nakage (2003), dimana suhu inkubasi yang lebih tinggi dari optimal menyebabkan telur kehilangan air yang berlebihan (lebih tinggi dari 14%), sehingga dapat menyebabkan kematian embrio oleh dehidrasi. Suhu di bawah penurunan daya tetas optimal karena berkurangnya kehilangan air (<12%), yang menyebabkan over-hidrasi embrio dan gangguan pertukaran gas. Penyusutan yang terjadi pada T1 lebih tinggi dari kisaran normal menurut Romanoff (1930) dalam Nakage (2003), bisa diartikan bahwa terjadi penguapan yang tinggi. Davis dkk. (1988) menunjukkan bahwa kehilangan air selama inkubasi disebabkan gerakan peningkatan ion Ca+ dan Na+ dari cairan allantoic disebabkan oleh transfer aktif dalam membran chorioallantoic (CAM) dan menyarankan bahwa sistem osmoregulatory embrio merespon dengan meningkatkan kehilangan air selama inkubasi. Walaupun penyusutan telur yang tinggi menunjukkan perkembangan embrio terjadi lebih besar namun apabila melebihi normal embrio bisa mengalami dehidrasi bahkan 5
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. kematian yang tinggi. Terlihat dari daya tetas pada T 1 yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lain. Rataan penyusutan akibat perlakuan perubahan temperatur T 2 dan T3 berada pada kisaran normal penyusutan bobot telur, namun lebih rendah dibandingkan penyusutan T 1. Hal ini bisa disebabkan karena embrio merespon kenaikan temperatur dengan menyesuaikan temperatur tubuh melalui reabrobsi air dari allantois. Allantois berfungsi dalam sistem regulasi diantaranya proses pertukaran gas oksigen dan karbondioksida, penyerapan Ca dari kerabang, sebagai tempat simpanan hasil ekskresi, serta mencerna albumin telur. Penyusutan telur pada perlakuan berbeda namun dilihat dari rataan susut telur masih berada pada kisaran normal. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh perubahan temperatur bisa terlihat sesuai dengan berapa lama dilakukan perlakuan dan perbedaan temperatur dari temperatur optimum. Kenaikan temperatur masih berada pada kisaran thermoneutral menurut Nichelmann dkk. (1994) yaitu pada embrio Muscovy duck memiliki zona suhu thermoneutral antara 39 dan 40,5o C tergantung pada usia embrio. Pada saat diberi perlakuan, tahap perkembangan embrio sudah masuk pada paruh kedua masa inkubasi. Menurut Ar dan Rahn (1980), embrio unggas kehilangan air dari massa awal telur selama inkubasi untuk perkembangan dan keberhasilan penetasan, maka lebih banyak air metabolik yang dihasilkan oleh oksidasi lipid kuning telur.
Lama Menetas Akibat dari Perlakuan Temperatur dapat mempengaruhi kecepatan perkembangan embrio akibat laju metabolisme embrio yang berlangsung lebih cepat. Data lama menetas akibat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Lama Menetas Akibat Perlakuan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mesin Rata-rata Lama Menetas Signifikansi ...............jam.............. T1 633,80 a T2 651,16 b T3 650,07 c Keterangan : Rata-rata lama menetas yang diikuti abjad yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05). Berdasarkan hasil analisis statistik, penelitian menunjukkan (P<0,05) artinya lama menetas akibat perlakuan berbeda nyata. Rentang lama menetas pada penelitian ini adalah 604-696 jam. Rataan lama menetas untuk T1 adalah 633,80 jam, T2 651,16 jam dan T3 6
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. 650,07 jam. Rataan T1 menunjukkan masa inkubasi lebih singkat dibandingkan T2 dan T3. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Christensen dkk. (1999), bahwa embrio ayam merespon peningkatan temperatur inkubasi dengan dipercepatnya pertumbuhan dan perkembangan. Berdasarkan hasil penelitian, temperatur T 1 secara konstan mempengaruhi respon embrio dalam proses pertumbuhan dibandingkan suhu tinggi. Temperatur konstan membuat laju pertumbuhan berlangsung tetap. Perkembangan embrio yang dipengaruhi temperatur diantaranya pemanfaatan kuning telur, pematangan saluran pencernaan, metabolisme tiroid, jantung, pengembangan otot, dan termoregulasi tidak terhambat akibat fluktuasi suhu sehingga dapat mempercepat masa inkubasi. Perlakuan temperatur tinggi dalam waktu singkat yaitu T 2 dan T3 menunjukkan lama menetas masih dalam waktu normal. Kenaikan temperatur yang singkat membuat embrio itik menyesuaikan diri terhadap fluktuasi perubahan temperatur melalui penurunan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Kenaikan temperatur mesin tetas dalam waktu singkat berbeda dengan temperatur normal, hal ini karena itik adalah hewan poikilotherm yang mampu mempertahankan laju pertumbuhannya walaupun terjadi perubahan temperatur lingkungan. Sesuai dengan Pelster (1997) yaitu, sebagai hewan poikilotherm, maka embrio ayam berdaya melawan fluktuasi lingkungan termal. Temperatur embrio mengikuti penurunan temperatur lingkungan, yang menyebabkan penurunan tingkat metabolisme dan produksi energi yang lebih sedikit tersedia untuk melanjutkan pertumbuhan embrio dan pematangan. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa peningkatan temperatur baik dengan pola pengaturan T2 dan T3, tidak menunjukkan percepatan pertumbuhan selama fase embrionik. Ini berarti peningkatan temperatur yang diberlakukan tidak mampu menstimulasi pertumbuhan sel-sel embrio tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan temperatur yang tidak tepat dapat menyebabkan melambatnya kematangan jaringan (Lourens dkk., 2011).
7
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. Bobot Tetas Akibat dari Perlakuan Banyak faktor yang dapat mempengaruhi bobot tetas diantaranya adalah temperatur, bobot telur dan jenis unggas. Perbedaan perlakuan terhadap bobot tetas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Bobot Tetas Akibat Perlakuan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mesin Rata-rata Bobot Tetas Signifikansi ...............gram.............. T1 42,24 a T2 42,71 a T3 42,00 a Keterangan : Rata-rata bobot tetas yang diikuti abjad yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0,05). Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan (P > 0,05) artinya perlakuan tidak berbeda terhadap bobot tetas. Bobot rata-rata DOD itik Pajajaran menurut Hidayat (2013) adalah 42,36 gram. Rataan bobot tetas untuk T1 adalah 42,24 gram, T2 42,71 gram dan T3 42 gram. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaaan perlakuan terhadap bobot tetas. Berbeda dengan pernyataan Yalcin dan Siegel (2003) dimana setiap perubahan suhu inkubasi dapat mempengaruhi ukuran embrio, pertumbuhan organ, tingkat metabolisme, perkembangan fisiologis dan keberhasilan penetasan. Walaupun perlakuan tidak berbeda, namun kenaikan suhu menjadi 39,5 o C pada hari ke-22 sampai 24 selama 3 jam per hari menghasilkan bobot paling besar. Bobot tetas berhubungan dengan penggunaan nutrisi yang optimal dari yolk sebagai sumber energi dalam telur. Sumber energi utama pada paruh kedua inkubasi adalah lemak. Tingkat metabolisme meningkat seiring dengan peningkatan suhu inkubasi (Nichelmann dkk., 1998). Hasil penelitian dimana tidak terdapat perbedaan bobot tetas akibat perlakuan pengaturan temperatur menjadi lebih tinggi menunjukkan embrio menanggapi perubahan temperatur sama karena dilakukan pada periode singkat. Embrio besar melampaui suhu thermoneutral dan bahkan mungkin memiliki kesulitan kehilangan panas. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan suhu dan produksi panas jika suhu inkubator dipertahankan konstan (Harun, 2001). Pola pengaturan temperatur pada perlakuan T 2 dn T3 tampak menghasilkan bobot tetas yang sama dengan tanpa penambahan temperatur (T1). Hasil ini dapat diinterpretasikan juga bahwa penambahan temperatur tersebut menyebabkan peningkatan heat production
8
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. pada embryo sebagai akibat peningkatan laju metabolisme yang berlebih (Lourens dkk., 2007). Konsekuensi peningkatan laju metabolisme ini tentu berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan energi, sehingga meningkatkan oksidasi karbohidrat, selanjutnya lipid dan protein guna memenuhi kebutuhan ATP. Kondisi ini menyebabkan
protein
digunakan sebagai sumber energi dan tidak digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan (Molenaar dkk., 2011). Inilah sebabnya peningkatan temperatur dengan pola T2 dan T3 tidak menghasilkan bobot tetas yang signifikan lebih tinggi dibandingkan tanpa peningkatan temperatur.
Simpulan Perlakuan pengaturan pola temperatur mesin tetas berbeda nyata terhadap susut telur dan lama menetas, tetapi tidak berbeda nyata terhadap bobot tetas. Perlakuan T2 lebih efektif dan efisien dalam pencapaian penetasan optimal.
Daftar Pustaka Ar A dan Rahn H. 1980.Water In The Avian Egg Over All Budget of Incubation. American Zoologist. Christensen, V. L., W. E. Donaldson, and K. E. Nestor. 1999. Length of Plateau and Pipping Stages of Incubation Affects The Physiology and Survival of Turkeys. Br. Poultry Science 40: 297–303. Davis, T. A., S. Shen, and P. A. Ackerman. 1988. Embryonic Osmoregulation: Consequences of High and Low Water Loss During Incubation of The Chicken Egg. Journal of Experimental Zoology 245:144–156. Elsayed, N.A.M, Allan E.E., Amina S.E., dan Effet Y.Hassan. 2009. New Suggested Schemes for Incubation Temperature and Their Effect on Embryonic Development and hatching Power. Poultry Science, 3(1) : 19-29 Gultom,T. A. C. 1996. Beberapa Aspek Reproduksi Walet Sarang Putih (Aerodamus fuciphagus thunberg) .Tidak dipublikasikan. Harun, M.A.S., R. J. Veeneklaas, G. H. Visser, dan M. Van Kampen. 2001. Artificial Incubation of Muscovy Duck Eggs: Why Some Eggs Hatch and Others Do Not. Poultry Science 80:219–224 Hidayat, L.S. 2013. Evaluasi Hasil Tetas Telur Itik rambon, Itik Cihateup dan Itik Pajajaran Asal Village Breeding Center. http://media.unpad.ac.id/thesis/200110/2009/200110090228_a_6926.pdf (diakses pada hari Kamis, 23 April 2015 pukul 11.30 WIB). 9
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. Lourens, A., H. van den Brand, R. M. J.W. Heetkamp, R. Meijerhof, dan B. Kemp. 2007. Effect of Eggshell Temperature and Oxygen Concentration on Embryo Growth and Metabolism During Incubation. Poultry Science 86:2914–2199. Lourens, A., R. Meijerhof, B. Kemp, and H. van den Brand. 2011. Energy Partitioning During Incubation and Consequences for Embryo Temperature: A Theoretical Approach. Poultry Science 90:516-523. Meijerhof, R. 2009. Incubation principles: What does the embryo expect from us? Pages 106–111 in Proc. 20th Australian Poultry Science Symp. Molenaar, R., I. van den Anker, R. Meijerhof, B. Kamp, and H. van den Brand. 2011. Effect of Eggshell Temperature and Oxygen Concentration During Incubation on The Developmental and Physiological Status of Broiler Hatchlings in The Perinatal Period. Poultry Science 90:1257-1266. Nakage Es, Cardozo JP, Pereira GT, Queiroz SA dan Boleli IC. 2003. Effect of Temperature on Incubation Period, Embryonic Mortality, Hatch Rate, Egg Water Loss And Partridge Chick Weight (Rhynchotus Rufescens). Rev. Bras. Cienc. Avic. [Online].. volume 5, Nomor 2, Halaman 131-135. ISSN 1516-635X. http://dx.doi.org/10.1590/S1516-635X2003000200007 (diakses pada hari Kamis, 23 April 2015 pukul 11.25 WIB). Nichelmann, M., A. Burmeister, O. Janke, J. Hochel, and B.Tzschentke. 1998. Avian Embryonic Thermoregulation: Role Of Q10 in Interpretation of Endothermic Reactions. The Journal of Thermal Biology 23:369–376. Nichelmann, M., B. Lange, R. Pirow, J. Langbein, and S. Herrmann. 1994. Avian Thermoregulation During the Perinatal Period.. Institut fur Verhaltensbiologie und Zoologie der Humboldt-Universitate zu Berlin. Berlin. Hal : 167–173 Pelster, B. (1997). Oxygen, temperature and pH influenses on development of nonmammalian embryos and larvae. In Development of Cardiovascular Systems, (ed.W. W. Burggren and B. B. Keller), pp. 227-239. Cambridge: University of Cambridge Press. Prasetyo, L.H. dan T. Susanti. 2000. Persilangan Timbal Balik Antara Itik Alabio dan Mojosari Periode Awal Bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol. 5, No. 4 : 210-213. Rahn, H., R. A. Ackerman, dan C. V. Paganelli. 1977. Humidity in The Avian Nest and Egg Water Loss During Incubation. Journal of Experimental Zoology. 50:269-283. Rarasati. 2002. Pengaruh Frekuensi Pemutaran Pada Penetasan Telur Itik Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Rasyaf, M. 1984. Pengelolaan Penetasan. Penerbit Yayasan Kanisius. Cetakan Pertama. Yogyakarta. 10
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas ........................................... Nisa Nurika Manggiasih, dkk. Shahein, E.H.A. 2002. Factors Affecting Hatchability and Their Relation To Embryonic Development In Local Chicken Strains. Ph.D, Thesis. Faculty of Agriculture, Kafr ElSheihk University Egypt. Suprijatna, E., Umiyati A., dan Ruhyat K. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Halaman 94. Penebar Swadaya. Jakarta. Tona, K., F. Bamelis, B. De Ketelaere, V. Bruggeman, V.M.B. Moraes, J. Buyse, O. Onagbesan and E. Decuypere, 2003. Effects of Egg Storage Time on Spread of Hatch, Chick Quality and Chick Juvenile Growth. Poultry Science 82: 736-741. Van der Pol, C. W., I. A. M. van Roovert-Reijrink, C. M. Maatjens, H. van den Brand dan R. Molenaar. 2013. Effect of Relative Humidity During Incubation at A Set Eggshell Temperature and Brooding Temperature Posthatch on Embryonic Mortality and Chick Quality. Poultry Science 92:2145-2155 Willemsen, H., B. Kamers, F. dahlke, H. Han, Z. Song, Z. Ansari Pirsaraei, K. Tona, E. Decuypere, dan N.Everaert. 2010. Effect on Embryonic Development the Hatching Process, and Metabolism in Broilers. Poultry Science 89:2678-2690. Yalcin S dan Siegel PB. 2003. Exposure to Cold or Heat During Incubation on Developmental Stability of Broiler Embryos. Poultry Science 82, 1388-1392
11