PENGEMBANGAN KEMAMPUAN HAKIM DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS1 OLEH ADI SULISTIYONO2
“...adalah kewajiban seorang hakim untuk tidak saja memeriksa masalah yang dihadapi, tetapi juga keadaan sekitar masalah yang bersangkutan. bersangkutan. (“Ovid, 43 SMSM-17 SM) “... Ka Kami mi percaya bahwa dalam sistem hukum yang manapun, hakim, dalam memutuskan perkara yang disidangkan di depannya selalu menyesuaikan doktrin hukum dengan situasi baru dan dengan begitu memberikan arti baru kepada doktrin hukum itu. Hakim progresif akan selalu selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya rakyatnya Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004) Pendahuluan Peradilan mempunyai posisi yang strategis dan sangat penting bagi bangunan suatu negara hukum. Sejarah perjalanan umat manusia telah menunjukkan bahwa semakin baik hukum dan pengadilan suatu bangsa, akan semakin tinggi kualitas peradapan bangsa yang bersangkutan.Bahkan dapat dikatakan tidak ada bangsa yang dapat dikategorikan beradabab tanpa mempunyai hukum yang baik dan pengadilan yang baik dan berdaulat3. Hal inilah yang menyebabkan kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka menyelenggarakan peradilan, senantiasa mendapat landasan hukum yang kuat dihampir semua konstitusi suatu negara. Secara teori dipahami keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang mengkoordinasi sengketa-sengketa yang diajukan oleh masyarakat, dan
1 Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Kemampuan Hakim, Kerjasama Komisi Yudisial, Pengadilan Tinggi, Fakultas Hukum Universitas SamRatulangi; tanggal 21-22 Oktober di Hotel Ritzy Manado 2
Adi Sulistiyono, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
3 Stephen M Friedman, 2000, American Legal Thought: From Premodernism to Postmodernism, New York: An IntelectualVoyage Oxfor Universitty Press.
1
merupakan ‘rumah pengayom’ bagi masyarakat pencari keadilan, serta dipercayai sebagai lembaga yang mampu mendistribusikan keadilan pada masyarakat pencari keadilan. Namun dalam realitas di masyarakat bekerjanya pengadilan itu tidak merupakan bangunan yang penuh dengan keteraturan logis-rasional sebagaimana diatur dalam aturan normatif, yang berjalan secara otomatis sebagaimana telah diatur berdasar prosedur-prosedur formal yang telah ditentukan, sebagaimana secara jelas telah diatur dalam hukum acara. Di dalam kerangka penglihatan ini maka lembaga pengadilan tidak sekedar dilihat sebagai suatu badan yang otonom di dalam masyarakat, melainkan diamati dengan pendekatan legal realist ataupun critical legal study yang menempatkan sebagai suatu badan yang merupakan bagian dari keseluruhan nilai-nilai dan proses-proses yang bekerja di dalam masyarakat, di mana pengaruh politik, ekonomi, dan faktor-faktor sosial lainnya ikut terlibat di dalamnya. Pengadilan sebenarnya merupakan artifisial dari sekumpulan hakim-hakim yang berdasarkan undang-undang diperankan sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman, sekaligus tokoh sentral yang bertanggungjawab memutus perkara yang diajukan ke pengadilan. Mengingat strategisnya posisi hakim dalam pengadilan R. Dworkin, menyatakan judges are its princes of law’s empire.4 Menurut J.P Dawson5,hakim merupakan anggota masyarakat setempat yang terkemuka dan terhormat. Bahkan, JR. Spencer menyebutkan, putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan tuhan” atau “the judgment was that of God”6 Selanjutnya Roeslan Saleh pernah menyebut bahwa kerja hakim merupakan pergulatan melawan kemanusiaan.7 Dalam kaitannya dengan keterpurukan ekonomi di Indonesia, Charles Himawan mengatakan bahwa putusan pengadilan merupakan legal lights house atau mercusuar hukum bagi para pelaku ekonomi.8 Demikian luhur misi yang diemban oleh hakim, sehingga konstitusi (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945) dan peraturan perundang-undangan (UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 14/1985 jo UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung) juga meletakkan dasar hukum yang kuat berkaitan dengan kemandirian hakim.
4
Ronald Dworkin, 1986 Law’s Empire. Cambridge, Haverd University Press
5 John P Dawson, 1996, Peranan Hakim di Amerika Serikat , dalam Harold J Bermen, Ceramah-Ceramah tentang hukum Amerika Serikat, PT Tatanusa 6 J.R. Spencer,1989, Jackson’s Machinery of Justice,Cambridg Press. Lihat juga Harold J. Berman. “Segi-segi Filosofi Hukum Amerika”. Harrold J Bermen, 1996, Cermah-Ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, Penrjemah Grogery Churchil, J.D, PT Tatanusa.
7
Roeslan Saleh, 1982, Peradilan sebagai Pergulatan Melawan Kemanusiaan, Jakarta: P.T. Ghalia Indonesia. 8
Lihat dalam Charles Himawan, 2003, Hukum sebagai Panglima, Jakarta: Penerbit
Kompas.
2
Namun demikian dalam realita empirik, kita menyadari bahwa hakim adalah manusia biasa ciptaan Tuhan yang mempunyai resistensi yang terbatas ketika menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar.9 Dalam tinjauan sosiologis, pelaksanaan peran hakim tersebut tidak berlangsung dalam wilayah normatif yang steril, yang mudah dicapai, tetapi selalu dalam konteks adanya perjuangan untuk melepaskan diri dari pengaruh sosial, kooptasi kekuasaan, permainan lobi politik, atau arus ekonomi yang kuat. Pengaruh atau tekanan dari luar yang mempengaruhi inilah yang sering menjadi penyebab hakim kehilangan kejujuran, mengorbankan kewibawaan, dan profesionalitasnya untuk penyelesaian sengketa sehingga seringkali menghasilkan putusan yang tidak selaras dengan nilai keadilan masyarakat. Untuk itulah ke depan, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundangundangan.10 Pada bingkai yang demikian, dikaitkan dengan susun kenegaraan dan kebutuhan penciptaan pengadilan dan pembentukan hakim yang jujur, kompeten, profesional, dan berwibawa, maka tulisan ini disusun. Tulisan dimulai dengan bacaan arsistektur dan watak kekuasaan kehakiman, kemudian dilanjutkan dengan uraian kompetensi kemandirian hakim dan faktor intervensionisnya, kemudian diakhiri dengan eksistensi KY. Optik sosiologi hukum digunakan sebagai pisau dominan dalam tulisan ini sekadar untuk memperteguh bahwa bacaan fenomena hukum tidak cukup meyakinkan jika hanya berhenti kepada watak positivistik belaka, tanpa mengkaitkannya dengan fenomena sosial lainnya.
Arsitektur – Mitos – Intervensionis Cita-cita akan mutlaknya kebebasan kekuasaan kehakiman adalah tuntutan yang amat sering terdengar. Secara historis, tuntutan ini punya dasar yang kuat, seperti dapat dibaca pada Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat pembahasan UUD 1945. Para Bapak Bangsa seperti Soekarno, Hatta, Soepomo, dan Yamin maupun lainnya mengakui betapa pentingnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman, meskipun ada peberdaan cara memandang mengenai tempat dan letak dari kekuasaan kehakiman tersebut. Keyakinan itu selaras dengan cita-cita bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan berdasarkan kekuasaan belaka, yang pernah termuat dalam Penjelasan UUD 1945.
9 Untuk melihat pengaruh lingkungan terhadap penegak hukum lihat William J. Chambliss & Robert B. Seidman, 1971, Law order and power (massachuset’s : Addison Wesley Publishing Campany)., Lihat D.S. Lev. 1990, Hukum dan Politik di Indonesia, Jakarta :LP3ES. Lihat juga J.H. Skolnick, 1996, Justice without trial : Law Enforcement in Democratic, New York : Jhon Wiley & Son S Inc. 10
Satjipto Rahardjo, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang”, Kompas 24 Mei 2000.
3
Pada awalnya UUD 1945 mengatur secara sumir kekuasaan kehakiman dalam BabIX Pasal 24. Di dalam pasal ini termuat 2 (dua) ayat masing-masing mengatur bahwa: (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang; dan (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Idealnya, kebebasan peradilan harus dituangkan dalam norma hukum yang mengatur peradilan sehingga tampak benar adanya pemisahan kekuasaan kehakiman dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Tetapi hal inilah yang absen dari naskah asli UUD 1945, sehingga kalaupun lahir peraturan perundangundangan derifatif, ia justru menegasikan kebebasan peradilan yang pada akhirnya juga melanggar karakter kekuasaan kehakiman sebagai suatu organisasi negara yang memang harus bekerja tanpa ketergantungan ataupun pengaruh cabangcabang kekuasaan negara lainnya.11 Pada masa Orde Baru kekuasaan kehakiman yang minim kebebasan dijustifikasi dengan adanya paham integralistik yang tidak mengakui pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Paham integralistik ini memandang masyarakat sebagai sebuah keluarga besar, di mana negara menjelma sebagai perwujudan dari masyarakat. Karena itu negara berada di atas dan sifatnya melindungi dan mengayomi masyarakat.12 Paham ini walaupun kuat pengaruhnya dalam sistem politik waktu itu banyak dikecam karena dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang justru menjiwai UUD 1945.13 Jauh sebelumnya, Soekarno dengan proyek demokrasi terpimpinnya berhasil mengukuhkan cengkeraman eksekutif atas kekuasaan kehakiman. Ketentuan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13 Tahun 1965 tentang Susunan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, jelas-jelas merupakan penyimpangan dari kekuasaan kehakiman yang merdeka. Selain itu, kita juga menyaksikan pengintegrasian jabatan Ketua Mahkamah Agung ke dalam tubuh kabinet, sehingga ketua Mahkamah Agung juga sama dengan pembantu Presiden lainnya, tidak sejajar dengan Presiden seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.14
A. Muhammad Asrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Jakarta: ELSAM. 11
12 Lihat misalnya uraian ini dalam A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Negara, Disertasi UI, Jakarta.
Contoh rekaman yang amat jelas kritik tersebut periksa: Marsilam Simanjuntak, 1996, Paham Negara Integralistik, Jakarta: Gramedia. 13
14 Pada masa ini, Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikoro merangkap jabatan Menteri, yaitu sebagai Menteri/Ketua Mahkamah Agung pada Kabinet Kerja IV (13 November 196327 Agustus 1964), Kabinet Dwikora (27 Agustus 1964-27 Feberuari 1966), Kabinet Dwikora yang Disempurnakan/Kabinet 100 menteri (27 Feberuari 1966-28 Maret 1966), dan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi (28 Maret 1966-17 Oktober 1967). Lihat dalam Bibir Suprapto, 1983, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia. Wiryono
4
Arsitektur kekuasaan kehakiman coba ditata ketika Orde Baru berdiri. Setelah melalui berbagai perdebatan, tahun 1968 Menteri Kehakiman Umar Seno Adji menyerahkan rancangan yang dibuat oleh kementeriannya sendiri ke Parlemen, bersama dengan rancangan UU lainnya (mengenai Mahkamah Agung dan pengadilan sipil yang lebih rendah) . Dua tahun kemudian setelah diadakannya perundingan secara luas, pada akhirnya diundangkan UU No 14 Tahun 1970. Perdebatan tentang kemandirian lembaga peradilan hanya berlangsung baik pada awal Orde Baru mungkin sebelum Pemilu tahun 1971, tatkala kondisi politik masih tampak cair untuk timbulnya persoalan yang menyangkut sistem itu kemudian wacana kemandirian badan peradilan hanya wacana kaum akademisi saja. Diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman, yang oleh Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji dikatakan sebagai suatu pemahkotaan kembali dari kekuasaan kehakiman. Agaknya tidak seorang pun bisa membantah bahwa UU No. 14 Tahun 1970 itu lebih baik ketimbang UU No. 19/1964. UU No. 14 Tahun 1970 bagaimana pun juga jelas sebuah tonggak sejarah (milestone). Walaupun demikian pertanyaan tentang ada tidaknya kekuasaan kehakiman yang merdeka belumlah terjawab secara tegas. Ketentuan UU No. 14 Tahun 1970 dalam Pasal 1 dan Pasal 3 ayat (3) mengakui mutlaknya kekuasaan kehakiman yang merdeka, lepas dari campur tangan pemerintah dalam penyelenggaraan proses peradilan. Tetapi undangundang ini juga megakui bahwa kekuasaan kehakiman itu berada di bawah eksekutif dan yudikatif sekaligus. Pasal 11 dari UU ini memberi Departemen Kehakiman, Departemen Pertahanan Keamanan dan Departemen Agama, wilayah untuk turut campur tangan, meski sebatas urusan organisatoris, administratif, dan finansial. Sementara itu urusan “teknis peradilan” berada di bawah Mahkamah Agung. Prasangka intervensionis ini semakin mengental, ketika UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum lahir, di mana eksekutif diberi peluang, meski tetap sebatas urusan organisasi, administrasi, dan finansial. Karena para hakim wajib menjadi anggota Korps Pegawai Negeri (KORPRI), maka lengkaplah strukturasi peradilan yang berada di bawah cengkeraman eksekutif. Selama Orde Baru itu, arsitektur kekuasaan kehakiman diposisikan mempunyai lahan kemandirian yang sempit. Indikasi ini bisa dilihat dari putusanputusan yang dikeluarkan lembaga peradilan banyak diintervensi oleh pihak luar. Lembaga peradilan dibuat tidak berdaya oleh pihak-pihak tertentu, baik yang mempunyai kekuasaan maupun arus uang. Dan selama 32 tahun rezim Orde Baru telah menghegemoni lembaga peradilan, bahkan lembaga peradilan dijadikan kanal kepentingan mereka.15 Masyarakat dijadikan objek oleh Penyelenggara Negara Prodjodikoro dan adiknya, Mr. Sutanto Tirtoprodjo (Kepala LPHN yang pertama) secara politik dan ideologis dekat dengan PNI, partai yang diasosiakan lekat dengan citra Presiden Soekarno. Soal ini, lihat Daniel S. Lev, 1990, Hukum dan Politik Perubahan dan Kesinambungan, Jakarta: LP3ES. Asal usul dan uraian lengkap soal ini, baca: Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University Press. 15
5
sehingga mereka dibuat tunduk dan tidak bisa berbuat kritis terhadap pemerintah. Dalam kondisi ini terciptalah adagium dari Thomas Hobbes (1588-1679), bahwa it is not wisdom but authority that makes the law (bukanlah kepintaran/kebijakan melainkan kekuasaan yang membuat hukum). Tetapi nampaknya kekecewaan rakyat sudah tidak bisa diwadahi lagi. Puncaknya, tanggal 21 Mei 1998 secara serentak masyarakat melakukan gerakan untuk menggulingkan rezim Orde Baru. Masyarakat menuntut adanya reformasi disegala bidang termasuk penegakan supremasi hukum. Pada Orde Reformasi, arsitektur kekuasaan kehakiman ditata lagi, dengan mengupayakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak lagi tertera dalam penjelasan tapi secara tegas termuat dalam konstitusi. Hal ini dilakukan melalui amandemen ketiga (diputuskan Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 9 Nopember 2001) yang merupakan perubahan sangat fundamental dan futuritif. Dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dalam Pasal 24 A ayat (3) disebutkan:” Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Dengan arsitektur kekuasaan kehakiman yang baru, lahan Presiden dalam mengangkat hakim agung telah dialihkan pada DPR. Harapannya kedepan dengan melibatkan Komisi Yudisial sebagai pengusul dan DPR yang memberikan persetujuan dalam memilih hakim agung, kelak Mahkamah Agung akan diisi oleh hakim-hakim agung yang memiliki integritas tinggi, profesional, kepribadian tidak tercela, menguasai bidang hukum secara komperhensif, dan mampu mendistribusikan keadilan. Pada awal tahun 2000, Orde Reformasi berkuasa menggantikan Orde Baru. Pada saat itu untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Indonesia merdeka diadakan pemilihan umum paling demokratis untuk memilih Presiden. Walaupun partai yang mendukungnya (PKB-Partai Kebangkitan Bangsa) tidak meraih suara terbanyak, Presiden Abdurahman Wahid, berkat lobi poros tengah, terpilih menjadi Presiden Negara Republik Indonesia melalui mekanisme demokrasi. Pada awal pemerintahannya banyak pihak yang menaruh harapan besar pada Presiden untuk membenahi krisis yang terjadi dalam lembaga peradilan. Pada awal menjabat, Presiden Abdurrahman Wahid langsung merencanakan membenahi lembaga pengadilan dengan memulai menempatkan hakim jujur pada posisi kunci (ketua) di pengadilan. Sebagai pilot proyek, Presiden Abdurrahman Wahid akan memulai di lima pengadilan di Jakarta.16 Untuk menindak lanjuti keinginan tersebut, Yusril Iza Mahendra (Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) melakukan mutasi sekitar 70 persen dari seluruh hakim di DKI Jakarta untuk disebar di berbagi 16
Jakarta Pos, “Abdurrahman to Revamp Justice System”, March 3, 2000.
6
daerah. Menurut Yusril, mutasi dimulai di Jakarta karena di sini terdapat perkaraperkara besar dan mendapat sorotan masyarakat luas.17 Namun demikian, kebijaksanaan tersebut bukan merupakan konsep yang menyeluruh untuk menata sistem peradilan di Indonesia yang telah mengalami krisis yang cukup lama. Menurut Hendardi, mutasi yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman tidak bisa menyelesaikan masalah. Bila ingin melakukan gerakan reformasi hukum justru Mahkamah Agung yang harus dibenahi lebih dahulu.18 Dalam perjalanan waktu, harapan yang terlalu besar dari masyarakat untuk adanya perbaikan pada pengadilan menjadi sirna. Presiden Abdurrahman Wahid yang terkenal sebagai budayawan dan seorang ‘demokrat’ ternyata lebih suka membuat pernyataan-pernyataan yang menimbulkan polemik daripada melakukan tindakan nyata untuk membangun lembaga peradilan, yang reliable. Bahkan yang cukup menyedihkan, sepanjang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, untuk pertama kali kursi Ketua Mahkamah Agung dibiarkan kosong untuk waktu lima bulan.19 Baru bulan Mei 2001, Presiden mengangkat Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung, setelah calon lainnya, Muladi, mengundurkan diri. Timbulnya kekosongan tersebut terjadi karena terjadi sengketa antara Presiden dan DPR tentang pengisian jabatan ketua Mahkamah Agung. Ada dua materi yang yang menjadi obyek sengketa, yaitu: 1) masalah penafsiran Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1985; dan 2) masalah figur calon Ketua Mahkamah Agung. Kondisi yang sama, dalam arti kurangnya komitmen membenahi lembaga peradilan, terulang pada era pemerintahan Presiden Megawati, yang menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid lewat suatu Sidang Istimewa MPR. Padahal untuk suksesnya suatu sistem negara demokrasi, pondasi awal yang harus dipersiapkan, di antaranya adalah lembaga peradilan yang dipunyai suatu negara harus berwibawa dan bisa dipercaya masyarakat. Tanpa ada pemahaman pemerintah tentang hal tersebut, dan tidak adanya langkah-langkah progresif membenahi pengadilan, maka sejarah tentang krisis bangsa, krisis ekonomi, dan krisis penegakan hukum di Indonesia masih akan berlangsung dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Dengan arsitektur kehakiman yang baru, Mahkamah Agung tidak lagi diintervensi oleh Presiden, tetapi dipengaruhi oleh lobi-lobi politik dari DPR. Hal ini dimungkinkan terjadi karena balas budi pada saat menjadi hakim agung maupun ketika Mahkamah Agung mengajukan perencanaan anggaran di DPR.
Lihat dalam hasil wawancara Majalah Gatra dengan Yusril, “Kecuali Saya Malaikat”, 22 April 2000. 17
18
Lihat dalam Gatra, 22 April 2000.
19 Dua calon Ketua MA (Muladi dan Bagir Manan) dan dua Wakil Ketua MA yang telah terseleksi melalui mekanisme fit and proper test dan diajukan oleh DPR untuk diangkat oleh Kepala Negara. Ternyata pada tanggal 20 Desember 2000 hanya wakil ketua MA, Taufik, yang dilantik oleh Presiden. Sedangkan Ketua Mahkamah Agung dibiarkan kosong oleh Kepala Negara.
7
Dalam spektrum yang lebih luas, amatan saya menunjuk bahwa ‘nasabah’ pengadilan tidaklah melulu mereka yang sering berurusan langsung dengan pengadilan, seperti advokat, tetapi juga para politisi yang dengan kekuasaannya membentuk perundang-undangan dan mempunyai saham dalam rekrutmen hakim serta memudahkan meloloskan perencanaan anggaran. Oleh karena itu, kemandirian kekuasaan kehakiman yang dirumuskan dalam ketentuan konstitusi sekalipun, masih tetap hanya sebuah mitos, sampai kemudian hari dibuktikan kebenarannya. Kebebasan-Politik-Komitmen Kebebasan hakim dapat diuji ke dalam 2 (dua) hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity.20 Ketidakberpihakan hakim terlihat pada ide bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta persidangan, bukan atas keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Selanjutnya, pemutusan hakim dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar dia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik atau mencegah pelaksanaan keputusan politik. Kita harus meneropong lebih jauh masalah ini. Ketidakberpihakan hakim akan menjadi persoalan jika tinjauan diperlus dari perpektif ilmu hukum perilaku. Ini bukan hal yang baru karena seperti dikatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa pada pertengahan 1950, muncul pendekatan yang berisfat perikelakuan, yang memberikan sorotan terhadap dimensi sosiopsiokologi dan keputusan-keputusan hakim.21 Masalah yang disoroti adalah sampai seberapa jauh sistem kepercayaan dan sikap-sikap hakim mempengaruhi keputusan-keputusannya. Rony Hanintijo Soemitro berhasil pula mengidentifikasi maraknya penelitian faktor nonlegal yang secara langsung berpengaruh terhadap putusan pengadilan di negara-megara Eropa, seperti jerman, Inggris, dan Sapnyol.22 Fenomena di Indonesia mengkonfirmasi hal yang serupa. Para hakim adalah lulusan sarjana hukum dan kemudian bekerja di bawah pengaruh sistem politik, kekuasaan, dan sistem hukum yang sama.tetapi seluruh tipe hakim di Indonesia tidak pernah sama karena tidak mengenal preseden. Sehingga bisa dimaklumi bila masyarakat cukup dibuat bingung, ketika putusan Mahkamah Agung yang menangani kasus-kasus korupsi APBD di DPRD di berbagai daerah, menghasilkan
A. Muhammad Asrun, 2004, Krisis Peradilan : Mahkamah Agung di bawah suharto, Jakarta, Elsam. 20
21 Soerjono Soekanto, 1993, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.
Lihat: Rony Hanintijo Soemitro, 1989, Perspektif Sosial dalam Pemahaman MasalahMasalah Hukum, Semarang: Agung Press. 22
8
putusan yang beragam, tergantung majelis kehakiman yang menanganinya., Pada titik ini memang sulit untuk menuntut keberpihakan hakim secara “gamblang” Keterlepasan dari faktor politik juga memiliki kompleksitas tersendiri. Sorotan paling mudah terhadap hal ini adalah melihat kontur posisi Mahkamah Agung. Seperti sudah diuraikan di atas, ketika arsitektur peradilan pascareformasi begitu memihak kebebasan struktural hakim dari posisi eksekutif dan keberhasilan menetapkan manajemen satu atap, maka ada faktor laten yang layak untuk dicermati. Pada satu sisi, ini menuntut kesigapan dan kesiapan Mahkamah Agung menangani manajemen organisasi dari personil hingga keuangan secara mandiri, hal yang nyaris tidak pernah menjadi komptensinya selama ini. Dapatkah MA menyusun standar operasional prosedur dalam melaksanakan fungsinya itu dengan tetap melibatkan peran serta dan kontrol aktor luar di tengah monopoli yang begitu nyaman digenggamnya? Selanjutnya, dari mana pendanaan Mahkamah Agung diperoleh? Sudah pasti dari negara, dalam hal ini adalah APBN. Dalam rangka penyusunan APBN ini kapasitas DPR tidak bisa dilangkahi, dan lazimnya penentuan alokasi anggaran di sektor pemerintahan lain, pasti akan diwarnai oleh lobi-lobi politik yang membuka celah untuk melakukan transaksi-transaksi ekonomis yang saling menguntungkan. Tidak berhenti di situ, karena dengan kekuasaan legislasinya, DPR berperan besar secara konstitusional untuk menciptakan perundang-undangan, termasuk yang bersinggungan dengan kekuasaan kehakiman23. Sekali lagi, isu negatif permainan uang dan goyangan kepentingan politik yang acapkali mewarnai prosedur legislasi bukan tidak mungkin akan menyeret Mahkamah Agung. Jika kepentingan itu tidak menguntungkan DPR, sudah pasti kalkulasi politik akan membuat Mahkamah Agung sendirian dalam memperjuangkan kepentingannya.24 Kemudian dalam pola rekrutmen hakim agung juga rawan terhadap transaksi-transaksi gelap yang menciderai keterputusan pengadilan dari relasi politik. Aturan normatif semenjak UUD 194525 dan kemudian diikuti oleh UU No. 4 Tahun 2004, UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2004, menempatkan DPR sebagai aktor penting dalam pengisian jabatan tersebut. Walaupun KY berperan dalam rekrutmen, tetapi fungsinya tidaklah lebih dari kelanjutan Departemen Kehakiman pada masa dulu yang mengadakan seleksi administratif dan seleksi profesional amat terbatas, karena hasil seleksi ini pun tetap harus dimintakan persetujuan DPR. Adanya kuasa itu menyebabkan semenjak Tahun 2000 DPR aktif melakukan apa yang disebut fit and proper test, sebagai salah satu wahana untuk menetapkan calon hakim agung. Tanpa adanya dasar hukum, kaidah-kaidah
Ketentuan Pasal 24A UUD 1945, menyatakan Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. 23
24 Lihatlah kasus bagaimana Mahkamah Agung bersikukuh menolak kehadiran BPK dalam mengaudit biaya perkara.
25
Lihat Pasal 24A ayat (2) dan ayat (3).
9
normatif, dan pedoman yang jelas, mekanisme ini kadang-kadang terjebak ke dalam lelang jabatan, yang meskipun tidak harus disertai uang, tetapi bukan tidak mungkin melahirkan kontrak politik antara calon hakim agung dengan para politisi guna saling memperjuangkan kepentingannya. Ketika seleksi itu didelegasikan kepada Komisi III DPR, yang notabene mayoritas anggotanya adalah mantan advokat, maka lengkaplah sudah makna kepentingan yang harus dilindungi itu. Walaupun selalu dibantah dan sulit dilacak, tetapi ketika DPR menilai bahwa proses hukum yang dilakukan atas anggota DPRD dalam berbagai kasus korupsi sudah mengarah ke kriminalisasi politik kebijakan pemerintah daerah, maka kemudian Mahkamah Agung banyak mengeluarkan putusan-putusan yang membebaskan terdakwa korupsi DPRD itu. Sulit sekali rasanya secara intuitif untuk mengatakan bahwa kedua hal itu tidak ada hubungannya sama sekali. Sama sulitnya untuk tidak mengatakan segalanya “baik-baik” saja dalam perdebatan usia pensiun hakim agung dalam penyusunan RUU Mahkamah Agung maupun persetujuan 6 (enam) hakim agung oleh DPR (komisi III) akhir-akhir ini. Hal yang amat merisaukan saya adalah ketika para politisi juga sudah menjadi nasabah pengadilan dan kemudian komitmen profesional hakim agung tergores, maka eksistensi Mahkamah Agung berada dalam tepi jurang yang menyesatkan. Jika Mahkamah Agung sudah pada posisi sulit seperti itu, maka dapatkah diharapkan perannya dalam membina para aparatur pengadilan yang lain? Memang Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2008 tentang Renumerasi Aparatur Pengadilan, sangat menjanjikan sebagai langkah awal untuk membenahi personalia dan infrastruktur pengadilan, tetapi saya kira dalam jangka pendek hanya berhasil menjangkau para hakim dan aparat pengadilan di tingkat daerah. Sementara untuk Mahkamah Agung tidak terlalu diuntungkan oleh mekanisme itu ketika skema politik masih melingkupinya dan berpotensi untuk menebar jerat laba-laba yang merusak. Dalam gambaran di atas, terbaca sekali lagi, bahwa hakim tidak pernah bekerja dalam lingkungan yang hampa. Berbagai struktur, kelembagaan, dan proses dalam masyarakat berada dan bekerja berdampingan dengan hakim. Bahkan dapat juga dikatakan, bahwa hakim merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar, tetapi biasanya dikatakan, bahwa antara hakim dan masyarakat terdapat hubungan saling memasuki dan mempengaruhi. Peta struktur semacam itu kiranya bisa dibentang bukan hanya ketika hakim berhadapan dengan pola rekrutmen dan anggaran belaka, akan tetapi juga ketika teruji dalam silang posisi dengan media massa dan opini publik serta opini pakar. Suatu kenyataan yang berlangsung selama ini menunjukkan semakin kokohnya peran media massa sebagai social control, termasuk dalam mengkritisi penegakan hukum. Lepas dari itu kita semua juga harus mencermati bahwa dibalik media massa ada pemilik, yang punya kepentingan politik, atau bisnis, yang setiap saat bisa ‘menyetir’ wartawan agar melakukan ‘permainan’ tulisan sesuai dengan kepentingan politik atau pribadi pemilik. Demikian juga opini publik yang cenderung semakin kritis, yang saya kira positif untuk membangun independensi hakim guna menghindarkan perilaku tidak terpuji terkait dengan penanganan perkara. Sedangkan opini pakar yang menekan di media ini juga sisi lain yang bisa mempengaruhi hakim dalam 10
memutus perkara. Dalam satu sisi kita semua sangat membutuhkan opini pakar yang obyektif untuk referensi hakim ketika memutus perkara. Namun demikian, kita semua juga tahu ada pakar yang tidak berada dalam wilayah yang steril dari pesanan politik maupun kekuasaan yang berorientasi uang. Proyek besar lainnya yang harus dipikirkan adalah bagaimana kebebasan hakim ketika berhadapan dengan media massa, opini publik, dan oponi pakar tersebut? Apakah hakim harus dilindungi terhadap determinasi keduanya ataukah justru hal itu akan merusak tatanan “penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka?” Pada segi inilah saya kira kerisauan KY untuk mencari arah pengembangan hakim menemukan momentumnya. Eksistensi KY Mewujudkan Komitmen Sebelum digunting oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 005/PUU-IV.2006, yang menguji UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY, maka harapan besar untuk reformasi peradilan dan pengembangan hakim sudah berada pada pijakan yang benar. Tetapi harapan itu buyar ketika MK mengatakan bahwa “segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).” Ditambah dengan belum disusunnya UU KY yang baru, jelas bukan saja kewenangan KY yang merosot, akan tetapi juga secara nyata lembaga ini sedang mengalami krisis identitas dan eksistensi. Dapatkah di tengah situasi ini KY menjalankan kewenangan untuk melaksanakan cetak biru dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana diamahkan oleh konstitusi? Sebelum ke arah itu tampaknya krisis itu harus lebih dahulu diatasi oleh KY. Jika keberadaan perundang-undangan yang menjadi problem, sudah selayaknya KY berusaha meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan, terutama sekali kepada DPR, tanpa harus melahirkan perilaku kolutif, untuk segera mendukung agenda reformasi peradilan melalui pembentukan UU KY yang baru agar masuk dalam prioritas legislasi. Sambil menunggu keberadaan undang-undang tersebut, langkah KY membangun komitmen bersama dalam mewujudkan hakim yang jujur, kompeten, berwibawa, & profesional perlu mendapat dukungan semua komponen bangsa. Apa yang dikomitmenkan tersebut secara normatif terdapat dalam Pasal 32 UU N0.4 Tahun 2004 yang menyebutkan: “hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.” Untuk mewujudkan komitmen tersebut, memang membutuhkan konsistensi kebijakan, keteladanan, dan dukungan masyarakat secara terus menerus.
11
Dalam upaya mencetak hakim yang kompeten dan profesional, Mahkamah Agung sebenarnya telah berupaya melakukan perbaikan rekrutmen hakim26, dan pembentukan Tim 11 guna mendukung proses mutasi dan promosi hakim. Di samping itu, pada tahun 2003 dengan bantuan IMF, Mahkamah Agung juga telah menyusun Cetak Biru dan Kertas Kerja Pembaharuan Peradilan (Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim dan Kertas Kerja Pembaharuan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim, Kertas Kerja Pengelolaan Keuangan Pengadilan)27. Sedangkan untuk mencetak hakim agung yang kompeten dan profesional, juga telah diupayakan KY dan DPR. Namun demikian apa yang telah diupayakan tersebut ternyata mengalami distorsi dan penyimpangan sehingga sampai sekarang belum mampu secara signifikan menghapus stigma negatif pada lembaga peradilan, dan belum menghasilkan hakim-hakim pejuang hukum dan pahlawan pembangunan, yang mampu mendistribusikan keadilan bagi masyarakat, khususnya ketika menangani “kasus-kasus besar” yang menjadi perhatian masyarakat. Pada saat sekarang ini, bangsa Indonesia sedang menunggu-nunggu munculnya hakim-hakim jujur, yang dengan kecerdasan, keberanian dan kebijaksanaannya mampu menghasilkan putusan yang bisa membantu mengatasi keterpurukan bangsa. Berkaitan dengan hal ini filosof Taverne, pernah menyatakan: “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.” Untuk membangun kejujuran hakim, di samping menciptakan sistem pengawasan yang ketat, konsisten, disertai sanksi yang tegas, kita semua perlu mendukung pemberdayaan sistem renumerasi untuk kesejahteraan sebagaimana yang telah diterapkan pada profesi hakim. Ukuran kesejahteraan hakim mestinya juga dikaitkan
Secara normatif syarat untuk dapat diangkat menjadi calon hakim pengadilan negeri, (sebelum diangkat sebagai hakim), mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 jo UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. (Warga negara Indonesia; bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sarjana hukum; berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun; sehat jasmani dan rohani; berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia.) 26
27 Sebenarnya usaha-usaha untuk mengembalikan wibawa dan citra hakim sudah sering dilakukan. Misalnya dalam rapat kerja nasional Ketua Pengadilan di semua lingkungan peradilan, pada bulan Januari 1993, tiga dari lima keputusan rakernas bertujuan untuk mengembalikan wibawa hakim. Pertama, pelatihan hakim atau pembinaan kemampuan para hakim akan terus dilakukan di bawah koordinasi Mahkamah Agung. Kedua, pengawasan terhadap hakim dilakukan dengan sistem bertingkat, yang mengandalkan efektivitas kegiatan hakim banding sebagai ujung tombak. Sistem ini memberikan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk melakukan pengawasan terhadap pengadilan tingkat pertama. Sedangkan Ketua Pengadilan Negeri berhak mengawasi bawahannya. Ketiga, pola penetapan kepemimpinan pengadilan ditegaskan untuk mengantisipasi regenerasi hakim tinggi dan hakim agung.
12
dengan tugas seorang hakim yang mempunyai high consequence risk28 dan mempunyai tanggungjawab untuk mampu mendistribusikan keadilan pada masyarakat; menciptakan kepastian hukum; serta membantu bangsa menghadapi ‘rongrongan’ koruptor (penghianat bangsa). Dalam kondisi kehidupan ekonomi hakim yang serba ‘pas-pasan’ untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, pengaruh-pengaruh penyuapan yang setiap hari menggodanya akan menyebabkan terjadinya ‘pergolakan’ batin untuk memutuskan ‘ya’ atau ‘tidak’. Dalam jangka panjang adanya ‘pergolakan’ batin tersebut jelas akan berpengaruh pada kualitas pekerjaannya. Dengan adanya gaji dan tunjangan serta kesejahteraan yang ‘layak’, diharapkan akan meringankan tugas dalam upaya mencetak moral hakim sampai pada aras Pascakonvensional. Di samping itu, melalui media telivisi nampaknya perlu dimunculkan legenda tentang hakim yang jujur, bijaksana, tegas, hidupnya sederhana, dan dihormati/disegani keluarga dan masyarakat, hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan mitos sejak awal pada anak-anak agar mempunyai stigma yang baik pada profesi hakim. Dalam masyarakat Cina, misalnya, dikenal ceritera legenda hakim ‘Bao’ yang bijaksana, sederhana, tegas, jujur, dan anti suap. Ceritera legenda tersebut telah dibuat film dengan judul ‘judge bao’, yang pada tahun 1997-an pernah disiarkan secara seri oleh sebuah media telivisi di Indonesia.
Istilah high consequence risk digunakan A. Giddens dalam bukunya The Consequence of Modernity, Stanford, Stanford University Press, 1990. Menurut Giddens, memang dalam hidup ini manusia harus mengambil banyak pilihan yang mengandung risiko. Tetapi, risiko yang harus diambil oleh manusia pada akhir abad kedua puluh ini adalah resiko yang mempunyai kosekuensi yang amat jauh. Dengan sebuah metafor Juggernaut (truk besar) yang meluncut tanpa kendali, Giddens dengan plastis melukiskan situasi dunia sekarang. Tidak ada manusia satupun yang dapat meloloskan diri dari situasi yang mengerikan ini. Lebih lagi, tidak ada satu manusiapun yang dapat menghentikan Juggernaut ini. Semua orang pasrah, dan mungkin berdoa memohon keselamatan. Dalam hubungannya dengan tugas hakim, memang setiap pekerjaan mempunyai resiko, tetapi tugas hakim dianggap high consequence risk, karena: Pertama, sistem peradilan menggunakan pendekata win-lose solution, maka setiap putusan yang diambil akan menyakitkan salah satu pihak yang berperkara. Pihak yang ‘saki’t atau keluarganya atau pendukungnya ini sering melampiaskan dendam pada pribadi hakim atau keluarganya. Kedua, dalam suatu perkara, para pihak selalu ada kecenderungan ingin memenangkan dengan segala cara. Untuk itu mereka akan selalu berusaha mempengaruhi, menyuap, menekan hakim agar memenangkan, membebaskan, meringankan pekaranya, lebih-lebih kalau perkara tersebut menyangkut orang kaya, pejabat, atau penguasa. Ketiga, hasil pekerjaan hakim (keputusan hakim) mendapat penilaian langsung dari masyarakat, lebih-lebih kalau menyangkut ‘perkara besar’. Dalam situasi yang demikian, hakim bisa menerima amuk massa bila ada kekeliruan, kekilafan atau kesalahan dalam menjalankan tugas. Keempat, jenis pekerjaan lain mungkin tidak membawa implikasi yang secara tegas diatur dalam ketentuan agama. Tidak demikian dengan tugas hakim, dalam ketentuan agama disebutkan bahwa hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga; yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka.. Lihat juga kasus pembunuhan hakim agung, Syafiuddin Kartasasmita, dalam Kompas, “2 Peluru Tewaskan Hakim Agung”, 27 Juli 2001. 28
13
Dunia peradilan kita sebenarnya begitu kaya dengan sejarah figur-figur hakim yang menjadi legenda karena kejujuran, integritas, dan mutu putusan mereka. Itu semua kalau dikemas dalam media yang menarik bisa menjadi sumber inspirasi mahasiswa fakultas hukum, calon hakim atau hakim-hakim untuk meneladani perilakunya. Masa Demokrasi Liberal (1950-1959), yang sering dimitoskan instabilitas politik, ternyata justru menjadi masa di mana para hakim menikmati bulan madu kebebasan, bukan hanya ketika bertugas menjadi hamba wet saja, tetapi juga memperjuangkan hak-hak sipil mereka.29 Kiranya sulit mengharap seperti pada tahun 1950-an ketika para hakim mogok bekerja tidak bersidang guna menekan politisi di parlemen agar mempertahankan pemisahan kekuasaan dan menetapkan gaji mereka secara khusus. Ketua Mahkamah Agung pertama, Mr. Kusumaatmadja pernah tersinggung ketika dalam suatu jamuan makan malam diatur duduk tidak sejajar dengan Presiden Soekarno. Bahkan yang bersangkutan memilih mundur dari jabatannya ketika Presiden Soekarno mulai terlalu sering mengarahkan proses peradilan. Integritas itu kemudian ditiru anaknya, Prof. Z. Asikin Kusumaatmadja, yang terkenal karena putusannya yang menyimpang dari hukum acara perdata demi keadilan dalam perkara Kedung Ombo30. Mereka menjadi satu-satunya penjelmaan yang berpengaruh dari kejujuran yang ideal. Pada pribadi-pribadi sedemikian persoalannya bukanlah mati ataukah hidup. Pengaruh mereka acapkali lebih besar sesudah mereka meninggal, dan seruan emosional mereka berakar amat dalam. Pengajaran dan petunjuk mereka disampaikan dalam bahasa yang terang kepada orang banyak. Cerita-cerita tentang kehidupan dan pengajaran mereka memberikan ilham tentang kejujuran. Kita juga tentu akan mengenang hakim agung seperti Mr. Soerjadi dan Prof. Subekti yang bukan saja dikenal pintar tetapi mampu mempertahankan independensi Mahkamah Agung saat represi Orde Baru mulai tampak. Hakim agung Bismar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, dan Benyamin Mangkudilaga, adalah contoh figur hakim agung yang dalam batas dan kapasitas masing-masing telah mencoba membentuk dirinya sebagai aparat peradilan yang progresif. Jadi, mimpi untuk membentuk hakim yang jujur, profesional, dan berwibawa bukanlah omong kosong tanpa makna jika melihat faktor sejarah republik ini. Kemajuan sarana pendidikan, dukungan teknologi, dan sistem politik yang kondusif dewasa ini sudah pasti merupakan modal sosial yang mestinya bisa menjadi medan melahirkan hakim-hakim yang mumpuni dan mampu menerjemahkan amanat konstitusi untuk “menegakkan hukum dan keadilan.”
29 Sebenarnya bukan para hakim saja, tetapi juga jaksa dan kepolisian. Jaksa Agung Soeprapto, yang walaupun berada di bawah Menteri Kehakiman, pada waktu itu berhasil menyeret atasannya Mr. Djody Gondukusumo ke persidangan. Kapolri pertama, Mr. Said Soekanto pun berhasil memperjuangkan kepolisian agar mempunyai undang-undang sendiri dan posisinya tidak di bawah menteri dalam negeri.
30
Lihat ulasan lengkap soal ini dalam Adi Sulistiyono, op.cit.
14
Untuk mendapatkan hakim-hakim berkualitas pahlawan hukum, di samping, hakim wajib mempunyai kecerdasan dan kejujuran, beberapa pakar menambahkan persyaratan yang lain yang wajib dimiliki. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kreatif,31 2. Profesional, mempunyai visi;32 dan progresif33. 3. Hakim tidak boleh membawa logika hukum terlalu jauh sehingga menjadi tawanan undang-undang;34 4. Hakim tidak sekedar memeriksa masalah yang dihadapi, tapi juga berkewajiban untuk mengetahui keadaan sekitar masalah yang bersangkutan;35 5. Hakim dalam memutus harus secara proposional memperhatikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.36 6. Hakim mempunyai aras moral Pasca-konvensional37 Selanjutnya dalam upaya merangsang munculnya hakim-hakim yang yang berkualitas. Sebaiknya Komisi Yudisial bekerjasama dengan perguruan tinggi dan media massa memberikan penghargaan pada hakim-hakim yang menghasilkan putusan yang berkualitas keadilan ketika menangani kasus-kasus besar. Semoga KY berhasil mewujudkan mimpi. Menurut Weber, hakim juga seharusnya ‘kreatif’ dan menggunakan kebijaksanaannya secara wajar .... Lihat dalam A.A. Peters dan K. Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial. Jakarta, Sinar Harapan 31
Menurut Satjipto Rahardjo, seorang hakim tidak cuma profesional, karena syarat ini masih berkait dengan masalah praktis hukum, tapi juga harus bervisi. Lihat dalam Kompas 18 Agustus 1997. 32
Satjipto Rahardjo, MembedahHukum Progresif, Kompas, 2006. Hakim yang berpikiran progresif, menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan selalu menanyakan, “Apakah peran yang bisa berikan dalam masa reformasi? Apa yang diinginkan bangsa saya dengan reformasi ini? Hakim progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya. Sedangkan Pengadilan progresif mengikuti maksim: “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya.” 33
Menurut Holmes, the life of the law has not been logic, but experience. Berdasarkan Holmesian dictum tersebut logika hukum yang dibawa terlalu jauh akan menjadikan hakim sebagai tawanan undang-undang, sedangkan experience atau perilaku akan membebaskannya. Dan demi pembangunan Indonesia yang modern, sejahtera dan berkeadilan, kita memerlukan hakim-hakim yang menyadari pembebasan tersebut. Satjipto Rahardjo, “Tidak Menjadi Tawananan Undangundang”, Kompas 24 Mei 2000. 34
35
Ovid, seorang sastrawan Romawi yang hidup pada tahun 43 SM-17 SM.
36 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op.cit. 1993. Bandingkan dengan pendapat Djoyodiguno, 1958, Hakim dalam membuat suatu keputusan harus memperhatikan 1) Statis, yaitu relevansi statuta dan peraturan yang ada; b) Dinamis, yaitu memperhitungkan kondisi sosial yang ada; 3) Plantic, yaitu memperhitungkan setiap kasus sebagai suatu rangkaian yang unik dari kepribadian individu dan situasi 37
Lihat Adi Sulistiyono, Op.Cit.
15