1
Surabaya Sebagai Kota Kreatif: Perspektif Sosiologis Mustain Mashud (Departemen Sosiologi FISIP-UA)
Pengantar Surabaya, sebagai Ibu kota Propinsi Jawa Timur adalah kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Selama beberapa dekade, Surabaya dikenal sebagai kota Indarmadi (industri, perdagangan, maritim, dan pendidikan) dan kemudian menjadi kota Gerbangkertasusiolo dimana Surabaya membangun jaringan kemitraan dengan kota-kota hinterland, yakni Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo dan lamongan. Namun, sejak satu dekade terakhir, telah bergeser menjadi kota perdagangan, industri-jasa, pendidikan dan maritim. Sejak beberapa dekade terakhir, Surabaya telah berkembang secara dinamis dan begitu cepat menjadi mega-urban, metropolitan city. Berbagai pembangunan, fisik dan non fisik telah dilakukan sehingga menjadikan kota Surabaya tak ubahnya kota Jakarta yang crowded. Derap dan percepatan pembangunan kota Surabaya demikian itu seolah menuntut warga kota ini menjadi tertantang untuk semakin kreatif dan inovatif. Kreatifitas telah menjadi suatu keniscayaan bagi warga Surabaya untuk eksis dan survive. Makalah singkat ini akan mengungkapkan fenomena perkembangan kota Surabaya yang semakin bergeser menjadi kota yang (mau tidak mau) semakin kreatif seiring dengan perkembangan budaya metropolis
Sekilas Tentang Surabaya Berdasarkan hasil kerja tim peneliti hari jadi Kota Surabaya, ditetapkan 31 Mei 1293 sebagai hari berdirinya Kota Surabaya. Pada waktu itu, Pulau Jawa dikuasai oleh tentara Belanda, Surabaya berfungsi sebagai basis militer. Pada pertengahan abad ke-19 dibangun sebuah dermaga, sehingga Kota Surabaya berkembang menjadi pangkalan laut tentara kolonial Belanda. Pelabuhan Tanjung Perak merupakan pelabuhan penting dan mempunyai kapasitas bongkar muat sangat tinggi yang beroperasi 24 jam sehari.
Sejak itu Surabaya berkembang sebagai kota industri terutama industri logam dan kimia, yang umumnya besar terletak di wilayah Tandes; sedangkan industri-industri lain berlokasi di sepanjang jalan raya Surabaya-Gresik dan wilayah Rungkut, yakni Surbaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Secara geografis, wilayah Kota Surabaya terdiri dari tiga wilayah yang masing-masing mempunyai kondisi geologis sangat berlainan, yaitu (i) wilayah pantai (yang tersusun oleh endapan pasir), (ii) wilayah rawa (yang hampir seluruhnya tersusun oleh lempung) dan (iii) wilayah pedataran bergelombang (yang tersusun oleh batu pasir, batu lempung dan napal).
2 Wilayah 1 dan 2 berada di bagian Timur Surabaya sedang bagian 3 berada di wilayah Surabaya barat yang sejak satu dasawarsa terakhir perkembangannya sungguh luar biasa. Pertumbuhan penduduk kota Surabaya menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1971, jumlah penduduk kota Surabaya sebesar 1.549.212 orang, pada tahun 1980 berjumlah 2.027.910 orang, tahun 1990 dan 2000 meningkat masing-masing menjadi 2.483.871 orang dan 2.588.816 orang (Surabaya dalang angka 1971, dan BPS 2001). Jadi, dalam 10 tahun (1980-1990) penduduk Kota Surabaya berjumlah sebesar 22,5 persen dan selama 10 tahun terakhir (1990-2000) penduduknya bertambah hanya sebesar 4,2 persen. Jika dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada tiga periode yaitu 19711980, 1980-1990, 1990-2000 terlihat adanya penurunan yaitu masing-masing sebesar 3,04 persen, 2,05 persen, dan 0,41 persen. Mengapa terjadi penurunan yang drastis pada dasa warsa terakhir? Hal itu akan dibicarakan di belakang.
Demikian halnya dengan angka pertumbuhan ekonominya. Dari tahun ke tahun pun menunjukkan peningkatan yang signifikan; misalnya pada tahun 2006, tumbuh 6,1%; 6,7% (2007), 7,2% (2008), 7,6% (2009) dan 7,6% (2010) dan rata-rata pertumbuhan 6,78% sampai dengan 2010. Besaran rata-rata angka pertumbuhan 5,62% kota Surabaya didukung oleh peranan sektor-sektor yang ada didalamnya, yaitu (i) sektor pertanian sebesar 0,14%; (ii) sektor pertambangan-penggalian sebesar 0,003%; (iii) sektor industri pengolahan, sebesar 32,20%; (iv) sektor listrik-gas-air minum sebesar 3,22%; (v) sektor konstruksi sebesar 10,03%; (vi) sektor perdagangan-hotel-restoran sebesar 35,58%; (vii) sektor pengangkutankomunikasi sebesar 8,96%; (viii) sektor keuangan- persewaan-jasa perusahaan sebesar 5,91%; dan (ix) sektor jasa-jasa 3,97%. Bahwa peranan sektor Pajak Daerah sumbangan ke PAD, kedepan, tampaknya akan semakin penting.
Kota Surabaya merupakan pusat perbelanjaan dan perdagangan dengan skala regional dan internasional, sehingga perlu diadakan perluasan pembangunan sesuai dengan fungsi kota. Fasilitas perdagangan dibangun di pusat perdagangan Kembang Jepun, fasilitas bongkar muat barang dibangun di kawasan Tandes dan Wonokromo. Di kawasan barat akan menjadi kota baru yang sangat modern dengan segala fasilitas internasionalnya. Di kawasan barat dan timur juga sedang dan akan dibangun ring road untuk memperlancar arus lalu lintas orang dan barang; dst. Semua pembangunan sarana dan prasarana tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan eklim investasi dan pembangunan ekonomi.
3 Modal asing dan domestik banyak berdatangan untuk ditanamkan di Kota Surabaya. Pembangunan menghasilkan pasaran kerja baik di sektor formal maupun informal. Sejalan dengan meningkatnya pasaran kerja, arus mobilitas tenaga kerja mengalir ke Kota Surabaya. Mereka tidak hanya datang dari daerah sekitarnya melainkan ada yang dating dari luar Jawa. Sebagai akibat dari tingginya arus mobilitas tenaga kerja yang menuju Kota Surabaya, ditambah lagi dengan adanya proses reklasifikasi, dari tahun 1961 hingga tahun 1980 laju pertumbuhan penduduk meningkat 3,0 persen, pada tahun 1971-1980 meningkat menjadi 3,04 persen, dan pada tahum 1980-1990 menurun menjadi 2,05 persen. Fase III perkembangan pembangunan yaitu fase restrukturisasi tata ruang Kota Surabaya. Perkembangan kota besar Surabaya sangat dinamis. Beberapa prasarana kota seperti : pusatpusat perbelanjaan, pelayanan, dan hotel-hotel bertaraf internasional perlu dibangun, sedangkan perluasan wilayah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan. Untuk itu, perlu strategi baru yaitu restrukturisasi tata ruang. Beberapa bangunan untuk kegiatan tertentu (misalnya rumah sakit) dipindah ke daerah lain karena dinilai di wilayah tersebut akan didirikan pusat perbelanjaan. Akibat dari pembangunanyang terus ditingkatkan, arus mobilitas penduduk ke arah Kota Surabaya terus bertambah. Dengan memperhatikan derap dan dinamika pembangunan seperti di atas, dan memperhatikan luas lahan di Kota Surabaya sangat terbatas, maka kota Surabaya telah memperluas batas wilayahnya. Misalnya, pada tahun 1963 diadakan perluasan batas wilayah Kota Surabaya ke arah barat, selatan, dan timur. Pada tahun 1960, luas wilayah Kota Surabaya sebesar 67,20 km2, pada tahun 1965 menjadi 224,58 km2, dan terakhir pada tahun 1990 diadakan perluasan lagi menjadi 290,443 km2, dan terakhir pada tahun 1995 diadakan perluasan lagi menjadi 326,370km2. Pada tahun 2001 Kota Surabaya berkembang menjadi 28 kecamatan dan 5 pembantu kecamatan dalam 5 pembantu walikota. Secara administratif Kota Surabaya berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara dan timur. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik dan di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Dengan diadakan perluasan wilayah maka terjadilah proses reklasifikasi, yaitu wilayah yang digabung yang dulu berstatus desa sekarang berstatus kota (urban). Jadi, jumlah penduduk kota pun akhirnya bertambah juga karena proses reklasifikasi tersebut.
Setelah Kota Surabaya mengalami perubahan tata ruang, atau terjadi proses restrukturisasi pembangunan fisik dan fungsi, karena sudah tidak ada ruang lagi, terjadilah ”peluberan pembanguna” ke arah luar batas Kota Surabaya. Peluberan pembangunan ini terutama ke arah koridor Surabaya-Malang. Kabupaten Sidoarjo terletak sewilayah dengan koridor tersebut. Kini, kita memasuki fase IV. Di samping itu, pembangunan meluber ke arah Kabupaten Sidoarjo, juga ke arah kabupatenkabupaten pada pinggiran kota misalnya ke arah Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, dan Lamongan. Akhirnya, wilayah tersebut yang Surabaya sebagai pusatnya menjadi daerah metropolitan. Jadi, pembentukan dan pengembangan wilayah ”Gerbangkertosusila” merupakan strategi yang keempat untuk mengatasi problem keterbatasan lahan di Kota Surabaya dalam rangka pembangunan fisik dan fungsi prasarana kota ke arah kota modern dan internasional.
4 Proses metropolitanisasi didasarkan pada teori klasik dari perkembangan fisik suatu kota ke arah luar seperti model zone konsentris dari Burgess, teori sektor dari Hoyt. Dari teori itu akan terjadi ”luberan” pembangunan fisik dan fungsi kearah luar batas administratif kota yang oleh McGee (1992) disebut dengan ”Extended Metropolitan Region” (EMR) yang kemudian populer dengan ”Mega Urban Region” (MUR). Jadi, proses metropolitanisasi perkembangan suatu kota menjadi wilayah metropolitan sebagai akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk, perubahan fisik, dan fungsi ke luar batas wilayah administrasi Kota Surabaya. Pembangunan fisik dan fungsi ke luar batas adminsitrasi berarti bahwa di wilayah luar kota terjadi juga proses restrukturisasi internal yang daerah persawahan beralih fungsi sebagai daerah pemukiman, daerah industri dan lain-lain, seperti disebutkan oleh McGee (1992) dengan proses ”kotadesasi”. Pembangunan fisik kota ini cukup dahsyat meskipun acapkali tidak terkendali, tak jelas, berkembang ke segala arah atau yang lazim di sebut urban sprawl1. Urban sprawl akan meningkatkan tingkat urbanisasi suatu wilayah yang dapat berdampak pada peningkatan produktifitas wilayah tersebut. Akan tetapi di sisi lain, urban sprawl juga menimbulkan dampak negatif, seperti peningkatan mobilitas penduduk yang akhirnya berdampak pada peningkatan polusi udara, inefisiensi ekonomi, hingga konflik kebijakan antar wilayah.
Terjadinya Urban sprawl selain disebabkan mahalnya tanah, juga banyaknya migran. Untuk mendapatkan lahan yang murah maka penduduk bergerak ke arah pinggiran kota. Sebab, banyak migran akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan ruang. Infrastruktur sebagai prasarana jaringan dasar dari keberadaan suatu kota atau wilayah merupakan faktor penting di dalam keberlangsungan dan pertumbuhan kota atau wilayah (Grigg, 1988 dalam Kodoatie, 2003). Jika infrastruktur kurang disiapkan secara cukup dan dikelola dengan baik, maka jaringan kota atau simpul kegiatan warga perkotaan akan terganggu. Apabila hal ini terjadi, akan berdampak kepada terjadinya degradasi sistem ekonomi dan sosial masyarakat. Menurut Mankiw (1992, infrastruktur dan SDM merupakan modal awal suatu daerah untuk dapat maju dan berkembang.
Perkembangan Kota Surabaya Kota Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan terbesar kedua di indonesia setelah jakarta. Jumlah penduduk di surabaya pada tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 2.722.876 jiwa, sedangkan luas Kota Surabaya sendiri hanya sekitar 33.048 ha. Dengan demikian kepadatan penduduk Kota Surabaya akan mencapai 83 jiwa/ha. Penggunaan lahan untuk permukiman menghabiskan paling banyak lahan dari pada penggunaan lahan yang lain (RTRW Surabaya, 2015). Menurut R.Nugraha dkk, (1998) perubahan dan perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
1
Urban sprawl adalah gejala ekspansi kegiatan-kegiatan perkotaan ke wilayah sekitarnya (Frumkin, 2002).
5 1)
Perubahan politik: perubahan (kebijakan) politik berpengaruh terhadap keputusan pengembangan kota Surabaya. Misalnya perubahan koridor jalan Tunjungan pada periodeperiode; pra 1870, 1870-1905,1906-1940, 1941-1945, 1945-1970, 1971-1997. Pemberlakuan Undang-undang Gula & Agraria, pemberian peran yang lebih besar kepada swasta, meningkatnya tata guna-lahan, pembongkaran Benteng kota Surabaya telah mendorong dan menjadikan kota semakin berkembang luasannya (diawali ke arah selatan, linier mengikuti alur Kalimas dan seterusnya ke segala arah).
2)
Pertumbuhan fisik-spasial yang terkait dengan pembabakan sejarah. Misalnya, pada periodeperiode; pra 1870 (Surabaya mulai dirasakan memerlukan pemekaran), 1870-1905 (Surabaya dimekarkan ke arah Tunjungan sehingga tumbuh menjadi koridor komersial), 1906-1940 (tumbuh dan stabilnya perekonomian kota mendorong terjadinya perubahan bangunan dan tapak di koridor Tunjungan), 1941-1945 (masa pendudukan oleh tentara Jepang, tidak terjadi banyak perubahan di koridor jalan Tunjungan), 1946-1970 (karena kondisi politik & ekonomi, pada periode ini Tunjungan tidak banyak mengalami perubahan), 1971-1997 (booming minyak, Tunjungan berkembang pesat, karakter arsitektur asli bangunan komersial banyak ditutupi oleh tata informasi aluminium).
Dari perkembangan tatabangunan, di koridor jalan Tunjungan yang diklasifikasikan berdasar periode; 1906-1920, 1921-1940, 1940 (71) – 1997 menunjukkan adanya pertumbuhan tipologi bangunan. Dari awalnya yang dimulai dengan; tipe bangunantunggal karena tanah untuk kaveling yang masih luas, kemudian berkembang menjadi bangunan-deret (street oriented building) karena pesatnya kegiatan komersial. Dan yang akhirnya terlihat sekarang adalah perubahan yang mengarah kepada sistem-blok (mini megastruktur). Dari perkembangan fungsi bangunan, di koridor jalan Tunjungan yang diklasifikasikan menurut periode-periode; 1906-1940, dekade 1940, dekade 1970 hingga sekarang, dapat dilihat adanya perkembangan dari sekedar fungsi komersial (dagang) menjadi fungsi perkantoran, hiburan dan perhotelan (jasa). Dari perkembangan peraturan pemerintah daerah dan dampak yang ditimbulkannya, menurut R.Nugaraha dkk, (1998), baik pada dekade 1970 an , dekade 1980 an serta dekade 1990 an menunjukkan adanya penghapusan jalur trem-listrik, perubahan arus lalulintas dari dua arah menjadi satu arah, penetapan Tunjungan sebagai salah satu CBD dari 7 CBD kota berdampak kepada ; gerbang koridor menjadi tinggal satu dari arah utara saja, kegiatan komersial menjadi ramai hanya pada jam-jam pulang kantor saja, intensitas komersial mulai merosot. Koridor jalan Tunjungan adalah bagian kota yang telah menjadi saksi pertumbuhan (perubahan) Surabaya, sejalan dengan bergulirnya waktu. Kawasan koridor jalan Tunjungan dianggap istimewa sebagai warisan dan bukti sejarah masa lalu karena merupakan bagian dari
6 pusat kota Surabaya yang menjadi bagian perkembangan kota Surabaya dari arah Utara ke Selatan, serta berfungsi sebagai kawasan komersial. Kawasan Tunjungan merupakan kawasan unik yang memang sejak awal dirancang untuk kegiatan komersial sekaligus sebagai urat nadi kota. Koridor jalan Tunjungan menarik diidentifikasi sebagai koridor komersial bersejarah kota Surabaya, terutama dilihat dari sudut; kwalitas sejarah, kwalitas estetika, kwalitas sosial, dan kwalitas ilmu pengetahuan yang melekat padanya. Kwalitas sejarah, koridor komersial jalan Tunjungan merupakan saksi dan bukti perkembangan kota Surabaya. Di sini telah nama tercatat tokoh dan peristiwa yang mempunyai signifikansi sejarah bertaraf nasional. 2) Kwalitas Estetika, karakter bangunan di koridor komersial jalan Tunjungan yang terbentuk dari struktur koridor komersial sejak awal keberadaannya telah membentuk karakter arsitektur yang unik dan khas, yang diwakili oleh tiga langgam arsitektur, yaitu; Empire style , Arsitektur Indische, Arsitektur New Bouven. Ciri masing-masing langgam yang dibentuk oleh elemen-elemen arsitekturnya mempunyai karakter yang khas dan unik sehingga memberikan kwalitas signifikansi yang tinggi bagi kroridor ini secara keseluruhan. 3) Kwalitas Sosial. Koridor komersial jalan Tunjungan sejak awal keberadaannya hingga kini telah berperan sebagai koridor sosial tempat orang meluangkan waktu, berbelanja atau hanya sekedar lewat. Walaupun kwalitas tersebut mengalami fluktuasi sejalan dengan perkembangan sejarah. Koridor ini sebagai bagian penting dari kota Surabaya tetap memiliki signifikansi sosial yang tinggi (ingat lagu; Rek ayo rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan). 4) Kwalitas Ilmu Pengetahuan. Di koridor komersial jalan Tunjungan terdapat beberapa simbol sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Ini mewarnai koridor ini sebagai saksi sejarah perkembangan kota Surabaya dan Perjuangan Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadikannya sebagai museum hidup yang dapat berfungsi sebagai ajang pendidikan srekaligus kesenangan bagi masyarakat kota. 1)
Kini koridor komersial jalan Tunjungan terkesan telah berkembang serta dikembangkan tanpa didesain dan distrukturkan, dengan mencermati kawasan dan bangunan yang telah ada terlebih dahulu secara komprehensif. Perlindungan, peningkatan dan kesinambungan dari perbaikan koridor jalan Tunjungan yang merefleksikan elemen ; budaya kota, sosial, ekonomi, politik dan sejarah arsitektur sebagai upaya agar segala sesuatu yang berkaitan dengan warisan budaya tidak hilang serta dapat tertampilkan seperti apa adanya, tampak belum dilakukan secara terpadu. ANALISIS Perkembangan kota Surabaya saat ini telah meluas baik ke arah selatan (Sidoarjo), utara (Bangkalan), barat (Krian-Mojokerto) maupun ke timur (Lamongan). Dari keempat arah perubahan tersebut, perkembangan yang ke wilayah baratlah yang terlihat paling cepat dan ekspansif. Dari pengamatan selama 10 tahun terakhir, tingkat perkembangan Surabaya ke barat
7 memperkuat determinasi karakteristik kota Surabaya sebagai kota industri-jasa. Misalnya, pertokoan, Mall, perbankan, Plaza, pertokoan, perumahan, sarana dan prasarana hiburan, pariwisata, sarana dan prasarana pendidikan dan berbagai fasilitas ekonomi lainnya yang serba modern. Surabaya barat dijadikan sasaran pengembangan kota Surabaya karena beberapa alasan berikut: Kawasan barat merupakan hulu yang lahannya sedang dalam proses pematangan tanah merupakan Unit-unit Pengembangan Kota di kawasan barat: UP Benowo dan UP Darmo Baru, yang kesemuanya merupakan Upstream dari sistem Gunungsari. UP Darmo Baru dan bagian timur UP Tandes telah berkembang secara pesat. 2) Pembangunan di kawasan barat yang merupakan bukit-bukit tersebut merupakan konsekuensi dari arahan perencanaan kota yang ditetapkan di masa lalu (tahun 70’an) dan dampak yang terjadi adalah buruknya sistem drainase yang berakibat banjir di bagian hilirnya. 3) Surabaya Barat diorientasikan peruntukan lahannya sebagai kawasan industri, yaitu di kawasan tambak garam dan sebagian tambak ikan oleh karena daya dukung tanahnya rendah. Kawasan yang dimaksud terdiri dari Unit Pengembangan Kota : UP Industri Margo Mulyo, UP Industri Tandes, dan UP Romokalisari. 1)
Surabaya barat, kini telah menjadi “kota baru” yang paling pesat perkembangannya, baik dari sisi pemukiman kelas menengah ke atas dengan fasilitas modern ala Singapura. Di wilayah ini, juga muncul berbagai sarana-prasarana serta fasilitas modern dengan berbagai jenis, bentuk, model pertokoan dan hiburan kelas atas, menengah sampai kelas bawah. Keragaman fasilitas yang marak di wilayah ini selain menunjukkan keragaman kebutuhan masyarakat, sekaligus juga menunjukkan tumbuh-suburnya kreatifitas warga masyarakat. Secara teoritik, perkembagan masyarakat akan selalu ditandai oleh adanya differensiasi social, termasuk di dalamnya differensiasi okupasi dan spesialisasi pekerjaan. Keragaman pekerjaan dan aktifitas masyarakat selain mengindikasikan pluralitas masyarakat, sekaligus juga menunjukkan meningkatnya kreatifitas masyarakat. Karena itu, suatu masyarakat yang tingkat perkembangan social ekonominya meningkat (tinggi), probabilitas terjadinya kreatifitas dan inovasi-inovasi juga akan tinggi. Di bagian wilayah lain, Surabaya pusat, timur dan selatan secara umum memang terjadi kecenderungan yang sama; tetapi tingkat dan besar percepatan kreatifitas dan inovasi socialekonominya tidak sebesar Surabaya barat yang memang dipruntukkan sebagai pusat perkembangan Surabaya sebagaimana disebutkan di depan. Para arsitek perkotaan sering menyatakan bahwa kota adalah arsitektur. Arsitektur bukan sekedar gambar (wujud fisik-visual) dari kota yang bisa dilihat saja, melainkan juga sebagai suatu konstruksi; yaitu konstruksi dari kota sepanjang waktu. Urban-artefak selalu berkaitan dengan tempat, peristiwa dan wujud-kota. Sebagaimana sifat warga perkotaan yang umumnya bersifat dinamis, maka kotapun juga dinamis, sehingga suatu kota merupakan simbol perjalanan sejarah, teknologi dan jamannya. Artinya, bentuk, model dan tata kota akan terus berubah sesuai dinamika social-ekonomi masyarakatnya. Banyaknya ruang fisik dan sosial telah berubah baik kualitas maupun kuantitas sesungguhnya merupakan konsekwensi logis adanya pertumbuhan (perkembangan dan pengembangan) dari ruang fisik dan sosial. Misalnya, Surabaya pernah memiliki beberapa artefak-urban yang spesifik, yakni jalan Tunjungan. Secara historis, jalan Tunjungan didesain dan dikembangkan pada masa pemerintahan Gemeente, sebagai "koridor komersial" Belanda dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari catatan Klossterman, pada tahun 1940-an, Surabaya pernah memiliki setidaknya 550 bangunan-gedung yang spesifik. Tetapi lebih dari 300 bangunan-gedung itu kini telah digerus jaman, entah diruntuhkan atau sekedar berganti wajah. The lost city, alias "yang telah hilang" dari kota ini.
8 Hilang dan berubahnya bangunan-gedung; toko Aurora di pojok koridor jalan TunjunganTanjunganom, toko Sentral (eks. Hellendorn) di pojok jalan Tunjungan-Kenari, pasar Tunjungan di depan hotel Mandarin Mojopahit (eks. hotel Oranye), toko Louvre di pojok jalan Tunjungan-Praban dan lain-lain sebagai unsur- unsur pembentuk arsitektur-kota. Dalam klasifikasi skala-jalan bisa disebut sebagai menurun kan kwalitas karakter serta kespesifikan, yang merupakan identitas dan citra koridor komersial jalan Tunjungan sebagai salah satu artefakurban kota Surabaya. Pada kasus koridor komersial jalan Tunjungan, yang pada awalnya sepanjang koridor jalan tersebut adalah ruang-luar yang bisa disebut sebagai bersifat publik, karena tatanannya yang mampu meransang terjadinya kegiatan shopping-street. Namun yang kini terjadi sepanjang koridor komersial jalan Tunjungan telah berubah dan cenderung mengarah menjadi lost-space. Penghapusan trem-listrik (kereta rel listrik/ KRL), perubahan arus lalu-lintas yang diikuti dengan semakin meningkatnya intensitas lalu- lintas kendaraan bermotor, telah menjadikannya tidak nyaman lagi untuk hidupnya kegiatan shopping-street oleh publik. Karakter arsitektur asli bangunan bangunan komersial di koridor Tunjungan banyak yang ditutupi oleh tata informasi aluminium. Fungsi komersial banyak yang telah berubah menjadi fungsi perkantoran. Sementara penghilangan bangunan-gedung lama sebagai elemen-elemen mayor pembentuk dan pelingkup yang signi- fikan, seperti toko; Aurora, Sentral, PasarTunjungan, Louvre dan lain-lainnya, menyusul kemudian Metro(?) atas nama tuntutan kebutuhan peremajaan dan intervensi gerakan arsitektur modern yang menjurus ke arah privatisasi ruang publik serta sentralisasi-isolasi kapling, adalah indikasi adanya degradasi pada kualitas sejarah dan estetika. Yang semakin lengkap mengantar ke arah pudarnya unity kelompok serta sequences yang spesifik dan karakteristik dari koridor Tunjungan sebagai salah satu artefak-urban, khususnya dalam skala- jalan. Seperti halnya juga dengan hilangnya "gapura-gapura temporer" yang pernah ada seperti; Torii ala Jepang di jembatan jalan Yos Sudarso, gapura ala Cina di perbatasan JembatanMerah dengan jalan Kembang Jepun sebagai pintu masuk ke arah kawasan Pecinan (ChineseCamp), dan juga gapura ke arah kawasan Nyamplungan (Arabisch-Camp) yang waktu itu digunakan sebagai tanda tengah berlangsungnya event yang berkaitan kegiatan tradisional di lokal kawasan yang bersangkutan. Bagi generasi tua, Surabaya kini kemudian terkenal dengan dengan julukan the lost city, karena menurunnya beberapa kwalitas artefak-urban yang dimilikinya. Dimana salah satunya adalah koridor komersial jalan Tunjungan tersebut diatas. Berbagai perubahan bentuk baik arsitektur maupun peruntukan lahan (land use) atau bangunan di atas menunjukkan dinamika social ekonomi masyarakat Surabaya yang mau tidak mau harus merekreasi diri dan lingkungannya terhadap perubahan yang dibuat baik oleh kebijakan Negara maupun capital (pasar). Dalam konteks bergesernya koridor Tunjungan Plaza dan beberapa tempat di atas, factor kebijakan Negara dan pasar patut diduga sebagai penyebabnya. Artinya, kreatifitas masyarakat menjadi bersifat defensive dan kemudian reaktif. Jika demikian, maka kreatifitas masyarakat Surabaya tersebut menjadi bersifat semu. Masyarakat tidak mempunyai kebebasan berkreasi untuk mewarnai lingkungannya, termasuk lingkungan social ekonomi; melainkan kreatifitas yang terpaksa harus dilakukan lebih sebagai reaksi yang tak terelakkan karena perubahan lingkungan oleh kekuatan Negara dan pasar.
DAFTAR PUSTAKA Aldo Rossi, Architehture Of The City, Cambridge, Mass; Massachusetts Institut of Technolog Press, USA. 1982.
9 Broadbent, Emerging Concepts In Urban Space Design, London, Van Nostrad Reinhold Company Inc, USA. 1990. Danisworo, Muhammad, Urban Landscape Sebagai Komponen Penentu Kualitas Linkungan Kota , makalah, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UK. Petra, Surabaya. 1989. Lynch, Kevin, Managing The Sense of Region, Cambrigde, Mass; The Massa- chusetts Institut of Technolog Press, USA.1978. -------------------, Image Of The City, Cambrigde, Mass; The Massachusetts Institut of Technolog Press, USA. 1979. -------------------, A Good City Form, Cambrigde, Mass; The Massachusetts Institut of Technolog Press, USA. 1980. Pp 46. Nugraha, Robby, Koridor Komersial Bersejarah Tunjungan-Surabaya, Tugas AR. 568Pemugaran Bangunan dan Lingkungan, Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana ITB. 1998. Poerbantanoe, Benny. THE LOST-CITY DAN LOST-SPACE KARENA PERKEMBANGAN PENGEMBANGAN TATA-RUANG KOTA Pramadihano, Dadet, dkk. PEMODELAN PERKEMBANGAN KAWASAN
PERMUKIMAN DI KOTA SURABAYA BERBASIS SIG, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Sanoff, Henry, Visual Research Methods in Design, Van Nostrand Reinhold, New York. 1991. Trancik, Roger, Finding Lost Space Theories of Urban Design, New York Nostrad Reinhold Company Inc., USA. 1986. Tange, Kenzo, Towards and Urban Design, Journal, Japan Arhitecture. 1971. Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/ DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR VOL. 27, NO. 2, DESEMBER 1999: 31 - 39 Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/