Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Pengembangan Inovasi Kesehatan dan Teknologi Menuju Masyarakat Madanis Sundani Nurono Soewandhi (Guru Besar dalam Kelompok Keilmuan Farmasetika, Sekolah Farmasi ITB) ABSTRAK Persoalan aktual yang dihadapi seluruh industri farmasi di dunia disebabkan karena; (1) sifat hidrofobik bahan aktif farmasi (BAF) yang menyebabkan kelarutannya rendah di dalam air dan berakibat pada rendahnya laju disolusi serta bioavailabilitasnya; (2) sifat polimorfisme yang ditunjukkan 70-80% BAF dengan segala konsekuensinya; (3) antaraksi antarmolekular sistem biner yang terdiri dari minimal dua BAF atau kombinasi BAF dan eksipien atau Non BAF; (4) transformasi polimorfik BAF yang berpengaruh pada masa kadaluwarsa sediaan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, akhir-akhir ini di dunia farmasi mulai diterapkan metode kristalografik yang terdiri dari difraksi sinar-X serbuk, difraksi sinar-X kristal tunggal, analisis termal, spektroskopi inframerah, spektroskopi Raman, mikrokop polarisasi dan mikroskop elektron. Melalui penggunaan instrumen-intrumen ini dapat diketahui habit, dimensi, kondisi permukaan partikel, sistem kristal, indeks kristalinitas, enthalpi, suhu lebur, suhu transisi dan perubahan-perubahannya akibat perlakukan tribomekanik, termal, hidrotermal ataupun kompresi. Dengan demikian, peristiwa transformasi polimorfik BAF teridentifikasi, kebenaran informasi dalam Certificate of Analysis BAF, CoA terjamin dan antaraksi antarmolekular kombinasi BAF terdeteksi sejak dini. Jika metode-metode tersebut digunakan untuk tujuan kuantitatif, maka kinetika reaksi transformasi polimorfik dapat ditentukan. Dengan demikian, batas waktu kadaluwarsa sediaan farmasi yang disebabkan perubahan fisika dapat ditetapkan. Prinsip rekayasa kristal atau crystal engineering yang mulai berkembang pesat sejak tahun 2005 diterapkan dengan tujuan mengubah sementara karakter fisika BAF yang semula sukar menjadi mudah larut di dalam air, semula higroskopis menjadi tidak higroskopis, semula sukar dikompresi menjadi mudah dikompresi dan sebagainya. Rekayasa kristal melibatkan BAF dan koformer membentuk ko-kristal atau molekul super melalui adanya ikatan hidrogen atau van der Waals. Pada dasarnya baik BAF maupun koformer harus memiliki gugus-gugus penerima dan penyuplai proton (sinton) yang dapat berikatan melalui homosinton (karboksilat-karboksilat atau amida-amida), atau heterosinton (seperti karboksilat-amida, karboksilat-piridin). Kata kunci: molekul super (ko-kristal), metode kristalografik, rekayasa kristal
PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui bahwa umumnya BAF dihasilkan melalui proses kristalisasi menggunakan bahan pelarut organik. Konsekuensinya adalah bahwa BAF, khususnya yang merupakan senyawa asam atau basa lemah, memiliki sifat sukar larut di dalam air dan bersifat hidrofobik. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki atau meningkatkan kelarutan BAF melalui hidrofilisasi atau penurunan sifat hidrofobisitasnya atau pengurangan ukuran partikel. Tercatat berbagai upaya telah dikenal untuk mencapai tujuan tersebut antara lain pembuatan garam, pembentukan klatrat, senyawa kompleks inklusi, dispersi padatan, penggilingan, penambahan humektan atau surfaktan, pembentukan hibrid antara BAF dengan pati kentang dan akhir-akhir ini pembentukan ko-kristal. Sifat lain yang patut dicermati para farmasis adalah polimorfisme BAF. Diperkirakan sekitar 70-80% BAF memiliki sifat polimorfisme. Sifat ini juga mampu menyebabkan terjadinya perbedaan kelarutan BAF. Umumnya BAF yang berada dalam bentuk atau modifikasi tidak stabil dan metastabil menunjukkan kelarutan tinggi di dalam air sedangkan bentuk stabil memiliki kelarutan yang rendah di dalam air. Di perdagangan, BAF dapat ditemukan dalam bentuk stabil, metastabil bahkan tidak stabil. Oleh karena itu, pemeriksaan sifat polimorfisme BAF menjadi sangat penting artinya sebelum dilakukan proses manufakturing menjadi sediaan yang diharapkan. Selain menyebabkan adanya perbedaan kelarutannya di dalam air, sifat polimorfisme BAF juga berpotensi menjadi sebab berlangsungnya transformasi polimorfik. Proses transformasi ini umumnya berlangsung dari bentuk tidak stabil atau metastabil menjadi bentuk stabilnya. Namun, proses kebalikannyapun dapat terjadi. Artinya transformasi dari bentuk stabil menjadi tidak stabil atau metastabilnya. Hal ini umumnya terjadi pada saat penggilingan, granulasi, kompresi, rekristalisasi dari leburan atau proses sublimasi. 1
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 Proses manufakturing farmasi melibatkan berbagai energi yang sering kali tidak disadari pengaruhnya pada BAF. Paling tidak, ada empat kelompok energi yang ditimbulkan dalam proses manufakturing sediaan farmasi, yaitu: mekanik, termal, hidrotermal dan cahaya. Keempat sumber energi ini dapat mempengaruhi baik sifat-sifat kimia maupun fisika BAF tunggal ataupun campuran. Uraian dalam artikel ini akan lebih difokuskan kepada perubahan sifat fisika BAF, mengingat kurangnya perhatian farmasis terhadap persoalan ini di samping peran pentingnya di dalam penentuan masa kadaluwarsa sediaan farmasi. Keempat energi berperan pada proses transformasi polimorfik. Pada tahun 1960an atau bahkan lebih awal dari itu, metode kristalografi digunakan juga untuk mengidentifikasi sistem biner BAF. Sistem ini dapat berupa campuran eutektik (eutectic mixture), senyawa molekular (molecular compound) atau kristal tercampur (mixed crystal). Namun sejak tahun 2005 sampai sekarang, riset yang berbasis rekayasa kristal BAF (umumnya berbasis pembentukan molecular compound) berkembang demikian pesat. Dari semula hanya bertujuan untuk mengidentifikasi jenis antaraksi antar molekular dan konsekuensinya serta meningkatkan kelarutan, laju disolusi dan bioavailabilitas BAF, rekayasa kristal diterapkan juga untuk memperbaiki sifat-sifat fisika lainnya seperti higroskopisitas, elektrostatika, kompresibilitas, bahkan juga sifat kimia BAF seperti stabilitas kimia. Kristalografi diakui bukan bagian ilmu farmasi juga bukan hibrid yang umum ditemukan dalam kurikulum pendidikan tinggi farmasi, seperti halnya farmasi fisika, kimia fisika, analisis farmasi fisiko kimia. Akan tetapi perannya sejak tahun 1960an bagi dunia farmasi sangat menentukan. Baik kondisi termodinamik, transformasi polimorfik bahkan antaraksi antar molekular dapat diidentifikasi ataupun diprediksi kejadiannya melalui metode kristalografi. 2. Bahan Aktif Farmasi BAF umumnya berada dalam kondisi padat dan berasal dari proses sintesis yang diakhiri peristiwa kristalisasi. Padatan yang diperoleh berupa bongkahan polikristalin (artinya gabungan monokristalinmonokristalin BAF) yang selanjutnya dihancurkan melalui proses penggilingan dan pengayakan untuk memperoleh kristal berukuran < 1 mm. Ukuran partikel BAF dapat dibuat bervariasi sesuai dengan kebutuhan industri farmasi yang memanfaatkannya dalam manufakturing sediaan. Karena umumnya proses sintesis dan/atau kristalisasi menggunakan bahan pelarut organik maka BAF biasanya hidrofobik. Besar kecilnya konstanta dielektrikum bahan pelarut turut mempengaruhi sifat hidrofobisitas dan kelarutan BAF. Oleh karena, kepolaran bahan pelarut akan menyebabkan perubahan nilai tegangan permukaan bidang muka kristal. Semakin non polar sifat bahan pelarut, semakin rendah tegangan permukaan bidang muka kristal yang mengandung gugus non polar. Bidang muka inilah yang berpeluang tumbuh dan berkembang saat terjadinya proses kristalisasi. Dengan demikian, BAF semacam ini akan didominasi bidang-bidang muka kristal yang bersifat non polar atau hidrofobik. 3. Polimorfisme Telah dikenali sekitar 70-80% BAF memiliki sifat polimorfisme. Polimorfisme diartikan sebagai kemampuan suatu BAF untuk berada pada berbagai level energetik yang berbeda pada tekanan dan suhu lingkungan berlainan, akan tetapi tetap menunjukkan sifat kimia yang sama. Perbedaan polimorf menunjukkan perbedaan dalam sifat fisika BAF antara lain kelarutan, disolusi, bioavailabilitas, indeks bias, tegangan permukaan, bobot jenis, kompresibilitas, higroskopisitas dan lain-lain. Kelompok senyawa BAF yang menunjukkan sifat polimorfisme antara lain: lokal anestetika, sedatif hipnotika, narkotika, anti konvulsiva, antidiabetika, antikholesterol, bronkhospasmolitik, antiinfeksi, anti bakteri, anti tuberkulosis, anti hipertensi, antivirus, anti diabetik, analgetika dan antipiretika serta masih banyak lainnya. 4. Energi Dalam Proses Manufakturing Sejak BAF diperiksa secara kualitatif dan kuantitatif di industri farmasi, pada hakekatnya BAF telah mengalami proses pengurangan ukuran partikel (energi mekanik). Jika BAF menjadi bahan baku untuk sediaan solida maka beberapa jenis energi akan terlibat saat manufakturingnya (misalnya granulasi basah), antara lain: penggilingan (energi mekanis)sebagai upaya meningkatkan kelarutan, granulasi menggunakan larutan bahan pengikat (energi hidrotermal), pengeringan granul (energi termal) dan kompresi (energi termal). Selain banyaknya jenis energi, besarnya energi yang terlibat, secara bersama-sama dapat merusak stabilitas fisik bahkan stabilitas kimia BAF. Energi di dalam proses manufakturing ini seringkali menjadi penyebab terjadinya 2
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 transformasi polimorfik (misalnya, teofilin anhidrat I menjadi II), antaraksi antarmolekular (misalnya, campuran sulfametoksazol dan trimetoprim) dan perubahan-perubahan fisika lainnya seperti fusi antar partikel (sintering) yang terjadi pada senyawa ramipril atau eritromisin stearat, menyebabkan kelarutan BAF menurun drastis. Pada saat penggilingan ataupun kompresi sistem biner antara BAF-BAF atau BAF-Eksipien atau Non BAF, adanya molekul hidrat di dalam salah satu BAF dapat dibebaskan. Molekul air bebas ini dapat menghidrolisis BAF kedua dan menyertakan reaksi oksidasi sebagaimana terjadi pada campuran kalium klavulanat dan amoksisilin trihidrat. 5. Transformasi Polimorfik Efek lembab Transformasi polimorfik umumnya berlangsung dari bentuk tidak- atau meta stabil menjadi stabil atau sebaliknya. Hal ini tergantung dari jenis transformasi yang dialami BAF. Diketahui ada dua jenis transformasi polimorfik, yaitu enantiotropi (transformasi yang berlangsung bolak-balik) dan monotropi (transformasi yang berlangsung searah). Sebagai contoh adalah senyawa teofilin anhidrat yang dapat berada dalam empat bentuk yang berbeda, yaitu Bentuk I, II, III dan Bentuk IV. Satu Bentuk lainnya adalah monohidrat. Kesemua Bentuk menunjukkan difraktogram yang khas seperti tampak pada Gambar 1. Jika Bentuk I dan II disimpan di dalam desikator tertutup dengan kelembaban relatif sebesar 82 dan 96% selama satu minggu, keduanya akan berubah menjadi teofilin monohidrat (Gambar 2 dan 3). Perubahan total baru terjadi jika kelembaban relatif mencapai 96% (Gambar 4). Kelembaban relatif 82% belum sepenuhnya mengubah teofilin Bentuk I dan II menjadi teofilin monohidrat. Adanya interferensi pada sudut 2θ sekitar 7o menunjukkan masih adanya Bentuk II. Dalam hal teofilin anhidrat memperoleh satu molekul hidrat di dalam struktur kristalnya sehingga mengubah difraktogram baik Bentuk I maupun II. Interferensi pada sudut 2θ untuk masing-masing Bentuk tidak tampak, digantikan dengan interferensi baru khas teofilin monohidrat.
Gambar 1. Diagram standar teofilin Bentuk I, II, III, IV dan monohidrat
3
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Gambar 2. Difraktogram teofilin anhidrat setelah disimpan dalam ruang dengan kelembaban relatif 82% selama satu minggu (teofilin monohidrat)
Teofilin monohidrat
Teofilin anhidrat I
Teofilin anhidrat II
Gambar 3. Transformasi polimorfik teofilin anhidrat I dan II menjadi teofilin monohidrat
Adanya molekul hidrat di dalam struktur kristal membuat kisi-kisi kristal menjadi lebih lebar dan tingkat simetri kristal meninggi. Akibatnya intensitas interferensi yang ditunjukkan dalam difraktogram monohidrat menjadi lebih tinggi dan posisi sudut 2θ lebih rendah.
4
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Gambar 3. Difraktogram teofilin setelah disimpan dalam ruang dengan kelembaban relatif 96% selama satu minggu Efek penggilingan Jika teofilin Bentuk I digiling dalam penggiling selama 1 jam, Bentuk II hanya menurun intensitasnya tanpa adanya transformasi. Ini menunjukkan bahwa Bentuk II stabil dalam proses penggilingan dan hanya mengalami amorfisasi. Sedangkan Bentuk I dengan jenis dan besaran energi yang sama telah berubah total menjadi Bentuk II. Demikian pula jika Bentuk I dan II dicampurkan kemudian diberi perlakuan dengan jenis dan besaran energi yang serupa, akan berubah total menjadi Bentuk II (Gambar 4) .
(f)
(e)
(d)
Gambar 4. Difraktogram teofilin (a) Bentuk II; (b) Bentuk II setelah digiling; (c) Bentuk I; (d) Bentuk I setelah digiling; (e) Campuran Bentuk I dan II; (f) hasil penggilingan campuran Bentuk I dan II Efek penggilingan menunjukkan bahwa energi termal yang terbentuk selama proses tidak cukup untuk 5
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 melampaui energi perintang transformasi II menjadi I. Dengan demikian, Bentuk II tidak mengalami perubahan kecuali sedikit kerusakan strukturnya menuju kondisi amorf. Hal ini tampak dari berkurangnya intensitas seluruh interferensi. Tidak demikian halnya dengan teofilin Bentuk I yang berubah total setelah mengalami penggilingan. Dalam hal ini, kondisi amorf saat Bentuk I digiling tidak mampu diubah dengan adanya energi termal selama penggilingan menjadi Bentuk I kembali. Energi termal yang terbentuk hanya cukup untuk mencapai kondisi fisika Bentuk II. Kondisi yang sama juga dijumpai saat campuran bentuk I dan II digiling dan menghasilkan produk berupa bentuk II.
Gambar 5. Difraktogram produk penggilingan bentuk II (a); Bentuk I (b); Bentuk I setelah penggilingan (c); produk penggilingan setelah disimpan pada suhu 40ᵒC, RH 75% selama 3 hari (d); produk penggilingan setelah disimpan pada suhu 27ᵒC, RH 75% selama 3 hari (e)
Gambar 6. Difraktogram Bentuk II (a), setelah digiling (b); produk penggilingan setelah disimpan pada suhu 40ᵒC, RH 75% selama 3 hari (c); produk penggilingan setelah disimpan pada suhu 40ᵒC, RH 75% selama 4 minggu (d); produk penggilingan setelah disimpan pada suhu 27ᵒC, RH 75% selama 3 hari (e) dan produk penggilingan setelah disimpan pada suhu 27ᵒC, RH 75% selama 4 minggu Gambar 5 menunjukkan stabilitas produk penggilingan setelah disimpan baik pada suhu 27 maupun 40oC, kelembaban relatif 75% selama tiga hari. Tidak ada satupun yang berubah menjadi Bentuk monohidrat. Akan 6
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 tetapi, jika produk dengan lama penggilingan 60 menit, disimpan selama empat minggu, maka tampak adanya transformasi polimorfik khususnya jika disimpan pada suhu 27oC. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan adsorpsi isotermik yang lebih mudah berlangsung pada suhu rendah. pada suhu 40oC proses adsorpsi uap air tidak berlangsung sempurna sehingga tidak mampu menghasilkan Bentuk monohidrat. Sebaliknya dengan penyimpanan pada suhu 27oC yang memungkinkan terjadinya adsorpsi uap air secara sempurna sehingga memungkinkan uap air mengisi titik-titik translasi kosong membentuk teofilin monohidrat (Gambar 6). 6. Antaraksi Fisika atau antaraksi antar molekular Kombinasi antara sulfametoksazol dan trimetoprim masih banyak dijumpai dalam sediaan farmasi di Indonesia yang diproduksi lebih dari dua industri farmasi dengan nama dagang beragam. Namun tidak banyak pihak yang menyadari akan adanya kemungkinan terjadinya antaraksi di antara keduanya. Antaraksi yang jarang dikenali para farmasis tetapi konsekuensi yang ditimbulkannya tidak hanya sebatas perubahan fisika berupa meningkatnya kelarutan, sampai caking dalam sediaan suspensinya. Kombinasi ini di Amerika Serikat sudah dilarang peredarannya karena bagi banyak pasien khususnya penderita HIV/AIDS dapat menyebabkan Stephen Johnson sindrom. LFAMETOKSAZOL
TRIMETOPRIM
CO-CRYSTAL
Gambar 7. Habit kristal sulfametoksazol dan trimetoprim dan ko-kristalnya hasil rekristalisasi dari metanol.
Untuk memprediksi secara teoritis ada tidaknya kemungkinan terjadinya antaraksi fisika di antara dua BAF di dalam satu sediaan, dapat dilakukan analisis gugus fungsi yang ada di dalam struktur molekul keduanya. Jika pada keduanya ditemukan gugus penerima dan pemberi proton maka besar kemungkinan keduanya akan mengalami antaraksi antar molekular membentuk satu konglomerat yang melebur kongruen ataukah inkongruen. Selanjutnya, jika kedua BAF tidak terurai pada saat dan setelah melebur, maka dapat digunakan metode kontak untuk memprediksinya. Akan tetapi jika salah satu atau kedua BAF mengalami oksidasi saat melebur, maka masing-masingnya dan campuran keduanya dapat dilarutkan pada bahan pelarut yang sama, diteteskan pada kaca obyek kemudian dikristalkan kembali. Habit yang tampak di bawah mikroskop polarisasi diidentifikasi. Jika habit kristal campuran keduanya identik dengan habit masing-masing komponennya, maka itu berarti tidak ada antaraksi antar molekular. Dalam hal sulfametoksazol dan trimetoprim, habit kristal sulfametoksazol menunjukkan sistem kristal monoklinik, sedangkan trimetoprim triklinik dan campuran keduanya adalah ortorombik (Gambar 7). Informasi ini mengindikasikan adanya antaraksi antar molekular di antara keduanya. 7
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Gambar 8. Diagram fase ko-kristal sulfametoksazol-trimetoprim Langkah berikutnya adalah membuat diagram fase menggunakan berbagai komposisi campuran sulfametoksazol dan trimetoprim dalam bentuk perbandingan berat atau molarnya. Setiap komposisi kemudian dipanaskan pada meja pemanas mikroskop dan setiap peristiwa leburan yang teramati dicatat. Dari pola diagram fase dapat diidentifikasi jenis antaraksi antar molekularnya. Pada kasus campuran sulfametoksazol dan trimetoprim, diagram fasenya menunjukkan terbentuknya senyawa molekular yang melebur konkruen. Meskipun memiliki dua titik eutektik pada fraksi mol sulfametoksazol 0,3 dan 0,9, karakter produk antaraksinya berbeda dengan campuran eutektik sederhana. Jika pada campuran eutektik sederhana produk perlakuan akan menghadirkan kembali masing-masing komponen awalnya (A dan B), maka pada senyawa molekular akan teridentifikasi adanya molekul baru dengan sifat fisika yang berbeda (AmBn) (Gambar 8).
Sulfametoksazol
Campuran fisik hasil penggilingan
Trimetoprim
Campuran fisik hasil pemanasan
Campuran fisik sulfa dan trimetoprim ekimolar
Campuran fisik hasil tersuspensi dalam air
Gambar 9. Habit sulfametoksazol, trimetoprim perdagangan dan campuran fisiknya juga habit ko-kristal yang dihasilkan 8
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 Habit kristal sulfametoksazol, trimetoprim dan ko-kristalnya juga dapat diidentifikasi melalui mikrofotograf elektron mikroskop pemindai seperti tampak pada Gambar 9. Sama-sama memiliki habit tidak beraturan, tetapi trimetoprim tampak lebih kompak dan tebal dibandingkan sulfametoksazol. Sedangkan habit ko-kristalnya menunjukkan tampilan yang sangat berbeda, umumnya berupa bilah-bilah tipis memanjang. Hasil suspensinya di dalam air bahkan menyerupai kristal batang. Meskipun habit ko-kristal berbeda secara signifikan dibandingkan habit komponen awalnya, namun untuk memastikan ada tidaknya antaraksi masih diperlukan pemeriksaan instrumen difraksi sinar-X serbuk. Difraktogram campuran fisik sulfametoksazol dan trimetoprim akan menunjukkan seluruh interferensi tertinggi milik masing-masing BAF tanpa kecuali. Jika hasil perlakuan, apakah itu mekanik, termal ataupun hidrotermal memiliki difraktogram yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa di antara campuran kedua BAF terjadi antaraksi antar molekular. Pada kasus sulfametoksazol dan trimetoprim adalah terbentuknya senyawa molekular AmBn yang melebur kongruen.
Gambar 10. Difraktogram sinar-X serbuk A) trimetoprim, B) sulfametoksazol, C) campuran fisik sulfametoksazol-trimetoprim ekimolar, D) hasil reaksi kokristalisasi dan E) hasil rekristalisasi leburan sulfametoksazol-trimetoprim (Erizal, 2010) Gambar 10 menunjukkan bahwa difraktogram campuran fisik sulfametoksazol-trimetoprim (C) berbeda dengan difraktogram hasil perlakuan (D dan E). D dan E adalah difraktogram senyawa molekular atau belakangan ini diistilahkan sebagai ko-kristal.
9
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Sulfametoksazol (monoklin 8)
Ko-kristal (ortorombik 8)
Trimetoprim (triklin 2)
Gambar 11. Hasil pemindaian metode sinar-X kristal tunggal sulfametoksazol, trimetoprim dan ko-kristalnya Untuk memastikan terjadinya senyawa molekular atau ko-kristal, diperlukan penggunaan metode sinar-X kristal tunggal. Pada kasus kombinasi sulfametoksazol- trimetoprim digunakan metanol untuk memperoleh sistem kristal masing-masingnya dan ko-kristal dalam wujud kristal tunggal. Gambar 11 menunjukkan bahwa ada delapan molekul sulfametoksazol berada dalam satu paket kristal monokliniknya. Sedangkan trimetoprim hanya dua molekulnya dalam satu paket kristal triklinik. Gabungan keduanya menghasilkan ko-kristal dengan sistem kristal ortorombik dengan masing-masing menempatkan 8 molekul di dalam satu paket kristalnya.
Gambar 12. Ikatan hidrogen antara sulfametoksazol (smz) dan trimetoprim (tmp). Ikatan terbentuk antara N1smz-N7tmp dan N2smz-N4tmp. Gambar 12 menunjukkan bukti adanya ikatan hidrogen yang terbentuk antara molekul sulfametoksazol dan trimetoprim. Dalam hal ini melalui atom-atom nitrogen pada N1smz-N7tmp dan N2smz-N4tmp (Gambar 12). 7. Rekayasa Kristal Kokristal adalah material yang mengandung dua atau lebih molekul berbeda yang membentuk satu fase kristalin baru (Trask dan Jones, 2005). Dalam terminologi ilmu farmasetika dikenal dengan senyawa molekular atau kompleks antarmolekular (Vishweshar, 2006). Salah satu persyaratan dalam mendesain antaraksi fisika antarmolekular adalah adanya ikatan hidrogen yang terbentuk (ikatan non kovalen). Kebanyakan molekulmolekul senyawa BAF dapat membentuk ikatan hidrogen dalam keadaan padat maupun terlarut, sehingga merupakan komponen reaktan yang cocok untuk sintesis padatan kristalin supramolekular dengan komponen lainnya. 10
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 Prinsip rekayasa kristal pada hakekatnya berbasis pada fenomena antaraksi antarmolekular yang telah dikenal dalam sistem biner (khususnya yang membentuk senyawa molekular). Perbedaannya hanya terletak pada tujuan pengkombinasian. Jika ditujukan pada sinergistik efikasinya, maka antaraksi antar molekular yang terjadi lebih dikarenakan efek ikutan, yang seringkali tidak disadari sejak awal. Tetapi jika secara sengaja mengkombinasikan BAF dan eksipien atau senyawa non BAF untuk meningkatkan kelarutan, disolusi dan ketersediaan hayatinya, maka dikatakan melakukan rekayasa kristal. Contoh kasus ini adalah pada kombinasi didanosin dan asam nikotinat untuk memperbaiki stabilitas kimia didanosin yang mudah terhidrolisis di dalam asam lambung (Fikri Alatas, dkk, 2014) juga senyawa ramipril yang memiliki sifat kompresibilitas tinggi melalui fenomena sinteringnya. Kombinasinya dengan vanilin menghasilkan ko-kristal yang diharapkan kompresibilitasnya dapat direduksi. BAF yang menunjukkan fenomena sintering saat dikompresi, umumnya menunjukkan laju disolusi yang rendah. Oleh karena itu, tujuan melakukan rekayasa kristal dengan cara mengkombinasikan ramipril dengan vanilin sebagai ko-former adalah untuk mereduksi daya kompresibilitas ramipril. Jadi mencoba meningkatkan kelarutan ramipril melalui penurunan daya kompresibilitasnya. Diagram fase Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa identifikasi terjadi tidaknya antaraksi antar molekular dapat dilakukan dengan membuat diagram fasa sistem biner. Kali ini diagram fase campuran ramipril dan vanilin diperoleh dengan memplot suhu lebur (puncak kurva endotermik) termogram DSC terhadap fraksi mol vanilin. Diagram fase yang dihasilkan menunjukkan terjadinya ko-kristal pada komposisi fraksi mol vanilin 50%. Sedangkan titik eutektik 1 (TE1) antara ramipril dengan ko-kristal dan titik eutektik 2 antara ko-kristal dengan vanilin (TE2) dihasilkan campuran dengan komposisi masing-masing pada fraksi mol vanilin 40 dan 80%.
Gambar 13. Diagram fase campuran ramipril dan vanilin yang diperoleh dari termogram DSC. TE1: titik eutektik 1, TE2: titik eutektik 2, dan TC: titik lebur ko-kristal. Difraksi sinar-X serbuk Untuk memverifikasi terjadinya antaraksi padatan antara kedua komponen ramipril dan vanilin, dilakukan analisis difraksi sinar-X serbuk produk kristalisasi campuran kedua senyawa dengan komposisi ekimolar dari bahan pelarut etanol. Difraktogram masing-masing komponen dan ko-kristalnya seperti tampak pada Gambar 14. Difraktogram kristal hasil rekristalisasi campuran ramipril dan vanilin dari larutan alkoholnya berbeda secara signifikan dengan campuran fisiknya. Adanya interferensi baru pada sudut 2θ sekitar 6; 8; 12 dan 20o menunjukkan indikasi terbentuknya ko-kristal. Kelarutan Uji kelarutan dilakukan dalam pelarut air untuk melihat perubahan sifat fisikokimia akibat proses rekristalisasi dalam etanol. Kadar ramipril terlarut ditentukan secara spektrofotometri ultraviolet pada panjang gelombang serapan maksimum 210 nm. Kelarutan ramipril, rekristalisasi dan kokristalisasi ramipril-vanilin 11
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 dengan etanol ditampilkan pada Tabel 1. Hasil pengujian menunjukkan kelarutan sampel hasil rekristalisasi campuran lebih tinggi dibandingkan ramipril murni dan hasil rekristalisasinya. Analisis statistik Uji T untuk sampel bebas dengan α=0,05 untuk sampel ramipril murni dan hasil kokristalisasi menghasilkan nilai Thitung = 48,87 > Ttabel = 2,776. Hal ini menunjukkan perbedaan bermakna nilai kelarutan antara kedua perlakuan sampel.
Gambar 14. Difraktogram sinar-X serbuk A) ramipril, B) vanilin, C) campuran fisika ramipril-vanilin ekimolar (1:1 molar), D) hasil kristalisasi campuran ramipril dan vanilin dari etanol
Tabel V.1. Hasil Uji Kelarutan Jenuh Kelarutan Bahan (mg/mL) 10,437±0,06 10,829±0,08 12,823±0,07
Ramipril Rekristalisasi rampipril dalam etanol Rekristalisasi ramipril-vanilin dalam etanol Elastisitas modulus
Untuk menentukan kompresibilitas suatu material dilakukan uji penentuan elastisitas modulus. Uji dilakukan melalui pemberian gaya kompresi yang berbeda-beda dan kekuatan regangannya diukur. Cara menganalisisnya dilakukan dengan memperhatikan satu titik gaya kompresi yang sama dan harga kekuatan regangannya yang diukur melalui ekstrapolasi garis perpotongan gaya kompresi dan masing-masing kurva elastisitas modulus. Semakin tinggi harga kekuatan regangannya, semakin tinggi kompresibilitasnya. Artinya material semakin mudah dikompresi. 12
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Gambar 15. Kurva elasisitas modulus ramipril (RA), vanilin (VA) dan kokristal
Sebagai contoh, empat ko-kristal parasetamol dengan asam oksalat, teofilin, naftalen, dan fenazin menunjukan kompresibilitas lebih baik daripada parasetamol murni (Karki dkk., 2009). Tabletabilitas ibuprofen dan flurbiprofen meningkat setelah dibuat ko-kristal dengan nikotinamida (Chow dkk., 2012). Oleh karena itu, dari Gambar 15 diperoleh informasi bahwa kompresibilitas terburuk dimiliki vanilin selanjutnya semakin meningkat berturut-turut adalah ko-kristal ramipril-vanilin dan yang terbaik adalah ramipril. Dengan demikian, tujuan untuk menurunkan kompresibilitas ramipril telah tercapai dengan mengubahnya menjadi ko-kristal dengan vanilin sebagai koformernya. Gambar 15 menunjukkan bahwa gaya kompresi maksimal yang diperlukan untuk menghasilkan tablet yang baik adalah sekitar 14,7 kN. Lebih tinggi dari harga itu, tablet akan selalu retak.
A
13
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
B
Gambar 16. Persen ramipril (RA)terdisolusi serbuk dan tablet antara ramipril dengan kokristal ramiprilvanilin (KO) pada (A) medium disolusi 0,1 N HCl ( pH 1,2); dan (B) dapar fosfat pH 6,8. RA Hasil uji disolusi serbuk dan tablet berbagai kompresi ramipril dan kokristal ramipril-vanilin ditampilkan pada Gambar 16. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa gaya kompresi sebesar 4,9 kN sudah mampu menurunkan laju disolusi baik ramipril maupun kokristal ramipril-vanilin. Penurunan laju disolusi terjadi karena peristiwa sintering yaitu batas-batas antar partikel mengalami fusi (penggabungan partikel akibat leburan) sehingga menyebabkan molekul ramipril dan kokristal ramipril-vanilin sukar terbebas ke dalam medium disolusi. Penyebab lainnya adalah menurunnya luas permukaan yang kontak dengan medium disolusi (Setyawan dkk., 2009). Seperti halnya ramipril, disolusi tablet kokristal eritromisin stearat (Setyawan dkk., 2009) pada pemberian gaya kompresi 34,3 kN, lebih tinggi pada medium 0,1 N HCl yaitu sebesar 12,55% dibandingkan dapar fosfat pH 6,8 yang hanya 4,35%. Dibandingkan tablet ramipril, disolusi tablet kokristal ramipril-vanilin dengan pemberian kompresi 19,6 kN menunjukkan disolusi yang lebih rendah yaitu sebesar 9,06 % dibandingkan ramipril sebesar 87,28 % pada medium 0,1 N HCl (pH 1,2). Peristiwa penurunan laju disolusi kokristal juga terjadi pada kombinasi karbamazepin dengan sakarin (Rahman, Z., dkk, 2012) dan benzamida dengan dibenzil sulfoksida (Grossjohann, C., dkk, 2010).
14
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Gambar 17. Profil disolusi ko-kristal ramipril-vanilin akibat berbagai gaya kompresi Perbedaan profil disolusi tablet ko-kristal ramipril-vanilin akibat berbagai gaya kompresi terkait erat dengan elastisitas modulusnya. Semakin rendah elastisitas modulus material, semakin mudah dikompresi. Semakin besar gaya kompresi yang diberikan akan membawa material mencapai level fatigue, yakni posisi dimana ikatan intramolekular material mencapai titik kulminasi rendahnya. Pada kondisi semacam ini material mudah sekali hancur. Oleh karena itu, Gambar 17 menunjukkan profil disolusi tablet ko-kristal ramipril-vanilin yang semakin membaik dengan semakin tingginya gaya kompresi yang diterimakan.
KESIMPULAN Polimorfisme BAF dan antaraksi antarmolekular yang mungkin terjadi di antara kombinasi BAF-BAF dan BAF-Non BAF menjadi fenomena menarik untuk dipahami mengingat konsekuensi yang mampu ditimbulkannya. Yang sudah dapat diprediksi adalah terjadinya perbedaan kelarutan, laju disolusi dan bioavailabilitasnya. Akan tetapi pada kasus lain antaraksi antarmolekular justru meningkatkan toksisitas BAF. Oleh karena itu, FDA di dalam Pedoman Abbreviated New Drug Application (ANDA) menekankan pentingnya untuk memperhatikan polimorfisme BAF, khususnya yang menunjukkan perbedaan kelarutan secara signifikan. Ko-kristal antara dua BAF atau BAF-Non BAF dapat dimanfaatkan untuk tujuan meningkatkan kelarutan BAF, laju disolusi dan bioavailabilitasnya, memperbaiki sifat higroskopisitas, menurunkan kompresibilitas, meningkatkan stabilitas kimia BAF ataupun menurunkan sifat elektrostatik material.
DAFTAR PUSTAKA Ang Jia Weay, 2013, The Influence Of Different Storage Conditions Towards The Physical Stability Of Milled Polymorph I and II of Of Theophylline Anhydrate, Final Project of Undergraduate Pharmaceutical Science and Technology Program, Institut Teknologi Bandung Erizal, 2010, Transformasi Padatan pada Sistem Biner Trimetoprim dan Sulfametoksazol, Disertasi Program Studi Doktor Farmasi, Institut Teknologi Bandung. 15
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 Indra, 2014, Upaya Penurunan Kompresibilitas Ramipril Melalui Teknik Rekayasa Kristal , Tesis Program Magister Sains Farmasi, Institut Teknologi Bandung. Chow, S.F., Chen, M., Shi, L., Chow, A.H.L., Sun, C.C., 2012, Simultaneously Improving The Mechanical Properties, Dissolution Performance, and Hygroscopicity of Ibuprofen and Flurbiprofen by Cocrystallization with Nicotinamide, Journal of Pharmacy Research, 29, 1854-1865. Fikri, A., 2014, Pembentukan Kokristal Didanosin dan Profil Ketersediaan Hayatinya, Disertasi Program Studi Doktor Farmasi, Institut Teknologi Bandung. Grossjohann, C., Eccles, K.S., Maguire, A.R., Lawrence, S.E., Tajber. L, Corrigan, O.I., Healy, A.M., 2012, Characterisation, Solubility and Intrinsic Dissolution Behaviour of Benzamide:Dibenzyl Sulfoxide Cocrystal, International Journal of Pharmaceutics, 422(1-2), 24-32. Karki, S., Friscic, T., Fabian, L., Laity, P.R., Day, G.M., Jones, W., 2009, Improving Mechanical Properties of Crystalline Solids by Cocystal Formation: New Compressible Forms of paracetamol, Journal Advanced Materials, 21, 3905-3909. Rahman, Z., Samy R., Sayeed V.A., Khan M.A., 2012, Physicochemical and Mechanical Properties of Carbamazepine Cocrystal With Sacharin, Pharmaceutical Development and Technology, 17(4), 457-465. Setyawan, D., 2012, Pengaruh Variasi Kompresi dan Berbagai Jenis Eksipien Terhadap Karakteristik Fisik Eritromisin Stearat dan Sediaan Tabletnya, Disertasi Program Studi Doktor Farmasi, Institut Teknologi Bandung. Tan Shing Yan, 2013, The Influence Of Humidity Towards The Polymorphism Transformation Of Anhydrous Theophylline Form II and Form I, Final Project of Undergraduate Pharmaceutical Science and Technology Program, Institut Teknologi Bandung Trask, A.V., and Jones, W., 2005, Crystal Engineering of Organic Co-crystals by The Solid State Grinding Approach, Topics in Current Chemistry, 254, 41-70. Vishweshar, P., McMahon, J.A., Oliveira, M.,Peterson, M.L., Zaworotko, M. 2005, The Predictably Elusive form II of Aspirin, Journal of American Chemical Society, 127, 16802– 16803.
16