7
PENGEMBANGAN ILMU EKONOMI ISLAM TERINTEGRASI: Telaah Filsafat Islam Muhammad Yassar
[email protected] Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta Abstrak Ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu, perlu dikembangkan dengan tidak meninggalkan ilmu agama, sehingga antara ilmu kehidupan dan ilmu agama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ilmu ekonomi Islam adalah contoh dari bagunan keterpaduan ilmu. Sebab, dalam pengembangannya, selain harus memperhatikan bagaimana kaidah wahyu Allah dan sunnah Rasul yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Juga harus dicermati mengenai al-kaun yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana model pengembangan yang perlu diterapkan untuk mendapatkan ilmu yang Islami? Dalam penyusunan dan pengembangan ilmu Ekonomi Islam perlu diperhatikan: (1) Perekonomi Islam yang deskriptif atau empirik disusun atas fakta-fakta yang terkumpul yang berkaitan dengan masalah atau aspek spesifik. Hipotesanya perlu diuji terhadap kenyataan agar suatu teori ekonomi Islam yang dihasilkan itu absah. (2) Asas-asas atau teori ekonomi Islam yang dipergunakan untuk menggeneralisasikan tingkah laku ekonomi. (3) Ilmu politik ekonomi Islam yang dipergunakan untuk mengawasi atau mempengaruhi tingkah laku ekonomi dan akaibat-akibatnya. Oleh karena dalam bangunan ilmu [ekonomi] Islam, didasarkan pada dua hukum. Hukum syari’ah berangkat dari wahyu dan hukum tabi’ berasal dari alam fisik. Kedua hukum digunakan untuk membantu menjelaskan dan meramalkan aktivitas ekonomi yang mengandung nilai dan perilaku ekonomi yang didasarkan pada hukum syari’ah dan hukum tabi’ dalam masyarakat. Keyword: Ekonomi Islam, Filsafat, Syari’ah, Postulat, Tabi’ PENDAHULUAN Wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”, Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca, artinya, pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Ini berarti bahwa wawasan tentang Yang Kudus, yang memberi dasar hakiki bagi pengetahuan, harus menyertai dan mrembesi proses pendidikan pada setiap tahapnya (Qadir, 1989 : 6). Selanjutnya Qadir menjelaskan, bahwa
Allah tidak saja berada pada awal pengetahuan, Ia juga berada pada akhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses belajar. Dialah yang mengajari manusia untuk mengenai apa yang ada di sekitarnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya : Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
8
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
kamu orang-orang yang benar! (QS. AlBaqarah : 31). Ayat di atas menunjukkan bahwa Tuhan yang mengeluarkan manusia dari perut ibu kalian, dan kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu. Yakni menurut sudut pandang epistemologi, kalian tidak mengenal sesuatu apa pun, kata Muthahhari bahwa kita “sama sekali tidak memiliki epistemologi” (2001 : 59). Lebih jauh Muthahhari menjelaskan dalam footnote bukunya sebagai berikut : Ayat ini juga menolak teori Plato yang populer. Plato berkeyakinan bahwa jiwa (roh) manusia sebelum datang ke bumi ini berada dalam alam sebagai universial dan ide-ide (yang mana berbagai universal rasio [kulliyat ma’qul] itu disebut dengan mitsal atau ide. Plato adalah orang pertama yang memasukkan kata “ide” dalam ilmu filsafat, dan dikarenakan segala yang ada di alam ini sekalipun sifatnya partikular telah ada di dalam ide, dengan demikian maka jiwa telah mengetahui berbagai ide dan berbagai universal ini, setelah itu jiwa datang di dunia ini. ... Hubungan (antara daya pikir dan gudang ingatan) telah terputuskan; hubungan agar dapat mengeluarkan dan membawa telah terputus. Plato memiliki teori semacam ini. Apapun yang dipelajari oleh manusia di alam dunia ini, menurut teori Plato adalah bukan mempelajari, tetapi mengingat kembali. Itulah yang menyebabkan ia mengatakan bahwa ilmu itu adalah “mengingat” (tadzakkur) (2001 : 59) Dua ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mengkaji dan mempelajari alam. Muthahhari mengutip pendapat Bergson bahwa :
Alam mesti dikaji dan dipelajari dengan menggunakan indera, tetapi hal ini tidak mengantarkan kita pada suatu hakikat. Pengetahuan ilmiah hanya bermanfaat bagi aktivitas kita, dan kita tidak memiliki suatu keyakinan bahwa apakah sesuatu yang kita ketahui itu, ralitasnya adalah persis sebagaimana yang kita ketahui. Alam memiliki nilai praktis (‘amali) dan bukan nilai teoritis (nazhari) serta ilmiah (‘ilmi) (2001 : 83). Akan tetapi, di antara para ilmuwan dunia, sedikit sekali yang memiliki pandangan semacam itu. Sebagian besar dari mereka adalah meyakini bahwa alam ini adalah sumber epistemologi. Sekarang, apakah ilmu pengetahuan modern yang ada inii sesuai dengan epistemologi yang betul? Yaitu apakah ilmu (pengetahuan) menunjukkan kepada kita mengenai hakikat, realitas dan obyektifitas alam ini? Ataukah yang benar adalah ucapan Decartesii? Atau adakah sumber ilmu dan kebenaran lain yang dapat memberikan kejelasan mengenai hakikat suatu ilmu dan kebenaran itu? Sehubungan dengan tiga pertanyaan tersebut, maka makalah ini berusaha menganalisi dan menjawabnya dalam perspektif Islam (Qur’an). Di dalam makalah ini akan dibahas menjadi empat bagian, yaitu : Bagian pertama menelusuri topik ilmu menurut filsafat Islam. Bagian kedua menguraikan kebenaran menurut filsafat Islam. Bagian ketiga menguraikan bangunan konsep ilmu terpadu, dan bagian keempat akan diuraikan suatu pemodelan ilmu ekonomi yang berangkat dari hukum syari’ah dan hukum tabi’. ILMU MENURUT FILSAFAT ISLAM 1. Pengertian Ilmu dalam Islam
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
Pembahasan mengenai ilmu menurut filsafat Islam, perlu ditelusuri apa makna ilmu dalam pandangan AlQur’an? Rahardjo mengatakan, bahwa “untuk memperoleh pengertian yang tepat tentang ilmu, setidak-tidaknya dapat ditunjau dari dua segi, yaitu segi etimologi dan terminologi” (1990 : 56). Secara etimologis kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilmiii ( )م لعyang padanannya dalam bahasa Inggris science, dalam bahasa jerman Wissenschaft dana dalam bahasa Belanda wetenschap (1996 : 527). Ilmu, sebagaimana halnya science atau scientia, berarti juga pengetahuan (Rahardjo, 1996 : 528). Kata ‘ilm yang diterjamahkan menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia, telah menjadi kosa kata yang baku dan resmi. Dalam hal ini, ilmu bukan hanya sekedar bahasa Arab, namun juga tercantum dalam al-Qur’an. Dalam bahasa Arab sehari-hari sebelum turunnya al-Qur’an, ilmu hanya bermakna pengetahuan biasa. Tetapi melalui ayat-ayat al-Qur’an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri, yang terstruktur. Menurut Rahardjo “kata ilmu itu bisa sekedar diartikan sebagai ‘pengetahuan’ biasa, tetapi bila lebih dari itu, tergantung dari pemehaman orang terhadap makna kata tersebut” (1996 : 529). Bahkan, ilmu dapat juga menjadi etos, yaitu jika pemahaman terhadap ilmu dilakukan dengan mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam al-Qur’an. Di dalam Islam, pemahaman ilmu telah menjadi etos yang tinggi, karena setiap muslim dan muslimat diwajibkan untuk menuntut ilmu.iv Istilah ilmu ini menjadi penting, karena ia termasuk istilah di dalam al-
9
Qur’an. Dengan mempelajari al-Qur’an, orang akan bisa menarik kesimpulan bahwa ilmu bukanlah sekedar pengetahuan, tetapi pengetahuan dengan kualitas tertentu. Jadi, menurut Rosenthal, “’ilm tidak bisa diartikan begitu saja dengan ‘pengetahuan’” (dalam Rahardjo, 1996 : 530). Dalam sejarah peradaban Islam, berkaitan dengan masalah ilmu ini menimbulkan keingintahuan : bagaimana sebenarnya istilah ‘ilm itu diinter-pretasikan oleh para sarjana Muslim, yang kemudian membawanya kepada studi filologi dan epistemologi. Dari studi para sarjana tersebut, mereka mengambil kesimpulan bahwa istilah ‘ilm memang beroleh tempat yang istimewa dalam perdaban Islam, tidak kalah pentingnya dengan istilahistilah lainnya dilihat dari segi dampaknya terhadap peradaban Islam. Jika dikaitkan dengan surat alQur’an yang pertama diturunkan (alAlaq : 1-5), maka sebenarnya yang dibawa al-Qur’an sejak semula adalah dua semangat kembar, yaitu : tauhid dan keilmuan. Dengan demikian, dua semangat ini menjadi satu kesatuan secara paduv. Qardhawi menegaskan bahwa “ilmu hakiki dalam pandangan al-Qur’an akan mendorong keimanan (1996 : 116). Oleh karena itu, Qardhawi menyamakan ilmu adalah agama dan agama adalah ilmuvi. Hubungan ini berarti, bahwa hubungan antara ilmu dan iman – atau antara ilmui dan agama – tidak bertolak belakang sebagaimana dikenal di Eropa pada masa “zaman pertengahan”. Namun, di antara keduanya memiliki pertalian erat, ilmu mendukung keimanan dan iman membuat berkah ilmu, karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran (Qardhawi, 1996 : 117).
10
2.
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
Ilmu dalam al-Qur’an Kata ‘ilm banyak disebut dalam alQur’an, yaitu sebanyak 105 kali. Sementara penyebutan kata al-din sebanyak 103 kali. Jika dilihat dari kata jadiannya, maka kata ‘ilm disebutkan sebanyak 744 kalivii. Dari kata jadian itu, timbul pengertian, seperti : mengetahui, pengetahuan, orang yang berpenge-tahuan; yang tahu, terpelajar, paling mengetahui, memahami, mengetahui segala sesuatu, lebih tahu, sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar (studi), orang yang menerima pelajaran atau diajari, mempelajari, juga pengertian-pengertian seperti tanda (‘alam), alamat, tanda batas, tanda peringatan, segala kejadian alam (dunia), segala yang ada, dan segala yang dapat diketahui (Rahardjo, 1996 : 532). Ternyata untuk mengetahu dan menemukan pengertian tentang ilmu dalam al-Qur’an, tidak cukup hanya kalau dicari pengertiannya dari katakata yang berasal dari akar kata – ل – م ع, sebab kata tahu bukan hanya diwakili oleh kata tersebut (‘ilm). Paling tidak ada beberapa kata yang mengandung pengertian “tahu”, seperti : ‘arafa, daraa, khabara, sya’ara, ya’isa, ankara, bashiirah, dan hakim. Kata al-Qur’an yang berasal dari kata ‘arafa, disebutkan sebanyak 34 kali. Menurut Rosenthal, kata ‘ilm adalah sinonim dengan kata ma’rifah (dalam Rahardjo, 1996 : 532). Pengertian ilmu pengetahuan terdapat pula dalam kata hikmah. Kata hikmah ini mengandung pengertian “pelajaran”. Orang yang bisa “memetik hikmah” adalah orang yang bisa “mengambil pelajaran” dari pengalaman. Orang yang membaca al-Qur’an akan mendapati materi ‘ilm. Semua pengulangan materi ini dan kata jadian – yang disebutkan di atas –
menunjukkan dengan pasti akan keutamaan ilmu pengetahuan, dan keutamaan itu amat jelas dalam pandangan al-Qur’an (Qardhawi, 1996 : 87). Jadi, pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui, jenis apa pun ia dan dalam bidang apa pun ia, hingga hakikatnya diketahui dengan jelas oleh manusia, maka ia masuk dalam lingkup terma “ilmu” yang disebutkan dalam alQur’an. Tidak ada agama selain islam, dan tidak ada kitab suci selain al-Qur’an yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Termasuk di dalamnya menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan mengajar, serta meletakkan kaidahkaidah yang pasti untuk tujuan tersebut dalam sumber-sumber Islam yang asasi : al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Qur’an menjadikan ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mencapai kebenaran dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini melainkan jauh dari itu adalah untuk mencapai keselamatan, ketenangan serta kebahagiaan hidup di balik kehidupan yang fana ini, yaitu kehidupan di akhirat (Syafi’ie, 2000 : 142; QS. Ar-Rum : 6-7; QS. Ad-Duha : 3). 3. Sifat Dasar Ilmu (Pengetahuan) Islam : Tinjauan Filsafat Desakralisasi pengetahuan memotong pengetahuan dari akarakarnya (Qadir, 2002 : 3). Keadaan ini berdampak buruk pada alam pemikiran itu sendiri. Hal ini selanjutnya juga berpengaruh pada keberadaan filsafat, yang akhirnya filsafat dianggap sebagai produk rasio semata. Dengan demikian, filsafat dipotong dari akar-akarnya dan
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
kehilangan wawasan tentang Yang Kudus. Sekularisasi pemikiran melahirkan pandangan yang mekanistik mengenai realitas, dan pandangan dunia yang tidak ada tempat bagi roh atau nilai-nilai kerohanian (Qadir, 2002: 4). Sejarah juga dipengaruhi oleh pandangan ini. Realitas direduksi menjadi proses, waktu menjadi kuantitas belaka, dan sejarah menjadi suatu proses tanpa entelekhi transenden (Whitehead, 1929). Hilangnya wawasan tentang Yang Kudus telah mengakibatkan kompartementalisme dan fragmentalisme dalam kehidupan manusia. Manusia moderen menderita perasaan teraliensi (Whitehead, 1929) dan anomiviii yang gawat. Ada kekacauan dan ketidak-seimbangan. Roh manusia telah menjadi korban kekacauan spiritual, yang tidak dapat disembuhkan, kecuali apabila manusia kembali kepada Sumber segala sumber dan wawasan tentang Yang Kudus dihidupkan kembali. Wawasan tentang Yang Kudus yang telah menghilang dari konsepsi Barat dalam membangun pengetahuan merupakan titik sentral dalam teori islami tentang pengetahuan. Menurut Qadir : Sesungguhnya, yang membedakan cara berfikir Islami dari Cara Barat, adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir yang pertama bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain, adalah Allah (2002 : 5). Oleh karena sumber pengetahuan adalah Yang Kudus, maka tujuan pengetahuan tidak lain adalah kesadaran mengenai Yang Kudus. Yang
11
Kudus-lah yang memberikan pelajaran pertama kepada semua manusia.ix Dengan demikian, kitab suci-Nya merupakan sumber yang otentik dari pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan itu sendiri. Salah satu sifat Allah adalah ‘alim, yang berarti “yang memiliki pengetahuan”. Oleh karena itu, orang yang memiliki ilmu berarti telah memiliki sifat Allah, dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi orang yang beriman. Melalui pengetahuan, maka manusia memiliki sifat yang berbeda dengan makhluk lainnya, seperti : Malaikat, atau yang lainnya. Melalui pengetahuan manusia dapat mencapai Kebenaran. Kebenaran adalah nama lain dari Yang Riil dan Yang Hakiki (Qadir, 2002 : 7). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peran filsafat dalam islam dapat dipahami dalam segala keluasan dan kedalamannya, termasuk, khususnya dimensi alhaqiqah. Dalam konteks ini, dapat dijumpai hubungan erat antara filsafat Islam dan metafisika. Kaitan dengan masalah metafisika ini menurut Qadir ada perbedaan pandangan mendasar antara Barat dengan Timur, yaitu : Pertama, di Barat, filsafatlah yang nomor satu, baru menyusul metafisika, oleh karena filsafat mencakup begitu banyak cabang ilmu, di antaranya, metafisika. Di Timur, metafisikalah yang nomor satu, baru menyusul filsafat, ... maka dalam Islam pu ada berbagai mazhab pemikiran, yang semuanya pada tingkat terakhir, didasarkan atas konsepsi tentang realitas metafisis, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an. Kedua, realitas yang paling hakiki, di Barat, pada umumnya dianggap sebagai transendental atau imanen, sedangkan di Timur, transendental dan imanen (2002 : 7).
12
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
Oleh karena itu, Allah disebut sebagai al-Haqq dalam al-Qur’an dan merupakan sumber semua kebenaran yang diwahyukan. Dengan demikian, filsafat islam merupakan upaya untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan Kebenaran atau Yang Hakikix, dengan bahasa pemikiran yang intelektual dan rasional. Dalam Islam, terdapat hubungan yang erat antara agama dengan filsafat. Sebab, di antara nama-nama Allah itu terdapat kebenaran. Itulah sebabnya, semua filsuf Islam, berturut-turut menekankan dan membuktikan adanya keselarasan antara perintah agama dan pernyataan-pernyataan filsafat. Dalam semua agama – terutama dalam Islam – segala yang diwahyukan Allah melalui para Nabi, telah menyampaikan kepada umat manusia kebenaran-kebenaran mengenai realitas yang paling hakiki. Kebenarankebenaran itu berdiri sendiri dan tidak dapat dibuktikan atau disangkal melalui penalaran diskursif. Oleh sebab itu, kebenaran-kebenaran itu tidak dapat tunduk kepada otoritas manapun kecuali otoritas mereka sendiri. Munurut Muhammad Iqbal, filsafat : Tidak disangsikan lagi mempunyai yurisdiksi untuk menghakimi agama, akan tetapi yang hendak dihakimi itu sifatnya sedemikian rupa sehingga ia tidak akan tunduk pada yurisdiksi filsafat, kecuali dengan persyaratan-persyaratannya sendiri. Sementara menghakimi agama, Filsafat tidak dapat memberikan kepada agama suatu kedudukan yang lebih rendah di antara data-datanya ... maka, dalam menilai agama, Filsafat harus mengakui kedudukan sentral agama dan tidak mempunyai alternatif lain kecuali menganggapnya sebagai
suatu titik pusat dalam proses sintesis reflektif (dalam Qadir, 2002 : 9-10) Oleh karena para filsuf Muslim itu pertama-tama adalah Muslim dan baru setelah itu filsuf, sedangkan tugas mereka adalah membuktikan kebenaran wahyu sebagai hukum ilahi dan mengakui ketidakmampuan rasio untuk memehami Allah sepenuhnya, maka mudah dimengerti bahwa mereka hanya bisa bekerja di dalam kerangka konsepsi yang diberikan oleh Islam. Kerangka ideologis ini tidak hanya memberikan definisi mengenai proyek filosofis mereka saja, akan tetapi juga batas-batas yang tidak akan berani mereka lampaui. 4. Sumber dan Kerangka Pengetahuan dalam Islam Pembicaraan mengenai sumber dan kerangka pengetahuan dalam Islam, perlu dipahami kerangka umum Islam bagi kehidupan dan wujud, sehingga kita dapat memahami pemikiran metodologi Islam serta ruang gerak, hubungan, konsep, dan landasan pokok yang mengatur dan memberi ciri pemikiran, metodologi dan struktur kehidupan Islam. Islam memiliki dua konsep yang menyatu, yaitu metafisika dan fisika (alghaib wa ‘sy-syahadah) (Sulaiman, 1994 : 161). Konsep ini dalam Islam memiliki urgensi khusus, dalam hal kejelasan konsep dan dimensinya bagi pemikiran dan metode Muslim. Konsep metafisika dan fisika dalam Islam adalah konsep yang menentukan arti kehidupan dan wujud, tujuan hidup dan wujud, dan hubungan itu dengan hal-hal yang ada di balik kehidupan, di balik wujud dan di balik materi (Sulaiman, 1994 : 161). Dengan demikian, konsep metafisika dan fisika dalam Islam merupakan kerangka dari jawaban
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
Islam terhadap pertanyaan menyeluruh mengenai asal-usul kehidupan dan wujud serta tujuannya. Dengan itu, konsep ini menentukan arti hubunganhubungan dasar antara keduanya. Dunia metafisika adalah dunia yang menjadi urusan ilmu Allah saja. Ia mewahyukan perintah yang dikehendakinya. Ia mengirim kepada bangsa-bangsa berbagai risalah sebagai petunjuk dan penjelasan arti wujud, tujuan wujud dan hubungan-hubungan serta kecenderungankecenderungannya. Hubungan manusia menurut konsep Islam tentang dunia metafisika adalah hubungan baik yang konstruktif, bertujuan menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan manusia, membangun bumi, dan menjaga makhluk dan alam dari kerusakan (QS. Al-Mulk : 3 dan An-Nahl : 90). Hal di atas menunjukkan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Kesiapan manusia untuk kekhalifahan di muka bumi adalah karena ilmu, akal sebagai alat ilmu dan medianya dalam dunia fisika di permukaan bumi ini. Wahyu adalah sumber ketuhanan yang membekali manusia dan pengetahuan kemanusiaan dengan pengetahuan tentang urusan kegaiban, hubungan dan tujuan umumnya, hubungan manusia dengan totalitas dan tujuan ini (Sulaiman : 168). Dengan konsep ini wahyu dan akal saling menyempurnakan untuk menentukan posisi manusia di dunia fisika serta menetapkan wujud dan usahanya untuk mencapai tujuan wahyu dan akal tersebut di dunia fisika. Dengan demikian, wahyu [yang benar] adalah media manusia untuk sampai kepada tujuan dan totalitas. Akal adalah media manusia untuk mengetahui dunia fisika serta fitrah, sunan, tabiat dan posibilitas yang
13
dikandungnya untuk didayagunakan dan melakukan perbaikan dan pembangunan sesuai tuntutan pengarahan ilahi dan tujuan ketuhanan yang baik. Bertolak dari fithrah dan iman yang dalam dengan keesaan Allah dan petunjuk wahyu, tidak ada tempat dalam pandangan Islam akan terjadi kontradiksi antara wahyu, akal dan alam. Wahyu berhubungan dengan dunia metafisika dan totalitas wujud serta tjuan dan maksud dalam alam kehidupan. Maka akal, logika dan persepsi manusia adalah akal yang betul dan akal yang cerdas, bila usahanya menuju dunia fisika di arahakan kepada pemegangan tanggungjawab dalam memainkan peranan sebagai khalifah di dunia fisika sesuai dengan pandangan ilmu dunia matafisika yang dibekalkan Allah kepadanya melalui penentuan tujuan-tujuan dan kriteria dengan nasib dan akibat, sebagai pengukuhan manusia di bumi dan tanggungjawabanya dalam mendayagunakan dan membangun bumi berdasarkan keadilan dan ihsan (Sulaiman, 1994 : 170). Dengan kerangka komplit yang paripurna antara pengetahuan matafisika dan pengetahuan fisika, antara wahyu, akal dan alam ini, para tokoh Islam pada masa permulaan Islam tidak beralih kepada kedalaman sophistries dalam permasalahan metafisika. Dalam kerangka Islam menyeluruh yang berdasarkan hakikat tauhid, maka antara metafisika dan fisika, antara wahyu, akal dan alam, antara iman dan amal, antara tawakal dan usaha, antara aqidah dan qada’/qadar, keyakinan dengan totalitas kethaan dan perintah ilahi, semuanya saling menyempurnakan bila
14
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
disertai dengan pemahaman yang sempurna, pencarian dan perhatian penuh terhadap ilmu tentang sunan, fitrah dan sebab-sebab. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akal Muslim adalah akal yang bergerak ke dunia fisika (alam nyata), urusan kehidupan dan makhluk, berusaha mendayagunakan, mengatur dan menjaganya serta memperbaiki keadaannya berdasarkan ilmu pengetahuan objektif mengenai keadaan, menyataan dan tabiatnya, menurut sunan dan hukum yang telah ditentukan Allah, sebagai realisasi pengertian khilafah sesuai pengarahan wahyu, perintah Allah, tujuan syari’at dan ketentuan hukum yang diturunkan Allah. Supaya akal Muslim dapat sehat kembali, ia harus mengembalikan pandangan Islam menyeluruh, yang berdasarkan atas tauhid dan keesaan, di mana sebab-musabah dan kausalitas saling responsif; metafisika dan fisika saling menyatu dan menyempurnakan; serta wahyu dan fitrah (akal dan alam) saling menyempurnakan. Wahyu Allah yang dimuat dalam al-Qur’an telah memecahkan misterimisteri kehidupan dan kematian dengan cara yang tegas dan gamblang. Di samping al-Qur’an, ada sunnah. Di samping al-Qur’an dan sunnah yang diterima tanpa syarat, masih ada syari’at – jalan kewajiban yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan dijelaskan secar lebih rinci oleh sunnah Nabi. Menurut Qadir dikatakan : Pengetahuan ini mutlak perlu bagi cara hidup yang baik, dan harus diterima sebagai yang benar untuk keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Disamping al-Qur’an, sunnah, syari’ah, ada ilm al-ladunniyah dan hikmah, yakni pengetahuan kerohanian dan kebijaksanaan yang dapat diperoleh melalui perbuatan yang
terus-menerus dan dalam waktu yang lama dalam hal kesalehan dan kebaikan (2002 : 11). Menurut pandangan Islam, selain ilmu (pengetahuan) yang diwahyukan seperti telah dibahas di atas, ada pengetahuan yang tida diwahyukan, dan inilah pengetahuan ilmu-ilmu yang diperoleh melalui pengelaman, pengamatan dan penelitian. Pengetahuan ini sifatnya diskursif dan diperoleh melalui penalaran deduktif atau induktif, atau kedua-duanya (Qadir, 2002 : 11). Dibandingkan dengan pengetahuan yang diwahyukan, pengetahuan ilmiah itu sifatnya problematis, sementara dan berubahubah. Tapi, justru di sinilah letak kekuatannya. Karena sifatnya yang sementara itulah, pengetahuan ilmiah terus menerus bergerak maju, menjelajah wilayah-wilayah yang baru sambil mengonsolidasikan wilayahwilayah lama, dan memperluas batas pengetahuan manusia. Seandainya pengetahuan ilmiah itu pasti dan sempurna seperti pengetahuan yang diwahyukan, tentunya tidak akan ada penyesuaian baru kepada kondisikondisi hidup yang berubah. Dengan demikian ada paduan antara ilmu yang diwahyukan dengan tidak diwahyukan. Hal ini berarti – sebetulnya – ada paduan antara wahyu dengan akal manusia dalam membangun ilmu. Wahyu secara umum sebagai sumber pengetahuan dan pengarahan dalam kehidupan manusia adalah kata kebenaran (kalimatu ‘lhaqq) yang diwahyukan Allah kepada Nabi supaya dapat disampaikan kepada berbagai bangsa. Manusia adalah ciptaaan Allah yang paling mulai. Ia memuliakannya dengan iradah, kemampuan bertindak, dan berdayaguna untuk alam dan
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
kehidupan Allah memberikan akal serta menanamkan padanya fitrah untuk berpersepsi, berfikir, berencana dan menguras kehidupan serta kemampuan sesuai hukum dan sebab-musabah yang diajarkannya. Akal insani bagi manusia adalah alat persepsi, pemahaman, pengamatan, penerimaan, pembeda dan penimbang. Akal adalah pengarah, pendorong dan media untuk sampai kepada pemahaman posisi dan tujuan kehidupan. Akal merupakan pengarah, pendorong dan media dalam mencari pengetahuan metafisika dan fisika dan penerimaan terhadap risalah-risalah wahyu. Lapangan akal adalah pengetahuan fisika dengan menguji kebenaran para rasul serta kebenaran dan keterpercayaan sandaran wahyu yang disampaikan. Peranan akal, menurut Sulaiman adalah : Pengetahuan fisika dengan memahami maksud-maksud wahyu dari wujud kehidupan dan manusia dalam dunia fisika. Peranan akal adalah membahami dunia fisika dan kandungan fithrah (kreasi) alam berupa tabiat-tabiat, hubungan dan posibilitas dalam sorotan pemberian wahyu mengenai tujuan kehidupan dan kriteria pergerakannya. Peranan akal Muslim adalah membangun dunia fisika dan khilafah di alam ini sesuai arahanarahan iradah dan tujuan ilahiyyah, yang saling menyempurnakan bersama hal-hal yang diciptakan Allah dalam jiwa dan alam berupa fithrah dan sunan, untuk sampai kepada jalan-jalan keselamatan yang lurus (1994 : 181). Penyatuan antara wahyu dan akal dalam menemukan ilmu atau pengetahuan, dimaksudkan untuk menemukan hakekat yang sesungguhnya ilmu itu sendiri. Dalam Islam tidak ada pembedaan antara
15
wahyu dan akal, sebab berjalannya akal harus dikendalikan oleh wahyu. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada pembedaan antara ilmu ilahi dan bukan ilahi. Pembedaan ini, menurut Qadir (2002 : 15) adalah menyesatkan. Selanjutnya Qadir menjelaskan : Ilmu adalah ilmu, seperti sudah dikatakan di atas, tidak peduli apa isinya. Dalam pengertian itulah Nabi menyuruh umat Islam agar mencari ilmu di mana saja, karena ilmu adalah milik mereka yang telah hilang. Dalam hal ini, Nabi tidak membedakan antara ilmu yang ilahi dan ilmu yang tidak ilahi. Ia menginginkan agar umat Islam memiliki ilmu di manapun ilmu bisa diperoleh, oleh karena itu ilmu adalah milik mereka yang telah hilang untuk sementara (2002 : 15). Para filsuf Muslim membedakan antara ilmu yang berguna dan ilmu yang tidak berguna. Golongan ilmu yang berguna menurut mereka adalah yang tergolong ilmu-ilmu duniawi, seperti : Kedokteran, Fisika, Kimia, Geografi, Logika, Etika, dan disiplin ilmu keagamaan. Sedangkan ilmu yang tidak berguna adalah ilmu sihir, alkemi, dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan). KEBENARAN MENURUT FILSAFAT ISLAM Pada bagian terdahuluan disampaikan bahwa lapangan akal adalah pengetahuan fisika, dengan menguji kebenaran para rasul serta kebenaran dan keterpercayaan sandaran wahyu yang disampaikan. Hal ini bahwa kebenaran dalam Islam dapat ditemukan dengan merujuk pada kebenaran wahyu dan kebenaran akal. Dalam perspektif konvensional, rumusan substantif tentang kebenaran (truth) ada beberapa macam. Muhadjir
16
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
mengutip pandangan Michael Williams, kebenaran setidaknya mencakup 5 teori, yaitu kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik, dan kebenaran proposisi. Oleh Muhadjir ditambahkan satu teori kebenaran, yaitu kebenaran paradigmatik (1998 : 13). Kebenaran proposisi adalah suatu kebenaran yang diperoleh bila proposisi-proposisinya memang benar, yaitu memenuhi persyaratan proposisinya. Kebenaran korespondensi adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu yang lain. Kebenaran koherensi berarti ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hirarkhi lebih tinggi. Kebenaran struktural paradigmatik adalah kebenaran yang mengandung (momot) kesesuaian antara observasi dengan paradigma; memperluas skopa paradigma menjadi mencakup fenomena tambahan; menetapkan nilai universal konstan; dan menetapkan alternatif cara menerapkan paradigma pada telaan baru; Kebenaran performatif ditemukan bila pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada di baliknya, dan kebenaran pragmatik adalah kebenaran yang mengkorespondensikan antara idee dengan fakta. Dalam perspektif Islam, maka kebenaran dapat diperoleh jika manusia dapat mengungkap wahyu, dan akal dapat membaca alam. Alam sebenarnya adalah wahyu Allah, yang biasa di sebut dengan ayat kauniyyah. Jadi, ayat merupakan hal penting dalam menemukan kebenaran. Ilmu dalam Islam dapat ditemukan ketika manusia mampu menangkap ayat-ayat Allah. Ayat Allah merupakan : isyarah, bukti,
hudan dan rahmah kepada kehidupan keseharian, manusia dalam hubungan dengan alam, sesama manusia, dan dalam hubungan dengan Allah. Nash kadang menampilkan bukti faktual, kadang memberikan isyarah yang seharusnya mendorong kita untuk meneliti, mengadakan eksperimen untuk menemukan hukumnya atau prinsipnya atau menampilkan teorinya. Nash kadang memberikan kepada kita hudan atau petunjuk bijak yang seharusnya mendorong kita untuk mengembangkan sistem, organisasi, atau pelaksanaan dalam bidang ekonomi, hidup kemasyarakatan, dan lainnya. Kebenaran wahyu memberikan pedoman bagi kita dalam melakukan muamalah antar manusia, yang sosok dan operasionalisasinya diserahkan sepenuhnya kepada manusia, substansial dan instrumental bersifat indeterministik. Kebenaran muamalah hubungan manusia dengan Allah dan kebenaran ubudiyah hanya dapat dijangkau melalui penafsiran kita yang pasti tidak akan pernah sampai kepada pemahaman hakiki dari kebenaran kebijakan Allah. Hal demikian ini berarti insaniyah indeterministik, Ilahiyah deterministik. Manusia diwajibkan berfikir menghayati kebijakan tertinggi dari Allah; manusia perlu mencoba menjangkau hakiki kebenaran kebijakan Allah, meskipun tidak pernah akan sampai. Manusia akan menghasilkan dari upaya mempersepsi dan menafsirkan. Oleh karena itu, menemukan kebenaran dari manusia tidak dapat lepas dari model penemuan kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, dan kebenaran etik, serta kebenaran muamalah manusia dengan alam dan antara manusia dalam arti Ilahiyah dan insaniyah dapat terus kita kembangkan
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
dengan menggunakan nash sebagai ayat, isyarat, hudan ataupun rahmah. Hal ini berarti bahwa dari keseluruhan kawasan tersebut manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkannya, sejauh tetap dijaga koherensinya dengan nilai Ilahiyah integratif. Kebenaran yang demikian ini menurut Muhadjri disebut “sebagai kebenaran monistik multifaset” (2000 : 274) MEMBANGUN TERPADU
KONSEP
ILMU
Kebenaran dan keutuhan merupakan ciri suatu ilmu. Kebenaran
dan keutuhan baru dapat dicapai apabila diperoleh dan dikembangkan berdasarkan rujukan yang benar. Di dalam Islam ada tiga rujukan yang dapat dijadikan dasar menemukan kebenaran dan keutuhan, yaitu : alQur’an; as-Sunnah dan al-Kaun. Ketiga rujukan ini saling melengkapi. Ketiga sumber rujukan kebenaran inilah yang juga sebegai sumber informasi, ilmu dan hukum yang lengkap dan benar. Gambaran tentang hubungan keterpaduan ilmu dalam Islam dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1 : Keterpaduan Ilmu Allah
ALLAH
AL-KAUN
AL-QUR’AN
AL-SUNNAH
AKAL MANUSIA FUAD
ILMU ALLAH UNTUK MANUSIA
SYARI’AT ISLAM
SCIENCE (IPA/IPS)
17
TEKNO LOGI
SENI (ART)
18
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
Islam adalah agama yang dibangun di atas realitas kebenaran yang sebenar-benarnya, yang berpatokan pada bukti dan argumentasi ilmiah, berdasarkan wahyu Allah, yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Bidang ilmu yang dipelajari manusia, yang secara general terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu syari’at agama (Islam), sains, teknologi, dan seni. Keempat bidang ini dapat dikembangkan salah satu atau sebagian oleh Perguruan Tinggi. Hendaknya dalam mengembangkan bidang tersebut, perguruan tinggi mendasarkan pada tiga rujukan tersebut. Dengan demikian, empat kelompok ilmu tersebut akan menyatu menjadi satu kesatuan ilmu yang benarbenar utuh dan lengkap atau integrated knowledge. Dengan demikian, seluruh ilmu yang berhasil dibangun oleh manusia akan menjadi islami. Hal ini berari, bahwa realitas kebenarannya memperoleh nilai spiritual yang akan membawa keseimbangan atau kemajuan yang diperolehnya sesuai dengan fitrah dan tuntunan Allah. Ilmu yang demikianlah yang mampu menjawab dan menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi manusia dengan sebaik-baiknya. Konsepsi ilmu terpadu adalah bersifat fundamental, karena akan membuahkan keseragaman pemikiran dalam diri seseorang yang dilandasi oleh kekuatan iman. Jika ini dapat dilakukan maka umat Islam memiliki identitas yang sangat mengagumkan, yaitu shibghatullah. Melalui konsepsi ilmu terpadu merupakan ciri khas islami, sekaligus sebagai identitas umat Islam dalam berilmu dan berfikir. Secara operasional, daya pikir akan terpadu dengan daya dzikir tanpa kesulitan, bahkan akan memmberikan
kenikmatan batin dalam hati orang yang bersangkutan. Dewasa ini, banyak kalangan yang mencoba untuk mengkaji dan mempelajari ilmu terpadu. Sebagai contoh adalah, upaya mengajarkan ilmu ekonomi Islam. Pengajaran ilmu ekonomi Islam merupakan keterpaduan antara konsep teori ekonomi, dengan berlandaskan pada Alquran, hadits dan hukum Islam. GAGASAN PENGEMBANGAN ILMU EKONOMI ISLAM TERINTEGRASI 1. Model Pengembangan Ilmu Islami Ilmu ekonomi Islam adalah contoh dari bagunan keterpaduan ilmu. Sebab, dalam pengembangannya, selain harus memperhatikan bagaimana kaidah wahyu Allah dan sunnah Rasul yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Juga harus dicermati mengenai al-kaun yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana model pengembangan yang perlu diterapkan untuk mendapatkan ilmu yang Islami? Ada tiga model yang ditawarkan untuk diimplementasikan dalam pengembangan ilmu yang Islami, yaitu : 1. Model Postulasi 2. Model pengembangan Multidisipliner dan Interdisipliner 3. Model pengembangan RefelektifKonseptual-Tentatif-Problematik (Muhadjir, 2000 : 286 – 288). Secara singkat Muhadjir menjelaskan sebagai berikut : Model Postulasi, adalah model ini dibangun dengan kerangka deduksi. Pijakannya berawal dari konsep idealisasi. Model ini berangkat dari konsep idealisasi, yang meliputi : konsep idealisasi teoritik, konsep idealisasi moralistik, dan konsep idealisasi transendental.
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
Model postulasi dalam ekonomi Islam dapat masuk dalam konsep idealisasi transendental. Karena bertolak dari aksioma, postulat, hukum, nash, atau konstruksi teoritik holistik membangun keseluruhan sistematika disiplin ilmu itu. Model ini akan lemah konstruksinya bila postulasinya dirumuskan atau dibangun secara apriori atau spekulatif; dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian empirik atau lewat proses fikir reflektif. Sebagai contoh, model ini diterapkan oleh Haider Naqvi dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam, dengan mendasarkan pada empat aksioma, yaitu : unity; equilibrium; free will, dan responsibility. Artinya sistem ekonomi Islam dibangun dengan tujuan moral; keselarasan; keadilan; kebebasan yang tidak merusak keselarasan serta keadilan dan tanggungjawab. Kejernihan akal budi memungkinkan manusia menangkap makna integral dari moralitas Qur’an dan sunnaturrasul. Perlu disadari bahwa ada dua pemaknaan, yaitu pemaknaan substansif serta instrumentatif, dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil. Model kedua adalah Model Pengembangan Multidisipliner dan Intersisipliner. Model ini adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin dan berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lain. Untuk membangun teori hukum Islam, seorang ahli hukum berkonsultasi pada ahli kebudayaan, ahli sosiologi, ahli hukum, dan lainnya. Keputusan konsep mana yang diambil terserah kepada ahli hukum yang bersangkutan. Inilah yang dimaksud pengembangan multidisipliner.
19
Adapun yang dimaksud dengan kerja interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan secara bersama atau membangun suatu teori atau meralisasikan suatu proyek. Kerja multidisiplin membangun disiplin ilmu ekonomi yang Islami, misalnya, akan tepat bila yang bersangkutan sekaligus memiliki kompetensi dalam disiplin ilmu ekonomi dan ilmu agama. Dengan kompetensi yang mencakup tersebut merupakan modal terbaik untuk membangun suatu disiplin ilmu menjadi Islami. Model pengembangan ketiga adalah Model Pengembangan Reflektifkonseptual-tentatif-problematik. Model ini merupakan paduan antara konsep idealisasi dan multidisipline serta interdisipliner. Oleh karena itu, model ini dapat bergerak merentak dari konsep idealisasi teoritik, moralistik, sampai transendental secara reflektif. Model ini menuntut peneliti untuk berangkat dari konstruksi teoritiksistematik ilmu yang berkembang. Bagian-bagian dilematik, inkonklusif, dan kontroversial dikonseptualisasikan secara reflektif dan disajikan dalam berbagai alternatif atau disajikan sebagai masalah yang belum konklusif. Beragam keraguan tersebut dikonsultasikan dengan nash. Model ini dapat dioperasionalkan sebagai berikut : Pertama, dikonseptualisasikan lewat telaah empirik, lewat abstraksi, lewat penjabaran yang dilangkahkan mondarmandir antara induksi dan deduksi, berangkat dari dasar teoritik atau sistematik ilmu sendiri. Tetapi konseptualisasi tersebut jangan ditampilkan konklusif, melainkan ditampilkan inkonklusif : mungkin problematis, mungkin tentatif, mungkin hipotetik, mungkin bentuk lain yang
20
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
membuka peluang alternatif, nuansif, atau open ended. Kebenaranya masih bersifat probabilistik. Bangunan teoritik model ketiga ini sama dengan model pertama, yaitu tampilnya sosok konstruksi teoritik sebagai bangunan pokok. Bedanya model pertama mendudukan hukum, nash, atau tesis sebagai payung untuk menetapkan hasil empirik sesuai tidak dengan bangunan pokoknya. Ketidakcocokkan tersebut, bila menggunakan kalkulus jenis empirik ditolak. Model ketiga mendudukkan tesis, nash, atau lainnya sebagai petunjuk, acuan atau kriteria yang ditampilkan dalam bagian telaah yang relevan. 2. Celah-celah Ilmu Ekonomi yang perlu Dikembangkan Boleh dikatakan di sini, bahwa metodologi bagi masing-masing ilmu itu sama saja, dengan perbedaan kecil sesuai dengan sifat atau ilmu apa yang diperlukan. Metodologi ini terdiri dari proses-proses dengan urutan fasenya, yaitu : fase pertama ontologi, fase kedua epistimologi dan fase ketiga adalah aksiologi. Dalam penyusunan dan pengembangan ilmu Ekonomi Islam perlu diperhatikan : 1. Perekonomi Islam yang deskriptif atau empirik disusun atas fakta-fakta yang terkumpul yang berkaitan dengan masalah atau aspek spesifik. Hipotesanya perlu diuji terhadap kenyataan agar suatu teori ekonomi Islam yang dihasilkan itu absah. 2. Asas-asas atau teori ekonomi Islam yang dipergunakan untuk menggeneralisasikan tingkah laku ekonomi. 3. Ilmu politik ekonomi Islam yang dipergunakan untuk mengawasi
atau mempengaruhi tingkah laku ekonomi dan akaibat-akibatnya (Muhammad, 2001 : 112 – 121). Ekonomi merupakan suatu studi tentang perilaku manusia yang berkaitan dengan pengalokasian sumber daya dalam rangka memenuhi kebutuhan. Bagaimana manusia memenuhi kebutuhan pengalokasian sumber daya tersebut sangat tergantung pada sistem nilai yang mengatur perilakunya. Ketentuan nilai menganai benar dan salah, baik dan buruk. Akan tetapi dasar penilaian nilai tersebut dibuat untuk mengatur perilaku manusia yang bervariasi antara individu dengan masyarakatnya. Demikian pula, turunan prinsip ekonomi yang digunakan untuk memecahkan persoalan ekonomi tergantung kepada kepercayaan dan ideologi sesseorang. Sumber kebenaran prinsip ekonomi adalah didapatkan dari berbagai cara, seperti pengalaman, hukum alam dan wahyu. Dengan demikian secara legal, etika dan keilmiahan ajaran Alqur’an sebagai bagian integral dalam bangun model ekonomi. Dengan kata lain, ingin membangun teori ekonomi Islami yang berorientasi pada shari’ah atau membangun teori ekonomi yang sarat nilai dan readeble bagi siapapun yang terkait dengan kajian teori ekonomi. Upaya untuk menggolongkan nilai ilmiah nilai-nilai Alqur’an dalam bangunan teori bukan sesuatu yang baru di kalangan penulis Muslim. Sebagai contoh, tujuan pengeluaran untuk hidup dalam Islam menurut Fahim Khan adalah untuk memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat (Khan, 1989 : 69). Ada dua komponen dalam kendala pengeluaran (expenditure constraint). Pertama, to purchase essential goods to fulfill his private and
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
family needs. Kedua, he spends to satisfy the needs of others with the expectation of rewards in the Hereafter (Rosly, 1995 : 60). Hal pertama ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup di dunia, dan yang kedua dikeluarkan untuk Allah. Menurut fungsi utilitas Metawally bagi seorang Muslim tergantung pada tingkat profit dan pengeluaran untuk infaq dan shadaqah (Metawally, 1989 : 131-138). Dalam mainstream ekonomi, variabel-variabel yang sarat nilai dipandang sebagai kendala model maksimalisasi kepuasan (utility maximizing). Menurut Heilbroner dan Thurow, utility maximizing behaviour is subject to three main constraints, namely society, institutions and nature (Heilbroner & Thurow, 1983 : 85-92.). Kendala dalam masyarakat direpresentasikan dalam sistem ekonomi yang memuat tentang aturan dan prinsip mengenai perilaku masyarakat. Kendala alamiah dipihak lain akan menjamin bahwa penciptaan kesejahteraan tidak mungkin tidak tanpa bekerja dan upaya. Usaha lain untuk memperkenalkan nilai Alqur’an dalam metodologi ekonomi adalah lebih meyakinkan. Menurut Amran Khan istilah nilai Alqur’an ini disebut dengan the hard core (Khan, 1992 : 93-100). Sharif menyebutnya sama dengan prinsip-prinsip fundamental. Zarqa mengidentifikasi nilai Alqur’an dalam membangun model melalui peran penilaian nilai dalam teori ekonomi. Ini meliputi aktivitas pemilihan topik penelitian melalui pemilihan variabel dan asumsi, memilih metode dan memlih alat serta tujuan (Zarqa, 1992 : 93-100). Naqvi memperkenalkan nilai Qur’ani dalam empat aksioma ethika yang disebut : tauhid, adil, kebebasan
21
bertindak dan pertanggungjawaban (Naqvi, 1981). Usaha lain menunjukkan bagaimana hasil empirik dan nilai keilmiahan diterapkan dalam bangunan teori Islami yang tanpa ada masalah. Anwar menyarankan bahwa jika teori dan bukti atau data terdapat perbedaan, maka sumber masalah, seperti : data base, pelaksanaan penelitian (Anwar, 1988). Inilah yang disebut oleh Moten dan Bajulaiye-Shasi dengan istilah low-level assumptions yang dapat diuji dengan dua kriteria alasan dan bukti empirik (Moten &. Shasi, 1988 : 285-305). Perbedaan, asumsi tingkat tinggi yang berasal dari nilai Qur’ani adalah tidak dapat diuji, karena Qur’an sebagai sumber kebenaran dalam islam. Walaupun kedua pendekatan tersebut memberikan petunjuk atau acuan umum bagaimana menghasilkan modeling ekonomi Islami, mendefinisikan asumsi tingkat rendah dan tingkat tinggi dan bagaimana isi empiris dihubungkan dengan apa yang disampaikan di atas. 3. Syari’ah dan Prinsip Ekonomi dalam Islam Interaksi Qur’ani dan nilai keilmuan dalam economic modeling sangat berhubungan dengan sifat nilai dalam Qur’an dan ilmu pengetahuan. Nilai merupakan judgement mengenai karakter atau perilaku manusia. Pengetahuan tentang benar dan salah untuk hal ini sumbernya adalah wahyu. Di lain pihak, ilmu pengetahuan mengatahakan bahwa sumber kebenaran adalah arti pengalaman itu sendiri tetapi ini tidak secara langsung mengatakan bahwa nilai ilmu pengetahuan adalah bertentangan dengan nilai Qur’ani. Kenyataannya, Qur’an menyerukan kepada orang-
22
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
orang yang mengetahui bahwa manusia harus sadar tentang ciptaan Allah dan kehendak-Nya. Ketika ilmu ekonomi [dianggap] sebagai ilmu yang mengkaji perilaku manusia, ilmu ini sangat berhubungan dengan Qur’an dan manusia dalam pancaran sinar nilai etika-legal yang terdapat dalam Qur’an. Inilah yang disebut dengan hukum syari’ah (Ahkam Shari’ah) yang akan digunakan untuk merancang dimensi etika-legal mengenai nilai Qur’an yang berhubungan dengan subyek pokok yaitu manusia. Prinsip merupakan kaidah fundamental dan kode yang mengatur masyarakat agar tidak terjadi pelanggaran hukum dan destruksi. Ini berarti bahwa, hukum syari’ah merepresentasikan sumber dari prinsip-prinsip yang diformulasikan untuk mengarahkan perilaku manusia. Demikian halnya, prinsip ekonomi merupakan kaidah dan aturan yang diturunkan dari hukum syari’ah untuk mengarahkan pengambilan keputusan ekonomi dalam rangka pemecahan problem ekonomi. Di dalam Islam, sumber prinsip ekonomi adalah Syari’ah. Syari’ah adalah prinsip yang terungkap (revealed principles) dan ini menjadi acuan prinsip ekonomi dalam Islam merupakan suatu keunikan dan perbedaan yang ada dalam norma ekonomi konvensional. Sebagai contoh, dalam ekonomi konvensional, prinsip mengenai perilaku konsumen dapat diperoleh melalui proses deduksi dan induksi. Oleh karena itu, prinsio atau teori permintaan yang menyatakan bahwa harga dan permintaan atas barang-barang tertentu adalah saling mempengaruhi. Kaidah ini juga disebut teori ekonomi. Hal Ini berarti, prinsip ekonomi dalam Islam dapat dibentuk dalam dua
macam, yaitu : revealed principles dan observed principles. Hal pertama menunjukkan pada prinsip ekonomi yang berasal dari nilai Qur’ani atau ahkam al-Qur’an dan diopersionalkan dalam bentuk hukum syari’ah. Ini adalah tempat dimana sistem ekonomi itu dapat diterapkan. Akan tetapi observed principles menunjuk pada prinsip ekonomi yang ditunjang dengan adanya pemikiran (reasioning) dan pengalaman yang umumnya dikenal sebagai teori ekonomi. Sejak itulah pemikiran dan pengalaman menjadi dua sumber universal pengetahuan dan Qur’an memberikan dasar tentang hal ituxi, inilah yang biasa disebut dengan istilah hukm tabi’ atau hukum alam. 4. Nilai Qur’ani dan Hukum Syari’ah Qur’an berisi prinsip-prinsip tentang perilaku manusia. Prinsip ini memberikan ajaran tentang aqidah, etika dan moral (akhlak), ritual, pahala atau hukuman. Yang lainnya memuat tentang hukum dan atauran tentang hubungan Tuhan, manusia dan masyarakat dan akhirnya sejarah tentang peradaban masa lalu. Hukum syari’ah didasarkan pada prinsip atau nilai Qur’ani. Menurut ahli hukum Islam, hukum syari’ah merupakan perintah Allah yang berhubungan dengan aksi atau tindakan semua Muslim (mukallaf), seperti kewajiban, larangan, sunnat, makruh atau mubah. Menurut Imam Shatibi, tujuan syari’ah (maqasid shari’ah) adalah menjaga kesejahteraan umum masyarakat yang secara tidak langsung menyatakan bahwa hukum syari’ah itu dirancang oleh Allah untuk manusia itu sendiri. Perlindungan tersebut ditujukan pada masalah : agama, jiwa; akal; keluarga; dan harta. Isi etika dan hukum Qur’an yang akan dibicarakan berikut ini adalah : Hukum
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
‘Iqtiqadiyah; Hukum Akhlak; dan Hukum Amaliah (Yahya dan Factchurrahman, 1986; ash-Shiddieqy, 1993). Hukum ‘Iqtiqadiyah adalah berkaitan dengan kepercayaan atau aqidah. Inilah yang biasa disebut rukun Iman. Hukum Akhlak menunjuk pada ajaran etika Islam yang konsep intinya adalah berupa taqwa. Dalam hal ini setiap orang harus merepresentasikan sifat : taqwa, adil, ihsan, sidiq, zuhud, amanah, sabar, syukur, dsb. Hukum Amaliah dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu : hukum ‘ibadah dan hukum mu’amalah. Di dalam Islam sumbersumber hukum meliputi : Alqur’an; Sunnah; Ijma’; dan Ijtihad atau Qiyas. 5. Islam dan Modeling Ekonomi Suatu teori merupakan representasi abstrak dari dunia nyata. Teori digunakan untuk mengarahkan para agent ekonomi untuk memecahkan problem ekonomi dan sekaligus untuk meramalkan hasil ekonomi pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, teori dibuat sebagai prinsip atau hukum dan dengan demikian dapat secara luas digunakan untuk mengarahkan pada pembuatan keputusan. Sebagaimana contoh yang terkenal, yaitu teori atau hukum permintaan, bahwa harga barang dan jumlah barang yang diminta akan selalu berhubungan. Konstruksi teori ekonomi dalam ekonomi konvensional banyak dibicarakan dalam buku-buku dasar ekonomi. Hal ini dimulai dengan mengembangkan suatu model yang terdiri atas asumsi-asumsi. Suatu model merupakan penyederhanaan realitas dan bukan berarti suatu kebenaran absolut untuk menjelaskan perilaku ekonomi. Dengan asumsi inilah sehingga dapat dilakukan dan disusun berdasarkan keadaan senyatanya. Isu
23
sentral seperti inilah yang banyak diperdebatkan dalam metodologi ekonomi. Sebagai contoh, Samuelson mengatakan bahwa “asumsi harus dapat diuji secara empirik” (Samuelson, 1947 : 65), sementara Friedman mengatakan bahwa “empirical proofs are not necessary as long as the theory can make accurate prediction” (Friedman, 1953). Melalui model ekonomi, hipotesis tertentu dapat diuji secara empirik. Demikian pula, model dapat juga digunakan untuk meramalkan. Tetapi ketika peramalan menemukan konflik dengan kenyataan, teori tersebut dapat ditolak atau beberapa modifikasi dapat dilakukan dengan membuat model. Modifikasi ini dapat mencakup perumusan ulang model variabel, asumsi dan hipotesis yang mengarahkan pada kreasi model baru. Ini berarti, bahwa prinsip ekonomi dihasilkan dari pengalaman itu sendiri dan kurang memperhatikan model asumsi. Dalam beberapa prinsip ekonomi Islam prinsip dapat dihasilkan dari shari’ah. Prinsip ini merupakan representasi dari hard core ekonomi Islam. Kita akan menyebutnya sebagai first-level principle. Sumber prinsip ekonomi lainnya dalam teori ekonomi Islam adalah yang dikenal dengan second-level principle. Sejak teori ekonomi merupakan suatu studi tentang perilaku manusia, konstruksi teori ekonomi Islam diharapkan mencakup elemen hukum syari'’ah. Pertanyaannya sekarang adalah, apa peranan hukum shari’ah dalam kaitannya dengan bangunan model? Bangunan teori dalam Islam, adalah berkaitan dengan upaya peneliti dalam mengembangkan rancangan ekonomik dari ilmu ekonomi yang tidak ditemukan dalam Qur’an. Qur’an
24
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
memberikan legal dan juga prinsip etik tentang seperti perilaku konsumen. Sebagai contoh, dalam istilah hukum, konsumer adalah dilarang melakukan transaksi yang mengandung unsur gharar. Dalam batasan etika (akhlak), konsumer dianjurkan untuk melakukan pengeluaran yang berada di tengahtengah. Akan tetapi, Qur’an tidak memberikan teori konsumsi dan investasi. Qur’an tidak menceritakan tentang teknik peramalan untuk memproyeksikan keadaan ekonomi, yang merupakan unsur penting dalam model makroekonomi dan rekayasa ekonomi. Qur’an hanya memberikan landasan dasar dan prinsip umum tentang perilaku pembuat keputusan ekonomi. Sebagaimana diterangka di atas, bahwa suatu teori merupakan suatu hubungan kausal antara dua atau lebih variabel. Teori merupakan suatu hubungan logis antara fakta. Seperti halnya teori ekonomi yang mencakup tentang fakta sistematik yang merupakan ciri khusus perilaku manusia, hal demikian ini tidak dapat dipisahkan dari shari’ah. Ilmu pengetahuan tidak hanya bersumber dari pengetahuan dalam Islam. Pengetahuan ilmiah menurut AlGhazali didapat dari dua sumber, yaitu : ‘ain-ul-yaqin dan ‘ilm-ul-yaqin. Hal pertama menunjuk kepada pengetahuan yang diperoleh dari persepsi, yang disebut material (jasmani) dan kenyataan (haqiqi), sementara yang kedua didasarkan pada pemikiran dan penilaian manusia (khayali dan ‘aqli) (Umaruddin, 1970 : 112-129). Tetapi, metode ilmiah adalah kurang sempurna ketika pengetahuan mengenai prinsip perilaku manusia memasukkan disiplin seperti ekonomi. Oleh karena itu, untuk menentukan peranan pokok ilmu pengetahuan
dalam bidang ekonomi adalah menyesatkan ketika Islam yang dikenai. Inilah sebabnya sumber pengetahuan yang tertinggi dalam Islam atau Haqqul-Yaqin berada dalam wahyu yang akan dijadikan aturan dan pedoman tentang perilaku ekonomi (Ibid). Akan tetapi metode ilmiah, tetap penting dalam konstruksi teoritik dalam Islam dan akan memasukkan peran syari’ah dalam pemodelan ilmu. 4. Interaksi Hukum Syari’ah dan Hukum Tabi’ Pertama, penjelasan tentang hukum tabi’ adalah hal yang perlu dilakukan. Makna literal dari tabi’ atau tabi’at adalah alamiah (Elias and Elias, 1976). Ini berarti bahwa, hukum tabi’ dapat diklasifikasikan menjadi dua. Bentuk pertama menunjuk pada “the innate behaviours of all creations (Rosly, 1995 : 69), oleh al-Farabi diklasifikasikan sebagai al-‘ilm al-tabi’i. Hukum ini menurut Osman Bakar menjelaskan tentang : principles of natural bodies, principles of the elements and simple bodies, generation and corruption of natural bodies, reaction with element undergoes to form compound bodies, properties of compound bodies, minerals, plants, animal, including man (Bakar, 1993 : 123). Pada manusia dan binatang misalnya, ada perilaku yang menunjukkan kehendak untuk makan, bersahabat, mencintai, kekuatan, dsb. Akan tetapi, dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini perlu tambahan bimbingan dari petunjuk yang dibatasi dengan sistem nilai. Sebagai contoh, hasrat untuk makan akan dihasilkan dari perilaku transaksi ekonomi. Hasrat untuk mendapatkan makanan dan aktivitas mengkonsumsi makanan merupakan hukm tabi’ tipe pertama. Sistem nilai merupakan aturan perilaku. Dalam pandangan Islam,
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
aturan perilaku ini dikenal dengan syari’ah. Hukum tabi’ tipe kedua dihasilkan [muncul] ketika seseorang hendak menemukan apakah faktor yang menentukan permintaan akan makanan. Tipe hukum tabi’ ini tergantung pada kenyataan dan beberapa elemen perilaku yang didasarkan syari’ah dan oleh karena itu, hukum ini sebagai konsekuensi munculnya gejala. Dengan kata lain, hal tersebut didasarkan pada hasil dari perilaku individual. Berdasarkan pada komponen konsekuensial hukm tabi’, seseorang dapat mengolah informasi yang lebih mengenai perilaku konsumen melalui konsep ekonomi, seperti : harga, pendapatan kurve elastisitas yang akan bermanfaat dalam penjualan dan pemasaran. Lebih-lebih lagi dalam ekonomi, ada gejala yang menjelaskan perilaku dan karakteristik proses produksi, seperti : hukum tentang diminishing returns, opportunities cost, economies scale, return to scale, specialization dan masih banyak lagi. Gejala ini merupakan manifestasi hukum alam yang berkaitan dengan sistem nilai dalam produksi. Sebagai contoh, seperti peningkatan produksi, biaya per unit akan turun dan naik lagi. Dalam membangun model, fenomena tersebut sering disebut dengan asumsi struktural dan melekat dalam proses produksi. Perusahaan akan mengetahui seberapa banyak dan apakah kombinasi masukan digunakan dalam produksi pada harga yang relatif khusus. Ini berarti bahwa mereka membutuhkan beberapa informasi mengenai keluaran elastisitas atas masukan, masalah homogenitas, elastisitas barang pengganti, dsb. Jadi, hukum tabi’ atau nilai ke-ilmiah-an dalam kenyataannya dapat
25
dilengkapkan kepada syari’ah untuk mengkonstruksikan teori ekonomi Islam. Sebagai contoh, dengan asumsi bahwa ekonomi Islam dapat mencegah timbulnya resesi. Para peneliti membangun model investasi untuk melihat jika pengeluaran investasi dapat didorong melalui alat-alat fiskal, yang berarti dengan memberikan insentif yang lebih kepada perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan proyek yang berdasarkan keadilan, yang diharapkan dapat mendorong timbulnya ekonomi full-employment. Jika riba dilarang, variabel yang diharapkan mempengaruhi pengeluaran investasi adalah tingkat laba. Lebih khusus lagi, tingkat laba dipertimbangkan [dianggap] lebih berpengaruh terhadap investasi dari pada variabel lain sebagai out-putnya, pajak, dsb. Maka, hipotesis yang ada menyatakan “ada hubungan langsung antara investasi dengan laba”. Mungkin, fungsi sederhana atas investasi berdasarkan keadilan dan model regresinya dapat dirumuskan sebagai berikut : Fungsi investasi I = f(p) Dimana I = pengeluaran investasi p = tingkat keuntungan Apabila hubungan variabel dalam fungsi tersebut diterapkan dalam analisis regresi maka model regresinya adalah sebagai berikut : Model Regresi : I = bo + b1p + uo Hipotesis : b1 > 0 Pada model regresi ini, b1 diharapkan menunjukkan angka atau korelasi positif sehingga teknik berdasarkan keadilan yang diharapkan mendorong pengeluaran untuk investasi. Perusahaan yang membuat [menemukan] laba selama masa resesi akan tetap melakukan investasi melalui investasi berbasis-keadilan atau sistem
26
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
musyarakah dimana resiko bisnis akan dibagi kepada seluruh pihak yang terlibat. Sistem zakat juga berperan penting untuk menjamin rendahnya likuiditas dalam sistem perbankan ketika zakat dikumpulkan dari aset bersih yang sedang berjalan. Jadi, ketidakmauan bank untuk melakukan investasi pada bidang-bidang yang menarik atas cadangan kas yang dimiliki hanya akan berakhir dengan mengurangi aset setiap waktu. Akan tetapi, hipotesis di atas hanya akan terjadi berdasarkan asumsi tertentu. Tanpa adanya asumsi, hipotesis tersebut tidak mungkin memisahkan faktor penting dari faktor yang dipertimbangkan tidak berarti bagi model tersebut. Jika asumsinya salah maka tidak dapat digunakan untuk menguji hipotesis. Dalam bangunan teoritis Islami, peranan asumsi adalah sepenting dengan yang berlaku dalam norma ilmu konvensional. Pada model investasi, beberapa asumsi dapat dibuat melalui dua cara, yaitu : melalui pendekatan syari’ah dan pendekatan pengamatan, yang diasumsikan sebagai berikut : Tipe 1 : Asumsi yang didasarkan hukum syari’ah i) Tidak ada pembiayaan yang didasarkan pada bunga ii) Sistem zakat diterapkan pada sektor keuangan iii) Tidak ada gharar dalam transaksi Tipe 2 : Asumsi yang didasarkan pada pengamataman (Hukum Tab’i) i) Terjadi persaingan sempurna ii) Perusahaan dapat memperoleh modal sesuai harga pasar iii) Sistem bagi hasil dan rugi diterapkan pada seluruh institusi keuangan iv) Investasi berdasarkan keadilan atau musyarakah menunjukkan banyaknya pengeluaran bisnis,
yaitu : musyarakah/mudharabah harus lebih besar dari pada instrumen murabahah, baibithaman-ajil dan ijarah (Muhamad, 2001 : 119). Dengan didasarkan pada hukum syari’ah, asumsi Tipe I bukan subyek untuk mengubah bahkan jika hasil lapangan menunjukkan bahwa b1 < 0. (Akan tetapi, jika b1 < 0, penemuan ini dapat digunakan untuk menyesuaikan insentif fiskal atau moneter yang lebih bagi sektor swasta untuk menambah besarnya pengeluaran investasi). Pada praktek konvensional, hasil yang kontradiksi di atas, perlu penjelasan dan ini sering kali berhubungan dengan asumsi yang salah. Oleh karena dalam bangunan teori [ekonomi] Islam, didasarkan pada dua hukum, yaitu : hukum syari’ah dan hukum tabi’ dalam masyarakat, maka untuk membantu menjelaskan dan meramalkan aktivitas ekonomi yang mengandung nilai dan perilaku ekonomi yang didasarkan pada hukum syari’ah dan hukum tab’i dalam masyarakat KESIMPULAN Islam adalah agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk selalu mencari ilmu. Karena ilmu sebagai kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan merupakan kematian dan kegelapan. Itulah sebabnya, Al-Qur’an memandang ilmu tidaklah bertentangan dengan iman. Namun, ia berjalan bersama iman secara beriringan. Antara ilmu dan iman tidak bertolak belakang sebagaimana dikenal di Eropa pada masa zaman pertengahan. Ilmu mendukung keimanan dan iman membuat berkah ilmu.
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
Hakikat ilmu (pengetahuan) dalam Al-Qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran intuisi yang bersumber pada sumber wahyu, akal dan alam sehingga menghasilkan ilmu yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah dan petunjuk bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Al-Qur’an banyak mengandung nilai empirik serta isyarat yang diberikan kepada manusia untuk mempelajari, memahami, dan mengembangkan ilmu baik melalui ayat yang tertulis maupun ayat yang terbentang di alam semesta, sehingga terbangun ilmu yang terintegrasi. Hal
27
demikian inilah yang menimbulkan kebenaran hakiki. Dengan demikian, pengembangan ilmu (seperti ilmu ekonomi) yang ada ini harus beranjak dari apa yang tekandung dalam wahyu (ayat kauliyyah) dan alam fisik (ayat kauniyyah). . Oleh karena dalam bangunan ilmu [ekonomi] Islam, didasarkan pada dua hukum. Hukum syari’ah berangkat dari wahyu dan hukum tabi’ berasal dari alam fisik. Kedua hukum digunakan untuk membantu menjelaskan dan meramalkan aktivitas ekonomi yang mengandung nilai dan perilaku ekonomi yang didasarkan pada hukum syari’ah dan hukum tab’i dalam masyarakat.
28
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
INDEX i
Ketika manusia melihat bidang industri dan teknologi telah mengalami kamajuan dan perkembangan yang menakjubkan. ii Memberi kekuatan dan tenaga pada kita, memiliki nilai praktis, tetapi kita tidak dapat merasa yakin bahwa ilmu pengetahuan manusia pada masa sekarang ini, mampu menunjukkan realitas yang ada. iii ‘Ilm merupakan kata jadian dari ‘alima, ya’lamu, menjadi ‘ilm-un, ma’lum-un, ‘alim-un. iv Sebagaimana ditegaskan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, diantaranya : Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim; Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina; Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat; Barangsiapa mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di Syurga ia sederajat di bawah para Nabi; Para ilmuwan adalah pewaris (tugas) para Nabi; Ilmu pengetahuan itu adalah milik orang mu’min yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain. Hadis Nabi ini diperkuat dengan firman Allah dalam al-Qur’an : Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat (QS. Al-Mujadalah : 11) v Masalah ini akan diperjelas pada bagian ketiga, yaitu membangun konsep ilmu terpadu. vi Dijelaskan oleh Qardhawi, bahwa ilmu bagi kita adalah agama, dimaksudkan bahwa kitab suci kita dan Sunnah Nabi kita mengajak kepada ilmu dan menganggapnya sebagai ibadah dan faridhah, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. Atau, baik itu ilmu yang bersumber dari wahyu maupun ilmu yang bersumber dari alam semesta. Wahyu adalah perintah Allah, dan alam semesta adalah ciptaan-Nya. Sedangkan pengertian agama bagi kita adalah ilmu, dimaksudkan bahwa agama kita tidak berdiri di atas sikap taklid dan membeo kepada nenek moyang atau para pemimpin besar kita. Sebaliknya, al-Qur’an memerangi sikap tersebut, serta mengajak semua orang untuk membangun akidahnya di atas bukti-bukti dan keyakinan, tidak di atas prasangka dan praduga. vii Untuk menyebutnya secara terinci, kata jadian disebut dalam bentuk dan frekuensi sebagai berikut : ‘alima (35); ya’lam-u (215); i’lam (31); yu’lam-u (1); ‘ilm (105); ‘alim (18); ma’lum (13); ‘alamin (73); ‘alam (3); a’lam (49); ‘ulama’ (163); ‘allam (4); a’llama (12); yu’llim-u (16); ‘ulima (3); mu’allam (1); atau ta’allama (2). viii Menurut Positivisme Logis, kalimat-kalimat yang bermakna hanyalah kalimat-kalimat yang actual, positif, dapat diverifikasi dan diuji, dari ilmu-ilmu empiris. Semua kalimat lainnya adalah emotif dan oleh sebab itu tidak signifikan dan tidak bermakna. Yang terakhir itu mencakup kalimat-kalimat metafisika, etika, estetika dan agama – sesungguhnya, semua ilmua tentang nilai. ix Perhatikan surat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah (al-Alaq) dan alBaqarah : 31. x Lihat Al-Kindi, On First Philosophy, dikutip oleh A.F. El-Ehwany dalam A History of Moslem Philosophy, (Wiesbaden, 1963), jilid I, h. 424. Juha Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed.., M. Mehdi (Beirut, 1968), h. 153-57. Juga Ibn Sina. xi lihat QS. 7: 179; 67: 3-4; 31: 20
Pengembangan Ilmu Ekonomi Islam Terintegrasi …. (Muhammad Yassar)
29
DAFTAR PUSTAKA Al-Kindi, 1963, On First Philosophy, dikutip oleh A.F. El-Ehwany dalam A History of Moslem Philosophy, Wiesbaden, 1963. Anwar, Muhamad, 1988, “Islamic Economic Methodology” in A.R. Moten and B. Shasi (eds.) Nature and Methodology of Islamic Economics, Bayero University, Nigeria. ash-Shiddieqy, M. Hashbi, 1993, Falsafah Hukum Islam, Indonesia. Bakar, Osman, 1993, Classification of Knowladge in Islam : A Study in Islamic Philosophies of Science, Institute for Policy Research. Kuala Lumpur. Elias A. Elias and Ed. E. Elias. 1976, Elias Modern Dictionary Arabic-English, 11th Edition. Edward Elias, Cairo. Friedman, M. 1953, “The Methodology of Positive Economics”, in Essays in Positive Economics, University of Chicago Pressm, Chicago. Heilbroner, R.L. and L.C. Thurow, 1983, The Economic Problem, 7th Edition, New York : Prentice Hall. Khaduri, A. Majid, Islamic Legal Philosophy, Islamic Research Institute, Karachi. Khan, Mohammad Fahim, Theory of Consumer Behaviour in Islam” in S. Thahir, A. Ghazali and S. Omar (eds), Reading in Microeconomics : An Islamic Perspective. Kuala Lumpur : Longman Khan, Muhammad Amran, 1992, “Methodology of Islamic Economics”, in. A.R. Moten and B. Shasi (eds.) Lectures on Islamic Economics, Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank, Jeddah. Metawally, M., “A Behavioural Model of aan Islamic Firm”. in S. Thahir, A. Ghazali and S. Omar (eds), Reading in Microeconomics : An Islamic Perspective.Longman, Kuala Lumpur, p. 131-138. Moten, A.R. and B. Shasi (eds.), 1988, Nature and Methodology of Islamic Economics, Bayero University, Nigeria. Muhadjir, Noeng, 1998, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Edisi I, Yogyakarta : Rake Sarasin. Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta : Rake Sarasin. Muhamad, 2000, “PTAIS Abad 21 : Rekonstruksi Paradigma yang Diharuskan”, Jurnal Studi Islam Mukaddimah, No. 9 Th. VI 2000. Muhamad, 2001, “Kerangka Syari’ah, Etika dan Ilmiah : Suatu Pendekatan Pengembangan Ekonomi Islam”, Jurnal Studi Islam Mukaddimah, No. 11 Th. VII 2001,
30
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 23 No. 2 Desember 2014
Muthahhari, Murtadha, 2001, Mengenal Epistemologi : sebuah Pembuktian terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, Jakarta : Penerbit Lentera. Naqvi, S.N. H., 1981, Ethics and Economics: An Islamic Sysnthesis, Islamic Foundation, Leicester. Qadir, CA., 2002, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (terj. Hasan Basari), Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Qardhawi, M. Yusuf, 1998, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien), Jakarta : Gema Insani Press. Rahardjo, M. Dawam, 1996, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci, Jakarta : Paramadina. Rosly, Saiful Azhar b., “Economic Principles in Islam: Some Methodological Issues”, Journal of Islamic Economics, International Islamic University Malaysia, Vol. 1. Number 1, January 1995. p. 60. Samuelson, P. 1947, Foundations of Economic Analysis, McGraw-Hill, New York. Sulayman, ‘Abdul Hamid, 1994, Krisis Pemikiran Islam, (terj. : Rifyal Ka’bah), Jakarta : Media Da’wah. Syafi’ie, Imam, 2000, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alquran : telaah dan pendekatan Filsafat Ilmu, Yogyakarta : MSI UII – UII Press. Umaruddin, Muhammad, 1970, The Ethical Philosophy of al-Ghazali, Lahore, Yahya, Mukhtar dan Factchurrahman, 1986, Dasar-dasar Pembinaan Hukm Fiqh Islam, Al-Ma’arif Bandung. Zarqa, Mohammad Anas, 1992, “Methodology of Islamic Economics”. In Ausaf Ahmad and K.R. Awam (eds) in. A.R. Moten and B. Shasi (eds.) Lectures on Islamic Economics, Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank, Jeddah.