PARADIGMA PENELITIAN EKONOMI ISLAM (Kritik Terhadap Paradigma Filsafat Positivisme dalam Penelitian Ekonomi Islam) Oleh : Sjafruddin, M.E.I Abstrak Keberadaan ekonomi islam dalam wacana keilmuan masih terbilang baru dibandingkan keilmuan islam lainnya yang lebih mapan. Praktik-praktik ekonomi islam pada pasar mendorong kajian dan penelitian yang lebih jauh dan mendalam untuk menjawab persoalan yang terjadi. Kemudian timbul permasalahan dimana penelitian-penelitian dengan menggunakan pendekatan kuntitatif-positivistik memberi kesan
seoalah-olah pendekatan ini merupakan sesuatu yang “mainstream” dan diluar itu menjadi “non mainstream”. Aliran positivistik yang mengarah pada asumsi bebas nilai(value free) menjadikan penilitian yang dihasilkan menjauh dari nilai-nilai manusia sebagai pelaku ekonomi dan makhluq ruhaniah. Pendekatan melalui paradigma integrasi-interkoneksi mencoba untuk memposisikan ilmu ekonomi islam berada proses objektifikasi etika agama. Kata kunci : ilmu ekonomi islam, kuntitatif-positivistik, integrasiInterkoneksi
A. Pendahuluan Sejauh ini, penelitian yang berhubungan dengan kajian ekonomi islam terus bertambah dan berkembang. Banyak kajian yang dilahirkan oleh para akademisi maupun praktisi yang concern terhadap ekonomi islam. Tematema perbankan syariah, investasi syariah dan ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) mendominasi dalam publikasi karya–karya ilmiah para sarjana ekonomi islam. Secara umum dapat dilihat semakin populernya pendekatan analisis kuantitatif
yang
digunakan
sebagai
perangkat
dalam
memaparkan,
1
menganalisis, dan mengambil suatu kesimpulan akhir pada karya-karya tersebut.
Banyaknya
menggunakan
hasil
pendekatan
penelitian analisis
ini
yang
dipublikasikan
memberi
kesan
dengan
seoalah-olah
pendekatan ini merupakan sesuatu yang “mainstream” dan diluar itu menjadi “non mainstream”. Keadaan tersebut tidak lebih seperti halnya barang/jasa yang di jual di pasar, akan ada metode yang banyak dilirik konsumen, maka akan disebut “mainstream” maupun yang sedikit diminati sehingga terlebel “non mainstream”. Secara substansif, pilar filosofis utama ilmu ekonomi islam adalah menjadi roh jiwa yang membuat suatu teori ekonomi islam memiliki nafas kebenaran yang hidup, bukan suatu teori yang kering mati tak memberi manfaat apapun. Semua hal itu dipulangkan kepada ketiga pilar roh kebenaran ilmu pengetahuan, oleh apa yang dipakai dalam filsafat ilmu adalah disebut sebagai ontology, epistemology, dan axiology. Dimulai dengan pertanyaan; Apa yang menjadi esensi perlu dipahami dan diketahui untuk sesuatu penelitian ilmu ekonomi islam, maka pertanyaan itu masuk kedalam ranah ontology. Kemudian, untuk menjawab; Bagaimana ilmu ekonomi islam melakukan penelitian yang baik dan benar, maka itu adalah dalam ranah epistemology. Lalu dimintai penjelasan untuk apa, untuk siapa penelitian ilmu ekonomi islam dapat dimanfaatkan, apa perlunya teori ekonomi islam digunakan maka itu menjadi ranah axiology. Sesuatu penelitian, akan menghasilkan teori yang fundamental kokoh kuat, serta dapat menjawab realitas fenomena ketika telah bertumpu secara tepat dan benar pada ketiga sendi filosofi dasar penelitian tersebut diatas: penguasaan pemahaman secara mendalam dan utuh pada - ontology, epistemology, dan axiology – nya problematika penelitian sebagian besar diabaikan oleh peneliti ketika mulai mendesain suatu penelitian, akibatnya penelitian sejak awal telah membawa cacat bawaan, karena metode pendekatannya memaksakan diri dalam memilih problematika dengan
2
paradigma yang diteliti walaupun sesungguhnya tidak senyawa dan sejiwa dengan ranah filosofi dasarnya. Tujuan dari setiap penelitian adalah untuk mendapatkan pengetahuan, yakni pemahaman tentang kenyataan. Pengetahuan yang dihasilkan, oleh sebuah penelitian disamping ditentukan oleh obyek penelitian adalah ditentukan pula oleh pendekatan, metode dan prosedurnya. Bilamana secara umum ilmu pengetahuan dibedakan atas tiga macam cabang utama yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dan ilmu humaniora, maka pada dasarnya ilmu ekonomi islam adalah masuk dalam ranah ilmu-ilmu sosial humaniora. Kemudian menjadi persoalan, adalah ketika diantara peneliti Ilmu ekonomi islam
secara
gegabah
tanpa
pilah
pilih
karakter
problematikanya
menggunakan pendekatan, metode dan prosedur yang hanya tepat dipakai untuk ilmu-ilmu alam (dengan paradigma positivistic). Penelitian ekonomi yang menyangkut problematika efisiensi & efektitivitas untuk sesuatu komoditi barang boleh jadi bisa meminjam metode, prosedur dan pendekatan milik ilmu alam; namun sesuatu penelitian ekonomi yang menyangkut manusia sebagai pelaku ekonomi pendekatan dan prosedur yang tepat dan benar adalah menurut paradigma ilmu sosial atau ilmu humaniora. Jadi, penelitian ilmu ekonomi Islam dihadapkan pada dua macam pilihan paradigma, yaitu penelitian yang berlandaskan pada aliran/paradigma filsafat positivisme atau aliran filsafat non-positivisme. Kedua paradigma ini sama sama bertujuan menemukan kebenaran, namun untuk mendapatkan kebenaran diantara satu sama lain kedua paradigma tersebut memiliki karakter filosofi dasar yang secara substansial amat berbeda. Jadi kesalahan fundamental dari sesuatu penelitian ekonomi islam adalah bukan karena kesalahan paradigma positivistic (yang sesuai untuk kelompok ilmu alam), namun paradigma positivistic tidak bisa dipukul rata berlaku untuk semua masalah penelitian ekonomi islam. Sampai kini amat sangat banyak terjadi
3
penelitian yang masalahnya menyangkut pada pelaku ekonomi (serta kelembagaannya) selalu digarap dengan paradigma positivistic.
B. ANTARA POSITIVISME DENGAN NON POSITIVISME Positivisme, sebagai salah satu aliran filsafat yang bebas nilai dikembangkan mulai abad ke 19 melalui rintisan Auguste Comte, sesungguhnya merupakan penajaman trend pemikiran rasionalisme dan empirisme (Muslih, 2010:90). Pendekatan positivisme dinilai sebagai hal yang baru adalah karena pandangan tentang metodologi ilmu pengetahuan yang menitik beratkan pada metodologi ilmu pengetahuan. Dalam pemikiran empirisme dan rasionalisme (yang berkembang sebelum positivisme) sesuatu pengetahuan masih sebatas ditempatkan sebagai refleksi, maka setelah itu dengan positivisme kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi. Dan satu-satunya pilihan metodologi yang unggul berjaya sejak masa renaisance adalah metodologi ilmu-ilmu alam bukan ilmu yang lain. Sehingga, dengan ini positivisme mengambil alih sesuatu pengetahuan yang semula menjadi wilayah refleksi epistemologi; yakni bagaimana pengetahuan manusia tentang kenyataan, telah menjadi terkooptasi oleh ruang metodologi ilmu-ilmu alam. Aliran positivisme dalam penelitian berkembang menjadi penelitian dengan paradigma kuantitatif. Paradigma positivisme jika diimplementasikan dalam penelitian ilmu ekonomi islam adalah untuk menguji kebenaran atau menerapkan sesuatu teori. Dalam metodologi, positivisme menggunakan metode
empiris-analitis;
menggunakan
logika
deduksi,
teknik-teknik
penelitian survai, statistika (termasuk yang non parametrik atau yang diskriptif), dan berbagai teknis studi kuantitatif serta didesain dengan modelmodel kalkulatif, Implikasi pemahaman ini menyebabkan keharusan sesuatu konsep penelitian yang digunakan perlu didefinisikan secara operasional
4
dengan batasan aspek aspek tertentu serta ukuran-ukuran tertentu. Oleh karena itu, dalam positivisme diakui bahwa operasionalisasi konsep-konsep merupakan bagian penting dalam penelitian ilmiah. Dalam positivisme secara umum, istilah atau konsep harus didefinisikan secara spesifik (operasional) agar penelitian dapat melakukan pengukuran-pengukuran. Aliran filsafat positivisme telah mendorong perkembangan teknik-teknik statistik, baik untuk kepentingan deskriptif maupun eksplanatif (disertai pengujian hipotesa dan/atau teori). Sebaliknya filsafat non-positivisme kebenaran didasarkan pada esensi idea (sesuai dengan hakekat obyek) dan kebenarannya bersifat holistik. Pengertian fakta maupun data dalam filsafat non-positivisme juga memiliki cakupan selain yang empiri sensual (fenomena) adalah lebih melacaki apa yang ada di balik yang empiri sensual (nomena). Non-positivisme menemukan makna pada empiri idea. Paradigma Non-positivisme dalam penelitian berkembang menjadi penelitian dengan paradigma kualitatif. Noeng Muhadjir (2000:78) yang menyebut non-positivisme dengan postpositivisme, memiliki karakteristik utama pada pencarian makna di balik data. Paradigma
non-positivisme
jika
diimplementasikan
dalam
penelitian
tujuannya adalah untuk membangun sesuatu teori, bukan membuktikan benarnya sebuah teori. Pemahaman terhadap kedua aliran tersebut membawa kita kepada pertanyaan: pilihan paradigma apa yang sesuai untuk penelitian ilmu ekonomi islam?, mengapa penelitian dalam ilmu ekonomi islam harus mempunyai paradigma tersebut?. Penekanan pada aspek aksiologis merupakan sasaran lahirnya ilmu ekonomi islam. Kemampuan menjawab pertanyaan ”Untuk apa pengetahuan digunakan?” dalam
ilmu
ekonomi
islam.
Pengetahuan
merupakan penekanan
harus
digunakan
untuk
kemaslahatan manusia (Suriasumantri, 1999:249). Sementara aksiologi positivisme menghendaki adanya peruntukan yang bebas nilai. Persoalan
5
kemiskinan, keadilan sosial, kemakmuran masyarakat dan semacamnya adalah satu atau dua bukti diantara sekian banyak contoh yang menunjukkan adanya kegagalan positivisme dalam aspek aksiologis. Menjadi pertanyaan lain, ketika ilmu ekonomi islam yang faktualnya adalah manusia sebagai pelaku ekonomi diperlakukan sama layaknya gejala kehidupan material ataupun benda mati. Sebagai pelaku ekonomi, tidak bisa dianalogikan sama dengan eksperimen yang dapat diukur prilakunya menurut skala skala tertentu. Kepentingan manusia tentang ekonomi dan tujuannya tidak dapat ditinjau menurut sudut pandang barang atau binatang; tidak juga homo economicus semata, tetapi sekaligus homo metaphysicus maupun homo ethicus dan homo sapiens. Di balik tindakan ekonomi manusia selalu terdapat dimensi nilai yang dianutnya
C. NON POSITIVISME DALAM ILMU EKONOMI ISLAM Ekonomi islam adalah ekonomi yang penuh dengan nilai-nilai etika. Paham seperti ini memandang ilmu ekonomi sebagai ilmu moral (moral science) yang orientasinya jauh lebih luas daripada sekedar self-interest. Dengan pemahaman demikian, pendekatan yang tepat dilakukan dilakukan adalah dengan verstehen (memahami), yakni dengan menafsirkan makna tindakantindakan dan bukan dengan erklaren (penjelasan menurut sebab akibat) (Mikhael dua, 2008:120). Pelaku ekonomi adalah makhluq ruhaniah, yang memiliki idea, nilai nilai, harapan harapan tertentu sesuai dengan kesadarannya, sebagai seperangkat fenomena responsibilitasnya tidak akan tepat bilamana dibaca sebagai tindakan yang otomatik ataupun mekanistik maupun matematik dan statistik. Kegiatan ekonomi adalah merupakan fenomena sosial (fenomena manusia sebagai makhluq ruhaniah) akan dapat dipahami setepat tepatnya hanya dengan memahami dunia makna yang hidup pada mindset para
6
pelakunya, yakni pelakunya itu sendiri yang dinamik dan unik. Subyek pelaku berperan kuat dalam memaknai dan kemudian menyikapi dinamika ekonomi. Pemaknaan & penyikapan ini tidak berhenti pada dunia yang dihayati oleh individu pelaku ekonomi, namun pula melibatkan makna penafsiran yang terungkap karena penghayatan pada fenomena itu. Ketika persoalan ekonomi dipahami dengan pemahaman menurut sifat ilmu alam; maka pelaku ekonomi sebagai manusia akan diperlakukan sebagai obyek seperti barang. Menyikapi pelaku ekonomi secara netral, tidak memberi apresiasi pelaku ekonomi (pedagang, konsumen, produsen) pada harapan-harapannya yang hidup atau nilai-nilai dan norma serta etika yang diampunya dan berkemungkinan pula peneliti akan mendesain (rekayasa sosial) dengan menempatkan pelaku-pelaku ekonomi dalam hubungan sebab akibat, membutakan diri terhadap pendekatan yang sesungguhnya tidak sesuai. Oleh karena itu permasalahan ekonomi yang menyangkut perilaku ekonomi bilamana dipaksakan dengan positivisme maka hasil yang diperoleh tiada lain adalah pembenahan pembenahan, tidak muncul teori baru, dan amat besar kemungkinannya akan menghasilkan kontroversi yang tidak terselesaikan dalam menentukan kebijakan ekonomi karena padanya adalah sebuah hasil spekulatif dari sebuah stereotipe. Karena dengan sifatnya yang predictable, positivisme sejalan dengan teorinya seakan sudah dapat menentukan atau menduga hasil dari sejak penelitian belum dilaksanakan. Bilamana kejadian yang probabilistic, terjadi diluar dugaan sebagaimana menjadi prediksi awal, maka positivisme juga telah siap memiliki jawaban bahwa penyimpangan itu adalah sebagai “error”, atau membela diri dengan mengatakan; sebagai bagian dari variable yang tidak diamati Studi yang masuk dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, tak bisa dipahami dengan cara-cara disekap sebagai obyek manipulasi dan didesain dengan model-model kalkulatif. Peneliti hanya bisa bersikap “memasuki” wilayah ini
7
dengan pemahaman (verstehen) (Bambang Hardiman, 2002:28), sebab yang diharapkan ditemukan dalam studi ini bukanlah hubungan sebab-akibat yang bersifat pasti, namun tentang dunia makna. Disini diperlukan “mata (hati) seorang manusia” yang dapat memahami makna, bukan “mata seorang biologi atau fisikawan atau matematikawan”. Dalam konteks ini peneliti tidak lebih tahu daripada pelaku ekonomi itu sendiri. Karenanya, paradigma non positivisme selalu berupaya menjelaskan fenomena yang ada, yaitu memahami makna yang berada dibalik fenomena. Tujuan pilihan metode pendekatan, paradigma dan model yang tepat untuk memperoleh gambaran menyeluruh yang holistik mengenai realitas ekonomi menurut penelitian kualitatif yang benar adalah bukan to learn about the people, akan tetapi to learn from the people. Dengan ini pula dapat ditegaskan bahwa sesuatu jenis penelitian yang – diskriptif – adalah bukan penelitian kualitatif karena masih membawa anasir yang positivistic. Karakter utama pendekatan kualitatif ini adalah mengkedepankan makna, konteks dan perspektif emic (Yustika, 2010:70), mementingkan kedalaman informasi daripada cakupan penelitian. Sehingga penelitian lebih berupa siklus dan proses pengumpulan data secara simultan. Dasar paradigma yang diacu dalam paradigma kualitatif adalah tetap memandang manusia bertindak rasional, namun dalam penyelesaian masalah hidup sehari hari adalah menggunakan ”penalaran praktis” , bukan logika formal.
D. Rancangan Paradigma dalam Ekonomi Islam 1. Epistimologi Ekonomi Islam Dalam pengkajian yang sederhana Intelektual Islam telah bersepakat dalam Pendefinisian ilmu Ekonomi Islam bahwa ilmu Ekonomi Islam adalah ilmu Ekonomi yang sesuai dengan syari’ah Islam, lalu jika demikian akan muncul pertanyaan yang dipakai mazhab apa, tafsirnya milik siapa, dan pertanyaan sejenisnya. Ilmu ekonomi Islam berdiri
8
atas paradigma yang khas. Paradigma itu mencakup al-Qur’an dan hadits beserta sebab-sebab turunnya ditambah dengan rasionalitas dan penelitian empiris yang terus bergerak dinamis dari teks ke konteks atau arah sebaliknya dari konteks ke teks. Paradigma itu tentu saja harus dalam koridor
maqashidus syari’ah. Tetapi muncul
kesulitan yang dialami ketika mencoba merumuskan teori ekonomi Islam. Hal ini yang sering dikritik, bahwa mengapa jika paradigmanya dengan asumsi-asumsi ekonomi yang berbeda tetapi teorinya masih sama. Pendekatan melalui paradigma integrasi-interkonesi dalam mencari suatu gagasan mengenai ekonomi Islam dapat digunakan dalam menampilkan permasalahan tersebut, baik itu pada tataran masalah epistemologi dan sifat dasar dari ilmu pengetahuan tersebut (obyek formal maupun obyek material dalam ekonomi Islam), sehingga menemukan arah gagasan yang jelas tentang posisi ilmu Ekonomi Islam. Amin Abdullah(2005:234) melihat bahwasannya kemandulan Islam lebih disebabkan oleh tercerainya teks-teks keislaman dengan konteks sosial, di mana corak yang populer digunakan dalam pengkajian Islam adalah corak yang dikotomis danatomistik, oleh karena itu corak pengkajian seperti ini harus dirubah dengan corak pengkajian
yang
integrasi-interkonektif
melibatkan
multidisiplin
keilmuan. Upaya yang dilakukan adalah menuju reintegrasi keilmuan atau penyatuan kembali atau yang dapat pula diartikan
upaya
menerima masukan dari berbagai sisi keilmuan, menerima keberadaan entitas lain dari ilmu yang sebenarnya berkaitan erat dengan ilmu keislaman lalu mengintegrasikannya menjadi formula yang efektif mengurai benang kusut berbagai masalah kekinian.
9
Paradigma interaksi-interkoneksi hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan “Ekonomi Islam” tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, eksklusifitas, pemilahan secara dikotomis terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah akademis. Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif, bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif. Maka dengan menimbang asumsi ini seorang ilmuan perlu memiliki visi integrasiinterkoneksi. Mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya itulah integrasi dan melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu itulah interkoneksi. Kuntowijoyo (2006:55) menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme). Model integrasi adalah menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai
grand theorypengetahuan, sehingga ayat-ayat
qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut. Untuk memahami hubungan antara agama dan ekonomi, orang harus memperlajari cakupan-cakupan dan bidang kerjanya masingmasing, dan meneliti apakah keduanya saling bertumpang tindih dan (bila ada) dalam aspek apa. Beberapa agama melihat kegiatan-
10
kegiatan ekonomi manusia hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup yang seharusnya dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan makan dan minum semata. Namun sebaliknya, Islam menganggap kegiatan-kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu aspek dari pelaksanaan tanggung jawabnya di bumi (dunia) ini. Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan, tujuan dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsip. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan, untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem yang bisa di uji (Monzer Kahf, 1995:5). Suatu sistem untuk mendukung Ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun perbedaan yang nyata seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian yang diberkan kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas “Sistem Ekonomi Islam” sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai kajian sistem ekonomi (Monzer Kahf, 1995:6). Pengkajian berbeda
dengan
Ekonomi
Islam selama ini memiliki corak yang
memadukan
berbagai
pendekatan
yang
(normatifistik-positifstik) berkaitan dengan keilmuan tersebut, artinya ilmu Ekonomi Islam harus memberikan pembedaan antara bagian hukum (fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (fiqh muamalat)
11
dan ekonomi. Selama ini Ekonomi Islam cenderung dibatasi oleh Hukum Dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh terhadap cakupan ekonomi dibandingkan
dengan
sistem
hukumnya.
Ketika
tidak
adanya
pembedaan antara Fiqih Muamalat dan Ekonomi Islam berarti merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai Ekonomi Islam (Monzer Kahf, 1995:6). Selain itu perlu adanya pengkajian sejarah dalam ekonomi Islam sendiri karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi sebagai ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan
eksperimen-eksperimennya
kecenderungan-kecenderungan
jangka
dan
jauh
menurunkan
dalam
berbagai
perubahan ekonominya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unitunit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan Ilmu Ekonomi (Monzer Kahf, 1995:7). Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam akan membantu
menemukan
sumber-sumber
pemikiran
ekonomi
kontemporer, di satu pihak, dan di lain pihak, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Keduaduanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptulisasi dan aplikasinya (Monzer Kahf, 1995:7). 2. Pendekatan dalam Ekonomi Islam Menurut Kuntowijoyo (2006:60), pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas. Oleh karena itu, umat Islam harus pandai-pandai memilih mana yang
12
perlu islamisasi mana yang tidak. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar objektif dan sejati. Menindaklanjuti hal yang
mendasar
tersebut,
kiranya
dapat
dipinjam
langkah
objektifikasinya Kuntowijoyo secara singkat dan sederhana untuk membuat
pengembangan
Ekonomi
Islam
lebih
terbuka.
Oleh
Kuntowijoyo, Objektivikasi adalah penerjemahan atau konkretisasi nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Objektivikasi dapat diwujudkan melalui perbuatan rasional, sehingga semua orang dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilainilai dasar. Ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang tidak beriman bila tidak meninggalkan riba dapat diobjektifkan dengan sistem bagi hasil yang secara ekonomi lebih menguntungkan dan secara muamalat dibolehkan. Objektifikasi sendiri sesungguhnya berbeda dengan sekulerisasi dan objektifasi
pengetahuan Barat.
Dengan strategi ini, diharapkan dari sisi Ekonomi Islam menjadi semakin jelas dan dapat diterima oleh lebih banyak pihak. Naqvi (2003:19) menyebutkan, ide sentral yang membatasi ilmu Ekonomi Islam, dan yang menempatkan berbeda dengan ekonomi (neo-klasik) positif, adalah desakan untuk memasukkan secara eksplisit nilai-nilai etik yang didasarkan pada agama dalam suatu framework analisis yang terpadu. Tetapi, selain menetapkan validitas filosofis ide ini dari sudut pandang Islam, ia setidaknya harus memiliki kemungkinan untuk dihubungkan dengan situasi-situasi kehidupan riil agar bisa memberikan klaim validitas objektif atas pernyataanpernyataan spesifik tentang ilmu ekonomi Islam. Hal ini karena pernyataan-pernyataan demikian itu, baik dari keputusan nilai maupun faktual, dapat dibuktikan sejalan dengan “fakta-fakta” yang ada dalam masyarakat. Untuk tujuan ini, diperkenalkan dua konsep kunci, yakni konsep kehadiran Tuhan dan masyarakat
yang hidup-riil (berbeda
13
dengan masyarakat Islam yang ideal). Kedua konsep ini pada dasarnya merupakan proporsi empiris dalam arti bahwa secara faktual dapat dibuktikan sebagai benar atau salah. Nilai-nilai
moral-etik yang kemudian akan menjadi unsur
pembeda dengan sisitem ekonomi yang lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, meskipun pada dasarnya dalam kerangka operasionalnya semua sistem ekonomi itu menerapkan ilmu-ilmu bantu (dasar) ekonomi yang sama, sebagaimana disebutkan di atas. Kemudian dalam wujud konkretnya, sistem nilai etika ini dijadikan ruh bagi semua instrumennya yang pada akhirnya akan membentuk karakter tipikal yang membedakan dengan sistem-sistem ekonomi lainnya (Abdul Mughits, 2007:7) Meskipun kajian etika ekonomi ini masuk dalam wilayah aksiologi namun penting diikutsertakan dalam kajian epistimologi sebagai faktor pendukung dalam pencarian keabsahan eksistensi disiplin ilmu Ekonomi Islam. Menurut Ekonomi Islam bahwa antara dimensi etis ekonomi dan dimensi praktis (bisnis) harus dipahami dalam pengertian integratif, tidak secara parsial. Hal ini tentunya berbeda dengan aksioma kapitalis bahwa kegiatan ekonomi (bisnis) itu mempunyai tujuan ekonomis, yakni keuntungan materil, sehingga keuntungan menjadi ideologinya dalam berbisnis, meskipun harus mengorbankan nilai-nilai moral-etik (Abdul Mughits, 2007:8). Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai etika yang dimaksud seperti kesatuan (unity), equilibrium (keseimbangan atau keadilan),kebebasan yang terbatas pada hak orang lain, pertanggungjawaban,kebajikan dan kejujuran. Terkait
penjelasan
di
atas,
Ugi
Suharto(2005:42-53)
menyatakan bahwa ekonomi Islam tidak bisa begitu saja terlepas dari ekonomi konvensional. Paradigma ekonomi konvensional akan tetap berfungsi dalam membentuk paradigma
Ekonomi
Islam
dan
14
pelaksanaannya. Teori-teori ekonomi konvensional, baik yang mikro maupun makro, akan tetap terpakai dalam diskursus Ekonomi Islam. Dalam melakukan proses islamisasi ekonomi perlu mengambil tiga bentuk pendekatan yang adil terhadap ekonomi konvensional. Adapun pendekatan tersebut adalah: a. Pendekatan menolak (negation). Maksudnya bahwa tidak semua paradigma
ekonomi konvensional bisa diterima masuk dalam
Ekonomi Islam. Sebagian paradigma ekonomi konvesional, bahkan mungkin bagian yang paling fundamental, harus ditolak dan tidak bisa dikompromikan dengan ajaran Islam. b. Pendekatan memadukan (integration). Selain menolak yang tidak sesuai, Islam juga megakui kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem lain. Ekonomi konvensional yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam mesti diterima oleh ekonomi Islam. Karena integralisme merupakan salah satu unsur dari islamisasi. c. Pendekatan menambah nilai (value addition). Ekonomi Islam mampu memberikan nilai tambah yang baru
dan memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Pada tataran ini peranan islamisasi ekonomi adalah dengan memasukkan nilai-nilai khusus Islam yang tidak ada pada ekonomi konvensional.
15
E. Kesimpulan Dari sejak kelahiran dan perkembangan selanjutnya dari ekonomi islam, tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi islam tiak lepas dari nilai-nilai. Sehingga penelitian ekonomi islam tidak dapat didasarkan kepada filsafat ilmu yang bebas nilai. Prinsip utama yang perlu disepakati dari sejak awal, bahwa ilmu ekonomi itu memiliki genetic ilmu sosial dan sama sekali bukan turunannya ilmu eksakta. Artinya, permasalahan ilmu ekonomi adalah menyangkut pada fenomena manusia, bukan tentang fenomena alam, bukan setara dengan persoalan makhluq hidup semacam binatang atau tumbuh tumbuhan, apalagi diperlakukan seperti barang. Konsep Paradigma integratif-interkonektif mesti terus memperbarui keilmuan ekonomi islam, di mana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan ekonomi Islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Kegiatan ekonomi manusia menurut sistem dalam Islam merupakan salah satu bagian yang diatur dalam kegiatan muamalat. Akan tetapi, akidah, akhlak dan syari’ah merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Hal inilah yang merupakan letak dari ke-universal-an Islam. Oleh karena itulah maka salah satu tujuan pengembangan ekonomi dalam Islam yang ingin dicapai adalah transformasi masyarakat yang berbudaya islami. Nilai-nilai Islam harus "ter-internalisasi" dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, Islam menjadi budaya masyarakat. Lebih jelasnya, seluruh pihak yang terkait dengan perkembangan ilmu Ekonomi Islam harus mampu menampilkan produk ilmu Ekonomi Islam yang terbuka, tidak bebas nilai, dan bermanfaat bagi umat untuk seluruh umat tanpa memandang corak agama, bangsa, kulit maupun etnis (rahmatan li’alamin).
16
Daftar Pustaka Bagir, Zainal Abidin, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama Intepretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005 Hardiman, Bambang, Pengantar Antropologi Ekonomi. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta 2002 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika, cetakan II, Jakarta: Tiara Wacana, 2006. Kahf, Monzer, Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), alih bahasa Machnun Husein, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Muslih, Mohammad, FilsafatIlmu: kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Penerbit Belukar, Yogyakarta 2010 Mughits, Abdul, “Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam (Kajian atas Pemikiran M. Abdul Mannan),” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islami (EKBISI) Volume.1. No.2, Juni 2007. Muhadjir, Baca Noeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin, Yogyakarta 2000 Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, alih bahasa M. Saiful Anam, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Suharto, Ugi, “Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi Islam,” sebuah makalah yang disampaikan dalam Studium Generale Forum Studi Ekonomi Islam, UIN Sunan Kaliaga, April 2005. Suriasumantri, J.S. ,Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, (Jakarta 1999). Mikhael dua, filsafat ekonomi:upaya mencarikesejahteraan bersama Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2008 Yustika, Ahmad erani, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi. Bayumedia Publishing, Malang: 2010. Suharto, Ugi, “Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi Islam,” sebuah makalah yang disampaikan dalam Studium Generale Forum Studi Ekonomi Islam, UIN Sunan Kaliaga, April 2005.
17