PENGEMBANGAN DAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT KERING ALUR SADAP (KAS) PADA TANAMAN KARET DI PROPINSI SUMATERA SELATAN Oleh Desianty Dona Normalisa Sirait dan Syahnen Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan Jl. Asrama No. 124 Medan Kel. Cinta Damai Kec. Medan Helvetia 20126. Telp. (061) 8470504, Fax. (061) 8466771, 8445794, 8458008, 8466787 http://ditjenbun.deptan.go.id/bbp2tpmed/
ABSTRAK Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Lebih dari 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan karet. Salah satu penyakit tanaman karet yang ditemukan pada perkebunan karet adalah Kering Alur Sadap (Tapping Panel Dryness, Brown Bast). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui teknologi yang tepat dalam pengendalian penyakit Kering Alur Sadap (KAS) pada tanaman karet. Pada kegiatan ini akan dikembangkan pengujian beberapa komponen PHT dalam pengendalian penyakit KAS pada tanaman karet. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 4 (empat) perlakuan dan 6 (enam) ulangan. Setiap plot perlakuan terdiri dari 5 (lima) pohon sampel. Perlakuan terdiri dari: PHT 1 = Pemupukan + Pengikisan kulit + Diistirahatkan selama 6 bulan; PHT 2 = Pemupukan + Pengikisan kulit + Diistirahatkan selama 6 bulan + Pengolesan Fungisida Anti rot F95; PHT 3 = Pemupukan + Pengikisan kulit + Diistirahatkan selama 6 bulan + Pengolesan Fungisida Kimia (bahan aktif Triadimefon 250 g/l); P 4 = Kontrol (tanpa perlakuan). Pengamatan setelah aplikasi dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali dengan interval waktu sebulan sekali. Parameter yang diamati adalah luas kulit mati (mm2), tebal kulit pulihan (mm) dan intesitas serangan (%). Hasil pengujian menunjukkan perlakuan pemupukan, pengikisan, pengistirahatan bidang sadapan selama 6 bulan dan pengolesan fungisida Anti Rot F95 atau fungisida berbahan aktif Triadimefon 250 g/l dapat mengurangi serangan penyakit KAS pada tanaman karet. Kata Kunci : Karet, KAS, Brown bast
1
PENDAHULUAN
Kering alur sadap (KAS) atau dikenal dengan istilah kulit dalam cokelat (bruine binnenbast atau brown bark atau bark dryness atau brown bast) yang sering disingkat menjadi BB merupakan penyakit yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab utamanya. Penyakit ini telah diketahui sejak awal budidaya karet dilakukan dan akhir-akhir ini mulai menimbulkan masalah serius di beberapa negara penghasil karet alam (Fairuzah, 2011). Penyakit Kering Alur Sadap (KAS) mengakibatkan kekeringan alur sadap sehingga tidak mengalirkan lateks, namun penyakit ini tidak mematikan tanaman (Anwar, 2006). Gejala KAS ditandai dengan terdapatnya bagianbagian alur sadap yang tidak mengeluarkan lateks. Bagian-bagian tersebut kemudian meluas dan akhirnya seluruh pohon tidak mengeluarkan lateks sama sekali. Kulit sebelah dalam bagian yang sakit berubah warna menjadi cokelat (Semangun, 2000). Akibat perubahan hormon di sekitar kulit yang mati adakalanya terbentuk kambium sekunder sehingga menjadi pecah-pecah atau terbentuk tonjolan-tonjolan yang tidak teratur, sehingga penyadapan sulit dilakukan (Fairuzah, 2011). CARA PENGENDALIAN
Usaha-usaha untuk mencegah penyakit kekeringan kulit dapat dilakukan dengan cara penanaman klon tahan, kultur teknis yang sesuai dan eksploitasi yang tepat (Fairuzah, 2011). Dalam hubungannya dengan pengobatan, bagian kulit yang terserang sebaiknya diisolasi dengan membuat batas antara yang sakit dan yang sehat baik secara vertikal dan horizontal. Batas yang sakit selanjutnya ditoreh sampai menyentuh kambium. Jaringan yang sakit kemudian dikerok dan ditutup dengan obat penutup luka (Fairuzah, 2011). Menurut Fairuzah, 2011 batasan-batasan dalam hubungannya dengan frekuensi sadap dan penggunaan stimulant dibuat sebagai berikut: a. Jika jumlah tanaman yan terinfeksi mencapai 25% pada suatu areal dilakukan penurunan intensitas sadap
2
b. Jika jumlah tanaman yang terinfeksi sekitar 10% penyadapan normal tetap dilakukan tetapi tanpa menggunakan stimulant c. Jika terdapat infeksi 1/8S maka penyadapan normal tetap dilaksanakan dan penggunaan stimulant tetap dilakukan d. Jika infeksi sekitar antara 1/8S-3/8S pemakaian stimulant dihentikan selama 6 bulan dan kulit terinfeksi dikerok serta dibuat alur isolasi antara batas kulit sakit dan sehat e. Jika infeksi mencapai 4/8S atau lebih penyadapan dihentikan selama 6 bulan atau lebih f. Tanaman-tanaman yang terserang berat dimana pembuatan parit isolasi tidak mungkin dilakukan lagi, disarankan untuk disadap berat pada bagian yang masih mengeluarkan lateks. Mengistirahatkan tanaman tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit. Penggunaan biofungisida NoBB atau Antico F-96 secara teratur dengan cara pelumasan. Pokok pokok utama penanggulangan KAS tersebut meliputi: a. Pembuangan/pengikisan/pengerokan kulit (bark scraping) hingga ke dalam 3 mm dari kambium pada hari ke-1. b. Untuk mencegah serangan hama bubuk dengan penyemprotan insektisida Decis, Matador, Akodan, atau Supracide pada hari ke-1 c. Aplikasi atau pengolesan formula NoBB sekitar 50 ml/pohon pada hari ke-2, 30 dan 60 d. Penyadapan kulit sehat dapat diteruskan setelah proses pengobatan selesai yakni mulai hari ke-90 e. Kulit bekas KAS dapat pulih setelah 12 bulan sejak bark scraping dilakukan dan ketebalan kulit mencapai > 7 mm f. Fakta di lapangan efektivitas penyembuhan dengan teknik ini mencapai 8595% (Fairuzah, 2011). Oleokimia sebagai bahan dasar Antico F-96 (disingkat Formant 96) adalah bahan baku industri yang diperoleh dari minyak nabati, dan dapat berfungsi sebagai bahan perata, pelarut, penetran dan anti oksidan. Oleh adanya sifat tersebut Formant 96 sangat bermanfaat untuk menanggulangi gejala kering alur sadap (KAS), penyakit lapuk cabang dan batang, jamur upas
3
atau mouldy rot. Sama halnya dengan Anti rot F95 yang mengandung oleokimia 95 %, fungisida 1 %, ZPT sebanyak 200 ppm dan bahan lainnya 4%. Lateks adalah getah seperti susu dari banyak tumbuhan yang membeku ketika terkena udara. Ini merupakan emulsi kompleks yang mengandung protein, alkaloid, pati, gula, minyak, tanin, resin dan gom. Pada banyak tumbuhan lateks biasanya berwarna putih, namun ada juga yang berwarna kuning, jingga atau merah. Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatikan faktor kesehatan tanaman agar tanaman dapat berproduksi secara optimal dan dalam waktu yang lama (Siregar, 1995). Dalam praktiknya untuk kelangsungan produksi, hal yang sangat mendasar adalah di dalam pemulihan bidang sadap. Agar bidang sadap kembali pulih tentu ada yang diperlukan di dalam penyadapannya. Menghindari penggunaan Ethepon pada pohon yang kena kekeringan alur sadap adalah salah satu cara agar bidang sadap dapat kembali pulih dan pohon yang mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk mempercepat pemulihan kulit (Sianturi, 2001). Mengistirahatkan tanaman dalam waktu tertentu juga merupakan konsep pemulihan bidang sadap, karena tanaman akan mengoptimalkan kembali bagian-bagian tanaman yang telah mengalami pelukaan. Begitu juga dengan pemberian unsur hara untuk kelanjutan tanaman itu sendiri sehingga pertumbuhannya akan lebih optimal tentunya pemulihan bagian-bagian yang disadap (Nazaruddin dan Paimin, 1998). METODOLOGI PELAKSANAAN
Kegiatan ini dilaksanakan di desa Limau, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, propinsi Sumatera Selatan pada bulan Maret s/d Desember 2012. Pengujian pengembangan beberapa komponen metode PHT dalam pengendalian penyakit KAS pada tanaman karet ini menggunakan Rancangan
4
Acak Kelompok dengan 4 (empat) perlakuan dan 6 ulangan. Setiap plot perlakuan terdiri dari 5 (lima) pohon sampel. Perlakuan yang diaplikasikan: PHT 1 = Pemupukan + Pengikisan kulit + Diistirahatkan selama 6 bulan PHT 2 = Pemupukan + Pengikisan kulit + Diistirahatkan selama 6 bulan + Pengolesan Fungisida Anti rot F95 PHT 3 = Pemupukan + Pengikisan kulit + Diistirahatkan selama 6 bulan + Pengolesan Fungisida Kimia (bahan aktif Triadimefon 250 g/l) P4
= Kontrol (tanpa perlakuan) Aplikasi fungisida dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan interval 2
(dua) bulan. Pupuk yang akan digunakan dalam pengujian ini adalah pupuk ZA, TSP dan ZK/KCl. Pemupukan dilakukan hanya sekali yaitu saat awal kegiatan dengan 1,5 x dari dosis anjuran yaitu 1,5 x 600 gr ZA/ph, 1,5 x 324 gr TSP/ph, dan 1,5 x 180 gr ZK/ph. Parameter yang diamati pada pengamatan ini adalah luas kulit mati (mm2), tebal kulit pulihan (mm) dan intensitas serangan (%). Hasil
pengamatan
terhadap
parameter
dituangkan
dalam
form
pengamatan. Jumlah pengamatan 7 kali dengan interval 1 bulan. Analisis dilakukan dengan membandingkan persentase tingkat serangan pada setiap perlakuan. Teknologi yang digunakan dalam pengujian a. Pupuk Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah ZA/Urea, TSP/SP36 dan ZK/KQ. ZA/Urea digunakan sebagai sumber N (Nitrogen), TSP/SP36 sebagai sumber P (Phospor) dan ZK/KQ sebagai sumber K (Kalium). Dosis untuk setiap jenis pupuk diberikan untuk setiap pohon ke tanaman menghasilkan menurut Setyamidjaja (1993) adalah sebagai berikut: 600 gr ZA (280 gr Urea) + 324 gr TSP/SP36, 180 gr ZK/KQ. Dan dosis ini dibuat 1,5 kali dari dosis anjuran.
5
b. Pengolesan Fungisida Anti rot F95 dan
Fungisida berbahan aktif
Triadimefon 250 g/l (Bayleton 250 EC) Aplikasi fungisida Anti rot F95 dan fungisida kimiawi (bahan aktif Triadimefon 250 g/l) dilakukan dengan cara pengolesan pada bagian tanaman terserang yang telah dikikis terlebih dahulu. c. Pengikisan Kulit Pengikisan kulit yang terserang dilakukan dengan menggunakan pisau scrap.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi pengujian berada di Desa Limau Kecamatan Sembawa Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Lokasi penelitian berada pada ketinggian tempat ± 5 m dpl. Klon karet yang ditanam adalah PB260, GT, dan PR, jarak tanam 3 x 5 m. Kondisi kebun tempat pengujian adalah sebagai berikut: jenis tanah podzolik merah kuning (ultisol). Kelembaban rendah karena curah hujan rendah. Pemeliharaan tanaman seperti sanitasi dan pemupukan tergolong baik. Sesuai dengan rencana pengujian pada petak-petak perlakuan yang telah ditentukan dilakukan aplikasi pengendalian penyakit KAS. Pada petak perlakuan PHT1 dilakukan pemupukan di piringan tanaman, pengikisan kulit dibidang sadap yang terserang KAS, dan bidang sadap diistirahatkan selama 6 bulan. Pada petak perlakuan PHT2 dilakukan pemupukan di piringan tanaman, pengikisan kulit dibidang sadap yang terserang KAS, pengolesan Anti rot F95 dan bidang sadap diistirahatkan selama 6 bulan. Pada petak perlakuan PHT3 dilakukan pemupukan di piringan tanaman, pengikisan kulit dibidang sadap yang terserang KAS, pengolesan fungisida kimia (berbahan aktif Triadimefon 250 g/l) dan bidang sadap diistirahatkan selama 6 bulan. Dan petak perlakuan kontrol yaitu tanaman yang tidak diberi perlakuan pengendalian sama sekali. Pada Pada pengujian ini telah digunakan larutan fungisida Anti Rot F95 yang mengandung fungisida 1%, ZPT 200 ppm dan bahan lain 4%. Fungisida yang digunakan adalah berbahan aktif Triadimefon 250 g/l.
6
Dari lokasi hasil pengujian di Desa Limau, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, diperoleh data luas kulit mati (mm2) untuk setiap pengamatan seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Luas Kulit Mati (mm2) pada Pengamatan I s/d VII Luas Kulit Mati (mm2) Pada Pengamatan I s/d VII Perlakuan
Rata-rata Luas Kulit
I
II
III
IV 15720
V
VI
VII
Mati (mm2)
13100 10120
8400
21022.86 a
PHT 1
35380 32920 31520
PHT 2
58830 42700 30860 17120.0
7460
3680
1540
23170.00 a
PHT 3
57450 33680 16665
6360
4620
3980
18710.71 a
Kontrol
80145 81000 81280 81220.0 80360 80700 82660
81052.14 b
8220
Keterangan : Angka-angka yang terdapat pada lajur yang sama dan diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5%.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa rata-rata luas kulit mati terendah terdapat pada perlakuan PHT3 yaitu sebesar 18710,71 mm2, diikuti perlakuan PHT1 yaitu sebesar 21022,86 mm2, kemudian selanjutnya perlakuan PHT1 yaitu sebesar 23170 mm2. Sedangkan luas kulit mati tertinggi adalah perlakuan kontrol sebesar 81052,14 mm2. Perlakuan PHT1, PHT2 dan PHT3 berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Pemupukan, pengikisan, pengolesan fungisida dan pengistirahatan bidang sadap berpengaruh nyata dalam menekan perkembangan penyakit KAS di lapangan, hal ini sesuai dengan pernyataan Sianturi (2001) bahwa pohon yang mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk mempercepat pemulihan kulit. Dalam hubungannya dengan pengobatan, bagian kulit yang terserang sebaiknya diisolasi dengan membuat batas antara yang sakit dan yang sehat baik secara vertikal dan horizontal. Batas yang sakit selanjutnya ditoreh sampai menyentuh kambium. Jaringan yang sakit kemudian dikerok dan ditutup dengan obat penutup luka (Fairuzah, 2011). Nazaruddin dan Paimin (1998) juga menyatakan mengistirahatkan tanaman dalam waktu tertentu juga merupakan konsep pemulihan bidang sadap, karena tanaman akan mengoptimalkan kembali bagian-bagian tanaman yang telah mengalami pelukaan.
7
Perlakuan PHT1, PHT2 dan PHT3 tidak berbeda nyata sesamanya. Namun setelah dilihat di lapangan bahwa perlakuan PHT2 yang diolesi antirot, kulit pemulihan bertekstur lembek bila dibandingkan pada perlakuan PHT3 yang diolesi fungisida dan perlakuan PHT3 dimana kulit pemulihan lebih keras. Tetapi pada saat ditusuk untuk melihat lateksnya, pada perlakuan PHT2 lateksnya lebih banyak, lancar dan berwarna putih kekuningan sedangkan pada perlakuan PHT3 dan PHT1 lateksnya lebih sedikit dan warna lebih kusam. Untuk melihat perbandingan efek antar perlakuan PHT1, PHT2, PHT3 dan kontrol terhadap luas kulit mati (mm2) dapat dilihat pada Gambar 2. 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
PHT1 PHT2 PHT3 Kontrol
Gambar 2. Grafik Luas Kulit Mati Serangan KAS Pengamatan I s/d VII
Pengaruh perlakuan terhadap tebal kulit pulihan (mm) akibat serangan KAS pada pengujian ini dapat dilihat pada Tabel 2. berikut: Tabel 3. Data Tebal Kulit Pulihan (mm) pada Pengamatan I s/d VII Tebal Kulit Pulihan (mm) pada
Rata-rata tebal
Pengamatan
kulit pulihan
Perlakuan I
II
III
IV
V
VI
VII
(mm)
PHT 1
4.77 4.91 5.10 5.25 5.33 5.46 5.66
5.21b
PHT 2
4.83 4.98 5.04 5.50 5.71 5.93 6.58
5.51b
PHT 3
4.94 5.29 5.49 5.83 6.07 6.14 6.47
5.75b
Kontrol
4.05 4.04 4.02 4.02 4.01 3.98 3.97
4.01a
Keterangan : Angka-angka yang terdapat pada lajur yang sama dan diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak berbeda nyat menurut Uji Duncan pada taraf 5%.
8
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata tebal kulit pulihan tertinggi terdapat pada perlakuan PHT3 yaitu sebesar 5,75 mm, diikuti perlakuan PHT2 sebesar 5,51 mm, lalu perlakuan PHT1 sebesar 5,21 mm. Sedangkan tebal kulit pulihan terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 4.01 mm. Perlakuan PHT1, PHT2 dan PHT3 juga berbeda nyata dengan kontrol. Sama halnya dengan luas kulit mati, perlakuan pemupukan, pengikisan, pengolesan antirot maupun fungisida dan pengsitirahatan selama 6 bulan, juga berpengaruh nyata pada ketebalan kulit pulihan bidang sadap akibat KAS. Sesuai dengan pernyataan Anwar (2006), pengerokan kulit kering sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan perangsang pertumbuhan NoBB atau Antico F-96 sekali sebulan dengan 3 ulangan. Pohon yang mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk mempercepat pemulihan kulit. Perlakuan PH1, PHT2 dan PHT3 tidak berbeda nyata sesamanya. Hal ini disebabkan kurangnya waktu pengistirahatan bidang sadapan. Pemulihan jaringan memerlukan waktu yang panjang minimal 1 tahun, sedangkan pengujian ini dilakukan untuk melihat pemulihannya hanya selama 6 bulan. Sesuai dengan pernyataan Fairuzah (2011) bahwa kulit bekas KAS dapat pulih setelah 12 bulan sejak bark scraping dilakukan dan ketebalan kulit mencapai > 7 mm. Untuk melihat perbandingan antara efek PHT1, PHT2, PHT3 dan kontrol terhadap tebal kulit pulihan (mm) dapat dilihat pada Gambar 3. 7 6 5 4 3
PHT1
2
PHT2
1
PHT3
0
Kontrol
Gambar 3. Grafik Tebal Kulit Pulihan Serangan KAS Pengamatan I s/d VII
9
Pengaruh perlakuan terhadap intensitas serangan (%) akibat serangan KAS pada pengujian ini dapat dilihat pada Tabel 3. berikut: Tabel 4. Data Intensitas Serangan (%) pada Pengamatan I s/d VII Intensitas Serangan (%) pada Pengamatan Perlakuan
Rata-rata intensitas
I
II
III
IV
V
VI
VII
PHT 1
27.66
27.33
27.33
27.00
26.67
26.34
24.33
26.67b
PHT 2
23.33
23.00
22.66
21.33
20.33
19.33
18.67
21.24a
PHT 3
27.00
26.67
26.34
26.00
25.67
25.33
21.67
25.53b
Kontrol
28.67
29.33
29.67
29.33
29.67
29.33
28.66
29.24c
serangan (%)
Keterangan : Angka-angka yang terdapat pada lajur yang sama dan diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak berbeda nyat menurut Uji Duncan pada taraf 5%.
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan PHT2 yaitu sebesar 21,24%, diikuti perlakuan PHT3 sebesar 25,53%, lalu perlakuan PHT1 sebesar 26,67%. Sedangkan intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 29,24%. Perlakuan PHT1, PHT2 dan PHT3 berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Semua perlakuan yang dilakukan sangat berpengaruh dalam menekan penyakit KAS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anwar (2006) bahwa pengendalian penyakit KAS adalah menghindari penyadapan terlalu sering dan mengurangi pemakain Ethepon terutama pada klon yang rentan terhadap kering alur sadap yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR 261 dan RRIC 100, pengerokan kulit yang kering sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan perangsang pertumbuhan kulit, dan perlu diberikan pupuk ekstra untuk mempercepat pemulihan kulit. Perlakuan PHT1 tidak berbeda nyata PHT3, tetapi perlakuan PHT1 dan PHT3 berbeda nyata dengan PHT2. Hal ini disebabkan karena dalam perlakuan PHT2 diolesi antirot yang mengandung zat pengatur tumbuh sehingga dapat lebih mempercepat proses pemulihan kulit yang terserang KAS. Untuk melihat perbandingan antara efek PHT1, PHT2, PHT3 dan kontrol terhadap intensitas serangan (%) dapat dilihat pada Gambar 3.
10
35 30 25 20 15
PHT1
10
PHT2
5
PHT3
0
Kontrol
Gambar 4. Grafik Intensitas Serangan KAS Pengamatan I s/d Pengamatan VII
Proses pemulihan kulit akibat penyakit KAS ini juga dipengaruhi dengan iklim yang salah satunya adalah tinggi rendahnya curah hujan. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun, dengan hari hujan berkisar antara 100sd. 150 HH/tahun. Namun jika sering hujan pada pagi hari, produksi lateks akan berkurang (Anwar, 2006). Pada lokasi pengujian curah hujan hanya mencapai mm/tahun, yang menyebabkan proses pemulihan kulit tidak cukup maksimal. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengendalian penyakit KAS dapat dilakukan secara terpadu dengan pemupukan, pengikisan, pengistirahatan bidang sadapan selama 6 bulan, pengolesan fungisida Anti rot F95 (mengandung fungisida 1%, ZPT 200 ppm dan bahan lain 4%) atau pengolesan fungisida berbahan aktif triadimefon 250 g/l. 2. Penekanan luas kulit mati dan tebal kulit pulihan oleh tindakan pemupukan, pengikisan, pengolesan fungisida kimia (Triadimefon 250 g/l) dan pengistirahatan bidang sadapan selama 6 bulan lebih baik dari tindakan pemupukan, pengikisan, pengolesan fungisida Anti rot F95 dan pengistirahatan bidang sadapan selama 6 bulan. Sedangkan terhadap intensitas serangan berlaku sebaliknya.
11
B. Saran 1. Dianjurkan bagi pemilik kebun memperhatikan kebersihan, pemupukan, dan tidak menyadap terlalu sering. Pada tanaman karet yang sudah terserang KAS dianjurkan diistirahatkan minimal 1 tahun guna pemulihan bidang sadap. DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C., 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Makalah yang disampaikan pada pelatihan “Tekno Ekonomi Agribisnis Karet” oleh PT. FABA Indonesia Konsultan. Pusat Penelitian Karet. Medan. Fairuzah, Z., 2011. Manajemen Pengendalian KAS dan Penyakit Bidang Sadap. Balai Penelitian Sungei Putih. Pusat Penelitian Karet. Medan. Mayee, C.F and V.V. Datar., 1986. Phytopathometry. Department of Plant Pathology. Maratwada Agricultural. Univ. India. India Nazaruddin dan F.B. Paimin., 1998. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. Setyamidjaja, D., 1993. KARET Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta. Sianturi, H. S. D., 2001. Budidaya Tanaman Karet. USU Press. Medan Siregar, T.H.S., 1995. Teknik Penyadapan Karet. Kanisius. Yogyakarta. Umayah, A. 2012. Penyakit KAS Tanaman Karet. http://www.bp4kmesuji.net/perkebunan/77-penyakit-kas-tanaman karet.html?showall=1&limitstart. Diakses pada tanggal 24 Januari 2012.
12