PENGEMBANGAN BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN DI PESANTREN SALAFIYAH Oleh: Mujamil Qomar Abstract Reality organizations salafiyah very weak and often too chaotic. This situation is compounded by leadership scholars who are individual, authoritarian, dominant, charismatic, and feudal. Therefore, in developing the necessary and proper salafiyah organizing neatly cultivated and strengthen collective leadership so as to limit the role and authority of the kiai and able to strengthen the role of other parties as a counterweight. Key Words: Development of Organizational Culture, Salafi Islamic School PENDAHULUAN Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Setidaknya pesantren memiliki usia yang sangat tua. Meskipun terjadi perbedaan pandangan dari beberapa ahli tentang keberadaan pesantren pertama, usia pesantren tergolong tua. Ada orang menyatakan bahwa pesantren telah lahir di Indonesia pada abad ke-15 mengiringi masuknya Islam di negeri ini. Namun ada yang menyatakan pesantren baru terjadi pada abad ke-18. Bila pandangan kedua ini saja yang dipegangi maka usia pesantren berkisar 300 tahun, sebuah usia lembaga pendidikan yang sudah tua sekali. Dari persepektif usia itu, di satu sisi ada kelemahan pada pesantren. Semestinya dengan usia yang paling tidak tiga abad itu, pesantren memiliki kesempatan
lebih
awal
daripada
lembaga
lainnya
untuk
melakukan
pengembangan-pengembangan yang signifikan. Realitasnya menunjukkan kondisi lain; pesantren serba tertinggal oleh kemajuan sain dan teknologi. Ini berbeda dengan sejarah Harvard University yang dahulu merupakan “pesantren” orangorang Katholik, sekarang menjadi universitas terkemuka di dunia ini. Akan tetapi pada bagian lain menunjukkan penilaian yang berlawanan. Dengan adanya arus modernisasi yang melanda Indonesia, mestinya menurut logika modernisasi itu, pesantren salafiyah mengalami gulung tikar. Tetapi kenyataannya lain sama
sekali. Azyumardi Azra menyatakan bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga mampu mengembangkan diri bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan (Azra, 1999:106). Ketahanan pesantren ini menjadi lebih unik bila dibandingkan dengan nasib yang menimpa lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional di negara-negara lainnya seperti di Turki. Dari segi dinamika pesantren, penilaian para ahli ternyata kontroversi. Clifford Gertz, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Fuad Ansyari menilai sangat negatif terhadap dinamika pesantren. Namun, Manfred Ziemiek, Zamakhsari Dhofier, dan Kuntowijoyo menilai sebaliknya, sangat positif (Qomar, 2005). Kontroversi penilaian para ahli ini tentu menimbulkan kebingungan sehingga perlu diteliti secara serius, bagaimanakah dinamika yang terjadi di pesantern dewasa ini untuk menjawab secara tuntas terhadap kontroversi penilaian itu. Dalam catatan sejarah, pesantren mampu melahirkan tokoh-tokoh baik tokoh agama, tokoh politik, budayawan, intelektual dan sebagainya baik dalam skala lokal maupun nasional seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Syaifuddin Zukri, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Ali Yafie dan sebagainya. Tetapi dari segi organisasi, ternyata sangat lemah. Bagaimanakah dengan organisasi di pesantren salafiyah yang begitu lemah tetapi melahirkan tokoh-tokoh besar tersebut?
PEMBAHASAN Kondisi Organisasi Sebagaimana kita ketahui bahwa pengorganisasian di pesantren salafiyah sangat lemah sekali. Sebagai salah satu dari fungsi-fungsi manajemen, pengorganisasian (organizing) tampaknya tidak jalan. Apalagi bila diukur dari kaidah-kaidah organisasi modern, fungsi manajemen yang kedua setelah planning ini tidak menunjukkan lazimnya pengorganisasian seperti lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Oleh karena itu, budaya organisasi yang rapi, di pesantren
salafiyah tidak ada, yang ada adalah budaya organisasi semaunya atau budaya organisasi sekehendak kiai. Kelemahan organisasi di pesantren salafiyah ini tergambar dari kenyataan sbb: prinsip-prinsip organisasi tidak lagi dipegangi, struktur organisasi tidak lagi diperhatikan, tata kerja organisasi tidak jalan, tidak ada proses organisasi secara rapi tidak ada pembedaan wewenang dan kekuasaan, tidak ada pendelegasian wewenang ke unit-unit, hubungan dalam organisasi tidak dikenal, dan realitas serta fenomena lainnya yang menunjukkan kelemahan pengorganisasian pesantren. Kelemahan organisasi di pesantren salafiyah ini tentu berdampak negatif terhadap kinerja pada pengendali, kekompakan dalam bekerja, sinergitas, kesepahaman arah, maupun mekanisme kerja. Sebagai contoh kepala-kepala madrasah yang ada di lingkungan atau di dalam zona pesantren salafiyah, merasa kebingungan dan tidak dapat menyalurkan potensi maksimalnya untuk menatap masa depan. Sebab dari segi kedudukan dalam organisasi, mereka adalah para manajer meskipun bukan manajer tertinggi (top manager), tetapi dari segi fungsi dan peran yang boleh dimainkan, mereka tidak lebih dari staf biasa. Mereka harus mengikuti kehendak kiai meskipun kontra manajerial atau kontraproduktif. Disini terjadi pertentangan antara kaidah-kaidah manajemen dan organisasi yang seharusnya dipraktekkan dengan tatakrama keharusan mentaati kehendak kiai, sehingga gagasan-gagasan energik, kreasi dan inovasi yang mungkin ada pada mereka terbelenggu semua. Kemudian bagaimana mungkin mereka mampu mengembangkan lembaga pendidikan yang dipimpinnya? Tentu saja tidak mungkin, karena potensi mereka tidak diberikan ruang penyaluran oleh kiai. Kasus-kasus lainnya juga seperti itu, tidak hanya menimpa kepala-kepala madrasah tetapi juga menimpa pihak-pihak lain seperti para ustadz, pimpinan santri (lurah pondok) dan sebagainya. Kenyataan ini terjadi sesungguhnya memiliki genealogi tradisi yang jelas. Para kiai pesantren salafiyah dahulu juga menempuh pendidikan pesantrenpesantren yang tidak diorganisir secara rapi. Kebiasaan pendidikan yang ditempuh sebelumnya ini bagaimanapun berpengaruh dan terbawa ketika mereka menjadi
kiai. Bahkan pengaruh pendidikan sebelumnya ini tidak hanya pada aspek organisasi, tetapi juga pada sistem pendidikannya, pola pengajarannya, metode pengajarannya, sistem kenaikan kelas dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga tidak pernah dilatih berorganisasi secara profesional. Bila di luar pesantren, para kiai telah terlibat menjadi pemimpin atau anggota organisasi tetapi sebenarnya organisasi itu lebih mencerminkan sebagai jama’ah daripada jam’iyah. Jadi kalau di telusuri, pengorganisasian yang lemah itu dalam konteks pesantren salafiyah terjadi sejak awal. Hal ini dapat diperkuat lagi oleh falsafah pendirian pesantren yang rata-rata asal berdiri dan pengajian bisa berjalan, yang dalam bahasa Jawa biasa disingkat dengan falsafah kurdi (sukur dadi). Sejarah pesantren salafiyah menunjukkan bahwa pesantren tersebut didirikan oleh kiai pesantren tradisional dengan sistem tradisional, tidak pernah diproyeksikan dan direncanakan dengan pengorganisasian yang kuat. Falsafah kurdi ini kemudian mewarnai perjalanan pesantren berikutnya. Falsafah ini mendapat momentum untuk bertahan setelah bertemu motivasi dakwah. Sekalipun pesantren salafiyah dikenal masyarakat awam sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi sebenarnya lebih merupakan lembaga dakwah daripada lembaga pendidikan. Motivsi dakwahnya lebih kuat daripada motivasi akademik. Sedangkan lembaga dakwah atau gerakan dakwah tradisional dalam konteks Indonesai selalu berjalan alamiah, apa adanya dan tidak pernah dirancang secara sistematis. Bahkan acapkali lembaga atau gerakan dakwah seperti itu hanya bermodal tekad luhur, suatu semangat yang suci tetapi tidak disertai dengan persiapan yang matang. Sebenarnya di pesantren salafiyah juga dikenal panduan organisasi yaitu al-haqqu bila nidhamin yaqlibuhu al-bathil bi al-nidham (kebenaran tanpa organisasi akan terkalahkan oleh kebatilan yang di organisir). Para kiai sangat yakin dan hafal terhadap ungkapan itu, tetapi mereka tidak memiliki komitmen yang
kuat
untuk
mengikuti
keyakinannya
itu,
dengan
melakukan
pengorganisasian di pesantren secara rapi, ketat dan terprogram. Andaikan perilaku manajerial kiai dengan melakukan pengorganisasian secara teratur
niscaya kesan terhadap pesantren tidak seperti sekarang ini, tidak profesional, kontraproduktif, dan sangat individual. Selanjutnya, model pengorganisasian di kalangan pesantren tentu memiliki persinggungan dengan kondisi atau tipologi kepemimpinan kiai. Kepemimpinan merupakan kedudukan sedang pengorganisasian merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemimpin, pelaku yang menempati kedudukan itu. Acapkali tipe kepemimpinan seseorang berpengaruh kiai tertentu berpangaruh terhadap pola pengorganisasian di pesantren sehingga bentuk kepemimpinan kiai juga perlu dikaji
lebih
lanjut,
karena
terdapat
korelasi
yang
signifikan
dengan
pengorganisasian pesantren.
Kepemimpinan Kiai Kiai adalah figur pemimpin yang baik di pesantren maupun di masyarakat. Di kalangan pesantren yang baru berdiri, kiai merupakan pendiri, pemilik dan pengasuh pesantren sehingga kiai secara otomatis dan tradisional menjadi pemimpinnya. Sedangkan di masyarakat, kiai juga menjadi pemimpin bagi mereka. Posisi kiai dalam masyarakat itu tidak sekadar pembimbing, spiritual, tetapi merambah lebih jauh sebagai semacam “konsultan” masalah-masalah sosial, individual, kesehatan, pembangunan hingga masalah perjodohan. Posisi kiai yang serba menentukan tersebut baik di pesantren maupun di masyarakat dapat mengokohkan predikat kiai sebagai pemimpin secara tidak formal. Sebab kemunculan kiai menjadi panutan itu tidak melalui surat keputusan atau prosedur legal-formal, melainkan berjalan secara alamiah, mengalir begitu saja tanpa dikondisikan. Masyarakat tidak pernah mengadakan pertemuan untuk menyepakati kepemimpinan kiai. Mereka secara individual yang mengakui kiai sebagai panutannya, kemudian diikuti orang lain. Di kalangan pesantren, kepemimpinan kiai ini menuntut perspektif para santri dan pengikut setianya mungkin dipandang secara subyektif sebagai tipe kepemimpinan terbaik dengan alasan-alasan tertentu. Namun ditinjau dari segi kaidah-kaidah kepemimpinan modern dan tuntutan masyarakat sekarang ini,
ternyata kepemimpinan kiai tersebut menimbulkan masalah yang serius bagi kelangsungan dan kemajuan pesantren. Bahkan menjadi sumber masalah bagi mekanisme organisasi pesantren, termasuk pengorganisasian pesantren tidak berjalan dengan baik sehingga hampir seluruh unitnya menjadi terbelenggu. Menurut Farhan dan Syarifuddin (2005:112), kelemahan manajemen pesantren salaf dikarenakan segala sesuatu bertumpu pada figur kiai, otoritas pengelolaan pesantren sepenuhnya ditangan kiai, sehingga konflik muncul. Dalam pesantren, kiai adalah pemimpin tunggal yang memegang wewenang hampir mutlak. Di sini tidak ada orang lain yang lebih dihormati daripada kiai (Dirdjosanjoto,1999:156). Betapapun hebatnya, mereka tidak akan dihormati setara dengan kiai. Dia mesti dipandang rendah daripada kiai kendatipun misalnya ilmunya lebih mendalam. Dengan demikian, kiai ibarat “raja kecil” sedangkan pesantren ibarat “kerajaan kecil”. Di kalangan pesantren titah atau fatwa kiai menjadi konvensi (peraturan yang tidak tertulis) tetapi mengikat pada orang lain baik ustadz maupun para santri. Sedangkan mereka juga sangat menjunjung fungsi titah atau fatwa kiai itu untuk dibenarkan, dipatuhi dan dilaksanakan seoptimal mungkin. Mereka rela menjadi semacam pelayan bagi kiai, sehingga memproteksi kiainya baik secara fisik maupun psikologis. Sikap demikian ini menyebabkan kiai menjadi satusatunya aktor di pesantren. Sebagaimana dinyatakan oleh Masyhud dan Khusnuridlo (2003:15), “Kebanyakan pesantren manganut pola ‘serba mono’, mono manajemen dan mono administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi”. Hakekatnya semua kepemimpinan dan semua keputusan ditangani sendiri oleh kiai sehingga di samping mono manajemen dan mono administrasi, juga mono kepemimpinan, mono keputusan dan bahkan mono komando dan mono perintah. Gambaran serba mono ini mengakibatkan perilaku atau kiprah kiai menjadi tidak terkontrol dan tidak ada pihak lain yang mengontrol. Keadaan ini sungguh berbahaya bagi kelangsungan apalagi kemajuan pesantren menghadapi persaingan global sekarang ini. Karena tidak ada perimbangan-perimbangan. Kiai
diberi kesempatan berkiprah melebihi batas kelaziman sebagai seorang pemimpin sedang orang lain tidak dilibatkan secara signifikan dalam urusan kepemimpinan. Kiai berperan sangat progresif sedang orang lain tidak diberi peluang berpartisipasi, sehingga mereka hanya mendukung dan melegimitasi perilaku dan keputusan-keputusan kiai yang karismatik itu. Berkaitan dengan keadaan ini, Bruinessen (1994:78) menyatakan bahwa demokrasi masih jauh dari pesantren. Harapan demokratisasi desa melalui pesantren merupakan suatu yang naif. Sebab karisma dan demokrasi itu tidak bisa manunggal. Dalam kepemimpinan yang karismatik tidak ada demokrasi, sedang dalam demokrasi tidak ada tekanan pada karisma. Sebab keduanya memang dalam posisi berlawanan yang sulit disatukan. Sebenarnya dalam batas tertentu, pemimpin itu memiliki karisma dalam pengertian pengaruh yang keputusan-keputusannya diikuti oleh para bawahan, tidak masalah, justru menjadi kondusif. Tetapi yang bertentangan dengan demokrasi apabila pemimpin itu karismatik, mengandalkan dan menekankan pada karisma dalam menjalankan organisasi. Sebab dalam kepemimpinan yang menekankan pada karisma ini tidak memberi ruang gerak bagi partisipasi masyarakat untuk menentukan nasip mereka sendiri sebagai intisari dari demokrasi yang pada era sekarang ini senantiasa diperjuangkan dalam berbagai bidang kehidupan. Kepemimpinan karismatik itu sendiri pada dasarnya membelenggu organisasi. Di samping pola kepemimpinan ini tidak memberi ruang gerak bagi partisipasi masyarakat dalam menentukan nasip mereka sendiri, juga tidak melakukan kaderisasi secara terbuka. Secara keseluruhan kepemimpinan karismatik itu merusak hakekat kepemimpinan itu sendiri. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa watak
kepemimpinan karismatik kiai pesantren itu
menyebabkan belum menetapnya pola kepemimpinan di pesantren selama ini (Wahid, tt: 167). Di samping itu, masih ada empat kerugian dari kepemimpinan karismatik ini, yaitu: pertama, adalah munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren tersebut, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi kiai; kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk
calon pengganti yang inovatif) untuk mencoba pola-pola pengembangan yang belum diterima oleh kepemimpinan yang ada; ketiga, pola pergantian pimpinan berlangung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami seperti meninggalnya pemimpin secara mendadak; dan keempat, terjadinya pembaruan dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren, antara tingkat lokal, regional dan nasional. Kenyataan lainnya yang terjadi adalah bahwa pesantren tidak memiliki pemimpin yang efektif, yang ditunduki bersama semua pihak. Hal ini disebabkan faktor polarisasi sosio-politis yang sedang melanda umat Islam dan watak kepemimpinan pesantren yang bertopang pada kekuatan moral bukan skill berorganisasi. Keahlian seseorang untuk merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakkan atau memobilisasi kekuatan yang ada tidak pernah dijadikan alternatif pertama dalam memimpin pesantren. Sebaliknya, pertimbangan yang dikedepankan adalah kesalehan semata. Padahal Rasulullah telah memberi contoh pilihan dalam hal bila sulit ditemukan seorang yang memiliki keahlian dan kesalihan sekaligus dengan mengangkat Khalid bin Walid. Hal ini juga telah menjadi wacana dalam fiqh siyasiyah semacam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Siyasiyah Syar’iyah. Kepemimpinan
di pesantren selama ini lazimnya bercorak alami.
Pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pemimpin yang akan menggantikan pemimpin yang ada, belum memiliki bentuk yang teratur dan menetap. Hanya saja ada kebiasaan bahwa kiai yang paling tua adalah pemegang otoritas penuh dalam kepemimpinan pesantren (Wahid, 1999:15). Tetapi dalam kasus lain, banyak pengasuh pesantren yang sebenarnya tidak siap secara ilmu dan kepribadian tetap saja dipandang karena kebetulan ia adalah putra mahkota. Sebenarnya yang merusak pesantren itu adalah feodalisme semacam ini, yang masuk dalam tubuh pesantren (Hasan, 1997:23-24). Kebiasaan dalam kasus pertama maupun kedua ini sebenarnya menunjukkan dominasi kehidupan feodal di pesantren selama ini. Kebiasaan yang pertama dengan menempatkan kiai paling tua sebagai pemimpin pesantren yang berarti penerapan strategi “urut kacang”, yang mengakibatkan konsekuensi lebih
jauh terutama bagi yang lebih muda menjadi tertutup kesempatannya untuk menjadi pemimpin walaupun memiliki keahlian yang handal. Sedangkan dalam kebiasaan kedua dengan cara memaksakan putra mahkota menjadi pemimpin pesantren juga menutup peluang orang lain yang semestinya lebih layak untuk menjadi pemimpin pesantren. Sekat-sekat demikian ini masih terasa sekali di pesantren sebagai bentuk dari kehidupan feodal. Feodalisme ini memang dapat tumbuh subur di pesantren terutama karena bertemu dengan model masyarakat paternalistik. Dalam masyarakat semacam ini, kiai pesantren selalu dituakan secara fungsional. Artinya kiai pemimpin pesantren dianggap sebagai bapak yang seluruh tindaknya baik rasional maupun irrasional, inklusif maupun eksklusif, produktif maupun kontraproduktif, selalu condong dibenarkan. Dalam pandangan mereka, kiai sebagai orang tua atau dianggap bapak tidak mungkin menyesatkan mereka.
Pengembangan Pesantren Salafiyah Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka usulan pengembangan pesantren salafiyah ini difokuskan pada dua hal yaitu pembudayaan organisasi secara rapi dan penguatan kepemimpinan kolektif. 1. Pembudayaan Organisasi Secara Rapi Sebagai suatu wadah, pesantren merupakan suatu organisasi karena terdapat sekumpulan orang yang memiliki tujuan tertentu, tetapi dari segi fungsinya belum dapat disebut organisasi yang baik. Maka komunitas pesantren harus dilatih organisasi dengan baik yaitu dengan mengikuti dan menerapkan kaidah-kaidah organisasi mulai dari yang bersifat mendasar hingga proses tindakan; mulai dari perhatian dan penetapan prinsip-prinsip organisasi, asas-asasnya, strukturnya, tata kerjanya, prosesnya, pendelegasian wewenang dan sebagainya. Oleh karena itu pemimpin pesantren harus memahami, memperhatikan dan mengamalkan prinsip-prinsip organisasi, kemudian mensosialisasikan ke bawah untuk memahamkan para bawahan. Prinsip-prinsip itu menurut Siagian (1989:94) ada lima belas, yaitu: (1) kejelasan tujuan yang ingin dicapai; (2)
pemahaman tujuan oleh para anggota organisasi; (3) penerimaan tujuan oleh para anggota organisasi; (4) adanya kesatuan arah; (5) kesatuan perintah; (6) fungsionalisasi; (7) deliniasi; (8) keseimbangan antara wewenang dan tanggungjawab; (9) pembagian tugas; (10) kesederhanaan struktur; (11) pola dasar organisasi yang relatif permanen; (12) adanya pola pendelegasian wewenang; (13) rentang pengawasan; (14) jaminan pekerjaan; dan (15) keseimbangan antara jasa dan imbalan. Dari lima belas prinsip ini prinsip mana saja yang belum diterapkan oleh pesantren, pimpinan seharusnya mengidentifikasi
kemudian
menerapkan
secara
konsisten
dan
berkesinambungan di pesantren sehingga menjadi budaya. Semula mungkin terpaksa tetapi akhirnya akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan kemudian menjadi sifat. Kalau sudah menjadi sifat maka penerapan prinsip-prinsip organisasi itu akan berjalan reflektif dalam organisasi. Selanjutnya pimpinan pesantren dituntut menerapkan asas-asas organisasi dalam mengendalikan pesantren. Sebagaimana Keppres no. 45 yang dikutip Atmodiwirio (2000:94), yang merumuskan asas-asas organisasi itu sebagai berikut: (1) asas pembagian tugas; (2) asas fungsionalisasi; (3) asas koordinasi; (4) asas keseimbangan; (5) asas keluwesan; (6) asas akordeon; (7) asas pendelegasian wewenang; (8) asas rentang kendali; (9) asas jalur dan staf; dan (10) asas kejelasan dan pengembangan. Dalam konteks pesantren, asas-asas ini dapat diterapkan sebagai berikut: pertama, asas pembagian tugas. Asas ini menentukan agar pesantren merumuskan tugas yang jelas untuk menghindari duplikasi, benturan dan kekaburan bagi anggotanya; kedua, asas fungsionalisasi. Asas ini menekankan mekanisme
koordinasi
antar
satuan
kerja
yang
secara
fungsional
bertanggungjawab melaksanakan tugasnya; ketiga, asas koordinasi. Asas ini menekankan
peningkatan
kewajiban
koordinasi
yang
mantap
dalam
melaksanakan tugas-tugas pesantren baik ke dalam maupun ke luar; keempat, asas keseimbangan. Asas ini menekankan keseimbangan pelaksanaan tugastugas pesantren secara kesinambungan sesuai kebijakan yang telah diputuskan pimpinan; kelima, asas keluwesan. Asas ini menghendaki agar tugas-tugas
pesantren dapat dilaksanakan dengan mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan keadaan; keenam, asas akordeon. Asas ini menekankan bahwa organisasi pesantren dapat berkembang atau mengecil sesuai dengan tuntutan tugas dan beban kerjanya; ketujuh, asas pendelegasian wewenang. Asas ini menentukan tugas-tugas yang perlu didelegasikan dan tugas-tugas apa yang dipegang pimpinan; kedelapan, asas rentang kendali. Asas ini menekankan perlunya rasionalisasi antara bawahan dengan atasan karena
keterbatasan kemampuan atasan dalam mengendalikan bawahan;
kesembilan, asas jalur dan staf. Asas ini menekankan pembedaan antara satuan yang melakukan tugas pokok instansi, dengan satuan organisasi yang melakukan tugas-tugas penunjang; dan kesepuluh, asas kejelasan dan pembaganan.
Asas
ini
mengharuskan
setiap
organisasi
pesantren
menggambarkan susunan organisasinya dalam bentuk bagan. Dengan menerapkan asas-asas tersebut di dalam kehidupan pesantren, maka mekanisme organisasi pesantren tersebut akan berjalan secara tertib, lancar dan sinergis antara berbagai satuan atau unit yang ada dalam pesantren. Karena telah ada pendasaran bagi semua pihak yang terkait dengan pengendalian dalam menjalankan tugas mereka masing-masing. Hal ini akan lebih kondusif bila didukung struktur organisasi yang mapan. Struktur itu bukan hanya pembagian atau penjabaran kedudukan secara hirarkhis, tetapi juga memiliki tugas dan kewenangan masing-masing. Melalui struktur yang mapan, seseorang yang terlibat dalam struktur tersebut dapat mengetahui kepada siapa dia bertanggungjawab, dengan siapa dia memiliki mitra kerja, dan terhadap siapa dia memiliki kewenangan untuk memerintah. Mekanisme demikian ini dalam ilmu manajemen disebut dengan istilah manajemen struktur. Dengan manajemen struktur ini dapat dihindarkan kasus aneh yang sering terjadi di pesantren seperti bagian tata usaha meliburkan para siswa sementara kepala madrasahnya justru tidak tahu. Sikap seorang tata usaha ini bukan hanya salah, tetapi berbahaya karena dia mengambil alih wewenang kepala madrasah sebagai pimpinan.
Menurut Fatah (2001:73), ”pada struktur organisasi tergambar proses kerja, pembagian kerja, jenis kerja yang harus dilakukan, hubungan atasan dan bawahan, kelompok, komponen atau bagian, tingkat manajemen dan saluran komunikasi”. Terkait dengan struktur ini tentu juga perlu dipahami hubungan dalam organisasi. Apakah hubungan garis, hubungan staf, hubungan konsultatif maupun hubungan koordinatif. Hubungan garis adalah hubungan antar unsur dalam organisasi pendidikan yang menunjukkan garis perintah dari atas ke bawah; hubungan staf merupakan hubungan antar unsur dalam organisasi pendidikan yang menunjukkan penugasan untuk membantu kegiatan unsur lain dalam bidang pekerjaan tertentu. Dalam struktur organisasi sering digambarkan dalam bentuk garis ke samping tetapi berada di bawah unsur yang dibantu; hubungan konsultatif adalah hubungan antar unsur yang berada dalam organisasi dengan kedudukan setara. Hubungan ini digambarkan dalam bentuk garis putus-putus kesamping; sedangkan hubungan koordinatif merupakan pola hubungan yang menunjukkan hubungan unit dalam organisasi yang bertujuan mesinkronkan, saling mendukung, supaya searah dan tidak tumpang tindih (Fatah, 2001:83). Dalam pesantren, jikalau ada, struktur maupun hubungan organisasi itu sederhana sekali. Sebenarnya struktur dan hubungan organisasi yang sederhana tetapi mekanisme kerja bisa tertata secara baik dan teratur kemudian proses kerja bisa berjalan kondusif, maka keadaan itu lebih baik daripada yang komplek karena terdapat efisiensi tenaga. Tetapi yang menjadi permasalahan di pesantren justru sebaliknya, kesederhanaan struktur dan hubungan organisasi tersebut
menunjukkan
kekurangmampuan
komunitas
pesantren
dalam
berorganisasi. Di dalam organisasi pesantren seharusnya terdapat proses organisasi. Proses pengorganisasian ini menurut Fatah terdapat lima tahap: tahap pertama, adalah menentukan tugas-tugas apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi. Tahap kedua, membagi seluruh beban kerja menjadi kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh perorangan atau perkelompok. Tahap ketiga, menggabungkan pekerjaan para anggota dengan cara rasional,
efisien.
Tahap
keempat,
menetapkan
mekanisme
kerja
untuk
mengkoordinasikan pekerjaan dalam satu kesatuan yang harmonis. Tahap kelima, melakukan monitoring dan mengambil langkah-langkah penyesuaian untuk mempertahankan dan meningkatkan efektivitas (Fatah, 2001:72-73). Proses organisasi tersebut menunjukkan urutan tangga proses kegiatan secara sistematis, dari awal hingga akhir sehingga memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan di dalam organisasi manapun termasuk pesantren. Ada urutan yang jelas, ada tahapan-tahapan tertentu yang rasional, dan ada pula langkahlangkah yang konkrit. Dengan begitu, semua pihak menjadi jelas mana arah yang dituju, apa yang harus dilakukan lebih dahulu, dan apa yang dilakukan pada tahap akhir, tujuan apa yang ingin dicapai. Jadi diharapkan tidak ada lagi pihak-pihak tertentu yang merasa bingung dalam melakukan sesuatu kegiatan. Apabila pimpinan tidak bisa melaksanakan suatu tugas maupun karena menyangkut tugas bawahan, maka pimpinan dapat mendelegasikan yakni melimpahkan wewenang formal dan tanggungjawab kepada seseorang atas pelaksanaan kegiatan tertentu. Dalam hal pendelegasian ini, pimpinan pesantren harus menguasai kepada siapa dia mendelegasikan terkait dengan tugas yang akan dilaksanakan, kepada siapa dia bertanggungjawab, apa yang dilakukan pemimpin pada saat pendelegasian itu, dan apa yang harus dilakukan orang yang menerima delegasi itu mulai dari awal hingga kegiatan yang dijalaninya selesai. Demikianlah kaidah-kaidah pengorganisasian yang harus dikuasai pemimpin pesantren. Pengorganisasian di pesantren salafiyah ini akan berjalan dengan optimal manakala: (1) kiai pengasuh pesantren benar-benar menggerakkan dan mempraktekkannya; (2) terdapat komitmen bersama di antara semua pihak yang terlibat dalam pengendalian pesantren; (3) ada keinginan bersama untuk memajukan pesantren; (4) ada keinginan bersama untuk belajar dari kelemahan-kelemahan selama ini untuk segera diperbaiki; dan (5) ada kemauan bersama untuk mengejar ketertinggalan dari lembagalembaga pendidikan yang telah mapan pengorganisasiannya.
2. Penguatan Kepemimpinan Secara Kolektif Kepemimpinan dalam bahasa penelitian tergolong variabel penyebab bila dikaitkan dengan pesantren. Ini berarti kepemimpinan menempati posisi sebagai
penentu
dalam
mewarnai
kehidupan
pesantren,
apabila
kepemimpinannya profesional bisa mengantarkan kemajuan pesantren tetapi bila kepemimpinannya tidak profesional justru menjadi penyebab kemunduran pesantren. Jadi teka-teki nasip kelangsungan pesantren lebih ditentukan oleh faktor kepemimpinannya daripada faktor-faktor lainnya. Dasar pemikiran ini menunjukkan bahwa persoalan kepemimpinan pesantren ini harus mendapat perhatian yang besar secara fungsional. Artinya, harus ada evaluasi secara menyeluruh terhadap kepemimpinan pesantren selama ini, apa saja yang justru menjadi kendala dari kepemimpinan itu harus diungkap secara obyektif dan terbuka. Kemudian dibangun sistem yang baru, kepemimpinan yang kuat dan kokoh yang mampu menjamin kelangsungan dan kemajuan pesantren. Berdasarkan pengamatan terhadap kepemimpinan pesantren salafiyah di muka, tampaknya, kelemahan-kelemahan kepemimpinan di pesantren salafiyah itu berkisar pada persoalan kepemimpinan individual kiai, kekuasaan hampir mutlak, dominasi, otoriter, karismatik dan feodalisme. Semua aspek ini menyebabkan tidak ada pemberdayaan bagi orang lain terutama yang masuk ke dalam struktur organisasi pesantren, termasuk juga kader-kader yang mestinya dipersiapkan. Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah sistem kepemimpinan bersama atau kolektif. Rahman (2002:117) menyatakan bahwa pola kepemimpinan pesantren yang umumnya bercorak alami berupa pewarisan, harus segera dirombak supaya pesantren tidak ditinggalkan masyarakat. Pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pimpinan yang akan menggantikan pimpinan yang ada harus memiliki bentuk yang teratur dan menetap. Maka untuk mengembangkan pesantren sesungguhnya dibutuhkan lebih dari seorang pemimpin. Untuk itu, dalam beberapa pesantren perlu diterapkan sistem kepemimpinan multi leader. Misalnya, ada pesantren yang menerapkan pola
dua pemimpin, yakni pemimpin bidang kepesantrenan dan luar kepesantrenan. Maka dalam model kepemimpinan ini terdapat pimpinan umum yang dipegang seorang kiai dan pimpinan harian yang mengurusi kegiatan praktis mengenai pendidikan dan sebagainya (Rahman, 2002:117). Dengan demikian sistem manajerialnya harus mengarah pada pola kepemimpinan kolektif, sesuai hirarkhi kepemimpinan. Dengan model ini pesantren bisa menjadi salah satu lembaga modern sehingga kelangsungan pesantren tidak lagi bergantung pada seorang kiai sebagai pemimpin tertinggi secara manunggal. Bila kiai ini meninggal, kelanjutan kepemimpinannya bisa diteruskan oleh pemimpin lainnya.
Di samping itu, dengan model
kepemimpinan ini, seorang kiai membagi-bagi tugas kepada wakilnya sesuai keahlian yang dimilikinya (Rahman, 2002:121). Melalui pola kepemimpinan kolektif ini, diharapkan adanya manfaat yang berjangka pendek dan berjangka panjang. Manfaat pertama berupa terjadinya distribusi kekuasaan mulai dari kiai hingga seluruh lapisan dibawahnya. Mereka yang terlibat sebagai pengendali pesantren memiliki kewenangan dan tanggungjawab masing-masing. Tugas kiai sendiri menjadi semakin ringan. Dia tidak perlu lagi mengurusi semua permasalahan di pesantren, karena telah pembagian tugas kepada seluruh lapisan. Kiai cukup menangani masalah yang bersifat umum termasuk yang menyangkut strategi dengan menekankan pada kemampuan manusia (human skill) seperti bagaimana memotivasi bawahan, membimbing dan mengayomi mereka. Sedangkan kemampuan teknis (technical skill) menjadi beban bagi pemimpin pada level paling bawah. Adapun manfaat kedua, berupa jaminan kelangsungan pesantren, bahkan kemajuannya. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena kasus-kasus kepemimpinan individual kiai selama ini acapkali memutus mata rantai kepemimpinan sepeninggal kiai pengasuhnya. Dari kepemimpinan individual menjadi kepemimpinan kolektif itu cenderung mengalami pola perubahan tertentu. Masyhud dan Khusnuridlo (2003:16) mencatat bahwa dari beberapa kasus, perkembangan ini dimulai dari perubahan kepemimpinan pesantren; dari karismatik ke rasionalistik, dari
otoriter-paternalistik ke diplomatik-partisipatif, atau dari laissez faire ke demokratik. Tiga macam perubahan ini mengarah pada upaya penguatan partisipasi masyarakat atau pihak lain (selain kiai) untuk terlibat membesarkan pesantren. Orang luar mulai diberikan akses untuk sama-sama memikirkan dan mengembangkan pesantren. Memang, menurut Mastuhu, pesantren memerlukan keterlibatan sejumlah kalangan: ulama, cendekiawan, ilmuan, dan masyarakat sendiri. Sebab tantangan yang dihadapi pesantren sangat berat, sehingga posisinya di masa depan tidak hanya ditentukan keluarga kiai belaka, tetapi juga masyarakat luas (Mastuhu, 1997:262). Dengan demikian, kiai dan keluarganya harus bersikap realistis dan sportif dalam pengangkatan pemimpin berikutnya. Kursi kepemimpinan akan diduduki oleh orang yang tepat dan layak, meskipun dari luar keluarga inti kiai itu sendiri. Ini berarti parameter kepemimpinan seseorang untuk bisa menduduki posisi pemimpin pesantren adalah kapabilitas, kapasitas dan kompetensi. Putra mahkota tidak lagi menjadi ukuran utama kecuali dia memiliki kemampuan yang memadai. Keterlibatan berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang pengalaman dapat menimbulkan suatu interaksi positif konstruktif apabila diarahkan oleh suatu orientasi yakni orientasi pengembangan dengan misi memberikan pemecahan-pemechan terhadap problem yang dihadapi. Dalam interaksi ini akan terjadi suasana saling menerima dan memberi (take and give) maupun saling memberikan persepsi, sehingga wajah pesantren di masa depan akan dibentuk dari multi perspektif. Implikasinya, lulusan yang dihasilkan dirancang memiliki multi potensi dibandingkan lulusan masa lalu. Berbeda dengan kepemimpinan individual, dalam kepemimpinan kolektif ada distribusi tugas yang jelas dan merata. Semua pihak bekerja sesuai tugasnya masing-masing yang memiliki kaitan-kaitan hirarkhis dan fungsional sehingga membentuk mekanisme sistematik. Artinya, antara tugas yang satu dengan tugas lainnya tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan sama sekali, karena semuanya saling menopang dan terkait. Manajemen santri sebagai contoh, tidak akan terlepas dari manajemen kurikulum dalam upaya mewujudkan
tujuan pendidikan pesantren. Maka pihak yang bertanggungjawab terhadap santri harus bekerja sama dengan pihak yang bertanggungjawab terhadap kurikulum. Langkah awal mewujudkan kepemimpinan kolektif, biasanya beberapa pesantren berusaha mendirikan yayasan. Ini berarti ada lembaga penyelenggara pendidikan pesantren di samping pelaksananya. Mestinya dengan hadirnya yayasan ini segera terjadi perubahan yaitu kewenangan kiai menjadi lebih terbatas sedang partisipasi pihak lain makin kuat dan makin aktif. Ternyata adanya yayasan di beberapa pesantren belum juga mampu menjamin pelaksanaan demokrasi di pesantren sebab dalam beberapa kasus terutama menyangkut suksesi, karisma kiai masih menjadi bayang-bayang semua pihak. Pihak yayasan ternyata justru hanya diminta melegimitasi keputusan-keputusan subyektif kiai. Menurut Wahid (tt:19-20), bahwa betapapun demokratisnya susunan pimpinan di pesantren, masih terdapat jarang yang tak terjembatani antara kiai berikut keluarganya di satu pihak dan para asatidz dan santri di pihak lain. Kiai bukan primus interpares melainkan bertindak sebagai pemilik tunggal (directeur eigenaar). Untuk itu diperlukan modal tersendiri supaya bisa memperkuat partisipasi pihak lain dalam mengembangkan pesantren. Maka ada langkahlangkah tertentu yang perlu ditempuh untuk mewujudkan kepemimpinan pesantren yang kolektif secara hakiki, yaitu dengan: 1) Mendirikan yayasan bagi pesantren yang belum memilikinya, tetapi bagi pesantren yang terdapat yayasannya hendaknya dilakukan refungsionalisasi agar dapat mengimbangi kekuasaan kiai. 2) Pada tataran pelaksana pendidikan pesantren, perlu diadakan hirarkhis dan rasional pembagian kewenangan secara profesional, kepada wakil-wakil atau badal-badal kiai sampai tingkat paling bawah. 3) Perlu dirumuskan suatu aturan yang mengatur sistem kepemimpinan kolektif dan mekanismenya secara ketat.
4) Perlu adanya komitmen dan konsensus dalam mengaplikasikan aturanaturan tentang sistem kepemimpinan kolektif itu dalam kehidupan seharihari di pesantren. Realitas organisasi di pesantren salafiyah sangat lemah bahkan sering juga kacau. Keadaan ini diperparah oleh kepemimpinan kiai yang individual, otoriter, dominan, karismatik dan feodal. Untuk mengembangkan pesantren salafiyah itu perlu dibudayakan pengorganisasian secara rapi dan memperkuat kepemimpinan yang kolektif sehingga dapat membatasi peran dan kewenangan kiai
serta
mampu
memperkuat
peran
pihak-pihak
lainnya
sebagai
penyeimbang.
DAFTAR RUJUKAN Atmodiwirio, Soebagio. 2000. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT. Ardadizya. Azra, Azyumadi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. Brunnesen, Martin V. 1994. Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Pascakhittah 26. Pergulatan NU dekade 90-an. (Dalam Ellyasa KH. Darwis, Gus Dur, dan Masyarakat Sipil. Jakarta: LkiS. Dirdjosandjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat Kiai Presantren-Kiai Langgardi Jawa. Yogyakarta: LkiS. Farahan, H. dan Syarifudin. 2005. Titik Tengkar Pesantren Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren. Yogyakarta: Pilar Religia. Fatah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hasan, M, Talhah. 06 Juni 1997/Muharram Shofar 1417. Santri perlu Wawasan Baru. Santri, hlm. 23-24. Masyhud, M. Sulthon dan M. Khusnurridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Mastuhu. 1997. Kiai Tanpa Pesantren: K.H. Ali Yafie dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia, dalam Jamal D. Rahman (eds.). Wacana baru Fiqih 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan. Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga. Rahman, Mustofa. 2002. Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren, dalam Ismail SM, Nurul Huda, dan Abdul Kholiq. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Kerjasama Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar. Siagian, Sondang P. 1989. Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: P.T. Bina Aksara. Wahid, Abdurrahman. (tt). Bunga Rampai Pesantren. C.V. Dharma Bakti. Wahid, Abdurrahman. 1999. Pondok Pesantren Masa Depan, dalam Marzuki Wahid, Suwendi, dan Syaifuddin Zuhri (eds.).Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.
Refisi: 1. Belum ada keterangan mengenai penulis (artinya penulis dosen mana? Atau aktifis? Atau dari lembaga mana/apa?) 2. Belum ada penutupnya dalam artikel ini