PENGEMBANGAN BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI (DEVELOPING BIOSAFETY CLEARING HOUSE)1 oleh: B. Satyawan Wardhana2
I. Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah keragaman kehidupan di bumi, dari gen bakteria yang paling sederhana hingga ke ekosistem hutan hujan tropis yang sangat luas dan kompleks. Manusia merupakan bagian integral dari keanekaragaman ini, sebagaimana ia membutuhkan bahan pangan, obat-obatan, bahan pakaian dan segala sumber daya hayati yang mendukung kehidupan kita. Menyadari nilai penting keanekaragaman hayati pada keberlangsungan hidup umat manusia dan menyadari pula akan akibat dari tekanan aktivitas manusia pada sumber daya ini, telah mendorong diadopsinya Konvensi Keanekaragaman Hayati pada saat Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Sejak dari awal penyusunan dan negosiasi Konvensi, telah disadari bahwa pengetahuan ilmiah dan penguasaaan teknologi mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Namun demikian, kapasitas penguasaan teknologi dan informasi sangat bervariasi pada berbagai negara. Oleh karena itu, Konvensi telah menetapkan untuk membentuk suatu balai kliring informasi yang dimaksudkan untuk membantu negara-negara pihak dalam mengakses informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Istilah balai kliring sendiri berasal dari sektor perbankan yang mangacu pada penyelesaian finansial antar bank dimana cek dan surat-surat berharga dipertukarkan sehingga uang tunai hanya dipergunakan dalam penyelesaian neraca neto saja. Pada saat ini, istilah balai kliring ini semakin luas pengertiannya, termasuk semua badan atau institusi yang berfungsi mempertemukan pencari dan penyedia (baik barang, jasa maupun informasi) dalam satu wahana, atau dengan kata lain badan yang berfungsi untuk mempertemukan kebutuhan dan penyediaan. Balai kliring Konvensi dibangun untuk mendorong kerjasama ilmiah dan teknis di segala tingkatan antar semua Pihak Konvensi. Balai kliring juga dimaksudkan untuk memfasilitasi akses pada dan pertukaran informasi mengenai keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Balai kliring ini didirikan sesuai dengan provisi Pasal 18 ayat (3) Konvensi, mempunyai tujuan untuk: 1. Kerjasama – mendorong dan memfasilitasi kerjasama ilmiah dan teknis; 2. Pertukaran informasi – pengembangan mekanisme global untuk pertukaran dan pemaduan informasi mengenai kenakeragaman hayati, dan 3. Pengembangan jaringan kerja – pengembangan focal point-focal point dan partnernya, baik secara tematik maupun dalam pengelompokkan interest group/user group. Satu komponen yang krusial dari kerangka kerja operasional Balai kliring ini adalah bahwa BK harus berorientasi pada penyediaan jasa. BK harus mampu menyambungkan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk merespon pertanyaan2 mengenai topik yang relevan dalam implementasi Konvensi, memberi arahan kepada pengguna ke lokasi informasi yang
1
Disampaikan dalam Diskusi Fokus HANDAL “Exploring Local Needs in Developing Biosafety Clearing House”, Bogor, 26 September 2001. 2
Analis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem daratan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, National Focal Point for CBD Clearing House Mechanisms.
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
1
relevan, serta menjawab pertanyaan ilmiah dan teknis spesifik yang diajukan oleh para pengguna. Melalui sifat interactivenya, Balai kliring memberikan sarana untuk identifikasi dan diseminasi sumber informasi ganda dalam cara yang efektif dan terdesentralisasi.
II. Balai Kliring Keamanan Hayati Protokol Cartagena mengenai Keamanan Hayati yang telah diadopsi dalam Sidang Kelima Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati, bertujuan untuk menjamin konservasi keanekaragaman hayati terhadap dampak negatif yang mungkin timbul dari organisme hidup hasil modifikasi bioteknologi rekayasa genetik. Protokol ini berfokus pada pergerakan lintas batas. Protokol mengembangkan prosedur impor OHM yang disebut “advance informed agreement” atau AIA untuk menjamin bahwa setiap negara memperoleh cukup informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang bijak dan terinformasi baik sebelum menyetujui untuk impor OHM ke dalam negara tersebut. Untuk maksud ini, Protokol menetapkan suatu balai kliring untuk memfasilitasi pertukaran informasi semacam itu dan juga untuk membantu negara-negara dalam mengimplementasikan Protokol. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Protokol, Balai Kliring Keamanan Hayati mempunyai dua tujuan, yaitu: a. Untuk memfasilitasi pertukaran informasi teknis, ilmiah, lingkungan dan perundangundangan (legal) serta pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan OHM; dan b. Untuk membantu negara Pihak dalam mengimplementasikan Protokol, dengan mempertimbangkan kebutuhan yang khas negara berkembang, khususnya negara kurang beruntung dan negara kepulauan kecil serta negara-negara yang merupakan “countries of origin dan pusat-pusat keanekaragaman genetik. Balai kliring keamanan hayati akan berperan sebagai wahana dimana informasi “made available” untuk membantu negara-negara dalam mewujudkan tujuan fasilitasi pertukaran informasi dan implementasi Protokol. Melalui National focal Point dan/atau National Competent Authorities yang dibentuk berdasarkan Pasal 19, ayat (1) dan (2), negara-negara Pihak diminta untuk menyediakan, meng-update dan memproses informasi-informasi yang dibutuhkan dalam implementasi Protokol, seperti: •
Notifikasi-notifikasi untuk AIA (Pasal 7, 8, 9, dan 10), Prosedure bagi Organisme Hidup Hasil Modifikasi untuk pemanfaatan sebagai Pangan, Pakan dan Pemrosesan/OHM-P3 (Pasal 11), Review terhadap Keputusan (Pasal 12), prosedur yang disederhanakan (Pasal 13), Pergerakan Lintas Batas yang tidak disengaja serta Upaya-upaya Tanggap Daruratnya (Pasal 17);
•
Keputusan terkait dengan OHM P3 (LMO-FFP) seperti tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) dan Annex II Protokol;
•
Review terhadap keputusan yang telah diambil seperti tercantum dalam Pasal 12, ayat (1) Protokol;
•
Pelaksanaan Prosedur yang Disederhanakan sebagai pelaksanaan Pasal 13 Protokol;
•
Kesepakatan dan perjanjian Bilateral, Regional dan Multilateral yang terkait dengan pergerakan lintas batas yang disengaja dari OHM seperti yang tercantum dalam Pasal 14 Protokol;
•
Pergerakan Lintas Batas yang tidak disengaja serta Upaya-upaya Tanggap Daruratnya (Pasal 17)
•
Pengaturan dan/atau peraturan perundangan dalam negeri yang terkait dengan penelitian dan pengembangan, peredaran, pelepasan serta pemanfaatan OHM;
•
Summaries dari RAR dan RMR (risk assessment report dan risk management report);
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
2
•
Laporan yang wajib diserahkan kepada Sekretariat sesuai dengan Pasal 33 Protokol.
III. Operasi Balai Kliring Keamanan hayati Protokol Keamanan hayati menetapkan AIA sebagai mekanisme sentral bagi pergerakan lintas batas yang pertama secara sengaja untuk diintroduksikan ke lingkungan. Secara ringkas, dasar persyaratan AIA adalah memberikan Pihak pengimpor untuk menerima informasi selengkapnya mengenai OHM yang akan diintroduksikan ke lingkungan dan bilamana dipandang tepat bagi negara Pihak yang bersangkutan, diperkenankan untuk menolak atau membatasi impor OHM tersebut. Keputusan penerimaan atau penolakan atau pembatasan penerimaan dan/atau pembatasan pelepasan harus dikomunikasikan melalui Balai Kliring Keamanan Hayati (selanjutnya disebut BKKH). Protokol juga memuat pembatasan penerapan prosedur AIA ini bagi sejumlah komoditi. Sebagai contoh, prosedur AIA ini tidak berlaku bagi OHM yang digunakan sebagai farmasi, OHM yang sedang dalam transit dan/atau yang dimaksudkan untuk dimanfaatan secara tertutup, OHM yang telah diputuskan dalam MOP/COP untuk tidak lagi diproses dengan AIA, serta OHM yang dipergunakan sebagai pangan, pakan dan pemrosesan, atau lebih dikenal sebagai OHM-P3. Bagi OHM P3 ini, prosedur impornya lebih merupakan modifikasi dari AIA. Yaitu, pihak pengekspor diminta untk memberikan notifikasi melalui BKKH informasi mengenai OHM P3 yang diekspornya dengan standar kandungan informasi seperti tercantum dalam Annex II. Keputusan-keputusan yang diambil terkait dengan OHM P3 ini juga wajib dicantumkan di dalam BKKH. 3.1.
Karakteristik sistem pertukaran informasi BKKH
BKKH bertugas untuk memproses data dan informasi yang relevant dengan Pasal-pasal Protokol. Sistem pertukaran informasi di dalam BKKH harus dibangun sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi audiens yang sangat beragam termasuk NCAs dan NFP serta berbagai badan pemerintah yang lain, lembaga pemerintahan internasional, badanbadan penegak hukum, industri, Ornop dan anggota masyarakat secara umum, serta Sekretariat Konvensi. Karakteristik pertukaran informasi BKKH oleh karena itu diharapkan mampu: a. memungkinkan adanya validasi data yang diserahkan kepada sistem; b. menyimpan dan memelihara data dan informasi dan/atau menyediakan akses kepada data dan informasi tersebut; c. menyajikan data dalam bentuk dan format yang mudah untuk ditemukan; d. mengkontrol akses pada data-data konfidensial dalam sistem; dan e. melindungi data yang telah diserahkan kepada sistem. 3.2.
Format laporan, data atau informasi
Untuk memungkinkan penelusuran dan pencarian data dalam pangkalan data yang ada, sangat penting bahwa semua laporan dan atau data yang diserahkan pada BKKH mempunyai format yang seragam—baik format tunggal atau format terbuka yang mempunyai kerangka kandungan yang disepakati dimana perangkat untuk membaca dokumentasi ini tersedia secara bebas di internet. Bagi pertukaran laporan, data dan informasi yang efektif, maka dalam BKKH harus disepakati: a. Information requirements b. Common formats; c. Data input and input procedures;
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
3
d. Common language; e. Content validation and quality assurance; f. Data reporting. 3.3.
Arsitektur Sistem
Isu penting yang pertama harus dipertimbangkan dalam mendisain sistem adalah apakah nantinya data dan informasi akan dikelola dalam jejaring disentralisasi atau dalam pangkalan data sentral. Dalam jejaring terdesentralisasi, masing-masing pemilik data akan memelihara, mengelola dan mengupdate data dan informasinya secara mandiri. Disain ini mempunyai keuntungan bahwa kepemilikan, nilai konfidensial, dan tanggungjawab atas pemeliharan data tetap berada pada pemilik data. BKKH akan menghemat banyak resource, terutama resource yang terkait dengan pemeliharaan data. Namun demikian, kapasitas personel dalam BKKH harus berkualitas, karena BKKH harus melakukan validasi atas data dan informasi yang masuk dalam BKKH. Kendala yang lain adalah inter-operability dari beragamnya sistem informasi yang ada pada berbagai pemilik data dan informasi. Kendala lain yang biasanya terjadi pada negara berkembang adalah kurangnya koordinasi dalam pelapiran data dan jaminan kualitas data, overlaping dan gaps, serta ketidak sinkronan data dan informasi pada objek yang sama. Salah satu strategi alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan membentuk sistem pangkalan data sentral. Namun demikian sistem ini akan sangat membutuhkan jumlah personel BKKH yang sangat besar, peralatan yang rumit, serta sangat sulitnya prosedur bagi para pemilik data untuk mengupdate data dan informasi yang telah disimpan dalam BKKH. 3.4.
Pertimbangan untuk konfidensialitas informasi
Pasal 21 Protokol memungkinkan pihak pemberi informasi untuk meminta jaminan kepada BKKH atas informasi yang menurut sifatnya harus diperlakukan secara konfidensial. Menurut Pasal 21, ayat (6) Protokol, data atau informasi yang dapat dipertimbangkan sebagai non-konfidensial adalah: a. Nama dan alamat pihak pemberi notifikasi; b. Deskripsi umum mengenai OHM atau organisme sumber; c. Ringkasan dari RAR dan RMR d. Segenap methoda dan rancang tindak upaya tanggap darurat. Informasi-informasi selain yang tersebut di atas apabila diminta oleh pemberi notifikasi dapat saja dipertimbangkan sifat konfidensialnya (dengan justifikasi yang tepat). Untuk mendorong transparansi sistem informasi BKKH sebesar mungkin, dan untuk menjamin bahwa hanya sejumlah kecil saja informasi yang dapat diklasifikasikan sebagai konfidensial, maka informasi-informasi yang berstatus konfidensial tersebut dihindari untuk dicampur adukkan dengan informasi non-konfidensial dan akan lebih baik apabila dicantumkan secara terpisah dalam Lampiran terhadap dokumen utama notifikasi.
IV. Kebutuhan Khusus Negara Berkembang dalam BKKH Penggunaan perangkat dan media elektronik semakin memainkan peran yang penting dalam komunikasi antar Pemerintah, pihak-pihak berwenang dan masyarakat. Jelas kiranya, bahwa transfer data, informasi dan dokumen secara elektronis akan secara dramatis meningkatkan kapasitas penanganan dan pemrosesan informasi baik pada pihak pengguna maupun pada pihak penyedia informasi serta meningkatkan jumlah informasi yang disimpan dan ditransfer secara elektronik.
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
4
Kelemahan kapasitas negara berkembang akses pada komputer, jaringan informasi, dan teknologi informasi serta infrastruktur komunikasi masih merupakan kendala bagi pemngembangan BKKH yang berbasis internet. Namun demikian, keberhasilan transfer informasi sepenuhnya bergantung pada kemampuan sistem dalam menyampaikan/memberikan informasi bilamana, dimana dan kapan informasi tersebut dibutuhkan dalam format dan kualitas yang sesuai/tepat. Pasal 20, ayat (1) butir b Protokol, secara khusus menekankan kebutuhan khusus negara berkembang, negara-negara pusat keragaman genetik dan pusat asal tanaman komoditas yang terkait pula dengan operasional BKKH. 4.1.
Infrastruktur Komunikasi
Tampak secara jelas bahwa terdapat disparity yang sangat besar pada sumber daya dan infrastruktur telekomunikasi antar negara, dan meskipun internet telah digunakan secara luas di berbagai kawasan, saat ini internet bukan merupakan media yang viable bagi pertukaran informasi terutama di negara-negara berkembang. Penggunaan sumberdaya komunikasi berbasis internet membutuhkan infrastruktur telekomunikasi yang relatif baik, dan biaya untuk akses cenderung berbanding terbalik dengan pendapatan per kapita penduduk. Oleh karena itu dengan melihat keterbatasan ini, pengembangan kapasitas untuk pertukaran informasi merupakan kebutuhan kunci di bidang ini. Di samping permasalahan hardware dan akses, negara-negara berkembang masih menghadapi kendala kapasitas dalam menyediakan data dan informasi dalam bentuk atau format digital. Pengembangan pangkalan data elektronik/digital membutuhkan disain sistem, standard, pemeliharaan, publisitas dan pelatihan. Permasalahan utama yang tampaknya akan dihadapi dalam hal ini adalah ketersediaan dan/atau kecukupan sumberdaya finansial (untuk pengembangan SDM, infrastruktur dan teknologi informasi) dan akses pada teknologi yang dibutuhkan. BKKH harus dibuat dengan tingkat aksesibilitas yang memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh semua pengguna, regardless tingkat penguasaan teknologi informasi yang tersedia. Oleh karena itu, sejalan dengan pengembangan system pertukaran data elektronis, upaya yang sama inensitasnya diperlukan untuk menggali segenap mekanisme pertukaran informasi tradisional yang ada, baik untuk mengimplementasikan Protokol serta untuk penguasaaan pengetahuan dalam aplikasi praktis mengenai pengkajian dan pengelolaan keamanan hayati. 4.2.
Keberagaman Wahana Akses pada Informasi
Pertama-tama, disadari adanya kebutuhan untuk menggabungkan sistem non-internet untuk mengakses BKKH, seperti distribusi melalui layanan pos bahan-bahan tercetak, disket atau CD-ROMs, dan/atau pangkalan data elektronik yang tidak terlalu rumit/besar. Selanjutnya ada beberapa pendekatan yang dapat dieksplor dengan sasaran untuk mendukung pertukaran informasi se-efisien mungkin, khususnya terkait dengan peningkatan akses pada informasi. 4.3.
Penguatan Jejaring Data Regional
Sifat ketersambungan pangkalan data melalui jejaring regional dan sub-regional dapat membantu meningkatkan kecepatan akses pada informasi serta menghindari kepadatan lalulintas data yang tidak diperlukan. Penguatan atau pengembangan mekanisme yang memadai untuk mensuply dan mempertukarkan informasi dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak pada tingkat nasional dan regional. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan pangkalan data regional dapat meningkatkan arus pertukaran informasi mengenai approvals atau decision yang telah dibuat related to pengelolaan OHM, rooster of experts, kelembagaan keamanan hayati dan peraturan perundangn yang terkait. Pangkalan-pangkalan data regional ini akan membantu negara-negara dalam kawasan untuk menshare beban finansial untuk melaksanakan RA dan memungkinkan negara-negara tersebut mengidentifikasi external sources dari kepakaran dalam rangka pengembangan kapasitas serta untuk upaya harmonisasi langkah-langkah keamanan hayati dalam kawasan.
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
5
4.4.
Pusat-pusat informasi publik
Solusi alternatif yang berbiaya relatif murah adalah dengan memanfaatkan jejaring telekomunikasi dan infrastruktur publik yang sudah ada, seperti warung-warung informasi (sebagai contoh WARINTEK yang dikembangkan oleh BPPT, atau memanfaatkan projek IPTEKNet World Bank yang merupakan komponen dari Projek IID). 4.5.
Pengembangan Kemitraan
Implementasi jejaring regional tergantung pada kolaborasi—negara dan partner bekerja bersama, belajar bersama dan sharing pengetahuan, kepakaran serta pengalaman. Mekanisme kolaborasi diperlukan untuk mendorong kinerja jejaring, seperti halnya ssistem untuk mengidentifikasi kebutuhan negara dan/atau mitra yang bersama mengimplementasikan upaya keamanan hayati (termasuk strategi untuk mengatasi barriers yang saat ini membatasi partisipasi masyarakat umum) dan suatu sistem untuk mengidentifikasi sumberdaya yang tersedia bagi kebutuhan2 tersebut. Bogor, 26 September 2001
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
6