Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
PENGEMBANGAN AYAM NUNUKAN DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN TIMUR WAFIATININGSIH, SULISTIYONO I. dan BARIROH N.R. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja PO Box 1237 Samarinda 75119
ABSTRAK Ayam Nunukan adalah ayam lokal yang berkembang di Daerah Nunukan dan Tarakan Kalimantan Timur. Ayam Nunukan merupakan salah satu kekayaan Plasma Nutfah Kalimantan Timur yang memiliki karakteristik dan keistimewaan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Ciri khas dari ayam ini adalah baik jantan maupun betina mempunyai bulu berwarna coklat sebagai warna dasar, pola warna bulu polos, kerlip bulu keemasan dan corak bulu polos. Ciri khas lain dari ayam jantan Nunukan adalah lambatnya pertumbuhan bulu di sayap dan bulu ekor sangat sedikit/sangat pendek atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Ayam Nunukan memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan menjadi ayam dwiguna (petelur dan pedaging). Pada ayam Nunukan yang asli, bobot ayam dapat mencapai 20-30% lebih berat dari ayam lokal lainnya. Produksi telurnya dapat mencapai 182 butir pertahun dengan berat telur 47,5 gram. Pada saat ini ayam Nunukan telah mengalami penurunan produktivitasnya. Berat telur rata-rata 41 gram dan produksi telurnya telah menurun drastis sekitar 100 – 120 butir/tahun. Hal ini terjadi karena pemeliharan yang bersifat tradisionil sehingga terjadi perkawinan silang dengan ayam buras lainnya. Dari performans secara fisik terlihat adanya perubahan warna dan pertumbuhan bulu, bentuk jengger dan lain-lain. Kata kunci: Ayam Nunukan, pengembangan, permasalahan
PENDAHULUAN Sampai saat ini ayam buras atau ayam lokal masih merupakan salah satu komoditas peternakan andalan karena memiliki potensi yang sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani (penghasil daging dan telur) bagi masyarakat dan mendukung peningkatan pendapatan masyarakat terutama di daerah pedesaan. Salah satu ayam lokal Indonesia adalah ayam Nunukan yang merupakan plasma nutfah khas Kalimantan Timur. Menurut sejarahnya ayam ini dibawa oleh para imigran dari Cina yang bekerja di daerah Nunukan dan Tarakan. Walaupun ayam ini telah populer dengan nama Ayam Nunukan namun di pulau Nunukan ayam tersebut tidak berkembang karena para imigran Cina lebih banyak menetap di pulau Tarakan dan akhirnya di pulau inilah ayam Nunukan lebih banyak berkembang (ANONIM, 1994). Ayam Nunukan memiliki karakteristik dan keistimewaan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Ciri khusus dari ayam ini adalah baik jantan maupun betina mempunyai bulu berwarna coklat sebagai warna dasar, pola
warna bulu polos, kerlip bulu keemasan dan corak bulu polos. Ciri khas lain dari ayam jantan Nunukan adalah lambatnya pertumbuhan bulu di sayap dan bulu ekor sangat sedikit/sangat pendek atau bahkan tidak tumbuh sama sekali (WAFIATININGSIH, et al., 2005). Ayam ini merupakan ayam tipe dwiguna (pedaging dan petelur). Dalam umur 6 bulan beratnya bisa mencapai 3,5 kg (berat hidup) dan bila sudah dewasa bisa lebih dari 4 kg (IRAWAN, 1996). Menurut CRESWELL, dan GUNAWAN (1987) yang disitasi MURTIDJO (2000), menyatakan bahwa produksi pertama ayam Nunukan pada umur 153 hari, sedangkan ayam ras petelur umur 150 hari. Produksi telur ayam Nunukan sebanyak 182 butir sedangkan ayam ras sebanyak 259 butir. Walaupun produksi telur lebih sedikit tapi konsumsinya juga lebih sedikit yaitu sebanyak 85 gr/ekor/hari sedangkan ayam ras sebanyak 118 gr/ekor/hari, tetapi konversi pakan ayam Nunukan lebih besar yaitu sebesar 3,6 sedangkan ayam ras sebesar 2,7. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kalimantan Timur tahun 2005 menyebutkan bahwa perkembangan ternak ayam buras dari
31
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
tahun 2004 – 2005 cenderung mengalami penurunan sebesar 21,21% (3.448.000 ekor menjadi 2.716.800 ekor). Sementara itu pada tahun yang sama terjadi kenaikan penyediaan produksi daging ayam buras sebesar 2,05%. Jika kondisi ini tidak segera diatasi maka akan terjadi pengurasan ternak ayam buras. Hal ini membuktikan bahwa komoditas ayam buras telah mempunyai segmen pasar tersendiri sehingga tidak dapat digeser oleh komoditas ternak lain. Dengan melihat potensi yang dimiliki ayam Nunukan sebagai ayam tipe dwiguna, maka ayam ini dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan akan ayam buras. Makalah ini memuat tentang permasalahan dan alternatif pemecahannya dalam pengembangan ayam Nunukan di Kalimantan Timur. Tulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk program pengembangan dan pelestarian ayam Nunukan. PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN AYAM NUNUKAN
Permasalahan Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ayam Nunukan ini hampir tidak ada bedanya dengan permasalahan yang dihadapi pada pengembangan ayam buras pada umumnya, seperti masalah pakan dan manajemen pemeliharaan. Dari hasil Partisipatory Rural Appraisal (PRA) Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Kalimantan Timur diketahui bahwa, baik di kabupaten Tarakan maupun Nunukan tujuan utama pemeliharaan ayam Nunukan hanyalah sebatas untuk pemenuhan konsumsi keluarga dan untuk keperluan tradisi ritual keagamaan. Minat masyarakat yang rendah terhadap ayam Nunukan karena warna bulunya yang mirip dengan ayam ras petelur sehingga banyak yang beranggapan bahwa ayam Nunukan bukan termasuk ayam buras. Disamping itu karena pertumbuhan bulunya yang lambat (pada saat umur 3 bulan 50% bulu baru tumbuh) menyebabkan masyarakat kurang menyukai jika dikonsumsi pada umur 3 bulan, padahal cita rasa dagingnya menyerupai ayam
32
kampung (SULISTIYONO, et al., 2006). Pemeliharaan secara intensif dengan memanfaatkan potensinya sebagai ayam dwiguna belum dilakukan secara serius. (WAFIATININGSIH, et al., 2004). Pada saat ini ayam Nunukan telah mengalami penurunan produktivitasnya. Berat telur rata-rata 41 gram dan produksi telurnya telah menurun drastis sekitar 100 – 120 butir/tahun. Berat badan ayam dewasa rata-rata 1,55 kg. Dari performan secara fisik terlihat adanya perubahan warna dan pertumbuhan bulu, bentuk jengger dan lain-lain (SULISTYONO et al., 2005). Menurut DIRJEN PETERNAKAN (2000), pola pemeliharaan ayam lokal di masyarakat pedesaan Indonesia sebanyak 80% masih dilakukan secara ekstensif sisanya 20% secara semi intensif. Hal tersebut terjadi pula pada pemeliharaan ayam Nunukan. Di Daerah Tarakan dan Nunukan sistem pemeliharaannya kebanyakan bersifat tradisional dengan tingkat kepemilikan yang rendah (5 – 10 ekor) sehingga menyebabkan: perhatian petani terhadap ayam yang dipelihara sangat kurang, kematian ayam dianggap hal yang biasa karena kerugian tidak besar. Akibat lainnya adalah populasi ayam Nunukan dengan mutu genetik sesuai dengan nenek moyangnya sangat sedikit karena terjadinya perkawinan dengan ayam buras biasa dan tingginya angka mortalitas pada periode starter karena lambatnya pertumbuhan bulu. Harga pakan yang tinggi dan kurangnya pengetahuan petani tentang sumber-sumber pakan alternatif lokal menyebabkan petani memberikan pakan yang seadanya dan tidak sesuai dengan status fisiologis ternak, tidak adanya recording dari peternak dan jarang dilakukan kontrol kesehatan. (WAFIATININGSIH, et al., 2004). Belum adanya sertifikasi dan kurangnya sosialisasi ke masyarakat tentang potensi ayam Nunukan menyebabkan kurangnya minat para petani dan pihak swasta untuk mengembangkan ayam ini. Alternatif pemecahan masalah Kekayaan sumber daya genetik tidak akan memberikan manfaat yang optimal jika tidak dimanfaatkan dengan baik dan layak. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya genetik
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
memerlukan perhatian yang serius dan penyususnan program yang terarah. Pemanfaatan sumber daya genetik yang paling sering dilakukan adalah dengan menggunakan sumberdaya genetik yang bersangkutan dalam proses produksi yang bisa memberikan keuntungan dalam suatu sistem usaha tani (SAMARIYANTO, 2005). Pengembangan ayam Nunukan hendaknya diarahkan pada pelestarian dan peningkatan populasi ayam Nunukan, peningkatan pendapatan petani peternak dan peningkatan konsumsi protein hewani khususnya masyarakat pedesaan dan menciptakan lapangan kerja. Dengan melihat berbagai permasalahan dalam pengembangan ayam Nunukan, maka beberapa alternatif pemecahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah: 1. Pengembangan ayam Nunukan dapat dilaksanakan secara in-situ dan ex-situ. Di daerah asalnya (Nunukan dan Tarakan), ayam Nunukan dapat dikembangkan secara in-situ yaitu wilayah tersebut dijadikan wilayah pembibitan sehingga akan meningkatkan populasi dan genetik di habitat aslinya. Pemerintah daerah bertanggung jawab atas pelestarian plasma nutfah ayam Nunukan. Disamping itu perlu adanya perlindungan terhadap pelestariannya yang harus dijadikan dasar kebijakan, termasuk pembatasan dalam pengeluaran bibit dan pencampuran dengan ayam lain yang berbeda karakteristik genetiknya. Oleh karena itu perlu adanya kegiatan seleksi bibit ayam Nunukan untuk memperoleh ayam Nunukan dengan mutu genetik sesuai dengan nenek moyangnya. 2. Pengembangan ayam Nunukan secara ex-situ dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan populasi dan genetiknya secara lebih terprogram. Disini harus ada penentuan arah perbaikan genetik yang dipilih, sehingga produk yang dihasilkan betul-betul merupakan kebutuhan konsumen, dapat dipasarkan dan memberikan keuntungan. Dalam upaya meningkatkan daya tarik konsumen ayam Nunukan sebagai ayam pedaging, maka perlu dilaksanakan perkawinan silang
dengan ayam lokal lainnya yang mempunyai produktivitas tinggi sebagai ayam pedaging. Persilangan ini dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan baru dengan tampilan ayam yang memiliki warna dan laju pertumbuhan bulu seperti ayam lokal lain sehingga tampilan dan rasa dapat diterima konsumen. Sebagai contohnya adalah ayam hasil persilangan antara pejantan Pelung dengan betina lokal yang mempunyai prospek sebagai ayam pedaging lokal, pada umur 12 minggu ayam silangan Pelung–Kampung memiliki bobot badan (844 g/ekor), nyata lebih tinggi dari ayam kampung (704 g/ekor) (ISKANDAR et al., 1998). 3. Perlu peningkatan skala kepemilikan ternak menjadi skala ekonomis sehingga petani lebih berkonsentrasi dalam melaksanakan usaha ternaknya. Menurut KUSNADI (2005), skala ekonomis untuk pemeliharaan ayam buras minimal 300 ekor induk/petani. Oleh karena itu perlu adanya bantuan modal berupa kredit berbunga rendah dari pemerintah. Sebelumnya perlu dilakukan kajian ekonomis ditingkat peternak. 4. Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal maka harus dilakukan perubahan sistem pemeliharaan dari tradisional ke semi intensif atau intensif sesuai dengan kemampuan petani peternak. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rakitan teknologi pemeliharaan untuk ayam Nunukan adalah tingginya angka mortalitas ayam pada masa starter. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan bulu, sehingga pada masa starter memerlukan pemanas ayam yang lebih lama dibanding ayam lokal lain. 5. Kontrol kesehatan harus dilaksanakan secara intensif. Dari hasil PRA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur tahun 2004 diketahui bahwa selama ini vaksinasi yang dilakukan oleh petani hanya untuk penyakit New Castle Disease (ND) (WAFIATININGSIH et al., 2004). Untuk mencegah penyakit viral lain yang sering terjadi di lapangan perlu
33
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
6.
7.
8.
9.
34
dilakukan vaksinasi tambahan yakni untuk penyakit Infectious Bursal Disease atau Gumboro dan yang saat ini sedang digalakkan adalah vaksinasi Flu Burung (Avian Influenza) karena daerah Kalimantan Timur telah dinyatakan positif terjangkit Avian Influenza (AI). Disamping itu petani disarankan untuk melakukan biosecurity yang ketat. Pada pemeliharaan ayam di tingkat petani kontrol kesehatan ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya dukungan dari Dinas Peternakan setempat. Permasalahan pakan yang merupakan komponen biaya terbesar dalam produksi (70%) dapat diatasi dengan penggunaan pakan campuran yang memanfaatkan sumberdaya lokal. Menurut ZAINUDDIN (2005), dalam penggunaan bahan pakan lokal yang perlu di perhatikan antara lain: jumlah ketersediaan harus cukup banyak (kontinuitas dalam jumlah memadai), kandungan gizi, harga dan kandungan anti nutrisi. Selain limbah pertanian, perikanan dan perkebunan, limbah makanan baik yang berasal dari restoran, kantin/pabrik serta limbah pasar sayur dapat diproses menjadi bahan pakan ternak yang bergizi dan relatif murah. Dari aspek pasar perlu adanya spesifikasi usaha pada tingkat kelompok tani yaitu usaha pembibitan (produksi telur tetas, penetasan dan pembesaran), produksi telur konsumsi, produksi daging serta usaha pasca panen yang satu sama lain saling membutuhkan dan saling memberikan keuntungan. Untuk mendukung usaha pemasaran maka perlu bekerja sama dengan Dinas Pariwisata yang siap mempromosikan melalui obyek-obyek wisata dan sosialisasi yang intensif oleh Dinas Peternakan setempat tentang keistimewaan dan potensi ayam Nunukan. Perlu adanya standarisasi dan mutu bibit ayam Nunukan secara berkala (misalnya tiap lima tahun sekali). Pelaksanaan pengembangan ayam Nunukan mutlak membutuhkan
dukungan dari pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan dan Pertanian, Komda Plasma Nutfah, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Perbankan dan pihak swasta khususnya dalam hal pengadaan modal kerja, inovasi teknologi dan kelembagaaan. Para pelaku sebaiknya saling berinteraksi dalam suatu jaringan kerja yang berfungsi terutama dalam pertukaran informasi. Koordinasi dilaksanakan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pelaporan. 10. Perlu usaha untuk memperdayakan Rural Rearing Multiplication Centre (RRMC) khusus untuk ayam Nunukan yang saat ini telah terbentuk di kabupaten Tarakan dan mengaktifkan serta mendorong kemajuan kelompokkelompok tani ternak. Kemitraan antara petani dan pengusaha atau pedagang besar ternak perlu dikembangkan agar petani mendapat kesempatan lebih besar untuk memelihara ternak dengan teknologi yang lebih baik, sehingga akan mempercepat pengembangan ayam Nunukan. KESIMPULAN Dengan melihat potensi yang dimiliki oleh ayam Nunukan dan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangannya, maka pengembangan ayam Nunukan hendaknya diarahkan pada pelestarian dan peningkatan mutu genetik dan populasi ayam Nunukan, peningkatan pendapatan petani peternak, peningkatan konsumsi protein hewani khususnya masyarakat pedesaan dan menciptakan lapangan kerja. Hal ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya kerjasama antara pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan dan Pertanian, Dinas Pariwisata, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Pihak swasta, Perbankan dan petani peternak. DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS. 1994. Ayam Nunukan Ayam Tanpa Bulu Suatu Anugrah Plasma Nutfah Untuk Ayam Buras di Kalimantan Timur. Laporan Proyek Pembinaan Desa Ayam Nunukan Di
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Dati II Kutai dan Samarinda. Penerbit Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 2005. Laporan Tahunan 2005. Penerbit Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2002. Statistik Peternakan Indonesia. Jakarta KUSNADI, U. 2005. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Ayam Lokal di Lahan Rawa Untuk Memacu Ekonomi Pedesaan. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. MURTIDJO, BA. 2000. Mengelola Ayam Buras. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. IRAWAN A.H.S., 1996. Ayam-ayam Unggul. CV. Aneka.
Pedaging
ISKANDAR, S., D. ZAINUDDIN, S. SASTRODIHARDJO, T. SARTIKA, P. SETIADI dan T. SUSANTI. 1998. Respon Pertumbuhan Ayam Kampung dan Ayam Silangan Pelung terhadap Ransum Berbeda Kandungan Protein. JITV. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. SAMARIYANTO. 2005. Arah Pengembangan Pembibitan Ayam Lokal di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
SULISTYONO, I., WAFIATININGSIH, N.R. BARIROH dan KARSADI. 2005. Laporan Tahunan Pengkajian Teknologi Budidaya Ayam Nunukan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. SULISTYONO, I., S. SUDARWATI, WAFIATININGSIH, N.R. BARIROH dan N. ROUFIQ. 2006. Laporan Kegiatan Uji Rasa: Perbandingan Cita Rasa Daging Ayam Nunukan dengan Ayam Kampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. WAFIATININGSIH, NURBANI, A.H. WIDODO, Y. FIANA, S. SUDARWATI, I. SULISTIYONO, D. NASTITI dan S. SALMA. 2004. Laporan Tahunan Eksplorasi, Karakterisasi dan Budidaya Plasma Nutfah Asli Kalimantan Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. WAFIATININGSIH, I. SULISTIYONO, dan R.A. SAPTATI. 2005. Performans dan Karakteristik Ayam Nunukan. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. ZAINUDDIN, D. 2005. Strategi Pemanfaatan Pakan Sumberdaya Lokal dan Perbaikan Manajemen Ayam Lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
35