PENGELOLAAN LAHAN TERBAIK HASIL SIMULASI MODEL SWAT UNTUK MENGURANGI ALIRAN PERMUKAAN DI SUB DAS CILIWUNG HULU
RAHMAH DEWI YUSTIKA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Lahan Terbaik Hasil Simulasi Model SWAT Untuk Mengurangi Aliran Permukaan di Sub DAS Ciliwung Hulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2013
Rahmah Dewi Yustika A151090041
ABSTRACT RAHMAH DEWI YUSTIKA. Simulation of Best Management Practices Using SWAT Model To Reduce Surface Runoff in Upper Ciliwung Watershed. Under supervision of SURIA DARMA TARIGAN, YAYAT HIDAYAT and UNTUNG SUDADI. Serious problems encountered in watershed management are related to the vegetated-land conversion and increasing areas of critical lands. The later is caused by inproper land management ignoring land capability and suitability, lack of application soil and water conservation techniques and landuse changes. Measurement of various field parameters at watershed scale was not easy to do because of its complex characteristics which sometime interrelated to each others. Modelling can be useful to understand processes involving those parameters in a watershed. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) is a physically-based model developed to predict the impacts of land management practices on water, sediment and agricultural chemical yields in large complex watersheds with varying soils, land uses and management conditions over long periods of time. The objectives of this research were: (1) To analysis application of SWAT model to predict surface runoff, erosion and nutrient loss (nitrate) in upper Ciliwung Hulu watershed, (2) To predict Best Management Practices in agriculture field in order to reduce surface runoff in upper Ciliwung Hulu watershed. Methods applied includes collection of primary and secondary data, preparation and analysis of the input data, application of the SWAT model, analysis of the calibration parameters, determination of the validation values and simulation land management. The research was held in the period of June 2011 until June 2012. Based on daily flow discharge in February and March 2008 and 2009, the calibration result showed an R value of 0,80 and NSE value of 0,55. Validation result in February and March 2009 and 2011 showed an R value of 0,88 and NSE value of 0,74. These results described that SWAT model can be used to predict hydrological processes in upper Ciliwung Hulu watershed. Calibration of sediment observation and nitrat data were not successful because the values between observation and simulation were so different. This condition made erosion prediction and nutrient loss prediction could not be proceeded. Best Management Practices recommended terraces to be applied in upper Ciliwung Hulu watershed as terrace is the most effective soil conservation techniques to reduce surface runoff.
Keywords: calibration, soil conservation, surface runoff, SWAT, validation
RINGKASAN RAHMAH DEWI YUSTIKA. Pengelolaan Lahan Terbaik Hasil Simulasi Model SWAT Untuk Mengurangi Aliran Permukaan di Sub DAS Ciliwung Hulu. Komisi Pembimbing: SURIA DARMA TARIGAN, YAYAT HIDAYAT dan UNTUNG SUDADI.
Pengelolaan DAS merupakan masalah serius karena luas lahan kritis dan konversi lahan di kawasan DAS semakin meningkat. Salah satu DAS yang mencerminkan keadaan tersebut adalah sub DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. Peningkatan luas lahan kritis antara lain diakibatkan oleh pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kesesuaian dan kemampuannya dan tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air, maupun perubahan pola penggunaan lahan bervegetasi. DAS memiliki komponen-komponen yang kompleks sehingga pengukuran lapang tidak mudah dilakukan. Penggunaan model diperlukan untuk membantu dalam memprediksi proses yang terjadi di dalam DAS. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan salah satu model yang dapat memperkirakan kondisi hidrologi berbasis proses fisik (physical based model), sehingga memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Pergerakan air, sedimen, unsur hara dan pertumbuhan tanaman merupakan prosesproses yang dapat digunakan sebagai input dalam model SWAT untuk melakukan prediksi kondisi hidrologi suatu DAS. Untuk mensimulasikan proses tersebut model memerlukan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi dan praktek pengelolaan lahan. Tujuan penelitian yaitu (1) mengkaji kinerja aplikasi model SWAT untuk memprediksi aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara (N-nitrat) di sub DAS Ciliwung Hulu (2) menentukan Pengelolaan Lahan Terbaik (Best Management Practices) pada lahan pertanian di sub DAS Ciliwung Hulu. Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, mengolah data input, penggunaan model SWAT, kalibrasi, validasi dan aplikasi model untuk menentukan Pengelolaan Lahan Terbaik (PLT).
Kalibrasi parameter input model yang digunakan di sub DAS Ciliwung Hulu adalah kurva aliran permukaan (CN), faktor alpha aliran dasar (ALPHA_BF), lama ‘delay’ air bawah tanah (GW_DELAY), ketinggian minimum
aliran
dasar
(GWQMN),
koefisien
revap
air
bawah
tanah
(GW_REVAP), fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP), faktor evaporasi tanah (ESCO), faktor uptake tanaman (EPCO), nilai Manning untuk saluran utama (CH_N2), hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium (CH_K2), faktor alpha aliran dasar untuk ‘bank storage’(ALPHA_BNK) dan koefisien lag aliran permukaan (SURLAG). Model yang sudah dikalibrasi di sub DAS Ciliwung Hulu pada tahun 2008 dan 2009 memberikan nilai korelasi R 0,8 dan NSE 0,55. Model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi debit aliran di sub DAS Ciliwung Hulu seperti ditunjukkan hasil validasi yang baik dengan nilai R 0,88 dan NSE 0,74. Kalibrasi dan validasi pada data observasi sedimen dan hara nitrat tidak berhasil dilakukan. Hal ini disebabkan data hasil simulasi dan observasi berbeda jauh. Dalam pengambilan sampel sedimen perlu diperhatikan mengenai metoda pengambilan sampel agar didapatkan hasil yang akurat. Pengukuran unsur hara nitrat untuk kedepannya seharusnya mempertimbangkan teknik penyimpanan data (mempergunakan bahan kimia) dan lamanya waktu penyimpanan sebelum masuk ke laboratorium untuk dianalisis. Teknik konservasi tanah dan air yaitu teras bangku, penanaman menurut kontur, penanaman menurut strip dan agroforestri dapat mengurangi aliran permukaan hingga 79,21%, 70,36%, 74,52% dan 56,31%. Pengelolaan Lahan Terbaik di sub DAS Ciliwung Hulu yang paling efektif menurunkan aliran permukaan adalah teras bangku.
Kata Kunci: aliran permukaan, kalibrasi, konservasi tanah, SWAT, validasi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
PENGELOLAAN LAHAN TERBAIK HASIL SIMULASI MODEL SWAT UNTUK MENGURANGI ALIRAN PERMUKAAN DI SUB DAS CILIWUNG HULU
RAHMAH DEWI YUSTIKA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si
Kupersembahkan karya ini untuk: Kedua orang tuaku tercinta (Djazuli,SH dan Sri Hedy Widayati, S.Pd)
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Dalam penyelesaian tugas akhir sekolah pascasarjana, penulis menyusun tesis yang berjudul Pengelolaan Lahan Terbaik Hasil Simulasi Model SWAT Untuk Mengurangi Aliran Permukaan di Sub DAS Ciliwung Hulu. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc., Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si., dan Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc., yang telah memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si selaku penguji luar komisi. Secara khusus penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Iwan Ridwansyah, Mala, Bapak Andi Sudirman, Ina, Bapak Martias, Reni, Agi, Mbak Nina dan Apong Sandra yang telah memberikan banyak bantuan dalam penyusunan tesis ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua teman kuliah atas segala dukungan dan kerjasama selama masa kuliah dan penyusunan karya ilmiah tesis. Penulis sampaikan rasa terima kasih yang dalam kepada ayahanda Djazuli, SH dan ibunda Sri Hedy Widayati, S.Pd. yang telah memberikan banyak doa dan dukungan. Selain itu terima kasih juga untuk suami Syah Zuhrianto, ST dan ananda Alfi Amalia atas kesabaran, bantuan dan semangat yang diberikan agar karya ilmiah ini dapat selesai. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2013 Rahmah Dewi Yustika
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Nopember 1978 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari ayah Djazuli, SH dan ibu Sri Hedy Widayati, S.Pd. Penulis menikah dengan Syah Zuhrianto, ST dan dikaruniai putri Alfi Amalia. Penulis menyelesaikan pendidikan SD (1991) di Tana Toraja, SMP (1994) dan SMU (1997) di Sukabumi. Selepas SMU, penulis diterima di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002. Pada tahun 2003, penulis diterima bekerja di Balai Penelitian Tanah dan bergabung dengan kelompok peneliti Fisika dan Konservasi Tanah. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor penulis dapatkan pada Agustus 2009 melalui program beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii
I.PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar belakang ........................................................................................ 1 Perumusan Masalah ............................................................................... 2 Kerangka Pemikiran............................................................................... 3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 3 Manfaat .................................................................................................. 3
II.TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Daerah Aliran Sungai ............................................................................. 5 Konservasi Tanah................................................................................... 7 Aliran Permukaan .................................................................................. 9 Erosi ..................................................................................................... 10 Nitrogen ............................................................................................... 11 Model SWAT ....................................................................................... 13 SWATCUP........................................................................................... 15
III.METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 17 3.1 3.2 3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 17 Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 17 Metode ................................................................................................. 18 3.3.1 Pengumpulan Data .................................................................... 18 3.3.2 Pengolahan Data Input.............................................................. 20 3.3.3 Menjalankan Model SWAT...................................................... 21 3.3.4 Kalibrasi.................................................................................... 24 3.3.5 Validasi ..................................................................................... 25 3.3.6 Aplikasi Model Untuk Mensimulasikan Pengelolaan Lahan Terbaik ........................................................................... 26
IV.KONDISI WILAYAH PENELITIAN............................................................. 27 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Keadaan Umum.................................................................................... 27 Iklim ..................................................................................................... 27 Topografi.............................................................................................. 29 Jenis Tanah........................................................................................... 30 Penggunaan Lahan ............................................................................... 31
V.HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 33 5.1 5.2 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7
Delineasi Sub DAS ............................................................................... 33 Parameterisasi Model ........................................................................... 34 Kalibrasi Debit Aliran .......................................................................... 35 Validasi Debit Aliran ............................................................................ 41 Sedimen Hasil Pengukuran................................................................... 43 Hasil Pengukuran Unsur Hara Nitrat .................................................... 46 Hasil Simulasi Model Terhadap Karakteristik Hidrologi..................... 48 Efektivitas Berbagai Pengelolaan Lahan .............................................. 51
VI.SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 57 6.1 6.2
Simpulan ............................................................................................... 57 Saran ..................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 59
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kadar unsur hara dalam aliran air dan sedimen sesudah hujan menurut penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu..................................................... 13
2
Parameter input pembuatan data generator iklim ......................................... 21
3
Data input dalam SWAT ................................................................................ 23
4
Kriteria nilai statistik NSE ............................................................................. 25
5
Kecepatan angin bulanan (2006-2011) .......................................................... 28
6
Penyinaran matahari bulanan (2006-2011) .................................................... 29
7
Temperatur bulanan (2006-2011) .................................................................. 29
8
Luas jenis tanah sub DAS Ciliwung Hulu ..................................................... 30
9
Luas penggunaan lahan sub DAS Ciliwung Hulu ......................................... 32
10
Parameter sensitif terhadap debit aliran dalam model SWAT ....................... 35
11
Parameter masukan kalibrasi ......................................................................... 38
12
Data observasi debit air dan observasi sedimen............................................. 43
13
Kadar nitrat di outlet Katulampa dan hasil simulasi ...................................... 46
14
Nilai ketidakpastian NO3-N (Harmel et al. 2006).......................................... 47
15
Karakter hidrologi sub DAS Ciliwung Hulu hasil simulasi model SWAT (berdasarkan reach) .......................................................................... 48
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian ....................................................................3
2
Teknik konservasi mekanik teras bangku ....................................................8
3
Model N dalam SWAT (Neitsch et al. 2005) ............................................12
4
Langkah operasi penggunaan SWATCUP SUFI2 (Abbaspour 2011) ..........................................................................................................16
5
Peta lokasi penelitian .................................................................................17
6
Bagan alir tahapan penelitian .....................................................................19
7
Delineasi DAS............................................................................................22
8
Input data iklim ..........................................................................................22
9
Simulasi model ...........................................................................................24
10
Operasi manajemen lahan ..........................................................................26
11
Curah hujan bulanan (2006-2011) dari stasiun Citeko, Gunung Mas dan Gadog ..................................................................................................27
12
Peta jenis tanah sub DAS Ciliwung Hulu ..................................................31
13
Peta penggunaan lahan sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2010....................32
14
Sub DAS hasil delineasi model SWAT .....................................................33
15
Hidrograf aliran simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009) ............................................36
16
Debit harian simulasi sebelum kalibrasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009) ............................................36
17
Hidrograf aliran simulasi setelah hasil kalibrasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009) ............................40
18
Debit harian simulasi setelah kalibrasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009) ............................................40
19
Hidrograf aliran simulasi sebelum validasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011) ............................................41
20
Debit harian simulasi sebelum validasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011) ............................................42
21
Hidrograf aliran simulasi setelah validasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011) ............................................42
22
Debit harian simulasi setelah validasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011) ............................................43
23
Persamaan rating curve sedimen ...............................................................44
24
Hidrograf data observasi debit air dan data observasi debit sedimen berdasarkan persamaan rating curve sedimen y = 0.0102x2.492 ................ 45
25
Data simulasi sedimen dan data observasi sedimen (tahun 2011)............. 45
26
Data observasi dan data simulasi nitrat ..................................................... 47
27
Aliran permukaan pada tahun 2008 ........................................................... 49
28
Aliran permukaan pada tahun 2009 ........................................................... 49
29
Aliran permukaan pada tahun 2011 ........................................................... 50
30
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi teras bangku dan agroforestri tahun 2008 ............................................................................. 53
31
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi teras bangku dan agroforestri tahun 2009.............................................................................. 53
32
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi teras bangku dan agroforestri tahun 2011.............................................................................. 53
33
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi kontur dan agroforestri tahun 2008.............................................................................. 54
34
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi kontur dan agroforestri tahun 2009.............................................................................. 54
35
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi kontur dan agroforestri tahun 2011.............................................................................. 54
36
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi penanaman strip dan agroforestri tahun 2008 ....................................................................... 55
37
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi penanaman strip dan agroforestri tahun 2009 ....................................................................... 55
38
Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi penanaman strip dan agroforestri tahun 2011 ....................................................................... 55
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Parameter data tanah sub DAS Ciliwung Hulu .............................................. 65
2
Input parameter iklim ..................................................................................... 70
3
Luas sub sub DAS Ciliwung Hulu hasil delineasi model .............................. 71
4
Overland flow (aliran permukaan langsung) tiap sub sub DAS Ciliwung Hulu ................................................................................................ 72
5
Aliran permukaan setelah aplikasi teknik konservasi tanah .......................... 73
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Pengelolaan DAS merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas
sumberdaya alam dan ekosistem DAS. DAS Ciliwung Hulu termasuk ke dalam DAS yang banyak mendapatkan perhatian karena di bagian wilayah hilir DAS Ciliwung yaitu ibukota negara (Jakarta) sering mengalami kejadian banjir. Tekanan pembangunan yang tinggi pada sub DAS Ciliwung Hulu menyebabkan DAS ini tergolong salah satu DAS yang mengalami degradasi. Kondisi ini dicirikan oleh pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air, serta perubahan pola penggunaan lahan bervegetasi. Pemanfaatan DAS secara intensif mengakibatkan terjadinya konversi lahan di bagian hulu yang membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kualitas sumberdaya air. Konversi lahan pada umumnya terjadi pada penggunaan lahan hutan menjadi daerah perkebunan dan pertanian, daerah perkebunan menjadi lahan pertanian dan permukiman, daerah pertanian menjadi permukiman dan industri. Tidak jarang terdapat daerah hutan dan perkebunan yang berubah menjadi tanah kosong, terlantar dan gundul yang kemudian menjadi lahan kritis. Fakhrudin (2003) mengemukakan bahwa, berdasarkan hasil analisis penggunaan lahan, luas permukiman di sub DAS Ciliwung meningkat secara subtansial dari 1990 sampai 1996 (meningkat 67,88%). Penurunan luas lahan pertanian dan hutan, dan peningkatan luas lahan terbangun tersebut telah meningkatkan debit puncak hidrograf pada Stasiun Katulampa dari 150 m3 dt-1 menjadi 205 m3 dt-1. Bertambahnya luasan lahan kritis dan konversi lahan dapat mengakibatkan peningkatan aliran permukaan, erosi, kehilangan hara dari lahan pertanian dan peningkatan debit sungai pada musim hujan. Pada peristiwa erosi dalam suatu DAS dapat terangkut hara N yang merupakan hara utama tanaman. Hara N tersebut berasal dari aktivitas pertanian yang menggunakan pupuk inorganik N secara intensif dan berlebihan sehingga tidak semua hara tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman dan kemudian terbawa aliran permukaan.
2
Manajemen pengelolaan lahan diperlukan agar lahan dapat dipergunakan secara lestari dan berkesinambungan (sustainable). Berbagai teknologi konservasi tanah vegetatif (strip cropping, alley cropping) dan mekanik (teras, gulud, saluran pengelak) pada lahan pertanian dapat diaplikasikan untuk menjaga dan memperbaiki kualitas tanah. Desa Megamendung Kabupaten Bogor yang terletak di Sub DAS Ciliwung Hulu telah menerapkan teknik konservasi teras (Mulyana et al. 2011). Kualitas tanah yang baik pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap ekosistem sekitarnya. 1.2
Perumusan Masalah Pengelolaan lahan DAS bagian hulu pada saat ini dapat dikatakan masih
belum berkelanjutan. Hal ini antara lain dicirikan oleh terjadinya konversi lahan dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, peningkatan aliran permukaan dari tahun ke tahun, semakin tingginya perbedaan debit sungai antara musim penghujan dan musim kemarau dan terjadinya peningkatan erosi. Berdasarkan hasil evaluasi Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung (2002) nilai erosi pada tahun 2001 sebesar 247,28 t ha-1 tahun-1 dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 443,21 t ha-1 tahun-1. Hasil penelitian Singgih (2000) dengan menggunakan simulasi model HEC-1 terhadap debit, volume banjir dan kontribusi terhadap banjir di bagian hilir, menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan tahun 1981 dan tahun 1999 di DAS Ciliwung Hulu mengindikasikan terjadi peningkatan debit sebesar 67%, volume banjir 59% dan kontribusi banjir di bagian hilir 8%. DAS memiliki komponen-komponen hidrologi yang kompleks dan mungkin sulit untuk dipahami secara keseluruhan. Penggunaan model sebagai suatu penyederhanaan dari realitas yang sebenarnya diperlukan untuk membantu dalam memprediksi proses yang terjadi di dalam DAS. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan suatu model yang dapat memperkirakan kondisi hidrologi berbasis proses fisik (physical based model), sehingga memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS (Neitsch et al. 2005). Pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman dan unsur hara merupakan proses yang dapat digunakan sebagai input dalam model SWAT untuk melakukan prediksi kondisi hidrologi suatu DAS. Untuk mensimulasikan proses
3
tersebut model memerlukan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi dan praktek pengelolaan lahan. 1.3.
Kerangka Pemikiran
Prediksi aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara nitrat di sub DAS
Ciliwung Hulu dilakukan dengan menggunakan model SWAT. Kalibrasi dan validasi model dilakukan untuk mengetahui keakuratan model. Berdasarkan hasil run model yang didapat maka dilakukan simulasi berbagai pilihan Pengelolaan Lahan Terbaik (Best Management Practices) berupa teknologi konservasi. Dari hasil simulasi tersebut dihasilkan rekomendasi teknologi konservasi yang sesuai untuk diterapkan di sub DAS Ciliwung Hulu.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4 1.
Tujuan Penelitian Mengkaji kinerja model SWAT untuk memprediksi aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara (N-nitrat) di sub DAS Ciliwung Hulu.
2.
Menentukan Pengelolaan Lahan Terbaik (Best Management Practices) pada lahan pertanian di sub DAS Ciliwung Hulu.
1.5
Manfaat Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan (lesson learned)
bagi pemangku kepentingan utamanya pengambil keputusan dalam merencanakan pengelolaan DAS dan memberikan masukan dalam menentukan Pengelolaaan Lahan Terbaik (Best Management Practices) sehingga sub DAS Ciliwung Hulu memberikan manfaat yang lestari.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan
sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya atau single outlet (Departemen Kehutanan 2001). Terdapat berbagai komponen dalam DAS yang salah satunya adalah sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya alam tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan konsep keberlanjutan. Daerah aliran sungai terdiri dari beberapa unsur, yaitu: unsur abiotik (tanah, air dan iklim), biotik (flora dan fauna) dan manusia. Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi dan berinterelasi. Proses yang terjadi di dalam DAS terkait dengan karakteristik DAS yang meliputi: sifat-sifat tanah, topografi, tataguna lahan, kondisi permukaan tanah, geomorfologi dan morfometri DAS. Daerah aliran sungai terbagi menjadi tiga daerah yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir. Masing-masing daerah mempunyai karakteristik dan pengaruh tersendiri terhadap lingkungan ekosistem DAS. DAS bagian hulu (Upperstream) mempunyai ciri-ciri: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (> 15%), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan, laju erosi lebih cepat daripada pengendapan, pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “v”. Daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, kemiringan lerengnya kecil (<8%) dan daerah banjir. DAS bagian tengah merupakan transisi dari DAS hulu dan hilir (Asdak 2002). Dalam suatu DAS terdapat penggunaan lahan yang termasuk ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah, serta budaya
6
bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan (Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung). Perubahan fungsi kawasan akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem yang ada. Perubahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya dapat mempunyai pengaruh insitu dan exsitu. Pengaruh insitu terjadi karena sifat lingkungan yang mengalami kemunduran sehingga berpengaruh terhadap lingkungan lokal, sedangkan pengaruh exsitu terjadi karena adanya transfer dampak dari hulu DAS ke bagian hilirnya. Penyelenggaraan pengelolaan DAS secara umum bertujuan untuk mengatur sumberdaya dalam DAS sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan tetap mempertahankan kondisi kelestarian DAS. Pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu yang bersandar pada partisipasi berbagai sektor terkait. Pengelolaan DAS yang salah dapat menimbulkan kerusakan lingkungan di bagian hulu dan bagian hilir DAS. Konsep pengelolaan DAS berbasis bioregion dapat diterapkan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Dalam konsep bioregion, antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya saling berinteraksi. Dalam pengelolaan DAS terdapat prinsip-prinsip dasar yaitu (Departemen Kehutanan 2001): (1) dilaksanakan secara terpadu, holistik, berkesinambungan, berwawasan lingkungan dengan pendekatan DAS yang diterapkan berdasarkan sistem pemerintahan yang desentralistik, (2) berasas kelestarian, kemanfaatan, keadilan, kemandirian dan akuntabilitas, (3) melibatkan stakeholders dalam pengambilan keputusan, (4) prioritas berdasarkan DAS strategis, (5) meliputi management watershed conservation, water resources development, pengelolaan lahan dan pengelolaan vegetasi serta pembinaan, (6) efektivitas dan efisiensi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi, (7) peninjauan kembali secara berkala dan program lanjutan. Aspek hidrologi perlu diperhatikan dalam pengelolaan DAS untuk menjaga keseimbangan proses yang berlangsung di dalam suatu DAS. Aspek hidrologi berkaitan dengan kuantitas, kualitas dan distribusi air yang cukup serta merata
7
sepanjang tahun. Parameter yang memegang peranan penting dalam neraca air DAS adalah presipitasi, evaporasi, akumulasi air dan aliran permukaan. DAS yang lestari merupakan DAS yang dapat menunjang keberlangsungan lingkungan sekitarnya. DAS yang baik dan sehat dapat dicirikan oleh pengelolaan sumberdaya yang ada yang dapat menjamin kehidupan yang layak serta terdapat kualitas, kuantitas dan distribusi air yang baik. 2.2
Konservasi Tanah Teknik konservasi tanah berfungsi menjaga agar tanah dapat terlindungi dari
kejadian erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah di atas permukaan tanah melalui aliran permukaan. Terdapat berbagai jenis teknik konservasi tanah yaitu teknik konservasi mekanik, teknik konservasi vegetatif, teknik konservasi kimia dan teknik konservasi agronomi. Teknik konservasi tanah mekanik merupakan perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi. Seringkali teknik konservasi tanah ini disebut dengan teknik konservasi sipil teknis. Teknik konservasi mekanik meliputi pembuatan teras gulud, teras bangku, teras kredit, teras individu, rorak, barisan batu, saluran drainase dan sebagainya. Pada Gambar 2 disajikan teknik konservasi mekanik teras bangku yang terdapat di lokasi penelitian. Teknik konservasi tanah vegetatif meliputi tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan serta tumbuh-tumbuhan lain. Teknik konservasi vegetatif meliputi agroforestri, tumpang sari, tumpang gilir, alley cropping (budidaya lorong) dan penanaman cover crop seperti mukuna, Centrocema Pubecens serta penanaman rumput. Teknik konservasi vegetatif akan berpengaruh maksimum apabila dikombinasikan dengan teknik konservasi mekanik. Haryati et al. (1991) mengemukakan bahwa sistem budidaya lorong dapat efektif menahan laju erosi.
8
Gambar 2 Teknik konservasi mekanik teras bangku Keefektifan praktek konservasi tanah pada skala DAS diteliti oleh Walker dan Graczyk (1993). Penelitian Pengelolaan Lahan Terbaik (PLT) dilakukan pada dua DAS mikro di Wisconsin berdasarkan perlakuan penanaman strip (menurut kontur), pengolahan minimum dan rotasi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PLT dapat mengurangi sedimen dan NH3-N di satu DAS, sedangkan pengaruh PLT di DAS lainnya tidak menunjukkan pengurangan sedimen dan NH3-N yang signifikan karena tidak lengkapnya data. Park et al. (1994) menyebutkan keefektifan PLT dapat diketahui dari faktor aliran permukaan, erosi dan hara yang terkait parameter curve number, total konsentrasi padatan terlarut (suspended solids) dan keluaran jumlah N dan P sebelum dan sesudah aplikasi PLT. Penelitian PLT skala DAS membutuhkan biaya besar dan waktu penelitian yang cukup lama. Selain itu terdapat ketidakpastian/error yang menyangkut cara pengukuran di lapang. Penggunaan model untuk mengevaluasi PLT dapat mengurangi biaya dan waktu serta dapat digunakan sebagai acuan penggunaan skenario penggunaan lahan yang dapat mengurangi nonpoint source pollution.
9
2.3
Aliran Permukaan Air hujan yang jatuh dapat mengalami berbagai proses yaitu intersepsi
(ditangkap oleh tajuk tanaman), jatuh di permukaan tanah kemudian menjadi aliran permukaan dan meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Pada proses infiltrasi, ada sebagian air yang menjadi aliran bawah permukaan dan yang lainnya akan masuk ke lapisan tanah yang lebih dalam melalui proses perkolasi. Aliran permukaan berasal dari kelebihan infiltrasi (infiltration excess overland flow) terjadi bila intensitas hujan yang besar melebihi laju infiltrasi. Laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan dalam mm jam-1 atau cm jam-1 (Arsyad 2010). Konversi lahan dapat menimbulkan perubahan karakteristik hidrologi yang berkaitan dengan kapasitas infiltrasi. Pengurangan kapasitas infiltrasi akan menyebabkan kenaikan bagian hujan yang beralih menjadi aliran permukaan. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat aliran permukaan antara lain: (a) curah hujan: jumlah, intensitas dan distribusi, (b) temperatur, (c) tanah: tipe, jenis substratum dan topografi (tanah berpasir akan mempunyai laju aliran permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah berliat), (d) luas daerah aliran (laju aliran permukaan akan lebih rendah pada lahan yang luas penutupan tanahnya besar dibandingkan pada lahan yang luas penutupannya lebih kecil), (e) tanaman/tumbuhan penutup tanah dan (f) sistem pengelolaan tanah (Arsyad 2010). Aliran permukaan merupakan faktor hidrologi terbesar yang dapat menyumbang debit pada saat terjadi banjir. Volume aliran permukaan dalam jumlah besar dan terus-menerus dapat mengakibatkan erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah dan mendeposisikan pada badan-badan air seperti sungai, danau, waduk dan sebagainya. Makin besar jumlah sedimen yang terbawa oleh aliran menunjukkan kondisi DAS yang tidak sehat.
10
2.4
Erosi Erosi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi
lahan sebagai akibat pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air. Erosi tanah merupakan pengangkutan bahan-bahan material tanah yang disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki curah hujan tinggi, maka penyebab erosi utama adalah air. Erosi dapat mengakibatkan merosotnya produktivitas dan daya dukung tanah untuk produksi pertanian dan lingkungan hidup karena pada prosesnya terjadi pengangkutan tanah lapisan atas yang kaya hara. Erosi yang berjalan intensif pada permukaan tanah dapat menyebabkan terangkutnya komplek liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang kaya akan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Erosi ini merupakan masalah yang serius sebab tidak hanya menurunkan kualitas fisik dan kimia tanah, tetapi juga menurunkan kualitas air. Erosi itu bisa terjadi sangat lambat, atau dapat juga sangat cepat, tergantung pada bentang alam, kemiringan lereng, sifat kepekaan tanah dan keadaan hujannya. Proses erosi dapat terjadi secara alamiah (berpengaruh terhadap pembentukan tanah) atau dipercepat (accelerated) akibat aktivitas manusia yang dapat memindahkan sebagian atau seluruh tanah yang ada di bentang alam. Terdapat empat jenis erosi air yang dipercepat sebagai akibat pemindahan bahan tanah oleh air yang mengalir, antara lain (Balittanah 2004): -
erosi permukaan (sheet erosion): lebih seragam dalam pemindahan bahan tanah di suatu lahan tanpa pembentukan parit air yang jelas. Kalaupun terjadi parit-parit, akan berbentuk halus, terdapat menyeluruh di permukaan dan tidak stabil/berpindah-pindah. Gejala erosi permukaan ini biasanya tidak tampak pada awal kejadiannya, tetapi semakin curam lereng suatu lahan, erosi makin serius.
-
erosi alur (rill erosion): berupa parit-parit erosi yang jelas, dari hasil pemotongan/pertemuan alur, akibat aliran permukaan yang terkonsentrasi. Alur-alur erosi ini cukup dangkal dan dapat "terhapus" oleh pengolahan tanah, sehingga setelah itu sukar dibedakan apakah disebabkan oleh erosi permukaan atau oleh erosi alur.
11
-
erosi parit (gully erosion): berbeda dengan erosi alur, erosi parit tidak dapat terhapus oleh pengolahan tanah. Pada umumnya parit-parit erosi tidak dapat dilintasi oleh alat-alat mekanis. Kedalaman dan bentuk parit erosi bervariasi dan ditentukan oleh lapisan-lapisan bahan resisten di dasar parit. Sedangkan bentuk parit erosi V dan U masing-masing diakibatkan oleh adanya peningkatan dan penurunan resistensi bahan dengan kedalaman tanah.
-
erosi terowongan (tunnel erosion): terutama dijumpai pada lahan dengan kadar Na dapat tukar yang tinggi dengan pembentukan drainase internal, yang berakibat terhadap penerobosan air melalui rekahan atau pori kasar/besar atau lubang fauna tanah. Selanjutnya secara berangsur di bagian dalam tanah terjadi pemindahan mencolok bahan tanah melalui outlet, sehingga terbentuk terowongan-terowongan. Kejadian erosi dapat mengakibatkan tanah kehilangan hara yang dibutuhkan
tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Sudirman et al. (1986) menyatakan bahwa hilangnya lapisan atas dapat menyebabkan penurunan kadar bahan organik, peningkatan pemadatan tanah, penurunan stabilitas agregat tanah, peningkatan kejenuhan alumunium serta penurunan KTK tanah. 2.5
Nitrogen Kandungan hara N pada suatu penggunaan lahan dapat terangkut oleh aliran
permukaan dan erosi. Semakin tinggi aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada suatu penggunaan lahan maka diperkirakan hara N yang terangkut juga akan semakin tinggi. Sehingga dengan demikian diperlukan penerapan manajemen lahan yang tepat agar dapat menghambat kehilangan hara N. Hara N sangat diperlukan tanaman untuk pertumbuhannya. Fungsi N diantaranya adalah untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan akar, berperan penting dalam pembentukan hijau daun, protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik. Nitrogen dapat dibedakan atas empat kelompok utama yaitu: nitrogen nitrat (N-NO3-), nitrogen amonium (NH4+), nitrogen molekuler (N-N2), dan nitrogen organik (N-org). Pada
12
umumnya tanaman memanfaatkan nitrat lebih banyak dibandingkan amonium karena konsentrasinya yang lebih besar (Tisdale et al. 1990). Sumber utama N adalah berasal dari bahan organik, atmosfir, fiksasi oleh mikroorganisme, pupuk kandang dan pupuk kimia (urea dan ZA).
Nitrogen
mudah hilang atau tidak tersedia bagi tanaman melalui proses pencucian NO3-, denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatilisasi NH3, fiksasi oleh mineral liat dan digunakan oleh mikroorganisme tanah. Permodelan N dalam SWAT disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Model N dalam SWAT (Neitsch et al. 2005) Sebagian besar N tanah adalah N-organik. Nitrogen organik tersebut ditransformasikan secara lambat menjadi amonium dan akhirnya menjadi nitrat yang merupakan bentuk N yang dapat diserap oleh tanaman. Nitrat merupakan bentuk terlarut dalam air, karena itu cenderung bergerak bersama air ke dalam profil, akibat proses pencucian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryati (1999) pada DAS Ciliwung Gadog-Ciawi, hasil analisis kandungan NNO3 adalah 0,23 mg l-1. Kandungan nitrat pada perairan kelas I dan II menurut PP 82/2001 yang diperbolehkan ≤ 10 mg l-1. Zubaidah (2004) mengemukakan bahwa dalam aliran air sesudah hujan di DAS Ciliwung Hulu, kadar hara tertinggi adalah N yaitu 20,73 ppm yang berasal dari penggunaan lahan hutan dan terendah adalah P yaitu 0,68 ppm yang berasal dari penggunaan lahan perkebunan. Dalam endapan, kadar hara tertinggi adalah
13
C-organik yaitu 96566,67 ppm (9,66%) dan terendah adalah P yaitu 1,00 ppm yang berasal dari penggunaan lahan perkebunan (Tabel 1). Tabel 1 Kadar unsur hara dalam aliran air dan sedimen sesudah hujan menurut penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu Kadar unsur hara sesudah hujan (ppm) Aliran air
Parameter
Sedimen
Hutan
Perkebunan
Tegalan
N
20,73
14,74
16,39
P
0,68
0,65
K
0,93
Ca Mg C-organik
Hutan
Perkebunan
Tegalan
3200,00
3500,00
2900,00
2,14
14,10
1,00
1,90
0,80
1,00
39,00
58,50
158,60
10,43
4,50
7,30
190,00
478,00
1706,00
2,70
1,95
2,30
33,60
93,60
90,00
-
-
- 96566,67
42700,00 21500,00
Kegiatan pertanian merupakan salah satu penyebab dari non point source pollution. Suatu kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang diakibatkan oleh penggunaan bermacammacam pupuk buatan dan pestisida. Pupuk yang mengandung N dan P dapat larut oleh aliran permukaan dan terakumulasi di badan air (sungai). 2.6
Model SWAT
Model merupakan replika sistem dengan perbandingan tertentu, suatu
konsep, sesuatu yang mengandung hubungan empiris, atau suatu seri persamaan matematis atau statistik yang menggambarkan sistem (Indarto 2012). Model merupakan alat yang digunakan untuk mempelajari hubungan antar parameter di dalam suatu sistem. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) adalah model prediksi untuk skala daerah aliran sungai (DAS) yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA ARS (Neitsch et al. 2005). SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacam-macam sepanjang waktu yang lama.
14
Model
SWAT
mempunyai
beberapa
keunggulan
yaitu
dibangun
berdasarkan proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim, sifat tanah, topografi, tanaman dan pengelolaan lahan yang terdapat dalam DAS, mempunyai data input yang sudah tersedia, dapat dikerjakan secara efisien menggunakan komputer sehingga hemat waktu dan biaya dan memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dalam suatu DAS (Neitsch et al. 2005). Selain itu Model SWAT menggunakan hubungan deskripsi matematika
dan
empiris
dalam
menghitung
respon
hidrologi.
Dalam
penggunaannya, model SWAT membutuhkan data input yang cukup banyak dan kompleks. SWAT merupakan perkembangan dari model CREAMS (Chemical, Runoff and Erosion from Agriculture Management System) (Knisel 1980), GLEAMS (Groundwater Loading Effects on Agriculture Managements System) (Leonard et al. 1987) dan EPIC (Erosion-Productivity Impact Calculator) (Gassman et al. 2005). Dalam perkembangannya, SWAT telah dikembangkan dalam Windows dan Microsoft Visual Basic. SWAT juga telah dikembangkan sebagai interface dalam software GIS (ArcGIS). Komponen model SWAT mencakup iklim, hidrologi, temperatur tanah, sifat-sifat tanah, pertumbuhan tanaman, hara, pestisida, bakteri dan manajemen lahan. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa sub-basin atau subDAS. Sub-basin adalah pembagian atau pengelompokan berdasarkan kesamaan penggunaan lahan dan tanah atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Informasi input untuk setiap sub-basin dikelompokkan atau disusun ke dalam katagori berikut: iklim, unit respon hidrologi (HRUs), daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase sub-basin. SWAT Editor merupakan suatu interface yang digunakan dalam melakukan pengeditan parameter, database SWAT, point source model, inlet, data reservoir, menjalankan proses running model SWAT dan analisis kalibrasi serta sensitivitas (Winchell dan Srinivasan 2007). SWAT Editor memerlukan parameter geodatabase dan database yang sesuai dengan format SWAT.
15
2.7
SWATCUP Model SWAT-CUP dapat membantu pemodel untuk melakukan kalibrasi,
validasi dan analisis ketidakpastiaan pada model hidrologi SWAT. SWAT-CUP dapat membantu pemakai model untuk mengurangi masalah dan error dalam proses kalibrasi. Dalam suatu model skala DAS terdapat banyak ketidakpastian yang mencakup konsep yang digunakan, data input yang digunakan, dan penghitungan parameter. Abbaspour (2011) menyatakan bahwa ketidakpastian konsep mencakup a) penyederhanaan konsep yang digunakan, b) proses yang terjadi dalam suatu DAS tidak terdapat dalam model (erosi angin dan longsor), c) proses yang dihitung dalam suatu model akan tetapi pengguna tidak mengetahui proses yang terjadi dalam DAS misalnya irigasi, transfer air dan peternakan ayam yang mempengaruhi kualitas air dan d) adanya suatu proses yang tidak diketahui pembuat/pengguna model dan tidak terdapat dalam model misalnya pembangunan jalan, dam dan terowongan. Ketidakpastian input data mencakup kesalahan dalam memasukkan data input seperti data curah hujan. Ketidakpastian parameter mencakup adanya beberapa parameter yang berpengaruh terhadap output sehingga tidak diketahui parameter yang paling dominan dan bersifat unik. Kondisi suatu wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya menyebabkan parameter yang mempunyai pengaruh dalam suatu DAS juga berbeda. Parameter yang menentukan dalam suatu DAS dapat berbeda dengan DAS lainnya. SWAT CUP merupakan program yang dapat digunakan dan disebarluaskan secara bebas. Pada model SWAT-CUP terdapat empat program yaitu SUFI2, GLUE, ParaSol dan MCMC yang berhubungan dengan database SWAT. Model SUFI2 merupakan model yang tingkat kesulitannya agak rendah dibandingkan dengan model GLUE, ParaSol dan MCMC. Pada Gambar 4 disajikan langkah pengoperasian SWATCUP. Terdapat tiga bagian yang saling terkait yaitu model SWAT (merah muda), input SWAT (hijau) dan model SWATCUP-SUFI2 (kuning).
16
Gambar 4 Langkah operasi penggunaan SWATCUP SUFI2 (Abbaspour 2011)
17
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sub DAS Ciliwung Hulu yang terletak pada posisi
6º37’- 6º46’ LS dan 106º50’ - 107º0’ BT (Gambar 5), yang secara administratif meliputi
5
wilayah
kecamatan
yaitu
Bogor
Timur,
Ciawi,
Sukaraja,
Megamendung dan Cisarua. Kegiatan penelitian lapang dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai dengan Juni 2012.
Gambar 5 Peta lokasi penelitian 3.2
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Berikut data yang digunakan: •
Data iklim harian tahun 2006-2011 yang meliputi penyinaran matahari, temperatur dan kecepatan angin (Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Citeko)
18
•
Data curah hujan harian tahun 2006-2011 stasiun Citeko, Gunung Mas dan Gadog yang diperoleh dari Balai Pendayagunaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dan Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Darmaga)
•
Peta DEM (Digital Elevasion Model) dengan resolusi spasial 30 x 30 m
•
Peta penggunaan lahan tahun 2010
•
Peta Tanah Semidetil skala 1:50.000 Pusat Penelitian Tanah 1992 dan data sifat tanah
•
Data
debit
harian
tahun
2006-2011
yang
diperoleh
dari
Balai
Pendayagunaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. •
Pengukuran data sedimen dan N-NO3 di outlet Katulampa dengan mengambil contoh air untuk masing-masing kejadian hujan
•
Alat yang digunakan adalah komputer dengan software ArcSWAT ver 2009.93.7b, SWATCUP dan SWAT Plot and Graph.
3.3
Metode Bagan alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Berbagai input
yang dibutuhkan meliputi data iklim, peta DEM, peta penggunaan lahan, peta dan data tanah serta data biofisik DAS dimasukkan ke dalam model SWAT sehingga dihasilkan suatu keluaran (output). Pada hasil keluaran tersebut dilakukan kalibrasi dan validasi untuk mengetahui tingkat keakuratan model. Berbagai teknik konservasi tanah disimulasikan untuk mengetahui Pengelolaan Lahan Terbaik di sub DAS Ciliwung Hulu. 3.3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui kegiatan pengamatan di lapang.
Data primer yang diambil meliputi data sifat fisik dan kimia tanah serta pengukuran parameter di outlet Katulampa yang meliputi kadar hara nitrat (NNO3) dan sedimen setiap kejadian hujan. Dilakukan ground cek lapangan untuk mengetahui topografi dan penggunaan lahan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data iklim, data tanah, data penggunaan lahan dan data hidrologi. Data tersebut diperoleh dari berbagai instansi seperti Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah (BMKG),
19
Balai
Besar
Pengembangan
Sumberdaya
Lahan
(BBSDLP)
dan
Balai
Pendayagunaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PSDA). Data sekunder juga dikumpulkan melalui berbagai literatur khususnya data sifat fisik dan kimia tanah.
Gambar 6 Bagan alir tahapan penelitian
20
3.3.2 Pengolahan Data Input •
Pengolahan data input spasial membutuhkan data DEM dan batas DAS yang dilakukan menggunakan program ArcGIS. Data tersebut digunakan dalam rangka untuk membuat watershed delineator (delineasi DAS).
•
Pembuatan HRU membutuhkan data input penggunaan lahan, tanah dan lereng. Penggunaan lahan tanaman yang terdapat di sub DAS Ciliwung Hulu pada tahun 2010 yaitu hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan tegalan/ladang. Penggunaan lahan urban yaitu permukiman dan tanah terbuka. Kemiringan lahan dibagi ke dalam 5 kelas yaitu: 0-8%, 8%-15%, 15%-25%, 25%-40% dan >40%. Informasi sifatsifat tanah dikumpulkan dari data sekunder dan data primer. Data tanah diperoleh melalui pengambilan contoh tanah dan data sekunder (Soekardi dan Djaenudin 1987, Subardja dan Buurman 1980). Sifat-sifat tanah yang dibutuhkan
meliputi
infiltrasi
(mm.jam-1),
permeabilitas
(mm.jam-1),
kedalaman efektif (mm), sifat tanah untuk setiap horizon meliputi ketebalan horison (mm), tekstur tanah, bulk density (g.cm3), kapasitas menahan air (mm H2O. mm tanah-1), saturated hydraulic conductivity (mm.jam-1), kandungan fraksi batuan (%), nilai erodibilitas tanah, kandungan bahan organik tanah (%) dan moist soil albedo. •
Pembuatan basis data iklim untuk membuat data generator iklim (weather generator data) membutuhkan 14 parameter input yang harus dihitung terlebih dahulu berdasarkan data iklim. Dalam Tabel 2 terlihat parameter input yang dibutuhkan dalam pembuatan data generator iklim. Selain itu juga dibutuhkan pembuatan file input data curah hujan (rainfall data) dan temperatur. Data curah hujan yang dimasukkan berasal dari stasiun Citeko, Gadog dan Gunung Mas (2006-2011). Kemudian dimasukkan data temperatur dari stasiun Citeko selama 6 tahun (2006-2011).
21
Tabel 2 Parameter input pembuatan data generator iklim No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter TMPMX TMPMN TMPSTDMX TMPSTDMN PCPMM PCPSTD PCPSKW
8
PR_W1
9
PR_W2
10 11 12
PCPD RAINHHMX SOLARAV
13
DEWPT
14
WNDAV
Keterangan rata-rata temperatur maksimum (ºC) rata-rata temperatur minimum (ºC) standar deviasi suhu maksimum harian (ºC) standar deviasi suhu minimum harian (ºC) rata-rata curah hujan (mm H2O) standar deviasi curah hujan harian (mm H2O hari-1) koefisien skew untuk curah hujan harian dalam satu bulan perbandingan kemungkinan hari basah ke hari kering dalam satu bulan perbandingan kemungkinan hari basah ke hari basah dalam satu bulan rata-rata jumlah hari hujan dalam satu bulan curah hujan maksimum 0,5 jam (mm H2O) rata-rata harian penyinaran matahari dalam satu bulan (MJ m-2 hari-1) rata-rata harian temperatur dew point dalam satu bulan (ºC) rata-rata harian kecepatan angin dalam satu bulan (m det-1)
3.3.3 Menjalankan model SWAT a. Delineasi DAS Delineasi DAS dilakukan dengan menggunakan menu Watershed Delineator (Gambar 7). Dalam membuat delineasi DAS terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu: pemasukan data DEM grid (add DEM grid), penentuan jaringan sungai (stream definition), penentuan outlet (outlet definition), seleksi dan penentuan outlet DAS (watershed outlet selection and definition) dan penghitungan parameter Sub DAS (calculate subbasin parameter). b.
Analisis HRU (Hidrology Response Unit) Pembuatan HRU dilakukan dengan overlay data penggunaan lahan, tanah
dan kemiringan lahan. Setiap HRU yang terbentuk berisi informasi spesifik mengenai lahan tersebut yang mencakup penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lereng. Langkah berikutnya setelah pembentukan HRU yaitu pendefinisian HRU. Melalui menu definisi HRU (HRU definition) maka dapat dilakukan penentuan kriteria spesifik untuk diaplikasikan dalam HRU. Multiple
22
HRU merupakan opsi yang dipilih dalam tahap definisi HRU. Pada penggunaan threshold, masing-masing penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lereng menggunakan threshold sebesar 20%, 10% dan 20%.
Gambar 7 Delineasi DAS 3. Input Data Iklim Input file untuk data generator iklim yang sudah dibuat lalu dimasukkan dalam weather data definition. Kemudian dilakukan pemasukan input data curah hujan (rainfall data) dan temperatur. Input data iklim untuk pembuatan weather data definition dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Input data iklim
23
4.
Membangun input data Setelah data iklim dimasukkan dan berhasil running maka dilanjutkan
dengan memasukkan informasi data input ke dalam basis data. Data input ini (Tabel 3) secara otomatis terbentuk berdasarkan deliniasi DAS dan karakterisasi dari penggunaan lahan/tanah/lereng. Pembuatan input data dilakukan dengan memilih opsi Write All. Default input ini dapat diedit dengan menggunakan menu Edit SWAT Input. Tabel 3 Data input dalam SWAT No 1
Input Configuration file (.fig)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Soil Data (.sol) Weather Generator Data (.wgn) Subbasin General Data (.sub) HRU General Data (.hru) Main Channel Data (.rte) Groundwater Data (.gw) Water Use Data (.wus) Management Data (.mgt) Soil Chemical Data (.chm) Pond Data (.pnd) Stream Water Quality Data (.swq) Watershed General Data (.bsn)
14
Watershed Water Quality Data (.wwq) Master watershed file (.cio)
15
5.
Fungsi Mendefinisikan DAS beserta parameternya Membuat data tanah Data generator iklim Membuat data tingkat sub DAS Membuat data umum HRU Membuat data saluran utama Membuat data air bawah tanah Membuat data penggunaan air Membuat data pengelolaan lahan Membuat data kimia tanah Membuat data untuk badan air Membuat data kualitas aliran air File berisi input proses fisik yang dijalankan model Membuat data umum kualitas air File data informasi DAS mengenai pilihan modeling, database, cuaca, dan output specification
Run SWAT Run model (Gambar 9) dapat dilakukan setelah mengisi tanggal mulai dan
tanggal akhir simulasi serta memilih distribusi curah hujan yang digunakan (skewed normal). Dilanjutkan dengan klik Setup SWAT Run dan terakhir klik tombol Run SWAT. Hasil dari simulasi run model dapat dilihat pada menu Read SWAT Output atau menggunakan SWAT Plot and Graph.
24
Gambar 9 Simulasi model
3.3.4 Kalibrasi Setiap unit penggunaan lahan, kemiringan, tanah dan iklim yang berbeda akan menghasilkan parameter yang berbeda. Suatu parameter dapat dipengaruhi oleh beberapa proses yang beragam. Untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan dan parameter yang berpengaruh pada suatu DAS membutuhkan data pengukuran dan teknik spasial analisis menggunakan fungsi pedotransfer, analisis geostatistik dan data penginderaan jauh. Kalibrasi merupakan suatu pengujian model untuk mengetahui apakah model yang digunakan dapat menggambarkan kondisi sebenarnya. Kalibrasi model dilakukan dengan cara membandingkan data hasil simulasi dengan data observasi. Kalibrasi model dilakukan dengan cara mengubah nilai parameterparameter yang bersifat sensitif dan mempunyai pengaruh besar terhadap proses hidrologi yang diukur. Pada tahap kalibrasi, data yang digunakan yaitu data debit harian observasi dan simulasi bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009. Analisis statistik yang digunakan dalam kalibrasi yaitu dengan menggunakan korelasi koefisien Pearson (R) dan Nash–Sutcliffe coefficient of efficiency (NSE). Nilai R berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai R mendekati 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan
25
yang erat antara data simulasi dengan data observasi. Kriteria nilai statistik untuk NSE disajikan pada Tabel 4 sedangkan rumus perhitungan nilai dapat dilihat pada persamaan 1. Nash Sutcliffe efficiency (NSE) merupakan suatu model statistik yang menunjukkan besar dari pengaruh hubungan data simulasi dan data observasi. Nilai NSE berkisar antara 0 dan 1, yang mana nilai mendekati 1 menunjukkan bahwa performa dari suatu model yang baik. Model statistik NSE ini paling banyak dipakai untuk menunjukkan performa dari suatu model karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat mengenai nilai yang diberikan. Tabel 4 Kriteria nilai statistik NSE Kriteria
NSE
Sangat baik
0,75
Baik
0,65
Memuaskan
0,50
Kurang memuaskan
NSE≤0,50
sumber: Moriasi et al. 2007
(1)
Keterangan: Yiobs Yisim Ymean
3.3.5
= data observasi/ pengukuran = data simulasi = rata-rata data observasi/pengukuran
Validasi Langkah validasi bertujuan untuk membuktikan bahwa suatu proses/metode
dapat memberikan hasil yang konsisten sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Validasi dilakukan pada data debit dengan memasukkan parameter yang sudah dikalibrasi pada data simulasi dan kemudian membandingkan data
26
observasi dengan hasil simulasi debit yang sudah dikalibrasi. Data yang digunakan yaitu data debit harian bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011. Metode statistik yang digunakan adalah korelasi koefisien Pearson (R) dan Nash– Sutcliffe coefficient of efficiency (NSE). Kriteria statistik NSE pada validasi sama dengan kalibrasi. 3.3.6 Aplikasi Model Untuk Mensimulasikan Pengelolaan Lahan Terbaik Dilakukan beberapa skenario pengelolaan lahan yang mendukung terhadap kegiatan konservasi tanah. Pemilihan skenario dilakukan dengan memilih file .ops (Scheduled Management Operations). Terdapat 8 pilihan manajemen di dalam SWAT akan tetapi yang akan digunakan untuk simulasi hanya empat teknologi konservasi yaitu penggunaan teras, penanaman menurut kontur, penanaman strip (strip cropping) dan agroforestri. Gambar 10 menunjukkan tampilan untuk mengedit file.ops.
Gambar 10 Operasi manajemen lahan
27
IV. KONDISI WILAYAH PENELITIAN
4.1
Keadaan Umum Sub DAS Ciliwung Hulu terletak pada posisi 6º37’- 6º46’ LS dan 106º50’ -
107º0’ BT. Luasan Sub DAS Ciliwung Hulu adalah 14.325,8 ha, dan terdiri dari 7 sub sub DAS yaitu: sub sub DAS Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan dan Katulampa. Sub DAS Ciliwung Hulu mempunyai batas sebagai berikut: (1)
sebelah timur berbatasan dengan DAS Cikarang Gabah, DAS Citarum
(2)
sebelah barat berbatasan dengan DAS Cisadane
(3)
sebelah utara berbatasan dengan DAS Cikeas Bekasi
(4)
sebelah selatan berbatasan dengan DAS Cikundul
4.2
Iklim Rata-rata curah hujan dari 3 stasiun hujan yaitu Citeko, Gunung Mas dan
Gadog selama 6 tahun (2006-2011) menunjukkan bahwa curah hujan maksimum terjadi pada bulan Februari sebesar 574 mm dan diikuti bulan Januari sebesar 499,5 mm. Curah hujan minimum terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 69,1 mm.
Curah Hujan (mm)
Grafik dari sebaran rata-rata curah hujan dapat dilihat pada Gambar 11.
800 600 400 200 0 Jan
Gambar 11
Feb Mar Apr Mei Jun
Jul
Agt
Sep Okt Nop Des
Rataan curah hujan bulanan (2006-2011) dari stasiun Citeko, Gunung Mas dan Gadog
28
Berdasarkan data dari stasiun iklim Citeko tahun 2006-2011, rata-rata kecepatan angin paling besar terjadi pada bulan September mencapai 1,77 m det-1 dan sebaliknya rata-rata kecepatan angin yang kecil terjadi pada bulan Desember dan Nopember yaitu sebesar 1,45 m det-1 dan 1,48 m det-1. Data dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kecepatan angin bulanan (2006-2011) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Kecepatan Angin (m det-1) 1,73 1,57 1,68 1,61 1,56 1,59 1,73 1,67 1,77 1,66 1,48 1,45
Rata-rata penyinaran matahari lebih besar terjadi pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober. Penyinaran matahari mencapai puncaknya pada bulan September sebesar 18,59 MJ m-2 hari-1. Selama periode bulan NopemberMaret rata-rata penyinaran matahari yang terjadi lebih kecil. Bulan Februari merupakan bulan yang mempunyai rata-rata penyinaran matahari paling kecil sebesar 12,94 MJ m-2 hari-1 (Tabel 6). Temperatur rata-rata bulanan maksimum dari BMKG Citeko selama 6 tahun (2006-2011) menunjukkan sekitar 27,1 °C terjadi di bulan September dan 27,0 °C terjadi di bulan Oktober. Temperatur rata-rata mínimum bulanan terjadi di bulan Juli sampai dengan Oktober. Pada bulan Agustus menunjukkan temperatur ratarata minimum paling kecil sebesar 17,2 °C. Grafik sebaran rata-rata temperatur dapat dilihat pada Tabel 7.
29
Tabel 6 Penyinaran matahari bulanan (2006-2011) Penyinaran matahari (MJ m-2 hari-1) 13,67 12,94 14,41 14,98 14,62 15,00 15,94 17,44 18,59 17,99 14,90 13,07
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Tabel 7 Temperatur bulanan (2006-2011) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Temperatur (°C) Maksimum Minimum 24,8 18,2 24,5 18,3 25,7 18,5 26,3 18,7 26,6 18,7 26,4 18,1 26,4 17,4 26,7 17,2 27,1 17,4 27,0 17,9 26,3 18,3 25,5 18,7
4.3
Topografi Topografi sub DAS Ciliwung Hulu bervariasi mulai dari datar (0-8%),
berombak (8-15%), bergelombang (15-25%), hingga berbukit dan bergunung (2540%) serta bergunung curam (>40%). Daerah yang memiliki kelerengan lebih tinggi terletak pada elevasi yang lebih tinggi, yaitu pada daerah pinggiran sub DAS Ciliwung Hulu bagian timur dan selatan. Kelerengan merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik aliran air karena dapat menentukan besar dan kecepatan volume runoff.
30
4.4
Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di sub DAS Ciliwung Hulu berdasarkan peta tanah
semidetil skala 1:50.0000 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1992 terdapat 10 jenis tanah. Jenis tanah tersebut yaitu Asosiasi Andic Humitropepts-Typic Dystropepts, Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments, Asosiasi Typic Humitropepts-Typic
Eutropepts,
Kompleks
Typic
Tropopsamments-Lithic
Troporthents, Kompleks Typic Troporthens-Typic Fluvaquents, Konsosiasi Typic Dystropepts, Konsosiasi Typic Eutropepts, Konsosiasi Typic Hapludands, Konsosiasi Typic Hapludults dan Konsosiasi Typic Humitropepts. Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments
(23,3%),
diikuti
Asosiasi
Andic
Humitropepts-Typic
Dystropepts (19,1%) dan Konsosiasi Typic Hapludands (15,9%). Persentase sebaran luasan dapat dilihat pada Tabel 8 dan sebaran spasial jenis tanah dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 8 Luas jenis tanah sub DAS Ciliwung Hulu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Asosiasi Andic Humitropepts-Typic Dystropepts Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments Asosiasi Typic Humitropepts-Typic Eutropepts Kompleks Typic Tropopsamments-Lithic Troporthents Kompleks Typic Troporthens-Typic Fluvaquents Konsosiasi Typic Dystropepts Konsosiasi Typic Eutropepts Konsosiasi Typic Hapludands Konsosiasi Typic Hapludults Konsosiasi Typic Humitropepts Jumlah
Luas (ha)
Persen
2.729,5 3.343,8
19,1 23,3
43,4 5,9
0,3 0,0
237,4 1.827,9 2.072,8 2.277,0 1.628,0 160,2 14.325,8
1,7 12,8 14,5 15,9 11,4 1,1 100,0
31
Gambar 12 Peta jenis tanah sub DAS Ciliwung Hulu 4.5
Penggunaan Lahan Jenis penggunaan lahan pada suatu DAS sangat mempengaruhi hidrologi
kawasan tersebut. Begitu pula perubahan penggunaan lahan juga dapat mempengaruhi hidrologi khususnya mempengaruhi besar aliran permukaan dan debit sungai. Jenis penggunaan lahan tahun 2010 yang terdapat di sub DAS Ciliwung Hulu berdasarkan proses delineasi (Tabel 9) adalah hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perkebunan (teh), permukiman, semak belukar, tanah terbuka dan tegalan/ladang. Kebun campuran merupakan jenis penggunaan lahan yang paling luas (38%) dan diikuti oleh hutan sekunder (19,9%), tegalan/ladang (17%), perkebunan (15,5%), permukiman (7,0%), hutan primer (1,8%), semak/belukar (0,7%) dan tanah terbuka (0,1%). Secara spasial kenampakan dan penyebaran penggunaan lahan di wilayah penelitian dapat diperlihatkan pada Gambar 13.
32
Tabel 9 Luas penggunaan lahan sub DAS Ciliwung Hulu No
Penggunaan lahan
Luas (ha)
Persen
1 2 3 4 5 6 7 8
Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Campuran Perkebunan Permukiman Semak/Belukar Tanah Terbuka Tegalan/Ladang Jumlah
257,7 2.855,3 5.444,2 2.213,2 1.005,2 94,3 20,2 2.435,7 14.325,8
1,8 19,9 38,0 15,5 7,0 0,7 0,1 17,0 100,0
Gambar 13 Peta penggunaan lahan sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 2010
33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Delineasi Sub DAS Data input DEM yang berisi informasi topografi sub DAS Ciliwung Hulu
diproses dalam SWAT dengan menggunakan Watershed Delineator. Dari hasil delineasi tersebut terbentuk 28 sub sub DAS (Gambar 14). Pembagian sub sub DAS merupakan prosedur dalam model SWAT yang membagi wilayah berdasarkan topografi dan jaringan sungai. Pembagian HRU (Hydrologi Response Unit) dilakukan dengan menggunakan threshold sebesar 20% (penggunaan lahan), 10% (jenis tanah) dan 20% (kemiringan lereng). Titik outlet pengamatan debit terletak pada sub sub DAS nomer 1 yaitu di desa Katulampa, Bogor. Data debit pengukuran dari outlet Katulampa digunakan sebagai data primer dibandingkan dengan data debit simulasi dalam model SWAT.
Gambar 14 Sub DAS hasil delineasi model SWAT
34
Data input yang terdapat dalam sub sub DAS mencakup informasi jenis tanah, penggunaan lahan, topografi dan HRU. Luas sub sub DAS yang terbentuk antara 45,90 ha sampai dengan 1.167,75 ha. Luasan tiap sub sub DAS dapat dilihat pada Lampiran 3. 5.2
Parameterisasi Model Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi suatu model dapat
berbeda antar suatu DAS karena setiap DAS memiliki karakteristik tersendiri yang bervariasi. Nilai parameter simulasi disesuaikan untuk menghasilkan keluaran yang mendekati nilai yang adaptif di lapangan. Parameter yang sensitif terhadap perubahan debit yaitu CN2, ESCO, EPCO, GW_REVAP, GWQMN dan RCHRG_DP (Santhi et al. 2006). Jha et al. (2010) mengemukakan bahwa parameter yang sensitif terhadap nilai debit adalah CN, SOL AWC, GW_DELAY, GW_Alfa dan SURLAG. Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi pada sub DAS Ciliwung Hulu (Tabel 10) yaitu bilangan kurva aliran permukaan (CN), faktor alpha aliran dasar (ALPHA_BF), lama ‘delay’ air bawah tanah (GW_DELAY), ketinggian minimum
aliran
dasar
(GWQMN),
koefisien
revap
air
bawah
tanah
(GW_REVAP), fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP), faktor evaporasi tanah (ESCO), faktor uptake tanaman (EPCO), nilai Manning untuk saluran utama (CH_N2), hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium (CH_K2), faktor alpha aliran dasar untuk ‘bank storage’(ALPHA_BNK) dan koefisien lag aliran permukaan (SURLAG). Simulasi dilakukan untuk menentukan nilai yang optimal sesuai kondisi di lapangan. Parameter bilangan kurva aliran permukaan, faktor evaporasi tanah dan faktor uptake tanaman digunakan dalam kalibrasi model karena mempunyai pengaruh terhadap jumlah aliran permukaan. Besaran nilai bilangan kurva dapat memprediksi jumlah aliran permukaan atau infiltrasi akibat curah hujan. Faktor evaporasi tanah merupakan parameter yang menentukan jumlah air dalam tanah yang akan mempengaruhi bilangan kurva aliran permukaan dan proses infiltrasi yang terjadi. Faktor uptake tanaman mempunyai pengaruh terhadap aliran permukaan karena kemampuan akar tanaman yang dapat menyerap air dan
35
mempunyai pengaruh terhadap transpirasi sehingga dengan demikian memiliki dampak terhadap kelembaban tanah. Parameter alpha aliran dasar, lama ‘delay’ air bawah tanah, koefisien revap air bawah tanah, ketinggian minimum aliran dasar dan fraksi perkolasi perairan dalam digunakan karena mempengaruhi aliran air bawah tanah. Selain itu parameter nilai Manning untuk saluran utama, hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium, faktor alpha aliran dasar untuk ‘bank storage’ dan koefisien lag aliran permukaan digunakan dalam proses kalibrasi karena mempengaruhi bentuk hidrograf. Tabel 10. Parameter sensitif terhadap debit aliran dalam model SWAT No
Parameter
Nilai awal
1
CN2.mgt (bilangan kurva aliran permukaan)
25-74
2
ALPHA_BF.gw (faktor alpha aliran dasar)
0,94
3
GW-DELAY.gw (lama ‘delay’ air bawah tanah)
31
4
GWQMN.gw (ketinggian minimum aliran dasar)
350
5
GW_REVAP.gw (koefisien revap air bawah tanah)
0,2
6
RCHRG_DP.gw (fraksi perkolasi perairan dalam)
0,05
7
ESCO.hru (faktor evaporasi tanah)
1
8
EPCO.hru (faktor uptake tanaman)
1
9
CH_N2.rte (nilai Manning untuk saluran utama)
0,1
10
CH_K2.rte (hantaran hidrolik)
25
11
ALPHA_BNK.rte (faktor alpha aliran dasar ‘bank storage’)
12
SURLAG.bsn (koefisien lag aliran permukaan)
5.2
0,94 3
Kalibrasi Debit Aliran Kalibrasi merupakan proses pemilihan kombinasi parameter untuk
meningkatkan koherensi antara respon hidrologi yang diamati/diukur dengan hasil simulasi. Kalibrasi model dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang adaptif di lapangan. Untuk mengetahui hubungan antara hasil simulasi (output) model dengan keadaan di alam maka hasil simulasi model tersebut perlu dibandingkan dengan data observasi. Kemudian dilakukan penyesuaian nilai parameter-
36
parameter yang berpengaruh terhadap kondisi hidrologi kawasan DAS sehingga pada akhirnya diperoleh hasil simulasi yang mendekati nilai observasi. Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan data harian observasi dengan data simulasi selama 2 bulan (Februari dan Maret) tahun 2008 dan 2009. Evaluasi statistik model didasarkan pada nilai koefisien korelasi Pearson (R) dan NSE. Pada Gambar 15 disajikan grafik hidrograf aliran simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009). Nilai R (Gambar 16) dan NSE sebelum dilakukan kalibrasi adalah 0,78 dan 0,27 (kurang
0
120
30
90
60
60
90
30
120
0
150
Curah Hujan
150
2/1/2008 2/10/2008 2/17/2008 2/24/2008 3/2/2008 3/9/2008 3/16/2008 3/23/2008 3/30/2008 2/6/2009 2/13/2009 2/20/2009 2/27/2009 3/6/2009 3/13/2009 3/20/2009 3/27/2009
Debit
memuaskan).
Curah Hujan (mm)
Debit Simulasi
Debit Observasi
Gambar 15 Hidrograf aliran simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009)
Debit Observasi (m3 det‐1)
70 60 50 40
y = 0.771x + 7.218 R = 0,78 n= 117, p=0,000
30 20 10 0 0
20
40
60
80
Debit Simulasi (m3 det‐1)
Gambar 16 Debit harian simulasi sebelum kalibrasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009)
37
Metode kalibrasi ada tiga yaitu coba-coba, otomatis dan kombinasi. Dalam metoda coba-coba, nilai parameter dicocokkan secara manual dengan cara cobacoba. Metoda ini banyak digunakan dan direkomendasikan untuk model yang komplek. Metoda otomatis menggunakan algoritma untuk menentukan nilai fungsi objektif dan digunakan untuk mencari kombinasi dan permutasi parameter dengan tingkat keakuratan yang optimum. Metoda kombinasi dilakukan dengan menggunakan kalibrasi otomatis untuk menentukan kisaran parameter selanjutnya dilakukan trial and error untuk menentukan detail kombinasi yang optimal (Indarto 2012). Dalam mencari nilai kalibrasi yang sesuai untuk sub DAS Ciliwung Hulu, digunakan metoda kombinasi yaitu dengan menggunakan model SWATCUP (model otomatis) dan kalibrasi manual (model coba-coba). Model SWATCUP merupakan software yang dapat membantu pemodel untuk melakukan kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastiaan pada model hidrologi SWAT. Parameter yang nilainya dicari dengan menggunakan SWATCUP yaitu faktor alpha aliran dasar (ALPHA_BF), lama ‘delay’ air bawah tanah (GW_DELAY), ketinggian minimum
aliran
dasar
(GWQMN),
koefisien
revap
air
bawah
tanah
(GW_REVAP), fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP), faktor evaporasi tanah (ESCO), faktor uptake tanaman (EPCO), nilai Manning untuk saluran utama (CH_N2), hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium (CH_K2), faktor alpha aliran dasar untuk ‘bank storage’(ALPHA_BNK) dan koefisien lag aliran permukaan (SURLAG). Kalibrasi manual digunakan untuk mencari nilai kalibrasi parameter bilangan kurva aliran permukaan (CN) yang sesuai. Parameter masukan kalibrasi yang digunakan disajikan pada Tabel 11. Bilangan kurva aliran permukaan untuk penggunaan lahan hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, dan tegalan dikalikan dengan 1,4 sedangkan untuk penggunaan lahan permukiman dan perkebunan dikalikan dengan 1,3. Faktor alpha aliran dasar (ALPHA_BF) merupakan suatu indeks respon aliran bawah tanah terhadap perubahan aliran. Nilai sekitar 0,1-0,3 terdapat pada lahan dengan respon yang lambat terhadap perubahan aliran. Nilai 0,9-1 terdapat pada lahan dengan respon cepat terhadap perubahan aliran bawah tanah. Pada hasil
38
kalibrasi didapatkan nilai 0,57 hari yang menandakan bahwa Alpha_BF pada kondisi lahan sub DAS Ciliwung Hulu mempunyai respon sedang terhadap perubahan aliran air bawah tanah. Tabel 11 Parameter masukan kalibrasi No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
CN2.mgt v_ALPHA_BF.gw v_GW-DELAY.gw v_GWQMN.gw v_GW_REVAP.gw v_RCHRG_DP v_ESCO.hru v_EPCO.hru v_CH_N2.rte v_CH_K2.rte v_ALPHA_BNK.rte v_SURLAG.bsn
Nilai yang digunakan x1,4 & x 1,3 0,57 16,09 397,97 0,04 0,28 0,87 0,68 0,19 245,01 0,57 3,74
Nilai minimum Nilai maksimum
0,28 10,12 389,02 0,036 0,22 0,61 0,59 0,16 236,96 0,20 3,00
0,95 61,30 465,74 0,07 0,37 0,91 0,81 0,23 253,62 0,57 4,00
Keterangan: CN2 = nilai eksisiting x1,4 (hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, tegalan) CN2 = nilai eksisiting x1,3 (permukiman, perkebunan) v = nilai diganti
Lama ‘delay’ air bawah tanah (GW_DELAY) merupakan parameter waktu antara air mengalir dari profil tanah menuju zona jenuh (aquifer) dalam suatu DAS. Suatu daerah yang mempunyai geomorphic (landform) yang sama dapat mempunyai nilai GW_DELAY yang sama (Sangrey et al. 1984 dalam Neitsch et al. 2010). Berdasarkan hasil simulasi didapatkan nilai GW_DELAY untuk sub DAS Ciliwung Hulu sebesar 16,09 hari. GWQMN merupakan ambang batas kedalaman air di akuifer dangkal untuk memungkinkan terjadinya aliran air. Aliran air bawah tanah (groundwater) ke sungai dapat terjadi apabila kedalaman air di akuifer dangkal sama atau lebih besar dari nilai GWQMN. Nilai optimum GWQMN yang didapatkan dari hasil simulasi adalah 397,97 mm. Koefisien revap air bawah tanah (GW_REVAP) merupakan parameter yang cukup penting bila dalam suatu DAS terdapat zona jenuh yang terletak tidak jauh dari permukaan tanah atau terdapat vegetasi yang mempunyai akar cukup dalam. Tipe vegetasi yang berbeda dapat mempengaruhi nilai revap dalam keseimbangan air (water balance). Nilai GW_REVAP yang mendekati 0 menandakan bahwa
39
pergerakan air dari akuifer dangkal ke daerah perakaran terbatas. Nilai GW_REVAP yang mendekati 1 menandakan bahwa pergerakan air dari akuifer dangkal ke daerah perakaran mendekati rata-rata potensial evapotranspirasi. Pada simulasi awal nilai yang dipergunakan adalah 0,2. Setelah dilakukan proses kalibrasi maka didapatkan nilai 0,04. Fraksi perkolasi perairan dalam/deep aquifer (RCHRG_DP) merupakan parameter yang memperhitungkan perkolasi dari daerah perakaran yang dapat menyuplai perairan dalam. Nilai fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP) harus berada di antara 0,0 dan 1,0. Nilai RCHRG_DP pada awal simulasi sebesar 0,05 kemudian pada waktu kalibrasi dinaikkan menjadi 0,28. Faktor kompensasi evaporasi tanah (ESCO) merupakan koefisien kebutuhan air yang diambil dari lapisan tanah paling bawah untuk memenuhi kebutuhan evaporasi tanah sebagai efek dari adanya kapilaritas dan rekahan. Nilai ESCO pada awal simulasi sebesar 1 kemudian pada waktu kalibrasi diturunkan menjadi 0,87. Faktor uptake tanaman (EPCO) memperhitungkan bahwa jumlah air yang digunakan pada satu hari merupakan fungsi dari jumlah air yang dibutuhkan tanaman untuk transpirasi dan jumlah air yang tersedia di dalam tanah. Jika lapisan teratas tanah tidak mempunyai kandungan air yang cukup untuk memenuhi potensial penggunaan air (water uptake) maka lapisan tanah di bawahnya dapat mengganti peran lapisan teratas tanah. Nilai EPCO berkisar antara 0,01 sampai dengan 1. Hasil dari kalibrasi menunjukkan bahwa nilai 0,68 merupakan nilai yang optimal. Nilai Manning untuk saluran utama (CH_N2) yang digunakan pada awal simulasi adalah 0,1 kemudian setelah dilakukan proses kalibrasi maka didapatkan nilai optimum sebesar 0,19. Nilai parameter hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium (CH_K2) awal simulasi adalah 25 mm hari-1 kemudian dinaikan menjadi 245,01 mm hari-1. Faktor alpha aliran dasar untuk ‘bank storage’(ALPHA_BNK) pada awal simulasi adalah 0,94 hari kemudian diturunkan menjadi 0,57 hari. Parameter SURLAG merupakan time lag suatu DAS yaitu waktu antara terjadinya hujan lebih hingga terjadi puncak aliran permukaan. Nilai SURLAG pada awal simulasi yaitu 3 kemudian didapatkan nilai optimal menjadi 3,74.
40
Nilai parameter yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam proses simulasi. Pada Gambar 17 disajikan grafik hidrograf aliran simulasi setelah kalibrasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009). Hasil dari nilai kalibrasi memberikan nilai R menjadi 0,80 (Gambar 18) dan NSE 0,55 (memuaskan). Berdasarkan nilai tersebut, maka model SWAT cukup akurat
0
120
30
90
60
60
90
30
120
0
150 2/1/2008 2/9/2008 2/15/2008 2/21/2008 2/27/2008 3/4/2008 3/10/2008 3/16/2008 3/22/2008 3/28/2008 2/3/2009 2/9/2009 2/15/2009 2/21/2009 2/27/2009 3/5/2009 3/11/2009 3/17/2009 3/23/2009 3/29/2009
Debit
150
Curah Hujan
untuk dipergunakan dalam memprediksi aliran permukaan.
Curah hujan
Debit Simulasi
Debit Observasi
Gambar 17 Hidrograf aliran simulasi setelah hasil kalibrasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009)
Debit Observasi (m3 det‐1)
60 50 40 30
y = 1.0006x + 0.7201 R = 0,80 n=117, p=0,000
20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
Debit Simulasi (m3 det‐1)
Gambar 18
Debit harian simulasi setelah kalibrasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2008 dan 2009)
41
Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa model SWAT dapat diaplikasikan dalam memprediksi hidrologi dalam skala DAS. Rossi et al. (2008) melakukan kalibrasi pada DAS Leon River dan menghasilkan nilai NSE yang termasuk kategori baik sampai sangat baik. Hasil penelitianYusuf (2010) di DAS Cirasea menghasilkan nilai kalibrasi NSE sebesar 0,737 dan Junaedi (2009) di DAS Cisadane menghasilkan nilai kalibrasi NSE sebesar 0,7. Nilai tersebut menunjukkan bahwa SWAT juga dapat diterapkan untuk memprediksi hidrologi DAS di Indonesia. 5.3
Validasi Debit Aliran Validasi adalah proses evaluasi terhadap model untuk mendapatkan
gambaran tentang tingkat ketidakpastian yang dimiliki oleh suatu model dalam memprediksi proses hidrologi. Langkah validasi bertujuan untuk membuktikan bahwa suatu proses/metode dapat memberikan hasil yang konsisten sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Proses validasi dilakukan dengan membandingkan data harian debit observasi bulan Februari-Maret 2009 dan 2011 dengan data harian debit simulasi yang menggunakan parameter kalibrasi. Pada Gambar 19 terlihat grafik hidrograf aliran simulasi sebelum proses validasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011). Korelasi sebelum validasi dilakukan didapat nilai R sebesar 0,86 (Gambar 20) dan
0
120
30
90
60
60
90
30
120
0
150
Curah Hujan
150
2/1/2009 2/8/2009 2/15/2009 2/22/2009 3/1/2009 3/8/2009 3/15/2009 3/22/2009 3/29/2009 2/5/2011 2/12/2011 2/19/2011 2/26/2011 3/5/2011 3/12/2011 3/19/2011 3/26/2011
Debit
NSE sebesar 0,74 (baik).
Curah Hujan (mm)
Debit Simulasi
Debit Observasi
Gambar 19 Hidrograf aliran simulasi sebelum validasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011)
42
70 Debit Observasi (m3 det‐1)
60 50 40 30
y = 0.9638x + 1.037 R = 0,86 n=118, p=0,00
20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Debit Simulasi (m3 det‐1)
Gambar 20 Debit harian simulasi sebelum validasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011) Parameter hasil kalibrasi kemudian dimasukkan ke dalam simulasi validasi. Pada Gambar 21 disajikan grafik hidrograf aliran simulasi setelah validasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011). Dari hasil simulasi validasi tersebut maka didapatkan nilai validasi untuk R (Gambar 22) adalah
0,88 dan NSE adalah 0,74 (baik). Hasil validasi dengan NSE 0,74
menunjukkan bahwa model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi kondisi
0
120
30
90
60
60
90
30
120
0
150 2/1/2009 2/7/2009 2/13/2009 2/19/2009 2/25/2009 3/3/2009 3/9/2009 3/15/2009 3/21/2009 3/27/2009 2/2/2011 2/8/2011 2/14/2011 2/20/2011 2/26/2011 3/4/2011 3/10/2011 3/16/2011 3/22/2011 3/28/2011
Debit
150
Curah Hujan
hidrologi pada sub DAS Ciliwung Hulu.
Curah hujan (mm)
Gambar 21
Debit Simulasi
Debit Observasi
Hidrograf aliran simulasi setelah validasi dan hidrograf observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011)
43
Debit Observasi (m3 det‐1)
60 50 40 y = 1.0542x ‐ 0.6456 R = 0,88 n=118, p=0,000
30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
Debit Simulasi (m3 det‐1)
Gambar 22 Debit harian simulasi setelah validasi dan debit harian observasi (bulan Februari-Maret tahun 2009 dan 2011) 5.4
Sedimen Hasil Pengukuran Pengukuran sedimen dilaksanakan selama bulan Juni sampai dengan
Desember 2011 dan didapatkan 9 sampel. Penghitungan debit sedimen tersebut dilakukan dengan menetapkan kandungan sedimen yang terdapat pada sejumlah volume air per waktu kejadian hujan. Data observasi debit sedimen tersebut kemudian dibandingkan dengan data observasi debit air untuk mendapatkan persamaan rating curve sedimen. Data observasi sedimen dan data observasi debit air disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Data observasi debit air dan observasi sedimen Tanggal 04/06/2011 11/06/2011 04/07/2011 19/09/2011 17/11/2011 30/11/2011 02/12/2011 15/12/2011 28/12/2011
Kisaran Q air (m3 det-1) 6,42-21,05 5,36-17,30 5,11-13,54 4,41-7,00 5,88-78,00 7,29-43,26 7,60-29,22 6,42-22,80 11,07-56,52
Q sedimen (t hari-1) 4,10 1,29 2,35 0,09 6,33 5,48 2,08 2,15 19,77
Data observasi debit air yang dibandingkan dengan data observasi sedimen menghasilkan persamaan rating curve sedimen dengan nilai R sebesar 0,77
44
(Gambar 23). Dengan menggunakan persamaan rating curve sedimen yang sudah didapatkan maka dapat dihitung jumlah sedimen selama 1 tahun. Perhitungan dilakukan dengan memasukkan data observasi debit ke dalam persamaan sehingga keluar nilai data sedimen. Gambar 24 menunjukkkan hidrograf data observasi debit air dengan data observasi sedimen yang diperoleh melalui persamaan rating curve (data observasi sedimen). Korelasi data hasil simulasi sedimen (SWAT) dengan data observasi sedimen selama 1 tahun (2011) menunjukkan R sebesar 0,50 (Gambar 25) dan nilai NSE -7798436,42. Nilai korelasi R dan NSE menunjukkan bahwa persamaan hasil simulasi sedimen berbeda jauh dengan data observasi sedimen. Dengan demikian rating curve sedimen yang dihasilkan tidak dapat menggambarkan prediksi akurat mengenai sedimen di sub DAS Ciliwung Hulu. 30 y = 0.0102x2.492 R = 0,77 n=9, p=0,015
Sedimen (kg det‐1)
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
Q air (m3 det‐1)
Gambar 23 Persamaan rating curve sedimen
20
25
45
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0
Q Sedimen (t)
Q air (m3 det‐1)
Tanggal Q air
Q sedimen
Gambar 24 Hidrograf data observasi debit air dan data observasi debit sedimen berdasarkan persamaan rating curve sedimen y = 0,0102x2,492 30 y = 0.0002x + 1.3496 R = 0,50 n=365, p=0,00
Sedimen Observasi (t)
25 20 15 10 5 0 0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
Sedimen Simulasi (t)
Gambar 25 Data simulasi sedimen dan data observasi sedimen (tahun 2011) Dalam pengambilan sampel sedimen perlu diperhatikan mengenai metoda pengambilan sampel agar didapatkan hasil yang akurat. Pengambilan manual dapat menghasilkan error yang lebih besar dibandingkan dengan alat otomatis
46
(automated sampling). Pengambilan manual dilakukan pada satu titik (single point) per kejadian hujan sehingga kurang akurat dalam menggambarkan jumlah sedimen di lokasi penelitian. Penggunaan alat otomatis pengukur sedimen dapat lebih akurat dalam mengukur sampel sedimen karena dapat mengukur sampel berdasarkan ketinggian debit aliran dan time interval aliran.
5.5
Hasil Pengukuran Unsur Hara Nitrat
Pengukuran unsur hara nitrat di outlet Katulampa dilaksanakan sebanyak 7
kali. Hasil observasi unsur hara nitrat dibandingkan dengan hasil simulasi menunjukkan nilai yang tidak memuaskan sehingga tidak dilakukan proses kalibrasi. Korelasi antara data observasi dan simulasi nitrat (Tabel 13) menghasilkan nilai R 0,088 (Gambar 26) dan NSE menghasilkan nilai -481261,36. Nilai pengukuran (observasi) dibandingkan dengan data simulasi hara nitrat menunjukkan tidak adanya korelasi dengan perbedaan nilai yang sangat besar. Perbedaan nilai yang besar antara hara nitrat hasil pengukuran dengan hasil simulasi menyebabkan kegiatan kalibrasi dan validasi data tidak dilakukan. Tabel 13 Kadar nitrat di outlet Katulampa dan hasil simulasi Data Simulasi NO3
Data Observasi NO3
(kg ha-1)
(kg ha-1)
28 Juni 2011
0,34
0,0003
29 Juni 2011
0,11
0,0005
4 Juli 2011
0
0,0004
7 Juli 2011
0
0,0003
19 Sep 2011
0,03
0,0000
14 Nop 2011
0,05
0,0002
17 Nop 2011
0
0,0007
Tanggal
47
NO3 Observasi (kg ha‐1)
0.0008 y = ‐0.0003x + 0.0004 R = 0,088 n=7, p=0,852
0.0006
0.0004
0.0002
0.0000 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
NO3 Simulasi (kg ha‐1)
Gambar 26 Data observasi dan data simulasi nitrat Pengukuran
unsur
hara
nitrat
untuk
kedepannya
seharusnya
mempertimbangkan teknik penyimpanan data (mempergunakan bahan kimia) dan lamanya waktu penyimpanan sebelum masuk ke laboratorium untuk dianalisis. Bahan kimia yang dapat digunakan untuk menghambat proses metabolisme dan mikroba yaitu chloroform, asam inorganik dan mercluric. Harmel et al. (2006) mengkompilasi ketidakpastian nilai beberapa data NO3-N yang dipengaruhi teknik penyimpanan (Tabel 14).
Tabel 14. Nilai ketidakpastian NO3-N (Harmel et al. 2006) Teknik penyimpanan Diberi es, analisis dalam 6 jam
Nilai ketidakpastian ± 0% (median = 0%)
Referensi Kotlash and Chessman (1998)
Diberi bahan asam sampai ph < 2, analisis dalam 6 jam
-6% sampai (median = -1%)
20%
Kotlash and Chessman (1998)
Didinginkan, analisis dalam 54 jam
-47% sampai (median = -2%)
14%
Kotlash and Chessman (1998)
Tidak diberi bahan pengawet (preservation), analisis dalam 192 jam
-65% sampai (median = -2%)
71%
Kotlash and Chessman (1998)
Tidak diberi bahan pengawet (preservation), analisis dalam 96 jam
-7% sampai (median = 1%)
30%
Cooper (2005)
48
5.6
Hasil Simulasi Model Terhadap Karakteristik Hidrologi Berdasarkan kalibrasi dan validasi debit tahun 2008, 2009 dan 2011 maka
dapat diketahui kondisi hidrologi sub DAS Ciliwung Hulu. Aliran permukaan, aliran lateral, aliran bawah tanah dan water yield hasil prediksi model berdasarkan reach di sub DAS Ciliwung Hulu dapat dilihat pada Tabel 15. Tahun 2009 merupakan tahun dengan curah hujan paling banyak sehingga aliran permukaan (surq) yang terjadi paling besar dibandingkan dengan tahun 2008 dan 2011. Overland flow (aliran permukaan langsung) per sub sub DAS dapat dilihat pada Lampiran 4. Sub sub DAS nomor 1 sampai dengan 21 mempunyai aliran permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan sub sub DAS lainnya (nomor 22-28). Penggunaan lahan dominan pada sub sub DAS nomor 1-21 yaitu kebun campuran, tegalan/ ladang dan perkebunan teh. Pada sub sub DAS nomor 22-28 penggunaan lahan dominan yaitu hutan primer, hutan sekunder dan tegalan/ ladang. Gambar 27 menunjukkan bahwa aliran permukaan tahun 2008 yang lebih besar dari 2000 mm terdapat pada sub sub DAS nomor 1, 4, 5, 6, 7, 8, 14 dan 15. Gambar 28 menunjukkan bahwa aliran permukaan tahun 2009 yang lebih besar dari 2000 mm terdapat pada sub sub DAS nomor 1, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16. Gambar 29 menunjukkan pada tahun 2011 tidak terdapat aliran permukaan yang lebih besar dari 2000 mm. Tabel 15
Karakter hidrologi sub DAS Ciliwung Hulu hasil simulasi model SWAT (berdasarkan reach)
Tahun
Curah Hujan (mm)
2008
3.388,77
1.841,94
45,65
63,13
Air bawah tanah (mm) 119,17
2009
3.558,32
1.953,82
45,09
75,61
450,65
2.477,97
2011
2.567,9
1.245,32
51,50
53,56
298,11
1.595,02
Aliran % Aliran permukaan permukaan (mm) dari CH
Aliran lateral (mm)
Water yield (mm) 2.022,21
49
Gambar 27. Aliran permukaan tahun 2008
Gambar 28. Aliran permukaan tahun 2009
50
Gambar 29. Aliran permukaan tahun 2011 Aliran permukaan dapat menyebabkan erosi yang dapat mengangkut partikel-partikel tanah yang mengandung unsur hara. Menurut Arsyad (2010), kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi berupa kemunduran sifat kimia dan fisik tanah seperti kehilangan hara dan bahan organik serta memburuknya sifat-sifat fisik yang tercermin antara lain pada penurunan kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, peningkatan kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan pengurangan kemantapan struktur tanah. Kejadian erosi yang terus menerus dan intensif pada suatu lahan dapat menyebabkan produktivitas tanaman menurun. Perbaikan tanah dapat dilakukan melalui teknologi pengendalian erosi yang dapat dilakukan secara teknis dan vegetatif. Pengendalian erosi secara teknis dapat dilakukan melalui pembuatan teras gulud, teras bangku, teras kredit dan teras batu. Pengendalian erosi secara vegetatif dapat dilakukan melalui sistem agroforestri, strip rumput, tanaman penutup tanah dan pengaturan pola tanam (penanaman menurut strip, penanaman majemuk, pergiliran tanaman dan tumpang gilir).
51
5.7
Efektivitas Berbagai Pengelolaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dan pengolahan tanah secara intensif pada
lahan pertanian seringkali meningkatkan aliran permukaan. Aliran permukaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat erosi selain dari penggunaan lahan, kemiringan lereng, panjang lereng dan luas DAS. Praktek manajemen konservasi tanah pada lahan pertanian dapat mengurangi aliran permukaan. PLT (Pengelolaan Lahan Terbaik) digunakan untuk mengurangi aliran permukaan dari daerah pertanian. Teras bangku merupakan salah satu teknik konservasi tanah mekanik yang bertujuan untuk mengurangi panjang lereng sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan. Dengan menerapkan teknik konservasi ini diharapkan erosi yang terjadi dalam suatu kawasan DAS dapat dikurangi. Teknik konservasi penanaman menurut kontur merupakan suatu teknik penanaman yang diatur sejalan dengan garis kontur. Melalui teknik konservasi vegetatif ini, aliran permukaan dapat dihambat sehingga meningkatkan penyerapan air oleh tanah dan mengurangi potensi erosi yang terjadi. Penanaman strip (Strip Cropping) merupakan suatu sistem konservasi tanah vegetatif yang menanam beberapa jenis tanaman dalam strip yang berselangseling pada sebidang tanah pada kurun waktu yang sama dan disusun memotong lereng atau menurut garis kontur. Pola tanam yang diaplikasikan harus disesuaikan dengan ketersediaan air dan persyaratan tumbuh tanaman untuk menghindari pengaruh kompetisi dan gangguan hama dan penyakit. Penerapan teknik konservasi ini selain dapat mengurangi aliran permukaan juga meningkatkan intensitas tanaman, menghasilkan sisa tanaman sebagai bahan organik yang berfungsi dalam menyuplai unsur hara dan mengurangi evaporasi tanah. Agroforestri merupakan salah satu teknik konservasi tanah vegetatif yang menggabungkan antara tanaman pepohonan atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian (Subagyono et al. 2004). Melalui penerapan agroforestri diharapkan aliran permukaan dan erosi yang terjadi dapat berkurang. Tanaman pepohonan
52
mempunyai luas tajuk daun yang relatif lebih besar dan dapat mengkonversi energi kinetik air hujan menjadi aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) sehingga aliran permukaan tidak begitu besar. Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa aliran permukaan pada tahun 2008, 2009 dan 2011 (Lampiran 4) pada tiap sub sub DAS banyak yang lebih dari 1000 mm. Diharapkan dengan penerapan teknologi konservasi tanah pada kebun campuran (5.444,2 ha), lahan tegalan (2.435,7 ha) dan perkebunan teh (2.213,2 ha) maka jumlah aliran permukaan dapat berkurang sehingga pada akhirnya erosi yang terjadi dapat berkurang. Simulasi PLT pada kebun campuran dan tegalan dilakukan pada tahun 2008, 2009 dan 2011 dengan memakai teknologi konservasi teras bangku, penanaman menurut kontur dan penananaman menurut strip. Pada penggunaan lahan perkebunan teh dilakukan teknologi konservasi tanah agroforestri. Simulasi aplikasi teknik konservasi tanah dilakukan pada sub sub DAS nomor 1-21 karena mempunyai aliran permukaan yang tinggi. Sub sub DAS nomor 22-28 tidak dilakukan simulasi karena aliran permukaan relatif lebih rendah dikarenakan terdapat penggunaan lahan hutan (primer maupun sekunder). Berdasarkan hasil simulasi PLT pada tahun 2008, 2009 dan 2011, diketahui bahwa teknik konservasi tanah teras, penanaman menurut kontur, penanaman strip (strip cropping) dan agroforestri dapat menghambat aliran permukaan. Besar aliran permukaan setelah penerapan teknologi konservasi tanah teras bangku, penanaman menurut kontur, penanaman strip dan agroforestri dapat dilihat pada Lampiran 5. Penerapan teknik konservasi teras bangku pada penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan dapat menghambat aliran permukaan hingga 78,12% (tahun 2008), 79,21% (tahun 2009) dan 77,94% (tahun 2011). Penerapan teknik konservasi teras bangku dan agroforestri (perkebunan teh) pada sub sub DAS nomor 12 dapat menghambat aliran permukaan 55,24% (tahun 2008), 53,59% (tahun 2009) dan 59,55% (tahun 2011). Setelah penerapan teknik konservasi tanah, jumlah sub sub DAS yang memiliki aliran permukaan kurang dari 1000 mm menjadi lebih banyak dan tidak terdapat sub sub DAS yang memiliki aliran permukaan lebih besar dari 2000 mm. Jumlah sub sub DAS yang memiliki aliran
53
permukaan kurang dari 1000 mm pada tahun 2008 yaitu sebanyak 16 sub sub DAS, pada tahun 2009 sebanyak 16 sub sub DAS dan pada tahun 2011 sebanyak 28 sub sub DAS (Gambar 30, 31 dan 32).
Gambar 30. Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi teras bangku dan agroforestri tahun 2008
Gambar 31. Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi teras bangku dan agroforestri tahun 2009
Gambar 32. Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi teras bangku dan agroforestri tahun 2011
Penerapan teknik konservasi penanaman menurut kontur terbukti efektif dalam menghambat aliran permukaan hingga 68,32% (tahun 2008), 69,32% (tahun 2009) dan 70,36% (tahun 2011). Melalui penerapan kombinasi teknik konservasi tanah penanaman menurut kontur di lahan kebun campuran dan agroforestri di lahan perkebunan teh pada sub sub DAS nomor 12, aliran permukaan dapat dihambat sebesar 48,64% (tahun 2008), 47,24% (tahun 2009) dan 53,70% (tahun 2011). Jumlah sub sub DAS yang memiliki aliran permukaan kurang dari 1000 mm setelah aplikasi penanaman menurut kontur dan agroforestri
54
pada tahun 2008 yaitu sebanyak 11 sub sub DAS, pada tahun 2009 sebanyak 13 sub sub DAS dan pada tahun 2011 sebanyak 28 sub sub DAS (Gambar 33, 34 dan 35). Selain itu tidak terdapat sub sub DAS yang memiliki aliran permukaan lebih besar dari 2000 mm.
Gambar 33. Tinggi aliran permukaan Gambar 34. Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi (mm) setelah aplikasi kontur dan agroforestri kontur dan agroforestri tahun 2009 tahun 2008
Gambar 35. Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi kontur dan agroforestri tahun 2011 Penerapan teknik konservasi penanaman strip dapat menghambat aliran permukaan hingga 73,46% (tahun 2008), 74,52% (tahun 2009) dan 73,52% (tahun 2011). Kombinasi penerapan teknologi konservasi tanah penanaman strip di lahan kebun campuran dan agroforestri di lahan perkebunan teh pada sub sub DAS nomor 12 dapat menghambat aliran permukaan hingga 52,08% (tahun 2008), 50,55% (tahun 2009) dan 56,81% (tahun 2011). Jumlah sub sub DAS yang
55
memiliki aliran permukaan kurang dari 1000 mm setelah aplikasi penanaman strip dan agroforestri pada tahun 2008 yaitu sebanyak 16 sub sub DAS, pada tahun 2009 sebanyak 15 sub sub DAS dan pada tahun 2011 sebanyak 28 sub sub DAS (Gambar 36, 37 dan 38). Penerapan teknik konservasi ini menyebabkan tidak terdapat sub sub DAS yang memiliki aliran permukaan lebih besar dari 2000 mm.
Gambar 36. Tinggi aliran permukaan Gambar 37. Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi (mm) setelah aplikasi penanaman strip dan penanaman strip dan agroforestri tahun 2008 agroforestri tahun 2009
Gambar 38. Tinggi aliran permukaan (mm) setelah aplikasi penanaman strip dan agroforestri tahun 2011
Dari ketiga teknik konservasi tanah (teras bangku, penanaman menurut kontur dan penanaman strip) yang diaplikasikan pada kebun campuran dan tegalan/ladang, teknik konservasi teras bangku merupakan teknik konservasi yang paling efektif dalam menghambat aliran permukaan hingga 79,21 %. Penggunaan
56
aplikasi agroforestri di perkebunan teh dapat menghambat aliran permukaan hingga 51,04 % (tahun 2008), 56,31% (tahun 2009) dan 56,09% (tahun 2011). Berbagai penelitian sebelumnya telah menyebutkan mengenai keefektifan teknik konservasi tanah dalam mengurangi jumlah aliran permukaan. Saifudin dan Agus (1998) menyebutkan bahwa faktor yang dominan menurunkan aliran permukaan pada micro cathments seluas 2,31 ha dan 1,93 ha adalah kemiringan lahan, teknik konservasi dan penutupan permukaan tanah. Penelitian mengenai keefektifan teras dalam menghambat aliran permukaan sudah banyak dilakukan. Menurut Haryati et al. (1995) pada tahun pertama penelitian di Ungaran, aliran permukaan pada teras bangku datar adalah yang paling rendah, disusul kemudian oleh teras gulud, teras kredit dan teras bangku miring. Setelah tahun ketiga penelitian, aliran permukaan yang terjadi pada semua teknologi konservasi teras yang dicobakan sudah cukup rendah. Talaohu et al. (1989) menyebutkan bahwa jumlah aliran permukaan pada teras bangku dan teras gulud lebih kecil dibandingkan tanpa konservasi tanah, Pembuatan teras gulud mengakibatkan lereng menjadi pendek sehingga daya rusak air aliran permukaan juga berkurang, Hasil penelitian lain yang juga menyebutkan keefektifan teknik konservasi dalam mengurangi aliran permukaan dilakukan oleh Suganda et al. (1997) yang menyebutkan bahwa model bedengan searah kontur selama periode tanam buncis-kubis mampu menekan jumlah aliran permukaan hingga lebih rendah 36% dari model bedengan yang searah lereng.
57
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan 1.
Parameter hidrologi masukan model SWAT yang sesuai di sub DAS Ciliwung Hulu adalah faktor alpha aliran dasar (ALPHA_BF) 0,57, lama ‘delay’ air bawah tanah (GW_DELAY) 16,09, ketinggian minimum aliran dasar (GWQMN) 397,97, koefisien revap air bawah tanah (GW_REVAP) 0,04, fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP) 0,28, faktor evaporasi tanah (ESCO) 0,87, faktor uptake tanaman (EPCO) 0,68, nilai Manning untuk saluran utama (CH_N2) 0,19, hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium (CH_K2)
245,01,
faktor
storage’(ALPHA_BNK)
0,57,
alpha dan
aliran koefisien
dasar lag
untuk
aliran
‘bank
permukaan
(SURLAG) 3,74. 2.
Model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi debit aliran di sub DAS Ciliwung Hulu seperti ditunjukkan hasil validasi yang baik dengan nilai R 0,88 dan NSE 0,74.
3.
Teknik konservasi tanah dan air yaitu teras bangku, penanaman menurut kontur, penanaman menurut strip dan agroforestri dapat mengurangi aliran permukaan hingga 79,21%, 70,36%, 74,52% dan 56,31%. Pengelolaan Lahan Terbaik di sub DAS Ciliwung Hulu yang paling efektif menurunkan aliran permukaan adalah teras bangku.
6.2. Saran Dalam pengambilan sampel sedimen perlu diperhatikan mengenai metoda pengambilan sampel agar didapatkan hasil yang akurat. Pengukuran unsur hara nitrat untuk kedepannya seharusnya mempertimbangkan teknik penyimpanan data (mempergunakan bahan kimia) dan lamanya waktu penyimpanan sebelum masuk ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis unsur hara dilakukan sesuai dengan metoda baku (Keeney and Nelson 1982, Sulaeman et al. 2005).
58
59
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour K. 2011. SWAT CUP4: SWAT Calibration and Uncertainty ProgramA User Manual. Eawag. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [Balittanah]. Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 2002. Laporan Hasil Monitoring Tata Air di Wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 2002. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial BP DAS Citarum-Ciliwung. Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Jakarta: Dephut. Fakhrudin M. 2003. Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Ciliwung dengan model Sedimot II [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gassman PW, Williams JR, Benson VR, Izaurralde RC, Hauck LM, Jones CA, Atwood JD, Kiniry JR, Flowers JD. 2005. Historical Development and Applications of the EPIC and APEX Models. CARD Working Paper 05-WP 397. Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University. Harmel RD, Cooper RJ, Slade RM, Haney RL, and Arnold JG. 2006. Cumulative uncertainty in measured streamflow and water quality data for small watersheds. Trans. ASAE 49 (3):689-701. Haryati U, Haryono, Aburachman A. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit Penelitian Tanah dan Pupuk 13:40-50. Haryati U, Rachman A, Sulaeman Y, Prasetyo T, Abdurachman A. 1991. Tingkat erosi, hasil tanaman pangan dan daya dukung ternak dalam sistem pertanaman lorong. Di dalam: Risalah Lokakarya Hasil Penelitian P3HTA/UACP-FSR; Bandungan, 25-26 Februari 1991. P3HTA. Badan Litbang Pertanian.
60
Indarto. 2012. Hidrologi, Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Jakarta: Bumi Aksara. Jha MK, Schilling KE, Gassman PW, Wolter CF. 2010. Targeting land use change for nitrate-nitrogen load reductions in an agricultural watershed. J. of Soil and Water Conservation Nov/Dec 2010: 65 (6). Junaedi E. 2009. Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Pengelolaan DAS Cisadane Menggunakan Model SWAT [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Keeney DR, Nelson DW. 1982. Nitrogen-Inorganic Forms. Di dalam: Page AL, Miller RH, Keeney DR, editor. Methods of Soil Analysis, part 2, Chemical and Microbiological Properties. Ed ke 2. Madison, Wisconsin USA. hlm 643-698. [Keppres] Keputusan Presiden. 1990. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta: Keppres Knisel WG. 1980. CREAMS, a field scale model for chemicals, runoff and erosion from agricultural management systems. USDA Conservation Research Rept. No. 26. U.S. Department of Agriculture, Washington, DC. Leonard RA, Knisel WG, Still DA. 1987. GLEAMS: Groundwater loading effects of agricultural management systems. Trans. ASAE 30: 1403-1418. Maryati Y. 1999. Intensitas Pencemaran Organik Pada Daerah Aliran Sungai Ciliwung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Moriasi DN, Arnold JG, Van Liew MW, Bingner RL, Harmel RD, Veith TL. 2007. Model evaluation guidelines for systematic quantification of accuracy in watershed simulations. Transactions of the ASABE. 50 (3):885-900. Mulyana D, Budi SW, Wasis B, dan Wulandari AS. 2011. Perubahan lingkungan mikro pada berbagai penutupan lahan hasil revegetasi. JMHT Vol XVII (1): 24-28. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2005. Assessment Tool Theoretical Documentation. Version 2005. Temple, Texas. Grassland, Soil and Water Research Laboratory. Agricultural Research Service. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2010. Soil and Water Input/Output File Documentation. Version 2009. Temple, Texas. Grassland, Soil and Water Research Laboratory. Agricultural Research Service. Park SW, Mostaghimi S, Cooke RA, McClellan PW. 1994. BMP impacts on watershed runoff, sediment and nutrient yields. Water Resources Bulletin 30 (6): 1011-1023.
61
[PP] Peraturan Pemerintah. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kulaitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta: PP. Rossi CG, Dybala TJ, Moriasi DN, Arnold JG, Amonett C, Marek T. 2008. Hydrologic calibration and validation of the Soil and Water Assessment Tool for the Lion River Watershed. J. of Soil and Water Conservation Nov/Dec 2008: 63 (6). Saifudin, Agus F. 1998. Aliran permukaan dan erosi pada tampungan mikro. Di dalam: Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan DAS: Alternatif dan Pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi Tanah; Bogor, 27-28 Oktober 1998. Bogor: Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat, Puslittanak. hal 123132. Santhi C, Srinivasan R, Arnold JG, Williams JR. 2006. A modelling approach to evaluate the impacts of water quality management plans implemented in a watershed in Texas. Environmental Modelling & Software. 21: 1141-1157. Singgih I. 2000. Kajian hidrologi DAS Ciliwung menggunakan model HEC-1 [tesis] Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Soekardi M, Djaenudin D. 1987. Hubungan perkembangan tanah dengan daya dukungnya: Kasus daerah antara Puncak dan Jakarta. Pembrit Tanah dan Pupuk 7: 24-30. Subagyono K, Marwanto S, Kurnia U. 2004. Teknik Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Balai Penelitian Tanah. Subardja, Buurman P. 1980. A toposequence of Latosols on volcanic rocks in the Bogor-Jakarta area. Di dalam: Buurman P, editor. Red Soils in Indonesia. Wageningen: Centre for Agricultural Publishing and Documentation. hlm 25-48. Sudirman, Sinukaban N, Suwardjo H, Arsyad S. 1986. Pengaruh tingkat erosi dan pengapuran terhadap produktivitas tanah. Pembrit. Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 9-14. Suganda H, Djunaedi MS, Santoso D, dan Sukmana S. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi, dan produksi sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Iklim no.15: 38-50. Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
62
Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1990. Soil Fertility and Fertilizers. Fourth Edition. Tala’ohu SH, Abdurachman A, Suwardjo. 1989. Pengaruh teras bangku, teras gulud, slot mulsa flemingia, dan strip rumput terhadap erosi, hasil tanaman dan ketahanan tanah Tropudult di Sitiung. Di dalam: Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah: Bidang Konservasi Tanah dan Air; Bogor, 22-24 Agustus 1989. Bogor: Puslitanak. hlm 79-89. Walker JF, Graczyk DJ. 1993. Preliminary evaluation of effects of BMPs in Black Earth Creek, Wisconsin, Priority Watershed. Water Sci Technology 28:539548. Winchell M, Srinivasan R. 2007. SWAT Editor For SWAT 2005. Documentation. Grassland, Soil and Water Research Laboratory, Agricultural Research Service. Yusuf SM. 2010. Kajian respon perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi pada DAS Cisarea menggunakan model MWSWAT [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zubaidah A. 2004. Pengaruh penutup lahan/penggunaan lahan terhadap kandungan unsur hara air sungai di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Horison
3
3
3
3
5
5
5
4
3
3
tanah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1500
1500
A
A
1030
1600
1700
1700
3500
3500
3500
3500
(mm)
Tanah
B
C
C
C
C
C
C
C
tanah
BD
AWC
200
200
200
180
330
330
300
300
300
300
(mm)
0,9
0,9
1,13
1,13
1,13
1,13
1,32
1,32
1,32
1,32
0,21
0,21
0,17
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
lapisan 1 lapisan 1 lapisan 1
Hidrologi Kedalaman Kedalaman K
4,72
4,72
4,69
1,06
2,68
2,68
1,37
1,37
1,37
1,37
29,7
29,72
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
lapisan 1 lapisan 1
CBN % Debu
% Pasir
%batuan
ALB
USLE_K
23
23
26
57,1
78,8
78,8
78
78
78
78
1
51
51
28
38,1
13,3
13,3
17,4
17,4
17,4
17,4
26
26
46
4,8
79
79
4,6
4,6
4,6
4,6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,21
0,21
0,16
0,18
0,13
0,13
0,14
0,14
0,14
0,14
lapisan lapisan 1 lapisan 1 lapisan 1 lapisan 1 lapisan 1
% Liat
BD = Bobot Isi/ Bulk Density (Mg m3 atau g cm3), AWC = Kapasitas Menahan Air/Available Water Content (mm H2O mm-1 tanah), K = Hantaran Hidrolik Tanah/Saturated Hydraulic Conductivity (mm jam-1), CBN = Karbon Organik/Organik Carbon Content (% berat tanah), ALB = Moist Soil Albedo, USLE_K = erodibilitas tanah
Keterangan: Jenis tanah 1) Kompleks Typic Troporthens-Typic Fluvaquents, 2) Konsosiasi Typic Hapludults, 3) Asosiasi Andic Humitropepts-Typic Dystropepts, 4) Konsosiasi Typic Dystropepts, 5) Asosiasi Typic Humitropepts-Typic Eutropepts , 6) Konsosiasi Typic Humitropepts, 7) Konsosiasi Typic Eutropepts, 8) Konsosiasi Typic Hapludands, 9) Konsosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments, 10) Kompleks Typic TropopsammentsLithic Troporthents
Jumlah
Jenis
Lampiran 1 Parameter data tanah sub DAS Ciliwung Hulu
65
Kedalaman
lapisan 2 (mm)
800
800
800
600
710
710
610
390
600
600
Jenis
tanah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lampiran 1 (lanjutan)
0,9
0,9
1,13
1,13
1,13
1,13
0,9
0,9
0,9
0,9
lapisan 2
BD
0,21
0,21
0,17
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
lapisan 2
AWC
2,91
2,91
3,36
0,7
1,2
1,2
0,41
0,41
0,41
0,41
lapisan 2
CBN
29,7
29,7
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
lapisan 2
K
56
56
19
52,1
81,7
81,7
77,2
77,2
77,2
77,2
lapisan 2
% Liat
24
24
29
42
12
12
18,8
18,8
18,8
18,8
lapisan 2
% Debu
20
20
52
5,9
6,3
6,3
4
4
4
4
lapisan 2
% Pasir
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
lapisan 2
% batuan
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
lapisan 2
ALB
0,12
0,12
0,25
0,23
0,13
0,13
0,15
0,15
0,15
0,15
lapisan 2
USLE_K
66
Kedalaman
lapisan 3 (mm)
2500
2500
2500
1500
1000
1000
950
760
1500
1500
Jenis
tanah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lampiran 1 (lanjutan)
0,9
0,9
1,13
1,13
1,13
1,13
0,9
0,9
0,9
0,9
lapisan 3
BD
0,21
0,21
0,17
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
lapisan 3
AWC
1,19
1,19
2,45
0,56
0,2
0,2
0,19
0,19
0,19
0,19
lapisan 3
CBN
29,7
29,7
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
26,2
lapisan 3
K
41
41
7
55,7
78,1
78,1
69,9
69,9
69,9
69,9
lapisan 3
% Liat
32
32
30
38,9
16,7
16,7
27,1
27,1
27,1
27,1
lapisan 3
% Debu
27
27
63
5,4
5,2
5,2
3
3
3
3
lapisan 3
% Pasir
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
lapisan 3
% batuan
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
lapisan 3
ALB
0,25
0,25
0,38
0,21
0,15
0,15
0,19
0,19
0,19
0,19
lapisan 3
USLE_K
67
Kedalaman
lapisan 4 (mm)
-
-
-
-
1400
1400
1450
1030
-
-
Jenis
tanah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lampiran 1 (lanjutan)
-
-
-
-
-
-
1,13
1,13
1,13
1,13
lapisan 4
BD
-
-
0,17
0,10
0,10
0,10
-
-
-
-
lapisan 4
AWC
-
-
-
-
-
-
1,43
0,35
0,28
0,28
lapisan 4
CBN
-
‐ ‐
-
‐ ‐
26,2
26,2
26,2
-
‐
26,2
-
‐
lapisan 4
K
15
60,4
78,1
78,1
lapisan 4
% Liat
‐
‐
‐
‐
‐
‐
26
34,2
16,5
16,5
lapisan 4
% Debu
-
-
-
-
-
-
59
5,4
5,4
5,4
lapisan 4
% Pasir
‐
‐
‐
‐
‐
‐
0
0
0
0
lapisan 4
%batuan
-
-
-
-
-
-
0,17
0,17
0,17
0,17
lapisan 4
ALB
‐
‐
‐
‐
‐
‐
0,37
0,17
0,15
0,15
lapisan 4
USLE_K
6 8
Kedalaman
lapisan 5 (mm)
-
-
-
-
1700
1700
1600
-
-
-
Jenis
tanah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lampiran 1 (lanjutan)
-
-
-
1,13
1,13
1,13
-
-
-
-
lapisan 5
BD
-
-
-
0,10
0,10
0,10
-
-
-
-
lapisan 5
AWC
-
-
-
0,28
0,25
0,25
-
-
-
-
lapisan 5
CBN
-
-
-
26,2
26,2
26,2
-
-
-
-
lapisan 5
K
-
-
-
55,1
74,4
74,4
-
-
-
-
lapisan 5
% Liat
-
-
-
37,3
18,8
18,8
-
-
-
-
lapisan 5
% Debu
-
-
-
7,6
6,8
6,8
-
-
-
-
lapisan 5
% Pasir
-
-
-
0
0
0
-
-
-
-
lapisan 5
%batuan
-
-
-
0,17
0,17
0,17
-
-
-
-
lapisan 5
ALB
-
-
-
0,21
0,16
0,16
-
-
-
-
lapisan 5
USLE_K
69
TMPMN
TMPSTDMX
TMPSTDMN
PCPMM
PCPSTD
PCPSKW
PR_W1
PR_W2
PCPD
RAINHHMX
SOLARAV
DEWPT
WNDAV
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1,73
17,79
13,67
125
23,83
0,85
0,47
2,28
21,62
470,37
0,74
2,00
18,20
24,79
1,57
18,23
12,94
125
24,33
0,92
0,57
4,02
28,52
535,87
0,71
1,91
18,34
25,42
0,72
1,13
18,71
26,34
0,91
1,12
18,66
26,62
Mei
0,94
1,07
18,08
26,42
Juni
1,68
17,95
14,41
125
24,83
0,83
0,70
2,06
15,76
1,61
18,14
14,98
125
21,00
0,71
0,59
2,24
13,50
1,56
18,03
14,62
125
18,67
0,71
0,42
2,55
11,58
1,59
17,33
15,00
125
12,00
0,56
0,31
6,04
12,11
358,25 269,43 206,10 126,17
0,63
1,27
18,53
25,66
April
1,73
16,61
15,94
125
7,67
0,48
0,16
7,22
6,45
48,42
0,98
0,92
17,44
26,39
Juli
1,67
16,43
17,44
125
8,00
0,56
0,16
4,79
8,89
86,77
1,04
0,99
17,22
26,67
1,77
16,65
18,59
125
12,17
0,59
0,28
3,59
9,28
121,55
0,94
1,18
17,40
27,07
1,66
17,42
17,99
125
17,00
0,66
0,44
2,46
14,25
254,30
0,99
1,34
17,90
26,98
1,48
18,15
14,90
125
23,17
0,81
0,68
2,78
16,29
308,85
0,88
1,34
18,32
26,29
1,45
18,20
13,07
125
25,67
0,80
0,78
2,46
15,45
359,80
0,90
1,41
18,68
25,46
Agustus September Oktober Nopember Desember
Keterangan: suhu maksimum rata – rata harian pada satu bulan tertentu selama n tahun (TMPMX ),suhu minimum rata – rata pada satu bulan tertentu selama n tahun (TMPMN), standar deviasi suhu maksimum harian (TMPSTDMX ), standar deviasi suhu minimum harian (TMPSTDMN), curah hujan rata – rata (PCPMM), standar deviasi untuk curah hujan harian (PCPSTD), koefisien skew untuk curah hujan harian dalam satu bulan (PCPSKW), perbandingan kemungkinan hari basah ke hari kering dalam satu bulan dengan jumlah hari kering dalam satu bulan (PR_W1), perbandingan kemungkinan hari basah ke hari basah dengan jumlah hari basah selama satu bulan (PR-W2), jumlah hujan rata – rata pada bulan tertentu selama n tahun (PCPD), curah hujan maksimum 0,5 jam selama 1 bulan (RAINHHMX), radiasi surya (SOLARAV), titik beku (DEWPT), kecepatan angin (WNDAV)
TMPMX
1
Lampiran 2 Input parameter iklim No Parameter Januari Februari Maret
70
Lampiran 3 Luas sub sub DAS Ciliwung Hulu hasil delineasi model No DAS 1
Nama Sub DAS Katulampa
Luas (Ha) 1.167,75
% DAS 8,15
2
Ciesek 1
366,30
2,56
3
Ciesek 2
962,19
6,72
4
Ciesek 3
1.055,34
7,37
5
Ciseuseupan 1
212,49
1,48
6
Ciseuseupan 2
119,70
0,84
7
Ciseuseupan 3
103,41
0,72
8
Ciseuseupan 4
376,83
2,63
9
Cisarua 1
1302,48
9,09
10
Cisarua 2
320,13
2,23
11
Cisarua 3
328,95
2,30
12
Cisarua 4
298,44
2,08
13
Cisarua 5
423,27
2,95
14
Ciseuseupan 5
704,52
4,92
15
Cisukabirus 1
45,90
0,32
16
Tugu1
742,05
5,18
17
Cisukabirus 2
333,99
2,33
18
Cisukabirus 3
400,41
2,80
19
Tugu 2
525,85
5,67
20
Cibogo 1
972,99
6,79
21
Cisukabirus 4
352,35
2,46
22
Tugu 3
647,64
4,52
23
Cibogo 2
328,32
2,29
24
Cisukabirus 5
310,05
2,16
25
Cibogo 3
344,52
2,40
26
Cisukabirus 6
600,21
4,19
27
Cibogo 4
289,17
2,02
28
Cibogo 5
404,46
2,82
Jumlah
14.325,84
100,00
71
No Sub sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Luas (ha) 1.167,75 366,30 962,19 1.055,34 212,49 119,70 103,41 376,83 1302,48 320,13 328,95 298,44 423,27 704,52 45,90 742,05 333,99 400,41 525,85 972,99 352,35 647,64 328,32 310,05 344,52 600,21 289,17 404,46
Penggunaan Lahan
Kebun campuran Teh Hutan sekunder, teh Kebun campuran Kebun campuran, Tegalan/Ladang Kebun campuran, Tegalan/Ladang Permukiman, Tegalan/Ladang Kebun campuran Permukiman, Tegalan/Ladang Hutan sekunder, teh Hutan sekunder, teh Kebun campuran, teh Kebun campuran Kebun campuran Kebun campuran Teh Kebun campuran, Tegalan/Ladang Kebun campuran, Tegalan/Ladang Hutan sekunder, teh Kebun campuran Kebun campuran, Tegalan/Ladang Hutan sekunder, Tegalan/Ladang Hutan primer, Tegalan/Ladang Hutan sekunder, Tegalan/Ladang Hutan sekunder, Tegalan/Ladang Hutan sekunder, Tegalan/Ladang Hutan sekunder Hutan sekunder
2008 2.490,83 1.950,61 1.938,01 2.510,71 2.513,86 2.495,60 2.020,49 2.472,20 1.849,14 1.927,48 1.935,17 1.943,15 1.798,51 2.456,96 2.147,26 1.931,33 1.544,24 1.586,55 1.560,93 1.832,32 1.513,70 1.268,45 1.306,01 1.000,50 1.130,24 1.065,39 820,03 1.039,86
Aliran Permukaan (mm) 2009 2.260,93 1.709,22 2.384,43 2.269,18 2.264,93 2.255,15 1.751,96 2.251,86 1.960,69 2.379,14 2.384,41 2.374,69 2.213,46 2.243,70 2.308,15 2.360,69 1.658,06 1.704,43 1.930,00 1.969,75 1.628,46 1.594,22 1.394,72 1.090,52 1.223,59 1.156,93 907,69 1.333,49
Lampiran 4. Overland flow (aliran permukan langsung) tiap sub sub DAS Ciliwung Hulu 2011 1.771,78 1.293,51 1.252,20 1.782,60 1.783,50 1.772,71 1.393,52 1.761,23 1.295,64 1.244,39 1.250,30 1.295,83 1.140,31 1.752,04 1.506,76 1.238,52 1.029,83 1.063,19 985,03 1.256,63 1.005,71 774,09 862,33 643,18 734,72 688,80 514,50 614,07
72
No Sub sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Aliran permukaan tahun 2008 (mm) Teras Penanaman Agroforestri Kontur bangku strip 773.67 1.015,85 890,12 1.015,09 1.310,75 771,88 1.010,59 886.71 775,98 1.071,24 892,02 766,61 1.009,49 882,89 1.154,77 1.279,65 1.214,92 740,42 980,17 854,68 755,35 900,70 824,57 1.353,57 1.337,86 869,66 997,94 931,12 642,33 892,34 762,27 728,07 968,10 842,15 469,85 680,28 569,82 945,60 474,58 686,78 575,77 487,66 702,90 590,46 1.334,43 475,28 1.201,55 576,00 481,89 695,28 583,52
Aliran permukaan tahun 2009 (mm) Teras Penanaman Agroforestri Kontur bangku strip 506,86 734,98 615,44 746,69 1.644,20 504,26 729,77 611,11 506,99 733,92 614,50 498,97 725,95 606,57 884,73 1002,57 940,59 477,38 700,37 582,96 827,20 979,73 899,78 1.700,43 1.679,74 1.102,04 1.252,89 1.174,29 831,88 1.127,83 973,69 466,46 688,38 571,60 531,79 755,90 638,72 1.198,06 532,47 756,63 639,48 546,76 774,26 655,46 1.661,95 535,89 1.504,60 642,90 540,93 766,90 648,49
Lampiran 5. Aliran permukaan setelah aplikasi teknik konservasi tanah Aliran permukaan tahun 2011(mm) Teras Penanaman Agroforestri Kontur bangku strip 414,97 583,98 595,38 576,66 810,69 412,22 579,62 491,64 416,87 585,28 496,78 412,04 580,23 491,76 715,31 802,77 756,92 393,94 558,94 471,87 518,04 608,69 561,01 842,29 829,26 524,10 599,92 559,69 366,11 512,26 434,66 386,47 550,47 463,85 315,78 446,57 377,59 543,79 318,99 449,59 380,92 326,75 459,50 389,77 828,75 318,51 724,34 380,37 323,32 454,88 385,51
73