Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Konflik Kehutanan dan Keadilan Tenurial: Peluang dan Limitasi1 Dr. Myrna A. Safitri2
1. Pendahuluan Konflik-‐konflik yang terjadi di kawasan hutan Indonesia, salah satunya, dipahami sebagai akibat dari ketiadaan atau minimnya pengakuan terhadap hak-‐hak masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan ide, gerakan dan kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan dan mencegah konflik serta memberikan kesejahteraan pada warga masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Indonesia telah menjalankan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat sejak masa kolonial. Berbagai inovasi dan adaptasi kebijakan dilakukan hingga kini. Namun, hal ini masih belum sepadan dengan kecepatan munculnya konflik-‐konflik di kawasan hutan. Makalah ini memaparkan hasil analisis saya terhadap konstruksi dan implementasi hukum dan kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pertanyaan utamanya adalah seberapa jauh sejumlah opsi kebijakan yang ada mampu menjawab kebutuhan penyelesaian konflik di kawasan hutan. Untuk tujuan ini maka, saya menuliskan makalah ini ke dalam enam bagian. Setelah bagian pendahuluan ini, di bagian kedua saya akan memulai dengan diskusi tentang konsep hutan sebagai lanskap sosio-‐ekologis dan kawasan hutan sebagai konstruksi sosial, hukum dan administrasi. Bagian ketiga memaparkan tentang data dan fakta sosial di kawasan hutan Indonesia. Bagian keempat menjelaskan pelbagai instrumen hukum dan program untuk membangun pengelolaan hutan berbasis masyarakat beserta capaiannnya. Bagian kelima merupakan analisis sosio-‐legal terhadap kemampuan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat mengeliminir dan menyelesaikan konflik kehutanan. Terakhir adalah kesimpulan.
1 Makalah disampaikan dalam Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan
Berkeadilan, diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta 13 Desember 2012. 2 Direktur Eksekutif Epistema Institute, Ketua Program Studi Ilmu Hukum di President University.
1
2. Konstruksi sosial, hukum dan administrasi terhadap kawasan hutan3 Hutan lebih dari sekedar lanskap ekologis. Apa yang berlangsung pada pembentukan hutan dan kawasan hutan bukan semata fenomena alam melainkan terdapat intervensi manusia, kekuasaan dan hukum terhadapnya. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu “kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (Pasal 1 angka 2). Definisi ini berpijak pada landasan bahwa hutan terjadi karena fenomena alam. Sejatinya, hutan juga terjadi karena adanya intervensi manusia dan kekuasaan. Keberadaan pepohonan yang dimaksud dalam definisi UU No. 41 Tahun 1999 dimungkinkan pula karena upaya penanaman yang dilakukan secara sukarela oleh rakyat, atau atas perintah kebijakan pemerintah, atau karena sebuah keputusan administratif pemerintah yang menyatakan suatu daerah – apapun kondisi lahan dan vegetasinya – harus diubah lanskapnya menjadi ‘hutan’. Di Indonesia kita mengenai ini sebagai ‘kawasan hutan’. Di sinilah kita menemukan bahwa ‘hutan’ itu tidak lagi semata-‐mata merepresentasikan fakta ekologis, melainkan sebuah lanskap yang dikonstruksikan secara sosial untuk memenuhi beberapa fungsi: sebagai wilayah kehidupan, tempat menumbuhkan identitas kolektif sebuah kelompok atau masyarakat dan tempat mengembangkan kebudayaan sebuah masyarakat. Sebuah istilah yang paling mengena dalam hal ini saya kutipkan dari artikel yang ditulis oleh Laksono (2002:382) yakni alamat kebudayaan. Hutan adalah wilayah dimana kita bisa menyatakan di situlah kebudayaan dari sebuah komunitas ditemukan. Dengan memahami bahwa hutan merupakan alamat kebudayaan, maka ikatan antara komunitasnya terhadap hutan sangat kuat. Terdapat rasionalitas yang sering tidak mudah ditransfer ke dalam logika positivistik untuk menyatakan bagaimana pertimbangan mempertahankan identitas kebudayaan menjadi dasar terkuat untuk mempertahankan hutan bagi komunitas tersebut. Pada sisi yang lain, kita juga perlu mengakui bahwa hutan juga dimungkinkan muncul karena kebijakan pemerintah. Penentuan kawasan hutan di Indonesia adalah intervensi pemerintah untuk menciptakan ‘hutan;. Rumusan Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 (sebelum putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU/IX/2011), menyatakan kawasan hutan sebagai “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau 3 Bagian ini berasal dari artikel saya berjudul “Keniscayaan Transdisiplinaritas dalam Studi
Sosio-‐legal terhadap Hutan, Hukum dan Masyarakat”, dalam Kartodihardjo (ed.), 2012, Kembali ke Jalan Lurus: Kritik penggunaan ilmu dan praktik kehutanan Indonesia. Bogor: Forci-‐IPB, hlm. 12-‐18.
2
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal itu maka Menteri Kehutanan mengelurkan Keputusan Menteri mengenai penunjukan atau penetapan kawasan hutan. Keputusan ini merupakan simbol dari konstruksi administratif terhadap hutan. Hutanpun memasuki ranah hukum. Tidak hanya karena definisi tentang hutan dan kawasan hutan ada dalam legislasi, tetapi juga karena cara mendefinisikan hutan ditetapkan melalui putusan pengadilan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU/IX/2011 mengenai pengujian konstitusionalitas definisi kawasan hutan yang ada dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya tersebut di atas akhirnya menyatakan bahwa frasa ‘dan atau’ dalam Pasal 1 angka 3 dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam pendapatnya (butir 3. 12.2), Mahkamah menyatakan: Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-‐undangan, serta tindakan berdasarkan freies ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-‐tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-‐undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-‐ tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. Atas dasar argumen bahwa pejabat administrasi negara harus menaati prinsip negara hukum, yang dalam hal ini diartikan sebagai pemenuhan kepastian hukum dengan menjalankan ketentuan undang-‐undang maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa ‘dan atau’ dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 bertentangan dengan prinsip negara hukum yang terdapat dalam Pasal 1 anyat (3) UUD 1945 dan tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 15 UU No. 41 Tahun 1999 itu sendiri. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU/IX/2011 ini menunjukkan kepada kita bagaimana cara kita mendefinisikan hutan ditentukan pula oleh putusan pengadilan. Hal ini melengkapi pemahaman kita bahwa ‘hutan’ adalah konsep yang kompleks, yang meliputi aspek ekologis, sosial, administratif dan hukum. Bagian berikut selanjutnya akan mengelaborasi konsep hutan sebagai konstruksi sosial.
3
3. Data dan fakta sosial di dalam kawasan hutan Indonesia Dokumen Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-‐2014 menyatakan adanya 48,8 juta orang penduduk yang tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan. Sejumlah 10,2 juta orang itu terkategorikan sebagai kelompok miskin. Dengan data BPS tahun 2010 tentang jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 31,02 juta orang maka kita dapat menyatakan bahwa sepertiga dari penduduk miskin itu ada di pedesaan dalam dan sekitar hutan (selanjutnya disebut desa/kampung hutan). Keberadaan desa/kampung hutan ini memberi indikasi kuat bahwa kawasan hutan merupakan unit sosio-‐kultural dan ekonomi bagi sebagian penduduk Indonesia. Kementerian Kehutanan merilis data 31.957 desa yang ada di dalam, di tepi dan sekitar kawasan hutan. Jumlah ini merupakan 36,17% dari seluruh desa yang ada di Indonesia. Desa-‐desa dalam kawasan hutan terbanyak ada di Provinsi Kalimantan Tengah dan desa-‐desa tepi dan sekitar kawasan hutan terbanyak ada di Provinsi Jawa Tengah (tabel 1).
Tabel&1.&Desa&di&Kawasan&Hutan& Jumlah'seluruh'desa''
Desa'terkait'kawasan'hutan'
31.957&(36,17%)&
88.361&
Dalam&Kawasan&
1.305&(4,08%)&
Tepi&Kawasan&
7.943&(24,86%)& 22.709&(71,06%)&
Kalteng&=&208&desa&& Jateng&=&1.581& desa& Sumber:&Renstra&Kemenhut&2010K2014;&& BPS,&2010&
Sekitar&Kawasan&
Jateng&=&6.795& desa&
Berdasarkan sejarah penguasaan tanahnya, kita dapat membuat empat tipologi desa/kampung hutan4 itu. Pertama, desa/kampung yang telah ada di dalam kawasan hutan sebelum penunjukan kawasan. Desa/kampung ini terbentuk karena kebijakan pemerintah kolonial/nasional atau secara tradisional; Kedua, desa/kampung yang ada 4 Istilah desa/kampung yang digunakan di sini lebih luas dari definisi desa administratif sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Desa/kampung ini adalah definisi antropologis sebagai kesatuan unit sosio-‐kultural dan ekonomi sebuah atau beberapa komunitas.
4
setelah penunjukan/penetapan kawasan hutan; Ketiga, desa/kampung yang ada sebelum perubahan fungsi kawasan/perluasan penunjukan kawasan; Keempat, desa/kampung yang ada setelah perubahan fungsi kawasan/perluasan kawasan hutan.
Sementara itu, berdasarkan lokasi dan aksesnya terhadap kawasan hutan, tipologi berikut menyederhanakan pengkategorisasian kita terhadap desa/kampung itu: Pertama, desa/kampung yang seluruh wilayah permukiman dan wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin kehutanan; Kedua, desa/kampung yang sebagian wilayah permukiman dan seluruh wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin; Ketiga, desa/kampung yang seluruh wilayah permukiman ada di tepi/sekitar kawasan hutan, tetapi seluruh wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin.
Saya memahami komunitas yang ada di desa/kampung hutan itu terbagi ke dalam dua tipologi. Pertama adalah kelompok yang saya istilahkan sebagai ‘komunitas di lingkungan hutan’ (forest communities). Kedua adalah pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers atau forest users). Forest communities merupakan kelompok orang yang hidup di dalam atau sekitar hutan serta memanfaatkan dan menggantungkan dirinya pada hutan, dalam waktu yang lama, lintas generasi, dan mempunyai kesadaran yang dibangun bersama (shared-‐collective awareness) sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Apa yang disebut sebagai forest communities itu dapat namun tidak selalu adalah masyarakat hukum adat. Komunitas lain yang telah berada di dalam lingkungan hutan dan menunjukkan kemampuannya membangun komunitas sosial dapat masuk ke dalam kategori ini. Sementara itu pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers/users) adalah mereka yang secara individual berada di dalam dan sekitar hutan dan memanfaatkan hutan pada periode tertentu yang biasanya lebih singkat, tanpa membangun norma bersama dan kesadaran bersama sebagai satu kelompok masyarakat. Motivasi utama biasanya adalah kepentingan ekonomi (Safitri, 2010:21).
Dilihat dari cara-‐cara klaim mereka terhadap kawasan hutan, kita dapat menemukan enam tipologi masyarakat: a. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis kesejarahan dan identitas kebudayaan; b. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis penguasaan fisik; c. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis perizinan pemerintah; d. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis kebijakan migrasi pemerintah kolonial dan nasional; e. Masyarakat dengan klaim sumber daya berbasis kemitraan dengan perusahaan; f. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis perlin-‐dungan politik dari elit-‐elit lokal.
5
Perbedaan klaim menjadi sumber konflik di antara kelompok sosial, perbedaan klaim antar satu atau beberapa kelompok sosial dengan pengelola dan pengguna hutan lainnya (instansi pemerintah dan perusahan) juga menjadi sumber konflik. Konflik juga muncul antar level pemerintahan dan antar perusahaan pemegang izin;
Apapun tipologi desa/kampung dan komunitasnya itu, data dan fakta di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan bukan wilayah hampa sosial. Ini menjadi alasan bagi keabsahan menyediakan instrumen hukum, kebijakan dan program pembangunan untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Bagian selanjutnya membahas berbagai opsi kebijakan untuk pengelolaan berbasis masyarakat ini.
4. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat: Opsi, capaian dan kendala
Di bagian pendahuluan saya menyatakan bahwa upaya membangun pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah diupayakan sejak abad ke-‐19 di masa kolonial. Kebijakan tumpang sari di kawasan hutan jati di Jawa merupakan contohnya. Kebijakan ini dibuat untuk menjawab kegagalan kebijakan pembangunan kehutanan kolonial untuk melestarikan hutan dan menyelesaikan konflik dengan masyarakat sekitar hutan. Selanjutnya dengan berbagai model, upaya membangun hutan bersama masyarakat ini dilakukan. Kongres Kehutanan Dunia ke-‐8 di Jakarta bertema Forest for People merupakan salah satu momentum pendorong kebijakan ini di masa Orde Baru. Program Perhutanan Sosial dan sejumlah proyek kerjasama luar negeri untuk uji-‐coba pengelolaan hutan berbasis masyarakat dilakukan. Salah satu yang terkenal adalah proyek yang dilakukan di Sanggau, Kalimantan Barat atas kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jerman. Pada umumnya kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat pada masa Orde Baru dijalankan melalui proyek-‐proyek pembangunan. Transformasi proyek menjadi legislasi dilakukan pada paruh akhir 1990-‐an melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-‐II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-‐II/1998 tentang penunjukan kawasan dengan tujuan istimewa untuk masyarakat Krui di Lampung Barat.5 Barulah sejak diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka sejumlah legislasi terkait dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dibuat. Beberapa diantaranya, selain UU No. 41 Tahun 1999, adalah PP 6/2007 jo. PP 3/2008 tentang Tata Hutan; PP 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam, Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 37/Menhut-‐II/2007 tentang 5 Di masa Orde Baru terdapat program dan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dipersyaratkan pada perusahaan HPH (dikenal dengan sebutan HPH Bina Desa). Saya tidak menggolongkannya sebagai pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Oleh sebab itu tidak dimasukkan ke dalam daftar ini.
6
Hutan Kemasyarakatan, Permenhut P. 49/Menhut-‐II/2008 (yang telah diubah beberapa kali) tentang Hutan Desa, Permenhut P. 56/Menhut-‐II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, Permenhut P. 55/Menhut-‐II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman dan Permenhut No. P.3/Menhut-‐II/2012 tentang Rencana Kerja Hutan Tanaman Rakyat. Di luar ini, terdapat pula pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dijalankan oleh Perum Perhutani dan berbagai skema kemitraan antara pemegang izin dengan masyarakat.
Skema&Kebijakan&Kemenhut& Pengelolaan&Hutan&berbasis&Masyarakat&
Pengelolaan&Hutan&berbasis& Masyarakat& Hutan& Produksi&
Hutan& Produksi& non9izin&
HTR&
HTR& Mandiri&
HKm&
Hutan& Desa&
Hutan& Lindung&
Hutan& Produksi9izin&
Areal&Perum& Perhutani&
Kemitraan&
PHBM& Perhutani&
HKm&
Hutan&Desa&
Hutan& Konservasi&
Kolaborasi&&
Zonasi&
HTR& Kemitraan&
7
Dilihat dari berbagai opsi yang disediakan pemerintah, kita patut mengakui adanya perkembangan. Kini, masyarakat desa/kampung hutan dapat mengakses kawasan hutan dan mempunyai hak atas sumber daya di atasnya melalui sejumlah pilihan: Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, PHBM, kemitraan bersama pemegang izin dan kolaborasi dengan pengelola kawasan konservasi. Meskipun demikian, opsi-‐opsi ini masih belum mampu menjangkau masyarakat desa/kampung hutan yang lebih luas. Capaian program beberapa opsi ini masih rendah (tabel 2). Tabel&2.&Capaian&Kebijakan&dan&Program&& Pengelolaan&Hutan&berbasis&Masyarakat&
Capaian&2010& Skema&
Hutan& Kemasyarakatan& Hutan&Desa& Hutan&Tanaman& Rakyat&
Target& (ha)&
Areal&Kerja&(ha)&
Izin&& Luas&(ha)&
Jumlah&
2.000.000&
78.901,&36&&
19.711,39&&
11&
500.000&
13.351&
10.310&&
5&
3.000.000&
631.638&
90.414,89&
54&
Sumber:&Renstra&Kemenhut&2010R2014;&& Road%Map%Forest%Tenure,&2011&
Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang ada sekarang juga belum mampu menyeimbangkan alokasi pemanfaatan kawasan hutan antara masyarakat dengan pemegang izin kehutanan (Grafik 1).
8
Grafik&1.&Izin&Pemanfaatan&Hutan&untuk&Masyarakat&dan&Perusahaan& 25.700.000(
10.030.000(
10.310(
19.711.39(
IUPHHK&HA(
IUPHHK&HT(
Izin(HKm(
(90.415((
Izin(Hutan(Desa(
Izin(HTR(
Sumber:(Road%Map%Forest%Tenure,(2011(
Grafik di atas menunjukkan bahwa 99,7% dari izin yang diberikan untuk memanfaatkan hutan diakses oleh perusahaan, dan hanya 0,3% diakses oleh masyarakat. Data ini menunjukkan bahwa soal keadilan tenurial itu masih jauh dari harapan. Simpulan ini semakin menguat ketika kita melihat Grafik 2 yang menunjukkan bagaimana kawasan hutan yang ada dialokasikan untuk penggunaan di luar sektor kehutanan, khususnya perkebunan dan pertambangan. Data dari Statistik Kehutanan 2011 menunjukkan sekitar 7 juta hektar kawasan hutan digunakan untuk kepentingan perkebunan dan pertambangan. Jumlah ini sangat jauh dari angka 120 ribuan hektar izin-‐izin yang telah diberikan kepada masyarakat. Grafik&2.&Kawasan&Hutan&untuk&Kebun&dan&Tambang&vs&untuk&Masyarakat&
5.253.774,75(
1.521.400,09(
203.657( SK(Pelepasan( Kebun(
Izin(Pinjam(Pakai= Izin(Pinjam(Pakai= Eksploitasi( Eksplorasi(
19.711,39( Izin(HKm(
(
10.310
Izin(Hutan(Desa(
(
90.414,89 Izin(HTR(
Sumber:(Sta+s+k(Kehutanan,(2011;(( Road%Map%Forest%Tenure(2011(
9
Rendahnya capaian pemerintah dalam memenuhi target pemberian izin kepada masyarakat melalui berbagai skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini terjadi karena berbagai faktor. Pertama, proses perizinan yang rumit, ditambah dengan kurang memadainya informasi yang diperoleh masyarakat untuk mendapatkan izin. Kedua, pendampingan kepada masyarakat belum merata; Ketiga, pemerintah daerah enggan mencadangkan kawasan hutan untuk perizinan pengelolaan hutan oleh masyarakat, sebaliknya ada kecenderungan untuk mengajukan pelepasan kawasan hutan demi memfasilitasi perizinan perkebunan dan pertambangan; Keempat, lokasi yang dicadangkan untuk masyarakat masih berkonflik dengan pengguna hutan lainnya; Kelima, keengganan masyarakat untuk mengajukan izin atau terlibat dalam kegiatan PHBM karena tidak memperoleh akses yang mudah terhadsp kayu bahkan kayu yang mereka tanam sendiri. Dalam hal PHBM yang diselenggarakan Perum Perhutani, masyarakat enggan terlibat karena menganggap skema bagi hasil yang tidak adil. Terakhir dan paling berpengaruh adalah penolakan sebagian besar masyarakat hukum adat terhadap skema-‐skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini karena seluruh skema yang ada menempatkan hak-‐hak masyarakat ke dalam penguasaan negara atas kawasan hutan (hutan negara). 5. Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat dan Konflik Kehutanan Bagian ini mendiskusikan pertanyaan utama dari makalah ini: Seberapa jauh pengelolaan hutan berbasis masyarakat mampu menyelesaikan dan membatasi konflik kehutanan? Belum ada data menyeluruh tentang konflik kehutanan di Indonesia. Meskipun demikian, kita tidak dapat menolak fakta bahwa konflik itu ada dan di beberapa tempat bereskalasi. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat salah satunya ditujukan untuk meredam dan menyelesaikan konflik. Di beberapa tempat terutama di lokasi dimana izin-‐izin diberikan pada masyarakat, hal ini dapat terpenuhi. Tetapi di banyak tempat yang lain, kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat belum mampu meredam apalagi menyelesaikan konflik tersebut. Saya memandang bahwa ketidakmampuan ini terkait dengan faktor-‐faktor berikut: Pertama, rendahnya capaian pemberian izin pada masyarakat melalui skema hutan kemasyarakatan, hutan desa ataupun hutan tanaman rakyat; Kedua, tidak tepat sasarannya pemberian izin-‐izin untuk masyarakat. Kasus-‐kasus izin hutan tanaman rakyat yang tidak mengenai masyarakat yang sejatinya berhak adalah contohnya; Ketiga, Ketidakkonsistenan kebijakan dalam hal mewujudkan keadilan tenurial di dalam kawasan hutan. Data dan fakta bahwa sebagian besar kawasan hutan dialokasikan untuk perusahaan dan penggunaan perkebunan dan tambang menguatkan hal ini; Terakhir, konstruksi dari hak-‐hak masyarakat pada seluruh skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang ada belum memuaskan kelompok masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Kelomopok ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya menolak penempatan hak-‐hak mereka di bawah penguasaan negara.
10
Sepanjang pemerintah menafsirkan kawasan hutan sebagai hutan negara dan menempatkan hutan adat sebagai hutan negara maka segala apapun skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat akan sulit diterima kelompok masyarakat hukum adat. 6. Kesimpulan Terdapat perkembangan positif dari kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia, dalam hal menyediakan berbagai opsi bagi masyarakat desa/kampung hutan. Demikian pula, hal positif lainnya dalah terjadi perubahan dari orientasi proyek menjadi orientasi legislasi dan perizinan. Ini menandakan bahwa aspek formal negara hukum dala hal menyediakan hak-‐hak bagi rakyat yang lebih jelas dan lebih berkekuatan hukum terjadi. Kepastisan tenurial dalam skala terbatas telah terpenuhi. Meskipun demkian, kita menemukan bahwa beramgamnya opsi kebijakan dan instrumen hukum itu belum berjalan paralel dengan kemauan politik untuk mewujudkan keadilan tenurial. Ketimpangan alokasi pemanfaatan kawasan hutan antara masyarakat dengan perusahaan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan dan tambang menunjukkan bahwa keadilan tenurial ini jauh dari harapan. Dari fakta ini maka kemampuan berbagai skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk meredam, menyelesaikan dan mencegah munculnya konflik masih relevan dipertanyakan. Konflik kehutanan terjadi karena soal ketiadadilan pengalokasian kawasan disamping absennya pengakuan dan perlindungan terhadap hak dan klaim masyarakat. Dengan demikian, maka hal mendesak yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan keadian tenurial itu terwujud; memastikan kawasan hutan yang akan diserahkan atau diberikan pada masyarakat mempunyai legalitas dan legitimasi yang kuat, dan menyediakan perlindungan bagi masyaraka dari ancaman kelompok pengguna hutan lain yang tidak berhak atau tidak beritikad baik. Referensi
Epistema Institute, HuMa, FKKM, WG-‐Tenure, KPA, KpSHK, AMAN, Pusaka, Kemitraan, JKPP, Sains, Karsa, Warsi, Javlec, Scale-‐up, Samdhana Institute, Bioma, 2011. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial: Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia.Edisi Revisi, 7 November. Kementerian Kehutanan, 2011. Statistik Kehutanan 2011. Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-‐2014
11
Laksono, P.M. 2002. “Tanpa Tanah: Budata nir-‐papan, Antropologi antah berantah”. Dalam: Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (ed.), Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Yogyakarta: Insist Press, hlm. 375-‐390. Safitri, M. A. 2010. Forest tenure in Indonesia: The socio-‐legal challenges of securing communities’ rights. Leiden: Leiden University. Safitri, M.A, 2012. “Keniscayaan Transdisiplinaritas dalam Studi Sosio-‐legal terhadap Hutan, Hukum dan Masyarakat”, dalam Kartodihardjo (ed.), 2012, Kembali ke Jalan Lurus: Kritik penggunaan ilmu dan praktik kehutanan Indonesia. Bogor: Forci-‐IPB, hlm. 12-‐18.
12