Pembaruan Penguasaan dan Pengelolaan Kehutanan (Tenurial Reform) di Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (DRAFT) Catatan-catatan Terhadap Nota Kepakatan Bersama Tentang Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan
Penulis Mumu Muhajir, Dian Yanuardi, Dimas Novian, Abimanyu Gemma, Fandi, Grahat Nagara
Daftar Isi
Pendahuluan
Luasan kawasan hutan di Indonesia sekarang ini diperkirakan mencapai sekitar 128 juta hektare atau setara dengan 70% wilayah darat Indonesia. Bagaimanapun, kawasan hutan merupakan salah satu kekayaan negara yang mesti dikelola sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Namun, buruknya tata kelola sektor kehutanan belum mampu mewujudkan amanat tersebut. Justru yang terjadi adalah kerusakan hutan secara masif, konflik agraria dalam wilayah hutan yang terjadi terus menerus dan ketimpangan penguasaan wilayah hutan. Dalam kajian Forest Watch Indonesia, misalnya, pada kurun waktu 2000-2009 luas tutupan hutan Indonesia pada tahun 2000 adalah 103,33 juta ha. Sementara, luas tutupan hutan pada tahun 2009 berkurang menjadi 88,17 juta ha atau telah mengalami deforestasi seluas 15,15 juta ha. Dengan demikian, laju deforestasi Indonesia pada kurun waktu tersebut adalah sebesar 1,51 juta ha per tahun (FWI 2011). Dengan kondisi semacam itu, maka diperkirakan pada tahun 2030 hutan di Jawa dan Bali- Nusa Tenggara akan habis. Sementara hutan di Maluku tinggal 1,12 juta ha, Sumatera 4,01 juta ha, Sulawesi 5,54 juta ha, Kalimantan 15,79 juta ha dan Papua 32,82 juta ha (FWI 2011). Dalam hubungannya dengan konflik agraria, HuMA mencatat bahwa enam tahun terakhir, konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia terjadi menyebar di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi alias setara separuh Sumatera Barat. Penyumbang konflik terbesar sektor perkebunan dan kehutanan, mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan non kebun. Sektor perkebunan 119 kasus, dengan luasan area mencapai 413.972 hektar, sedangkan sektor kehutanan 72 kasus, dengan luas area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.1 Sementara dari sisi penguasaan sampai dengan tahun 2013, sekitar 33.232.061 juta hektare atau 96, 82 persen dari luas daratan Indonesia telah dibebani izin pengelolaan lahan dalam bentuk IUPHHKHA, IUPHHK-HT, perkebunan kelapa sawit, dan juga pertambangan. Sedangkan alokasi untuk masyarakat, pemerintah hanya mengalokasikan total lahan sekitar 1,091 juta hektare atau hanya sekitar 3,18% yang dilasokasikan untuk masyarakat (Kartodihardjo dan Nagara 2014). Ini terdiri dari hutan kemasyarakatan (80.833 hektare); hutan desa (67.737 hektare); hutan tanaman rakyat (168.448); dan pelepasan transmigrasi (962.000 hektare) 2 . Akibat dari adanya ketimpangan 1
http://www.mongabay.co.id/2013/02/16/tersebar-di-98-kabupaten-konflik-agraria-didominasi-sektorperkebunan-dan-kehutanan/, diakses pada 10 Juni 2016.
2
http://industri.bisnis.com/read/20160519/99/549101/hutan-negara-bappenas-ini-ketimpanganpenguasaan-industri-vs-masyarakat, diakses pada 13 Juni 2016.
penguasaan hutan dan konflik tenurial tersebut adalah hilangnya akses masyarakat pada hutan yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan pada masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Data pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin. Hal ini di antaranya dipicu oleh setidaknya oleh dua hal. Pertama, pada aras struktural telah terjadi teritorialisasi negara atas kawasan hutan sejak masa kolonial. Teritorialisasi disini merujuk pada pandangan Vandergeest, yaitu “sebuah proses yang dibuat oleh negara untuk mengontrol orang dan aktivitasnya dengan cara membuat garis di sekeliling ruang geografis, menghalangi orang-orang tertentu masuk ke ruang tersebut, dan dengan mengizinkan atau melarang aktivitas di dalam batasbatas ruang tersebut” (Vandergeest, 1996, p. 159). Sejarah menunjukkan masyarakat lokal dan masyarakat adat di kawasan hutan negara telah dipisahkan dari ruang hidup mereka sejak masa kolonial dengan beragam cara melalui kebijakan negara. Pengabaian dan marjinalisasi masyarakat lokal dan masyarakat adat di wilayah hutan adalah warisan dari konstruksi pengetahuan, institusi dan tata kelola kehutanan kolonial yang mendahulukan urusan dan kepentingan ekonomik atas hutan dan mengabaikan wilayah kelola dan tata kelola masyarakat lokal dan masyarakat adat yang hidup di kawasan hutan. Kedua, pada aras institusional hal ini ditandai dengan buruknya tata kelola pemerintah dalam hal penetapan kawasan hutan di Indonesia. Dari luas hutan yang ada, baru 16,18 persen kawasan hutan yang telah ditetapkan dan masih tersisa 63 ribu kilometer kawasan hutan belum ditata batas. Buruknya tata kelola di sektor kehutanan menimbulkan korupsi dan kerugian negara. Dua penyebab ini terus menggerogoti hak rakyat untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya atas hutan. Busyro Muqaddas, misalnya pernah menyebut bahwa: “Pada 2005, Kemenhut memperkirakan akibat illegal loging saja negara dirugikan sebesar Rp35 triliun per tahun. Hanya dengan menghitung tiadanya izin pinjam-pakai, KPK pada 2010 mengkalkulasi hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp15,9 triliun per tahun. Ini karena ditemukan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam-pakai”3. Karena itu, KPK melakukan serangkaian inisiatif berupa kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan yang dimlai pada tahun 2010 dan beberaa kajian penting lainnya hingga 2015. Pengalaman pemantauan tindak lanjut dari hasil kajian tersebut berujung pada satu komitmen dan sinergi untuk bersama-sama menuntaskan persoalan tata kelola kehutanan. Inisiatif ini kemudian berujung pada penandatanganan nota kesepakatan bersama (NKB) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditandatangani pimpinan 12 Kementerian dan Lembaga Negara. Tulisan ini berupaya untuk melakukan tinjauan-balik atas pelaksanaan NKB 12 K/L yang telah berjalan selama tiga tahun belakangan. Di dalam melakukannya, tulisan ini berupaya untuk melihat 3
http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/1254-kpk-dan-12-kementerian-lembaga-tindak-lanjutikesepakatan-percepatan-pengukuhan-kawasan-hutan, diakses pada 13 Juni 2016.
ulang bagaimana konteks NKB berasal; tujuan yang hendak dicapai dan hasil-hasil yang telah diperoleh. Dengan cara semacam itu, kajian ini diharapkan dapat memperluas dan memperdalam inisiatif yang telah berjalan selama ini.
Konteks: Trajektori Inisiatif Institusional untuk Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia Pada tanggal 11 Maret 2013, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, 12 Kementerian dan Lembaga menandatangani Nota Kesepakatan Bersama (NKB) tentang “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”. NKB 12 Kementerian dan Lembaga (NKB 12 K/L) ini lahir dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4). 12 Kementerian dan Lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan NKB dari 12 K/L adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kemeneterian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Komnas HAM, dan UKP4. Secara umum, tujuan NKB ialah untuk: (1) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan, dan (2) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam mendorong percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi (Pasal 1). Tiga agenda utamanya: (1) Harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan, (2) Penyelarasan teknis dan prosedur, serta (3) Resolusi konflik berprinsip keadilan dan HAM. Sekarang ini sedang disusun Rencana Aksi Implementasi NKB ini oleh 12 kementerian dan lembaga di bawah koordinasi dan supervisi KPK. Dewan Kehutanan Nasional (DKN), sebagai salah satu pendorong inisitaif ini menyebut bahwa implementasi NKB dimaksudkan agar percepatan pengukuhan hutan dapat dilakukan secara demokratis, emansipatif, sistematis, dan sinergis. Dengan implementasi NKB ini sektor kehutanan diharapkan berkontribusi pada perwujudan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, kemajuan ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Agenda NKB 12 K/L merupakan kelanjutan dari beberapa upaya sebelumnya dari KPK yang ingin mengembangkan penanganan dan pencegahan persoalan korupsi di wilayah kehutanan dan sumber daya alam secara lebih luas. Dasar gagasan pengembangan kajian korupsi di wilayah kehutanan dan SDA adalah pemahaman bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat secara luas. Karena itu, tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang penanganannya harus dilakukan secara mendasar dan fundamental. Tujuan utama dari penandatanganan NKB 12 K/L 11 Maret 2013 adalah bagian dari upaya menyelesaikan akar masalah sektor sumber daya alam atau sektor kehutanan yang sudah puluhan tahun tidak diselesaikan atau belum menemukan alternatif penyelesaian terbaik. Catatan Cahyono (2013) atas perjalanan NKB 12 K/L menyatakan bahwa masuknya gagasan tenurial reform di KPK yang kemudian menghasilkan bentuk NKB 12 K/L, merupakan buah dari keterbukaan dan kesempatan politik pasca reformasi di satu sisi dan pemanfaatan kekuatan KPK yang mendapat dukungan dan kepercayaan masyarakat secara umum sebagai salah satu anak
kandung agenda Reformasi 1998 yang masih berjalan. Selain itu, gagasan NKB 12 K/L dihasilkan dari upaya-upaya beberapa individu dan kelembagaan masyarakat sipil untuk mendorong tenurial reform di sektor kehutanan terwujud. Upaya untuk memanfaatkan struktur kesempatan politik yang terbuka melalui KPK ini, pada dasarnya dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat sipil dengan menyusun inisiatif untuk mendorong reformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia pada Konferensi Internasional tentang tenurial dan tata kelola hutan serta usaha kehutanan di Lombok, 11-15 Juli 2011 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan, Rights and Resources Initiative (RRI) dan International Tropical Timber Organization (ITTO). Pengelolaan kehutanan, bagaimanapun, meniscayakan lintas pengelolaan kebijakan antar kementerian dan lembaga. Salah satu catatan penting dari putaran Reformasi Kebijakan Penguasaan Hutan dengan memanfaatkan kesempatan politik yang dibuka oleh Kementrian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) adalah kegagalan gerakan masyarakat sipil untuk menembus hambatan “sektoralisme dan birokratisme” antar Kementrian yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Padahal, tekanan atas masalah kehutanan di Indonesia semakin meluas seiring dengan meruyaknya konflik agraria dan degradasi lingkungan di kawasan hutan. Kegagalan untuk menembus sektoralisme dan birokratisme ini kemudian membuat para aktivis masyarakat sipil berfikir untuk mencari suatu alternatif intervensi yang paling memungkinkan. Catatan Cahyono (2016) juga menunjukkan bahwa beberapa aktivis dari Yayasan Silvagama kemudian berupaya untuk memembus kebuntuan ini dengan membawa masuk diskursus dan inisiatif reformasi kebijakan kehutanan di dalam tubuh KPK melalui Litbang KPK dan PJKKI yang sebelumnya diantarai oleh beberapa kolaborasi sebelumnya. Pada ujungnya, kolaborasi ini berujung pada agenda kajian KPK terhadap Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan yang dilakukan pada tahun 2010. Hasilnya, sebagaimana diungkapkan dimuka adalah, 17 rekomendasi saran perbaikan, yang meliputi aspek regulasi, kelembagaan, tata laksana, dan manajemen SDM. Kajian inilah yang menjadi tonggak dan cikal bakal lahirnya NKB 12 K/L4. Masuknya gagasan Tenurial Reform di
4 Catatan Cahyono (2013) menunjukkan sifat ketakterdugaan dari para penggagasnya atas efek posiitf dari inisiatif ini. Dalam ungkapannya “naskah NKB yang telah ditandatangani 12 K/L sekarang ini bukanlah hasil usulan desain utuh dari para penggagasnya. Namun lebih tepat disebut sebagai naskah berproses. Sebab, aktivis Yayasan Silvagama sendiri yang massif mengusulkan gagasan tersebut awalnya tidak membayangkan bahwa NKB ini akan menghubungkan banyak lembaga dan kementrian sertaakhirnya dapat ditandatangami oleh 12 K/L. Bayangan awal yang ditargetkan adalah hanya 4-5 kemnetrian saja. Mereka juga tidak membayangkan bahwa naskah NKB ini akan ditandatangani di Istana negara dan disaksikan langsung oleh Presiden RI. Tim Penggagas juga tidak membayangkan sejak awal bahwa putaran NKB pasca ditandatangani 12 K/L akan melibatkan sekian banyak pakar, jaringan dan rute-rute pertemuan diskusi, FGD dan Seminar yang demikian panjang dan meluas seperti sekarang ini. Para aktivis Silvagama mengakui bahwa masuknya gagasan NKB banyak dilapangkan jalannya salahsatunya karena kepempimpinan di KPK yang mendukung dan selaras dalam mendorong gagasan NKB, khususnya wakil ketua KPK Busro Muqoddas dan Bambang Wijoyanto. Kedua pimpinan KPK ini, selain sudah sangat lama terlibat bersama aktivis di CSO, juga punya concern mengembangkan kajian korupsi ke wilayah sumberdaya alam dan mendasarkan pada isu-isu kebangsaan lainnya. Dalam kepempimpinan mereka, upaya mengembangkan tafsir baru korupsi yang tak hanya dominan pada makna hukum normatif tetapi juga untuk penegakan
KPK juga dimungkinkan oleh inisiatif pembaruan kebijakan di tubuh internal KPK, yakni Litbang dan PJKKI yang sejak awal kajian persoalan kehutanan dengan Ditjend Planologi tahun 2010, hingga tersusunnya NKB 12 K/L. Seluruh personel dan pimpinan di kedua lembaga ini aktif terlibat langsung dan mendukung penuh semua gagasan pengembangan kajian korupsi di wilayah kehutanan dan Sumberdaya Alam. Beberapa kajian serius yang secara beruntutan dilakukan sejak tahun 2010 tentang Kajian Sistem Perencanaan dan Pengawasan Kawasan Hutan dan beragam kajian lainnya hingga tahun 2014 merupakan fondasi dasar bagi terbentuknya NKB 12 K/L ini dan juga Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Beberapa kajian tersebut di antaranya menemukan bahwa di dalam seluruh mata rantai perizinan tersebut sebuah perusahaan, tergantung tahapannya, dalam satu tahun membelanjakan ongkos suap/peras antara Rp 680 juta sampai dengan Rp 22 milyar (Kartodihardjo,et.al, 2015). Nilai ini turun pada tahun 2015, namun penurunan ini hanya terjadi pada transaksi di Pusat, dan tidak terjadi di daerah baik Propinsi maupun Kabupaten (Kartodihardjo, 2015). Hal ini sejalan dengan kondisi tata kelola hutan dan lahan tahun 2012 dan 2014 bahwa indeks tata kelola hutan dan lahan kabupaten lebih rendah daripada propinsi dan propinsi lebih rendah daripada di Pusat (UNDP, 2013; UNDP, 2015). Sementara, menurut Kartodihardjo (2016) selama periode 2003-2014 statistik nasional hanya mencatat 19-23% dari total produksi kayu. Dari kondisi itu angka potensi kerugian negara akibat kurangnya pemungutan penerimaan Dana Reboisasi dan Provisi Sumberdaya Hutan mencapai rata- rata Rp 5,24 - 7,24 trilyun per tahun selama 12 tahun periode kajian. Agregat kerugian negara yang bersumber dari nilai komersial domestik untuk produksi kayu dari konversi tambang dan kebun yang tidak tercatat selama periode tersebut mencapai Rp 49,8 - 66,6 trilyun per tahun (KPK, 2015). Seluruh hasil kajian KPK ini dan pengalaman pemantauan tindak lanjut dari hasil kajian tersebut menyadarkan KPK bahwa perlu ada komitmen dan sinergi dari semua K/L terkait untuk bersama-sama menuntaskan persoalan tata kelola kehutanan.
keadilan sosial. Sehingga beragam gagasan dalam upaya pengembangan kajian korupsi baik di internal Litbang KPK maupun PJKKI disambut baik oleh pimpinan KPK dan didorong lebih kuat untuk digoalkan.”.
Setelah NKB 12 K/L, inisiatif ini terus berlanjut dan bergulir menyusun kajian-kajian lintas sektor pengurusan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Pada 2013, misalnya terdaat kajian Sistem Pengelolaan PNBP dan Korsup Minerba yang mendapati bahwa tidak semua eksportir batu bara melaporkan hasil ekspornya, baik kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. Kajian tersebut juga menemukan potensi hilangnya penerimaan pajak dan potensi kerugian negara. Terjadi potensi kehilangan penerimaan pajak mencapai Rp28,5 triliun pada tahun 2012, misalnya. Bahkan diperkirakan potensi kerugian negara sekitar Rp10 triliun per tahun. Juga terdapat kajian lain dari Tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang menunjukkan adanya kurang bayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh pelaku usaha dari 2003-2011 sebesar Rp 6,7 triliun. Berdasarkan evaluasi laporan surveyor, diperkirakan terdapat selisih pembayaran royalti oleh pelaku usaha sebesar US$24,66 juta tahun 2011 untuk lima mineral utama dan sebesar US$ 1,22 miliar untuk batubara pada rentang 2010-2012.5 Pada masa pemerintahan Jokowi, pada 19 Maret 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian memperlebar inisiasi ini dengan Penandatanganan Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia atau disebut Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GN SDA). Deklarasi nasional ini menandatangani Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Gerakan Penyelamatan SDA Indonesia oleh 20
5
http://kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2569-cegah-korupsi-kpk-inisiasi-gerakan-nasionalpenyelamatan-sda, diakses 13 Juni 2016.
kementerian dan tujuh lembaga negara. Selain itu, disepakati pula Deklarasi Aparat Penegak Hukum guna mendorong penyelamatan SDA di Indonesia.
Rencana Aksi dan Strategi Catatan Cahyono (2016) juga menunjukkan bahwa setelah penandatangan NKB, dilakukan serangkaian putaran Forum Group Discussions (FGD) dengan para pakar hukum, kebijakan, konflik kehutanan untuk menguatkan materi substantif, penyusunan strategi lanjutan, serta rancangan Rencana Aksi di tiap K/L hingga pendampingan pembahasan Renaksi di 12 K/L. Melibatkan beragam pakar dari lembaga riset, CSO dan jaringan kampus yang dibagi menurut fokus tiga persoalan utama NKB 12 K/L yakni: Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan, Harmonisasi Regulasi dan Peraturan dan Resolusi Konflik. Hasil rumusan ini kemudian terbentuk beberapa Renaksi (rencana aksi) yang terbagi menjadi lima bagian yaitu kawasan hutan, kesatuan pengelolaan hutan (KPH), penyelesaian konflik, perencanaan nasional, dan perizinan. Tujuan dari pembagian klaster ini adalah bagian dari penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan hutan, termasuk kepastian status pihak ketiga dalam kawasan hutan negara. Sedangkan untuk penyelesaian konflik, yang akan dilakukan adalah pentingnya menyusun regulasi penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujudnya konsensus penyelesaian konflik oleh 12 kementerian atau lembaga, yang diikat dalan Renaksi setiap K/L terkait. Sedangkan perencanaan nasional berkaitan dengan penyelesaian pengukuhan kawasan hutan serta menjadikan penyelesaian pengukuhan kawasan hutan ini menjadi agenda nasional dalam jangka panjang (RPJMN). Sedangkan mengenai perizinan, maka tujuan dari renaksi ini adalah untuk menjalankan proses perizinan secara integratif dan transparan yang sesuai peraturan-perundangan dan terbebas dari konflik. Dengan konteks yang disebutkan di atas, maka terdapat beberapa strategi yang ditempuh oleh GN PSDA ini untuk mencegah korupsi sumberdaya alam, di antaranya adalah dengan melalui inventarisasi kawasan hutan, pengukuhan kawasan, penatagunaan kawasan dan penataan alokasi hutan. Strategi ini dipilih sebab pada umumnya konversi kawasan hutan sangat memungkinkan terjadinya proses korupsi yang dikaibatkan oleh ketiadaan kejelasan dalam pengaturan dan pelaksanaan konversi kawasan hutan. Ini diperparah oleh ketiadaan legalitas dan legitimasi kawasan hutan. Sebab, dari seluruh total kawasan hutan yang diperkirakan, hanya terdapat 11% kawasan hutan yang telah ditetapkan. Masalah lainnya adalah ketiadaan suatu peta tunggal yang menjadi acuan antar institusi negara yang sering sekali menimbulkan interpretasi bagi berbagai level pemerintah (nasional dan subnasional) maupun berbagai sektor dalam menentukan kawasan hutan dan hutan. Belum pula masalah lainnya yang terkait dengan penghilangan hak masyarakat untuk mengakses sumber daya hutan dan agraria yang tidak dipertimbangkan dalam prses pengukuhan kawasan hutan karena proses teritorialisasi negara ini. Karena itu, strategi yang ditempuh oleh inisiatif ini adalah dengan menguatkan kembali tata kelola kehutanan melalui inventarisasi, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan dan penataan alokasi. Sedangkan untuk mencegah korupsi dalam hal perijinan, renaksi ini berupaya untuk memperketat proses alokasi usaha ijin, proses perijinan, adminsitrasi hasil kayu dan pengendalian serta pengawasan. Strategi semacam ini ditempuh, sebab pada dasarnya pemerintah justru tidak
mempunyai data yang valid untuk pengambilan kebijakan. Seluruh data mengenai potensi sumber daya alam, justru dimiliki oleh perusahaan pemegang konsesi. Akibatnya, pemerintah tidak memiliki mekanisme yang memadai untuk memverifikasi, mengontrol dan mengawasi kekayaan alam yang dimilikinya (GN PSDA, tt) . Di titik inilah korupsi dan penyelewengan serta kerugian negara terus-menerus terjadi. Dengan keprihatinan semacam itu di atas, maka pembenahan tata kelola dalam sektor kehutanan dalam GN PSDA di sektor kehutanan dirumuskan dalam gambar berikut:
G N S D A
R e n a k s i K o o r d i n a s i d a n S u p e r v i s i S
- Harmonisasi regulasi
- Penyelarasan kebijakan pengukuhan R kawasan e - Resolusi Konflik n a k s - Perluasan wilayah kelola i masyarakat P - Penataan izin e - Optimalisasi penerimaan negara r c e p Capaian dan Hasil a Sejak ditandatangani pada tanggal 10 Maret 2013 lalu di Istana Negara dan disaksikan t oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, NKB 12 K/L yang diinisiasi oleh KPK telah berjalan a setengah tahun pertama. Tim NKB KPK dan Dewan Pakar yang terlibat melakukan memasuki n serangkaian pendampingan penyusunan Rencana Aksi (Renaksi), monitoring, diskusi dan evalusi P 12 K/L sekaligus melakukan pengolahan data Renaksi, penajaman dan analisa atas dengan berjalannya NKB ini. Refleksi atas proses yang telah berjalan dilakukan dalam beberapa level, e baik di n aspek substantif, startegis dan koordinasi antar lembaga dan kebutuhan-kebutuhan lain yang g diperlukan untuk menjawab tantangan dan dinamika eksternal dan internal yang membutuhkan penyelarasan dan penyesuaian. u k Berikut beberapa pencapaian hasil dari renaksi yang telah dicapai yang terbagi u berdasarkan peranan Kementerian dan Lembaga yang bertanggun jawab terhadap renaksi tersebut: h a n K a w
Dari matriks yang telah disusun di atas, kategori renaksi dan pencapaiannya pada dasarnya disusun atas tiga aspek yaitu: (A) Harmonisasi kebijakan dan perundangan: (B) Penyelerasan teknis dan prosedur; (C) Resolusi Konflik. Bagian berikut dari tulisan ini akan membahas secara ringkas pencapaian dari masing-masing kategorisasi tersebut. A) Harmonisasi Kebijakan dan Perundangan Tujuan dari aspek harmonisasi kebijakan dan perundangan ini adalah untuk menghindari sektoralisme dan tumpang tindih pengambilan kebijakan dalam kawasan hutan. Pada umumnya, tujuan mendasar dari harmonisasi kebijakan dan perundangan ini, jika disederhanakan dan diringkas, di antaranya adalah bertujuan untuk: Pertama, penyempurnaan aturan tentang pengukuhan kawasan hutan. Termasuk di dalam rencana aksi ini adalah melakukan evaluasi pengukuhan kawasan hutan; pemanfataan dan pencadangan kawasan hutan; percepatan pembentukan KPH; penetapan wilayah usaha pertambangan dan potensi tumpang tindih perijinan; penyelerasan perencanaan perijinan antara nasional, provinsi dan daerah; inventarisasi ketidakharmonisan perundangan dan kebijakan sektoral yang terakait dengan kawasan hutan; dan harmonisasi kebijakan sektoral kawasan hutan. Kedua, perbaikan mekanisme perijinan usaha sumber daya alam. Termasuk di dalam rencana aksi ini adalah revisi mekanisme perijinan pertambangan; evaluasi pelepasan dan pinjampakai kawasan hutan; sinkronisasi mekanisme pelepasan kawasan hutan; pengendalian, pengawasan dan penegakan hukum atas pemanfataan dan penggunaan ruang; penyusunan basis data izin usaha yang menggunakan sumberdaya alam dan tata guna tanah;
Ketiga, pengendalian perijinan. Termasuk dalam kategori rencana aksi ini adalah penerapan kemungkinan mekanisme jaminan pelepasan kawasan hutan; penyusunan kriteria tanah terlantar dan proses redistribusinya; penggunaan data dan informasi geospasial sebagai dasar evaluasi ijin; keharusan pelaporan izin; penyusunan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) untuk pengendalian ijin yang diterbitkan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya mekanisme penerbitan dan pencabutan Hak Guna Usaha. Dengan beragam tujuan tersebut, pada dasarnya rencana aksi pada fokus mengenai harmonisasi kebijakan dan perundangan ini inidkator keberhasilan dapat dikategorisasikan sebagai berikut: (1) Terbitnya beberapa naskah acuan, dokumen, laporan dan data yang relevan terhadap harmonisasi kebijakan dan perundangan; (2) Evaluasi atas mekanisme yang telah ada sebelumnya; (3) Terbitnya kebijakan dan perundangan yang baru sebagai mekanisme atur harmonisasi ini.
B) Penyelarasan Teknis dan Prosedur Dalam Pengukuhan Kawasan Hutan Pada aspek penyelarasan teknis dan prosedur ini pada intinya adalah suatu upaya penyelarasan tata kelola kehutanan agar tercipta suatu basis data dan informasi terpadu mengenai kehutanan. Pada aspek ini terdapat beberapa kategori rencana aksi. Pertama, penyempurnaan prioritas pengukuhan kawasan hutandan penyempurnaan peta penunjukan kawasan hutan. Pada aspek ini kegiatan ini meliputi koordinasi pengadaan citra satelit resolusi tinggi; koordinasi untuk formulasi perpetaan operasional untuk seluruh kegiatan alokasi ruang. Kedua, penyempurnaan dan pelengkapan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), termasuk di dalamnya adalah implementasi peta RBI sebagai dasar tunggal untuk skala dan penuntasan renaksi one map policy. Ketiga, update berkala untuk informasi hutan dan kawasan hutan. Termasuk di dalam renaksi ini adalah kajian sosial-ekonomi desa-desa di sekitar, yang beririsan dengan kawasan hutan dan berada di dalam kawasan hutan; integrasi Informasi Geospasial Tematik (IGT); penyediaan data tematik dalam informasi geospasial; koordinasi kegiatan pemberian IGT; penyelarasan informasi geospasial untuk pengukuhan kawasan hutan; dan inventarisasi data subyek dan obyek tanah dalam kawasan hutan. Keempat, penyediaan portal untuk pengukuhan kawasan hutan dan koordinasi mekanisme dan pengaduan masyarakat terait pengukuhan kawasan hutan. Kelima, koordinasi penataan batas kawasan kehutanan; sosialisasi rencana penataan batas kawasan hutan membuak ruang partisipasi masyarakat, Keenam, percepatan pencadangan areal hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat; pendaftaran hak-hak lama masyarakat; penyelesaian hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan; penguatan hak-hak masyarakat atas tanah dan penyelesaian hak ulayat
masyarakat atas tanah. Ketujuh, inventarisasi kawasan hutan adat; penyelesaian PP Hutan Adat; revisi mekanisme penyelesaian hak-hak pihak yang terdampak pengukuhan kawasan hutan; dan penyusunan aturan detail kriteria enclave.
C) Resolusi Konflik Pada aspek ini, renaksi NKB 12 K/L bertujuan untuk penyelesaian dan pencegahan konflik-konflik agraria yang telah bersifat latin namun tidak dapat diselesaikan dalam beberapa dekade yang lalu dan termasuk pemulihan hak-hak masyarakat yang terkena konflik. Kegiatan dalam renaksi ini meliputi pemetaan tipologi konflik-konflik agraria; membangun kesepahaman terhadap konflik tenurial di kalangan pengurus kelembagaan negara; melakukan identifikasi hak masyarakat adat dalam wilayah hutan; pedoman teknis penyelesaian masalah tenurial di kawasan hutan; koordinasi penyelesaian dan priorotas sengketa dan konflik di wilayah hutan; inventarisasi spasial dan tekstual sengketa dan konflik di kawasan hutan; pementukan lembaga penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan bserta solusi alternatifnya; penguatan peraturan mengenai Panitia Tata Batas; identifikasi masalah tumpang tindih perijinan yang menyebabkan konflik; pemetaan wilayah kelola rakyat; program pendampingan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat; mengakomodir pemetaan partisipatoris masyarakat; serta identifikasi dan inventarisasi wilayah kelola masyarakat hukum adat di kawasan hutan. Dengan kategorisasi seperti yang disebut di atas, berikut pencapaian atas renaksi yang telah dirumuskan:
Data di atas menunjukkan, bahwa aspek teknis dan prosedur merupakan aspek yang paling banyak diselesaikan dalam renaksi ini, yaitu sejumlah 246 renaksi. Sementara, harmonisasi kebijakan dan peraturan menempati urutan kedua, yaitu sejumlah 214 renaksi. Sementara, aspek yang paling bersentuhan dengan masyarakat dan paling krusial, menempati urutan terakhir, degan pencapaian sebanyak 108 renaksi. Sedangkan mengenai status terakhir ukuran keberhasilan pencapaian renaksi dari sektor kehutanan dan perkebunan yang dikaitkan dengan rencana aksi baik dari pihak pemerintah pusat, daerah dan Organisasi Masyarakat Sipil/Civil Society Organizations (CSO) adalah sebagai berikut:
Dari data tersebut pada aspek yang berhubungan dengan perbaikan tata kelola pemerintahan seperti penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administratif; penataan perijinan; penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan pembangunan sistem pengandalian anti korupsi merupajan aspek-aspek yang paling banyak diselesaikan dalam renaksi NKB 12 K/L. Bagaimanapun aspek ini merupakan aspek yang berdimensi teknis, prosedural dan administratif. Sementara, pada aspek yang berhubungan ekonomi politik tenurial kehutanan, yaitu pada persoalan siapa menguasai apa; siapa melakukan apa; siapa mendapatkan apa; yang berhubungan dengan wilayah kelola masyarakat dan konflik tenurial kehutanan tampak merupakan aspek yang paling sulit untuk dicapai. Dari sisi capaian dan kategorisasi renaksi NKB 12 K/L, beberapa data di atas menunjukkan kompleksitas pengurusan dan tata kelola kehutanan. Beberapa upaya perbaikan dari inisiatif ini, bagaimanapun, menunjukkan relevansi yang sangat urgen. Inisiatif ini mungkin saja cenderung terlambat, sehingga kompleksitas yang terjadi sekarang sangat tinggi. Namun, perbaikan dan reformasi tata kelola kehutanan ini tetaplah urgen untuk menjamin kepastian dan keadilan tenurial di kawasan hutan di Indonesia.
Beberapa Catatan dan Pertanyaan Berikut ini merupakan catatan singkat atas pencapaian-pencapaian yang muncul beserta batasan-batasan dari inisiatif reforma tenurial kehutanan yang terlihat dari program ini: (1) Dapatkah logika Pembaruan Tenurial Kehutanan bersanding dengan konstruksi pembangunan terkini? Inisiatif pembaruan tenurial kehutanan melalaui NKB 12 K/L ini bertumpu pada suatu analisis institusional yang berangkat dari asumsi bahwa ketimpangan penguasaan sumber daya (tenurial) kehutanan dan tata kelolanya diakibatkan oleh kombinasi antara tiga hal: diskursus kebijakan, aktor dan jejaring serta politik dan kepentingan. Karenanya, diskursus dan praktik yang dikembangkan oleh inisiatif ini bertumpu pada masalah sektoralisme, ketidakharmonisan kebijakan, perilaku rente dan korupsi, salah tata kelola sebagai masalah-masalah yang hendak ditangani. Pada satu sisi, inisiatif semacam ini sangat baik dalam mereformasi aspek-aspek prosedural dan teknis dari kebijakan dan tata kelola. Namun, di sisi lain, kebijakan negara pada
suatu rejim juga sangat ditentukan oleh interaksi negara tersebut kekuatan pasar/kapital dan lembaga-lembaga transnasional lainnya. Kecenderungan penguatan negara untuk dorongan pembesaran kapital global dapat terihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pertama, RPJMN 2015-2019 masih percaya pada konsepsi tentang pembentukan pusat-pusat pertumbuhan utama yang berfungsi sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) yang didasarkan pada komoditas unggulan berbasis wilayah. Karena itu, dokumen RPJMN juga masih menggunakan istilah koridor ekonomi dan kawasan strategis yang berbasis pulau. Pulau Sumatera misalnya dijadikan sebagai pintu gerbang perdagangan internasional dan energi nasional. Sementara, Jawa-Bali diletakkan sebagai lumbung pangan dan sektor industri dan jasa nasional serta pariwisata. Kalimantan didudukkan sebagai lumbung energi nasional dan pengembangan industri hasil perkebunan dan pertambangan serta food estate. Sementara Sulawesi ditempatkan sebagai pintu gerbang perdagangan kawasan timur Indonesia, pengembangan industri hasil tambang, dan industri kemaritiman. Lalu Nusa Tenggara diletakkan sebagai gerbang pariwisata ekologi, penopang pangan nasional, dan pengembangan industri peternakan. Sementara, Maluku diletakkan sebagai pusat industri makanan laut serta industri tambang (nikel dan tembaga). Dan Papua diletakan sebagai lumbng pangan, industri maritim dan energi di kawasan timur Indonesia. Pendeknya, koridorisasi dan menyetarakan kepulauan Indonesia hanya semata-mata sebagai produsen komoditas seperti MP3EI tetap dilakukan. Kedua, dokumen RPJMN ini juga menganut konsepsi yang lazim dalam teori geografi ekonomi baru: yaitu, agglomerasi dan fragmentasi yang dihubungkan dengan layanan konektivitas antara pusat pertumbuhan atau koridor ekonomi dengan daerah pertumbuhan sekitarnya, yang dihubungkan dengan beragam infrastruktur, maupun dengan pusat pertumbuhan di level global (locally integrated, globally interconnected). Sebagaimana rencana pembangunan lama yaitu MP3EI, RPJMN 2015-2019 juga bertumpu pada upaya untuk mempercepat aliran kapital dan tenaga kerja dengan cara pemangkasan dan pemampatan waktu sirkulasi komoditas melalui semua upaya untuk menurunkan biaya transaksi logistik. Ketiga, RPJMN 2015-2019, sebagaimana MP3EI, percaya bahwa cara terbaik untuk melakukan percepatan dan perluasan aliran bebas kapital adalah bertumpu pada peran negara untuk melakukan debottlenecking sejumlah regulasi yang menghambat investasi (BAPPENAS 2014: 2-6). RPJMN pada dasarnya sebangun dengan rencana pembangunan lama, MP3EI, dalam pengertian ia tetap bertumpu pada upaya perluasan dan percepatan aliran bebas kapital, melalui pembentukan blok produksi dan pembentukan infrastruktur industri. Dengan konteks semacam ini, maka kawasan kehutanan dan sumber daya alam di Indonesia berpotensi untuk tetap diperlakukan dan diletakkan semata-mata sebagai penyediaan bahan baku dan faktor produksi dan sirkulasi yang menyebabkan degradasi lingkungan, perampasan tanah dan peminggiran hak rakyat serta perilaku korupsi. Dengan model semacam itu, maka terdapat beberapa isu yang mesti diulas dalam kaitannya dengan inisiatif ini: Pertama, dalam konteks pembangunan sekarang, kawasan hutan
masih diletakkan sebagai sumber penerimaan negara dan mesin pertumbuhan ekonomi6. Seagai akibatnya, investasi dan aktivitas industri ekstraktif masih mendominasi pemikiran dan praktik pengelolaan sumber daya alam. Sayangnya, produksi dokumen dan naskah yang bersifat teknis dan teknokratis ini pada pencapaian renaksi belum dibarengi pada produksi diskursus yang memadai tentang visi tandingan pengelolaan dan alokasi kawasan hutan sebagai ruang hidup dan hajat hidup orang banyak bukan semata-mata sebagai sumber penerimaan negara dan alat pertumbuhan ekonomi. Kedua, percepatan pengukuhan kawasan hutan dalam konteks ini dapat menjadi seiring dan beresonansi dengan gagasan percepatan investasi dan percepatan ijin untuk pengelolaan kawasan hutan. Dalam paket kebijakan ekonomi tahap dua, pemerintahan Jokowi merampingkan proses perijinan menjadi hanya 6 tahap perijinan dengan proses yang semakin cepat. Jika izin untuk keperluan investasi dan produksis ektor sektor kehutanan berlangsung lebih cepat, maka hal ini akan berkontradiksi dengan pengukuhan kawasan hutan yang pada dasarnya lebih memiliki fungsi sosial dan ekologis, bukan ekonomis semata. Meskipun banyak yang telah mengetahui bahwa lebih dari 80% status kawsan hutan (baik hutan produksi, hutan lindung dan konservasi) masih belum mendapat tahap pengukuhan, mayoritas berstatus penunjukkan. Pada keneyataan di lapangan pengurus kehutanan justru mengggunakan legalitas status pengukuhan sebagai argumen untuk menolak tuntutan hak dari masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan sehingga masyarakat dapat dikriminalisasikan dan dianggap melanggar peraturan. Ketiga, karena itu, dalam banyak renaksi ini hanya berfokus pada tata kelola dan atau penataan ijin usaha kehutanan dan perkebunan. Sedikit sekali pada upaya pemulihan krisis sosial-ekologis di wilayah kehutanan yang terdampak investasi dan pertumbuhan ekonomik. Upaya pemulihan hanya bertumpu pada penanganan konflik dan penciptaan lembaga penyelesaian konflik. Sementara pada wilayah kelola rakyat juga masih terbatas pada inventarisasi wilayah kelola rakyat dan masyarakat hukum adat. Aspek pengakuan dan redistribusi penguasaan yang timpang mendapatkan porsi yang lebih kecil dibanding isu harmonisasi kebijakan dan teknis-prosedural. Itu pun dengan tingkat pencapaian renaksi yang terhitung paling kecil dan kurang. Sangat jarang renaksi dari NKB 12 K/L ini yang juga berfokus pada upaya untuk mengembalikan dan memulihkan fungsi-fungsi vital ekologis di satu sisi dan perluasan wilayah kelola rakyat di sisi lain. Dalam konteks pemulihan fungsi vital ekologis hutan, definisi kerugian negara pada renaksi NKB 12 K/L juga masih terbatas pada tindak pidana korupsi, padahal dimensi kerugian negara pada dasarnya bersifat luas: kerusakan tanah, sumber daya air, sungai, pencemaran udara dan beragam kerusakan infrastruktur ekologis lainnya yang selama ini tidak diperhitungkan sebagai kerugian negara. Sebuah upaya intervensi terhadap salah tata kelola kehutanan yang telah berlangsung lama, setidaknya membutuhkan dua aspek penting. Pertama, suatu upaya untuk menidakberdayakan kekuatan-kekuatan yang menjadi faktor utama dari kerusakan ekologis, 6
http://ekbis.sindonews.com/read/1082277/34/presiden-minta-industri-kehutanan-jadi-penopangperekonomian-nasional-1454423567, diakses 15 Juni 2016.
ketimpangan penguasaan dan alokasi ruang hidup; Kedua, pemberdayaan lapisan masyarakat paling lemah yang berada di sekitar dan atau di dalam kawasan hutan melalui proses perluasan wilayah kelolanya.
(2) Pembentukan Praktik Diskursif Tandingan atau Penyusunan Dokumen Semata? Salah satu hal yang mencolok jika dilihat dari indikator output dan ukuran keberhasilan dalam renaksi NKB 12 K/L adalah banyaknya produksi kajian dan penelitian, penyusunan dokumen dan naskah acuan baik yang berupa petunjuk teknis pelaksanaan dan atau rumusan kebijakan baru. Pertanyaan yang mesti diajukan dalam konteks ini adalah apakah kegiatan renaksi ini bertujuan untuk membentuk praktik diskursif tandingan dari masalah-masalah kehutanan di masa lampau atau semata-mata penyusunan dokumen semata? Sejauh mana dokumen yang diproduksi dapat mengoreksi ketimpangan penguasaan dan tindakan salah urus kawasan hutanan? Dalam konteks yang lebih khusus, salah satu pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah penyusunan dokumen saja (kajian, penelitian, penyusunan dokumen dan rumusan kebijakan baru) memadai untuk mendobrak tradisi praktik dan diskursus kehutanan yang telah salah kelola selama beberapa dekade ini? Sejauh mana dokumen yang diproduksi itu dapat melahirkan kesadaran baru untuk reforma tenurial dan tata kelola kehutanan yang berpihak pada rakyat jelata atau justru mereproduksi praktik diskursif tata kelola kehutanan yang cenderung berpihak pada pembesaran kekuatan negara dan pembesaran kapital? Apakah harmonisasi kebijakan ini hanya berujung pada perbaikan teknis prosedural semata atau bertujuan untuk merombak penguasaan tenurial yang timpang? Kebijakan pengelolaan kehutanan ditentukan bukan hanya oleh kebaruan kebijakan dan narasi dokumennya, tetapi salah satunya juga oleh internalisasi dari pembaruan diskursus tata kelola kehutanan oleh para aktornya. Capaian pada renaksi sejauh ini banyak berfokus pada masalah perbaikan teknis dan prosedural dari birokrasi dan kebijakan. Tetapi masalah utama dalam reforma tenurial kehutanan adalah hubungan ketimpangan penguasaan, klaim kepemilikan, pemanfaatan dan peruntukan kawasan hutan oleh negara dan swasta. Beberapa catatan evaluasi lain menunjukkan bahwa agenda-agenda dalam poin renaksi selama ini seringkali bertabrakan dan tidak koheren satu sama lain. Hal lainnya adalah normatifitas dan simplifikasi agenda renaksi dari target dan tujuan yang dimandatkan NKB sehingga tampak bahwa kegiatan ini hanya sebagai upaya untuk menggugurkan kewajiban (Cahyono 2016). Terlalu banyak berfokus pada harmonisasi kebijakan dan perundangan serta perbaikan teknis dan prosedural bisa mengikis inisiatif ini untuk terjatuh kembali ke dalam upaya perbaikan teknis dan teknokratis yang melupakan dimensi politisnya: penguasaan sumber daya kehutanan yang timpang.
(3) Apakah KPK sebagai kelembagaan penggerak perubahan memadai dan dapat berkelanjutan?
Keterlibatan sejumlah pihak dalam internal KPK, akademisi dan para aktivis yang terlibat mendorong inisiatif pembaruan tenurial kehutanan dan meletakkan KPK sebagai mekanisme-picu dalam inisiatif ini merupakan sebuah terobosan besar dan pencapaian yang maju. Sebuah inisiatif perubahan, merujuk pada argumen Alexander Irwan (2006), mesti memperhatikan besaran “dalil kelembagaan” yang menopangnya. Semakin suatu program intervensi memiliki status kelembagaan yang besar, maka semakin besar pula kemungkinan perubahannya. Upaya menerobos hambatan sektoralisme pengelolaan kehutanan melalui inisiatif ini dimungkinkan dengan melalui wewenang KPK dalam bidang koordinasi dan supervisi untuk kajian terhadap sistem administrasi dan monitoring serta pencegahan untuk memberi saran dan perubahan jika terdapat potensi korupsi dalam sistem administrasi. Meskipun terdapat beberapa pencapaian dan keberhasilan dalam rangka penataan sistem administrasi kehutanan, bagaimanapun, jangkar utama dalam diskursus perbaikan ini tetap bertumpu pada perbaikan administratif untuk mencegah korupsi dan memaksimalkan potensi penerimaan negara. Tentu saja, alas tumpuan ini memiliki keterbatasan untuk menjangkau isu-isu strategis seperti wacana pembangunan alternatif yang keluar dari kebijakan pembangunan dominan yang berupa pertumbuhan ekonomi dan industri ekstraksi; penghentian dan pemulihan krisis sosial-ekologis dan perluasan wilayah kelola rakyat sebagai satu-kesatuan praktik diskursif yang tak dapat dipisahkan. Karena itu, salam beberapa hal, tumpuan pada kelembagaan KPK untuk fungsi koordinasi dan supervisi juga masih memiliki kendala berhadapan dengan sektoralisme. Seperti disinyalir Cahyono (2013) sektoralisme antar departemen dan kementrian di 12 K/L yang telah menandatangani NKB. Dalam rangkain proses pendampingan penyusunan Rencana Aksi (Renaksi) di 12 K/L selama pelaksanaan NKB berupa sautu tindakan untuk menutup dan membatasi kewenangan dan otoritas pihak lain sebagai mekanisme perlindungan. Sehingga, yang sering terjadi adalah suatu upaya untuk “mendiamkan dan tidak mengambil kebijakan” karena merasa di luar wewenang dan tugas pokok fungsi.7
7
Proses ini lebih detail diceritakan oleh Cahyono: “Salah satu yang paling menonjol dari persolan
ego sektoral dalam proses penyusunan Ranaksi NKB tersebut adalah ketidaknyambungan antara Kementrian Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemenhut dengan Kemendagri. Kemenhut dengan Kemenhukam, dst. Sudah menjadi rahasia umum ketegangan ‘abadi’ antara Kemnhut dengan BPN. Dalam banyak kesempatan kedua penguasa daratan Indonesia ini tidak bisa ‘bertemu’ dan saling melempar tanggung jawab satu kepada lainnya. Dalam kasus NKB ini misalnya, pihak Kemenhut merasa beberapa point Renaksi mereka dibatasai oleh kewenangan BPN, sehingga menolak melaksanakan atau dicantumkan dalam Renaksi mereka. Sebaliknya, pihak BPN juga menolak memasukkan point Renaksi yang terkait pengurusan wilayah tanah yang masih belum clear and clean dari pihak Kemenhut. Hal ini semakin rumit tatkala Putusan MK no 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat yang keluar dari Hutan Negara diputuskan. Baik Kemenhut maupun BPN sangat membatasi
Karena itu, pembesaran dalil kelembagaan sangat diperlukan dalam konteks ini. Menyerahkan mekanisme koordinasi dan supervisi pada KPK memungkinkan inisiatif ini juga sangat mungkin menghadapi masalah sektoralisme yang sama. Barangkali, dibutuhkan suatu intervensi yang lain untuk memperluas dalil kelembagaan yang paling memungkinkan, yaitu Presiden dan jajaran pengurus publik dalam pengelolaan bidang sumberdaya alam (kehutanan, agraria, dan ESDM). Intervensi ini bertujuan untuk melengkapi inisiatif NKB yang telah ada dalam kerangka untuk memikirkan diskursus dan praktik yang lebih berpihak pada penghentian dan pemulihan krisis sosial-ekologis. Apalagi, terdapat batasan peranan KPK untuk melakukan evaluasi Renaksi NKB 12 K/L sehingga hanya berupa mekanisme pelaporan pada DPR dan presiden dan sangsi sosial dari media dan masyarakat yang bersifat moral. Sebab, tanpa kontrol dan evalusi yang ketat, potensi sekedar melaksanakan program dari 12 K/L sangatlah tinggi. Hal lainnya adalah, bagaimanapun, inisiatif ini bertumpu pada integritas KPK secara kelembagaan. Di tengah beragam upaya untuk melemahkan dan mendiskreditkan integritas KPK secara sistematis8, maka perlu diupayakan suatu strategi lain untuk membuat insiatif yang baik ini hancur di tengah jalan.
keterlibatan mereka dalam upaya melaksanakan Putusan tersebut. Pihak BPN meyakini bahwa kawasan Hutan Adat adalah otoritas Kemenhut, meskipun telah dilepaskan dari Hutan Negara. Sebab menurut pihak BPN, tanah tersebut belum memenuhi syarat clear and clean sehingga tidak bisa dimasukkan dalam buku pendaftaran tanah mereka. Sedangkan pihak Kemenhut menegaskan setelah kawasan Hutan Adat keluar dari Hutan Negara maka ia bukan lagi “wewenang” meraka lagi, dan sudah masuk wilayah orotitas BPN-RI. Untuk meneguhkan putusan ini kemudian dibuatkan Surat Edaran Kemenhut (SE. 1/Menhut II/2013) tentang Putusan MK no 35 tersebut, yang salah satu isinya adalah Kemenhut hanya mau “melayani” dan “mengakui” kawasan MHA yang telah ada Peraturan Daerahnya. Sikap ini merupakan salah satu “pertahanan” Kemenhut untuk tidak mau keluar dari zona aman mereka selama ini”. 8
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150124164550-12-27113/todung-mulya-sebut-pelemahankpk-sistematis/, diakses pada 15 Juni 2016.
Evaluasi Rencana Aksi GN-SDA Di Provinsi Kalimantan Tengah Konteks dan Latar Belakang Pengelolaan Sumber Daya Alam Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan di Kalimantan Tengah Secara geografis, Provinsi Kalimantan Tengah terletak di daerah lintasan garis Katulistiwa yaitu pada posisi 044’54” Lintang Utara (LU) – 347’70” Lintang Selatan (LS) dan 11043’19” Bujur Timur (BT) – 11547’36” Bujur Barat (BB). Dengan demikian, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu gugusan zamrud katulistiwa. Keadaan topografi atau bentang lahan Provinsi Kalimantan Tengah dapat dikelompokkan atas :
-
-
Bagian Selatan, terdiri dari daerah pantai dan rawa serta terpengaruh oleh pasang surut dengan ketinggian 0 – 50 meter dpl. Bagian Tengah, merupakan daerah dataran dan berbukit/bergelombang dengan dominasi penutupan tropis lahan berupa hutan hujan yang khas dengan ketinggian 50 – 100 M dpl. Bagian Utara, merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian di atas 150 M dpl.
Penutupan lahan pada sebagian besar kawasan di Provinsi Kalimantan Tengah adalah hutan, dimana secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 (empat ) tipe hutan yang berbeda berdasarkan pada ketinggian tempatnya, yaitu :
-
Hutan Hujan Tropika, seluas 10.350.363,87 Ha atau sekitar 65,51 %. Hutan Rawa Tropika, seluas 2.382,31 Ha atau sekitar 15,08 %. Hutan Rawa Gambut Tropika, seluas 2.280.789,70 Ha atau sekitar 14,44 %. Hutan Pantai atau Hutan Payau, seluas 832.573,55 Ha atau sekitar 5,27 %.9
Sebelum sumber daya hutan di Kalimantan Tengah dimanfaatkan dalam skala besar oleh perusahaan-perusahaan, hutan dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat. Mayoritas penduduk setempat adalah masyarakat Dayak, yang kebanyakan bermukim di sepanjang sungai di bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka berladang dengan sistem rotasi, yang kesuburannya sepenuhnya mengandalkan kemampuan pulihnya vegetasi hutan secara alami. Kebutuhan akan sayuran dan obat-obatan dipenuhi dari berbagai jenis tumbuhan liar yang dipetik dari hutan. 9
Laporan tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Tahun 2013.
Commented [GA1]: Laporan TI Mas Didik
Selain itu dari hutan juga dipungut berbagai jenis komoditas komersial, yang sejak berabad-abad menjadi komoditas perdagangan dengan orang luar. Beberapa jenis hasil hutan yang penting adalah rotan, gaharu, getah damar (Agathis dammara), getah jelutung (Dyera spp.), getah nyatu (Palaquium spp.), madu, dan kulit gemor (Alseodaphne coriacea). Tim kajian perencanaan pembangunan terpadu di wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, pada tahun 1997-1998, menyebut masyarakat Dayak sebagai “naturebased community” atau masyarakat berbasis alam.10 Kajian etnobotani di Desa Tumbang Naan juga menunjukkan intensitas ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan. Dari sekitar 400 jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan masyarakat setempat, hanya sekitar 50 jenis yang dibudidayakan; sisanya diambil dari hutan.11 Era baru bagi pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara besarbesaran dan modern, perkembangannya dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketiga Undang-Undang itulah yang mendasari dan menjadi landasan bagi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya, yang ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH), serta berkembangnya industri yang mengolah produk hasil hutan (sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill, pulpmill dan sebagainya).12
1.1.1. Perkembangan HPH dan Produksi Kayu Bulat di Kalimantan Tengah Perlu dicatat bahwa industri kayu sudah dimulai pada tahun 1969, sedangkan Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah baru dilakukan tahun 1982.13 Produksi kayu di Kalimantan Tengah mencapai puncaknya di awal Pelita V, yakni antara tahun 1989 hingga 1990, dimana terdapat 117 perusahaan pemegang HPH yang beroperasi dan memproduksi 4.830.638 m3 kayu bulat.14 Setelah itu jumlah perusahaan pemegang HPH terus menurun. Kebanyakan mengikuti berakhirnya masa produksi izin yang dipegang. Namun produksi kayu tidak menyurut, karena pembalak liar bergantian masuk ke lokasi-lokasi yang ditinggalkan oleh perusahaan pemegang HPH. Tahun 1998, ketika The Development Study on Comprehensive Regional Development Plan for The Western Part of Kalimantan – SCRDPKALTENGBAR, Final Report, Japan International Cooperation Agency & National Development Planning Agency of The Government of Republic of Indonesia – Pacific Consultants International & International Development Center of Japan, March 1999.
10
11 12
13
Pegunungan Muller: Warisan Dunia di Jantung Kalimantan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, 2005. http://www.kalteng.go.id/INDO/kehutanan_kondisi.htm Melalui SK Menteri Pertanian nomor 759/Kpts/Um/10/1982.
Sumber data Awal Pelita I – Awal Pelita V dari http://www.kalteng.go.id/INDO/kehutanan_kondisi.htm; sedangkan data tahun 2000 – 2008 dari Statistik Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah 2008.
14
krisis moneter melanda, nilai US Dollar naik dan mendongkrak harga komoditas ekspor seperti kayu. Perkembangan HPH dan Produksi Kayu Bulat di Kalimantan Tengah 140
6.000.000
120
100
Jumlah HPH
4.000.000 80 3.000.000 60 2.000.000 40
1.000.000
20
0
Jumlah HPH Produksi Kayu Bulat (m3)
Produksi Kayu Bulat (m.kubik)
5.000.000
Awal Pelita Akhir Pelita Awal Pelita Awal Pelita Awal Pelita I II III IV V (1969/1970 (1978/1979 (1979/1980 (1984/1985 (1989/1990 3 474.300
87
95
112
117
0 Tahun 2000
Tahun 2004
Tahun 2008
53
69
56
2.192.140 4.725.734 3.464.009 4.830.638 2.577.995 2.118.080 3.845.171 Jumlah HPH
Produksi Kayu Bulat (m3)
Tahun 2000 jumlah HPH sudah menurun tajam. Data kehutanan tahun 2002 menunjukkan adanya sekitar 3,5 juta hektar areal Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas yang telah terbebas dari HPH.15 Areal hutan yang ditinggalkan menjadi terlantar, statusnya “no man’s land” untuk sementara dan mempermudah masuknya pembalak liar. Setelah tiga tahun beroperasi, para pembalak liar kemudian ditertibkan melalui Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser Dan Taman Nasional Tanjung Putting.16 Peraturan yang muncul karena kritikan terhadap pembiaran penjarahan dua Taman Nasional besar itu kemudian dikembangkan dan diterapkan secara meluas di Indonesia. Dengan demikian sudah saatnya hutan yang habis ditebang ini ditinggalkan kembali untuk kedua kalinya. Pertama oleh perusahan pemgang HPH, dan kini oleh illegal loggers yang mencoba menikmati sisa-sisa kayu yang masih laku dijual. Bayanyak yang mengatakan bahwa industry HPH di Kalimantan Tengah telah banyak berkurang dibandingkan dengan era tahun 1980an sampai awal tahun 2000an. Walaupun 15
Diolah dari Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2002.
16
Ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 19 April 2001.
dipandang berkurang, nyatanya existensi industry HPH masih cukup besar di Kalimantan Tengah. Pemegang IUPHHK Hutan Alam di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2013 sebanyak 61 (enam puluh satu) unit. IUPHHK-HA yang tersebar pada 11 kabupaten yang menguasai konsesi seluas 4.229.483 ha, dengan perincian sebagai berikut.
IUPHHK-HA No.
Kabupaten
Jumlah unit
Luas Areal (Ha)
1
Murung Raya
10
625.710
2
Barito Utara
7
515.965
3
Barito Selatan
1
28.200
4
Barito Timur
-
-
5
Kapuas
1
39.500
6
Pulang Pisau
-
-
7
Palangka Raya
-
-
8
Gunung Mas
10
504.154
9
Katingan
9
410.506
10
Kotawaringin Timur
4
485.825
11
Seruyan
2
149.540
12
Kotawaringin Barat
-
-
13
Lamandau
3
245.170
14
Sukamara
-
-
15
Lintas Kabupaten
12
1.151.293
16
Lintas Provinsi
2
46.445
61
4.229.483
JUMLAH
Keterangan
Kaltim dan Kalsel
Sumber data: Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Tahun 2013.
1.1.2. Perkembangan Konversi Lahan Untuk Perkebunan
Setelah era HPH dikatakan berlalu dan mereka pergi meninggalkan lahan bekas konsesinya begitu saja. Sebagian besar lahan hutan yang menjadi “lahan tidur” ini berada di dataran rendah, yang merupakan daerah hilir sungai-sungai yang mengalir dari arah utara ke selatan di Kalimantan Tengah. Lahan dataran rendah seperti ini cocok untuk perkebunan. Era perkebuan sawit di Kalimantan tengah telah dirancang sejak tajun 1980an. Pada tahun 1981 Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor melakukan penelitian di Kalimantan Tengah dengan hasil sebagai berikut : Teridentifikasi dari luasan 15.356.700 Ha lahan di Kalimantan Tengah terdapat 3.195.000 Ha merupakan lahan yang cocok untuk pengembangan berbagai jenis tanaman; Sebagian besar tanah dengan klasifikasi Kelas III dan IV yang bisa digunakan untuk berbagai jenis tanaman; Iklim menurut klasifikasi Smith and Ferguson di klasifikasikan dengan Iklim A yang cocok untuk tanaman kelapa sawit; Jenis tanah didominasi podsolid merah kuning. Kemudian Pada Tahun 1984 disusun Rencana Induk Pengembangan Perkebunan (RIPP) Kalimantan Tengah, dimana kelapa sawit sebagai salah satu tanaman yang cocok pada iklim A, kelas tanah III dan IV serta jenis tanah podsolid merah kuning. Tahun 1992 masuk investor bidang perkebunan sawit yang pertama di Kalimantan Tengah yaitu PT. Indo Turba Tengah bekerjasama dengan Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paksi yang didukungan Salim Group di lokasi eks transmigrasi Amin Jaya Kabupaten Kotawaringin Barat. Dari titk inilah era perkebunan sawit di Kalimantan tengah di mulai setelah era kejayaan industry kayu.17 Pada perkembanganya industry perkebunan sawit dipandang sebagai primadona yang dianggap membawa kemajuan bagi daerah, sehingga pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan dari sector kebijakan untuk menarik investor sawit sebanyakbanyaknya. Dari data 2015 yang kita olah bahwa jumlah perkebunan besar swasta (PBS) yang tercatat sebanyak 333 unit dengan luas penguasaan konsesi 3.901.261 ha. Sementara data PBS yang tercatat tahun 2011 sebanyak 323 unit dengan total luas konsesi 3.532.196 ha. Artinya selama kurun waktu 5 tahun tersebut terdapat peningkatan jumlah unit PBS dan luasan konsesi sebanyak 9,46%. Data PBS Kalteng Tahun 2015 secara keseluruhan No
17
Kabupaten
Unit
Arahan Lokasi (ha)
Izin Lokasi (ha)
IUP (ha)
PKH (ha)
HGU (ha)
1.
Murung Raya
6
59,000
53,159
30,000
-
-
2.
Barito Utara
25
412,753
249,453
388,775
48,760
18,036
http://kalteng.go.id/ogi/viewarticle.asp?ARTICLE_id=969
3.
Barito Selatan
15
272,097
133,394
14,756
-
-
4.
Barito Timur
23
304,464
299,940
297,933
124,588
32,701
5.
Kapuas
26
369,299
373,813
192,408
24,826
9,063
6.
Pulang Pisau
22
286,292
218,035
130,673
35,777
-
7.
Gunung Mas
21
320,741
260,476
218,459
82,550
14,415
8.
Palangkaraya
8
63,400
50,050
36,850
-
-
9.
Katingan
37
385,204
319,246
140,063
54,899
34,709
10.
Katawaringin Timur
50
708,670
630,806
511,929
158,847
306,481
11.
Seruyan
26
422,042
403,589
321,655
152,009
129,747
12.
Kotawaringin Barat
31
388,814
326,413
196,892
93,416
123,461
13.
Lamandau
23
271,856
262,993
172,939
94,138
37,994
14.
Sukamara
4
63,604
38,659
25,657
10,480
1,907
15.
Lintas Kab
16
292,218
281,236
231,314
198,539
196,479
333
4,620,454
3,901,261
2,910,303
1,078,830
904,991
TOTAL
Data PBS kalteng yang belum operasional tahun 2015
4
Arahan Lokasi (ha) 53,000
Izin Lokasi (ha) 50,159
Barito Utara
19
280,753
3.
Barito Selatan
14
4.
Barito Timur
5.
IUP (ha)
PKH (ha)
HGU (ha)
24,000
-
-
164,688
252,325
12,158
-
252,097
113,394
14,756
-
-
15
167,111
164,719
164,919
8,576
-
Kapuas
16
193,688
197,403
79,294
11,923
-
6.
Pulang Pisau
18
227,342
158,035
60,673
28,827
-
7.
Gunung Mas
11
160,241
110,266
77,363
30,725
8,249
8.
Palangkaraya
8
63,400
50,050
36,850
-
-
9.
Katingan
28
245,257
184,046
25,163
38,373
34,709
10.
Katawaringin Timur
6
41,916
27,671
11,976
11,097
8,606
No
Kabupaten
Unit
1.
Murung Raya
2.
11.
Seruyan
5
85,247
78,781
32,000
2,391
2,394
12.
Kotawaringin Barat
7
79,956
84,464
19,486
-
-
13.
Lamandau
10
70,516
72,935
41,500
989
-
14.
Sukamara
2
20,000
11,615
-
-
-
15.
Lintas Kab
-
-
-
-
-
-
163
1,940,525
1,468,225
840,305
145,059
53,958
TOTAL
Data PBS Kalteng yang sudah operasional tahun 2015
2
Arahan Lokasi (ha) 6,000
Izin Lokasi (ha) 3,000
Barito Utara
6
132,000
3.
Barito Selatan
1
4.
Barito Timur
5. 6.
IUP (ha)
PKH (ha)
HGU (ha)
6,000
-
-
84,765
136,450
36,602
18,036
20,000
20,000
-
-
-
8
137,353
135,221
133,014
116,012
32,701
Kapuas
10
175,611
176,410
113,114
12,904
9,063
Pulang Pisau
4
58,950
60,000
70,000
6,950
-
No
Kabupaten
Unit
1.
Murung Raya
2.
Gunung Mas
10
160,500
150,210
141,096
51,825
6,165
8.
Palangkaraya
-
-
-
-
-
-
9.
Katingan
9
139,947
135,200
114,900
16,526
-
10.
Katawaringin Timur
44
666,754
603,136
499,954
147,749
297,875
11.
Seruyan
21
336,795
324,808
289,655
149,618
127,353
12.
Kotawaringin Barat
24
308,858
241,949
177,406
93,416
123,461
13.
Lamandau
13
201,340
190,058
131,439
93,149
37,994
14.
Sukamara
2
43,604
27,044
25,657
10,480
1,907
15.
Lintas Kab
7.
TOTAL
16
292,218
281,236
231,314
198,539
196,479
170
2,679,929
2,433,036
2,069,998
933,771
851,033
Dari data yang disajikan diatas disebutkan bahwa total PBS secara keseluruhan sejumlah 333 unit, sementara jumlah PBS yang bersetatus CNC sejumlah 126 unit, sehingga masih ada 207 unit PBS yang belum CNC atau legalitas usahanya belum lengkap sebagaimana yang di syaratkan oleh peraturan-peraturan yang berlaku.
Mungkin argumentasi ini masih mengandung perdebatan karena tidak semua PBS telah melakukan operasional. Namun kita juga menyajikan data tentang PBS yang telah operasional. Dari data yang kita sajikan tersebut bahwa PBS yang telah operasional sejumla 170 unit. Jika kita membuat perbandingan antara data PBS yang CNC dan PBS yang operasional maka akan diketahui ada sekitar 44 unit PBS yang operasional tidak bersetatus CNC. 1.1.3. Perkembangan Konversi Lahan Untuk Wilayah Pertambangan - Jmlah Izin dan Luasan - Jumlah pinjam pakai - Explorzsi dan exploitasi
1.2.
Persoalan Penataan Ruang di Provinsi Kalimantan Tengah Berbicara mengenai tata ruang maka kita akan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik itu Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Fungsi dan luas kawasan dalam Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dalam kurun waktu sejak tahun 1982, perubahan-perubahannya mengacu pada:
TGHK Kalimantan Tengah 1982 Perda No. 5 Tahun 1993 Kepgub Tahun 1999 (Paduserasi RTRWP-TGHK) Perda No. 8 Tahun 2003 SK Menhut No. 292/Menhut-II/2011 Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.529/Menhut-II/201218
Proses penyesuaian RTRWP Kalteng selama ini terjebak pada rasio antara kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Ini dapat dilihat dari daftar rasio hutan dan kawasan hutan berikut : Tata Guna Hutan Kesepakatan = 100% : 0% Perda RTRWP Kalteng Nomor 8 Tahun 2003 = 67% : 33% Usulan Revisi Raperda 2007 = 55% : 45%, TGHK Update = 91% : 9% Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 529/2012 = 82% : 18%, dan terakhir Raperda RTRWP-P 19 berharap rasio kawasan hutan dan non kawasan hutan = 55,03% : 42,11% Perlu di ketahui, hingga sekarang dari 13 Kabupaten dan 1 Kota di Kalimantan Tengah baru 5 daerah yang telah mempunyai RTRWK yaitu:
1. Kab. Barito Selatan (Perda Nomor: 4/2014) 2. Kab. Gunung Mas (Prda Nomor: 5/2014) 18
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah: Statistik Kehutanan 2013.
19
Sekarang telah menjadi Perda Nomor: 5 tahun 2015 tentang RTRWP
Commented [GA2]: Ngambil dari Eksaminasi dan review RTRWP Kalteng
3. Kab. Brito Timur (Perda Nomor: 6/2014) 4. Kab. Lamandau (Perda Nomor: 9/2014) 5. Kab. Sukamara (Perda Nomor: 16/2012) 1.2.1. Dari usulan revisi Perda Nomor 8 tahun 2003 hingga ke penetapan Perda Nomor 5 tahun 2015 Perjalan penetapan RTRWP Kalimantan Tengah menempuh jalan yang cukup panjang. Tercatat dari tahun 2007 revisi RTRWP diusulkan dan baru tahun 2015 berhasil di sahkan. Ada banyak kendala dalam proses tersebut yang salah satunya adalah soal tarik menarik atara pusat dan daerah tentang rasio kawasan hutan dan non hutan. Dalam revisi RTRWPnya, pemerintah kalteng mengusulkan 55% kawasan hutan dan 45% adalah kawasan non-hutan. Tentu usulan ini tidak begitu saja diterima oleh pusat dan kemudian pemerintah pusat memerintahkan acuan revisinya untuk kembali ke TGHK. Disisi lain, pemerintah daerah tidak mau menggunakan TGHK sebagai basis rujukan karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi eksisting lapang, sehingga mereka tetap berpegangan bahwa acuan revisi adalah Perda Nomor 8 tahun 2003. Dari polemic inilah kemudian di bentuk Tim Terpadu (Timdu) dalam rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah dibentuk melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 314/Menhut-VII/2008 tanggal 16 September 200820. Tugas Tim Terpadu antara lain melakukan kompilasi data dan informasi secara komprehensif yang diperlukan dalam rangka mengkaji usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam RTRWP Kalimantan Tengah, serta menyusun rekomendasi terhadap perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan21. Dari semua ini yang paling Nampak dari temuan tim terpadu adalah di temukanya jumlah penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural baik itu menggunakan peta dasar TGHK mapun perda nomor 8 tahun 2003. Dari analisis menggunakan basis TGHK ditemukan penggunaan kawasan yang tidak procedural seluas 2.085.394 ha. Sementara itu dengan menggunakan basis perda 8/2003 pun ditemukan penggunaan kawasan hutan tidak procedural seluas 1.672.254 ha. Kita masih mencermati perdebatan dalam revisi RTRWP kalteng yaitu tentang basis peta mana yang akan di jadikan landasan antara TGHK dan Perda 8/2003. Sungguhpun begitu, kedua-duanya tetap mengandung pelanggaran. Jika pemerintah daerah bepegangan kuat pada perda 8/2003 sebagai basisnya, apakah pelanggaran yang diketahui tersebut akan diambil tindakan?
20
Laporan Tim Terpadu “Pengkajian Perubahan Kawasan Huatan Dalam Revisi Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah”. Departemen Kehutanan, 2009.
21
Kesimpulan dan saran dari hasil kerja tim terpadi menjadi lampiran dari tulisan ini.
Table pelanggaran di dalam kawasan hutan berdasar TGHK dan Perda 8/2003
Sumber data: Laporan Tim Tepadu (Dephut:2009) Bertahun-tahun pembahasan RTRWP tak kunjung menemukan titik terang. Banyak para bupati dan termasuk gubernur sendiri mengeluhkan hal ini. Hal utama yang sering menjadi keluhan adalah, jika RTRWP tidak segera disahkan maka investasi akan terganggu, dimana investasi merupakan sumber utama pendapatan daerah. Maka Menteri Kehutan mengeluarkan SK Menhut 529/2012 tentang penunjukan kawasan hutan sebagai kebijakan transisi sebelum RTRWP yang resmi disahkan. Pembahasan RTRWP terus berlanjut. Kali ini SK Menhut 529/2012 yang menjadi basis rujukan untuk revisi RTRWP. Dan berikut adalah usulan perubahan kawasan dalam revisi RTRWP.
Sumber Data: Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah (2015) dan Kalteng Pos (28 Januari 2015). Dalam UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 78 ayat (4) huruf b menyebutkan bahwa “semua peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diberlakukan”. Karena UU tentang Penataan Ruang tersebut diterbitkan pada April 2007, maka semua Perda RTRWP di seluruh Indonesia harus selesai pada sekitar April 2009. Walaupun proses revisi Perda Kalteng No. 8 Tahun 2003 dimulai sejak tahun 2006, pada akhirnya Perda Kalteng No. 5 Tahun 2015 dapat ditetapkan setelah melewati batas penyelesaian yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007, itupun dengan muatan-muatan didalamnya yang ternyata masih menyimpan banyak persoalan mulai isu-isu teknis sampai isu-isu strategis yang semestinya sudah selesai ketika Perda RTRWP ditetapkan. Luasan Outline untuk Fungsi Kawasan Budidaya yang Berada dalam Kawasan Hutan No 1 2 3 4 5 6 7
Fungsi Kawasan Permukiman Ruang Kelola Masyarakat Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum Lahan Tanaman Pangan Berkelanjutan Wilayah Pertambangan Rakyat Perkebunan Peruntukan Budidaya Lainnya Jumlah Jumlah pada Tipologi #1 s/d #7
Tipo #2 41.532 457.248 6.579 32.137 2.732 667.879 173.215 1.381.322 1.548.448
Tipo #4 19.416 304.011 2.596 28.096 1.055 390.522 161.147 906.843 521.570
Tipo #5 8.898 103.898 3.406 4.535 3.889 548.891 237.355 910.872 994.450
Tipo #6 2.502 13.249 395 2.346 7.167 44.962 98.114 168.735 1.186.459
Tipo #7 52.878 561.060 6.772 3.698 20.921 578.426 1.223.755 207.209
Sumber: Perda Kalteng No. 5 Tahun 2015tentang RTRWP Kalteng 2015-2035
Jumlah 125.226 1.439.466 19.748 70.812 35.764 2.230.680 669.831 4.591.527 8.907.610
Sementara disisi lain, kawasan APL yang seyogyanya diperuntukan untuk kepentingan masyarakat justru saat ini telah banyak di kuasai oleh industry perkebunan. Dari luas keseluruhan APL sebesar 2.612.892,91 ha, yang telah menjadi industry perkebunan seluas 1.075.096,71 ha. Artinya sekitar 41,15 % lahan APL telah menjadi kepemilikan korporasi. Pada saat sama di dalam RTRWP masih ada 391 desa yang bestatus di dalam kawasan hutan. Kita merasa pada kebijakan RTRWP ini tidak adil karena lebih mengakomodir kepentingan industry perkebunan dari pada kepnetingan masyarakat. Peta RTRWP yang di Overlay Dengan Peta Perkebunan 2012
Sumber: Perda Kalteng No. 5 Tahun 2015tentang RTRWP Kalteng 2015-2035 dan Peta Perkebuanan Besar Swasta di Kalimantan Tengah (2012)
1.3.
Wilayah Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah - Gambaran sosek masarakat - Program-program yang di kerjakan oleh CSO berkaitan WKR - Luasan wilayah kelola rakyat - Konflik
1.4.
Koordinasi dan Supervisi Kehutanan, Perkebunan dan Mineral Batubara dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam - Landasan pelaksanaan korsub - Program korsub - Rekomendasi korsub
BAB 2. KINERJA KOORDINASI DAN SUPERVISI GN-SDA DI SEKTOR KEHUTANAN Hutan merupakan suatu ekosistem yang tidak hanya memiliki kekayaan berupa kayu, tetapi terdapat potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat. Sebagai ekosistem, hutan berperan dalam penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air, hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tumbuhan. Undang – Undang RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1 ayat 2 menyatakan: Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan ayat 3 mengenai Kawasan Hutan didefinisikan sebagai berikut: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan Hutan belum tentu seluruhnya terdapat hutan, ada kawasan hutan yang mempunyai pohon-pohon yang jarang bahkan tidak terdapat pohon. Namun, oleh pemerintah, tetap disebut “Kawasan Hutan”. Wilayah-wilayah di dalam kawasan hutan yang tidak mempunyai pepohonan bahkan tidak bervegetasi sering disebut lahan kritis. Lahan-lahan kritis ini perlu direhabilitasi dengan menanam pohon-pohon yang sesuai dengan tempat tumbuhnya. Kondisi yang ada saat ini, praktik penguasaan hutan justru melupakan bagaimana hutan seharusnya sebagai bagian dan membentuk sistem hidup bangsa Indonesia. Ketimpangan pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam yang otoriter, kelemahan dalam tata kelola, dan ketidak pastian hukum berkelindan dengan salah satu musuh bangsa terbesar
Commented [GA3]: Berdasarkan hasil kegiatan lapangan CSO, presentasi Pak Sipet di Lombok.
Commented [F4]: Grahat yang kerjakan
abad ini, yaitu korupsi. Berbagai permasalahan yang terjadi dan terpapar saat ini seolah memberikan hipotesis bahwa Pasal 33 UUD 1945 ini telah dikorupsi. 22 Penguasaan kawasan hutan yang diserahkan pemerintah ke sector swasta ternyata tidak dapat menjawab kemakmuran bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total 41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada skala kecil dan masyarakat adat. Sedangkan kerusakan hutan (deforestasi) terus terjadi dari tahun ke tahun, baik karena pembukaan hutan secara masiv oleh koorporasi perkebunan, pertambangan, maupun oleh aktivitas-aktivitas illegal. Buruknya pengawasan disektor kehutanan, membuat negara mengalami kerugian mencapai 35 trilyun pertahun akibat dari pembalakan liar. Belum lagi akibat dari lemahnya pengawasan dalam izin pinjam pakai kawasan hutan disektior pertambangan. Buruknya tata kelola yang terjadi selama ini, terbukti dengan hasil kajian KPK tahun 2013 membuktikan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat rentan dengan korupsi. Melalui metoda kajian Corruption Impact Assessment (CIA), temuan kajian mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan tersebut penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture.23 Kalimantan Tengah merupakan provinsi terluas nomer 2 Se-Indonesia, setelah Papua. Luasan dataran Kalimantan Tengah mencapai 153.564 km2. Terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 kota. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 529/Menhut-II/2012 dan perubahan parsial (pelepasan) Kawasan Hutan Kalimantan Tengah mencapai 12.447.191,53 Ha atau sekitar 80,68% dari provinsi, sedangkan untuk non kawasan hutan (APL) seluas 2.979.588,47 Ha atau sekitar 19,32% dari provinsi. Adapun kawasan hutan tersebut terdiri dari:
No
Status
Luasan (Ha)
1
Hutan Konservasi
1.630.828
2
Hutan Lindung
1.346.066
3
Hutan Produksi Terbatas
3.317.461
4
Hutan Produksi Tetap
3.882.817
5
Hutan Produksi Konversi
2.271.019,53
22
http://acch.kpk.go.id/gn-sda-sektor-kehutanan-dan-perkebunan diakses pada 25 Juni 2016
23
Ibid
2.1.
Penguatan Hak Tenurial Masyarakat Dalam Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah kelola rakyat harus diakui bukan hanya berada didalam kawasan non hutan (APL), tetapi juga berada didalam kawasan hutan. Hal itu dikarenakan proses pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan pengelolaan yang sudah dilakukan secara turun temurun. Selain itu, ketidak tahuan masyarakat terkait status kawasan yang telah ditentukan oleh pemerintah itu sendiri. Terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui kementrian dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dalam hal penguatan hak-hak tenurial masyarakat dalam pengkuhan kawasan hutan.
a. Kebijakan Pemerintah Provinsi dalam penguatan hak tenurial masyarakat.
Commented [GA5]: IP4T Kalimantan Tengah
Pemerintah provinsi maupun kabupaten merasa telah melakukan berbagai cara dalam penguatan hak tenurial masyarakat, diantaranya dengan mengakomodir penguatan tenurial melalui peraturan daerah. Sebagai contoh terbitnya Perda Provinsi Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 jo. Perda Nomor 1 tahun 2010 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng. Beserta Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah.
Dimana pengakuan masyarakat adat dan hak atas tanah memiliki posisi tawar tertentu, dengan mendorong kedamangan untuk dapat mengeluarkan surat keterangan tanah adat (SKTA). Hanya saja, tindak lanjut dari penerbitan SKTA ini yang kerap menjadi kendala, karena keinginan dari pemerintah provinsi adalah agar SKTA ini dapat dinaikkan statusnya menjadi sertifikat dan mendorong Badan Pertanahan Nasional yang berada di provinsi maupun kabupaten agar dapat mengakomodir SKTA tersebut.. Melihat kondisi tersebut, BPN provinsi maupun kabupaten merasa tidak memiliki wewenang dalam meningkatkan status SKTA tersebut apabila berada di dalam kawasan hutan. Tetapi, apabila SKTA tersebut berada didalam kawasan non hutan (APL) dan tidak bersinggungan/tumpang tindih dengan hak kelola yang sudah diterbitkan pemerintah sebelumnya maka dapat dimungkinkan untuk ditindak lanjuti oleh BPN. Oleh karena itu, pemerintah provinsi meminta agar Damang untuk melakukan inventarisir dan memetakan wilayah-wilayah yang merupakan tanah adat di Kalimantan Tengah
Perkembangan Wilayah Kelola Masyarakat Adat Yang Sudah Terbit Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) oleh Damang sampai dengan Maret 201524 Lokasi
24
Jumlah SKTA
Luas (Ha)
Kabupaten Pulang Pisau, Kecamatan, Banama Tingang
121
236,87
Kabupaten Kapuas, Kecamatan Timpah
438
1366.66
Paparan Gubernur Kalteng terkait Pengakuan Wilayah Adat Dan Wilayah Kelola Rakyat Dalam Kerangka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Disampaikan Pada: Dialog Nasional Membangun Simpul Kerja Sama Pemerintah Pusat, Daerah dan Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Percepatan engakuan Wilayah Adat dan Perluasan Wilayah Kelola Rakyat MATARAM, 17-18 APRIL 2015
Kabupaten Seruyan, -
Kecamatan Seruyan Hulu
233
80,67
-
Kecamatan Hanau
147
449
Kabupaten Katingan, Kecamatan Petak Malai
246
408,88
Kabupaten Barito Selatan, Kecamatan Dusun Utara
161
361,83
5
3,98
Kabupaten Barito Timur, Kecamatan Karusen Janang
26
12,59
Kabupaten Murung Raya, Kecamatan Tanah Siang
38
77,73
Kabupaten Barito Utara, Kecamatan Gunung Timang
164
169,57
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kecamatan Bukit Santuai
36
55,28
Kabupaten Lamandau, Kecamatan Bulik Timur
13
4,8
Kabupaten Sukamara, Kecamatan Permatan Kecubung
8
13,9
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kecamatan Arut Utara
30
3,73
Kota Palangka Raya, Kecamatan Rakumpit
88
176
1.754
3.421,49
Kabupaten Gunung Mas, Kecamatan Tewah
Jumlah
Selain itu, pada 26 maret 2015, keluar surat nomor: 522/0328/Dishut dari Gubernur Kalimantan Tengah kepada Bupati dan Walikota Se-Kalimantan Tengah dengan perihal Permohonan Rekomendasi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) untuk Program Redistribusi Tanah Bagi Masyarakat pada 169 Kelurahan/Desa di Provinsi Kalimantan Tengah.. Surat tersebut bertujuan untuk:
o o o
Penyelesaian enclave desa/kelurahan yang berada dalam kawasan HPK (169 desa/kelurahan). Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi tanah. Pencapaian Program Indonesia Kerja (RPJMN 2015-2019).
Dimana, berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, diketahui bahwa setidaknya sebanyak 169 Kelurahan/Desa di Provinsi Kalimantan Tengah masih berada dalam kawasan hutan produksi yang dapat di-konversi (HPK). Usulan tersebut telah dikirimkan ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2015, dimana dalam surat yang tersebut dilampirkan kabupaten mana saja yang mengajukan usulan pelepasan HPK beserta luasan wilayah yang akan diusulkan untuk dilepaskan.
Usulan Bupati/Walikota untuk Pelepasan HPK bagi Desa/Kelurahan25
25
No.
Kab./ Kota
No. Surat
Tgl. Surat
1.
Palangka Raya
33/DLHK/Bid.II/III/2015
27-03-2015
34.203
2.
Murung Raya
58.1/120/DK-MR
27-03-2015
65.574,3
3.
Lamandau
522.1.11/340/III/2015
27-03-2015
21.923,8
4.
Kotawaringin Timur
522.1/621/Dishutbun/III/2015
30-03-2015
123.309,29
5.
Kapuas
522/561/Adm.SDA.2015
27-03-2015
120.314,07
Ibid
Luas (Ha)
6.
Barito Timur
522/150/Hutbun
31-03-2015
6.361,22
7.
Sukamara
522/150/Hutbun
31-03-2015
6.361,22
Hingga saat ini, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum menindaklanjuti surat permohonan Gubernur Kalimantan Tengah terkait 169 Kelurahan/Desa yang berada di dalam kawasan HPK untuk segera dilepaskan menjadi kawasan Non Hutan (APL). Pada Juni 2015, terjadi penambahan Desa/Kelurahan yang masuk kawasan HPK, dari 169 Kelurahan/Desa di 1 Kota dan 6 Kabupaten, menjadi 377 Desa/Kelurahan yang masuk pada kawasan HPK untuk 1 Kota dan 13 Kabupaten Se-Kalteng. Terkait 377 Desa/Kelurahan yang masuk kawasan HPK, Gubernur Kalimantan Tengah juga telah mengirimkan surat Kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal Permohonan pelepasan kawasan HPK untuk kelola masyarakat Desa/Kelurahan di Provinsi Kalimantan Tengah.
b. Kebijakan Pemerintah Pusat dalam penguatan hak tenurial masyarakat, Pada tahun 2014, terbit Peraturan bersama yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T). peraturan ini merupakan tata cara penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan yang bertujuan untuk mengakomodir wilayah kelola masyarakat yang masuk di dalam kawasan hutan.
Menindak lanjuti hal tersebut, pemerintah daerah Kalimantan Tengah pun meminta seluruh Kabupaten/Kota untuk melakukan koordinasi dan membentuk Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Berikut merupakan daftar rekapitulasi Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan.26 No 1
Wilayah Prov. Kalimantan Tengah
No. SK 188.44/264/2015
Tanggal 12 Mei 2015
Tentang Pembentukan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Keterangan SK. Gubernur Kalimantan Tengah
2
Prov. Kalimantan Tengah
12/KEP400.14.62/V/2015
12 Mei 2015
Pembentukan secretariat Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah.
SK. Kepala Kanwil BPN Prov. Kalteng
3
Kab. Seruyan
188.45/203/2015
15 Mei 2015
Perubahan atas Keputusan Bupati Seruyan Nomor: 188.45/138/2015 Tentang pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Seruyan tahun 2015.
SK. Bupati Seruyan
4
Kab. Barito Utara
188.45/294/2015
28 Mei 2015
Pembentukan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Utara
SK. Bupati Barito Utara
5
Kab. Kotawaringin Timur
188.45/5/HukBPN/2015
23 Januari 2015
Penetapan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur.
SK. Bupati Kotawaringin Timur
6
Kab. Kotawaringin Barat
590/05/S.Kep/Pe m-Tan/ IV/2015
2 April 2015
Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan
7
Kab. Gunung Mas
173 Tahun 2015
20 April 2015
Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Gunung Mas.
SK. Bupati Kotawaringin Barat SK. Bupati Gunung Mas
26
Laporan Progres Implementasi Rencana Aksi GN-PSDA Korsup Kehutanan dan Perkebunan, 2016.
dan
8
Kab. Lamandau
188.45/178/IV/HU K/2015
6 April 2015
Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Lamandau.
SK. Lamandau
Bupati
9
Kab. Sukamara
188.45/66/2015
10 Maret 2015
Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Sukamara.
SK. Sukamara
Bupati
10
Kota Raya
188.45/122/2015
30 Maret 2015
Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kota Palangka Raya.
SK. Walikota Palangka Raya
11
Kab. Murung Raya
188.45/155/2015
12 Maret 2015
Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Murung Raya.
SK. Bupati Murung Raya
12
Kab. Barito Selatan
130 TAHUN 2015
5 Maret 2015
Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Selatan 2015.
SK Bupati Barito Selatan
13
Kab. Barito Timur
112 TAHUN 2015
27 Maret 2015
Penetapan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Timur.
SK Bupati Barito Timur
14
Kab. Kapuas
285/BAPPEDA TAHUN 2015
23 Maret 2015
Perubahan atas keputusan Bupati Kapuas Nomor: 216/BAPPEDA Tahun 2015 Tentang Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Kapuas.
SK Bupati Kapuas
15
Kab. Katingan
050/143/Kpts/III/ 2015
6 Maret 2015
Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Katingan Tahun 2015.
SK Katingan
16
Kab. Pulang Pisau
246 Tahun 2015
25 Mei 2015
Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Pulang Pisau
SK Bupati Pulang Pisau
Palangka
Bupati
Dalam perkembangan IP4T yang telah di SK kan oleh Bupati/Walikota Se-Kalimantan Tengah ini, hanya 2 kabupaten yang berjalan. Yaitu Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Kapuas. Kabupaten Barito Selatan dapat berjalan karena momentum pasca penataan batas kawasan yang dilakukan oleh BPKH 5 Banjar Baru dan merupakan pilot project. Sedangkan Kabupaten Kapuas merupakan lokasi yang dianggap prioritas oleh pemerintah daerah. Lokasi Prioritas Kabupaten Barsel berada di 18 desa sepanjang Hutan Lindung Sungai Barito-Sungai Kapuas yang pada tahun 2013 tidak menyetujui adanya penataan batas kawasan hutan. Sedangkan lokasi prioritas di Kabupaten Kapuas berada di Kecamatan Timpah. Berikut lokasi prioritas IP4T di Kalimantan Tengah:
Kabupaten Barito Selatan 1. Desa Sababillah 2. Desa Lembeng 3. Desa Danau Masura 4. Desa Teluk Telaga 5. Desa Muara Talang 6. Desa Bintang Kurung 7. Desa Tampijak 8. Desa Teluk Sampudau 9. Desa Selat Baru 10. Desa Teluk Betung 11. Desa Talio 12. Desa Sungai Jaya 13. Desa Batampang 14. Desa Teluk Timbau 15. Desa Batilap 16. Desa Rangga Ilung 17. Dusun Muara Puning 18. Dusun Simpang Telo
Kabupaten Kapuas 1. Desa Danau Pantau, Kecamatan Timpah (Di dalam Kawasan Hutan Lindung)
Target identifikasi dan pengukuran yang dilakukan oleh Tim IP4T Kabupaten Barito Selatan mencapai 3000 persil, hanya saja hingga saat ini belum diketahui jumlah pasti persil yang sudah dilakukan pengukuran di 16 Desa 2 Dusun tersebut. Kegiatan pengukuhan dan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Barito Selatan hingga kegiatan IP4T telah memberikan perspektif baru bagi masyarakat dimana penguasaan kawasan hutan yang dikelola masyarakat dapat menjadi legal dengan terbitnya sertifikat kepemilikan. Selain itu, berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan civil social organization (CSO) di Kalimantan Tengah dan Nasional, menyimpulkan bahwa, dorongan penyelesaian hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan untuk mendapatkan pengakuan oleh pemerintah
melalui kegiatan IP4T pada tataran pemerintah daerah pada gilirannya kurang berjalan dikarenakan masih ada pandangan bahwa kegiatan yang dilaksanakan merupakan kegiatan salah satu instansi bukan kegiatan kolektif pemerintah. Belum lagi persoalan klasik terkait anggaran. Kegiatan IP4T yang dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah, misalnya di Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Lamandau, serta Kabupaten Kapuas bertitik tolak pada masalah klasik anggaran. Mengacu kepada Petunjuk Teknis/Petunjuk Pelaksanaan Inventarisasi Penguasaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), bahwa penganggaran bersumber dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Fakta hasil kegiatan lapangan, diketahui bahwa hanya Kabupaten Kapuas yang dana kegiatan IP4T berasal dari BPN. Kabupaten Lamandau tidak ada kegiatan lapangan, hanya ada beberapa kali rapat sosialisasi. Informasi yang didapatkan, Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan tidak menganggarkan kegiatan IP4T pada anggaran tahun 2015 dikarenakan kegiatan ini dipandang sebagai kegiatan BPN. Kabupaten Barito Selatan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan menganggarkan 1 Milyar Rupiah sebagai dana pendamping untuk kegiatan IP4T. Disebut dana pendamping karena BPN Kabupaten Barito Selatan mempunyai anggaran untuk inventarisasi 750 bidang persil pada kegiatan IP4T. Hasil lapangan menunjukan kegiatan IP4T hanya menggunakan anggaran yang berasal dari Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Selatan.27 Meskipun perkembangan IP4T di Kalimantan Tengah belum jelas arahnya kemana, tetapi pihak Dewan Adat Dayak melalui Pemerintah Provinsi merasa, IP4T dapat menjadi peluang bagi masyarakat dayak untuk penegasan lahan kelola tani “Dayak Misik”. Terbukti dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah yang ditandatangani langsung oleh Pj. Gubernur Kalimantan Tengah Drs. Hadi Prabowo, MM. Dengan nomor: 188.44/190/2016 Tentang Penegasan Lahan Kelola Kelompok Tani Dayak Misik Kalimantan Tengah yang terbit pada 24 Maret 2016. Menurut Keputusan Gubernur tersebut, bahwa dibentuknya Tim IP4T merupakan dalam rangka memberikan pengakuan, penghargaan dan perlindungan Negara/Hukum terhadap Tanah Adat dan Hutan Adat untuk mewujudkan dan meningkatkan kemandirian, kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat adat dayak. Selain itu, keputusan ini juga mencantumkan, bahwa setiap Kelurahan/Desa memiliki Hutan Adat minimal 10 hektar dan masing-masing kepala keluarga memperoleh tanah/lahan seluas 5 hektar. Pemberian tanah/lahan seluas 5 hektar ke setiap kepala keluarga yang bernaung dibawah kelompok tani dayak misik tersebut, pembuktiannya melalui Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) atau surat sejenis lainnya, dan statusnya dapat dinaikkan menjadi sertifikat dimana pemberian sertifikat tersebut dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah (Negara).
27
Laporan Monitoring IP4T Barito Selatan, 2015. Ephistema Institute
Keputusan Gubernur diatas, merupakan tindak lanjut dari surat yang pernah dikeluarkan Gubernur Kalteng Nomor: 590/572/III.12/Kesra/2015 yang ditujukan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, tentang, Penegasan Lahan Kelola Kelompok Tani Dayak Misik, dimana Gubernur meminta agar 530 Desa/Kelurahan dan lahan kelola kelompok dayak misik yang masuk dalam kawasan hutan dikeluarkan dari kawasan hutan atau diinclave menjadi APL sebagaimana kebijakan pemerintah kepada warga transmigrasi, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagai bukti nyata kehadiran Negara ditengahtengah masyarakat. Mungkin ada yang ingin menambahkan terkait IP4T…………………..?????
2.2.
Penataan Perizinan Usaha Kehutanan Pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara besar-besaran dan modern, dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai PMA dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang PMDN. Ketiga Undang-undang itulah yang mendasari dan menjadi landasan bagi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya, yang ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk HPH dan HPHH, serta berkembangnya industri yang mengolah produk hasil hutan (sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill, pulpmill dan sebagainya). Berikut ini data tentang perkembangan HPH sejak Pelita I sampai dengan tahun 200028 :
No 1 2 3 4 5 6
Periode Pelita (Tahun) Awal Pelita I (1969/1970) Pelita II (1978/1979) Pelita III (1979/1980) Pelita IV (1984/1985) Pelita V (1989/1990) Tahun 2000 (s/d Desember 2000)
SK HPH Jumlah 3 87 95 112 117 53
Luas 381.000 8.567.500 9.291.500 11.231.500 11.862.500 4.790.522
Kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah di mulai dengan hanya 3 unit HPH pada tahun 1969/1970. Dimana tiap tahun terjadi penambahan kepemilikan HPH dan mencapai puncaknya pada medio 1989/1990 dengn jumlah mencapai 117 HPH dengan luasan 11.862.500 Ha. Tetapi, era kayu mengalami pemerosotan yang sangat drastis terlihat penurunan pada tahun 2000 menjadi 53 unit dengan cakupan luasan areal 4.790.522 Ha. Pengelolaan HPH yang mengalami kegagalan dalam pengelolaan hutan, gagalnya reboisasi, illegal logging dan penyerobotan areal menjadi penyebab menyusutnya kepemilikan HPH.
28
http://kalteng.go.id/indo/kehutanan_kondisi.htm diakses pada 29 juni 2016
Commented [GA6]: Data dari Dinas Kehutanan Kalteng
Dimana pengelolaan penguasaan hutan secara lestari hanya sebagai jargon yang tidak dapat dilaksanakan oleh pemegang ijin, sehingga harus dikembalikan kembali ke Negara. Meskipun terjadi penurunan drastis dalam hak pengelolaan hutan, perijinan di sector kehutanan tetap menjadi yang terluas apabila dibandingkan dengan perijinan disektor pertambangan dan perkebunan sekala besar. Terbukti dengan luas perijinan sector kehutanan mencapai 4 juta hektar lebih.
Data Perizinan Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2016 Data perizinan di bidang kehutanan terdiri dari Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Tanaman, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Restorasi Ekosistem dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Penyerapan dan atau Penyimpanan Karbon, dengan rekapitulasi sebagai berikut: A. Areal IUPHHK Hutan Alam (HPH) Areal yang berada di Kalteng
56
Unit,
seluas
:
3,965,874.37
Ha
2
Unit,
seluas
:
50,412.00
Ha
58
Unit,
seluas
:
4,016,266.37
Ha
B. Areal IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) Status Izin Definitif 23
Unit,
seluas
:
613,525.49
Ha
2
Unit,
seluas
:
30,500.00
Ha
25
Unit,
seluas
:
644,025.49
Ha
C. Areal IUPHHK Restorasi Ekosistem (RE) Areal yang berada di Kalteng 2 Unit,
seluas
:
145,406.00
Ha
-
Areal Lintas Provinsi
-
Jumlah Total
-
Belum Definitif
-
Jumlah Total
(PT. Rimba Makmur Utama dan PT. Rimba Raya Conservation) -
Areal Lintas Provinsi
0
Unit,
seluas
:
0
Ha
-
Jumlah Total
2
Unit,
seluas
:
145,406.00
Ha
D. Areal IUPHHK Penyerapan dan atau Penyimpanan Karbon (Pan/Rap Karbon)
-
Areal yang berada di Kalteng
1
Unit,
seluas
:
25,800.00
Ha
(PT. Hutan Amanah Lestari) -
Areal Lintas Provinsi
0
Unit,
seluas
:
0
Ha
-
Jumlah Total
1
Unit,
seluas
:
25,800.00
Ha
Total pengelolaan kawasan hutan apabila melihat tabulasi diatas maka, kawasan hutan Kalteng yang memiliki izin kehutanan seluas: 4.831.497,86 Hektar. Dari 12.447.191,53Ha kawasan hutan di Kalteng. Luasan kawasan hutan yang sudah memiliki izin kehutanan tersebut, belum termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Izin Pelepasan Kawasan Hutan di sector investasi. Berikut merupakan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IUPPKH) dan Data Ijin Pelepasan Kawasan Hutan (IUPKH):
A. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pertambangan yang sudah Operasi Produksi Tambang No. Kabupaten Jumlah (unit) Luas (Ha) 1
Lamandau
1
390,880
2
Seruyan
-
-
3
Barito Timur
4
1.869,770
4
Barito Utara
15
20.416,470
5
Barito Selatan
5
3.570,700
6
Gunung Mas
-
-
7
Kapuas
6
5.672,910
8
Katingan
1
431,300
9
Kotawaringin Barat
-
-
10
Kotawaringin Timur
1
129,500
11.
Murung Raya
8
18.187,566
12.
Pulang Pisau
-
-
13.
Sukamara
-
-
14.
Palangka Raya
1
494,130
15.
Lintas Kabupaten
6
24.771,740
Total
46
75.544,086
B. Izin Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sekala Besar No
Tahap
Jumlah (unit)
Luas (ha)
1
Persetujuan Prinsip
15
74.228,06
2
Pelepasan
92
921.991,63
Jumlah
107
996.219,69
Berdasarkan hasil tinjauan data yang dilakukan oleh Dirjen Minerba ketika Korsup sawit beberapa waktu yang lalu, dimana terdapat aktivitas non prosedural yang dilakukan oleh Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang masuk kedalam kawasan hutan tanpa adanya Ijin Pelepasan Kawasan Hutan. Penggunaan kawasan hutan tidak prosedural oleh pertambangan di Kalimantan tengah sebanyak 483 unit IUP. Dengan luasan mencapai 3.570.518 Ha, dengan rekapitulasi sebagai berikut:
No 1 2 3 4
Status Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi
Luasan (Ha) 8.315 116.758 1.354.011 1.364.565
Selain itu, proses dalam melakukan ijin pelepasan kawasan hutan pun masih terjadi kendala, dimana terdapat perusahaan yang ada ijin usaha perkebunan tetapi belum melakukan proses pelepasan kawasan hutan, berikut merupakan hasil analisis spasial izin usaha perkebunan terhadap kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Badan Planologi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ketika melakukan paparan pada saat Korsup hutan dan kebun pada mei 2016.
PETA SEBARAN IZIN USAHA PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH
JUMLAH IUP = 264 Prshn SUMBER : Data Spasial IUP Perkebunan dari Dinas Perkebunan Prov. Kalteng tahun 2016
No
KRITERIA
UNIT
1
Indikasi IUP yang berada dalam kawasan HPK yang belum memiliki pelepasan kawasan
212
895.509,7
2
Indikasi IUP yang berada dalam kawasan HK, HL dan HP/HPT
222
1.137.459,2
Luas total
2.032.968,9
FUNGSI
LUAS (HA)
KSA/KPA
48.091,7
HL
50.235,7
HPT
154.097,2
HP
855.034,7
TOTAL
LUAS (HA)
1.137.459,2
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat guna menegakkan hukum apabila memang terjadi kesalahan prosedural maupun apabila terjadi unsur pidana dalam proses pinjam pakai kawasan hutan maupun pelepasan kawasan hutan. Melihat kondisi diatas dan dalam pemenuhan Rencana Aksi Gerakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam Kooordinasi dan Supervisi Kehutanan dan Perkebunan, maka Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah melakukan beberapa langkah dan pembenahan baik secara internal maupun mendorong para pemegang ijin melakukan pemenuhanpemenuhan data dan informasi yang belum terpenuhi. Adapun langkah startegis yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut:
No 1
Tanggal 18 September 2015
No. Surat 522.11/0799/Dishut
Tujuan pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPKKH) wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
Perihal laporan pemenuhan kewajiban pemegang IPPKH
Keterangan Surat ini bertujuan untuk melakukan pengumpulan data dan informasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan dan pemenuhan kewajibannya.
2
18 September 2015
522.1/0798/Dishut Ditandatangani oleh Pj. Gubernur Kalteng
Walikota Palangka Raya dan Seluruh Bupati SeKalimantan Tengah
Renaksi GN-PSDA Korsup Kehutanan dan Perkebunan
Pemenuhan matriks GNPSDA sektor Kehutanan dan perkebunan. Mempedomani setiap rekomendasi perbaikan serta mendorong percepatan tercapainya target korsup yang telah ditetapkan, melaksanakan renaksi sesuai kewenangan masing-masing, melakukan pengumpulan data dan informasi perizinan kehutanan, perizinanannon kawasan hutan, perkebunan serta pemenuhan kewajiban dalam rekonliasi data.
3
28 September 2015
522/0827/Dishut Ditandatangani oleh Sekda Provinsi Kalteng
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah
Informasi pemenuhan kewajiban pajak perusahaan bidang kehutanan dan perkebunan
4
28 September 2015
522/0828/Dishut Ditandatangani oleh Sekda Provinsi Kalteng
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Kalimantan Tengah
Menindaklanjuti surat 522.1/0798/Dishut implementasi Renaksi GNPSDA Korsup Hutbun Prov. Kalteng.
Meminta untuk memberikan data dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban pajak perusahaan pemegan izin kehutanan dan perkebunan Dalam pemenuhan 6 sasaran dan 20 Renaksi, menyiapkan data dan dokumen, melakukan langkah tindak lanjut untuk menunjang progres renaksi sesuai dengan bidang masing-masing,
meningkatkan koordinasi antar instansi, menginventarisir dan melaporkan masalah yg dihadapi dalam pelaksanaan renaksi. 5
15 Oktober 2015
522.1.100/2295/Dishut. Ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Prov. Kalteng
Seluruh Kepala Dinas Kehutanan Se-Kalteng dan Kepala BP2HP, BPDAS Barito, BPDAS Kahayan, BPKH XXI di Kalimantan Tengah Mengundang 53 Unit usaha pertambangan pemegang IPPKH 20 Daftar pemegang IPPKH untuk Kegiatan Operasi Produksi (Eksploitasi)
Undangan Rapat koordinasi pemenuhan kewajiban izin pinjam pakai kawasan hutanuntuk kegiatan operasi produksi Rapat dilaksanakan pada tanggal 26-27 Oktober 2015
Rapat ini merupakan tindak lanjut dari surat 522.11/0799/Dishut serta menyampaikan laporan singkat terkait pemenuhan kewajiban, serta membawa data terkait pemenuhan kewajiban IPPKH.
6
05 Nopember 2015
522.1.100/2322/Dishut Ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Prov. Kalteng
Surat Peringatan I (satu)
Memberikan surat peringatan kepada pemegang IPPKH, karena tidak menghadiri pertemuan pada 26-27 Oktober 2015 dan tidak pernah memberikan laporan pemenuhan kewajiban. Apabila dalam kurun waktu 30 hari kalender sejak pengiriman surat peringatan I, maka akan memberikan peringatan II.
7
27 Nopember 2015
S-4689/WPJ.29/2015 Plh. Kepala Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah
Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
Informasi Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Perusahaan Pemegang Izin Kehutanan dan Perkebunan.
Menjawab surat Nomor: 522/0827/DISHUT pada tanggal 28 September 2015 dalam hal informasi pemenuhan kewajiban pajak perusahaan Bidang Kehutanan dan Perkebunan.
8
19 Nopember 2015
522.2.211/808/DISHUT Ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan
1. Ir. Bambang Heryanto 2. Bahara, SE 3. Endah Winarni, S.Hut
Surat Perintah Tugas
Mengikuti rekonsiliasi
Kegiatan penerimaan
Provinsi Kalimantan Tengah
4. Ashar, S. Hut.
9
November 2015
10
8 Desember 2015
522.1.100/2567/Dishut Ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Prov. Kalteng
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan
11
8 Desember 2015
522.1.100/2568/Dishut Ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Prov. Kalteng
1. PT. Graha Inti Jaya 2. PT. Kahayan Agro Lestari 3. PT. Rezeki Alam Semesta Raya 4. PT. Wanayasa Kahuripan Indonsia 5. PT. Agro Kalimantan Abadi 6. PT. Suryamas Cipta Perkasa 7. PT. Berkah Alam Fajarmas 8. PT. Bahaur Era Sawit Tama 9. PT. Karya Luhur Sejati
PSDH, DR dan IIUPH Triwulan IV Tahun 2015 Laporan Hasil Rekonsiliasi Penerimaan Iuran Kehutanan (DBH SDA Kehutanan) Triwulan IV Tahun 2015 Tindak lanjut perusahaan skema PP No. 60/2012 Yang belum melengkapi persyaratan
Penghentian Kegiatan
Meminta arahan dari Disjen Planologi dan Tata Lingkungan, terkait dengan 31 Perusahaan Perkebunan yang tidak memenuhi/menindaklanjuti persyaratan PP No. 60/2012. Menindaklanjuti hasil rapat koordinasi perkembangan penyelesaian persyaratan PP Nomor 60 Tahun 2012 yang dilaksanakan pada 3 Desember 2015. Permohonan 9 Perusahaan telah ditolak oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutan. Meminta kepada 9 perusahaan tersebut untuk menghentikan semua kegiatan oprasional di lapangan sampai ada petunjuk lebih lanjut dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
2.3.
Perluasan Wilayah Kelola Rakyat Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota SeKalimantan Tengah melakukan koordinasi dan identivikasi wilayah Desa/Kelurahan yang masuk pada kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK). Pada pertemuan koordinasi dan identifikasi tersebut, ditemukan 377 Desa/Kelurahan yang masuk kedalam kawasan HPK. Dengan luasan mencapai ±624.101,04 Ha. Guna memperkuat hasil koordinasi dan identifikasi tersebut, Gubernur Kalimantan Tengah menerbitkan keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 188.44/301/2015 tentang Penetapan lokasi kelola masyarakat Desa/Kelurahan pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat di Konversi di Provinsi Kalimantan Tengah. Kepeutusan Gubernur tersebut terbit pada tanggal 23 Juni 2015. Adapun lokasi kelola yang masuk dala kawasan HPK tersebut adalah, sebagai berikut:
No
Kabupaten/Kota
Provinsi Kalimantan Tengah 1 Murung Raya 2 Barito Utara 3 Barito Timur 4 Barito Selatan 5 Kapuas 6 Pulang Pisau 7 Gunung Mas 8 Palangka Raya 9 Katingan 10 Kotawaringin Timur 11 Seruyan 12 Kotawringin Barat 13 Lamandau 14 Sukamara
Jumlah Desa/Kelurahan Luas (Ha) 377 ±624.101,04 32 ±82.435,54 34 ±66.195,84 6 ±1.240,59 22 ±39.624,16 47 ±110.903,07 27 ±23.995,60 14 ±13.783,73 21 ±34.145,83 10 ±5.189,75 75 ±123.276,37 60 ±77.858,83 5 ±17,277,05 18 ±21.906,51 6 ±6.268,17
Ket
Pada 23 Juni 2015, Gubernur Kalimantan Tengah mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Up. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan dengan nomor: 522/0551/Dishut perihal, permohonan pelepasan kawasan HPK untuk kelola masyarakat Desa/Kelurahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Kondisi eksisting lokasi yang diusulkan tersebut diatas, sebagian sudah merupakan fasilitas umum, fasilitas social, pemukiman, sawah, kebun dan kegiatan usaha masyarakat lainnya yang sampai saat ini statusnya masih kawasan hutan, sehingga tidak dapat memberikan jaminan kepastian terhadap hak-hak sipil masyarakat yang ada di desa/Kelurahan dimaksud. Hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari kemetrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan permohonan pelepasan kawasan HPK untuk 377 Desa/Kelurahan yang diajukan oleh Provinsi Kalimantan Tengah.
Commented [GA7]: Data HD dan HKM
Selain permohonan pelepasan kawasan HPK, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten juga menggunakan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), berikut tabulasinya sampai dengan Maret 201529: Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) No
I.
Nama hkm
Usulan desa (ha)
Usulan kab/ kota (ha)
Verfikasi (ha)
Penetapan sk.menhut (ha)
Ket
Kabupaten gunung mas
1.
Hkm desa tumbang miwan
3.135,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan dari Bupati
2.
Hkm teluk lawah (kt. Intan lestari)
2.500,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan dari Bupati
Kabupaten kotawaringin barat 1.
Forum gapok hkm “pelangi kobar bersatu”
15.000,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
-
Masih Dalam Proses
III. Kab. Katingan
-
1.890,00
-
IV. Kota palangka raya
-
3.500,00
-
-
Pencadangan HKm
Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Desa (HD)
29
Paparan Gubernur Kalteng terkait Pengakuan Wilayah Adat Dan Wilayah Kelola Rakyat Dalam Kerangka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Disampaikan Pada: Dialog Nasional Membangun Simpul Kerja Sama Pemerintah Pusat, Daerah dan Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Percepatan engakuan Wilayah Adat dan Perluasan Wilayah Kelola Rakyat MATARAM, 17-18 APRIL 2015
No
Nama HD
Usulan desa (ha)
Usulan kab / kota (ha)
Verfikasi (ha)
Penetapan sk. Menhut (ha)
Ket.
I. Kabupaten gunung mas 1.
Desa rabambang
450,00
-
-
-
Masih dalam proses pengusulan dari bupati
2.
Desa harowu
13.235,00
-
-
-
Masih dalam proses pengusulan dari bupati
3.
Desa taja urap
463,00
-
-
-
Masih dalam proses pengusulan dari bupati
Total
14.148,00
II. 1.
KABUPATEN KAPUAS desa katimpun
3.300,00
desa katunjung
6.920,00
3.
desa kalumpang
1.000,00
4.
desa tumbang 21.844,00 muroi
2.
3.300,00
3.300,00
3.230,00 SK.212/Menhut -II/2014
6.920,00
6.920,00
6.315,00 SK. 509/Menhut II/2014
Telah Mendapat PAK
Telah Mendapat PAK
1.000,00
-
-
Masih Dalam Proses Verifikasi
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan dari Bupati
5.
desa mantangai hulu
18.503,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan dari Bupati
6.
desa petak puti
8.305,00
8.305,00
8.305,00
7.855,00
Telah Mendapat PAK
desa tambak bajai
9.238,68
total
69.110,68
7.
III.
SK.213/Menhut -II/2014 9.238,68
9.238,68
9.580,00 SK.214/Menhut -II/2014
28.763,68
27.763,68
Telah Mendapat PAK
26.980,00
KABUPATEN KATINGAN
1.
desa petak bahandang
438,00
438,00
438,00
-
Dlm Proses Penetapan dari Menhut
2.
desa hyang bana
362,00
362,00
362,00
-
Dlm Proses Penetapan dari Menhut
3.
desa talingke
716,00
716,00
716,00
-
Dlm Proses Penetapan dari Menhut
total
1.516,73
1.516,73
1.516,73
-
4.118,00
2.917,00
3.155,00
IV. KABUPATEN PULANG PISAU 1.
desa gohong
4.118,00
SK.587/Menh ut II/2012 2.
desa mantaren
2.378,00
2.378,00
1.765,00
1.835,00 SK.586/Menh ut-I/2012
Telah Mendapat SK HPHD
Telah Mendapat SK HPHD
3.
desa buntoi
11.340,00
11.340,00
6.465,00
7.025,00 SK.585/Menh ut-II/2012
4.
desa kalawa
6.215,00
6.215,00
3.898,00
4.230,00 SK.587/Menh ut II/2012
total V.
24.051,00
24.051,00
15.045,00
16.245,00
Telah Mendapat SK HPHD
Telah Mendapat SK HPHD
KAB. KOTAWARINGIN TIMUR
1.
desa terantang
1.000,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
2.
desa terantang
1.200,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
2.200,00
-
-
-
hulu total
VI. KABUPATEN SERUYAN 1.
desa palingkau
500,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
2.
desa banua usang
500,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
total
1.000,00
-
-
-
VII. KAB. MURUNG RAYA 1.
desa olung ulu
1.620,00
-
-
-
Masih Dalam Proses
pengusulan ke Bupati
2.
desa saruhung
1.590,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
3.
desa olung soloi
850,13
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
4.
desa kolam
794,37
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
5.
desa tumbang naan
203.468,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
6.
desa tumbang tohan
154.348,00
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan ke Bupati
total
362.670,50
Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) no
i.
nama htr
kab. kotawaring in barat
wilayah kabupaten kotawaringin barat
no. sk
SK.114/MEN HUT-II/2008 JO. SK.526/MEN HUT-II/2014
luas (ha)
ket.
11.942,00
SK. MENHUT
revisi
(PENCADANGAN)
13.500,00
1.
kop. “anugerah alam permai”
kotawaringin barat
522.1/226/1.3/ IV/2009
1.744,00
kth “satai jaya”
kotawaringin barat
522.2/499.1/1. 3/XI/2012
330,96
3.
kth “sungai impa”
kotawaringin barat
PERTEK NO. S.857/BP2HP XII-3/2014
240,00
MSH DLM PROSES PENERBITAN SK BUPATI
4.
kth “rimba arut sejahtera”
kotawaringin barat
PERTEK NO. S.399/BP2HP XII-3/2014
329,00
MSH DLM PROSES PENERBITAN SK BUPATI
5.
kth “rimba arut permai”
kotawaringin barat
PERTEK NO. S.396/BP2HP XII-3/2014
272,00
MSH DLM PROSES PENERBITAN SK BUPATI
6.
kop. “beringin jaya”
kotawaringin barat
-
991,00
USULAN MASIH DALAM PROSES PERTEK BP2HP WIL. XII PALANGKA RAYA
ii.
kabupaten kapuas
kapuas
SK.512/MEN HUT-II/2014
5.510,00
SK. MENHUT
2.
SK. BUPATI (IUPHHK-HTR)
SK. BUPATI (IUPHHK-HTR)
(PENCADANGAN)
-
kabupaten murung raya
-
kabupaten barito utara
-
kabupaten barito selatan
-
kabupaten barito timur
-
kabupaten gunung mas
-
kabupaten pulang pisau
-
kota palangka raya
-
kabupaten katingan
-
kabupaten kotawaringin timur
-
kabupaten seruyan
-
kabupaten lamandau
-
kabupaten sukamara
12 Kabupaten belum ada usulan
Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Adat (HTR) No
Nama HD
Usulan desa (ha)
Usulan kabupaten /kota (ha)
Verfikasi (ha)
Penetapan sk. Menhut (ha)
Ket.
Hutan Adat Tumbang Bahanei
8.888,0337
-
-
-
Masih Dalam Proses pengusulan dari Bupati
TOTAL
8.888,0337
I. KAB. GUNUNG MAS 1.
Persentase penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat yang telah mendapat pencadangan atau penetapan yaitu:
Luas HKM, HD, HTR, HA X 100%
= Luas Kawasan Hutan 67.645,03
X 100%
= 12.447.191,53 = 0,54 %
Keterangan : Persentase tersebut di atas belum termasuk tanah adat (SKTA) dan permohonan pelepasan kawasan hutan HPK.
2.4.
Penyelesaian Konflik Berdasarkan catatan Walhi Kalimantan Tengah, sepanjang Tahun 2013 – 2015 setidaknya ada 156 konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan dan 28 warga menjadi kriminal. Hal tersebut dikarenakan peran serta masyarakat dalam mengelola kawasan di wilayahnya semakin terhimpit oleh perijinan kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Hal ini belum termasuk konflik sesama pelaku usaha perijinan. Saat ini, mekanisme penyelesaian konflik di Kalimantan Tengah masih dalam proses penyusunan Naskah Akademik dan Ranperda Penyelesaian Sengketa Tanah dan Sumber Daya Alam Lainnya di Kalimantan Tengah, Peraturan tentang penyelesaian konflik hanya ada pada Peraturan Perkebunan No. 42 Tahun 2014 tentang Penanganan dan Penyelesaian konflik perkebunan di Kalimantan Tengah. Selama ini, proses penyelesaian konflik dilakukan melalui kelompok kerja yang di SK-kan oleh Gubernur dan atau oleh Bupati di tiap Kabupaten, penyelesaian konflik melalui pokja tersebut melibatkan instansi teknis terkait di Provinsi maupun di Kabupaten. Contoh Konflik yang terjadi di Kalimantan Tengah:
1. Areal Perusahaan di dalam Kawasan Lindung
Commented [GA8]: Akan dibrowsing...
1. Berdasar SK Menhut 529/2012 areal perusahaan berda di dalam kawasan lindung 2. Izin Telah dicabut Bupati dengan surat No. 25.460/Disbunhut/2013 tertanggal 13 Juli 2013, namun tetap operasional 2. Inpres No. 2 Tahun 2007, Revitalisasi dan Rehabilitasi ??? Inpres 2/2007 mengalokasikan 17.500 Ha lahan untuk perkebunan. Namun, perizinan yang diterbitkan hingga Maret 2008 oleh pemerintah kabupaten, sebagian besar untuk kelapa sawit, mencakup 391.048 Ha. Dari lahan ini, 119.564 Ha berada di lahan gambut dalam (>3m). Sangat disarankan agar izin perkebunan di lahan gambut dalam (> 3 m) dicabut atau dipindahkan.
Alokasi Inpres 2/2007 -> 17.500 ha
Ijin di gambut dalam 119.564 ha (683%)
Ijin 391.564 ha (2.234%)
3. Berada di dalam kawasan Lindung
Lokasi Pembukaan Lahan PT. BMB
1) Berdasarkan dinas pertanian dan perkebunan Kab. Gumas Nomor. 520/84/distanbun/IV/2014 yang di tujukan kepada BLH Gumas perihal pengecekan lapangan atas areal operasional PT. BMB disebutkan bahwa “PT. BMB telah melakukan pembukaan lahan pada areal Waduk/DAM sakata Juri hanya berjarak +/- 125 meter. 2) Tentang penetapan waduk sakata juri sebagai kawasan lindung ditetapkan oleh bupati Nomor. 130/2004
2.5. Optimalisasi Penerimaan Negara Bingung terkait Optimalisasi Penerimaan Negara
BAB 3. KINERJA KOORDINASI DAN SUPERVISI GN-SDA DI SEKTOR PERKEBUNAN Kalimantan tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah perkebunan kelapa sawit yang cukup besar. Berdasar data dinas perkebunan provinsi tahun 2015,
Commented [GA9]: Data di SIPUH Online (time series 5 tahun) (2010-2015)
bahwa jumlah unit perkebunan kelapa sawit sebanyak 333 unit dan cakupan luas area konsesinya seluas 3.901.261 ha30. Artinya konsesi sawit telah menguasai 25,5% lahan dari total luasan Kalimantan tengah yaitu 15,3 juta ha. Perkebunan sawit bukanlah hal baru di Kalimantan Tengah. Tercatat bahwa pertamakali investasi kelapa sawit masuk pada tahun 1992 dengan investor yaitu PT. Indo Turba Tengah yang bekerjasama dengan Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paksi yang didukung oleh Salim Group sehingga kemudian perkembangan pemebarian izin dari tahun ke tahun berkembang cukup besar yang mendesak ruang hidup dan ruang kelola masyarakat adat/local. Pasca reformasi, dari system pemrintah sentralistik berpindah ke system desentralisasi dimana pemrintah pusat melimpahkan sebagian besar kewenanganya kepada daerah, maka dari sinilah dimulai era otonomi daerah. Sehingga tiap-tiap kepala daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dari pada sebelumnya termasuk kewenangan untuk mengeluarkan perizinan. Dari sinilah kita melihat bahwa otonomi daerah adalah momentum yang berpengaruh besar pada perkembangan perizinan perkebunan di Kalimantan Tengah karena kewenangan yang dimiliki tiap-tiap Kepala Daerah. di tambah lagi dengan kehadiran UU 5/2002 tentang pemekaran Kalimantan tengah, yang semula dari 5 kabupaten menjadi 13 kabupaten dan 1 kota. Artinya pada tiap-tiap daerah hasil pemekaran membutuhkan kepala daerah, dan pelaku pemberi izin pastinya juga bertambah. Setiap daerah butuh dana untuk menjalankan roda pemerintahan. Sementara, sumber pendapatan daerah masih tergantung pada investasi salah satunya sawit. Namun kita juga jangang terkecoh begitu saja seakan-akan pemberian izin tersebut berjalan melalui proses dan situasi yang normal. Kita harus ingat bahwa penyakit korupsi di dalam negeri ini belum sembuh, sehingga dugaan tak wajar pada proses pemberian izin patut kita lekatkan, apa lagi proses yang dibangun tersebut tidak transparan sama sekali dan kehadiranya pun mebikin banyak masalah dilapangan. Semua perizinan pada era otonomi daerah berada di tangan kepala daerah baik bupati/gubernur. Sudah menjadi rahasia umum disekitar kita bahwa untuk maju menjadi kepala daerah bukanlah barang gratisan, ada biaya yang harus di bayar, salah satunya adalah untuk biaya kampanye yang rata-rata membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Disinilah di duga permainan jual beli izin terjadi untuk modal maju menjadi kepala daerah dan kompnesasinya adalah izin akan dilancarkan. Maka tidaklah aneh jika sejak setelah otonomi daerah daerah dan pemekaran kalteng perkembangan perizinan di kalteng naik menjadi berkali-kali lipat dari seblum otonomi dan pemekaran.
Grafik Perkembangan Pemberian Izin Perkebunan di Kalimantan Tangah (1980-2010)
30
Berdasar Izin Lokasi Tahun 2015
Sumber: Dara Olahan Walhi Kalteng (2010) Kita lihat pada grafik diatas, pada tahun 2000 luas izin lokasi untuk perkebunan hanya berkisar + 50.000 ha, namun pada tahun 2010 luas izin lokasi telah mencapai sekitar + 2.000.000 ha. Kita tahu bahwa pada tahun 2000an Negara Indonesia telah mengimplementasi system otonomi daerah dan tahun 2002 Kalimantanh Tengah ada pemekaran daerah dari 5 kabupaten/Kota menjadi 13 Kabupaten dan 1 Kota. Justru pada setelah momentum pemekaran daerah dan yang pasti diikuti dengan pilkada untuk menentukan kepala daerah hasil pemekaran, perkembangan pemberian izin lokasi kian naik tajam menjadi berkali-kali lipat, selama 10 tahun, jumlah rata-rata luas izin lokasi yang dikeluarkan sebanyak + 200.000 ha pertahun. Tentu dengan system yang dibangun tidak transparan dan penuh dengan motif Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan menghasilkan output yang kurang baik. Aturanaturan yang semestinya di jalankan di abaikan begitu saja, ada ribuan hak masyarakat yang kemudian di langgar, aspek lingkungan hanya menjadi wacana yang tidak pernah di implementasikan, dan masih banyak lagi kecacatan-kecacatan yang dihasilkan yang dibiarkan begitu saja karena sejak awal semua ini dibangun dengan konspirasi. Harapan terpancar saat korsup (Koordinasi dan Supervisi) KPK pada sector perkebunan sawit digelar. Harapan itu tidaklah berlebihan mengingat KPK merupakan lembaga penegakan hokum yang mendapat kepercayaan yang cukup besar dari masyarakat dengan reputasi yang cukup progressif dibanding lembaga penegak hokum lainya. Dalam mengoperasionalkan korsup ini, KPK membangun rencana aksi sebagai panduan kerja sekaligus sebagai alat ukur bagi daerah-daerah pada tingkat komitmenya untuk memperbaiki sector kehutanan dan perkebunan31.
3.1.
31
Pemetaan Sawit Rakyat Pernah kita mendengar ungkapan, perkebunan di sekitar kita sangat luas. Namun pertanyaanya, siapa yang kaya dan siapa yang merana?. Pertanyaan ini singkat dan
Lihat Lampiran …
Commented [GA10]: Tabulasi sudah ada.. Data tabulasi di perkebunan-- dimas
sederhana namun sangat tegas. Melihat pada fenomena industry perkebunan yang semakin menjadi primadona dan juga telah sukses menghasilkan konlomerat-konglomerat dengan jumlah kekayaan yang luar biasa. Lalu apakah rakyat disekitar konsesi mereka juga ikut menikmatinya? Kedatangan investasi tak lain adalah dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, itu yang sering dikatakan oleh pemerintah. Perkebunan merupakan salah satu sector investasi yang menjadi adalan. Hingga pada saat sekarang tingkat penguasaan lahan untuk perkebunan sudah mencapai 3.901.261 ha. Pada sisi lain rakyat membutuhkan alokasi ruang untuk kepentingan kegiatan agrikultur mereka yang salah satunya berkebun sawit. Perkebunan sawit sudah dijalankan oleh sebagian besar dari masyarakat Kalimantan Tengah selain berkebun karet. Sawit merupakan komoditas incaran pasar dan mempunyai nilai jual yang cukup tinggi, sehingga tidak heran jika banyak masyarakat yang menggeluti dunia perkebunan sawit ini. Perkembangan dunia perkebunan sawit masyarakat ini seharusnya tidak lepas dari pendampingan dan fasilitasi dari pemerintah untuk menjaga produktifitas dan eksistensi mereka agar tidak tenggelam oleh derasnya ekspansi industry perkebunan sekala besar. Oleh karena itu langkah awal yang mesti dijalankan pemerintah adalah dengan melakan inventarisasi perkebunan sawit rakyat. Pada laporan dinas perkebunan provinsi tentang laporan triwulan implementasi progress program rencana aksi GN-PSDA korsup kehutanan dan perkebunan provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015, disebutkan bahwa perkebunan sawit rakyat yang berhasil mereka catat adalah 170.619 ha Table Realisasi Perkebunan Sawit Masyarakat (2015)
Unit
Izin Lokasi (ha)
IUP (ha)
PKH (ha)
HGU (ha)
Murung Raya
6
59,000
53,159
30,000
-
-
Barito Utara
25
412,753
249,453
388,775
48,760
18,036
15
272,097
133,394
14,756
-
-
23
304,464
299,940
297,933
124,588
32,701
3.854
Kabupaten
1. 2. 3. 4.
Realisas i Kebun Rakyat (ha)
Arahan Lokasi (ha)
N o
Barito Selatan Barito Timur
4.595
5.
Kapuas
26
369,299
373,813
192,408
24,826
9,063
14.150
6.
Pulang Pisau
22
286,292
218,035
130,673
35,777
-
1.471
7.
Gunung Mas
21
320,741
260,476
218,459
82,550
14,415
6.092
8.
Palangkaray a
8
63,400
50,050
36,850
-
-
9.
Katingan
37
385,204
319,246
140,063
54,899
34,709
8.432
10 . 11 . 12 . 13 . 14 . 15 .
Katawaringi n Timur
50
708,670
630,806
511,929
158,847
Seruyan
26
422,042
403,589
321,655
152,009
Kotawaringi n Barat
31
388,814
326,413
196,892
93,416
Lamandau
23
271,856
262,993
172,939
Sukamara
4
63,604
38,659
Lintas Kab
16
292,218
333
4,620,45 4
TOTAL
306,48 1 129,74 7 123,46 1
65.000
94,138
37,994
18.741
25,657
10,480
1,907
9.669
281,236
231,314
198,539
3.713
3,901,26 1
2,910,30 3
1,078,83 0
196,47 9 904,99 1
7.989 26.913
170.619
Sumber: Data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Jika kita mengacu pada pasal 58 UU Perkebunan tentang Kemitraan Usaha Perkebunan ayat 1 menegaskan perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan. Sementara itu, jika kita bandingkan luas IUP-Perkebunan 2.910.303 ha dengan luas realisasi kebun rakyat 170.619 ha, maka hanya ditemukan realisasi sebesar 5,9% saja. Artinya target 20% sebagaimana amanat UU Perkebunan belum terpenuhi. Perlu dicatat, bahwa data ini diambil dari data kebun masyarakat yang di bangun secara kemitraan dengan perusahaan perkebunan besara swasta, yang sebelumnya sudah di dokumentasikan oleh pihak perusahaan. Sementara di Kalimantan Tengah masih banyak petani kelapa sawit mandiri yang belum teridentifikasi baik itu jumlah populasinya dan luasan lahan yang mereka kerjakan.
3.2.
Penataan Perizinan Usaha Perkebunan Pesatnya perkembangan investasi perkebunan dikalimantan tengah tidak serta merta diimbangi dengan tatakelola yang baik. Dibalik luasnya area konsesi perkebunan ternyata menyimpan segudang masalah, mulai pelanggaran administrasi, Konflik social bahkan pelanggaran hokum. Jika merujuk pada data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah tentang Daftar Perkembangan Perkebunan Besar Swasta Tahun 2015, diketahui jumlah perkebunan besar swasta yang bersetatus Clear And Clean32 hanya sekitar 126 unit dari 333 unit perkebunan yang beroperasi di Kalimantan Tengah. Artinya ada sekitar 207 unit usaha perkebunan yang di indikasi beroperasi secara illegal karena belum lengkap perizinanya atau tidak memenuhi kriteria Clear And Clean. Melihat fakta ini, implikasi yang paling nampak dari kegiatan illegal tersebut adalah kerugian Negara. Setidaknya kami melihat dari 2 hal. (1). Karena belum memiliki HGU sehingga Negara tidak bisa memungut pajak,
32
Perlu dicatat bahwa setatus clear and clean (CNC) belum tentu bebas konflik karena CNC ukuranya adalah kelengkapan perizinan.
Commented [GA11]: Laporan Dinas Perkebunan Provinsi
(2). Hilangnya potensi ekonomi dari nilai tegakan kayu di dalam kawasan hutan karena tidak mengantongi Izin Pemanfaatan Kayu. Tabel Perkebunan Besar Swasta Yang berstatus CNC 2015
-
Arahan Lokasi (ha) -
Izin Lokasi (ha) -
Barito Utara
5
91,250
3.
Barito Selatan
-
4.
Barito Timur
5.
IUP (ha)
PKH (ha)
HGU (ha)
-
-
-
73,770
109,960
48,760
18,036
-
-
-
-
-
10
98,543
155,767
153,560
124,588
32,701
Kapuas
4
64,600
59,600
41,563
24,826
9,063
6.
Pulang Pisau
4
44,959
29,875
5,000
35,777
-
7.
Gunung Mas
10
159,423
142,742
133,380
82,550
14,415
8.
Palangkaraya
-
-
-
-
-
-
9.
Katingan
4
70,950
74,168
36,413
54,899
34,709
10.
Katawaringin Timur
28
478,876
449,888
384,843
158,847
306,481
11.
Seruyan
13
235,919
246,412
220,536
152,009
129,747
12.
Kotawaringin Barat
18
252,140
194,965
167,452
93,416
123,461
13.
Lamandau
13
202,340
190,421
131,802
94,138
37,994
14.
Sukamara
2
43,604
27,044
25,657
10,480
1,907
15.
Lintas Kab
15
277,918
266,936
217,014
198,539
196,479
TOTAL
126
2,020,522
1,911,587
1,627,181
1,078,830
904,991
No
Kabupaten
Unit
1.
Murung Raya
2.
Sumber: Data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Persoalan lain yang sering menjadi bumbu pada isu perkebunan adalah dugaan pelanggaran tata ruang. Kita tahu bahwa industry perkebunan adalah industry yang membutuhkan konsolidasi lahan secara luas. Kebijakan tata ruang sekup provinsi diatur melalui perda RTRWP. Di kalimantan Tengah, RTRWP telah disahkan melalui Perda Nomor 5/2015. RTRWP adalah landasan legal untuk alokasi ruang, jadi menurut hemat kami indutri perkebunan akan sangat berkepentingan pada kebijakan ini. Pada perda nomor 5/2015, kita melakukan analisis spatial dengan meng-overlay Peta RTRWP dan Peta Konsesi Perkebunan, kita melihat ada pelanggaran ruang dalam kontek tumpan tindih kawasan. Pada sector perkebunan, luas kawasan hutan yang tupang tindih dengan konsesi perkebunan mencapai 2.348.398,50 ha, karena belum ada pelepasan kawasan hutan.
Table Luas Perkebunan Berada Dalam Kawasan Hutan33
Pada kasus indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan, atau yang sering dikatakan keterlanjuran, pemerintah memberikan jalan alternative penyelesaian melalui peraturan pemerintah No. 60/2012. Tercatat dari Laporan Progres Implementasi Rencana Aksi GNPSDA Korsup Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2015, yaitu:
1. Daftar pemohon yang diproses melalui mekanisme Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH) ada 9 pemohon. - Yang mendapat rekomendasi dari Gubernur ada 5 pemohon - Pertimbangan teknis dari Dinas Kehutanan Prov. Kalteng ada 1 pemohon - Dan yang tidak ada tindak lanjut sebanyak 3 pemohon 2. Daftar pemohon yang di proses melalui mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) ada 25 pemohon. - Yang sudah mendapatkan SK pelepasan kaeasan hutan ada 12 pemohon - Perintah tata batas ada 5 pemohon - Rekomendasi gubernur ada 2 pemohon - Pertimbangan teknis dinas kehutanan prov. Kalteng ada 1 pemohon - Tidak ada tindak lanjut ada 5 pemohon 3. Daftar permohonan yang di proses melalui mekanisme TMKH dan PKH ada 71 pemohon -
33
TMKH Dibentuk Tim Terpadu ada 3 pemohon Rekomendasi Gubernur ada 21 Pemohon Rekomendari Bupati ada 2 pemohon Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Prov. Kalteng ada 3 pemohon
-
PKH Yang mendapat SK Pelepasan Kawasan Hutan ada 16 Pemohon Penyelesaian Tata Batas ada 1 Pemohon Perintan Tata Batas ada 9 pemohon Rekomendasi Gubernur ada 7 pemohon Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Prov. Kalteng ada 2 pemohon
Sumber data: 1. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimanatan Tengah (2012) 2. Perda Nomor 5/2015 Tentang RTRWP Kalimantan Tengah
-
Tidak ada tindaklanjut ada 42 - Tidak ada tindak lanjut ada 36 pemohon pemohon Secara keseluruhan ada 105 perusahaan yang mengajukan penyelesaian melaui sekema PP No. 60/2012, namun ada 86 permohonan yang tidak ada tindak lanjutnya. 3.3. Optimalisasi Penerimaan Negara (maaf…. Saya belum bias ini sub BAB ini karena gak punya data dan belum tau potensi penerimaan dari jalur mana saja)
Commented [GA12]: Diselesaikan Bapak Fandy
Sektor Pertambangan
BAB 4. KINERJA KOORDINASI DAN SUPERVISI GN-SDA DI SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA 4.1. Penataan Perizinan Usaha Pertambangan Sesuai dengan Rencana Aksi Koordinasi dan Supervisi Gerakan Nasional-Sumberdaya Alam (GN-SDA) tahun 2014. Maka sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan Menteri No. 43 Tahun 2015, yang mewajibkan gubernur untuk melakukan pencabutan izin usaha pertambangan yang belum clean and clear (CnC) paling lambat tanggal 12 Mei 2016. Secara nasional sampai saat ini masih ada 3.982 izin usaha pertambangan yang belum clear and clean (CnC). Tindak lanjut penyelesaian perizinan yang belum clear and clean (CnC) di Provinsi Kalimantan Tengah dilaksanakan sesuai dengan Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM kepada Gubernur Kalimantan Tengah. Surat nomor 1577/30/DJB/2015 tanggal 7 September 2015, yang mana mewajibkan penyelesaian IUP yang belum clear and clean (CnC), penyelesaian tagihan negara untuk pajak, dan melakukan revisi perizinan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi. Batas waktu yang diberikan adalah sampai dengan bulan Oktober 2015. Jumlah IUP
Luasan Izin Setelah Korsup
Pengurangan IUP Pasca Korsup Tidak Diciutka Dicabut diperpan n jang -
Luas izin yg dicabut/tdk diperpanja ng -
No.
Prov./Kabupaten/Kota
1
Prov. Kalimantan Tengah
2
2
10,896.00
2
Kab. Kotawaringin Barat
16
17
29,043.80
-
-
-
-
3
Kab. Kotawaringin Timur
46
46
76774.58
-
-
-
-
4
Kab. Kapuas
115
115
570,991.00
-
-
-
-
Kab. Barito Selatan
32
32
-
-
Kab. Barito Utara
194
194
702,271.64
1 -
-
-
-
61
223,281.85
-
-
-
-
71,579.00 56,963.28
-
-
-
-
149,370.50
-
-
-
-
559,838.77
1
-
-
6.809
5 6 7
Sebelum Korsup
Setelah Korsup
Kab. Katingan
60
8 9 10
Kab. Seruyan Kab. Sukamara
24
Kab. Lamandau
24 9 27
11
Kab. Gunung Mas
81
81
9 27
109108.44
Kab. Pulang Pisau
17
17
13
Kab. Murung Raya
78
76
14
Kab. Barito Timur
147
149
15
Kota Palangkaraya
18
17
12
TOTAL
866
-
-
-
-
713,825.90
1
-
-
8.631
287,299.81
1
-
-
833
54,301.80
-
-
-
57.30
867
3,615,603.67
4
-
9470,809
-
Sumber : Data ESDM, Mei 2015, data diolah
Data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (Kementerian ESDM)sebagaimana yang disajikan diatas menunjukkan jumlah serta sebaran Ijin Usaha Pertambangan yang telah dikeluarkan. Baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, maupun oleh pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Tengah. Hal menarik yang bisa dicermati adalah adanya penambahan dan pengurangan beberapa perijinan baru yang dilaporkan setelah dilakukan koordinasi dan supervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal lain adalah adanya pencabutan ijin oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Selatan, kabupaten Murung Raya, Kabupaten Barito Timur, dan Kabupaten Kapuas. Masing-masing pencabutan oleh kabupaten dilakukan terhadap 1 ijin usaha pertambangan. Surat Keputusan Pencabutan IUP di Kabupaten Barito Timur kepada PT. BQ Coal Minig dilakukan pada tahun 2012. Sedangkan pencabutan ijin di Kabupaten Barito Selatan, Murung Raya, dan Kapuas dilaksankan pada tahun 2014 setelah dilakukan koordinasi dan supervisi KPK. CnC No.
Nama Prov./Kab.Kota
Mineral Eks
Non CnC
Batubara
Mineral
Total
Batubara
OP
Eks
OP
Eks
OP
Eks
OP
0
1
1
0
0
0
0
0
2
2
7
0
1
3
5
0
0
18
18
10
7
2
8
0
4
0
49 116
4
Prov. Kalimantan Tengah Kab. Kotawaringin Barat Kab. Kotawaringin Timur Kab. Kapuas
14
11
14
24
18
7
28
0
5
Kab. Barito Selatan
0
0
9
15
1
0
4
3
32
6
Kab. Barito Utara
0
0
103
49
0
0
30
12
194
7
Kab. Katingan
9
34
15
1
2
0
0
0
61
8
Kab. Seruyan
9
6
0
1
10
1
0
0
27
9
Kab. Sukamara
5
1
0
0
3
0
0
0
9
10
Kab. Lamandau
13
4
0
0
9
1
0
0
27
11
Kab. Gunung Mas
18
7
19
2
21
0
13
0
80
12
Kab. Pulang Pisau
0
5
0
0
0
12
0
0
17
13
4
17
39
10
0
4
2
0
76
14
Kab. Murung Raya Kab. Barito Timur
0
0
24
36
5
1
75
27
168
15
Kota Palangkaraya
2
8
4
0
1
1
1
0
17
Total
94
111
235
141
81
32
157
42
893
1 2 3
Sumber : Paparan Dirjen Minerba, Koordinasi dan Supervisi Energi Pulau Kalimantan Tahun 2016, 6 April 2016
Status
Mineral
Batubara
Batubara
Mineral
Eks
Op
Eks
OP
Jumlah 2014
Eks
Op
Eks
Op
Jumlah 2015
CnC
91
104
237
123
555
94
111
235
141
581
Non CnC
87
31
154
39
311
81
32
157
42
312
Total
178
135
391
162
866
175
143
392
183
893
Berdasarkan paparan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM tanggal 6 April 2016 disampaikan kondisi perijinan di Pulau Kalimantan. Memotret perkembangan IUP pertambangan di Provinsi Kalimantan Tengah diketahui terdapat 893 IUP yang telah dikeluarkan. Kabupaten yang paling banyak mengeluarkan IUP adalah Kabupaten Barito Utara dengan jumlah sampai dengan April 2016 adalah 194 IUP. IUP yang telah CnC sebanyak 581 dan yang belum CnC sebanyak 312, sektor batubara yang memiliki permasalahan berkaitan dengan kepatuhan CnC. Sektor batubara di Kalimantan Tengah yang belum CnC mencapai 157 perusahaan yang tersebar di 14 Kabupaten/kota. Kabupaten Barito Timur merupakan yang paling banyak mempunyai perijinan yang belum CnC dengan total 75 IUP. Membandingkan data tahun 2015 dan 2016 (April, 2016) terlihat perbedaan terhadap laporan yang disampaikan oleh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Perubahan terbanyak dilaporkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Timur, pada saat Korsup tahun 2014 pelaporan IUP berjumlah 149 IUP, maka perbulan April 2016 ada peningkatan laporan IUP sebesar 19 IUP baru sehingga total laporan sementara ada 168 IUP yang telah dikeluarkan. Merujuk pada perkembangan penyelesaian IUP yang belum CnC di Provinsi Kalimantan Tengah dengan membandingkan data hasil Korsup yang disampaikan oleh Dirjen Minerba. Diketahui ada penurunan jumlah IUP yang CnC dan Non CnC, pada tahun 2014 ada 867 IUP yang diterbitkan. Pada tahun 2016 data yang dikeluarkan IUP yang CnC dan Non CnC mengalami peningkatan dengan jumlah 893 IUP. Artinya ada upaya yang progresif dari pemerintah daerah untuk melaksanakan penaataan perijinan. Masalahnya ternyata masih banyak juga data IUP yang belum CnC, artinya 312 kegiatan perusahaan mineral dan batubara yang berjalan tanpa memenuhi persyaratan.
Ditjen Minerba sampai dengan 1 April 2014 telah menerima data IUP dari provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 866 dimana telah dilakukan evaluasi dengan hasil yaitu 555 telah C&C dan 311 belum C&C.
4.2. Pemenuhan Kewajiban Keuangan Berdasarkan Rencana Aksi Korsup atas Pengelolaan Pertambangan Minerba di 12 Provinsi, beberapa hal yang disepakati dan menjadi indikator pelaksanaan kegiatan Pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba antara lain :
a. Melakukan pendataan pelaksanaan semua kewajiban keuangan pemegang izin.
b. Melakukan monitoring secara reguler terhadap pelaksanaan kewajiban keuangan pemegang izin (Target 2014: Seluruh IUP melunasi pelaksanaan kewajiban keuangan: iuran tetap, iuran produksi, pajak, kaminan reklamasi, jaminan pascatambang). c. Memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajiban keuangannya. d. Melaporkan hasil monitoring dan pemberian sanksi Dari data yang ada diketahui bahwa banyak kewajiban keuangan yang belum dipenuhi oleh pemegang izin tambang dan belum dilakukan monitoring yang maksimal oleh pemerintah daerah, terbukti sebagaian besar dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang tidak dibayarkan atau disediakan sebagaimana diwajibkan oleh kebijakan perundang-undangan. Karena itu banyak sekali perusahaan yang melakukan tunggakan, lebih dari 50 % perusahaan menunggak JAMINAN REKLAMASI dan lebih dari 80% menunggak JAMINAN PASCA TAMBANG.
No
Kabupaten/Kota
Jumlah IUP/KP
Jaminan
Jaminan
Reklamasi
Pasca Tambang
Prov. Kalimantan Tengah
2
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
2
Kab. Kotawaringin Barat
16
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
3
Kab. Kotawaringin Timur
46
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
4
Kab. Kapuas
115
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
5
Kab. Barito Selatan
32
Ada (1 IUP)
Tidak Ada Data
6
Kab. Barito Utara
194
Ada (16 IUP)
Tidak Ada Data
7
Kab. Katingan
60
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
8
Kab. Seruyan
24
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
1
9
Kab. Sukamara
9
10
Kab. Lamandau
27
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
11
Kab. Gunung Mas
81
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
12
Kab. Pulang Pisau
17
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
13
Kab. Murung Raya
78
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
14
Kab. Barito Timur
147
Ada (1 IUP)
Tidak Ada Data
15
Kota Palangkaraya Total
18
Tidak Ada Data
Tidak Ada Data
866
Piutang Negara (Iuran Tetap)
No
Tahun
1
tahun 2011
2
tahun 2012
6.030.548
3
tahun 2013
5.269.337
Total
(Rp)
($)
Piutang Negara (Royalti) (Rp)
1.302.566
18.546.379.846
18.546.379.850
TOTAL KESELURUHAN
($)
26.365.502 16.861.886 44.529.954
11.299.885
(Rp)
($)
18.546.379.846
55.829.838,96
No.
Provinsi
Jumlah IUP/KP
Jaminan Reklamasi
Jaminan Pasca Tambang
2 24
0 1
0 0
Tindak Lanjut Korsup Reklamasi
Pasca Tambang
1 2
Prov. Kalimantan Tengah
3
Kab. Barito Timur
60
1
0
4 5
Kab. Barito Utara Kab. Gunung Mas
152 46
25 0
0 0
6
Kab. Kapuas
63
1
0
-
7
Kab. Katingan
59
0
0
60 Belum ada tindak lanjut
8
Kab. Kotawaringin Barat
10
0
0
9
Kab. Kotawaringin Timur
37
2
8
10
Kab. Lamandau
17
0
0
27 Surat Tindak Lanjut
11
Kab. Murung Raya
70
0
0
-
12
Kota Palangkaraya
14
0
0
-
13
Kab. Pulang Pisau
5
0
0
17 Surat Tindak Lanjut
14
Kab. Seruyan
15
0
0
-
15
Kab. Sukamara Total
6
0
0
-
580
30
8
Kab. Barito Selatan
13 Surat Tindak Lanjut 6 Penempatan 5 Penempatan
9 Penempatan -
12 Belum ada tindak lanjut 10 Penempatan
8 Penempatan
4.3. Pelaporan Tata Usaha dan Niaga Pertambangan Mineral dan Batubara 1. Provinsi Kalimantan Tengah No
Kabupaten
1
Kapuas
2
Murung Raya
3 4 Total
Tahun 2012 IUP
PKP2B
Tahun 2013 Total
IUP
PKP2B
Total
2,015,685
-
2,015,685
-
366,895
366,895
-
3,995,968
3,995,968
-
4,133,047
4,133,047
Barito Utara
1,860,670
-
1,860,670
3,826,415
-
3,826,415
Barito Timur
2,960,886
-
2,960,886
809,401
-
809,401
6,837,241
3,995,968
10,833,209
4,635,816
4,499,942
9,135,758
1. Total Produksi Nasional o Tahun 2012 = 407 juta ton o Tahun 2013 = 421 juta ton 2. Total Produksi Prov. Kaltng: o Tahun 2012 = 10 juta ton (2,4 % dari total produksi nasional) o Tahun 2013 = 9,1 juta ton (2,2 % dari total produksi nasional) 3. Data IUP didapatkan sebagian besar dari korespondensi dan rekonsiliasi produksi dengan Dinas Pertambangan dan Energi Prov/Kab/Kota. Data Ekspor Mineral Per Kabupaten
NO
KABUPATEN
2
Kotawaringin Barat Kotawaringin Timur
3
Katingan
4
Lamandau
5
Gunung mas
6
Palangkaraya
1
JUMLAH
EKSPOR MINERAL 2012 (Ton/Tahun)* Bijih Bauksit Besi Zirkon
EKSPOR MINERAL 2013 (Ton/Tahun)* Bauksit
Bijih Besi
26.595 434.221
14.9
14.974 12.193.856
2.907.991
8.298
781.11
4.512 15.834
781.11
434.221
Zirkon
778.195 232
0
21.192
63.437
71.217
12.193.856
3.701.160
83.783
PENYAMPAIAN LAPORAN TAHUN 2012 – 2013 DI KALIMANTAN TENGAH JUMLAH NO KABUPATEN/KOTA PENYAMPAIAN LAPORAN TAHUN 2012-2013 IUP/KP BULANAN TRIWULANAN RKAB/TAHUNAN PUSAT (PROV. TIDAK ADA TIDAK ADA 1 2 TIDAK ADA DATA KALTENG) DATA DATA KAB. KOTAWARINGIN TIDAK ADA TIDAK ADA 2 16 TIDAK ADA DATA BARAT DATA DATA KAB. KOTAWARINGIN TIDAK ADA TIDAK ADA 3 46 TIDAK ADA DATA TIMUR DATA DATA TIDAK ADA ADA DATA (2 4 KAB. KAPUAS 115 TIDAK ADA DATA DATA IUP) TIDAK ADA TIDAK ADA 5 KAB. BARITO SELATAN 32 TIDAK ADA DATA DATA DATA TIDAK ADA ADA DATA (13 6 KAB. BARITO UTARA 194 ADA DATA (3 IUP) DATA IUP) TIDAK ADA TIDAK ADA 7 KAB. KATINGAN 60 TIDAK ADA DATA DATA DATA TIDAK ADA TIDAK ADA 8 KAB. SERUYAN 22 TIDAK ADA DATA DATA DATA TIDAK ADA TIDAK ADA 9 KAB. SUKAMARA 7 TIDAK ADA DATA DATA DATA TIDAK ADA TIDAK ADA 10 KAB. LAMANDAU 27 TIDAK ADA DATA DATA DATA TIDAK ADA ADA DATA (6 11 KAB.GUNUNG MAS 81 ADA DATA (3 IUP) DATA IUP) TIDAK ADA TIDAK ADA 12 KAB. PULANG PISAU 17 TIDAK ADA DATA DATA DATA TIDAK ADA ADA DATA (4 13 KAB. MURUNG RAYA 78 TIDAK ADA DATA DATA IUP) TIDAK ADA TIDAK ADA 14 KAB. BARITO TIMUR 147 TIDAK ADA DATA DATA DATA TIDAK ADA TIDAK ADA 15 KOTA PALANGKARAYA 18 TIDAK ADA DATA DATA DATA
DATA EKSPOR MINERAL PER PERUSAHAAN DI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2012 DAN TAHUN 2013 No. Komoditas Kabupaten Perusahaan Ekspor 2012 Ekspor 2013 Kotawaringin CITRA MENTAYA 1 Bauksit timur MANDIRI, PT 87.874,44 1.240.897,51
2 3 4
Bijih Besi
5 6 7 8
Kotawaringin Timur
Lamandau
Zirkon
Kotawaringin Barat
346.347,00
1.158.621,00
731.210,33 49.900,00
1.749.370,10 643.198,27 134.997,00
7.517,00
3.937,64
3.995,00
6.966,00
15.083,00
4.070,00
14.900,00
4.512,00
HARAPAN MANDIRI, PT
USAHA MAJU, CV
10 Kotawaringin Timur
11 Zirkon
Katingan
13 14 15
Gunung Mas
16
Palangkaraya
CHODRA KURNIA AGRIBINDO, PT KATINGAN INMAS SARANA. PT LUBUK KATINGAN PERDANA. PT SARI BUMI KATINGAN. PT INVESTASI MANDIRI, CV KURNIA ALAM SEJATI, PT LISBETH, CV
17
TAKARAS INTILESTARI, PT
18
10.147.865,00 1.158.621,00
IRVAN PRIMA PRATAMA, PT
9
12
FAJAR MENTAYA ABADI, PT FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT KOTABESI IRON MINING, PT KAPUAS PRIMA COAL, PT KUBA PRIMA MINING, PT
373,00
-
6.604,71 1.320,00 232,00
1.102,24 14.156,00 -
13.995,80 6.399,21 797,00
6.037,63 57.399,00
Dari data yang telah dihimpun oleh Kementrian ESDM, Provinsi Kalimantan Tengah hanya 6 Kabupaten saja yang memberikan data terkait laporan ekspor, 6 Kabupaten inipun hanya beberapa perusahaan saja yang memberikan data ekspor (tercatat). Data Ekspor Mineral Per Perusahaan No. 1 2
Komoditas Bauksit
Kabupaten Kotawaringin timur
CITRA MENTAYA MANDIRI, PT
Kotawaringin Timur
FAJAR MENTAYA ABADI, PT FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT KOTABESI IRON MINING, PT KAPUAS PRIMA COAL, PT KUBA PRIMA MINING, PT
3 4 5 6 7
Bijih Besi
8
Zirkon
9
Perusahaan
Lamandau Kotawaringin Barat
HARAPAN MANDIRI, PT IRVAN PRIMA PRATAMA, PT
Ekspor 2012 87.874,44 346.347,00
Ekspor 2013 1.240.897,51 10.147.865,00 1.158.621,00
731.210,33 49.900,00
1.158.621,00 1.749.370,10 643.198,27 134.997,00
7.517,00
3.937,64
3.995,00
6.966,00
USAHA MAJU, CV
10 11 12
Zirkon
Kotawaringin Timur Katingan
CHODRA KURNIA AGRIBINDO, PT KATINGAN INMAS SARANA. PT LUBUK KATINGAN PERDANA. PT
13
SARI BUMI KATINGAN. PT
14 15
Gunung Mas
16
Palangkaraya
INVESTASI MANDIRI, CV KURNIA ALAM SEJATI, PT LISBETH, CV
17
4.070,00
14.900,00 373,00
4.512,00 -
6.604,71
1.102,24
1.320,00 232,00
14.156,00 -
13.995,80
6.037,63
6.399,21
TAKARAS INTILESTARI, PT
18
15.083,00
-
797,00
57.399,00
1. Provinsi Kalimantan Tengah PROGRES RENCANA PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN DI KALIMANTAN TENGAH LOKASI PRODUK SMELTER NAMA NO KOMODITAS PERUSAHAAN KAB PROV JENIS KAPASITAS Kapuas Prima Coal PT Borneo Lintas Serawak
1
Bijih Besi
2
Zirkon
3
Zirkon
PT. Lubuk Katingan Perdana
4
Zirkon
Zirkon
5
Lamandau
Kalteng
Katingan
Kalteng
Katingan
Kalteng
PT. Karya Res Lisbet
Palangkara ya
Kalteng
CV. Harapan Mandiri
Kotawarin gin Barat
Kalteng
Pig Iron Konsentrat Zirkon Konsentrat Zirkon (55% ZrO2) Konsentrat Zirkon (62% ZrO2) Konsentrat Zirkon (65-66% ZrO2)
TARGET PENYELESAIAN PROYEK
300 rb tpy
2015
3 rb tpm
Sudah berproduksi
5 rb tpm
Sudah berproduksi
3 rb tpm
Sudah berproduksi
3-7 rb tpm
Sudah berproduksi
1. Kalimantan Tengah JUMLAH PELABUHAN
NO.
NAMA PELABUHAN
1
KERENG BENGKIRAI
2
PULANG PISAU
TOTAL
NO
LANGSUNG
0
NAMA PELABUHAN
LOADING POINT BATUBARA
0
TERMINAL/TERSUS/TUKS
TRANSHIPMENT
TOTAL
8
8
1
1
9
9
KOMODITI
KETERANGAN
1
PT. MULTI TAMBANGJAYA UTAMA
BATUBARA
Transhipment
2
PT. TELEN ORBIT PRIMA
BATUBARA
Transhipment
3
PT. KAPUAS TUNGGAL PERSADA
BATUBARA
Transhipment
4
PT. ADARO INDONESIA
BATUBARA
Transhipment
PT. TUTUI BATUBARA UTAMA
BATUBARA
Transhipment
PT. SINOMAST MINING
BATUBARA
Transhipment
PT. SENAMAS ENERGASINDO MINERAL
BATUBARA
Transhipment
PT. BAHTERA ALAM TAMIANG
BATUBARA
Transhipment
TERMINAL/TERSUS/TUKS
KOMODITI
KETERANGAN
BATUBARA
Transhipment
5
KERENG BENGKIRAI
6 7 8 NO 1
NAMA PELABUHAN PULANG PISAU
PT. MARUWAI COAL
Penutup Sebagai catatan akhir, upaya inisiatif tenurial reform kehutanan melalui agenda NKB 12 K/L ini merupakan sebuah upaya inisiatif yang baik untuk mengurus tata kelola kehutanan melalui pendekatan institusional. Namun, diperlukan suatu pendekatan yang lebih bersifat ekonomi politik dalam konteks untuk membuat insiatif ini terus-menerus bersambung dengan upaya untuk mengatasi ketimpangan penguasaan dan alokasi sumberdaya alam dan upaya untuk menghentikan dan memulihkan krisis sosial-ekologis. Di titik ini, kehadiran dan keterlibatan gerakan sosial dan organisasi masyarakat sipil untuk mengawal proses ini sangat diperlukan. Sebuah reforma pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang kuat mesti terdiri dari kombinasi strategis antara unpaya untuk mendorong “inisiatif untuk pembaruan kebijakan dari atas” dan “dukungan serta penguatan gerakan sosial dari bawah”. Hal lainnya adalah dibutuhkan suatu terobosan untuk memastikan agenda NKB 12 K/L ini mampu terus melekat dan menjadi semanagat dari para pengurus publik oleh CSO dan gerakan rakyat. Jika tidak, dalam beragam pengalaman yang sudah terjadi, maka NKB 12 K/L yang diinisiasi oleh KPK ini akan mudah untuk dikooptasi dan dibuat status-quo oleh jaringan kekuasaan negara dan swasta yang melucuti semangat dan cita-cita reforma tenurial kehutanan ini.