2
I. Pendahuluan Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang pertanian memiliki tantangan untuk dapat meningkatkan mutu kehidupan rakyatnya melalui pengelolaan ketahanan hayati baik yang bersifat lintas batas wilayah maupun yang bersifat internal batas wilayah.
Dalam konteks pengelolaan ketahanan hayati lintas batas wilayah maka persoalan terkait adalah kebijakan dan implementasi yang tepat bagi efektifitas pengelolaan proses ketahanan hayati yang berlanjut di tahapan pre-border, border, dan post-border. Sedangkan dalam konteks pengelolaan ketahanan hayati di lingkungan internal wilayah, maka persoalan penting yang dihadapi adalah perumusan kebijakan yang tepat dan implementasi yang benar.
Makalah ini akan mendiskusikan kaitan pengelolaan biosecurity atau ketahanan hayati di Indonesia dalam konteks otonomi daerah. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi bagi diskusi baik mengenai pengelolaan biosecurity maupun pengelolaan otonomi daerah.
Paper ini merupakan satu usaha abstraksi dari hasil penelitian penulis yang dilakukan sejak tahun 2008 di provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, untuk menjawab pertanyaan penelitian utama disertasi penulis yaitu: How can international, national, and local policy frameworks engage with local knowledge to create a new development paradigm?
Meskipun makalah ini tidak menjelaskan secara spesifik kasus-kasus yang diteliti (yang mana penjelasan secara spesifik ada di dalam disertasi yang sedang dalam tahap penulisan), tetapi basis penelitiannya dilakukan terhadap sejumlah kasus, menggunakan wawancara intensif, dan juga melakukan analisis mendalam terhadap bahan-bahan tertulis. Basis data bagi penelitian ini lahir dari 122 wawancara, 18 observasi, 202 dokumen, and 13 media atau database, yang berasal dari berbagai pihak dengan kompleksitas latar belakang dan wilayah.
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
3
II. Makna biosecurity atau ketahanan hayati berdasarkan kerangka kebijakan. Pemaknaan terhadap biosecurity atau ketahanan hayati dapat dipahami dalam kerangka internasional, nasional, dan lokal. Konfigurasi kerangka kebijakan publik yang diacu akan berpengaruh dengan lapisan yang jamak, baik pada kebijakan lapis internasional, nasional, maupun lokal, sehingga menghadirkan pokok persoalan akan interaksi berbagai lapisan kebijakan ini bagi efektifitas pengelolaan ketahanan hayati di tingkat lokal. Pembahasan berikut ini akan memotret kebijakan ketahanan hayati pada aras internasional dan nasional, sedangkan pembahasan pada aras lokal tidak dilakukan mengingat implementasi kebijakan pada tingkat lokal masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan nasional.
II.1. Kerangka kebijakan internasional tentang biosecurity. Ada sejumlah organisasi internaional yang mengadministrasikan dan mempromosikan berbagai instrumen internasional mengenai ketahanan hayati atau biosecurity. Khususnya adalah:
FAO (Food and Agriculture Organization) dalam sektor pangan dan pertanian,
WHO (World Health Organization) dalam sektor kesehatan,
UNEP (United Nations for Environmental Protection) dalam sektor lingkungan hidup,
International Plant Protection Convention (IPPC) dalam bidang perlindungan tanaman,
World Organization for Animal Health (OIE) dalam bidang kesehatan hewan,
Codex Alimentarius dalam bidang keamanan pangan,
UN Convention on Biodiversity (UN-CBD) dalam bidang keanekaragaman hayati atau biodiversity, dan
Berbagai inisiatif NGO pada aras internasional yang mempengaruhi penyusunan kebijakan dari organisasi internasional.
Food and Agriculture Organisation (FAO) mendefinisikan ketahanan hayati atau biosecurity sebagai: “a strategic and integrated approach that encompasses the policy and regulatory frameworks (including instruments and activities) for analyzing and managing relevant risks to
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
4
human, animal and plant life and health, and associated risks to the environment” (FAO 2007). Menurut Goldson et al, definisi ini memperluas cakupan konsep ketahanan hayati untuk menyertakan “food safety, zoonoses, the introduction of animal and plant diseases and pests, the introduction and release of living modified organisms (LMOs) (e.g., genetically modified organisms (GMOs)) and their products, and the introduction and management of alien species” (Goldson, Frampton, & Ridley, 2010, hal. 241- 242).
Di antara berbagai instrumen tersebut, yang terpenting adalah International Plant Protection Convention (IPPC) untuk ketahanan hayati tanaman, OIE (World Organization for Animal Health) untuk ketahanan hayati binatang, dan Codex alimentarius untuk keamanan pangan. Tiga kerangka kebijakan tersebut berfungsi sebagai standar legislasi internasional dalam bidangnya masing-masing.
Ketahanan hayati juga telah menjadi bagian dari masalah perdagangan, mengingat pengaturannya akan turut mempengaruhi perekonomian negara dan perdagangan internaional. Oleh sebab itu negara-negara anggota WTO juga menyusun kerangka aturan terkait, khususnya yang berkaitan dengan Sanitary dan Phytosanitary yang tertuang di dalam Sanitary and Phytosanitary agreement (SPS agreement) dari WTO. SPS Agreement berkaitan dengan implementasi regulasi dalam menangani masalah phytosanitary, keamanan makanan, dan sanitasi ternak. Jika pada beberapa waktu lalu pemerintah Australia sempat menghentikan impor sapi ke Indonesia (berkaitan dengan cara penyembelihannya), maka hal tersebut terkait dengan ketentuan hukum di Australia mengenai kesehatan ternak.
Dalam kaitan dengan kesejahteraan rakyat, adalah penting untuk memperhatikan juga instrumen Codex alimentarius yang berisi kumpulan standar, kode perilaku, rekomendasi, dan petunjuk keamanan makanan global. Menurut FAO dan WTO: “Codex standards have become the benchmarks against which national food measures and regulations are evaluated within the legal parameters of the Uruguay Round Agreements.” (FAO-WTO, Preface)
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
5
Berdasarkan SPS Agreement, negara anggota berhak untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi oleh rakyatnya dan mencegah penyebaran hama dan penyakit dari makanan ataupun ternak. Regulasi sanitary dan phytosanitary mensyaratkan asal pangan dari daerah yang bebas penyakit, ada pengawasan produk, membatasi penggunaan pestisida atau zat tambahan lainnya di dalam makanan sebagaimana yang telah diatur oleh WTO. Ketentuan ini terkait dengan Cartagena Protocol on Biosafety atau Biosafety Protocol yang memberikan legitimasi internasional bagi negara peserta untuk mengatur masalah GMO (Nielsen dan Anderson 2000 hal 8). Cartagena Protocol on Biosafety memberi peluang bagi negara anggota untuk meregulasi ataupun melarang pelepasan GMO untuk mencegah potensi bahaya, meskipun belum ada kepastian secara saintifik (Zerbe 2003, hal. 12 footnote no. 19). Pendekatan ini merupakan bentuk “precautionary principle” (prinsip kehati-hatian) atau yang disebut juga “better safe than sorry” (Nielsen dan Anderson hal. 8) dan menurut Zerbe merupakan oposisi secara langsung terhadap pengaturan WTO yang mengijinkan negara melakukan tindakan berdasarkan bukti-bukti saintifik pada tingkatan yang beresiko (Zerbe, hal. 12 footnote no. 19).
II.2.Instrumen Nasional mengenai ketahanan hayati atau biosecurity. Dalam konteks kebijakan nasional, perlu dipahami bahwa berdasarkan berbagai referensi yang tersedia, pengelolaan ketahanan hayati dimaksudkan untuk melindungi tanaman, ternak, manusia dan lingkungan hidup di dalam suatu wilayah dari gangguan hama, penyakit, spesies invasif maupun organisme lain yang berasal dari luar wilayah tersebut (bandingkan: Oszaer 2010 hal. 35). Dalam pemahaman demikian, konteks perbatasan menjadi penting sehingga ada suatu proses berlanjut (biosecurity continuum) yang berlaku di sini yaitu Pre-border biosecurity (penelitian dan identifikasi), Border biosecurity (pengawasan dan penindakan), dan Post-Border biosecurity (deteksi dan pengendalian) (lihat: Oszaer 2010 hal. 8-10).
Penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan, bahwa di Indonesia pengelolaan ketahanan hayati sering dimengerti hanya sebagai pengendalian hama dan penyakit tanaman atau juga dipahami sebagai pengendalian hama terpadu. Akibatnya keseluruhan biosecurity continuum
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
6
menjadi terabaikan dan masyarakat yang menjadi korban akibat kualitas hidup yang mengalami degradasi. Bagian berikut ini akan berisi tinjauan untuk menunjukkan bahwa sebenarnya ada kerangka kebijakan ketahanan hayati di Indonesia, namun kurang diinformasikan secara integratif kepada masyarakat dan lebih sering didekati secara parsial.
Masalah lain yang dihadapi Indonesia, adalah belum adanya satu definisi yang otoritatif mengenai ketahanan hayati atau biosecurity di Indonesia. Pemahaman mengenai biosecurity pada tingkat nasional mencakup pengertian yang luas dan meliputi bidang-bidang sebagai berikut (Iwantoro 2007 hal. 3). Ini adalah suatu interpretasi yang berlaku di lingkungan badan karantina pertanian:
Hama dan penyakit karantina.
Serangan spesies asing atau Invasive Alien Species (IAS);
Bioterorisme;
Genetically Modified Organisms (GMOs) atau Living Modified Organisms (LMOs);
Penyelundupan sumberdaya genetik.
Beberapa kebijakan kunci terkait dapat dijelaskan berikut ini: a. Sanitary (Ternak dan produk dari ternak). Legislasi untuk sektor ini adalah UU No 16 tahun 1992 tentang Karantina tanaman, ikan, dan binatang yang dikoordinir pelaksanaannya oleh Badan Karantina Pertanian Indonesia dan Komisi Perlindungan Tanaman. Ini merupakan pelaksanaan dari International Plant Protection Convention (IPPC).
b. Phytosanitary (Tanaman dan produk tanaman). Legislasi terkait dalam bidang ini adalah juga UU No 16 tahun 1992 tentang Karantina tanaman, ikan, dan binatang, selain itu berkaitan pula dengan UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem budidaya pertanian.
c. Codex Alimentarius (Keamanan makanan). “Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
7
Pelaksanaan standar keamanan makanan ini bersumber dari UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan yang menyediakan kebijakan nasional bagi keamanan makanan. Legislasi ini melarang peredaran makanan yang mengandung bahan berbahaya atau beracun, termasuk bahan makanan terpolusi (Wawancara, 2008). Berbagai peraturan teknis kemudian dibuat oleh lembaga terkait untuk melaksanakan peraturan ini termasuk ketentuan sertifikasi.
Pelaksanaan berbagai ketentuan perundang-undangan di atas sebagian besar dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pada tingkat pusat/kementerian. Hal ini sendiri telah melahirkan masalah koordinasi, termasuk kepentingan yang saling bersaing sehingga bisa melahirkan stagnasi dalam penyusunan dan implementasi kebijakan (wawancara, 2009).
d. Genetically modified organism (GMO). Kebijakan yang relevan dengan produk GMO lintas batas negara adalah (Untung 2007 hal. 24) UU no 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi UN Convention on Biodiversity, UU no 21 tahun 2004 tentang Ratifikasi Cartagena Protocol on Biosafety on the Convention on Biological Diversity, dan Peraturan pemerintah tentang produk GMO.
Pelaksanaan dari ketentuan ini masih menjadi perdebatan publik ketika produk GMO diperkenalkan di Indonesia, sehingga produk GMO sempat dihentikan oleh kementerian pertanian akibat tekanan publik, namun pada saat ini kembali berjalan melalui operasi perusahaan multinasional yang bekerjasama dengan perusahaan lokal (wawancara 2009-2010).
e. Sistem budidaya pertanian. Kebijakan lain yang masih memiliki hubungan dengan biosecurity adalah budidaya pertanian. Landasan pengaturannya adalah pada UU no 12 tahun 1992, berdasarkan ketentuan ini maka kebijakan teknis perlindungan tanaman diatur selanjutnya.
II. 3. Tantangan bagi pelaksanaan kebijakan ketahanan hayati di Indonesia.
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
8
Menurut pendapat profesor Kasumbogo Untung (2007 dan 2008), paling tidak ada enam tantangan yang perlu dijawab oleh Indonesia, yaitu:
Kurangnya jumlah tenaga lapangan untuk melayani wilayah Indonesia yang sangat luas, baik untuk karantina maupun penyuluh pertanian.
Terbatasnya kualitas sumber daya manusia. Jumlah tenaga yang ada juga ternyata terbatas yang memiliki kualifikasi keahlian terkait.
Sangat terbatasnya jumlah laboratorium karantina.
Kurangnya pemahaman ketahanan hayati kepada para pemangku kepentingan (khususnya terhadap para produsen dan konsumen produk pertanian)
Egoisme sektoral yang masih kuat sehingga menyulitkan koordinasi antar kementerian atau antar wilayah, serta egoisme disiplin ilmu yang menghambat perkembangan penelitian di bidang ini.
Lemahnya dukungan politik bagi program biosecurity termasuk pengendalian pestisida.
Berbagai persoalan di atas merupakan alasan perlunya satu paradigma baru untuk membangun ketahanan hayati di Indonesia yang mengintegrasikan kebijakan dan strategi dari pemerintah sampai ke komunitas akar rumput. Integrasi semacam itu akan mengintegrasikan juga masalah biosecurity atau ketahanan hayati ini dengan masalah keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, keamanan pangan, dan pengelolaan perbatasan.
Selain itu, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa terhadap hambatan bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan kebijakan dan strategi pengelolaan ketahanan hayati. Dalam kondisi demikian, peran dari komunitas dan pengetahuan lokal-lah yang seharusnya lebih berperan dan tentunya otonomi daerah atau desentralisasi menjadi penting.
III. Problematika demokrasi, desentralisasi, dan biosecurity di Indonesia. Sebagai negara demokrasi berpenduduk ketiga terbesar di dunia (Mietzner dan Aspinall 2010 hal. 1), proses demokratisasi di Indonesia berjalan melalui beberapa jalur antara lain pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan otonomi daerah. Indonesia berada di fase konsolidasi “Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
9
demokrasi yang diperkuat dengan berkembangnya otonomi daerah. Proses otonomi daerah yang terjadi di Indonesia berlangsung secara sangat masif dan mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa.
Perkembangan otonomi daerah atau desentralisasi berlangsung sedemikian luasnya sehingga proses yang terjadi di Indonesia dipandang sebagai salah satu dari program desentralisasi terbesar di dunia yang bahkan telah meningkatkan ranking hak-hak politik dan kebebasan sipil Indonesia versi Freedom House – terlepas dari apakah kita setuju ataupun tidak – dari tingkat 'partly free' pada pasca-1998 menjadi tingkat 'free' pada tahun 2005 dan selanjutnya (Mietzner dan Aspinall 2010 hal. 4).
Demokrasi dan kebebasan (freedom) memang memiliki korelasi, meskipun sebagaimana dikemukakan Diamond bahwa kualitas demokrasi itu juga terkait dengan persoalan kepemerintahan (governance) dan dalam kaitan ini ternyata masih banyak negara yang meskipun dianggap demokratis tetapi bermasalah jika dihadapkan dengan Governance Index yang disusun Bank Dunia (Diamond 2010 h. 25). Studi yang dilakukan Diamond menunjukkan bahwa kualitas dari demokrasi di Indonesia dalam hal kualitas negara (State quality: average government effectiveness and regulatory quality) masih perlu ditingkatkan lagi agar bisa bersaing dengan Thailand, Filipina, India, dll (Diamond 2010 hal. 33).
Hal lain yang masih menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia sebagaimana telah menjadi pengetahuan publik, dan muncul dalam studi Diamond yang berdasarkan data Freedom House, Bank Dunia, dll, adalah masalah Rule of Law dan Penanganan korupsi. Kedua hal tersebut tidak akan dibahas di dalam makalah ini semata-mata karena kepentingan fokus pembahasan dari makalah ini.
Governance index yang disebutkan di atas adalah World Bank’s Worldwide Governance Indicator (WGI) yang disusun oleh Kaufmaan and Kray (Rodrik 2008 hal. 17) yang menjelaskan enam dimensi kepemerintahan sebagai berikut:
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
10
Voice and accountability: citizen participation, independent media.
Political stability and absence of violence: threat of state coup.
Government effectiveness: quality of civil service.
Regulatory quality: “market-unfriendly” policies.
Rule of law: perceptions of crime, effective judiciary, enforceable contracts.
Control of corruption: perceptions of corruption.
Desentralisasi melalui otonomi daerah adalah elemen penting bagi demokrasi lokal untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan di tingkat lokal. Undang-undang no 22 tahun 1999 sendiri telah menekankan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya partisipasi sosial, equity dan keadilan, serta menekankan potensi lokal serta diversitas (lihat: Fox, Adhuri et al. 2005 hal. 92). Studi Fox et al mencatat bahwa berbagai bagian dari Undang-undang no 22 tahun 1999 menekankan pentingnya “prakarsa sendiri,” yang kemudian dimanfaatkan secara berlebihan oleh daerah bagi tujuan jangka pendek semata (Fox, Adhuri et al. 2005 hal. 92-93). Namun ini adalah bagian dari masalah yang muncul dari pelaksanaan Undang-undang no 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi oleh Undang-undang no 32 tahun 2004 dalam beberapa bagiannya yang cukup memberikan kejelasan mengenai pembagian kewenangan provinsi dan kabupaten/kota, akan tetapi persoalan yang masih kurang jelas adalah relasi vertikal antar pemerintah pusat dan daerah karena lebih menekankan kewenangan tetapi tidak memperjelas relasi selain dengan perumusan bahwa hubungan tersebut bersifat kemitraan (Patlis 2005 hal 234-235).
Mengapa otonomi daerah atau desentralisasi menjadi penting bagi pengelolaan ketahanan hayati atau biosecurity di Indonesia? Ada beberapa alasan menurut penulis yang dipaparkan berikut ini.
Otonomi daerah merupakan salah satu wujud demokrasi dan semestinya memberi ruang partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa ruang partisipasi masih sangat artifisial karena terbatas hanya melalui mekanisme pemilihan kepala daerah, sedangkan perencanaan pembangunan melalui Musrenbang tidak berjalan secara efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. “Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
11
Pengelolaan ketahanan hayati atau biosecurity selama ini ditangani lewat pendekatan yang terlalu sentralistik. Pendekatan secara regional dan lokal merupakan tantangan yang perlu dijawab oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah. Persoalannya adalah pendekatan tersebut akan mensyaratkan stabilitas struktur organisasi pemerintah (tidak mudah berubah meskipun terjadi perubahan kepala daerah dan DPRD), serta membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang berkompeten dan berdedikasi. Selama proses rekrutmen pegawai negeri sipil di tingkat daerah belum menggunakan pendekatan kompetensi dan dedikasi (dan hanya menggunakan rekrutmen massal seperti sekarang), maka harapan ini masih terasa jauh.
Pemerintah daerah diasumsikan memiliki pemahaman yang mendalam akan kebutuhan daerahnya, namun kenyataan menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan dan implementasi kebijakan di tingkat daerah kurang didasarkan pada hasil riset yang mendalam dan berkualitas baik. Praktek-praktek copy-paste rencana pembangunan dari tahun sebelumnya masih terjadi dan hal ini berbahaya karena selain tidak mencerminkan dedikasi pemerintah tetapi juga bermoral koruptif.
Proses otonomi daerah belum berjalan dengan baik sehingga beresiko menimbulkan dampak negatif secara biosecurity sehingga perlu diperbaiki. Penempatan personalia dan rotasi personalia ternyata belum didasarkan pada keahlian, melainkan hanya semata berdasarkan jumlah orang yang tersedia tanpa kualifikasi keahlian. Penyusunan organisasi dan tata kerja pada pemerintah daerah tidak cukup fleksibel untuk mengakomodir berbagai nomenklatur baru yang belum terwadahi di dalam aturan yang ada. Sebagai contoh, semakin menguatnya kebutuhan untuk merespons persoalan-persoalan di sekitar masalah biodiversity dan biosecurity (yang bersifat lintas sektoral) ternyata belum akan terwadahi di dalam struktur pemerintah daerah akibat dari terbatasnya struktur organisasi itu sendiri, sedangkan intervensi dari pusat tidaklah cukup efektif.
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
12
Penyebaran pemahaman akan ketahanan hayati memerlukan koordinasi dan kerjasama antar lembaga di pusat dan daerah. Dalam konteks biosecurity atau ketahanan hayati, hal ini merupakan masalah yang penting, mengingat bahwa kebijakan pengelolaannya didasarkan pada berbagai instrumen aturan di tingkat internasional dan nasional, sementara pada tingkat lokal masih belum jelas pengaturannya.
Perubahan struktur kerja dan organisasi pemerintahan daerah saja tanpa penguatan terhadap fungsi pelayanan di masing- masing sektor ternyata justru bisa melemahkan pengelolaan perlindungan ketahanan hayati, termasuk berdampak negatif terhadap penguatan pengetahuan lokal. Sebagai contoh, seiring dengan berlakunya otonomi daerah, maka sebagian besar pegawai perbantuan pusat yang ada di tingkat daerah beralih menjadi pegawai negeri yang berinduk kepada pemerintah daerah. Para pegawai dengan spesialisasi tugas tertentu yang sebelumnya berinduk kepada pemerintah pusat beralih ke daerah, misalnya tenaga penyuluh pertanian (extension officer). Persoalan yang muncul ialah para pegawai tersebut kemudian harus ditempatkan di dalam struktur organisasi pemerintah daerah setempat yang cukup terbatas sedangkan formasi tugas awalnya telah berubah, sehingga pada akhirnya cukup banyak dari mereka yang disebar kedalam berbagai dinas yang baru dibentuk hanya berdasarkan kualifikasi pendidikan sedangkan keahliannya dalam program penyuluhan pertanian menjadi terabaikan. Akibat dari kondisi ini maka di berbagai tempat (wilayah penelitian penulis) terjadi kelangkaan tenaga yang akhirnya berdampak kepada munculnya persoalan-persoalan pengelolaan ketahanan hayati yang tidak mampu diatasi. Di provinsi Papua sebagai contoh, hanya sekitar 30 persen desa yang bisa dijangkau secara penuh oleh program penyuluhan pertanian, sedangkan 70 persen sisanya terjangkau secara seadanya atau tidak terjangkau sama sekali, akibatnya banyak kampung yang tidak terjangkau program khusus dari kementerian terkait.
Penelitian yang dilakukan penulis bekerjasama dengan salah satu pemerintah provinsi juga menunjukkan bahwa seiring dengan otonomi daerah, beberapa lembaga teknis vertikal yang sebelumnya didanai dari pusat pada saat ini telah dialihkan kepada pemerintah provinsi atau
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
13
kabupaten dan mengalami keterbatasan pendanaan akibat skala prioritas yang berbeda. Itu sebabnya program mereka juga tidak dapat berjalan dengan baik bahkan sekadar untuk melakukan program koordinasi tingkat provinsi sekalipun.
Kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan juga menambah kompleksitas masalah dan menghadirkan tantangan lebih besar bagi pemerintah dalam menjawab masalah pengelolaan ketahanan hayati. Sebagai contoh, pengelolaan ketahanan hayati pintu masuk barang dan manusia di setiap pulau sebagai wilayah karantina menjadi tidak terjangkau oleh pemerintah akibat keterbatasan jumlah serta kualifikasi keahlian tenaga karantina dan keterbatasan sarana pendukung.
Kombinasi dari berbagai masalah di atas menunjuk pada persoalan trust (kepercayaan) dan partisipasi. Tidak efektifnya suatu pemerintahan dalam mengurus dan melayani masyarakat dapat memunculkan kerentanan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Untuk mencari solusi, dibutuhkan kepercayaan (trust). Menurut Yang, trust adalah ‘a psychological state that enables individuals to accept vulnerability and place their welfare in the hands of other parties, expecting positive intentions or behaviors from other parties’ (Yang 2006 hal. 574). Berdasarkan definisi Yang tersebut, sebuah solusi yang efektif adalah solusi yang mensejahterakan terhadap kelompok sasaran dari solusi tersebut yang disediakan oleh pemegang kekuasaan, dalam hal ini pemerintah daerah (dalam konteks otonomi daerah). Adalah dalam hubungan ini maka partisipasi menjadi masalah penting karena dibutuhkan dua pihak atau lebih untuk membangun kepercayaan yang kokoh.
Partisipasi adalah bagian dari governance dan bekerja melalui kepercayaan. Partisipasi merupakan titik temu antara governance, human security (termasuk environmental security), legitimasi, dan kepercayaan. Masalahnya adalah pada keterbatasan sumberdaya pemerintah untuk mengejar proses pembangunan yang partisipatif. Pada titik inilah kuncinya terletak pada kemauan politik untuk berubah dalam rangka menciptakan sistem pemerintahan baik pusat maupun daerah yang berfungsi secara efektif.
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
14
IV. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Indonesia memiliki tantangan untuk dapat meningkatkan mutu kehidupan rakyatnya melalui pengelolaan ketahanan hayati baik yang bersifat lintas batas wilayah maupun yang bersifat internal batas wilayah. 2. Dalam konteks pengelolaan ketahanan hayati lintas batas wilayah maka persoalan yang muncul terkait dengan kebijakan dan implementasi yang tepat bagi efektifitas pengelolaan dalam kontinuum di tahap post-border, border, dan pre-border. 3. Dalam konteks pengelolaan ketahanan hayati di lingkungan internal wilayah, persoalan penting yang dihadapi adalah perumusan kebijakan yang tepat dan implementasi yang benar. 4. Otonomi daerah merupakan salah satu wujud demokrasi dan semestinya memberi ruang partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat. 5. Pengelolaan ketahanan hayati atau biosecurity perlu ditangani melalui pendekatan regional dan lokal oleh pemerintah daerah. Hal ini mensyaratkan stabilitas struktur organisasi pemerintah, serta membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang berkompeten dan berdedikasi. 6. Pemerintah daerah perlu mendasarkan diri pada hasil riset yang mendalam dan berkualitas dalam menyusun perencanaan pembangunan dan implementasi kebijakan. Praktek-praktek copypaste rencana pembangunan yang masih terjadi mencerminkan dedikasi yang rendah dan mental koruptif. 7. Penyusunan organisasi dan tata kerja pada pemerintah daerah perlu lebih fleksibel untuk mengakomodir berbagai nomenklatur baru yang belum terwadahi di dalam aturan yang ada, khususnya untuk merespons persoalan-persoalan di sekitar masalah biodiversity dan biosecurity (yang bersifat lintas sektoral). 8. Penyebaran pemahaman akan ketahanan hayati memerlukan koordinasi dan kerjasama antar lembaga di pusat dan daerah. Mengingat kebijakan pengelolaannya didasarkan pada berbagai instrumen aturan di tingkat internasional dan nasional, sementara pada tingkat lokal masih belum jelas pengaturannya.
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
15
9. Perubahan struktur kerja dan organisasi pemerintahan daerah saja tanpa penguatan terhadap fungsi pelayanan di masing- masing sektor ternyata justru bisa melemahkan pengelolaan perlindungan ketahanan hayati, termasuk berdampak negatif terhadap penguatan pengetahuan lokal. Dampak terbesar dapat dilihat pada melemahnya program penyuluhan pertanian yang melemah dalam aspek biosecurity. 10. Kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan juga menambah kompleksitas masalah dan menghadirkan tantangan lebih besar bagi pemerintah dalam menjawab masalah pengelolaan ketahanan hayati. Peningkatan kapasitas dan kualitas karantina menjadi satu agenda penting. 11. Solusi yang efektif adalah solusi yang mensejahterakan terhadap kelompok sasaran dari solusi tersebut yang disediakan oleh pemegang kekuasaan, dalam hal ini pemerintah daerah (dalam konteks otonomi daerah). 12. Partisipasi bekerja melalui kepercayaan. Perlu ada kemauan politik untuk berubah dalam rangka menciptakan sistem pemerintahan baik pusat maupun daerah yang berfungsi secara efektif.
Daftar pustaka Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2005). Strategies of inquiry. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), The Sage handbook of qualitative research (3rd ed., pp. 375- 386). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. Diamond, L. (2010). Indonesia's places in global democracy. In E. Aspinall and M. Mietzner (Eds.), Problems of democratisation in Indonesia - Elections, institutions and society. Singapore, ISEAS Publishing: 21-49. Ernawan, I.K.P., 2007, ‘Tracing the Progress of Local Governments since Decentralisation’, in R. H. Mc Leod and A. MacIntyre (eds.), Indonesia Democracy and the Promis of Good Governance, ISEAS Publishing, Singapore. FAO-WTO. Understanding the Codex Alimentarius. Diunduh tanggal 10 Januari 2010 dari: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/008/y7867e/y7867e00.pdf FAO. (2007). FAO Biosecurity toolkit. Rome: Food and Agriculture Organisation. Fox, J. J., D. S. Adhuri, et al. (2005). Unfinished edifice or Pandora's box? decentralisation and resource managemen in Indonesia. In B. P. Resosudarmo (Ed.), The politics and economics of Indonesia's natural resources. Singapore, ISEAS Publications: 92-108.
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.
16
Goldson, S. L., Frampton, E. R., & Ridley, G. S. (2010). The effects of legislation and policy in New Zealand and Australia on biosecurity and arthropod biological control research and development. Biological Control, 52(3), 241-244. doi: DOI: 10.1016/j.biocontrol.2009.03.006 Litaay, T., & Nendissa, J. I. (2010). Coastal area transformation and the need for management policy: Case study of recreational beach areas in Natsepa (Ambon island) and Nemberala (Rote island). Paper presented at the International Symposium on Small Islands and Coral Reefs Management, Ambon, Indonesia. Litaay, T. (2011). Policy and legal framework for managing biosecurity. In I. Falk, R. Wallace & M. Ndoen (Eds.), Managing biosecurity across borders. Dordrecht: Springer International. Litaay, T., Prananingrum, D. H., & Krisanto, Y. A. (2011). Indonesian legal perspectives on biotechnology and intellectual property rights. In S. Hongladarom (Ed.), Genomics and bioethics: Interdisciplinary perspectives, technologies and advancements (pp. 171-183). Hershey, New York: Medical Information Science Reference. Mietzner, M. and E. Aspinall (2010). Problems of democratisation in Indonesia - an overview. In E. Aspinall and M. Mietzner (Eds.), Problems of democratisation in Indonesia Elections, institutions and society. Singapore, ISEAS Publishing: 1-20. Nielsen, C. and K. Anderson (2000). GMOs, trade policy, and welfare in rich and poor countries. Adelaide, Centre for International Economic Studies - University of Adelaide. Oszaer, R. (2010). Biosecurity - tantangan bersama bagi Indonesia-Australia. AustraliaIndonesia seminar and workshop on small island biosecurity studies. Ambon, AusindoBiocom, Universitas Pattimura, dan Pemerintah Provinsi Maluku. Patlis, J. M. (2005). New legal initiatives for natural resource management in a changing Indonesia: the promise, the fear and the unknown. In B. P. Resosudarmo (Ed.), The politics and economics of Indonesia's natural resource. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Peräkylä, A. (2005). Analyzing talk and text. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), The Sage handbook of qualitative research (3rd ed., pp. 869-886). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. Rodrik, D. (2008). Thinking about governance. Governance, growth and development decisionmaking. Washington DC, World Bank. Untung, K. 2007, “Kebijakan Nasional Ketahanan Hayati,” in D. Louhenapessy, T. Litaay, J.F. da Costa, Y.A. Handoko (eds.), Biosecurity and Indigenous Knowledge – Workshop Proceeding, PSKTI UKSW, Salatiga. Untung, K. 2008, ‘National Policy on Biological Diversity’, Community Management of Biosecurity, Special Co-Publication between Kritis-Journal of Interdisciplinary Development Studies (Indonesia) and Learning Communities-International Journal of Learning in Social Contexts (Australia), pp. 228-238. Yang, K. (2006). Trust and citizen involvement decisions: Trust in citizens, trust in institutions, and propensity to trust. Administration & society, 38(5), 573-595. Zerbe, N. (2003). Biodiversity conservation and protection of traditional knowledge. Les Carnets du Centre de Philosophie du Droit (No. 106).
“Pengelolaan biosecurity Indonesia dan tantangannya dalam era otonomi daerah.” Theofransus Litaay.