Vol II. No 2. September 2014
ISSN : 2337-5310
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Terbit setiap Maret dan September PENGELOLA JURNAL DENTINO Pelindung : Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K) (Dekan Fakultas Kedokteran Unlam) Pembina : Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS (Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam) dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd (Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam) dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes (Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam) Penasehat : Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS (Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam) Ketua : drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam) Sekretaris : drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam) Penyunting : drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ; drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam) Administratif : Hastin Atas Asih, AMKg (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Vol II. No 2. September 2014
ISSN : 2337-5310
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil Dengan Perilaku Kesehatan Gigi Dan Mulut Di Poli Kandungan RSUD Banjarbaru Muhsinah, Emma Yuniarrahmah, Bayu Indra Sukmana ….…………………. Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok Di Lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai Hulu Sungai Tengah Zuhda Febrina Ramadhani, Deby Kania Tri Putri, Cholil …………………… Perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan Pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak Pada siswa SDN angsau 4 pelaihari Rizki Yulita Rahmah, Priyawan Rachmadi, Widodo …………………..……… Perbandingan Aktivitas Antijamur Ekstrak Etanol Jahe Putih Kecil (Zingiber Officinale Var. Amarum) 30% Dengan Chlorhexidine Glukonat 0,2% Terhadap Candida Albicans In Vitro Haluanry Doane Santoso, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindya Carabelly ………. Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal Dan Berjejal Rahang Bawah Pada Bentuk Lengkung Narrow Rahang Bawah Puteri Islami Savitri, Priyawan Rachmadi, Widodo …………………………… Deskripsi Gigi Impaksi Molar ke tiga Rahang Bawah Di RSUD Ulin Banjarmasin Tinjauan pada bulan juni-agustus 2013 Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo …………………………………………..….. Gambaran Pola Kehilangan Gigi Sebagian Pada Masyarakat Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar Muhammad Fauzan Anshary, Cholil, I Wayan Arya ………………….……… Efektivitas Metode Peragaan Dan Metode Video Terhadap Pengetahuan Penyikatan Gigi Pada Anak Usia 9-12 Tahun di SDN Keraton 7 Martapura Amelia Nurfalah, Emma Yuniarrahmah, Didit Aspriyanto …..……..……….. Efektivitas Menyikat Gigi Metode Horizontal, Vertical Dan Roll Terhadap Penurunan Plak Pada Anak Usia 9-11 Tahun Destiya Dewi Haryanti, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Ike Ratna Dewi … Tingkat nursing mouth caries anak 2-5 tahun Di puskesmas cempaka banjarmasin Nadya Novia Sari, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Teguh Hadiyanto …… Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica Papaya) 100% Terhadap Waktu Penyembuhan Luka Eka Oktavia Ruswanti, Cholil, Bayu Indra Sukmana…………………….……. Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih (Piper Betle Linn) 50% dan 100% Sebagai Obat Kumur Terhadap Peningkatan Ph Dan Volume Saliva Dea Raissa Pratiwi, Deby Kania Tri Putri, Siti Kaidah ..………………………. Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi Di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin Maya Sagita, Cholil, Deby Kania Tri Putri………………………….….………..
110-114
115-119
120-124
125-129
130-133
134-137
138-143
144-149
150-154 155-161
162-166
167-173 174-178
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Perbandingan Efektifitas Obat Kumur Bebas Alkohol Yang Mengandung Cetylpyridinium Chloride Dengan Chlorhexidine Terhadap Penurunan Plak Dian Novita Sari, Cholil, Bayu Indra Sukmana ………………..………………. Gambaran Klinis Xerostomia Pada Wanita Menopause Di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura Raudah, Maharani Laillyza Apriasari, Siti Kaidah ………………….………... Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Rona Permata Sari Y. H. Zein, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri … Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa Dengan Pemakaian Protesa Di RSUD Ulin Banjarmasin Nadya Pramasanti, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana …...……………... Insidensi Karies Gigi Pada Anak Usia Prasekolah Di TK Merah Mandiangin Martapura Periode 2012-2013 Mirna Dara Mustika, Amy N. Carabelly, Cholil ……………………………… Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan Yang Direndam Dalam Klorheksidin Dan Effervescent (Alkaline Peroxide) Yordan Kangsudarmanto, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya KF ………..... Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Batang Pisang Mauli (Musa Sp) Terhadap Sel Fibroblas BHK (Baby Hamster Kidney) 21 Maharani Laillyza Apriasari, Rosihan Adhani, Diah Savitri...................... 210-214
179-183
184-188
189-195
196-199
200-204
205-209
110
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN WANITA HAMIL DENGAN PERILAKU KESEHATAN GIGI DAN MULUT DI POLI KANDUNGAN RSUD BANJARBARU Muhsinah, Emma Yuniarrahmah, Bayu Indra Sukmana Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Pregnant women are one of the group whose oral health vulnerable to oral disease. The research have claimed that level of knowledge, attitudes, and behavior of pregnant women can affect their dental oral health. Some dental oral problem that can occur in pregnant women are pregnancy gingivitis, periodontitis pregnancy, pregnancy tumor, dental erosion, dental caries and teeth mobility. Purpose: The purpose of this research was to determine the correlation between knowledge level of pregnant women with dental oral health behaviors in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD Banjarbaru. Methods: This study used quantitative methods. Samples were taken by purposive sampling method with total 60 pregnant women. Results: The categorization result of dental oral health knowledge in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD Banjarbaru were obtained that there was no subject (0%) that in low category, 53 person subject (88,33%) in moderate category and 7 person subject (11,67%) in high category. The categorization result of dental oral health behavior in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD Banjarbaru were obtained that there was no subject (0%) that in bad category, 44 person subject (73,33%) in moderate category and 16 person subject (26,67%) in good category. The correlation knowledge level of pregnant women with dental and oral health behaviors with Spearman statistical test were obtained p value = 0.029 (p <0.05). Conclusion: Based on the results of this study concluded that there was a significant correlation between knowledge level of pregnant women and dental oral health behavior. Keywords : pregnant women, knowledge, behavior, dental and oral disease ABSTRAK Latar Belakang: Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan akan penyakit gigi dan mulut. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku wanita hamil dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Adapun efek kehamilan pada kesehatan rongga mulut, antara lain: gingivitis kehamilan, periodontitis kehamilan, tumor kehamilan, erosi gigi, karies gigi, dan mobilitas gigi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut di poli kandungan RSUD Banjarbaru. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Sampel diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 60 orang wanita hamil. Hasil: Hasil kategorisasi pengetahuan kesehatan gigi dan mulut wanita hamil di poli kandungan RSUD Banjarbaru didapatkan tidak ada subjek (0%) berada pada kategori rendah, 53 orang subjek (88,33%) kategori sedang dan 7 orang subjek (11,67%) berada pada kategori tinggi. Hasil kategorisasi perilaku kesehatan gigi dan mulut wanita hamil di poli kandungan RSUD Banjarbaru didapatkan tidak ada subjek (0%) berada pada kategori buruk, 44 orang subjek (73,33%) kategori sedang dan 16 orang subjek (26,67%) berada pada kategori baik. Hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut diperoleh nilai p=0,029 (p<0,05). Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut. Kata-kata kunci: wanita hamil, pengetahuan, perilaku, penyakit gigi dan mulut Korespondensasi: Muhsinah, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
Muhsinah : Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil
PENDAHULUAN Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, 60% penduduk Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut, dan salah satunya adalah penyakit periodontal sebesar 87,84%.1 Menurut Riskesdas tahun 2007, penduduk bermasalah gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan Selatan 29,2% dan khusus untuk kota Banjarbaru yang mengalami masalah gigi dan mulut sebesar 15,9%.2 Peningkatan prevalensi ini terjadi seiring dengan meningkatnya usia dan gejala yang dijumpai pada seluruh populasi, dan salah satu kelompok yang rentan terhadap masalah ini adalah kelompok wanita hamil. Kehamilan adalah suatu proses alamiah, yang melibatkan perubahan fisiologi, anatomi dan hormonal. Efek perubahan hormonal pada wanita hamil akan mempengaruhi hampir semua sistem organ, termasuk rongga mulut.1,3 Beberapa studi menyatakan bahwa efek perubahan hormonal akan mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut wanita hamil, 27-100% wanita hamil mengalami gingivitis dan 10% mengalami granuloma piogenik. Lesi mukosa oral lebih sering terjadi pada wanita hamil daripada wanita yang tidak hamil.4 Penelitian yang dilakukan Apriasari dan Hasbullah. di poli kebidanan RSUD Banjarbaru tahun 2012, melaporkan wanita hamil dengan gingivitis gravidarum 30,2 % dan epulis gravidarum 7,5 % dari 53 wanita hamil.5 Pada penelitian Wirawan pada tahun 2012 di RSUD Banjarbaru, dilaporkan prevalensi gingivitis pada wanita hamil sebesar 40,5% dari total 42 wanita hamil.6 Hal ini disebabkan karena perubahan hormonal dan vaskular yang menyertai dengan kehamilan akan memperberat respon gingiva terhadap plak bakteri. Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut akan mengurangi insidensi gingivitis selama kehamilan.4,7 Menurut penelitian yang dilakukan Santoso dkk. tahun 2009, penyakit periodontal seperti gingivitis yang tidak dirawat pada wanita hamil merupakan salah satu faktor resiko bayi berat badan lahir rendah (BBLR) kurang bulan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa responden dengan kebersihan mulut kurang, mempunyai risiko 2,55 kali melahirkan bayi BBLR kurang bulan dibandingkan dengan responden dengan kebersihan mulut baik.8 Pada penelitian terhadap 320 wanita hamil di Iran tahun 2008 didapatkan hanya 5,6% sampel yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, 30% sampel yang bersikap baik terhadap kesehatan dan 34,4% sampel yang memiliki perilaku kesehatan yang baik (3). Hasil penelitian Diana di Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa hanya sedikit (38%) wanita hamil yang mengetahui hubungan antara kehamilan dengan kesehatan gigi dan mulut. Selebihnya (43%) wanita hamil menjawab tidak ada hubungan antara kehamilan
111
dengan kesehatan gigi dan mulut. Seluruh wanita hamil pada penelitian ini, semuanya tidak ada yang mengubah cara membersihkan dan memelihara kesehatan gigi dan mulut.9 Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan dan perilaku wanita hamil terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Kurangnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut akan menyebabkan terjadinya penyakit gigi dan mulut.3Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan wanita hamil mengenai kesehatan gigi dan mulut, mengetahui perilaku kesehatan gigi dan mulut dan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Poli Kandungan RSUD Banjarbaru pada bulan JuliAgustus 2013. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita hamil yang datang ke poli kandungan RSUD Banjarbaru pada bulan JuliAgustus 2013. Pengambilan sampel dilakukan secara Purposive Sampling. Sampel yang digunakan adalah 60 orang wanita hamil yang berkunjung pada periode Juli-Agustus 2013. Kriteria inklusi dalam penelitan ini adalah wanita hamil pengunjung Poli Kandungan RSUD Banjarbaru dan wanita hamil yang bersedia mengisi kuesioner. Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item yang telah dinyatakan valid dan reliabel untuk tingkat pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut wanita hamil sebanyak 20 item dan jumlah item untuk perilaku kesehatan gigi dan mulut wanita hamil 24 item. Penilaian skala pengetahuan dan perilaku menggunakan pengukuran skala Likert, yang dimodifikasi menjadi empat alternatif jawaban. Skor untuk pernyataan positif adalah SS=3, S=2, TS=1, STS=0, sedangkan skor pernyataan negatif SS=0, S=1, TS=2, STS=3. Alat ukur diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian. Uji validitas alat ukur skala pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan perilaku kesehatan gigi dan mulut pada penelitian ini menggunakan Corrected Item- Total Correlation dan uji reliabilitas skala pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan perilaku kesehatan gigi dan mulut menggunakan Alpha Cronbach. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan dengan bantuan program komputer. Subjek penelitian mengisi informed concent sebelum mengisi kuesioner. Pengisian kuesioner oleh subjek didampingi oleh peneliti. Kuesioner yang terkumpul kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114
112
kesehatan gigi dan mulut di poli kandungan RSUD Banjarbaru menggunakan uji kolerasi Spearman. HASIL PENELITIAN Hasil kategorisasi data variabel pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan variabel perilaku kesehatan gigi dan mulut dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
sebesar 0,001 (p<0.05) dan perilaku 0,033 (p<0,05). Disimpulkan bahwa data pada variabel pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan perilaku kesehatan gigi dan mulut tidak berdistribusi normal. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Spearman karena data tidak berdistribusi normal. Hasil analisis Spearman (r) menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut sebesar r = 0,283 dengan p = 0,029 (p<0,05). Data menunjukan adanya arah yang positif (nilai r positif) yang berarti semakin tinggi pengetahuan wanita hamil maka semakin baik perilaku kesehatan gigi dan mulut. rendahnya pengetahuan wanita hamil akan diikuti perilaku kesehatan gigi dan mulut yang buruk pula. PEMBAHASAN
Gambar 1.
Kategorisasi Data Variabel Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut
Berdasarkan kategorisasi pada Gambar 1, maka didapatkan tidak ada subjek (0%) yang memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan mulut berada pada kategori rendah, 53 orang subjek (88,33%) memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan mulut kategori sedang dan 7 orang subjek (11,67%) memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan mulut berada pada kategori tinggi. Pengetahuan dikategorikan rendah jika skor (x ≤ 24,95), sedang jika skor (24,95< x ≤47,97), dan tinggi jika skor nilainya (35,05≤ x).
Gambar 2.
Kategorisasi Data Variabel Perilaku Kesehatan Gigi dan Mulut
Berdasarkan kategorisasi pada Gambar 2, maka didapatkan tidak ada subjek (0%) memiliki perilaku kesehatan gigi dan mulut berada pada kategori buruk, 44 orang subjek (73,33%) memiliki perilaku kesehatan gigi dan mulut kategori sedang dan 16 orang subjek (26,67%) memiliki perilaku kesehatan gigi dan mulut berada pada kategori baik. Perilaku dikategorikan buruk jika skor (x ≤ 25,03), sedang jika skor (25,03< x ≤47,97), dan tinggi jika skor nilainya (47,97≤ x). Hasil uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test untuk pengetahuan
Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut di Poli Kandungan RSUD Banjarbaru. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Notoatmodjo tahun 2007 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan perilaku seseorang. Penelitian Hajikazemi pada tahun 2008, juga menunjukan adanya kolerasi antara pengetahuan dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut. Perilaku mulai dibentuk dari pengetahuan atau ranah (domain) kognitif. Subjek atau individu mengetahui rangsangan yang berupa materi atau objek dari luar dirinya, kemudian terbentuk pengetahuan baru. Pengetahuan baru ini akan menimbulkan tanggapan batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahuinya. Setelah rangsangan diketahui dan disadari sepenuhnya, akan timbul tanggapan lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan terhadap rangsangan. Pada kenyataannya, rangsangan yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan terhadap rangsangan. Artinya seseorang tidak harus mengetahui makna dari rangsangan terlebih dahulu, dengan kata lain untuk bertindak tidak harus dilandasi dengan pengetahuan dan sikap terlebih dahulu. Hal itu didukung oleh beberapa penelitian mengenai pengetahuan dan perilaku.3,10,11 Perilaku yang dilandasi oleh pengetahuan lebih langgeng dibandingkan yang tanpa dilandasi pengetahuan. Pengetahuan kesehatan gigi dan mulut diperoleh secara alami maupun secara terencana yaitu melalui pendidikan kesehatan gigi dan mulut. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain: usia, intelegensi, lingkungan, sosial budaya, pendidikan, informasi dan pengalaman. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat.11
113
Muhsinah : Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil
Banyak orang yang keliru memilih cara pengobatan yang tepat, disebabkan mereka tidak tahu tentang penyebab penyakit dan upaya pencegahannya. Pengetahuan yang rendah terhadap kesehatan gigi dan mulut dapat menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit gigi dan mulut. Pada kenyataannya, informasi yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan terhadap rangsangan itu. Artinya wanita hamil tidak harus mengetahui makna dari rangsangan itu terlebih dahulu untuk melakukan suatu tindakan. Perilaku kesehatan gigi dan mulut wanita hamil merupakan respon terhadap stimulus yang berhubungan dengan konsep sehat, sakit dan penyakit.11,12 Hubungan perilaku yang berupa tindakan dengan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi dijelaskan oleh Rosenstock pada tahun 1974 dalam Health Belief Model bahwa kepercayaan seseorang terhadap timbulnya penyakit dan potensi penyakit, akan menjadi dasar seseorang melakukan tindakan pencegahan atau pengobatan terhadap penyakit tersebut. Pada saat hamil gigi menjadi mudah mengalami kerusakan, ibu hamil dapat melakukan pencegahan dengan mengosok gigi minimal 2 kali sehari, berkumur-kumur sehabis muntah dan kontrol ke dokter gigi minimal 1 kali selama masa kehamilan.11 Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan ajakan, pemberian informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya. Dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat terutama wanita hamil akan memakan waktu lama, namun bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat maka perilaku sehat selama hidup dilakukan.13 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan rongga mulut di Poli Kandungan RSUD Banjarbaru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan mengenai pentingnya kesehatan gigi dan mulut pada masa kehamilan, supaya wanita hamil tidak hanya memperhatikan janin yang ada pada kandungannya tetapi juga memperhatikan kesehatan tubuh termasuk kesehatan gigi dan mulut. Pada umumnya kehamilan berhubungan dengan rongga mulut, karena apabila kesehatan rongga mulut tidak diperhatikaan pada masa kehamilan maka akan terjadi kelainan-kelainan rongga mulut seperti gingivitis kehamilan, periodontitis, epulis gravidarum, karies, dan bayi lahir BBLR akibat terjadinya ketidakseimbangan hormon wanita dan adanya faktor-faktor iritasi lokal dalam rongga mulut.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Ekaputri N dan Sjahruddin FLD. Hubungan perilaku wanita hamil dalam membersihkan gigi dan mulut dengan kedalaman poket periodontal selama masa kehamilan. M I Kedokteran Gigi. 2005; 62: 90-2. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. p. 116,119. 3. Hajikazemi E, Fateme O, Shoaleh HM, Soghra N, and Hamid H. The relationship between knowledge, attitude, and practice of pregnant women about oral and dental care. Euro J, 2008; 24 (4): 556-61. 4. Sarifakioglu E, Gunduz C, and Gorpelioglu. Oral mucosa manifestations in 100 pregnant versus non-pregnant patients: an epidemiological observational study (abstract). EDJ. 2006; 16 (6): 674. 5. Apriasari, ML dan Irnamanda DH. Prevalensi gingivitis dan epulis gravidarum pada wanita hamil trimester ke tiga di RSUD Banjarbaru (Januari-Juni 2012). Dentino. 2013;1(3): 129125 6. Wirawan, P. Prevalensi gingivitis pada wanita hamil di rumah sakit umum daerah Banjarbaru bulan Juni-Agustus 2012. Skripsi. Banjarmasin: FK Unlam.2012. p.26 7. Habashneh, Guthmiller JM, Levy S, Jonhson GK, Sequier C, Dawson DV, and Fang Q. Factors related to utilization of dental services during pregnancy. J Clin Periodontal, 2005; 32(7): 815-6. 8. Santoso O, Wildam ASR dan Dwi Retroningrum. Hubungan kebersihan mulut dan gingivitis ibu hamil terhadap kejadiaan bayi berat badan lahir rendah kurang bulan di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan jejaringanya. Media Medika Indonesiana. 2009; 43: 288293. 9. Diana, D. Pengetahuan, sikap, dan perilaku wanita hamil pengunjung poli ibu hamil (PIH) RSUD dr. Pirngadi Medan terhadap kesehatan gigi dan mulut selama masa kehamilan periode November-Desember 2009. Skripsi. Medan: FKG USU. 2009. p: 42-47. 10. Kholid, A. Promosi kesehatan: dengan pendekatan teori perilaku, media dan aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012. p. 17-26. 11. Notoatmodjo S,1900 dalam Budiharto. Pengantar ilmu perilaku kesehatan dan pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC. 2010. p. 1-2,6,7,24.
114
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114
12. Hasibuan, S. Perawatan dan pemeliharaan kesehatan gigi-mulut pada masa kehamilan. Medan: USU digital library. 2004. p.1-6. 13. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003.p.13.
115
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
PREVALENSI PENYAKIT PERIODONTAL PADA PEROKOK DI LINGKUNGAN BATALYON INFANTERI 621/MANUNTUNG BARABAI HULU SUNGAI TENGAH
Zuhda Febrina Ramadhani, Deby Kania Tri Putri, Cholil Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Periodontal disease is a periodontal tissues disease of the teeth characterized by the presence of inflammatory gingival, periodontal pockets, and gingival recession. Plaque, calculus and bacteria accumulation is a major cause of periodontal disease, while the predisposing factors are smoking, stress, and alcohol. Smoking can cause damage of periodontal tissues and affect to the salivary antibodies (IgA) against the bacteria causing neutralize disruption the bacteria in the mouth. The heat from the burning cigarette can cause vascularization disruption and secretion of salivary. Cigarettes contain danger toxic that interfere with health. Purpose: This study was to determine the prevalence of periodontal disease of smokers in the infantry battalion 621/manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. Methods: This study was an observational descriptive study obtained from the history and clinical examination of the teeth 16, 21, 24, 36, 41, 44 and account with Periodontal disease index method. Screening was done to 45 samples that have been adapted to the inclusion criteria. Results: The results were obtained as 16 people or 35,6% were normal, 27 people or 60% with gingivitis, and 2 people or 4,4% with periodontitis. Based on the group of age at 20-30 years old was high gingivitis which is 46,7% (21 people), while the condition periodontitis in the group of age at 30-40 years old 4,4% (2 people). Conclusion: The research concluded the prevalence of periodontal disease of smoker in the infantry batalyon 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah more gingivitis than periodontitis. Keywords: prevalence, periodontal disease, smoking, periodontal disease index ABSTRAK Latar Belakang: Penyakit periodontal adalah suatu penyakit pada jaringan pendukung gigi yang ditandai dengan adanya inflamasi gingiva, poket periodontal, dan resesi gingival. Plak, akumulasi kalkulus dan bakteri merupakan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal, sedangkan faktor predisposisinya yaitu merokok, stres, dan mengkonsumsi alkohol. Merokok dapat menyebabkan kerusakan periodontal. merokok dapat mempengaruhi antibodi dalam saliva (IgA) terhadap bakteri sehingga terjadi gangguan dalam menetralisir bakteri di dalam mulut. Panas yang ditimbulkan dari pembakaran rokok dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi dan sekresi saliva. Kandungan yang terdapat di dalam rokok mengandung toksik yang berbahaya yang mengganggu kesehatan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang diperoleh dari hasil anamnesa dan pemeriksaan klinis pada gigi 16, 21, 24, 36, 41, 44 dan dihitung dengan indeks penyakit periodontal. Pemeriksaan ini dilakukan pada 45 sampel yang sudah disesuaikan dengan kriteria inklusi. Hasil: Hasil penelitian diperoleh sebanyak 16 orang atau 35,6% normal, 27 orang atau 60% mengalami gingivitis, dan 2 orang atau 4,4% mengalami periodontitis. Berdasarkan kelompok umur, pada golongan usia 20-30 tahun lebih banyak mengalami gingivitis yaitu 46,7% (21 orang), sedangkan kondisi periodontitis ada di golongan usia 3040 tahun yaitu 4,4% (2 orang). Kesimpulan: Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi penyakit periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah lebih banyak mengalami gingivitis dibandingkan periodontitis.
116
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119
Kata-kata kunci: prevalensi, penyakit periodontal, merokok, indeks penyakit periodontal Korespondensi: Zuhda Febrina Ramadhani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Jaringan periodontal adalah suatu jaringan yang mengelilingi dan mendukung gigi. Struktur jaringan periodontal terdiri dari gingiva, ligamen periodontal, tulang alveolar dan sementum. Gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar dan berfungsi melindungi jaringan di bawahnya. Gingiva normal memiliki warna merah muda, konsistensi yang kenyal dan tekstur stippling atau seperti kulit jeruk. Ligamen periodontal adalah jaringan konektif yang mengelilingi gigi dan mengikatnya ke tulang. Ligamen periodontal berfungsi melindungi pembuluh darah dan saraf, perlekatan gigi terhadap tulang dan pertahanan benturan keras akibat tekanan oklusal. Tulang alveolar adalah jaringan keras yang tersusun dari lapisan-lapisan tulang yang berfungsi sebagai penyangga gigi. Sementum adalah bagian yang menyelimuti akar gigi, bersifat keras, tidak memiliki pembuluh darah dan berfungsi sebagai perlekatan ligamen periodontal.1,2 Gingivitis dan periodontitis merupakan penyakit periodontal yang sering ditemui. Gambaran klinis dari gingivitis atau inflamasi gingiva yaitu gingiva berwarna merah sampai kebiruan dengan pembesaran kontur gingiva karena edema dan mudah berdarah jika diberikan stimulasi seperti saat makan dan menyikat gigi.3 Periodontitis adalah suatu infeksi campuran dari mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dan peradangan jaringan pendukung gigi, biasanya menyebabkan kehilangan tulang dan ligamen periodontal. 4 Plak dan akumulasi kalkulus serta bakteri merupakan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal. Faktor predisposisi penyakit periodontal yaitu merokok, sering mengkonsumsi alkohol, dan stres.5,6 Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa peradangan pada peridodontal akan semakin parah jika kondisi oral hygiene buruk, dan mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus.7,8 Kebiasaan merokok menyebabkan perubahan vaskularisasi dan sekresi saliva akibat panas yang dihasilkan oleh asap rokok. Perubahan vaskularisasi akibat merokok menyebabkan dilatasi pembuluh darah kapiler dan infiltrasi agen-agen inflamasi sehingga dapat terjadi pembesaran pada gingiva. Kondisi ini diikuti dengan bertambahnya jumlah limfosit dan makrofag. Tar yang terkandung dalam rokok dapat mengendap pada gigi dan menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar, sehingga mudah dilekati plak dan bakteri. Invasi kronis bakteri plak di bawah margin gingival
mengakibatkan terjadinya gingivitis yang dapat berlanjut menjadi periodontitis. Kondisi periodontitis yang parah ditandai dengan hilangnya perlekatan gingiva dengan gigi sehingga terjadi resesi gingiva serta kehilangan tulang alveolar dan gigi yang diakibatkan akumulasi sel-sel inflamasi kronis.9 Berbagai jenis rokok dan seringnya frekuensi merokok telah terbukti mempunyai hubungan kuat dengan status jaringan gingiva, kerusakan jaringan periodonsium serta tingkat keparahan periodontitis.9 Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perokok lebih rentan mengalami gingivitis dan periodontitis atau kerusakan jaringan periodonsium 2-7 kali lebih besar dibanding yang bukan perokok. Risiko ini ditemukan lebih tinggi terjadi pada kelompok perokok dewasa muda berusia 20-33 tahun.6 Berdasarkan Riset Kesehatan di Kalimantan Selatan (RISKESDAS,2007) menyatakan bahwa perokok lebih banyak ditemukan pada pekerja dan jumlah rokok yang dikonsumsi lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan.10 Tomar dan Asma (1999) dari National Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES) menyatakan bahwa perokok yang mengisap lebih dari 9 batang rokok per hari kemungkinan untuk menderita periodontitis lebih besar 2,8 kali dibandingkan bukan perokok. Menurut Sitepoe (2000) berdasarkan dari jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari, perokok dibagi menjadi empat bagian7: 1) Perokok ringan adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 1-10 batang per hari 2) Perokok sedang adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 11-20 batang per hari 3) Perokok berat adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang per hari 4) Perokok sangat berat adalah perokok yang mengkonsumsi lebih dari 30 batang per hari Ketergantungan terhadap tembakau menjadi epidemiologi secara global yang dapat menyebabkan penyakit dan kematian. Menurut World Health Organization (WHO) sepertiga dari 1,3 milyar perokok di dunia berasal dari populasi berusia 15 tahun ke atas. Konsumsi rokok di Indonesia dalam 30 tahun terakhir meningkat tajam, pada tahun 1970 pemakaian rokok berkisar 33 miliar batang per tahun dan menjadi 230 miliar batang pada 2006. Tingkat konsumsi rokok di
117
Ramadhani : Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok
Indonesia menempati urutan lima besar dunia.12,13 Berdasarkan Riset kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007 laki-laki perokok di Kalimantan Selatan mencapai 54,5% dengan jumlah konsumsi rokok yang lebih tinggi pada kalangan pekerja dan daerah perdesaan. 10 Sampai sekarang belum terdapat data mengenai angka kejadian penyakit periodontal akibat merokok pada usia dewasa muda di daerah Kalimantan Selatan. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian di kalangan pekerja usia muda. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran angka kejadian penyakit periodontal akibat merokok di kalangan pekerja usia dewasa muda. Menurut hasil dari studi pendahuluan yang telah dilakukan diketahui beberapa prajurit dengan rentang usia 20-40 tahun di Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah memiliki kebiasaan merokok. Beberapa diantaranya pernah ada yang mengeluhkan gingivanya terkadang bengkak. Kondisi tersebut mungkin ada kaitannya dengan kebiasaan merokok yang sering dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit periodontal pada perokok di Lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. BAHAN DAN METODE Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional. Data diperoleh dari hasil anamnesa dan pemeriksaan klinis pada rongga mulut perokok di lingkungan Batalyon Infanteri 621/ Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. Populasi dalam penelitian adalah laki-laki perokok di lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. Sampel pada penelitian ini diambil dengan purposive sampling. Sampel adalah sebagian laki-laki perokok di lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. Kriteria inklusi : Laki-laki perokok berusia 20-40 tahun, perokok ringan (dengan ketentuan merokok lebih dari 9 batang per hari) – Perokok sedang, merokok selama ≥ 2 tahun, merokok jenis filter dan menggosok gigi minimal 2 kali sehari. Kriteria ekslusi: menggunakan gigi tiruan, mengkonsumsi minuman beralkohol, mengkonsumsi obat tertentu (phenytoin, cyclosporine A) dan memiliki penyakit sistemik. Penelitian ini menggunakan perhitungan dengan periodontal disease index. Indeks ini digunakan untuk memeriksa keparahan inflamasi gingiva dan hilangnya perlekatan jaringan pendukung gigi. Penilaian menggunakan enam gigi yang disebut Ramfjord’s teeth yaitu, 16, 21, 24, 36, 41, dan 44. Skor indeks periodontal tiap individu didapat dengan menambah semua skor gigi kemudian dibagi dengan jumlah gigi yang
diperiksa. Jika hasil akhir menunjukkan berada pada 1-3 maka dikategorikan gingivitis dan jika berada pada 4-6 maka dikategorikan periodontitis. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat diagnostik (kaca mulut, sonde half moon, ekskavator, dan pinset), probe periodontal (WHO) yang memiliki kalibrasi dalam millimeter, nierbekken, alkohol, tisu, dan larutan klorin. Sebelum penelitian dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan di Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah, kemudian dilakukan proses perizinan. Prosedur selanjutnya subyek penelitian akan berkumpul di tempat yang telah disediakan. Peneliti memberikan penjelasan tentang manfaat dan prosedur penelitian dan melakukan anamnesa serta memberikan lembar informed consenst sebagai tanda persetujuan menjadi subjek penelitian. Kemudian dilakukan pemeriksaan menggunakan periodontal disease index. Data yang didapat dari hasil pemeriksaan menggunakan periodontal disease index kemudian dicatat. Data yang telah didapatkan kemudian ditabulasi atau dimasukkan ke dalam tabel serta disajikan dalam persentase. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian tentang prevalensi penyakit periodontal pada perokok di Lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Persentase penyakit periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah No
Kondisi Klinis
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
1
Normal
16
35,6
2
Gingivitis
27
60,0
3
Periodontitis
2
4,4
Jumlah
45
100
Berdasarkan Tabel 1 diketahui angka kejadian penyakit periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah berupa gingivitis yaitu 27 orang atau sebesar 60%. Jumlah yang mengalami periodontitis yaitu 2 orang atau sebesar 4,4% dan jumlah yang normal yaitu 16 orang atau sebesar 35,6%. Hal ini menunjukkan dari sejumlah sampel yang diperiksa lebih dari setengahnya masuk dalam kategori gingivitis setelah dilakukan pemeriksaan dan perhitungan skor akhir.
118
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119
Tabel 2 Persentase penyakit periodontal terhadap usia di lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah Kondisi periodontal
Normal Gingivitis Periodontitis Total
Usia 20-30 31-40 tahun tahun n % n % 16 35.6 0 0 21 46.7 6 13.3 0 0 2 4.4 37 82.2 8 17.8
Total
N 16 27 2 45
% 35.6 60 4.4 100
Berdasarkan Tabel 2 diketahui pada usia 20 sampai 30 tahun terdapat besar sampel sebanyak 82,2% (37 orang) dengan persentase normal yaitu 35,6% (16 orang) dan persentase gingivitis 46,67% (21 orang). Pada usia 31 sampai 40 tahun terdapat besar sampel sebanyak 17,8% (8 orang). Penyakit periodontal pada kelompok umur tersebut terdiri dari gingivitis dengan persentase 13,3% (6 orang) dan periodontitis dengan persentase 4,4% (2 orang).
PEMBAHASAN Menurut Tomar dan Asma (2000) dan Eddie Kasim (2001) hubungan antara merokok dengan terjadinya penyakit periodontal tergantung pada dosis dan selang waktu merokok. Perokok yang merokok 9 batang per hari beresiko 3 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit periodontal di banding yang bukan merokok. Pada perokok yang merokok lebih dari 30 batang per hari beresiko 6 kali lebih besar dibanding bukan perokok, sehingga dapat dikatakan efek negatif dari merokok terhadap jaringan periodontal dipengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi.15 Dalam penelitian ini yang mengalami periodontitis terdapat pada kisaran usia 31 sampai 40 tahun yakni sebanyak 4,4% atau 2 orang. Hal ini dapat dihubungkan dengan lama dan jumlah merokok yang lebih besar.15 Berdasarkan hasil anamnesa responden yang mengalami periodontitis mengkonsumsi rokok lebih dari satu kotak per hari atau kira-kira berkisar antara 16 hingga 20 batang per hari dan merokok dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun. Dalam jurnal Mullaly (2004) memuat tentang penelitian yang dilakukan oleh Hujoel menyatakan bahwa terjadinya kasus penyakit periodontal akibat merokok di Amerika lebih sering terjadi pada kisaran usia 30 sampai 39 tahun. Arowojolu dan Nwokorie menemukan prevalensi terjadinya penyakit periodontal di Nigeria berupa periodontitis adalah sebanyak 1,6% pada usia 34 tahun. Mullaly juga menyatakan pada kasus inflamasi gingiva karena merokok selain karena
rokok dapat merubah vaskularisasi gingiva yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi, ternyata merokok juga dapat menyebabkan perlekatan plak lebih mudah sehingga memicu terjadinya inflamasi gingiva. Pada penelitiannya, Mullaly (2004) menemukan perokok muda lebih banyak mengalami gingival bleeding dibanding bukan perokok, selain karena faktor merokok hal ini juga disebabkan oleh tingginya level kalkulus dan plak yang ditemukan pada perokok. Penelitian terdahulu oleh Mullaly di Northen Ireland menemukan dari 82 responden perokok di kisaran usia 21 sampai 33 tahun, 41% diantaranya mengalami gingivitis, hal ini dikaitkan dengan penumpukan akumulasi plak dan kalkulus akibat kebiasaan merokok.16 Hasil yang serupa juga terdapat dalam penelitian prevalensi penyakit periodontal di lingkungan Batalyon Infanteri 621/manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah untuk kasus gingivitis didapatkan sebanyak 46,7% atau 21 orang di kisaran usia 20 sampai 30 tahun dan 13,3% atau 8 orang di kisaran usia 31 sampai 40 tahun. Responden yang mengalami gingivitis mengkonsumsi rokok antara 10 hingga 16 batang per hari atau kira-kira satu kotak per hari dan dalam jangka waktu 2-3 tahun. Pada beberapa responden lainnya gejala klinis gingivitis tampak pada satu atau dua daerah gingiva saja sementara ada daerah gingiva lain respon peradangannya hilang dan mulai terjadi resesi gingiva. Mullaly menyatakan periodontitis karena merokok dapat terjadi akibat konsumsi rokok dengan dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama. Tidak ditemukan kasus periodontitis pada perokok yang mengkonsumsi rokok kurang dari 5 batang per hari dan memiliki kebiasaan merokok kurang dari 3 tahun. Periodontitis mungkin terjadi jika konsumsi rokok lebih dari 15 batang per hari dan dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun.16 Pada 16 orang lainnya atau sebesar 35,6% di Batalyon Infanteri 621/Manuntung tidak termasuk dalam kategori gingivitis dan periodontitis. Berdasarkan hasil anamnesa yang dilakukan hal ini dapat dihubungkan dengan jumlah atau dosis dari rokok yang dikonsumsi tidak melebihi 10 batang per hari. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah penjagaan oral hygiene seperti menggunakan obat kumur. Beberapa responden lainnya juga menyatakan pernah beberapa kali memeriksakan giginya ke dokter. Menurut Gunsolley obat kumur atau mouthwash dapat digunakan untuk meningkatkan kebersihan rongga mulut. Juga mampu membunuh bakteri penyebab karies, gingivitis, dan bau mulut.17 Selain faktor penjagaan oral hygiene yang baik, ada kemungkinan faktor dari jenis rokok berpengaruh dalam kondisi jaringan periodontal. Berdasarkan dari hasil anamnesa masing-masing responden menyatakan mengkonsumsi rokok dengan merek yang berbeda. Dalam penelitiannya
119
Ramadhani : Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok
berkaitan dengan studi kadar nikotin dan tar oleh Kusuma Ali dkk (2012) menemukan kadar nikotin dan tar yang berbeda pada setiap merek rokok jenis filter.25 Menurut Kusuma (2010) menyebutkan bahwa nikotin adalah salah satu bahan dari rokok yang berkaitan dengan jaringan periodontal.14 Menurut Tirtosastro S dan Murdiyati (2010) dalam penelitiannya mengenai kandungan kimia dan tembakau dan rokok juga menyatakan bahwa jenis tembakau yang digunakan juga mempengaruhi kadar nikotin yang terkandung di dalamnya.19 Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi penyakit periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah paling banyak mengalami gingivitis yakni 60% (27 orang), kemudian diikuti periodontitis yakni 4,4% (2 orang), sedangkan yang tidak mengalami penyakit periodontal yakni 35,6% (16 orang). Berdasarkan kelompok umur, pada golongan usia 20-30 tahun yang tidak mengalami penyakit periodontal atau normal yakni 35,6% (16 orang), gingivitis sebanyak 46,7% (21 orang) dan tidak ada yang mengalami periodontitis atau 0 %. Pada golongan usia 30-40 tahun kondisi periodontal normal adalah 0% atau tidak ada, gingivitis sebanyak 13,3% (6 orang) dan periodontitis sebanyak 4,4% (2 orang). DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Newman M.G, Takei H.H, Klokkevoid P.R and Carranza F.A. Carranza’s Clinical Periodontology, 10th. St.Louis Missouri: Saunders Elsevier, 2006: p 46-7, 68, 72-75, 116-120. Campbell N.A, Reece J.B and Mitchell L.G. Biology 5th ed vol.3. Jakarta: Erlangga. 2004 . p81-2. Marcuschamer E, Hawley C.E, Israel S, Romero D.M.R and Molina M.J. A Lifetime of Normal Hormonal Events and Their Impact on Periodontal Health. Perinatol Reprord Hum. 2009; 23:53. Carranza F.A, Newman M.G and Takkei H.H. Carranza’s Clinical Peridontology. 10th ed. Philadelphia: Saunders. 2008. p495-9. Sham A, Cheung L, Jin L and Corbet E. The Effects of Tobacco Use on Oral Health. Hongkong Med J. 2003; 9:271-77. Dewi N.M. Peran Stres Terhadap Kesehatan Jaringan Periodontal. Jakarta: EGC. 2010. p34.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
13. 14.
15.
16.
17.
18.
19.
Alamsyah R.M. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok dan Hubungannya Dengan Status Penyakit Periodontal di Kota Medan. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2007. Mealey L.B and Ocampo L.G. Diabetes Mellitus and Periodontal Disease. Journal Compilation 2007; 44:127-153. Pejcic A, Obradovic R, Kesic L and Kojovic D. Smoking and Periodontal Disease: A review. Medicine and Biology 2007. 14(2): 53 – 9. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Kalimantan Selatan: Laporan Hasil Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan. 2007. Eley B.M and Manson J.D. Periodontics. USA: Philadelphia. 2004. p10-11,124-5. Gondodiputo S. Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 2007. Curry C.M. Tobacco Use and Periodontal Disease. JCCC Honours Journal 2010; 1: 4-6. Kusuma A.R.P. Pengaruh Merokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut. Jurnal Sultan Agung Unissula 2010; (online), jilid 1, 1-6, (http// www.unissula.ac.id, diakses 25 Februari 2013). Kasim E. Merokok Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Penyakit periodontal. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. Jakarta: Fakultas Trisakti. 2001. Mullaly BH. The Influence of Tobacco Smoking on the Onset of Periodontitis in Young Person. Divisi of Periodontics. Queen’s University of Belfast. North Ireland. 2004. Gunsolley. A Meta Analysis of Six Month Studies of Antiplaque and Antigingivitis Agent. American Dental Association Journal 2006; 137:1-4. Kusuma Ali D, Yuwono S.S dan Wulan N.S. Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan Merk Rokok Kretek Filter yang Beredar di Nganjuk. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Malang: Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. 2012. Tirtosastro S dan Murdiyati A.S. Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok. Skripsi. Malang: Universitas Tribuana Tunggadewi Malang. 2010.
120
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PASTA GIGI HERBAL DENGAN PASTA GIGI NON HERBAL TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK PADA SISWA SDN ANGSAU 4 PELAIHARI Rizki Yulita Rahmah, Priyawan Rachmadi, Widodo Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Plaque control is an attempt to remove and prevent the plaque accumulation on the tooth surface. Brushing teeth is an effective method in controlling plaque. Plaque control is equipped by additional active ingredients in toothpaste form. The addition of herbal ingredients in toothpaste expected to inhibit the growth of plaque because it has the ability to inhibit the growth of microbes Purpose: The purpose of this study was to compare the effectiveness of herbal toothpaste and non herbal toothpaste in reducing plaque index. Methods: This study was a quasi experimental design and used a nonrandomized control group pretest-posttest design. Sampling was conducted by purposive sampling. Treatment was conducted by subject brushed their teeth with non-herbal toothpaste twice a day for 5 days, then underwent washing periods for 7 weeks, and re-treated brushed with herbal toothpaste for 5 days. Index plaque in each treatment was recorded by Patient Hygiene Performance (PHP) methods. Results: The mean plaque index before treatment was 2.78 and the mean plaque index after brushing the teeth with non-herbal toothpaste and herbal toothpaste respectively 2.19 and 1.47. Mann-Whitney statistical test showed p=0.000 (p<0.05) that indicated a significant difference between the reduction of plaque index after brushing with non herbal toothpaste and after brushing with herbal toothpaste. Conclusion: Based on the research it can be concluded that there was differences in the effectiveness between herbal toothpaste and non herbal toothpaste. Herbal toothpaste was more effective to reduce plaque index. Key words: toothpaste, herbal, non-herbal, plaque index ABSTRAK Latar belakang: Pengendalian plak adalah upaya membuang dan mencegah penumpukan plak pada permukaan gigi. Menyikat gigi merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan plak. Kontrol plak dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif dalam bentuk pasta gigi. Penambahan herbal pada pasta gigi diharapkan dapat menghambat pertumbuhan plak karena memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental dan menggunakan rancangan nonrandomized control group pretest posttest design. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Perlakuan yang diberikan adalah menyikat gigi menggunakan pasta gigi non herbal dua kali sehari selama 5 hari, kemudian subjek penelitian menjalani washing periode selama 7 minggu, dan kembali diberi perlakuan menyikat gigi dengan pasta gigi herbal selama 5 hari. Indeks plak masing-masing perlakuan dicatat dengan metode Patient Hygiene Performance (PHP). Hasil: Rerata indeks plak sebelum perlakuan adalah 2,78 dan rerata indeks plak sesudah diberi perlakuan menyikat gigi dengan pasta gigi non herbal dan pasta gigi herbal masing-masing 2,19 dan 1,47. Pada uji Mann-Whitney didapatkan hasil p=0,000 (p<0,05) yang menunjukkan perbedaan yang bermakna antara penurunan indeks plak sesudah menyikat gigi dengan pasta gigi non herbal dan sesudah menyikat gigi dengan pasta gigi herbal. Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non herbal, yaitu pasta gigi herbal lebih efektif menurunkan indeks plak Kata Kunci : pasta gigi, herbal, non herbal, indeks plak
121
Rahmah : Perbandingan Efektivitas Pasta Gigi Herbal
Korespondensi: Rizki Yulita Rahmah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected] PENDAHULUAN Tingkat kebersihan rongga mulut merupakan salah satu indikator kesehatan gigi dan mulut. Kebersihan rongga mulut dapat dilihat dari ada tidaknya deposit-deposit organik, seperti pelikel, materi alba, sisa makanan, kalkulus, dan plak gigi.1 Saat ini prevalensi tertinggi penyakit gigi dan mulut adalah karies dan penyakit periodontal yang disebabkan adanya plak gigi.2 Plak merupakan deposit lunak yang membentuk lapisan biofilm dan melekat erat pada permukaan gigi dan gusi serta permukaan keras lainnya dalam rongga mulut.3 Angka kejadian masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional Tahun 2007, prevalensi nasional masalah gigi-mulut adalah 23,4%. Terdapat 1,6% penduduk yang telah kehilangan seluruh gigi aslinya. Penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan gigi hanya 29,6% dari total penduduk dengan masalah gigi-mulut.4 Penelitian Kazemnejad et al (2008) menunjukkan 88,7% siswa di Tehran, Iran memiliki tingkat kesehatan periodontal yang buruk.5 Penelitian Chuckpaiwong et al (2000) di Laos menunjukkan dari 2453 responden, hanya 0,5% yang memiliki gingiva yang sehat, dan ditemukan deposit kalkulus pada 90% responden sejak berumur 12 tahun.6 Carneiro et al (2012) melaporkan bahwa dari 785 siswa pada suatu sekolah di Tanzania, 74% memiliki plak supraginggival dan 56,9% memiliki kalkulus.7 Prevalensi penyakit periodontal menurut kelompok umur pada tahun 2004 di dua kecamatan di kota medan yakni 97,62% pada usia 15-24 tahun, 93,88% pada usia 23-34 tahun, 94,64% pada usia 34-44 tahun, dan 100% pada usia 45-65 tahun.8 Pengendalian plak adalah upaya membuang dan mencegah penumpukan plak pada permukaan gigi. Upaya tersebut dapat dilakukan secara mekanis maupun kimiawi. Penyingkiran secara mekanis merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan plak dan gingivitis. Penyingkiran mekanis dapat meliputi penyikatan gigi dan penggunaan benang gigi. Saat ini kontrol plak dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif yang mengandung bahan dasar alami ataupun bahan sintetik sebagai bahan anti mikroba. Bahan anti mikroba tersebut tersedia dalam bentuk larutan kumur dan pasta gigi.9,10,11 Penelitian Almajed (1994) menunjukkan pembersihan plak dengan menyikat gigi menggunakan pasta gigi lebih efektif dibandingkan dengan menyikat gigi tanpa pasta gigi.12 Pasta gigi yang digunakan pada saat menyikat gigi berfungsi untuk mengurangi pembentukan plak, memperkuat
gigi terhadap karies, membersihkan dan memoles permukaan gigi, menghilangkan atau mengurangi bau mulut, memberikan rasa segar pada mulut serta memelihara kesehatan gusi.13 Pasta gigi yang beredar di pasaran umumnya mengandung fluor yang efektif dalam mencegah dan mengendalikan karies gigi.14 Fluor dapat menghambat demineralisasi email dan meningkatkan remineralisasi. Flour sangat berperan penting terhadap peningkatan kesehatan gigi.15 Pasta gigi pada umumnya mengandung bahan abrasif, air, pelembab, bahan perekat, bahan penambah rasa, bahan terapeutik, bahan desensitisasi, bahan anti-tartar, bahan pemutih, bahan pengawet, serta bahan antimikroba seperti triklosan dan klorheksidin yang berperan sebagai bahan aktif yang dapat memberikan efek inhibisi secara langsung pada pembentukan plak.16 Estafan et al (1998) melaporkan bahwa pasta gigi herbal lebih unggul dibandingkan pasta gigi konvensional dalam pengurangan plak.17 Penambahan herbal pada pasta gigi dapat menghambat pertumbuhan plak, karena beberapa jenis herbal memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba. Bahan antimikroba pada ekstrak daun sirih dan siwak berperan sebagai bahan aktif dan mampu membunuh bakteri yang menjadi penyebab terbentuknya plak. Selain itu, karena herbal berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka bahan tersebut aman dan alami.18,19 Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti melakukan penelitian mengenai perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak pada siswa SDN Angsau 4 Pelaihari. Tempat penelitian dipilih karena rendahnya persentase berperilaku benar dalam menyikat gigi di daerah tersebut, serta pelaksanaan kegiatan UKGS yang tidak sesuai dengan semestinya. Penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pendataan status indeks plak pada siswa di sekolah tersebut, sehingga plak yang merupakan salah satu sumber permasalahan pada gigi dapat dicegah sedini mungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak BAHAN DAN METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan rancangan penelitian nonrandomized control group pretest posttest design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V dan VI di SDN Angsau 4 Pelaihari. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Besar sampel yang diambil sebanyak 30 orang dan
122
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusinya antara lain siswa kelas V dan VI SDN Angsau 4 Pelaihari Kalimantan Selatan Tahun Ajaran 2013/2014, bersedia untuk berpartisipasi dan dijadikan responden penelitian, minimal memiliki seluruh gigi yang diperlukan dalam pemeriksaan, yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31 dan 46. Kriteria eksklusinya antara lain terdapat karies pada gigi yang diperlukan dalam pemeriksaan dan memakai alat ortodonti. Penelitian ini dilakukan di SDN Angsau 4 Pelaihari Kalimantan Selatan dengan prosedur pasien dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian dan diberikan lembar informed consent. Peneliti menyiapkan alat dan bahan yang meliputi kaca mulut (dental mirror), pinset, nierbeken, sikat gigi, alat tulis, masker, sarung tangan, handuk putih dan model peraga rahang atas dan rahang bawah. Bahan penelitian yang digunakan antara lain disclosing solution, alkohol 70%, air mineral, pasta gigi herbal, pasta gigi non herbal, dan kapas. Pengukuran indeks plak indeks pertama pada responden dengan menggunakan larutan pewarna plak/disclosing solution. Penggunaannya dengan cara mengoleskan kapas yang telah ditetesi disclosing solution pada permukaan gigi-gigi yang menjadi indeks penelitian, yaitu permukaan labial pada gigi anterior atas dan bawah, permukaan bukal gigi posterior rahang atas, dan permukaan lingual gigi posterior rahang bawah. Responden diminta berkumur dengan air mineral. Pemeriksaan Indeks plak menggunakan metode PHP (Patient Hygiene Performance) yang dilakukan pada permukaan mahkota gigi bagian fasial atau lingual dengan membagi tiap permukaan mahkota gigi menjadi lima subdivisi, yaitu distal, 1/3 servikal (gingival), mesial, 1/3 tengah, 1/3 insisal/oklusal. Gigi yang diperiksa adalah gigi 16, 11, 26, 36, 31, dan 46. Dicatat indeks plak dari setiap sampel yang diperiksa. Langkah selanjutnya adalah penyuluhan mengenai cara menyikat gigi yang baik dan benar, kemudian dilakukan pengukuran indeks plak kedua pada seluruh responden setelah 5 hari. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penurunan indeks plak setelah menyikat gigi dengan pasta gigi non herbal. Indeks plak pada setiap sampel yang diperiksa dicatat. Seluruh responden diinstruksikan menyikat gigi dua kali sehari dengan pasta gigi yang biasa digunakan di rumah. Responden kemudian diistirahatkan dari pemakaian pasta gigi non herbal (washing periode) selama 7 minggu.20 Responden diinstruksikan untuk menyikat gigi 2 kali sehari dengan menggunakan pasta gigi herbal. Pemeriksaan dan perhitungan indeks plak dilakukan kembali pada responden setelah 5 hari. Hasil pemeriksaan dicatat dalam formulir penilaian indeks plak. Hasil penilaian indeks plak pada responden sebelum dan setelah
menyikat gigi dengan pasta gigi herbal dibandingkan dengan pasta gigi non herbal. HASIL PENELITIAN Hasil pemeriksaan indeks plak dengan menggunakan PHP (Patient Hygiene Performance) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata indeks plak sebelum diberi perlakuan, sesudah penggunaan pasta gigi non herbal, dan sesudah penggunaan pasta gigi herbal.
Indeks Plak Sebelum diberi perlakuan Sesudah diberi perlakuan Penurunan
Rata-rata Penggunaan Penggunaan Pasta Gigi Pasta Gigi Non Herbal Herbal 2.78
2.78
2.19
1.47
0.59
1.31
Penurunan indeks plak pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diuji dengan menggunakan uji T berpasangan. Hasil penurunan indeks plak pada penggunaan kedua pasta gigi yaitu 0,000 (p<0,05), sehingga dapat dikatakan terjadi penurunan indeks plak yang signifikan pada penggunaan pasta gigi herbal dan pasta gigi non herbal. Perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak diuji dengan Mann Whitney dan didapatkan hasil 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara penggunaan pasta gigi herbal dan pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak. PEMBAHASAN Lingkungan fisik meliputi anatomi dan posisi gigi, dan anatomi jaringan sekitarnya, serta friksi atau gesekan oleh makanan yang dikunyah dapat mempengaruhi proses pembentukan plak gigi. Pemeliharaan kebersihan mulut dapat mencegah atau mengurangi penumpukan plak pada permukaan gigi.16 Pengaruh diet terhadap pembentukan plak telah diteliti dalam dua aspek, yaitu pengaruhnya secara fisik dan pengaruhnya sebagai sumber makanan bagi bakteri di dalam plak. Jenis makanan, yaitu keras dan lunak, mempengaruhi pembentukan plak pada permukaan gigi. Plak banyak terbentuk jika kita lebih banyak mengkonsumsi makanan lunak, terutama makanan yang mengandung karbohidrat jenis sukrosa, karena akan menghasilkan dekstran dan levan yang memegang peranan penting dalam pembentukan
Rahmah : Perbandingan Efektivitas Pasta Gigi Herbal
matriks plak. Kariogenitas makanan tergantung pada beberapa faktor, misalnya konsentrasi sukrosa, sifat perlekatan makanan pada permukaan gigi, kecepatan pembersihan rongga mulut dan kualitas pembersihan.16 Penyikatan gigi dengan menggunakan pasta gigi non herbal dapat menurunkan indeks plak secara bermakna. Hal tersebut disebabkan terdapat bahan abrasif yang dapat membersihkan dan memoles permukaan gigi tanpa merusak email. Pasta gigi juga mengandung bahan pembersih (detergent) yang fungsinya menurunkan tegangan permukaan dan melonggarkan ikatan debris dengan gigi yang akan membantu gerakan pembersihan sikat gigi. Adanya kandungan bahan abrasif dan detergent menyebabkan pembuangan plak, debris, material alba, dan sisa makanan menjadi lebih mudah.16,21 Komposisi pasta gigi non herbal pada penelitian ini antara lain: Calcium Carbonate sebagai bahan abrasif, water sebagai bahan pelarut, sorbitol sebagai bahan pelembab, Sodium Lauryl Sulfate sebagai bahan deterjen, Flavor, Cellulose Gum, Pottasium Citrate, Sodium Silicate, Sodium Saccobarin, serta Sodium Monofluorophosphate sebagai bahan fluoride yang dapat mencegah demineralisasi pada gigi sekaligus sebagai bahan aktif dalam pasta gigi tersebut. Pasta gigi dengan kandungan herbal dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk penyakit periodontal dan pencegahannya yang dapat digunakan secara rutin, terutama untuk pasien yang menginginkan produk alami.22 Penelitian ini menggunakan pasta gigi herbal dengan komposisi utama siwak dengan berbagai bahan tambahan lain seperti Calcium Carbonate sebagai bahan abrasif yang dapat membersihkan permukaan gigi tanpa merusak email, water sebagai bahan pelarut, sorbitol sebagai bahan pelembab, Sodium Lauryl Sulfate sebagai bahan deterjen yang dapat melonggarkan ikatan debris dengan gigi dan akan membantu gerakan pembersihan sikat gigi, Sodium Carboxyl Methyl Cellulose, Fumed Silicium Dioxide, flavor peppermint, Sodium Monofluorophosphate, Salvadora persica powder yang dapat membantu pembersihan sisa makanan pada sela-sela gigi, sodium saccharine, titanium dioxide, clove oil (Eugenia Caryophyllus), dan metyl paraben. Efek terapeutik dan profilaktik siwak diakibatkan adanya pembersihan mekanis dan pelepasan zat kimia aktif yang terdapat didalamnya. Substansi silica pada Salvadora persica (siwak) diduga membantu aksi mekanis siwak terhadap pembersihan plak.10,23 Penelitian ini menggunakan pasta gigi dengan komposisi utama siwak dengan kandungan kimiawi seperti Klorida, Pottasium, Sodium Bikarbonat, Fluor, Silika, Sulfur, Vitamin C, Trimetilamin, Salvadorin, Tannin dan beberapa mineral lainnya yang berfungsi untuk
123 membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi. Bahan-bahan ini sering diekstrak sebagai bahan penyusun pasta gigi. Minyak aroma alami yang memiliki rasa dan bau yang segar, yang dapat menyegarkan mulut dan menghilangkan bau tidak sedap. Enzim dapat mencegah pembentukan plak yang merupakan penyebab radang gusi dan penyebab utama tanggalnya gigi secara prematur. Anti Decay Agent (zat anti pembusukan) dan Antigermal System bertindak seperti Penicilin yang menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut merangsang produksi saliva. Saliva merupakan organik mulut yang melindungi dan membersihkan mulut.23 Siwak dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri rongga mulut terutama spesies Streptococcus. Tannin (asam tanan) yang terkandung di dalam siwak dapat mengurangi perlekatan bakteri pada permukaan gigi. Mekanisme tannin dalam menghambat dan mengurangi terbentuknya plak adalah dengan cara menghambat enzim glukosil transferase yang diproduksi oleh Streptococcus mutans. Streptococcus mutans dapat membuat polisakarida ekstraseluler dari sukrosa salah satunya glukan (dekstran) yang tidak larut dalam air yaitu perekat pelikel yang disintesis oleh glukosil transferase. Glukan ini berperan dalam menimbulkan koloni bakteri pada permukaan gigi. Terhambatnya enzim glukosil transferase akan menghambat proses perlekatan bakteri ke pelikel gigi, sehingga mencegah proses kolonisasi awal pada pembentukan plak gigi.19 Penelitian lain dengan menjadikan serbuk siwak sebagai bahan tambahan pada pasta gigi menunjukkan prosentase hasil terbaik bagi kesehatan gigi secara sempurna, karena mampu menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih berkumpul pada sela-sela gigi. Hal ini yang mendorong perusahaan-perusahaan pasta gigi di dunia menyertakan serbuk siwak ke dalam produk pasta gigi mereka. World Health Organization (WHO) turut menjadikan siwak sebagai salah satu komoditas kesehatan yang perlu dipelihara dan dibudidayakan.23 Hasil penelitian menyatakan terdapat perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak. Penggunaan pasta gigi herbal dapat menurunkan indeks plak lebih besar. Penggunaan pasta gigi yang mengandung herbal disarankan untuk disebarluaskan sebagai alternatif dalam menurunkan akumulasi plak, serta dapat dijadikan alternatif formulasi konvensional untuk individu yang tertarik pada produk alami.
124
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124
DAFTAR PUSTAKA 1.
Ambarwati FE, Utami DF dan Pramono D. Pengaruh pemberian larutan ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap pembentukan plak gigi. Jurnal Media Medika muda 2012; 318. 2. Fontana M and Zero DT. Assessing patients’ caries risk. J Am Dent Assoc 2006; 137(9) :1231-1239. 3. Haake SK: Periodontal microbiology. Dalam F.A.Carranza dan M.G.Newman. Clinical Periodontology. 9th Ed. Philadelphia: W.B. Saunders. 2002. Hal. 96-113. 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2008. Hal.176 5. Kazemnejad A, Zayeri F, Rokn AR and Kharazifard MJ. Prevalence and risk indicators of periodontal disease among highschool students in Tehran. Eastern Mediterranean Health Journal 2008; 14(1) :119-125. 6. Chuckpaiwong S, Ngonephady S, Dharmbhibhit J, Kasetsuwan J and Sirirat M. The Prevalence of Periodontal Disease and Oral Hygiene Care in Savannakhet Province, Lao People’s Democratic Republic. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2000; 31(4) :775-779. 7. Carneiro LC and Kabulwa MN. Dental Caries, and Supragingival Plaque and Calculus among Students, Tanga, Tanzania. International Scholarly Research Network ISRN Dentistry 2012; 1-6. 8. Tampubolon NS. Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal terhadap Kualitas Hidup. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kedokteran Gigi Pencehagan/Kesehatan Gigi Masyarakat pada Fakultas Kedokteran Gigi 2005; 1-30. 9. George J, Shashikant Hegde, KS Rajesh and Arun Kumar. The efficacy of a herbal-based toothpaste in the control of plaque and gingivitis: A clinico-biochemical study. Indian J Med Res 2009; 20 :480-482. 10. Pratiwi R. Perbedaan daya hambat terhadap Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi yang mengandung herbal. J Dent 2005; 38 :64– 67. 11. Morgana S, Carneiro T, Silva SL, Morais O and Ximenes M. Effect of a dentifrice containing aloe vera on plaque and gingivitis control: a double-blind clinical study in humans. J Appl Oral Sci 2008; 16(4) :293-296. 12. Zanatta FB, Antoniazzi RP, Pinto TM and RÖsing CK. Supragingival Plaque Removal with and without Dentifrice: A Randomized Controlled Clinical Trial. Braz Dent J 2012; 23(3) :235-240.
13. Pannuti CM, Mattos JP, Ranoya PN, Jesus AM, Lotufo RFM and Romito GA. Clinical effect of a herbal dentifrice on the control of plaque and gingivitis: a double-blind study. Pesqui Odontol Bras 2003; 17 :1517-1522. 14. Damle SG, Deoyani D, Bhattal H, Yadav R and Lomba A. Comparative efficacy of dentifrice containing sodium monofluorophosphate + calcium glycerophosphate and non-fluoridated dentifrice: A randomized, double-blind, prospective study. Dental Research Journal 2012; 9(1) :68-73. 15. Davies R, Scully C and Preston AJ. Dentifrices - an update. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2010; 15(6) :976-982. 16. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjannah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC, 2010. Hal.56-77, 98-121. 17. Wright AA, Agbelusi GA, Dayo AF and Olunuga OJ. Oral and peri-oral signs and symptoms of herbal dentifrices in patients in two oral medicine clinics in Lagos—A preliminary study. Open Journal of Stomatology 2012; 2 :27-32. 18. Nalina T and Rahim ZHA. Effect of Piper betle L. Leaf Extract on the Virulence Streptococcus mutans-An in vitro Study. Pakistan Journal of Biological Sciences 2006; 9(8) :1470-1475. 19. Adriyati P dan Santoso O. Pengaruh Pemberian Larutan Ekstrak Siwak (Salvadora persica) terhadap Pembentukan Plak Gigi [Karya Tulis Ilmiah]. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2011, 1-12. 20. Senn S. Cross-over trials in clinical research. 2nd Ed. England: Wiley, 2002. P.13-14. 21. Storehagen S and Shilpi Midha OS. Dentifrices and Mouthwashes Ingredients and Their Use. Oslo University of andidatus/candidate Odonto degree quide to Clinic. 2003; 1-44. 22. Maldupa I, Brinkmane A, Rendeniece I and Mihailova I. Evidence based toothpaste classifi cation, according to certain characteristics of their chemical composition. Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal 2012; 14(1) :12-22. 23. Ahmad H and Ahamed N. Therapeutic properties of meswak chewing sticks: A review. African Journal of Biotechnology 2012; 11(83) :14850-7.
125
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL JAHE PUTIH KECIL (Zingiber officinale Var. AMARUM) 30% DENGAN Chlorhexidine glukonat 0,2% TERHADAP Candida albicans IN VITRO Haluanry Doane Santoso, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindya Carabelly Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: One of many medicinal plants used by the Indonesian people and has been known long time ago that is small white ginger ( Zingiber officinale var. Amarum), a small white ginger has antifungal activity, one of them is Candida albicans. The chemical composition of small white ginger acts as the other antifungal compounds such as phenol; gingerol, shogaol, and zingeron. Purpose: The Purpose of this research was to determine differences in the antifungal activity of ethanol extract of small white ginger ( Zingiber officinale var. Amarum ) 30% and Chlorhexidine gluconate 0.2% to the growth of Candida albicans. Method: The method of this research was a true experimental design and completely randomized post-test-only design using 2 treatments, the treatment group was given a small white ethanol extract of ginger ( Zingiber officinale Var. amarum ) 30% and a positive control group Chlorhexidine gluconate 0.2%. Antifungal activity of each group was tested on cultures of Candida albicans using by a diffusion method and assessed from the diameter of the radical zone or clear zone around the paper disk. Result: The result is average of radical zone in a given culture treated with ethanol extract small white ginger was 12 mm, while Chlorhexidine gluconate given 0.2% was 14.875 mm. Conclusion: The results of research was showed the antifungal activity of 0.2% Chlorhexidine gluconate greater than the antifungal activity of ethanol extract of white small ginger 30%, but the antifungal activity of white small ginger extract good enough to inhibit the growth of Candida albicans. Key words: Candida albicans, 0.2% Chlorhexidine gluconate, ethanol extract small white ginger ( Zingiber officinale var. Amarum ) 30% , antifungal activity ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu tanaman obat yang banyak dipergunakan oleh masyarakat Indonesia dan telah lama dikenal adalah rimpang jahe putih kecil (Zingiber officinale var. amarum), jahe putih kecil ini memiliki aktivitas sebagai antijamur, salah satunya pada Candida albicans. Kandungan kimia jahe putih kecil yang berperan sebagai antijamur antara lain senyawa fenol seperti; gingerol, shogaol, dan zingeron. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan aktivitas antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber officinale var. amarum) 30% dan Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap pertumbuhan Candida albicans. Metode: Penelitian ini menggunakan metode true experimental dengan rancangan penelitian post test-only design dengan rancangan acak lengkap menggunakan 2 perlakuan, yaitu kelompok yang diberikan perlakuan berupa ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber officinale Var amarum) 30% dan kelompok control positif Chlorhexidine gluconate 0,2%. Aktivitas antijamur dari masing-masing kelompok pada biakan Candida albicans diuji dengan menggunakan metode difusi dan dinilai dari diameter zona radikal atau zona bening disekitar paper disk. Hasil: Rata-rata zona radikal pada biakan yang diberikan perlakuan dengan ekstrak etanol jahe putih kecil adalah 12 mm, sedangkan yang diberikan Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah 14,875 mm. Kesimpulan: Hasil penelitian menujukan aktivitas antijamur Chlorhexidine gluconate 0,2% lebih besar daripada aktivitas antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil 30%, namun aktivitas antijamur ektrak jahe kecil cukup tinggi menghambat pertumbuhan Candida albicans. Kata kunci : Candida albicans, Chlorhexidine gluconate 0,2%, ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber officinale Var. amarum) 30%, aktivitas antijamur
126
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129
Korespondensi: Haluanry Doane Santoso, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Candida albicans merupakan mikroflora normal rongga mulut yang seringkali menyebabkan infeksi opurtunistik pada pasien yang mengalami penurunan pertahanan tubuh akibat penuaan, penyakit diabetes dan AIDS, serta faktor iatrogenik.1,2,3 Spesies tersebut seringkali berkolonisasi dalam rongga mulut yaitu sebesar 30% - 60% dan permukaan gigi tiruan yang tidak pas sebesar 60% - 100%.4,5 Invasi C. albicans pada jaringan lunak rongga mulut, dapat menyebabkan terjadinya Kandidiasis oral. Prevalensi kandidiasis oral di Indonesia pada pasien yang dirawat di RSCM sebesar 84% sampai tahun 2009.5 Terapi yang diberikan pada lesi rongga mulut akibat infeksi tersebut adalah berupa pemberian obat – obatan antijamur, tetapi saat ini banyak dilaporkan beberapa jamur yang resisten terhadap obat – obatan antijamur tersebut, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai terapi antijamur alternatif. Salah satu obat topikal umum yang digunakan sebagai terapi antijamur alternatif dalam rongga mulut adalah Chlorhexidine gluconate.6 Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah antiseptik bisbiguanida yang aktif melawan bakteri dan jamur.7,8 Obat ini digunakan untuk meningkatkan kebersihan mulut dan penyembuhan luka secara topikal dalam rongga mulut. Chlorhexidine gluconate 0,2% terbukti dapat mengurangi pertumbuhan mikroorganisme secara signifikan serta mempunyai daya hambat yang sama dengan nistatin terhadap beberapa spesies jamur terutama terhadap Candida albicans.6,9 Penggunaan Chlorhexidine dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada pemakainya. Rasa tidak nyaman tersebut diakibatkan karena iritasi mukosa, ulserasi, perubahan indra perasa, dan perubahan warna gigi dan lidah.10, karena penggunaan Chlorhexidine menimbulkan rasa yang tidak nyaman pada pemakainya maka dilakukan penelitian tanaman obat tradisional yang mampu melawan pertumbuhan C. albicans yang nantinya dapat menjadi obat alternatif yang lebih murah, mudah didapat, dan banyak terdapat di masyarakat. Tanaman obat dapat menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologik yang beraneka ragam, memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit. Menurut perkiraan badan kesehatan dunia WHO 80% penduduk dunia masih menggantungkan kesehatan pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Salah satu tanaman obat yang banyak
dipergunakan oleh masyarakat Indonesia dan telah lama dikenal adalah rimpang jahe putih kecil (Zingiber officinale var. amarum).11 Rimpang jahe selain berkhasiat sebagai obat batuk, penawar racun, antitusif, laksatif, antasida, dan sebagai antioksidan serta dilaporkan rimpang jahe memiliki aktivitas sebagai antijamur pada Candida albicans, sebagai agen penyebab Kandidiasis oral.11,12,13 Pada penelitian terdahulu didapatkan efektivitas antijamur dari ekstrak etanol jahe putih kecil 30% terhadap T. mentagrophytes dan C. neoforrmans lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak etanol jahe putih kecil 25%, 20%, 15%, dan 10%.11 Hasil penelitian tersebut menjadi salah satu alasan peneliti menggunakan ekstrak etanol jahe putih kecil konsentrasi 30%. Pada penelitian lain juga disebutkan ekstrak etanol jahe besar (Zingiber officinale) efektif melawan C. albicans pada konsentrasi 2mg ml-1 dengan konsentrasi dilusi 1:5.14 Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui ekstrak etanol jahe putih kecil 30% memiliki aktivitas antijamur terhadap C. neoforrmans, tetapi belum diketahui apakah aktivitas antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil 30% sama dengan Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida albicans. Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan aktivitas antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil 30% dan Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida albicans. Aktivitas perlakuan terhadap Candida albicans, dapat diketahui melalui uji difusi, dengan menghitung zona hambat yang terbentuk, menunjukan efek dari aktivitas masing – masing perlakuan yang diuji. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental laboratoris murni (true exsperimental) dengan post test only with control group design rancangan acak lengkap menggunakan 2 perlakuan perlakuan 1: Ekstrak etanol jahe putih kecil 30%, perlakuan 2: Chlorhexidine gluconate 0,2%. Jumlah pengulangan setiap perlakuan adalah 16 kali yang diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan rumus Federer. Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, mortir dan stamper, autoclave, inkubator, tabung reaksi, cawan petri, ose bulat, lampu bunsen, kapas lidi steril, pipet tetes, caliper (skala millimeter), gelas beker, labu erlenmeyer, alat pengaduk, kertas saring, aluminium foil, laminary flow. Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber
127
Santoso : Perbandingan Aktifitas Antijamur
officinale var. amarum) 30%, Chlorhexidine gluconate 0,2%, isolat Candida albicans, media agar darah, Sabouraud Dextrose Agar, aquades steril, media Brain Heart Infusion (BHI), paper disk kosong - steril, CMC-Na dan deretan larutan McFarland. Rimpang jahe putih kecil dicuci bersih lalu setelah dikeringkan kemudian ditimbang. Jahe putih kecil kemudian diiris kecil-kecil dan dikeringkan dengan pengeringan alamiah yaitu diangin-angin dan tidak dipanaskan di bawah sinar matahari langsung (ditutup dengan kain hitam) serta ditimbang. Dihaluskan dengan blender hingga berupa serbuk halus dan ditimbang lagi. Pembuatan Ekstrak etanol jahe putih kecil 30%. Pada penelitian ini, metode ekstraksi yang digunakan ialah maserasi. Sebanyak 500 g sampel serbuk dimasukkan dalam alat maserasi. Kemudian larutan etanol 70% dituangkan secara perlahanlahan ke dalam alat maserasi yang berisi sampel, lalu diaduk-aduk hingga merata. Larutan penyari dituangkan hingga 1 cm di atas permukaan sampel. Diaduk sekali-sekali, setiap 1x24 jam filtrat disaring dan pelarut diganti dengan yang baru sambil sekali-sekali diaduk. Penggantian pelarut dilakukan hingga cairan berwarna bening. Setelah itu ekstrak dikumpulkan dan diuapkan dengan rotary evaporator pada tekanan rendah dengan temperatur 40oC sampai didapatkan ekstrak etanol yang kental kemudian diuapkan di waterbath sehingga didapatkan bobot tetap. Ekstrak kental kemudian dilarutkan dalam CMC-Na sehingga didapat konsentrasi 300 mg ekstrak per ml. Isolat Candida albicans (ATCC 10231) ditumbuhkan pada media cair BHI selama 5-8 jam sesuai dengan standar McFarland 0,5. Selanjutnya dilakukan seri pengenceran suspensi dengan ditambahkan akuades sampai kekeruhan suspensi sebanding dengan standar McFarland 0,5 yaitu setara dengan jumlah jamur atau ragi sebanyak 5 x 106 cfu/ml. Dilakukan kultur Candida albicans menggunakan kapas lidi steril yang dimasukan dalam suspense jamur dan diusapkan pada permukaan perbenihan agar Sabouraud (SDA+, SDA yang telah diberikan kloramfenikol) hingga rata. Kultur diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Paper disk dengan diameter 5 mm disaturasi dengan filter kemudian diambil dengan menggunakan pinset dan direndam selama 3 jam dalam suspensi ekstrak etanol jahe putih kecil 30% dan Chlorhexidine gluconate 0,2%. Masing-masing Paper disk kemudian diletakkan pada permukaan media SDA+. Candida albicans yang telah diinkubasi pada media SDA+ kemudian diberi paper disk yang telah diletakkan dalam suspensi ekstrak etanol jahe putih kecil 30% dan Chlorhexidine gluconate 0,2%. Selanjutnya media pengujian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Kemudian dilakukan pembacaan hasil dengan
ukuran zona hambat setelah masa inkubasi. Zona hambat diukur dari sekeliling disk. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan calliper (dalam satuan milimeter). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian zona hambat esktrak jahe putih kecil dan Chlorhexidine gluconate dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Rata-rata zona hambat antijamur pada setiap perlakuan. Hasil uji indepedent t-Test diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti ekstrak etanol jahe putih kecil 30% mempunyai aktivitas antijamur yang sama dengan Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida albicans (H0) ditolak, sehingga dari hasil uji dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada kedua perlakuan tersebut dengan tingkat kepercayaan 95%. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa konsentrasi 30% ekstrak etanol jahe putih kecil memiliki efek antijamur terhadap Candida albicans. Menurut Atai, ekstrak etanol jahe pada konsentrasi 2mg ml-1 efektif terhadap jamur Candida albicans metode uji dilusi 1:5.14 Selanjutya penelitian Gholib, mengatakan bahwa ekstrak etanol jahe putih kecil pada konsentrasi 30% mempunyai aktivitas antijamur terhadap C. neoformans.11 Candida albicans dan C. neoformans termasuk ragi dengan struktur membran sel yang sama yaitu memiliki dinding sel khamir (Blastospora) dengan komponen utama kapsula polisakarida berupa glukan, khitin, mannan.15 Efek antijamur dari perlakuan ekstrak etanol jahe putih kecil disebabkan adanya kandungan minyak atsiri yang terdiri dari senyawa aktif yaitu gingerol, shogaol, zingeron, dan zingiberen. Gingerol, shogaol, dan zingeron termasuk dalam senyawa fenol, yang diketahui dapat mendenaturasi ikatan protein membran sel Candida albicans, sehingga membran sel menjadi lisis dan fenol dapat
128
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129
menembus ke dalam inti sel, menyebabkan jamur Candida albicans tidak dapat berkembang.16,17,18 Letak dan jumlah kelompok hidroksil pada kelompok fenol diduga berhubungan dengan sifat toksiknya terhadap mikroorganisme, yang dapat meningkatkan hasil hidroksilasi dan peningkatan toksisitas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya inhibisi enzim oleh senyawa teroksidasi atau interaksi nonspesifik dengan protein mikroorganisme.19 Mekanisme kerja lain yang dipercaya bahwa ekstrak jahe menghambat pertumbuhan Candida albicans dengan berlakunya efek apoptosis pada kandungan sel Candida albicans. Sel mengalami penghambatan proliferasi, terjadi pengerutan sel dan kondensasi pada kromosom. Efek ini merupakan penelitian dari ekstrak jahe terhadap Cell-line Hep-2. Oleh karena, sel jamur termasuk sel eukaryote dan tidak berbeda dengan sel tersebut sehingga dianalogikan untuk mekanisme kerja terhadap sel Candida albicans.20 Senyawa antijamur lain yang terkandung dalam ekstrak jahe diduga berasal dari komponen minyak atsiri rimpang jahe yang mengandung senyawa metabolit sekunder yang termasuk ke dalam golongan seskuiterpen. Senyawa turunan yang termasuk ke dalam turunan seskuiterpen yaitu : a-zingiberen, b-zingiberen, b-bisabolen, belemen, b-parnesen, d-salinen, dan b-seskuiphelandren dan senyawa turunan minyak atsiri lainnya diduga mempunyai sifat antijamur.21 Senyawa seskuiterpene ini diduga dapat mengganggu metabolisme energi dalam mitokondria yaitu dalam tahap transfer elektron dan fosforilasi. Terhambatnya transfer elektron akan mengurangi oksigen dan mengganggu fungsi dalam siklus sel pada mitokondria. Akibat tidak terjadinya tahap fosforilasi menyebabkan terhambatnya pembentukan ATP dan ADP. Terhambatnya pertumbuhan Candida albicans dalam penelitian ini, karena adanya penurunan pengambilan oksigen oleh mitokondria yang mengalami kerusakan membran dan kerusakan krista akibat adanya aktivitas senyawa antijamur, sehingga menyebabkan energi ATP yang dihasilkan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan sel menjadi berkurang, sehingga pertumbuhannya terhambat secara normal.21 Pada penelitian ini didapatkan bahwa perlakuan Chlorhexidine glukonate 0,2% terhadap Candida albicans memiliki zona hambat rata-rata sebesar 14,875 mm. Hasil ini hampir mendekati dengan hasil Pramitha yang meniliti tentang efektifitas fungisidal ekstrak daun jambu mente terhadap Candida albicans dengan menggunakan Chlorhexidine glukonate 0,2% sebagai kontrol positif. Pramitha menyebutkan bahwa zona hambat rata-rata Chlorhexidien glukonate terhadap Candida albicans sebesar 16,25 mm.22 Molekul Chlorhexidine merupakan biguanidakationik tinggi dan mengikat permukaan
kutub negatif dengan kuat, termasuk sel-sel epithelial dan dapat digunakan dalam konsetrasi yang bervariasi. Chlorhexidine pada dosis yang rendah akan menganggu transport seluler, sehingga sel bakteri atau sel ragi mengalami kerusakan dengan terbentuknya pori–pori pada membran seluler. Pada penggunaan Chlorhexidine konsentrasi yang lebih tinggi, larutan merembes ke dalam sel bakteri dan menyebabkan terjadinya kerusakan mikroorganisme tersebut.23 Pada penelitian ini digunakan Chlorhexidine dengan dosis rendah. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tetang penggunaan Chlorhexidine terhadap Candida spp. Menyebutkan bahwa Chlorhexidine dapat mengkoagulasi nucleoprotein dan merubah dinding sel ragi, sehingga menyebabkan keluarnya komponen sitoplasma ke plasmalemma. Mekanisme antimikroba dari Chlorhexidine tersebut dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans yang berlebih, tetapi tidak dapat menghentikan germinasi spora sel ragi tersebut, terdapat reduksi yang cukup besar pada sel biofilm Candida spp. Pada level makroskopis, dapat dilihat bahwa adesi permukaan substrat dan sel juga mengalami kerusakan.6,24 Hasil penelitian menujukan aktivitas antijamur Chlorhexidine gluconate 0,2% lebih besar daripada aktivitas antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil 30%. Aktivitas antijamur ektrak jahe kecil cukup tinggi menghambat pertumbuhan Candida albicans. Agar dapat digunakan sebagai obat alteranatif di masyarakat perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan konsentrasi optimum dari sediaan ekstrak dan uji klinik untuk menentukan dosis terapi, dosis toksik, efek samping, dan efek toksik. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
Kumar BV, Padshetty NS, Bai KY, Rao MS. Prevalance of Candida in the Oral Cavity of Diabetic Subjects. JAPI 2005; 99: 39-47. Chattopadhyay A, Journ D, Caplan DJ, Slade GD, Shugars DC, Tien H, Patton L. Incidence of Oral Candidiasis and Oral Hairy Leukoplakia in HIV- infected adults in North Carolina. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2005; 99: 39-47. Nejad BS, Rafiei A & Moosanejad F. Prevalence of Candida Species in the Oral Cavity of Patients with Periodontitis. African Journal of Biotechnology 2011; 10 (15): 29872990. Loster BW, Loster J, Wieczorek A, Ryniewicz W. Mycological Analysis of the Oral Cavity of Patients Using Acrylic Removable Dentures. Gastroenterology Research and Practice 2012; Hal: 1-9.
Santoso : Perbandingan Aktifitas Antijamur
5.
Hidayat R. Efek Penambahan Glukosa pada Sabouraud Dextrose Broth terhadap Pertumbuhan Candida albicans (Uji In Vitro). Jakarta. Indonesia. 2008; Hal: 1. 6. Machado FC, Portela MB, Cunha AC, Souza IPR, Soares RM, Castro GF. Antifungal Activity of Chlorhexidine on Candida spp. biofilm. Rev Odontol 2010; 39 (5): 271-275. 7. Sikka G, Dodwad V & Chandrashekar KT. Comparative Anti-plaque and Anti-gingivitis Efficacy of Two Commercially Available Mouthwashes - 4 Weeks Clinical Study. Journal of Oral Health and Community Dentistry 2011; 5(3): hal. 111. 8. Erdemir EO, Tekin US, Erdemir A. Effects of 0.2% Chlorhexidine gluconate to the Plaque Accumulation on Silk Suture Materials in Oral Mucosa: A Scaning Electron Microscope Study. Arastirma 2007; 31(1): 12-18. 9. Mohammadi Z, Abbott PV. The Properties and Applications of Chlorhexidine in Endodontics. International Endodontic Journal 2009; Hal: 4. 10. Meechan JG, Seymour RA. Drug Dictionary for Dentistry. USA: New York: Oxford University Press; 2002. Hal: 77. 11. Gholib D. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Jahe Merah (Zingiber officinale Var. Rubrum) Dan Jahe putih (Zingiber officinale Var. Amarum) terhadap Trichophyton mentagrophytes Dan Cryptococcus neoformans. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor; 2008. 12. Supreetha S. Sharadadevi M. Simon SP, Jain J, Tikare S. Antifungal Activity of Ginger Extract on Candida albicans An In-vitro Study. 2011. 13. Ficker CE, Arnason JT, Vindas PS, Alvares LP, Akpagana K, Gbeassor M, De Souza C, Smith ML. Inhibition of Human Pathogenic Fungi by Ethnobotanically Selected Plant Extract. National Center for Biotechnology Information. 2003. 14. Atai Z, Atapour M, Mohseni M. Inhibitory Effect of Ginger Extract on Candida albicans. American Journal of Applied Sciences. 2009; 6 (6): 1067-69
129 15. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, Adelberg's Medical Microbiology 24th Edition.. Kentucky. USA: McGraw-Hill. 2007; Hal: 691, 357. 16. Ali WM. et al. Evaluation of Antibacterial Effect of Ginger Extract When Used as One Component of the Root Canal Sealer. 2012. 8(2) 17. Arif T, Bhosale JD, Kumar N, Mandal TK, Bendre RS, Lavekar GS, Dabur R. Natural Products - Antifungal Agents Derived from Plants. Journal of Asian Natural Products Research 2009; 11(7): 621-638. 18. Sulistiyawati D, Mulyati S. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Daun Jambu Mete (Anacardium occidantale Linn.) terhadap Candida albicans. Biomedika 2009; 2(1): 4751. 19. Hernawan UE, Setyawan AD. Review: Ellagitanin; Biosintesis, isolasi, dan Aktivitas Biologi. Biofarmasi 2003; 1(1): 25. 20. Vadma V, A.D Cristie S, K.M Rankumar. Journal : Induction of Apoptosis by Ginger in Hep 2 Cell-line is Mediated by Reactive Oxygen Species. Basic Clinical Pharmacoloy Toxicology. India. 2007. 100(5): 302-307. 21. Griffin H.D. Fungal Physiology. New York: John Wiley and Son, Inc. 1994. 22. Pramitha SR. Perbandingan Efek Fungisidal Ekstrak Daun Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) 12,5% dan Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida albicans. 2012. 23. Mathur S, Mathur T, Srivastava R, Khatri R. Chlorhexidine: The Gold Standard in Chemical Plaque Control. National Journal of Physiology, Pharmacy & Pharmacology 2011; 1(2): 45-50. 24. Lorian V. Antibiotics in Laboratory Medicine, 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Canada. USA 2005. Hal: 622.
130
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
FREKUENSI SUSUNAN GIGI TIDAK BERJEJAL DAN BERJEJAL RAHANG BAWAH PADA BENTUK LENGKUNG NARROW RAHANG BAWAH Tinjauan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012
Puteri Islami Savitri, Priyawan Rachmadi, Widodo Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACK Background: The size and shape of the arch is important for diagnose determine of treatment plan on ortodontic cases, it could affect available space, aesthetics, and stability of teeth. Arch dimension is a genetic factor that can induced crowded teeth condition. Crowded teeth is an disharmony teeth formation of the arch. Arch dimension aspect have a big role in the occurance of crowded teeth, people with crowded teeth has bigger width of dimension arch than uncrowded group. Purpose: The purpose of this study was to know the distribution of teeth formation on narrow form lower jaw. Methods: It was an observational study with cross sectional approximation. Sample were taken from Lambung Mangkurat Medical Faculty students of 2010-2012 with total 30 samples whose narrow form lower jaw. Results: The result showed that 24 samples (80%) had crowded teeth and 6 samples (20%) had uncrowded teeth.Conclusion: It can concluded that people with narrow form lower jaw had more crowded teeth condition than uncrowded teeth. Keywords: arch dimension, teeth formation, crowded teeth ABSTRAK Latar Belakang: Ukuran dan bentuk lengkung rahang memiliki pengaruh penting dalam diagnosis dan rencana perawatan kasus ortodontik, karena dapat mempengaruhi tempat yang tersedia, estetik, serta stabilisasi dari geligi. Dimensi lengkung merupakan factor herediter yang berperan pada terjadinya gigi berjejal. Gigi berjejal adalah tidak rapi atau tidak harmonisnya susunan gigi pada suatu lengkung rahang. Aspek dimensi lengkung lebih berperan dalam menyebabkan gigi berjejal, dimana lebar lengkung rahang pada susunan gigi tidak berjejal lebih besar dibandingkan susunan gigi berjejal. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi susunan gigi pada bentuk lengkung narrow rahang bawah. Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian terdiri dari satu kelompok rahang bawah berbentuk narrow yang diambil dari mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin angkatan 2010-2012. Sampel penelitian ini adalah model studi gigi rahang bawah lengkung narrow yang berasal dari mahasiswa berjumlah 30 orang. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sampel dengan bentuk lengkung narrow rahang bawah yang memiliki susunan gigi berjejal sebanyak 24 orang (80%) sedangkan yang memiliki susunan gigi tidak berjejal sebanyak 6 orang (20%). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa kelompok rahang bawah berbentuk narrow lebih banyak memiliki susunan gigi berjejal dibandingkan dengan susunan gigi tidak berjejal. Kata-kata kunci: bentuk lengkung, susunan gigi, gigi berjejal Korespondensi: Puteri Islami Savitri, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
131
Savitri : Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Ukuran dan bentuk lengkung rahang memiliki pengaruh penting dalam diagnosis dan rencana perawatan kasus ortodontik, estetik, serta stabilisasi dari geligi. Kegagalan dalam menyesuaikan bentuk kawat lengkung dengan bentuk lengkung pasien dapat meningkatkan resiko terjadinya relaps dan menyebabkan senyuman yang tidak natural.1 Bentuk lengkung rahang merupakan refleksi dari morfologi tulang di bawahnya. Kestabilan bentuk lengkung adalah salah satu tujuan dari perawatan ortodontik. Bentuk lengkung cenderung kembali ke bentuk awalnya sehingga bentuk lengkung pasien ketika datang pertama kali menjadi acuan paling baik dan stabilitas bentuk lengkung yang baru.2 Raberin (1993) melakukan penelitian pada bangsa Perancis dan melaporkan bahwa ras kaukasoid memiliki lima bentuk lengkung rahang bawah, yaitu narrow, mid, wide, pointed, dan flat, dengan presentase terbesar adalah bentuk lengkung narrow sebanyak 23,7%.3 Novrida (2007) membuktikan bahwa suku Melayu pada mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara memiliki kelima bentukan rahang berdasarkan klasifikasi Raberin tersebut, dengan bentukan narrow juga memiliki presentase kedua terbanyak yaitu 20,93%, setelah wide sebagai bentuk terbanyak dengan presentase 37,21%.4 Gigi berdesakan ditandai adanya tumpang tindih (overlapping) gigi-gigi yang berdekatan.5 Gigi berjejal merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien-pasien ortodonti dan keadaan ini bisa menimbulkan gangguan pada penampilan seseorang, pengunyahan, serta membersihkan gigi.6 Gigi berdesakan atau berjejal berakibat mudahnya terjadi karies, lesi epitel interdental, lesi periodontium dan gangguan oklusi, yang semuanya ini saling berkaitan.7 Beberapa teori telah dicoba untuk menjelaskan etiologi dari gigi berjejal termasuk di dalamnya faktor herediter dan faktor lingkungan. Ukuran gigi dan dimensi lengkung termasuk di dalam faktor herediter yang berperan di dalam terjadinya gigi berjejal. Howe dkk. (1983) menunjukan bahwa dimensi lengkung lebih berpengaruh terhadap gigi berjejal dibandingkan dengan ukuran gigi.6 Hamid (2005) melaporkan jika lebar lengkung rahang kelompok gigi tidak berjejal lebih besar dibandingkan dengan kelompok gigi berjejal.8 Pada penelitian Raiq dkk. (2007), lengkung rahang bawah berbentuk narrow menjadi bentuk lengkung kedua terbanyak setelah flat yang memiliki gigi berjejal ringan (0-3mm) pada regio anterior rahang bawah.9 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi susunan gigi tidak berjejal dan berjejal rahang bawah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat tahun 2010-2012 yang memiliki bentuk lengkung narrow rahang bawah.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif observasional. Bahan yang digunakan adalah alginat dan gips stone/gips tipe III. Alat yang digunakan adalah sendok cetak rahang bawah bergigi no.2 dan no.3, rubber bowl, spatula, sliding caliper merk Krisbow, sarung tangan, masker, kapas, tisu, formulir informed consent, dan alat tulis. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Tahun 2010-2012. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling sebanyak 30 hasil cetakan rahang bawah dengan kriteria inklusi yaitu gigi permanen lengkap (kecuali gigi 38 dan 48), tidak ada karies proksimal, tidak ada gigi yang mengalami atrisi pada bagian insisal dan oklusal, tidak ada gigi yang berlebih (supernumerary teeth), belum pernah dirawat ortodonti, memiliki bentuk lengkung rahang bawah narrow, berumur ≥ 18 tahun, dan bersedia dijadikan sampel dalam penelitian. Kriteria eksklusi antara lain adanya kelainan bentuk dan ukuran gigi (makrodontia, peg shape, fusion), memiliki riwayat eksodontia pada masa gigi permanen. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah susunan gigi tidak berjejal dan berjejal rahang bawah pada bentuk lengkung narrow rahang bawah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNLAM Banjarmasin Tahun 2010-2012. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara pencetakan gigi rahang bawah, kemudian segera dilakukan pengisian cetakan dengan gips stone/stone tipe III. Pengukuran lengkung rahang bawah dilakukan dalam arah transversal dan sagital untuk mengetahui bentuk lengkungnya hingga didapatkan 30 sampel hasil cetakan rahang bawah berbentuk narrow. Dilanjutkan pengukuran mesiodistal masing-masing gigi rahang bawah dan perimeter lengkung untuk mengetahui susunan gigi rahang bawah. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar perhitungan dan dilanjutkan pengumpulan data. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat pada bulan September-November 2013. Hasil penelitian frekuensi susunan gigi tidak berjejal dan berjejal pada bentuk lengkung narrow rahang bawah mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin Tahun 20102012 dengan jumlah sampel sebanyak 30 hasil cetakan rahang bawah berbentuk narrow. Berikut ini merupakan diagram hasil penelitian frekuensi susunan gigi tidak berjejal dan berjejal pada bentuk lengkung narrow rahang bawah mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin Tahun 2010-2012.
132
Gambar 1
Gambar 2
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 130 - 133
Data persentase susunan gigi tidak berjejal dan berjejal rahang bawah berbentuk narrow pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UNLAM tahun 2010-2012.
Data persentase susunan gigi rahang bawah berbentuk narrow pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UNLAM angkatan 2010-2012 dibagi sesuai klasifikasi berdasarkan diskrepansi ukuran lengkung dengan ukuran mesiodistal gigi.
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa presentase susunan gigi rahang bawah berbentuk narrow pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UNLAM angkatan 2010-2012 yaitu 24 orang atau 80% memiliki susunan gigi berjejal dan yang memiliki susunan gigi tidak berjejal sebesar 20% atau 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa rahang bawah berbentuk narrow lebih banyak memiliki susunan gigi berjejal dibandingkan tidak berjejal yaitu mencapai lebih dari setengah total sampel. Pada Gambar 2 dapat diketahui apabila dibagi berdasarkan klasifikasi yang ada bahwa dari 24 lengkung rahang bawah berbentuk narrow yang memiliki susunan gigi berjejal ringan yaitu sebanyak 23 orang atau 76,66% dan yang memiliki susunan gigi berjejal sedang yaitu sebanyak 1 orang atau 3,33%. Sampel dengan bentuk lengkung rahang bawah narrow, yang memiliki susunan gigi berjejal berjumlah lebih dari setengah dari total sampel.
Gambar 3
Salah satu subjek penelitian
Gambar 4
Hasil cetakan rahang bawah berbentuk narrow
PEMBAHASAN Gigi berjejal itu sendiri diartikan sebagai sebuah ketidakharmonisan antara panjang lengkung basal yang tersedia dengan panjang lengkung yang diharapkan untuk letak atau barisan gigi yang baik.10 Etiologi gigi berjejal masih belum diketahui secara pasti. Peneliti menyatakan bahwa penyebab gigi berjejal adalah faktor herediter (keturunan). Peneliti lain mengatakan bahwa faktor lingkungan (misalnya makanan lunak dan kehilangan panjang lengkung yang disebabkan karies) lebih berpengaruh daripada faktor herediter.6 Ukuran gigi, panjang lengkung, lebar dimensi merupakan beberapa dari sekian banyak faktor herediter yang berkontribusi terjadinya gigi berjejal.11 Hamid (2005) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa panjang lengkung yang ditemukan antara kelompok gigi berjejal dan tidak berjejal memiliki perbedaan.12 Hasil penelitian Olmez (2011) menyatakan bahwa bentuk lengkung yang memiliki frekuensi paling tinggi terjadinya makloklusi Angle adalah tapered atau bisa disamakan dengan bentukan narrow13. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang ada bahwa lebih dari separuh (80%) dari jumlah sampel dengan bentukan lengkung rahang bawah narrow memiliki susunan gigi berjejal. Berdasarkan Gambar 2, sesuai klasifikasi berdasarkan diskrepansi ukuran lengkung, 23
133
Savitri : Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal
sampel (76,66%) dengan lengkung rahang bawah berbentuk narrow memiliki susunan gigi berjejal ringan (-0,1 mm hingga 5 mm). Hal ini sesuai penelitian Raiq (2007) yang menyatakan bahwa bentuk lengkung rahang narrow menduduki peringkat kedua (22%) setelah bentukan flat (33%) yang memiliki gigi berjejal ringan atau mild irregularity (1-3mm) pada susunan gigi anterior rahang bawah.9 Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa susunan gigi berjejal lebih banyak dimiliki oleh kelompok bentuk lengkung narrow rahang bawah dibandingkan dengan susunan gigi tidak berjejal dengan persentase 80% (24 dari 30 hasil cetakan rahang bawah). Apabila dibagi berdasarkan klasifikasi, maka persentase susunan gigi terbanyak adalah berjejal ringan (0,1 mm hingga 5 mm) sebesar 76,67%. Para praktisi sebaiknya mengetahui setiap bentuk lengkung rahang pasiennya agara dapat lebih memperhitungkan segala tindakan khususnya yang berhubungan dengan cukup atau tidaknya tempat yang tersedia sehingga hasil pewatan ortodonti yang dapat lebih stabil.
4.
DAFTAR PUSTAKA
10.
1.
2.
3.
Thakur G, Anil S, Vivek M, HS Jaj and Vishal S. Intercompany comparison of prefabricated arch forms in different malocclusion groups in Himachali population. Indian Journal of Dental Sciences. 2012; 4(3): 012-016. Anwar N and Mubassar F. Clinical applicability of variations in arch dimensions and arch forms among various vertical facial patterns. Journal of the Collage of Physicians and Surgeons Pakistan 2011; 21(11): 685-690. Liang LR. Bentuk dan ukuran lengkung gigi rahang bawah pada mahasiswa malaysia fakultas kedokteran gigi universitas sumaterautara. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan: 2010, hal.5.
5. 6.
7.
8.
9.
11.
12.
13.
Novrida Z. Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas sumatera utara. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokeran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2007, hal.26. Rahardjo P. Ortodonti dasar. Surabaya: Airlangga University Press, 2009; hal.65. Wijaya S. Perbandingan ukuran gigi dan dimensi lengkung antara gigi tanpa berjejal dengan gigi berjejal. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2011, hal.2,33. Widyanto MR dan Shinta P. Piranti lunak untuk analisis bentuk lengkung gigi dengan jaringan saraf tiruan. Jurnal Informatika Mei 2008; 9(1): 8-14. Kuswardani D, Muhammad RW dan Putu WH. Desain template pada klasifikasi bentuk lengkung deretan gigi manusia dengan regresi kuadratik. Fakultas Ilmu Komputer Ilmu Universitas Indonesia Juli-Desember 2010; 34(2): 96-103. Raiq TT, Issac AYA and Dheaa HAA. Mandibular arch form and late anterior crowding. J Baghdad Coll Dentistry 2007; 19(1): 95-100. Sun MK, Jae-Hyung K, Jin-Hyoung C, JeongMoon K and Hyeon-Shik H. What determines dental protrusion or crowding while both malocclusions are caused by large tooth size? Korean J Orthod 2009; 39(5); 330-336. Groves MS. A comparative analysis of crowding in class I and II malocclusions. Thesis. Faculty of Saint Louis University, 2010, p.57. Hamid MWU and Muhammad IR. Dental crowding and its relationship to tooth size and arch dimensions. Pakistan Oral and Dent. Jr. 2005; 25(1): 47-52. Olmez S and Dogan S. Comparison of the arch forms and dimensions in various malocclusions of the turkish population. Open Journal of Sto
134
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
DESKRIPSI GIGI IMPAKSI MOLAR KE TIGA RAHANG BAWAH DI RSUD ULIN BANJARMASIN Tinjauan Pada Bulan Juni-Agustus 2013
Erlinda Amaliyana, Cholil, Bayu Indra Sukmana Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Impaction tooth is a tooth that is preventing from its normal path of eruption in the dental arch due to lack of space in the arch or obstruction in the eruptive pathway of the tooth. The most frequent teeth become impacted is mandibular third molar. Banjar ethnic is the result of the mixing of the various ethnics which can cause jaw size and teeth size is unharmonious. Those things lead to lack of space for third molar eruption that causing impacted teeth. Purpose: The purpose of this study was to determine the characteristics of patients with impacted mandibular third molar on Banjar ethnic at Regional General Hospital of Ulin in Banjarmasin, June-August 2013. Methods: This research was an observational study with a descriptive crosssectional study design, in which every patient who came to Regional General Hospital of Ulin in Banjarmasin with complaints of impacted mandibular third molar would been selected by interview. Results: The results from this study showed that 23 people were found with impacted mandibular third molar. On Banjar ethnic, there were 13 women and 10 men with impacted mandibular third molar. At age ≤ 25 years there were 10 people, aged 26-35 years by 7 people and aged ≥ 36 years as many as 6 people. Conclusion: The conclusion was the description of impacted mandibular third molar showed that the frequency was more common in women and age ≤ 25 year was high frequent suffer from impacted. Keywords: impacted tooth, banjar ethnic, mandibular third molar ABSTRAK Latar belakang: Gigi impaksi merupakan gigi yang menghalangi jalan dari normalnya erupsi pada lengkung gigi karena kurangnya ruang pada lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi dari gigi. Gigi yang paling sering mengalami impaksi adalah molar ke tiga rahang bawah. Suku Banjar merupakan hasil pembauran dari berbagai suku yang bisa menyebabkan ukuran rahang dan ukuran gigi yang tidak harmonis. Hal-hal tersebut menyebabkan molar ke tiga kekurangan ruang untuk erupsi sehingga terjadi gigi impaksi. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah pada suku banjar di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013. Metode: Penelitian ini menggunakan metode observasional deskriptif dengan rancangan cross-sectional study. Setiap pasien yang datang ke RSUD Ulin Banjarmasin dengan keluhan gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah akan diseleksi dengan wawancara. Hasil: Hasil dari penelitian ini didapat 23 orang dengan gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah. Pada suku Banjar, terdapat penderita perempuan sebanyak 13 orang dan laki-laki sebanyak 10 orang. Pada usia ≤25 tahun terdapat 10 orang, usia 26-35 tahun sebanyak 7 orang dan usia ≥36 tahun sebanyak 6 orang. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini diambil kesimpulan deskripsi dari gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah terlihat frekuensi lebih banyak terjadi pada perempuan dan usia ≤25 tahun paling sering terjadi gigi impaksi. Kata-kata kunci: gigi impaksi, suku banjar, molar ke tiga rahang bawah Korespondensi: Erlinda Amaliyana, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
135
Amaliyana : Deskripsi Gigi Impaksi
PENDAHULUAN Gigi impaksi merupakan gigi yang menghalangi jalan normalnya erupsi pada lengkung gigi karena kurangnya ruang pada lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi gigi. Gigi molar ke tiga maksila dan mandibula, kaninus maksila dan insisif sentral maksila merupakan gigi yang paling sering terjadi impaksi. Kebanyakan gigi molar ke tiga yang impaksi atau tidak erupsi dapat erupsi dengan normal dan tidak menyebabkan masalah secara klinis.1 Gigi molar ke tiga rahang bawah impaksi dapat mengganggu fungsi kunyah dan sering menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat berupa resorbsi patologi gigi yang berdekatan, terbentuknya kista folikular, rasa sakit neuralgik, perikoronitis, bahaya fraktur rahang akibat lemahnya rahang dan berdesakan gigi anterior akibat tekanan gigi impaksi ke anterior. Akibat lainnya adalah terjadi periostitis, neoplasma dan komplikasi lainnya.2 Menurut penelitian Naosherwan dkk. yang dilakukan di Poli Gigi Rumah Sakit Penang di Malaysia pada tahun 2000 sampai 2005 dengan jumlah pasien yang dirawat sebanyak 15.076 orang, terdapat 261 kasus impaksi molar ke tiga mandibula sedangkan pada kasus impaksi molar ke tiga maksila hanya ditemukan 11 kasus. Pada kasus yang didapat, impaksi gigi lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Sebanyak 137 kasus terdapat pada usia dibawah 25 tahun, 102 kasus terdapat diantara usia 25 tahun sampai 35 tahun, dan 25 kasus terdapat pada usia diatas 35 tahun. Kebanyakan kasus impaksi molar ke tiga yang datang ke rumah sakit mengeluhkan adanya sakit serta bengkak, dan lainnya datang dengan tujuan orthodonti.1 Chandha dkk melakukan penelitian pada suku Bugis dan suku Toraja, menyimpulkan bahwa impaksi yang terjadi dilihat secara genetik disebabkan faktor lingkungan dan faktor keturunan. Yang dimaksud dengan faktor lingkungan itu sendiri adalah jenis makanan. Secara umum, makanan suku Toraja memerlukan kekuatan kunyah yang lebih besar. Proses evolusi sejalan dengan berkembangannya peradaban manusia sehingga ukuran rahang berkurang, sehingga impaksi gigi lebih mudah terjadi. Secara faktor keturunan, Suku Toraja yang menikah dengan suku lain yang secara genetik memiliki rahang yang kecil, sehingga menghasilkan keturunan yang mengalami impaksi gigi.3 Suku Banjar memiliki kebiasaan memakan makanan yang tidak keras dan memasak makanannya dengan cara merebus dan berkuah seperti gangan, dan cara yang paling khas seperti memais dan menuup.4 Suku Banjar itu sendiri memiliki kebiasaan memakan makanan yang tidak keras sehingga lengkung rahang tidak berkembang secara maksimal. Suku Banjar merupakan hasil
pembauran dari berbagai suku yang mana bisa menyebabkan ukuran rahang dan ukuran gigi yang tidak harmonis. Hal-hal tersebut menyebabkan molar ke tiga kekurangan ruang untuk erupsi sehingga terjadi gigi impaksi. Mengingat hal tersebut dan belum ada data yang pasti tentang gigi impaksi molar ke tiga, perlu dilakukan penelitian mengenai deskripsi gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan keadaaan gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif observasional. Alat yang digunakan adalah lembar pertanyaan interview, alat tulis, masker, sarung tangan dan alat diagnostik seperti kaca mulut. Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin di Banjarmasin Kalimantan Selatan yang mengalami gigi impaksi pada molar ke tiga rahang bawah. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling sebanyak 23 orang. Pengambilan sampel dilakukan atas dasar kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu pasien suku Banjar yang datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin yang mengalami gigi impaksi pada molar ke tiga rahang bawah serta bersedia menjadi responden dalam penelitian. Kriteria ekslusi yaitu pasien yang datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin yang tidak mengalami gigi impaksi pada molar ke tiga rahang bawah yang bukan suku Banjar serta tidak bersedia menjadi responden dalam penelitian. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah pada Suku Banjar berdasarkan jenis kelamin dan usia. Penelitian ini dilakukan di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013. Setiap pasien yang didiagnosa memiliki gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah oleh dokter gigi di Poli Gigi RSUD Ulin akan diseleksi apakah pasien tersebut Suku Banjar dengan melakukan wawancara pada pasien tersebut. Apabila dari wawancara pasien tersebut merupakan suku Banjar maka pasien tersebut dinyatakan sebagai sampel. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan analisis deskriptif. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian deskripsi gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin didapatkan 23 sampel. Hasil penelitian deskripsi
136
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 134 - 137
gigi impaksi molar ketiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
usia yang sering muncul pada penelitian adalah pasien yang berada pada usia ≤25 tahun dengan jumlah sebesar 10 orang (39,1%). PEMBAHASAN
Tabel 1 Data Prosentase berdasarkan jenis kelamin deskripsi gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013
Tabel 2
Data Prosentase berdasarkan kelompok usia deskripsi gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013
Data dari Tabel 1 menunjukan pasien perempuan yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah berjumlah 13 orang atau sebesar 56,5% dari keseluruhan pasien. Pasien laki-laki yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%. Data dari Tabel 2 menunjukan pasien kelompok usia ≤25 tahun berjumlah 10 orang atau sebesar 43,5% dari keseluruhan pasien. Dilihat dari pasien kelompok usia 26-35 tahun terdapat sebanyak 7 orang atau sebesar 30,4%, sedangkan pasien kelompok usia ≥36 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 26,1%. Hasil yang terdapat di tabel menunjukan bahwa
Hassan (2010) menjelaskan bahwa molar ke tiga merupakan gigi yang paling sering impaksi. Prevalensi impaksi molar ke tiga terjadi antara 16,7% sampai 68,6%. Banyak penelitian yang menyebutkan tidak ada predileksi jenis kelamin pada impaksi molar ke tiga. Meskipun beberapa penelitian menyebutkan bahwa frekuensi lebih tinggi terjadi pada perempuan Eropa dan perempuan Singapore-Chinese daripada laki-laki.5 Data penelitian ini menunjukan bahwa pasien perempuan suku Banjar yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu sebanyak 13 orang atau sebesar 56,5%. Pasien laki-laki suku Banjar yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%. Hassan (2010) juga menjelaskan bahwa tingginya frekuensi yang terjadi pada perempuan dikarenakan perbedaan masa pertumbuhan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan biasanya berhenti pertumbuhannya ketika molar ke tiga baru mulai erupsi. Pada laki-laki pertumbuhan dari rahang mereka masih berlangsung selama masa erupsi molar ke tiga, sehingga memberikan ruang yang lebih untuk erupsi molar ke tiga.5 Menurut Miloro (2004) dan ADA (2005), usia pertumbuhan molar ke tiga bervariasi, gigi molar ke tiga biasanya mulai tumbuh pada usia antara 17 dan 21 tahun dan erupsi molar ke tiga akan selesai antara usia 20 dan 24 tahun.1,6,7 Menurut penelitian Syed dkk. (2012) dari 713 kasus gigi impaksi molar ke tiga sebanyak 430 kasus terdapat pada usia dibawah 25 tahun atau sebesar 64,5% dari total sampel.8 Hal tersebut mendukung hasil dari penelitian ini yang menunjukan bahwa pasien yang menderita gigi impaksi molar ke tiga lebih banyak terdapat di usia ≤25 tahun yaitu sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%. Semakin tinggi usia maka lebih sedikit pula angka kejadian gigi impaksi molar ke tiganya. Hal ini dilihat dari pasien dengan kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 7 orang atau sebesar 30,4% dan pasien dengan kelompok usia ≥36 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 26,1%. Belum ada teori yang menjelaskan mengapa usia ≤25 tahun paling sering mengalami gigi impaksi molar ke tiga. Beberapa penelitian hanya menjelaskan mungkin ini dikarenakan meningkatnya kesadaran tentang kesehatan gigi dan mulut.9 Untuk penderita usia 26-35 dan usia ≥36 yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga, erupsi molar ke tiga ditemukan pada rentang usia yang luas dikarenakan perubahan posisi yang terjadi setelah erupsi yang mana bisa menyebabkan gigi impaksi. Hal ini bisa disebabkan kebiasaan makan,
137
Amaliyana : Deskripsi Gigi Impaksi
intensitas mastikasi dan mungkin karena latar belakang genetik.10 Berdasarkan penelitian ini diambil kesimpulan bahwa deskripsi gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah memperlihat frekuensi lebih banyak terjadi pada perempuan dan usia ≤25 tahun yang paling sering mengalami gigi impaksi. Saran penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah dengan sampel yang lebih variatif dan lebih banyak. Perlu dilakukan penelitian tentang hubungan gigi impaksi dengan lengkung rahang dan hubungan gigi impaksi dengan kebiasaan makan dan jenis makanan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
Anwar N, Khan AR, Narayan KA, Ab Manan A Hj. A Six-year Review of The Third Molar Cases Treated in the Dental Department of Penang Hospital in Malaysia. Dental Research Journal, 2008; 5(2): hal 53-60 Dwipayanti A, Adriatnoko W, Rochim A. Komplikasi Post Odontektomi Gigi Molar Ketiga Rahang Bawah Impaksi. Journal of the Indonesian Dental, 2009; 58(2): hal 20 Chanda MH, Zahbia ZN. Pengaruh bentuk gigi geligi terhadap terjadinya impaksi gigi molar ketiga rahang bawah. Dentofasial Jurnal Kedokteran Gigi, 2007; 6(2): hal 65-6
Sam’ani M, Rachman H AA, Sjarifuddin H,Kusmartono VPR, Hadijah S, Kawi HD, Anis MZA. Sejarah Banjar. Banjarmasin: BALITBANGDA Provinsi Kalimantan Selatan, 2007, hal 1-10 5. Hassan AH. Pattern of Molar Impaction in a Saudi Population. Clinical, Cosmetic and Investigational Dentistry, 2010: 2; hal 109113 6. Miloro M, Ghali GE, Larsen PE, Waite PD. Peterson’s Principle of Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd Ed. Ontario: BC Decker Inc. 2004, hal 132 7. American Dental Association. Tooth Eruption: The Permanent Teeth. JADA, 2006: 137. hal 127 8. Syed KB, Kota Z, Ibrahim M, Bagi MA, Assiri MA. Prevalence of Impacted Molar Teeth among Saudi Population in Asir Region, Saudi Arabia: A Retrospective Study of 3 Years. Journal of International Oral Health, 2013:5(1). hal 43-47 9. Ayaz A, Rehman AU. Pattern of Impacted Mandibular Third Molar in Patients Reporting To Department of Oral and Maxillofacial Surgery, Khyber College of Dentistry, Peshawar. JKCD, 2012:2(2). hal 50-53 10. Qirreish E J. Radiographic Profile of Symptomatic Impacted Mandibular Third Molars in the Western Cape, South Africa. Masters degree dissertation. Western Cape: University of Western Cape. 2005. 4.
138
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
GAMBARAN POLA KEHILANGAN GIGI SEBAGIAN PADA MASYARAKAT DESA GUNTUNG UJUNG KABUPATEN BANJAR Muhammad Fauzan Anshary, Cholil, I Wayan Arya Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ABSTRACT Background: The pattern of tooth loss was structure of tooth loss that divided into two i.e partial tooth loss and the loss of the entire tooth. Partial tooth loss accorded to the Kennedy Classification, the classification that be used to classify partially edentulous. Increasing age was often associated with the increasing number of missing teeth. Low levels of education allowed more tooth loss than the higher education level, this is due to routine of dental care to the dentist. Purpose: This study aimed to determine the pattern of tooth loss by age and education. Methods: This study was a descriptive with cross-sectional design. The population in this study were residents on Guntung Ujung Village of Banjar District. Total sample were 60 respondents, each group were 30 respondents in the age group of 25-65 years and >65 years which examined to record the edentulous on respondents and then classified based on the Kennedy Classification. Results: The pattern of partial tooth loss on community of guntung ujung village in banjar district was Class I 17 people (28,33%), Class II 17 people (28,33%), Class III 15 people (25%) and Class IV total of 11 people (18,33%). Conclusion: Based on research, the most common of Kennedy classification at age 25-65 years were Class III 13 people (21.67%) and at age> 65 years were Class I 15 people (25%). The most common of Kennedy classification on elementary education were the Class I 13 people (21.67%) and on secondary education were Class III 10 people (16.67%). Keyword: Pattern of tooth loss, Kennedy Classification, edentulous ABSTRAK Latar Belakang: Pola kehilangan gigi adalah struktur kehilangan gigi yang terbagi dua yaitu kehilangan gigi sebagian dan kehilangan seluruh gigi. Kehilangan gigi sebagian sesuai dengan klasifikasi Kennedy, yaitu klasifikasi yang digunakan untuk mengklasifikasikan edentulous sebagian. Meningkatnya usia sering dihubungkan dengan meningkatnya jumlah kehilangan gigi. Tingkat pendidikan yang rendah memungkinkan terjadinya kehilangan gigi lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pendidikan tinggi, hal ini disebabkan dengan rutinnya melakukan perawatan gigi dan mulut ke dokter gigi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kehilangan gigi berdasarkan umur dan tingkat pendidikan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Sampel penelitian ini berjumlah 60 responden, masing-masing kelompok berjumlah 30 responden pada kelompok umur 25–65 tahun dan >65 tahun dilakukan pemeriksaan untuk mencatat kondisi edentulous pada responden kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Kennedy. Hasil: Pola kehilangan gigi sebagian sebagai berikut Kelas I berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas II berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas III berjumlah 15 orang (25%), dan Kelas IV berjumlah 11 orang (18,33%). Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi pada umur 25-65 tahun adalah Kelas III berjumlah 13 orang (21,67%) dan pada umur >65 tahun adalah Kelas I berjumlah 15 orang (25%). Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi pada pendidikan dasar adalah Kelas I berjumlah 13 orang (21,67%) dan pada pendidikan menengah adalah Kelas III berjumlah 10 orang (16,67%). Kata-kata kunci: Pola kehilangan gigi, Klasifikasi Kennedy, edentulous
Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian
139
Korespondensi: Muhammad Fauzan Anshary, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected] PENDAHULUAN Edentulous (kehilangan gigi sebagian atau seluruhnya) merupakan indikator kesehatan mulut dari suatu populasi. Hal ini merupakan cerminan keberhasilan berbagai pencegahan dan pengobatan yang diberlakukan oleh suatu pelayanan kesehatan. Banyak pasien menganggap edentulous sebagai sebuah alasan untuk mendapat perawatan gigi (1). Weintraub dan Burt menyatakan bahwa kelompok sosio-ekonomi yang lebih rendah mengalami edentulous dalam tingkat yang lebih tinggi daripada kelompok sosio-ekonomi yang lebih tinggi (2). Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan lepasnya satu atau lebih gigi dari soketnya atau tempatnya. Kejadian hilangnya gigi, biasa terjadi pada anak-anak mulai usia 6 tahun yang mengalami hilangnya gigi sulung dan kemudian digantikan oleh gigi permanen. Kehilangan gigi permanen pada orang dewasa sangatlah tidak diinginkan terjadi, biasanya kehilangan gigi terjadi akibat penyakit periodontal, trauma, dan karies (3). Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa karies dan penyakit periodontal merupakan penyebab utama terjadinya kehilangan gigi. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 pengalaman karies di Kalimantan Selatan adalah 83,4% (4). Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh karies, penyakit periodontal, trauma, dan atrisi yang berat. Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa karies dan penyakit periodontal merupakan penyebab utama terjadinya kehilangan gigi. Faktor penyakit seperti karies dan penyakit periodontal yang menyebabkan kehilangan gigi berhubungan dengan meningkatnya usia. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan faktor bukan penyakit seperti faktor sosio– demografi, perilaku dan gaya hidup juga berpengaruh terhadap kehilangan gigi (1). Kehilangan gigi biasanya disebabkan oleh karies dan penyakit periodontal yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Persentase keterlibatan kehilangan gigi akibat karies dan penyakit periodontal tergantung pada usia di mana kehilangan gigi pada usia lanjut kebanyakan disebabkan oleh penyakit periodontal sedangkan kehilangan gigi pada usia muda biasanya disebabkan oleh karies. Kehilangan gigi juga dipengaruhi oleh merokok yang berpengaruh terhadap terjadinya periodontitis dan karies gigi (3). Karies gigi berasal dari bahasa latin yang artinya lubang gigi dan ditandai oleh rusaknya email dan dentin secara progresif yang disebabkan oleh aktivitas metabolisme bakteri dan plak. Karies gigi timbul karena empat faktor yaitu host yang meliputi gigi dan saliva, mikroorganisme, substrat, serta waktu atau lamanya proses interaksi antar
faktor tersebut (5). Karies gigi adalah salah satu penyebab kehilangan gigi yang paling sering terjadi pada dewasa muda dan dewasa tua (6). Karies merupakan penyakit infeksi pada gigi Karies pada gigi yang tidak dirawat dapat bertambah buruk, sehingga akan menimbulkan rasa sakit dan berpotensi menyebabkan kehilangan gigi. Walaupun secara keseluruhan karies menurun di Amerika, tetapi penurunan ini tidak terjadi pada kelompok usia tua (6). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti Amerika telah mengemukakan bahwa karies gigi merupakan alasan utama ekstraksi gigi, dan studi lainnya yang dilakukan di Selandia Baru, Swedia, dan bahkan di Brasil menegaskan bahwa karies dapat menyebabkan kehilangan gigi (7). Penyakit periodontal banyak diderita oleh manusia hampir di seluruh dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa. Menurut hasil survei kesehatan gigi dan mulut di Jatim tahun 1995, penyakit periodontal terjadi pada 459 orang dari 1000 penduduk dan lebih banyak di pedesaan daripada perkotaan. Prevalensi dan intensitas penyakit periodontal di Asia dan Afrika terlihat lebih tinggi dibandingkan di Eropa, Amerika, dan Australia. Penyakit periodontal di Indonesia menduduki urutan ke dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat. Penyakit yang menyerang pada gingiva dan jaringan pendukung gigi ini merupakan penyakit infeksi yang serius dan apabila tidak dilakukan perawatan yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan gigi (8). Faktor sosio–demografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi jumlah kehilangan gigi (1). Prevalensi kehilangan seluruh gigi pada dewasa muda di Meksiko sekitar 2,4% dan pada dewasa tua yang berumur 65 tahun keatas sekitar 30,6% (9). Kehilangan gigi di Brazil sangat terkait dengan tempat tinggal di daerah pedesaan, jenis kelamin perempuan, status sosial ekonomi yang kurang baik, tingkat pendidikan yang kurang baik, dan pada usia tua (10). Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro dalam jurnal Rusli (2012) pengelompokan usia sebagai berikut: usia dewasa muda 18 atau 29-25 tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas, 25-60 tahun atau 65 tahun, lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun (11). Meningkatnya usia sering dihubungkan dengan jumlah kehilangan gigi yang semakin tinggi. Marcus dkk (1996) dalam skripsi Fauza (2011) menyatakan bahwa prevalensi kehilangan gigi tidak berkaitan dengan jenis kelamin (6). Lain halnya dengan Prabhu dkk (2009) menyatakan kehilangan gigi sebagian paling tinggi dialami oleh
140
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143
perempuan dibandingkan laki–laki, sedangkan kehilangan seluruh gigi paling tinggi dijumpai pada laki–laki dibandingkan perempuan (12). Esan dkk (2004) mengatakan apabila tingkat pendidikan dan penghasilan rendah maka memungkinkan terjadinya kehilangan gigi akan lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pendidikan dan penghasilan tinggi, hal ini disebabkan dengan pendidikan dan penghasilan tinggi, seseorang mengetahui serta rutin melakukan perawatan gigi dan mulut ke dokter gigi (1). Data dari BRFSS pada tahun 2004–2006 menunjukkan populasi yang mengalami kehilangan lebih dari 6 gigi sebanyak 23% pada kelompok pendidikan SMA atau SMP, SD dan tidak sekolah, 15% pada pendidikan Perguruan Tinggi. Menurut penelitian Fauza (2011) didapatkan kehilangan gigi di rahang atas paling tinggi terjadi pada tingkat pendidikan SD kehilangan gigi sebagian Kelas III Kennedy yaitu 7 orang (3,5%). Kehilangan gigi di rahang bawah paling tinggi terjadi pada tingkat pendidikan SD adalah kehilangan gigi sebagian Kelas III Kennedy yaitu 13 orang (6,5%) (6). Terdapat hubungan antara kehilangan gigi dengan tingkat pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki kesadaran untuk memperbaiki kesehatan rongga mulut, menggunakan fasilitas kesehatan gigi dan mulut serta gaya hidup yang lebih baik untuk memperhatikan kesehatan rongga mulut (1). Pola kehilangan gigi adalah struktur kehilangan gigi yang diklasifikasikan atas kehilangan gigi sebagian berdasarkan Klasifikasi Kennedy dan kehilangan seluruh gigi (1). Kehilangan gigi sebagian terjadi lebih banyak pada dewasa muda, agar tercapai fungsi maksimal gigi– geligi, pada usia dewasa harus mempunyai minimal 21 gigi di dalam rongga mulut. Penelitian di Washington tahun 2004 dan 2006 didapatkan 5% dewasa umur 35–44 tahun serta 38% populasi berumur 65 tahun keatas mengalami kehilangan 6 elemen gigi atau lebih. Kehilangan seluruh gigi terjadi lebih banyak pada usia lanjut (6). Dr Edward Kennedy (1923) menyatakan sebuah metode klasifikasi berdasarkan pada hubungan ruang edentulous ke gigi penopang. Kennedy mengklasifikasikan edentulous menjadi 4 kategori dalam urutan menurut frekuensi kejadian. Kelas-I: Edentulous terletak di bagian posterior dari gigi yang masih ada dan berada pada kedua sisi rahang atau bilateral, mempunyai insiden tertinggi pada mandibula (72%). Kelas-II: Edentulous terletak di bagian posterior dari gigi yang masih ada, pada 1 sisi rahang atau unilateral (72%). Kelas-III: Edentulous terletak di antara gigi-gigi yang masih ada di bagian posterior maupun anteriornya unilateral (14%). Kelas-IV: Edentulous terletak pada bagian anterior dan melewati garis median (8,5%) (14).
Desa Guntung Ujung merupakan salah satu desa di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar yang memiliki batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Guntung Papuyu, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Beruntung Baru, sebelah barat berbatasan dengan Desa Keladan Baru dan sebelah timur berbatasan dengan Landasan Ulin Barat. Sarana pendidikan di desa ini masih kurang yaitu SD, SMP dan Pesantren saja. Menurut Riskesdas tahun 2007, pengalaman karies di daerah pedesaan adalah 67,6%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006, jumlah kasus karies gigi adalah sebesar 5242 kasus dan untuk jumlah pelayanan dasar pencabutan gigi permanen di daerah Kabupaten Banjar adalah 3125 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola kehilangan gigi sebagian pada masyarakat Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar berdasarkan umur dan tingkat pendidikan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Dalam penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yaitu peneliti melakukan pengukuran sesaat terhadap variabel penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok sampel yang masing-masing berjumlah 30 responden pada setiap kelompok sampel, sehingga total sampel yang diambil ada 60 orang yang atas 2 kelompok umur yaitu 25–65 tahun dan >65 tahun. Pertama sampel diambil menggunakan teknik simple random sampling yaitu dengan cara melakukan pengundian anggota populasi berdasarkan nomor rumahnya yang kemudian disesuaikan dengan kriteria inklusinya. Hal ini dilakukan sampai jumlah sampel memenuhi setiap kelompok. Kriteria Inklusinya adalah umur ≥25 tahun, memiliki kehilangan gigi pada rahang atas dan atau rahang bawah, bersedia untuk dijadikan sampel. Kriteria Eksklusinya adalah responden mengalami kehilangan seluruh gigi di rahang atas, rahang bawah serta rahang atas dan rahang bawah Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, alat pengolah data (komputer dan kalkulator), alat diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker, baskom untuk sterilisasi alat, handuk. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah surat pernyataan kesediaan untuk menjadi subjek penelitian, detergen untuk sterilisasi, air. Penelitian dilakukan di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Pertama yang dilakukan adalah penetapan responden secara random. Semua responden harus memenuhi kriteria inklusi yang
141
Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian
telah ditetapkan. Responden yang memenuhi kriteria diberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden dan dibagi menjadi 2 kelompok umur. Kelompok tersebut dibagi atas kelompok umur 2565 tahun dan >65 tahun. Peneliti melakukan pengisian lembar formulir penelitian. Peneliti melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut di bagian rahang atas dan rahang bawah responden dan mencatat kondisi edentulous yang terdapat di rongga mulut responden. Hasil penelitian kemudian diklasifikasikan berdasarkan kehilangan gigi sebagian menurut Kennedy. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian gambaran pola kehilangan gigi sebagian pada masyarakat Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar dijelaskan pada Tabel 1.
Kelas III
13
2
15
Kelas IV
5
6
11
Jumlah
30
30
60
Tabel 2
Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi sebagian berdasarkan Klasifikasi Kennedy berdasarkan kelompok umur
Tabel 2 didapatkan hasil pola kehilangan gigi sebagian yang terjadi pada kelompok umur 2565 tahun adalah Klasifikasi Kennedy Kelas I berjumlah 2 orang (3,33%), Kelas II berjumlah 10 orang (16,67%), Kelas III berjumlah 13 orang (21,67%) dan Kelas IV berjumlah 5 orang (8,33%). Tingkat Pendidikan Pola Kehilangan Gigi Sebagian
Pola Kehilangan Gigi Sebagian
Jumlah
Kelas I
17
Kelas II
17
Kelas III
15
Kelas I
Pendidikan Dasar (Tidak Sekolah dan SD) 13
Kelas IV
11
Kelas II
Jumlah
60
Tabel 1
Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi sebagian berdasarkan Klasifikasi Kennedy pada masyarakat Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar
Tabel 1 menunjukkan bahwa pola kehilangan gigi sebagian pada masyarakat Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar adalah Kelas I berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas II berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas III berjumlah 15 orang (25%), dan Kelas IV berjumlah 11 orang (18,33%). Berdasarkan kuesioner didapatkan sebanyak 49 responden mengaku tidak pernah ke dokter gigi. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa dari 11 orang yang mengaku pernah ke dokter gigi didapatkan 4 orang mengalami kehilangan gigi Kelas I, 2 orang Kelas II, dan 5 orang Kelas III. Sebagian besar responden yaitu berjumlah 58 orang mengatakan 141las an hilangnya gigi mereka karena gigi yang berlubang dan 2 orang sisanya kehilangan gigi karena mengalami kecelakaan. Pola Kehilangan Gigi Sebagian
Umur >65 Tahun 15
Jumlah
Kelas I
25-65 Tahun 2
Kelas II
10
7
17
17
Pendidikan Menengah (SMP dan SMA)
Jumlah
4
17
11
6
17
Kelas III
5
10
15
Kelas IV
9
2
11
Jumlah
38
22
60
Tabel 3
Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi sebagian berdasarkan Klasifikasi Kennedy berdasarkan tingkat pendidikan
Tabel 3 menunjukkan bahwa pola kehilangan gigi sebagian yang terjadi pada tingkat pendidikan dasar adalah pada Klasifikasi Kennedy Kelas I yang berjumlah 13 orang (21,67%), Kelas II berjumlah 11 orang (18,33%), Kelas III berjumlah 5 orang (8,33%) dan Kelas IV berjumlah 9 orang (15%). PEMBAHASAN Hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebanyak 49 responden mengaku tidak pernah ke dokter gigi. Sebanyak 11 orang yang mengaku pernah ke dokter gigi didapatkan 4 orang mengalami kehilangan gigi Kelas I, 2 orang Kelas II, dan 5 orang Kelas III. Sebagian besar responden yaitu berjumlah 58 orang mengatakan alasan hilangnya gigi mereka karena gigi yang berlubang dan 2 orang sisanya kehilangan gigi karena mengalami kecelakaan. Hasil penelitian pada kelompok umur 25-65 tahun, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak
142
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143
terjadi adalah Kelas III dan yang paling sedikit terjadi adalah Kelas I. Penelitian pada kelompok umur >65 tahun, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi adalah Kelas I dan yang paling sedikit terjadi adalah Kelas III. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Fauza (2011) dan Medina – Solis dkk (2006) yang menyatakan terdapat hubungan antara umur dan pola kehilangan gigi sebagian karena semakin meningkat umur, maka kehilangan gigi akan semakin banyak pada rongga mulut. Hal ini disebabkan adanya karies gigi dan penyakit periodontal yang merupakan alasan hilangnya gigi, kedua faktor tersebut akan bertambah parah dengan meningkatnya umur (6,9). Penelitian kesehatan gigi di Australia melaporkan bahwa pada populasi penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, 11,4% penduduk memiliki jumlah gigi kurang dari 21 elemen gigi. Prevalensi kehilangan gigi berkaitan erat dengan usia, hampir tidak ada pada usia 15 – 34 tahun, namun sangat berpengaruh pada usia 75 tahun ke atas (15). Data yang didapat dari WHO pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi kehilangan gigi pada orang yang berusia 65 sampai 75 tahun di Prancis adalah sebesar 16,9%, di Jerman sebesar 24,8%, dan di Amerika Serikat sebesar 26-31% (16). Hasil penelitian pada kelompok pendidikan dasar, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi adalah Kelas I dan yang paling sedikit terjadi adalah Kelas III. Hasil penelitian pada kelompok pendidikan menengah, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi adalah Kelas III dan yang paling sedikit terjadi adalah Kelas IV. Hal ini sesuai dengan penelitian Esan (2004), yaitu terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola kehilangan gigi sebagian. Seiring meningkatnya tingkat pendidikan maka kemungkinan mempertahankan gigi di dalam mulut menjadi lebih tinggi. Hubungan antara edentulous dan status pendidikan mungkin sebagai pengaruh dari meningkatnya kesadaran kesehatan gigi, peningkatan fasilitas kesehatan mulut, kebiasaan membersihkan mulut yang diperoleh selama proses pembelajaran dan pengaruh kelompok sebaya (1). Seperti di negara lain, juga ditemukan bahwa edentulous sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang rendah lebih rentan mengalami edentulous yang lebih parah daripada orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi (9). Pola kehilangan gigi sebagian yang paling banyak terjadi pada kelompok pendidikan dasar adalah pada Klasifikasi Kennedy Kelas I yang berjumlah 13 orang (21,67%) karena Klasifikasi Kennedy Kelas I merupakan kehilangan gigi di bagian posterior yang terjadi pada kedua sisi rahang dan pada kelompok pendidikan menengah pola kehilangan gigi sebagian yang paling banyak terjadi adalah pada Klasifikasi Kennedy Kelas III yang
berjumlah 10 orang (16,67%) karena Klasifikasi Kennedy Kelas III merupakan kehilangan gigi di satu sisi rahang antar gigi anterior dan posterior saja. Hasil penelitian ini sesuai dengan data dari BRFSS pada tahun 2004–2006 menunjukkan populasi yang mengalami kehilangan lebih dari 6 gigi sebanyak 23% pada kelompok pendidikan SMA atau SMP, SD dan tidak sekolah, 15% pada pendidikan Perguruan Tinggi (6). Penelitian ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan sebagian responden tidak mau memeriksakan giginya ke dokter gigi karena kurangnya pengetahuan responden tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut sehingga tingkat pendidikan memiliki kaitan erat terhadap tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Responden yang pernah ke dokter gigi yang berjumlah 11 orang merupakan responden yang memiliki tingkat pendidikan menengah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka makin tinggi pula tuntutannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu (17). Selain itu, menurut Green dan Pincus yang dikutip oleh Situmorang (2003), ditemukan korelasi kuat antara pendidikan dengan kesehatan serta pendidikan dengan perilaku sehat (18). Kesimpulannya adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa umur mempengaruhi terhadap tingkat keparahan hilangnya gigi karena semakin meningkatnya umur maka resiko terkena karies dan penyakit periodontal yang menyebabkan hilangnya gigi akan meningkat. Penelitian menunjukkan bahwa pada pendidikan dasar banyak mengalami kehilangan gigi Kelas I yang merupakan kehilangan gigi yang sudah parah, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut dan mereka mengatakan bahwa ke dokter gigi bukan merupakan suatu kewajiban. Sebanyak 11 responden (18,33%) yang mengaku pernah ke dokter gigi berasal dari tingkat pendidikan menengah, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula tuntutannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
Esan TA, Olusile AO, Akeredolu PA, Esan AO. Socio-demographic Factors and Edentulism the Nigerian Experience. BMC Oral Health 2004; 4(3): 1-6. Sari K. Klasifikasi Pasien Edentolous Sebagian pada Masyarakat Pulau Kodingareng Menggunakan Prosthodontic Diagnostic Index. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2011.
Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Setyadi DA. Analisis Pengaruh Faktor Hilangnya Gigi Pasien Menggunakan Metode Regresi Logistik Berbasis Komputer. Jakarta: Universitas Bina Nusantara, 2011. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riskesdas Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2009. Hal: 142. Kusumawati R. Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010. Hal: 2. Fauza R. Pola Kehilangan Gigi dan Kebutuhan Jenis Gigi Tiruan Masyarakat Desa Binaan Ujung Rambung Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai JanuariFebruari 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2011. Hal: 8-13. Montandon AAB, Zuza EP, de Toledo EC. Prevalence and Reasons for Tooth Loss in a Sample from a Dental Clinic in Brazil. International Journal of Dentistry 2012; 2012: 1-5. Wahyukundari MA. Perbedaan Kadar Matrix Metalloproteinase-8 Setelah Scaling dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis. Jurnal PDGI 2009; 58 (1): 1-6. Medina-Solis CE, Perez-Nunez R, Maupome G, Casanova-Rosado JF. Edentulism among Mexican Adults Aged 35 Years and Older and Associated Factors. American Journal of Public Health 2006; 96(9): 1578-1581.
143 10. Silva HD, Filho PM, Piva M. Denture-related Oral Mucosal Lesions among Farmers in A Semi-Arid Northeastern Region Of Brazil. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Sep 1;16 (6):e740-4. 11. Rusli. Olahraga Lanjut Usia. Jurnal ILARA 2012; 3(1): 11 – 19. 12. Prabhu N, Kumar S, D’souza M, Hegde V. Partial Edentulousness in a Rural Population Based on Kennedy’s Classification: An Epidemiological Study. J Prosthodont 2009; 9: 18-23. 13. Galagali G, Mahoorkar S. Critical Evaluation of Classification Systems of Partially Edentulous Arches. International Journal of Dental Clinics 2010; 2(3): 45-52. 14. Islas-Granillo H, Borges-Yanez SA, LucasRincon SE, dkk. Edentulism Risk Indicators among Mexican Elders 60-Year-Old and Older. Archives of Gerontology and Geriatrics 53 (2011) 258–262. 15. Khazae S, Firouzei MS, Sadeghpour S, dkk. Edentulism and Tooth Loss in Iran: Sepahan. International Journal of Preventive Medicine, Special Issue, 2012; 6: 42-47. 16. Fabiola I. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Angka Kunjungan Masyarakat ke Kinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada. Jurnal PDGI 2006; 56(1): 37-8. 17. Situmorang N. Perilaku Sakit: Suatu Tinjauan Sosial Kultural. Dentika Dent J 2003; 2(8): 265.
144
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
EFEKTIVITAS METODE PERAGAAN DAN METODE VIDEO TERHADAP PENGETAHUAN PENYIKATAN GIGI PADA ANAK USIA 9-12 TAHUN DI SDN KERATON 7 MARTAPURA Amelia Nurfalah, Emma Yuniarrahmah, Didit Aspriyanto Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Knowledge of tooth brushing is very important to give to the children. Counseling is a frequently used way to provide knowledge about tooth brushing. There are two types of methods in dental health education, the first is a method in one direction (One Way Method) which focuses on active educator and the second is method of two-way (Two Way Method) which guarantees the existence of two-way communication between educators and the target. Purpose: The purpose of this study was to determine whether the differences in effectiveness between demonstration method and videos method to the brushing teeth knowledges in children aged 9-12 years in SDN Keraton 7 Martapura. Methods: This study was a quasi experimental design and using a randomized design matched two groups. The sample were 60 children aged 9-12 years from in SDN Keraton 7 Martapura. Sampling was done by purposive sampling. Research procedure begins with giving pre-test, then do counseling with demonstration methods and video methods in different groups, then finally giving a post-test. Results: Demonstration method and video method could provided significant results in improving the knowledge brushing teeth assessed from the mean pre-test and post-test and paired T test results. In the unpaired t test results showed that there was no significant differences between the demonstration methods and video method in improving knowledge of brushing teeth. Conclusion: The conclusion of this study showed that there was no differences in effectiveness between demonstration methods and videos method to the brushing teeth knowledges of children aged 9-12 years SDN Keraton 7 Martapura. Keywords: demonstration method, the video method, knowledge, brushing teeth ABSTRAK Latar belakang: Pengetahuan penyikatan gigi sangat penting untuk diberikan kepada anak-anak. Penyuluhan adalah cara yang sering digunakan untuk memberikan pengetahuan mengenai penyikatan gigi. Ada dua jenis metode dalam penyuluhan kesehatan gigi, yaitu metode satu arah (One Way Method) yang menitikberatkan pada pendidik yang aktif dan metode dua arah (Two Way Method) yang menjamin adanya komunikasi dua arah antara pendidik dan sasaran. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan efektivitas antara metode peragaan dan metode video terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental dan menggunakan rancangan randomized matched two groups design. Sampel penelitian ini adalah anak usia 9-12 tahun dari SDN Keraton 7 Martapura sebanyak 60 anak dan pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Prosedur penelitian dimulai dengan memberikan pre test, kemudian melakukan penyuluhan dengan metode peragaan dan metode video pada kelompok yang berbeda, selanjutnya diakhiri dengan post test. Hasil: Metode peragaan dan metode video dapat memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi yang dinilai dari hasil rerata pre test dan post test dan hasil uji T berpasangan. Pada hasil uji T tidak berpasangan didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara metode peragaan dan metode video dalam peningkatan pengetahuan penyikatan gigi. Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas antara metode peragaan dan metode video terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura. Kata-kata kunci: metode peragaan, metode video, pengetahuan, penyikatan gigi
Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video
145
Korespondensi: Amelia Nurfalah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi dan mulut sudah menjadi perhatian yang sangat penting dalam lingkungan kesehatan. Salah satu sebabnya adalah rentannya kelompok anak usia sekolah terhadap gangguan kesehatan gigi.1 Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2001 terdapat 76,2% anak Indonesia pada kelompok usia 12 tahun (kira-kira 8 dari 10 anak) mengalami gigi berlubang. SKRT tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi karies gigi di Indonesia berkisar antara 85%-99%.2 Prevalensi karies aktif di Kalimantan Selatan sendiri memiliki persentase 49,3%.3 Salah satu penyebab timbulnya masalah kesehatan gigi dan mulut dalam masyarakat adalah faktor perilaku atau sikap mengabaikan kebersihan gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi dengan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut serta perawatannya. Kesadaran seseorang akan pentingnya kesehatan gigi dapat dilihat dari pengetahuan yang dimiliki. Ketika seseorang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi maka perhatian untuk melakukan perawatan terhadap gigi dan mulutnya juga tinggi.4 Tingginya tingkat karies di Indonesia membuat pemerintah bekerja sama dengan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk mengantisipasi masalah kesehatan gigi di Indonesia dengan mengupayakan penanganannya melalui program pemeriksaan gratis enam bulan sekali. Pemerintah juga membuat program kegiatan Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) di setiap sekolah untuk mengatasi permasalahan kesehatan gigi. Salah satu pengajaran yang diberikan oleh UKGS adalah teknik menyikat gigi yang baik dan benar serta memberikan penyuluhan mengenai kesehatan gigi dan mulut di sekolah-sekolah.5 Penyuluhan atau Pendidikan Kesehatan Gigi (PKG) adalah suatu proses belajar yang ditujukan kepada individu dan kelompok masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan gigi yang setinggitingginya. Pemilihan metode yang tepat dalam proses penyampaian materi penyuluhan sangat membantu pencapaian usaha mengubah tingkah laku sasaran. Secara garis besar, hanya ada dua jenis metode dalam penyuluhan kesehatan gigi, yaitu metode satu arah (One Way Method) yang menitikberatkan pendidik yang aktif sedangkan pihak sasaran tidak diberi kesempatan untuk aktif dan metode dua arah (Two Way Method) yang menjamin adanya komunikasi dua arah antara pendidik dan sasaran. Pada penyuluhan
membutuhkan alat bantu terutama untuk anak, pemakaian alat bantu dalam merubah perilaku anak merupakan hal yang sangat penting.6 Pendidikan kesehatan gigi biasanya berisikan pengetahuan mengenai cara menjaga kesehatan gigi dan mulut. Salah satu contohnya adalah pengetahuan menenai penyikatan gigi. Pengetahuan penyikatan gigi adalah hasil tahu manusia mengenai penyikatan gigi.11 Anak diharapkan dapat mengetahui jenis sikat dan pasta gigi yang baik, metode menyikat gigi yang benar, serta waktu dan frekuensi menyikat gigi yang tepat. Penyuluhan kesehatan gigi ternyata dapat memberikan hasil yang positif dalam menurunkan indeks plak. Hasil penelitian Warni pada siswasiswi kelas IV dan V di dua Sekolah Dasar (SD) Negeri Medan menunjukkan bahwa penyuluhan dan pelatihan menyikat gigi yang dilakukan cukup efektif untuk menurunkan indeks plak gigi-geligi. Hal ini menunjukkan proses belajar yang mereka dapat melalui program penyuluhan dan pelatihan dapat dimengerti dan dipraktekkan oleh siswa-siswi SD tersebut.7 Begitupun dengan penelitian Leal SC dkk. pada tahun 2002 di Brazil mengenai perbandingan efektifitas metode pengajaran cara menyikat gigi pada anak 3-6 tahun, pengajaran dengan menggunakan metode audiovisual ternyata dapat menurunkan indeks plak dengan baik, ini menunjukkan bahwa penyuluhan tersebut merupakan metode pengajaran cara menyikat gigi yang cukup efektif.8 Usia 9-12 tahun adalah usia efektif untuk memberikan segala informasi yang mengarah pada perkembangan kognitif dan motorik anak, contohnya menyikat gigi. Menurut teori Piaget tentang perkembangan kognitif, anak usia 9-12 tahun yang masuk ke dalam tahap operasional konkret dan operasional formal sudah dapat mengelompokkan setiap informasi yang diterima dan dapat berpikir dengan logis. Perkembangan motorik sendiri sesuai dengan perkembangan fisik anak, pada usia 9-12 tahun fisik anak sedang berkembang maka motoriknya pun ikut berkembang, jadi sangat baik ketika diberikan pengajaran seputar penyikatan gigi pada usia tersebut.9,10 Penelitian yang membandingkan efektivitas penyuluhan dengan metode peragaan (demonstrasi langsung) dengan metode video pada anak sekolah usia 9-12 tahun belum pernah dilakukan sebelumnya di SDN Keraton 7 Martapura. Berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa pendidikan kesehatan gigi di sekolah kurang karena UKGS tidak aktif, sehingga kegiatan yang
146
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 147 - 149
mengarah pada pendidikan kesehatan gigi dirasakan kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode penyuluhan mana yang lebih efektif antara metode peragaan dan metode video terhadap peningkatan pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.
program statistik komputer. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji hipotesis T untuk melihat apakah ada perbedaan antara metode peragaan dan metode video terhadap peningkatan pengetahuan penyikatan gigi dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05).
BAHAN DAN METODE HASIL PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan rancangan randomized matched two groups design.11 Populasi penelitian adalah anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura. Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan purposive sampling dengan kriteria inklusi yaitu usia 9-12 tahun, dapat membaca dan menulis, keadaan umum anak baik, kooperatif, dan memiliki skor tes IQ sesuai ketetapan peneliti untuk penyetaraan kedua kelompok penyuluhan. Berdasarkan kriteria inklusi tersebut diambil 60 anak yang dibagi dalam dua kelompok penyuluhan, masing-masing 30 anak setiap kelompok dan memiliki skor hasil tes IQ yang setara. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang berisi seperangkat pertanyaan mencakup indikator pertanyaan pengetahuan penyikatan gigi yang telah dirancang sebelumnya. Kuesioner pre test dan post test seputar penyikatan gigi dibuat dengan menggunakan pendekatan bentuk paralel, yaitu dengan memberikan dua bentuk kuesioner paralel kepada kelompok subjek penelitian. Kemudian dilakukan uji validitas dengan menggunakan validitas isi yaitu validitas yang diuji dari bentuk isi kuesioner melalui professional judgment. Validitas isi terdiri dari dua bentuk uji validitas, validitas muka dan validitas logik. Validitas muka yaitu validitas yang didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan kuesioner, dan validitas logik adalah validitas yang dilihat dari sejauhmana isi kuesioner merupakan representasi indikator yang hendak diukur dengan memanfaatkan suatu blue-print yang memuat cakupan isi dan cakupan kompetensi yang hendak diungkap.11,12 Alat dan bahan penelitian yang digunakan adalah model gigi (phantom), video penyikatan gigi, laptop, monitor, sikat gigi, pasta gigi, tisu, air, gelas kumur, dan alat tulis. Pada pelaksanaan penelitian kedua kelompok penyuluhan dimasukkan ke dalam ruangan kelas yang berbeda, pre test seputar penyikatan gigi diberikan pada anak kelompok peragaan maupun kelompok video. Penyuluhan dilakukan setelah diberikan pre test pada kedua kelompok dengan menggunakan metode sesuai kelompok penyuluhannya. Post test seputar penyikatan gigi diberikan setelahnya. Nilai pre test dan post test setiap anak dicatat dihitung selisih reratanya antar kelompok penyuluhan baik metode peragaan maupun metode video. Analisis hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan
Penelitian dilakukan pada siswa kelas 4, 5, dan 6 sebanyak 60 anak. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas 30 anak. Karakteristik subjek penelitian dilihat pada Gambar 1, 2, 3.
Gambar 1. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Gambar 2. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan hasil tes IQ
Gambar 3. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan jumlah siswa setiap kelas
148 Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video Hasil pre test dan post test dihitung rerata skoringnya untuk melihat peningkatan pengetahuan penyikatan gigi yang terjadi. Hasil rerata skoring nilai pre test dan post test dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Rerata Nilai Skoring Kuesioner Pengetahuan Penyikatan Gigi Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan Dengan Metode Peragaan dan Video Pada Anak Usia 9-12 Tahun di SDN Keraton 7 Martapura Skoring Kuesioner Pre Post Test Test
Metode Penyuluhan
Metode Peragaan Metode Video
Peningkatan Pengetahuan (Post-Pre)
16,27
22,37
6,1
16,67
21,97
5,3
Tabel 1 menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan pada kedua kelompok penyuluhan. Pada kelompok metode peragaan terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 6,1 dan pada metode video terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 5,3. Uji T berpasangan dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara pre test dan post test dalam peningkatan pengetahuan pada kedua metode penyuluhan. Hasil uji T berpasangan pada metode peragaan diperoleh nilai p = 0,001 (p<0,05) dan metode video diperoleh nilai p = 0,001 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil pre test dan hasil post test pada metode peragaan dan metode video. Hasil uji T tidak berpasangan yang didapatkan nilai p= 0,365 (p>0,05), dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penyuluhan. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode peragaan dan metode video dapat meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Warni pada siswa-siswi kelas IV dan V di dua Sekolah Dasar (SD) Negeri Medan yang menunjukkan bahwa penyuluhan dan pelatihan menyikat gigi seperti metode peragaan dapat meningkatkan pengetahuan siswa-siswi tersebut dengan berkurangnya indeks plak gigi.1 Begitu juga dengan penelitian Leal SC dan Bezzera pada tahun 2002 mengenai perbandingan efektifitas metode pengajaran cara menyikat gigi pada anak usia 3-6 tahun yang diambil dari 50 anak dalam sebuah
147 private nursery di Brazil, pengajaran dengan menggunakan metode audiovisual ternyata juga dapat meningkatkan pengetahuan anak karena indeks plak giginya pun turun.8 Hasil penelitian ini menunjukkan kedua metode penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan kepada anak yang menghasilkan nilai post test yang lebih tinggi dari nilai pre test. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan otak dan memorinya. Otak menyimpan informasi dengan cara masukan yang diterima oleh sensor diteruskan ke otak dan disimpan di memori jangka pendek, beberapa informasi akan diteruskan ke memori jangka panjang yang ditentukan oleh perhatian terhadap masukan informasi tersebut. Perhatian, motivasi, dan kaitan suatu informasi terhadap pengetahuan yang sudah ada sebelumnya di otak adalah faktor paling berpengaruh terhadap penyimpanan informasi di memori jangka panjang.13 Dalam prinsip pembuatan alat peraga dan media penyuluhan menyatakan bahwa pengetahuan yang ada pada setiap orang diterima atau ditangkap oleh panca indra. Semakin banyak panca indra yang digunakan semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh.14 Metode peragaan dan metode video membuat anak menggunakan panca indranya lebih dari satu, sehingga pengetahuan yang diberikan dalam metode penyuluhan baik peragaan maupun video dapat diterima dengan baik. Menurut Piaget, proses kognitif anak terbentuk dari skema yang dibuat oleh anak itu sendiri. Skema adalah konsep atau kerangka yang eksis di dalam pemikiran individu yang dipakai untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. Ada dua proses yang bertanggung jawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika anak memasukkan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada, sedangkan akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan diri dengan informasi yang baru.10 Pada pemberian pengetahuan penyikatan gigi baik dengan metode peragaan maupun metode video terjadi proses asimilasi pada anak. Anak sudah dikenalkan dan diajarkan orang tuanya tentang penyikatan gigi, sehingga anak sudah memiliki pengetahuan tentang penyikatan gigi sebelumnya. Pemberian pengetahuan penyikatan gigi yang baik dan benar, akan memacu anak untuk memasukkan pengetahuan baru tersebut ke dalam pengetahuan yang sudah ada, dan saat itulah proses kognitif berlangsung kemudian terjadi peningkatan pengetahuan pada anak. Proses akomodasi pun terjadi ketika anak menyesuaikan diri dengan pengetahuan penyikatan gigi yang baru. Pengetahuan yang didapatkan anak sebelum diberikan penyuluhan kemungkinan belum atau kurang tepat, dengan diberikannya penyuluhan
148
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 - 149
yang benar maka anak dapat menyesuaikan diri dengan pengetahuan yang lebih baik. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ditolak. Metode peragaan dan metode video ternyata tidak mempunyai perbedaan yang bermakna untuk meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Hermina dan Vera, Tan Xiao Chuan yang pada penelitiannya menyatakan bahwa metode peragaan lebih efektif diberikan untuk penyuluhan penyikatan gigi anak dengan rentang usia 3-11 tahun.15,16 Hal ini juga tidak sesuai dengan penelitian dari Rani AW. yang menyatakan bahwa metode audio-visual seperti video, film, merupakan metode yang lebih efektif untuk diberikan dibandingkan metode 17 konvensional. Metode peragaan dan metode video yang berisikan pengetahuan penyikatan gigi sama-sama menarik dan dapat diterima oleh anak. Seperti penelitian yang dilakukan Mey Linda, metode peragaan dan metode video memiliki efektivitas yang sama dalam menurunkan indeks plak sampai hari ketujuh setelah penyuluhan diberikan pada anak Keberadaan penyuluh yang langsung memberi penyuluhan dan pengajaran juga mempengaruhi daya tangkap anak karena adanya kesempatan pada anak untuk terlibat di dalam proses pengajaran. Bila ada suatu hal yang anak belum mengerti, anak dapat bertanya kepada penyuluh.20 Metode video dikatakan menarik karena dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki siswa. Metode video dapat menyajikan apa yang tidak dapat dialami langsung oleh siswa dan memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara anak dengan lingkungannya, hal ini karena media audio visual menghadirkan situasi nyata dari informasi yang disampaikan untuk menimbulkan kesan yang mendalam. Selain mempercepat proses belajar dengan bantuan media audio visual mampu meningkatkan taraf kecerdasan dan mengubah sikap pasif dan statis ke arah sikap aktif dan dinamis.17 Video penyikatan gigi pada penelitian ini dibuat dengan menyajikan gabungan gambar dan kata-kata yang dapat dipahami oleh anak. Rangkaian gambar dan kata-kata yang apabila digabungkan ternyata lebih efektif untuk mempertahankan ingatan daripada hanya menggunakan gambar atau kata-kata saja, menurut Mills dan Mc Mullan tahun 2009 dalam penelitiannya tentang memori jangka pendek yang didapat dari gambar, kata, dan gabungan gambar dan kata. Penyajian gambar dan kata-kata yang berwarna-warni dalam video penyikatan gigi yang diberikan pada anak ternyata juga memiliki
149 pengaruh terhadap meningkatnya pengetahuan, dimana warna berpengaruh kuat pada memori jangka pendek dan perhatian visual.18 Rangkaian gambar kartun yang disajikan dalam bentuk video juga dapat menarik perhatian anak saat penyuluhan. Hal ini sesuai dengan penelitian Reny Dwy Rahayu yang menyatakan bahwa video yang berisikan kartun dapat membantu meningkatkan perkembangan kognitif anak yang dilihat dari nilai tes sebelum dan tes sesudah diberikan video. Media pengajaran yang dapat memotivasi minat dan tindakan anak adalah media pengajaran yang direalisasikan dengan teknik hiburan seperti metode video, oleh karena itu metode video dapat meningkatkan pengetahuan anak karena mampu meningkatkan motivasi minat dan tindakan anak ketika penyuluhan berlangsung.19 Menurut Piaget, tahap perkembangan kognitif anak usia 9-12 memasuki tahap operasional konkret dan tahap operasional formal yang dimulai sekitar umur tujuh tahun sampai lima belas tahun. Pada tahap ini anak sudah dapat melakukan penalaran logika, memiliki kemampuan untuk menggolong-golongkan sesuatu serta sudah mulai memikirkan pengalaman di luar pengalaman konkret dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis, dan logis. Hal ini boleh jadi membuat metode peragaan dan metode video dapat diterima dengan baik oleh anak sehingga dapat meningkatkan pengetahuan penyikatan giginya. Dengan berkembanganya aspek kognitif, anak menunjukkan proses belajar yang mereka terima melalui penyuluhan dan pengajaran cara menyikat gigi yang diberikan.10,20 Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas antara metode peragaan dan metode video terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura, kedua metode dapat meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bahan penyuluhan penyikatan gigi untuk anak usia sekolah dasar dan dapat meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak baik dengan menggunakan metode peragaan maupun dengan metode video. Diharapkan pula agar perencanaan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah) dapat dilakukan dengan matang untuk setiap sekolah agar dapat memberikan motivasi terhadap anak dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. Bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan penelitian lanjut dengan membandingkan efektivitas metode peragaan dan metode video terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia pra sekolah, mengikutsertakan peran orang tua, atau dapat membandingkan metode penyuluhan lainnya terhadap peningkatan pengetahuan penyikatan gigi.
149
Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video 150 DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9.
Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas V dan VI pada kesehatan gigi dan mulut terhadap kesehatan gigi dan mulut terhadap status karies gigi di wilayah Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang tahun 2009. Tesis. Medan: Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU, 2009. Hal 1-3. F.X. Sintawati, Indirawati TN. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebersihan gigi dan mulut masyarakat DKI Jakarta tahun 2007. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2009; 8(1): 860873. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Hal 117. Kawuryan U. Hubungan pengetahuan tentang kebersihan gigi dan mulut dengan kejadian karies anak SDN Kleco II kelas V dan VI Laweyan Surakarta. Skripsi. Surakarta: Jurusan Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008. Hal 4. Dewanti. Hubungan tingkat pengetahuan tentang kesehatan gigi dengan perilaku perawatan gigi pada anak usia sekolah di SDN Pondok Cina 4 Depok. Skripsi. Jakarta: Jurusan Keperawatan Universitas Indonesia, 2012. Hal 2. Herijulianti E, Indriani TS, Artini S. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001. Hal 4-66. Eley BM, Manson JD. Periodontics 5th ed. Philadelphia: Elsevier Ltd, 2004. Hal 21-143. Leal SC, Bezerra ACB. Effectiveness of teaching methods for tooth brushing in preschool children. Braz Dent J. 2002; 13(2): 133-136. Hurlock EB. Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentan kehidupan. Edisi 5. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1999. Hal 146.
10. 11.
12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Santrock, JW. Psikologi pendidikan. . Jakarta: Kencana, 2007. Hal 46-55. Seniati L, Aries Y, Bernadette NS. Psikologi eksperimen. Jakarta: PT Indeks, 2005. Hal 37118. Azwar S. Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Hal 39-47. Yuriadi K. Visualisasi dan memori. Jakarta: Pusat Perkembangan Bahan Ajar UMB, 2011. Hal 5. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Penerbit Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2009. Hal 47-49. Hermina V. Efektifitas metode pengajaran cara menyikat gigi terhadap penurunan indeks plak anak usia 3-5 tahun. Dentika Dent J. 2010; 15(1): 42-45. Chuan TX. Perbandingan efektifitas metode pengajaran cara menyikat gigi terhadap penurunan indeks plak pada anak usia 6-11 tahun di sekolah Bodhicitta Medan. Skripsi. Medan: Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2010. Hal 38. Wahyuningsih RA. Efektivitas penggunaan media audio-visual dalam pembelajaran keterampilan menulis bahasa Prancis pada siswa kelas X MAN 1 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri, 2011. Hal 36. Susanto R. Pengaruh paparan warna terhadap retensi short term memory penderita hipertensi primer. Jurnal Keperawatan Soedirman. 2012; 7(1): 47. Rahayu RD. Pengaruh penggunaan video kartun mencampur warna terhadap kemampuan kognitif pada anak kelompok B di TK terpadu Al-Hidayah II DS. Bakung Kec. Udanawu Kab. Blitar 2012. Available from (http://ejournal.unesa.ac.id/article/4320/19/art icle.pdf, diakses 18 November 2013). Linda M. Penurunan indeks plak antara metode peragaan dan video pada penyuluhan kesehatan gigi anak usia 8-9 tahun. Skripsi. Medan: Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2011. Hal 28-41.
150
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 151 - 149
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
EFEKTIVITAS MENYIKAT GIGI METODE HORIZONTAL, VERTICAL DAN ROLL TERHADAP PENURUNAN PLAK PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN Tinjauan pada Siswa Siswi Kelas 4-6 SD di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin Tahun Ajaran 2012/2013
Destiya Dewi Haryanti, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Ike Ratna Dewi Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT Background: Oral health of Indonesian people still be things that must have serious attention from the health service, including dentist or dental nurse. Based on the report basic health research (RISKESDAS) 2007 The Department of health released in 2009 revealed that proportion of people with problems with the teeth and mouth in South Borneo province as much 29.2%. Plaque have an important role to the formation caries and plaque cannot removed by simply gargle but needs to be done by mechanical cleaning is brushing teeth. In general population in various district province south kalimantan brush teeth every day 94,4 %. The prevalence of the population who behaves true rubbing teeth in the province of South Borneo as many 10.3 %. Purpose: This research aimed to find out effectivity brushing method horizontal, vertical and roll to decrease plaque children ages 9-11 years SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Methods: The type of this research was a Quasi Experimental with Pre-Post Test One Group Design. Using disclosing agent to identify plaque on the teeth before and after treatment and used index measurement personal hygiene performance of modified (phpm). Results: There was significant difference between the effectiveness brushing method of horizontal, roll and vertical. Conclusion: Horizontal brushing method was more effective clean plaque. Keywords: Brushing effectiveness, Plaque, Method Horizontal, Method Vertical, Method Roll. ABSTRAK Latar belakang: Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi maupun perawat gigi. Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan yang dirilis pada 2009 mengungkapkan bahwa proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 29,2%. Plak sangat berperan terhadap terbentuknya karies, dan plak tidak dapat dihilangkan hanya dengan berkumur tetapi perlu dilakukan pembersihan secara mekanik yaitu menyikat gigi. Pada umumnya penduduk di berbagai kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan yang menggosok gigi setiap hari 94,4%. Prevalensi penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi di provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 10,3%. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi mengunakan metode horizontal, vertikal dan roll pada anak usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Metode: Jenis penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design. Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design. Menggunakan disclosing agent untuk mengidentifikasi plak pada gigi sebelum dan sesudah perlakuan dan menggunakan indeks pengukuran Personal Hygniene Performance Modified (PHPM). Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara menyikat gigi metode horizontal, vertikal, dan roll. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tersebut metode menyikat gigi horizontal lebih efektif menghilangkan plak. Kata-kata kunci: Efektivitas menyikat gigi, Plak, Metode horizontal, Metode vertikal, Metode roll.
152 Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi
151
Korespondesi: Destiya Dewi Haryanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi maupun perawat gigi, hal ini terlihat bahwa penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh 90% penduduk Indonesia.1 Berdasarkan teori Blum, status kesehatan gigi dan mulut seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Perilaku memegang peranan yang penting dalam mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut.2 Karies merupakan penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, mulai dari permukaan gigi hingga meluas ke arah pulpa. 3 Menurut penelitian di negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia, 80%-90% anak-anak dibawah umur 18 tahun terserang karies gigi.4 Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan yang dirilis pada 2009 mengungkapkan bahwa proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 29,2%, hasil ini tertinggi di Kabupaten Barito Kuala dan Banjarmasin.5 Prevalensi menggosok gigi terendah ada di Hulu Sungai Selatan. Prevalensi penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 10,3%.5 Menyikat gigi dengan menggunakan sikat gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara mekanis. Saat ini telah banyak tersedia sikat gigi dengan berbagai ukuran, bentuk, tekstur, dan desain dengan berbagai derajat kekerasan dari bulu sikat. Salah satu penyebab banyaknya bentuk sikat gigi yang tersedia adalah adanya variasi waktu menyikat gigi, gerakan menyikat gigi, tekanan, bentuk dan jumlah gigi pada setiap orang.6 Terdapat 5 metode menyikat gigi yaitu, Bass, S Stillman, Horizontal, Vertical, dan Roll. Metode Bass dan Roll yang paling sering direkomendasikan.7 Metode yang umum digunakan adalah meode horizontal, metode roll, dan metode vertical. Metode horizontal dilakukan dengan cara semua permukaan gigi disikat dengan gerakan ke kiri dan ke kanan. Permukaan bukal dan lingual disikat dengan gerakan ke depan dan ke belakang.8 Metode horizontal terbukti merupakan cara yang sesuai dengan bentuk anatomis permukaan oklusal. Metode ini lebih dapat masuk ke sulkus interdental dibanding dengan metode lain.9 Metode ini cukup
sederhana sehingga dapat membersihkan plak yang terdapat di sekitar sulkus interdental dan sekitarnya.8 Metode vertical dilakukan untuk menyikat bagian depan gigi, kedua rahang tertutup lalu gigi disikat dengan gerakan keatas dan kebawah. Untuk permukaan gigi belakang gerakan dilakukan dengan keadaan mulut terbuka.10 Metode ini sederhana dan dapat membersihkan plak, tetapi tidak dapat menjangkau semua bagian gigi seperti metode horizontal dengan sempurna sehingga apabila penyikatan tidak benar maka pembersihan plak tidak maksimal.10 Metode roll adalah cara menyikat gigi dengan ujung bulu sikat diletakkan dengan posisi mengarah ke akar gigi sehingga sebagian bulu sikat menekan gusi.3 Ujung bulu sikat digerakkan perlahan-lahan sehingga kepala sikat gigi bergerak membentuk lengkungan melalui permukaan gigi. Yang perlu diperhatikan pada penyikatan ini adalah sikat harus digunakan seperti sapu, bukan seperti sikat untuk menggosok. Metode roll mengutamakan gerakan memutar pada permukaan interproksimal tetapi bagian sulkus tidak terbersihkan secara sempurna. Metode roll merupakan metode yang danggap dapat membersihkan plak dengan baik dan dapat menjaga kesehatan gusi dengan baik, teknik ini dapat diterapkan pada anak umur 6-12 tahun.10 Metode penyikatan gigi horizontal, vertical dan roll adalah metode yang paling sering digunakan dalam penyikatan gigi. Pada anak sekolah dasar belum didapatkan teknik menyikat gigi yang efektif terhadap penurunan plak. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi metode horizontal, vertical dan roll pada anak usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi mengunakan metode horizontal, vertical dan roll pada anak usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang nantinya diharapkan metode menyikat gigi lainnya dapat diterapkan pada anak-anak usia sekolah dasar. BAHAN DAN METODE Alat yang di perlukan untuk penelitian ini antara lain alat diagnosis (kaca mulut, sonde, pinset, eksavator), nierbeken, baskom, air, kapas, handuk putih kecil, stopwatch, model gigi, dan senter. Bahan yang diperlukan untuk penelitian ini antara lain disclosing agent, pasta gigi, sikat gigi
152
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 153 - 154
berbulu halus (soft), alkohol 70% (untuk sterilisasi alat), penelitian ini juga menggunakan lembar pengukuran Personal Hygiene Performance Modified (PHPM). Metode yang dipakai Quasi Experimental, dengan rancangan Pre-Post Test one group design. Pengumpulan data dilakukan pada pelajar kelas 4-6 SD di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin yang sudah memiliki gigi kaninus, premolar, dan molar dalam keadaan baik (tidak ada karies) sebanyak 30 orang tiap kelompok. Pelajar diberi penyuluhan cara menyikat gigi selama 10 menit dan didemonstrasikan dengan model gigi, materi penyuluhan tentang cara memegang sikat gigi, posisi meletakkan sikat gigi, dan metode menyikat gigi. Setiap 10 orang anak dalam tiap kelompok dioleskan disclosing agent pada seluruh permukaan gigi secara merata lalu diinstruksikan untuk kumur-kumur, dengan menggunakan kaca mulut dan sonde diperiksa indeks plak, dengan indeks ukur PHPM (Personal Hygiene Performance Modified). Analisis data yang dilakukan adalah analisis data parametrik. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dan uji homogenitas menggunakan Levene Test. Analisis parametrik dengan menggunakan uji hipotesis One Way Annova.
HASIL PENELITIAN Penelitian dengan judul “Efektivitas Menyikat Gigi Metode Horizontal, Vertical dan Roll terhadap Penurunan Plak pada Anak Usia 9-11 Tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin” telah dilakukan perlakuan terhadap 90 sampel yang terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok menyikat gigi metode horizontal, kelompok menyikat gigi metode vertical dan kelompok menyikat gigi metode roll. Tabel 1 Hasil Pengukuran Rata-Rata Indeks Plak Sebelum dan Sesudah Perlakuan Metode
Horizontal Vertical Roll
Sebelum menyikat gigi 70,83 60,08 65,54
Sesudah menyikat gigi 26,82 30,86 31,27
Jumlah siswa (orang) 30 30 30
Pada tabel 1 menunjukkan hasil indeks plak sebelum dan sesudah menyikat gigi dengan menggunakan metode horizontal, vertical dan roll. Berdasarkan dari hasil tabel dapat dilihat bahwa pada semua metode menyikat gigi dapat terjadi penuranan indeks plak. Penuruan plak tertinggi terjadi pada menyikat gigi metode horizontal.
Selanjutnya dilakukan lagi perhitungan rata-rata penurunan indeks plak. Tabel 2 Hubungan Metode Menyikat Gigi dengan Penurunan Jumlah Plak Pada Anak Usia 911 Tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Metode Rata- rata Menyikat penurunan Gigi plak gigi Horizontal 1,46 Vertical 0,99 Roll 1,17 Jumlah
Std. Deviasi
Jumlah Sampel
0,63436 0,55781 0,65217 0,63462
30 30 30 90
Tabel 2 menunjukkan rata-rata penurunan plak gigi pada setiap metode. Menyikat gigi metode horizontal rata-rata penurunan plak sebesar 1,46. Menyikat gigi metode vertical rata-rata penurunan plak sebesar 0,99. Menyikat gigi metode roll ratarata penurunan plak sebesar 1,17. Penurunan plak terjadi pada setiap metode yang dilakukan. Penurunan plak pada metode horizontal lebih besar dibandingkan metode vertical dan roll. Analisis data dilakukan menggunakan uji statistik. Uji normalitas pada setiap kelompok didapatkan hasil kelompok horizontal 0,200, vertikal 0,200 dan roll 0,050. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa data terdistribusi normal (p>0,05). Uji homogenitas didapatkan hasil 0,792 (p>0,05) yang menunjukkan data homogen. Selanjutnya dilakukan uji One Way Anova untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antar variabel yaitu horizontal, vertical, dan roll didapatkan nilai 0,028 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar variabel yaitu menyikat gigi metode horizontal, vertical, dan roll. Selanjutnya dilakukan uji lanjut dengan menggunakan LSD untuk melihat kemaknaan antar variabel. Tabel 3 Hasil Uji LSD Metode Horizontal Vertical Roll Menyikat Gigi Horizontal 0,40833* 0,7867 Vertical 0,40833* 0.32967* Roll 0,7867 0.32967* Ket: * = terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) Hasil LSD menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara menyikat gigi horizontal dengan metode menyikat gigi vertical didapatkan nilai 0.40833 (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara metode menyikat gigi horizontal dibandingkan dengan metode menyikat gigi roll dengan nilai 0,7867 (p<0,05). Berdasarkan
154 Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi hasil tersebut didapatkan kesimpulan bahwa metode menyikat gigi horizontal lebih efektif menurunkan plak dibangdingkan dengan metode yang lain. PEMBAHASAN Menyikat gigi sebagai salah satu kebiasaan dalam upaya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Berbagai teknik atau metode menyikat gigi yang pernah dianjurkan, antara lain horizontal, vertical, dan roll. Ketiga metode ini dianggap dapat membersihkan plak dengan baik terutama pada anak-anak pada masa sekolah. Menyikat gigi dengan menggunkan sikat gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara mekanis.10 Banyak metode atau teknik menyikat gigi yang diperkenalkan para ahli, dan kebanyakan metodenya dikenal dengan namanya sendiri seperti metode Bass, Stillman, Charters, atau disesuaikan dengan gerakannya. Pada prinsipnya terdapat empat pola dasar gerakan, yaitu metode vertical, horizontal, roll, dan bergetar (vibrasi). Tujuan menyikat gigi untuk menyingkirkan plak atau mencegah terjadinya pembentukan plak, membersihkan sisa-sisa makanan, debris atau stein. Metode menyikat gigi yang dipakai dalam penelitian ini yaitu, horizontal, vertical dan roll.11 Hasil penelitian tentang efektivitas menyikat gigi metode horizontal, vertical dan roll terhadap penurunan plak pada anak usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin menunjukkan bahwa penyikatan gigi dengan metode horizontal dapat menurunkan indeks plak lebih besar dibandingkan metode vertical dan roll. Dari penelitian ini ditemukan bahwa metode menyikat gigi horizontal lebih efektif menurunkan plak dibandingkan dengan metode yang lain. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anaise dan pendapat dari Tan HH yang menyatakan bahwa teknik horizontal dianggap sebagai teknik terbaik untuk menghilangkan plak dan mudah ditiru atau dipelajari oleh anak.3 Menurut penelitian dari Sarika Sarma (2012) menyatakan bahwa metode menyikat gigi horizontal cocok digunakan pada anak-anak.12 Penelitian dari Natalia Ekaputri dan Sri Lestari tentang perbedaan efektifitas penyikatan gigi antara metode roll dan horizontal terhadap penyingkiran plak pada anak menunjukkan penurunan indeks plak pada metode roll lebih besar dari teknik horizontal.11 Metode vertical dan roll tidak dapat menurunkan indeks plak lebih besar dibandingkan dengan metode horizontal karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan untuk melakukan teknik menyikat gigi secara baik dan benar sesuai yang di ajarkan pada setiap anak berbeda-beda, tekanan yang diberikan pada saat menyikat gigi berbeda-beda,dan kebiasaan menyikat gigi yang berbeda.10
153 Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua proses yang bertanggungjawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka; asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika seseorang anak memasukkan pengetahuan baru kedalam penetahuan yang sudah ada. Dalam asimilasi, anak mengasimilasikan lingkungan kedalam suatu skema. Akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan diri pada informasi baru. Yakni, anak menjesuaikan skema mereka dengan lingkungannya.13 Melalui observasinya, Piaget juga meyakini bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam empat tahap. Masing-masing tahap berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbedabeda. Tahapan Piaget terbagi menjadi empat tahapan yaitu, fase sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal.13 Tahap sensorimotor. Tahap ini yang berlangsung sejak kelahiran sampai usia dua tahun. Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman indera (sensory) mereka seperti melihat dan mendengar dengan gerakan motor (otot) mereka, dari sanalah diistilahkan sebagai sensorimotor.13 Tahap praoperasional. Tahap ini adalah tahap kedua pada teori Piaget. Tahap ini berlangsung kurang lebih mulai dari usia dua tahun samapai tujuh tahun. Ini adalah tahap pemikiran yang lebih simbolis daripada tahap sensorimotor tetapi tidak melibatkan pemikiran operasional. Pada tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata dan gambar.13 Tahap operasional konkret. Ini adalah tahap perkembangan kognitif ketiga dari teori Piaget, dimulai dari sekitar umur tujuh tahun sampai sekitar sebelas tahun. Pemikiran operasional konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran logika, kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada, tetapi tidak bisa memecahkan problemproblem abstrak.pada tahap ini anak kini bisa menalar secara logis tentang kejadian-kejadian dan mampu mengklasifikasikan objek dalam kelompok yang berbeda-beda.13 Tahap operasional formal. Tahap ini yang muncul antara usia sebelas tahun sampai lima belas tahun, adalah tahap keempat menurut teori Piaget dan tahap kognitif terakhir. Pada tahap ini, individu sudah mulai memikirkan pengalaman dan remaja sudah mulai berpikir secara lebih abstrak, idealistis, dan logis.13 Penelitian ini rata-rata murid di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin yang diteliti berada pada tahap operasional konkret dengan umur 9-11 tahun. Anak sudah dapat menalar dengan logikanya. Anak mulai dapat beradaptasi dan mengerti pada setiap metode yang diajarkan. Jenis kelamin pada penelitian ini tidak berpengaruh karena pada tahap ini anak baru bisa menalar secara logis dan masih rendahnya kesadaran akan
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 -155 154
154
pentingnya kesahatan gigi sehingga jenis kelamin tidak memiliki pengaruh. Faktor lain yang terkait disebabkan anak lebih cepat mengerti dan cenderung lebih mudah menyikat gigi dengan metode horizontal dibandingkan menyikat gigi dengan metode yang lain. Hal ini juga terkait dengan kebiasaan anak menyikat gigi di rumah, dimana seringkali secara tidak sadar anak-anak lebih cenderung menggunakan metode horizontal sehingga anakanak lebih mengerti ketika diajarkan cara menyikat gigi metode horizontal.
5.
6.
7.
8. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
Anitasari S dan Rahayu NE. Hubungan Frekuensi Menyikat Gigi Dengan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur. Maj. Ked. Gigi, 2005. hal 88. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. hal 5-8. Rifki A. Perbedan Efektivitas Menyikat Gigi dengan Metode Roll dan Horizontal pada Anak Usia 8 dan 10 Tahun di Medan. Tesis. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2010. hal 1-9. Utami NK. Indeks DMF-T pada Murid-Murid Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Martapura 2010. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi 2010; 2(1) :1-2.
9.
10.
11.
12.
13.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2009. hal:116-117. Warni L. Hubungan Perilaku Murid SD Kelas V dan VI pada Kesehatan Gigi Dan Mulut Terhadap Status Karies Gigi di Wilayah Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Tahun 2009. Tesis. Medan : USU, 2009. hal 14-20. Asadoorian J. Tooth Brushing. Canada: Canadian Journal of Dental Hygiene (CJDH), 2006;5:1-4. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjannah N. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC, 2010: 56-76, 107-118. McDonal, Avery and Dean. Dentistry for The Child and Adolescent 8th ed. St.Louis: Mosby, 2000.p.237-245. Pintauli S dan Hamada T. Menuju Gigi dan Mulut Sehat. Skripsi. Medan: USU, 2008: 4-6, 30-1, 74-81. Ekaputri N dan Lestari S. Perbedaan Efektivitas Penyikatan Gigi antara Teknik Roll dan Horizintal Scrubbing terhadap Penyingkiran Plak. Scientific Journal in Dentistry 2003; 53: 93-7. Sharma Sarika, Ramakrishna Yeluri, Amit A. Jain and Autar K. Munshi. Effect of toothbrush grip on plaque removal during manual toothbrushing in children. J Oral Sci. 2012;2(54):187. Santrock, JK. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2007.hal:55-60.
156 Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi
155
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian TINGKAT NURSING MOUTH CARIES ANAK 2-5 TAHUN DI PUSKESMAS CEMPAKA BANJARMASIN
Nadya Novia Sari, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Teguh Hadiyanto Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background: Nursing Mouth Caries (NMC) is a caries lesion with unique pattern in infants, toddlers, and preschool children which caused by the provision of formula milk, breastmilk or other sweet liquid in a long period. Dental caries is still one of the most frequent problems occur in Indonesia society, not only in adults but also in children. Purpose: The aims of this research are to investigate how the NMC level which is seen from the age of the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and also their mother's level of education and knowledge. Methods: This research used a purely descriptive method. Data taken by purposive sampling of 100 children aged 2-5 years old with interview procedures on the child's mother and child clinical examination of the oral cavity. Results: The results of this research was high level NMC which reached 96%, seen from the age of the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and mother's level of education and knowledge. Conclusion: Based on conducted research, it can be concluded that lacking of mother's knowledge of children's oral health was causing high rates of NMC. The higher the age of the child, tend to be higher rates of NMC expansion that occurs in children. The children who drank formula milk have the greater risk on NMC than children only drank breast milk exclusively. Children brushing habits were also contribute in the formation of the NMC, while the level of education of the mother allegedly did not much contribute in the occurrence of NMC in children. Keywords: NMC, breastmilk, formula milk, rate of accidence. ABSTRAK Latar Belakang: Nursing Mouth Caries (NMC) merupakan karies dengan pola lesi yang unik pada bayi, balita, dan anak prasekolah yang disebabkan oleh pemberian susu formula, ASI ataupun cairan manis lainnya dalam jangka waktu yang panjang. Karies gigi masih menjadi salah satu masalah yang paling sering terjadi pada masyarakat Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat terjadinya NMC yang dilihat dari usia anak, kebiasaan pemberian susu pada anak, kebiasaan menyikat gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif murni. Data diambil secara purposive sampling pada 100 orang anak usia 2-5 tahun dengan prosedur wawancara pada ibu anak dan pemeriksaan klinis rongga mulut anak. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tingginya NMC pada anak mencapai 96% dari 100 orang anak, yang dikelompokkan lagi tingkat perluasan NMC berdasarkan usia anak, kebiasaan pemberian susu pada anak, kebiasaan menyikat gigi pada anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan masih kurangnya tingkat pengetahuan ibu terhadap kesehatan gigi dan mulut anak yang menyebabkan tingginya tingkat NMC yang terjadi. Semakin tinggi usia anak, cenderung makin tinggi juga tingkat perluasan NMC yang terjadi pada anak. Serta anak yang meminum susu formula memiliki resiko lebih besar terkena NMC dibandingkan anak yang hanya meminum ASI eksklusif. Kebiasaan menyikat gigi anak juga berperan dalam pembentukan NMC, sedangkan tingkat pendidikan ibu tidak berperan banyak dalam terjadinya NMC pada anak.
Kata-kata kunci: NMC, ASI, susu formula, tingkat kejadian.
156
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 157 - 161
Korespondensi: Rosihan Adhani, Nadya Novia Sari, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected] [email protected] PENDAHULUAN Karies gigi masih menjadi salah satu masalah yang paling sering terjadi pada masyarakat Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Proses perkembangan karies dapat terjadi dimulai pada saat gigi anak pertama erupsi. Karies sangat berhubungan erat dengan kebersihan rongga mulut, terlebih pada anak-anak. Anak yang tidak dibiasakan melakukan penyikatan gigi sejak dini dari orang tua dapat mengakibatkan kesadaran dan motivasi anak kurang dalam menjaga kesehatan dan kebersihan rongga mulutnya. Keadaan ini memudahkan anak terkena resiko penyakit gigi dan mulut, khususnya pada anak usia di bawah 6 tahun .1 Karies dengan pola yang khas dan sering terjadi pada anak usia di bawah 6 tahun biasa disebut Nursing Mouth Caries (NMC). Definisi NMC menurut The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) adalah adanya satu atau lebih karies (kavitas atau non kavitas), adanya gigi yang hilang karena karies pada gigi desidui anak usia 071 bulan. Biasanya anak dengan NMC mempunyai kebiasaan minum Air Susu Ibu (ASI) ataupun susu botol setiap hari dalam waktu yang lama dan kadang dibiarkan sampai anak tertidur sepanjang malam. NMC biasanya membutuhkan perawatan yang lama dan apabila tidak diobati dapat merusak gigi anak dan berpengaruh pada kesehatan umum anak.1,2 Gambaran klinis NMC adalah khas, kerusakan yang paling parah pada jenis karies ini biasanya terjadi pada keempat gigi insisivus atas maksila karena posisi lidah pada saat anak menghisap susu meluas menutupi gigi anterior mandibula sehingga pada regio insisivus mandibula karies ini jarang terjadi. 3 Prevalensi NMC di beberapa negara masih cukup tinggi. Jose dan lainnya4 melaporkan di Karala, India 44% anak usia 8-48 bulan menderita NMC. Martens et al5 melaporkan prevalensi anak di pedesaan Cina dengan NMC mencapai 85,5%, sedangkan Kumar6 melaporkan 11-53% anak di USA menderita NMC, dan 6,8-12% di UK. Nursing Mouth Caries merupakan penyakit multi faktorial. Faktor-faktor penyebab NMC termasuk faktor host yang rentan, plak gigi,
tingginya angka kariogenik dari mikroorganisme seperti Streptococcus mutans, Lactobacillus, serta waktu. Nursing Mouth Caries merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius pada anak yang masih berusia sangat muda, meskipun tidak mengancam terhadap kehidupan anak NMC yang dibiarkan dan tidak diobati dapat menyebabkan rasa sakit pada anak, bakteremia, berkuranganya kemampuan mengunyah anak, maloklusi pada gigi permanen, masalah fonetik, dan kurangnya rasa percaya diri pada anak. Selain itu karies gigi juga dilaporkan dapat mengurangi kemampuan seorang anak untuk menambah berat badan.7 Data statistik mengenai status NMC pada anak usia 2-5 tahun sampai saat ini belum ditemukan di daerah Banjarmasin Kalimantan Selatan. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2007, proporsi penduduk bermasalah gigi mulut di Provinsi Kalimantan Selatan 29,2% (rentang 15,935,2%), dan kota Banjarmasin menjadi salah satu yang memiliki tingkat karies tertinggi, padahal Banjarmasin merupakan kota yang bermasalah gigi mulut tertinggi yang menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga medis yang tinggi, sedangkan prevalensi penduduk yang berprilaku benar dalam menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan ini hanya sekitar 10,3% (rentang 3,7-19,9%).8 Hal inilah yang membuat peneliti ingin mengetahui dan menggambarkan keadaan tersebut. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui tingkat NMC pada anak usia 2-5 tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Penelitian ini dilakukan di Puskemas Cempaka Banjarmasin dengan sasaran anak usia 25 tahun. Alasan penelitian dilakukan di Puskesmas Cempaka Banjarmasin karena puskesmas ini merupakan salah satu puskesmas terbesar di wilayah Banjarmasin, sehingga sangat banyak pasien anak yang datang berobat ke puskesmas ini. Penelitian ini dilakukan pada anak 2-5 tahun karena diasumsikan pada usia ini umumnya gigi susu anak telah tumbuh seluruhnya, sehingga NMC yang terjadi dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria tingkat perluasannya.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yang diperoleh dari wawancara dan pemeriksaan klinis pada rongga mulut anak usia 2-5 tahun pengunjung Puskesmas Cempaka
157
Sari 158: Tingkat Nursing Mouth Caries Banjarmasin. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, kapas dan tisu. Alat yang digunakan adalah alat diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker, senter, alat tulis, formulir informed consent dan lembar pemeriksaan untuk karies serta lembar kuesioner untuk wawancara. Populasi pada penelitian ini adalah ibu beserta anaknya yang berusia 2-5 tahun pengunjung Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Sampel pada penelitian ini diambil dengan purposive sampling. Sampel adalah anak berusia 2-5 tahun yang masih mengkonsumsi ASI maupun susu formula di Puskesmas Cempaka Banjarmasin dan memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusinya adalah anak berusia 2-5 tahun, anak masih mengkonsumsi ASI ataupun susu formula, bersedia menjadi responden (kooperatif) dan menandatangani informed consent. Nursing Mouth Caries Ada Tidak
Jumlah 96 4
Presentase 96% 4%
Jumlah 100 100% Kriteria eksklusinya adalah pasien yang tidak bersedia menjadi responden (tidak kooperatif). Variabel bebas yang diteliti pada penelitian ini umur anak, kebiasaan menyikat gigi anak, kebiasaan anak meminum susu, dan tingkat pendidikan serta pengetahuan orang tua (ibu). Variabel terikat pada penelitian ini adalah NMC. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Cempaka Banjarmasin dengan prosedur ibu dan anak yang berusia 2-5 tahun didatangi oleh peneliti. Pasien dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar informed consent sebagai tanda persetujuan menjadi subyek penelitian, kemudian dilakukan wawancara terhadap ibu anak terkait dengan kebiasaan menyikat gigi anak, kebiasaan anak meminum susu, dan pertanyaan yang akan melihat tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu serta dilakukan pemeriksaan klinis secara langsung pada rongga mulut anak untuk melihat tingkat perluasan NMC yang terjadi pada anak. Kebiasaan menyikat gigi pada anak dibagi menjadi 2 kelompok yaitu yaitu frekuensi benar dan salah, serta waktu menyikat gigi yang benar dan salah. Frekuensi menyikat gigi yang benar apabila anak menyikat gigi setiap hari sebanyak 2 atau 3 kali sehari, frekuensi menyikat gigi yang salah apabila anak tidak menyikat gigi setiap hari, atau menyikat gigi hanya 1 kali sehari. Waktu menyikat gigi yang
benar apabila anak menyikat gigi setelah sarapan dan sebelum tidur. Waktu menyikat gigi yang salah apabila anak menyikat gigi saat mandi, sebelum makan, atau tidak tentu kapan waktu anak menyikat gigi. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Cempaka Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013. Hasil penelitian gambaran Nursing Mouth Caries (NMC) pada anak usia 2-5 tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang. Jumlah subjek penelitian yang mengalami NMC sebanyak 96 orang dan 4 orang tidak mengalami NMC. Berikut ini merupakan tabel hasil penelitian tingkat Nursing Mouth Caries pada anak usia 2-5 tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Tabel 1
Data Prosentase Nursing Mouth Caries Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100)
Tabel 1 menunjukkan dari 100 orang anak usia 2-5 tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin, ditemukan prosentase NMC mencapai 96% atau 96 orang anak terkena NMC, dan hanya 4 orang anak yang ditemukan bebas karies. Hal ini menunjukkan prosentase anak yang mengalami NMC sangat tinggi, hampir mencapai 100%.
Gambar 1. Data Prosentase Tingkat Perluasan Nursing Mouth Caries Berdasarkan Usia Pada Anak 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100)
158
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 159 - 161 Gambar 4 Data Prosentase Tingkat Perluasan Nursing Mouth Caries Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu Dilihat Dari Frekuensi Anak Meminum Susu dalam Sehari pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100)
Gambar 2 Data Prosentase Tingkat Perluasan Nursing Mouth Caries Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu Dilihat Dari Jenis Susu yang Dikonsumsi Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100)
Gambar 5 Data Prosentase Tingkat Perluasan Nursing Mouth Caries Berdasarkan Kebiasaan Menyikat Gigi pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100)
Gambar 3 Data Prosentase Tingkat Perluasan Nursing Mouth Caries Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu Dilihat Dari Kebiasaan Anak Meminum Susu Sebagai Pengantar Tidur pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100)
Gambar 6 Data Prosentase Tingkat Perluasan Nursing Mouth Caries Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100)
160 : Tingkat Nursing Mouth Caries Sari
Gambar 7 Data Prosentase Tingkat Perluasan Nursing Mouth Caries Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin (n=100) PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 100 subjek penelitian anak usia 2-5 tahun di Puskesmas Cempaka Banrmasin, sebesar 96% (96 orang anak) mengalami NMC. Persentase ini sangat tinggi karena hampir mencapai keseluruhan dari total subjek penelitian. Tingginya tingkat kejadian NMC ini bisa disebabkan oleh banyak sekali faktor. Faktor utama penyebab karies seperti host, bakteri, substrat dan waktu sudah pasti berperan besar dalam penyebab terjadinya karies pada anak ini. Faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu, kebiasaan pemberian susu pada anak, kebiasaan membersihkan gigi anak dan usia anak pun juga dapat berperan dalam menyebabkan tingginya angka kejadian NMC disini. Hal ini sesuai dengan data mengenai angka karies gigi berdasarkan RISKESDAS8 tahun 2007 yang menyatakan angka karies gigi di Kalimantan Selatan sangat tinggi yaitu 50,7% karies aktif dan 83,4% pengalaman karies. Selain itu data mengenai angka kejadian karies juga dapat dilihat pada hasil Studi Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)8 pada tahun 2001 yang diperoleh hasil sebanyak 81,3% anak berusia 5 tahun memiliki gigi yang berlubang. Hal ini juga bisa terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan gigi dan mulutnya, karena kesehatan gigi dan mulut masih menjadi hal yang dianggap kurang penting bagi masyarakat sekarang ini. 9 Nursing Mouth Caries merupakan penyakit multi faktorial. Faktor-faktor penyebab NMC termasuk faktor host yang rentan, plak gigi, tingginya angka kariogenik dari mikroorganisme seperti Streptococcus mutans, Lactobacillus, serta waktu. Nursing Mouth Caries yang dibiarkan dan tidak diobati dapat menyebabkan rasa sakit pada anak, bakteremia, berkuranganya kemampuan
159 mengunyah anak, maloklusi pada gigi permanen, masalah fonetik, dan kurangnya rasa percaya diri pada anak. Selain itu karies gigi juga dilaporkan dapat mengurangi kemampuan seorang anak untuk menambah berat badan.11 Banyak faktor lain yang mempengaruhi terjadinya NMC seperti usia anak, kebiasaan meminum susu anak, kebiasaan menyikat gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua khususnya ibu anak. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dari Gambar 1, persentase NMC yang dilihat berdasarkan usia anak menunjukkan semakin bertambah usia anak cenderung semakin tinggi pula tingkat perluasan NMC yang terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Febriana Setiawati pada tahun 2012 di DKI Jakarta yang menyatakan peningkatan usia anak meningkatkan resiko kejadian NMC. Pada anak yang diberikan susu lebih dini, kemungkinan akumulasi karbohidrat dalam susu yang diberikan akan lebih tinggi sehingga menyebabkan gigi menjadi lebih rentan terserang karies. Makin bertambah usia anak, makin tinggi resiko kejadian NMC.10 Pada Gambar 2, 3 dan 4 didapatkan data persentase NMC yang dilihat dari kebiasaan meminum susu pada anak, dijumpai anak yang meminum susu formula sebagian besar telah menderita NMC, dan hanya 1 orang anak yang ditemukan bebas karies. Begitu pula pada anak yang meminum kombinasi ASI dan susu formula, 100% menderita NMC. Pada anak yang hanya mengkonsumi ASI eksklusif, ditemukan 3 orang bebas karies dan tingkat perluasan tertinggi masih berada pada tipe II. Anak yang mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur, 100% telah menderita NMC. Dilihat dari frekuensi anak meminum susu dalam sehari, pada anak yang mengkonsumsi susu lebih dari 9 kali sehari tingkat perluasan karies tertinggi sudah berada pada tipe III dan tipe IV. Hal ini didukung oleh teori dari American Academy of Pediatric Dentistry14 yang menyatakan bahwa pemberian ASI sebenarnya merupakan nutrisi yang ideal untuk anak. Pemberian ASI yang berkepanjangan juga dapat menjadi resiko potensial terjadinya NMC. Apabila ASI dan susu formula beresiko besar terhadap kejadian NMC, maka hal itu juga dapat terjadi pada anak yang mengkonsumsi kombinasi ASI dan susu formula. Kebiasaan pemberian susu pada anak yang dikaitkan dengan kebiasaan anak meminum susu sebagai pengantar tidur, dapat terlihat tingkat NMC yang tinggi pada anak yang mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur yang mana tingkat perluasan NMC sudah berada pada tipe III (moderate) dan tipe IV (severe), dan dari 83 anak yang mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur tidak ada anak yang bebas karies. Pada anak yang tidak mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur ditemukan 4 orang anak bebas karies, 5 orang
160
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 161 - 161
berada pada tipe I, dan 8 orang berada pada tipe II. Menurut Berkowitz3, hal ini dapat disebabkan karena cairan yang mengandung karbohidrat akan mengalami stagnasi cukup lama pada permukaan gigi, terutama apabila anak dibiarkan mengedot selama anak tertidur. Selama anak tertidur, terjadi penurunan aktifitas penelanan dan penurunan aliran saliva, hal inilah yang menyebabkan cairan yang mengandung karbohidrat stagnasi cukup lama pada permukaan gigi dan menjadi awal terjadinya proses karies.12 Apabila dikaitkan dengan frekuensi pemberian susu dalam sehari, terlihat kecenderungan meningkatnya distribusi NMC seiring dengan seringnya anak meminum susu. Hal ini didukung dengan penelitian dari Widyastuti di Bandung pada tahun 2010 yang menyatakan karies yang dipengaruhi oleh pemberian air susu berhubungan dengan frekuensi meminum susu setiap harinya, lama menyusui dan terutama seberapa sering anak meminum susu pada malam hari.12 Pada Gambar 5, diperoleh gambaran perilaku mengenai frekuensi penyikatan gigi yang dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu frekuensi benar dan salah, serta waktu menyikat gigi yang benar dan salah. Frekuensi menyikat gigi yang benar apabila anak menyikat gigi setiap hari sebanyak 2 atau 3 kali sehari, frekuensi menyikat gigi yang salah apabila anak tidak menyikat gigi setiap hari, atau menyikat gigi hanya 1 kali sehari. Sedangkan waktu menyikat gigi yang benar apabila anak menyikat gigi setelah sarapan dan sebelum tidur. Waktu menyikat gigi yang salah apabila anak menyikat gigi saat mandi, sebelum makan, atau tidak tentu kapan waktu anak menyikat gigi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa frekuensi menyikat gigi yang dilakukan anak sekalipun itu benar, tetapi apabila dilakukan pada waktu yang tidak tepat juga dapat menyebabkan tingginya resiko karies pada anak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anitasari15 di Samarinda (2004) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara frekuensi menyikat gigi dengan kebersihan gigi dan mulut. Ini dapat terjadi akibat terdapat faktor lain yang berperan dalam menentukan kebersihan rongga mulut seperti waktu salah dalam penyikatan gigi serta metode yang digunakan dalam menyikat gigi. Faktor waktu merupakan faktor pokok yang mempengaruhi perkembangan karies dan akan memperparah karies apabila pemberian susu dilakukan pada waktu malam hari, oleh karena anak tidak menyikat gigi sebelum tidur maka akan mempercepat dan memperparah tingkat NMC.13 Pada Gambar 6, didapatkan data persentase NMC yang dilihat dari tingkat pendidikan ibu anak. Tidak terlihat kecenderungan meningkatnya keparahan NMC pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Pemantauan peneliti selama proses penelitian diperoleh keterangan bahwa
sebagian besar responden tidak mengetahui atau jarang memperoleh informasi tentang cara pemeliharaan kesehatan rongga mulut. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan yang baik tidak mengindikasikan seseorang juga mempunyai tingkat pengetahuan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian, ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi tetapi angka kejadian NMC pada anaknya juga tergolong tinggi. Penelitian terdahulu oleh Angela16 pada tahun 2005 di DKI Jakarta menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian karies pada anak usia 4-5 tahun. Pada penelitian terdahulu oleh Suryaningrum17 juga didapatkan hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan angka kejadian karies pada balita di PAUD Jatipurno Kartasura. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kerrod B, Hallet dan Peter K.O pada tahun 2006 yang didapatkan hasil pendidikan ibu memiliki hubungan bermakna dengan tingkat keparahan NMC. Makin tinggi pendidikan ibu, makin rendah rata-rata skor def-t.10 Hasil penelitian pada Gambar 7 diperoleh data prosentase NMC yang dilihat dari tingkat pengetahuan ibu anak. Terlihat kecenderungan peningkatan keparahan NMC pada ibu dengan tingkat pengetahuan buruk/kurang. Chesnut18 menunjukkan bahwa sebenarnya banyak ibu tahu bahwa anak-anak tidur dengan botol berisi cairan gula itu berbahaya, namun karena mereka tidak mengerti mengapa hal itu berbahaya mereka terus memberikan minuman manis di malam hari. Pendidikan maupun pengetahuan tentang karies gigi sangat penting dalam pencegahan NMC.18 Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat tingkat NMC yang sangat tinggi pada anak yaitu 96%. Anak dengan NMC yang dilihat berdasarkan usia, menunjukkan hasil tingkat NMC tertinggi terdapat pada anak di kelompok usia 4-5 tahun. NMC yang dilihat berdasarkan kebiasaan pemberian susu pada anak juga dapat dilihat tingkat NMC tertinggi terjadi pada anak yang mengonsumsi susu formula dan dikonsumsi sebelum tidur, tetapi dalam penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa anak yang mengonsumsi ASI eksklusif pun tidak menutup kemungkinan anak menderita NMC meskipun tidak separah pada anak yang mengonsumsi susu formula. Berdasarkan kebiasaan menyikat gigi anak, ditemukan bahwa frekuensi penyikatan gigi tidak berpengaruh besar terhadap terjadinya NMC, hanya saja waktu anak menyikat gigi akan berpengaruh terhadap tingginya NMC yang dapat terjadi pada anak. NMC yang dilihat berdasarkan tingkat pendidikan ibu menunjukkan hasil ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah sangat besar kemungkinan anak memiliki resiko NMC yang tinggi, sedangkan tingkat pengetahuan ibu juga berperan sangat penting terhadap resiko karies pada
162 : Tingkat Nursing Mouth Caries Sari anak, ibu dengan tingkat pengetahuan yang rendah hampir 100% anaknya ditemukan menderita NMC. Hal ini membuktikan bahwa tingkat pengetahuan ibu terhadap kesehatan gigi dan mulut anak sangat perlu ditingkatkan agar ibu mengerti dampak apabila tidak menjaga kesehatan gigi dan mulut anak. DAFTAR PUSTAKA McDonald RE, Avery DR and Dean JA. Dentistry for The Child and Adolescent. 8th ed. New Delhi: Elsevier, 2008. hal. 209-210. 2. Dye BA, Shenkin JD, Ogden CL, Marshall TA, Levy SM and Kanellis MJ. The Relationship Between Healthful Eating Practices and Dental Caries in Children Aged 2-5 Years in the United States 1988-1994. Journal of the American Dental Association. 2004;135(1):5566. 3. Hallas D, Fernandez J, Lim L and Carobene M. Nursing Strategies to Reduce the Incidence of Early Childhood Caries in Culturally Diverse Populations. Journal of Pediatric Nursing. 2011:26:248-256 4. Kramer MS, McGill J, Matush L, Vanilofich I, Platt R, Bogdanovich N, Sevkosvskaya Z, Dzikovich I, Shisko G and Mazer B. Effect of Prolonged and Exclusive Breast-Feeding On Risk Of Allergy and Asthma: Cluster Randomised Trial. Caries Res. 2007;41:484-8. 5. Martens L, Vanobbergen J, Williems S,Aps J and De Massener JD. Determinants of Early Childhood Caries in a Group of Inner-City Children. Quintessence International. Belgia. 2006;37(75):27-36 6. Kumar VD. Early Childhood Caries-an Insight. Journal International Oral Health. 2010;2:1-9. 7. Prakash P, Subramaniam P, Durgesh BH and Konde S. Prevalence of Early Childhood Caries And Associated Risk-Factors in Preschool Children of Urban Bangalore,India: A Cross Sectional Study. Bangalore: Europan Journal of Dentistry; 2012;Vol 6: Hal 141-150. 8. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I. 2008; Hal 116-134. 9. Brodeur JM and Galarneau C. The High Incidence of Early Childhood Caries in Kindergarten-age Children. Journal De’L Ordre Des Dentistes Du Quebec. Supplement, 2006:3-5 10. Setiawati F. Peran Pola Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dalam Pencegahan Early Childhood Caries (ECC) di DKI Jakarta: Kajian Kadar IgA Pada ASI Dan Saliva Anak Serta Aktifitas Karies Gigi Dalam Upaya Membangun Model Pencegahan Karies Secara Dini Bagi Anak Usia Di Bawah Dua Tahun. [Disertasi]
161
11.
12.
1.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jakarta: Universitas Indonesia: 2012; hal 73121 Soesilo D, Santoso RE dan Diyatri I. Peranan Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies. Surabaya: Majalah Kedokteran Gigi Dental Journal Universitas Airlangga, 2005;(38). hal 21-25. Avianty RS, Tedjosasongko U dan Irmawati. Akitvitas Karies Anak Usia Prasekolah Berdasarkan Pola Nursing Bottle Feeding. Surabaya: Dental Journal of Airlangga University. 2011; hal 1-7. Widyastuti T. Kejadian Karies Aktif Pada Anak Usia 3-5 Tahun Yang Tercatat di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Mohammad Ramdan Kota Bandung Tahun 2010 dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. [Tesis] Depok: Universitas Indonesia: 2010; hal 20-30. American Academy of Pediatric Dentistry. Symposium on The Prevention of Oral Disease in Children and Adolescents. Chicago, Ill; November 11-12, 2005: Conference papers. Pediatr Dent 2006;28(2):96-198. Anitasari S dan Rahayu NE. Hubungan Frekuensi Menyikat Gigi dengan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J). 2005: (38):88–90. Angela A. Pencegahan Primer Pada Anak Berisiko Karies Tinggi. Dent J 2005 : 38 (3): 130-134. Sariningrum E. Hubungan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Sikap Orangtua Tentang Kebersihan Gigi dan Mulut Pada Anak Balita Usia 3-5 tahun dengan Tingkat Kejadian Karies di Paud Jatipurno. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2009. Chestnut IG, Murdoch C, and Robson KF. Parents and Carers:Choices of Drinks for Infants and Toddlers in Areas of Social And Economic Disadvantages. Community Dental Health. 2004: (20): 139−14
162
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 163 - 159
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PEPAYA (Carica papaya) 100% TERHADAP WAKTU PENYEMBUHAN LUKA Tinjauan Studi pada Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus)
Eka Oktavia Ruswanti, Cholil, Bayu Indra Sukmana Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT Background: Leaves of papaya (Carica papaya) are parts of one of the plants that can be used as a herbal medicine that can accelerate wound healing. Papaya leaves contain saponins which are useful to trigger the formation of collagen which plays a role in the wound healing process, papain which is useful as an antiinflammatory and antiedema, and the leaves also contain flavonoids and fenol which have activity as an antiseptic, prevent the formation of free radicals and minimize injury due to oxidation reactions. Purpose: This research aimed to find out whether the ethanol extract 100% papaya leaves could accelerate wound healing period in the oral mucosa of mice. Methods: The type of this research was a pure experimental study which used posttest-only with control design. This research used 27 mice as the samples and they were divided into 3 groups, treatment group was given ethanol extract 100% papaya leaves, negative control group was not given any treatment, and positive control group was given povidone iodine. Results: The average of wound healing period in the experimental, negative, and positive group were 7,6 days, 12,3 days and 9,5 days respectively. The results of Kruskal Wallis and Mann-Whitney test showed significant difference among the treated, negative, and control groups. Conclusion: Based on the results, it was concluded that ethanol extract 100% papaya leaves was effective to accelerate the wound healing period in the oral mucosa of mice. Keywords: ethanol extract 100 % papaya leaves, wound healing, oral mucosa. ABSTRAK Latar belakang: Daun pepaya (Carica papaya) merupakan salah satu tanaman yang bisa dijadikan tumbuhan obat yang dapat mempercepat penyembuhan luka. Daun pepaya mengandung saponin yang berguna untuk memicu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, papain berguna sebagai antiinflamasi dan antiedema, serta mengandung flavonoid dan fenol yang mempunyai aktivitas sebagai antiseptik, mencegah pembentukan radikal bebas serta meminimalisir luka akibat reaksi oksidasi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak etanol daun pepaya 100% dapat mempercepat waktu penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit. Metode: Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan posttest-only with control design. Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit sebanyak 27 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun pepaya 100%, kelompok kontrol negatif yang tidak diberikan perlakuan apapun, dan kelompok kontrol positif yang diberi povidone iodine. Hasil: Rata-rata penyembuhan luka secara berturutturut pada kelompok perlakuan, negatif, dan positif adalah 7,6 hari, 12,3 hari, dan 9,5 hari. Hasil uji Kruskal Wallis dan Mann-Whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol negatif. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tersebut ekstrak etanol daun pepaya 100% efektif mempercepat lama penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit. Kata-kata kunci: ekstrak etanol daun pepaya 100%, penyembuhan luka, mukosa mulut.
164 Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya
163
Korespondesi: Eka Oktavia Ruswanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1 Luka akibat trauma dalam rongga mulut merupakan hal yang sering terjadi. Trauma ini dapat terjadi secara disengaja maupun tidak, yang pada akhirnya akan menimbulkan luka pada mukosa mulut.2 Penyembuhan luka yang normal merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis, tetapi mempunyai pola yang dapat diprediksi. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu : hemostasis dan inflamasi, proliferasi, serta maturasi dan remodeling. Fasefase ini akan terjadi saling tumpang tindih (overlapping), dan berlangsung sejak terjadi luka sampai tercapainya resolusi luka. Semua luka harus melewati proses selular dan biokimia yang berkelanjutan ini, agar tercapai pengembalian intergritas jaringan yang sempurna.3 Penyembuhan luka dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk jenis obat-obatan yang digunakan. Penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan luka dapat dilakukan dengan berbagai macam dan jenis, salah satunya adalah penggunaan obat tradisional. Penggunaan atau pengobatan secara tradisional semakin disukai karena pada umumnya kurang menimbulkan efek samping seperti halnya pada obat-obatan dari bahan kimia.4,5 Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tumbuhan obat adalah daun pepaya. Tanaman pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman yang mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi, banyak dijumpai di Indonesia sebagai tanaman kaya manfaat. Tanaman pepaya memiliki banyak manfaat mulai dari bagian akar, batang, daun, bunga dan buahnya, yaitu sebagai sumber vitamin, mineral dan senyawa lainnya untuk kebugaran tubuh dan berkhasiat obat dalam bidang kesehatan. Daun yang dimakan langsung setelah dimasak diyakini memperkuat sekresi empedu, obat mulas, sariawan, beri-beri, asma, jerawat, obat cacing kremi, memperbaiki pencernaan serta menambah nafsu makan.6 Secara tradisional ekstrak daun pepaya digunakan sebagai pengobatan untuk sakit perut. Daun muda dapat digunakan untuk pengobatan demam, penambah nafsu makan, keputihan, jerawat, menambah air susu, serta mengobati sakit gigi. Ekstrak pepaya digunakan untuk memerangi penyakit kanker dalam beberapa dekade terakhir.6 Menurut Indrawati tahun 2008 diketahui bahwa daun pepaya dapat digunakan untuk
pengobatan gangguan lambung seperti maag dan masalah pada saluran pencernaan. Hal ini karena kandungan flavonoid dan fenol yang terdapat dalam daun pepaya dapat meningkatkan sekresi prostaglandin di lambung, serta mencegah pembentukan radikal bebas dan meminimalisir luka akibat reaksi oksidasi. Jenis fitokimia lain yang terkandung dalam daun pepaya yaitu saponin yang berguna untuk memicu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, papain berguna sebagai antiinflamasi dan antiedema. Daun pepaya juga mempunyai daya kerja sebagai antimikroba. Menurut penelitian Januarsih Iwan dan Nur Atik tahun 2010, pemberian ekstrak daun pepaya dapat mempercepat regenerasi epidermis dan granulasi jaringan pada luka sayat kulit mencit (Mus musculus).3,7 Pepaya banyak mengandung substansi penting untuk tubuh, diantaranya vitamin C dan E, serta beta karoten yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menetralisir radikal bebas hasil fagositosis neutrofil terhadap debris dan bakteri pada proses penyembuhan luka (proses respiratory burst).3 Daun pepaya yang dilarutkan dengan etanol efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal sebagai obat penyembuh luka, serta tidak mudah ditumbuhi jamur. Ekstrak etanol daun pepaya sebagai obat luka dibuat dalam bentuk gel akan mempermudah dalam pemakaiannya sehingga pengobatan lebih efektif.8 Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya) 100% dalam mempercepat penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit. Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang nantinya diharapkan ekstrak etanol daun pepaya 100% dapat menjadi obat topikal untuk menyembuhkan luka pada mukosa mulut.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan eksperimental murni (true experimental) dengan rancangan post test-only with control design. Penelitian ini menggunakan daun pepaya, etanol 70 %, bahan anastesi (eter), povidone idodine dan hewan coba mencit jantan galur Balb-C sebanyak 27 ekor mencit berumur 2-2,5 bulan dengan berat badan 2035 gram, yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol positif, kontrol negatif, dan kelompok perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 9 mencit. Prosedur penelitian diawali dengan pengambilan daun pepaya dan pembuatan simplisia.
164
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 165 - 166
Daun pepaya dicuci hingga bersih, kemudian diangin-anginkan sampai kering, dan dihaluskan dengan mesin penggiling. Tahap selanjutnya adalah pembuatan ekstrak daun pepaya. Serbuk daun pepaya sebanyak 100 gram dimasukkan wadah berwarna gelap, ditambah etanol 70% sebanyak 750 ml aduk hingga homogen, tutup segera kemudian disimpan dalam ruangan yang terhindar dari cahaya matahari selama 5 hari dan sering kali dikocok. Rendaman tersebut disaring dengan kain flanel, ampas dicuci dengan pelarut sampai volume 750 ml. Hasil dipekatkan dengan vakum evaporator sampai didapat ekstrak kental. Setelah pembuatan ekstrak selesai, hewan coba diadaptasikan selama 1 minggu dalam suasana laboratorium. Mencit dikumpulkan dalam satu kandang dan di ambil secara random menjadi 3 kelompok kemudian diberi nomor sesuai kelompoknya. Anastesi dilakukan menggunakan eter. Bulu di sekitar mukosa mulut mencit dicukur, kemudian dilakukan insisi sepanjang 5 mm dan dalam 1 mm pada bagian mukosa mencit dengan menggunakan scalpel steril. Setiap kelompok diberi perlakuan sebagai berikut: Kelompok 1 : Kelompok kontrol negatif, luka sayat pada mukosa tidak diberikan apapun. Kelompok 2 : Kelompok perlakuan, luka sayat pada mukosa diberi ekstrak etanol daun pepaya 100%. Kelompok 3: Kelompok kontrol positif, luka sayat pada mukosa diberi povidone iodine. Perawatan luka dan pemberian perlakuan dilakukan setiap hari satu kali, sekitar jam 10.00 WITA sampai luka sembuh.
Gambar 2 Diagram Waktu Penyembuhan Luka pada Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus) Diberikan Ekstrak Etanol Daun Pepaya 100%
Berdasarkan Gambar di atas terlihat bahwa rata-rata waktu penyembuhan luka pada kelompok kontrol negatif 12,3 hari, kelompok perlakuan 7,6 hari, dan kelompok kontrol positif 9,5 hari. Data tersebut selanjutnya diolah menggunakan uji statistik. Data yang diperoleh diuji normalitas
Mencit MencitkekeMencit keGambar 2 Diagram Rata-rata Waktu Penyembuhan Luka pada Mukosa Mulut (Mus musculus) Gambar 1 Diagram WaktuMencit Penyembuhan Luka yang pada DiberikanMukosa Ekstrak Mulut Etanol Mencit Daun Pepaya 100% (Mus musculus) yang Tidak Diberikan Perlakuan (Kontrol Negatif)
Mencit ke-
menggunakan uji Shapiro Wilk didapatkan nilai untuk kelompok kontrol negatif (tidak diberikan apapun) p=0,004, kelompok perlakuan (diberikan ekstrak etanol daun pepaya 100%) p=0,364, dan
HASIL PENELITIAN Diagram hasil penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya) 100% terhadap waktu penyembuhan luka dapat dilihat pada Gambar.
kelompok kontrol positif (diberikan povidone iodine) p=0,100. Nilai homogenitas menggunakan Levene’s test dari semua kelompok p=0,029. Dapat disimpulkan bahwa data pada kelompok kontrol negatif tidak normal dan data pada semua
166 Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya
kelompok tidak homogen (p<0,05). Dilakukan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk mengetahui apakah data tersebut terdapat perbedaan, dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk mengetahui kelompok mana yang menunjukkan perbedaan bermakna dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji Kruskal Wallis terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai signifikansi 0,001 (p<0,05). Pada uji Mann Whitney kelompok perlakuan dan kontrol negatif terdapat perbedaan bermakna dengan nilai p=0,000 (p<0,05) yang artinya ekstrak etanol daun pepaya 100% dapat mempercepat penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit secara in vivo. Hasil uji statistik kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol positif tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,135 (p>0,05) yang artinya ekstrak etanol daun pepaya 100% sebanding dengan povidone iodine yaitu obat yang dapat mempercapat penyembuhan luka yang beredar di masyarakat. Hasil uji statistik kelompok kontrol negatif dibandingkan dengan kelompok kontrol positif nilai p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan povidone iodine dapat pula mempercepat penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.
PEMBAHASAN Penyembuhan luka pada kelompok kontrol negatif berlangsung lebih lama daripada kelompok perlakuan (diberikan ekstrak etanol daun pepaya 100%) dan kelompok kontrol positif (diberikan povidone iodine). Hal ini terjadi karena proses penyembuhan pada kelompok kontrol negatif berlangsung secara alami. Penyembuhan pada kelompok kelompok perlakuan (diberikan ekstrak etanol daun pepaya 100%) lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan karena daun pepaya mengandung saponin, flavonoid, fenol, dan papain. Penyembuhan luka secara fisiologis terbagi ke dalam tiga fase, yakni fase respon inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Penyembuhan luka pada kelompok kontrol negatif berawal dari fase inflamasi yang terjadi segera setelah luka dan berakhir 3-4 hari, daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Ada dua proses utama yang terjadi pada fase ini yaitu hematom (penghentian perdarahan) dan fagositosis (makrofag menelan mikroorganisme dan sel debris). Fase berikutnya adalah fase proliferasi (regenerasi) yang berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan. Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar
165 yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadinya luka. Kolagen dapat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka.9 Mekanisme saponin dalam menyembuhkan luka adalah memacu pembentukan kolagen, yaitu struktur protein yang berperan dalam proses penyembuhan luka. Flavonoid merupakan antimikroba yang mampu membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta dinding sel mikroba. Flavonoid bersifat anti inflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit, bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka. Selain itu, flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan serta mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan antigen lebih cepat dihasilkan dan sistem limfoid lebih cepat diaktifkan. Senyawa fenol memiliki kemampuan untuk membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat merusak membran sel bakteri. Enzim papain memiliki efek antiinflamasi dan analgetik dengan cara menetralisir mediator inflamasi seperti kinin dan prostaglandin sehingga menghambat secara langsung pada reseptor nyeri.3,10 Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Erna Septiningsih (2008) menyatakan bahwa gel ekstrak etanol daun pepaya efektif menyembuhkan luka bakar pada kulit punggung kelinci New Zealand. Penelitian lain dilakukan oleh Januarsih Iwan dan Nur Atik (2010) yang menyatakan bahwa pemberian ekstrak daun pepaya dapat mempercepat regenerasi epidermis dan granulasi jaringan pada luka sayat kulit mencit (Mus musculus). Penyembuhan luka pada kelompok positif lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol negatif dan hampir sama dengan kelompok perlakuan. Penelitian ini menggunakan kelompok kontrol positif (luka insisi diobati dengan povidone iodine) dimaksudkan untuk menunjukan hasil kesembuhan yang positif dengan menggunakan produk paten yang umum digunakan sebagai obat luka. Povidone iodine merupakan penggabungan senyawa yodium dengan polivinil pirolidon (PVP) untuk menghasilkan povidon-yodium yang digunakan secara luas untuk antiseptik. Persenyawaan ini merupakan zat antibakteri lokal yang efektif tidak hanya untuk bakteri tetapi juga spora dan dapat digunakan pada perawatan topikal dan sistemik. Penggunaan zat povidone iodine sangat efektif untuk mematikan mikroba, akan tetapi di sisi lain akan menimbulkan iritasi pada luka karena zat-zat yang terkandung dalam bahan antiseptik akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena komponen dan susunannya berbeda dengan sel-sel tubuh.11 Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pepaya 100% efektif mempercepat penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 167 - 166
166
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dari ekstrak etanol daun pepaya untuk melihat penyembuhan lukanya secara histopatologi dan penelitian lain perlu dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya efek toksik dari daun pepaya.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
Sjamsuhidayat R dan Wim DJ. Buku ajar ilmu bedah. Ed 3. Jakarta : EGC, 2010. hal : 95-120. Ismardianita E, Soebijanto dan Sutrisno. Pengaruh kuretase terhadap penyembuhan luka pasca pencabutan gigi kajian histologi pada tikus galur wistar. Dentika Dental Jurnal 2003; 8 (2):75-80. Iwan J dan Nur A. Perbandingan pemberian topikal aqueous leaf extract of Carica papaya (ALEC) dan madu khaula terhadap percepatan penyembuhan luka sayat pada kulit mencit (Mus musculus). Majalah Kedokteran Bandung 2010; 42 (2): 77. Priosoeryono BP, Nalia P, Adinda RL, Vetnizah J, Ietje W, Bayu FR and Risa T. The effect of Ambon banana stem sap (Musa paradisiacal forma typical) on the acceleration of wound healing process in mice (Mus musculus albinus). Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics 2008: 36-39. Haryanto D, Rosye HRT dan Konstantina MBK. Pemanfaatan tumbuhan obat masyarakat Marind yang bermukim di Taman Nasional Wasur, Merauke. Jurnal Biologi Papua 2009; 1 (2): 59.
6.
Sudjatinah, Wibowo CH dan Widiyaningrum P. Pengaruh pemberian ekstrak daun pepaya terhadap tampilan produksi ayam broiler (the effect of papain extract on the broiler performance). J.Indon. Trop. Anim. Agric 2005; 30 (4): 225. 7. Indrawati Y dan Kosasih P. Telaah fitokimia bunga pepaya gantung (Carica Papaya L) dan uji aktivitas antioksidannya. Tesis. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 2002. Hal. 49. 8. Septiningsih E. Efek penyembuhan luka bakar ekstrak etanol 70% daun pepaya (Carica papaya) dalam sediaan gel pada kulit punggung kelinci New Zealand. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2008. hal. 7-9. 9. Morison MJ. Manajemen luka. Jakarta : EGC, 2003. hal. 131. 10. Haryani A, Roffi G, Ibnu DB dan Ayi S. Uji efektivitas daun pepaya (Carica papaya) untuk pengobatan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan mas koki (Carassius auratus). Jurnal Perikanan dan Kelautan 2012; 3 (3); 218. 11. Sunil KP, Raja BP, Jagadish RG, and Uttam A. Povidone Iodine-Revisited. IJDA 2011; 3(3); 617-620.
168 Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya
167
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian EFEKTIVITAS PENGGUNAAN INFUSUM DAUN SIRIH (Piper betle Linn) 50% DAN 100% SEBAGAI OBAT KUMUR TERHADAP PENINGKATAN pH DAN VOLUME SALIVA Tinjauan pada Mahasiswa PSKG FK Unlam Banjarmasin Angkatan 2011-2012
Dea Raissa Pratiwi, Deby Kania Tri Putri, Siti Kaidah Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background: Betel leaves infusion has antibacterial contents such chavichol, fatty acids, and fatty acid hydroxyl, so it can increase the pH of saliva. It can also increase the volume of saliva because it has a bitter taste that will chemically stimulate salivary secretion. Purpose: The purpose of this study was to know the differences of the effectiveness of using betel leaves infusion 50% and 100% as a mouthwash of increase in the pH and volume of saliva. Methods: This study used a quasi-experimental method with pre-post test control group design and statistical test Kruskal-Wallis and Mann Whitney. The treatment was given to 3 groups, the group that rinsing with betel leaves infusion 50%, the group that rinsing with betel leaf infusion 100%, and the control group. Saliva was collected before and after treatment in a container pot for 5 minutes. Results: The results showed no significant differences between 3 treatment groups in increasing the pH of saliva (p=0,200), but there were significant differences between 3 treatment groups in increasing the volume of saliva (p=0,042). The results of Mann Whitney test showed betel leaves infusion 50% was increasing the volume of saliva (p=0,025), and betel leaves infusion 100% was increasing the volume of saliva (p=0,405). Conclusion: It can be concluded that there was not an increase in the pH of saliva in the group that rinsing with betel leaves infusion 50% and 100% in the fifth minute, and there was an increase in the volume of saliva in the group that rinsing with betel leaves infusion 50%.
Keywords: Betel leaves infusion (Piper betle Linn) 50%, betel leaves infusion (Piper betle Linn) 100%, mouthwash, pH of saliva, volume of saliva
ABSTRAK Latar Belakang: Infusum daun sirih memiliki kandungan yang bersifat antibakteri seperti chavichol, asam lemak, dan asam lemak hidroksil, sehingga dapat meningkatkan pH saliva. Infusum daun sirih juga dapat meningkatkan volume saliva karena meliliki rasa pahit yang secara kimiawi akan merangsang sekresi saliva. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektivitas penggunaan air rebusan daun sirih 50% dan 100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH dan volume saliva. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi experimental dengan pre-post test control group design dan uji statistik Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Perlakuan diberikan pada 3 kelompok, yaitu kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan kelompok kontrol. Saliva dikumpulkan sebelum dan sesudah perlakuan pada pot penampung selama 5 menit. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam meningkatkan pH saliva (p=0,200), tetapi terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam meningkatkan volume saliva (p=0,042). Hasil uji Mann Whitney menunjukkan infusum daun sirih 50% dapat meningkatkan volume saliva (p=0,025), sedangkan infusum daun sirih 100% tidak dapat meningkatkan volume saliva (p=0,405). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat peningkatan pH saliva pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% maupun 100% pada menit kelima, dan terdapat peningkatan volume saliva pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50%.
168
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 169 - 173
Kata kunci: Infusum daun sirih (Piper betle Linn) 50%, infusum daun sirih (Piper betle Linn) 100%, obat kumur, pH saliva, volume saliva Korespondensi: Dea Raissa Pratiwi, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B Banjarmasin, Kalsel, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia sampai saat ini merupakan masalah klasik, ini ditandai dengan angka prevalensi karies gigi dan penyakit periodontal yang masih tetap tinggi.1 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 di bidang kesehatan gigi dan mulut, prevalensi penduduk yang mempunyai masalah gigi-mulut adalah 23,4%, prevalensi nasional karies aktif 43,4%, dan prevalensi pengalaman karies 67,2%. Dari penduduk yang mempunyai masalah gigi dan mulut terdapat 29,6% yang menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan gigi. Jenis perawatan yang paling banyak diterima penduduk yang mengalami masalah gigi dan mulut yaitu pengobatan (87,6%), disusul penambalan, pencabutan, dan bedah gigi (38,5%).2 Saliva merupakan salah satu komponen yang memiliki arti yang penting bagi kesehatan gigi dan mulut. Saliva tidak hanya membantu proses pengunyahan, tetapi juga berperan sebagai pelindung multidimensional dan saliva dapat dijadikan bahan informasi untuk tingkat cairan jaringan sesudah minum obat, status emosional, status hormon, status immunologi, status neurologi, status nutrisi, dan pengaruh metabolisme. Saliva dapat dijadikan suatu media dalam mendiagnostik dalam bidang kedokteran gigi.3,4 Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri dari 99% air, berbagai elektrolit yaitu sodium, potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat, fosfat, dan terdiri dari protein yang berperan sebagai enzim, immunoglobulin, antimikroba, glikoprotein mukosa, albumin, polipeptida, dan oligopeptida yang berperan dalam menjaga kesehatan rongga mulut.4,5 Saliva sebagai penjaga keseimbangan ekosistem rongga mulut, memiliki beberapa peranan diantaranya sebagai protektor, menjaga keseimbangan buffer, memelihara integritas gigi, sebagai antimikroba, memelihara mukosa, membantu sistem pencernaan, menjaga oral hygiene, membantu proses bicara, membantu keseimbangan cairan, dan sebagai pengecap rasa.6 Salah satu peran saliva adalah menjaga keseimbangan buffer di dalam rongga mulut. Kapasitas buffer saliva membantu melindungi gigi dari terjadinya proses demineralisasi enamel yang dapat disebabkan karena pH saliva yang rendah akibat produksi asam bakteri selama metabolisme karbohidrat berlangsung.7
Peningkatan dan pengurangan aliran saliva dapat memberi efek pada kesehatan rongga mulut dan kesehatan organ tubuh yang lain. Aliran saliva dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi dan juga menaikkan tingkat pembersihan karbohidrat dari rongga mulut. Pengurangan volume saliva dapat menyebabkan xerostomia, susah menelan, iritasi, dan kekeringan pada mukosa mulut serta angular cheilitis.7,8 Berkumur dengan zat tertentu dapat merangsang laju aliran saliva secara mekanis dan kimiawi sehingga mampu mencegah karies melalui efek buffer saliva dan proses remineralisasi, yaitu proses alami ketika mineral inorganik dalam saliva terakumulasi pada daerah yang mengalami disolusi enamel dan menggantikan mineral yang hilang dari gigi.9,10 Daun sirih (Piper betle Linn) adalah salah satu jenis tanaman obat yang sering digunakan untuk berkumur. Rasa pahit yang dimiliki daun sirih merupakan salah satu rangsang kimiawi yang akan merangsang sekresi saliva.11 Berkumur dengan daun sirih dapat meningkatkan volume saliva karena adanya stimulasi mekanis dan kimia yang terjadi. Stimulasi mekanis didapat dari gerakan berkumur dan stimulasi kimia berupa rasa pahit.13 Belum ada penelitian tentang berkumur dengan air rebusan daun sirih terhadap perubahan volume saliva. Ekstrak daun sirih melalui beberapa penelitian terdahulu terbukti dapat bersifat antibakteri, antioksidan, dan antifungi.12,14 Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa daun sirih dapat menahan perdarahan, menyembuhkan luka, menguatkan gigi, dan membersihkan tenggorokan.15 Hidayaningtias (2008) dalam penelitiannya, pada konsentrasi 100% dan waktu kontak 30 detik, sirih memberi efek antibakteri yang optimal terhadap S. mutans, bakteri penyebab karies.16 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Firdausi (2011), penggunaan infusum daun sirih konsentrasi 50% sebagai obat kumur dapat mempercepat terjadinya peningkatan pH saliva setelah mengkonsumsi karbohidrat.17 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektivitas penggunaan infusum daun sirih 50% dan 100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH dan volume saliva.
170 : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih Pratiwi BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan rancangan pre-post test control group design. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Unlam angkatan 2011-2012 Banjarmasin yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu keadaan umum dan mulut relatif baik, bersedia menjadi sampel penelitian, tidak ada gigi yang karies, tidak ada kalkulus, tidak merokok, tidak menggunakan alat protesa atau ortodontik, tidak mengkonsumsi alkohol, tidak mengkonsumsi obat-obatan, bukan penderita sjogren syndrome, tidak menerima terapi radiasi kanker kepala-leher, dan tidak menderita penyakit sistemik atau periodontal yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Besar sampel diambil menurut pakar metodologi Gay dan Diehl (1992) dalam Kasjono dan Yasril (2009) yang menyatakan bahwa sampel untuk penelitian eksperimental adalah 15 orang setiap kelompok. Pada penelitian ini terdapat 3 kelompok sehingga jumlah sampel adalah 45 orang.18 Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pot penampung infusum daun sirih (Piper betle Linn), set penangas air, kompor, saringan, timbangan, gelas ukur, wadah untuk berkumur, tissue, pH meter, kertas label, jam tangan/stopwatch, alat tulis, form penelitian, informed consent, masker, sarung tangan, diagnostic set, dan nierbekken. Bahan yang digunakan adalah saliva sebagai bahan pemeriksaan, infusum daun sirih konsentrasi 50% dan 100%, dan aquades. Infusum daun Sirih yang digunakan pada penelitian ini merupakan modifikasi dari metode Firdausi (2011), dibuat dengan metode dan takaran yang sama dan diaplikasikan sesegera mungkin setelah pembuatan agar tidak teroksidasi.17 Cara pembuatan infusum daun sirih yaitu sebanyak 150 gram daun sirih yang sudah dicuci bersih dirajang dan dimasukkan ke dalam wadah bertutup berupa kaca, porselen, atau panci yang dicat dan ditambahkan air sebanyak 150 mL. Wadah ini kemudian dimasukkan ke dalam penangas air berupa wadah yang lebih besar yang berisi air yang sedang mendidih di atas kompor. Waktu 15 menit dihitung sejak panci kecil dimasukkan ke dalam air mendidih. Cara ini digunakan untuk mendapatkan infusum dengan konsentrasi 100% dengan volume 150 mL. Cara tersebut diulang kembali dengan 75 gram daun sirih dan air sebanyak 150 mL untuk mendapatkan infusum dengan konsentrasi 50% dengan volume 150 mL. Jika volume yang didapat setelah pemanasan kurang dari 150 mL, dapat ditambahkan air panas. Sediaan kemudian diletakkan dalam pot
169 penampung bertutup dan dibiarkan dingin dalam suhu ruangan.17 Subjek diinstruksikan untuk tidak menyikat gigi dan makan atau minum selama 1 jam sebelum penelitian. Metode pengumpulan saliva yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode passive drool, yaitu dengan cara mengalirkan saliva secara pasif dari mulut ke dalam pot penampung saliva. Metode ini adalah metode yang paling efektif, sering digunakan dan sangat direkomendasikan karena telah diterima oleh banyak peneliti. Responden diminta untuk berdiri tegak lurus dengan lantai dan tenang. Kepala harus sedikit menunduk, condong ke depan dan mulut harus tetap terbuka dan biarkan saliva mengalir pada pot penampung selama 5 menit. Pada akhir pengumpulan saliva, sisa saliva pada mulut harus diludahkan ke dalam pot penampung. Dari pot penampung, saliva dipindahkan ke gelas ukur yang telah diberi label (nama subjek) untuk diukur volume dan pH-nya dan dicatat pada form penelitian. Volume saliva diukur dalam satuan mL. Pengukuran pH saliva dilakukan secara langsung (tanpa pengenceran) dengan pH meter dengan ketelitian 1 angka di belakang koma.17 Setelah pengambilan data awal, responden diberikan instruksi tentang perlakuan yang akan diberikan sesuai kelompok. Kelompok 1 berkumur dengan infusum daun sirih 50%, kelompok 2 berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan kelompok kontrol (-) berkumur dengan aquades, masing-masing sebanyak 10 mL selama 30 detik. Setelah berkumur, responden diinstruksikan untuk mengumpulkan saliva kembali dengan metode passive drool dan dilakukan pengukuran pH dan volume saliva seperti pada pengambilan data awal.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih (Piper betle Linn) 50% dan 100% sebagai Obat Kumur Terhadap Peningkatan pH Saliva dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Rata-rata pH Saliva Sebelum dan Sesudah Berkumur dengan Infusum Daun Sirih 50%, Infusum Daun Sirih 100%, dan pada Kelompok Kontrol
170
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 171 - 173
Berdasarkan data pada Gambar 1 diketahui bahwa pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% rata-rata pH saliva sebelum berkumur adalah 6,966 dan sesudah berkumur adalah 6,680, pada kelompok infusum daun sirih 100% rata-rata pH saliva sebelum berkumur adalah 6,855 dan sesudah berkumur adalah 6,700, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata pH saliva sebelum berkumur adalah 6,960 dan sesudah berkumur adalah 6,926. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa terdapat penurunan rata-rata pH saliva di setiap kelompok. Data pH saliva semua kelompok perlakuan dianalisis dengan uji statistik dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan data tidak terdistribusi normal dan tidak homogen, sehingga uji statistik One Way Anova tidak dapat digunakan, sehingga digunakan uji alternatif Kruskal-Wallis dengan derajat kepercayaan 95%. Pada uji Kruskal-Wallis didapatkan hasil p = 0,200 (p > 0,05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan. Berarti tidak terdapat perbedaan penurunan pH pada masing-masing kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan 100%, maupun dengan kelompok kontrol. Dapat disimpulkan bahwa infusum daun sirih 50%, infusum daun sirih 100%, dan kelompok kontrol memiliki efek yang tidak berbeda dalam menurunkan pH saliva. Hasil penelitian efektivitas penggunaan infusum daun sirih (Piper betle Linn) 50% dan 100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan volume Saliva dapat dilihat pada Gambar 2.
rata volume saliva sebelum berkumur adalah 2,093 mL dan sesudah berkumur adalah 3,126 mL, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata volume saliva sebelum berkumur adalah 2,060 dan sesudah berkumur adalah 2,220 mL. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa terdapat peningkatan ratarata volume pada masing-masing kelompok. Hasil perhitungan analisis statistik, menunjukkan data tidak terdistribusi normal dan tidak homogen, sehingga uji statistik One Way Anova tidak dapat digunakan, sehingga digunakan uji alternatif Kruskal-Wallis dengan derajat kepercayaan 95%. Pada uji Kruskal-Wallis, didapatkan hasil p = 0,042 (p < 0,05) yang berarti bahwa terdapat salah satu perlakuan yang berbeda di antara dua kelompok perlakuan. Untuk mengetahui perlakuan mana yang memiliki perbedaan, maka dilakukan analisis Mann Whitney. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney, didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% dengan p = 0,025 (p < 0,05). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100% (p = 0,053), demikian juga antara kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% dengan kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100% (p = 0,405). Dapat disimpulkan bahwa berkumur dengan infusum daun sirih 50% dapat meningkatkan volume saliva secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan berkumur dengan infusum daun sirih 100% tidak dapat meningkatkan volume saliva secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, meskipun jika dilihat dari nilai rerata sebelum dan sesudah berkumur terdapat peningkatan sebanyak 1,0333 mL, namun tidak terdapat perbedaan peningkatan volume saliva antara berkumur dengan infusum daun sirih 50% dengan infusum daun sirih 100%.
PEMBAHASAN
Gambar 2 Rata-rata Volume Saliva Sebelum dan Sesudah Berkumur dengan Infusum Daun Sirih 50%, Infusum Daun Sirih 100%, dan pada Kelompok Kontrol Berdasarkan data pada Gambar 2 diketahui bahwa pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% rata-rata volume saliva sebelum berkumur adalah 0,993 mL dan sesudah berkumur adalah 2,246 mL, pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100% rata-
Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan, maka dapat dipahami bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis peneliti karena tidak terdapat perbedaan bermakna antara ketiga kelompok yaitu kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan kelompok kontrol. Dapat dipahami juga bahwa infusum daun sirih 50% maupun infusum daun sirih 100% belum terlihat berpengaruh dalam meningkatkan pH saliva pada saat dilakukan pengukuran pada menit ke-5. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infusum daun sirih 50% maupun infusum daun sirih 100%
172 Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih tidak berpengaruh dalam meningkatkan pH saliva pada menit ke-5. Berdasarkan hasil penelitian Firdausi (2011), penggunaan air rebusan daun sirih konsentrasi 50% sebagai obat kumur dapat mempercepat terjadinya peningkatan pH saliva setelah mengkonsumsi karbohidrat.17 Pada hasil penelitian tersebut, pH saliva mengalami penurunan pada menit ke-2 setelah perlakuan, kemudian mulai meningkat kembali pada menit ke-6 hingga menit ke-10. Pada hasil penelitian Putri (2011) tentang pengaruh campuran madu dan teh hijau tehadap perubahan pH saliva anak, pH saliva yang mulai diukur pada menit ke-1 lebih rendah daripada menit ke 5, 15, atau ke 30, hal ini menunjukkan bahwa waktu berperan dalam menentukan besarnya perubahan pH saliva yang terjadi. pH saliva relatif stabil pada menit ke-15 karena kapasitas buffer saliva mampu menetralisir keadaan asam sebagai proses pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme maupun asam-asam organik, sedangkan pada menit ke-30 tampak penurunan pH saliva karena reaksi kimiawi yang lebih dominan ke arah asam sudah dapat mempengaruhi aksi buffer saliva.19 Pada penelitian ini, peneliti hanya mengukur pH saliva setelah menit ke-5 yaitu setelah pengumpulan saliva, dan peneliti tidak mengukur pada menitmenit selanjutnya hingga menit ke-10 dimana pada periode tersebut terjadi peningkatan pH saliva. Pada penelitian ini pH saliva yang terukur hanya di menit ke-5 dimana pada periode tersebut pH saliva belum meningkat secara maksimal. Hal ini dapat terjadi karena proses kimiawi terkadang memerlukan waktu yang berbeda-beda dan bervariasi karena suatu reaksi kimia bisa cepat atau lambat. Terjadinya penurunan maupun peningkatan pH saliva yang tergantung pada waktu pengukuran berkaitan dengan buffer saliva dan perbedaan kecepatan proses denaturasi serta fermentasi komponen-komponen dalam saliva.19 Buffer saliva berperan dalam mengatur keasaman pH rongga mulut. Sistem buffer pada saliva manusia terdiri dari sistem buffer fosfat, bikarbonat, dan protein.11 Kapasitas buffer saliva merupakan faktor penting yang memainkan peran dalam pemeliharaan pH saliva dan remineralisasi gigi. Kapasitas buffer berkorelasi dengan laju aliran saliva, pada saat laju aliran saliva menurun cenderung untuk menurunkan kapasitas buffer dan meningkatkan resiko perkembangan karies.20 Konsentrasi bikarbonat yang merupakan buffer penting dalam saliva, tidak konstan tapi bervariasi menurut laju aliran saliva, seperti pada saliva yang tidak distimulasi mengandung sedikit bikarbonat, sedangkan saliva yang distimulasi mengandung lebih banyak bikarbonat tergantung intensitas stimulus yang diberikan. Hal ini menyebabkan pH saliva sangat bergantung pada laju sekresi.11 Peningkatan kecepatan aliran saliva akan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, fosfat, dan
171 kalsium, hal ini dapat menyebabkan pH saliva meningkat.21 Dalam kondisi fisiologis, kapasitas buffer saliva akan bekerja dengan ion kalsium dan fosfat untuk mempertahankan kejenuhan dengan menjaga pH agar mendekati netral di dalam lingkungan rongga mulut.11 Setelah mengasup gula yang terkandung dalam makanan, pH pada plak akan turun dan terus turun hingga gula dibersihkan dari mulut dan bakteri yang memproduksi asam ter-buffer. Besarnya penurunan pH ditentukan oleh jumlah asam yang diproduksi oleh bakteri dan kapasitas buffer saliva. Berikut adalah kurva Stephan yang menunjukkan pengaruh berkumur dengan sukrosa terhadap pH plak.11
Gambar 3 Kurva Stephan Berdasarkan kurva Stephan (Gambar 3), terlepas dari kapasitas buffer saliva, pH plak akan turun segera setelah berkumur sukrosa hingga di bawah pH kritis, setelah itu perlahan kembali ke garis dasar. Penurunan ini terjadi karena plak dapat membentuk penghalang difusi (diffusion barrier) yang mencegah difusi sistem buffer saliva kepada plak. Sistem buffer saliva kemudian dapat mengatasinya dan pH plak ternetralisir sehingga dapat meningkat.11 Begitu juga dengan hasil penelitian ini, berkumur dengan infusum daun sirih 50% dan 100% belum meningkatkan pH saliva karena waktu pengukurannya hanya di menit ke-5. Seharusnya dilakukan pengukuran hingga menit ke10 atau lebih agar peningkatan pH saliva dapat diketahui. Sedangkan terhadap volume saliva, pada saat berkumur dengan infusum daun sirih, laju aliran saliva akan meningkat dengan adanya stimulus mekanis dan kimiawi. Laju aliran saliva diatur oleh mekanisme yang kompleks. Saraf otonom parasimpatis dan simpatis merupakan faktor primer yang mempengaruhinya, faktor lainnya adalah stimulus rasa dan taktil pada lidah dan mukosa mulut. Stimulus pada saraf parasimpatis akan menyebabkan pelepasan ion-ion dan air. Sedangkan stimulus pada saraf simpatis akan menyebabkan pelepasan protein-protein yang terdapat di dalam sel-sel asinar. Stimulus
172
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 -173 173
propriseptif dari otot-otot mastikasi dan ligamen periodontal akan mengeksitasi nuklei saliva inferior dan superior pada otak yang juga dipengaruhi oleh korteks serebri, sehingga sekresi saliva dapat meningkat.22 Peningkatan volume saliva yang terjadi sesuai dengan pernyataan Nirmaladewi (2011), yaitu berkumur dengan zat yang memiliki rasa pahit dan sepat seperti yang dimiliki daun sirih dapat meningkatkan volume saliva. Hal ini disebabkan karena stimulasi mekanis dan stimulasi kimia yang terjadi. Stimulasi mekanis didapat dari gerakan berkumur dan stimulasi kimia berupa rasa pahit dari infusum daun sirih yang merangsang sistem saraf pusat sehingga laju aliran saliva meningkat.13 Hartoyo (2003) menyatakan bahwa infusum daun sirih memiliki kandungan senyawa polifenol yang membawa sifat pahit dan sepat, sehingga semakin tinggi konsentrasi sirih maka semakin pahit dan sepat.23 Berdasarkan hasil uji Mann Whitney pada penelitian ini, volume saliva pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100% tidak meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena adanya hubungan antara dosis dengan intensitas efek yang terlihat sebagai kurva sigmoid dimana pada pemberian dosis rendah memberikan perubahan efek yang cepat sedangkan pada pemberian dosis yang lebih tinggi menyebabkan perubahan efek yang lambat terhadap peningkatan volume saliva karena reseptor sirih sudah terikat sebagian besar, selain itu mungkin karena adanya variasi biologis yang besar dimana pemberian dosis tertentu menimbulkan suatu intensitas efek tertentu.24 Keadaan ini juga dapat diakibatkan karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan sekresi saliva. Selain pengecapan sebagai faktor kimia dan berkumur sebagai faktor mekanis, kecepatan sekresi saliva dapat juga dipengaruhi oleh faktor emosi.13 Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf-saraf otonom yang mempersarafi kelenjar saliva. Respon simpatis dan parasimpatis di kelenjar saliva tidak saling bertentangan. Baik stimulasi simpatis maupun parasimpatis, keduanya meningkatkan sekresi saliva, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis, yang berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis, di pihak lain, menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit dengan konsistensi kental dan kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan sekresi saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering daripada biasanya selama keadaan saat sistem simpatis dominan, misalnya pada keadaan stres.22 Nirmaladewi (2011) menambahkan bahwa pada saat seseorang mengalami stres maka kecepatan sekresi saliva akan menurun.13 Pada
penelitian ini, faktor emosi tidak dikendalikan, sehingga adanya gangguan seperti stres pada responden kemungkinan dapat mempengaruhi volume saliva. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat peningkatan pH saliva antara sebelum dan setelah berkumur dengan infusum daun sirih 50% maupun dengan infusum daun sirih 100%, terdapat peningkatan volume saliva antara sebelum dan setelah berkumur dengan infusum daun sirih 50%, dan tidak terdapat peningkatan volume saliva antara sebelum dan setelah berkumur dengan infusum daun sirih 100% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh penggunaan infusum daun sirih terhadap pH saliva dengan variasi waktu pengukuran dari menit ke menit dengan rentang tertentu, agar dapat diketahui peningkatan pH saliva secara maksimal, serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tingkat konsentrasi infusum daun sirih <50%, 50%, dan antara 50-100%, sehingga dapat diketahui konsentrasi infusum daun sirih yang optimal terhadap peningkatan pH dan volume saliva. DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4. 5.
6. 7.
8.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Desember, 2008. Soelarso H, Roesanto HS, Achmad M. Peran Komunikasi Interpersonal dalam Pelayanan Kesehatan Gigi. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) Juli–September 2005; 38(3): 124–129. Rantonen P. Salivary Flow and Composition in Healthy and Diseased Adult [Dissertation]. Kuopio, Firland: University of Helsinki, 2003. p.12. Hartini E. Serba-serbi ilmu konservasi gigi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005. p.69-59. Del P, Maria A, Angela M, Adilson A, Reis L. Saliva Composition and Function: A Comprehensive Review. J Contemp Dent Pract 2008; 9(3): 5-2. Nanci A. Oral Histology Development, Structure, and Function. St. Louis: Mosby Elsevier 2008; 294-290: 316-313. Pink R, Simek J, Vondrakova J. Saliva As A Diagnostic Medium. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub 2009; 153(2): 103-110. Soesilo D, Rinna ES, Indeswati D. Peranan Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.
174 Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih
9. 10.
11. 12.
13.
14.
15.
16.
Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) Januari 2005; 38(1): 25–28. Dawes C. Salivary Flow Patterns and The Health of Hard and Soft Oral Tissues. JADA 2008; 139(suppl 2): 18S-24S. Malav PN. Dissolution of Teeth Enamel as a Result of Oral Microbial Growth. Choose, Focus, Analyze (CFA) Exercise. Chennai, India: Department of Biotechnology Indian Institute of Technology Madras, 2004. p.1-10. Fejerskov O, Kidd E. Dental Caries: The Disease and its Clinical Management. 2nd ed. Carlton: Blackwell Munksgaard, 2003. Datta A, Ghoshdastidar S, Singh M. Antimicrobial Property of Piper betel Leaf against Clinical Isolates of Bacteria. IJPSR 2011; 2(3): 104-109. Nirmaladewi A, Juni H, Regina T. Status Saliva dan Gingivitis pada Penderita Gingivitis Setelah Kumur Epigalocatechingallate (EGCG) dari Ekstrak The Hijau (Camellia sinensis). Traditional Medicine Journal 2011; 12(Issue 40): 1-7. Rahmah N, Aditya RKN. Uji Fungistatik Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap Candida albicans. BIOSCIENTIAE Juli 2010; 7(2): 17-24. Jenie BSL. Antimicrobial Activity of Piper betle Linn Extract Towards Food Borne Pathogens and Food Spoilage Microorganisms. FT Annual Meeting. New Orleans: Louisiana, 2001. Hidayaningtias P. Perbandingan Efek Antibakteri Air Seduhan Daun Sirih (Piper betle Linn) terhadap Streptococcus mutans pada Waktu Kontak dan Konsentrasi yang Berbeda. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: FK Undip, 2008.
173
17. Firdausi U. Pengaruh Penggunaan Air
18. 19.
20.
21.
22. 23. 24.
Rebusan Daun Sirih (Piper Betle Linn) sebagai Obat Kumur terhadap Perubahan pH Saliva. Skripsi. Surakarta: FK UNS, 2011. Kasjono HS, Yasril. Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. p.129-130. Putri DKT. Pengaruh Campuran Madu dan Teh Hijau terhadap Perubahan Derajat Keasaman (pH) Saliva Anak (Kajian Secara In Vitro). Laporan Penelitian. Banjarmasin: Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, 2011. p.35. Fenoll-Palomares C, Muñoz-Montagud JV, Sanchiz V, Herreros B, Hernandez V, Minguez M, et al. Unstimulated Salivary Flow Rate, pH and Buffer Capacity of Saliva in Healthy Volunteers. REV ESP ENFERM DIG (Madrid) 2004; 96: 773-783. Haroen ER. Pengaruh Stimulus Pengunyahan dan Pengecapan terhadap Kecepatan Aliran dan pH saliva. Jurnal Kedokteran Gigi UI 2002; 9: 29-34. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed.2. Jakarta: EGC, 2001. p.601 – 606. Hartoyo A. Teh dan Khasiatnya Bagi Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius, 2003. p.1519. Ganiswara SG, Setiabudy, Frans DS, Purwantyastuti. Farmakologi dan Terapi. Ed.4. Jakarta: UI Press, 2005. p.207-222.
174
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 175 - 173
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian GAMBARAN PERAWATAN SALURAN AKAR GIGI DI POLI GIGI RSUD ULIN BANJARMASIN
Maya Sagita, Cholil, Deby Kania Tri Putri, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background: Root canal treatment (RCT) is a mechanical and chemical treatment procedures that are biologically acceptable in root canal to eliminate pulp and periradicular disease and also improve health and repair of periradicular tissues. Purpose: This study aimed to obtain information about RCT based on the characteristics of age, gender, socioeconomic status and which tooth were often done RCT also the most respondents reasons who did RCT at dental poly of Regional Public Hospital of Ulin in Banjarmasin. Methods: This was an observational descriptive study with 100 samples, with purposive sampling method. Data was collected by interviews and direct observation to patients who did RCT. Results: The results showed the age group 20-40 years was the most respondents did RCT (67%). Women were more frequently done RCT (65%) than men (35%). Respondents with lower socioeconomic status was the most respondents who did RCT (41%). Toothache was the most respondents reason who did RCT (42%). Dental elements which most often performed RCT were first molar permanent right and left mandibular teeth (13%). Conclusion: Root canal treatment was most often performed on women in the age group 25-34 years, lower socio-economic status, with toothache excused at first molar permanent mandibular teeth. Keywords: root canal treatment, age, gender, socio-economic status ABSTRAK Latar belakang: Perawatan saluran akar gigi (PSA) adalah suatu prosedur perawatan mekanis dan kimiawi yang secara biologis diterima di dalam saluran akar untuk mengeliminasi penyakit pulpa dan periradikuler serta meningkatkan kesehatan dan perbaikan dari jaringan periradikuler. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang gambaran PSA berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan jenis gigi yang sering dilakukan PSA serta alasan responden melakukan PSA di poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan deskriptif observasional dengan jumlah sampel 100 orang, dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi langsung pada pasien yang melakukan PSA. Hasil: menunjukkan kelompok umur 20-40 tahun merupakan responden yang paling banyak melakukan PSA (67%). Perempuan lebih sering melakukan PSA (65%) daripada laki-laki (35%). Responden dengan status sosial ekonomi agak rendah paling banyak melakukan PSA (41%). Sakit gigi merupakan alasan terbanyak responden melakukan PSA (42%). Elemen gigi yang paling sering dilakukan PSA adalah gigi molar 1 permanen kanan dan kiri rahang bawah sebagai elemen gigi yang paling sering dilakukan PSA (13%). Kesimpulan: Perawatan saluran akar paling sering dilakukan pada perempuan dengan kelompok umur 20-40 tahun, status sosial ekonomi agak rendah, dengan keluhan sakit gigi pada molar 1 permanen rahang bawah. Kata Kunci: perawatan saluran akar gigi, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi Korespondensi: Maya Sagita, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
175
Sagita 176 : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi PENDAHULUAN Karies merupakan kerusakan jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam yang ada dalam karbohidrat melalui perantara mikroorganisme yang ada dalam saliva.1 Karies dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman permukaan, yaitu karies email (karies superfisial), karies dentin (karies media) dan karies akar (karies profunda).2 Menurut Branstrom dan Lind (1965) serta Langeland (1996), reaksi pulpa dapat terjadi pada lesi dini karies dentin. Meskipun pulpa belum terbuka, sel-sel peradangan dapat mengadakan penetrasi ke pulpa melalui tubulus dentin yang terbuka sehingga jika karies sudah meluas mengenai pulpa, itu berarti peradangan sudah kronis. Penyakit pulpa dapat diklasifikasikan sebagai pulpitis reversibel dan irreversibel, pulpitis hiperplastik dan nekrosis.3 Respon iritasi pulpa adalah peradangan dan jika tidak dirawat akan berkembang menjadi nekrosis pulpa. Peradangan bisa menyebar ke tulang alveolar sekitarnya dan menyebabkan penyakit periapikal. Besarnya masalah yang berhubungan dengan pulpa tidak boleh dianggap remeh. Konsekuensi paling serius dari penyakit pulpa adalah sepsis oral. Jika infeksi menyebar dari gigi maksilaris, dapat menyebabkan sinusitis purulen, meningitis, abses otak, selulitis orbital dan cavernous sinus thrombosis, sebaliknya, jika infeksi berasal dari gigi mandibula dapat menyebabkan ludwig’s angina, abses parapharyngeal, mediastinitis, pericarditis, emphysema dan jugular thrombophlebitis.4 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional menunjukkan bahwa tahun 2007, Kalimantan Selatan merupakan provinsi ke-dua dengan persentase pengalaman karies tertinggi, yaitu 84,7%. Kalimantan Selatan juga merupakan provinsi dengan indeks kesehatan gigi (DMF-T) tertinggi yaitu sebesar 6,83 meliputi gigi karies atau decay (D-T) 1,31, gigi dicabut atau missing (M-T) 5,52 dan gigi ditumpat atau filling (F-T) 0,12.5 Dapat disimpulkan bahwa banyaknya gigi yang ditumpat lebih sedikit daripada gigi yang missing atau diindikasi pencabutan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Kalimantan Selatan masih kurang menyadari pentingnya merawat dan mempertahankan gigi di dalam rongga mulut.6 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perawatan saluran akar gigi di poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin. BAHAN DAN METODE Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional yang diperoleh dari wawancara dan observasi langsung pada pasien yang melakukan perawatan saluran akar gigi. Penelitian ini
merupakan deskriptif observasional dengan jumlah sampel 100 orang, dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi langsung pada pasien yang melakukan PSA. Penelitian ini dilakukan di poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkolhol. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah inform consent, questioner, alat tulis, nier bekken, kaca mulut, handscoon dan masker. Penelitian ini diawali dengan meminta kesediaan pasien yang dilakukan perawatan saluran akar (PSA) di RSUD Ulin Banjarmasin untuk menjadi sampel penelitian dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent). Kemudian subjek penelitian diwawancara oleh peneliti. Tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi secara langsung gigi yang telah dilakukan PSA.Data yang didapat dari penelitian ini dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan tujuan, yaitu karakteristik umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan jenis gigi yang sering dilakukan PSA serta alasan responden melakukan PSA di poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Data tersebut kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi (PSA) berdasarkan kelompok umur Gambar 1 menunjukkan sampel yang melakukan PSA di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin paling banyak pada kelompok umur 20-40 tahun (67%), kemudian diikuti kelompok umur 40-65 tahun (25%), kelompok umur 10-20 tahun (8%) dan lebih dari 65 tahun (0%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa yang paling banyak melakukan PSA adalah kelompok umur 20-40 tahun (67%), sedangkan yang paling sedikit adalah kelompok umur lebih dari 65 tahun (0%).
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 -177 178
176
Gambar 2. Gambaran PSA kelamin
berdasarkan
jenis
Gambar 2 menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan PSA paling banyak adalah perempuan sebanyak 65 responden (65%). Responden laki-laki mendapatkan PSA yaitu 35 responden (35%).
Gambar 4. Gambaran PSA berdasarkan Alasan Melakukan PSA Gambar 4 menunjukkan bahwa alasan terbanyak responden melakukan PSA karena sakit gigi sebanyak 42 responden (42%). Kemudian diikuti dengan alasan gigi berlubang (17%), estetik (11 %), retreatment perawatan saluran akar (9 %), fraktur (5%), anjuran dokter gigi karena gigi masih bisa dirawat (5%), takut cabut gigi (4%), penyakit sistemik (3%), karies sekunder (3%), dan tambalan lepas (1%).
Gambar 3. Gambaran PSA Sosial Ekonomi
berdasarkan
Status
Gambar 2. menunjukkan bahwa responden yang melakukan PSA dengan sosial ekonomi tinggi adalah 0 responden (0%), menengah ke atas adalah 17 responden (17%), menengah ke bawah 36 responden (36%), agak rendah 41 responden (41%) dan rendah 6 responden (6%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa bahwa responden dengan sosial ekonomi yang agak rendah merupakan responden yang paling banyak melakukan PSA (41%). Tidak ada responden dengan sosial ekonomi tinggi yang melakukan PSA (0%).
Gambar 5. Elemen Gigi yang dilakukan PSA Gambar 5 menunjukkan bahwa elemen gigi terbanyak yang dilakukan PSA adalah gigi molar 1 kiri bawah dan molar 1 kanan bawah dengan persentasi 13%, kemudian diikuti gigi
Sagita 178 : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi molar 2 permanen kiri bawah (11%), molar 1 permanen kiri atas (9%), insisif sentral permanen kanan atas (7%), insisif sentral permanen kiri atas (6%), premolar 2 permanen kanan atas, molar 1 permanen kanan atas dan molar 2 permanen kanan bawah (5%), premolar 1 permanen kanan atas, molar 2 permanen kanan atas, premolar 1 permanen kiri bawah, dan premolar 2 permanen kanan bawah (4%), premolar 2 permanen kiri atas (3%), premolar 1 permanen kiri atas (2%), serta insisif lateral permanen kanan, insisif lateral permanen kiri atas, molar 2 permanen kiri atas, insisif lateral permanen kanan bawah, dan kaninus lateral permanen kanan bawah (1%). Kaninus permanen atas, insisif sentral permanen bawah, insisif lateral permanen kiri bawah, kaninus permanen kiri bawah dan premolar 2 permanen kanan bawah merupakan elemen gigi yang tidak dilakukan PSA selama penelitian (0%). PEMBAHASAN Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa yang paling banyak melakukan PSA adalah kelompok umur 20-40 tahun (67%), sedangkan yang paling sedikit adalah kelompok umur lebih dari 65 tahun (0%). Hal ini mungkin disebabkan karena berdasarkan RISKESDAS Provinsi Kalimantan Selatan (2007) pada kelompok umur 35-44 tahun rata-rata kehilangan 5,09 gigi dan pada kelompok umur 65 tahun ke atas rata-rata memiliki kehilangan 22,73 gigi. Dapat disimpulkan bahwa pada usia 35 tahun ke atas banyak masyarakat di Kalimantan Selatan yang mencabut giginya dan semakin bertambahnya umur, semakin banyak gigi yang telah dicabut.6 Selain itu, Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi endapan gambut terluas.7 Daerah dengan potensi endapan gambut memiliki pH air tanah yang secara umum cenderung asam, yaitu 3-4,5.8 air gambut memiliki pH yang asam yang dapat meningkatkan demineralisasi, yang nantinya akan menyebabkan gigi mudah terkena karies karena tidak seimbangnya proses demineralisasi dan remineralisasi.9 Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa wanita lebih banyak melakukan PSA (65%) daripada laki-laki (35%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu oleh Hollanda et al (2008) di Brazil dan Ahmed et al (2009) di Pakistan bahwa perempuan lebih banyak melakukan PSA daripada laki-laki.10,11 Hal ini mungkin terjadi karena perempuan lebih peduli dengan kesehatan oral.12 Hal ini didukung juga dengan pernyataan dari Ambarwati (2012) bahwa perempuan lebih mengutamakan estetik dibanding laki-laki, sehingga perempuan sangat memperhatikan kesehatan giginya.13 Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa bahwa responden dengan sosial ekonomi yang agak rendah merupakan responden yang paling banyak
177 melakukan PSA (41%). Tidak ada responden dengan sosial ekonomi tinggi yang melakukan PSA (0%) di poli gigi RSUD Ulin. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Budisuari et al (2010) bahwa status sosial ekonomi rendah cenderung terkena karies lebih tinggi yaitu sebesar 1.116 kali dibanding sosial ekonomi yang lebih tinggi.14 Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa alasan terbanyak melakukan PSA adalah sakit gigi (42%) sedangkan yang paling sedikit adalah tambalan lepas (1%). Hal ini mungkin terjadi karena umumnya pulpitis irreversibel dan nekrosis diawali dengan karies gigi. Umumnya karies pada tahap awal belum menimbulkan rasa sakit, sehingga pasien tidak merasa perlu untuk ditambal. Bila dibiarkan terus-menerus tanpa ditambal, proses dapat berlanjut dan mengenai pulpa sehingga menyebabkan sakit gigi yang berulang.15 Berdasarkan pernyataan Darwita et al (2010), sakit gigi menurunkan produktivitas kerja seseorang. Oleh karena hal tersebut, seseorang dengan sakit gigi paling banyak melakukan PSA.16 Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa elemen gigi yang paling banyak dilakukan PSA adalah gigi molar 1 permanen kanan rahang bawah dan molar 1 permanen kiri rahang bawah dengan persentasi masing-masing 13%, sedangkan elemen gigi yang selama penelitian tidak ditemukan dilakukan PSA adalah gigi kaninus permanen kanan rahang atas, kaninus kiri permanen rahang atas, kaninus kiri permanen rahang bawah, insisif sentral permanen kiri rahang bawah, insisif lateral permanen kiri rahang bawah, insisif sentral permanen kanan rahang bawah, dan premolar 1 permanen kanan rahang bawah (0%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu oleh Ahmed et al (2009) yang menyatakan bahwa molar merupakan yang paling banyak dilakukan PSA (54%) dengan persentasi molar 1 permanen rahang bawah yang paling banyak (21.2%). 11 Demikian pula hasil penelitian Oglah et al (2011) yang menyatakan bahwa molar permanen rahang bawah merupakan gigi yang paling sering dilakukan PSA (23.01%).17 Berbeda dengan hasil penelitian Hollanda et al (2008) dan bahwa PSA paling banyak dilakukan pada gigi premolar dan molar permanen rahang atas, demikian pula dengan hasil penelitian Marza dan Ranj (2009) yang menyatakan bahwa insisif sentral dan premolar 1 permanen rahang atas yang paling banyak dilakukan PSA.10,18 Hal ini mungkin terjadi karena gigi molar 1 permanen merupakan gigi permanen pertama yang erupsi sehingga paling lama terpapar dengan etiologi karies.19 Hal ini didukung dengan pernyataan bahwa gigi molar merupakan gigi yang beresiko mengalami karies, terutama fissure dan permukaan proksimal, dari aspek mesial molar kedua sampai aspek distal premolar pertama.20 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, PSA di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin paling sering
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 179 - 178
178
dilakukan pada perempuan (65%) dengan kelompok umur 20-40 tahun (67%), status sosial ekonomi agak rendah (41%), dengan keluhan sakit gigi (42%) pada molar 1 permanen rahang bawah (26%).
14.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Samad F. Karies Gigi. Skripsi. Pekanbaru: FK-UNRI, 2008. P.3. Bakar A. Kedokteran Gigi Klinis. Yogyakarta: Quantum Sinergis Media, 2012. P.27. Tarigan R. Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti). Edisi 2 revisi. Jakarta: EGC, 2006. P.23-27, 35. Yu C and Abbott PV. An Overview of Dental Pulp: Its Functions and Responses to Injury. Australian Dental Journal Endodontic Supplement 2007; 52 (1 Suppl): S4-S16. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. P.191. Depkes RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. P: 114. Tjahjono JAE. Kajian Potensi Endapan Gambut Indonesia berdasarkan Aspek Lingkungan. Jakarta: Pusat Sumber Daya Geologi, 2006. P.4. Hartatik W, Idris K, Sabiham S, Djuniwati dan Adiningsih JS. Pengaruh Pemberian Fosfat Alam dan SP-36 pada Tanah Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral terhadap Serapan P dan Efisiensi Pemupukan. Padang: Universitas Padang, 2004. P. 13. Prasetyo A. Keasaman Minuman Ringan Menurunkan Kekerasan Permukaan Gigi. Maj. Kedokteran Gigi 2005; 38: 2. Hollanda ACB, Alencar AHG, Esterela CRA, Bueno MR, and Estrela C. Prevalence of Endodontically Treated Teeth in a Brazilian Adult Population. Braz Dent J. 2008; 19(4): 313-317. Ahmed H, Durr-e-S, and Munawar R. Frequency and Distribution of Endodontically Treated Teeth. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan. 2009; 19(10): 605-8. Nield-Gehrig JS, and Willmann DE. Foundation of Periodontics for The Dental Hygienist. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003. P.78. Ambarwati AW. Persepsi Mengenai Tampilan Susunan Gigi Anterior dan Kebutuhan Perawatan Ortodonti (Pada anak usia 9-12
15.
16.
17.
18.
19.
20.
tahun). Skripsi. Makassar: FK UNHAS, 2012. P.35. Budisuari MA, Oktarina, dan Mikrajab MA. Hubungan Pola Makan dan Kebiasaan Menyikat Gigi dengan Kesehatan Gigi dan Mulut (Karies) di Indonesia. Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2010; 13(1): 8391. Agtini MD, Sintawati dan Murwanto T. Status Kesehatan Gigi, Performed Treatment Index dan Required Treatment Index Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Cianjur, Karawang dan Serang. Media Litbang Kesehatan. 2005; 15(4): 26-33. Darwita RR, Rahardjo A dan Amalia R. Penerimaan Guru SDN 03 Senen terhadap Program Sikat Gigi Bersama di Dalam Kelas pada Murid Kelas 1 dan 2. Cakradonya Dent J. 2010; 2(2): 159-250. Oglah FS, Baidda MZ and Gholam MK. Evaluation of Endodontic Treatment in Three Specialized Private Clinics in Baghdad (Retrospective Study). Mustansiria Dental Jounal. 2011; 8(3): 233-236. Marza RSA and Ranj AB. Prevalence and Technical Quality of Root Canal Treatment in Sulaimani Patiens (A Radiographic Evaluation). J Bagh College Dentistry. 2009; 21(2): 54. Demiburga S, Tuncay O, Cantekin K, Cayabatmaz M, Dincer AN, Kilinc HI and Sekerci AE. Frequency and Distribution of Early Tooth Loss and Endodontics Treatments Need of Permanent First Molars in a Turkish Pediatric Population. Eur J Dent. 2013; 7(1): S99-104. Axelsson Per. Diagnosis and Risk Prediction of Dental Caries. London: Quintessence Publishing Co. Inc, 2000. P.23.
180 Sagita : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi
179
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian PERBANDINGAN EFEKTIFITAS OBAT KUMUR BEBAS ALKOHOL YANG MENGANDUNG CETYLPYRIDINIUM CHLORIDE DENGAN CHLORHEXIDINE TERHADAP PENURUNAN PLAK Tinjauan pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012
Dian Novita Sari, Cholil, Bayu Indra Sukmana Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background: Mouthwash is solution used to clean the mouth, prevent dental caries and periodontal diseases. Chlorhexidine (CHX) is potential material in inhibiting plaque, buts long-term use may be harmful because it contains alcohol and can cause discoloration of teeth and restorations. Cetylpyridinium chloride (CPC) is materials that inhibit plaque effectively without alcohol and has lower side effect. Purpose: This study aimed to determine differences on the effectiveness of the use of mouthwash containing CPC compared with CHX to decrease plaque. Methods: This study used a quasi-experimental with pretest-posttest control group design with 60 subjects. The study on plaque index was conducted twice, initial check up and two weeks after the treatment. This study used a disclosing agent with Quigley and Hein method by Turkesky, Gilmore, and Glickman.Results: The study results indicated that the average reduction in plaque index of the group taking CPC mouthwash before and after treatment was 1.25 and down to 0.63 respectively, and the group taking the CHX mouthwash was 1.22 and down to 0.44 respectively. The result of effectiveness test in each group before and after treatment with paired t-test was p=0,000. The test of plaque reduction between the groups with the Mann-Whitney test showed that p=0.129. Conclusion: It could be concluded that both mouthwashes were effective in reducing plaque index after used for 2 weeks twice a day and there was no significant difference. Cetylpyridinium Chloride mouthwash could be used as an alternative of Chlorhexidine mouthwash to inhibit plaque. Keywords: Mouthwash, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), dental plaque.
ABSTRAK Latar belakang: Obat kumur adalah larutan yang digunakan untuk membersihkan rongga mulut, mencegah karies gigi dan penyakit periodontal. Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan yang potensial dalam menghambat plak, namun penggunaan jangka panjang dapat berdampak buruk karena mengandung alkohol dan dapat mewarnai gigi dan restorasi. Cetylpyridinium Chloride (CPC) bahan yang efektif menghambat plak tanpa alkohol dan efek samping lebih rendah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektifitas penggunaan obat kumur yang mengandung CPC dibandingkan dengan CHX terhadap penurunan plak. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan rancangan pretest-posttest control group design dengan jumlah sampel 60 orang. Penelitian terhadap indeks plak dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pemeriksaan awal dan 2 minggu setelah perlakuan. Penelitian ini menggunakan disclosing agent dengan metode Quigley dan Hein yang modifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan Glickman untuk mengukur indeks plak. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penurunan indeks plak kelompok yang mengonsumsi obat kumur CPC sebelum sebesar 1,25 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,63. Pada kelompok mengonsumsi obat kumur CHX sebelum sebesar 1,22 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,44. Uji efektivitas setiap kelompok sebelum sesudah dengan menggunakan t-test berpasangan dengan nilai p sebesar 0,000. Uji penurunan plak antar kelompok menggunakan uji Mann-Whitney dengan nilai p sebesar 0,129. Kesimpulan:
180
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 181 - 183
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa kedua obat kumur tersebut efektif dalam menurunkan indeks plak setelah pengguunaan selama 2 minggu 2 kali sehari dan tidak ada perbedaan yang bermakna, serta obat kumur CPC dapat dijadikan alternatif dari obat kumur CHX untuk menghambat plak. Kata-kata kunci: Obat kumur, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), plak gigi. Korespondensi: Dian Novita Sari, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin, Kalsel, email :
[email protected]
PENDAHULUAN Karies merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh interaksi antara bakteri plak, diet, keadaan gigi-geligi dan waktu. Plak merupakan salah satu penyebab dari karies gigi dan penyakit periodontal. Plak didominasi oleh bakteri Streptococcus Mutans dan Lactobacillus.1 Upaya pencegahan karies dan penyakit periodontal dapat dilakukan dengan peningkatan kesehatan gigi dan mulut, salah satu caranya dengan mencegah pembentukan plak dan pembersihan plak secara teratur.2 Plak merupakan salah satu deposit lunak berwarna putih keabu-abuan atau kuning yang melekat erat pada permukaan gigi.3,4 Plak dapat terbentuk setelah satu atau dua hari tanpa tindakan kebersihan mulut.3 Plak biasanya mulai terbentuk pada sepertiga permukaan gingiva dan pada permukaan gigi yang cacat dan kasar.5 Pengendalian plak dapat dilakukan dengan cara mekanis yaitu menyikat gigi dan penggunaan obat kumur.1 Penggunaan obat kumur dalam kontrol plak sehari-hari ditujukan sebagai tambahan dalam penyingkiran plak secara mekanis tersebut. Hal ini disebabkan berkumur dengan obat kumur dapat mencapai lebih banyak permukaan-permukaan dari rongga mulut.6 Pada umumnya obat kumur mengandung 5-25% alkohol. Alkohol dimasukkan dalam obat kumur untuk beberapa kegunaan, antara lain sebagai antiseptik, memperpanjang masa simpan obat kumur, mencegah pencemaran mikroorganisme, dan pelarut.6 Namun kandungan alkohol dalam obat kumur ini menyebabkan individu-individu tertentu tidak dapat menggunakan obat kumur yang mengandung alkohol, seperti anak-anak, ibu hamil/ menyusui, pecandu alkohol, pasien-pasien yang menggunakan metronidazole, dan pasien dengan xerostomia.7 Kandungan alkohol yang terdapat dalam obat kumur juga dapat meningkatkan risiko kanker rongga mulut, terutama bila pemakaian terus-menerus.8 Cetylpyridinium chloride (CPC) adalah senyawa amonium kuartenari yang merupakan bakterisid monokationik.9,10,11 Cetylpyridinium chloride biasanya digunakan untuk terapi infeksi superfisial rongga mulut dan kerongkongan. Cetylpyridinium chloride dapat larut dalam air,
alkohol, kloroform, benzena dan eter.11 Sifat kelarutanya tersebut menyebabkan CPC dapat dibuat dalam sediaan bebas alkohol, sehingga lebih menguntungkan dan cocok untuk semua individu.7,8 Cetylpyridinium chloride pada obat kumur mempunyai kemampuan untuk mengontrol plak dan gingivitis. Cetylpyridinium chloride mempunyai kemampuan anti bakteri, anti plak dan mengobati gingivitis, setelah pemakaian selama 2 minggu secara terus-menerus.12 Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan kemoterapi yang paling potensial sebagai antikariogenik, sehingga CHX sering digunakan sebagai kontrol positif untuk penilaian potensi antikariogenik lainnya yang dapat menghambat pembentukan plak (13). Chlorhexidine 0,2% efektif sebagai anti plak dan anti gingivitis.14 Chlorhexidine tidak bersifat toksik, tetapi dapat perubahan sensasi sementara dan meninggalkan noda kecoklatan pada gigi, restorasi, membran mucosa dan lidah yang sulit untuk dibersihkan.14 Proporsi penduduk Kalimantan Selatan yang mengalami masalah gigi dan mulut adalah sekitar (29,2%), tertinggi di Kabupaten Barito Kuala dan Banjarmasin. Pada daerah Banjarmasin adalah sekitar (38,2%).15 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektifitas penggunaan obat kumur bebas alkohol yang mengandung CPC dibandingkan dengan CHX terhadap terhadap penurunan plak di dalam rongga mulut mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin pada bulan Mei dan Juni 2013. Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimental, dengan rancangan pretest-posttest control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedoteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012. Sampel di ambil dengan teknik purposive sampling. Penelitian ini menggunakan 60 sampel yang dibagi menjadi dua kelompok yang masing-
182 Sari : Perbandingan Efektivitas Obat Kumur Bebas Alkohol
181
masing kelompok berjumlah 30 responden. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah obat kumur yang mengandung Cetylpiridinium Chloride, obat kumur Chlorhexidine, kapas, alkohol 70%, disclosing agent, tisu, dan air putih. Alat yang digunakan adalah diagnostic set, gelas kumur, nierbekken, masker, dan sarung tangan. Informed consent diberikan kepada responden sebelum pemeriksaan awal. Pemeriksaan plak menggunakan perhitungan indeks plak dari Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan Glickman, yaitu dengan bahan pewarna yang berwarna merah (disclosing agent) untuk memeriksa plak yang terbentuk pada permukaan mahkota gigi. Gigi yang diperiksa dipilih berdasarkan pemilihan gigi menurut Ramford’s Periodontal Disease Indeks (PDI), gigigigi 16, 21, 24, 36, 41,44. Jika gigi-gigi tersebut tidak ada, maka dapat diganti gigi dengan bentuk anatomi serupa dalam satu sekstan. Permukaan gigi yang diamati meliputi enam permukaan yaitu mesiofasial, midfasial, distofasial, mesiolingual/ mesiopalatal, midlingual/midpalatal dan distolingual/distopalatal. Perhitungannya dengan skala pengukuran sebagai berikut : 0 = tidak ada 1 = terdapat bercak-bercak plak yang terpisah pada daerah leher gigi dan bagian lain di atas servikal gigi 2 = lapisan tipis plak yang kontinyu (kira-kira 1mm) pada daerah leher gigi 3 = lapisan plak dengan lebar lebih dari 1mm dan menutupi kurang dari 1/3 mahkota gigi 4 = plak menutupi antara 1/3-2/3 bagian mahkota gigi 5 = plak menutupi lebih dari 2/3 bagian mahkota gigi. Responden tiap kelompok kemudian diberikan perlakuan obat kumur yang mengandung Cetylpiridinium Chloride dan obat kumur yang mengandung Chlorhexidine. Responden diberikan intruksi untuk menggunakan obat kumur yang diberikan 2 kali sehari setelah sikat gigi pagi dan setelah sikat gigi malam sebelum tidur selama 2 minggu. Setelah 2 minggu perlakuan dilakukan pemeriksaan indeks plak dengan menggunakan perhitungan indeks plak dari Quigley dan Hein yang modifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan Glickman seperti pemeriksaan sebelum pelakuan.
CPC. Pada pemeriksaan sebelum pemakaian obat kumur yang mengandung CPC didapatkan indeks plak rata-rata adalah sebesar 1,25 dan setelah pemakaian obat kumur yang mengandung CPC indeks plak rata-rata turun menjadi sebesar 0,63. Gambar 2 menunjukkan adanya penurunan nilai rata-rata indeks plak dari pemeriksaan sebelum pemakaian dan setelah 2 minggu pemakaian obat kumur yang mengandung CHX. Indeks plak ratarata sebelum pemakaian obat kumur yang mengandung CHX adalah sebesar 1,22 dan setelah pemakaian obat kumur yang mengandung CHX sebesar 0,44.
HASIL PENELITIAN
Data yang didapat kemudian dianalisia secara statistik. Hasil uji normalitas Kolomogorov Smirnov menunjukkan p > 0,05 pada semua kelompok. Analisis data dilanjutkan dengan t-test berpasangan. Hasil t-test berpasangan pada kelompok yang menggunakan obat kumur CPC didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa obat kumur yang mengandung CPC efektif menurunkan plak setelah pemakaian 2
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan plak setelah pemakaian kedua obat kumur selama 2 minggu. Hasil penelitian dapat dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2. Gambar 1 menunjukan adanya penurunan nilai rata-rata indeks plak setelah 2 minggu pemakaian obat kumur yang mengandung
Gambar 1. Diagram penurunan rata-rata indeks plak sebelum dan sesudah penggunaan obat kumur yang mengandung Cetylpiridinium Chloride
Gambar 2. Diagram penurunan rata-rata indeks plak sebelum dan sesudah penggunaan obat kumur yang mengandung Chlorhexidine
182
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 -183 183
kali sehari selama 2 minggu berturut-turut. Hasil ttest berpasangan pada kelompok yang menggunakan obat kumur CHX didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa obat kumur yang mengandung CHX efektif menurunkan plak setelah pemakaian 2 kali sehari selama 2 minggu berturut-turut. Hasil uji normalitas Kolomogorov Smirnov pada data penurunan indeks plak kedua kelompok menunjukkan nilai p < 0,05. Analisis data dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney didapatkan nilai p = 0,129 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna penurunan indeks plak kedua kelompok tersebut. PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa telah terjadi penurunan plak sebelum dan sesudah pemakaian obat kumur CPC dan CHX selama 2 minggu. Pada penelitian sebelumnya juga sudah diteliti tentang efektivitas dari obat kumur yang mengandung CPC seperti hasil percobaan klinis yang dilakukan oleh Rawlinson dkk (2008), menunjukkan bahwa dua obat kumur yang mengandung CPC 0,05% dan 0,1% memperlihatkan penghambatan plak secara klinis dan statistik serta tidak menunjukan perbedaan yang signifikan pada kedua konsentrasi tersebut.6 Penelitian lain juga menunjukkan obat kumur yang mengandung CPC efektif secara signifikan menurunkan plak secara in vivo setelah penggunaan CPC setiap 12 jam atau 2 kali sehari secara terus menerus selama 14 hari.12,16 Penelitian Depaola LG dan Spolarich AE tahun 2007 menjelaskan cara kerja obat kumur yang mengandung CPC dalam menghambat plak dengan menghambat bakteri Streptococcus mutans. Cetylpyridinium Chloride adalah senyawa amonium kuartenari yang bersifat antiseptik dan dapat membunuh bakteri dan mikroorganisme. Cetylpyridinium Chloride merupakan antimikrobial yang berspektrum luas dan bersifat bakterisid yang mirip dengan CHX. Cetylpyridinium Chloride efektif terhadap bakteri gram positif seperti Streptococcus mutans. Cetylpyridinium Chloride mempunyai efek bakterisid dengan mengganggu fungsi membran bakteri pada sitoplasma dan gangguan metabolisme bakteri yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel dan akhirnya menyebabkan kematian pada sel. Penurunanan populasi bakteri pada plak tersebut yang dapat menurunkan indeks plak.17 Berdasarkan penelitian Fitriastuti tahun 2008 dinyatakan CHX dapat menghambat pembentukan plak setelah pemakaian larutan 0.2% sebagai obat kumur 2 kali sehari. Chlorhexidine efektif dalam menghambat bakteri karena CHX tidak hanya efektif terhadap bakteri gram negative,
tapi juga efektif terhadap bakteri gram positif seperti Streptococcus mutans. Chlorhexidine telah diteliti sebagai bahan kemoterapi yang paling potensial dalam menghambat Streptococcus mutans dan karies gigi, sehingga CHX sering digunakan sebagai kontrol positif untuk penilaian potensi antikariogenik bahan lainnya. Chlorhexidine telah terbukti dapat mengikat bakteri, hal ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara muatan-muatan positif dari molekul-molekul CHX dan dinding sel yang bermuatan negatif. Interaksi ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri yang menyebabkan penetrasi ke dalam sitoplasma, dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada mikroorganisme. Penurunanan populasi bakteri pada plak tersebut yang dapat menurunkan indeks plak.18 Hasil uji statistik antar kelompok menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna penurunan indeks plak kelompok yang menggunakan obat kumur CPC dan CHX. Dalam jurnal Depaola LG dan Spolarich AE tahun 2007, pada perbandingan kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna tersebut kemungkinan disebabkan efek kedua obat kumur yang mengandung CPC dan obat kumur yang mengandung CHX mempunyai efek yang hampir sama terhadap bakteri gram positif. Kedua obat kumur tersebut sama-sama bersifat bakterisid dengan membocorkan sel bakteri dan akhirnya bakteri tersebut mati.17 Berdasarkan hasil penelitian ini bisa dipertimbangkan agar obat kumur yang mengandung CPC dapat dijadikan sebagai alternatif penggunaan obat kumur yang mengandung CHX dalam menurunkan indeks plak dengan efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan CHX. Banyak efek samping penggunaan CHX dalam jangka waktu yang panjang seperti dapat menyebabkan perubahan sensasi rasa sementara, pewarnaan terhadap gigi, mukosa oral, dan bahan restorasi.19 Ditambah lagi pada jurnal Rawlinson (dkk) tahun 2008 menyatakan efek samping yang ditimbulkan oleh kandungan alkohol yang terdapat dalam larutan obat kumur CHX. Cetylpyridinium chloride seperti CHX juga menimbulkan efek pewarnaan ekstrinsik namun hanya sedikit jika dibandingkan dengan obat kumur CHX, karena efek samping CPC terhadap mukosa dan perwarnaan gigi itu lebih kecil, serta CPC dapat dibuat dalam sediaan bebas alkohol maka obat kumur yang mengandung CPC dapat dijadikan sebagai alternatif dari obat kumur yang mengandung CHX.6,7,8 Kendala dalam penelitian ini adalah pola makan setiap responden tersebut berbeda-beda, hal itu dapat mempengaruhi self cleansing pada setiap responden. Pola makan struktur gigi setiap responden juga berbeda yang menyebabkan pembersihan plak setiap responden berbeda-beda.
Sari : Perbandingan Efektivitas Obat Kumur Bebas Alkohol 184 Ada beberapa responden yang kurang menyukai rasa dari Chlorhexidine yang agak pahit dan menimbulkan sensasi sementara yang kurang nyaman pada lidah responden tersebut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa obat kumur yang mengandung cetylpyridinium chloride (CPC) dan obat kumur yang mengandung chlorhexidine (CHX) efektif dalam menurunkan indeks plak setelah penggunaan 2 kali sehari secara berturut-turut selama 2 minggu. Perbandingan penurunan plak kedua kelompok tersebut di dapatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna pada mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012. Hal ini menunjukkan bahwa obat kumur yang mengandung cetylpyridinium chloride dapat dijadikan alternatif dari obat kumur yang mengandung chlorhexidine yang memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan chlorhexidine.
DAFTAR PUSTAKA 1. Pratiwi R. Perbedaan daya hambat terhadap Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi yang mengandung herbal. Majalah Kedokteran Gigi (Dent. J.) 2005; 38(2): 64–67. 2. Rao D. Efficacy of an alcohol-free CPCcontaining mouthwash against oral multispecies biofilms. The Journal of Clinical Dentistry 2011; 22: 187-194. 3. Carranza FA, Newman MG and Takei HH. Clinical periodontology. 9th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company. 2002. p. 110-112. 4. Cawson RA, Odell EW and Porter S. Cawson’s essential of oral pathology and oral medicine. 7th Ed. Spain: Churchill Livingstone. 2002. p. 43-47. 5. Putri MH, Eliza H dan Neneng N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2010. h. 56-77. 6. Rawlinson A, Pollington S, Walsh TF, Lamb DJ, Marlow I, Haywood S and Wright P. Efficacy of two alcohol free cetylpyridinium chloride mouthwashes a randomized doubleblind crossover study. J Clin Periodontol 2008; 35: 230-5 7. Witt J, Ramji N, Gibb R, Dunavent J, Flood J and Barnes J. Antibacterial and antiplaque effects of a novel, alcohol- free oral rinse with cetylpyridinium chloride. Journal Contemporary Dental Practice 2005 ; 6(1) : 2-8. 8. Quirynen M, Soers C, Desnyder M, Dekeyser C, Pauwels M and Steenberghe D. A 0.05% cetylpyridinium chloride 0.05% chlorhexidine mouth rinse during maintenance phase after
183 initial periodontal therapy. J Clin Periodontol 2005; 32:391–2. 9. Herrera D, santos S, Barbieri G, Trombelli L and Sans M. Efficacy of 0.15% benzydamine hydrochloride and 0.05% cetylpyridinium chloride mouth rinse on 4 – day de novo plaque formation. J Clin Periodontol 2005;32:595-6 10. Watanabe E, Tanomaru JMG, Nascimento AP, Matoba-Junior F, Tanomaru-Filho M and Ito IY. Determination of the maximum inhibitory dilution of cetylpyridinium chloride-based mouthwashes againts Staphylococcus aureus an in vitro study, J Appl Oral Sci. 2008; 16(4): 275 11. RA Regina NS. The effect of mouthwash containing cetylpyridinium chloride on salivary level of streptococcus mutans. 2007 Jurnal PDGI; 57(1): 19-24. 12. Williams MI. The antibacterial and plaque effectiveness of mouthwashes containing cetylpyridinium chloride with and without alcohol in improving gingival health. The Journal of Clinical Dentistry. 2011; 22: 179182. 13. Bakar A. Kedoteran gigi klinis. Yogyakarta: Quantum Sinmergis Media. 2012. h. 134-135. 14. Eley BM and Manson JD. Periodontics. 5th Ed. London: Wright. 2004. p. 209-222. 15. Anonimous. Riskesdas. Laporan hasil riset kesehatan dasar provinsi kalimantan selatan tahun 2007. Jakarta: Dapartemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. 16. He S, Yin W, Xu F, Deyu H and Sreenivasan PK. A clinical study ti asses the 12-hour antimicrobial effects of cetylpyridinium chloride mouthwashes on supragingival plaque bacteria. J Clin Dent 2011; 22: 195-199. 17. DePaola LG, Spolarich AE. Safety and efficacy of antimicrobial mouthrinse in clinical practice. Journal of Dental Hygiene 2007: 1322. 18. Fitriastuti P. Kegunaan efek chlorhexidine terhadap resiko karies ditinjau dari ph plak dan ph saliva pada pasien yang menggunakan alat ortodontik cekat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. 2008. h. 5-18. 19. Putri NSE. perbandingan efektifitas obat kumur bebas alkohol yang mengandung cetylpiridinium chloride (CPC) dengan chlorhexidine (CHX) terhadap streptococcous mutans. Skipsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2009. h. 517.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 185 - 183
184
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian GAMBARAN KLINIS XEROSTOMIA PADA WANITA MENOPAUSE DI KELURAHAN SUNGAI PARING KECAMATAN MARTAPURA
Raudah, Maharani Laillyza Apriasari, Siti Kaidah Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Menopause is a phase in woman's life that is signed by the end of menstruation period and reproductive function. One of the changes in the physical aspects that can occur during menopause is the oral cavity changes. The changes in oral cavity such as burning sensation, redness, swelling and bleeding gingival, changes in sense of taste, and xerostomia. The xerostomia in menopausal women were affected by hormonal changes that occur during menopause. Purpose: The purpose of this research was to know the clinical features of xerostomia in women who had menopause in Sungai Paring Distric Martapura. Methods: This research was an observational study with descriptive analysis. Samples were taken by using purposive sampling technique with 86 menopausal women. The data were obtained by direct interview and clinical examination using a dental mirror. Results: The results showed that loss of saliva in the base of mouth were found in 36 of menopausal women with xerostomia 45,3% (39 women), 4,6% (4 women) were existing erythema of the oral mucosa, and 1,2% (1 woman) was presenting the tongue lobulated. The loss of saliva in the base of mouth occurred in all respondents with xerostomia. Conclusion: Based on the research it could be concluded that the most commonly clinical features of xerostomia in menopausal women was loss of saliva in the base of mouth. Keywords: clinical features, xerostomia, menopause ABSTRAK Latar belakang: Menopause merupakan suatu fase dari kehidupan wanita yang ditandai dengan berakhirnya menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi. Salah satu perubahan aspek fisik yang dapat terjadi selama masa menopause adalah perubahan pada rongga mulut antara lain rasa terbakar, gingiva bengkak, merah dan berdarah, perubahan indra perasa serta xerostomia. Xerostomia pada wanita menopause dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi pada masa menopause. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran klinis xerostomia pada wanita yang telah mengalami menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif observasional. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling sebanyak 86 wanita menopause. Data yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan kaca mulut dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran klinis xerostomia pada wanita menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut sebanyak 45,3% (39 orang), eritema pada mukosa mulut sebanyak 4,6% (4 orang) dan lidah berlobul-lobul sebanyak 1,2% (1 orang). Hilangnya genangan saliva di dasar mulut terjadi pada semua subjek penelitian yang mengalami xerostomia. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran klinis xerostomia pada wanita menopause yang paling banyak ditemukan adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut. Kata-kata kunci: gambaran klinis, xerostomia, menopause Korespondensi: Raudah, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
186 Raudah : Gambaran Klinis Xerostomia
PENDAHULUAN Menopause merupakan kejadian yang normal pada seorang wanita dan setiap wanita pasti akan mengalami masa menopause.1 Menurut World Population Ageing (WPA), diperkirakan jumlah penduduk lanjut usia di negara maju dan berkembang akan terus meningkat dari 737 juta pada tahun 2009 menjadi lebih dari 2 milyar pada tahun 2050 yang sebagian besar merupakan wanita menopause.2 Usia terjadinya menopause pada wanita di seluruh dunia antara 40-60 tahun dengan rata-rata usia 51 tahun.3 World Health Organization (WHO), juga memperkirakan jumlah wanita usia 60 tahun ke atas akan meningkat dari 336 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 1 milyar pada tahun 2050.4 Prevalensi wanita menopause di Asia sebanyak 60% dari seluruh dunia.5 Menurut Depkes RI pada tahun 2005, diperkirakan penduduk Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah wanita yang hidup dalam usia menopause sekitar 30,3 juta jiwa dan usia ratarata menopause 49 tahun.6 Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005 memperkirakan jumlah wanita menopause di Kalimantan Selatan sebanyak 34.063 orang dengan jumlah terbanyak pada usia 50-54 tahun yaitu 18.388 orang.7 Berdasarkan BPS Kabupaten Banjar pada tahun 2010, diketahui jumlah wanita usia 50 tahun ke atas di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura sebanyak 628 orang.8 Menopause merupakan suatu fase kehidupan wanita yang ditandai dengan berakhirnya menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi. Perempuan dinyatakan menopause bila sudah tidak mengalami siklus menstruasi berturut-turut minimal selama 12 bulan.9 Usia terjadinya menopause antara 45 sampai 55 tahun, dengan usia rata-rata 52,5 tahun.10 Salah satu perubahan aspek fisik yang dapat terjadi selama masa menopause adalah perubahan pada mulut antara lain rasa terbakar, gingiva bengkak, merah dan berdarah, perubahan indra perasa serta mulut kering (xerostomia).11 Xerostomia pada wanita menopause dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi pada masa menopause. Prevalensi xerostomia berkisar antara 14-46%, yang secara konsisten lebih tinggi pada wanita. Prevalensi xerostomia pada wanita adalah 8,1% dan pada laki-laki 3,1%.12 Xerostomia merupakan keluhan subjektif berupa kekeringan di dalam mulut yang ditandai dengan menurunnya jumlah aliran saliva dari normal akibat penurunan produksi saliva dari kedua kelenjar mayor dan minor. Manifestasi berkurangnya aliran saliva dapat ringan, tanpa keluhan atau parah dengan banyak keluhan.13 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran klinis xerostomia pada wanita yang telah mengalami
185
menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, kapas dan tisu. Alat yang digunakan adalah alat diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker, senter, alat tulis, formulir informed consent dan lembar checklist untuk anamnesis. Populasi pada penelitian ini adalah wanita usia ≥ 50 tahun yang tinggal di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Sampel adalah wanita usia ≥ 50 tahun yang tinggal di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusinya adalah wanita usia ≥ 50 yang telah mengalami menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura, bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent dan sehat berdasarkan anamnesis. Kriteria ekslusinya adalah memiliki penyakit sistemik yang menyebabkan xerostomia secara langsung, mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang menyebabkan xerostomia serta pernah menjalani radioterapi daerah kepala dan leher. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah xerostomia pada wanita menopause. Penelitian ini dilakukan pada wanita menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura dengan mengunjungi rumah subjek penelitian. Subjek penelitian dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar informed consent sebagai tanda persetujuan menjadi subyek penelitian. Wawancara dilakukan secara langsung terhadap wanita yang mengalami menopause terkait dengan riwayat penyakit dan keluhan yang berhubungan dengan xerostomia. Pemeriksaan klinis dilakukan pada rongga mulut menggunakan kaca mulut. Subjek penelitian yang mengalami xerostomia ditandai dengan melekatnya kaca mulut pada dinding mukosa bukal yang menunjukkan keadaan hiposalivasi, adanya manifestasi klinis seperti kemerahan pada mukosa, lidah yang berlobul-lobul, dan hilangnya genangan saliva di dasar mulut. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan analisis deskriptif.
186
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 -187 188
HASIL PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura. Hasil penelitian menunjukkan 86 orang wanita menopause serta memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dua puluh tujuh orang berusia 50-54 tahun, 33 orang berusia 55-59 tahun, 12 orang berusia 60-64 tahun dan 14 orang berusia >64 tahun. Wanita menopause yang mengalami xerostomia sebanyak 39 orang (45,3%) dan 47 orang (54,7%) tidak mengalami xerostomia (Gambar 1). 47
Jumlah (orang)
50 40
Gambar 3 Lidah berlobul-lobul pada pasien xerostomia
39
30 20
Xerostomia Normal (tidak xerostomia)
10 0 Xerostomia
Normal Kelainan
Jumlah (orang)
Gambar 1 Diagram frekuensi xerostomia pada wanita menopause 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
39
Gambar 4 Kondisi rongga mulut pasien yang mengalami xerostomia 4
Eritema mukosa mulut
1 Lidah berlobullobul Manifestasi Klinis
Hilangnya genangan saliva di dasar mulut
Gambar 2 Diagram distribusi manifestasi klinis xerostomia pada wanita menopause
Gambar 2 menunjukkan bahwa manifestasi klinis / gambaran klinis xerostomia pada wanita menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura yang paling banyak ditemukan adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut sebanyak 39 orang (45,3%) sedangkan eritema pada mukosa mulut sebanyak 4 orang (4,6%) dan lidah berlobullobul sebanyak 1 orang (1,2%). Hilangnya genangan saliva di dasar mulut terjadi pada semua subjek penelitian yang mengalami xerostomia.
PEMBAHASAN Menopause merupakan fase penghentian siklus menstruasi secara permanen minimal selama 12 bulan akibat berkurangnya sekresi hormon ovarium.14 Usia terjadinya menopause dipengaruhi oleh keturunan, kesehatan umum, pola kehidupan, sosial-ekonomi, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol.15,16 Menopause disebabkan oleh penuaan ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi estrogen, gonadotropin ovarium, dan progesteron.17 Secara fisiologis menurunnya kadar estrogen darah pada wanita menopause mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi rongga mulut seperti hipofungsi kelenjar saliva dan atrofi mukosa mulut.18 Xerostomia pada wanita menopause dipengaruhi oleh perubahan hormonal.10 Estrogen adalah suatu hormon steroid yang mempunyai reseptor di kelenjar saliva dan mukosa mulut, sehingga estrogen dapat berfungsi secara biologis pada mulut dan kelenjar saliva. Keberadaan reseptor estrogen di kelenjar saliva sangat berperan terhadap komposisi dan kecepatan sekresi saliva.18 Penurunan sekresi saliva pada wanita menopause dapat meningkatkan kejadian karies, periodontitis dan risiko timbulnya lesi pada mukosa mulut seperti infeksi kandidiasis.9
188 : Gambaran Klinis Xerostomia Raudah Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 86 subjek penelitian wanita menopause, 45,3% (39 orang) mengalami xerostomia. Persentase ini cukup tinggi karena hampir mencapai setengah dari total subjek penelitian meskipun persentase yang normal atau tidak mengalami xerostomia masih lebih tinggi yaitu 54,7% (47 orang). Hasil penelitian Zoraida tahun 2011 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara menopause dengan terjadinya xerostomia. Pada penelitian tersebut, Zoraida membandingkan wanita menopause dengan wanita yang tidak menopause.19 Wanita menopause yang mengalami xerostomia hampir semua wanita tersebut mengeluhkan mulut kering, membutuhkan cairan untuk mengunyah dan menelan makanan, serta merasa haus terutama pada malam hari. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya xerostomia seperti faktor psikologis seseorang dan riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi.9 Manifestasi klinis xerostomia antara lain eritema pada mukosa bukal, lidah berlobul-lobul, dan hilangnya genangan saliva di dasar mulut.20 Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 2) frekuensi manifestasi klinis dari xerostomia yang paling banyak adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut. Lidah berlobul-lobul merupakan manifestasi klinis xerostomia yang ditemukan pada 1 orang (paling sedikit) dan eritema mukosa mulut terjadi sebanyak 4 orang. Hasil penilitian ini sesuai dengan teori bahwa manifestasi xerostomia pada wanita menopause muncul secara bertahap dari ringan sampai berat. Pada xerostomia ringan kondisi mukosa masih normal, terjadi hilangnya genangan saliva di dasar mulut dan pasien sering mengeluhkan mulutnya terasa kering, sedangkan pada kasus xerostomia berat akan terjadi perubahan pada mukosa rongga mulut seperti eritema bahkan lidah menjadi berlobul-lobul.21 Hormon seks steroid khususnya estrogen berperan penting dalam fisiologi rongga mulut manusia. Efek estrogen dimediasi oleh reseptor estrogen, yang terdiri dari dua subtipe yaitu reseptor estrogen α dan reseptor estrogen β.22,23 Hanya reseptor estrogen β yang berperan mengatur pertumbuhan sel pada epitel mukosa mulut, kelenjar saliva dan gingiva.22 Menurunnya kadar reseptor estrogen β pada wanita menopause mengakibatkan penurunan fungsi (hipofungsi) kelenjar saliva. Wanita menopause akan mengalami mulut terasa kering karena volume saliva berkurang (hiposalivasi) yang biasanya sering ditandai dengan hilangnya genangan saliva di dasar mulut.18 Mukosa rongga mulut sangat sensitif terhadap perubahan kadar hormon dalam darah pada perempuan. Penurunan kadar estrogen pada wanita yang telah menopause mempengaruhi proses maturisasi atau pematangan sel epitel pada mukosa yang dapat menyebabkan penipisan dan atropi
187 epitel.22 Secara klinis, mukosa rongga mulut wanita yang mengalami kekurangan kadar estrogen dalam darah akan mengalami atropi, kering, mudah terjadi iritasi serta warna mukosa mulut akan menjadi pucat sampai terjadi eritema sedangkan pada epitel berkeratin akan terjadi gingivostomatitis menopause yang ditandai dengan gingiva menjadi kering, mengkilap dan mudah berdarah pada probing dan saat menyikat gigi.11,23 Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa manifestasi klinis atau gambaran klinis dari xerostomia pada wanita menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura yang paling banyak ditemukan adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut dibandingkan dengan eritema pada mukosa mulut dan lidah berlobul-lobul. Pada pasien yang masih bergigi tetapi mengalami penurunan aliran saliva cukup banyak sebaiknya diberi penanganan pencegahan yang ketat untuk membatasi perkembangan lesi karies. Pasien sebaiknya melakukan aplikasi flour secara profesional dan topikal, menggunakan pasta gigi yang mengandung flour dan obat kumur klorheksidin glukonat serta kontrol kebersihan mulut.24 DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Yuniwati C. Pengaruh Peran Tenaga Kesehatan terhadap Kesiapan Wanita Menopause dalam Menghadapi Keluhan Menopause di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Provinsi Aceh. Tesis. Medan: Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, 2011. p.1. Zlotnik H. World Population Ageing 2009. New York: Department of Economic and Social Affairs Polpulation Division, 2009. p.10. Kok HS, Asselt KM, Schouw YT, Peeters PHM, and Wijmenga C. Genetic Studies to Identify Genes Underlying Menopausal Age. Human Reproduction Update. 2005; 11(5): 483-484. World Health Organization. Women, Ageing and Health: A Framework for Action. Ottawa: Department of Ageing and Life Course (ALC), 2007. p.3. Palacios S, Henderson VW, Siseles N, Tan D, and Villaseca P. Age of Menopause and Impact of Climacteric Symptoms By Geographical Region. Climacteric, International Menopause Society. 2010; 13: 419–428. Departemen Kesehatan RI 2005. Terjadi Pergeseran Umur Menopause. Available from (http://www.depkes.go.id/index.php?option=
188
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 -189 188 article&task+vieawticle&&artid=280, diakses 9 Januari 2013). Statistik Indonesia 2005. Wanita Berumur 10-54 Tahun yang Berstatus Kawin Menurut Alasan Utama Tidak Menggunakan Alat/Cara KB dan Golongan Umur, Kalimantan Selatan 2005. Available from (http://www.datastatistikindonesia.com/porta l/index.php?option=com_supas&task=&Item id=954, diakses 15 Januari 2013). BAPPEDA-BPS Kabupaten Banjar. Profil dan Analisa Penduduk Kecamatan Martapura Hasil Sensus Penduduk 2010 (Penjabaran Data Sensus Tahun 2010). Martapura: Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar, 2010. p.62. Mutneja P, Dhawan P, Raina A, and Sharma G. Menopause and The Oral Cavity. Indian Journal of Endocrynology and Metabolism. 2012; 16(4): 548. Agha-Hosseini F and Mirzaii-dizgah I. Unstimulated Whole Saliva Parathyroid Hormone in Postmenopausal Women with Xerostomia. The Journal of Contemporary Dental Practice. 2011; 12(3): 196. Guncu GN, Tozum TF, and Caglayan F. Effects of Endogenous Sex Hormones on The Periodontium Review of Literature. Australian Dental Journal. 2005; 50(3) :142. Gomez BR, Vallejo GH, Fuenta LA, Cantor ML, Diaz M, and Lopez-Pintor RM. The Relationship Between The Levels of Salivary Cortisol and The Presence of Xerostomia in Menopausal Women A Preliminary Study. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2006; 11: 408. Bhayana R, Sanadhya S, Bhayana D, and Padiyar B. Review Article Xerostomia (an ECR) – Effects, Causes, Remedies. Journal of Dentofacial Sciences. 2013; 2(1): 7-8. Rahman SASA, Zainudin SR, and Mun VLK. Assessment of Menopausal Symptoms Using Modified Menopause Rating Scale (MRS) Among Middle Age Women in Kuching, Sarawak, Malaysia. Asia Pacific Family Medicine Bio Med Central. 2010; 9(5): 1-6.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009. p.92-130. Szwejser E and Szwostek K. The Influence of Selected Environmental Factors on The Time of Natural Menopause in Women Living in The Malopolskie Voivodeship. Anthropological Review. 2012; 75(2): 118. Elsabagh EEM and Allah ESA. Menopausal Symptoms and The Quality of Life Among Pre/Post Menopausal Women from Rural Area in Zagazig City. Life Science Journal. 2012; 9(2): 283. Joenoes H, Fatma D, dan Gultom F. Aktifitas Enzim Peroksidase Saliva pada Wanita Sebelum dan Sesudah Menopause. Dentika Dental Journal. 2007; 12(1): 10-13. Lubis ZS. Hubungan Menopause dengan Terjadinya Xerostomia pada Anggota Perwiritan Nurul Ihsan Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2011. p.28-36. Scully C, Almeida OPD, Bagan J, Dios PD, and Taylor AM. Oral Medicine and Pathology at a Glance. 1st Ed. England: Wiley-Blackwell, 2010. p.74-75. Carpenter W, Glick M, Nelson SR, Roser SM, and Patton LL. Oral Health Care Series: Women’s Oral Health Issues. San Francisco: American Dental Association Council on Access, Prevention and Interprofessional Relations, 2006. p.14-15. Hosseini FA, Dizgah IM, Mansourian A, and Khayamzadeh M. Relationship of Stimulated Saliva 17β-estradiol and Oral Dryness Feeling in Menopause. Elsevier Ireland Ltd. 2008;62:197-199. Haskin C and Mobley C. Women and Health: The Impact of Women’s Oral Health on Systemic Health. 2nd Ed. UK: Elsevier Inc, 2013. p.1476. Barnes IE dan Walls A. Perawatan Gigi Terpadu untuk Lansia. Jakarta: EGC, 2006. p.33-69
190 : Gambaran Klinis Xerostomia Raudah
189
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian TINGKAT KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU
Rona Permata Sari Y. H. Zein, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background: Periodontal diseases are the case in all ages, but the severity is more seen in elderly individuals. Purpose: Purpose of this study was to determine the periodontal treatment needs of elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home. Methods: Type of research was observational descriptive. Samples consisted of 53 subjects, age range between 58-100 years old, consisted 24 males and 29 females. Samples were selected though simple random sampling. Periodontal condition was evaluated using Community Periodontal Index of Treatment Need (CPITN). The severity and prevalence of periodontal disease, as well as it frequency distribution were evaluated and reported according to gender and age. Results: Result of this study based on periodontal status were 13,2% of subjects demonstrated a healthy periodontal status, bleeding on probing were noted in 5,7% of subjects, 37,7% of subjects showed supra or subgingival calculus, 11,3 % of subjects had shallow and 32,1% of subjects had deep pockets. Periodontal treatment needs of elderly population in Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home were 13,2% of subjects didn’t need periodontal treatment, 5,7 of subjects needed demonstration and instruction, 37,7% of subjects needed scaling and oral hygiene instruction, 11,3% of subjects needed scaling and oral hygiene care, then 32,1% needed oral hygiene instruction, scaling, root planning, and treatment for every case. Conclusion: Scaling and oral hygiene instruction were the most needed periodontal treatment of elderly in Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home. Keywords: Community Periodontal Index of Treatment Need, elderly, periodontal treatment
ABSTRAK Latar belakang: Penyakit periodontal merupakan kasus pada berbagai kalangan usia, tetapi bentuk keparahan lebih terlihat pada individu usia lanjut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional. Sampel terdiri dari 53 lansia berusia 58-100 tahun, terdiri atas 24 laki-laki dan 29 perempuan. Pemilihan sampel berdasarkan metode simple random sampling. Keparahan dan prevalensi penyakit periodontal serta distribusi frekuensinya dievaluasi dengan Community Periodontal Index of Treatment Needs (CPITN) serta dilaporkan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Hasil: Hasil penelitian berdasarkan keadaan jaringan periodontal yaitu 13,2% jaringan periodontal sehat, 5,7% perdarahan setelah probing, 37,7% kalkulus supra dan atau subgingiva, 11,3% poket dangkal dan 32,1 % poket dalam. Kebutuhan perawatan periodontal lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah 13,2% tidak memerlukan perawatan, 5,7% memerlukan peningkatan kebersihan mulut melalui penyuluhan dan demonstrasi, 37,7% memerlukan scaling dan peningkatan kebersihan mulut, 11,3% memerlukan scaling yang lebih komprehensif dan perawatan kebersihan mulut, serta 32,1% memerlukan peningkatan kebersihan mulut, scaling, root planning, dan perawatan yang tepat untuk setiap kasus. Kesimpulan: Scaling dan peningkatan kebersihan mulut merupakan jenis perawatan periodontal yang paling banyak dibutuhkan oleh lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Kata kunci: Community Periodontal Index of Treatment Need, lansia, perawatan periodontal.
190
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 191 - 195
Korespondensi: Rona Permata Sari Y. H. Zein, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) bertambah lebih cepat dibandingkan kelompok usia lain.1 Pada tahun 2011 yang lalu United Nations Development Programme (UNDP) telah mencatat bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia telah mencapai 69,4 tahun, sedangkan menurut CIA World Factbook telah mencapai 70,7 tahun. WHO menyatakan bahwa pada tahun 2020 jumlah penduduk lansia Indonesia akan terus mengalami kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun tersebut jumlah lansia Indonesia diperkirakan akan mencapai 11,34% dari jumlah penduduk yang ada, atau sekitar 28,8 juta jiwa.2 Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga akan meningkat. Angka ini akan menjadikan Indonesia menempati urutan ke-4 terbanyak negara berpopulasi lansia setelah Cina, India dan Amerika. Hal ini merupakan tantangan kepada para perencana kebijakan kesehatan dan sosial, karena penyakit-penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular, hipertensi, kanker dan diabetes banyak dijumpai pada lansia. Penyakit kronik dan ketidakmampuan (disability) pada lansia banyak terjadi di negara berkembang dan dapat dikurangi dengan upaya health promotion untuk meningkatkan kualitas hidup.1 Penuaan adalah suatu fenomena alami yang terjadi di seluruh dunia.2 Proses penuaan akan menimbulkan berbagai masalah fisik-biologik, psikologik dan sosial. Secara biologis lansia mengalami proses penuaan terus menerus, ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik dan semakin rentan terhadap penyakit yang dapat menyebabkan kematian.3 Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ termasuk terjadi perubahan anatomi, morfologi dan fungsional pada rongga mulut 3,4,5,6,7 Sekitar 40% lansia mengeluh tentang mulut kering, massa otot-otot mastikasi mengecil, yang akan berpengaruh pada kekuatan mengunyah, banyaknya gigi yang hilang mengakibatkan gangguan proses komunikasi dan gangguan estetik.8 Peningkatan persentase pasien lansia menyebabkan pentingnya menilai jumlah perawatan yang diperlukan sebagai strategi pencegahan dan interseptif untuk mengurangi beban penyakit.2 Penyakit periodontal adalah salah satu penyakit kronis yang paling umum lebih jelas terlihat pada orang tua, terutama karena kontak yang terlalu lama dengan faktor resiko.9,10 Periodontitis (peradangan jaringan periodontal)
akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada tulang alveolar dan gigi akan terlepas dari soketnya.10 Lansia dengan kelompok umur 65 tahun ke atas mengalami kehilangan seluruh gigi mencapai 17,6%, jauh diatas target WHO 2010 yaitu 5%.4 Usia merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya penyakit periodontal. Penelitian terhadap kelompok lansia berusia lebih dari 70 tahun di India, 86% diantaranya mengalami moderate periodontitis dan 25% di antaranya mengalami kehilangan gigi.11 Pada kelompok usia yang lebih tua (65 sampai 80 tahun), terjadi peningkatan aliran gingival crevicular fluid (GCF) dan indeks gingiva.6 Prevalensi dan tingkat keparahan penyakit periodontal meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Perubahan degeneratif terkait proses penuaan dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit periodontal. Attachment loss dan bone loss terjadi akibat seringnya terpapar faktor resiko lainnya selama hidup. Perubahan-perubahan terkait proses penuaan seperti pemakaian obat, penurunan fungsi imun, dan perubahan status nutrisi serta faktor-faktor resiko lainnya juga meningkatkan kerentanan terhadap penyakit periodontal.1 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kebutuhan perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan secara deskriptif observasional dan pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan langsung kepada subjek penelitian, kemudian diperoleh skor indeks CPITN Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat diagnostik kedokteran gigi, probe periodontal standar WHO, nierbekken, sarung tangan, masker, head lamp, ceklist observasi CPITN, formulir informed consent, dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, sodium hypochlorite, dan kapas. Subjek penelitian diminta untuk mengisi surat persetujuan untuk menjadi sampel penelitian kemudian jaringan periodontal subjek penelitian dievaluasi dengan Indeks Kebutuhan Perawatan Periodontal Komunitas (CPITN – Community Periodontal Index Treatment of Needs). Pada indeks ini rongga mulut dibagi menjadi 6 sektan. Sektan 1 meliputi gigi 14, 15, 16, dan 17. Sektan 2 meliputi gigi 11, 12, 13, 21,22, dan 23. Sektan 3 meliputi gigi 24, 25, 26, dan 27. Sektan 4 meliputi gigi 34, 35, 36, dan 37. Sektan 5 meliputi gigi 31,
192 : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal Sari 32, 33, 41, 42, dan 43. Sektan 6 meliputi gigi 44, 45, 46, dan 47. Skor CPITN tertinggi di setiap sektan setelah pemeriksaan empat sisi (labial, lingual/palatal, mesial, dan distal) dipakai sebagai nilai dari tiap sektan. Skor 0 berarti kondisi jaringan periodontal sehat. Skor 1 berarti terjadi perdarahan setelah dilakukan probing. Skor 2 terdapat kalkulus supra atau subgingiva. Skor 3 berarti terdapat poket periodontal dengan kedalaman 4-5 mm, dan skor 4 berarti terdapat poket periodontal dengan kedalaman lebih dari 6 mm. Kategori kebutuhan perawatan ditentukan berdasarkan skor masing-masing sampel. Skor 0 artinya tidak membutuhkan perawatan periodontal. Skor 1 artinya membutuhkan peningkatan kebersihan mulut (melalui penyuluhan, demonstrasi, dan sebagainya). Skor 2 memerlukan scaling dan peningkatan kebersihan mulut. Skor 3 artinya memerlukan scaling dan perawatan kebersihan mulut dan skor 4 artinya memerlukan peningkatan kebersihan mulut, scaling, dan root planning. HASIL PENELITIAN Penelitian telah dilakukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Pengambilan sampel berdasarkan metode simple random sampling dengan jumlah sampel yang didapat sebanyak 53 orang yang terdiri dari 24 lansia laki-laki dan 29 lansia perempuan. Berdasarkan kelompok usia, subjek penelitian terdiri atas kelompok usia pertengahan (middle age) sebanyak 1 orang, lansia (elderly) sebanyak 40 orang, lansia tua (old) sebanyak 10 orang, dan lansia sangat tua (very old ) sebanyak 2 orang.
Gambar 1. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan Perawatan Periodontal Komunitas) Gambar 1 menunjukkan bahwa ada 7 orang (13,2%) yang memiliki jaringan periodontal sehat (skor 0) pada saat dilakukan pemeriksaan.
191 Perdarahan setelah dilakukan probing (skor 1) terjadi pada 3 orang (5,7%). Frekuensi tertinggi pada penelitian ini adalah skor 2, yaitu sebanyak 20 orang (37,7%) memilki kalkulus supra maupun subgingiva. Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) terjadi pada 6 orang (11,3%), sedangkan poket sedalam 6 mm atau lebih (skor 4) terjadi pada 17 orang (32,1%). Data hasil penelitian di atas menunjukkan banyaknya kalkulus supra maupun subgingiva (skor 2) serta poket yang dalam (skor 4) banyak terjadi pada lansia, sedangkan untuk persentase lansia yang memiki jaringan periodontal sehat (skor 0) masih sangat sedikit yaitu hanya ada 7 orang (13,2%). Hasil penelitian menunjukkan kebutuhan perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah sebanyak 7 orang (13,2%) tidak memerlukan perawatan periodontal. Sebanyak 3 orang (5,7%) memerlukan peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui penyuluhan dan demonstrasi. Sebanyak 20 orang (37,7%) memerlukan scaling untuk menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva serta instruksi peningkatan kebersihan mulut. Perawatan untuk menghilangkan kalkulus subgingiva yang lebih komperehensif disertai instruksi peningkatan kebersihan mulut diperlukan lansia sebanyak 6 orang (11,3%) dan selebihnya 17 orang (32,1%) memerlukan perawatan periodontal yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat untuk tiap kasus. Hal ini menunjukkan bahwa perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru masih sangat dibutuhkan.
Gambar 2. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan Perawatan Periodontal Komunitas) menurut Jenis Kelamin Gambar 2 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin. Gambar 2 menunjukkan bahwa jaringan periodontal sehat (skor 0) pada lansia laki-laki sebanyak 2 orang (3,7%) dan 5
192
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 193 - 195
orang (9,4%) pada lansia perempuan. Perdarahan setelah probing (skor 1) tidak terjadi pada lansia berjenis kelamin laki-laki, tetapi terjadi pada lansia perempuan yaitu sebanyak 3 orang (5,7%). Adanya kalkulus supra maupun subgingiva (skor 2) merupakan frekuensi tertinggi pada penelitian ini dan tidak terdapat perbedaan antara lansia laki-laki dan perempuan, yaitu masing-masing sebanyak 10 orang (18,9%). Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) juga memiliki frekuensi yang sama antara lansia lakilaki dan perempuan, yaitu masing-masing sebanyak 3 orang (5,7%), sedangkan untuk poket sedalam 6 mm atau lebih (skor 4) terjadi lebih banyak pada lansia laki-laki sebanyak 9 orang (17,0%) dibandingkan lansia perempuan sebanyak 8 orang (15,0%) memerlukan perawatan periodontal yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat untuk setiap kasus. Kebutuhan perawatan periodontal berdasarkan gambar 2 yaitu sebanyak 2 orang lakilaki (3,7%) dan 5 orang perempuan (9,4%) tidak memerlukan perawatan periodontal. Sebanyak 3 orang perempuan (5,7%) memerlukan peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui penyuluhan dan demonstrasi, sedangkan lansia berjenis kelamin laki-laki tidak memerlukannya. Scaling untuk menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva serta instruksi peningkatan kebersihan mulut dibutuhkan masing-masing untuk 10 orang laki-laki (18,9%) dan 10 perempuan (18,9%). Perawatan untuk menghilangkan kalkulus subgingiva yang lebih komperehensif disertai instruksi peningkatan kebersihan mulut dibutuhkan 3 orang laki-laki (5,7%) dan 3 orang perempuan (5,7%) serta selebihnya 9 orang laki-laki (17,0%) dan 8 orang perempuan (15,0%) memerlukan perawatan periodontal yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat untuk tiap kasus.
Gambar 3. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan Perawatan Periodontal Komunitas) menurut Kelompok Usia Gambar 3 menunjukkan skor indeks sCPITN berdasarkan kelompok usia. Kondisi jaringan periodontal sehat (skor 0) tidak terdapat pada kelompok usia middle age, tetapi terdapat pada kelompok usia lain yaitu sebanyak 4 orang (7,5%) pada kelompok usia elderly, 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old, dan 1 orang (1,9%) pada kelompok usia very old. Perdarahan setelah probing (skor 1) juga tidak terdapat pada kelompok usia middle age, tetapi ditemukan sebanyak 1 orang (1,9%) masing-masing pada kelompok usia elderly, old, dan, very old. Kalkulus supra maupun subgingiva (skor 2) merupakan frekuensi tertinggi dengan jumlah sebanyak 16 orang (30,2%) pada kelompok usia elderly, 4 orang (7,5%) pada kelompok usia old, dan tidak ditemukan pada kelompok usia middle age dan very old. Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) terdapat pada 1 orang (1,9%) pada kelompok usia middle age, 4 orang (7,5%) pada kelompok usia elderly, 1 orang (1,9%) pada kelompok usia old, dan tidak ditemukan pada kelompok usia very old sedangkan untuk poket sedalam 6 mm atau lebih (skor 4) banyak ditemukan pada kelompok elderly sebanyak 15 orang (28,3%) dibandingkan kelompok usia lain. Sebanyak 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old memilki poket 6 mm atau lebih (skor 4) dan poket sedalam ini tidak ditemukan pada kelompok usia middle age dan very old. Gambar 3 menunjukkan bahwa kebutuhan perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah sebanyak 4 orang (7,5%) pada kelompok usia elderly, 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old, dan 1 orang (1,9%) pada kelompok usia very old tidak memerlukan perawatan periodontal. Peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui penyuluhan dan demonstrasi dibutuhkan 1 orang (1,9%) pada kelompok usia elderly, 1 orang (1,9%) pada kelompok usia old, dan, 1 orang (1,9%) pada kelompok usia very old. Sebanyak 16 orang (30,2%) pada kelompok usia elderly dan 4 orang (7,5%) pada kelompok usai old memerlukan scaling untuk menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva serta instruksi peningkatan kebersihan mulut. Perawatan untuk menghilangkan kalkulus subgingiva yang lebih komperehensif disertai instruksi peningkatan kebersihan mulut diperlukan lansia sebanyak 1 orang (1,9%) pada kelompok usia middle age, 4 orang (7,5%) pada kelompok usia elderly dan 1 orang (1,9%) pada kelompok usia old. Perawatan periodontal yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat untuk tiap kasus.dibutuhkan 15 orang (28,3%) pada
194 : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal Sari kelompok usia elderly dan 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old. PEMBAHASAN Penyebab utama penyakit periodontal adalah iritasi bakteri yang terjadi karena adanya akumulasi plak.12,13 Apabila plak dibiarkan lebih lama, plak akan mengalami kalsifikasi dan berubah menjadi kalkulus.12,14 Kalkulus terbentuk dari plak bakteri yang mengalami mineralisasi. Walaupun akumulasi dan maturasi plak bakteri gigi menyebabkan perkembangan inflamasi jaringan gingiva terdekat, tetapi durasi, onset, dan intensitas proses inflamasi sangat bervariasi antar individu.12 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 53 subjek penelitian, frekuensi tertinggi terjadi pada skor 2 yaitu sebanyak 37,7% (20 orang) memiliki kalkulus supra maupun subgingiva. Banyaknya lansia yang memiliki kalkulus, supra maupun subgingiva, dan poket yang dalam diakibatkan dari penumpukan plak. Hasil penelitian di atas sesuai dengan beberapa penelitian epidemiologi yang pernah dilakukan. Di Inggris, 54% orang dewasa dengan usia di atas 45 tahun memiliki poket periodontal yang dalam (4-6 `mm) dan 73% tercatat memiliki kalkulus supra maupun subgingiva (skor 2). Kerusakan jaringan ini dapat menjadi semakin parah hingga menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat, perlekatan epitel cekat bermigrasi ke arah apikal dan selanjutnya membentuk poket. Semakin meningkat usia seseorang, semakin meningkat pula kerusakan yang terjadi pada jaringan periodontal.4 Hasil penelitian menunjukkan jaringan periodontal yang sehat (skor 0) dan perdarahan setelah dilakukan probing (skor 1) pada lansia perempuan lebih tinggi daripada lansia laki-laki, sedangkan poket yang dalam (skor 4) memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada lansia laki-laki daripada lansia perempuan. Data penelitian di atas sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan di negara lain, seperti Amerika Serikat, Irak dan Israel, yang mencatat bahwa kesehatan gingiva perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki. Di Amerika Serikat dan Israel kasus poket dalam (skor 4) pada laki-laki terjadi 3 kali lebih banyak daripada perempuan, sedangkan hasil penelitian di Irak menunjukkan laki-laki lebih sedikit mengalami perdarahan setelah probing (skor 1). Hal ini disebabkan perempuan cenderung melaksanakan kebersihan mulut dan memiliki pengetahuan serta kebiasaan yang baik tentang kesehatan gigi dan mulut dibandingkan laki-laki.4,12 Selain itu juga laki-laki lebih banyak yang memilki kebiasaan buruk seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol dibandingkan perempuan.15 Menurut hasil penelitian Ana et al 2007, seorang perokok memilki poket yang dalam,
193 kehilangan tulang alveolar, dan peningkatan kegoyangan gigi.16 Seorang perokok beresiko 2,6 sampai 6 kali mengalami kerusakan jaringan periodontal dibandingkan dengan non-perokok.6 Berbagai macam rokok dan intensitas kebiasaan merokok telah terbukti mempunyai hubungan kuat dengan status jaringan gingiva, kerusakan jaringan periodontal, serta ditemukan kaitan merokok dengan perubahan sistem vaskularisasi dan imun host.12 Sama halnya dengan kebiasaan merokok, konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal, khususnya konsumsi dalam jangka waktu panjang. Alkohol mempunyai efek berkontribusi terhadap pertumbuhan bakteri di gingival crest dan peningkatan penetrasi bakteri sehingga menyebabkan radang periodontal yang lamakelamaan akan menyebabkan kerusakan jaringan periodontal.16,17 Beberapa keadaan biologis yang dapat berubah akibat konsumsi alkohol antara lain kerusakan fungsi neutrofil dan defisiensi komplemen, gangguan mekanisme pembekuan darah karena kerusakan aktivitas protrombin dan vitamin K, gangguan metabolism tulang, dan gangguan penyembuhan.12 Jika laki-laki memiliki kerentaan yang tinggi terhadap kerusakan jaringan periodontal, maka perempuan pun demikian. Perempuan rentan terhadap kerusakan jaringan periodontal akibat perubahan hormonal yang terjadi, salah satunya diakibatkan menopause. Menopause adalah masa berakhirnya menstruasi dan biasanya terjadi padausia 50 tahun. Menopause dapat menyebabkan terjadinya resorbsi tulang alveolar sehingga gigi dapat kehilangan perlekatan pada jaringan periodontal. 12,14 Pada perempuan yang mengalami menopause terjadi penurunan estrogen, padahal estrogen sangat penting untuk memelihara kekuatan tulang dengan mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang. Penurunan kadar estrogen juga menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan antara sel osteoklas dan osteoblas. Kekurangan estrogen akan menyebabkan menurunnya kalsium darah sehingga akan memacu kelenjar paratiroid untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi osteoblas untuk merangsang pembentukan sitokin (IL-I, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang alveolar.11 Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, ada beberapa faktor predisposisi lain yang dapat memicu keparahan suatu penyakit periodontal yang tidak terkait dengan jenis kelamin seperti faktor penuaan dan penyakit sistemik. Pada proses penuaan terjadi perubahan anatomi, morfologi, dan fungsional jaringan periodontal seperti berkurangnya proses keritinisasi dan penipisan jaringan epithelium, perubahan lokasi junctional epithelium ke arah apikal, penurunan proliferasi sel
194
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 195 - 195
dan perubahan lebar ligament periodontal.6,7,18 Penyakit sistemik yang banyak terjadi pada lansia dan dapat memicu terjadinya penyakit periodontal adalah diabetes mellitus. Pada penelitian cross sectional diketahui bahwa pada penderita diabetes yang tidak terkontrol dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal yang lebih parah.19 Penelitian epidemiologi yang dilakukan David dan Seymour tahun 2006 di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa pada kelompok usia elderly merupakan kelompok usia yang paling banyak memiliki indeks skor CPITN 2 dan mulai menunjukkan pembentukan poket. Kelompok usia middle age cenderung mengalami kerusakan jaringan periodontal yang belum parah dan belum terbentuk poket, sedangkan pada kelompok usia old dan very old sudah banyak yang memiliki poket yang sangat dalam hingga mengalami missing.4 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa kondisi periodontal lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera adalah sebanyak 13,2% dalam kondisi sehat, 5,7% mengalami perdarahan setelah probing, 37,7% terdapat kalkulus supra maupun subgingiva, 11,3% mengalami poket 4-6mm, dan 32,1% mengalami poket dengan kedalaman lebih dari 6 mm. Kesbutuhan perawatan periodontal lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah 13,2% tidak memerlukan perawatan, 5,7% memerlukan peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui penyuluhan dan demonstrasi, 37,7% memerlukan scaling dan peningkatan kebersihan mulut, 11,3% memerlukan scaling yang lebih komprehensif dan peningkatan kebersihan mulut, serta 32,1% memerlukan perawatan periodontal yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat untuk tiap kasus. Penelitian ini hanya menguraikan secara umum mengenai kondisi dan kebutuhan perawatan periodontal pada lansia, oleh karena itu diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut terhadap kaitan serta hubungan antara penyakit sistemik, penuaan, kebiasaan buruk seperti mengkonsumsi alkohol dan merokok, serta faktor-faktor lain terhadap keparahan suatu penyakit periodontal pada lansia. Selain itu juga diharapkan kepada tenaga kesehatan yang ada untuk bekerja sama dengan dokter gigi dalam rangka meningkatkan kesehatan rongga mulut lansia.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9.
10.
11.
12.
13.
14. DAFTAR PUSTAKA 1.
Wangsarahardja, K. Olly VD, Eddy K. Hubungan antara Status Kesehatan Mulut dan
15.
Kualitas Hidup pada Lanjut Usia. Universa Medicina. 2007; 26: 186-194. Sharma, S, Manjit T, Gaurav M. Prevalence of Dental Caries and Periodontal Disease in the Elderly of Chandigarh – A Hospital Based Study. JIDA. 2012; 6(2): 78-82. Permana, FH, Made S, Imron R. Hubungan Penurunan Fungsi Gerak Lansia terhadap Strategi Koping Stres Lansia di Panti Jompo Welas Asih Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Keperawatan Soedirman. 2009; 4(3) : 125-130. Saptorini, KK. Poket Periodontal pada Lanjut Usia di Posyandu Lansia Kelurahan Wonosari Kota Semarang. Jurnal Prosiding Semnas Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia. 2011; 4(1): 261-266. Jayaputra, A. Evaluasi Program Jaminan Sosial Lanjut Usia. Jakarta : Kementrian Sosial Republik Indonesia Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial. 2009. p. 2527. Newman, Michael G, Henry H. Takei, Fermin A. Carranza. Clinical Periodontolgy. 9th edition. Missouri: Elsevier. 2002. p. 58-62. Hebling, E. Effects of Human Ageing on Periodontal Tissues. Periodontal Disease - A Clinician’s Guide. 2012; 16(1): 343-350. Prawiro, MD. Usia Harapan Hidup Bertambah Panjang. Gemari. 2012; 137: 56-57. Petersen, PE, Denis B, Hiroshi O, Saskia ED, Charlotte N. The Global Burden of Oral Disease and Risk to Oral Health. Bulletin of World Helath Organization. 2005; 83 (9): 661669. Homata, EM, Vasileios M, Argy P, Constantine O, Vassiliki T. Periodontal Disease in Greek Senior Citizens-Risk Indicators. Periodontal Diseases - A Clinician's Guide. 2010; 11: 231-249. Koshi, E, S. Rajesh, Philip K, PR Arunima. Risk Assessment for Periodontal Disease. Journal of Indian Society of Periodontology. 2012; 16(3): 324-328. Gani, A dan Taufiqurrahman. Kebutuhan Perawatan Periodontal Remaja di Kabupaten Sinjai Tahun 2007. Dentofasial. 2008; 7(2): 132-138. Yildirim, TT and Filiz AK. The Effects of Menopause on Periodontal Tissue. International Dental Research. 2011; 1(3.2): 81-86. Putri, MH, Eliza H, Neneng N. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Bandung : EGC. 2002. p. 200-203. Sanei, AS and Nasrabadi AN. Periodontal Health Status and Treatments Needs in Iranian
Sari 196 : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal Adolescent Population. Arch Iranian Med. 2005; 8(1): 290-291. 16. Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia dalam Panti. Jakarta: Depatemen Sosial RI. 2009. p. 5. 17. Ahmet. The Situation of Elderly People in Turkey and National Plan of Action on Ageing. Istambul : State Planning Organization. 2007. p. 70.
195 18. Ren, Y, Jaap CM, Lets S, Robert SBL, Anne MKJ. Age-Related Changes of Periodontal Ligament Surface Areas during Force Application. Angle Orthodontist. 2008; 78(6): 1000-1005. 19. Tarigan, R. Kesehatan Gigi Dan Mulut. Jakarta: EGC. 1995. p. 23.
197
196
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PEMAKAIAN PROTESA DENGAN PEMAKAIAN PROTESA DI RSUD ULINBANJARMASIN Tinjauan pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah di polikinik gigi RSUD Ulin Banjarmasin Nadya Pramasanti, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana Program StudiKedokteran Gigi FakultasKedokteranUniversitasLambungMangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background: Tooth loss due to extraction could be a big problem, it may cause dysfunction of mastication. The loss of mandibular firstpermanent molar has the highest prevalence. Many cases of tooth loss were not balanced with the prostodontiatreatment. Purpose: The purpose of this research was to determine the relationship between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction mandibular first permanent molar and the usage of protheses at dental polyclinic ofRSUD Ulin Banjarmasin. Methods: This study was used an observational analytic study with cross-sectional design. Samples were taken by purposive sampling technique with 68 patients. Knowledge level was obtained through questionnare. Results: The data were analyzed using chi-square test and obtained value p=0,006. The group with good knowledge level who used protheses were 11 patients (16,1%) and who didn’t used protheses were 20 patients (29,5%). The group with bad knowledge level who used protheses were 3 patients (4,41%) and who didn’t used protheses were 34 patients (37%). Conclusion: There was a relationship between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction mandibular first permanent molar and the usage of prothesis at dental polyclinic of RSUD Ulin Banjarmasin. Keywords: loss of mandibular firstpermanent molar, protheses, knowledge level of protheses usage
ABSTRAK Latar Belakang: Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan masalah terbesar, dapat mengganggu fungsi pengunyahan atau mastikasi. Kehilangan gigi molar permanen pertama bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan prostodonsia. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi dan mulut RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional yang menggunakan metode cross-sectional. Sampel diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 68 orang. Tingkat pengetahuan pasien diperoleh dengan pengisian kuesioner. Hasil: Data dianalisis menggunakan uji chisquare dan diperoleh nilai p=0,006. Kelompok tingkat pengetahuan baik dengan responden yang memakai protesa ada 11 orang (16,1%) dan responden yang tidak memakai protesa ada 20 orang (29,5%). Kelompok tingkat pengetahuan buruk dengan responden yang memakai protesa ada 3 orang (4,41%) dan responden yang tidak memakai protesa ada 34 orang (37%). Kesimpulan: Terdapat hubungan tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi dan mulut RSUD Ulin Banjarmasin. Kata kunci: kehilangan molar permanen pertama bawah, protesa, tingkat pengetahuan pemakaian protesa Korespondensi: Nadya Pramasanti, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email:
[email protected]
198 Pramasanti : Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa PENDAHULUAN Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan masalah terbesar. Efek sampingnya adalah dapat mengganggu fungsi pengunyahan atau mastikasi, pada kehilangan gigi yang banyak dan lama dapat mengakibatkangangguan pada Temporomandibular Joint (TMJ). Masalah lain yang berakibat pada fungsi bicara dan aspekpsikologis yaitu estetika, bahkan pada profesi tertentu yang menuntut kesehatan gigi yang prima.1Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan prostodonsia. Kehilangan gigi tidak hanya mengurangi estetika, tetapi juga membuat fungsi mengunyah menurun dan mempengaruhi asupan nutrisi sehingga hal ini akan mempengaruhi kondisi kesehatan umum dan kualitas hidup seseorang.2 Hasil laporan nasional RISKESDAS 2007, lima provinsi dengan prevalensi masalah gigi-mulut tertinggi, yaitu Gorontalo (33,1%),Sulawesi Tengah (31,2%), DI. Aceh (30,5%), Sulawesi Utara (29,8%), dan KalimantanSelatan (29,2%).Persentase penduduk provinsi Kalimantan Selatan yang mengalami masalah gigi-mulut sebesar (29,2%), yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi sebesar (21,2%), dan yang kehilangan seluruh gigi sebesar (2,5%).3Hasil laporan RISKESDAS 2007 provinsi Kalimantan Selatan, jenis perawatan yang diterima penduduk yang mengalami masalah gigi-mulut di provinsi Kalimantan Selatan adalah pengobatan gigi (81,2%), penambalan/pencabutan/bedah gigi (42,3%), dan konseling perawatan/kebersihan gigi (12,5%). Pemasangan gigi tiruan lepasan/cekat berkisar 0,6%-10,8%, tertinggi pada umur 65 tahun keatas. Persentase penduduk Kota Banjarmasin yang melakukan penambalan/pencabutan/bedah gigi/mulut sebesar (49,6%) sedangkan yang melakukan pemasangan gigi tiruan lepasan/gigi tiruan cekat hanya sebesar (3,0%).4 Kehilangan gigi molar permanen pertama bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Janjua dkk, persentase pencabutan molar pertama bawah kiri sebesar 32,1% dan pencabutan molar pertama bawah kanan sebesar 30,6% yang kebanyakan disebabkan oleh karies. Hal ini dikarenakan gigi molar permanen pertama bawah merupakan gigi tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6-7 tahun pada periode gigi campuran. Gigi molar permanen pertama memainkan peran penting dalam mastikasi dan menentukan posisi erupsi gigi posterior yang lain agar menjadi oklusi yang benar.5Kehilangan satu gigi, terutama gigi Molar permanen pertama bawah dapat menyebabkan fungsi lengkung rahangmenurun sebesar 10% dan penurunan ini akan meningkat sebesar 30% jika penggantian gigi yang hilang tidak segera dilakukan.6
197
Gigi tiruan diperlukan dalam pemenuhan kesehatan padaumumnya serta kesehatan gigi dan mulutkhususnya terutama untuk mempertahankanfungsi kunyah. Gigi tiruanyangbiasanya disebut protesa bisa dalam bentukgigi tiruan cekat (fixed) atau pun gigi tiruanlepasan (removable).Pembuatan gigi tiruantersebut dapat dikatakan secara ekonomimembutuhkan biaya tambahan yang relatif cukupmahal. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari WHO2010yang juga merupakan tujuan dari upaya peningkatankesehatan gigi danmulut di Indonesia adalahmeminimalkan dampak dari penyakit gigi danmulut terhadap penyakit sistemik atau kesehatansecara menyeluruh. Terkait dengan tujuan yang ingin dicapai tersebutperlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasirerata kehilangan gigi dan persentasepengguna gigi tiruan.1Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di Poliklinik gigi RSUD Ulin Banjarmasin. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian crosssectional.Pada penelitian ini sampel diminta untuk mengisi kuesioner tentang tingkat pengetahuan pemakaian protesa. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang yang pernah mencabut gigi atau yang telah kehilangan gigi di bagian Poliklinik gigi RSUD Ulin Banjarmasin.Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive samplingdengan kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi tersebut adalah pasien yang mencabut gigi molar permanen pertama bawah lebih dari 1 bulan, pasien yang telah kehilangan gigi molar permanen pertama bawah, bersedia menjadi responden, kooperatif, dan sehat berdasarkan anamnesis.Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 68 orang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, informedconsent, dan kuesioner. Prosedur penelitian adalah sampel dari populasi penelitian diidentifikasi sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan. Sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria kemudian dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar informed consent sebagai tanda persetujuan menjadi subyek penelitian. Sampel kemudian diukur tingkat pengetahuannya tentang gigi tiruan atau protesa post ekstraksi dengan melakukan pengisian kuesioner.Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji chisquaredengan tingkat kepercayaan 95% (α= 0,05)untuk mengetahui hubungan antara tingkat
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 196 199 - 199
198
pengetahuan pemakaian protesa pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa. HASIL PENELITIAN Berikut ini adalah distribusi frekuensi sampel penelitian menurut jenis kelamin, usia, pendidikan akhir, jenis protesa, dan alasan tidak memakai protesa. Menurut jenis kelamin, sebagian besar responden adalah perempuan yaitu sebanyak 37 orang (54,4%) dan laki-laki sebanyak 31 orang (45,6%).Menurut usia, pada rentangusia 61-70 tahun yang palingbanyakmemakaiprotesayaitu 9 orang (13,3%) dan pada rentangusia 31-40 tahun yang palingbanyaktidakmemakaiprotesayaitu 28 orang (41,1%).Menurutpendidikanakhir, responden yang berpendidikanakhir SD sebanyak 2 orang (2,9%), yang berpendidikanakhir SMP sebanyak 3 orang (4,4%), yang berpendidikanakhir SMA sebanyak 39 orang (57,4%), dan yang berpendidikanakhiruniversitassebanyak 24 orang (35,3%).Menurutjenisprotesa, responden laki-laki dan perempuan yang menggunakan GTL masingmasingsebanyak 1 orang dan responden yang palingbanyakmenggunakan GTSL adalahperempuansebanyak 7 orang.Menurutalasantidakmemakaiprotesa, responden denganalasantidakinginsebanyak 35 orang(64,8%), tidaktahusebanyak 15 orang (27,8%), tidakadabiayasebanyak 3 orang (5,6%), dan tidakadawaktusebanyak 1 orang (1,8%).
Gambar
1. Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa pada Pasien Post Ekstraksi Molar Permanen Pertama Bawah dengan Pemakaian Protesa di Poliklinik GigiRSUD UlinBanjarmasin
Berdasarkan Gambar 1 responden yang tidak memakaiprotesa dengan tingkat pengetahuan baik ada 20 orang dan responden dengan tingkat pengetahuan buruk ada 34 orang. Responden yang
memakai protesa dengan tingkat pengetahuan baik ada 11 orang dan responden dengan tingkat pengetahuan buruk ada 3 orang. Berdasarkan hasil uji chi squarediketahui nilai signifikannya sebesar (0,006). Karena nilai ini <0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima, hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan pemakaian protesa dengan pemakaian protesa. PEMBAHASAN Responden yang melakukan pencabutan gigi molar permanen pertama bawah karena karies berjumlah 68 orang. Hasil ini didapat dari wawancaraseluruh responden yang beralasan mereka melakukan pencabutan gigi dikarenakan gigi berlubang. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Janjua dkk (2011), persentase pencabutan molar pertama bawah kiri sebesar 32,1% dan pencabutan molar pertama bawah kanan sebesar 30,6% yang kebanyakan disebabkan oleh karies. Hal ini dikarenakan gigi molar permanen pertama bawah merupakan gigi tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6-7 tahun pada periode gigi campuran sehingga menyebabkan gigi lebih cepat terkena karies dibandingkan gigi yang lain.5 Sampel yang melakukan pencabutan gigi molar permanen pertama bawah tidak seluruhnya memakai protesa. Responden yang memakai protesa hanya berjumlah 14 orang, sedangkan yang tidak memakai protesa berjumlah 54 orang. Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan prostodonsia. Rendahnya kesadaran masyarakat dapat dilihat dari paradigma lama yang menganggap bahwa dengan mencabut gigi tanpa mengganti dengan gigi tiruan akan menyelesaikan masalah.2 Seluruh sampel mengetahui bahwa protesa adalah gigi tiruan yang menggantikan gigi yang hilang. Masyarakat yang masih belum tahu bahwa kehilangan satu gigi belakang saja dapat digantikan oleh protesa yaitu sebanyak 15 orang. Sebanyak 35 orang berpendapat bahwa setelah melakukan pencabutan gigi belakang tidak mempengaruhi pengunyahan sehingga merasa tidak perlu dilakukan pemasangan protesa. 21 sampel mengira protesa hanya untuk memperbaiki fungsi estetik, padahal protesa juga dapat memperbaiki fungsi kunyah dan bicara. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Pongsibidang dkk (2013), hampir sebagian besar respondennya memahami dampak dari kehilangan gigi terhadap fungsi pengunyahan dan penampilan, tetapi responden tidak menggunakan gigi tiruan.7 Berdasarkan Gambar 1meskipun responden tidak memakai protesa, tetapi responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Menurut Silviana
200 Pramasanti : Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa (2013), alasan responden tidak menggunakan gigi tiruan lebih dikarenakan persepsi responden terhadap perawatan gigi tiruan bukan sebagai kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Pendapat ini dilatarbelakangi oleh tingkat ekonomi responden yang bisa dikatakan rendah apabila dihubungkan dengan tingkat pendidikan. Pengalaman juga dapat memengaruhi seseorang tidak menggunakan gigi tiruan, dari responden yang diteliti ada yang merasa takut menggunakan gigi tiruan karena melihat pengalaman teman yang gigi tiruannya tertelan. Ada juga yang merasa tidak nyaman jika menggunakan gigi tiruan.8 Pada responden yang memakai protesa tetapi pengetahuannya masih buruk tentang pemakaian protesa, peneliti berasumsi bahwa ini dikarenakan responden yang memakai protesa masih belum memahami cara perawatan protesa yang benar dan tidak mengetahui fungsi protesa selain memperbaiki fungsi kunyah juga dapat memperbaiki fungsi estetik dan bicara. Hasil ini sesuai dengan penelitian Titjo dkk (2013) yang menyebutkan pengetahuan masyarakat pengguna gigi tiruan yang masih tergolong cukup ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka tentang cara pemeliharaan gigi tiruan yang mereka gunakan serta gigi sisa dan jaringan lunak mulut lainnya. Mayoritas responden hanya memperoleh informasi dari mulut ke mulut berdasarkan pengalaman orang lain tanpa menerima informasi dan instruksi dalam menjaga kebersihan rongga mulut pada saat pembuatan gigi tiruan mereka.9 Rendahnya kesadaran atau minat masyarakat tentang pemakaian protesa menunjukkan peranan tenaga medis seperti dokter gigi dan perawat gigi masih sangat rendah dalam memberikan penyuluhan atau informasi mengenai protesa. Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa kehilangan satu atau dua gigi belakang dapat digantikan oleh protesa atau gigi tiruan. Menurut Titjo dkk (2013), salah satu alasan seseorang menunjukkan sikap dalam memperoleh kesehatan adalah suatu inovasi yang dapat memotivasi responden. Melalui inovasi atau program-program kesehatan, responden mengadopsi nilai-nilai yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut sehingga mereka memiliki kesediaan untuk berubah.9 Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemakaian protesa masih sangat rendah menunjukkan kurangnya pengetahuan masyarakat dalam upaya pemeliharaan kesehatan gigi dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam mempertahankan fungsi gigi, khususnya setelah melakukan pencabutan gigi molar permanen pertama bawah. Hasilpenelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya promotifuntuk meningkatkan pemakaian protesapost ekstraksi, terutama di Kota Banjarmasin
199
dengan cara melakukan penyuluhan berupa pemberian motivasidan pemberian brosur tentang manfaat protesa pada saat sebelum atau sesudah pencabutan gigi yang dilakukan oleh tenaga medis yaitu dokter gigi dan perawat gigi. Penyediaan laboratorium dan alat bahan untuk pembuatan protesa di RSUD Ulin Banjarmasin juga diperlukan sehingga masyarakat dapat memiliki sarana dan prasarana untuk pembuatan protesa tanpa harus membuatnya di tukang gigi.Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh tingkat usia terhadap pemakaian protesa, atau mengidentifikasi jenis-jenis gigi tiruan yang banyak digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
AgtiniMD. Persentase Pengguna Protesa di Indonesia. Media Litbang Kesehatan.2010; 20(2):51. JonanA. Gigi Tiruan, Kapan Anda Memerlukannya?. Available on (http://rspondokindah.co.id/rspi/Vol-04-OktDes-2008/View-category.html). Accessed on 17 Maret 2013. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Laporan Nasional tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.2008. Hal: 131-132. Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2009. Hal: 116, 121. Janjua OS, Hassan SH, Azad AA, Ibrahim MW, Luqman U, Qureshi SM. Reasons and Pattern of First Molar Extraction- A Study. Pakistan Oral & Dental Journal. 2011; 31(1): 51. Oginni AO, Olusile AO, Udoye CI. Distribution And Types of Artificial Crowns And Bridges Prescribed At A Nigerian Teaching Hospital. Nigerian Journal of Clinical Practice. 2004; 7(1): 24-27. Pongsibidang H, Wowor VNS, Supit A. Alasan Masyarakat Kelurahan Sario Tumpaan Tidak Menggunakan Gigi Tiruan. Jurnal eGiGi. 2013; 1(2): 1-7. Silviana A, Wowor VNS, Mariati NW. Persepsi tentang Perawatan Gigi Tiruan pada Masyarakat Kelurahan Maasing Kecamatan Tuminting Kota Manado. Jurnal e-GiGi. 2013;1(2): 1-8. Titjo OC, Lampus BS, Juliatri. Perilaku Masyarakat Pengguna Gigitiruan Lepasan di Kelurahan Bahu. Jurnal e-GiGi. 2013;1(2): 18.
201
200
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian INSIDENSI KARIES GIGI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI TK MERAH MANDIANGIN MARTAPURA PERIODE 2012-2013
Mirna Dara Mustika, Amy N. Carabelly, Cholil Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background: The main issue of children’s oral health is dental caries. Dental caries is not only happening to permanent teeth but also to deciduous teeth. Deciduous teeth is the indicator of dental health in preschool children when we need to know the condition of children’s dental health. TK Merah Mandiangin is located in the suburb which is isolated from dental care and most likely it gets less attention, so that is hypothesized to raise the risk factor of caries. Objective: The purpose of this research is to know the incidence of dental caries in TK Merah Mandiangin Martapura. Method: The method was a descriptive survey method. The population of this research was preschool children from where 52 samples were chosen by total sampling. Result: The result was collected from 8 persons of 3-year old students, 19 persons of 4-year old students, and 25 persons of 5-year old students. The def-t status for decay was 97,86%, indicated for extraction was 1,99% and for filling was 0,33%. Mean of def-t index in this research was 5,8 which is in high category by WHO’s standard. Conclusion: The conclusion is the incidence of dental caries in preschool children at TK Merah Mandiangin Period of 2012-2013 was high.
Keywords: preschool children,def-t index, incidence of caries ABSTRAK Latar Belakang: Masalah utama dalam rongga mulut anak sampai saat ini adalah karies gigi. Karies gigi tidak hanya terjadi pada gigi permanen tetapi juga pada gigi sulung. Gigi sulung merupakan indikator kesehatan gigi pada anak usia prasekolah yang diperlukan untuk menilai keadaan kesehatan gigi anak. TK Merah Mandiangin terletak di daerah pinggiran yang jauh dari perkotaan dan perawatan kesehatan gigi cenderung kurang mendapat perhatian, sehingga diduga meningkatkan faktor resiko terjadinya karies. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi karies gigi di TK Merah Mandiangin Martapura. Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah anak usia prasekolah sebanyak 52 sampel dipilih secara totalsampling. Hasil: Diperoleh hasil penelitian indeks def-t pada anak usia prasekolah yang berasal dari 8 orang def-t pada anak-anak di TK Merah Mandiangin berjumlah 97,86% untuk karies, 1,99% untuk indikasi pencabutan, dan 0,33% untuk gigi yang ditambal. Rata-rata def-t penelitian adalah 5,8 dan termasuk kategori tinggi menurut WHO. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa insidensi karies pada anak usia prasekolah di TK Merah Mandiangin Periode 2012-2013 tergolong tinggi. Kata kunci: anak prasekolah, indeks def-t, insidensi karies Korespondensi: Mirna Dara Mustika, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel,
[email protected]
201
Mustika : Insidensi Karies Gigi PENDAHULUAN Karies adalah suatu penyakit infeksi yang dihasilkan dari interaksi bakteri. Karies gigi terjadi karena proses demineralisasi dari interaksi bakteri pada permukaan gigi. Bakteri bersifat asam sehingga dalam periode waktu tertentu, asam akan merusak email gigi dan menyebabkan gigi menjadi berlubang. Faktor etiologi terjadinya karies yaitu mikroorganisme plak, diet dan waktu. Karies pada gigi sulung sering menyerang gigi molar rahang bawah, gigi molar rahang atas, dan gigi anterior rahang atas. Pada masa periode gigi bercampur karies gigi sering menyerang pada gigi molar permanen rahang bawah dibandingkan dengan gigi rahang atas.¹,² Menurut Meinarly Gultom di Kecamatan Balige Sumatera Utara, sebanyak 49,33% anak balita menderita karies botol, gigi berlubang (24,67%), gusi berdarah (10,67%), dan gusi bengkak (8,67%). Sebagian besar responden tidak pernah membawa anaknya ke dokter gigi. Kebanyakan responden membawa anaknya ke dokter gigi jika sudah terdapat keluhan pada gigi anak. Kalimantan Selatan sendiri, angka karies gigi pada tahun 1995 untuk kota Banjarmasin mencapai 40,5% dan merupakan angka karies gigi tertinggi dibandingkan kota lain. Menurut penelitian Dharmawan berdasarkan survei kesehatan gigi yang dilakukan bersama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) pada tahun 1997, dari 500 orang anak SD yang diambil sebagai sampel dari kelas I sampai kelas VI di wilayah Kecamatan Banjar Timur dan Banjar Selatan menunjukan hanya 1 orang anak yang dinyatakan bebas karies gigi.³,4 Tingginya angka karies gigi menunjukkan bahwa tenaga medis pada bidang kesehatan gigi perlu memperkenalkanpendidikan kesehatan gigi sedini mungkin pada anak agar mereka dapat mengetahui cara memelihara kesehatan gigi dan mulut secara baik dan benar. Menurut Haryani (2002), anak usia prasekolah merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap penyakit gigi dan mulut karena umumnya masih mempunyai perilaku atau kebiasaan diri yang kurang menunjang terhadap kesehatan gigi. Masalah utama dalam rongga mulut anak sampai saat ini adalah karies gigi. Gigi sulung merupakan indikator kesehatan gigi pada anak usia prasekolah yang diperlukan untuk menilai keadaan kesehatan gigi anak.²,5 Indikator yang dapat digunakan untuk menilai karies gigi pada gigi sulung adalah indeks def-t. Indeks def-t adalah jumlah gigi sulung yang mengalami karies, dengan menghitung d (decay) yaitu gigi sulung yang mengalami karies, e (indicated for extraction) yaitu terdapat karies besar pada gigi sulung dan diindikasikan untuk dilakukan pencabutan, dan f (filled) yaitu gigi
sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa adanya karies sekunder TK Merah Mandiangin merupakan TK yang terletak di daerah pinggiran, dengan asumsi letaknya yang cenderung jauh dari perkotaan dan perawatan kesehatan gigi cenderung kurang mendapat perhatian sehingga diduga meningkatkan faktor risiko terjadinya karies. Belum pernah dilakukan penelitian pada anak prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian insidensi karies gigi anak prasekolah menggunakan indeks def-t (decay extraction filling-teeth). Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui insedensi karies gigi pada anak prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura Periode 2012-2013.
METODE Rancangan penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei deskriptif. Survei deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara rinci suatu fenomena yang terjadi di masyarakat. Populasi dalam penelitian ini adalah anak prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura Periode 2012-2013 yang berjumlah 52 orang berdasarkan jumlah siswa di TK Merah Mandiangin Martapura. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampling, yaitu seluruh populasi tersebut dijadikan sebagai sampel penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat diagnosa kedokteran gigi seperti kaca mulut, pinset, sonde, dan excavator, sikat gigi, alat tulis, handuk dan lap putih, masker dan sarung tangan, alkohol 70%, kapas, pasta gigi, lembar persetujuan, lembar pemeriksaan def-t. Prosedur penelitian dilakukan dengan langkah pertama orang tua murid TK Merah Mandiangin Martapura mengisi lembar persetujuan yang didampingi oleh guru dan peneliti. Kemudian, dilakukan pemeriksaan def-t pada rongga mulut anak TK Merah Mandiangin untuk menentukan insidensi karies gigi anak prasekolah periode 20122013. Hasil pemeriksaan dicatat dalam formulir pemeriksaan. Pengumpulan data diperoleh dari hasil pemeriksaan def-t pada anak TK Merah Mandiangin Martapura Periode 2012-2013. Data dari hasil pemeriksaan def-t yang diperoleh
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 206 204
202
dimasukan dalam tabel dan dilakukan penghitungan dengan menggunakan rumus indeks def-t.
HASIL PENELITIAN
Jenis Kelamin Jumlah Laki
Perempuan
D
185
110
295
E
4
2
6
F
1
0
1
Jumlah
190
112
302
Tabel 3.1Data def-t TK Merah Mandiangin
Indeks def-t =
=
=
= 5,8
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa indeks def-t pada TK Merah Mandiangin Martapura adalah 5,8 berdasarkan standar karies menurut WHO termasuk kategori Tinggi.
PEMBAHASAN Indeks def-t pada siswa siswi prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura sekitar 5,8.
Berdasarkan standar karies menurut WHO, indeks def-t pada siswa siswi tersebut termasuk dalam golongan tinggi. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Menurut Dharmawan berdasarkan survei kesehatan gigi yang dilakukan bersama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) pada tahun 1997, dari 500 orang anak SD yang diambil sebagai sampel dari kelas I sampai kelas VI di wilayah Kecamatan Banjar Timur dan Banjar Selatan menunjukan hanya 1 orang anak yang dinyatakan bebas karies gigi.4 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah responden penelitian yang digunakan, pada penelitian ini menggunakan anak usia prasekolah sedangkan penelitian sebelumnya dilakukan pada anak sekolah dasar. Indeks def-t menunjukan pada siswa lakilaki lebih tinggi daripada siswa perempuan. Berdasarkan jumlah reponden penelitian pada TK Merah Mandiangin Martapura yang berjumlah 52 orang yang terdiri atas 32 orang siswa laki-laki dan 20 orang siswa perempuan dinyatakan semua responden terkena karies dan tidak ada yang dinyatakan bebas karies. Perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang terkena karies tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fitriani (2007), jenis kelamin bukan merupakan faktor resiko terjadinya karies sehingga tidak mempengaruhi insiden terjadinya karies pada gigi sulung. Faktor resiko yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya karies pada anak prasekolah tersebut antara lain kebersihan gigi dan mulut, pH saliva, kebiasaan makan makanan kariogenik, keteraturan menggosok gigi, lamanya substrat menempel, dan praktik ibu.15 Faktor resiko seperti kebiasaan makan makanan kariogenik merupakan faktor yang paling sering terjadi pada anak usia prasekolah.15 Hal tersebut didukung oleh Rimm (2003) yang menyatakan bahwa pada usia tersebut umumnya anak menyukai makanan manis.16 Kebiasaan ini terbentuk karena pengetahuan para ibu mengenai diet yang baik bagi anak masih tergolong rendah, sehingga mereka telah memperkenalkan makanan manis kepada anak sejak balita. Anak menjadi terbiasa mengkonsumsi makanan manis tersebut dan kebiasaan itu akan berlanjut sampai mereka dewasa.17 Semakin banyak makanan manis yang anak konsumsi, semakin tinggi resiko anak
211 203
Mustika : Insidensi Karies Gigi mengalami karies.18 Rendahnya pengetahuan orang tua tentang kesehatan gigi dan mulut yang masih mengabaikan pertumbuhan dan pemeliharaan gigi anaknya pada saat pertumbuhan gigi sulung merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya karies, sehingga diharapkan orang tua ikut berperan mengawasi kebersihan gigi dan mulut anak mereka dengan cara mengajarkan cara perawatannya.19 Faktor predisposisi lainnya yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya karies pada individu antara lain faktor sosial ekonomi, usia, dan lingkungan.18,20 Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi angkat terjadinya karies.18 Status sosial ekonomi yang rendahdiukur berdasarkan pendidikan dan pendapatan dan telah diasosiasikan dengan kurangnya konsumsi serat pada individu yang tinggal di daerah rumah tangga sosial-ekonomi rendah.²¹,²² Individu dengan pendidikan yang rendah cenderung mengalami karies 1,306 kali dibandingkan responden dengan pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya program UKGS pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan individu dan berefek pada pemilihan makanan yang sesuai bagi kesehatan gigi mereka.18,²³,²4 Pendapatan yang terbatas juga dapat mempengaruhi angka kejadian karies karena pendapatan memiliki pengaruh terhadap makanan yang dikonsumsi oleh individu, baik pemilihan jenis maupun jumlah makanan yang dikonsumsi. ²²,²4 Riyanti (2012) melaporkan bahwa keluarga dengan tingkat pendapatan rendah lebih sedikit mengkonsumsi serat buah yang berperan dalam mengurangi akumulasi plak dan mencegah terjadinya karies.²²,²6,²7 Sejumlah penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya hubungan antara status sosial dan karies gigi. Salah satu hasil penelitian dari Budiasuri et al (2010) menunjukkan bahwa prevalensi karies lebih tinggi pada anak-anak yang berasal dari status sosial ekonomi rendah.18 Hal ini dikarenakan anak dari status ini lebih sedikit makan makanan yang berserat dan rendahnya tingkat pendidikan dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan angka terjadinya karies gigi pada seseorang.18,²²,²³ Berdasarkan hal tersebut, anak-anak prasekolah yang terdapat di TK Merah Mandiangin dengan kondisi sosial ekonomi rendah cenderung memiliki indeks def-t yang lebih tinggi dibanding anak-anak prasekolah dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke atas. Keterbatasan penelitian ini adalah peneliti hanya meneliti mengenai karies
gigi pada anak tanpa mengukur pengetahuan orangtua terutama ibu, terhadap terjadinya karies pada anak usia prasekolah. Penelitian ini juga belum dapat menggambarkan insidensi karies pada anak usia 3 tahun karena pada usia tersebut orangtua masih jarang mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di taman kanak-kanak. DAFTAR PUSTAKA 1.
Hiranya M P, Eliza H, Neneng N. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung gigi. Jakarta: EGC; 2011. Hal: 104. 2. Haryani W, Hadi H, Hendrartini Y. Hubungan Antara Konsumsi Kerbohidrat Dengan Tingkat Keparahan Karies Gigi pada Anak Usia Prasekolah di Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat. Yogyakarta. 2002; XVIII(3):131-137. 3. Gultom M. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Ibu-Ibu Rumah Tangga Terhadap Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Balitanya, di Kecamatan Balita, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009. Hal: 23-29. 4. Utami NK, Hidayati S, Mu’afiro A. Efektivitas Pelayanan Asuhan dan Penyuluhan Kesehatan Gigi dan Mulut di SDN Sei Besar 7 Banjarbaru Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian RSU Dr Soetomo. 2008; 10(2):12-19. 5. Natamiharja L, Dwi NS. Hubungan Pendidikan, Pengetahuan dan Perilaku Ibu Terhadap Status Karies Gigi Balitanya. Dentika Dental Journal. 2010; 15(1):37-41. 6. Angela, A. Pencegahan Primer Pada Anak yang Berisiko Karies Tinggi. Maj. Ked. Gigi (Dent. J). 2005;38(3):130-134. 7. Pratiwi, Rini. Perbedaan Daya Hambat terhadap Streptococcus mutans dari Beberapa Pasta Gigi yang Mengandung Herbal. Dent. J. 2005; 38(2):64-65. 8. Kellog N. Oral and Dental Aspects of Child Abuse and Neglect. Pediatrics. 2005; 116: 1565-1568. 9. ADHS: The dental team's responsibility in reporting child abuse and neglect - Part 4.Tersedia melalui: http://www.azdhs.gov, 2006. (diakses buln juni 2007). 10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi Balita. Jakarta, 2000: Hal: 12-19. 11. Widayatun TR. Ilmu Prilaku M.A 104. Jakarta: CV Sagung Seto; 2009. Hal: 145-148. 12. Mishra, R. 2010. Dental indices used in Pedodontics. Available at http://www.docstoc.com/docs/25098629/Denta
204
13.
14. 15.
16.
17.
18.
19.
20.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 208 204 l-indices-used-in pedodontics. (diakses bulan maret 2011). Imron M, dan amrul. Metode Penelitian Bidang Kesehatan. Jakarta: CV Sagung Seto; 2010. Hal: 195-196. Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2007.Hal:63. Fitriani F. Faktor Risiko Karies Gigi Sulung Anak (Studi Kasus Anak TK Islam Pangeran Diponegoro Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro; 2007. Hal:3-7. Rymm, SB. Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Prasekolah: Pola Asuh Anak Masa Kini. Jakarta: Gramedia; 2003. Hal:175. Prabantini, D. A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakata: CV Andi Offset; 2010. Hal: 13. Budisuari MA, Oktarina, Mikrajab MA. Hubungan Pola Makan dan Kebiasaan Menyikat Gigi Dengan Kesehatan Gigi dan Mulut (Karies) di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2010; 13(1):83-91. Balatif FF, Lesmana D, Nuita R. Gambaran Karies Gigi Siswa Kelas I sampai Kelas III Berdasarkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut Orangtua di SD Jayasari Kecamatan Tanjung Sari. Bandung: Universitas Padjajaran; 2010. Hal:6-7. Lee HY, Choi YH, Park HW, Lee SG. Changing Patterns in the Associaton Between Regional Social-economic Context and Dental Caries Experience According to Gender and Age: A Multilevel Study in Korean Adults. International. Journal of Health Geographic. 2012; 11(3):46-50.
21. Adi, R. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit; 2004. Hal: 39. 22. Riyanti, DT. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pendapatan Keluarga Terhadap Konsumsi Serat (Sayur, Buah, Kacang) Pada Lansia Usia 60-74 Tahun di Pulau Sumatera (analisis Data Sekunder Riskesdas). Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2012. Hal: 92. 23. Isrofah, NEM. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Gigi Terhadap Pengetahuan dan Sikap Anak Usia Sekolah di SD Boto Kembang Kulonprogo Yogyakarta. Pena Medika Jurnal Kesehatan. 2010; 1(1):1. 24. Trubus. Kegemukan Pergi dan Tak Kembali, My Healthy Life. Jakarta: Trubus Swadaya; 2010. Hal: 41. 25. Celeste RK, Fritzell J, Nadanovsky P. The Relationship Between Levels of Income Inequality and Dental Caries and Periodontal Disease. Cad saude Publica. 2011;27(6):11111120. 26. Kidd EAM dan Bechal SJ. Dasar-dasar Karies: Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta EGC; 1992. Hal:96. 27. Noviana T. Perbedaan Efektivitas Pemberian Jus Apel (Pyrus Malus) atau Jus Stroberi (Fragaria Chiloensis L) Untuk Menghambat Akumulasi Plak Gigi Pada Anak SDN Cibigo Bandung. Semarang: Universitas Diponegoro. 2009. Hal: 6-19.
211 205
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian PERBANDINGAN PERUBAHAN WARNA HEAT CURED ACRYLIC BASIS GIGI TIRUAN YANG DIRENDAM DALAM KLORHEKSIDIN DAN EFFERVESCENT (Alkaline peroxide)
Yordan Kangsudarmanto, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya KF Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACK Background: One type of acrylic resin which is often used as a denture base is heat cured acrylic. Accumulation of plaque which is often form on denture resulting odor and bad taste for the users. Chemical solution such as chlorhexidine and effervescent tablets are often used to eliminate the problem. One of the properties of acrylic is liquid absorbed slowly including denture cleaning solution. The long-term application in both solutions result color changes on acrylic resin. Purpose: This study was to determined the color change of heat cured acrylic that were soaked in a chlorhexidine solution and effervescent tablets. Methods: This study was a true experimental research design with pretest and post-test only with control group design, with acrylic plate samples of 26 mm diameter and 0.4 mm of thickness consisting of 6 treatment groups, 3 groups soaking in chlorhexidine for 15, 105, and 210 minutes and 3 groups in effervescent for 5, 35 and 70 minutes. Thirty samples were used in the experiment. The color changes observation each group was measured by spectrophotometer BPY series-47 type photo cell and digital microvolt. The statistical test used was paired T test with a significance value 0.05. Result: The results of this study showed that the color change of heat cured acrylic after immersion in chlorhexidine solution for 15, 105 and 210 minutes and in effervescent solution for 5, 35 and 70 minutes. Conclusion: Chlorhexidin caused greater changes colour of heat cured acrylic resin compared to effervescent. Keywords: color changes, heat cured acrylic, chlorhexidine, effervescent tablets. ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu jenis resin akrilik yang sering digunakan sebagai basis protesa adalah heat cured acrylic. Sering terjadi penumpukan plak dan jamur pada gigi tiruan yang mengakibatkan bau dan rasa tidak nyaman pada pemakaian. Larutan pembersih kimia seperti klorheksidin dan tablet effervescent sering digunakan untuk menghilangkan masalah tersebut. Salah satu sifat akrilik adalah menyerap cairan secara perlahan-lahan termasuk larutan pembersih gigi tiruan. Pemakaian dalam jangka waktu yang lama kedua larutan tersebut mengakibatkan perubahan warna pada resin akrilik. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui perubahan warna heat cured acrylic yang direndam pada larutan klorheksidin dan tablet effervescent. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian pretest and post test only with control group design, dengan sampel akrilik berbentuk silinder berdiameter 26 mm dan tebal 0,4 mm yang terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok perendaman larutan klorheksidin dengan waktu 15, 105, dan 210 menit dan 3 kelompok perendaman larutan effervescent dengan waktu 5, 35 dan 70 menit. Tigapuluh sampel digunakan pada penelitian. Perubahan warna masing-masing kelompok diukur dengan rangkaian alat spektrofotometer BPY-47 type photo cell dan mikrovolt digital. Uji statistik yang digunakan adalah T test berpasangan dengan nilai signifikansi 0,05. Hasil: Hasil dari penelitian menunjukkan terjadinya perubahan warna heat cured acrylic setelah perendaman larutan klorheksidin pada 15, 105 dan 210 menit dan larutan effervescent pada 5, 35 dan 70 menit. Kesimpulan: Klorheksidin menyebabkan perubahan warna yang lebih besar dibandingkan dengan effervescent. Kata-kata kunci: perubahan warna, heat cured acrylic, klorheksidin, tablet effervescent. Korespondensi: Yordan Kangsudarmanto, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
206
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 210 209
PENDAHULUAN Bahan dasar basis gigi tiruan yang paling banyak dipakai adalah resin akrilik polimetil metakrilat jenis heat cured. Bahan basis gigi tiruan yang ideal harus memiliki ciri-ciri fisikal yang sesuai. Beberapa ciri-ciri tersebut antara lain biokompatibilitas, estetik yang baik, radiopak dan mudah diperbaiki. Basis gigi tiruan harus cukup kuat agar dapat berfungsi pada beban pengunyahan yang maksimal.1,2 Salah satu perawatan gigi tiruan dari plak dan kuman yang menempel adalah dengan cara melakukan pembersihan secara kimia. Perendaman dalam larutan klorhexidin selama 15 menit dapat menghambat virus dan aktif melawan jamur pada gigi tiruan.6 Perendaman dalam larutan tablet effervescent sesuai dengan aturan pemakaian selama 5 menit, pada saat tablet effervescent dilarutkan dalam air hangat maka sodium perborate akan terurai dan membentuk senyawa alkaline peroxide yang melepaskan oksigen dan terjadilah aksi pembersihan mekanis terhadap deposit yang menempel pada gigi tiruan.4 Klorheksidin sering dipakai dalam dunia kedokteran gigi sebagai obat kumur. Berkumur dua kali sehari dengan menggunakan 0,2% larutan klorheksidin akan mengurangi jumlah mikroorganisme dalam saliva sebanyak 80% dan apabila pemakaian obat kumur dihentikan bakteri akan kembali seperti semula dalam waktu 24 jam. Klorheksidin bermanfaat untuk menghambat pembentukan plak, juga dapat membantu penyembuhan ulkus (sariawan).5 Tablet Effervescent (Alkaline peroxide) adalah pembersih gigi tiruan yang sering digunakan bagi pengguna gigi tiruan usia lanjut untuk menghindari kecelakaan jatuh dan patahnya akrilik gigi tiruan. Bahan pembersih gigi tiruan ini tersedia dalam bentuk tablet dan bubuk. Alkaline peroxide efektif untuk menghilangkan noda (stain) pada gigi tiruan.4 Perubahan warna disebabkan oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah perubahan kimia pada bahan itu sendiri yaitu proses polimerisasi tidak sempurna sedangkan faktor ekstrinsik adalah stain akibat absorpsi bahan pewarna dari sumber-sumber eksogen seperti teh, kopi, minuman ringan, nikotin, dan larutan kumur. Kedua faktor ini menyebabkan terjadinya reaksi kimia-fisik pada bahan resin. Ikatan reaksi kimiafisik yang terjadi adalah penyerapan perlekatan partikel zat warna pada permukaan resin dan penyerapan perlekatan yang masuk ke bagian dalam melalui porositas. Konsentrasi dan lama paparan bahan stain dalam minuman dapat mempengaruhi pigmentasi resin.6,14 Selain itu perubahan warna bisa dipengaruhi oleh faktor lain
diantaranya adalah kebersihan mulut, penyerapan air dan proses polimerisasi yang tidak sempurna.6 BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah true experimental (eksperimental murni) laboratorium dengan desain penelitian Pretest and Postest Control Grup Design. Sampel yang digunakan berbentuk silinder berdiameter 26 mm dan tebal 0,4 mm, yang terbuat dari bahan akrilik jenis heat cured (merk QC). Sampel untuk 6 kelompok masing-masing berjumlah 5 buah, jadi total sampel ada 30 buah. Pengukuran perubahan warna dilakukan di Laboratorium Fisika Optik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga. Pembuatan lempeng akrilik dilakukan di laboratorium basah Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat dengan prosedur sebagai berikut, Sampel malam merah dibuat sebagai model induk dengan diameter 26 mm dan tebal 0,4 mm sebanyak 30 buah. Gips tipe II dibuat menjadi adonan, perbandingan gips dengan air untuk kuvet bawah adalah 300 gram : 90ml, adonan diaduk dengan spatula dan dimasukkan ke dalam kuvet yang telah disiapkan diatas vibrator agar gelembung-gelembung udara keluar dari dalam kuvet. Wax diletakkan pada adonan gips yang mulai mengalami pengerasan (setting) di dalam kuvet dan diamkan gips sampai setting. Permukaan gips pada kuvet bawah diolesi vaselin dan kuvet atas diisi dengan adonan gips diatas vibrator agar gelembung-gelembung udara keluar dari dalam kuvet. Setelah gips setting, pembuangan wax dilakukan dengan cara kuvet direndam dalam air panas, kemudian kuvet dibuka dan wax yang masih tertinggal dibuang. Setelah kering olesi cold mould seal. Polimer dan monomer diaduk dalam stelon pot porcelain dengan perbadingan 2:1 sesuai petunjuk pabrik sehingga adonan mencapai fase dough. Mould yang telah diolesi separator diisi penuh dengan adonan resin akrilik. Plastik selopan diletakkan antara kuvet atas dan bawah, kemudian ditutup dan ditekan perlahan dengan pres hidrolik dengan tekanan 1.000 psi (70kg/cm2). Kuvet dibuka kembali dan kelebihan akrilik dipotong, kemudian kuvet ditutup kembali, dilakukaan pengepresan dengan tekanan 2.200 psi (154kg/cm2) dan pemberian tekanan dilanjutkan sampai sebagian besar kuvet berkontak rapat satu sama lain kemudian baut dipasang. Kuvet tersebut direbus didalam air medidih 1000C selama 30 menit. Kuvet dikeluarkan dan dibiarkan dingin pada suhu kamar, sampel dikeluarkan dari kuvet kemudian dirapikan untuk menghilangkan bagian yang tajam dengan menggunakan bur fraser. Sampel diratakan dan
Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan
dirapikan dengan menggunakan rotary grinder. Permukaan sampel dihaluskan dengan menggunakan bur white stone dilanjutkan dengan menggunakan abrassive paper di bawah air hingga dihasilkan permukaan yang benar-benar rata dan halus. Setelah itu, semua sampel dicuci dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa akrilik. Selanjutnya sampel diberi perlakuan, dengan membagi menjadi 6 kelompok masing-masing 5 sampel untuk kelompok yang direndam selama 15 menit, 5 sampel untuk kelompok yang direndam selama 105 menit, dan 5 sampel yang direndam selama 210 menit dalam larutan klorhexidin 0,2%. Lima sampel untuk kelompok yang direndam selama 5 menit, 5 sampel untuk kelompok yang direndam selama 35 menit, 5 sampel untuk kelompok yang direndam selama 70 menit dalam larutan tablet effervescent. Sampel dikeluarkan dan dibersihkan dengan air kemudian diletakkan diatas tisu kering pada suhu kamar dan selanjutnya sampel siap untuk diuji stabilitas warnanya. Pengolahan data dengan pengukuran stabilitas warna dengan menggunakan rangkaian alat foto sel type BPY-47 dan microvolt digital. Pengukuran dilakukan pada sampel sebelum dan sesudah direndam dalam larutan klorheksidin 15, 105, dan 210 menit. Pengukuran dilakukan pada sampel sebelum dan sesudah direndam dalam larutan tablet effervescent 5, 35, dan 70 menit. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji kolmogorov smirnov. Analisis data dilakukan dengan pengujian statistik menggunakan uji T berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95% (α= 0,05). Uji signifikasi terhadap hasil dengan membandingkan tingkat kemaknaan (p) dengan tingkat signifikan (α) 0,05. Hipotesis diterima jika nilai tingkat kemaknaan (p) lebih kecil dari tingkat signifikan (α).
207 211
Gambar 2 Perbandingan perubahan warna sampel akrilik sebelum dan sesudah perendaman klorheksidin 105 menit.
Gambar 3 Perbandingan perubahan warna sampel akrilik sebelum dan sesudah perendaman klorheksidin 210 menit.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian Perbandingan perubahan warna heat cured acrylic basis gigi tiruan yang direndam dalam klorheksidin dan effervescent (Alkaline peroxide) dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4 Perbandingan perubahan warna sampel akrilik sebelum dan sesudah perendaman effervescent 5 menit.
Gambar 1 Perbandingan perubahan warna sampel akrilik sebelum dan sesudah perendaman klorheksidin 15 menit.
Gambar 5 Perbandingan perubahan warna sampel akrilik sebelum dan sesudah perendaman effervescent 35 menit.
212 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 209
208
PEMBAHASAN
Gambar 6 Perbandingan perubahan warna sampel akrilik sebelum dan sesudah perendaman effervescent 70 menit. Tabel 3. Rata-Rata Penurunan Nilai Perubahan Warna Akrilik pada Larutan Klorheksidin dan Effervescent.
Me nit
Klorheksidin
Meni t
15 105 210
2,5 mv 4,2 mv 10,2 mv
5 35 70
Effervescent (alkaline peroxide) 1 mv 2,9 mv 5,2 mv
Berdasarkan data pada Tabel 3, didapatkan bahwa perubahan warna akrilik pada menit ke 15 klorheksidin adalah 2,5 mv sedangkan pada menit ke 5 effervescent adalah 1 mv yang diasumsikan sebagai 1 hari penggunaan. Menit ke 105 klorheksidin perubahannya sebesar 4,2 mv sedangkan menit ke 35 effervescent 2,9 mv diasumsikan sebagai penggunaan 1 minggu. Klorheksidin menit ke 210 perubahan terjadi sebesar 10,2 mv dan pada menit ke 70 effervescent sebesar 5,2 mv yang diasumsikan sebagai penggunaan 2 minggu. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa hasil uji statistik T test pada perbandingan perubahan warna akrilik sesudah perendaman dalam larutan klorheksidin dan effervescent (alkaline peroxide) pada menit ke 15 larutan klorheksidin dengan menit ke 5 menit larutan effervescent menunjukkan nilai p = 0,006, karena nilai p < 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak karena terdapat perubahan warna akrilik setelah perendaman. Pada menit ke 105 klorheksidin dengan menit ke 35 effervescent (alkaline peroxide) menunjukkan nilai p = 0,25 dan pada menit ke 210 klorheksidin dengan menit ke 70 effervescent menunjukkan nilai p = 0,00, karena nilai p < 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak sehingga sesuai dengan hipotesis yaitu ada perbedaan perubahan warna yang bermakna.
Berdasarkan hasil uji T berpasangan dan ratarata perubahan warna akrilik setelah perlakuan pada kedua larutan maka dapat dipahami bahwa hasil penelitian sesuai dengan hipotesis peneliti yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara dua kelompok yaitu kelompok yang direndam dalam klorhexidin dan kelompok yang direndam dalam larutan effervescent (alkaline peroxide). Prinsip pengukuran pada percobaan ini adalah dengan perbedaan intensitas cahaya, dalam hal ini disamakan dengan nilai voltmeter. Gerak elektron dari katode ke anode merupakan sebab adanya perbedaan intensitas cahaya pada efek foto listrik. Bila cahaya yang dipantulkan lebih banyak daripada cahaya yang diteruskan, maka nilai voltmeter menurun, warna akrilik yang semula merah merupakan spektrum warna merah yang dipantulkan sedangkan warna lain diteruskan. Jika warna akrilik yang semula berwarna merah dan kemudian setelah dilakukan perendaman pada larutan menjadi memudar atau lebih muda (mengarah ke putih) berarti lebih banyak spektrum yang dipantulkan daripada yang diteruskan, sehingga nilai voltmeter menjadi turun.6 Perubahan warna akrilik yang direndam dalam larutan klorheksidin disebabkan adanya interaksi kation dan anion dari senyawa klor yang terkandung dalam klorheksidin dengan akrilik sehingga zat warna akrilik memudar. Hal yang menyebabkan perubahan warna adalah adanya perubahan dalam struktur polimer heat cured acrylic dalam kandungan pigmen ( garam cadmium, besi, Mercury sulfide (HgS), dan pewarna organik ) bereaksi dengan klorheksidin itu sendiri sehingga terjadi efek pemutihan terhadap warna lempeng akrilik.13 Pigmen warna dalam akrilik heat cured dapat bereaksi dengan ion klor karena lama kontak dengan cairan klorheksidin dan penyerapan ion klor yang masuk ke dalam porositas akrilik yang dapat melarutkan pigmen akrilik karena konsentrasi yang lebih besar.6 Ion klor memiliki sifat netral dan merupakan basa konjugat dari asam klorida yang merupakan asam kuat. Ion klorida membentuk endapan dengan ion ion Ag+, Pb+, dan Hg+ berperan dalam pembentukan kompleks melalui perubahan warna dan melarutnya endapan atau padatan.7 Perubahan warna akrilik pada larutan effervescent (alkaline peroxide) disebabkan oleh kandungan sodium perborate. Ketika dilarutkan dalam air, sodium perborate akan terurai dan membentuk senyawa alkaline peroxide, senyawa ini akan melepaskan oksigen dan terjadi aksi pembersihan kimia oleh gelembung oksigen.4 Alkaline peroxide ketika terbentuk dalam air akan menghasilkan H2O2 (hidrogen peroxide) + alkali, 2H2O2 2H2O + 2O (nascent oxygen). Nascent oxygen mempunyai efek pembersihan
Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan kimia.3 Penyebab perubahan warna pada resin akrilik terkait dengan properti pengoksidasi kuat dari larutan sehingga oksigen yang dilepaskan menyebabkan oksidasi akselerator amina tersier atau ikatan ganda yang tidak bereaksi didalam matriks resin.7 Salah satu faktor yang penting dalam dalam pemutihan warna akrilik pada larutan effervescent ini adalah penggunaan temperatur air yang digunakan untuk merendam gigi tiruan. Devlin dan Kaushik (2005) menunjukkan bahwa penyerapan air pada permukaan akrilik yang disebabkan oleh larutan 500C alkaline peroxide, mengakibatkan pemutihan permukaan yang bersifat irreversible ketika akrilik dikeringkan.8 Panas yang dihasilkan oleh air pada massa resin menimbulkan difusi berlebih dan pelepasan monomer ke permukaan material. Sehingga penurunan kadar residu monomer mengakibatkan tingkat oksidasi yang lebih rendah dari pigmen dalam resin, mengurangi perubahan kromatik intrinsik dan pembentukan bahan degradasi warna pada akrilik.9,10 Berdasarkan penelitian Munther N. Kazanji (2004) dalam uji pengaruh bahan pembersih alkaline hipoklorit dan alkaline peroksida menunjukkan terjadi pemudaran warna pada basis gigi tiruan self cured dan heat cured setelah dilakukan perendaman selama 7 hari.7 Pada perlakuan kelompok perendaman klorheksidin 105 menit dan 210 menit dengan kelompok perendaman effervescent (alkaline peroxide) 35 menit dan 70 menit menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna lempeng akrilik. Perubahan warna lempeng akrilik pada perlakuan klorheksidin 105 dan 210 menit lebih besar dibandingkan perubahan warna dari effervescent 35 menit dan 70 menit. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan klorin atau klor yang terdapat pada klorhexidin lebih bereaksi dengan lempeng akrilik sehingga menyebabkan efek pemutihan sehingga warna akrilik menjadi lebih muda. Selanjutnya konsentrasi dan volume klorheksidin juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dan merubah struktur polimer dengan demikian akan memperbesar perubahan warna akrilik.11 Pembersih gigi tiruan effervescent (alkaline peroxide) buatan polident melakukan upaya dalam mengurangi temperatur air yang digunakan dan konsentrasi dari komposisi untuk meminimalisirkan efek pemutihan warna yang disebabkan oleh alkaline peroxide.12 Produk tablet effervescent pembersih gigi tiruan sekarang sudah tidak mengandung enzym, yang mana oksidasi dengan kombinasi enzym dengan larutan alkaline akan mengakibatkan kerusakan pada stabilitas warna.11 Perubahan warna yang terjadi memang tidak terlalu nampak secara visual tetapi berdasarkan nilai intensitas cahayanya menunjukkan perubahan nilai dari warna akrilik sebelum perendaman.
211 209
DAFTAR PUSTAKA 1. Anusavice KJ. Phillips buku ajar Ilmu bahan kedokteran gigi. Alih bahasa; Johan Arief Budiman, Susi Purwoko. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2004. 29-61, 192-219. 2. Meng TR and Latta MA. Physical properties of four acrylic denture base resins. Journal of contemporary dental practice 2005 ; 6(4). 3. Chittaranjan B, Taruna, Sudhir and Bharath. Material and methods for cleansing dentures. Indian Journal of Dental Advancements 2011; 3(1): 423-426. 4. Naini A dan Soesetijo FX. Pengaruh lama perendaman lempeng akrilik dalam alkalin peroksida terhadap perubahan warna. IJD 2006; 13(1): 43-46. 5. Bakar A. Kedokteran gigi klinis. Yogyakarta: KITA Junior; 2012. 205. 6. David dan Munadziroh E. Perubahan warna lempeng resin akrilik yang direndam dalam larutan disenfektan sodium hipoklorit dan klorhexidin. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) 2005; 38(1): 36-40. 7. Kazanji MN, Ahmad ZM. Evaluation of the effect of some denture cleansers on the colour of acrylic resin denture base materials. AlRafidain Dent J 2004; 4(2): 79-86. 8. Devlin H, Kaushik P. The effect of water absorption on acrylic surface properties. J Prosthodont 2005; 14: 233-8. 9. Samra AP, Pereira SK, Delgado LC, Borges CP. Color stability evaluation of aesthetic restorative materials. Brazillian Oral Research 2008; 22: 205-10. 10. Goiato MC, Santos DM, Haddad MF, Pesqueira AA. Effect of accelerated aging on the microhardness and color stability of flexible resins for dentures. Brazillian Oral Research 2010; 24: 114-9. 11. Moffa EB, Giampaolo ET, Izumida FE, Pavarina AC, Machado AL and Vergani CE. Color stability of relined dentures after chemical disinfection. Journal of Dentistry 2011; 395: e65-e71. 12. Lai Y-L, Lui H-F, Lee S-Y. In vitro color stability, stain resistance, and water sorption of four removable gingival flange materials. J Prosthet Dent 2003; 90: 293-300. 13. Mathur S, Mathur T, Srivasta R, Khatri R. Chlorhexidine: The gold standard in chemical plaque control. National Journal of Psychology, Pharmacy and Pharmacology 2011; 1: 45-50. 14. Prasetyo EA. Perubahan warna resin komposit hibrid setelah direndam dalam minuman bewarna. Jurnal ilmu konservasi gigi 2008; 1(1): 51-54.
210
214
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL BATANG PISANG MAULI (Musa sp) TERHADAP SEL FIBROBLAS BHK (Baby Hamster Kidney) 21
Maharani Laillyza Apriasari1, Rosihan Adhani2, Diah Savitri3 1
Bagian Ilmu Penyakit Mulut Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin 3 Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya 2
ABSTRAK Latarbelakang : Salah satu obat tradisional yang sekarang sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman obat. Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman obat adalah pisang. Pisang mauli adalah pisang yang banyak tumbuh di Banjarmasin. Beberapa penelitian membuktikan batang pisang mauli mengandung saponin, alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang terbanyak didominasi tannin yang bersifat anti bakteri dan antijamur. Tujuan : untuk membuktikan uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang pisang mauli dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21).Metode dan bahan : penelitian eksperimental laboratoris dengan Post Test Only menggunakan 5 perlakuan..Sampel penelitian berupa kultur sel fibroblasBHK 21 sebanyak 5 kelompok yaitu yang diberi ekstrak metanol batang pisang mauli 25%, ekstrak metanol batang pisang mauli 80%, ekstrak metanol batang pisang mauli 100%, kontrol sel dan kontrol media. Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel BHK dan tahapan perlakuan. Hasil pembacaan menggunakan Elisa Reader. Prosentase sel hidup menggunakan rumus Freshney). Hasil penelitian : ekstrak metanol batang pisang mauli konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, konsentrasi 80% memiliki sel hidup 34%, dan konsentrasi mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Analisis statistik oneway Anova menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna pada tiap kelompok perlakuan.Kesimpulan : Ekstrak metanol batang pisang mauli dengan konsentrasi 25% tidak toksik terhadap sel fibroblas BHK 21 Kata kunci : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Batang pisang mauli, Ekstrak metanol, Uji sitotoksisitas
ABSTRACT Background :Herbal medicine is one of the traditional drugs that almost be used by the people. One of herbal medicine is banana. Mauli banana is a lot of plants that growth in South Borneo. Some researches prove the mauli banana stem that contain saponin, alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan more tanin is having antibacterial and antifungal effect. Purpose : to prove cytotoxicity test of mauli banana stem metanol extract with 25%,80% and 100% consentrations were gived to fibroblast cel of baby hamster kidney (BHK 21). Material and methods : It was the experimental laboratoris with post test only using 5 treatments. The resaearch samples are cultur of fibroblast cells BHK 21 are devided by 5 groups that was giving by metanol extract 25% of mauli banana stem, metanol extract 80% of mauli banana stem, metanol extract 100% of mauli banana stem,cells control, and media control. The research steps are BHK cells split and treatnent. The research result was using elisa reader. Procentase of life cells based on Freshney theory. Research results : methanol extract 25% of mauli banana stem was having 72% life cells, metanol extract 80% of mauli banana stem was having 34% life cells, and methanol extract 100% of mauli banana stem was having 29% life cells. The
211 211
Apriasari : Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol
statistic analyzes was using One Way Anova showed the difference between groups. Conclusion : Methanol extract 25% of mauli banana stem to BHK 21 fibroblast cells are not toxic Keywords : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Cytotoxicity test, Mauli banana stem, Methanol extract
PENDAHULUAN Salah satu obat tradisional yang sekarang sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman obat. Tanaman obat adalah tanaman yang salah satu, beberapa atau seluruh bagiannya mengandung zat atau bahan aktif yang berkhasiat bagi kesehatan untuk penyembuhan penyakit. Pemakaian obat tradisional banyak diminati karena kurang menimbulkan efek samping seperti obat-obatan dari bahan kimia. Saat ini banyak penelitian dalam pengembangan obat tradisional yang dapat dijadikan sebagai obat alternatif, oleh karena bahannya mudah didapat dan harganya terjangkau. Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman obat adalah pisang. Pisang mauli adalah pisang yang banyak tumbuh di Banjarmasin. Dari hasil data empiris, masyarakat daerah Hulu Sungai Utara Propinsi Kalimantan Selatan sering menggunakan batang pisang mauli untuk mempercepat penyembuhan luka pada kulit. Penelitian Apriasari dkk (2014) menunjukkan bahwa kandungan ekstrak batang pisang mauli terdiri atas saponin, alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang terbanyak didominasi tannin.1 Ekstrak batang pisang mauli mengandung efek antiseptik dan antioksidan. Penelitian Apriasari dan Carabelly (2013) menunjukkan ekstrak metanol batang pisang mauli 80% mampu membunuh bakteri Streptococcus mutans, meskipun zona hambatnya tidak sebesar perlakuan dengan Povidone iodine 1%. Penelitian Apriasari (2014) menunjukkan ekstrak metanol batang pisang mauli 100% memiliki zona hambat antijamur lebih besar daripada ekstrak etanol batang pisang mauli 100% terhadap Candida albicans.2,3 Bahan alam tersebut secara empiris di masyarakat tidak menimbulkan efek toksik, namun belum dilakukan penelitian secara ilmiah untuk membuktikan bahwa bahan alam tersebut tidak toksik. Hal ini yang menyebabkan perlu dilakukan uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang mauli secara in vitro sebelum dilakukan penelitian pada hewan coba dan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang pisang mauli dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21). METODE DAN BAHAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris murni dengan Post Test Only dengan rancangan acak
lengkap menggunakan 5 perlakuan. Jumlah minimal pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan adalah 5 kali dengan menggunakan rumus Federer. Sampel penelitian berupa kultur sel fibroblas ginjal hamster BHK 21 sebanyak 12 buah, dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I yang diberi ekstrak metanol batang pisang mauli 25%, kelompok II ekstrak metanol batang pisang mauli 80%, kelompok III ekstrak metanol batang pisang mauli 100%, kelompok IV adalah kontrol sel dan kel V adalah kontrol media. Pembuatan ekstrak batang pisang mauli 100% dengan cara batang pisang mauli dibersihkan dan dikeringkan, selanjutnya diblender hingga halus. Tahapan berikutnya adalah metode pembuatan ekstraksi dengan maserasi. Prosesnya pada pelarut etanol yaitu memberikan etanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan dengan rotary evaporator 40 derajat C, di waterbath, dan diberi larutan CMC-Na. Apabila pelarut metanol, maka memberikan etanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan dengan rotary evaporator 40 derajat C, di waterbath, dan diberi larutan CMC-Na memberikan metanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan dengan rotary evaporator 40 derajat C, di waterbath, dan diberi larutan CMC-Na. Konsentrasi 80% didapatkan melalui pemberian aquades steril dengan perbandingan aquades : ekstrak batang pisang mauli = 20 : 80. Konsentrasi 25% didapatkan melalui pemberian aquades steril dengan perbandingan aquades : ekstrak batang pisang mauli = 75 : 25 Alat penelitian yang digunakan adalah centrifuge, laminar flow, botol ukur Roux, microplate, inkubator 37°C, 5% CO2, multichannel pipet 25 µL, ujung pipet steril, vial 2 mL, pipet steril 5 mL dan 10 mL, mikroskop cahaya, shaker, dan Elisa Reader. Bahan penelitian yang digunakan adalah sel fibroblas dari BHK (Baby Hamster Kidney) 21, akuades steril, media Eagles, fetal biovine serum 10%, ekstrak metanol batang pisang mauli 25%,80% dan 100%, PBS (Phosphate Buffered Saline), versene trypsine, MTT (3-(4-5dymethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide) dan DMSO (dimethyl sulfoxide). Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel BHK dan tahapan perlakuan. Tahapan split sel BHK yaitu mencairkan kultur sel induk (seed cells) yang sebelumnya telah dibekukan di dalam akuades steril suhu 37ºC. Setelah cair, kemudian dicentrifuge 500 RPM selama 5 menit.Di dalam laminar flow, membuang supernatan yang ada sehingga tersisa endapan sel di dasar. Endapan sel
212
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 216 214
tersebut diambil dan disuspensikan dengan media Eagles dan fetal biovine serum 10%.Selanjutnya ditambahkan media Eagles sebanyak 36 mL ke dalam botol yang berisi serum 4 mL sehingga didapat hasil akhir 40 mL media Eagles + serum.Endapan sel yang telah disuspensikan ditanam di botol Roux steril, lalu diinkubasi 37ºC, 5% CO2 sampai sel monolayer terbentuk (± 2 hari, dilihat dengan mikroskop).Botol Roux besar yang berisi sel BHK tersebut, kemudian medianya dibuang dan dicuci dengan PBS 15 mL sebanyak 35 kali. Botol Rouxdiisi dengan versene trypsine 1 mL.Sel-sel dalam botol tersebut akan terlihat menggerombol kemudian dihomogenisasikan dengan media Eagles sebanyak 10 mL.Sel yang telah homogen dimasukkan ke dalam microplate40well dengan kepadatan 2 x 105 sel/mL.Diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator 37°C, 5% CO2. Tahap perlakuan meliputi pengamatan padamicroplate yang berisi sel fibroblas yang telah diinkubasi di bawah mikroskop cahaya, apakah sel fibroblas yang telah ditanam dalam setiap well telah cukup banyak untuk dibuat perlakuan.Setiap perlakuan mempunyai 8 well. Tiap perlakuan yaitu ekstrak batang pisang mauli diteteskan pada 8 well dengan pelarut metanol konsentrasi 25%, 80% dan 100%, sedangkan 2 well untuk kontrol sel tidak dilakukan penetesan dan kontrol media. Setiap well ditetesi sebanyak 50 μL dan diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator 37ºC, 5% CO2. Data hasil penelitian berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap sel fibroblas setelah penetesan ekstrak metanol batang pisang mauli konsentrasi 25%, 80%, 100%, kontrol sel dan kontrol media. Hasil pembacaan dengan menggunakan Elisa Reader yaitu berupa tingkat absorbansi atau optical density. Semakin tinggi angka optical density, menunjukkan jumlah sel fibroblas yang hidup semakin banyak pula. Prosentase sel hidup menggunakan rumus Freshney (2000) % sel hidup= OD perlakuan + OD media x 100% OD kontrol sel + OD media Keterangan: % sel hidup : persentase jumlah sel hidup setelah pengujian OD perlakuan : nilai optical density fibroblas pada setiap sampel setelah pengujian hasil pembacaan dengan Elisa Reader OD media : nilaiopticaldensityfibroblas pada media kontrol OD kontrolsel :nilaiopticaldensityfibroblas pada selkontrol Hasil perhitungan dikatakan tidak toksik bila ≥ 60 % sel hidup.
Data yang sudah dikumpulkan diuji normalitasnya dengan uji Shapiro-Wilk. Jika data yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen (p > 0,05) maka data akan dianalisis dengan analisis parametrik One WayAnova dengan tingkat kepercayaan 95% dilanjutkan uji LSD. Jika data yang diperoleh terdistribusi normal tapi tidak homogen atau terdistribusi tidak normal tapi homogen dilakukan uji analisis non-parametrik secara Mann-Whitney.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian tentang uji toksisitas ekstrak metanol batang pisang mauli pada sel BHK 21 ini menggunakan rumus Freshney (2000), dengan hasil pada ekstrak metanol batang pisang mauli konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, ekstrak metanol batang pisang mauli 80% memiliki sel hidup 34%, dan ekstrak metanol batang pisang mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Hasil perhitungan dinyatakan tidak toksik bila ≥ 60%, oleh sebab itu yang tidak toksik adalah ekstrak metanol batang pisang mauli dengan konsentrasi 25%. Hal ini ditunjukkan dengan gambar 1.
Gambar 1. Hasil kultur sel BHK21 dg perlakuan ekstrak metanol batang pisang mauli
Data ditabulasi dan dilakukan uji normalitas dengan menunjukkan normal dan uji homogenitas menunjukkan homogen, sehingga menggunakan uji parametrik oneway anova dengan tingkat kepercayaan 95% seperti tabel 1.Hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak, yaitu terdapat perbedaan bermakna pada masing-masing kelompok.
213 211
Apriasari : Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol
perlakuan Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,764 ,155 ,919
Df
Mean Square 4 ,191 35 ,004 39 Tabel 1. One Way Anova
PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ekstrak metanol batang pisang mauli tidak toksik terhadap sel fibroblas yang merupakan sel pembentuk sabut jaringan ikat terbanyak pada tubuh makhluk hidup. Jika terbukti bahwa getah tersebut tidak toksik, maka dapat dilanjutkan dengan penelitian pada hewan coba dan manusia. Penelitian ini adalah uji pendahuluan, yaitu uji toksisitas dari bahan secara in vitro yang dikontakkan secara langsung pada kultur sel atau jaringan. Uji ini paling cepat. Uji sitotoksisitas dapat dilakukan dengan menggunakan hewan coba secara in vivo atau menggunakan kultur sel secara in vitro.4 Menurut Freshney, metode yang sering digunakan adalah metode in vitro dengan menggunakan kultur sel. Prinsip dasar menumbuhkan sel secara in vitro adalah merancang sistem kultur agar menyerupai keadaan in vivo. Sel yang akan diteliti dipindah dari jaringan asalnya, kemudian ditempatkan dalam wadah kultur untuk mendapatkan tempat pertumbuhan dan nutrisi yang cukup pada temperatur 37ºC dan lingkungan gas (95% CO2/ 95% udara) pada pH 7,4-7,7. Penelitian ini menggunakan kultur sel BHK-21 yang berasal dari fibroblas ginjal hamster oleh karena sel BHK21 lebih banyak digunakan untuk menguji sitotoksisitas bahan dan obat-obatan di kedokteran gigi. 4,5 Pengukuran dari hasil produk pewarnaan menggunakan bantuan dari alat spektrofotometrik. Makin pekat warna yang dihasilkan makin tinggi nilai absorbansinya berarti makin banyak jumlah selnya.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol batang pisang mauli pada konsentrasi 25% tidak menimbulkan efek toksik terhadap sel fibroblas, sedangkan ekstrak metanol batang pisang mauli pada konsentrasi 80% dan 100% terbukti toksik. Hal ini dibuktikan dengan persentase jumlah sel yang hidup pada konsentrasi 25% adalah lebih dari 60%. Jika persentase jumlah sel yang hidup kurang dari 60%, maka bahan tersebut toksik.5,6 Pemilihan metanol 70% sebagai pelarut diharapkan dapat menarik zat-zat berkhasiat yang terdapat dalam simplisia. Ekstrak metanol merupakan ekstrak yang kandungan senyawanya masih beragam, dari yang non polar sampai yang polar. Senyawa yang dapat masuk sari metanol
F 43,035
Sig. ,000
diantaranyaadalah flavonoid, terpenoid dan lipid.Berdasarkan kandungan yang ada flavonoid merupakan senyawa polifenol yang banyak terkait dengan efek antioksidan dan kemoprotektif dan sitotoksik melalui mekanisme cell cycle arrest. Adanya senyawa non polar dapat mengakibatkan gangguan pada proses penarikan flavonoid karena tidak adanya proses defatting. Selain menyebabkan penurunan kadar senyawa lain yang ada dimungkinkan dapat menyebabkan penurunan aktivitas dari flavonoid. Adanya aktivitas sitotoksik pada ekstrak metanol 70% kemungkinan disebabkan karena dalam ekstrak tersebut terdapat beragam senyawa baik yang bersifat polar, semi polar maupun non-polar sehingga efek toksiknya saling mempengaruhi. (Djajanegara dan Wahyudi, 2009 ; Puspitasari dan Ulfa, 2009) Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol batang pisang mauli tidak bersifat toksik pada sel fibroblas BHK 21 dengan konsentrasi 25%.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Apriasari M.L, Carabelly A.N, 2013. Uji Efektivitas Ekstrak Metanol Batang Pisang Mauli (Musa sp) 80% dan Povidone iodine 1% Terhadap Streptococcus mutans. Dipresentasikan dalam seminar internasional Dentisphere 7-8 Nopember 2013, Hotel Shangrilla, Surabaya, Indonesia. Apriasari M.L, Suhartono E, 2014. Kandungan Ekstrak Metanol Batang Pisang Mauli (Musa sp) 100%.Dipresentasikan pada seminar ICBBB, Melbourne, Australia 4-5 Januari 2014. Apriasari M.L, 2014. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol dan Metanol Batang Pisang Mauli 100%. Dipresentasikan pada Seminar IPAMAGI, Hotel Bumi, Surabaya 25-26 April 2014 Ariani W, 2012. Uji Sitotoksisitas Getah Bonggol Pisang Ambon Terhadap Sel Fibroblas. Skripsi Universitas Airlangga Surabaya. Freshney RI. 2000. Culture of animals cell: a manual of basic technique. 4nd Ed. Newyork: Wiley Liss Inc. p. 329-43 Fazwishni S dan Hadijono BS. 2000. Uji sitotoksisitas dengan esei MTT. Jurnal
214
7.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 218 214 Kedokteran Gigi Universitas Indonesia; 7(Edisi Khusus). p. 28-32 Puspitasari E, Ulfa E.U. Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Buah Buni Terhadap Sel Hela. Jurnal Ilmu Dasar, Vol 10 No 2, Juli 2009 : 181-185
8.
Djajanegara I, Wahyudi P. Pemakaian Sel Hela Dalam Uji Sitotoksisitas Fraksi Kloroform dan Etanol Ekstrak Daun Annona squamosa. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol 7 No 1, April 2009, hal 7-11