R ed a ks i J u r na l I lm u H u ku m H er m e ne ut ika U n ivers it as S w ada ya G u n un g J at i
JURNAL HUKUM HERMENEUTIKA
PELINDUNG Prof. Dr. H. Rochanda Wiradinata, M.P. Rektor Unswagati PEMBINA Dr. Endang Sutrisno, SH., M. Hum Direktur Program Pascasarjana PENANGGUNG JAWAB Dr. Ayih Sutarih, SH.,M.Hum Ketua Program Magister Ilmu Hukum DEWAN PAKAR (Mitra Bestari) Prof. Dr. Ibnu Artadi, SH.,M.Hum Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH.,MS. Prof. Dr. Eman Suparman, SH.,MH Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH PIMPINAN REDAKSI Dr. Ayih Sutarih, SH.,M.Hum DEWAN EDITOR Iwan. G. Gumilang, SH.,M.Hum Dr. Sudarminto, Drs., SH., MM., MH. TATA USAHA / BAG. SIRKULASI Agus Supriyadi, S.Pd., M.Si Anto ALAMAT KANTOR Jl. Terusan Pemuda No. 01 A Cirebon Telp. (0231) 488929
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
i
R ed a ks i J u r na l I lm u H u ku m H er m e ne ut ika U n ivers it as S w ada ya G u n un g J at i SAMBUTAN REKTOR Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon Kajian keilmuan tentang hukum di negeri ini tidaklah pernah surut, banyak hal yang dapat digali dari realitas sosial yang terjadi dengan menggunakan perspektif ilmu hukum sehingga patut dikatakan Indonesia sebagai laboratorium hukum paling besar dan multi kompleks di dunia. Terbitnya kembali jurnal ini sebagai langkah kecil di tengah-tengah hiruk pikuk persoalan hukum di masyarakat yang membelit pemutarbalikan teori-teori hukum, karya dimaksud untuk dapat meneguhkan eksistensi hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya. Dalam ranah ontologi sebuah nilai yang berada behind the text di balik hukum harus digali melalui paradigma hermeneutik yang secara estimologis berasal dari Bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan” sehingga kata benda hermeneuein secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Hukum tidak akan pernah lepas dari tataran konteks, untuk itu upaya untuk memahami (verstehen) sebagai salah satu prasyarat mutlak agar hukum mampu mencapai tujuan hukumnya secara ‘genuine’ untuk keadilan, kepastian serta kemanfaatan. Banyak tokoh besar untuk paradigma hermeneutik ini, seperti FDE Scheiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, Jacques Derrida. Pemahaman tentang values dasarnya secara substansial ada dalam muatan norma hukum yaitu keadilan dan kepastian ada dalam undang-undang, walaupun demikian muatan tersebut harus dicari dan digali melalui pemahaman paradigma hermeneutika. Alternatif penyebutan “Jurnal Hermeneutika” dipahami untuk mengarah pada upaya kajian yang ditujukan kepada filosofi yang diusung para tokoh hermeneutik tersebut sehingga kontinum pemikiran yang muncul dari keseluruhan tulisan ini mendeskripsikan dinamika hukum dalam proses akselerasi perkembangan masyarakat beserta dengan pilihan solusi yang diharapkan mampu dijadikan acuan. Untuk itu pemikiran-pemikiran yang dituangkan oleh ……………………………………………………………………. sebagai sumbangsih ilmiah dari institusi pendidikan terhadap perkembangan kemajuan disiplin ilmu hukum yang terus berkembang seiring dengan proses dinamika pembangunan di masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut saya selaku Rektor, menyambut dengan baik terbitnya “Jurnal Hermeneutika” dan dalam edisi ini berharap melalui penerbitan jurnal ini Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon dapat memberikan kontribusi nyata di tengah-tengah masyarakat, dan ke depan harapannya Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon dapat diperhitungkan dalam kancah dunia intelektual bangsa ini. Cirebon, 25 November 2015 Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Prof. Dr. H. Rochanda Wiradinata, M.P. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
ii
R ed a ks i J u r na l I lm u H u ku m H er m e ne ut ika U n ivers it as S w ada ya G u n un g J at i
PENGANTAR REDAKSI
Puji Syukur kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayahNya Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, telah mulai menerbitkan jurnal yang diberi nama Hermeneutika sebagai media bertukar informasi mengenai perkembangan ilmu hukum yang sarat dengan nilai-nilai. Seperti kita ketahui, sejak adanya manusia di rahim ibu sampai wafat meninggalkan dunia ini kehidupan kita tidak bisa terlepas dari hukum. Betapa pentingnya pengetahuan dan pemahaman hukum untuk kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan ini. oleh karena itu perlulah kita memandang hukum sebagai cabang ilmu yang multi entry dan bisa didekati dari ilmu apa saja baik kelompok ilmu-ilmu pengetahuan sosial maupun alam. Hukum memiliki aneka warna kehidupan manusia yang sangat menarik untuk dikaji dan diteliti secara terus menerus. Para antropolog menangkap hukum sebagai suatu acuan normatif yang luas dan terus hidup dan berkembang secara dinamis (living law), meliputi tidak hanya hukum negara, tetapi juga sistem norma di luar negara, ditambah pula dengan segala proses dan aktor yang ada didalamnya. Hukum diartikan tidak hanya berisi konsepsi normatif: hal-hal yang dilarang dan dibolehkan, tetapi juga berisi konsepsi kognitif (Benda-Beckman, F & K, 2006: ix). Keseluruhan karya intektual yang dituangkan dalam jurnal ini mendeskripsikan hal tersebut, sebagai bentuk pengejawantahan dari scripta manent verba volant (yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin). Pada edisi lanjutan ini, kami mengawali tulisan dengan topik lingkungan yang didahului dengan tulisan……………………………….. Harapan Redaksi semoga tulisan-tulisan tersebut dapat memberikan pencerahan kepada para Pembaca. Kritik dan sarana dengan senang hati kami nantikan untuk kemajuan dan penyempurnaan jurnal pada edisi mendatang. Terima kasih.
Pimpinan Redaksi
Dr. Ayih Sutarih, SH.,M.Hum
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
iii
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KONSERVASI HUTAN UNTUK PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi dalam Penerapan Kebijakan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan Jawa Barat) Oleh: Endang Sutrisno1 Tuty Sulastri2 Ayu Feby Sheilla3 ABSTRAK Persoalan lingkungan hidup telah menjadi masalah yang sangat krusial untuk negeri ini, perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dengan pendekatan anthroposentrisme-nya telah menyampingkan kepentingan yang lebih besar yaitu kebajikan untuk mengindahkan kepentingan lingkungan hidup. Titik berat pembangunan yang sifatnya konvensional telah memberikan kontribusi pada masalah lingkungan untuk negara berkembang semisal Indonesia yaitu eksploitasi sumber daya alam yang berlebih dalam pemahaman peningkatan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi di sisi lain telah terjadi degradasi kualitas lingkungan hidup secara menyeluruh. Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai salah satu aset sumberdaya alam harus diperhatikan dalam ranah penerapan kebijakan yang lebih bersifat biosentrisme, sebuah pendekatan dalam hukum lingkungan yang sifatnya integral-komprehensif-holistik, reasoning-nya menyangkut posisi strategis dari keberadaan taman nasional tersebut untuk menjaga kualitas lingkungan dan perspektif pembangunan yang lebih mengedepankan adanya keseimbangan pengelolaan, sebuah penerapan kebijakan dari produk hukum di daerah dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan harus lebih merespon kepentingan-kepentingan tersebut. Kata Kunci: Pendekatan Anthroposentrisme; Biosentrisme; Kebijakan. A.
PENDAHULUAN1 Sejalan dengan bertambahnya penduduk yang sangat pesat maka pembangunan sarana dan prasarana (insfrastruktur) kota seperti saranan penyediaan air bersih perkotaan juga sangat diperlukan. Kebutuhan akan air bersih dari tahun 2 ke tahun semakin meningkat, sedangkan pasokan air baku untuk air bersih semakin menurun baik dari segi kuantitas dan segi kualitas. Air baku merupakan bagian dari sumberdaya alam sekaligus juga sebagai bagian dari ekosistem. Kuantitas dan kualitasnya pada lokasi dan waktu tertentu tergantung dan dipengaruhi oleh berbagai hal, berbagai kepentingan dan tujuan.3 Kepentingan dan tujuan yang dilakukan oleh pemerintah tidak memperhatikan besarnya kerusakan lingkungan membuat jumlah mata air Gunung Ciremai terus berkurang secara signifikan jika terus dibiarkan tanpa ada reboisasi dan restorasi menyeluruh, kawasan Cirebon dan sekitarnya akan mengalami krisis air bersih di masa yang akan datang, pembalakan liar dan galian C ilegal juga menjadi penyebab utama
1
2
3
Dosen Fakultas Hukum dan Dosen Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon. Dosen Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon. Mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
menghilangnya ratusan mata air Gunung Ciremai selama ini. Air merupakan salah satu sumber kehidupan atau sumberdaya alam yang amat penting bagi kehidupan, tanpa air makhluk hidup yang ada di atas muka bumi akan mati. Dengan semakin terbatasnya sumberdaya air kini bermunculan perusahan swasta dan perseorangan yang menggunakan, mengelola dan menjual air berupaya mendapatkan sumberdaya ini sebagai komoditas yang menjanjikan dengan pangsa pasar yang sangat besar untuk meraup keuntungan dari sumberdaya air pergunungan untuk dijadikan air mineral. Air melekat nilai sosial, budaya, ekologis dan bahkan religius. Kini, air yang jumlahnya semakin terbatas, diperebutkan oleh penduduk yang semakin meningkat dan air sebagai milik publik (terjangkau, murah dan mudah) dan mulai bergeser cenderung menjadi barang ekonomi yang dapat diperdagangkan. Sedangkan pendukung pasar bebas dalam menyikapi persoalan pengelolaan air yang tidak efisien mengusulkan prinsip, air sebagai komoditas ekonomis dan privatisasi sebagai solusinya. Akan tetapi dengan ketersediaannya yang terbatas sungguh keliru kalau orang mengeksploitasi air secara berlebihan.
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Perlunya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, tentunya juga harus diikuti dengan tindakan berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan umum seperti tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) 4 . Terkait masalah tersebut Pemerintah Kabupaten Kuningan sendiri telah melalukan upaya untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai tersebut dengan diajukannya Usulan Bupati Kuningan ditindaklanjuti dengan Surat Bupati Kuningan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kuningan melalui suratnya Nomor. 522.6/1653/Dishutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal "Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam". Hal tersebut langsung mendapatkan respon dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kuningan dengan mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan melalui surat pimpinan Dewa Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kuningan Nomor. 661/266/DPRD perihal “ Dukungan atas usulan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Taman nasional”. Pengusulan tersebut dilatarbelakangi oleh fungsi ekologi Gunung Ciremai yang sangat besar khususnya sebagai daerah catchment area atau daerah tangkapan air yang sangat berperan penting sebagai penyediaan air baik sebagai bahan baku air minum maupun air irigasi pertanian bagi tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kuningan, Majalengka dan Cirebon, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas + 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional. Sejalan dengan itu akhirnya terbentuklah Balai Taman Nasional Gunung Ciremai yang berfungsi sebagai pengelola kawasan pelestarian dan konservasi hutan Gunung Ciremai 5 . Dengan 4
5
2
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, (Bandung : Penerbit Refika Aditama , 2011), hlm 13. Hasil Wawancara dengan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Kuningan, 23 November 2013.
adanya peralihan status tersebut pemerintah setempat berharap kembalinya kelestarian dan konservasi hutan di kawasan hutan gunung ciremai tersebut. Terbentuknya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai ini diharapkan dapat mengelola kawasan hutan Gunung Ciremai ini dengan baik sesuai dengan Undang-Undang Nomor.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan sejalan dengan Pembangunan Berkelanjutan serta Millenium Development Goals (MDG)6. Selain itu Balai Taman Nasional Gunung Ciremai harus mampu mewujudkan kawasan hutan Gunung Ciremai ini menjadi kawasan Taman Nasional yang termasuk dalam kategori kawasan pelestarian alam sesuai dengan Undang-Undang Nomor.5 Tahun 1990 pasal 1 ayat 14 yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan dengan tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam pelaksanaan tugasanya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai pengelola kawasan konservasi hutan tidak boleh terlepas dari aspek-aspek pembangunan berkelanjutan dengan demikian Balai Taman Nasional Gunung Ciremai harus mempunyai rencana-rencana strategis untuk pembangunan berkelanjutan terhadap kawasan hutan Gunung Ciremai ini. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah implementasi dari kebijakan Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Kuningan dalam pemanfaatan sumberdaya air berkenaan dengan kebijakan Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan Jawa Barat ? 2. Bagaimanakah landasan hukum dalam penerapan kebijakan Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan Jawa Barat ? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk menelaah dan mengkaji implementasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten 6
http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/ esai/42/lingkungan/436 berbagai-kelemahan-uu-no-32-tahun-2009tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.html, diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 16.42
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Kuningan berkenaan dengan kebijakan Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan Jawa Barat. 2. Untuk mengetahui dasar hukum yang dapat digunakan dalam hal pelaksanaan kebijakan Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan Jawa Barat. D. 1.
METODE PENELITIAN Paradigma Secara umum paradigma dapat diartikan sebagai perangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakani-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun penyelidikan ilmiah. 7 Menurut Harmon dalam Moleong, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas.8 2. Pendekatan Penelitian Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah doktrinal. Penelitian hukum doktrinal bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari di atau dari preskripsi-preskripsi hukum yang tertulis dalam undang-undang berikut ajaran atau doktrin yang mendasarinya. E.
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN MASALAH 1. Penerapan Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Kuningan untuk Konservasi Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Posisi strategis sumber daya hutan dalam konteks pembangunan nasional memiliki dua fungsi utama, yaitu peran hutan dalam pembangunan ekonomi terutama dalam menyediakan barang dan jasa yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian nasional, daerah dan masyarakat dan peran hutan dalam pelestarian lingkungan hidup dengan menjaga keseimbangan sistem tata air, tanah dan udara 7
8
Rekonstruksi Budaya Hukum Masyarakat Nelayan untuk Membangun Kesejahteraan Nelayan, Yogyakarta: Genta, 2013, hlm.19. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Karya, 1989, hlm. 49
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
sebagai unsur utama daya dukung lingkungan dalam sistem penyangga kehidupan. Isu strategis kehutanan yang tertuang dalam rencana strategis (Renstra) Kementrian Kehutanan tahun 2010-2014 dalam kebijakan prioritas pembangunan kehutanan yaitu: 1) Pemantapan kawasan hutan 2) Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) 3) Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan 4) Konservasi keanekaragaman hayati 5) Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan 6) Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan 7) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan 8) Penguatan kelembagaan kehutanan merupakan prioritas dalam penyelesaian permasalahan di bidang kehutanan. Balai Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai salah satu unit pelaksanaan teknis dalam organisasi Kementrian Kehutanan perlu menjalankan amanat kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tersebut yang kemudian diimplementasikan sesuai dengan kondisi yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan prinsip kehutanan, keterpaduan dan pembangunan berkelanjutan, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai merumuskan rencana strategis tahun 2010-2014 berdasarkan kondisi saat ini dan hasil evaluasi pencapaian target rencana strategis Balai Taman Nasional Gunung Ciremi tahun 2007-2009 yang mengacu kepada Rencana Strategis Kementrian Kehutanan Tahun 2010-2014. Rencana strategis Balai Taman Nasional Gunung Ciremai tahun 2010-2014 memuat sasaran prioritas dalam penyelesaian masalah di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai pada periode 5 (lima) tahun mendatang, yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk kebijakan prioritas, program dan kegiatan sehingga tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dapat tercapai dan terukur sesuai dengan amanat tugas pokok dan fungsi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Dalam upaya menjaga dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan pembangunan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, maka Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 3
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
menetapkan 7 (tujuh) kebijakan prioritas dalam lima tahun kedepan sebagai dasar pelaksanaan program dan kegiatan untuk mencapai sasaran yang diharapkan. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut9: 1) Pemantapan kawasan hutan 2) Rehabilitasi kawasan berbasis masyarakat 3) Perlindungan dan pengamanan kawasan 4) Konservasi keanekaragaman hayati 5) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 6) Optimalisasi jasa lingkungan dan wisata alam 7) Kelembagaan dan Pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang efektif Melihat kebijakan prioritas tersebut diatas, maka untuk mengimplementasikannya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai pada lima tahun kedepan akan melaksanakan satu program yang terdiri dari 25 (dua puluh lima) jenis kegiatan. Program yang akan dilaksanakan tersebut merupakan program bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan dalam Rencana strategis tahun 2010-2014 Kementrian Kehutanan. Program tersebut adalah Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan, dengan sasaran yang diharapkan adalah biodiversity dan ekosistemnya berperan signifikan sebagai penyangga ketahanan ekologis dan penggerak ekonomi rill serta pengungkit martabat bangsa dalam pergaulan global. Indikator dari program ini yang telah ditetapkan dalam rencana strategis tahun 2010-2014 Kementrian Kehutanan adalah sebagai berikut10: 1) Taman Nasional dan kawasan konservasi lainnya yang potensi keanekaragaman hayatinya tinggi, terdapat spesies langka dan flagship, atau mempunyai fungsi pelindung hulu sungai, dan atau memiliki potensi wisata alam signifikan, sudah dapat mandiri membiayai seluruh atau sebagian program pengembangan konservasi dalam bentuk Badan Layanan 9
10
4
Rencana Strategis Balai Taman Nasional Gunung Ciremai ( TNGC) Tahun 2010-2014, hlm.26. Ibid, hlm.27
Umum sebanyak 12 (dua belas) unti, Debt for Nature Swap (DNS), trust fund, dan kolaborasi sebanyaka 4 unit. 2) Populasi keanekaragaman hayati dan spesies yang terancam punah meningkat 3% dari kondisi tahun 2008 sesuai kondisi biologis dan kesediaan habitat. 3) Kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging, perambahan, perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal, penambangan ilegal dan kebakaran hutan) penanganannya terselesaikan minimal 75%. 4) Hotspot (titik api) di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatra, dan Pulau Sulawesi berkurang 20% setiap tahun. 5) Meningkatnya destinasi wisata alam yang dapat berperan dalam pasar wisata nasional. Target untuk mencapai sasaran dan indikator yang tercantum pada program di bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) tersebut maka disesuaikan dengan kebijakan prioritas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, kegiatan-kegiatan dan indikator kinerja pada lima tahun kedepan adalah sebagai berikut11: 1) Pemantapan kawasan hutan a. Permasalahan 1. Legitimasi batas kawasan dan penataan zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai belum selesai 2. Adanya konflik batas kawasan b. Tujuan 1. Terselesaikannya pengukuhan kawasan 2. Penetapan zonasi kawasan sebagai dasar pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai c. Outcome (hasil) 1. Pemantapan kawasan dengan kepastian hukum yang sah dan diakui semua pihak 2. Pengelolaan kawasan dapat berjalan dengan optimal, efektif dan efisien dengan fungsinya d. Indikator kinerja utama 1. Adanya berita acara tata batas kawasan 2. Tersusunnya dokumen kajian dan penetapan zonasi e. Potensi hambatan Kurangnya koordinasi dan komunikasi antar para pihak yang berwenang dan terlibat dalam penataan batas kawasan dan zonasi. f. Kegiatan-kegiatan
11
Loc.Cit
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Tabel 1 : Kegiatan Pemantapan Kawasan Hutan 1. Koordinasi dengan BPKH XI Jawa-Madura untuk pengukuhan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Output : Terselesaikannya penataan batas kawasan sehingga pengelolaan kawasan berjalan efektif. Indikator : Adanya pelaksanaan kegiatan tata batas di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. 2. Kajian dan penetapan zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Output : Ditetapkan zonasi kawasan sebagai acuan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Indikator : Adanya dokumen kajian dan penetapan zonasi kawasan. 3. Inventarisasi dan penyelesaian permasalahan tata batas dan pengukuhan kawasan Output : Tersedianya data permasalahan dan adanya kepastian hukum batas kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Indikator : Adanya data dan dokumen pendukung penyelesaian batas kawasan. Data yang diolah Mei 2015 2) Rehabilitasi kawasan berbasis masyarakat c. Outcome (hasil) a. Permasalahan Fungsi keanekaragaman hayati dan 1. Masih luasnya lahan kritis di dalam ekosistemnya dapat berjalan optimal sesuai kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dengan fungsinya 2. Belum optimalnya pelaksanaan kegiatan d. Indikator kinerja utama rehabilitasi hutan dan lahan kritis berbasis Berkurangnya lahan kritis hingga 70% masyarakat e. Potensi hambatan 3. Masih kurangnya tingkat partisipasi 1. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan masyarakat dan pihak swasta dalam dan lahan hanya berdasarkan proyek kegiatan rehabilitasi kawasan sehingga tidak ada keterlanjutan b. Tujuan pemeliharaan pada tahun pertama, tahun 1. Mengurangi lahan kritis di dalam kawasan kedua sampai bibit yang ditanam dapat Taman Nasional Gunung Ciremai beradaptasi dan bertahan. 2. Adanya efektifitas pelaksanaan kegiatan 2. Pendanaan DIPA dari instansi terkait yang rehabilitasi lahan berbasis masyarakat kurang relevan dengan waktu pelaksanaan 3. Meningkatkan partisipasi dan peran kegiatan. masyarakat dan swasta dalam kegiatan f. Kegiatan-kegiatan rehabilitasi kawasan Tabel 2 : Kegiatan Rehabilitasi Kawasan 4. Koordinasi dengan BPDAS, mitra pohon, dan Pemerintah Kabupaten Output : Adanya kesepahaman dan kerjasama antar instansi, lembaga terkait dan pihak swasta dalam kegiatan rehabilitasi kawasan Indikat Indikator : Adanya pelaksanaan kegiatan rehabilitasi yang didanai oleh DIPA dan non DIPA 5. Penyusunan rencana pengelolaan rehabilitasi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Output : Adanya pedoman dan acuan dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Indikator : Adanya dokumen RP RHL di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 6. Pembentukan kelembagaan dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan Output : Pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi kawasan yang terkait pula dengan pemberdayaan masyarakat Indikator : Kelembagaan di tingkat masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 7. Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan RHL Output : Efektivitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan RHL Indikator : Dokumen monitoring dan evaluasi kegiatan RHL HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
5
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Data yang diolah Mei 2015 3) Perlindungan dan pengamanan kawasan a. Permasalahan Masih adanya ancaman dan gangguan terhadap kawasan berupa perambahan kawasan, pencurian kayu, pertambangan, perburuan liar dan kebakaran hutan. b. Tujuan 1. Terwujudnya kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 2. Meminimalisir gangguan dan ancaman terhadap kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai c. Outcome (hasil) Fungsi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat berjalan optimal sesuai dengan fungsinya. d. Indikator kinerja utama
1. Bebas penggarapan lahan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 2. Berkurangnya tindak pidana kehutanan hingga 50% 3. Berkurangnya kejadian dan luasan kebakaran hutan hingga 50% e. Potensi hambatan 1. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan kawasan relatif tinggi 2. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian spesies yang dilindungi 3. Tidak jelasnya batas dan status kawasan 4. Kurangnya koordinasi dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di lapangan f. 5. Kegiatan-kegiatan
Tabel 3 : Perlindungan dan Pengamanan Kawasan 8. Penyidikan dan perlindungan hutan Output : Meningkatnya perlindungan dan pengamanan terhadap kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Indikator : Pengurangan tindak pidana kehutanan sampai 20% pertahun dan bebas perambahan hutan 9. Pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan Output : Meningkatnya sistem pencegahan, pengendalian dan penanggulangan pasca kejadian kebakaran hutan dan lahan Indikator : Berkurangnya kejadian dan luasan kebakaran dan lahan sampai dengan 20% pertahun 10. Penguatan kapasitas kelembagaan pengamanan dan pencegahan kebakaran Output : Meningkatnya kapasitas kelembagaan pengamanan dan pencegahan kebakaran Indikator : Terbentuknya MPA dan Pamhut Swakarsa di setiap desa Data yang diolah Mei 2015 4) Konservasi keanekaragaman hayati d. Indikator kinerja utama a. Permasalahan 1. Teridentifikasinya satwa/tumbuhan kunci Belum optimal dalam identifikasi, dan habitatnya inventarisasi dan pemanfaatan lestari 2. Tersusunnya data base pengelolaan potensi sumber daya alam hayati di dalam keanekaragaman hayati kawasan 3. Adanya kegiatan penangkaran tumbuhan b. Tujuan dan satwa liar Terwujudnya kelestarian keanekaragaman Potensi hambatan hayati dan ekosistemnya Kurangnya data dan informasi dalam c. Outcome (hasil) pemanfaatan lestari sumber daya alam Fungsi keanekaragaman hayati dan hayati ekosistemnya dapat berjalan optimal sesuai 4. Kegiatan-kegiatan dengan fungsinya Tabel 4 : Kegiatan Konservasi Keanekaragaman Hayati 11. Pengelolaan jenis dan genetik Output : Terpeliharanya kekayaan genetik dan jenis tumbuhan satwa liar dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 6
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Indikator : Adanya kegiatan identifikasi dan inventarisasi satwa/tumbuhan setiap tahunnya 12. Pembinaan populasi dan habitat Output : Terpeliharanya populasi dan habitat satwa dan tumbuhan Indikator : Adanya kegiatan identifikasi dan inventarisasi habita satwa/tumbuhan dan pembinaan habitat setiap tahunnya 13. Pembinaan dan penangkaran tumbuhan satwa liar Output : Pemanfaatan secara lestari flora dan fauna Taman Nasional Gunung Ciremai untuk pemberdayaan masyarakat Indikator : Adanya kegiatan penangkaran tumbuhan satwa liar bernilai ekonomi tinggi Data yang diolah Mei 2015 5) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di 2. Meningkatnya pendapatan masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Ciremai a. Permasalahan d. Indikator kinerja utama Belum tergalinya potensi dan kebutuhan 1. Adanya kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat dalam rangka pelaksanaan masyarakat di bidang kehutanan program pemberdayaan masyarakat. 2. Adanya kegiatan usaha ekonomi produktif b. Tujuan masyarakat di bidang kehutanan melalui Terwujudnya kesejahteraan masyarakat penangkaran tumbuhan satwa liar yang sekitar kawasan Taman Nasional Gunung bernilai ekonomi tinggi Ciremai e. Potensi hambatan c. Outcome (hasil) Keperluan dukungan pembiayaan dan 1. Diketahuinya potensi dan kebutuhan penelitian yang sangat besar masyarakat yang menjadi dasar dalam f. Kegiatan-kegiatan penentuan program pemberdayaan masyarakat Tabel 5 : Pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 14. Penyusunan master plan pemberdayaan masyarakat Output : Tersusunnya master plan pemberdayaan masyarakat sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat Indikator : Adanya dokumen master plan pemberdayaan masyarakat 15. Penyusunan master plan dan pembentukan MDK Output : Tersusunnya acuan dalam pembentukan kelembagaan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat Indikator : Adanya dokumen master plan MDK dan kelompok MDK 16. Pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan ekonomi produktif bidang kehutanan Output : Terciptanya peluang usaha di bidang kehutanan Indikator : Penguatan ekonomi masyarakat di bidang kehutanan Data yang diolah Mei 2015 6) Optimalisasi jasa lingkungan dan wisata 2. Koordinasi dengan pengelolaan objek alam wisata dan penggunaan jasa lingkungan air a. Permasalahan yang belum berjalan optimal 1. Belum optimalnya pemanfaatan jasa b. Tujuan lingkungan dan wisata alam sehingga Meningkatkan nilai manfaat jasa lingkungan belum menjadi peluang usaha bagi dan wisata alam di kawasan Taman masyarakat yang memiliki ketergantungan Nasional Gunung Ciremai terhadap kawasan Taman Nasional c. Outcome (hasil) Gunung Ciremai Pengelolaan kawasan dapat berjalan dengan optimal, efektiv dan efisien sesuai dengan fungsinya HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
7
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
d. Indikator kinerja utama 1. Adanya nota kesepakatan dengan pengelola kawasan wisata dan pengguna jasa lingkungan 2. Adanya peningkatan PNBP dari pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam
e. Potensi hambatan 1. Penilaian manfaat jasa lingkungan dan wisata alam yang masih rendah 2. Koordinasi dan kesepahaman dengan pihak terkait yang masih sulit dan terbatas f. Kegiatan-kegiatan
Tabel 6 : Kegiatan Optimalisasi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam 17. Penyusunan petunjuk pelaksanaan jasa lingkungan dan wisata alam Output : Tersusunnya petunjuk pelaksanaan jasa lingkungan dan wisata alam Indikator : Tersusunnya petunjuk pelaksanaan jasa lingkungan dan wisata alam 18. Pembentukan forum kemitraan Gunung Ciremai Output : Meningkatnya koordinasi dan kerjasama antar pengelola dan pengguna jasa lingkungan dan wisata alam Indikator : Adanya forum kemitraan jasa lingkungan dan wisata alam 19. Penguataan kelembagaan forum kemitraan Output : Berjalannya efektivitas dan efisiensi kelembagaan forum jasa lingkungan Indikator : Tersusunnya rencana kerja forum kemitraan 20. Pengembangan jasa lingkungan dan wisata di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Output : Meningkatnya nilai manfaat jasa lingkungan dan wisata alam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Indikator : 1. Adanya kesepakatan dan kesepahaman dari pengguna jasa lingkungan dan wisata alam di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 2. Pengembangan sarana prasarana di objek wisata 3. Adanya peningkatan PNBP dari jasa lingkungan Data yang diolah Mei 2015 7) Kelembagaan dan pengelolaan kawasan Kelembagaan dan pengelolaan kawasan dapat Taman Nasional Gunung Ciremai yang berjalan dengan optimal, efektiv dan efisien. efektif d. Indikator kinerja utama a. Permasalahan 1. Terukurnya perencanaan dan pencapaian 1. Belum adanya acuan pengelolaan kawasan pelaksanaan kegiatan berbasis resort 2. Adanya dokumen pengelolaan berbasis 2. Kapasitas sumber daya manusia (SDM) resort Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 3. Adanya data base pengelolaan kawasan masih terbatas secara spasial 3. Keterbatasan data-data pengelolaan e. Potensi hambatan kawasan yang komperhensif dan 1. Kurangnya sarana dan prasarana terintegrasi sesuai dengan kebutuhan para pendukung dalam peningkatan kapasitas pihak sumber daya manusia (SDM) Balai Taman b. Tujuan Nasional Gunung Ciremai 1. Tercapainya efektivitas pengelolaan 2. Keterbatasan kapasitas sumber daya kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai manusia (SDM), dana dan sarana prasarana 2. Meningkatnya kapasitas sumber daya yang mendukung untuk pengelolaan manusia (SDM) Balai Taman Nasional berbasis resort Gunung Ciremai f. Kegiatan-kegiatan c. Outcome (hasil) Tabel 7 : Kegiatan Kelembagaan dan pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang efektif 21. Penyusunan pedoman pengelolaan berbasis resort Output : Pengelolaan kawasan berjalan lebih efektiv dan efisien 8
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Indikator : Adanya dokumen/ pedoman pengelolaan kawasan berbasis resort 22. Peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai Output : Meningkatnya kompetensi sumber daya manusia (SDM) Indikator : Terselenggaranya pelatihan sumber daya manusia (SDM) untuk pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai di bidang kehutanan 23. Koordinasi dengan instansi terkait Output : Adanya kesepahaman antar instansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Indikator : Pelaksanaan kerja sama multipihak berjalan dengan baik 24. Monitoring, evaluasi dan pelaporan berbasis kinerja Output : Terselenggaranya perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Indikator : Adanya dokumen monitoring, evaluasi dan perencanaan setiap kegiatan 25. Pembuatan database pengelolaan kawasan berbasis spasial Output : Terselenggaranya pengelolaan kawasan berbasis spasial Indikator : Adanya data base pengelolaan kawasan berbasis spasial Data yang diolah Mei 2015 Kebijakan prioritas yang telah Kuningan rekontruksi pal batas baru akan dirancangkan oleh pihak Balai Taman dilaksanakan oleh BPKH Jawa-Madura pada Nasional Gunung Ciremai yang dalam tahun 2010, tetapi berdasarkan pada kegiatan pengimplementasiaannya dituangkan dalam investigasi dan juga patroli rutin yang satu program yaitu program Perlindungan dilakukan, di beberapa daerah kawasan hutan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) yang Taman Nasional Gunung Ciremai telah terjadi diuraikan dalam 25 (dua puluh lima) jenis pemindahan pal batas dan juga kepemilikan kegiatan tersebut, pada fakta dilapangannya lahan oleh pemerintah desa yang telah belum sesuai dan berjalan sebagaimana disertifikatkan oleh Badan Pertanahan mestinya. Nasional (BPN). Fakta yang terjadi di lapangan masih jauh Pengukuhan kawasan Taman Nasional dari apa yang diharapkan dari rancangan Gunung Ciremai yang belum mendapatkan rencana strategis ataupun kebijakan prioritas kekuatan hukum tersebut menimbulkan yang dirancangkan oleh pihak Balai Taman terjadinya masalah-masalah dalam Nasional Gunung Ciremai. Pada fakta pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan dilapangan pemantapan pal batas kawasan pada Taman Nasional Gunung Ciremai, masih belum clear and clean, pengukuhan seperti pada fakta di lapangan yang terjadi di kawasan Balai Taman Nasional Gunung daerah kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai belum dilakukan secara keseluruhan, Ciremai daerah jalur pendakian Gunung baru dilakukan rekonstruksi pal batas di Ciremai Cibunar Linggarjati telah terjadi Sektor Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) pembangunan Sekolah Menengah Pertama AlWilayah II Majalengka oleh BKPH JawaMutazam (Yayasan Berpendidikan Islam) Madura sepanjang 94.747 meter dengan kurang lebih sudah berjalan sekitar 1,5 tahun jumlah pal batas sebanyak 1.615 buah pada di areal wilayah yang tergolong dalam tahun 2006. kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Kepastian hukum tentang batas kawasan Tumpang tindihnya pal batas kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai di Sektor tentunya menjadi hal yang sangat serius dan Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II masalah yang harus segera diselesaikan oleh Majalengka berdasarkan hasil kegiatan patroli pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai tata batas yang dilaksanakan belum clear and dan tentunya Pemerintah Kabupaten clean karena ada 17 (tujuh belas) pal batas Kuningan sendiri harus tanggap dan yang belum terpasang akibat terjadi tumpang bertindak agar perlindungan dan pengelolaan tindih kepemilikan lahan antara Balai Taman kawasan fungsi hutan Gunung Ciremai yang Nasional Gunung Ciremai dengan masyarakat. telah ditetapkan sebagai Taman Nasional bisa Sedangkan untuk wilayah Kabupaten HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
9
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
berjalan dengan efektiv sesuai sebagaimana mestinya fungsi Taman Nasional. Optimalisasi rehabilitasi kawasan lahan kritis dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai belum berjalan dengan optimal, hal ini disebabkan oleh partisipasi masyarakat yang rendah dalam pengelolaan dan perlindungan hutan, hal ini menjadi kendala utama dalam pemeliharaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Banyak masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang bahkan tidak peduli akan kelestarian lingkungan hidup pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai mengaku peralihan status Gunung Ciremai menjadi kawasan Taman Nasional membuat mereka sulit untuk berkebun di daerah Gunung Ciremai yang menjadi kawasan Taman Nasional. Aturanaturan yang dikeluarkan oleh pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai membuat mereka kehilangan mata pencahariannya sebagai petani dan lain-lainnya. Hal demikian tentunya harus menjadi catatan pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai untuk bisa lebih mensosialisasikan kepada masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai agar lebih bisa berkolaborasi dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai demi menjaga kelangsungan kelestarian lingkungan hidup Taman Nasional Gunung Ciremai saat ini dan masa yang akan datang (berkelanjutan). Perlindungan dan Pengamanan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai masih perlu ditingkatkan kembali mengingat fakta yang terjadi di lapangan masih sering terjadinya perambahan kawasan, pencurian kayu, pertambangan, perburuan liar dan kebakaran hutan yang menjadi ancaman gangguan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Masih adanya area perambahan kawasan dan pertambangan yang terjadi di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang mengaku bahwa tanah yang dijadikan perambahan dan pertamabangan tersebut adalah tanah milik pribadi, tentunya hal ini terjadi karena salah satu akibat tumpang tindihnya pal batas dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. 10
Fakta-fakta yang terjadi di lapangan tersebut tentunya menjadi sebuah koreksi bagi pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai dan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang harus segera tanggap demi mengimplementasikan kawasan konservasi hutan sebagaimana mestinya. 2. Kebijakan Pemerintah untuk Kawasan Konservasi Hutan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Berdasarkan pada penetapan tata ruang wilayah Kabupaten Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi 12 , dalam rangka pemantapan kawasan konservasi, Pemerintah Kabupaten Kuningan melakukan strategi sebagai berikut: 1. Mengendalikan secara ketat fungsi kawasan lindung 2. Menetapkan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 3. Menetapkan zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 4. Menetapkan zona penyangga untuk kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 5. Meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan Taman Wisata Alam Linggarjati 6. Mengembangkan Kebun Raya Kuningan sebagai kawasan konservasi ex-situ 7. Mengembangkan kegiatan pariwisata alam dan atau minat khusus di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, Taman Wisata Alam Linggarjati dan Kebun Raya Kuningan 8. Mengembangkan model desa konservasi Berdasarkan ketentuan tersebut Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementrian Kehutanan yang memiliki tugas pokok dan fungsi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/MenhutII/2009 tentang perubahan Kesatu Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman 12
Pengertian Kabupaten Konservasi adalah sebagai suatu wilayah kabupaten yang dinyatakan kawasan konservasi secara keseluruhan dimana aktivitas pembangunannya bertumpu pada pemanfaatan secara bijaksana sumber daya alam hayati yang dimiliki dengan prinsip kehati-hatian dan kelestariannya.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Nasional. Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang lebih berdaya dan berhasil guna dalam pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan kehutanan bidang konservasi. Taman Nasional Gunung Ciremai 13 ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas + 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional. Penunjukkan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional merupakan usulan Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui surat Nomor. 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 perihal Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam dan Pemerintah Kabupaten Majalengka melalui surat Nomor. 522/2394/Hutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal Usulan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam. Proposal usulan Bupati Kuningan ditindak lanjuti dengan Surat Bupati Kuningan kepada Ketua DPRD Kab. Kuningan melalui suratnya No. 522.6/1653/Dishutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”. Hal tersebut langsung mendapatkan respon dari DPRD Kab. Kuningan dengan mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan melalui surat pimpinan DPRD Kab. Kuningan Nomor. 661/266/DPRD perihal dukungan atas usulan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan Taman Nasional. Pengusulan tersebut dilatarbelakangi oleh fungsi ekologi Gunung Ciremai yang sangat besar khususnya sebagai daerah catchment area atau daerah tangkapan air yang sangat berperan penting sebagai penyediaan air baik sebagai bahan baku air minum maupun air irigasi pertanian bagi tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kuningan, Majalengka dan Cirebon. Sebelum menjadi kawasan taman nasional, saat zaman pemerintahan kolonial 13
Taman Nasional Gunung Ciremai, Sejarah TNGC, melalui (http://tngciremai.com/sejarah-tngc/) diunduh tanggal 06 April 2015 pada pukul 20.35.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Belanda, kawasan hutan Gunung Ciremai sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan lindung. Saat pemerintahan Indonesia tepatnya pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi tentunya membawa dampak yang nyata terhadap perubahan ekologi kawasan Gunung Ciremai dimana sebagian besar vegetasi hutan alam diganti menjadi vegetasi dengan tujuan produksi yang mayoritas ditanami pohon pinus. Saat pengelolaan kawasan hutan produksi, Perhutani mengembangkan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang melakukan beberapa program untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, salah satu programnya adalah kegiatan tumpang sari berupa tanaman sayuran di bawah tegakan hutan pinus. Masyarakat sekitar kawasan hutan diberi kewenangan oleh Perhutani untuk mengolah lahan di sela-sela pohon pinus dengan tanaman sayuran ataupun perkebunan. Untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai akibat kegiatan produksi maka pada tahun 2003 sebagian kelompok hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani tersebut dialihfungsikan sebagai kawasan hutan lindung melalui SK. Menteri Kehutanan Nomor : 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan sebagian kelompok hutan produksi. Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka menjadi hutan lindung yang dapat memberikan manfaat jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Walaupun telah terjadi pengalihan fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi hutan lindung, pengelolaan kawasan Gunung Ciremai masih dilakukan oleh Perum Perhutani dan secara prakteknya di tingkat lapangan, pengalihan fungsi kawasan tersebut belum ditindaklanjuti dengan pengelolaan kawasan lindung yang baik dan benar. Masyarakat penggarap masih melakukan kegiatan tumpang sari dan penggarapan di kawasan hutan lindung bahkan hingga saat ini ketika kawasan hutan Gunung Ciremai sudah menjadi kawasan Taman Nasional. Menindaklanjuti SK. Menteri Kehutanan No. 11
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
424/Menhut-II/2004 yang menjadi dasar pembentukan Taman Nasional Gunung Ciremai maka sebelum pengelola definitif taman nasional dibentuk, Direktorat Jenderal PHKA menunjuk BKSDA Jawa Barat II dengan surat SK Dirjen PHKA No. SK. 140/IV/Set-3/2004 tentang Penunjukan BKSDA Jabar II selaku Pengelola TN Gunung Ciremai. Pengelola definitif Balai Taman Nasional Gunung Ciremai baru memiiki struktur organisasi dan menjalankan perannya sebagai pengelola kawasan TNGC pada tahun 2007 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman. Kebijaksanaan pemerintah daerah yang telah ditetapkan baik melalui peraturan daerah, kebijaksanaan, maupun programprogram ternyata tidak sepenuhnya memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah Kabupaten Kuningan dalam mengubah status kawasan Gunung Ciremai menjadi kawasan Taman Nasional. Perubahan status kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional terkesan terlalu terburu-buru dan tidak mengkaji secara keseluruhan mengenai sasaran, tujuan dan strategi yang harus dilakukan dalam pengelolaan kawasan fungsi hutan. Melihat strategi yang dirancangkan Pemerintah Kabupaten Kuningan sendiri sebagai Kabupaten Konservasi pada faktanya sampai saat ini tidak berjalan dengan lancar dan sesuai sebagaiaman mestinya. Pemantapan kawasan konservasi hutan samapai saat ini belum berjalan sesuai aturan yang sudah dirancangkan, dan kawasan konservasi hutan pada Taman Nasional Gunung Ciremai masih belum dapat terlaksana kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor.32 Tahun 2009, sebagai contoh pemantapan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai sampai saat ini belum terselesaikan secara keselurhan dan kawasan zonasi pada Taman Nasional Gunung Ciremai yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya, akibatnya timbulam dampak yang menyebabkan 12
terhambatnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan kawasan hutan Taman Nasional Gunung Ciremai dalam pengelolaan sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya. Kebijakan publik yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh Pemerintah Daerah seharusnya diikuti dengaan keterlibatan masyarakat dalam perumusannya, karena kebijakan publik yang dikeluarkan atau ditetapkan pemerintah merupakan produk hukum yang implementasinya akan dirasakan langsung oleh masyarakat berkaitan dengan kebijakan, peraturan, program-program dan kegiatan-kegiatan lainnya. F. 1.
2.
G. 1.
SIMPULAN Penerapan rencana strategis (Renstra) pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai pada kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai dalam implementasinya belum berjalan optimal sesuai dengan rencana strategis yang telah dirancangkan. Masih banyak kawasan konservasi dalam Taman Nasional Gunung Ciremai yang belum optimal dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidupnya, sebagai contoh masih adanya penggarapan lahan dalam kawasan dan lahan kritis hal ini disebabkan karena kurangnya partisipasi masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dalam pemeliharaan kawasan Taman Nasional. Selain itu masalah tata batas kawasan yang belum selesai secara keseluruhan menyebabkan terjadinya tumpah tindih masalah tanah antara masyarakat dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Pemerintah Kabupaten Kuningan yang menetapkan kebijakan bahwa Kabupaten Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi dalam faktanya masih kurang optimal, masih banyak tata ruang yang dirancangkan sebagai kawasan pemantapan konservasi tetapi kurang optimal dalam pengelolaannya sebagai contoh kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Rekomendasi Pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai selaku pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai harus segera
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
2.
mengupayakan penyelesaian permasalahan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, selain itu pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai diupayakan untuk bisa lebih berkoordinasi dengan masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dalam rangka kolaborasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), agar setidaknya penurunan penggarapan lahan dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai bisa berkurang dan membangkitkan partisipasi masyarakat sekitar agar lebih berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Peran Pemerintah Kabupaten Kuningan sendiri harus lebih peduli terhadap kawasan pemantapan konservasi yaitu contohnya kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai baik berupa kebijakankebijakan atau aturan-aturan yang dikeluarkan demi menjaga pengamanan dan proses penegakan hukum dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Peran Pemerintah Kabupaten Kuningan juga diperlukan dalam hal penegasan dalam penanganan kasuskasus yang terjadi dalam kawasan konservasi hutan Taman Nasional Gunung Ciremai, agar terwujudnya lingkungan Taman Nasional yang sesuai sebagaimana mestinya fungsi Taman Nasional bagi kepentingan masyarakat luas.
H. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : Bethan, Syamsuharya, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, Alumni, Bandung. Erwin, Muhamad, 2011, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Jakarta. Gumbira, E, 1985, Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, PT Media Sarana Press, Jakarta. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Hardjasoemantri, Koesnadi, 1998, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. _______________________, 1994, Menjelang sepuluh tahun Undang-Undang Lingkungan Hidup, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hartono, CFG Sunaryati, 1999, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, BPHN dan CV Trimitra Mandiri, Jakarta. Hadi, Sudharto P., 2002, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan, BP Undip, Semarang. Prayitno, Wukir, 1991, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, CV.Agung, Semarang. Pamulardi, Bambang, 1999, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rasyidi, Lili - Sidharta, B. Arief (Penyunting), 1994, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, PT.Remaja Rosda Karya, Bandung. Rahardjo, Satjipto,2000, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Rangkuti, Siti Sundari, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1989, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-masalah Hukum, CV.Agung, Semarang. Siahaan, NHT, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta. Sutrisno, Endang, 2007, Budaya Hukum dalam Melindungi Pencemaran Lingkungan, Swagati Press, Cirebon. Peraturan-Peraturan/ Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Rencana Kementrian Kehutanan Lingkungan Hidup Tahun 2001-2004. Rencana Strategis Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Tahun 2010-2014. Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 26 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuningan Tahun 2011-2031.
13
Implementasi Kebijakan Konservasi Hutan Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
Internet: http;/www.duniaesai.com/index.php/direkto riesai/42/lingkungan-hidup/436 berbagi kelemahan UU-32-2009-ttg perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diunduh pada 20 November 2013 pada pukul 16.42. www.tngc-ciremai.blog.com diunduh pada 22 November 2013 pada pukul 09.25. www.hukumonline.com/pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup diunduh pada 20 Maret 2015 pada pukul 20.48.
14
www.google.com/aspek pembangunan berkelanjutan/sustainable future/ menggagas warisan peradaban anak cucu/seputar pemikiran Surna T.Djadjadiningrat diunduh pada www.hukumonline.com/tolak ukur tujuan pembangunan berkelanjutan www.google.com/http;agenda 21 global the future we want dan worl summit.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
KEBIJAKAN ALIH FUNGSI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN KAWASAN PERUMAHAN DI KABUPATEN CIREBON Oleh : Agus Manurung1 ABSTRACT The growth of the housing industry in Cirebon is growing rapidly the last five years . This correlates with the urgent needs of the land , sparking rampant conversion of agricultural land . Is the land acquisition have noticed regulations set zoning in which productive agricultural land as a safeguard sustainable food security . Cirebon District Regulation No. 17 Year 2011 on Spatial Planning has arranged it . But the problem is , whether the land conversion policy in Cirebon has been referred to the applicable law and how policy formulation over the land to be allocated for housing development . Keywords : Transfer Function of Land and Housing Development I.
PENDAHULUAN1 Perkembangan jumlah perumahan di Kabupaten Cirebon dalam masa sepuluh tahun terakhir berkembang pesat terlihat dengan menjamurnya perumahanperumahan baru yang dilakukan oleh Pengembang Perumahan (developer). Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) mencatat, tahun 2007 hanya dua ijin perumahan baru dari developer menanamkan modal di Kabupaten Cirebon. Tahun 2008 : 16 ijin, tahun 2009 : 29 ijin, dan tahun 2010 : 58 ijin perumahan baru. Bahkan sampai dengan bulan Juli 2011 tercatat sudah 32 ijin perumahan baru dikeluarkan oleh BPPT.2 Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan industri developer di Kabupaten Cirebon berkembang pesat. Keterbatasan lahan dan harga tanah di wilayah kota yang tinggi membuat para developer mencari lahan perumahan di daerah pinggiran perkotaan yang banyak berbentuk tanah pertanian produktif. Harga beli tanah sebagai faktor produksi membuat developer melakukan pembelian tanah secara langsung dari masyarakat pemilik tanah yang pada umumnya masyarakat menengah kebawah. Meskipun keberadaan developer menciptakan ketersediaan rumah tinggal, terbukanya lapangan kerja, bertumbuhnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta pertumbuhan ekonomi. Namun
menyerahkan mekasnisme penyediaan lahan kepada pasar dapat menimbulkan permasalahan fundamental baru yakni maraknya alih fungsi lahan pertanian produktif3. Menurut Kepala Dinas Pertanian Peternakan Perikanan dan Kehutanan (DP3K) Kabupaten Cirebon, rata-rata alih fungsi lahan pertanian produktif ke sektor perumahan sebesar 150 ha – 200 ha per tahun4. Pembiaran hal tersebut tentunya menjadi permasalahan besar di kemudian hari yang pada saatnya menimbulkan resistensi ketahanan pangan dan terjadinya ekonomi biaya tinggi karena sebenarnya masih cukup melimpah lahan-lahan non pertanian produktif di Kabupaten Cirebon. Hal inilah yang menarik diamati karena Pemerintah Kabupaten Cirebon selaku stake holder seharusnya telah menata jauh hari sebelumnya dan tidak membiarkan mekanisme pasar begitu saja. Masih terlalu mudah di Kabupaten Cirebon dijumpai lahan pertanian produktif yang berubah begitu saja menjadi kawasan perumahan. Permasalahan krusial alih fungsi lahan tersebut bukan semata-mata kemudian melakukan pelarangan penjualan tanah sawah produktif maupun alih fungsi lahan (konversi lahan) sebagai perubahan fungsi sebagian ataupun keseluruhan kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang kemudian melahirkan dampak
1
3
2
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon http:\\www.regional.kompas.com/read/2013/01/ 08/02053115
4
Salah satu ciri lahan pertanian produktif adalah lahan pertanian tersebut memiliki sistem irigasi teknis, intensitas tanam 1-2 kali per tahun, produksi > 4,5 ton/ha/panen. http:\\www.pikiran-rakyat.com/node/195130
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Perumahan Di Kabupaten Cirebon
negatif atau menimbulkan permasalahan lingkungan. Ataupun dalam arti sebagai perubahan penggunaan yang disebabkan faktor-faktor keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan mutu kehidupan yang lebih baik5. Berbagai pilihan terbaik atas tindakan yang diambil disesuaikan dengan keseimbangan kepentingan maupun sumber daya yang ada dengan selalu memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar. Kenyataannya, penyebaran lokasi pembangunan perumahan oleh developer tidak merata melainkan lebih terpusat pada kawasan-kawasan tertentu. Ironisnya kawasan-kawasan tersebut sebelumnya justru merupakan lahan pertanian produktif yang bahkan sebagian besar memiliki sistem irigasi teknis dimana air dapat mengalir sepanjang tahun. Peristiwa tersebut tidak hanya sesekali terjadi tetapi terus berkembang sehingga alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi terus berlangsung dan kawasan yang ada berubah menjadi kawasan perumahan sangat luas. Sebenarnya sejumlah perundangundangan telah dibuat dan berbagai peraturan telah diciptakan, namun semuanya seakan-akan mandul dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian tersebut. Dengan kata lain efektivitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi tersebut belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan.6 Sebagai pemangku kepentingan, Pemerintah Kabupaten Cirebon juga telah mengeluarkan Perda No. 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031 yang berisi zonanisasi kawasan tertentu. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan lain bahwa ijin yang dikeluarkan oleh Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Cirebon belum 5
6
Irawan, B, Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan, Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 2005 Muhammad Iqbal dan Sumaryanto, Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat, Analisis Kebijakan Pertanian Volume 5 No. 2, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 2007.
16
efektif mengintegrasikan kepentingan perlindungan alih fungsi lahan pertanian produktif tersebut.
II. 1.
PERUMUSAN MASALAH Apakah kebijakan alih fungsi lahan di Kabupaten Cirebon telah merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku ?
2.
Bagaimanakah formulasi kebijakan alih fungsi lahan agar dapat diperuntukan untuk pembangunan perumahan ?
III. PEMBAHASAN 1. Upaya Pemerintah Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Kabupaten Cirebon memiliki luas wilayah administatif 990,36 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 2.293.397 jiwa di tahun 2013, maka rata-rata kepadatan penduduk adalah 2.316 jiwa/km2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku yang digunakan sebagai barometer pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2013, PDRB mencapai 25,89 T, artinya pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Cirebon meningkat 13,56% dari tahun sebelumnya 22,80 T tahun 2012.7 Saat ini Kabupaten Cirebon memiliki luas lahan pertanian seluas 53 ribu hektar. Luas lahan tersebut masih diatas luasan target yang dicanangkan Pemerintah 7
BPS Kabupaten Cirebon dalam Angka 2014
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Perumahan Di Kabupaten Cirebon
Kabupaten Cirebon yang menargetekan 40 ribu hektar luas lahan sebagai lahan abadi untuk memenuhi kebutuhan pangan berkelanjutan. Hal ini menjadikan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan kurang mendapatkan perhatian serius dari masyarakat luas, Pemerintah Kabupaten Cirebon melalui dinas-dinas terkait masih terkesan longgar dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian produktif. Disamping itu, apabila suatu wilayah telah terdapat pembangunan kawasan perumahan, maka hal ini dapat memicu alih fungsi lahan untuk perluasan lahan akibat dukungan ekonomi penduduk sekitar yang akhirnya mendorong kebutuhan masyarakat akan perumahan. Terjadi pula peningkatan ekspektasi ekonomi pada kawasan tersebut mengundang developer lain untuk turut serta membangun perumahan di wilayah tersebut hingga pasar sudah tidak mampu lagi mengakomodasi perubahan atau kawasan tersebut sudah jenuh untuk bertumbuh. Pencegahan alih fungsi lahan pertanian dapat dilakukan dengan pengendalian atau pengaturan sejak dini, menggunakan peraturan tertentu yang dapat diintegrasikan dengan kepentingan lainnya, antara lain kepentingan bisnis ekonomi, demografi ekonomi, sosial ekonomi dan lainya. Kemampuan integratif peraturan dengan kepentingan lainnya akan membuat peraturan tersebut bernyawa dan akan ditaati, dijalankan, dan dipatuhi. Dan pengaturan tersebut sedapat mungkin mampu menyelesaikan pula permasalahanpermasalahan lain yang timbul karena munculnya tindakan pencegahan tersebut. Peraturan ataupun hukum tidak hanya berlaku pada ruang ketegasan tetapi kemudian tidak memiliki daya guna bagi penyelesaian masalah ekonomi sosial. Kecerdasan memperoleh upaya-upaya ataupun ide-ide sangat diperlukan guna dapat menyelesaikan sebanyak mungkin permasalahan yang timbul di kemudian hari. Idealnya, pengaturan tersebut dapat terintegrasi dalam skala prioritas kepentingan masyarakat luas dengan aplikasi nyata dalam kebijakan perumahan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan harus berdampak pada pertumbuhan ekonomi
tanpa mengurangi pengendalian berkelanjutan. Fungsi pemerintahan dalam aspek pertanahan adalah dalam kepentingan mengatur masyarakat, bukan sebagai semata-mata penguasa, maka mekanisme yang diambil adalah melalui pembuatan peraturan termasuk perijinan, berikut tentang implementasinya. Masyarakat sebagai pemilik lahan pertanian produktif berhadapan langsung dengan berbagai kebutuhan hidup yang harus dicukupinya. Keluarga membutuhkan biaya-biaya baik berupa biaya rutinitas ataupun biaya besar insidentil semisal karena sakit, biaya sekolah, hajatan, membeli peralatan-peralatan, membeli mobil, rumah, dan sebagainya. Disisi lain, pengembang atau developer adalah termasuk profile pembeli tanah yang relatif luas sehingga memiliki elastisitas penerimaan terhadap berbagai kondisi tanah. Relatif luasnya tanah yang dibeli oleh developer atau pengembang membuat dirinya lebih dapat menerima berbagai kekurangan keadaaan tanah yang dibeli sehingga tidak terlalu memikirkan tentang kesuburan tanah, bentuk tanah, lokasi tanah apakah terlalu kedalam dari jalan raya, berbukit ataukah curam, dan sebagainya. Berbeda halnya apabila pembelian tanah relatif sempit sehingga keadaan-keadaan penunjang keuntungan pembelian tanah akan sangat lebih dipikirkan oleh pembeli tanah. Sebagai pedoman guna mengendalikan terjadinya alih fungsi lahan Pemda Kabupaten Cirebon menerbitkan Perda RTRW No 17 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031. Perda tersebut mengacu kepada : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4254);
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
17
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Perumahan Di Kabupaten Cirebon
3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009–2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 Nomor 22 Seri E, Tambahan lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 86); 4. Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 14 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Cirebon Tahun 2005–2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Cirebon Tahun 2009 Nomor 14, Seri E.8, Tambahan Lembaran Kabupaten Cirebon Nomor 32). Masalah Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Kabupaten Cirebon memiliki proyeksi investasi yang menjadi magnet bagi investor untuk mempertimbangkan berinvestasi di Kabupaten Cirebon, diantaranya mengenai aspek-aspek jaringan telepon, air bersih dan listrik serta transportasi (jaringan jalan) ke Jakarta (untuk ekspor). Semua itu telah didukung dengan beberapa sarana yang sudah beroperasi di Kabupaten Cirebon saat ini. Yaitu adanya pengembangan jalur tol CIPALI (Cikopo-Palimanan), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon Electric Power (CEP), Jalur ganda (Double Track) Kereta Api, Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB), Pelabuhan Cirebon, Pertumbuhan ekonomi regional yang cukup tinggi serta Existing market demand. Selain itu, dinamika pertumbuhan perkotaan di Kabupaten Cirebon berdasarkan RTRW tersebut mendorong laju pertumbuhan penduduk wilayah perkotaan, sehingga kebutuhan pemukiman di wilayah perkotaan lama-kelamaan semakin meningkat sebagai kebutuhan hidup yang layak. Peningkatan kebutuhan pemukiman yang memadai di Kabupaten Cirebon mempengaruhi pertumbuhan industri developer yang terus meningkat pesat sehingga lahan-lahan yang berada di kota semakin menyempit dan harganyapun semakin tinggi. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan pemukiman tersebut membuat para developer mencari lahan perumahan di daerah pinggiran perkotaan yang biasanya banyak berbentuk tanah pertanian.
Implementasi Kebijakan Hukum Secara keseluruhan aspek hukum yang berkaitan dengan alih fungi lahan pertanian di Kabupaten Cirebon telah cukup terintegrasi untuk dapat memenuhi kriteria sebagai dasar pertimbangan dalam hal pemberian izin alih fungsi untuk lokasi pembangunan perumahan kepada para pengusaha pengembang perumahan. Pihak pemerintahan melalui instrumen BPPT lah yang seharusnya dapat berperan sentral menata dan mengatur permohonan alih fungsi lahan pertanian produktif ini. Tanpa perizinan yang mereka terbitkan maka tidak memungkinkan bagi developer untuk melakukan pembangunan perumahan ataupun dengan cara alih fungsi lahan. Tahapan proses permohonan izin dari pengembang perumahan kepada BPPT ini sangat menentukan ditaati ataupun dilanggarnya konversi lahan tersebut, yang dalam praktek di lapangan sangat kuat dipengaruhi oleh environmental ekonomi, politik, dan lainnya. Pada tahapan ini dirasakan pengaruh environmental ekonomi sangat mendominasi pengambilan keputusan, para pemangku kebijakan sering kali terjebak pada jual beli perizinan yang dimaksud. Tahapan proses perizinan pembangunan perumahan yang dimaksud untuk diikuti oleh pengembang adalah sebagai berikut : a. Rekomendasi Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Perumahan (Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Kehutanan) b. Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi (BPPT) c. Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Rangka Penerbitan Izin Perubahan Penggunaan Tanah (Badan Pertanahan Nasional) d. Surat Keterangan Perolehan Dan Penggunaan Tanah (BPPT) e. Advis Teknik Feil Banjir (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan) f. Rekomendasi Site Plan (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang) g. Rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
18
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
2.
3.
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Perumahan Di Kabupaten Cirebon
Pemantauan Lingkungan (UPL) (Badan Lingkungan Hidup Daerah) h. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) (BPPT) Mekanisme dalam perijinan internal tersebut adalah, arus perizinan harus dilakukan secara urut dan telah disetujui oleh instansi yang menanganinya. Penolakan pemberian izin pada satu instansi akan mengakibatkan arus pemberian izin selanjutnya tidak dapat dipenuhi. BPPT bukan sebagai satu-satunya badan yang berwenang memberikan izin pembangunan perumahan, melainkan mengakomodasi rekomendasi-rekomendasi dari instansi lain yang terkait. Developer juga melakukan permohonan izin dari instansi-instansi lainnya sehingga BPPT bukan satu-satunya badan perizinan (tidak satu pintu). Pihak BPPT harus melakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait lainnya sehingga dalam hal ini dapat terjadi inkonsistensi kepentingan dalam rangka penegakan hukum pemberian izin alih fungsi lahan. Ketidaksatuan pintu perizinan dapat menimbulkan ketidakjelasan satuan biaya ataupun sumber daya yang harus dikeluarkan pemohon perizinan. Pengendalian alih fungsi lahan dilakukan secara terpisah-pisah antara instansi yang satu dengan yang lainnya, dalam praktek pengendalian alih fungsi lahan lebih dibebankan kepada Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Kehutanan. Seringkali terjadi perbedaan pandangan, pemikiran, dan putusan antara satu instansi dengan instansi yang lain mengenai disetujui atau tidaknya permohonan izin alih fungsi lahan bagi pembangunan perumahan. Karena tidak terdapatnya kewenangan mutlak pada salah satu instansi tertentu mengenai alih fungsi lahan bagi pembangunan perumahan maka seringkali beban pertanggungjawaban tidak dapat dibebankan pada salah satu instansi tertentu. Beban pertanggungjawaban dimaksud baik kepada benar atau tidaknya alih fungsi lahan bagi pembangunan perumahan ataupun besarnya biaya yang harus dibebankan kepada pemohon izin pembangunan perumahan. Dalam prakteknya otonomi pemberian izin
perinstansi dapat terinfiltrasi oleh instansi lain selanjutnya sehingga tidak semata-mata pada satu instansi tersebut menjalankan fungsinya secara maksimal. Kemungkinan perbedaan putusan antara satu instansi dengan instansi lainnya dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi pemohon perizinan yang berimbas kepada naiknya beban masyarakat atas nilai rumah yang dibelinya. Kabupaten Cirebon telah memiliki Perda Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dimana di dalam diktum mengingat Perda tersebut mengkonstruksi diri dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan jo. UU Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. PP Nomor 02 Tahun 1998 tentang Recana Tata Ruang Wilayah Nasional jo. PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional jo. PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Selain itu, Perda tersebut juga mengatur mengenai zonasi fungsi ruang pada daerah-daerah tertentu. Zonasi fungsi ruang per wilayahwilayah tertentu di Kabupaten Cirebon dalam Perda tersebut tidak mampu menjelaskan secara detail pengaturan fungsi ruang-ruang tersebut, sementara para pemangku kebijakan seringkali mendasarkan keputusannya pada Perda tersebut. Pembagian zonasi ruang dalam Perda tersebut tidak mampu mencerminkan secara detail potensi kewilayahan yang telah ada, sehingga keberadaan perda tersebut belum dapat digunakan secara efektif untuk mencegah alih fungsi lahan yang tidak melindungi kepentingan umum. Pertimbangan alih fungsi lahan tergantung kepada peninjauan lapangan yang dilakukan para pemangku kebijakan yang biasanya dituangkan dalam berita acara tim teknis peninjau lapangan yang biasanya beranggotakan terdiri dari beberapa dinas terkait (Unsur Bappeda, DCKTR, PSDAP, Unsur Sumber Daya Alam, Bagian Hukum, dan Unsur UPT Kecamatan terkait). Tidak terdapat fungsi kontrol ataupun pengawasan dari lembaga tertentu untuk
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
19
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Perumahan Di Kabupaten Cirebon
melakukan penilaian apakah isi dalam berita acara tinjauan lapangan tersebut berkorelasi fungsi dengan alih fungsi lahan yang sesuai peraturan Perundang-undangan. Selain itu, anggota dari tim peninjau lapangan tersebut sering berubah-ubah, meskipun masih dari instansi yang sama. Melihat praktek di lapangan bahwa seringkali terjadi alih fungsi lahan bagi pembangunan perumahan terhadap lahan pertanian produktif maka dapat dikatakan pada beberapa izin pembangunan perumahan dapat dikatakan telah melanggar ketentuan yang berlaku. Kejadian pelanggaran alih fungsi lahan tersebut tidak semuanya terjadi melainkan hanya pada beberapa izin pembangunan perumahan tertentu. Hal ini diantaranya disebabkan oleh alur kepentingan lokasi untuk pembangunan perumahan ditentukan terlebih dahulu oleh pengembang perumahan yang memiliki motivasi keuntungan. Pengusaha pengembang perumahan secara umum berorientasi kepada nilai jual kembali atas rumah yang dibangunnya pada lokasi tertentu dimana hal tersebut seringkali bertentangan dengan tujuan ketahanan pangan. Pihak pengusaha perumahan kurang memiliki informasi mengenai pelarangan alih fungsi lahan pertanian produktif bagi pembangunan perumahan sementara lokasi untuk pembangunan perumahan telah diberi dari masyarakat Sementara kepentingan pemilik lahan pertanian (petani) adalah menginginkan untuk menjual lahan pertaniannnya sehingga memperoleh uang yang dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan yang diinginkannya. Adalah sulit sekali mengatasi kenyataan tersebut dalam kenyataan petani membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhannya sedangkan pemerintah daerah tidak memiliki cara konkrit untuk menanggulanginya. Praktek di lapangan, secara psikologis pemangku kebijakan mempertimbangkan nilai pengorbanan uang investasi yang telah dikeluarkan oleh pengusaha perumahan sehingga pemangku kebijakan tidak serta merta menolak begitu saja permohonan alih fungsi lahan yang dimohon pengusaha
meskipun hal tersebut melanggar peraturan perundang-undangan Sebagian besar pengusaha perumahan belum memahami peraturan alih fungsi lahan dengan baik sehingga investasi yang dilakukannya belum mempertimbangkan lokasi-lokasi tertentu yang seharusnya dihindari untuk dilakukan pembelian. Disamping upaya pemerintah daerah untuk melindungi lahan pertanian produktif melalui Perda Rencana Tata Ruang Wilayah, telah terdapat rencana untuk membuat perda lahan pertanian abadi yakni dengan mempertahankan lahan pertanian yang telah ada di masyarakat. Meskipun hal ini sulit sekali dilakukan karena pelarangan perubahan fungsi lahan harus diikuti dengan upaya insentif yang menarik sehingga petani tidak menjual lahan yang dimilikinya namun terkendala ketersediaan anggaran. Sebenarnya masih terdapat banyak lahan tidak produktif ataupun tegalan non pertanian di seluruh wilayah Kabupaten Cirebon sehingga alih fungsi lahan yang terjadi pada lahan tidak mengganggu ketahanan pangan. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat (terutama kepada pengusaha perumahan) secara dini tentang arti penting lahan pertanian produktif dari pemerintah daerah membuat para pengusaha perumahan kurang tepat dalam memilih pengembangan lokasi pembangunan perumahan. Kurangnya komunikasi, sosialisasi, dan koordinasi antara pemangku kebijakan dengan para pengusaha perumahan. Penetapan investasi lahan pembangunan perumahan seharusnya didahului dengan komunikasi tentang dapat atau tidaknya suatu lahan tersebut dijadikan kawasan perumahan. Pemangku kebijakan jarang sekali memberikan arahan-arahan kepada pengusaha perumahan untuk menghindari investasi pada lahan pertanian produktif ataupun pada wilayah-wilayah tertentu. Hubungan pemangku kebijakan dengan pengusaha perumahan masih didominasi kepentingan ekonomis dari kedua belah pihak. Banyak lahan-lahan yang tidak produktif justru tidak menjadi sasaran investasi para pengusaha perumahan.
20
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Perumahan Di Kabupaten Cirebon
Pembukaan lahan-lahan tidak produktif untuk pembangunan perumahan bermanfaat bagi masyarakat secara ekonomi dan demografi sehingga layak mendapatkan insentif dari pemerintah daerah. IV. SIMPULAN Norma perlindungan alih fungsi lahan produktif telah jelas ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga pelaksanaan pada tataran kebijakan seharusnya menyesuaikan dengan norma dasar yang ada, tarikan kepentingankepentingan yang ada harus ditempatkan pada koridor-koridor tujuan kemanfaatan peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan pertanian produktif. Meskipun demikian, alih fungsi lahan pertanian produktif tetap dapat dijalankan karena kepentingan umum mendesak dengan skala prioritas tinggi setelah melalui berbagai tahapan kajian lebih mendalam. Dalam hal ini pada beberapa titik kawasan tertentu di Kabupaten Cirebon terlihat pertimbangan skala prioritas perijinan alih fungsi lahan yang diberikan oleh Dinas Perijinan Kabupaten Cirebon guna pembangunan kawasan perumahan masih memerlukan kajian lebih jauh karena pada kawasan tersebut terdapat saluransaluran air irigasi primer dengan kualitas kesuburan tanah yang cukup baik yang mendukung ketahanan pangan. Pertimbangan alasan pemberian perijinan karena demografi ekonomi semata-mata dalam kasus ini membutuhkan analisis yang lebih mendalam karena masih dimungkinkannya lahan-lahan substitusi lainnya. Penentuan jumlah lahan pertanian produktif abadi (yang dipertahankan) juga diperlukan untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan pasokan bahan pangan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, luas lahan pertanian yang sekarang ada, luas daerah keseluruhan, tingkat pertumbuhan penduduk, target pertumbuhan ekonomi, ditambah proyeksi kebutuhan pangan pada masa-masa yang akan datang. Arus perijinan alih fungsi lahan khususnya untuk pembangunan perumahan belum dipusatkan atau dikoordinasikan HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
pada satu instansi saja dalam hal ini BPPT (Badan Pelayanan Perijinan Terpadu) sehingga seluruh proses permohonan terkesan belum dapat termonitor dengan baik karena masih dapat ditemukannya inkonsistensi persetujuan perijinan yang dapat merugikan pemohon perijinan ataupun kepentingan umum, disamping belum terpublikasinya pemetaan detail seluruh kawasan Kabupaten Cirebon dengan mengintegrasikan keadaan sumber daya awal (initial resource) dengan tujuan perkembangan kawasan secara menyeluruh baik tujuan ekonomi, sosial, budaya, keamanan, demografi, dan lainnya sehingga kawasan-kawasan yang memiliki tanahtanah tidak produktif dapat dikembangkan semakin bermanfaat dan berdaya guna bagi pembangunan semisal menjadi daerah satelit penyangga ekonomi di Kabupaten Cirebon. Hal ini juga bertujuan untuk mengoptimalkan keunggulan komparatif (comparative advantage) antara satu daerah dengan daerah lain di Kabupaten Cirebon yang saling bersinergi dan mengisi atas keunggulan-keunggulan yang telah dimilikinya. V.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin, Peran Rumah dalam Kehidupan Manusia, Kanisius, Semarang Arikunto, Suharsimi, 2005, Manajemen Penelitian, Edisi Revisi Rineka Cipta, Jakarta Budiharjo, Eko, 1998. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Gaharpung Marianus J. 2004. Hukum Dalam Dinamika Masyarakat. Surabaya : Citramedia Hartono CFG. Sunaryati, 2006. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung : Alumni Hendrawan, 2004, Pembangunan Perumahan Berwawasan Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta http:\\www.regional.kompas.com/read/20 13/01/08/02053115
21
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Perumahan Di Kabupaten Cirebon
http:\\www.pikiranrakyat.com/node/195130 Irawan B., 2005, Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan, Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor Irianto Sulistyowati dan Shidarta. 2011, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah, USU Press, Medan Widyaningsih, 2006, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Perumahan, Tarsito. Bandung Kamus Hukum : Black’s Law Dictionary of Western Philosophy, Blackwell Publishing,
Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto, 2007, Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat, Analisis Kebijakan Pertanian Volume 5 No. 2, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor Parwata, I Made Oka, Ir., 2015 MMA “Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan” diakses dari http://distanprovinsibali.com/lahanpertanian-pangan-berkelanjutan/ pada tanggal 21 Mei 2015 pukul 21.15 WIB Soemitro, Ronny Hanitio, 2004, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Soekanto Soerjono. 1988, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung : Remadja Karya Sukirno Sadono. 2006, Ekonomi Pembangunan (Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan), Edisi Kedua Cetakan Ke-4. Jakarta : Prenada Media Group. Sunggono Bambang. 2013, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers. Sutrisno Endang, 2009. Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Yogyakarta : Genta Press Sutrisno Endang. 2008. Budaya Hukum Masyarakat dalam Melindungi Pencemaran Lingkungan. Cirebon : Swagati Press Syarief, Zulfie, 2000, Kebijakan Pemerintah di Bidang Perumahan dan Permukiman 22
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
KONSTRUKSI HUKUM PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DI KABUPATEN MAJALENGKA Oleh : Rahmat Hidayat1 Abstrak The Community forrest is a source of good supplier of the wood demand for the timber industry and the community. To ensure the right order of distribution of the forrest products, to protect private rights, and provide legal certainty to the community both producers and users of the forest products of the people, the Government has issued regulations regarding the administration of the forest products from the forrests rights. This study aims to determine whether the legal construction of the circulation of the forest products in the perspective of management of the forest products has known to the public and whether it has been providing solutions to the management of the forest products in the Regance of Majalengka. The Construction law distribution of the forest products in the perspective of the management of the forest products largely unknown by the public in Majalengka. It is seen from the implementation of the distribution of the forest products in Majalengka that doesn’t use the document as a complete transport in the transport of the forest products, and as a proof of the validity of the forest products transported. The Construction law distribution of the forest products in the perspective of the management of the forest products hasn’t provided the solutions to the management of the forest products in the regance of Majalengka. This happens because of the regulations on the administration of the forest products originating from the private forest largely unknown by the public in Majalengka. otherwise it occurs due to less of a socialization, no incentive for publishers officials the Certificate of Origin, the less of enforcement by the authorities, the absence of the civil servants investigator and supervisor of the technical manpower for the sustainable forest management in the Forest Service Majalengka. Needs to be the disseminated of comprehensive and holistic by the relevant agencies of regarding the rules and the regulations of the forest product administration, namely West Java of the Provincial Forrest Service, the Forrest Products of the Monitoring distribution center of Jakarta Region VII Production and the Forestry Office Majalengka. Additionally need the involvement of all components outside the government that the people (owners of folk wood) and the businesses wood of the forest products. Keywords: the Construction law, the management of the forest products I.
PENDAHULUAN 1 Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan yang cukup luas. Hampir 90 persen hutan di dunia (10 persen di dunia telah musnah), dimiliki secara kolektif oleh Indonesia dan 44 negara lain, bahkan Indonesia disebut sebagai paru-paru dunia. Indonesia memiliki hutan-hutan tropis terluas ketiga di dunia sesudah Brazilia dan Kongo. Sebagai negara kepulauan dan memiliki hutan yang amat luas, Indonesia sangat berkepentingan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim akan menjauhkan Indonesia dalam memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan. Indonesia memiliki 36,5 juta kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Nilai hutan
lindung Indonesia untuk penyerapan karbon mencapai 105-113,7 Dollar Amerika. Atau setara dengan Rp. 945-1.024 trilyun. Sedangkan kawasan hutan produksi seluas 38,7 juta hektar dan untuk penyerapan karbon memiliki nilai ekonomi mencapai 111,46-120,74 miliar dollar Amerika atau setara dengan Rp. 1.003-1.086 trilyun. Dengan demikian, total nilai ekonomi dari hutan lindung dan hutan produksi mencapai 216,4-234,4 Miliar Dollar Amerika atau serata dengan Rp. 1.947-2.110 trilyun2. Di dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan, kepemilikan sumberdaya dapat menentukan kinerja pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Kartodihardjo (1999), kepemilikan sumberdaya
1
2
Magister Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Bisnis dan Otonomi Daerah Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Wartiningsih, 2011, Pidana Kehutanan Keterlibatan dan Pertanggungjawaban Penyelenggara Kebijakan Kehutanan, Setara Pres, Malang. hlm 4.
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
menentukan bentuk kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya, yang mana kelembagaan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan, dan pengaturan kelembagaan lebih lanjut berkorelasi positif untuk dapat mengubah kinerja pengelolaan hutan yang diharapkan. Dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan, dikenal beberapa bentuk kepemilikan sumberdaya hutan, yaitu : 1. Private Property Right (hak kepemilikan pribadi, contohnya hutan rakyat). 2. State Property Right (hak kepemilikan negara, contoh hutan negara : hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi). 3. Common Property Right (hak kepemilikan bersama, contohnya adalah hutan adat/ulayat) . Bentuk kepemilikan merupakan salah satu faktor dari kelembagaan, sehingga kepemilikan juga dapat menentukan kinerja dalam pengelolaan hutan. Hutan rakyat merupakan salah satu dari bentuk kepemilikan sumberdaya hutan. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 disebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibebani hak milik. Hutan rakyat ini berada dalam kawasan sekitar masyarakat dan keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Kedekatan hutan rakyat dengan masyarakat ini dapat dilihat dari pola pengelolaan hutan rakyat. Dari sisi pola pengelolaan pengelolaan hutan rakyat dapat dibedakan menjadi pola monokultur dan pola campuran (agroforest). Terdapat suatu hubungan antara kebutuhan hidup masyarakat dengan pola tanam yang ada dalam suatu sistem pengelolaan hutan rakyat. Hubungan tersebut dapat dilihat dari jenis tanaman yang ditanam dan pola penanaman. Bentuk tradisional hutan rakyat adalah untuk dikelola dengan pola campuran (agroforest). Dengan pola ini maka hutan memberikan manfaat, diantaranya dalam mendukung penyediaan bahan baku kayu untuk industri kehutanan3. Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meningkatkan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi dan kemakmuran rakyat serta untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Hal tersebut tentunya tidak saja untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang akan datang dengan cara tidak merusak lingkungan. Pencapaian tujuan tersebut ditempuh melalui pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yaitu suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan upaya pendayagunaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia agar keduanya berdampingan dan berkembang secara serasi dan seimbang baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Tantangan yang paling besar dalam membangun sektor kehutanan adalah meningkatnya kebutuhan berbagai sektor yang justru memerlukan lahan hutan, antara lain pemakaian lahan hutan untuk pembangunan industri, pertanian dalam arti luas, dan pemukiman. Selain itu masih adanya pengelola hutan yang kurang menyadari akan fungsi hutan sebagai penyeimbang lingkungan, hal ini ditunjukkan dengan lebih menekankan pada azas ekonomi daripada azas kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Hutan tanaman merupakan unsur penting dari pemanfaatan tanaman tropis. Hutan tanaman dapat memenuhi berbagai fungsi produksi dan perlindungan, dan apabila direncanakan dengan baik, hutan tanaman dapat menstabilkan dan memperbaiki keadaan lingkungan. Pengurangan luas hutan menjadi masalah utama di dunia, kenaikan jumlah penduduk dunia yang akan 2 kali lipat 60 tahun dari sekarang dan peningkatan sosial ekonomi penduduk akan meningkatkan permintaan kayu. Permintaan ini hanya dapat dipenuhi melalui konservasi dan pembangunan hutan, termasuk melalui pengembangan dan perbaikan sistem silvikultur hutan tanaman. Hutan tanaman tropis dapat menghasilkan kayu sangat cepat dan memberikan kemampuan bersaing dalam perdagangan kayu kepada negara-negara tropis4. Menyadari besarnya fungsi dan manfaat hutan, diperlukan suatu norma hukum yang tertulis sebagai unity of will bangsa Indonesia 4
3
Op. Cit.
24
______________, 1994, Kumpulan Pedoman Pengelolaan Hutan Bagi Rimbawan Indonesia (Edisi Lengkap), Jakarta, hlm 26.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
dalam mengelola hutannya5. Dengan demikian tujuan pembangunan kehutanan dapat dilaksanakan dengan baik berlandaskan norma hukum yang berlaku. Pemerintah telah mempromosikan dan mendorong pembangunan kehutanan berbasis masyarakat antara lain dengan menggalakkan penanaman komoditas kehutanan pada lahan-lahan rakyat/lahan milik. Dalam hal ini beberapa tahun lalu pemerintah pernah mencanangkan gerakan sengonisasi sebagai alternatif pemenuhan bahan baku industri yang sekaligus juga dapat memberikan penghasilan kepada masyarakat. Sebagai hasilnya saat ini beberapa daerah di Jawa telah menjadi sentra kayu sengon. Penyederhanaan penatausahaan hasil hutan rakyat diperlukan untuk mendorong masyarakat agar dapat memeberikan kontribusi dalam pembangunan kehutanan, khususnya dalam penyediaan bahan baku industri. Dengan berkembangnya komoditas hasil hutan yang berasal dari lahan masyarakat, maka pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahtraan hidupnya. Regulasi penatausahaan hasil hutan rakyat sebagai acuan bagi masyarakat adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/MenhutII/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, walaupun telah ada regulasi mengenai penyederhanaan penatausahaan hasil hutan kesadaran hukum masyarakat untuk melaksanaan penatausahaan hasil hutan dirasa masih kurang. Hal ini terindikasi dengan tidak adanya laporan peredaran/pengangkutan hasil hutan yang berasal dari hutan hak (hutan rakyat) dari Pejabat Penerbit SKAU. II. 1.
PERUMUSAN Benarkah konstruksi hukum penatausahaan hasil hutan sudah diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Majalengka ?
2.
Benarkah konstruksi hukum penatausahaan hasil hutan telah
memberikan solusi terhadap pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di Kabupaten Majalengka ? III. PEMBAHASAN 1. Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Pada Hutan Hak Kementerian Kehutanan Republik Indonesia sebelumnya telah menetapkan satu kebijakan prioritas periode 2010-2014 yaitu kebijakan revitalisasi pemanfaatan hasil hutan dan industri kehutanan. Salah satu penyumbang kebutuhan kayu di Indonesia adalah hutan rakyat. Dukungan pengembangan hutan hak (hutan rakyat) adalah disebabkan potensi kayu hutan negara baik alam maupun tanaman belum sepenuhnya mampu mensuply kebutuhan bahan baku industri perkayuan nasional, faktanya hutan rakyat dapat memenuhi sebagian kesenjangan kebutuhan bahan baku industri perkayuan, pengembangan hutan hak (hutan rakyat) sangat diperlukan6. Menurut Dudung Darusman dan Hardjanto7 hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar baik dari segi populasi maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya dan mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari dinas yang membidangi kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.446.557 m3, dengan luas 1.568.415,64 Ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan BPS menunjukan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564,003 m3 dengan luas 1.560.229 Ha. Dengan jumlah pohon mencapai 226.080.019 dan pohon siap tebang 78.485.993 batang. Sebagai dasar penyelenggaraan sumber daya alam di Indonesia, diperlukan suatu landasan yuridis sebagai pedoman dalam penyelenggaraan sumberdaya alam tersebut, baik konsep penguasaan maupun konsep pengusahaan sumberdaya alam hingga memiliki kemanfaatan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Dasar hukum tersebut menjadi penting sebagai instrumen 6
Ahmad Redi, 2014, Hukum Sumberdaya Alam dalam Sektor Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 56.
Kementerian Kehutanan, 2012, Pendampingan Verifikasi Legalitas Kayu Hutan Rakyat, Jakarta 7 Kementerian Kehutanan, Ibid
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
25
5
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
agar setiap penyelenggaraan sumberdaya alam sesuai dengan norma-norma yang dibentuk oleh organ-organ penyelenggaran negara dan pemerintahan Indonesia sebagai otoritas yang berdaulat untuk mebentuk hukum. Sumber hukum sumberdaya alam di Indonesia tidak hanya berasal dari sumber hukum nasional, namun juga berasal dari hukum internasional. Keberadaan instrumen hukum tersebut menjadi indikasi secara formal bahwa eksistensi sumberdaya alam menjadi teramat penting makhluk hidup, utamanya bagi manusia8. Dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat terkait dengan hutan milik/rakyat, maka Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/MenhutII/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak. Maksud dikeluarkannya Peraturan ini sesuai Pasal 2 ayat (1) adalah untuk ketertiban peredaran hasil hutan hak dan bertujuan untuk melindungi hak privat serta kepastian hukum dalam pemilikan/penguasaan dan pengangkutan hasil hutan yang berasal dari hutan hak. Selain itu untuk mempermudah masyarakat dalam melaksanakan pemanfaatan hasil hutan dari lahan miliknya. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 36 ayat (1) dinyatakan bahwa pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Fungsi hutan adalah fungsi konservasi, fungsi produksi, dan fungsi lindung. Dalam hal ini sejalan dengan peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pemanfaatah Hasil Hutan dari Hutan Hak, maka pemanfaatan kayu dari hutan hak yang dapat dilakukan adalah berasa dari areal yang berfungi produksi. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2007 jo. Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, terutama pada Pasal 100 ayat (2) yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertujuan untuk memperoleh manfaat yang 8
Ahmad Redi, 2014, Op.Cit, hlm 56.
26
optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya. Menilik kata “manfaat” di atas, maka pemanfaatan hasil hutan harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat terlebih lagi bisa mensejahterakan masyarakat. Dengan demikian terkait peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan hutan hak, jika dengan adanya aturan tersebut tidak terjadi kepastian hukum, maka dalam perspektif yuridis pemanfaatan hutan tersebut tidak memberikan manfaat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak, bertujuan agar tercipta ketertiban peredaran hasil hutan hak, melindungi hak privat, kepastian hukum dalam pemilikan/penguasaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. Pada dasarnya regulasi ini menjunjung tinggi hak masyarakat. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak dinyatakan bahwa Nota Angkutan dipergunakan untuk kayu yang diperjualbelikan dengan jenis kayu rimba campuran, dan SKAU dipergunakan untuk kayu yang diperjualbelikan dengan jenis kayu di luar jenis rimba campuran (jati, sonokeling, mahoni, dan lain-lain). Ketentuan penggunaan dokumen ini diwajibkan, hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 50 ayat (3) huruf h UndangUndang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dinyatakan bahwa setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Hasil hutan yang dimaksud pada ayat tersebut, yaitu baik hasil hutan yang berasal dari Hutan Negara maupun Hutan Hak, karena pada Pasal 5 undang-undang tersebut telah membedakan status hutan atas Hutan Negara dan Hutan Hak. Dapat dilihat pula pada penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h, yang dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti”. Pengertian "dilengkapi bersama-sama" ini juga dapat ditemukan pada PP. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, pada Pasal 12 ayat (2) huruf c, yang mana di dalam perubahan PP ini yaitu pada PP Nomor 60 Tahun 2009, ayat (2) huruf c PP. 45/ 2004 tersebut tidak dihapus (masih tetap berlaku). Ketentuan pengangkutan kayu juga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pemanfaatan Hutan Hak, yang dinyatakan bahwa semua hasil hutan kayu dan bukan kayu yang berupa rotan dan gaharu dari areal hutan hak yang akan digunakan dan/atau diangkut ke daerah lainnya dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau pejabat yang setara, dan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) berlaku dan dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan kayu dan bukan kayu di seluruh Wilayah Republik Indonesia. Aparat penegak hukum sangat mempengaruhi proses penegakan hukum dalam hal ini aturan tentang peredaran hasil hutan (inputs), yang akan berimplikasi pada kepatuhan masyarakat (outputs). Selain itu terdapat beberapa hal yang akan mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam menjalankan suatu aturan antara lain sosial, ekonomi, geografi, dan budaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Esmi Wiraasih (2011)9, yang menyatakan bahwa di dalam proses mengidentifikasi dan merumuskan problem kebijaksanaan sangat ditentukan oleh para pelaku yang terlibat, baik secara individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Di samping itu, faktor lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan, geografi, dan sebagainya dapat berpengaruh dan menjadi bahan input bagi sistem politik. Terkait kesadaran dan kepatuhan hukum, penetapan tentang prikelakuan yang melanggar hukum, senantiasa disertai dengan pembentukan organ-organ 9
Warassih Esmi, 2010, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
penegaknya. Akan tetapi apakah penegakannya tersebut akan berjalan secara efektif atau tidak, sangat tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut : a. Harapan-harapan masyarakat; yaitu, apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat; b. Adanya motivasi dari warga-warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum, kepada organ-organ penegak hukum tersebut. c. Kemampuan dan kewibawaan daripada organ-organ penegak hukum . Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012, terdapat beberapa komponen terkait dengan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak antara lain : 1) masyarakat yang melaksanakan pengangkutan hasil hutan, 2) pelaku usaha/industri pengolahan kayu, 3) pejabat penerbit surat keterangan asal usul kayu (P2SKAU), dan 4) Dinas Kehutanan Kabupaten Majalengka. a. Masyarakat yang melaksanakan pengangkutan hasil hutan Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2012 berdasarkan hasil estimasi penduduk 2012 adalah 1.176.117 jiwa terdiri dari 587.711 jiwa lakilaki dan 588.406 jiwa perempuan. Penduduk tersebut tersebar di 26 kecamatan dan 343 desa/kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Majalengka adalah 1.204,24 Km, berarti Kabupaten Majalengka hanya sekitar 2,71% dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat (yaitu kurang lebih 44.357,00 Km10). Berdasarkan data dari Dinas kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Majalengka, bahwa luas hutan rakyat di Kabupaten Majalengka adalah 11.360 ha. Dengan demikian terlihat bahwa hutan rakyat cukup luas yaitu 11.360 Ha atau sekitar 9,43 % dari luas Kabupaten Majalengka yang tersebar di seluruh kecamatan. Selain itu produksi kayu rakyat sebesar 6.938,55 m3 yang terdiri dari berbagai jenis kayu baik kelompok jati maupun rimba campuran (sengon, gmelina, jabon, dan lain-lain). Data produksi kayu 10
Lihat Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, 2013, Majalengka Dalam Angka Tahun 2013
27
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
tersebut merupakan data kayu yang diperjualbelikan, dan belum termasuk kayu yang dipergunakan sendiri oleh masyarakat. Dari jumlah produksi kayu rakyat yang diperjualbelikan di atas, dilaksanakan penatausahaan hasil hutan hak meliputi penebangan, pengukuran dan penetapan jenis, pengangkutan/peredaran dan pengumpulan, pengolahan dan pelaporan. b. Pelaku usaha/industri pengolahan kayu Perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan di Kabupaten Majalengka sebanyak 125 perusahaan11, yang terdiri dari perusahaan penampungan kayu dan penampungan kayu berikut penggergajian. Sebagian besar pasokan kayu perusahaan tersebut berasal dari hutan rakyat. c. Pejabat penerbit surat keterangan asal usul kayu (P2SKAU) Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak Pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau Perangkat Desa/Kelurahan di tempat hasil hutan hak tersebut akan diangkut. Selanjutnya pada Pasal 9 ayat (2) dinyatakan bahwa Pejabat penerbit SKAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota, dengan persyaratan Kepala Desa/Lurah atau Perangkat Desa/Kelurahan memiliki surat keterangan telah mengikuti pembekalan pengukuran dan pengenalan jenis kayu dari hutan hak yang diselenggarakan oleh Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota/Balai. Penerbit SKAU di Kabupaten Majalengka sampai saat ini sebanyak 23 orang. Jika dibandingkan antara jumlah Pejabat penerbit SKAU dengan jumlah dan luas wilayah pelayanan terdapat ketidakseimbangan. Jumlah Desa/Kelurahan di Kabupaten Majalengka adalah 343 Desa/Kelurahan, dengan rincian 330 Desa dan 13 Kelurahan12. Dapat kita lihat bahwa satu orang melayani sedikitnya 7 (tujuh) desa, hal ini tentunya akan mempengaruhi 11
12
Statistik Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, 2013, Majalengka Dalam Angka Tahun 2013
28
kinerja Kepala Desa/Lurah atau Aparat Desa/Kelurahan sebagai Penerbit SKAU dalam melaksanakan pelayanan, sehingga dapat dikatakan pelaksanaan penerbitan tidak efisien. Kondisi demikian akan mempengaruhi dan berdampak pada buruknya pelayanan publik, sehingga pelayanan publik menjadi tidak profesional. Kondisi kurangnya Pejabat Penerbit SKAU, berdampak pada hal-hal sebagai berikut : a. Pelayanan kepada pemohon penerbitan SKAU menjadi tidak efektif, berakibat pada terkendalanya tujuan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak, yaitu mempermudah pelayanan. b. Pelayanan menjadi tidak sederhana, yang seharusnya pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelitbelit, dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan, yang terjadi adalah sebaliknya pelayanan menjadi sulit dan lambat. c. Kejelasan dan kepastian (transparan) menjadi tidak terpenuhi, hal ini disebabkan oleh jadwal waktu penyelesaian pelayanan yang tidak pasti. d. Pelayanan menjadi tidak efisien karena terjadi ketidaktepatan waktu, sehingga pelaksanaan pelayanan masyarakat tidak dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. e. Pelayanan menjadi tidak responsif, karena unsur daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah dan kebutuhan masyarakat yang dilayani tidak terpenuhi. d. Dinas yang menangani Bidang Kehutanan di Kabupaten Majalengka Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/MenhutII/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak, dinyatakan bahwa Kepala Dinas Kabupaten/kota setiap 3 (tiga) bulan, melaporkan realisasi produksi dan peredaran hasil hutan hak di wilayahnya kepada Kepala Dinas Provinsi, dengan tembusan kepada Kepala Balai. Selain itu dalam rangka pengendalian pemanfaatan hutan hak di wilayahnya, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota melaksanakan pembinaan dan pengendalian. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
2.
Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan Pada Hutan Hak di Kabupaten Majalengka Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Konsistensi hak menguasai negara atas sumberdaya hutan tersurat dalam pasal 4 bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk : a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan. c. Mengatur dan menetapkan hubunganhubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatanperbuatan hukum mengenai kehutanan . Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas pada angka 3, hak negara adalah mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo mengenai pola hubungan hukum antara subyek hukum dan obyek hukum, antara dunia kenyataan dan dunia tanatan hukum. Dalam hubungan manusia pasti akan menimbulkan peristiwa, yaitu peristiwa sosial dan peristiwa hukum, keduanya sangat erat kaitannya dan selalu bersamaan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, maka akan menimbulkan akibat hukum13. Dalam konteks penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak, terjadi peristiwa sosial yaitu terjadi jual beli barang (hasil hutan kayu) antara satu orang dengan orang lainnya. Kemudian barang yang diperjualbelikan tersebut dilakukan pengangkutan kayu. Dalam hal ini telah terjadi peristiwa hukum, baik dalam hal jual belinya maupun dalam hal pengangkutan
13
Satjipto Rahardjo, 2012, Op.Cit, hlm 41.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
kayu. Namun demikian sesungguhnya belum bisa dinyatakan bahwa peristiwa hukum itu terjadi karena jual beli barang (hasil hutan kayu) antara satu orang dengan orang lainnya dan juga pengangkutan kayu yang diperjualbelikan. Peristiwa yang terjadi ini adalah peristiwa dalam dunia kenyataan yang merupakan peristiwa sosial dan belum merupakan peristiwa hukum. Peristiwa tersebut baru bisa disebut peristiwa hukum, manakala peristiwa dalam dunia kenyataan tersebut diberi kualifikasi hukum, yaitu sebagai jual beli kayu dan sebagai melakukan pengangkutan kayu. Dengan demikian peristiwa hukum penataausahaan hasil hutan kayu yang sesungguhnya terjadi hanya bisa kita lihat dalam rumusan hukum atau peraturan hukumnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam konteks hak negara dalam mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatanperbuatan hukum mengenai kehutanan, telah diatur oleh peraturan perundangundangan, sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pada Pasal 36 ayat (1) dinyatakan bahwa pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Menurut ketentuan ini diatur hubungan hukum antara negara dan pemegang hak, yaitu dalam dua hal, pertama terkait dengan pemanfaata hutan hak (hutan milik). Pemanfaatan di sini adalah hak untuk memungut hasil hutan pada tanah miliknya. Pelaksanaan pemungutan tersebut tetap tidak dilaksanakan dengan sekehendaknya, tapi harus melihat peraturan perundangundangan, yaitu terkait tata cara pemungutan hasil hutan hak, tatacara pengangkuta hasil hutan hak, dan lain sebagainya. Kedua, terkait dengan pemanfaatan hasil hutan harus sesuai dengan fungsinya. Fungsi hutan sebagaimana yang diatur oleh UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 6 ayat (1) adalah fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Pemanfaatan hutan pada hutan hak pun harus mengacu pada ketentuan ini. Dalam hal ini kayu yang dapat dimanfaatkan 29
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
adalah kayu pada hutan dengan fungsi produksi. Hal ini sejalan pula dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman pemanfaatan hutan hak. Dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dinyatakan bahwa: pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya, pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya, pemanfaatan hutan hak dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan pemanfaatan jasa lingkungan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. a. Pasal 100 ayat (2) menyatakan bahwa pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Hal ini sama seperti ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Pada prinsipnya yang diatur dalam Pasal 100 ayat (2) sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. b. Pasal 100 ayat (2) menyatakan bahwa pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya. Di sini terdapat dua hal penting yaitu, pertama tujuan pemanfaatan hutan hak bertujuan untuk memperoleh manfaat optimal bagi pemegang hak atas hutan dan hasil hutan hak. Manfaat dari hutan adalah manfaat ekonomi, ekologis dan sosial. Kedua, manfaat yang diperoleh dari hutan hak tidak mengurangi fungsi hutan, yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi. c. Pasal 118 ayat (1) menyatakan bahwa semua hasil hutan yang berasal dari hutan hak dilakukan penetapan jenis, pengukuran volume, berat dan perhitungan jumlah serta dilengkapi dengan surat keterangan asal usul hasil hutan hak. Dalam pasal ini mengandung point penting yaitu, pertama, secata
teknis bahwa pada hutan hak harus dilakukan penatausahaan yang baik dengan cara penetapan jenis, pengukuran volume, berat dan perhitungan jumlah kayu. Kedua, bahwa terhadap kayu yang akan diangkut harus dilengkapi dengan surat keterangan asal usul hasil hutan hak. 3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak Pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak dimaksudkan untuk ketertiban peredaran hasil hutan hak, melindungi hak privat, kepastian hukum dalam pemilikan/ penguasaan dan pengangkutan hasil hutan yang berasal dari hutan hak. Peraturan ini merupakan ketentuan operasional yang mengatur penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak. Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menemukan beberapa permasalahan terkait dengan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak, terutama dalam hal mengangkut kayu. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kurangnya sosialisasi. Masyarakat dan pelaku usaha perkayuan belum mengetahui adanya peraturan perundang-undangan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak kepada masyarakat. Kenyataan di lapangan bahwa pelaku usaha perkayuan, diperoleh keterangan bahwa selama ini belum ada penyampaian informasi baik dari sesama pengusaha, maupun dari instansi pemerintah. Ditinjau dari pelaksanaan pelayanan publik, maka pemerintah belum optimal melaksanakan tugas dan fungsinya. Menurut Thomas R. Dye menyatakan bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan . Untuk menjamin kepastian hukum dan tercapainya tujuan hukum yaitu ketertiban, maka pemerintah dalam hal ini harus berbuat sesuatu. 2. Pejabat penerbit tidak diberikan insentif. Kewajiban yang diberikan harus sesuai dengan hak yang diterimanya, dalam hal ini jika ada kewajiban, maka harus ada hak.
30
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
Kewajiban adalah sesuatu yang harus dijalankan, sedangkan hak adalah sesuatu yang hendaknya diterima oleh pemegang kewajiban. Berdasarkan hasil wawancara dengan Penerbit SKAU, bahwa “dalam menjalankan tugas sebagai penerbit SKAU, kami tidak diberikan fasilitasi berupa upah, tunjangan, ataupun hak lainnya”. Implikasi dari hal ini adalah, pertama, secara teknis penerbit SKAU tidak akan optimal dalam menjalankan tugasnya karena tidak ditunjang oleh fasilitas, kedua, secara yuridis akan mengakibatkan tidak dilaksanakannya kewajiban mereka sebagaimana tertuang Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Penerbit SKAU. 3. Dokumen cetak sendiri, sehingga menimbulkan cost dan dianggap tidak legal (apabila dokumen berasal dari Dinas yang menangani kehutanan, maka pelaku usaha merasa legal). 4. Masyarakat merasa rumit dengan ketentuan pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.30/Menhut-II/2012. Kenyataan di lapangan bahwa masyarakat/pemilik kayu sekaligus pelaku usaha kayu, bahwa ketentuan yang ada, kurang dipahami secara jelas oleh masyarakat, terutama hal ini terletak pada pengaturan jenis kayu yang akan diangkut. Dalam peraturan ini dilakukan pengaturan jenis dokumen angkutan berdasarkan jenis kayu yang akan diangkut. Hal ini perlu dilakukan sosialisasi dan pengaturan ulang. Peraturan dibuat untuk memudahkan masyarakat dan bukan sebaliknya. 5. Tidak adanya penegakan hukum oleh aparat Salah satu alasan masyarakat dan pelaku usaha tidak menggunakan dokumen adalah karena tidak adanya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum pada saat pengangkutan hasil hutan . Dalam hal ini kepatuhan masyarakat masyarakat dan pelaku usaha perkayuan terhadap peraturan peredaran hasil hutan dipengaruhi oleh penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Upaya yang harus dilakukan adalah bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk melaksanakan sosialisasi dan penegakan hukum. 6. Dinas Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Majalengka tidak
memiliki WASGANIS (Pengawas Tenaga Teknis). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 bahwa apabila Dinas yang membidangi kehutanan menerima laporan dari penerima kayu, bahwa kayu yang diterimanya tidak dilengkapi dengan dokumen sahnya hasil hutan (SKAU), maka harus dilakukan pemeriksaan kembali bahwa kayu tersebut berasal dari lahan milik sesuai nama yang tercantum dalam dokumen, yang dalam hal ini dilakukan oleh tenaga yang memiliki kualifikasi (WASGANIS). Selain itu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012, bahwa apabila di Desa tidak terdapat penerbit SKAU, maka penerbitan SKAU dapat dilaksanakan oleh WASGANIS.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
31
IV. SIMPULAN 1. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang peredaran hasil hutan dalam perspektif penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, dan secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak. Peraturan Perundang-undangan tersebut belum diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Majalengka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Majalengka, b) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, c) Balai Pemantauan Peredaran Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah VII Jakarta. 2. Ketentuan yang mengatur penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak yang secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 belum dapat memberikan solusi terhadap pelanggaran penatausahaan hasil hutan di Kabupaten
Konstruksi Hukum Penatausahaan Hasil Hutan Di Kabupaten Majalengka
Majalengka. Hal ini disebabkan karena masyarakat merasa rumit dengan ketentuan yang ada. Dalam peraturan ini dilakukan pengaturan jenis dokumen angkutan berdasarkan jenis kayu yang akan diangkut. Hal ini perlu dilakukan sosialisasi dan pengaturan ulang. Peraturan dibuat untuk memudahkan masyarakat dan bukan sebaliknya.
Statistik Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
Permasalahan lain yang ditemukan dalam peredaran hasil hutan di Kabupaten Majalengka adalah: a) kurangnya sosialisasi, b) Pejabat penerbit tidak diberikan insentif, c) tidak adanya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, yang berimplikasi pada rendahnya kepatuhan masyarakat dalam menjalankan aturan, d) Dinas Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Majalengka tidak memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk menindaklanjuti temuan di penyalahgunaan penatausahaan hasil hutan, e) Dinas Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Majalengka tidak memiliki Pengawas Tenaga Teknis (WASGANIS), untuk membantu peran dan fungsi Pejabat Penerbit SKAU.
Warassih Esmi, 2010, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
V.
Ahmad Redi, 2014, Hukum Sumberdaya Alam dalam Sektor Kehutanan, Sinar grafika, Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, 2013, Majalengka Dalam Angka Tahun 2013 Budi Winarno, 2012, Kebijakan Publik Teori, Proses dan Studi Kasus, CAPS, Yogyakarta. Kementerian Kehutanan, 2012, Pendampingan Verifikasi Legalitas Kayu Hutan Rakyat, Jakarta PT.
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Suatu Analisa Sosiologi Hukum, CV. Rajawali, Jakarta.
32
Wartiningsih, 2011, Pidana Kehutanan Keterlibatan dan Pertanggungjawaban Penyelenggara Kebijakan Kehutanan, Setara Pres, Malang. ________ , 2011, Potret Indonesia,Jakarta.
Keadaan
Hutan
________, 1994, Kumpulan Pedoman Pengelolaan Hutan Bagi Rimbawan Indonesia (Edisi Lengkap), Jakarta. ________, 2014, Statistik Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Peraturan Perundang-undangan :
DAFTAR PUSTAKA
Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sutrisno Endang, 2012, Rekonstruksi Budaya Hukum Masyarakat Nelayan Untuk Membangun Kesejahteraan Nelayan, Semarang.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
IMPLEMENTASI GOOD COORPORATE GOVERNANCE PERBANKAN UNTUK MENCEGAH PRAKTEK MONOPOLI TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI Oleh: Yanti Sugiyanti Sendy Ramania1 ABSTRACT BRI has been committed in implementing GCG, but according to the research findings GCG policy has been carried out as stipulated in the law, but it is still found weaknesses in the implementation of GCG in order to have any legal consequences for the implementation of sanctions that administrative sanctions, civil and criminal. Relative to the parties involved in violations of competition and good corporate governance policy that the BRI SK Bandung and Bringin Life must always consider the legal norms in force to prevent violations of monopoly and GCG. A.
LATAR BELAKANG1 Pemahaman terhadap prinsip-prinsip corporate governance telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pihak-pihak yang berkepentingan. Setiap jasa perbankan baik BUMN maupun Swasta tentu harus mengimplementasikan GCG dalam pelaksanaan dan operasional perusahaan sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) maupun Peraturan Menteri BUMN tentang pelaksanaan Good Corporate Governance. Didalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/Pbi/2006, ditentukan bahwa dalam melaksanakan usahanya, bank wajib memenuhi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), prinsip kehatihatian dan pengelolaan risiko. Selain itu bank diwajibkan pula untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dan perlindungan nasabah termasuk kewajiban untuk menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui Bank. Risiko tersebut salah satu perlindungannya adalah dengan memberikan asuransi jiwa bagi nasabah Secara hukum bank tidak memiliki produk asuransi bankan tidak boleh mengeluarkan produk asuransi. Karena 1
Magister Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Bisnis dan Otonomi Daerah Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
asuransi bukan menjadi produks perbankan melainkan produk perusahaan asuransi sebagai lembaga keuangan non-bank. Oleh karena itu perbankan harus menjalin kerjasama dengan perusahaan asuransi agar dapat memberikan fasilitas asuransi bagi nasabahnya. Kerjasama yang dimaksud antara bank dan perusahaan asuransi disebut dengan istilah bancassurance. Yaitu fasilitas asuransi perbankan yang diberikan oleh penyedia jasa asuransi dalam bentuk kerjasama. Jadi pihak perbankan hanya bisa melakukan asuransi kembali dilakukan oleh banyak Perbankan yang bekerjasama dengan lebih dari satu perusahaan asuransi sebagai perlindungan dan memberi rasa aman bagi nasabah. Selanjutnya dengan perjanjian tertutup tersebut menutup kesempatan bagi perusahan asuransi lainnya untuk dapat turut berafiliasi dengan perbankan tersebut. Karena sesuai dengan surat edaran Bank Indonesia (BI) bahwa perbankan wajib memberikan asuransi kepada para debiturnya dan harus bekerjasama dengan tiga perusahaan asuransi. Maka dengan begitu kesempatan bagi perusahaan asuransi lain terbuka dan nasabah diberikan pilihan untuk memilih perusahaan asuransinya sendiri. Dugaan praktik kartel dan monopoli distribusi produk asuransi lewat bank (bancassurance) dan asuransi kredit yang dialami oleh salah satu perbankan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada lembaga keuangan lainnya selama tidak memperhatikan kebijakan dan implementasi Good Corporate Governance dalam pelaksanaanya agar berjalannya sebuah
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
perusahaan tetap dalam kondisi baik karena sesuai dengan aturan yang berlaku. B. 1.
2.
C. 1.
PERMASALAHAN Bagaimanakah penerapan kebijakan Good Corporate Governance (GCG) pada jasa Perbankan sehubungan potensi terjadinya monopoli? Bagaimanakah akibat hukum terhadap pelanggaran Good Corporate Governance (GCG) pada jasa perbankan menyangkut terjadinya monopoli perusahaan asuransi?
PEMBAHASAN Komitmen dan Peran BRI dalam penerapan Good Coorporate Governance BRI mempunyai komitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip GCG dengan berlandaskan pada nilai- nilai pokok yang tertuang pada Budaya Kerja BRI yaitu Integritas, Profesionalisme, Kepuasan Nasabah, Keteladanan dan Penghargaan kepada SDM. Nilai-nilai Budaya Kerja tersebut telah diimplementasikan oleh seluruh jajaran BRI dan merupakan nilai-nilai untuk membangun Kode Etik BRI sehingga dalam bertindak dan berpikir mempunyai acuan yang jelas dan terukur yang selanjutnya diharapkan dapat membawa BRI pada tujuan tata kelola perusahaan yang baik. Implementasi GCG di BRI terus berkembang tidak semata berdasarkan pada kepatuhan (compliance) terhadap standar dan peraturan yang berlaku, namun juga terus dilakukan inovasi, konsistensi dan penyempurnaan GCG secara berkelanjutan. BRI telah mengimplementasikan kebijakan GCG di seluruh tingkatan organisasi sejak 2002. Selama itu BRI terus bertransformasi untuk menyempurnakan kebijakan internal GCG yang berlaku, di antaranya melalui: 2002: Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 02KOM/BRI/02/2002 – NOKEP: S. 37DIR/02/2002 tanggal 23 Februari 2002 tentang Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. 2003: Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 03KOM/BRI/06/2003 – NOKEP: S. 36DIR/SDM/06/2003 tanggal 3 Juni 2003 34
tentang Kebijakan Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) bagi Organ dan Pekerja PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. 2007: Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 02KOM/BRI/06/2007 – NOKEP: S. 240DIR/SKP/06/2007 tanggal 29 Juni 2007 tentang Kebijakan Good Corporate Governance (GCG) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.2010 : Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 01-KOM/BRI/03/2011 – NOKEP: S. 14-DIR/DKP/03/2011 tanggal 8 Maret 2011 tentang Kebijakan Good Corporate Governance (GCG) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. Komitmen Dewan Komisaris dan Direksi BRI terhadap pelaksanaan GCG juga tercermin dari penetapan Tema Tahunan (Theme of Year) BRI sebagai bagian rencana kerja jangka panjang (corporate plan) yang berkesinambungan dalam mencapai visi perusahaan. Tahun 2011 ditetapkan sebagai tahun untuk mencapai “Manajemen Risiko Yang Handal”. Manajemen risiko yang handal diharapkan akan menjadi salah satu aspek yang kokoh untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, dan selanjutnya ditetapkan sebagai Tema Tahun 2012 yakni “Menjadi Bank terbaik di Indonesia dengan praktik-praktik Good Corporate Governance (GCG) yang baik”. Atas kerja keras yang telah dirintis sejak 2002, maka pada 2011 BRI telah menerima penghargaan terkait dengan implementasi GCG, diantaranya: “Best Corporate Governance in Indonesia” dalam Corporate Governance Award 2011 oleh World Finance. “Best Disclosure and Transparency” dalam The 3rd IICD Corporate Governance Award 2011 oleh Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) 2.
Analisis Urgensi Good Corporate Governance bagi Perbankan Lembaga keuangan, termasuk bank secara inheren, merupakan lembaga yang seharusnya amanah, dan karenanya harus profesional, transparan, fair dan adil (termasuk dalam berbagi keuntungan) terhadap stakeholder, khususnya kepada para nasabahnya. Untuk itu, implementasi prinsipprinsip good corporate governance (GCG) di HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
berbagai lembaga bisnis berorientasi profit, khususnya lembaga keuangan/bank, merupakan suatu keniscayaan, bahkan lembaga-lembaga keuangan, khususnya bank, harusnya menjadi pionir dalam implementasi kebijakan pemerintah tentang penerapan GCG bagi bank umum, karena dijalankan menurut prinsip-prinsip Islam. Menurut Abdul Ghofur Anshori hal ini lebih ditujukan kepada adanya tanggung jawab publik (public accountability) berkaitan dengan kegiatan operasional bank yang diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam hukum positif seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya. Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum sebagai produk kebijakan publik sangat sangat urgen bilamana diimplementasikan. Suatu kebijakan dapat diarahkan menjadi tiga fungsi, yakni pertama fungsi legislasi, dimana kebijakan dapat digunakan untuk menciptakan perilaku kehidupan masyarakat dengan sarana hukum dan perundang-undangan yang benar dan adil. Kedua, fungsi pelayanan yaitu membentuk menejemen pemerintahan yang baik untuk menciptakan pelayanan publik dan kepentingan yang baik untuk menciptakan pelayanan publik dan kepentingan masyarakat yang akuntabel, mensejahterakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berkeadilan sosial sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945. Dan ketiga, fungsi keamanan, yaitu menciptakan kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernrgara yang kondusif, aman, tertib sejahtera baik dalam bidang sosial, politik, hukum maupun budaya. Dalam pandangan IFSB, cara pandang secara dikotomis antara pendekatan konvensional dalam pengkajian standar GCG dinilai kurang tepat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan konsep GCG diantaranya adalah kultur manajemen, akuntansi, dan pengawasan. Sebab, faktorfaktor tersebut nanti-nya dapat HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
mempengaruhi berbagai hal, seperti perlindungan hak stakeholder. Istilah stakeholder dalam perbankan mencakup pemegang saham, manajemen bank, karyawan, dan investement account holder (IAH). Investment account holder (IAH) merupakan nasabah atau deposan dalam perbankan konvensional. Suatu organisasi yang mengusung simbol agama tidak menjamin bahwa lembaga itu dengan sendirinya menjadi bersih dari perilaku korup para pengelolanya. Karena oknum pengelola suatu organisasi sering tergoda oleh harta atau kekayaan duniawi. implementasi GCG di lapangan masih banyak menemui hambatan, baik yang bersifat kultural organisasi, karakter pribadi pimpinan, sampai pada kesediaan secara total tiap orang dalam suatu organisasi/korporat untuk melaksanakannya. Praktek moral hazard sudah menjadi kebiasaan di lembaga-lembaga perbankan. Korupsi di berbagai lembaga perbankan, baik bank BUMN maupun bank swasta nampaknya sudah menjadi rahasia umum. Berbagai kejadian korupsi tersebut, harus menjadi perhatian serius bagi para steakholders bank, baik pemilik/ pemegang saham, komisaris, direksi, karyawan (kru,) nasabah dan para akademisi ekonomi lainnya. Banyak manfaat yang bisa dipetik jika sebuah perusahaan/ organisasi menerapkan GCG secara konsisten, antara lain: memperkokoh kepercayaan publik (dan kreditur untuk suatu bank), meningkatkan nilai saham dan reputasi perusahaan, dapat mengelola semua sumberdaya yang dimiliki dan resiko secara lebih efisien dan efektif, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip governance (tata kelola) yang baik perlu dilaksanakan oleh para penyelenggara negara, korporat, maupun sosial. Lebih jauh, khusus bagi korporat, good governance harus dilaksanakan hingga ke tingkat fungsional/operasional seperti dalam menyelenggarakan kegiatan pemasaran, produksi, pengelolaan SDM, dan lain sebagainya. 3.
Pelaksanaan Kebijakan Good Corpotare Governance di Bank BRI SKK Bandung dalam Konteks Terjadinya Praktek Monopoli 35
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
Pekerjaan pengawasan bank diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur Nomor 11/8/PDG/2009. Setiap departemen yang terdiri dari divisi-divisi mengawasi sekitar 20 bank dimana setiap divisi mengawasi 2 hingga 3 bank. Khusus di Departemen Pengawasan Bank memiliki 9 divisi dan Divisi Pengawasan Bank mengawasi BRI dan juga BRI Agro. Dalam rangka melakukan pengawasan perbankan, BI melakukan analisis terdapat delapan risiko untuk melihat area mana yang rentan bagi Bank yaitu kredit, pasar, likuiditas, hukum, operasional, reputasi, strategis dan kepatutan. Pengawas BI adalah pihak yang berwenang menilai dan menjatuhkan sanksi. Jika ada bank yang menawarkan kurang dari tiga perusahaan asuransi jiwa sebagaimana diatur dalam SEBI maka terdapat sanksi administratif yang bisa dikenakan sebagaimana diatur dalam Bab IV mengenai Tata Cara Pengenaan Sanksi. Sanksi administratif diberikan tergantung tingkat kesalahannya yaitu berupa Teguran tertulis, Penurunan tingkat kesehatan bank, Pembekuan kegiatan usaha tertentu, Pencantuman pengurus, pegawai dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak yang berpredikat tidak lulus fit and proper test, Pemberhentian pengurus bank. Sedangkan dari Kementerian BUMN, Perseroan telah menunjuk Independent Assessor untuk menilai praktik GCG berdasarkan Pasal 44 ayat (5) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-09/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara juncto Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara dan Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara No. SK16/S.MBU/2012 tentang Indikator/Parameter Penilaian dan Evaluasi atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara. Dari hasil asesmen tersebut, Perseroan memperoleh predikat “BAIK”. 36
Kelemahan Implementasi Good Coorporate Governance pada Bank BRI Seluruh rangkaian penjelasan mengenai implementasi Good Coorporate Governance pada Perbankan dimaksudkan dalam rangka agar pelaksaan pengelolaan perusahaan perbankan yang baik dan ideal. Kelima prinsip yang diantaranya akuntabel, transparan, keadilan, independen dan kewajaran menjadi patokan dalam menganalisis tingkat kesehatan Bank yang disebut dengan Good Coorporate Governance. Pedoman boleh saja ada dan dibuat guna menuntun dalam pelaksanaan dan sebagai kelengkapan administrasi, akan tetapi terkadang berbeda jika ditinjau dari apa yang terjadi dilapangan. Kesesuaian antara pedoman atau aturan dengan pelaksanaan yang mendekati ketepatan itulah yang dikatakan bahwa implementasi berjalan baik. Peningkatan kualitas dan kuantitas perusahaan sangat mutlak untuk dilalukan, yang mana itu semua harus dilakukan dengan bersaing bersama beberapa perusahaan yang sejenis. Terlebih di Indonesia jumlah perbankan sudah sangat banyak dan sangat memungkinkan persaingan terjadi dengan sangat ketat, dalam produk, pelayanan maupun SDM nya. Untuk dapat bahkan hanya untuk bertahan harus memerlukan proses yang sulit bagi bank kecil akan tetapi bagi bank dengan skala besar itu mudah saja namun persoalan eksistensi tetap dibutuhkan. Persaingan usaha yang tidak sehat pun bisa terjadi karena implementasi good corporate governance yang lemah dan tidak tepat sasaran. Berlaku mensabotasi, manipulasi maupun monopoli bisa menjadi pilihan bahkan hingga muncup tindakan korupsi. Pemahaman akan pentingnya good corporate governance tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh seluruh elemen didalamnya yang terkadang terjadi kesalahan hanya karena beberapa orang. 4.
a.
Kebijakan GCG di Bank BRI 2002: Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 02KOM/BRI/02/2002 – NOKEP: S. 37DIR/02/2002 tanggal 23 Februari 2002 tentang Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
2003: Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 03KOM/BRI/06/2003 – NOKEP: S. 36DIR/SDM/06/2003 tanggal 3 Juni 2003 tentang Kebijakan Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) bagi Organ dan Pekerja PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. 2007: Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 02KOM/BRI/06/2007 – NOKEP: S. 240DIR/SKP/06/2007 tanggal 29 Juni 2007 tentang Kebijakan Good Corporate Governance (GCG) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.2010 : Surat Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi BRI Nomor: 01-KOM/BRI/03/2011 – NOKEP: S. 14-DIR/DKP/03/2011 tanggal 8 Maret 2011 tentang Kebijakan Good Corporate Governance (GCG) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. b. 1)
Kelemahan GCG di Bank BRI Kewajiban Bank dalam Melayani Nasabah Pengelolaan perusahaan yang baik terkait dengan pelayanan yang memuaskan bagi semua stakeholder baik kerjasama antara perusahaan maupun dengan konsumen yang dalam hal ini adalah nasabah. Salah satu produk bank BRI dalam hal ini adalah kredit perumahaan atau KPR. Prinsip pelayanan yang baik salah satu nya adalah memberikan kebebasan untuk memilih dari produk yang ditawarkan karena dalam KPR memuat asuransi jiwa bagi setiap Debiturnya. Perjanjian KPR antara BRI dan Debitur memuat pemberian barang dan jasa bagi debitur. Barang yang dimaksud adalah KPR BRI sedangkan Jasa yang dimaksud adalah asuransi jiwa. Pada proses ini debitur telah memenuhi haknya untuk mendapatkan KPR BRI akan tetapi pada jasa asuransi yang diberikan tidak ada pilihan selain harus memilih asuransi dari PT Bringin Life dan PT Heksa Life. Dan nasabah tidak diberikan penjelasan terhadap hal tersebut oleh bank BRI. Dalam kaitannya hubungan dengan nasabah terdapat ketidakwajaran, karena dalam sebuah perjanjian tentu memuat hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Terlebih perbankan yang bertahan dengan kepercayaan nasabah. Oleh karena itu maka HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
ini dikatakan bahwa terdapat kesalahan atau cacat dalam salah satu perihal Good Corporate Governance di Bank BRI. 2) Perjanjian Kerjasama antar Bank dan Asuransi Bancassurance adalah aktifitas yang dilakukan oleh Bank untuk memasarkan produk asuransi. dalam rangka produk bank dimana nasabah diharuskan untuk mengambil produk asuransi jiwa dan kerugian sebelum mengambil produk bank seperti KPR. BI mensyaratkan Bank wajib menawarkan tiga perusahaan asuransi kepada nasabah sehingga nasabah boleh memilih perusahaan asuransi yang sesuai dengan preferensinya. Karena ini bukan produk bank maka perusahaan asuransi misalnya membuka loket khusus di kantor Bank. Kerjasama distribusi dimana Bank tidak sekedar menawarkan tapi juga menjelaskan produk asuransi yang ditawarkan dimana petugas bank yang menawarkan harus memenuhi persyaratan tertentu atau dengan Knowledge Product. Walaupun SEBI meminta minimal tiga perusahaan asuransi jiwa, BRI hanya memiliki dua perusahaan rekanan karena produk atau manfaat asuransi jiwa yang ditawarkan masih dibawah manfaat produk yang ada sehingga BRI tidak menambah rekanan baru. Rekanan yang dimaksud adalah PT Bringin Life dan Heksalife. PT Avrist Assurance dan PT Asuransi Jiwa Recapital menyatakan bahwa terms and conditions untuk menjadi rekanan BRI sulit untuk dipenuhi. Maka dugaan yang muncul adalah BRI melakukan monopoli terhadap produk asuransi karena PT yang menjadi rekanan BRI adalah anak perusahaannya sendiri. 5.
Konsekuensi Yuridis Terhadap Pelanggaran GCG di Perbankan a. Kepatuhan terhadap Undang – Undang Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank ditegaskan secara eksplisit melalui Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut: "Anggota Dewan Komisaris, Direksi dan pegawai bank yang dengan sengaja, tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang37
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). b. Kerahasiaan dan Pelaporan Kemampuan bank untuk menjaga kerahasiaan informasi nasabah, merupakan aspek penting untuk menjaga kredibilitas dan akuntabilitas bank. Bagi anggota Komisaris yang "membocorkan" rahasia bank kepada pihak yang tidak berwenang, diancam dengan sanksi yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan, yaitu pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah). c. Kewajiban Bank Untuk melapor ke Bank Indonesia Bagian ini merupakan gambaran dari peran Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap industri perbankan di Indonesia. Selaku regulator dan sekaligus bank sentral, Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan dan sekaligus menerbitkan regulasi di bidang perbankan sesuai Pasal 29 UU No. 7/1992 jo UU No. 10/1998 tentang Perbankan. Sebaliknya bank wajib untuk memberikan laporan berkala dan wajib untuk memberikan informasi yang diperlukan dalam kerangka pemeriksaan; hal mana diatur dalam Pasal 30 dan 34 UU perbankan serta PBI No. 3/17/PBI/2001 pada Pasal 2. Pelanggaran terhadap kewajiban ini diancam dengan sanksi sesuai Pasal 48 UU Perbankan sebagai berikut : 1). Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah). 2). Anggota dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib 38
dipenuhi, diancam dengan pidanapenjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). d. Penyalahgunaan Kewenangan Perbuatan penyalahgunaan wewenang ini merupakan kejahatan perbankan yang menurut Pasal 49 ayat (2) huruf a UU Perbankan diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Bagi Komisaris, Direksi dan pegawai bank BUMN, maka perbuatan ini juga dapat menjadi obyek tindak pidana korupsi, sebagimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. e. Kewajiban Terhadap Transparansi Bank Kewajiban terkait aspek ini diatur dalam dua peraturan, yaitu PBI No. 3/22/PBI/2001 jo PBI No. 7/25/PBI/2005 ten tang Transparansi Kondisi Keuangan Bank dan PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Perbankan dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. PBI No. 3/22/PBI/2001 jo PBI No. 7/25/PBI/2005 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank mengatur ten tang tata cara penyampaian laporan keuangan dan laporan tahunan bank serta kemana saja laporan tersebut harus disampaikan selain ke Bank Indonesia.. Pelanggaran terhadap ketentuan ini mendapatkan ancaman sanksi mulai dari denda terhadap keterlambatan, denda terhadap perbaikan yang tidak dilaksanakan, sanksi administratif, hingga sanksi pidana sesuai Pasa149 ayat (1) UU Perbankan yaitu ancaman pidana penjara minimum 5 (lima) tahun hingga maksimum 15 (lima belas) tahun serta denda minimum Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan maksimum Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah) bagi Direksi, Komisaris dan pegawai bank yang terlibat. Bagi pihak terafiliasi (konsultan, akuntan publik, dan lain-lain) yang terlibat juga diancam sanksi pidana sesuai dengan Pasal 50 UU Perbankan yaitu pidana penjara HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
minimum 3 (tiga) tahun dan maksimum 8 (delapan) tahun serta.denda minimum. Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan maksimum Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). 6.
Konsekuensi Yuridis Terhadap Pelanggaran Persaingan Usaha Bank BRI a. Tentang Dugaan Dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh BRI, BRIngin Life, dan Heksa Life adalah Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 19 huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 ayat (2): “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok”. Pasal 19 huruf a: “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan”. Dalam objek perkara ini adalah perjanjian dan kegiatan terkait produk perbankan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk (BRI) dan produk asuransi jiwa dari PT Asuransi Jiwa BRINGIN JIWA SEJAHTERA dan PT Heksa Eka Life Insurance; Tentang Bancansurance Dalam rangka produk bank dimana nasabah diharuskan untuk mengambil produk asuransi jiwa dan kerugian sebelum mengambil produk bank seperti KPR. BI mensyaratkan Bank wajib menawarkan 3 (tiga) perusahaan asuransi kepada nasabah sehingga nasabah boleh memilih perusahaan asuransi yang sesuai dengan preferensinya; Kerjasama distribusi dimana Bank tidak sekedar menawarkan tapi juga menjelaskan produk asuransi yang ditawarkan dimana petugas bank yang menawarkan harus memenuhi persyaratan tertentu; Bahwa berdasarkan uraian mengenai ketentuan didalam Surat Edaran BI, contoh produk Bank yang mempersyaratkan asuransi b.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
adalah KPR. Asuransi yang dipersyaratkan diantaranya adalah asuransi jiwa; 1) Bahwa Bank BRI membuat Peraturan internal mengenai kegiatan Bancassurance terkait KPR dengan mengeluarkan Surat Edaran dan peraturan lain yang terkait 2) Surat Edaran Direksi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) (Terlapor I) No. S.09Dir/ADK/02/2009 tanggal 25 Februari 2009 tentang Kredit Kepemilikan Rumah. c.
Tentang Perjanjian Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk (“Perjanjian KPR BRI”) merupakan perjanjian tertulis antara BRI dengan debitur KPR BRI yang memuat hak dan kewajiban masingmasing pihak terkait pemberian kredit berupa KPR BRI. Dalam hal ini BRI bertindak selaku pelaku usaha yang membuat Perjanjian KPR BRI dengan pihak lain yaitu debitur KPR BRI. Berdasarkan Perjanjian KPR BRI tersebut, pihak yang menerima barang dan jasa tertentu adalah debitur KPR BRI. Berdasarkan perjanjian kerjasama penutupan asuransi di antara BRI dengan Bringin Life dan Heksa Life serta kerjasama Konsorsium antara Bringin Life dan Heksa Life dapat disimpulkan jika Konsorsium Bringin Life dan Heksa Life, yang dalam hal ini diwakili oleh Bringin Life sebagai Ketua Konsorsium adalah Pelaku Usaha yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan atau memasok (menutup) produk jasa asuransi jiwa untuk Debitur KPR BRI. Selanjutnya berdasarkan Pasal 6 Nomor: B.038.DIR/SBA/II/2003dan Nomor: B.0164/HELI/II/2003 mengenai Kepesertaan, dinyatakan bahwa Peserta Asuransi Jiwa Kredit ini bersifat otomatis bagi seluruh debitur KPR BRI; d.
Tentang Menghalangi Asuransi Lain Tahun 2002, Bank BRI telah melakukan pemilihan rekanan perusahaan asuransi jiwa untuk memback-up kredit pemilikan rumah dalam rangka mitigasi risiko. Proses Pemilihan rekanan perusahaan asuransi jiwa saat itu, diikuti oleh beberapa perusahaan asuransi jiwa, yaitu: a. Asuransi Bakrie Life; b. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912; c. Asuransi Jiwa Central Asia Raya; d. Asuransi Jiwa PT Zurich Insurance; e. PT AJ Bringin Jiwa Sejahtera 39
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
(Terlapor II); dan f. PT Heksa Eka Life (Terlapor III); Keenam perusahaan asuransi jiwa tersebut sebagaimana dapat dilihat dari surat internal BRI yaitu Nota Dinas No. 441ADK/PJB/11/2002 tanggal 25 November 2002, yang menerangkan bahwa dari proses seleksi yang dilakukan, BRI menilai bahwa Bringin Life memiliki Terms and Conditions (“TC”) lebih baik dari yang lain dan Heksa Life memiliki tarif premi yang lebih baik dari yang lain; Dalam memilih rekanan, BRI tidak membuat tender dan atau beauty contest. BRI telah melakukan proses pemilihan rekanan perusahaan asuransi jiwa berdasarkan penawaran yang telah masuk yang dapat dibuktikan dengan adanya penawaranpenawaran dan undangan-undangan; Hingga saat ini belum ada perusahaan asuransi jiwa dapat diterima oleh BRI dengan berbagai alasan antara lain tidak dapat memenuhi permintaan BRI sebagaimana PT Asuransi Jiwa Recapital, yang disampaikan pula oleh pihak PT Asuransi Jiwa Recapital pada pemeriksaan Perkara di persidangan tanggal 28 Mei 2014; Alasan lain adalah karena perusahaan asuransi jiwa tersebut memiliki core business yang tidak sesuai dengan permintaan Bringin Life, yang mana perusahaan asuransi tersebut tidak berada pada level middle low sebagaimana disampaikan oleh PT Avrist Assurance; Dalam menyusun kesimpulannya BRI menyatakan, alasan perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan memiliki laporan keuangan yang buruk serta alasan lainnya sehingga sampai dengan saat sekarang BRI belum dapat menambah rekanan di luar Bringin Life dan Heksa Life; Uraian di atas menunjukkan bahwa penentuan rekanan perusahaan asuransi oleh BRI dilakukan dengan proses pemilihan dari beberapa perusahaan asuransi. Dan berdasarkan penilaian BRI, Brigin Life dengan konsorsiumnya yang beranggotakan Heksa Life, sampai saat ini masih dinilai sebagai rekanan yang dapat memenuhi keinginan BRI terkait kepentingannya dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana termaktub dalam PBI Manajemen Risiko; 40
e.
Tentang Dampak Akibat Perilaku Bank dan Perusahan Asuransi Perilaku BRI terkait melakukan kegiatan bancassurance bersama dengan pelaku usaha lain yaitu Bringin Life dan Heksa Life yang menolak dan atau menghalangi perusahaan asuransi jiwa lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar produk asuransi jiwa bagi debitur KPR BRI di seluruh wilayah Indonesia, dilakukan dengan cara menerapkan terms and conditions yang sulit untuk dipenuhi oleh calon rekanan BRI. Penerapan kegiatan bancassurance antara BRI dengan Konsorsium Bringin Life dan Heksa Life serta penerapan terms and conditions bagi calon rekanan BRI tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli pemasaran asuransi jiwa kredit oleh Konsorsium Bringin Life dan Heksa Life yang merugikan kepentingan umum dimana debitur KPR BRI tidak memiliki alternatif pilihan penyedia asuransi jiwa kredit; Bahwa perilaku BRI bersama-sama dengan Bringin Life dan Heksa Life menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat berupa pemasaran asuransi jiwa kredit yang dilakukan dengan cara melawan hukum karena melanggar ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/35/DPNP tanggal 23 Desember 2010. Kegiatan yang dilakukan oleh BRI bersamasama dengan Bringin Life dan Heksa Life tersebut juga menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat berupa hambatan masuk bagi perusahaan asuransi jiwa lain yang menjadi pesaing potensial Konsorsium Bringin Life dan Heksa Life; Tindakan BRI bersama-sama Bringin Life dengan Heksa Life mengakibatkan hambatan masuk bagi perusahaan asuransi jiwa lain yang menjadi pesaing potensial Konsorsium Bringin Life dan Heksa Life sehingga merugikan kepentingan umum dimana debitur KPR BRI tidak memiliki alternatif pilihan penyedia asuransi jiwa kredit. f.
Tentang Penghitungan Denda Menurut Pedoman Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
Administratif, denda merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya; Pedoman Pasal 47, untuk menentukan besaran denda dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar, dan kedua, penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g, UU Nomor 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.0000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); Dari uraian tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan Good Corporate Governance pada Perbankan dalam hal ini adalah BRI SKK Bandung dilaksanakan berdasarkan pedoman kode etik dan SK Bersama Pimpinan serta Undangundang dan peraturan pemerintah akan tetapi belum berjalan secara efektif atau belum berjalan dengan baik sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku. Selanjutnya seperti penjelasan pada Pasal 19 huruf a UU No 5 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa dalam perjanjian kerjasama dilarang menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Sedangkan dalam prakteknya BRI sudah menentukan sendiri rekanan yang akan diajak kerjasama dengan menutup kesempatan bagi pihak lain. Dari keterangan dan penjelaran di atas semua pihak yang terlibat didalamnya mendapatkan konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran Good Corporate Governance pada jasa perbankan dapat berupa sanksi dalam bentuk sanksi administratif yaitu teguran, sanksi perdata yaitu denda dan sanksi pidana dalam hal terjadinya pelanggaran persaingan usaha tidak sehat dan good corporate governance. Salah satunya adalah bahwa menurut Pedoman Pasal 47 UU HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya. D. 1.
2.
SIMPULAN Good Coorporate Governance pada Bank BRI SKK Bandung sudah diterapkan dengan sebagaimana mestinya. Hal ini berdasaran pada sudah diterapkannya prinsip GCG yang diantaranya yaitu keadilan, transparan, kemandirian, akuntabilitas dan bertanggung jawab. Namun, dalam tataran implementasi masih pula ditemukan adanya kelemahan yaitu pada pelayanan pemberian kebebasan bagi nasabah dan perjanjian kerja sama dengan perusahaan asuransi. Konsekuensi yuridis akibat adanya pelanggaran good corporate governance pada jasa perbankan dapat berupa sanksi dalam bentuk sanksi administratif yaitu teguran, sanksi perdata yaitu denda dan sanksi pidana dalam hal terjadinya pelanggaran persaingan usaha tidak sehat dan good corporate governance.
DAFTAR PUSTAKA Andi Fahmi Lubis, Dr, SE, ME, dkk GTZ, 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks Kebijakan Good Corporate Governance (Good Corporate Governance Policy) Pt Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. Pandu Patriadi, 2004. Manfaat Konsep Good Governance Bagi Institusi Pemerintah Dan Bumn Dalam Kebijakan Privatisasi Bumn, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Badan Analisa Fiskal, Depkeu RI, Jakarta, Volume 8, Nomor 3, Siswanto Sutojo dan Aldridge, 2005. E. John. Good Corporate Governance : Tata Kelola Perusahaan Yang Sehat. Jakarta : PT. Damar Mulia Rahayu. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/ 35 /DPNP tentang Penerapan Manajemen 41
Implementasi Good Coorporate Governance Perbankan ….
Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi (Bancassurance) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat.
42
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PELAYANAN AIR BERSIH (Studi di PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon) Oleh Suharyadi1 ABSTRAK Air bersih merupakan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pemerintah memberikan pelayanan berupa perusahaan air minum (PDAM). Masyarakat sebagai konsumen air minum mengeluhkan pelayanan PDAM karena kualitas air yang keruh dan berbau yang tidak memenuhi standar kesehatan untuk dikonsumsi. Permasalahan tentang perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih oleh PDAM yaitu bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan ketentuan hukum undang-undang perlindungan konsumen dan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon berkenaan dengan terjadinya kelalaian. Penelitian bertujuan untuk memahami dan mengkaji perwujudan konstruksi perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih oleh PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon berdasarkan norma hukum Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan harapan dapat menjadi tolok ukur keilmuan untuk pengembangan disiplin ilmu hukum dan kebijakan publik. Metode penelitian dilakukan secara pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap peraturan perundang-undangan khususnya UUPK serta dokumen yang terkait dengan perlindungan konsumen air bersih, serta didukung dengan wawancara kepada konsumen air bersih di Kabupaten cirebon dan Pejabat PDAM Tirta Jati. Hasil penelitian menunjukkan UUPK telah mengatur hak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha, sesuai Pasal 19 UUPK pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen tidak hanya sebatas uang atau barang bahkan perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan akibat mengkonsumsi air minum yang tercemar. Berkenaan dengan terjadinya kelalaian PDAM terhadap konsumen, PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon telah membebaskan pembayaran biaya berlangganan bulanan pada bulan berikutnya atau sesuai dengan permintaan pelanggan. Disarankan agar ditinjau kembali ketentuan BPSK dalam UUPK, karena keputusan majelis menurut Pasal 56 ayat (2) masih dimungkinkan untuk diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri oleh pihak yang tidak puas. Padahal sesuai Pasal 54 ayat (3) putusan BPSK bersifat final dan mengikat, karena BPSK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang nilai tuntutannya kecil. Kepada Pemerintah, agar pendekatan anggaran pembangunan prasarana air minum yang berbasis proyek dan negosiasi sudah waktunya diubah menjadi anggaran prioritas yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Kepada PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon untuk mengadakan perawatan peralatan distribusi air minum agar tercemarnya air dapat diminimalisir, bila dimungkinkan diadakan penggantian peralatan yang sudah tidak layak demi pelayanan yang baik baik konsumen. Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen A.
PENDAHULUAN1 Kebutuhan air minum terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat. PDAM selaku pemberi jasa pengadaan air minum dengan konsumen selaku penerima jasa air minum terdapat suatu hubungan hukum, yaitu adanya kewajiban dari penerima jasa untuk memberi imbalan atas jasa yang diterimanya sesuai 1
Program Magister Hukum Tahun 2015 & Direktur Utama PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon
dengan jumlah air yang dikonsumsi yang tertera dalam water meter serta sesuai dengan besaran tarif yang telah ditentukan, di samping itu juga terdapat hak-hak dari pelanggan sebagai penerima jasa yaitu: hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air bersih yang diterimanya, hak mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi airnya, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas air yang diterima dari PDAM.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih
Fungsi Hukum yang paling utama dalam bidang ekonomi adalah untuk menjamin Stabilitas dan kepastian perekonomian yaitu menata mekanisme dan interaksi antar masyarakat atau antar pelaku ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi yang terbatas. Fungsi hukum tersebut juga dimaksudkan untuk mengatur segala aktivitas yang terjadi dalam interaksi antar pelaku ekonomi yang diantaranya menyangkut masalah konstruksi perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh PDAM Kabupaten Cirebon yang disebut PDAM Tirta Jati, berkenaan dengan kebijakan pelayanan air bersih sebab berdasarkan pada ketentuan norma hukum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengatur beberapa hal mengenai hak konsumen terhadap informasi produk yang dikonsumsinya, dalam Pasal 4 UndangUndang perlindungan konsumen disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum. Dalam Pasal 7(b) Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan juga kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Sesuai dengan kedudukannya masyarakat sebagai pelanggan PDAM yang telah mengadakan perjanjian dengan pihak penyelenggara jasa air minum yaitu pihak PDAM, salah satu hak konsumen adalah hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air bersih yang diterima. Jika seseorang konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cidera janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum. Dalam konsepsi perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seseorang diberi kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi tiga unsur, yaitu ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita penggugat), dan ada 44
hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu. Perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan dari undang-undang. Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan faktor yang sangat penting walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada, perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Demikian juga halnya antara masyarakat pelanggan air minum dari PDAM, terjadinya hubungan hukum karena adanya permohonan yang diikat dengan suatu perjanjian antara konsumen dengan PDAM. Dalam UUPK, hak konsumen atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air itu diakomodir dalam Pasal 4 huruf a, hak atas kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Kemudian juga dalam huruf c, konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, dari ketentuan tersebut maka sudah menjadi hak konsumen untuk mendapatkan aliran air yang bersih yang aman bagi kesehatannya dan adanya kenyamanan dalam mengkonsumsi air minum dari PDAM yang senantiasa memenuhi kebutuhan sehari-hari. B. 1.
2.
RUMUSAN MASALAH Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa konsumen yang dapat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum undang-undang perlindungan konsumen? Bagaimanakah penyelesaian hukum yang dilakukan oleh pihak PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon berkenaan dengan terjadinya kelalaian?
C.
METODE PENELITIAN Penelitian ini difokuskan pada konstruksi perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen oleh pihak PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon berkenaan dengan pelayanan air bersih. 1. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan doktrinal, sehingga strategi penelitian hukum normatifnya akan menyangkut tipe-tipe penelitian normatif HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih
yaitu penelitian inventarisasi hukum positif sebagai kegiatan pendahuluan yang bersifat mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari tipe-tipe yang lain. Sebelum dapat diketemukan norma hukum in concreto atau diketemukan teori-teori tentang proses kehidupan hukum, haruslah diketahui lebih dahulu apa saja yang termasuk ke dalam hukum positif yang sedang berlaku. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analisis yang tidak hanya menggambarkan kondisi faktual yang riil terjadi di masyarakat sebagai das Sein tetapi juga menelaah peraturan-peraturan hukum yang berlaku dalam penerapan kebijakan oleh PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon, berkaitan dengan upaya perlindungan hukum konsumen yang dapat dilakukan untuk pemenuhan hak-hak konsumen, sebagaimana norma hukum telah mengaturnya yaitu Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Implementasi spesifikasi dari penelitian yang bersifat deskriptif analisis ini dilakukan dengan cara menganalisis ketentuanketentuan yang berkaitan dengan kebijakan perlindungan hukum konsumennya. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik : a) Studi dokumen / Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang dapat berupa bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan. Di samping itu terdapat juga hukum sekunder seperti tulisan para sarjana. b) Wawancara (interview). Guna memperoleh gambaran yang lebih signifikan mengenai penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara secara terbuka terhadap pegawai PDAM Kabupaten Cirebon serta pihakpihak lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Metode Analisa Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dari berbagai pengertian mengenai penelitian kualitatif dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang berangkat dari inkuiri naturalistik yang temuanHERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
temuannya tidak diperoleh dari prosedur penghitungan secara statistik. 5. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari studi lapangan di wilayah penelitian sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan umum atau perpustakaan milik pribadi. 6. Metode Penyajian Data Data yang terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk uraian peristiwa dan tabel-tabel yang sederhana yang telah melalui proses editing, yaitu proses memeriksa dan meneliti kembali data yang diperoleh untuk mengetahui kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan datanya sesuai dengan kenyataan yang ada 7. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian dalam penyusunan proposal tesis ini adalah di PDAM Kabupaten Cirebon D.
TEMUAN PENELITIAN Sekalipun berbagai instrumen hukum umum atau peraturan perundangundangan yang berlaku umum, baik hukum perdata maupun hukum publik, dapat digunakan untuk menyelesaikan lingkungan hubungan dan atau masalah konsumen dengan penyedia barang jadi atau penyelenggara jasa, tetapi hukum umum ini ternyata mengandung berbagai kelemahan, dan menjadi kendala bagi konsumen dalam memperoleh perlindungan, baik yang berkaitan dengan materi hukumnya, hukum acaranya, maupun yang berkenaan dengan asas-asas hukum yang termuat di dalamnya. Sistem yang memberikan beban kepada konsumen untuk membuktikan haknya, tidak mudah bagi konsumen, karena menurut Susanti Adi Nugroho, bahwa: Konsumen pada umumnya memiliki keterbatasan kemampuan dalam membuktikan kesalahan produsen. Hukum acara yang dipergunakan dalam proses perkara perdata tersebut tidak membantu konsumen dalam mencari 45
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih
keadilan, karena Pasal 1865 KUHPerdata menentukan pembuktian hak seseorang atau kesalahan orang lain dibebankan pada pihak yang mengajukan gugatan. Beban ini lebih banyak tidak dapat dipenuhi dalam hubungan antara konsumen dan penyedia barang atau penyelenggara jasa pada masa kini. Hal ini terutama karena tidak pahamnya konsumen atas mekanisme tuntutan ganti kerugian dan rangkaian pembuktian yang rumit. Kondisi di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dan pelaku usaha melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan dan kurangnya kesadaran akan hak-hak dan kewajiban konsumen. Dalam situasi dan kondisi yang demikian diperlukan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya perlindungan dan pemberdayaan ini penting untuk mengimbangi kegiatan pelaku usaha yang menjalankan prinsip ekonomi untuk mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin, yang dapat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan piranti hukum atau undangundang yang dapat melindungi kepentingan konsumen serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Dalam kondisi banyaknya ketidakadilan yang dialami konsumen, maka dengan berpedoman pada Guidelines for Consumer Protection ada 3 hal yang harus dimuat dalam piranti hukum, yaitu : 1. Perangkat hukum yang memungkinkan konsumen atau organisasi terkait untuk memperoleh penyelesaian melalui prosedur yang informal, cepat dan murah/terjangkau, terutama untuk menampung kebutuhan konsumen yang berpenghasilan rendah. 46
2. Penyelesaian sengketa secara adil, informal dengan menerapkan mekanisme sukarela. 3. Tersedianya informasi penyelesaian ganti kerugian dan prosedur penyelesaian sengketa lainnya bagi konsumen. E.
HASIL PENELITIAN Pada prinsipnya penyelesaian sengketa konsumen diusahakan dapat dilakukan secara damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa (win-win solution). Alternatif lain apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak tercapai adalah menggunakan UUPK. UUPK telah mengatur hak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha, sesuai Pasal 19 UUPK pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen tidak hanya sebatas uang atau barang bahkan perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan akibat mengkonsumsi air minum yang tercemar. Berkenaan dengan terjadinya kelalaian PDAM terhadap konsumen, PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon telah membebaskan pembayaran biaya berlangganan bulanan pada bulan berikutnya atau sesuai dengan permintaan pelanggan. F. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur tentang hak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha, dan lebih lanjut lagi Pasal 19 UUPK menentukan pelaku usaha dalam hal ini PDAM bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas konsumen tidak hanya sebatas uang atau barang bahkan perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan akibat mengkonsumsi air minum yang tercemar. Di samping itu UUPK mengatur tentang adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga konsumen dapat melakukan gugatan tidak hanya melalui pengadilan tetapi juga dapat dilakukan gugatan di luar pengadilan b) Faktor-faktor penyebab hak-hak konsumen air minum PDAM tidak dipenuhi sangat dipengaruhi oleh anggaran publik untuk air bersih itu, sumber air baku dan pada saat pendistribusian air minum itu. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih
Anggaran publik untuk air bersih yang masih terbatas untuk pengelolaan PDAM, demikian juga sumber air baku yang sudah tercemar karena hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab PDAM tetapi juga peran pemerintah dalam kebijakan pengelolaan lingkungan. Kemudian terjadi kebocoran pipa pada saat pendistrusian ke masyarakat karena kurangnya perawatan berkelanjutan dari PDAM yang mengakibatkan tercemarnya air minum yang disalurkan tersebut. c) Penyelesaian sengketa akibat terjadinya air minum yang tercemar yang dikonsumsi konsumen, dilakukan dengan cara pengaduan langsung oleh konsumen kepada PDAM ataupun dilakukan sesuai dengan Pasal 46 UUPK dengan pengaduan dan gugatan melalui lembaga swadaya masyarakat sebagai gugatan kelompok. Pada umumnya penyelesaian sengketa ini diupayakan secara musyawarah sebelum melakukan tuntutan ke peradilan umum. 2. Saran a) Perlu ditinjau kembali ketentuan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyangkut lembaga BPSK, karena keputusan majelis menurut Pasal 56 ayat (2) masih dimungkinkan untuk diajukan keberatan ke pengadilan negeri oleh pihak yang tidak puas. Padahal sesuai Pasal 54 ayat (3) putusan BPSK bersifat final dan mengikat, karena BPSK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang nilainya tuntutannya kecil. b) Disarankan kepada pemerintah, agar pendekatan penganggaran pembangunan prasarana air minum yang berbasis proyek dan negosiasi sudah waktunya diubah menjadi penganggaran prioritas yang mengedepankan pemenuhan hakhak dasar masyarakat. Kemudian, disarankan kepada PDAM Tirta Jati, sebagai suatu perusahaan yang menjadi tumpuan masyarakat dalam mengkonsumsi air minum sehari-hari, maka harus selalu mengadakan perawatan terhadap peralatan distribusi air minum agar gangguan distribusi air minum yang selama ini yang mengakibatkan tercemar air minum dapat diminimalisir serta bila dimungkinkan diadakan penggantian peralatan yang sudah HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
tidak layak lagi dalam pendistrusian air minum tersebut demi pelayanan yang baik bagi konsumen. c) Sebagai konsumen, pelanggan seharusnya menyadari hak-haknya dan mengembangkan kemampuan untuk memperjuangkan hak-hak tersebut sehingga apabila merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat melakukan usahausaha untuk mendapatkan hakhak tersebut, tetapi juga harus memperhatikan kewajibankewajibannya sebagai konsumen. G. DAFTAR PUSTAKA Achmad Tirtasudiro, 1997, Pembangunan Ekonomi Nasional. PT. Inter Masa. Jakarta. Adi Suryadi Culla, 1999, Masyarakat Madani Pemikiran, Teori, dan Relevansi dengan CitaCita Reformasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta. Abdul Halim, 2002, Ekonomi Pembangunan. Penerbit Ekonigia. Yogyakarta. Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta. __________ , 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta. __________, 2008, Menguak Realitas Hukum, Prenada Media, Jakarta. A. Chaedar Alwasilah, 2006, Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka Jakarta. Abdulkadir Muhammad,2006, Hukum Perusahaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta. Bill Foster, Keren R. Seekat, 2001, Pembinaan untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Penerbit PPM. Jakarta. B.Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003,Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administrasi dan Operasional. Penerit Bumi Aksara. Jakarta. 47
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih
B.Arief Sidharta (penerjemah), 2007, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung. Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2008, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke 1 s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008, Pustaka Magister, Semarang. Basrowi-Suwandi, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Rineka Cipta, Jakarta. C.F.G. Sunaryati Hartono, 1999, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, BPHN dan CV. Trimitra Mandiri, Jakarta. C.S.T. Kansil, 1999, Pengantar Ilmu Hukum. Balai Pustaka, Jakarta. C.S.T. Kansil-Christine S.T., 2005, Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Dror, Yehezkel Dror, 1971, Ventures in Policy Sciences, Elsevier Amsterdam. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Darwin Prinst, 1994, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Darji Darmodiharjo & Sidharta, 1996, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta. 2003. Djamal Wiwoho, Hukum dan Otonomi Daerah, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Unswagati Cirebon tahun 20062007. Encyclopedia of Social Science, 1957, Maxmillan, New York. Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang. Endang Sutrisno, 2007, Budaya Hukum Masyarakat : dalam Melindungi Pencemaran Lingkungan, Swagati Press, Cirebon. Ermaya Suradinata, 1998, Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah, Ramadan, Bandung. _______________, 2006, Otonomi Daerah & Paradigma Baru Kepemimpinan dalam Politik & Bisnis, Suara Bebas, Jakarta. 48
Tobing, Persuratan dan Kiat Mengembangkan UKM. Kadin UKM. Jakarta. 2002. Franz Magnis-Suseno, 1986, Perspektif Etis Pembangunan, dalam kumpulan artikel Menguak Mitos-Mitos Pembangunan Telaah Etis Dan Kritis, Penerbit Gramedia, Jakarta. Faisal Afiff, 1994, Menuju Pemasaran Glogal. Penerit PT. Eresco. Bandung. Fritjof Capra, 2002, Jaring-Jaring Kehidupan : Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan (terjemahan Saut Pasaribu), Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta. ___________, 2004, the Hidden Connections : Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru (terjemahan Andya Primanda), Jalasutra, Yogyakarta. Gunawan Widjaja-Ahmad Yani, 2008, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hendarmin Djarab-Rudi M R- Lili Irahali (editor), 1998, Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI Mengenang Almarhum Prof Dr. Komar Kantaatmadja, SH.LL.M, Angkasa, Bandung. Harimurti Subanar, 1999, Manajemen Usaha Kecil. BPEE., Yogyakarta. HAW Widjaja, 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT Grafindo Persada, Jakarta. Herman Bakir, 2005, Kastil Teori Hukum, PT Indeks, Jakarta. Irsan Azhary Saleh, 1986, Industri Kecil. Sebuah Tinjauan dan Perbandingan, LP3ES. Jakarta. Irwan, M. Suparmoko, 2002, Ekonomi Pembangunan BPFE. Jakarta. Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. Joni Emirzon (editor),2007, Perspektif Hukum Bisnis Indonesia Pada Era Glonalisasi Ekonomi, Genta Press, Yogyakarta. J.J.H Bruggink, 1999, Refleksi tentang Hukum (alih bahasa Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung. Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Kenneth James-Narong Chai Akrasanee, 1993, Aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah Studi Kasus Asean. Penerbit LP3ES. Jakarta. Elias
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih
Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Kusnu Goesniadhie, 2006, Harmonisasi Hukum : Dalam Perspektif Perundang-undangan : (Lex Specialis Suatu Masalah), JP Books, Surabaya. L.J. van Apeldoorn, 1986, Pengantar Ilmu Hukum, Djambatan, Jakarta. Lily Rasyidi-B.Arief Sidharta (penyunting), 1994, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya , PT. Remaja Rosda Karya, Bandung. Moh. Nazir,1985, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. Martin Albrow,1996, Birokrasi (alih bahasa M. Rusli Karim-Totok Daryanto), PT Tiara Wacana, Yogyakarta. Marzuki Usman-Harry Seldadyo, 1998, Kiat Sukses Pengusaha Kecil. Penerbit Jurnal Keuangan dan Moneter. Jakarta. 1998. Miftah Thoha, 2003, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mansour Fakih, 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press, Yogyakarta. Moh.Ali Aziz - Suhartini- A. Halim (editor), 2005, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, LkiS, Yogyakarta. Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Moderen di Era Global, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Purnadi Purbacaraka-Soerjono Soekanto, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum & Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 1989, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, CV. Agung, Semarang. Robert H. Lauer, 2001, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Jakarta. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Rai Widjaya, 2002, Hukum Perusahaan. Penerbit Mega Pion. Jakarta. R. Soeroso, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Robinson Tarigan, 2005, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta. Rianto Adi, 2005, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta. Sjahran Basah, 1986, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Soerjono Soekanto-Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta. Sanafiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Dan Aplikasi, YA3, Malang. _____________, 1999, Format-Format Penelitian Sosial, PT RajaGrafindo, Jakarta. S. Prajudi Atmosudirjo, 1990, Dasar-Dasar Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam Pembangunan Jangka Panjang II, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung. Sudarwan Danim, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung. Sedia Willing Barus,2002, Strategi Memajukan Usaha Kecil danMenengah,Seminar Sehari Peringatan 25 Tahun Perusahaan Gerak Tanik, Pustaka Sora Mido, Jakarta. Sulabekri R. Tjitrosudibio, 1999, Kitab UndangUndang Hukum Perdata. PT. Pradhya Pramatia. Jakarta. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta. Said Zainal Abidin, 2012, Kebijakan Publik, Salemba Humanika, Jakarta. Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall, Englewoods Cliffs, NJ,. Tom Campbell, 1994, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan (terjemahan oleh F. Budi Hardiman), Kanisius, Yogyakarta. Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. 49
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih
Tadjudin Noer Effendi, 2000, Pembangunan, Krisis, & Arah Reformasi, Muhammadiyah University Press, Surakarta. Tachsan, 2006, Implementasi Kebijakan Publik, AIPI, Bandung. Yay A Sigler-Benyamin R Beede, 1977,The Legal Sources of Public Policy, Heath and Co,. Wukir Prayitno, 1991, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, CV.Agung, Semarang. William Dunn, 2001, Analisis Kebijaksanaan Publik (dialihbahasakan oleh Dr.Muhajir Darwin), PT Hanindita Graha Widia, Yogyakarta. Wayne Parsons, 2005, Public Policy : Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan, Prenada Media Group, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahan Amandemen I, II, III dan IV. Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal / Makalah / Hasil Penelitian : Materi Men.PAN-RB pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung 10-14 Oktober 2010 tentang Pembangan Reformasi Birokrasi Balikpapan. R. Siti Zuhro, Seminar Nasional Reformasi Birokrasi dalam Mewujudkan Good Governance di Daerah, Makalah disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Sumber-Sumber Lain : http : // multikultur – boxes.blogspot.com /2010.03 / BUMD – Badan –Usaha – Milik – Daerah – 17 htm diakses tgl 10 – 7 – 2011 jam 14.00 http://soetandyo.wordpress.com/2010/08/19/ mengkaji-dan-menelitihukum-dalamkonsepnyasebagai-realitas-sosial/diunduh tanggal 8 September 2013.
50
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TRAFFICKING ( Hasil Penelitian) Oleh Kamudin1 ABSTRAK This thesis discusses about the trying to aborting the trafficking indonesian works especially the women in Indramayu district. Due to in regional or international. The victim of trafficking or slavition, so many policy that made by government to fail the trafficking of women and children, basicly the decissions are relativly comprehensivly, since the Costitution 1945 to the rules below it. The problem about the trafficking to women workers in Indramayu district and act with regional government try in minimallizing of trafficking actions of women works in Indramayu district, analysis that done for failing the trafficking of women workers with a few rules about it. In this thesis discussions, the phenomenas are existing to basic problem that will be mixed with conseptual librariation and the mindset that developed for getting the datas of real using the yuridic and empiric. With the theory for determinating of observations. The thesis is using kualitatif with observation and interview. It is can be summaried that factors are causing the trafficking of women workers in Indramayu district, in regional or international fasilities caused by : poority, low education, the minority of job opportunity and the lifestyle the traffickers joining the nearest people of the living environment, the activities of goverments organitations to non government organitations are followed to minimizing the traffickers actions of women workers in Indramayu district. Keyword : Wises, Regional Government, Trafficking A.
LATAR BELAKANG MASALAH1 Pembangunan nasional yang dilakukan di Indonesia dari waktu ke waktu untuk tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Material maupun spiritual sehingga pembangunan dilakukan haruslah berorientasi pada tercapainya manusia yang sehat, mandiri, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa. Pada pembangunan ekonomi nasional masalah yang paling krusial adalah terciptanya lapangan kerja. Dalam kontek persaingan global masalah yang penting adalah perluasan pangsa pasar untuk produk dan jasa yang dihasilkan dunia usaha nasional dalam pasar global. Globalisasi membawa kompleksitas tantangan pada perubahan teknologi, kualitas, profesionalisme, standarisasi produk atau jasa dan kompetensi SDM, perdagangan bebas dan persaingan ketat. Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya 1
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon
untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik material maupun sepiritual. Masalah ketenagakerjaan Indonesia dari tahun ketahun dihadapkan pada pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi di satu sisi,sementara tingkat pendidikan dan keahlian yang masih belum memadai dan lapangan kerja yang terbatas di sisi lain. Pemerintah berusaha untuk mengurangi angka pengangguran dan juga meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itu penempatan tenaga kerja ke luar negeri merupakan salah satu alternatif / pilihan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Keterbatasan lapangan kerja di dalamnegeri menyebabkan yang tingginya dari para pencari kerja untuk bekerja di luar negeri, di sisi lain mengurangi permasalahan lapangan kerja di sisi lain banyak menimbulkan berbagai macam kasus hukum salah satunya 'traffiking' (perdagangan orang). Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah penempatan tenaga kerja yaitu Pasal 31 sampai dengan Pasal 38. Dalam Pasal 31 UndangUndang tersebut dinyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut mengatur bahwa penempatan tenaga kerja di luar negeri. Selanjutnya Undang-Undang Ketenagakerjaan ini mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Pengaturan tentang penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dalah Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan danPerlindungan Tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Namun demikian, ketika dibaca dan ditelaah secara kritis, Undang-Undang ini ternyata lebih banyak mengatur prosedural dan tata cara penempatan TKI ke luar negeri, dan hanya sedikit mengatur hak-hak dan jaminan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya Padahal, amanat untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran selain dimandatkan oleh konstitusi Negara (UUD 1945), juga tercermin dari komitmen negara meratifikasi sejumlah instrument hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh ILO dan PBB. Yang memberikan definisi yuridis “Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah”. Pada konsiderans menimbang huruf b,c,d,e disebutkan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kewajiban yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan. Dalam kenyataan yang terjadi, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Luar negeri menghadapi berbagai persoalan, antara lain menjadi obyek Perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta yang melanggar hak asasi manusia Oleh karea itu negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia. 52
Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri di suatu sisi mempunyai dampak positif yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri, namun di sisi lain pengiriman TKI ke luar negeri juga memberikan dampak negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Kebijakan penempatan tenaga kerja Indonesia diluar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyedian tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional, Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 bahwa yang menyatakan "Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan." Kemudian dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa “Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. Secara internasional, masalah perlindungan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja menjadi perhatian pokok mengenai masalah perlindungan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja, Organisasi Ketenagakerjaan Pada sisi yang lain, meski pemerintah menyatakan bahwa Republik Indonesia telah memiliki regulasi mengenai perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri, masalah-masalah yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri masih terus berlangsung yang acap kali menguras perhatian publik. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu melakukan penanganan secara terpadu terhadap kasus-kasus yang menimpa TKI karena berdasarkan UU RI No. 39 Tahun 2004 tentang HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri, negara memiliki tanggung jawab dalam hal perlindungan terhadap TKI. Fenomena perdagangan orang (Trafficking), sudah lama berkembang di berbagai Negara termasuk Indonesia, hal ini merupakan realitas yang nyata. perdagangan orang tidak lagi terbatas pada batas-batas wilayah Negara, akan tetapi melalui lintas batas. Perdagangan manusia, khususnya perempuan, dapat dikatakan sebagai salah satu kejahatan transnasional, karena sebagian kejahatan dilakukan dengan melibatkan jaringan kejahatan lintas negara. Sedemikian krusialnya masalah perdagangan manusia diperlihatkan oleh PBB melalui Kantor Komisi Hak Asasi Manusia (Office of High Commiasioner of Human Rigths) yang mengeluarkan Fact Sheet No. 14, Contemporary Forms of Slavery yang ditujukan untuk penanggulangan perdagangan manusia. Terkait dengan perdagangan manusia tersebut Indonesia menjadi salah satu sasaran utama dari para trafficker. Menurut IPEC (suatu organisasi di bawah International Labor Organization)jumlah total pekerja seks di Indonesia diperkirakan mencapai 650.000 orang perempuan dalam usia anak-anak di Indonesia dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial. Anak-anak perempuan tersebut banyak diperdagangkan dan dipekerjakan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Selain itu ILO-IPEC juga mencatat tempat-tempat tujuan perdagangan anak perempuan ini adalah Batam, Bali dan Medan Bahkan perdagangan anak perempuan ini juga dilakukan lintas negara seperti Taiwan, Singapura, Hongkong, Brunei dan lain-lain. Sumber pasokan perdagangan anak perempuan lintas negara ini disinyalir paling banyak berasal dan Indonesia Mengingat begitu seriusnya masalah perdagangan manusia tersebut maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara lebih efektif. Namun, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan, menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap perdagangan perempuan di daerah tujuan dan atau transit belum terlaksana secara efektif, sehingga tindak perdagangan perempuan masih marak terjadi. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa dalam menanggulangi perdagangan perempuan diperlukan suatu HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
upaya pencegahan dan penanggulangan terpadu antar institusi terkait, baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional. Provinsi jawa barat Kabupaten Indramayu menjadi basis pengirim TKI terbesar kedua nasional.Dengan remittance mencapai 1 milyar perhari, sedangkan kasus tindakpidana trafiking yang terjadi 11 kasus pada tahun 2014 yang dilaporkan. Korbannya kebanyakan tenaga kerja perempuan untuk diperkerjakan di tempattempat hiburan di dalam negeri dan tenaga kerja wanita laksana Penata Rumah Tangga (PRT) di luar negeri. Perlindungan perempuan dalam hal ini Tenaga Kerja Indonesia (TKI) wanita baik sebagai pembantu penata laksana rumah di luar negri atu di dalam negeri Dewasa ini semakin gencar dibicarakan baik secara lingkup daerah nasional dan internasional. Banyak konferensi diadakan untuk membicarakan berbagai hal berkaitan dengan penanggulangan kejahatan perdagangan manusia yang cenderung semakin meningkat.gencarnya pembicaraan mengenai perlindungan perempuan dan anak semata disebabkan semakin banyaknya terjadi kasuskasus manipulasi dan eksploitasi terhadap perempuan perempuan dan anak-anak .banyak informasi melalui yang disampaikan oleh mas media cetak maupun elektronik berkaitan dengan maraknya bentuk-bentuk eksploitasi dan manipulasi terhadap perempuan dan anak. Seperti pernah dilaporkan bahwa The United Nations Children's Fund, UNICEF memperkirakan lebih dari 2 juta perempuan dan anak-anak terlibat dalam perdagangan (Trafficking)dan eksploitasi sosial perempuan dan anak. Di Asia memcapai 30 juta korban. Begitu pula harian tempo pada 12 September 2007,yang berjudul "1300 pekerja asal Indramayu korban Trafficking. Korban rata-rata wanita di bawah umur 18 tahun berasal dari desa-desa terpencil di kecamatan Gabus Wetan, Kroya, Bongas, Patrol dan Anjatan. Data Trafficking ini merupakan data korban sepanjang tahun 2002-2006. Pemerintah daerah kabupaten Indramayu dalam mengantisipasi terjadinya tindak pidana trafiking yang banyak sekali terjadi di wilayah pemerintahan kabupaten Indramayu Dengan mengeluarkan peraturan daerah nomer 14 tahun 2005 "tentang pencegahan dan larangan Trafficking untuk eksploitasi seksual komersial anak di kabupaten Indramayu. 53
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
Peraturan daerah kabupaten Indramayu nomor:2 tahun 2013 tentang perlindungan ketenagakerjaan, bagian keempat “Perlindungan tenaga kerja,” pasal 33 “Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai pra penempatan, masa penempatan sampai dengan purna penempatan.” Kabupaten Indramayu sebagai pengirim tenaga kerja ke luar negeri terbesar pertama provinsi Jawa Barat. Dengan sederet kasus yang ditimbulkan dari permasalahan pengiriman tenaga kerja khususnya tenaga kerja wanita yang bekerja di dalam negeri dan luar negeri. B. 1. 2.
RUMUSAN MASALAH Apakah yang menjadi penyebab terjadinya Traffickingterhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) di kabupaten Indramayu? Bagaimanakah peran Pemerintahan Daerah dalam mencegah dan meminimalisasi terjadinya Trafficking terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) di kabupaten Indramayu?
C. PEMAHAMAN TENTANG TRAFFICKING Proporsi tenaga kerja wanita jauh lebih besar jika dibandingkan dengan proporsi tenaga kerja laki-laki. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 proporsi TKI yang berjenis kelamin perempuan adalah 79. 08 persen dan laki-laki hanya 20. 92 persen. Begitu pula pada tahun 2012 proporsi TKI berjenis kelamin perempuan adalah 59. 13 persen dan laki-laki 40. 87 persen. Besarnya proporsi tenaga kerja wanita diduga disebabkan oleh permintaan tenaga kerja di luar negeri lebih banyak sebagai pekerja rumah tangga dibanding disektor lainnnya. Perempuan dan anak perempuan di bawah umur sangat rentan terhadap kasus eksploitasi dan perdagangan manusia. Sarana eksploitasi yang sering digunakan adalah berupa ancaman, penyalahgunaan otoritas, jeratan hutang, perkawinan, penahanan dan pemerkosaan. Ketika korban sampai di negara tujuan mereka dipaksa bekerja tanpa pembayaran atau diperdagangkan untuk prostitusi.Perempuan juga menjadi korban dan perdagangan mempelai pesanan . Mereka tertipu oleh penawaran perkawinan dengan orang-orang asing, hanya berakhir kerja paksa atau bahkan lingkaran pelacuran. Ada juga kasus-kasus dimana dan anak perempuan dijual atau diperdagangkan sebagai istri ke orang - orang asing. Negara yang paling banyak menjadi tujuan Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah Arab Saudi, 54
Malaysia dan Taiwan. Pemilihan Arab Saudi mungkin terkait dengan kesamaan keyakinan mayoritas masyarakat Arab Saudi dengan masyarakat Indonesia. Sedangkan pemilihan Malaysia disebabkan kesamaam rumpun masyarakat Malaysia dan Indonesia yang sebagian besar adalah suku melayu, sehingga memiliki budaya yang hampir serupa. Tujuan pemilihan negara tujuan yang memiliki agama dan budaya yang sama adalah untuk mempermudah adaptasi dan terkait dengan kemudahan komunikasi dengan majikan. Berdasarkan data yang bersumber dari website BNP2TKI diperoleh bahwa selama kurun waktu 2006 hingga 2011 negara yang menjadi Primadona TKW adalah Arab Saudi (Tabel 1). Pada tahun 2006 hingga 2009 negara tujuan yang menjadi primadona TKW adalah Saudi Arabia kemudian diikuti oleh Malaysia. Pada tahun 2010 terjadi sedikit pergeseran, setelah Saudi Arabia (45.56 persen) negara tujuan kedua adalah Taiwan (12,22%) kemudian diikuti Malaysia (9.28 persen) . Karena banyaknya kasus hukum yang menimpa TKI Indonesia khususnya tenaga kerja wanita yang bekerja di timur tengah, Indonesia akhirnya menghentikan pengiriman TKW ke Negara–negara timur tengah,pada permasalahan ini pemerintah sebenarnya dalam keadaan posisi serba salah,dengan dihentikanya pengiriman tenaga kerja Indonesia khususnya TKW pada sektor informal bertentangan dengan konstitusi dan undang undang, dan dihadapkan dengan permasalahan meningkatnya pengangguran serta belum tersedianya lapangan kerja pengganti penghentian pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, Disisi lain dengan banyaknya kasus : kekerasan,pelecehan,pemerkosaan, penganiayaan, gaji tidak dibayar, hukuman mati,pemerintah akhirnya menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia sektor informal keseluruh Negara timur tengah, padahal bila regelusinya ketat terhadap perekrutan penempatan,dan pra penempatan kejadian ini tidak seyogyanya terjadi: seperti bagaimana seorang calon tenaga kerja harus mempunyai kualifikasi sertifikasi keterampilan dengan standar ketat, tingkat pendidikan dinaikan harus kelulusan SLTA,dan regulasi yang mempunyai komitmen berpihak terhadap perlindungan terhadap tenaga kerja wanita bukan pada konsersium perusahaan tenaga kerja. Pada tahun 2011 sebaran negara tujuan TKW cenderung lebih bervariasi dibandingkan HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
dengan tahun-tahun sebelumnya. Negara yang menjadi tujuan adalah Saudi Arabia (49.89 persen), Taiwan (18,49 persen), (Hongkong 4.27 persen), Singapore ( 11, 87 persen), Malaysia (11.08 persen) dan sisanya ke Negara lainnya. Jika diperhatikan secara umum dari tahun ke tahun TKW dengan negara tujuan Taiwan mengalami penambahan proporsi, sedangkan TKW dengan tujuan Malaysia cenderung menurun. Pada tahun 2012 negara tujuan yang paling banyak diminati TKW adalah Taiwan (23.19 persen), Hongkong (16.88 persen), Singapore (15,69 persen), Malaysia (13,71 persen) dan United Emirated Arab (11,73 persen). Persebaran Negara tujuan TKI yang cenderung lebih beraneka ragam di tahun 2011 dan 2012 dimungkinkan karena adanya peningkatan skill yang dimiliki TKW sehingga bisa masuk pasar kerja disektor jasa dan indutri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1. Trafficking umumnya terjadi pada kasuskasus pengiriman TKI ke luar negeri. Untuk itulah, penanganan terhadap masalah Trafficking juga perlu mengatasi masalah pengiriman tersebut. Sebab, banyak para calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Kelengahan mereka kemudian dimanfaatkan secara ekonomi namun tidak bertanggung jawab oleh sejumlah agen, calo, atau jasa pengiriman TKI. Negara kita sebenarnya sudah cukup maju dalam soal pemberantasan masalah Trafficking, yaitu telah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 20 Maret 2007. UU ini berisi 67 pasal. Pembahasan UU tersebut dimulai sejak tanggal 11 Oktober 2006, yang dilakukan antara Pansus RUU PTPPO bersama dengan pihak pemerintah. Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan manusia, membawa harapan baru dan tantangan bagi aparatur hukum dan pemerhati terjadinya tindak pidana perdagangan manusia untuk kembali memperhatikan dan mempelajari unsurunsur dan sistem perlindungan hukum (terutama bagi saksi korban) dalam tindak pidana perdagangan manusia. Perlindungan hukum yang sesuai bagi buruh migran guna mencegah terjadinya perdagangan perempuan buruh migran adalah : a) pembuatan bilateral agreement antara Indonesia dengan negara pengguna jasa buruh migran, b) pembentukan HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
lin desk yang menangani permasalahan buruh migran, c) memperluas fungsi LSM pendamping. Pola rekrutmen dan modus operandi menurut Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime Tahun 2000, Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak Melengkapi United Nation Convention Against Transnasional Terorganisir Tahun 2000, Menyebutkan bahwa pola rekrutmen adalah salah satu unsur dari perdagangan orang. Disebutkan dalam protokol tersebut bahwa kegiatan perekrutan dapat saja menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan / pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai "lalu lintas ini adalah orang-orang" bahkan jika dia tidak melibatkan satu cara yang ditetapkan dalam sub ayat (a). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang, adalah: 1. Perbuatan : merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima. 2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posiai rentan atau pemberian/ penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. 3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh. Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena kendati korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi. Selain itu, secara umum, modus operandi sindikat perdagangan perempuan dilakukan 55
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
dengan beberapa cara,yaitu. 1. Dengan ancaman dan pemaksaan. Biasanya dilakukan oleh trafficker yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan pelaku. 2. Penculikan. biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotia melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya. 3. Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat Trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya. 4. Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang menyalahgunakan kekuasaannnya untuk membacking sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerapkali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman. Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. 56
Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan. Modus operandi kejahatan ini semakin kompleks dalam bentuk-bentuknya maupun teknik operasionalnya, baik dilakukan secara perorangan, kelompok, maupun bersindikat. Sebagai gambaran, banyak anak perempuan Indonesia yang terperangkap di hotel-hotel di Tawau, Sabah, Malaysia, yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersial (PSK). Beberapa modus operandi dalam serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk perdagangan orang,sehingga bentuk perdagangan perempuan dan anak dapat dikelompokkan, antara lain : 1. Menjadikannya sebagai pembantu rumah tangga, akibat dari krisis ekonomi. 2. Menjadikannya sebagai komoditas seksual (dilacurkan) dan pornografi. 3. Menjadikannya sebagai tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa antara lain: pekerja anak untuk ternak, dan perkebunan. 4. Menjadikannya sebagai pengemis, pengamen atau pekerjaan jalanan lainnya. 5. Adopsi palsu dan/ atau penjualan bayi, yang seringkali ditemukan di daerah konflik atau daerah miskin. 6. Menjadikannya sebagai materi melalui pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang kemudian dieksploitasi. 7. Menjadikannya sebagai alat untuk melakukan perdagangan narkotika 8. Dipekerjakan di perkebunan dan pabrikpabrik atau tenaga kasar dengan upah sangat murah. 9. Menjadikannya sebagai obyek/sasaran eksploitasi seksual oleh orang yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual degan anak-anak. 10. Menjadikannya sebagai obyek percobaan di bidang ilmu pengetahuan atau obyek pencangkokan organ tubuh. 11. Menjadikannya sebagai komoditi dalam pengiriman tenaga kerja imigran. 12. Menjadikannya sebagai alat bayar hutang. 13. Bentuk dan motif-motif lain yang hampir serupa dengan beberapa di atas. Modus operandi tersebut, bisa saja terjadi dengan melibatkan pihak-pihak mulai dari keluarga, kawan, calo, penyalur tenaga kerja (agen), oknum aparat, sindikat serta pengguna. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
Kejahatan ini juga merupakan kejahatan terorganisir dan terencana. Sebagai contoh, seorang anak perempuan di lndramayu sudah dipersiapkan sejak kecil yang nantinya dapat diperdagangkan menjadi pelacur. Atau agen di desa sengaja menjebak keluarga miakin yang mempunyai anak perempuan untuk berhutang dengan bunga yang tinggi sehingga tidak dapat membayar, akhirnya menyerahkan anak perempuannya. Jebakan hutang ini tidak saja dilakukan di pedesaan, tapi juga terjadi di daerah-daerah miskin lainnya. Maraknya praktik perdagangan orang tidak dapat dipungkiri lagi sebagai suatu kenyataan yang telah lama ada. Tingginya data korban perdagangan orang seperti yang telah diidentifikasi dan dibantu oleh international Organization for Migration (IOM) sepanjang Maret 2005 — Juni 2010 (lihat tabel 4) disebabkan kurangnya kesadaran maupun ketanggapan dari masyarakat dan belum adanya ketentuan yang komprehensif bagi penegak hukum serta kurang sensitifnya aparatur pemerintah terhadap praktik perdagangan orang. Mayoritas korban perdagangan orang yang telah dibantu oleh IOM sepanjang empat tahun tersebut adalah perempuan, dan lebih dari 20% antaranya tergolong anak-anak yang memang paling rentan untuk diperdagangkan. Data di atas tentu saja tidak mencerminkan jumlah korban yang sesungguhnya, bagaikan fenomena gunung es, karena perdagangan orang adalah jenisunderreported crime. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena banyak korban yang tidak mempunyai kesempatan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian atau merasa takut melaporkan kasus yang menimpanya, bahkan merasa tabu untuk mengungkapkan kasus yang dialaminya demi menjaga martabat diri dan keluarganya. Indonesia selama ini tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim, namun juga sebagai negara transit dan penerima. Artinya beberapa daerah di Indonesia, dikenal sebagai daerah korban berasal dan ada beberapa daerah yang menjadi tempat korban dieksploitasi. Mereka tidak hanya diperdagangkan dalam wilayah Indonesia namun juga ke luar wilayah Negara. Sepuluh Provinsi tujuan terbesar dari perdagangan orang dalam wilayah Indonesia adalah Kepulauan Riau, DKI, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bangka-Belitung, Riau dan Sulawesi Tengah. Sedangkan sepuluh Negara tujuan terbesar perdagangan orang dari Indonesia, adalah Malaysia, Saudi Arabia, HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Singapore, Jepang, Kuwait, Sirya, Iraq, Jordania, Suriname dan Mauritania. Sebenarnya, komitmen Pemerintah untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang telah sangat kuat dan larangan praktek perdagangan orang sudah diatur dalam produk hukum nasional. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke 4, Pancasila, Sila kedua yaitu: "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab," menunjukan bahwa perbudakan tidak dimungkinkan, apalagi berdasarkan pasal 28 (1) negara menjamin "hak untuk tidak diperbudak" (amandemen Ke-2, tanggal 18 Agustus 2000). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 297: “perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun". Meskipun pada kenyataannya korban perdagangan orang tidak hanya perempuan dan laki-laki yang belum dewasa melainkan orang-orang yang berada dalam posiai rentan, baik perempuan, laki laki, dewasa dan anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 ini juga memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Pasal 324 KUHP: "Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun". Kejahatan perdagangan perempuan merupakan kejahatan yang terorganisir,dimana para pelaku kejahatan mempunyai peran yang berbeda satu dengan yang lainnya, disamping itu kejahatan "perdagangan perempuan" cakupannya mencapai luar Negara Ada beberapa hal yang perlu diyakini untuk sebuah jenis kejahatan terorganisir, yaitu: 1. Bersifat global dan transnasional 2. Melibatkan jaringan yang luas dan sistematik 3. Memanfaatkan teknologi tinggi (high tech) termasuk information communication tech. Senada dengan pendapat di atas, Mardjono menyinggung bahwa "perdagangan perempuan" juga diduga terkait erat dengan masalah kejahatan terorganisir (organized crime) yang mengacu pada suatu organisasi "rahasia" (seperti mafia yang kemudian bernama La Cosa Nostra, Yakuza, Triad dan sebagainya). FBI (Federal Bureau Investigation) 57
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
mempunyai definisi tentang organisasi kejahatan sebagai berikut: "Any group having some of formalized structure whose primary objectives ia to obtain money through illegal activities. Such groups maintain their position through the use threat of violence, corrupt public official, graft or extortion and generally have a significant impact on the people in their local or regionor country as a whole. One major crime group epitoinizes thia definition-La Costa Nosta". "Setiap kelompok yang mempunyai beberapa struktur yang diformalkan yang tujuan utamanya adalah untuk memperoleh uang melalui kegiatan-kegiatan ilegal. Kelompok-kelompok seperti itu memelihara posisi mereka melalui penggunaan ancaman kekerasan, pejabat-pejabat publik yang korup, penyuapan atau pemerasan dan pada umumnya mempunyai dampak yang signifikan pada orang-orang dalam tempat atau daerah atau negara.secara keseluruhan. Salah satu kelompok kejahatan yang besar menurut definisi ini” Sementara itu, Cressey, mengatakan bahwa: "Organized Crime adalah "kelompok", "gang", "gerombolan", "pasukan", "himpunan', "jaringan", "sindikat", "kartel", dan "konfederasi" yang memiliki sebagai tujuan "kriminal" disebut "organisasi kriminal" dan oleh sebab itu merupakan "kejahatan yang diorganisir". Pada United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime pada tahun 2000, ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan organized criminal group merupakan" “A structured group of three or more person, exiting for period of time and acting in concert with the aim of commiting one or more serious crime of offtence estabiliahed in accordance with thia Convention, in order to obtain, directly or indirectly a financial or other material benefit..." "Sebuah kelompok yang terstruktur terdiri dari (tiga) orang atau lebih, dan ada untuk suatu periode waktu tertentu, bertindak bersama-sama dengan tujuan melakukan satu atau berbagai bentuk kejahatan atau pelanggaran yang serius yang ditetapkan oleh konvensi ini, dengan maksud untuk mendapatkan secara Iangsung maupun tidak, keuntungan finansial atau materi lainnya" Dua bentuk kejahatan yang mendapat prioritas dalam konvensi ini adalah korupsi dan money laundering. Namun selain kedua kejahatan di atas, dapat dicatat berbagai kejahatan yang umumnya dilakukan dalam rangka transnational 58
organized crime, seperti 1. Penyelundupan migran (Migrant Smuggling) 2. Pemutihan uang (Money Laundering) 3. Perdagangan manusia (Human Trafficking) 4. Memproduksi dan memperjualbelikan senjata api secara ilegal (Licit Production &Trafficking in Fire Arm) 5. Penipuan melalui kartu kredit (Credit Card Fraunds) 6. Kejahatan yang berkenaan dengan perbankan (Bank-related Crimes) 7. Perdagangan narkotika dan psikotripika serta obat terlarang lainnya (Drug Trafficking), dan 8. Pelacuran serta pornografi (Prostitution and Phornography) Menurut Bunbongkarm, kejahatan trans nasional adalah bentuk yang harus memiliki elemen-elemen sebagai berikut: 1. Lintas batas, baik yang dilakukan oleh orang (penjahat, kriminal buronan atau mereka yang sedang melakukan kejahatan, atau korban) seperti dalam kasus penyelundupan manusia. 2. Pengakuan internasional terhadap sebuah bentuk kejahatan. Pada tataran nasional, sesuai prinsip nullum crime, nullum peona since lege (tidak ada serangan, tidak ada saksi apabila tidak ada hukumnya). Kejahatan "perdagangan perempuan" tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui berbagai pertimbangan yang matang oleh para pelaku, sehingga para pelaku mau melakukan perbuatan tersebut. Menurut Gary Becker, Rational Choice" adalah: “if the expected utility to him exceeds the utility he could get by using hia time and other resources at other activity. Some persons become `criminals, therefore, not because their basic motivation differs from that of other persons,but their benefit and cost differ". "Rational Choice adalah jika manfaat yang diharapkan bagi dirinya melebihi manfaat yang ia dapat dengan menggunakan waktunya dan sumber-sumber lain pada kegiatan lain. Sebagian orang menjadi 'penjahat, bukan karena motivasi dasar mereka berbeda dari motivasi dasar orang lain, tetapi yang berbeda adalah manfaat dan biayanya" Sebenarnya penggunaan Rational Choice Theory bagi penjelasan peran pertimbangan seseorang melakukan suatu kegiatan tidak saja berlaku bagi pelaku Trafficking, namun Rational Choice Theory tersebut juga dapat menjelaskan mengapa korban potensial dapat terjebak dalam HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
kegiatan perdagangan perempuan yang dialaminya. Memperkuat pernyataan tersebut kita dapat merujuk pendapat Heath, Carling dan Coleman yang menjelaskan Rational Choice Theory dalam perannya menjelaskan pertimbanganpertimbangan seseorang menentukan tindakannya, yakni: in rational choice theories, individuals are seen as motivated by the viz9rits or goals that express their 'preferences'. They act within specific given constraints and on the basia of the information that they have about the conditions under which they are acting. At its simplest, the relationship between preferences and constraints can be seen in the purely technical terms of the relationship of a means to an end. As it ia not possible for individuals to achieve all of the various things that they want, they must also make choices in relation to both their goals and the means for attaining these goals. Rational choice theories hold that individuals must anticipate the outcomes of alternative courses of action and calculate that which will be best for them. Rational individuals choose the alternative that ia likely to give them the greatest satiafaction. "Didalam teori pilihan rasional, individu dilihat sebagai orang yang termotivasi oleh tujuan atau keinginan yang mengekspresikan pilihan mereka. Mereka bertindak di dalam batasan spesifik, diberi dan atas dasar informasi yang mereka miliki tentang kondisi-kondisi di mana mereka sedang bertindak. Pada kondisi yang paling sederhana, hubungan antara hambatan atau batasan dan pilihan dapat dilihat sebagai hal yang semata-mata teknis sifatnya, menyangkut hubungan dari suatu alat-alat bagi suatu akhir. Karena itu tidaklah mungkin bagi individu untuk mencapai semua hal-hal yang mereka inginkan. Mereka harus membuat aneka pilihan dalam hubungan dengan pencapaian tujuan mereka. Teori pilihan rasional berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil dari bermacam tindakan alternatif dan mengkalkulasi yang terbaik untuknya. Individu secara rasional memilih alternatif yang mungkin dapat memberkan kepuasan yang terbesar bagi dirinya" Pengertian Kejahatan "perdagangan perempuan" adalah merupakan kejahatan terorganisir di mana kejahatan "perdagangan perempuan" sudah melampui lintas batas suatu negara dan peran para pelaku kejahatan HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
terhadap perempuan mempunyai pembagian kerja sesuai dengan keahlian dan kemampuannya masing-masing Modus operandi yang dilakukan para pelaku kejahatan "perdagangan sangat beraneka ragam, dari mulai mengiming-imingi pendapatan yang lebih baik menjadi pekerja rumah tangga, memalsukan surat perjalanan ke luar negeri, berkedok panti pijat, berkedok salon kecantikan atau rambut, berkedok sebagai duta seni Indonesia sebagai penyanyi dan penari, bekerja di restoran sampai dengan pernikahan, dalam bentuk pengantin pesanan, semua modus operandi ini dengan menggunakan serangkaian kata-kata bohong/janji-janji atau keadaan palsu yang dilakukan oleh para pelaku kepada para korban. Merujuk kembali pada asumsi bahwa kejahatan "perdagangan perempuan" tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui berbagai pertimbangan yang matang, baik oleh para pelaku maupun korban, sehingga para pelaku ataupun korban mau melakukan perbuatan tersebut, maka dalam memahami mengapa para pelaku dan korban mau melakukan kegiatannya dalam "perdagangan perempuan" tentunya harus diletakkan pada konteks perseptual tentang pilihan perilakunya secara spesial. Konteks spesial ini jelas akan menjadi lingkup terjadinya kegiatan "perdagangan perempuan". Peran spasial ini, lebih jelasnya, akan menjadi wadah dimungkinkannya kegiatan "perdagangan perempuan" dalam hat bertemunya pelaku potensial dan korban potensial, tersedianya tempat berlangsungnya proses "perdagangan perempuan" (tempat terdapatnya korban potensial dan tempat berlangsungnya rekrutmen, transportasi dan transanksi). Adalah behavior-space perception yang kemudian menjadi salah satu faktor penentu seseorang mengambil keputusan dalam berperilaku secara spasial, seperti memunculkan kriteria jarak terdekat, meminimalisir waktu dan tenaga, meningkatkan estetika. Persepsi perilaku-ruang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki seseorang dalam konteks kultural yang terproses dengan mendasarkan diri pada kenyataan-kenyataan fisik yang telah tersaring ke dalam kenyataan-kenyataan sosial. Perilaku "perdagangan perempuan" merupakan akibat dari evolusi dari masyarakat, dimana perilaku tersebut dapat mengakibatkan kerugian di pihak perempuan, baik secara fisik maupun psikis. Untuk menghambat atau menertibkan perilaku tersebut diperlukan suatu 59
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
pranata hukum, sehingga perbuatan tersebut menjadi perilaku yang dilarang berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Selain upaya represif, dibutuhkan juga upaya preventif dengan rnenggunakan metode pendekatan secara sosial (Social Crime Prevention) dalam upaya mencegah "perdagangan perempuan" seperti yang diungkapkan oleh M. Kemal Dermawan, bahwa Social Crime Prevention adalah segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan Pelanggaran. Hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi atau pemberian.Kasus perdagangan orang seperti gunung es, banyak yang menjadi korban tetapi karena belum terlindunginya secara hukum, korban dan Para saksi tidak berani melapor dan memberikan kesaksian. Perdagangan orang, khususnya perempuan dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara. Berangkat dari realitas tersebut kita membutuhkan aturan (undang-undang) yang mempunyai keberpihakan terhadap korban dan saksi. Pada akhirnya bangsa Indonesia mempunyai UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yang disahkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2007 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.Tindak perdagangan orang merupakan hal yang sangat kompleks, melibatkan banyak orang, banyak tempat, banyak cara, banyak tujuan, dan dapat terjadi di dalam negeri maupun lintas Negara. Untuk membuktikan sebuah kasus kejahatan perdagangan orang dapat difahami dari ciri-cirinya, yaitu adanya perekrutan, pengangkutan, transfer, penyembunyian, dan penerimaan orang (bisa diaebut komponen prosesnya) dengan ancaman, atau rnenggunakan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunan kekuasaan atau penyalahgunaan posiai rentan atau memberikan atau menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi, paling tidak mencakup eksploitasi pelacuran dari orang atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayan paksa, perbudakan, atau pengambilan organ tubuh. Sudah banyak kasus terjadi bahwa kaum perempuanlah yang selalu menjadi korbannnya, hal yang paling menyedihkan dari kasus ini adalah proses pemulihan bagi para korban Trafficking. Dan memang bukan hal yang mudah 60
serta memerlukan waktu yang cukup panjang untuk pemulihannya. Pemulihan para korban tidak saja mempertimbangkan aspek-aspek fisik, tetapi juga perlu melihat psikis korban. Titik tekan dari letaknya korban Trafficking sebagai subjek. Dengan pendekatan ini, korban kekerasan tidak saja mendapatkan penanganan pemulihan secara umum dan menjadi objek. Fenomena Trafficking di Indonesia semakin mengerikan, terutama setelah krisis ekonomi dan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Modus yang digunakanpun semakin kreatif, antara lain dengan menjadi: pembantu rumah tangga domestik maupun migran.Hanya undocumented, adopsi anak, penjualan bayi, pengemia yang terorganisir, pengedar narkoba, pekerja di tempat hiburan, target pengidap pedofilia, prostitusi, pengantin pesanan, penjualan organ tubuh, umroh dan pengiriman delegasi kebudayaan. Dalam memahami masalah perdagangan perempuan, penjelasan terjadinya aksi "perdagangan perempuan" dalam konteks interaksi antara pelaku dan korban menjadi sangat signifikan. Penjelasan dalam konteks ini dapat pula memahami peran perempuan dalam posisinya menjadi korban kejahatan. Dalam khasanah kriminologi, konteks budaya bangsa: ini dimasukkan dalam kategori pemahaman viktimisasi kriminal, dapat menjelaskan dalam posisi seperti apa perempuan sebagai korban juga mempunyai peranan penting untuk mendorong timbulnya atau terjadinya, kejahatan, baik disadari atau tidak disadarinya. Seperti yang diungkapkan oleh Von Hentig dalam bukunya "the Criminal and Hia Victim" yang dikutip dari Arif Gosita: bahwa korban sangat berperan dalam hal timbulnya kejahatan, karena si korban tidak hanya menjadi sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas, tetapi juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, dan mengerti masalah kejahatan, delikuensi dan deviasi. Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack menilai, bahwa ada tiga tipologi keadaan sosial di mana seseorang dapat menjadi korban kejahatan yaitu: (a) calon korban sama sekali tidak mengetahui akan terjadi kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan terjadi kejahatan; (b) calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah laku korban atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui untuk menjadi korban; (c) calon HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, dan ia sendiri tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan persetujuannya untuk menjadi korban. Jadi dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pengaruh si korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap dan tingkah laku korban sebelum saat dan sesudah kejadian. Oleh karena itu pihak korban dapat berperandalam keadaan sadar atau tidak sadar secara langsung atau tidak Iangsung, sendiri atau bersama-sama, secara aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi dan kondisi sebelum saat dan sesudah kejadian berlangsung. Secara logika, tidak akan ada orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi-kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta sehingga terjadilah kejahatan dan dia sendiri yang menjadi korban. Sepintas orang tidak dapat melihat peranan korban dalam hal terjadinya kejahatan. Bahkan si korban sendiri seringkali tidak menyadari bahwa dirinyalah yang sebenarnya memegang peranan penting pada saat ia menjadi korban kajahatan. Demikian juga Von Hentig telah lama menulis bahwa temyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang untuk melakukan kejahatan, membuat seseorang menjadi penjahat.Peranan korban dalam mempermudah terjadinya kejahatan (dalam konteks penelitian adalah perdaganagan orang) juga dapat dijelaskan melalui teori "Pertukaran Sosial". Teori pertukaran sosial pada jaman yang lebih modern dimotori oleh pekerjaan para sarjana sosiologi antara lain seperti Homans dan Blau Model yang muncul untuk menjelaskan teori pertukaran sosial (social exchange theory), pada dasarnya terdiri atas lima unsur utama yakni: 1. Perilaku diprediksi di atas pikiran yang rasional. 2. Hubungan menjadi dasar dalam sistem imbalan balasan. 3. Pertukaran sosial didasarkan pada prinsip keadilan. 4. Individu akan berupaya untuk memaksimalkan keuntungan mereka dan meminimumkan biaya mereka dalam hubungan pertukaran hubungan. 5. Individu mengambil bagian dalam suatu hubungan berdasarkan suatu perasaan kemanfaatan lebih dari pada paksaan timbal balik. Sementara itu, teori pertukaran sosial (social exchange theory) juga menjelaskan motivasi HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
individu dalam mengejar partisipasi dalam suatu aktivitas tertentu. Teori pertukaran sosial menjelaskan empat bangunan yang mempengaruhi seorang individu untuk mempertahankan keterlibatan, yakni: 1. Partisipan akan berupaya untuk memelihara keterlibatan mereka jika mereka secara berlanjut menerima kepuasan kebutuhannya yang mereka cari sejak awal dan berkembang melalui partiaipasinya. 2. Partisipan mencari pengalaman suatu perasaan imbalan balasan melalui keterlibatan mereka dalam pengejaran kepuasan dan kemanfaatan, dengan demikian, mereka berupaya untuk menerima sesuatu untuk keterlibatan mereka yang kira-kira sepadan dengan kontribusi mereka melalui aktivitas mereka. 3. Peserta ingin memastikan bahwa mereka menerima imbalan yang layak untuk keterlibatan mereka dibandingkan dengan orang lain yang mengambil bagian atau berpartiaipasi di dalam kegiatan yang sama atau serupa. 4. Peserta berupaya untuk meminimalisir biaya mereka sementara memaksimalkan imbalan mereka. Dengan begitu, berhenti berpartisipasi bisa dapat disebabkan oleh karena biaya finansial yang dikeluarkan tidak sebanding dengan imbalannya. Mengacu pada beberapa prinsip Teori "Pertukaran Sosial", di atas maka peran korban dalam pentas perdagangan manusia juga sangat signifikan. Para perempuan korban perdagangan perempuan bisa saja mengambil pilihan untuk masuk dalam pentas perdagangan perempuan ini dengan didasari oleh pikiran rasional dan kemanfaatan ekonomi. D. PERDAGANGAN PEREMPUAN Di Indramayu khususnya wilayah Indramayu barat Mencari uang (luruh duit) ataupelacuran sangat familiar.menurut Tata Sudrajat, Ahli Manajemen Sosial alumni Universitas Indonesia, merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi Kab. Indramayu sejak dulu sampai sekarang.Ini yang membuat Indramayu dikenal sebagai daerah pengirim pelacur di Indonesia. Menurut Kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Indramayu, tahun 1999 terdapat 1.530 pelacur.Tahun 2013 meningkat menjadi 1.752 orang pelacur, 25 persen berusia di bawah 18 tahun.Data Dinas Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Indramayu sebanyak 2.324 pelacur tersebar dihampir semua kecamatan di Kab. Indramayu. 61
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
Menurut Tata Sudrajat, jumlah pada kecamatan yang dilalui jalur kereta api lebih besar. Fakta tentang ini juga diungkapkan oleh Koentjoro (2004: 95) yang menyebutkan bahwa pelacuran mencapai puncak pertamanya sejak abad ke-18, yaitu pada saat pembangunan perkebunan dan perkeretaapian dimulai di Pulau Jawa. Pembangunan rel kereta api di waktu dulu tidak saja menumbuhsuburkan lokalisasi pelacuran, terutama di sekitar stasiun, tetapi juga mendorong terbentuknya komunitas-komunitas pemasok pelacuran. Perkembangan komunitas pelacuran menurut Koentjoro (2004: 96) terjadi karena, “ketika perempuan-perempuan menjadi pelacur, sebenarnya saat itu hubungan antara desa dan pelacuran telah mulai terbentuk. Interaksi yang terus terjalin antara si pelacur dan daerah asalnya memunculkan komunitas-komunitas pemasok pelacuran.”Kerentanan anak menjadi korban Traffickinguntuk eksploitasi seksual di Indramayu cukup tinggi seperti pada daerah dampingan YKAI, dari 121 binaan yang tersebar di Desa Gabus wetan, dan Amis loyang , desa sekitar kecamatan Bongas hubungan anak dengan pelacur,
3.
4.
5. 6.
7. Mereka rawan karena berada dalam lingkaran orang yang berkecimpung dalam pelacuran. Tingkat kerawanan lebih tinggi jika lebih dari satu orang diantara orang dekat mereka ada yang menjadi pelacur, antara lain ibu sendiri, saudara kandung, tante, atau sepupu, terlebih jika orang tua baik ayah, paman, atau tante yang menjadi calo atau germonya. Tujuan dari warga yang “Mencari uang ” menurut Tata Sudarajat adalah untuk mencari kekayaan(kesugihan). Kekayaan ini tergambarkan sebagai suatu kesenangan, supaya ekonominya tercukupi dan tidak kalah dengan orang lain, status sosialnya terangkat dan untuk masa depan yang lebih baik, serta supaya dapat membahagiakan seluruh keluarganya terutama orang tuanya, sehingga secara otomatis akan mendapat penghargaan dari orang-orang sekitarnya dan kebanggaan diri. makna mencari kekayaan (Luru Duit) sebagai berikut : 1. Tujuan memperoleh kekayaan, disebabkan oleh dorongan ekonomi karena tidak punya (miskin) dan (untuk) kerja lain membutuhkan tenaga yang berat, atau tidak punya sawah. 2. Kekayaan–kekayaan diwujudkan dengan rumah yang bagus dibandingkan dengan yang tidak Mencari uang juga berbeda dari orang kaya biasa seperti petani. 62
8.
Kegagalan memperoleh kekayaan disikapi dengan penerimaan bahwa hal itu sebagai takdir atau nasib buruk. Biasanya mereka berhenti sementara kemudian mencari cara lagi untuk meraih kesuksesan. Beberapa cara merespon kegagalan adalah: Mencari dukun yang ampuh, Operasi plastik, MenjadiBuruh (kuli), menjadiPRT, dan mencari suami Mencari uangmerupakan kebiasaan turun temurun. Sebagai kebiasaan turun temurun, Mencari uangmenjadi sesuatu yang terbuka dan diterima masyarakat,bahkan masyarakat sangat menerimanya. Selama ini tidak ada sanksi sosial karena dinilai sudah tradisi. Masyarakat sudah menyadari sebagai kejahatan tetapi ada juga yang menganggapnya tidak demikian. Masyarakat memandang Mencari uangbukan suatu kejahatan, melainkan sebuah pekerjaan. Mencari uang sudah tidak dianggap sesuatu yang salah, bahkan menjadi kebanggaan. Mencari uangmudah memperoleh uang dan tidak ada sanksi apapun baik dari pemerintah maupun masyarakat. Mencari uangtidak melanggar hukum dan apabila ada penipuan dari calo atau germo selalu tidak berdaya karena kekuatan kekuasaan germo dan anak buahnya. Jadi masyarakat tidak menuntut, hanya mengikuti keinginan germo. Dan aparat terkait tidak peduli akan adanya penipuan – penipuan yang dilakukan calo dan germo. Mencari uangsudah tidak memperhitungkan halal atau haram. Mereka menikmati kesenangan tanpa memikirkan kehidupan akhirat kelak. Mereka yang Mencari uang tidak ke masjid, jarang beramal, tetapi ada juga mantan pelacur yang sudah hajjah yang menyumbang pembangunan masjid.
E.
DEFINISI PERDAGANGAN ORANG Menurut Protocol to Provent, Suppres and Puniah Trafficking in Perons Especially Women and Children Suplemeting the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah: (a) .... The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of person, by means oh threat or use of force or other for more coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulneralibility or a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of sexual explanation, forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. "...rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posiai rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi yang minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh"). "Perdagangan perempuan (dan anak)" menurut Koalisi Anti Trafficking, didefinisikan sebagai pergerakan (manusia) lintas batas, mengandung konotasi pemaksaan, penipuan, dan perdagangan manusia.Menurut Departemen Luar Negeri AS, Trafficking, khususnya "perempuan (dan anak perempuan)" untuk keperluan prostitusi dan kerja paksa, merupakan salah satu dari kegiatan kriminal internasional yang berkembang sangat cepat. "Perdagangan perempuan" mengandung arti sebagai pergerakan manusia meninggalkan daerah asalnya secara terpaksa (karena ada ancaman) maupun tidak (dengan penipuan melalui iming-iming pekerjaan) untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat eksploitatif, menekan dan menindas secara psikologis, fisik, seksual maupun ekonomi di tempat tujuan.Pelakunya meraup keuntungan luar biasa dari kegiatan ini, sementara korbannya mengalami penderitaan luar biasa dan tak jarang hidupnya berakhir secara tragia.Secara singkat, "perdagangan perempuan" adalah perdagangan manusia lintas batas di dalam maupun di luar negeri, terrnasuk penyelundupan manusia ke luar lintas batas Negara. Para aktivis pembela buruh migran memasukkan persoalan buruh migran sebagai bagian dari persoalan "perdagangan perempuan", karena pola rekrutmen calon HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
tenaga kerja yang berlangsung di Indonesia selama ini sampai pemberangkatan dan pengakuan di tempat tujuan . F. HASIL PENELITIAN 1. Bentuk-Bentuk Perdagangan Perempuan Ada berbagai bentuk dari perdagangan orang termasuk perdagangan perempuan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa perlindungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan. Buruh migran dieksploitasi sepanjang proses migrasi perekrutan hingga proses pra-keberangkatan, selama bekerja dan setelah kembali. 2. Pekerja/ Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan tertutup dari sorotan masyarakat umum. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi kemana mereka mau pergi, dan biasanya mereka dikurung dirumah ketika majikan mereka pergi. Karena PRT masuk dalam sektor informal, profesi ini seringkali tidak diatur oleh pemerintah dan berada di luar jangkauan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nasional. 3. Perempuan atau anak yang dipekerjakan sebagai pelacur. Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh migran. Banyak perempuan-perempuan yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri atau diluar daerah, dan tidak mengetahui dari bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka sampai di tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka, dan mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan dideportasi dan sebagainya. Perekrut mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara paksa dan dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan 63
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemudian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial. 4. Kerja Paksa. Orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak sendiri dan tanpa memperoleh imbalan yang layak atau tanpa imbalan sama sekali. 5. Pengantin pesanan. Ada kecenderungan yang marak di kalangan laki-laki dari negara industri untuk mencari pengantin dari negara berkembang atau sering diaebut dengan pengantin pesanan seperti Taiwan, Hongkong, Jepang, Cina, Australia, Amerika Utara dan Eropa, Kebanyakan perempuan yang banyak dipesan berasal dari Asia Tenggara, Eropa Timur dan Amerika Latin. Meskipun banyak kasus pengantin pesanan yang sukses dan bahagia, namun di sisi lain banyak terjadi kasus penganiayaan dan kekerasan fisik atau praktek-praktek serupa perbudakan. Dimana seorang istri dibeli semata untuk melakukan pekerjaan PRT dan memberikan layanan seks. 6. Pedofilia. Orientasi seksual yang obyeknya anak-anak. Orang dikatakan pedofil atau melakukan praktek pedofil bila melakukan hubungan seksual seperti sodomi, menyentuh, meraba, memainkan alat kelamin, berfantasi tentang anak-anak kecil. Beberapa aktifitas pedofilia yang masuk dalam kategori perdagangan anak, biasanya menjauhkan anak-anak dari orang tua maupun lingkungan keluarga dengan tujuan tertentu seperti eksploitasi seksual. 7. Tenaga Penghibur. Orang yang bekerja di tempat hiburan malam yang menemani pengunjung sehingga pengunjung merasa terhibur. Banyak kasus terjadi dimana perempuan yang direkrut menjadi tenaga penghibur mengalami pelecehan seksual dan ancaman bila tidak mau melayani para pengunjung. 8. Pengemis dan anak jalanan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia dimana anak-anak direkrut, diculik untuk dijadikan pengemia dan anak jalanan (anak yang bekerja di jalan). 2. Pelaku Perdagangan Perempuan Menurut Rosenberg, pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah: 1. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan 64
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KTP dan paspor serta secara illegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkan ke dalam industri seks. Agent atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen. Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara illegal. Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik dan seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang. Pemilik atau pengetola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 dan 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KHUP) dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjerat dalam libatan hutang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan memperkerjakan anak (di bawah umur 18 tahun). Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan rnenyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan. Orang tua dan sanak saudara, apabila mereka secara sadar menemui anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian Pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya dalam libatan utang. Suami. Jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim istrinya ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi. Sementara itu, dari sisi peranannya, pelaku dalam perdagangan orang (Trafficking) dibedakan ke dalam 3 (tiga) unsur, sebagai berikut: 1. Pihak yang berperan pada awat perdagangan; 2. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan; 3. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/ pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu. 3. Faktor-Faktor Terjadinya Trafficking Terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Kabupaten Indramayu Trafficking terhadap Tenaga Kerja Wanita ( TKW ) di kabupaten Indramayu pada kasus yang terjadi di dalam negeri pada umumnya untuk seks komersial, yang dipekerjakan ditempat-tempat hiburan, sedang kasus Trafficking yang terjadi di luar negeri biasanya menimpa pada tenaga kerja laksana rumah tangga dari keumuman kasus Trafficking yang terjadi. Terhadap Tenaga Kerja Wanita ( TKW ) disebabkan oleh beberapa faktor : Faktor Kemiskinan Kemiskinan merupakan faktor pendorong utama yang mempengaruhi terjadinya Mencari uang, akan tetapi hal ini bukan satu-satunya faktor, karena ada pula warga dan anak-anak yang meskipun miskin, tetapi tidak melakukan Mencari uang. Umumnya mereka hanya bekerja sebagai buruh tani dan berpendidikan SD. Bagi warga yang miskin, melakukan Mencari uang, dianggap sebagai jalan untuk mengatasi kemiskinan dimana mereka memperoleh keuntungan sekaligus. Pertama, bebas dari kewajiban memenuhi kebutuhan hidup anak atau isteri yang Mencari uang dan kedua, memperoleh keuntungan finansial. Faktor Gaya Hidup Sekalipun umumnya miskin, tetapi masyarakat setempat mempunyai gaya hidup hajatan yang biasanya harus dilengkapi dengan hiburan, kecuali warga yang sangat miskin. Acara ini biasanya terjadi pada musim panenan, ketika mereka memperoleh pendapatan lumayan dan sekaligus merupakan acara syukuran. Setiap acara hajatan, seperti perkawinan, sunatan, ataupun rasulan (sunatan bagi anak perempuan), hiburan harus selalu ada. Jenis hiburan HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
menunjukkan tingkat status sosial ekonomi orang tua. Kelas atas adalah hiburan orkes dangdut, khas tarling Indramayuan atau Cirebonan. Kelas menengah dengan sandiwara, dan kelas bawah cukup organ tunggal. Faktor Eksploitasi Terhadap Anak Anak-anak di Desa tidak hanya berada dalam situasi lingkungan yang buruk, tetapi mereka pun dipandang tidak sesuai jika diukur dari hak-hak anak. Orang tua masih memandang bahwa perempuan hanya berada di wilayah domestik. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena pada akhirnya hanya kembali ke rumah, ke dapur, sumur, dan kasur melayani suami. Akibatnya angka putus sekolah tinggi. Anak perempuan kemudian menjadi TKW, pelacur, pelayan café, atau PRT. Berdasarkan uraian tersebut terjadi eksploitasi terhadap anak oleh orang tua yang ditandai dengan: Perempuan berada di wilayah domestik sehingga tidak perlu bersekolah tinggi. Anak adalah aset keluarga. Menjadikan anak sebagai pelacur tidak dipahami sebagai kejahatan: tidak ada contoh kasus orang tua diadili karena melacurkan anaknya. Kebiasaan melacurkan anaknya. Faktor Permintaan akan Pelacur Mencari uangtidak semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor pendorong, tetapi juga karena faktor permintaan pelacur. Permintaan pelacur merupakan kebutuhan untuk mengisi industri seks yang cenderung menjadikan anak-anak sebagai sasaran utama. Mencari uangdimungkinkan karena adanya peran calo dan germo ini. Jaringan kerja calo dan germo di desa wilayah kecamatan Bongas sebagai desa pemasok pelacuran. Di kabupaten Indramayu tindak pidana Traffickingterjadi melalui perekrutan Tenaga Kerja keluar Negeri dalam hal ini kebanyakan perempuan sebagai Tenaga Kerja Wanita laksana Pembantu Rumah Tangga (PRT) di luar negeri dan tindak pidana Trafficking terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) di dalam negeri. Besarnya animo tenaga kerja yang akan dan sedang bekerja ke luar negeri di suatu sisi mempunyai dampak positif yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri, namun di sisi lain pengiriman TKI ke luar negeri juga memberikan dampak negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. kebijakan 65
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
penempatan tenaga kerja Indonesia diluar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyedian tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional, Provinsi Jawa Barat Kabupaten Indramayu menjadi basis pengirim TKI terbesar kedua nasional. Dengan remittance mencapai 1 milyar perhari, sedangkan kasus tindak pidana Trafficking yang terjadi 11 kasus pada tahun 2014. yang di laporkan. korbannya kebanyakan tenaga kerja perempuan untuk diperkerjakan di tempattempat hiburan di dalam negeri dan tenaga kerja wanita laksana Penata Rumah Tangga (PRT) di luar negerimaraknya bentuk-bentuk eksploitasi dan manipulasi terhadap perempuan dan anak. Seperti pernah dilaporkan bahwa The United Nations Children's Fund, UNICEF memperkirakan lebih dari 2 juta perempuan dan anak-anak terlibat dalam perdagangan (Trafficking) dan eksploitasi sosial perempuan dan anak. Di asia memcapai 30 juta korban. begitu pula harian tempo pada 12 September 2007, yang berjudul " 1300 pekerja asal Indramayu korban Trafficking. Korban rata-rata wanita di bawah umur 18 tahun berasal dari desa-desa terpencil di kecamatan Gabus Wetan,Kroya, Bongas,Patrol dan Anjatan. Data Trafficking ini merupakan data korban sepanjang tahun 2002-2006. Berdasarkan data dari bareskrim mabes polri,dalam kurun waktu 2005-2009 Jawa Barat menduduki perimgkat atas kasus Trafficking ini dapat dilihat dari dan korban yang terjadi di wilayah ini mencapai 794, disusul Kalimantan Barat 711 kasus,dan Jawa Timur 441 kasus. Adapun peringkat di bawahnya adalah Jawa Tengah 404 kasus dan Nusa Tenggara Barat dengan 233 kasus. Badan Nasional penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) merilis data bahwa pada tahun 2013, Telah menempatkan 512. 168 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Luar Negeri,dengan rincian 285. 197 TKI pekerjaan Formal dan 226. 871 untuk pekerjaan Informal, sedangkan pendidikan terakhir TKI yang paling banyak di tempatkan ke luar negeri adalah SMP dengan 191. 542 orang, SD 160.097 orang,SMU 124. 825 orang dan sarjana 6. 340 orang. Kabupaten Indramayu merupakan daerah pengirim TKI terbesar ke 2 di Indonesia. 66
Berdasarkan peta daerah asal TKI yang diterbitkan oleh BNP2TKI, TKI asal Indramayu berjumlah 28. 410 orang. Sedangkan berdasarkan data dari Disosnakertrans kabupaten Indramayu untuk tahun 2010 sebanyak 2. 915 orang menjadi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dengan tujuan: Saudi Arabia, Bahrain, Yordan, Qatar, UEA, Abu Dhabi, Oman, Syiria, Taiwan, Hongkong, Singapura, Malaysia, Macao, Jepang, dan Korea Dalam kasus Trafficking yang terjadi pada tenaga kerja Indonesia khususnya TKW yang bekerja keluar negeri banyak sekali modus operandi yang dilakukan : a. Merubah dokumen b. Memalsukan dokumen c. Menjanjikan pekerjaan yang ditawarkan tetapi mereka tidak tahu kondisi pekerjaanya. G. Peran Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam mencegah dan meminimalisasi. Trafficking terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Kabupaten Indramayu Kebijakan Pemerintah Kabupaten Indramayu mengenai prostitusi tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi yang diperbaharui Perda No. 4 Tahun 2001 (Bagian Hukum Setda Kabupaten Indramayu, 2002: 1 –8). Perda tersebut memuat 10 pasal, yang intinya berisi tentang: Larangan untuk mendirikan atau mengusahakan serta menyediakan tempat untuk melakukan prostitusi (pasal 2), larangan untuk melakukan, menghubungkan, dan mengusahakan, dan menyediakan orang untuk melakukan perbuatan prostitusi (pasal 3), termasuk bagi siapapun yang karena tingkah lakunya patut diduga dapat menimbulkan atau mengorbankan perbuatan prostitusi (pasal 4), termasuk pula siapapun di jalan umum atau di tempat yang kelihatan dari jalan umum atau tempat dimana umum dapat masuk dilarang dengan perkataan, isyarat, tanda atau cara lain membujuk atau memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan prostitusi, Termasuk siapapun yang kelakuannya atau tingkahlakunya dapat menimbulkan dugaan bahwa ia pelacur. Sanksi hukuman kurungan baik perempuan maupun laki-laki yang melakukan prostitusi selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Perubahan Perda berikutnya mengurangi hukuman menjadi selama-lamanya 3 (tiga) bulan, sedangkan denda tetap. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
Pemberian kewenangan kepada Penyidik Umum atau Penyidik PNS di Lingkungan Pemerintah Daerah. Perda peraturan daerah (Perda) Nomer. 14 tahun 2005 Tentang Pencegahan Larangan Tindak Pidana Trafficking Untuk eksploitasi seks komersial anak pada pasal 2, Tentang Maksud Dan Tujuan, pasal 3 Tentang Ruang Lingkup Dan Sasaran,dan pasal 8 Tentang peran pemerintah Desadan Kecamatan. Dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan pada pasal 11 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Dalam Negeri pasal 30 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Kerja ke Luar Negeri dan pasal 32 Persyaratan Kerja. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 tahun 2005 dan Nomor 2 Tahun 2013 sebagai implementasi pemerintah daerah untuk melindungi masyarakat daerahnya dari permasalahan ketenagakerjaan dan tindak pidana Trafficking terhadap tenaga kerja asal kabupaten Indramayu. Perda lain yang mengatur pelacuran adalah Peraturan Daerah No. 17 Tahun 2002 tentang Renstra Kabupaten Indramayu. Perda ini memasukkan pelacuran sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan istilah tuna susila (Pemerintah Kab. Indramayu, 2002: 15). PMKS dimasukkan sebagai salah satu bagian dari kemiskinan yang menjadi salah satu kendala dalam pembangunan Indramayu. Pada bagian program, penanganan pelacur termasuk pada pemberdayaan perempuan dengan sasaran “berkurangnya jumlah WTS asal Indramayu baik yang beroperasi di wilayah Indramayu, di luar Indramayu, bahkan di luar negeri”. Secara khusus untuk masalah anak yang dilacurkan, terdapat pada program peningkatan kesejahteraan sosial yang salah satunya bertujuan untuk menurunkan angka kawin-cerai di bawah umur dan eksploitasi seks komersial anak-anak. Jumlah korban Trafficking dari daerah Jawa Barat merupakan yang terbesar, namun bila ditelaah secara lebih detail banyak juga korban Traffickingyang sebenarnya bukan orang Jawa Barat tapi memiliki KTP Jawa Barat sehingga dianggap sebagai korban dari Jawa Barat Hal ini ditengarai terjadi karena market demand terhadap perempuan yang berasal dari Jawa Barat adalah yang terbesar, khususnya untuk dipekerjakan di cafe-cafe, di tempat hiburan malam, atau warung remang-remang. Menurut berbagai informan, besarnya HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
permintaan ini karena perempuan dari Jawa Barat umumnya dikenal memiliki paras yang cantik, berkulit putih, berperilaku sopan, tidak banyak menuntut dan sebagainya, sehingga disukai oleh para tamu yang datang ke tempat hiburan ataupun kedai minuman. Dalam konteks kerjasama antar daerah provinsi untuk pencegahan dan Penanganan masalah human Trafficking, sejauh ini sudah ada kerjasama antara 7 provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, dan Lampung yang tergabung dalam MPU (Mitra Praja Utama Kelemahan dalam penanganan Trafficking ini bukan terletak pada regulasi, karena berbagai regulasi yang dikeluarkan mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah sudah memadai atau bahkan sudah optiomal. Persoalannya justru pada tataran implementasi. oleh karena itu yang sangat krusial dilakukan adalah membangun kerja sama di antara berbagai stakeholders dari tingkat pusat sampai daerah. Program untuk pengurangan WTS disebutkan dilaksanakan dari tahun 2001 – 2005. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada pemberikan konsultasi dan pelatihan keterampilan. Program Pemerintah Kabupaten Indramayu yang menonjol dan mempunyai keterkaitan dengan penghapusan perdagangan anak adalah pendidikan. Pendidikan merupakan prioritas pertama pada Renstra 2001 – 2005 untuk melaksanakan misi mengembangkan sumber daya manusia. Hal ini untuk menjawab empat tantangan pendidikan yang menurut Renstra Daerah Kab. Indramayu Tahun 2001- 2005, mencakup masih rendahnya: Pemerataan memperoleh pendidikan, Kualitas dan relevansi pendidikan, Manajemen pendidikan, dan Efektivitas penyelenggaraan pendidikan Program pendidikan yang terkait dengan pencegahan perdagangan anak untuk pelacuran antara lain pengembangan pendidikan dasar dan prasekolah, pengembangan pendidikan menengah, dan pengembangan pendidikan luar sekolah. Kegiatan-kegiatan program yang terkait dengan pencegahan perdagangan anak untuk pelacuran, antara lain: Program Partisipasi 100% untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, dengan kegiatan antara lain penambahan bangunan lokal baru TK, SD/MI, dan SLTP/ MTs, pemberian beasiswa, pendidikan luar sekolah, pendidikan madrasah, penilaian kinerja sekolah, Bantuan Khusus Murid yang 67
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
besarnya Rp. 60.000 per semester, dimana rata-rata ada 43 anak yang mendapat bantuan BKM dalam 1 SD, Kartu Biru sebesar Rp. 300.000/anak untuk 3 anak/SD sebagai biaya melanjutkan sekolah ke SLTP. Program Percepatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) dari Provinsi Jawa Barat melalui pemberian Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS). Alokasi KBS di Indramayu adalah 8.000 KBBS untuk 8.000 siswa dari keluarga kurang mampu.
H. SIMPULAN 1. Trafficking yang terjadi di kabupaten Indramayu terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) baik yang dipekerjakan di dalam negeri maupun di luar negeri disebabkan oleh beberapa faktor : kemiskinan,kurangnya lapangan pekerjaan,rendahnya pendidikan ,utang piutang, riwayat pelacuran dalam keluarga permisif. Rendahnya kontrol sosial, dan rasionalisasi .Bagi sebagian masyarakat di wilayah kabupaten Indramayu yang diidentifikasikan sebagai pengirim Trafficking, dianggap tidak begitu mempermasalahkantentang adanya para wanita di bawah umur menjadi pekerja seks komersial ,mereka menyebutnya : Mencari uang. Mencari uang adalah pergi ke kota dengan menjadi Pekerja Seks Komersial ( PSK ),dan itu lumrah menurut mereka, “ Mencari uangtelah diterima dan dipraktekkan oleh masyarakat melalui proses shared meaning yang mencakup pemahaman, definisi, situasi,visi, nilai, kepercayaan, mitos, bahkan historisnya. 2. Pelaku tindak pidana Trafficking begitu terorganisir melibatkan orangorang terdekat : keluarga, tetangga, sehingga kasus Trafficking khususnya untuk seks komersial yang menimpa anak dibawah umur sulit dikenakan pasal sanksi pidana karena tidak ada korban yang melaporkan dan menganggap sebagai suatu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi karena budaya. Traffickingmencakup adanya pemindahan orang dengan cara penipuan untuk eksploitasi Traffickingadalah sebuah kejahatan kemanusiaan.
68
I. DAFTAR PUSTAKA Literature Haji, Son. aspek Hukum perlindungan TKI Perempuan Di Luar negri jurnal masalahmasalah,hokum universitas diponogoro, semarang,2003. Dwiyanto, Agus. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta cetakan kedua 2006. Nasution, Zaky alkazar. perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban perdagangan manusia,tesis,universitas diponegoro,2008 Rokhaeli, Nur .,2005, jurnal masalah-masalah hukum universitas diponogoro,semarang trafiking (perdagangan) perempuan dan anak di Indonesia sebagai pelanggaran hak asasi manusia Chotib ,migrasi international: Tenaga kerja perempuan dan Trafficking, universitasIndonesia Harkisnowo, Harkristuti., laporan perdagangan manusia di Indonesia,universitas Indonesia,hlm: 43 Harkisnowo, Harkristuti., Transnational Organized Crime: Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologl. Indonesian Jurnal of International Law, Volume 1 No. 2 Januari 2004, Ali, Z., metode penelitian hukum,sinar grafika, Jakarta,2009. Raharjo satjipto., teorihukum “strategi lintas manusia lintas ruang dan generasi”editor :Bernard l Tanya,yoan N simanjuntak,markus Y.hage,,genta. Dirjosisworo, Soedjono., kuliah Prof Donald R. Cressey, tentang Kelahatan Mafia, Ami, Bandung, 1985, hal. 32-33. Fuady, Munir., teori- teori dalam sosiologi hukum kencana,2011. Irwanto,perdagangan anak di Indonesia. Dwiyanto indiahono, kebijakan publik berbasis dynamic policy analysis, Gava media,2009 Indiahono, Dwiyanto. Reformasi “Birokrasi Amplop”: Mungkinkah?. Gava Media: Yogyakarta 2006. Rochaeli, Nur, 2005,Trafficking (perdagangan) perempuan dan anak di Indonesia sebagai pelanggaran hak asasi manusia,jurnal masalahmasalah hukum universitas diponogoro,Semarang. Warasi Esmi Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Universitas diponogoro,Semarang 2011 Harkrisnawo, Harkristuti, Transnational HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Pencegahan Trafficking
Organized Crime: Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi. Dirjosisworo, Soedjono, kuliah ,Donald R. Cressey tentang Kejahatan Mafia, Amy, Bandung, 1985. Jusario Vermonte, Philips, Transnational Organized Crime: Isu dan Hasan, Muhammad Tholcha., perlindungan terhadap Korban Kekerasan seksual (Advokasi atas Hak asasi perempuan) Refika Bandung,2001. Soekanto, Soerjono, dan Sri mamuji, Penelitian hukum Normatif “Suatu Tinjauan singkat", Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004. Gorista, Arif , Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993. Dermawan, Mohammad Kemal., Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung PT. Aditya Bakti 2000. Dermawan, Mohammad Kemal., (2009), Disertasi: Potensi Pemolisian Komunitas Pemuda, Masyarakat Perkotaan: Suatu Kajian Dan Aspek Kapasitas, prinsip-prinsip Demokrasi, dan Pengawasan Sipil. Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Sosiologi, Depok. Hukum pidana dalam perspektif, editor Agustinus pohan, Topo santoso, Martin moorings, Pustaka larasan, Universitas Indonesia, University of Groningen, Universitas Hidden.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Bachtiar, dalam Arief Nasution, 2000:25, 75 Mohamad khusna amal,dari teori pertukaran klasik sampai pertukaran kontenporer. Nico Ngani, metodologi penelitian dan penulisan hukum,pustaka yustisia,Yogyakarta. Budiman rusli.makalah: kebijakan publik di daerah,2009. International Organization for Migration (2008), Pedoman Untuk Perlindungan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum dan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Reksodiputro, Mardjono., Jurnal Polisi 2, 2000. Mardjono Reksodiputro, Jurnal Polisi 2, 2000. Farid, Muhamad, Makalah : Masalah Devinisi : perdagangan ( trafficking) anak dan perempuan, 2000, Yogyakarta Hukum pidana dalam perspektif, editor agustinuus pohan, top santoso, martin moorgings, pustaka laras, Universitas Indonesia, university of Groningen, Universiteit Media, Jogjakarta, 2009 Laporan akhir program intensif dan perekayasa LIPI. Human trafficking: pola pencegahan dan penanggulangan terpadu terhadapperdagangan perempuan, 2010. Arif Gorista, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993
69
KEBIJAKAN PENETAPAN HAK DAN KEWAJIBAN PEGAWAI PDAM KABUPATEN CIREBON DALAM PERSPEKTIF KESEJAHTERAAN PEGAWAI Oleh Subandi1 ABSTRAK Masalah yang penulis teliti ialah mengenai Kebijakan Penetapan Hak dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon Dalam Perseptif Kesejahteraan Pegawai.sedangkan dilapangan belum terciptanya keserasian antara hak dan kewajiban yang diberikan pihak direksi PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon kepada pegawainya,padahal sudah jelas diatur sesuai dengan Peraturan Direksi Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon Khususnya pada bagian ketiga terkait Gaji, Jaminan Hari Tua dan Jasa Produksi Pasal 15 ayat 1 dan Pasal 15 ayat 2, BAB V mengenai Pembinaan, Pengembangan Karir dan Pendidikan Pegawai Bagian Pertama Pasal 23, BAB VI Waktu Kerja Bagian Pertama Jam Kerja dan BAB VII Cuti Pegawai Pasal 40 pejabat yang berwenang memberikan Cuti adalah direksi, dalam keadaan tertentu dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat lain dalam lingkungan kekuasaannya untuk memberikan cuti. Penulis membuat perumusan masalahnya yaitu:1) bagaimana Kebijakan PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon untuk kesejahteraan pegawai,2)bagaimana Upaya PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon Dalam Antisipasi Pemenuhan Hak dan Kewajiban.penulis menggunakan teori Implementasi Kebijakan dari Edward III yaitu : 1) Communication (Komunikasi), 2) Resource (Sumber-sumber), 3) Disposition (Disposisi), 4) Bureucratic strukture (struktur birokrasi). Metode yang dipakai dalam penyusunan Tesis ini menggunakan metode penelitian Metode Yuridis Normatif. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan Pelarangan Perekrutan Tenaga Sukarelawan. I.
PENDAHULUAN1
Pada pokoknya hukum itu ialah peraturan – peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yakni peraturan – peraturan yang dibuat oleh badan – badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan – peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu Pengertian tentang Perusahaan terdapat dalam Pasal 1 Ayat 6, Undang – undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa Perusahaan adalah : 1. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang atau perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ; 2. usaha – usaha sosial dan usaha – usaha lain yang mempunyai pengurus dan 1
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Setelah mengetahui definisi hukum dan definisi perusahaan muncul pula definisi Hukum Perusahaan, dengan mengacu pada Undang–undang Wajib Daftar Perusahaan, perusahaan didefinisikan sebagai : Setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus – menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Setiap perusahaan atau badan usaha yang setiap jenis usahanya bersifat tetap, terus–menerus dan telah didaftarkan dimana perusahaan atau badan hukum tersebut memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, memiliki pengurus dimana dari kegiatan dari usahanya tersebut memliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 1 angka 1 dan angka 9 Undang – undang No. 19 tahun 2003). Bentuk BUMN terdiri atas perusahaan perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (perum). Perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Arah kebijakan pembangunan dibidang ekonomi dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 adalah menata Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) secara efisien, transparan dan profesional, terciptanya BUMN / BUMD yang efektif, efisien, dan akuntabel serta terfokusnya pengembangan kegiatan BUMN / BUMD dan yang paling penting adalah melakukan restrukturisasi yuridis kelembagaan BUMN / BUMD terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum yang bergerak dalam penyediaan fasilitas publik, industri, pertahanan dan keamanan, pengelolaan asset strategis dan kegiatan usaha lainnya yang tidak dilakukan oleh Swasta dan Koperasi. Secara normatif, UUD Negara RI Tahun 1945 menjamin hak setiap warga Negara untuk memperoleh pekerjaan Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Hal ini dipertegas kembali dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil amandemen kedua) Bab X A tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28 A-28 J). Pasal 28D mengamanatkan bahwa “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja “, selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat (4) menegaskan bahwa perlindungan (Protection), Pemajuan (Furtherance), Penegakan (Enforcement) dan Pemenuhan 74
(Fulfilmen) hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama Pemerintah. Sebelumnya pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 38 ayat (2) menyebutkan “ Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil “. Sedangkan dalam Pasal 71 mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan Hak Asasi Manusia baik yang diatur dalam UndangUndang, maupun Hukum Internasional. Berdasarkan landasan hukum tersebut, jelaslah bahwa salah satu kewajiban konstitusional dari Negara / Pemerintah adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, karena bekerja merupakan bagian dari hak asasi warga negara dalam rangka mempertahankan eksistensi kehidupannya. Sedangkan menyangkut masalah BUMD dalam tataran normatif telah ditegaskan bahwa Badan Usaha Milik Negara yang dikelola oleh Pemerintah Daerah disebut Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Perusahaan Daerah adalah perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah Daerah yang modalnya sebagian besar / seluruhnya adalah Milik Pemerintah Daerah. Pembangunan Ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945. Arah kebijakan pembangunan bidang ekonomi sesuai dengan Garis- Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kokoh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, diprioritaskan berdasarkan sistim ekonomi kerakyatan antara lain dilakukan dengan pembangunan dibidang ekonomi. Hal tersebut selaras dengan arah kebijakan pembangunan dibidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Keberadaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, maka semangat dan jiwa disentralisasi akan semakin signifikan. Titik berat Pembangunan Indonesia mendatang akan lebih bertumpu kepada peran Pemerintah Daerah, Swasta dan Masyarakat Daerah dalam mengelola sumber daya yang ada didaerahnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 pasal 6 ayat (2) butir (c) menyatakan bahwa pengelola keuangan diserahkan kepada gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sedangkan pada pasal 10 dijelaskan bahwa yang dimaksud pasal 6 tersebut adalah kekuasaan pengelola keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran daerah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan Daerah diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 1 Ayat 6, Undang – undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa Perusahaan adalah : 1. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang atau perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; 2. usaha – usaha sosial dan usaha – usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Setelah mengetahui definisi hukum dan definisi perusahaan maka akan muncul pula definisi Hukum Perusahaan, karena disini Penulis akan melakukan penelitiannya dilihat dari segi normatif atau aturan hukumnya, maka apapun setiap kegiatan tidak akan terlepas dari aturan atau hukum yang sedang berlaku. Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa definisi dari hukum perusahaan ialah hukum yang mengatur tentang segala seluk-beluk perusahaan dan segala kegiatan dari perusahaan. Sumber hukum perusahaan yaitu meliputi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, KUHD, Undangundang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan-peraturan lainnya sepanjang mengatur tentang hukum perusahaan. Fungsi Hukum yang paling utama dalam bidang ekonomi adalah untuk menjamin Stabilitas dan kepastian perekonomian yaitu menata mekanisme dan interaksi antar masyarakat atau antar pelaku ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi yang terbatas. Fungsi hukum tersebut juga dimaksudkan untuk mengatur segala aktivitas yang terjadi dalam interaksi antar pelaku ekonomi yang diantaranya menyangkut masalah peranan dan kedudukan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak- hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaankesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap mempertahankan perkembangan kemajuan dunia usaha untuk melindungi tenaga kerja, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 75
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
menetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaannya baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi sendiri maupun untuk masyarakat. Pekerja / Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sebagaimana yang tercantum dalam amanat Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam point Menimbang telah menjelaskan : 1. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; 3. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; 4. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Realitas ini mempertegas tenaga kerja merupakan, bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pembangunan nasional yang berlandaskan Dasar Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 76
Negara RI Tahun 1945. Peran dan kedudukan tenaga kerja mempunyai posisi yang sangat penting sebagi pelaku dan sasaran pembangunan nasional. Hak–hak tenaga kerja yang diatur dalam peraturan perundangundangan ketenagakerjaan Indonesia, yang didalamnya termasuk perlindungan tenaga kerja merupakan hak yang harus di perjuangkan agar harkat dan kemanusiaan tenaga kerja ikut terangkat. Mengkaji mengenai hak tenaga kerja berarti membicarakan hak–hak asasi manusia yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, kebutuhan dasar minimal adalah : 1. Kebutuhan dasar untuk hidup, meliputi pangan, sandang, papan, air, udara, bahan bakar dan lain-lain. 2. Kebutuahn yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kapasitas dan produktifitas individu meliputi pendidikan, pelayanan kesehatan, sarana komunikasi dan transportasi. 3. Kebutuhan untuk meningkatkan akses (peluang memperoleh sesuatu) terhadap cara berproduksi dan peluang ekonomi, meliputi tanah air, modal (termasuk teknologi), peluang bekerja dan berpenghasilan yang layak. 4. Kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan untuk membuat keputusan, partisipasi dalam politik, keamanan social dan pertahanan social. 5. Pekerja adalah manusia yang mempunyai kebutuhan sosial, sehingga perlu sandang, kesehatan, perumahan, ketentraman, dan sebagainya untuk masa depan dan keluarganya. Mengingat pekerja sebagai pihak yang lemah dari majikan yang posisinya lebih kuat, maka perlu mendapatkan parlindungan atas hak–haknya. Mengacu kepada tataran normatif dalam ketentuan Pasal 27 ayat 2 UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 ada dua hal penting dan mendasar yang merupakan hak setiap warga Negara Indonesia yaitu hak memperoleh pekerjaan dan hak memperoleh penghidupan yang layak. Suatu pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi saja, tetapi juga harus mempunyai nilai kelayakan sebagai manusia yang tinggi drajatnya. Suatu pekerjaan baru memenuhi semua itu bila HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pelakasanaannya adalah terjamin. Dengan demikian pekerja sebagai warga Negara Indonesia perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar dapat ikut serta aktif dalam pembangunan. Perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha merupakan factor utama yang perlu diperhatikan dalam perlindungan dan jaminan sosial serta kesejahteraannya. Selanjutnya berdasarkan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan batasan yang secara normatif mengatur bahwa : 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. 2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pada sisi lain peran perusahaan mempunyai misi utama meningkatkan kinerja perusahaan dengan cara mencari keutungan sebesar–besarnya agar perusahaan dapat berkembang dan lestari. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan–kebijakan perusahaan terutama yang berkaitan dengan biaya–biaya yang harus dikeluarkan misalnya biaya tenaga kerja (Labour cost). Perusahaan akan melakukan upaya–upaya dalam pencapaian peningkatan kinerja perusahaan dengan cara pemberikan upah yang rendah tetapi mampu menghasilkan produktivitas yang sebesar–besarnya. Sementara itu para pekerja mempumyai kepentingan dan keinginan yang merupakan kebalikan dari apa yang di inginkan oleh pengusaha. Pekerja menginginkan penghasilan atau upah yang setinggi–tingginya demi memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Kepentingan dari dua sisi pelaku utuma dalam hubungan industrial yaitu peerusahaan dan pekerja tersebut sangat betolak belakang. Meskipun demikian perlu disadari bersama bahwa perusahaan tidak akan berarti apa–apa apabila tidak ada pekerja, tidak akan ada pekerja apabila perusahaan tidak ada. Berkenaan dengan hal ini ada persoalan pemenuhan hak-hak dan kewajiban yang harus diimplementasikan oleh perusahaan, bila hal ini menyangkut perusahaan daerah dalam hal ini BUMD yaitu PDAM Kabupaten Cirebon, berarti perusahaan daerah dimaksud harus dapat mengupayakan adanya penetapan kebijakan perusahaan yang menyeimbangkan antara hak-hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja atau pegawai PDAM Kabupaten Cirebon untuk membangun profesionalisme kerja dalam rangka mewujudkan suatu bentuk perusahaan yang profit oriented, di era keberlakuan otonomi daerah. Otonomi Daerah dimaksud untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penggalakan pra karsa dan peran aktif masyarakat serta pendayagunaan potensial daerah secara optimal secara serasi, dinamis dan bertanggung jawab dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh. Dengan demikian, fokus otonomi adalah pembangunan dalam arti luas, termasuk didalamnya pembangunan ekonomi di daerah. Gerak laju perkembangan masyarakat mendudukan posisi hukum pada tataran hukum dengan kehidupan sosial – ekonomi masyarakat. Hukum harus dapat memberikan makna untuk mewujudkan rasa keadilan, kepastian, kebahagiaan, kesejahteraan sehingga dapat mengejawantahkan kepentingan yang lebih besar yaitu memberikan perlindungan hukum untuk semua komponen kehidupan. Kepentingan Otonomi Daerah dalam dimensi hukum untuk keberlakuan regulasi ketenagakerjaan menjadi sebuah proses tarik ulur yang cukup mendalam antara mendudukkan posisi kepentingan pekerja dan kepentingan Perusahaan Daerah. Era Otonomi Daerah yang ditandai dengan keluarnya Undang – Undang tentang 77
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
Pemerintahan Daerah yaitu Undang – Undang No 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat mengadakan suatu Perusahaan Daerah yang penyelenggaraan dan pembinaannya dilakukan berdasarkan pada ekonomi perusahaan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon. Fenomena yang terjadi terkait permasalahan diatas mengenai pemenuhan Hak dan Kewajiban Pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cirebon sehingga dapat menciptakan kesejahteraan pegawai belum maksimal diantaranya dikarenakan : 1. Pelayanan yang dilakukan bidang Personalia belum maksimal untuk membantu pegawai yang sangat membutuhkan bantuan khususnya mengenai materil dikarenakan birokrasi yang berbelit. 2. Belum terciptanya Keamanan dan Keselematan Kerja yang Optimal. 3. Kurangnya perhatian dan pembinaan terhadap pegawai yang dilapangan yang melanggar aturan perusahaan. II. PEMBAHASAN Kebijakan PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon Untuk Kesejahteraan Pegawai. Fenomena dalam pelaksanaan Kebijakan mengenai Hak dan Kewajiban Pegawai merupakan tugas dari setiap institusi baik pemerintah maupun swasta. Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan hak dan kewajiban pegawai di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Jati Kabupaten Cirebon. Berbicara tentang hak dan kewajiban pegawai di PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon adalah suatu bentuk kebijakan yang harus dipenuhi oleh Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati untuk mengatur penetapan hak dan kewajiban untuk mensejahterakan pegawainya. Oleh karena itu PDAM Tirta Jati selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus mengikuti aturan main Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon dalam penetapan Kebijakan mengenai untuk mensejahterakan pegawainya dengan memperhatikan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perusahaan Daerah Air 78
Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon sehingga sebagai landasan untuk membuat aturan Teknis Oleh Direksi PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon dengan dikeluarkannya Peraturan Direksi Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon serta Keputusan Direktur Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Cirebon Nomor : 840/kpts/02-PDAM/2012 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat di Lingkungan Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Cirebon. Aturan-aturan ini dibuat dalam rangka mengatur jalannya Direksi PDAM yang bertujuan untuk mensejahterahkan pegawainya terkait Hak dan Kewajiban Pegawai PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon. akan tetapi dalam pelaksanaan kebijakan mengenai kesejahteraan Pegawai terkait hak dan kewajiban belum Optimal dikarenakan adanya permasalahan-permasalahan diantaranya : 1.
2.
3. 4. 5.
6.
Terbatasnya ruang gerak personalia dalam pelayanan kepada pegawai PDAM dengan ditemukannya permasalahan ketika seorang pegawai yang membutuhkan pelayanan dalam keadaan darurat bagian personalia tidak dapat melakukan tindakan dengan cepat dikarenakan proses birokrasi yang terlalu rumit sehingga tidak berjalan dengan efektif. Lemahnya penindakan sanksi pegawai yang melakukan tindakan indisipliner diantaranya ada beberapa pegawai yang sering terlambat tetapi tidak mendapat sanksi ataupun teguran. Belum terciptanya Keamanan dan Keselamatan Kerja (K3). Pegawai PDAM belum pernah mendapatkan hak jasa produksi. PDAM belum memberikan gaji kepada calon pegawai sebesar 80 % dari gaji pegawai tetap sesuai pangkat, golongan dan ruang. Kurangnya Perhatian dan Pembinaan terhadap pegawai yang melanggar aturan perusahaaan.
Proses Implementasi Kebijakan mengenai kesejahteraan pegawai PDAM Tirta HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
Jati Kabupaten dalam rangka penetapatan hak dan kewajiban pegawai agar dapat tercapai dengan maksimal harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : a.
Communication (Komunikasi) Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/ atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggapan dari para pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.
b.
Resource (Sumber-sumber) berkenaan dengan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk cary out kebijakan secara efektif.
c.
d.
Disposition (Disposisi) berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk cary out kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan. Bureucratic strukture (struktur birokrasi) Stuktur birokrasi berkenaan yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangganya adalah bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama diantara lembagalembaga negara dan/ atau pemerintahan.
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan dalam rangka penetapan hak dan kewajiban mengenai kesejahteraan pegawai diantaranya adalah Komunikasi, Sumber-sumber, Disposisi dann Struktur Birokrasi.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Upaya PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon Dalam Antisipasi Pemenuhan Hak dan Kewajiban. Proses impelementasi suatu kebijakan biasanya banyak sekali kendala yang dihadapi oleh seorang implementor dalam mengimplementasikan kebijakannya. Mengenai proses untuk dapat menjalankan suatu kebijakan dengan baik harus didukung oleh beberapa unsur yang tersebut diatas sudah dijelaskan unsur-unsur yang mempengaruhinya diantaranya : 1. Komunikasi. 2. Sumber-sumber. 3. Disposisi. 4. Struktur Birokrasi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih belum optimal karena banyak menemui kendala-kendala yang ditemui khususnya mengenai penetapan kebijakan mengenai hak dan kewajiban PDAM Tirta Jati dalam rangka mensejahterakan pegawainya. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut diantaranya : Kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh Direksi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Jati Kabupaten Cirebon yang terlihat dari sosialisasi mengenai Peraturan Direksi tentang Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon yang dapat dilihat dengan ada sebagian pegawai tidak mengetahui dengan jelas aturan tersebut. Selain hal tersebut tidak adanya komunikasi yang efektif antara pegawai PDAM dengan bidang personalia. Kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh bidang personalia kepada Direksi terkait bantuan kepada pegawai yang mengalami masalah dan membutuhkan bantuan perusahaan akan tetapi terhambat oleh birokrasi yang berbelit sehingga tidak dapat membantu pegawai tersebut secara efektif. Selain permasalahan koordinasi dan komunikasi proses berjalannya suatu kebijakan tidak dapat berjalan dengan efektif dikarenakan oleh pihak perusahaan yang kurang melakukan pembinaan terhadap pegawai, perusahaan yang belum mampu memenuhi gaji calon pegawai sesuai dengan aturan sebesar 80 % dari gaji pegawai tetap, 79
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
serta belum optimalnya program Keselamatan dan Keamanan Kerja (K3) yang dilakukan oleh PDAM khususnnya kepada pegawai yang bertugas dilapangan selain hal tersebut PDAM juga kurang menindak tegas pegawai yang indisipliner dalam bekerja khususnya mengenai absensi. Oleh karena itu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Jati Kabupaten Cirebon akan segera melakukan tindakan tegas kepada para pegawai yang indisipliner sesuai dengan regulasi yang berlaku, selain itu PDAM Tirta Jati akan memaksimalkan program Keselamatan dan Keamanan Kerja (K3) yang akan dilakukan oleh direksi karena Program K3 adalah salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suatu perusahaan apalagi PDAM Tirta Jati adalah sebuah Perusahaan Daerah yang harus menjadi percontohan perusahaan lainnya khususnya di Kabupaten Cirebon. terkait Pemenuhan gaji calon pegawai sebesar 80 % dari gaji pegawai tetap yang belum terpenuhi, akan menjadi bahan pertimbangan Direksi agar segera dipenuhi karena bertentangan dengan Peraturan Direksi PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kepegawaian PDAM TIrta Jati Kabupaten Cirebon. III. SIMPULAN Dari pembahasan diatas peneliti menarik kesimpulan mengenai Pelaksanaan Kebijakan yang Dilakukan oleh PDAM Kabupaten Cirebon dalam Upaya Mensejahterakan Pegawai belum efektif dikarenakan Pegawai PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon yaitu sebagian pegawai di PDAM Tirta Jati tidak mengetahui aturan yang jelas mengenai Hak dan Kewajiban mereka dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh personilia, lemahnya penindakan sanksi yang diberikan kepada pegawai yang melakukan kegiatan indisipliner, belum terciptanya system K3 (Keamanan dan Ketertiban Kerja) serta kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh bidang personalia kepada Direksi terkait bantuan kepada pegawai yang mengalami masalah di PDAM Tirta Jati Kabupaten Cirebon.
80
IV. DAFTAR PUSTAKA Asikin Zainal, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT Raja Garfindo Persada, Jakarta. Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta. --------------,, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta. --------------, 2008, Menguak Realitas Hukum, Prenada Media, Jakarta. A. Chaedar Alwasilah, 2006, Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka Jakarta. Abdulkadir Muhammad,2006, Hukum Perusahaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta. C.F.G. Sunaryati Hartono, 1999, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, BPHN dan CV. Trimitra Mandiri, Jakarta. Bambang Sunggono, 1994,Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2008, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke 1 s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008, Pustaka Magister, Semarang. Basrowi-Suwandi, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Rineka Cipta, Jakarta. C.S.T. Kansil-Christine S.T., 2005, Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Dror, Yehezkel Dror, 1971, Ventures in Policy Sciences, Elsevier Amsterdam. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Darwin Prinst, 1994, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Darji Darmodiharjo & Sidharta, 1996, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djamal Wiwoho, Hukum dan Otonomi Daerah, Program Pascasarjana Magister HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Kebijakan Penetapan Hak Dan Kewajiban Pegawai PDAM Kabupaten Cirebon ….
Ilmu Hukum Unswagati Cirebon tahun 2006-2007. Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang. Ermaya Suradinata, 1998, Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah, Ramadan, Bandung. --------------, 2006, Otonomi Daerah & Paradigma Baru Kepemimpinan dalam Politik & Bisnis, Suara Bebas, Jakarta. Hendarmin Djarab-Rudi M R- Lili Irahali (editor), 1998, Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI Mengenang Almarhum Prof Dr. Komar Kantaatmadja, SH.LL.M, Angkasa, Bandung. HAW Widjaja, 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT Grafindo Persada, Jakarta. Herman Bakir, 2005, Kastil Teori Hukum, PT Indeks, Jakarta. Joni Emirzon (editor),2007, Perspektif Hukum Bisnis Indonesia Pada Era Glonalisasi Ekonomi, Genta Press, Yogyakarta. Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Universitas Muhammadiyah, Surakarta. L.J. van Apeldoorn, 1986, Pengantar Ilmu Hukum, Djambatan, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. --------------, 1986, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. Purnadi Purbacaraka-Soerjono Soekanto, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung. Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum & Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. --------------, 1989, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, CV. Agung, Semarang. Robert H. Lauer, 2001, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum,Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
R. Soeroso, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Sjahran Basah, 1986, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Soerjono Soekanto-Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta. Sanafiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Dan Aplikasi, YA3, Malang. --------------, 1999, Format-Format Penelitian Sosial, PT RajaGrafindo, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung. Sudarwan Danim, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung. Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Prentice Hall, Englewoods Cliffs, NJ, 1978. Tachsan, 2006, Implementasi Kebijakan Publik, AIPI, Bandung. William Dunn, 2001, Analisis Kebijaksanaan Publik (dialihbahasakan oleh Dr.Muhajir Darwin), PT Hanindita Graha Widia, Yogyakarta. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sumber-Sumber Lain : http : // multikultur – boxes.blogspot.com / 2010.03 / BUMD – Badan – Usaha – Milik – Daerah – 17 htm diakses tgl 15 – 5 – 2014, jam 14.00. Esmi Warasih Pujirahayu, Pertautan Ilmu pengetahuan Sosial dengan ilmu Pengetahuan Hukum, Majalah Masalah-Masalah hukum, FH Undip Semarang.
81
KONSTRUKSI PERLINDUNGAN HUKUM DEBITUR DALAM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DENGAN PELAKSANAAN LELANG JAMINAN HAK TANGGUNGAN oleh : Lusia Sulastri1 Abstrak Settlement of non-performing loans by auction guarantee Encumbrance often bring up the resistance of the debtor in the form of Civil Lawsuit filed to the District Court which is due to the complexity of the auction and there are some weaknesses in the Act Mortgage particular Article 6 and Article 20 is often used as an opportunity to apply for resistance by the debtor. Which is the subject of research is related to the cause of the resistance of the debtor and construct legal protection for the debtor, which will then be analyzed reasons debtor resistance and constructing legal protection for debtors. It is important for creditors to be careful in the credit granting process and the handling of non-performing loans with the auction encumbrance to keep attention on merit, good faith and respect for the property of others, the presence of assessors public good repute be important in determining the value of the limit the object of the auction. Keywords: NPL, Auction Guarantee Mortgage, Debtors Legal Protection I.
PENDAHULUAN1 Dinamika bisnis dengan pasang surutnya mempunyai akibat terhadap keberlangsungan hubungan suatu kontrak, seperti dalam hal ini penulis menyoroti kontrak / perjanjian perbankan ; apa yang diproyeksikan lancar, untung, memuaskan, namun apa daya prospek bisnis yang diharapkan cerah kadang kala dapat berubah merugi dan memutus hubungan para pihak dalam suatu kontrak. Para pihak yang yang berkontrak senantiasa berharap kontraknya berakhir dengan ‘happy ending’ namun ternyata ada kemungkinan kontrak menemui hambatan bahkan berujung kepada kegagalan kontrak yang menimbulkan sengketa dan konflik pada para pihaknya. Dalam suatu pemberian kredit, bank atau pihak pemberi selalu berharap agar debitur dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi tepat pada waktunya terhadap kredit yang sudah diterimanya. Dalam praktek, tidak semua kredit yang sudah dikeluarkan oleh bank dapat berjalan dan berakhir dengan lancar. Tidak sedikit pula terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh debitur tidak dapat melunasi kreditnya tepat pada waktunya sebagaimana yang telah disepakati dalam 1
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon
Perjanjian Kredit antara pihak debitur dan perusahaan perbankan. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah misalnya karena debitur tidak mampu atau karena mengalami kemerosotan usaha dan gagalnya usaha yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan usaha debitur atau memang debitur segaja tidak mau membayar karena karakter debitur tidak baik. Berdasar keadaan debitur yang demikian, maka pihak kreditur berupaya mengambil pelunasan piutang dengan penjualan asset jaminan debitur sehingga lahirlah Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) yang dirancang memberikan kepastian hukum sebagai hak jaminan yang kuat, dengan ciri khas eksekusi “mudah dan pasti” namun ternyata dalam pratiknya tidak demikian. Proses penyelesaian kredit bermasalah dengan pelaksanaan lelang jaminan hak tanggungan sering memunculkan perlawanan dari pihak debitur (nasabah) berupa gugatan perdata yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri. Penelitian terhadap perkara gugatan perdata No. 09/Pdt.G/2013/PN.Mjl, No. 81/Pdt.G/2013/PN.Cbn, dan No. 10/Pdt.G/2014/PN.Mjl bertujuan menganalisis kelemahan-kelemahan yang ada pada Undang-Undang Hak Tanggungan khususnya Pasal 6 dan Pasal 20 yang dijadikan peluang dalam mengajukan
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
perlawanan oleh pihak debitur. Pasal-pasal tersebut nampak tidak jelas dan tidak tegas mengatur tentang definisi Cedera Janji (wan prestasi) seorang debitur, batasan kewenangan menjual objek Hak Tanggungan yang menimbulkan kerancuan, serta kompleksitas pelaksanaan lelang terutama terkait dengan penetapan nilai limit obyek lelang secara sepihak oleh kreditur yang dinilai tidak wajar. Berdasar perkara-perkara perlawanan debitur tersebut memunculkan konsepsi konstruksi perlindungan hukum bagi debitur agar proporsionalitas kepentingan baik pihak debitur maupun kreditur bisa terjaga, sebagimana juga Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur perlindungan hukum bagi debitur dan juga memberikan persfektif perlindungan terhadap aset jaminan debitur dari kesewenang-wenangan penentuan nilai limit oleh “Mafia Lelang” dalam proses lelang objek jaminan hak tanggungan tersebut. Selain itu terhadap pihak kreditur (bank) sendiri ketidaktegasan UndangUndang Hak Tanggungan telah berdampak buruk pada aspek efisiensi pelaku ekonomi karena proses dan prosedur penyelesaian kredit bermasalah dengan pelaksanaan lelang memakan waktu lama dan berbelit serta biaya yang sangat tinggi. Fenomena perlawanan debitur ini mengindikasikan bahwa penegakan hukum eksekusi hak tanggungan adalah salah satu sisi gelap dari penegakan hukum di Indonesia. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang keberlakuan Undang Undang Hak Tanggungan dengan stressing penyelesaian kredit bermasalah dengan pelaksanaan lelang hak tanggungan yang direlevansikan dengan Perkara Perlawanan Debitur terhadap pelaksanaan lelang hak tanggungan di Pengadilan Negeri Majalengka dan Pengadilan Negeri Cirebon. II. 1.
84
PERUMUSAN MASALAH Apa yang menjadi penyebab penyelesaian kredit bermasalah dengan pelaksanaan lelang jaminan Hak Tanggungan mendapat perlawanan debitur ?
2.
Bagaimana konstruksi perlindungan hukum debitur dalam penyelesaian kredit bermasalah dengan pelaksanaan lelang jaminan Hak Tanggungan ?
III. PEMBAHASAN A. Alasan Yuridis Perlawanan Debitur terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dengan Pelaksanaan Lelang Jaminan Hak Tanggungan Peluang Debitur melakukan perlawanan terhadap proses penyelesaian kredit bermasalah dengan lelang jaminan Hak Tanggungan sangat besar karena Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) tidak mengatur mengenai definisi cidera janji, maka untuk menentukan apakah debitur cedera janji dalam penentuan pemenuhan Pasal 6 UUHT dirujuk pada Pasal 1243 jo. Pasal 1763 KUH Perdata : Dalam ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata, yang dimaksud dengan cedera janji atau wanprestasi : 1. Lalai memenuhi perjanjian, atau 2. Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan, atau 3. Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Lebih spesifik Pasal 1763 KUH Perdata mengatakan, tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam jangka waktu yang ditentukan. Sebagai perbandingan, di beberapa negara diatur lebih rinci kapan debitur disebut cedera janji atau default : 1. Melanggar salah satu ketentuan perjanjian yang berkenaan dengan : a. Pokok pinjaman, dan/atau b. Bunga (interest), yakni tidak membayar bunga paling tidak dua (2) bulan. 2. Pelanggaran itu telah diberitahukan kepada debitur, namun meskipun sudah lewat tiga (3) bulan, tidak diindahkan. Dalam keadaan yang seperti inilah debitur dikategori had been in breach of some covenant in the mortgage deed. Selain itu Pasal 1267 KUH Perdata memberi hak opsi kepada kreditur untuk mengambil tindakan apabila debitur wanprestasi, tanpa mempersoalkan apakah perjanjian telah jatuh tempo atau tidak berupa ketentuan : HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
a. Meminta atau menuntut kepada pengadilan untuk memaksa debitur memenuhi perjanjian, jika hal itu masih bisa dilakukan oleh debitur ; b. Menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga. Sehubungan dengan penjelasan terkait jantuh tempo kredit, tidak dapat disetujui atau tidak tepat pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No. 2/72 K/Pdt/1992 tanggal 29 Mei 1998 yang menyatakan : Karena Pengadilan Tinggi Aceh / judex facti salah menerapkan hukum, menilai jatuh tempo pelunasan pinjaman dan “Pernyataan Bersama” yang diharuskan oleh ketentuan Pasal 10 UU No. 49 Perpu Tahun 1960 dengan hanya mendasarkan pada lamanya pinjaman tidak dibayar oleh Pemohon Kasasi/Terbanding/Pelawan tanpa mempertimbangkan tenggang waktu, yaitu tempo pelunasan jaminan. Pertimbangan di atas kurang jelas rumusannya namun dapat dianggap merupakan pembenaran atas alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi, bahwa dalam kasus perkara ini belum terjadi kredit macet karena batas jangka waktu pelunasan kredit belum jatuh tempo, sebab jatuh tempo yang diperjanjikan adalah bulan Desember 1992. Dengan demikian, Bank melalui PUPN belum dapat melakukan eksekusi penjualan lelang terhadap harta kekayaan debitur. Dapat dilihat, dalam kasus eksekusi ini, Mahkamah Agung berpendapat eksekusi terhadap HT atau harta kekayaan debitur melalui PUPN tidak dapat dilaksanakan atas alasan wanprestasi, selama batas jangka waktu pelunasan kredit yang diperjanjikan belum jatuh tempo. Pendapat Mahkamah Agung yang mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri dalam kasus ini sangat berbahaya dalam lalu lintas perkreditan. Misalkan, jatuh tempo pelunasan kredit yang diperjanjikan 10 tahun, tetapi baru tahun pertama debitur sudah ingkar membayar angsuran pokok dan bunga. Dalam kasus ini jika pendapat Mahkamah Agung tersebut diikuti penerapannya, berarti kreditor atau bank baru dapat menuntut pembayaran setelah dilewati jangka waktu 10 tahun. Pendapat dan penerapan yang demikian, satu segi memberi keleluasaan
kepada debitur melakukan kesewenangan. Sebaliknya pendapat itu menempatkan kreditor sebagai pihak yang tidak berdaya menghadapi kesewenangan yang di maksud. Sehubungan dengan itu, dalam kasus tersebut lebih tepat dan lebih berdasar pendapat Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding. Menurut Pengadilan Tinggi (disadur sebagai berikut) : - Telah terbukti kredit telah macet berdasarkan fakta bahwa Pelawan/Debitur sudah bertahun-tahun tidak membayar angsuran pinjaman pokok dan bunga, dan hal yang demikian menurut Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 2/PMK 01/1997, termasuk pinjaman kredit investasi yang macet ; - Selain itu, Pasal 6 ayat (3) menegaskan, Bank/Kreditor dapat menyatakan kredit jatuh tempo seketika apabila debitur wanprestasi dan kreditnya digolongkan macet, dengan cara mengesampingkan jatuh tempo yang ditentukan dalam perjanjian ; - Mengenai Surat Pernayataan Bersama antara Pelawan/Debitur dengan PUPN, berdasarkan Pasal 10 Perpu No. 49 Tahun 1960, tidak mungkin diadakan atas alasan: a. Pelawan/Debitur telah 4 kali dipanggil PUPN, tetapi tetap tiak hadir ; b. Dalam hal yang demikian, berdasarkan Pasal 11 Perpu No. 49 Tahun 1960, PUPN dapat segera menerbitkan Surat Paksa unutuk menagih piutang negara dari debitur ; c. Dengan demikian, sita eksekusi dan penjualan lelang yang telah dilakukan PUPN dan Kantor Lelang dalam kasus perkara ini adalah sah menurut hukum. Pertimbangan dan pendapat Pengadilan Tinggi di atas, selain rasional dan objektif, juga dilandasi peraturan perundangundangan yang kuat serta dibarengi dengan pemahaman yang tepat mengenai pengertian wanprestasi yang digariskan Pasal 1243 dan Pasal 1763 KUH Perdata. Oleh karena itu, yang layak diikuti adalah pendapat Pengadilan Tinggi, bukan pendapat Mahkamah Agung.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
85
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
Konsep Pembentuk Undang-Undang Hak Tanggungan pada awalnya adalah memberikan kemudahan kepada kreditur, agar kreditur dapat mendapatkan kembali uangnya dengan jalan yang lebih mudah dan murah, maka Pasal 6 UUHT yang secara ex lege juga dapat memperkuat kedudukan kreditur manakala debitur cedera janji, yakni dengan memberikan ketentuan yang dapat digunakan berupa hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri atas objek jaminan guna mengambil pelunasan pinjaman. Untuk lebih jelasnya dalam Pasal 6 UUHT, menyebutkan: ”Apabila debitur cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut”.2 Pemahaman pasal tersebut dapat dikatakan bahwa sama sekali hak menjual atas kekuasaan sendiri tidak lagi memperjanjikan melalui kuasan atau pelaksanaannya sudah tidak didasarkan atas kuasa lagi, sebab pemberian parate eksekusi oleh undang-undang (ex lege), dengan tujuan demi dan untuk memperkuat posisi dari kreditur pemegang Hak Tanggungan dan pihak-pihak yang mendapatkan hak dari padanya. Pasal 6 UUHT memberikan pemahaman secara tegas bahwa kewenangan menjual atas kekuasaan sendiri diberikan kepada pemegang pertama Hak Tanggungan, sekalipun tidak terdapat janji yang tertuang dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan, yang dikenal dengan sebutan beding van eigenmatig verkoop. Hal tersebut menunjukkan penyatuan suatu kewenangan yang pada awalnya lahir dari sebuah kesepakatan (janji) menjadi sebuah norma yang mengikat, karena diberikan oleh undang-undang (ex legie), itu merupakan suatu peekembangan yang mengarah pada suatu kemajuan dibandingkan ketentuan dalam Pasal 1178 ayat (2) B.W. saat berlakunya hipotik. Namun apabila membaca Penjelasan Pasal 6 UUHT kemudian dihubungkan 2
Poesoko Herowati. 2007. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT). Yogyakarta ; Penerbit LaksBang PRESSindo. Hal. 249
86
dengan Pasal 6 UUHT akan menimbulkan kebingungan, sebab dalam Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa : “Hak tersebut yaitu hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh Pemegang Hak Tanggungan atau Pemegang Hak Tanggungan Pertama dalam hal terdapat lebih dari satu (1) Pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan Pada Janji apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari kreditor-kreditor yang lain ...”.3 Menurut Penjelasan Pasal 6 UUHT setidak-tidaknya memberika 2 (dua) pemahaman, pertama, hak kreditor untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri didasarkan pada janji apabila debitur cedera janji, dan kedua, hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh Pemegang Hak Tanggungan. Terhadap hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri, menurut Penjelasan Pasal 6 UUHT didasarkan pada janji. Hal tersebut sangatlah berbeda dengan Pasal 6 UUHT yang memberikan hak menurut undangundang (ex lege). Adanya perbedaan makna terhadap lahirnya hak kreditur untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri menunjukkan pembentuk UUHT yang mempunyai sikap yang tidak konsisten, yang menyebabkan kebingungan dan kekecewaan bagi kreditur pada khususnya, sehinggan Penjelasan Pasal 6 UUHT tersebut justru kembali mementahkan harapan perbankan. Sebenarnya hukum hanya memberikan harapan perbankan, tetapi justru menunjukkan riskan bila dalam satu undang-undang (UUHT) mengatur satu objek yang sama yaitu parate eksekusi, tetapi memberikan makna yang berbeda satu sama lain. Perbedaan makna tersebut tercermin dalam Pasal 6 UUHT, bahwa hak menjual
3
Ibid. Hal. 250
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
atas kekuasaan sendiri diberikan oleh undang-undang (ex lege), tetapi penafsiran otentik dari pembentuk UUHT sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 6, ternyata hak menjual atas kekuasaan sendiri, tidak dimaksudkan secara ex lege tetapi atas dasar diperjanjikan terlebih dahulu. Pengaturan ini menjadi berlebihan dan akan menimbulkan silang pendapat yang tiada henti-hentinya, bahwa dapat dikatakan terjadi inkonsisten dalam pengaturannya. Pada dasarnya susunan tata aturan yang penuh konsistensi, tidak lepas dari hubungannya dengan sistematika peraturanperaturan hukum yang lain, sebab hukum merupakan suatu sistem artinya sarana yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling terkait satu sama lain, atau dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis, seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Adanya pengaturan yang inkonsisten terhadap hak kreditor yang diatur dalam Pasal 6 UUHT dengan Penjelasan dalam Pasal 6, maka demi dan untuk perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi kreditur tersebut, perlu adanya sandaran berpijak untuk mencari solusi atas kerancuan pengaturan tersebut. Berpijak pada Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 1999 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden, tanggal 19 Mei 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 70, pada II, tentang Hal-Hal Khusus, II A, Penjelasan dinyatakan :4 “Pada dasarnya rumusan penjelasan peraturan perundang-undangan tidak dapat dijadikan sebagai sandaran bagi materi pokok yang diatur dalam batang tubuh. Karena itu, penyusunan rumusan norma dalam batang tubuh harus jelas dan tidak menimbulkan keragu-raguan”.
4
Ibid. Hal. 253
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Apabila peraturan tersebut diatas dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 6 UUHT, maka Penjelasan dari Pasal 6 UUHT tidak dapat dijadikan sandaran bagi materi pokok yang diatur dalam batang tubuh yang adalah Pasal 6 UUHT. Penjelasan suatu norma tidak boleh bertentangan dengan isi (substansi) normanya, dan Penjelasan dari norma tersebut tidak mengikat, karena Penjelasan suatu norma bukanlah suatu norma. Sehubungan Penjelasan Pasal 6 UUHT bukan norma manakala terjadi sengketa, maka kedudukan Penjelasan Pasal 6 UUHT tersebut tidak mempunyai kekuatan berlaku mengikat. Sehingga dengan mendasarkan alasan tersebut, jelas hak kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan adalah atas dasar undang-undang, bukan atas dasar diperjanjikan. Lebih lanjut dalam Penejelasan Pasal 6 UUHT, Pembentuk UUHT juga telah mencampuradukan parate executie dengan kedudukan kreditur preferen. Untuk mengkaji hal tersebut, dengan bertitik tolak dari jenis hak yang terkandung dalam UU No. 4/1996. Sebenarnya Hak Tanggungan merupakan suatu jenis hak yang eksistensinya lahir lewat perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Perjanjian jaminan yang melahirkan Hak Tanggungan ini, dibuat oleh para pihak dengan tujuan untuk melengkapi perjanjian pokok yang umumnya berupa perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit. Sehubungan berdasar kesepakatan jaminan yang diberikan oleh debitur adalah tanah (benda tidak bergerak), berarti para pihak akan membuat perjanjian jaminan Hak Tanggungan. Perjanjian ini terkualifikasi sebagai perjanjian kebendaan, sehingga Hak Tanggungan yang lahir tergolong sebagai kebendaaan (zakelijk). Seperti diketahui bahwa hak kebendaan memiliki ciri-ciri yang sangat unggul seperti ada preferensi, droit de suit, priorotas, dan bersifat mutlak. Akibat lanjutnya, kreditor atau bank yang memiliki Hak Tanggungan yang tergolong sebagai kreditor preferen, bukan lagi sebagai kreditor konkruen. Walaupun undang-undang tidak memberikan penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan “kedudukan yang diutamakan”, tetapi berpijak dari Pasal 1 87
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
ayat (1) UUHT, tetapi dengan mengingat akan kedudukan pemegang hipotik dalam B.W. sebagai kreditor preferen, kiranya boleh diduga, bahwa yang dimaksud dengan “kedudukan yang diutamakan” sama dengan “kedudukan sebagai kreditur preferen”. Untuk hal tersebut perlu mengetahui tentang “Kedudukan sebagai kreditur preferen”, berarti, kreditur pemegang hak jaminan tersebut didahulukan di dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi benda pemberi jaminan tertentu yang dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan secara khusus diperikatkan untuk menjamin tagihan kreditor. Dengan demikian, kedudukan sebagi kreditur preferen baru mempunyai peranannya dalam suatu eksekusi terhadap objek jaminan manakala debitur wanprestasi, maka dalam mengambil pelunasan piutangnya, kreditor preferen diberi hak terlebih dahulu daripada kreditur lainnya. Kalau benar maksud pembuat undangundang seperti tersebut diatas, maka lebih lanjut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHT yang dihubungkan dengan Pasal 20 ayat (1b) UUHT, yang terletak pada Bab V tentang Eksekusi Hak Tanggungan, yang mengatur :5 “... untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya”. Kata “hak mendahului” kalau dihubungkan dengan peristiwa “eksekusi” tentunya berarti “didahulukan” dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi dari benda atau benda-benda yang dijaminkan. Sehingga, kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan disebut sebagai “diutamakan”, sedang pelaksanaan haknya disebut “didahulukan”. Maksudnya didahulukan eksekusinya dari kreditur yang lain, sekalipun tidak diberikan penjelasan lebih lanjut oleh undang-undang, namun kiranya sekali lagi berdasarkan pengalaman mengenai hipotik boleh menduga, bahwa yang dimaksud adalah didahulukan terhadap kreditor konkruen, sebagai dasar pemikirannya adalah Pasal 1132 jo Pasal 1138 B.W. Sebagai konsekuensi adanya kedudukan pemegang Hak Tanggungan
yang diutamakan atau mendahulu, maka objek Hak Tanggungan dapat dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, sehingga terdapat pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua dan seterusnya, sehingga dengan sendirinya pemegang Hak Tanggungan yang lebih tua akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemegang Hak Tanggungan berikutnya. Penentuan peringkat pemegang Hak Tanggungan telah diatur dalam Pasal 5 UUHT. Sehingga hak tagih kreditor yang memiliki posisi sebagai kreditor preferen, posisi kreditor tersebut menjadi sangat kuat. Menurut Isnaeni, pola ini dapat diandalkan untuk menunjang kegiatan bisnis para pelaku ekonomi yang selalu menginginkan efisiensi. Kreditor dengan kedudukan yang diutamakan tersebut, sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Tetapi ternyata apabila membaca penjelasan dari Pasal 6 UUHT yang menyebutkan :6 “Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan ...” Pemahaman terhadap penjelasan dari Pasal 6 UUHT, ternyata pembentuk undangundang mencampuradukkan antara hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie) dengan perwujudan kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan (kreditor preferen). Menurut J. Satrio, kewenangan parate eksekusi bukan merupakan perwujudan dari kedudukan kreditor sebagai kreditor yang diutamakan/preferen, yang benar adalah merupakan perwujudan dari salah satu segi dari kedudukan kreditor yang memperjanjikan hak jaminan khusus, atau yang oleh undang-undang diberikan kewenangan khusus, yaitu memberikan kemudahan kepada kreditor dalam
5
6
Ibid. Hal 255
88
Ibid. Hal. 256
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
mengambil pelunasan. Penulis sependapat dengan J. Satrio, dengan alasan kalau hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah bukan perwujudan kedudukan diutamakan, tetapi sebagai perwujuan prinsip mempercepat pelunasan piutang kreditor, karena parate executie merupakan prinsip eksekusi yang menyimpang dari eksekusi yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. Sedangkan kedudukan kreditor preferen menunjukkan bahwa pemenuhan prestasinya lebih didahulukan dari piutang yang lain yang timbul dari perjanjian jaminan khusus. Adanya kerancuan dalam Penjelasan Pasal 6 UUHT sedikit banyak membingungkan para pemegang jaminan, khususnya bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena meskipun pada dasarnya lahirnya parate executie dapat diperjanjikan dan akan mengikat pada para pihak, namun sebagai norma harus jelas dan tegas agar tidak menimbulkan pemahaman ganda yang berakibat memberikan arti yang kabur, sehingga menimbulkan peluang penafsiran berbeda-beda, yang mengakibatkan terlupakan tujuan semula dibentuknya Pasal 6 UUHT. Karakter parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan sendiri atau eigenmachtige verkoop (the right to sale), namun penerapannya mengacu pada kejelasan berikut. Pelaksanaan parate eksekusi tunduk kepada Pasal 224 HIR, Pasal 256 RBG apabila tidak diperjanjikan kuasa menjual sendiri : - Penjualan lelang (eexecutoriale verkoop) harus diminta kepada Ketua PN ; - Permintaan berdasarkan alasan cidera janji atau wanprestasi ; Apa yang dimaksud cidera janji, tidak diatur dalam Pasal 6 UUHT a. Dengan demikian, untuk menentukan adanya cidera janji merujuk kepada ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata ; b. Atau sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian ; c. Atau jika merujuk secara analog dengan ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang dikategori cidera janji apabila debitur : - Tidak melunasi utang pokok, atau - Tidak membayar bunga yang terutang sebagaimana mestinya.
Ketentuan pasal ini mengandung kerancuan jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 6 tersebut. Satu segi, Pasal 6 sendiri memberi kuasa menjual sendiri kepada pemegang HT apabila debitur cedera janji. Akan tetapi, pada penjelasan pasal itu sendiri, ditegaskan kepada pemegang HT untuk menjual sendiri (rechts van eigenmachtige verkoop) baru melekat apabila hal itu diperjanjikan. Jadi, satu segi berdasarkan pasal ini, tersirat rumusan bahwa kuasa menjual sendiri seolah-olah bersifat ipso jure (by law) diberikan undangundang kepada pemegang HT, namun berdasarkan penjelasan pasal itu, tidak bersifat ipso jure, tetapi harus berdasarkan kesepakatan. Menurut penjelasan ini, hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri, merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan atau hak preferen yang dimiliki pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama, apabila pemegang Hak Tanggungan lebih dari satu orang. 1. Hak menjual atas kekuasaan sendiri baru melekat apabila diperjanjikan secara tegas dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan : - Pemberian hak itu menurut Penjelasan Pasal 6, harus didasarkan pada “janji” atau “klausul” ysng diberikan debitur atau Pemberi Hak Tanggungan kepada Pemegang Hak Tanggungan (kreditur) ; - Janji itu berisi penegasan : apabila debitur atau pemberi Hak Tanggungan cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan. 2. Dari hasil penjualan, kreditor mengambil pelunasan lebih dahulu : - Kreditor berhak mengambil pelunasan atas seluruh utang dari hasil penjualan lebih dahulu, dengan jalan mengesampingkan kreditor lain ; - Jika masih ada sisa, menjadi hak pemberi Hak Tanggungan, oleh karena itu harus diserahkan kepadanya. Konsep dan sistem menjual atas kekuasaan sendiri yang diatur dalam Pasal 6 UUHT, sama dengan yang digariskan Pasal
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
89
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
1178 KUH Perdata, yakni harus ditegaskan sebagai klausul dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT). Undang-Undang Hak Tanggungan sampai saat ini belum mengatur mengenai Peraturan Pelaksanaannya. Sehingga berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat dipahami bahwa lelang Hak Tanggungan harus melalui permohonan fiat (penetapan) kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Hal ini sesuai dengan Pasal 224 HIR yang mengatur mengenai lembaga parate eksekusi. Tanpa melalui lembaga parate eksekusi sesuai Pasal 224 HIR maka dapat dikatakan proses lelang eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan pihak perbankan karena nasabah debiturnya macet secara langsung ke lembaga lelang adalah masuk dalam kategori tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (undue process the law). Sebagaimana yang banyak terjadi, bila suatu lelang eksekusi Hak Tanggungan yang secara langsung dilakukan melaui Lembaga Lelang akan banyak mendapat Perlawanan dari debiturnya. Biasanya melalui suatu perdebatan keadaan jumlah hutang yang pasti. Meskipun melalui upaya Perlawanan ini akhirnya pokok perkara diperiksa oleh Pengadilan namun kiranya telah melanggar hukum perdata yang seharusnya. Disini belum terjadi unifikasi hukum karena sikap Mahkamah Agung juga tidak tegas atau bahkan mendua dalam menentukan hukum acara lelang eksekusi Hak Tanggungan yang seharusnya. Yurisprudensi Mahkamah Agung belum tegas mengaturnya sehingga banyak pihak baik dari perbankan ataupun debitur mencoba-coba melakukan tindakantindakan hukum tersebut. Sebagai penekanan dalam maksud pengertian Undang-Undang, berikut disitir bunyi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang dalam pertimbangan amarnya menyatakan sebagai berikut : - Pelaksanaan eksekusi prosse akta hipotek yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan Pasal 224 HIR, mempunyai kekuatan yang sama dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ;
-
Namun pelaksanaannya, harus melalui campur tangan Pengadilan Negeri, karena yang dimaksud jawatan umum pada Pasal 1211 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah Pengadilan, bukan Kantor Lelang ; - Oleh karena itu, penjualan lelang yang dilakukan Kantor Lelang Bandung tanpa atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, tetapi langsung atas permintaan Bank (Kreditor) adalah tidak sah. Meskipun Putusan tersebut diatas muncul sebelum berlakunya UndangUndang No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan namun secara pemahaman hukum telah sesuai dengan Pasal 224 HIR jo. Pasal 1211 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal ini belum terdapat Undang-Undang atau peraturan baru yang merubahnya maka seharusnya ketentuan lama tersebut yang dipakai. Oleh karena pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan tanpa melalui campur tangan Ketua Pengadilan adalah tidak memenuhi secara hukum acara (undue process of the law). Melalui campur tangan Pengadilan maka fiat atau Penetapan lebih mencerminkan keseimbangan kepentingan dan memenuhi asas keadilan dalam hal Pengadilan telah memeriksa kecukupan alasan dikeluarkannya Penetapan tersebut. Disamping itu pihak debitur akan mendapatkan Hak Teguran (aanmaning) dan langsung dapat menjelaskan duduk perkaranya kepada Pengadilan yang berwenang. Masing-masing pihak mendapat hak dan kewajiban secara seimbang untuk mempertahankan kepentingannya didepan sebelumnya, yang dipenuhi oleh lembaga lelang karena tidak memiliki ruang pembuktian lagi. Meskipun pada asasnya lembaga parate eksekusi ditujukan agar eksekusi dapat dilakukan secara serta merta, namun adanya syarat dan ketentuan “apabila debitur cidera janji” dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan membuat ekskekusi yang dimaksud adalah kondisional atau bersyarat tertentu. Maraknya gugatan akibat asset jaminan dilelang oleh perbankan disamping efek psikologis tereksekusi, juga sangat dipengaruhi karena begitu longgarnya
90
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
batasan berlakunya undang tersebut.
ketentuan
undang-
B. Perlindungan Hukum Debitur Dalam Persfektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Perlindungan Penentuan Nilai Limit Lelang Jaminan Hak Tanggungan Konsumen merupakan salah satu pelaku kegiatan perekonomian dalam suatu Negara. Konsumen merupakan individu/sekelompok orang yang mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang disediakan oleh produsen. Brikut merupakan pengertian konsumen dari para ahli :7 a. Philip Kotler “konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli maupun memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi”. b. Hornby “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen sebagai pemakai barang atau jasa memerlukan suatu perlindungan hukum yang jelas dalam mendapatkan kepuasan serta kelayakan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Perlindungan Konsumen menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Dalam hal ini maka dalam segala pemakaian produk atau jasa oleh konsumen, konsumen berhak mendapatkan suatu kepastian hukum. Dalam pasal 2 Undang-Undang No.8/1999 berisi tentang asas perlindungan konsumen dimana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Oleh karena itu, dalam perlindungan konsumen, seharusnya setiap aspek baik produsen 7
dhika augustyas “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen” diakses dalam https://dhiasitsme.wordpress.com/2012/04/18/perlindungan -hukum-bagi-konsumen/ pada tanggal 10 Mei 2015 pukul 14.34 WIB
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
maupun pasar serta peran pemerintah sangat diperlukan dan selalu mengacu kepada asas-asas yaitu :8 a. Asas Manfaat dalam hal ini baik pihak produsen maupun konsumen memiliki kedudukan yang sama sehingga tidak ada kerugian dari masing-masing pihak dan dapat memperoleh haknya sebagai produsen serta konsumen. b. Asas Keadilan merupakan asas yang paling sering dilanggar oleh suatu pihak, karena seharusnya dalam hal ini pelaku usaha (produsen) berlaku adil dalam menciptakan suatu barang/jasa baik dalam proses pembuatan serta dalam proses penentuan harga. Dengan rasa keadilan yang tinggi, maka tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam hal tersebut. c. Asas keseimbangan merupakan asas dimana adanya keseimbangan antara kepentingan konsumen maupun produsen serta pihak-pihak lain seperti pemerintah sehingga tercipta perekonomian yang baik dan stabil. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen merupakan suatu asas dimana setiap barang/jasa yang dihasilkan sudah memenuhi syarat untuk diproduksi dan disetujui oleh badan hukum yang berwenang sehingga produk yang ditawarkan dan dijual kepada konsumen layak untuk dikonsumsi karena dalam penggunaan barang/jasa oleh konsumen hal itu juga menyangkut atas keselamatan konsumen yang harus ditanggung oleh produsen maupun pemerintah jika terjadi suatu kecelakaan. e. Asas kepastian hukum adalah asas yang membuat para pelaku usaha maupun konsumen dapat mematuhi peraturan yang berlaku sehingga tidak akan melanggar hukum yang telah diatur. Dengan adanya kepastian hukum maka konsumen juga dapat menggunakan produk/jasa dengan rasa aman dan dapat menjadi suatu jamina apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam penggunaan produk/jasa tersebut. Selain harus mengacu pada asas, perlindungan konsumen dilaksanakan untuk 8
Ibid
91
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
berbagai macam tujuan. Tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 Undang-Undang No. 8/1999 yaitu: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan , kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan menjadi urgent, karena secara faktual kedudukan antara para pihak seringkali tidak seimbang. Perjanjian kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining position) dalam hal ini adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).9 Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing. Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit/pembiayaan. Dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisir sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Di sisi lain pengadilan yang merupakan pihak ketiga dalam mengatasi perselisihan antara bank dengan nasabah debitur dapat menilai apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai dengan yang disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Keberatan-keberatan terhadap perjanjian standar antara lain adalah karena :10 1. Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak, 2. Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya, 3. Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat, 4. Ada unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi efisiensi. Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi substansi UUPK untuk memberikan pengaturan mengenai ketentuan pencantuman klausula baku, yaitu sebagai berikut:11 1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
92
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
9 10 11
Ibid Ibid Ibid
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Untuk ketentuan dalam Pasal 18 dimaksud yang sangat terkait erat dan sering terjadi dalam perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan oleh bank adalah ketentuan pada ayat (1) huruf g, yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UUPK, akan tetapi pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan kepentingan nasabah. Halhal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain adalah sebagai berikut:12 1. Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian. 2. Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit/pembiayaan. 3. Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas. 4. Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian. Pada perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dihubungkan dengan kasus posisi perkara perdata yang diteliti, maka point yang akan digarisbawahi adalah menyangkut penerapan asas perlindungan konsumen/Debitur, yaitu : 1) Asas Manfaat dalam hal ini baik pihak Kreditur maupun debitur memiliki kedudukan yang sama sehingga tidak ada kerugian dari masing-masing pihak dan dapat memperoleh haknya sebagai Kreditur serta Debitur. 12
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Ibid
93
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
2) Asas Keadilan merupakan asas yang paling sering dilanggar oleh suatu pihak, karena seharusnya dalam hal ini pelaku usaha (produsen) berlaku adil dalam menciptakan suatu barang/jasa baik dalam proses pembuatan serta dalam proses penentuan harga. 3) Asas keseimbangan merupakan asas dimana adanya keseimbangan antara kepentingan debitur maupun Kreditur serta pihak-pihak lain seperti pemerintah sehingga tercipta perekonomian yang baik dan stabil. 4) Asas kesamanan dan keselamatan Debitur merupakan suatu asas dimana setiap barang/jasa yang dihasilkan sudah memenuhi syarat untuk diproduksi dan disetujui oleh badan hukum yang berwenang sehingga produk yang ditawarkan dan dijual kepada konsumen layak untuk dikonsumsi karena dalam penggunaan barang/jasa oleh Debitur hal itu juga menyangkut atas keselamatan Debitur yang harus ditanggung oleh Kreditur maupun pemerintah jika terjadi suatu kecelakaan. 5) Asas kepastian hukum adalah asas yang membuat para pelaku usaha maupun Debitur dapat mematuhi peraturan yang berlaku sehingga tidak akan melanggar hukum yang telah diatur. Selain itu terhadap aspek perbedaan persepsi antara Kreditur dan Debitur menyangkut kalkulasi / perhitungan sisa tunggakan kredit, perbedaan persepsi tentang jangka waktu kredit, serta keterlambatan dan ketertutupan atas informasi yang berhubungan dengan kontrak dalam perjanjian kreditnya dengan Kreditur menggambarkan adanya ketidaksesuaian terhadap pasal 3 UUPK point d yang menekankan aspek perlindungan hukum dalam konteks kepastian hukun berkorelasi dengan keharusan adanya keterbukaan informasi dan kemudahan akses untuk mendapatkan informasi dari pihak Kreditur, sehingga keadaan dimana debitur merasa tidak paham, tidak mengerti, dan bingung dengan keadaan yang dialaminya bisa dihindari. Sulitnya penyelesaian masalah kredit macet disebabkan beberapa faktor yang di antaranya bermula dari kurang
diperhatikannya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum jaminan, khususnya dalam penggunaan tanah sebagai jaminan kredit. Sungguhpun tanah bukan merupakan satu-satunya jaminan, namun harus diakui bahwa tanah masih mempunyai nilai lebih bila dibandingkan dengan bentuk jaminan lainnya, hal ini karena tanah tidak mudah hilang atau rusak serta harganya cenderung meningkat, terutama tanah-tanah di daerah perkotaan.13 Mengingat telah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, maka penggunaan tanah sebagai jaminan kredit dewasa ini di kalangan perbankan menempati prioritasnya / lebih diutamakan dibanding benda-benda jaminan lainnya. Dalam kaitannya dengan Kreditur menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, seharusnya tetap mempertimbangkan bahwa obyek hak tanggungan tersebut merupakan milik Debitur sebagai pemberi hak tanggungan sehingga pada saat dilakukan penjualan obyek hak tanggungan dalam lelang tetap berlandaskan kepada penghormatan kepada milik orang lain. Pemahaman bahwa pihak pemberi Hak Tanggungan adalah pihak selalu berkepentingan terhadap obyek hak tanggungan adalah penting sifatnya, karena bila terjadi penjualan obyek hak tanggungan pasti selalu ada harapan bahwa obyek hak tanggungan debitur bisa memberikan hasil penjualan yang tinggi. Konsep penjualan jaminan melalui pelelangan umum ini sendiri sebenarnya bertujuan dengan harapan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek hak tanggungan. Maka saat konsep pelelangan tersebut berimplikasi sebaliknya di lapangan, maka munculah banyak perkara yang berkaitan dengan lelang. Sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-
94
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
13
Budi Harsono, “Upaya Badan Pertanahan Nasional Dalam Mempercepat Penyelesaian Kredit Macet Perbankan”, Kumpulan Makalah dan Hasil Diskusi Panel I Sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, (Jakarta: Dep. Keu,. RI. BUPLN, 1998), hal. 400
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah debitur. Semestinya penaksiran harga obyek hak tanggungan terlebih dahulu dilakukan oleh suatu perusahaan penilai (appraisal company) yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Perkara Gugatan Debitur itu sendiri inti pokok masalahnya adalah harga penjualan obyek hak tanggungan yang dinilai tidak wajar. Dalil yang dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas itikad baik terhadap harga penjualan obyek hak tanggungan yang dinilai tidak wajar. Dengan demikian maka sangat beralasan bila Asas kepatutan dan itikad baik serta asas penghormatan kepada milik orang lain dijadikan acuan Kreditur / bank dalam menentukan harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah nasabah / debitur. Aspek pentingnya Bank mempertimbangkan keadilan terhadap nilai jual obyek jaminan terlihat pula dalam kasus perkara di Pengadilan banding (Court of Appeal) yang secara aklamasi (unanimously) telah memutuskan bahwa di dalam melaksanakan kewenangannya untuk menjual barang agunan itu, tergugat dalam hal ini bank terikat pada kewajiban untuk mencapai harga yang sebenarnya (true value) dari properti itu. Hakim Salmon LJ mengemukakan bahwa :14 “accordingly conclude, both on principal and auhority, that mortgagee in exercising his power of sale does owe a duty to take reasonable precaution to obtain the true market value of the mortgaged whether the has fallen short of that duty,k the facts must be looked at broadly, and he will not be adjudged to be in default unless he is plainly on the wrong side of the line.” IV. SIMPULAN Peluang munculnya perlawanan debitur disebabkan karena perangkat perundangundangan yang dalam hal ini UUHT ternyata terkandung beberapa kelemahan 14
yaitu : UUHT tidak mengatur tentang batasan definisi cidera janji, inkonsistensi antara Pasal 6 (hak menjual atas kekuasaan sendiri) dan Penjelasan Pasal 6 (hak menjual atas kekuasaan sendiri tetapi atas dasar perjanjian/ kesepakatan antara kreditur dengan debiturnya) sehingga menimbulkan peluang penafsiran yang berbeda dan Dualisme Lelang Eksekusi Hak Tanggungan : apakah bisa langsung dilakukan Lelang (sebagaimana irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME dalam Sertifikat Hak Tanggungan) di Balai Lelang atau harus melalui Fiat /Penetapan Pengadilan (sebagaimana Pasal 224 HIR yang mengatur tentang Parate Eksekusi). Tanah merupakan jaminan kredit dengan nilai ekonomis yang tinggi, dan prioritas dibanding jaminan benda jaminan lain. Maka dengan pertimbangan bahwa obyek hak tanggungan itu merupakan milik debitur, untuk itu asas kepatutan, itikad baik dan penghormatan terhadap milik orang lain adalah sangat penting sifatnya bagi kreditur. Konsep lelang bertujuan untuk mendapatkan harga paling tinggi, namun dalam praktek terjadi kontraproduktif karena kreditur / bank menentukan secara sepihak nilai limit lelang obyek HT tersebut, sehingga harga jual lelang menjadi sangat tidak wajar dan ada potensi rekayasa lelang oleh “mafia lelang “ yang telah menjadi rahasia umum, hal inilah faktor pemicu utama munculnya perlawanan dari debitur karena pada aspek ini debitur jelas dirugikan. Harga yang sebenarnya (true value) bisa didapat dengan pelibatan appraisal independent / penilai independen yang mempunyai reputasi baik dalam penentuan nilai limit lelang. V. DAFTAR PUSTAKA Ananda, C. Tinon Yunianti Drs., dkk, 1995, Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Arikunto Suharsimi, 2005 Manajemen Penelitian, Edisi revisi, Rineka Cipta, Jakarta, Augustyas, Dhika, 2015 “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen” diakses dalam https://dhiasitsme.wordpress.com/2012 /04/18/perlindungan-hukum-bagi-
Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 142
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
95
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
konsumen/ pada tanggal 10 Mei 2015 pukul 14.34 WIB Badrulzaman, Mariam Darus, 2004, Buku II Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung ___________, 1997 Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Bakti, Bandung, 1991 ___________, 2004 Kompilasi Hukum Jaminan, Buku II, Mandar Maju, Bandung Djais, Mochammad, Peran sifat Accessoir Hak Tanggungan Dalam Mengatasi Kredit Macet, Badan Penerbit Undip, Semarang Gatot, Wardoyo, dikutip dari M. Djumhana, 1992, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen, Harahap, M. Yahya, 1996, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan standar Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung Harahap, M. Yahya, 2013, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi kedua : Sinar Grafika, Jakarta H. Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta Harsono, Boedi, 2013, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Djambatan, Jakarta ___________, 1998 “Upaya Badan Pertanahan Nasional Dalam Mempercepat Penyelesaian Kredit Macet Perbankan”, Kumpulan Makalah dan Hasil Diskusi Panel I Sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Dep. Keu,. RI. BUPLN, Jakarta Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian;Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Prenadamedia Group, Jakarta Indarti, Erlyn, 2010 Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Badan Penerbit Undip. Semarang Isnaeni, Moch, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik, Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), 2007, Cetakan I ; Laksbang Pressindo, Yogyakarta Mertokusumo, Sudikno, 2011, “Mengenal Hukum, Suatu Pengantar”, dalam Esmi
Warassih “Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang Michael, Groves, 1992, Managing Problem Loans, Tokyo: Bank Administration Institute Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan, 2005, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Kencana Prenada Media, Jakarta Patrik Purwahid dan Kashadi, 2006, Hukum Jaminan edisi revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum Undip, Semarang Parlindungan,A.P., 1996, Komentar UndangUndang tentang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama, Mandar Maju, Bandung Purbacaraka Purnadi dan Soekanto, Soerjono, 2011, “Perihal Kaidah Hukum” dalam Esmi Warassih “Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang R.Subekti, KUH Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta Radbruch, Gustav, 2010 Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, dalam Esmi Warassih “Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang Rahardjo, Sutjipto, 2011 “Ilmu Hukum” dalam Esmi Warassih “Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang Salim, Agus, 2006, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif, Tiara Wacana, Jakarta Satrio, J.,2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Siswanto, Sutojo, 1995 Analisis Kredit Bank Umum, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta Siswanto, Sutojo, 1996 Menangani Kredit Bermasalah, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta Sjahdeini, Sutan Remy, 1996, Hak Tanggungan, Asas-Asas, KetentuanKetentuan Pokok dan Masalah-Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Surabaya: Airlangga University Press,
96
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Konstruksi Perlindungan Hukum Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah ….
___________, 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta Soemitro, Ronny Hanitio, 2004, Metodologi Penelitian Hukum, Gahalia Indonesia, Jakarta Soimin, Soedharyo, 2001 Status Hak dan Pembebasan Tanah Sinar Grafika, Jakarta Suhartono, Irawan, 2004, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknis Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial, Remaja Rosdakarya, Bandung Sumardjono, Maria, 1998, “Prinsip Dasar Hak Tanggungan Dan Beberapa Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Kredit Perbankan”. Kumpulan Makalah Dan Hasil Diskusi Panel I sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara,Dep. Keu. RI, BUPLN, Jakarta Supramono, Gatot, 1995, Perbankan dan Masalah Kredit, Djambatan. Jakarta Sutedi, Adrian, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta Sutrisno, Endang, 2013 Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Penerbit In Media. Jakarta Warassih, Esmi, 2011, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Widyadharma, Ignatius Ridwan, 1996, Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Cetakan Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Kamus Hukum : Black’s Law Dictionary of Western Philosophy, Blackwell Publishing, 2004
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
97
PETUNJUK PENULISAN NASKAH A. Bentuk Tulisan Jurnal Hukum Hermeneutika menerima tulisan berupa artikel, hasil penelitian dalam berbagai bidang hukum meliputi hukum dan masyarakat berikut dengan penegakan hukum serta analisis putusan pengadilan dan studi kasus dalam masalah-masalah hukum. B. 1.
2. 3.
C. 1. 2. 3. 4.
D. 1.
2.
E. 1. 2. 3. 4.
Pedoman Penulisan Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan EYD dalam kertas ukuran A4, dengan batas kiri dan kanan 2,5 cm, batas atas dan bawah 1,5 cm. semua halaman naskah harus dibubuhi nomor halaman secara berurutan di kanan bawah jarak tulisan dalam satu paragraph sejauh ½ spasi, menggunakan huruf Times New Roman ukuran 10. Panjang naskah maksimal 20 (dua puluh) halaman termasuk table, gambar, foto (bila ada). Awal paragraph dibuat menjorok kedalam 0,5 cm (5 ketukan). Naskah terdiri atas judul dan nama penulis lengkap dengan gelar dan tanpa alamat pos. diikuti dengan abstrak Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan 3-6 buah kata kunci ; Pendahuluan ; Identifikasi Masalah ; Metodologi; Hasil dan Pembahasan ; Kesimpulan dan Saran ; Daftar Pustaka. Penyerahan Naskah Naskah yang diserahkan ke redaksi Jurnal Hukum Hermeneutika harus belum dan tidak pernah dimuat di jurnal atau media publikasi lainnya. Singkatan, ketika pertama kali muncul dalam teks harus diikuti dengan kepanjangan. Untuk proses editing, naskah final (setelah diperbaiki sesuai dengan sasaran Dewan Editor) harus disertai dengan hasil print out dan soft copy (CD). Naskah dikirimkan ke redaksi Jurnal Hukum Hermeneutika di Jl. Terusan Pemuda No. 01 A Cirebon, telepon 0231-488929, atau dapat juga dikirim melalui email atau Redaksi akan mengirimkan bukti tanda terima setelah naskah diserahkan. Naskah yang formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan Jurnal Hukum Hermeneutika akan ditolak dan editor tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang bersangkutan. Catatan Kaki Catatan kaki harus dicantumkan dengan singkat dan jelas, tidak memuat keterangan dan penjabaran lebih lanjut dari naskah, namun hanya memuat nama penulis buku rujukan (tanpa gelar), judul buku (cetak miring), nama penerbit, kota dan tahun terbitan, serta halaman yang cukup disingkat menjadi "hlm". Catatan kaki yang lebih dari 1 baris maka untuk baris pertama dibuat menjorok kedalam 0,5 cm (lima ketukan) dibandingkan baris kedua dan seterusnya tanpa ada jarak spasi, menggunakan jenis huruf Arial ukuran 8. Judul Judul dibuat singkat namun cukup untuk menggambarkan isi (subtansi) naskah secara keseluruhan (informatif dan deskriptif). Judul secara keseluruhan ditulis dengan huruf capital. Untuk kata asing dicetak miring, ukuran huruf 12. Ditulis dalam Bahasa Indonesia. Di bawah judul, cantumkan pula nama lengkap penulis dan asal instansi penulis serta alamat korespodensi.
Petunjuk Penulisan Naskah
F. 1. 2. 3.
Abstrak Abstrak merupakan ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiap bab, meliputi latar belakang masalah secara ringkas, tujuan, metodologi, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan. Abstrak paling banyak terdiri atas 200 kata, dilengkapi dengan kata kunci 3-6 buah. Dibuat dalam Bahasa Inggris.
G. Kata Kunci Kata kunci kata-kata lepas / tunggal atau majemuk yang mencerminkan konsep penting dalam tulisan dan kata tersebut paling sering ditulis secara berulang. H. Sistematika Naskah Untuk hasil penelitian harus menggunakan sistematika sebagai berikut: I. Pendahuluan Latar Belakang Bab ini berisikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami dan mengevaluasi hasil yang dicapai dari penulisan yang dilakukan tanpa hams membaca sendiri publikasi-publikasi sebelumnya yang berhubungan dengan topic yang bersangkutan. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah adalah penjabaran dari judul dalam bentuk pertanyaan, yaitu apa yang akan dibahas lebih lanjut dan akan dicari tahu jawabannya. Terdiri dari 2 atau 3 item. II. Metodologi Berisikan spesifikasi penelitian, cara mengumpulkan bahan, termasuk teknik menganalisa. III. Hasil dan Pembahasan Bab ini berisikan hasil-hasil data lapangan (apabila naskah merupakan hasil dari penelitian), atau teori berupa asas, kaidah, yang dapat digolongkan sebagai suatu peninjauan teoritis. Pembahasan berisikan penjabaran dan interpretasi dari hasil penelitian untuk menjawab identifikasi masalah, yang diperoleh dengan membandingkan antara hasil penelitian dengan teori-teori dalam tinjauan teoretis sebelumnya. IV. Penutup Penutup berisi : 1. Kesimpulan, merupakan point-point dari jawaban identifikasi masalah yang telah dijabarkan secara lengkap sebelumnya dalam bab hasil dan pembahasan. 2. Saran, adalah hal-hal yang direkomendasikan penulis khususnya kepada pembuat kebijakan yang dianggap cukup realistis untuk diwujudkan. V. 1. 2. 3. 4. 5.
100
Daftar Pustaka Harus memuat secara kleseluruhan pustaka yang turut dikutip dalam naskah. Disusun menurut abjad pengarang dengan urutan : nama yang tidak dibalik tanpa gelar, nama buku yang dicetak miring, nama penerbit buku, kota dan tahun terbitan. Apabila daftar pustaka diketik lebih dari 1 baris, maka baris kedua dn seterusnya dibuat menjorok ke dalam 1 cm. Daftar pustaka disusun secara sistematis dan diklasifikasikan menurut jenisnya. Berturutturut buku, peraturan perundang-undangan, dan sumber lain (Koran, majalah, artikel ilmiah) termasuk data yang diperoleh dari website. Bentuk daftar pustaka berupa peraturan perundang-undangan disusun peraturan perundang-undangan yang sejenis, maka susunan disesuaikan menurut tahun yang terlebih dahulu diundangkannya peraturan tersebut. HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
Petunjuk Penulisan Naskah
6.
Daftar pustaka darikoran dan majalah, haruslah menyebutkan nama koran, majalah, hari serta tanggal terbit. Untuk artikel ilmiah turut disebutkan pula nama penulis, nama jurnal, nama penerbit, bulan dan tahun edisi jurnal. Untuk artikel lepas menggunakan sistematika, Pendahuluan, Pembahasan, Penututup dan Daftar Pustaka H.
Ucapan Terima Kasih Dapat dicantumkan sebagai ungkapan terima kasih dan penghargaan kepada pihak (instansi atau orang pribadi) yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian atau penulisan laporan, penyedia dana apenelitian, editor ataupun dewan redaksi.
HERMENEUTIKA | Nomor 1 | Jilid 1 | Desember 2015
101