PENGAWASAN TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG UPAH MINIMUM PROVINSI DI KOTA PEKANBARU PADA TAHUN 2007 Oleh: Ranggi Ade Febrian, M.Si., S.IP Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol – Universitas Islam Riau Pekanbaru H. Isril, MH., Drs Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol – Universitas Riau Pekanbaru
Abstract The Government of Pekanbaru has established the Minimum Wage’s City (UMK) in the amount of Rp 710.000,- per month for 2007. The determination UMK of Pekanbaru for 2007 is still referred to Provincial Minimum Wage (UMP) for Rp 710.000,that is according to Decree of the Governor of Riau No. 27 dated 1 January 2006. Where Department of Labor in Pekanbaru city is on duty to control the implementation of minimum wage policy for businesses that operate in Pekanbaru city. Type of supervision is carried out repressive nature invsetigatif supervision, inspection and control the activities of the possibilities of deviation from the implementation of Provincial Minimum Wage policy in the city of Pekanbaru after a policy that stresses applied to the in-depth examination of minimum wage violations by the object of surveillance of the workers. Keywords : Provincial Minimum Wage, Labor
PENDAHULUAN Pembangunan ketenagakerjaan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa agar terpenuhi hakhak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (16) disebutkan bahwa: Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/ atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Oleh karena itu hubungan industrial berlangsung dengan adanya interaksi dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai regulator atau mengatur interaksi hubungan antara pihak pengusaha, pekerja/buruh. Upah merupakan salah satu alat motivasi yang efektif terhadap karyawan pada suatu perusahaan. Upah dapat membangkitkan semangat dan kegairahan kerja karyawan sehingga diharapkan karyawan bersedia bekerja lebih giat serta dapat meningkatkan produktivitasnya. Upah berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi. Dari sisi lain tenaga kerja adalah salah satu dari beberapa faktor produksi yang dimanfaatkan dan diproses dalam proses produksi secara optimal, secara sederhana faktor-faktor produksi itu dapat dikelompokkan menjadi dua saja yaitu faktor produksi tenaga kerja dan pemilik modal. Dalam hal ini dituntut terciptanya kerjasama yang optimal tetapi di pihak lain proses
tersebut melibatkan dua kepentingan yang berbeda, upah merupakan biaya tenaga kerja sekaligus merupakan sumber pendapatan para karyawan. (Ranupandojo, Heidjerachman dan Su’ud Husnan, 1998 : 138) Oleh sebab itu, pihak pemerintah dituntut berperan aktif untuk mengatasi masalah upah kerja bagi para tenaga kerja ini. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah menetapkan kebijakan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, agar hubungan kerja pihak pekerja dan pihak pengusaha dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa: dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-17/MEN/VIII/2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup layak Pasal 1 disebutkan bahwa: (1) Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang pekerja/ buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. (2) Dewan Pengumpulan Provinsi Kabupaten/ Kota adalah lembaga non struktural yang bersifat tripartit, dibetuk oleh Gurbernur/ Bupati/ Walikota dan bertugas memberikan saran serta pertimbangan kepada Gurbernur/ Bupati/ Walikota dalam penetapan upah minimum. Pasal 4 ayat (5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-17/MEN/VIII/2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak disebutkan bahwa : KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum Provinsi, maka penetapan upah minimum didasarkan pada niai KHL Kabupaten/ Kota terendah di Provinsi yang bersangkutan dengan mempertimbangkan produktivitas,
pertumbuhan ekonomi dan usaha yang paling tidak mampu (marginal). Selanjutnya pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut disebutkan bahwa : KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum. Kemudian dalam pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut juga disebutkan bahwa : Pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum dilaksanakan secara bertahap. Sebelum diberlakkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : PER-17/MEN/VIII/2005 tersebut, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) disebut dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Prosedur yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dalam melakukan pengawasan terhadap UMK Di Kota Pekanbaru adalah dengan melakukan pengawasan terhadap seluruh pelaku usaha yang beroperasi di Kota Pekanbaru sebagai objek pengawasan sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6 yaitu: 1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/ buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain 2. Usaha-usah sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan menbayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengawasan dilakukakan setiap bulannya untuk memeriksa perusahaan yang beroperasi di Kota Pekanbaru, apakah mematuhi pembayaran upah minimum bagi pekerja menurut peraturan yang telah ditetapkan. Pengawasan di lapangan dilakukan oleh personel pengawas Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru yang berdiri secara independen dengan perbandingan ideal 1 (satu) orang personel pengawas menangani 50 perusahaan. Jika Terjadi penyimpangan yang ditemukakan oleh personel pengawas, maka Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru akan melakukan tindakan berupa sanksi sesuai dengan peraturan
terhadap pelaku usaha yang tidak membayarkan upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah Kota Pekanbaru telah menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) Pekanbaru sebesar Rp. 710.000 per bulan untuk tahun 2007. Penetapan UMK Pekanbaru tahun 2007 ini masih mengacu pada Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp710.000 per bulan yaitu menurut Keputusan Gurbernur Riau No. 27 Tertanggal 1 Januari Tahun 2006, Upah Minimum Propinsi (UMP) yang berlaku di Propinsi Riau untuk seorang pekerja lajang pada adalah sebesar Rp. 710.000,- yang efektif diberlakukan sejak tanggal Januari 2007. Penetapan Keputusan Upah Minimum Kota (UMK) Pekanbaru untuk mengacu Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau dan tidak menetapkan upah minimum tersendiri dikarena waktu untuk penyusunan UMK guna diterapkan pada 2007 sudah tidak memungkinkan lagi disusun, karena ketentuannya untuk menetapkan UMK kabupaten/kota, harus disampaikan terlebih dahulu ke gubernur untuk disetujui, paling lama bulan September untuk UMK tahun berikutnya, artinya bila mau menetapkan UMK Pekanbaru 2007, minimal dewan pengupahan harus mengajukan permintaan persetujuan UMK ini ke Gubri pada September 2006 lalu. Karena alasan keterlambatan itulah Upah Minimum Kota (UMK) Pekanbaru tahun 2007 tidak memungkinkan lagi untuk disusun sendiri, dan disesuaikan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan Upah Minimimum Provinsi (UMP) Riau tahun 2008 ditetapkan sebesar Rp. 800.000 per bulan. Menurut Keputusan Gurbernur Riau No. 38 Tertanggal 26 November Tahun 2007, Upah Minimum Provinsi (UMP) yang berlaku di Provinsi Riau untuk seorang pekerja adalah sebesar Rp. 800.000, Angka ini naik 12,68 persen dari angka sebelumnya yang dipatok sebesar Rp 710.000,-/ bulan. Dan Upah Minimum Kota Pekanbaru untuk tahun 2008 juga mengalami kenaikan sebesar Rp. 825.000,- sesuai peraturan Gubernur Riau No. 48 Tahun 2007. Pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam menetapkan UMP ini adalah dengan melihat berbagai aspek yang ada seperti kebutuhan hidup layak, inflasi, pertumbuhan ekonomi, kemampuan perusahaan, indeks harga konsumen dan dengan
melihat upah provinsi tetangga. Karena Upah Minimum Provinsi dijadikan barometer untuk menetapkan Upah Minimum Kota/ Kabupaten. Sebagai daerah perkotaan yang mengalami pertumbuhan perekonomian yang cukup pesat, maka di Kota Pekanbaru banyak berkembang berbagai jenis bidang usaha industri yang menghasilkan produk barang dan jasa, mulai dari usaha industri yang berskala besar, menengah, hingga industri kecil dan industri rumah-tangga. Untuk mendukung aktivitas operasionalnya, maka perusahaan-perusahaan cukup banyak merekrut dan mempekerjakan para pekerja/ buruh dari berbagai jenjang pendidikan dan tingkat keahlian / keterampilan. Perkembangan jumlah perusahaan/unit usaha yang beroperasi di Kota Pekanbaru dan tenaga kerjanya sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Perkembangan Jumlah Perusahaan yang Beroperasi di Kota Pekanbaru Tahun 2003 – 2007 No
Tahun
Persentase kenaikan
Jumlah Tenaga Kerja
Persentase Kenaikan
2003
Jumlah Perusahaan ( unit ) 2.046
1
15,99 %
59.212
17,28 %
2
2004
1.922
15,02 %
55.805
16,29 %
3
2005
2.332
18,23 %
68.893
20,11 %
4
2006
3.126
24,43 %
77.134
22,52 %
5
2007
3.366
26,31 %
81.449
23,78 %
Jumlah
12.792
100 %
342.493
100 %
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Berikut tabel jumlah perusahaan yang beroperasi di Kota Pekanbaru yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru :
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Perusahaan di Kota Pekanbaru yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru tahun 2003-2007 No
Tahun
Persentase kenaikan
Jumlah Tenaga Kerja
Persentase Kenaikan
2003
Jumlah Perusahaan ( unit ) 122
1 2
14,2 %
2.572
14,57 %
2004
116
13,5 %
2.338
13,24 %
3
2005
190
22,11 %
3.942
22,33 %
4
2006
170
19,79 %
3.395
19,23 %
2007
261
30,38 %
5.402
30,60 %
Jumlah
859
100 %
17.649
100 %
5
Sumber: Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru Berdasarkan tabel di atas dapat dilahat bahwa jumlah perusahaan yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru hanya sebagian kecil dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kota Pekanbaru, pada tahun 2007 saja perusahaan yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru hanya berjumlah 261 perusahaan ( Data Terlampir ), sedangkan jumah perusahaan yang beroperasi di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 berjumlah 3.366 perusahaan. Hal ini menujukkan kurangnya kesadaran para pengusaha di Kota Pekanbaru untuk melaporkan perusahaannya pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru, sehingga terjadi pelanggaran dalam Bidang Ketenaga Kerjaan, yang menyebabkan Disnaker Kota Pekanbaru kasulitan untuk mengawasi perusahaan yang beroperasi di Kota Pekanbaru. Tenaga kerja merupakan orang yang mengabdikan diri bagi kepentingan perusahaan, oleh sebab itu pihak perusahaan perlu memperhatikan hak-haknya. Di samping itu tenaga kerja juga akan mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara, maka dari itu pemerintah juga perlu melindungi hak-hak para pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama dalam pengawasan terhadap pembayaran upah kerja.
Namun dari hasil pra survei penulis, bahwa pada kenyataannya fungsi pengawasan pemerintah terhadap upah kerja di Kota Pekanbaru belum mencapai hasil maksimal sebagaimana yang diharapkan, dimana terdapat fenomena dan gejala sebagai berikut: Terjadi kelemahan struktural. Jumlah pegawai pengawas dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Pekanbaru hanya berjumlah empat orang, sedangkan jumlah perusahaan yang diawasi sebanyak 3.366 perusahaan pada tahun 2007 dengan perbandingan idealnya satu orang pengawas mengawasi 50 perusahaan (1 : 50), akibatnya masih banyak perusahaan yang belum terawasi oleh Disnaker Kota Pekanbaru yakni berjumlah 3.246 Perusahaan pada tahun 2007, yakni Dari 3.366 Perusahaan yang ada di Kota Pekanbaru, hanya 261 Perusahaan yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dan yang terawasi oleh Disnaker Kota Pekanbaru pada Tahun 2007 hanya berjumlah 120 Perusahaan ( Daftar Terlampir ). Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran para pengusaha untuk melaporkan perusahaannya kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru, yakni sebanyak 261 perusahaan yang terdaftar pada tahun 2007. Sehingga yang menjadi objek pengawasan sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6 tidak dapat diawasi secara optimal dan menyeluruh oleh Disnaker Kota Pekanbaru. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka penulis bermaksud meneliti tentang upaya pengawasan upah kerja yang dilakukan pihak Disnaker sesuai dengan perundangundangan yang berlaku, dengan judul penelitian : Pengawasan Terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang Upah Minimum Provinsi Di Kota Pekanbaru Pada Tahun 2007. Perumusan Masalah Berdasarkan gejala-gejala yang dikemukakan tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : Mengapa pengawasan terhadap kebijakan pemerintah tentang UMP Riau di Kota Pekanbaru belum terlaksana secara optimal ?
Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada pelaksanaan pengawasan terhadap UMP di Kota Pekanbaru karena masih belum sesuainya pelaksanaan UMP dengan realisasi yang terjadi terhadap upah kerja bagi para pekerja di sektor formal pada tahun 2007, berdasarkan peraturan dan perundangundangan dan kebijakan yang berlaku. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah tentang Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru pada tahun 2007. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat yang dihadapi dalam pelaksanaan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah tentang Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru. Kegunaan Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memacu perkembangan Ilmu Pemerintahan dengan memperkaya hasil-hasil penelitian dalam bidang Ilmu Pemerintahan pada umumnya. 2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan masukan atau sumbangan pemikiran terhadap instansi terkait/ Dinas Tenaga Kerja dalam pengawasan upah kerja di Kota Pekanbaru. 3. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah sumber informasi maupun referensi. Studi Kepustakaan Salah satu perwujudan tugas pemerintah tersebut yang cukup penting adalah mengelola bidang ketenagakerjaan atau perburuhan. Bidang ketenagakerjaan atau perburuhan ini cukup penting mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah, karena hal ini dominan mempengaruhi kondisi sosial dan perekonomian masyarakat maupun perekonomian negara.
Sebagaimana dinyatakan Husni (2006 : 11 – 12) Tujuan campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah: Untuk mewujudkan perburuhan yang adil, karena peraturan perundang-undangan perburuhan memberikan hak-hak bagi buruh/ pekerja sebagai manusia yang utuh, karena itu harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha/ majikan yakni kelangsungan perusahaan. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan adanya kebijakan dari pemerintah baik di pusat maupun di daerah untuk mengelola dan membangun bidang ketenagakerjaan agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Menurut Kibernology, pemerintahan ialah melihat sejauh mungkin ke depan untuk menemukan sesuatu yang menunjang kemajuan bangsa dan negara melalui suatu visi. Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan perencanaan dan penerapan serangkaian kebijakan dari pemerintah yang terarah dan terpadu. Pembuatan kebijakan merupakan sebuah aktivitas yang diarahkan tujuan, sebagai yang memiliki ciri tersendiri dari aktivitas fisik dan ekspresif murni, yang bertujuan untuk mempengaruhi prospektif (masa depan) alternatif dalam arah yang dikehendaki. (Tangkilisan, 2003 : 6) Kebijakan itu sendiri oleh Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt didefenisikan sebagai berikut : Kebijakan adalah “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repettivness) tingkah-laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. (Jones, 1997 : 47). Berdasarkan pendapat di atas, maka yang disebut kebijakan pemerintah adalah suatu formulasi berupa keputusan tetap yang dikeluarkan pemerintah dan berlaku umum untuk mempengaruhi tujuan sesuai dengan arah yang dikehendaki. Dalam pelaksanaan asas otonomi, pemerintah Kabupaten/Kota yang merupakan pemerintah daerah, dituntut untuk selalu proaktif dalam menjalankan fungsi pelayanan
pemerintahan sehingga tercapai tujuan negara dalam rangka menciptakan pelayanan masyarakat secara efektif. Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan karena itu merupakan proses. Sebagai proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung inilah yang dinamakan pelayanan. (Moenir, 1992 : 7). Selanjutnya Moenir juga mengatakan pelayanan adminstratif adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang/ sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Pelayanan prima adalah komitmen organisasi birokrasi pemerintah. Komitmen organisasional bermakna keberpihakan birokrasi pemerintahan harus berada di pihak masyarakat. Melayani berarti membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan seseorang/ masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten/kota merupakan organisasi pemerintah yang bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara adil dan merata termasuk dalam bidang ketenagakerjaan. Pengawasan Hubungan kerja yang berlangsung atas dasar perjanjian kerja antara buruh/ pekerja sebagai pihak yang menerima pekerjaan dan pengusaha sebagai pihak pemberi kerja, kewajiban pihak pengusaha memberikan sejumlah kompensasi kepada para buruh/ pekerja tersebut. Oleh sebab itu, untuk membina hubungan kerja yang baik perlu diterapkan suatu kebijakan sistem pengupahan oleh pemerintah. Selanjutnya pelaksanaan kebijakan ini perlu diawasi pelaksanaannya agar memberikan hasil secara optimal kepada masyarakat luas.
Sebagaimana menurut Handoko (1998 : 359 – 360) bahwa: Setiap kebijakan Pemerintah Daerah, dalam penerapannya perlu dilakukan pengawasan sehingga tujuan kebijakan yang telah disusun dapat direalisasikan sesuai yang direncanakan, sebagaimana yang diuraikan : Pengawasan dapat didefenisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenaan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan. Pengertian ini menunjukkan adanya hubungan antara perencana dan pengawas. Menurut Assauri (1997 : 37), Pengawasan adalah kegiatan pemeriksaan dan pengendalian atas kegiatan-kegiatan agar dapat sesuai dengan apa yang diharapkan atau direncanakan. Menurut Nitisemito (1997 : 144), pengawasan dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah kemungkinankemungkinan penyimpangan dari rencana-rencana, instruksiinstruksi, saran-saran dan sebagainya yang ditetapkan. Dengan pengawasan ini diharapkan penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi dapat ditekan sehingga kemungkinan timbul kerugian berat dapat dihilangkan atau setidak-tidaknya dapat diperkecil. Menurut Soeharno Handayaningrat ( 1985 ) dalam Rahim Indrajaya, terdapat empat macam pengawasan yaitu : 1. Pengawasan dari dalam ( Internal control ) Pengawasan dari dalam berarti pengawasanyang dilakukan oleh aparat/ unit pengawasan yang dibentuk di dalam organisasi itu sendiri dan mengawasi pekerjaan yang telah ditetntukan oleh pemimpin organisasi. Aparat/ unit pengawasan bertugas mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan oleh pemimpin organisasi. Data-data diperlukan oleh pemimpin untuk menilai kemajuan dan kemandirian dalam pelaksasnaan pekerjaan organisasi. 2. Pengawasan dari luar organisasi ( eksternal control ) Pengawasan dari luar organisasi adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat/ unit pengawasan yang dilakukan di luar organisasi, selain aparat yang bertindak atas nama pemerintah dapat pula pihak luar diminta melakukan pengawasan.
3. Pengawasan Preventif Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukakn sebelum rencana dilaksanakan. Pengawasan ini dapat dilakukakn melalui usaha-usaha sebagai berikut : Menentutakan peraturan yang berhubungan dengan sistem prosedur, hubungan dan tata kerja. Membuat pedoman/ manual sesuai dengan peraturanperaturan yang telah di tetapkan Menentukan kedudukan, tugas, wewenang dan tanggung jawab. Mengorganisasikan segala macam kegiatan, penempatan pegawai dan pembagian pekerjaan. Menentukan sistem kordinasi, pelaporan dan pemeriksaan Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan. 4. Pengawasan Represif Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukakan setelah adanya pekerjaan. Maksud diadakan pengawasan represif untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan Represif dapat menggunakan sistem-sistem pengawasan : Sistem kompentif yaitu dengan mempelajari hasil pelaksanaan pekerjaan, analisa pemilihan dan membandingkan hasil pelaksanaan dan pengambilan keputusan. Sistem vertifikasi, yaitu cara menentukan ketentuan di laporkan secara priodik, penilaian dan menentukan tindakan perbaikan. Sistem inspektif, yaitu mengecek kebenaran suatu laporan yang dibuat pelaksana. Inspeksi dimaksudkan memberikan penjelasan-penjelasan terhadap kebijakan pimpinan. Tujuannya untuk memberlakukan kesetiakawanan rasa solidaritas dan ketinggian moral.
Sistem investigatif, yaitu menekankan terhadap penyelidikan/ penelitian yang mendalam terhadap suatu masalah yang negatif. Untuk itu dilakukan pengumpulan data, mengamati, mengelola dan penilaian antara data tersebut untuk pengambilan keputusan. Sementara menurut Handoko (1998 : 362) ada 3 (tiga) tipe pengawasan yang dilakukan, yaitu: 1. Pengawasan Pendahuluan (feedforward control) Pengawasan ini dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap kegiatan tertentu diselesaikan. 2. Pengawasan (concurrent) Tipe pengawasan ini merupakan proses dimana aspek tertentu dari suatu prosedur harus disetujui dulu atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan yang lebih menjamin pelaksanaan suatu kegiatan 3. Pengawasan umpan balik (feedback control) Pengawasan umpan balik juga dikenal sebagai past actioncontrol, mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar ditentukan, dan menemuan-penemuan ditetapkan untuk kegiatan-kegiatan serupa di masa yang akan datang. Pengawasan ini bersifat historis, pengukuran dilakukan setelah kegiatan terjadi. Kemudian menurut Herujito (2001 : 242), prinsip pengawasan ada tujuh, yakni: (1) Mencerminkan sifat dari apa yang diawasi (2) Dapat diketahui dengan segera penyimpangan yang terjadi (3) Luwes (4) Mencerminkan pola organisasi (5) Ekonomis (6) Dapat mudah dipahami (7) Dapat segera dilaksanakan perbaikan
Sehubungan dengan pengawasan upah, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Menteri, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Tentang upah Minimum yang kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-226/MEN/2000 Tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum. Menurut Manullang (2006 : 173 – 174) bahwa: Untuk mendapatkan suatu sistem pengawasan yang efektif, maka perlu dipenuhi beberapa prinsip pengawasan. Dua prinsip pokok yang merupakan conditio sine qua non bagi suatu sistem pengawasan yang efektif, serta wewenang kepada bawahan. Prinsip pokok pertama merupakan standar atau alat pengukur dari pada pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan. Rencana tersebut menjadi penunjuk apakah suatu pelaksanaan pekerjaan berhasil atau tidak. Walaupun demikian, prinsip pokok kedua merupakan suatu keharusan yang perlu ada, agar sistem pengawasan itu memang benar-benar dapat efektif dilaksanakan. Wewenang dan instruksi-instruksi yang jelas dapat diberikan kepada bawahan karena berdasarkan itulah dapat diketahui apakah bawahan sudah menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Atas dasar itu instruksi yang diberikan kepada bawahan dapat diawasi pekerjaan seorang bawahan. Menurut Manullang (2006 : 174) bahwa: Tujuan utama dari pengawasan ialah mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Oleh karena itu, agar sistem pengawasan itu benar-benar efektif artinya dapat merealisasikan tujuannya, maka suatu sistem pengawasan setidak-tidaknya harus dapat dengan segera melaporkan adanya penyimpangan-penyimangan dari rencana. Kemudian dijelaskan dalam Rahyunir Rauf untuk mendapatkan pengawasan yang baik adalah apabila telah melaksanakan kegiatan penentuan apa yang harus diselesaikan, penilaian pelaksanaan, dan pengkoreksian hasil pelaksanaan.
Lebih lanjut menurut Prajudi Atmosudirjo dalam Rahyunir Rauf secara inti pengawasan itu terdiri atas ; pengukuran dari pada penyelenggaraan, membandingkan penyelenggaraan dengan standart untuk mengetahui perbedaannya dan mengadakan tindakan korektif. ( Prajudi Atmosudirjo, 1982 : 26 ) Ketenagakerjaan Manusia di dalam mempertahankan eksistensinya, melakkan suatu pekerjaan guna memperoleh nafkah untuk menunjang segala kebutuhan hidupnya. Dalam rangka melakukan pekerjaan tersebut, maka manusia itu dapat dibedakan atas: a. Orang yang bekerja tanpa mengikat diri pada orang lain. Artinya ia bekerja atas usaha sendiri, dengan tenaga sendiri, dan hasilnya untuk kepentingan sendiri. Orang yang termasuk golongan ini tidak dapat disebut buruh/ pekerja, sebab padanya tidak ada hubungan pekerjaan, yang mana masingmasing pihak saling mengikat diri. b. Orang yang bekerja pada orang lain dengan mengikatkan diri atas perintah, dan tunduk di bawah peraturan dan ketentuan yang dibuat orang lain ersebut, serta harus menerima penghasilan yang lazim diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan kerjanya. Orang inilah yang disebut buruh/ pekerja, dimana di dalamnya terdapat hubungan kerja dengan upah sebagai kontra prestasi. (Soepomo, 1985 : 34). Sedangkan yang dimaksud angkatan kerja dan bukan angkatan kerja diuraikan sebagai berikut: a. Angkatan kerja adalah bahagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif, yaitu memproduksi barang atau jasa. b. Bukan angkatan kerja adalah bahagian dari tenaga kerja yang tidak bekerja atau mencari pekerjaan. Jadi mereka ini adalah bahagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat atau tidak berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif, atau memproduksi barang atau jasa. (Soepomo, 1985 : 40) Selanjutnya dijelaskan bahwa angkatan kerja itu adalah meliputi orang-orang yang bekerja guna mendapatkan gaji,
bekerja tanpa buruh dan pengusaha-pengusaha yang bekerja untuk mendapatkan keuntungan dan termasuk anak-anak petani yang membantu bekerja di pertanian tanpa dibayar dalam suatu keluarga yang menghasilkan pendapatan, sebagaimana rekomendasi internasilnal tentang defenisi orang-orang yang bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan dimasukkan dalam angkatan kerja. (Munir dan Budiarto, 1985 :35) Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Kemudian menurut pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa, pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain. Meningkatnya jumlah angkatan kerja terkadang tidak diikuti dengan kesempatan kerja. Kesempatan kerja merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari angkatan kerja dan tenaga kerja. Jumlah kesempatan kerja pada setiap lapangan usaha adalah berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh besar kecilnya perbedaan laju pertumbuhan dan daya serap setiap lapangan usaha terhadap angkatan kerja itu sendiri. Adanya kualifikasi tenaga kerja yang tersedia dengan jenis pekerjaan yang dibutuhkan dalam pembangunan adalah juga merupakan salah satu aspek yang menyangkut masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja. Hal ini berhubungan erat dengan tingkat pendidikan dan dunia pekerjaan. Disamping itu, kualitas kelulusan sekolah membawa pengaruh pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Hubungan kerja pada prinsipnya adalah hubungan antara buruh/pekerja dengan majikan/pengusaha yang terjadi setelah diadakannya perjanjian kerja oleh buruh/pekerja dengan majikan/pengusaha, dimana buruh/pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan/pengusaha dengan menerima upah, dipihak lain majikan/ pengusaha juga
menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh/pekerja dengan membayar upah. (Djumialdji, 1987 : 42). Hubungan kerja baru dapat dilangsungkan jika ada kesepakatan kerja antara dua pihak. Perjanjian kerja atau kesepakatan yang dibuat atas persetujuan kedua belah pihak tersebut, disebut dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja, yaitu hak dan kewajiban kedua belah pihak. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriftif dengan tipe survei deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam penelitian suatu kelompok, suatu obyek, suatu kondisi, atau sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta secara hubungan antara fenomena yang dihadapi (Nazir, 1999 : 63) Sedangkan menurut Singarimbun (1989 : 2 – 3), penelitian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpul dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Maka penelitian ini adalah suatu metode untuk meneliti pengawasan kebijakan Upah Minimum Propinsi di Kota Pekanbaru dengan menggunakan data sebagai bahan analisis yang diperoleh dari responden atau sampel yang ditentukan. Lokasi Penelitian Penelitian ini di lakukan di Kota Pekanbaru dan pada Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Pekanbaru, dengan tujuan untuk meneliti pengawasan kebijakan pemerintah tentang Upah Munimun Propinsi di Kota Pekanbaru.
Populasi Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah: Dewan pengupahan yang berjumlah 19 orang terdiri dari unsur, Serikat Kerja Kota Pekanbaru, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Pekanbaru, dan Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru. 120 perusahaan yang berhasil diawasi oleh Disnaker Kota Pekanbaru pada tahun 2007. Sampel Sedangkan sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu penarikan sempel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan kriteria-kriteria tertentu, diantara nya adalah sebagai berikut : Sampel dari dewan pengupahan yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah : a) Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru, yakni Kasi Pemantauan dan Pengawasan. b) Serikat Pekerja, yakni Ketua Bidang Humas Serikat Kerja. c) Apindo ( Asosiasi Perusahaan Indonesia ), yakni Wakil Ketua I. Sampel dari 120 perusahaan di ambil 2 perusahaan berskala kecil, 2 perusahaan berskala sedang dan 2 perusahaan berskala besar, diantaranya : a) Perusahaan skala kecil 1. Bengkel Delta, Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 1 Pekanbaru 2. Harita Swalayan, Jl. Imam Munandar No 34 Pekanbaru b) Perusahaan skala sedang 1. Hotel Anom Pekanbaru, Jl. Gatot Subroto Pekanbaru. 2. CV. Putra Mandiri, Jl. Tengku Umar No 5 Pekanbaru. c) Perusahaan skala besar. 1. PT. Matahari Plaza Citra, Jl. Pepaya No. 78 Pekanbaru 2. PT.Bank BRI, Jl. Jend. Sudirman Pekanbaru.
Sedangkan tenaga kerja dijadikan responden dengan mengambil 60 orang karyawan dari perusahaan yang dijadikan sampel untuk memperoleh informasi pembayaran upah yang mereka terima, diantaranya: 1. 20 orang karyawan dari 2 perusahaan skala kecil 2. 20 orang karyawan dari 2 perusahaan skala sedang 3. 20 orang karyawan dari 2 perusahaan skala besar. Teknik Pengumpulan Data Untuk pengambilan data yang relevan dengan penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan : 1. Wawancara, yaitu dengan cara mengumpulkan data dengan melakukan wawancara langsung kepada informan, melalui daftar pertanyaan yang telah disediakan. Dalam melakukan wawancara, peneliti melakukannya dalam bentuk wawancara terpimpin yakni pertanyaan disusun dengan tujuan tertentu terarah pada pokok-pokok masalah yang disusun dalam bentuk daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mengadakan wawancara secara langsung terhadap para anggota yang dijadikan informan. 2. Quissioner, yaitu untuk melengkapi data yang dibutuhkan, dengan mengajukan angket kepada 60 pekerja dari perusahaan yang dijadikan sebagai responden. Teknik Analisis Data Setelah data atau bahan-bahan yang diperlukan, baik data primer ataupun data sekunder telah berhasil dikumpulkan, kemudian dipisahkan atau dikelompokkan sesuai dengan keperluan dan kegunaan serta deskripsikan dari keseluruhan data yang diperoleh, serta melakukan analisa secara kualitatif untuk kemudian dapat menarik suatu kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam pelaksanaan penelitian yang mengangakat judul Pengawasan Terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang Upah Minimum Provinsi Di Kota Pekanbaru Pada Tahun 2007, peneliti mengambil data yang dibutuhkan dalam hal mengambil kesimpulan. Adapun data dan hasil wawancara informan yang dilakukan dalam penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut : Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang Upah Minimum Provinsi ( UMP ) di Kota Pekabaru Tahun 2007. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 ayat (16) disebutkan bahwa : Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/ atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Seperti yang telah diatur dalam perundang-unangan, maka pemerintah Kota Pekanbaru dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru sebagai mediator dalam hubungan industrial juga telah berupaya melakukan pengawasan upah kerja di Kota Pekanbaru, bagi para pekerja di sektor formal. Untuk dapat mengetahui pengawasan terhadap Kebijakan Pemerintah tentang Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru untuk mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan penyimpangan terhadap penerapan kebijakan Upah Minimum Propinsi yang telah ditetapkan pemerintah sebagai hasil dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Menentukan Pelaksanaan Pengawasan Penerapan Kebijakan Pemerintah tentang UMP di Kota Pekanbaru. 1. Jenis pengawasan terhadap penerapan Kebijakan Pemerintah tentang UMP di Kota Pekanbaru tahun 2007.
Jenis pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru adalah pengawasan represif, yakni pengawasan yang dilakukan setelah Kebijakan Upah Minimum Kota di berlakukan pada tahun 2007 kepada pelaku dunia usaha di Kota Pekanbaru. Aspek teknis pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru meliputi pengawasan terhadap penerapan kebijakan upah minimum yang telah di tetapkan Pemerintah terhadap pelaku usaha yang beroperasi di Kota Pekanbaru, dengan melakukakn kegiatan pemeriksaan dan pengendalian terhadap kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dari para pelaku usaha di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 untuk menerapkan Upah Minimum yang telah di tetapkan pemerintah kepada para pekerja yang mereka pekerjakan, tujuannya adalah untuk mengetahui adanya pelanggaran pembayaran upah dan dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan penerapan Kebijakan Upah Minimum Kota Pekanbaru agar sesuai dengan apa yang diharapkan. Dari wawancara yang dilakukan terhadap Kasi Pemantauan dan Pengawasan yakni Ibu Happy Yarlis diperoleh informasi bahwa pengawasan yang dilakukan Disnaker Kota Pekanbaru bersifat investigatif, yakni menekankan terhadap pemeriksaan yang mendalam terhadap pelanggaran upah minimum oleh objek pengawasan terhadap para pekerja. Pengawasan yang dilakukan Disnaker Kota Pekanbaru dilakukan dengan pengumpulan data, mengamati, mengelola dan melakukan penilaian dari data yang dikumpulkan untuk mengambil keputusan. Hal ini terbukti dari pangawasan yang dilakukan oleh Disnaker Kota Pekanbaru pada tahun 2007, pengawasan difokuskan untuk memeriksa pelanggaran-pelanggaran terhadap pembayaran upah kepada pekerja dengan melihat buku upah dan melihat keluhan karyawan diperusahaan, dan hasilnya pada tahun 2007 dari 120 objek perusahaan yang diawasi oleh Disnaker Kota Pekanbaru setelah dilakuakan pengumpulan data, mengamati, mengelola dan melakukan penilaian dari data yang dikumpulkan, terdapat 28 ( dua puluh delapan ) perusahaan yang tidak membayarkan upah sesuai upah
minimum yang telah ditetapkan pada tahun 2007. 28 ( dua puluh delapan ) perusahaan yang didapati tidak mengindahkan upah minimum yang telah ditetapkan setelah dilakukan pengumpulan data, mengamati, mengelola dan melakukan penilaian Terdapat perusahaan yang masih melanggar pembayaran upah minimum yang telah ditetapkan pada tahun 2007 yakni sebanyak 28 perusahaan yang terdiri dari 11 perusahaan kecil, 15 perusahaan besar dan 2 perusahaan besar. Hal ini dibenarkan oleh Asosiasi Perusahaan Indonesia (APINDO) Kota Pekanbaru, menurut hasil wawancara yang dilakukan kepada Wakil Ketua I (satu) APINDO Kota Pekanbaru yakni Bapak Leonardy Halim, bahwa pada tahun 2007 masih terdapat perusahaan yang kedapatan oleh Disnaker Kota Pekanbaru tidak membayarkan upah minimum yang telah ditetapkan kepada para pekerjanya. APINDO menilai jenis pengawasan yang dilakukan oleh Disnaker Kota Pekanbaru merupakan pengawasan yang langsung turun kelapangan dengan melakukakan investigasi kepada perusahaan yang terawasi. Akan tetapi disayangkan Dinas tenaga Kerja Kota Pekanbaru tidak melakukan pengawasan menyeluruh terhadap semua objek pengawasan sehingga Disnaker Kota Pekanbaru terkesan tebang pilih dalam melakukan pengawasan. Menurut Beliau, APINDO memiliki tanggung jawab moral untuk memberitahukan kepada perusahaan-perusahaan agar mematuhi pembayaran upah minimum sesuai aturan karena itu merupakan kesepakatan bersama dewan pengupahan antara unsur pengusaha, buruh dan pemerintah yang harus dipatuhi. 2. Objek pengawasan terhadap penerapan Kebijakan Pemerintah Tentang UMP di Kota Pekanbaru tahun 2007. Yang menjadi objek pengawasan dari ruang lingkup pengawasan terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang UMP di Kota Pekanabaru tahun 2007 sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6 adalah semua para pelaku usaha yang beroperasi di kota Pekanbaru yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan, atau milik
swasta yang mempekerjakan pekerja/ buruh dengan membayar upah atau imbalan. Pada Tahun 2007 jumlah perusahaan yang menjadi objek pengawasan berjumlah 3.366 perusahaan yang terdiri dari 334 perusahaan besar, 1.072 perusahaan kecil, dan 1690 perusahaan kecil. Namun dari hasil pengamatan dilapangan dan hasil wawancara yang dilakukan terhadap salah seorang personel pengawas Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru yakni Bapak M. Sihite, SmHk dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa pada tahun 2007 yang menjadi objek pengawasan di Kota Pekanbaru dibatasi sebanyak 120 perusahaan yang terdiri dari 20 perusahaan kecil, 45 perusahaan sedang dan 55 perusahaan besar. Kecilnya jumlah objek pengawasan yang dapat diawasi pada tahun 2007 yang berjumlah 120 perusahaan jika dibandingkan dengan jumlah objek pengawasan yang ada di Kota Pekanbaru yakni berjumlah 3.366 perusahaan dikarenakan karena faktor keterbatasan seperti jumlah personel pengawas yang berjumlah 4 orang, tidak adanya sarana dan prasarana pendukung pengawasan seperti kendaraan operasional yang dimiliki Disnaker Kota Pekanbaru, pembatasan anggaran biaya kegiatan pengawasan, dan belum ditemukannya sistem yang efektif untuk menyampaikan data keberadaan dan pelanggaran pembayaran upah secara berkala dan terkini, hal ini mengakibatkan pengawasan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan terhadap objek pengawasan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru. Pada tahun 2007 terdapat 120 perusahaan yang begerak dari berbagai sektor dengan jumlah 20 perusahaan kecil, 45 perusahaan sedang dan 55 perusahaan besar yang berhasil diawasi sebagai objek pengawasan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru pada tahun 2007. Dari 120 perusahaan tersebut dikualifikasikan menjadi dua bagian karena biaya penyelenggaraan pengawasan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dibiayai oleh dana Tugas Pembantuan APBN Tahun 2007 sebanyak 64 Perusahaan dan 56 perusahaan dibiayai oleh dana APBD Kota Pekanbaru Tahun Anggaran 2007. Hal ini disesalkan oleh serikat pekerja Kota Pekanbaru,
dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Ketua Bidang Humas Serikat Kerja Kota Pekanbaru, Terbatasnya anggaran kegiatan pengawasan ini menyebabkan terbatasnya objek pengawasan sehingga masih banyak perusahaan yang belum terawasi dan secara langsung masih dijumpai pekerja yang mendapatkan upah dibawah upah minimum yang ditetapkan pemerintah Kota Pekanbaru. Hal ini menunjukkan pemerintah Kota Pekanbaru tidak serius mengatasi permasalahan ketenaga kerjaan di Kota Pekanbaru, karena anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pada tahun 2007 saja hanya bisa digunakan untuk 120 perusahaan sebagai objek pengawasan, oleh karena itu harapan Serikat Kerja kepada Pemerintah Kota Pekanbaru agar lebih memperhatikan masalah ketenaga kerjaan di Kota Pekanbaru. 3. Metode Pengawasan terhadap penerapan Kebijakan Pemerintah Tentang UMP di Kota Pekanabaru tahun 2007. Metode Pengawasan terhadap penerapan Kebijakan Pemerintah Tentang UMP di Kota Pekanabaru tahun 2007 adalah cara pelaksanaan pengawasan di lapangan terhadap penerapan Kebijakan Upah Minimum Provinsi Di Kota Pekanbaru tahun 2007. Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan kapada personel pengawas yakni Bapak Suyono, SH dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa pelaksanaan pengawasan yang dilakukakan Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru terhadap penerapan kebijakan UMP di Kota Pekanbaru dilakukan dengan frekuensi setiap bulan oleh personel pengawas yang telah ditujuk oleh Mentri Tenaga Kerja berdasarkan UU No. 03 Tahun 1951. Berikut metode pelaksanaan pengawasan terhadap Penerapan Kebijakan UMP di Kota Pekanbaru yang dilaksanakan setiap bulannya oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru : 1. Personel pengawasan adalah pegawai pengawas Disnaker Kota Pekanbaru yang memiliki hak Independen yang di tunjuk oleh Mentri Tenaga Kerja yang telah disekolahkan atau dilatih selama 6 (enam) bulan untuk melaksanakan
fungsi mengawasi penerapan Upah Minimum yang telah di tetapkan pemerintah ( Diatur dalam UU No. 03 Tahun 1951 ). Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru memiliki 4 (empat ) orang personel pengawas yang masing-masing telah mengikuti pelatihan selama 6 (enam) bulan untuk melaksanakan fungsi pengawasan penerapan Upah Minimum di Kota Pekanbaru (Data pelatihan pada tabel III 2), diantaranya : a. Masrio. HS b. M. Sihite, SmHk c. Suyono d. Julnaidi, ST 2. Setiap bulan personel pengawas membuat rancana kerja dalam rangka kegiatan pengawasan pelanggaran pembayaran Upah Minimum Kota di Kota Pekanbaru sebagai tahap persiapan, yang meliputi : a. Membuat SK penyelanggaraan, SK penyelenggaraan diserahkan kepada Kepala Dinas untuk mendapatkan rekomendasi surat perintah tugas dilapangan. Setelah mendapatkan rekomendasi perintah tugas dilapangan barulah personel pengawas memiliki hak dan wewenang untuk melakukan pengawasan di lapangan. b. Membuat jadwal rencana pelaksanaan. Dari wawancara yang dilakukan kepada Kasi Pemantauan dan Kasi Pengawasan yakni Ibu Hj. Happy Yarlis diperoleh informasi bahwa pengawasan dilakukan dengan penjadwalan secara bertahap setiap bulannya. Pembuatan jadwal meliputi penentuan topik kegiatan, pada tahun 2007 topik kegiatan adalah pemetaan status kerawanan terhadap objek pengawasan. Setiap bulannya personel pengawas memeriksa minimal 1 (satu) orang mengawasi 2 (dua) atau 3 (tiga) perusahaan. Sehingga dengan 4 (empat) orang personel pengawas yang dimiliki Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dalam sebulan Disnaker
memeriksa 8 atau 10 perusahaan dan pada tahun 2007 perusahaan yang berhasil diawasi berjumlah 120 perusahaan. Penjadwalan kegiatan ini malihat faktor anggaran yang diberikan untuk pelaksanaan kegiatan. Jika anggaran terbatas maka setiap bulannya objek yang diawasi juga terbatas. c. Melakukan Koordinasi penyelenggaraan. Personel pengawas melakukan koordinasi kepada Kasi Pemantauan dan pengawasan yakni Ibu Hj. Happy Yarlis untuk mendapatkan pembagian tugas kepada 4 orang personel pengawas. Koordinasi penyelenggaraan ini dimaksudkan agar pelaksanaan pengawasan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Masing-masing personel mendapatkan tugas sesuai keperluan pengawasan. d. Menyiapkan Administrasi Kegiatan. Menurut Ibu Hj. Happy Yarlis, administrasi kegiatan meliputi SK dari Kepala Dinas untuk turun kelapangan, data-data penunjang berupa dokumentasi peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan dan surat nota pemeriksaan yang ditujukan kepada perusahaan untuk mengakses data sekunder sebagai dokumen ketenaga kerjaan pada objek pengawasan berupa data umum perusahaan yang meliputi, jenis usaha, alamat perusahaan, pemilik perusahaan dan jumlah pekerja. Setelah itu barulah personel pengawasan turun kelapangan untuk mengumpulkan data primer, data primer berupa bukti buku upah perusahaan. Data primer merupakan dokumen rahasia personel pengawasan yang diperoleh dari perusahaan. Karena personel pengawasan memiliki hak independen dalam melakukan kegiatan pengawasan.
Setelah rencana kerja selesai tahap selanjutnya adalah pelaksanaan pangawasan di lapangan berdasarkan rencana kerja di atas dengan melakukan penilaian terhadap objek pengawasan. Akan dibahas pada bagian berikut ini. Penilaian terhadap hasil pengawasan Kebijakan Pemerintah tentang Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru. Ciri dari suatu program ialah adanya masukan awal (input), proses pelaksanaan pencapaian tujuan program, dan hasil yang diperoleh. ( Depdiknas, 2000:4) Sesuai dengan landasan teori di atas, penilaian terhadap penerapan Kebijakan UMP merupakan kegiatan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah diterapkan cukup berhasil apa tidak di terapkan pada pelaku usaha di Kota Pekanbaru. Apakah program pemerintah yang telah direncanakan untuk mewujudkan hubungan industrial yang berjalan baik terutama dalam masalah upah minimum kerja melalui kebijakan permerintah menetapkan besar upah minimum yang harus dibayarkan pelaku usaha kepada para pekerjanya dapat diterapkan oleh pelaku usaha di Kota Pekanbaru. Dalam penelitian ini aspek penilaian dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan kebijakan Upah Minimum di Kota Pekanbaru adalah menilai tingkat keberhasilan penerapan upah minimum yang telah ditetapkan kepada para pelaku usaha dan menilai tingkat efesiensi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan personel pengawas. Penilaian terhadap penerapan Kebijakan UMP di Kota Pekanbaru dapat digambarkan sebagai berikut : Tingkat Keberhasilan Penerapan Kebijakan UMP di Kota Pekanbaru tahun 2007. Untuk menentukan tingkat keberhasilan penerapan kebijakan UMP di Kota Pekanbaru tentunya harus terlebih dahulu dilakukan pengawasan di lapangan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru. Sebelum melihat penilaian tingkat keberhasilan penerapan Upah Minimum yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru, telebih dahulu peneliti menyajikan jawaban hasil Quissioner dilapangan terhadap 60 karyawan sebagai responden dari 6 sampel perusahaan yang beroperasi di
Kota Pekanbaru yakni 2 perusahaan kecil, 2 perusahaan sedang dan 2 perusahaan besar. Berikut jawaban responden dari pekerja yang dipilih secara survei untuk mewakili seluruh populasi pelaku usaha yang beroperasi di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 terhadap usaha berskala besar kecil, sedang, dan skala besar, masing-masing usaha : Tabel 3. Jawaban Reponden Terhadap Upah Yang Diterima. No
Kategori Jawaban
Usaha kecil 3 ( 15 % )
Usaha sedang 5 ( 25 % )
Usaha Besar 18 ( 90 % )
Jumlah 26 ( 43,3 % )
1
Upah Sesuai UMP Tahun 2007
2
Upah Tidak Sesuai Tahun 2007
17 ( 85 % )
15 ( 75 % )
2 ( 10 % )
34 ( 56,6 %)
Jumlah
20 ( 100 % )
20 ( 100 % )
20 ( 100 % )
60 ( 100 % )
Sumber : Data olahan tahun 2008. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah responden yang mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan UMP Kota Pekanbaru tahun 2007 sebesar Rp.710.000,- / bulan, lebih banyak responden yang menerima UM tidak sesuai dengan UM yang telah ditetapkan. Pada responden yang bekerja di usaha kecil berjumlah 17 orang atau sekitar 85% yang mendapatkan UM tidak sesuai UMP Kota Pekanbaru dan 3 orang atau 15% yang mendapatkan UM sesuai UMP. Pada responden yang bekerja di usaha sedang berjumlah 15 orang atau sekitar 75 % yang mendapatkan UM tidak sesuai UMP Kota Pekanbaru dan 5 orang atau 25 % yang mendapatkan UM sesuai UMP. Sedangkan pada responden yang bekerja pada sektor usaha berskala besar jumlah yang mendapatkan upah sesuai dengan UMP Kota Pekanbaru 18 orang atau sekitar 90% dan jumlah yang tidak mendapat UM yang sesuai berjumlah 2 orang atau berkisar 10%. Hal ini menunjukkan pada umumnya para pekerja disektor usaha yang berskala besar sudah mendapatkan UM yang telah di tetapkan akan tetapi pada
pekerja disektor usaha kecil dan menengah umumnya menerima UM tidak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah sebasar Rp. 710.000,/ bulan. Penyajian jawaban hasil Quissioner yang dilakukan terhadap responden sebanyak 60 pekerja di atas digunakan sebagai penunjang untuk mengetahui secara langsung di lapangan tentang penerapan Upah Minimum Kota Pekanbaru bagi para pengusaha terhadap karyawannya. Dan hasilnya 56,6 % dari 60 pekerja masih mendapatkan upah belum sesuai dengan UMK yang telah ditetapkan. Masih adanya buruh yang mendapatkan upah dibawah UMK yang telah ditetapkan dibenarkan oleh serikat pekerja Kota Pekanbaru, menurut Ketua Bidang Humas Serikat Buruh Kota Pekanbaru yaitu Bapak Mulyadi (FP Merpati) jumlah buruh yang menerima Upah di bawah Upah Minimum Kota Pekanbaru masih sekitar 45 %, serikat pekerja terus memperjuangkan permasalahan ini agar seluruh pekerja menerima upah sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan. Selain masih adanya pekerja yang mendapatkan upah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, serikat pekerja juga masih memperjuangkan kecilnya UMK Pekanbaru pada tahun 2007 ini karena Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru terlalu didikte oleh perusahaan-perusahaan yang ada. Dengan berbagai alasan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menguraikan semuanya. Namun pertanyaannya apakah bisa hidup dengan UMK sebesar Rp. 710.000. apalagi hidup di Kota. Berangkat dari penyajian di atas penulis melihat fenomena dilapangan bagaimana penilaian tingkat keberhasilan penerapan UMK yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Kasi Pemantauan dan Pengawasan yakni Ibu Hj. Happy Yarlis dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa tingkat keberhasilan penerapan upah minimum di Kota Pekanbaru belum dikatakan berhasil secara keseluruhan. Secara umum hal ini dikarenakan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru belum dilaksanakan secara menyeluruh terhadap pelaku usaha di Kota Pekanbaru dan hanya sebagian kecil usaha yang di awasi oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru yakni berjumlah 120 perusahaan dari 3.366 perusahaan yang menjadi objek
pengawasan pada tahun 2007. Hal ini mengakibatkan tidak seluruh pengusaha yang menerapkan upah minimum yang ditetapkan pemerintah, kemudian dari hasil pengawasan yang dilakukan terhadap 120 perusahaan pada tahun 2007 masih dijumpai perusahaan yang membayar upah minimum kota yang tidak sesuai dengan UMK yang telah ditetapkan. Berikut pengawasan yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja terhadap 120 objek pengawasan. Dalam melakukan penilaian terhadap pelanggaran upah minimum yang diterapkan kepada pekerja, personel pengawasan melakukan pembobotan. Pembobotan diberikan atas jenis pelanggaran kebijakan Upah Minimum dengan pembobotan maksimal adalah 100, dengan akumulasi pembobotan apabila : Nilai : 0 s / d < 10 = Hijau ( Tidak Rawan ) Nilai : 10 s / d < 50 = Kuning ( Potensi Rawan ) Nilai : 50 s / d < 100 = Merah ( Sangat Rawan ) Pada tahun 2007 pengawasan dibatasi pada 120 perusahaan di lingkup Kota Pekanbaru. Dari 120 perusahaan yang diperiksa oleh personel pengawas Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru menunjukkan terjadi pelanggaran upah minimum kepada pekerja sebanyak 23 % yakni 28 perusahaan yang melanggar dengan status kuning, yang terdiri dari 11 (Sebelas) perusahaan kecil, 15 (Lima Belas) perusahaan sedang, 2 (Dua) perusahaan besar, dan terdapat 77 % yakni 92 perusahaan yang mematuhi UMK yang telah ditetapkan dengan status hijau, yang terdiri dari 9 (Sembilan) perusahaan kecil, 31 (Tiga puluh satu) perusahaan sedang, dan 52 (Lima puluh dua) perusahaan besar. Perusahaan yang termasuk dalam zona hijau artinya perusahaan tersebut tidak termasuk dalam kategori rawan, sedangkan perusahaan yang termasuk dalam Zona Kuning artinya perusahaan tersebut diketegorikan potensi rawan dan hal ini perlu menjadi perhatian pegawai pengawas Disnaker Kota Pekanbaru untuk melakukan pembinaan lebih intensif dan berkesinambungan kepada perusahaan yang berada pada zona kuning tersebut, sementara itu dari hasi pemeriksaan tidak ditemukan perusahaan yang berstastus merah ( sangat rawan ). Dengan demikian dapat
dilihat bahwa tingkat keberhasilan penerapan Kebijakan Pemerintah tentang UMP Kota Pekanbaru tahun 2007 belum berhasil secara menyeluruh karena masih dijumpai pelanggaran terhadap pembayaran upah minimum sesuai dengan UMK yang telah ditetapkan pada tahun 2007 dari objek pengawasan yang telah ditentukan sebanyak 120 perusahaan dan ditunjang oleh penelitian langsung dilapangan terhadap informan sebagai pekerja yang menerima upah dari perusahaan tempat mereka bekerja. Tingkat Efisiensi Pelaksanaan Pengawasan Penerapan Kebijakan UMP di Kota Pekanbaru Tahun 2007. Untuk mendapatkan pengawasan yang efektif maka perlu dipenuhi memenuhi 2 prinsip pengawasan diantaranya mempunyai rencana kerja dan memberikan wewenang kepada bawahan (Menurut Manullang 2006 : 173 ). Dari hasil wawancara kepada personel pengawas yakni Bapak Julnaidi. ST dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa pangawasan yang dilakukan oleh Disnaker Kota Pekanbaru pada tahun 2007 secara normatif sudah memenuhi prinsip pengawasan yang efektif, akan tetapi pada penerapannya di lapangan pengawasan yang dilakukakan masih belum efektif. Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dalam hal ini personel pengawas yang telah memiliki wewenang berdiri secara independen berdasarkan UU No 3 tahun 1951. Dalam melakukan pengawasan terlebih dahulu personel pengawas membuat rencana kerja setiap bulannya secara rutin untuk di beritahukan kepada atasan dalam hal ini adalah Kepala Dinas untuk mendapatkan surat perintah tugas di lapangan. Dalam membuat rencana kerja personel pengawas mengajukan perusahaan-perusahaan yang akan diperiksa minimal 5 perusahaan, akan tetapi pada kenyataannya personel pengawas dalam sebulan hanya memeriksa 3 atau 4 perusahaan, hal ini dikarena waktu untuk memeriksa sebuah perusahaan personel pengawas memerlukan waktu yang tidak singkat yakni selama 1 bulan karena harus melihat dan mecocokkan temuan di lapangan dengan peraturan yang berlaku berupa bukti buku upah, keluhan pekerja, dan hahhak pekerja. Apalagi terjadi kelemahan struktural dengan
terbatasnya jumlah personel pengawas yang hanya berjumlah 4 orang mengakibatkan pengawasan tidak efektif karena untuk memeriksa sebuah perusahaan memerlukan waktu yang lama sehingga dalam sebulan jumlah perusahaan yang dapat diperiksa oleh 4 orang personel pengawas sekitar 4 atau 5 perusahaan, dengan perbandingan satu personel memeriksa satu perusahaan. Sehingga pada tahun 2007 dengan objek pengawasan yang berjumlah 120 perusahaan, satu orang personel setahun mengawasi 30 perusahaan yang dapat diperiksa. Dari hasil wawancara terhadap Serikat Pekerja Kota Pekanbaru, yakni Bapak Mulyadi sebagai Ketua Bidang Humas Serikat Pekerja Kota Pekanbaru menilai pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Disnaker Kota Pekanbaru berjalan tidak efektif, hal ini dapat dilihat dari jumah perusahaan yang terawasi pada tahun 2007 hanya berjumlah 120 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan yang beroperasi di Kota Pekanbaru berjumlah 3.366 perusahaan, sehingga Disnaker Kota Pekanbaru terkesan tebang pilih dalam melakukan pengawasan. Serikat pekerja tidak menerima alasan Disnaker Kota Pekanbaru yang beralasan terbatasnya personel pengawas ataupun terbatasnya anggaran pelaksanaan kegiatan pengawasan. Menurut Beliau, permasalahan kelemahan struktural ini akan dapat diatasi jika Disnaker kota Pekanbaru berkoordinasi dengan Serikat Kerja dalam melakukan kegiatan pengawasan. Serikat kerja bisa membantu dengan memberikan data-data seperti jumlah keluhan pekerja, perusahaan yang tidak membayarkan upah dan berbagai data mengenai permasalahan ketenaga kerjaan. Karena serikat kerja merupakan organisasi pekerja yang memperjuangkkan hak-hak pekerja termasuk hak mendapatkan upah minimum yang layak bagi para pekerja. Jika Disnaker mau melakukan koordinasi dengan serikat kerja dalam melaksanakan kegiatan pengawasan, maka ini merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan pengawasan yang efektif dalam melakukan pengawasan terhadap upah minimum di Kota Pekanbaru. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaannya pengawasan UMP di Kota Pekanbaru yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dinilai masih kurang efektif karena dijumpai faktor-faktor penghambat pelaksanaan pengawasan
terhadap kebijakan pemerintah tentang Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru. Pengkoreksian Hasil Pengawasan Terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang UMP di Kota Pekanbaru tahun 2007. Dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan Kebijakan UMP di Kota Pekanbaru diperlukan pengkoreksian hasil pengawasan di lapangan dengan tujuan untuk mengetahui temuan dilapangan apakah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyangkut hubungan pekerja dengan pengusaha untuk dapat ditindaklanjuti agar dilaksanakan perbaikan-perbaikan dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi terutama menyangkut upah minimum yang telah di tetapkan. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada personel pengawas yakni Bapak Julnaidi ST, dalam penelitian ini diperoleh informasi mengenai teknis pengkoreksian hasil pengawasan di lapangan yang dilaksanakan Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru. Laporan Hasil Pengawasan Dalam melakukan pengawasan personel pengawas akan membuat laporan hasil pengawasan sebagai pertanggung jawaban kegiatan pelaksanaan pengawasan berupa rekapitulasi laporan masing-masing objek pengawasan untuk dilakukan pengkoreksian. Laporan hasil pengawasan terhadap kebijakan UMP di Kota Pekanbaru diperlukan untuk meneliti hasil temuan di lapangan untuk disesuaikan dengan peraturan yang berlaku menurut Keputusan Gurbernur Riau No. 27 Tertanggal 1 Januari Tahun 2006. Berikut contoh format rekapitulasi hasil laporan pengawasan terhadap objek pengawasan sertiap bulannya oleh Disnaker Kota Pekanbaru :
1.
2.
NO
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN Nama Perusahaan : Alamat Perusahaan : Jenis Usaha : Jumlah Pekerja : Laki-laki : Perempuan : Nama Pemilik : Alamat Pemilik : Temuan Pelanggaran
Nilai Bobot
Keterangan
Keterangan Pembobotan; Nilai 0 s/d < 10 = Hijau 10 s/d < 50 = Kuning 50 s/d < 100 = Merah Laporan hasil pengawasan tersebut diberlakukan satu objek pengawasan, dalam menindak lanjuti laporan hasil pengawasan personel pengawas melakukan koordinasi dengan Sub Dinas Pendapatan dan Upah Kerja serta Sub Dinas Keselamatan dan Kesejahteraan untuk bersama-sama melakukan pengkoreksian hasil temuan di lapangan, dengan tujuan agar proses pengkoreksian dapat menghasilkan keputusan yang baik dan benar terhadap penemuan di lapangan. Hasil laporan pada tahun 2007 setelah dilakukan akumulasi pembobotan terhadap objek pengawasan yang dibatasi pada 120 perusahaan di lingkup Kota Pekanbaru, terdapat 23 % yakni 28 perusahaan yang melanggar dengan status kuning, yang terdiri dari 11 (Sebelas) perusahaan kecil, 15 (Lima Belas) perusahaan sedang, 2 (Dua) perusahaan besar, dan terdapat 77 % yakni 92 perusahaan yang
mematuhi UMK yang telah ditetapkan dengan status hijau, yang terdiri dari 9 (Sembilan) perusahaan kecil, 31 (Tiga puluh satu) perusahaan sedang, dan 52 (Lima puluh dua) perusahaan besar. Sanksi Terhadap Pelanggaran. Setelah dilaksanakan pengkoreksian terhadap laporan pengawasan dilapangan berupa hasil pembobotan objek pengawasan apakah berada pada zona Hijau, kuning atau merah, maka akan diperoleh hasil apakah perusahaan yang di telah diperiksa melakukan pelanggaran atau tidak terhadap pekerja dalam masalah upah minimum. Jika dijumpai perusahaan tersebut tidak menerapkan upah minimum yang telah ditetapkan kepada para pekerja yakni maka proses yang dilakukakan adalah sebagai berikut : 1. Menegur dan memerintahkan pengusaha yang bersangkutan dalam bentuk surat nota pemeriksaan kemudian diserahkan kepada perusahaan tersebut agar mematuhi peraturan tentang upah minimum yang telah ditetapkan. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Kasubdin Keselamatan dan Kesejahteraan yakni Ibu Yasmini SH, Pada tahun 2007 dijumpai sebanyak 28 perusahaan yang melanggar UMK yang telah ditetapkan pada tahun 2007 yang terdiri dari 11 (Sebelas) perusahaan kecil, 15 (Lima Belas) perusahaan sedang dan 2 (Dua) perusahaan besar. 28 peusahaan ini berada dalam Zona Kuning artinya perusahaan tersebut diketegorikan potensi rawan dan hal ini perlu menjadi perhatian pegawai pengawas Disnaker Kota Pekanbaru untuk melakukan pembinaan lebih intensif dan berkesinambungan kepada perusahaan yang berada pada zona kuning tersebut. 2. Dalam waktu 14 hari, perusahaan tersebut harus menjawab surat nota pemeriksaan tersebut agar mematuhi pembayaran upah kerja sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru tidak langsung menberikan sanksi terhadap perusahaan yang berada pada zona kuning tersebut, akan tetapi dilakukan pembinaan agar mau mematuhi peraturan pembayaran upah dengan memberi waktu selama 14 hari.
3. Jika perusahaan tersebut tidak juga menjawab nota pemeriksaan tersebut, maka Disnaker memanggil perusahaan tersebut untuk diberitahukan dan diberi pengarahan. Proses ini dilakukan untuk pembinaan agar kedepannya perusahaan tersebut mematuhi pembayaran upah sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Dalam proses ini pihak Dina Tenaga Kerja menggunakan hukum perdata dan pidana. Hasilnya pada tahun 2007 menurut Ibu Yasmini SH, dari 28 perusahaan tersebut terdapat 20 perusahaan yang kembali mau memenuhi pembayaran upah minimum yang telah ditetapkan kepada para pekerjanya. Dan 8 perusahaan tetap tidak memenuhi pembayaran upah yang telah ditetapkan 4. Jika tetap melanggar setelah diberitahukan pada proses ketiga, maka perusahaan tersebut akan diproses melalui Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh pegawai penyidik negeri sipil Disnaker. Pada tahun 2007 diantaranya ada 8 perusahaan yang masuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) diantaranya CV. RIAU BERLIAN, CV. PUTRA MANDIRI, HOTEL BINTANG MAS, PT. JAYA GLASINDO ABADI, PT. MAYA PADA AUTO SEMPURNA, PT. PUTRAMA BAKTI SATRIA, PT. NUMBER SIXTY ONE, dan HARITA SWALAYAN, Dalam hal ini yang dilakukan pegawai penyidik negeri sipil Disnaker adalah : a. Memanggil untuk diminta keterangan (Priyustisia) atau dibuat berita acara pemanggilan tersangka , pemanggilan saksi dan tenaga ahli. Dari 8 perusahaan yang masuk dalam BAP, 4 (empat) perusahaan kembali mamatuhi pembayaran upah sesuai upah minimum yang telah ditetapkan kepada karyawannya diantaranya PT. JAYA GLASINDO ABADI, PT. MAYA PADA AUTO SEMPURNA, PT. PUTRAMA BAKTI SATRIA, PT. NUMBER SIXTY ONE, dan HARITA SWALAYAN. Sedangkan 2 ( dua ) perusahaan lagi tetap tidak mengindahkan. b. Jika masih juga tidak mengindahkan, maka berkas lengkap baru diserahkan kepada polisi. Kemudian diproses secara hukum sesuai dengan hukum yang
berlaku, dan yang sampai diserahkan kepada polisi berjumlah 2 perusahaan, diantaranya CV. PUTRA MANDIRI dan HOTEL BINTANG MAS. Dari proses pemberian sanksi yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru di atas terhadap pengusaha yang tidak mengindahkan pembayaran upah minimum kepada pekerja, dapat dilihat bahwa dalam memperlakukan pengusaha yang tidak mematuhi pembayaran upah minimum pihak Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru tidak langsung menjatuhkan sanksi atau hukuman yang tegas. Akan tetapi terlebih dahulu dilakukakn pembinaan dengan tujuan perusahaan tersebut mau mematuhi pembayaran upah minimum kepada para pekerja. Akan tetapi jika tidak juga mengindahkan baru ditindak secara hukum sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini menunjukkan Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dalam menindak lanjuti perusahaan yang bermasalah tidak langsung memberikan sanksi yang tegas, akan tetapi melalui proses pembinaan tarhadap perusahaan tersebut. Jika tidak juga mengindahkan kemudian diproses melalui Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh pegawai penyidik negeri sipil Disnaker. Jika masih juga tidak mengindahkan barulah perusahaan tersebut diserahkan kepada pihak berwajib kemudian diproses secara hukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Menurut perwakilan Asosiasi Perusahaan Indonesia (APINDO), yakni wakil ketua I Bapak Leonardy Halim, langkah yang dilakukan oleh Disnaker Kota Pekanbaru dalam menindak perusahaan yang bermasalah sudah tepat. Peusahaan harus diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan pelanggaran yang mereka lakukan. Tujuannya agar kedua belah pihak tidak dirugikan, baik bagi pengusaha terhadap perkembangan usahanya dan pekerja yang tidak kehilangan pekerjaannya. Karena pemerintah juga harus melindungi perusahaan dengan menciptakan iklim usaha yang baik dan kondusif bagi perusahaan agar menciptakan lapangan pekerjaan bagi pekerja. Oleh kerana itu, menurut beliau, pemerintah tidak tepat menjatuhkan sanksi langsung terhadap pelanggaran pembayaran upah, akan tetapi
harus melakukan pembinaan secara berkala kepada perusahaanperusahaan. Akan tetapi hal ini bertentangan dengan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan BAB XII pasal 43 ayat 1 yang berbunyi barang siapa yang tidak membayar atau mengurangi upah pekerja /buruh yang dimaksud dalam pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dan pada ayat 2 berbunyi tindak pidana sabagaimana dimaksud dalam ayai 1 (satu) merupakan tindak pidana kejahatan. Dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru dituntut harus bertidak lebih tegas kepada perusahaan yang tidak membayarkan upah sesuai dengan upah minimum kepada pekerjanya, jangan lebih memihak kepada perusahaan dari pada para pekerja yang jelas-jelas memiliki hak untuk mendapatkan upah minimum sesuai yang telah ditetapkan pemerintah Kota Pekanbaru, sehingga memberikan pelajaran kepada perusahaan lainnya. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru. Kelemahan Struktural. Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru pada dasarnya dilakukan oleh personel pengawas pegawai Disnaker Kota Pekanbaru yang memiliki hak Independen yang di tunjuk oleh Mentri Tenaga Kerja yang telah disekolahkan atau dilatih selama 6 (enam) bulan untuk melaksanakan fungsi mengawasi penerapan Upah Minimum yang telah di tetapkan pemerintah diatur dalam UU No. 03 Tahun 1951 . Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru memiliki 4 (empat ) orang personel pengawas yang berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda sehingga terjadi ketidak sesuaian kualifikasi pendidikan personel pengawas dengan tugasnya di lapangan. Untuk itu pelatihan dalam bentuk diklat pengawas
selama 6 bulan tersebut yang diikuti oleh personel pengawas Disnaker Kota Pekanbaru cukup membantu meningkatkan kualitas personel pengawas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sesuai dengan Tugasnya, personel pengawas berfungsi melakukan pengawasan terhadap objek pengawasan di Kota Pekanbaru. Objek pengawasan merupakan seluruh perusahaan yang beroperasi di Kota Pekanbaru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 6, pada tahun 2007 jumlah objek pengawasan berjumlah 3.366 perusahaan yang pada kenyataannya di awasai oleh 4 (empat) orang personel pengawasan. Perbandingan idealnya adalah satu personel mengawasi 50 perusahaan ( 1 : 50 ) dalam satu tahun, tetapi jika dilihat pada kenyataannya pada tahun 2007 dengan empat personel mengawasi 3.366 perusahaan yakni (1 : 800 ). Ini menujukkan terjadi kelemahan struktural karena ketidak seimbangan jumlah personel pengawas dengan jumlah objek pengawasan. Sehingga pada tahun 2007 jumlah objek yang behasil diawasi oleh persone pengawas hanya berjumlah 120 perusahaan. Minimnya Perusahaannya yang Melapor Pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru. Pada tahun 2007, jumlah perusahaan yang melaporkan perusahaannya pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru berjumlah 261 perusahaan (data terlampir). Sedangkan jumlah perusahaan yang ada di Kota Pekanbaru berjumlah 3.366 perusahaan pada tahun 20007 yang terdata oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan sebagai instansi yang mengeluarkan Surat Izin Usaha Perdagangan. Dengan minimnya perusahaan yang melapor pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru mengakibatkan perusahaan yang menjadi objek pengawasan sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6 tidak dapat diawasi secara optimal dan menyeluruh oleh Disnaker Kota Pekanbaru.
Kurangnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan pengawasan Menurut wawancara yang dilakukan kepada personel pengawas yakni Bapak M.Sihite. SmHk pada kenyataannya, sarana dan prasarana penunjang kegiatan pengawasan sangat kurang sekali. Ini terbukti dari tidak adanya kendaraan operasional yang dimiliki Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru, sehingga dalam melakukan pengawasan personel pengawas menggunakan kendaraan pribadi masing-masing yang mengakibatkan biaya transport perjalanan kegiatan menggunakan biaya pribadi sebelum biaya honor personel pengawas dibayar. Kemudian realisasi anggaran kegiatan pengawasan yang diterima pada tahun 2007 dari dana tugas pembantuan APBD Kota Pekanbaru tidak terealisasi secara keseluruhan, Berikut realisasi keuangan kegiatan pengawasan pada tahun anggaran 2007 : Tabel 4. Realisasi Keuangan Kegiatan Pengawasan Tahun Anggaran 2007. KODE
JENIS / RINCIAN BELANJA
TARGET ANGGARAN ( Rp )
REALISASI ANGGARAN ( Rp)
(%)
1
2
3
4
5
512112
Belanja Uang Honor pemeriksa - Honor pemeriksa ( 4 Org x 120 perusahaan ) - Honor pengolah data (4 Org x 12 bulan ) - Honor panaggung jawab (1 Org x 12 bulan )
521211
524119
---
15.900.000,-
10.300.000,-
64,78
12.000.000,-
6.400.000,-
53,3
2.700.000,-
2.700.000,-
100
1.200.000,-
1.200.000,-
100
6.971.000,2.471.000,2.400.000,2.100.000,-
6.971.000,2.471.000,2.400.000,2.100.000,-
100 100 100 100
Belanja Perjalanan Lainnya ( 4 Org x 120 perusahaan)
6.000.000,-
2.950.000,-
49,17
TOTAL
28.871.000,-
20.221.000,-
70,04
Belanja Bahan - ATK - Foto Copy -Dokumentasi Pelaporan
dan
Sumber : Disnaker Kota Pekanbaru.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa realisasi biaya kegiatan pengawasan pada tahun anggaran 2007 hanya terealisasi sebesar 70,04 % dari target anggaran yang diperlukan. Hal ini menunjukkan biaya operasional masih dipotong sehingga target awal pengawasan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, yang mengakibatkan pegawai pengawas tidak menerima honor sesuai dengan target yang ditetapkan, sehingga menimbulkan kekecewaan personel pengawas yang berdampak pada pelaksanaan pengawasan yang dilakukannnya. Minimnya Pengaduan Pekerja Dari wawancara yang dilakuakan kepada Kasubdin Keselamatan dan Kesejahteraan yakni Ibu Yasmini, pada tahun 2007 jumlah pekerja yang mengadu pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru berjumlah 37 pengaduan yang memiliki permasalahan dengan perusahaan tempat pekerja bekerja. Dari 37 pengaduan tersebut 19 yang mengeluh tentang upah kerja yang mereka terima tidak sesuai dengan upah minimum Kota Pekanbaru tahun 2007 yang telah ditentukan. Sedangkan selebihnya mengadukan permasalahan yang lain seperti 8 pengaduan jamsostek dan 10 pangaduan waktu lembur kerja. Minimnya pengaduan pekerja ini merupakan suatu kendala dalam melakukakn kegiatan pengawasan, alasan pekerja untuk tidak melakukan pengaduan tentang besarnya upah yang diterimanya tidak sesuai dangan upah minimum yang ditetapkan pemerintah karena para pekerja takut kehilangan pekerjaannya, dengan sulitnya mencari lapangan kerja saat ini mau tidak mau para pekerja menerima upah yang di berikan atas pekerjaan yang telah mereka kerjakan. KESIMPULAN Dalam menilai pengawasan Terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang Upah Minimum Provinsi ( UMP ) di Kota Pekabaru Tahun 2007 berada dalam kategori kurang baik. 1. Dalam menentukan pelaksanaan pengawasan penerapan Kebijakan Pemerintah tentang UMP di Kota Pekanbaru pemerintah dinilai kurang baik karena hanya melakukan
pengawasan repressif terhadap sebagian kecil objek pengawasan yang berjumlah 120 perusahaan pada tahun 2007, sementara jumlah objek pengawasan yang ada di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 berjumlah 3.366 perusahaan dengan personel pengawas berjumlah 4 ( empat ) orang sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah personel pengawas dengan jumlah objek yang diawasi 2. Dalam melakukan penilaian terhadap penerapan Kebijakan Pemerintah tentang Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru dinilai kurang baik karena penilaian yang dilakukan tidak menyeluruh tarhadap tingkat keberhasilan penerapan upah minimum dan pengawasan yang dilakukan dilapangan tidak efisien. 3. Pengkoreksian hasil pengawasan terhadap pelaksanaan Kebijakan Pemerintah tentang UMP di Kota Pekanbaru dinilai kurang baik karena Disnaker Kota Pekanbaru belum memberikan sanksi dengan tegas terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan walaupun telah membuat laporan terhadap penyimpangan penerapan kebijakan upah di Kota Pekanbaru dari objek pengawasan. Dari ketiga indikator tersebut dijumpai faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pengawasan penerapan Upah Minimum Provinsi di Kota Pekanbaru yang dilaksanakan oleh personel pengawas, diantaranya : 1. Kelemahan Struktural 2. Minimnya Perusahaannya yang Melapor Pada Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru. 3. Kurangnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan pengawasan 4. Minimnya Pengaduan Pekerja.
DAFTAR PUSTAKA Assauri, Sofyan, 1997. Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi Revisi, Jakarta: FE-UI. Departemen Pendidikan Nasional, 2000, Penilaian dan Pengujian, direktorat Jendral Pendidikan. Djumialdji, 1987, Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta. Handoko, T. Hani, DR, 1998, Manajemen, BPFE, Yogyakarta. Herujito, 2001, Yayat M., Dasar-dasar Manajemen, Jakarta : PT. Grasindo. Husni, Lalu, 2006, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Indrajaya, Rahim, 2001, Pengawasan Dinas Tata Kota Terhadap Pelaksanaan Bangunan Berdasarkan IMB di Kota Pekanbaru, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas FISIP, UNRI. Jones, Charles O., 1997. Pengentar Kebijakan Publik (Publik Policy), Jakarta, Rajawali Pers. Manullang, M., 2006. dasar-dasar Manajemen, Yogyakarta: Gajahmada University Press. Moenir. A.S, 1992. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Bumi Aksara, Jakarta. Munir, Rozy dan Budiarto, 1985. Aspek-aspek Demografis Tenaga Kerja, FE-UI, Jakarta Nazir. Moh, 1999, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernology, Beberapa Konstruksi Utama, Penerbit, Sirao Credintia Center, TangerangBanten. Nitisemito, Alex S., 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Pengantar, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Prajudi, Atmosudirjo, 1982, Administrasi dan Management Umum, Ghalia Indonesia. Rauf, Rahyunir, 1991, Tugas dan Fungsi Camat Dalam Menjaga Ketentraman dan Ketertiban di Kecamatan Reteh
Kabupaten Indragiri Hilir, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas FISIP, UNRI Ranupandojo, Heidjerachman dan Su’ud Husnan, 1998. Manajemen Personalia, BPFE, Yogyakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989, Metode Penelitian Survai. Jakarta, LP3ES. Soeharno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen dokumen, Gunung Agung, Jakarta , 1985. Supomo, Iman, 1985. Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta. Tangkilisan, Hesel Nogi S., 2003, Kebijakan Publik untuk Pemimpin Berwawasan Internasional, Yogyakarta, Balairung & Co. Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tantang Ketenagakerjaan. UU No. 03 Tahun 1951 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Tentang upah Minimum. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-266/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, pasal 4, pasal 8, pasal 11, pasal 20 dan pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per01/MEN/1999 Tentang upah Minimum. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. PER-17/MEN/VIII/2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Keputusan Gubernur Riau No. 38 tertanggal 26 Desember tahun 2007 tentang Upah Minimum Propinsi (UMP). Keputusan Gubernur Riau No. 27 Tahun 2006 tentang Upah Minimum provinsi (UMP) Riau. Keputusan Gubernur Riau No. 48 Tahun 2007 tentang Upah Minimum Kota (UMK) Pekanbaru.
Perda Kota Pekanbaru No. 07 Tahun 2001 tentang perubahan Perda No. 04 Tahun 2001 tentang pembentukan susunan organisasi dan tata kerja dinas-dinas dilingkungan Pemerintah Kota Pekanbaru Perda Kota Pekanbaru No. 10 tahun 2002 tentang restribusi daerah dibidang izin usaha perdagangan, tanda daftar gudang dan tanda daftar perusahaan