PENGAWASAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA TERHADAP ACARA SILET PADA STASIUN RCTI (KASUS PENAYANGAN BENCANA GUNUNG MERAPI, 7 NOVEMBER 2010) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: ACHMAD SYOFIAN HADY NIM:106051001772
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M
PENGAWASAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA TERHADAP ACARA SILET PADA STASIUN RCTI (KASUS PENAYANGAN BENCANA GUNUNG MERAPI, 7 NOVEMBER 2010)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: ACHMAD SYOFIAN HADY NIM:106051001772
Dibawah bimbingan,
Drs. H. Sunandar, MA NIP. 1962062 199403 1 002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diakukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Maret 2011
Penulis
ABSTRAK Achmad Syofian Hady PENGAWASAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA TERHADAP ACARA SILET PADA STASIUN RCTI (KASUS PENAYANGAN BENCANA GUNUNG MERAPI , 7 NOVEMBER 2010). Informasi sebagai inti acara yang disampaikan kepada publik dengan menggunakan metode atau cara yang menghibur. Kenyataan yang terjadi pada infotainment adalah berupa informasi tentang hiburan, sisi hiburannya dijadikan subtansi untuk disampaikan kepada masyarakat. Para ahli komunikasi dan media menyebut infotainment sebagai soft journalism, jenis jurnalisme yang menawarkan berita-berita sensasional, lebih personal, dengan selebriti sebagai perhatian liputan. Tayangan infotainment yang merupakan gabungan informasi dan hiburan, infotainment muncul karena tekanan pencapaian ekonomi dan munculnya pekerja media khususnya infotainment yang memiliki keterkaitan namun minim dalam pemahaman kode etik jurnalistik, Pedoman Undang-Undang terkait penyiaran, buku pedoman (P3SPS) dan nilai-nilai moral serta substansi isi pesan yang disampaikan melalui televisi. Contoh kasus dalam tayangan Silet di RCTI pada tanggal 7 November tentang bencana meletusnya gunung merapi, berita bencana akibat letusan Merapi itu diarahkan kesisi mistis dengan mewawancarai paranormal yang bernama Joyo Boyo. Prediksi-prediksi tentang kondisi Merapi yang berlebihanpun diutarakan olehnya. Akibatnya, Dadang Rahmat Hidayat selaku ketua Komisi Penyiaran Indonesia menjelaskan, dalam penayangan tersebut KPI menerima 1.128 aduan karena isi tayangan Silet tampaknya tak benar dan ada dampak kekhawatiran dan kegelisahan di masyarakat Yogyakarta. Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan berikut; Apa yang dimaksud dengan infotainment dan realitasnya? Apa perbedaan berita dan infotainment? Apa fungsi dan kewajiban Komisi penyiaran Indonesia selaku lembaga independen dalam mengawasi penyiaran, khususnya pada tayangan infotainment Silet di RCTI mengenai pemberitaan gunung Merapi 7 November 2010? Dengan demikian, maka penelitian ini memiliki tujuan: 1) Untuk memahami infotainment dan realitas tayangannya2) Untuk mengetahui perbedaan berita dan infotainment? 3) Untuk memgetahui pengawasan Komisi penyiaran Indonesia (KPI) selaku lembaga independen yang mengawasi penyiaran, khususnya pada tayangan Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif deskriptif. Dalam hal pendekatan teori kualitatif deskriptif ini, diantara beberapa model yang ditawarkan para ahli, penulis memilih model induksi, yang menerangkan bahwa peneliti tidak perlu perlu mengetahui tentang sesuatu teori, akan tetapi langsung ke lapangan. Pengumpulan data dilakukan melalui mix methode; telaah teks, literatur, pengamatan partisipatif, observasi dan wawancara mendalam. Pembacaan data diolah dan dianalisa dengan pencitraan atas realitas sosial Burhan Bungin tahun 2010 untuk memahami fenomena acara infotainment dan kaitannya dengan peran dan fungsi KPI selaku lembaga independen yang mengawasi penyiaran, khususnya pada tayangan infotainment Silet di RCTI. Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan adanya tiga temuan, yaitu: Pengertian Infotainment dan realitas tayangannya, Perbedaan Berita dan Infotainment, Fungsi dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi infotainment Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan hidayah yang dicurahkan-Nya kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat teriring salam selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW semoga kita selaku pengikutnya mendapatkan Syafaat-Nya dihari akhir. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya. Skripsi dengan judul “PENGAWASAN
KOMISI
ACARA
PADA
SILET
PENYIARAN
STASIUN
RCTI
INDONESIA (KASUS
TERHADAP
PENAYANGAN
BENCANA GUNUNG MERAPI, 7 NOVEMBER 2010)” merupakan karya yang banyak tantangan dan kekurangan, maka penulis sebagai hamba yang dhoif mengucapkan mohon pengertian dalam penyelesaian apabila ada kekurangan dan ketidak jelasan tulisan. Untuk itu dengan terselesaikannya karya ini penulis berterimakasih dari berbagai pihak demi kelangsungan penyelesaian skripsi ini akhirnya penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Komarudin Hidayat, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajaran civitas akademik. 2. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. Arif Subhan, MA, 3. Drs. H. Sunandar, MA, selaku dosen pembimbing. Terimakasih banyak pak, atas kesabaran dan motivasi dalam membimbing penulis dari awal
ii
sampai akhir, semoga semua yang telah bapak utarakan kepada penulis dapat bermanfaat khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Umi Musyarafah, MA, selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah mendukung penulis dalam kelangsungan skripsi ini sampai akhir, semoga segala apa yang telah diutarakan dapat bermanfaat. 5. Drs. Jumroni, M.Si selaku Penasihat Akademik KPI A angkatan 2006. 6. Ibunda tercinta Dra. Hj. Supiati dan H. Djamal Sidik selaku orang tua kandung yang telah
memotivasi penulis dan membantu dalam
kelangsungan penyelesaian skripsi ini sampai akhir, tanpa ridha dan dukungan dari mereka semua ini tidak akan berarti apa-apa bagi penulis dan tidak lupa kasih sayang serta perhatian yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini. 7. Adinda tersayang Sunita Juliantika, keluarga besar Bapak Suhardi dan Ibu Sumiati atas segala dukungan dan juga perhatian. 8. Adinda tercinta Amelia Luthfiah, Musthafa Khemal 9. Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nina Muthmainnah dan Bapak H. Priyo selaku Anggota beserta staf pengurus lainnya. 10. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini penulis ucapkan terimakasih.
Jakarta, Maret 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .......................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................
4
D. Metodologi Penelitian .................................................................
5
E. Tinjauan Pustaka........................................................................... 7 F. Sistematika Penulisan..................................................................
BAB II
7
KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Pengawasan ...............................................................
9
1. Maksud dan Tujuan Pengawasan .......................................... 11 2. Teknik Pengawasan............................................................... 11 3. Proses Pengawasan................................................................ 12 B. Pengertian Media Massa ............................................................ 13 1. Media Massa secara Etimologis ............................................ 13 2. Pendapat-pendapat beberapa ahli tentang media .................. 14 3. Jenis-jenis media massa berdasarkan jenis penyampaiannya 14 4. Pengaruh media massa secara umum .................................... 15 5. Media massa sebagai media pendidikan ............................... 17
iv
C. Pengertian Televisi ...................................................................... 18 1. Pengertian Televisi, Stasiun, dan Siaran ............................... 19 2. Kekurangan dan kekuatan televisi ......................................... 21 D. Pengertian Berita ......................................................................... 22 E. Perbedaan Berita Faktual dan Non Faktual ................................. 25 F. Pengertian Infotainment ............................................................. 27 G. Kode Etik Jurnalistik ................................................................... 32
BAB III
TINJAUAN
UMUM
PROFIL
KOMISI
PENYIARAN
INDONESIA (KPI). A. Sejarah berdirinya Komisi Penyiaran Indonesia ......................... 35 B. Latar Belakang Komisi Penyiaran Indonesia .............................. 37 C. Visi dan Misi Komisi Penyiaran Indonesia ................................. 39 D. Stuktur Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia .................... 40 E. Tugas dan Kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia.................... 42 F. Wewenang Komisi Penyiaran Indonesia .................................... 43
BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN A. Fungsi,
Wewenang
dan
Kewajiban
Komisi
Penyiaran
Indonesia...................................................................................... 44 B. Infotainment sebagai Berita Faktual yang Dipertanyakan Nilai Beritanya ..................................................................................... 47 C. Pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia pada kasus Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010 ........................................................................... 54
v
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 62 1. Pengertian Infotainment dan realitas tayangannya ................ 62 2. Perbedaan Berita dan Infotainment ....................................... 63 3. Fungsi dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi tayangan Silet di RCTI pada pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010. ......................... 64 B. Saran............................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 68 LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kehadiran televisi seolah-olah telah menjadi bagian dari anggota keluarga. Jika kita amati dengan seksama, hampir setiap rumah di perkotaan hingga pelosok desa hampir dipastikan memiliki pesawat televisi. Dominasi media televisi (TV) tersebut tidak terlepas karena masih lemahnya budaya baca tulis masyarakat dibanding dengan budaya menonton. Selain itu media televisi bisa dibilang sarana hiburan yang relatif murah bagi sebagian besar masyarakat kita. Sebagai media massa, televisi merupakan sebuah kekuatan besar yang sangat diperhitungkan dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi.
Televisi dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling
menentukan dalam proses-proses perubahan sosial budaya dan politik. Sebagai media massa yang dominan, televisi telah memberi dampak yang luar biasa
dalam
kehidupan
masyarakat.
Bahkan
kehadirannya
sangat
berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku dan pola fikir masyarakat di Indonesia. Seluruh proses produksi, distribusi dan konsumsi pesan komunikasi merupakan hasil interaksi para pelaku, konsumen dan distributor komunikasi melalui perantara media (televisi) yang mau tidak mau menempatkan proses komunikasi dalam setiap tindakan manusia.
1
2
Televisi mempunyai idealisme untuk memberikan informasi yang benar kepada khalayaknya.
Idealisme seperti itulah media diharapkan
berperan menjadi sarana edukasi dan pendewasaan kepada masyarakat agar lebih kritis yang disertai kedalaman dalam berfikir. Namun kadang-kadang harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan, realitas pasar bisa berlawanan arah dengan kebijakan dan tujuan awal idealisme media. Dalam persaingan media yang semakin ketat, tidak sedikit menimbulkan kontra produktif dengan etika dan norma yang ada dalam masyarakat. Komersialisme seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan.
Logika pasar mengarahkan
pengorganisasian sistem informasi itu. Seakan kompetensi jurnalisme hanya merupakan faktor produksi yang fungsi utamanya adalah penopang kepentingan pasar.1 Penayangan berita palsu atau bohong yang disiarkan pada tayangan Silet 7 November 2010 sifatnya dalah provokatif hubungan kasus ini di kaitkan pada firman Allah tentang larangan kepada hamba-hambaNya yang beriman dari mengekor kepada isu yang tersebar, dan memerintahkan mereka untuk meneliti kebenaran berita yang sampai kepada mereka, karena tidak semua yang diberitakan itu benar adanya, dan tidaklah setiap yang dibicarakan itu merupakan suatu kejujuran. Sesungguhnya, musuh-musuh kalian senantiasa mengintai kelemahan kalian, maka wajib atas kalian agar selalu terjaga, sehingga kalian bisa memergoki orang-orang yang hendak membangkitkan dan menyebarkan kegelisahan serta isu-isu yang tidak benar ditengah-tengah kalian. Berikut firman Allah SWT mengenai orang fasiq yang membawa berita tidak benar: 1
Haryatmoko, Etika Komunikasi, (Yogyakarta, Kanisius, 2007), h. 9
3
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk mempermudah menyelesaikan penelitian ini, maka penulis membatasi
mengenai
PENGAWASAN
KOMISI
PENYIARAN
INDONESIA TERHADAP ACARA SILET PADA STASIUN RCTI (KASUS PENAYANGAN GUNUNG MERAPI, 7 NOVEMBER 2010) KPI sebagai lembaga independen yang bertugas untuk mengawasi tentang penyiaran, kontribusinya adalah keberperanan KPI dalam mengontrol suatu tanyangan atau program penyiaran yang layak untuk disiarkan atau tidak, khusunya dalam tayangan infotaiment Silet di RCTI pada 7 November 2010 mengenai pemberitaan bencan gunung Merapi. Contoh kasus dalam tayangan infotaiment di RCTI pada tanggal 7 November 2010 tentang bencana alam meletusnya gunung merpai yang diberitakan oleh infotaiment Silet, berita bencana akibat letusan Merapi itu diarahkan kesisi mistis dengan mewawancarai paranormal yang bernama Joyo Boyo. Prediksi-prediksi tentang kondisi Merapi yang berlebihanpun diutarakan olehnya. Akibatnya, Dadang Rahmat Hidayat selaku ketua Komisi Penyiaran Indonesia menjelaskan, dalam penayangan tersebut KPI menerima 1.128 keluhan dalam kurun waktu dua hari semenjak acara
4
ditayangkan. Bahkan, lantaran isi tayangan Silet itu 550 orang berpindah dari Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, ke Nanggulan. Kesalahan utama, menyampaikan informasi yang tampaknya tak benar dan ada dampak kekhawatiran dan kegelisahan di masyarakat Yogyakarta. 2 2. Perumusan Masalah Permasalahan di atas menunjukan tayangan yang dinilai berlebihan karena menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran akibat pemberitaan yang belum tentu terbukti kebenarannya (sifatnya masih menduga-duga) dapat menyebabkan ganguan di masyarakat oleh karena pada penelitian ini peneliti akan mencoba mengkaji persoalan tayangan yang layak atau tidak untuk dipublikasikan setelah melalui ketentuan-ketentuan KPI. Untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data maka peneliti membatasi dengan perumusan masalah sebagai berikut: a. Apa yang dimaksud dengan infotainment dan realitas tayangannya? b. Apa perbedaan berita dan infotainment? c. Apa fungsi dan kewajiban Komisi penyiaran Indonesia selaku lembaga independen yang mengawasi penyiaran, khususnya pada tayangan infotainment Silet di RCTI pada pemberitaan bencana gunung Merapi, 7 November 2010?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian secara umum adalah: 1. Mengajak mahasiswa dan pembaca agar lebih kritis dan jeli dalam menerima suatu tayangan. 2
http://bataviase.co.id/node/451458 (Akses 25 November 2010).
5
2. Untuk mengetahui sejauh mana peran KPI dalam memberikan peringatan terhadap tayangan yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan . Adapun tujuan secara khusus adalah: 1. Apa saja ketentuan KPI dalam memberikan batasan terhadap suatu tayangan. 2. Untuk mengetahui kode etik yang ditentukan KPI mengenai penyiaran, khususnya tayangan infotainment Silet di RCTI pada pemberitaan bencana gunung Merapi, 7 November 2010. Manfaat penelitian secara akademis yaitu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang pengawasan televisi. Manfaat penelitian secara praktis adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peminat studi penyiaran sebagai bahan bacaan ketika menjawab
permasalahan
konteporer
dalam
kehidupan.
Khususnya
permasalahan penyiaran infotainment Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi, 7 November 2010.
D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dilihat dari segi tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu dengan menggambarkan Peran Komisi Penyiaran Indonesia dalam pemberitaan khususnya pada tayangan infotaniment Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung merapi 7 November 2010.
6
Menurut Lexy J. Moelong metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.3 2. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (intervieweer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Proses wawancara ini dilakuakan peneliti dengan wakil ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nina Muthmainnah, yang berhubungan dengan infotainment khususnya pada infotainment Silet di RCTI pada pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010. b. Observasi Karl Weick (dikutip dari Selitz, Wrigtsman, dan Cook 1976: 253) mendefinisikan observasi sebagai pemilih, pengubah, pencatatan, dan pengkodean serangkain prilaku dan suasana yang berkenaan dengan organismein situ, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.4 Pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya. Pengamatan ini akan dilakukan kepada komisi penyiaran Indonesia (KPI) dalam melaksanakan perannya sebagai lembaga penyiaran di indonesia. 3
Lexy J. Moeleong, "Metode Penelitian Kualitatif," PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2007. 4
Rakmad Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik. (Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 2005). Cet ke 12, h 83.
7
c. Dokumentasi Dokumentasi adalah pengumpulan data-data atau arsip-arsip tertulis mengenai hal-hal yang berhubungan masalah peneliti, yang kemudian penulis analisis sehingga menjadi bahan untuk skripsi. Pengumpulan data akan dikumpulkan dari data yang bersumber dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), buku-buku, jurnal, koran, internet dan sebagainya.
3. Analisis data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisa deskriptif. Untuk memeriksa keabsahan data maka penulis menggunakan triangulasi yaitu taknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
E. Tinjauan Pustaka Agar
penulisan
skripsi
ini
tidak
dikatakan
menjiplak
atau
menggandakan skripsi lain maka penulis merujuk kepada tinjauan pustaka sebelumnya dengan judul PERAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA DALAM MENGAWASI TAYANGAN MISTIK DI TELEVISI.
F. Sistematika penulisan Penulisan laporan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut:
8
BAB I
Bab ini akan dijelaskan mengenai, pendahuluan meliputi gambaran umum mengenai Latar belakang masalah, Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Metode
penelitian,
Tinjauan
pustaka
serta
Sistematika
penulisan. BAB II
Bab ini dijelaskan mengenai Kerangka teoritis yang terdiri dari: Pengertian Pengawasan, Pengertian Media Massa (Pers), Pengertian Televisi, Pengertian Berita, Perbedaan Berita Faktual dan Non Faktual, Pengertian Infotainment, Kode Etik Jurnalistik
BAB III
Bab ini dijelaskan tentang Tinjauan umum mengenai Profil Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sejarah berdirinya KPI, visi dan misi KPI, tugas dan kewajiban KPI, wewenang dan aturan dalam mengawasi infotaiment khususnya pada penayangan Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi, 7 November 2010 .
BAB IV
Bab ini dijelaskan tentang Pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi Infotainment khususnya tayangan infotainment Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi, pada 7 November 2010.
BAB V
Penutup, memuat Kesimpulan dan Saran.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Pengawasan Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut. Controlling is the process of measuring performance and taking action to ensure desired results. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan. The process of ensuring that actual activities conform the planned activities.1 Istilah pengawasan dalam bahas inggris disebut controlling. The modern concept of control provides a historical record of what has happened and provides date the enable the executive to take corrective steps. Hal ini berarti bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan didalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suaturencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan 1
http://itjen-depdagri.go.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=25 (Akses 27 Maret
2011)
9
10
mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan terlebih dalam pengawasan mengenai penyiaran televisi. Pengertian pengawasan sangat beragam dan banyak sekali pendapat para ahli yang menemukannya akan tetapi disini di uraikan pengawasan yang melibatkan penyiaran televisi khususnya yaitu sebagai kontrol sosial. Pada prinsipnya kesemua pendapat yang dikemukakan para ahli adalah sama, yaitu merupakan tindakan didalam membandingkan antara hasil dalam kenyataan (dassein) dengan hasil yang diinginkan (das sollen), yang dilakukan dalam rangka melakukan koreksi atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam kegiatan manajemen (penyiaran televisi).2 Elemen-elemen dasar komunikasi dari model tersebut adalah, Laswell mengidentifikasikan tiga dari keempat fungsi media: 1. Fungsi
pengawasan
(surveillance),
penyediaan
informasi
tentang
lingkungan. 2. Fungsi penghubungan (corellation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah. 3. Fungsi pentransferan (budaya transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan. 4. Fungsi hiburan (entertaiment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).
2
http://sambasalim.com/manajemen/konsep-pengawasan.html (Akses 30 Maret 2011)
11
1. Maksud dan Tujuan Pengawasan Terwujudnya tujuan yang dikehendaki sebenarnya tidak lain merupakan tujuan dari pengawasan. Sebab setiap kegiatan pada dasarnya selalu mempunyai tujuan tertentu. Oleh karena itu pengawasan mutlak diperlukan dalam usaha pencapaian suatu tujuan, maksud pengawasan adalah untuk : a. Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak b. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru. c. Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah direncanakan. d. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak. e. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning, yaitu standart.
2. Teknik Pengawasan Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung: a. Pengawasan langsung, adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara on the spot di tempat pekerjaan, dan menerima laporan, laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi.
12
b. Pengawasan tidak langsung, diadakan dengan mempelajari laporan, laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat, pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan on the spot. Pengawasan preventif dan represif : a. Pengawasan preventif, dilakukan melalui pre audit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapanpersiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. b. Pengawasan represif, dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.3 3. Proses Pengawasan Pengawasan terdiri daripada suatu proses yang dibentuk oleh tiga macam langkah-langkah yang bersifat universal yakni: a. mengukur hasil pekerjaan b. membandingkan hasil pekerjaan dengan standard dan memastikan perbedaan (apabila ada perbedaan) c. mengoreksi penyimpangan yang tidak dikehendaki melalui tindakan perbaikan
3
file:///J:/konsep-pengawasan.html (Akses 02 April 2011)
13
B. Pengertian Media Massa 1. Media Massa secara Etimologis Kata Media berasal dari bahasa Latin Medium yang secara harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Atau dengan kata lain media adalah perantara atau pengantar dari pengirim pesan kepada penerima pesan (strategi belajar mengajar). Sedangkan Massa merupakan kata serapan berasal dari bahasa Inggris yaitu mass yang artinya massa atau jumlah besar (kata benda) atau dapat diartikan sebagai massa, rakyat, atau besar-besaran (kata sifat). Dengan kata lain massa merupakan masyarakat atau publik, dalam hal ini penerima pesan media. 6 Media massa atau pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering singkat menjadi media. yang benar. Dengan idealisme semacam itu, media ingin berperan sebagai sarana pendidikan.7 Media
memiliki
idealisme,
yaitu
memberikan
informasi.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi dari pada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingangkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu. 6 7
M. Echos, John and Hassan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakrta: Gramedia. Haryatmoko,ETIKA KOMUNIKASI, (Yogyakarta: Pt. Kanisius, 2007) hal 1
14
2. Pendapat-pendapat beberapa ahli tentang media Gearlach dan Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun suatu kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Atwi Suparman (1997)
mendefinisikan, media merupakan alat
yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau informasi dari pengirim kepada penerima pesan.8 AECT (Association Education Assocation) membatasi media sebagai bentuk-bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. NEA (National Education Assocation) membatasi media sebagai bentuk-bentuk
komunikasi
baik
tercetak
maupun
audiovisual
serta
peralatannya.9 Dalam aktifitas pembelajaran, media dapat didefinisikan sebagai suatu yang dapat membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara pendidikan dengan peserta didik.
3. Jenis-jenis media massa berdasarkan jenis penyampaiannya a. Media Auditif Media yang hanya mengandalkan pada kemampuan suara saja, seperti radio, cassete recorder, dan piring hitam.
8
Pupuh Faturrohman, dan M Sobry Sutikono. Strategi belajar mengajar melalui penanaman, Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama, 2007. 9 S. Sadiman, Arief, dkk. Media pendidikan, pengertian, pembangunan, dan pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
15
b. Media Visual Media yang hanya mengandalkan pada indra penglihatan berupa gambar atau simbol-simbol yang bergerak seperti film strip, foto gambar atau lukisan, dan cetakan. c. Media Audio-Visual Media yang menampilkan suara dan gambar. Media audio-visual ini ada yang diam seperti film bingkai suara, ada pula yang bergerak seperti film suara dan video cassete. Media audio-visual ini juga terbagi menjadi audio-visual murni yang unsur suara dan gambarnya berasal dari satu sumber seperti film audio-cassete. Sedangkan film audio-visual tidak murni unsur suara dan gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, seperti film bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slide proyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder. 4. Pengaruh media massa secara umum a. Pengaruh dan fungsi media massa pada budaya Menurut Karl Erik Rosengren pengaruh media cukup kompleks, dampaknya bisa dilihat dari: 1) Siapa (who) 2) Pesannya apa (says what) 3) Saluran yang digunakan (in what channel) 4) Kepada siapa (to whom) 5) Apa dampaknya (with what effect)
16
Pesan media dan faktor yang berpengaruh Penelitian akademis terhadap media massa sebagai organisasi mulai intensif dilakukan dinegara Barat pada tahun 1980-an. Dalam perkembangan penelitian terhadap media massa, perhatian para peneliti brubah seiring dengan perkembangan zaman dan pengetahuan. Pada perkembangan awal studi komunikasi massa di Amerika pada tahun 1950an, penelitian lebih ditunjukan pada effect yang dihasilkan media massa. Media massa ketika itu dinilai memiliki pengaruh sangat kuat pada masyarakat. Namun, dengan semakin banyaknya media yang muncul, effect atau pengaruh media tidak lagi signifikan. Pada tahun 1970-an, perhatian orang beralih pada isi pesan media karena ketika itu pemberitaan media massa dinilai bias. Orang mempertanyakan ojektifitas berita yang disampaikan media dan muncul perdebatan mengenai nilai berita. penelitian yang dilakukan pada massa itu kebanyakan adalah untuk mengetahui seberapa jauh objektifitas isi media. Pada tahun 1980-an, menyadari bahwa pembahasan mengenai effect dan objektifitas media massa tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan, tanpa menelusuri situasi internal media, maka perhatian beralih pada organisasi media itu sendiri. Bebagai penelitian menunjukan bahwa isi pesan media sangat di pengaruhi oleh berbagai pengaruh internal dan eksternal yang dialami media massa sebagai organisasi. Pengaruh yang diberikan media kepada masyarakat atau sebaliknya sangat bergantung pada bagaimana media bekerja. Dalam hal ini Mc Quail (2000)
17
menyatakan, only buy knowing how the media themselves operate can we understand how society influences the media and vice versa.10 Jika pada masa lalu, media massa cendrung di salahkan karena effect yang ditimbulkannya atau objektifitas beritanya yang diragukan, maka dewasa ini muncul pengertian yang lebih baik terhadap media massa. Cara bertahap, perhatian juga diberikan pada isi media massa yang bersifat nonberita, seperti drama, musik, dan hiburan.11 Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung pemirsanya menjadi lebih baik atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain. Selain bahwa media massa memiliki pengaruh dan fungsinya, media massa juga memiliki tujuan. Menurut Atang Syamsuddin secara universal tujuannya adalah: 1) Informasi 2) Hiburan 3) Pendidikan 4) Propaganda/ pengaruh 5) Pertanggung jawaban sosial12
5. Media massa sebagai media pendidikan Pengertian media sangatlah luas, demikian juga fungsi dan penerapannya. Jika kita kaitkan dan diterapkan dengan pendidikan yang
10
Morissan., Teori Komunikasi Massa, (Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2010), h. 42 Denis McQuail, McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publication, 200, Hal.244. 12 http://pendidikanmanusia.blogspot.com/2008/08/analisis-media-massa.html (Akses 3 Desember 2010) 11
18
batasannya telah disebutkan diatas, maka media dapat diartikan sebagai berikut: a. Gagne (1970) menyebutkan media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. b. Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Contohnya: buku, film, kaset dan film kaset.13 Dengan memperhatikan pendapat Gagne dan Briggs tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa media merupakan alat dan bahan fisik yang terdapat
dilingkungan
pembelajaran
(proses
siswa kegiatan
untuk
menyajikan
belajar-mengajar)
pesan
kegiatan
sehingga
dapat
merangsang siswa untuk belajar. Akan tetapi, dalam peristilahan dan lingkungan istilah media terdapat beberapa istilah lain yang mengiringinya atau berhubungan yang dapat disimpulkan sebagai unsur-unsur dari media.
C. Pengertian Televisi Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision; yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini mampu mengubah peradaban dunia. Di Indonesia 'televisi' secara tidak formal disebut dengan TV, tivi, teve atau tipi.14
13
S. Sadiman, Arief, dkk. Media Pendidikan, pengertian, pengembangan, dan pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2008. 14 http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi (Akses 5 Desember 2010)
19
1. Pengertian Televisi, Stasiun, dan Siaran Televisi merupakan media komunikasi yang menyediakan berbagai informasi yang update, dan menyebarkannya kepada khalayak umum. Dalam Baksin (2006: 16) mendefinisikan bahwa: “Televisi merupakan hasil produk teknologi tinggi (hi-tech) yang menyampaikan isi pesan dalam bentuk audiovisual gerak. Isi pesan audiovisual gerak memiliki kekuatan yang sangat tinggi untuk mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak individu”. Menurut ensiklopedia Indonesia dalam Parwadi (2004: 28) lebih luas lagi dinyatakan bahwa: “Televisi adalah sistem pengambilan gambar, penyampaian, dan penyuguhan kembali gambar melalui tenaga listrik. Gambar tersebut ditangkap dengan kamera televisi, diubah menjadi sinyal listrik, dan dikirim langsung lewat kabel listrik kepada pesawat penerima”. Berdasarkan kedua pendapat di atas menjelaskan bahwa televisi adalah sistem elektronis yang menyampaikan suatu isi pesan dalam bentuk audiovisual
gerak
dan
merupakan
sistem
pengambilan
gambar,
penyampaian, dan penyuguhan kembali gambar melalui tenaga listrik. Dengan demikian, televisi sangat berperan dalam mempengaruhi mental, pola pikir khalayak umum. Televisi karena sifatnya yang audiovisual merupakan media yang dianggap paling efektif dalam menyebarkan nilainilai yang konsumtif dan permisif. Stasiun televisi merupakan lembaga penyiaran atau tempat berkerja yang melibatkan banyak orang, dan yang mempunyai kemampuan atau
20
keahlian dalam bidang penyiaran yang berupaya menghasilkan siaran atau karya yang baik.15 Dalam buku Morissan dinyatakan bahwa Stasiun Televisi adalah tempat kerja yang sangat kompleks yang melibatkan banyak orang dengan berbagai jenis keahlian. Juru kamera, editor gambar, reporter, ahli grafis, dan staf operasional lainnya harus saling berintraksi dan berkomunikasi dalam upaya untuk menghasilkan siaran yang sebaik mungkin Dari penjelasan di atas maka dapat diuraikan bahwa televisi sangat berpengaruh terhadap stasiun, karena stasiun merupakan suatu tempat atau kantor yang mengupayakan untuk menghasilkan siaran yang sebaik mungkin, dengan demikian melibatkan banyak orang dalam pengelolaan berita atau informasi yang akan di publikasikan. Umumnya siaran bertujuan untuk memberi informasi yang dapat dinikmati dan dapat diterima dikalangan masyarakat, menurut Morissan bahwa: “Siaran televisi merupakan pemancaran sinyal listrik yang membawa muatan gambar proyeksi yang terbentuk melalui pendekatan sistem lensa dan suara.16 Siaran televisi adalah merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologial, dan dimensi dramatikal. Verbal, berhubungan dengan katakata yang disusun secara singkat, padat, efektif. Visual lebih banyak menekankan pada bahasa gambar yang tajam, jelas, hidup, memikat. Teknologikal, berkaitan dengan daya jangkau siaran, kualitas suara, kualitas suara dan gambar yang dihasilkan serta diterima oleh pesawat 15 16
Morissan, Teori Komunikasi Massa, (Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2010), h. 9 Morissan, Teori Komunikasi Massa, (Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2010), h. 2
21
televisi penerima di rumah-rumah. Dramatikal berarti bersinggungan dengan aspek serta nilai dramatikal yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat didefinisikan bahwa siaran televisi adalah suatu pemancar yang diproyeksikan melalui pendekatan sistem lensa, suara, dan menghasilkan gambar yang bergerak dan berisikan suatu informasi yang beranekaragam yang dapat diterima oleh setiap kalangan masyarakat.
2. Kekurangan dan kekuatan televisi a. Kekurangan televisi 1) Karena bersifat transitory maka isi pesannya tidak dapat dimemori oleh pemirsa. 2) Media televisi terikat oleh waktu tontonan. 3) Televisi tidak bisa melakukan kritik sosial serta pengawasan sosial secara langsung dan vulgar. Hal ini terjadi karena faktor penyebaran siaran televisi yang begitu luas kepada massa yang heterogen. 4) Pengaruh televisi lebih cenderung menyentuh aspek psikologis massa. 5) memerlukan biaya yang cukup besar b. Kekuatan televisi 1) Media televisi menguasai jarak dan ruang karena teknologi televisi telah menggunakan elektromagnetik, kabel dan fiber yang dipancarkan melalui satelit.
22
2) Sasaran yang dicapai untuk menjangkau massa cukup besar. 3) Nilai aktualitas terhadap suatu liputan atau pemberitaan sangat cepat. 4) Daya rangsang seseorang terhadap media televisi cukup tinggi. Hal ini disebabakan oleh kekuatan suara dan gambarnya yang bergerak. 5) menimbulkan efek atau dampak yang kuat terhadap pemirsa.
D. Pengertian Berita Berita berasal dari bahsa sansekerta "Vrit" yang dalam bahasa Inggris disebut "Write" yang arti sebenarnya adalah "Ada" atau "Terjadi".Ada juga yang menyebut dengan "Vritta" artinya "kejadian" atau "Yang Telah Terjadi". Menurut kamus besar, berita berarti laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on-line internet.17 News (berita) mengandung kata new yang berarti baru. Secara singkat sebuah berita adalah sesuatu yang baru yang diketengahkan bagi khalayak pembaca atau pendengar. Dengan kata lain, news adalah apa yang surat kabar atau majalah cetak atau apa yang para penyiar beberkan. Menurut Dean M. Lyle Spencer : Berita adalah suatu kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar dari pembaca. Menurut Willard C. Bleyer : Berita adalah sesuatu yang termasa (baru) yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar. Karena itu ia 17
http://kries07.blogspot.com/2009/02/pengertian-berita.html (Akses 5 November 2010)
23
dapat menarik atau mempunyai makana bagi pembaca surat kabar, atau karena ika dapat menarik pembaca - pembaca tersebut. Menurut William S Maulsby : Berita adalah suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut. Menurut Eric C. Hepwood : Berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting yang dapat menarik perhatian umum Dari sekian definisi atau batasan tentang berita itu, pada prinsipnya ada beberapa unsur penting yang harus diperhatikan dari definisi tersebut. Yakni: Laporan kejadian atau peristiwa atau pendapat yang menarik dan penting disajikan secepat mungkin kepada khalayak luas. 1. Dalam berita juga terdapat jenis-jenis berita yaitu, Straight News: berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat dan lugas. Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita jenis ini, 2. jenis berita Straight News dipilih lagi menjadi dua macam. Hard News: yakni berita yang memiliki nilai lebih dari segi aktualitas dan kepentingan atau amat penting segera diketahui pembaca. Berisi informasi peristiwa khusus (special event) yang terjadi secara tiba-tiba. 3. Soft News, nilai beritanya di bawah Hard News dan lebih merupakan berita pendukung. 4. Depth News: berita mendalam, dikembangkan dengan pendalaman hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan. 5. Investigation News: berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian atau penyelidikan dari berbagai sumber.
24
6. Interpretative News: berita yang dikembangkan dengan pendapat atau penelitian penulisnya/reporter. 7. Opinion News: berita mengenai pendapat seseorang, biasanya pendapat para cendekiawan, sarjana, ahli, atau pejabat, mengenai suatu hal, peristiwa, kondisi poleksosbudhankam, dan sebagainya. Bagian berita secara umum, berita mempunyai bagian-bagian dalam susunannya yaitu 1. Headline Biasa disebut judul. Sering juga dilengkapi dengan anak judul. Ia berguna untuk menolong pembaca agar segera mengetahui peristiwa yang akan diberitakan menonjolkan satu berita dengan dukungan teknik grafika. 2. Deadline. Ada yang terdiri atas nama media massa, tempat kejadian dan tanggal kejadian. Ada pula yang terdiri atas nama media massa, tempat kejadian dan tanggal kejadian. Tujuannya adalah untuk menunjukkan tempat kejadian dan inisial media. 3. Lead. Lazim disebut teras berita. Biasanya ditulis pada paragraph pertama sebuah berita. Ia merupakan unsur yang paling penting dari sebuah berita, yang menentukan apakah isi berita akan dibaca atau tidak. Ia merupakan sari pati sebuah berita, yang melukiskan seluruh berita secara singkat. 4. Body. Atau tubuh berita. Isinya menceritakan peristiwa yang dilaporkan dengan bahasa yang singkat, padat, dan jelas. Dengan demikian body merupakan perkembangan berita.
25
Unsur-Unsur Berita Dalam Berita Harus terdapat unsur-unsur 5W 1H yaitu : 1. What - apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa? 2. Who - siapa yang terlibat di dalamnya? 3. Where - di mana terjadinya peristiwa itu? 4. When - kapan terjadinya? 5. Why - mengapa peristiwa itu terjadi?
E. Perbedaan Berita Faktual dan Berita Non Faktual 1. Berita Faktual a. Kritis Terhadap Fakta Faktual artinya sesuai dengan kenyataan yang ada, atau realevent. (dalam buku Bagaimana meliput dan menulis berita untuk media massa. Ashadi Siregar, dkk:58). Ketika mengumpulan fakta, wartawan pada dasarnya mengandalkan subjektifitas dirinya.sebagai pengamat suatu kejadian, wartawan mengandalkan subjektifitas dirinya untuk memperoleh fakta yang dapat ditangkap secara indrawi. Ketika mewawancarai seseorang, wartawan mengandalkan subjektifitas orang tersebut untuk memperoleh pengalaman, kesaksian, atau pendapatnya. Persoalan
yang
muncul
kemudian
adalah
bagaimana
subjektifitas itu berpengaruh terhadap kebenaran, kopetensi, dan juga konsistensi dari setiap fakta yang diperoleh. Jika subjektifitas itu dipengaruhi oleh adanya kepentingan atau keberpihakan, atau oleh ukuran yang tidak berlaku umum, maka fakta yang diperoleh wartawan mungkin mengalami bias. Fakta yang demikian akan gagal menggambarkan realitas sesungguhnya.
26
b. Informasi : News & Views Informasi adalah pesan, ide, laporan, keterangan, atau pemikiran. Dalam dunia jurnalistik, informasi dimaksud adalah news (berita) dan views (opini). Berita adalah laporan peristiwa yang bernilai jurnalistik atau memiliki nilai berita (news values) aktual, faktual, penting, dan menarik. Berita disebut juga informasi terbaru. Jenis-jenis berita: 1) berita langsung (straight news) 2) berita opini (opinion news) 3) berita investigasi (investigative news) Views adalah pandangan atau pendapat mengenai suatu masalah atau peristiwa. Jenis-jenis informasi ini adalah: kolom, tajukrencana, artikel, surat pembaca, karikatur, pojok, dan esai. Ada juga tulisan yang tidak termasuk berita juga tidak bisa disebut opini, yakni feature, yang merupakan perpaduan antara news dan views. Jenis feature yang paling populer adalah feature tips (how to do it feature), feature biografi, feature catatan perjalanan/petualangan, dan feature human interest. 18
2. Berita Non Faktual Kabar yang dikemas berita non faktual diranah pertelevisian Indonesia adalah sebagai informasi seputar artis, dan mengutamakan fakta privat yang sering dikaitkan dengan kabar burung, kabar angin, rumor dan
18
http://sulfikar.com/dasar-dasar-jurnalistik-1.html (Akses 14 Desember 2010)
27
isu sebagai gossip. Fakta privat dikemas secara terangterangan sehingga merupakan pembeberan rahasia pribadi. Kriteria berita non faktual bisa dilihat dari persyaratan berita, biasanya tidak
memenuhi unsur-unsur berita. Seperti yang sudah
dijelaskan, berita bisa disebut fakta jika memenuhi 5W + 1H jika tidak memenuhi kriteria tersebut maka berita tersebut dinamakan berita non faktual. Dalam jurnalistik yang disebut berita harus mengandung nilai (news value atau news worthy). Berita bisa disebut mempunyai nilai al. jika mengutamakan fakta, mengedepankan kebenaran, menghargai harkat dan martabat manusia, membela yang diabaikan, seimbang, dan lain-lain. Jika sudah memenuhi unsur-unsur layak berita dan kelengkapan berita maka berita tersebut bisa menjadi agent of change. 19
F. Pengertian Infotainment Infotainment, kata infotainment berasal dari dua kata yaitu information dan entertainment yang berarti hiburan, namun infotainment bukanlah berita hiburan. Infotainment adalah berita yang menyajikan informasi mengenai kehidupan orang-orang yang dikenal masyarakat (celebrity), dan karena sebagian besar dari mereka bekerja pada industri hiburan seperti pemain film/ sinetron, penyanyi dan sebagainya maka berita mengenai mereka disebut juga dengan infotainment. Infotainment adalah salah satu bentuk berita keras karena memuat informasi yang harus segera ditayangkan. Program berita reguler terkadang menampilkan berita mengenai 19
http://www.scribd.com/doc/34518749/Menyoal-Nilai-Beita-Infotainment (Akses 14 Desember 2010)
28
kehidupan selebritis yang biasanya disajikan pada segmen akhir suatu program berita. Namun dewasa ini infotainment disajikan dalam program berita sendiri yang terpisah dan khusus menampilkan berita-berita mengenai kehidupan selebritis.20 Mimetisme Infotainment & Etika Komunikasinya Mimetisme dalam buku Haryatmoko tentang etika komunikasi adalah “Gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya seperti sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian, karena media lain menganggapnya penting.4 Ikut-ikutan semacam ini pada akhirnya akan sampai pada keyakinan bahwa semakin banyak media memberitakan akan suatu hal secara kolektif maka dianggap hal itu penting. Sementara media membiarkan diri
untuk selalu membangkitkan keingintahuan pemirsanya
dengan
menawarkan untuk memberikan informasi secara lebih. Infotainment merupakan salah satu dari sekian banyak program di televisi yang mengundang perdebatan. Namun demikian program ini masih semarak di stasiun-stasiun televisi hingga saat ini. Program televisi yang satu ini menggabungkan konsep informasi dengan entertainment (informasi dan hiburan) dalam konsep acaranya. Program infotainment termasuk jenis program yang berkembang dengan cepat dan dari aspek biaya produksi, acara ini relatif termasuk yang termudah dan termurah. Program ini tidak terlalu membutuhkan polesan dalam penyampaiannya. Tidak terlalu membutuhkan banyak property atau kecanggihan teknologi tertentu dalam pembuatannya.
20 4
Morissan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, (Jakarta,)h. 27 Haryatmoko, Etika Komunikasi, (Yogyakarta, Kanisius, 2007), h. 22
29
Karena konsepnya yang sangat natural, dengan asumsi semakin polos cara penyampaiannya maka akan semakin dahsyat efek komunikasinya. Beberapa infotainment cenderung mengetengahkan gaya bahasa presenternya yang cukup bombastis dan provokatif, meski dengan penguasaan bahasanya yang pas-pasan. Penampilan yang seronok dan dandanan pakaian yang kurang sopan dalam tayangan infotainment kerap dianggap membuat risih dilihat dari tataran etika atau dianggap dapat meracuni publik. Kehadiran infotainment di televisi sedang mendapat gugatan dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat awam, tokoh masyarakat, LSM, dan bahkan dari kalangan jurnalistik itu sendiri. Ada yang mempertanyakan keabsahannya sebagai kegiatan jurnlistik, dan ada pula yang mempersoalkan konten tayangan yang dianggapnya telah kebablasan. Pengertian infotainment tersebut adalah: Infotainment berasal dari dua kata yaitu information dan entertainment yang dianggap sebagai informasi yang berisi kabar, kabar burung (tidak ada pada faktanya), dan kabar angin (tidak jelas sumbernya) seputar dunia hiburan. Kabar seputar dunia hiburan ini dianggap sebagai informasi yang kemudian dikaitkan dengan berita. Memang, stasiun televisi menyiarkan berita dalam berbagai bentuk, seperti berita langsung (hard news), reportase, dan lain sebagainya. Sehingga ada kesan infotainment juga sebagai berita. Bandingkan
dengan
informasi
dalam
infotainment
lebih
mengutamakan fakta privat yang tidak terkait dengan kepentingan publik. Informasinya lebih menonjolkan kabar burung dan kabar angin maka
30
informasi yang ada di infotainment tidak mempunyai nilai sebagai berita jurnalistik. Kabar dalam infotainment dirancang agar memenuhi kritetia berita jurnalistik yaitu dilengkapi dengan 5W + 1H, dengan check dan recheck serta cover both side yang lebih mirip sebagai klarifikasi. Akan tetapi meski informasi atau fakta sudah memenuhi 5W + 1H itu baru sebatas berita. Sedangkan informasi atau fakta yang dikemas sebagai berita jurnalistik selain ada 5W + 1H harus mengandung unsur-unsur layak berita. Fakta privat bisa menjadi berita jurnalistik jika dibawa ke ranah publik atau terkait dengan masalah publik dan hukum. Misalnya, informasi seputar video porno mirip artis sudah menjadi fakta publik karena menyangkut (pelanggaran) hukum. Maka, tidak ada alasan untuk menyalahkan media massa dalam pemberitaan video mesum itu selama berpijak pada fakta publik (penyidikan polisi), fakta empiris (data), dan fakta opini. (Pendapat yang relevan dari berbagai kalangan).22 Belakangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebut infotainment sebagai berita nonfaktual. Ini membingungkan karena informasi yang dimekas infotainment juga fakta. Semua kabar yang disiarkan infotainment adalah fakta. Persoalannya adalah infotainment menyasar fakta privat. Padahal, jurnalistik mengedepankan fakta publik dan fakta empiris. Rencana menyensor materi inforainment oleh lembaga atau badan semacam LSF (Lembaga Sensor Film) tidak akan berguna karena sensor yang dijalankan lebih condong ke arah materi yang terkait dengan (adegan) seks. 22
http://www.unisba.ac.id/index.php/en/Artikel/qinfotainmentq.aspx Desember 2010)
(Akses
23
31
Sedangkan yang dipersoalkan dalam tayangan infotainment adalah masalah pribadi yang dijadikan sebagai materi dalam cengkeraman gossip. Dikalangan pertelevisian internasional juga dikenal infotainment sebagai pembeberan fakta seputar film dan musik beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bisa juga berupa resensi film atau musik. Yang ditampilkan adalah kabar tentang film dan tokoh yang terkait dengan film tersebut. Sudah saatnya kita mengubah paradigma dalam menghadapi siaran televisi dengan mendorong masyarakat untuk memilih acara televisi melalui pendidikan media. Masyarakat didorong agar bisa memilih siaran televisi dengan muatan asas manfaat.23 Oleh karena itu kecepatan memperoleh berita belum cukup untuk menjamin posisi keberlangsungan suatu media. Agar tidak ditinggal oleh konsumen, maka media harus selalu mampu merpertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik. Tuntan ini menyeret masuk kecendrungan menampilkan yang spektakuler dan sensasional. Penampilan seperti itu isinya biasanya cendrung superfisial. Karena ingin menyentuh banyak orang dan tidak merugikan, maka dicari yang menyenangkan semua, lalu yang ditampilkan mirip dengan acara serba-serbi.24 Jika demikian apa yang telah di sampaikan dalam buku Dr. Haryatmoko seperti itu, maka infotainment bisa dikategorikan sebagai kepentingan
komersial
(memperoleh
kepentingan
semata),
bukanlah
kepentingan nilai berita dan objektifitas berita 23
http://www.swarakita manado.com/index.php/berita/berita-utama/14671-menyoal-nilaiberita-infotainment.html. Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado. (Akses 27 Desember 2010) 24 Haryatmoko, Etika Komunikasi (Yogyakarta, PT. Kanisius, 2007), h. 10.
32
G. Kode Etik Jurnalistik Jurnalisme merupakan sebuah pekerjaan yang menuntut seseorang untuk berikap teliti, berimbang, objektif, dan akurat. Sebab hasil dari setiap pekerjaan jurnalisme selalu harus bisa dipertanggunjawabkan kepada publik secara menyeluruh. Seperti disebutkan pada sembilan elemen jurnalisme pada elemen yang pertama, bahwa kewajiban jurnalisme pada kebenaran, dalam jurnalisme sendiri lebih dimaksudkan kebenaran fungsional. Bukanlah kebenaran yang sering dicari oleh orang filsafat. Kebenaran fungsional adalah kebenaran yang senantiasa terus untuk dicari. Jurnalisme melaporkan materi “kebenaran” apa yang dapat dipercaya dan dimanfaatkan masyarakat saat ini. Berbekal kebenaran tersebut, masyarakat belajar dan berpikir mengenai segala sesuatu
yang
terjadi
di
sekitarnya.
Dengan
demikian,
jurnalisme
menyampaikan kebenaran tentang fakta-fakta yang ditemukan saat itu. Faktafakta itu tentunya dilaporkan secara akurat dan jujur. Untuk menegakkan martabat, intergeritas dan mutu jurnalis televisi Indonesia, serta bertumpu kepada kepercayaan masyarakat, dengan ini Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI), menetapkan Kode Etik Jurnalis, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh Televisi Indonesia. Jurnalis televisi Indonesia mengumpulkan dan menyajikan berita yang benar dan menarik minat masyarakat serta jujur dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan dan ketentuan seperti dibawah ini:
33
BAB I. KETENTUAN UMUM Pasal 1 Kode Etik Jurnalis Televisi adalah penuntun perilaku jurnalis televisi dalam melaksanakan profesinya. BAB II. KEPRIBADIAN Pasal 2 Jurnalis televisi Indonesia adalah pribadi yang mandiri dan bebas dari benturan kepentingan, baik yang nyata maupun terselubung. Pasal 3 Jurnalis televisi Indonesia menyajikan berita secara akurat, jujur, dan berimbang, dengan mempertimbangkan hati nurani. Pasal 4 Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan dengan profesinya. BAB III. CARA PEMBERITAAN Pasal 5 Dalam menayangkan sumber dan bahan berita secara akurat, jujur dan berimbang, jurnalis Televisi Indonesia: 1. Selalu mengevakuasi informasi semata-mata berdasarkan kelayakan berita, menolak sensasi, berita menyesatkan, memutarbalikkan fakta, fitnah, cabul, dan sadis. 2. Tidak menayangkan materi gambar maupun suara yang menyesatkan pemirsa. 3. Tidak merekayasa peristiwa, gambar maupun suara untuk dijadikan berita.
34
4. Menghindari berita yang memungkinkan benturan yang berkaitan dengan masalah SARA. 5. Menyatakan secara jelas berita-berita yang bersifat fakta, analisis, komentar, dan opini.
BAB III TINJAUAN UMUM PROFIL KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI)
A. Sejarah berdirinya KPI Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. Wewenang dan lingkup tugas Komisi Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Saat ini Komisi Penyiaran Indonesia diketuai oleh Sasa Djuarsa Sendjaja. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang lahir atas amanat Undangundang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
35
36
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI Pusat dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri atas staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3. Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut organisasi KPI dibagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang kelembagaan, perizinan, dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menangani persoalan hubungan antar kelembagaan KPI, koordinasi KPI Daerah serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. Sedangkan bidang pengawasan isi siaran menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media. Mekanisme pembentukan KPI dan rekrutmen anggota yang diatur oleh Undang-undang nomor 32 tahun 2002 akan menjamin bahwa pengaturan sistem penyiaran di Indonesia akan dikelola secara partisipatif, transparan, akuntabel.1
1
http://www.kpi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1799%3 Amozaik-kelembagaan-kpi-&catid=29%3Apublikasi&lang=id (Akses 28 Desember 2010)
37
B. Latar Belakang KPI Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Berbeda
dengan
semangat
dalam
Undang-undang
penyiaran
sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk sematamata bagi kepentingan pemerintah. Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya informasi yang beragam bagi
38
publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia. Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan. Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia, dimana pada intinya adalah semangat untuk melindungi hak masyarakat secara lebih merata. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen yang dimaksudkan adalah untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada masa rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem
39
penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha. Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembagalembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal.
C. Visi dan Misi Komisi Penyiaran Indonesia Visi: Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat masyarakat.
untuk
dimanfaatkan
sebesar-besarnya
bagi
kesejahteraan
40
Misi: Membangun dan memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang. Membantu mewujudkan infrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan teratur, serta arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah, antarwilayah Indonesia, juga antara Indonesia dan dunia internasional. Membangun iklim persaingan usaha di bidang penyiaran yang sehat dan bermartabat. Mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk pembentukan intelektualitas, watak, mora, kemajuan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai dan budaya Indonesia. Menetapkan perencanaan dan pengaturan serta pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas penyiaran.
D. Struktur Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, Komisi Penyiaran Indonesia terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat propinsi. Dan selanjutnya, anggaran untuk program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) masingmasing provinsi.
41
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil (PNS) serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.” Untuk mencapai tujuan tersebut organisasi KPI dibagi menjadi tiga bidang: Bidang
Kelembagaan,
menangani
persoalan
hubungan
antar
kelembagaan KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. 1. Azimah Soebagijjo (Koordinator) 2. Idy muzayyad 3. Judhariksawan Bidang Struktur Penyiaran, bertugas menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. 1. Iswandi Syaputra (Koordinator) 2. Dadang Rahmat Hidayat (Merangkap Ketua KPI Pusat) 3. Mochamad Riyanto
42
Bidang Pengawasan Isi Siaran, menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media. 1. Ezki Tri Widianti (Koordinator) 2. Fetty Fajriati Miftach (Anggota/Merangkap Wakil Ketua KPI Pusat) 3. Nina Muthmainnah (Merangkap Wakil Ketua KPI Pusat) Dengan adanya diatur oleh Undang-undang nomor 32 tahun 2002, mekanisme pembentukan KPI dan rekrutmen anggotanya tentunya dapat menjamin bahwa pengaturan sistem penyiaran di Indonesia akan dikelola secara partisipatif, transparan, akuntabel sehingga menjamin independensi KPI itu sendiri.
E. Tugas dan Kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia Sebagai lembaga independen yang bertugas mengawasi siaran media massa, tentu KPI memiliki tugas dan kewajiban serta wewenang dalam ruang lingkup siaran. Undang-undang dalam (P3SPS) adalah sebagai acuan dan rujukan untuk melaksanakan kewajiban KPI. Demi kelangsungan penegakan hukum mengenai siaran, KPI mempunyai integritas yang kuat untuk mensinerjakan kelayakan siaran, tugas dan kewajiban tersebut adalah: 1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. 2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran. 3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait. 4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang.
43
5. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. 6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Beberapa infotainment cenderung mengetengahkan gaya bahasa presenternya yang cukup bombastis dan provokatif, meski dengan penguasaan bahasanya yang pas-pasan. Penampilan yang seronok dan dandanan pakaian yang kurang sopan dalam tayangan infotainment kerap dianggap membuat risih dilihat dari tataran etika atau dianggap dapat meracuni publik. Oleh karena itu dalam mengawasi KPI hal tersebut KPI berhak mengambil langkah dalam wewenangnya hal ini dijelaskan dalam wewenang KPI.
F. Wewenang Komisi Penyiaran Indonesia 1. Menetapkan standar program siaran 2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI) 3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran. 4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran. 5. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Fungsi, Wewenang dan Kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia Eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU Penyiaran, pasal 8 ayat 1). Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution. Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan semua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya bahwa
44
45
kemerdekaan
masyarakat
menyatakan
pendapat,
menyampaikan,
dan
memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dengan demikian, kemerdekaan atau kebebasan dalam penyiaran harus dijamin oleh negara. KPI mempunyai tugas dan kewajiban: 1. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia 2. ikut membantu dalam pengaturan infrastruktur bidang penyiaran 3. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antara lembaga penyiaran dan industri terikat 4. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang 5. menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran dan 6. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas dibidang penyiaran. Pelanggaran yang dilakukan oleh infotainment Silet juga sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dalam (P3SPS) mengenai Peliputan Bencana Alam: Pasal: 34 Dalam meliput dan/ atau menyiarkan program yang melibatkan pihakpihak yang terkena musibah, lembaga penyiaran wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1) melakukan
peliputan
subyek
yang
tertimpa
musibah
mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya
harus
46
2) tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/ atau keluarga yang berada pada kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan,
mengintimidasi
korban
dan/
atau
keluarganya
untuk
diwawancarai dan/ atau diambil gambarnya dan/ atau 3) menyiarkan gambar korban dan/ atau orang yang sedang dalam kondisi menderita hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayangan
Pengamatan secara umum infotainment Silet jika disandarkan melalui Pedoman Perilaku Penyiaran yang tertera dalam Undang-Undang Tentang Penyiaran tentu program tersebut sangat keluar dari pedoman perilaku penyiaran, disebutkan dalam Pasal 48 ayat (4). Pengamatan secara khusus infotainment Silet, dalam kasusnya KPI mendapatkan aduan-aduan dari masyarakat bencana Merapi dan warga Yogyakarata akibata penyiaran yang dinilai berlebihan. Hal ini di tegaskan dalam Undang-Undang Tentang Penyiaran. Pasal 50: 1) KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran. 2) KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran. 3) KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e. 4) KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab.
47
5) KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terikat.
B. Infotainment sebagai berita faktual yang dipertanyakan nilai beritanya Infotainment merupakan jelmaan dari dua kata yaitu information dan entertainment yang dianggap sebagai informasi yang berisi kabar, misalnya ‘kabar burung’ (tidak ada faktanya), dan ‘kabar angin’ (tidak jelas sumbernya) yang di kemas biasanya seputar dunia hiburan. Kabar seputar dunia hiburan ini dianggap sebagai informasi yang kemudian dikaitkan dengan berita. Memang, stasiun televisi menyiarkan berita dalam berbagai bentuk, seperti berita langsung (hard news), reportase, dan lain-lain. sehingga ada kesan infotainment juga sebagai berita. Anggapan itulah kemudian yang rancu dan membingungkan oleh karena itu penulis akan mengutarakan apakah infotainment temasuk berita faktual atau sebaliknya berita non faktual. Penyiar berita di televisi selalu mengatakan informasi untuk berita. Padahal, informasi tidak otomatis bisa menjadi berita karena informasi atau fakta baru bisa menjadi berita jika memenuhi unsur-unsur layak berita didalam buku Ashadi Siregar, dkk. Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Paket 4 Jurnalistik, yaitu significance (menyangkut kepentingan publik), magnitude (angka), timelines (aktualitas), proximity (kedekatan secara geografis atau psikologis), prominence (ketenaran), dan human interest (manusiawi). Selain itu ada pula kelengkapan berita yaitu 5W (what, who, when, where, why) + 1H (how). 1 1
Ashadi Siregar, dkk. (Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa), Paket 4 Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982.
48
Konten infotainment yang memiliki dampak negatif dan berada di ruang publik saja yang dilarang, termasuk unsur yang terlibat dalam mengekpliotasi berita itu sendiri. Setidaknya ada lima elemen yang dilarang atau diharamkan membuka atau membuat berita aib, gosip dan lain-lainnya. Pertama sumber berita, yaitu orang yang menceritakan aib itu sendiri. Karena sekarang ini banyak orang yang senang mempublikasikan,walaupun itu aibnya sendiri. Ini tidak boleh, kepada satu orang saja tidak boleh, apalagi ke publik atau khalayak. Kedua, yang masuk larangan membuat berita aib dan gosip ini adalah wartawan atau insan infotaimentnya. Ketiga, media penyiarannya. Keempat, masyarakat sebagai konsumen, penonton, pembaca atau sebagai penggunanya. Kelima, pihak yang mengambil keuntungan dari berita gosip seperti Production House (PH), stasiun televisi, penerbit dan lain-lainnya. Lima elemen ini dilarang keras untuk menyiarkan berita berisi aib dan gosip itu, ini yang tidak boleh. Dalam jurnalistik yang disebut berita harus mengandung nilai (news value atau news worthy). Berita bisa disebut mempunyai nilai al. jika mengutamakan fakta, mengedepankan kebenaran, menghargai harkat dan martabat manusia, membela yang diabaikan, seimbang, dan lain-lain. Jika sudah memenuhi unsur-unsur layak berita dan kelengkapan berita maka berita tersebut bisa menjadi agent of change. Bandingkan dengan informasi dalam infotainment lebih mengutamakan fakta privat yang tidak terkait dengan kepentingan publik. Informasinya lebih menonjolkan ‘kabar burung’ dan ‘kabar angin’ maka informasi yang ada di infotainment tidak mempunyai nilai sebagai berita jurnalistik.
49
Pembahasan korelasi antara media (TV) dengan masyarakat umum Indonesia (khalayak) dengan meneropong tayangan infotainment yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia serta peranan pemerintah di dalamnya. Fenomena infotainment dapat dilihat dari beberapa sudut pandang: sosiologi, antropologi, psikologi, komunikasi/jurnalistik, hukum, agama. Dari hasil pengamatan infotainmet merupakan tayangan yang penuh dengan gosip. Namun acara tersebut merupakan tayangan yang memiliki rating tinggi dan sebagian besar dari televisi swasta di Indonesia mempunyai program tayangan tersebut. Tidaklah heran beberapa televisi swasta menjadikan program ini sebagai acara unggulan atau utama di stasiun televisinya. Hal tersebut memberikan beberapa bukti, dimana media merupakan jendela yang memungkinkan kita untuk melihat fenomena yang terjadi melebihi lingkungan di sekitar kita sehingga dapat kita katakana media sebagai pembatas yang menghalangi kebenaran. Dari perspektif komunikasi, acara infotainment yang disiarkan di telivisi swasta kita sangat kompleks. Setidaknya ada dua konteks komunikasi di sini, yakni komunikasi antarpelaku seperti yang dilaporkan oleh infotainment dan komunikasi media massa antara TV dengan khalayaknya. Bila mengamati dengan menggunakan program tayangan infotainment di televisi swasta Indonesia, terlihat masyarakat berperan pasif. Dimana masyarakat mudah terpengaruh oleh media. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan mengamati pengaruh tayangan program yang disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ini. Ini disebabkan tayangan tersebut memenuhi
50
naluri primitive manusia, yakni untuk tertarik pada misteri, drama, konflik, dan sensualitas. Gosip tentang kaum selebritis dalam tayangan infotainment yang di sajikan oleh TV swasta memiliki unsur -unsur diatas, khususnya drama dan konflik. Sehingga masyarakat Indonesia lebih suka menonton infotainment, daripada film. Dari kenyataan yang terjadi dapat terlihat bagaimana peranan media dalam masyarakat Indonesia. Peranan pemerintahan dalam menangani hal ini cenderung tidak terlihat, media khususnya TV swasta tidak pernah memikirkan pengaruh negative dari tayangan tersebut terhadap perilaku masyarakat Indonesia, namun masyarakat Indonesia juga lebih memilih untuk menikmati acara yang berunsurkan drama dan konflik. Hubungan media, khususnya pada pembahasan ini adalah tayangan infotainment dalam TV swasta dengan masyarakat Indonesia berpengaruh dalam kehidupan nyata dari sebagian besar khalayak masyarakat umum Indonesia. Terlihat bagaimana media memegang kendali dalam perilaku masyarakat lewat program tayangan-tayangan yang ditampilkan di televisi. Komunikasi bersifat irreversible, dimana sekali pesan, termasuk penjulukan, disampaikan kepada khalayak pemirsa, maka amat sulit bagi siapapun untuk meniadakan sama sekali efek dari penjulukan yang diberikan oleh media. Ketika seseorang difitnah oleh media, pemberitaan tersebut sulit untuk dihilangkan, walaupun pers atau media memohon maaf atas kesalahan dari pemberitaan mereka. Karena akan ada saja sejumlah pemirsa yang kadang diterpa berita negative tersebut, tanpa mengetahui permohonan maaf dari media atau hal tersebut merupakan kesalahan informasi. 2 2
George Herbert Mead dalam bukunya Mind, Self, and Society (1934).
51
Gosip yang ditayangkan pasti mengandung bias, karena bahasa itu sendiri (termasuk bahasa gambar), merupakan serangkaian pesan yang diciptakan oleh orang -orang yang hidup dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Semua perangkat nilai yang telah mereka cerap, plus kondisi fisiologis dan psikologis mereka yang situasional, turut mempengaruhi perumusan dan penyampaian gosip. Dengan kata lain gosip merupakan rekontruksi dari wartawan (institusi pers) mengenai suatu peristiwa atau pernyataan yang telah lewat. Hal ini akan berdampak pada sebagian besar cara berpikir khalayak. Tidaklah salah ketika kita memandang pemberitaan dari gosip tersebut adalah opini dan tidak obyektif, karena sudah dirancang atau ada batasan-batasan penayangan oleh para wartawan. Dampak yang terjadi pada khalayak adalah memandang seseorang atau sekelompok orang tertentu sesuai dengan pemberitaan, tanpa mengamati lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi. Contohnya ketika media memaparkan keburukan dari seseorang atau kelompok, maka sebagian besar khalayakpun akan mempunyai anggapan yang sama, tanpa mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Seperti kasus yang diangkat dalam meneropong infotainment sebagai salah satu contoh melihat dan mengamati hubungan media massa dengan khalayak. Sebagian besar masyarakat umum berperilaku cenderung sesuai dengan apa yang ditayangkan oleh media massa. Peranan media sebagai interpreter adalah memaknai segala sesuatu atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan seharin-hari, dimana kejadian tersebut penting untuk diberitakan kepada khalayak. Namun setiap media mempunyai interpretasi yang berbedabeda sesuai dengan kepentingan, cara pandang, ideology, dan sebagainya
52
yang digunakan oleh setiap media tertentu. Sedangkan masyarakat umum cenderung terpancing terhadap pemberitaan media massa. Sebagian besar khalayak menjadi pihak yang dirugikan, karena tidak sedikit media massa menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan kepentingannya, tanpa mau berpikir dampak yang akan terjadi di masyarakat. Terkadang media massa telah melupakan salah satu fungsi dari media tersebut. Media ada bukan hanya sekedar untuk memberikan informasi namun harus dapat mendidik dan membimbing khalayak (publik). Infotainment hanyalah salah satu contoh dari sebagian besar program acara TV swasta yang tidak memberikan didikan atau bimbingan yang mendidik. Karena media ketika mengkaji satu isu tertentu harus dapat membedakan pemberitaan antara opini dan fakta. Namun pada kenyataannya sangat sulit untuk memisahkan antara fakta dan interpretasi yang dilakukan oleh wartawan media massa. Sebagian besar masyarakat umum Indonesia kecanduan terhadap media TV sangatlah tinggi dibandingkan media massa lainnya. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa komunikasi harus dapat berpikir kritis; analitis, kreatif, normatif, serta konstruktif dalam mengamati dan menganalisa hubungan media dengan khalayak (masyarakat umum Indonesia) yang sudah tidak sehat lagi. Fungsi media jangan sampai keliru, padahal dalam kelangsungannya media haruslah berperan dalam fungsinya yaitu dapat memberi feedback positif kepada khalayak (public) diantaranya: 1. Fungsi
pengawasan
lingkungan.
(surveillance),
penyediaan
informasi
tentang
53
2. Fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah. 3. Fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan. 4. Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi). Media juga harus memiliki pengaruh yang baik terhadap pemirsanya bukan malah membeberkan mengenai perceraian, perselingkuhan dan lain-lain misalnya, masyarakat dalam hal ini tentu akan lebih respek secara langsung dan dapat meniru apa yang ditayangkan televisi, terkecuali masyarakat yang kritis dalam menentukan tontonannya yang lebih mampu menilai subtansi suatu tayangan bukan hanya apa yang disampaikan kemudian ikut-ikutan. Pengaruh positif media memberikan pesan kepada khalayak: 1. Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang pemirsa lihat dari media. 2. Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mempengaruhi apa yang pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai
54
membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut. 3. Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. 4. Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.
C. Pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia pada kasus Silet di RCTI mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010 Program televisi, baik news, informasi, maupun hiburan seharusnya tidak memuat pemberitaan yang mengandung unsur mistis, sekalipun masyarakat Indonesia kebanyakan masih percaya pada alam metafisika, kepercayaan, animisme, dan dinamisme. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bukan tanpa alasan menghentikan sementara program infotainment Silet di salah satu stasiun televisi swasta. Tayangan informasi, bukan hanya Silet, telah membuat masyrakat di sekitar lereng Gunung Merapi panik akibat pemberitaan di dalamnya. Seperti diketahui, Silet yang tayang pada 7 November 2010 lalu memberitakan pernyataan paranormal Joyo Boyo bahwa bencana letusan
55
Gunung Merapi akan lebih dahsyat. Melanjutkan aduan masyarakat dan LSM, KPI akhirnya memberikan surat teguran kepada program tersebut. Anggota KPI Pusat, Ezki Suyanto, mengatakan tayangan apa pun dilarang menyeret bencana Merapi ke hal-hal mistis karena akan berpengaruh kepada aspek sosiologis masyarakat di lereng Gunung Merapi. Ini kan bencana, kalau terjadi kepanikan kan kasihan masyarakat. Media, dalam kasus Silet, tidak berfungsi memberikan pemahaman kepada masyarakat (khalayak) tentang kondisi yang realistis. Dengan mampu membaca keadaan yang realistis, masyarakat berlatih untuk berpikir logis. Pengemasan program acara semenarik mungkin sebetulnya memang ada di kewenangan tim produksi siaran itu sendiri. Tetapi masalalahnya, cara membumbui konten tersebut yang KPI anggap terlalu berlebihan. Kata berlebihan ini sendiri memunyai makna abstrak, tidak jelas, dan ambiguitas. Absurditas kata tersebutlah yang barangkali bagi KPI akhirnya menjaring program-program bandel. Alangkah bijak jika media turut berempati terhadap pemberitaan yang sangat sensitif dengan memilih narasumber yang kredibel, kapabel, dan berimbang. Sebab, penonton sendiri sangat terganggu dengan pemberitaan tersebut. Bencana alam memosisikan manusia pada level tekanan psikologi yang tinggi. Situasi yang luar biasa itu memicu kepanikan, kekalutan, rasa khawatir, dan rasa takut makin dominan. Faktor inilah salah satu yang menjadi pertimbangangan utama KPI menindak tegas programprogram siaran yang dinilai provokatif. Kendati demikian, KPI tidak berpretensi pada salah satu program tertentu, apalagi yang tengah mengalami
56
kasus pencekalan. Tetapi aturan tersebut berlaku umum sesuai UndangUndang Penyiaran No 32 Tahun 2008. Selain pernyataan Joyo Boyo, dalam siaran Silet waktu itu pembawa acara Fenny Rose tak luput dari kritikan KPI. Fenny Rose dianggap semakin menguatkan ramalan mistis Joyo Boyo dengan mengatakan bahwa Yogyakarta adalah kota malapetaka. Secara psikologis, pernyataan Fenny tersebut memicu pikiran negatif semua masyarakat se-Indonesia. Betapa tidak, seusai pemberitaan itu, KPI mendapat laporan sekitar 550 warga di lereng Gunung Merapi mengungsi dengan sangat panik. Media sedianya perlu banyak introspeksi diri apakah program yang disajikan kepada khalayak sudah baik dan benar. Tujuan besar menciptakan situasi pertahanan dan keamanan yang kondusif adalah kewajiban bersama elemen terkait. Efek Psikologis paling tidak itulah yang tergambar dalam kontroversi tayangan Silet pada 7 November 2010 lalu. Media mampu menggerakkan massa melalui pola pikir ke arah yang mereka rencanakan. Media ikut berperan penting dalam merekonstruksi masyarakat. Sebaiknya para pekerja inftotainment agar mengedepankan data yang digali dari narasumber bernilai faktual, bukan bersifat opini atau rekayasa, maka kehati-hatian saat wawancara mutlak diperlukan. Secara motif psikologi, tiap narasumber memiliki agenda tersembunyi saat berbicara kepada pers. Ada yang karena ingin dipuji, ingin mendapat simpati, ingin menyerang pihak lain, atau ingin menyembunyikan sesuatu. Seharusnya narasumber, dalam hal ini Joyo Boyo memberikan sebuah pernyataan netral. Artinya, apa pun jenis ramalan manusia bersifat unpredictable atau berpeluang fifty-fifty. Sementara
57
pers pada posisi itu bukan malah mengangkat sudut pemberitaan (angle) pada hal-hal yang berbau sensasional. Tapi, mengatakan bahwa maksud dari tayangan tersebut sebagai upaya early warning system. Alam metafisika individu tak dapat dikendalikan, satu-satunya cara adalah memberikan ketenangan kepada mereka. Lantas siapa yang berperan untuk mengambil alih kondisi kepanikan itu? Pemerintah dalam hal ini kementerian yang ditunjukharus bersikap tanggap atas respons ketakutan warga lereng Merapi. Pemerintah kembali menetralisasi keadaan, misalnya, melalui Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, supaya pemberitaan program yang bersangkutan tidak meresahkan masyarakat. Meski dampak pemberitaan kepada masyarakat dalam pola hidup tradisional lebih besar sisi negatif tetapi, ada sisi positifnya. Keuntungan bagi individu yang percaya teologisme ini akan mendorong ia jadi rajin beribadah. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan oleh para pekerja media khususnya infotainment agar lebih berhati-hati dlam pemuatan berita mengenai bencana alam, yang harus dikaji kembali dalam hal ini adalah kembali kepada buku pedoman
perilaku penyiaran (P3) BAB XXIV
mengenai PELIPUTAN BENCANA ALAM, dalam meliput dan/ atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena musibah, lembaga penyiaran wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. melakukan
peliputan
subyek
yang
tertimpa
musibah
mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya;
harus
58
b. tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/ atau keluarga yang berada pada kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi korban dan/ atau keluarganya untuk diwawancarai dan/ atau diambil gambarnya; dan/ atau c. menyiarkan gambar korban dan/ atau orang yang sedang dalam kondisi menderita hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayangan;
Komisi Penyiaran Indonesia telah melaksanakan tugas dengan sebenar-benarnya dalam mengawasi tayangan infotainment khususnya pada Silet di RCTI. Contoh kasus
tayangan
yang disiarkan pada tanggal 7
November 2010 tersebut yaitu tentang bencana alam meletusnya gunung merpai oleh infotaiment Silet, berita bencana akibat letusan Merapi diarahkan kesisi mistis dengan mewawancarai paranormal yang bernama Joyo Boyo. Prediksi-prediksi tentang kondisi Merapi yang berlebihanpun diuraikan olehnya, lebih lagi hal ini diungkapkan kembali oleh Feni Rose yang membacakan narasi sebagai berikut: Puncak letusan Merapi kabarnya akan terjadi hari ini (Minggu) hingga esok hari pada bulan baru yang jatuh pada tanggal 8 November 2010, ahli lapan selalu mencatat hampir semua letusan dan guncangan gempa muncul pada bulan baru. Lantas apa yang akan terjadi dengan Yogyakarta, kota budaya yang elok akan tergolek lemah tak berdaya? Benarkah Jogja yang dalam banyak lagu digambarkan begitu indah akan berubah penuh malapetaka?. Akibatnya, Dadang rahmat Hidayat selaku ketua Komisi Penyiaran Indonesia menjelaskan, dalam penayangan tersebut KPI menerima
59
1.128 keluhan dalam kurun waktu dua hari semenjak acara ditayangkan, karena mayoritas masyarakat setempat sangat yakin dengan apa yang diucapkan oleh Joyo Boyo adahal benar, dan ini merupakan kejawen orang jawa setempat percaya dengan sesepuh. Bahkan, lantaran isi tayangan Silet itu 550 orang berpindah dari Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, ke Nanggulan. Kesalahan utama, menyampaikan informasi yang tampaknya tak benar dan ada dampak ketakutan di masyarakat Yogyakarta. Dalam perkara ini tentu KPI menyikapi tayangan infotainment Silet yang dinilai provokatif dan berlebiahan, KPI menindak tayangan infotainment Silet melalui prosedural yang tertera dalam undang-undang penyiaran (P3SPS) yaitu dengan menghentikan sementara tayangan infotainment Silet, serta melalui tahapan-tahapan hukum siaran sesuai apa yang telah dilanggar oleh infotainment Silet. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. KPI telah mengeluarkan surat teguran kepada infotainmet Silet, bahwa Silet harus memohon permintaan maaf
kepada masyarakat sekitar
bencana merapi yang di tayangkan pada siaran iklan di RCTI, namun hal tersebut diabaikan oleh infotainment Silet, akan tetapi program infotainment Silet yang dilarang tayang untuk sementara waktu oleh KPI pada senin 15 November 2010 telah tayang kembali. Dalam hal ini KPI tentu merasa tidak dihargai oleh pihak infotainment Silet atas sanksi yang telah diberikan, maka KPI menindak lanjutinya. 2. Karena hal pertama tidak dilaksanakan Silet, maka izin siarannya dicabut oleh KPI berupa penghentian sementara siaran, sampai dicabutnya status bahaya menjadi status aman dari Badan Geologi Bencana Merapi.
60
3. Pihak tergugat tidak boleh membuat acara dengan format yanag sama atau sejenis selama penghentian sementara. Maka Silet mengganti program acara menjadi Intens. Apabila ketentuan kedua dan ketiga tidak dipenuhi oleh pihak tergugat (infotainment Silet) maka KPI akan langsung menindak lanjuti izin siaran tayangan infotainment Silet untuk ditutup sepenunhnya. Sampai akhirnya Silet memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh KPI untuk menghentikan sementara siarannya selama
kurang lebih tiga
setengah bulan. Pada tanggal 25 Februari 2011 Silet dapat kembali hadir di televisi setiap hari pukul 17.30 tetapi hanya berdurasi 30 mentit saja karena telah mendapatkan izin siaran dan Silet telah mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga Independen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kekhasan Silet juga terlihat dari mottonya yaitu Mengangkat hal yang dianggap tabu menjadi layak dan pantas untuk diperbincangkan”. Bahkan presenter utamaSilet yaitu Fenny Rose berhasil tiga kali menjadi presenter infotainment favorit dalam ajang penghargaan Panasonic Award di Indoensia serta yang terbaru penghargaan yang diterima yaitu terpilihnya kembali Fenny Rose menjadi presenter infotainment terfavorit dalam ajang yang sama pada tahun 2007. Kemunculan infotainment Silet dilayar kaca RCTI sebagai pelopor tayangan infotainment yang berbau investigasi ikut menambah deretan jenis hiburan di televisi. Sebagai pelopor tayangani infotainment investigasi Silet sudah mendapat kepercayaan dari khalayak ini terbukti dengan terpilihnya
61
infotainment Silet sebagai tayangan infotainment terbaik tahun 2007 mengalahkan acara infotainment lainnya. Karena itu infotainment Silet juga turut andil dengan bermunculannya acara infotainmnet yang memiliki format sama dengan tayangan Silet tersebut. Infotaiment boleh saja berada dalam kebebasan pers atau pers bebas, akan tetapi kebebasan tersebut harus ada batasan berupa kode etik dan nilai-nilai moral yang sesuai dengan kelayakan uji siaran.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pengertian Infotainment dan realitas tayangannya Infotainment adalah suatu program tayangan yang bersisikan information and entertainment. di Indonesia infotainment adalah salah satu acara yang sangat digemari oleh pemirsa khususnya kaum wanita dan lebih kesisi kaum ibu, karena didalamnya dikemas tentang kabar burung atau gonjang-ganjing kehidupan selebritis (gosip). asumsi dasar peneleti adalah untuk mencerahkan pembaca agar lebih kritis dalam mengkonsumsi suatu tayangan yang ada di televisi khususnya dalam tayangan infotainment. Ide dasar konsep infotainment berawal dari asumsi informasi karena dibutuhkan oleh masyarakat atau publik namun tidak dapat diterima begitu saja, apalagi untuk kepentingan merubah sikap negatif menjadi sikap positif manusia. Karena itu diperlukan semacam pancingan khusus untuk mengambil perhatian masyarakat. Pilihannya adalah dengan menyusupkan entertainment (hiburan) yang dapat menarik perhatian masyarakat
ditengah-tengah
information
(informasi).
dari
sinilah
kemudian muncul istilah infotainment, yaitu kemasan suatu acara yang bersifat informatif namun disisipi dengan entertainment untuk menarik perhatian khalayak sehingga informasi sebagai pesan utamanya dapat diterima sehingga infotainment dalam segi narasi juga bias berbentuk pemberitaan yang bersifat provokatif sperti infitainment Silet dalam
62
63
pemberitaan 7 November 2010 lalu mengenai pemberitaan bencana gunung Merapi. 2. Perbedaan Berita dan Infotainment Berita Berita adalah sutu informasi yang yang faktual atau realevent ketika mengumpulkan bahan untuk pemutan berita, didalamnya harus berisikan unsur-unsur berita diantaranya: a. What-Apa yang terjadi didalam suatu peristiwa? b. Who-Siapa yang terlibat didalamnya c. Where-Dimana terjadinya peristiwa itu? d. When-Kapan terjadinya peristiwa itu? e. Why-Mengapa peristiwa itu terjadi? Suatu informasi dan peristiwa juga dapat dinyatakan berita jika didalamnya terdapat nilai News, News adalah suatu informasi yang baru saja terjadi atau masih hangat dan menarik untuk disajikan kepada khalayak. Suatu berita juga harus memiliki nilai faktual artinya sesuai fakta dan tidak berebihan, subtansi isi berita harus mengarah kepada objektifitas dan tidak provokatif. Infotainment Infotainment mempunyai nilai News artinya peliputan yang diambil masih hangat untuk diperbincangkan atau informasi dan peristiwa yang baru terjadi, akan tetapi terkadang infotainment tidak mementingkan nilai
64
faktual atau sesuai fakta, tidak heran jika dalam penayangannya banyak pihak yang merasa dirugikan. Infotainment bersifat provokatif karena kebanyakan tayangan yang disiarkan mengarah kepada perselisihan, perselingkuhan khususnya dalam dunia selebritis. Jika dilihat dari konten berita memang infotainment didalamnya terdapat nilai News artinya sesuatu yang baru, atau baru terjadi. Bila kita merujuk pada latarbelakang historis munculnya konsep infotainment dan edutainment sebagai pembandingnya, maka seharusnya acara infotainment yang ditayangkan disejumlah televisi Indonesia bermakna informasi. Informasi sebagai inti acara yang disampaikan kepada publik dengan menggunakan metode dengan cara menghibur. Realitas yang ada di Indonesia dalam hal ini adalah makna infotainment yang terjadi dalam industri televisi Indonesia adalah informasi tentang hiburan, yang mana sisi hiburannya dijadikan subtansi untuk disampaikan kepada masyarakat. Apakah ini penting informasi hiburan yang ada disuatu tayangan berita untuk kita konsumsi, kalau ingin hiburan lebih baik mengganti channel dan beralih kepada tayangan pelawak, ini sebagai kritik penulis. 3. Fungsi dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi tayangan Silet di RCTI pada pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010. Jika melihat pada Pasal 8 (1) KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepantingan masyarakat akan penyiaran. Hal tersebut sudah dijalankan dengan sebenar-
65
benarnya oleh KPI pada kasus infotainment Silet di RCTI pada pemberitaan bencana gunung Merapi 7 November 2010 dengan memberikan teguran, surat pencekalan dengan memberhentikan tayangan Silet untuk sementara waktu. Oleh karena itu penulis mengajak kepada pembaca sebagai mahasiswa komunikasi khususnya semoga skripsi ini dapat menjadi arahan dalam menyikapi dilematis dan etis dalam suatu tayangan khusunya dalam tayangan infotainment, peneliti juga telah mengangkat suatu permasalahan yang terjadi diranah siaran infotainment dengan mengambil salah satu contoh kasus yang disiarkan oleh infotainment Silet di RCTI pada 7 November 2010 dengan pemberitaan yang berlebihan dan bersifat provokatif sehingga menimbulkan kegelisahan di masyarakat, dengan melibatkan Lembaga Independen Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi tayangan infotainment yang lebih dikhususkan kepada infotainment Silet. kenyataan dilapangan bahwa infotainment hanya menggambarkan dan mengambil nilai informasi sesuatu yang baru dan dianggap penting lalu dibesar-besarkan kepada publik sehingga kita seakan dijejali konsumsi informasi yang penting untuk diterima. Akhirnya peneliti berharap kepada pembaca sekali lagi untuk lebih kritis dan jeli dalam menerima suatu tayangan dan untuk para orang tua, guru, dosen mereka juga sebagai penentu dalam mengawasi generasi penerus bangsa.Amat sangat disayangkan kalau nilai-nilai berita yang utuh untuk informasi agen sosialisasi masyarakat dan pemerintah sekarang
66
sedikit-demi sedikit dekesampingkan nilai berita dan dikemas menjadi informasi hiburan. Para ahli komunikasi dan media menyebut infotainment sebagai soft journalism, jenis jurnalisme yang menawarkan berita-berita sensasional, lebih personal, dengan selebriti sebagai perhatian liputan.
B. Saran 1. Hendaknya kepada lembaga Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga Independen mempertahankan kerja yang baiknya untuk menjadi lebih baik dalam menngawasi infotainment khususnya, dan segala jenis siaran pada umumnya. Penulis sangat mendukung dalam agenda rapat yang dibuka antara DPR dan fraksi terkait masalah penyiaran untuk menambahkan wewenang yang ada pada Komisi Penyiaran Indonesia hal tersebut tentu sebagai acuan yang kuat untuk mengkritisi permasalah penyiaran dan membuat efek jera kepada indutri siaran sehingga dapat meminimalisir kerusakan dalam penyiaran. 2. Untuk lembaga terkait mengenai penyiaran seperti Dewan Pers, Lembaga Sensor Film (LSF) dan lain sebagainya. Penulis berharap agar likut serta dan berperan lebih, saling membantu dengan hubungan yang erat kepada Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi dan memegang teguh serta menjunjung tinggi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
67
3. Khusus mengenai infotainment Komisi Penyiaran Indonesia hendaknya lebih ekstra tegas lagi dalam mengawasi tayangan infotainment, karena penulis merasa ada beberapa hal yang dianggap remeh dan sepele untuk industri infotainment, dari kasus Silet misalnya terkait pemberitaan bencana Merapi 7 November 2010. Pertama, KPI telah meminta Silet untuk meminta maaf kepada masyarakat sekitar bencana, dan hal tersebut dihiraukan. Kedua, Silet kembali tayang sebelum waktu yang telah ditetapkan oleh KPI, seakan-akan tidak ada masalah baginya untuk siaran.
DAFTAR PUSTAKA Buku Burhan, Bungin, “Imaji Media Massa,; Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik,” Yogyakarta: Jendela, 2001. Djuroto, Totok. ”Manajemen Penerbitan Pers,” Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Faturrohman, Pupuh, dan M Sobry Sutikono. Strategi belajar mengajar melalui penanaman, Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama, 2007. George Herbert Mead dalam bukunya Mind, Self, and Society 1934. Haryatmoko, Etika Komunikasi, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007 ___________, Etika Komunikasi, Dilematis dan Etis program Televisi PT. Kanisius, 2007. ___________, Etika Komunikasi Mimetisme Infotainment Televisi PT. Kanisius, 2007 ___________, Etika Komunikasi Infotainment atau jamaah gosip PT. Kanisius, 2007. Ignacio Ramonet, Infotainment dan Logika Bisnis Media 2001. Katz, Elihu and Paul F. Lazarsfeld,“Between Media and Mass/the Part Played by People/the Two-Step Flow of Communication” in Boyd-Barret, Oliver and Chris Newbold (eds.) Approaches to Media a Reader, London: Arnold Press, 1995. Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1993. Lexy J. Moeleong, "Metode Penelitian Kualitatif," PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007. M. Echos, John and Hassan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakrta: Gramedia. Mason, N. Gross, W. S., and A. W. Mc eachern. Explorations in Role Analysis, dalam David Barry, pokok-pokok Pikiran dalam sosiologi Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995 Mc Quail, Denis and Sven Windahl, “Communication Models for the Study of Mass Communications,” Singapore: The Print House, 1984. _______, Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publication, 200
68
69
Morissan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Jakarta _______, Teori Komunikasi Massa, Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2010 Pupuh Faturrohman, dan M Sobry Sutikono. Strategi belajar mengajar melalui penanaman, Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama, 2007. Rakmad Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 2005. Cet ke 12, h 83. S. Sadiman, Arief, dkk. Media pendidikan, pengertian, pembangunan, dan pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Sarlito Wirawan Sarwono, Teori Psikologi Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori Psikologi Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 003 Siregar, Ashadi, dkk. Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Paket 4 Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982. Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1993 WJS, Poerwadarminta, , Kamus Modern, Jakarta: Jembatan, 1976
Website http://bataviase.co.id/node/451458 (Akses 25 November 2010). http://itjen-depdagri.go.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=25 (Akses 27 November 2010) http://pendidikanmanusia.blogspot.com/2008/08/analisis-media-massa.html (Akses 3 Desember 2010) http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi (Akses 5 Desember 2010) http://kries07.blogspot.com/2009/02/pengertian-berita.html (Akses 5 November 2010) http://sulfikar.com/dasar-dasar-jurnalistik-1.html (Akses 14 Desember 2010) http://www.scribd.com/doc/34518749/Menyoal-Nilai-Beita-Infotainment (Akses 14 Desember
70
http://www.unisba.ac.id/index.php/en/Artikel/qinfotainmentq.aspx Desember 2010)
(Akses
23
http://www.swarakita manado.com/index.php/berita/berita-utama/14671-menyoalnilai-berita-infotainment.html. Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado. (Akses 27 Desember 2010) http://www.kpi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1799%3 Amozaik-kelembagaan-kpi-&catid=29%3Apublikasi&lang=id (Akses 28 Desember 2010) http://itjen-depdagri.go.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=25 (Akses 27 Maret 2011) http://sambasalim.com/manajemen/konsep-pengawasan.html (Akses 30 Maret 2011) file:///J:/konsep-pengawasan.html (Akses 02 April 2011)
Tangerang, 14 Februari 2011 Wawancara Penelitian Skripsi Dalam menyelesaikan skripsi ini, dengan judul “Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dalam Mengawasi Pemberitaan, Studi Kasus Tayangan Infotainment Silet di RCTI”. Penulis menggunakan metode deskriptif analisis berupa wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen untuk mendapatkan datadata yang digunakan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan penyelesaian masalah. Untuk itu peneliti berharap kepada lembaga Independen Komisi Penyiaran Indonesia agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Mohon penjelasan mengenai sejarah berdirinya lembaga Independen Komisi Penyiaran Indonesia? 2. Mohon penjelasan mengenai Visi dan Misi Komisi Penyiaran Indonesia? 3. Mohon penjelasan mengenai tugas dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi siaran televisi? 4. Bagaimana batasan dan ketentuan yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi siaran televisi? 5. Bagaimana wewenang dan aturan Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi siaran televisi? 6. Tindakan apa yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia jika ada tayangan infotainment menayangkan pemberitaan yang masih mendugaduga (tidak sesuai fakta)? 7. Mohon penjelasan perbedaan berita dan infotainment? 8. Apakah infotainment termasuk berita faktual? 9. Bagaimana KPI menyikapi infotainment Silet pada kasus 7 November 2010 dalam pemberitaan bencana merapi yang berlebihan? 10. Bagaimana kerjasama antara KPI dengan lembaga lainnya seperti Lembaga Sensor Film (LSF) dan Dewan Pers dalam mengawasi penyiaran lebih khuhus terhadap infotainment? 11. Mengenai Kasus Silet sebagai pertimbangan dan kebijakan Silet tergugat karena melanggar pasal? 12. Apakah Silet melanggar karena dalam tayangan 7 November 2010 tidak sesuai dengan Pedoman Standar Siaran (P3SPS)? 13. Bagaimana tahapan-tahapan atau metode KPI dalam menyikapi kasus Silet? Demikian outline wawancara yang dapat peneliti sampaikan. Atas perhatian dan kerjasama yang baik kami ucapkan terima kasih.
Achmad Syofian Hady
Syofian:
Mohon penjelasan ibu mengenai sejarah berdirinya KPI?
Bu Nina:
Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. Wewenang dan lingkup tugas Komisi Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas.
untuk
lebih jelasnya anda bisa membuka internet dengan kata kunci mozaik kelembagaan KPI. Syofian:
Mohon penjelasan ibu mengenai Tugas dan Kewajiban KPI?
Bu Nina:
Baik, sebagai lembaga independen KPI yang bertugas mengawasi siaran media massa, tentu KPI memiliki tugas dan kewajiban serta wewenang dalam ruang lingkup siaran diantaranya: 1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. 2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran. 3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait. 4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang
Syofian:
Bagaimana KPI menyikapi tayangan infotainment Silet di RCTI dalam pemberitaan bencana Merapi?
Bu Nina:
ya, KPI menerapkan sanksi yang sesuai dalam buku SPS dalam pasal 67:2 mengenai sanksi berupa teguran tertulis, penghentian sementara untuk tayangan yang bermasalah, pembatasan durasi, bisa merupakan denda administratif. Nah, untuk kasus Silet adalah dia melakukan pelanggaran pada tanggal 7 November dengan mengatakan bahwa akan ada bencana yang lebih besar menimpa Yogya, Merapi dengan letusan yang hebat berdasarkan ramalan Joyo Boyo dan orang jawa mengatakan bahwa ramalan Joyo Boyo
itu benar dan akan terbukti, hal ini tentu membuat kepanikan warga sekitar bencana dan KPI mendapatkan surat aduan sebanyak 1.128. Maka KPI menindaknya dengan ketentuan yang empat tadi, salah satunya menghentikan sementara
dengan tidak menayangkan
program acara dan format acara sejenis. Syofian:
Apakan Silet Dengan Intens sama dalam hal penayangan?
Bu Nina:
Kalau dilihat dalam tayangannya Silet jauh lebih provokatif dari segi narasi dibandingkan dengan Intens, housenya juga berbeda
Syofian:
Apakah ini kebijakan KPI setelah menghentikan sementara kemudian Silet mengganti program yang baru seperti Intens?
Bu Nina:
Anda menilai sama, KPI sejauh ini masih menganalisanya, artinya sanksi yang dilakukan oleh Silet itu yang pertama KPI menghentikan sementara dan dia hentikan dan pada tanggal 15 Silet sempat tayang lagi dan dia diminta untuk meminta maaf di iklan RCTI, dan meminta maaf disuratkabar Nasional dan daerah Yogya, yang keempat tidak membuat acara sejenis dan format acara sejenis rasanya yang dia penuhi hanya yang keempat ini yang pertama dia penuhi sebagian dia langgar.
Bu Nina:
Pada Silet KPI langsung menghentikan sementara karena dalam tayanganya ada kesalahan seperti ada gambar darah berceceran yang ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat
Syofian:
Bagaimana menurut ibu mengenai fungsi televisi?
Bu Nina:
Televisi merupakan media yang punya fungsi informasi, hiburan, punya
fungsi
pendidikan
dan
kontroversial,
tetapi
dalam
pengamatan kami itu apa boleh buat dari fungsi itu televisi itu lebih banyak melaksanakan fungsi hiburannya. Apakah mayarakat butuh hiburannya? ya jawabannya dengan demikian apakah masyarakat harus dijejali hiburan, “tidak”. Nah, sayangngnya televisi kita yang berkembang
menjadi
provide
melaksanakan fungsi hiburannya
orientide
ini
lebih
banyak
ini yang menyebabkan acara
televisi seperti itu, kita mengerti keinginan televisi adalah cara untung apalagi industri televisi yang padat modal fine tetapi dia tidak boleh meninggalkan fungsi-fungsi lainnya pendidikan, control sosial itu yang sangat minim dia lakukan.
Syofian:
Mohon penjelasan mengenai berita dan infotainment?
Bu Nina:
Ok gini, sebenarnya berita itu dalam buku P3SPS ini infotainment masuk dalam program faktual, Syofian klo kamu baca didepan di P3 ada ketentuan umum pasal 1 ada yang disebut program faktual adalah program siaran yang menyajikan fakta non fiksi seperti berita, feature, dokumentasi, infotainment. Jadi baca di kententuan umum penyiaran di pasal 1:10 itu ada infotainment masuk disitu. Jadi dengan demikian infotainment masuk dalam kategori program faktual akan tetapi dia harus memenuhi semua standart program faktual apa itu karya jurnalistik karena itu untuk infotainment diberlakukan juga SPS pasal 42 misalnya yang menyebutkan: Bahwa 1) program siaran pemberitaan wajib memperhatikan prinsipprinsip jurnalistik: a. tunduk kepada peraturan perundang-undangan dan pedoman pada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers. b. akurat, adil, berimbang,tidak berpihak, tidak beritikad buruk,
tidak
menghasut
dan
menyesatkan,
tidak
mencampurkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan, serta tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul; dan c. melakukan ralat atas informasi yang tidak akurat 2) Program siaran pemberitaan yang bersifat informatif tentang rekonstruksi suatu peristiwa wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. menyertakan penjelasan yang eksplisit bahwa apa yang disajikan tersebut adalah hasil rekonstruksi dengan menampilkan
kata
“rekonstruksi”,
“ilustrasi”,
atau
“rekayasa” di pojok gambar dan pernyataan verbal di awal siaran; dan
b. dilarang
melakukan
perubahan
atau
penyimpangan
terhadap fakta atau informasi yang dapat merugikan pihak yang terlibat.