PENGELOLAAN BENCANA LAHAR GUNUNG API MERAPI
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 : 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGELOLAAN BENCANA LAHAR GUNUNG API MERAPI
ROSALINA KUMALAWATI
www.penerbitombak.com
2015
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi Copyright©Rosalina Kumalawati, 2015
Diterbitkan oleh Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), 2015 Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55292 Tlp. (0274) 7019945; Fax. (0274) 620606 e-mail:
[email protected] website: www.penerbitombak.com facebook: Penerbit Ombak Dua
PO.***.02.’15
Penulis: Rosalina Kumalawati Penyunting & Tata letak: Kartika N. Nugrahini Sampul: Dian Qamajaya
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Pengelolaah Bencana Lahar Gunung Api Merapi Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015 hlm.; 14,5 x 21 cm ISBN: ***-***-***-***-*
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI BATASAN ISTILAH-ISTILAH DAFTAR SINGKATAN PENDAHULUAN BAGIAN I KONDISI LINGKUNGAN FISIK 1. Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh Untuk Estimasi Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Di Kecamatan Ngluwar Magelang 2. Evaluasi Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kabupaten Magelang 3. Pemetaan Tingkat Risiko Banjir Lahar di Sub-DAS Kali Putih Kabupaten Magelang Jawa Tengah 4. Pemetaan Risiko Permukiman Banjir Lahar di Kecamatan Salam Magelang dan Jawa Tengah 5. Klasifikasi Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Menggunakan Model Builder GIS BAGIAN II KONDISI SOSIAL MASYARAKAT 1. Evaluasi Kesiapsiagaan Masyarakat dan Pemerintah dalam Menghadapi Banjir Lahar di Kali Putih Kabupaten Magelang
v
vi
Rosalina Kumalawati
2. Evaluasi Kondisi Masyarakat dan Pemerintah pada Masa Krisis Banjir Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang BAGIAN III KONDISI EKONOMI MASYARAKAT 1. Evaluasi Pendapatan Masyarakat Pascabanjir Lahar di Kali Putih Kabupaten Magelang 2. Valuasi
Ekonomi
Tingkat
Kerusakan
Bangunan
Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kali Putih Kabupaten Magelang BAGIAN IV PENGELOLAAN BENCANA LAHAR 1. Strategi Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kabupaten Magelang 2. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar untuk Evaluasi Pengembangan
Wilayah
Permukiman
Pascaerupsi
Gunung Api Merapi di Kali Putih Kabupaten Magelang Jawa Tengah PENUTUP INDEKS TENTANG PENULIS DAFTAR KONTRIBUTOR
BATASAN-BATASAN ISTILAH
Bahaya adalah suatu peristiwa fisik yang berpotensi merusak, fenomena atau aktivitas manusia yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan kemungkinan terjadinya dalam jangka waktu tertentu dan dalam daerah tertentu, dengan intensitas yang diberikan (Alkema D.dkk, 2009). Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana, prasarana, dan utilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Sudibyakto, 2011). Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Erupsi adalah keluarnya magma dari dalam permukaan bumi. Erupsi gunung api adalah keluarnya material vulkanik dari gunung berapi akibat proses vulkanisme. Elemen risiko adalah semua benda, orang, hewan, kegiatan, yang mungkin dipengaruhi oleh fenomena yang berbahaya, di daerah tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk: gedung, fasilitas, penduduk, ternak, kegiatan ekonomi, pelayanan publik, dan lingkungan (Westen dkk, 2009). Gunung api adalah lubang kepundan/atau rekahan dalam kerak
vii
viii
Rosalina Kumalawati
bumi, tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi.
Kegunungapian adalah wilayah yang berada di sekitar gunung api dan masih terpengaruh oleh hasil material letusan gunung api. Kerentanan sebagai karakteristik dan keadaan masyarakat, sistem atau aset yang membuatnya rentan terhadap efek yang merusak dari bahaya atau merupakan konsekuensi dari sebuah kondisi yang ditentukan oleh faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan, yang meningkatkan kemungkinan masyarakat terkena ancaman (Westen dkk, 2009). Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna. Kerawanan didefinisikan sebagai probabilitas keruangan suatu wilayah mengalami bencana (Scheinerbauer dan Ehrlich, 2004 dalam Thywissen, 2006). Lahar adalah aliran yang sangat cepat dari hulu sungai sebuah gunung api dengan membawa material endapan hasil erupsi. Lahar hujan adalah lahar yang terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi gunung api yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau air permukaan (Sukatja, 2006). Lahar Primer adalah lahar yang disebabkan oleh tumpahnya air danau kawah karena proses erupsi. Lahar Sekunder adalah lahar yang disebabkan oleh aliran yang berasal dari hujan. Luapan Aliran Lahar adalah aliran lahar yang meluap melewati igir sungai. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
ix
Persepsi Risiko adalah pendapat subjektif dari orang-orang tentang risiko, karakteristik, dan besarnya, termasuk beberapa faktor: pengetahuan objektif individu tentang risiko, dugaan individu tentang pengalamannya sendiri terhadap risiko serta kemampuannya untuk mengurangi atau mengatasi jika bencana yang merugikan terjadi. Pemerintah adalah semua aparatur atau alat perlengkapan negara dalam rangka menjalankan segala tugas dan kewenangan atau kekuasaan negara, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat adalah proses pengelolaan risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya (Junun dan Elok, 2014). Peta Bahaya Gunung Api adalah peta tematik yang dapat merepresentasikan sebaran spasial area geografis berdampak material erupsi sebuah gunung api seperti lonataran dan aliran material vulkanik, aliran lava dan lahar. Peta RBI adalah Peta Rupa Bumi Indonesia. Peta Risiko adalah sebaran spasial mengenai potensi kehilangan yang diakibatkan oleh bencana pada waktu dan lokasi tertentu.
x
Rosalina Kumalawati
Rawan Bencana Alam adalah suatu daerah yang pernah terjadi bencana alam sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan datang meliputi ukuran kejadian, frekuensi, dan luas (Sutikno dkk., 2007). Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Risiko adalah kombinasi antara faktor bahaya, kerentanan dan kapasitas, kaitannya dalam potensi kehilangan akibat suatu bencana pada kurun waktu dan wilayah tertentu. Risiko Bencana Alam adalah suatu daerah yang mempunyai potensi terjadi bencana alam sehingga mempunyai kemungkinan timbulnya kerugian, baik yang berupa kerugian jiwa maupun harta benda (Bambang, 2007). Status Keadaan Darurat Bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana. Tanggap Darurat Bencana adalah serangakaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, melalui kegiatan pencarian dan penyelamatan, evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, serta pemulihan awal sarana dan prasarana. Valuasi Ekonomi adalah proses penaksiran potensi ekonomi suatu
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
xi
daerah untuk tujuan tertentu ke dalam nilai rupiah, dalam penelitian ini penaksiran potensi ekonomi lahar dibatasi pada komponen-komponen yang bersifat tangible (David et al., 1990; Markandya et al., 2002). Valuasi Finansial adalah proses menghitung secara nyata akibat yang terjadi dan faktor-faktor utama dampak kerusakan lahar, biaya mengacu pada penerimaan dan pengeluaran yang mencerminkan harga pasar aktual yang benar-benar diterima atau dibayar. WTA (Willingness to Accept) adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk bersedia menerima akibat penurunan suatu manfaat sumber daya alam dalam penelitian ini penurunan sumber daya alam akibat bencana lahar pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 (Fauzi, 2006).
DAFTAR SINGKATAN
ADPC
: Asian Development Preparedness Centre
BMKG
: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
BPBD
: Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Bappeda
: Badan Perencana Pembangunan Daerah
Bappenas
: Badan Perencana Pembangunan Nasional
BPS
: Biro Pusat Statistik
BNPB
: Badan Nasional Penanggulangan Bencana
CVM
: Contingent Valuation Method
DRM
: Disaster Risk Management
PDRB
: Produk Domestik Regional Bruto
RPJMN
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RBI
: Rupa Bumi Indonesia
RPJMD
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
PRB
: Pengurangan Risiko Bencana
PB
: Penanggulangan Bencana
SIG
: Sistem Informasi Geografis
Renstrada
: Rencana Strategis Daerah
UNDP
: United Nation Development Programme
WTA
: Willingness to Accept
WTP
: Willingness to Pay
xii
PENDAHULUAN
Indonesia terletak pada pertemuan dua rangkaian pegunungan muda, yaitu rangkaian Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania. Hal tersebut menyebabkan di Indonesia terdapat banyak gunung api aktif (Kusumadinata, 1979; Katili dan Siswowidjojo, 1994; Voight et al., 1998; Kelfoun et al., 2000; Younga et al., 2000; Prihadi, 2005). Katili dan Siswowidjojo (1994) menyatakan gunung api (vulkan) adalah bentuk di muka bumi, berupa kerucut raksasa, kubah, atau bukit akibat penerobosan magma ke permukaan bumi. Gunung api terjadi karena proses tumbukan menunjam yang aktif (Sudrajat, 1995). Salah satu gunung api di Indonesia yang aktif adalah Gunung Api Merapi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gunung api memiliki dua potensi bahaya, yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan disertai hamburan piroklastik, aliran lava dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunung api bercampur air hujan yang disebut lahar. Lahar diartikan sebagai aliran campuran bahan rombakan gunung api dengan air hujan. Bates dan Jackson (1987) mendefinisikan lahar sebagai aliran lumpur yang tersusun atas material gunung api klastik, yang menuruni lereng gunung api. Lahar terjadi mengikuti turunnya 1
2
Rosalina Kumalawati
hujan lebat, alirannya melalui lembah-lembah dan daerah rendah. Lahar terjadi pada waktu letusan dengan tumpahnya danau kawah atau mencairnya salju di puncak gunung api. Aliran lahar sangat berbahaya, mampu menyeret bermacam-macam ukuran batuan, merusak segala sesuatu baik batuan, bangunan, maupun kawasan yang dilewati (Sumintaredja, 2000). Gunung Api Merapi membawa dampak positif maupun negatif bagi penduduk (Hadi, 1992; Bambang, 2007; Wahid, 2008). Contoh dampak positif hasil aktivitas kegunungapian adalah ketersediaan bahan konstruksi, sedangkan dampak negatif adalah kebencanaan primer dan sekunder. Hasil aktivitas gunung api mampu mengancam setiap daerah dari wilayah sempit hingga luas. Kabupaten Magelang tahun 2010 terkena dampak aliran lahar. Wilayah paling parah terjadi di sepanjang Kali Putih. Aliran lahar Kali Putih beberapa kali telah memutuskan jalur transportasi utama Semarang dan Yogyakarta. Kali Putih secara administratif melewati 3 kecamatan yaitu Kecamatan Srumbung, Kecamatan Salam, dan Kecamatan Ngluwar. Kondisi Kali Putih mempunyai variasi karakteristik fisik lahan yang mencakup morfometri, penutup lahan, lereng dan batuan. Berdasarkan variasi kondisi fisik yang ada, diperoleh gambaran kovariasi spasial menurut kombinasi berbagai variabel fisik yang relevan. Kovariasi spasial merupakan ekspresi dari paradigma geomorfologi dalam ilmu geografi. Bambang (2007) menyatakan geomorfologi bukan sekadar subdisiplin geografi, melainkan cara pandang atas fenomena bentanglahan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam proses dan karakteristik komponen bentanglahan yang terbentuk.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
3
Paradigma proses-bentuk merupakan terminologi lain yang dapat digunakan sebagai ciri penelitian geografi (Wahyono, 2002) dan sesuai definisi geografi oleh Bintarto (1991, dalam Wahid, 2008).
1. Kontroversi Lahar Kontroversi lahar sering terjadi, yaitu aliran lahar yang menimbulkan kejadian bencana dan sedimen lahar yang merupakan sumber daya galian pasir dan batu (lahar membawa keuntungan). Gunung Api Merapi pada tahun 2006 memproduksi 5 juta m3 dan tahun 2010 memproduksi 140 juta m3 material piroklastik (lihat Gambar 1). Material erupsi Merapi yang masih menumpuk sebanyak 90 juta m3 dan belum tertangani dengan baik. “Material sebanyak itu belum terambil dan masih belum tahu harus dikemanakan, belum ada tempat untuk material sebanyak itu,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Syamsul Maarif di Yogyakarta, Selasa (1/11/2011) (BNPB, 2011).
Gambar 1. Material lahar Kali Putih di Kecamatan Srumbung (Foto : Kumalawati, 2010)
Ancaman bencana lahar terjadi pada musim hujan (Lavigne et al., 2000; Sutikno dkk., 2007; Salinas et al., 2007; Yuliadi, 2010). Bencana Gunung Api Merapi selalu berubah sewaktu-waktu dan
4
Rosalina Kumalawati
perubahannya cepat, dibutuhkan pembaruan pengelolaan daerah rawan bencana yang cepat (Lailiy, 2007; Lavigne et al., 2008). Daerah tempat tinggal yang dilalui aliran lahar mempunyai dampak positif dan negatif. Daerah yang mempunyai dampak positif dan negatif akibat aktivitas kegunungapian dapat dikatakan daerah tersebut mempunyai nilai kefaedahan wilayah (place utility) tinggi maupun rendah. Daerah penelitian mempunyai nilai kefaedahan wilayah (place utility) rendah pada waktu terjadi bencana lahar karena lahar dapat merusak apa saja yang dilalui termasuk permukiman. Sebaliknya, daerah penelitian juga mempunyai nilai kefaedahan wilayah (place utility) tinggi setelah bencana lahar terjadi karena material lahar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, perlu perencanaan pengelolaan lahar supaya daerah terkena lahar menjadi bermanfaat (Lailiy, 2007). Lahar memiliki nilai ekonomi bersifat terukur (tangible) dan tidak terukur (intangible). Nilai ekonomi lahar bersifat terukur (tangible) digolongkan ke dalam manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak, misalnya material lahar dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Nilai ekonomi lahar bersifat tidak terukur (intangible) berupa manfaat nonkegunaan, yaitu bersifat pemeliharaan ekosistem jangka panjang. Kenyataannya, selama ini masyarakat terlalu berpihak pada lahar sebagai sumber bencana, sehingga mengabaikan pentingnya nilai ekonomi material lahar (Joko 2002 dalam Harini, 2009). Peneliti ingin membuktikan apakah lahar memiliki nilai ekonomi tinggi secara finansial, yaitu dapat menghambat arus migrasi atau tidak. Peneliti juga akan mengkaji apakah bencana yang terjadi masih dalam batas toleransi, yaitu sesuai teori nilai kefaedahan wilayah
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
5
atau tidak (Ayu, 2010). Permasalahan utama yang difokuskan, yaitu bagaimana membuat masyarakat paham bahwa lahar bukan hanya bencana, melainkan memiliki keuntungan atau manfaat. Daerah yang dilalui aliran lahar akan memiliki material lahar. Material lahar di suatu daerah dapat membawa keuntungan atau manfaat dan mendorong masyarakat tetap tinggal (menghambat arus migrasi) (Julia dan Saptana, 2005; Ayu, 2010). Teori arus migrasi: (1) stress-threshold model atau place utility model (Wolpert, 1965) dan (2) the human capital approach (Sjaastad, 1972). Ide dasar teori stress-threshold model atau place utility model menyatakan bahwa setiap individu adalah makhluk rasional yang mampu melakukan pilihan terbaik di antara alternatif yang ada. Ide dasar the human capital model adalah investasi dalam rangka peningkatan produktivitas. Niat untuk melakukan migrasi dalam model ini dipengaruhi oleh motivasi untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih baik. Dalam konteks ini, Todaro (1980) mengemukakan bahwa keputusan seseorang untuk melakukan migrasi merupakan respons dari harapan untuk memperoleh kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih baik.
2. Kontribusi Valuasi Finansial untuk Mengetahui Besarnya Dampak Kerusakan Lahar Penelitian valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan lahar belum banyak dilakukan. Peran valuasi finansial adalah dapat menghitung secara nyata akibat yang terjadi dan faktor-faktor utama dampak kerusakan lahar, biaya mengacu pada penerimaan dan pengeluaran yang mencerminkan harga pasar aktual yang benar-benar diterima atau dibayar. Valuasi
6
Rosalina Kumalawati
finansial penting dalam kebijakan pembangunan, karena dapat dijadikan sebagai pertimbangan. Kerusakan lingkungan atau sumber daya lingkungan merupakan masalah ekonomi, rusaknya lingkungan berarti hilangnya kemampuan menyediakan barang dan jasa (Maynard et al., 1979; Sukanta, 1993; Garrod et al., 1999; David et al., 1990; Markandya et al., 2002). Dampak banjir lahar lebih terasa jika mengenai tempat tinggal ataupun tempat penduduk melakukan aktivitas (Takahashia et al., 2000; Itoh et al., 2000). Pertumbuhan penduduk cepat menyebabkan kebutuhan tempat tinggal meningkat. Faktor daya tarik memengaruhi minat masyarakat tetap tinggal, misalnya tanah subur sehingga mudah diolah untuk lahan pertanian dan material lahar dapat dimanfaatkan untuk bangunan (Wolpert, 1965; Ayu, 2010). Berdasarkan peta lokasi desa terdampak banjir lahar Gunung Api Merapi di wilayah Provinsi Jawa Tengah, daerah sekitar aliran Kali Putih merupakan daerah bahaya sekunder gunung api (BNPB, 2011) (lihat Gambar 2). Gambar 2 menjelaskan aliran lahar di Kali Putih yang mengenai permukiman di Desa Sirahan. Kali Putih termasuk daerah bahaya lahar. Lahar mengalir ke Kali Putih, di mana sepanjang aliran Kali Putih merupakan daerah padat penduduk (BPS, 2012) (Gambar 3). Lahar menimbulkan kerusakan dan korban, tetapi penduduk tetap memilih tinggal di sekitar gunung api. Material kegunungapian yang terendapkan melalui proses banjir lahar memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat jangka panjang dapat menyuburkan lahar pertanian. Manfaat jangka pendek belum banyak dirasakan oleh masyarakat.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
7
Gambar 2. Banjir Lahar di Kali Putih. (A) Kali Putih Dialiri Lahar di Desa Sirahan dan (B) Lahar Kali Putih Mengenai Permukiman Warga Desa Sirahan (Foto: Kumalawati, 2011)
Pembangunan wilayah didasarkan pada pertimbangan finansial. Perhitungan keuntungan finansial menjadi dasar utama pengambilan kebijakan pembangunan. Pembangunan dilaksanakan di dalam ruang/wilayah yang mempunyai dinamika khusus, seperti wilayah rawan bencana lahar di Kali Putih. Dinamika wilayah secara fisik, sosial dan finansial sering kali kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Kerugian finansial yang besar timbul ketika terjadi proses dinamika wilayah yang tidak dikehendaki. Selanjutnya, dilakukan kuantifikasi finansial dinamika wilayah rawan lahar sebagai dasar pengelolaan wilayah dengan memperhatikan aspek fisik, sosial dan finansial. Permasalahan lahar merupakan contoh kasus menarik untuk ditelaah karena permasalahan wilayah cukup kompleks dari sisi finansial. Bertolak dari permasalahan valuasi finansial, lahar sebagai dasar pengelolaan daerah rawan bencana sangat penting menentukan perencanaan yang akan dilakukan.
8
Rosalina Kumalawati
Gambar 3. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Gunung Api Merapi di Wilayah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2011(Sumber: BNPB, 2011)
Pustaka Acuan Ayu, W.P. 2010. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Minat Migrasi Sirkuler Ke Kabupaten Semarang. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Bambang, C.S. 2007. Urban Risk Assesment of Lahar Flows in Merapi Volcano. Tesis. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Bates, R.L. and J.A. Jackson. 1987. Glossary of Geology. Third Edition. Virginia: American Geological Institute, Alexandria. BNPB. 2011. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi Di Wilayah Provinsi Jawa Tengah. http:// bnpb.go.id/irw/diakses 17 Januari 2011.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
9
BNPB. 2011. Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana, Edisi-2. BPS. 2012. Kecamatan Dalam Angka Tahun 2010/2011. Magelang: BPS Kabupaten Magelang. BPS. 2012. Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahun 2010/2011. Magelang: BPS Kabupaten Magelang. David, W.P., and R.K. Turner. 1990. Economic of Natural Resources and the Environment. ISBN 0-7450-0202-1. Harvester Wheatsheaf. Garrod, G., and K.G. Willis. 1999. Economic Valuation of the Environment (Methods and Case Studies). USA: Edward Elgar Publishing, Inc. Hadi, M.P. 1992. Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Mitigasi Banjir Lahar dan Longsoran Lava Pada Lereng Selatan Gunung Api Merapi. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Harini, R., 2009. Kajian Spasial Lahan Pertanian Terkonversi Melalui Metode Valuasi Ekonomi di Kabupaten Sleman. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Itoh, T. Takahashi., and Miyamoto. 2000. “Hazard Estimation of The Possible Pyroclastic Flow Disasters Using Numerical Simulation Related To The 1994 Activity At Merapi Volcano”. Journal of Volcanology and Geothermal Research 100: 503-516. Julia, F.S., dan Saptana. 2005. Migrasi Tenaga Kerja Pedesaan Dan Pola Pemanfaatannya. Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Junun Sartohadi dan Elok S.P. 2014. Bunga Rampai Penelitian “Pengelolaan Bencana Kegunungapian Kelud pada Periode Krisis Erupsi 2014”. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Katili, J.A., dan Siswowidjojo. 1994. Pemantauan Gunung Api di Filipina dan Indonesia. Bandung: Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Kelfoun., Legros., and Gourgaud. 2000. “A Statistical Study of
10
Rosalina Kumalawati
Trees Damaged by the 22 November 1994 Eruption of Merapi Volcano (Java, Indonesia): Relationships between Ash-Cloud Surges and Block-And-Ash Flows”. Journal of Volcanology and Geothermal Research 100: 379-393.
Kusumadinata, J., (Ed). 1979. Data Dasar Gunung Api Indonesia. Bandung: Vocanological Survey of Indonesia. Lailiy, M. 2007. Penentuan Jalur Alternatif Evakuasi Bencana Banjir Lahar Berdasarkan Peta Potensi Bahaya Banjir Lahar Menggunakan Foto Udara dan SIG: Kasus di Lereng Selatan Gunung Merapi Kabupaten Sleman Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Geografi UGM. Tidak dipublikasikan. Lavigne, F., et al. 2000. “Instrumental Lahar Monitoring at Merapi Volcano, Central Java, Indonesia”. Journal of Volcanology and Geothermal Research 100: 457-478. Lavigne, F., et al. 2008. “People’s Behaviour in The Face of Volcanic Hazards: Perspectives From Javanese Communities, Indonesia”. Journal of Volcanology and Geothermal Research 172: 273-287. Markandya, A., H. Patrice, G.B. Lorenzo, and C. Vito, 2002. Environmental Economics for Sustainable Growth (a handbook for practitioners). USA: Edwar Elgar Publishing, Inc. Maynard, M.H., and L.H. Eric, 1979. Economics Approaches to Natural Resource and Environmental Quality Analysis. Dublin: Tycooly International Publishing Limited. Prihadi, S.A., 2005. Vulkanologi dan Geotermal, Catatan Kuliah. Bandung: Penerbit ITB. Salinas, E.M., Manea., Palacios., and Castillo-Rodriguez., 2007. Estimation of Lahar Flow Velocity on Popocatépetl Volcano (Mexico). www.elsevier.com/locate/geomorph. Sjaastads, L. A., 1972. The Cost of Return of Human Migration, in Regional Economics (Richardson, H. W. Ed). Macmillan. Sudrajat, A., 1995. Seputar Gunung api dan Gempabumi. Jakarta Selatan: PT. Rineka Cipta.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
11
Sukanta R., 1993. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan (Suatu Buku Kerja Studi Kasus). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumintaredja, P. 2000. Vulkanologi. Bandung: ITB. Sutikno., Santosa., Widiyanto., Kurniawan., Purwato. 2007. Kerajaan Merapi (Sumber daya Alam dan Daya Dukungnya). Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Takahashia., and Tsujimoto. 2000. “A Mechanical Model for Merapi-type pyroclastic flow”. Journal of Volcanology and Geothermal Research 98: 91-115. Voight., C., Siswowidjoyo., and Torley. 1998. “Historical Eruptions of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768–1998”. Journal of Volcanology and Geothermal Research 100: 69-138. Wahid, M.D.K. 2008. Analisis Risiko Awan Panas Gunung Api Merapi Pascaerupsi 2006 Terhadap Bangunan dan Penduduk Kabupaten Sleman. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan. Wahyono, S.A. 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: tidak diterbitkan. Wolpert, J., 1965. “Behavioral Aspects of the Decision to Migrate”. Paper of The Regional Science Association Vol.15 159-169. Younga., Voighta., Subandriyo., Sajiman., Miswanto., and Casadevall. 2000. “Ground Deformation at Merapi Volcano, Java, Indonesia: Distance Changes, June 1988– October 1995”. Journal of Volcanology and Geothermal Research 100: 233-259. Yuliadi, T., 2010. A Local Spatial Data Infrastructure to Support The Merapi Volcanic Risk Management: A Case Study at Sleman Regency Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: tidak diterbitkan.
12
Rosalina Kumalawati
BAGIAN I
KONDISI LINGKUNGAN FISIK
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
13
1 Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh Untuk Estimasi Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Ngluwar Magelang1
Intisari
Gunung Api Merapi merupakan salah satu gunung api paling aktif di dunia. Secara administratif, lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada pada Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Beberapa bahaya yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Api Merapi salah satunya bencana banjir lahar yang dapat menyebabkan beberapa kerusakan, di antaranya kerusakan permukiman. Magelang merupakan salah satu Kabupaten yang terkena dampak bencana banjir lahar di mana salah satunya Kecamatan Ngluwar yang berbatasan dengan Kecamatan Salam dan Tempel di sebelah timur, dengan Kecamatan Muntilan dan Borobudur di sebelah utara, dengan Kecamatan Kalibawang di sebelah barat dan berbatasan dengan Kecamatan Minggir di sebelah selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh untuk memetakan estimasi kerusakan permukiman akibat banjir lahar di Kecamatan Ngluwar dengan menggunakan citra Ikonos dan beberapa peta pendukungnya. Penelitian ini tidak mengangkat aktivitas tanggap bencana, akan tetapi lebih fokus pada teknis pemetaan. 1 Rosalina Kumalawati, Seftiawan Samsu Rijal, Ahmad Syukron Prasaja, Junun Sartohadi, Rijanta dan Rimawan Pradipto.
14
Rosalina Kumalawati
Daerah yang tidak rusak jauh lebih luas dibandingkan daerah yang rusak. Hal ini mengindikasikan metode ini cukup berhasil dalam menggambarkan kondisi bencana daerah penelitian. Aplikasi SIG dalam menentukan lokasi risiko ini dapat dilakukan pada sungai-sungai yang berhulu di Gunung api, guna mengurangi dampak akibat dari bencana banjir lahar di masa yang akan datang. Perlunya pengelolaan secara komprehensif antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi dalam hal mengurangi risiko bencana. Kata Kunci: G unung Api Merapi, Banjir Lahar, Kerusakan Permukiman
Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, di mana kurang lebih terdapat 129 gunung api aktif dan kurang lebih 500 gunung api nonaktif (Sutikno, 2010). Adanya gunung api dalam jumlah besar ini tentunya akan menyimpan banyak potensi bencana yang cukup dahsyat, di samping memiliki manfaat bagi lingkungan sekitar karena menyuburkan tanah serta memberikan sumber daya alam lebih bagi daerah sekitar dampak. Gunung Api Merapi merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia dengan ketinggian puncak 2.968 m dpal (per 2006) yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa (Sutikno, dkk., 2007). Memiliki jenis letusan efusif (lelehan) dan eksplosif (ledakan). Secara administratif, lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Gunung Api Merapi sudah meletus sebanyak 68 kali, tercatat sejak tahun 1548. Selama ini masyarakat umum lebih mengenal
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
15
Gunung Api Merapi karena potensi kebencanaannya yang besar, baik berupa guguran lava pijar, awan panas (wedus gembel) maupun aliran laharnya yang membawa material vulkanik yang membahayakan, di antaranya material pasir, kerikil dan bongkahan batu yang besar sampai sangat besar (Sutikno, 2007). Lahar merupakan material piroklastik yang mengalir akibat bercampur dengan air hujan. Meskipun material lahar tersusun atas abu gunung api dan fragmen batuan, tetapi banjir lahar mampu mengalir lebih deras dan lebih cepat jika dibandingkan dengan aliran air biasa. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecepatan aliran lahar bisa mencapai lebih dari 65 kilometer per jam dan dapat mengalir deras hingga jarak lebih dari 80 kilometer (Daryono, 2011). Faktor utama yang memicu terjadinya aliran lahar di lereng Merapi adalah hujan lebat yang terjadi di hulu. Air hujan dapat dengan mudah mengerosi material piroklastik yang lepaslepas dan tanah di lereng atas Gunung Api Merapi dan di dalam lembah sungai sekitar lereng atas Gunung Api Merapi (Daryono, 2011). Aliran banjir lahar dapat terjadi pada bagian endapan piroklastik yang belum kompak. Aliran permukaan pada endapan piroklastik yang belum kompak dapat mengangkutnya menjadi aliran lahar berkecepatan tinggi dengan gerakan laminer atau turbulen. Aliran tersebut semakin menuruni lereng kandungan airnya akan semakin meningkat dan dapat mencapai jarak 20 kilometer dari puncak atau mencapai lahan dengan ketinggian 200 ̶ 300 m dpal (Sutikno, 2007). Bahaya sekunder berupa aliran banjir lahar mengancam kawasan lebih rendah setelah pada tanggal 4 November 2010 terjadi hujan deras di sekitar puncak Merapi. Pada tanggal 5
16
Rosalina Kumalawati
November 2010 Kali Code di kawasan Kota Yogyakarta dinyatakan berstatus “awas” (BNPB, 2011). Sampai saat ini, aliran banjir lahar masih membanjiri sungai-sungai yang mengalir di lereng Gunung Api Merapi. Besarnya debit air sungai yang tidak menentu tiap harinya menambah kewasapadaan masyarakat akan bahaya banjir lahar dingin ini (suaramerdeka.com). Sama halnya dengan sungai yang mengarah ke barat daya Gunung Api Merapi, Kecamatan Ngluwar dilalui oleh Sungai Krasak, Sungai Blongkeng, Sungai Batang, Sungai Krasak dan Sungai Progo, namun sungai yang paling potensial terhadap banjir lahar adalah Sungai Blongkeng, Sungai Kali Putih dan Sungai Krasak, hal ini dikarenakan material piroklastik banyak menumpuk di tiga sungai ini. Terjadinya banjir lahar yang mengaliri sungai di wilayah Magelang dan sekitarnya jelas menimbulkan kerugian besar bagi penduduk sekitar. Dampak langsung dari turbulensi yang terjadi pada banjir lahar atau dari bongkah-bongkah batuan dan kayu yang dibawa aliran banjir lahar adalah menghancurkan dan menggerus segala sesuatu yang ada di jalan jalur aliran banjir lahar. Aliran lahar juga bisa merusak jalan dan jembatan sehingga aliran banjir lahar juga dapat menyebabkan banyak orang terisolasi di daerah bahaya erupsi Gunung Api Merapi. Material bawaan hasil erupsi tersebut sangat memengaruhi infrastruktur dan struktur buatan manusia di lingkungan sekitarnya di antaranya permukiman, fasilitas umum, sawah, bangunan, dsb. Semakin meningkatnya jumlah permukiman di kawasan Merapi menambah besarnya risiko korban jiwa yang terkena dampak bencana aliran lahar. Permukiman sendiri diartikan sebagai tempat tinggal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
17
tempat tinggal. Seiring berkembangnya waktu dan semakin naiknya jumlah penduduk, banyak lahan di sekitar lereng Gunung Api Merapi yang dimanfaatkan sebagai permukiman oleh warga sekitar, walaupun pada lahan tersebut berpotensi terkena bencana lahar dingin karena aliran lahar tersebut akan mengalir melanda bagian hilir sungai dan daerah dataran disekitarnya. Jangkauan banjir lahar ini tergantung pada jumlah material yang dibawa dan intensitas curah hujan yang terjadi. Tercatat banyak permukiman yang rusak akibat terkena sapuan lahar dingin yang mengalir di sekitar sungai. Teknologi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh diharapkan dapat membantu dalam menangani risiko bencana yang ada di Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang khususnya untuk estimasi kerusakan permukiman sehingga dapat digunakan untuk memberi peringatan dini akan adanya ancaman kerusakan permukiman akibat banjir lahar. Mengingat bahwa material hasil erupsi Merapi yang masih tersisa dalam jumlah besar hingga saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa masih terdapat risiko banjir lahar yang akan menerjang di kawasan tersebut. Teknologi penginderaan jauh dapat memberikan kontribusi dalam mengkaji banjir lahar. Pemanfaatan citra penginderaan jauh akan membantu dalam penelitian ini karena parameter-parameter yang digunakan dapat diperoleh tanpa berhubungan secara langsung dengan objek yang dikaji.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan permukiman di Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang.
18
Rosalina Kumalawati
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan overlay. Overlay adalah salah satu teknik dari Polygon overlay and Dissolve Analysis Method [5]. Overlay dipilih karena mampu melakukan integrasi atau disintegrasi dari satu peta atau lebih menjadi satu dataset baru. Peta yang diintegrasikan pada penelitian ini adalah peta buffer sungai, peta bentuklahan, peta blok bangunan dan peta kemiringan lereng. Keempat peta tersebut akan menghasilkan peta kerusakan permukiman. Tabel 1. Skoring Peta Bentuklahan Bentuklahan Skor Karst 1 Lereng atas-bawah volkan. Lereng atas-bawah perbukitan 2 denudasional, lereng atas-bawah perbukitan structural Lereng kaki-dataran kaki volkan, lereng kaki perbukitan 3 denudasional, lereng kaki perbukitan structural Marine 4 Fluvia 5
Sumber: Sutikno, 2004
Tabel 2. Skoring Peta Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng >20 % 14 – 20 % 8 – 13 % 3–7% 0–2%
Skor 1 2 3 4 5
Sumber: Vestappen, H. Th., and R.A. Van Zuidam, 1968, dengan modifikasi
19
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
Tabel 3. Skoring Peta Buffer Sungai Jarak Sungai 500 m 400 m 300 m
Skor 1 2 3 Sumber: Sutikno, 2004
Skoring
pada
masing-masing
peta
dilakukan
untuk
mendapatkan kelas kerusakan permukiman (Tabel 1–3). Interval kelas kerusakan permukiman dapat diketahui berdasarkan rumus:
Jumlah harkat tertinggi – Jumlah harkat terendah Interval = -------------------------------------------------------------Jumlah kelas Hasil perhitungan menunjukkan daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga kelas kerusakan permukiman yaitu tidak rusak dengan skor interval 8-9,6, agak rusak 9,7-11,33 dan rusak 11,34–13. Cek lapangan pembagian kelas kerusakan permukiman dilakukan dengan metode stratified proporsional random sampling dengan tingkat kerusakan permukiman di setiap dusun sebagai strata. Uji ketelitian klasifikasi kerusakan permukiman dan cek lapangan dilakukan dengan matriks konfusi atau tabel silang. Uji ketelitian dianggap baik apabila bernilai 84% atau lebih (Sutanto.
1994). Hasil dan Pembahasan Kecamatan Ngluwar diapit oleh tiga sungai yaitu Sungai Blongkeng, Sungai Kali Putih, dan Sungai Krasak sehingga daerah ini dikategorikan daerah rawan banjir lahar yang dapat menyebabkan kerusakan permukiman. Material hasil erupsi masih tampak jelas
20
Rosalina Kumalawati
terdapat di sungai-sungai ini. Dari ketiga sungai besar tersebut, Sungai Kali Putih dianggap paling berbahaya karena banyak kerusakan yang ditimbulkan akibat banjir lahar di Kali Putih. Tidak hanya kerusakan permukiman yang timbul tetapi juga kerusakan penggunaan lahan dan infrastruktur. Selain itu Sungai Blongkeng dan Sungai Krasak juga membawa material banjir lahar dalam volume yang besar, hanya saja risiko kerusakan yang ditimbulkan tidak separah Kali Putih. Fokus penelitian ini adalah kerusakan yang bersifat fisik. Peta tentatif menunjukkan terdapat tiga kelas kawasan yang rawan mengalami kerusakan permukiman akibat banjir lahar, yaitu kelas rusak, rusak sedang, dan tidak rusak. Estimasi kerusakan permukiman berdasarkan peta tentatif yang dibuat diketahui luas permukiman yang masuk pada kategori rusak seluas 223.376 m2 yang terbagi di Desa Bligo, Desa Blongkeng dan Desa Plosogede. Luas permukiman yang masuk pada kategori agak rusak seluas 392.584 m2 yang terbagi di Desa Plosogede, Desa Blongkeng, Desa Bligo dan Desa Somokaton. Luas permukiman yang masuk pada kategori tidak rusak seluas 3.482.228 m2 yang terletak di Desa Plosogede, Desa Jamuskusuman, Desa Karangtalun, Desa Pakunden, Bligo, Desa Ngluwar dan Desa Somokaton. Cek lapangan atau survei perlu dilakukan untuk menguji tingkat akurasi hasil interpretasi. Cek lapangan dilakukan terhadap permukiman yang diestimasi mengalami kerusakan maupun tidak. selain itu dilakukan pula wawancara terhadap penduduk sekitar untuk mengetahui gambaran kerusakan secara lebih detail. Sampel permukiman rusak dan tidak rusak diambil secara random sampling berdasarkan dusun.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
21
Kelas permukiman rusak berdasarkan cek lapangan hanya terdapat diketahui Dusun Blongkeng 1 seluas 47.379 m2, Dusun Blongkeng 2 seluas 14.569 m2, Dusun Sabrangkali seluas 32.020 m2 dan Dusun Basiran seluas 15.954 m2. Di Desa Blongkeng secara keseluruhan seluas 99.505 m2. Dusun Gatak seluas 26.193 m2 dan Dusun Karang Sanggrahan seluas 15.954 m2, di Desa Plosogede secara keseluruhan seluas 42.147 m2. Khusus Dusun Bakalan Lor dan Dusun Bakalan Kidul di Desa Bligo tidak ditemui dusun yang mengalami rusak berat. Hal ini dikarenakan tanggul yang dibangun mampu menahan laju banjir lahar. Debit banjir lahar yang tidak sebesar di Kali Putih menyebabkan daerah ini tidak mengalami kerusakan. Kelas permukiman rusak sedang berdasarkan cek lapangan diketahui sebagian Dusun Karang Sanggrahan, Dusun Druju Tegal, Dusun Dongkelan, sebagian Dusun Ngemplak, sebagian Dusun Gatak, Dusun Gajuran di Desa Plosogede seluas 139.551 m2; dan Dusun Dawang, Dusun Caruban dan Dusun Ngentak Banaran, di Desa Blongkeng seluas 115.006 m2 berdasarkan hasil cek lapangan, daerah ini memang mengalami sedikit kerusakan permukiman akibat bencana banjir lahar. Sedangkan Dusun Banaran di Desa Somokaton dan Dusun Blaburan di Desa Bligo tidak ditemukan kerusakan, hal ini dikarenakan tanggul yang dibangun mampu menahan laju banjir lahar, serta debit banjir lahar yang tidak sebesar di Kali Putih menyebabkan daerah ini tidak mengalami kerusakan. Kelas permukiman tidak rusak merupakan kelas yang paling luas, hasil interpretasi dengan metode overlay yang kemudian di validasi dengan cek lapangan sesuai, hal ini dikarenakan daerah
22
Rosalina Kumalawati
ini jauh dari aliran sungai utama tiga sungai yang dialiri banjir lahar. Daerah yang masuk pada klasifikasi permukiman tidak rusak adalah Desa Bligo, Jamuskusuman, Karangtalun, Ngluwar, Pakunden, Plosogede, dan Somokaton dengan luas keseluruhan 3.701.977 m2 Masing-masing luas desa berdasarkan klasifikasi kerusakan permukiman ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Permukiman Berdasarkan Klasifikasi Kerusakan dan Desa No
Klasifikasi kerusakan permukiman
1 2 3 4 Tidak rusak 5 6 7 8 Agak Rusak 9 10 Rusak 11 Total
Desa
Luas permukiman rusak m2
Bligo Jamuskauman Karangtalun Ngluwar Pakunden Plosogede Somokaton Blongkeng Plosogede Blongkeng Plosogede
Total
1.083.506 517.546 382.092 734.882 3.701.977 503.732 142.041 338.176 115.006 254.558 139.551 99.505 141.652 42.147 4.098.188 4.098.188
Uji ketelitian dilakukan setelah validasi dengan tabel matriks uji ketelitian lapangan pada Tabel 5. sebagai berikut dengan membandingkan hasil interpretasi terhadap hasil cek lapangan dengan melihat diagonal matriks yang mengindikasikan hasil interpretasi sesuai dengan kondisi lapangan.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
23
Tabel 5. Tabel Perhitungan Matriks Uji Konfusi No
Interpretasi
Hasil Cek Lapangan Total Agak Rusak Tidak Rusak 3 0 6 6 2 8 0 20 20 9 22 34
1 Rusak 2 Rusak Sedang 3 Tidak Rusak Total
Rusak 3 0 0 3
Jumlah diagonal
= 29
Total
= 34
Ketelitian
= 85%
Berdasarkan hasil uji ketelitian diketahui bahwa ketelitian metode ini mencapai 85 %, dengan makna hasil interpretasi masuk syarat diterimanya hasil interpretasi. Berdasarkan hasil uji ketelitian perlu dibuat peta kerusakan permukiman akibat banjir lahar dengan mengubah hasil interpretasi sehingga sesuai dengan kenyataan di lapangan yang ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Ngluwar
24
Rosalina Kumalawati
Bahaya sekunder Gunung Api Merapi sebenarnya dapat diprediksi lebih awal di setiap sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi dengan metode ini, sehingga risiko bencana yang terjadi dapat diminimalisir. Kejadian bencana di Kali Putih menjadikan pelajaran penting bagi semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, hingga akademisi. Bagi masyarakat perlunya terus waspada serta meningkatkan kapasitas individu maupun kelompok untuk dapat mengurangi dampak bencana. Bagi pemerintah perlunya pembuatan peta risiko khususnya sungai-sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi agar masyarakat tahu kapasitas apa yang harus ditingkatkan. Bagi akademisi perlunya membantu pemerintah dalam pembuatan peta risiko bencana banjir lahar. dengan pengelolaan komprehensif diharapkan dampak banjir lahar di masa yang akan datang dapat diminimalisir.
Kesimpulan Berdasarkan hasil interpretasi yang divalidasi dengan cek lapangan diketahui: 1. Daerah yang tidak rusak jauh lebih luas dibandingkan daerah yang rusak. Hal ini mengindikasikan metode ini cukup berhasil dalam menggambarkan kondisi bencana daerah penelitian. 2. Aplikasi SIG dalam menentukan lokasi risiko ini dapat dilakukan pada sungai-sungai yang berhulu di Gunung api, guna mengurangi dampak akibat dari bencana banjir lahar di masa yang akan datang. 3. Perlunya pengelolaan secara komprehensif antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi dalam hal mengurangi risiko bencana.
Daftar Pustaka
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
25
Bronto, Sutikno. 2010. Publikasi Khusus Geologi Gunung Api Purba. Bandung: Badan Geologi Kementrian ESDM. Sutikno. Wahyu, Langgeng. Widiyanto. Kurniawan, Andri. Heri P, Taufik. 2007. Kerajaan Merapi, Sumber daya Alam dan Dukungannya. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Daryono. 2011. Waspadai Ancaman Banjir Lahar Merapi di Puncak Musim Hujan, [online], (http://daryonobmkg.wordpress. com/2011/01/14/) diakses tanggal 22 Februari 2013. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2011. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi, [online], (http://geospasial.bnpb.go.id/). Diakses pada tanggal 8 Februari 2012. Dangermond, Jack. 1983. A Classification of Software Components Commonly Used in Geographic Information System. IGU; New York. Sutikno. 2004. Manajemen Kebencanaan di Indonesia. Bahan Pelatihan SIPBI. Yogyakarta: PSBA UGM. Vestappen, H. Th., and R.A. Van Zuidam. 1968. Chapter VII.2 ITC System of Geomorfological Survey. Netherlands; International Institute for Areal Survey and Earth Sciences (ITC). Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
2 Evaluasi Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kabupaten Magelang1
Intisari
Erupsi Gunung Api Merapi tahun 2010 mengakibatkan banjir lahar di Kali Putih dan Kali Pabelan. Banjir lahar menyebabkan kerusakan permukiman di sembilan desa yaitu Jumoyo, Gulon, Seloboro, Sirahan, Blongkeng, Adikarto, Ngrajek, Tamanagung dan Gondosuli. Tujuan penelitian adalah mengetahui agihan keruangan luapan banjir lahar, penilaian tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar dan analisis tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar. Metode yang digunakan untuk mengetahui luapan banjir lahar adalah GPS tracking dan cross section, untuk mengetahui kerusakan permukiman berdasarkan persepsi masyarakat melalui Focus Group Discussion (FGD) dan survei lapangan. Kerusakan permukiman dibagi lima kelas yaitu Roboh/Hanyut, Rusak Berat, Rusak Sedang, Rusak Ringan dan Tidak Rusak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luapan banjir lahar paling luas ada di Desa Sirahan dengan luasan 0,80 km2. Kerusakan permukiman paling parah juga terdapat di Desa Sirahan yaitu dengan Roboh/Hanyut sebanyak 553 rumah, Rusak Berat 43 rumah, Rusak Sedang 149 rumah, Rusak Ringan 75 rumah dan Tidak Rusak 40 rumah. Tingkat kerusakan permukiman akibat 1 Rosalina Kumalawati, Junun Sartohadi, Norma Yuni Kartika, Seftiawan S Rijal
26
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
27
banjir lahar tidak hanya disebabkan oleh jarak rumah terhadap sungai dan/atau tinggi endapan banjir lahar tetapi juga disebabkan oleh kualitas material bangunan permukiman. Kata Kunci : B anjir Lahar, Focus Group Discussion, Kerusakan Permukiman
Pendahuluan Salah satu gunung api aktif di Indonesia adalah Gunung Api Merapi. Gunung Api Merapi terletak di perbatasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah (7o 32.5’ Lintang Selatan dan 110o26.5’ Bujur Timur) dengan ketinggian 2980 m dpl. Gunung Api Merapi mempunyai frekuensi letusan antara 3–5 tahun (Sumintadiredja, 2000). Gunung Api Merapi memiliki bencana berupa banjir lahar yang diketahui mulai terjadi pada tahun 1587 (Lavigne, 2000). Lavigne (2000) mengelompokkan lahar ke dalam debris flow, di mana debris flow diartikan sebagai campuran antara zat padat dan zat cair, dengan konsentrasi sedimen umumnya berkisar 60 % dari volume dan 80 % dari bobot. Lavigne (2007) dalam Hadmoko (2011) menyatakan tiga pengelompokkan mekanisme pembentukan lahar yaitu (1) syn-eruptive, terbagi menjadi dua yaitu terjadi pada saat erupsi di kawah (campuran aliran piroklastik dengan aliran air hasil genangan di krater) dan pada saat erupsi bersamaan hujan lebat (campuran debris avalanche dan aliran air), (2) post-eruptive, lahar terjadi pascaerupsi karena hujan lebat yang membawa material dan (3) non-eruptive, diakibatkan oleh runtuhnya danau kawah dan/atau hujan lebat. Penelitian dilakukan di Kabupaten Magelang yang terletak di lereng barat Gunung Api Merapi. Daerah penelitian dipilih karena
28
Rosalina Kumalawati
Lavigne (2000) menyatakan bahwa sungai-sungai yang berada di lereng barat Merapi termasuk sungai dengan tingkat bahaya banjir lahar tinggi. Terbukti pada kejadian erupsi Gunung Api Merapi 2010, telah terjadi banjir lahar yang mengakibatkan kerusakan permukiman melalui Kali Putih dan Kali Pabelan, yang terletak di lereng barat Gunung Api Merapi. Teori dan pendapat lain yang mendukung pemilihan daerah penelitian adalah material Gunung Api Merapi yang berada di wilayah barat lebih halus dan mudah terbawa arus air hujan, sehingga banjir lahar terjadi lebih dominan di wilayah ini (Surono, 2011). Jumlah material hasil erupsi Gunung Api Merapi yang telah larut dalam banjir lahar awal tahun 2011, baru mencapai sekitar 30 persen, apabila terjadi hujan dengan intensitas sebesar 40 mm/ jam, maka mampu untuk melarutkan material hasil erupsi Gunung Api Merapi dan menjadi banjir lahar (Subandriyo, 2011). Rumah yang terancam banjir lahar ada 80 ribu karena terletak dalam radius kurang dari 300 meter dari aliran sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi (PU Proyek Merapi, 2011).
Tujuan Penelitian Berdasarkan pendahuluan, tujuan penelitian ini adalah: 1. Agihan keruangan luapan banjir lahar, 2. Penilaian tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar
Metode Metode pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling berdasarkan tebal endapan banjir lahar. Prosedur penentuan sampel menurut Mustafa (2000), yaitu 1) menyiapkan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
29
sampling frame, 2) membagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki, 3) menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, 4) memilih sampel dari setiap stratum secara acak (Gambar 5, 6, 7, 8, dan 9).
Teknik analisis data dalam penelitian adalah : 1. Agihan Keruangan Luapan Banjir Lahar Agihan keruangan luapan banjir lahar diketahui melalui survei lapangan, GPS Tracking dan Cross Section.
30
Rosalina Kumalawati
a. GPS Tracking
Tracking dilakukan pada luapan banjir lahar yang terjadi di daerah penelitian dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) (Kumalawati dkk, 2012; Rijal, 2012). Metode ini untuk mengetahui luas luapan banjir lahar (Gambar 10).
Gambar 10. GPS Tracking
b. Cross Section Cross Section dilakukan untuk menghitung luas penampang sungai berdasarkan hasil perhitungan lapangan menggunakan laser ace dan analisis topografi. Metode ini mengasumsikan volume setengah tabung sehingga diperoleh skenario volume dari setiap penampang melintang. Banjir lahar diprediksi menujur kontur yang lebih rendah, berdasarkan hal ini maka dapat diketahui arah luapan banjir lahar. 2. Penilaian Tingkat Kerusakan Permukiman akibat Banjir Lahar Kerusakan permukiman dinilai dengan menggunakan kriteria kerusakan bangunan (Tabel 1).
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
31
Hasil dan Pembahasan
1. Agihan Keruangan Luapan Banjir Lahar a. Banjir Lahar di Kali Putih Banjir lahar dari Kali Putih melewati Desa Jumoyo, Gulon, Seloboro, Sirahan di Kecamatan Salam dan Desa Blongkeng di Kecamatan Ngluwar. Banjir lahar dari Kali Putih, pertama kali meluap di Desa Jumoyo, Gulon, Seloboro, Sirahan Kecamatan Salam dan Blongkeng di Kecamatan Ngluwar (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 diketahui luas luapan banjir lahar di Kecamatan Salam adalah 1,71 km2. Luapan banjir lahar yang paling luas di Desa Sirahan yaitu 0,80 km2 atau 46,78 % dari total banjir lahar di empat desa tersebut. Luas luapan banjir lahar paling kecil di Desa Gulon, yaitu 0,14 km2 atau 8,19 % dari total lahar yang meluap di Kecamatan Salam. Perbedaan luas luapan banjir lahar di masing-masing desa dapat dilihat dari letak Kali Putih yang mengalir pada setiap desa. Agihan banjir lahar dengan ketinggian yang berbeda di setiap desa. Desa Gulon, ketinggian banjir lahar 2 meter dan 3 meter. Ketinggian banjir lahar setinggi 3 meter dari Desa Jumoyo turun menjadi 2 meter pada arah Desa Gulon. Desa Jumoyo, terdapat ketinggian banjir lahar mulai dari 1 meter hingga 3 meter. Tinggi endapan banjir lahar 3 meter mendominasi daerah yang berada di bantaran Kali Putih, ketinggian berkurang menjadi 2 meter ke arah Desa Gulon hingga ke Desa Seloboro, Tinggi endapan banjir lahar 1 meter ada di dekat Bukit Gendol (selatan sungai Kali Putih). Memasuki Desa Seloboro, ketinggian banjir lahar setinggi 2 meter berasal dari Desa Jumoyo masih tetap melimpas. Banjir lahar dengan ketinggian 2 meter terus mengalir mengikuti alur Kali Putih hingga menuju Desa Sirahan, sebelum memasuki Desa
32
Rosalina Kumalawati
Sirahan, tepatnya di perbatasan Desa Seloboro-Sirahan, banjir lahar kembali meningkat menjadi 3 meter. Tabel 1. Kriteria Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar No
Kategori Kerusakan
Kriteria Kerusakan
Uraian • •
Bangunan hanyut terbawa • banjir lahar, bangunan H a n y u t / roboh, total bangunan • 1. Roboh tertimbun lahar atau sebagian besar komponen • struktur rusak • • • • Bangunan masih berdiri, • sebagian besar komponen R u s a k • 2. struktur rusak dan Berat • komponen arsitektural rusak • • • Bangunan masih berdiri, • sebagian kecil komponen • R u s a k 3. struktur rusak dan Sedang komponen arsitektural • rusak • Bangunan masih berdiri, tidak ada kerusakan R u s a k 4. struktur, hanya terdapat Ringan kerusakan komponen arsitektural
• • • • •
• Bangunan utuh, tidak ada • T i d a k kerusakan struktur, hanya 5. Rusak terkena genangan lahar di • teras rumah
Sumber: BAKORNAS, 2006
Bangunan hilang atau roboh total Bangunan terkubur endapan lahar lebih dari 50% Bagian bangunan hilang sebesar 50 % atau lebih Sebagian besar kolom, balok, dan/ atau atap rusak Sebagian besar dinding dan langitlangit roboh Instalasi listrik rusak total Pintu/jendela/kusen hilang atau rusak total Bangunan masih berdiri Bangunan tertimbun endapan lahar 50% Sebagian rangka atap patah Balok kolom sebagian kecil patah Sebagian dinding dan/atau atap roboh/rusak Sebagian instalasi listrik rusak/ terputus Pintu/jendela/kusen rusak parah Bangunan masih berdiri Bangunan tertimbun lahar 30% Retak-retak pada dinding dan/atau atap Instalasi listrik rusak sebagian Pintu/jendela/kusen rusak sebagian Bangunan masih berdiri Bangunan tergenang lahar kurang dari 30% Pintu/jendela/kusen perlu diperbaiki Instalasi listrik tidak rusak Dinding perlu di cat kembali Bangunan masih berdiri Tidak ada kerusakan pada pintu/ jendela Terkena genangan lahar di teras kurang dari 20 cm
33
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
Banjir lahar setinggi 3 meter melimpas menuju Desa Sirahan dan berangsur turun menjadi 2 meter. Banjir lahar yang melimpas ke bantaran Kali Putih secara berangsur turun ketinggiannya menjadi 1 meter. Ketinggian banjir lahar kembali meninggi hingga 3 meter sebelum perbatasan Desa Sirahan Kecamatan Salam dengan Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar. Ketinggian limpasan banjir lahar sangat dipengaruhi oleh kondisi morfologi Kali Putih yang mengalir di setiap desa. Tebing Kali Putih rendah, maka limpasan banjir lahar tinggi, apabila tebing Kali Putih tinggi, maka banjir lahar tidak melimpas namun hanya menggerus tebing sungai (Gambar 11 dan Tabel 3). Tabel 2. Luas Luapan Banjir Lahar di Kecamatan Salam No
Kecamatan
1 2 3
Salam
4 Jumlah
Desa Nama
Luas Banjir Lahar
Luas Administrasi (km ) 2
Km2
%
Jumoyo
5,68
0,54
31,58
Seloboro
1,83
0,23
13,45
Sirahan
2,38
0,80
46,78
Gulon
4,40
0,14
8,19
14,29
1,71
100
Sumber: Hasil Pengolahan, 2012
Gambar 11. Tebing Sungai Kali Putih (Foto: Kumalawati dkk, 2012)
34
Rosalina Kumalawati
Tabel 3. Tinggi Endapan Banjir Lahar di Setiap Desa
No
Kecamatan
1
Desa
Seloboro
2
Sirahan Salam
3
Gulon
4
5
Jumoyo
Blongkeng
Ngluwar
Tinggi Endapan Banjir Lahar (m)
%
1
0,02
1,01
2
0,03
1,52
3
0,17
8,59
1
0,21
10,61
2
0,18
9,10
3
0,35
17,69
1
-
-
2
0,14
7,07
3
0,017
0,86
1
0,21
10,61
2
0,28
14,15
3
0,1
5,05
1
0,02
1,01
2
0,022
1,11
0,23
11,62
1,979
100
3 Jumlah
Luas km2
Sumber: Hasil Pengolahan, 2012
Desa Sirahan adalah desa yang didominasi oleh ketinggian endapan banjir lahar paling tinggi, tinggi endapan 3 meter dengan luasan mencapai 0,35 km2 atau sebanding dengan 17,69 % dari total seluruh tinggi endapan banjir lahar. Paling rendah adalah Desa Gulon, dengan ketinggian endapan banjir lahar setinggi 3 meter seluas 0,017 km2. Banjir lahar dari Kali Putih berakhir di Desa Blongkeng. Banjir lahar di Desa Blongkeng di dominasi ketinggian 3 meter, akan tetapi banjir lahar tidak melimpas hingga permukiman, melainkan banjir lahar hanya menggerus tebing sungai, sehingga menyebabkan longsor kemudian menghanyutkan rumah-rumah yang terdapat di atas tebing sungai (Gambar 12) .
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
35
Gambar 12. Banjir lahar mengakibatkan tebing longsor di Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar (418488 mT, 9156100 mU) (Foto: Kumalawati dkk, 2012)
b. Banjir Lahar di Kali Pabelan Banjir lahar yang melalui Kali Pabelan telah melimpas di beberapa desa yaitu Desa Tamanagung, Gondosuli, Adikarto Kecamatan Muntilan dan Desa Ngrajek Kecamatan Mungkid. Banjir lahar dari Kali Pabelan paling luas melimpas di Desa Ngrajek dengan luas 0,05 km2 atau 48,60 % dari keseluruhan luas limpasan banjir lahar. Paling rendah di Desa Tamanagung hanya 14,95 % dari keseluruhan luas limpasan (Tabel 4). Tabel 4 menunjukkan luas luapan banjir lahar dari Kali Pabelan pada ke empat desa mempunyai luasan kurang dari 1 km2. Berdasarkan pengamatan lapangan, hal ini disebabkan oleh ketinggian tebing sungai Kali Pabelan yaitu di Desa Gondosuli dan Desa Adikarto. Banjir lahar yang terjadi menggerus tebing sungai sehingga terjadi guguran tebing atau longsor dan menghanyutkan rumah-rumah yang berada di atasnya (Gambar 13).
36
Rosalina Kumalawati
Tabel 4. Luas Luapan Banjir Lahar dari Kali Pabelan
No
Kecamatan
1 2
Muntilan
3 4
Mungkid
Desa Nama
Luas
Luas Administrasi
km
2
%
Adikarto
1,91
0,02
15,89
Tamanagung
3,28
0,02
14,95
Gondosuli
3,21
0,02
20,56
Ngrajek
1,64
0,05
48,60
10,04
0,11
100
Jumlah
Sumber: Hasil Pengolahan, 2012
Gambar 13. Desa Gondosuli (kiri) dan Desa Adikarto (kanan) Kecamatan Muntilan (Foto : Kumalawati dkk, 2012)
Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan, selain memiliki ketinggian tebing sungai yang mampu menahan limpasan banjir lahar, ada faktor lain yang dapat mengurangi limpasan banjir lahar yaitu keberadaan rel (bekas rel kereta api) yang dahulu menghubungkan Yogyakarta-Magelang. Hasil wawancara dengan penduduk sekitar, peneliti mendapatkan informasi bahwa pada saat terjadi banjir lahar, bebatuan, pohon dan lain sebagainya yang terbawa oleh banjir lahar tersangkut pada rel tersebut sehingga mengurangi daya gerus banjir lahar terhadap tebing sungai dan mengurangi limpasan serta longsoran tebing sungai (Gambar 14).
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
37
Banjir lahar paling luas melimpas di Desa Ngrajek Kecamatan Mungkid, karena pada desa ini ketinggian tebing sungai yang rendah. Banjir lahar yang yang berasal dari Kali Pabelan mengakibatkan berbagai tingkat kerusakan permukiman di desa ini. Tinggi endapan di Kali Pabelan dapat dilihat pada Tabel 5. Ketinggian endapan banjir lahar paling luas adalah di Desa Ngrajek Kecamatan Mungkid, yaitu seluas 0,03 km2 atau 26,62 % dari luas keseluruhan banjir lahar. Ketinggian endapan banjir lahar setinggi 2 meter pada desa ini senilai 0,02 km2 atau 17, 75 %, ketinggian endapan ini sama dengan ketinggian endapan 1,5 meter yang terjadi di Desa Tamanagung. Ketinggian endapan banjir lahar yang paling rendah adalah pada Desa Adikarto Kecamatan Muntilan, seluas 0,0001 km2 dengan ketinggian 2 meter. Ketinggian banjir lahar di Kali Pabelan juga dipengaruhi oleh kondisi tebing sungai, seperti yang terjadi pada Kali Putih. Agihan keruangan banjir lahar yang melimpas di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh morfologi sungai yang dialiri banjir lahar tersebut.
Gambar 14. Desa Tamanagung (kiri) dan Desa Ngrajek (kanan) (Foto : Kumalawati dkk, 2012)
38
Rosalina Kumalawati
Tabel 5. Tinggi Endapan Banjir Lahar dari Kali Pabelan No
Kecamatan
1 2
Adikarto Muntilan
3 4
Desa
Tamanagung Gondosuli
Mungkid
Ngrajek
Tinggi Endapan Banjir Lahar (m)
Luas km2
%
1
0,017
15,08
2
0,0001
0,09
1,5
0,02
17,75
2
0,0026
2,31
1
0,012
10,65
2
0,011
9,76
1
0,03
26,62
2
0,02
17,75
0,11
100
Jumlah
Sumber: Hasil Pengolahan, 2012
2. Penilaian Tingkat Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Penilaian tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar terdiri dari dua bagian, yaitu kondisi permukiman sebelum banjir lahar 2010 dan kondisi permukiman setelah banjir lahar. a. Kondisi Permukiman Sebelum Banjir Lahar Parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi rumah antara lain material dinding, material lantai, jenis atap, jumlah lantai dan jarak rumah dari sungai. Silitonga (2010) untuk rumah permanen, rumah tersebut minimal memiliki kriteria mempunyai fondasi, dinding berupa batu bata/batako, atap genteng dan memiliki lantai berupa plester/keramik (Gambar 15). Rumah yang disurvei didominasi material bata/batako, atap genteng, dengan lantai berupa semen dan hanya satu tingkat. Jarak terhadap sungai, dikelompokkan 42 rumah berada jarak 0-50 meter, 30 rumah (51-
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
39
100 meter), dan 17 rumah (100 ̶ 250 meter) dari sungai (Tabel 6). Tabel 6. Jumlah Sampel Rumah Berdasarkan Jarak dari Sungai No. Jarak dari Sungai (m) 1. 0-50 2. 51-100 3. 101-250 Jumlah
Jumlah Rumah 42 30 17 89
Sumber: Hasil Pengolahan dan Analisis Data Primer, 2012
Gambar 15. Kondisi Rumah Permanen di Daerah Penelitian (Foto: Kumalawati dkk, 2012)
b. Kondisi Permukiman Pascabanjir Lahar Kondisi permukiman pascabanjir lahar dikelompokkan menjadi beberapa kelas kerusakan permukiman sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Tabel 7). Total keseluruhan jumlah rumah yang terkena banjir lahar adalah 1.439 rumah. Kelas kerusakan permukiman didominasi roboh/hanyut sebanyak 819 rumah, kemudian rusak sedang sebanyak 270 rumah, kemudian rusak ringan 183 rumah, rusak berat 89 rumah dan tidak rusak sejumlah 78 rumah. Permukiman paling banyak terkena dampak banjir lahar adalah Desa Sirahan Kecamatan Salam sejumlah 860 rumah. Desa
40
Rosalina Kumalawati
paling sedikit terkena dampak banjir lahar adalah Desa Gondosuli Kecamatan Muntilan sejumlah 7 rumah. Sebaran kerusakan permukiman tidak merata tiap desa. Gambar 16; Gambar 17; dan Gambar 18 memperlihatkan penyebaran kerusakan permukiman di setiap desa. Kerusakan permukiman paling parah di Desa Sirahan sebanyak 553 rumah roboh/hanyut (Tabel 7). Kelas kerusakan kedua adalah Rusak Sedang, Desa Sirahan Kecamatan Salam masih mendominasi dengan 149 rumah. Hampir seluruh desa memiliki permukiman dengan kelas kerusakan Rusak Sedang, hanya satu desa yang tidak termasuk yaitu Desa Gondosuli Kecamatan Muntilan. Selanjutnya kelas kerusakan Rusak Ringan, hampir seluruh desa terdapat didalamnya, ada dua desa yang tidak termasuk yakni Desa Tamanagung dan Blongkeng. Desa yang terbanyak memiliki rumah dengan kelas kerusakan permukiman Rusak Ringan adalah Sirahan dengan 75 rumah. Kelas kerusakan Rusak Berat, tiga desa tidak termasuk dalam kerusakan ini yaitu Gulon, Tamanagung dan Gondosuli. Desa paling banyak mengalami kerusakan Rusak berat adalah Sirahan 43 rumah.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
41
Tabel 7. Kelas Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Kelas Kerusakan Permukiman No Kecamatan
Desa
1
Jumoyo
2
Gulon
3
Salam
4 5
Sirahan Ngluwar
6 7
Muntilan
8 9
Seloboro
Mungkid
Blongkeng
Roboh/
Rusak
Rusak
Rusak
Tidak
Hanyut
Berat
Sedang Ringan
Rusak
Jumlah Rumah
108
8
19
61
24
220
0
0
25
3
0
28
97
15
5
1
1
119
553
43
149
75
40
860
56
5
2
0
0
63
Adikarto
0
15
12
1
13
41
Tamanagung
0
0
13
0
0
13
Gondosuli
5
0
0
2
0
7
Ngrajek
0
3
45
40
0
88
819
89
270
183
78
1439
Jumlah
Sumber: H asil Pengolahan Data Primer, 2012; dan Analisis Peta Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar, 2012
Kelas kerusakan permukiman paling sedikit jumlahnya adalah Tidak Rusak. Pada kelas kerusakan ini rumah bukan berarti tidak rusak sama sekali, melainkan bangunan masih berdiri, tak ada kerusakan pada pintu/jendela dan terkena genangan lahar kurang dari 20 cm. Pada kelas kerusakan ini, masih didominasi oleh Desa Sirahan yakni 40 rumah.
Kesimpulan 1. Total luapan lahar Kali Putih sebesar 1,97 km2, Kali Pabelan sebesar 0,11 km2. 2. Banjir lahar Kali Putih paling luas di Desa Sirahan Kecamatan Salam seluas 0,74 km2. Kali Pabelan paling luas di Desa Ngrajek Kecamatan Mungkid seluas 0,052 km2 dengan persentase 48,60 %.
42
Rosalina Kumalawati
3. Tingkat kerusakan paling parah akibat banjir lahar dari Kali Putih adalah Desa Sirahan Kecamatan Salam dengan total rumah rusak mencapai 860 rumah, dengan rincian Roboh/ Hanyut sebanyak 553 rumah, Rusak Berat 43 rumah, Rusak Sedang 149 rumah, Rusak Ringan 75 rumah dan Tidak Rusak 40 rumah. 4. Kerusakan akibat banjir lahar Kali Pabelan adalah Desa Ngrajek Kecamatan Mungkid dengan total rumah rusak sebanyak 88 rumah, rinciannya adalah 3 rumah Rusak Berat, 45 rumah Rusak Sedang, dan 40 rumah Rusak Ringan. 5. Tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar tidak hanya disebabkan oleh jarak rumah terhadap sungai dan/ atau tinggi endapan banjir lahar tetapi juga disebabkan oleh kualitas material bangunan permukiman.
Gambar 16. Kelas Kerusakan Permukiman di Desa Jumoyo, Gulon dan Seloboro Kecamatan Salam, Tahun 2012
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
43
Gambar 17. Kelas Kerusakan Permukiman Desa Sirahan Kecamatan Salam; Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar; dan Adikarto Kecamatan Muntilan, 2012
Gambar 18. Kelas Kerusakan Permukiman di Desa Ngrajek Kecamatan Mungkid; Desa Tamanagung dan Desa Gondosuli Kecamatan Muntilan , 2012
44
Rosalina Kumalawati
Daftar Pustaka
BAKORNAS. 2006. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta: Direktorat Mitigasi Kalakhar BAKORNAS PB. Hadmoko, Danang Sri., Marfai, Muh Aris., Widiyanto. 2011. Pemodelan Mikrozonasi Risiko Bahaya Lahar Akibat Erupsi Merapi 2010 di Wilayah Perkotaan : Kasus Aliran Sungai Code. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. Kumalawati, Rosalina., P, Afrinia Lisditya., Rijal, Seftiawan S. 2012. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar PascaErupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional PJ dan SIG 2012 UMS. Surakarta : Fakultas Geografi UMS. Kumalawati, Rosalina. Rijal, Seftiawan Samsu. Rijanta. Sartohadi, Junun. Pradiptyo, Rimawan. 2012. The Mapping of Lahar Flood Risk About Residential In Salam Sub-District, Magelang, Central Java. Proceeding The 2nd ACIKITA International Conference. Jakarta : ACIKITA Publishing. Kumalawati, Rosalina. Rijal, Seftiawan Samsu. Rijanta. Sartohadi, Junun. Pradiptyo, Rimawan Pradiptyo. 2012. The Evaluation of Residential Development Based on Lahar Risk Analysis in Kali Putih Sub-watershed, Magelang, Central Java, Indonesia. Proceeding The 2nd ACIKITA International Conference. Jakarta : ACIKITA Publishing. Kumalawati, Rosalina. Rijal, Seftiawan Samsu. Rijanta. Sartohadi, Junun. Pradiptyo, Rimawan Pradiptyo. 2012. Pemetaan Tingkat Kerawanan Banjir Lahar Untuk Evaluasi Pengembangan Permukiman Berdasarkan Batas Dusun di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Menuju Masyarakat Madani dan Lestari. Yogyakarta : DPPM UII. Lavigne, F., et al. 2000. Instrumental Lahar Monitoring at Merapi Volcano, Central Java, Indonesia. Journal of Volcanology
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
45
and Geothermal Research 100: 457-478.
Mustafa, Hasan. 2000. Teknik Sampling. home.unpar.ac.id/~hasan/ SAMPLING. Diakses pada 1 Maret 2012. PU Proyek Merapi. 2011. Bangunan Sabo DAM. Magelang: PU Proyek Merapi Rijal, Seftiawan Samsu. 2012. Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar PascaErupsi Gunung Api Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang. Skripsi. Surakarta: Fakultas Geografi UMS. Tidak dipublikasikan. Subandriyo. 2011. “Banjir Lahar Dingin Belum Berhenti”. regional. kompasiana.com. Diakses pada 15 Maret 2012. Subandriyo. 2011. “Berpotensi Kembali Terjadi di Musim Hujan Banjir Lahar Dingin”. www.republika.co.id. Diakses pada 15 Maret 2012. Sumintaredja, P. 2000. Vulkanologi. Bandung: ITB. Surono. 2011. Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi Mengancam Magelang. news.okezone.com. Diakses pada 16 Maret 2012. Silitonga, Petra Silas. 2010. Definisi Perumahan dan Rumah. Diakses 1 Oktober 2012.
3 Pemetaan Tingkat Risiko Banjir Lahar Di Sub-DAS Kali Putih Kabupaten Magelang Jawa Tengah1
Intisari
Dampak Bencana Alam banjir lahar terhadap aspek fisik telah banyak di angkat, dampak terhadap aspek sosial ekonomi belum banyak di teliti. Penelitian bertujuan untuk menyusun kelas risiko lahar, mengetahui persepsi masyarakat terhadap risiko lahar, dan melakukan valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat lahar di daerah penelitian. Pemilihan daerah penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Unit analisis seluruh desa di kecamatan sepanjang Kali Putih. Setiap desa di wakili 2-4 responden untuk wawancara. Penentuan sampel responden dilakukan menggunakan teknik random sampling dengan sistem undian. Teknik statistik korelasi di gunakan untuk analisis hubungan persepsi masyarakat terhadap risiko lahar. Hasil penelitian menunjukkan daerah penelitian mempunyai area yang tidak berisiko sebesar 76.93%, risiko rendah 7.78 %, risiko sedang 8.38% dan risiko tinggi 6.91% dari seluruh daerah penelitian. Jumoyo, Seloboro, Sirahan dan Blongkeng mempunyai risiko tinggi. Persepsi masyarakat berpengaruh pada risiko lahar walaupun nilai “r” kecil yaitu 0,557 (korelasi sedang). Hasil perhitungan ekonomi menunjukkan jumlah kerugian karena lahar untuk rumah permanen bervariasi tergantung besar kecilnya kerusakan. Prioritas penanganan untuk mengurangi risiko lahar lebih ditekankan pada mitigasi dan adaptasi. Rosalina Kumalawati, Junun Sartohadi, Norma Yuni Kartika dan Seftiawan S Rijal
1
46
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
47
Kata Kunci : P emetaan, Risiko Lahar, Persepsi Masyarakat, Valuasi Ekonomi
Pendahuluan Indonesia negara kepulauan, terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia sangat rawan bencana letusan gunung berapi. Gunung api adalah suatu jalan keluar di permukaan bumi yang dilalui oleh magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi. Sampai saat ini terdapat 129 gunung berapi yang masih aktif dan 500 tidak aktif di Indonesia. Gunung berapi aktif yang ada di Indonesia merupakan 13 persen dari seluruh gunung berapi aktif di dunia, 70 gunung di antaranya merupakan gunung berapi aktif yang rawan meletus dan 15 gunung berapi kritis. Potensi bahaya vulkanik gunung api dapat dibedakan menjadi bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan yang biasanya disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunung api yang bercampur dengan air hujan yang turun di puncak dengan konsentrasi tinggi yang disebut dengan aliran lahar (Wahyono, 2002). Aliran lahar Gunung Merapi mengalir di beberapa sungai sekitar Merapi. Daerah yang berpotensi terkena lahar sesudah erupsi yaitu daerah disekitar aliran sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi. Sungai-sungai tersebut antara lain Kali Gendol, Kali Kuning dan Kali Opak (lereng Selatan), Kali Woro (lereng Tenggara),
48
Rosalina Kumalawati
Kali Senowo (lereng Barat laut), Kali Lamat dan Kali Putih (lereng Barat), Kali Krasak, Kali Boyong, dan Kali Bedog (lereng Barat Daya). Dari sungai tersebut yang perlu diwaspadai bahaya lahar Merapi adalah pada lereng barat daya, tepatnya di Kecamatan Srumbung dan Dukun yang termasuk padat penduduk (Deliana, 2011). Ancaman bahaya banjir lahar akan lebih berbahaya jika terjadi di daerah yang datar dan padat permukiman. Bangunan permukiman merupakan salah satu elemen risiko yang penting untuk menentukan tingkat risiko banjir lahar. Salah satu contoh yang terjadi yaitu di Sub Das Kali Putih Kabupaten Magelang. Luapan banjir lahar merusak permukiman di sekitar Kali Putih. Tabel 1 Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar PascaErupsi Gunung Api Merapi 2010. Salah satu kerusakan yang diakibat banjir lahar adalah menerjang bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Banjir lahar yang terjadi membuat tepi sungai semakin lebar sehingga mampu menimbun bangunan-bangunan yang dilewatinya. Akibat luapan aliran lahar yang melebihi daya tampung sungai, terdapat banyak bangunan permukiman, sarana umum serta bangunan infrastruktur yang rusak cukup parah. Area risiko banjir lahar di daerah penelitian belum dipetakan secara detail, oleh karena itu diperlukan pemetaan yang mempunyai skala detail, karena banjir lahar dimungkinkan akan terjadi di tempat yang sama.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
49
Tabel 1. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar Pasca-Erupsi Gunung Api Merapi 2010 – 2011 Desa Jumoyo
Rumah Rumah Rumah Rusak Rumah Rusak Pengungsi Roboh/Hanyut Rusak Berat Ringan Sedang 54 36 5 1005
Gulon Seloboro Sirahan Blongkeng Jumlah
-
4
-
-
1005
-
2
2
7
68
11
58
-
-
-
-
6
-
-
-
65
106
2
12
2978
Sumber: BNPB, 17 Januari 2011
Tujuan Penelitian Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini adalah : 1. Menyusun kelas risiko lahar, 2. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap risiko lahar, dan 3.
Melakukan valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat lahar di daerah penelitian.
Metode Penelitian 1. Pemetaan Tingkat Risiko Lahar Penentuan daerah risiko lahar dilakukan dengan interpolasi kontur atau morfologi sungai di daerah penelitian, interpretasi citra Ikonos khususnya pada blok bangunan, dan tracking area terdampak (pengukuran existing lahar). Interpolasi kontur diperlukan untuk mengidentifikasi daerah bahaya banjir lahar dengan melihat arah luapan. Luapan diprediksi akan menuju arah kontur yang lebih rendah dari sekitarnya. Selanjutnya dari hasil pengukuran lapangan dan dari hasil pengolahan dapat dibuat peta tingkat risiko lahar.
50
Rosalina Kumalawati
2. Persepsi Masyarakat terhadap Risiko Lahar Pengaruh persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman terhadap risiko lahar dapat dihitung dengan mengetahui hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Analisis dilakukan dengan menggunakan pengolahan data statistik (uji statistik). Teknik analisa yang digunakan yaitu korelasi product moment, dengan rumus :
Keterangan : rxy : angka indek korelasi ‘r’ product moment x2 : jumlah deviasi skor X setelah terlebih dahulu dikuadratkan y2 : jumlah deviasi skor Y setelah terlebih dahulu dikuadratkan Besar persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman terhadap risiko lahar diperoleh dari hasil wawancara dengan penduduk yang tinggal di daerah yang berada di desadesa sepanjang Sub Das Kali Putih. 3. Valuasi Ekonomi Dampak Kerusakan akibat Lahar Variabel-variabel untuk keperluan analisis valuasi ekonomi, untuk mengetahui dampak kerusakan akibat lahar merupakan data primer. Metode yang digunakan adalah CVM menggunakan kuesioner.
Metode Penelitian 1. Pemetaan Tingkat Risiko Lahar Arah luapan lahar diasumsikan menuju kontur yang lebih
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
51
rendah dari sekitarnya. Menggunakan interpolasi kondisi morfologi di lapangan, maka dapat diketahui sejauh mana aliran luapan lahar. Hasil perhitungan dicek dengan identifikasi luapan lahar (existing) dan peta blok bangunan, yang kemudian dijadikan peta tingkat risiko banjir lahar. Karakteristik aliran lahar yang mempunyai kekentalan tinggi, cukup sulit untuk diprediksi. Karena aliran lahar membawa material berupa lumpur, pasir, kerikil bahkan sampai bongkahan batu. Aliran akan menuju ke arah yang lebih rendah. Hasil pengukuran existing luapan lahar yang sudah terjadi di Sub Das Kali Putih, aliran lahar mulai meluap di Desa Jumoyo. Total luas area terdampak yaitu sebesar 1.7 Km2 (lihat Tabel 2). Desa Sirahan Kecamatan Salam merupakan desa yang terdampak paling luas (45.532%) dari total luas area terdampak. Desa Sirahan merupakan desa yang paling parah (lihat Gambar 19). Desa Jumoyo Kecamatan Salam juga merupakan desa yang terdampak cukup parah (32.883%) dari total luas area terdampak. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan tracking GPS dan pengukuran Total Station Robotik. Dengan melakukan pengukuran existing
area terdampak dan interpretasi ikonos khususnya pada blok bangunan permukiman, dapat diketahui daerah yang termasuk ke dalam tingkat risiko tinggi. Peta tingkat risiko banjir lahar di daerah penelitian, menggunakan parameter berupa frekuensi dengan melakukan wawancara kepada penduduk mengenai kejadian banjir lahar, serta analisa adanya kemungkinan kejadian di waktu yang akan datang.
52
Rosalina Kumalawati
Tabel 2. Luas Area Terdampak (Existing) Luapan Lahar No 1 2 3 4 5
Kecamatan Desa Salam Gulon Jumoyo Seloboro Sirahan Ngluwar Blongkeng Jumlah
Luas Area (km2) Persentase (%) 0.143 8.037 0.587 32.883 0.241 13.490 0.813 45.532 0.001 0.057 1.785 100
Sumber: Hasil Pengukuran, 2011; Hasil Pengolahan dan Perhitungan, 2012
Gambar 19. Kondisi Desa Sirahan PascaBanjir Lahar (Posisi : 9157924 mU dan 4i9628 mT) (Foto: Kumalawati, 2011)
Peta tingkat risiko banjir lahar diklasifikasikan menjadi empat, yaitu tidak risiko, risiko rendah, risiko sedang dan risiko tinggi (lihat Tabel 3). Tabel 3. Luas Daerah Tingkat Risiko Banjir Lahar Tingkat Risiko Banjir Lahar Tidak Risiko Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Luas (Ha) Persentase (%) 4536.38 76.93 458.78 7.78 494.36 8.38 407.61 6.91 5897.13 100.00
Sumber: Hasil Pengolahan dan Perhitungan, 2012
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
53
Daerah tingkat risiko tinggi merupakan daerah yang terletak dekat dengan sumber bencana, pada umumnya terletak di dekat lembah atau bagian hilir sungai, dan perluasannya sering terjadi pada kelokan sungai dengan kondisi tebing rendah dan kemiringan lereng datar atau hampir datar. Daerah penelitian mempunyai area yang tidak risiko sebesar 76.93%, risiko rendah 7.78 %, risiko sedang 8.38% dan risiko tinggi 6.91% dari seluruh daerah penelitian. Daerah yang mempunyai tingkat risiko tinggi, sebagian besar berada di Desa Jumoyo, Seloboro, Sirahan dan Blongkeng dan terletak pada lereng datar atau hampir datar. Daerah tingkat risiko tinggi, mempunyai luasan yang paling rendah dibandingkan dengan tingkatan risiko yang lainnya, karena daerah tingkat risiko tinggi dekat dengan sumber bencana. 2. Persepsi Masyarakat Terhadap Risiko Lahar Penilaian kerentanan bangunan permukiman didasarkan pada persepsi masyarakat. Rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah rumus Korelasi Product Moment (lihat Tabel 4). Tabel 4. Nilai Indeks Korelasi Variabel Bebas Variabel Terikat Indeks Nilai Nilai Hasil Korelasi r-hitung r-tabel (X) (Y) Persepsi masyarakat Risiko Lahar rxy 0,557 0.396 Korelasi tentang kerentanan Sedang b a n g u n a n permukiman Sumber: Hasil Wawancara, 2012; Hasil Pengolahan dan Perhitungan, 2013
Hasil uji korelasi menunjukkan (rxy) diperolah hasil positif, terdapat korelasi positif atau hubungan searah antara variabel bebas (persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman) dan variabel terikat (risiko lahar). Berdasarkan hasil
54
Rosalina Kumalawati
perhitungan, korelasi antara variabel X dan Y korelasinya sedang. Pengaruh variabel X terhadap variabel Y hanya kecil, kemungkinan ada variabel lain yang lebih berpengaruh dan tidak diteliti. Hal ini bisa dijadikan saran untuk penelitian selanjutnya. 3. Valuasi Ekonomi Dampak Kerusakan Akibat Lahar Valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat lahar dan estimasi nilai dampak bencana memerlukan standar harga yang relevan. Penilaian kerugian yang dilakukan adalah, penilaian kerugian bangunan permukiman akibat banjir lahar. Standar harga yang diperlukan yaitu biaya per meter persegi konstruksi bangunan untuk permukiman. Standar harga yang dimaksud merupakan harga borongan per meter persegi. Survei harga dari intansi terkait (PU dan Indeks Harga Kabupaten Magelang), kontraktor serta masyarakat diperlukan untuk menentukan standar harga yang akan digunakan (lihat Tabel 5). Tabel 5. Standar Harga Bangunan per m2 Tipe Bangunan Permanen
Standar Harga Per m2 PU
Kontraktor Kabupaten Masyarakat
2,441,700 1,250,000
1,300,000
1,000,000
Sumber: Indeks Harga Kabupaten, 2012; Hasil Wawancara, 2012; PU Tahun 2012; Hasil Perhitungan dan Pengolahan, 2013
Perhitungan nilai kerugian bangunan yag dilakukan di daerah penelitian, menggunakan standar harga dari masyarakat. Standar harga masyarakat lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan. Harga borongan per meter persegi, sesuai dengan harga yang beredar di pasaran. Standar harga PU merupakan standar harga yang ditentukan secara nasional. Standar menurut PU yaitu
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
55
bangunan sederhana (bangunan dengan karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana). Dengan demikian, standar harga per meter perseginya cukup mahal jika dibandingkan dengan standar harga yang lain. Standar harga menurut kabupaten, disesuaikan dengan Indeks Harga Kabupaten setiap tahunnya. Harganya tidak terlalu mahal, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga kontraktor dan harga masyarakat. Standar harga kontraktor hampir sama dengan standar harga kabupaten. Standar harga kontarktor biasanya menambahkan biaya jasa kontraktor. Berdasarkan survei yang dilakukan, rata-rata jasa kontraktor mengambil keuntungan sebesar 10%, jika digunakan untuk menghitung nilai kerugian kurang begitu sesuai. Standar harga masyarakat merupakan standar harga yang paling sesuai digunakan untuk menghitung nilai kerugian bangunan permukiman di daerah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan besarnya kerugian dalam rupiah akibat lahar yang mengenai bangunan permukiman (rumah). Kerugian yang dialami masyarakat di daerah penelitian akibat lahar cukup bervariasi baik pada rumah permanen, semipermanen dan nonpermanen (lihat Tabel 6). Rumah permanen, nilai kerugian paling rendah Rp52.000.000,00 dan paling tinggi Rp104.000.000,00. Rumah semipermanen, nilai kerugian terendah Rp24.000.000,00 dan paling tinggi Rp48.000.000,00. Tingkat kerugian rumah nonpermanen, paling rendah Rp9.430.000,00 dan paling tinggi sebesar Rp18.860.000,00.
56
Rosalina Kumalawati
Tabel 6. Tingkat Kerugian Rumah Permanen, Semipermanen dan Nonpermanen
No.
Jenis Rumah
1 2 3
Permanen Semipermanen Nonpermanen
Tingkat Kerugian Rendah Sedang < Rp52.000.000 Rp52.000.000 - Rp104.000.000 < Rp24.000.000 Rp24.000.000 – Rp48.000.000 < Rp9.430.000 Rp9.430.000 – Rp18.860.000
Tinggi > Rp104.000.000 > Rp48.000.000 > Rp18.860.000
Sumber : Hasil Pengukuran Lapangan, Tahun 2011-2012; Hasil Pengolahan dan Perhitungan Data Primer, Tahun 2012-2013
Biaya pembangunan rumah permanen ukuran 90 m2 adalah Rp1.000.000 per meter persegi menggunakan standar harga dari masyarakat (lihat Tabel 5 dan Tabel 7). Material pasir diasumsikan semua dijual dan dirupiahkan maka dapat digunakan untuk membangun rumah permanen sebanyak 5.138 unit rumah (lihat Tabel 8). Jumlah rumah yang dapat dibangun melebihi jumlah rumah yang rusak, yaitu 1.290 unit rumah (lihat Tabel 8). Kesimpulan lahar di daerah penelitian dapat memberikan keuntungan meskipun sebagian besar masyarakat di daerah bencana belum dapat menikmati hasil penjualan material lahar yang berupa pasir. Hasil penjualan material lahar lebih banyak dinikmati masyarakat dari luar daerah bencana dan oleh perusahaan tambang (Data Primer, 2013). Tabel 7. Prediksi Biaya Pembangunan Rumah Berdasarkan Standar Harga Bangunan per m2 di Daerah Penelitian Standar Harga PU Kontraktor Kabupaten Masyarakat
Rumah Permanen Per m2 90 m2 2.441.700 219.753.000 1.250.000 112.500.000 1.300.000 117.000.000 1.000.000 90.000.000
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2013
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
57
Tabel 8. Prediksi Jumlah Rumah dapat Dibangun berdasarkan Prediksi Volume Pasir
PU
2.441.700
219.753.000
Kontraktor
1.250.000
112.500.000
Rumah Rusak Unit karena Rumah Lahar 1290 462.434.733.686 2104 1290 462.434.733.686 4111
Kabupaten
1.300.000
117.000.000
462.434.733.686
1290
3952
Masyarakat
1.000.000
90.000.000
462.434.733.686
1290
5138
Standar Harga
Rumah Permanen Per m2
90 m2
Jumlah material pasir (Rp)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2013
Kesimpulan 1. Hasil pemetaan tingkat risiko banjir lahar di daerah penelitian mempunyai area yang tidak berisiko sebesar 76.93%, risiko rendah 7.78 %, risiko sedang 8.38% dan risiko tinggi 6.91% dari seluruh daerah penelitian. Daerah yang mempunyai tingkat risiko tinggi, sebagian besar berada di desa Jumoyo, Seloboro, Sirahan dan Blongkeng dan terletak pada lereng datar atau hampir datar. 2. Terdapat korelasi positif atau hubungan searah antara variabel bebas (persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman) dan variabel terikat (risiko lahar). Berdasarkan hasil perhitungan, korelasi antara variabel X dan Y korelasinya sedang. Pengaruh variabel X terhadap variabel Y hanya kecil, kemungkinan ada variabel lain yang lebih berpengaruh dan tidak diteliti. 3. Kerugian yang dialami masyarakat akibat lahar yang mengenai permukiman (rumah permanen, semipermanen dan tidak permanen) cukup bervariasi.
58
Rosalina Kumalawati
Daftar Pustaka
Anonim. 2012. Indeks Harga. Magelang: PU Kabupaten. Anonim. 2012. Indeks Harga Kabupaten. Magelang: Bappeda Kabupaten. BNPB. 2011. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar. http://geospasial.bnpb.go.id/. Diakses pada 17 Januari 2011, 09.34 WIB. Deliana AS. R.N. 2011. Tingkat Bahaya Lahar Gunung Merapi Terhadap Lapangan Golf Merapi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta :Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan. Putro, Suyitno Hadi. 2011. Dampak Bencana Aliran Lahar Dingin Gunung Merapi Pascaerupsi di Kali Putih. Yogyakarta : Badan Pertimbangan Penelitian Bidang Sain dan Teknologi Universitas Negeri Yogyakarta. Sutrisno, H., 1996. Kapita Selecta Psychologi Karya. Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIP – IKIP. Wahyono, Sri Agus, 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program PascaSarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
4 Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Salam, Magelang dan Jawa Tengah1
Abstrak
Kecamatan Salam merupakan kecamatan yang paling parah terkena banjir lahar pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010. Tujuan penelitian adalah mengetahui luas luapan banjir lahar masingmasing desa dan mengetahui tingkat risiko permukiman akibat banjir lahar di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Metode yang digunakan untuk mengetahui luapan banjir lahar adalah GPS tracking dan cross section. Sebanyak empat desa terkena banjir lahar di Kecamatan ini yaitu Sirahan (45,76%), Jumoyo (32,77%), Seloboro (13,56%) dan Gulon (7,91%). Di antara kerusakan yang diakibatkan oleh banjir lahar adalah kerusakan permukiman. Integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat digunakan untuk melakukan pemetaan kerusakan permukiman dan menentukan tingkat risiko permukiman akibat banjir lahar yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 275 rumah rusak akibat banjir lahar di Jumoyo, 226 rumah di Gulon, 69 rumah di Seloboro dan 861 rumah di Sirahan. Kata Kunci : Risiko, Erupsi, Banjir Lahar, Permukiman
1 Rosalina Kumalawati, Seftiawan S. Rijal, Junun Sartohadi dan Rijanta
59
60
Rosalina Kumalawati
Pendahuluan
Gunung Api Merapi mengalami erupsi pada tahun 2010 dengan VEI 4 atau setara dengan erupsi yang pernah terjadi pada tahun 1822. Jumlah material piroklastik yang dihasilkan pun mencapai angka 150 Juta m3, atau 30 kali lipat dari jumlah material piroklastik yang dikeluarkan Gunung Api Merapi pada tahun 2006. Di antara bahaya Gunung api yang terus mengancam pascaerupsi adalah bahaya sekunder, yaitu lahar. Pada akhir tahun 2011, banjir lahar yang mengalir melalui Kali Putih meluap hingga merusak permukiman. Kerusakan permukiman yang paling parah terjadi di Kecamatan Salam, terutama Desa Sirahan. Tabel 1 menyajikan tingkat kerusakan permukiman yang diakibatkan oleh banjir lahar yang berasal dari Kali Putih. Banjir lahar bukan saja terjadi hanya pada saat Gunung Api Merapi mengalami erupsi, walaupun Jitousono et al (1995) dan Shimokawa et al (1995) dalam Lavigne (2000) telah memprediksikan bahwa banjir lahar sangat mungkin berulang dalam kurun waktu per 4 tahun pada skala erupsi kecil dan menengah, akan tetapi Volcanological Survey of Indonesia (1995) dalam Lavigne (1999) menyatakan bahwa banjir lahar dapat terjadi hanya karena curah hujan sebesar 40 mm dalam kurun waktu 2 jam. Dengan demikian, diperlukan sebuah kegiatan pemetaan pada daerah bahaya banjir lahar guna mengurangi risiko yang ditimbulkan pada element at risk. Penelitian ini melakukan pemetaan risiko bangunan permukiman sebagai element at risk dengan memperhatikan kondisi topografi, cross section, dan tracking area banjir lahar.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
61
Tabel 1. Tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar yang melalui Kali Putih Kecamatan
Salam
Ngluwar Mungkid Muntilan
Desa Gulon Sucen Jumoyo Seloboro Sirahan Blongkeng Ngrajek Adikarto Tamanagung Gondosuli
Jumlah
Rumah Roboh/Hanyut Rusak Berat Rusak Sedang Rusak Ringan 4 4 54 36 5 2 7 2 11 58 6 5 2 50 13 12 2 11 2 87 135 62 2
Sumber: BNPB (2011)
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui luas luapan banjir lahar di masing-masing desa 2. Mengetahui tingkat risiko permukiman yang terkena banjir lahar
Metode Penelitian Interpretasi citra Penelitian ini menggunakan citra IKONOS multispektral yang memiliki resolusi spasial 4 meter. Citra IKONOS ini direkam pada tahun 2010 sebelum erupsi terjadi, sehingga citra ini tidak digunakan untuk melakukan interpretasi bangunan permukiman yang terkena banjir lahar melainkan citra ini digunakan untuk interpretasi bangunan permukiman yang masih utuh sebelum terkena banjir lahar. Bangunan permukiman memiliki kunci interpretasi antara lain: bentuk, bayangan, ukuran, pola dan situs. Interpretasi dilakukan on screen seperti yang terdapat pada Gambar 20.
62
Rosalina Kumalawati
Gambar 20. Interpretasi Citra
Survei Lapangan Survei lapangan yang dilakukan meliputi cross section dan tracking area luapan banjir lahar. Pada perhitungan cross section, maka dapat diketahui bahwa luas penampang sungai akan memengaruhi volume maksimum yang dapat ditampung oleh sungai tersebut, di mana hal ini akan berpengaruh pada kondisi banjir lahar yang dapat meluap atau tidak. Semakin besar luas penampang sungai maka semakin kecil potensi luapan lahar dan sebaliknya, semakin kecil luas penampamg maka semakin besar potensi luapan lahar. Ilustrasi cross section terdapat pada Gambar 21.
Gambar 21. Cross Section
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
63
Tracking area luapan banjir lahar dilakukan dengan menggunakan GPS. Tracking dilakukan mulai dari Desa Jumoyo, di mana banjir lahar Kali Putih mulai meluap pada desa tersebut, hingga berhenti di Kali Blongkeng. Setelah itu, hasil tracking diubah ke dalam struktur data poligon agar dapat di-overlay sehingga luas luapan banjir lahar dan jumlah permukiman yang rusak dapat diketahui. Sistem Informasi Geografis Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan overlay dan layout peta. Overlay yang dilakukan antara lain terhadap hasil tracking area luapan banjir lahar dan hasil interpretasi bangunan permukiman. Teknik ini dapat memudahkan kita untuk mengetahui bangunan mana saja yang terkena banjir lahar. Gambar 22. menampilkan teknik overlay hasil tracking dan hasil interpretasi bangunan.
Gambar 22. Overlay
64
Rosalina Kumalawati
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan tracking area yang dilakukan, banjir lahar yang meluap di Kecamatan Salam mencapai 1,7 Km2. Desa yang paling parah terdampak banjir lahar adalah Desa Sirahan yakni mencapai 0,81 Km2 sedangkan desa yang paling sedikit terkena banjir lahar adalah Desa Gulon yakni 0,14 Km2. Desa Sirahan terkena banjir lahar paling parah disebabkan Kali Putih yang dilalui banjir lahar mengalir di tengah desa tersebut. Selain itu, penampang sungai yang berada pada desa ini sempit dan tinggi tebing pun rendah, kondisi topografi yang demikian sangat mendukung untuk terjadinya luapan banjir lahar. Tabel 2 menunjukkan luas area desa yang terkena banjir lahar dan Gambar 23 memperlihatkan peta banjir lahar. Tabel 2. Luas Area yang Terkena Banjir Lahar No 1 2 3 4
Kecamatan
Salam
Desa
Luas Area (km2)
Gulon Jumoyo Seloboro Sirahan
0.14 0.58 0.24 0.81 1.77
Jumlah
Sumber: Hasil Perhitungan, 2012
Persentase (%) 7,91 32,77 13,56 45,76 100
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
65
66
Rosalina Kumalawati
Desa Sirahan sebagai desa yang paling parah terkena luapan banjir lahar, juga menjadi desa dengan tingkat bahaya permukiman paling tinggi (sebanyak 861 rumah) dan tingkat tidak berbahaya paling rendah (sebanyak 80 rumah). Hal ini menandakan sebagian besar Desa Sirahan sudah terkena bahaya dari banjir lahar. Desa Gulon adalah desa dengan tingkat terdampak banjir lahar paling rendah, demikian pula dengan kondisi bahaya permukiman akibat banjir lahar, Desa Gulon adalah desa dengan tingkat permukiman tidak berbahaya paling tinggi yakni sebanyak 3022 rumah. Hal ini diakibatkan oleh letak Kali Putih yang berada di perbatasan Desa Gulon dengan Desa Jumoyo dan Desa Seloboro, tidak seperti desa lainnya, di mana Kali Putih berada di tengah desa tersebut. Tabel 3 menampilkan tingkat bahaya permukiman akibat banjir lahar dan gambar 24 menampilkan peta bahaya permukiman akibat banjir lahar. Tabel 3. Tingkat Bahaya Permukiman No Kecamatan 1 2 3
Salam
4
Desa
Tingkat Bahaya Permukiman Tinggi Sedang Rendah Tidak Berbahaya
Gulon
226
112
173
3022
Jumoyo
275
411
748
1822
Sirahan
861
391
14
80
Seloboro
Jumlah Sumber: Hasil Pengolahan, 2012
69
307
120
287
1431
1221
1055
5211
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
67
Gambar 24. Peta Bahaya Permukiman Akibat Banjir Lahar
Banjir lahar mengalir menuju kondisi topografi yang lebih rendah. Hal ini menjadi salah satu parameter yang diperhatikan dalam pembuatan peta kerentanan. Selain itu, jarak rumah terhadap sungai juga menjadi salah satu masukan dalam pembuatan peta tersebut. Risiko diasumsikan sebagai bahaya dikali kerentanan. Penelitian ini melakukan pembuatan peta bahaya dan peta kerentanan terlebih dahulu untuk kemudian dapat menentukan peta risiko permukiman terhadap banjir lahar. Tabel 4 dan Tabel 5 menampilkan kondisi rumah yang rawan banjir lahar dan berisiko terhadap banjir lahar.
68
Rosalina Kumalawati
Tabel 4. Tingkat kerentanan permukiman
Num. 1 2 3 4 Total
SubDistrict Salam
Village Gulon Jumoyo Sirahan Seloboro
Sumber : Hasil Pengolahan, 2012
Resident susceptibility level (Houses) High
Medium
Low
269 402 926 194 1791
2545 1284 414 543 4786
719 1570 6 46 2341
Gambar 25. Peta Kerentanan Permukiman Akibat Banjir Lahar
69
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
Tabel 5. Tingkat risiko permukiman Num. 1 2 3 4 Total
SubDistrict Salam
Village
Residential risk level (houses) High
Medium
269 433 926 194 1822
69 253 326 182 830
Gulon Jumoyo Sirahan Seloboro
Low 173 748 14 120 1055
No risk 3022 1822 80 287 5211
Sumber : [?]
Gambar 26. Peta Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar
Kesimpulan 1. Desa Sirahan adalah desa yang dikenai banjir lahar terparah sekaligus memiliki permukiman dengan tingkat risiko paling tinggi sebesar 926 rumah.
70
Rosalina Kumalawati
2. Pemetaan risiko permukiman akibat banjir lahar dapat dilakukan dengan membuat peta bahaya dan kerentanan dengan parameter kondisi topografi, jarak rumah terhadap sungai dan luas luapan banjir lahar.
Daftar Pustaka BNPB, Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar, http://geospasial.bnpb.go.id/, 17/01/2011. Lavigne, F., J.C. Thouret, B. Voight, H. Suwa, and A. Sumaryono. 2000. Lahars at Merapi Volcano, Central Java: an Overview, Journal of Volcanology and Geothermal Research, 100 : 423 – 456. Lavigne, Franck. 1999. Lahar Hazard Micro-Zonation and Risk Assessment in Yogyakarta City, Indonesia. GeoJournal Volume 49. Hal : 173 – 183. Rosalina, K., Afrinia, L.P., Seftiawan, S.R. 2012. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar PascaErupsi Gunung Api Merapi 2010 Di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Seminar Nasional Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sumintadiredja, Prihadi. 2000. Catatan Kuliah Volkanologi, ITB, Bandung. Thouret, J.C., F. Lavigne, K. Kelfoun, S. Bronto. 2000. “Toward a Revised Hazard Assessment at Merapi Volcano, Central Java”, Journal of Volcanology and Geothermal Research, 100: 479 – 502. Wahyono, Sri Agus. 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program PascaSarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
71
5 Klasifikasi Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Menggunakan Model Builder GIS1
Banjir lahar pascaerupsi Merapi 2010 telah mengakibatkan kerusakan permukiman salah satunya di Desa Sirahan Kecamatan Salam Kabupaten Magelang. Pemodelan kerusakan permukiman yang terjadi dapat dilakukan sebagai usaha inventarisasi akibat bencana lahar. Penelitian ini bertujuan untuk membuat model builder GIS yang dapat digunakan untuk melakukan pemodelan kerusakan permukiman akibat banjir lahar. Model kerusakan permukiman akibat banjir lahar dapat dijadikan dasar untuk melakukan inventarisasi kerusakan permukiman yang diakibatkan oleh bencana banjir lahar. Adapun inventarisasi dapat meliputi jumlah permukiman, jenis kerusakan, dan lokasi permukiman. Hasil penelitian menunjukkan model builder GIS untuk pemodelan kerusakan permukiman akibat banjir lahar dapat dijalankan dengan operasi intersect, add field dan calculate field. Kerusakan permukiman yang diakibatkan oleh banjir lahar dibagi menjadi 5 kelas yaitu Roboh/Hanyut, Rusak Berat, Rusak Sedang, Rusak Ringan dan Tidak Rusak. Desa Sirahan merupakan desa dengan kerusakan permukiman terbanyak yaitu 969 rumah dengan rincian 584 rumah “Roboh/Hanyut”, 84 “Rusak Berat”, 110 “Rusak Sedang”, 87 “Rusak Ringan” dan 104 “Tidak Rusak”. Kata kunci: Banjir lahar, kerusakan permukiman, model builder GIS
1 Rosalina Kumalawati, Junun Sartohadi, Rijanta, Rimawan Pradiptyo, Seftiawan Samsu Rijal dan Ahmad Syukron Prasaja.
72
Rosalina Kumalawati
Pendahuluan
Banjir lahar pascaerupsi Merapi 2010 telah mengakibatkan kerusakan permukiman di Desa Jumoyo, Seloboro, Sirahan Kecamatan Salam dan Blongkeng Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang. Pemodelan kerusakan permukiman yang terjadi dapat dilakukan sebagai usaha inventarisasi akibat bencana lahar. Sistem Informasi Geografis (SIG) dikembangkan pertama kali oleh Canadian Geographic Information System pada pertengahan 1960−1970 yang didefinisikan pertama kali sebagai pengukuran peta berbasis komputer (Longley et al, 2004). Seiring dengan berjalannya waktu, pemanfaatan teknologi SIG kini telah mendunia. Para ahli sepakat SIG merupakan representasi dari data grafis dan data attribute yang memiliki koordinat geografis. SIG memiliki enam komponen yaitu manusia, software, data, hardware dan prosedur yang kesemuanya terhubung oleh suatu network. Basis data SIG berisi representasi digital dari aspek terpilih dari suatu area di bumi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tujuan tertentu (Longley et al, 2004). Sedangkan Soenarmo (2009) mendefinisikan basis data SIG sebagai kumpulan data yang saling berkaitan yang diperlukan dalam SIG, baik data spasial maupun nonspasial. Keberadaan basis data SIG berguna untuk sharing data antar-user yang tentunya harus terjadi penyamaan format basis data terlebih dahulu. SIG mampu menjawab minimal enam pertanyaan yaitu terkait identifikasi, lokasi, kecenderungan, jalur optimal, pola dan model (Kraak dan Ormelling, 2002). Model yang dapat dilakukan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
73
SIG dapat digunakan untuk peramalan mengenai hal apa yang terjadi jika suatu kondisi diterapkan baik itu terkait simulasi, evaluasi maupun penemuan. Pemodelan dengan menggunakan SIG sangat menguntungkan sebab mampu menjelaskan solusi dari berbagai permasalahan dalam konteks keruangan salah satunya mengetahui kerusakan permukiman akibat banjir lahar.
Metode Penelitian 1. Penyiapan Peta Dasar a. Agihan Keruangan Luapan Banjir Lahar Agihan keruangan luapan banjir lahar diketahui melalui GPS Tracking. Tracking dilakukan pada luapan banjir lahar yang terjadi di daerah penelitian dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Metode ini dilakukan untuk mengetahui luas luapan banjir lahar. Hasil GPS tracking diubah menjadi struktur data polygon sehingga dapat diolah lebih lanjut (Gambar 27).
Gambar 27. GPS Tracking
74
Rosalina Kumalawati
b. Digitasi Bangunan Permukiman Digitasi dilakukan secara on screen. Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam melakukan digitasi on screen terhadap bangunan permukiman antara lain dengan memilih tipe construction tools berupa rectangle. Tipe rectangle dipilih karena berdasarkan hasil interpretasi diketahui bangunan permukiman yang terdapat pada wilayah penelitian berbentuk kotak, sehingga untuk memudahkan digitasi lebih baik digunakan bentuk yang serupa yaitu rectangle daripada menggunakan construction tools yang secara default berupa polygon. Gambar 28 merupakan hasil digitasi bangunan permukiman.
Gambar 28. Hasil Digitasi Bangunan Permukiman
2. Penyiapan Basis Data Menyusun basis data SIG dilakukan dengan mengetahui tipe dan sumber data terlebih dahulu kemudian menentukan fitur ID yang akan digunakan. Tipe dan sumber data yang digunakan untuk menyusun basis data SIG. Tipe dan sumber data yang telah diketahui
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
75
disusun dalam suatu basis data. Basis data dapat memudahkan sharing data antar pengguna atau antar instansi dengan terlebih dahulu menyesuaikan format data yang digunakan. Format yang digunakan dalam penyusunan basis data disesuaikan dengan format BIG dalam katalog fitur dataset fundamental. Format basis data dalam katalog tersebut terdiri dari enam hingga delapan karakter untuk ID setiap objek. Untuk delapan karakter, maka dua ID terdepan untuk singkatan objek dan dua ID terbelakang untuk menjelaskan turunan dari setiap objek yang memiliki kelas sementara empat ID di tengah relatif sama pada setiap objek yang dapat digunakan untuk memulai penomoran. Hal yang sama juga terjadi pada data dengan tipe enam karakter, data yang dipakai pada penelitian ini menggunakan tipe enam karakter. 3. Pembuatan Model Builder Setiap dataset yang digunakan ditunjukkan dengan bentuk elips berwarna biru, bentuk kotak berwarna kuning adalah operasi yang digunakan sedangkan bentuk elips berwarna hijau adalah hasil dari operasi yang dijalankan (lihat Gambar 29).
76
Rosalina Kumalawati
Gambar 29. Contoh Model Builder
Hasil dan Pembahasan Hasil basis data dalam penelitian ini terdiri atas tiga data yaitu bangunan permukiman (rumah) dengan tipe data polygon, luapan banjir lahar berupa polygon dan garis kontur yang berupa line. Akan tetapi pada pemanfaatannya, data garis kontur dilakukan reclassify untuk mendefinisikan kelas kemiringan lereng sehingga tipe data berubah menjadi polygon. Tabel 1 ini menunjukkan tipe data yang digunakan. Contoh hasil pemberian ID pada setiap tipe data disajikan pada Tabel 2 hingga Tabel 4. Tabel 1. Tipe dan Sumber Data No 1 2 3
Tipe Bangunan Permukiman Luapan Banjir Lahar Garis Kontur
Sumber: [?]
Sumber Digitasi On Screen Citra IKONOS GPS Tracking Proyek Pembangunan DAM PU
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
77
Tabel 2. Bangunan Permukiman
No
Tipe
1
GA0010
Deskripsi Tampilan Bangunan yang terdiri dari tidak lebih 2 unit rumah yang dihuni semata – mata untuk tempat tinggal
Sumber: Data Primer, 2013
Tabel 3. Banjir Lahar No
Tipe
Deskripsi
1
ZK0010
Banjir Lahar
Tampilan
Sumber: Data Primer, 2013
Tabel 4. Garis Kontur No
Tipe
Deskripsi
1
EA0010
Garis Kontur
Tampilan
Sumber: Data Primer, 2013
Bentuk model builder yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan permukiman. Pembacaan model builder dilakukan dari sebelah kiri, di mana peta lereng, endapan sirahan dan rumah sirahan dilakukan operasi intersect. Penggunaan operasi intersect dimaksudkan agar terjadi penyatuan geometri dan attribute data, selain itu data yang berada di luar area kajian dapat dipotong oleh operasi ini sehingga tidak termasuk dalam hasil pemodelan (Gambar 30).
78
Rosalina Kumalawati
Gambar 30. Bentuk Model Builder Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar
Expresi perhitungan pada calculate field dapat didefinisikan secara manual, Rumus yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: [Skor_TE] + [Skor_Jrk] + [Skor_Ler] Rumus di atas memiliki pengertian sebagai berikut: Skor_TE adalah harkat tinggi endapan banjir lahar, Skor_Jrk adalah harkat jarak rumah terhadap sungai sedangkan Skor_Ler adalah harkat kemiringan lereng. Hasil penjumlahan menampilkan nilai dengan rentang 7 hingga 11. Pada tabel 5 sehingga ditetapkan terdapat lima kelas kerusakan yaitu Roboh/Hanyut pada nilai 11, Rusak Berat pada nilai 10, Rusak Sedang bernilai 9, Rusak Ringan bernilai 8 dan Tidak Rusak nilainya 7. Peta kelas kerusakan permukiman dapat dilihat pada Gambar 31.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
79
Tabel 5. Kriteria Kerusakan Permukiman No
1.
2.
3.
4.
5.
Kategori Kriteria Kerusakan Kerusakan B a n g u n a n hanyut terbawa banjir lahar, bangunan roboh, Hanyut/ total bangunan Roboh tertimbun lahar atau sebagian besar komponen struktur rusak
Bangunan masih berdiri, sebagian R u s a k besar komponen Berat struktur rusak dan komponen arsitektural rusak Bangunan masih berdiri, sebagian R u s a k kecil komponen Sedang struktur rusak dan komponen arsitektural rusak Bangunan masih berdiri, tidak ada kerusakan R u s a k struktur, hanya Ringan terdapat kerusakan k o m p o n e n arsitektural Bangunan utuh, tidak ada kerusakan T i d a k struktur, hanya Rusak terkena genangan lahar di teras rumah
Sumber: Rijal (2012)
Uraian • Bangunan hilang atau roboh total • Bangunan terkubur endapan lahar lebih dari 50% • Bagian bangunan hilang sebesar 50 % atau lebih • Sebagian besar kolom, balok, dan/atau atap rusak • Sebagian besar dinding dan langit-langit roboh • Instalasi listrik rusak total • Pintu/jendela/kusen hilang/rusak total • Bangunan masih berdiri • Bangunan tertimbun endapan lahar 50% • Sebagian rangka atap patah • Balok kolom sebagian kecil patah • Sebagian dinding dan/atau atap roboh/ rusak • Sebagian instalasi listrik rusak/terputus • Pintu/jendela/kusen rusak parah • Bangunan masih berdiri • Bangunan tertimbun lahar 30% • Retak-retak pada dinding dan/atau atap • Instalasi listrik rusak sebagian • Pintu/jendela/kusen rusak sebagian • • • • •
Bangunan masih berdiri Bangunan tergenang lahar < 30% Pintu/jendela/kusen perlu diperbaiki Instalasi listrik tidak rusak Dinding perlu di cat kembali
• Bangunan masih berdiri • Tidak ada kerusakan pada pintu/jendela • Terkena genangan lahar di teras kurang dari 20 cm
80
Rosalina Kumalawati
Kesimpulan
1. Penyusunan basis data menggunakan pedoman memudahkan sharing data antar pengguna selain itu basis data yang sesuai pedoman terlihat lebih rapi. 2. Penggunaan model builder dalam melakukan pemodelan spasial dapat mempermudah proses mengukur kerusakan permukiman.
Daftar Pustaka Kraak, Menno-Jan., Ormelling, Ferjan. 2002. Kartografi: Visualisasi Data Geospasial. Terjemahan oleh Sukendra Martha, Sukwardjono, Mas Sukoco, Noorhadi Rahardjo, Hartono, Agus H. Atmadilaga, Hardjito Saroso, Trini Hastuti, Mardijani Nugrahaningsih, Priyadi Kardono, Bebas Purnawan, Tuty Handayani, Tjiong Giok Pin. 2006. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Kumalawati, Rosalina., Rijal, Seftiawan Samsu., Rijanta., Sartohadi, Junun., Pradiptyo, Rimawan. 2012. “Pemetaan Tingkat Kerawanan Banjir Lahar untuk Evaluasi Pengembangan Permukiman Berdasarkan Batas Dusun di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional: Menuju Indonesia Madani”. Yogyakarta, 18 Desember 2012. 373-381. Longley, Paul A., Goodchild, Michael F., Maguire, David J., Rhind, David J. 2004. Geographical Information Systems and Science: Second Edition. Jhon Wiley and Sons: England. Rijal, Seftiawan Samsu. 2012. Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar PascaErupsi Gunung Api Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang. Skripsi. Fakultas Geografi UMS: Surakarta. Tidak dipublikasikan. Soenarmo, Sri Hartati. 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis untuk Bidang Ilmu Kebumian. Penerbit ITB: Bandung.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
81
Gambar 31. Peta kelas kerusakan permukiman akibat banjir lahar hasil model builder
82
Rosalina Kumalawati
BAGIAN II
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
83
1 Evaluasi Kesiapsiagaan Masyarakat dan Pemerintah dalam Menghadapi Banjir Lahar di Kali Putih Kabupaten Magelang1
Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010. Penelitian dilakukan di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Srumbung, Salam dan Ngluwar. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei dan wawancara mendalam (in-depth interview). Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), kesbangpolinmas, dan Badan Pusat Statistik (BPS). Analisis hasil dilakukan secara eksplanatif terhadap temuan-temuan lapangan berdasarkan teori-teori yang telah ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemerintah di daerah penelitian sudah melakukan persiapan yang cukup baik, namun masih perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan nonstruktural. Kesiapsiagaan pada masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunung Api Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. Kata kunci : Evaluasi, Kesiapsiagaan, Masyarakat, Pemerintah, Banjir Lahar
Rosalina Kumalawati
1
84
Rosalina Kumalawati
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 129 buah gunung berapi (aktif) dan sekitar 500 gunung api yang telah punah. Gunung Api Merapi di Jawa Tengah merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, sehingga perlu untuk memantau Gunung Api Merapi di beberapa wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dan bagian-bagian Yogyakarta.
Potensi bahaya vulkanik gunung api dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan yang biasanya disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunung api yang bercampur dengan air hujan yang turun di puncak dengan konsentrasi tinggi yang disebut dengan aliran lahar (Wahyono, 2002). Salah satu sungai yang berhulu di puncak Gunung Api Merapi yaitu Kali Putih dan mempunyai potensi terkena banjir lahar. Kali Putih merupakan daerah bahaya Gunung Api Merapi tipe I yang terjangkau debris flow. Ancaman bahaya banjir lahar akan lebih berbahaya jika terjadi di daerah yang datar dan padat permukiman. Salah satu contoh yang terjadi yaitu di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Luapan banjir lahar merusak permukiman di sekitar Kali Putih (Gambar 32). Daftar jumlah bangunan dan jumlah pengungsi di daerah sekitar Kali Putih (Tabel 1).
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
85
Tabel 1. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar PascaErupsi Gunung Api Merapi 2010 - 2011 Desa Jumoyo Gulon Seloboro Sirahan Blongkeng Jumlah
Rumah Rumah Rumah Roboh/ Rusak Berat Rusak Ringan Hanyut 54 36 4 2 2 11 58 6 65 106 2
Sumber: BNPB, 17 Januari 2011
Rumah Rusak Sedang 5 7 12
Pengungsi 1005 1005 68 2978
Gambar 32. Kondisi Rumah Terendam Pasir Akibat Lahar (Kumalawati, 2011)
Dampak banjir lahar akan lebih terasa jika mengenai tempat tinggal ataupun tempat penduduk melakukan aktivitas. Pertumbuhan penduduk yang cepat, dapat mengakibatkan kebutuhan tempat tinggal juga semakin meningkat (Tabel 2 dan 3). Daerah penelitian merupakan desa-desa yang berada di sepanjang aliran Kali Putih dengan tingkat kepadatan penduduk kurang lebih sama dengan tingkat kepadatan penduduk kecamatan.
86
Rosalina Kumalawati
Tabel 2. Perbandingan Kepadatan Penduduk di Kecamatan dan di Daerah Penelitian No
Kepadatan di Daerah Penelitian
Kepadatan di Kecamatan
Kecamatan
Jiwa/Ha 1
Srumbung
2 3
Jiwa/Ha 8.34
8.65
Salam
13.46
13.43
Ngluwar
13.33
14.02
Sumber : BPS, 2012
Tabel 3. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Daerah Penelitian No
Kecamatan
Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2000 ̶ 2010
1
Srumbung
2
Salam
0.55
0.9
3
Ngluwar
0.32
Sumber : BPS, 2012; Hasil Pengolahan, 2012 Tahun 2010/2011
Terjadinya banjir lahar di daerah penelitian seiring
dengan
peningkatan status Gunung Api Merapi. Peningkatan status Gunung Api Merapi direspons dengan cepat oleh pemerintah di daerah penelitian. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan
pemerintah
daerah
dan
masyarakat
guna
meminimalkan korban jiwa dan kerugian harta benda saat banjir lahar terjadi. Kesiapsiagaan merupakan salah satu upaya yang dilakukan pada fase prabencana. Upaya peningkatan kesiapsiagaan menjadi sangat penting agar pada saat terjadi bencana, manusia dapat merespons dengan cepat dan tepat sehingga jatuhnya korban jiwa dapat diminimalkan (Carter, 1991 dalam Sartohadi, dkk, 2014).
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
87
Evaluasi mendalam mengenai kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar Gunung Api Merapi menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji. Menarik untuk dikaji dikarenakan (1) secara administrasi banjir lahar di Kali Putih sudah memutuskan jalur penghubung utama YogyakartaSemarang, (2) upaya mitigasi secara struktural dan nonstruktural juga diperlukan untuk mengurangi risiko bencana, (3) bangunan pengendali sedimen yang terdapat di daerah penelitian perlu dievaluasi, karena saat ini kondisinya sudah rusak terkena banjir lahar, (4) peran masyarakat perlu ditingkatkan untuk menghadapi bencana, dan (5) perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat agar kebijakan mitigasi secara nonstruktural dapat berjalan. Hasil evaluasi kesiapsiagaan dapat digunakan untuk perencanaan jangka panjang dalam menyusun rencana kontingensi (contingency plan) agar risiko dari banjir lahar dapat diminimalkan.
Metode Penelitian Komponen kesiapsiagaan memegang peranan penting dalam evaluasi kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi banjir lahar Gunung Api Merapi. Komponen kesiapsiagaan memiliki delapan parameter antara lain (1) pengetahuan mengenai bencana, (2) kesepakatan formal dan informal, (3) sumber daya pendukung, (4) manajemen arah dan koordinasi dari operasi keadaan darurat, (5) perlindungan keselamatan hidup, (6) perlindungan harta benda, (7) penyesuaian keadaan darurat dan pemulihan,dan (8) identifikasi cepat aktivitas pemulihan (Sutton&Tierney dalam Herwiyanti&Sudaryono, 2013).
88
Rosalina Kumalawati
Parameter yang digunakan untuk mengukur kesiapsiagaan di daerah penelitian ada lima yaitu (1) pengetahuan bencana, (2) kesepakatan formal dan informal, (3) sumber daya pendukung, (4) manajemen arah dan koordinasi dari operasi keadaan darurat, (5) perlindungan keselamatan hidup. Lima parameter yang dipakai tersebut diambil dari komponen kesiapsiagaan menurut Sutton dan Tierney. Hanya diambil lima karena fokus penelitian adalah kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana. Teknik pengambilan sampel adalah sampel bertujuan (purposive sampling) untuk menggali kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar Gunung Api Merapi. Data primer diperoleh melalui survei lapangan dan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada masyarakat dan pemerintah. Survei dilakukan pada semua kecamatan yang dilalui Kali Putih yaitu Kecamatan Srumbung, Salam dan Ngluwar. Wawancara mendalam dilakukan pada instansi pemerintah yang berkaitan erat dengan bencana yaitu BPBD, Kesbangpolinmas, Pemda, Kepala Kecamatan hingga Kepala Desa. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data kependudukan dari BPS, dan peta dasar yang bersumber dari peta RBI (Rupa Bumi Indonesia). Hasil evaluasi disajikan dalam uraian deskriptif.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemerintah di daerah penelitian sudah melakukan persiapan yang cukup baik, namun masih perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan nonstruktural. Kesiapsiagaan pada masyarakat dinilai masih
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
89
kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunung Api Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. Penjelasan lebih lanjut dari hasil penelitian adalah : 1. Kesiapsiagaan Pemerintah dalam Menghadapi Banjir Lahar Kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar di daerah penelitian secara keseluruhan sudah cukup baik, namun masih perlu adanya beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan nonstruktural. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan nonstruktural. a. Bentuk Mitigasi Struktural Bencana Banjir Lahar di Daerah Penelitian Bahaya akibat erupsi gunung api dapat berupa bahaya primer dan bahaya sekunder. Penanggulangan akibat bahaya primer dapat dilakukan dengan cara pengungsian penduduk sebelum terjadi letusan, serta sosialisasi mengenai bencana erupsi gunung api. Penanggulangan bencana akibat bahaya sekunder yang berupa banjir lahar, salah satunya dapat dilakukan dengan pegendalian aliran lahar dengan membuat bangunan Sabo pada alur sungai yang berpotensi mengalirkan lahar. Pengendalian bencana sedimen dilakukan dengan dasar bahwa penanganan dalam satu wilayah sungai, satu manajemen (one river management). Selain itu untuk menyelamatkan penduduk dari bahaya banjir lahar, maka juga dikembangkan sistem perkiraan dan pemberitahuan
90
Rosalina Kumalawati
dini untuk pengungsian penduduk (Djamal dkk dalam Permatasari, 2012). Pembuatan bangunan Sabo seperti bangunan pengendali sedimen (check dam), kantong lahar (sand pocket),bendung pengendali dasar sungai (ground sill) tanggul, krib, kanalisasi, perkuatan tebing dan lain-lain telah dilaksanakan pada 10 sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi, yaitu Kali Pabelan, Kali Lamat, Kali Blongkeng, Kali Putih di lereng Barat, Kali Krasak dan Kali Batang di lereng Barat Daya, Kali Boyong dan Kali Kuning di lereng Selatan, serta Kali Gendol dan Kali Woro di lereng Tenggara (Puspani, 2008 dalam Permatasari, 2012). Bangunan pengendali sedimen merupakan salah satu upaya mitigasi struktural yang dilakukan untuk menanggulangi bencana banjir lahar di daerah penelitian. Lokasi bangunan Sabo DAM yang ada di daerah penelitian dibangun pada lereng miring (8-13%), landai atau agak miring (3 – 7%), datar atau hampir datar (2 – 7%) (Kumalawati, 2014). Jika dilihat dari proses terjadinya lahar yang terbagi menjadi tiga zona (produksi, transportasi dan sedimentasi) maka seharusnya bangunan Sabo DAM sudah sesuai dibangun pada ketiga zona tersebut. Tetapi, kondisi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Karena kekuatan aliran banjir lahar yang sangat besar, bangunan Sabo DAM justru jebol dan semakin membuat aliran menjadi semakin besar. Ditambah lagi dengan adanya material yang berupa bongkahan, maka bangunan Sabo DAM yang ikut terbawa aliran lahar dan menghantam bangunan permukiman yang di laluinya. Diperlukan perbaikan dan perencanaan ulang untuk memperbaiki kondisi bangunan sabo DAM di daerah penelitian. Kondisi ketinggian juga sudah berubah. Hal ini dilakukan untuk
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
91
mengantisipasi kemungkinan terburuk, jika banjir lahar akan terjadi dengan kekuatan dan intensitas yang lebih besar. Material lahar yang terjadi pascaerupsi Gunung Api Merapi (2010) sudah termasuk ke dalam VEI 4, maka bangunan Sabo DAM tidak mampu lagi menahan aliran lahar, yang akhirnya meluap dan menerjang lingkungan di sekitarnya, termasuk bangunan permukiman yang berada di sepanjang aliran Kali Putih. Pembangunan tanggul yang ada di tepi sungai juga belum dilakukan secara maksimal. Saat ini, hanya beberapa lokasi saja yang sudah di buat tanggul secara permanen. Sebagian besar tanggul masih dibuat dari tumpukan batu yang ditata (bronjong). Tanggul ini hanya merupakan upaya sementara untuk mencegah luapan banjir lahar. Kenyataannya, bangunan bronjong tersebut rusak terkena banjir susulan yang terjadi di sepanjang Kali Putih (Gambar 33).
Gambar 33. Tanggul di Sepanjang Aliran Kali Putih (Kumalawati, 2011)
b. Bentuk Mitigasi Nonstruktural Bencana Banjir Lahar di Daerah Penelitian Mitigasi adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk
92
Rosalina Kumalawati
meminimalkan/mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi non-struktural merupakan upaya mengurangi dampak bencana dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan, kebijakan, kesadaran, pegembangan pengetahuan, komitmen masyarakat serta berbagai upaya lain yang dapat mengurangi dampak bencana. Untuk mengetahui upaya mitigasi nonstruktural yang dilakukan oleh masyarakat di daerah penelitian, maka dilakukan wawancara kepada masyarakat, diwakili oleh aparat pemerintah desa yang ada di daerah penelitian. Aparat pemerintah desa dipilih sebagai responden, karena mereka mempunyai wewenang dan kebijakan untuk memberikan pengarahan kepada warga serta mempunyai berkoordinasi secara langsung dengan pemerintah daerah setempat. Setiap desa mempunyai persepsi masing-masing mengenai upaya mitigasi nonstruktural yang dilakukan untuk menanggulangi bahaya banjir lahar di daerah penelitian. Upaya mitigasi nonstruktural yang dilakukan oleh masyarakat di daerah penelitian, dengan jumlah responden sebanyak 30 orang dapat lihat pada Tabel 4. 1) Kesediaan relokasi jika terjadi banjir lahar, hanya disetujui oleh 3 orang (10%), sedangkan 27 orang (90%) tidak setuju dengan upaya relokasi. Penduduk lebih memilih tetap tinggal di daerah asal, meskipun berada pada daerah bahaya. Jika direlokasi, mereka khawatir tidak akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Penduduk cenderung mempertimbangkan masalah ekonomi dan kenyamanan hidup. Belum tentu jika pindah di tempat yang lebih aman dari bahaya, mereka akan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Perlu adaptasi cukup lama untuk menyesuaikan dengan kondisi yang
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
93
baru. Penduduk yang setuju direlokasi, mereka beranggapan bahwa jika terjadi bencana maka akan mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda. 2) Perlu wadah atau lembaga yang membantu masyarakat untuk mengatasi banjir, secara keseluruhan (100%) responden setuju dengan adanya wadah atau lembaga yang dapat membantu masyarakat dalam mengatasi banjir lahar di daerah penelitian. Sebagian besar responden menjawab sangat memerlukan pengarahan dan simulasi mengenai upaya menanggulangi bencana banjir lahar untuk mengurangi risiko, mengurangi korban jiwa dan harta benda serta siaga dalam menghadapi bencana.
Masyarakat
membutuhkan
penyuluhan
dan
pengarahan agar tidak panik saat menghadapi bencana yang terjadi di daerah sekitar mereka. 3) Usaha yang dilakukan agar banjir lahar tidak berdampak buruk bagi warga yang tinggal di daerah bencana, sebagian besar masyarakat menginginkan pembuatan tanggul sungai yang diperkuat, normalisasi sungai, serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang prosedur tetap (protap) upaya menanggulangi bencana banjir lahar. 4) Pemerintah di kabupaten/kota sudah membentuk pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana, tetapi sebagian besar warga belum mengetahui keberadaan dan kinerjanya. Sebagian besar warga kurang paham dengan kinerja dari lembaga yang dibentuk oleh pemerintah tersebut. 5) Pemerintah kabupaten/kota sudah melakukan sosialisasi mengenai sistem peringatan bencana. Pemerintah selalu bijak dalam memberi penyuluhan peringatan juga tempat pos-
94
Rosalina Kumalawati
pos pengungsi, apabila tejadi banjir lahar sudah dilakukan sosialisasi, dan informasi dengan HT (Handy Talky). 6) Upaya
yang
seharusnya
dilakukan
oleh
pemerintah
kabupaten/kota dan lembaga masyarakat untuk mengurangi risiko bencana banjir lahar di antaranya yaitu : a) Melakukan sosialisasi pada masyarakat mengenai bagaimana cara mencegah jatuhnya korban. b) Mengadakan pelatihan dan simulasi tentang bagaimana menghadapi bencana alam khususnya bencana banjir lahar. c) Membuat jaringan informasi dini (early warning system) tentang gejala terjadinya bencana banjir lahar. 7) Bangunan tanggul sungai apakah sudah dapat mengurangi risiko banjir lahar, sebagian besar warga berpendapat bahwa bangunan tanggul yang ada, dapat menanggulangi banjir lahar. Tetapi sebagian warga yang menganggap bahwa bangunan tanggul belum berfungsi secara maksimal untuk mengurangi dampak banjir lahar, karena banjir lahar tetap meluap ke permukiman warga. 8)
Pembangunan Sabo DAM yang telah ada, menurut sebagian masyarakat sudah dapat menanggulangi banjir lahar, karena dapat menghambat aliran lahar. Ada sebagian yang tidak setuju atau kurang sependapat dengan pemanfaatan sabo DAM, karena material-material banjir masih meluap ke permukiman warga. Pemanfaatan sabo DAM memang harus di evaluasi kembali, karena bangunan sabo banyak yang hanyut terbawa arus lahar dan menerjang permukiman.
9) Pemerintah sudah melakukan perbaikan tanggul sungai di sepanjang Kali Putih untuk mengurangi risiko banjir lahar.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
95
Menurut warga, pemerintah sudah melakukan perbaikan tanggul yang berada di sepanjang aliran Kali Putih. Tetapi, sekarang sudah rusak lagi, karena tanggul yang di bangun belum permanen. Tanggul hanya di buat dari ‘bronjong’ (tumbukan batu yang ditata dan di masukkan dalam kawat). Saat terjadi banjir, tanggul rusak tergerus aliran banjir. Upaya mitigasi nonstuktural yang dilakukan masyarakat dan pemerintah juga dilakukan dengan memasang poster mengenai bahaya banjir lahar dan cara untuk mengatasinya. Poster di pasang di rumah–rumah warga, huntara, serta lokasi yang strategis dan mudah di akses oleh banyak orang (seperti tempat ibadah, pos kampling, kantor kalurahan). Mitigasi nonstruktural dapat dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dapat berperan dalam manajemen bencana yang bertujuan untuk memitigasi dampak bencana banjir lahar (lihat Gambar 35 dan 36).
Gambar 35. Upaya Mitigasi Nonstruktural di Daerah Penelitian (Peta Daerah Rawan banjir Lahar di Desa Sirahan) (Kumalawati, 2011)
96
Rosalina Kumalawati
Tabel 4. Persentase Hasil Wawancara Upaya Mitigasi Nonstruktural di Daerah Penelitian No Pertanyaan
Jawaban
1
Relokasi
Ya
2
3
3
10.0
Tidak
27
90.0
Perlu wadah atau lembaga Ya yang membantu masyarakat Tidak untuk mengatasi banjir
30
0.0
0
100.0
8
26.7
9
30.0
6
20.0
1
3.3
6
20.0
Sudah
28
93.3
Belum
2
6.7
Sudah
28
93.3
Belum
2
6.7
Melakukan sosialisasi
8
26.7
13
43.3
2
6.7
7
23.3
Bangunan tanggul sungai apakah sudah dapat mengurangi risiko banjir lahar Belum
26
86.7
4
13.3
Pembangunan Sabo DAM yang telah ada saat ini, apakah dapat mengurangi risiko banjir lahar
Sudah
21
70.0
Belum
9
30.0
Hal yang perlu dilakukan agar Pembuatan tanggul banjir lahar tidak berdampak buruk bagi warga yang tinggal Normalisasi sungai di daerah bencana informasi kepada masyarakat pemetaan bencana Sosialisasi
4
5
6
7
8
Jumlah Persentase Responden (%)
Pemerintah di kabupaten/ kota sudah membentuk pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana Pemerintah kabupaten/kota sudah melakukan sosialisasi mengenai sistem peringatan bencana Upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan lembaga masyarakat untuk mengurangi resiko bencana banjir
Mengadakan pelatihan dan simulasi Melatih masyarakat agar terampil menyelamatkan harta Membuat jaringan informasi dini Sudah
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi 9
Pemerintah sudah melakukan perbaikan tanggul sungai di sepanjang Kali Putih untuk mengurangi risiko lahar
97
Sudah
30
100.0
Belum
0
0.0
98
Rosalina Kumalawati
Gambar 36. Upaya Mitigasi Nonstruktural di Daerah Penelitian (Kumalawati, 2011)
Upaya mitigasi nonstruktural lebih efektif jika dilakukan dengan cara memberikan pengarahan atau sosialisasi terhadap warga masyarakat. Sebaiknya pemerintah setempat melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat dan aparat pemerintah desa. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk berdiskusi serta menampung usulan dari masyarakat. Agar masyarakat semakin tanggap terhadap bencana yang terjadi di sekitar mereka, khususnya bencana banjir lahar di sepanjang aliran Kali Putih. Pemasangan poster atau spanduk, sebaiknya perlu ditambah dengan penjelasan dari pemerintah setempat. Jika hanya dipasang di beberapa tempat strategis, namun tidak dibaca serta dipahami secara seksama, upaya tersebut kurang maksimal. Kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar di daerah penelitian secara keseluruhan sudah cukup baik dengan adanya perbaikan berupa mitigasi struktural dan nonstruktural seperti yang sudah dilakukan di atas. Komponen berupa kesepakatan formal dan informal, sumber daya pendukung, manajemen arah
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
99
dan koordinasi dari operasi keadaan darurat sudah sangat jelas yang didukung dengan ketersediaan data dasar yang cukup lengkap di posko SATLAK PBP. Data yang dapat diakses antara lain peta daerah terdampak letusan dan banjir lahar Gunung Api Merapi, peta lokasi titik kumpul pengungsi tiap kecamatan, peta lokasi dan jalur evakuasi, peta lokasi peralatan pemantauan di Gunung Api Merapi, jumlah kendaraan yang tersedia dan nama pemilik kendaraan untuk evakuasi, jumlah penduduk sesuai kriteria di wilayah pengungsian, kebutuhan sarana dan prasarana per lokasi evakuasi, data rekap lokasi pengungsi dan kebutuhan perlengkapan. Semua desa yang rawan banjir lahar di daerah penelitian juga sudah terdapat arah jalur evakuasi dan posko pengungsian. Tanda dapat dengan mudah dilihat oleh masyarakat sehingga akan lebih mempermudah dan mempercepat proses evakuasi. Logistik berupa dapur umum, MCK dan kebutuhan air bersih disalurkan ke posko-posko pengungsian atau Huntara (lihat Gambar 37).
Gambar 37. Lokasi Huntara (Hunian Sementara) di Daerah Penelitian (Kumalawati, 2011)
Koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah terbentuk dengan baik. Sistem penyebaran data dan informasi menggunakan sistem satu pintu. Informasi terpusat di Posko SATLAK PBP, bila di daerah maka yang wajib mengeluarkan
100
Rosalina Kumalawati
adalah Kepala Camat. Informasi satu pintu bertujuan untuk meminimalkan berita yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan, terkait dengan banyaknya isu yang beredar mengenai banjir lahar di daerah penelitian. 2. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Banjir Lahar Banjir lahar berdampak pada berbagai segi kehidupan manusia. Besarnya dampak banjir lahar tergantung dari kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan dari hasil survei lapangan dapat diketahui bahwa masyarakat di daerah penelitian lebih tenang dan tidak panik. Masyarakat masih beraktivitas seperti biasa ketika status dinaikkan menjadi waspada. Masyarakat mempunyai kepercayaan sendiri tentang tanda-tanda erupsi Gunung Api Merapi yaitu dari mitos (pengetahuan lokal) yang berkembang di sekitar masyarakat. Pengetahuan lokal diproduksi oleh kelompok dominan pada waktu lampau, sedangkan pengetahuan modern banyak diterapkan oleh kelompok pada saat ini. Pemaknaan atas fenomena alam dalam hal ini Gunung Api Merapi terjadi bukan hanya antara masyarakat lokal di sekitar Gunung Api Merapi dengan pihak luar melainkan juga antara sesama masyarakat di sekitar Gunung Api Merapi itu sendiri. Seperti yang terjadi pada masyarakat lokal di Kecamatan Srumbung, terdapat kearifan lokal, ketika akan terjadi gunung meletus biasanya ada benang merah lurus yang mengarah pada Gunung Api Merapi. Benang merah tersebut bukan dari layang-layang putus dan kemudian membentang, tetapi menjadi pertanda akan ada letusan. Jika dirunut benang tersebut tidak
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
101
ditemukan ujung pangkalnya (Abdul Wahid, 2011 dalam Zamroni, 2011). Masyarakat di daerah penelitian dinilai masih kurang siap dalam menghadapi banjir lahar. Kesiapsiagaan pada masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunung Api Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. Harapannya kesiapsiagaan masyarakat akan lebih meningkat dengan masyarakat diberikan sosialisasi dan simulasi terkait banjir lahar Gunung Api Merapi oleh pemerintah daerah, dan dengan adanya tanda arah jalur evakuasi serta titik lokasi pengungsian yang sudah ditentukan agar lebih memudahkan masyarakat saat evakuasi.
Kesimpulan 1. Salah satu aspek penting dalam menghadapi banjir lahar adalah kesiapsiagaan, 2. Kesiapsiagaan digunakan untuk meminimalkan jumlah korban jiwa dan kerugian, 3. Peningkatan kesiapsiagaan harus dilakukan bersama-sama oleh masyarakat dan pemerintah, 4. Kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar di daerah penelitian secara keseluruhan sudah cukup baik, 5. Kesiapsiagaan masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan
102
Rosalina Kumalawati
anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunung Api Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. 6. Berbagai upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan di daerah penelitian dengan adanya perbaikan-perbaikan sudah dilakukan, 7. Manajemen dan stok logistik pada daerah penelitian yang terancam banjir lahar harus dipersiapkan sebelum bencana terjadi.
Daftar Pustaka BNPB., 2011. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi Di Wilayah Propinsi Jawa Tengah. http:// bnpb.go.id/irw/diakses 17 Januari 2011. BNPB., 2011. Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana, Edisi-2. BPS., 2012. Kecamatan Dalam Angka Tahun 2010/2011. Magelang : BPS Kabupaten Magelang. BPS., 2012. Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahun 2010/2011. Magelang : BPS Kabupaten Magelang. Herdwiyanti, Fima, Sudaryono. 2013. Perbedaan Menghadapi Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Ditinjau dari Tingkat Self-Efficacy pada Anak Usia Sekolah Dasar di Daerah Dampak Bencana Gunung Kelud. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial. Vol. 2 No. 01 2013. Kumalawati, R., 2014. Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Permatasari A.L, 2012. Evaluasi Pengembangan Wilayah Permukiman Berbasis Analisis Risiko Banjir Lahar di Daerah Sepanjang Kali Putih, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
103
Sartohadi, J., Pratiwi. E.S., 2014. Bunga Rampai Penelitian. Pengelolaan Bencana Kegunungapian Kelud pada Periode Krisis Erupsi 2014. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Wahyono, S.A., 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Zamroni, M.I., 2011. Islam dan Kearifan Lokal dalam Menanggulangi Bencana di Jawa. Jurnal Penanggulangan Bencana. Volume 2 Nomor 1.
2 Evaluasi Kondisi Masyarakat dan Pemerintah pada Masa Krisis Banjir Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang1
Abstrak
Kondisi wilayah pada masa krisis sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat dan kondisi pemerintah yang ada. Koordinasi antara masyarakat dan pemerintah juga sangat menentukan penanggulangan bencana di suatu wilayah. Respons terhadap kejadian pasca bencana sulit untuk dilaksanakan dan dikoordinasikan dengan baik antara masyarakat dan pemerintah karena pascabencana terjadi keadaan darurat yang mengarah pada kondisi krisis yang berbeda dari keadaan hari-hari biasa. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengevaluasi kondisi masyarakat dan pemerintah pada masa krisis banjir lahar pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang. Metode yang digunakan adalah survei lapangan yang dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan kunci. Analisis yang dipergunakan adalah deskriptif kualitatif. Daerah penelitian meliputi seluruh desa pada seluruh Kecamatan yang dilalui Kali Putih. Kecamatan yang dilalui Kali Putih adalah Kecamatan Srumbung, Ngluwar dan Salam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi masyarakat secara umum belum siap menghadapi masa krisis, (2)
1
104
Rosalina Kumalawati
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
105
masih adanya masyarakat yang bingung pada saat menghadapi kondisi krisis, (3) secara teori, pemerintah setempat sudah siap dalam menghadapi kondisi krisis, akan tetapi masih terdapat beberapa kendala dalam hal penerapannya dilapangan. Kata kunci: Masyarakat, pemerintah, masa krisis, banjir lahar, Gunung Api Merapi.
Latar Belakang Bencana menurut Undang-Undang Bencana No. 24 Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Indonesia merupakan negara yang memiliki resiko bencana alam paling tinggi di dunia menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) atau Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana. Hal ini dikarenakan tingginya jumlah penduduk yang terpapar atau memiliki risiko tertinggi terhadap bencana salah satunya adalah letusan gunung api (BBC Indonesia, 2011). Indonesia memiliki tingkat risiko bencana Gunung api cukup tinggi. Gunung Api Merapi merupakan salah satu gunung api yang masih aktif di Pulau Jawa. Potensi bahaya vulkanik gunung api dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan yang biasanya disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunung api yang bercampur dengan
106
Rosalina Kumalawati
air hujan yang turun di puncak dengan konsentrasi tinggi yang disebut dengan aliran lahar (Wahyono, 2002). Salah satu sungai yang berhulu di puncak Gunung Api Merapi yaitu Kali Putih dan mempunyai potensi terkena banjir lahar. Kali Putih merupakan daerah bahaya Gunung Api Merapi tipe I yang terjangkau debris flow. Ancaman bahaya banjir lahar akan lebih berbahaya jika terjadi di daerah yang datar dan padat permukiman. Salah satu contoh yang terjadi yaitu di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Luapan banjir lahar merusak permukiman di sekitar Kali Putih (lihat Gambar 38).
Gambar 38. Kondisi Rumah Terendam Pasir Akibat Lahar (Foto: Kumalawati, 2011)
Kondisi
daerah
penelitian
pada
masa
krisis
sangat
ditentukan oleh kondisi masyarakat dan pemerintah. Koordinasi antara masyarakat dan pemerintah juga sangat menentukan penanggulangan bencana di daerah penelitian. Penanggulangan Bencana umumnya tidak cukup hanya dengan memobilisasi personil, peralatan dan bantuan material lainnya dalam jumlah yang memadai. Salah satu alasan respons terhadap kejadian pascabencana sulit untuk dilaksanakan dan dikoordinasikan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
107
dengan baik antara masyarakat dan pemerintah adalah karena pascabencana terjadi keadaan darurat yang mengarah pada kondisi krisis yang berbeda dari keadaan hari-hari biasa. Selama situasi krisis pascabencana, pemerintah sering kali kurang memperhatikan permasalahan di bidang kehumasan. Hal ini disebabkan pemerintah tidak dapat mengumpulkan dan memproses data dan informasi secara efektif dan mendistribusikan informasi yang tepat kepada masyarakat. Penanganan kehumasan yang buruk pascabencana bisa menimbulkan permasalahan baru seperti munculnya keresahan masyarakat akibat informasi yang tidak akurat dan bisa berujung pada citra negatif institusi penanggulangan bencana (BNPB/BPBD) ataupun pemerintah. Sebagai contoh adalah pemberitaan mengenai jumlah korban jiwa dan harta benda pascabanjir lahar yang melanda di Kali Putih yang simpang siur sehingga menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi juga dibuat khawatir dengan ketidakjelasan informasi yang beredar luas di masyarakat. Informasi yang tepat dan akurat mengenai kondisi masyarakat dan pemerintah pada masa krisis sangat dibutuhkan dalam mengahadapi suatu bencana dalam hal ini bencana banjir lahar di daerah penelitian. Kondisi masyarakat dan pemerintah pada saat krisis sangat dipengaruhi oleh pengetahuan penanggulangan bencana. Kondisi krisis dapat ditangani secara baik apabila pengetahuan tentang penanggulangan bencana dipahami dengan baik. Evaluasi kondisi masyarakat pada saat krisis sangat diperlukan dalam menghadapi suatu bencana. Evaluasi kondisi masyarakat
108
Rosalina Kumalawati
dan pemerintah dapat dipergunakan untuk mengetahui apakah masyarakat dan pemerintah mengetahui proses penanggulangan bencana atau tidak sehingga dapat diketahui wilayah tersebut masuk dalam kategori wilayah siaga bencana atau tidak. Manfaat lain dalam evaluasi kondisi masyarakat dan pemerintah pada masa krisis adalah dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi dan pengawasan dalam proses penanggulangan bencana pada masa-masa mendatang.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah evaluasi kondisi masyarakat dan pemerintah pada masa krisis banjir lahar pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang.
Metode Penelitian Metode penelitian dalam penelitian ini adalah survei langsung dilapangan. Survei dilakukan di seluruh desa pada seluruh kecamatan yang dilalui Kali Putih yaitu Kecamatan Srumbung, Salam dan Ngluwar. Wawancara mendalam dilakukan di beberapa instansi dan warga yang terkait penanganan bencana banjir lahar. Studi literatur dan media informasi baik berupa media elektronik maupun media lain yang dapat menjadi informasi pendukung. Informasi pendukung divalidasi dengan melakukan observasi langsung di lapangan, wawancara mendalam kepada informan-informan kunci melalui FGD (Focus Group Discussion) sehingga dapat diketahui gambaran nyata kondisi masyarakat dan pemerintah dalam penanggulangan bencana banjir lahar (lihat Gambar 39). Analisis yang dipergunakan dalam penelitian adalah
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
109
analisis deskriptif kualitatif. Hasil wawancara mendalam menjadi sumber utama dalam analisis data.
Gambar 39. Kegiatan FGD di Kecamatan Ngluwar (a), Kecamatan Salam (b), dan Kecamatan Srumbung (c), Kegiatan Wawancara dengan Aparat Pemerintah Desa Salam Kecamatan Salam (d) (Foto: Kumalawati, 2011)
Hasil dan Pembahasan Banjir lahar di daerah penelitian berdampak pada berbagai kalangan baik kalangan masyarakat dan pemerintah. Tindakan dan antisipasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah akan berbeda-beda, tergantung pada pemahaman penanggulangan bencana pada masing-masing pemerintah dan individu masyarakat. Pemerintah memiliki organisasi penanggulangan masa krisis, yaitu Badan Penanggulangan Bencana
110
Rosalina Kumalawati
Daerah (BPBD) dan/atau Satlak Penanggulangan Bencana. Daerah penelitian sudah memiliki keduanya. a. Kondisi Masyarakat Bangunan permukiman (rumah) di daerah luapan lahar, perlu direlokasi untuk mengantisipasi kejadian lahar. Jumlah rumah di area terdampak lahar di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Desa Sirahan mempunyai jumlah rumah paling banyak, yaitu 860 unit rumah di dalam area terdampak. Tabel 1. Jumlah Rumah di Area Terdampak Lahar di Daerah Penelitian Kecamatan Desa Salam Gulon Seloboro Jumoyo Sirahan Ngluwar Blongkeng Jumlah
Jumlah Rumah 28 119 220 860 63 1.290
(%) 2.2 9.2 17.1 66.7 4.9 100.0
Sumber: H asil Pengukuran Lapangan, Tahun 2011-2012; Hasil Pengolahan dan Perhitungan, Tahun 2012/2013
Jumlah rumah rusak di area terdampak lahar dapat dilihat pada Tabel 2. Desa Sirahan merupakan daerah yang mempunyai tingkat kerusakan paling tinggi. Berdasarkan hasil wawacancara dengan penduduk, total kerusakan di Desa Sirahan yaitu 289 rumah (total dari tingkat kerusakan rendah, sedang, tinggi). Jumlah berpotensi bertambah, karena lahar masih akan terus terjadi di sepanjang aliran Kali Putih. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi pengembangan wilayah permukiman di daerah penelitian. Berikut hasil wawancara dengan warga Desa Sirahan :
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
111
„Desa yang paling parah di daerah penelitian adalah Desa Sirahan Kecamatan Salam. Banyak rumah yang hanyut/roboh dan rusak berat akibat banjir lahar yang terjadi“
Kecamatan Salam adalah kecamatan yang paling parah
terkena banjir lahar. Banjir lahar di Kecamatan Salam mengenai permukiman warga (lihat Gambar 40). Banjir lahar di Kecamatan Srumbung juga mengenai permukiman warga tetapi tidak sebanyak di Kecamatan Salam. Banjir lahar di Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar tidak melimpas permukiman, hanya menggerus tebing sungai menyebabkan longsor kemudian menghanyutkan rumahrumah yang terdapat di atas tebing sungai (lihat Gambar 41). Tabel 2. Jumlah Rumah Rusak di Area Terdampak Lahar di Daerah Penelitian Kecamatan Srumbung Salam
Ngluwar
Desa Srumbung Gulon Seloboro Jumoyo Sirahan Blongkeng Jumlah
Tingkat Kerusakan Rumah Rendah Sedang Tinggi - 2 - 24 4 4 13 15 165 87 47 155 - 28 100 66 378
Sumber: Bappeda Kabupaten Magelang dan Survei Lapangan, 2011
112
Rosalina Kumalawati
Gambar 40. Banjir lahar mengenai permukiman di Kecamatan Salam (Foto: Kumalawati, 2012)
Gambar 41. Banjir lahar mengakibatkan tebing longsor di Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar (418488 mT, 9156100 mU) (Foto : Kumalawati, 2012)
Penduduk daerah penelitian tidak menyangka bahwa banjir lahar mengenai daerah penelitian. Sebagian besar masyarakat di daerah penelitian terutama yang tinggal di Kecamatan Salam mengungsi ketika terjadi banjir lahar. Sayangnya,masih banyak penduduk yang kebingungan dalam menghadapi kondisi kritis, misalnya dengan meninggalkan barang-barang berharga ketika mengungsi. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya persiapan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
113
dari penduduk ketika banjir lahar datang, padahal banjir lahar termasuk jenis bencana yang dapat diprediksi kedatangannya. Banyak warga yang mengalami kepanikan dan kebingungan ketika banjir lahar datang. Secara umum, kondisi masyarakat pada masa krisis masih terlihat kurang siap, gugup dan kebingungan dalam menghadapi banjir lahar, meskipun sudah ada arahan dari pemerintah setempat. Kepanikan masyarakat dalam menghadapi kondisi krisis menjadi permasalahan utama terutama pada proses evakuasi. Hal ini mungkin dapat dikurangi jika penyaluran informasi dilakukan dengan baik, cepat dan terorganisasi. Penempatan jalur dan tempat evakuasi yang aman perlu dipersiapkan dengan seksama. Masyarakat juga harus proaktif menanyakan kepada pemerintah setempat, BPBD atau instansi terkait mengenai informasi banjir lahar. Banyak hal teknis dalam manajemen krisis dan pengungsian yang masih perlu untuk disempurnakan. Sebagai contoh : penyaluran informasi lebih efektif dan efisien, sosialisasi bahaya dan risiko banjir lahar kepada masyarakat secara berkala dan menyeluruh. Pengambilan keputusan dan ketegasan dalam penerapan peraturan menjadi hal yang paling penting untuk lebih ditingkatkan. b. Kondisi Pemerintahan Sistem koordinasi yang sudah dibuat oleh pemerintah di daerah penelitian sempat terhenti beberapa saat akibat kondisi krisis. Sistem koordinasi yang telah terbentuk sedikit terhambat karena besarnya banjir lahar yang terjadi di daerah penelitian
114
Rosalina Kumalawati
diluar prediksi. Berikut hasil wawancara mendalam pamong Desa Salam : “ Beberapa hari sebelum banjir lahar datang sudah ada posko, tetapi terkahir pada waktu bencana banjir lahar datang menjadi kacau. Sistem yang sudah dibentuk dan direncanakan dengan baik menjadi kacau karena semua takut” (Pamong Desa Salam)
Proses persiapan dalam menghadapi banjir lahar di daerah penelitian dilakukan oleh BPBD bekerja sama dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait. SKPD dan lembaga yang ikut terlibat dalam penanganan bencana banjir lahar di daerah penelitian antara lain: Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Dinas Kesehatan dan Kecamatan terdampak. Koordinasi antarinstansi ditujukan untuk menyiapkan segala upaya untuk meminimalkan risiko masyarakat dari bahaya banjir lahar yang terjadi di daerah penelitian. Rapat koordinasi dilakukan untuk memantau kinerja masing-masing SKPD terkait dan instansi pendukung lainnya. Koordinasi dilakukan setiap hari pada saat masa krisis. Kondisi pada saat krisis pemerintah daerah di rasa kurang tanggap dengan apa yang harus dilakukan. Perkiraan kebutuhan masyarakat apabila terjadi banjir lahar belum dilakukan dengan baik, terbukti dari ketersediaan masker yang sangat tidak memadai saat terjadi banjir lahar, kekurangan air bersih dan logistik di tempat pengungsian, terdapat pengungsi yang ketinggalan, tidak sesuai skenario yang sudah direncanakan, munculnya posko-posko baru sehingga memerlukan pendataan ulang yang tentu saja hal itu tidak mudah dilakukan pada kondisi krisis.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
115
Sistem distribusi logistik satu pintu dibeberapa tempat tidak dapat berjalan sesuai harapan. Banyak relawan yang dipersilahkan langsung membagikan logistik kepengungsi tanpa ada pensortiran dari pemerintah daerah sehingga sistem distribusi logistik menjadi kacau. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah berpikir bahwa untuk pembagian bantuan merupakan hak asasi relawan, akibatnya pembagian tidak merata, ada banyak yang tidak mendapat bantuan, dan ada yang mendapat banyak bantuan (dobel). Hal tersebut menimbulkan kecemburuan sosial, dan apabila didiamkan akan dapat berakibat fatal, dapat terjadi kerusuhan dan kekacauan. Berikut merupakan hasil wawancara mendalam dengan pemerintah daerah: “ Langsung ke lokasi ya silakan, kita tidak boleh bilang “jangan”. Itu hak para relawan untuk membagikan bantuan, soalnya yang punya adalah para relawan. Akan tetapi kalau mau diserahkan kepada kami juga silakan, nanti kami akan atur pembagiannya agar tidak dobel.” (Pamong Desa Sirahan)
Material banjir lahar di daerah penelitian cukup banyak dan sangat mengganggu aktivitas karena sampai menutup dan merusak permukiman, jalan, jembatan dan lahan pertanian. Untuk dapat membersihkan material lahar diperlukan adanya alat berat. Sayangnya, alat berat belum tersedia sehingga penduduk di daerah penelitian terpaksa membersihkan material lahar menggunakan peralatan rumah tangga seadanya. Hal ini juga menunjukkan masih kurangnya koordinasi antara masyarakat dan pemerintah pada kondisi krisis.
116
Rosalina Kumalawati
Kesimpulan
1. Secara umum, kondisi masyarakat pada masa krisis masih terlihat kurang siap, gugup dan kebingungan dalam menghadapi banjir lahar, meskipun sudah ada arahan dari pemerintah setempat, 2. Masih adanya masyarakat yang bingung pada saat menghadapi kondisi krisis, 3. Secara teori, pemerintah setempat sudah siap dalam menghadapi kondisi krisis, akan tetapi masih terdapat beberapa kendala dalam hal penerapannya di lapangan, 4. Pemerintah setempat diharapkan mampu untuk melakukan penyebaran informasi yang akurat dan cepat terutama dalam hal banjir lahar, 5. Masih
kurangnya
koordinasi
antara
masyarakat
dan
pemerintah pada kondisis krisis sehingga masyarakat dan pemerintah perlu melakukan monitoring dan evaluasi bersama terhadap kegiatan penanggulangan bencana yang ada, 6. Masyarakat dan pemerintah bekerja sama dalam hal pemberitahuan pengetahuan tentang hal-hal yang harus dilakukan pada saat kondisi krisis (tanggap darurat) banjir lahar secara lebih rinci, agar pemahaman tentang penanganan masa krisis dapat tercipta dengan baik dan kepanikan warga dapat ditangani dengan baik pada saat proses evakuasi.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
117
BAGIAN III
KONDISI EKONOMI MASYARAKAT
118
Rosalina Kumalawati
1 Evaluasi Pendapatan Masyarakat Pascabanjir Lahar di Kali Putih Kabupaten Magelang1
Intisari Masyarakat yang bekerja dalam bidang pertanian (baik sebagai buruh tani maupun petani) atau sebagai buruh pasir dan buruh serabutan adalah komunitas yang paling terpengaruh oleh banjir lahar Kali Putih. Banjir lahar bagi para petani dan buruh tani telah merusak lahan pertanian tempat mereka menyambung hidup, sementara bagi buruh pasir dan buruh serabutan kejadian banjir lahar merupakan limpahan berkah karena menambah bahan pokok pekerjaan mereka. Tidak sedikit jumlah petani, buruh tani, buruh serabutan dan bahkan buruh pasir yang mengubah profesi mereka menjadi penambang pasir, batu dan/atau kerikil. Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan evaluasi pendapatan masyarakat pascakejadian bencana banjir lahar dan (2) mengetahui sebaran pendapatan masyarakat pascabencana banjir lahar secara spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat yang berprofesi sebagai penambang pasir, batu dan kerikil dapat diidentifikasi melalui segmentasi banjir lahar Kali Putih yang terdiri dari Zona Produksi Lahar, Zona Transportasi Lahar dan Zona Sedimentasi Lahar. Penambang pasir mendapat keuntungan maksimal Rp2.250.000 dalam sebulan, penambang batu Rp7.500.000 dalam sebulan dan penambang kerikil Rp2.250.000 dalam sebulan. Padahal masyarakat yang sebelumnya berprofesi sebagai petani dalam sebulan maksimal hanya menghasilkan Rp2.500.000, buruh tani, buruh pasir dan buruh serabutan masing-masing Rp1.000.000. Kata Kunci: Banjir Lahar, Profesi, Evaluasi Pendapatan Rosalina Kumalawati, Seftiawan Samsu Rijal, Ahmad Syukron Prasaja, Junun Sartohadi, Rijanta, Rimawan Pradiptyo 1
Pendahuluan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
119
Erupsi Merapi 2010 terjadi 5 kali lebih besar daripada erupsi sebelumnya yaitu tahun 2006. Erupsi Merapi 2010 telah mengeluarkan material sebesar 150 juta m3 sedangkan pada tahun 2006 hanya sebesar 30 juta m3. Banyaknya jumlah material erupsi pada periode letusan terakhir ini telah berakibat pada munculnya bahaya sekunder erupsi Merapi yaitu banjir lahar. Banjir lahar secara simultan terjadi pada seluruh sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi baik yang berada di sisi selatan maupun sisi barat. Bahkan hanya dengan hujan yang memiliki intensitas sebesar 40 mm/jam dapat terjadi banjir lahar2. Sungai– sungai yang berada di sebelah barat Gunung Api Merapi lebih berpotensi untuk dialiri banjir lahar
3
karena
material erupsi Merapi yang berada di sebelah barat Gunung Api Merapi lebih halus dan mudah terbawa air sehingga mudah menjadi banjir lahar4. Salah satu kejadian banjir lahar yang terjadi di sungai sebelah barat Gunung Api Merapi adalah banjir lahar Kali Putih pascaerupsi 2010. Banjir lahar ini telah merusak permukiman dan lahan pertanian warga, baik itu sawah maupun kebun. Sebanyak 2.836 orang mengungsi dan kehilangan rumah serta pekerjaan untuk Subandriyo. 2011. Berpotensi Kembali Terjadi di Musim Hujan Banjir Lahar Dingin. www.republika.co.id. Diakses pada 15 Maret 2012. 2
Lavigne, F., Thouret, J. C., Voight, B., Suwa, H., Sumaryono, A. 2000. Lahars at Merapi Volcano : an Overview. Journal of Volcanology and Geothermal Research Volume 100. Hal : 421 – 456. 3
Surono. 2011. Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi Mengancam Magelang. news.okezone.com. Diakses pada 16 Maret 2012. 4
120
Rosalina Kumalawati
mencukupi kebutuhan sehari-hari terutama yang berhubungan dengan pertanian.5 Kerugian akibat bencana banjir lahar bersifat tangible dan intangible. Kerugian dengan sifat intangible adalah hilangnya nyawa seseorang dan tangible adalah kerugian yang bisa dihitung secara nominal misalnya rusaknya lahan pertanian milik warga. Akibat bencana tersebut warga tak dapat lagi melakukan pekerjaan mereka sebagai petani ataupun buruh tani. Untuk mengatasi hilangnya mata pencaharian, mereka kini beralih profesi sebagai penambang atau buruh angkut material banjir lahar (pasir, batu dan kerikil). Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka muncul beberapa pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah dengan alih profesi yang dilakukan masyarakat tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang lebih menguntungkan atau merugikan untuk mereka? 2. Bagaimana
agihan
spasial
pendapatan
masyarakat
pascabencana banjir lahar ?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melakukan evaluasi pendapatan masyarakat pascakejadian bencana banjir lahar 2. Mengetahui sebaran pendapatan masyarakat pascabencana banjir lahar secara spasial
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2011. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi. http://geospasial. bnpb.go.id/. Diakses pada 8 Februari 2012. 5
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
121
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Srumbung, Salam dan Ngluwar di mana secara administratif Sub DAS Kali Putih termasuk dalam tiga kecamatan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth interview yang dilakukan kepada responden yang terdiri dari petani, buruh tani, buruh serabutan dan buruh pasir yang kini bekerja sebagai penambang pasir, batu dan/atau kerikil. Hal yang ditanyakan antara lain meliputi data umum responden dan informasi tentang valuasi ekonomi yaitu upah mereka sebagai buruh tambang, sebagai penambang, harga barang tambang di lokasi (pasir, batu dan kerikil) dan harga barang tambang di pasar. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling dengan tingkat rawan banjir lahar sebagai stratanya. Daerah penelitian dibagi menjadi empat tingkat rawan lahar yaitu tingkat rawan tinggi, sedang, rendah dan tidak rawan.6 Sebaran spasial pendapatan masyarakat yang berprofesi sebagai penambang pasir, batu dan kerikil dapat diketahui dengan metode GIS (Geographic Information System). Koordinat lokasi wawancara serta pembagian segmentasi banjir lahar Kali Putih dapat digunakan sebagai data spasial yang menjadi input GIS dalam melakukan pemetaan.
Hasil dan Pembahasan Perbandingan pendapatan masyarakat dilakukan sebelum dan sesudah banjir lahar terjadi. Empat jenis profesi masyarakat 6 Kumalawati, Rosalina., Rijal, Seftiawan Samsu., Sartohadi, Junun., Rijanta., Pradiptyo, Rimawan. 2012. Pemetaan Tingkat Kerawanan Banjir Lahar untuk Evaluasi Pengembangan Permukiman Berdasarkan Batas Dusun di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional UII “Menuju Masyarakat Madani”. Yogyakarta : DPPM UII.
122
Rosalina Kumalawati
yang digunakan sebagai sampel untuk melakukan penelitian pendapatan sebelum dan sesudah kejadian banjir lahar adalah buruh tani, buruh pasir, buruh serabutan dan petani. Petani dan buruh tani dijadikan sampel karena profesi ini kehilangan tempat bekerja karena ladang mereka tersapu oleh banjir lahar. Buruh pasir adalah profesi yang sesudah banjir lahar terjadi malah mendapat anugerah karena bahan angkut mereka bertambah bahkan dengan kualitas yang lebih prima dan buruh serabutan dipilih karena dengan adanya banjir lahar mereka kini tidak bekerja secara serabutan lagi melainkan sudah tetap yaitu sebagai buruh angkut kerikil, pasir atau batu dan/atau penambang kerikil, pasir atau batu. Evaluasi pendapatan yang dilakukan pada masing-masing profesi sebelum dan sesudah banjir lahar dan sebaran spasialnya akan disampaikan sebagai berikut. 1. Evaluasi Pendapatan Masyarakat Pascakejadian Banjir Lahar Evaluasi pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah kejadian banjir lahar dilakukan dengan asumsi masyarakat melakukan pekerjaan tersebut selama satu bulan penuh. Sehingga pendapatan per hari mereka akan dikalikan dengan 30 hari untuk mempermudah perhitungan. Hasil penelitian menunjukkan penghasilan terendah dan tertinggi yang dapat diperoleh oleh masyarakat selama sebulan terdapat pada profesi petani, yaitu dengan penghasilan terendah sebesar Rp300.000 dan penghasilan tertinggi sebesar Rp2.500.000 per bulan. Sedangkan pada profesi buruh tani, buruh pasir dan buruh serabutan pendapatan terendah mereka selama sebulan tidak kurang dari Rp400.000
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
123
namun pendapatan mereka selama sebulan tidak pernah melebihi pendapatan petani yaitu sebesar Rp1.000.000,-. Pascakejadian banjir lahar masyarakat dengan keempat profesi tersebut beralih profesi menjadi penambang batu, pasir ataupun kerikil. Hasil survei menyatakan bahwa setiap hari, seorang penambang batu akan membawa pulang upah sebesar Rp10.000 hingga Rp25.000, sedangkan penambang pasir Rp30.000–Rp75.000 dan penambang kerikil sejumlah Rp10.000 dan Rp75.000. Pendapatan dengan jumlah tersebut diasumsikan dikerjakan selama sebulan atau 30 hari. Maka dengan demikian dapat diketahui bahwa seorang penambang batu setiap bulannya akan mendapat upah sebesar Rp300.000 hingga Rp7.500.000, penambang pasir sebesar Rp900.000–Rp2.250.000 dan penambang kerikil Rp300.000 hingga Rp2.250.000. Jumlah maksimum atau minimum yang didapat oleh setiap warga yang beralih profesi sangat bergantung pada hari kerja mereka (lihat Gambar 42).
Gambar 42. Alih Profesi Masyarakat sebagai Penambang
124
Rosalina Kumalawati
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa profesi yang paling tinggi upah yang mampu didapatkan setiap bulannya adalah penambang batu yakni dengan Rp7.500.000 setiap bulan dalam 30 hari masa kerja. Sedangkan profesi yang paling rendah upahnya dalam 30 hari masa kerja adalah penambang kerikil dan pasir yaitu sebesar Rp300.000. Akan tetapi, perlu diingat bahwa proses penambangan batu adalah yang terberat untuk dilakukan dan diperlukan teknik khusus dalam memilih atau memecah batu. Tidak semua batu dapat dijual ke pasar. Dari tiga jenis warna batu (hitam, putih, merah) yang dimuntahkan oleh Merapi hanya batu berwarna hitam-lah yang mampu dipahat oleh pemahat atau laku dijual ke pasar. Hal ini dikarenakan batu berwarna hitam berasal dari tengah tubuh Merapi, sedangkan batu berwarna merah berasal dari puncak Merapi yang terlalu rapuh untuk dipahat dan batu berwarna putih berasal dari perut Merapi yang terlalu keras untuk dipahat bahkan mampu mematahkan alat pemahat. Oleh karenanya penambang batu akan mendapat upah tertinggi dalam setiap bulannya. Buruh tani, buruh pasir dan buruh serabutan dapat direkomendasikan untuk memilih alih profesi sebagai penambang pasir atau kerikil apabila menjadi penambang batu dirasa terlalu berat. Atau sesekali dapat menjadi penambang batu, dengan demikian dinamisasi pekerjaan akan lebih beragam. Menjadi penambang pasir dan/atau penambang kerikil dapat memberikan pendapatan 2 kali lipat dibanding pendapatan pada profesi sebelumnya, dengan asumsi 30 hari masa kerja, penambang pasir dan/atau kerikil dapat mencapai jumlah pendapatan sebesar Rp2.250.000 padahal pekerjaan sebelumnya hanya Rp1.000.000.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
125
Sedangkan bagi para petani, alih profesi menjadi penambang pasir dan kerikil saja tidak dapat menggantikan pendapatan maksimal yang mampu mereka capai selama sebulan yaitu Rp2.500.000. Petani dapat menjadikan penambang batu sebagai alternatif pekerjaan mereka pada beberapa hari dalam kurun waktu 30 hari untuk mencapai nominal pendapatan di atas batas maksimal penambang pasir dan/atau batu yaitu Rp2.250.000. Sesekali menjadi penambang batu bagi para petani akan mampu menambah pemasukan mereka bahkan melebihi pendapatan sebelum banjir lahar terjadi. Alih profesi yang kedua adalah menjadi buruh angkut material banjir lahar (pasir, batu dan kerikil). Pada profesi ini fluktuasi pendapatan setiap buruh angkut lebih variatif dibandingkan profesi sebelumnya. Pendapatan tertinggi yang mampu dicapai oleh seorang penambang selama sebulan adalah dengan menambang batu yaitu Rp4.500.000 atau per harinya sejumlah Rp150.000, sedangkan jumlah terendah pada setiap profesi adalah sama yaitu Rp600.000 atau setiap hari mendapat Rp20.000. Rekomendasi alih profesi kepada petani, buruh tani, buruh pasir dan buruh serabutan menjadi profesi buruh angkut adalah sama seperti rekomendasi sebelumnya yaitu buruh tani, buruh pasir dan buruh serabutan bebas memilih untuk menjadi buruh angkut pasir, batu, atau kerikil sesuai kehendak mereka karena pendapatan sebulan yang mampu dihasilkan menambang pasir, batu dan kerikil sudah melebihi pendapatan yang biasa mereka dapat sebelum banjir lahar terjadi yaitu menambang pasir sebesar Rp1.500.000, dan menambang kerikil sebesar Rp2.400.000 dan menambang batu sebesar Rp4.500.000 padahal pendapatan
126
Rosalina Kumalawati
mereka sebelumnya dalam sebulan hanya mampu menghasilkan Rp1.000.000. Penjelasan pendapatan masing-masing profesi dapat dilihat pada Gambar 43. Sedangkan bagi para petani, untuk hanya menjadi buruh angkut pasir dan/atau kerikil maka belum mampu mengganti sejumlah pendapatan mereka pada pekerjaan sebelumnya. Petani disarankan untuk melakukan variasi pekerjaan dalam waktu 30 hari, beberapa hari untuk menjadi penambang batu, beberapa hari selanjutnya menjadi penambang pasir dan kemudian di hari lain menjadi penambang kerikil. Dengan demikian jumlah akhir selama sebulan pendapatan petani yang alih profesi diharapkan mampu setara atau lebih baik jika melebihi pendapatan pada profesi sebelumnya. 2. Sebaran Pendapatan Masyarakat Pascabencana Banjir Lahar secara Spasial Sebaran spasial pendapatan masyarakat pascabencana banjir lahar dapat diketahui berdasarkan segmentasi Kali Putih. Kali Putih dibagi dalam tiga segmentasi, yaitu Zona Produksi Lahar, Zona Transportasi Lahar dan Zona Sedimentasi Lahar. Masing-masing zona memiliki spesifikasi tersendiri dalam menghasilkan banjir lahar. Zona produksi lahar adalah lokasi di mana pemicu lahar (yaitu hujan) turun dan membawa material hasil erupsi, pada zona ini banjir lahar dengan berat jenis 2–2,5 gr/cc7 mengalir dengan membawa material pasir kasar dan bebatuan dengan ukuran besar. Zona transportasi lahar adalah zona antara zona sedimentasi dan produksi lahar. Pada zona ini material campuran banjir lahar sudah 7
Sumintadireja, Prihadi. 2000. Catatan Kuliah Volkanologi. Bandung: ITB.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
127
mulai tergerus, sehingga pada zona ini akan ditemukan campuran material banjir lahar berupa pasir yang halus dan kasar, dan batuan kecil dan besar. Zona sedimentasi banjir lahar Kali Putih adalah zona terakhir sebelum material banjir lahar sampai ke DAS utama yaitu DAS Progo. Pada zona ini sangat mudah ditemukan material pasir yang halus dan bebatuan yang sangat kecil. Pembagian segmentasi kejadian banjir lahar ini berkaitan dengan jenis pekerjaan yang ditekuni warga. Pada zona produksi lahar, pekerjaan yang mudah ditemui adalah penambang batu dan penambang pasir. Kegiatan penambangan pasir, batu dan kerikil secara bersamaan dapat ditemui pada zona transportasi lahar. Material banjir lahar yang terdapat pada zona ini merupakan campuran halus dan kasar, selain itu pada zona ini terdapat jalan utama yang menghubungkan Yogyakarta dan Semarang. Aksesibilitas dan ketersediaan material yang ada inilah menyebabkan pada zona transportasi harga material banjir lahar termahal di antara zona yang lain. Secara administratif, zona ini terletak pada Desa Srumbung, Desa Jumoyo dan Sirahan.
128
Rosalina Kumalawati
Gambar 43. Alih Profesi Masyarakat sebagai Buruh Angkut
Zona terakhir adalah zona sedimentasi banjir lahar. Pada zona ini pekerjaan yang ditemukan adalah penambang kerikil dan pasir. Batuan yang semakin kecil dan mudah dihancurkan banyak ditemui di zona ini. Mengakibatkan para penambang kerikil melakukan kegiatan penambangan di tempat ini. Selain itu, penambang pasir juga ditemukan di zona ini. Zona sedimentasi lahar secara adminsitratif terdapat di antara Desa Sirahan hingga Desa Blongkeng. Berdasarkan kemunculan jenis pekerjaan tersebut di atas pada masing-masing segmentasi Kali Putih maka dapat diketahui bahwa untuk melakukan penambangan batu dan/atau menjadi buruh angkut batu dengan upah maksimum sebulan dapat mencapai Rp7.500.000 dan Rp4.500.000 maka pekerjaan tersebut harus dilakukan di zona produksi dan transportasi lahar. Penambang pasir dan buruh angkut pasir yang mampu menghasilkan upah
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
129
maksimum per bulan Rp2.250.000 dan Rp1.500.000 maka dapat melakukannya di seluruh segmentasi zona banjir lahar, sedangkan penambang kerikil dan/atau buruh angkut kerikil dengan upah maksimum mencapai Rp2.250.000 dan Rp2.400.000 dapat melakukannya di zona transportasi dan sedimentasi lahar. Pembagian zona sedimentasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 44.
Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah: 1. Buruh tani, buruh pasir dan buruh serabutan lebih fleksibel dalam melakukan alih profesi. Karena semua profesi yang mereka geluti kini mampu memberikan penghasilan lebih besar daripada profesi mereka sebelumnya. Sedangkan bagi petani, dalam melakukan alih profesi mereka harus menekuni beberapa pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dari profesi sebelumnya. 2. Sebaran spasial pendapatan masyarakat dapat diketahui berdasarkan jenis pekerjaan yang muncul pada setiap segmentasi banjir lahar.
130
Rosalina Kumalawati
Gambar 44. Peta Sebaran Alih Profesi Masyarakat
2 Valuasi Ekonomi Tingkat Kerusakan Bangunan Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kali Putih Kabupaten Magelang1
Abstract
The purposes of this study are to identify the zonation of laharaffected regions and the number of damaged houses due to lahar, as well as to make an economic valuation on settlement building damage due to lahar in Kali Putih, Magelang Regency. The study was conducted by using a survey method based on physical and administrative zonations. The former was based on overflow width of lahar in Kali Putih after the Merapi erruption in 2010, while the latter was based on subdistrict. Each of the zonation units was sampled. The sampling was carried out on the basis of settlement building vulnerability due to lahar. The sample was represented by 59 respondents and three times of Focus Group Discussion (FGD) during the study. Results of the study show that, first, the overflow width of lahar in the location of study was 1.785 km2. The widest overflow was in Sirahan Village, i.e. 0.813 km2 or 45.532 %, and the narrowest one was in Blongkeng Village, Ngluwar Subdistrict, i.e. 0.001 km2 or 0.057%. Second, the number of houses affected by lahar was 1,290 houses. Settlement building damage was dominantly due to collapse/washed away (814 houses), moderately damaged (200 houses), ligthly damaged (140 houses), severely 1 Rosalina Kumalawati, Rijanta, Junun Sartohadi, Rimawan Pradiptyo, Seftiawan S Rijal
131
132
Rosalina Kumalawati
damaged (71 houses), and relatively undamaged (65 houses). A settlement mostly affected by the impact of lahar was Sirahan Village, Salam Subdistrict, i.e. 860 houses. Third, the largest lost resulted from the lahar was related to permanent houses, i.e. approximately IDR104,000,000.00 because the construction cost for the permanent houses was more expensive than that for semipermanent and nonpermanent ones. Keywords: Lahar, Economic Valuation, Settlement Building Damage
Pendahuluan Penelitian dilakukan di lereng Barat Merapi Kabupaten Magelang karena sungai-sungai di lereng barat Merapi termasuk sungai dengan tingkat bahaya banjir lahar tinggi. Terbukti pada kejadian erupsi Gunung Api Merapi 2010, terjadi banjir lahar yang mengakibatkan kerusakan permukiman di sepanjang alur sungai Kali Putih mulai wilayah Desa Jumoyo hingga wilayah Desa Sirahan. Jembatan yang melintas di atas Kali Putih juga tidak luput dari amukan banjir lahar Kali Putih sehingga jalur transportasi Semarang ̶ Yogyakarta terputus. Terputusnya jalur utama Semarang-Yogyakarta mengakibatkan terputusnya urat nadi perekonomian DIY-Jateng. Dampak banjir lahar yang melalui Kali Putih cukup banyak sehingga perlu dilakukan zonasi daerah terdampak lahar. Ancaman bahaya banjir lahar lebih berbahaya jika terjadi di daerah yang datar dan padat permukiman. Sekitar 80 ribu rumah terancam banjir lahar karena terletak dalam radius kurang dari 300 meter dari aliran sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi (Pemerintah Kabupaten Magelang, 2011). Salah satu contoh yang terjadi di Kali Putih Kabupaten Magelang. Luapan banjir lahar merusak 1.225 unit rumah di sekitar Kali Putih. Inventarisasi
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
133
dampak lahar yang terjadi tahun 2010 dan strategi mitigasi bencana banjir lahar di masa depan perlu dibangun untuk meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan. Sehingga perlu dilakukan zonasi jumlah rumah rusak akibat banjir lahar agar dampak kerusakan permukiman akibat banjir lahar dapat dikaji lebih mendalam. Banjir lahar tahun 2011 baru melarutkan sekitar 30 % dari total jumlah material sisa erupsi 2010, dengan demikian perulangan kejadian banjir lahar masih sangat dimungkinkan terjadi di masa depan. Banjir lahar akan terus berlangsung dari waktu ke waktu dan mungkin akan terjadi di lokasi yang sama. Perlu evaluasi setelah kejadian banjir lahar karena kebutuhan tempat tinggal semakin meningkat. Permasalahan tersebut merupakan contoh kasus yang menarik untuk ditelaah karena permasalahan wilayah cukup komplek dari sisi ekonomi. Pembangunan wilayah didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Perhitungan keuntungan ekonomi menjadi dasar utama pengambilan kebijakan pembangunan. Pembangunan dilaksanakan di dalam ruang/wilayah yang mempunyai dinamika khusus seperti wilayah rawan banjir lahar di Kali Putih. Dinamika wilayah secara fisik, sosial dan ekonomi sering kali kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Akibatnya timbul kerugian ekonomi yang besar ketika terjadi proses dinamika wilayah tidak dikehendaki. Selanjutnya perlu dilakukan valuasi ekonomi tingkat kerusakan bangunan permukiman akibat banjir lahar dengan memperhatikan aspek fisik, sosial dan ekonomi.
134
Rosalina Kumalawati
Metode Penelitian
1. Zonasi Daerah Terdampak Banjir Lahar a. GPS Tracking Tracking dilakukan pada luapan banjir lahar menggunakan Global Positioning System (GPS) dan TS Robotik, untuk mengetahui luas luapan banjir lahar. Hasil GPS tracking diubah menjadi struktur data polygon agar diketahui luasan dan cakupan dari banjir lahar. Hasil tracking banjir lahar dibuat grid untuk menentukan tinggi endapan banjir lahar. Grid adalah titik survei tinggi endapan banjir lahar. Selanjutnya cek dilapangan berapakah tinggi banjir lahar di tempat tersebut. Setelah diketahui dilakukan interpolasi titik ketinggian endapan dan didapatkan tinggi endapan banjir lahar 1 meter, 2 meter dan 3 meter. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan tiap tinggi endapan. Total sampel adalah 89 unit rumah (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah Sampel di Daerah Penelitian No.
Tinggi Endapan Banjir Lahar (m)
Jumlah Sampel (Unit Rumah)
1.
3
44
2.
2
17
3.
1
28
Jumlah
89
Sumber: Hasil Pengukuran Lapangan, 2011 ̶ 2013
b. Cross Section Cross Section dilakukan untuk menghitung luas penampang sungai berdasarkan hasil perhitungan lapangan menggunakan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
135
laser ace dan analisis topografi. Metode ini mengasumsikan volume setengah tabung sehingga diperoleh skenario volume dari setiap penampang melintang. Banjir lahar diprediksi menujur kontur lebih rendah, diketahui arah luapan banjir lahar. 2. Zonasi Jumlah Rumah Rusak Akibat Banjir Lahar Parameter yang digunakan untuk zonasi rumah rusak akibat banjir lahar adalah tinggi endapan banjir lahar dan kondisi material bangunan. Tinggi endapan banjir lahar diketahui dari beberapa titik kontrol. Masyarakat diminta memberikan nilai ketinggian banjir lahar. Nilai tersebut diinterpolasi, sebagai pendekatan untuk mengetahui batas tinggi endapan. Kondisi material bangunan dinilai berdasarkan pedoman kategori kerusakan yang dibuat oleh peneliti. Terdapat lima kategori kerusakan permukiman akibat banjir lahar yaitu Roboh/Hanyut, Rusak Berat, Rusak Sedang, Rusak Ringan dan Tidak Rusak (Tabel 1). Metode Focus Group Discussion FGD untuk mengetahui tinggi endapan, dan kondisi material bangunan (Gambar 45). Informasi yang ingin diserap mengenai kondisi permukiman adalah material dinding, material lantai, jenis atap, dan jumlah lantai. Parameter tersebut digunakan untuk menentukan jenis rumah (nonpermanen, semipermanen atau permanen).
Gambar 45. (A) Kegiatan FGD di Kecamatan Salam dan (B) Wawancara dengan Aparat Pemerintah Desa Polengan Kecamatan Srumbung (Foto : Kumalawati, 2011).
136
Rosalina Kumalawati
Tabel 1. Kriteria Kerusakan Bangunan Akibat Banjir Lahar K a t e g o r i Kriteria Kerusakan Kerusakan Hanyut/Roboh Bangunan hanyut terbawa banjir lahar, bangunan roboh, total bangunan tertimbun lahar atau sebagian besar komponen struktur rusak
Uraian Bangunan hilang atau roboh total Bangunan terkubur endapan lahar lebih dari 50% Bagian bangunan hilang sebesar 50 % atau lebih Sebagian besar kolom, balok, dan/atau atap rusak Sebagian besar dinding dan langit-langit roboh Instalasi listrik rusak total Pintu/jendela/kusen hilang/rusak total Bangunan masih berdiri Bangunan tertimbun endapan lahar 50% Sebagian rangka atap patah Balok kolom sebagian kecil patah Sebagian dinding dan/atau atap roboh/rusak Sebagian instalasi listrik rusak/terputus Pintu/jendela/kusen rusak parah
Rusak Berat
Bangunan masih berdiri, sebagian besar komponen struktur rusak dan komponen arsitektural rusak
Rusak Sedang
Bangunan masih berdiri, sebagian kecil komponen struktur rusak dan komponen arsitektural rusak
Bangunan masih berdiri Bangunan tertimbun lahar 30% Retak-retak pada dinding dan/atau atap Instalasi listrik rusak sebagian Pintu/jendela/kusen rusak sebagian
Rusak Ringan
Bangunan masih berdiri, tidak ada kerusakan struktur, hanya terdapat kerusakan komponen arsitektural Bangunan utuh, tidak ada kerusakan struktur, hanya terkena genangan lahar di teras rumah
Bangunan masih berdiri Bangunan tergenang lahar < 30% Pintu/jendela/kusen perlu diperbaiki Instalasi listrik tidak rusak Dinding perlu di cat kembali
Tidak Rusak
Bangunan masih berdiri Tidak ada kerusakan pada pintu/jendela Terkena genangan lahar di teras kurang dari 20 cm
Sumber: B AKORNAS dalam Departemen Pekerjaan Umum, 2006; dan Modifikasi, 2013
3.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
Valuasi Ekonomi Tingkat Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar
137
Bangunan
Variabel-variabel untuk keperluan analisis valuasi ekonomi merupakan data primer. Metode yang digunakan adalah Contingent Valuation Method (CVM). Unit analisis individu RT menggunakan kuesioner dan Focus Group Discussion (FGD). Perhitungan dampak kerusakan akibat lahar dibatasi kerusakan fisik yaitu kerusakan bangunan rumah. Valuasi ekonomi untuk menghitung dampak kerusakan akibat lahar berdasarkan asumsi forum para pakar baik etic maupun emic. Etic adalah pendekatan para pakar Perguruan Tinggi. Emic (Local Knowledge) adalah pendekatan berbasis masyarakat setempat.Penilaian kerusakan bangunan rumah akibat banjir lahar dilakukan berdasarkan persepsi masyarakat melalui FGD dan wawancara menggunakan kuesioner. Peserta FGD terdiri dari berbagai lapisan masyarakat (perangkat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat yang terkena banjir lahar). Berdasarkan hasil klasifikasi kerusakan bangunan permukiman, hasil kuesioner dan hasil FGD dilakukan valuasi ekonomi sehingga dapat diketahui besarnya kerugian bangunan permukiman akibat banjir lahar.
Hasil dan Pembahasan 1. Zonasi Daerah Terdampak Banjir Lahar Penelitian ini membagi bencana banjir lahar menurut tinggi endapan banjir lahar yang terjadi. Berdasarkan hasil olah data lapangan, diketahui banjir lahar di Kali Putih terjadi dengan ketinggian endapan 1 meter, 2 meter dan 3 meter. Tinggi endapan banjir lahar diasumsikan berasosiasi dengan kerusakan yang ditimbulkan pada element at risk yaitu permukiman. Semakin
138
Rosalina Kumalawati
tinggi endapan banjir lahar maka semakin parah kerusakan yang ditimbulkannya. Lavigne dkk (2000) dan Surono (2011) menyatakan bahwa sungaisungai di lereng barat Merapi mempunyai tingkat bahaya banjir lahar tinggi karena material hasil erupsi Merapi cenderung lebih halus sehingga mudah terbawa air dan menjadi lahar. Banjir lahar di Kali Putih, pertama kali meluap di Desa Jumoyo, Gulon, Seloboro, Sirahan Kecamatan Salam dan Blongkeng Kecamatan Ngluwar. Luas luapan banjir lahar di Kecamatan Salam dan Kecamatan Ngluwar adalah 1,785 km2. Luapan banjir lahar paling luas di Desa Sirahan yaitu 0,813 km2 atau 45,532 % dari total banjir lahar di empat desa. Luas luapan banjir lahar paling kecil di Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar, yaitu 0,001 km2 atau 0,057 % dari total banjir lahar di di daerah penelitian (Tabel 2). Tabel 2. Luas Luapan Banjir Lahar di Daerah Penelitian No
Kecamatan
Desa
Luas
Gulon Jumoyo Seloboro Sirahan Blongkeng
(km ) 0.143 0.587 0.241 0.813 0.001 1.785
Area Persentase (%)
2
1 2 3 4 5
Salam Ngluwar Jumlah
8.037 32.883 13.490 45.532 0.057 100
Sumber : Hasil Pengukuran Lapangan, Tahun 2011-2012; Hasil Pengolahan dan Perhitungan Data Primer, Tahun 2012-2013
Ketinggian limpasan banjir lahar dipengaruhi kondisi morfologi Kali Putih. Tebing Kali Putih rendah, limpasan banjir lahar tinggi, apabila tebing Kali Putih tinggi, banjir lahar tidak melimpas
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
139
hanya menggerus tebing sungai. Agihan banjir lahar mempunyai ketinggian yang berbeda di setiap desa (Tabel 3). Tinggi endapan banjir lahar 3 meter mendominasi bantaran Kali Putih, ketinggian berkurang menjadi 2 meter ke arah Desa Gulon hingga ke Desa Seloboro. Desa Sirahan ketinggian endapan banjir lahar paling tinggi (3 m) dengan luasan mencapai 0,35 km2 atau 17,69 % dari total seluruh tinggi endapan banjir lahar. Banjir lahar di Kali Putih berakhir di Desa Blongkeng. Banjir lahar di Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar memiliki ketinggian 1 hingga 3 meter. Banjir lahar di Desa Blongkeng didominasi ketinggian 3 m, banjir lahar tidak melimpas permukiman, hanya menggerus tebing sungai menyebabkan longsor kemudian menghanyutkan rumah-rumah yang terdapat di atas tebing sungai. 2. Zonasi Jumlah Rumah Rusak Akibat Banjir Lahar Bencana banjir lahar mengakibatkan kerugian harta benda dan nyawa bukan jenis bencana baru di Indonesia. Penelitian Lavigne dkk, 1999 dan 2000 menunjukkan secara historis bahwa banjir lahar mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi penduduk sekitar gunung api pada masa-masa silam. Pada penelitian tersebut belum disebutkan klasifikasi secara lebih detail mengenai tingkat kerusakan akibat banjir lahar terutama yang menimpa permukiman. Penelitian ini melakukan klasifikasi kerusakan permukiman akibat banjir lahar secara lebih detail dengan menyebutkan kategori kerusakan, kriteria kerusakan dan uraian kerusakan yang terjadi pada masing-masing bangunan. Klasifikasi kerusakan permukiman akibat banjir lahar adalah hasil modifikasi kriteria kerusakan permukiman akibat gempa bumi yang dikeluarkan oleh BAKORNAS (2006). Kriteria
140
Rosalina Kumalawati
tersebut dimodifikasi karena terdapat beberapa kesamaan kerusakan yang terjadi akibat bencana gempabumi dan banjir lahar yaitu rusaknya struktur dan komponen arsitektural bangunan. Rusaknya struktur bangunan seperti kerusakan kolom, balok, atap dan dinding. Rusaknya komponen arsitektural seperti pintu/jendela/kusen dan instalasi listrik. Modifikasi klasifikasi kerusakan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan menambahkan dua kategori kerusakan yaitu Roboh/ Hanyut dan Tidak Rusak, serta menambahkan persentase aspek genangan/endapan banjir lahar pada masing-masing uraian kerusakan. Tabel 3. Ketinggian Endapan Banjir Lahar di Daerah Penelitian No Kecamatan
1
Desa
Seloboro
2
Sirahan Salam
3
Gulon
4
5
Jumoyo
Ngluwar
Blongkeng
Tinggi Endapan Banjir Lahar (m)
km
%
Jumlah Rumah
1
0,02
1,01
1
2
0,03
1,52
7
3
0,17
8,59
111
1
0,21
10,61
177
2
0,18
9,10
130
3
0,35
17,69
553
1
0
0,00
0
2
0,14
7,07
28
3
0,017
0,86
0
1
0,21
10,61
41
2
0,28
14,15
72
3
0,1
5,05
107
1
0,02
1,01
0
2
0,022
1,11
1
0,23
11,62
62
1,979
100
1290
3 Jumlah
Luas 2
Sumber: H asil Pengukuran Lapangan, Tahun 2011 ̶ 2012; Hasil Pengolahan dan Perhitungan Data Primer, Tahun 2012 ̶ 2013
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
141
Kategori kerusakan Roboh/Hanyut disesuaikan dengan kondisi bangunan di daerah penelitian yang 50 % atau lebih hilang tersapu oleh banjir lahar hingga hanya menyisakan fondasinya. Kategori kerusakan Tidak Rusak, bukan berarti tidak mengalami kerusakan sama sekali melainkan kondisi bangunan masih berdiri namun tidak mengalami kerusakan secara struktural dan arsitektural serta genangan/endapan lahar yang menimpa bangunan tersebut berkisar pada ketinggian maksimal 20 cm. Jumlah rumah yang terkena banjir lahar adalah 1.290 rumah. Kelas kerusakan permukiman didominasi Roboh/Hanyut sebanyak 814 rumah, Rusak Sedang sebanyak 200 rumah, Rusak Ringan 140 rumah, Rusak Berat 71 rumah dan Tidak Rusak sejumlah 65 rumah. Permukiman paling banyak terkena dampak banjir lahar adalah Desa Sirahan Kecamatan Salam sejumlah 860 rumah. Kerusakan permukiman paling parah di Desa Sirahan sebanyak 553 rumah roboh/hanyut. Kerusakan rumah paling sedikit di Desa Gulon dengan jumlah 28 rumah (25 Rusak Sedang dan 3 rumah Rusak Ringan) (Tabel 4, Tabel 5 dan Gambar 46).
142
Rosalina Kumalawati
Gambar 46. Peta Kelas Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar di Daerah Penelitian
Tabel 4. Kelas Kerusakan Permukiman di Daerah Penelitian Kelas Kerusakan Permukiman
No Kecamatan 1 2 3
Jumoyo Salam
4 5
Desa
Gulon Seloboro Sirahan
Ngluwar
Jumlah
Blongkeng
Jumlah Roboh/ Rusak Rusak Rusak Tidak Rumah Per Desa Hanyut Berat Sedang Ringan Rusak 108 8 19 61 24 220 0
0
25
3
0
28
97
15
5
1
1
119
553
43
149
75
40
860
56
5
2
0
0
63
814
71
200
140
65
1290
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
143
Tabel 5. Kondisi Rumah PascaBencana Banjir Lahar Koordinat No
X
Y
Data Bangunan Desa
Material Dinding
Material Lantai
Jenis Atap
Jumlah Lantai
Jarak dari Sungai (m)
Tinggi Banjir Lahar (m)
Kelas Kerusakan
Kecamatan Salam 1
422825
9159230
Bata/Batako Semen
Genteng
1
169
2 Rusak Ringan
2
422950
9159246
Campuran
Semen
Genteng
1
69
2 Rusak Sedang
3
422826
9159288
Kayu
Semen
Genteng
1
107
3 Roboh/Hanyut
4
422769
9159302
Campuran
Semen
Genteng
1
147
3 Roboh/Hanyut
5
422748
9159317
Bata/Batako Semen
Genteng
1
157
3 Roboh/Hanyut
6
422786
9159350
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
111
3 Roboh/Hanyut
7
422767
9159380
Bata/Batako Semen
Genteng
1
50
3 Roboh/Hanyut
8
422933
9159265 Jumoyo
Bata/Batako Semen
Genteng
1
60
2 Rusak Berat
9
423145
9159384
Bata/Batako Tanah
Genteng
1
64
3 Roboh/Hanyut
10
422651
9159316
Bata/Batako Semen
Genteng
1
244
3 Roboh/Hanyut
11
422707
9159389
Bata/Batako Semen
Genteng
1
133
3 Roboh/Hanyut
12
422808
9159376
Bata/Batako Semen
Genteng
1
51
3 Roboh/Hanyut
13
422898
9159319
Bata/Batako Semen
Genteng
1
32
1 Rusak Ringan
14
422650
9159374
Campuran
Genteng
1
50
3 Roboh/Hanyut
15
422828
9159329
Bata/Batako Semen
Genteng
1
80
3 Roboh/Hanyut
16
421596
9159170
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
96
2 Rusak Sedang
17
421761
9159267
Bata/Batako Semen
Genteng
1
57
2 Rusak Sedang
18
421767
9159270
Bata/Batako Semen
Genteng
1
59
2 Rusak Sedang
19
421701
9159229 Gulon
Bata/Batako Semen
Genteng
1
61
2 Rusak Sedang
20
422773
9159433
Campuran
Genteng
1
42
2 Rusak Sedang
21
422703
9159533
Bata/Batako Keramik
Genteng
2
153
2 Rusak Ringan
22
422747
9159539
Kayu
Genteng
1
141
2 Rusak Ringan
Keramik
Tanah
Semen
144
Rosalina Kumalawati
23
419275
9157374
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
92
3 Roboh/Hanyut
24
419295
9157378
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
77
2 Rusak Berat
25
419316
9157398
Bata/Batako Keramik
Genteng
2
69
2 Rusak Berat
26
419343
9157398
Kayu
Genteng
1
44
1 Rusak Sedang
27
419345
9157379
Bata/Batako Semen
Genteng
1
32
1 Rusak Sedang
28
420158
9158433
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
40
3 Roboh/Hanyut
29
420248
9158465
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
90
3 Roboh/Hanyut
30
420334
9158391 Sirahan
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
200
3 Roboh/Hanyut
31
420172
9158475
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
21
3 Roboh/Hanyut
32
420190
9158490
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
30
3 Roboh/Hanyut
33
419690
9158028
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
153
3 Roboh/Hanyut
34
419727
9158031
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
119
3 Roboh/Hanyut
35
419631
9157949
Campuran
Genteng
1
58
3 Roboh/Hanyut
36
419839
9158110
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
139
3 Roboh/Hanyut
37
419844
9158115
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
145
3 Roboh/Hanyut
38
420737
9158886 Seloboro
Bata/Batako Semen
Genteng
1
85
3 Roboh/Hanyut
39
420756
9158893
Bata/Batako Semen
Genteng
1
86
3 Roboh/Hanyut
40
420782
9158917
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
105
3 Roboh/Hanyut
41
420799
9158920
Kayu
Genteng
1
106
3 Roboh/Hanyut
42
420835
9158942
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
135
3 Roboh/Hanyut
43
420653
9158894
Kayu
Genteng
1
93
3 Rusak Berat
44
420637
9158879
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
78
3 Roboh/Hanyut
45
420643
9158869
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
70
3 Roboh/Hanyut
46
420648
9158860
Kayu
Genteng
1
53
3 Roboh/Hanyut
47
420643
9158852
Bata/Batako Semen
Genteng
1
47
3 Roboh/Hanyut
48
420696
9158845
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
33
3 Roboh/Hanyut
49
420671
9158869
Bata/Batako Semen
Genteng
1
61
3 Roboh/Hanyut
50
420678
9158849
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
39
3 Roboh/Hanyut
51
420681
9158855
Bata/Batako Keramik
Genteng
2
47
3 Roboh/Hanyut
52
420688
9158860
Campuran
Genteng
1
49
3 Roboh/Hanyut
Tanah
Semen
Semen
Semen
Keramik
Tanah
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
145
Kecamatan Ngluwar 53
418498
9156139
Kayu
54
418475
9156110
55
418485
56
418498
57
Semen
Genteng
1
43
3 Roboh/Hanyut
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
33
3 Roboh/Hanyut
9156100
Campuran
Genteng
1
52
3 Roboh/Hanyut
9156139 Blongkeng
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
43
3 Roboh/Hanyut
418304
9156050
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
47
3 Roboh/Hanyut
58
418312
9156062
Bata/Batako Keramik
Genteng
1
42
3 Roboh/Hanyut
59
418321
9156071
Campuran
Genteng
1
38
3 Roboh/Hanyut
Semen
Tanah
Sumber: Hasil Pengolahan, 2013
Matriks kerusakan permukiman akibat banjir lahar dapat dibuat seperti pada Tabel 6. Matriks berisi perbandingan tinggi endapan, material bangunan, jarak dari sungai dan penentuan tingkat kerusakan. Survei lapangan menunjukkan rumah yang berada di daerah penelitian memiliki tiga macam material dinding yaitu bata/batako, kayu dan campuran keduanya. Material lantai terbuat dari semen, tanah dan keramik. Seluruh rumah beratap genteng dan hanya 3 rumah berlantai 2 sedangkan sisanya berlantai 1. Jarak rumah dari sungaibervariasi, 20 rumah berada jarak 0 – 50 meter, 22 rumah berada 51 – 100 meter dan 17 rumah berjarak 101 – 250 meter dari sungai (Tabel 6). Tabel 6. Matriks Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Tinggi Endapan
Material
(m)
Bangunan
1
Jarak dari sungai (m) 0 - 50
50 - 100
101 - 250
Batako/Bata
Rusak Ringan
Rusak Ringan
Tidak Rusak
Kayu
Rusak Sedang
Rusak Ringan
Rusak Ringan
Campuran
Rusak Ringan
Rusak Ringan
Tidak Rusak
146
Rosalina Kumalawati 2
3
Batako/Bata
Rusak Berat
Rusak Sedang
Rusak Ringan
Kayu
Roboh/Hanyut
Rusak Berat
Rusak Sedang
Campuran
Rusak Berat
Rusak Berat
Rusak Sedang
Batako/Bata
Roboh/Hanyut
Roboh/Hanyut
Rusak Berat
Kayu
Roboh/Hanyut
Roboh/Hanyut
Roboh/Hanyut
Campuran
Roboh/Hanyut
Roboh/Hanyut
Rusak Berat
Sumber: Hasil Pengolahan, 2013
3. Valuasi Ekonomi Kerusakan Bangunan Permukiman Akibat Banjir Lahar Peran valuasi ekonomi terhadap lingkungan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya penting dalam kebijakan pembangunan (David et al, 1990; Markandya et al, 2002). Kerusakan lingkungan atau sumber daya lingkungan merupakan masalah ekonomi, rusaknya lingkungan berarti hilangnya kemampuan lingkungan untuk menyediakan barang dan jasa (Maynard et al, 1979; Sukanta, 1993; Garrod et al, 1999). Penelitian valuasi ekonomi terhadap banjir lahar belum pernah dilakukan. Kerusakan bangunan permukiman akibat banjir lahar dihitung nilai rupiahnya. Kerugian ekonomi yang secara langsung dapat diamati dari bencana banjir lahar adalah rusak dan hancurnya permukiman. Nilai dari kerusakan langsung diperkirakan atas dasar harga pasar dari perbaikan atau penggantian aset dengan karakteristik yang sama dengan desain aslinya. Kehancuran total harus diperkirakan sebagai biaya penggantian aset asli yang rusak dengan spesifikasi seperti dilokasi aslinya (Artiani, 2011). Estimasi nilai dampak bencana diperlukan standar harga yang relevan. Penilaian kerugian yang dilakukan penilaian kerugian
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
147
bangunan permukiman akibat banjir lahar. Standar harga yang diperlukan biaya per meter persegi konstruksi bangunan untuk permukiman. Standar harga yang dimaksud harga borongan per meter persegi. Penentuan standar harga berdasarkan survei harga dari intansi terkait (PU dan Indeks Harga Kabupaten Magelang), kontraktor serta masyarakat. Masing-masing mempunyai standar harga yang berbeda-beda untuk masing-masing tipe bangunan (permanen, semipermanen dan nonpermanen). Standar harga tertinggi dari PU (Rp2.441.700,00/m2), Kabupaten Magelang (sesuai standar indeks harga kabupaten tahun 2010) sebesar Rp1,300,000/m2, kontraktor (Rp1.250.000,00/ m2), dan masyarakat (Rp1.000.000,00/m2) (Tabel 7). Standar harga rumah semipermanen dan nonpermanen hanya dari masyarakat. PU, Kabupaten dan kontraktor tidak mempunyai standar harga untuk kategori rumah semipermanen dan nonpermanen. Biaya pembangunan rumah permanen ukuran 90 m2 adalah Rp90.000.000 menggunakan standar harga dari masyarakat (Tabel 8). Tabel 7. Standar Harga Bangunan per m2 (Harga Borongan) di Daerah Penelitian No
Tipe Bangunan
Standar Harga Per m2 PU
Kontraktor
Kabupaten
Masyarakat
Rp2.441.700,00
Rp1.250.000,00
Rp1.300.000,00
Rp1.000.000,00
1
Permanen
2
Semipermanen
-
-
-
Rp600.000,00
3
Nonpermanen
-
-
-
Rp300.000,00
Sumber: P U, 2011; Indeks Harga Kabupaten, 2010; Hasil Wawancara, 2011-2013; dan Hasil Perhitungan, 2013
148
Rosalina Kumalawati
Tabel 8. Prediksi Biaya Pembangunan Rumah Berdasarkan Standar Harga Bangunan Per m2 (Harga Borongan) Standar Harga
Rumah Permanen Per m2
90 m2
PU
2,441,700.00
219,753,000.00
Kontraktor
1,250,000.00
112,500,000.00
Kabupaten
1,300,000.00
117,000,000.00
Masyarakat
1,000,000.00
90,000,000.00
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2013
Perhitungan nilai kerugian bangunan dan jenis material bangunan di daerah penelitian, menggunakan standar harga masyarakat karena lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan dan sesuai harga yang beredar di pasaran. Sebagian besar masyarakat menggunakan bahan material yang standar, misalnya jenis kayu bengkirai, untuk rumah semipermanen. Penilaian kerugian bangunan permanen, semipermanen dan nonpermanen mempunyai tingkatan sesuai dengan perhitungan harganya (Tabel 9; 10; dan 11). Rumah permanen, nilai kerugian paling rendah sebesar Rp52.000.000,00 dan paling tinggi sebesar Rp104.000.000,00. Rumah semipermanen, nilai kerugian terendah sebesar Rp24,000,000,00 dan paling tinggi sebesar Rp48.000.000,00. Tingkat kerugian rumah nonpermanen, paling rendah Rp9.430.000,00 dan paling tinggi sebesar Rp18.860.000,00. Tabel 9. Tingkat Kerugian Bangunan Permanen No
Tingkat Kerugian
Nominal (Dalam Rupiah)
1
Rendah
< Rp52.000.000,00
2
Sedang
Rp52.000.000,00 - Rp104.000.000,00
3
Tinggi
Sumber : Hasil Perhitungan, 2013
> Rp104.000.000,00
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
149
Tabel 10. Tingkat Kerugian Bangunan Semipermanen No
Tingkat Kerugian
Nominal (Dalam Rupiah)
1
Rendah
< Rp24.000.000,00
2
Sedang
Rp24.000.000,00 – Rp48.000.000,00
3
Tinggi
> Rp48.000.000,00
Sumber: Hasil Perhitungan, 2013
Tabel 11. Tingkat Kerugian Bangunan Nonpermanen No
Tingkat Kerugian
Nominal (Dalam Rupiah)
1
Rendah
< Rp9.430.000,00
2
Sedang
Rp9.430.000,00 – Rp18.860.000,00
3
Tinggi
> Rp18.860.000,00
Sumber: Hasil Perhitungan, 2013
Kesimpulan 1. Luas luapan banjir lahar di daerah penelitian adalah 1,785 km2. Luapan paling luas di Desa Sirahan yaitu 0,813 km2 atau 45,532 %, dan paling kecil di Desa Blongkeng Kecamatan Ngluwar, yaitu 0,001 km2 atau 0,057 %, 2. Jumlah rumah yang terkena banjir lahar adalah 1.290 rumah. Kelas kerusakan permukiman didominasi Roboh/Hanyut sebanyak 814 rumah, Rusak Sedang sebanyak 200 rumah, Rusak Ringan 140 rumah, Rusak Berat 71 rumah dan Tidak Rusak sejumlah 65 rumah. Permukiman paling banyak terkena dampak banjir lahar adalah Desa Sirahan Kecamatan Salam sejumlah 860 rumah, 3. Kerugian
paling
rendah
rumah
permanen
sebesar
Rp52.000.000,00 dan paling tinggi sebesar Rp104.000.000,00. Kerugian
Rumah
semipermanen
terendah
sebesar
150
Rosalina Kumalawati
Rp24,000,000,00 dan paling tinggi sebesar Rp48.000.000,00. Tingkat kerugian rumah nonpermanen, paling rendah Rp9.430.000,00 dan paling tinggi sebesar Rp18.860.000,00.
Daftar Pustaka Artiani, L.E. 2011. Dampak Ekonomi Makro Bencana: Interaksi Bencana dan Pembangunan Ekonomi Nasional. Seminar Nasional Informatika 2011 UPN Veteran. Yogyakarta. Bakornas. 2006. Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia Edisi II. Jakarta : Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. David, W.P., R. Kerry Turner., 1990. Economic of Natural Resources and the Environment. ISBN 0-7450-0202-1. Harvester Wheatsheaf. Garrod, G., Willis, K.G., 1999. Economic Valuation of the Environment (Methods and Case Studies). ISBN 1 85898 684 2. Edward Elgar Publishing, Inc.USA. Lavigne, Franck. 1999. Lahar Hazard Micro-Zonation and Risk Assessment in Yogyakarta City, Indonesia. GeoJournal Volume 49. Hal : 173 – 183. Lavigne, F., Thouret, J. C., Voight, B., Suwa, H., Sumaryono, A. 2000. Lahars at Merapi Volcano : an Overview. Journal of Volcanology and Geothermal Research Volume 100. Hal : 421 – 456. Markandya, A., Patrice, H., Lorenzo, G.B., Vito, C., 2002. Environmental Economics for Sustainable Growth (a handbook for practitioners). ISBN 1 84064 306 4. Edwar Elgar Publishing, Inc.USA. Maynard, M.H., Eric, L.H., 1979. Economics Approaches to Natural Resource and Environmental Quality Analysis. ISBN 0 907567 04 5. Tycooly International Publishing Limited. Dublin. Pemerintah Kabupaten Magelang. 2011. Lahar Dingin Merapi Ancam Permukiman di Magelang. swagooo.com. Diakses pada 16 Maret 2012.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
151
Sukanta R., 1993. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan (Suatu Buku Kerja Studi Kasus). ISBN 979-420-207-7. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Surono. 2011. Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi Mengancam Magelang. news.okezone.com. Diakses pada 16 Maret 2012.
152
Rosalina Kumalawati
BAGIAN IV
PENGELOLAAN BENCANA LAHAR
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
153
1 Strategi Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kabupaten Magelang1
Intisari Dampak bencana alam banjir lahar terhadap permukiman penduduk perlu diteliti untuk menentukan strategi pengelolaan daerah rawan bencana. Tujuan penelitian adalah menyusun dan menganalisis peta tingkat kerawanan lahar, dan melakukan valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan akibat lahar. Manfaat penelitian adalah pemerintah dapat menentukan kebijakan yang mendukung terciptanya strategi pengelolaan daerah rawan bencana berbasis masyarakat dengan pengalokasian anggaran yang dimiliki. Pemilihan daerah penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Unit analisis merupakan desa-desa yang berada di sepanjang aliran Kali Putih yang termasuk wilayah rawan lahar. Pemetaan wilayah-wilayah berdasarkan kerawanan dilakukan dengan alat Sistem Informasi Geografis (SIG). Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan sekunder, data primer
1 Rosalina Kumalawati dan Junun Sartohadi
154
Rosalina Kumalawati
diperoleh melalui distribusi kepada responden sebanyak 1021. Metode pengambilan sampel menggunakan stratified sampling. Secara praktis penelitian ini untuk mengetahui strategi pengelolaan daerah rawan bencana lahar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah di dataran dan dekat dengan sumber bencana termasuk daerah kerawanan tinggi. Wilayah-wilayah tersebut cenderung padat penduduk dan padat permukiman karena lahan yang subur. Material pasir apabila semua dijual dan dirupiahkan dapat digunakan untuk membangun rumah permanen sebanyak 5.138 unit rumah. Jumlah rumah yang dapat dibangun melebihi jumlah rumah yang rusak, dapat disimpulkan lahar di daerah penelitian dapat memberikan keuntungan. Strategi pengelolaan daerah rawan bencana lahar dalam penelitian ini ada empat yaitu 1) review penataan ruang, kebijakan serta regulasi, 2) pemulihan perumahan dan permukiman, 3) revitalisasi perekonomian daerah dan masyarakat. Kata kunci: bencana, valuasi finansial, rawan, strategi pengelolaan
Abstract
Considering impacts of lahar flood event on settlements is prerequisite in land resource best-use decision the management of susceptibility areas. This research aim to develop and analyze lahar susceptibility rate map, and financial valuation. The advantage of this research is the government either central and local may decide policy that support management of susceptibility areas based on community by allocating their budget. Research focus was defined using purposive sampling technique. Unit of observation was villages along Kali Putih belonging to lahar-susceptible zone. The regional mapping by hazard level was conducted by Geographical Information System (GIS). Data used in this research were primary and secondary data. Primary data were obtained by distributing questionnaire to some respondens. Sample amounts used were 1.021 respondens.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
155
Samples in risk analysis were defined using stratified sampling technique. The research practical contribution was to identify management of susceptibility areas. Susceptibility analysis showed that 14.749 house unit to safe zone, 21.527 house unit to low susceptibility zone, 1.391 house unit to moderate susceptibility zone, and 4.124 house unit to high susceptibility zone. All sand material are sold and priced, it can be used to build as many as 5.138 permanent houses units. The total of houses that can be built exceeds total of houses that damaged. Lahar in these study areas can provide benefits. Strategy of lahar impact management of post Merapi Volcano Eruption 2010 in Kali Putih of Magelang Regency is a) spatial planning review, policy and regulation, b) settlements and housing recovery, and c) regional and public economic revitalization. Keywords: disaster, financial valuation, susceptibility, management
Pendahuluan Salah satu gunung api di Indonesia yang aktif adalah Gunung Api Merapi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gunung api memiliki dua potensi bahaya, yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunung api bercampur air hujan yang disebut lahar. Kabupaten Magelang tahun 2010 terkena dampak aliran lahar. Wilayah paling parah terjadi di sepanjang Kali Putih. Aliran lahar Kali Putih beberapa kali memutuskan jalur transportasi utama Semarang dan Yogyakarta. Kali Putih secara administrasi melewati 3 kecamatan yaitu Kecamatan Srumbung, Kecamatan Salam, dan Kecamatan Ngluwar. Ancaman bencana lahar terjadi pada musim hujan (Lavigne et al., 2000; Sutikno dkk., 2007; Salinas et al., 2007; Yuliadi, 2010). Bencana Gunung Api Merapi selalu
156
Rosalina Kumalawati
berubah sewaktu-waktu dan perubahannya cepat, dibutuhkan pembaharuan strategi pengelolaan daerah rawan bencana (Lailiy, 2007; Lavigne et al., 2008). Berdasarkan peta lokasi desa terdampak banjir lahar Gunung Api Merapi di wilayah Provinsi Jawa Tengah, daerah sekitar aliran Kali Putih merupakan daerah bahaya sekunder gunung api (BNPB, 2011). Kali Putih termasuk daerah bahaya lahar. Lahar mengalir ke Kali Putih, sepanjang aliran Kali Putih merupakan daerah padat penduduk (BPS, 2012). Lahar menimbulkan kerusakan dan korban, tetapi penduduk tetap memilih tinggal di sekitar gunung api. Material kegunungapian terendapkan melalui proses banjir lahar memberikan manfaat bagi kehidupan manusia seperti menyuburkan lahan pertanian. Penelitian valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan lahar belum banyak dilakukan. Peran valuasi finansial adalah dapat menghitung secara nyata akibat yang terjadi dan faktor-faktor utama dampak kerusakan lahar. Pembangunan wilayah
didasarkan
pertimbangan
finansial.
Perhitungan
keuntungan finansial menjadi dasar utama pengambilan kebijakan pembangunan. Pembangunan dilaksanakan dalam ruang/wilayah yang mempunyai dinamika khusus, seperti wilayah rawan bencana di Kali Putih. Permasalahan lahar merupakan contoh kasus menarik untuk ditelaah karena permasalahan wilayah cukup kompleks dari sisi finansial. Tujuan Penelitian Bertolak dari permasalahan tersebut maka tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan strategi pengelolaan daerah rawan bencana lahar pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
157
Tujuan khusus penelitian, yaitu:
1. menyusun dan menganalisis peta tingkat kerawanan lahar, 2. melakukan valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan akibat lahar, Metode Penelitian 1. Tingkat Kerawanan Lahar Tingkat kerawanan lahar diperoleh berdasarkan tiga variabel yaitu: a. Tingkat Bahaya Lahar
Tingkat bahaya lahar mewakili pola dan distribusi terhadap elemen bahaya. Tingkat bahaya lahar diperoleh dari tracking area terdampak menggunakan TS Robotik, pengukuran cross section menggunakan Lacer ace, dan interpolasi kontur di daerah penelitian. Pengolahan selanjutnya adalah scoring tingkat bahaya lahar. Bahaya tinggi diberi skor 4, bahaya sedang diberi skor 3, bahaya rendah diberi skor 2, dan tidak bahaya diberi skor 1.
b. Rumah
Rumah mewakili situasi geografik elemen bahaya. Jumlah rumah diperoleh dari hasil Interpretasi citra Ikonos. Selanjutnya dilakukan pembobotan rumah. Rumah dengan kepadatan tinggi diberi bobot 4, rumah dengan kepadatan sedang diberi bobot 3, rumah dengan kepadatan rendah diberi bobot 2, dan tidak ada rumah (kosong) diberi bobot 1.
c. Lereng
Lereng mewakili tempat atau situasi di daerah penelitian. Pembobotan lereng membagi lereng menjadi 4 kelas yaitu 0-3
158
Rosalina Kumalawati
% diberi bobot 4, 3-8 % diberi bobot 3, 8-15 % diberi bobot 2, dan 15-45 % dan >45 % diberi bobot 1. 2. Valuasi Finansial untuk Mengetahui Besarnya Dampak Kerusakan Akibat Lahar Variabel valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan akibat lahar merupakan data primer. Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner dibatasi pada kerusakan bangunan permukiman (rumah). Hasil akhir dari valuasi finansial yang dilakukan akan diperoleh besarnya dampak kerusakan akibat lahar dalam rupiah. 3. Strategi Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Prioritas penanganan bencana lahar diutamakan pada daerah yang sangat berisiko terhadap lahar. Aksesibilitas diperhitungkan, misalnya jalan, sungai, dan alat transportasi. Daerah risiko tinggi dengan aksesibilitas sulit menjadi prioritas utama karena masyarakat sangat sulit mengatasi dan menghindar dari bencana. Daerah aksesibilitas mudah, masyarakat lebih mudah mengungsi atau mendapatkan bantuan apabila terjadi bencana.
Hasil dan Pembahasan 1. Peta Tingkat Kerawanan Lahar Kerawanan lahar di daerah penelitian dibagi menjadi empat kelas, yaitu kerawanan tinggi, sedang, rendah, dan tidak rawan (lihat Gambar 47). Hasil analisis peta rawan diperoleh informasi desa yang memiliki status kerawanan paling tinggi adalah Desa Sirahan, Kecamatan Salam yang berbatasan dengan Desa Blongkeng, Kecamatan Ngluwar. Desa Sirahan terletak pada lereng
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
159
datar sampai hampir datar, dilalui Kali Putih dengan jumlah rumah paling banyak yaitu 1.546 unit rumah (lihat Tabel 1). Daerah yang mempunyai kerawanan tinggi dan mengalami kerusakan karena lahar, selain Desa Sirahan Kecamatan Salam adalah di Desa Jumoyo, Gulon, Seloboro, Tersanggede, Plosogede, dan Blongkeng (lihat Gambar 47). Desa Blongkeng diapit dua sungai besar membawa material hasil erupsi, yaitu Kali Putih dan Kali Blongkeng. Material lahar terdiri dari batuan besar, pasir, dan kerikil apabila melewati aliran sungai menghantam apa yang ada disekitarnya, termasuk rumah dan tanggul sungai (Gambar 48). Tingkat kerawanan lahar di daerah penelitian dapat digunakan untuk melakukan analisis kondisi permukiman di daerah penelitian. Keseluruhan jumlah rumah yang tidak rawan sebanyak 14.749 unit rumah (35,29 %). Rumah yang berada pada tingkat kerawanan tinggi sebanyak 4.124 unit rumah (9,87 %) (lihat Tabel 1). Peta rumah pada setiap tingkat kerawanan di daerah penelitian dapat digunakan untuk menentukan upaya mitigasi yang akan dilakukan. Upaya mitigasi yang akan dilakukan diharapkan dapat meminimalisir dampak dari bencana lahar. Rumah yang berada di daerah tidak rawan atau rawan rendah, dapat digunakan untuk pengungsian atau untuk arahan permukiman bagi warga yang tinggal di daerah kerawanan tinggi dan sedang.
160
Rosalina Kumalawati
Gambar 47. Peta Tingkat Kerawanan Lahar di Daerah Penelitian
Gambar 48. Rumah di daerah kerawanan tinggi di Dusun Gempol, Desa Jumoyo, yang Roboh/Hanyut (422814 mT, 9159309 mU) (Foto: Kumalawati, 2012)
2. Valuasi Finansial untuk Mengetahui Besarnya Dampak Kerusakan Akibat Lahar Kerugian finansial yang secara langsung dapat diamati dari
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
161
dampak bencana lahar adalah rusak dan hancurnya permukiman. Kerusakan bangunan permukiman akibat lahar dihitung nilai rupiah. Penilaian kerugian yang dilakukan berupa penilaian kerugian bangunan permukiman akibat lahar. Standar harga yang diperlukan biaya per meter persegi konstruksi bangunan untuk permukiman. Standar harga yang dimaksud harga borongan per meter persegi. Standar harga tertinggi dari PU adalah sebesar Rp 2.441.700/m2, BPS sesuai standar indeks harga kabupaten tahun 2012 sebesar Rp 1.300.000/m2, kontraktor sebesar Rp 1.250.000/ m2, dan masyarakat sebesar Rp 1.000.000/m2. Standar harga rumah semipermanen dan nonpermanen hanya dari masyarakat. PU, Kabupaten, dan kontraktor tidak mempunyai standar harga untuk kategori rumah semipermanen dan nonpermanen. Biaya pembangunan rumah permanen ukuran 90 m2 adalah Rp 90.000.000,00 menggunakan standar harga dari masyarakat (Analisis Data Primer, 2013). Perhitungan nilai kerugian bangunan (rumah) dan jenis material bangunan di daerah penelitian menggunakan standar harga masyarakat karena lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan dan sesuai dengan harga yang beredar di pasaran. Sebagian besar masyarakat menggunakan bahan material jenis kayu bengkirai untuk rumah semipermanen. Penilaian kerugian bangunan (rumah) permanen, semipermanen, dan nonpermanen mempunyai tingkatan sesuai dengan perhitungan harganya (lihat Tabel 2). Biaya pembangunan rumah permanen ukuran 90 m2 adalah Rp90.000.000 menggunakan standar harga dari masyarakat. Material pasir diasumsikan semua dijual dan dirupiahkan maka
162
Rosalina Kumalawati
dapat digunakan untuk membangun rumah permanen sebanyak 5.138 unit rumah (lihat Tabel 3). Jumlah rumah yang dapat dibangun melebihi jumlah rumah yang rusak, yaitu 1.290 unit rumah. Kesimpulan lahar di daerah penelitian dapat memberikan keuntungan meskipun sebagian besar masyarakat di daerah bencana belum dapat menikmati hasil penjualan material lahar yang berupa pasir. Hasil penjualan material lahar lebih banyak dinikmati masyarakat dari luar daerah bencana dan oleh perusahaan tambang (Hasil Pengolahan Data Primer, 2013). 3. Strategi Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang Strategi mengelola dampak bencana lahar pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di daerah penelitian adalah: a. Review Penataan Ruang, Kebijakan serta Regulasi Strategi mengelola dampak lahar dilakukan dengan review penataan ruang, kebijakan serta regulasi yang ada. Pengurangan risiko merupakan salah satu upaya meminimalisasi dampak bencana. Unsur pengurangan risiko bencana dalam RTRW diperlukan untuk membuat acuan tata ruang yang sesuai dengan kondisi daerah penelitian. Daerah penelitian merupakan kawasan rawan lahar. Daerah rawan tinggi berdasarkan peta rawan lahar adalah Desa Jumoyo, Seloboro, Sirahan, Gulon, Blongkeng, dan Plosogede. Daerah tersebut kemungkinan lebih parah jika terjadi lahar lebih besar. Kebijakan mengenai unsur pengurangan risiko bencana di daerah penelitian, sudah dibahas dalam RTRW yang terbaru
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
163
pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010. RTRW tahun 2010-2030 Pasal 18 Kabupaten Magelang, kebijakan pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e, berupa pengembangan jaringan evakuasi bencana fasilitas kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan olahraga. Strategi pengembangan jaringan evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:
1) mengembangkan jalur evakuasi bencana;
2) menyediakan sarana evakuasi bencana;
3) mengembangkan sistem informasi tanggap bencana; dan
4) memperkuat kelembagaan bencana. Pasal tersebut menjelaskan mengenai jaringan evakuasi
bencana. Daerah tidak rawan, digunakan sebagai alternatif titik-titik lokasi pengungsian. Daerah rawan rendah dan sedang mempunyai kemungkinan terkena lahar. Saat terjadi bencana, pemerintah melakukan prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hasil wawancara upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah adalah masyarakat menganggap upaya pemerintah belum maksimal. Pemerintah dalam tahap penyusunan revisi mengenai RTRW Kabupaten Magelang 2010-2030 yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) No 5 tahun 2011. Kali Putih termasuk daerah perlindungan, meliputi kawasan sepanjang kanan kiri sungai sekurang-kurangnya 50 meter dari tepi sungai. Peraturan dalam RTRW ternyata banyak dilanggar oleh masyarakat. Kenyataan di lapangan, banyak bangunan permukiman yang berada di dekat sungai. Pembuatan RTRW sebenarnya sudah memasukkan unsur pengurangan risiko bencana. Kondisi masyarakat di daerah
164
Rosalina Kumalawati
penelitian belum memahami pentingnya mengurangi risiko bencana. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi sejarah kejadian lahar di Kali Putih, tahun 1969 terjadi lahar dengan intensitas cukup besar dan merusak daerah di sekitar Desa Jumoyo, terutama Dusun Gempol. Masyarakat seharusnya dapat lebih bijak dalam menyikapi setiap bencana yang terjadi dan belajar dari pengalaman. Tabel 1. Jumlah Rumah Berdasarkan Tingkat Kerawanan No. 1.
Kecamatan Ngluwar
Desa
Salam
Sedang
Rendah
Jumlah
Tidak Rawan
1613
1613
448
55
185
688
Jamuskauman
1090
1090
Karangtalun
810
810
Ngluwar
1337
1337
Pakunden
1061
1061
Plosogede
465
208
454
1127
Somokaton
1305
1305
Baturono
629
629
Gulon
368
167
2053
835
3423
Jumoyo
650
488
1362
1185
3685
Kadiluwih
1117
1117
Mantingan
825
825
Salam
2635
30
2665
557
225
488
1270
Bligo Blongkeng
2
Tingkat Kerawanan Tinggi
Seloboro
1546
12
70
1628
Somoketro
525
4
529
Sucen
822
1167
1989
67
42
1356
1465
1065
2
1067
Sirahan
Tersangede Tirto
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi 3
Srumbung
Banyuadem
488
488
Bringin
1635
1635
Jerukagung
641
641
Kaliurang
654
654
Kamongan
150
150
Kemiren
316
316
Kradenan
1088
1088
Mranggen
7
75
234
1169
1485
Ngablak
80
724
804
Ngargosoko
809
809
Nglumut
301
301
Pandanretno
370
370
Polengan
681
681
665
665
Srumbung
16
119
411
240
786
Sudimoro
1030
1030
Tegalrandu
565
565
4124
1391
21527
14749
41791
Pucanganom
165
Jumlah
Sumber: Hasil Pengolahan dan Analisis Peta Kerawanan, Tahun 2013; dan Hasil Observasi Lapangan, Tahun 2011 ̶ 2012
166
Rosalina Kumalawati
Tabel 2. Tingkat Kerugian Rumah Permanen, Semipermanen, dan Nonpermanen
No.
Jenis Rumah
Rendah
1
Permanen
< Rp52.000.000
2
Semipermanen
< Rp24.000.000
3
Nonpermanen
< Rp9.430.000
Tingkat Kerugian Sedang Rp52.000.000 Rp104.000.000 Rp24.000.000 – Rp48.000.000 Rp9.430.000 – Rp18.860.000
Tinggi > Rp104.000.000 > Rp48.000.000 > Rp18.860.000
Sumber: H asil Pengukuran Lapangan, Tahun 2012; Hasil Pengolahan dan Perhitungan Data Primer, 2013
Tabel 3. Prediksi Jumlah Rumah yang dapat Dibangun berdasarkan Prediksi Volume Pasir Standar Harga PU Kontraktor Kabupaten Masyarakat
Rumah Permanen Per m
2
90 m
2
2.441.700 219.753.000 1.250.000 112.500.000 1.300.000 117.000.000 1.000.000 90.000.000
Jumlah material pasir (Rp) 462.434.733.686 462.434.733.686 462.434.733.686 462.434.733.686
Unit Rumah 2104 4111 3952 5138
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2013
b. Pemulihan Perumahan dan Permukiman Salah satu strategi mengelola dampak lahar adalah dengan pemulihan perumahan dan permukiman yang terkena dampak lahar. Strategi dilakukan dengan pengalokasian ruang pembangunan permukiman berbasis pengurangan risiko bencana. Pengelolaan dampak lahar pascaerupsi Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang perlu dilakukan karena sepanjang Kali Putih adalah daerah rawan lahar dan padat penduduk. Strategi pembangkitan wilayah pascalahar belum ada sehingga pengelolaan dampak
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
167
kerusakan rumah akibat lahar belum dapat diatasi. Fokus utama adalah pengelolaan permukiman yang rusak akibat lahar. Daerah dengan kepadatan penduduk paling tinggi menjadi fokus utama dalam perencanaan tata ruang. Terutama kalau mempunyai kepadatan penduduk tinggi dan terletak pada daerah rawan lahar. Konsekuensinya apabila perencanaan tidak segera terlaksana karena belum selesainya pendataan tata batas persil kepemilikan perorangan, mengakibatkan perubahan pemanfaatan lahan yang kurang terkontrol, seperti yang terjadi di sekitar daerah rawan lahar. Kenyataannya di kanan dan kiri Kali Putih merupakan daerah yang padat penduduk seperti di Desa Jumoyo dan Sirahan. Daerah yang aman dari rawan lahar dapat diketahui dari peta rawan. Daerah tidak rawan dapat digunakan sebagai alternatif lokasi pengungsian dan alokasi pemulihan perumahan permukiman, yaitu Desa Bringin, Mranggen, Ngablak, Ngargosoko, Polengan, dan Tersangede. c. Revitalisasi Perekonomian Daerah dan Masyarakat Revitalisasi adalah upaya memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Revitalisasi dapat dilakukan pada daerah bencana, dalam hal ini lahar. Daerah penelitian sempat mengalami kemunduran akibat bencana lahar, dalam hal perekonomian daerah dan masyarakat. Hal tersebut dapat di atasi dengan meningkatkan partisipasi masyarakat terutama dalam menghadapi dampak negatif lahar. Adanya partisipasi masyarakat maka pengeluaran masyarakat dapat ditekan karena rehabilitasi dan rekonstruksi dikerjakan secara gotong royong sebagai wujud kearifan lokal. Tidak semua jenis kerusakan mendapatkan bantuan.
168
Rosalina Kumalawati
Jenis kerusakan yang roboh/hanyut dan rusak berat yang perlu bantuan. Bantuan diberikan bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk bahan material, misalnya semen karena material yang lain seperti pasir, batu, dan kerikil dapat memanfaatkan material lahar yang ada. Tipe rumah yang roboh/hanyut dan rusak berat juga dibantu dicarikan lokasi yang aman dari bencana lahar. Tipe kerusakan yang dapat di atasi penduduk adalah rusak sedang, rusak ringan, dan tidak rusak. Meskipun masih dapat di atasi oleh penduduk, tetap dalam kontrol dan pengawasan dari pemerintah. Revitalisasi perekonomian daerah dan masyarakat ditingkatkan dengan melakukan pengelolaan material lahar di Kali Putih. Material lahar berupa pasir mempunyai nilai ekonomi tinggi. Perlu pengelolaan material lahar agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak lahar. Kenyataannya masyarakat luar daerah bencana lahar lebih banyak memanfaatkan material lahar yang ada. Masyarakat di daerah bencana hanya bekerja sebagai buruh dengan pendapatan di bawah Upah Minimum Regional sebesar Rp 1.152.000 (Bappeda, 2013). Pengelolaan material lahar sebaiknya didasarkan pada batas administrasi. Setiap kecamatan diberikan bantuan alat berat dan truk. Hasil pengelolan material lahar dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan membangun kembali daerahnya. Daerah yang terkena lahar diharapkan dapat bangkit tanpa harus menunggu bantuan pemerintah. Kontrol dan pengawasan pemerintah tetap diperlukan untuk pengelolaan permukiman yang rusak dan material lahar yang ada.
Kesimpulan
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
169
1. Rumah di daerah tidak rawan atau rawan rendah, dapat digunakan untuk pengungsian/arahan permukiman bagi warga yang tinggal di daerah kerawanan tinggi dan sedang, 2. Jumlah rumah yang dapat dibangun melebihi jumlah rumah yang rusak, lahar di daerah penelitian memberikan keuntungan meskipun sebagian besar masyarakat di daerah bencana belum dapat menikmati hasil penjualan material lahar yang berupa pasir. 3. Strategi pengelolaan daerah rawan bencana lahar dalam penelitian adalah a) review penataan ruang, kebijakan serta regulasi, b) pemulihan perumahan dan permukiman, c) revitalisasi perekonomian daerah dan masyarakat
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Potensi Desa, Magelang: BPS Kabupaten Magelang. Bappeda., 2013, Indeks Harga Kabupaten, Kabupaten Magelang, 2013 BNPB. 2011. Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana, Edisi-2. Lailiy, M. 2007. Penentuan Jalur Alternatif Evakuasi Bencana Banjir Lahar Berdasarkan Peta Potensi Bahaya Banjir Lahar Menggunakan Foto Udara dan SIG : Kasus di Lereng Selatan Gunung Merapi Kabupaten Sleman Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Geografi UGM. Lavigne, F., et al. 2000. Instrumental Lahar Monitoring at Merapi Volcano, Central Java, Indonesia. Journal of Volcanology and Geothermal Research 100: 457-478.
170
Rosalina Kumalawati
Lavigne, F., et al. 2008. People’s Behaviour in The Face of Volcanic Hazards: Perspectives From Javanese Communities, Indonesia. Journal of Volcanology and Geothermal Research 172: 273-287. Salinas, E.M., Manea., Palacios., and Castillo-Rodriguez. 2007. Estimation of Lahar Flow Velocity on Popocatépetl Volcano (Mexico). www.elsevier.com/locate/geomorph. Sutikno., Santosa., Widiyanto., Kurniawan., Purwato. 2007. Kerajaan Merapi (Sumber daya Alam dan Daya Dukungnya). Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yuliadi, T. 2010. A Local Spatial Data Infrastructure to Support The Merapi Volcanic Risk Management: A Case Study at Sleman Regency Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang 2008-2028.
2 Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar untuk Evaluasi Pengembangan Wilayah Permukiman Pascaerupsi Gunung Api Merapi di Kali Putih Kabupaten Magelang Jawa Tengah1
Abstract Natural disaster impact on the physical aspects has commonly been investigated. However, its impact on the social economical aspects have not much yet been investigated. Lahars disaster impact on settlement area is a crucial assessment for determining an appropriate land allocation. Besides, it also could be used to mitigate the people surround prone areas. This research was aimed to manage the risk area of lahars in order to evaluate the development of settlement location along Putih River after Merapi’s eruption 2010. The selection of the research area was established using purposive sampling. Unit analysis was all villages along Kali Putih included on lahar-susceptible zone. In every selected villages
1
Rosalina Kumalawati, Rijanta, Junun Sartohadi, Rimawan Pradiptyo
171
172
Rosalina Kumalawati
were taken 2-4 respondents for interview. Samples were defined based on the degree of buildings’ risk to lahar threat. There are 200 respondents were involved in buildings’ risk analysis and 30 public officers were involved in study of current mitigation level to expand the result of risk analysis. The respondents were chosen based on random sampling technique with lottery system. The results show that study areas can be divided into four zones. Tthere are 76.93% of areas categorized into non-hazard, 7.78 % categorized into low hazard, 8.38% categorized into middle hazard and 6.91% categorized into high hazard from all study coverage area. Jumoyo, Seloboro, Sirahan and Blongkeng were dominated by high hazard level. Community perception had influents on lahars hazard even though the “r” value was small were 0,557 (middle correlation). The economical aspect that show result of looseness is variation depend on the damage between IDR 6.000.000 –162.000.000 IDR. The priority of the efforts to reduce the risk of lahars should be put on the mitigation and adaptation. Keywords: Economic Valuation, Correlation, Lahars Hazard
Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada sabuk Gunung api Pasifik (the ring of fire), menyebabkan banyak gunung berapi di Indonesia (Kusumadinata, 1979; Katili dan Siswowidjojo, 1994; Voighta et.al, 1998; Kelfoun et.al, 2000; Younga et.al, 2000; Prihadi, 2005; Sunarto, 2007; Sudibyakto, 2011). Gunung api juga diartikan sebagai salah satu bentuklahan yang terjadi karena proses tumbukan lempeng (Sudrajat, 1955). Tumbukan lempeng di Indonesia memanjang dari barat ke timur.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
173
Tumbukan lempeng yang masih aktif menimbulkan aktivitas gunung api. Gunung
Merapi
yang
masih
aktif
setiap
tahunnya
memproduksi 5 juta m tahun 2006 dan 150 juta m3 tahun 3
2010 material piroklastik pada puncaknya sehingga jika musim hujan tiba perlu diwaspadai adanya banjir maupun longsor lava (piroklastik) (Lavigne et al, 2000; Sutikno dkk, 2007; Salinas et al, 2007; Yuliadi, 2010) (Gambar 49).
Gambar 49. Material lahar di Kali Putih Desa Salam (Foto : Kumalawati, 2011)
Potensi bahaya vulkanik gunung api dapat dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan yang biasanya disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas, sedangkan bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunung api yang bercampur dengan air hujan yang turun di puncak dengan konsentrasi tinggi yang disebut dengan aliran lahar (Wahyono, 2002). Terdapat beberapa sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi dan dilalui aliran lahar. Sungai-sungai tersebut antara lain Kali Gendol, Kali
174
Rosalina Kumalawati
Kuning dan Kali Opak (lereng Selatan), Kali Woro (lereng Tenggara), Kali Senowo (lereng Baratlaut), Kali Lamat dan Kali Putih (lereng Barat), Kali Krasak, Kali Boyong, dan Kali Bedog (lereng Baratdaya). Dari sungai-sungai tersebut yang perlu diwaspadai bahaya lahar dingin Merapi adalah pada lereng barat daya, tepatnya di Kecamatan Srumbung dan Dukun (Ratih Dewanti, 2011). Ancaman bahaya banjir lahar akan lebih berbahaya jika terjadi di daerah yang datar dan padat permukiman. Bangunan permukiman merupakan salah satu elemen risiko yang penting untuk menentukan tingkat risiko bencana banjir lahar. Salah satu contoh yang terjadi yaitu di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Luapan banjir lahar merusak permukiman di sekitar Kali Putih. Tabel 1. menyajikan daftar jumlah bangunan dan jumlah pengungsi di daerah sekitar Kali Putih. Tabel 1. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar PascaErupsi Gunung Api Merapi 2010 – 2011 Desa Jumoyo
Rumah Roboh/ Rumah Rusak Hanyut Berat 54
36
Gulon
-
4
Seloboro
-
2
11
58
65
Sirahan Blongkeng Jumlah
Rumah Rusak Ringan
Rumah Rusak Pengungsi Sedang -
5
1005
-
-
1005
2
7
68
-
-
-
6
-
-
-
106
2
12
2978
Sumber: BNPB, 17 Januari 2011
Akibat luapan aliran lahar yang melebihi daya tampung sungai, terdapat banyak bangunan permukiman, sarana umum serta bangunan infrastruktur yang rusak cukup parah. Area bahaya bahaya banjir lahar di daerah penelitian belum dipetakan secara
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
175
detail. Oleh karena itu, diperlukan pemetaan yang mempunyai skala detail, karena banjir lahar dimungkinkan akan terjadi di tempat yang sama. Lahar memiliki nilai ekonomi tinggi tidak hanya bersifat terukur (tangible) namun juga manfaat ekonomi tidak terukur (intangible). Manfaat terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak. Manfaat tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan lebih bersifat pemeliharaan ekosistem jangka panjang. Selama ini masyarakat terlalu berpihak pada erupsi gunung api sebagai sumber bencana, tetapi mengabaikan pentingnya nilai ekonomi material erupsi (lahar) (Sukatja, 2006). Sehingga perlu dilakukan pengelolaan daerah bahaya lahar untuk evaluasi pengembangan wilayah permukiman.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pendahuluan di atas tujuan penelitian ini adalah menyusun pengelolaan daerah bahaya lahar untuk evaluasi pengembangan wilayah permukiman.
Metode Penelitian 1. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar a. Pembuatan Peta Daerah Bahaya Lahar
Pengelolaan daerah bahaya lahar dapat dilakukan dengan membuat peta daerah bahaya lahar. Tahap pembuatan peta daerah bahaya lahar:
1) Tahap interpretasi citra untuk membuat delinasi blok rumah,
Peta rumah diperoleh dari interpretasi citra ikonos (Gambar 50
176
Rosalina Kumalawati
dan 51).
Gambar 50. Interpretasi Citra untuk membatasi Daerah Penelitian
Gambar 51. Interpretasi Citra untuk Pembuatan Peta Blok Rumah
2) Tahap pengolahan peta bahaya dan peta lereng
Peta bahaya diperoleh dari tracking area terdampak (pengukuran existing lahar) menggunakan TS Robotik, pengukuran cross section menggunakan Lacer ace, dan interpolasi kontur di daerah penelitian. Peta lereng diperoleh dari penskoran.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
177
3) Tahap analisis data
4) Tahap cek lapangan Pada tahap lapangan ini dilakukan pengukuran cross section sungai, tracking area terdampak dan interpolasi kontur atau morfologi sungai di daerah penelitian. Diperlukan pengukuran mengenai luas penampang sungai serta interpolasi kontur untuk mengidentifikasi daerah bahaya banjir lahar. Luas penampang sungai akan memengaruhi volume maksimum yang dapat ditampung sungai serta dapat memengaruhi aliran luapan lahar. Semakin besar luas penampang sungai, maka semakin kecil potensi luapan aliran lahar, tetapi semakin kecil luas penampang sungai maka akan semakin besar potensi luapan aliran lahar. Luas penampang sungai dapat diukur dengan membuat cross section atau penampang melintang. Pengukuran cross section diperoleh dari analisis topografi kontur dan citra serta dengan melakukan pengukuran lapangan menggunakan Lacer ace. Menggunakan asumsi volume setengah tabung, maka diperoleh skenario volume dari tiap penampang melintang. Kemudian dilakukan interpolasi kontur dengan melihat arah luapan, dari penampang sungai. Luapan diprediksi akan menuju arah kontur yang lebih rendah dari sekitarnya. Pengukuran luas penampang sungai diperoleh dari analisis topografi peta kontur dan citra, kemudian diplot dengan skala tertentu. Perhitungan luas menggunakan metode perhitungan grid serta luasan bentuk penampang sungai. Selanjutnya dari hasil pengukuran lapangan dan dari hasil pengolahan bisa dibuat peta bahaya lahar.
178
Rosalina Kumalawati
b. Persepsi Lahar
Pengaruh persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman terhadap daerah bahaya lahar dapat dihitung dengan mengetahui hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Analisis dilakukan dengan menggunakan pengolahan data statistik (uji statistik). Teknik analisis yang digunakan yaitu korelasi product moment. Untuk mengetahui berapa besar persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman terhadap daerah bahaya lahar, maka diperlukan wawancara dengan penduduk yang tinggal di daerah yang berada di desa-desa sepanjang Kali Putih. Variabel berpengaruh (x) adalah persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan rumah, sedangkan yang dimaksud dengan variabel terpengaruh (y) adalah bahaya lahar. c. Valuasi Ekonomi Dampak Kerusakan Akibat Lahar Valuasi ekonomi untuk menghitung dampak kerusakan akibat lahar berdasarkan asumsi forum para pakar baik etic maupun emic. Variabel-variabel untuk keperluan analisis valuasi ekonomi, untuk mengetahui dampak kerusakan akibat lahar merupakan data primer. Metode yang digunakan adalah CVM menggunakan kuesioner. 2. Evaluasi Pengembangan Wilayah Permukiman Evaluasi pengembangan wilayah permukiman perlu dilakukan terutama pada daerah yang bahaya bencana dalam hal ini bencana banjir lahar. Evaluasi pengembangan wilayah permukiman dapat dilakukan antara lain dengan cara pemerintah daerah
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
179
memanfaatkan kesadaran masyarakat, setelah bencana alam terjadi. Kondisi masyarakat yang sedang fokus terhadap kejadian bencana, serta memikirkan cara bagaimana agar bencana alam yang telah terjadi, tidak menimbulkan suatu bencana yang baru. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan menyesuaikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang ada, dan menambahkan aspek pengetahuan tentang bencana dalam rencana tata ruang. Informasi tentang bencana alam dan juga bencana karena hasil perbuatan manusia perlu dipetakan. Pemetaan daerah bahaya bencana lahar dilakukan untuk kawasan yang sudah terbangun dan yang direncanakan untuk dibangun di kemudian hari. Wilayah yang sudah terbangun, peta rawan perlu dibuat untuk menunjukkan wilayah yang struktur bangunan dan prasarananya perlu diperkuat agar tahan terhadap bencana banjir lahar. Pembangunan wilayah permukiman pada daerah yang bahaya lahar juga harus memperhatikan aspek fisik seperti topografi dan kemiringan lereng. Sehingga bisa diketahui pada kemiringan lereng berapa bangunan tersebut mempunyai tingkat bahaya tinggi terhadap banjir lahar.
Hasil dan Pembahasan 1. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar a. Peta Bahaya Lahar Arah luapan lahar diasumsikan menuju kontur yang lebih rendah dari sekitarnya. Dengan menggunakan interpolasi kondisi morfologi di lapangan, maka dapat diketahui sejauh mana aliran luapan lahar. Hasil perhitungan dicek dengan identifikasi luapan lahar (existing), yang kemudian dijadikan peta bahaya banjir
180
Rosalina Kumalawati
lahar. Karakteristik aliran lahar yang mempunyai kekentalan tinggi, cukup sulit untuk diprediksi. Karena aliran lahar membawa material berupa lumpur, pasir, kerikil bahkan sampai bongkahan batu. Tetapi, pada dasarnya aliran akan menuju ke arah yang lebih rendah. Berdasarkan hasil pengukuran existing luapan lahar yang sudah terjadi di Kali Putih, aliran lahar mulai meluap di Desa Jumoyo. Secara keseluruhan, total luas area terdampak yaitu sebesar 1.7 km2 (Kumalawati, 2014). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan tracking GPS dan pengukuran TS Robotik. Dengan melakukan pengukuran existing area terdampak, maka dapat diketahui daerah yang termasuk ke dalam tingkat bahaya tinggi. Peta tingkat bahaya banjir lahar di daerah penelitian, menggunakan parameter berupa asumsi volume dari tampungan sungai utama (Kali Putih), frekuensi dengan melakukan wawancara kepada penduduk mengenai kejadian banjir lahar, serta analisis adanya kemungkinan kejadian di waktu yang akan datang. Menurut Lavigne et.al (2000), terdapat tiga kelas sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi dan termasuk daerah bahaya banjir lahar. Daerah yang termasuk ke dalam tingkat bahaya tinggi (pertama) yaitu sungai-sungai yang berada di lereng barat (Kali Blongkeng, Kali Batang, Kali Bebeng dan Kali Putih). Sungai-sungai tersebut merupakan daerah deposit lahar dan mempunyai potensi tingkat kerusakan yang tinggi. Tingkat bahaya yang kedua yaitu Kali Gendol, Kali Woro dan Kali Senowo yang merupakan sungai yang terkena dampak tidak cukup tinggi. Deposit lahar yang terdapat di sungai-sungai tersebut hanya sebagian dari sungai-sungai yang berada ditingkat bahaya tinggi. Sungai–sungai yang berada pada
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
181
tingkat bahaya rendah yaitu Kali Boyong, Kali Kuning, Kali Pabelan dan Kali Trising. Berdasarkan peta bahaya lahar di daerah penelitian (Gambar 52), tingkat bahaya lahar diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu tidak berbahaya, rendah, sedang dan tinggi. Tingkat bahaya lahar mempunyai luas seperti yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Daerah Bahaya Banjir Lahar Tingkat Bahaya Banjir Lahar Tidak Berbahaya
Luas (Ha)
Persentase (%)
4536.38
76.93
Rawan sedang
458.78
7.78
Rawan
494.36
8.38
Sangat Rawan
407.61
6.91
5897.13
100.00
Jumlah Sumber: Hasil Pengolahan dan Perhitungan, 2012
Daerah tingkat bahaya tinggi merupakan daerah yang terletak dekat dengan sumber bencana, pada umumnya terletak di dekat lembah atau bagian hilir sungai, dan perluasannya sering terjadi pada kelokan sungai dengan kondisi tebing rendah dan kemiringan lereng datar atau hampir datar. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa daerah penelitian mempunyai area yang tidak berbahaya sebesar 76.93%, bahaya rendah 7.78 %, bahaya sedang 8.38% dan bahaya tinggi 6.91% dari seluruh daerah penelitian. Daerah yang mempunyai tingkat bahaya tinggi, sebagian besar berada di Desa Jumoyo, Seloboro, Sirahan dan Blongkeng, serta terletak pada lereng datar atau hampir datar. Daerah tingkat bahaya tinggi, mempunyai luasan yang paling rendah dibandingkan dengan tingkatan bahaya yang lainnya, karena daerah tingkat bahaya tinggi dekat dengan sumber bencana. Begitu juga dengan perhitungan asumsi volume untuk menentukan tingkat bahaya banjir lahar.
182
Rosalina Kumalawati
Daerah tingkat bahaya tinggi mempunyai asumsi volume yang lebih kecil.
Gambar 52. Peta Tingkat Bahaya Lahar di Lokasi Penelitian
b. Persepsi Lahar Penilaian kerentanan bangunan permukiman didasarkan pada persepsi masyarakat. Rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah rumus Korelasi Product Moment. Variabel yang akan digunakan, berdasarkan pada tingkat kerentanan bangunan permukiman di daerah penelitian. Berdasarkan hasil analisis, terdapat tiga tingkat kerentanan bangunan permukiman di daerah penelitian, yaitu (tinggi, sedang dan rendah) (Tabel 3). Tabel 3. Nilai Indeks Korelasi Variabel Bebas (X) Persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman
Variabel Terikat (Y) Bahaya Lahar
Indeks Korelasi rxy
Nilai r-hitung 0,557
Nilai r - tabel 0.396
Sumber: Hasil Wawancara, 2011; Hasil Pengolahan dan Perhitungan, 2012
Hasil Korelasi Sedang
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
183
Berdasarkan hasil uji korelasi, hasil yang diperoleh (rxy) diperolah hasil positif. Berarti terdapat korelasi positif atau hubungan searah antara variabel bebas (persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman) dan variabel terikat (bahaya lahar). Berdasarkan hasil perhitungan, korelasi antara variabel X dan Y korelasinya sedang. Sehingga pengaruh variabel X terhadap variabel Y hanya kecil. Dimungkinkan ada variabel lain yang lebih berpengaruh dan tidak diteliti. Hal ini bisa dijadikan saran untuk penelitian selanjutnya. c. Valuasi Ekonomi Dampak Kerusakan Akibat Lahar Untuk melakukan valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat lahar dan estimasi nilai dampak bencana diperlukan standar harga yang relevan. Penilaian kerugian yang dilakukan di daerah penelitian yaitu, penilaian kerugian bangunan permukiman akibat banjir lahar. Standar harga yang diperlukan yaitu biaya per meter persegi konstruksi bangunan untuk permukiman. Standar harga yang dimaksud merupakan harga borongan per meter persegi. Untuk menentukan standar harga yang akan digunakan, maka dilakukan survei harga dari intansi terkait (PU dan Indeks Harga Kabupaten Magelang), kontraktor serta masyarakat. Masing-masing mempunyai standar harga yang berbeda-beda. Tabel 4. menyajikan standar harga bangunan per meter persegi dari instansi terkait dan masyarakat. Tabel 4. Standar Harga Bangunan per m2 Tipe Bangunan Permanen
Standar Harga per m2 PU
Kontraktor
Kabupaten
Masyarakat
2,441,700
1,250,000
1,300,000
1,000,000
Sumber: Indeks Harga Kabupaten, 2010; Hasil Wawancara, 2011; PU Tahun 2011; Hasil Perhitungan dan Pengolahan, 2012
184
Rosalina Kumalawati
Perhitungan nilai kerugian bangunan yag dilakukan di daerah penelitian, menggunakan standar harga dari masyarakat. Karena standar harga masyarakat lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan. Harga borongan per meter persegi, sesuai dengan harga yang beredar di pasaran. Mengapa tidak menggunakan standar harga dari instansi ataupun kontraktor, karena mereka mempunyai klasifikasi masingmasing. Standar harga PU merupakan standar harga yang ditentukan secara nasional. Standar menurut PU yaitu bangunan sederhana (bangunan dengan karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana). Dengan demikian, standar harga per meter perseginya cukup mahal jika dibandingkan dengan standar harga yang lain. Standar harga menurut Kabupaten, disesuaikan dengan Indeks Harga Kabupaten setiap tahunnya. Harganya tidak terlalu mahal, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga kontraktor dan harga masyarakat. Standar harga kontraktor hampir sama dengan standar harga kabupaten, Tetapi, standar harga kontraktor biasanya menambahkan biaya jasa kontraktor. Berdasarkan survei yang dilakukan, rata-rata jasa kontraktor mengambil keuntungan sebesar 10%. Dengan demikian, jika digunakan untuk menghitung nilai kerugian kurang begitu sesuai. Standar harga masyarakat merupakan standar harga yang paling sesuai digunakan untuk menghitung nilai kerugian bangunan permukiman di daerah penelitian, harganya sesuai dengan harga pasar. Berdasarkan hasil penelitian diketahui besarnya kerugian dalam rupiah akibat lahar yang mengenai bangunan permukiman (rumah). Kerugian yang dialami masyarakat di daerah penelitian akibat lahar cukup bervariasi yaitu antara Rp6.000.000 – Rp162.000.000 untuk bangunan rumah permanen (Tabel 5). Kerugian akibat banjir lahar
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
185
untuk bangunan permukiman (rumah) yang semipermanen dan tidak permanen masih dalam proses penelitian. Selanjutnya bisa dilakukan valuasi ekonomi juga terhadap lahar, sehingga bisa diketahui apakah lahar sebagai bencana atau sebaliknya. Hal tersebut bisa dijadikan saran untuk penelitian selanjutnya, sedang dalam proses penelitian. Tabel 5. Valuasi Ekonomi Kerusakan Rumah Akibat Lahar di Daerah Penelitian Tahun 2012 No.
Alamat
Nama Dusun
Desa
1
Muhrozi
Srumbung
Srumbung
2
Marjito
Candi
3
Miswan
4
Marjito
5
Luas Bangunan
Luas Bangunan Rusak
Harga
m2
m2
(Rp/m2)
Jumlah Kerugian (Rp)
100
10
1,000,000
10,000,000
Sirahan
48
30
1,000,000
30,000,000
Candi
Sirahan
150
20
1,000,000
20,000,000
Candi
Sirahan
48
20
1,000,000
20,000,000
Yusuf Susanto
Candi
Sirahan
90
20
1,000,000
20,000,000
6
Danang
Jetis
Sirahan
100
100
1,000,000
100,000,000
7
Rohmadi
Glagah
Sirahan
54
10
1,000,000
10,000,000
8
Nursiyem
Glagah
Sirahan
54
10
1,000,000
10,000,000
9
Harjo Samidi
Glagah
Sirahan
141
141
1,000,000
141,000,000
10
Marwiyah
Glagah
Sirahan
200
10
1,000,000
10,000,000
11
Feri Susanto
Glagah
Sirahan
42
15
1,000,000
15,000,000
12
Eni Suyatmi
Glagah
Sirahan
70
20
1,000,000
20,000,000
13
Dwi Yuli Yanto
Glagah
Sirahan
65
20
1,000,000
20,000,000
14
Saminah
Glagah
Sirahan
42
6
1,000,000
6,000,000
15
Muhadi P Suwarno
Glagah
Sirahan
63
30
1,000,000
30,000,000
16
Sawiah
Glagah
Sirahan
54
10
1,000,000
10,000,000
17
Sriyono
Glagah
Sirahan
515
30
1,000,000
30,000,000
18
Hartoyo
Glagah
Sirahan
42
20
1,000,000
20,000,000
19
Mujiiyanto
Glagah
Sirahan
35
35
1,000,000
35,000,000
20
Heru Sukoco
Sirahan
Sirahan
72
10
1,000,000
10,000,000
21
Poniyem
Sirahan
Sirahan
90
90
1,000,000
90,000,000
22
Wartorejo
Sirahan
Sirahan
56
56
1,000,000
56,000,000
186
Rosalina Kumalawati
23
Darno
Sirahan
Sirahan
56
56
1,000,000
56,000,000
24
Rohaji
Sirahan
Sirahan
90
40
1,000,000
40,000,000
25
Andreas Supriyanto
Sirahan
Sirahan
120
40
1,000,000
40,000,000
26
Suyanto
Sirahan
Sirahan
150
10
1,000,000
10,000,000
27
Sudiyana
Sirahan
Sirahan
150
50
1,000,000
50,000,000
28
Agus Warsidi
Sirahan
Sirahan
112
112
1,000,000
112,000,000
29
Suharto
Sirahan
Sirahan
140
40
1,000,000
40,000,000
30
Hartono
Sirahan
Sirahan
90
10
1,000,000
10,000,000
31
Ripandoyo
Sirahan
Sirahan
150
30
1,000,000
30,000,000
32
Hadi Sumarto
Sirahan
Sirahan
80
30
1,000,000
30,000,000
33
Dulkadir
Sirahan
Sirahan
169
40
1,000,000
40,000,000
34
Widarto
Sirahan
Sirahan
100
100
1,000,000
100,000,000
35
Hadi Suyanto
Sirahan
Sirahan
21
21
1,000,000
21,000,000
36
Tarmudi
Sirahan
Sirahan
90
90
1,000,000
90,000,000
37
Sumari
Sirahan
Sirahan
80
40
1,000,000
40,000,000
38
Aditya Sihit M
Sirahan
Sirahan
45
40
1,000,000
40,000,000
39
Hadi Sumardi
Sirahan
Sirahan
35
35
1,000,000
35,000,000
40
Sutilah
Sirahan
Sirahan
70
70
1,000,000
70,000,000
41
Cip Marsidi
Sirahan
Sirahan
120
120
1,000,000
120,000,000
42
Marsito
Sirahan
Sirahan
120
30
1,000,000
30,000,000
43
Heru Sukoco
Sirahan
Sirahan
90
20
1,000,000
20,000,000
44
Surahmat
Sirahan
Sirahan
90
50
1,000,000
50,000,000
45
Sarnyoto
Sirahan
Sirahan
54
9
1,000,000
9,000,000
46
Nur Ramsudi
Sirahan
Sirahan
124
124
1,000,000
124,000,000
47
Nuryadi
Klumpukan
Selo Boro
105
20
1,000,000
20,000,000
48
Paryanto
Gemampang
Sirahan
150
6
1,000,000
6,000,000
49
Bambang Senggono
Perbutan
Gulon
420
10
1,000,000
10,000,000
50
Agus Prayitno
Nabin Wetan
Gulon
90
20
1,000,000
20,000,000
51
Gimin
Gempol
Jumoyo
100
10
1,000,000
10,000,000
52
Tarmadi
Gempol
Jumoyo
125
125
1,000,000
125,000,000
53
Singo Dimejo
Gempol
Jumoyo
100
10
1,000,000
10,000,000
54
Arwoko
Seloiring
Jumoyo
150
30
1,000,000
30,000,000
55
Aswoto
Karang Asem
Blongkeng
162
162
1,000,000
162,000,000
Sulis
Karang Asem
Blongkeng
120
120
1,000,000
120,000,000
56
Sumber: Data Sekunder, 2011; Hasil Wawancara, 2011; dan Hasil Perhitungan, 2012
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
187
2. Evaluasi Pengembangan Wilayah Permukiman
Bencana telah menimbulkan banyak kerugian karena menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang diperoleh dengan susah payah. Dana yang digunakan untuk tanggap darurat dan pemulihan pascabencana juga telah mengurangi anggaran yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dan program-program pemberantasan kemiskinan. Bencana memberikan
dampak
nyata
pada
turunnya
keberhasilan
pembangunan serta pertumbuhan ekonomi dan perubahan pada masyarakat di semua aspek kehidupan serta mengalami perubahan terhadap penurunan kualitas lingkungan. Jika terjadi bencana, masyarakat miskin dan kaum marjinal yang tinggal di kawasan bahaya akan menjadi pihak yang paling dirugikan, karena jumlah korban terbesar biasanya berasal dari kelompok ini. Bencana lahar yang mengakibatkan kerugian harta benda dan nyawa bukan jenis bencana baru di Indonesia. Penelitian Lavigne et al., (1999; 2000) menunjukkan secara historis bahwa lahar mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi penduduk sekitar gunung api pada masa-masa silam. Bencana lahar pascaerupsi Gunung Merapi mengakibatkan kerusakan permukiman pada daerah yang dilewati jalur aliran lahar. Banjir lahar yang melanda permukiman sepanjang Kali Putih mempunyai dampak langsung berupa rusaknya prasarana dasar lingkungan pemukiman di samping pemukiman itu sendiri. Permukiman menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 yaitu sebagai bagian permukaan Bumi yang dihuni oleh manusia, meliputi segala sarana prasarana penunjang kehidupan penduduk menjadi satu kesatuan dengan tempat tinggal yang bersangkutan.
188
Rosalina Kumalawati
Dalam
ruang
dan
waktu,
terjadinya
bencana
akan
memengaruhi persepsi masyarakat di daerah bencana, dalam hal ini bencana lahar. Langkah lanjutan adalah faktor pemersepsi yang mampu menstimulasi masyarakat yang terancam bencana untuk pindah ke tempat yang lebih aman, nyaman dan berkelanjutan. Sedangkan faktor target adalah lokasi yang dapat diterima dan meyakinkan bahwa di lokasi tersebut masyarakat dapat hidup lebih sejahtera. Dengan demikian stimulator dituntut untuk mampu menyakinkan masyarakat di daerah bahaya bencana mau pindah ke tempat yang sudah ditentukan. Kenyataannya di daerah penelitian masyarakat tidak mau pindah, masyarakat merasa aman dan nyaman hidup berdampingan dengan bencana. Menghadapi potensi bencana ini, desa yang berada di sepanjang aliran Kali Putih mau tidak mau harus siap dan sadar bahwa daerahnya berada di daerah bahaya bencana. Mengingat korban terbesar dari bencana adalah kaum miskin ditingkat masyarakat dan yang pertama menghadapi bencana adalah masyarakat sendiri, pemerintah mengembangkan program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Salah satu strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan ini adalah melalui pengembangan desa dan kelurahan yang tangguh terhadap bencana. Pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana juga sejalan dengan Visi Badan Nasional Penanggulangan Bencana: “Ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana”. Agar pemerintah, terutama ditingkat kabupaten dan kota, dapat melaksanakan program pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dan memadukannya sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten/Kota,
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
189
dibutuhkan adanya pedoman umum yang akan menjadi acuan pelaksanaannya. Pedoman yang digunakan tersebut adalah peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012. Untuk pengukuran tingkat kesiapan Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana digunakan peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 karena dalam pedoman tersebut telah tercantum dengan jelas indikator penilaiannya. Program pengurangan risiko bencana berupa pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana di daerah penelitian diharapkan dapat menjadi solusi untuk menciptakan kondisi Desa/Kelurahan yang siap jika menghadapi bencana serta memperkecil kerugian yang timbul akibat bencana yang terjadi. Program pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dapat terlaksana dengan lebih optimal apabila pengembangan wilayah permukimannya dilakukan pada daerah tidak bahaya lahar. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah penelitian tentang Desa/Kelurahan Tangguh Bencana secara lebih intensif dan berkelanjutan.
Kesimpulan 1. Hasil pemetaan bahaya lahar di daerah penelitian mempunyai area yang tidak berbahaya sebesar 76.93%, bahaya rendah 7.78 %, bahaya sedang 8.38% dan bahaya tinggi 6.91% dari seluruh daerah penelitian. Daerah yang mempunyai tingkat bahaya tinggi, sebagian besar berada di Desa Jumoyo, Seloboro, Sirahan dan Blongkeng dan terletak pada lereng datar atau hampir datar. 2. Terdapat korelasi positif atau hubungan searah antara
190
Rosalina Kumalawati
variabel bebas (persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan permukiman) dan variabel terikat (bahaya lahar). Berdasarkan hasil perhitungan, korelasi antara variabel X dan Y korelasinya sedang. Sehingga pengaruh variabel X terhadap variabel Y hanya kecil. Dimungkinkan ada variabel lain yang lebih berpengaruh dan tidak diteliti. 3. Kerugian yang dialami masyarakat akibat lahar yang mengenai permukiman (rumah permanen) cukup bervariasi yaitu antara Rp6.000.000 – Rp162.000.000. 4. Program pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dapat terlaksana dengan lebih optimal apabila pengembangan wilayah permukimannya dilakukan pada daerah tidak bahaya lahar. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah penelitian tentang Desa/Kelurahan Tangguh Bencana secara lebih intensif dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka Anonim. 2011. Indeks Harga. PU Kabupaten Magelang, Anonim, Indeks Harga Kabupaten, Bappeda Kabupaten Magelang, 2011 BNPB. 2011. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar. http://geospasial.bnpb.go.id/. Diakses pada 17 Januari 2011, 09.34 WIB. David, W.P., R. Kerry Turner. 1990. Economic of Natural Resources and the Environment. ISBN 0-7450-0202-1. Harvester Wheatsheaf. Garrod, G., Willis, K.G. 1999. Economic Valuation of the Environment (Methods and Case Studies). ISBN 1 85898 684 2. Edward Elgar Publishing, Inc.USA. Lavigne, F., J.C. Thouret, B. Voight, H. Suwa, and A. Sumaryono.
Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi
191
2000. Lahars at Merapi volcano, Central Java: an overview. Journal of Volcanology and Geothermal Research 100: 423–456. Kumalawati, R. 2014. Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunung Api Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang. Disertasi. Program Doktor, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Markandya, A., Patrice, H., Lorenzo, G.B., Vito, C. 2002. Environmental Economics for Sustainable Growth (a handbook for practitioners). ISBN 1 84064 306 4. Edwar Elgar Publishing, Inc.USA. Maynard, M.H., Eric, L.H. 1979. Economics Approaches to Natural Resource and Environmental Quality Analysis. ISBN 0 907567 04 5. Tycooly International Publishing Limited. Dublin. Sukanta R. 1993. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan (Suatu Buku Kerja Studi Kasus). ISBN 979-420-207-7. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sukatja, C.B. 2006. Antisipasi Banjir Lahar PascaLetusan G.Merapi 2006 : Studi Kasus di Kali Gendo, Wilayah Gunung Merapi. Makalah. Balai Sabo, Puslitbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Pekerjaan Umum. Sutrisno, H. 1996. Kapita Selecta Psychologi Karya. Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIP – IKIP. Wahyono, Sri Agus 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program PascaSarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
TENTANG PENULIS
ROSALINA KUMALAWATI lahir di Kabupaten Bantul pada tanggal 4 Mei 1981. Menamatkan jenjang S1 di UGM pada tahun 2003 dari Fakultas Geografi, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah. Gelar S2 diperolehnya dari Geografi Fisik Fakultas Geografi UGM pada tahun 2005. Pendidikan Jenjang S3 bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah untuk Mitigasi Bencana di selesaikan pada Tahun 2014 dari Fakultas Geografi UGM. Riset di bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah telah aktif dilakukan sejak tahun 2002 melalui BPKS UGM dan PSBA UGM. Sampai saat ini Rosalina Kumalawati masih aktif melakukan penelitian perencanaan pengembangan wilayah untuk mitigasi bencana bersama berbagai pihak dan juga aktif sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Geografi FKIP Unlam Banjarmasin Kalimantan Selatan.
192
KONTRIBUTOR ISI
1. Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc. Staf Pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
[email protected]. 2. Seftiawan Samsu Rijal S.Si S2 Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM. Email:
[email protected]. 3. Prof. Dr. Junun Sartohadi Staf Pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
[email protected]. 4. Ahmad Syukron Prasaja S2 MPPDAS Fakultas Geografi UGM. Email: kron_27@yahoo. com. 5. Dr. Rimawan Pradiptyo, M.Sc Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Yogyakarta, Indonesia. Email: rimawan
[email protected]. 6. Norma Yuni Kartika S3
Kependudukan
Fakultas
Geografi
UGM.
Email:
[email protected] 193