PENGATURAN DISCRETIONARY POWER PENGGUNAAN SANKSI VERBAL PADA TAHAP PRE-TRIAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : Marcella Elwina S HASIL PENELITIAN HIBAH BERSAING Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Diselenggarakan LPPM Unika Soegijapranata Semarang, 27 Juli 2011
A. LATAR BELAKANG Studi memfokuskan diri pada kewenangan penggunaan diskresi
(discretionary power) khususnya untuk menetapkan pemberian sanksi verbal (berupa peringatan, teguran ataupun nasihat) terhadap pelaku tindak pidana pada tahap pre-trial yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Dalam praktek penegakan hukum --terutama untuk kasus-kasus tindak pidana atau pelanggaran yang ringan, seringkali dijumpai aparat penegak hukum (terutama polisi) memakai kewenangannya untuk menggunakan diskresi dengan hanya memberikan sanksi verbal terhadap pelaku tindak pidana. Contoh : operasi simpatik untuk kasus pelanggaran lalu-lintas; kasus perkelahian pelajar, pelanggaran terhadap ketertiban umum, kasus ringan kekerasan dalam rumah tangga (terutama bila keluarga akhirnya memutuskan untuk berdamai) dll. Penggunaan diskresi ini umumnya hanya didasarkan atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang aparat penegak hukum yang tumbuh sebagai kebiasaan dalam praktek penegakan hukum sehari-hari. Tujuan menghidari proses peradilan formal, stigmatisasi
A. LATAR BELAKANG Untuk menjaga iklim di masyarakat supaya lebih kondusif, polisi sering tidak
menggunakan upaya represif. Salah satu dasar hukum bagi polisi untuk tidak menjalankan tindakan represif adalah dengan merujuk pada ketentuan kewenangan penggunaan diskresi. Studi berupaya untuk meneliti dasar penggunaan discretionary power secara teoretik serta studi empirik penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum dalam masyarakat dalam rangka penegakan hukum terutama dalam menerapkan sanksi verbal terhadap pelaku tindak pidana atau terhadap pelanggaran hukum.
B. FOKUS Kajian penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum
(terutama polisi) dalam menerapkan sanksi verbal. Kajian pengaturan dalam berbagai instrumen dan rekomendasi internasional serta pengaturan dan penerapan kewenangan diskresi di negara lain (yang menjadi bahan perbandingan).
C. PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN Bagaimana pelaksanaan diskresi oleh pihak kepolisian serta
pertimbangan kepolisian menggunakan kewenangan diskresi atau discretionary power untuk menerapkan sanksi verbal? Bagaimanakah kajian perbandingan pelaksanaan diskresi oleh pihak kepolisian serta pertimbangan kepolisian menggunakan kewenangan diskresi atau discretionary power untuk menerapkan sanksi verbal di beberapa negara?
D. TUJUAN PENELITIAN untuk mendeskripsikan pelaksanaan diskresi oleh pihak
kepolisian serta pertimbangan kepolisian menggunakan kewenangan diskresi atau discretionary power untuk menerapkan sanksi verbal (Indonesia dan kajian komparasi) TUJUAN AKHIR : mempreskripsikan (merumuskan/ memformulasikan) kewenangan penggunaan diskresi atau discretionary power dalam kebijakan hukum di Indonesia pada masa datang (ius constituendum) dalam rangka usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia Memberi masukan bagi amandemen KUHAP dan amandemen UU Kepolisian.
E. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Discretionary Power atau Kewenangan
Diskresi Tugas dan Kewenangan Aparat Kepolisian Pengertian Sanksi Verbal dan Eksistensi Pengaturannya dalam Instrumen Internasional Eksistensi dan Pengaturan Pemberian Sanksi Verbal di Beberapa Negara (Arab Saudi dan Africa; Negara-Negara Eropa; Amerika Latin dan Karibia; Australia) Restorative Justice Theory dan Reintegrative Shaming Theory
F. METODE PENELITIAN Ranah socio-legal studies, studi komparatif
Materi penelitian : isi atau nilai-nilai dari hukum yang ada dalam masyarakat yang
disebut normwissenschaft/ sollenwissenscaft; dan fakta sosial yang tersimak dari pengalaman empirik sebagai pola perilaku dalam wujud pranata sosial atau institusi sosial atau sebagai tatsachenwissenscaft/ seinwissenscaft (karena kewenangan diskresi khususnya penggunaan sanksi verbal sebagai salah satu jenis kontrol hukum dalam masyarakat dalam realitanya eksis digunakan oleh aparat penegak hukum (khususnya polisi) di Indonesia). Lokasi Penelitian Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Kepolisian Kota Besar Semarang, POLRESTA Surakarta, POLRESTA Yogyakarta dan Wilayatul Hisbah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (untuk mengeksplorasi kasuskasus di mana kewenangan diskresi diterapkan oleh polisi). Tipe Penelitian : Deskriptif dan Preskriptif Jenis data : sekunder dan primer Metode Pengumpulan Data : studi pustaka dan wawancara Metode Analisis Data : Kualitatif
G. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
DASAR HUKUM APARAT KEPOLISIAN MENGGUNAKAN KEWENANGAN DISKRESI (DISCRETIONARY POWER) UNTUK MENETAPKAN SANKSI VERBAL
Pasal 7 (1) butir j Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) sebagai induk peraturan pidana formal (hukum acara pidana). Kewenangan ini tidak diatur secara rinci. Pasal 7 ayat (1) butir j menyatakan bahwa penyidik karena kewajibannya memiliki kewenangan untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. ‘Tindakan lain’ adalah tindakan dari penyelidik/penyidik untuk kepentingan penyelidikan/penyidikan dengan syarat : a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e) menghormati hak asasi manusia. Pasal 18 UU NO. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menyebutkan : (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri; (2) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Penjelasan Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 dijelaskan ‘bertindak menurut penilaiannya sendiri’ adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
DASAR PERTIMBANGAN Hawkins melihat bahwa diskresi adalah suatu yang sentral atau
penting dalam penegakan hukum diantaranya karena kompleksitas dari problem yang dihadapi masyarakat (Jenny Bargen : 2005). Diskresi merupakan bagian dari cara menginterpretasi peraturan hukum, yang umumnya memiliki sifat ambigu dan tidak tertulis, sehingga ada kesepakatan bahwa penerapan diskresi sering menimbulkan perdebatan diantaranya tidak adanya kepastian hukum serta pelanggaran terhadap hak asasi dan problem diskriminasi serta perdebatan bagaimana seyogyanya mekanisme pengaturan serta penerapan diskresi diberlakukan. Menurut Jenny Bargen : the use of rules—whether in the form of statute, case law or administrative rules—to regulate police discretion is the most popular method for structuring discretion. Dari pendapat tersebut, jelas bahwa dibutuhkan pengaturan mengenai diskresi mengingat diskresi sering menimbulkan ketidakpastian hukum, pelanggaran hak asasi serta diskriminasi.
PELAKSANAAN DISKRESI BERUPA PEMBERIAN SANKSI VERBAL OLEH APARAT KEPOLISIAN DAN APARAT WILAYATUL HISBAH Dalam OPERASI SIMPATIK LALU LINTAS Dalam PERKELAHIAN PELAJAR DAN TINDAK
PIDANA ANAK Dalam KERUSUHAN ATAU DEMONSTRASI YANG MELIBATKAN MASSA Dalam TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Dalam TINDAK PIDANA NARKOTIKA (WACANA) Dalam TINDAK PIDANA TA’ZIR (PELANGGARAN TERHADAP SYARIAT ISLAM) DI WILAYATUL HISBAH DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Di Pengadilan Syariah Prop. Nanggroe Aceh Darussalam (UNTUK TP YANG DILAKUKAN ANAK) DALAM PRAKTEK : DISKRESI LEMBAGA DAN DISKRESI INDIVIDU
FORMULASI KEBIJAKAN PENGATURAN PENGGUNAAN KEWENANGAN DISKRESI BAGI APARAT KEPOLISIAN UNTUK MENERAPKAN SANKSI VERBAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PADA MASA DATANG (IUS CONSTITUENDUM)
KAJIAN KOMPARASI GHANA Dalam Konstitusi 1993 mengingat diskresi sangat penting dalam administrasi negara modern. …With our history of undemocratic government, and the grave abuses of fundamental human rights and democratic values that have taken place in the past in mind, the constitution took formal steps to protect and enhance cherished democratic values. One of the most significant powers available to the state is discretionary power (Kwado G. Mensah : 1998). 4 (empat) kondisi yang diperlukan untuk menerapkan diskresi (Kwado G. Mensah : 1998).
1. harus ada kewenangan dari aparat untuk memilih beberapa opsi; 2. aparat harus memiliki kewenangan untuk menciptakan standar yang luas untuk mencapai opsi yang telah dipilih; 3. aparat harus dapat melakukan variasi dari standar umum yang telah diterapkan untuk mencapai tujuan yang dipilih; 4. aparat harus memiliki pengakuan (pedoman) terhadap kewenangannya untuk menerapkan variasi dari standar yang berlaku umum tersebut dalam kerangka hukum dan politik. Diskresi pada prinsipnya adalah suatu pilihan. The core concept in discretion is choice. For discretion to exist, an official must be given power, within a broad framework, to either choose the end which is to be pursued, or if the end has already been determined, to choose the most appropriate means or standard to achieve the end. Bahaya dari penggunaan diskresi adalah penggunaannya secara serampangan (there is always the danger that discretionary powers will be used arbitrary)
KAJIAN KOMPARASI (Lanjutan) AUSTRALIA Sejak penerapan New South Wales Young Offenders Act 1997 dalam sistem peradilan
pidana anak yang mengatur pemberian diskresi, penggunaan sanksi verbal berupa peringatan (warning dan cautions) meningkat secara tajam. Dengan penerapan tersebut jumlah kasus yang diproses dalam sistem peradilan pidana anak di New South Wales Australia menurun. Demikian pula kasus-kasus yang melibatkan suku Aborigin (sebagai first offender) menurun tajam sampai lebih dari 50%. Pada tahun 1980-an, jumlah anak yang diberi peringatan oleh pengadilan berkisar 8 % dan bertambah sampai sekitar 21 % sampai tahun 1985. Pada sekitar tahun 19901991, peringatan yang diberikan oleh pengadilan turun dan hanya berkisar 12 %. Namun pada tahun 1990-1991, di New South Wales Australia, diskresi dengan memberikan peringatan ataupun teguran untuk kasus tindak pidana anak yang diberikan oleh polisi meningkat tajam sampai berkisar antara 50% - 60% dari seluruh total kasus yang ada. Kenaikan ini setidaknya disebabkan karena adanya pengaturan dalam undang-undang, kebijakan yang mendukung, training terhadap polisi, manajemen polisi yang lebih keras serta monitoring yang luas dari negara yang mengharuskan polisi untuk menggunakan kewenangan diskresi untuk memberikan peringatan atau teguran dalam kasus-kasus tindak pidana anak Tujuan utama dari penerapan diversi adalah untuk menekan efek negatif dari stigmatisasi serta menekan intervensi yang tidak dibutuhkan dari hukum negara yang ditujukan terutama bagi tindak pidana yang tidak terlalu serius.
KAJIAN KOMPARASI (Lanjutan) NEW ZEALAND Di New Zealand, diversi dibedakan menjadi 2 (dua) jenis. Ada skema diversi untuk orang dewasa
yang diterapkan untuk pelaku yang telah berusia 17 tahun ke atas, yang merupakan perluasan kewenangan diskresi dengan tujuan menghindari peradilan. Untuk hal ini telah dibuat guidelines yang berlaku sejak Nopember 2007 dan dapat diimplementasikan oleh polisi setelah disetujui oleh petugas diversi. Untuk anak, diversi tidak hanya diatur dalam giudelines, melainkan dalam Undang-Undang Children,Young Persons and Their Families Act 1989 (CYPTFA). Undang-undang ini menegaskan bahwa sistem peradilan pidana hanya merupakan sarana terakhir ‘last resort’ untuk anak. Undang-undang ini bahkan secara tegas mengatur bahwa polisi tidak boleh menghindari mekanisme diversi. Alex Latu dan Albany Lucas memaparkan bahwa diversi adalah contoh khusus dari penerapan diskresi. Diversi adalah situasi situasi di mana seorang pelaku tindak pidana ditangani dengan caracara di luar lembaga formal seperti pengadilan. Contohnya adalah pemberian peringatan dari polisi dan teguran. Bila seorang dituntut namun kemudian berhasil memenuhi syarat-syarat tertentu (seperti meminta maaf, bekerja seperti pekerja sosial dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana), maka kasus tersebut tidak akan dilanjutkan. Proses ini biasanya diberikan dalam kasus-kasus yang tidak terlalu serius (ringan) dan untuk kasus-kasus di mana pelaku belum memiliki track-record sebagai pelaku tindak pidana sebelumnya.
NEW ZEALAND Diskresi untuk memberikan sanksi verbal diatur dalam Pasal 209-213 Children,Young Persons and
Their Families Act 1989 Dalam Pasal 209 yang mengatur mengenai ‘consideration of warning as alternative to prosecution’ dinyatakan bahwa : Where an enforcement officer is considering whether to institute criminal proceedings against a child or young person for an offence alleged or admitted to have been committed by that child or young person, that officer shall consider whether it would be sufficient to warn the child or young person, unless a warning is clearly inappropriate having regard to the seriousness of the offence and the nature and number of previous offences committed by the child or young person. Dalam Pasal 210 yang mengatur mengenai ‘administration of warning’ dinyatakan bahwa : where, in respect of any offence alleged or admitted to have been committed by a child or young person, an enforcement officer decides that it would be sufficient to warn that child or young person, that officer may warn the child or young person, or arrange for any other person to warn the child or young person. Dalam pasal 211 diatur ‘police formal caution’, di mana dalam kasus ini teguran harus diberikan dihadapan orang tua sedangkan pasal 212 mengatur kewajiban polisi untuk melakukan pencatatan setelah diterapkannya teguran serta alasan-alasan pemberian teguran pada anak.
INGGRIS DAN WALES Ketika menangkap seseorang pelaku tindak pidana, Polisi di Inggris danWales
memiliki 4 (empat) alternatif penyelesaian yaitu: 1. polisi diperbolehkan untuk tidak melakukan tindakan apapun bila kasusnya adalah kasus tindak pidana ringan; atau they might take no further action in cases of very minor violations of the law; 2. memberi peringatan informal; atau give an informal warning; 3. memberi teguran formal (tercatat); atau administer a formal police caution; or 4. memutuskan untuk meneruskan kasus dengan mengirimkannya ke Crown Prosecution Service; atau decide to prosecute by sending the case to the Crown Prosecution Service. By now, formal police cautioning has become the most important instrument of the English criminal justice system for dealing with minor crimes efficiently and diverting offenders from courts. Currently, about one third of all offenders known to the police are cautioned and do not have to appear in a criminal court. The offences dealt with by cautioning range from theft, burglary and drug offences to interpersonal violence (Michael Jasch : 2009). Bagi orang dewasa, teguran formal pada mulanya tidak diatur dalam perundangundangan . Namun dalam sistem peradilan pidana di Inggris telah dipraktikkan selama beberapa abad. Sejak pembentukan National Crown Prosecution Service pada tahun 1985, teguran formal untuk orang dewasa diatur dalam the National Standards for the Cautioning of Offenders.
WACANA DI JERMAN Pada tahun 2003, setidaknya statistik kepolisian mencatat total 6.5 juta
tindak pidana, dan setidaknya 1.54 juta adalah tindak pidana pencurian yang kerugiannya sangat kecil. Dari jumlah 1.54 juta, sekitar 46.5 % adalah tindak pidana pencurian dengan total kerugian kurang dari 50 Euro. Dalam kasus shoplifting, yang kurang lebih total kerugiannya di bawah 50 Euro, tercatat jumlahnya sebanyak 76%. Tindak pidana lain yang banyak terjadi adalah tidak memiliki tiket perjalanan, penggelapan, fitnah serta perlukaan atau perkelahian anak, yang menurutnya tidak memerlukan pranata hukum pidana. Michael Jasch berpendapat bahwa diperlukan adanya reformasi hukum untuk menampung asas diskresi di Jerman karena Penerapan Asas LEGALITAS yang KAKU atau RIGID
TERIMAKASIH Marcella Elwina S Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, 27 Juli 2011