TESIS
PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD) DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA
I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD) DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA
I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA NIM : 1190561045
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD) DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA NIM. 1190561045
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL …………………….
Pembimbing I
Pembimbing II
TTD
TTD
Prof. Dr. Ibrahim, R, SH., MH.
Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum.
NIP. 19551128 198303 1 003
NIP. 19611224 198803 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
TTD
TTD
Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH, M.Hum, LL.M NIP. 19611101 198601 2 001
iii
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
TESIS INI TELAH DIUJI PADA 21 AGUSTUS 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1544/UN14.4/HK/2013 Tanggal : 1 Agustus 2013
Ketua : Sekretaris : Anggota :
Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum. 1. Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS. 2. Dr. I Gede Yusa, SH., MH. 3. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NIM Tempat/Tanggal Lahir Alamat
: : : :
I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya 1190561045 Samarinda/12 Oktober 1990 Jl. Kertanegara IX/4, Br. Anyar-Anyar, Ubung Kaja, Denpasar-Bali, 80116 Program Studi : Magister Ilmu Hukum (Hukum Pemerintahan) Judul Tesis : Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di Indonesia Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku
Denpasar, 21 Agustus 2013 Hormat saya,
I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya
v
UCAPAN TERIMA KASIH
OM SWASTIASTU, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkah dan anugrah-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di Indonesia”. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih setulusnya atas semua bantuan, arahan, dan bimbingan kepada semua pihak: 1.
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana.
2.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. Dekan Fakultas hukum Universitas Udayana.
4.
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.LL.M, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
5.
Prof. Dr. Ibrahim R, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan memberi masukan yang membangun dalam penyusunan tesis ini.
6.
Dr. I Dewa Gede Palguna,SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing II yang penuh kesabaran dalam membimbing dan memberi masukan ilmu pengetahuan yang berguna bagi penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
vi
7.
Dosen Penguji Tesis, Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH, selaku Ketua, Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum selaku Sekretaris, Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS., Dr. I Gede Yusa, SH., MH., dan Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H selaku Anggota, yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk menguji, memberikan penilaian, dan masukan yang maksimal demi penyusunan tesis yang lebih baik.
8.
Guru-Guru Besar dan segenap Dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan selama perkuliahan dan mendukung penyusunan tesis ini.
9.
Segenap Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi.
10. Keluarga penulis, Bapak I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH, Mamah Sri Sudarwati, dan Adik I Gusti Ayu Putri Astari Yogiswari yang tidak hentihentinya memberikan penulis doa, semangat, dan cintanya selama penulisan tesis ini. 11. Keluarga Besar Universitas Mahendradatta yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. 12. Sahabat dari penulis, Agus Pradana, S.Si., Pande Tunik,S.Sn., Ngurah Yudi,SE., dan teman-teman dari SONE Bali, Zumi, S.Kom., Ferdy, Octa, Agus, Buchel, Kiki, Lukman, Bli Kadek, Anga, Yerdi. 13. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis.
vii
14. Segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata, semoga buah karya intelektual ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia di dunia. OM SANTI, SANTI, SANTI, OM Denpasar, 21 Agustus 2013
Penulis
viii
ABSTRAK Tesis ini membahas tentang permasalahan pengaturan ambang batas formal dalam pemilihan umum dengan fokus pembahasan pada kerangka prinsip demokrasi konstitusional dan indikator yang dapat digunakan dalam legislasinya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konseptual hukum, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filsafat. Sementara teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah teori negara hukum dan teori demokrasi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan ambang batas formal pemilihan umum memenuhi prinsip demokrasi konstitusional berdasarkan empat aspek : kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR-RI; tujuan menstabilkan lembaga negara (legislatif dan eksekutif); tidak bertentangan dengan hak asasi manusia; konsistensi dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menguji konstitusionalitas materi ambang batas formal. Pengaturan ambang batas formal juga mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia, terutama pada prinsip demokrasi permusyawaratan/perwakilan Indonesia. Perbandingan hukum dengan negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak hanya mengatur perihal persentase, melainkan juga pengaturan yang bersifat mengurangi disproporsionalitas. Pengaturan yang lebih komprehensif terkait dengan hal tersebut perlu dilakukan ke depannya dalam undang-undang pemilihan umum Indonesia untuk menciptakan pengaturan yang berkeadilan dan pembentukan hukum yang berkelanjutan. Kata Kunci : ambang batas formal, sistem pemilu, demokrasi konstitusional, pembentukan hukum yang berkelanjutan
ix
ABSTRACT This thesis discusses the problems of formal threshold provision in the electoral system which is focused on constitutional democratic principles framework and indicators that can be used in the legislation. This research is a normative legal research that uses statute, analytical and conceptual, historical, comparative, and philosophical approach. Meanwhile, the theories that be used to analyze the problem are Rule of Law Theory (Rechtstaat) and Theory of Democracy. The result repeals that the formal threshold provision fulfils constitutional democratic principle based on four aspects : the legislation authority of DPR-RI ; the purpose to stabilizing the state institutions (legislative and executive); has no conflict to fundamental human rights; the consistency of ruling from of the Constitutional Court of The Republic of Indonesia that reviews formal threshold. Formal threshold also reflects the idea of the law of Indonesia, especially on Indonesian consensus/representative democracy principle. A legal comparison showed that the substance of formal threshold is not only about the percentages, but also the provision for reducing disproportionality. The provision of formal threshold should be more comprehensive in the future to ensure the legal justice and sustainable law making. Key Words : formal threshold, electoral system, constitutional democracy, sustainable law-making
x
RINGKASAN Tesis ini diberi judul “Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di Indonesia”. Adapun tesis ini disusun dalam lima bab dan menguraikan bagaimana pemenuhan prinsip demokrasi konstitusional dan indikator-indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pemilihan umum sebagai bentuk reformasi perundang-undangan pemilu yang demokratis di Indonesia. BAB I sebagai bab pendahuluan memuat latar belakang yang menjelaskan isu hukum yang diangkat sebagai permasalahan yakni adanya konflik norma, baik secara formil maupun materiil. Pengaturan ambang batas formal memiliki ketidaksinkronan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana yang menjadi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (vide Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yaitu perihal tujuan menciptakan sistem multipartai sederhana yang nantinya akan menghasilkan sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini tujuan pengaturan ambang batas formal tidak jelas menjabarkan definisi sistem multipartai sederhana yang dimaksud serta relevansi antara sistem multipartai dan sistem presidensial. Kemudian secara materiil, konflik norma terjadi antara pengaturan ambang batas formal dengan peraturan perundang-undangan lain yang memberikan dasar perlindungan hak asasi manusia, khususnya perihal jaminan perlindungan atas suara sah dari pemilih. Selain itu perihal indikator yang tidak jelas dan kebutuhan untuk menciptakan desain hukum ambang batas formal yang baku menyebabkan permasalahan ini dianggap menarik dan penting untuk dikaji. Kemudian dalam Bab I juga menempatkan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, menjabarkan landasan teori sebagai sarana untuk menjawab permasalahan, serta menentukan metode penelitian yang digunakan dengan uraian berupa jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum. BAB II menguraikan mengenai tinjauan umum berupa pemikiran tentang konsepsi demokrasi konstitusional sebagai uraian lebih lanjut perihal teori yang digunakan yakni teori negara hukum dan teori demokrasi. Selain itu dalam bab ini juga diuraikan tiga konsep dasar, yaitu sistem pemilihan umum (electoral system), lembaga perwakilan, dan partai politik, disertai dengan dasar hukum yang berlaku di Indonesia. Bab ini juga memberikan tinjauan umum perihal konsep dari ambang batas pemilu (electoral threshold). BAB III membahas mengenai pemenuhan pengaturan ambang batas formal pemilihan umum terhadap prinsip demokrasi konstitusional yang dikaji dalam empat konsentrasi, yakni perihal legislasi dari ambang batas formal, upaya penataan lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara, kesesuaian pengaturannya dengan norma hak asasi manusia, dan konsistensi pengujian undang-undang yang menguji ketentuan ambang batas formal pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi.
xi
BAB IV membahas mengenai indikator-indikator yang digunakan dalam penormaan ambang batas formal dengan cita hukum (recht idea) Indonesia sebagai landasan fundamental. Bab ini juga membahas perbandingan hukum dengan Jerman, Turki, Polandia, dan Denmark yang memberikan gambaran perbedaan substansil pengaturan ambang batas formal, terutama perihal ketentuan-ketentuan yang berfungsi untuk mengurangi disproporsionalitas. Selain itu dibahas pula perihal konsep tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) sebagai indikator pengaturan ambang batas formal yang berkelanjutan dengan dielaborasikan dengan prinsip justice as fairness dari John Rawls. BAB V merupakan bagian penutup yang memberikan simpulan terhadap pembahasan permasalahan yang diuraikan. Selain itu pada Bab ini juga disampaikan yang menjadi saran-saran terkait dengan pembentukan hukum ambang batas formal pemilihan umum yang lebih komprehensif di masa mendatang.
xii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul Dalam .................................................................................................... i Halaman Persyaratan Gelar Magister ............................................................................... ii Halaman Pengesahan Tesis .............................................................................................. iii Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ....................................................................... iv Surat Pernyataan Bebas Plagiat ....................................................................................... v Halaman Ucapan Terima Kasih ....................................................................................... vi Halaman Abstrak ............................................................................................................. ix Halaman Abstract ............................................................................................................. x Ringkasan ........................................................................................................................ xi Halaman Daftar Isi ......................................................................................................... xiii Halaman Daftar Tabel ................................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 9 1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................................... 9 1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10 1.4.1. Tujuan Umum ............................................................................... 10 1.4.2. Tujuan Khusus .............................................................................. 11 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 11 1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 11 1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................................. 12
xiii
1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 12 1.7. Landasan Teori .......................................................................................... 14 1.7.1. Teori Negara Hukum .................................................................. 15 1.7.2. Teori Demokrasi ......................................................................... 19 1.8. Metode Penelitian .................................................................................... 23 1.8.1. Jenis Penelitian.............................................................................. 23 1.8.2. Jenis Pendekatan ........................................................................... 24 1.8.3. Sumber Bahan Hukum ................................................................. 25 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................... 27 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................................... 28 BAB II DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM ........... 30 2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional ...................................................... 30 2.2. Sistem Pemilihan Umum ....................................................................... 36 2.2.1. Definisi Sistem Hukum ................................................................ 36 2.2.2. Pemilihan Umum .......................................................................... 41 2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum ..................................................... 44 2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ...................................................................... 54 2.3. Lembaga Perwakilan ............................................................................... 58 2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan ................................................. 62 2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia .................................................... 68 2.4. Partai Politik ........................................................................................... 72 2.4.1. Definisi Partai Politik ................................................................... 72
xiv
2.4.2. Fungsi Partai Politik ..................................................................... 73 2.4.3. Sistem Partai Politik ..................................................................... 76 2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia .................................................... 78 2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold) .......... 81 BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA ................................. 85 3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia ..................................... 85 3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca Pengaturan Ambang Batas Formal ......................................................... 96 3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ........... 96 3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia .............................. 108 3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik ............................... 117 3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis Ambang Batas Formal ................................................................ 118 3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas Formal ......................................................................................... 123 3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal ...................................... 127 BAB IV INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM
UNDANG-UNDANG
PEMILIHAN
UMUM
INDONESIA ........................................................................................... 136 4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan Ambang Batas Formal ......................................................................... 137
xv
4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia Dalam Pengaturan Ambang Batas Formal ................................ 139 4.2. Indikator Proporsionalitas Pemilu......................................................... 144 4.2.1. Jerman ......................................................................................... 145 4.2.2. Turki ........................................................................................... 147 4.2.3. Polandia....................................................................................... 149 4.2.4. Denmark ..................................................................................... 151 4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum sebagai Indikator Ambang Batas Formal yang Berkelanjutan .................................................................. 155 BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 164 5.1. Simpulan ............................................................................................... 164 5.2. Saran ..................................................................................................... 165 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 166
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. : Perolehan Suara dan Persentase Suara Partai Politik Peserta Pemilu 2009 .............................................................................................................. 97 Tabel 3.2. : Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2009 .................................................... 100
xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, undang-undang pemilihan umum
mengalami regenerasi sebagai upaya pemulihan atas pengingkaran demokrasi yang terjadi selama masa tersebut. Demokratisasi yang diselenggarakan sejak tahun 1999 hingga sekarang menempatkan pengaturan ambang batas pemilu, atau lebih dikenal dengan istilah electoral threshold, dalam penyelenggaraan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bagian reformasi perundang-undangan pemilihan umum. Ambang batas pemilu atau electoral threshold adalah pengaturan tingkat minimal dukungan, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat menempatkan perwakilannya dalam lembaga perwakilan.1 Ambang batas yang diatur secara formal (formal threshold) diperlihatkan dengan adanya pencantuman sejumlah persentase tertentu secara langsung dan tegas dipaksakan.2 Adapun bentuk pengaturan ambang batas formal diwujudkan dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) yang mengatur bahwa “Partai 1
Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, hal 19. 2 Kacung Marijan, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana, Jakarta, hal. 72.
1
2
Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurangkurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.” Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan pemilu di era reformasi. Pembatasan keterwakilan jumlah partai politik secara yuridis di dalam lembaga perwakilan melalui ambang batas formal menjadi salah satu konsentrasi pembangunan hukum pada masa reformasi dalam rangka visualisasi demokrasi yang lebih baik. Demokratisasi pemilihan umum pada hakikatnya menempatkan keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar penting bagi suatu negara modern, terlebih pada negara dengan masyarakat yang majemuk (plural society).3 Namun seiring dengan pembelajaran proses berdemokrasi, timbul satu pemahaman bahwa sistem multipartai yang diterapkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum dianggap menjadi salah satu kesalahan yang paling mendasar. Dewan Perwakilan Rakyat yang diisi dengan kepartaian majemuk dipersepsikan tidak dapat memaksimalkan fungsi eksekutif dan menjaga kestabilan sistem presidensial, terutama dalam hal konsensus pengambilan kebijakan.4 Dalam upaya menyikapi hal tersebut, arah pembentukan undang-undang terkait dengan sistem kepartaian diupayakan mampu menyeimbangkan antara unsur kemajemukan
3
ibid. hal. 59-61. Radiman Salman, 2010, “Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan Pembaharuan Parpol”, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk ―Sang Penggembala‖ Prof. A. Mukthie Fadjar, SH., MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In – Trans Publishing, Malang, hal.143. 4
3
partai politik dan stabilitas pemerintahan melalui pengaturan ambang batas formal pemilihan umum. Mekanisme konversi jumlah perolehan suara menjadi kursi mengalami regenerasi yang tidak sederhana, terutama sejak diberlakukannya persentase ambang batas formal yang dianggap memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam perancangan undang-undang pemilihan umum. Persentase ambang batas formal sebesar 3,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 diberlakukan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai upaya memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana, yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensial.5 Upaya penciptaan sistem multipartai sederhana tersebut seakan bertentangan dengan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan bahwa dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik wajib memenuhi salah satu asas formal, yaitu asas kejelasan tujuan.6 Pengaturan ambang batas formal tidak menentukan batasan tujuan yang ingin dicapai secara jelas perihal sistem multipartai seperti apakah yang dimaksud dengan sederhana serta bagaimana relevansinya dengan sistem pemerintahan presidensial secara nyata dengan adanya pengaturan tersebut. Hal ini menimbulkan implikasi sumirnya tujuan pembentukan perundang-undangan yang baik dalam pengaturan ambang batas formal.
5
Lihat Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 2012. Bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 6
4
Penyelenggaraan pemilu yang demokratis juga wajib menempatkan perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan dijamin keberadaannya secara tegas di dalam kerangka hukum. Fenomena pelaksanaan demokrasi yang tidak demokratis di era Orde Baru memberikan andil terjadinya perubahan substansil yang menghasilkan jaminan perlindungan hak asasi manusia secara konstitusional berdasarkan Pasal 28A-28J Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dibentuknya dua perundangundangan organis, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.7 Pengaturan ambang batas formal turut memperlihatkan adanya suatu problematik berupa konflik norma (conflict of norm), terutama dengan peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan perlindungan hak hukum, baik bagi warga negara dan partai politik. Pengaturan ambang batas formal menimbulkan konsekuensi yuridis terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian (sistem multipartai sederhana) dengan hilangnya sejumlah suara pada partai politik tertentu yang tidak memenuhi persentase yang ditentukan.8 Konsekuensi hilangnya suara tersebut menjadi bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian
7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights merupakan hasil ratifikasi dari The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 16 Desember 1966. 8 Janedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 33-34.
5
hukum, termasuk dalam hal ini perlindungan akan suara-suara pemilih yang diberikan secara sah kepada partai politik peserta pemilu.9 Hal tersebut juga sejalan dengan konsideran menimbang UU No. 8 Tahun 2012 yang mengamanatkan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adanya suara yang hilang dengan diaturnya ambang batas formal menimbulkan inkonsistensi perihal bagaimana menterjemahkan jaminan perlindungan suara rakyat dalam sistem pemilu langsung yang demokratis sesuai dengan kerangka ketatanegaraan Indonesia. Pertentangan norma, baik dengan peraturan perundang-undangan lain maupun dengan konsideran UU No. 8 Tahun 2012 sebagai dasar validitas, menjadikan pengaturan ambang batas formal menarik untuk dikaji secara holistik di dalam kerangka hukum dan demokrasi bangsa Indonesia. Keberadaan ambang batas formal rentan mengalami resistensi dari warga negara, terutama pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Fenomena hukum tersebut setidaknya diperlihatkan dengan tingginya intensitas pengujian konstitusionalitas materi undang-undang pemilu kepada Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan substansi ambang batas formal pemilihan umum. Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menegaskan konstitusionalitas ambang batas dalam pemilihan umum (tanpa atau dengan disertai dissenting
9
Rumusan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sementara rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
6
opinion10), penulis menganggap pengaturan ambang batas formal ini masih menyisakan sejumlah permasalahan yang elementer sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, yaitu terkait dengan bagaimana legitimasi penghilangan suara pemilih dan tujuan penciptaan sistem multipartai sederhana yang riil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menegaskan justifikasi pengaturan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 sebagai legal policy (politik hukum) dari pembentuk undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang sejalan dengan prinsipprinsip hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.11 Justifikasi tersebut menurut penulis masih menyisakan permasalahan perihal seperti apakah penormaan persentase ambang batas formal yang dikatakan tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas sehingga Mahkamah Konstitusi tidak dapat menggangu gugatnya. Tolak ukur legitimasi ambang batas formal yang tidak bertentangan dengan ketiga aspek tersebut menjadi wajib untuk
10
Perbedaan pendapat atau dissenting opinion terjadi dalam dua putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji substansi ambang batas formal dalam undang-undang pemilu, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 perihal pengajuan ambang batas formal dalam dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang pengujian ketentuan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. 11 Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 79. Mahkamah Konstitusi memaparkan ratio decidendi ”...bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas…”
7
dijabarkan sebagai upaya menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang konsisten dan konstitusionalitas pengaturannya. Segenap permasalahan dan pertentangan norma tersebut pada akhirnya bermuara pada titik ketidakjelasan parameter hukum yang digunakan dalam menentukan pengaturan persentase ambang batas formal. Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi pertanyaan dasar, yakni berapa persen angka ambang batas yang akan diterapkan; bagaimana cara menentukannya; atau apakah peningkatan persentase sesungguhnya diperlukan atau tidak dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum? Penentuan persentase ambang batas yang terkesan rumit menjadi permasalahan yang sering mengakibatkan berlarutnya pembahasan undang-undang pemilu. Setidaknya kerumitan tersebut tampak secara nyata dari adanya diferensiasi pandangan antar fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan jumlah persentase ambang batas serta perihal ruang lingkup keberlakuannya.12 Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa penormaan ambang batas formal seakan tidak memiliki indikator-indikator yang jelas, sehingga rentan mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan pertentangan dengan normanorma lainnya.
12
9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu, http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-dpr-gagal-sepakati-ruupemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012 dan Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih suara nasional 3,5 persen, partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-untuk-dpr, diakses tanggal tanggal 17 Oktober 2012. Lihat pula Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 98-99 yang membatalkan ketentuan ambang batas formal di daerah untuk penentuan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
8
Indikator-indikator secara teoritis hukum di dalam penciptaan suatu norma merupakan aspek yang wajib untuk dicermati oleh para yuris, termasuk dalam hal menentukan ambang batas formal guna melimitasi jumlah partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Mahkamah Konstitusi sendiri di dalam putusannya menyadari bahwa perancangan perundangan-undangan pemilihan umum seakan tidak memiliki konsep yang jelas perihal bagaimana desain pemilihan umum Indonesia yang demokratis, sehingga kenyataan hukum yang terjadi adalah berkembanganya paradigma kebiasaan melakukan perubahan maupun pergantian undang-undang pemilu menjelang penyelenggaraannya.13 Penciptaan suatu norma hukum yang tidak jelas indikatornya rentan melanggar hak asasi manusia serta bertentangan dengan konstitusi dan norma-norma hukum lainnya. Oleh karena itu, kejelasan dasar pemberlakuan ambang batas formal perolehan suara dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan parameter hukum dalam menentukan persentase yang akan diterapkan menjadi penting untuk dikaji secara teoritis. Pengaturan ambang batas formal memberikan pengaruh signifikan dalam upaya penciptaan sistem pemilihan umum yang memenuhi nilai-nilai demokrasi bangsa Indonesia. Pengaturan ambang batas formal secara faktual masih menyisakan sejumlah permasalahan demokrasi yang mendasar, walaupun Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan berkekuatan hukum tetap terhadap pasal yang digugat. Adanya pertentangan dengan norma-norma hak politik, kejelasan tujuan penormaan, bagaimana menentukan persentase, serta konsekuensi-konsekuensi yuridis lain yang timbul secara sistemis menjadi hal
13
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal 130-131.
9
yang penting untuk dibahas dalam kerangka teori-teori hukum dalam rangka menegakkan supremasi negara hukum dan demokrasi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berpendapat merupakan hal yang menarik dan urgen untuk mengkaji pengaturan ambang batas formal secara teoritis hukum.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan
tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut : (1) Apakah pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Indonesia? (2) Apakah indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pada undang-undang pemilu di Indonesia?
1.3.
Ruang lingkup Masalah Agar tetap fokus dengan rumusan masalah, maka perlu ditentukan batasan-
batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan di dalam penelitian ini. Lingkup permasalahan pertama adalah perihal kajian pengaturan ambang batas formal dalam perspektif prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dengan fokus pada analisis ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, penataan lembaga dan hubungan antar lembaga negara, serta elaborasi prinsip dan peraturan tentang hak asasi politik. Selain itu, kajian Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji ambang batas formal juga termasuk dalam lingkup bahasan ini, terutama dari aspek konsistensi pertimbangan hukumnya.
10
Lingkup permasalahan kedua akan dibahas mengenai dasar pemberlakuan dan indikator yang dapat digunakan sebagai justifikasi dalam menentukan pengaturan dan persentase ambang batas formal yang ideal dalam pembangunan sistem pemilihan umum di Indonesia. Kajian dasar pemberlakuan berada pada lingkup aspek cita hukum Indonesia dengan menekankan pada aspek nilai demokrasi dan keadilan sosial. Sementara bahasan indikator ambang batas formal difokuskan pada aspek tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan utilitas hukum) serta perbandingan dengan peraturan-peraturan hukum negara lain.
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum Tujuan umum disusunnya penelitian ini adalah dalam rangka memberikan sumbangsih pemikiran teoritis perihal pengaturan ambang batas formal sebagai politik hukum pembatasan keterwakilan partai politik dalam kelembagaan DPRRI. Penelitian ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan ambang batas formal dalam perspektif teori hukum sebagai upaya penguatan perancangan perundang-undangan pemilihan umum. Selain itu, penelitian hukum ini juga dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji secara komprehensif perihal harmonisasi konseptual demokrasi konstitusional dalam pembangunan sistem pemilihan umum Indonesia.
11
1.4.2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut : a. Dari aspek akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui justifikasi pembatasan keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dengan diaturnya ambang batas formal dalam perundang-undangan pemilihan umum berdasarkan kerangka demokrasi konstitusional Indonesia. b. Dari aspek praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar keberlakuan dan indikator secara teoritis hukum yang dapat digunakan dalam merumuskan undang-undang pemilihan umum, khususnya substansi ambang batas formal, dalam rangka penguatan sistem pemilihan umum di Indonesia.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi pemikiran bagi pengaturan tentang pemilihan umum, terutama terkait dengan pengaturan ambang batas formal dalam konsepsi demokrasi Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti-peneliti hukum (legal researcher) berikutnya dan bagi segenap civitas akademika Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana untuk lebih mendalami perihal pengaturan ambang batas formal, serta pengembangan ilmu hukum pada umumnya.
12
1.5.2. Manfaat Praktis Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi teoritis hukum bagi perancang perundang-undangan (legislative drafter) dalam membentuk perundangan-undangan pemilu berikutnya, terutama terkait penentuan substansi ambang batas formal yang ideal. Bagi organisasi atau lembaga partai politik, penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan teoritis dalam mengontrol kebijakan hukum ambang batas formal yang diatur oleh pembentuk undang-undang di Indonesia. Sementara bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membuka pemahaman konsepsi demokrasi Indonesia dan relevansi pengaturan ambang batas formal di Indonesia.
1.6
Orisinalitas Penelitian Penelitian hukum ini merupakan hasil dari gagasan dan pemikian murni
penulis dengan berdasar pada sudut pandang hukum bahwa pengaturan ambang batas formal di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang aktual. Dalam penelitian hukum ini, penulis bekerja secara mandiri dengan menggunakan bahan hukum yang dikumpulkan untuk dianalisis, baik berdasarkan peraturan perundangan maupun literatur hukum. Berdasarkan pra-penelitian yang telah dilakukan, sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat penulisan tesis atau karya ilmiah komprehensif lainnya yang memiliki topik serta bahasan serupa mengenai ambang batas formal. Namun dalam hal ini terdapat beberapa tesis yang memiliki ruang lingkup bahasan identik dengan topik yang diangkat oleh penulis, yaitu sebagai berikut :
13
(1) Tesis “Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi” oleh Muhammad Aziz Hakim, dari Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, pada tahun 2012. (2) Tesis “Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial Indonesia” oleh M. Ilham Habibie, dari Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2009. Perihal tesis pertama dengan judul “Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi”, Muhammad Aziz Hakim mengkaji konfigurasi politik dan implementasi dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang terkait dengan Pemilihan Umum pada era reformasi. Adapun Muhamad Azis Hakim menggunakan metode penelitian normatif sekaligus metode penelitian empiris dalam penelitiannya dengan mayoritas substansi membahas bagaimana politik hukum dari perundang-undangan pemilu pada masa reformasi serta pelaksanaannya, terutama pada fokus isu-isu yang mengandung hal kontroversi.14 Kemudian untuk tesis kedua dengan judul “Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”, M. Ilham Habibie mengkaji hubungan konstelasi politik di DPR-RI terhadap sistem Presidensial Indonesia dengan terfokus pada masa pemerintahan tahun 2004-2009. Pembahasan juga dilakukan terhadap pengaruh pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berperan dalam mempengaruhi sistem presidensial Indonesia. M. Ilham Habibie juga mengkaji
14
Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 22-23.
14
penerapan sistem Presidensial yang ideal dalam sistem multipartai Indonesia dengan fokus perhatian pada aspek penyederhanaan partai, koalisi, dan pengaturan oposisi secara melembaga.15 Orisinalitas yang ditekankan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah berada pada variabel terikatnya, yakni pengaturan ambang batas formal yang dikaji dari aspek mewujudkan sistem pemilihan umum yang demokratis di Indonesia. Penelitian hukum ini menekankan bagaimana legitimasi pengaturan ambang batas formal yang membatasi keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dalam kerangka demokrasi konstitusional. Selain itu penekanan yang menjadi unsur orisinalitas dalam penelitian hukum ini adalah pada aspek kajian parameter-parameter teori hukum yang menjadi dasar pemberlakuan ambang batas perolehan suara dalam penyelengggaraan pemilu di Indonesia, perbandingan aturan-aturan hukum di berbagai negara, serta bagaimana mewujudkan ambang batas formal yang berkelanjutan.
1.7.
Landasan Teori Di dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai landasan untuk
mengkaji permasalahan perihal pengaturan ambang batas formal adalah teori negara hukum dan teori demokrasi.
15
M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hal 90-145.
15
1.7.1. Teori Negara Hukum Negara hukum memiliki beragam terminologi dengan masing-masing definisi serta karakteristik yang menjadi formulasi pembentuknya. Negara yang menganut sistem Common Law menggunakan istilah Rule of Law dengan arti bahwa “pemerintah berdasarkan atas hukum bukan berdasar atas manusia” (government based on rule of law, not rule of man), sementara negara yang menganut sistem Civil Law menganut konsep negara hukum dalam istilah Rechtsstaat (negara hukum).16 Frederich Julius Stahl memaparkan empat prinsip yang terdapat dalam Rechtsstaat yakni sebagai berikut: 1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. Negara didasarkan pada teori trias politica; 3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (Wetmatig bestuur); 4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad.).17 Sementara dalam konsep Rule of Law, Albert Venn Dicey menempatkan tiga unsur dalam negara hukum, yaitu : 1. Supremasi hukum (supremacy of law), dimana tidak ada seorang pun yang dapat dihukum kecuali atas adanya pelanggaran hukum yang telah ditentukan aturan hukumnya (that no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body or goods except for a distinct breach of law
16
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 2. 17 Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, hal. 61.
16
established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the land).18 2. Persamaan hukum (legal equality) dengan karakteristik tidak ada seorangpun yang berada di atas hukum (no man is above the law) dan semua orang tunduk pada hukum yang sama apapun kelas dan kondisinya (whatever be his rank or condition is subject to the ordinary law of the realm).19 3. Perlindungan atas hak-hak individu (rights of individuals). Dicey berpendapat bahwa tidak seperti di negara lain, di Inggris hak-hak individu tidak bersumber dari konstitusi yang dikodifikasikan. Perlindungan atas hak-hak individu timbul sebagai konsekuensi dari penegasan putusanputusan pengadilan (the consequence of the rights of individuals, as defined and enforced by the courts) yang merupakan hasil induksi atau generalisasi dari prinsip-prinsip hukum privat yang memberikan perlindungan atas hak-hak orang secara pribadi 20 Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa persamaan yang mengemuka di dalam konsepsi umum negara hukum, baik Rechtsstaat maupun Rule of Law, menempatkan posisi hukum yang berdaulat (supremacy of law) di dalam pemerintahan. Krabbe menterjemahkannya sebagai “souvereiniteit van het recht”, yang berarti bahwa baik yang memerintah maupun yang diperintah
18
Albert Venn Dicey, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Eighth Edition), Macmillan and Co., Limited, London, hal. 183-184. 19 ibid, hal. 189. 20 Ibid, hal. 199.
17
keduanya tunduk pada hukum.21 Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hukum berada pada kedudukannya yang tertinggi (supreme) dan tidak ada kekuasaan negara yang dapat bertindak sewenang-wenang di atas hukum. Pencegahaan kesewenang-wenangan negara dengan menempatkan kedaulatan hukum salah satunya ditujukan demi perlindungan kepentingan dan hak-hak asasi manusia (fundamental human right). Dalam perkembangannya, terdapat dua tipe negara hukum, yaitu tipe negara hukum formil dan tipe negara hukum materiil. Negara hukum formil atau Nachtwachter Staat merupakan bagian dari sejarah perkembangan paham liberalisme, dimana tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar tidak dilanggar (menjaga pelanggaran terhadap undang-undang) dan negara tidak boleh ikut
terlibat
secara
aktif
dalam
hal
urusan
kemakmuran
rakyat.22
Keberlangsungan konsep negara hukum formil mengalami pergesaran menjadi negara hukum materiil sebagai upaya mengurangi ketimpangan sosial (social injustice), dimana tugas negara tidak hanya berada pada kerangka pelaksanaan undang-undang, melainkan secara aktif turut serta dalam menyelenggarakan upaya kesejahteraan umum (Welvaars Staat).23 Perkembangan paradigma negara hukum pada akhirnya mengarah kepada konsep negara hukum modern yang demokratis dengan menempatkan negara
21
Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.156. Lihat pula Yohanes Usfunan, 1986, Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan Ayu Sarana Cerdas, Denpasar, hal. 18. 23 SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal. 44-45. 22
18
dalam fungsinya memberikan pelayanan demi kesejahteraan masyarakatnya (social service state). Lebih lanjut dipaparkan aspek yang harus dipenuhi dalam negara hukum modern berdasarkan International Commision of Jurist adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan konstitusional (constitutional proctection of human rights). Lebih lanjut dijabarkan bahwa selain menjamin hak-hak individual (substansil), konstitusi harus pula menentukan teknisprosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak (an independent and impartial judiciary); 3. Pemilihan umum yang bebas (fair and free general elections); 4. Kebebasan menyatakan pendapat (recognition of the right to express an opinion); 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (freedom to organize, freedom to dissent); 6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).24 Berdasarkan keseluruhan pemaparan perihal teori negara hukum tersebut di atas, pemahaman yang dapat dibentuk adalah bahwa sistem kenegaraan pada dasarnya harus dibangun dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku, tersusun dalam peraturan perundang-undangan, dan yang berkeadilan demi kesejahteraan. Bagi penulis, teori negara hukum dipandang relevan untuk mengkaji rumusan masalah pertama perihal legitimasi aturan ambang batas formal di dalam prinsip demokrasi konstitusional. Beberapa domain konsep seperti pemahaman supremasi hukum, pembatasan kekuasaan melalui trias politica, dan konsep negara hukum modern yang demokratis dipandang relevan untuk digunakan. Kajian teoritis ambang batas formal pada akhirnya bermuara pada aspek perlindungan hak-hak asasi manusia secara konstitusional. 24
Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Kencana, Jakarta, hal. 29.
19
1.7.2. Teori Demokrasi Pemahaman klasik perihal demokrasi tidak lepas dari aspek etimologinya yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” (rakyat) dan “kratein/kratos” (kekuasaan/berkuasa) yang berarti rakyat yang berkuasa atau government by the people.25 Secara sederhana demokrasi dapat diterjemahkan sebagai suatu kondisi kenegaraan dimana dalam sistem pemerintahannya kekuasaan tertinggi berada pada kendali rakyat. Demokrasi secara singkat juga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Hakikat demokrasi erat kaitannya dengan ajaran teori kedaulatan rakyat dimana esensi kekuasaan tertinggi terletak pada keberadaan dan kedudukan rakyat. Jean Jacques Rousseau memaparkan adanya suatu perjanjian masyarakat atau kontrak sosial dalam peletakkan kekuasaan suatu negara, dimana keadaan alami atau primitif dari manusia (seperti hak bagi yang terkuat, perbudakan, homo homini lupus) merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan keberadaannya. Oleh karena itu, manusia menyatukan kekuatan bersama yang ada, dimana kekuasaan yang ada untuk kepentingan bersama tersebut berada di bawah kehendak umum dalam sebuah pakta sosial dengan menerima setiap anggota sebagai bagian yang tidak terpisahkan.26 Teori klasik dari J.J. Rousseau turut menjadi cikal bakal dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi modern perihal tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dimana rakyat dianggap sebagai
25
Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 105. 26 Jean-Jacques Rousseau, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik (Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat), Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, hal. 14-16.
20
subyek yang paling mengerti dan memahami bagaimana negara harus bertindak untuk mencapai tujuan yang dimaksud.27 Dalam perkembangannya, teori kedaulatan rakyat sebagai
benih
kristalisasi demokrasi berintegrasi dengan teori kedaulatan hukum dalam membentuk
supremasi
kekuasaan.
Terjadinya
konvergensi
antara
teori
keadaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum merupakan konsekuensi logis dimana prinsip demokrasi membutuhkan kerangka yuridis agar demokrasi dapat berjalan dalam kehidupan bernegara dan hukum dapat berdaulat atas nama rakyat untuk mencapai keadilan.28 Korelasi yang terbangun adalah bahwa prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan, sehingga lebih lanjut dikenal dengan negara hukum demokratis.29 Koentjoro Poerbopranoto memaparkan bahwa adalah hal yang sulit untuk menjalankan demokrasi secara langsung dikarenakan adanya faktor-faktor seperti jumlah penduduk, luas daerah dan kompleksitas susunan masyarakat sehingga dibutuhkan adanya proses perwakilan dengan salah satu persoalan pokok adalah bagaimana cara melaksanakan perwakilan itu.30 Sejalan dengan hal tersebut, John Stuart Mill menjelaskan tipe ideal dari pemerintahan yang sempurna adalah perwakilan (that the ideal type of a perfect government must be representative), meskipun ia berpendapat bahwa pemerintahan yang sepenuhnya dapat memenuhi
27
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco Jakarta, Bandung, hal. 41. 28 Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 41. 29 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8. 30 Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung, hal. 33-34.
21
semua tuntutan adalah dimana apabila di dalam pemerintahan tersebut masyarakat secara keseluruhan dapat berpartisipasi bahkan dalam fungsinya yang terkecil (that the only government which can fully satisfy all the exigencies of the social state is one in which the whole people participate; that any participation, even in the smalles public function, is useful).31 Proses keterlibatan masyarakat di dalam konsep demokrasi membutuhkan sistem perwakilan dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan. Lyman Tower Sargent memaparkan bahwa semua prinsip demokrasi berhubungan satu sama lain dan timbul dari prinsip demokrasi yang paling mendasar yaitu keterlibatan warga negara (the principles of democracy all relate to each other and all stem from the most fundamental democratic principle – citizen involvement). Sistem pemilihan umum menjadi sarana perwujudan yang utama keterlibatan warga negara yang akhirnya bermuara pada aspek demokrasi perwakilan.32 Lebih lanjut Lyman Tower Sargent memaparkan bahwa dewasa ini sistem pemilu menjadi jalan utama untuk pengekspresian keterlibatan warga negara, dan sistem perwakilan merupakan tujuan dan hasil dari sistem pemilu (today the electoral system is the major avenue for the expression of citizen involvement, and of course, the system of representation is the purpose and result of the electoral system).33
31
John Stuart Mill, 1862, Consideration on Representative Government, Harper & Brothers Publisher, New York, hal. 80. 32 Lyman Tower Sargent, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition), The Dorsey Press, Chicago, hal.54. 33 ibid.
22
Demokrasi perwakilan yang diwujudkan melalui pemilihan umum menempatkan
pemahaman
adanya
pemberian
legitimasi
pada
sejumlah
perwakilan yang representatif guna dapat mengambil kebijakan hukum atas nama masyarakat secara umum. Robert A. Dahl memaparkan bahwa dominasi elit dalam demokrasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari disebabkan ketidaksamaan politik, seperti sumber-sumber daya politik atau pengaruh terhadap kebijakan dan tingkah laku pemerintah negara, itu terdapat dalam tingkatan yang penting di semua masyarakat.34 Dahl menterjemahkan sebagai demokrasi poliarki dengan prinsip egalitarianisme dimana negara dengan skala besar diatur oleh banyak pejabat berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala.35 Perkembangan demokrasi perwakilan mengaktualisasi kedaulatan seluruh masyarakat (umum) diserahkan kepada sejumlah elit yang dipilih melalui mekanisme pemilihan sebagai suatu kompetisi. Keseluruhan uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, pemilihan umum, serta perwakilan repesentatif menjadi unsur-unsur integral dalam teori demokrasi. Bagi penulis, teori demokrasi dipandang relevan untuk mengkaji dasar keberlakuan ambang batas formal. Teori demokrasi digunakan sebagai dasar untuk menganalisis nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam pengaturan ambang batas formal Indonesia. Selain itu, dalam
34
Robert A. Dahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 99. 35 Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 118127. Lihat pula SP. Varma, 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta, hal. 214-215.
23
hal teori demokrasi perwakilan juga dianggap relevan digunakan untuk menganalisis indikator penentuan ambang batas formal perihal tingkat representatif dari lembaga perwakilan yang dibentuk pasca pengaturan ambang batas formal.
1.8.
Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.36 Penelitian hukum normatif pada umumnya mencakup : 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum; 2. Penelitian terhadap sistematik hukum; 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; 4. Perbandingan hukum; 5. Sejarah hukum.37 Adapun penelitian hukum normatif pada penelitian ini menitikberatkan pada isu konflik norma sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang masalah, yaitu adanya ketidaksinkronan antara substansi ambang batas formal 36
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 101. 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
24
dengan peraturan perundangan-undangan lain yang sederajat, disharmonisasi dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi sebagai dasar pernormaan, serta konsideran UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi landasan validitas.
1.8.2. Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan analisis dan konseptual hukum (analitical & conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Adapun masing-masing pendekatan menenkankan pada fokus kajian yang berbeda yakni sebagai berikut : 1.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini, pendekatan perundang-undangan beranjak pada peraturan perundangundangan yang memiliki korelasi dan koherensi perihal pemilihan umum khususnya yang memuat pengaturan ambang batas formal, serta materi terkait lainnya yang menjadi bagian kajian penelitian ini.
2.
Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan menelaah teori-teori hukum maupun pandangan dari para sarjana, yang kemudian dianalisis relevansinya terkait dengan permasalahan pengaturan ambang batas formal.
25
3.
Pendekatan sejarah dilakukan dengan menilik dari sejarah penormaan hukum penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilihan umum sebelum maupun sesudah diberlakukannya pengaturan ambang batas formal.
4.
Pendekatan
perbandingan
merupakan
elaborasi
dari
pendekatan
perundangan-undangan dengan memperbandingkan dengan undangundang yang berlaku di berbagai negara, khususnya yang mengatur ambang batas formal. 5.
Pendekatan filsafat beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis Pancasila dan UUD 1945, serta rasio hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, khususnya tentang Demokrasi, Pemilihan Umum, dan Hak Asasi Manusia.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan untuk memecahkan masalah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam penelitian hukum ini adalah bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer (primary law material) terdiri dari peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang digunakan terkait dengan lingkup permasalahan adalah sebagai berikut : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; 3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum; 4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
26
5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights; 7) Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 8) Undang – Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; 9) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; 10) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 11) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 12) Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. 13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas Pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 14) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bahan hukum sekunder (secondary law material) yang digunakan dalam penelitian hukum umumnya adalah seperti buku-buku teks ilmu hukum dan jurnal ilmiah terpublikasi. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini antara lain berupa : buku-buku, maupun literaturliteratur, termasuk literatur asing yang memuat teori-teori hukum, asas-asas, dan konsep hukum yang dipandang relevan dengan permasalahan yang diteliti untuk dikutip dan menjadi landasan pembenaran dalam menjawab permasalahan.
27
Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdapat pula bahan hukum tertier (tertiary law material)
untuk menunjang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Adapun bahan hukum tertier yang digunakan sebagai penunjang adalah kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa inggris, ensiklopedia, serta situs internet sebagai media online yang memuat berita terkait dengan permasalahan yang diteliti.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian hukum ini, bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka atau library research. Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa pustaka atau literatur hukum yang memiliki relevansi dengan materi kajian dan telah terpublikasi, seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku-buku ilmu hukum. Adapun literatur-literatur hukum yang dimaksud kemudian digunakan dalam hal menginventaris pandangan maupun doktrin hukum dari para sarjana hukum untuk dikritisi ataupun sebagai dasar pembenar dalam bahasan penelitian. Gorys Keraf memaparkan bahwa terdapat tiga golongan bahan bacaan dalam penelitian kepustakaan, yaitu sebagai berikut : 1. buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan digarap. Tidak perlu dibuat catatancatatan dari buku-buku semacam ini 2. buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat, karena bahan-bahan yang diperlukan untuk karya tulis terdapat di situ, Dari bahan-bahan semacam inilah pengarang harus membuat kutipankutipan yang diperlukan.
28
3. bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk mengisi yang masih kurang untuk melengkapi karya tulis itu.38
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik penafsiran atau interpretasi dan teknik argumentasi. Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa interpretasi merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam undang-undang.39 Kegiatan interpretasi merupakan suatu upaya menemukan kebenaran yang utuh atas suatu pemikiran yang telah ada dengan berpijak pada satu bentuk perspektif dan memecahkan masalah yang belum terselesaikan. Pemahaman hukum secara teoritik terkait dengan permasalahan, dianalisis dengan interpretasi yang memiliki karakter hermeneutik hukum. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan.40
Metode
penafsiran
dalam
lingkaran
hermeneutik
berlangsung dalam hubungan bolak balik antara bagian dan keseluruhan, antara teks, konteks, dan kontekstualisasi, dalam rangka membentuk suatu pemahaman yang utuh atas suatu permasalahan.41 Jimly Asshidiqie kemudian menyebutkan bahwa aspek yang menjadi pedoman dalam melakukan interpretasi hermeneutika hukum adalah keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.42 38
Gorys Keraf, 1994, Komposisi – Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa,, Penerbit Nusa Indah, Flores, hal. 166. 39 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 106. 40 I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk Apa Ilmu Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita, Surabaya, hal. 175. 41 Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.247. Lihat pula dalam I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, op.cit, hal. 178. 42 ibid, hal. 247.
29
Teknik interpretasi dapat digolongkan seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Adapun bahan – bahan hukum yang telah diolah melalui teknik interpretasi, akan dielaborasikan dengan teknik argumentasi. Teknik argumentasi merupakan teknik penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Penilaian yang dimaksud berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah
atau
43
tidak
sah
oleh
peneliti
terhadap
bahan-bahan
hukum.43
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal 61.
BAB II DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM
2.1.
Konsepsi Demokrasi Konstitusional Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk
perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote, one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip-prinsip umum yang mencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak seluruh warga negaranya.44 Jimly
Asshiddiqie
berpendapat
perihal
demokrasi
konstitusional
(constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu
44
Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 184-185. Lebih lanjut dijelaskan bahwa demokrasi yang lebih mencerminkan kehendak mayoritas terkadang bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat menurut UUD. UUD mempertegas keberadaan Pasal 1 ayat (3) dimana negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga demokrasi menjadi dibatasi oleh hukum dengan puncaknya pada UUD 1945 untuk mengatasi kelemahan dalam demokrasi tersebut.
30
31
dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society).45 Demokrasi konstitusional pada hakikatnya sangat diperlukan bila dibandingkan dengan rezim totaliter atau otoriter yang telah tergantikan keberadaan pada paruh kedua Abad Keduapuluh (constitutional democracy is virtually indispensable when contrasted with the totalitarian or authoritarian regimes that it replaced in the second half of the twentieth century).46 Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi konstitusional sebagai berikut : 1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis 2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah 3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana, dan menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah 4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan berkumpul.47 Undang-undang dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas, yang anggotanya dipilih dengan cara-cara yang demokratis, dengan tujuan agar masyarakat dapat turut serta mengontrol jalannya fungsi negara dan menghindarkan terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau kesewenang-
45
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58. 46 Michel Rosenfeld, 2001, “The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional Democracy”, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://wwwbcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18 Maret 2013, hal. 1310. 47 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian Kenegaraan), Setara Press, Malang, hal. 92-93.
32
wenangan (wilikeur). Jaminan akan hal tersebut dapat terwujud apabila setiap lembaga peradilan, terlebih pada lembaga peradilan yang berwenang untuk mengontrol setiap keputusan dan produk hukum yang dibuat oleh negara, dapat berfungsi secara bebas dan mandiri. Sementara konsepsi demokrasi konstitusional dari Adnan Buyung Nasution yang dibangun dari pemikiran Herbert Feith ditandai dengan adanya enam ciri, yaitu : 1. warga sipil memainkan peranan dominan; 2. partai politik memegang peranan yang sangat penting; 3. para pesaing politik menuju kekuasaan memperlihatkan rasa hormat kepada rules of game, yang berhubungan rapat dengan konstitusi yang berlaku; 4. kebanyakan anggota elite politik sedikit-banyak mempunyai rasa komitmen terhadap lambang yang bertalian dengan demokrasi konstitusional; 5. kebebasan sipil jarang dilanggar; 6. pemerintah jarang menggunakan paksaan (coercion).48 Lebih lanjut Adnan Buyung Nasution memaparkan dua ciri yang menjadi prinsip umum di dalam suatu negara konstitusional (constitutional state) adalah adanya pengakuan dan jaminan hak-hak warga negara, serta pembatasan dan pengaturan kekuasaan negara secara hukum.49 Adapun kedua unsur tersebut mengarahkan konsep negara konstitusional yang dimaksud kepada konsep negara konstitusional yang demokratis.
48
Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional, Kompas, Jakarta, hal. 70-71. Dijelaskan bahwa Herbert Feith merumuskan enam ciri tersebut sebagai tanda masa tumbuhnya sistem demokrasi konstitusional pada dunia perpolitikan di Indonesia. 49 Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 35.
33
Demokrasi
konstitusional
terwujud
salah
satunya
dari
adanya
perlindungan hak asasi secara individual dan kebebasan (liberty) sehingga konsep ini sering dipersepsikan dengan prinsip demokrasi liberal.50 Pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam konsepsi demokrasi konstitusional merupakan wujud konsekuensi dari tipologi negara hukum modern yang melindungi kepentingan dasar warga negaranya. Hak asasi manusia adalah hak yang bersifat mendasar (grounded) dan berhubungan erat dengan jati diri manusia secara universal.51 Hak asasi dimiliki oleh warga negara secara dasariah dan yang patut dilaksanakan pemerintah secara konstitusional.52 Hukum memberikan jaminan perlindungan hak asasi, dalam arti hak hukum (legal right), kepada seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum yang secara sah tercantum dalam hukum yang berlaku.53 Pengaturan hak-hak asasi secara konstitusional ditujukan dalam rangka formalisasi hak-hak tersebut yang mengatur bagaimana tentang perlindungan hak, termasuk pembatasan hak-hak tersebut secara hukum. Pembatasan kekuasaan negara melalui supremasi hukum sebagaimana yang menjadi unsur demokrasi konstitusional merupakan konkretisasi dari prinsip konstitusionalisme. Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalah―an institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action‖. Persoalan yang diangap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai
50
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu ..., op.cit, hal. 92. Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 47. 52 Ramly Hutabarat, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25. 53 Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 48-49. 51
34
pengawasan
atau
pembatasan
terhadap
kekuasaan
pemerintah.
Paham
konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam hal ini melalui konstitusi.54 Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power), dan adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat. 55 Perihal cara yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan, dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias Politica), yaitu: a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang); b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang); c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang).56 Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat, bahwa terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme, yaitu : a. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara; b. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan; c. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan tersebut.57 54
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara..., op.cit, hal.93 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang, hal. 18-19. 56 Ismail Sunny, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hal. 2. 55
35
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional, yaitu : 1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum, serta perihal pembatasan kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances). 2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat, serta perwujudan dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi. 3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi dan nomokrasi guna menegakkan supremasi konstritusi melalui pengujian konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan.58 Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat. Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka 57 58
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi…, op.cit. hal. 19. Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional..., op.cit, hal. 13-14.
36
memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap hakhaknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang-undang dasar merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang demokratis.
2.2.
Sistem Pemilihan Umum
2.2.1. Definisi Sistem Hukum Secara etimologis, sistem berasal dari Bahasa Inggris yaitu system yang berarti sistem, susunan, jaringan, dan cara.59 Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan sistem sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas ; susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas.60 Sistem sebagai suatu kesatuan terbentuk dari beberapa unsur atau elemen dimana antara satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan secara fungsional, berpola, konsisten, dan diterapkan pada hal yang bersifat immaterial maupun material.61 Sistem menandakan adanya suatu kombinasi teratur di antara bagian dan keseluruhan dengan diiringi adanya hubungan dan koneksi sehingga menyebabkan dapat berfungsi.
59
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English – Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta, hal. 575. 60 Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1320. 61 Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar), Penerbit Sinar Baru, Bandung, hal. 7.
37
Kamus Black’s Law memberikan definisi “system” sebagai orderly combination or arrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole; especially such combination according to some rational principle; any methodic arrangement of parts.62 Terminologi sistem yang dipadankan dengan hukum memberikan konsekuensi terhadap definisi dari hukum itu sendiri. Ludwig von Bertalanffy mendefinisikan sistem di dalam hukum sebagai ―...complexes of elements in interaction, to which certain law can be applied” (sistem adalah himpunan unsur atau elemen yang saling mempengaruhi, dimana hukum tertentu menjadi berlaku).63 Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa sistem hukum merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi, terstruktur, yang terdiri dari unsurunsur atau bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan mengadakan kerja sama untuk kepentingan tujuan kesatuan.64 Keseluruhan definisi tersebut menyiratkan bahwa konsekuensi logis yang terbentuk dalam sistem hukum menempatkan tiga aspek yang menjadi cirinya, yakni adanya unsur hukum, interaksi hukum, dan tujuan hukum. Bruggink yang mengutip teori dari Kees Schuit menggolongkan unsurunsur yang mewujudkan suatu sistem hukum menjadi tiga, yaitu unsur idiil (aturan-aturan, kaidah-kaidah, asas-asas), unsur operasional (organisasi atau lembaga yang didirikan termasuk pejabat), dan unsur aktual (putusan-putusan dan
62
Henry Campbell Black, 1968, Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern (Revised Fourth Edition), West Publishing Co, St. Paul Minn, hal. 1621. 63 Bachsan Mustafa, 2001 Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 10. 64 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 51.
38
perbuatan perbuatan konkret, baik dari para pejabat maupun masyarakat).65 Hukum di dalam suatu sistem menjadi sarat akan nilai karena tidak hanya berpijak dari aspek normatifnya semata, namun juga melekat unsur-unsur non-yuridis yang memberikan pengaruh keberlakuan hukum secara utuh. Unsur-unsur hukum tersebut saling terikat secara integral sehingga menyebabkan hukum dapat berlaku dan berfungsi. Secara teoritik, sistem hukum atau legal system berkaitan pula dengan doktrin konsep hukum (the concept of law) dari H.L.A. Hart. Hart menempatkan kedudukan primary rules dan secondary rules dimana kesatuannya merupakan pusat dari sistem hukum walaupun bukan secara keseluruhan (the union of primary and secondary rules is at the centre of a legal system; but it is not the whole).66 Primary rules berada pada aspek kewajiban-kewajiban dan hak-hak seluruh warga negara, sementara perihal secondary rules diperinci dalam tiga aspek, yakni aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dianggap sah (rules of recognition), bagaimana dan oleh siapa aturan tersebut dapat diubah (rules of change), serta bagaimana dan oleh siapa aturan tersebut dapat memaksa dan penegakan dalam hal terjadi konflik (rules of adjudication).67
65
JJ.H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian – Pengertian Dasar dalam Teori Hukum) terjemahan B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 140. 66 H.L.A. Hart, 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford, hal 96. 67 B. Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, hal. 42. Lihat pula Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, hal. 91
39
Penjabaran perihal sistem hukum berkorelasi dengan doktrin legal system dari Lawrence M. Friedman, dimana hukum agar dapat berjalan dengan efektif di dalam sebuah sistem (Legal System) dapat dilihat dari 3 (tiga) unsur yaitu : 1. Legal Substance, merupakan aturan substantif dan aturan tentang bagaimana lembaga-lembaga harus bersikap (the substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave). Friedman mengaitkan unsur legal substance dengan pendapat dari Hart perihal primary rules dan secondary rules. 2. Legal Structure : merupakan kelembagaan institusional yang berbentuk permanen yang menjaga proses berjalannya sistem hukum (the structure of system is its skeletal framework, it is permanent shape, the institutional body of system, the tough, rigid, bones, that keep the process flowing within bounds) 3. Legal Culture : merupakan elemen nilai dan perilaku sosial (element of social attitude and value).68 Penggolongan sistem hukum secara umum dapat dibedakan pada dua karakteristik utama yaitu sistem common law dan civil law.69 Perihal kedua sistem hukum tersebut Peter Mahmud Marzuki memaparkan bahwasistem common law 68
Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System (A Social Science Perspective), Russel Sage Foundation, New York, hal. 14-15. 69 Lihat dalam “The Common Law and Civil Law Traditions“, The Robbins Collection, School of Law (Boalt Hall), University of California, Berkeley, diakses dari http://www.law.berkeley.edu/library/robbins/pdf/CommonLawCivilLawTraditions.pdf pada tanggal 30 April 2013, hal. 1. Terminologi lain memaparkan bahwa civil law dan common law bukan menggunakan istilah sistem hukum (legal system), melainkan tradisi hukum (legal traditions) yang salah satunya diikuti oleh sebagian besar negara dewasa ini. Dalam hal ini penulis menggunakan istilah sistem hukum didasarkan dari 3 unsur yang dipaparkan oleh Lawrence M. Friedman yang melihat baik civil law system maupun common law system dari dari aspek substansi, struktur, dan budaya hukum.
40
sebagai sistem yang dikembangkan oleh Inggris dan bekas koloninya, sementara sistem civil law diikuti oleh negara-negara Eropa dan bekas koloni mereka (common law system is shared by Great Britain and its former colonies; which civil law system is followed by European countries and their former colonies). Sistem common law sering disebut sebagai Sistem Anglo Saxon, dan di sisi lain sistem civil law juga disebut Sistem Eropa Kontinental.70 Sistem Eropa Kontinental dari aspek substansi hukum menekankan pada aturan-aturan hukum yang tertuang dalam perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena budaya hukum yang terbangun dalam negara eropa adalah menganut hukum secara tertulis atau kodifikasi, sehingga perundangan-undangan menjadi penting sebagai media dalam mewujudkan legalitas hukum secara formal. Adapun secara historis kodifikasi hukum tertulis Romawi memberikan pengaruh dalam karakter legal formal Sistem Eropa Kontinental, dimana Corpus Iuris Civilis dapat diklasifikasikan menjadi 4 buku sebagai berikut : 1. Code, sebagai kompilasi keputusan dari Kekaisaran Romawi yang dikeluarkan sebelum masa Yustinianus dan masih diberlakukan dengan mengatur secara sistematis sesuai dengan subyek / materi. 2. Novellae atau Novels, merupakan kompilasi keputusan kekaisaran baru yang dikeluarkan oleh Yustinianus sendiri. 3. Institues, adalah teks penjelasan yang disediakan sebagai pengantar dari “digest” yang didasarkan pada tulisan ahli hukum Gaius dengan judul yang sama. 70
hal.26.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, An Introduction to Indonesia Law Setara Press, Malang,
41
4. Digest atau pandects, adalah fragmen dari teks klasik hukum Romawi.71 Keberadaan hukum yang dikodifikasikan dalam sistem hukum eropa kontinental akhirnya menjadikan keberadaan perancang undang-undang (legislative drafter) secara struktur memiliki peranan yang esensial perihal pembentukan aturan hukum tertulis. Perbedaan yang mengemuka antara Sistem Anglo Saxon dengan Sistem Eropa Kontinental adalah secara figur hukum dimana Sistem Anglo Saxon lebih merujuk pada keberadaam putusan hakim/jurisprudensi. Hal ini dikarenakan budaya hukum yang dibangun dalam negara Anglo Saxon adalah hukum tidak tertulis (unwritten law) dan penyelesaian perkara yang beranjak pada aspek case law study. Secara struktur hukum, peranan hakim menjadi sangat besar dalam Sistem Anglo Saxon, dikarenakan hukum yang dibuat adalah berdasarkan oleh putusan hakim (judge-made-law).
2.2.2. Pemilihan Umum Pemilihan umum merupakan salah satu media perwujudan demokrasi yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, melaksanakan kedaulatan rakyat, serta dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.72 Sinergi antara pemilihan umum dan ilmu hukum menimbulkan konsekuensi karakteristik sui generis dari ilmu hukum yang melekat pada penyelenggaraan pemilihan umum.
71
Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hal. 57. 72 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hal. 330.
42
Pemilihan umum yang terikat di dalam kerangka hukum memberikan nilai normatif di dalam prosesnya tersebut guna menjamin penegakan setiap aturannya dan merealisasikan tujuan sebagaimana yang dimaksud. Pemahaman pemilihan umum di dalam kerangka ilmu hukum adalah dengan melihat kedudukan pemilihan umum dalam sifatnya yang merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang isinya mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).73 Hans Kelsen menjelaskan bahwa di dalam pembentukan hukum publik, sistem hukum memberikan otoritas kepada warga negara yang memiliki kualifikasi sebagai organ dari negara untuk membuat dan memaksakan hukum yang mengatur kewajiban warga negara (the legal system empowers those human beings who are qualified as organs of the state to impose obligation on citizens).74 Hukum pemilihan umum diatur secara formil dan materiil guna melindungi kepentingan umum, dalam hal ini hubungan hukum antara warga negara dengan negara yang menguasai tertib hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Kamus Black Law mendefinisikan pemilihan umum atau general election dalam definisi perspektif hukum sebagai berikut : One at which the officers to be elected are such as belong to the general government,—that is, the general and central political organization of the whole state; as distinguished from an election of officers for a particular locality only. Also, one held for the 73
CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 75. 74 Hans Kelsen, 2002, Introduction to the Problems of Legal Theory (A Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law - translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson), Clarendon Press, Oxford, hal. 93.
43
selection of an officer after the expiration of the full term of the former officer; thus distinguished from a special election, which is one held to supply a vacancy in office occurring before the expiration of the full term for which the incumbent was elected. 75 Dari segi struktur, definisi tersebut menjelaskan bagaimana adanya pemilihan guna memilih pejabat yang tergolong sebagai pemerintah publik. Pemilihan pejabat tersebut digolongkan menjadi dua, yaitu untuk pengisian pejabat pada lembaga politik pusat negara (dalam arti pemerintah pusat) dan untuk pemilihan pejabat di wilayah tertentu (dalam arti pejabat pemerintah daerah). Adapun pemilihan umum tersebut dapat digolongkan lagi tujuannya untuk menggantikan pejabat yang telah berakhir masa jabatan politiknya secara penuh maupun yang sebelum berakhirnya masa jabatannya. Pemilihan umum di dalam kerangka yuridis ilmu hukum menempatkan kedudukan segenap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat yang memilki otoritas dan mengatur perihal substansi pemilihan umum sebagai sumber-sumber hukum dalam pemilihan umum tersebut, baik dari konstitusi, perundang-undangan, putusan pengadilan, dan lain sebagainya. Dengan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas-asas yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pemilihan umum dapat ditelusuri. Adapun yang menjadi asas-asas umum pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2012 adalah sebagai berikut : a. Langsung; adalah rakyat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 75
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 609.
44
b. Umum; mengandung makna adanya jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. c. Bebas; setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. d. Rahasia; dalam memberikan suaranya, Pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan Pemilu ini, penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, e. Adil; peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, Pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap Pemilih dan Peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum Pemilihan umum bekerja di dalam suatu sistem yang terintegrasi layaknya suatu proses. Pemilu sebagai mekanisme guna menjabarkan demokrasi secara konkret memiliki banyak ragam metode dalam penyelenggaraannya. Terdapat
45
banyak versi jenis sistem pemilihan umum yang dapat ditelusuri dalam kajian hukum dan politik dengan sistemisasi karakteristik masing-masing C.F. Strong membagi sistem pemilihan lembaga perwakilan ke dalam dua jenis, yakni daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member constituency) dan daerah
pemilihan
berwakil
jamak
(multi-member
constituency).
Strong
mengkonjugasikan single-member constituency pada dua aspek yakni perihal teritori dan konstituen. Strong berpendapat bahwa pada umumnya susunan daerah pemilihan secara normal merupakan hasil dari pembagian teritori-teritori dimana masing-masing diwakili oleh satu anggota (division of a country into a number of electoral areas, urban, rural, each returning a single member). Namun pembagian teritorial tersebut hanya kemudahan sesaat karena adanya flutuktuasi dan variasi populasi, dan adalah hal yang sulit untuk mengimbanginya, sementara distribusi kursi secara tetap adalah dibutuhkan (constant redistributing of seats was necessary). Sehingga hal ini menyebabkan sistem yang diawal hanya sebatas pembagian teritorial (system of territorial division), dimana sistem ini diidentikkan sebagai sistem distrik, berubah menjadi sistem dengan daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member constituencies) dengan fokus utama pada jumlah keterwakilan.76 Sistem daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member constituency) memiliki karakteristik pembagian geografi politik negara ke dalam beberapa wilayah atau distrik, dimana nantinya hanya ada satu wakil yang dapat terpilih dari setiap wilayahnya. Meskipun banyak tersebar suara-suara pemilihan dari para 76
C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions (An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form), Sidgwick & Jackson Limited, London, hal. 171-172.
46
pemilih dan banyak calon atau partai politik yang memiliki kemungkinan mendapatkan suara, namun hanya akan terdapat satu calon atau partai yang memenanganinya secara keseluruhan (winner takes all).77
Esensi dari sistem
daerah pemilihan berwakil tunggal menempatkan hanya calon tunggal yang memenangkan kursi dalam pemilihan umum. Berapapun suara yang masuk pada suatu calon, selama ia memiliki suara tertinggi di antara calon yang lain walaupun dengan selisih suara yang tidak besar, maka ia akan menjadi satu-satunya wakil yang terpilih dikarenakan tiap-tiap distrik atau daerah pemilihan yang hanya mencari satu orang perwakilan. Sistem daerah pemilihan berwakil tunggal menyebabkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam daerah pemilihan dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi.78 Adapun CF Strong berpendapat bahwa sistem single member constituency yang umum diterapkan di Amerika dan Britania Raya ini menimbulkan adanya “ketidakadilan” dan bagaimana mereka mengatasinya hanya sebatas pertanyaan yang semu (all the parties in both countries are alive to the injustices of this system, but how they are to be overcome is a moot question).79 Sistem pemilihan umum dengan tipologi single member constituency dianggap tidak representatif karena tidak memperhitungkan bagaimana keseimbangan diantara suara yang masuk dengan konversi jumlah kursi di antara partai-partai, terutama bagi partai minoritas yang merasa berada pada lingkaran “ketidakadilan” tersebut. 77
Carlton Clymer Rodee et.al, 2011, Pengantar Ilmu Politik (Terjemahan Zulkifly Hamid), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 220. 78 Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 177. 79 C.F. Strong, op.cit, hal. 174.
47
Kemudian mengenai sistem daerah pemilihan berwakiljamak (multimember constituency), Strong mengidentikan sistem ini sebagai sistem perwakilan proportional
(proportional
representation)
yang
keberadaannya
banyak
diterapkan oleh negara dengan sistem politik, baik yang ada sekarang maupun yang dibuat sebagai bagian integral dari konstitusi yang baru.80 Di dalam sistem perwakilan proporsional, kursi legislatif dimenangkan atas dasar persentase suara yang diberikan untuk partai (the seats in the legislature are won on the basis of the percentage of the votes cast for a party). Jadi apabila di dalam lembaga legislatif terdapat 100 kursi seperti pada Senat Amerika Serikat, jika partai kecil mendapat 10 persen suara maka ia akan mendapatkan 10 kursi, sedangkan biasanya pada sistem daerah pemilihan berwakil tunggal akan hampir pasti tidak mendapatkan kursi (whereas in the usual ―winner take all‖ system it would almost certainly get no seats).81 Sistem ini dianggap lebih representatif dan memperhatikan keberadaan minoritas karena peluang mereka untuk terpilih dan mendapatkan kursi lebih terbuka. Seiring dengan perkembangan, kompleksitas sistem pemilihan umum melahirkan banyak varian-varian sesuai dengan metode perhitungan suara maupun kursi yang digunakan. Pippa Noris mengklasifikasikan empat tipe umum formula dalam pemilihan umum perihal bagaimana suara pemilih dihitung dan mengalokasikan kursi, yaitu sebagai berikut : a. Perhitungan mayoritas (majoritarian formulas), dengan digolongkan menjadi pluralitas, second ballot, dan sistem alternative vote. 80 81
ibid. Lyman Tower Sargent, op.cit, hal. 52.
48
b. Sistem semi-proporsional (semi-proportional systems), seperti single transferable vote, cumulative vote, dan limited vote). c. Perwakilan proporsional (proportional representation), yang dibedakan menjadi dua yakni daftar terbuka (open party list) dan daftar tertutup (closed party list) dengan menggunakan teknik sisa suara terbesar (largest remainders) dan teknik perhitungan rata-rata tertinggi (highest averages formula). d. Sistem campuran (mixed systems), seperti sistem penambahan anggota (the additional member system) yang menggabungkan unsur mayoritas dan proporsional.82 Andrew Reynolds menggolongkan keluarga sistem pemilihan umum (The Electoral System Families) menjadi empat kategori, yaitu : 1. Sistem Pluralitas/Mayoritas (Plurality/Majority System) 2. Sistem Perwakilan Proporsional (Proportional Representation System). 3. Sistem Campuran (Mixed System) 4. Sistem Lainnya (Other System).83 Andrew Reynolds menjabarkan Sistem Pluralitas/Mayoritas ke dalam 5 klasifikasi yakni First Past The Post, Two Round System (Majority Run-off / Double Ballot / Second Ballot), Alternative Vote dengan menambahkan Block
82
Pippa Norris, 1997, “Choosing Electoral Systems : Proportional, Majoritatian and Mixed System‖, dalam International Political Science Review Vol 18 (3) July 1997, Sage Publications. Ltd, London, diakses dari http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Choosing%20Electoral%20Systems.pdf, tanggal 31 Mei 2013, hal 2. 83 Andrews Reynlods et al, 2005, Electoral System Design : The New International IDEA Handbook, International IDEA, Stockholm, hal. 28.
49
Vote dan Party Block Vote. Adapun karakteristik yang melekat dari masingmasing sistem tersebut adalah sebagai berikut : 1. First Past The Post (FPTP) : merupakan sistem paling sederhana dalam klasifikasi ini yang mencari satu calon terpilih diantara para kandidat yang mendapat suara terbanyak pada daerah pemilihan tersebut (plurality single-member district) walaupun kurang dari 50%+1 dikarenakan tidak membutuhkan perolehan suara mayoritas absolut. 2. Block Vote (BV) : merupakan perkembangan dari sistem plurality/majority yang tidak lagi hanya memilih satu calon, melainkan sekaligus memilih beberapa anggota perwakilan sebanyak jumlah kursi yang diperebutkan dalam distrik tersebut (plurality multi-member district). 3. Party Block Vote (PBV) : adalah variasi dari sistem BV dengan perbedaan terletak bukan pada pemilihan calon secara individual, melainkan memilih partai dan partai yang meraih suara terbanyak akan memenangkan semua suara dan kursi di distrik tersebut. 4. Two Round System (TRS) : sistem ini merupakan bentuk dari sistem mayoritas dimana pemilih hanya memilih satu calon dan setiap distrik hanya menempatkan satu perwakilan dengan perolehan suara mayoritas absolut.84 Faktor perolehan suara absolut menyebabkan kemungkinan pemilu yang tidak dapat diselenggarakan dalam satu putaran dalam rangka
84
Lihat dalam Toni Andrianus et.al, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik (Dari Sistem Politik Sampai Korupsi), Nuansa, Bandung, hal. 322 dijelaskan bahwa sistem pemilu mayoritas menentukan bahwa setiap calon dari setiap distrik harus memenangkan jumlah tertinggi dari suara sah atau dalam beberapa varian adalah mayoritas dari suara yang sah dalam distrik tersebut (dalam arti absolut / 50%+1),.
50
mencari calon yang akan mewakili tiap distrik dengan suara mayoritas. Pemilu putaran kedua dilakukan apabila pada putaran pertama tidak ada kandidat yang mendapat suara mayoritas. 5. Alternative Vote (AV) : varian sistem ini dilakukan untuk memilih satu wakil dengan cara merangking calon anggota perwakailan sesuai dengan pilihan pemilih, dan
calon terpilih adalah yang mendapatkan suara
mayoritas absolut (50%+1). Apabila tidak terdapat kandidat yang memperoleh suara mayoritas absolut maka preferensi pertama dieliminasi dari daftar dan kartu suara akan dilihat lagi pada preferensi kedua85 Perihal jenis sistem yang kedua yaitu sistem perwakilan proporsional (proportional representation system), secara umum terbagi menjadi dua yakni, list proportional representation (List PR) dan single transferable vote (STV). List proportional representation merupakan sistem yang diterapkan pada daerah pemilihan berwakil jamak, dimana masing-masing partai menyediakan daftar (list) calon anggota perwakilan untuk dipilih oleh pemilih dan partai meraih kursi seimbang dengan berbagi sisa suara secara keseluruhan.86 Pemenang dari kandidat dipilih berdasarkan daftar yang disediakan dalam sistem List PR yang diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : 1. daftar tertutup (close list), dimana pemilih hanya dapat memilih partai saja; 2. daftar terbuka (open list), dimana pemilih dapat memilih partai sekaligus satu atau bahkan lebih calon anggota pada partai yang sama;
85 86
Andrews Reynlods et al, loc.cit. Lihat pula Sigit Pamungkas, op.cit, hal 27-29. ibid, hal. 60
51
3. daftar bebas (free list), dimana pemilih dapat memilih partai sekaligus satu atau bahkan lebih calon anggota apakah ia berasal dari partai tersebut atau tidak.87 Kemudian pada sistem single transferable vote (STV) dilakukan dengan cara merangking kandidat berdasarkan urutan pilihan (pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya), disertai dengan adanya redistribusi suara antar calon dengan tujuan untuk perimbangan suara. Calon yang telah melampaui kuota sebagaimana yang ditentukan maka akan dinyatakan sebagai calon terpilih. Terhadap calon yang mengalami kelebihan suara dari kuota yang ditentukan, maka sisa suara yang ada akan diredistribusikan kepada calon berikutnya. Apabila tidak ada calon yang mampu mencapai atau melebihi kuota, maka calon dengan suara paling sedikit dihilangkan dan suara mereka diredistribusikan kepada calon lainnya. Proses ini terus berlanjut sampai semua calon terpilih dinyatakan cukup dan semua kursi telah terisi. 88 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mekanisme penentuan alokasi kursi pada sistem pemilihan proporsional disertai dua formula, yaitu teknik sisa suara terbesar (largest remainders) atau juga disebut dengan teknik kuota, serta teknik perhitungan rata-rata tertinggi (highest averages formula) atau teknik divisor. Adapun teknik kuota digolongkan lagi menjadi varian Hare dan Droop. Varian Hare dilakukan dengan membagi total jumlah suara sah dengan total jumlah kursi yang tersedia di setiap distrik untuk menentukan jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP), sementara pada varian Droop, BPP ditentukan 87
ibid, hal. 173-178. Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 184. Bandingkan dengan Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 35. 88
52
dengan membagi jumlah suara sah dengan jumlah kursi yang tersedia ditambah satu. Teknik kuota menentukan adanya perimbangan suara, dimana apabila terdapat kelebihan suara pada salah satu calon yang telah memenuhi kuota, maka suara tersebut akan dialihkan kepada calon berikutnya. Penentuan kursi pada teknik kuota dilakukan dengan membagi suara perolehan partai dengan bilangan pembagi tersebut. 89 Sementara
teknik
divisor
merupakan
teknik
perhitungan
yang
menggunakan rata-rata angka tertinggi dengan ciri bilangan pembagi yang tetap, dan tidak tergantung pada jumlah pemilih dan perolehan suara. Teknik divisor dibagi menjadi dua varian yakni D’ Hondt yang menggunakan bilangin pembagi berangka utuh (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan seterusnya) dan Sainte Lague yang menggunakan bilangan pembagi berangka ganjil (1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya).
90
Keseluruhan mekanisme tersebut di atas memperlihatkan bahwa sistem perwakilan proporsional merupakan sistem pemilihan yang rumit dikarenakan adanya metode-metode penghitungan yang digunakan dalam konversi suara menjadi kursi. Jenis sistem pemilihan umum berikutnya adalah sistem campuran (mixed system), yang merupakan kombinasi dari sistem pluralitas/mayoritas dengan sistem perwakilan proporsional. Lijphart berpendapat bahwa di beberapa sistem campuran, komponen perwakilan proporsional tampak mendominasi daripada komponen pluralitas (in some of the mixed systems the PR component overrides the
plurality 89 90
component),
meskipun
Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 32. ibid, hal. 33-34.
dalam
hasilnya
tidak
sepenuhnya
53
proporsional dikarenakan kurang akuratnya dalam menjamin representasi minoritas (the results will necessarily be less than fully proportional— and minority representation less accurate and secure).91 Sistem campuran digolongkan menjadi dua yakni Mixed Member Proportional (MMP) dan Parallel Systems. Sistem mixed member proportional merupakan sistem yang digunakan untuk mengurangi disproporsionalitas dari sistem distrik dengan melakukan kompensasi suara yang diperoleh dari sistem proporsional. Partai yang meraih suara nasional tetapi tidak mendapat satupun kursi dari daerah pemilihan, maka partai akan dihadiahi kursi yang cukup dari sistem proporsional sampai mencukupi total keanggotaan parlemen sesuai dengan persentase suara yang diperoleh. Sementara berbeda dengan sistem paralel, yang walaupun menggabungkan sistem pluralitas/mayoritas dan sistem proporsional namun kedua sistem ini terlepas satu dengan yang lain dan tidak terdapat kompensasi dalam alokasi kursi apabila terjadi disproposionalistas.92 Jenis yang terakhir adalah sistem lainnya (other system) sebagai sistem yang tidak dapat terklasifikasi ke dalam tiga sistem sebelumnya. Terdapat tiga sistem yang berada di luar tiga klasifikasi sistem tersebut, yakni single non transferable vote (SNTV), limited vote, dan borda count. Sistem single non transferable vote (SNTV) serupa dengan sistem STV dengan perbedaan karakter tidak ada penghapusan kandidat dengan suara preferensi paling sedikit dan
91
Arend Lijphart, 2004, "Constitutional Design For Divided Societies", dalam Journal of Democracy Volume 15 Number 12, diakses dari http://www.clas.ufl.edu/users/bmoraski/democratization/lijphart04_jod.pdf, tanggal 31 Maret 2013, The Johns Hopkins University Press, Baltimore - Maryland, hal. 100. 92 Lihat Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 91 dan Sigit Pamungkas, op.cit, hal 36.
54
redistribusi suara. Sistem limited vote merupakan sistem pemilu berwakil jamak (multi member constituence) dimana pemilih dapat memberikan suara lebih sedikit dari jumlah kursi yang harus diisi dengan kandidat yang mendapat total suara tertinggi yang akan mendapatkan kursi. Sementara sistem borda count, yang diterapkan baik dalam daerah pemilihan berwakil tunggal maupun daerah pemilihan berwakil jamak, merupakan variasi dari sistem alternative vote yang merangking kandidat sesuai preferensi dengan karakter pembeda tanpa disertai eliminasi kandidat dengan preferensi terendah.93
2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012, pemilihan umum DPRRI pada tahun 2014 adalah menggunakan sistem pemilihan umum proporsional. Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh) dimana setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi (vide Pasal 21 jo Pasal 22 (2) UU No. 8 Tahun 2012). Hal ini menandakan sistem pemilihan umum Indonesia berkarakter multi member constituency dimana setiap daerah pemilihan menentukan wakil terpilih lebih dari satu kandidat. Penegasan sistem pemilu proporsional dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 yang menentukan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem
93
Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 37.
55
proporsional terbuka. Secara terminologi sistem proporsional terbuka yang digunakan dalam UU No. 8 Tahun 2012 dianggap kurang tepat mengingat kategorisasi sistem pemilu, yakni sistem perwakilan proporsional berada pada 2 lingkup umum, yakni List Proportional Representation (List PR) dan Single Transferable Vote (STV). Pada sistem list proportional representation kemudian dapat digolongkan karakteristik daftar yang digunakan dimana salah satunya adalah daftar terbuka (open list) Secara konseptual, sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka adalah bahasa hukum yang tepat terkait dengan jenis sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu tahun 2014. Konsekuensi dari sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka adalah berkorelasi dengan bagaimana cara calon legislatif dipilih serta cara menentukan calon legislatif terpilih. Pada sistem daftar terbuka, pemilih sah berhak untuk memilih tidak hanya tanda gambar partai politiknya, melainkan dapat pula memilih nama caleg secara langsung. Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012 mengatur bahawa pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara. Perihal karakter sistem proporsional terbuka yang didasarkan dengan cara menentukan calon legislatif terpilih, Pasal 215 menentukan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut :
56
a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara
calon
pada
daerah
pemilihan
dengan
mempertimbangkan
keterwakilan perempuan. b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu, kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya. Sistem ini merupakan sistem perwakilan proporsional terbuka murni dimana calon terpilih ditetapkan hanya dengan berdasarkan suara terbanyak,94 termasuk dalam hal pembagian sisa kursi. Penggunaan sistem perwakilan proporsional terbuka murni ini dianggap merepresentasikan bagaimana kedaulatan rakyat dalam memilih calon legislatif di atas partai politik. Adapun perihal formula perhitungan kursi sistem perwakilan proporsional Indonesia menggunakan varian Hare dengan menentukan bilangan pembagi pemilu.95 Pasal 211 menentukan sebagai berikut :
94
Rozali Abdullah, 2009, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (Pemilu Legislatif), Rajawali Press, Jakarta, hal. 157. 95 Pasal 1 angka 31 UU No 8 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bilangan pembagi pemilihan adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
57
(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 209 di daerah pemilihan yang bersangkutan. (2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD provinsi, dan BPP DPRD kabupaten/kota Perihal metode alokasi pembagian kursi kepada partai politik diatur dalam pasal 212 sebagai berikut : a. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua; b. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil daripada BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan; c. penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis,
58
dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak. Pasal tersebut memperlihatkan bahwa ketentuan alokasi kursi pada varian Hare ini dilakukan dengan dua tahap. Alokasi kursi tahap pertama diberikan kepada partai yang yang mendapat kuota penuh dalam arti memenuhi atau lebih besar dari BPP. Sementara tahap kedua, alokasi sisa kursi yang belum habis dilakukan secara berturur berdasarkan perolehan sisa suara terbanyak (largest remainder).
2.3.
Lembaga Perwakilan Konsepsi penyelenggaraan pemilihan umum akan bermuara pada satu
tujuan perihal pembentukan lembaga-lembaga negara, dalam hal ini salah satunya adalah lembaga perwakilan. Pada negara demokrasi dewasa ini, hampir secara keseluruhan menggunakan metode pemilihan umum dalam penentuan lembagalembaga perwakilannya. Secara terminologi banyak peristilahan yang digunakan oleh berbagai negara untuk menamakan lembaga perwakilannya. Lembaga perwakilan dapat disebut sebagai parlemen yang berasal dari bahasa Prancis yakni parler (berbicara).96 Lembaga perwakilan secara fungsional juga diistilahkan sebagai legislatif yang berasal dari kata legislate dengan fokus pada fungsinya dalam
96
PT. Cipta Adi Pustaka, 1990, Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, hal 191.
59
membuat undang-undang, dan ada pula yang menggunakan istilah assembly yang berarti berkumpul (untuk membicarakan masalah publik.97 Lembaga perwakilan dalam arti legislatif secara teoritis berada pada kerangka pemahaman trias politica dari John Locke yang menggolongkan kekuasaan negara pada tiga domain, yaitu legislatif (kekuasaan membentuk hukum), eksekutif (kekuasaan menjalankan hukum), dan federatif (kekuasaan perihal perang, perdamaian, liga dan aliansi, dan semua transaksi, dengan semua orang dan masyarakat diluar persemakmuran). John Locke memaparkan sebagai berikut dimana pada hakikatnya legislatif harus terpisah dengan fungsi eksekutif : ―But because the laws, that are at once, and in a short time made, have a constant and lasting force, and need a perpetual execution, or an attendance thereunto : therefore it is necessary there should be a power always in being, which should see to the execution of the laws that are made, and remain in force. And thus the legislative and executive power come often to be separated‖ (Tetapi karena undang-undang, yang sekaligus, dan dalam waktu singkat dibuat, memiliki kekuatan yang konstan dan awet, dan membutuhkan pelaksanaan secara terus menerus, atau suatu kehadiran tambahan lagi: oleh karena itu membutuhkan keharusan adanya kekuasaan yang selalu ada, yang harus melihat kepada pelaksanaan undangundang yang dibuat, dan tetap berlaku. Dengan demikian kekuasaan legislatif dan eksekutif sering dipisahkan). 98 Pemahaman John Locke perihal pengklasifikasian kekuasaan tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Montesquieu yang menjabarkan kekuasaan menjadi tiga, yaitu legislatif (legislative power), eksekutif (executive power), dan yudisial (judiciary power). Konsep Trias politica dari Montesquieu menegaskan bahwa apabila legislatif, eksekutif, dan eksekutif berada pada tangan yang sama, maka tidak akan terdapat kebebasan (when the legislative and executive powers 97 98
Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 315. John Locke, 1824, Two Treatises of Government, C. Baldwin Printer, London, hal. 217.
60
are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty). Di antara masing-masing kekuasaan tersebut harus terpisah antara satu dengan yang lainnya untuk menghindari praktik pembuatan hukum tirana (enact tyrannical law) dan pelaksanaan hukum secara tirani (execute them in a tyrannical manne.).99 Montesquieu berpandangan bahwa kemerdekaan atas suatu kekuasaan akan hilang dan mengarah kepada praktik hukum tirani apabila suatu kekuasan ada pada satu orang atau ada di dalam organ yang sama perihal ketiga fungsi tersebut. Kemerdekaan hanya akan dapat dijamin apabila ketiga fungsi tersebut berada pada tiga orang atau organ yang terpisah. Konsep trias politica ini berkembang dalam paradigma separation of power (pemisahan kekuasaan), dimana masingmasing kekuasaan tersebut harus terpisah antara satu dengan yang lain, baik dari tugas maupun alat kelengkapan yang melaksanakan.100 Adapun dalam hal ini doktrin Montesquieu pada hakikatnya tidak menuntut adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak dalam arti tindakan antara masing-masing kekuasaan (that the doctrine did not demand absolute separation provided the basis for preservation of separation of powers in action), melainkan penekanan pada aspek kebebasan masing-masing fungsi agar tidak berada pada satu tangan yang memegang secara keseluruhan.101
99
Charles de Secondat Baron de Montesquieu, 1900, The Spirit of Laws (Translated from the French by Thomas Nugent.), The Colonial Press, New York, hal. 152. 100 Ismail Sunny, loc.cit. 101 http://www.law.cornell.edu/anncon/html/art1frag1_user.html#art1_sec1, Artikel perihal adanya elaborasi antara teori dan implementasi separation of power dan check and balance dalam Konstitusi Amerika, diakses pada tanggal 27 Pebruari 2013.
61
Dalam praktik sistem ketatanegaraan modern, adanya kedudukan abadi yang membuat fungsi legislatif tidak berhubungan dengan fungsi lainnya dipandang sudah tidak relevan. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa adalah tidak mungkin mempertahankan ketiga kekuasaan tersebut hanya berurusan secara ekskusif dengan salah satu dari ketiga fungsi tersebut dikarenakan adanya prinsip check and balances.102 Pemahaman tersebut memperlihatkan pergeseran secara konseptual dari pemisahan kekuasaan (separation of power) menjadi pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power). Lembaga perwakilan memiliki fungsi-fungsi yang menyebabkan lembaga dapat berjalan dan menegakan tujuan kedaulatan rakyat. Jimly Asshiddiqie menggolongkan empat fungsi lembaga perwakilan, yaitu : 1. fungsi legislasi: adalah fungsi pembentukan undang-undang; 2. fungsi pengawasan: adalah fungsi untuk mengontrol yang meliputi 3 aspek, yaitu kontrol terhadap (kebijakan) pemerintahan, kontrol atas pengeluaran, dan kontrol atas pajak. Bahkan lebih jauh terkait dengan kontrol terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik 3. fungsi representasi / perwakilan 4. fungsi deliberatif dan resolusi konflik.103 Fungsi anggaran menurut Jimly bukan merupakan fungsi yang terpisah secara layaknya fungsi lainnya, namun berada dalam ruang lingkup fungsi legislasi
102
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 35. 103 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, op.cit, hal. 298-308.
62
karena penganggaran dtuangkan dalam undang-undang serta ruang lingkup fungsi pengawasan terhadap kegiatan pelaksanaan anggaran tersebut. 104 2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan Djokosutono memaparkan bahwa ukuran lembaga perwakilan secara kuantitas umumnya dibagi menjadi dua, yaitu: sistem satu majelis/unikameral (eenkamer-stelsel) dan sistem dua majelis/bikameral (tweekamer-stelsel).105 Pemahaman perihal penggolongan lembaga perwakilan berada pada aspek jumlah kamar yang dimiliki oleh lembaga perwakilan suatu negara dengan karakteristikkarakteristik yang melekat padanya. 1. Sistem Unikameral Sistem
unikameral
merupakan
sietem
lembaga perwakilan
yang
menggunakan kamar tunggal dalam pelaksanaan fungsi legislatif. Contoh negara yang menganut majelis satu kamar adalah sebagaimana terdapat dalam sistem ketatanegaraan Timor Leste. Pasal 92 Konstitusi Timor Leste mengatur “The National Parliament is the organ of sovereignty of the Democratic Republic of East Timor that represents all Timorese citizens and is vested with legislative supervisory and political decision making powers‖ (Parlemen Nasional adalah lembaga kedaulatan Republik Demokratik Timor Leste, perwakilan dari seluruh warga negara Timor Leste dengan wewenang legislatif, pengawasan dan
104
ibid, hal. 301. Bandingkan dengan Solly Lubis, 2008, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung, hal 63 yang mengklasifikasikan fungsi dewan perwakilan rakyat ke dalam dua tugas pokok, yaitu tugas perundang-undangan (wetgeving/law making) dan tugas pengawasan (kontrol terhadap eksekutif). 105 Djokosutono, op.cit, hal. 66.
63
pengambilan keputusan politik.).106 Secara sederhana dapat dibentuk pemahaman bahwa dalam kelembagaan sistem unikameral menempatkan lembaga perwakilan secara tunggal beserta kewenangan konstitusional yang hanya diberikan kepadanya.
2. Sistem Bikameral Sistem bikameral secara umum menempatkan keberadaan lembaga perwakilan pada dua badan, dalam hal ini adanya kamar pertama dan kamar kedua dengan kedudukan dan porsi kewenangan yang dimilikinya masing-masing. Jimly Asshiddiqie memaparkan bahwa penerapan lembaga perwakilan dua kamar dalam suatu negara dikarenakan alasan kebutuhan untuk menjamin kestabilan dan keseimbangan, baik eksekutif dan legislatif, serta keinginan untuk membuat sistem pemerintahan berjalan efisien melalui apa yang disebut ”revising chamber” dalam rangka perihal kehati-hatian pemeriksaan terhadap keputusan-keputusan yang terkadang gegabah oleh kamar pertama (a careful check on the sometimes hasty decisions of the first chamber).107 Bahwa optimalisasi fungsi legislatif dan check and balances di antara lembaga negara menjadi tujuan umum yang ingin dicapai oleh suatu negara yang menerapkan sistem dua kamar.
106
Diolah dari http://www.constitution.org/cons/east_timor/constitution-eng.htm, tanggal 2 Maret 2013. 107 Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta, hal 22. Bahwa Jimly Asshiddiqie memamparkan sistem lembaga perwakilan dua kamar erat dikaitkan dengan negara yang menganut sistem pemerintahan federal, walaupun dalam perkembangannya banyak negara kesatuan yang juga menggunakan sistem ini dalam rangka desentralisasi kekuasan.
64
Reni Dwi Purnomowati berdasarkan konstruksi pemikiran Arend Lijphart membagi sistem parlemen bikameral menjadi tiga kategori yaitu Strong bicameralism, Medium-Strenght bicameralism, dan Weak bicameralism. Strong bicameralism dicirikan dengan karakternya yang simetris dan inkongruen, kemudian medium-strenght bicameralism dengan ciri salah satu dari simetris dan inkongruen tidak dimiliki, dan weak bicameralism dengan ciri asimetris dan kongruen. 108 Lijphart menentukan karakter simetris atau asimetris dari lembaga perwakilan ditentukan berdasarkan kekuasaan konstitusional dan legitimasi demokrasi yang dimiliki. Kamar yang simetris ditandai dengan dua aspek, yakni memiliki kekuasaan konstitusional yang sama atau setara dan adanya legitimasi demokratis, sementara ruang asimetris sangat tidak berimbang dalam aspek tersebut.109 Konstitusi dalam hal ini memegang peranan dalam menentukan pola dan porsi kekuasaan formal yang diberikan kepada masing-masing kamar. Kekuasaan formal pada karakter simetris secara umum ditandai dengan kekuasaan dalam hal pembuatan undang-undang, dimana kedua kamar masing-masing dapat mengajukan rancangan serta harus dipertimbangkan oleh kedua majelis dalam forum yang sama guna mendapat kesepakatan bersama sebelum disahkan. Faktor legitimasi demokrasi dalam sifat kamar yang simetris berkorelasi dengan bagaimana metode seleksi anggotanya, terutama seleksi anggota pada kamar kedua (the actual political importance of second chambers depends not 108
Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hal. 23. 109 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem presidensial Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 237.
65
only on their formal power but also their method of selection).110 Sri Soemantri Martosoewignjo menjelaskan bahwa apabila keanggotaan lembaga dipilih secara demokratis, maka kekuasaan majelis adalah besar, sedangkan apabila tidak dipilih kekuasaannya adalah kecil.111 Metode pemilihan anggota untuk pengisian lembaga perwakilan tersebut berimplikasi secara lurus dengan bagaimana kekuasaan yang dimiliki dari lembaga tersebut. Kamar lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih secara langsung berpengaruh pada besarnya kekuasaan formal yang dimiliki, sementara yang tidak dipilih secara langsung berakibat pada rendahnya legitimasi demokrasi. Perbedaan yang tampak pada kekuasaan formal asimetris apabila diterjemahkan secara a contrario ditandai dengan kewenangan yang tidak seimbang di antara kedua kamar, dimana salah satu kamar secara fungsional berada di bawah dibandingkan kamar yang lainnya, baik dalam hal pengajuan RUU yang terbatas untuk hal tertentu, kewenangan dalam pembahasan yang terbatas, atau mengenai keterlibatan dalam hal pengesahan suatu rancangan undang-undang. Kemudian perihal metode pemilihan kamar apabila dilakukan dengan pemilihan tidak secara langsung, sehingga tidak memiliki legitimasi demokrasi yang kuat. Karakter simetris atau asimetris dari lembaga perwakilan bikameral juga ditentukan dari karakter kongruen atau inkongruen, dalam arti komposisi keterwakilan dari masing-masing kamar. Arend Lijphart menegaskan perbedaan
110
ibid. Sri Soemantri Martosoewignjo, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta, hal. 73. 111
66
penting antara dua kamar bikameral legislatif adalah bahwa kamar kedua dapat dipilih dengan metode yang berbeda (elected by different methods) atau dirancang sehingga mewakili minoritas tertentu (overrepresant certain minorities). Komposisi keterwakilan kongruen atau inkongruen dapat timbul dari desain perwakilan dari kamar kedua yang dapat dipilih melalui metode yang berbeda sehingga mewakili golongan tertentu, dimana dalam hal ini apabila salah satu kamar mewakili golongan minoritas tertentu atau khusus, maka disebut sebagai inkongruen karena komposisinya yang berbeda.112 Adapun sebagai contoh negara yang menganut sistem bikameral secara konstitusional adalah Amerika Serikat.113 Article 1 Section 1 Konstitusi Amerika menentukan bahwa semua kekuasaan legislatif berada pada Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives). Karakter bikameral Amerika di dalam konstitusinya mengatur bahwa setiap pembahasan RUU harus melewati kedua kamar tersebut sebelum diajukan kepada Presiden (article 1 section 7 clause 2 ―All Bills for raising Revenue shall originate in the House of Representatives; but the Senate may propose or concur with Amendments as on other Bills‖). Pembahasan RUU hanya dilakukan dalam Kongres yang terdiri dari Senat dan House of Representatives, sedangkan Presiden dan kabinetnya tidak dilibatkan. Hal ini menyebabkan konsensus dalam perumusan RUU sebelum diajukan ke Presiden ada pada Senat dan House of Representatives. Senat dan House of Representatives memiliki 112 113
Saldi Isra, loc.cit. Diolah dari http://www.law.cornell.edu/constitution/ tanggal 22 Maret 2013.
67
kewenangan yang sama kuat dalam hal pembahasan, termasuk menolak untuk sepakat terhadap RUU yang diajukan oleh kamar lain menandakan sifat parlemen bikameral yang simetris. Konsekuensi kewenangan formal yang sama kuat dalam pembentukan undang-undang juga akibat dari pengaruh dalam metode pemilihannya, dimana masing-masing kamar dalam lembaga perwakilan Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat yang cakap untuk memilih. Berikut kutipan Article 1 Section 2 dan section 3 dari Konstitusi Amerika : US Constitution, Article 1 Section 2 : ―The House of Representatives shall be composed of Members chosen every second Year by the People of the several States, and the Electors in each State shall have the Qualifications requisite for Electors of the most numerous Branch of the State Legislature.‖ (Dewan Perwakilan Rakyat akan terdiri dari para anggota yang dipilih setiap Tahun kedua oleh Rakyat di beberapa Negara Bagian, dan para Pemilih di setiap Negara Bagian harus memenuhi Persyaratan yang diperlukan untuk menjadi Pemilih bagi Cabang dari Bagan Legislatif Negara Bagian yang terbanyak). US Constitution, Amandemen 17 Article I, section 3 : ―The Senate of the United States shall be composed of two Senators from each State, elected by the people thereof, for six years; and each Senator shall have one vote. The electors in each State shall have the qualifications requisite for electors of the most numerous branch of the State legislatures.‖ (Senat Amerika Serikat akan terdiri dari 2 senator dari tiap negara bagian, dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan 6 Tahun, dan masing-masing senator akan memiliki satu suara. Pemilih dari masing-masing negara bagian harus memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pemilih bagi Cabang dari Bagan Legislatif Negara Bagian yang terbanyak). Article 1 section 3 Konstitusi Amerika juga memperlihatkan bagaimana komposisi keterwakilan yang inkongkuren dimana desain komposisi kamar senat digunakan untuk mewakili negara bagian dalam jumlah yang lebih kecil dari House of Representative (dua perwakilan untuk masing-masing negara bagian).
68
Dari penjelasan karakter sistem bikameral diatas, maka dapat dikonklusikan bahwa Amerika menggunakan tipologi sistem strong bicameral (simetris inkongruen), dengan sama kuatnya kewenangan formal masing-masing kamar, dan komposisi keterwakilan yang tidak sederajat di dalam lembaga perwakilan.
2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara legal formal menentukan
terdapat
tiga
lembaga
perwakilan
dengan
masing-masing
kewenangan konstitusional yang dimilikinya, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Adapun kewenangan konstitusional yang dimiliki berdasarkan UUD 1945 adalah sebagai berikut : a) Kewenangan MPR tercantum dalam Pasal 3 yaitu : (1) berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. (2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. (3) hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. b) Kewenangan DPR tercantum dalam pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” . c) Kewenangan DPD ditentukan secara limitatif terkait dengan daerahnya yang diatur dalam Pasal 22D. (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
69
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang
mengenai
:
otonomi
daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
70
Keberadaan MPR, DPR, dan DPD sebagai lembaga negara menimbulkan ambiguitas pemikiran perihal sistem lembaga perwakilan Indonesia yang berada di dalam kerangka bikameral atau trikameral.114 MPR pasca perubahan UUD 1945 tidak bisa dikatakan sama dengan sistem bikameral seperti Kongres di Amerika Serikat yang merupakan hasil joint session, dimana MPR dalam hal ini disusun oleh anggota DPR dan DPD bukan lembaga.115 Secara teoritik penentuan jumlah kamar tidak hanya ditentukan secara kuantitas, melainkan juga kualitas dalam arti bagaimana kewenangan konstitusionalnya. MPR pasca perubahan UUD 1945 meskipun merupakan salah satu bentuk lembaga perwakilan, namun tidak mempunyai kewenangan konstitusional yang dimaksudkan untuk mengimbangi kewenangan kamar lainnya, seperti dalam hal pembentukan undang-undang yang prosesnya tidak melewati kamar MPR. Berdasarkan hal tersebut, lembaga perwakilan Indonesia dapat dikatakan hanya menganut dua kamar, yaitu DPR dan DPD, apabila melihat hubungan fungsi legislatif yang dimiliki. Adapun karakter bikameral yang dianut oleh sistem lembaga perwakilan Indonesia, apabila menggunakan landasan teori dari Arend Lijphart, maka dalam hal ini penulis berpendapat Indonesia menganut sistem medium-strenght bicameral dengan karakter asimetris-inkongruen.
114
Lihat dalam Denny Indrayana, 2007, “Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945 (Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi)”, dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.4 No. 3 – September 2007. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal.82. Dijelaskan bahwa argumentasi trikameral sistem lembaga perwakilan Indonesia dikarenakan adanya kewenangan yang masih dimiliki oleh MPR disamping kewenangan kontitusional yang dimiliki DPR dan DPD. Lembaga perwakilan Indonesia dikatakan sebagai trikameral dengan dominasi kekuatan DPR. 115 Dahlan Thaib et.al, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hal.165169.
71
Karakter asimetris timbul dari ketidakseimbangan kewenangan legislatif yang dimiliki antara DPR dan DPD. Pasal 22D UUD 1945 memperlihatkan bagaimana kewenangan legislasi DPD yang diatur secara limitatif dalam konstitusi mengakibatkan adanya ketidakseimbangan fungsi antar kamar. Sementara dalam hal model pemilihannya, baik DPR dan DPD memiliki legitimasi demokrasi yang kuat sehingga seharusnya memenuhi karakter simetris karena dipilih secara langsung. Pemilihan anggota DPR tercantum dalam Pasal 19 “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum, dan pemilihan anggota DPD tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.” DPD menyebabkan tipe bikameral Indonesia menjadi tak lazim dikarenakan sebagai gabungan dengan kamar atau lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas namun dengan legitimasi yang tinggi (represent the odd combination of limited and high legitimacy).116 Meskipun dalam hal ini anggota DPD dipilih secara langsung, namun karena ketidakseimbangan kewenangan formil yang dimiliki, ciri asimetris lebih menonjol tampak dalam karakter DPD. Selanjutnya perihal karakter inkongruen yang ditunjukkan oleh bikameral Indonesia, desain keberadaan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah tempat pemilihannya untuk membawa aspirasi dari daerahnya tersebut agar dapat terakomodir pula dalam isu-isu pembahasan di pusat dengan jumlah anggota yang lebih kecil dari DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari kewenangan konstitusional yang dimiliki DPD sebagai wakil-wakil daerah serta jumlah seluruh anggota DPD
116
Saldi Isra, op.cit. hal. 257.
72
yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (vide Pasal 22C ayat (2) UUD 1945). Berdasarkan hal tersebut, maka rasionalisasi yang terbangun perihal sistem bikameral Indonesia adalah medium strength bicameral dengan karakter asimetris-inkongruen.
2.4.
Partai Politik
2.4.1. Definisi Partai Politik Di dalam negara demokrasi yang menempatkan pemilihan umum sebagai sarana peralihan kekuasaan, partai politik memegang peranan dalam hal perwujudan bagaimana proses peralihan kekuasaan secara aman dan demokratis. Sigmund Neumann sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo memaparkan pada intinya partai politik sebagai suatu organisasi politik betujuan untuk menguasai kekuasaan pemerintahan (control of government polity power) dan merebut dukungan rakyat (popular support) melalui persaingan dengan pihakpihak yang memiliki pandangan (politik) berbeda.117 Peralihan suatu kekuasaan pemerintah secara aman terjadi terjadi apabila masyarakat memberikan dukungan kepada partai politik atas pandangan yang dimilikinya. Kamus Black Law memberikan definisi partai politik (political party) dalam arti “a number of persons united in opinion and organized in the manner usual to the then existing political parties”. Partai politik diterjemahkan sebagai sejumlah orang yang bersatu dalam kesepahaman pendapat dan biasanya secara terorganisir untuk kemudian membentuk partai politik. Definisi lainnya adalah
117
Miriam Budiardjo, op.cit, hal 404.
73
“an unincorporated, voluntary association of persons sponsoring certain ideas of government or maintaining certain political principles or beliefs in public policies of government, not a governmental agency or instrumentality”.118 Partai politik diidentikkan sebagai asosiasi yang bersifat sukarela dari orang-orang yang mendukung ide-ide tertentu dari pemerintah atau mempertahankan prinsip atau keyakinan politik tertentu dalam kebijakan publik dari pemerintah, dan terlepas dari instansi atau perangkat pemerintah. Edmund Burke sebagaimana dikutip oleh Solly Lubis menterjemahkan partai sebagai suatu badan dari orang-orang yang bersatu untuk memajukan dengan usahanya bersama kepentingan nasional berdasarkan pada suatu asas tertentu yang disetujui oleh mereka sekalian119. Asas tertentu tersebut merupakan sebagai bentuk kesepahaman atas ide, pendapat, atau yang lebih tepat disebut sebagai ideologi politik yang menjadi cara bagi suatu partai politik dalam menterjemahkan aspirasi maupun kepentingan yang berkembang dari masyarakat untuk dirasionalisasikan secara konkret.
2.4.2. Fungsi Partai Politik Partai politik di dalam suatu negara demokrasi, termasuk negara modern yang menganut demokrasi konstitusional, memiliki fungsi yang penting dalam rangka menjamin kebebasan berfikir dan berekspresi. Dari perspektif ilmu politik, James Penny Boyd berpendapat bahwa fungsi partai politik diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang, dimana keberhasilan manfaat suatu 118 119
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 1319. Solly Lubis, op.cit, hal. 66.
74
partai politik bergantung dari berbagai karakter atau ideologi yang dimilikinya. Adapun pendapat James Penny Boyd adalah sebagai berikut : “Keberadaan partai politik tidak dapat dipisahkan pada institusi republik. Partai politik lahir dari kebebasan berfikir dan berekspresi. Jika setiap kelahirannya dengan perasaan baik dan mulia serta memiliki suatu tujuan yang pasti dan berguna, makanya kedua hal tersebut adalah suatu kebutuhan dan berkat. Sebaliknya, jika kelahirannya dalam kebodohan, fanatisme atau kesewenang wenangan belaka, dan pada pelaksanaan kekuasaan digunakan secara rendah dan kasar, mereka menjadi unsur yang bahaya, dan tidak dapat digolongkan sebagai salah satu energi politik yang dapat diterima” (Political parties are inseparable from republican institutions. They are the birth of free thought and expression. If at all times they are the birth of high and noble sentiment and have for a purpose something definite and useful, they are both a necessity and blessing. If, on the contrary, they find birth in ignorance, fanaticism or sheer arbitrariness, and in their exercise of power use only low and brutish forces, they become elements of danger, and are not to be classed as among the welcome political energies).120 Secara teoritis keberadaan partai politik terlepas dari ideologi yang dimiliki oleh partai tersebut umumnya memiliki empat fungsi yaitu sebagai berikut : 1. komunikasi politik : fungsi menyerap dan mengartikulasikan kepentingan politik dalam masyarakat; 2. sosialisasi politik (political socialization) : fungsi dalam memasyarakatkan ide, visi, dan kebijakan guna mendapatkan dukungan, termasuk fungsi pendidikan politik bagi masyarakat; 3. rekrutmen politik : fungsi terkait dengan tujuan keberadaan partai politik sebagai media untuk menyeleksi kader pemimpin guna dipilih oleh rakyat untuk mengisi jabatan-jabatan politik (sebagai contoh jabatan politik yaitu 120
James P. Boyd, 1896, Parties, Problems and Leaders of 1896, Publishers’ Union Philadelphia, hal. 49.
75
pemilihan Kepala Daerah Provinsi yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I dan Tingkat II) 4. pengatur konflik ; terkait dengan banyaknya kepentingan masyarakat yang beraneka ragam dan partai politik mengaturnya dengan mengagregasi kepentingan tersebut121 Koentjoro Poerbopranoto menggolongkan fungsi partai politik dalam sistem pemerintahan demokratis (democratic government system) terbagi pada dua bidang yang saling memiliki hubungan, yakni : 1. fungsi partai politik terhadap masyarakat (mempengaruhi dan membentuk pendapat umum ; memperoleh hasil dalam pemilihan umum); 2. fungsi partai politik terhadap jalannya kenegaraan (terhadap badan perwakilan ; terhadap jalannya pemerintahan). Fungsi partai politik terhadap masyarakat dalam hal mempengaruhi dan membentuk
pendapat
umum
(public
opinion)
adalah
ditujukan
guna
mengeluarkan suara atau aspirasi yang menjadi kehendak rakyat kepada seorang calon, baik yang dilakukan secara langsung (menemui dan mendengar kehendak rakyat) ataupun tidak langsung (melalui media). Adapun fungsi tersebut akan berlanjut pada fungsi memperoleh hasil dalam pemilihan umum dengan maksud menarik sebanyak mungkin suara pemilih atas calon yang diajukan oleh partai. Kemudian perihal fungsi partai politik terhadap jalannya kenegaraan dari aspek badan perwakilan adalah terkait dengan bagaimana pembentukan badan
121
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, op.cit, hal. 159-163.
76
perwakilan tersebut dan pengaruhnya dalam penetapan sikap parlemen atas permasalahan kenegaran. Partai politik juga berfungsi terhadap jalannya pemerintahan terutama dalam pembentukan kabinet yang umumnya direkrut dari pemimpin partai yang berkedudukan kuat dalam parlemen. 122
2.4.3. Sistem Partai Politik Sistem partai politik secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipologi, yakni sistem satu partai, sistem dua partai, dan sistem multipartai. Adapun dalam hal penentuan sistem partai politik yang digunakan oleh suatu negara tidak hanya melihat sebatas berapa jumlah partai politik yang ada (dalam arti kuantitas), namun juga berdasarkan dominasi yang terdapat di dalam lembaga perwakilan tersebut (dalam arti kualitatif). Terdapat dua pandangan terkait dengan definisi dari sistem satu partai (one party system). Pandangan pertama mendeskripsikan bahwa sistem satu partai menempatkan keadaan negara yang hanya dikuasai oleh satu partai yang mempunyai kedudukan dominan (dengan kemungkinan terdapat partai-partai lainnya dengan kekuatan yang tidak signifikan. Sementara pandangan kedua berada pada pemahaman dimana dalam suatu negara benar-benar hanya terdapat satu partai dan melarang pembentukan partai lain.123 Kelsen memaparkan bahwa
122
Koentjoro Poerbopranoto, op.cit. hal. 50-55. Muchamad Ali Safa’at, 2012, Pembubaran Partai Politik (Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik), Rajawali Press, Jakarta, hal. 59 123
77
sistem satu partai mengarah pada bentuk baru autokrasi yang mengarah pada kediktatoran partai tipe bolshevisme (Rusia) dan fasisme (Italia).124 Kemudian perihal sistem dua partai (two party system) ditandai dengan adanya mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan yang selalu dikuasai oleh salah satu dari dua partai poltik terbesar yang secara bergiliran terpilih dalam pemilihan umum. Dengan kata lain, sesungguhnya terdapat lebih dari dua partai yang ada pada sistem dua partai, namun dalam hal kekuatan politik lebih dikuasai oleh dua partai politik dominan. Sifat eksekutif yang terbentuk dalam sistem dua partai akan menjadi homogen yang berimplikasi pada jaminan kestabilan pemerintahan.125 Kemudian perihal sistem multipartai (multiparty system), adapun karakteristik umum yang dapat dijabarkan adalah sebagai berikut : 1. tidak terdapat partai dominan yang dapat menguasai lembaga perwakilan; 2. strukturnya bersifat heterogen terutama pada masyarakatnya yang plural (plural society) 3. pemerintahan yang dihasilkan cenderung tidak stabil 4. biasa dipadukan dengan sistem perwakilan proporsional yang memberi peluang pertumbuhan partai-partai kecil.126 Dikarenakan tidak terdapat partai dominan di dalam lembaga perwakilan, menyebabkan di dalam sistem multipartai umumnya di dalam praktik terjadi penyatuan kekuatan politik, baik antara dua partai politik atau lebih dengan tujuan 124
Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State / Hans Kelsen : with a new Introduction by A. Javier Trevino, Transaction Publishers, New Jersey, hal. 301-302. 125 Rusadi Kantaprawira, op.cit. hal. 69. 126 Muchamad Ali Safa’at, op.cit, hal. 62.
78
untuk menjaga kestabilan eksekutif (walaupun umumnya penyatuan kekuatan atau koalisi tersebut sifatnya tidak permanen). Sistem partai politik yang digunakan oleh suatu negara umumnya tergantung dari bagaimana sistem pemilihan umum yang digunakan. Di dalam negara yang menggunakan sistem dua partai umumnya diimbangi dengan sistem pemilihan pluralitas / mayoritas dengan prinsipnya pemenang mengambil semua (winner takes all), sementara dalam negara yang menggunakan sistem multi partai lazim menggunakan sistem perwakilan proporsional yang memperhitungkan pembagian sisa-sisa suara.127
2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia Secara yuridis, aturan tentang kepartaian Indonesia yang berlaku saat ini tidak menegaskan corak sistem apa yang digunakan. Pemaknaan bahwa Indonesia menganut sistem multipartai setidaknya ditunjukkan secara implisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Ketentuan “gabungan partai politik” menyiratkan adanya jumlah partai yang lebih dari dua, sehingga secara kuantitas Indonesia menganut sistem multipartai. Selain itu faktor sosiologis juga menentukan sistem multipartai yang digunakan dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural (plural society)
127
Deden Faturohman dan Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, hal. 82.
79
sehingga memberikan pengaruh lahirnya berbagai partai politik dengan latar belakang ideologi yang bervariasi. Pembentukan partai politik di Indonesia memiliki tiga tahapan mekanisme hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 2 menentukan bahwa tahap pertama dalam pembentukan partai politik memerlukan adanya akta notaris yang didaftarkan berdasarkan susunan AD/ART Partai Politik, jumlah mnimal keanggotaan, dan syarat keterwakilan perempuan. Adapun ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai (5) UU No. 2 Tahun 2011 mengatur sebagai berikut : (1)
Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. (1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris. (1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain. (2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat. (4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik; h. sistem kaderisasi; i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; j. peraturan dan keputusan Partai Politik; k. pendidikan politik; l. keuangan Partai Politik; dan m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.
80
(5)
Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 3 menentukan tahap kedua dalam pembentukan suatu partai poltik
adalah wajib untuk didaftarkan sebagai badan hukum melalui Kementerian dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi. Berikut detil ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2011 : (1) (2) a. b.
c.
d.
Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum. Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: akta notaris pendirian Partai Politik; nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan; kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan e. rekening atas nama Partai Politik. Kemudian tahap ketiga pembentukan partai politik di Indonesia dimana
Pasal 4 menentukan syarat verifikasi dan pemeriksaan kelayakan suatu partai politik sebagai badan hukum. Berikut ketentuan yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) hingga (4) UU No. 2 Tahun 2011. (1)
(2)
(3)
Kementerian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2). Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi.
81
(4)
Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Terkait dengan fungsi keberadaan partai politik di Indonesia, layaknya
konsep partai politik pada umumnya, adalah sebagai sarana pendidikan politik, pengatur konflik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik, dimana fungsi-fungsi tersebut dijamin secara konstitusional. Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No, 2 Tahun 2011 menyebutkan sebagai berikut : (1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.
2.5.
Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold) Ambang batas di dalam pemilihan umum secara terminologi disebut
dengan istilah electoral threshold. Electoral diterjemahkan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pemilih atau pemilihan umum (pertaining to electors or elections; composed or consisting of electors), 128 sementara threshold berasal dari Bahasa Inggris yang berarti ambang pintu/ambang batas,129 dimana di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan ambang batas 128 129
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 611. John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit, hal. 589.
82
adalah tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi.130 Konsep threshold atau ambang batas diadopsi di dalam sistem pemilihan umum, terutama sebagai rangkaian kesatuan formulasi perhitungan suara dan kursi pada sistem perwakilan proporsional. Ambang batas pemilihan umum (electoral threshold) umumnya dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu ambang batas efektif (effective theshold) dan ambang batas formal (formal threshold). Andrew Reynolds menjelaskan bahwa ambang batas efektif merupakan pengaturan yang lahir dari perhitungan matematis di dalam sistem pemilihan umum (mathematical by product of features of electoral systems). Ambang batas efektif diterjemahkan pula sebagai ambang batas terselubung (hidden threshold) atau ambang batas alami (natural threshold) dikarenakan undang-undang tidak mencantumkan secara tegas persentase suara minimal yang harus dipenuhi. Ambang batas efektif menempatkan besaran daerah pemilihan (district magnitude) sebagai aspek matematis yang penting dalam penentuan peroleahan kursi.131 Arend Lijphart memberikan rumusan konkret ambang batas efektif dengan formulasi sebagai berikut :
75% Teff = (m + 1) Ket : Teff = persentase ambang batas efektif. m = besaran daerah pemilihan.132
130
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. hal.48 Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 84. 132 Didik Supriyanto dan August Mellaz, 2011, Ambang Batas Perwakilan Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu, Perludem, Jakarta, hal. 14. 131
83
Sebagai contoh, jika besaran daerah pemilihan adalah sebanyak 4 kursi di dalam sistem pemilu perwakilan proporsional, maka ambang batas efektif adalah 15% suara. Kemudian dengan logika bahwa partai politik yang mendapatkan suara lebih dari 20% akan berpeluang besar untuk terpilih mendapatkan kursi yang tersedia pada daerah pemilihan tersebut, sementara yang mendapatkan suara kurang dari sekitar 10% tidak mungkin akan dapat terpilih.133 Hal ini memperlihatkan besaran daerah pemilihan sebagai fitur matematis yang secara alami mengkalkulasi perolehan suara dan keberadaannya menjadi sangat penting dalam menentukan ambang batas efektif. Berbeda dengan ambang batas efektif, bahwa ambang batas formal timbul dengan adanya pencantuman persentase secara tegas di dalam penormaan hukumnya. Ambang batas formal merupakan ambang batas yang dipaksakan secara hukum (legally imposed) berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ambang batas formal diatur secara tertulis secara konstitusional atau dalam ketentuan perundang-undangan yang digunakan untuk membatasi sistem perwakilan proporsional (formal threshold are written into the constitutional or legal provisions which define the Proportional Representative System).134. Ambang batas formal yang ditentukan secara formal menegaskan secara baku berapa minimal persentase yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik. Rasionalisasi dari hal tersebut partai politik yang tidak dapat memenuhi ambang batas tidak dapat diikutsertakan dalam perhitungan kursi apabila tidak memenuhi angka yang dipersyaratkan. 133 134
Andrews Reynlods et al, loc.cit Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 83.
84
Pengaturan ambang batas formal diyakini dapat mengurangi tingkat fragmentasi dan polarisasi yang terjadi dalam lembaga perwakilan.135 Tracy Quinlan memaparkan perihal adanya relevansi di antara ambang batas formal, sistem perwakilan proporsional, dan terjadinya fragmentasi dalam lembaga perwakilan. Bahwa ambang batas formal merupakan variasi dari sistem perwakilan proporsional yang memiliki kemampuan untuk mengubah tingkat representasi (electoral thresholds are a variation to PR systems that have the ability to change representation). Jika ambang batas tinggi, maka dapat mengurangi jumlah partai yang mendapatkan akses ke legislatif, sehingga menyebabkan besaran partai meningkat dengan mengurangi fragmentasi sistem kepartaian (if a threshold is high, it can reduce the number of parties that gain access to the legislature causing party magnitude to increase by reducing party system fragmentation).136 Hal ini memperlihatkan bahwa fragementasi dalam lembaga legislatif hanya dapat dikurangi apabila jumlah partai yang berada dalam lembaga legislatif tersebut juga berkurang.
135
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan fragmentasi adalah terbagi-bagi; terpecah-pecah; terbelah (Departemen Pendidikan Nasional, 2004 : 399), sementara polarisasi adalah pembagian atas dua bagian yg berlawanan (Departemen Pendidikan Nasional, 2004 : 1089). Dalam konteks ini, fragmentasi mengarah pada keberadaan partai-partai politik terpecah (dalam arti aspirasi ataupun ideologinya) dalam jumlah tertentu, yang kemudian berlanjut pada keadaan timbulnya pertentangan (polaritas) antar partai-partai politik tersebut. Naskah akademik RUU Partai Politik yang diajukan oleh Pemerintah tertanggal 14 Mei 2007 memberikan terjemahan fragmentasi sebagai keadaan banyaknya jumlah partai yang menjadi faktor dalam menentukan struktur persaingan antarpartai, interaksi dan stabilitas pemerintahan. Sementara itu polarisasi diartikan sebagai jarak ideologis antarpartai yang menentukan kualitas stabilitas politik, konflik, atau loyalitas pemilih terhadap partai. 136 Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9, diakses dari http://digitalcommons.iwu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1060&context=respublica tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois, hal, 20.
BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA
3.1.
Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia Keberlakuan ambang batas formal dalam sistem pemilihan umum
Indonesia telah membuka paradigma baru perihal arah demokratisasi dalam rangka mewujudkan hasil positif reformasi. Pengembalian hakikat sistem perwakilan proporsional dalam rangka menjaga eksistensi keterwakilan minoritas yang
mengalami
pengingkaran
selama
pemerintahan
Orde
Baru
telah
menempatkan sistem multipartai kepada posisi yang semestinya. Pemilihan umum Indonesia yang menggunakan sistem perwakilan proporsional dengan tujuan untuk menciptakan keseimbangan jumlah perolehan kursi dan perolehan suara ternyata memberikan konsekuensi yang tidak sederhana dengan besarnya fragmentasi dan polarisasi yang terjadi di dalam kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat yang diisi oleh banyak partai politik. Demokrasi konstitusional menempatkan pentingnya keberadaan undangundang yang dibentuk oleh lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih secara demokratis sebagai salah satu unsur konkret dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara hukum dan demokrasi. Dalam konteks pemilihan umum, undang-undang pemilihan umum yang dibentuk oleh DPR-RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat merepresentasikan unsur demokrasi konstitusional dalam rangka menjawab kompleksitas sistem pemilihan umum yang digunakan. Perihal
85
86
konsekuensi dari sistem pemilihan umum perwakilan proporsional sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, pengaturan ambang batas formal merupakan salah satu alternatif hukum dalam undang-undang pemilu yang digunakan untuk mendegradasi fragmentasi partai politik dalam lembaga perwakilan. Ketentuan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2014 diatur berdasarkan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 bahwa “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.” Jumlah perolehan suara sah nasional calon anggota DPR diperoleh pasca berakhirnya perhitungan dan rekapitulasi suara secara nasional dan ditetapkan oleh KPU paling lambat 30 hari. Setelah tahapan tersebut dilalui, baru dapat dilihat jumlah perolehan suara yang memenuhi ambang batas formal, sehingga dapat ditentukan partai politik yang berhak mengikuti perhitungan perolehan kursi. Ketentuan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 merupakan pergantian dari aturan ambang batas formal dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD untuk penyelenggaraan pemilihan anggota DPR-RI pada tahun 2009. Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 mangatur bahwa partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
87
Perbedaan substansi ambang batas formal dalam UU No. 8 tahun 2012 dengan UU No. 10 Tahun 2008 adalah terletak pada dua aspek, yaitu jumlah persentase dan ruang lingkup keberlakuan ambang batas. Ambang batas mengalami peningkatan sebesar 1% menjadi 3,5% dari sebelumnya 2,5%, serta keberlakuan ambang batas formal yang tidak hanya untuk menentukan kursi di DPR, namun juga berlaku pada penentuan kursi DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Pasal 209 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 menentukan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan.
Konsekuensi
yuridis
yang
timbul
dari
pengaturan
tersebut
menyebabkan partai politik yang tidak memperoleh persentase total suara secara nasional minimal sebesar 3,5%, dengan serta merta tidak dapat mengikuti perhitungan kursi di seluruh lembaga perwakilan, baik di pusat maupun daerah. Suara partai politik yang tidak memenuhi ambang batas akan dihilangkan dan suara yang akan digunakan untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5 % (vide Pasal 209 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012). Terkait dengan perubahan substansi pengaturan ambang batas formal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa pengujian konstitusionalitas terhadap UU No. 8 Tahun 2012 yang telah diajukan. Putusan Mahkamah
88
Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian UU No. 8 Tahun 2012 memutuskan bahwa Pasal 208 dan Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945. Adapun pertimbangan yang digunakan
adalah
dalam
rangka
menjaga
proporsionalitas
dikarenakan
kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah yang memenuhi ambang batas atau kemungkinan hanya terdapat satu partai politik yang dapat memenuhi persentase tersebut.137 Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan setiap pasal yang terkait dengan keberlakuan ambang batas ambang batas formal di daerah, dalam hal ini frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”, menjadi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi. Perhitungan perolehan kursi di daerah, dalam hal ini DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota tidak mengalami pengurangan total suara. Keberlakuan ambang batas formal untuk pemilu 2014 kembali hanya berlaku secara yuridis untuk penentuan kursi DPR-RI. Hal yang turut membedakan antara pengaturan ambang batas pada pemilu tahun 2014 dengan pemilu tahun 2009 adalah bahwa ambang batas formal selain untuk menentukan keterwakilan di DPR, juga berfungsi ganda untuk menentukan peserta pemilu untuk pemilu tahun 2014. Pasal 8 ayat (1) UU No. 8 tahun 2012 menerapkan ambang batas formal sebagai bagian dari syarat verifikatif untuk mengikuti pemilu berikutnya. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
137
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 99.
89
jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.” Dalam penjelasan pasal 8 ayat (1) tersebut bahwa yang dimaksud dengan ‟pemilu terakhir‟ adalah pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota terakhir. Adapun yang dimaksud “pemilu terakhir” adalah pemilu tahun 2009, dimana partai politik yang memenuhi ambang batas pada pemilu tahun 2009 ditetapkan secara langsung sebagai peserta pemilu untuk pemilu 2014. Pengaturan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim, dimana ambang batas formal selain berfungsi dalam penentuan jumlah perolehan kursi juga difungsikan secara ganda sebagai dasar hukum dalam menetapkan peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Sementara bagi partai politik yang tidak memenuhi persentase ambang batas pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), yaitu sebagai berikut:138 a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
138
Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “partai politik baru” adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu.
90
e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU. Apabila merunut ke belakang perihal ambang batas formal yang pernah diterapkan sebelumnya, persentase ambang batas dalam undang-undang pemilu pada penyelenggaraan pemilu tahun 2004 dan 2009 ditujukan sebagai syarat untuk dapat mengikuti pemilu pada pemilu berikutnya. Dasar yuridis pengaturan ambang batas formal pada penyelenggaraan pemilu tahun 2004 tercantum dalam Pasal 142 Ketentuan Peralihan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 39 ayat (3) UndangUndang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang mengatur sebagai berikut :
91
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% (dua persen) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi dan di 1/2 (setengah) kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 1999. Kemudian pengaturan ambang batas formal ini berlanjut pada penyelenggaraan pemilu tahun 2009 dimana Pasal 315 ketentuan peralihan UU No. 10 Tahun 2008 juncto Pasal 9 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2003 mengatur sebagai berikut : Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu Tahun 2004.” Ambang batas formal untuk menentukan keikusertaan pada pemilu tahun 2004 dan 2009 menjadikan kursi (seat) sebagai elemen yang harus dipenuhi secara alternatif, yaitu persentase perolehan kursi DPR, persentase perolehan kursi DPRD Provinsi, atau persentase perolehan kursi DPRD Kabupaten/Kota. Perbedaan substansi hukum ambang batas formal pada kedua penyelenggaraan pemilihan umum tersebut hanya berada pada aspek besaran angka ambang batas formal masing-masing yang diterapkan dengan kenaikan sebesar satu persen. Meskipun terdapat perubahan, namun ketentuan ambang batas formal tersebut hanya ditujukan dalam menentukan syarat sebagai kontestasi dalam mengikuti pemilu berikutnya dan tidak dimaksudnya secara ganda terhadap penentuan kursi dalam lembaga perwakilan.
92
Ketentuan yang berkesan diskriminatif dalam Pasal 8 ayat (1) serta penjelasannya mengalami pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang menyatakan ketentuan tersebut. bertentangan dengan UUD 1945. Begitu pula dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 bahwa ketentuan Pasal tersebut sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”, serta penjelasan pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa ”yang dimaksud dengan ”partai politik baru” adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ratio decidendi yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi adalah bahwa pengaturan tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama.139 Hakikat ambang batas formal guna menentukan representasi anggota perwakilan diterapkan pada penyelenggaraan pemilu DPR-RI tahun 2009 dan 2014. Istilah parliamentary threshold kerap digunakan untuk menamakan ketentuan ambang batas formal tersebut, meskipun undang-undang tidak menegaskan terminologi yang dimaksud secara eksplisit dalam undang-undang dan hanya menempatkan istilah ambang batas parlemen dalam bagian Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 2012. Adanya penggunaan istilah parliamentary threshold sebagai akibat telah digunakannya terminologi electoral threshold untuk
139
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal 89-91. Syarat verifikatif sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2012 berbeda dengan syarat yang ditentukan dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2010. Apabila Partai Politik yang lolos ambang batas formal tahun 2009 tidak diwajibkan untuk memenuhi syarat verifikatif, hal tersebut diangggap menimbulkan ketidakadilan karena persyaratan yang ditentukan pada pemilu tahun 2009 dan pemilu 2014 adalah berbeda.
93
mendefinisikan ambang batas formal pada keikutsertaan pemilu berikutnya. Pembedaan secara nomenklatur tersebut menimbulkan ambiguitas dikarenakan secara teoritis ambang batas pemilu atau electoral threshold lazimnya tidak dimaksudkan sebagai aturan hukum untuk menentukan peserta pemilu pada pemilu berikutnya, melainkan ditujukan untuk menentukan keterwakilan dalam lembaga perwakilan. Sebagai perbandingan, Pasal 2 angka 27 UU Pemilu Rumania No. 35 Tahun 2008 (Law No. 35/2008 for the election to the Chamber of Deputies and the Senate) menggunakan terminologi electoral threshold yang secara tegas diartikan sebagai “the minimum percentage of the separately validly cast votes for the Chamber of Deputies and the Senate, or the minimum number of uninominal colleges in which it is situated on the first place in the order of the number of validly cast votes, for a political party, a political or electoral alliance, necessary for entering in the process of distribution of mandates.” Penyimpangan yang terjadi selama ini dalam sistem pemilu Indonesia mengkorelasikan konsep electoral threshold tidak sebagaimana mestinya. Terminologi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen digunakan meskipun secara nomenklatur tidak terdapat penamaan tersebut dalam bagian isi perundang-undangan pemilu Indonesia. Terminologi ambang batas parlemen dianggap tidak tepat mengingat peraturan perundang-undangan Indonesia tidak menggunakan penamaan parlemen untuk sistem lembaga perwakilan. Kamus Black Law mendefinisikan parliamentary adalah “relating or belonging to, connected with, enacted by or proceeding from, or characteristic of, the English
94
parliament in particular, or any legislative body in general.”140 Terminologi parlemen lebih identik dengan karakteristik khususnya pada lembaga perwakilan di Inggris dan persemakmurannya, seperti Malaysia, Australia, serta negaranegara lain yang menganut sistem parlementer seperti Italia, Polandia, Belanda. Segenap perubahan dan pergantian ketentuan ambang batas formal di Indonesia timbul dari akibat esensialitas kekuasaan membentuk undang-undang yang dimiliki oleh DPR-RI. Prinsip demokrasi konstitusional menentukan bahwa pembentukan undang-undang wajib diselenggarakan oleh lembaga perwakilan dimana anggota-anggotanya dipilih secara demokratis. Pasal 19 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Ambang batas formal yang termuat dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang kemudian diganti dengan UU No. 8 Tahun 2012, dibentuk oleh DPR-RI yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga mewujudkan pencerminan bahwa hukum yang dibuat berdasarkan kedaulatan di tangan rakyat. Adanya kelemahan dalam suatu substansi undang-undang yang dibuat, termasuk substansi ambang batas formal, adalah hal yang lumrah mengingat undang-undang sebagai produk politik bergantung dari bagaimana konstelasi politik yang terjadi dalam DPR-RI. Disinilah pengujian undang-undang secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi memegang peranan dalam penegakan demokrasi yang berlandaskan konstitusi.
140
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 1272.
95
Adapun perihal ambang batas formal yang kerap berubah sebagaimana dikarenakan faktor konsensus yang terjadi di antara anggota-anggota DPR-RI menentukan model dan persentase yang akan digunakan. Tracy Quinlan berpendapat bahwa ―...electoral thresholds are institutional mechanisms that are relatively easy to change...‖141 Disadari secara konseptual bahwa ambang batas formal sebagai suatu mekanisme penyederhanaan partai politik merupakan pengaturan yang secara institusional tidak stabil karena dapat berubah-ubah dengan sangat mudah dan relatif. Relativitas dalam pengaturan ambang batas formal berdasar pada asumsi yang dibangun oleh Mahfud MD bahwa keberadaan suatu hukum merupakan wujud dari produk politik yang timbul dari konsensus anggota lembaga perwakilan. Lebih lanjut pengaturan ambang batas formal dapat diinterpretasikan sebagai produk hukum responsif berdasarkan konfigurasi politik demokratis dengan rumusannya yang cukup rinci guna memenuhi kehendak masyarakat yang dirumuskan melalui demokrasi perwakilan.142 Konsensus atas relativitas penentuan ambang batas formal dari aspek teori hukum disebabkan posisi dari pengaturannya dalam undang-undang pemilu sebagai delegated legislation dari ketentuan UUD 1945. Jimly Asshiddiqie memaparkan bahwa delegated legislation timbul dari proses pemberian atau pelimpahan kekuasaan (transfer of power) untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan (the power of rule-making).143 Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 141
Tracy Quinlan, op.cit, hal. 18. Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, hal. 66-67 (selanjutnya disebut Moh. Mahfud MD I). 143 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, hal. 264. 142
96
menentukan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penegasan kata “harus” dalam rumusan tersebut menunjukkan adanya suatu perintah untuk melakukan sesuatu.144 Dalam konteks ini, Pasal 22E ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan adanya suatu penormaan lebih lanjut dimana ketentuan mengenai pemilihan umum diserahkan untuk diatur dengan undang-undang. DPR-RI sebagai penerima penyerahan kekuasaan dari konstitusi harus menentukan setiap substansi hukum dalam undang-undang pemilu, termasuk pengaturan ambang batas formal, sepanjang memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan konstitusional.
3.2.
Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca Pengaturan Ambang Batas Formal
3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pengaturan ambang batas formal berkorelasi langsung dengan konteks penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia secara kelembagaan. Jumlah partai politik dalam lembaga perwakilan yang mengalami pengerucutan dikarenakan hanya yang memenuhi persentase ambang batas minimal yang dapat mengikuti perhitungan kursi diharapkan dapat menata secara institusional fungsi lembaga perwakilan. Penataan hubungan internal antar anggota DPR dilakukan
144
Rival Gulam Ahmad et.al. 2007, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk Transformasi Sosial (Sebuah Manual untuk Praktisi), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, hal. 263.
97
dengan menyederhanakan secara kuantitas persebaran partai politik melalui pengaturan ambang batas formal sebagai upaya realistis dalam pencapaian tujuan negara demokrasi yang belandaskan hukum. Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa Indonesia adalah negara yang menggunakan sistem perwakilan proporsional (dengan konsekuensi dibarengi sistem multipartai) dalam penyelenggaraan pemilihan umumnya. Ambang batas formal yang dikombinasikan dalam sistem perwakilan proporsional menjadi sarana hukum tambahan bagi partai politik selain adanya ambang batas alami dalam mekanisme konversi kursi agar mendapakan kursi dalam lembaga perwakilan. Patut ditelaah pada pemilihan umum tahun 2009 yang menggunakan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5% dihasilkan sembilan partai politik yang berhak mengikuti perhitungan kursi di DPR-RI, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.145 Berikut rekapitulasi suara nasional yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan UMum.
No 1 2 3 4 5 6 7 145
Tabel 3.1. Perolehan Suara dan Persentase Suara Partai Politik Peserta Pemilu 2009 Nama Partai (Nomor Urut) Perolehan Suara Persentase Suara Demokrat (31) 21.703.137 20,85% Golkar (23) 15.037.757 14,45% PDIP (28) 14.600.091 14,03% PKS (8) 8.206.955 7,88% PAN (9) 6.254.580 6,01% PPP (24) 5.533.214 5,32% PKB (13) 5.146.122 4,94%
Partai Gerindra dan Partai Hanura adalah dua partai baru atau pertama kali mengikuti pemilihan umum yang lolos pengaturan ambang batas formal 2,5%.
98
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Gerindra (5) Hanura (1) PBB (27) PDS (25) PKNU (34) PKPB (2) PBR (29) PPRN (4) PKPI (7) PDP (16) Barnas (6) PPPI (3) PDK (20) RepublikaN (21) PPD (12) Patriot (30) PNBK (26) Kedaulatan (11) PMB (18) PPI (14) Pakar Pangan (17) Pelopor (22) PKDI (32) PIS (33) PNI M (15) Partai Buruh (44) PPIB (10) PPNUI (42) PSI (43) PPDI (19) Merdeka (41) PDA (36) Partai SIRA (37) PRA (38) Partai Aceh (39) PBA (40) PAAS (35) JUMLAH
4.646.406 3.922.870 1.864.752 1.541.592 1.527.593 1.461.182 1.264.333 1.260.794 934.892 896.660 761.086 745.625 671.244 630.780 550.581 547.351 468.696 437.121 414.750 414.043 351.440 342.914 324.553 320.665 316.752 265.203 197.371 142.841 140.551 137.727 0 0 0 0 0 0 0 104.099.785
4,46% 3,77% 1,79% 1,48% 1,47% 1,40% 1,21% 1,21% 0,90% 0,86% 0,73% 0,72% 0,64% 0,61% 0,53% 0,53% 0,45% 0,42% 0,40% 0,40% 0,34% 0,33% 0,31% 0,31% 0,30% 0,25% 0,19% 0,14% 0,14% 0,13% 0,11% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 100%
(diakses dari : “Hasil Akhir Pemilu 2009”, http://www.detiknews.com/jumlahsuara 16 April 2013)
99
Kemudian perihal konversi perolehan suara dari partai politik yang memenuhi persentase ambang batas menjadi perolehan kursi, KPU melakukan penetapan akhir untuk pemilu 2009 adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Partai Demokrat 150 kursi (sebelumnya 148) Partai Golkar 107 kursi (sebelumnya 108) PDIP 95 kursi (sebelumnya 93) PKS 57 kursi (sebelumnya 59) PAN 43 kursi (sebelumnya 42) PPP 37 kursi (sebelumnya 39) PKB 27 kursi (sebelumnya 26) Gerindra 26 kursi (sebelumnya 30) Hanura 18 kursi (sebelumnya 15).146 Konsekuensi diberlakukannya ambang batas formal dalam pemilihan
umum mengakibatkan hilangnya sejumlah suara pemilih yang memilih partai politik dengan total perolehan suara tidak mencapai persentase minimal ambang batas.147 Hilangnya sejumlah suara tersebut dikarenakan adanya proses pengurangan antara suara yang berhasil melampaui ambang batas dengan yang gagal. Pasal 203 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 juncto Pasal 209 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 menentukan bahwa suara yang digunakan untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi dengan jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara. Apabila dikalkulasikan terdapat 19.048.653 atau 18,30% suara yang hilang akibat pengurangan jumlah suara tersebut pada hasil pemilihan umum tahun 2009.
146
“KPU Ubah Perolehan Kursi Parpol di DPR“ http://mediacenter.kpu.go.id/berita/472-kpurubah-perolehan-kursi-parpol-di-dpr.html. KPU melakukan revisi terhadap penetapan kursi yang telah ditetapkan sebelumnya pada tanggal 9 Mei 2009, diakses tanggal 21 April 2013. 147 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu..., op.cit, hal. 34.
100
Tabel 3.2. Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2009 No Keterangan Jumlah Suara Persentase Suara 1 Jumlah total suara nasional 104.099.785 100% Jumlah total perolehan suara 2 partai politik lolos ambang 85.051.132 81,7 % batas Jumlah pengurangan suara 19.048.653 18,30 % (diolah oleh penulis berdasarkan data dari “Hasil Akhir Pemilu 2009”, http://www.detiknews.com/jumlahsuara, diakses tanggal 16 April 2013)
Adanya suara hilang dalam jumlah yang relatif besar dalam pelaksanaan pemilu yang menerapkan pengaturan ambang batas secara formal memperlihatkan telah terjadi suatu pergeseran paradigma di dalam sistem perwakilan proporsional yang digunakan. Sistem perwakilan proporsional pada hakikatnya menentukan proporsi suara setiap kontestan dalam menentukan pemenang pemilu berlaku prinsip tidak ada suara yang hilang.148 Keberadaan sistem perwakilan proporsional merupakan sebagai sandingan dari sistem pluralitas-mayoritas yang dianggap disproporsional dan tidak representatif karena mengenyampingkan suara-suara minoritas. Tidak terakomodirnya perolehan suara dari partai-partai politik yang mendapatkan suara minim menyebabkan sistem perwakilan proporsional
digunakan
untuk
memenuhi
nilai
representatif
suatu
penyelenggaraan pemilihan umum. Hal tersebut seharusnya menjadi faktor keunggulan sistem perwakilan proporsional dibandingkan dengan sistem pluralitas-mayoritas.
148
Tim LIP FISIP UI, 1998, “Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat : Reformasi UU Pemilihan Umum”, Kompilasi Tulisan Mengubur Sistem Politik Orde Baru, Penerbit Mizan, Bandung, hal. 58
101
Pengaturan ambang batas formal menempatkan pemahaman bahwa di dalam sistem perwakilan proporsional juga berlaku prinsip pluralitas-mayoritas. Hal tersebut dikarenakan bagi partai-partai politik yang mampu meraih suara mayoritas relatif dengan menembus persentase ambang batas, maka akan mendapatkan kursi dalam lembaga perwakilan. Sebaliknya bagi partai yang tidak memenuhi ambang batas, maka dipastikan suara yang disalurkan pada mereka akan tidak berlaku, sehingga prinsip yang dianut identik sebagaimana yang diterapkan dalam sistem pluralitas-mayoritas.149 Namun dalam konteks ini, pengaturan ambang batas formal tidak menjadikan adanya perubahan sistem, dikarenakan ambang batas formal merupakan substansi hukum yang dianut secara eksklusif dalam sistem perwakilan proporsional dan sebagian sistem campuran.150 Hilangnya sejumlah suara akibat proses pengurangan yang dilakukan secara teleologis ditujukan untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana. Terminologi sistem multipartai sederhana hanya terdapat dalam penjelasan umum UU No. 10 Tahun 2008 dan kembali ditegaskan dalam penjelasan umum UU No. 8 Tahun 2012. Secara teoritik sistem multipartai sederhana tidak dibahas secara spesifik dalam literatur tentang sistem kepartaian. Namun apabila merujuk pada 149
Hal ini sejalan dengan pendapat Mahfud MD yang memaparkan kelemahan dari sistem pluralitas dengan memunculkan kecenderungan terjadinya over-representation (perolehan kursi lebih besar dari suara yang diperoleh) atau under-representation (perolehan kursi lebih kecil dari perolehan suara). Lihat dalam Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Press, Jakarta, hal 78. 150 Lihat dalam Tracy Quinlan, op.cit, hal 21 yang berpendapat “…since electoral thresholds are tools employed exclusively in proportional representation elections, majoritarian systems were not included. Mixed systems are included, but the competitive party, district magnitude, and party magnitude data represents only results from the PR proportion of the legislature.‖ Ambang batas formal merupakan pengaturan ekslusif dalam sistem pemilu perwakilan proporsional dan tidak termasuk dalam sistem mayoritas. Sistem campuran juga mengatur ambang batas formal, namun dalam hal partai kompetitif, besaran distrik, dan data besaran partai merupakan hasil daripada bagian yang mencerminkan sistem perwakilan proposional.
102
konsekuensi dari sistem multipartai yang tidak mampu menempatkan partai politik dominan dalam lembaga perwakilan, sistem multipartai sederhana dapat diinterpretasikan sebagai sistem yang mencoba untuk mereduksi kelemahan tersebut. Apabila mengacu pada hasil penyelenggaraan pemilu tahun 2009, sistem multipartai sederhana yang dicapai memiliki rasio perbandingan yang ekstrim dimana partai politik yang memperoleh kursi dalam lembaga perwakilan berjumlah jauh lebih sedikit dari jumlah partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum. Rasio perbandingan ekstrim tersebut menghasilkan sistem kepartaian dengan jumlah yang moderat di dalam lembaga perwakilan, dalam arti jumlah yang tidak terlalu banyak namun juga tidak terlalu sedikit. Sistem multipartai sederhana tidak berada pada domain kuantitas partai politik dalam arti sebagai peserta pemilihan umum, melainkan dalam hal jumlah partai politik yang akan berada pada lembaga perwakilan untuk menciptakan kekuatan politik yang lebih dominan, sebagaimana konsekuensi yang harus diatasi pada negara yang menganut sistem multipartai. Pemahaman perihal bagaimana kebijakan hukum ambang batas formal yang proporsional guna mewujudkan jumlah partai yang moderat masih merupakan suatu perdebatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan proporsional yaitu sesuai dengan proporsi; sebanding; seimbang; berimbang.151 Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya memberikan salah satu batasan yang digunakan dalam menentukan ambang batas formal sehingga
151
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. hal.1106.
103
keseimbangan atau proporsionalitas lembaga perwakilan terjaga yakni melalui pemenuhan aspek rasionalitas. Mengkaji rasionalitas pengaturan ambang batas perolehan suara dalam undang-undang pemilihan umum apabila beranjak dari teori “model rasional komprehensif” sebagai salah satu model dalam perumusan kebijakan, menempatkan lima elemen dalam mengukur rasionalitas suatu kebijakan, yaitu sebagai berikut : 1. Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah – masalah lain. 2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya. 3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki. 4. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti. 5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan memiliki alternatif beserta konsekuensi-konsekuensinya yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai, atau sasaran-sasaran yang hendak dicapai.152 Masalah yang menjadi salah satu fokus penataan hubungan kelembagaan DPR-RI adalah dalam konteks pembahasan suatu rancangan undang-undang. Struktur hukum Indonesia memperlihatkan bagaimana pembahasan rancangan undang-undang yang melibatkan anggota-anggota DPR dengan positional bargaining-nya masing-masing bersama dengan Pemerintah, hingga akhinya tercapai kata mufakat antara keduanya dalam menghasilkan sebuah undangundang.153 DPR merupakan lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional
152
Budi Winarno, 2012, Kebijakan Publik – Teori, Proses, dan Studi Kasus (Edisi Penerbit Caps, Yogyakarta, hal. 103-104. 153 Lihat dalam Roger Fisher et.al, 2011, Getting to Yes, PT. Gramedia Pustaka Jakarta, hal.28. Bahwa positiional bargaining diterjemahkan sebagai suatu keadaan masing-masing pihak mengambil posisi tertentu, memperdebatkannya, dan memberikan
Revisi), Utama, dimana konsesi
104
untuk membentuk undang-undang dengan salah satu alat kelengkapannya yakni Komisi yang bertugas mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang (vide Pasal 96 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009). Keanggotaan Komisi dibentuk dari perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi (vide Pasal 94 ayat 2 UU No. 27 Tahun 2009), dimana setiap komisi akan terdiri dari beberapa fraksi yang berbeda-beda serta berasal dari anggota DPR dari partai-partai politik yang berbeda pula. Komisi yang dibentuk secara tidak berimbang atau tidak merata secara kuantitas akan menghasilkan proses pembahasan rancangan undang-undang yang tidak efektif. Ambang batas formal digunakan untuk menciptakan keseimbangan dan pemerataan kekuatan partai politik, sehingga diharapkan masalah ketimpangan secara kuantitas dalam perancangan suatu undang-undang dapat teratasi. Pembentuk undang-undang pada hakikatnya memiliki banyak alternatifalternatif hukum untuk menciptakan sistem kepartaian yang sederhana dalam rangka menata kelembagaan DPR-RI. Sejarah memperlihatkan bahwa dalam setiap rezim pemerintahan memiliki kesepahaman secara fundamental bahwa penyederhanaan kepartaian menjadi suatu hal yang harus dilakukan secara hukum. Politik hukum pada pemerintahan era Orde Lama tampak dengan diterbitkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang diberlakukan pada
demi tercapainya kompromi. Positional bargaining yang ada di antara para pihak dapat memperburuk suatu negosiasi. Pembahasan suatu RUU dimana perhatian yang lebih banyak diarahkan pada posisi, dan minimnya perhatian untuk menangani pokok permasalahan akan menimbulkan jauhnya tercapai kata sepakat.
105
masa demokrasi terpimpin.154 PNPS ini menentukan syarat ketat dalam pembentukan partai sebagai berikut : Pasal 2 : Partai harus menerima dan mempertahankan azas dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undangundang Dasar 1945. Pasal 3 (ayat 1) : Untuk dapat diakui sebagai partai maka dalam anggaran dasar organisasi harus dicantumkan dengan tegas, bahwa organisasi itu menerima dan mempertahankan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang memuat dasar-dasar Negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, Perikemanusiaan dan Keadilan Sosial, dan bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia, serta mendasarkan program kerjanya masingmasing atas Manifesto Politik Presiden tertanggal 17 Agustus 1959, yang telah dinyatakan menjadi haluan Negara. Pasal 3 (ayat 2) : Dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga partai termaksud pada ayat (1) pasal ini harus dicantumkan pula dengan tegas organisasi-organisasi lain yang mendukung dan/atau bernaung di bawah partai itu. Pasal 4 : Dalam memperjuangkan tujuannya, partai-partai diharuskan menggunakan jalan-jalan damai dan demokratis. Pasal 5 : Partai, harus, mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu seluruh wilayah Republik Indonesia. Pasal 6 ayat (1) : Partai tidak dibolehkan mempunyai seorang asing pun baik dalam pengurus dan pengurus penghormatan maupun sebagai anggota biasa. Pasal 6 ayat (2) : Partai tidak diperbolehkan tanpa idzin dari Pemerintah menerima bantuan dari fihak asing dan/atau memberi bantuan kepada fihak asing dalam bentuk dan dengan cara apapun juga. Pasal 7 : Yang berhak menjadi anggota partai ialah warga-negara Indonesia yang telah berumur 18 tahun atau lebih.
154
Penjelesan Umum PNPS Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian menjelaskan bahwa keberadaannya dilatarbelakangi timbulnya ketidakstabilan politik dari Maklumat Pemerintah tertanggal 3 Nopember 1945 yang menganjurkan pendirian parta politik dengan tidak terbatas pada masa demokrasi parlementer.
106
Kebijakan hukum penyederhanaan partai politik juga diterapkan pada era Orde Baru dimana Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya menggabungkan partai-partai politik menjadi dua, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, serta satu Golongan Karya sebagai organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil pembaharuan, dan penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia (vide Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975). Legitimasi politik hukum untuk penyederhanaan partai politik tersebut ditegaskan landasan keberlakuannya dalam konsideran menimbang sebagai berikut : bahwa dalam rangka penyederhanaan dan pendayagunaan kehidupan politik, dewasa ini organisasi-organisasi kekuatan sosial politik yang telah ada telah mengelompokkan diri menjadi dua Partai Politik dan satu Golongan Karya, seperti yang telah dinyatakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara; b. bahwa dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut, diharapkan agar Partai-partai Politik dan Golongan Karya benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan; c. bahwa agar supaya kenyataan-kenyataan yang positif itu dapat tumbuh semakin kuat dan mantap, perlu diatur tata kehidupan Partai-partai Politik dan Golongan Karya tersebut, yang sekaligus memberikan kepastian tentang kedudukan, fungsi, hak dan kewajiban yang sama dan sederajat dari organisasi-organisasi kekuatan sosial politik yang bersangkutan yang memadai serta sesuai dengan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila serta pelaksanaan pembangunan Bangsa. a.
Kedua pengaturan dari rezim yang berbeda tersebut memperlihatkan bahwa terdapat pilihan-pilihan hukum yang dapat diambil dalam rangka mengurangi fragmentasi lembaga perwakilan dan menciptakan kestablian politik. Dibandingkan pada era Orde Baru, pengaturan fusi partai politik tersebut dianggap tidak rasional karena menghilangkan nilai-nilai kebebasan setiap orang
107
untuk berserikat dan berkumpul dengan tidak dimungkinkannya untuk mendirikan partai selain dari yang ditentukan. Alternatif hukum yang dipilih pada era reformasi adalah bagaimana agar kebebasan-kebebasan tersebut tidak berkurang namun tetap sejalan pada tujuan penyederhanaan sistem kepartaian sebagai upaya penciptaan proporsionalitas lembaga perwakilan. Pengaturan ambang batas formal dianggap sebagai bentuk alternatif hukum yang rasional dalam undangundang pemilu untuk mengatasi fragmentasi lembaga perwakilan. Pengaturan ambang batas formal juga harus memperhatikan setiap konsekuensi yang melekat dalam menjaga tingkat rasionalitasnya. Rasionalitas ilmu hukum tidak dapat diterjemahkan sebagai hal universal yang mutlak/penuh dimana semua orang harus setuju (pragmatis-konsensus).155 Pilihan hukum antara menyelamatkan suara pemilih dengan penyederhanaan sistem kepartaian diibaratkan sebagai dua sisi mata koin yang harus dipilih salah satunya. Secara teoritik, rasionalitas di dalam demokrasi adalah ketika tujuan yang ingin dicapai harus dinikmati oleh orang sebanyak-banyaknya (the greatest number).156 Pengaturan ambang batas formal yang rasional harus dengan cermat memperhatikan keuntungan maupun kerugian yang timbul dalam setiap pengaturannya bagi seluruh masyarakat, dimana penyederhanaan sistem kepartaian sebagai kebijakan hukum yang dipilih harus mampu menyeimbangkan setiap konsekuensinya. Besarnya jumlah suara yang hilang akibat proses
155
Theo Huijbers, 2012, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 137. M. Hutauruk, 1983, “Kadar Demokrasi dan Rasionalitas dalam Kebijaksanaan Pemerintah”, dalam Kompilasi Karangan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 59. 156
108
pengurangan yang dilakukan seharusnya mampu diupayakan untuk diminimalisir dengan cara-cara yang sah menurut hukum dalam rangka membentuk lembaga perwakilan yang berlegitimasi dan mampu membawa hasil positif seluas-luasnya.
3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia UUD Negara Republik Indonesia 1945 mengatur secara konstitusional bagaimana upaya pencegahan penumpukan kekuasaan dilakukan secara yuridis sebagaimana penerapan prinsip konstitusionalisme. Penumpukan kekuasaan tersebut dilakukan dengan menata hubungan antar lembaga negara, dimana dalam hal ini salah satunya terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Salah satu tujuan pokok yang mengemuka ketika ambang batas formal hendak diterapkan dalam undang-undang pemilihan umum adalah dalam rangka mendukung penguatan dan efektifitas sistem presidensial. Naskah Akademik RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjabarkan sebagai berikut : “pengaturan yang ketat seperti ini (electoral threshold) diperlukan dengan harapan akan terciptanya penguatan sistem kepartaian di satu pihak dan efektititas sistem presidensial di pihak lain”.157 Secara gramatikal dapat diinterpretasikan bahwa korelasi yang terbangun dengan diaturnya ambang batas formal terhadap sistem presidensial adalah bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan konsekuensi yuridis yang melekat pada pengaturan ambang batas 157
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. CETRO, hal. 18.
109
formal sesungguhnya ada terkait dengan sistem kepartaian. Dengan kata lain, efektivitas sistem presidensial melalui pengaturan ambang batas formal adalah bergantung dari bagaimana penguatan sistem kepartaian yang terjadi. Lebih jauh bahkan penafsiran yang dapat dibangun disini adalah bahwa sistem presidensial Indonesia adalah sistem yang bergantung pada lembaga perwakilan yang dibentuk dari partai-partai politik. Secara teoritik, sistem presidensial dapat diterjemahkan dari tiga pemahaman dasar berikut : 1. Jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden (the president must be the head of government). 2. Jabatan Presiden adalah dipilih untuk suatu periode yang tetap (the president is elected for a fixed time period). 3. Presiden tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri karena mosi tidak percaya oleh legislatif (the president cannot be forced to resign because of a no-confidence vote by the legislature). Kebanyakan sistem presidensial menerapkan impeachment namun merupakan suatu hal yang langka diterapkan dalam praktiknya.158 Sistem presidensial pada hakikatnya memposisikan jabatan eksekutif yang tidak bergantung pada legislatif. Tidak seperti pada sistem parlementer dimana kepala
pemerintahan
ditentukan
oleh
legislatif
sehingga
menimbulkan
ketergantungan kepada lembaga legislatif. UUD Negara Republik Indonesia
158
Scott Mainwaring, 2003, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination“, dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose´ Antonio Cheibub, The MIT Press, London, hal. 265-266.
110
Tahun 1945 sendiri menentukan jabatan yang tetap untuk kepala pemerintahan yang dipilih secara langsung oleh rakyat (vide Pasal 7 jo Pasal 6A ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945), serta rumitnya metode dalam melakukan pemberhentian Presiden di luar masa jabatannya (vide Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Hal ini menandakan bahwa instabilitas sistem presidensial yang memiliki ketergantungan dengan lembaga perwakilan sehingga urgensi mengadakan pengaturan ambang batas formal merupakan suatu alasan yang rapuh. Terkait dengan korelasi antara sistem presidensial, stabilitas, dan kelemahan sistem multipartai, sebagaimana yang menjadi tujuan diaturnya ambang batas formal, Scott Mainwaring memaparkan antitesis bahwa sistem presidensial yang dikombinasikan di dalam lembaga perwakilan yang terdiri dari sistem multipartai akan menyebabkan terjadinya instabilitas. Sistem multipartai, baik yang diterapkan pada sistem presidensial atau sistem parlementer, membutuhkan adanya koalisi atau gabungan partai politik guna mencapai lembaga legislatif yang mayoritas (in multiparty systems, interparty coalition building is essential for attaining a legislative majority), dan membangun koalisi adalah hal yang lebih sulit untuk dilakukan bagi sistem presidensial (make building stable interparty legislative coalitions more difficult in presidential democracies than in parliamentary systems).159 Tiga argumentasi yang dibangun adalah sebagai berikut :
159
ibid, hal. 270.
111
1. Dukungan partai politik bagi pemerintah cenderung lebih aman dalam sistem parlementer karena cara pembentukan dan pembubaran kekuasaan eksekutif melalui perjanjian pasca pemilu di antara partai partai. Sedangkan pada sistem presidensial, penentuan kabinet pemerintahan ada pada kewenangan Presiden (bukan lembaga legislatif dan partai-partai), sehingga walaupun Presiden dapat membuat kesepakatan sebelumnya dengan pihak-pihak yang mendukungnya, namun kesepakatan tersebut tidak mengikat seperti pada sistem parlementer (The president may make prior deals with the parties that support him or her, but these deals are not as binding as they are in a parliamentary system). 2. Dalam sistem presidensial, komitmen legislator secara individu untuk mendukung kesepakatan yang dinegosiasikan oleh pimpinan partai politik sering kurang terjamin (the commitment of individual legislators to support an agreement negotiated by the party leadership is often less secure). 3. Dorongan yang kuat untuk memecah koalisi (incentives for parties to break coalitions) lebih besar terjadi pada sistem presidensial dibandingkan sistem parlementer, terutama menjelang pemilihan umum, dalam hal apabila terjadi kegagalan pada pemerintahan atau tidak menuai keuntungan berarti terhadap prestasi yang diraih (share the blame for government mistakes, and not reap the benefits of its accomplishments).160
160
ibid, hal. 270-271
112
Dari argumentasi Scott Mainwaring tersebut dapat dibentuk pemahaman, bahwa sistem multipartai yang menyebabkan sistem presidensial menjadi ketergantungan pada keberadaan lembaga legislatif. Tidak adanya jaminan komitmen dalam membentuk hubungan yang langgeng di antara eksekutif dan legislatif dikarenakan koalisi dalam sistem multipartai adalah hal yang tidak permanen. Oleh karena banyaknya partai politik yang berada pada lembaga legislatif akan semakin mempersulit hubungan eksekutif dan legislatif, maka penyederhanaan partai politik secara tegas perlu untuk dilakukan. Ambang batas formal menjadi alternatif solusi hukum untuk menggantikan metode koalisi partai politik. Sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia secara sistemis tidak tegas apakah menganut sistem presidensil atau parlementer. Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa UUD 1945 tidak menganut sistem parlementer maupun presidensial dengan pemisahan kekuasaan (the original version of the 1945 Constitution indicates that Indonesia neither adopts parliamentary system nor government with separation of power system).161 Meskipun UUD 1945 menentukan bahwa jabatan kepala pemerintah yang tetap dipegang oleh Presiden, namun Pemilihan Presiden sendiri bergantung pada keberadaan partai politik dan lembaga perwakilan. Ketentuan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengatur bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
161
Peter Mahmud Marzuki, An Introduction …, op.cit, hal.75
113
kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menempatkan salah satu syarat ambang batas minimum berupa persentase perolehan kursi di DPR oleh partai politik atau gabungan partai politik, sehingga pengaturan ambang batas pemilu turut memberikan pengaruh di dalam penyelenggaraan pemilihan umum eksekutif. Partai politik yang tidak mampu menembus ambang batas pemilu menjadi tidak dapat (atau setidaknya sulit) mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden dikarenakan tidak dapat mengikuti perhitungan kursi di DPR. Meskipun terdapat alternatif ambang batas lain yakni 25% suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, namun hal tersebut secara rasional adalah sulit untuk dipenuhi bagi partai politik yang tidak mampu meraih kursi di DPR. Sistem Presidensial Indonesia memperlihatkan adanya hubungan secara yuridis dengan partai politik dan lembaga perwakilan dalam menentukan kepala pemerintahan. Perihal stabilitas sistem presidensial dan penggunaan sistem multipartai akhirnya menempatkan ambang batas formal pada satu titik temu dimana kekuasaan eksekutif membutuhkan lembaga perwakilan yang tersusun oleh partai politik dengan kekuatan dominan. UUD 1945 sebelum amandemen menunjukkan bagaimana peran sentral figur Presiden dalam Pemerintahan, seperti halnya bagaimana Presiden lebih memiliki peran dominan dalam pembuatan undangundang dibandingkan dengan DPR-RI. Dominasi eksekutif pada fungsi legislasi menjadikan Indonesia tidak menganut teori pemisahan kekuasaan. Pun halnya setelah diadakannya amandemen UUD 1945 yang mereduksi fungsi Presiden,
114
ternyata hak untuk mengajukan RUU tetap dipertahankan sehingga amandemen tidak menjadikan timbulnya separation of power secara mutlak (such a right signifies that the amendment of the 1945 Constitution does not turn to separation of power system).162 Secara normatif, DPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan konsitusional dalam menjabarkan arah politik hukum melalui undangundang. Kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif diperoleh secara atribusi berdasarkan ketentuan pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.163 Namun demikian UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjabarkan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi adalah memperlihatkan adanya interaksi antara lembaga legislatif bersama dengan eksekutif. Terkait dengan adanya bentuk konsensus cermat antara lembaga legislatif dan Presiden dalam pembentukan undang-undang merupakan sebagai suatu aspek filsafat demokrasi presidensial Indonesia yang ditanamkan oleh pendiri bangsa sejak awal ditetapkannya UUD 1945. Demokrasi Indonesia menempatkan bagaimana mufakat antara DPR bersama eksekutif dalam menghasilkan sebuah undang-
162
Peter Mahmud Marzuki, An Introduction..., op.cit, hal.77. Lihat dalam Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah (Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan), Setara Press, Malang hal. 126. Bahwa Van Wijk sebagaimana dikutip Lukman Hakim mendefinisikan Atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada pemerintah (attributie : toekening van een bestuurbevoegheid door een wetgever aan een bestuursogaan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembuat undangundang yang dimaksud tersebut baik pembentuk undang-undang orisinil (orginaire wetgever) maupun pembentuk undang-undang yang diwakilkan (gedelegeerde wetgevers). Atribusi merupakan kewenangan yang bersifat asli karena langsung bersumber dari pembentuk undangundang, yang tidak berasal dari kewenangan yang ada sebelumnya ataupun bukan perluasan dari kewenangan sebelumnya. 163
115
undang dapat merepresentasikan baik kepentingan rakyat maupun kepentingan negara. Apabila kewenangan legislasi hanya berada pada tangan DPR-RI serta tidak ada pengimbangan dalam pembuatan undang-undang, maka hal tersebut akan mengarah pada perubahan tatanan demokrasi konstitusional Indonesia. Bahwa selain konsensus yang dibentuk dalam lembaga legislatif, pembentukan dan pembaruan hukum juga melibatkan badan eksekuif (dalam hal pembahasan) dan judisial (dalam hal uji materi). Lembaga perwakilan merupakan lembaga yang diisi oleh bervariasi aspirasi sehingga akan sangat sulit untuk menemukan kata mufakat. Kondisi ini menimbulkan implikasi bagaimana voting menjadi lumrah untuk dipraktikkan dalam pembahasan undang-undang dan menyebabkan substansi dari suatu undang-undang tersebut rentan akan kelemahan, sehingga perlu diimbangi oleh lembaga negara lain. Adanya check and balances yang terjadi dalam proses jalannya fungsi lembaga negara tidak lain adalah didasarkan pada konsep negara kesejahteraan sebagai politik hukum, dimana negara berhak turut campur dalam setiap aspek kehidupan demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Secara fungsional permasalahan dan kebutuhan negara adalah lebih banyak dipahami oleh eksekutif. Sebagai perbandingan, bahwa dipaparkan oleh Allan R. Ball & B. Guy Peters sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra dimana sebesar 80% RUU yang diciptakan di Amerika adalah berasal dari eksekutif.164 Paradigma Amerika yang dianggap sebagai penganut konsep pemisahan
164
Saldi Isra, op.cit. hal. 97
116
kekuasaan paling konsisten dalam pemerintahannya sebagaimana termaktub dalam Konstitusi Amerika Serikat tentu menjadi terbantah. Article I - Legislative Department, Section 1: ―All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives (Semua kekuasaan legislatif yang ditetapkan di sini akan diberikan kepada sebuah Kongres Amerika Serikat, yang akan terdiri dari sebuah Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat). Apabila Amerika konsisten dengan konsep pemisahan kekuasaan dan sistem presidensial murni, maka tentu presiden tidak akan terlibat secara dominan dalam pengajuan RUU. Satu-satunya alasan mengapa Amerika melakukan praktik kenegaraan demikian adalah tidak lain adalah demi suatu efektivitas jalannya pemerintahan. Teori meligitimasi bahwa efeketifitas hanya dapat timbul apabila terdapat suatu hubungan atau relationship antar lembaga negara, dan kekuasaan yang satu dan yang lain tidak benar-benar terpisah. Argumentasi-argumentasi
di
atas
memperlihatkan
bahwa
adanya
hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif sekalipun di dalam sistem pemerintahan presidensial menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Perihal efektivitas jalannya fungsi pemerintahan apapun rezim atau doktrin yang dianut suatu negara adalah tujuan yang harus dicapai dalam keadaan apapun. Pengaturan ambang batas formal yang menyederhanakan sistem kepartaian dalam lembaga perwakilan memiliki tujuan yang sejalan dengan hal tersebut. Hubungan antara DPR-RI dan Presiden dalam hal perumusan RUU tidak akan berjalan maksimal apabila partai-partai politik yang ada di dalam lembaga perwakalian berada dalam
117
fragmentasi kepentingan yang terlalu bervariasi. Ambang batas formal mengupayakan bagaimana hubungan antara legislatif dan eksekutif dapat tertata secara yuridis dan demokratis dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem pemerintahan presidensial multipartai (multiparty presidential government system).
3.3.
Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik Hak politik secara teoritis berada pada Generasi HAM Pertama bersama
dengan hak sipil.165 Hak politik atau political right merupakan hak keikutsertaan dalam pemerintahan, seperti hak pilih (hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu), hak mendirikan partai politik, organisasi masyarakat, dan sebagainya.166 Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa hak politik erat berkaitan dengan bagaimana keterlibatan seseorang di dalam pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hak politik merupakan jenis dari hak derivatif.167 Hak politik harus dituangkan ke dalam konstitusi, yang kemudian dituangkan lebih lanjut ke dalam undang-undang agar dapat terlihat batas-batas daripada haknya dan apabila terjadi suatu permasalahan dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memutusnya.168
165
Lihat dalam Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 212, yang menjelaskan bahwa Generasi HAM Pertama berada pada aspek hak-hak sipil dan politik yang berdasarkan pemikiran negara-negara barat dengan kerangka ideologi individualisme liberal 166 Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi (Edisi Revisi), Rajawali Press, Jakarta, hal. 98. 167 Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 162. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa hak derivatif adalah hak yang timbul karena dibentuk oleh hukum (undang-undang), dipraktikan dalam hukum kebiasaan, dan dituangkan di dalam perjanjian. 168 ibid, hal. 171.
118
Hak politik membutuhkan peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan legitimasi akan keberadaannya dan justifikasi perihal penegakan hukumnya dalam rangka menjaga keutuhan perlindungan hak-hak politik tersebut (protection of the political rights). Perlindungan hak-hak asasi secara konstitusional adalah unsur yang esensi dalam prinsip demokrasi konstitusional. Pengaturan ambang batas formal berkorelasi secara langsung dengan hak warga negara di dalam pemerintahan, dalam hal ini hak-hak politik warga negara untuk menduduki jabatan politik dalam Dewan Perwakilan Rakyat.169 Reformasi demokratisasi Indonesia memberikan jaminan akan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk hak politik, secara konstitusional dalam amandemen UUD 1945, sehingga penempatan materi-materi hukum dalam setiap perundang-undangan harus memperhatikan pemenuhannya, termasuk perihal ambang batas formal. 3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis Ambang Batas Formal Secara normatif, pasal-pasal yang secara substansil mengatur tentang hakhak politik tercantum baik di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun perundang-undangan organis lain yang ada di bawahnya. Ketentuan normatif perihal hak politik dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
169
Lihat dalam Solly Lubis, op.cit. hal. 109-110. Solly Lubis mengutip pendapat Utrecth yang menjelaskan bahwa yang dimaksud pemerintah umumnya terdapat tiga definisi. Pemerintah dalam arti luas sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan yang berkuasa memerintah (meliputi badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif) ; Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan yang tertinggi ataupun satu badan kenegaraan yang tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu Negara, misalnya Raja atau Presiden ; Pemerintah dalam arti Kepala Negara bersama-sama dengan menterinya (dalam arti sebagai organ eksekutif).
119
sebagai aturan yang berada di puncak tata urutan peraturan perundanganundangan adalah berdasakan Pasal 28D ayat (3) dimana setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Perihal kesempatan yang sama tersebut hanya dapat dijamin melalui aturan hukum, sehingga pasal tersebut berkorelasi dengan Pasal 28D ayat (1) dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum. Kedua pasal dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut memberikan jaminan kepada setiap negara akan hak-hak politiknya yang dilindungi secara hukum. Kemudian UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai perundang-undangan organis di bawah undang-undang dasar turut memberikan kepastian perihal jaminan hak politik warga negara. Beranjak dari Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 telah diatur mengenai hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang taat asas, hak turut serta dalam pemerintahan (perwakilan), dan hak atas jabatan pemerintahan, yaitu sebagai berikut: 1. Pasal 43 ayat (1) : Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Pasal 43 ayat (2) : Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang
120
dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 43 ayat (3) : Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Selain hukum nasional, Indonesia juga meratifikasi ketentuan dari hukum internasional perihal hak politik yakni ratifikasi The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 16 Desember 1966. Apabila beranjak dari pemahaman yang dituangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia merupakan negara yang menganut paham dualisme yang memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua hal yang berbeda (baik dari sumber, subjek, dan tata hukum). Hal ini menyebabkan ketentuan dalam hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sehingga hukum internasional tersebut dapat berlaku menjadi hukum nasional.170 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang merupakan hasil ratifikasi menimbulkan konsekuensi pengaturan hak politik internasional menjadi berlaku di Indonesia. Pasal 25 Kovenan Sipil dan politik mengatur hak politik warga negara pihak kovenan dalam hal hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, serta mempunyai akses yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik. 170
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, hal. 57-58.
121
Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions (setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak:) (a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives (untuk ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas); (b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors (untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih); (c) To have access, on general terms of equality, to public service in his country (untuk memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum). Ambang batas formal merupakan pengaturan yang berkorelasi secara langsung terhadap sistem kepartaian dalam lembaga perwakilan, sehingga partai politik merupakan subyek hukum yang terikat di dalamnya. Namun apabila ditafsirkan secara ekstensif, pengaturan ambang batas formal sesungguhnya
122
mengarah pada dua subyek hukum, yakni selain terhadap partai politik, juga melekat pada individu calon anggota legislatif yang diusung oleh partai politik. Adapun dalam hal ini ambang batas formal berakibat secara langsung terhadap hak-hak individu warga negara perihal keterlibatannya di pemerintahan. Calon anggota DPR-RI yang diusung oleh partai politik peserta pemilu menjadi tidak berhak mengisi jabatan politik dalam lembaga perwakilan apabila partai politik pengusungnya memiliki persentase kurang dari persentase minimal yang dipersyaratkan, walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya calon anggota DPRRI yang memperoleh suara yang mencukupi. Secara normatif, hal ini menimbulkan adanya pengurangan hak setiap warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan, dalam arti hak secara aktif. Pengaturan ambang batas formal bahkan secara tidak langsung berdampak pada hak-hak politik warga negara secara pasif. Pengaturan ambang batas formal memiliki
konsekuensi
secara
langsung
(direct
consequence)
terjadinya
pengurangan suara. Suara-suara dari pemilih yang berhak untuk memilih akan hilang secara otomatis apabila partai politik pengusung calon anggota DPR yang dipilihnya tidak memenuhi ambang batas pemilihan umum. Berdasarkan pemahaman tersebut, konsekuensi yang ditimbulkan dari adanya pengaturan ambang batas formal berdampak kepada hak politik, baik secara aktif maupun pasif.
123
3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas Formal Bahwa perdebatan pengaturan ambang batas formal yang membatasi hak politik menghasilkan fenomena substansial perihal bagaimana cara yang sah secara hukum guna melegitimasi pembatasan hak-hak politik tersebut. Secara normatif, pembatasan hak-hak politik dari warga negara sebagaimana konsekuensi yang timbul dari pengaturan ambang batas formal hanya dapat dilegitimasi secara formal apabila terdapat suatu dasar mengikat yang menjaga keberlakuannya. UUD 1945 secara konstitusional memaktubkan bahwa pembatasan hak asasi manusia melalui undang-undang adalah dapat dilakukan tanpa terkecuali pada hak politik. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan bahwa : "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Pembatasan terhadap hak politik hanya dapat dilakukan melalui perundang-undangan, dimana dalam hal ini ambang batas formal merupakan substansi hukum yang diatur di dalam undang-undang pemilu, sebagaimana apa yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Adapun ketentuan pembatasan hak tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 70 UU Nomor 39 Tahun 1999.
124
Sejalan dengan hal tersebut Kovenan sipil dan politik menentukan pula secara limitatif hak-hak asasi yang boleh dikurangi atau dibatasi (derogable rights) pemenuhannya. Pasal 4 Kovenan Sipil dan Politik menentukan bahwa “no derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision”. Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 merupakan pasal-pasal yang tidak boleh dikurangi (non derogable) sebagaimana ditentukan dalam Kovenan. Apabila ditafsirkan secara pertentangan, maka selain pasal-pasal yang ditentukan tersebut adalah bersifat derogable, termasuk dalam hal hak-hak politik setiap partai politik dan individu yang terikat ketentuan ambang batas formal. Secara teoritik, Hans Kelsen memaparkan bahwa proses derogasi atau pengurangan suatu ketentuan hukum diperlukan jika terdapat norma-norma yang saling berkonflik antara yang satu dengan yang lainnya, dimana konflik tersebut terjadi jika dalam menerapkan norma yang satu, maka norma yang lainnya terlanggar.171 Norma yang mengalami konflik, dimana pada satu sisi UUD 1945 menentukan perlindungan hak politik individu namun disisi lain UUD 1945 juga mengatur
pembatasan
hak
melalui
ketentuan
dalam
undang-undang,
membutuhkan proses derogasi norma untuk menyelesaikan konflik pada tindakan kemauan dari pihak yang mempunyai kewenangan hukum (legal authority).172 Disinilah peranan dari pembentuk undang-undang dalam menjabarkan ketentuan hukum yang memenuhi aspek moral untuk melakukan pembatasan hak asasi
171
Hans Kelsen, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and Moral Philosophy” terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, hal 114. 172 ibid, hal. 44.
125
manusia, dalam hal ini pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Perihal legitimasi hak asasi manusia atas pengaturan ambang batas formal yang termuat dalam undang-undang pemilu, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan kedudukan pengaturan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menguji Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, memuat pendapat hukum perihal korelasi antara ambang batas formal dan hak asasi politik adalah sebagai berikut : “...kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama melalui kompetisi secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap sama” Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi merasionalisasi bahwa pengaturan ambang batas formal yang disusun oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan hak asasi politik. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membangun logika hukum bahwa hak untuk terlibat di dalam pemerintahan dan kesempatan memenangkan pemilu adalah dua hal yang tidak dapat dipersamakan. Robert A. Dahl memaparkan bahwa di dalam demokrasi terdapat prinsip-prinsip persamaan intrisik dengan pertimbangan moral, dimana dalam mencapai suatu tujuan, pemerintah harus memberikan pertimbangan yang
126
sama terhadap hak dan kepentingan setiap orang yang terikat pada keputusankeputusan tersebut.173 Mahkamah Konstitusi menyandarkan keabsahan ambang batas formal dalam kerangka hak politik adalah bahwa kesempatan yang dimiliki oleh setiap peserta pemilu pada hakikatnya adalah sama. Fungsi rekrutmen yang dimiliki oleh partai politik untuk menyaring individu-individu guna menjadi perwakilan dalam pemerintahan tidak dapat diterjemahkan secara mutlak bahwa setiap partai politik akan terlibat nantinya di dalam pemerintahan. Hal ini juga sejalan dengan laporan dari Freedom House bahwa pada dasarnya hak politik memungkinkan kebebasan bagi setiap orang dalam berpartisipasi secara bebas dalam proses politik, namun untuk pengisian jabatan ditentukan dengan adanya persaingan.174 Undang-undang pemilu memuat berbagai politik-politik hukum untuk menentukan sistem pemilu yang digunakan agar setiap warga negara dapat berkompetisi secara adil. Bahwa setiap kompetisi memiliki persyaratan, begitu pula dengan pemilu yang memiliki syarat-syarat hukum guna memenangkan pemilihan umum tersebut. Pertimbangan moral dimana pada hakikatnya hak politik setiap orang diberikan secara sama dan bebas, namun harus memperhatikan porsi dari tiap-tiap hak tersebut.
173
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi..., op.cit, hal. 90-91. Sabine C. Carey et.al, 2010, The Politics of Human Rights The Quest for Dignity, Cambridge University Press, New York, hal. 105-106. 174
127
3.4.
Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal Pengujian yang dilakukan terhadap ambang batas formal yang termuat
dalam undang-undang pemilu terhadap UUD 1945 merealisasikan prinsip supremasi demokrasi konstitusional dalam sistem pemilu Indonesia. Bahwa Mahkamah Konstitusi Indonesia telah beberapa kali melakukan pengujian terhadap ambang batas formal dan memperlihatkan adanya suatu konsistensi, baik dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menguji ketentuan ambang batas formal dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012. Konsistensi tersebut dapat dilihat berada pada 3 aspek, yakni penentuan besaran persentase ambang batas, keberlakuannya hanya untuk pemilu DPR-RI, dan dissenting opinion. Mahkamah Konstitusi memperlihatkan adanya konsistensi dengan mengukuhkan bahwa dalam hal menentukan ambang batas formal yang akan diterapkan adalah tergantung pada kebijakan hukum (legal policy) yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Kebijakan ambang batas formal juga ditegaskan tidak bertentangan dengan konstitusi karena tidak bertentangan dengan hak-hak politik. Berikut kutipan pertimbangan putusan Mahkamah atas pengujian pasal 202 ayat (1) UU No 10 tahun 2008 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, dimana pertimbangan tersebut diterapkan secara mutatis mutandis dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. “...lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya
128
Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat.”175 Edger Bodenheimer sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja memaparkan terdapat 2 teori dalam penafsiran konstitusi yaitu teori penafsiran historis (theory of historical interpretation) dan teori penafsiran kontemporer (theory of contemporaneous interpretation).176 Secara teoritis, penafsiran konstitusi menurut teori historis dilakukan dengan cara memberi makna atau arti pada ketentuan-ketentuan konstitusi seperti pada waktu ditetapkan (original intent), sementara penafisran konstitusi menurut teori kontemporer dilakukan dengan cara memberi makna ketentuan dalam konstitusi untuk memenuhi dan meliputi perubahan-perubahan kondisi sosial dan ekonomi. Perbedaan implikasi yuridis yang ditimbulkan dari kedua penafsiran tersebut adalah adanya kemungkinan di antara salah satu penafsiran yang memberikan “kerugian” kepada masyarakat, apakah pada aspek sosial dan ekonomi, atau aspek politik. 177
175
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 99. I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi..., op.cit, hal.89. 177 Ibid, h.90-91. 176
129
Salah satu perihal menimbang menyebutkan alasan mengapa ambang batas formal adalah konstitusional ditunjukkan dari kalimat sebagai berikut : “...mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas...” Dari pertimbangan hakim tersebut penulis berpendapat bahwa putusan pengujian ambang batas formal dikaji menggunakan penafsiran teori historis dengan sifat original intent. Pertimbangan putusan tersebut merupakan bentuk rasionalisasi bahwa UUD secara original intent yang dibentuk oleh pendiri bangsa adalah bersifat singkat, supel, dan tidak kaku (unrigid). Hal tersebut dapat ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945 poin IV paragraf ketiga dijelaskan sebagai berikut: “Kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia. Masyarakat dan Negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu kita harus hidup secara dinamis harus melihat segala gerak – gerik kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia. Berhubung dengan itu janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah …” Pendiri bangsa di dalam merumuskan Undang Undang Dasar menyadari suatu hal bahwa Undang Undang Dasar yang dibentuk adalah sifatnya diupayakan dapat mengikuti perkembangan zaman yang dengan menjadikan pengaturannya yang bersifat sederhana, dan mendelegasikan pengaturannya kepada undangundang sepanjang sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar. Bahwa Djokosoetono kemudian berpendapat undang-undang dasar memuat garis-garis besar saja, maka hal ini memberkan kesempatan kepada organieke wetgever untuk
130
menyesuaikan aturan-aturan pokok itu dengan keadaan istimewa pada suatu tempat dan pada suatu saat Dynamisch dus.178 UUD 1945 dari aspek filosofis pada waktu ditetapkan tidak bermaksud untuk menjadi undang-undang dasar yang kaku atau rigid, sehingga ambang batas formal sebagai bentuk delegasi pengaturan oleh UUD 1945 untuk ditentukan oleh pembentukan undang-undang walaupun tidak diatur dalam konstitusi bukan berarti menjadi hal yang dilarang. Kemudian perihal ambang batas formal yang diatur dalam pemilihan lembaga perwakilan di daerah, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menyatakan frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pengaturan ambang batas formal di daerah menjadi tidak berlaku. Berikut adalah petikan pertimbangan hukum dari Mahkamah Konstitusi : “...Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah.”179
178 179
Djokosoetono, op.cit, hal.146. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 98.
131
Dasar pertimbangan yang digunakan adalah bagaimana pengaturan ambang batas formal tetap harus memperhatikan tingkat proporsionalitas di daerah dan beragamnya kepentingan di daerah. Aspek kebhinekaan juga menjadi dasar filosofis dimana hal tersebut sejalan dengan ketentuan dari Pasal 6 ayat (1) huruf f UU No. 12 Tahun 2011 yang menentukan setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas salah satunya adalah asas bhinneka tunggal ika. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf f menjelaskan yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta
budaya
dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa tidak diaturnya ambang batas formal di daerah adalah guna menghindari kemungkinan terjadinya kemenangan tunggal suatu partai politik yang duduk di DPRD. Adapun pertimbangan hukum dari Mahkamah adalah sebagai berikut : “...sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD...”180 Adapun putusan tersebut didasari pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, dimana pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi berpendapat pengaturan ambang batas formal secara formal tidak diberlakukan untuk di daerah
180
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 99.
132
sebagai upaya untuk menjaga proporsionalitas lembaga perwakilan. Berikut kutipannya : “Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, karena menurut para Pemohon ada perlakuan yang berbeda bagi calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk menempatkan wakilnya di DPR, sedangkan ketentuan tersebut tidak diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah tepat, karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20 ayat (1) UUD 1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan Presiden dalam sistem checks and balances, lagipula kekuasaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat). Dalam hal ini, Mahkamah juga sependapat dengan argumentasi DPR, Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT yang hanya berlaku bagi penentuan kursi DPR dan tidak berlaku bagi penentuan kursi DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan justru kebijakan yang proporsional.”181 Putusan Mahkamah Konstitusi konsisten dengan peranannya sebagai pengawal konstitusi dengan memperlihatkan walaupun UUD 1945 memberikan delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan substansi undang-undang pemilu, namun terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan. Unsur persatuan dan kebhinekaan serta pertimbangan proporsionalitas menjadi kerangka dalam rangka membatasi substansi ambang batas formal, sehingga pembentuk undangundang
tidak
melakukan
kesewenang-wenangan
penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
181
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal.128-129.
dalam
mengatur
133
Konsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berada pada domain ratio decidendi yang memberikan legitimasi atas keberlakuan ambang batas formal, namun juga pada perbedaan pandangan atau dissenting opinion yang diberikan dalam putusan-putusan tersebut. Akil Mochtar dalam kedua putusan pengujian undang-undang pemilu mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan penerapan model pengaturan ambang batas secara formal yang menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai politik yang lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di DPR-RI.182 Akil Mochtar kembali menekankan bahwa dengan diaturnya ambang batas formal sesungguhnya bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan prinsip-prinsip demokrasi dimana
setiap
peraturan
dalam
pelaksanaan
pemilu
seharusnya
lebih
menempatkan rakyat pemegang kedaulatan tertinggi, bukan sebagai obyek untuk memperoleh kepentingan yang bersifat politis.183 Di tengah adanya perbedaan pandangan antara hakim-hakim konstitusi, bahwa secara eksplisit terdapat suatu kesepahaman antara pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang melegitimasi pengaturan ambang batas formal
dengan
dissenting
opinion
yang
ada,
terlepas
dari
konten
konstitusionalnya. Pandangan hukum tersebut yakni perihal ketidakjelasan desain pengaturan ambang batas formal yang hendak diciptakan. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum penutup sebagai berikut :
182 183
106.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 106. Lihat dalam Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal.
134
“...meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003, namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang tidak konsisten dengan kebijakan kebijakannya yang terkait Pemilu dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di bidang politik...”184 Adapun Maruarar Siahaan memberikan pandangan yang sejalan dengan pertimbangan putusan tersebut dalam bagian dissenting opinion-nya, dimana pengaturan ambang batas formal di dalam sistem pemilu yang berubah-ubah menurut kehendak pembentuk undang-undang harus dihindarkan dalam rangka menjaga hak warga negara dan menciptakan sistem pemerintahan yang efektif. “...penjabarannya dalam desain pemerintahan dan desain Pemilu dalam kerangka demokrasi dan konstitusi yang diharapkan menciptakan sistem pemerintahan yang efektif melalui seluruh peraturan perundang-undangan yang diperlukan, harus dalam rangka melindungi, menjamin, dan merupakan pemenuhan hak-hak dasar warga negara, yang hanya dapat dicapai jikalau memperhatikan dan memperhitungkan norma norma konstitusi secara cermat. Haruslah dielakkan sikap pragmatis yang amat situasional, dan menghalalkan semua sistem yang dirasakan cocok, yang berakibat gonta-ganti-nya kebijakan sesuai selera decision makers.”185 Sejalan dengan hal tersebut Akil Mochtar menempatkan pemahaman bahwa adanya
inkonsistensi
dalam
pengaturan
ambang
batas
formal
tersebut
sesungguhnya memberikan suatu gambaran bahwa telah terjadi kegagalan dalam menciptakan sistem kepartaian sederhana dan pemerintahan yang stabil.
184 185
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 130-131. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 134.
135
“...dengan memanfaatkan legal policy sebagai pilihan pembentuk Undang-Undang, namun hal tersebut tidak dilaksanakan dengan benar dan konsisten, ketika menerapkan kebijakan ambang batas perolehan kursi dengan model electoral threshold yang selalu berubah dari setiap siklus lima tahunan penyelenggaraan Pemilu Legislatif. Akibatnya, sikap tidak konsisten tersebut telah memberikan kontribusi yang besar pula untuk tidak tercapainya sistem kepartaian sederhana dan pemerintahan yang kuat sebagaimana keinginan yang hendak diwujudkan oleh pembentuk Undang-Undang itu sendiri”186 Walaupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan konstitusionalitas ambang batas formal terdapat perbedaan pandangan di antara para hakim yang memutus, namun adanya kebulatan suara perihal ketidakjelasan dan inkonsistensi dari pengaturan ambang batas formal tersebut patut menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang. Tidak tertutup kemungkinan di kemudian hari terjadinya pengoreksian oleh Mahkamah, seperti halnya yang terjadi pada substansi ambang batas formal pada pemilihan umum lembaga perwakilan di daerah, selama desain sistem kepartaian sederhana dan pengaturan ambang batas formal yang dimaksud belum jelas. Aspek proporsionalitas pengaturan ambang batas formal menjadi dasar pertimbangan yang patut diperhatikan.
186
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 138.
BAB IV INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM INDONESIA
Pengaturan ambang batas formal merupakan salah satu alternatif hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang untuk mengatasi permasalahan timbulnya fragmentasi pada lembaga perwakilan. Alternatif hukum menyiratkan bahwa sesungguhnya pembentuk undang-undang memiliki beberapa solusi yang dapat digunakan sebagai upaya mengatasi suatu permasalahan, dimana pilihan hukum tersebut bergantung pada politik hukum yang dianut pada suatu rezim pemerintahan.187 Ambang batas formal menjadi politik hukum dalam undangundang pemilu di era reformasi untuk mencapai suatu tujuan sebagaimana yang telah ditentukan. Keadaan riil yang dihadapi oleh pembentuk undang-undang dalam pengaturan ambang batas formal adalah ketidakjelasan dalam menentukan pilihan hukum yang sesuai untuk mengatasi permasalahan. Pergantian undang-undang pemilu yang diiringi dengan metamorfosis pengaturan ambang batas formal meninggalkan catatan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi akan pentingnya desain hukum pemilu yang konsisten dan proporsional untuk diterapkan. Oleh 187
Lihat dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 89. Dijelaskan bahwa inti sari dari politik hukum adalah suatu tindakan untuk memilih (act to choice) dalam dua arti, yaitu etik dan teknis. Etik berarti memilih dan menentukan tujuan kehidupan bermasyarakat yang harus diperjuangkan, sementara teknis berarti memilih dan menentukan cara dan sarana untuk mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik sebagai etik tersebut.
136
137
karena itu, kebutuhan akan indikator yang jelas dalam penormaannya menjadi upaya solutif dalam menentukan pengaturan ambang batas formal yang sesuai untuk diterapkan. Indikator menyiratkan adanya suatu parameter yang dapat digunakan sebagai petunjuk. Secara konseptual hukum, indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas formal oleh penulis berada pada tiga fokus kajian, yakni pemenuhan cita hukum, rancangan aturan untuk mengurangi disproporsionalitas pemilu, dan pemenuhan tujuan hukum.
4.1.
Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan Ambang Batas Formal A. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa Cita hukum merupakan
terjemahan dari Rechtsidee yang berisi gagasan, rasa, cipta pikiran.188 Cita Hukum merupakan pemandu dalam semua kegiatan, memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan juga membatasi ruang gerak isi peraturan perundangundangan tersebut.189 A. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa Pancasila menjadi cita hukum Indonesia yang menguasai hukum dasar negara, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.190 Lebih lanjut, Pancasila mempunya fungsi konstitutif untuk menentukan tata hukum yang benar, dan fungsi regulatif untuk menentukan ukuran hukum positif yang adil atau tidak.191 Hal ini memperlihatkan
188
A. Hamid S. Attamimi, 1992, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia”, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (Disunting oleh Oetojo Oesman dan Alfian), Bp-7 Pusat, Jakarta, hal.68. 189 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 59 190 A. Hamid S. Attamimi, op.cit, hal.67. 191 ibid, hal. 69.
138
bagaimana peranan dari cita hukum untuk dapat memberikan legitimasi secara fundamental dari pengaturan ambang batas formal. Mengutip dalil kelima tentang filsafat hukum oleh DHM Meuwissen, dimana Meuwissen menjelaskan filsafat hukum sebagai refleksi ide hukum atau cita hukum yang harus diwujudkan. Lebih lanjut Meuwissen menjelaskan sebagai berikut. “Filsafat Hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. “Kenyataan hukum” harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari ide-hukum (cita hukum). Dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk : aturan hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum), lembaga hukum. Lembaga hukum terpenting adalah Negara. Tetapi tidak hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah “sistem terbuka” yang di dalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya”192 Dalam pendapat Meuwissen tersebut, secara eksplisit ia menekankan bagaimana pentingnya peranan cita hukum (recht idea) yang terintegrasi dalam hukum positif. Cita hukum tidak hanya menjadi suatu hal yang abstrak, namun berkembang sebagai konsep yang dapat direalisasikan secara sistematis. Integrasi cita hukum di dalam pengaturan ambang batas formal secara konkret tampak dari bagaimana adanya kesatuan utuh antara segenap peraturan perundangan-undangan yang relevan (mulai UUD 1945, UU Pemilihan Umum, UU HAM, dan sebagainya), keberadaan Mahkamah Konstitusi untuk mengontrol ambang batas formal secara konstitusional melalui putusan-putusannya, serta eksistensinya yang ditujukan untuk menata hubungan lembaga negara, baik antar internal DPR maupun hubungan DPR bersama Presiden.
192
B. Arief Sidharta, op.cit, hal. 19.
139
Pembentukan hukum nasional yang baik tidak akan dapat terwujud dengan bercermin pada asas-asas dan pemahaman hukum barat yang sangat kental dengan paham-paham individualis, kapitalis dan liberal. Penempatan ambang batas formal dalam substansi hukum nasional harus mampu dielaborasikan dalam cita hukum Indonesia sebagai dasar mengikat hukum pada umumnya dan konstitusi pada khususnya adalah hal yang tidak dapat terbantahkan 4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia Dalam Pengaturan Ambang Batas Formal Pelaksanaan demokrasi tidak hanya terkait dengan bagaimana proses tersebut dapat dilaksanakan, namun bagaimana demokrasi tersebut secara materiil dapat diselenggarakan berdasarkan falsafah atau ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau negara.193 Benih-benih nilai demokrasi Bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila timbul dari Pidato Soekarno yang menguraikan bahwa dasar falsafah negara Indonesia yang merdeka (philosofische grondslag) salah satunya adalah prinsip “mufakat atau demokrasi”.194 Bahwa idealisasi yang ditanamkan oleh founding fathers atas konsep demokrasi Indonesia adalah demokrasi konsensus (demokrasi permusyawaratan) sebagaimana dimaksud sila keempat Pancasila dengan lebih menekankan pada daya-daya konsensus (mufakat) dalam semangat kekeluargaan masyarakat plural.195 Pengaturan ambang batas formal yang diatur di Indonesia seyogyanya membutuhkan harmonisasi
193
Lihat penjelasan tentang Demokrasi Materiil dalam Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 9. 194 Dahlan Thaib et al, op.cit, hal. 96. 195 Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna – Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 463.
140
bagaimana prinsip-prinsip demokrasi di dalam suatu negara yang majemuk dapat mencapai suatu konsensus. Pluralisme dalam demokrasi akan mengarahkan kepada dua keadaan, yakni terjadinya konflik dan konsensus.196 Bahwa praktek demokrasi sebagai suatu proses yang bersifat dinamis memiliki kerentanan yang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan, persaingan, dan pertentangan dikarenakan pluralnya aktor atau pelaku yang terlibat di dalamnya. Demokrasi mensyaratkan adanya suatu keseimbangan yang harmonis di antara konflik dan bagaimana penyelesaiannya.197 Adanya harmonisasi di antara konflik dan penyelesaiannya dalam bentuk kesepakatan (konsensus) ditujukan sebagai bentuk persatuan dalam perbedaan dan kemajemukan. Konflik yang terjadi merupakan bentuk dari adanya perbedaan, dan konsensus merupakan wujud dari persatuan. Secara aksiologis, pemahaman demokrasi yang tersirat di dalamnya memiliki nilai tujuan kemanfaatan untuk menyatukan perbedaan di dalam kemajemukan (pluralisme), dalam hal ini Bhinneka Tunggal Ika. Mohammad Hatta berpendapat bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukan hanya kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang mengutamakan permusyawaratan, menempatkan pemungutan suara (voting) sebagai pilihan terakhir, dan harus menjunjung tinggi semangat kekeluargaan yang saling menghormati.198 Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa konsep demokrasi yang ideal dianut Indonesia adalah 196
Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Pers, Malang, hal. 87. Ramlan Surbakti, 1999, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal.228. 198 Yudi Latif, op.cit, hal. 477-480. 197
141
permusyawaratan yang seharusnya tidak mengenal siapa mayoritas ataupun minoritas (setidaknya mempertimbangkan pendapat semua pihak). Namun sebagai suatu hal yang disadari secara teoritis bahwa corak demokrasi ideal yang melibatkan semua orang tersebut bahkan pada aspek terkecil sebagaimana yang diidealisasi oleh John Stuart Mill, tidak sepenuhnya dapat diterapkan. Suatu negara yang plural dengan segenap permasalahan yang kompleks menyebabkan mufakat memang sangat sulit untuk dibulatkan. Hatta sendiri berpendapat bahwa “mufakat yang dipaksakan” sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter tidaklah sesuai dengan paham demokrasi Indonesia”.199 Demokrasi langsung (direct democracy) layaknya di negara polis tidaklah mungkin dapat diterapkan di Indonesia yang memiliki ragam kepentingan dan aspirasi. Pemilihan suara dengan suara terbanyak harus tetap dimungkinkan dalam rangka menghindari kemungkinan rekayasa mufakat dalam pembentukan pemerintahan. Pengaturan ambang batas formal timbul sebagai refleksi atas upaya mengurangi konflik dalam demokrasi dan menghindari rekayasa konsensus atas nama mufakat yang semu. Konsensus yang terbangun melalui pengaturan ambang batas formal mengupayakan terbangunnya permusyawaratan/perwakilan yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspirasi semua pihak (baik mayoritas dan minoritas), dimana rezim reformasi memberikan kebebasan pada setiap elemen masyarakat dalam hal membentuk partai politik dan berpeluang untuk mengikuti pemilu dengan syarat yang sama, namun eksistensinya dalam lembaga
199
ibid, hal. 478.
142
perwakilan dapat dibatasi oleh rakyat sendiri melalui pemilihan umum dan pemberlakuan ambang batas formal.200 Demokrasi materiil Indonesia juga menempatkan bagaimana aturan-aturan dalam menciptakan perwakilan tersebut dapat diselenggarakan secara adil. Pada hakikatnya bahwa yang menjadi sumber hukum secara universal sebagaimana dipaparkan oleh G.W. Paton tidak lain adalah keadilan (the term ―source of law‖ is justice and fairness), dimana hukum akan menentukan kriteria-kriterianya sehingga suatu pengaturan dapat diuji apakah mencerminkan atau tidak keadilan tersebut (the source of law, then, sets up a criterion, upon which applicable law can be tested whether or not it reflects justice and fairness). 201 Keadilan menjadi unsur yang harus dipenuhi sebagai landasan fundamental dalam pembentukan hukum. Pancasila menempatkan keadilan sosial (social justice) sebagai salah satu prinsip dasar dalam pembangunan hukum nasional secara luas.202 Terdapat dua hal fundamental yang dipaparkan oleh Soekarno tentang visi keadilan sosial Indonesia yaitu, tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka dan tidak akan dibiarkan kaum kapitalis merajalela. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak hanya menerapkan secara praktis bagaimana distribusi kesejahteraan atau keadilan yang ada dalam seluruh masyarakat, namun juga
200
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum..., op.cit, hal. 374. Peter Mahmud Marzuki, An Introduction..., op.cit, hal.37. 202 Jimly Asshidiqqie memaparkan bahwa pembangunan hukum dapat dilihat dari dua arti, yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pembangunan hukum dalam arti sempit hanya terkait dengan aspek pembentukan dan pembaruan peraturan tertulis, sementara pembangunan hukum dalam arti luas lebih mengarah kepada upaya untuk mewujudkan kedamaian dan ketertiban yang adil dalam kehidupan bersama. Lihat dalam Jimly Asshidiqqie, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 185-187. 201
143
menegaskan bahwa di dalam Negara Indonesia yang merdeka, seyogyanya tidak ada lagi kemiskinan di dalamnya.203 Apabila ditafsirkan secara ekstensif, keadilan sosial dalam demokrasi tidak hanya berhubungan dengan persamaan politik, tetapi juga dalam hal ekonomi. Paham keadilan sosial dalam pembangunan hukum memperlihatkan adanya tanggung jawab negara dalam mengusahakan persamaan kesejahteraan di bidang ekonomi dan tidak hanya sebatas berkutat pada hak-hak politik. Pun demikian dengan ukuran keadilan sosial pada pengaturan ambang batas formal seyogyanya tidak hanya dilihat dari aspek kepentingan-kepentingan politik individu semata, namun meliputi seluruh sektor sehingga tujuan nasional dapat terpenuhi. Pengaturan ambang batas formal berusaha memaktubkan nilai demokrasi perwakilan secara komprehensif dalam kerangka keadilan sosial demi menyempurnakan sistem perwakilan proporsional. Keadilan sosial akan mengarah kepada konsep beban dan tanggung jawab, dimana Mohammad Hatta berpendapat bahwa di dalam suatu keadilan dan kesejahteraan sosial dalam Pancasila diimbangi dengan adanya rasa tolong menolong sebagai solusi atas kelemahan sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme dan etatisme.204 Konsep tolong menolong yang ada dalam Pancasila menunjukkan bagaimana kehidupan bangsa Indonesia yang penuh dengan rasa gotong royong, toleransi, dan kekeluargaan. Dengan membebankan prinsip tolong menolong dalam masyarakat, maka akan memberikan kewajiban bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. 203 204
Yudi Latif, op.cit, hal. 531. ibid, hal. 535 & 580
144
Disini terlihat bagaimana grand design pemilu dengan pondasi cita hukum yang dibentuk oleh founding fathers menempatkan adanya keseimbangan antara peran negara dan peran masyarakat. Diberlakukannya ambang batas formal dikarenakan
adanya
peran
negara
dalam
mengupayakan
terwujudnya
kesejahteraan sosial sebagai hak masyarakat yang hidup dalam sebuah negara yang merdeka. Kemudian sebagai refleksi dari hal tersebut, masyarakat berkewajiban untuk mendukung dengan mengenyampingkan kepentingan pribadi semata sebagai beban dalam mewujudkan kebaikan yang kolektif. Pengaturan ambang batas formal dalam sistem perwakilan proporsional Indonesia pada akhirnya sejalan dengan pendapat dari Soekarno tentang keadilan sosial sebagai bentuk penolakan atas paham individualisme.205 Ambang batas formal yang digunakan dalam rangka menyeimbangkan kepentingan mewujudkan tujuan negara dengan kepentingan tiap-tiap warga negara, serta menjauhkan prinsipprinsip liberalisme yang berkutat pada kepentingan politik individu, merupakan resonansi dari cita hukum Indonesia.
4.2.
Indikator Proporsionalitas Pemilu Pengaturan ambang batas formal yang diterapkan di Indonesia
meninggalkan satu kelemahan yakni terjadinya disproporsionalitas hasil pemilu akibat pengurangan suara yang terjadi. Oleh karena hal tersebut masih menjadi suatu permasalahan, maka diperlukan aturan-aturan hukum yang mampu untuk menekan terjadinya hal tersebut. Perbandingan hukum dilakukan guna
205
ibid, hal. 539.
145
menemukan variasi aturan dan dalam hal ini penulis mengambil pengaturan ambang batas formal dari beberapa negara yakni Jerman, Turki, Polandia, dan Denmark. Adapun pemilihan empat negara yang mengatur pengaturan ambang batas formal tersebut didasarkan pada aspek kemampuan aturan hukum yang diberlakukan pada tiap-tiap negara tersebut dalam mengurangi disproporsionalitas yang terjadi. Selain itu, dasar pertimbangan yang juga digunakan adalah bahwa tujuan pengaturan ambang batas formal pada negara-negara tersebut serupa dengan yang diterapkan di Indonesia, dimana ambang batas formal ditujukan untuk mendegradasi terjadinya fragmentasi sistem multipartai dalam pemilihan umum yang menggunakan sistem perwakilan proporsional. 4.2.1. Jerman Jerman merupakan negara federal yang menggunakan sistem pemilu mixed member proportional representation dengan berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Umum Federal (Federal Election Act).206 Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu Federal Jerman menentukan bahwa sistem pemilu dilakukan sesuai dengan prinsip perwakilan proporsional yang dikombinasikan dengan suara uninominal (...in accordance with the principles of proportional representation combined with uninominal voting).207 Pemilu Jerman diadakan untuk memilih 598 anggota 206
Teks asli Federal Elections Act Version As Promulgated On 23 July 1993 (Federal Law Gazette I pp. 1288, 1594), As Last Amended By Article 1 of The Act of 12 July 2012 (Federal Law Gazette I p. 5181501). 207 Uninominal dapat diterjemahkan sebagai sistem untuk memiliki satu anggota per legislatif yang dipilih dari setiap daerah pemilihan. Terminologi ini mengarah pada sistem single member constituency sehingga menjadi salah satu komponen dalam sistem pemilu Jerman yang menggunakan sistem perwakilan proporsional campuran (Mixed Member Proportional Representation).
146
Bundestag dengan cara memberikan dua suara oleh setiap pemilih, dimana suara pertama (first vote) untuk memilih secara langsung anggota parlemen dari daerahdaerah pemilihan sebanyak 299 anggota, sementara sisanya dipilih melalui suara kedua (second vote) pada daftar-daftar nominasi negara bagian / land lists (vide Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 4 UU Pemilu Federal Jerman) Bahwa sistem mixed member proportional representation sebagai salah satu jenis dari sistem pemilu campuran yang diterapkan Jerman menyertakan ambang batas formal dalam pengaturannya. Pasal 6 ayat (6) UU Pemilu Federal Jerman mengatur bahwa : “Only parties that have obtained at least five per cent of the valid second votes cast in the electoral area or have won a seat in at least three constituencies shall be taken into consideration when the seats are distributed among the Land lists. The first sentence shall not apply to the lists submitted by parties representing national minorities.‖ Pemilu Federal Jerman menentukan dalam pemilihan anggota perwakilan untuk mengisi Bundestag setiap partai harus memperoleh suara sekurangnya 5% dari suara kedua yang sah diberikan di daerah pemilihan kepada daftar-daftar negara bagian. Adapun bagi kandidat yang memenangkan minimal tiga kursi pada daerah pemilihan secara langsung dalam suara pertama (first vote), ambang batas tersebut menjadi tidak berlaku. Selain itu ambang batas formal tersebut juga tidak diberlakukan pada daftar-daftar yang diajukan oleh partai yang mewakili minoritas nasional (national minorities).
147
Pengaturan ambang batas formal Jerman dalam UU Pemilu Federal Jerman dapat diklasifikasikan sebagai pengaturan yang bersifat fleksibel dikarenakan adanya katentuan-ketentuan tambahan yang dapat mengeliminir persyaratan ambang batas formal. Adapun keberadaan pengaturan tersebut tidak lain untuk menjaga proporsionalitas dari sistem campuran yang digunakan. Dua aturan substantif perihal syarat minimal tiga kursi dan perwakilan minoritas nasional tersebut digunakan sebagai penyeimbang dari berlakunya ambang batas formal dalam mendistribusikan kursi yang representatif.
4.2.2. Turki Turki di dalam sistem pemilunya menggunakan sistem perwakilan proporsional dengan teknik divisor varian D’Hondt (vide Pasal 2 jo Pasal 34 Undang-Undang No. 2839 tentang Hukum Pemilu Parlemen Turki).208 Sistem pemilu Turki menggunakan dua saluran dalam pencalonan kandidat parlemennya, yakni melalui partai politik dan calon independen atau perseorangan. Pasal 16 UU Pemilu Turki mengatur sebagai berikut : ―No agreement between political parties to stand for elections with joint lists of candidates shall be allowed. Non party members can be presented by a political party as a candidate only if such non party member has given written consent. It is not allowed to stand for elections as the candidate of more than one political party or at more than one election district for the same elections. Independent candidates cannot stand for elections in more than one election district.‖ (Tidak ada kesepakatan di antara partai politik untuk mencalonkan diri dalam pemilihan dengan daftar kandidat bersama yang akan diizinkan. Anggota non-partai dapat disertakan oleh partai politik sebagai calon hanya jika anggota non-partai tersebut 208
Teks asli Statute No: 2839 Parliamentary Elections Law Enacted on 10 June 1983 Published in The Official Gazette No.: 18076 on 13 June 1983 5.T. Code, C.22 - S.
148
telah memberikan persetujuan tertulis. Tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan sebagai kandidat lebih dari satu partai politik atau di lebih dari satu daerah pemilihan untuk pemilihan yang sama. Calon independen tidak dapat mencalonkan diri dalam pemilihan di lebih dari satu daerah pemilihan). Sistem perwakilan proporsional Turki mengkombinasikan pengaturannya dengan ambang batas formal dalam Pasal 33 sebagai berikut : ―No candidates of a political party which has not obtained more than 10% of all of the valid votes in Turkey as a whole or, in the case of mid-term elections, in all of the mid-term election districts shall enter the parliament...‖ Pasal tersebut mengatur bahwa ambang batas formal yang berlaku bagi partai politik untuk menempatkan perwakilan dalam parlemen adalah sebesar minimal 10% suara secara nasional. Adapun pengaturan ambang batas formal tidak berlaku bagi peserta pemilu yang berasal dari calon pemilihan independen. Independents do not have to qualify the national threshold but must simply gain enough support in their respective provinces to enter the parliament.209 Kandidat independen tidak harus memenuhi syarat ambang batas nasional tetapi hanya harus mendapatkan dukungan yang cukup di masing-masing provinsi untuk masuk parlemen. Turki termasuk dalam salah satu negara yang menggunakan ambang batas formal dengan persentase yang sangat tinggi guna menentukan komposisi lembaga
perwakilan.
Adanya
pengaturan
calon
independen
tersebut
sesungguhnya digunakan untuk menyeimbangkan pengaturan ambang batas formal tersebut. Adapun ambang batas formal sebesar 10% yang diberlakukan di
209
“Turkey’s Threshold” diakses dari http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=turkey8217s-threshold-2011-0508 tanggal 3 Mei 2013.
149
Turki tersebut banyak mendapatkan kritikan oleh Dewan Eropa hingga adanya rekomendasi untuk menurunkan persentase yang digunakan.210
4.2.3. Polandia Pemilu di Polandia diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang 12 April 2001 tentang Pemilihan Umum Sejm Republik Polandia dan Senat Republik Polandia.211 Sistem pemilu Polandia menggunakan sistem perwakilan proporsioal dengan kombinasi sistem daftar (List Proportional Representation). Pasal 132 menentukan bahwa sebanyak 460 perwakilan untuk pengisian Sejm ditentukan dalam pemilihan daerah perwakilan berwakil jamak dari daftar calon pemilihan (460 deputies shall be elected to the Sejm in multi-member electoral constituencies from constituency lists of candidates). 212 Ambang batas formal di dalam pemilu anggota Sejm Polandia diatur dalam Pasal 133 ayat (1) dan (2) sebagai berikut : 1. Only those constituency lists of candidates for deputies of election committees that have gained at least five per cent of valid votes cast throughout the entire country shall take part in the allocation of seats. (Hanya mereka dari daftar pemilih kandidat untuk perwakilan dari komite 210
“Europe remains critical of Turkey’s 10 percent election threshold‖ diakses dari http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=europe-critical-of-10-percentelection-threshold-2011-06-10 tanggal 3 Mei 2013. 211 Teks asli ―The Act of 12 April 2001 on Elections to the SEJM of The Republic of Poland and to the Senate of The Republic of Poland (Journal of Laws of the Republic of Poland No 46, item 499, of 16 May, 2001 and No.154, item 1802 of 29 December, 2001)‖ 212 Polandia menggunakan sistem bikameral dimana lembaga perwakilannya terdiri dari Sejm sebagai majelis rendah dan Senat sebagai majelis tinggi. Adapun kewenangan yang dimiliki tidak simetris dimana kewenangan Sejm lebih dominan dalam proses legislasii. Lihat dalam―Sejm of the Republic of Poland – Sejm in the system of power‖ diakses dari http://www.sejm.gov.pl/english/sejm/sejm.htm tanggal 2 Mei 2013.
150
pemilihan yang telah mendapatkan setidaknya lima persen dari suara sah di seluruh negeri dapat diikutkan dalam alokasi kursi). 2. The constituency lists of candidates for deputies of coalition election committees shall take part in the allocation of seats in election constituencies if those lists have gained at least eight per cent of valid votes cast throughout the entire country. (Daftar pemilih calon perwakilan dari koalisi komite pemilihan dapat diikutkan dalam alokasi kursi di daerah pemilihan pemilu jika daftar tersebut telah mendapatkan setidaknya delapan persen dari suara sah di seluruh negeri). Polandia menerapkan dua tipe ambang batas formal, yakni ambang batas untuk tiap-tiap kandidat pada umumnya sebesar 5%, dan ambang batas untuk gabungan kandidat atau koalisi sebesar 8%. Selain kedua pengaturan tersebut, UU Pemilu Polandia juga menentukan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak berlaku bagi partai politik atau organisasi politik yang mewakili minoritas nasional. Pasal 134 ayat (1) menentukan sebagai berikut : ―The lists of election committees created by electors associated as registered organisations of national minorities are exempt from the requirement referred to in Article 133, paragraph 1, if they submit to the National Electoral Commission a relevant declaration no later than five days before the poll…‖ (Daftar komite pemilu dibuat oleh pemilih diasosiasikan sebagai organisasi terdaftar dari minoritas nasional dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, ayat 1, jika mereka menyerahkan pernyatan relevan kepada Komisi Pemilihan Nasional selambatlambatnya lima hari sebelum poling).
151
Pengaturan ambang batas formal Polandia tampak lebih fleksibel dengan diberlakukannya ambang batas untuk koalisi dan tidak diberlakukannya ambang batas untuk perwakilan minoritas nasional. Pilihan untuk melakukan koalisi menjadi alternatif bagi partai-partai politik di Polandia mengingat ambang batas sebesar 8% dengan kemungkinan lebih mudah untuk dipenuhi dibanding ambang batas sebesar 5% yang harus dipenuhi apabila partai politik mengikuti pemilu individual. Selain itu tidak diberlakukannya ambang batas formal bagi minoritas secara hakikat serupa dengan apa yang diterapkan di Jerman.
4.2.4. Denmark Landasan yuridis penyelenggaraan pemilu di Denmark adalah berdasarkan UU Pemilihan Umum Parlementer Denmark (Parliamentary Election Act of Denmark) untuk memilih lembaga parlemen nasional yang dinamakan “Folketing”. Denmark menggunakan sistem pemilu perwakilan proporsional dengan daftar terbuka. Pasal 20 ayat (2) UU Pemilu Parlemen Denmark mengatur sebagai berikut : ―The candidates shall be listed in alphabetical order on the ballot paper. The party may, however, announce that a particular candidate shall take first place on the ballot paper (nomination), cf. section 41(2). Below the candidates of the nomination district shall be listed, in alphabetical order, any other candidates (of the party in question) in the multi member constituency.‖ Kandidat-kandidat dalam pemilu Denmark akan didaftar dan tercantum di dalam surat suara berdasarkan alfabet.
152
Dalam hal daerah pemilihan, Denmark terbagi menjadi tiga daerah atau provinsi dan kemudian terbagi lagi menjadi sepuluh daerah pemilihan beranggota jamak. Pasal 8 ayat (1) dan (2) mengatur sebagai berikut : (1) Denmark falls into three provinces: Metropolitan Copenhagen, SealandSouthern Denmark and Northern and Central Jutland, cf the Schedule to the Act (List of Electoral Districts). (Denmark dibagi menjadi tiga provinsi: Metropolitan Copenhagen, Sealand-Southern Denmark dan Northern and Central Jutland) (2) The regions are subdivided into multimember constituencies, cf the List of Electoral
Districts.
Metropolitan
Copenhagen
encompasses
four
multimember constituencies. Sealand-Southern Denmark and Northern and Central Jutland are each made up of three multimember constituencies. (Daerah dibagi lagi menjadi daerah pemilihan beranggota jamak, lihat Daftar Daerah Pemilihan. Metropolitan Kopenhagen meliputi empat daerah pemilihan beranggota jamak. Sealand-Southern Denmark dan Northern and Central Jutland masing-masing terdiri dari tiga daerah pemilihan beranggota jamak.) Pasal 7 ayat (1) menentukan bahwa total anggota Folketing adalah sebanyak 179 anggota, dengan tambahan dua dari Kepulauan Faroe dan dua dari Greendland (a total of 179 members, two of which in the Faroe Islands and two of which in Greenland, are to be elected for the Folketing), sehingga pemilihan nasional di Denmark adalah guna menentukan perwakilan sebanyak 175 kursi. UU Pemilu Parlemen Denmark membagi distribusi 175 kursi tersebut menjadi
153
dua jenis, yakni kursi konstituen dan kursi kompensasi.213 Pasal 10 ayat (1) menyebutkan sebagai berikut ―Of the nationwide 175 seats, 135 are constituency seats and 40 are compensatory seats. The distribution of seats among regions and among multimember constituencies are determined and announced by the Minister for Social Welfare following publication of the population figure as at January 1st 2010, 2015, 2020, etc., and the distribution subsequently applies to the following elections.‖ Dari sebanyak 175 kursi yang tersedia untuk perwakilan nasional dalam Folketing, adalah sebesar 135 ditentukan untuk kursi pemilihan dan 40 untuk kursi kompensasi, dimana distribusi kursi diantara provinsi dan daerah pemilihan beranggota jamak tersebut ditentukan dan diumumkan oleh Menteri Kesejahteraan Sosial. Perihal ambang batas formal yang ditentukan untuk menetukan perolehan kursi Folketing, UU Parlemen Denmark hanya menentukan keberlakuannya untuk kursi kompensasi. Pasal 77 ayat (1) mengatur bahwa Compensatory seats shall be allocated to parties which have either : (i)
obtained at least one constituency seat; or,
(ii)
in two of the three regions specified in section 8 (1) obtained at least a number of votes equivalent to the average number of valid votes per constituency seat in the region; or,
(iii)
213
obtained at least two per cent of the valid votes cast in all Denmark.
Kursi kompensasi (Compensatory seat) umumnya diberikan dalam pemilu yang menggunakan sistem pemilu perwakilan proporsional campuran (Mixed Member Proportional Representation) yang diadakan untuk mengkompensasi terjadinya disproporsionalitas dalam representasi yang dihasilkan dari single-member constituency. Lihat dalam “Glossary of Terms” https://www.mtholyoke.edu/acad/polit/damy/BeginnningReading/glossary_of_terms.htm diakses tanggal 3 Mei 2013.
154
Kursi kompensasi diberikan kepada partai apabila memenuhi syarat yang salah satunya apabila memperoleh 2% suara sah nasional. Namun dikarenakan pengaturan tersebut bersifat opsional, pengaturan ambang batas formal menjadi tidak mutlak. Meskipun partai politik tidak memenuhi ambang batas sebesar 2%, namun peluang untuk mendapat kursi kompensasi masih terbuka, yakni dengan ketentuan apabila perolehan suara partai mencukupi untuk memenangkan sekurang-kurangnya satu kursi secara langsung di salah satu daerah pemilihan, atau pada dua dari tiga provinsi (di antara Metropolitan Copenhagen, SealandSouthern Denmark dan Northern and Central Jutland) mampu memperoleh setidaknya sejumlah suara yang sesuai dengan jumlah rata-rata suara sah per kursi daerah pemilihan di provinsi. Dari penelusuran berbagai undang-undang pemilu yang berlaku di beberapa negara tersebut, dapat ditarik satu pemahaman bahwa pengaturan ambang batas formal dalam sistem pemilu bukanlah menjadi hal yang baru. Ambang batas formal secara umum digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem pemilu perwakilan proporsional dengan tujuan untuk mengurangi fragmentasi sistem multipartai. Namun pengaturan ambang batas formal yang diterapkan tersebut tidak hanya mengatur tentang persentase semata, melainkan adanya aturan-aturan tambahan yang digunakan untuk menyeimbangkan konsekuensi yang timbul akibat pengaturan ambang batas formal.
155
4.3.
Pemenuhan Tujuan Hukum Sebagai Indikator Ambang Batas Formal yang Berkelanjutan. Pengaturan ambang batas formal menjadi suatu kebutuhan dalam
penguatan sistem pemilihan umum Indonesia sehingga perlu dilakukan pemantapan agar dapat diberlakukan secara keberlanjutan. Yuliandri memaparkan bahwa konsep berkelanjutan terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dimana pembentukan suatu peraturan perundangundangan mengarah kepada kehidupan masyarakat yang mempersyaratkan adanya kepastian, konsistensi, dan kepercayaan.214 Penulis berpendapat dalam rangka mewujudkan pembentukan peraturan perundangan-undangan yang berkelanjutan tidak lain berpegang pada tujuan hukum yang akan dicapai sebagai indikatornya, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Oleh karena kepastian hukum yang mencerminkan keadilan akan mengarah kepada konsistensi dari suatu aturan hukum dan aturan hukum yang dapat memberikan manfaat akan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakat, maka pengaturan ambang batas formal yang berkelanjutan di Indonesia harus mampu mengarah kepada tiga aspek ini. Pengaturan ambang batas formal telah diterapkan dalam penentuan lembaga perwakilan periode 2009-2014. Evaluasi atas kebijakan hukum yang diterapkan dilakukan untuk menggambarkan nilai kemanfaatan yang telah
214
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali Press, Jakarta, hal.167.
156
diwujudkan atas suatu aturan norma hukum.215 Dalam menjalankan fungsi legislasi, lembaga perwakilan yang dihuni oleh multipartai sederhana berdasarkan pengaturan ambang batas formal secara teleologis mengarah pada peningkatan, baik secara kuantitas dan kualitas undang-undang yang dihasilkan. Berdasarkan Keputusan DPR RI No.41A/DPR-RI/1/2009-2010 dan Keputusan DPR RI No.41B/ DPR-RI/1/2009-2010, terdapat sebanyak 247 RUU yang disepakati dalam prolegnas 2009-2014 untuk disusun dan beberapa RUU kumulatif terbuka.216 Adapun dari sekian perundang-undangan yang menjadi target tersebut, DPR-RI periode 2009-2014 hingga semester pertama tahun 2013 hanya mampu menyelesaikan sebanyak 42 undang-undang yang menjadi program legislasi nasional (per-tanggal 3 Mei 2013).217 Hal tersebut menandakan bahwa fungsi legislasi sesungguhnya masih tidak berjalan dengan maksimal. Pengaturan ambang batas formal yang diharapkan dapat meminimalisir fragmentasi dan menambah kualitas pembahasan RUU dengan minimnya jumlah partai politik, ternyata belum memberikan pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas fungsi legislasi. Ketika persentase ambang batas formal yang menyebabkan tingginya disproporsionalitas dalam lembaga perwakilan namun ternyata tidak efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka seharusnya kelemahan yang ditunjukkan 215
Budi Winarno memaparkan bahwa tahap evaluasi diperlukan sebab suatu kebijakan tidak semua meraih hasil yang dinginkan atau bahkan gagal meraih tujuan yang ditetapkan. Tahap evaluasi dilakukan agar dapat memberikan perubahan-perubahan atau perbaikan-perbaikan agar suatu kebijakan berhasil. Lihat dalam Budi Winarno, op.cit, hal. 228. 216 Aliamsyah, 2010, Politik Perundang-undangan, diakses dari http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/480-politik-perundang-undangan.html tanggal 18 April 2013. 217 Diolah dari : http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/undang-undang.html dan http://www.djpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html) tanggal 3 Mei 2013.
157
atas akibat pengaturan tersebut harus dapat diminimalisir. Mengacu pada pendapat hukum yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa urgensi untuk menentukan desain ambang batas formal yang ideal adalah menjadi hal yang prioritas. Oleh karena itu, pembahasan dalam substansinya seharusnya tidak lagi hanya mengarah kepada kenaikan persentase ambang batas formal, melainkan pada format baku pengaturan ambang batas formal tersebut. Setidaknya fokus pembaruan pengaturan persentase ambang batas formal berada pada dua domain, yakni : 1. desain hukum persentase ambang batas yang tetap dan konsisten. 2. formulasi aturan untuk menekan terjadinya disproporsionalitas akibat pengaturan ambang batas formal. Pengaturan persentase ambang batas formal yang tetap dan konsisten menjadi suatu hal yang wajib untuk menjamin kepastian hukumnya, meskipun di sisi lain besaran persentase merupakan pengaturan yang bersifat relatif sehingga sulit untuk ditentukan idealitasnya. Ilmu hukum bukan merupakan ilmu yang dapat diwujudkan secara matematis dalam mengukur kelayakan suatu norma hukum. Namun apabila berangkat dari perbandingan hukum, bahwa aturan hukum negara-negara yang menerapkan pengaturan ambang batas formal pada umumnya adalah berada pada kisaran normal tidak melebihi 5%, sehingga patut untuk menjadi dasar pertimbangan komparatif sebagai ambang batas yang masih dapat ditoleransi.
158
Kemudian perihal pengaturan ambang batas formal yang menimbulkan disproporsionalitas pada sistem perwakilan proporsional, menyebabkan perlunya keberadaan aturan tambahan sebagai kompensasi dalam rangka menjaga prinsip keadilan
hukum.
Secara
umum,
praktik
kompensasi
yuridis
atas
disproporsionalitas ambang batas formal setidaknya dapat dilihat dari beberapa bentuk pengaturan, yakni : 1. pengaturan ambang batas formal untuk koalisi partai; 2. adanya kursi kompensasi (compensatory seat); 3. keterwakilan calon independen dan kelompok minoritas tanpa melalui pengaturan ambang batas formal. Secara normatif, pengaturan ambang batas formal untuk koalisi partai politik merupakan pengaturan yang paling umum diterapkan di negara-negara yang menganut ambang batas formal dalam sistem perwakilan proporsional atau sistem campuran. Partai-partai politik dapat memutuskan apakah akan mengikuti pemilu sebagai partai politik individu ataukah secara koalisi dengan pertimbangan persentase ambang batas yang diterapkan untuk koalisi partai tidak terlalu jauh dari ambang batas formal individu. Kemungkinan bagi partai kecil/baru untuk mendapatkan kursi dengan melakukan koalisi menjadi lebih terbuka dan kualitas koalisi yang dilakukan menjadi lebih stabil dan jelas. Koalisi yang dibangun di Indonesia selama ini didasarkan atas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat yang kuat terhadap lembaga perwakilan. I Dewa Gede Palguna berpandangan bahwa kekuatan mengikat (binding power) hanya dimiliki oleh hukum dengan derajat
159
kekuatan mengikat yang berbeda sesuai dengan hierarkinya.218 Berdasarkan hal tersebut koalisi permanen dalam lembaga perwakilan hanya dapat tercipta apabila hukum mengaturnya secara tegas. Pengaturan ambang batas formal yang selama ini ditujukan untuk menciptakan sistem multipartai sederhana dengan harapan koalisi yang terbangun dapat lebih awet berlangsung tidak memiliki kekuatan yang tegas, dikarenakan secara substansil tidak menyentuh materi koalisi, sehingga perpecahan koalisi masih dapat terjadi meskipun jumlah partai yang terdapat di dalam lembaga perwakilan tidak terlalu banyak. Apabila melihat penyelenggaraan pemilu di Polandia, koalisi dapat diupayakan permanen ketika partai politik sebagai peserta pemilu dari koalisi partai politik, dengan konsekuensi ambang batas formal yang diterapkan adalah berbeda antara peserta pemilu dari partai politik individual dan partai koalisi. Pengaturan semacam ini menghasilkan koalisi yang lebih awet, stabil, dan tegas karena dilakukan oleh partai politik sebelum mengikuti pemilu legislatif. Sementara perihal calon independen, kursi kompensasi, dan perwakilan minoritas untuk mengimbangi pengaturan ambang batas formal dalam penentuan kursi lembaga perwakilan adalah lebih sulit diterapkan di Indonesia karena pengaturan tersebut memang tidak dikenal dalam sistem yang umum diterapkan di Indonesia. Turki di dalam sistem pemilunya menerapkan ambang batas yang sangat tinggi (10%), namun untuk mengurangi disproporsionalitas ketentuan tersebut tidak diberlakukan dalam hal calon anggota perwakilan adalah berasal dari calon independen. Sistem ketatanegaraan Indonesia lebih menempatkan peran 218
I Dewa Gede Palguna, 2000, “Sebuah Pertanyaan Untuk Pemilu”, dalam Parlemen Literer – Antologi Pemikiran Dewa Palguna (Disunting oleh Andrianto Kurniadi, et.al), Bali Mangsi Press, Denpasar, hal. 50-51.
160
sentral partai politik dalam pengisian lembaga perwakilan. DPR-RI terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Partai politik menjadi satu-satunya media untuk menjadi peserta dalam pemilihan umum DPR (vide Pasal 67 UU No. 27 Tahun 2009 juncto Pasal 7 UU No. 8 Tahun 2012). Namun apabila merujuk pada ketentuan UUD 1945 bahwa Pasal 19 ayat (1) menentukan “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”, kemungkinan untuk mengatur calon independen dalam format pemilihan umum DPR-RI tidak menjadi suatu hal yang dilarang. Hal ini dikarenakan pada dasarnya UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menentukan secara limitatif subyek hukum yang berhak menjadi peserta dalam pemilihan anggota DPR. Keadaan tersebut juga berlaku perihal pengaturan ambang batas formal dalam kursi kompensasi sebagaimana diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Denmark. Pada dasarnya format ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia tidak melimitasi jenis-jenis kursi yang disediakan dalam lembaga perwakilan. Pasal 21 UU No. 8 Tahun 2012 juncto Pasal 74 UU No. 29 Tahun 2009 hanya menentukan jumlah kursi untuk anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh). Bahwa secara teleologis keberadaan kursi kompensasi memang ditujukan untuk mengurangi disproporsionalitas yang terjadi dalam sistem pemilihan umum yang digunakan. Sementara perihal pengaturan ambang batas formal yang mengurangi nilai representatif sistem perwakilan proporsional, beberapa negara menentukan bahwa aturan tersebut tidak diberlakukan untuk peserta pemilu yang mewakili kaum
161
minoritas. Politik hukum tersebut merupakan bentuk dari kebijakan afirmatif atau diskriminatif positif yang memberikan perlakuan khusus untuk menciptakan kesamaan dengan berpegang pada tiga tolok ukur, yakni representativness, proportional, dan perlindungan pada kelompok marginal.219 Kebijakan afirmatif sendiri sesungguhnya telah diatur dalam undang-undang pemilu Indonesia yang wajib menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam daftar bakal calon anggota perwakilan (vide Pasl 55 UU No. 8 Tahun 2012) dengan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya, sehingga bukan menjadi hal yang baru lagi dalam undang-undang pemilu Indonesia. Bahwa definisi dari perwakilan minoritas adalah suatu hal yang belum jelas untuk diterapkan dalam sistem pemilu Indonesia dan membutuhkan kajian lebih mendalam lagi. Namun apabila merujuk pada pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, keberadaan kaum masyarakat tradisional dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk dari kaum minoritas. Peluang untuk diaturnya keberadaan kaum minoritas secara eksklusif dalam sistem pemilu Indonesia bukan menjadi suatu hal yang tidak mungkin. Sebagai contoh diakuinya keberadaan partai politik lokal dalam sistem pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, meskipun hanya diakomodir secara lokal dalam lembaga perwakilan 219
Tri Lisiani Prihatinah, 2010, “Perspektif Jender Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Dihapuskannya Kebijakan Afirmati Perempuan Di Parlemen Pada Pemilu Tahun 2009”, dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No.2 Mei 2010, Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, (diakses dari : http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/V10M2010 Tri Lisiani Prihatinah.pdf) tanggal 13 Mei 2013 hal. 159-160.
162
Aceh.220 Sistem perwakilan proporsional yang digunakan harus tetap menjaga proporsionalitas setiap suara dan derajat keterwakilannya dari golongan minoritas walaupun penyederhanaan partai politik diberlakukan melalui pengaturan ambang batas formal. Dari pembahasan tersebut di atas, bahwa penentuan persentase ambang batas yang baku dan mengurangi konsekuensi disproporsionalitas adalah dua hal yang harus dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam rangka mewujudkan kepastian dan keadilan hukum. Dengan adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat kompensasi tersebut, maka pemulihan atas “kerugian-kerugian” yang timbul akibat pengaturan ambang batas formal setidaknya dapat diupayakan. Secara teori hukum hal tersebut tidak lain sesuai dengan pemikiran John Rawls perihal bagaimana mewujudkan justice as fairness atau keadilan yang paling fair. Pada intinya John Rawls memaparkan dua prinsip keadilan sebagai berikut : 1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty) yang mendasarkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat, dengan kondisi lebih baik semua mendapat untung daripada tidak ada sama sekali. 2. Prinsip ketidaksamaan, dimana situasi perbedaan sosial-ekonomi harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (setidaknya terdapat peluang dan kesempatan untuk mencapai kesejahteraan).221 220
Pasal 1 angka 14 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjelaskan bahwa Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. 221 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 162-163. Lihat pula dalam Achmad Ali, 2009 Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
163
Berdasarkan teori tersebut, pada hakikatnya pemilu memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam pelaksanaannya. Akan tetapi adanya keadaan yang membedakan, baik dari aspek sosial maupun ekonomi, yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelaksanaan pemilu yang disertai dengan pengaturan ambang batas formal, sehingga adanya aturan yang tetap memperhitungkan elemen masyarakat minoritas tetap harus tersedia. Mengaktualisasikan ambang batas formal dalam pembangunan hukum pemilu harus memungkinkan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama, dengan memperhatikan peluang dan kesempatan dari struktur yang sudah berada dalam posisi lemah atau marginal. Tujuan nasional dengan fokus kebijakan hukum yang tidak hanya mementingkan kepentingan elit semata, namun lebih jauh untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dengan aturan-aturan hukum yang strategis. Aturan-aturan hukum yang dapat menyeimbangkan pengaturan ambang batas formal menjadi penting keberadaannya dalam rangka memenuhi unsur kepastian dan keadilan hukum. Pembangunan hukum pemilu secara nasional harus tetap berada para kerangka aktualisasi cara berfikir solidaritasisme bangsa dan menjauhkan bagaimana paham-paham yang bersifat individual egosentris.
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencanam Jakarta, Jakarta, hal 281.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Simpulan Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional dengan berdasar pada empat aspek, yakni : keberadaan pengaturannya yang didasarkan pada kewenangan legislasi DPR-RI untuk mengatur lebih lanjut perihal pemilihan umum; tujuan stabilisasi lembaga negara; tidak bertentangan dengan hak asasi politik; adanya konsistensi dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pengaturan ambang batas formal di Indonesia mengakibatkan pengurangan sejumlah suara sah dari pemilih sehingga mengurangi tingkat proporsionalitas hasil pemilu. 2. Pengaturan ambang batas formal wajib memenuhi tiga indikator, yakni Cita Hukum Indonesia, proporsionalitas hasil pemilu, dan pemenuhan tujuan hukum. Pengaturan ambang batas formal memenuhi Cita Hukum Indonesia yang mengupayakan demokrasi permusyawaratan/perwakilan dapat dilaksanakan secara konsisten dengan memperhatikan nilai keadilan sosial. Perbandingan hukum dengan negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang batas formal merupkan substansi hukum yang lazim diterapkan dalam negara yang menganut sistem pemilu perwakilan proporsional. Adapun dalam pengaturan ambang batas formal yang
164
165
berkelanjutan tidak hanya mencantumkan persentase minimal yang harus dipenuhi, namun disertai dengan adanya aturan tambahan yang mampu mengurangi disproporsionalitas hasil pemilu dalam rangka memenuhi kepastian dan keadilan hukum.
5.2.
Saran Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut : 1. Pembentuk undang-undang hendaknya memperhatikan setiap Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji ketentuan ambang batas formal secara komprehensif, terutama perihal syarat proporsional. Kecermatan pembentuk undang-undang seharusnya lebih diperhatikan dalam memilih desain hukum ambang batas formal. 2. Hendaknya terdapat pembaruan hukum atas pengaturan ambang batas formal yang lebih bersifat komprehensif dan permanen.
Penentuan
persentase ambang batas yang konsisten sebaiknya berada pada kisaran yang tidak melebihi angka 5%. Kemudian perihal aturan-aturan hukum tambahan guna mengurangi konsekuensi disproporsionalitas sebaiknya lebih diarahkan pada ketentuan ambang batas formal untuk koalisi partai politik agar dapat menciptakan koalisi yang permanen di DPR-RI.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Abdullah, Rozali, 2009, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (Pemilu Legislatif), Rajawali Press, Jakarta. Ahmad, Rival Gulam, et.al. 2007, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk Transformasi Sosial (Sebuah Manual untuk Praktisi), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta. Ali, Achmad, 2009 Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencanam Jakarta, Jakarta. Andrianus, Toni, et.al, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik (Dari Sistem Politik Sampai Korupsi), Nuansa, Bandung. Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta. , 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. , 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. , 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. , 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. , 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. , 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta. Atmadja, I Dewa Gede, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang. , 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian Kenegaraan), Setara Press, Malang.
166
167
Azhary, Muhammad Tahir, 2010, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip – Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini), Kencana, Jakarta. Boyd, James P., 1896, Parties, Problems and Leaders of 1896, Publishers’ Union Philadelphia. Budiardjo, Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bruggink, JJ.H., 2011, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian – Pengertian Dasar dalam Teori Hukum) terjemahan B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Dahl, Robert A., 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. , 2001, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Darmodiharjo, Darji, Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dicey, Albert Venn, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Eighth Edition), Macmillan and Co., Limited, London. Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Donder, I Ketut, I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk Apa Ilmu Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita, Surabaya. El-Muhtaj, Majda, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Kencana, Jakarta. Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Faturohman, Deden, Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Fisher, Roger, et.al, 2011, Getting to Yes, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
168
Friedman, Lawrence M., 1969, The Legal System ( A Social Science Perspective), Russel Sage Foundation, New York. Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung. Gaffar, Janedjri M., 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta. , 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press, Jakarta. Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah (Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan), Setara Press, Malang. Hart, H.L.A., 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford. Hidajat, Imam, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Pers, Malang. Huijbers, Theo, 2012, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. Hutabarat, Ramly, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta Kansil, CST, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Kantaprawira, Rusadi, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar), Penerbit Sinar Baru, Bandung. Kelsen, Hans, 2002, Introduction to the Problems of Legal Theory (A Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson), Clarendon Press, Oxford. , 2006, General Theory of Law and State / Hans Kelsen : with a new Introduction by A. Javier Trevino, Transaction Publishers, New Brunswick, New Jersey. , 2011, Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and Moral Philosophy” Terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung,
169
Keraf, Gorys, 1994, Komposisi – Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Penerbit Nusa Indah, Flores. Kusnardi Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung. Latif, Abdul, dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna – Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lubis, Solly, 2008, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung. Locke, John, 1824, Two Treatises of Government, C. Baldwin Printer, London. Marbun, SF, dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca – Orde Baru. Kencana. Jakarta. Marsudi, Subandi Al, 2001, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi (Edisi Revisi), Rajawali Press, Jakarta. Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta. , 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2011, An Introduction to Indonesia Law, Setara Press, Malang. , 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. , 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta. MD, Moh. Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Press, Jakarta. , 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta.
170
Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. Mill, John Stuart, 1862, Consideration on Representative Government, Harper & Brothers Publisher, New York. Montesquieu, Charles de Secondat Baron de. 1900, The Spirit of Laws (Translated from the French by Thomas Nugent.), The Colonial Press, New York. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Mustafa, Bachsan, 2001 Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasution, Adnan Buyung, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional, Kompas, Jakarta. Nurtjahjo, Hendra, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta. Palguna, I Dewa Gede, 2000, “Sebuah Pertanyaan Untuk Pemilu”, dalam Parlemen Literer – Antologi Pemikiran Dewa Palguna (Disunting oleh Andrianto Kurniadi, et.al), Bali Mangsi Press, Denpasar. Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta. Poerbopranoto, Koentjoro, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung. Prodjodikoro, Wirjono, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco Jakarta, Bandung. Purnomowati, Reni Dwi, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Rajawali Press, Jakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Reynlods, Andrews, et al, 2005, Electoral System Design : The New International IDEA Handbook, International IDEA, Stockholm. Rodee, Carlton Clymer, et.al, 2011, Pengantar Ilmu Politik (Terjemahan Zulkifly Hamid), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Rousseau, Jean-Jacques, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip – Prinsip Hukum Politik (Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat), Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.
171
Safa’at, Muchamad Ali, 2012, Pembubaran Partai Politik (Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik), Rajawali Press, Jakarta. Salman, Otje, dan Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung. Sargent, Lyman Tower, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition), The Dorsey Press, Chicago. Sidharta, B. Arief, 2009, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta. Strong, C.F., 1952, Modern Political Constitutions (An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form), Sidgwick & Jackson Limited, London. Suherman, Ade Maman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sunny, Ismail, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta. Supriyanto, Didik, dan August Mellaz, 2011, Ambang Batas Perwakilan Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu, Perludem, Jakarta. Surbakti, Ramlan, 1999, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Syahuri, Taufiqurrohman, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta. Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta. Usfunan, Yohanes, 1986 Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan Ayu Sarana Cerdas, Denpasar. Varma, SP., 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta.
172
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali Press, Jakarta. 2. Jurnal A. Hamid S. Attamimi, 1992, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia”, dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (Disunting oleh Oetojo Oesman dan Alfian) Bp-7 Pusat, Jakarta. Arend Lijphart, 2004, "Constitutional Design For Divided Societies", dalam Journal of Democracy Volume 15 Number 12, diakses dari http://www.clas.ufl.edu/users/bmoraski/democratization/lijphart04_jod.pdf , The Johns Hopkins University Press, Baltimore-Maryland, diakses tanggal 31 Maret 2013. Michel Rosenfeld, 2001, “The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional Democracy”, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://wwwbcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, diakses tanggal 18 Maret 2013. M. Hutauruk, 1983, “Kadar Demokrasi dan Rasionalitas dalam Kebijaksanaan Pemerintah”, dalam Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Penerbit Erlangga, Jakarta. Pippa Norris, 1997, “Choosing Electoral Systems : Proportional, Majoritarian and Mixed System”, dalam International Political Science Review Vol 18 (3) July 1997, Sage Publications. Ltd, London, diakses dari http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Choosing%20Electoral%2 0Systems.pdf, tanggal 31 Mei 2013. Radiman Salman, 2010, “Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan Pembaharuan Parpol”, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk “Sang Penggembala” Prof. A. Mukthie Fadjar, SH., MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In – Trans Publishing, Malang. Scott Mainwaring, 2003, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination“, dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose´ Antonio Cheibub, The MIT Press, London.
173
Tim LIP FISIP UI, 1998, “Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat : Reformasi UU Pemilihan Umum”, dalam Mengubur Sistem Politik Orde Baru, Penerbit Mizan, Bandung. Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9, diakses dari http://digitalcommons.iwu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1060&context =respublica tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois. Tri Lisiani Prihatinah, 2010, “Perspektif Jender Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Dihapuskannya Kebijakan Afirmati Perempuan Di Parlemen Pada Pemilu Tahun 2009”, dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No.2 Mei 2010, diakses dari : http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/V10M2010 Tri Lisiani Prihatinah.pdf) tanggal 13 Mei 2013, Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
3. Tesis Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Jakarta. M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
4. Peraturan Perundang – undangan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3062); Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810); Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
174
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277); Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558); Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836); Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924); Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316); Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang SyaratSyarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
5. Putusan Pengadilan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas Pengujian Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas Pengujian Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
175
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 6. Peraturan Perundang-undangan Asing Federal Elections Act Version As Promulgated On 23 July 1993 (Federal Law Gazette I pp. 1288, 1594), As Last Amended By Article 1 of The Act of 12 July 2012 (Federal Law Gazette I p. 5181501) Parliamentary Election Act of Denmark (published
by Ministry of Social Welfare and Folketinget, The Parliament of Denmark 24 February 2009) Law No. 35/2008 for the election to the Chamber of Deputies and the Senate
Romania -
Statute No: 2839 Parliamentary Elections Law Enacted on 10 June 1983 Published in The Official Gazette No.: 18076 on 13 June 1983 5.T. Code, C.22 - S. The Act Of 12 April 2001 on Elections to the Sejm of The Republic of Poland and to the Senate of The Republic of Poland (Journal of Laws of The Republic of Poland No 46, Item 499, of 16 May, 2001 And No.154, item 1802 of 29 December, 2001) 7. Kamus dan Ensikplodi Black, Henry Campbell, 1968, Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern (Revised Fourth Edition),West Publishing Co, St. Paul Minn. Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Echols, John M., dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta. PT. Cipta Adi Pustaka, 1990, Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta.
8. Internet 9
Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-didpr-gagal-sepakati-ruu-pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012.
176
Aliamsyah, 2010, Politik Perundang-undangan, diakses dari http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/480-politik-perundangundangan.html tanggal 18 April 2013. Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih suara nasional 3,5 persen, partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD” http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanyauntuk-dpr, diakses tanggal 17 Oktober 2012. Europe remains critical of Turkey’s 10 percent election threshold diakses dari http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=europecritical-of-10-percent-election-threshold-2011-06-10 tanggal 3 Mei 2013. Glossary of Terms https://www.mtholyoke.edu/acad/polit/damy/BeginnningReading/glossary _of_terms.htm diakses tanggal 3 Mei 2013 Hasil Akhir Pemilu 2009, diakses dari http://www.detiknews.com/jumlahsuara tanggal 16 April 2013. http://www.djpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html tanggal 3 Mei 2013. http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/undang-undang.html diakses tanggal 3 Mei 2012. http://www.law.cornell.edu/anncon/html/art1frag1_user.html#art1_sec1, pada tanggal 27 Pebruari 2013.
diakses
http://www.law.cornell.edu/constitution/ diakses tanggal 22 Maret 2013. KPU
Ubah Perolehan Kursi Parpol di DPR http://mediacenter.kpu.go.id/berita/472-kpu-rubah-perolehan-kursi-parpoldi-dpr.html, diakses tanggal 21 April 2013.
Sejm of the Republic of Poland – Sejm in the system of power diakses dari http://www.sejm.gov.pl/english/sejm/sejm.htm tanggal 2 Mei 2013. Turkey’s Threshold diakses dari http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=turkey82 17s-threshold-2011-05-08 tanggal 3 Mei 2013.