Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa
SANG PENARI DI AMBANG BATAS Nama Mahasiswa: Stevanus Rionaldo
Nama Pembimbing: Muksin M. D., M.Sn.
Program Studi Sarjana Bidang Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email:
[email protected]
Kata Kunci : krisis urban, pandangan dunia mitis
Abstrak Tinggal di area urban telah dianggap sebagai pilihan yang terbaik untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Hal tersebut terlihat dari jumlah pelaku urbanisasi yang terus bertambah setiap tahun. Padahal, citra kota sebagai tempat yang progresif secara ekonomi, berbanding terbalik dengan kehidupan sosial dan kultural yang mengalami degradasi. Pada kenyataannya, apa yang ditawarkan oleh area urban adalah infrastruktur artifisial yang dibangun dengan kerangka berpikir kapitalisme. Kondisi tersebut menempatkan manusia urban seperti berada di persimpangan dan seakan harus memilih jalan yang lebih baik. Karya tugas akhir ini dibuat untuk menangkap gejala tersebut dan menafsirkannya kembali.
Abstract Living in urban area is considered as the best choice to improve the human life quality. This is indicated by the increase of urbanization rate each year. In fact, the image of city as an economically progressive place is inversely proportional to the social and cultural aspect which face degradation. What is offered by urban area is artificial infrastructure which was built under capitalism framework. These conditions put urban men like in an intersection and somehow have to choose a better way. This final project was created to capture these symptoms and reinterpret it.
1. Pendahuluan Urbanisasi adalah hal yang tak terelakkan karena kota memiliki daya tarik tersendiri. Hal-hal seperti perbaikan ekonomi dan kehidupan sosial yang lebih baik adalah aspek yang sering dijadikan motivasi urbanisasi. Hanya saja pada kenyataannya tidak pernah seindah yang dibayangkan sebab kualitas kehidupan urban terus-menerus mengalami kemunduran. Kemacetan parah, banjir berkala, polusi udara tak terkendali, berkurangnya area terbuka hijau, persediaan air berkurang, dan meningkatnya pemukiman kumuh hanyalah beberapa contoh permasalahan di area urban. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong dalam terjadinya urbanisasi. Agar sebuah kota dapat berjalan, dibutuhkan pembangunan infrastruktur material untuk memuluskan proses produksi, sirkulasi, pertukaran dan konsumsi. Pembangunan tersebut tentu saja membutuhkan modal bentuk sumber daya alam, sumber daya manusia dan uang. Dibutuhkannya faktor sumber daya manusia dalam proses pembangunan tersebut membuka lapangan kerja yang tentu saja menarik orang untuk berbondong-bondong mencari kerja di kota. Interaksi semacam itu membutuhkan adanya kekuatan modal yang cukup kuat untuk membiayainya. Oleh karena itu, entitas yang memiliki modal besar memiliki kekuatan besar untuk mengoperasikan proses urban tersebut. Di sisi lain, entitas yang berada level yang paling bawah (mis. tenaga kerja) menjadi kaki tangan saja. Tidak dapat dipungkiri, terbentuklah sebuah hirarki antara pemilik modal dan tenaga kerja. Dari proses produksi tersirat dibutuhkannya proses yang lain, yaitu konsumsi. Proses konsumsi terjadi setelah komoditas dihasilkan. Setelah komoditas ditukar dengan nilai ekonomi (uang) maka sang pemilik modal mendapat modalnya kembali ditambah laba. Sebagian dari laba dialokasikan untuk upah tenaga kerja. Proses di atas adalah sebuah penjabaran singkat mengenai kapitalisme. Area urban dengan segala infrastruktur dan proses produksi-sirkulasi-konsumsi di dalamnya didorong oleh keberadaan modal. Modal bergerak dalam kerangka berpikir kapitalisme. Sumber daya alam dan sumber daya manusia berada dalam posisi sebagai modal juga. Akibatnya, keduanya berpotensi mengalami kerusakan akibat dimanfaatkan terlalu intensif. Penjabaran di atas mungkin terlampau simplistis untuk menjelaskan bagaimana mekanisme kapitalisme berfungsi dalam area urban, akan tetapi cukup untuk memberikan gambaran bagaimana kapitalisme menjadi daya dorong proses
urbanisasi dan pola-pola interaksi di dalamnya. Akibat daya tarik kapitalisme itu pula, jumlah penduduk kota meningkat pesat dan berimbas pada munculnya krisis di area urban. Pembangunan fisik di kota adalah hal yang lazim dilihat. Pembangunan fisik seperti jalan raya, mal, hotel, jalan layang dll membutuhkan ruang-ruang yang cukup besar. Hal tersebut terjadi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Akibatnya, ada ruang-ruang yang harus dialihfungsikan seperti ruang terbuka hijau, pemakaman, dan pemukiman warga. Pada kasus yang terakhir, yaitu pengalihfungsian pemukiman warga, penulis pernah bertemu dengan suatu kejadian yang tidak terlupakan Sebuah RW di kelurahan Kebon Kembang Bandung menjadi daerah yang dilewati proyek pembangunan Jalan Layang Pasupati. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak Sambas, ketua RW 11, terdapat 3 RT yang digusur untuk dibangun pondasi jalan layang tersebut. Sekarang, di bawah jalan layang itu, apabila musim kemarau tiba, anakanak bermain layang-layang. Hanya saja layang-layang tersebut tidak pernah mencapai langit sebab tertahan oleh langit-langit jalan layang tersebut. Akhirnya, sebuah gestur baru nan ganjil pun tercipta. Hal tersebut adalah salah satu karakter yang khas dari area urban. Hanya saja, pencapaian tersebut tidak memperhitungkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya. Kerusakan-kerusakan itu selain berada pada tataran fisik seperti berkurangnya area resapan air, juga pada tataran non-fisik yaitu pada aspek kultural. Kerusakan pada aspek kultural terlihat jelas pada hilangnya akses langit terbuka bagi warga setempat dan mengakibatkan anak-anak sekitar terpaksa bermain layang-layang di bawah jalan layang tersebut. Pembangunan kota rupanya menghasilkan manusia-manusia yang terasingkan dari alam. Usaha-usaha untuk bersatu kembali dengan alam, seperti bermain layang-layang, justru menghasilkan sebuah gestur yang dipaksakan dan tidak masuk akal. Hal tersebut menyiratkan bahwa di dalam diri manusia sebenarnya tersimpan kerinduan untuk berada dalam lingkungan yang masih alami. Akan tetapi, kita juga tak dapat menutup mata bahwa pembangunan kota memberikan manfaat yang tak sedikit. Kita sudah terlanjur berada pada titik peradaban problematis seperti ini dan harus melanjutkannya sembari menemukan jalan yang lebih baik. Sebuah bentuk kesenian di Wonosobo, yaitu tari Lengger Topeng, memiliki nilai yang dapat kita pelajari kembali mengenai bagaimana kita memandang alam. Alam dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Hal itu adalah manifestasi dari pandangan dunia mitis, seperti yang diungkapkan C. A. Van Peursen dalam buku Strategi Kebudayaan. Pandangan dunia mitis menurut Peursen adalah sebuah kondisi ketika manusia mengambil bagian dalam kejadian-kejadian di sekitarnya dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam lewat mitos (Peursen , 1988: 37). Penulis memilih penari Lengger Topeng sebagai subject matter dalam karya ini untuk merepresentasikan adanya nilainilai ideal yang dapat kita ambil dari kesenian itu untuk memahami bagaimana membangun kehidupan urban yang lebih baik. Nilai-nilai itu barangkali dapat membantu manusia urban untuk mempertimbangkan kembali posisinya dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 2
Eldwin Pradipta
2. Proses Studi Kreatif Sang Penari Di Ambang Batas Landasan Teori Literatur tentang:
Rumusan Masalah 1. Bagaimana karakter area urban tersebut sehingga ia menjadi problematis? 2. Bagaimana pandangan dunia yang mitis digunakan untuk mengkritisi karakter area urban yang problematis? 3. Bagaimana merepresentasikan pandangan dunia yang mitis tersebut dan kritik yang dilakukannya terhadap area urban dalam karya seni rupa, khususnya seni lukis?.
1. Metaphysical Painting 2. Alegori. 3. Krisis urban.
Batasan Masalah 1.
Figur penari dengan atribut kain.
2.
Bentuk-bentuk geometris.
3.
Teknis lukis, cat minyak di atas kanvas.
Tujuan Berkarya -
Pelengkap syarat mata kuliah Tugas Akhir Seni Lukis SR4099. Menafsirkan kembali krisis yang ada di area urban Mengkritisi permasalahan yang berkembang di area urban
Proses Berkarya -
Fotografi digunakan untuk merekam model yang dijadikan acuan berkarya. Hasil foto kemudian disusun dalam komposisi dan menjadi sketsa. Sketsa kemudian dipindahkan ke atas kanvas dengan metode proyeksi. Bidang-bidang di atas kanvas dicat dengan warna sesuai kebutuhan.
Karya akhir
Kesimpulan Bagan II.1 Proses studi kreatif
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3
3. Hasil Studi dan Pembahasan
Gambar III.1 Foto Karya: A. Dewata Metropolitan; B. Komoditas dari Dimensi Antah-Berantah; C. Menatah Gunung; D. Ekstase Artifisial; E. Ironi Kepemilikan dan Rasa Bersalah; F. Gravitasi-gravitasi (sumber: penulis)
Proyek tugas akhir ini diberi judul “Sang Penari di Ambang Batas”. Judul tersebut dibuat dengan struktur yang sederhana. Di balik kesederhanaan tersebut, terdapat intensi untuk menyampaikan konsep-konsep yang berhubungan dengan tema, yaitu dunia mitis krisis urban. Untuk mencapai intensi tersebut, metode yang digunakan adalah alegori.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 4
Eldwin Pradipta
Sang penari sebagai subjek dihubungkan dengan pandangan dunia mitis. Seperti yang telah disinggung di awal, bahwa tari Lengger Topeng adalah sebuah bentuk kesenian yang dilatarbelakangi oleh pandangan mitis. Maka dari itu, sang penari dipilih untuk menjadi alegori dari gagasan tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ambang batas didefinisikan sebagai tingkatan batas yg masih dapat diterima atau ditoleransi. Dengan demikian, ambang batas juga dapat dibaca sebagai sebuah titik penting di antara dua hal yang berlawanan. Dalam konteks permasalahan yang diangkat dalam tugas akhir ini, ambang batas berhubungan dengan problem kehidupan urban. Sebagai satu kesatuan, judul “Sang Penari di Ambang Batas” dapat dibaca kembali seperti penjabaran berikut. Sang penari menjadi pengibaratan bagi manusia kota yang terombang-ambing di tengah titik kritis permasalahan urban. Manusia urban dihadapkan pada sebuah pilihan untuk melanjutkan krisis ini atau memilih cara yang lebih baik. Cara tersebut mungkin saja bukanlah hal yang baru sepenuhnya, namun dapat menilik kembali pemikiran-pemikiran lampau seperti yang tersimpan dalam tari Lengger Topeng. Karya-karya yang diciptakan dalam tugas akhir ini didasarkan pada alegori. Alegori adalah sebuah perumpamaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan suatu hal melalui hal lainnya. Dalam konteks ini, hal yang ingin disampaikan adalah permasalahan dan kontradiksi yang terjadi di area urban serta bagaimana manusia berinteraksi dengan fenomena tersebut. Pada titik ini, penulis memutuskan untuk meminjam salah satu aspek dari tari Lengger Topeng, yaitu penari. Dipilihnya figur penari ini diharapkan dapat menjadi perumpamaan bagi manusia urban. Penulis membayangkan adanya proses “kerasukan” pada manusia urban sama seperti yang terjadi pada penari Lengger Topeng. Hal yang membuatnya berbeda adalah jenis kekuatan gaib yang merasuki. Untuk mendukung hal tersebut, penulis merasa perlu untuk merepresentasikan “daya kekuatan” khas urban serta bagaimana kekuatan itu berinteraksi dengan manusia. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, “kekuatan” itu termanifestasi dalam infrastruktur (gedung, jalan raya, mobil). Berdasarkan hal itu, penulis memutuskan untuk menciptakan bentuk-bentuk geometris yang membentuk suatu struktur. Struktur geometris tersebut diisi oleh warnawarna cerah artifisial. Warna-warna tersebut diambil dari berbagai macam objek buatan manusia yang mengisi area urban, khususnya komoditas dan packagenya yang cenderung dirancang dengan warna-warna cerah. Bentuk dan warna tersebut pada akhirnya menghadirkan kesan artifisial dan rasional, sebuah kondisi khas area urban. Kedua unsur visual yang sudah dijelaskan di atas, figur dan struktur geometris, dikomposisikan sedemikian rupa menjadi sebuah lukisan alegoris. Alegori membutuhkan suatu gestur tertentu yang dilakukan oleh figur untuk membawa pesan yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, figur-figur penari dalam karya tugas akhir ini direpresentasikan dalam posisi gestur yang beragam dan diselubungi oleh struktur-struktur geometris. Dengan berbagai variabel yang telah dijabarkan di atas, penulis berharap karya yang dihasilkan mampu memberikan pengalaman estetis pada apresiator. Pengalaman tersebut lahir dari warna-warna dan bentuk yang dihadirkan di atas kanvas sehingga ada aspek emosi dan empati yang tergugah. Dengan kata lain, pada awal kontak dengan karya penulis berharap bahwa aspek “rasa” dari apresiator tergugah melalui komposi dari unsur-unsur yang dihadirkan. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa konsep utama dalam penciptaan karya tugas akhir ini adalah alegori. Sebagaimana sifat dari alegori sendiri yaitu campuran sinkretis dari berbagai macam simbol yang membangun “makna bertingkat”, maka diharapkan karya yang dihasilkan pun menjadi demikian. Karya Pada akhirnya, karya tugas akhir ini memberi ruang bagi apresiator untuk mencapai pemahaman pada “makna bertingkat” dari alegori yang dibangun. Dalam hal ini pemaknaan berhubungan dengan bagaimana kita dapat mencari kembali nilai-nilai ideal yang barangkali lebih relevan dalam membangun kehidupan di area urban.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 5
4. Penutup / Kesimpulan Area urban dengan segala pembangunan infrastrukturnya menawarkan suatu daya tarik yang luar biasa bagi manusia untuk tinggal di dalamnya. Hanya saja, di dalam pembangunan tersebut tersimpan potensi terjadinya krisis. Penyebabnya adalah kerangka berpikir kapitalisme yang hegemonik. Manusia yang tinggal di dalamnya seakan berada di persimpangan dan harus memilih untuk melanjutkan hidup tetap dengan cara semacam itu, atau menemukan cara yang lebih baik. Lewat karya tugas akhir ini penulis menafsirkan kembali kondisi manusia urban tersebut untuk diangkat dalam bentuk karya seni, khususnya seni lukis. Metode yang digunakan adalah lukisan alegori. Alegori dibangun dengan menggunakan subject matter penari lengger topeng. Penari tersebut dipilih karena menyiratkan sebuah pandangan dunia mitis, yaitu memahami manusi sebagai bagian yang integral dari alam semesta. Dengan pandangan demikian, diharapkan bahwa manusia urban dapat memilih sebuah jalan yang lebih baik dalam membangun area urban.
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam Tugas Akhir Program Studi Sarjana bidang Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Bapak Muksin, M. D. , M.Sn.
Daftar Pustaka -
Berger, John. (1977). Way of Seeing. London: Clays Ltd.
-
Carra, Massimo, et. al. . (1971). Metaphysical Art. London: The Camelot Press Ltd.
-
Dottori, Ricardo. (2006). The Metaphysical Parable In Giorgio De Chirico’s Painting. Dalam Metafisica. Quaderni della Fondazione Giorgio e Isa de Chirico. n. 5/6. Le Lettere: Florence.
-
Elkins, James. (2000). What Painting Is. London: Routledge.
-
Fletcher, Angus. (1968). Allegory in Literary History. Dalam Dictionary of the History of Ideas.
. (diakses tgl 9-12-2012 jam 00.04 WIB).
-
Kirmanto, Djoko, et. al. (2012). Indonesia Green City Development Program: an Urban Reform. Makalah yang disampaikan dalam Kongres ISOCARP ke-48.
-
Lash, Scott. (2004). Capitalism and Metaphysics. Makalah yang disampaikan dalam Pertemuan "Capitalism and Metaphysics", yang diadakan oleh Institute of Sociology of the Faculty of Humanities of the Porto University.
-
Nelson, Robert. (2007). The Spirit of Secular Art: A History of the Sacramental Roots of Contemporary Artistic Values. Sydney: University Publishing Service.
-
Van Peursen, C. A. (1988). Strategi Kebudayaan. Jakarta-Yogyakarta: Kanisius BPK.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 6