PENGASUHAN (MAKAN, HIDUP SEHAT, DAN BERMAIN), KONSUMSI DAN STATUS GIZI PENDERITA AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)
INDRIA LENNY SYAFITRI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN INDRIA LENNY SYAFITRI. Pengasuhan (Makan, Hidup Sehat, dan Bermain), Konsumsi dan Status Gizi Penderita Autism Spectrum Disorder (ASD). Di bawah Bimbingan EDDY S. MUDJAJANTO dan CLARA M. KUSHARTO. Autisme adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kelainan saraf berat yang ditandai dengan kondisi berupa gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan gangguan perilaku stereotipik. Prevalensi ASD kurang lebih 2-5 kasus per 10.000 anak di bawah usia 12 tahun, yaitu satu dari 150 kelahiran, didiagnosis menderita ASD, setiap harinya (Edi 2003). Peningkatan jumlah penderita ASD yang sedemikian cepat diduga dikarenakan pengaruh lingkungan, yaitu terinfeksi logam berat ataupun virus. Makanan adalah hal yang penting diperhatikan bagi anak penderita ASD. Anak ASD tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung gluten dan kasein. Pola bermain pada anak ASD adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk penyembuhan dari keterbatasan perkembangan spektrum ASD anak (Yusuf 2003). Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis pengasuhan makan dan hidup sehat, serta bermain pada anak penderita autisme. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik umum anak ASD beserta keluarganya; 2) menganalisis pengasuhan makan, pola konsumsi, serta status gizi pada anak ASD; 3) menganalisis pengasuhan hidup sehat dan jenis penyakit yang pernah diderita anak ASD 4) menganalisis pengasuhan bermain pada anak ASD; 5) mengamati perbandingan pengasuhan makan, hidup sehat, dan bermain, antar jenis kelamin pada anak ASD. Desain penelitian yang digunakan adalah crossectional study karena penelitian dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon dan Sekolah Khusus Al-Ihsan Tangerang. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2008. Jumlah dari kedua tempat tersebut adalah 59 anak ASD. Jumlah keseluruhan contoh adalah 31 anak. Jumlah tersebut dikarenakan beberapa Ibu tidak bersedia diwawancara karena tidak ingin kondisi anaknya dipublikasikan atau kesibukan dari Ibu yang bekerja, sehingga tidak memiliki waktu untuk wawancara. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan orang tua anak ASD dengan menggunakan kuisioner, sedangkan data sekunder adalah data mengenai jumlah anak ASD yang berada pada tempat terapi tersebut dan profil sekolah. Contoh dalam penelitian ini umumnya berusia antara 73 sampai 123 bulan yaitu sebanyak 48.4%, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (80.6%) dan terlahir sebagai anak sulung, yaitu sebesar 38.7%. Karakteristik keluarga contoh pada penelitian ini umumnya merupakan keluarga sedang (5-7 orang) sebanyak 48.4% dengan tipe keluarga inti yang berjumlah 61.3%. Usia ayah contoh umumnya berada pada rentang 30-39 tahun (45.2%) dan ibu contoh dengan rentang usia 30-39 tahun (54.8%). Contoh dalam penelitian ini umumnya memiliki ayah dan ibu berpendidikan terakhir perguruan tinggi (61.3%). Pekerjaan yang dimiliki ayah contoh umumnya adalah pegawai swasta (41.9%). Pekerjaan ibu contoh umumnya adalah sebagai ibu rumah tangga (74.2%). Orang tua contoh dalam penelitian ini umumnya memiliki pendapatan total sebesar Rp. 2.500.001,00-Rp. 5.000.000,00 (35.5%).
ASI eksklusif umumnya diberikan hingga usia lima sampai enam bulan yaitu sebanyak 48.4%, dan sebanyak 48.4% contoh diberikan ASI hingga usia lebih dari 18 bulan. Gejala awal ASD umumnya terdeteksi pada usia pada usia 19-36 bulan, yaitu sebanyak 61.3% dengan gejala awal, diam ketika dipanggil. Contoh dalam penelitian ini umumnya diterapi sejak usia 27-47 bulan yaitu sebesar 48.4%. Kualitas pengasuhan makan pada anak ASD umumnya dengan kualitas sedang yaitu sebesar 71.0%. Status gizi anak ASD umumnya adalah normal dengan indeks BB/U (74.2%), indeks TB/U (90.3%), dan indeks BB/TB (64.5%), serta indeks gabungan (61.3%). Tingkat kecukupan energi umumnya dengan kategori lebih (41.9%), dan baik 16.1%. Kecukupan protein dengan kategori baik (96.8%), kecukupan zat besi dengan kategori cukup (77.4%), kecukupan kalsium dengan kategori kurang (54.8%), kecukupan vitamin C dengan kategori kurang (61.3%), dan kecukupan vitamin A dengan kategori cukup (64.5%). Anak ASD umumnya mendapat kualitas pengasuhan hidup sehat dengan kualitas sedang yaitu sebesar 64.5%. Jenis penyakit yang banyak diderita contoh dalam penelitian ini umumnya selama tiga bulan terakhir adalah batuk (51.6%), 45.2% contoh mengalami 1-2 kali sakit, 29% contoh mengalami sakit selama 411 hari, dan 35.5% contoh tidak mengalami sakit. Anak ASD dalam penelitian ini umumnya menerapkan tipe permainan puzzle it out play yaitu sebanyak 45.2% dan 74.2% contoh bermain dengan pola permainan solitary independent. Anak dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak memainkan permainan imaginative, sedangkan laki-laki memainkan permainan exploratory, energetic, skillful, dan puzzle it out dengan presentasi yang sama besar. Makanan yang biasa dimakan anak secara keseluruhan mengalami perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan konsumsi susu sapi sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Jenis sayuran dan buah yang biasa dikonsumsi anak setelah terdeteksi ASD mengalami penambahan jumlah. Konsumsi makanan camilan mengalami penurunan setelah anak terdeteksi ASD. Hasil uji statistik menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengasuhan makan dengan status gizi anak, dan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengasuhan hidup sehat dengan status kesehatan anak. Terdapat hubungan positif signifikan antara status gizi indeks BB/TB dengan usia responden (p-value = 0.008, r = 0.467). Hubungan negatif signifikan antara lama sakit anak dengan usia anak diberi ASI eksklusif (p-value = 0,009, r = -0.459) Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif nyata antara kualitas pengasuhan makan ibu dengan pendapatan total keluarga (p-value = 0.045, r = 0.362).
PENGASUHAN (MAKAN, HIDUP SEHAT, DAN BERMAIN), KONSUMSI DAN STATUS GIZI PENDERITA AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: INDRIA LENNY SYAFITRI A54104070
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JUDUL PENELITIAN : PENGASUHAN BERMAIN),
(MAKAN,
KONSUMSI
HIDUP DAN
SEHAT,
DAN
STATUS
GIZI
PENDERITA AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD). NAMA MAHASISWA : Indria Lenny Syafitri NOMOR POKOK
: A54104070
Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing 1
Ir. Eddy S. Mudjadjanto NIP. 131 760 849
Pembimbing 2
Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, MSc NIP.131 414 958
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, tanggal 9 Juni 1986. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Asrizal dan Ibu Zuriyati. Penulis memiliki dua orang adik yang bernama Fikri dan Indah. Pendidikan SD ditempuh di SD Negeri Grogol Selatan 03 pagi pada tahun 1992 sampai 1998. Sekolah Menengah Pertama dilalui di SLTP Negeri 48 Jakarta pada tahun 1998 sampai 2001, dan dilanjutkan di SMA Negeri 47 Jakarta pada tahun 2001 hingga 2004. Tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis semasa kuliah aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) periode kepengurusan tahun 2005-2006 pada divisi Kajian
Strategis
dan
Keprofesian
dan
Bina
Desa
(BINDES)
periode
kepengurusan tahun 2006-2007. Penulis aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan yaitu Masa Orientasi Kampus, Masa Orientasi Fakultas Ekologi Manusia, Masa Orientasi Departemen Ilmu Gizi, serta kegiatan-kegiatan Seminar Populer.
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan kemudahan dari-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini: 1. Kedua orang tua yang penulis cintai (papa dan mama) atas dukungan dan doa yang tak pernah henti diberikan kepada penulis. Terima kasih atas segala nasihat, kasih sayang, dan cinta kasih yang selalu diberikan kepada penulis selama 22 tahun ini, sehingga penulis dapat sampai pada titik ini, dan semoga dapat membuat papa dan mama bangga. Love you mom and dad. 2. Ir. Eddy S. Mudjajanto dan Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas segala curahan waktu, tenaga, fikiran, dan perhatian hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Dr. Ir. Dwi Hastuti MSc sebagai dosen penguji atas segala masukannya sejak pembuatan proposal hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Megawati Simanjutak, SP atas bantuan, ajaran, serta masukan kepada penulis dalam pengolahan data. 5. Ir. Retnaningsih, MSi sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas segala perhatian yang diberikan selama masa studi penulis di GMSK. 6. Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon dan Tangerang khususnya Ibu Ngatini atas segala bantuan yang telah diberikan beserta para terapis dan staf. 7. Klinik terapi Mentari khususnya Ibu Hindraningsih atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian di tempat tersebut beserta para terapi dan staf. 8. Ibu-ibu yang telah bersedia menjadi responden untuk diwawancarai dan anaknya untuk dijadikan contoh dalam penelitian ini. 9. Mba Melinda. Terima kasih telah mengenalkan lebih dalam dan memberikan informasi tentang dunia anak istimewa ini kepada penulis. 10. Fikri dan Indah, kedua adik tersayang yang selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk terus maju dan semangat. You are always my inspiration.
11. Thomas Romano Putra atas semua waktu, perhatian, dan masukan yang diberikan kepada penulis. Terima kasih atas segala kesabaran dan kesetiaan dalam mendengarkan seluruh keluh kesah dari penulis, dan terima kasih atas canda tawa yang selalu diberikan dalam menghibur penulis dalam berbagai keadaan. My four years life won’t be nice without you. Thank you! 12. Keluarga besar yang selalu mendukung penulis secara moril dan materi; Tante Da dan keluarga (untuk tumpangan rumahnya), my uncle (untuk motivasi dan dukungannya), Mama Kapit, Kapit, Rina (untuk semua curhatnya), Nenek (yang tak pernah bosan memberikan jajan setiap penulis pulang ke Bogor). 13. Lia Milyawati dan Wieke Oktaviani atas semua kebersamaan dan kerjasama kita terutama saat pengambilan data. Terima kasih atas susahsenang yang telah kita lalui bersama. Hope we’ll always be a good partner. 14. Keluarga Bapak Prastito Wagiman dan Mas Bambang, atas tumpangan tempat tinggal, berikut konsumsi sehari-hari yang diberikan kepada penulis selama pengambilan data. 15. Sahabat-sahabat yang selalu menemani penulis; Suci (untuk 3 tahun yang indah bersamamu, dan kesabaranmu), Vika “Huey” (untuk curhatcurhatnya), dHe (untuk semua cerita-cerita mu), LiaR, Tu”yulia”. 16. Semua teman-teman GMSK 41 untuk motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. Empat tahun ini berlalu dengan indah dengan adanya kalian. 17. Teman-teman GMSK 39, 40, dan Gizi 42. 18. Seluruh dosen, staf dan karyawan GMSK. 19. All of Queen Castle member. 20. Teman-teman di A2-162 (Anggy, Tities, Frita), untuk semua pelajaran berharga dari kalian. 21. Teman-teman KKP Kecamatan Jalancagak, Subang. Success for you all. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk semua bantuan yang selalu diberikan kepada penulis. Thanks God, You give them to me. Bogor, Mei 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 Tujuan ....................................................................................................... 3 Manfaat Penelitian .................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... Autism Spectrum Disorder (ASD) ............................................................ Penyebab ASD ................................................................................... Aspek genetika pada ASD .................................................................. Pengaruh logam berat pada ASD ....................................................... Patogenesis ASD................................................................................ Gejala ASD ......................................................................................... Pendidikan bagi penyandang ASD ..................................................... Terapi ASD ......................................................................................... Pengasuhan Anak .................................................................................... Pengasuhan makan ............................................................................ Pengasuhan hidup sehat .................................................................... Pengasuhan bermain.......................................................................... Konsumsi Pangan .................................................................................... Pemberian ASI.................................................................................... Diet pada Penderita ASD ......................................................................... Diet GFCF (Gluten Free Casein Free) ................................................ Diet rendah gula sederhana ............................................................... Status Gizi ................................................................................................ Status Kesehatan .....................................................................................
4 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 14 15 18 19 20 20 21 21 23
KERANGKA PEMIKIRAN................................................................................. 25 METODE ......................................................................................................... Desain, Waktu, dan Tempat ..................................................................... Contoh dan Cara Pengambilan Contoh .................................................... Jenis dan Cara Pengambilan Data ........................................................... Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. Definisi Operasional .................................................................................
27 27 27 27 28 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ Keadaan Umum Sekolah Khusus Al-Ihsan .............................................. Sejarah berdiri Sekolah Khusus Al-Ihsan ........................................... Tujuan Sekolah Khusus Al-Ihsan........................................................ Program Sekolah Khusus Al-Ihsan ..................................................... Karakteristik Anak ..................................................................................... Usia contoh ......................................................................................... Jenis kelamin ...................................................................................... Urutan kelahiran ................................................................................. Karakteristik Keluarga ..............................................................................
34 34 34 34 34 35 35 35 36 37
vii
Tipe dan besar keluarga ..................................................................... Karakteristik orang tua ....................................................................... Pendapatan keluarga .......................................................................... Pengasuhan Anak .................................................................................... Pengasuhan makan ............................................................................ Pengasuhan hidup sehat .................................................................... Pengasuhan bermain.......................................................................... Konsumsi Zat Gizi .................................................................................... Tingkat kecukupan gizi ....................................................................... Riwayat makan anak sebelum terdeteksi ASD ................................... Riwayat makan anak setelah terdeteksi ASD ..................................... Perubahan pola makan anak anak ASD secara individual ................. Perubahan pola konsumsi makan ...................................................... Status Gizi Contoh .................................................................................... Status Kesehatan Contoh ......................................................................... Riwayat Pemberian ASI ........................................................................... Riwayat ASD ............................................................................................ Usia awal ASD .................................................................................... Usia awal terapi .................................................................................. Gejala awal ASD................................................................................. Perkembangan spektrum ASD setelah mengikuti terapi .................... Perbedaan Pengasuhan (Makan dan Hidup Sehat) Antar Jenis Kelamin Pengasuhan makan ............................................................................ Pengasuhan hidup sehat .................................................................... Perbedaan Pengasuhan Bermain Antar Jenis Kelamin ........................... Tipe permainan ................................................................................... Pola permainan................................................................................... Hubungan Antar Variabel ......................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ Kesimpulan .............................................................................................. Saran ........................................................................................................
37 38 40 41 41 43 44 46 47 49 50 51 60 51 53 66 67 67 68 69 70 71 71 72 72 72 73 74 81 81 82
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 83 LAMPIRAN ....................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL 1
Halaman Data dan cara pengumpulan data ....................................................... 28
2
Kategori status gizi indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB ............................ 29
3
Interpretasi status gizi dalam indikator gabungan ............................... 29
4
Penyesuaian interpretasi status gizi dalam indikator gabungan .......... 30
5
Tingkat kecukupan Energi, Protein, Vitamin, dan Mineral ................... 30
6
Sebaran contoh berdasarkan usia anak, jenis kelamin, dan urutan kelahiran ............................................................................................... 36
7
Sebaran contoh berdasarkan tipe dan besar keluarga ......................... 38
8
Sebaran contoh berdasarkan karakteristik orang tua ........................... 40
9
Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga ............................ 41
10 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan makan ................. 42 11 Sebaran contoh berdasarkan cara pengasuhan makan ....................... 43 12 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan hidup sehat .......... 44 13 Sebaran contoh berdasarkan jenis permainan ..................................... 44 14 Sebaran contoh berdasarkan tipe dan pola permainan ........................ 46 15 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi ................................... 46 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi ................................... 47 17 Sebaran contoh berdasarkan kategori kecukupan zat gizi ................... 48 18 Sebaran contoh berdasarkan makanan sebelum terdeteksi ASD ........ 50 19 Sebaran contoh berdasarkan makanan setelah terdeteksi ASD .......... 51 20 Jenis makanan yang biasa dikonsumsi ................................................ 61 21 Sebaran contoh berdasarkan status gizi contoh .................................. 63 22 Sebaran contoh berdasarkan interpretasi status gizi gabungan .......... 64 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit ........................................ 65 24 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dan lama sakit ....................... 65 25 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI ..................................... 67 26 Sebaran contoh berdasarkan usia awal anak terdeteksi ASD ............. 68 27 Sebaran contoh berdasarkan usia anak diterapi .................................. 69 28 Sebaran contoh berdasarkan gejala awal terdeteksi ASD ................... 70 29 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan spektrum ASD anak ..... 71 30 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan makan antar jenis kelamin ................................................................................................. 72
ix
31 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan hidup sehat antar jenis kelamin ......................................................................................... 72 32 Sebaran contoh berdasarkan tipe permainan antar jenis kelamin ....... 73 33 Sebaran contoh berdasarkan pola permainan antar jenis kelamin ...... 73 34 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan spektrum ASD dan usia anak ...................................................................................................... 74 35 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan spektrum ASD dan jenis kelamin ................................................................................................. 75 36 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan usia awal terdeteksi ASD ..................................................................................... 75 37 Sebaran contoh berdasarkan usia anak disapih dengan usia awal terdeteksi ASD ..................................................................................... 76 38 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan makan dengan status gizi ............................................................................................. 77 39 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan hidup sehat dan status kesehatan .................................................................................. 78 40 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB dan usia anak ........... 79 41 Sebaran contoh berdasarkan lama sakit dan lama pemberian ASI eksklusif ......................................................................................... 79 42 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan makan dan pendapatan total keluarga ........................................................................................ 80
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuesioner ..............................................................................................
87
2. Data karakteristik contoh .......................................................................
93
3. Data karakteristik keluarga ....................................................................
94
4. Status gizi dan kesehatan anak ASD ....................................................
95
5. Data konsumsi pangan..........................................................................
96
6. Hasil uji korelasi spearman ...................................................................
97
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya manusia harus ditingkatkan kualitasnya sejak dini secara sistematis dan berkesinambungan. Sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan salah satu modal pembangunan nasional. Anak adalah salah satu sumberdaya yang perlu dijaga. Anak yang identik dengan masa bermain adalah masa
yang
rawan
dalam
pertumbuhan
dan
perkembangan
manusia.
Pertumbuhan dan perkembangan seorang anak pada masa ini dipengaruhi oleh kualitas kesehatan, gizi, dan psikologis. Anak usia pra sekolah (2-5 tahun) dan anak usia sekolah (6-12 tahun) memiliki perkembangan yang tidak sepesat ketika masih bayi. Anak usia pra sekolah dan sekolah memiliki aktivitas yang tinggi, sehingga pada usia ini seorang anak sangat rentan terkena gangguan kesehatan dan psikologis (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo&Persatuan Ahli Gizi Indonesia 1994). Autisme adalah gangguan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kelainan syaraf berat yang ditandai dengan kondisi berupa gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan gangguan perilaku stereotipik.
ASD disebabkan oleh multifaktor, antara lain
faktor immunologis, faktor genetik dan faktor lingkungan seperti infeksi virus. Gangguan komunikasi adalah salah satu akibat dari ASD, bahkan ada yang tidak memiliki bahasa dan kalaupun memiliki bahasa hanya bersifat echolalia/membeo (Edi 2003). Penderita autisme jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Penderita autisme pada tahun 1970-an di Amerika, memiliki prevalensi satu dibanding 10.000 kelahiran (Anonymous 2007). Penderita ASD di Amerika mengalami peningkatan jumlah yang cukup pesat. Departemen Pendidikan AS mencatat dari tahun ajaran 1997-1998 sampai 1999-2000 angka murid penderita ASD secara nasional telah bertambah sebanyak lebih dari 11.000 anak. Penderita ASD di Indonesia belum diketahui jumlah pastinya, namun diperkirakan jumlah anak ASD dapat mencapai 150-200 ribu orang (Judarwanto 2007). Prevalensi ASD kurang lebih 2-5 kasus per 10.000 anak di bawah usia 12 tahun, yaitu satu dari 150 kelahiran, didiagnosis menderita ASD, setiap harinya. Peningkatan jumlah penderita ASD yang sedemikian cepat diduga karena pengaruh lingkungan, yaitu terinfeksi logam berat ataupun virus (Edi 2003).
2
Makanan adalah hal yang penting diperhatikan bagi anak penderita ASD. Makanan anak penderita ASD secara umum sama dengan makanan yang dikonsumsi anak normal seusianya, yaitu harus memenuhi gizi seimbang dan baik untuk dikonsumsi. Bahan makanan tertentu perlu diperhatikan konsumsinya untuk anak penderita ASD. Anak ASD tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung gluten dan kasein, hal ini dikarenakan akan menimbulkan keluhan diare dan meningkatkan hiperaktivitas, yang tidak hanya berupa gerakan tetapi juga emosinya seperti mudah marah, mengamuk, atau mengalami gangguan tidur (Suryana 2004 diacu dalam Suiraoka&Nursanyoto 2005). Anak ASD mengalami gangguan sistem imun yang menyebabkan seorang anak ASD mudah tertular penyakit. Gangguan sistem imun yang terjadi menyebabkan adanya ketidakseimbangan mikroorganisme yang hidup dalam saluran cerna serta dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Gangguan pada saluran cerna akan mengakibatkan ketidakmampuan organ pencernaan dalam mencerna beberapa zat makanan, yang kemudian dapat menyebabkan alergi (Sjambali 2003). Seorang anak memerlukan perlindungan dari berbagai bahaya penyakit yang mengancam mereka. Anak ASD memiliki banyak keterbatasan dalam berperilaku, hal ini menyebabkan pemberian makan kepada anak ASD harus mendapat perhatian lebih. Pemberian makan kepada seorang anak ASD sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan, dan status gizi anak tersebut. Orang yang paling berperan dalam pemberian makan seorang anak adalah ibu. Aktivitas yang berhubungan untuk menjaga kesehatan seorang anak ASD juga perlu diajarkan sejak dini. Anak ASD memiliki beberapa keterbatasan yang dapat menyulitkan mereka untuk melindungi diri dari berbagai penyakit yang mengancam. Cara keluarga dalam menerapkan pola hidup sehat sangat menentukan tingkat morbiditas seorang anak, hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan makan dan hidup sehat sangat penting dalam proses tumbuh kembang seorang anak ASD. Menurut Yusuf (2003), perkembangan psikologis anak ASD tidak seoptimal anak normal. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya faktor bawaan dari anak tersebut dan juga faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Pengasuhan bermain pada anak ASD adalah salah satu cara
yang
dapat
digunakan
untuk
penyembuhan
dari
keterbatasan
3
perkembangan spektrum ASD anak. Penelitian mengenai ASD yang ada saat ini lebih mengarah kepada makanan dan terapi-terapi yang diperlukan anak, namun belum ada mengenai gambaran pengasuhan makan, hidup sehat, dan bermain yang diterima anak. Pengasuhan yang diberikan orang tua sangat penting dalam membantu perkembangan seorang anak ASD, agar anak-anak ini mampu mandiri dan bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pengasuhan makan, hidup sehat serta bermain anak ASD. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengasuhan (makan, hidup sehat, dan bermain), konsumsi dan status gizi penderita Autism Spectrum Disorder (ASD). Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik umum anak ASD beserta keluarganya. 2. Menganalisis pengasuhan makan, pola konsumsi, serta status gizi pada anak ASD. 3. Menganalisis pengasuhan hidup sehat dan jenis penyakit yang pernah diderita anak ASD. 4. Menganalisis pengasuhan bermain pada anak ASD. 5. Mengamati perbandingan pengasuhan makan, hidup sehat, dan bermain antar jenis kelamin pada anak ASD. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua dan pemerhati autisme mengenai gambaran pengasuhan, serta manfaat dan pentingnya pengasuhan makan, hidup sehat, dan bermain dalam mewujudkan status gizi dan kesehatan yang baik, serta perkembangan spektrum ASD seorang anak penderita autisme ke arah yang lebih baik. Penelitian ini diharapkan juga dapat menambah wawasan bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya mengenai permasalahan-permasalahan yang terdapat pada anak penderita autisme. Manfaat penelitian ini bagi terapi yaitu untuk menjadi bahan masukkan yang dapat disampaikan kepada orang tua anak penderita autisme bagaimana cara memberi pengasuhan kepada anak penderita autisme.
TINJAUAN PUSTAKA Autism Spectrum Disorder (ASD) ASD merupakan suatu sindrom yang kompleks berdasarkan gangguangangguan fisiologis dan biokimia yang memiliki suatu titik nyata tentang adanya ketidakseimbangan emosi dan sensor-sensor intelektual. ASD berhubungan dengan hal-hal yang bersifat medis bukan sebagai gangguan mental. Ketidakseimbangan emosi dan sensor-sensor intelektual dapat ditangani secara medis, setelah dilakukan diagnosa, dilakukan penanganan yang sesuai dengan kondisi anak (McCandless 2003). ASD ditandai dengan gejala anak yang sulit berkomunikasi, sulit bersosialisasi, berperilaku yang berulang-ulang serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan sekitarnya. Seorang anak ASD dapat mengalami kelainan emosi, intelektual dan kemauan. ASD merupakan suatu keadaan dimana anak bertingkah laku hanya sesuai dengan keinginannya (Hidayat 2004). ASD adalah suatu cacat yang kekal dan secara khas tampak pada tiga tahun awal usia seorang anak. Anak ASD memiliki keadaan otak yang tidak sama dengan anak normal. Keadaan ini membuat seorang anak ASD memiliki ketidaknormalan
dalam
bertingkah
laku,
belajar,
dan
perkembangannya
(Wolfberg 2003). Judawarto (2007) menyatakan bahwa seorang anak ASD akan mengalami gangguan perkembangan secara menyeluruh yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, berbahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris. ASD ditemukan lebih banyak pada anak laki-laki dari pada perempuan sebanyak tiga sampai lima kali (Edi 2003). Autism Spectrum Disorder adalah suatu kekacauan pengembangan otak yang merusak interaksi dan komunikasi sosial seseorang dan menyebabkan keterbatasan perilaku dan perilaku yang mengulang-ngulang (Anonymous 2008). Gejala ASD terlihat dari saat anak dilahirkan ataupun kehilangan kemampuannya pada 30 bulan pertama kehidupan. Seorang anak ASD perlu mendapat perhatian lebih, hal ini dikarenakan mereka tidak mampu menyadari adanya bahaya yang mengancam dirinya (The American Medical Association 1994).
5
Penyebab ASD Penyebab ASD dapat dijelaskan dari beberapa teori berikut: 1. Teori kelebihan Opioid Opioid adalah salah satu zat dalam tubuh yang memiliki fungsi dalam beberapa regulasi hormon. Opioid memiliki fungsi dalam menghambat pelepasan oksitosin dan vasopresin. Enzim dipeptidyl peptidase IV (DPP IV) adalah satu-satunya enzim yang memiliki fungsi dalam memotongmotong casomorphine beserta turunannya, yang ternyata tidak dimiliki oleh anak ASD (Sutadi 2003). Efek dari kelebihan opioid dalam tubuh seseorang adalah membuatnya kehilangan kontrol terhadap dirinya, seperti kontak mata, ataupun hiperaktifnya (McCandless 2003). 2. Teori gluten-kasein Gluten dan kasein adalah bahan makanan yang mampu memicu bertambahnya opioid dalam tubuh, sehingga bahan makanan yang berasal dari gluten dan kasein sebaiknya dihindari oleh anak ASD. Diet bebas gluten dan kasein mampu menurunkan kadar peptida-peptida opioid dan memperbaiki keadaan ASD (Sutadi 2003). 3. Teori cholecystokinin Oxytocin diproduksi melalui pengaruh pada reseptor cholecystokinin-A (CCKA) dengan bahan dasar cholecystokinin yang disulfurasi. Anak ASD mengalami insufisiensi kemampuan mensulfurasi, reseptor tidak bekerja dengan
baik,
dan
banyak
fungsi
yang
dipengaruhi
CCK
akan
terpengaruh. Beberapa pendapat mengatakan bahwa pitocin (oxytocin eksogen) mungkin dapat menyebabkan ASD, karena banyak ibu dari anak-anak ASD mendapat pitocin untuk menginduksi persalinan. Pendapat lain mengatakan bahwa hubungan tersebut karena masalah sulfurasi ibu dan anak sehingga diperlukan pitocin untuk merangsang persalinan dari anak (Sutadi 2003). 4. Teori methylation Penelitian menunjukkan bahwa anak ASD mengalami gangguan dalam proses metilasi. Metilasi merupakan proses yang penting dalam tubuh seseorang. Metilasi berperan dalam pengontrolan kelebihan histamin, proteksi DNA, produksi serotonin, dan fungsi-fungsi otak (Sutadi 2003).
6
5. Teori autoimmune Penelitian terhadap anak ASD membuktikan pada anak ASD adanya antibodi-antibodi terhadap antigen-antigen jaringan otak, misalnya anti terhadap MBP (myelin basic protein), anti terhadap NAFP (neuron-axon filament protein), dan anti terhadap reseptor serotonin. Penelitian Singh dkk (1998) menemukan bahwa 58% anak ASD memiliki antibodi terhadap MBP dibandingkan dengan kontrol yang terdiri dari anak dengan retardasi mental dan down sindrom, hanya 7% yang memiliki antibodi terhadap MBP (Sutadi 2003). 6. Teori viral infection Teori virus pada ASD berdasarkan adanya infeksi virus yang diduga terdapat pada traktus intestinalis dan infeksi virus yang menghasilkan simptom sistem saraf sentral pada ASD. Anak ASD mengalami defisiensi secretory immunoglobulin A (Sig A) yang merupakan pertahanan penting pada usus terhadap infeksi virus. Virus yang dapat menginfeksi traktus intestinalis adalah herpes simplex (HSV), yang terdapat pada sistem saraf enterik manusia, yang kemudian dapat berimigrasi ke sistem saraf pusat (Sutadi 2003). 7. Teori vaksinasi Penelitian menunjukkan bahwa adanya kemungkinan hubungan antara ASD dan infeksi virus yang dihubungkan dengan vaksinasi MMR. ASD terjadi diduga dikarenakan adanya reaksi tipe alergi yang dimulai oleh reaksi tubuh terhadap vaksin. Respon ini dapat mengganggu DPP IV, sehingga kadarnya berkurang, hal ini merupakan penghubung antara teori vaksinasi dan teori opioid. Peran vaksin terhadap terjadinya ASD adalah terganggunya proses mielinisasi sehingga perkembangan otak anak tidak sempurna (Sutadi 2003). Aspek genetika pada ASD Faktor genetika atau faktor herediter merupakan faktor yang diturunkan sebagai dasar dalam mencapai tumbuh kembang anak. Faktor herediter adalah faktor bawaan seperti, jenis kelamin, ras, dan suku bangsa. Faktor ini dapat ditentukan dengan intensitas dan kecepatan dalam pembelahan sel telur, tingkat sensitifitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Hidayat 2004).
7
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ASD berkaitan dengan pewarisan sifat yang kompleks. Gen yang berkaitan dengan terjadinya
ASD
berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan berjumlah 15 buah. Mutasi banyak gen akan menyebabkan ASD (Wargasetia 2003). Peneliti genetika telah berhasil menemukan unsur-unsur ”gen pembawa” pada kebanyakan anak ASD tetapi tidak pada setiap anak ASD. Gen C4B adalah salah satu gen yang mengontrol fungsi dan pengaturan sistem imun tubuh. Gen C4B mampu menyingkirkan patogen seperti virus-virus dan bakteri dari tubuh. Bentuk gen C4B yang kurang sempurna menunjukkan peningkatan frekuensi ASD (McCandless 2003). Penderita ASD yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, hal ini diduga terdapat gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan ASD. Penelitian-penelitian telah menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama ASD, tetapi suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan ASD (Wargasetia 2003). Penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan ASD yang muncul pada anak kembar. Prevalensi ASD yang lebih banyak pada anak laki-laki juga menunjukkan terdapat faktor genetik yang berperan dalam kejadian ASD. Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara ASD dengan faktor genetik, tetapi bukan berarti setiap kasus ASD pasti dikarenakan peranan faktor genetik (McCandless 2003). Pengaruh logam berat pada ASD Logam berat yang sering disebut sebagai penyebab terbesar dari ASD adalah air raksa (Hg). Penelitian yang telah dilakukan terhadap anak ASD, menunjukkan bahwa adanya disfungsi dari metallothionein. Metallothionein merupakan suatu rantai polipeptida pendek, linear, terdiri dari 61-68 asam amino, kaya akan sistein (pada manusia terdapat 20 residu sistein), berbentuk huruf S dan memiliki kemampuan untuk mengikat logam. Metallothionein memiliki empat bentuk dan masing-masingnya memiliki fungsi yang spesifik. Metallothionein secara umum memiliki peranan dalam berbagai proses, yaitu: 1. Regulasi kadar zinc (Zn)dan tembaga (Cu) dalam darah 2. Detoksifikasi air raksa dan logam lain 3. Perkembangan sistem imun 4. Perkembangan sel otak 5. Mencegah yeast overgrowth dalam usus
8
6. Produksi enzim pemecah kasein dan gluten 7. Mengendalikan inflamasi pada saluran cerna 8. Produksi asam lambung; 9. Perkembangan indera perasa pada epitel lidah; 10. Regulasi fungsi sel otak dalam hal tingkah laku; dan 11. Perkembagan emosi dan sosialisasi (Santosa 2003). Santosa (2003) mengungkapkan bahwa metallothionein merupakan sistem utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa (Hg), timbal (Pb), dan logam berat lain. Logam berat memiliki afinitas yang berbedabeda terhadap metallothionein, dan air raksa memiliki afinitas yang paling kuat. Afinitas yaitu daya kemampuan metallothionein mendetoksifikasi logam. Gangguan akibat keracunan logam berat tidak akan terjadi jika metallothionein dapat berfungsi dengan baik atau jumlah logam berat yang masuk ke dalam tubuh tidak melebihi kemampuan metallothionein untuk mengikat logam berat tersebut. Penelitian yang telah dilakukan, ternyata disfungsi metallothionein pada anak ASD dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Gangguan generatif, antara lain pada pembentukan metallothionein; 2. Jumlah logam berat (air raksa, tembaga, dll) yang berlebihan; 3. Defisiensi zinc yang berat; 4. Defisiensi sistein. Teori Walsh menyimpulkan bahwa disregulasi metallothionein dapat menjadi penyebab utama ASD. Walsh berteori bahwa ASD merupakan hasil dari kombinasi
ketidaksempurnaan
genetik
yaitu
ketidaksempurnaan
fungsi
metallothionein dan pengaruh lingkungan selama awal perkembangan yang akhirnya melumpuhkan fungsi metallothionein. Walsh (2001) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan selama kehamilan, ketika bayi atau balita dapat melumpuhkan
sitem
metallothionein,
berdampak
pada
terhambatnya
perkembangan sistem saraf dan memicu terjadinya ASD. Pengaruh lingkungan antara lain berasal dari makanan yang dimakan ibu ketika hamil yang tercemar logam berat ataupun lingkungan sekitar yang banyak tercemar polusi udara (McCandless 2003). Patogenesis ASD Pemeriksaan histologik pada anak ASD ditemukan adanya kelainan pada sel-sel CA4 hipokampus yang menyebabkan adanya gangguan neuropsikiatrik pada ASD. Neuron di amigdala hipokampus yang berbatasan dengan korteks
9
entorhinal mengalami penurunan densitas (Bauman&Kemper 1987 diacu dalam Purba 2003). Landffild et al (1973) diacu dalam Purba (2003) menemukan irama berupa spektrum hipokampus yang disebut dengan hipocampal rhythm (HR) di electroencephalographic (EEG). Yokota&Fujimori (1964) diacu dalam Purba (2003) mengatakan bahwa adanya HG di EEG menunjukkan bahwa adanya kelainan struktur di area CA4 hipokampus berupa aktivasi dari sistem somatonomik dan otonomik. Hipocampal rhythm berperan aktif dalam proses serta penyimpanan informasi (Adey 1966 diacu dalam Purba 2003). Minshew et al (1997) diacu dalam Purba (2003) menemukan adanya reduksi volume amigdala dan hipokampus pada anak ASD, ini diperkirakan akibat menurunnya jumlah neuropil di samping proses pertumbuhan neuron yang terhalang (under development) dari struktur limbik. Cabang dendrit pada anak ASD
berjumlah
sedikit.
Jumlah
tersebut
merupakan
penyebab
ketidakseimbangan sistem komunikasi dari neuron sebagai penyebab gangguan bersosial demikian juga afektif pada penderita ASD. Gangguan komunikasi antara korteks dan subkortek diperkirakan sebagai gangguan perilaku dalam bersosial (Asano et al 2001 diacu dalam Purba 2003). Gejala ASD Gejala ASD yang menyerang anak-anak biasanya dimulai sebelum usia 30 bulan dan menginfeksi 3-4 orang setiap 1000 anak. Seorang anak dengan ASD
menunjukkan
tanda-tanda
bahwa
ia
memiliki
kekurangan
dalam
menanggapi respon atau sikap tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Kelemahan yang dimilki anak ASD berakibat pada kelemahan dalam perkembangan berbahasa, ketertarikan terhadap objek yang tidak biasa, seperti air, fans, atau objek berputar lainnya; adanya gejala ASD menyebabkan respon yang diberikan menjadi berubah; dan sangat menyenangi hal yang sama. Anak ASD gagal untuk mengembangkan kemampuan sosialnya dengan orang lain, termasuk orang tuanya. Anak ASD saat melakukan kontak dengan orang lain, mereka tidak akan melakukan kontak mata. Yatim (2003) diacu dalam Hidayat (2004) mengungkapkan bahwa ASD terdiri dari tiga jenis yaitu persepsi, reaktif dan jenis ASD yang timbul kemudian. ASD persepsi timbul sebelum lahir dengan gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun kuat yang dapat menimbulkan kecemasan. ASD reaktif adalah ASD dengan gejala penderita membuat gerakan-gerakan tertentu, berulangulang dan kadang-kadang disertai kejang dan dapat diamati pada usia 6-7 tahun,
10
memiliki sifat rapuh mudah terpengaruh oleh dunia luar. ASD yang timbul kemudian, jenis ini diketahui setelah anak agak besar. Anak dengan gejala ini akan mengalami kesulitan dalam mengubah perilakunya karena sudah melekat dalam dirinya. Pendidikan bagi penyandang ASD Penyandang ASD memerlukan perhatian dan pelayanan khusus yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kemampuannya. Program pengajaran terstrukutur dinyatakan sebagai cara untuk memperoleh kemajuan yang cukup besar bagi perkembangan anak ASD. Model layanan pendidikan bagi anak ASD adalah sebagai berikut: 1. Layanan pendidikan awal, yang terdiri dari program terapi intervensi dini dan program terapi penunjang. Intervensi dini ditujukan untuk menggali potensi dasar anak ASD. Jenis terapi penunjang antara lain; terapi wicara, terapi okupasi, terapi bermain, terapi obat-obatan, terapi melalui makanan, sensory integration therapy (untuk melatih sensori anak), auditory integration therapy (agar pendengaran anak menjadi lebih sempurna), biomedical therapy (penanganan biomedis yang paling mutakhir). 2. Layanan pendidikan lanjutan, yang terdiri dari beberapa jenis yaitu: a. kelas transisi, penyelenggaraan kelas transisi sedapat mungkin dilakukan di bawah naungan sekolah reguler. Tujuan diadakannya kelas ini adalah mempersiapkan anak ASD untuk transisi ke sekolah reguler b. program pendidikan inklusi, program ini dilaksanakan pada sekolah reguler yang menerima anak dengan kebutuhan khusus c. program pendidikan terpadu, program ini diperuntukkan bagi anak ASD yang tidak mampu mengikuti sekolah reguler. Program ini diadakan untuk membantu anak mengejar ketertinggalannya d. sekolah khusus autis. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak ASD yang tidak memungkinkan mengikuti pendidikan dan pengajaran di sekolah reguler. Ketidakmampuan ini dikarenakan kesulitan anak untuk berkonsentrasi e. program sekolah di rumah. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak ASD yang tidak mampu bersekolah di sekolah khusus ASD karena alasan tingkat beratnya ASD dari seorang anak ASD
11
f. panti (griya) rehabilitasi ASD. Panti ini diperuntukkan bagi anak ASD yang sangat memiliki banyak keterbatasan, sehingga tidak mampu mengikuti sekolah khusus dan memerlukan perawatan yang intensif (Djamaluddin 2003). Terapi ASD Jenis terapi banyak diperuntukkan bagi anak ASD. Tujuan dari terapi adalah memampukan anak untuk berintegrasi dan berinteraktif dalam berbagai lingkungan dalam kehidupannya. Terapi yang biasa diberikan di klinik terapi antara lain terapi wicara, okupasi, sensori integrasi, tingkah laku, auditory, vision dan senam otak (Alis 2003). Tujuan akhir dari sebuah terapi adalah menormalkan kembali anak, dari keterlambatan perkembangannya. Keberhasilan suatu terapi yang diberikan kepada anak ASD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu; 1. Usia awal terapi Usia dimulai terapi yang ideal adalah 2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak paling pesat. Usia awal terapi sebaiknya tidak lebih dari lima tahun, karena setelah usia tersebut perkembangan otak anak melambat secara cepat. 2. Intensitas terapi Intensitas terapi minimal delapan jam per hari, atau 40 jam per minggu, agar diperoleh hasil yang optimal. 3. Berat ringannya ASD anak Ringan tidaknya ASD anak menentukan keberhasilan dari terapi, semakin ringan ASD anak, semakin baik hasil yang akan dicapai, hal ini juga dapat mempengaruhi lamanya waktu terapi yang dibutuhkan. 4. Intelligent Quotient (IQ) anak Anak ASD yang memiliki IQ di atas normal sebanyak 35%, sedangkan 65% sisanya adalah anak dengan tingkat kecerdasan di bawah normal, semakin cerdas anak, semakin mudah terapi yang dilakukan. The National Society for Autistic Disorder Children memperkirakan bahwa 60% anak ASD mempunyai skor IQ dibawah 50; 20% mempunyai IQ antara 50-70; dan 20% mempunyai skor IQ diatas 70.
12
5. Pusat bicara anak Kerusakan pada pusat bicara anak dapat mengakibatkan anak tidak mampu berbicara, sehingga perlu diusahakan cara komunikasi yang lain, misalnya bahasa isyarat, bahasa gambar, atau bahasa tulisan (Handojo 2003). Pengasuhan Anak Pengasuhan anak merupakan keterampilan yang dimiliki seorang ibu dalam memberikan pelayanan kepada anak dan berfokus pada keluarga, pencegahan terhadap trauma, dan manajemen kasus. Keluarga adalah bagian yang sangat penting dalam proses pengasuhan anak, hal ini dikarenakan keluarga adalah tempat tinggal pertama bagi kehidupan seorang anak. Kekuatan dan kelemahan keluarga menentukan kualitas pemberian perawatan kepada anak. Kekuatan dan kelemahan tersebut dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, serta peran atau bentuk keluarga (Hidayat 2004). Pengasuhan merupakan kebutuhan dasar dari setiap anak. Kebutuhan dasar ini dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kebutuhan dasar tersebut meliputi kebutuhan akan gizi, kebutuhan pemberian tindakan perawatan dalam meningkatkan dan mencegah terhadap penyakit, kebutuhan perawatan dan pengobatan apabila sakit, kebutuhan akan tempat atau perlindungan yang layak, kebutuhan higiene perseorangan dan sanitasi lingkungan yang sehat, kebutuhan akan pakaian, kebutuhan kesehatan jasmani dan rekreasi (Hidayat 2004). Pengasuhan gizi adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Aspek kunci dalam pengasuhan gizi, yaitu; a. perawatan dan perlindungan bagi ibu b. praktek menyusui dan pemberian MP-ASI c.
pengasuhan psikososial
d. penyiapan makanan e. kebersihan diri dan sanitasi lingkungan f.
praktek kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2000). Pengasuhan makan Anak-anak membutuhkan makanan yang baik untuk tetap sehat, tumbuh dengan baik, serta untuk kemampuan dalam belajar mereka. Gizi adalah salah
13
satu komponen yang cukup penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Cara pemberian makan yang diberikan keluarga sangat mendukung pola konsumsi anak, agar menjadi lebih baik. Beberapa cara yang diperlukan untuk mendukung pemberian makan bagi anak-anak antara lain: 1. membangun hubungan yang baik dengan anak 2. orang tua mencontohkan bagaimana cara makan yang sehat 3. mengembangkan cara makan yang benar, mengenalkan cara makan, dan menggunakan peralatan makan dengan benar 4. mengajarkan
makan
kepada
anak
yang
dihubungkan
dengan
perkembangan sosial dan budaya masing-masing keluarga 5. merencanakan menu yang sesuai dengan usia anak 6. menyiapkan makanan di rumah dan acara-acara tertentu 7. menyesuaikan dengan kebutuhan gizi anak 8. mengatur kebersihan makanan yang akan disajikan 9. disesuaikan dengan status gizi anak apakah overweight atau underweight 10. menyediakan kebutuhan vitamin atau kebutuhan suplemen lain yang dibutuhkan 11. jika ada penyakit, makanan disesuaikan dengan penyakit yang diderita 12. menyesuaikan dengan alergi makanan serta diet khusus yang sedang dilakukan 13. jika diperlukan, makanan yang akan disajikan perlu dikonsultasikan dengan ahli gizi (Aronson 1991). Hubungan pemberian makan terdiri dari cara pemberian dan interaksi dengan seorang anak mengenai memilih dan mengkonsumsi makanan. Anakanak sejak lahir mengindikasikan keinginan mereka untuk makan, dengan pergerakkan dan suara-suara. Orangtua dan pengasuh harus belajar mengenali signal-signal yang diberikan anak mengenai makan dan mampu merespon dengan semestinya. Anak dapat merasa dan merespon mengenai kelaparan secara jelas, namun yang lainnya tidak. Tugas utama para orang tua adalah mengenali signal yang diberikan mengenai kelaparan dan kekenyangan. Orangtua yang kurang sensitif mengenali signal yang diberikan anak-anak, hal ini membuat anak-anak menjadi kurang cukup makan, makan terlalu banyak, atau makan makanan yang tidak sehat (Aronson 1991). Konsep
dasar
dalam
melakukan
pengasuhan
makan
dengan
menjelaskan pada anak bahwa makanan sangat bermanfaat dalam mencapai
14
kesehatan. Penerapan pengasuhan makan kepada anak perlu diperhatikan perkembangan bahasa, kognitif, sensorimotor serta perkembangan sosial dan emosional anak. Anak-anak perlu diajarkan mengenai nama-nama makanan, penggunaaan alat-alat makan, dan bagaimana menempatkan diri ketika mereka harus makan bersama dengan orang lain (Marotz et al 2004). Pemberian pengasuhan makan bertujuan untuk mengarahkan kepada pembiasaan
dan
cara
makan
yang
lebih
baik,
atau
sebagai
sarana
mempengaruhi perilaku anak sehingga mereka dapat menerapkan pengetahuan gizi dalam kehidupan sehari-hari (Santoso dan Ranti 1995 dalam Luwina 2006). Anak ASD menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak ASD biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya. Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnya pun mungkin juga tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik (McCandless 2003). Penderita ASD memiliki gangguan dalam sistem pencernaannya. Rotasi makanan pada anak ASD perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan terentu (Sjambali 2003). Pengasuhan hidup sehat Anak-anak membutuhkan perlindungan dari berbagai bahaya dan infeksi, kedua masalah ini dapat menyebabkan rasa ketidaknyamanan, kecacatan, atau bahkan kematian, untuk itu anak-anak membutuhkan perlindungan dari hal-hal tersebut,
yang
membutuhkan
sebenarnya
sangat
tindakan-tindakan
yang
mudah dapat
untuk
dilakukan.
mendukung
Mereka
perkembangan
kesehatan mereka dan mencegah masalah dalam pertumbuhan, fungsi dari sistem tubuh, sekolah, serta kemampuan dalam sosial-emosionalnya. Dukungan kesehatan yang dapat dilakukan antara lain: melakukan chek up dalam periode tertentu, memberikan imunisasi, tes kesehatan untuk beberapa jenis penyakit, serta perawatan-perawatan lain terhadap penyakit. Kesehatan yang baik membutuhkan gizi yang baik, kesehatan dan kebersihan gigi, latihan untuk kebiasaan berolah raga, serta kemampuan dalam mengelola kesehatan mental (Aronson 1991). Berikut beberapa pengajaran yang dapat diberikan oleh keluarga, agar anak-anak dapat mengontrolnya, tanpa adanya ketakutan atau kebingungan, yaitu:
15
1. mengenalkan mengenai seberapa pentingnya menghindarkan diri dari bersin dan batuk, karena dalam bersin dan batuk banyak tersebar kuman-kuman penyakit, dengan menggunakan sprayer yang biasa digunakan untuk tanaman 2. membiasakan cuci tangan setelah dari kamar mandi, sebelum makan, ataupun setelah bersentuhan dengan cairan yang keluar dari dalam tubuh juga sangat baik dilakukan 3. menjaga
kuku
jari
tetap
pendek
juga
dapat
mengefektifkan
dan
memudahkan dalam mencuci tangan 4. mencuci rambut dan kulit membantu dalam memelihara kesehatan, tetapi selama musim tertentu terlalu membiasakan anak-anak untuk membasuh diri mereka dengan kertas tissue setelah dari toilet, juga sangat baik untuk dilakukan 5. membiasakan untuk menyikat gigi setelah makan sebaiknya diajarkan sejak dini (Aronson 1991). Pengasuhan hidup sehat adalah kecakapan atau keterampilan untuk mengurus dan menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak tergantung pada orang lain. Pengasuhan hidup sehat kepada anak ASD perlu dilakukan dalam beberapa tahapan dan memerlukan bimbingan orang lain. Anak ASD dengan karakteristik yang beragam mengalami kesulitan dalam mempelajari kecakapan merawat diri dalam rangka mewujudkan hidup sehat. Tujuan pengasuhan hidup sehat antara lain: 1. agar anak mampu melakukan sendiri keperluannya 2. menumbuhkan rasa percaya diri dan meminimalkan bantuan yang diberikan 3. memiliki kebiasaan tertib dan teratur 4. dapat menjaga kebersihan dan kesehatan badan 5. dapat beradaptasi dengan lingkungannya pada kondisi dimanapun berada. (Hayati 2003). Pengasuhan bermain Pengasuhan bermain merupakan suatu aktifitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktekkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa. Anak pada masa tumbuh kembang ditemukan banyak mengalami perlambatan yang dapat disebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan pada diri anak termasuk di dalamnya adalah kebutuhan bermain, yang seharusnya masa
16
anak merupakan masa bermain yang diharapkan menumbuhkan kematangan dalam pertumbuhan dan perkembangan karena masa tersebut tidak digunakan sebaik mungkin maka tentu akhirnya menganggu tumbuh kembang anak (Hidayat 2004). Hurlock (1999) mengungkapkan bahwa pola sosialisasi awal pada masa kanak-kanak yang dilakukan melalui kegiatan bermain antara lain bermain sejajar (pararel), yaitu bermain sendiri-sendiri dan tidak bermain dengan anak-anak lain. Jika terjadi kontak, maka kontak ini cenderung bersifat perkelahian bukan kerja sama. Permainan sejajar ini merupakan bentuk kegiatan sosial pertama yang dilakukan dengan teman-teman sebaya. Perkembangan selanjutnya ialah bermain asosiatif dimana anak terlibat dalam menyerupai kegiatan anak-anak lain kemudian berlanjut pada permainan kooperatif dengan meningkatnya kontak sosial, dimana anak menjadi anggota kelompok dan saling berinteraksi, sekalipun anak sudah mulai bermain dengan anak lain, ia masih sering berperan sebagai penonton atau bermain sendiri. Rogers (1995) dalam Maulani (2002) menyebutkan bahwa selain bermain pararel, asosiatif, dan kooperatif terdapat tiga jenis bermain yang lain yaitu: 1) unoccupied yaitu anak hanya menonton anak lain bermain tanpa masuk ke dalam permainan tersebut; 2) onlooker yaitu anak menonton anak lain bermain tetapi anak ikut serta dalam berbicara atau bertanya dan 3) solitary independent play, yaitu anak bermain sendiri dengan objek (mainan). Jefree, McConkey dan Hewson (1977) dalam Rosita (1998) membagi permainan menjadi enam tipe berdasarkan perkembangan keterampilan bermain secara umum beserta fungsinya yaitu exploratory play, energetic play, skilfull play, social play, imaginative play, dan puzzle it out play. Exploratory play atau bermain menjelajah, misalnya bermain balon, meniup gelembung sabun, meniup terompet, membunyikan kerincingan, mendengarkan musik, cilukba, dan sebagainya. Exploratory play berguna untuk membantu anak untuk menemukan sesuatu yang baru, merangsang anak menggunakan dan melatih tangannya. Energetic play atau bermain dengan menggunakan banyak gerakan dan tenaga, misalnya memanjat, melompat, menendang, berlari, bermain sepeda, dan sebagainya. Tipe ini membantu anak untuk lebih aktif menjelajah lingkungan di sekitarnya, melatih mengendalikan gerakan tubuhnya, serta membantu mengkoordinasikan antara bagian tubuh yang berbeda.
17
Skilfull play atau bermain dengan menggunakan serta mengendalikan keterampilan tangan dan mata, misalnya menyusun tiga balok menjadi menara, mencoret dengan membentuk lingkaran dan garis lurus, membuka tutup botol, dan sebagainya. Tipe ini dapat membantu anak untuk menghilangkan rasa frustasi, mendorong anak untuk melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain, menumbuhkan rasa percaya diri, dan kemandirian di kemudian hari, membantu memahami konsep warna, bentuk, ukuran, panjang, berat, nomor, dan suara. Social play atau bermain dengan anak lain, dimana anak dapat berinteraksi dengan teman bermainnya, misalnya main bola, petak umpet, bertepuk tangan, dan sebagainya. Tipe ini membantu anak untuk memahami orang lain, membangun kemampuan berkomunikasi, melatih anak untuk dapat berjiwa sosial serta membantu anak untuk berteman. Imaginative play atau bermain pura-pura, disini anak membayangkan sesuatu yang tidak nyata, anak menggunakan suatu benda atau sesuatu yang dapat mewakili benda dalam imajinasinya, misalnya berpura-pura memberi makanan kepada boneka, menggunakan kotak sebagai mobil, meniru kegiatan menyapu, memainkan peranan dengan urutan waktu seperti boneka dimandikan, diberi makan lalu ditidurkan dan sebagainya. Tipe permainan ini membantu anak dalam membangun kemampuan berpikir dan bicara, membantu anak memahami orang lain, serta membangun kreativitas. Puzzle it out play atau mencari jalan keluar dari suatu permainan. Anak diajak berpikir dan mengerti tentang hal-hal disekitarnya. Permainan ini membuat anak memerlukan suatu permainan dan kemampuan untuk menemukan jalan keluar tergantung dari kemampuan yang perkirakan dibangun dari kegiatan dalam exploratory play dan skilfull play, misalnya mengambil benda kecil seperti kancing yang diletakkan berjajar, menysusun balok dengan berbagai bentuk, membuat warna baru dengan mencampur berbagai warna dasar dan sebagainya. Tipe ini membantu anak meningkatkan rasa keingintahuan, mengajak berpikir tentang suatu keterampilan yang dapat digunakan sebelum melakukan sesuatu, serta melatih kemandirian. Pengasuhan bermain merupakan salah satu bentuk terapi psikologis untuk anak bermasalah. Terapi terhadap anak bermasalah pada dasarnya merupakan terapi multidisiplin, tidak cukup hanya satu macam saja, diperlukan beberapa terapi lain dan bahkan ahli yang lain. Terapi bermain cukup dilakukan 1
18
kali per minggu, dengan waktu 90 menit sampai 120 menit. Perbaikan pada umumnya dicapai setelah tiga bulan. Terapi bermain yang digunakan dapat menggunakan alat permainan fantasi, alat permainan keterampilan, dan alat permainan edukatif (Yusuf 2003). Anak ASD lebih menyukai kegiatan yang berulang-ulang dan hanya menyukai permainan yang itu-itu saja. Anak ASD cenderung untuk menyenangi jenis permainan konvensional (mainan yang menggunakan objek/simbol). Manipulation play adalah jenis permainan yang juga suka dimainkan oleh anak ASD, tetapi dengan bentuk yang berbeda dari anak normal seusianya. Mereka menggunakan apapun yang ada disekitarnya, untuk melakukan sesuatu yang ada di pikirannya. Permainan functional play juga sering dilakukan oleh anak ASD. Functional play adalah jenis permainan dimana anak menggunakan bendabenda yang ia ketahui fungsinya, namun bukan untuk keadaan yang sebenarnya, seperti menggunakan buku untuk bermain rumah-rumahan. Symbolic-pretend play adalah jenis permainan lain yang terkadang dimainkan oleh anak ASD. Symbolic-pretend play adalah permainan yang mengikuti gerakan-gerakan yang ia ketahui dan senangi, seperti meniru cara sales promotion girl dalam menawarkan barang (Wolfberg 2003). Konsumsi Pangan Makanan sangat penting untuk kelangsungan kehidupan, setiap makanan yang dikonsumsi akan memberikan pengaruh pada status gizi dan kesehatan. Makanan mengandung berbagai zat gizi yang penting yang dibutuhkan tubuh untuk kecukupan energi, pertumbuhan dan perkembangan, tingkah laku normal, terhindar dari berbagai macam penyakit, dan untuk perbaikan jaringan tubuh. Konsumsi harian zat gizi yang penting dipengaruhi oleh variasi makanan yang dikonsumsi dan jumlahnya (Marotz et al 2004). Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Keadaan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pola konsumsi
pangan
merupakan
susunan
jenis
pangan
yang
dikonsumsi
berdasarkan kriteria tertentu (Hardinsyah&Martianto 1992). Penilaian keadaan gizi masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengetahui keadaan konsumsi pangan
19
seseorang. Metode penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan baik pada tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Survei konsumsi tingkat individu dapat menggunakan metode berikut, yaitu: penimbangan (weighed methode), metode mengingat-ingat (recall methode), riwayat makan (dietary history), frekuensi pangan (food frequency), dan metode kombinasi (Kusharto&Saddiyah 2006). Setiap anak membutuhkan asupan zat gizi yang baik untuk menunjang pertumbuhan
dan
energinya.
Zat
gizi
yang
cukup
diperlukan
untuk
keberlangsungan fungsi tubuh. Gizi yang baik bergantung pada kombinasi dari makanan yang dikonsumsi. Makanan perlu dikonsumsi secara bervariasi, agar berbagai zat gizi dapat masuk ke dalam tubuh (Marotz et al 2004). Anak ASD biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa casein yang ditemukan pada susu sapi dan gluten yang ditemukan pada bahan makanan yang berasal dari tepung-tepungan perlu dihindari oleh anak ASD (McCandless 2003). Salah satu penyebab ASD adalah gangguan metabolisme, maka pengaturan konsumsi pangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Makanan juga berguna untuk menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme selain untuk proses tumbuh kembang (Wirakusumah 2003 diacu dalam Latifah 2004). Pemberian ASI Jumlah sel otak bayi pada saat dilahirkan sudah mencapai 66% dan beratnya 25% dari ukuran otak orang dewasa. Periode pertumbuhan otak yang paling kritis dimulai sejak janin sampai anak berusia dua tahun. Anak yang menderita kurang gizi pada saat tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap jumlah dan ukuran sel otaknya, yaitu mengalami penyusutan. Otak merupakan organ penting yang berfungsi sebagai pusat kontrol, berpikir, emosi, dan perilaku, maka terjadinya penyusutan jumlah dan ukuran sel akan berakibat langsung terhadap kualitas sumberdaya manusia yang bersangkutan. Seorang Ibu mampu menghasilkan air susu ibu (ASI) segera setelah melahirkan. ASI merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti&Yenrina 2000). Anak yang diberi ASI hingga cukup usia akan mendapatkan kualitas kesehatan yang lebih baik dibandingkan anak yang hanya sebentar (kurang dari dua tahun) diberi ASI. Pemberian ASI kepada anak dapat mempengaruhi
20
kecerdasan anak. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan merupakan pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas terbaik bagi anak, karena pada masa ini otak berkembang sangat cepat (Roesli 2008). Pemberian ASI pada anak ASD hingga usia yang tepat dapat membantu seorang anak ASD untuk tidak rentan terhadap infeksi pada saluran pencernaannya (McCandless 2003). Diet pada Penderita ASD Anak ASD mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Penelitian menunjukkan bahwa 60-70% dari keseluruhan sistem imun manusia terletak di saluran usus dan organ-organ pencernaan. Kenyataan ini membuat saluran cerna sebagai organ sistem imun terbesar dalam tubuh manusia. (Mc.Candless 2003). Pemberian diet kepada anak ASD dapat membantu menyehatkan keadaan kesehatan saluran cerna. Berikut diet yang diterapkan kepada anak ASD: Diet GFCF (Gluten Free Casein Free) Makanan yang diberikan kepada anak ASD agak berbeda dengan anak normal, ketika bayi, makanan yang diberikan tidak terlalu sulit, tetapi ketika anak beranjak besar, makanan yang diberikan harus makanan tertentu yang disesuaikan dengan dietnya (yaitu diet bahan makanan yang mengandung gluten dan casein) (Spreen et al 1984 diacu dalam Kanarek&Kaufman 1991). Gluten adalah sejenis protein yang didapatkan pada wheat (gandum), oats, barley, rye, dan derivatnya. Casein adalah protein yang terdapat pada air susu hewani dan mempunyai struktur mirip gluten. Seseorang yang berada dalam keadaan normal, yang mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten dan casein akan dicerna secara sempurna oleh proses kimia dan fisik menjadi asam amino tunggal dan diserap oleh usus. Bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dan mengandung gluten dan casein antara lain mie, roti, makaroni, susu sapi, dan keju (Sjambali 2003). Penderita
ASD memiliki gangguan enzim pencernaan dan leaky gut,
peptida jenis ini tidak dapat dicerna dengan baik, peptida akan beredar dalam darah bentuk gluteo dan casomorphin dan terikat pada reseptor opioid di otak yang menimbulkan gejala kelainan perilaku. Penderita ASD yang diet bebas gluten dan casein terjadi kemajuan yang menakjubkan (Sjambali 2003). Studi ilmiah menunjukkan terjadinya inflamasi lambung disebabkan gluten, casein, kedelai dan beberapa makanan lainnya. Ahli alergi tradisional menyatakan bahwa keadaan tersebut bukanlah “alergi”, tetapi disebut respon
21
inflamasi T-cells terhadap makanan-makanan ini. Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari anak ASD memiliki reaktivitas T-cells pada makanan (McCandless 2003). Diet rendah gula sederhana Gula sederhana adalah makanan utama dari jamur yang ada dalam usus penderita
ASD, hasil metabolit dari jamur ini sering menimbulkan kelainan
perilaku, sehingga diet rendah gula sederhana akan mengurangi gejala ASD. Dianjurkan untuk mengkonsumsi hidrat arang kompleks sebagai pengganti gula sederhana (Sjambali 2003). Gula dapat meningkatka pertumbuhan jamur pada saluran pencernaan anak ASD, untuk itu sebaiknya konsumsi gula sederhana dibatasi penggunaannya. Jenis gula yang perlu dihindari anak ASD adalah sukrosa, fruktosa, galaktosa, madu, gula merah, sirup, dan makanan lain yang mengandung gula yang tinggi, seperti coklat. Gula yang terbaik dan masih banyak direkomendasikan adalah stevia dan xylitol (McCandless 2003). Status Gizi Gizi merupakan ilmu yang mempelajari zat-zat makanan oleh organisme hidup serta segala proses yang dialami oleh zat-zat tersebut untuk memelihara kehidupan dan mempertahankan aktivitas organisme. Zat gizi berfungsi untuk menjamin terlaksananya segala proses yang dialami oleh bahan makanan untuk memenuhi semua kebutuhan tubuh, yaitu membangun sel-sel baru baik untuk pertumbuhan maupun untuk penggantian, dan memelihara seluruh aktivitas kebutuhan tubuh. Status gizi merupakan faktor yang penting untuk menilai keadaan kesehatan seseorang baik fisik maupun mental (Poedjiadi 1994). Penilaian gizi didefinisikan sebagai interpretasi informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi makanan, biokimia, antropometri, dan klinis pada seseorang atau sekelompok orang. Penilaian gizi terdapat dua kegiatan yang dilakukan, yaitu pengukuran atau pengumpulan data dan interpretasi data. Informasi yang diperoleh tersebut digunakan untuk menentukan status kesehatan seseorang atau kelompok penduduk tertentu, hal ini dikarenakan status kesehatan sesorang atau kelompok penduduk tertentu dipengaruhi oleh intake dan penggunaan zat gizi (Riyadi 2001). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan utilitasi zat gizi makanan. Penilaian status gizi berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang mempunyai gizi yang baik atau tidak baik.
22
Cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan dan antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Winarno (1987) menyebutkan bahwa pengukuran status gizi anak memiliki beberapa kelemahan, namun saat ini antropometri dianggap merupakan cara yang paling mudah dan praktis untuk dilakukan. Status gizi seorang anak ditentukan oleh penentu langsung, tidak langsung, dan penentu dasar. Penentu langsung yaitu intake makanan (energi, protein, lemak, dan mikronutrient) dan status kesehatan. Penentu ini saling tergantung satu sama lain. Status gizi yang baik dapat diraih jika jumlah dan mutu intake makanan cukup, selain itu zat gizi yang dikonsumsi harus memenuhi kombinasi yang tepat. Penentu tidak langsung dari status gizi adalah ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak, serta keadaan lingkungan dan pelayanan kesehatan (Riyadi 2001). Penilaian status gizi pada anak menggunakan tiga indeks antropometri yang paling umum digunakan dengan membandingkan pengukuran berat badan dan tinggi (panjang) badan adalah tinggi (panjang) badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut umur (BB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks ini saling berhubungan, namun masing-masing indeks ini mempunyai arti khusus dalam peristilahan tentang proses atau outcome gangguan pertumbuhan. Defisit pada satu atau lebih indeks antropometri sering dianggap sebagai adanya kurang gizi. Defisit tersebut tidak hanya menunjukkan kekurangan intake pangan. Defisit yang sangat nyata dalam pengukuran antropometri dengan menggunakan indeks TB/U menunjukkan adanya kurang gizi masa lampau dan menggunakan indeks BB/U menunjukkan adanya kekurangan gizi masa kini pada level seluler, dapat disebabkan oleh rendahnya intake pangan, laju peningkatan utilitas zat gizi, dan gangguan penyerapan atau interaksi zat gizi (Riyadi 2001). Status gizi pada anak-anak ASD menurut penelitian Defeat Autism Now!, sebagian besar anak ASD menunjukkan defisiensi beberapa vitamin dan mineral, seperti rendahnya vitamin B6 dan buruknya kemampuan mengikat B6. Keadaan tersebut disertai dengan jumlah magnesium intraselular (dalam sel) yang rendah atau rendah-normal; rendahnya seng intraselular; kadar vitamin A dalam darah; biotin, B1, B3 dan fungsi B5, menurut uji mikrobiologi serta rendahnya vitamin C pada urin (McCandless 2003). Pengukuran status gizi anak berdasarkan kriteria antropometri mempunyai beberapa kelemahan.
23
Status gizi mempengaruhi perilaku dari seorang anak. Anak-anak yang memiliki status gizi yang baik akan mempunyai sikap yang siaga, penuh perhatian dan lebih baik dalam melakukan aktivitas fisik serta mudah dalam belajar. Anak yang memiliki status gizi kurang, cenderung memiliki sifat yang pendiam dan menarik diri dari lingkungan, atau hiperaktif dan kecenderungan mengganggu orang lain (Brown&Pollitt 1996 diacu dalam Marotz, Cross, & Rush 2004). Anak yang memiliki status gizi lebih memiliki masalah dalam kehidupan sosialnya, emosional, dalam memiliki masalah pada keadaan fisiknya. Anak-anak dengan status gizi overweight dan obesitas sering lebih lamban dan kurang partisipasinya dalam aktivitas yang berhubungan dengan fisik. Mereka juga sering mendapatkan ejekan, memiliki stress dalam bergabung dengan teman sepermainannya (Davidson&Birch 2001 diacu dalam Marotz et al 2004). Status Kesehatan Sehat adalah suatu keadaan dimana tubuh berada dalam keadaan baik. Sehat juga berarti keadaan fisik, mental, sosial yang sempurna. Sehat pada masa lalu memiliki arti yang tertuju pada keadaan fisik seseorang, dan ditekankan pada perawatan medis atas gangguan yang terjadi dalam tubuh. Konsep sehat pada masa sekarang tidak lagi hanya pada tidak sakitnya seseorang. World Health Organization memperkenalkan konsep sehat yang meliputi kualitas fisik, mental, dan sosial yang baik. Konsep sehat tersebut menunjukkan bahwa sehat tidak hanya diakibatkan karena kondisi fisik yang tidak baik, melainkan dapat disebabkan karena kondisi mental ataupun sosial yang kurang baik (Marotz et al 2004). Status
kesehatan
anak
dapat
berpengaruh
pada
pencapaian
pertumbuhan dan perkembangan, hal ini dapat terlihat apabila anak dengan kondisi sehat dan sejahtera maka percepatan untuk tumbuh kembang sangat mudah akan tetapi apabila kondisi status kesehatan kurang, maka akan terjadi perlambatan. Kondisi yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak antara lain adanya kelainan perkembangan fisik atau disebut cacat fisik (sumbing, juling, kaki bengkok, dan lain-lain), adanya kelainan dalam perkembangan saraf seperti gangguan motorik, gangguan wicara, gangguan personal sosial, adanya kelainan perkembangan mental, seperti retardasi mental, adanya kelainan perkembangan perilaku seperti hiperaktif, gangguan belajar, depresi, dan lain-lain (Hidayat 2004)
24
Penilaian status kesehatan seorang anak dapat diukur dari; 1. pemeriksaan kesehatan sehari-hari 2. penilaian kesehatan secara umum 3. pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak 4. penilaian kesehatan mental 5. penilaian status gizi (Robertson 1998). Kesehatan seseorang dapat ditentukan berdasarkan genetik, dimana riwayat kesehatan orang tua turut menentukan kesehatan seorang anak. Faktor keturunan menentukan pertumbuhan, perkembangan, serta penyakit yang potensial diderita. Lingkungan seorang anak juga menentukan keadaan kesehatannya. Lingkungan yang dimaksud terdiri dari fisik, sosial, ekonomi, dan budaya (Marotz et al 2004). Penyakit yang paling banyak diderita oleh anak-anak adalah diare yang disertai muntah dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Diare dan muntah yang terjadi pada anak umumnya akan berdampak lebih buruk pada anak yang berstatus gizi kurang hingga buruk. Diare disertai muntah saja tanpa adanya gangguan terhadap cairan dan elektrolit tidak akan menimbuIkan kematian, tetapi diare disertai muntah yang berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada usus. Kerusakan pada usus ini dapat menimbulkan gangguan pencernaan dan pengambilan zat makanan dari dalam usus yang akan mengakibatkan gangguan dalam kebutuhan yang berlanjut dengan gangguan pertumbuhan. ISPA yang terjadi pada anak-anak dapat berupa pilek biasa hingga adanya infeksi pada saluran pernafasan bawah, yaitu infeksi yang mengenai paru-paru. ISPA dapat menjadi penyakit yang serius dan akan berakibat fatal. Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri ataupun gabungan dari keduanya (Lubis 2004). McCandless (2003) menyebutkan bahwa gangguan kesehatan yang banyak diderita anak ASD adalah esofagistis (radang kerongkongan), gastritis (radang lambung), duodenitis (radang usus dua belas jari), dan kolitis (radang usus besar). Gangguan kesehatan tersebut dikarenakan anak ASD banyak yang menderita gangguan dalam pencernaannya. Diare menahun yang sulit disembuhkan, sembelit, dan keduanya berselang-seling dialami oleh beberapa anak ASD.
KERANGKA PEMIKIRAN Gangguan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan yang berhubungan dengan perilaku yang umumnya disebabkan oleh kelainan struktur otak atau fungsi otak. Gejala ini banyak ditemui pada anak usia bawah tiga tahun. ASD disebabkan oleh multifaktor, antara lain faktor immunologis, faktor neurokimia, faktor genetik dan faktor lingkungan seperti infeksi virus. Konsumsi pangan yang terdiri dari jenis dan jumlah makanan perlu dipantau oleh orang tua khususnya ibu untuk menghindari terjadinya gejala ASD yang semakin memburuk. Selain melakukan pengaturan konsumsi pangan, diperlukan berbagai terapi untuk memperbaiki perkembangan anak ASD. Lingkungan keluarga perlu bekerja sama mendukung diet anak, misalnya dengan cara menyediakan diet itu sepanjang hari. Pola konsumsi dari seorang anak akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan anak. Pola konsumsi ditentukan dari karakteristik keluarga terutama dari pendapatan orang tua. Pemberian ASI eksklusif dan usia seorang anak diberhentikan ASI berpengaruh dalam riwayat ASD anak, terutama usia awal terdeteksi ASD. Dukungan yang diberikan keluarga kepada anak ASD, sangat berarti bagi serta perkembangan spektrum ASD anak. Upaya pemulihan ASD dapat diperoleh dengan adanya dukungan moril dan materil dari pihak keluarga, masyarakat, dan tenaga medis. Dukungan moril dari keluarga dan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk mengatur pola makan, memberi motivasi, selalu membantu kapan pun dibutuhkan, senantiasa memberikan obat, rutin membawa ke dokter dan terapis. Pola konsumsi suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, yaitu pendapatan orang tua, pendidikan orang tua, serta besar keluarga. Selain karakteristik keluarga, pola konsumsi keluarga juga sangat dipengaruhi kondisi psikososial anak. Pengasuhan dalam keluarga juga sangat mempengaruhi pola dan tingkat konsumsi anak. Pengasuhan keluarga yang dimaksud meliputi pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, serta bermain. Pola konsumsi yang baik akan mempengaruhi intake makanan dari anak tersebut. Intake makanan anak yang baik akan memperbaiki status gizi serta status
kesehatan
anak.
Pengasuhan
bermain
dapat
mempengaruhi
perkembangan spektrum ASD anak yang membuat anak menjadi lebih mandiri.
26
Karakteristik Anak - umur - jenis kelamin - urutan kelahiran
Stimulasi Psikososial - sekolah - terapis - orang tua - lingkungan
Karakteristik Keluarga - Besar keluarga - Tipe keluarga - Karakteristik orang tua - Pendapatan orang tua
Pengasuhan Anak - makan - hidup sehat - bermain
Kondisi Psikososial Anak - sulit makan - sulit bersosialisasi - sulit tidur - sulit berkomunikasi - sulit konsentrasi - temperamen/sensitf - hiperaktif
Dukungan Keluarga
Sosial Emosi Anak
Pola Konsumsi
Status Gizi
Status Kesehatan
Riwayat Pemberian ASI - ASI Eksklusif - usia disapih
Spektrum ASD Riwayat ASD - usia awal ASD - usia awal terapi
Keterangan: : variabel yang diteliti : variabel yang diteliti
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
26
METODE Desain, Waktu dan Tempat Desain penelitian yang digunakan adalah crossectional study karena penelitian dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon dan Sekolah Khusus Al-Ihsan Tangerang. Penentuan lokasi ini dilakukan secara purposive. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2008. Contoh dan Cara Pengambilan Contoh Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah anak ASD yang sedang melakukan terapi di Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon dan Sekolah Khusus AlIhsan Tangerang dan orang tua bersedia untuk diwawancarai. Jumlah anak ASD di Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon adalah 20 anak dan di Sekolah Khusus AlIhsan Tangerang adalah 39 anak. Jumlah dari kedua tempat tersebut adalah 59 anak ASD. Jumlah contoh yang bersedia diwawancara dan digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini adalah 31 anak. Jumlah tersebut dikarenakan beberapa Ibu enggan di wawancara dikarenakan tidak ingin dipublikasikan mengenai kondisi anaknya ataupun kesibukan dari Ibu yang bekerja, sehingga tidak memiliki waktu untuk wawancara. Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan orang tua anak ASD dengan menggunakan kuisioner, sedangkan data sekunder adalah data mengenai jumlah anak ASD yang berada pada tempat terapi tersebut dan profil sekolah. Data status gizi anak diperoleh melalui pengukuran pertumbuhan anak secara antropometri dengan menggunakan alat timbangan injak (Tanita) dengan ketelitian 0.01 kg untuk mengukur berat badan (BB) dan microtoise untuk mengukur tinggi badan (TB) anak. Berikut ini ditampilkan beberapa data primer dan kategori pengukurannya:
28
No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8. 9.
Tabel 1 Data dan cara pengumpulan data Jenis Cara Data Peubah Indikator Data Pengumpulan • Usia Karakteristik Primer Wawancara • Jenis kelamin anak • Urutan kelahiran • Tipe keluarga • Besar keluarga • Usia orang tua Karakteristik Primer Wawancara • Pendidikan terakhir Keluarga orang tua • Pendapatan keluarga • Usia anak diberi ASI Riwayat Primer Wawancara eksklusif Pemberian ASI • Usia anak disapih • Gejala awal ASD • Usia awal terapi • Perkembangan Riwayat ASD Primer Wawancara spektrum ASD anak setelah mengikuti terapi • Pengasuhan makan • Pengasuhan hidup Pengasuhan Primer Wawancara sehat Anak • Pengasuhan bermain • Jenis penyakit yang diderita 3 bulan terakhir Status • Frekuensi sakit Primer Wawancara kesehatan selama 3 bulan terakhir • Lama sakit selama 3 bulan terakhir Pengukuran • Berat badan Status gizi anak Primer langsung • Tinggi badan Konsumsi Metode food record selama Primer Isian tertulis makan anak 2x24 jam Riwayat makan Primer Wawancara Metode dietary history anak Pengolahan dan Analisis Data Data primer hasil wawancara diolah melalui proses editing, coding,
scorring, entrying, cleaning, serta analyzing menggunakan Microsoft Excell dan program SPSS for Windows versi 11.5. Data karakteristik keluarga, anak, riwayat pemberian ASI, riwayat ASD, pengasuhan anak, status kesehatan, status gizi, konsumsi makan anak, dan riwayat makan anak yang diperoleh dihitung
29
berdasarkan sebaran rata-rata contoh. Penentuan status gizi menggunakan zskor pada indeks BB/U, TB/U, serta BB/TB. Tabel 2 disajikan kategori status gizi berdasarkan indeks berat badan/umur, tinggi badan/umur, dan berat badan/tinggi badan. Tabel 2 Kategori status gizi indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB Indeks Antopometri Standar Baku Kategori > 2,0 SD baku WHO-NCHS Gizi lebih - 2,0 SD s.d + 2,0 SD Gizi baik Berat badan / umur < - 2,0 SD Gizi kurang < -3,0 SD Gizi buruk ≥ - 2,0 SD baku WHO-NCHS Normal Tinggi badan / umur < - 2,0 SD Pendek / stunted > 2,0 SD baku WHO-NCHS Gemuk - 2,0 SD s.d +2,0 SD Normal Berat badan / tinggi badan < - 2,0 SD Kurus/wasted -3,0 SD Sangat kurus Sumber : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, WKNPG VII (2000) diacu dalam Latifah 2004 Setelah diketahui masing-masing kategori status gizi berdasarkan ketiga indeks antropometri, langkah selanjutnya adalah menginterpretasikan interaksi ketiga indeks berdasarkan kategori yang terdapat dalam buku Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri (Riyadi 2001). Interpretasi tersebut dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 3 Interpretasi status gizi dalam indikator gabungan Indikator Interpretasi Status Gizi BB/TB + BB/U + TB/U Tampak normal, mengalami malnutrisi normal rendah rendah pada masa lalu 2. BB/TB + BB/U + TB/U Normal normal normal normal 3. BB/TB + BB/U + TB/U Tubuh tinggi, gizi baik normal tinggi tinggi 4. BB/TB + BB/U + TB/U Saat ini malnutrisi berat rendah rendah tinggi 5. BB/TB + BB/U + TB/U Saat ini malnutrisi sedang rendah rendah normal .6. BB/TB + BB/U + TB/U Saat ini malnutrisi ringan rendah normal tinggi 7. BB/TB + BB/U + TB/U Sangat obes tinggi tinggi rendah 8. BB/TB + BB/U + TB/U Saat ini gizi lebih, mengalami malnutrisi tinggi normal rendah pada masa lalu 9. BB/TB + BB/U + TB/U Gizi lebih, tetapi tidak obes tinggi tinggi normal Sumber: WHO (1983) Dalam Riyadi (2001) Kategori 1.
30
Tabel 4 Penyesuaian interpretasi status gizi dalam indikator gabungan Kategori Indikator Interpretasi Status Gizi 1. BB/TB + BB/U + TB/U Tampak normal, mengalami malnutrisi normal normal rendah pada masa lalu 2. BB/TB + BB/U + TB/U Normal, tinggi normal normal rendah normal Normal, tinggi 3. BB/TB + BB/U + TB/U normal normal tinggi 5. BB/TB + BB/U + TB/U Saat ini malnutrisi sedang rendah rendah rendah .6. BB/TB + BB/U + TB/U Saat ini malnutrisi ringan rendah normal normal 6. BB/TB + BB/U + TB/U Saat ini malnutrisi ringan Rendah normal rendah 9. BB/TB + BB/U + TB/U Gizi lebih, tetapi tidak obes tinggi normal normal Sumber: WHO (1983) Dalam Riyadi (2001) Data konsumsi pangan diperoleh dari hasil food record 2x24 jam. Seluruh bahan pangan yang dikonsumsi contoh kemudian dijumlahkan dan dirata-ratakan untuk mendapatkan rata-rata konsumsi contoh per kelompok bahan pangan. Selain itu rata-rata konsumsi pangan dikonversi ke nilai konsumsi zat gizi untuk mendapatkan tingkat konsumsi rata-rata contoh berdasarkan angka kecukupan rata-rata contoh. Perhitungannya adalah sebagai berikut: Angka Kecukupan = BB aktual x AKG yang dianjurkan BB ideal Tingkat Konsumsi = Setelah
dilakukan
Konsumsi zat gizi x 100 % Angka kecukupan
perhitungan
tingkat
kecukupan
gizi,
hasilnya
disesuaikan dengan kategori yang telah ditentukan. Kategori tingkat kecukupan energi, protein, serta vitamin, dan mineral ditentukan sebagai berikut: Tabel 5 Tingkat kecukupan Energi, Protein, Vitamin, dan Mineral Zat Gizi Tingkat Kecukupan Gizi Kategori ≥ 100% Lebih 85 – 100% Baik Energi 70 – 84.5% Cukup < 70 % Kurang ≥ 75% Baik Protein < 75 % Kurang ≥ 100 % Cukup Vitamin (A dan C) < 100 % Kurang ≥ 100 % Cukup Mineral (Fe dan Ca) < 100 % Kurang Sumber: Gibson (1993) diacu dalam Latifah (2004)
31
Seluruh data primer yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis korelasi Rank-Spearman dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti. Definisi Operasional Autisme
atau
Autism
Spectrum
Disorder
(ASD)
adalah
gangguan
perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Gangguan ini mempengaruhi kemampuan seseoarang untuk berinteraksi dengan orang lain, aktivitas sosial atau penggunaan keterampilan
komunikasi
yang
mencakup
kemampuan
berbicara,
berimajinasi, dan menarik komunikasi. Karakteristik Anak adalah keadaan anak yang meliputi usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran. Urutan kelahiran adalah penentuan contoh merupakan anak ke berapa yang terlahir dari satu keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terikat oleh hubungan perkawinan dan hubungan darah, tinggal dalam satu rumah dengan menjalankan fungsi dan peran tertentu untuk mencapai satu tujuan yang sama. Karakteristik Keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi usia orang tua, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan orang tua, besar, dan tipe keluarga. Usia Orang Tua adalah usia ayah dan ibu dalam tahun yang dikelompokkan menjadi berdasarkan rentang usia sepuluh tahun. Pendidikan Orang Tua adalah ukuran tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang yang dinilai melalui lamanya seseorang menempuh pendidikan formal, yang dikelompokkan menjadi SLTP/sederajat, SLTA/sederajat, dan Perguruan Tinggi. Pendapatan Orang Tua adalah jumlah total penghasilan seluruh anggota keluarga per bulan baik yang diperoleh dari hasil bekerja maupun non bekerja yang dinilai dalam bentuk uang. Besar Keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
32
Tipe Keluarga adalah jenis keluarga yang dari ada tidaknya orang lain selain ayah, ibu, dan anak yang tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Tipe keluarga dibedakan berdasarkan keluarga inti dan keluarga luas. Pengasuhan Anak adalah praktek yang dilakukan orang tua, khususnya ibu, dalam memberikan stimulasi psikososial dan bermain, pemberian makan, dan perawatan kesehatan. Pengasuhan Makan adalah cara-cara keluarga terutama ibu dalam pemberian makan kepada anak penderita ASD. Pengasuhan Hidup Sehat adalah cara-cara keluarga terutama ibu dalam memberikan pengajaran tentang cara-cara menjaga kesehatan tubuh kepada anak penderita ASD. Pengasuhan
Bermain
adalah
cara-cara
keluarga
dalam
memberikan
permainan-permainan yang mendukung perkembangan sosial anak, pengasuhan bermain dibedakan berdasarkan tipe dan pola permainan. Exploratory Play adalah bermain menjelajah, permainan yang membutuhakan kreativitas dari anak Energetic Play adalah bermain dengan menggunakan banyak gerakan dan tenaga. Skilfull Play adalah bermain dengan menggunakan serta mengendalikan keterampilan tangan dan mata. Social Play adalah bermain dengan anak lain, dimana anak dapat berinteraksi dengan teman bermainnya. Imaginative Play adalah bermain pura-pura, disini anak membayangkan sesuatu yang tidak nyata, anak menggunakan suatu benda atau sesuatu yang dapat mewakili benda dalam imajinasinya Puzzle It Out Play adalah permainan untuk mencari jalan keluar dari suatu permainan.
Anak
diajak
berpikir
dan
mengerti
tentang
hal-hal
disekitarnya. Paralel Play adalah bermain sendiri-sendiri dan tidak bermain dengan anak-anak lain. Jika terjadi kontak, maka kontak ini cenderung bersifat perkelahian bukan kerja sama. Asosiative Play adalah permainan dimana anak terlibat dalam menyerupai kegiatan anak-anak. Cooperative Play adalah permainan dimana anak menjadi anggota kelompok dan saling berinteraksi, sekalipun anak sudah mulai bermain dengan
33
anak lain, ia masih sering berperan sebagai penonton atau bermain sendiri. Solitary Independent Play, adalah anak bermain sendiri dengan objek (mainan). Pola Konsumsi adalah jumlah pangan yang dimakan oleh individu atau anggota keluarga yang dikumpulkan dengan menggunakan metode dietary history dan food record selama dua hari. Usia Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Eksklusif adalah masa pemberian ASI saja kepada anak tanpa adanya tambahan dari makanan lain maupun air putih. Usia Anak Disapih adalah usia anak dimana anak diberhentikan dalam pemberian ASI. Usia Anak Terdeteksi ASD adalah usia anak pertama kali didiagnosis menjadi penderita autisme oleh lembaga medis. Usia Awal Anak Diterapi adalah usia anak pertama kali melakukan terapi pada lembaga-lembaga terapi. Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama yang terlihat pada keadaan fisiologisnya pada saat ini seperti berat badan dan tinggi badan yang dinyatakan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Status kesehatan adalah frekuensi kesakitan yang pernah diderita anak, serta jenis penyakit dan pengobatan yang pernah dilakukan. Spektrum ASD adalah perkembangan keadaan autisme anak saat ini dan dibandingkan dengan gejala awal anak terdeteksi ASD.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Sekolah Khusus Al-Ihsan Sejarah berdiri Sekolah Khusus Al-Ihsan Sekolah Khusus Al-Ihsan berdiri karena keprihatinan beberapa orang tua, dokter, dan guru terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di wilayah Serpong, Tangerang. Keprihatinan ini mendorong didirikannya Pelatihan Al-Ihsan di bawah kepengurusan DKM Masjid Dzarratul Muthmainnah pada tahun 1996. Pelatihan Al-Ihsan berpusat di Kompleks Batan Indah, kemudian setelah 11 tahun bediri, Pelatihan Al-Ihsan sudah memiliki tiga cabang, yaitu di Perumahan Villa Melati Mas, Apotik Tiara Pamulang, dan PCI Cilegon. Murid pada Sekolah Khusus Al-Ihsan sebagian besar adalah penderita autisme. Tujuan Sekolah Khusus Al-Ihsan Sekolah Khusus Al-Ihsan memiliki misi sosial. Sekolah Khusus Al-Ihsan menyadari bahwa anak-anak berkebutuhan khusus tidak hanya berasal dari keluarga menengah ke atas, tetapi juga banyak yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Sekolah Khusus Al-Ihsan memberi keringanan dalam pembayaran uang pangkal dan SPP bagi anak-anak yang tidak mampu, serta melakukan subsidi silang. Impian dari Sekolah Khusus Al-Ihsan adalah mewujudkan anak-anak berkebutuhan khusus menjadi mandiri, dapat diterima oleh lingkungan, serta mampu berkarya untuk keluarga dan masyarakat. Program Sekolah Khusus Al-Ihsan Sekolah Khusus Al-Ihsan mengadakan program SD Integrasi yang ditujukan untuk murid yang sudah dapat belajar di sekolah dasar tetapi masih perlu bimbingan khusus. Kegiatan ekstrakurikuler yang sering dilakukan antara lain adalah menggambar, menyanyi, berenang, dan out bound. Kegiatan di luar sekolah antara lain adalah belajar ke toko dan kantor pos. Sekolah Khusus AlIhsan juga melakukan seminar untuk orang tua murid, pendidik, dan masyarakat umum. Sekolah Khusus Al-Ihsan membuka kelas individu, yaitu kelas behaviour theraphy, speech theraphy, sensory integration, dan brain gym. Kelas khusus juga dibuka, dengan setiap kelas terdiri dari 4-5 murid dengan satu orang guru dan satu orang asisten.
35
Karakteristik Anak Usia contoh Contoh yang berusia kurang atau sama dengan 72 bulan berjumlah 25.8% dari 31 contoh yang digunakan dalam penelitian ini. Contoh berusia 73 sampai 123 bulan berjumlah 15 orang (48.4%), dan sisanya (25.8%) berada pada usia lebih atau sama dengan 124 bulan. Pengelompokkan ini dilakukan berdasarkan sebaran usia dari contoh yang diambil. Contoh pada penelitian ini seluruhnya berada pada masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak menurut Hurlock (1999) dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk laki-laki dan 14 tahun untuk wanita. Tugas perkembangan terpenting pada masa kanak-kanak antara lain adalah berbicara dan membangun hubungan sosial awal dengan lingkungannya. Anak penderita autisme sulit memenuhi tugas perkembangan tersebut. Anak mulai memiliki kemampuan untuk bekerja dengan tanggapan pada usia 18 bulan sampai 6 tahun. Anak mulai memakai simbol dan kata, ia berbuat seakan-akan sebuah kata mempunyai arti yang lebih daripada kenyataannya. Terdapat dua kategori percakapan, yaitu private speech (anak berbicara seorang diri dan tidak ditunjukkan kepada orang lain) dan social speech (memiliki arti komunikatif yang jelas) (Monks, Knoers, dan Haditono 1999 diacu dalam Luwina 2006). Gejala ASD adalah hubungan sosial yang terbatas dan buruk, keterampilan komunikasi belum sempurna, dan perilaku berulang-ulang, minat, dan aktivitas pun berkurang (Edi 2003). Sebaran contoh berdasarkan usia anak dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis kelamin Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 80.6% contoh berjenis kelamin laki-laki, hal ini sejalan dengan berbagai penelitian yang dilakukan mengenai ASD. ASD ditemukan lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan sebanyak tiga sampai lima kali lebih besar dari anak perempuan (Edi 2003). Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita ASD lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga dikarenakan adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan ASD. Laki-laki yang hanya mempunyai satu kromosom X, sehingga tidak memiliki cadangan ketika satu
36
kromosom
X
yang
lain
mengalami
keabnormalan.
Sejumlah
penelitian
menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama ASD, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan ASD (Wargasetia 2003). Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6. Urutan kelahiran Urutan kelahiran anak dikategorikan menjadi empat, yaitu anak tunggal, sulung, tengah, dan bungsu. Tabel 6 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran. Urutan kelahiran contoh antara anak sulung (38.7%) dan anak bungsu (35.5%) memiliki persentase yang hampir sama. Persentase antara anak tunggal (12.9%) dan anak tengah (12.9%) memiliki persentase yang sama. Anak ASD tidak mampu membentuk jalinan emosi dengan orang lain dan kaku dalam mengikuti rutinitas dalam keluarga (Edi 2003). Urutan kelahiran anak akan mempengaruhi jenis penyesuaian anak, baik pribadi maupun sosial. Anak sulung biasanya memiliki penyesuaian sosial yang lebih baik daripada adik-adiknya walaupun penyesuaian pribadinya belum tentu lebih baik (Hurlock 1999). Anak ASD memiliki gangguan atau keterlambatan dalam berkomunikasi. Ia cenderung memiliki dunia sendiri dan tidak peduli dengan lingkungannya. Masa kanak-kanak merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok dalam belajar bicara, yaitu menambah kosa kata, menguasai pengucapan kata-kata dan menggabungkan kata-kata menjadi kalimat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi seorang anak, antara lain adalah intelegensi, jenis disiplin, jenis kelamin, urutan kelahiran, besarnya keluarga, status ekonomi, dan status ras (Hurlock 1999). Perkembangan spektum ASD seorang anak ASD salah satunya dapat dilihat dari kemampuan komunikasinya. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia anak, jenis kelamin, dan urutan kelahiran Karakteristik Anak n % ≤ 72 8 25.8 73-123 15 48.4 Usia Anak ≥ 124 8 25.8 (Bulan) Minimum-Maximum 42 - 179 Rata-rata ± SD 101.7 ± 31.7 Jenis Laki-laki 25 80.6 Kelamin Perempuan 6 19.4 Anak tunggal 4 12.9 Urutan Anak sulung 12 38.7 Kelahiran Anak tengah 4 12.9 Anak bungsu 11 35.5
37
Karakteristik Keluarga Tipe dan besar keluarga Tipe keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, serta anggota keluarga lain yang tinggal bersama. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh contoh (61.3%) adalah termasuk dalam keluarga inti, dan sisanya (38.7%) merupakan keluarga luas. Keluarga lain yang banyak tinggal bersama adalah pengasuh bagi anak ASD, dan ada sebagian kecil yang tinggal bersama kakek, nenek, dan saudara orang tua lainnya. Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga dapat dilihat pada Tabel 7. Orang lain yang tinggal bersama dalam satu rumah secara tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Anak ASD yang memiliki orang tua yang sibuk, membutuhkan orang lain untuk melatih perkembangannya dalam merawat diri. Hayati (2003) mengungkapkan anak ASD dengan karakteristik yang beragam mengalami kesulitan dalam mempelajari kecakapan merawat diri. Anak ASD lain bahkan tidak memiliki respon sama sekali, sehingga membutuhkan stimulus yang berulang-ulang agar anak dapat mencapai keberhasilan dalam merawat dirinya sendiri. Besar keluarga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil, sedang, dan besar. Pembagian ini didasarkan pada BKKBN. Keluarga kecil yaitu keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan empat orang. Keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang dan keluarga besar adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari delapan orang. ASD adalah masalah yang cukup kompleks, hal ini menyebabkan anak ASD memerlukan perhatian yang lebih dibandingkan anak normal. Perhatian yang cukup dari keluarga akan mempercepat perkembangan seorang anak ASD. Jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap pengasuhan yang diberikan kepada anak, semakin besar suatu keluarga, maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orang tua (Ariotejo 2002). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga kecil (41.9%) dan keluarga sedang (48.4%) memiliki persentase yang cukup berimbang. Keluarga yang merupakan keluarga besar hanya sebagian kecil (9.7%) dari keseluruhan contoh penelitian. Tabel 7 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan besar keluarga.
38
Besarnya jumlah anggota keluarga mempengaruhi pemenuhan konsumsi makanan dari masing-masing anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besar akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan makanan yang dikonsumsi. Jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi dalam sebuah keluarga. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tipe dan besar keluarga Karakteristik Keluarga n % Kecil (≤ 4 orang) 13 41.9 Sedang ( 5 -7 orang) 15 48.4 Besar Keluarga Besar (≥ 8 orang) 3 9.7 Minimum-Maximum 3-8 Rata-rata ± SD 5.1±1.4 Keluarga inti 19 61.3 Tipe Keluarga Keluarga luas 12 38.7 Karakteristik orang tua Usia orang tua akan memberikan pengaruh terhadap cara orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Pembagian usia orang tua pada penelitian ini berdasarkan selang sepuluh tahun. Usia ayah berkisar antara 28 tahun hingga 54 tahun dan usia ibu berkisar antara 27 tahun dan 50 tahun. Usia ayah pada hampir separuh contoh (45.2%) berada pada rentang usia 40-49 tahun dan hanya sebagian kecil (3.2%) usia ayah berada di bawah sama dengan 29 tahun. Contoh yang memiliki ayah dengan usia pada rentang 30-39 tahun sebanyak 32.3% dan 19.4% contoh memiliki ayah pada usia lebih besar sama dengan 50 tahun. Usia ibu contoh umumnya (54.8%) berada pada rentang 30-39 tahun dan sebagian kecil contoh (3.2%) berada pada selang usia lebih dari sama dengan 50 tahun. Ibu contoh yang berada pada selang usia 4049 tahun sebanyak 35.5% dan 6.5 persen ibu contoh memiliki usia di bawah sama dengan 29 tahun. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik orang tua dapat dilihat pada Tabel 8. Rentang usia contoh berada pada masa dewasa dini (18-40 tahun) dan dewasa madya (40-60 tahun). Masa dewasa dini adalah masa seseorang memiliki banyak masalah baru dalam hidup seseorang karena pada masa ini seseorang sedang berada pada masa penyesuaian diri dengan cara hidup yang baru. Usia seseorang yang semakin bertambah, ia akan lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan cukup baik tanpa emosional. Usia madya adalah suatu masa transisi dari masa dewasa ke masa lanjut usia. Usia madya adalah usia dimana seorang mengalami stress dalam menghadapi perubahan kehidupannya, baik dalam segi fisik dan psikologis (Hurlock 1999).
39
Tabel 8 menunjukkan bahwa umumnya pendidikan ayah (61.3%) dan ibu (61.3%) adalah perguruan tinggi (akademi, sarjana, dan pascasarjana). Ayah contoh yang mengenyam pendidikan terakhir SMA sebanyak 38.7% dan 35.5% ibu contoh memiliki pendidikan terakhir SMA dan hanya sebagian kecil (3.2%) ibu contoh memiliki pendidikan terakhir setingkat SMP. Tingkat pendidikan ini berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mengakses informasi, semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin besar memudahkan orang tua dalam mengakses informasi termasuk mengenai ASD. Pendidikan seseorang menentukan pengetahuan dari orang tersebut. Perkembangan stimulasi seorang anak dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tua. Orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup, maka anak akan kekurangan atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi perkembangan yang cukup dan sesuai dengan tahapan usianya. Ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi, cenderung memberikan pengasuhan makan yang sesuai dengan kebutuhan anaknya. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki akses terhadap informasi-informasi terbaru baik yang berasal dari buku, koran, majalah, ataupun internet (Gunarsa&Gunarsa 1995 diacu dalam Luwina 2006”) Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya pekerjaan ayah contoh (41.9%) adalah pegawai swasta. Pekerjaan ayah contoh lainnya adalah PNS (16.1%), wiraswasta (35.5%), tentara (3.2%), dan tidak bekerja (3.2%). Pekerjaan dari ibu sebagian besar (74.2%) adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dapat membantu perkembangan anak ASD untuk menjadi lebih baik. Ibu adalah orang yang paling berperan dalam perkembangan anak, sehingga anak yang selalu berada di bawah pengawasan ibu diharapkan akan mendapatkan kualitas pengasuhan yang terbaik. Pekerjaan ibu contoh lainnya adalah PNS (12.9%), wiraswasta (6.5%), dan pegawai swasta (6.5%). Jenis pekerjaan orang tua menentukan kualitas dan kuantitas pengasuhan orang tua. Jenis pekerjaan orang tua mencerminkan pendapatan dan status ekonomi keluarga.
40
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik orang tua Ayah Ibu Karakteristik Orang Tua n % n % ≤ 29 1 3.2 2 6.5 30-39 10 32.3 17 54.8 Usia 40-49 14 45.2 11 35.5 (Tahun) ≥ 50 6 19.4 1 3.2 Minimum-Maximum 28 - 54 27 - 50 Rata-rata ± SD 41.8 ± 6.6 38.0 ± 5.7 SMP 0 0.0 1 3.2 Pendidikan SMA 12 38.7 11 35.5 Orang Tua PT 19 61.3 19 61.3 PNS 5 16.1 4 12.9 Wiraswasta 11 35.5 2 6.5 Pekerjaan Pegawai swasta 13 41.9 2 6.5 Orang Tua Tentara 1 3.2 0 0.0 Ibu rumah tangga 0 0.0 23 74.2 Tidak bekerja 1 3.2 0 0.0 Pendapatan Keluarga Pendapatan
keluarga
mempunyai
peranan
yang
penting
dalam
berjalannya suatu keluarga. Pendapatan keluarga dapat meningkatkan taraf hidup sebuah keluarga,
yang lebih berorientasi pada kesejahteraan dan
kesehatan (Sajogyo et al 1978 diacu dalam Yuliana 2004). Anak ASD membutuhkan biaya yang lebih besar daripada anak normal, hal inilah yang membuat pendapatan keluarga sangat menentukan seorang anak ASD untuk mendapatkan berbagai hal yang dapat menunjang perkembangannya. Umumnya (35.5%)
pendapatan
keluarga
berkisar
pada
selang
Rp.2.500.001,00–
Rp.5.000.000,00. Pendapatan keluarga selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Pendapatan keluarga terkait dengan tingkat sosial ekonomi, serta menentukan kelas sosial keluarga. Perbedaan pendapatan akan mempengaruhi cara keluarga dalam mengatur sumberdaya yang dimiliki. Pengaturan terhadap sumberdaya ini sangat mempengaruhi keluarga dalam mengambil keputusan konsumsi serta pemenuhan kebutuhannya (Syarief 1997). Anak ASD memiliki beberapa gangguan dalam tubuhnya, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dikeluarkan orang tua untuk anak ASD antara lain untuk kebutuhan terapi, suplemen dan makanan khusus untuk anak ASD, serta tes-tes alergi yang dibutuhkan anak.
41
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan Total n % ≤ 2.500.000 2 6.5 2.500.001-5.000.000 11 35.5 5.000.001-7.500.000 6 19.4 7.500.001-10.000.000 3 9.7 10.000.001-15.000.000 4 12.9 > 15000.000 5 16.1 Total 31 100.0 Pengasuhan Anak Pengasuhan makan Pemberian pengasuhan makan bertujuan untuk mengarahkan kepada pembiasaan
dan
cara
makan
yang
lebih
baik,
atau
sebagai
sarana
mempengaruhi perilaku anak sehingga mereka dapat menerapkan pengetahuan gizi dalam kehidupan sehari-hari (Santoso dan Ranti 1995 dalam Luwina 2006). Anak ASD menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak ASD biasanya hanya menyukai makanan yang terbatas jenis dan nilai gizinya. Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnya pun mungkin juga tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik (McCandless 2003). Pengasuhan makan yang baik pada seorang anak ASD perlu dilakukan, karena tidak semua jenis makanan mampu dicerna dengan baik tanpa menimbulkan efek samping pada anak. Pengasuhan makan pada anak antara lain meliputi frekuensi makan anak, diet bebas gluten dan casein, penerapan rotasi makanan lima hari, dan penggunaan bahan makanan organik. Kualitas pengasuhan makan contoh yaitu kualitas pengasuhan baik (19.4%), sedang (71.0%), dan rendah (9.7%). Kualitas pengasuhan makan yang baik dapat diartikan bahwa anak mendapatkan cara makan yang memang dibutuhkan anak. Anak yang mendapatkan kualitas pengasuhan makan baik, sebagian besar mendapatkan diet makanan gluten dan casein serta masih memberikan suplementasi kepada anak. Pengasuhan makan yang hampir tidak dimiliki oleh kebanyakan contoh dan hanya didapatkan oleh contoh yang memiliki kualitas pengasuhan yang baik adalah penerapan rotasi makanan selama lima hari, dan pemberian makanan organik kepada anak. Penderita ASD memiliki gangguan dalam sistem pencernaannya. Rotasi makanan pada anak ASD perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan terentu (Sjambali
42
2003). Pemberian makanan organik dapat membantu anak menghindari residu pestisida ataupun cemaran lain yang mungkin ada pada makanan. Pemberian bahan makanan yang organik pada anak ASD di Indonesia sulit untuk dilakukan, karena di Indonesia sangat sulit mendapatkan produk yang benar-benar ditanam secara organik. Kualitas pemberian makan sedang dapat diartikan bahwa anak mendapatkan diet makanan bebas gluten dan casein serta masih diberikannya suplementasi kepada anak, namun anak tidak diterapkan rotasi makanan ataupun pemberian makanan organik. Kualitas pengasuhan makan buruk memberi arti bahwa anak tidak lagi mendapatkan diet makanan bebas gluten dan casein serta tidak diberikan lagi suplementasi kepada anak. Alasan orang tua yang tidak memberikan diet bebas gluten dan casein adalah karena merasa tidak ada perubahan dari anak dan anak yang mudah tantrum ketika dilarang memakan makanan yang mengandung gluten dan casein. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan makan Kualitas Pengasuhan Makan (%) n % Baik (> 60) 6 19.4 Sedang (40-60) 22 71.0 Rendah (< 40) 3 9.7 Minimum-Maximum 1-9 Rata-rata ± SD 5.2 ± 1.8 Contoh pada umumnya (80.6%) diberi makan lebih dari tiga kali sehari. Anak yang tidak dimarahi ketika tidak mau makan
sebanyak 64.5% dan
sebagian besar diberi kesempatan dalam memilih makanannya sendiri (77.4%), dan anak dapat menunggu waktu makan dan jajan yang tepat (71.0). Rotasi makanan diterapkan kepada 77.4% contoh, lebih dari separuh contoh mendapatkan suplementasi yang dibutuhkan yaitu sebanyak 51.6%. Pemberian bahan makanan yang mengandung protein tinggi diberikan oleh 90.3% ibu contoh dalam makanan anak, umumnya contoh (64.5%) tidak memberikan bahan makanan organik kepada anak. Diet gluten dan casein tidak didapatkan oleh lebih
dari
separuh
contoh
(54.8%),
umumnya
mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG.
contoh
(64.5%)
masih
43
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan cara pengasuhan makan No
Pernyataan
1
Anak diberi makan ≥ 3x sehari Ibu tidak memarahi anak ketika anak tidak mau makan Anak diberi kesempatan memilih makanannya sendiri Anak disuruh menunggu waktu makan atau jajan yang tepat Ibu menerapkan rotasi makanan dengan siklus 5 hari dalam pola makan anak Ibu memberikan suplementasi yang diperlukan anak Ibu tidak memberikan bahan makanan yang tinggi protein Ibu memberikan bahan makanan organik Ibu memberikan diet bebas gluten dan casein Ibu tidak menambahkan MSG dalam masakannya
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ya n
Tidak % 6 19.4
n 25
% 80.6
20
64.5
11
35.5
24
77.4
7
22.6
22
71.0
9
29.0
7
22.6
24
77.4
15
48.4
16
51.6
3
9.7
28
90.3
11
35.5
20
64.5
14
45.2
17
54.8
20
64.5
11
35.5
Pengasuhan hidup sehat Pengasuhan hidup sehat penting dilakukan kepada anak ASD, hal ini dilakukan dengan tujuan agar anak ASD memiliki keterampilan dan kecakapan untuk mengurus dan menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak tergantung kepada orang lain. Pengasuhan hidup sehat pada anak antara lain kebiasaan mandi, mencuci tangan sebelum makan dan setelah dari kamar mandi, dan menggosok gigi (Hayati 2003). Hasil
penelitian
menunjukkan
hampir
separuh
(64.5%)
contoh
mendapatkan pengasuhan hidup sehat dengan kualitas sedang, sebanyak 12.9% contoh mendapatkan kualitas pengasuhan yang rendah, dan 22.6% contoh mendapatkan kualitas pengasuhan yang baik. Kualitas pengasuhan hidup sehat yang rendah dapat diartikan bahwa anak mendapatkan pengajaran caracara hidup sehat yang tidak seluruhnya sesuai dengan pola hidup sehat. Keadaan ini dikarenakan anak ASD sulit dalam mengerti perintah, sehingga mereka melakukan pola hidup sehat sesuai dengan yang mereka suka. Tabel 12 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan hidup sehat. Pengasuhan hidup sehat yang jarang atau belum sempurna diterapkan oleh ibu adalah penerapan menyikat gigi sebelum tidur, menggunting kuku secara teratur, dan membiasakan sikat gigi sejak usia 1-2 tahun. Contoh umumnya diajarkan menyikat gigi pada usia lebih dari tiga tahun. Ibu mengakui merasa kesulitan dalam mengajarkan anak menyikat gigi pada usia 1-2 tahun,
44
sehingga anak baru diajarkan setelah usia tersebut. Membiasakan menyikat gigi sebelum tidur dapat membantu anak mengurangi resiko penyakit mulut. Anak ASD pada penelitian ini umumnya telah terbiasa untuk mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air besar. Keadaan ini dikarenakan anak ASD belum dapat membersihkan kotorannya sendiri, sehingga orang tua memiliki andil yang besar dalam kebiasaan ini. Anak ASD telah rutin melakukan keramas sebanyak tiga kali dalam satu minggu, dan anak sudah menyikat gigi setiap hari. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan hidup sehat. % Kualitas Pengasuhan Hidup Sehat (%) n Baik (> 80) 7 22.6 Sedang (65-80) 20 64.5 Rendah (< 65) 4 12.9 Minimum-Maximum 11 - 20 Rata-rata ± SD 15 ± 2.2 Pengasuhan bermain Pengasuhan bermain adalah proses terapi psikologi pada anak, dimana alat permainan menjadi sarana utama untuk mencapai tujuannya. Pengasuhan bermain dapat dijadikan sebagai sarana orang tua untuk mengembangkan keterampilan anak ASD. Tabel 13 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jenis permainan. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
41.9%
contoh
memainkan
permainan puzzle, 22.6% contoh bermain dengan menggunakan permainan elektronik
(komputer
dan
play
station),
dan
12.9%
bermain
dengan
menggunakan alat musik. Pengasuhan bermain pada anak ASD membutuhkan beberapa alat permainan. Alat permainan yang dimaksud yaitu alat permainan fantasi, alat permainan keterampilan, dan alat permainan edukatif. Pengasuhan bermain bertujuan untuk memacu perkembangan (Yusuf 2003). Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan jenis permainan Jenis permainan Puzzle Mainan elektronik Mainan alat musik Bola Balok Gasing Lari-larian Ayunan Kertas warna Mainan imaginative Lilin-lilinan
Ya n 13 7 4 3 3 1 4 2 2 7 2
% 41.9 22.6 12.9 9.7 9.7 3.2 12.9 6.5 6.5 22.6 6.5
Tidak n % 18 58.1 24 77.4 27 87.1 28 90.3 28 90.3 30 96.8 27 87.1 29 93.5 29 93.5 24 77.4 29 93.5
45
Tabel 14 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tipe permainan yang dilakukan contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permainan yang dilakukan contoh cukup beragam. Contoh yang memiliki tipe permainan puzzle it out play sebanyak 45.2%. Permainan ini membuat anak memerlukan suatu permainan dan kemampuan untuk menemukan jalan keluar tergantung dari kemampuan yang diperkirakan dibangun dari kegiatan dalam exploratory play dan skilfull play, misalnya mengambil benda kecil seperti kancing yang diletakkan berjajar, menyusun balok dengan berbagai bentuk, membuat warna baru dengan mencampur berbagai warna dasar dan sebagainya. Tipe ini membantu anak meningkatkan rasa keingintahuan, mengajak berpikir tentang suatu keterampilan yang dapat digunakan sebelum melakukan sesuatu, serta melatih kemandirian. Tipe permainan yang paling sedikit dimainkan anak ASD adalah tipe permainan social play. Anak ASD memiliki keterbatasan dalam menjalin hubungan sosial sehingga tipe permainan ini jarang dilakukan. Permainan dengan tipe exploratory play yang banyak dimainkan anak adalah permainan komputer, play station, dan permainan alat musik (pianika, piano, gitar). Contoh permainan yang dimainkan dengan tipe permainan energetic play antara lain; bermain bola kaki, bola basket, sepeda, mandi bola, trampolin, dan bela diri. Tipe permainan skillfull play contohnya adalah rumahrumahan, menyusun balok, menyusun warna, bermain alat pancing, lilin bentuk, dan alat-alat untuk menggambar dan mewarnai. Contoh permainan yang dimainkan dengan tipe social play adalah trampolin dan bola. Jenis permainan dengan tipe imaginative play antara lain boneka, mobil-mobilan, dan rumahrumhahan. Permainan puzzle adalah tipe permainan puzzle it out play yang banyak dimainkan anak. Contoh yang memiliki pola permainan solitary independent adalah sebanyak 74.2%. Wolfberg (2003) menyatakan bahwa anak ASD cenderung untuk menyenangi jenis permainan konvensional (mainan yang menggunakan objek/simbol). Pola permainan paralel dimiliki oleh sebanyak 54.8% contoh, hal ini dikarenakan anak ASD memiliki keterbatasan membentuk hubungan sosial, sehingga mereka cenderung untuk bermain sendiri-sendiri dan tidak bermain dengan anak-anak lain. Permainan dengan tipe cooperative cukup tinggi, jenis permainan yang dimainkan anak antara lain bola, play station, dan bonekabonekaan yang dimainkan bersama saudara ataupun orang tua.
46
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tipe dan pola permainan Ya Tidak Karakteristik Permainan n % n % Exploratory play 15 48.4 16 51.6 Energetic play 12 38.7 19 61.3 Skillfull play 12 38.7 19 61.3 Tipe Permainan Social play 4 12.9 27 87.1 Imaginative play 9 29.0 22 71.0 Puzzle it out play 14 45.2 17 54.8 Pararel 19 61.3 12 38.7 Asosiatif 9 29.0 22 71.0 Pola Permainan Kooperatif 11 35.5 20 64.5 Solitary independent 23 74.2 8 25.8 Konsumsi Zat Gizi Hasil record konsumsi pangan selama dua hari menunjukkan jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh contoh. Hasil record tersebut kemudian diterjemahkan sesuai dengan kandungan zat gizi dari masing-masing bahan pangan. Perhitungan konsumsi pangan hanya diperoleh dari konsumsi makan sehari-hari tanpa menghitung konsumsi suplemen yang dikonsumsi oleh contoh. Komponen zat gizi yang dihitung pada penelitian ini adalah energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin A, dan vitamin C. Konsumsi energi terendah adalah 1326 Kal dan konsumsi energi tertinggi 3330 Kal. Konsumsi protein contoh berkisar antara 42.6 gram sampai 124.7 gram. Sumber protein yang banyak dikonsumsi contoh adalah daging ayam, tempe, dan telur. Konsumsi mineral terutama kalsium dan zat besi masih kurang. Kalsium adalah unsur pokok utama penyusun tulang dan gigi dan sangat penting untuk proses penghantaran saraf, kontraksi otot, detak jantung, pembekuan darah, produksi energi, dan pemeliharaan fungsi sistem imun. Anak yang kekurangan kalsium lebih cenderung menunjukkan sifat mudah tersinggung, mengalami gangguan tidur, amarah, dan tidak mampu memberikan perhatian pada sesuatu. Anak-anak membutuhkan kalsium sebanyak 800-1200 mg per hari, terutama yang sedang menjalankan diet GFCF (McCandless 2003). Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi Konsumsi Zat Gizi Terendah Tertinggi Rata-rata SD Energi (Kal) 1326 3330 1997 553 Protein (g) 42.6 124.7 71.9 24.5 Kalsium (mg) 234.6 2824.5 873.7 617.7 Besi (mg) 6.1 55.2 21 11.2 Vitamin A (RE) 174.7 2690.7 840.3 481.9 Vitamin C (mg) 3.6 179.4 54 46.6
47
Tingkat kecukupan zat gizi Usia prasekolah dan sekolah merupakan masa seorang anak mulai banyak melakukan aktivitas dengan intensitas tinggi. Aktivitas yang tinggi dan pertumbuhan tubuh memerlukan pangan dan zat gizi yang tinggi. Rata-rata tingkat konsumsi bagi kelompok contoh disajikan pada Tabel 16. Penelitian Defeat Autism Now! dalam McCandless (2003) menunjukkan bahwa anak ASD mengalami defisiensi pada beberapa zat gizi. Anak ASD sebagian besar mengalami defisiensi pada vitamin B6, Zn, vitamin A dalam darah, vitamin C, vitamin B1, serta pada uji mikrobiologi menunjukkan anak ASD memiliki defisiensi pada Folat dan vitamin B12. Tabel 17 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status kecukupan zat gizi. Contoh yang memiliki kategori kecukupan energi lebih sebanyak 41.9% dan hanya 16.1% contoh memiliki kategori kecukupan energi kurang. Konsumsi energi yang cukup tinggi ini dikarenakan anak ASD sangat suka makan, terutama makanan dengan kandungan energi yang tinggi dan rendah serat. Kecukupan konsumsi energi yang kurang dikarenakan pembatasan makanan yang dilakukan ibu dengan tujuan diet pada anak. Makanan yang perlu dihindari anak adalah makanan yang mengandung tinggi energi seperti roti, mie, dan susu sapi. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi Tingkat Konsumsi (%) Zat gizi SD Terendah Tertinggi Rata-rata 23 Energi 59 159 93 37 Protein 71 236 132 59 Kalsium 26 215 103 80 Besi 41 415 165 82 Vitamin A 35 377 141 96 Vitamin C 5 534 96 Contoh pada penelitian ini sebagian besar telah memiliki kecukupan protein yang baik. Contoh yang memiliki kategori kecukupan kalsium kurang sebanyak 51.4%, hal ini dikarenakan anak ASD memiliki keterbatasan konsumsi susu sapi yang banyak mengandung kalsium. Konsumsi susu sapi pada beberapa contoh digantikan dengan konsumsi susu kedelai yang jumlah kalsiumnya tidak sebanyak pada susu sapi. McCandless (2003) mengungkapkan bahwa kekurangan kalsium pada anak ASD dapat menyebabkan anak memiliki sifat mudah tersinggung, mengalami gangguan tidur, amarah, dan tidak mampu memberikan perhatian pada sesuatu. Kalsium sangat penting dalam kebutuhan sehari-hari anak ASD, sehingga perlu asupan kalsium lebih untuk anak yang
48
berasal dari makanan lain selain susu sapi. Bahan makanan yang banyak mengandung kalsium antara lain udang, ikan teri, sardines, bayam, sawi, daun melinjo, daun katuk, selada air, dan daun singkong. Contoh yang mengkonsumsi vitamin C di bawah tingkat kecukupan sebanyak 61.3%. Konsumsi vitamin C yang kurang dikarenakan beberapa anak ASD pada penelitian ini tidak suka mengkonsumsi sayuran. Alergi yang diderita anak terutama pada buah-buahan juga menyebabkan rendahnya konsumsi vitamin C pada anak. Vitamin C adalah antioksidan yang penting untuk melawan radikal bebas. Tubuh tidak dapat memproduksi vitamin C sehingga diperlukan asupan dari makanan atau suplemen. Vitamin C juga mencegah efek-efek berbahaya dari berbagai polutan dan meningkatkan imun tubuh. Anak ASD pada penelitian ini beberapa diantaranya mengalami sembelit. Asupan vitamin C yang cukup pada anak dapat membantu pengaturan pergerakan usus secara tepat karena kemampuannya sebagai pencahar (McCandless 2003). Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin C adalah daun singkong, daun katuk, daun melinjo, daun pepaya, sawi, pepaya, gandaria, dan buah-buahan yang berasa asam. Konsumsi vitamin C yang baik dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kategori kecukupan zat gizi Zat Gizi Kategori n % Lebih 13 41.9 Baik 5 16.1 Energi Cukup 8 25.8 Kurang 5 16.1 Baik 30 96.8 Protein Kurang 1 3.2 Cukup 24 77.4 Zat Besi Kurang 7 22.6 Cukup 14 45.2 Kalsium Kurang 17 54.8 Cukup 12 38.7 Vitamin C Kurang 19 61.3 Cukup 20 64.5 Vitamin A Kurang 11 35.5 Konsumsi vitamin A dan zat besi pada sebagian besar contoh sudah cukup baik. Vitamin A berperan sebagai antioksidan dan meningkatkan imun, mencegah pilek, influenza, dan infeksi. Vitamin A juga sangat berperan penting dalam membantu tubuh memanfaatkan protein. Diare dan kerentanan terhadap
49
penyakit infeksi adalah gejala-gejala kekurangan protein (McCandless 2003). Almatiser (2002) mengungkapkan bahwa zat besi memberikan pengaruh penting dalam metabolisme energi, daya konsentrasi anak, sistem kekebalan tubuh, dan sebagai pelarut obat-obatan. Riwayat makan anak sebelum terdeteksi ASD Tahapan tumbuh kembang anak balita lebih lambat dibandingkan pada masa bayi, tetapi lebih cepat dibandingkan pada saat anak menginjak usia remaja. Anak masih mengalami perkembangan otak hingga anak berusia dua tahun. Makanan anak pada masa ini sangat penting untuk diperhatikan untuk menunjang
tumbuh
kembang
otak
dan
tubuh
secara
umum
(Martianto&Hardinsyah 1992). Contoh sebelum terdeteksi ASD yang mengkonsumsi susu sapi sebanyak 96.8%. Konsumsi ini ditujukan sebagai sebagai asupan energi dan protein bagi tubuh yang sedang dalam masa pertumbuhan. Konsumsi telur ayam (83.9%) dan bahan makanan yang berasal dari kacang-kacangan (64.5%) juga cukup tinggi. Telur ayam dan bahan makanan yang berasal dari kacang-kacangan mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga anak yang sedang berada dalam masa pertumbuhan sangat baik mengkonsumsi kedua makanan ini. Nasi adalah makanan pokok bagi masyarakat pada umumnya di Indonesia. Bahan makanan sumber karbohidrat lainnya sebagai pengganti nasi adalah tepung-tepungan. Bahan makanan yang berasal dari bahan dasar tepung (misalnya: roti dan mie) dikonsumsi oleh sebanyak 80.6%. Contoh yang mengkonsumsi ikan sebelum terdeteksi ASD adalah sebanyak 87.1%. Jenis ikan yang dikonsumsi oleh contoh adalah ikan laut dan ikan air tawar. Alasan orang tua memberikan konsumsi ikan untuk kepintaran anak. Masa seorang anak berada pada usia balita adalah merupakan masa yang rawan, hal ini dikarenakan anak pada usia ini sulit makan dan hanya menyukai makanan yang jajanan yang tergolong hampa kalori dan hampa gizi. Makanan jajanan saat ini banyak mengandung pewarna dan pemanis sintetik. Pewarna dan pemanis sintetik selain berada pada makanan jajanan juga digunakan orang tua dalam membuat makanan sehari-hari. Contoh yang mengkonsumsi makanan yang mengandung pewarna sintetik adalah sebanyak 19.4% dan 12.9% contoh mengkonsumsi makanan yang mengandung pemanis sintetik. Penguat rasa digunakan oleh 45.2% ibu contoh untuk memasak
50
makanan sehari-harinya. Tabel 18 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan makanan sebelum terdeteksi ASD. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan makanan sebelum terdeteksi ASD No
Pernyataan
1 2 3
Anak minum susu sapi ≥ 1 kali sehari Anak makan telur ayam ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis kacang-kacangan ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis bahan makanan yang berasal dari terigu ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis ikan ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung pewarna sintetik ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung penguat rasa ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung pemanis sintetik ≥ 2 kali seminggu
4 5 6 7 8
n 30 26
Ya % 96.8 83.9
Tidak n % 1 3.2 5 16.1
20
64.5
11
35.5
25
80.6
6
19.4
27
87.1
4
12.9
6
19.4
25
80.6
14
45.2
17
54.8
4
12.9
27
87.1
Riwayat makan anak setelah terdeteksi ASD Gangguan sistem imun merupakan salah satu kelainan yang dijumpai pada anak ASD. Sistem imun tersebut yang mendasari terjadinya alergi makanan pada anak tersebut. Manifestasi penyakit alergi dapat berupa gangguan pencernaan, dan gangguan perilaku yang banyak dijumpai pada anak ASD. Makanan yang mampu memberikan alergi kepada anak ASD antara lain susu sapi, telur ayam, kacang-kacangan (termasuk kacang kedelai), cereal grains, ikan, dan makanan laut (Munasir 2003). Alergi yang terjadi pada anak ASD berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya. Tes alergi perlu dilakukan pada anak untuk mengetahui jenis makanan apa saja yang dapat menimbulkan alergi pada anak. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 61.3% contoh tidak diberikan susu sapi. Susu sapi yang tidak diberikan oleh orang tua kepada anak bertujuan untuk menerapkan diet casein, selain itu anak yang sudah terlalu gemuk menjadi alasan lain orang tua tidak memberikan susu sapi. Susu sapi masih diberikan oleh 38.7% ibu contoh, dengan alasan sebagai salah satu asupan gizi anak, beberapa orang tua lain beralasan bahwa anak tidak mempunyai alergi terhadap casein. Contoh yang diberikan telur ayam sebanyak 71%, karena banyak dari contoh yang memang sangat menyukai telur ayam. Konsumsi telur ayam yang masih cukup tinggi ini dikarenakan umumnya contoh tidak mengalami alergi pada telur ayam. Kacang-kacangan dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas
51
pada anak. Makanan berbahan dasar kacang-kacangan tidak dikonsumsi oleh sebanyak 41.9% contoh. Gluten adalah bahan makanan yang disarankan oleh banyak ahli untuk dihidarkan bagi penderita ASD. Bahan makanan yang berasal dari tepung-tepungan tidak lagi dikonsumsi oleh hampir separuh contoh (45.2%). Contoh yang tetap mengkonsumsi ikan setelah terdeteksi ASD adalah sebanyak 80.6%. Pemberian ikan karena ikan banyak mengandung protein. Ikan yang dikonsumsi sebagian besar adalah ikan air tawar. Pewarna sintetik (12.9%) dan pemanis sintetik (9.7%) masih dipakai dalam beberapa masakan yang dibuat oleh ibu contoh. Penguat rasa masih digunakan dalam makanan sehari-hari oleh 35.5% ibu contoh. Tabel 19 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan makanan setelah terdeteksi ASD. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan makanan setelah terdeteksi ASD No
Pernyataan
1 2 3
Anak minum susu sapi ≥ 1 kali sehari Anak makan telur ayam ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis kacang-kacangan ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis bahan makanan yang berasal dari terigu ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis ikan ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung pewarna sintetik ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung penguat rasa ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung pemanis sintetik ≥ 2 kali seminggu
4 5 6 7 8
n 12 22
Ya % 38.7 71.0
Tidak n % 19 61.3 9 29.0
18
58.1
13
41.9
17
54.8
14
45.2
25
80.6
6
19.4
4
12.9
27
87.1
11
35.5
20
64.5
3
9.7
28
90.3
Perubahan pola makan anak ASD secara individual ASD memiliki banyak keragaman dari masing-masing individu. Contoh ke satu memiliki alergi terhadap susu sapi, bahan makanan yang berasal dari terigu, serta coklat. Contoh ke satu melakukan perubahan pemilihan makanan sejak anak belum terdeteksi ASD dengan setelah terdeteksi. Orang tua membatasi terhadap konsumsi cake dan ikan laut. Anak juga mempunyai alergi terhadap susu sapi, tetapi orang tua tetap memberikan susu sapi karena anak yang masih dalam proses pertumbuhan yang membutuhkan banyak asupan gizi. Ikan laut dibatasi konsumsinya karena diduga banyak mengandung logam berat yang dapat memperburuk keadaan anak. Contoh ke satu sangat menyukai ayam, sehingga tidak ada perubahan frekuensi konsumsi daging ayam antara sebelum dan sesudah terdeteksi ASD.
52
Contoh ke dua banyak mengkonsumsi biskuit sebagai makanan selingannya, sebelum terdeteksi ASD, namun setelah terdeteksi ASD, orang tua tidak menyediakan lagi makanan tersebut sebagai makanan selingan di rumah. Makanan yang masih banyak dikonsumsi dan tidak memiliki perbedaan frekuensi adalah sayuran dan buah-buahan, hal ini dikarenakan makanan tersebut sangat dibutuhkan untuk asupan vitamin dan mineral anak. Hasil tes laboratorium pada beberapa anak ASD menunjukkan bahwa mereka mengalami defisiensi vitamin dan mineral (McCandless 2003). Orang tua contoh ke dua juga membatasi konsumsi mie instant pada anak. Pembatasan konsumsi ini sulit dilakukan karena anak sangat menyukai mie instant. Contoh ke tiga memiliki alergi terhadap keju, sehingga konsumsi keju sebelum dan sesudah terdeteksi ASD mengalami perubahan. Alergi yang terjadi ketika anak memakan bahan makanan yang mengandung keju, anak menjadi sulit tidur. Konsumsi roti pada contoh ke tiga juga dibatasi, hal ini bertujuan agar diet terhadap gluten dan casein dapat tetap terjaga. Konsumsi roti sebelum terdeteksi ASD adalah dua kali seminggu, setelah terdeteksi ASD dikurangi menjadi satu kali seminggu. Konsumsi susu contoh tiga masih cukup tinggi, hal ini dikarenakan anak sangat menyukai susu, dan sulit untuk dicegah. Contoh ke empat memiliki alergi terhadap beberapa jenis buah, sehingga konsumsi buah pada contoh ini dikurangi. Contoh sulit makan sayur. Sayuran yang disukai hanya wortel, yang dimasak menjadi sayur sop. Pemberian sayuran bertujuan agar anak menjadi sehat. Orang tua memberikan ikan dalam makanan anak, dengan tujuan agar anak menjadi pandai. Pangan hewani lain yang juga dikonsumsi anak adalah daging ayam dan sapi. Kedua makanan ini dikonsumsi karena megandung protein yang cukup tinggi. Contoh ke lima sangat menyukai konsumsi sayuran. Hampir seluruh jenis sayuran disukainya. Mengkonsumsi sayuran dalam keadaan segar sangat baik bagi anak ASD (Sjambali 2003). Sayuran merupakan sumber vitamin, enzim, serta serat. Konsumsi ikan dibatasi terhadap konsumsi ikan air tawar, hal ini bertujuan agar anak tidak semakin mengalami keracunan terhadap logam berat. Kebanyakan anak ASD mempunyai gangguan detoksifikasi. Detoksifikasi yaitu berkurangnya kemampuan anak untuk mengasingkan atau menghilangkan unsur-unsur racun dalam tubuhnya (McCandless 2003). Konsumsi susu sapi pada contoh ke enam sebelum terdeteksi ASD cukup tinggi. Susu sapi diganti menjadi susu kedelai setelah anak dideteksi ASD. Hasil
53
penelitian menunjukkan bahwa casein yang ditemukan pada susu sapi akan terurai di dalam perut dan menghasilkan suatu peptida yang dikenal sebagai casomorphine. Morfin merupakan obat pembunuh rasa sakit yang kuat (McCandless 2003). Asupan protein lainnya antara lain daging ayam, daging sapi, serta telur ayam yang konsumsinya tidak berubah setelah anak terdeteksi ASD. Konsumsi sayuran juga tidak mengalami perubahan. Perubahan terjadi dalam cara pemberian. Sebelum anak terdeteksi ASD, sayuran diberikan dengan cara diblender terlebih dahulu. Setelah terdeteksi ASD konsumsi roti pada contoh ke tujuh mengalami penurunan. Konsumsi roti sebelum anak terdeteksi ASD adalah tujuh kali seminggu, setelah anak terdeteksi ASD, konsumsi roti ditiadakan. Anak ASD perlu menghindarkan makanan yang difermentasi oleh ragi (Sjambli 2003). Contoh ke tujuh masih mengkonsumsi mie, hal ini dikarenakan anak sangat menyukai mie, sehingga sulit untuk dihindarkan. Konsumsi susu sapi diganti menjadi susu kedelai setelah anak terdeteksi ASD. Orang tua memberikan bahan makanan tinggi protein lainnya, antara lain tempe, tahu, daging ayam, daging sapi, serta telur. Sebelum anak terdeteksi ASD, anak tidak menyukai sayuran, setelah terdeteksi ASD anak mulai menyukainya. Contoh ke delapan tidak melakukan perubahan dalam konsumsi makanannya. Perubahan hanya terjadi pada bentuk dari makanan tersebut. Konsumsi makanan anak sebelum terdeteksi ASD dibuat menjadi agak lunak. Konsumsi susu sapi, roti, biskuit, coklat, ataupun makanan lain yang perlu dihindari oleh anak ASD tidak mengalami perubahan, hal ini dikarenakan anak masih dalam masa pertumbuhan sehingga membutuhkan berbagai jenis makanan untuk menunjang pertumbuhannya. Contoh ke sembilan menyukai berbagai jenis sayuran. Sayuran sangat baik bagi pencernaan. Konsumsi sayuran baik yang sebelum ataupun setelah terdeteksi ASD adalah tujuh kali dalam seminggu. Sayuran yang sering dikonsumsi adalah bayam, toge, pare, dan kangkung. Konsumsi jeruk pada contoh ke sembilan sebelum terdeteksi ASD adalah tujuh kali dalam seminggu. Anak sangat menyukai roti, sehingga sulit untuk membatasi konsumsi roti. Konsumsi susu sapi pada contoh ke sepuluh mengalami penurunan pada saat sebelum dan setelah terdeteksi mengalami penurunan. Konsumsi susu sapi adalah tujuh kali dalam seminggu sebelum tedeteksi ASD dan setelah terdeteksi ASD adalah dua kali dalam seminggu. Sayuran dan buah sebagai sumber
54
vitamin dan mineral cukup baik dikonsumsi oleh anak. Konsumsi daging ayam dan daging sapi serta telur tidak mengalami perubahan pada saat sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Contoh ke sebelas memiliki alergi terhadap buah jeruk. Konsumsi jeruk adalah tiga kali seminggu sebelum terdeteksi ASD, setelah terdeteksi ASD konsumsi jeruk pada contoh ke sebelas hanya satu kali dalam satu minggu. Anak tidak menyukai sayuran. Konsumsi sayuran dalam satu minggu adalah sebanyak satu kali dengan jenis sayuran yang bervariasi. Asupan protein anak berasal dari daging ayam, daging sapi, dan telur. Konsumsi daging ayam, daging sapi, dan telur tidak mengalami perubahan baik sebelum ataupun setelah terdeteksi ASD karena anak tidak mengalami alergi dengan ketiga jenis makanan tersebut, selain itu makanan tersebut mengandung tinggi protein, sehingga orang tua tetap memberikannya. Konsumsi mie pada contoh ke dua belas tidak mengalami perubahan pada saat sebelum ataupun setelah terdeteksi ASD, hal ini dikarenakan anak sangat suka pada makanan ini. Konsumsi mie dalam satu minggu adalah tiga kali dalam satu minggu. Keluarga tidak menerapkan diet secara ketat terhadap anak. Anak cukup menyukai sayuran, berbagai jenis sayuran disukainya. Konsumsi sayuran tidak mengalami perubahan baik setelah maupun sebelum terdeteksi ASD. Semangka, pepaya, dan apel adalah buah–buahan yang disukai oleh anak. Pemberian buah-buahan ini dengan tujuan sebagai asupan vitamin dan mineral serta untuk memperlancar pencernaan. Anak mengkonsumsi roti sebanyak dua kali dalam seminggu sebelum terdeteksi ASD dan setelah terdeteksi ASD konsumsi roti agak dibatasi. Contoh ke tiga belas membatasi konsumsi bahan makanan yang mengandung roti dan coklat. Konsumsi roti sebelum terdeteksi ASD adalah tiga kali selama satu minggu, sedangkan setelah terdeteksi ASD adalah satu kali dalam satu minggu. Anak pada keadaan normal ketika mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung gluten akan dicerna secara sempurna oleh proses kimia dan fisik menjadi asam amino tunggal dan diserap oleh usus, hal ini tidak sejalan dengan penderita ASD, pada tubuh seorang ASD terjadi defek enzim pencernaan dan leaky gut , peptida jenis ini tidak dapat dicerna dengan baik oleh tubuh. Konsumsi coklat setelah anak terdeteksi ASD mengalami penurunan yaitu sebanyak satu kali seminggu, sedangkan sebelum terdeteksi konsumsinya sebanyak empat kali seminggu. Konsumsi sayuran dan buah tidak mengalami
55
perubahan. Jeruk adalah jenis buah yang cukup sering dikonsumsi anak. Susu sapi diberikan setiap hari sebelum anak terdeteksi ASD, namun, setelah terdeteksi ASD susu sapi sudah tidak diberikan lagi. Konsumsi mie pada contoh ke empat belas masih cukup sering setelah anak terdeteksi ASD. Frekuensi konsumsi mie pada contoh ke empat belas adalah sebanyak dua kali seminggu, hal ini dikarenakan anak sangat menyukai mie. Konsumsi roti tawar dan susu sapi cukup tinggi sebelum terdeteksi ASD, yaitu tujuh kali seminggu untuk susu sapi dan dua kali seminggu untuk roti tawar. Konsumsi roti tawar dan susu sapi sangat dibatasai dan tidak rutin dikonsumsi setelah anak terdeteksi ASD. Telur, daging ayam, dan ikan adalah makanan yang tidak mengalami perubahan frekuensi konsumsinya. Ikan yang dikonsumsi dibatasi terhadap ikan air tawar saja. Anak tidak terlalu suka sayuran. Sayuran hanya diberikan satu kali dalam satu minggu. Jenis sayuran yang disukai anak adalah sayur bayam. Sayuran baik dikonsumsi oleh anak ASD, karena dapat sebagai asupan vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh (Sjambli 2003) Contoh ke lima belas sangat menyukai keju. Konsumsi keju adalah sebanyak tiga kali dalam satu minggu. Konsumsi keju dengan ditaburi pada roti. Keju adalah bahan makanan turunan susu yang mengandung casein. Protein susu sapi dapat menimbulkan alergi baik dalam bentuk susu murni ataupun bentuk lain seperti es krim, keju, dan kue (Munasir 2003). Susu sapi diberikan tujuh kali dalam satu minggu sebelum anak terdeteksi ASD dan setelah terdeteksi ASD jumlah konsumsinya dibatasi. Anak cukup menyukai buahbuahan dan sayuran. Buah yang sering dikonsumsi adalah buah alpukat. Sayuran yang banyak dikonsumsi adalah wortel. Contoh ke enam belas tidak mengkonsumsi susu sapi sejak terdeteksi ASD. Konsumsi susu sapi sebelum terdeteksi ASD adalah sebanyak tujuh kali dalam satu minggu. Konsumsi susu sapi dikurangi dikarenakan orang tua yang menerapkan diet GFCF, serta anak yang tidak mau minum susu sapi. Anak mengkonsumsi buah dan sayuran sebagai asupan vitamin dan melancarkan pencernaan. Konsumsi sebelum dan sesudah terdeteksi ASD tidak mengalami perubahan. Konsumsi telur, daging sapi, daging ayam, tahu, dan tempe tidak mengalami perubahan. Contoh ke tujuh belas melakukan diet terhadap casein yang terdapat pada susu sapi. Konsumsi susu sapi sebanyak tujuh kali dalam seminggu sebelum anak terdeteksi ASD dan setelah terdeteksi ASD konsumsi susu sapi
56
diganti dengan susu kedelai. Bahan makanan yang berasal dari terigu yang mengandung gluten setelah terdeteksi ASD banyak mengalami perubahan. Konsumsi bahan makanan yang berasal dari terigu seperti roti dan biskuit setelah terdeteksi ASD tidak dikonsumsi lagi. Konsumsi daging ayam, daging sapi, dan ikan tidak mengalami perubahan, hal ini dikarenakan bahan makanan tersebut penting bagi pertumbuhan anak. Ikan yang dikonsumsi dibatasi terhadap ikan yang berasal dari ikan air tawar. Sayuran cukup sering dikonsumsi baik sebelum maupun setelah terdeteksi ASD. Sayuran diberikan dengan tujuan untuk melancarkan pencernaan anak. Sayuran yang sering dikonsumsi adalah sayur bayam dan kangkung. Konsumsi susu sapi pada contoh ke delapan belas tidak mengalami perubahan baik sebelum maupun setelah terdeteksi ASD. Konsumsi sayuran tidak mengalami perubahan baik setelah maupun sebelum terdeteksi ASD. Konsumsi sayuran bertujuan agar anak mempunyai pencernaan yang baik. Konsumsi ikan, daging ayam, dan daging sapi tidak mengalami perubahan. Konsumsi buah dan sayuran pada contoh ke sembilan belas tidak mengalami perubahan baik sebelum maupun setelah terdeteksi ASD. Konsumsi buah adalah tiga kali dalam seminggu, karena kebiasaan dalam keluarga mengkonsumsi jus buah. Konsumsi sayuran satu kali dalam seminggu karena anak tidak menyukai sayur. Konsumsi daging ayam, daging sapi, serta ikan tidak mengalami perubahan. Pemasakan daging sapi hingga daging melunak karena anak memiliki gangguan pada mengunyah. Anak mengkonsumsi roti sebanyak satu kali dalam seminggu sebelum terdeteksi ASD, dan setelah anak terdeteksi ASD, roti sudah sangat jarang dan tidak rutin dikonsumsi. Contoh ke dua puluh setelah terdeteksi ASD mengkonsumsi susu sapi tiga kali dalam seminggu. Konsumsi susu sapi tujuh kali dalam seminggu sebelum terdeteksi ASD. Konsumsi sayuran dan buah sangat tinggi. Konsumsi sayuran adalah tujuh kali dalam seminggu baik sebelum ataupun sesudah terdeteksi ASD, hal ini bertujuan untuk melancarkan pencernaan, karena anak mengalami masalah di pencernaannya. Konsumsi telur sangat jarang, yaitu dua minggu sekali. Telur ayam merupakan alergen yang penting pada anak ASD (Sjambli 2003). Jenis makanan yang bertekstur keras, perlu dibuat lunak karena anak mengalami kesulitan dalam mengunyah makanan. Contoh ke dua puluh satu sebelum terdeteksi ASD mengkonsumsi roti satu kali dalam seminggu dan mie empat kali dalam seminggu. Anak sudah tidak
57
diberikan roti dan mie setelah anak terdeteksi ASD, hal ini ditujukan untuk pemberian diet pada anak. Anak sangat menyukai sayuran. Konsumsi sayuran anak sangat rendah sebelum anak terdeteksi ASD. Pertambahan usia anak membuat anak mulai menyukai sayuran dan konsumsi sayuran meningkat. Jenis sayuran yang disukai anak antara lain bayam, wortel, dan kangkung. Konsumsi daging ayam tidak berubah baik sebelum maupun setelah terdeteksi ASD. Contoh ke dua puluh dua mempunyai alergi terhadap kedelai, sehingga konsumsi makanan berbahan dasar kedelai menurun setelah anak terdeteksi ASD. Konsumsi susu sapi anak menurun setelah anak terdeteksi ASD, hal ini dikarenakan ketakutan dari ibu bahwa anak akan menjadi gemuk jika terlalu banyak mengkonsumsi susu. Konsumsi sayuran pada anak cukup baik yaitu tujuh kali dalam satu minggu sebelum terdeteksi ASD anak tidak terlalu suka sayuran. Konsumsi sayuran sebelum anak terdeteksi ASD adalah dua kali dalam satu minggu. Konsumsi daging ayam dan daging sapi tidak mengalami perubahan pada saat sebelum terdeteksi ASD dengan setelah terdeteksi. Anak tidak suka buah. Konsumsi buah saat sebelum dan setelah terdeteklsi ASD adalah satu kali dalam satu minggu. Jenis buah yang sering dikonsumsi anak adalah buah pear. Cara penyajian buah yang disukai anak adalah dalam bentuk jus. Konsumsi buah pada contoh ke dua puluh tiga mengalami perubahan pada saat sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Konsumsi buah sebelum anak terdeteksi ASD adalah tujuh kali dalam satu minggu, sedangkan setelah anak terdeteksi ASD adalah dua kali dalam satu minggu. Konsumsi buah hanya dijadikan selingan setelah makanan utama setelah anak terdeteksi ASD. Buah yang banyak dikonsumsi anak adalah buah pisang dan pepaya. Anak sudah mulai mengkonsumsi ikan setelah terdeteksi ASD, dengan tujuan ikan dapat membantu mencerdaskan anak. Frekuensi konsumsi ikan setelah anak terdeteksi ASD adalah tiga kali dalam seminggu. Konsumsi ikan tidak menentu sebelum terdeteksi ASD. Contoh ke dua puluh empat melakukan diet terhadap makanan yang mengandung gluten dan casein. Konsumsi susu sapi sebelum anak terdeteksi ASD adalah tujuh kali dalam satu minggu. Konsumsi susu sapi anak diganti menjadi konsumsi susu kedelai setelah anak terdeteksi ASD. Konsumsi susu kedelai anak adalah lima kali dalam satu minggu. Konsumsi buah-buahan setelah anak terdeteksi ASD adalah sebanyak tiga kali dalam satu minggu.
58
Konsumsi buah adalah sebanyak tujuh kali dalam satu minggu sebelum anak terdeteksi ASD. Konsumsi daging ayam setelah terdeteksi ASD mengalami perubahan menjadi daging bebek, hal ini bertujuan sebagai pengganti daging ayam. Konsumsi telur ayam juga mengalami perubahan menjadi telur bebek setelah anak terdeteksi ASD. Konsumsi sayuran saat sebelum terdeteksi ASD dengan setelah terdeteksi tidak mengalami perubahan. Konsumsi susu sapi pada contoh ke dua puluh lima mengalami perubahan. Konsumsi susu sapi adalah tujuh kali dalam satu minggu sebelum terdeteksi ASD, sedangkan setelah terdeteksi ASD konsumsi susu sapi menjadi satu kali dalam dua minggu. Pembatasan konsumsi susu sapi dikarenakan anak menjadi hiperaktif setelah mengkonsumsi susu sapi. Anak menyukai berbagai macam buah. Buah yang disukai anak antara lain adalah buah jeruk, anggur hijau, dan apel. Konsumsi apel mengalami penurunan setelah anak terdeteksi ASD. Konsumsi apel yaitu tujuh kali dalam satu minggu sebelum anak terdeteksi ASD, dan setelah anak terdeteksi ASD, konsumsi apel menjadi satu kali dalam satu minggu, hal ini dikarenakan anak sudah tidak menyukai apel lagi. Sayuran yang banyak dikonsumsi anak adalah wortel dan kangkung. Frekuensi konsumsi sayuran saat sebelum dan setelah terdeteksi ASD tidak mengalami perubahan. Frekuensi konsumsi makanan contoh ke dua puluh enam tidak mengalami perubahan antara sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Keluarga sangat menekankan untuk banyak mengkonsumsi sayuran. Frekuensi konsumsi sayuran adalah tujuh kali dalam satu minggu. Anak juga sangat suka mengkonsumsi buah. Konsumsi buah tidak mengalami perubahan baik sebelum ataupun setelah terdeteksi ASD. Konsumsi buah adalah tujuh kali dalam satu minggu. Perbedaan antara sebelum dan sesudah hanya pada konsistensinya. Anak tidak melakukan diet apapun. Konsumsi susu sapi pada contoh ke dua puluh tujuh tidak mengalami perubahan saat sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Konsumsi susu sapi tujuh kali selama satu minggu. Pemberian susu sapi ini dikarenakan anak suka. Konsumsi sayuran tidak mengalami perubahan saat sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Frekuensi konsumsi sayuran adalah lima kali selama satu minggu. Sayuran yang disukai anak adalah wortel. Konsumsi sayuran dalam satu minggu adalah tujuh kali. Konsumsi buah pada anak tidak mengalami perubahan. Konsumsi buah adalah tujuh kali dalam satu minggu. Buah yang sering dikonsumsi anak adalah apel.
59
Contoh ke dua puluh delapan sangat menyukai sayuran. Berbagai jenis sayuran disukai oleh anak. Jenis sayuran yang disukai anak adalah jamur, wortel, terong, dan bayam. Konsumsi sayuran tidak mengalami perubahan pada saat sebelum atau setelah terdeteksi ASD, yaitu tujuh kali dalam satu minggu. Konsumsi ikan tidak mengalami perubahan. Jenis ikan yang sering dikonsumsi anak adalah ikan gurame. Frekuensi konsumsi ikan adalah satu kali dalam satu minggu. Anak diberikan kentang sebagai pengganti nasi sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Konsumsi kentang adalah tujuh kali dalam satu minggu. Anak banyak diberikan tempe dan tahu sebagai asupan protein anak setelah terdeteksi ASD. Konsumsi tempe dan tahu adalah tiga kali dalam satu minggu. Contoh ke dua puluh sembilan memiliki alergi terhadap kedelai, hal ini mengakibatkan konsumsi bahan makanan yang mengandung kedelai dibatasi. Konsumsi tempe sebelum terdeteksi ASD adalah tiga kali dalam satu minggu, setelah terdeteksi konsumsi menjadi satu kali seminggu. Kedelai merupakan bahan
pengganti
susu
yang
banyak
dianjurkan,
namun
tes
tehadap
hipersensitivitas perlu dilakukan terlebih dahulu (McCandless 2003). Konsumsi susu sapi tidak mengalami perubahan baik setelah maupun sebelum terdeteksi ASD. Frekuensi konsumsi susu sapi sebelum terdeteksi ASD adalah tujuh kali dalam satu minggu, setelah terdeksi frekuensi tetap tujuh kali dalam satu minggu. Contoh ke tiga puluh cukup menyukai sayuran. Konsumsi sayuran contoh ke tiga puluh adalah tujuh kali dalam satu minggu. Jenis sayuran yang dikonsumsi anak antara lain wortel, buncis, tomat, dan lobak. Konsumsinya tidak berubah baik pada sebelum ataupun setelah terdeteksi ASD. Konsumsi spagheti dan makaroni tetap dikonsumsi pada saat setelah terdeteksi ASD. Konsumsi spagheti dan makaroni adalah empat kali dalam satu minggu. Konsumsi ikan sebelum terdeteksi ASD masih belum teratur, hal ini dikarenakan anak masih sulit makan ikan. Konsumsi ikan menjadi dua kali dalam satu minggu setelah terdeteksi ASD. Ikan yang dikonsumsi dibatasi dengan ikan air tawar saja. Konsumsi susu sapi contoh ke tiga puluh satu tidak mengalami perubahan baik sebelum dan setelah terdeteksi ASD, hal ini dikarenakan anak tidak memiliki alergi terhadap susu sapi. Konsumsi susu sapi adalah tujuh kali dalam satu minggu. Susu sapi digunakan sebagai asupan energi anak. Konsumsi buah-buahan mengalami perubahan setelah dan sebelum terdeteksi ASD, hal ini dikarenakan menurut tes alergi contoh memiliki alergi terhadap beberapa jenis buah-buahan. Buah-buahan yang menjadi alergi adalah jeruk, anggur, dan apel.
60
Konsumsi buah-buahan tersebut adalah tiga kali dalam satu minggu sebelum terdeteksi ASD, dan setelah terdeteksi ASD, konsumsi menjadi dua kali dalam satu minggu yang dikonsumsi secara bergantian. Coklat juga dapat menimbulkan alergi pada anak, sehingga terdapat perubahan konsumsi bahan makanan yang mengandung coklat. Perubahan tersebut adalah sebelum terdeteksi ASD konsumsi coklat adalah dua kali dalam satu minggu, setelah terdeteksi ASD konsumsi menjadi satu kali dalam satu minggu. Perubahan pola konsumsi makan setelah dan sebelum terdeteksi ASD Makanan yang biasa dimakan anak secara keseluruhan mengalami perubahan. Jumlah contoh yang mengkonsumsi roti, mie, dan makaroni berkurang antara sebelum dan setelah terdeteksi ASD. Roti, mie, dan makaroni adalah bahan makanan yang mengandung gluten. Gluten adalah sejenis protein yang terdapat pada gandum, oats, barley, dan rye. Seorang yang berada dalam kondisi normal, bahan makanan yang mengandung gluten akan dicerna secara sempurna oleh proses kimia dan fisik menjadi asam amino tunggal dan diserap oleh usus. Penderita ASD memiliki gangguan pada enzim pencernaannya, sehingga peptida ini tidak dapat dicerna dengan baik. Peptida tersebut akan beredar dalam darah dalam bentuk gluteomorphin yang akan terikat dengan opioid di otak yang akan menimbulkan gejala kelainan perilaku yang terdapat pada anak ASD (Sjambli 2003). Roti dan mie adalah bahan makanan yang mengandung gluten dan masih dikonsumsi contoh. Ibu yang masih memberikan kedua makanan ini dikarenakan anak sulit untuk dilarang untuk tidak makan makanan tersebut. Orang tua contoh lainnya mengaku tidak alergi terhadap bahan makanan yang mengandung gluten. Anak yang sudah besar merupakan alasan lain kenapa orang tua masih memberikan bahan makanan tersebut, karena anak dianggap tidak mengalami perkembangan meskipun makanan-makanan tersebut tidak diberikan kepada anak. Protein hewani adalah makanan yang baik dikonsumsi oleh anak karena protein hewani pada umumnya mempunyai susunan asam amino yang paling sesuai dengan kebutuhan manusia (Almatsier 2002). Susu sapi adalah bahan makanan cair yang memiliki zat gizi yang penting untuk pertumbuhan seorang anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan konsumsi susu sapi sebelum dan setelah terdeteksi ASD, hal ini dikarenakan casein yang terdapat pada susu sapi akan terurai di dalam perut dan akan menghasilkan suatu zat
61
yang dikenal dengan casomorphin. Casomorphin memiliki kemiripan dengan gluteomorphin, yaitu dapat menimbulkan gejala kelainan perilaku yang terdapat pada anak ASD (Sjambli 2003). Konsumsi daging ayam, telur ayam dan ikan mengalami peningkatan setelah anak terdeteksi ASD. Konsumsi ikan laut agak dibatasi oleh orang tua, dengan alasan ikan laut sudah banyak tercemar logam berat. Daging ayam adalah makanan yang paling digemari oleh contoh. Telur ayam merupakan salah satu alergen yang dapat terjadi pada anak ASD, namun hal itu hanya pada sebagian kasus ASD saja (Munasir 2003). Tabel 20 Jenis makanan yang biasa dikonsumsi sebelum dan setelah terdeteksi ASD Kelompok makanan Karbohidrat
Protein hewani
Protein nabati
Sayuran
Buah
Cemilan
Jenis makanan yang biasa dikonsumsi sebelum terdeteksi ASD roti (10 orang) mie (6 orang) kentang (3 orang) makaroni (1 orang) susu sapi (18 orang) ikan (13 orang) daging sapi (10 orang) daging ayam (8 orang) telur ayam (5 orang) ati ayam (1 orang)
-
tahu (4 orang) tempe (6 orang)
-
bayam (6 orang) kangkung (2 orang) toge (1 orang) wortel (6 orang) buncis (1 orang) tomat (1 orang)
-
anggur (1 orang) apel (7 orang) melon (1 orang) pear (2 orang) pepaya (2 orang) pisang (2 orang) jeruk (5 orang)
-
bolu (2 orang) coklat (4 orang) biskuit (3 orang) es krim (2 orang)
Jenis makanan yang biasa dikonsumsi setelah terdeteksi ASD roti (4 orang) mie (5 orang) kentang (4 orang) -
susu sapi (11 orang) ikan (20 orang) daging sapi (7 orang) daging ayam (13 orang) telur ayam (11 orang) ati ayam (1 orang) udang (1 orang) daging bebek (1 orang) telur bebek (2 orang) tahu (3 orang) tempe (6 orang) susu kedelai (4 orang) bayam (9 orang) kangkung (4 orang) toge (1 orang) wortel (8 orang) terong (1orang) sawi (1 orang) jamur (1 orang) kacang panjang (1 orang) kol (2 orang) pare (1 orang) anggur (2 orang) apel (5 orang) melon (1 orang) pear (3 orang) pepaya (2 orang) pisang (2 orang) jeruk (5 orang) alpukat (1 orang) semangka (1 orang) bolu (1 orang) coklat (2 orang) biskuit (2 orang)
62
Protein nabati adalah bahan makanan yang baik dikonsumsi oleh anak. Protein nabati biasanya berasal dari kacang-kacangan, terutama kacang kedele yang memiliki mutu dan nilai protein yang paling tinggi dibandingkan protein nabati lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengganti susu sapi pada diet GFCF adalah susu kedelai, namun ternyata menurut McCandless (2003) kedelai dapat menyebabkan inflamasi lambung yang juga terjadi pada makanan yang mengandung gluten dan kasein. Jenis sayuran dan buah yang biasa dikonsumsi anak setelah terdeteksi ASD mengalami penambahan jumlah jenis. Penambahan ini dikarenakan anak mulai menyenangi berbagai macam jenis makanan. Buah jeruk, tomat, dan apel dapat menimbulkan alergi pada anak yang timbul pada usia 15 bulan. Gejala yang ditimbulkan antara lain gatal-gatal di mulut yang kemudian akan menyebabkan kemerahan (Munasir 2003). Cemilan adalah makanan yang banyak mengandung energi dan sedikit zat gizi lain. Cemilan yang dikonsumsi contoh antara lain adalah biskuit, bolu, coklat, dan es krim. Konsumsi makanan tersebut mengalami penurunan setelah anak terdeteksi ASD. Keempat jenis makanan tersebut mengandung gula sederhana yang sebaiknya dihindari oleh anak ASD karena dapat menimbulkan kelainan perilaku pada anak ASD (Sjambali 2003).
Status Gizi Contoh Status gizi anak dinilai menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Penilaian status gizi anak dilakukan berdasarkan perhitungan z-skor pada saat pengambilan data (Riyadi 2001). Tabel 21 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status gizi contoh. Perhitungan status gizi menunjukkan bahwa menurut indeks BB/U, sebanyak 74.2% contoh berada pada status gizi normal, sebanyak 22.6% contoh memiliki status gizi overweight, sisanya (3.2%) memiliki status gizi underweight. Indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi pada saat ini. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Perhitungan status gizi menurut indeks TB/U menunjukkan sebagian besar contoh (90.3%) memiliki status gizi normal dan 3.2% contoh memiliki
63
status gizi stunted, 6.5% contoh memiliki status gizi tallness. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skletal. Tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur pada keadaan normal. Pertumbuhan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi saat ini, hal ini menyebabkan indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Indeks ini sangat erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi. Perhitungan status gizi menurut indeks BB/TB menunjukkan sebanyak 64.5% contoh memiliki status gizi normal. Persentase contoh yang memiliki status gizi overweight adalah 29.0%. Terdapat 3.2% contoh yang memiliki status gizi wasting berat, sisanya 3.2% contoh memiliki status gizi obesitas. Berat mempunyai hubungan yang linear dengan tinggi badan. Anak dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan. Indeks tunggal BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini. Hasil tersebut kemudian diinterpretasikan disesuaikan dengan status gizi anak dengan indikator gabungan BB/U, TB/U, dan BB/TB. Hasil interpretasi status gizi gabungan menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (61.3%) memiliki status gizi normal. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan status gizi contoh Status gizi n underweight 1 Indeks BB/U normal 23 obesitas 7 stunted 1 Indeks TB/U normal 28 tallness 2 wasted berat 1 normal 20 Indeks BB/TB overweight 1 obesitas 9
% 3.2 74.2 22.6 3.2 90.3 6.5 3.2 64.5 3.2 29.0
Contoh yang memiliki status gizi lebih tetapi tidak mengalami obesitas sebanyak 25.8% (19.4%+6.5%). Peneliti-peneliti telah menguji bahwa terdapat hubungan antara status kesehatan (tingkat morbiditas) dan status gizi (Riyadi 2001). Sebaran contoh berdasarkan interpretasi status gizi gabungan dapat dilihat pada Tabel 22.
64
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan interpretasi status gizi gabungan Indikator BB/TB + BB/U + TB/U normal normal normal BB/TB + BB/U + TB/U normal normal tinggi BB/TB + BB/U + TB/U tinggi tinggi normal BB/TB + BB/U + TB/U tinggi normal normal BB/TB + BB/U + TB/U rendah rendah normal BB/TB + BB/U + TB/U Tinggi normal rendah BB/TB + BB/U + TB/U tinggi tinggi tinggi
Interpretasi Status Gizi
n
%
Normal
19
61.3
Normal, tinggi
1
3.2
Gizi lebih, tetapi tidak obes
6
19.4
Gizi lebih, tetapi tidak obes
2
6.5
Saat ini malnutrisi sedang
1
3.2
Saat ini gizi lebih, mengalami malnutrisi pada masa lalu
1
3.2
Tubuh tinggi, gizi lebih
1
3.2
Status gizi gabungan ini dapat menggambarkan keadaan gizi sekarang yang dihubungkan dengan status gizi masa lalu. Anak ASD hasil penelitian ini menunjukkan beberapa anak memiliki status gizi lebih dan hanya sebagian kecil yang memiliki status gizi kurang. WHO dalam Riyadi (2001) menyatakan bahwa defisit yang sangat nyata dalam pengukuran antropometri, yang menunjukkan malnutrisi masa lampau dan masa kini pada level selular dapat disebabkan oleh rendahnya intake pangan, laju peningkatan utilisasi zat gizi (seperti pada penyakit infeksi), dan atau gangguan penyerapan interaksi zat-zat gizi.
Status Kesehatan Contoh Sehat adalah keadaan kualitas tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan (WHO 1983 dalam Khairunnisak 2004). Status kesehatan seseorang memberikan gambaran mengenai kondisi kesehatan yang dilihat menggunakan indikator rata-rata lama hari sakit (BPS 2002). Gangguan kesehatan yang banyak diderita oleh anak ASD adalah esofagitis (radang kerongkongan), gastritis (radang lambung), duodenitis (radang usus dua belas jari), dan kolitis (radang usus besar). Gangguan kesehatan tersebut dikarenakan anak ASD banyak yang menderita gangguan dalam pencernaannya. Diare menahun yang sulit disembuhkan, sembelit, dan keduanya berselang-seling dialami oleh beberapa anak ASD (McCandless 2003). Jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh contoh secara umum adalah batuk (51.6%) dan panas (29.0%) selama tiga bulan terakhir. Jenis penyakit ini dikarenakan cuaca pada tiga bulan terakhir, kurang baik. Sebaran
65
contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita selama tiga bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit Ya Tidak Jenis Penyakit n % n % Panas 9 29.0 22 71.0 Batuk 16 51.6 15 48.4 Asma 1 3.2 30 96.8 Tipus 1 3.2 30 96.8 1 3.2 30 96.8 Cacar Diare 3 9.7 28 90.3 Muntaber 3 9.7 28 90.3 Sakit kulit 1 3.2 30 96.8 Panas disertai kejang (Step) 1 3.2 30 96.8 Status kesehatan anak dapat dilihat dari frekuensi dan lama sakit anak. Status Tabel 24 menunjukkan jumlah frekuensi sakit dan lama hari sakit pada sebaran contoh. Penelitian ini menunjukkan bahwa umumnya contoh pernah mengalami sakit, 45.2% contoh mengalami sakit sebanyak 1-2 kali dalam kurun waktu tiga bulan. Contoh yang tidak pernah mengalami sakit selama tiga bulan terakhir sebanyak 35.5% dan sebanyak 19.4% contoh yang mengalami sakit lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir. Contoh yang mengalami sakit selama 4-11 hari sebanyak 29% dan hanya 12.9% contoh yang mengalami sakit selama kurang dari empat hari dan 22.6% contoh mengalami sakit lebih dari 11 hari. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dan lama sakit Kategori n % Frekuensi sakit Tidak pernah sakit 11 35.5 1-2 kali sakit 14 45.2 Lebih dari dua kali sakit 6 19.4 Minimum-Maximum 0-6 Rata-rata ± SD 1.3 ± 1.6 Lama sakit Tidak pernah sakit 11 35.5 < 4 hari 4 12.9 4-11 hari 9 29.0 > 11hari 7 22.6 Minimum-Maximum 0 - 61 Rata-rata ± SD 7.4 ± 12.1 Anak-anak membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh secara terus menerus dan tidak hanya mendapatkan perawatan untuk setiap penyakit. Anak-anak relatif lebih mudah terkena penyakit sehingga dibutuhkan perawatan
66
kesehatan primer. Gejala seorang anak mengalami sakit adalah dari perubahan perangai anak, yang biasanya gembira dan aktif menjadi pendiam dan pasif (Santoso&Ranti 1995 dalam Luwina 2006).
Riwayat Pemberian ASI ASI adalah makanan yang paling baik yang keluar dari tubuh ibu saat ibu mengandung seorang anak. ASI eksklusif selama enam bulan merupakan pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas terbaik bagi anak, karena pada masa ini otak berkembang sangat cepat (Roesli 2008). Tabel 25 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (48.4%) mendapatkan ASI eksklusif hingga usia 5-6 bulan. Contoh yang mendapatkan ASI eksklusif hingga usia kurang dari sama dengan empat bulan berjumlah 22.6%, sebanyak 3.2% contoh mendapatkan ASI eksklusif hingga usia lebih dari enam bulan, dan sisanya (25.8%) contoh tidak mendapatkan ASI eksklusif. Pemberian ASI saja hingga usia lebih dari enam bulan, dikarenakan Ibu menganggap makanan yang terbaik bagi anak adalah ASI. ASI adalah makanan yang sangat baik dikonsumsi oleh seorang anak hingga usia dua tahun. Contoh yang diberhentikan ASI pada usia lebih dari 18 bulan sebanyak 48.4%, sebanyak 35.5% contoh diberhentikan ASI pada selang usia 6-18 bulan, sisanya (16.1%) diberhentikan ASI pada usia kurang dari 6 bulan. Tabel 25 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan usia anak disapih. Anak ASD banyak yang menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Pemberian ASI hingga usia yang tepat mempengaruhi kesehatan saluran cerna seorang anak. ASI yang tidak diberikan secara tepat dapat menjadi salah satu penyebab terganggunya fungsi saluran cerna seorang anak ASD (McCandless 2003). ASI adalah makanan yang terbaik bagi seorang anak hingga usia dua tahun. Berat otak saat seorang anak lahir adalah seperdelapan berat total anak ketika dilahirkan. Pertambahan berat otak paling pesat pada usia dua tahun. Otak
kecil
yang
berperan
penting
untuk
menjaga
keseimbangan
dan
pengendalian tubuh. Otak bertambah beratnya sebanyak tiga kali lipat setelah satu tahun sesudah kelahiran (Hurlock 1999). Pemberian ASI yang tepat dapat memberikan sistem pertahanan tubuh yang lebih baik dari kontaminasi serta keracunan yang mungkin terjadi pada anak. Santosa (2003) mengemukakan
67
bahwa ASD diduga dikarenakan adanya pengaruh lingkungan yaitu berupa keracunan logam berat. Pemberian ASI yang baik diduga dapat memberikan pengaruh terhadap usia awal terdeteksi ASD. ASD yang dimaksud disini adalah ASD regresif, yang muncul setelah seorang anak pernah menunjukkan tanda kenormalan, kemudian mengalami kemunduran pada tingkah lakunya. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI Riwayat Pemberian ASI n % Tidak diberikan 8 25.8 ≤ 4bln 7 22.6 Asi Eksklusif 5bln-6bln 15 48.4 (bulan) > 6bln 1 3.2 Minimum-Maximum 0-8 Rata-rata ± SD 3.9 ± 2.7 < 6 bln 5 16.1 6-18 bln 11 35.5 Usia Disapih > 18 bln 15 48.4 (Bulan) Minimum-Maximum 0 - 48 Rata-rata ± SD 16.3 ± 11.2 Riwayat ASD Usia awal ASD ASD memiliki dua tipe dasar, yaitu ASD sejak lahir (Autisme klasik) dan autisme regresif yang biasanya muncul antara usia 12-24 bulan setelah adanya periode perkembangan dan tingkah laku normal (McCandless 2003). Usia seorang anak terdeteksi ASD pada rentang usia anak-anak awal. Usia anak awal berada pada rentang usia dua sampai enam tahun. Seorang anak memiliki tugas perkembangan antara lain belajar memakan makanan padat, belajar berjalan, belajar berbicara, belajar mengendalikan pembuangan kotoran, mempelajari perbedaan seks dan tata caranya, mempersiapkan diri untuk membaca, serta belajar mengenali benar dan salah pada usia ini (Havigurst 1972 dalam Hurlock 1999). Contoh yang terdeteksi ASD pada selang usia kurang dari 19 bulan sebanyak 32.3%. Jumlah contoh yang terdeteksi pada selang usia 19-36 bulan sebanyak 61.3% dan hanya 6.5% contoh yang terdeteksi pada usia lebih dari 36 bulan. Anak ASD memiliki keterbatasan dalam melakukan satu atau lebih tugas perkembangan tersebut. Keadaan tersebut yang menyebabkan anak ASD lebih banyak terdeteksi pada usia anak-anak awal (early childhood). Tabel 26 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan usia awal anak terdeteksi ASD.
68
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan usia awal anak terdeteksi ASD Usia Anak (bulan) n % < 19 10 32.3 19-36 19 61.3 > 36 2 6.5 Minimum-Maximum 8 - 60 Rata-rata ± SD 25.7 ± 11.3 Usia Awal Terapi Terapi yang diperuntukan khusus untuk anak ASD saat ini semakin banyak. Terapi sangat dibutuhkan untuk seorang anak ASD karena dapat memberikan treatment secara intensif kepada anak. Adanya terapi cukup membantu anak untuk mencapai kemandirian. Terapi yang biasa diberikan di klinik terapi antara lain terapi wicara, okupasi, sensori integrasi, tingkah laku, auditory, vision dan senam otak (Alis 2003). Terapi yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki perilaku anak penderita ASD, sehingga mampu mengikuti kegiatan belajar atau hidup seperti anak-anak yang normal perkembangannya. Orang tua yang diwawancarai seluruhnya melakukan terapi khusus terhadap anak-anaknya. Orang tua anak ASD sebagian besar langsung memberi terapi kepada anak setelah anak dideteksi ASD. Handojo (2003) mengungkapkan bahwa usia dimulai terapi yang paling ideal adalah 2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak paling pesat. Usia awal terapi yang terbaik adalah tidak lebih dari 5 tahun, karena setelah usia tersebut perkembangan otak melambat secara cepat. Contoh mendapat terapi pada selang usia 27-47 bulan (48.4%), usia kurang dari 27 bulan (25.8%), dan sisanya (25.8%) contoh melakukan terapi pertamanya pada selang usia diatas 47 bulan. Pemberian terapi sejak usia dini sangat baik dilakukan agar anak lebih mudah menerima materi terapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat rentang yang cukup jauh antara usia anak terdeteksi ASD dan usia pemberian terapi kepada anak. Pemberian terapi kepada anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin, hal ini dilakukan dengan tujuan agar anak segera mendapatkan penanganan yang terbaik. Rentang usia yang cukup jauh ini terjadi karena pada awal anak terdeteksi masih awam dengan istilah autisme, sehingga masih mencari cara penanganan yang terbaik untuk anak. Jumlah klinik terapi yang ada masih cukup sedikit, kalaupun ada letaknya cukup jauh, sehingga menyulitkan orang tua untuk menjangkaunya. Biaya terapi juga merupakan masalah dari beberapa orang tua, sehingga pemberiannya menjadi terlambat.
69
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan usia anak diterapi Usia Anak (bulan) n % < 27 8 25.8 27-47 15 48.4 >47 8 25.8 Minimum-Maximum 12 - 84 Rata-rata ± SD 36.3 ± 15.8 Gejala awal ASD Kelemahan yang dimiliki anak ASD berakibat pada kelemahan dalam perkembangan berbahasa, ketertarikan terhadap objek yang tidak biasa, seperti air, fans, atau objek berputar lainnya; adanya gejala ASD menyebabkan respon yang diberikan menjadi berubah; dan sangat menyenangi hal yang sama. Bayi atau anak-anak dengan ASD gagal untuk mengembangkan kemampuan sosialnya dengan orang lain, termasuk orang tuanya. Anak ASD ketika melakukan kontak dengan orang lain, mereka tidak akan melakukan kontak mata (Spreen et al 1984 diacu dalam Kanarek&Kaufman 1991). Gejala awal ASD yang paling utama adalah keterbatasan seorang anak dalam melakukan hubungan sosial, berkomunikasi, serta kesenangannya akan sesuatu (Mash&Wolfe 2005). Gejala lain dari ASD adalah anak yang suka menyendiri, keterlambatan dalam perkembangan bahasa, menghafalkan sesuatu tanpa berpikir, melakukan aktivitas spontan terbatas, stereotip, kontak mata dan hubungan dengan orang lain buruk, lebih menyukai gambar atau benda mati. Sebaran contoh berdasarkan gejala awal ASD cukup bervariasi. Gejala awal ASD yang paling banyak (61.3%) dialami oleh contoh adalah sikap anak yang diam ketika dipanggil. Contoh yang memiliki kontak mata yang buruk dan mengalami keterlambatan bicara sebanyak 45.2%. Hiperaktivitas (22.6%), menyendiri (16.1%), suka pada sesuatu (12.9%), suka menangis (9.7%), dan flapping (6.5%) adalah beberapa gejala fisik lain dari ASD. Gejala awal ASD adalah karena anak tidak mampu memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang perhatiannya sangat buruk atau sangat singkat waktunya dibandingkan dengan anak lain seusianya. Gejala lain yang menyertai adalah adanya tingkah laku yang hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif. Gangguan ini dapat menimbulkan akibat buruk yang menghambat perkembangan anak, baik dalam perkembangan kognitif, emosi, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi (Edi 2003). Tabel 28 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan gejala awal terdeteksi ASD.
70
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan gejala awal terdeteksi ASD Ya Tidak Gejala Awal n % n % Diam ketika dipanggil (cuek) 19 61.3 12 38.7 Kontak mata tidak ada 14 45.2 17 54.8 Terlambat bicara 14 45.2 17 54.8 Hiperaktif 7 22.6 24 77.4 Menyendiri 5 16.1 26 83.9 Fokus akan suatu hal dan tidak menyenangi hal lainnya 4 12.9 27 87.1 Suka menangis 3 9.7 28 90.3 Flapping (mengepal-ngepalkan tangan, mumukulmukulkan tangan, mengibas-ibaskan tangan) 2 6.5 29 93.5 Perkembangan spektum ASD anak setelah mengikuti terapi Keberhasilan suatu terapi terhadap anak ASD bergantung pada lima faktor, yaitu berat ringannya autisme anak, intelegence quotient (IQ), pusat bicara anak, usia saat dimulai terapi, dan intensitas terapi (Handojo 2003). Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan orang tua. Kombinasi yang baik dari lima faktor tersebut dapat membawa anak kepada kondisi perkembangan spektum ASD yang baik. Seluruh contoh mengalami perkembangan yang baik dalam hal tingkah lakunya setelah mengikuti terapi. Tingkah laku anak semakin dapat dikendalikan karena anak sudah mengerti bahasa perintah. Kontak mata sebagian besar contoh mengalami kemajuan, hal ini dapat dilihat dari lama waktu anak memandang mata lawan bicara. Anak awalnya tidak menengok ketika dipanggil, namun setelah dilakukan terapi baik di tempat terapi ataupun di rumah, anak berangsur mulai menengok ketika dipanggil. Komunikasi verbal 67.7% contoh memiliki kemajuan, hal ini dapat dilihat dari kosakata anak yang semakin beragam. Kemajuan komunikasi verbal anak cenderung kepada hal-hal yang ia butuhkan untuk berlangsungnya kehidupan sehari-hari anak, beberapa anak sudah dapat berbicara dengan cukup baik. Arah pembicaraan anak cenderung satu arah dan hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri. Kemampuan komunikasi verbal seorang anak dapat diasah dengan bantuan orang-orang disekelilingnya terutama keluarga. Anak ASD terkadang hanya meniru satu kata, tanpa tahu arti dari kata tersebut, sehingga pengajaran komunikasi perlu diperhatikan, bahwa anak mendengar kata-kata yang baik dan sopan. Hiperaktivitas adalah gangguan perilaku yang sering terjadi pada anak ASD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 67.7% contoh mengalami penurunan
71
dalam hal hiperaktivitas. Jenis hiperaktivitas yang banyak terjadi pada penelitian ini yaitu anak-anak yang suka berteriak. Contoh umumnya mengalami penurunan dalam hiperaktivitas seiring pertambahan usia anak. Penerapan diet gluten dan casein mampu mengurangi hiperaktivitas anak, hal ini diakui oleh beberapa ibu saat wawancara dilakukan. Contoh yang tidak lagi melakukan aktivitas secara berulang sebanyak 50.1% dan 58.1% contoh mulai memiliki variasi dalam beberapa hal yang disuka. Sebaran contoh berdasarkan perkembangan spektum ASD anak setelah mengikuti terapi dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan spektum ASD anak Ya Tidak Total Kondisi Spektum ASD Anak n % n % n % Kontak mata 27 87.1 4 12.9 31 100.0 Komunikasi verbal 21 67.7 10 32.3 31 100.0 Tidak hiperaktivitas 21 67.7 10 32.3 31 100.0 Mengulang aktivitas 16 51.6 15 48.4 31 100.0 Keterbatasan kesukaan 18 58.1 13 41.9 31 100.0 Tingkah laku membaik 31 100.0 0 0.0 31 100.0 Perbedaan Pengasuhan (Makan dan Hidup Sehat) Antar Jenis Kelamin Pengasuhan makan Jenis kelamin laki-laki umumnya mendapatkan kualitas pengasuhan makan sedang. Kualitas sedang dapat diartikan bahwa anak ASD mendapatkan kualitas pengasuhan makan sebesar 40-60% dari beberapa jumlah pertanyaan yang diajukan. Kualitas pengasuhan makan yang didapatkan anak perempuan, sebagian besar juga terdapat pada kualitas sedang. Kualitas rendah seluruhnya didapatkan oleh anak yang berjenis kelamin laki-laki, hal ini diduga dikarenakan lebih sulit untuk mencegah anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Anak ASD ketika dilarang oleh orang tua cenderung untuk tantrum atau marah. Tantrum pada anak laki-laki akan lebih berbahaya dari pada anak perempuan, karena tenaga yang ia miliki lebih besar daripada anak perempuan. Keadaan ini menyebabkan pantangan yang diberikan kepada anak laki-laki agak longgar diterapkan oleh orang tua. Kualitas pengasuhan makan sedang dapat diartikan bahwa ibu sudah menerapkan diet gluten dan casein serta pemberian suplementasi kepada anak, namun ibu belum menerapkan rotasi makanan selama lima hari serta pemberian bahan makanan organik.
72
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan makan antar jenis kelamin Jenis kelamin Total Kualitas pengasuhan Laki-laki Perempuan makan n % n % n % Rendah (< 40) 3 12.0 0 0.0 3 9.7 Sedang (40-60) 17 68.0 5 83.3 22 71.0 Baik (> 60) 5 20.0 1 16.7 6 19.3 Pengasuhan hidup sehat Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya anak ASD yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan mendapatkan pengasuhan hidup dengan kualitas sedang. Kualitas sedang dapat diartikan bahwa anak mendapatkan pengasuhan yang memenuhi 65-80% dari pengasuhan yang diharapkan diberikan dalam penelitian ini. Kualitas sedang dapat dijelaskan bahwa umumnya orang tua sudah dapat membiasakan anak untuk sikat gigi dua kali sehari dan sebelum tidur serta menggunting kuku secara teratur. Anak yang mendapat pengasuhan sedang ini umumnya belum dibiasakan untuk mencuci kaki sebelum tidur, mandi secara teratur serta mencuci tangan sebelum makan. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kualitas pengasuhan makan dan jenis kelamin Jenis kelamin Total Kualitas pengasuhan Laki-laki Perempuan (persen) n % n % n % Rendah (< 65) 3 12.0 1 16.7 4 12.9 Sedang (65-80) 17 68.0 3 50 20 64.5 Baik (>80) 5 20.0 2 33.3 7 22.6 Perbedaan Pengasuhan Bermain Antar Jenis Kelamin Tipe permainan Permainan yang dilakukan seorang anak ASD dapat membuatnya mencapai kemandirian yang sesuai dengan tugas perkembangan pada umurnya (Yusuf 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya anak laki-laki memainkan permainan dengan tipe permainan exploratory play, energetic play, skilfull play, dan puzzle it out play. Permainan-permainan ini memiliki persentase yang sama, yaitu 44% anak ASD yang berjenis kelamin laki-laki. Tipe exploratory play dapat merangsang anak untuk menemukan sesuatu baru, energetic play merangsang anak untuk mengendalikan gerakan tubuhnya, skilfull play merangsang kemandirian anak, dan puzzle it out play merangsang anak untuk meningkatkan rasa keingintahuan. Anak ASD berjenis kelamin perempuan umumnya memainkan permainan dengan tipe imaginative play. Hasil ini
73
dikarenakan lazimnya permainan imaginative dimainkan oleh anak perempuan. Jenis permainan imaginative play antara lain boneka-bonekaan, masakmasakan, dan dokter-dokteran. Tipe permainan ini membantu anak dalam membangun kemampuan berpikir dan bicara, membantu anak memahami orang lain, serta membangun kreativitas (Hurlock 1999). Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan tipe permainan antar jenis kelamin Jenis kelamin Total Tipe permainan Laki-laki Perempuan Kategori n % n % n % Tidak 14 56.0 4 66.7 18 58.1 Exploratory play Ya 11 44.0 2 33.3 13 41.9 Tidak 14 56.0 4 66.7 18 58.1 Energetic play Ya 11 44.0 2 33.3 13 41.9 Tidak 23 92.0 5 83.3 28 90.3 Social play Ya 2 8.0 1 16.7 3 9.7 Tidak 14 56.0 4 66.7 18 58.1 Skilfull play Ya 11 44.0 2 33.3 13 41.9 Tidak 21 84.0 1 16.7 22 71.0 Imaginative play Ya 4 16.0 5 83.3 9 29.0 Tidak 14 56.0 3 50.0 17 54.8 Puzzle it out play Ya 11 44.0 3 50.0 14 46.2 Pola permainan Permainan yang dimainkan oleh anak berjenis kelamin laki-laki adalah permainan solitary independent play. Solitary independent play adalah permainan dimana anak bermain sendiri dengan objek (mainan), tanpa ada kontak dengan orang lain (Rogers 1995 dalam Maulani 2002). Wolfberg (2003) menyatakan bahwa anak ASD cenderung menyenangi permainan konvensional atau membutuhkan obyek sebagai mainannya. Permainan ini banyak dimainkan oleh anak ASD dikarenakan anak memiliki kesulitan dalam bersosialisasi dengan teman-teman seusianya. Keadaan yang sama juga terjadi pada anak ASD dengan jenis kelamin perempuan. Anak ASD dengan jenis kelamin perempuan umumnya juga memainkan permainan dengan pola solitary independent play. Permainan solitary independent play yang paling sering dimainkan oleh anak dengan jenis kelamin laki-laki adalah dengan menggunakan objek bola dan mobil-mobilan. Permainan solitary independent play yang banyak dimainkan anak jenis kelamin perempuan adalah boneka.
74
Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan pola permainan antar jenis kelamin Jenis kelamin Total Laki-laki Perempuan Pola Permainan Kategori n % n % n % Tidak 11 44.0 3 50.0 14 45.2 Pararel Ya 14 56.0 3 50.0 17 54.8 Tidak 17 68.0 5 83.3 22 71.0 Asosiative Ya 8 32.0 1 16.7 9 29.0 Tidak 15 60.0 5 83.3 3 64.5 Cooperative Ya 10 40.0 1 16.7 11 35.5 Tidak 7 28.0 1 16.7 8 25.8 Solitary independent play Ya 18 72.0 5 83.3 23 74.2 Hubungan Antar Variabel Hubungan usia anak dengan perkembangan spektrum ASD Tabel 34 menunjukkan bahwa contoh yang berusia kurang dari sama dengan 72 bulan (75%), 73-123 bulan (86.7%), dan lebih dari sama dengan 124 bulan memiliki perkembangan spektrum ASD yang baik. Hasil penelitian menunjukkan
adanya
hubungan
positif
antara
usia
contoh
dengan
perkembangan spektum ASD, namun hubungan tersebut tidak signifikan (pvalue=0.965, r=0.008). Hasil uji ini mengindikasikan bahwa semakin besar usia seorang anak, semakin baik perkembangan anak tersebut. Keadaan ini sejalan dengan pernyataan McCandless (2003), bahwa semakin besar usia seorang anak ASD, semakin baik perkembangan spektum ASD anak tersebut. Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan spektrum ASD dan usia contoh Perkembangan Spektrum ASD Rendah Baik Total Usia n % n % n % ≤ 72 2 25 6 75 8 100.0 73-123 2 13.3 13 86.7 15 100.0 ≥ 124 3 37.5 5 62.5 8 100.0 Total 7 22.6 24 77.4 31 100.0 Hubungan jenis kelamin dengan perkembangan spektrum ASD Tabel 35 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berjenis kelamin laki-laki (76.0 %) dan perempuan (83.3%) memiliki perkembangan spektrum ASD yang baik. Anak ASD yang berjenis kelamin perempuan memiliki kondisi spektum ASD yang lebih serius dibandingkan laki-laki (Edi 2003), namun hasil penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki perkembangan kondisi spektum ASD yang lebih baik dari laki-laki (p-value=0.511, r=0.123). Hasil ini dikarenakan terdapat faktor lain selain keadaan genetik yang dapat mempengaruhi
75
perkembangan
spektum
ASD
seorang
anak.
Faktor-faktor
lain
yang
mempengaruhi perkembangan spektum ASD seorang anak ASD adalah berat ringannya ASD anak, IQ anak, usia awal terapi, pusat bicara anak, dan intensitas terapi yang diberikan kepada anak (Handojo 2003). Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan spektrum ASD dan jenis kelamin Perkembangan Spektrum ASD Jenis Rendah Baik Total Kelamin n % n % n % Laki-laki 6 24 19 76 25 100.0 Perempuan 1 16.7 5 83.3 6 100.0 Total 7 22.6 24 77.4 31 100.0 Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan usia terdeteksi ASD Tabel 36 menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif lebih dari enam bulan terdeteksi (100%) lebih dini yaitu pada usia kurang dari 19 bulan. Contoh yang mendapat ASI eksklusif sampai usia 5-6 bulan umumnya yang terdeteksi pada usia 19-36 bulan (60%). Anak yang mendapat ASI eklusif sampai usia kurang dari sama dengan empat bulan (71.4%) dan tidak diberikan (62.5%) ASI eksklusif terdeteksi juga pada usia 19-36 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara usia anak terdeteksi ASD dengan lama pemberian ASI eksklusif, namun hubungan ini tidak signifikan (p-value=0.836, r=0.039). Pemberian ASI eksklusif hingga usia enam bulan adalah pemberian gizi yang terbaik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Pemberian ASI eksklusif secara tepat, dapat membantu anak dalam mencapai perkembangan otak yang maksimal pada usianya (Roesli 2008). Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dengan usia terdeteksi ASD Usia Terdeteksi ASD Pemberian Total < 19 19-36 >36 ASI n % n % n % n % Eksklusif Tidak diberikan 3 37.5 5 62.5 0 0.0 8 100.0 ≤ 4bln 1 14.3 5 71.4 1 14.3 7 100.0 5bln-6bln 5 33.3 9 60.0 1 6.7 15 100.0 > 6bln 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1 100.0 Total 10 32.3 19 61.3 2 6.5 31 100.0 Hubungan usia anak disapih dengan usia terdeteksi ASD Usia anak yang disapih hingga usia 6-18 bulan dan lebih dari 18 bulan, hampir seluruhnya tersebar pada kelompok usia terdeteksi ASD pada usia kurang dari 19 bulan dan 19-36 bulan. Hal yang sebaliknya menunjukkan bahwa
76
anak yang disapih kurang dari enam bulan (12.5%) terdeteksi pada usia lebih dari 36 bulan. Hasil penelitian terhadap lama seorang anak disapih, menunjukkan hubungan negatif dengan usia awal anak terdeteksi ASD (p-value=0.843, r=0.037). ASI yang diberikan kepada anak hingga usia yang tepat (dua tahun) dapat membantu seorang anak memperoleh perkembangan otak yang terbaik (Siswono 2004). Perkembangan otak ini dapat mempengaruhi kognitif seorang anak ASD. Anak ASD ditandai dengan adanya gangguan dalam bidang kognitif, perilaku, bahasa, komunikasi, dan interaksi sosial. Hasil uji statistik menujukkan bahwa anak yang disapih pada usia lebih awal, terdeteksi ASD semakin lama. Usia awal terdeteksi ASD tidak hanya dikarenakan usia anak diberhentikan pemberian ASI melainkan ada faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor lainnya antara lain lingkungan seorang anak ASD (tercemar polusi atau tidak), makanan pendamping ASI yang diberikan ibu, dan faktor genetika anak. Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan usia anak disapih dengan usia awal terdeteksi ASD Usia Terdeteksi ASD Total Usia Anak < 19 19-36 >36 Disapih n % n % n % n % <6 2 25.0 5 62.5 1 12.5 8 100.0 6bln-18 5 62.5 3 37.5 0 0.0 8 100.0 >18 3 20.0 11 73.3 1 6.7 15 100.0 Total 10 32.3 19 61.3 2 6.5 31 100.0 Hubungan kualitas pengasuhan makan dengan status gizi Contoh yang memiliki status gizi kurang dan sangat kurang pada indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB sebanyak 100% mendapatkan kualitas pengasuhan pada kategori sedang. Kategori pengasuhan makan dengan kategori rendah seluruhnya dimiliki oleh contoh yang berstatus gizi normal baik pada indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengasuhan makan dengan status gizi berdasarkan indeks BB/U (p-value = 0.532, r = -0.117) dan BB/TB (p-value = 0.212, r = -0.231), namun hubungan ini tidak signifikan pada selang kepercayaan 95%. Indeks BB/U dan BB/TB menggambarkan status gizi masa kini (Riyadi 2001). Status gizi lebih dimiliki oleh beberapa contoh dalam penelitian ini, sehingga dapat diartikan bahwa rendahnya pengasuhan makan yang diterima anak, dapat menyebabkan anak memiliki status gizi lebih. Keadaan ini dikarenakan ibu memberikan makanan apapun yang diinginkan anak, meskipun makanan tersebut adalah makanan yang sebaiknya dihindari anak. Pembebasan makanan pada anak
77
dikarenakan ibu khawatir anak tantrum yang dapat membahayakan anak ataupun orang lain. Hasil
penelitian
menunujukkan
adanya
hubungan
negatif
antara
pengasuhan makan anak dengan status gizi anak menggunakan indeks TB/U (pvalue = 0.238, r = -0.219), namun hubungan ini tidak signifikan. Indeks TB/U lebih menggambarkan keadaan gizi masa lalu. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa anak yang memiliki status gizi lebih pada masa lalu, saat ini memperbaiki cara pengasuhan makan yang diberikan kepada anak, agar anak memiliki status gizi yang lebih baik. Perbaikan pengasuhan makan kepada anak ini dengan cara membatasi makanan-makanan yang sebaiknya dihindari oleh anak. Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan kualitas pengasuhan makan Kualitas Pengasuhan Total Status gizi Rendah Sedang Baik n % n % n % n % Underweight 0 0.0 1 100.0 0 0.0 1 100.0 BB/U Normal 3 13 15 65.2 5 21.8 23 100.0 Obesitas 0 0.0 6 85.7 1 14.3 7 100.0 Stunted 0 0.0 1 100.0 0 0.0 1 100.0 TB/U Normal 3 10.7 19 67.9 6 21.4 28 100.0 Tallness 0 0.0 2 100.0 0 0.0 2 100.0 Wasted berat 0 0.0 1 100.0 0 0.0 1 100.0 Normal 3 15.0 12 60.0 5 25.0 20 100.0 BB/TB Overweight 0 0.0 0 0.0 1 100.0 1 100.0 Obesitas 0 0.0 9 100.0 0 0.0 9 100.0 Hubungan pengasuhan hidup sehat dengan status kesehatan Contoh yang mengalami sakit sebanyak lebih dari dua kali sakit umumnya mendapatkan kualitas pengasuhan sedang (66.7%), terdapat 9.1% contoh yang mendapatkan kualitas pengasuhan hidup sehat yang rendah, namun selama tiga bulan terakhir tidak pernah mengalami sakit. Contoh yang mengalami sakit selama 4-11 hari sebagian besar (77.8%) mendapatkan kualitas pengasuhan hidup sehat dengan kualitas sedang. Pengasuhan hidup sehat yang baik yang diterapkan kepada anak dapat membawa seorang anak memiliki status kesehatan yang baik. Status kesehatan dapat dilihat dari lama dan frekuensi sakit yang diderita anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara frekuensi sakit (p-value = 0.419, r = 0.151) dan lama sakit (p-value = 0.626, r = 0.091) dengan pengasuhan hidup sehat, namun hubungan ini tidak signifikan pada selang kepercayaan 95%. Hasil ini memberi arti bahwa semakin
78
baik pengasuhan hidup sehat, semakin banyak frekuensi dan lama sakit yang diderita anak. Pemberian pengasuhan hidup sehat yang baik, dapat membantu anak untuk hidup bersih dan dapat menghindari berbagai penyakit yang mungkin akan masuk ke dalam tubuh anak. Keadaan cuaca yang sedang tidak baik pada saat pengambilan data menjadi penyebab keadaan ini. Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan dan kualitas pengasuhan hidup sehat Kualitas Pengasuhan Total Status Kesehatan Buruk Sedang Baik n % n % n % n % Tidak pernah 1 9.1 8 72.7 2 18.2 11 100.0 Frekuensi 1-2 kali 2 14.3 8 57.1 4 28.6 14 100.0 sakit > 2 kali 1 16.7 4 66.7 1 16.7 6 100.0 Tidak pernah sakit 1 9.1 8 72.7 2 18.2 11 100.0 1-4 hari 0 0.0 2 50.0 2 50.0 4 100.0 Lama sakit 4-11 hari 1 11.1 7 77.8 1 11.1 9 100.0 > 11 hari 2 28.6 3 42.9 2 28.6 7 100.0 Hubungan status gizi indeks BB/TB dengan usia responden Contoh yang berusia lebih dan sama dengan 124 bulan dan memiliki status gizi obesitas sebanyak 62.5%. Contoh pada usia 73-123 bulan umumnya memiliki status gizi normal. Anak dengan usia kurang dari sama dengan 72 bulan memiliki status gizi normal. Berat badan mempunyai hubungan linear dengan tinggi badan. Perkembangan berat badan pada keadaan normal akan searah dengan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Hasil uji statistik menyatakan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara status gizi indeks BB/TB dengan usia responden (p-value = 0.008, r = 0.467), hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi usia anak, akan semakin tinggi skor BB/TB yang dimiliki anak tersebut, atau dapat dikatakan semakin tinggi usia anak, semakin tinggi pula kemungkinan anak mempunyai status gizi lebih. Usia anak yang semakin besar akan mempengaruhi konsumsi anak, dimana anak akan cenderung mengkonsumsi berbagai makanan yang ia sukai. Keadaan ini membuat anak cenderung makan lebih banyak dibandingkan anak yang usia lebih kecil. Penerapan diet pada anak ASD juga semakin longgar penggunaannya, hal ini dikarenakan pada usia yang lebih besar anak sudah cenderung membaik kondisi spektum ASDnya, sehingga ibu tidak menerapkan diet lagi kepada anak.
79
Tabel 40 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB dan usia anak Status Gizi Obesita Usia Total Wasted Berat Normal Overweight s n % n % n % n % n % 0 0.0 7 87.5 1 12.5 0 0.0 8 100.0 ≤ 72 73-123 1 6.7 10 66.7 0 0.0 4 26.7 15 100.0 0 0.0 3 37.5 0 0.0 5 62.5 8 100.0 ≥ 124 Total 1 3.2 20 64.5 1 3.2 9 29.0 31 100.0 Hubungan lama sakit dengan usia anak diberi ASI eksklusif Contoh yang tidak diberikan ASI eksklusif sebanyak 37.5% mengalami sakit dalam tiga bulan terakhir adalah selama lebih dari 11 hari. Contoh yang mendapat ASI eksklusif hingga usia 5-6 bulan umumnya (66.7%) mengalami sakit kurang dari 4 hari. ASI mengandung banyak unsur imunologis yang dibutuhkan oleh tubuh seorang anak. Roesli (2008) mengungkapkan bahwa pemberian ASI berdampak positif pada kondisi kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan bayi serta secara signifikan menurunkan angka morbiditas bayi. Hasil uji statistik terdapat hubungan negatif signifikan antara lama sakit anak dengan usia anak diberi ASI eksklusif (p-value = 0,009, r = -0.459), hal ini menunjukkan bahwa semakin sedikit anak mendapat ASI eksklusif semakin lama sakit yang diderita anak dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Tabel 41 Sebaran contoh berdasarkan lama sakit dengan lama pemberian ASI eksklusif Lama sakit ASI Eksklusif < 4 hari 4-11 hari > 11hari Total n % n % n % n % 2 25.0 3 37.5 3 37.5 8 100.0 Tidak diberikan 2 28.6 2 28.6 3 42.9 7 100.0 ≤ 4bln 10 66.7 4 26.7 1 6.7 15 100.0 5bln-6bln 1 100 0 0.0 0 0.0 1 100.0 > 6bln Total 15 48.4 9 29.0 7 22.6 31 100.0 Hubungan pengasuhan makan dengan pendapatan total keluarga Contoh yang memiliki pendapatan keluarga di atas Rp. 15.000.000,00 umumnya memiliki kualitas pengasuhan makan yang baik (60.0%). ASD adalah gangguan perkembangan yang terjadi anak yang menyebabkan mereka tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi normal. Kelainan yang ada pada seorang anak ASD adalah ketidakmampuan pencernaan seorang anak ASD dalam mencerna makanan-makanan tertentu. Defisiensi zat gizi yang terjadi pada anak ASD, membuat seorang anak membutuhkan suplemen khusus. Kebutuhan-kebutuhan ini memerlukan biaya
80
yang
lebih
besar
dibandingkan
dengan
anak normal.
Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan positif nyata antara kualitas pengasuhan makan ibu dengan pendapatan total keluarga (p-value = 0.045, r = 0.362). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar pendapatan keluarga, semakin baik kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anak. Tabel 42 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan makan dan pendapatan total keluarga Kualitas Pengasuhan Makan Pendapatan Total Buruk Sedang Baik Total n % n % n % n % <2.500.000 0 0.0 2 100.0 0 0.0 2 100.0 2.500.000-5.000.000 2 18.2 7 63.6 2 18.2 11 100.0 5.000.001-7.500.000 0 0.0 6 100.0 0 0.0 6 100.0 7.500.001-10.000.000 1 33.3 1 33.3 1 33.3 3 100.0 10.000.001-15.000.000 0 0.0 4 100.0 0 0.0 4 100.0 >15.000.000 0 0.0 2 40.0 3 60.0 5 100.0 Total 3 9.7 22 71.0 6 19.4 31 100.0
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Anak ASD pada penelitian ini umumnya berusia antara 73-123 bulan, jenis kelamin contoh umumnya laki-laki, urutan kelahiran contoh umumnya anak pertama. Tipe keluarga anak ASD umumnya adalah keluarga sedang dan umumnya merupakan keluarga inti. 2. Kualitas pengasuhan makan pada anak ASD umumnya dengan kualitas sedang yaitu sebesar 71.0%. Kualitas sedang ini mengindikasikan bahwa anak belum mendapatkan pemberian rotasi makanan dan bahan makanan organik. Tingkat kecukupan energi umumnya dengan kategori lebih (41.9%), dan baik 16.1%, kecukupan protein dengan kategori baik (96.8%), kecukupan zat besi dengan kategori cukup (77.4%), kecukupan kalsium dengan kategori kurang (54.8%), kecukupan vitamin C dengan kategori kurang (61.3%), dan kecukupan vitamin A dengan kategori cukup (64.5%). Status gizi anak ASD umumnya adalah normal dengan indeks BB/U (74.2%), indeks TB/U (90.3%), dan indeks BB/TB (64.5%), serta indeks gabungan (61.3%). 3. Anak ASD umumnya mendapat kualitas pengasuhan hidup sehat dengan kualitas sedang yaitu sebesar 64.5%. Kualitas pengasuhan sedang dapat mengindikasikan bahwa anak belum dibiasakan untuk mandi secara teratur, mencuci kaki sebelum tidur serta mencuci tangan sebelum makan. Jenis penyakit yang banyak diderita contoh dalam penelitian ini umumnya selama tiga bulan terakhir adalah batuk (51.6%), 45.2% contoh mengalami 1-2 kali sakit, 29% contoh mengalami sakit selama 4-11 hari, dan 35.5% contoh tidak mengalami sakit. 4. Persentase terbesar anak ASD dalam penelitian ini menerapkan tipe permainan puzzle it out play yaitu sebanyak 45.2% dan 74.2% contoh bermain dengan pola permainan solitary independent. Tipe permainan yang banyak dilakukan anak dengan jenis kelamin laki-laki (44%) adalah exploratory play, energetic play, skillful play, puzzle it out play, sedangkan anak perempuan (83.3%) banyak memainkan permainan dengan tipe imaginative play. Pola permainan yang banyak dimainkan anak laki-laki (72%) dan perempuan (83.3%) adalah solitary independent play.
82
Saran Orang tua anak ASD sebaiknya menerapkan rotasi makanan selama lima hari untuk membantu anak agar tidak terlalu cepat peka dan menjadi alergi terhadap suatu bahan makanan, selain itu memakai bahan makanan organik dalam pemasakan sehari-hari cukup baik untuk dilakukan agar anak terbebas dari makanan yang terkontaminasi bahan-bahan yang dapat meracuni tubuhnya. Konsumsi makanan yang mengandung vitamin C dan kalsium masih rendah sehingga perlu ditingkatkan lagi konsumsinya dalam pola konsumsi sehari-hari dalam keluarga. Orang tua anak ASD sebaiknya memberikan pengajaran hidup bersih dan sehat secara intensif agar anak dapat lebih mandiri dan terjaga dari penyakit yang diakibatkan oleh keadaan tubuh yang kurang bersih. Anak yang baru terdeteksi ASD sebaiknya segera diperiksa alergi yang dimiliki anak, agar anak mendapatkan pemberian makan yang baik, untuk menunjang perkembangannya. Penerapan permainan social play masih rendah, sehingga orang tua lebih baik meningkatkan permainan tersebut, sdedangkan permainan exploratory play, energetic play, skillfull play, social play, dan puzzle it out play perlu diterapkan secara seimbang agar anak dapat mencapai kemandirian, berkomunikasi, serta anak mudah dalam memahami sesama. Penerapan permainan imaginative play perlu ditingkatkan pada anak dengan jenis kelamin laki-laki. Pola permainan sebaiknya ditingkatkan kepada pola permainan kooperatif sehingga anak dapat membangun kemampuan bersosialisasinya. McCandless (2003) mengungkapkan adanya dugaan bahwa kedelai dapat mempengaruhi spektrum ASD pada anak, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap bahan makanan ini.
DAFTAR PUSTAKA Alis L. 2003. Rencana kerja dan memulai terapi biomedis dan perilaku Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anonymous. 2007. Soul of Hadi. http://www.autism.org. Diakses pada 28 Oktober 2007. Anonymous. 2008. Autism. http://www.wikipedia.org. Diakses pada 5 Februari 2008. Ariotejo P. 2002. Pola asuh, status gizi, dan perkembangan sosial anak balita pada keluarga korban kerusuhan Sambas [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Aronson SS. 1991. Health HarperCollinsPublisher.
and
Safety
in
Child
Care.
New
York:
Biro Pusat Statistik. 2002. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS Indonesia. Djamaluddin SUS. 2003. Model layanan pendidikan anak autistik Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Edi TMSO. 2003. Diagnosis dini autisme Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Gabriel N. 2007. Pengenalan & Bimbingan Terhadap Anak-Anak ASD. http://www.garut.go.id. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Handojo Y. 2003. Manajemen tata laksana terapi perilaku anak dengan kebutuhan khusus (autisme) Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Hardinsyah&D. Briawan. 1994. Penilaian dan perencanaan konsumsi pangan. [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah & D. Martianto. 1992. Bahan pengajaran gizi terapan [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hayati TN. 2003. Kemampuan merawat diri sendiri anak autis Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press.
84
Hayslip & Panek. 1989. Adult Development and Aging. United States of America: Harper & Rou Publisher. Hidayat AA. 2004. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hurlock EB. 1999. Psikologi Perkembangan. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. Judarwanto W. 2007. Pencegahan Autisme pada http://www.puterakembara.co.id. Diakses pada 28 Oktober 2007.
Anak.
Kanarek & Kaufman. 1991. Nutrition&Behavior. New York: Van Nostrand Reinhold. Khairunnisak I. 2004. Hubungan kualitas pengasuhan dan perilaku hidup sehat dengan status gizi dan kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di Kecamatan Bogor Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Krisnatuti D & Yenrina R. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Kusharto CM & Saddiyah NY. 2006. Penilaian konsumsi pangan [diktat]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Latifah RE. 2004. Studi konsumsi dan status gizi pada anak penyandang gangguan spektrum autisme di kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2000. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: CV. Golden Hoki Dragon. Lubis CP. 2004. Usaha Pelayanan Kesehatan Anak dalam Membina Keluarga Sejahtera. http://www.usu.go.id. Diakses pada 28 Oktober 2007. Luwina GS. 2006. Pengaruh stimulasi gizi dan kesehatan terhadap status gizi dan kesehatan terhadap status gizi dan kesehatan peserta kelompok bermain di kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marotz, Cross, & Rush. 2004. Health, Safety, and Nutrition for The Young Child 6th ed. New York: Thomson Delmar Learning. Mash EJ & Wolfe DA. 2005. Abnormal Child Phisycology 3rd ed. USA: Thomson Learning, inc. McCandless J. 2003. Children with Starving Brain. Jakarta: Grasindo. Maulani L. 2002. Pengasuhan sosial bermain dan kecerdasan emosional (EQ) anak usia 5-6 tahun di TK Kemuning dan TK Kartika III-36 Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
85
Munasir Z. 2003. Alergi makanan dan autisme Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Purba JS. 2003. Patogenesis autisme: menuju tata laksana holistik dan terintegrasi Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Riyadi H. 2001. Buku ajar metode penilaian status gizi secara antropometri [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Robertson C. 1998. Safety, Nutrition, and Health in Early Education. United States of America: Delmar Publisher. Roesli U. 2008. Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda. Rosita R. 1998. Hubungan antara perkembangan bermain dengan tingkat perkembangan baduta [skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo&Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 1994. Penuntun Diit Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Santosa S. 2003. Pengaruh logam berat pada autisme Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Santrock JW. 2002. Life-Span Development 8th ed. New York: Mc.Graw Hill. Siswono. 2004. Sialic Acid, Zat Gizi Penting http://www.gizi.net. Diakses pada 1 Mei 2008.
Perkembangan
Otak.
Sjambali R. 2003. Intervensi nutrisi pada autisme Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Suiraoka&Nursanyoto. 2005. Hubungan antara konsumsi casein, gluten, dan pola aktifitas yang khas pada anak penyandang autis di Denpasar. Prosiding Temu Ilmiah, Kongres XIII Persagi, 2005: 196-202. Sutadi R. 2003. Intervensi biomedis pada masalah perilaku autisme Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Syarief, H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas. Bogor: IPB Press. The American Medical Association. 1994. NewYork: Random House Inc.
Family Medical Guide 3rd ed.
86
Winarno FG. 1987. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta Pustaka Sinar Harapan. Wargasetia TL. 2003. Aspek genetika pada autisme Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press. Wolfberg PJ. 2003. Peer Play and The Autism Spectrum. Kansas: Autism Asperger Publishing Co. Yuliana. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan tingkat perkembangan bayi usia 8-11 bulan di kota Bogor [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Yusuf I. 2003. Terapi bermain pada anak bermasalah Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: UI Press.
Lampiran 1. Kuesioner Lokasi Gol. Nomor
KUESIONER
Pengasuhan (Makan, Hidup Sehat, dan Bermain) pada Anak Penderita Autisme
Nama Anak
: ______________________
Nama ayah/ibu
:
Usia Anak
: ___________ Tahun
Jenis Kelamin
: L/ P
Alamat rumah
: __________________________RT/RW _________________ Kelurahan _________________
Alamat Terapis
:
Enumerator
: __________________________
Tanggal Wawancara
: __________________________
Waktu wawancara
:
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007/2008
88 I. KARAKTERISTIK ANAK ASD 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
Nama Anak :……………………………………………………. Usia : …………..Tahun Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan Usia Anak Disapih :………………………………………… Usia Anak diberi ASI Ekslusif Status Gizi : 1.6.1 Berat badan : …………………………… kg 1.6.2 Tinggi Badan : ………………….cm 1.7 Usia Ayah pada saat kehamilan :……………………..Tahun 1.8 Riwayat Penyakit : 1.8.1 Jenis penyakit yang pernah diderita: …………………………….. (3 bulan terakhir) Petunjuk pengisian: Berilah tanda checklist(√) pada kolom frekuensi sakit sesuai dengan jenis penyakit yang pernah diderita. Tanggal Lama Sakit Frekuensi Sakit Jenis Penyakit Sakit1) (perkiraan) Hari 1 2 3 4 1. Panas/demam 2. Batuk pilek 3. Sakit mata 4. Asthma 5. Bronkhitis 6. Tuberculosis paru-paru 7. Typhus 8. Campak 9. Cacar air 10. Diare (>5 kali) 11. Muntaber 12. Sakit kulit (bisul,borok,gatal, panu) 13. Demam berdarah 14.Lainnya…………………………… Total 1.9 Sejak kapan anak dideteksi menderita ASD (Autism Spectrum Disorders)? 1.9.1 Sejak usia…………tahun 1.9.2 Gejala awal................................. 1.10 Ada/tidak terapis yang membantu dalam menangani anak Autisme?............................... 1.10.1 Sejak usia berapa di terapi? 1.11 Perkembangan kondisi klinis anak autisme Bagaimana perkembangan keadaan anak Anda saat ini? (setelah anak menjalani terapi) No Kondisi Klinis Ya Tidak Alasan 1. Kontak mata membaik 2. Kemampuan komunikasi verbal meningkat 3. Hiperaktif 4. Mengulang-ngulang aktivitas/kegiatan 5. Keterbatasan kesukaan 6. Tingkah laku membaik dan lebih mudah dikendalikan
II. KARAKTERISTIK KELUARGA 2.1.
Identitas Keluarga Nama Anggota No Keluarga
Hub. dgn KK1)
2)
JK
Usia (bln/th)
Pendidikan
3)
Keterangan : 1) 1. Kepala Keluarga; 2. Istri; 3. Anak; 4. Orang Tua; 5. Saudara; 6. Lainnya 2) Jenis kelamin : 1. Laki-laki; 2. Perempuan 3) Kelas/tingkat pendidikan terakhir yang diperoleh
Pekerjaan
89 2..2 Pendapatan Keluarga 2.2.1 Pendapatan suami: (1) < Rp. 2,5jt (2) Rp. 2,5jt – Rp.5jt (4) Rp. 7,51jt – Rp. 10jt (5) Rp.10,1jt –Rp.15jt 2.2.2 Pendapatan istri: (1) < Rp. 2,5jt (2) Rp. 2,5jt – Rp.5jt (4) Rp. 7,51jt – Rp. 10jt (5) Rp.10,1jt –Rp.15jt 2.2.3 Pendapatan anggota keluarga lain: (1) < Rp. 2,5jt (2) Rp. 2,5jt – Rp.5jt (4) Rp. 7,51jt – Rp. 10jt (5) Rp.10,1jt –Rp.15jt
(3) Rp.5,01jt – (6) > Rp,15jt
Rp.7,5jt
(3) Rp.5,01jt – (6) > Rp,15jt
Rp.7,5jt
(3) Rp.5,01jt – (6) > Rp,15jt
Rp.7,5jt
2. 3. Berapa besar dana yang anda alokasi untuk merawat anak ASD? 2.3.1 Biaya terapis per bulan : Rp……………. 2.3.2 Biaya obat/dokter per bulan : Rp……………. 2.3.3 Biaya suplemen per bulan : Rp……………. 2.3.4 Biaya pengasuh per bulan : Rp…………….
III. POLA PENGASUHAN IBU 3.1. Pola Asuh Makan No. 1. 2.* 3. 4. 5. 6. 7.* 8. 9. 10.*
Jawaban Ya Tdk
Pertanyaan
Alasan
Anak diberi makan ≥ 3x sehari Ibu memarahi anak ketika anak tidak mau makan Anak diberi kesempatan memilih makanannya sendiri Anak disuruh menunggu waktu makan atau jajan yang tepat Ibu menerapkan rotasi makanan, dengan siklus 5 hari dalam pola makan anak Ibu memberikan suplementasi yang diperlukan anak Ibu memberikan makanan yang tinggi protein (ikan laut, telur, kacangkacangan) Ibu memberikan bahan makanan organik Ibu memberikan diet bebas gluten dan casein Ibu menambahkan MSG dalam masakannya Total (0-10) 3.2. Pola Asuh Hidup Sehat No Pertanyaan 1. Anak biasa mandi…kali per hari a. 1 kali/hari b. 2 kali/hari c. > 2 kali/hari 3.
5.
7.
9.
Skor
No 2.
Anak biasa menggosok gigi sebelum tidur a. Tidak b. Kadang-kadang c. Selalu Anak biasa mencuci kaki sebelum tidur a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Anak biasa cuci tangan sebelum makan a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu
4.
Anak mencuci tangan setelah buang air besar menggunakan.. a. Air saja b. Air dan sabun c. Sabun&air bersih (2x)
10.
6.
8.
Pertanyaan Anak biasa menggosok gigi setiap hari a. Tidak b. Ya, 1 kali/hari c. Ya, 2 kali/hari Anak mulai dibiasakan menggosok gigi sejak usia.. a. 1 – 2 tahun b. 2 – 3 tahun c. > 3 tahun Anak biasa keramas…kali per minggu a. 1 kali/minggu b. 2 kali/minggu c. ≥ 3 kali/minggu Anak menggunting kuku…kali/bulan a. Tidak tahu, mungkin 1 kali/bulan b. Ya, 2-3 kali/bulan c. Ya, ≥ 4 kali/bulan Anak biasa menggunakan alas kaki ketika bermain/berada di luar rumah a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu
Skor
90 3.3 Tipe dan pola permainan yang dilakukan anak Jenis No Tipe Permainan Permainan E G Sk I Pu
Pola Permainan P
A
K
C
L
S
I
Keterangan: TIPE PERMAINAN E = Exploratory Play: Bermain menjelajah seperti meniup terompet, mendengarkan musik, dll G = Energetic Play: bermain menggunakan banyak gerakan dan tenaga seperti memanjat, melompat, menendang, berlari, bermain sepeda, dll Sk = Skilfull Play: bermain mengguanakan serta mengendalikan keterampilan tangan dan mata seperti menyusun 3 balok menjadi menara, membentuk garis lurus dan lingkaran S = Social Play: bermain dengan anak lain seperti petak umpet, bertepuk tangan,dll I = Imaginative Play: bermain pura-pura, seperti boneka, masak-masakan, dll Ketersediaan Alat Permainan Alat permainan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Keterangan: W = mainan untuk belajar warna B = mainan untuk belajar bentuk Bi = mainan untuk belajar binatang A = mainan untuk belajar angka T = mainan untuk belajar teka-teki
Pu = Puzzle It Out Play: mencari jalan keluar dari suatu permainan seperti puzzle. POLA PERMAINAN P = Pararel: bermain sendiri, tidak bermain dengan orang lain, jika terjadi kontak, akan terjadi perkelahian (tidak bekerjasama) A = Asosiatif: anak terlibat dalam menyerupai kegiatan anak-anak lain K = Kooperatif: bermain dengan anak lain dan terjadi interaksi ( kerjasama) C = Unoccupied: anak hanya menonton anak lain bermain tetapi masuk dalam permainan L = Unlooker: anak menonton anak lain tetapi anak ikut serta dalam berbicara dan bertanya S = Solitary Independent Play: anak bermain sendiri dengan objek (mainan)
W
B
Bi
A
T
M
Be
Gt
M = alat musik Be = mainan bebas ekspresi Gt = mainan untuk melatih gerak tangan halus
IV. Dietary History Sebelum Anak Terdeteksi Autisme No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pertanyaan Anak minum susu ≥ 1 kali sehari Anak makan telur ayam ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis kacang-kacangan ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis bahan makanan yang berasal dari terigu ≥ 2 kali seminggu Anak makan berbagai jenis ikan ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung pewarna sintetik ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung penguat rasa ≥ 2 kali seminggu Anak makan makanan yang mengandung pemanis sintetik ≥ 2 kali seminggu
Jawaban Ya Tdk
Setelah Anak Terdeteksi Autisme Jawaban Alasan Ya Tdk
91 Jenis makanan
Frek
Mengapa
Bagaimana caranya
Sebelum anak terdeteksi ASD
Sesudah anak terdeteksi ASD
Asal
92 V. FOOD RECORD (3 X 24 JAM) Petunjuk Pengisian Record konsumsi dilakukan selama tiga hari berturut-turut, yaitu hari pertama, hari kedua, dan hari ketiga. Kolom yang diisi hanya nama makanan, URT (Ukuran Rumah Tangga), dan asal saja. Pengisian data konsumsi makanan dapat berupa makanan utama seperti nasi, lauk, sayur, buah, dll. Juga berupa makanan selingan seperti kue, biskuit, es campur, es kelapa, kolak, dll. Jenis makanan apapun yang dikonsumsi pada hari tersebut dicatat selengkap-lengkapnya, baik jenis masakan. CONTOH : Jenis Jumlah dimakan Waktu Nama Makanan Bahan Asal Kode URT Gram Makanan Nasi 1 prg Pemasakan Pagi Ikan mas goreng 1 ptg Pemasakan Tempe bacem 1 ptg sdg Pemasakan Nasi 1 prg Pemasakan Siang Ayam bumbu kecap 1 ptg Pembelian bag paha Nasi 2 bh Pemasakan Malam Sate ayam 10 tsk Pembelian Jus tomat 1 gls Pemberian 1 prg Pemasakan Selingan Bubur kacang hijau
Keterangan: bh = buah bj = biji btg = batang btr = butir bsr = besar gls = gelas
kcl ptg sdg sdm sdt tsk
= kecil = potong = sedang = sendok makan = sendok teh = tusuk
Hari ke-1 (Hari/Tanggal………………………………) Jenis Jumlah Dimakan Nama Waktu Bahan URT Gram Makanan Makanan
Pagi
Siang
Malam
Selingan
Suplemen
Asal
Kode
93 Lampiran 2. Data Karakteristik Contoh No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 19 31 30
Usia
JK
42 132 90 112 72 88 130 88 120 88 112 72 57 125 118 61 146 123 124 179 103 115 97 153 71 107 132 91 83 62 61
L P L P L P L L L L L L L L L L L L P L L L L L L L L P L L P
Usia anak disapih 12 28 14 20 8 2 26 0.5 22 20 8 25 28 19 12 20 6 18 4 27 19 48 24 1 6 11 24 34 12 0 6
Usia anak diberi ASI eksklusif 0 6 0 4 6 2 6 0 6 6 0 0 4 6 6 4 6 0 4 6 6 6 6 1 6 6 4 8 0 0 6
Urutan kelahiran sulung sulung sulung sulung bungsu tunggal bungsu bungsu bungsu sulung sulung bungsu tengah tengah bungsu bungsu tengah sulung bungsu tengah tunggal tunggal bungsu sulung bungsu sulung sulung sulung bungsu sulung tunggal
Usia awal asd 36 18 18 24 12 24 24 30 36 31 8 30 24 38 18 24 12 12 12 36 36 36 12 60 30 30 24 9 24 32 36
Usia awal terapi 42 36 18 48 12 48 31 58 84 30 24 30 24 36 54 26 48 12 36 60 14 36 36 60 30 36 32 20 36 32 36
94 Lampiran 3. Data Karakteristik Keluarga Usia Besar Kategori ayah keluarga keluarga (th) 8 luas 31 4 inti 36 5 inti 36 6 luas 37 4 inti 51 3 inti 41 4 inti 42 6 luas 28 7 luas 52 4 inti 38 5 luas 40 4 inti 36 5 inti 36 7 luas 42 6 inti 48
Usia ibu
Pendidikan ayah
Pendidikan ibu
29 35 36 34 45 37 37 27 46 31 40 34 33 42 46
SMA SMA PT SMA PT PT SMA SMA PT SMA PT SMA PT PT PT
SMA PT PT SMA PT PT PT SMA PT SMA PT SMA PT PT PT
4
inti
39
35
SMA
SMP
5 5
inti inti
51 42
47 35
PT SMA
SMA SMA
4
luas
40
33
PT
PT
5 8 4 3 5 7 4 8 4 4 6 5
inti luas luas inti inti luas inti luas inti inti inti luas
49 52 34 43 51 43 42 45 37 40 54 40
45 45 34 42 41 37 38 40 36 37 50 31
SMA PT PT PT PT SMA PT SMA PT PT PT PT
SMA SMA PT PT PT SMA PT SMA PT PT PT PT
Pekerjaan ayah
Pekerjaan ibu
wiraswasta IRT wiraswasta IRT pegawai PNS wiraswasta IRT wiraswasta wiraswasta wiraswasta IRT pegawai IRT wiraswasta IRT PNS PNS pegawai IRT TNI IRT pegawai IRT pegawai IRT wiraswasta PNS PNS PNS pegawai IRT swasta wiraswasta IRT wiraswasta IRT pegawai pegawai swasta tidak wiraswasta PNS IRT wiraswasta IRT pegawai IRT PNS IRT pegawai IRT pegawai IRT PNS IRT pegawai IRT pegawai IRT wiraswasta pegawai pegawai IRT
95 Lampiran 4. Status gizi dan kesehatan anak ASD Status Gizi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
BB/U
TB/U
BB/TB
-0.39 0.37 0.71 1.81 -0.22 1.87 0.05 -0.15 3.62 1.85 1.14 3.14 -0.19 0.35 -2.02 -1.43 0.33 -1.88 -0.32 0.09 4.63 6.69 -0.47 1.94 3.27 0.45 -1.11 3.18 3.06 -0.50 -0.52
0.48 -1.11 -0.64 2.06 0.18 0.61 -0.05 -1.06 1.72 0.67 0.19 1.41 1.27 -1.86 -0.10 -0.74 2.00 -1.92 0.24 -2.09 -0.07 2.73 -1.22 -0.27 1.14 -0.33 -0.84 0.40 -0.34 -1.24 0.43
-0.71 1.49 1.76 1.89 -0.50 1.94 0.09 0.78 3.43 1.81 1.58 2.29 -1.29 3.06 -3.11 0.23 1.16 -1.00 -0.63 3.00 12.57 4.28 0.70 3.33 6.93 0.90 -0.70 4.28 5.54 0.52 -0.69
Status Kesehatan Frekuensi sakit Lama sakit (kali) (hari) 2 17 1 3 5 13 0 0 0 0 0 0 2 2 1 4 0 0 0 0 1 3 1 7 3 6 0 0 1 7 1 30 0 0 2 4 1 14 1 7 3 61 0 0 0 0 0 0 4 14 6 11 3 4 2 14 0 0 2 6 1 3
96 Lampiran 5. Data konsumsi pangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Energi (Kal) 1738.2 2110.9 1584.7 2844 1769.2 1702.1 2360.3 2652.9 3006.3 1739.7 1835.6 2085.1 1741.5 2225.9 1460.8 1326.2 1587.3 1426.6 1666.9 1466.6 3329.8 2939.2 1430.1 1502.3 3005.7 2034.6 1957.6 2241.9 1942.5 1565.3 1621
Protein (g) 48.9 91.3 51.5 89.4 56.8 58 108.4 70 98 54 96.2 72.2 52.7 120.6 43.8 46.4 66.7 42.6 48.4 45.4 101 104.7 53.9 68.3 99 81.8 59.1 124.7 53.7 66.5 55.7
Kalsium (mg) 675.2 1660.3 561.1 569.2 390.3 325.9 1909.9 331.9 437.5 298.6 1877.8 905 234.6 1847.1 293.3 480.4 562 462.6 687.4 723.5 1414.3 671.5 1578 1010.8 2824.5 1019.4 515.8 662.4 496.2 847.5 809.5
Besi (mg) 13.4 38 13.3 16.6 6.1 10.6 36.1 13.8 25.1 11.6 31.2 21.7 15.6 55.2 8.7 10.3 21.6 12.9 14.6 14.9 18.4 23.1 28 20.8 34.9 26.2 12.9 43.5 13.5 19.3 19.7
Vit A (RE) 891.9 350.8 1370 1541.6 174.7 775.5 434.2 458.5 1003.3 933.1 326.5 731.3 739.6 778 581.3 831.6 921.6 1499.7 367.5 804.8 604.3 618.2 549.6 1137.5 795.2 784.6 634.8 2690.7 597 1401.1 720.7
Vit C (mg) 7.7 52.1 60.9 47 60.6 45.7 12.6 18.4 106.2 4.2 12 29.9 29.2 43.9 54.9 25.8 86 177.1 4 49.2 179.4 146.2 31.3 43.1 14.5 69.5 87.5 87.1 3.6 29.2 53.8
97 Lampiran 6. Hasil uji korelasi spearman Hubungan antara usia responden dan perkembangan ASD usia responden Spearman's rho
usia responden Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Perkembangan
1.000
.008
. 31
.965 31
Hubungan antara jenis kelamin dan perkembangan ASD Jenis kelamin
Perkembangan Spearman's rho
perkembangan ASD
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
1.000
.123
. 31
.511 31
Hubungan usia anak diberi ASI eksklusif dan usia terdeteksi ASD usia anak diberi ASI ekslusif Spearman's rho
usia anak diberi ASI ekslusif
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
usia terdeteksi ASD
1.000
.039
.
.836
31
31
Hubungan antara usia disapih dan usia awal terdeteksi ASD usia terdeteksi ASD Spearman's rho
usia terdeteksi ASD
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
usia anak disapih
1.000
-.037
. 31
.843 31
Hubungan usia responden dengan status gizi indeks BB/TB umur responden Correlation 1.000 Coefficient Sig. (2-tailed) . N 31 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Spearman's rho
umur responden
BB/TB .467(**) .008 31
98 Hubungan antar usia anak diberi ASI eksklusif dan lama sakit usia anak diberi ASI ekslusif
lama sakit Spearman's rho
lama sakit
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
1.000
-.459(**)
. 31
.009 31
Hubungan pengasuhan makan dan pendapatan total pengasuhan makan Spearman's rho
pengasuhan makan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
pendapatan total
1.000
.362(*)
. 31
.045 31
Hubungan antara pengasuhan makan dan status gizi pengasuhan makan Spearman's rho
Pengasuhan makan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
1.000 . 31
BB/ U .117 .532 31
TB/ U
BB/ TB .219 .231 .238 .212 31 31
Hubungan antara pengasuhan hidup sehat dan status kesehatan Pengasuhan sehat Spearman's rho
pengasuhan sehat
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
frekuensi sakit
Lama sakit
1.000
.151
.091
. 31
.419 31
.626 31