PENGARUH VARIASI PERLAKUAN PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA TEPUNG DAUN KELOR (Moringae oleifera Lamk)
KARYA TULIS ILMIAH
OLEH PUTRI AMALIA SAHAR NIM 10.045
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG Juli 2013
PENGARUH VARIASI PERLAKUAN PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA TEPUNG DAUN KELOR (Moringae oleifera Lamk)
KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Kepada Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program D III bidang Analis Farmasi dan Makanan
OLEH PUTRI AMALIA SAHAR NIM 10.045
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN YAYASAN PUTRA INDONESIA MALANG Juli 2013
Lembar Persembahan Gubahan hamdalah tiada henti kepada Allah SWT, dzat yang Rahmat dan RidloNya selalu kami damba setiap masa. Lantunan Sholawat teruntuk habibanaa Muhammad SAW yang syafaat dan perjumpaan dengannya menjadi cita-cita. Kepada Orang tua saya yang selalu menjadi lentera, terimakasih untuk segalagalanya. Kepada Almukarrom Murobbi Rukhinaa KH. Masduqie Mahfudz dan Umi Chasinah Chamzawi beserta nawa ning dan gawa gus yang mendidik jiwaku dengan cahaya Kepada seluruh asatidz dimanapun berada yang senantiasa beriyadloh dan berjuang memberi kami kepahaman. Kepada semua guru selama menempuh pendidikan akademik hingga ditingkat perguruan tinggi, wa bil khusus kepada Ibu Fitri Eka Lestari yang dengan sabar dan senyuman membimbing saya hingga purna KTI ini. Kepada seluruh warga bumi rahmat dan bumi sholawat, PPPSSNH MergosonoMalang yang tidak pernah saya sangka akan menjadi bagian dari semua kenikmatan luar biasa bertolabul ilmi karenaNya. wa bil khusus kepada teman seperjuangan Kelas Lillahita’alaa, PH Putri 20112013, keluarga besar TPQ Al-ikhlas, keluarga besar Quds 2013, yang tersayang dek pit dan mbak Ami. Serta, seluruh santri putri yang membawa cerita luar biasa tiap perjumpaan dengan masing-masing dari kalian. Kepada keluarga besar AKAFARMA, wa bil khusus AKAFARMA ‘10 kebersamaan yang tak terlupakan, cak yan, dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Special thanks to Pak Erik Widiarto, S.Si tiada henti saya haturkan terimakasih atas segalanya pak, semoga rahmat dan ridloNya selalu menyertai Pak Erik dan keluarga. Terakhir, kepada beliau dan bapaknya, yang atas Izin-Nyalah dipertemukan dengan saya untuk berlatih Tawakkal atas kehendakNya. Sekali lagi Terimakasih. Pesan untuk saya pribadi dan semuanya :
Kebahagiaan Sejati adalah Ketika Merasa Ikhlas dan Ridlo atas Segala yang Allah berikan (Almukarrom KH. Masduqie Mahfudz) #Bersyukur
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah yang berjudul PENGARUH VARIASI PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIK DAUN KELOR (Moringae oleifera Lamk) Oleh PUTRI AMALIA SAHAR Telah diperiksa dan disetujui
Pembimbing,
Fitri Eka Lestari, S.Gz
PERLAKUAN
DAN KIMIA TEPUNG
ABSTRAK
Sahar, Putri Amalia. 2013. Pengaruh Variasi Perlakuan Pengeringan Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tepung Daun Kelor (Moringae Oleifera Lamk). Akademi Analis farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang, Dosen pembimbing : Fitri Eka Lestari, S.Gz Kata Kunci : anemia, tepung daun kelor (Moringae oleifera Lamk), pengeringan. Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat. Penyebab utama anemia adalah karena rendahnya jumlah dan kualitas zat besi yang dikonsumsi, serta kurang adanya zat pelancar antara lain protein dan vitamin C. Salah satu tumbuhan yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi adalah kelor (Moringa oleifera Lamk) yang mempunyai kandungan Fe, protein dan Vitamin C yang tinggi. Daun kelor berpotensi sebagai bahan baku pangan fungsional salah satunya dalam bentuk tepung. Penelitian ini bertujuan mengetahui proses pembuatan tepung daun kelor dengan nilai nutrisi yang optimal untuk mengatasi anemia, serta adanya pengaruh perlakuan terhadap sifat fisik dan kimia tepung daun kelor yang akan dihasilkan. Variasi perlakuan adalah dengan pengeringan oven 60̊ C, pengeringan suhu ruang, serta pengeringan oven yang didahului dengan proses blanching. Parameter sifat fisik yang diuji antara lain bau, rasa, warna, dan tekstur. Pengujian sifat kimianya meliputi kadar air, kadar abu, kadar zat besi (Fe), kadar protein, dan kadar vitamin C. Perlakuan yang memberikan hasil terbaik yaitu perlakuan dengan pengeringan suhu ruang antara lain berbentuk serbuk halus, berwarna hijau, berbau khas kelor dan tidak berasa. Perlakuan tersebut juga memberikan pengaruh pada sifat kimia tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk) yaitu menghasilkan zat besi sebesar 369,76 mg/Kg dan vitamin C sebesar 39,82%. Sedangkan kadar protein didapatkan hasil terbaik pada blanching kemudian dikeringkan dengan oven sebesar 7,36 %.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan taufik serta hidayah-Nya sehingga dalam penulisan karya ilmiah ini penulis tidak mengalami hambatan yang berarti sampai terselesaikannya karya ilmiah yang diberi judul “PENGARUH VARIASI PERLAKUAN PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA TEPUNG DAUN KELOR (Moringae oleifera Lamk)”. Dalam kesempatan ini pula, dalam penulisan karya ilmiah ini penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya penulis juga ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Kedua orang tua saya yang selalu memberikan dukungan kepada saya baik itu dukungan berupa moril dan juga dukungan materil. 2. Bapak Hendik Krisna Dani, S.Si selaku Direktur AKAFARMA PI-M 3. Ibu Fitri Eka Lestari, S.Gz selaku Dosen Pembimbing KTI yang telah memberikan arahan, dan masukan baik dalam pembuatan karya ilmiah ini maupun dalam bidang lainnya. 4. Teman-teman seperjuangan yang juga selalu memberikan motivasi. 5. Pihak-pihak terkait lainnya yang juga turut membantu dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini. Penulis menyadari tidak manusia yang sempurna begitu juga dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, apabila nantinya terdapat kekurangan, kesalahan dalam karya tulis ilmiah ini, penulis sangat berharap kepada seluruh pihak agar dapat memberikan kritik dan juga sarannya. Akhir kata semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Malang, Juli 2013
Penulis ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK..................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................. iii DAFTAR TABEL ......................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 4 1.4 Kegunaan Penelitian ......................................................................... 5 1.5 Asumsi Penelitian ............................................................................. 5 1.6 Ruang lingkup .................................................................................. 6 1.7 Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 6 1.8 Definisi Istilah .................................................................................. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9 2.1
Anemia ......................................................................................... 9
2.2
Zat Besi......................................................................................... 10
2.3
Protein........................................................................................... 16
2.4
Vitamin C ..................................................................................... 20
2.5
Tanaman Kelor .............................................................................. 22
2.6
Proses Pengolahan ......................................................................... 24
2.7
Kerangka Teori ............................................................................. 28
2.8
Hipotesis ...................................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 30 3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................... 30 3.2 Populasi dan Sampel ....................................................................... 30
iii
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 31 3.4 Definisi Operasional Variabel ......................................................... 31 3.5 Instrumen Penelitian ....................................................................... 32 3.6 Pengumpulan data ........................................................................... 32 3.7 Analisis Sifat Fisik dan Kimia ........................................................ 33 3.8 Analisis Data................................................................................... 36 BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 37 4.1 Determinasi Tanaman .................................................................... 37 4.2 Hasil Rendemen Tepung Daun Kelor dengan Variasi Perlakuan ...... 37 4.3 Hasil Pengujian Sifat Fisik Tepung Daun Kelor .............................. 38 4.4 Hasil Pengujian Sifat Kimia Tepung Daun Kelor ............................ 39 BAB V PEMBAHASAN ............................................................................... 44 BAB VI PENUTUP ....................................................................................... 48 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 48 6.2 Saran............................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 49 LAMPIRAN .................................................................................................. 51
iv
DAFTAR TABEL
Table
Teks
Halaman
Tabel 2.1 Kecukupan Zat Besi yang Dianjurkan untuk Indonesia ................ 13 Table 2.2 Unsur Penyusun Protein ................................................................. 16 Tabel 2.3 Kandungan Tanaman Kelor Segar dalam 100 g ............................... 23 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel .......................................................... 31 Tabel 4.1 Hasil Rata-rata Rendemen (%) Teung Daun Kelor ........................... 37 Tabel 4.2 Hasil Pengujian Sifat Fisik Tepung daun Kelor................................ 38 Tabel 4.3 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Air Tepung Daun Kelor ................... 39 Tabel 4.4 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Abu Tepung Daun Kelor ................. 40 Tabel 4.5 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Fe Tepung Daun Kelor .................... 40 Tabel 4.6 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Protein Tepung Daun Kelor ............. 41 Tabel 4.7 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Vitamin C Tepung Daun Kelor ........ 42
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Teks
Halaman
Gambar 2.1 Tanaman Kelor ............................................................................ 23 Gambar 2.2 Diagram Kerangka Teori ............................................................. 28 Gambar 4.1 Grafik Rendemen (%) Tepung Daun Kelor .................................. 38 Gambar 4.2 Grafik Kadar Air (%) Tepung Daun Kelor ................................... 39 Gambar 4.3 Grafik Kadar Abu (%) Tepung Daun Kelor .................................. 40 Gambar 4.4 Grafik Kadar Fe (%) Tepung Daun Kelor .................................... 41 Gambar 4.5 Grafik Kadar Protein (%) Tepung Daun Kelor ............................. 42 Gambar 4.6 Grafik Kadar Vitamin C (%) Tepung Daun Kelor ........................ 43
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Teks
Halaman
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman Kelor ............................................... 51 Lampiran 2. Hasil Pembuatan Tepung Daun Kelor .......................................... 52 Lampiran 3. Hasil Analisis Kadar Air ............................................................ 53 Lampiran 4. Hasil Analisis Kadar Abu ............................................................ 54 Lampiran 5. Hasil Analisis Kadar Fe menggunakan ICP ................................. 55 Lampiran 6. Hasil Analisis Kadar Fe dengan Uji Regresi Linier ...................... 56 Lampiran 7.Hasil Analisis Kadar Protein ........................................................ 57 Lampiran 8. Hasil Analisis Kadar Protein dengan Uji Regresi Linier .............. 58 Lampiran 9. Hasil Analisis Kadar Vitamin C .................................................. 59 Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian ............................................................. 60
vii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Anemia dapat menyebabkan lekas lelah, konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kirana, 2011). Di tingkat nasional, prevalensi anemia masih cukup tinggi. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2005, menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil 50,9%, ibu nifas 45,1%, remaja putri usia 10-14 tahun 57,1% dan pada wanita usia subur (WUS) usia 17-45 tahun sebesar 39,5% (Dinkes, 2002). Penyebab utama anemia adalah karena rendahnya kadar hemoglobin yang disebabkan
jumlah dan kualitas zat besi yang dikonsumsi, serta
adanya zat pelancar dan zat penghambat penyerapan zat besi dalam tubuh (Almatsier, 2001). Sintesis hemoglobin yang optimal memerlukan ketersediaan besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Protein berperan dalam pengangkutan besi ke sumsum tulang untuk membentuk molekul hemoglobin yang baru. . Selain protein, absorpsi besi yang efektif dan efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C.
1
2
Vitamin C berfungsi sebagai promotor terhadap absorpsi besi dengan cara mereduksi besi ferri menjadi ferro (Kirana, 2011). Upaya penanggulangan yang banyak dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah anemia adalah dengan menjalankan suplementasi dan fortifikasi zat besi. Suplementasi zat besi diberikan dalam bentuk tablet. Pemberian tablet besi per oral memiliki efek samping yaitu mual dan konstipasi.
Disamping
itu
tingkat
kepatuhan
anak-anak
untuk
mengkonsumsi suplemen dalam bentuk tablet lebih rendah karena anakanak mengidentikkan suplemen dengan obat yang memiliki rasa pahit atau tidak enak, sehingga pencapaian suplementasi tidak optimal. (Yuniarti, 2011) Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan yang berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber obat dan gizi. Salah satu diantaranya adalah kelor (Moringa oleifera Lamk). Kelor selama ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai pagar tanaman atau tanaman pembatas ladang oleh masyarakat Indonesia di daerah pedesaan. Akan tetapi, menurut Zakaria dkk (2011) kelor merupakan tanaman berkhasiat sejati (miracle tree), artinya tanaman ini bisa dimanfaatkan dari akar, batang, buah dan daun serta mengandung gizi tinggi. Berdasarkan penelitian Lowell Fuglie seorang warga negara Prancis yang pertama kali meneliti kandungan gizi daun kelor menyatakan daun kelor sama sekali tidak mengandung zat berbahaya meskipun mengandung zat yang berasa pahit. Dalam daun kelor segar memiliki zat besi, protein, dan vitamin C yang tinggi. Hal inilah yang menjadikan daun kelor sebagai
3
bahan baku yang berpotensi untuk dijadikan pangan fungsional untuk mengatasi masalah anemia. Salah satunya, kelor dapat diubah dalam bentuk tepung yang dapat bertahan
selama beberapa bulan tanpa pendinginan
(Zakaria et al, 2011). Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), ditambah zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000). Dalam pembuatan tepung, pengeringan merupakan suatu proses yang sangat penting karena tepung merupakan bahan pangan yang memiliki kadar air lebih rendah jika dibandingkan dengan bahan dasarnya. Proses pengeringan dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan, seperti aktivitas enzim dan mikroba. Namun selama proses pengeringan juga berpotensi terjadi kerusakan zat gizi dan faktor-faktor yang menentukan mutu bahan pangan (Desti dkk, 2012). Terdapat beberapa perlakuan yang bertujuan untuk mendapatkan tepung dengan yang memiliki sifat fisik dan kimia yang baik antara lain pengeringan suhu ruang, pengeringan dengan oven dan blanching oven. Dimana perlakuan yang berbeda tersebut pada prinsipnya dilakukan untuk mengurangi kadar air dan mencegah reaksi enzimatis yang terdapat pada tanaman. Hal ini dikarenakan daun kelor merupakan tanaman yang memiliki berbagai kandungan fitiokimia serta interaksinya terhadap pengolahan dengan panas. Sehingga, berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh variasi perlakuan dalam pembuatan tepung daun
4
kelor (Moringa oleifera Lamk) antara lain pengeringan suhu ruang, oven, dan blanching terhadap sifat fisik dan kimianya.
1.2 Rumusan Masalah Pemanfaatan daun kelor yang kaya nutrisi masih sedikit dan sangat terbatas. Padahal daun kelor rmemiliki potensi sangat besar sebagai bahan baku pangan fungsional berupa tepung. Dalam penelitian ini didapatkan beberapa rumusan masalah, yaitu : 1.2.1 Apakah terdapat pengaruh variasi perlakuan pengeringan terhadap sifat fisik tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk)? 1.2.2 Apakah terdapat pengaruh variasi perlakuan pengeringan terhadap sifat kimia tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk) ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Mengetahui pengaruh variasi perlakuan pengeringan terhadap sifat fisik tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk) 1.3.2 Mengetahui pengaruh variasi perlakuan perngeringan terhadap sifat kimia tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk) .
5
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Peneliti Digunakan sebagai aplikasi ilmu analisa farmasi dan makanan yang telah didapat dengan memanfaatkan daun kelor (Moringa oleifera Lamk) dalam bentuk tepung. Serta mengetahui pengaruh perlakuan terhadap sifat fisik dan kimia tepung daun kelor yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan baku produk pangan olahan untuk mengatasi masalah anemia. 1.4.2 Institusi Digunakan sebagai tambahan wawasan pengetahuan di bidang diversifikasi bahan pangan. Serta, potensi tepung daun kelor yang dapat sebagai pangan fungsional mengatasai masalah anemia dengan memenuhi kebutuhan zat besi dan zat pendukungnya yaitu protein dan vitamin C. 1.4.3 Masyarakat Digunakan sebagai informasi penting dalam mengatasi masalah anemia dengan memanfaatkan daun kelor (Moringa oleifera) dalam bentuk tepung sebagai bahan baku pembuatan produk pangan fungsional.
1.5 Asumsi Penelitian Daun kelor dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pangan olahan dalam bentuk tepung daun kelor.
6
1.6 Ruang lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pembuatan tepung daun kelor melalui variasi perlakuan antara lain pengeringan suhu ruang, pengeringan oven, dan blanching-oven. Dalam penelitian ini, daun kelor yang digunakan adalah daun kelor segar (Moringa oleifera Lamk). Kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui sifat fisiknya meliputi warna, bau, rasa, dan teksturnya. Serta analisis sifat kimianya meliputi kadar zar besi dan zat pendukungnya yaitu protein dan vitamin C. Hal ini dilakukan mengingat variasi perlakuan
dapat mempengaruhi kadarnya.
Sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat terhadap sifat fisik dan kimia tepung daun kelor yang dihasilkan dari tiga perlakuan yang berbeda.
1.7 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini tidak dilakukan sejauh mana tepung daun kelor setelah diolah sebagai produk olahan dalam meningkatkan kadar hemoglobin penderita anemia dengan mengkonsumsi produk pangan olahan berbahan baku tepung daun kelor. Selain itu daun kelor yang digunakan terbatas pada daun kelor jenis Moringa oleifera Lamk. yang terdapat di daerah Pasuruan, Jawa Timur. Pengujian sifat fisik tepung daun kelor hanya meliputi organoleptis dan sifat kimianya meliputi kadar air, kadar abu, kadar Fe, kadar protein dan kadar vitamin C
7
1.8 Definisi Istilah 1.8.1 Anemia adalah keadaan di mana terjadi penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) yang ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit (red cell count) (Kirana, 2011). 1.8.2 Tepung daun kelor adalah tepung halus dari daun kelor yang didapatkan dengan beberapa cara. 1.8.3 Pengolahan pangan adalah setiap perlakuan yang diterima pangan sejak dipanen hingga dikonsumsi (Nirbaya, 2012). 1.8.4 Pemanggangan (oven) adalah pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga produknya dapat lebih diterima oleh konsumen (Estiasih dan Ahmadi, 2009). 1.8.5 Blanching adalah proses pemanasan suhu sedang dengan tujuan inaktivasi enzim-enzim oksidatif dalam buah dan sayuran sebelum diolah lebih lanjut seperti pengalengan, pembekuan, dan pengeringan (Estasih dan Ahmadi, 2009). 1.8.6 Pengeringan Suhu Ruang (P1) adalah perlakuan yang diberikan terhadap daun kelor sebagai upaya untuk mengeringkannya dengan melayukannya secara alami pada suhu ruang, kemudian mengubahnya dalam bentuk tepung. 1.8.7 Pengeringan dengan Oven (P2) adalah perlakuan yang diberikan terhadap daun kelor sebagai upaya untuk mengringkannya dengan memanaskan pada oven suhu 60oC, kemudian mengubahnya dalam bentuk tepung.
8
1.8.8 Blanching kemudian pengeringan dengan oven (P3) adalah perlakuan yang diberikan terhadap daun kelor sebelum dikeringkan dengan oven, di-blanching terlebih dahulu pada suhu 80oC selama 10 menit.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia Anemia adalah keadaan di mana terjadi penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) yang ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit (red cell count) . Sintesis hemoglobin memerlukan ketersediaan besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Keanekaragaman konsumsi makanan berperan penting dalam membantu meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh. Protein berperan dalam pengangkutan besi ke sumsum tulang untuk membentuk molekul hemoglobin yang baru. Selain itu, absorpsi besi yang efektif dan efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C. Sifat yang dimiliki vitamin C adalah sebagai promotor terhadap absorpsi besi dengan cara mereduksi besi ferri menjadi ferro. (Kirana, 2011). Anemia dapat menyebabkan lekas lelah, konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Di samping itu juga menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi. Prevalensi anemia yang tinggi dikalangan remaja jika tidak tertangani dengan baik akan berlanjut hingga dewasa dan berkontribusi besar terhadap angka kematian ibu, bayi lahir prematur, dan bayi dengan berat lahir rendah. Anemia zat besi ini banyak diderita oleh wanita hamil, laki –laki dewasa, pekerja penghasilan rendah, balita dan anak sekolah. Pada remaja putri, anemia gizi besi dapat mengurangi kemampuan belajar, sehinggga dapat menurunkan prestasi di sekolah. Dalam kondisi anemia, tubuh mudah terkena infeksi. Keadaan ini tentunya dapat menghambat perkembangan kualitas sumber daya manusia (Depkes ,1995). Kasus anemia di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh rendahnya asupan zat besi atau Fe dalam tubuh. Hal ini karena masyarakat
9
10
Indonesia khususnya wanita kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani sebagai salah satu sumber zat besi yang mudah diserap (heme iron). Sedangkan bahan makanan nabati (non-heme iron) merupakan sumber zat besi yang tinggi tetapi sulit diserap, sehingga dibutuhkan porsi yang besar untuk mencukupi kebutuhan zat besi dalam seharinya. Anemia gizi karena kekurangan zat besi masih merupakan masalah gizi utama yang banyak menimpa kelompok rawan yaitu ibu hamil, anak balita, wanita usia subur (WUS) dan pekerja berpenghasilan rendah.
2.2 Zat Besi Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g di dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi essensial di dalam tubuh sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut electron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai rekasi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi, termasuk Indonesia. Kekurangan besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui berpemngaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif, dan system kekebalan (Almatsier, 2004).
2.2.1 Sifat Kimia Sifat kimia zat besi antara lain mudah teroksidasi dari bentuk fero menjadi feri sehingga menyebabkan perubahan warna menjadi kuning, hijau atau kehitaman. Kedua, mudah bereaksi dengan senyawa fenol, seperti tanin dan propil galat sehingga menyebabkan warna kehitam-hitaman. Ketiga, dapat bereaksi dengan belerang membentuk warna hitam. Keempat, dapat meningkatkan aktivitas enzim oksidatif sehingga menyebabkan perubahan warna, aroma dan rasa. Serta, dapat mengkatalisis reaksi oksidatif pada umumnya (Palupi, 2008).
11
2.2.2 Stabilitas Zat Besi Selama Pengolahan dan Penyimpanan Secara umum mineral lebih tahan terhadap proses pengolahan dan selama penyimpanan dibandingkan dengan vitamin. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kerusakan zat besi antara lain panas, udara, cahaya dan kelembaban, khususnya untuk tembaga, besi dan seng. Stabilitas zat besi tergantung dari beberapa faktor diantaranya adalah sifat alami bahan pembawa, ukuran partikel serta paparan terhadap panas, kelembaban dan udara. Pada kondisi yang tidak menguntungkan, fero sulfat dapat menghasilkan citarasa, ketengikan serta perubahan bau dan warna yang tidak dikehendaki. Elemen besi sebagai zat besi tereduksi atau elektrolitik mempunyai
stabilitas
yang
baik
selama
proses
pengolahan
dan
penyimpanan sehingga baik digunakan untuk produk yang mempunyai umur simpan panjang. Selain itu, zat besi dapat mengkatalisis proses oksidasi vitamin A dan C. Selain itu, selama proses pengolahan juga dapat terjadi penurunan bioavalabilitas zat besi yang mencerminkan ketersediaannya untuk dimanfaatkan oleh tubuh. Pada umumnya bioavalabilitas zat besi dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) komponen dalam bahan pangan yang secara kimia dapat mengikat mineral, misalnya oksalat dalam sayur bayam; (2) bentuk kimia mineral, misalnya besi sulfat lebih tersedia dibandingkan elemen besi; (3) interaksi dengan mineral yang lain, misalnya tingginya seng akan menurunkan penyerapan zat besi dan tembaga; (4) adanya vitamin akan meningkatkan bioavalabilitas zat besi, misalnya vitamin C meningkatkan penyerapan zat besi, vitamin D meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor dan magnesium; dan (5) mineral yang berasal dari bahan hewani lebih baik diserap dibandingkan dengan yang berasal dari bahan nabati, misalnya tanaman banyak mengandung senyawa fitat (Palupi, 2008).
2.2.3 Fungsi Besi Dalam keadaan tereduksi besi kehilangan dua electron, oleh karena itu mempunyai dua sisi muatan positif. Besi dalam bentuk dua ion bermuatan
12
positif ini adalah bentuk fero (Fe2+). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga electron, sehingga mempunyai tiga sisi positif dalam bentuk feri (Fe3+). Karena dapat berada dalam dua bentuk ion ini, besi berperan dalam proses respirasi sel, yaitu sebagai kofaktor enzim-enzim yang terlibat dalam proses reaksi okisdasi reduksi. Zat besi bekerja sama dengan rantai protein -pengangkut- electron, yang berperan dalam langkah-langkah akhir metabolisme energi di dalam sel. Protein ini memindahkan hydrogen dan electron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen, sehingga membentuk air. Dalam proses tersebut dihasilkan ATP. Sebagian besar besi berada di dalam hemoglobin, yaitu molekul protein mengandung besi dari sel darah merah dan mioglobin di dalam otot. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon dioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen : menerima, menyimpan, dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin. Selebihnya terdapat di dalam mioglobin dan protein lain yang mengandung besi. Menurunnya produktivitas kerja pada kekurangan besi disebabkanoleh dua hal, yaitu (a) berkurangnya enzim-enzim yang terlibat dalam metobolisme energy ; (b) menurunnya hemoglobin darah. Akibatnya, metabolism energy di dalam otot terganggu dan terjadi penumpukan asam laktat yang menyebabkan rasa lelah (Almatsier, 2004).
2.2.4 Hubungan Antara Asupan Zat Besi dengan Kejadian Anemia Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor utama pembentuk hemoglobin. Hampir semua jenis anemia pada umumnya disebabkan kekurangan zat besi. Hal ini dapat menimbulkan kurangnya konsentrasi hemoglobin dan jumlah serta besarnya sel darah merah. Anemia tipe ini disebabkan karena kurangnya zat besi yang dimakan, absorpsi zat besi yang kurang baik dalam intestine, atau kenaikan kebutuhan zat besi seperti pada saat menstruasi, pertumbuhan, dan kehamilan. Keterkaitan zat besi dengan kadar hemoglobin dapat dijelaskan bahwa besi merupakan
13
komponen utama yang memegang peranan penting dalam pembentukan darah (hemopoiesis), yaitu mensintesis hemoglobin. Kelebihan besi disimpan sebagai protein feritin, hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan selebihnya di dalam limpa dan otot. Apabila simpanan besi cukup, maka kebutuhan untuk pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Namun, apabila jumlah simpanan zat besi berkurang dan jumlah Keterkaitan zat besi dengan kadar hemoglobin dapat dijelaskan bahwa besi merupakan komponen utama yang memegang peranan penting dalam pembentukan darah (hemopoiesis), yaitu mensintesis hemoglobin. Kelebihan besi disimpan sebagai protein feritin, hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan selebihnya di dalam limpa dan otot. Apabila simpanan besi cukup, maka kebutuhan untuk pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Namun, apabila jumlah simpanan zat besi berkurang dan jumlah zat besi yang diperoleh dari makanan juga rendah, maka akan terjadi ketidakseimbangan zat besi dalam tubuh, akibatnya kadar hemoglobin menurun di bawah batas normal yang disebut sebagai anemia gizi besi. Anemia gizi besi ditunjukkan dengan kadar hemoglobin dan serum feritin yang turun di bawah nilai normal, serta naiknya transferin receptor (TfRs). Keadaan ini ditandai dengan warnal sel darah merah yang pucat (hipokromik) dan bentuk sel darah yang kecil (mikrositik) (Kirana, 2011). Tabel 2.1 Kecukupan Zat Besi yang Dianjurkan untuk Indonesia Kelompok Umur Bayi
Kecukupan Zat Besi (mg/hari) 3-5
Balita
8-9
Anak sekolah
10
Remaja laki-laki
14-17
Remaja perempuan
14-25
Dewasa laki-laki
13
Dewasa perempuan
14-26
Ibu hamil
+20
Ibu menyusui
+2
14
Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1998
2.2.5 Indoctuvity Couple Plasm (ICP) Dalam penentuan kadar mineral salah satunya zat besi maka digunakan suatu metode dengan metode Indoctuvity Couple Plasm (ICP). Metode ini adalah metode yang berdasarkan ion yang tereksitasi dan memancarkan sinar. Intensitas cahaya yang terpancar pada panjang gelombang tertentu dan mempunyai karakteristik unsur tertentu yang terukur berhubungan dengan konsentrasi dari tiap sampel. Inductively Couple Plasm (ICP) adalah induksi yang diperoleh dari arus bolak - balik pada frekuensi radio melalui kumparan yang berguna untuk mendeteksi kandungan logam dalam sampel dari lingkungan. Prinsip utama dari ICP adalah mendapatkan unsur – unsur yang memancarkan karakteristik cahaya pada panjang gelombang yang bisa diukur. Perangkat keras ICP dirancang untuk menghasilkan plasma, yang mana atom dalam berbentuk gas hadir dalam keadaan terionisasi. Susunan dasar dari ICP adalah terdiri dari 3 tabung yang terbuat dari silika. Tabung ini, yaitu : termed outer loop, intermediate loop, dan inner loop, yang bersama menyusun plasma ICP. Plasma diposisikan dalam water-cooled coil dari suatu frekuensi radio generator. Gas dialirkan dalam obor, frekuensi radio bidang diaktifkan, dan gas di daerah coil dibuat secara elektris. Urutan peristiwa ini membentuk plasma. Pembentukkan plasma bergantung pada cukup kuatnya intensitas medan magnet dan pola arus gas yang mengikuti pola putaran simetris tertentu. Plasma dijaga dengan induksi dari pengaliran gas. Komponen yang ada pada ICP adalah sebagai berikut. -
Sample introduction system (nebulizer), berfungsi untuk mengubah
sampel cairan dalam bentuk kabut -
Tabung penghasil nyala
15
-
High frequency generator, berfungsi untuk menghasilkan medan magnet
dan arus listrik -
Tansfer optic and spektrometer, sebagai detektor spektrum
-
Computer interface, sebagai pembaca sinyal dari detektor dan mengubah
dalam bentuk data digital Unsur yang akan dianalisa dengan ICP harus dalam bentuk larutan. Cahaya yang dipancarkan oleh atom dari unsur dalam ICP dikonversi menjadi sinyal elektrik yang dapat diukur jumlahnya. Hal ini terpenuhi dengan komponen radiasinya oleh kisi difraksi dan kemudian diukur intensitas cahayanya dengan tabung
photomultiplier pada panjang
gelombang yang spesifik untuk masing – masing garis unsur. Cahaya yang dipancarkan oleh atom atau ion yang di dalam ICP dikonversi ke isyarat elektrik oleh photomultiplier. Intensitas sinyal ini kemudian dibandingkan dengan intensitas yang telah diketahui, sehingga konsentrasi dapat dihitung. Masing-masing unsur akan mempunyai banyak panjang gelombang spesifik di dalam spektrum yang bisa digunakan untuk analisa. Kelebihan ICP dibanding AAS adalah lebih cepat dan efisien untuk sampel dan analit dalam jumlah yang relatif cukup banyak. Untuk sampel yang jumlahnya sedikit, misalnya satu hari 10 sampel dengan 3 elemen maka AAS lebih ekonomis, tetapi bila jumlah sampel banyak misalnya untuk satu hari 100 sampel dengan 10 elemen maka ICP lebih cepat dan ekonomis. Pada AAS elemen yang dianalisa diperiksa satu persatu, meskipun ada beberapa AAS yang mampu menganalisa 6 elemen sekaligus, sedangkan pada ICP yang simultan pada saat kita menganalisa 1 sampel maka semua elemen akan teranalisa. ICP menggunakan sistem OES (Optical Emision Spectrometer) tidak menggunakan lampu katoda dan menggunakan detektor dalam sistem multi detektor serta tidak ada moving mirror sehingga kecepatan ICP lebih cepat dibandingkan AAS. Untuk perbandingan sampel yang biasa dianalisa menggunakan Flame AAS selama 4 hari, maka dengan ICP hanya membutuhkan waktu 4 jam dalam analisis. (Agus dkk, 2012).
16
2.3 Protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan mikronutrien. Secara umum, sumber dari protein adalah dari sumber nabati dan hewani. Protein sangat penting bagi kehidupan organisme pada umumnya, karena ia berfungsi untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak dan suplai nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Proetin banyak terkandung di dalam makanan yang sering dikonsumsi oleh manusia. Seperti pada tempe, tahu, ikan dan lain sebagainya. Senyawa protein dalam biomolekul berperan sebagai unsur nucleoprotein (dalam kromosom) yang merupakan cetakan (blueprint) dalam proses keturunan ; sebagai enzim-enzim yang memacu reaksi-reaksi proses kehidupan ; sebagai hormon ; sebagai sarana kontraksi otot, flagella dan cilia ; dan sebagai antibody yaitu senyawa dalam system pertahanan tubuh (imunitas) terhadap serangan penyakit atau inverse benda asing ( Sudarmadji, 1989). 2.3.1 Struktur dan Sifat Protein Karena molekulnya yang besar maka protein mudah sekali mengalami perubahan bentuk fisis ataupun aktivitas biologinya. Banyak angensia yang dapat menyebabkan perubahan sifat alamiah protein misalnya panas, asam, basa, solven organic, garam, logam berat, radiasi sinar radioaktif. Perubahan sifat fisis yang mudah diamati adalah terjadinya penjendalan (menjadi tidak larut) atau pemadatan. Apabila protein murni dianalisa unsur-unsur penyusunya, maka gambaran yang berikut ini umum dijumpai : Table 2.2 Unsur Penyusun Protein C O
50 - 55% 20 - 25%
N
15 - 18%
H
5 - 7%
S
0,4 - 2,5 %
P
Sedikit
Fe
Sedikit
17
Cu
Sedikit
Molekul protein sendiri merupakan rantai panjang yang tersusun oleh matarantai panjang yang tersusun oleh matarantai asam-asam amino ( Sudarmadji, 1989). 2.3.2 Kelarutan Menurut kelarutannya, protein globuler dapat dibagi dalam beberapa grup yaitu albumin, globulin, prolamin, histon, dan protamin. 1.
albumin : larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. contohnya:
albumin telur, albumin serum, adan laktabumin dalam susu 2.
globulin : tidak larut dalam air, terkoagulasi oleh panas, larut dalam
larutan garam encer, dan mengendap dalam larutan garam konsentrasi tinggi.Contoh globulin : miosinegen dalam otot, ovoglobulin dalam kuning telur, amandin dari buah almonds, legumin dari kacang-kacangan. 3.
Glutelin : tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut dalam asam
atau basa encer 4.
Prolamin dan Gliadin :larut dalam alcohol 70-80% dan tak larut
dalam air maupun alcohol absolute. 5.
Histon : larut dalam air dan tidak larut dalam ammonia encer.
Histon dapat mengendap dalam pelarut protein lainnya. Histon yang terkoagulasi karena pemanasan dapat larut lagi dalam larutan asam encer. contohnya : globin dan hemoglobin. 6.
Protamin adalah protein paling sederhana dibandingkan protein-
protein lain, tetapi lebih kompleks dari pepton dan peptide. protein ini larut dalam air dan tidak terkoagulasi oleh panas. 2.3.3 Asam Amino Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil (-COOH) dan satua tau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terletaka pada atom C tepat disebelah gugus karboksil (atau atom C alfa). Asam-asam amino yang berbeda-beda
(ada duapuluh jenis asam
amino dalam protein alamiah) bersambung melalui ikatan peptide yaitu
18
ikatan antara gugus karboksil satu asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang disampingnya. Dialam umumnya terdapat 20 jenis asam amino (untuk protein tertentu terdapat 25 jenis); ratusan atau bahkan ribuan unit asam-asam amino yang berbeda-beda ini menyusun molekul protein, oleh sebab itu secara matematis, jenis protein dialam ini dapat dikatakan takterhingga jenisnya ( Sudarmadji, 1989). 2.3.4 Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi protein Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya.
Secara umum
pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi. Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan.
Sementara itu kita ketahui bahwa protein
merupakan senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia
lainnya seperti alkali, belerang dioksida atau
hidrogen peroksida. Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu juga dapat terjadi reaksi antara asam amino yang satu dengan yang lain, misalnya terbentuknya lisiolalanin dari lisin dan alanin.
Hal tersebut dapat
menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan atau availabilitas asam-asam amino esensial (Palupi dkk, 2007).
19
2.3.5 Tujuan Analisa Protein Protein dalam bahan biologis biasanya terdapat dalam bentuk ikatan fisis yang renggang maupun ikatan kimiawi yang lebih erat dengan karbohidrat atau lemak. Karena ikatan–ikatan ini maka terbentuk senyawa– senyawa glikoprotein dan lipoprotein yang berperanan besar dalam penentuan sifat–sifat fisis aliran bahan (rheologis) misalnya pada system emulsi makanan atau adonan roti. Dengan adanya pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan dan memebentuk persenyawaan dengan bahan lain. Misalnya antara asam amino hasil perubahan protein dengan gula–gula reduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma makanan. Protein murni dalam keadaan tidak dapat dipanaskan hanya memiliki rasa dan aroma yang tidak berarti. Dengan demikian perlakuan pemanasan protein dalam bahan makanan memang perlu mengtalami dilakukan untuk mempersiapkan bahan sehingga sesuai dengan selera konsumen. Namun demikian pemanasan yang berlebihan atau perlukuan lain mungkin akan merusakkan protein apabila dipandang dari sudut gizi (Sudarmadji, 1989). 2.3.6 Hubungan Antara Asupan Protein dengan Kejadian Anemia Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi. Transferin adalah suatu glikoprotein yang disintesis di hati. Protein ini berperan sentral dalam metabolisme besi tubuh sebab transferin mengangkut besi dalam sirkulasi ke tempat – tempat yang membutuhkan besi, seperti dari usus ke sumsum tulang untuk membentuk hemoglobin yang baru. Feritin adalah protein lain yang penting dalam metabolisme besi. Pada kondisi normal, feritin meyimpan besi yang dapat diambil kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan.
20
Tingkat konsumsi protein perlu diperhatikan karena semakin rendah tingkat konsumsi protein maka semakin cenderung untuk menderita anemia (Kiranti, 2010).
2.4 Vitamin C 2.4.1 Sifat Kimia Vitamin C adalah kristal putih yang larut dalam air. Dalam keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi dipercepat dengan kehadiran tembaga dan besi. Vitamin C tidak stabil dan larut dalam alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C adalah vitamin yang paling labil. 2.4.2 Susunan Kimia Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu turunan heksosa dan diklasifikasikan
sebagai
karbohidrat
yang
erat
berkaitan
dengan
monosakarida. Vitamin C dapat disintesis dari D–glukosa dan galaktosa dalam tumbuh–tumbuhan sebagaian besar hewan. Vitamin C terdapat dalam dalam dua bentuk di alam, yaitu L–asam askorbat (bentuk tereduksi) dan asam L–asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi). Oksidasi bolak–balik L–asam askorbat menjadi asam L–asam dehidro askorbat terjadi bila bersentuhan dengan tembaga, panas, dan alkali. Kedua bentuk vitamin C aktif secara biologic tetapi bentuk tereduksi adalah yang paling aktif (Almatsier, 2004). 2.4.3 Fungsi Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Asam askorbat adalah bahan yang kuat kemampuan reduksinya dan bertindak sebagai antioksidan dalam reaksi–reaksi hidroksilasi. Beberapa turunan vitamin C (seperti asam antioksidan dalam reaksi–reaksi hidroksilasi. Beberapa turunan vitamin C (seperti asam eritrobik dan askorbik palmitat) digunakan sebagai antioksidan di dalam
21
industri pangan untuk mencegah proses tengik, perubahan warna (browning) pada buah–buahan dan untuk mengawetkan daging. 2.4.4 Hubungan Antara Asupan Vitamin C Dengan Kejadian Anemia Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorbsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorbs besi dalam bentuk nonhem meningkatkan empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati (Almatsier, 2004) Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia semakin rendah Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa absorpsi besi yang efektif dan efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C. Absorpsi besi dalam bentuk nonheme dapat meningkat empat kali lipat dengan adanya vitamin C. Oleh karena itu, kekurangan vitamin C dapat menghambat proses absorpsi besi sehingga lebih mudah terjadi anemia. Selain itu, vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati (Kirana, 2011). 2.4.5 Penentuan Vitamin C dengan Metode 2,6 D Penentuan vitamin C dengan 2,6 D (2,6 Na-dikhlorofenol indofenol) yakni asam askorbat dapat direduksi sehingga terjadi perubahan warna. Larutan 2,6 D dalam suasana netral atau basis akan berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6 D direduksi oleh asam askorbat akan menjadi tidak berwarna dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6 D maka kelebihan larutan 2,6 D sedikit sudah akan terlihat dengan terjadinya pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6 D dengan vitamin C standar (Sudarmadji, 1989).
22
2.5 Tanaman Kelor Tanaman kelor mulai dimanfaatkan masyarakat sekitar 2.000 tahun SM atau 5.000 tahun silamn di India Utara. Masyarakat di daerah tersebut memanfaatkan tanaman kelor sebagai bahan ramuan obat–obatan. Dalam salah satu system pengobatan dan perawatan kesehatan kuno (Ayurveda), kelor mampu mencegah atau mengobati 300 macam penyakit, diantaranya anemia, asma, komedo, kotoran darah, bronchitis, radang selaput lendir hidung, sesak nafas, kolera, kongtivitas, batuk, diare, infeksi mata dan teling, demam, pembengkakan kelenjar, sakit kepala, tekanan darah abnormal, hysteria, nyeri pada sendi, jerawat, psoriasis, gangguan pernapasan, penyakit kudis, sakit tenggorokan, keseleo serta TBC. Selain itu ekstrak daun kelor diyakini dapat memberikan stamina dan tenaga ekstra. Oleh karena itu, para prajurit di daerah tersebut selalu mengonsumsi ekstrak daun kelor ketika sedang berperang. Selain di India, beberapa negara dengan peradaban maju mengenal tanaman kelor sejak ribuan tahun silam, meskipun dengan tujuan berbeda. Bangsa Romawi, Yunani, dan Mesir, misalnya mengekstrak minyak dari biji dan menggunakannya untuk parfum dan lotion kulit.
2.5.1 Klasifikasi Adapun klasifikasi dari tanaman kelor adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Sub kelas
: Brassicales
Bangsa
: Capparales
Suku
:Moringaceae
Marga
:Moringa
Jenis
:Moringa oleifera, Lamk
Famili
: Moringaceae
23
Genus
: Moringa
Spesies
: Moringa oleifera dan 13 spesies lain yang beda lokasi
Gambar 2.1 Tanaman Kelor 2.5.2 Kandungan Adapun kandungan tanaman kelor dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.3 Kandungan Tanaman Kelor Segar dalam 100 g Biji Kadar Air (%) Calori Protein (g) Lemak (g) Carbohydrate (g) Fiber (g) Minerals (g) Ca (mg) Mg (mg) P (mg) K (mg) Cu (mg) Fe (mg) S (mg) Oxalic acid (mg) Vitamin A - B carotene (mg) Vitamin B -choline (mg) Vitamin B1 -thiamin (mg) Vitamin B2 -riboflavin (mg) Vitamin B3 -nicotinic acid (mg) Vitamin C -ascorbic acid (mg) Vitamin E -tocopherol (mg) Arginine (g/16g N) Histidine (g/16g N)
86.9 26 2.5 0.1 3.7 4.8 2.0 30 24 110 259 3.1 5.3 137 10 0.11 423 0.05 0.07 0.2 120 3.6 1.1
Daun
Tepung daun 75.0 92 6.7 1.7 13.4 0.9 2.3 440 24 70 259 1.1 7 137 101 6.8 423 0.21 0.05 0.8 220 6.0 2.1
7.5 205 27.1 2.3 38.2 19.2 2,003 368 204 1,324 0.57 28.2 870 1.6% 16.3 2.64 20.5 8.2 17.3 113 1.33% 0.61%
24
Lysine (g/16g N) Tryptophan (g/16g N) Phenylanaline (g/16g N) Methionine (g/16g N) Threonine (g/16g N) Leucine (g/16g N) Isoleucine (g/16g N) Valine (g/16g N)
1.5 0.8 4.3 1.4 3.9 6.5 4.4 5.4
4.3 1.9 6.4 2.0 4.9 9.3 6.3 7.1
1.32% 0.43% 1.39% 0.35% 1.19% 1.95% 0.83% 1.06%
Sumber : Anonim. 2008. Moringa oleifera: Natural Nutrition for the Tropics by Lowell Fuglie. Kelor (Moringa oleifera), Tanaman Bermanfaat untuk
Berantas GIZI BURUK...!
2.6 Proses Pengolahan Nirbaya (2012) menjelaskan pengolahan pangan adalah setiap perlakuan yang diterima pangan sejak dipanen hingga dikonsumsi (from farm to table). Proses pengolahan pangan meliputi pengurangan air (pengeringan dan penguapan), perlakuan panas (blanching, pemasakan, perebusan,
pengukusan,
penggorengan,
pemanggangan,
pengasapan,
pasteurisasi, dan sterilisasi), dan penggunaan suhu rendah (pendinginan dan pembekuan). Proses pengolahan lainnya yaitu fermentasi, pengasapan, perkecambahan, penggunaan zat kimia tambahan, dan radiasi. Secara umum berpengaruhu menurunkan nilai gizi pangan. Akan tetapi, ada pula yang meningkatkan nilai gizi pangan seperti perkecambahan, fermentasi, pengasapan, dan radiasi. 2.5.1 Pengolahan Panas Pada
umumnya,
sebagian
besar
teknik
pengolahan
pangan
menggunakan proses pindah panas yang digunakan dalam proses berikut. 1. Proses pemanasan (proses termal) seperti pengalengan, pasteurisasi, pemasakan, evaporasi, esktruksi, dan blanching. 2. Penghilangan panas seperti pendinginan dan pembekuan. 3. Penghilangan air seperti pada pengeringan. Proses termal dapat dilakukan dengan berbagai teknik berikut ini. 1. Penggunaan air panas atau uap air pada proses pemasakan, blanching, pasteurisasi, sterilisasi, evaporasi, dan ekstruksi.
25
2. Penggunaan
udara
panas
seperti
pemanggangan,
penyaringan,
penyaringan, dan pengeringan. 3. Penggunaan minyak panas seperti pada penggorengan. 4. Penggunaan energy radiasi seperti gelombang mikro (microwave), radiasi inframerah, dan radiasi ionisasi (Estiasih dan Ahmadi, 2009). Menurut Ruffino dan Bartono (2006) kategori memasak atau cooking method ada 4 antara lain : 1.
Memasak dengan panas kering ( dry heat cooking)
Dilakukan dengan menggunakan alat di mana panas dapat ditimpakan pada bahan, baik dari atas, bawah, atau dari atas bawahdan sekeliling bahan. Panas ini lah yang nanti mematangkan bahan. 2.
Memasak dengan panas basah (moist heat cooking)
Berarti bahan tersebut dipengaruhi oleh air, uap air, atau cairan lain yang berupa saus atau kaldu, kuah. Cairan ini yang mematangkan bahan sebagai konduktor dari sumber panas 3.
Memasak dengan minyak atau lemak (fat cooking)
Berarti bahan dimasukkan dalam cairan minyak panas, baik sedikit, ataupun banyak, berupa minyak kelapa sawit, selada, olive, jagung, mentega atau mentega hewani 4.
Memasak dengan gelombang mikro (microwave cooking)
2.5.2 Pemanggangan (Oven) Pemanggangan merupakan pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga produknya dapat lebih diterima oleh konsumen. Proses pemanggangan menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma, dan rasa dari bahan yang dipanggang. Perubahan ini umumnya menyebabkan produk lebih disukai konsumen. Disamping itu, proses pemanggangan menyebabkan penurunan nilai gizi yaitu kerusakan vitamin yang tidak tahan panas, misalnya vitamin C dan thiamin (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Estiasih dan Achmadi (2009) menjelaskan bahwa panas pada proses pemanggangan menggunakan oven (roasted) dipindahkan pada adonan
26
melalui tiga cara, yaitu radiasi, konveksi, dan konduksi. Adonan mengalami pamanasan cepat pada bagian permukaan dan pemanasan lambat pada bagian dalam. Suhu permukaan adonan dapat mencapai 150°C pada awal pemanggangan, dan dapat mencapai 180°C pada akhir pemanggangan. Selama pemanggangan terjadi perubahan fisik dan kimiawi yang kompleks, yaitu bahan berubah menjadi ringan, berpori, siap disantap, dan beraroma enak. Selain itu, terjadi pengembangan volume, pembentukan kulit (crust), inaktivasi mikroba dan enzim, koagulasi protein, dan gelatinasi sebagaian pati. Estiasih dan Ahmadi (2009), proses pemanasan dapat menyababkan perubahan pada produk pangan baik karakteristik fisiko–kimia maupun nutrisi. Perubahan yang terjadi bergantung pada inntensitas pemanasan, metode proses termal, bahan baku, serta perlakuan sebelum pemanasan. Perubahan yang terjadi akibat proses panas antara lain sebagai berikut : 1. Penurunan aktivitas mikroba Proses termal terutama dirancang untuk menghilangkan atau menurunkan sejumlah mikroba hingga pada kadar yang dapat diterima dan menghasilkan kondisi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba pathogen dan pembusuk. 2. Inaktivasi enzim Beberapa enzim (peroksidase, lipoksigenase, dan pektinesterase) dapat
menyebabkan
perubahan
mutu
produk
pangan
selama
penyimpanan, bahkan pada penyimpanan dingin. Dengan proses termal enzim, enzim tersebut mengalami inaktivasi. 3. Nilai nutrisi Pengolahan
panas
dapat
menyebabkan
kerusakan
vitamin,
denaturasi protein, dan degradasi oksidatif. 2.5.3 Blanching Proses blanching merupakan perlakuan untuk beberapa jenis sayuran dan buah-buahan dengan tujuan mendapatkan mutu produk yang dikeringkan, dikalengkan, dan dibekukan dengan kualitas baik. Proses blanching termasuk ke dalam proses termal dan umumnya membutuhkan suhu berkisar
27
75o – 95o C selama 10 menit. Proses blanching diperlukan jika terdapat waktu tunggusebelum perlakuan panas pada proses pengeringan atau pengalengan dilakukan. Pada dasarnya blanching bertujuan untuk menginaktivasi enzi-enzim yang menyebabkan perubahan kualitas bahan pangan proses ini diterapkan terutama pada bahan pangan segar yang mudah mengalami kerusakan akibat aktivitas enzim yang tinggi, contoh bahan pangan tersebut adalah sayuran dan buah-buahan. Fungsi blanching yang lain adalah mengurangi gas antar sel. Pengurangan kadar gas antar sel penting dilakukan untuk mengurangi perubahan oksidatif. Oleh karena blanching merupakan proses pemanasan, blanching menyebabkan penurunan kadar mikroorganisme dan perbaikan tekstur. 2.5.3.1 Blanching dengan Air Panas Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan. Biaya operasional proses blanching dengan air panas cukup rendah dengan efesiensi panas dapat mencapai 60%. Namun, kekurangan dari metode blanching ini adalah kehilangan komponen bahan pangan yang bersifat larut dalam air seperti vitamin larut air, karbohidrat seperti gula sederhana, protein larut air, pigmen, dan mineral. 2.5.3.2 Blanching dengan Uap air Panas Blanching dengan menggunakan uap air panas atau steam blanching dapat mengurangi kehilangan komponen bahan pangan akibat proses blanching dengan air panas. Keuntungan penggunaan metode blanching uap air panas dibandingkan metode blanching menggunakan air panas adalah kehilangan kehilangan komponen bahan pangan akibat proses pelarutan dapat dihindari. Kelemahan metode blanching dengan uap air panas adalah pada proses blanching tidak dapat ditambahkan bahan-bahan tertentu seperti penambahan natrium bikarbonat untuk mencegah warna sayuran.
28
2.7 Kerangka Teori
Daun kelor (Moringa oliefera Lamk) Segar
Perlakuan
Suhu Ruang
Blanching-Oven
Pengovenan
Tepung Daun Kelor
Sifat Fisik
Sifat Kimia
Kadar Zat Besi
Protein
Vitamin C
Gambar 2.2 Diagram Kerangka Teori
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat. Penyebab utama anemia adalah karena rendahnya jumlah dan kualitas zat besi yang dikonsumsi, serta adanya zat pelancar dan penghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Zat besi diperlukan dalam sintesis hemoglobin. Selain itu, protein dan vitamin C yang cukup juga diperlukan sebagai
zat
pelancarpenyerapan
penanggulangan
yang
banyak
zat
besi
dilakukan
dalam
oleh
tubuh.
Upaya
pemerintah
dengan
29
menjalankan suplementasi dan fortifikasi zat besi. Namun efek samping yang merugikan seperti mual, muntah, dan konstipasi menyebabkan pencapaian suplementasi tidak optimal. Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan yang berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber obat dan gizi. Salah satu diantaranya adalah kelor (Moringa
oleifera
Lamk).
Berdasarkan penelitian,
kelor
memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi antara lain zat besi, protein, vitamin C. Sehingga daun kelor berpotensi sebagai bahan pangan fungsional salah satunya dalam bentuk tepung. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dibentuk, dan lebih praktis. Pada penelitian ini daun kelor diubah dalam bentuk tepung dangan beberapa perlakuan yang berbeda antara lain pengeringan suhu ruang, pengeringan dengan oven, dan blanching kemudian dilakukan pengeringan dengan oven. Perlakuan tersebut dilakukan mengingat adanya interaksi antara daun kelor dengan panas, enzim. Sehingga diharapkan tepung yang dihasilkan nantinya dapat maksimal digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Namun, beberapa komponen tidak stabil karena pengaruh panas, oksidasi, fermentasi, dan enzimatis. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan analisa laboratorium untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tepung daun kelor. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pengeringan pada proses pembuatan tepung daun kelor maka dianalisis dengan beberapa parameter uji meliputi sifat fisik antara lain bau, rasa, warna, dan tekstur. Serta pengujian sifat kimianya meliputi Analisis kadar air, Analisis kadar abu, kadar zat besi, Analisis kadar protein, dan kadar vitamin C.
2.7 Hipotesis Terdapat pengaruh variasi perlakuan terhadap sifat fisik dan sifat kimia tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk)
30
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, yaitu dengan dilakukan tahap pembuatan tepung daun kelor dengan tiga macam perlakuan pada proses pembuatan. Rancangan penelitian ini meliputi 3 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Tahap persiapan dilakukan dengan menentukan populasi dan sampel penelitian, menentukan lokasi dan waktu
penelitian, serta menghitung
kebutuhan bahan dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan sesuai kebutuhan. Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan. Tahap ini meliputi pengumpulan data, pembuatan tepung daun kelor. Serta, analisa stabilitas komponen nutrisinya setelah daun kelor mengalami proses pembuatan menjadi tepung dun kelor antara lain
zat besi, protein, dan vitamin C. Dalam proses
pembuatan tepung daun kelor digunakan perlakuan yang berbeda dalam proses pembuatannnya antara lain pengeringan suhu ruang, pemanasan menggunakan oven, dan blanching sebelum bahan kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven. Tahap terakhir yaitu analisa data yang diperoleh, diolah dan diinterpretasikan terhadap hasil penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh perlakuan terhadap mutu fisik dan kimianya.
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk).
30
31
3.2.2 Sampel Sedangkan, sampel dalam penelitian adalah tepung daun kelor dengan pengaruh perlakuan antara lain pengeringan suhu ruang (P1), pengeringan dengan oven (P2) dan blanching-oven (P2).
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang dan Laboratorium Sasa Inti Gending Probolinggo.
3.3.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian ini dimulai dari proses penyusunan proposal bulan Januari 2013 sampai dengan Juli 2013.
3.4 Definisi Operasional Variabel. 3.4.1 Definisi Operasional Variabel Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel No. 1.
2.
Variabel
Sub Variabel
Definisi Operasional kelor
yang
diberi
Skala Ukur
Tepung
Perlakuan P1
Daun
perlakuan Nominal
Daun
Perlakuan P2
berbeda sehingga didapatkan tepung daun
Kelor
Perlakuan P3
kelor.
Sifat Fisik
Organoleptis
Suatu proses untuk mengetahui warna, Ordinal bau, rasa, dan tekstur
3.
Sifat
Analisis
Kadar Zat besi yang terdapat pada tepung daun Rasio
Kimia
Zat Besi
kelor yang diperoleh dengan metode ICP sehingga didapatkan kadar zat besi.
Analisis Protein
Kadar Protein yang terdapat pada tepung daun Rasio kelor,
dapat
diketahui
perubahan
kadarnya menggunakan metode Kjeldahl Analisis
Kadar Vitamin C yang terdapat pada tepung Rasio
32
Vit. C
daun kelor dapat diketahui kadarnya menggunakan metode 2,6 D
3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Alat Peralatan yang diggunakan dalam pembuatan tepung daun kelor meliputi : timbangan analitik, Erlenmeyer, blender, wadah, ayakan, panci, kompor, oven, penangas api, loyang. Alat-alat untuk analisa meliputi : kurs porselen, buret, statif, labu kjeldahl, rangkaian alat destilasi sederhana, oven, tanur. 3.5.2 Bahan Bahan yang digunakan antara lain daun kelor, Fe standar, vitamin C standar, NaHCO3, asam metaphospat 2,6 D, HNO3, tablet kjeldahl, H2SO4, HCl, dan aquades.
3.6 Pengumpulan data Metode pengumpulan data merupakan
cara yang digunakan untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. 3.6.1 Tahap Pembuatan dengan Perlakuan Pengeringan Suhu Ruang 1.
Pemilihan daun kelor segar
2.
Disortasi tanaman
3.
Dikeringkan selama 5 hari dengan suhu ruang
4.
Kemudian di blender
5.
Diayak untuk mendapatkan tepungnya.
3.6.2 Tahap Pembuatan dengan Perlakuan Pemanggangan (Oven) 1. Daun kelor dicuci dengan air bersih
33
2. Dikeringkan dalam oven dengan suhu kurang lebih 60ocselama ± 24 jam 3. Daun kelor kering digunakan blender kering 4. Dan diayak dengan ayakan 100 mash untuk memisahkan batangbatang kecil yang tidak bisa hancur dengan blender, 5. Selanjutnya disimpan dalam wadah plastik yang kedap udara. 3.6.3 Tahap Pembuatan dengan Blanching 1. Rendam 10 menit 80o C 2. Dikeringkan suhu 60 selama ± 24 jam. 3. Digiling dengan blender dan diayak 100 mesh
3.7 Analisis Sifat Fisik dan Kimia 3.7.1 Analisis Sifat Fisik Analisis sifat fisik meliputi warna, bau, rasa, dan tekstur yang dilakukan dengan menggunakan panca indera. 3.7.2 Analisis Sifat Kimia 3.7.2.1. Analisis Kadar Air Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti gravimetric, destilasi, dan karl fischer. Menurut SNI 01-2354.2-2-2006, penetapan kadar air pada tepung daun kelor dapat dilakukan dengan menggunakan metode gravimetric. 1. Timbang sampel ± 5 gram dalam cawan 2. Masukkan oven pada temperature 105oC selama ± 4 jam 3. Masukkan desikator selama 30 menit 4. Timbang sebagai berat kering menggunakan timbangan analitik Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut : Kadar air = a = bobot cawan kosong (g) b = bobot cawan kosong dan contoh sebelum di oven (g) c = bobot cawan kosong dan contoh contoh setelah di oven (g)
34
3.7.2.2. Analisis Kadar Abu Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang dikandung dalam bahan pangan tersebut. Penetapan kadar abu menurut SNI 01-2354.2-2006 dapat dilakukan dengan melakukan pemijaran sampel pada suhu tertentu. 1. ditimbang sebanyak 1 g sampel 2. ditambahkan 2 mL H2SO4 p.a 3. Tambahkan kertas Whatman No.41 (Ashless) 4. Isatkan menggunakan hotplate dalam lemari asam (15 menit) 5. Masukkan furnance 800oC selama 2 jam, menggunakan penjepit. 6. Masukkan desikator selama 2 jam 7. Timbang menggunakan timbangan analitik 8. Hitung % abu Kadar abu dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut : 9. Kadar abu = a = bobot cawan kosong (g) b = bobot cawan kosong dan contoh (g) c = bobot cawan kosong dan contoh setelah pengabuan (g)
3.7.2.3. Analisis Kadar Zat besi dengan ICP Adapun prosedur analisis kadar zat besi menggunakan instrumen ICP adalah sebagai berikut : 1. ditimbang sebanyak 1 g sampel 2. ditambahkan 2 mL H2SO4 p.a 3. Tambahkan kertas Whatman No.41 (Ashless) 4. Isatkan menggunakan hotplate dalam lemari asam (15 menit) 5. Masukkan furnance 800oC selama 2 jam, menggunakan penjepit. 6. Masukkan desikator selama 2 jam 7. Timbang menggunakan timbangan analitik (sebagai % kadar abu) 8. Hasil analisis abu, dilarutkan menggunakan aquades.
35
9. Jika belum larut tambahkan HCl 5% 10. Tandabataskan dalam labu ukur 100 mL menggunakan aquades 11. Analisis menggunakan ICP-AES-OES
3.7.2.4. Penentuan Kadar Protein ( dengan metode Semimakro Kjeldahl) 1. Pipet cuplikan 2 mg dan masukkan dalam tabung destruksi 2. Tambahkan H2SO4 20 mL ke dalam tabung digestion 3. Tambahkan 2 buah kjedhal tablet ke dalam destruksi 4. Didestruksi hingga jernih + 1 jam pada suhu 400oC 5. Analisis Menggunakan Kjeldahl Auto Analyzer % N dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut
%N=
3.7.2.5. Penentuan Kadar Vitamin C 2,6 D (AOAC) - Standarisasi larutan 2,6 D 1. Meniimbang lebih kurang 100 mg standar asam askorbat ( vitamin C) 2. Memindahkan ke dalam labu takar 500 mL, kemudian encerkan dengan reagen HPO3–asam asetat sampai tanda. 3. Memindahkan
2 mL aliquot asam askorbat tersebut ke dalam
Erlenmeyer 50 mL yang telah diisi dengan 5 mL reagen HPO3–asam asetat. 4. Menitrasi dengan larutan 2,6 D dari buret 50 mL sampai warna merah jambu terbentuk yang tidak hilang selama 5 detik. 5. Ulangi titrasi 3 kali ( dari 2 mL asam askorbat ) 6. Membuat 3 larutan blanko (gantilah 2 mL aliquot dengan 2 mL aquades ) dan titrasilah dengan larutan 2,6 D 7. Menghitung equivalen titrasi terkoreksi (titrasi sesungguhnya – titrasi blanko) yang menunjukkan 1 mL larutan 2,6 D dengan jumlah mg asam askorbat.
36
- Preparasi sampel 1. Menimbang 200–300 g bahan dan hancurkan dalam waring blender sampai diperoleh slurry. 2. Menimbang 10–30 g slurry masukkan ke dalam labu takar 100 mL dan tambahkan aquades sampai tanda. 3. Menyaring dengan kurs Gooch atau dengan sentrifuge untuk memisahkan filtratnya. 4. Penetapan kadar sampel 5. Ambil 100 mL filtrate dan tambahkan 100 mL reagen HPO 3–asam asetat. 6. Gojog sampai aliquot merata dan saring melalui kertas saring 7. Mengambil 10 mL aliquot dan dititrasi dengan larutan 2,6 D yang telah distandarisasi 8. Membuat titrasi blanko ( mengganti cairan dengan aquades) 9. Menghitung titrasi terkoreksi ( titrasi sesungguhnya– titrasi blanko) dan nyatakan jumlah vitamin C sebagai mg/100 mL cairan bahan mula mula atau tiap 100 g berat bahan mula–mula. Kadar Vitamin C dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :
3.8 Analisis Data Data sifat fisik yang didapatkan akan disajikan secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan pada setiap parameter yang digunakan dalam pengujian stabilitas komponen nutrisi produk pangan olahan berbahan baku tepung daun kelor diolah menggunakan uji regresi berganda menggunakan program SPSS 16.
37
BAB IV HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi perlakuan pengeringan terhadap sifat fisik dan kimia tepung daun kelor diperoleh data sebagai berikut :
4.1 Determinasi Tanaman Tanaman yang digunakan dalam penelitian adalah daun kelor yang diperoleh di pekarangan daerah Purwosari, Pasuruan yang kemudian dilakukan determinasi di UPT Materia Medica, Batu. Hasil menunjukkan bahwa daun kelor yang digunakan adalah daun kelor jenis Moringa oleifera, Lamk. Hasil Determinasi dapat dilihat pada lampiran 1.
4.2 Hasil Rendemen Tepung Daun Kelor dengan Variasi Perlakuan Daun kelor segar yang telah disortasi kemudian diberi perlakuan yang berbeda
antara
lain
pengeringan
suhu
ruang
(P1),
pengeringan
menggunakan oven suhu 60oC (P2), dan blanching kemudian dikeringkan dengan oven (P3). Setelah daun kelor kering, dihaluskan dengan blender kemudian diayak. Sehingga didapatkan tepung daun kelor. Adapun hasil rendemen tepung daun kelor dari 100 g daun kelor segardapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 4.1 Hasil Rata-rata Rendemen (%) Tepung Daun kelor Perlakuan
Rendemen
P1
26,15
P2
27,67
P3
19,68
37
38
Gambar 4.1 Grafik Rendemen (%) Tepung Daun Kelor
Pada tabel 4.1 dan gambar 4.1 berupa grafik menunjukkan terjadinya perbedaan rendemen yang signifikan antara ketiga perlakuan. Tepung daun kelor yang memiliki rendemen terbesar adalah pada perlakuan P2 (oven), sedangkan rendemen terendah adalah pada perlakuan P3 (blanching kemudian dikeringkan dengan oven).
4.3 Hasil Pengujian Sifat Fisik Tepung Daun Kelor Adapun hasil Pengujian Sifat Fisik tepung daun kelor dengan variasi perlakuan dan suhu pengeringan yang dilakukan berdasarkan warna, bau, dan rasa dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.2 Hasil Pengujian Sifat Fisik Tepung Daun kelor Sampel
Warna
Bau
Rasa
Tekstur
P1
Hijau
Khas Kelor
Tidak Berasa
Serbuk Halus
P2
Hijau Muda
Khas Kelor
Getir
Serbuk Halus
P3
Hijau Kehitaman
Khas Kelor
Tidak Berasa
Serbuk Halus
Pada tabel diatas dapat diketahui perlakuan yang memberikan hasil terbaik dengan warna hijau, bau khas kelor, tidak berasa, dan dengan tekstur serbuk halus yaitu pada perlakuan P1 (Pengeringan suhu ruang).
39
4.4 Hasil Pengujian Sifat Kimia Tepung Daun kelor 4.4.1 Analisis Kadar Air Adapun hasil penetapan kadar air dalam tepung daun kelor yang diperoleh menggunakan metode gravimetri adalah sebagai berikut : Tabel 4.3 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Air Tepung Daun Kelor Sampel
Kadar Air (%)
Kontrol
76,23
P1
13.21
P2
13.01
P3
11.79
Gambar 4.2 Grafik Kadar Air (%) Tepung Daun Kelor
Pada tabel 4.3 dan gambar 4.2 berupa grafik menunjukkan terjadinya penurunan kadar air yang signifikan antara daun kelor sebagai kontrol dan daun kelor setelah mendapat perlakuan sehingga didapatkan tepung daun kelor. Tepung daun kelor yang memiliki kadar air terendah adalah perlakuan P3 (blanching kemudian dikeringkan dengan oven).
4.4.2 Analisis Kadar Abu Adapun hasil Analisis Kadar abu adalah sebagai berikut :
40
Tabel 4.4 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Abu (g/100g) Tepung Daun Kelor Sampel
Kadar Abu (%)
Kontrol
2,78
P1
8,71
P2
8,53
P3
6,19
Gambar 4.3 Grafik Kadar Abu (%) Tepung Daun Kelor
Pada tabel 4.4 dan gambar 4.3 berupa grafik menunjukkan terjadinya peningkatan kadar abu yang signifikan antara daun kelor sebagai kontrol dan daun kelor setelah mendapat perlakuan sehingga didapatkan tepung daun kelor. Tepung daun kelor yang memiliki kadar tertinggi adalah perlakuan P1 (pengeringan suhu ruang).
4.4.3 Analisis Kadar Fe Hasil Analisis Kadar Fe menggunakan instrument ICP (Indouctively Couple Plasma) adalah sebagai berikut : Tabel 4.5 Hasil Analisis Rata-rata Kadar Fe Tepung daun Kelor Sampel
Kadar Fe (mg/Kg)
Kontrol
62,81
P1
369,76
41
P2
225,27
P3
275,55
Gambar 4.4 Grafik Kadar Fe (mg/Kg) Tepung Daun Kelor
Pada tabel 4.5 dan gambar 4.4 berupa grafik menunjukkan terjadinya peningkatan kadar Fe yang signifikan antara daun kelor sebagai kontrol dan daun kelor setelah mendapat perlakuan sehingga didapatkan tepung daun kelor. Tepung daun kelor yang memiliki kadar tertinggi adalah perlakuan P1 (pengeringan suhu ruang).
4.4.4 Analisis Kadar Protein menggunakan Metode Kejeldahl Adapun hasil uji protein adalah sebagai berikut : Tabel 4.6 Rata-rata Hasil Analisis Kadar Protein Tepung Daun Kelor Sampel
Kadar Protein (%)
Kontrol
2,56
P1
5,08
P2
6,22
P3
7,36
42
Gambar 4.5 Grafik Kadar Protein (%) Tepung Daun Kelor
Pada tabel 4.6 dan gambar 4.5 berupa grafik menunjukkan terjadinya peningkatan kadar protein yang signifikan antara daun kelor sebagai kontrol dan daun kelor setelah mendapat perlakuan sehingga didapatkan tepung daun kelor. Tepung daun kelor yang memiliki kadar protein tertinggi adalah perlakuan P3 (blanching kemudian dikeringkan dengan oven).
4.4.5 Analisis Kadar Vitamin C Adapun hasil Analisis Kadar vitamin C adalah sebagai berikut : Tabel 4.7 Rata-rata Hasil Analisis Kadar Vitamin C Tepung Daun Kelor Sampel
Kadar Vitamin C (mg/100 g)
Kontrol
11,28
P1
39,82
P2
25,32
P3
2,55
43
Gambar 4.6 Grafik Kadar Vitamin C Tepung Daun Kelor
Pada tabel 4.7 dan gambar 4.6 berupa grafik menunjukkan terjadinya peningkatan kadar vitamin C antara daun kelor sebagai kontrol dan daun kelor setelah mendapat perlakuan sehingga didapatkan tepung daun kelor pada sampel P1 (suhu pengeringan) dan P2 (penegringan dengan oven). Sedangkan pada sampel P3 (blanching kemudian dikeringkan dengan oven) mengalami penurunan kadar vitamin C.
44
BAB V PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini telah dilakukan pembuatan tepung dari daun kelor jenis Moringa oleifera, Lamk. Daun kelor dibuat dengan perlakuan pengeringan
yang
berbeda
diantaranya
pengeringan
suhu
ruang,
o
pengeringan. dalam oven dengan suhu 60 C, dan blanching dengan suhu 80oC dan
kemudian dikeringkan dalam oven suhu 60oC. Selanjutnya,
dilakukan pengujian terhadap sifat fisik dan kimia. Serta dilakukan penentuan terhadap perlakuan dan suhu pengeringan terbaik terhadap kadar zat besi dan zat pendukungnya yaitu protein dan vitamin C. Dari hasil analisis sifat fisik didapatkan keadaan tepung dengan pengeringan suhu ruang
berbentuk serbuk halus, berwarna hijau, tidak
berasa, dan berbau khas kelor dengan rendemen sebesar 26,15 g. Tepung daun kelor dengan pengeringan suhu 60 oC dalam oven berbentuk serbuk halus, berwarna hijau muda, dengan rasa getir dan berbau khas kelor dengan rendemen sebesar 27,67 g. Sedangkan, tepung daun kelor dengan perlakuan blanching suhu 80oC selama 10 menit dan di lakukan pengeringan dalam oven suhu 60oC berbentuk serbuk halus, berwarna hijau kehitaman, dan berbau khas kelor memiliki rendemen sebesar 19,68 g. Pada
perlakuan
dengan
pengeringan
menggunakan
oven
memberikan rasa getir, hal ini terjadi dikarenakan lonjakan suhu yang berlebihan karena oven yang digunakan suhunya tidak stabil. Hal ini akan mempengaruhi rasa apabila nantinya digunakan sebagai bahan baku produk pangan olahan. Selain itu, pada perlakuan dengan blanching yang kemudian dikeringkan dengan oven memberikan warna tepung yang hitam hal ini dikarenakan terjadi penurunan kadar klorofil dalam daun kelor segar. Perlakuan panas merupakan faktor utama akan menyebabkan berubahnya klorofil menjadi feoftin dengan subtitusi magnesium oleh hidrogen selama proses pemasakan sayuran hijau (Kiranawati,2013). Sehingga apabila diolah
44
45
sebagai bahan baku pangan fungsional menyebabkan tampilan kurang menarik dan akan mempengaruhi daya terima konsumen. Selain analisis sifat fisik, dilakukan analisis terhadap sifat kimia tepung daun kelor salah satunya yaitu kadar air. Dari tabel 4.3 bahwa kadar air yang terkandung dalam tepung daun kelor dengan perlakuan kadar air terendah yakni pada tepung daun kelor yang didapat dari perlakuan blanching kemudian pengeringan dengan oven (P3) sebesar 11,79%. Hal ini dikarenakan pada saat blanching, adanya kontak langsung dengan air panas maupun uap air sehingga permeabilitas sel semakin besar. Akibatnya sel tidak dapat menahan air sehingga air akan terdifusi keluar dengan cepat ketika dikeringkan (Kiranawati, 2013). Selanjutnya, analisis kadar abu pada tabel 4.4 dapat diketahui bahwa kadar abu meningkat setelah daun kelor ditepungkan. Kadar abu tertinggi yakni pada tepung daun kelor yang didapatkan dari perlakuan suhu ruang sebesar 8,71% dan kadar abu terendah pada blanching kemudian dikeringkan menggunakan oven sebesar 6,19%. Hal ini dikeranakan penurunan kadar air dapat mingkatkan nilai gizi termasuk mineral. Perlakuan suhu ruang memberikan hasil yang terbaik hal ini karenakan mineral yang ada tidak mengalami interaksi yang berlebihan dengan panas, suhu, dan cahaya. Namun, pada perlakuan blanching kemudian oven didapatkan kadar abu paling rendah dikarenakan terdapat interaksi saat blanching berlangsung yaitu larutnya sebagian mineral dalam air dan berkurang mineral saat dikeringkan dalam oven. Selain kadar air dan abu, dilakukan analisis terhadap Fe, protein, dan vitamin C. Ketiga komponen nutrisi tersebut merupakan kandungan zat gizi yang cukup tinggi terdapat dalam daun kelor dan berpotensi sebagai bahan baku pangan fungsional mengatasi masalah anemia. Analisis kadar Fe pada tabel 4.5 dapat diketahui setelah daun kelor ditepungkan kadar Fe meningkat. Hal ini terjadi karena adanya pengurangan kadar air sehingga konsentrasi Fe menjadi lebih pekat dan kadarnya meningkat (Desi dkk, 2012). Zat besi tidak rusak oleh proses pemanasan (kecuali heme iron), radiasi cahaya, oksigen, maupun keasaman. Tapi dapat hilang oleh
46
perlakuan fisik. Berdasarkan uji statistic menunjukkan nilai R atau nilai koefisien korelasinya sebesar 0,497 dan dengan nilai signifikansi sebesar 0,1 atau lebih dari 0,05. Nilai tersebut dapat diinterpretasikan bahwa antara perlakuan dan kadar Fe dalam kategori lemah atau pengaruh yang diberikan sedikit dan tidak signifikan. Meskipun tidak berpengaruh pada kadarnya, perlakuan panas akan sangat mempengaruhi absorpsi atau penggunaan beberapa mineral, terutama melalui pemecahan ikatan, yang membuat mineral-mineral tersebut kurang dapat diabsorpsi oleh usus. Mineral seperti zat besi, kemungkinan akan teroksidasi (tereduksi) selama proses pemanggangan dan akan mempengaruhi absorpsi dan nilai biologisnya Palupi dkk (2007). Setelah dilakukan analisis kadar Fe, dilakukan analisis protein menggunakan metode semi makro Kjeldahl. Pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa proses pembuatan tepung daun kelor dapat meningkatkan kadar protein. Hal ini disebabkan karena pengurangan kadar air yang terdapat dalam daun kelor (Winarni,2010). Selain itu, menurut Palupi (2007) proses pemanasan bahan pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya, serta dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan Tabel 4.6 perlakuan blanching kemudian oven didapatkan kadar protein yang paling tinggi. Hal ini dikarenakan pada saat proses blanching, terjadi peningkatan yang signifikan pada kadar lisin (Kiranawati, 2013). Analisis kadar protein secara statistic diketahui nilai R sebesar 0,925 dan signifikansi sebesar 0,000 atau kurang dari 0,05 dapat dinyatakan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang besar dan signifikan terhadap kadar protein tepung daun kelor. Terakhir, dilakukan analisis kadar vitamin C menggunakan metode 2,6 D. Larutan 2,6 D bereaksi dengan vitamin C atau asam askorbat membentuk senyawa asam dihidroksi askorbat. Larutan 2,6 D direduksi oleh asam askorbat akan menjadi tidak berwarna dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6 D maka kelebihan larutan 2,6 D sedikit sudah akan terlihat dengan terjadinya pewarnaan. Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa
47
hasil pengujian rata-rata kadar vitamin C menunjukkan kadar vitamin C yang paling tinggi pada perlakuan suhu ruang sebesar 39,82 mg/100 mg dan yang terendah pada proses blanching kemudian dikeringkan menggunakan oven sebesar 2,55 mg/100mg. Perlakuan yang diberikan seperti blanching dan pengeringan menggunakan oven pada suhu 60oC memeberikan pengaruh yang besar terhadap kadar vitamin C yang menyebabkan berkurangnya kadar atau nilai gizinya. Hal ini dikarenakan vitamin C merupakan golongan vitamin yang paling mudah rusak dan sangat larut dalam air (Winarno,2004). Vitamin C akan rusak pada suhu sekitar 35oC, hal ini menjadi salah satu faktor dimana vitamin C pada daun kelor mengalami pemanasan ganda pada saat blanching pada suhu 80 dan oven pada suhu 60 C. Selain itu, vitamin C lebih mudah teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim serta oleh katalis tembaga dan besi (Winarno, 2004). Sehingga dalam mengatasi masalah anemia, perlakuan dengan pengeringan suhu ruang dapat dijadikan pilihan dalam pembuatan tepung daun kelor karena memiliki kandungan Fe dan vitamin C tertinggi. Serta, perlakuan dengan pengeringan suhu ruang menghasilkan mutu fisik yang baik dimana apabila diolah nantinya sebagai bahan pangan fungsional tidak mempengaruhi tampilan maupun daya terima konsumen. Sehingga, perlakuan ini merupakan cara yang mudah dan ekonomis dalam mengahasilkan tepung daun kelor dalam hal kualitas dan kuantitas.
48
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan 6.1.1 Variasi perlakuan pengeringan memberikan pengaruh pada sifat fisik tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk). Perlakuan yang memberikan hasil terbaik yaitu perlakuan dengan pengeringan suhu ruang antara lain berbentuk serbuk halus, berwarna hijau, berbau khas kelor dan tidak berasa. 6.1.2 Variasi perlakuan pengeringan memberikan pengaruh pada sifat kimia tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk). Perlakuan yang memberikan hasil terbaik pada kadar zat besi yaitu suhu ruang sebesar 369,76 mg/Kg dan vitamin C sebesar 39,82%. Sedangkan kadar protein didapatkan
hasil
terbaik
pada
blanching
kemudian
dikeringkan
menggunakan oven sebesar 7,36 %.
6.2
Saran
6.2.1 Disarankan agar tepung daun kelor dengan perlakuan pengeringan suhu ruang dapat dilakukan pengolahan sebagai produk pangan untuk meningkatkan daya terima dan daya cerna. 6.2.2 Disarankan agar dilakukan penelitian terhadap kadar Fe menggunakan metode spektrofotometri uv-vis untuk mengetahui kadar Fe3+ dalam tepung daun kelor.
48
49
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Agus surahman dkk, 2012. Laporan Praktek Kerja Lapangan PT. Sasa Inti Gending-Probolinggo. Tidak diterbitkan
Ambarwati dan Caroline, Buku seri memasak 108 menu masakan ekonomis resep pilihan keluarga serba pisang PT. Dian Rakyat Jakarta redaksi : Sri ambarwati, agustina caroline.
Chan, Levi Adhitya. 2008. Panduan Wirausaha Roti Modern. Agromedia : Jakarta Desti dkk, 2012. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Suhu Pengeringan Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Sensori Tepung Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus).Jurnal Penelitian. (Online) diakses tanggal 16 Maret 2013. Diesna, dkk. 2012. Pengaruh Lama Pemanasan Dalam Rice Cooker Terhadap Kandungan Zat Besi (Fe) Dan Total Mikroba Nasi Putih. Jurnal Penelitian. (Online) diakses tanggal 15 Maret 2013. Estiasih dan Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara : Jakarta Kirana, Dian P. 2011. Hubungan Asupan Zat Gizi dan Pola Menstruasi Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri di SMAN 2 Semarang. Artikel Penelitian. (Online) diakses tanggal 19 Oktober 2012. Kiranawati, TM. 2013. Pemanfaatan Tepung Daun Kelor Sebagai Bahan Makanan Peningkatan ProduktivitasAir Susu Ibu serta Aplikasinya dalam Kuliner untuk Ibu Menyusui. Disertasi. Tidak diterbitkan. Nadimin dkk. 2011. Pengaruh Pemberian Suplemen Besi dan Multivitamin Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin Mahasiswa Puteri Poltekkes Makassar. Media Gizi Pangan, Vol. XII, Edisi 2, Juli Desember. (Online) diakses tanggal 18 Oktober 2012.
49
50
Nirbaya, Arindra. 2012. Pengaruh Pengolahan Terhadap Mutu Organoleptik, Kadar Lemak, Dan Kejenuhan Asam Lemak Kacang Tanah (Arachhis hypuga L. Karya Tulis Ilmiah. Tidak diterbitkan. Sandjaja, dkk. 2009. Kamus Gizi. Jakarta : Kompas
Subagjo, Adjab. 2007. Manajemen Pengolahan Kue dan Roti. Yogyakarta : Graha Ilmu Supriyono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Gizi Besi Pada Tenaga Kerja Wanita Di Pt Hm Sampoerna. Artikel Ilmiah. (Online) diakses 19 Oktober 2012. Palupi, Sri Nurheni. 2008. Fortifikasi Zat Besi, (Online), http://www.foodreview.biz/, diakses tanggal 20 Oktober 2012. Palupi, dkk. 2007. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul. (Online) 20 Oktober 2012. Purnomo dan Adiono. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia
Rini, Mustika Dwiyani. 2003. Efektifitas Zat Besi dari Sumus um Tulang Sapi Sebagai Suplemen untuk Pencegahan Anemia Gizi. Skripsi : IPB (Online) diakses tanggal 18 Oktober 2012 Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Yuniarti, Anita. 2011. Kadar Zat Besi, Serat, Gula Total, Dan Daya Terima Permen Jelly Dengan Penambahan Rumput Laut Gracilaria Sp Dan Sargassum Sp. Artikel Penelitian. Semarang : Universitas Diponegoro. Online. diakses tanggal 19 Oktober 2012. Zakaria, dkk. 2011. Daya Terima dan Analisa Komposisi Gizi Pada Cookies dan Brownis Kukus Pandan Dengan Subtitusi Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera Lam). . Media Gizi Pangan, Vol. XII, Edisi 2, Juli Desember. (Online) diakses tanggal 18 Oktober 2012.
51
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman Kelor
52
Lampiran 2. Hasil Pembuatan Tepung Daun Kelor
Tabel Hasil Pembuatan Tepung Daun kelor dari 100 g Daun Kelor Perlakuan
Replikasi I (g)
Replikasi II (g)
Pengeringan Suhu Ruang (P1)
26, 78
25,51
Oven suhu 60oC (P2)
27, 19
28, 15
Blanching-oven suhu 60oC
20,03
19,32
(P3)
53
Lampiran 3. Hasil Analisis Kadar Air
Tabel Hasil Analisis Kadar Air
Sampel
Berat sampel (gram)
Berat cawan kosong (a)
A
5.0611
34.8233
2
A
5.0612
34.8253
3
A
5.0609
34.8225
1
B
5.0635
36.8485
2
B
5.0643
36.8495
3
B
5.0695
36.8478
1
C
5.0416
34.9569
2
C
5.0436
34.9587
3
C
5.0516
34.9535
1
kontrol
5.0712
34.8972
2
kontrol
5.0709
34.8968
3
kontrol
5.0711
34.8982
Ulangan
1
Berat Cawan + Contoh Sebelum dioven (b) 39.8844 39.8865 39.8834 41.9120 41.9138 41.9173 39.9985 40.0023 40.0051 39.9684 39.9677 39.9693
Berat Cawan + Contoh Setelah dioven (c)
Kadar Air (%)
39.2165
13.20
39.2175
13.22
39.2155
13.20
41.2544
12.99
41.2553
13.00
41.2555
13.05
39.4067
11.74
39.4056
11.83
39.4085
11.81
36.1025
76.23
36.1035
76.20
36.1015
76.27
54
Lampiran 4. Hasil Analisis Kadar Abu Tabel Hasil Analisis Kadar Abu
Ulangan
Sampel
Berat sampel (gram)
Berat cawan kosong (a)
1
A
1.0062
45.6203
2
A
1.0063
45.6201
3
A
1.0065
45.6210
1
B
1.0020
39.7283
2
B
1.0019
39.7278
3
B
1.0022
39.7285
1
C
1.0064
41.2043
2
C
1.0057
41.2039
3
C
1.0060
41.2040
1
kontrol
1.0054
43.2520
2
kontrol
1.0052
43.2568
3
kontrol
1.0058
43.2543
Berat cawan kosong dan contoh (b) 46.6265 46.6264 46.6275 40.7303 40.7297 40.7307 42.2107 42.2096 42.2100 44.2574 44.2620 44.2601
bobot cawan kosong + contoh setelah pengabuan (c)
Abu (%)
45.7088
8.80
45.7075
8.69
45.7081
8.65
39.8138
8.53
39.8131
8.51
39.8142
8.55
41.2665
6.18
41.2661
6.18
41.2666
6.22
43.2804
2.82
43.2845
2.76
43.2820
2.75
55
Lampiran 5. Hasil Analisis Kadar Fe menggunakan ICP
56
Lampiran 6. Hasil Analisis Kadar Fe dengan Uji Regresi berganda
Model Summary Change Statistics Adjusted Std. Error of the R Square Model
R
R Square a
1
.497
R Square
.247
Estimate
.171
Change
106.45283
F Change
.247
df1
df2
3.274
1
Sig. F Change
10
.100
a. Predictors: (Constant), perlakuan
ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
37105.543
1
37105.543
Residual
113322.045
10
11332.204
Total
150427.588
11
F
Sig.
3.274
.100a
a. Predictors: (Constant), perlakuan b. Dependent Variable: Fe
a
Coefficients
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
Std. Error
(Constant)
109.088
75.274
perlakuan
49.736
27.486
a. Dependent Variable: Fe
Coefficients Beta
t
.497
Sig. 1.449
.178
1.810
.100
57
Lampiran 7. Hasil Analisis Kadar Protein Tabel 4.7 Hasil Analisis Kadar Protein Ulangan
Sampel
(gram)
Vol. HCl (mL)
Vol. Blanko (mL)
Berat
N
[Total Nitrogen] (%N)
[HCl]
% Protein
1 2 3
A A A
2.1502 2.2000 2.1900
6.2020 6.2510 6.2530
0.1220 0.1220 0.1220
0.2071 0.2071 0.2071
0.820 0.808 0.812
5.1240 5.0484 5.0731
1 2 3
B B B
2.0793 2.0881 2.1078
7.2570 7.3050 7.3595
0.1220 0.1220 0.1220
0.2071 0.2071 0.2071
0.995 0.997 0.996
6.2182 6.2337 6.2222
1 2 3
C C C
2.0203 2.1203 2.0256
8.3160 8.7560 8.3517
0.1220 0.1220 0.1220
0.2071 0.2071 0.2071
1.176 1.181 1.178
7.3497 7.3791 7.3624
1 2 3
Kontrol Kontrol Kontrol
2.0562 2.0586 2.0682
3.0310 3.0350 3.0450
0.1220 0.1220 0.1220
0.2071 0.2071 0.2071
0.410 0.410 0.410
2.5637 2.5642 2.5611
58
Lampiran 8. Hasil Analisis Kadar Protein Secara Statistik dengan Uji Regresi Berganda Model Summary Change Statistics
Model 1
R .925a
R
Adjusted R
Std. Error of
R Square
Square
Square
the Estimate
Change
.857
.842
.82085
Sig. F F Change
.857
59.705
df1
df2
Change
1
10
a. Predictors: (Constant), perlakuan
ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
40.229
1
40.229
6.738
10
.674
46.967
11
F
Sig.
59.705
.000
a
a. Predictors: (Constant), perlakuan b. Dependent Variable: protein
Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
Std. Error
(Constant)
.977
.580
perlakuan
1.638
.212
a. Dependent Variable: protein
Coefficients Beta
t
.925
Sig. 1.683
.123
7.727
.000
.000
59
Lampiran 9. Hasil Analisis Kadar Vitamin C -
-
-
Standarisasi Tirasi Blanko
0,05 mL
Titrasi Standar
13,80 mL
Titrasi Terkoreksi (Titrasi Blanko-Titrasi Standar)
13,75 mL
Titrasi Sampel Sampel
Replikasi I
Replikasi II
Kontrol
1,5 mL
1,6 mL
P1
5,5 mL
5,45 mL
P2
3,4 mL
3,45 mL
P3
0,4 mL
0,3 mL
Sampel
Replikasi I
Replikasi II
Kontrol
10,90 mg
11,63 mg
P1
40,00 mg
39.63 mg
P2
24,72 mg
25,09 mL
P3
2,09 mg
2,18 mg
Perhitungan Kadar
60
Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian Daun Kelor dengan Pengeringan Suhu Ruang
Daun Kelor dengan Pengeringan dalam Oven suhu 60
Daun kelor dengan Perlakuan Blanching
61
Tepung Daun Kelor dengan Pengeringan Suhu Ruang
Tepung Daun Kelor dengan Pengeringan dalam Oven suhu 60 C
Tepung Daun Kelor dengan Blanching kemudian Pengeringan dengan Oven