PENGARUH Trichoderma sp. DAN MOLASE TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH DI SEKITAR LUBANG RESAPAN BIOPORI PADA LATOSOL DARMAGA
DEWI SITI LESTARI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Dewi Siti Lestari NIM A14090008
ABSTRAK
DEWI SITI LESTARI. Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga. Dibimbing oleh KAMIR R. BRATA dan RAHAYU WIDYASTUTI. Pemberian sampah organik pada lubang resapan biopori (LRB) dapat memperbaiki sifat biologi tanah dengan meningkatnya aktivitas biologi tanah. Secara alami proses dekomposisi sampah organik membutuhkan waktu yang lama, namun dapat dipercepat dengan menambahkan aktivator. Aktivator yang dapat ditambahkan, di antaranya adalah Trichoderma sp. dan molase. Tujuan penelitian ini, yaitu mempelajari pengaruh pemberian Trichoderma sp. dan molase terhadap sifat biologi tanah, yang meliputi populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori. Model rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan uji statistik beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 5%. Perlakuan yang diujikan, P0: tanpa perlakuan sampah organik (SO), molase (M) dan Trichoderma sp. (T), P1: dengan penambahan SO, P2: dengan penambahan SO + M, P3: dengan penambahan SO + T, dan P4: dengan penambahan SO + M + T. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan Trichoderma sp. (SO + T) dan molase (SO + M) pada lubang resapan biopori dapat memperbaiki sifat biologi tanah, yang ditunjukkan dengan tingginya populasi mikrob tanah (1.59 x 106 SPK/g BKM tanah) pada kedua perlakuan tersebut dan berbeda nyata dengan P0. Kedua perlakuan tersebut juga memiliki populasi fauna tanah yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu masing-masing 6071 individu/m2 (SO + T) dan 1908 individu/m2 (SO + M), serta memiliki populasi fungi tanah yang tinggi yaitu masing-masing 1.26 x 104 SPK/g BKM tanah (SO + T) dan 1.42 x 104 SPK/g BKM tanah (SO + M) namun tidak berpengaruh nyata meningkatkan keragaman fauna tanah. Kata kunci: lubang resapan biopori, molase, sifat biologi tanah, Trichoderma sp.
ABSTRACT
DEWI SITI LESTARI. The effect of Trichoderma sp. and Molasses on Soil Biological Properties at Arround Biopore Infiltration Hole in Latosol Darmaga. Supervised by KAMIR R. BRATA and RAHAYU WIDYASTUTI. Organic waste addition into the biopore infiltration hole could improve soil biological properties due the increase of soil biological activities. The decomposition organic waste in the biopore infiltration hole could be accelerated by adding activator. The activators that could be added were Trichoderma sp. and molasses. This research aimed at finding out the effect of giving Trichoderma sp. and molasses in soil biological properties including population and diversity of soil fauna, microbes and fungi population at arround the biopore infiltration hole. Design model that used was randomized block design (RBD) with Least Significant Difference (LSD) test on the level of trust 5%. The treatment of this research were, P0: without treatment of organic waste (SO) + molasses (M) + Trichoderma sp. (T), P1: with addition of SO, P2: with addition of SO + M, P3: with addition of SO + T, and P4: with addition of SO + M + T. The result of this research showed that the addition of Trichoderma sp. (SO+T) and molasses (SO + M) treatments in biopore infiltration hole could improve the soil biological properties. It was indicated by the high of soil microbes population 1.59 x 106 CFU (Colony Forming Unit)/g ADW (Absolute Dry Weight) soil to the both treatments and significantly higher compared to the P0. Both of the treatments also had the highest population of soil fauna than other treatments, that were 6071 individual/m2 (SO + T) and 1908 individual/m2 (SO + M), and had high population of soil fungi, that were 1.26 x 104 CFU/g ADW soil (SO + T) and 1.42 x 104 CFU/g ADW soil (SO + M), nevertheless they all did not have significantly effect in increasing the diversity of soil fauna. Keyword: Biopore Infiltration Hole, molasses, soil biological properties, Trichoderma sp.
PENGARUH Trichoderma sp. dan MOLASE TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH DI SEKITAR LUBANG RESAPAN BIOPORI PADA LATOSOL DARMAGA
DEWI SITI LESTARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga Nama : Dewi Siti Lestari NIM : A14090008
Disetujui oleh
Ir. Kamir R. Brata, M.Sc. Pembimbing I
Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak Maret 2013 sampai Juni 2013 di Kebun Percobaan Cikabayan Darmaga, Laboratorium Bioteknologi Tanah, dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah IPB Darmaga. Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Ir. Kamir R. Brata, M.Sc. dan Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. selaku pembimbing selama proses penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini, serta Dr. Ir. Enni Dwi Wahyunie, M.Si. selaku dosen penguji atas masukannya untuk perbaikan penulisan karya ilmiah ini. Rasa hormat dan terima kasih yang mendalam penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis yaitu Suyadi dan Sugiarti yang dengan keteguhan, kesabaran, ketabahan, dan kasih sayangnya membesarkan dan mendidik penulis serta mendoakan kesehatan, keselamatan, dan kesuksesan penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik atas segala doa, dukungan, serta kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboran Bioteknologi Tanah IPB serta teman-teman di Program Studi Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan angkatan 2009 atas semua bantuan, doa, dan dorongan kepada penulis. Penulis mendoakan semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semuanya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, November 2013 Dewi Siti Lestari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Tujuan Penelitian
2
Hipotesis Penelitian
2
METODE
3
Lokasi dan Waktu Penelitian
3
Bahan dan Alat
3
Metode Penelitian
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Fauna Tanah
6 6
Keragaman Fauna Tanah
10
Populasi Mikrob Tanah
13
Populasi Fungi Tanah
15
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL 1 Komposisi kimia tetes tebu (molase) 2 Hasil analisis molase 3 Populasi total fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori 4 Populasi rata-rata*) fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori 5 Keragaman fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori
2 4 7 9 12
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Berlese Funnel Extractor Penempatan perlakuan teracak dalam setiap kelompok Penyusutan sampah organik pada lubang resapan biopori Keragaman fauna tanah yang ditemukan di sekitar lubang resapan biopori 5 Hymenoptera pada perlakuan (P3) 6 Populasi total mikrob di sekitar lubang resapan biopori 7 Populasi fungi di sekitar lubang resapan biopori
3 6 7 11 12 14 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Nilai C-organik pada sampah organik di lubang resapan biopori Nilai N-total pada sampah organik di lubang resapan biopori Rasio C/N pada sampah organik di lubang resapan biopori Populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori 5 Populasi fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori 6 Analisis statistik populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah berdasarkan waktu pengamatan 7 Media isolasi total mikrob dan fungi yang digunakan
22 22 22 22 23 24 24
PENDAHULUAN Semakin tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin tingginya kebutuhan manusia akan lahan, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan di bidang pertanian maupun untuk kegiatan pembangunan. Meningkatnya kegiatan pembangunan menyebabkan daerah yang berfungsi sebagai peresapan air menjadi berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, seperti terjadinya banjir. Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan mewajibkan setiap penanggung jawab bangunan melakukan pemanfaatan air hujan di antaranya dengan pembuatan lubang resapan biopori (MENLH 2009). Lubang resapan biopori merupakan lubang silindris berbentuk vertikal dengan diameter 10 cm dan dengan kedalaman 100 cm atau tidak melebihi kedalaman muka air tanah dan diisi sampah organik. Dengan memasukkan sampah organik ke dalam lubang resapan biopori, sampah tidak bertumpuk dan berserakan di permukaan tanah, sehingga akan mempermudah upaya pemanfaatan sampah organik. Selain itu, dengan memasukkan sampah organik ke dalam lubang resapan biopori, tanah dapat difungsikan sebagai penyimpan karbon dalam bentuk humus dan biomassa dalam tubuh aneka ragam organisme tanah, sehingga mengurangi emisi karbon ke atmosfer. Menurut Brata dan Nelistya (2008) biopori merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Jumlah serta ukuran biopori tersebut akan terus meningkat mengikuti peningkatan populasi dan aktivitas organisme tanah dan pertumbuhan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dan dari dalam tanah. Sampah organik memiliki komponen yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini digunakan sampah organik yang berasal dari campuran >80% daun-daun kering rambutan (Nephelium lappaceum L.) dan sisanya berasal dari campuran guguran daun sukun (Artocarpus altilis). Menurut Sudrajat et al. (1995) serasah daun kering mengandung banyak komponen, di antaranya lignin sebesar 51% dan selulosa sebesar 12%. Menurut Brady (1990) kemudahan dekomposisi bahan organik secara berurutan yaitu: (1) gula, zat pati, protein sederhana, (2) protein kasar, (3) hemiselulosa, (4) selulosa, (5) lemak, (6) lignin, lemak, dan lilin. Lignin merupakan komponen yang sangat sulit untuk didekomposisi. Hal ini sejalan dengan penelitian Maria (2013), yang melaporkan bahwa rasio C/N kompos yang dihasilkan dengan menggunakan sampah organik yang berasal dari daun-daun kering masih tinggi yaitu berkisar 26-40 pada minggu ketujuh (Lampiran 3). Tingginya rasio C/N ini menggambarkan semakin sulitnya terjadi proses dekomposisi. Penambahan aktivator seperti Trichoderma sp. dan molase diharapkan dapat mempercepat proses dekomposisi. Molase merupakan sisa dari pengelolaan gula tebu yang tidak dapat dikristalkan lagi dan mengandung gula sekitar 50% serta dapat berperan sebagai sumber makanan bagi mikrob (Paturau 1982 dalam Yuniasari 2009). Dari Tabel 1 dapat dilihat kandungan gula pada molase dominan dalam bentuk sukrosa yaitu rata-rata sebesar 35%. Sukrosa merupakan gula dalam
2 bentuk disakarida yang lebih mudah dimanfaatkan oleh organisme dibandingkan lignin (Brady 1990). Tabel 1 Komposisi kimia tetes tebu (molase)a Unsur Air Sukrosa Dekstrosa (Glukosa) Leavulosa (Fruktosa) Bahan pereduksi lain Karbohidrat lain a
Kisaran (%)
Rata-rata (%)
17-25 30-40 4-9 5-12 1-5 2-5
20 35 7 9 3 4
Sumber: Paturau (1982) dalam Yuniasari (2009)
Proses dekomposisi pada serasah daun kering yang mengandung selulosa dan lignin dalam jumlah yang tinggi dapat juga dipercepat dengan menambahkan Trichoderma sp. yang berperan dalam merombak limbah lignoselulolitik (Widyastuti 2007). Sampah organik yang ada di dalam lubang resapan biopori akan meningkatkan aktivitas berbagai macam organisme tanah (Hakim et al. 1986). Meningkatnya aktivitas berbagai macam organisme tanah (epigeic, anecic, endogeic) karena lingkungannya sesuai untuk kelangsungan hidup organisme tanah dan mengurangi gangguan oleh pemangsa atau manusia. Fauna tanah akan mengunyah dan memperkecil ukuran sampah organik, serta mencampurkannya dengan mikrob yang dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos atau senyawa yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Fauna tanah berperan dalam mendekomposisikan bahan organik , mencampurkan dan menggranulasikan tanah, dan memasukkan tanah ke horizon lebih dalam (Supardi 1983). Menurut Anas (1989) mikrob berperan dalam pelapukan bahan organik dan pendauran unsur hara sehingga mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, sedangkan fungi berperan aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik. Dengan demikian penerapan teknologi lubang resapan biopori diharapkan dapat memperbaiki sifat biologi tanah (meningkatkan populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pemberian Trichoderma sp. dan molase terhadap sifat biologi tanah meliputi populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori. Hipotesis Penelitian Pemberian Trichoderma sp. dan molase meningkatkan populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori.
3
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Juni 2013. Pembuatan lubang resapan biopori dilakukan di kebun percobaan Cikabayan Darmaga. Analisis sifat biologi tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, sedangkan analisis rasio C/N sampah organik dan molase dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah molase dari PT. Rajawali II Unit Sindanglaut, Trichoderma sp. (koleksi Laboratorium Bioteknologi Tanah IPB), sampah organik (daun-daun kering), bahan-bahan untuk ekstraksi fauna tanah (etilen glikol, alkohol 70%), larutan fisiologis (NaCl), media tumbuh Trichoderma sp. dengan PDA (potato dekstrose agar: kentang, dekstrose, agar), Nutrient Agar dan Martin Agar (KH2PO4, MgSO4.7H2O, pepton, dekstrose, agar, rose bengal). Peralatan yang digunakan, yaitu bor biopori, Berlese Funnel Extractor, stereomikroskop, pinset, stopwatch, garpu, palu, cawan petri, erlenmeyer, shaker, tabung reaksi, pipet, autoklaf, laminar flow, inkubator, bunsen, serta alat-alat lain yang mendukung penelitian. Berlese Funnel Extractor (Gambar 1) merupakan alat untuk mengekstrak dan mengumpulkan fauna tanah yang terdiri atas pipa paralon berdiameter 16 cm dan tinggi 16.5 cm, corong plastik besar, lampu 60 watt, botol kecil untuk menampung fauna tanah, kain penutup berukuran 35 x 35 cm, saringan 2 mm.
Gambar 1 Berlese Funnel Extractor Metode Penelitian Persiapan dan Dosis Molase dan Trichoderma sp. Analisis molase mencakup unsur hara yang terdapat pada molase, yaitu: Corganik dengan metode pengabuan kering (Lost on Ignition) (BPT 2005) dan N-
4 total dengan metode Kjeldahl (DITSL 2006). Hasil analisis molase dapat dilihat pada Tabel 2. Molase yang digunakan sebesar 65 ml (80 g molase dengan bobot jenis partikel 1.23 g/ml) dalam 800 g sampah organik yang akan dikomposkan. Sebanyak 65 ml molase dicampurkan dengan air sebesar 367 ml untuk mendapatkan kadar air kompos 60%. Aplikasi Trichoderma sp. menggunakan dosis 0.4 ml setiap 800 g sampah organik yang akan dikomposkan. Menurut Gholib dan Kusumaningtyas (2006) setiap 1 ml Trichoderma sp. mengandung 106 sel spora. Sebanyak 0.4 ml Trichoderma sp. dicampurkan dengan 432 ml air untuk mendapatkan kadar air kompos 60%. Tabel 2 Hasil analisis molasea Parameter N-total (%) C-Organik (%) C/N Rasio Kadar Air (%) a
Metode Analisis Kjeldahl Pengabuan kering Gravimetri
Hasil 0.28 53.62 191.50 38.83
Sumber: Laboratorium Kimia dan Kesuburan ITSL
Pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) Lubang resapan biopori (LRB) dibuat di kebun percobaan Cikabayan Darmaga dengan menggunakan bor biopori. LRB dibuat dengan lima perlakuan. Sebanyak 800 g sampah organik (daun-daun kering) dimasukkan ke dalam empat lubang perlakuan ditambah satu lubang tanpa penambahan sampah organik, masing-masing dibuat dengan tiga kali ulangan sehingga total pengamatan berjumlah 15 LRB. Jarak antar LRB adalah 2 x 2 m. LRB dibuat dengan menggunakan bor biopori, hingga kedalaman 100 cm. Lubang yang diberikan sampah organik kemudian ditambahkan aktivator Trichoderma sp. (SO + T), molase (SO + M) dan gabungan keduanya (SO + T + M) serta satu lubang yang hanya diberi sampah organik tanpa aktivator (SO). Pengambilan Contoh Tanah dan Ekstraksi Fauna Tanah Pengambilan contoh tanah dilakukan pada awal penelitian (sebelum diberikan perlakuan/minggu ke-0) dan akhir penelitian (minggu ke-7) dan diekstraksi dengan Berlese Funnel Extractor. Pengambilan contoh tanah untuk ekstraksi fauna tanah dilakukan dengan menggunakan soil corer berdiameter 16 cm dan tinggi 16.5 cm. Paralon tersebut dimasukkan ke dalam tanah hingga rata dengan permukaan tanah, kemudian contoh tanah dimasukkan ke dalam plastik dan segera ditutup dengan kain agar fauna tanah tidak keluar, dan bagian bawahnya ditutup dengan saringan 2 mm. Pipa paralon disimpan di atas corong plastik besar, kirakira 10 cm di atas pipa paralon dipasang lampu kecil (60 W) yang digunakan sebagai sumber panas agar fauna tanah jatuh ke dalam botol fauna tanah yang berisi etilen glikol ±20 ml, yang berfungsi sebagai pengawet. Proses ekstraksi ini dilakukan selama 7-10 hari. Selanjutnya fauna tanah yang terekstrak disimpan dalam botol berisi alkohol 70%. Fauna tanah yang ditemukan kemudian diamati pada stereomikroskop dan dihitung jumlahnya serta diidentifikasi sampai dengan tingkat ordo.
5 Fauna tanah yang berukuran besar seperti cacing tanah diambil menggunakan metode hand sorting, yaitu pengambilan fauna tanah yang ditemukan pada titik tempat pengambilan contoh tanah dan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi alkohol 70%. Jumlah fauna tanah ditetapkan dengan rumus (Meyer 1996 dalam Widyastuti 2004); IS: rata-rata jumlah individu per sampel A: luas area bor (cm2)*) I : jumlah individu *) Area bor tanah = πr2 = 3.14(8 cm)2 = 200.96 cm2 = 0.020096 m2 Keragaman fauna tanah yang menggambarkan banyaknya taksa (kelompok) dalam suatu habitat dihitung berdasarkan rumus Shannon’s Diversity Index (Ludwing dan Reynolds 1998 dalam Widyastuti 2004), yaitu: H’ = -∑ ( ) Keterangan; ni: jumlah individu fauna tertentu n : jumlah total individu fauna dalam sampel Isolasi Total Mikrob dan Fungi Tanah Pengambilan contoh tanah untuk isolasi total mikrob dan fungi dilakukan pada awal (saat pembuatan lubang resapan biopori dan sebelum diberikan perlakuan) dan akhir penelitian (minggu ke-7). Pada awal penelitian dilakukan saat pembuatan lubang resapan biopori dengan menggunakan bor biopori dan pada akhir penelitian diambil di sekitar LRB. Contoh tanah yang diambil kemudian dikompositkan dan disimpan dalam lemari es agar kadar air tanah tetap terjaga. Media yang digunakan adalah Nutrien Agar untuk isolasi total mikrob dan Martin Agar untuk isolasi fungi tanah (Lampiran 7). Metode yang digunakan adalah metode agar cawan. Sebanyak 10 g contoh tanah dimasukkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis (8.5 g NaCl per liter aquades) pada erlenmeyer dan dikocok selama 15 menit, sehingga diperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat seri pengenceran 10-2 dengan mencampurkan 1 ml larutan dari pengenceran 10-1 ke dalam 9 ml larutan fisiologis pada tabung reaksi dan dikocok selama 15 menit, demikian seterusnya hingga 10-7. Isolasi total mikrob menggunakan contoh tanah pada pengenceran 106 dan 10-7 dan fungi diisolasi pada tanah dengan pengenceran 10-4 dan 10-5. Kemudian diinkubasi selama tiga hari. Pengamatan dilakukan pada hari ketiga. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Pada penelitian ini terdapat lima perlakuan, masing-masing dibuat tiga kali ulangan, sehingga diperoleh 15 unit percobaan. Perlakuan yang diujikan terdiri atas, P0: tanpa sampahn organik (SO) + molase (M) + Trichoderma sp. (T), P1: dengan penambahan SO, P2: dengan penambahan SO + M, P3: dengan penambahan SO + T, dan P4: dengan penambahan SO + M + T. Perlakuan ditempatkan secara acak pada setiap kelompok seperti ditunjuk pada Gambar 2.
6
Kelompok 1
P1
2m
P3
P4
P2
P0 Utara
2m Kelompok 2
P0
P4
P1
P3
P2
Kelompok 3
P3
P4
P0
P2
P1
Gambar 2 Denah Penempatan perlakuan teracak dalam setiap kelompok Model matematik rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut.
Y ij = µ + τ i + β j + ε ij Y ij µ τI βj ε ij
= = = = =
Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Rataan umum Pengaruh perlakuan ke-i Pengaruh kelompok ke-j Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Analisis Statistik Pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati dianalisis dengan uji ANOVA dan bila berpengaruh nyata (Fhitung > Ftabel) maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Fauna Tanah Populasi dan keragaman fauna tanah pada akhir proses dekomposisi cenderung mengalami penurunan (Lampiran 6). Penurunan ini disebabkan pada akhir proses dekomposisi jumlah sampah organik pada lubang resapan biopori mengalami penyusutan hingga lebih dari 80 cm dari permukaan lubang (Gambar 3). Akibatnya sumber makanan dan energi bagi fauna tanah berkurang dan diikuti dengan menurunnya populasi dan keragaman fauna tanah. Hal ini disebabkan fauna tanah merupakan kelompok heterotrof utama dalam tanah, mendapatkan energi dari substrat organik dalam tanah (Rahmawaty 2004). Fauna tanah akan berpindah dan mencari lokasi yang kaya akan makanan untuk keberlangsungan hidupnya. Menyusutnya sampah organik juga menyebabkan berkurangnya kondisi kenyamanan bagi fauna tanah karena berkurangnya sampah organik yang dapat berfungsi untuk menjaga fluktuasi suhu, kelembaban serta melindungi fauna tanah dari sinar matahari secara langsung. Dengan demikian penerapan teknologi lubang resapan biopori sebaiknya diikuti dengan pengisian sampah organik secara kontinyu agar populasi dan keragaman fauna tanah juga meningkat dan aktivitas biologi tetap berlangsung dengan baik.
7
±80 cm
Gambar 3 Penyusutan sampah organik pada lubang resapan biopori Berdasarkan hasil pengamatan populasi awal fauna tanah yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 7713 individu/m2 (Tabel 3). Tingginya populasi awal fauna tanah menyebabkan sampah organik yang diberikan pada perlakuan ini langsung diserang oleh konsumen primer mikroflora dan detritivor, yaitu binatang yang hidup dari jaringan tanaman yang membusuk (Supardi 1983). Mereka akan didampingi oleh rayap, keong, kumbang, milipeda, kutu kayu, cacing tanah, dan cacing lainnya. Fauna tersebut akan mengunyah dan merobekrobek jaringan tanaman, membuatnya lebih mudah bagi serangan mikroflora. Tingginya populasi fauna menyebabkan proses dekomposisi sampah organik juga berjalan lebih cepat. Menurut Supardi (1983) fauna tanah berperan dalam mendekomposisikan bahan organik. Hal ini sesuai dengan penelitian Maria (2013) yang melaporkan rasio C/N terendah pada minggu ketujuh terdapat pada perlakuan SO + T yaitu sebesar 26.41 (Lampiran 3). Rendahnya rasio C/N ini menggambarkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Tabel 3 Populasi total fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori Perlakuan
Awal
Akhir
P0 P1 P2 P3 P4
Individu/m2 3997 1227a*) 2919 1626a 3351 1908a 7713 6071b 3599 1393a
% Penurunana 69 44 43 21 61
*)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. a % Penurunan adalah persentase selisih dari populasi akhir dan awal total fauna tanah terhadap populasi awal fauna tanah. (Awal: sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi.
Pada Tabel 3 dapat dilihat penurunan populasi total fauna tanah yang terbesar terdapat pada perlakuan P0 (69%), hal ini disebabkan pada perlakuan ini tidak diberikan sampah organik sebagai sumber energi bagi fauna tanah, padahal fauna tanah merupakan kelompok heterotrof utama dalam tanah yang mendapatkan energi dari substrat organik (Rahmawaty 2004). Pada perlakuan P1
8 (44%), P2 (43%), P3 (21%) dan P4 (61%) memiliki nilai penurunan populasi total fauna tanah yang lebih kecil dibandingkan P0 (66%). Hal ini disebabkan pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 diberikan sampah organik sebagai sumber energi bagi fauna tanah. Perlakuan P2 (43%) dan P3 (21%) memiliki nilai penurunan populasi total fauna yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan pada perlakuan P2 tersedia sumber makanan yang lebih banyak yaitu yang berasal dari molase dan sampah organik. Pada perlakuan P3 memiliki nilai penurunan populasi total fauna tanah yang terendah (21%), hal ini disebabkan pada perlakuan ini diberikan penambahan Trichoderma sp. yang mampu merombak selulosa dan lignin pada sampah organik menjadi glukosa, sehingga mengundang berkumpulnya fauna tanah, terutama Hymenoptera. Selain itu pada perlakuan P3 juga memiliki populasi awal total fauna tanah yang tinggi yaitu sebesar (7713 individu/m2). Akan tetapi pada perlakuan P4 memiliki penurunan populasi total fauna tanah yang lebih besar dibandingkan dengan P1, P2 dan P3. Hal ini disebabkan pada perlakuan P4 terjadi penyusutan sampah organik yang besar sehingga sumber energi bagi fauna tanah berkurang dan menyebabkan berkurangnya kondisi kenyamanan bagi fauna tanah. Kondisi ini menyebabkan fauna tanah berpindah dan mencari lokasi yang kaya akan makanan untuk keberlangsungan hidupnya. Oleh karena itu, penerapan lubang resapan biopori sebaiknya diikuti dengan pengisian sampah organik secara kontinyu, agar proses dekomposisi sampah organik pada lubang resapan biopori tetap berlangsung dengan baik, populasi dan keragaman fauna tanah, serta populasi total mikrob dan fungi tanah juga diharapkan meningkat. Pada perlakuan P3 memiliki populasi akhir total fauna tanah yang secara nyata lebih tinggi (6071 individu/m2) dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 3). Tingginya populasi fauna tanah pada P3 disebabkan populasi awal total fauna tanahnya tinggi yaitu 7713 individu/m2 (Tabel 3). Populasi fauna tanah yang terendah pada kondisi akhir proses dekomposisi terdapat pada perlakuan P0 (1227 individu/m2), hal ini disebabkan pada perlakuan ini tidak diberikan sampah organik pada lubang resapan biopori sehingga tidak tersedia sumber makanan bagi fauna tanah. Pada Tabel 4 dapat dilihat rata-rata populasi fauna tanah yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (6892 individu/m2) dan yang terendah terdapat pada perlakuan P1 (2272 individu/m2). Tingginya populasi fauna tanah pada P3 disebabkan populasi awal total fauna tanahnya tinggi yaitu 7713 individu/m2 (Tabel 3), sedangkan pada perlakuan P1 memiliki populasi fauna tanah yang terendah karena populasi awal fauna tanah pada perlakuan ini rendah yaitu 2919 individu/m2 (Tabel 3). Dari Tabel 4 dapat dilihat populasi makrofauna yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (6146 individu/m2) dan yang terendah terdapat pada perlakuan P4 (1609 individu/m2). Tingginya populasi makrofauna tanah pada P3 disebabkan populasi awal makrofauna tanahnya tinggi (6369 individu/m2) dan terendah pada P4 disebabkan populasi awal makrofauna tanahnya rendah yaitu 1924 individu/m2 (Lampiran 5). Pada Tabel 4 juga dapat dilihat populasi mesofauna yang tertinggi terdapat pada perlakuan P0 (921 individu/m2) dan yang terendah terdapat pada perlakuan P1 (365 individu/m2). Tingginya populasi mesofauna tanah pada P0 disebabkan populasi awal mesofauna tanahnya tinggi (1742 individu/m2) dan
9 terendah pada P1 karena populasi awal mesofauna tanahnya yang terendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu 498 individu/m2 (Lampiran 5). Tabel 4 Populasi rata-rata*) fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori No
Taksa
P0
P1
P2
P3
P4
Individu/m2 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
*)
Mesofauna Acari Collembola Protura Symphyla Total Mesofauna Makrofauna Aranae Chilopoda Coleoptera Coleoptera Larva Diplopoda Diplura Diptera Diptera Larva Grylloblattaria Hemiptera Homoptera Hymenoptera Isopods Isoptera Lepidoptera Larva Microcoryphia Orthoptera Palpigradi Plecoptera Pseudoscorpiones Trichoptera Uropygi Zoraptera Total Makrofauna
431 66 17 406 921
50 25 8 282 365
50 133 8 489 680
149 199 8 390 746
66 50 8 763 887
41 0 199 17 0 116 0 0 0 41 8 788 8 398 0 17 41 8 0 8 0 0 0 1692
50 8 108 0 8 8 0 8 8 33 0 1451 0 174 0 17 8 0 0 17 8 0 0 1908
33 0 41 0 25 41 0 0 0 66 0 1609 0 41 0 0 50 0 0 25 8 0 8 1949
116 0 207 8 50 75 17 0 0 33 17 5101 0 406 0 0 83 0 0 25 0 8 0 6146
33 8 141 0 108 58 25 0 0 8 0 1078 17 41 17 0 33 8 8 25 0 0 0 1609
Total Fauna
2612
2272
2629
6892
2496
Populasi rata-rata adalah rataan dari populasi awal dan akhir fauna tanah
Menurut Van der Drift (1951) dalam Szujecki (1987) berdasarkan habitatnya, fauna tanah terdiri dari kelompok epigeic (fauna yang hidup pada serasah dan lapisan yang lebih dangkal, mempengaruhi penghancuran dan
10 pelepasan nutrient, tetapi tidak secara aktif mendistribusikannya, misalnya: Chilopoda, Arachnida, Insecta), anecic (fauna yang hidup pada permukaan tanah, mengambil serasah di permukaan tanah kemudian membawanya masuk ke dalam tanah dan memakannya, misalnya: annelida dan Isoptera), dan endogeic (fauna yang hidup pada lapisan tanah yang lebih dalam, makan bahan organik atau perakaran tanaman, misalnya: cacing endogeik). Dari Tabel 4 dapat dilihat populasi fauna yang tergolong epigeic lebih banyak populasinya dan lebih beragam ditemukan yaitu dari ordo Acari, Aranae, Chilopoda, Coleoptera, Diptera, Hemiptera, Homoptera, Hymenoptera, Isoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Pseudoscorpiones. Hal ini disebabkan lubang resapan biopori memiliki permukaan dinding yang lebih luas sehingga fauna tanah (epigeic) yang biasanya hanya berada di permukaan tanah saja dapat masuk ke dalam lubang dan hidup di permukaan dinding lubang resapan biopori, sehingga didominasi oleh fauna tanah yang tergolong epigeic. Selain itu dengan memberikan sampah organik pada lubang resapan biopori maka akan menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup fauna tanah terutama fauna epigeic yang hidup pada serasah, dapat menjaga fluktuasi suhu, dan terhindar dari sinar matahari langsung. Menurut Van der Drift (1951) dalam Widyastuti (2004) fauna tanah terbagi ke dalam mikrofauna: < 0.2 mm, mesofauna: 0.2-2.0 mm, makrofauna 2.020. Populasi makrofauna tanah P3 (5922 individu/m2) pada kondisi akhir proses dekomposisi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya (Lampiran 5). Makrofauna yang dominan pada perlakuan ini yaitu dari taksa Hymenoptera (5590 individu/m2). Salah satu faktor lingkungan yang menentukan keberadaan Hymenoptera adalah kelembaban lingkungan, adanya sampah organik pada lubang resapan biopori sehingga kelembaban lingkungan menjadi lebih terjaga dan keberadaan Hymenoptera juga terjaga. Hymenoptera juga memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dengan baik dan merupakan fauna yang bersifat sosial sehingga dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak. Hymenoptera berperan sebagai predator utama fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil, seperti Acari dan Collembola. Tingginya kepadatan populasi Hymenoptera pada suatu habitat akan mengurangi kepadatan predator lainnya pada habitat tersebut, seperti Aranae dan Coleoptera (Coleman et al. 2004). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh, tingginya populasi Hymenoptera pada (P3) menyebabkan terjadinya penurunan populasi Acari menjadi (17 individu/m2), Collembola (66 individu/m2), Aranae (33 individu/m2), dan Coleoptera (66 individu/m2). Perlakuan P3 juga memiliki populasi makrofauna tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi mesofauna tanahnya 149 individu/m2. Symphyla dan Collembola adalah taksa mesofauna dengan jumlah yang sama dan dominan pada P3 yaitu 66 individu/m2 (Lampiran 5). Keragaman Fauna Tanah Setiap fauna tanah memiliki tugas dan peran yang berbeda-beda, peran satu fauna tanah tidak dapat digantikan oleh fauna tanah yang lainnya sehingga sangat penting untuk menjaga keragaman fauna tanah. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa ditemukan 25 kelompok fauna tanah yang terdiri atas 4 taksa pada klas mesofauna dan 21 taksa pada klas makrofauna, diantaranya dapat dilihat
11 pada (Gambar 4). Taksa mesofauna yang ditemukan yaitu Acari, Collembola, Protura, dan Symphyla, sedangkan pada makrofauna taksa yang ditemukan yaitu Aranae, Chilopoda, Coleoptera, Dilpopoda, Diplura, Diptera, Grylloblattaria, Hemiptera, Homoptera, Hymenoptera, Isopds, Isoptera, Lepidoptera, Microcoryphia, Orthoptera, Palpigradi, Plecoptera, Pseudoscorpiones, Trichoptera, Uropygi, dan Zoraptera.
(a)
(b)
(c)
(d) (e) Gambar 4 Keragaman fauna tanah yang ditemukan di sekitar lubang resapan biopori di antaranya (a. Diplura, b. Acari, c. Pseudoscorpioes, d. Symphyla, e. Hymenoptera) Indeks keragaman fauna tanah ditetapkan berdasarkan Shannon’s Diversity Index. Secara keseluruhan pada kondisi akhir proses dekomposisi sampah organik pada lubang resapan biopori memiliki nilai keragaman rendah. Hal ini disebabkan rendahnya variasi jenis sampah organik yang tersedia sehingga jenis fauna tanah yang ditemukan menjadi kurang beragam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keragaman fauna tanah tidak berbeda nyata pada semua perlakuan yang diberikan (Tabel 5). Tingginya keragaman fauna tanah pada P2 (1.19) dan P4 (1.33) disebabkan pada perlakuan P2 dan P4 memiliki sumber makanan yang bervariasi, yaitu sumber makanan yang berasal dari sampah organik dan molase. Keragaman fauna tanah pada perlakuan P0 memiliki nilai terendah karena pada lubang ini tidak diberikan penambahan sampah organik dan molase sebagai sumber makanan dan energi bagi fauna tanah. Fauna tanah yang hidup pada perlakuan ini hanya menggunakan sumber makanan yang terdapat pada tanah sehingga memiliki nilai keragaman dan populasi fauna tanah yang terendah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya.
12 Tabel 5 Keragaman fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 BNT α 5%
Awal 1.46 1.40 1.41 1.83 1.76
Akhir
Rata-rata
*)
0.73a 1.14a 1.19a 0.83a 1.33a
1.10a*) 1.27a 1.30a 1.33a 1.54a
0.63
0.56
*)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. (Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir dekomposisi).
Populasi fauna yang terbesar terdapat pada perlakuan dengan penambahan Trichoderma sp. (P3) tetapi indeks keragaman fauna pada perlakuan ini justru yang lebih kecil. Hal ini diduga karena tidak meratanya jumlah individu fauna tanah pada tiap spesies dan jumlah individu terbesar hanya memusat pada satu taksa fauna yaitu Hymenoptera sehingga mempengaruhi jumlah total fauna menjadi besar. Besarnya jumlah total fauna dengan memusatnya pada satu taksa menyebabkan nilai keragaman pada P3 lebih kecil. Menurut Cover and Thomas (1991) nilai indeks keragaman akan maksimal jika setiap ordo terwakili secara merata pada suatu habitat. Tingginya populasi Hymenoptera pada P3 disebabkan oleh Trichoderma sp. yang menghasilkan kompleks enzim selulase pada substrat yang mengandung selulosa sehingga mampu memecahkan ikatan β-1.4-glukosida dari struktur selulosa yang terdapat pada sampah organik yang digunakan. Selulase yang dihasilkan memiliki komponen enzim yang lengkap, yaitu C1 (selobiohidrolase) yang aktif menghidrolisis selulosa alami, Cx (endoglukanase) yang aktif merombak selulosa terlarut seperti CMC (Carboxyl Methyl Cellulase) dan βglukosidase yang menghidrolisis selobiosa menjadi prosuk akhir yaitu glukosa dalam biodegradasi bahan-bahan berselulosa (Hardjo et al. 1989).
Gambar 5 Hymenoptera pada perlakuan (P3) Selulosa dan lignin yang terurai akan menjadi glukosa pada lingkungan aerobik (Imas dan Setiadi 1988), diduga glukosa yang dihasilkan tersebut mengundang berkumpulnya Hymenoptera. Selain itu, tingginya populasi Hymenoptera pada perlakuan P3 juga diduga karena pada saat pengambilan sampel tanah untuk ekstraksi fauna tanah dilakukan didekat sarang Hymenoptera sehingga ditemukan secara berkoloni. Hal ini sesuai dengan Coleman et al. (2004)
13 Hymenoptera termasuk serangga sosial atau serangga yang hidupnya berkoloni. Hymenoptera berperan sebagai predator, pengurai dan herbivor dalam ekosistem tanah . Hymenoptera yang ditemukan pada perlakuan P3 dapat dilihat pada Gambar 5. Penggunaan lahan secara intensif dan berlebihan dapat meningkatkan ketidakstabilan biodiversitas, penurunan keragaman dan meningkatkan dominansi. Menurut Supardi (1983) lahan yang diusahakan memiliki jumlah dan bobot organisme tanah yang sedikit, terutama fauna tanah. Oleh karena itu penggunaan lahan untuk pertanian sebaiknya dilakukan menurut teknik-teknik konservasi tanah seperti penerapan lubang resapan biopori secara tepat sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai dan keragaman fauna tanah dapat terjaga. Populasi Mikrob Tanah Menurut Supardi (1983) perkembangan jumlah mikrob dalam tanah tergantung pada keadaan tanah seperti persediaan makanan, suhu, kelembaban, aerasi, persediaan oksigen dan sifat bahan organik. Analisis populasi total mikrob tanah pada saat awal dilakukan untuk mengetahui populasi mikrob tanah sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi total mikrob awal berbeda setiap perlakuan karena plot pengambilan sampel tanahnya juga berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada akhir proses dekomposisi populasi total mikrob mengalami peningkatan, sedangkan populasi fauna tanah mengalami penurunan. Hal ini disebabkan mikrob masih dapat memanfaatkan sampah organik yang sudah terdekomposisi pada akhir penelitian, sedangkan fauna tanah berperan sebagai konsumen primer sampah-sampah organik yang masih segar. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa populasi total mikrob meningkat setelah penambahan sampah organik (P1, P2, P3, P4) pada lubang resapan biopori. Hasil penelitian Atmojo (2003) bahan organik dapat memperbaiki aerasi tanah, aerasi terkait dengan O2 dalam tanah yang berpengaruh pada respirasi mikrob, dengan demikian perbaikan aerasi yang terjadi dengan penambahan sampah organik dapat meningkatkan populasi mikrob. Kompos dalam tanah akan menyebabkan suhu dalam tanah lebih sejuk, kondisi tersebut lebih disenangi oleh mikrob tanah, sehingga populasi mikrob dan organisme lain dalam tanah meningkat (Prawitasari 2006). Selain itu sampah organik juga dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikrob adalah sekitar kapasitas lapang, sehingga dengan meningkatnya kemampuan tanah menyediakan air maka tanah berada pada kadar air sekitar kapasitas lapang dan baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan kehidupan mikrob. Pada perlakuan tanpa pemberian sampah organik dan tanpa aktivator (P0) juga terjadi peningkatan populasi mikrob pada kondisi akhir proses dekomposisi tetapi peningkatannya tidak signifikan. Peningkatan tersebut diduga merupakan hasil perkembangbiakan dari populasi awal yang telah ada, meskipun populasinya meningkat namun peningkatannya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Lampiran 4). Hal ini disebabkan pada (P0) tidak diberikan sampah organik. Menurut Hakim et al. (1986) peranan bahan organik dalam sifat biologi
14 tanah adalah meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah dan meningkatkan kegiatan jasad mikro dalam mendekomposisi bahan organik. Meningkatnya aktivitas dekomposisi dapat mempercepat proses dekomposisi sampah organik melalui aktivitas organisme tanah dengan mengunyah, memakan, dan mencampur-adukkan sampah organik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivator memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan populasi total mikrob tanah. Populasi akhir total mikrob pada perlakuan P0 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan perlakuan P2, P3, dan P4, namun tidak nyata dengan perlakuan P1 (Lampiran 4). Populasi mikrob pada P1 (1.13 x 106 SPK/g BKM) dan P0 (0.39 x 106 SPK/g BKM), nilai ini tidak berbeda nyata berdasarkan analisis statistik yang dilakukan. Dengan demikian pemberian sampah organik tanpa aktivator tidak memberikan hasil yang lebih baik, berbeda halnya dengan P2, P3, dan P4. Pada perlakuan P2, P3, dan P4 memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata dengan P0. Perlakuan P2, P3, dan P4 merupakan perlakuan dengan penambahan sampah organik yang diikuti dengan penambahan aktivator sehingga memiliki nilai populasi mikrob yang berbeda nyata dengan P0 dan perlakuan P4 berbeda nyata dengan P1 dan P0 namun tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3. b
106 SPK/g BKM
2.50 2.00
a
1.50
a
a
a Awal
a
1.00 0.50
a
a
a
Akir
a
0.00 P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 6 Populasi total mikrob di sekitar lubang resapan biopori pada awal dan akhir pengamatan. Huruf yang sama di atas balok data pada perlakuan yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata terkecil pada taraf nyata 5%. Nilai populasi mikrob yang tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 1.12 x 106 SPK/g BKM saat sabelum diberikan perlakuan dan 2.32 x 106 SPK/g BKM tanah saat kondisi akhir proses dekomposisi, sehingga peningkatan populasinya adalah 1.20 x 106 SPK/g BKM tanah. Peningkatan populasi mikrob tertinggi ini terjadi karena pada lubang resapan biopori ini tersedia sumber energi dan makanan yang banyak bagi mikrob, yang berasal dari molase dan sampah organik. Selain itu, tingginya populasi mikrob pada P4 disebabkan pada lubang resapan biopori (P4) diberikan penambahan Trichoderma sp., Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis mikrob, sehingga meningkatkan populasi total mikrob tanah. Perlakuan P4 (2.32 x 106 SPK/g BKM tanah) memiliki nilai populasi mikrob tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, namun nilainya tidak berbeda nyata dengan P2 (1.59 x 106 SPK/g BKM) dan P3 (1.59 x 106 SPK/g BKM tanah). Dengan demikian pemberian molase (P2) atau Trichoderma
15 sp. (P3) efektif memiliki populasi total mikrob yang tinggi dan memberikan perbedaan yang nyata terhadap populasi mikrob pada perlakuan tanpa sampah organik dan tanpa aktivator (P0). Populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup, temperatur yang sesuai, dan kondisi ekologi lain yang menyokong perkembangan mikrob pada tanah tersebut (Anas 1989). Kondisi ekologi yang dibutuhkan oleh mikrob tanah dapat diciptakan dengan memanfaatkan lubang resapan biopori secara tepat, yaitu dengan mengisi sampah organik pada LRB secara kontinyu sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah, sifat biologi, dan fisik tanah. Dari hasil pengamatan dapat diketahui, perlakuan P2, P3 dan P4 memiliki total mikrob yang lebih tinggi dibandingkan (P0 dan P1). Tingginya total mikrob pada (P2, P3, P4) menunjukkan semakin suburnya tanah pada perlakuan tersebut (Anas 1989). Peranan mikrob dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Kemampuan mikrob memperbaiki struktur tanah karena mikrob berperan sebagai pembangun agregat tanah yang mantap dengan menghasilkan senyawa-senyawa organik. Mikrob tanah bertanggung jawab atas pelapukan bahan organik dan pendauran unsur hara sehingga mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik dan kimia tanah (Anas 1989). Menurut Atmojo (2003) dari aktivitas mikrob akan terlepas berbagai zat pengatur tumbuh (auksin) dan vitamin yang akan berdampak positif bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Imas et al. (1989) mikrob tanah juga berperan dalam menguraikan unsur hara yang semula tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman dari bahan organik dan mineral, produksi enzim, menghambat perkembangan patogen tumbuhan, dan menghasilkan berbagai asam-asam organik yang dibutuhkan oleh tanaman. Populasi Fungi Tanah Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan sampah organik (P1, P2, P3, P4) memiliki jumlah fungi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa sampah organik (P0). Perlakuan P0 memiliki peningkatan populasi fungi yang terendah yaitu 0.08 x 104 SPK/g BKM tanah (Lampiran 4) dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya karena tidak diberikan sampah organik sebagai sumber makanan dan energi bagi fungi tanah. Fungi tidak berklorofil sehingga mereka menggantungkan kebutuhan energi dan karbon dari bahan organik (Supardi 1983). Fungi termasuk mikrob aerobik dan tergolong heterotrof. Pemberian molase (P2) atau Trichoderma sp. (P3) memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan populasi fungi, tetapi pemberian molase dan Trichoderma sp. secara bersama (P4) tidak memberikan peningkatan fungi yang berbeda nyata dengan perlakuan yang tidak diberikan aktivator baik dengan maupun tanpa sampah organik. Nilai populasi fungi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yaitu sebesar 1.42 x 104 SPK/g BKM, namun dari segi peningkatan populasi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 0.07 x 104 SPK/g BKM saat sebelum diberikan perlakuan dan 1.26 x 104 SPK/g BKM tanah saat akhir proses dekomposisi, sehingga peningkatan populasinya adalah 1.19 x 104 SPK/g BKM tanah (Lampiran 4). Peningkatan populasi fungi tertinggi ini terjadi
16
104 SPK/g BKM
karena pada lubang resapan biopori ini diberikan perlakuan dengan penambahan Trichoderma sp. Menurut Widyastuti (2007) Trichoderma sp. dikenal sebagai fungi yang dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah dan berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik. Dengan demikian Trichoderma sp. merupakan mikrob yang termasuk dalam jenis fungi, sehingga penambahan Trichoderma sp. akan meningkatkan populasi fungi pada lubang resapan biopori. 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
a b a
a
a
a
a
Awal a a
P0
P1
P2
P3
a
Akhir
P4
Perlakuan
Gambar 7 Populasi fungi di sekitar lubang resapan biopori pada awal dan akhir pengamatan. Huruf yang sama di atas balok data pada perlakuan yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata terkecil pada taraf nyata 5%. Menurut Anas (1989) fungi aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik. Bila tidak karena fungi, maka pelapukan bahan organik dalam suasana masam tidak akan terjadi (Supardi 1983). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Tingginya populasi fungi pada P3 menyebabkan proses dekomposisi sampah organik berjalan lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Dalam penelitian Maria (2013) rasio C/N pada (SO + Trichoderma sp.) yaitu 26.41, nilai ini lebih rendah dari perlakuan yang lainnya. Rendahnya rasio C/N ini menggambarkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Perlakuan P4 memiliki populasi fungi yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P3. Diduga ada sifat antagonisme yang terjadi antara Trichoderma sp. yang diberikan dengan mikrob yang tumbuh dengan penambahan molase sehingga populasi fungi lebih rendah. Pada pengamatan yang dilakukan juga menunjukkan lubang dengan perlakuan P4 memiliki populasi total mikrob yang tertinggi, meskipun funginya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P3, dengan demikian dapat diketahui mikrob yang dominan tumbuh pada perlakuan P4 adalah mikrob jenis bakteri bukan fungi. Pertumbuhan bakteri yang lebih cepat dibandingkan dengan fungi (Anas 1989), diduga menimbulkan antagonisme antara Trichoderma sp. yang diberikan dengan mikrob yang tumbuh dengan penambahan molase, sehingga mempengaruhi lebih sedikitnya populasi fungi. Selain itu pada perlakuan P4 juga ditambahkan beragam sumber makanan sehingga beragam mikrob juga dapat tumbuh dan menimbulkan sifat antagonisme bagi Trichoderma sp. Ketersediaan makanan yang rendah pada lubang dengan perlakuan P0 menyebabkan organisme tanah mencari tempat yang lebih banyak ketersediaan
17 makananannya seperti pada P1, P2, P3, dan P4 sehingga jumlah organisme yang terdapat pada P0 juga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan sampah organik. Selain itu lubang yang tidak diberikan sampah organik juga tidak bisa memberikan kenyamanan terhadap keberlangsungan hidup organisme tanah seperti melindungi organisme tanah dari sengatan panas matahari, tidak dapat menjaga kelembaban dan fluktuasi suhu lingkungan sehingga organisme merasa kurang nyaman dan lebih memilih tempat-tempat yang mendukung keberlangsungan hidupnya. Lubang yang tidak diberikan sampah organik (P0) memiliki populasi mikrob (0.39 x 106 SPK/g BKM), fungi (0.38 x 104 SPK/g BKM), total fauna (1227 individu/m2) dan nilai keragaman fauna tanah (0.73) yang rendah. Hasil penelitian Atmojo (2003) menunjukkan penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir) akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air. Penambahan bahan organik pada tanah halus lempungan akan meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro sehingga pori yang terisi udara meningkat dan menurunkan pori yang terisi air, artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk tanah lempung berat. Dengan demikian pengisian sampah organik pada lubang resapan biopori secara kontinyu sangat penting untuk menjaga aerasi tanah dan siklus air dan udara pada tanah untuk kelangsungan hidup organisme tanah dan juga diharapkan dapat meningkatkan populasi dan keragaman fauna dan mikrob tanah sehingga dapat memperbaiki sifat biologi tanah. Penerapan lubang resapan biopori dapat mengurangi emisi CO2 yang terbentuk dari adanya respirasi oleh organisme tanah karena CO 2 yang direspirasikan tidak langsung menguap ke atmosfer tetapi berada di dalam tanah dan digunakan oleh mikroflora untuk fotosintesis. Selain itu respirasi oleh organisme tanah juga menghasilkan H2O sehingga dapat menjaga kelembaban tanah dan disukai oleh organisme tanah. Penelitian ini menunjukkan bahwa lubang resapan biopori yang hanya merupakan lubang dengan diameter 11.4 cm dan kedalaman 1 meter memiliki banyak manfaat terhadap perbaikan sifat tanah. Di dalam lubang resapan biopori dengan penambahan sampah organik dapat dihasilkan kompos yang berguna untuk pertumbuhan tanaman dan perbaikan sifat tanah. Pemanfaatan lubang sebagai tempat pengomposan juga merupakan solusi dalam penanganan sampah organik yang mudah, murah, dan efektif. Sampah organik seringkali menjadi masalah dalam kehidupan sehari-hari, jumlahnya yang setiap hari bertambah namun kurang mendapat perhatian padahal jika dimasukkan ke dalam lubang resapan biopori tidak hanya menjadi solusi penanganan sampah organik tetapi juga dapat berfungsi sebagai penyimpan karbon dalam tanah sehingga mengurangi emisi karbon ke atmosfer. Secara umum proses dekomposisi sampah organik pada lubang resapan biopori memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan proses dekomposisi (pengomposan) secara konvensional. Proses dekomposisi secara konvensional yang dilakukan di permukaan tanah tidak efisien dalam pemanfaatan tempat, hara yang terdapat pada sampah organik dapat hilang dengan penguapan atau tercuci, membutuhkan tenaga manusia untuk membolak-balikkan sampah organik, pemberian kompos pada tanaman membutuhkan adaptasi terhadap lingkungan baru agar mikrob yang ada dapat berkembang dengan baik. Berbeda halnya
18 dengan proses dekomposisi yang terjadi pada lubang resapan biopori, sampah organik dimasukkan ke dalam lubang, berdekatan dengan tanah, sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai untuk organisme tanah, mengundang datangnya beranekaragam organisme tanah karena mengandung sampah organik yang cukup sebagai sumber makanan bagi organisme tanah. Lubang resapan biopori mampu meningkatkan jumlah populasi dan keragaman fauna tanah (Sa’adah 2010). Proses dekomposisi pada lubang resapan biopori terjadi secara alami dengan bantuan peran organisme tanah yang mencampur-adukkan sampah organik dengan mineral tanah, memperkecil ukuran sampah organik sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga manusia dan juga efisien dalam pemanfaatan tempat. Selain itu, hara-hara yang terdapat pada sampah organik juga tidak hilang tercuci atau menguap ke atmosfer, tetapi terjerap tanah dan mengisi pori-pori dalam tanah yang nantinya bermanfaat untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sisa tanaman dan organisme tanah yang mati pada lubang resapan biopori juga tidak menyebabkan terjadinya kehilangan hara karena organisme dan sisa tanaman yang mati dapat dimanfaatkan oleh organisme lain dan tanaman berikutnya, pada proses ini terjadi rantai makanan di dalam tanah.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perlakuan Trichoderma sp. (SO + T) dan molase (SO + M) pada lubang resapan biopori dapat memperbaiki sifat biologi tanah, yang ditunjukkan dengan populasi mikrob tanah (1.59 x 106 SPK/g BKM tanah) yang lebih tinggi pada kedua perlakuan tersebut dan berbeda nyata dengan P0. Kedua perlakuan tersebut juga memiliki populasi fauna tanah yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu masing-masing 6071 individu/m2 (SO + T) dan 1908 individu/m2 (SO + M), serta memiliki populasi fungi tanah yang tinggi yaitu masing-masing 1.26 x 104 SPK/g BKM tanah (SO + T) dan 1.42 x 104 SPK/g BKM tanah (SO + M) namun tidak berpengaruh nyata meningkatkan keragaman fauna tanah. Akan tetapi perlakuan Trichoderma sp. dan molase secara bersama (SO + T + M) memiliki populasi fungi dan fauna yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan (SO + T) dan (SO + M). Saran Diperlukan penelitian lanjutan mengenai sifat biologi (total mikrob, fungi, populasi, dan keragaman fauna tanah) pada berbagai kedalaman di sekitar lubang resapan biopori serta pada kompos yang dihasilkan.
19
DAFTAR PUSTAKA Anas I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Atmojo SW. 2003. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret; 2003 Jan 4; Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): Sebelas Maret University Press. 26 hlm. [BPT] Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soil. 10th ed. New York: Macmillan. Brata KR, Nelistya A. 2008. Lubang Resapan Biopori. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Coleman DC, Crossley DA, Hendrix PF. 2004. Fundamentals of Soil Ecology (2nd ed). Athens (GE): Elsevier Academic Pr. Cover TM, Thomas JA. 1991. Elements of Information Theory. New York (AS): John Wiley & Sons, Inc. [DITSL] Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. 2006. Penuntun Praktikum Analisis Tanah. Bogor (ID): Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Gaur AC. 1981. Project Field Document (15). A Manual of Rural Composting. Principles of Composting and Effecting Factors. New Delhi (IN): Indian Agricultural Research Institute. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Gholib D, Kusumaningtyas E. 2006. Penghambatan Pertumbuhan Fusarium moniliforme Oleh Trichoderma viride. Di dalam: Gholib D, Kusumaningtyas E, editor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner [internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. hlm 1018-1025; [diunduh 2013 Okt 7]. Tersedia pada http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/eng/attachments/247_ 50.pdf. Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Diha MA, Go BH, Bailey HH. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung (ID): Badan Penerbit universitas Lampung. Hardjo S, Indrasti NS, Bantacut T. 1989. Biokonversi: Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Imas T, Setiadi Y. 1988. Mikrobiologi Tanah. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Imas T, Hadioetomo RS, Gunawan AW, Setiadi Y. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal
20 Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Maria DR. 2013. Penambahan Trichoderma sp. dan Molase pada Pengomposan Sampah Daun Kering dalam Lubang Resapan Biopori terhadap Karakteristik Kompos dan Laju Peresapan Air [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [MENLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan. Jakarta (ID): MENLH. Prawitasari T. 2006. Teknik kompos. Workshop Pendirian Kebun Bibit Sumber, Demplot dan Feasibility Study untuk Perkebunan Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.); 2006 Mei 16-17; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Bioenergy Alliance. hlm 78-82. Rahmawaty. 2004. Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan wisata alam Sibolangit (desa Sibolangit, kecamatan Sibolangit, kabupaten daerah tingkat II Deli Serdang, provinsi Sumatera Utara [internet]. [diunduh 2013 Sep 26]. Tersedia pada http://library.usu.ac.id/download/ fp/hutan-rahmawaty12.pdf. Sa’adah N. 2010. Populasi dan Keragaman Fauna Tanah pada Areal Pertanaman Padi Gogo dengan Teknologi Peresapan Biopori di Kebun Percobaan Cikabayan IPB [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudrajat R, Fahidin, Salim A. 1995. Pembuatan briket kompos serasah daun kering dari hasil fermentasi aerobik. J Teknol Indust Pertan. 5(2):64-130. Szujecki A. 1987. Ecology of Forest Insect. Poland (PL): Polish Scientific Publisher, Warszawa. Widyastuti R. 2004. Abundance, biomass and diversity of soil fauna at different ecosystems in Jakenan Pati, Central Java. J Tanah Lingk. 6(1):1-6. Widyastuti SM. 2007. Peran Trichoderma spp. dalam Revitalisasi Kehutanan di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Yuniasari D. 2009. Pengaruh pemberian bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi serta molase dengan C/N rasio berbeda terhadap profil kualitas air, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan udang vaname Litopenaeus vannamei [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
21
LAMPIRAN
22 Lampiran 1 Nilai C-organik pada sampah organik di lubang resapan bioporia Minggu kePerlakuan
Sampah organik (SO) SO + Molase (M) SO + Trichoderma sp. (T) SO + M + T a
0
1
2
3
4
5
6
7
8
49.36a 49.36a 49.36a 49.36a
45.68 42.49 38.17 48.37
37.23 32.20 37.34 28.75
33.40 31.91 37.04 37.50
% 27.95 21.44 25.58 21.80
27.49 30.41 30.04 25.12
21.79 27.28 22.12 22.75
20.42 20.19 18.53 17.66
19.39 21.00 16.25 18.86
Sumber (Maria 2013)
Lampiran 2 Nilai N-total pada sampah organik di lubang resapan bioporia Minggu ke-
Perlakuan
0
Sampah organik (SO) SO + Molase (M) SO + Trichoderma sp. (T) SO + M + T a
0.89 0.89 0.89 0.89
1
2
0.91 0.98 0.78 0.94
0.74 0.80 1.00 0.94
3
4
5
6
7
8
0.81 0.73 0.87 0.83
% 0.76 0.63 0.68 0.65
0.79 0.78 0.81 0.66
0.60 0.74 0.69 0.73
0.50 0.61 0.72 0.60
0.53 0.59 0.45 0.50
Sumber (Maria 2013)
Lampiran 3 Rasio C/N pada sampah organik di lubang resapan bioporia Perlakuan Sampah organik (SO) SO + Molase (M) SO + Trichoderma sp. (T) SO + M + T
Minggu ke0 1 2 3 4 5 6 7 54.46 49.86a*) 54.69a*) 41.50a*) 37.70a*) 34.80a*) 37.28a*) 40.60b*) 54.46 42.99a 41.96a 45.21a 35.34a 38.76a 38.19a 33.61ab 54.46 48.95a 39.92a 42.51a 37.54a 37.16a 32.53a 26.41a 54.46 51.45a 34.92a 47.34a 32.81a 37.75a 31.29a 29.18a
BNT α 5%
11.99 a
35.28
14.49
14.64
7.40
11.09
*)
Sumber (Maria 2013) Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%.
Lampiran 4 Populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori Perlakuana
Total Mikrob Awal
Akhir
Peningkatan
Fungi Awal
6
P0 P1 P2 P3
0.18 0.77 1.19 1.17
10 SPK/g BKM 0.39a*) 0.21a*) 1.13ab 0.37a 1.59bc 0.40a 1.59bc 0.41a
Akhir 4
0.30 0.46 0.30 0.07
Peningkatan
10 SPK/g BKM 0.38a*) 0.08a*) 0.57ab 0.10a 1.42b 1.13b 1.26ab 1.19b
11.55
23 P4
1.12
2.32c
1.20a
1.00
1.46
BNT α 5%
0.21
1.03ab
0.82ab
0.97
0.82
*)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. (Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi).
Lampiran 5 Populasi fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori No
Taksa
P0
P1
P2
P3
P4
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Individu/m2
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Mesofauna Acari Collembola Protura Symphyla Total Mesofauna Makrofauna Aranae Chilopoda Coleoptera Coleoptera Larva Diplopoda Diplura Diptera Diptera Larva Grylloblattaria Hemiptera Homoptera Hymenoptera Isopods Isoptera Lepidoptera Larva Microcoryphia Orthoptera Palpigradi Plecoptera Pseudoscorpiones Trichoptera Uropygi Zoraptera Total Makrofauna Total Fauna
863 83 0 796 1742
0 50 33 17 100
83 17 0 398 498
17 33 17 166 232
83 50 0 398 531
17 216 17 581 829
282 332 17 713 1344
17 66 0 66 149
100 83 0 1493 1675
33 17 17 33 100
50 0 365 0 0 232 0 0 0 17 17 647 17 796 0 0 83 17 0 17 0 0 0 2256
33 0 33 33 0 0 0 0 0 66 0 929 0 0 0 33 0 0 0 0 0 0 0 1128
50 0 216 0 17 17 0 0 0 17 0 1675 0 348 0 33 17 0 0 33 0 0 0 2422
50 17 0 0 0 0 0 17 17 50 0 1227 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 0 1393
66 0 83 0 0 83 0 0 0 83 0 2306 0 83 0 0 66 0 0 33 0 0 17 2820
0 0 0 0 50 0 0 0 0 50 0 912 0 0 0 0 33 0 0 17 17 0 0 1078
199 0 348 0 100 149 0 0 0 0 0 4611 0 813 0 0 83 0 0 50 0 17 0 6369
33 0 66 17 0 0 33 0 0 66 33 5590 0 0 0 0 83 0 0 0 0 0 0 5922
33 0 216 0 182 100 33 0 0 0 0 1178 33 33 0 0 33 17 17 50 0 0 0 1924
33 17 66 0 33 17 17 0 0 17 0 979 0 50 33 0 33 0 0 0 0 0 0 1294
3997
1227
2919
1626
3351
1908
7713
6071
3599
1393
Keterangan: Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi
24 Lampiran 6 Analisis statistik populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah berdasarkan waktu pengamatan Perlakuan
P0
P1
P2
P3
Populasi Fauna Tanah (Individu/m2)a 3997a 2919a 3351a 7713a 1227a 1626a 1908a 6071a
Awal Akhir
P4 3599a 1393a
BNT α 5%
3464
11762
5950
Awal Akhir
Keragaman Fauna Tanah a 1.46a 1.40a 1.41a 1.83a 0.73a 1.14a 1.19a 0.83a
1.76a 1.33a
BNT α 5%
0.93
1.70
Awal Akhir
4068
0.93
5544
0.33
2.17
Populasi Total Mikrob (106 SPK/g BKM) a 0.18a 0.77a 1.19a 1.17a 1.12a 0.39a 1.13a 1.59a 1.59a 2.32b
BNT α 5% Awal Akhir
1.22
2.81
0.51
Populasi Fungi (104 SPK/g BKM) a 0.30a 0.46a 0.30a 0.07a 0.38a 0.57a 1.42a 1.26b
0.21a 1.03a
BNT α 5%
0.49
1.87
1.58
1.81
2.19
1.01
1.63
Keterangan: aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. (Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi).
Lampiran 7 Media isolasi total mikrob dan fungi yang digunakan
Media Martin Agar
Media Nutrient Agar
25
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Maros pada tanggal 13 Mei 1992 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suyadi dan Ibu Sugiarti. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Maros pada tahun 2009. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2009. Selama mengikuti pendidikan, penulis menjadi pengurus di Lembaga Dakwah Kampus Al-Hurriyyah IPB bidang keuangan, menjadi staf departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) di Forum Komunikasi Rohis Departemen (FKRD), berpartisipasi juga dalam Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan Cabang Bogor, serta menjadi asisten praktikum Fisika Tanah tahun ajaran 2012/2013. Penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Penelitian pada tahun 2011 dengan judul “Modifikasi Kimiawi Bahan Tanah Sulfat Masam untuk Digunakan sebagai Bleaching Earth pada Pengelolaan CPO (Crude Palm Oil)”.