PENGARUH TINGKAT KONSUMSI Cu BERLEBIH TERHADAP STRUKTUR MIKROANATOMI REN AYAM (Gallus sp) (The Effect of Excessive Cu Intake on the Microanatomy Structure of Chicken’s Kidney) H. Muliani Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Cu berlebih pada struktur mikroanatomi ren ayam. 24 ekor ayam petelur jantan umur 1 hari (DOC) strain CP 909 diaklimasi selama 3 minggu. Ayam ini kemudian dikelompokkan dalam 4 kelompok perlakuan dengan 6 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah konsentrasi Cu 0 ppm, 89 ppm, 178 ppm, dan 267 ppm sebanyak 1 ml per oral sekali sehari selama 3 minggu. Parameter utama yang diamati adalah tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis, tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis, dan berat ren pada akhir perlakuan. Data yang didapat dianalisis dengan analisis varians dengan rancangan acak lengkap dan uji beda nyata terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Cu berlebih berpengaruh terhadap tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis pada dosis 178 ppm dan 267 ppm, terhadap tinggi epitelium tubulus kontortus distalis pada dosis 89 ppm dan 178 ppm, dan terhadap berat ren pada dosis 267 ppm. Kata kunci : konsumsi Cu, struktur mikroanatomi ren, ayam ABSTRACT This research was aimed to clarify the effect of excessive intake of Cu on microanatomy structure of chicken’s kidney. Twenty four male of one day old chickens were aclimated during 3 weeks. Those birds were allotted into 4 groups of treatments, with 6 replications in each group. The treatments were 0 ppm, 89 ppm, 178 ppm, and 267 ppm cuprum concentration which were given in 1 ml solution per oral once daily for 3 weeks. Parameters observed were height of tubulus contortus proximalis epithelium cells, height of tubulus contortus distalis epithelium cells, and weight of chicken’s kidney at the end of treatment. Data was analyzed by varians analysis with completely randomized design and least significant difference test. The results showed that cuprum treatment altered the height of tubulus contortus proximalis epithelium cells at dose of 178 ppm and 267 ppm, altered the height of tubulus contortus distalis epithelium cells at dose of 89 ppm and 178 ppm, and altered the weight of kidney at dose of 267 ppm. Keywords : Cu intake, kidney microanatomy structure, chicken
102
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
PENDAHULUAN Mikromineral Cu tergolong mikromineral yang sangat penting bagi kehidupan ternak karena Cu merupakan penyusun beberapa enzim seperti sitokrom oksidase, lisil oksidase, tirosinase, urikase, dan diamin oksidase. Sitokrom oksidase sangat berperan dalam proses respirasi yang berperan dalam metabolisme tubuh (Ensminger et al., 1990). Defisiensi Cu dan Fe dapat menyebabkan terjadinya anemia, karena Cu diperlukan untuk penggunaan Fe pada saat pembentukan hemoglobin, tetapi jika terdapat Cu dan Fe berlebihan maka akan menimbulkan toksisitas (North dan Bell,1990). Beberapa formula pakan ayam yang beredar di pasaran tidak mengandung Cu (sesuai tertera pada label bungkus), penambahan unsur Cu pada pakan ayam ditujukan untuk memacu metabolismenya, dan juga agar ayam tidak mengalami anemia yang dapat menghambat pertumbuhannya. Dosis Cu yang diberikan haruslah dosis yang tidak menimbulkan toksisitas. Keracunan Cu dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai organ tubuh hewan seperti hepar, lien, traktus alimentarius dan ren (Lu, 1995). Keracunan Cu dapat terjadi apabila terdapat kesalahan dosis dalam pakan, pengaruh kumulatif karena ternak mengkonsumsi bahan-bahan yang mengandung Cu kadar tinggi, dan kontaminasi pada pakan ternak. Letal Dosis (LD50) kupri hidroksi klorida lewat jalur oral untuk ayam adalah 1263 mg/kg berat badan, dan LD50 kupri sulfat pentahidrat per oral adalah 693 mg/kg berat badan (Filov et al., 1993). Ren adalah organ yang bertanggung jawab untuk ekskresi berbagai sisa metabolisme tubuh dan membantu mengatur homeostatis. Pengaturan homeostatis ini meliputi: pengaturan keseimbangan air, pengaturan pH, pengaturan tekanan osmose, pengaturan elektrolit dan konsentrasi berbagai substansi di dalam plasma (Frandson dan Whitten, 1981). Tiap-tiap ren terdiri dari 1-4 juta unit filtrasi fungsional yang disebut nefron. Nefron terdiri dari: korpuskulum renalis atau Badan Malpighi, tubulus kontortus proksimalis, loop of Henle, dan tubulus kontortus distalis (Junqueira dan Carneiro, 1980). Ren mengatur susunan kimia lingkungan
interna dengan proses filtrasi, absorbsi aktif, absorbsi pasif, dan sekresi. Filtrasi berlangsung dalam glomerulus, dimana ultra filtrat plasma darah dibentuk. Tubulus kontortus proksimalis berfungsi untuk mereabsorbsi zat-zat dalam filtrat yang berguna untuk metabolisme tubuh, jadi untuk mempertahankan homeostatis lingkungan interna. Loop of Henle terutama bertanggung jawab untuk pembentukan urin akhir yang hipertonik, dan hanya hewan yang mempunyai loop of Henle di dalam rennya yang mampu menghasilkan urin hipertonik (Junqueira dan Carneiro). Loop of Henle tidak terdapat pada Reptilia, kebanyakan Aves, Amphibia, dan Pisces (Bevelander, 1970). Tubulus kontortus distalis berfungsi untuk pertukaran ion, dimana bila aldosteron bekerja, ion Natrium direabsorbsi dan ion Kalium diekskresi. Tubulus kontortus distalis juga mengekskresi ion Hidrogen dan ion Amonium ke dalam urin tubulus (Junquieira dan Carneiro, 1980). Meskipun ren hanya menyusun kira-kira 0,5 persen total masa tubuh, tetapi ren menerima kurang lebih 20-25 persen output kardiak sehingga obat atau bahan kimia dalam sirkulasi sistemik akan dikirimkan ke ren dalam jumlah besar. Proses pemekatan urin juga menyebabkan pemekatan toksikan potensial dalam cairan tubuler. Setelah air dan elektrolit diabsorpsi dari filtrat glomeruler, difusi pasif akan menyebabkan toksikan masuk ke dalam sel-sel tubuler. Oleh karena itu, suatu bahan kimia yang non toksik dalam plasma dapat mencapai konsentrasi toksik dalam ren (Klaassen, 2001). Kerusakan pada ren dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kronik dan akut. Kerusakan yang bersifat kronik merupakan perkembangan kerusakan progresif, dan biasanya berlangsung beberapa tahun. Kerusakan yang akut berkembang dalam beberapa hari atau beberapa minggu (Harrison, 1977). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian Cu berlebih pada struktur mikroanatomi ren ayam. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang dosis Cu yang bisa memacu pertubuhan ayam tetapi tidak memberikan efek samping yang merugikan bagi organ tubuh ayam, khususnya dalam hal ini ren ayam, sehingga bisa bermanfaat untuk pengembangan peternakan ayam.
The Effect of Excessive Cu Intake on the Microanatomy Structure of Chicken’s Kidney (Muliani)
103
MATERI DAN METODE Materi Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 24 ekor ayam petelur jantan umur 1 hari (DOC) strain CP 909, air minum, CuSO4.5H2O. Alat yang digunakan yaitu kandang pemeliharaan beserta perlengkapannya, peralatan timbangan, disekting set, spuit injeksi, slang. Metode Dua puluh empat ekor ayam petelur jantan diaklimasi selama tiga minggu, yaitu aklimasi kandang selama dua minggu di kandang kolektif dan aklimasi per oral selama satu minggu di kandang individu. Ayam mendapatkan pakan komersial (BR 1 CP511-B dari PT Central Proteina Prima, Semarang) yang beredar di pasaran dan tidak mengandung Cu (sesuai tertera pada kemasan). Pada awal minggu ke empat ayam ditimbang beratnya dan dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, yaitu : P0 = perlakuan 1 ml larutan Cu 0 ppm/hari/oral (kontrol); P1 = perlakuan 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral; P2 = perlakuan 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral; P3 = perlakuan 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral. Pemilihan dosis perlakuan ini didasarkan atas LD50 kuprisulfat pentahidrat per oral untuk ayam adalah 693 mg/kg berat badan. Oleh karena dalam penelitian ini, rata-rata berat badan ayam pada awal perlakuan adalah 256 gram, maka dosis LD50 kuprisulfat pentahidrat per oral adalah 178 ppm/ekor ayam/hari/oral. Dosis ini dijadikan sebagai dosis untuk P2. Dosis untuk P1 adalah setengah dari dosis dari P2, yaitu 89 ppm/ekor ayam/hari/oral. Dosis untuk P3 adalah satu setengah kali dosis P2, yaitu 267 ppm/ ekor ayam/hari/oral, dan dianggap sebagai dosis Cu berlebih. Perlakuan dilakukan selama 3 minggu. Setiap perlakuan diulang 6 kali. Pemberian air minum dan pakan standar secara ad libitum. Pada akhir percobaan hewan dibunuh dan diambil rennya. Berat ren ditimbang lalu dibuat preparat histologis ren dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin Ehrlich-Eosin. Parameter yang diamati adalah tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis dan tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis ren. Param-
104
eter penunjang yang diamati adalah berat ren pada akhir perlakuan. Pada penelitian ini tidak diamati tinggi sel epitelium loop to Henle, karena loop of Henle tidak terdapat pada ren ayam (Bevelander, 1970). Analisis data dilakukan dengan analisis varians, dengan menggunakan rancangan acak lengkap dan uji lanjut dengan uji beda nyata terkecil. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penghamatan dirangkum pada Tabel 1. Dari hasil pengamatan preparat mikroskopis ternyata terdapat perbedaan struktur mikroanatomi ren ayam (Gallus sp) setelah diperlakukan dengan Cu berlebih selama 3 minggu, hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik pada tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis, tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis, dan berat akhir ren setelah perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata pada taraf siginifikansi 5%. Koefisien keragaman pada tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis, tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis, dan berat akhir ren ayam setelah perlakuan telah diuji pula, dan menunjukkan hasil tidak lebih dari 20%, berarti bahwa penelitian ini cukup terandal (Gaspersz, 1991). Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren pada perlakuan P0 (kontrol) ren masih dalam keadaan normal, tubulus kontortus proksimalis mempunyai sel epitelium yang lebih tinggi daripada sel epitelium tubulus kontortus distalis. Sel epitelium tubulus kontortus proksimalis lebih asidofil daripada sel epitelium tubulus kontortus distalis. Perbedaan tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis dan tubulus kontortus distalis ini disebabkan karena perbedaan fungsinya. Menurut Bevelander (1970), sel-sel epitelium yang lebih tinggi mempunyai fungsi yang lebih berat. Fungsi dari tubulus kontortus proksimalis adalah untuk mengabsorbsi semua glukosa dan sekitar 50% natrium klorida dan air yang terdapat dalam filtrat, dimana proses reabsorbsi glukosa, klorida dan natrium ini dilakukan secara transport aktif. Tubulus kontortus proksimalis juga mengabsorbsi secara aktif semua asam amino, asam askorbat, dan protein yang terdapat dalam filtrat. Pada tubulus kontortus distalis terdapat pertukaran ion, dan ekskresi ion hidrogen serta ion Amonium ke dalam urin (Junqueira dan Carneiro, 1980).
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren dengan perlakuan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/ hari/oral selama 3 minggu terlihat bahwa sel-sel epitelium tubulus kontortus proksimalis secara substansial sedikit lebih tinggi daripada kontrol, walaupun pada hasil analisis data perbedaan tinggi ini tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini berarti bahwa pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu tidak berpengaruh terhadap tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis ren ayam. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu ternyata bahwa tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis berbeda nyata dengan tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis pada perlakuan kontrol. Hal ini
setimbang tersebut sel melakukan proses transport aktif ion Na+ dan ion K+ dengan menggunakan energi yang berasal dari metabolisme basal. Apabila proses transport aktif ini dihambat oleh suatu zat yang menghambat metabolisme, misalnya dalam hal ini adalah larutan Cu, maka ion Na+ akan memasuki sel dan ion K+ keluar dari sel (Ganong, 1979). Untuk menjaga kestabilan lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energi metabolisme untuk memompa ion Na+ keluar dari sel. Jika terjadi kerusakan sel, maka sel tidak mampu memompa ion Na+ keluar dari sel. Adanya ion Na+ yang berlebihan dalam sel akan menyebabkan terjadi perubahan morfologis sel yang disebut pembengkakan (Price dan Wilson, 1984), sehingga dalam perlakuan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini tinggi sel
Tabel 1. Rangkuman Data Hasil Penelitian Variabel Terukur
P0 10,36a
Perlakuan P1 P2 7,77 b 10,73a
Rata-rata tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis (mikron) 7,03ab 7,40b 5,55 a Rata-rata tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis (mikron) 3,55a 3,80a 3,50 a Rata-rata berat akhir ren (gram) 632,23a 611,63a 674,75a Rata-rata berat badan ayam setelah perlakuan (gram) Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkanpberbedaan nyata (P<0,05).
berarti bahwa pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/ oral selama 3 minggu berpengaruh terhadap tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis ren ayam. Pada pengamatan berat ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu, ternyata bahwa berat ren ayam setelah perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan berat ren ayam pada perlakuan kontrol, walaupun secara substansial berat ren ayam pada perlakuan ini lebih berat daripada berat ren ayam pada perlakuan kontrol. Dalam cairan tubuh terdapat berbagai macam elektrolit, baik yang berada di luar sel (ekstraseluler) maupun yang berada di dalam sel (intraseluler). Elektrolit tersebut antara lain adalah ion Na+ dan ion Cl- yang berada di luar sel, serta ion K+ yang berada di dalam sel. Pada jaringan yang normal, muatan elektrolit di luar sel dan di dalam sel berada dalam keadaan setimbang. Untuk mencapai keadaan
P3 7,03b 5,18a 3,06b 638,73a
epitelium tubulus kontortus distalis bertambah. Adanya influks air ke dalam sel ini akan menyebabkan berat sel bertambah sehingga berat ren juga bertambah. Setelah perlakuan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini ternyata bahwa berat ren secara substansial juga lebih berat daripada berat ren pada perlakuan kontrol walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu ternyata bahwa tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis berkurang dan berbeda nyata dengan tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis ren ayam pada perlakuan kontrol dan dengan tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis ren ayam yang diberi 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu. Hal ini berarti bahwa pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu berpengaruh
The Effect of Excessive Cu Intake on the Microanatomy Structure of Chicken’s Kidney (Muliani)
105
terhadap tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis ren ayam. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengurangan massa atau atrofi. Sel-sel atau jaringan yang mengalami atrofi berukuran lebih kecil daripada sel-sel atau jaringan normal. Dalam proses atrofi, sel mengabsorbsi sebagian dari unsurunsurnya atau memakan diri sendiri. Proses ini melibatkan enzim yang dihasilkan oleh bagian-bagian sel yang terdapat di dalam sitoplasma (Price dan Wilson, 1984). Walaupun pada perlakuan ini sel-sel menyusut, tetapi intisel tetap terlihat normal. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini tampak pula bahwa ada beberapa sel epitelium tubulus kontortus proksimalis yang terangkat dari membrana basalis walaupun hubungan dengan sel tetangganya yang masih melekat pada membrana basalis masih erat. Hal ini menunjukkan bahwa disebabkan oleh karena pengaruh Cu maka beberapa sel kehilangan integritas tight junction dengan membrana basalis (Klaassen, 2001). Membrana basalis adalah suatu matriks ekstraseluler yang terdapat di bawah epitelium. Sel-sel epitelium melekat satu sama lain oleh karena adanya adesi sel-sel. Hal ini terjadi oleh karena adanya suatu komponen dari sitoskeleton yang melintasi sitoplasma setiap sel epitelial dan berikatan untuk membentuk persilangan jalan (junction) khusus dalam membran plasma. Persilangan jalan ini mengikat permukaan sel-sel yang berdekatan satu sama lain atau mengikat sel dengan membrana basalis di bawahnya (Alberts et al., 2002). Telah dihipotesiskan bahwa setelah pendedahan suatu bahan kimia atau hipoksia dapat terjadi kerusakan adesi nonletal, apoptosi, dan nekrosis sel terhadap membrana basalis sehingga sel-sel ini terlepas dari membrana basalis (Goligorksy et al., 1993). Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu ternyata bahwa tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis tidak berbeda nyata dengan tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu walaupun secara substansial tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis pada perlakuan ini lebih rendah daripada tinggi sel
106
epitelium tubulus kontortus distalis ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu. Jadi berarti bahwa sel-sel epitelium tubulus kontortus distalis ini juga mulai mengalami atrofi. Pada pengamatan berat ren, terlihat bahwa berat ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu tidak berbeda nyata dengan berat ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu walaupun secara substansial lebih ringan daripada berat ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi juga pengurangan massa ren sehubungan dengan terjadinya proses atrofi. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ternyata bahwa tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis tidak berbeda nyata dengan tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu. Secara substansial tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis ini makin rendah dan berbeda nyata dengan tinggi sel epitelium tubulus kontortus proksimalis pada perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa proses atrofi masih berlanjut. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini tampak pula bahwa sitoplasma sel epitelium tubulus kontortus proksimalis lebih bergranula. Pada proses pengurangan massa sel terjadi perubahan komponenkomponen sel seiring dengan terjadinya peningkatan pengurangan massa. Vakuola-vakuola otofagik bertambah banyak pada sel yang mengalami atrofi. Vakuola-vakuola ini mencerna organela-organela dalam sel. Sampah-sampah sisa pencernaan di dalam vakuola ini dapat dirubah menjadi granula-granula pigmen lipofusin yang berwarna coklat tua sehingga sitoplasma tampak bergranula dan ada granula yang terwarnai lebih tua (Lavia dan Hill, 1975). Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
tampak pula bahwa ada beberapa inti sel epitelium tubulus kontortus proksimalis yang warnanya lebih tua. Hal ini menunjukkan bahwa pada beberapa inti sel mulai terjadi penggumpalan kromatin sehingga inti sel terwarnai lebih gelap (Lavia dan Hill, 1975). Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini tampak pula adanya beberapa sel epitelium tubulus kontortus proksimalis yang terangkat dari membrana basalis walaupun sel-sel ini masih berhubungan erat dengan sel-sel tetangganya yang masih melekat pada membrana basalis. Hal ini oleh karena pengaruh Cu maka beberapa sel kehilangan integritas tight junction dengan membrana basalis. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ternyata bahwa tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis secara substansial lebih rendah daripada tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis pada ren ayam yang diberi perlakuan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu dan juga lebih rendah daripada tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis pada ren ayam yang diberi perlakuan kontrol, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan tinggi sel epitelium tubulus kontortus distalis pada ren ayam yang diperlakukan dengan perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi atrofi yang makin parah. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini tampak pula bahwa sitoplasma sel epitelium tubulus kontortus distalis ini bergranula, tetapi inti selnya masih terlihat normal. Hal ini berarti bahwa walaupun pada tubulus kontortus distalis ini juga terjadi atrofi akan tetapi atrofi yang terjadi masih lebih ringan bila dibandingkan dengan atrofi yang terjadi pada sel epitelium tubulus kontortus proksimalis. Tubulus kontortus proksimalis adalah tempat yang paling banyak dipengaruhi oleh toksikan yang menyebabkan kerusakan ren. Hal ini antara lain disebabkan karena akumulasi senobiotik pada tubulus kontortus proksimalis. Berbeda dengan tubulus kontortus distalis yang mempunyai epitelium yang relatif rapat dan mempunyai ketahanan elektrik tinggi,
tubulus kontortus proksimalis mempunyai epitelium yang mudah bocor sehingga senyawa-senyawa mudah masuk ke dalam sel-sel tubulus kontortus proksimalis (Klaassen, 2001). Yang lebih penting, transport tubuler dari anion dan kation organik dan logam berat terutama terjadi pada tubulus kontortus proksimalis. Jadi transport molekul-molekul tersebut lebih banyak terjadi pada tubulus kontortus proksimalis daripada pada bagian-bagian lain ren, sehingga menyebabkan akumulasi dan toksisitas (Klaassen, 2001). Pada pengamatan berat ren, terlihat bahwa berat ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ini lebih ringan dan berbeda nyata dengan berat ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu, dan berbeda nyata juga dengan berat ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu maupun dengan berat ren ayam yang diberi perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pengurangan massa hepar yang lebih banyak sehubungan dengan terjadinya proses atrofi yang makin parah. Pada pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diberi perlakuan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu, pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu, dan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/ oral selama 3 minggu ini tidak tampak adanya sel-sel mati yang dilepaskan ke dalam lumen tubulus kontortus proksimalis maupun lumen tubulus kontortus distalis. Hal ini berarti bahwa kerusakan tubuler yang terjadi adalah kerusakan nonletal sehingga sel-sel yang mengalami kerusakan dapat mengalami perbaikan sel dan/atau adaptasi dan hal ini akan menunjang pemulihan struktur dan fungsi nefron bila perlakuan dihentikan (Klaassen, 2001). Dari hasil pengamatan struktur mikroanatomi ren ayam yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral selama 3 minggu, yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral selama 3 minggu, dan yang diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral selama 3 minggu ternyata bahwa struktur glomerulusnya masih relatif sama dengan struktur glomerulus pada ren ayam yang diberi
The Effect of Excessive Cu Intake on the Microanatomy Structure of Chicken’s Kidney (Muliani)
107
perlakuan kontrol. Jadi ternyata bahwa perlakuan pemberian larutan Cu pada ketiga perlakuan tersebut di atas tidak berpengaruh terhadap glomerulus ren ayam. Hal ini sesuai dengan pendapat Klaassen (2001) bahwa logam menyebabkan toksisitas pada tubulus dan tidak berpengaruh terhadap glomerulus. Dari pengamatan berat badan ayam setelah perlakuan pemberian Cu selama 3 minggu (berat badan ayam minggu ke 6) ternyata bahwa berat badan ayam setelah diperlakukan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 89 ppm/hari/oral, dengan pemberian 1ml larutan Cu 178 ppm/hari/oral, dan dengan pemberian 1 ml larutan Cu 267 ppm/hari/oral tidak berbeda nyata dengan berat badan pada perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat perubahanperubahan pada struktur mikroanatomi ren ayam setelah perlakuan pemberian Cu tetapi perubahanperubahan tersebut tidak berpengaruh terhadap keadaan fisiologis ayam sehingga tidak sampai menurunkan berat badan ayam. Hal ini berarti bahwa pemberian dosis Cu mungkin dapat lebih ditingkatkan dalam rangka untuk lebih memacu metabolisme tubuh untuk meningkatkan berat badan ayam. KESIMPULAN Hasil pengamatan pada penelitian menyimpulkan bahwa : 1. Pemberian larutan Cu berlebih berpengaruh terhadap struktur mikroanatomi ren ayam. 2. Perubahan struktur mikroanatomi yang terjadi adalah perubahan bertingkat, makin besar konsentrasi larutan Cu maka makin besar perubahan yang terjadi. 3. Perubahan yang terjadi adalah perubahan nonletal yang diduga bersifat reversibel. 4. Perubahan-perubahan pada struktur mikroanatomi ren tidak berpengaruh terhadap berat badan ayam setelah perlakuan. Penelitian lanjutan disarankan tentang pengaruh dosis Cu terhadap pertumbuhan ayam dengan mengamati proses metabolismenya, tetapi tetap dengan memperhatikan dampak negatifnya pada organ tubuh ayam.
DAFTAR PUSTAKA Alberts, B., A. Johnson, J. Lewis, M. Ralf, K. Roberts and P. Walters. 2002. Molecular Biology of The Cell. Fourth Edition. Garland Science. Taylor and Francis Group. New York. Bevelander, G. 1970. Essentials of Histology. Sixth Edition. The C.V. Mosby Co. Saint Louis. Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Heinemann. 1990. Feeds and Nutrition. The Ensminger Publ. Co. California. Filov, V. A., A. L. Bandman and B. A. Ivin. 1993. Harmful Chemical Substances. Vol 1. Ellis Howard Ltd. England. Frandson, R. D. and Whitten. 1981. Anatomy and Physiology of Farm Animals. 3rd Edition. Lea dan Febriger. Philadelphia. Ganong, W. F. 1979. Fisiologi Kedokteran. CV EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Gaspersz, V. 1991. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Penerbit Tarsito. Bandung. Goligorsky, M. S., W. Lieberthal, L. Racusen and E. E. Simon. 1993. Integrin Receptors in Renal Tubular Epithelium: New Insights into Pathophysiology of Acute Renal Failure. Am J Physiol. 264: F1-F8. Harrison, S. 1977. Principles of Internal Medicine. 9th Edition. McGraw-Hill, Inc. New York. Junquiera, L. C. and J. Carneiro. 1980. Histologi Dasar. CV EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Klaassen, C. D. 2001. Casarett and Doul’s Toxicology. The Basic Science of Poisons. 6th Edition. McGraw-Hill. Medical Publishing Division. New York. Lavia, M. F. and R. B. Hill. 1975. Principles of Pathobiology. 2nd Edition. Oxford University
108
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
Press. New York. Lu, F. C. 1995. Toksikologi Dasar. Alih Bahasa: Edi Nugroho. UI Press. Jakarta.
Price, S. A. and L. M. Wilson. 1984. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. CV EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
North, M.O. and D.B.Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. Van Nostrand Reinhold. New York.
The Effect of Excessive Cu Intake on the Microanatomy Structure of Chicken’s Kidney (Muliani)
109