PENGARUH TARAF PENAMBAHAN ZEOLIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA PRODUKSI MENCIT (Mus musculus) LEPAS SAPIH HASIL LITTER SIZE PERTAMA
SKRIPSI RIKA PANDA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN RIKA PANDA. D14103026. 2007. Pengaruh Taraf Penambahan Zeolit dalam Ransum Terhadap Performa Produksi Mencit (Mus musculus) Hasil Litter Size Pertama. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Pollung H. Siagian, M.S. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc. Zeolit merupakan mineral yang terdiri dari alumino silikat terhidrasi dengan unsur utama terdiri dari kation, alkali dan alkali tanah, berstruktur tiga dimensi serta mempunyai pori-pori yang dapat diisi oleh air molekul. Zeolit merupakan hasil tambang yang memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan sebagai bahan tambahan mineral dalam ransum ternak. Penambahan zeolit dalam ransum ternak diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan pakan. Zeolit memiliki sifat sebagai penyaring molekul, penyerap dan penukar ion, sehingga dalam penggunaannya dapat meningkatkan penyerapan zat makanan dan efisien menggunakan protein dalam tubuh ternak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh beberapa taraf penambahan zeolit (0, 3, 6 dan 9%) dalam ransum ternak terhadap performa produksi mencit (Mus musculus) lepas sapih umur 25 hari. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, kadar air dan protein feses. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dalam pola faktorial 4x2 dengan enam ulangan, kecuali perlakuan JR3 dan BR3 masing-masing dengan lima ulangan. Faktor-faktor perlakuan dalam penelitian ini adalah taraf penambahan zeolit yang berbeda dalam ransum dan jenis kelamin. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Varience (ANOVA), Microsoft Excel (2003) dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa taraf penambahan zeolit dalam ransum sangat nyata (P<0,01) berpengaruh terhadap konsumsi ransum, dan kadar air feses mencit, serta berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan dan konversi ransum mencit selama penelitian. Konsumsi ransum mencit dengan ransum R4 (4,51 g/e/hr) sangat nyata lebih tinggi daripada R2 (3,79 g/e/hr), dan konsumsi ransum dengan ransum R2 sangat nyata lebih rendah daripada R1 (4,31 g/e/hr). Kadar air feses mencit dengan ransum R2 sangat nyata lebih rendah daripada R3 dan R4 tetapi tidak berbeda dengan R1. Pertambahan bobot badan mencit yang mengkonsumsi R3 dan R4 sebesar 0,36 g/e/hr nyata lebih tinggi daripada penambahan taraf zeolit lainnya. Konversi ransum mencit yang mengkonsumsi ransum R2 (11,48) nyata lebih rendah atau lebih efisien daripada ransum lainnya, kecuali R3. Kadar protein feses juga dipengaruhi oleh penambahan taraf zeolit, semakin tinggi taraf penambahannya maka akan semakin rendah kadar protein feses mencit selama penelitian. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh, dimana kadar protein feses terendah dimiliki oleh mencit yang mengkonsumsi ransum R4, sehingga mencit ini memiliki daya serap atau daya mencerna protein (84,51%) tertinggi daripada penambahan zeolit lainnya. Jenis kelamin memiliki pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi dan konversi ransum, pertambahan bobot badan serta nyata (P<0,05) terhadap kadar air feses mencit. Mencit jantan memiliki nilai konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan lebih tinggi, serta nilai konversi ransum yang lebih rendah daripada betina. Mencit jantan (16,08%) juga nyata (P<0,05) memiliki kadar air feses lebih rendah daripada mencit betina (16,78%). Kadar protein feses yang memiliki keterkaitan erat dengan daya serap tubuh dalam menyerap dan mencerna protein ransum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mencit jantan (82,87%) memiliki daya serap dan cerna protein yang lebih tinggi daripada betina (82,80%). Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara jenis kelamin dan penambahan taraf zeolit yang berbeda dalam ransum terhadap performa produksi mencit selama penelitian. Penggunaan zeolit sebanyak 3% dalam ransum baik jantan maupun betina, memberikan penampilan produksi yang lebih baik daripada taraf perlakuan lainnya, dilihat dari tingkat konversi ransum dan persentase kadar air feses yang rendah. Kata-kata kunci: mencit, zeolit, performa produksi, konsumsi dan koversi ransum
ABSTRACT The Effect of Different Level of Zeolite (0, 3, 6, 9%) in Ration on The Performance of Post-Weaning Mice (Mus musculus) of First Litter Panda, R., P. H. Siagian, and Kartiarso Zeolite is a mining commodity that is broadly use as feed additive in ration. The objectives of this research were to study the effects of adding different level of zeolite in ration namely 0% zeolite (R1), 3% (R2), 6% (R3) and 9% (R4) to body weight gain (BWG), feed consumption, feed conversion ratio (FCR), and water and protein content of feces. The completely randomized design (CDR) in 4×2 factorial experiment with six replications, except R3 male mice and R3 female mice with five replications was use in this experiment. The data were analyzed by analysis of variance (ANOVA), microsoft excel and continued with test Tukey’s (95 and 99%). The result showed that the use of zeolite with different level in ration very significantly (P<0,01) affected feed consumption and water content of feces, and also significantly affected (P<0,05) body weight gain and feed conversion ratio. Feed consumption of mice on R4 (4,51 g/head/day) were very significantly higher than mice on R2 of zeolite (3,79 g/head/day). Feed consumption of mice on R2 very significantly lower than mice on R1 of zeolit (4,31 g/head/day). Water content of feces on R2 were very significantly lower than on R3 and R4, but not different from mice on R1 of zeolite. The highest body weight gain (BWG) showed on mice feed R3 and R4 (0,36 g/head/day). Feed conversion ratio on R2 (11,48) significantly lower than on R1 and R4, but did not showed the different of R3. Protein content of feces on R4 lower than the other treatment. Sex difference also showed very significantly affected (P<0,01) feed consumption, feed conversion ratio, body weight gain, also significantly affected (P<0,05) water content of feces. Feed consumption, and body weight gain of male mice higher than female, and also feed conversion lower than of female. Water and protein content of feces of male mice lower than of female. Fecal water of male mice also abviously (P<0,05) lower (16,08%) than female (16,78%). The result showed that male mice (82,87%) has higher feed digestibility than female (82,80%). There were no interaction between sex (male and female) and different level of zeolite (0, 3, 6, dan 9%) affected the performances of mice. The utilization of zeolit 3% in ration either male or female mice, giving better production performs than other of treatments. It can be seen from lower feed conversion ratio (FCR) and water content in the feces. Keywords: mice, zeolite, body weight gain, feed consumption, feed conversion.
PENGARUH TARAF PENAMBAHAN ZEOLIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA PRODUKSI MENCIT (Mus musculus) LEPAS SAPIH HASIL LITTER SIZE PERTAMA
RIKA PANDA D14103026
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PENGARUH TARAF PENAMBAHAN ZEOLIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA PRODUKSI MENCIT (Mus musculus) LEPAS SAPIH HASIL LITTER SIZE PERTAMA
Oleh RIKA PANDA D14103026
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 14 Maret 2007
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Pollung H. Siagian, M.S NIP. 130 674 521
Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc NIP. 130 422 711
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur.Sc NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1985 di Jakarta. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Gapang Maringan Pardede dan Ibu Betty Sitorus. Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak Oikumene Jakarta pada tahun 1990. Pendidikan dasar Penulis diselesaikan pada tahun 1997 di SD Budhaya II Santo Agustinus Jakarta. Selanjutnya, Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Budhaya III Santo Agustinus Jakarta pada tahun 1997 dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Kemudian Penulis meneruskan jenjang pendidikannya di SMU Negeri 44 Jakarta sampai tahun 2003. Pada tahun 2003 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama kuliah Penulis aktif dalam kegiatan organisasi intra kampus dan kegiatan kepanitiaan. Organisasi yang pernah diikuti adalah Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (PMK IPB), Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), dan Tim Basket Fakultas Peternakan. Kegiatan organisasi yang pernah diikuti Penulis antara lain panitia Kebaktian Awal Tahun (KATA) 2004 sebagai wakil ketua, Kontes Ayam Pelung Mama Djarkasih Cup IPB 2005 sebagai Seksi Publikasi, Dekorasi dan Dokumentasi (PUBDEKDOK).
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan rahmat yang diberikan sehingga Penulis mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Taraf Penambahan Zeolit Dalam Ransum Terhadap Performa Produksi Mencit (Mus musculus) Lepas Sapih Hasil Litter Size Pertama”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan (SPt.) pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui taraf penambahan zeolit yang tepat dalam ransum terhadap performa produksi mencit lepas sapih. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang, Bagian Non Ruminansia Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 30 April–3 Juli 2006. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, seperti pepatah yang menyatakan bahwa ”tak ada gading yang tak retak”. Penulis mengharapkan kritik dan masukan yang membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga
skripsi
ini
dapat
memberikan
manfaat
bagi
pihak-pihak
yang
membutuhkannya.
Bogor, Maret 2007
Penulis
DAFTAR ISI RINGKASAN .................................................................................................
Halaman i
ABSTRACT ...................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
DAFTAR ISI...................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL...........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
DAFTRAR LAMPIRAN ................................................................................
x
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................ Tujuan .................................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
3
Mencit (Mus musculus) ....................................................................... Zeolit ................................................................................................... Sifat-Sifat Zeolit ................................................................................. Meningkatkan Mutu Zeolit ................................................................. Penggunaan Zeolit .............................................................................. Ransum ............................................................................................... Konsumsi Ransum .............................................................................. Konversi Ransum ................................................................................ Litter Size ............................................................................................ Bobot Sapih......................................................................................... Bobot Badan ....................................................................................... Pertambahan Bobot Badan ................................................................. Kadar Air Feses .................................................................................. Kadar Protein Feses ........................................................................... Mortalitas ............................................................................................
3 4 7 9 11 12 13 14 15 15 16 16 17 18 19
MATERI DAN METODE ..............................................................................
20
Waktu dan Tempat .............................................................................. Materi .................................................................................................. Hewan ..................................................................................... Kandang .................................................................................. Ransum ................................................................................... Peralatan.................................................................................. Metode Penelitian ...............................................................................
20 20 20 20 21 22 22
Rancangan Percobaan ............................................................. Peubah yang Diamati ............................................................. Prosedur ..................................................................................
22 25 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
29
Keadaan Umum .................................................................................. Suhu dan Kelembaban ........................................................................ Kondisi Ransum Penelitian ................................................................. Kondisi Mencit Penelitian .................................................................. Konsumsi Ransum .............................................................................. Pertambahan Bobot Badan.................................................................. Konversi Ransum ................................................................................ Kadar Air Feses .................................................................................. Kadar Protein Feses ............................................................................ Mortalitas ............................................................................................
29 30 31 32 33 37 42 46 48 50
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... Kesimpulan ......................................................................................... Saran ...................................................................................................
52 52 52
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
54
LAMPIRAN ...................................................................................................
57
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) .................................................
4
2. Hasil Analisa Proksimat Ransum Penelitian ........................................
31
3. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Selama Penelitian ..........................
33
4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Mencit Selama Penelitian..................................................................................
38
5. Rataan Nilai Konversi Ransum Mencit Selama Penelitian ..................
43
6. Rataan Persentase Kadar Air Feses Mencit Selama Penelitian ............
47
7. Nilai Kecernaan Protein Mencit Selama Penelitian..............................
49
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Mencit (Mus musculus) ........................................................................
3
2. Batuan Zeolit.........................................................................................
5
3. Struktur Zeolit .......................................................................................
6
4. Kristal Zeolit Analsim (kiri) dan Mordenit (kanan) di bawah Mikroskop Elektron Perbesaran 1000 dan 12000 Kali .........................
7
5. Mencit Penelitian Lepas Sapih Umur 25 Hari ......................................
20
6. Kandang Mencit Penelitian ...................................................................
21
7. Ransum Mencit Penelitian dan Zeolit ...................................................
22
8. Peralatan yang Digunakan Selama Penelitian adalah Timbangan (a), Baki Plastik (b), Tabung Plastik (c), Botol Air Minum (d), dan Tampah (e) .....................................................................................
22
9. Bagan Perolehan Mencit Penelitian yang Berasal dari 2 Jantan dan 6 Betina pada Masing-masing Perlakuan.............................................
23
10. Bagan Pembagian Mencit dalam Kandang Penelitian ..........................
24
11. Kondisi Kandang Mencit (Mus musculus) Selama Penelitian ..............
29
12. Situasi Mencit (Mus musculus) dalam Kandang Penelitian..................
32
13. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ..............................................................................................
34
14. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Menurut Perlakuan Selama Penelitian ..............................................................................................
36
15. Penimbangan Mencit Penelitian dengan Menggunakan Timbangan Digital ................................................................................
37
16. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ..................................................................................
39
17. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Menurut Perlakuan Selama Penelitian ..................................................................................
41
18. Rataan Nilai Konversi Ransum Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ..................................................................................
44
19. Rataan Nilai Konversi Ransum Mencit Menurut Perlakuan Selama Penelitian ..................................................................................
45
20. Penjemuran Sampel Feses Mencit di bawah Sinar Matahari ................
46
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Rataan Konsumsi Ransum Harian Mencit (Mus musculus) .........
57
2. Sidik Ragam Konsumsi Ransum Harian Mencit (Mus musculus) ........
57
3. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Konsumsi Ransum Harian dengan Jenis Kelamin) ..............................................................
57
4. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Konsumsi Ransum Harian dengan Zeolit) ...........................................................................
58
5. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian Mencit (Mus musculus) .........................................................................
58
6. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Pertambahan Bobot Badan Harian dengan Jenis Kelamin) ..................................................
58
7. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Pertambahan Bobot Badan Harian dengan Zeolit) ................................................................
59
8. Sidik Ragam Konversi Ransum Mencit (Mus musculus) .....................
59
9. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Konversi Ransum dengan Jenis Kelamin)..........................................................................
60
10. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Konversi Ransum dengan Zeolit) .......................................................................................
60
11. Data Rataan Persentase Kadar Air Feses Kering Udara .......................
61
12. Sidik Ragam Persentase Kadar Air Feses Kering Udara ......................
61
13. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Kadar Air Feses Kering Udara dengan Jenis Kelamin) ...................................................
61
14. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Kadar Air Feses Kering Udara dengan Zeolit) ................................................................
62
15. Hasil Perhitungan Kadar Protein Feses (%) Mencit (Mus musculus) Selama Penelitian ..................................................................................
62
16. Data Mortalitas Mencit Selama Penelitian (Mus musculus) .................
62
PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah penduduk di dunia, demikian juga halnya dengan Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut menyebabkan terjadi pula peningkatan permintaan kebutuhan protein hewani. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat membuat perubahan yang nyata terhadap permintaan protein hewani. Untuk memenuhi permintaan protein hewani, maka para peternak harus mencari cara yang efisien untuk mengoptimalkan produktivitas ternak yang dipeliharanya. Banyak cara telah dilakukan di bidang peternakan untuk meningkatkan produksi ternak agar dapat mengimbangi permintaan masyarakat akan protein hewani. Di bidang usaha peternakan, sebagian besar biaya produksi (60%-80%) digunakan untuk biaya pakan. Protein yang dikandung di dalam pakan merupakan zat yang sangat penting untuk digunakan meningkatkan pertumbuhan ternak karena protein berperan penting dalam pembentukan seluruh struktur dan fungsi sel tubuh makhluk hidup. Harga protein di dalam ransum ternak tergolong mahal sehingga penggunaannya harus seefisien mungkin. Penggunaan ransum yang berkualitas merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan performa produksi ternak, seperti: bobot lahir, bobot sapih, pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, konversi ransum atau efisiensi penggunaan makanan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas ransum adalah dengan menambahkan bahan tambahan mineral dalam ransum. Bahan tambahan mineral yang dapat digunakan dalam ransum ternak salah satunya adalah zeolit. Zeolit merupakan hasil tambang yang memiliki potensi yang sangat besar digunakan sebagai bahan tambahan mineral dalam ransum ternak. Penambahan zeolit di dalam ransum ternak diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan pakan. Zeolit memiliki sifat sebagai penyaring molekul, penyerap dan penukar ion, sehingga dalam penggunaannya dapat meningkatkan penyerapan zat makanan dan efisien menggunakan protein dalam tubuh ternak. Mineral ini mempunyai sifat-sifat khusus, yaitu: memiliki daya serap tinggi, kapasitas tukar kation yang tinggi serta dapat memperlambat laju pergerakan makanan atau digesta dalam saluran pencernaan, sehingga akan cukup banyak waktu bagi saluran pencernaan untuk dapat memanfaatkan zat-zat makanan yang terdapat di dalam ransum.
Penggunaan Mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan dalam penelitian diharapkan dapat berguna dalam mengembangkan peternakan. Hal ini dikarenakan mencit memiliki sifat produksi dan reproduksi yang menyerupai ternak lain seperti babi dan hewan monogastrik. Mencit sering digunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian karena memiliki kemampuan reproduksi dan pertumbuhan yang baik, harganya relatif murah, cepat berkembangbiak, interval generasinya singkat, jumlah anak perkelahiran banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologis yang terkarakteristik dengan baik. Perumusan Masalah Salah satu cara yang dapat digunakan oleh para peternak untuk meningkatkan produktivitas ternak agar dapat mengimbangi permintaan masyarakat akan protein hewani adalah memperbaiki kualitas ransum yang akan diberikan. Kualitas ransum dapat diperbaiki dengan menambahkan bahan mineral kedalamnya. Mineral yang digunakan adalah zeolit. Zeolit memiliki sifat sebagai penyaring molekul, penyerap dan penukar ion. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, diharapkan penambahan zeolit kedalam ransum ternak dapat meningkatkan penyerapan protein ransum oleh tubuh sehingga dapat mengefisienkan penggunaan ransum, meningkatkan penyerapan zat makanan dan efisien menggunakan protein dalam tubuh ternak. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan zeolit di dalam ransum dengan taraf yang berbeda dan jenis kelamin serta interaksi antar penambahan zeolit dan jenis kelamin terhadap performa produksi mencit (Mus musculus) lepas sapih dari litter size pertama, hasil dari induk atau mencit dara yang telah diberikan penambahan zeolit dalam ransumnya sejak masa pengawinan hingga penyapihan.
TINJAUAN PUSTAKA Mencit (Mus musculus) Salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian adalah mencit (Mus musculus). Menurut Malole dan Pramono (1989), mencit adalah hewan pengerat yang cepat berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta memiliki sifat anatomis dan fisiologis yang terkarakteristik dengan baik. Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-kira sama dengan mencit liar yang banyak ditemukan di gedung dan rumah yang dihuni manusia, dengan berat badan bervariasi 18-20 g pada umur empat minggu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Arrington (1972), menyatakan bahwa mencit memiliki taksonomi sebagai berikut: kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, famili Muridae, genus Mus, spesies Mus musculus. Mencit sering digunakan sebagai hewan laboratorium dan objek penelitian di bidang peternakan. Hal ini dikarenakan biaya yang dibutuhkan tidak begitu mahal, efisien dalam waktu, prolifik dan sifat genetik dapat dibuat seseragam mungkin dalam waktu yang lebih pendek dibandingkan dengan ternak yang lebih besar (Arrington, 1972). Berikut ini adalah gambar mencit (Mus musculus) yang biasa digunakan untuk penelitian (Gambar 1).
Gambar 1. Mencit (Mus musculus) Malole dan Pramono (1989), menyatakan bahwa mencit memiliki beberapa sifat biologis seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) Kriteria
Keterangan
Berat lahir
0,5-1,5 g
Berat dewasa
20-40 g
Konsumsi ransum
15 g/100 g berat badan/hari
Konsumsi air minum
15 ml/100 g berat badan/hari
Lama hidup
1,5-3,0 tahun
Lama bunting
19-21 hari
Lama produksi ekonomis
7-9 bulan
Umur sapih
21-28 hari
Umur dikawinkan
50-60 hari (jantan dan betina)
Siklus birahi
21 hari
Sumber : Malole dan Pramono (1989)
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan mencit, terutama faktor lingkungan. Faktor lingkungan seperti kualitas ransum, kepadatan kandang, suhu dan kelembaban memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan mencit. Faktorfaktor tersebut dapat mempengaruhi kemampuan mencit mencapai potensi untuk bertumbuh dan berkembangbiak. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi makanan sebanyak 3-5 g/hari. Selain itu, faktor fisiologis yang dialami mencit seperti stress, dan stress lingkungan sekitar juga mempengaruhi konsumsi pakan mencit. Zeolit Zeolit merupakan salah satu jenis batuan yang mengandung beberapa mineral. Mineral zeolit ditemukan pada tahun 1756 oleh seorang ahli mineralogi Swedia bernama Freihern Axel Fredrick Cronsted (Mumpton dan Fishman, 1977). Barrer (1982), menyatakan bahwa nama zeolit berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu zeo (mendidih) dan lithos (batu). Nama ini menggambarkan perilaku mineral tersebut yang dengan cepat melepaskan air bila dipanaskan sehingga kelihatan seolah-olah mendidih. Zeolit memiliki sejumlah sifat kimia maupun fisika yang menarik, diantaranya mampu menyerap zat organik maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagai katalis untuk berbagai reaksi. Sifat
katalitik zeolit pertama kali ditemukan oleh Weisz dan Frilette pada tahun 1960 dan dua tahun kemudian mulai diperkenalkan penggunaan zeolit Y sebagai katalis (Augustine, 1996). Zeolit merupakan mineral yang terdiri atas alumino silikat terhidrasi dengan unsur utama terdiri atas kation, alkali dan alkali tanah, berstruktur tiga dimensi serta mempunyai pori-pori yang dapat diisi oleh molekul air. Kandungan air yang terperangkap dalam rongga zeolit biasanya berkisar 10-50%. Bila terhidrasi kationkation yang berada dalam rongga tersebut akan terselubungi molekul air. Molekul air ini bersifat labil atau mudah terlepas. Sifat umum zeolit antara lain mempunyai susunan kristal yang agak lunak, endapan berlapis, berat jenis 2-2,4; berwarna hijau kebiruan, putih dan coklat (Bapeda Kab. Malang, 2006). Gambar berikut ini merupakan contoh batuan zeolit (Gambar 2).
Gambar 2. Batuan Zeolit Secara geologi, zeolit ditemukan dalam batuan tuf yang terbentuk dari hasil sedimentasi, abu vulkanik yang telah mengalami proses alterasi atau perubahan. Empat proses sebagai gambaran terjadinya zeolit, yaitu proses sedimentasi abu vulkanik pada lingkungan danau yang bersifat alkali, proses alterasi, proses diagenesis dan proses hidrotermal. Zeolit dapat terbentuk dalam batuan dari berbagai tipe, umur dan kedudukan geologi, namun demikian zeolit memiliki keterkaitan yang erat dengan batuan sedimen piroklastik berbutir halus (tuf) (Herry, 2005). Menurut
Las (2004), ion-ion logam yang dimiliki zeolit dapat diganti oleh kation lain tanpa merusak struktur zeolit dan dapat menyerap air secara reversibel. Bapeda Kabupaten Malang (2006), menyatakan komposisi kimia zeolit adalah sebagai berikut: SiO2 (40,61-42,65%), Al2O3 (15,31-15,92%), Fe2O3 (3,95-4,130%), CaO (6,07-5,67%), MgO (2,09-1,96%), Na2O (8,66-8,81%), K2O (1,32-1,10%), dan TiO2 (1,71-1,63%). Sutarti dan Rachmawati (1994) menyatakan bahwa zeolit mempunyai struktur berongga. Rongga-rongga tersebut dapat diisi oleh air dan kation yang dapat dipertukarkan dan memiliki ukuran pori-pori tertentu (Gambar 3). Gambar 3 bagian kiri (a) memperlihatkan struktur zeolit yang berongga. Rongga-rongga tersebut telah diperbesar dengan mikroskop dan dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 3 bagian kanan (b).
(a)
(b)
Gambar 3. Struktur Zeolit (Sutarti dan Rachmawati, 1994) Zeolit berdasarkan proses pembentukkannya dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu: zeolit alam dan zeolit sintesis. Zeolit alam terbentuk karena proses alami akibat perubahan alam (zeolitisasi) dari batuan vulkanik tuf, sedangkan zeolit sintesis direkayasa oleh manusia secara proses kimia. Pada proses terbentuknya endapan zeolit alam, jenis mineral yang terlebih dahulu terbentuk adalah klinoptilolit dan filipsit karena kedua mineral ini merupakan mineral pendahulu atau mineral
penurun bagi mineral-mineral zeolit yang lain, seperti analsim, heulandit, laumontit, dan mordenit. Gambar berikut ini merupakan kristal zeolit analsim dan mordenit di bawah mikroskop elektron (Gambar 4).
Gambar 4. Kristal Zeolit Analsim (kiri) dan Mordenit (kanan) di bawah Mikroskop Elektron pada Perbesaran 1000 dan 12000 Kali (Geoteknologi LIPI, 2004) Sifat-Sifat Zeolit Sutarti dan Rachmawati (1994), menyatakan bahwa zeolit sebagai bahan mineral yang memiliki struktur berongga. Rongga-rongga tersebut dapat diisi oleh air dan kation yang dapat dipertukarkan. Zeolit juga memiliki pori-pori tertentu, sehingga zeolit dapat digunakan sebagai penyaring molekul, penukar ion, penyerap bahan dan katalisator. Berdasarkan kegunaan zeolit tersebut, maka dapat diketahui bahwa zeolit memiliki sifat-sifat khusus, seperti dijelaskan berikut ini. Dehidrasi Sifat dehidrasi dari zeolit mempengaruhi sifat adsorbsi zeolit itu sendiri. Pelepasan molekul air yang dilakukan oleh zeolit dalam rongga permukaan dapat menyebabkan meluasnya medan listrik kedalam rongga utama. Kejadian ini mengefektifkan interaksi yang terjadi antara medan listrik dengan molekul yang akan diadsorbsi. Jumlah molekul air yang akan diadsorbsi sesuai dengan jumlah pori-pori atau volume ruang hampa yang akan terbentuk bila unit sel kristal zeolit tersebut dipanaskan (Sutarti dan Rachmawati, 1994).
Adsorbsi Mumpton dan Fishman (1977), menyatakan bahwa potensi penggunaan zeolit terutama disebabkan oleh sifat fisik dan kimia yang dimiliki. Zeolit adalah mineral senyawa zat kimia dari berbagai jenis mineral alumino silikat berhidrat dengan logam alkali, kation natrium, kalium dan barium. Umumnya pemanfaatan zeolit didasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya. Zeolit mempunyai struktur berongga dan berpori sehingga rongga-rongga tersebut dapat diisi oleh air dan kation yang dapat dipertukarkan. Berdasarkan sifat tersebut, maka zeolit dapat berfungsi sebagai penyerap. Dalam situasi normal, ruang hampa dalam kristal zeolit terisi oleh molekul air bebas yang berada di sekitar kation. Kristal zeolit yang dipanaskan pada suhu 300-400ºC dapat menyebabkan molekul air tesebut akan keluar. Kejadian itu menggambarkan fungsi dari zeolit yang dapat digunakan sebagai penyerap gas atau cairan. Beberapa jenis zeolit dapat menyerap gas sebanyak 30% dari beratnya dalam keadaan kering (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Penukar Ion Zeolit merupakan mineral yang memiliki nilai kemampuan tukar kation (KTK) yang tinggi. KTK merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas dari zeolit tersebut. Sutarti dan Rachmawati (1994), menyatakan bahwa ion-ion yang terdapat pada rongga atau kerangka elektrolit berguna untuk menjaga kenetralan zeolit. Ion-ion tersebut dapat bergerak bebas sehingga pertukaran ion yang terjadi tergantung dari ukuran dan muatan maupun jenis zeolitnya. Sifat zeolit sebagai penukar ion, tergantung dari sifat kation, suhu, dan jenis anion. Penukaran kation ini dapat menyebabkan perubahan dari beberapa sifat zeolit seperti stabilitas terhadap panas, sifat adsorbsi dan aktivitas katalitis. Kristal zeolit sangat efektif untuk pertukaran kation dengan nilai KTK berkisar 100-300 meq/100g (Bachrein, 2001). Warmada dan Titisari (2004), menyatakan bahwa zeolit tersusun oleh silikon, oksigen dan aluminium dalam suatu kerangka tiga dimensi dengan pori-pori yang mengandung molekul air yang dapat menyerap kation dan saling bertukar. Katalis Sutarti dan Rachmawati (1994), menyatakan bahwa ciri yang paling khusus dimiliki oleh zeolit secara praktis; akan menentukan sifat khusus dari mineral
tersebut. Sifat khusus yang dimiliki oleh zeolit adalah ruang kosong yang akan membentuk saluran di dalam strukturnya. Zeolit yang akan digunakan sebagai katalis akan mengakibatkan terjadinya difusi molekul kedalam ruang bebas diantara kristalkrisrtal. Zeolit merupakan katalisator yang baik karena memiliki pori-pori yang besar dengan permukaan yang maksimum. Kemampuan zeolit untuk mengkatalisis suatu reaksi kimia terutama berhubungan dengan sifatnya sebagai padatan asam karena situs-situs asam, baik situs asam Bronsted maupun Lewis. Zeolit telah diketahui memainkan peranan penting sebagai katalis asam pada industri pengolahan minyak bumi dan petrokimia, termasuk dalam isomerisasi hidrokarbon. Mengingat zeolit alam sangat melimpah dan murah, maka penggunaannya sebagai katalis dapat menurunkan biaya produksi (Handoko, 2003). Warmada dan Titisari (2004), menyatakan bahwa zeolit di bidang pertanian sering digunakan sebagai katalis untuk mengurangi logam berat yang terdapat pada tanah. Penyaring atau Pemisah Molekul Banyak media yang digunakan sebagai penyaring atau penyerap campuran uap atau cairan, tetapi distribusi diameter dari pori-pori media tersebut tidak cukup selektif seperti zeolit yang sebagai penyaring molekul dapat memisahkan berdasarkan perbedaan ukuran, bentuk dan polaritas dari molekul yang disaring. Zeolit dapat memisahkan molekul gas atau zat lain dari campuran tertentu karena mempunyai ruang hampa yang cukup besar dengan garis tengah yang bermacammacam yang tergantung dari jenisnya. Kemampuan zeolit untuk berperan sebagai penyaring dipengaruhi oleh volume dan ukuran garis tengah ruang hampa dalam kisikisi kristal (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Meningkatkan Mutu Zeolit Zeolit merupakan mineral yang dapat ditemukan di berbagai daerah yang mengalami kegiatan vulkanik yang telah berlangsung lama dan terus-menerus. Karakteristik dan mutu zeolit dari berbagai lokasi tidak sama. Pemanfaatan zeolit untuk keperluan tertentu, misalnya dalam bidang pertanian untuk mengefisienkan penggunaan pupuk memerlukan mutu yang baku yaitu kapasitas tukar kation minimum 120 meq/100 g, ukuran –10, +48 mesh, zeolit 50% dan kadar air 8%, sesuai dengan SNI 13-4696-1998, dan dalam bidang peternakan untuk imbuhan
pakan ternak diperlukan kapasitas tukar kation 160 meq/100 g, ukuran –28, +100 mesh, zeolit 50% dan kadar air 5% sesuai dengan SNI 13-4697-1998 (Muta’alim, 2002). Berdasarkan hal tersebut, suatu cara atau proses pengolahan untuk
memperoleh zeolit dengan kemampuan yang tinggi sangat dibutuhkan. Beberapa proses yang sering dilakukan dalam meningkatkan kemampuan zeolit, antara lain dijelaskan seperti berikut. Preparasi Tahap ini bertujuan untuk memperoleh ukuran produk yang sesuai dengan tujuan penggunaan. Preparasi terdiri atas tahap peremukan (crushing), sampai penggerusan (grinding) (Bapeda Kab. Tasikmalaya, 2003). Aktivasi Aktivasi bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat khusus zeolit dengan cara menghilangkan unsur-unsur pencemar dan menguapkan air yang terperangkap dalam pori kristal zeolit. Dua cara yang umum digunakan dalam proses aktivasi zeolit, yaitu secara fisis dan kimiawi. Aktivasi secara fisis berupa pemanasan zeolit. Pemanasan tersebut bertujuan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit sehingga luas permukaan zeolit akan bertambah. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan oven biasa pada suhu 300-400ºC selama 2-3 jam untuk skala laboratorium, sedangkan aktivasi secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan larutan asam (H2SO4) atau basa (NaOH) sebagai pereaksi. Proses tersebut bertujuan untuk membersihkan permukaan pori, membuang senyawa pengotor dan mengatur kembali letak atom yang dapat dipertukarkan (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Modifikasi Sutarti dan Rachmawati (1994), menyatakan bahwa zeolit hasil dari aktivasi dalam proses pengolahan air telah mampu menyerap ion logam berat yang berupa kation. Zeolit juga diharapkan dapat menyerap logam berat berupa anion, mikroorganisme, serta zat organik lain sehingga zeolit perlu dimodifikasi. Proses modifikasi ini ditujukan untuk mengubah sifat permukaan zeolit alam dengan cara melapiskan polimer organik (sintetis dan alamiah) pada zeolit tersebut (Bapeda Kab. Tasikmalaya, 2003).
Penggunaan Zeolit Di Indonesia, pemanfaatan zeolit di bidang pertanian mulai diteliti dan diujicobakan sejak tahun 1980 oleh peneliti dari Pusat Pengembangan Teknologi Mineral Bandung. Di bidang pertanian, zeolit dapat diberikan langsung ke lahanlahan pertanian bersama bahan lain, dibuat media untuk tanaman hortikultura, dicampurkan dengan pupuk kandang sewaktu proses pengkomposan, dicampurkan dengan pupuk urea sebagai pupuk penyedia lambat (Suwardi, 2002). Zeolit juga mulai diujicobakan untuk meningkatkan kualitas ternak. Mumpton dan Fishman (1977), menyatakan bahwa potensi penggunaan zeolit terutama disebabkan oleh sifat fisik dan kimia yang dimiliki. Zeolit mula-mula sering digunakan sebagai bahan industri, seperti: bahan pengisi industri kertas, bahan penukar ion pada proses penjernihan air, bahan pemisah nitrogen dan oksigen, katalisator pada pemurnian minyak, adsorben tahan asam pada pengeringan dan sebagai bahan bangunan. Bersamaan dengan itu, zeolit juga dapat digunakan untuk imbuhan pakan temak dan penjernih pada tambak udang dan kolam ikan. Salah satu peranan zeolit pada ternak non-ruminansia adalah memperlambat laju pakan dalam saluran pencernaan sehingga penyerapan zat-zat makanan memiliki peluang yang lebih besar, dan hal ini terkait erat dengan peningkatan efisiensi penggunaan pakan. Chiang dan Yoe (1983), menyatakan bahwa pemberian zeolit dalam ransum ternak unggas dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan sebesar 20% dibandingkan dengan pemberian ransum tanpa zeolit. Pemberian zeolit pada ternak unggas juga tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan dan vitalitas ternak tersebut. Sutarti dan Rachmawati (1994), menyatakan bahwa zeolit yang ditambahkan dalam ransum dapat membantu dalam proses penyerapan bahan makanan dalam saluran pencernaan dan meningkatkan selera makan hewan. Zeolit memiliki kemampuan dalam mengikat amoniak, sehingga dapat mengurangi kemungkinan ternak mengalami keracunan NH4+ dan meningkatkan pH dalam saluran pencernaan, sehingga ternak tersebut dapat merasakan kenyamanan dalam mencerna yang akan meningkatkan selera makan (Mumpton dan Fishman, 1977). Zeolit yang ditambahkan dalam ransum ternak memiliki peranan dalam memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan, sehingga penyerapan zat-zat makanan akan lebih banyak terjadi (Soejono dan Santoso, 1990). Siagian (1993),
menyatakan bahwa penggunaan zeolit dengan taraf yang semakin meningkat/tinggi dalam ransum dapat mengakibatkan kadar air feses semakin menurun/sedikit. Salah satu manfaat penggunaan zeolit adalah mengurangi kadar air feses. Hal tersebut sangat penting dalam menjaga kebersihan kandang. Selain itu, penggunaan zeolit dalam ransum ternak juga berfungsi untuk menurunkan kadar protein kotoran ternak. Kadar protein kotoran dapat digunakan sebagai gambaran efisiensi penggunaan protein dalam ransum. Dengan demikian hal tersebut menunjukkan bahwa zeolit mampu mengefisienkan penggunaan protein oleh tubuh ternak. Ransum Ransum merupakan bahan bakar bagi tubuh yang dapat memberikan panas dengan oksidasi lambat. Ransum juga berfungsi sebagai penyedia bahan yang diperlukan untuk pertumbuhan, pergantian sel-sel yang sudah tua dan rusak serta pengaturan proses-proses tubuh. Ransum yang baik bukan berasal dari asal pakan itu sendiri, tetapi berdasarkan pada komposisi dari bahan-bahan pakan yang penting untuk menyusun ransum tersebut. Ransum modern merupakan suatu kombinasi kompleks dari bahan-bahan pakan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan bagi ternak. Ransum yang sempurna harus memiliki kandungan protein yang cukup agar asam amino yang diperlukan dapat dipenuhi, cukup zat organik yang dapat dicerna (karbohidrat, lemak dan protein) untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan, asam amino harus seimbang, cukup zat vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh ternak (Anggorodi, 1984). Anggorodi (1984), selanjutnya menyatakan bahwa ransum yang seimbang adalah ransum yang mengandung semua zat-zat makanan dalam jumlah yang cukup dan dalam perbandingan yang tepat untuk keperluan proses-proses fungsi tubuh. Ransum juga harus bebas dari faktor toksis atau faktor-faktor lain yang merugikan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas ransum, salah satunya adalah dengan menambahkan non-nutritive feed additivies dalam ransum. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin agar zat-zat makanan yang terkandung dalam ransum tersebut lebih mudah dicerna, terhindar dari kerusakan, mudah diserap dan diangkut kedalam sel tubuh. Zeolit merupakan salah satu bahan mineral yang dapat digunakan untuk memperbaiki mutu atau kualitas ransum, karena zeolit dapat
menyerap atau menghilangkan zat-zat atau kuman pencemar yang terdapat pada bahan ransum tersebut (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Ransum seharusnya mengandung komponen-komponen nutrisi dengan kadar yang diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas pakan termasuk mudah dicerna, disukai (palatabilitas), cara penyiapan dan penyimpanannya serta konsentrasi zat kimia dan kuman pencemar (Anggorodi, 1985). Parakkasi (1999), menyatakan bahwa bahan makanan yang sulit dicerna, seperti serat kasar dapat memperlambat laju system pencernaan atau daya cerna terhadap makanan. Kandungan nutrisi ransum yang sering diberikan kepada mencit menurut (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988), antara lain: protein kasar (20-25%), lemak kasar (10-12%), pati (45-55%), serat kasar (4-5%), dan abu (5-6%). Menurut Anggorodi (1980), zat-zat makanan yang terkandung dalam bahanbahan makanan tersebut, dalam tubuh ternak akan diubah menjadi produk seperti daging, susu, telur, wol, energi, dan lain-lain. Sifat-sifat produksi yang baik seperti yang dikehendaki pemilik ternak dapat dicapai sebaik mungkin bila ternak yang bersangkutan mendapatkan ransum yang sempurna. Konsumsi Ransum Menurut Parakkasi (1999), konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak jika ransum tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu. Anggorodi (1980), menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh kandungan energi ransum, jenis kelamin, ukuran tubuh, tingkat produksi, temperatur lingkungan, kecepatan pertumbuhan, keseimbangan zat-zat makanan dalam ransum dan cekaman yang dialami ternak tersebut. Malole dan Pramono (1989), menyatakan bahwa tingkat konsumsi makanan dan air minum bervariasi menurut suhu kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan. Suhu lingkungan yang ideal dalam pemeliharaan mencit berada pada kisaran 18-29°C dengan rataan 22°C, dan kelembaban berkisar antara 30-70% (Malole dan Pramono, 1989). Ransum dikonsumsi pada berbagai umur tidak tetap, tetapi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi (Amrullah, 2003). Tingkat energi dalam ransum akan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi. Semakin tinggi energi ransum maka akan menurunkan konsumsi, oleh karena itu ransum yang berenerg tinggi harus
diimbangi dengan protein, vitamin dan mineral yang cukup agar tidak terjadi defisiensi protein, vitamin dan mineral (Wahju, 1997). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi, antara lain faktor ternak itu sendiri, makanan yang diberikan selama pemeliharaan, dan lingkungan sekitar tempat ternak itu dipelihara (Parakkasi, 1999). Parakkasi (1999), juga menyatakan bahwa suhu dan kelembaban dalam kandang pemeliharaan dapat mempengaruhi tingkah laku hewan sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ransum hewan tersebut. Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dengan batas ideal dalam pemeliharaan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ternak tersebut. Selain itu, tingkatan konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh bobot badan. Hewan atau ternak yang memiliki bobot badan yang lebih besar akan memiliki tingkat konsumsi ransum lebih banyak daripada hewan yang berbobot badan ringan, karena hewan tersebut membutuhkan lebih banyak ransum untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok (Mansjoer, 1985). Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi ransum 3-5 g/hari, tetapi kalau mencit sedang bunting atau menyusui nafsu makannya akan bertambah. Anggorodi (1980), menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum hewan juga dipengaruhi jenis kelamin. Mencit jantan memiliki nilai konsumsi ransum lebih tinggi daripada mencit betina (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Berdasarkan hasil dari penelitian Anantyo (2006), ratarata seekor mencit dapat mengkonsumsi ransum sebanyak 4,60 g/ekor/hari. Makanan mencit dengan kualitas tetap harus selalu tersedia karena perubahan kualitas dapat menyebabkan penurunan berat badan dan energi. Mencit membutuhkan makanan yang memiliki kadar protein diatas 14%. Kebutuhan protein ini biasanya dapat dipenuhi dengan memberikan ransum ayam broiler komersial kepada mencit. Konversi Ransum Menurut Rasyaf (1999), konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi pada periode tertentu dengan produksi yang dicapai pada periode tersebut. Tujuan utama pemberian pakan adalah untuk menghasilkan pertumbuhan yang paling cepat dengan jumlah pakan yang paling sedikit serta hasil akhir yang memuaskan (Blakely dan David, 1991). Tingkat konversi ransum biasanya digunakan dalam menentukan tingkat penggunaan makanan oleh ternak untuk menghasilkan suatu produksi, seperti daging, telur, wool, tenaga, dan lain-lain. Nilai
konversi ransum dapat menentukan keefisienan seekor ternak dalam menggunakan makanannya untuk berproduksi. Semakin kecil nilai konversi ransum, maka semakin efisien ternak tersebut menggunakan ransum untuk menghasilkan produksi daging (Sihombing, 1997). Konversi ransum merupakan hubungan antara jumlah ransum yang dibutuhkan ternak untuk menghasilkan satu satuan nilai produksi dan konversi ransum dapat mencapai dan mempunyai derajat yang tinggi untuk memproduksi daging dan telur hanya bila menggunakan bahan makanan yang bernilai nutrisi tinggi (Wahju, 1997). Menurut pendapat Mumpton dan Fishman (1977), penggunaan zeolit dalam ransum ternak dapat memperbaiki nilai konversi ransum. Litter Size Litter size pada saat lahir merupakan jumlah anak yang dilahirkan atau dihasilkan dari seekor induk per kelahiran. Jumlah anak yang dihasilkan seperindukan pada ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pejantan dan induknya, bangsa, umur induk, periode beranak (parity), fertilitas, kematian selama kebuntingan, lama kebuntingan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi jumlah anak per kelahiran yaitu kelainan-kelainan hormonal, infeksi uterus dan makanan (Sihombing, 1997). Litter size pertama merupakan jumlah anak yang dihasilkan pada saat kelahiran pertama. Bobot Sapih Bobot sapih merupakan bobot badan yang diperoleh pada saat anak dipisahkan dari induknya untuk disapih. Besarnya bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan pada saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan serta suhu lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian Dasril (2006), mencit jantan dan betina lepas sapih memiliki rataan bobot sapih masing-masing sebesar 6,93 ± 0,12 dan 6,97 ± 0,13 g/ekor. Bobot Badan Bobot badan induk sebelum beranak secara umum berhubungan erat dengan bobot lahir anak (Parakkasi, 1999). Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa bobot badan mencit dipengaruhi oleh litter size, bobot lahir, produksi susu
induk dan pemberian pakan. Berdasarkan hasil penelitian Anantyo (2006), mencit jantan dan betina memiliki rataan bobot badan akhir masing-masing sebesar 31,87 dan 24,78 g/ekor. Pertambahan Bobot Badan Rose (1997), menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu perubahan yang terjadi yang meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh. Pertumbuhan tersebut mencakup tiga komponen utama yaitu peningkatan berat otot, peningkatan ukuran skeleton, dan peningkatan jaringan lemak tubuh. Kecepatan pertumbuhan badan, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, tergantung juga pada cara pemeliharaan, cara pemberian pakan dan kualitas pakan yang diberikan pada ternak (Anggorodi, 1984). Pertumbuhan setelah masa penyapihan dipengaruhi oleh faktor kandungan gizi ransum, jenis kelamin, umur, berat sapih dan lingkungan (Gono, 1987). Smith dan Mangkoewidjojo (1994), menyatakan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi pertumbuhan mencit. Jenis kelamin jantan memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi daripada mencit betina, karena konsumsi mencit betina lebih banyak digunakan untuk mempersiapkan dewasa kelamin (Toelihere, 1981). Hardiansyah dan Martianto (1989), juga menyatakan bahwa pertumbuhan dapat terhambat karena kekurangan konsumsi protein ransum, sedangkan jika terdapat kelebihan konsumsi protein, oleh tubuh akan dijadikan sumber energi dalam keadaan kekurangan energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Hasil penelitian Sudono (1981), menunjukkan bahwa laju pertumbuhan mencit tertinggi dicapai pada umur 29 hari pada jantan dan betina, masing-masing sebesar 0,55 dan 0,50 g/hari. Berdasarkan hasil penelitian Anantyo (2006), dapat diketahui bahwa taraf pemberian zeolit dan jenis kelamin mempengaruhi pertambahan bobot badan pada mencit, tetapi tidak ditemukan interaksi antara jenis kelamin dengan taraf zeolit. Selain itu, pertambahan bobot badan mencit jantan lebih tinggi dibandingkan dengan mencit betina. Hasil penelitian Anantyo (2006), juga menunjukkan bahwa mencit jantan dan betina memiliki rataan pertambahan bobot badan masing-masing sebesar 0,40 dan 0,29 g/ekor/hari. Pertumbuhan mencit akan mengalami penurunan setelah mencit memasuki fase dewasa tubuh. Titik tertinggi atau titik peralihan pertumbuhan yang menandai mencit telah memasuki fase dewasa tubuh terjadi pada saat mencit berumur 28,5 hari. Setelah bobot dewasa tercapai,
maka pertumbuhan mencit akan menurun (Kurnianto et al., 1999). Tilman et al. (1989), menyatakan bahwa pertumbuhan terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat usia pubertas, sedangkan tahap lambat terjadi pada saat kedewasaan tubuh sudah mulai tercapai. Pertambahan bobot badan yang lambat akan sejajar dengan pertambahan berat badan sewaktu hewan bertambah dewasa (Toelihere, 1981). Sumbawati (1992), menyatakan bahwa zeolit yang digunakan dalam ransum unggas sebesar 2,5-7,5% dapat memberikan produksi telur lebih tinggi dibandingkan tanpa penggunaan zeolt. Siagian (1991), juga menyatakan bahwa penggunaan zeolit sebesar 6% dalam ransum babi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan yang lebih baik daripada penggunaan taraf zeolit lainnya. Tilman et al. (1989), menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan dapat dinyatakan dengan melakukan penimbangan berulang setiap hari, minggu, atau bulan. Kecepatan tumbuh rata-rata seekor mencit adalah satu g/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kadar Air Feses Hartini (2000), menyatakan bahwa kadar air feses dapat menggambarkan efektivitas penyerapan air dalam saluran pencernaan. Semakin efektif penyerapan air dalam saluran pencernaan maka semakin rendah kadar air feses. Kadar air feses yang rendah akan menyebabkan laju digesta lebih lambat sehingga penyerapan zat makanan dapat lebih baik. Menurut Cool dan Willard (1982), penggunaan zeolit dapat menurunkan kandungan air feses sebesar 30%. Persentase kadar air feses tersebut dapat menggambarkan lama waktu yang terjadi dalam proses penyerapan zat makanan, sehingga dapat mengetahui besarnya kandungan zat makanan yang terserap dan terbuang. Leung et al. (2001), menyatakan bahwa zeolit jenis klinoptilolit yang ditambahkan dalam kedalam ransum babi grower berpotensial dalam meningkatkan penyerapan zat nutrisi ransum di dalam saluran pencernaan. Berdasarkan hasil penelitian Dasril (2006), kadar zeolit yang semakin tinggi dalam ransum akan mengakibatkan kadar air feses yang semakin rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat zeolit yang berfungsi sebagai penyerap molekul. Struktur zeolit yang berongga-rongga dapat menyerap dan mengikat molekul air, sehingga molekul air dalam ransum akan diikat oleh zeolit. Selain taraf zeolit dalam ransum, jenis kelamin juga mempengaruhi kadar air feses. Persentase kadar air feses
jantan lebih rendah daripada betina, sehingga mencit jantan lebih tinggi tingkat penyerapan kandungan zat-zat makanan ransum dalam saluran pencernaan dibandingkan dengan betina (Dasril, 2006). Dengan menggunakan zeolit dalam ransum ternak, maka kadar air feses diharapkan akan menurun atau lebih rendah. Hal ini sangat penting dalam menjaga kebersihan kandang (Siagian, 1993). Kadar Protein Feses Kadar protein feses dapat digunakan sebagai gambaran efisiensi penyerapan protein dari ransum perlakuan. Semakin tinggi taraf zeolit dalam ransum, maka kadar protein feses akan semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit mampu mengefisienkan penggunaan protein oleh tubuh ternak (Siagian, 1993). Efektivitas dari suatu makanan dapat dilihat dari banyaknya zat makanan, seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang diserap oleh tubuh. Hal ini berarti semakin sedikit tingkat penyerapan maka tingkat protein yang terbuang akan semakin tinggi. Jumlah protein feses yang berhubungan dengan daya serap protein sangat berpengaruh terhadap kecernaan protein dalam tubuh ternak. Jumlah protein feses yang tinggi menandakan tingkat kecernaan protein pakan yang rendah dalam tubuh ternak, sehingga untuk menentukan kecernaan protein perlu dilakukan perhitungan terhadap kadar protein feses. Dasril (2006), menyatakan bahwa mencit jantan memiliki jumlah protein feses lebih rendah daripada mencit betina, oleh karena itu mencit jantan memiliki kemampuan mencerna protein ransum lebih tinggi daripada betina.
Mortalitas Mortalitas merupakan banyaknya ternak yang mati dalam suatu populasi tertentu pada tempat ternak tersebut berada. Syarif (2006), menyatakan bahwa nilai mortalitas dalam bentuk persentase diperoleh dengan cara membagi jumlah mencit yang mati selama selang waktu tertentu dengan jumlah populasi awal dikalikan 100%. Persentase mortalitas atau angka kematian ternak dalam suatu usaha peternakan merupakan pedoman yang digunakan dalam menentukan kesuksesan usaha peternakan. Syarief (2006), juga mengatakan bahwa mortalitas pada mencit
dewasa dapat disebabkan perkelahian untuk mempertahankan wilayah dan hierarkinya. Kondisi lingkungan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan ternak dapat menurunkan angka mortalitas. Mortalitas dipengaruhi oleh kualitas pakan, kepekaan terhadap penyakit, suhu dan kelembaban kandang serta menejemen pemeliharaan (Blakely dan David, 1991).
METODE Lokasi dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 April–3 Juli 2006, bertempat di Laboratorium Lapang, Bagian Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Hewan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih (Mus musculus) lepas sapih berumur 25 hari yang terdiri atas 73 ekor jantan dan 93 ekor betina, dengan rataan bobot sapih masing-masing sebesar 8,29 ± 0,82 dan 8,10 ± 0,77 g/ekor. Mencit penelitian ini berasal dari laboratorium lapang, bagian NonRuminansia dan Satwa Harapan (NRSH). Materi percobaan mencit ini merupakan anak dari induk mencit beranak pertama yang mendapatkan zeolit dalam ransumnya. Mencit percobaan ini diperoleh dari Bagian Non-Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pemisahan anak mencit jantan dan betina dilakukan pada saat lepas sapih (umur 25 hari) dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Mencit Penelitian Lepas Sapih Umur 25 Hari Kandang Kandang yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 36 x 28 x 12 cm berjumlah 46 buah, terbuat dari plastik dan dilengkapi dengan kawat penutup. Setiap kandang dilengkapi dengan sebuah tempat air minum berupa botol dengan kapasitas 265 ml yang terbuat dari kaca dan karet penutup botol yang juga dilengkapi dengan pipa logam. Kandang plastik untuk mencit penelitian, baik jantan maupun betina
berwarna hijau untuk mencegah pengaruh warna kandang yang berbeda. Kandang diberi alas sekam padi sebanyak 50 g per kandang yang diganti setiap sepuluh hari. Kandang ditempatkan di atas rak yang terbuat dari kayu. Setiap rak kayu disusun tiga tingkat. Penelitian ini menggunakan dua buah rak kayu. Kandang penelitian untuk masing-masing mencit jantan dan betina diletakkan pada rak kayu terpisah. Kandang penelitian untuk mencit jantan diletakkan pada rak kayu pertama tingkat pertama, sedangkan kandang untuk mencit betina diletakkan pada rak kayu
kedua pada
tingkat yang sama, seperti diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kandang Mencit Penelitian Ransum Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum komersial untuk ayam broiler dalam bentuk mesh dengan kadar protein 21,32%. Zeolit ditambahkan secara substitusi kedalam ransum dengan taraf sebagai berikut: R1: Ransum (100%) + Zeolit (0%) R2: Ransum ( 97%) + Zeolit (3%) R3: Ransum ( 94%) + Zeolit (6%) R4: Ransum ( 91%) + Zeolit (9%) Penambahan taraf zeolit dalam ransum dapat menyebabkan perubahan warna pada ransum. Semakin tinggi taraf zeolit dalam ransum, maka warna ransum akan semakin gelap. Ransum dan zeolit yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 7).
R1 R2 R3 R4 Gambar 7. Ransum Mencit Penelitian dan Zeolit
Zeolit
Peralatan Peralatan yang digunakan antara lain kandang plastik, botol air minum dengan kapasitas 265 ml, timbangan elektrik merek Adam dengan tingkat ketelitian 0,01 g untuk menimbang pakan dan mencit, sekam padi, kotak kaca yang digunakan saat penimbangan mencit, alat pengukur suhu dan kelembaban (thermo-hygrometer merek TFA), sikat baki, sikat botol, plastik putih ukuran ¼ kg, botol bekas minuman mineral 600 ml, tabung plastik, kain lap, kertas, gunting, kabel rol, tampah, sarung tangan, masker, kuas dan alat tulis. Peralatan yang digunakan selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada gambar berikut ini (Gambar 8).
(a) (b) (c) (d) (e) Gambar 8. Peralatan yang Digunakan Selama Penelitian adalah Timbangan (a), Baki Plastik (b), Tabung Plastik (c), Botol Air Minum (d), dan Tampah (e) Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 4 x 2 masing-masing dengan enam ulangan, kecuali perlakuan R3J dan R3B masing-masing dengan lima ulangan. Faktor pertama adalah penambahan zeolit
dalam ransum yang terdiri atas empat taraf yaitu 0%, 3%, 6%, dan 9%. Faktor kedua adalah perbedaan jenis kelamin yang terdiri atas jantan dan betina, dengan jumlah jantan dan betina tiap satuan unit percobaan berbeda (unbalanced data), sesuai jumlah anak dari tiap induk sebelumnya menurut pemberian ransum perlakuan. Mencit lepas sapih yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari induk mencit yang telah mengkonsumsi ransum dengan taraf penambahan zeolit yang berbeda. Bagan penelitian dengan perlakuan, ulangan dan jumlah mencit tiap unit percobaan diperlihatkan pada Gambar 9 dan 10. Tetua
R1
R2
R3
R4
F1 (Anak Hasil Litter Size Pertama)
------------------------------------------- Ekor ---------------------------------------Ulangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 4 1 4 4 3 ♂ ♂ ♂ ♂ ♂ ♂ 2♂ 6♀
2♂
2♂
2♂
6♀
6♀
6♀
4 ♀
4 ♀
5 ♀
4 ♀
3 ♀
3 ♀
3 ♂
3 ♂
2 ♂
6 ♂
6 ♂
2 ♂
7 ♀
5 ♀
6 ♀
1 ♀
3 ♀
6 ♀
2 ♂
-
4 ♂
5 ♂
3 ♂
1 ♂
6 ♀
-
4 ♀
2 ♀
2 ♀
7 ♀
4 ♂
3 ♂
4 ♂
3 ♂
4 ♂
1 ♂
3 ♀
3 ♀
2 ♀
6 ♀
1 ♀
6 ♀
Keterangan: - = Data tidak tersedia karena mencit mati sebelum disapih
Gambar 9. Bagan Perolehan Mencit Penelitian yang Berasal dari 2 Jantan dan 6 Betina pada Masing-masing Perlakuan
166 ekor mencit 73 ekor mencit jantan R1 17 ekor mencit
R2 22 ekor mencit
93 ekor mencit betina
R3 15 ekor mencit
R4 19 ekor mencit
R1 23 ekor mencit
R2 22 ekor mencit
R3 21 ekor mencit
R4 21 ekor mencit
R11 1 ekor
R21 3 ekor
R31 2 ekor
R41 4 ekor
R11 4 ekor
R21 7 ekor
R31 6 ekor
R41 3 ekor
R12 4 ekor
R22 3 ekor
R32 -
R42 3 ekor
R12 4 ekor
R22 5 ekor
R32 -
R42 3 ekor
R13 1 ekor
R23 2 ekor
R33 4 ekor
R43 4 ekor
R13 5 ekor
R23 6 ekor
R33 4 ekor
R43 2 ekor
R14 4 ekor
R24 6 ekor
R34 5 ekor
R44 3 ekor
R14 4 ekor
R24 1 ekor
R34 2 ekor
R44 6 ekor
R15 4 ekor
R25 6 ekor
R35 3 ekor
R45 4 ekor
R15 3 ekor
R25 3 ekor
R35 2 ekor
R45 1 ekor
R16 3 ekor
R26 2 ekor
R36 1 ekor
R46 1 ekor
R16 3 ekor
R26 6 ekor
R36 7 ekor
R46 6 ekor
Keterangan: - = Data tidak tersedia karena mencit mati sebelum disapih
Gambar 10. Bagan Pembagian Mencit dalam Kandang Penelitian
Model matematika (Steel dan Toriie, 1993) yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
= Nilai peubah yang diamati pada ulangan ke-k dari taraf zeolit ke-i dan jenis kelamin ke-j
µ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh faktor I , pemberian ransum dengan penambahan zeolit.pada taraf ke-i ; i = 0, 3, 6 dan 9%
βj
= Pengaruh faktor II, berdasarkan jenis kelamin, pada taraf ke-j ; j = 1 (jantan) dan 2 (betina)
(αβ)ij
= Interaksi antara faktor I pada taraf ke-i dan faktor II pada taraf ke-j
εijk
= Galat percobaan pada ulangan ke-k dan taraf zeolit ke-i dan jenis kelamin ke-j Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA)
menggunakan MINITAB 13 dan Microsoft Excel 2003. Peubah yang dipengaruhi oleh perlakuan kemudian dianalisis dengan uji Tukey’s pada selang kepercayaan 95 dan 99% untuk membandingkan nilai tengahnya (Steel dan Toriie, 1993). Peubah yang Diamati 1.
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) Konsumsi ransum diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan selama sepuluh hari dengan sisa ransum pada saat penggantian sekam setiap sepuluh hari. Jumlah sisa ransum dihitung dengan cara memisahkan antara sekam, feses dan sisa ransum.
2.
Pertambahan Bobot Badan Mencit (g/ekor/hari) Pertambahan bobot badan dihitung per ekor mencit dan dilakukan setiap sepuluh hari pada saat penggantian sekam. Perhitungan dilakukan dengan cara penimbangan berdasarkan dari bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal. Rataan pertambahan bobot badan harian digunakan juga untuk dapat menentukan nilai konversi ransum.
3. Konversi Ransum Konversi ransum dihitung berdasarkan jumlah konsumsi ransum harian mencit (g/ekor/hari) dibagi dengan pertambahan bobot badan harian mencit (g/ekor/hari). Konversi ransum dihitung dengan menggunakan rumus: K KR = PBB Keterangan: KR
:
Nilai konversi ransum
K
:
Jumlah konsumsi ransum (g/ekor/hari)
PBB :
Pertambahan bobot badan (g/ekor/hari)
4. Kadar Air Feses Kering Udara (%) Kadar air feses diperoleh dengan pengambilan sampel kotoran mencit tiap ulangan perlakuan sebanyak lima g, kemudian dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari pada waktu tertentu secara bersamaan sampai bobot stabil. Kadar air feses dapat dihitung dengan cara mencari selisih antara berat feses setelah dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari dengan berat feses awal atau sebelum dilakukan penjemuran. Persentase kadar air feses dihitung dengan rumus: BB - BK KA =
x 100% BB
Keterangan: KA
:
Kadar air
BB
:
Berat basah sampel (berat sampel awal, sebelum dijemur)
BK
:
Berat kering sampel (berat sampel akhir, setelah dijemur)
5. Kadar Protein Feses (%). Kadar protein feses diperoleh dari hasil analisis proksimat yang dilakukan di laboratorium. Sampel tersebut diambil setelah dilakukan pencampuran kotoran mencit dari tiap ulangan taraf perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan satu kali selama penelitian, yaitu pada saat mencit berumur 85 hari (penimbangan
terakhir). Sampel tersebut dianalisis dengan analisis proksimat di Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. 6. Kecernaan Protein Kecernaan protein dapat diperoleh dengan cara mengurangi jumlah protein ransum yang dikonsumsi dengan protein feses mencit penelitian dari hasil analisis proksimat, dibagi jumlah protein ransum yang kemudian dikalikan 100%. Kadar protein feses diperoleh dari pengambilan sampel kotoran mencit penelitian pada tiap taraf perlakuan sebanyak 10 g. Analisis proksimat ini dilakukan untuk mengetahui kandungan dari protein yang terdapat dalam feses, sehingga kandungan tersebut dapat digunakan untuk menghitung nilai kecernaan protein. 7. Mortalitas Mortalitas merupakan banyaknya ternak yang mati dalam suatu populasi tertentu pada ternak tersebut berada. Nilai mortalitas dalam bentuk persentase diperoleh dengan cara membagi mencit yang mati selama selang waktu tertentu dengan jumlah populasi awal dikalikan 100%. Mortalitas yang terjadi dapat disebabkan oleh pengaruh perlakuan atau faktor lainnya. Mortalitas diamati dan dicatat setiap hari selama penelitian. Prosedur Mencit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari induk yang telah mendapatkan ransum perlakuan dengan penambahan zeolit sejak mencit siap kawin, bunting hingga menyapih yang dilanjutkan dengan perlakuan yang sama pada anak mencit penelitian. Mencit yang digunakan saat lepas sapih (umur 25 hari) dipisah terlebih dahulu berdasarkan jenis kelamin jantan dan betina, kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot awalnya. Rataan bobot awal mencit penelitian jantan dan betina masing-masing sebesar 8,29 ± 0,82 dan 8,10 ± 0,77 g/ekor. Penempatan mencit dalam kandang dilakukan berdasarkan jenis kelamin dan ransum perlakuan yang diberikan adalah seperti yang diperoleh induknya. Pemeliharaan mencit lepas sapih atau lama pemeliharaan berlangsung selama dua bulan. Mencit mendapatkan empat macam ransum yang diberikan pada mencit jantan dan betina masing-masing dengan enam ulangan, kecuali perlakuan R3J dan R3B
masing-masing dengan lima ulangan. Ransum yang diberikan dibedakan dengan taraf penambahan zeolit dengan cara substitusi mengikuti ransum induknya yaitu 0% (R1); 3% (R2); 6% (R3); dan 9% (R4). Mencit yang diteliti diberikan ransum melebihi kebutuhannya (ad libitum) sebanyak 10 g/ekor/hari, sedangkan kebutuhan mencit pada umumya berkisar antara 3-5 g/ekor/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Air minum untuk mencit penelitian juga diberikan ad libitum. Kandang diberikan alas dengan sekam padi yang telah diayak terlebih dahulu agar serbuk halus sekam terpisah, dan pergantian sekam ini dilakukan setiap sepuluh hari. Kandang selalu dijaga kebersihannya dengan membersihkan kandang plastik tempat pemeliharaan mencit, tempat air minum dan sekitar kandang penelitian. Pencatatan suhu dan kelembaban dalam kandang dilakukan setiap tiga kali sehari (pagi, siang, dan sore) selama penelitian berlangsung.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Laboratorium Lapang, Bagian Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) tempat penelitian berlangsung memiliki beberapa kandang untuk mengembangkan hewan percobaan, seperti tikus, mencit, dan cacing tanah. Kandang tersebut memiliki 20 rak kayu untuk memelihara tikus dan mencit. Setiap rak kayu terdiri atas tiga tingkat, setiap tingkatnya dapat digunakan untuk meletakkan 24 buah baki plastik tempat memelihara mencit atau tikus. Populasi mencit dan tikus yang dipelihara dalam kandang sekitar 2.000 ekor, yang terdiri atas jantan dan betina dengan berbagai umur. Kebersihan kandang penelitian ini sangat diperhatikan dengan melakukan pembersihan kandang dan baki plastik secara teratur. Mencit yang digunakan dalam penelitian diberikan makan dan minum secara teratur setiap hari. Kebersihan dalam penelitian juga diperhatikan dengan melakukan pembersihan sekitar rak penelitian, membersihkan baki plastik dan tempat air minum yang telah dipakai. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari, dengan menggunakan alat thermohygrometer ruangan yang digantung di kandang penelitian. Kondisi kandang mencit penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Kondisi Kandang Penelitian Mencit (Mus musculus)
Banyaknya rak yang digunakan untuk penelitian ini adalah dua buah. Rak yang pertama pada bagian tingkat atas digunakan untuk mencit jantan yang dibagi menjadi empat perlakuan dengan enam ulangan setiap perlakuan, sedangkan rak yang kedua digunakan untuk mencit betina yang juga dibagi dalam perlakuan dan ulangan yang sama dengan mencit jantan (Gambar 11). Suhu dan Kelembaban Suhu dan kelembaban merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh secara langsung pada hewan. Suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi tingkah laku hewan sehingga dapat juga mempengaruhi tingkat konsumsi ransum hewan tersebut (Parakkasi, 1999). Hasil pengukuran suhu dan kelembaban yang dilakukan dalam kandang penelitian masing-masing berkisar antara 24,00-32,50oC dan 51,00-56,5%. Rataan suhu dan kelembaban dalam kandang pada pagi hari masing-masing 27,20oC dan 55,57%, siang hari 31,70oC dan 52,04% dan sore hari 28,40oC dan 55,10%. Rataan suhu dan kelembaban harian selama penelitian masing-masing adalah 29,10oC dan 53,78%. Malole dan Pramono (1989), menyatakan bahwa temperatur kandang yang ideal bagi mencit berada pada kisaran 18-29oC dengan rataan 22oC dan kelembaban dalam kandang pemeliharaan sebesar 30-70%. Mencit dapat beradaptasi pada suhu lingkungan yang lebih rendah maupun suhu yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil yang didapat dari pencatatan suhu dan kelembaban, kisaran suhu yang terjadi dalam kandang penelitian melebihi batas yang ideal tetapi kelembaban masih berada dalam kisaran yang ideal bagi mencit. Berdasarkan pengamatan, keadaan suhu yang melebihi kisaran ideal dalam kandang penelitian menyebabkan cekaman terhadap mencit penelitian, sehingga konsumsi ransum mencit penelitian mengalami penurunan. Hal ini didukung oleh Parakkasi (1999), yang menyatakan bahwa kondisi suhu lingkungan yang melebihi batas ideal bagi mencit, dapat menurunkan tingkat konsumsi ransum, meningkatkan konsumsi air, memperburuk efisiensi penggunaan ransum dan menurunkan produktivitas atau pertumbuhan. Hal ini disebabkan mencit berusaha mempertahankan temperatur tubuh yang normal. Demikian juga dengan kelembaban lingkungan disekitar mencit berpengaruh terhadap pengaturan temperatur tubuh. Kondisi kelembaban yang rendah atau kering menyebabkan hewan akan mengeluarkan panas dari dalam tubuh dengan cara berkeringat, menurunkan konsumsi ransum maupun melalui respirasi
yang cepat untuk mengurangi temperatur tubuh. Demikian sebaliknya, pada kelembaban yang tinggi membuat hewan akan menaikkan konsumsi ransum untuk meningkatkan temperatur tubuh. Kondisi Ransum Penelitian Ransum yang diberikan pada mencit percobaan selama penelitian merupakan ransum komersial untuk ayam broiler dalam bentuk mesh. Penggunaan zeolit dengan taraf yang berbeda dalam ransum dapat mempengaruhi nilai kandungan zat makanan ransum tersebut, oleh sebab itu untuk mengetahui pengaruh penambahan zeolit dalam ransum telah dilakukan analisa proksimat, dan hasilnya diperlihatkan pada Tabel 2. Hasil analisa proksimat ransum penelitian (Tabel 2) memperlihatkan, bahwa semakin tinggi taraf penggunaan zeolit dalam ransum akan mengakibatkan kandungan lemak, protein dan serat kasar semakin rendah, sedangkan bahan kering (BK) dan abu semakin meningkat. Kandungan zat makanan yang rendah dalam ransum dikarenakan zeolit tidak memiliki kandungan zat makanan seperti ransum sehingga zeolit yang ditambahkan dalam ransum hanya dapat menyerap tanpa menambah kandungan zat makanan dalam ransum tersebut. Hal ini disebabkan penggunaan zeolit dalam ransum lebih ditujukan untuk meningkatkan penyerapan zat makanan dari ransum tersebut. Kadar abu yang tinggi ini dikarenakan zeolit adalah mineral, sehingga bahan komponen penyusun utama zeolit adalah abu. Bahan kering ransum yang tinggi dikarenakan zeolit memiliki kandungan air yang rendah. Tabel 2. Hasil Analisa Proksimat Ransum Penelitian Ransum
Bahan Kering
Abu
Lemak Kasar
Protein kasar Serat Kasar
---------------------------------------(%)------------------------------------R1
90,30
10,13
6,78
21,32
4,93
R2
90,93
13,14
6,14
21,27
4,57
R3
91,11
16,06
5,90
21,08
4,22
R4
91,24
17,06
5,45
20,97
4,17
Keterangan: R1 = Ransum dengan penambahan zeolit 0% R2 = Ransum dengan penambahan zeolit 3% R3 = Ransum dengan penambahan zeolit 6% R4 = Ransum dengan penambahan zeolit 9% Sumber: Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB (2006)
Kondisi Mencit Penelitian Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang sering digunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan 46 buah kandang plastik. Kandang untuk jantan dan betina dipisah sehingga terdapat 23 kandang jantan dan 23 kandang betina. Mencit yang diberikan ransum R3 pada ulangan kedua baik untuk jantan maupun betina mati sebelum disapih untuk digunakan dalam penelitian ini. Kematian mencit tersebut disebabkan jumlah litter size lahir yang terlalu banyak sehingga rataan bobot badan mencit tersebut rendah (5,13 g), daya tahan tubuh rendah dan akhirnya semua anak mencit mati sebelum disapih dengan rataan bobot mati sebesar 2,89 g. Selain itu, induk mencit tersebut memiliki sifat kanibal terhadap anaknya sehingga mengakibatkan cekaman atau stress pada anak yang lain. Selama penelitian dilakukan terjadi kematian pada mencit yang diteliti baik jantan maupun betina. Kematian mencit penelitian ini berjumlah empat ekor (2,41%) dari 166 ekor mencit. Kematian ini diakibatkan sifat kanibal yang diturunkan secara genetik. Sifat kanibal ini juga terjadi ketika mencit berumur 82-85 hari. Mencit baik jantan maupun betina saling berkelahi satu sama lain yang dapat mengakibatkan mencit terluka. Perkelahian yang terjadi diduga karena mencit sudah mencapai umur dewasa kelamin dan mempunyai keinginan yang tinggi untuk kawin serta mempertahankan wilayah kekuasaan. Mencit yang dipelihara selama penelitian memperlihatkan berbagai macam aktivitas dalam kandang, antara lain minum, makan, bermain, tidur atau istirahat. Situasi mencit dalam kandang pemeliharaan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Situasi Mencit (Mus musculus) dalam Kandang Penelitian
Konsumsi Ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh mencit bila ransum tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya dan berproduksi. Berdasarkan hasil penelitian, rataan umum konsumsi ransum mencit selama penelitian adalah 4,19 ± 0,41 g/ekor/hari, dengan kisaran antara 3,24-5,18 g/ekor/hari (Lampiran 1). Rataan konsumsi ransum mencit yang didapat selama penelitian ini masih dalam batas normal, karena berdasarkan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), mencit dewasa dapat mengkonsumsi ransum sebanyak 3-5 g/ekor/hari. Rataan konsumsi ransum mencit (Mus musculus) menurut perlakuan selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Selama Penelitian Taraf Zeolit (%)
Jenis Kelamin Jantan (J)
Betina (B)
Rataan
--------------------------------g/ekor/hari--------------------------0 (R1)
4,66 ± 0,38
3,97 ± 0,06
4,31 ± 0,44B
3 (R2)
4,02 ± 0,33
3,56 ± 0,25
3,79 ± 0,37A
6 (R3)
4,47 ± 0,33
3,82 ± 0,16
4,14 ± 0,41AB
9 (R4)
4,83 ± 0,09
4,19 ± 0,10
4,51 ± 0,35B
4,50 ± 0,42B
3,89 ± 0,28A
4,19 ± 0,41
Rataan
Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris atau kolom yang sama adalah sangat berbeda nyata (P<0,01) Koefisien Keragaman (KK) = 9,79%
Tabel 3 memperlihatkan, bahwa rataan konsumsi mencit dipengaruhi jenis kelamin, dimana mencit jantan sangat nyata (P<0,01) lebih banyak mengkonsumsi ransum daripada betina, masing-masing dengan nilai 4,50 dan 3,89 g/ekor/hari. Konsumsi ransum mencit jantan selalu lebih tinggi daripada betina selama masa penelitian seperti terlihat pada Gambar 13. Mencit jantan lebih banyak mengkonsumsi ransum daripada betina, karena jantan memiliki bobot sapih dan bobot badan (8,29 g/ekor) yang lebih besar daripada betina (8,10 g/ekor), sehingga lebih banyak membutuhkan energi untuk beraktivitas, metabolisme yang lebih cepat dan memenuhi kebutuhan hidup pokok. Hal ini didukung oleh Mansjoer (1985), yang
menyatakan bahwa hewan yang memiliki bobot badan yang lebih besar akan lebih banyak mengkonsumsi ransum daripada yang berbadan ringan, karena hewan tersebut membutuhkan lebih banyak ransum untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok. Hasil ini juga didukung oleh Anggorodi (1980), yang menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum hewan juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Hasil tersebut juga didukung oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yang menyatakan bahwa mencit jantan mengkonsumsi ransum lebih banyak daripada mencit betina, sehingga tingkatan konsumsi ransum pada mencit dipengaruhi oleh jenis kelamin. Rataan konsumsi ransum mencit jantan dan betina pada tiap periode atau umur tertentu selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)
6 5 4 3 2 1 0 10
20
30
40
50
60
-------------------------------- Hari Penelitian -------------------------------Jantan
Betina
Gambar 13. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian Hasil Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa penambahan zeolit dengan taraf yang berbeda dalam ransum memiliki pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap rataan konsumsi ransum mencit selama penelitian. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum mencit dengan ransum R2 (3,79 g/ekor/hari) sangat nyata lebih rendah daripada ransum lain, kecuali dengan ransum
R3. Ransum R1 dan R4 dengan R3 mempunyai konsumsi ransum masing-masing 4,31, 4,51 dan 4,14 g/ekor/hari dengan hasil yang tidak berbeda nyata. Penggunaan zeolit 3% dalam ransum sangat berpengaruh terhadap penurunan konsumsi ransum selama penelitian, hal ini dapat dilihat dari nilai yang diperoleh lebih rendah daripada kontrol (R1). Penurunan tersebut terjadi karena penambahan zeolit dalam ransum dapat berperan sebagai penyerap bahan makanan sehingga dapat mengakibatkan laju pencernaan lebih lambat dalam saluran pencernaan. Laju bahan pakan yang lambat dalam saluran pencernaan dapat membuat hewan tersebut merasa kenyang lebih lama sehingga tingkat konsumsi hewan tersebut akan menurun. Konsumsi yang rendah pada perlakuan R2 juga disebabkan mencit memiliki bobot sapih dan bobot badan yang terendah, sehingga akan lebih sedikit mengkonsumsi ransum daripada mencit perlakuan lain. Selain itu, penambahan zeolit dalam ransum dapat menurunkan kandungan serat kasar dalam ransum. Serat kasar yang semakin rendah di dalam ransum menyebabkan ransum atau bahan makanan semakin mudah untuk dicerna oleh tubuh, sehingga penyerapan bahan makanan dalam saluran pencernaan semakin tinggi dan pembuangan atau pengeluaran zat-zat nutrisi yang penting bagi tubuh
semakin
sedikit. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999), yang menyatakan bahwa bahan makanan yang sulit dicerna, seperti serat kasar dapat menghambat laju sistem pencernaan atau daya cerna terhadap makanan. Hasil penelitian memperlihatkan juga bahwa rataan konsumsi ransum yang telah ditambahkan zeolit menunjukkan kecenderungan peningkatan seiring dengan semakin tinggi penambahan zeolit dalam ransum. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan penambahan zeolit dalam ransum dapat meningkatkan selera makan pada hewan tersebut. Hasil ini didukung oleh Sutarti dan Rachmawati (1994), yang menyatakan bahwa penambahan zeolit dalam ransum dapat membantu dalam penyerapan bahan makanan dan meningkatkan selera makan. Zeolit selain berfungsi sebagai penyerap bahan makanan juga dapat digunakan sebagai pengikat ion. Penggunaan zeolit dalam ransum akan membantu untuk mengikat amoniak yang dihasilkan dalam proses pencernaan protein maupun nitrogen non protein dalam saluran pencernaan. Kemampuan zeolit dalam mengikat amoniak dapat mengurangi kemungkinan ternak tersebut mengalami keracunan NH4+ dan meningkatkan pH
dalam saluran pencernaan sehingga ternak tersebut merasakan kenyamanan dalam mencerna yang akan meningkatkan selera makan (Mumpton dan Fishman, 1977). Rataan konsumsi ransum mencit (Mus musculus) jantan dan betina yang diberikan penambahan zeolit dengan taraf yang berbeda dalam ransum dapat dilihat
K on su m si R an su m (g/ek or/h ari)
pada grafik konsumsi ransum (Gambar 14).
6.0
4.5
3.0 10
20
30
40
50
60
------------------------------- Hari Penelitian -----------------------------------Jantan Zeolit 0%
Jantan Zeolit 3%
Jantan Zeolit 6%
Jantan Zeolit 9%
Betina Zeolit 0%
Betina Zeolit 3%
Betina Zeolit 6%
Betina Zeolit 9%
Gambar 14. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Menurut Perlakuan Selama Penelitian Grafik rataan konsumsi ransum (Gambar 14), memperlihatkan bahwa pada umumnya rataan konsumsi ransum setelah penimbangan pertama (10-20 hari penelitian) atau umur mencit 35-45 hari menunjukkan peningkatan. Hal ini dikarenakan kebutuhan ransum mencit semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Hasil rataan konsumsi ransum mencit penelitian pada Gambar 14 juga menunjukkan penurunan. Penurunan konsumsi ransum ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan tersebut, antara lain suhu dan kelembaban. Suhu dalam kandang penelitian memiliki rataan sebesar 29,10oC. Batas ideal suhu pemeliharaan mencit berkisar antara 18-29oC dengan rataan 22oC. Rataan suhu disekitar kandang penelitian menunjukkan lebih tinggi daripada batas ideal dalam
pemeliharaan mencit. Suhu dalam kandang pemeliharaan yang tinggi dapat menyebabkan mencit mengalami cekaman atau stress sehingga dapat mengakibatkan penurunan konsumsi ransum. Penurunan konsumsi ransum ini dikarenakan mencit berusaha menjaga atau mempertahankan temperatur tubuhnya dalam keadaan normal (Parakkasi,1999). Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan tidak terjadinya interaksi antara taraf penambahan zeolit dan jenis kelamin terhadap konsumsi ransum mencit selama penelitian. Hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa mencit jantan dan betina yang memiliki rataan konsumsi tertinggi sebesar 4,83 dan 4,19 g/ekor/hari adalah mencit yang sama-sama mengkonsumsi ransum R4 atau masing-masing perlakuan JR4 dan BR4, sedangkan mencit yang memiliki rataan konsumsi terendah baik jantan maupun betina sebesar 4,02 dan 3,56 g/ekor/hari adalah mencit yang sama-sama mengkonsumsi ransum R2 atau masing-masing dengan perlakuan JR2 dan BR2. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan (PBB) merupakan salah satu ukuran yang menggambarkan perubahan bobot badan pada setiap individu ternak. Pertambahan bobot badan didapat dari hasil perhitungan penimbangan bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal. Kegiatan penimbangan mencit penelitian dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Penimbangan Mencit Penelitian dengan Menggunakan Timbangan Digital
Berdasarkan penimbangan yang dilakukan selama penelitian, didapatkan rataan PBB mencit 0,34 ± 0,02 g/ekor/hari, dengan kisaran antara 0,19-0,49 g/ekor/hari. Rataan PBB mencit selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Mencit Selama Penelitian Taraf Zeolit (%)
Jenis Kelamin Jantan (J)
Betina (B)
Rataan
---------------------------------- g/ekor/hari -------------------------0 (R1)
0,37 ± 0,01
0,27 ± 0,02
0,32 ± 0,01a
3 (R2)
0,37 ± 0,01
0,30 ± 0,03
0,34 ± 0,01b
6 (R3)
0,43 ± 0,06
0,30 ± 0,04
0,36 ± 0,02c
9 (R4)
0,41 ± 0,04
0,32 ±0,04
0,36 ± 0,01c
0,40 ± 0,03B
0,30 ± 0,04A
0,34 ± 0,02
Rataan
Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris atau kolom yang sama masingmasing berbeda sangat nyata (P<0,01) dan nyata (P<0,05) Koefisien Keragaman (KK) = 5,88%
Hasil pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa jenis kelamin sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi PBB mencit penelitian. Rataan PBB mencit jantan sebesar 0,40 g/ekor/hari sangat nyata lebih tinggi daripada mencit betina sebesar 0,30 g/ekor/hari, seperti terlihat pada Gambar 16. Pertambahan bobot badan mencit betina lebih rendah daripada jantan karena konsumsi ransum mencit betina digunakan untuk mempersiapkan dewasa kelamin. Hal ini dikarenakan mencit betina harus menyediakan makanan lebih banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh maupun untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh anak (Toelihere, 1981). Hasil tersebut sesuai dengan pernyatan dari Smith dan Mangkoewidjojo (1998), bahwa perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi pertumbuhan mencit. Jenis kelamin jantan memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mencit betina. Rataan PBB mencit jantan dan betina pada tiap periode pengamatan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 16. Tabel 4 menunjukkan bahwa penambahan zeolit dengan taraf yang berbeda memiliki pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan (P<0,05).
1.0 0.9 PBB (g/ekor/hari)
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 10
20
30
40
50
60
--------------------------- Hari Penelitian -----------------------Jantan
Betina
Gambar 16. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian Rataan pertambahan bobot badan (PBB) mencit yang diberikan ransum R3 dan R4 dengan nilai yang sama (0,36 g/ekor/hari) nyata lebih tinggi daripada mencit yang diberikan ransum R1 dan R2, masing-masing dengan PBB 0,32 dan 0,34 g/ekor/hari. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa rataan PBB dengan taraf zeolit yang semakin tinggi dalam ransum memperlihatkan PBB yang semakin tinggi. Penambahan taraf zeolit dalam ransum penelitian dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 11,11% dibandingkan pemberian ransum tanpa zeolit. Berdasarkan hasil tersebut, maka penambahan zeolit dengan taraf yang berbeda dalam ransum dapat meningkatkan PBB mencit selama penelitian. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini didukung dengan pernyataan Sumbawati (1992), yang menyatakan bahwa penggunaan zeolit dalam ransum unggas sebesar 2,5-7,5% dapat memberikan produksi telur lebih tinggi dibandingkan tanpa penggunaan zeolit. Hasil penelitian Siagian (1991), juga menunjukkan bahwa penggunaan zeolit sebesar 6% dalam ransum babi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian ransum dengan penambahan zeolit sebesar 0%, 3% dan 9%, karena konsumsi ransum pada taraf
zeolit 6% lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Zeolit memiliki sifat sebagai penyaring, penyerap dan penukar ion. Berdasarkan sifat tersebut, maka zeolit dapat membantu meningkatkan penyerapan zat-zat makanan yang terkandung dalam ransum oleh tubuh sehingga kebutuhan zat-zat makanan yang penting dalam pertumbuhan dapat dipenuhi. Zeolit juga dapat menyerap zat pencemar yang terdapat dalam ransum dan saluran pencernaan ternak yang mengkonsumsi ransum yang telah ditambahkan zeolit. Penyerapan zat-zat pencemar tersebut dapat mengurangi efek keracunan yang dapat menghambat pertumbuhan ternak. Pernyataan ini didukung oleh Sutarti dan Rachmawati (1994), yang menyatakan bahwa zeolit berfungsi sebagai penyerap sehingga dapat memperbaiki mutu atau kualitas suatu bahan dengan cara menghilangkan zat-zat atau kuman pencemar yang terdapat pada bahan tersebut. Semakin tinggi taraf zeolit dalam ransum, maka kandungan serat kasar dalam ransum akan semakin rendah. Kandungan serat kasar dalam ransum dengan penambahan zeolit menurun sebesar 15,42% dibandingkan dengan ransum tanpa zeolit. Kandungan serat kasar yang rendah dalam ransum dapat mempermudah ransum untuk dicerna oleh tubuh atau daya cerna meningkat. Selain itu, serat kasar yang rendah juga dapat mengakibatkan pengeluaran atau zat-zat makanan yang penting untuk pertumbuhan dibuang semakin sedikit karena laju digesta dalam saluran pencernaan akan melambat sehingga penyerapan bahan makanan akan lebih banyak terjadi. Penggunaan zeolit dalam ransum dapat membantu saluran pencernaan ternak dalam menyerap zat-zat makanan yang penting terutama untuk pertumbuhan, sehingga penggunaannya akan lebih efisien. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Soejono dan Santoso (1990), yang menyatakan bahwa zeolit memiliki peranan dalam memperlambat laju makanan di dalam saluran pencernaan sehingga penyerapan zatzat makanan akan lebih banyak terjadi. Rataan pertambahan bobot badan (PBB) mencit jantan dan betina yang diberikan ransum dengan taraf zeolit yang berbeda selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 17.
P B B (g /ek o r/h a ri)
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 10
20
30
40
50
60
------------------------------ Hari Penelitian -----------------------------Jantan Zeolit 0%
Jantan Zeolit 3%
Jantan Zeolit 6%
Jantan Zeolit 9%
Betina Zeolite 0%
Betina Zeolite 3%
Betina Zeolite 6%
Betina Zeolite 9%
Gambar 17. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Menurut Perlakuan Selama Penelitian Berdasarkan Gambar 17, didapat bahwa rataan PBB terus menurun seiring pertambahan umur mencit. Penurunan rataan pertambahan bobot badan ini dialami oleh semua mencit pada setiap perlakuan. Hal ini terjadi karena mencit yang diteliti telah memasuki fase dewasa tubuh (umur 35-45 hari), sehingga pertumbuhan sudah mulai mengalami penurunan. Mencit yang telah memasuki fase dewasa tubuh akan mengalami penurunan dalam pertumbuhan. Penurunan ini sejajar dengan pertambahan berat badan sewaktu mencit bertambah umur atau dewasa. Dengan demikian, umur mencit juga berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Hasil ini didukung oleh Kurnianto et al. (1999), yang menyatakan bahwa kurva pertumbuhan mencit berbentuk sigmoid. Titik peralihan pertumbuhan atau titik pertambahan bobot badan yang tertinggi pada mencit menandai bobot dewasa tubuh telah terjadi pada umur 28,5 hari. Setelah bobot dewasa tubuh dicapai, maka pertumbuhan akan menurun atau masuk ke tahap lambat. Pertambahan bobot badan yang lambat akan sejajar dengan pertambahan berat badan sewaktu hewan bertambah dewasa (Toelihere, 1981).
Hal tersebut juga didukung dengan pernyataan Tilman et al. (1989), yang menyatakan bahwa pertumbuhan terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat usia pubertas, sedangkan tahap lambat akan terjadi ketika kedewasaan tubuh sudah tercapai. Gambar 17 juga menunjukkan bahwa mencit jantan yang mendapat 9% zeolit dalam ransum mengalami peningkatan PBB pada hari ke 20-30 penelitian atau pada saat mencit berumur 45-55 hari. Hal ini terjadi karena pada saat itu mencit tersebut mengkonsumsi ransum lebih banyak daripada mencit lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan tidak terjadinya interaksi antara kedua faktor taraf dan jenis kelamin. Tabel 5 memperlihatkan bahwa PBB tertinggi terjadi pada mencit jantan yang diberi ransum R3 atau perlakuan JR3 (0,43 g/ekor/hari), sedangkan mencit betina adalah yang diberi ransum R4 atau perlakuan BR4 (0,32 g/ekor/hari). Rataan PBB terendah pada mencit jantan dan betina keduanya adalah yang mendapat ransum tanpa penambahan zeolit (R1) atau perlakuan JR1 dan BR1 masing-masing sebesar 0,37 dan 0,26 g/ekor/hari. Konversi Ransum Pemberian pakan pada ternak selama pemeliharaan bertujuan untuk mencapai atau menghasilkan pertumbuhan yang maksimal dengan waktu yang relatif singkat dan jumlah pakan yang sedikit serta hasil akhir yang memuaskan. Konversi ransum merupakan suatu gambaran yang menjelaskan mengenai perbandingan antara jumlah konsumsi ransum pada suatu periode tertentu dengan produksi yang dicapai pada saat periode tersebut. Semakin kecil atau rendah nilai konversi ransum yang diperoleh maka semakin efisien ternak tersebut dalam menggunakan ransum untuk menghasilkan produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan umum nilai konversi ransum yang diperoleh adalah 12,57 ± 2,12, dengan kisaran antara 9,36 21,88. Rataan nilai konversi ransum mencit jantan dan betina yang mengkonsumsi ransum dengan penambahan taraf zeolit yang berbeda selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa rataan konversi ransum mencit selama penelitian sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi jenis kelamin.
Tabel 5. Rataan Nilai Konversi Ransum Mencit Selama Penelitian Taraf Zeolit (%)
Jenis Kelamin
Rataan
Jantan (J)
Betina (B)
0 (R1)
12,67 ± 1,26
15,29 ± 2,33
13,98 ± 1,75b
3 (R2)
10,82 ± 0,94
12,13 ± 2,01
11,48 ± 1,37a
6 (R3)
10,53 ± 1,08
13,78 ± 4,55
12,15 ± 2,79ab
9 (R4)
11,97 ± 1,46
13,24 ± 1,34
12,61 ± 1,39b
11,54 ± 1,43A
13,60 ± 2,78B
12,57 ± 2,12
Rataan
Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris atau kolom yang sama masingmasing berbeda sangat nyata (P<0,01) dan nyata (P<0,05) Koefisien Keragaman (KK) = 16,87%
Hasil yang diperoleh pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa nilai konversi ransum mencit jantan sangat nyata (P<0,01) lebih rendah atau lebih efisien bila dibandingkan dengan betina, dengan rataan konversi ransum mencit jantan sebesar 11,54 sedangkan mencit betina 13,60. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yang menyatakan bahwa mencit jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada mencit betina, dan konsumsi ransum pada mencit betina lebih banyak digunakan untuk mempersiapkan dewasa kelamin. Gambar 18 menunjukkan bahwa rataan konversi ransum mencit jantan lebih kecil dibandingkan dengan betina, sehingga mencit jantan lebih efisien dalam menggunakan ransum untuk menghasilkan produksi. Berdasarkan hasil yang didapat (Tabel 5), penambahan zeolit dalam ransum berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan nilai konversi ransum mencit selama penelitian. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa rataan konversi ransum dengan ransum R2 (11,48) nyata lebih rendah daripada ransum lainnya, kecuali dengan ransum R3. Pemberian ransum R1 dan R4 dengan R3 mempunyai nilai konversi ransum masing-masing 13,98, 12,61 dan 12,15 dengan hasil yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil tersebut, maka penambahan zeolit dengan taraf 3% (R2) dapat memperbaiki nilai suatu konversi ransum dibandingkan dengan penggunaan zeolit dengan taraf lainnya, karena mencit tersebut lebih efisien dalam menggunakan ransum untuk memaksimalkan pertumbuhan bobot badan dengan konsumsi ransum yang minimal. Rataan nilai konversi ransum mencit jantan dan betina selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 18.
50
Konversi Ransum
40 30 20 10 0 10
20
30
40
50
60
----------------------------- Hari Penelitian ------------------------------Jantan Gambar 18.
Betina
Rataan Nilai Konversi Ransum Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian
Penambahan zeolit dalam ransum penelitian ini dapat meningkatkan penggunaan pakan sebesar 17,88% dibandingkan pemberian ransum tanpa zeolit. Hasil tersebut didukung oleh Mumpton dan Fishman (1977), yang menyatakan bahwa zeolit merupakan suatu zat yang ditambahkan kedalam ransum ternak karena dapat memperbaiki nilai konversi ransum. Hasil tersebut juga didukung oleh Chiang dan Yoe (1983), yang menyatakan bahwa pemberian zeolit dalam ransum unggas dapat meningkatkan penggunaan pakan sebesar 20% dibandingkan dengan pemberian ransum tanpa zeolit. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antar kedua faktor taraf zeolit dan jenis kelamin terhadap konversi ransum. Tabel 5 memperlihatkan bahwa rataan nilai konversi ransum terendah pada mencit jantan dan betina adalah yang mengkonsumsi ransum masing-masing dengan penambahan zeolit 6 dan 3 % atau perlakuan JR3 dan BR2 sebesar 10,53 dan 12,13, sehingga mencit tersebut merupakan mencit yang paling efisien menggunakan ransum untuk berproduksi. Menurut Sihombing (1997), nilai dari suatu konversi ransum dapat menentukan keefisienan penggunaan pakan oleh ternak untuk menghasilkan suatu
produksi. Grafik rataan nilai konversi ransum mencit setiap tahap pengamatan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 19.
Konversi R ansum
75 60 45 30 15 0 10
20
30
40
50
60
----------------------------- Hari Penelitian ----------------------------Jantan Zeolit 0%
Jantan Zeolit 3%
Jantan Zeolit 6%
Jantan Zeolit 9%
Betina Zeolit 0%
Betina Zeolit 3%
Betina Zeolit 6%
Betina Zeolit 9%
Gambar 19.
Rataan Nilai Konversi Ransum Mencit Menurut Perlakuan Selama Penelitian
Rataan konversi ransum mencit jantan dan betina dengan taraf zeolit yang berbeda dalam ransum (Gambar 19), menunjukkan terjadinya peningkatan pada setiap dilakukannya penimbangan. Hal ini dikarenakan semakin bertambah umur mencit, semakin tinggi ransum yang dikonsumsi dan semakin menurun pertambahan bobot badannya (PBB). Penurunan PBB mencit yang diteliti terjadi setelah penimbangan pertama, dimana umur mencit yang diteliti lebih dari 35 hari. Penurunan ini terjadi karena mencit yang diteliti telah memasuki fase dewasa tubuh. Mencit yang telah memasuki fase dewasa tubuh akan mengalami tahap lambat dalam pertumbuhan. Pertambahan bobot badan mulai melambat atau menurun terjadi pada saat kedewasaan tubuh mencit tersebut tercapai. Kedewasaan tubuh yang dialami mencit mulai terjadi pada saat umur mencit 28,5 hari, dan pertambahan bobot badan atau pertumbuhan mencit setelah mencapai dewasa tubuh akan mulai mengalami penurunan (Kurnianto et al., 1999).
Kadar Air Feses Kering Udara Besarnya kandungan zat makanan yang terbuang bersama feses dapat dilihat melalui perhitungan kadar air feses. Kadar air feses diperoleh dari pengambilan sampel kotoran mencit tiap ulangan, kemudian dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari pada waktu tertentu secara bersamaan sampai diperoleh bobot yang stabil. Gambar berikut adalah penjemuran sampel feses mencit penelitian untuk memperoleh kadar air feses (Gambar 20).
Gambar 20. Penjemuran Sampel Feses Mencit di bawah Sinar Matahari Kadar air feses memiliki keterkaitan yang erat dalam proses kehilangan air dalam tubuh. Selain itu, kadar air feses juga dapat mengindikasikan lama waktu penyerapan zat makanan dalam tubuh. Kadar air feses yang semakin rendah menyebabkan semakin lama waktu penyerapan zat makanan di dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi karena laju digesta dalam saluran pencernaan yang lambat akan mengakibatkan semakin banyak kesempatan tubuh untuk menyerap zat makanan. Hasil rataan persentase kadar air feses mencit yang didapat selama penelitian adalah 16,43 ± 1,01%, dengan kisaran 14,77-18,74%. Hasil rataan persentase kadar air feses mencit (Mus musculus) penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Persentase Kadar Air Feses Mencit Selama Penelitian Taraf Zeolit (%)
Jenis Kelamin Jantan (J)
Rataan
Betina (B)
-------------------------------------%---------------------------------0 (R1)
16,26 ± 0,37
16,88 ± 0,92
16,57 ± 0,75AB
3 (R2)
15,40 ± 0,49
15,95 ± 0,88
15,67 ± 0,74A
6 (R3)
16,73 ± 0,63
17,51 ± 0,93
17,12 ± 0,85B
9 (R4)
16,07 ± 1,02
16,90 ± 1,27
16,49 ± 0,78B
16,08 ± 0,79a
16,78 ± 1,10b
16,43 ± 1,01
Rataan
Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris atau kolom yang sama masingmasing berbeda sangat nyata (P<0,01) dan nyata (P<0,05) Koefisien Keragaman (KK) = 6,15%
Hasil pada Tabel 6, memperlihatkan bahwa jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan persentase kadar air feses mencit selama penelitian. Berdasarkan hasil yang diperoleh, mencit jantan memiliki rataan persentase kadar air feses 16,08% dan nyata lebih rendah dibandingkan betina 16,78%. Hasil ini juga sesuai dengan nilai rataan konversi ransum yang didapat (Tabel 5). Konversi ransum jantan lebih rendah daripada betina, dengan perkataan lain mencit jantan lebih efisien dalam menggunakan ransum daripada mencit betina. Hasil ini menyatakan bahwa mencit jantan lebih baik dalam menyerap zat makanan selama proses pencernaan dibandingkan mencit betina. Hasil yang didapat dalam penelitian ini didukung oleh Dasril (2006), yang menyatakan bahwa persentase kadar air feses mencit jantan (18,35%) lebih rendah daripada mencit betina (18,87%), sehingga mencit jantan lebih tinggi tingkat penyerapannya dibanding dengan mencit betina. Berdasarkan hasil pada Tabel 6, diperlihatkan bahwa persentase kadar air feses mencit sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh taraf penambahan zeolit di dalam ransum. Rataan persentase kadar air feses mencit yang mengkonsumsi ransum R2 (15,67%) sangat nyata lebih rendah dibandingkan dengan ransum lainnya, tetapi tidak berbeda nyata dengan R1. Ransum R3 dan R4 dengan R1 mempunyai nilai kadar air feses masing-masing 17,12, 16,49 dan 16,57%, dan ketiganya tidak berbeda nyata. Mencit yang mengkonsumsi ransum R2 memiliki rataan persentase kadar air feses paling rendah, dengan perkataan lain mencit tersebut lebih baik dalam menyerap zat makanan dalam saluran pencernaan dibandingkan ransum dengan taraf
zeolit lainnya. Hasil ini didukung oleh Leung et al. (2001), yang menyatakan bahwa zeolit (klinoptilolit) yang ditambahkan kedalam ransum babi grower memiliki potensial meningkatkan penyerapan zat nutrisi ransum di dalam saluran pencernaan. Hal ini disebabkan zeolit memiliki pori-pori atau rongga-rongga pada permukaan strukturnya sehingga dapat menyerap gas atau cairan (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Zeolit dapat menyerap air dalam saluran pencernaan. Penyerapan zat makanan yang tinggi disebabkan oleh zeolit yang dapat memperlambat laju digesta dalam saluran pencernaan sehingga kesempatan dalam menyerap zat makanan oleh tubuh semakin besar. Hasil yang diperoleh ini juga didukung oleh Cool dan Willard (1982), yang berpendapat bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan persentase kadar air feses hinga 30%, dan persentase kadar air feses tersebut juga dapat menggambarkan lama waktu yang terjadi dalam proses penyerapan zat makanan, sehingga dapat mengetahui besarnya kandungan zat makanan yang terserap dan terbuang. Hasil penelitian ini menunjukkan, walaupun jenis kelamin berpengaruh nyata, dan penambahan zeolit dalam ransum berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kadar air feses, namun tidak terjadi interaksi antar kedua faktor tersebut. Tabel 6 menunjukkan bahwa dengan taraf zeolit yang sama dalam ransum, mencit jantan selalu menghasilkan kadar air feses yang lebih rendah daripada betina. Hal ini berarti mencit jantan selalu lebih baik dalam menyerap zat makanan dalam saluran pencernaan dibandingkan mencit betina. Rataan persentase kadar air feses tertinggi pada hasil penelitian dihasilkan oleh mencit jantan dan betina yang mengkonsumsi ransum R3 atau perlakuan JR3 dan BR3 masing-masing sebesar 16,73 dan 17,51%, sedangkan rataan terendah adalah mencit jantan dan betina yang mengkonsumsi ransum R2 atau perlakuan JR2 dan BR2 masing-masing sebesar 15,40 dan 15,95%. Kadar Protein Feses Kadar protein feses merupakan suatu hasil analisis proksimat yang dapat digunakan untuk menggambarkan besarnya protein ransum yang diserap oleh tubuh. Penyerapan protein ransum oleh tubuh merupakan suatu gambaran yang menyatakan keefisienan ransum tersebut. Kadar protein feses yang diperoleh berkaitan erat
dengan daya serap protein ransum oleh tubuh atau menggambarkan kemampuan tubuh untuk mencerna protein (kecernaan protein). Kecernaan protein merupakan perhitungan dari selisih antara kadar protein ransum dengan kadar protein feses hasil dari analisa proksimat. Nilai kecernaan mencit jantan dan betina yang mengkonsumsi ransum dengan taraf penambahan zeolit yang berbeda selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 7. Hasil pada Tabel 7 yang diperoleh, tidak merupakan hasil analisis ragam, karena dalam perhitungan atau pencarian hasil adalah tanpa ulangan atau sampel-sampel yang digunakan merupakan komposit dari ulangan dalam tiap perlakuan, sehingga nilai tersebut dijelaskan secara deskriptif. Tabel 7. Nilai Kecernaan Protein Mencit Selama Penelitian Taraf Zeolit (%)
Jenis Kelamin Jantan (J)
Betina (B)
Rataan
------------------------------------(%)--------------------------------0 (R1)
81,79
81,68
81,74
3 (R2)
81,87
81,77
81,82
6 (R3)
83,23
83,35
83,29
9 (R4)
84,60
84,41
84,51
82,87
82,80
82,84
Rataan
Hasil penelitian (Tabel 7) memperlihatkan bahwa kecernaan protein pada mencit jantan sedikit lebih tinggi daripada mencit betina, masing-masing adalah 82,87 dan 82,80%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mencit jantan lebih baik dalam menyerap dan mencerna protein ransum kedalam tubuh. Kenyataan tersebut sesuai dengan hasil dari rataan
pertambahan bobot badan mencit jantan (0,40
g/ekor/hari) yang lebih tinggi daripada betina (0,30 g/ekor/hari), demikian juga hasil konversi ransum dan kadar air feses yang didapat menunjukkan bahwa mencit jantan lebih baik dalam penggunaan ransum dibandingkan dengan mencit betina. Hasil ini didukung dengan pernyataan Dasril (2006), bahwa mencit jantan lebih tinggi dalam mencerna protein ransum dibandingkan dengan betina. Hasil pada Tabel 7 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf penambahan zeolit dalam ransum menyebabkan semakin tinggi kadar kecernaan
protein oleh tubuh baik pada jantan dan betina masing-masing dengan nilai JR1 (81,79%); JR2 (81,87%); JR3 (83,23%); JR4 (84,60%); BR1 (81,68%); BR2 (81,77%); BR3 (83,35%); dan BR4 (84,41%). Zeolit memiliki pengaruh terhadap hasil persentase kadar protein feses, karena fungsi zeolit yang dapat menyerap zat makanan dalam tubuh menyebabkan penurunan kadar protein ransum yang terbuang. Semakin tinggi taraf penambahan zeolit dalam ransum, maka semakin rendah kadar protein feses mencit yang diperoleh selama penelitian sehingga semakin banyak protein ransum yang dapat diserap oleh tubuh. Keefisienan suatu ransum dapat dilihat dari besarnya protein yang diserap tubuh, dan nilai konversi ransum yang diperoleh. Hal ini dikarenakan protein merupakan salah satu zat makanan yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan, sehingga bila terjadi kekurangan protein dapat menghambat pertumbuhan dan akan mempengaruhi secara langsung terhadap nilai rataan konversi ransum atau efisiensi penggunaan ransum hewan tersebut (Sihombing, 1997). Berdasarkan pernyataan tersebut, hasil penelitian yang memperlihatkan konversi ransum yang terendah dimiliki mencit yang mengkonsumsi ransum dengan penambahan zeolit sebesar 3%, sehingga mencit tersebut merupakan mencit yang paling efisien dalam penggunaan ransum untuk memperoleh pertambahan bobot badan. Penggunaan taraf zeolit 3% dalam ransum juga memiliki kadar air feses yang paling rendah, sehingga mencit yang diberikan ransum tersebut lebih baik menyerap zat makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Siagian (1993), yang menyatakan bahwa zeolit mampu mengefisienkan penggunaan protein oleh tubuh ternak. Mortalitas Mortalitas merupakan suatu ukuran atau salah satu faktor yang dapat menentukan efisiensi dan keberhasilan suatu usaha peternakan dalam menghasilkan produksi. Blakely dan David (1991), menyatakan bahwa mortalitas yang terjadi dalam pemeliharaan ternak dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain ransum yang kurang berkualitas dan memenuhi kebutuhan, kepekaan terhadap penyakit, suhu dan kelembaban kandang serta manajemen pemeliharaan. Mortalitas terjadi pada mencit yang digunakan dalam penelitian baik pada jantan maupun betina. Mortalitas mencit jantan terjadi pada umur 45 hari pada ransum dengan penambahan zeolit taraf
3% atau perlakuan JR2 yaitu sebesar 1,37% (satu ekor) dan pada umur 55 hari yang terjadi pada perlakuan yang sama yaitu sebesar 1,37% (satu ekor). Mortalitas mencit betina terjadi pada umur 27 hari pada penambahan zeolit taraf 3% atau perlakuan BR2 sebesar 1,08% (satu ekor) dan pada umur 55 hari terjadi pada perlakuan yang sama (BR2) yaitu sebesar 1,08% (satu ekor). Kematian atau mortalitas yang terjadi pada mencit jantan selama penelitian berjumlah dua ekor dari 73 ekor atau sebesar 2,74%, sedangkan mortalitas pada mencit betina adalah dua ekor dari 93 ekor atau sebesar 2,15%. Mortalitas yang terjadi selama penelitian ini diduga bukan dikarenakan pengaruh ransum dengan penambahan taraf zeolit yang berbeda, melainkan karena pengaruh lain seperti sifat kanibal, kepadatan kandang, suhu yang melebihi batas ideal dalam pemeliharaan mencit dan perkelahian untuk mempertahankan wilayah kekuasaan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Syarief (2006), yang menyatakan bahwa penyebab perkelahian pada saat mencit dewasa adalah untuk mempertahankan wilayah dan hierarkinya. Kondisi lingkungan atau sanitasi yang baik, dan pencegahan terhadap penyakit dapat menurunkan angka mortalitas. Penggunaan zeolit merupakan salah satu cara dalam menurunkan angka kematian karena zeolit memiliki fungsi yang hampir sama dengan antibiotika dan kotoran yang dihasilkan mencit penelitian lebih kering dan tidak berbau dibandingkan dengan bila tanpa penambahan zeolit sehingga dapat mengurangi keracunan ternak terhadap amoniak (Sutarti dan Rachmawati, 1994).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan zeolit dalam ransum memiliki pengaruh terhadap pertambahan bobot badan, tingkat konsumsi dan konversi ransum, kadar air dan protein feses mencit. Penelitian ini juga memperlihatkan pengaruh jenis kelamin. Mencit jantan memiliki tingkatan pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, kadar kecernaan protein yang lebih tinggi daripada betina, tetapi memiliki tingkatan konversi ransum dan kadar air feses yang lebih rendah atau lebih baik daripada betina. Hasil penelitian ini tidak memperlihatkan interaksi antara jenis kelamin dengan taraf penambahan zeolit yang mempengaruhi sifat produksi mencit penelitian. Penggunaan zeolit hingga taraf 9% dalam ransum penelitian masih memiliki pengaruh yang baik terhadap performa produksi mencit. Penggunaan zeolit sebanyak 3% baik jantan maupun betina memberikan penampilan produksi yang lebih baik daripada taraf lainnya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat konversi ransum dan persentase kadar air feses yang rendah sehingga mencit ini lebih baik dalam menggunakan makanan daripada mencit perlakuan lainnya. Saran Penelitian ini meneliti pengaruh taraf penambahan zeolit dalam ransum terhadap performa produksi mencit (Mus musculus) lepas sapih hasil litter size pertama, dimana hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh yang baik dalam meningkatkan performa produksi mencit. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka disarankan penggunaan penambahan zeolit dalam ransum ternak lainnya, karena dapat meningkatkan performa prouksi ternak. Selain itu, disarankan juga dilakukan penelitin untuk mengetahui kegunaan zeolit dalam mengurangi bau dalam kandang ternak.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah Bapa, atas segala berkat-Nya yang luar biasa diberikan kepada Penulis dalam melakukan segala aktivitas dalam kehidupan ini, terutama pertolongan-Nya memberikan kemudahan dalam penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada kedua dosen pembimbing skripsi Penulis, Dr. Ir. Pollung. H. Siagian, M.S dan Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc, yang telah membimbing, mengarahkan, memotivasi dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi ini. Selain itu, Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Jakaria, S.Pt., M.Si sebagai dosen pembahas seminar, Dr. Ir. Jajat Jachja F. A., M. Agr dan Ir. Rini H. Mulyono, M.Si yang telah memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ir. Niken Ulupi, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada Penulis selama kuliah hingga selesai. Penulis bersyukur dan berterimakasih atas kehadiran kedua orang tua yang banyak membantu baik materi, motivasi serta kasih sayang yang tiada henti diberikan. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada kak Christina dan kak Miarny, adik Hans dan Lusiana atas segala motivasi, tawa dan canda serta senyuman yang diberikan untuk menghadapi setiap permasalahan. Penulis tidak akan pernah lupa mengucapkan terimakasih banyak kepada sahabat-sahabatku: Greth, Mhya, Gilda, Uchi, dan Goosy (Himatuti member’s) atas persahabatannya, berbagi cerita, tawa, canda dan tangisan yang boleh dirasakan bersama, serta semangat dan dukungan yang diberikan kepada Penulis. Terimakasih banyak Penulis ucapkan kepada sahabatku Arindhini dan Wening yang selalu setia mendampingi, berbagi cerita, tawa dan canda, kepanikan serta tangisan baik dikelas, SAS Bun’z, kandang, Lab. dan kantin yang ada di FAPET, Lab. NRSH, maupun kereta express Bogor-Kota. Juga kepada teman-teman TPT 40, terutama anak-anak Lab. NRSH 40, mbak Ani, mbak Yuni dan Mas Win (NRSH), kak Maria (HPT’39), abang Saor (TPT’38), pak Dadang dan pak Slamet (Lab. Lapang NRSH) serta anak-anak Perwira 44 (Sius, Lestari, Mega, Meri, Enny, kak Welma dan kak Nita, Bambang, Roy, Dika, dan lain-lain), Penulis mengucapkan terimakasih atas kebersamaan, semangat dan motivasi yang diberikan selama ini.
DAFTAR PUSTAKA Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Satu Gunung Budi. Bogor. Anantyo. 2006. Performans mencit (Mus musculus) lepas sapih dengan perbedaan taraf penggunaan zeolit dalam ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggorodi, R. 1980. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Utama. Jakarta. Anggorodi, R. 1984. Ilmu Ransum Ternak Umum. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arrington, L. R. 1972. Introductionary Laboratory Animal Science, the Breeding, Care and Management of Experimental Animals. The Interstate Printers and Publishers, Inc, Danville. Augustine, R. L.1996. Heterogeneous Catalysis for Chemist. Marcel Dekker. New York. Bachrein, S. 2001. Peningkatan efisiensi pemupukan dengan penggunaan mineral zeolit pada padi sawah pengairan. Lembaga Informasi Pertanian (LIPTAN) No:15. Seri: Tanaman Pangan/ PAATP/ 2001/ djs. Departemen Pertanian. Jakarta. Bapeda Kabupaten Tasikmalaya. 2003. Zeolit. http://www.unsil.net/tsm/zeolit.html. [20 September 2006] Bapeda Kabupaten Malang. 2006. Zeolit. http://www.kabmalang.go.id. [20 September 2006] Barrer, R. M. 1982. Hydrotermal Chemistry of Zeolites. Academic Press, London. Blakely, J. dan H. B. David. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Chiang, Y. H. dan Y. S. Yoe. 1983. Effect of nutrient density and zeolite level on weight gain, nutrient utilization and serum characteristics of broiler. Proceeding of Second Symposium of The Int. Net Work of Feed int. Centres. Cool, W. M. and J. M Willard. 1982. Effect of clinoptilolite on swine nutrition. Nutr. Rep. Inc. 26 (2): 759. Dasril, R. 2006. Pengaruh pemberian zeolit dalam ransum terhadap performans mencit (Mus musculus) lepas sapih. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Potensi peningkatan nilai tambah sumberdaya mineral. http://www.lipi.co.id. [20 September 2006] Gono, S. 1987. Pertumbuhan pada ternak. Swadaya Peternakan Indonesia 25: 32-33. Handoko, D. S. P. 2003. Aktivitas katalis Cr/zeolit dalam reaksi konversi katalitik fenol dan metil isobutil keton. J. Ilmu Dasar. Vol. 4(1): 70-76.
Hardiansyah dan D. Martianto. 1989. Menaksir kecukupan energi dan protein serta penilaian mutu gizi konsumsi pangan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartini, S. 2000. Respon penambahan mineral zeolit dalam ransum terhadap kondisi lingkungan kandang ayam pedaging. Jurnal Peternakan dan Lingkungan Volume VI (2): 80-84. Herry. 2005. About Zeolit. http://groups.yahoo.com/group/geounpad/ [20 Mei 2006] Kurnianto, E., A. Shinjo dan D. Suga. 1999. Multiphasic analysis of growth curve of body weight in mice. Asian-Aus. J. Animal Science. 12 (3) : 331-335. Las, T. 2004. Potensi zeolit untuk mengolah limbah industri dan radioaktif. http://p2plr.batan.go.id/artikel.zeolit.html. [ 20 Mei 2006] Leung, S., Barrington S., Wan Y., Zhao X., dan El-Husseini B. 2006. Zeolite (clinoptilolite) as feed additive to reduce manure mineral content. Bioresour Technol. http://www. Ncbi. Nlm. Nih. Gov/ entrez/ utils/ fref.fcgi?. [20 September 2006] Malole, M. B. M., dan C. S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mansjoer, S. S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam Kampung serta persilangannya dengan ayam Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mumpton, F.A and P.H. Fishman. 1977. The application of natural zeolite in animal science and agriculture. J. Anim. Sci. 45 (5): 1188-1203. Muta’alim. 2002. Standardisasi zeolit alam sebagai komoditas dalam rangka menjamin mutu untuk keperluan industri. J. Zeolit Indonesia. Volume 1: 1. http://www.google.com/izi. [ 20 Mei 2006] Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Rasyaf, M. 1999. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Keempat Belas. Penebar Swadaya. Jakarta. Rose, S. P. 1997. Principle of Poultry Science. CAB International, New York. Siagian, P. H. 1991. Pengaruh sumber, tingkat pemberian zeolit dalam ransum dan interaksinya terhadap performans ternak babi sedang bertumbuh. Institut Pertanian Bogor-Australia Project. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siagian, P. H. 1993. Pengaruh Taraf zeolit dan Protein Ransum terhadap Penampilan Babi Lepas Sapih. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Soejono, M. dan K. A. Santoso. 1990. Pemanfaatan zeolit di bidang peternakan. Makalah seminar Zeo Agroindustri. Panghegar, Bandung.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka. Jakarta. Sudono, A. 1981. Pengaruh interaksi antara genotip dan lingkungan terhadap pertumbuhan, keefisienan makanan, daya reproduksi, dan produksi susu mencit. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumbawati, 1992. Penggunaan beberapa tingkat zeolit dengan dua tingkat protein dalam ransum puyuh terhadap produksi telur, indeks putih dan indeks kuning telur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutarti, M. dan M. Rachmawati. 1994. Zeolit. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Suwardi. 2002. Prospek pemanfaatan mineral zeolit di bidang pertanian. J. Zeolit Indonesia. Volume 1: 1. http://www.google.com/izi. [ 20 Mei 2006] Syarif, H. 2006. Performa mencit (Mus musculus) jantan dan betina dengan suplementasi tepung temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam ransom. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tilman, A. D. Hartadi, S. Reksohadiprodjo dan S. Lebdosoekodjo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Toelihere, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Warmada, I. W. dan A. D. Titisari. 2004. AGROMINERALOGI (Mineralogi untuk Ilmu Pertanian). Teknik Geologi. Fakultas Teknik.Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.http://www.warmada.staff.ugm.ac.id/lecture/buku/agromineral.pdf [20 September 2006]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Rataan Konsumsi Ransum Harian Mencit Jenis Kelamin
♂
Rataan
♀
Rataan Keterangan:
Perlakuan
Rataan R1 R2 R3 R4 ---------------------------------g/ekor/hari-------------------------------------5,09 3,96 4,32 4,70 4,52 4,42 4,29 4,88 4,53 5,18 3,62 4,22 4,95 4,49 4,49 4,28 4,44 4,77 4,50 4,20 3,64 4,32 4,81 4,24 4,60 4,32 5,03 4,86 4,70 4,66 4,02 4,47 4,83 4,50 4,04 3,81 3,70 4,15 3,93 3,93 3,54 4,24 3,90 3,94 3,24 3,74 4,18 3,78 3,95 3,69 4,08 4,12 3,96 3,91 3,78 3,77 4,38 3,96 4,04 3,29 3,79 4,09 3,80 3,97 3,56 3,82 4,19 3,89 - = Data tidak tersedia karena mencit mati sebelum lepas sapih
Lampiran 2. Sidik Ragam Konsumsi Ransum Harian Mencit SK (Sumber Keragaman) db JK KT Fhit Jenis Kelamin 1 4,2966 4,2966 73,43 Zeolit 3 3,3300 1,1100 18,99 Interaksi 3 0,0967 0,0322 0,55 Galat 38 2,2212 0,0585 Total 45 9,9445 Keterangan:
P 0,000** 0,000** 0,650tn
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01) tn = Tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 3. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Konsumsi Ransum Harian dengan Jenis Kelamin) SK (Sumber Keragaman) db JK KT Fhit P Jenis Kelamin 1 0,1084 0,1084 52,30 0,000** Galat 44 0,0912 0,0021 Total 45 0,1997 Keterangan:
** = Sangat Berbeda nyata (P<0,01)
1 2
Keterangan:
**
** = Sangat Berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 4. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Ransum Harian dengan Zeolit) SK (Sumber Keragaman) Zeolit Galat Total Keterangan:
db 3 42 45
KT 1,1100 0,1570
Fhit 7,05
P 0,001**
** = Sangat Berbeda nyata (P<0,01)
1
2
2
**
3
tn
tn
4
tn
**
Keterangan:
JK 3,3300 6,6140 9,9440
** tn
3
tn
= Sangat Berbeda nyata (P<0,01) = Tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 5. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian Mencit SK (Sumber Keragaman) db JK KT Fhit P Jenis Kelamin 1 0,1084 0,1084 60,41 0,000** Zeolit 3 0,0184 0,0061 3,37 0,028* Interaksi 3 0,0035 0,0011 0,64 0,592tn Galat 38 0,0693 0,0018 Total 45 0,1996 Keterangan:
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01) * = Berbeda nyata (P<0,05) tn = Tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 6. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Pertambahan Bobot Badan Harian Jenis Kelamin) SK (Sumber Keragaman) Jenis Kelamin Galat Total Keterangan:
db 1 44 45
JK 0,1084 0,0912 0,1997
** = Sangat Berbeda nyata (P<0,01)
KT 0,1084 0,0021
Fhit 52,30
P 0,000**
1 2
**
Keterangan:
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 7. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Pertambahan Bobot Badan Harian dengan Zeolit) SK (Sumber Keragaman) Zeolit Galat Total Keterangan:
db 3 42 45
JK 0,0364 0,1768 0,2133
Fhit 2,893
P 0,049*
* = Berbeda nyata (P<0,05)
1
2
2
*
3
*
*
4
*
*
Keterangan:
KT 0,0122 0,0042
3
tn
* = Berbeda nyata (P<0,05) tn = Tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 8. Sidik Ragam Konversi Ransum Mencit (Mus musculus) SK (Sumber Keragaman) db JK KT Fhit P Jenis Kelamin 1 48,9250 48,9250 11,61 0,002** Zeolit 3 40,0250 13,3420 3,04 0,041* Interaksi 3 7,9860 2,6620 0,61 0,615tn Galat 38 166,7890 4,3890 Total 45 263,7250 Keterangan:
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01) * = Berbeda nyata (P<0,05) tn = Tidak nyata (P>0,05)
SK (Sumber Keragaman)
db
JK
KT
Fhit
P
Jenis Kelamin Galat Total Lampiran 9. Keterangan:
1 48,9300 48,9300 10,02 0,003** 44 214,8000 4,8800 45 263,7300 Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Konversi Ransum dengan Jenis Kelamin)
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01)
1 2
**
Keterangan:
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 10. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Konversi Ransum dengan Zeolit) SK (Sumber Keragaman) Zeolit Galat Total Keterangan:
db 3 42 45
JK 46,0200 218,4000 264,4200
Fhit 2,95
P 0,042*
* = Berbeda nyata (P<0,05)
1
2
2
*
3
tn
tn
4
tn
*
Keterangan:
KT 15,3400 5,2000
3
tn
* = Berbeda nyata (P<0,05) tn = Tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 11. Data Rataan Persentase Kadar Air Feses Kering Udara
Jenis Kelamin
♂
Rataan
♀
Rataan Keterangan:
Perlakuan Rataan R1 R2 R3 R4 -----------------------------------%------------------------------------------16,57 15,33 15,97 17,96 16,46 15,92 15,45 16,13 15,83 16,87 14,82 17,04 15,45 16,05 16,02 15,12 16,14 15,03 15,58 15,99 15,34 17,17 15,73 16,06 16,16 16,29 17,32 16,13 16,48 16,26 15,40 16,73 16,07 16,08 16,30 14,77 17,77 15,26 16,03 16,68 15,55 18,23 16,82 18,12 15,34 18,74 15,99 17,05 16,36 16,50 17,55 17,50 16,98 15,90 16,37 17,36 18,28 16,98 17,94 17,16 16,15 16,16 16,85 16,88 15,95 17,51 16,90 16,78 - = Data tidak tersedia karena mencit mati sebelum lepas sapih
Lampiran 12. Sidik Ragam Kadar Air Feses Kering Udara SK (Sumber Keragaman) db JK KT Fhit Jenis Kelamin 1 5,5795 5,5795 7,52 Zeolit 3 11,9526 3,9842 5,34 Interaksi 3 0,1460 0,0487 0,07 Galat 38 28,3266 0,7454 Total 45 46,0046 Keterangan:
P 0,009** 0,004** 0,978tn
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01) tn = Tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 13. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Kadar Air SK (Sumber Keragaman) db JK KT Fhit P Jenis Kelamin 1 5,5790 5,5790 6,07 0,018* Galat 44 40,4250 0,9190 Total 45 46,0050 Feses Kering Udara dengan Jenis Kelamin) Keterangan:
* = Berbeda nyata (P<0,05)
1 2
*
Keterangan: * = Berbeda nyata (P<0,05) Lampiran 14. Uji Lanjut Tukey’s Selang Kepercayaan 95% (Kadar Air Feses Kering Udara dengan Zeolit)
SK (Sumber Keragaman) Zeolit Galat Total Keterangan:
db 3 42 45
KT 3,9840 0,8110
Fhit 4,19
P 0,005**
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01)
1
2
2
tn
3
tn
**
4
tn
**
Keterangan:
JK 11,9530 34,0520 46,0050
3
tn
** = Sangat berbeda nyata (P<0,01) tn = Tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 15. Kadar Protein Feses Mencit Mencit (Mus musculus) Selama Penelitian Jenis Kelamin Taraf Zeolit Rataan % Jantan (J) Betina (B) ------------------------------------%----------------------------------0 (R1) 12,64 13,84 13,24 3 (R2) 12,62 13,52 13,07 6 (R3) 12,22 12,62 12,42 9 (R4) 11,39 12,08 11,74 Rataan
12,22
13,02
12,62
Lampiran 16. Mortalitas Mencit (Mus musculus) Selama Penelitian Taraf Zeolit Jenis Kelamin (%) Jantan (J) Betina (B) Jumlah (ekor) % Jumlah (ekor) % 0 (R1) 0 0 0 0 3 (R2) 2 2,74 2 2,15 6 (R3) 0 0 0 0 9 (R4) 0 0 0 0