PENGARUH STATUS EKONOMI KELUARGA TERHADAP MOTIF MENIKAH DINI DI PERDESAAN
WULANDARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Wulandari NIM I34100070
iv
v
ABSTRAK WULANDARI. Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan. Di bawah bimbingan SARWITITI SARWOPRASODJO. Pernikahan yang dilakukan pada perempuan di bawah umur berkaitan dengan kesiapan fisik maupun psikis yang belum mencapai kematangan termasuk pembentukan identitas diri maupun sosial individu sebagai remaja yang berada pada masa pencarian identitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi motif-motif dan faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini yang terjadi, serta menganalisis hubungannya terhadap pembentukan identitas. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Pengujian pengaruh antara variabel faktorfaktor menikah dini terhadap motif menikah dini dilakukan dengan menggunakan uji regresi berganda, sedangkan variabel pembentukan identitas diuji melalui pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pernikahan dini yang terjadi dilatarbelakangi oleh motif remaja untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan, sosial, dan harga diri. Pembentukan identitas yang terbentuk pada remaja putri yang melakukan menikah dini ialah pembentukan identitas diri kuat dan pembentukan identitas sosial lemah. Kata kunci: Pernikahan dini, Faktor-faktor menikah dini, Motif menikah dini, Pembentukan identitas
ABSTRACT WULANDARI. The Influence of Economic Family State towards Motive of Early Marriage in Rural Area. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO. A marriage of under age women related with physical as well as psychological state of readiness which have not reached maturity include the formation of self identity and social identity as an adolescence that in fact are on the search for identity. The purpose of this research is to identify the motives and factors which aspects influenced early marriages that occurred, as well as analyzing its relationship towards the formation of identity. The research was carried out using survey research methods. Data collection was done using a purposive sampling technique with 30 respondents. Influence testing between variables factors of early married toward motives of early married conducted using test of multiple regression while formation of identity tested through by qualitatif description. The result showed that early marriage occurred by adolescence motives to fulfill the security, social, and self esteem. The identity formation related in adolescence who married early is strong formation self identity and weak formation social identity. Keywords: Early marriage, Factor-factor of early marriage, Motives of early marriage, Identity formation.
vii
PENGARUH STATUS EKONOMI KELUARGA TERHADAP MOTIF MENIKAH DINI DI PERDESAAN
WULANDARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
viii
ix
Judul Skripsi Nama NIM
: Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan : Wulandari : I34100070
Disetujui oleh
Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan sebagai Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi pernikahan dini yang masih marak terjadi pada remaja putri perdesaan dan menganalisis pengaruhnya terhadap pembentukan identitas remaja putri. Skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1) Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. 2) Ibu Ratri Virianita, S.sos, M,Si selaku dosen penguji utama dan Bapak Ir Murdianto, M.Si selaku penguji akademik yang telah memberikan masukan dan saran bagi perbaikan skripsi ini. 3) Mama Lina Rodiah, Teteh Purwaningsih serta Bapak Moh. Nurdin atas semangat dan doa yang tiada henti-hentinya mengalir untuk kelancaran penulisan skripsi ini. 4) Almarhum Papa Jana Kristiana dan Almarhum Abah Moch. Kasdi yang senantiasa menemani dan menyemangati penulis lewat mimpi. 5) Lathiffida Noor Jaswandi, Citra dewi, dan Mugi lestari selaku sahabat terdekat penulis yang senantiasa mengingatkan untuk tetap semangat dan tidak mudah menyerah. 6) Dinasti Tri Ranti selaku teman seperjuangan dalam penelitian dan keluarga Bapak Tholib yang telah berbaik hati membantu penulis selama penelitian. 7) Aparat KUA Kecamatan Anjatan, Aparat desa dan masyarakat Desa Anjatan Utara atas kerjasama yang baik selama pengumpulan data. 8) Achmad Fauzi dan Sekar Anjani selaku teman satu bimbingan. 9) Dwi izmi, Saefihim dan Keluarga besar SKPM angkatan 47 yang telah bersedia memberikan semangat, doa, dan dukungan, serta berkenan menjadi rekan yang baik untuk bertukar pikiran. Penulis menyadari bahwa karya ini terdapat banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Juli 2014
Wulandari
xii
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pernikahan Dini Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini Perilaku dan Motif Perilaku Remaja Identitas Diri Identitas Sosial Kerangka Penelitian Hipotesi Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengambilan Sampel Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data PROFIL DESA ANJATAN UTARA Kondisi Geografis Kondisi Demografi Kondisi Sosial Budaya Kondisi Sosial Ekonomi Ikhtisar GAMBARAN UMUM PELAKU PERNIKAHAN DINI Pernikahan Dini yang Terjadi Karakteristik Sosio Ekonomi Karakteristik Biososial Karakteristik Lingkungan Motif yang Melatarbelakangi Pernikahan Dini Tingkat Kejadian Perceraian Ikhtisar PENGARUH FAKTOR-FAKTOR MENIKAH DINI TERHADAP MOTIF MENIKAH DINI Pengaruh Tingkat Pendidikan Pelaku terhadap Motif Menikah Dini Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua Pelaku terhadap Motif Menikah Dini Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini Pengaruh Umur Menstruasi Pertama terhadap Motif Menikah Dini
xv xvi xvi 1 1 3 4 4 5 5 5 6 7 9 10 11 12 13 14 17 17 17 17 18 18 21 21 22 25 26 26 29 29 29 33 33 34 38 39 40 42 42 43 44
xiv
Pengaruh Tingkat Keyakinan Norma terhadap Motif Menikah Dini Ikhtisar PEMBENTUKAN IDENTITAS REMAJA PUTRI PELAKU PERNIKAHAN DINI Pembentukan Identitas Diri pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini Pembentukan Identitas Sosial pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini Ikhtisar SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
44 45 47 47 49 50 51 51 51 53 57 63
xv
DAFTAR TABEL
Tabel
1
Tabel
2
Tabel
3
Tabel
4
Tabel
5
Tabel
6
Tabel
7
Tabel
8
Tabel
9
Tabel
10
Tabel
11
Tabel
12
Tabel
13
Tabel
14
Tabel
15
Tabel
16
Tabel
17
Tabel
18
Tabel
19
Tabel
20
Tabel
21
Luas lahan dan persentase pemanfaatan lahan Desa Anjatan Utara, 2013 Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga (KK) Desa Anjatan Utara, 2014 Jumlah dan persentase penduduk Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat pendidikan, 2014 Sebaran penduduk Desa Anjatan Utara menurut jenis pekerjaan, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan tiga golongan usia remaja, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut usia saat menikah, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat pendidikan, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat pendidikan ayah dan ibu, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan status ekonomi keluarga, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut usia menstruasi pertama, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan Desa Anjatan Utara menurut tingkat keyakinan terhadap norma, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif menikah dini, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif fisiologi, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif rasa aman, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif sosial, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif harga diri, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif aktualisasi diri, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut status pernikahan, 2014 Nilai koefisien regresi berganda antara faktor-faktor menikah dini terhadap motif menikah dini, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan pembentukan identitas diri dan identitas sosial, 2014 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikatorindikator identitas diri, 2014
21 22 23 24 30 30 31 31 32 33 34 35 35 36 36 37 37 38 41 47
48
xvi
Tabel
22 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 49 Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikatorindikator identitas diri, 2014
DAFTAR GAMBAR Gambar
1
Gambar Gambar
2 3
Gambar
4
Gambar
5
Gambar
6
Gambar
7
Gambar Gambar
8 9
Gambar
10
Kerangka penelitian pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan identitas remaja putri perdesaan Peta Desa Anjatan Utara Salah satu responden yang terpaksa putus sekolah dan memutuskan untuk menikah diusia dini Salah satu responden yang terpaksa menjanda diusianya yang masih muda Kondisi gang dan pemukiman masyarakat Desa Anjatan Utara WC umum yang digunakan masyarakat Desa Anjatan Utara Bank keliling sebagai salah satu lembaga ekonomi yang dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup Sungai menjadi sumber mata air bagi masyarakat Salah satu responden yang sudah menjalankan peran sebagai ibu diusianya yang masih muda Usaha pembuatan batu bata dipinggiran sungai sebagai salah satu usaha yang dijalankan oleh masyarakat Desa Anjatan Utara
13 59 60 60 60 60 61
61 61 61
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran Lampiran
1 2 3
Lokasi Penelitian Dokumentasi Penelitian Daftar Nama Responden
59 60 62
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian remaja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Diperkirakan lebih dari 60 juta perempuan yang berusia 20-24 tahun di seluruh dunia menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Secara nasional, jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 1 359 kasus dengan rata-rata usia perkawinan di bawah usia 19 tahun (Zai 2012). Secara umum pernikahan dini cenderung terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Data Susenas (2006) menunjukkan bahwa sebesar 68.88 persen perempuan telah menikah pada usia 10 tahun ke atas, sementara laki-laki hanya sekitar 59.88 persen. Persentase pernikahan dini tersebut secara umum terjadi di wilayah perdesaan. Analisis Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2005 yang dikutip Fadlyana dkk (2009) menunjukkan bahwa pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di perdesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun terdapat perbedaan yang cukup tinggi yaitu 5.28 persen di perkotaan dan 11.88 persen di perdesaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan usia muda di perdesaan lebih banyak yang melakukan perkawinan pada usia muda dibandingkan perempuan usia muda di perkotaan. Keberadaaan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 No 1 bab II pasal 7 ayat 1 maupun ketetapan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) terkait pembatasan minimal usia untuk melangsungkan pernikahan nyatanya tidak memberikan dampak positif pada penekanan pernikahan dini di Indonesia. Penelitian Zai (2012) menunjukkan bahwa masih tingginya kejadian pernikahan pada perempuan di bawah usia 20 tahun, yakni 4.8 persen pada usia 10-14 tahun dan 41.9 persen pada usia 15-19. Hal tersebut menunjukkan bahwa pernikahan dini yang terjadi tidak dapat di batasi hanya oleh suatu peraturan. Pernikahan dini yang terjadi merupakan suatu perilaku yang dipengaruhi oleh berbagai faktorfaktor pendorong. Faktor-faktor pendorong di setiap wilayah kejadian pernikahan dini nyatanya memiliki keragaman. Jannah (2012) menemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi pada remaja perdesaan di Madura pada umumnya didorong oleh kondisi ekonomi keluarga dan rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh baik orangtua maupun remaja. Keluarga dari kalangan status ekonomi bawah dengan mayoritas orangtua berpendidikan rendah secara sengaja menikahkan anak perempuannya pada usia muda agar dapat meringankan beban keluarga. Penelitian lain yang dilakukan Bayisenge (2009) menunjukkan bahwa nilai sosial budaya yang ada berupa legitimasi sistem patriarki, pembentukan makna bersama terkait nilai seorang gadis remaja serta praktik budaya mutilasi alat kelamin perempuan menjadi pendorong pernikahan dini di wilayah Afrika. Pemaknaan negatif masyarakat mengenai gadis remaja yang belum menikah dan pelabelan manja pada gadis yang menempuh pendidikan tinggi mendorong orangtua akan sesegera mungkin menikahkan anak perempuan mereka walau masih berusia remaja,
2
karena jika tidak dilakukan maka hal tersebut akan menjadi aib dan beban bagi keluarga. Landung dkk (2009) menunjukkan bahwa dorongan rasa kemandirian dan keinginan bebas pada remaja putri menjadi faktor pendorong pernikahan dini pada masyarakat Kecamatan Sangalangi, Toraja. Faktor-faktor pendorong tersebut erat kaitannya dengan motif individu remaja putri dalam memutuskan untuk menikah dini. Penelitian Rusiani (2013) menemukan bahwa motif menikah dini merupakan dorongan pada individu pelaku pernikahan dini yang melatarbelakangi tingginya kejadian pernikahan dini di Desa Girikarto, Kabupaten Gunung Kidul. Motif memenuhi kebutuhan dasar, sosial, rasa aman dan harga diri menjadi dorongan yang kuat pada diri individu pelaku pernikahan dini. Nyatanya, pernikahan dini yang dilakukan oleh remaja putri menimbulkan beberapa permasalahan fisiologi bagi para pelakunya. Sebagaimana yang dinyatakan Jannah (2012) bahwa pernikahan yang dilakukan remaja putri pada usia terlalu dini berpotensi pada kerusakan alat reproduksi yang disebabkan oleh hubungan seks yang terlalu dini. Fadlyana dkk (2009) menyebutkan bahwa anatomi tubuh remaja yang belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, berpotensi pada terjadinya komplikasi berupa obstetric fistula. Data United Nations Population Fund (UNPFA) pada tahun 2003, mempertegas bahwa 15-30 persen persalinan pada usia dini akan disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula1. Masalah lain yang ditimbulkan dari pernikahan dini ialah permasalahan secara psikologis bagi para pelakunya. Pernikahan dini yang terjadi tidak jarang berkontribusi pada tingginya kasus perceraian dini dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Penelitian Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa pernikahan dini yang dilakukan memberikan dampak negatif pada kemampuan gadis remaja dalam negosiasi dan pengambilan keputusan hidup. Hal tersebut berkaitan dengan ketidakmampuan remaja putri dalam menyampaikan pendapat maupun sikapnya ketika menghadapi permasalahan hidup, sehingga terjadi dominasi pasangan (suami) yang lebih dewasa. Hal tersebut dijelaskan oleh Hermawan (2010) bahwa kematangan diri remaja yang belum tercapai mendorong terjadinya percekcokan antara suami-istri yang berujung pada perceraian dini. Oleh sebab itu, tidak jarang ditemui remaja putri yang sudah menjanda pada usia yang masih muda. Selain itu, pernikahan dini yang terjadi tak jarang merupakan pernikahan yang dilakukan di bawah tangan. Hal tersebut berkaitan dengan pemaknaan negatif pada diri remaja putri yang melakukan menikah dini. Pemaknaan negatif tersebut berhubungan dengan pemaknaan diri individu maupun pemaknaan diri sosial pelaku pernikahan dini. Hal ini berkaitan dengan pembentukan identitas diri dan identitas sosial seorang remaja putri. Keberadaan individu remaja pada tahap identitas versus kebingungan identitas (identity vs identity confusion) merujuk pada masa dimana remaja harus memutuskan siapa dirinya (keberadaan diri), apa dan bagaimana dirinya mencapai masa depannya (Steinberg 1993). Selain itu, Purwadi (2004) menyebutkan bahwa keberadaan remaja sebagai individu pada masa transisi mengakibatkan remaja akan banyak dipengaruhi oleh lingkungan beserta proses sosial yang ada. Oleh karena itu, akan terjadi krisis identitas yang timbul akibat dari konflik internal antara keberadaannya sebagai remaja dan statusnya sebagai seseorang yang telah menikah di usia yang masih sangat muda.. 1
Obstetric fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina.
3
Masalah tersebut menjadi perhatian dan perlu segera mendapat penyelesaian yang baik, sebab jika krisis identitas tersebut tidak segera diselesaikan maka akan menjadi sumber stress bagi remaja dalam menjalankan peran yang dimilikinya (Sussman 2000 dikutip Baron dan Bryne 2003). Terlebih terkait keberadaan individu sebagai remaja juga bagian dari suatu masyarakat, seorang individu remaja diharapkan memiliki kesamaan identitas dengan identitas yang dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, menjadi penting untuk diteliti mengenai pembentukan identitas baik diri maupun sosial pada remaja putri pelaku pernikahan dini serta hubungan antara faktor-faktor pendorong pernikahan dini dengan motif menikah dini.
Rumusan Masalah Skinner yang dikutip Notoadmojo (2003) menjelaskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Perilaku yang muncul bisa berupa perilaku alami atau bisa juga berupa perilaku operan (Skinner dikutip Walgito 1999). Menikah diusia dini merupakan perilaku operan yang dipelajari melalui belajar sosial. Sebagaimana perilaku pada umumnya, menikah dini juga dipengaruhi oleh motif-motif individu dalam mencapai suatu tujuan. Motif merupakan suatu pengertian yang meliputi semua penggerak, alasan-alasan dan dorongan-dorongan dalam diri manusia yang mengakibatkan dirinya berperilaku (Gerungan dikutip Santoso 2010). Masingmasing individu memiliki motif-motif sendiri yang mendorongnya untuk menikah dini. Keragaman motif individu tersebut menjadi hal yang penting untuk diteliti berkaitan dengan maraknya menikah dini yang terjadi pada remaja putri perdesaan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis motif apa yang mempengaruhi remaja putri perdesaan dalam menikah dini? Pernikahan dini yang terjadi memberikan berbagai permasalahan bagi remaja putri yang melakukannya, baik secara fisik maupun psikis. Sebagaimana dijelaskan oleh Bayisenge (2010) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa pernikahan dini yang terjadi baik resmi maupun tidak resmi akan memberikan dampak pada pelanggaran hak-hak remaja putri karena menghalangi seorang remaja putri dari kebebasan, kesempatan untuk membangun diri dan hak-hak lainnya termasuk hak atas kesehatan alat reproduksi, kesejahteraan, pendidikan maupun partisipasi dalam masyarakat. Masalah-masalah yang ditimbulkan tidak lain dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan orangtua, remaja maupun masyarakat terkait masalah tersebut. Penelitian Achmad (2011) menyebutkan bahwa pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri di Indonesia tidak lain dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong. Faktor-faktor tersebut memberikan dorongan atau motif remaja untuk menikah dini. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi motif remaja putri perdesaan dalam menikah dini? Masa remaja merupakan masa yang penting dalam perjalanan kehidupan manusia. Golongan umur ini penting karena menjadi jembatan antara masa kanakkanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab. Santrock (1998) menyebutkan bahwa pada masa tersebut seorang individu dipandang sedang mengalami masa evaluasi dan penentuan statusnya di masa depan.
4
Pernikahan dini yang marak terjadi pada remaja putri perdesaan merujuk pada perilaku sosial masyarakat yang dimaknai secara bersama. Pemaknaan tersebut berkaitan dengan pemaknaan individu remaja terhadap identitas dirinya maupun identitas sosialnya. Perilaku sosial tersebut dipengaruhi oleh dorongan atau motifmotif individu remaja dalam menikah dini. Keberadaan remaja sebagai individu yang berada pada masa transisi dengan segala motif individu yang mendorong perilaku sosialnya tersebut berkaitan dengan pemaknaan atas diri maupun sosialnya. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang melakukan pernikahan dini?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan identitas remaja putri perdesaan. Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis motif-motif yang mempengaruhi remaja putri perdesaan dalam menikah dini. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi motif remaja putri perdesaan dalam menikah dini. 3. Menganalisis pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang melakukan pernikahan dini.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kajian pernikahan dini dan pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang menikah dini. Secara spesifik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah: 1. Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pustaka dalam khasanah penelitian mengenai pernikahan dini dan pembentukan identitas remaja bagi akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai pernikahan dini dan pembentukan identitas remaja. 2. Bagi pembuat pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah khususnya BKKBN dalam pembuatan kebijakan yang tepat terkait penekanan jumlah pernikahan dini dalam rangka menangani jumlah penduduk. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam memahami pembentukan identitas pada remaja guna membangun generasi bangsa yang beridentitas. 3. Bagi pembaca Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai faktorfaktor menikah dini, motif remaja dalam menikah dini dan kaitan hubungan pernikahan dini terhadap pembentukan identitas remaja.
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
Pernikahan Dini Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 No.1 Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan lebih lanjut pada pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Berdasarkan definisi tersebut, Landung dkk (2009) menyimpulkan bahwa pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan undang-undang perkawinan disebut dengan istilah pernikahan dini. Sejalan dengan definisi tersebut, NGO (2002) menyebutkan bahwa Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan gadis remaja pada usia 11-16 tahun. Batasan usia yang lebih tua terkait pernikahaan dini dijelaskan oleh Bayisenge (2010), pernikahan dini adalah pernikahan yang terjadi pada gadis di bawah usia 18 tahun (baik resmi maupun tidak resmi). Definisi tersebut sejalan dengan definisi pernikahan dini yang dijelaskan oleh UNICEF (2001), early marriage atau pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan gadis remaja pada usia kurang dari 18 tahun, dimana belum adanya kesiapan baik fisik maupun psikologi dari gadis tersebut. Penelitian Jannah (2012) juga menyebutkan bahwa pernikahan dini yang terjadi merupakan pernikahan yang dilakukan gadis remaja pada usia terlalu muda, sehingga tidak ada/kurang ada kesiapan biologis, psikologis maupun sosial. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh gadis remaja di bawah usia 18 tahun, dimana belum adanya kesiapan fisik, psikologi maupun sosial. Penelitian Jannah (2012) menyebutkan bahwa dari segi psikologi, sosiologi maupun hukum Islam, pernikahan dini terbagi menjadi dua kategori, yakni: 1. Pernikahan dini asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan oleh kedua belah pihak (baik laki-laki maupun perempuan) untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai. 2. Pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang etis dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk menutupi perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai dan berakibat adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena pernikahan seperti ini, tampaknya antara anak dan kedua orang tua bersama-sama melakukan semacam “manipulasi” dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya.
6
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini Achmad (2011) menyebutkan bahwa fenomena pernikahan dini yang banyak terjadi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah faktor pergaulan bebas di kalangan remaja. Namun, Ahmad (2011) juga menyebutkan masih terdapat beberapa faktor lainnya yang kuat dalam mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Pernikahan dini yang terjadi berkaitan dengan keadaan sosio ekonomi remaja yakni meliputi tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan orangtua, dan status ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam logika berpikir untuk menentukan perilaku menikah di usia muda, perempuan yang berpendidikan rendah pada umumnya menikah dan memiliki anak di usia muda (Widhaningrat dan Wiyono 2005). Penelitian Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat pendidikan orang tua, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. Hal tersebut berkaitan dengan rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait kesehatan reproduksi pada remaja putri maupun dampak yang akan ditimbulkan dari pernikahan dini. Jannah (2012) menegaskan bahwa rendahnya pendidikan merupakan salah satu pendorong terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang hanya bersekolah hingga tamat SD merasa senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya akibat dari pernikahan di usia muda ini. Penelitian Landung dkk (2009) menemukan bahwa adanya keinginan pada remaja untuk dapat membantu perekonomian keluarga. Faktor ini berhubungan dengan rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Keadaan sosial ekonomi keluarga yang rendah dimana orang tua tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara optimal sehingga mendorong remaja untuk memutuskan menikah diusia dini. Sejalan dengan hal itu, Jannah (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang satu. Hal ini berkaitan dengan faktor ekonomi keluarga, dimana pernikahan dini dianggap sebagai cara meringankan beban keluarga. Anggapan bahwa jika seorang remaja putri sudah menikah, maka akan tanggung jawabnya akan dialihkan kepada suaminya. Bahkan para orang tua yang menikahkan anaknya di usia dini juga berharap jika anaknya sudah menikah akan dapat membantu meningkatkan kehidupan orang tuanya. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja putri ialah faktor biososial yang meliputi umur menstruasi pertama. Menstruasi pertama merupakan salah satu tanda bahwa seorang gadis berada pada masa pubertas. Masa pubertas merupakan masa yang disertai dengan perubahan-perubahan fisik yang mempengaruhi perkembangan kehidupan seksual seorang remaja (Zai 2012). Terjadinya menstruasi merupakan awal berfungsinya organ-organ reproduksi seorang remaja. Apabila remaja tidak memiliki pengetahuan yang baik dan benar, maka hal ini dapat menjadi sumber masalah bagi remaja terkait perilaku seksualnya (Soejoeti 2001). Terutama bagi remaja putri, ini memiliki arti bahwa seorang remaja putri sudah dapat mengalami kehamilan. Jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, maka pernikahan dini cenderung menjadi pilihan jalan keluar. Hal tersebut menunjukkan bahwa umur menstruasi pertama mempercepat
7
remaja memiliki pengalaman seksual dini yang menyebabkan kehamilan, sehingga menggiring remaja perempuan ke dalam pernikahan dini. Penelitian Zai (2012) menemukan bahwa umur menstruasi pertama yang semakin cepat akan mempercepat seorang remaja memasuki pernikahan. Dengan demikian, pernikahan dini rawan terjadi pada remaja dengan umur menstruasi pertama yang cepat. Masih terdapatnya nilai budaya yang menganggap kedewasaan seorang perempuan diukur dari kemampuannya untuk dapat melahirkan seorang anak yang ditandai dengan menstruasi pertama, mengakibatkan kejadian pernikahan dini lebih cepat terjadi pada remaja dengan umur menstruasi pertama cepat. Sebagaimana yang terjadi pada remaja putri di Afrika, penelitian Bayisenge (2010) menunjukkan masih terdapat budaya mutilasi alat kelamin perempuan yang sudah menstruasi dan belum menikah sebagai cara untuk mengontrol perilaku seks remaja putri. Oleh karena itu, tidak sedikit orangtua akan segera menikahkan anak gadisnya sebagai perlindungan utama dari budaya yang ada terkait perilaku seks remaja yang sudah mengalami menstruasi pertama. Penelitian Landung dkk (2009) menyebutkan bahwa keberadaan budaya lokal (Parampo Kampung) pada masyarakat kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja memberi pengaruh besar terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga masyarakat tidak memberikan pandangan negatif terhadap pasangan yang melangsungkan pernikahan meskipun pada usia yang masih remaja. Hal ini yang menyebabkan kaum pemuka adat tidak merniliki kemampuan untuk dapat mengatur sistem budaya yang mengikat bagi warganya dalam melangsungkan perkawinan karena batasan tentang seseorang yang dikatakan dewasa masih belum jelas. Menurut Hasyim dikutip Jannah (2012) menyebutkan bahwa dalam konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan sebagai kewajiban sosial dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu. Suhadi (2012) menjelaskan bahwa dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, pernikahan dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Cara pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial, tampaknya memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap fenomena pernikahan dini yang terjadi di Indonesia.
Perilaku dan Motif Perilaku Sebagaimana diketahui perilaku atau aktivitas yang ada pada itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi merupakan akibat dari rangsangan yang diterimanya baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Walgito (1999) menyebutkan bahwa perilaku atau aktivitas-aktivitas individu dalam pengertian yang luas merupakan respon dari stimulus. Skinner yang dikutip Walgito (1999) membedakan perilaku menjadi (a) perilaku yang alami (innate behavior), (b) perilaku operan (operant behavior). Perilaku alami yaitu yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu yang berupa refleks-refleks dan insting-insting, sedangkan perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Skinner yang dikutip Notoadmodjo (2003) menjelaskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Perilaku ini terjadi melalui proses stimulus terhadap organisme dan kemudian
8
organisme tersebut merespon. Respon yang muncul dipengaruhi oleh karakteristik atau faktor lain dari individu yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun stimulus yang diberikan sama, namun respon yang akan memunculkan berbeda pada masing-masing individu. Notoadmojdo (2003) menjelaskan bahwa terdapat empat hal-hal pokok yang mendorong seseorang berperilaku: 1. Pemikiran dan perasaaan yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian terhadap objek. 2. Orang penting sebagai referensi, apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau berbuat cenderung dicontoh. 3. Sumber-sumber daya, mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang. 4. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way or life) yang pada umum disebut kebudayaan. Salah satu kekuatan yang ada pada diri individu sehingga individu bertindak atau berperilaku tertentu adalah adanya motif atau penggerak. Motif adalah apa yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman dikutip Rusiani 2013). Motif timbul dilatarbelakangi oleh keberadaan kebutuhan individu terhadap hal tertentu, oleh Maslow yang dikutip Santoso (2010) motif dibagi menjadi lima macam, yakni: 1. Physiological Needs (kebutuhan fisiologi) Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari kebutuhan yang berhubungan dengan kondisi tubuh seperti pangan, sandang, papan, maupun kebutuhan akan seks. 2. Safety Needs (kebutuhan rasa aman) Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari kebutuhannya yang berkenaan dengan keamanan dan keselamatan seperti perlakuan adil, pengakuan hak dan kewajiban, dan jaminan keamanan. 3. Social Needs (kebutuhan sosial) Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari kebutuhannya untuk memiliki hubungan sosial yang baik dengan individu lain. Individu berusaha mencari kasih sayang, persahabatan, penerimaan dan perhatian. Contoh dari kebutuhan ini ialah diakui sebagai anggota dan dianggap berpartisipasi. 4. Ego and Esteem Needs (kebutuhan penghargaan) Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari kebutuhannya yang berfokus pada ego, status, harga diri, dikenal, percaya diri, dan gengsi individu setelah melakukan kegiatan seperti dihargai, dipuji, dan dipercaya. 5. Self-actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri) Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang dengan potensi diri sepenuhnya. Individu akan mengembangkan diri dan berprestasi sebaik mungkin sesuai dengan potensi diri sepenuhnya seperti kebutuhan menyesuaikan diri dengan situasi.
9
Penelitian Rusiani (2013) menjelaskan kaitan teori ini dengan fenomena pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Girikarto, Kabupaten Gunung Kidul. Rusiani (2013) menemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi disebabkan oleh motif fisiologi dan motif rasa aman, yakni dorongan pribadi individu pelaku untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia, yakni kebutuhan akan seks, kebutuhan ekonomi, dan kebutuhan keamanan dari pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja desa. Penelitian lain yang dilakukan oleh NGO (2002) menemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi pada gadis Hmong di Amerika disebabkan oleh motif sosial dan penghargaan, dimana pernikahan dini yang terjadi di dorong dari kebutuhan akan pengakuan sebagai individu yang dewasa dan bebas dalam menentukan pilihan hidup baik di mata masyarakat Hmong maupun di mata masyarakat Amerika. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka yang dimaksud perilaku menikah dini dalam penelitian ini adalah suatu respon dari stimulus melalui proses belajar yang di dorong oleh motif-motif untuk memenuhi kebutuhan fisiologi, rasa aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri.
Remaja Hall dikutip Santrock (1998) menganggap masa remaja merupakan masa topan-badai dan stres (storm and stress). Hal tersebut disebabkan pada masa tersebut seorang individu sedang mengalami masa pergolakan yang diwarnai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Pada masa tersebut pula seorang remaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Lebih lanjut Santrock (1998) menjelaskan bahwa pada masa tersebut seorang individu dipandang sedang melalui masa evaluasi, pengambilan keputusan, komitmen, dan menentukan statusnya kedepan. Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin, yakni adolescentia yang berarti masa muda. Pada masa muda, seorang individu sedang berada pada masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial (Dariyo 2004). Marcia yang dikutip Sprinthall dan Collins (2002) menyatakan bahwa pada umumnya penggolongan remaja dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu remaja awal (11-15 tahun), remaja menengah (16-18 tahun), dan remaja akhir (1921 tahun). Seorang remaja mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan menjadi tiga tahap secara berurutan: a. Masa Remaja Awal Masa remaja awal adalah masa remaja dengan usia 11-15 tahun. Secara umum individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama (SMP). Masa ini remaja mengalami perubahan fisik yang sangat drastis, misal pertambahan berat badan, tinggi badan, panjang organ tubuh dan pertumbuhan fisik yang lainnya. Pada masa remaja awal memiliki karakteristik sebagai berikut lebih dekat dengan teman sebaya, lebih bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak. b. Masa Remaja Menengah Masa remaja menengah adalah masa remaja dengan usia sekitar 16-18 tahun. Umumnya individu pada masa ini sudah duduk di sekolah menengah
10
atas (SMA) dan berkeinginan mencapai kemandirian dan otonomi dari orangtua, terlibat dalam perluasan pertemanan dan keintiman dalam sebuah hubungan pertemanan. Masa remaja menengah ini memiliki karakteristik sebagai berikut mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, dan berkhayal tentang aktifitas seks. Remaja pada usia ini sangat tergantung pada penerimaan dirinya di kelompokyang sangat dibutuhkan untuk identitas dirinya dalam membentuk gambaran diri. c. Masa Remaja Akhir Masa remaja akhir adalah masa remaja dengan usia 19-21 tahun. Remaja pada fase ini, umumnya remaja sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja. Individu pada masa ini fokus pada persiapan diri untuk lepas dari orangtua menjadi kemandirian yang ingin dicapai, membentuk pribadi yang bertanggungjawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi. Karakteristik dalam kelompok ini adalah sebagai berikut pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, dan mampu berpikir abstrak.
Identitas Diri Erikson yang dikutip oleh Purba (2012), identitas merupakan perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu, dalam berbagai tempat dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang yang sama, sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu tersebut dapat merespon dengan tepat. Sejalan dengan definisi tersebut, Erikson yang dikutip Deaux (2001) menyebutkan bahwa identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak terlarut dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang. Menurut Waterman yang dikutip Purba (2012) menyebutkan bahwa identitas memiliki arti sebagai gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup individu. Sejalan dengan definisi tersebut, Baron dan Byrne (2003) menjelaskan bahwa identitas diri sangat berhubungan erat dengan konsep self. Konsep self merupakan identitas diri seseorang sebagai sebuah skema dasar yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri yang terorganisir. Self memberikan sebuah kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan, dan banyak hal lainnya.
11
Marcia yang dikutip Walgito (1999) mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka yang dimaksud dengan identitas diri merupakan pemaknaan diri individu terkait citacita, imajinasi dan ide-ide pribadi, nilai-nilai moral pribadi dan kesadaran akan keunikan diri yang berkaitan dengan peran yang dijalankan.
Identitas Sosial Identitas sosial merupakan sebuah definisi diri yang memandu bagaimana kita mengkonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri. Identitas sosial mencakup banyak karakteristik unik, seperti nama, konsep diri, jenis kelamin, gender, hubungan interpersonal (anak, perempuan, orangtua, dll), afiliasi politik atau ideologi (feminis, demokrat, dll), atribut khusus (homoseksual, pintar, keterbelakangan mental, dll) dan identitas etnik atau religius (Katolik, Muslim, Orang Minangkabau, dll) (Deaux 2001). Selain itu, Baron dan Bryne (2003) menyebutkan bahwa identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk atribut personal dan atribut yang dibaginya dengan oranglain seperti gender dan ras. Castells (2010) mendefinisikan identitas sosial sebagai aspek yang ada pada individu terkait dirinya sendiri yang didapatnya dari kategori sosial tempat ia berada. Identitas sosial merupakan semua identitas dikonstruksikan atau dibentuk oleh sejarah, letak geografis, biologis, institusi-institusi produkif, collective memory dan fantasi personal serta kekuasaan dari aparatur-aparatur dan syariah keagamaan (kitab). Oleh karena itu, identitas sosial memiliki sifat majemuk / jamak (plurality of identites), karena identitas sosial merupakan sumber pemaknaan dan pengalaman serta atribut kultural yang diperuntukkan bagi seseorang individu atau kumpulan aktor (collective actor). Sejalan dengan definisi tersebut, Jackson dan Smith (1999) dikutip Baron dan Bryne (2003) menyebutkan bahwa identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam empat dimensi, yakni persepsi dalam konteks antarkelompok (hubungan antara seseorang dengan grup lain yang menjadi perbandingan bagi diri individu), daya tarik in-group (afek yang ditimbulkan dari in-group kepada diri individu), keyakinan yang saling terkait (norma dan nilai yang menghasilkan tingkahlaku anggota kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi keyakinan yang sama), depersonalisasi (definisi diri individu terhadap dirinya sebagai bagian dari kategori sosial yang ada di lingkungan sosialnya). Banyak kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal. Kategori tersebut mengindikasikan sejauh mana individu serupa dan tidak serupa dengan oranglain disekitar kita. Adapun komponen yang terdapat dalam identitas sosial adalah the self (konsep diri), dan konsep diri sosial. Konsep diri merupakan kumpulan keyakinan dan persepsi diri terhadap diri sendiri yang terorganisir. Artinya konsep diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang
12
menentukan bagaimana individu mengolah informasi tentang dirinya sendiri, termasuk didalamnya motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan banyak hal lainnya. Konsep diri sosial merupakan suatu identitas kolektif yang meliputi hubungan interpersonal dan aspek-aspek identitas yang datang dari keanggotaannya dalam suatu kelompok, seperti ras, etnis dan budaya (Baron dan Bryne 2003). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka definisi identitas sosial dalam penelitian ini adalah suatu pemaknaan diri sosial terkait kesadaran diri akan kesamaan perilaku dengan suatu kelompok, kesadaran akan kewajiban menjaga nama baik kelompok, kepatuhan terhadap adat istiadat dan moral yang berlaku di dalam kelompok dimana individu tinggal.
Kerangka Penelitian Menurut Skinner yang dikutip Notoadmodjo (2003), perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Respon yang muncul dipengaruhi oleh karakteristik individu maupun faktor-faktor luar dari individu yang bersangkutan. Salah satu kekuatan yang ada pada diri individu sehingga individu bertindak dan berperilaku tertentu adalah keberadaan motif yang dimiliki oleh individu. Perilaku menikah dini merupakan suatu perilaku operan yang dipelajari remaja melalui proses belajar dari lingkungan. Perilaku menikah dini yang dilatarbelakangi oleh motif individu yang diduga berkaitan dengan keberadaan faktor-faktor pendorong menikah dini pada remaja. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zai (2012) menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kejadian menikah dini di kalangan remaja desa, yakni karakteristik sosio ekonomi, biososial, dan lingkungan. Karakteristik sosio ekonomi merujuk pada tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan status ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan remaja dan orangtua berhubungan dengan pola pikir yang dimiliki terkait dampak yang akan ditimbulkan dari pernikahan dini. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut diduga mempengaruhi keputusan dan motif remaja dalam menikah dini. Rendahnya status ekonomi keluarga diduga mempengaruhi keputusan orangtua maupun remaja putri untuk menikah dini guna membantu orangtua dalam meringankan beban keluarga. Karakteristik lingkungan dalam hal ini merujuk pada keyakinan terhadap norma, nilai dan kepercayaan yang diyakini bersama di lingkungan sosial remaja. Diduga keyakinan remaja terhadap norma yang ada mempengaruhi motif remaja untuk melakukan pernikahan di usia dini. Selain itu, umur menstruasi pertama pada remaja putri diduga mempengaruhi pernikahan dini yang terjadi. Hal tersebut berkaitan dengan motif remaja dalam memenuhi kebutuhan seksualnya. Menstruasi yang telah dialami remaja putri berkaitan dengan status kedewasaan dan kemampuannya untuk melahirkan. Motif perilaku menikah dini yang beragam pada individu remaja putri perdesaan diduga memiliki hubungan dengan pembentukan definisi diri remaja sebagai individu yang unik maupun definisi diri remaja sebagai bagian dari masyarakat. Hal tersebut merujuk pada pembentukan identitas diri maupun sosial pada remaja. Sehingga diduga motif perilaku menikah dini diduga memiliki hubungan secara signifikan terhadap pembentukan identitas remaja perdesaan. Oleh karena itu, kerangka penelitian di bawah ini menggambarkan adanya
13
hubungan pengaruh antara karakteristik sosio ekonomi, biososial dan lingkungan terhadap motif menikah dini pada remaja. Serta menggambarkan adanya hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas remaja putri perdesaan. Variabel yang diuji hubungan maupun pengaruhnya yaitu variabel faktorfaktor pernikahan dini, variabel motif menikah dini dan variabel pembentukan identitas sosial remaja putri. Variabel faktor-faktor penikahan dini yang dimaksud dalam penelitian ini ialah tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, status ekonomi keluarga, umur menstruasi pertama remaja, dan keyakinan terhadap norma. Variabel faktor-faktor pernikahan dini tersebut diuji hubungan pengaruhnya terhadap motif menikah dini pada remaja. Selanjutnya, variabel motif menikah dini dihubungkan terhadap pembentukan identitas (diri dan sosial) remaja putri yang menikah dini. Adapun keterkaitan antar variabel-variabel tersebut tersaji dalam kerangka penelitian di bawah ini. Faktor-faktor menikah dini Tingkat pendidikan pelaku Tingkat pendidikan ayah pelaku Motif menikah dini 1. Fisiologis 2. Keamanan 3. Sosial 4. Harga diri 5. Aktualisasi diri
Tingkat pendidikan ibu pelaku Status ekonomi keluarga Umur menstruasi pertama Tingkat keyakinan terhadap norma
Keterangan:
: Mempengaruhi (secara kuantitatif) : Hubungan (secara kualitatif deskriptif)
Pembentukan identitas remaja putri perdesaan: 1. Identitas diri 2. Identitas sosial
Gambar 1 Kerangka penelitian pengaruh status ekonomi keluarga terhadap motif menikah dini di perdesaan
Hipotesis Penelitian 1. Diduga Tingkat pendidikan pelaku, tingkat pendidikan ayah pelaku, tingkat pendidikan ibu pelaku, status ekonomi keluarga, umur menstruasi pertama, tingkat keyakinan terhadap norma berpengaruh terhadap motif menikah dini.
14
2. Diduga terdapat hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas remaja putri perdesaan.
Definisi Operasional Definisi operasional merupakan definisi yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur variabel-variabel yang di teliti. Adapun definisi operasional yng digunakan adalah sebagai berikut: 1. Tingkat pendidikan remaja adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Tinggi : SMA/SMK/Sederajat - Sedang : SMP/MTS/Sederajat - Rendah : Tidak sekolah, SD/MI/Sederajat 2. Tingkat pendidikan ayah adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh ayah responden. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Tinggi : SMA/SMK/Sederajat - Sedang : SMP/MTS/Sederajat - Rendah : Tidak sekolah, SD/MI/Sederajat 3. Tingkat pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh ibu responden. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Tinggi : SMA/SMK/Sederajat - Sedang : SMP/MTS/Sederajat - Rendah : Tidak sekolah, SD/MI/Sederajat 4. Status ekonomi keluarga adalah tingkat kemampuan keluarga inti pelaku dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang diukur melalui indikator tingkat pengeluaran keluarga per bulan. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala ordinal. Status ekonomi keluarga dibagi menjadi tiga kategori (ditentukan berdasarkan data emik) yakni: - Status ekonomi bawah, jika pengeluaran keluarga kurang dari Rp1 360 000 - Status ekonomi sedang, jika pengeluaran keluarga Rp1 360 000 - Rp2 600 000 - Status ekonomi atas, jika pengeluaran keluarga lebih dari Rp2 600 000 5. Umur menstruasi pertama adalah waktu pertama kali pelaku mengalami menstruasi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi menjadi dua kategori yakni: - Lambat, jika pelaku mengalami menstruasi pertama pada usia lebih dari atau sama dengan 13 tahun - Cepat, jika mengalami mentruasi pertama pada usia di bawah 13 tahun 6. Keyakinan terhadap norma adalah total skor persepsi pelaku terkait keberadaan norma yang berlaku, yakni meliputi nilai kedewasaan dan konsep menikah yang berkembang di lingkungan pelaku tinggal. Variabel ini diukur dengan menggunakan sepuluh pernyataan pada kuesioner dengan total minimum dan maksimal dari semua pernyataan adalah 14 dan 33. Skala pengukuran yang
15
digunakan adalah skala ordinal. Variabel ini dibagi menjadi tiga kategori, yakni: - Rendah, apabila skor total variabel berada pada rentang 14-20 - Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 21-26 - Tinggi, apabila skor total variabel berada pada rentang 27-33 7. Motif menikah dini adalah total skor kesesuaian pelaku terkait alasan tujuan yang melatarbelakangi pelaku dalam menikah dini. Motif menikah dini dalam penelitian ini terdiri dari lima kategori, yakni: 1. Fisiologis adalah alasan responden dalam menikah dini dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, sandang, papan maupun seks. 2. Keamanan adalah alasan responden dalam menikah dini yang bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas. 3. Sosial adalah alasan responden dalam menikah dini dengan tujuan guna memperoleh kasih sayang, perhatian dan persahabatan (hubungan sosial). 4. Harga diri adalah alasan responden dalam menikah dini yang bertujuan untuk memperoleh harga diri, status dan prestise. 5. Aktualisasi diri adalah alasan responden dalam menikah dini yang bertujuan untuk terlepas dari aturan orangtua dalam rangka mengembangkan potensi dalam diri. Masing-masing kategori pada motif menikah dini akan dijabarkan dalam bentuk pernyataan yang terangkum dalam kuesioner. Total pernyataan dari kelima motif adalah 15 pernyataan dengan masing-masing komponen motif menikah dini adalah tiga pernyataan. Total minimum dan total maksimum dari semua pernyataan adalah 23 dan 55. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal. Variabel motif menikah dini dalam hubungannya dengan perilaku menikah dini dibagi menjadi tiga kategori, yakni: - Lemah, apabila skor total variabel berada pada rentang 23-33 - Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 34-44 - Kuat, apabila skor total variabel berada pada rentang 45-55 10. Pembentukan identitas remaja perdesaan adalah proses pemaknaan diri pada setiap individu pelaku terkait identitas diri dan identitas sosial. Pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang dimaksud dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni: a. Pembentukan identitas diri adalah total skor kesesuaian pelaku terhadap pemaknaan diri yang berkaitan dengan hal-hal yang ia inginkan untuk masa depannya seperti cita-cita, imajinasi pribadi setelah menikah, ideide pribadi, kesadaran akan keunikan diri, nilai-nilai moral pribadi, kepentingan pendapat diri. Identitas diri diukur dengan menggunakan enam pernyataan pada kuesioner. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi menjadi dua kategori, yakni: - Lemah, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 9-15 - Kuat, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 16-21 b. Pembentukan identitas sosial adalah proses penentuan diri individu responden sebagai bagian dari kelompok masyarakat Desa Anjatan Utara yang meliputi kesamaan perilaku dengan masyarakat, kesadaran akan kewajiban menjaga nama baik desa, kepatuhan terhadap adat istiadat dan moral lingkungan sosial. Identitas sosial diukur dengan menggunakan
16
delapan pernyataan pada kuesioner. Skala pengukuran yang digunakan adalah skal ordinal yang terbagi menjadi dua kategori, yakni: - Lemah, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 10-20 - Kuat, apabila jumlah skor pada kuesioner pada rentang 21-30
17
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei dengan metode penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory research merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok dengan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi 1989). Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner, sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam kepada responden maupun informan. Peubah yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari peubah pengaruh yaitu faktor-faktor menikah dini yang meliputi tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, umur pertama menstruasi, keyakinan terhadap norma yang berlaku dan peubah terpengaruh yakni motif menikah dini. Selain itu diteliti juga hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas remaja.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut sesuai dengan topik penelitian yang akan dilakukan, dimana lokasi tersebut merupakan salah satu desa di Kecamatan Anjatan dengan tingkat pernikahan dini tertinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan ditemukan bahwa banyak pernikahan yang terjadi pada remaja putri Desa Anjatan Utara pada usia di bawah 18 tahun. Pengambilan data dilakukan pada bulan April tahun 2014. Kegiatan penelitian secara keseluruhan diselenggarakan sejak bulan April hingga bulan Juli tahun 2014.
Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk mengumpulkan data terkait pernikahan yang terjadi pada usia dini di Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernikahan baik resmi maupun tidak resmi yang dilakukan oleh perempuan di bawah usia 18 tahun. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja putri Desa Anjatan Utara yang telah menikah, yakni sebanyak 207 orang. Unit analisis penelitian adalah individu remaja. Responden pada penelitian ini adalah remaja putri Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu yang melakukan pernikahan pertama saat usia di bawah 18 tahun. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 30 individu remaja yang menikah dini dengan rentang usia maksimal 21 tahun (lihat lampiran 6).
18
Rentang usia maksimal tersebut sengaja dipilih dengan pertimbangan pada rentang usia tersebut reponden masih menunjukkan karakteristik individu sebagai remaja. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana sampel dipilih berdasarkan penilaian dan kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan bahwa teknik ini merupakan teknik yang dianggap paling representatif dengan keadaan di lapangan, dimana pernikahan dini yang dilakukan secara umum merupakan pernikahan tidak resmi sehingga tidak tersedia daftar nama responden dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa data terkait kependudukan dan gambaran umum desa yang diperoleh dari kantor Desa Anjatan Utara. Data primer yang dikumpulkan ialah data terkait pernikahan dini yang diperoleh dari wawancara mendalam dengan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Anjatan dan Lebe2 desa. Selain itu, data primer terkait keyakinan pelaku terhadap norma yang berlaku, motif menikah dini, dan pembentukan identitas remaja yang diperoleh melalui kuesioner. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden maupun informan guna menggali data kualitatif dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam terkait gaya hidup dan alasan maraknya pernikahan dini. Wawancara mendalam dimanfaatkan sebagai informasi penjelasan yang diintegrasikan dengan jawaban yang ada pada kuisioner untuk mendukung dan memperkuat data kuantitatif yang diperoleh.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner akan diolah secara kuantitatif dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS for Windows versi 20. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji regresi linear berganda dan Uji korelasi rank spearman. Uji regresi linear berganda digunakan untuk pengujian pengaruh antara faktor-faktor menikah dini terhadap motif menikah dini. Adapun Faktor-faktor menikah dini yang diuji sebagai variabel independen ialah tingkat pendidikan, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, status ekonomi keluarga, umur menstruasi pertama, dan keyakinan terhadap norma yang ada. Uji korelasi rank spearman digunakan untuk pengujian hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas. Pembentukan identitas yang diuji hubungannya dengan motif menikah dini ialah pembentukan identitas diri dan pembentukan identitas sosial. Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 10 persen atau pada taraf nyata 0,10 dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen. Interpretasi data mengenai kekuatan hubungan antar dua variable yang dihasilkan dari Uji korelasi rank spearman dalam penelitian ini digunakan pendapat dari Sarwono (2006) 2
Seseorang yang memiliki kewenangan untuk menikahkan dua individu baik secara resmi maupun tidak resmi.
19
yang membagi kriteria kriteria hubungan sebagai berikut: (a) Tidak ada korelasi antara dua variabel apabila koefisien korelasi sama dengan 0, (b) hubungan sangat lemah apabila koefisien korelasi > 0 – 0.25, (c) hubungan cukup kuat apabila koefisien korelasi > 0.25 – 0.5, (d) hubungan kuat apabila koefisien korelasi > 0.5 – 0.75, (e) hubungan sangat kuat apabila koefisien korelasi > 0.75 – 0.99, (f) hubungan sempurna apabila koefisien korelasi sama dengan 1.
20
21
PROFIL DESA ANJATAN UTARA Kondisi Geografi Desa Anjatan Utara merupakan salah satu daerah dataran rendah yang terletak di wilayah Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Secara administratif, batasan Desa Anjatan Utara antara lain: (a) sebelah utara berbatasan dengan Desa Limpas; (b) sebelah timur berbatasan dengan Desa Limpas; (c) sebelah selatan berbatasan dengan Desa Anjatan; (d) sebelah barat berbatasan dengan Desa Cilandak lor dan Desa Anjatan. Sementara itu, jarak kantor pemerintahan Desa Anjatan Utara dengan jalan raya Pantura adalah sejauh enam kilometer, dengan pemerintahan Ibu kota Indramayu yaitu 50 kilometer, dengan pemerintahan provinsi Jawa Barat yaitu 210 kilometer. Akses untuk mencapai lokasi Desa Anjatan Utara cukup mudah dijangkau, baik menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Ada angkutan desa yang memfasilitasi masyarakat dalam melakukan mobilitas antar wilayah. Kendaraan-kendaraan tersebut melewati jalan kabupaten sepanjang dua kilometer dan jalan desa sepanjang 15 kilometer. Keberadaannya yang berdekatan dengan Kantor Kecamatan Anjatan dan dilalui jalan raya penghubung Patrol-Subang serta kondisi jalan terpelihara baik memungkinkan masyarakat Desa Anjatan Utara berkembang. Tabel 1 Luas lahan dan persentase pemanfaatan lahan Desa Anjatan Utara, 2013 Pemanfaatan lahan
Luas (Ha)
Persentase (%)
Pemukiman Pesawahan Perkebunan Pekuburan Pekarangan Perkantoran
32.0 550.0 2.5 2.0 131.0 0.5
4.45 76.60 0.35 0.28 18.25 0.07
Total
718.0
100.00
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara, 2013
Tabel 1 menggambarkan komposisi pemanfaatan lahan Desa Anjatan utara secara keseluruhan. Total luas wilayah Desa Anjatan Utara ialah 718 hektar dengan kontur tanah coklat subur yang sebagian besar ditanami Padi dengan masa musim panen dua kali dalam setahun. Selain padi, terdapat juga tanaman khas wilayah ini yang dijadikan sebagai makanan khas masyarakat serta dijadikan sebagai salah satu komoditi utama yang dihasilkan oleh masyarakat yakni Semanggen3. Lahan pekarangan yang dimaksud ialah lahan di sekitar pemukiman warga yang biasanya dimanfaatkan untuk ditanami tanaman buah-buahan maupun 3
Tanaman liar semacam rumput yang tumbuh disawah, dimanfaatkan sebagai sayuran yang dimakan untuk dijadikan rujak oleh masyarakat.
22
sayuran seperti mangga, pisang dan kangkung. Hitungan lahan pekarangan tersebut termasuk luas pemanfaatan lahan guna sungai-sungai yang dimanfaatkan warga sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari seperti mandi, cuci, kaktus. Aliran air tersebut berasal dari aliran-aliran sungai yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) bendungan Jatiluhur. Pemukiman warga yang cukup padat dengan tata letak rapih berdasarkan gang-gang pada tiap dusun. Pemanfaatan lahan perkantoran ialah pemanfaatan lahan guna pembangunan sarana prasarana desa seperti kantor balai Desa Anjatan Utara, kantor KUA Kecamatan Anjatan maupun kantor-kantor swasta seperti kantor bank-bank sebagai pendukung kegiatan perekonomian masyarakat Desa Anjatan Utara. Secara umum, lahan yang ada di Desa Anjatan Utara dimanfaatkan secara produktif, baik sebagai lahan pesawahan, perkebunan, pekarangan, pemukiman, pekantoran maupun pekuburan.
Kondisi Demografi Desa Anjatan Utara terbagi menjadi empat dusun dengan sepuluh Rukun Warga (RW) dan 28 Rukun Tetangga (RT). Adapun dusun yang terdapat di Desa Anjatan utara ialah Dusun Babakan yang terdiri dari dua RW dengan enam RT, Dusun Sabrang Wetan yang terdiri dari tiga RW dengan delapan RT, Dusun Buyut Milah terdiri dari tiga RW dengan delapan RT, dan Dusun Sasak Mijan terdiri dari dua RW dengan enam RT. Jumlah penduduk Desa Anjatan Utara berdasarkan data monografi desa bulan maret tahun 2014 ialah sebanyak 8 875 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4 369 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 4 506 jiwa. Sementara itu, jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Anjatan Utara ialah sebanyak 2 354 Kepala Keluarga (KK). Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga (KK) Desa Anjatan Utara menurut jenis kelamin, 2014
Dusun
Jumlah penduduk Laki-laki
Jumlah KK
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Babakan Sabrang wetan Buyut milah Sasak mijan
985 1352 1195 837
978 1379 1278 871
493 667 525 279
86 112 115 77
Total
4369
4506
1964
390
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara 2014
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Anjatan Utara berjenis kelamin perempuan. Selain itu ditemui 390 KK dengan kepala keluarga seorang perempuan. Jumlah tersebut mewakili janda-janda yang ditinggal mati suaminya maupun para janda muda yang bercerai di usia dini. Janda muda tersebut meliputi para remaja yang telah melakukan pernikahan di usia dini dan
23
tak jarang yang bercerai pada tahun yang sama dengan tahun pernikahan. Kejadian tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat Desa Anjatan Utara. Adapun sebaran jumlah dan persentase penduduk Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat pendidikan, 2014 Tingkat Pendidikan
Jumlah
Presentase (%)
Tidak sekolah SD/sederajat SLTP/sederajat SLTA/sederajat Perguruan tinggi/S1
106 3304 1945 1344 153
1.5 48.2 28.3 20.0 2.0
Total
6852
100.0
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara 2014
Tabel 3 menunjukkan bahwa penduduk Desa Anjatan Utara merupakan masyarakat dengan rata-rata tingkat pendidikan yang rendah, yakni sekitar 3 304 jiwa penduduk Desa Anjatan Utara hanya menempuh pendidikan setingkat sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan menengah atau sederajat SLTP hanya ditempuh oleh sekitar 1 945 jiwa penduduk Desa Anjatan Utara, sedangkan tingkat pendidikan tinggi atau sederajat SLTA hanya sekitar 1 344 jiwa penduduk Desa Anjatan Utara yang mampu menempuhnya. Bahkan sebanyak 106 jiwa penduduk Desa Anjatan Utara tidak pernah menempuh pendidikan apapun atau dengan kata lain tidak sekolah. Sebagian besar masyarakat Desa Anjatan Utara berpandangan bahwa menempuh pendidikan yang lebih tinggi bukanlah sesuatu yang penting atau diutamakan. Pendidikan dasar setingkat SD sudah dianggap cukup sebagai syarat berpendidikan bagi masyarakat, hal ini berkaitan dengan kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat sehingga kurang mampu untuk biaya sekolah. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu staff pemerintah Desa Anjatan Utara, sebagai berikut: “Dulu memang pendidikan tertinggi masyarakat itu Sekolah dasar (SD). Namun, semakin ke sini masyarakat mulai sadar bahwa melanjutkan pendidikan itu penting. Sekarang sudah naik, semenjak ada bantuan BOS rata-rata pendidikan masyarakat usia muda ialah Sekolah Menengah Pertama (SMP).” (UDN 42 tahun)
Mayoritas tingkat pendidikan masyarakat Desa Anjatan Utara yang masih tergolong cukup rendah dan keberadaan topografi desa dengan hamparan lahan sawah yang cukup mendominasi luasan desa. Maka tak heran jika sebagian besar masyarakat Desa Anjatan Utara memiliki pekerjaan utama sebagai petani maupun buruh tani. Adapun sebaran penduduk Desa Anjatan Utara berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4.
24
Tabel 4 Sebaran penduduk Desa Anjatan Utara menurut jenis pekerjaan, 2014 Dusun Jenis pekerjaan PNS TNI/POLRI Pensiunan Wiraswasta Industri kecil Pedagang Petani Buruh Tani Pelajar Mahasiswa Lain-lain Total
Babakan (jiwa) 34 7 13 57 7 134 423 780 343 8 157 1963
Sabrang Wetan (jiwa) 23 6 9 76 7 150 450 1426 405 11 168 2731
Buyut Milah (jiwa) 38 4 9 91 6 195 356 988 622 15 149 2473
Sasak Mijan (jiwa) 23 3 15 60 8 123 402 521 410 12 131 1708
Total
118 20 46 284 28 602 1631 3715 1780 46 605 8875
Sumber: Data monografi Desa Anjatan Utara 2014
Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan penduduk Desa Anjatan Utara adalah petani dan buruh tani yakni sejumlah 5 346 jiwa. Selain jenis pekerjaan yang tertera di atas, sebagian penduduk Desa Anjatan Utara yang berusia produktif bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri (Taiwan, Jepang, Arab saudi, Singapura, Abu Dhabi, Hongkong, Malaysia, Korea) yakni sekitar 158 jiwa dengan mayoritas pekerjaan sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan buruh pabrik. Data monografi Desa Anjatan Utara tahun 2014 menunjukkan 46 persen dari jumlah yang ada, penduduknya bekerja di luar negeri dengan perusahaan atau penanggung jawab TKI yang belum jelas. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, didapatkan informasi bahwa persentase tersebut termasuk didalamnya adalah para remaja putri. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai berikut: “Ya memang beberapa remaja putri ada yang kerja di luar negeri. Ada yang kerja jadi PRT tapi ada juga yang kerjanya di -pabrik botol-4, ya pekerjaan jaman sekaranglah. Lumayan mungkin buat bantu-bantu orang tua disini.” (ADN 45 tahun)
Pekerjaan sebagai karyawan di pabrik botol ditanggapi masyarakat sebagai pekerjaan yang sudah umum terjadi sebagai pekerjaan kekinian. Diakui warga bahwa hal tersebut didorong oleh nilai sosial yang berkembang di masyarakat yakni dimana anak perempuan merupakan aset ekonomi keluarga. Anak perempuan diharapkan dapat mengangkat derajat ekonomi keluarga. Salah satu diantaranya adalah dengan cara bekerja ke luar negeri maupun luar kota. 4
Sebutan warga bagi pekerjaan asusila.
25
Kondisi Sosial Budaya Penduduk Desa Anjatan Utara sebagian besar menganut agama Islam, yakni sebesar 99.3 persen atau 8 814 jiwa. Sedangkan persentase 0.7 persen penduduknya menganut agama Katolik sebanyak 5 jiwa, Protestan sebanyak 54 jiwa dan Hindu sebanyak 2 jiwa. Desa Anjatan Utara memiliki beberapa sarana peribadatan yakni satu bangunan masjid, 19 bangunan musholla, sedangkan gereja dan wihara tidak tersedia di Desa Anjatan Utara. Gereja dan Wihara tersedia di luar desa, yakni berada di Desa Anjatan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, masyarakat Desa Anjatan Utara merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi rasa saling menghormati antar umat beragama. Tidak pernah terjadi masalah antar warga mengenai perbedaan agama. Nilai-nilai toleransi antar agama dianut warga secara baik. Kelembagaan pengajian masih eksis di Desa Anjatan Utara, terhitung lebih dari empat kelompok pengajian yang masih aktif. Umumnya peserta pengajian ialah para orangtua usia lanjut. Pengajian dilaksanakan di mushola-mushola. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai berikut: “Disini warganya saling toleransi antar agama. Walaupun rata-rata yang non islam itu biasanya warga pendatang. Tapi tetap saja warga disini saling menghargai untuk hal-hal tersebut.” (UDN 42 Tahun)
Kehidupan masyarakat Desa Anjatan Utara tergolong masyarakat yang cukup modern, hal ini ditandai dengan penggunaan handphone sebagai alat komunikasi warga khususnya dikalangan para remaja desa, selain itu semenjak sekitar tahun 2000-an internet juga sudah mulai masuk ke Desa Anjatan Utara. Kini sudah tersedia beberapa warung-warung internet (warnet) di pinggiran jalan desa yang dimanfaatkan oleh warga khususnya di kalangan remaja. Keberadaan warungwarung internet tersebut memiliki pengaruh terhadap gaya hidup buruk remaja desa, perilaku seks bebas semakin marak terjadi di kalangan remaja desa. Warung-warung internet dengan akses internet yang bebas juga desain ruangan sewa yang tertutup semakin mendorong perilaku seks bebas pada remaja. Banyak terjadi perilaku mesum remaja yang dilakukan di warnet-warnet tersebut. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “Nikah dini banyak terjadi karena internet juga sih mbak. Kan sekarang ada youtube tuh mbak bisa buka apa aja. Apalagi warnet itu kan ruanganruangannya ketutup, bisa ngapain aja bebas di dalamnya. banyak tuh pasangan yang pacaran disana. Dulu sempat ketahuan ada yang berbuat mesum di warnet waktu digrebek polisi di salah satu warnet di sebrang jalan itu. Warnetnya sempet tutup, tapi sekarang sudah buka lagi mbak. Ya begitu remaja sini masih aja kaya dulu tingkahnya” (TLT 20 tahun)
Kurangnya kontrol orang tua terhadap kehidupan remaja menjadikan maraknya kehidupan malam di kalangan remaja. Bermain judi dan mabokmabokan menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh masyarakat Desa Anjatan Utara terlebih para remaja. Bermain judi kecil-kecilan bahkan dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga ketika mengisi waktu luang. Bermain judi yang dilakukan
26
umumnya disebut barjenan, yakni permainan kartu wartet dengan minimal nominal uang taruhan sebesar Rp500. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh dua responden di lapangan, sebagai berikut: “...Biasalah mbak main barjenan. Lumayan mbak buat tambah-tambah uang jajan dari pada bengong atau ngegosip ga karuan kan” (EVT 20 tahun) “...Pergaulan remaja desa emang diakui ga baik sih mbak. Suka mabokmabokan, suka bikin tuak sendiri gitu. Kalo malem masih suka keluyuran kemana-mana sambil pada mabok. Trus sama suka pacaran di bekas proyek pertamina disana mbak, pada mesum deh tuh disana” (RTN 21 tahun)
Kondisi Sosial Ekonomi Secara umum kondisi ekonomi masyarakat Desa Anjatan Utara masih tergolong rendah. Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai buruh tani yang mengandalkan hidup dari hasil panen. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa khusus masyarakat yang tinggal di dekat sungai, bangunan tempat tinggal yang dihuni masih berdiri di atas tanah sewaan milik dinas perairan, dan ketidakmampuan masyarakat dalam membangun fasilitas MCK di dalam rumah. Sebagian besar masyarakat masih memanfaatkan sungai sebagai sumber air untuk kegiatan mandi, cuci, kaktus. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, terlihat berdiri beberapa fasilitas MCK umum yang terbuat dari bambu-bambu yang dimanfaatkan secara penuh oleh masyarakat, sedangkan untuk kebutuhan masak dan minum, masyarakat desa membeli air yang dijual warga lainnya yang telah memiliki air PAM di rumahnya, atau biasa disebut ngangsu dengan harga Rp2000 per drum. Sebagian besar masyarakat pemukiman warga sudah dialiri listrik, namun tak jarang banyak pemukiman warga masih menggunakan listrik dengan cara menyambung dengan listrik tetangga. Kesejahteraan masyarakat Desa Anjatan Utara masih tergolong cukup rendah, hal ini berkaitan dengan pemanfaatan Bank Keliling oleh sebagian besar masyarakat. Peminjaman dengan sistem bunga yang cukup tinggi masih dipilih masyarakat sebagai strategi bertahan hidup. Sejalan dengan kondisi tersebut, ditunjukan dalam profil Desa Anjatan Utara tahun 2013 bahwa masih terdapat 180 keluarga dengan rumah tidak layak huni dan keluarga miskin sosial sejumlah 1 120 keluarga.
Ikhtisar Desa Anjatan Utara merupakan desa yang terletak di wilayah yang cukup strategis. Keberadaannya dekat dengan jalan raya menjadikan desa ini cukup mudah dijangkau, baik menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Sebagian besar lahan yang ada, yakni sekitar 76.6 persen lahan yang ada dimanfaatkan untuk lahan pesawahan, oleh karenanya tidak heran jika Desa Anjatan Utara memiliki potensi SDA yang cukup besar di bidang pertanian.
27
Mayoritas penduduk Desa Anjatan Utara memiliki pekerjaan utama sebagai petani maupun buruh tani, yakni sebesar 5 346 jiwa. Selain petani dan buruh tani, sebagian besar penduduk bekerja di luar negeri dengan mayoritas pekerjaan sebagai PRT maupun buruh pabrik. Agama islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Desa Anjatan Utara, yakni sebesar 99.3 persen warganya menganut agama islam. Gaya hidup masyarakat desa sudah cukup modern, yakni ditandai dengan penggunaan handphone sebagai alat komunikasi dan pemanfaatan internet. Kehidupan remaja Desa Anjatan Utara tergolong bebas, dimana remaja pada umumnya masih berada diluar rumah ketika malam hari dan banyaknya kejadian hamil di luar nikah pada remaja putri. Secara umum, kondisi ekonomi masyarakat Desa Anjatan Utara masih tergolong rendah. Mayoritas masyarakat masih memanfaatkan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan MCK, jarang sekali ditemui rumah penduduk yang memiliki kamar mandi di dalam rumah. Selain itu, masih banyak masyarakat desa yang melakukan penyambungan listrik ke rumah tetangga untuk memenuhi kebutuhan penerangan.
29
GAMBARAN UMUM PELAKU PERNIKAHAN DINI Pernikahan Dini yang Terjadi Pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri Desa Anjatan Utara pada umumnya merupakan pernikahan yang dilakukan di bawah tangan atau tidak resmi. Pernikahan di bawah tangan ini terpaksa di lakukan mengingat batas usia remaja yang menikah tidak memenuhi syarat batas usia minimal yang ditetapkan dalam Undang-undang perkawinan yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Selain itu, kesulitan dan mahalnya biaya birokrasi dalam pengurusan pernikahan dini secara resmi menjadi alasan kuat pernikahan dini di bawah tangan ini terjadi. Sebagaimana keterangan yang dijelaskan oleh salah satu orangtua pelaku pernikahan dini, sebagai berikut: “Biaya ngurus-ngurusnya mahal mbak di pengadilan, nyaris 1 jutaan lebih ditambah ribet, makannya gak heran kalo banyak yang milih nikah kiyai (nikah tidak resmi) saja. Biayanya lebih murah dan gak ribet. Udah biasa kok disini kayak gitu. Udah sama-sama saling maklumi” (JNO 30 tahun)
Pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri Desa Anjatan Utara pada umumnya merupakan pernikahan dini palsu. Pernikahan dini palsu ialah pernikahan yang di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang etis dari kedua mempelai (Jannah 2012). Pernikahan dini yang dilakukan hanya untuk menutupi perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai, baik yang berakibat adanya kehamilan maupun yang tidak berakibat adanya kehamilan. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “Biasalah mbak, disini mah nikah dini. Pacaran lalu ketauan hubungan seks pranikah, jadi di nikahkan saja takutnya hamil, tapi banyaknya emang yang hamil duluan sih. Kasian orangtuanya daripada malu menanggung aib makannya dinikahkan saja.” (RTN 21 tahun)
Pernikahan dini yang terjadi merupakan suatu perilaku sosial yang dipelajari oleh remaja dari lingkungan. Perilaku tersebut muncul dipengaruhi oleh karakteristik atau faktor-faktor pendorong baik yang berasal dari dalam diri individu remaja maupun yang berasal dari luar. Berikut data yang berhasil dikumpulkan terkait karakteristik-karakteristik individu remaja pelaku pernikahan dini. Karakteristik Sosio Ekonomi Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan, didapatkan kelompok umur responden yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni golongan remaja awal (14-15 tahun), golongan remaja menengah (16-18 tahun) dan golongan remaja akhir (1921 tahun). Adapun jumlah dan persentase sebaran usia responden berdasarkan tiga golongan remaja dapat dilihat pada tabel 5.
30
Tabel 5 Jumlah dan persentase usia pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan tiga golongan remaja, 2014 Golongan remaja
Jumlah
Persentase (%)
Remaja awal Remaja menengah Remaja akhir
2 10 18
6.6 33.3 60.1
Total
30
100.0
Tabel 5 menunjukkan bahwa pelaku pernikahan dini termuda dalam penelitian ini ialah berusia 14 tahun, sedangkan pelaku pernikahan dini tertua dalam penelitian ini berusia 21 tahun. Secara umum, sebesar 60.1 persen remaja pelaku pernikahan dini yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah golongan remaja akhir dengan rentang usia 19-21 tahun, yakni sebanyak 18 orang. Adapun sebaran usia remaja pelaku pernikahan dini pada saat menikah dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 6 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut usia pernikahan pertama, 2014 Usia saat menikah (tahun)
Jumlah
14 15 16 17
1 3 10 16
3.3 10.0 33.3 53.4
30
100.0
Total
Persentase (%)
Tabel 6 menunjukkan bahwa pernikahan dini yang banyak dilakukan oleh remaja putri Desa Anjatan Utara ialah pernikahan dini pada rentang usia 14-17 tahun dengan mayoritas usia pernikahan pertama adalah 17 tahun yakni sebesar 53.4 persen. Usia pernikahan pertama termuda ialah remaja putri dengan usia 14 tahun yakni sebanyak satu remaja atau sekitar 3.3 persen, sedangkan usia pernikahan dini tertua ialah usia 17 tahun yakni sebanyak 16 remaja atau sekitar 53.4 persen. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan didapatkan bahwa sebenarnya di lapangan remaja dengan usia 14 tahun yang melakukan pernikahan dini berjumlah lebih banyak, namun sebagian remaja putri ikut bersama suaminya dan tinggal di luar desa, sebagian remaja putri lainnya tidak bersedia menjadi responden penelitian, sedang sebagian besar remaja putri lainnya bekerja di luar negeri. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “Banyak mbak yang nikah muda sih, sekitar usia 14 tahun-an, kelas 2 SMP pada udah nikah. Tapi ga banyak yang tinggal di desa, kebanyakan ikut
31
suaminya. Jadi tinggal di rumah mertua di luar desa. Kalo ga pada kerja di luar negeri kayak di Taiwan”. (ENT 20 tahun)
Tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik sosio ekonomi remaja yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Adapun sebaran jumlah dan persentase tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh responden dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat pendidikan, 2014 Pendidikan remaja
Jumlah
Persentase (%)
Tamat/tidak tamat SD Tamat/tidak tamat SLTP Tamat/tidak tamat SMA
1 19 10
3.3 63.3 33.4
Total
30
100.0
Tabel 7 menunjukkan bahwa mayoritas remaja hanya berpendidikan setingkat SLTP saja yakni sebesar 66.6 persen. Persentase tersebut terdiri dari remaja dengan pendidikan setingkat sekolah dasar sebesar 3.3 persen dan setingkat sekolah menengah atau SMP sebesar 63.3 persen. Sedang pada tingkat pendidikan atas atau setingkat SMA, data menunjukkan hanya sekitar 26.7 persen atau sebanyak sepuluh remaja yang menempuh pendidikan terakhir SMA. Berdasarkan data yang didapatkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas tingkat pendidikan yang ditempuh remaja ialah SLTP / sederajat. Tabel 8 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat pendidikan ayah dan ibu, 2014
Pendidikan
Ayah
Ibu
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMP Tamat SMP Tamat SMA
5 3 14 1 6 1
16.7 10.0 46.7 3.3 20.0 3.3
9 5 13 1 2 0
30.0 16.7 43.3 3.3 6.7 0.0
Total
30
100.0
30
100.0
Tabel 8 menunjukkan bahwa mayoritas pendidikan tertinggi ayah maupun ibu remaja ialah setingkat SD, yakni sebesar 46.7 persen dan 43.3 persen. Hanya sekitar 23.3 persen ayah dari remaja dan sepuluh persen ibu dari remaja yang
32
menempuh pendidikan hingga tingkat SMP, dan hanya sekitar 3.3 persen orangtua responden yang menempuh pendidikan setingkat SMA. Berbeda dengan mayoritas pendidikan remaja, orang tua memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah yakni setingkat SD. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai berikut: “Dulu memang pendidikan tertinggi masyarakat Desa Anjatan Utara itu Sekolah dasar (SD). Namun, semakin ke sini masyarakat mulai sadar bahwa melanjutkan pendidikan itu penting. Sekarang sudah naik, semenjak ada bantuan BOS rata-rata pendidikan masyarakat itu SLTP”(UDN 42 tahun).
Variabel berikutnya yang diduga memiliki pengaruh terhadap motif menikah dini pada remaja ialah status ekonomi keluarga. Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan maka diperoleh mayoritas responden yakni sekitar 50 persen merupakan individu yang berasal dari kalangan keluarga dengan status ekonomi menengah, yakni dengan rata-rata pengeluaran keluarga sekitar Rp1 360 000 – Rp2 600 000 per bulan dan penghasilan Rp1 362 000 – Rp2 318 000 per bulan. Tiga puluh persen remaja lainnya berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah dengan rata-rata pengeluaran keluarga sekitar kurang dari Rp1 360 000 per bulan dan rata-rata penghasilan keluarga sekitar kurang dari Rp1 362 000 per bulan. Remaja yang berasal dari kalangan keluarga berstatus ekonomi tinggi hanya sekitar 20 persen dengan rata-rata penghasilan keluarga sekitar lebih dari Rp2 318 000 per bulan dan rata-rata pengeluaran sekitar lebih dari Rp2 600 000 per bulan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi keluarga responden dapat dilihat pada tabel 9 berikut. Tabel 9 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan status ekonomi keluarga, 2014 Status ekonomi keluarga
Jumlah
Persentase (%)
Bawah Menengah Atas
9 15 6
30 50 20
Total
30
100
Penggolongan status ekonomi yang ditunjukkan pada tabel 10 merupakan penggolongan berdasarkan data pengeluaran keluarga per bulan yang diperoleh secara umum dari 30 responden yang diinterpretasikan mewakili status ekonomi masyarakat Desa Anjatan Utara. Jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran keluarga di Provinsi Jawa Barat yakni sebesar Rp5 431 863 maka masyarakat Desa Anjatan Utara termasuk masyarakat dengan status ekonomi rendah. Hal ini dapat ditunjukan dari perumahan warga yang masih tergolong semi permanen, tidak memiliki kamar mandi pribadi di dalam rumah maupun kebutuhan listrik yang menumpang ke tetangga lain. Selain sebagian rumah-rumah warga berdiri di atas tanah dinas perairan tanpa izin. Tercatat oleh pemerintahan Desa Anjatan
33
Utara terdapat sekitar 180 keluarga dengan rumah tidak layak huni dan keluarga miskin sosial sejumlah 1 120 keluarga. Keberadaan bank keliling dengan suku bunga peminjaman yang cukup tinggi masih eksis dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber dana ketika kekurangan atau musim paceklik demi memenuhi kebutuhan hidup terutama kebutuhan akan pangan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar masyarakat, yakni sekitar 5 346 jiwa penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani dengan penghasilan sehari-hari yang pas-pasan.
Karakteristik Biososial Umur menstruasi pertama atau menstruasi pertama merupakan salah satu tanda bahwa seseorang berada pada masa pubertas. Masa pubertas merupakan masa yang disertai dengan perubahan-perubahan fisik yang mempengaruhi perkembangan kehidupan seksual seorang remaja. Tanda pubertas ini diduga memiliki pengaruh terhadap pernikahan dini. Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia menstruasi pertama dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut usia mentruasi pertama, 2014 Usia mentruasi pertama 9-12 13-16
Kategori* Cepat Lambat
Total
Jumlah
Persentase (%)
15 15
50 50
30
100
*kategorisasi berdasarkan penetapan BKKBN 2010
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa seluruh remaja telah mengalami menstruasi pertama sebelum menikah. Umur menstruasi pertama tercepat dialami responden ialah usia sembilan tahun, sedang umur menstruasi pertama paling lambat yang dialami responden ialah usia 16 tahun. Berdasarkan BKKBN (2010), umur menstruasi pertama dikategorisasikan menjadi dua, yakni cepat apabila umur menstruasi pertama kurang dari 13 tahun dan lambat apabila umur menstruasi pertama lebih dari atau sama dengan 13 tahun. Berdasarkan kategorisasi tersebut maka diperoleh data di lapangan sekitar 50 persen responden memiliki umur menstruasi pertama cepat dimana responden mengalami menstruasi pertama pada rentang usia 9-12 tahun dan sekitar 50 persen responden mengalami menstruasi pertama pada rentang usia 13-16 tahun.
Karakteristik Lingkungan Norma yang berlaku juga memiliki andil dalam memengaruhi maraknya pelaksanaan pernikahan dini di kalangan remaja putri Desa Anjatan Utara. Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan maka didapatkan bahwa
34
sebesar 80 persen remaja putri rendah dalam meyakini norma yang berlaku di masyarakat. Hanya sekitar 20 persen remaja yang mengaku yakin terhadap norma yang berlaku di Desa Anjatan Utara mempengaruhi diri ketika memutuskan untuk menikah dini. Adapun data yang diperoleh terkait keyakinan terhadap norma yang berlaku pada responden dapat dilihat pada tabel 11. Tabel 11 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat keyakinan terhadap norma, 2014 Tingkat keyakinan terhadap norma
Jumlah
Persentase (%)
Rendah Sedang Tinggi
24 4 2
80.0 13.3 6.7
Total
30
100.0
Tabel 11 menunjukkan bahwa mayoritas remaja menunjukkan ketidakyakinan terhadap norma yang ada. Sebesar 80 persen remaja menunjukkan tingkat keyakinan yang rendah terhadap norma yang ada. Hanya sekitar 6.7 persen remaja menunjukkan tingkat keyakinan yang tinggi terhadap norma yang ada, sedangkan 13.3 persen lainnya remaja menunjukkan tingkat keyakinan sedang terhadap norma yang ada. Norma-norma yang dimaksud dalam penelitian ini ialah normanorma terkait pemaknaan menikah, keutamaan menikah dibandingkan sekolah, konsep perempuan yang tidak laku apabila menikah diusia tua maupun pemahaman masyarakat bahwa akan jauh jodoh apabila menolak sebuah lamaran. Nilai-nilai norma yang berkembang tersebut berkaitan dengan pemakluman pernikahan dini yang disebabkan oleh kehamilan terlebih dahulu. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan maka ditemukan bahwa norma tersebut mendukung pernikahan dini yang terjadi, remaja menyanksikan norma yang ada akan memaklumi seorang individu remaja putri ketika terjadi kehamilan di luar nikah, sehingga remaja putri lebih memilih untuk menikah dini demi harga diri dan rasa aman.
Motif yang Melatarbelakangi Remaja Putri Menikah Dini Perilaku seseorang pada umumnya dilatarbelakangi oleh motif yang dimiliki. Perilaku menikah dini dalam penelitian ini diduga berkaitan dengan motif remaja. Motif menikah dini pada penelitian ini terbagi menjadi lima motif yang didasarkan atas piramida kebutuhan Maslow, yakni physiological Needs (kebutuhan fisiologi), safety Needs (kebutuhan akan keamanan), social Needs (kebutuhan sosial), ego and Esteem Needs (kebutuhan harga diri), selfactualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri). Adapun jumlah dan persentase motif responden dalam menikah dini dapat dilihat pada tabel 12.
35
Tabel 12 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif menikah dini, 2014 Tingkat motif menikah dini
Jumlah
Persentase (%)
Lemah Sedang Kuat
7 16 7
23.3 53.4 23.3
Total
30
100.0
Tabel 12 menunjukkan bahwa mayoritas responden yakni sebesar 53.4 persen responden berada pada tingkat motif sedang dengan total jawaban kuesioner sebesar 34-44. Tingkat motif kuat dan lemah responden menunjukkan persentase yang sama yakni sebesar 23.3 persen responden. Sekitar 83 persen responden hanya mencapai pada motif harga diri saja, sedang pada motif aktualisasi diri hanya sekitar 17 persen saja. Responden menunjukkan bahwa pernikahan dini yang dilakukan lebih didominasi oleh motif untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan (dengan maksud untuk menghindari zinah), sosial (keinginan untuk lebih diperhatikan pasangan) dan harga diri (agar tidak menjadi aib bagi keluarga). Ketiga motif tersebut menunjukkan persentase yang tinggi. Tabel 13 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif fisiologi, 2014 Tingkat motif fisiologi
Jumlah
Persentase (%)
Lemah Sedang Kuat
3 16 11
10.0 53.3 36.7
Total
30
100.0
Tabel 13 menggambarkan bahwa 53.3 persen responden memiliki tingkat motif yang sedang pada fisiologi dalam melatarbelakangi keputusannya untuk menikah dini. Sedang hanya sebesar 36.7 persen responden yang menunjukkan persentase kuat pada motif ini. Mayoritas remaja setuju bahwa menikah di usia dini merupakan cara untuk meringankan tanggungan ekonomi keluarga, yakni dengan menjadikan diri sebagai tanggungan suami ataupun tanggungan orangtua suami. Motif ini merujuk pada pemenuhan kebutuhan kebutuhan dasar pelaku pernikahan dini, baik ekonomi (sandang, pangan, papan) maupun kebutuhan seksual.
36
Tabel 14 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif rasa aman, 2014 Tingkat motif rasa aman
Jumlah
Persentase (%)
Lemah Sedang Kuat
3 10 17
10.0 33.3 56.7
Total
30
100.0
Tabel 14 memperlihatkan bahwa remaja putri Desa Anjatan Utara memiliki motif rasa aman yang tinggi saat memutuskan untuk menikah dini yaitu sebesar 56.7 persen. Kekhawatiran akan pergaulan yang bebas dikalangan remaja desa dan maraknya kehamilan di luar pernikahan mendorong responden untuk segera menikah dengan pasangannya guna menghindari omongan buruk masyarakat. Diketahui dalam beberapa kesempatan wawancara mendalam dengan remaja pelaku pernikahan dini dan warga desa secara umum mengakui bahwa pernikahan yang terjadi umumnya disebabkan oleh kehamilan yang terjadi di luar nikah kalaupun tidak karena kehamilan di luar nikah biasanya dikarenakan pasangan muda-mudi yang pacaran di dalam rumah salah satunya dalam kurun waktu lebih responden, sebagai berikut: “Saya dinikahkan oleh orangtua dengan pacar saya karena waktu itu pacar saya main dirumah sampe tengah malem, waktu itu orangtua saya sedang tidak di rumah walau saya tidak melakukan apa-apa, tapi orangtua saya menyuruh saya untuk menikah saja karena dikhawatirkan jadi omongan orang.” (YNT 18 tahun)
Tabel 15 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif sosial, 2014 Tingkat motif
Jumlah
Persentase (%)
Lemah Sedang Kuat
0 12 18
0 40 60
Total
30
100
Tabel 15 menunjukkan bahwa 60 persen remaja mengakui bahwa motif menikah dini yang didasarkan oleh kebutuhan akan hubungan sosial memiliki tingkat kuat dalam mempengaruhi remaja untuk menikah dini. Keinginan untuk diperhatikan lebih oleh pasangan dan keinginan untuk memiliki hubungan keluarga yang lebih luas mendorong remaja memutuskan untuk menikah diusia muda. Selain itu, kesengajaan beberapa responden melakukan menikah dini ialah agar mendapat restu dari orangtua pasangan untuk bisa tetap saling berhubugan. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai berikut:
37
“Ya, beberapa pasangan yang menikah dini itu sengaja pura-pura sudah hamil ke orangtuanya agar bisa dinikahkan. Biasanya hal tersebut dikarenakan status ekonomi keluarga yang berbeda diantara pasangan tersebut. Yang satu kaya, yang satu miskin lalu orangtua yang kaya biasanya ga setuju lalu anaknya jadi pura-pura udah hamil duluan biar dinikahkan” (JNN 32 tahun)
Tabel 16 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif harga diri, 2014 Tingkat motif harga diri Lemah Sedang Kuat Total
Jumlah
Persentase (%)
3 10 17 30
10.0 33.3 56.7 100.0
Tabel 16 menggambarkan bahwa 56.7 persen remaja mengakui bahwa motif harga diri merupakan salah satu motif yang memiliki pengaruh terhadap keputusannya untuk menikah dini. Tingkat motif harga diri yang kuat sejalan dengan hasil pengamatan di lapang, dimana sebagian besar pernikahan dini yang terjadi pada remaja disebabkan oleh alasan hamil terlebih dahulu atau terjadi kebobolan pada remaja putri sehingga pernikahan dini dianggap sebagai jalan terbaik untuk menjaga harga diri remaja putri. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh dua responden di lapangan, sebagai berikut “Mau gimana lagi mbak, sekarang saya sudah hamil. Kalau gak buruburu menikah saya bakal malu sama tetangga, nanti malah jadi omongan orang. Kasian nanti orangtua saya juga ikut malu.” (RMM 14 Tahun) “Waktu itu saya udah jadi omongan orang. Orang-orang bilang saya udah hamil padahal belum. Yaudah biar ga malu, saya nikah aja sama pacar saya.” (DWR 18 tahun)
Tabel 17 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara menurut tingkat motif aktualisasi diri, 2014 Tingkat motif aktualisasi diri
Jumlah
Persentase (%)
Lemah Sedang Kuat
11 16 3
36.7 53.3 10.0
Total
30
100.0
Tabel 17 menunjukkan bahwa 53.3 persen remaja menunjukkan tingkat sedang pada motif aktualisasi diri. Sebesar 36.7 persen remaja menunjukkan tingkat motif lemah pada motif ini, hanya sekitar sepuluh persen dari remaja yang
38
menunjukkan tingkat motif yang tinggi pada motif ini. Remaja mengakui bahwa pernikahan dini yang dilakukan dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mengaktualisasi diri. Sebagian besar remaja memberikan respon negatif ketika ditanya apakah menikah dikarenakan ingin terbebas dari orang tua. Sebagian remaja menyampaikan bahwa menikah di usia dini bukan dikarenakan keinginan dari diri atau bukan menjadi pilihan hidupnya, melainkan dikarenakan dorongan orang tua yang tidak ingin menjadi malu akibat pergaulan bebas yang dijalani remaja. Pernikahan dini, tidak menjadi tujuan pilihan remaja untuk mengembangkan potensi diri maupun lepas dari kontrol orang tua. Bahkan sebagian besar remaja yang telah menikah masih hidup dan makan dari orangtua.
Tingkat Kejadian Perceraian Menikah pada usia dini diduga memiliki kontribusi terhadap tingginya angka perceraian dini pada remaja. Kematangan diri remaja yang belum tercapai mendorong terjadinya percekcokan dalam rumah tangga yang berakhir pada perceraian. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan maka diperoleh enam dari 30 responden atau sekitar 20 persen responden yang mengalami perceraian diusia muda dengan rata-rata usia pernikahan ialah hanya sekitar satu tahun. Adapun jumlah dan persentase status pernikahan dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 18 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan status pernikahan, 2014 Status pernikahan
Jumlah
Persentase (%)
Cerai Tidak cerai
6 24
23.3 76.7
Total
30
100.0
Tabel 18 menunjukkan masih tingginya tingkat kejadian perceraian di usia dini yakni sebesar 23.3 persen. Kejadian perceraian diusia dini yang terjadi disebabkan terjadinya percekcokan dan banyaknya perbedaan yang ada diantara remaja putri dan suami. Pernikahan yang berawal dari perkenalan di salah satu sosial media, menjadikan remaja putri tidak begitu mengenal sosok sang suami. Sebagai individu yang berada pada masa topan badai dan stress (storm and stress), serta tingginya rasa keinginan untuk bebas remaja belum bisa menyadari bahwa pernikahan yang dijalani ialah suatu komitmen bukan sekedar hubungan seperti pacaran yang banyak dijalani oleh remaja pada umumnya, sehingga belum adanya tanggung jawab pada dirinya dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Berdasarkan temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyaknya tuntutan dari suami menjadikan remaja putri tidak mampu memenuhi apa yang diinginkan suami. Usia suami yang lebih dewasa menjadikan remaja nampak belum mampu berpendapat dan bernegosiasi dengan baik saat adanya percekcokan diantara keduanya sehingga sang suami lebih memilih mencari individu lain yang lebih mampu memahaminya. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh dua responden, sebagai berikut
39
“Pernikahan saya hanya satu tahun mbak, setelah itu bercerai. Saya tidak begitu mengenal siapa suami saya. Saya hanya mengenalnya dari facebook. Waktu itu kenalan lalu ngajak nikah. Yaudah saya mau saja. Tapi ternyata dianya begitu.Gak tanggung jawab. Yaudah cerai aja”. (YNT 18 Tahun). “Saya sudah bercerai dengan suami saya mbak. Dulu cekcok terus, yaudah cerai aja. Sekarang dia sudah menikah lagi dengan perempuan desa lain.” (TLT 20 tahun)
Ikhtisar Pernikahan dini yang terjadi pada remaja Desa Anjatan Utara pada umumnya merupakan pernikahan dini palsu, yakni dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas kurang etis dari para pelakunya. Pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri Desa Anjatan Utara merupakan pernikahan dini yang dilakukan pada rentang usia 14-17 tahun. Mayoritas pernikahan dini dilakukan pada usia 17 tahun, yakni sebesar 53.4 persen. Mayoritas tingkat pendidikan para pelaku pernikahan dini di Desa Anjatan Utara ialah tingkat pendidikan sedang atau setingkat SLTP, yakni sebesar 63.3 persen. Tingkat pendidikan ayah dan ibu para pelaku pernikahan secara mayoritas adalah tingkat pendidikan rendah atau setingkat SD, yakni sebesar 46.7 persen dan 43.3 persen. Mayoritas pelaku pernikahan dini berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah, yakni dengan rata-rata pengeluaran keluarga sebesar Rp1 360 000 – Rp2 600 000 per bulan dan penghasilan keluarga sebesar Rp1 362 000 – Rp2 318 000 per bulan. Menstruasi pertama yang mewakili tanda masuknya pubertas para pelaku pernikahan dini menunjukkan bahwa sebesar 98 persen pelaku pernikahan dini telah mengalami menstruasi pertama, dengan persentase yang seimbang antara kategori menstruasi cepat dan lambat. Karakteristik lingkungan (dalam penelitian ini keyakinan terhadap norma) diduga termasuk menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan pernikahan dini yang terjadi. Data di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas pelaku pernikahan dini menunjukkan ketidakyakinan terhadap norma yang ada, yakni sebesar 80 persen pelaku pernikahan dini menyanksikan norma yang ada akan memberikan toleransi terhadap kehamilan yang terjadi. Hal tersebut berkaitan dengan motif yang melatarbelakangi pelaku pernikahan dini ketika memutuskan untuk menikah di usia dini. Data di lapangan menunjukkan bahwa pernikahan dini yang terjadi secara umum dilatarbelakangi oleh motif untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman (dengan maksud menghindari zinah), motif untuk memenuhi kebutuhan sosial (keinginan untuk lebih diperhatikan oleh pasangan), dan motif untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri (menutupi kehamilan yang terjadi agar tidak menjadi aib bagi keluarga).
41
PENGARUH FAKTOR-FAKTOR MENIKAH DINI TERHADAP MOTIF MENIKAH DINI Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengaruh antara karakteristik sosio ekonomi, biososial, dan lingkungan terhadap motif menikah dini pada remaja putri di Desa Anjatan Utara, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini ialah uji regresi linear berganda dengan nilai probabilitas sebesar 0.10. Karakteristik sosioekonomi yang dilakukan uji pengaruhnya terhadap motif menikah dini ialah tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, dan status ekonomi keluarga. Karakteristik biososial yang dilakukan uji pengaruhnya terhadap motif menikah dini adalah umur menstruasi pertama, sedangkan karakteristik lingkungan yang dilakukan uji pengaruhnya terhadap motif menikah dini adalah keyakinan terhadap norma. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh hubungan pengaruh dari masing-masing variabel. Adapun hasil analisis yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19 Nilai koefisien regresi berganda antara faktor-faktor menikah dini terhadap motif menikah dini, 2014 Faktor-faktor menikah dini
Motif menikah dini (B)
Tingkat pendidikan remaja Tingkat pendidikan ayah Tingkat pendidikan ibu Status ekonomi keluarga Umur menstruasi pertama Keyakinan terhadap norma
0.829 -4.292 -3.704 -4.030* 1.142 4.239
Keterangan: B = koefisien regresi , *signifikan pada taraf nyata 10 %
Tabel 19 menunjukkan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa masingmasing indikator memiliki nilai koefisien regresi yang berbeda-beda. Nilai koefisien regresi yang dihasilkan menunjukkan seberapa besar pengaruh faktorfaktor menikah dini terhadap motif menikah dini. Nilai positif dan negatif pada koefisien regresi akan menjelaskan tentang pengaruh yang akan menaikkan atau menurunkan motif menikah dini, untuk angka dengan tanda positif berarti akan menaikkan motif menikah dini sedangkan angka dengan tanda negatif akan menurunkan motif menikah dini. Adapun persamaan regresi yang didapat sebagai berikut: Y = 47,813 + 0,829 X1 – 4,292 X2 - 3,704 X3 - 4,030 X4 + 1,142 X5 + 4,239 X6
Berdasarkan hasil uji statistik regresi linear berganda yang dilakukan antara faktor-faktor menikah dini terhadap motif menikah dini maka dihasilkan bahwa hanya variabel status ekonomi keluarga yang menunjukkan pengaruh signifikan terhadap motif remaja putri dalam menikah dini pada taraf nyata 10 persen.
42
Berikut penjelasan detail pada masing-masing variabel faktor-faktor menikah dini yang di uji pengaruhnya terhadap motif menikah dini.
Pengaruh Tingkat Pendidikan Remaja terhadap Motif Menikah Dini Variabel tingkat pendidikan remaja, secara kuantitatif tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap motif menikah dini. Hal ini ditunjukan dengan nilai probabilitas signifikan yang dihasilkan dari keduanya sebesar 0.773. Nilai tersebut lebih besar dari nilai probabilitas penelitian yakni 0.10. Jika dilihat dari koefisien regresi yang dihasilkan yakni sebesar 0.829 maka nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan tingkat pendidikan pelaku sebesar satu-satuan akan menaikan rata-rata motif menikah dini sebesar 0.829 satu-satuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya tingkat pendidikan yang tinggi akan menunjukkan motif menikah dini yang kuat. Data di lapangan menunjukkan bahwa motif menikah dini yang tinggi cenderung terjadi pada tingkat pendidikan sedang yakni SLTP, sehingga data tersebut tidak menunjukkan bahwa semakin rendah pendidikan remaja maka akan semakin kuat motif remaja untuk menikah dini maupun sebaliknya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tingkat pendidikan remaja memang bukan menjadi faktor yang mempengaruhi pernikahan dini yang terjadi, tingkat pendidikan remaja bahkan menjadi salah satu akibat yang diterima dari pernikahan dini yang terjadi.
Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua terhadap Motif Menikah Dini Variabel tingkat pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu dari pelaku secara kuantitatif tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap motif menikah dini. Hal ini ditunjukan dengan nilai probabilitas signifikan yang dihasilkan yakni 0.140 dan 0.289. Berdasarkan kaidah keputusan analisis data statistik, jika nilai probabilitas penelitian (dalam penelitian ini sebesar 0.10) lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas signifikan maka variabel independen tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Hal tersebut juga dapat terlihat dari koefisien regresi yang dihasilkan yakni -4.292 dan -3.704. Nilai koefisien regresi antara tingkat pendidikan ayah pelaku dengan motif menikah dini sebesar -4.292 tidak menunjukkan bahwa setiap kenaikan tingkat pendidikan ayah pelaku sebesar satu-satuan akan menurunkan rata-rata motif menikah dini sebesar 4.292 satu-satuan. Berdasarkan hasil kualitatif di lapangan ditemukan bahwa tingkat pendidikan ayah yang tinggi yakni setingkat SMA tidak berpengaruh terhadap motif menikah dini pelaku menjadi rendah. Sama halnya dengan tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan Ibu tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap motif menikah dini remaja dengan koefisien regresi sebesar -3.704. Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan tingkat pendidikan Ibu pelaku satu-satuan akan menurunkan rata-rata motif menikah dini sebesar 3.704 satu-satuan. Nyatanya di lapangan ditemukan keseragaman data terkait tingkat pendidikan Ibu, yakni 90 persen hanya menempuh pendidikan sembilan tahun. Berdasarkan data yang diperoleh mengumpul pada kategori rendah atau tingkat pendidikan rendah yakni setingkat
43
SD, sehingga hasil tersebut tidak menunjukkan bahwa semakin rendah pendidikan remaja maka akan mempengaruhi semakin kuat motif remaja untuk menikah dini maupun sebaliknya, data tidak menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan Ibu remaja maka akan semakin lemah motif menikah dini pada remaja.
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini Tabel 19 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh secara signifikan antara status ekonomi keluarga dengan motif menikah dini pada remaja. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai probabilitas signifikan yang dihasilkan yakni sebesar 0.058. Berdasarkan kaidah keputusan analisis data statistik, jika nilai probabilitas penelitian lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas signifikan. maka variabel independen menunjukkan pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu, status ekonomi keluarga sebagai variabel independen terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap motif menikah dini sebagai variabel dependen. Jika di lihat dari koefisien regresi yang dihasilkan yakni sebesar – 4.030 menunjukkan bahwa setiap kenaikan status ekonomi keluarga maka akan menurunkan rata-rata motif menikah dini sebesar 4.030 satu-satuan. Hasil analisis tersebut sejalan dengan data yang diperoleh di lapangan, yakni sekitar 80 persen responden berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah dengan pengeluaran keluarga rata-rata sekitar kurang dari Rp1 360 000 per bulan. Status ekonomi tersebut sebenarmya berkaitan dengan tingkat pendidikan remaja dimana sekitar 66.6 persen responden hanya berpendidikan hingga SLTP saja, itu pun tidak seluruh responden berstatus tamat SLTP. Sekitar 23.3 persen responden hanya menempuh pendidikan hingga kelas dua SLTP saja. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan orangtua dalam membiayai pendidikan responden, sehingga responden secara terpaksa putus sekolah dan lebih memilih menikah untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan5. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “Ya gimana ya mbak, orangtua udah gak mampu membiayai saya sekolah. Daripada tidak ada kerjaan, saya pacaran udah lama takut jadi omongan orang, yasudah saya nikah saja” (RMN 17 tahun)
Hal ini sejalan dengan norma yang berkembang di lapangan bahwa terdapat nilai yang berkembang bahwa anak perempuan merupakan aset ekonomi keluarga, dimana anak perempuan diharapkan dapat mengangkat derajat ekonomi keluarga. Salah satu diantaranya adalah dengan menikah diusia dini. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Landung dkk (2009) yang menemukan bahwa adanya keinginan pada remaja untuk dapat membantu perekonomian keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang rendah mendorong remaja untuk berkeinginan bekerja di luar negeri. Keinginan tersebut berkaitan dengan keinginan segera menikah. Mayoritas remaja putri yang bekerja di luar negeri melakukan pernikahan terlebih dahulu sebelum berangkat pergi bekerja. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk memberikan rasa aman dan 5
Hamil diluar nikah lalu menjadi omongan orang.
44
menghindari omongan buruk masyarakat atas pekerjaan di luar negeri. Pada masyarakat juga berkembang anggapan bahwa perempuan yang bekerja di luar negeri selain bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) juga bekerja sebagai karyawan di pabrik botol6. Selain itu, di masyarakat berkembang istilah luruh duit yang memiliki arti sama dengan pekerjaan sebagai karyawan di pabrik botol. Pengaruh Umur Menstruasi Pertama terhadap Motif Menikah Dini Variabel umur menstruasi pertama tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap motif menikah dini. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai probabilitas signifikan yang dihasilkan keduanya yakni sebesar 0.714 dengan koefisien regresi sebesar 1.142. Nilai koefisien regresi yang dihasilkan menunjukkan bahwa setiap kenaikan usia menstruasi pertama maka akan menaikan rata-rata motif menikah dini sebesar 0.714 satu-satuan. Artinya, semakin cepat seorang remaja putri mengalami menstruasi pertama maka akan menaikan rata-rata motif menikah dini. Nyatanya di lapangan ditemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi tidak memiliki kaitan dengan usia menstruasi pertama remaja putri. Hal ini sejalan dengan hasil di lapangan bahwa pernikahan yang terjadi tidak dipengaruhi oleh cepat lambat remaja mengalami menstruasi pertama dimana mayoritas menikah dini memang terjadi pada remaja putri yang sudah mengalami menstruasi pertama, namun di lapangan bahkan di temukan bahwa terdapat satu pelaku menikah dini yang baru mendapatkan menstruasi pertama setelah menikah. Hal ini berkaitan dengan pengertian kedewasaan seorang remaja putri di lapangan yang tidak dilihat dari kemampuannya secara reproduksi, melainkan dilihat dari standarisasi umur yakni 17 tahun. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “Ya sama dengan aturan undang-undang perkawinan, remaja putri yang boleh nikah ya yang usianya sudah mencapai 17 tahun. Walau dia udah mens tapi belum usia 17 tahun mah masih anak-anak” (SPD 42 tahun)
Pengaruh Tingkat Keyakinan Norma terhadap Motif Menikah Dini Perilaku menikah dini merupakan perilaku operan yang dipelajari remaja dari lingkungan tempat individu tinggal. Hal tersebut merujuk pada perilaku menikah dini yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Pengaruh lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberadaan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat terkait keberadaan seorang remaja putri dan konsep pernikahan. Pengaruh lingkungan dalam penelitian ini dihitung melalui tingkat keyakinan remaja terhadap norma dan nilai yang berkembang. Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan maka dihasilkan bahwa tingkat keyakinan terhadap norma tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap motif menikah dini yang terjadi. Hal tersebut ditunjukan dari nilai koefisien regresi yang dihasilkan yakni sebesar 4.239, yang berarti bahwa setiap kenaikan satu-satuan keyakinan remaja terhadap norma maka akan menaikan rata-rata motif menikah dini sebesar 4.239 6
Ibid hal. 24
45
satu-satuan. Artinya, semakin yakin pelaku menikah dini terhadap norma yang berlaku maka akan semakin kuat motif pelaku untuk menikah dini. Hal ini sejalan dengan hasil di lapangan bahwa sebesar 80 persen remaja menunjukkan tingkat keyakinan yang rendah terhadap norma yang ada. Pelaku menikah dini menyanksikan norma yang ada akan memaklumi seorang individu remaja putri diterima dan dimaklumi ketika terjadi kehamilan di luar nikah, sehingga lebih memilih untuk menikah dini untuk menghindari sanksi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah keyakinan remaja terhadap norma yang ada maka akan semakin kuat motif remaja untuk menikah. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh salah satu Informan, sebagai berikut: “Saya ga yakin mbak kalo masyarakat mau memaklumi saya yang hamil dulu sebelum menikah. Makannya saya lebih pilih segera menikah ketika saya sudah „terlalu dekat‟ dengan pacar saya biar ga dapet omongan ga enak dari masyarakat” (RNY 20 tahun)
Ikhtisar Bab ini menunjukkan bahwa hanya status ekonomi keluarga yang memiliki pengaruh signifikan terhadap motif menikah dini yang ada. Tingkat pendidikan pelaku menikah dini, tingkat pendidikan ayah dan ibu pelaku, umur menstruasi pertama dan keyakinan terhadap norma yang ada tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap motif menikah dini pada para pelaku. Hasil uji statistik ini sejalan dengan kondisi di lapangan dimana status ekonomi merupakan faktor kuat yang mempengaruhi dorongan atau motif para pelaku untuk menikah dini. Keberadaan para pelaku dari golongan keluarga menengah ke bawah mendorong pada motif yang kuat pada para pelaku untuk membantu perekonomian keluarga. Tingkat pendidikan pelaku maupun orangtua menjadi akibat yang ditimbulkan dari status ekonomi yang rendah sehingga tidak memberikan kontribusi yang tinggi dalam mempengaruhi motif menikah dini pada para pelaku menikah dini. Status kedewasaan pada para pelaku yang ditandai dengan kecepatan usia mentruasi pertama nyatanya tidak menunjukkan pengaruh terhadap motif menikah dini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketika memutuskan untuk menikah dini para pelaku tidak menyadari atau mempertimbangkan pengalaman menstruasi pertama. Begitu juga denga keyakinan terhadap norma, pelaku menunjukkan bahwa ketidakyakinan bahwa masyarakat akan memaklumi pernikahan yang dilakukan di usia muda.
46
47
PEMBENTUKAN IDENTITAS REMAJA PUTRI PERDESAAN YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI Pembentukan identitas pada remaja merupakan hal yang penting diperhatikan mengingat keberadaan remaja sebagai individu yang berada pada tugas perkembangan Identitas versus kebingungan identitas. Berdasarkan data di lapangan menunjukkan bahwa pembentukan identitas pada remaja putri pelaku pernikahan dini cenderung memiliki identitas diri yang kuat dibandingkan identitas sosialnya sebagai remaja Desa Anjatan Utara. Berikut jumlah dan persentase terkait pembentukan identitas diri dan identitas sosial remaja dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 20 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan pembentukan identitas diri dan identitas sosial, 2014
Kategori
Identitas diri Jumlah
Persentase (%)
Identitas sosial Jumlah
Persentase (%)
Lemah Kuat
7 23
23.3 76.7
19 11
63.3 36.7
Total
30
100.0
30
100.0
Tabel 20 menunjukkan bahwa sebesar 76.7 persen remaja pelaku pernikahan dini menyadari akan pemaknaan dirinya sendiri berkaitan dengan hal-hal yang ia inginkan untuk masa depannya yang didorong dari motivasi diri termasuk motivasi menikah dini. Sedangkan 23.3 persen remaja lainnya menunjukkan rasa kurang yakin atas pemaknaan dirinya sendiri terkait masa depan dan cita-citanya terkait menikah dini. Sebesar 63.3 persen remaja menunjukkan bahwa individu tidak merasa menjadi bagian dari kelompok remaja Desa Anjatan Utara. Hanya sekitar 36.7 persen yang menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok remaja Desa Anjatan Utara. Berikut penjelasan detail pada masing-masing pmbentukan identitas pada remaja putri yang menikah dini.
Pembentukan Identitas Diri pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini Hasil pengumpulan data di lapangan menunjukan bahwa remaja putri pelaku pernikahan dini memiliki identitas diri yang kuat, dimana individu pelaku menyadari akan pemaknaan diri yang berkaitan dengan cita-cita pribadi, imajinasi pribadi, ide-ide pribadi, kesadaran akan keunikan diri, moral pribadi dan kepentingan pendapat diri. Tabel 20 menunjukan bahwa 76.7 persen pelaku pernikahan dini masih merasa menjadi individu yang unik dan memiliki cita-cita walaupun sebagian besar keputusan terkait pilihan menikah dini bukanlah keputusan diri sepenuhnya namun dipengaruhi juga oleh saran orang tua dan omongan orang. Hal ini sejalan dengan kondisi di lapangan, dimana remaja yang menikah dini bahkan akan merasa menjadi lebih sadar akan keberadaan dirinya
48
sendiri. Pelaku menikah dini mengakui menjadi lebih tahu apa saja yang akan dilakukannya di masa depan. Responden bahkan menunjukkan identitas yang kuat ketika dirinya dikaitkan dengan pernikahan dini. Responden mengakui menjadi lebih mengutamakan pendapat diri di bandingkan omongan orang lain. Berikut penjelasan lebih detail terkait pencapaian dari masing-masing indikator identitas diri pelaku pernikahan dini. Tabel 21 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikator-indikator identitas diri, 2014
Indikator identitas diri Moral pribadi Cita-cita pribadi Imajinasi pribadi Ide-ide pribadi Kesadaran akan keunikan diri Kepentingan pendapat diri
Lemah (skor 1-2)
Kuat (skor 3-4)
Total
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase Persentase Jumlah (%) (%)
23
76.6
7
23.4
30
100.0
19
63.3
11
36.7
30
100.0
8
73.3
22
26.7
30
100.0
3
10.0
27
90.0
30
100.0
13
43.3
17
56.7
30
100.0
13
43.3
17
56.7
30
100.0
Tabel 21 menunjukan bahwa tidak secara keseluruhan pencapaian pada masing-masing indikator pembentukan identitas diri berada di tingkat yang kuat. Sebagaimana pada indikator moral diri, 76.6 persen pelaku menunjukan bahwa moral diri berada pada tingkat yang lemah, dimana pelaku pernikahan dini cenderung mementingkan moral sosial yang berlaku pada masyarakat dibandingkan dengan moral diri, hal ini berkaitan dengan motif yang melatarbelakangi kejadian pernikahan dini yakni keamanan, sosial dan harga diri sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Moral sosial yang berlaku pada masyarakat dalam hal ini ialah moral terkait seorang gadis, dimana tidak diterima apabila seorang remaja putri mengalami kehamilan pranikah. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kepentingan tersebut maka remaja putri pada akhirnya memutuskan untuk menikah diusia yang masih muda. Hal tersebut menunjukan bahwa remaja putri lebih mementingkan moral sosial dibandingkan moral diri. Indikator cita-cita pribadi dikaitkan dengan cita-cita menikah diusia yang muda. Tabel 21 menunjukan bahwa 63.3 persen pelaku menunjukan bahwa menikah dini bukan menjadi cita-citanya, menikah dini merupakan suatu keterpaksaan dari keadaan yang ada, dimana remaja putri terpaksa menikah untuk menutupi perilaku buruk yang telah dilakukannya bersama pasangannya. Cita-cita ini berkaitan dengan rasa pesimis pada diri pelaku menikah dini, dimana para
49
pelaku menjadi kurang yakin dalam pencapaian cita-cita lainnya dimasa datang. Begitu juga pada indikator ide-ide pribadi, imajinasi pribadi dan pendapat diri, walaupun hasil pengumpulan data secara angka menunjukan tingkat yang kuat pada indikator-indikator tersebut, namun secara kualitatif pelaku menunjukan bahwa ide-ide pribadi, imajinasi pribadi dan pendapat diri tidak dapat disampaikan secara tegas pada kehidupan sehari-hari. Ide-ide pribadi, imajinasi pribadi dan pendapat diri lebih banyak dipendam dan tidak diungkapkan, dimana pelaku pernikahan dini cenderung mementingkan ide-ide dan pendapat orang lain (dalam hal ini suami, orangtua dan masyarakat).
Pembentukan Identitas Sosial pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini Hasil pengumpulan data di lapangan menunjukkan bahwa remaja yang menikah dini memiliki identitas sosial yang rendah. Pelaku pernikahan dini tidak menyadari bahwa diri sebagai bagian dari remaja Desa Anjatan Utara. Remaja mengakui bahwa remaja yang menikah dini tidak lebih baik dari remaja yang menikah diusia tua. Pernikahan dini yang dilakukan sebagian besar merupakan pernikahan yang dilakukan di bawah tangan. Hal ini disebabkan oleh usia yang belum memenuhi syarat untuk melaksanakan pernikahan, juga dikarenakan mahalnya biaya administrasi untuk mengurus dispensasi pernikahan di bawah umur. Pemaknaan negatif terhadap individu remaja Desa Anjatan Utara yang menikah dini mendorong pelaku pernikahan dini menghindari diri dari bagian masyarakat. Berikut penjelasan lebih detail dari masing-masing indikator terkait pembentukan identitas sosial. Tabel 22 Jumlah pelaku pernikahan dini Desa Anjatan Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikator-indikator identitas sosial, 2014 Indikator identitas sosial Kesamaan perilaku dengan masyarakat Kesadaran menjaga nama baik desa Kepatuhan terhadap adat istiadat Bagian dari masyarakat desa
Lemah (skor 1-2)
Kuat (skor 3-4)
Total
21
Persentase (%) 70.0
7
23.3
23
76.7
30
100.0
9
30.0
21
70.0
30
100.0
20
66.7
10
33.3
30
100.0
Jumlah
Jumlah 9
Persentase Persentase Jumlah (%) (%) 30.0 30 100.0
50
Tabel 22 menunjukan bahwa indikator yang menunjukan tingkat lemah pada pencapaian identitas sosial remaja putri pelaku pernikahan dini adalah kesadaran akan kesamaan perilaku dengan masyarakat desa maupun kesadaran menjadi bagian masyarakat. Sebesar 70.0 dan 66.7 persen pelaku pernikahan dini menunjukan tingkat yang lemah. Hal tersebut disebabkan oleh pemaknaan negatif yang melekat pada diri pelaku pernikahan dini di masyarakat Desa Anjatan Utara. Jawaban yang diberikan oleh pelaku pernikahan dini tidak lain merupakan suatu upaya penghindaran diri dari pemaknaan negatif yang ada. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Anjatan Utara merupakan pernikahan di bawah tangan atau pernikahan tidak resmi yang dilakukan guna mengatasi kekhawatiran orangtua para remaja putri akan pergaulan bebas di kalangan remaja desa. Selain itu, tidak sedikit pelaku pernikahan dini menunjukan bahwa pernikahan dini yang terjadi didorong oleh kehamilan pranikah. Pemaknaan negatif terhadap individu remaja Desa Anjatan Utara yang menikah dini mendorong remaja putri pelaku pernikahan dini menghindari diri dari bagian masyarakat. Sedangkan pada indikator kepatuhan terhadap adat istiadat dan kesadaran untuk menjaga nama baik, remaja pelaku pernikahan dini menunjukan tingkat yang kuat, dimana pelaku mengakui bahwa keputusan menikah dini juga didorong untuk mematuhi adat istiadat desa dan menjaga nama baik desa yang pada hakikatnya yakni berperilaku berdasarkan moral agama Islam.
Ikhtisar Bab ini menunjukkan bahwa pembentukan kuat pada identitas diri para pelaku dibandingkan dengan pembentukan identitas sosial para pelaku sebagai remaja Desa Anjata Utara. Hal ini berkaitan dengan pernikahan dini yang dilakukan. Mayoritas pernikahan dini yang dilakukan merupakan pernikahan dini palsu yang bertujuan sebagai kamuflase kehamilan yang terjadi. Pernikahan di bawah tangan mendorong para pelaku untuk membentuk identitas dirinya dibandingkan identitas sosialnya sebagai bagian dari masyarakat. Pernikahan dini yang ada malah menjadikan para pelaku menikah dini merasa menjadi lebih sadar akan keberadaan dirinya sendiri yang meliputi harga diri dan cita-citanya di masa depan. Hubungan yang lemah ditunjukan diantara motif menikah dini dengan pembentukan identitas sosial, pasca menikah dini para pelaku menunjukkan sikap menjauh terhadap identitas sosialnya sebagai bagian dari masyarakat Desa Anjatan Utara. Hal tersebut disebabkan oleh rasa malunya menjadi bagian dari masyarakat dengan tingkat pernikahan dini yang tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan tujuan penelitian ini, maka dapat dirusmuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pernikahan dini yang terjadi dipengaruhi oleh tiga motif remaja, yakni motif keamanan, sosial dan harga diri. Motif keamanan berkaitan dengan dorongan remaja putri untuk melindungi diri dari pergaulan bebas di kalangan remaja desa. Motif sosial berkaitan dengan dorongan remaja putri untuk lebih diperhatikan oleh pasangan maupun orangtua pasangan, sedangkan motif harga diri berkaitan dengan dorongan remaja putri untuk menutupi rasa malu atas kehamilan yang terjadi pada dirinya agar tidak menjadi aib keluarga. 2. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh nyata terhadap motif remaja dalam menikah dini ialah faktor status ekonomi keluarga, sedangkan tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, umur menstruasi pertama, dan keyakinan terhadap norma tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap motif remaja dalam menikah dini.. 3. Pembentukan identitas yang kuat terjadi pada pembentukan identitas diri remaja, sedangkan pada pembentukan identitas sosial menunjukkan tingkat yang lemah pada remaja putri yang melakukan pernikahan dini.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantaranya sebagai berikut: 1. Motif menikah dini yang dipengaruhi kuat oleh pemenuhan kebutuhan akan keamanan, sosial dan harga diri pada dasarnya berkaitan dengan kehamilan pranikah yang terjadi pada remaja putri, sehingga perlu adanya ketegasan dari orang tua maupun lingkungan dalam mengontrol pergaulan bebas remaja. 2. Pemerintah perlu melakukan peningkatan pendidikan di daerah perdesaan sehingga terjadi perbaikan pola pikir remaja putri maupun orangtua juga peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkaitan dengan peningkatan status ekonomi keluarga. 3. Pembentukan identitas diri yang kuat namun tidak diimbangi dengan pembentukan identitas sosial dikhawatirkan akan memunculkan individu remaja yang hanya berfokus pada kehidupan diri sendiri dan kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Oleh karenanya, perlu dilakukan sosialisasi maupun pendidikan berkarakter sejak masa kanak-kanak sehingga akan meminimalisasi kebingungan identitas pada masa remaja ini. 4. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dan kekurangan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang berfokus pada hubungan pernikahan dini dengan modernisasi yang terjadi pada remaja perdesaan.
52
53
DAFTAR PUSTAKA [BKKBN]. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Kajian pernikahan dini pada beberapa provinsi di Indonesia: Dampak Overpopulation, akar masalah dan peran kelembagaan di daerah. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 29 Desember 2013]. Format/Ukuran: PDF/2530 Kb. Dapat diunduh dari: http://www.bkkbn.go.id/hasil%20pernikahan%20usia%20dini%20BKKBN % Achmad Z. 2011. Dampak sosial pernikahan dini (studi kasus di Desa Gunung Sindur – Bogor). Skripsi. [Dokumen]. [Internet]. [Diunduh 1 Oktober 2013]. Format/Ukuran: PDF/2006 Kb. Dapat diunduh dari: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/21872/1/ZULKIFLI %20AHMAD-FDK.pdf
Baron RA, Bryne D. 2003. Psikologi sosial Edisi kesepuluh. (Alih bahasa dari bahasa inggris oleh Djuwita R, Parman MM, Yasmina D, Lunanta LP). Kristiaji WC dan Meyda R, Editor. Jakarta [ID]: Erlangga.. [Judul asli: Social Psycology] Bayisenge J. 2010. Early marriage as a barrier to girl’s education: a developmental challenge in Africa. Ed 2010. Catholic Institute for Development, Justice& Peace (CIDJAP) Press. [Dokumen]. [Internet].[diunduh 1 oktober 2013]. Format/Ukuran: PDF/272 Kb. Dapat diunduh dari: http://www.ifuw.org/fuwa/docs/Early-marriage.pdf Castells M. 2010. The power of identity. Edisi 2. Vol. 2. West Sussex (UK). Blackwell publishing Ltd. Dariyo A. 2004. Psikologi perkembangan remaja. Bogor [ID]. Ghalia Indonesia Deaux K. 2001. Social identity, encyclopedia of women and gender. Vol.1. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 1 Desember 2013]. Format/ukuran: PDF/194 Kb. Dapat diunduh dari: http://www.utexas.edu/courses/stross/ant393b_files/Articles/identity.pdf Fadlyana E, Larasaty S. 2009. Pernikahan usia dini dan permasalahannya. Sari Pediatri. Vol. 11 (No.2). Hal: 136-141. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 29 Desember 2013]. Format/Ukuran: PDF/138 Kb. Dapat diunduh dari: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-2-11.pdf Hermawan H. 2010 Pengaruh pernikahan dini terhadap perceraian dini (studi kasus di pengadilan agama Klaten tahun 2008-2010). [Skripsi]. 60 hal. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh tanggal 30 september 2013]. Format/Ukuran: PDF/881 Kb. Dapat diunduh dari: http://Digilib.UinSuka.Ac.Id/5643/
54
Jannah F. 2012. Pernikahan dini dan implikasinya terhadap kehidupan keluarga pada masyarakat madura (perspektif hukum dan gender). Egalita. Vol.7 (No.1). [Dokument]. [Internet]. [diunduh 1 oktober 2013]. Format/Ukuran: PDF/456 Kb. Dapat diunduh dari: http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/egalita/article/view/2113/pdf [Kemenag]. Kementrian agama. [tanpa tahun]. Undang-undang perkawinan tahun 1974 No.1. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 20 Desember 2013]. Fomat/Ukuran : PDF/117 Kb. Dapat diunduh dari : http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf Landung J, Thaha R, Abdullah AZ. 2009. Studi kasus kebiasaan pernikahan usia dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja. Jurnal MKMI. Vol.5 (No.4). Hal: 89-94. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 30 September 2013]. Format/Ukuran: PDF/6610 Kb. Dapat diunduh dari: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2971/MKMI%20v ol%205%20pernikahan%20usia%20dini.pdf?sequence=2 Notoadmodjo. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta [ID]. PT. Rineka Cipta. NGO Bic. 2002. “Contesting "Culture": The Perspectives of Hmong American Female Students on Early Marriage. Anlhrolvelogy & Ecathcaion Quarterly. Vol. 33 (No.2). Hal: 163-188. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 5 November 2013]. Format/Ukuran: PDF/448 Kb. Dapat diunduh dari: http://www.stanford.edu/group/hsu/documents/Hmong%20Early%20Marria ge.pdf Purba RM. 2012. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja yang Mengalami Kekerasan Fisik pada Masa Kanak-Kanak. [Skripsi]. 121 hal. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 31 maret 2014]. Format/ukuran: PDF/227 Kb. Dapat diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30842. Rusiani S. 2013. Motif menikah dini dan implikasinya dalam kehidupan keagamaan masyarakat desa Girikarto Kecamatan Tan Panggang Kabupaten Gunung Kidul. 59 hal [Skripsi]. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 30 september 2013]. Format/ukuran: PDF/881 Kb. Dapat diunduh dari: http://digilib.uin-suka.ac.id/7768/ Riswar R. 2013. Hubungan keaslian kampung naga dengan pembentukan identitas masyarakat adat. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 98 hal. Santoso S. 2010. Teori-teori psikologi sosial. Bandung [ID]. PT. Refika Aditama.
55 Santrock JW. 1998. Perkembangan masa hidup Ed 13. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Widyashinta B). Sallama NI. Editor. Jakarta [ID]. Erlangga. [Judul asli: Life-Span Deveopment] Sarwono J. 2006. Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Yogyakarta (ID). Graha Ilmu Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode penelitian survai. Yogyakarta (ID). LP3ES. Soejoeti SZ. 2001. Perilaku seks di kalangan remaja dan permasalahannya. Media Litbang Kesehatan. Vol 11. (No.1). Hal: 30-35. Sprinthall NA, Collins AW. 2002. Adolescent psychology, a development View. USA: Mc Graw – Hill, Inc Suhadi. 2012. Pernikahan dini, perceraian, dan pernikahan ulang: sebuah telaah dalam perspektif sosiologi. Jurnal Komunitas. Vol. 4 (No.2). [Dokument]. [Internet]. [diunduh 30 September 2013]. Format/Ukuran: PDF/304Kb. Dapat diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2412/2465 UNICEF. 2001. Early Marriage Child Spouses. Innocenti Digest. No. 7 Hal: 1-30. [Dokumen]. [Internet]. [diunduh 5 November 2013]. Format/Ukuran: PDF/469 Kb. Dapat diunduh dari: http://www.unicefirc.org/publications/pdf/digest7e.pdf Walgito B. 1999. Psikologi sosial (Suatu pengantar). Yogyakarta (ID). CV Andi Offset. Widhaningrat, Sisdjiatmo K, Wiyono HN. 2005. Karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi perempuan Kelompok Usia early childbearing. Warta Demografi. Vol. 36.(No.1). 17-29 hal. Zai FA. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pernikahan dini pada remaja di Indonesia (analisis data sekunder Riskesdas tahun 2010). [Skripsi]. Depok [ID]: Universitas Indonesia. 182 hal. .
56
57
LAMPIRAN
58
59
Lampiran 1 Lokasi penelitian
Gambar. 2. Peta Desa Anjatan Utara
60 Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
Gambar 3 Salah satu responden yang terpaksa putus sekolah dan memutuskan untuk menikah diusia dini
Gambar 4 Salah satu responden yang terpaksa menjanda diusianya yang masih muda
Gambar 5 Kondisi gang dan pemukiman masyarakat Desa Anjatan Utara
Gambar 6 WC umum yang digunakan masyarakat Desa Anjatan Utara
61
Gambar 7 Bank keliling sebagai salah satu lembaga ekonomi yang dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Gambar 8 Sungai menjadi sumber mata air bagi masyarakat.
Gambar 9 Salah satu responden yang sudah menjalankan peran sebagai ibu diusianya yang masih muda
Gambar 10 Usaha pembuatan batu bata dipinggiran sunggai sebagai salah satu usaha yang dijalankan oleh masyarakat Desa Anjatan Utara
62 Lampiran 3 Daftar nama responden No
KODE NAMA
Usia pelaku (tahun)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
DWR WTN ENT YNT TLT LNN RNY YED YSS RHU FBY SMT IYK RWN NVU YYT NLR SKF SIH GNG RTN IHI TAA USR MLB RKI LDY RMN TNT NPR
18 21 20 18 20 21 20 21 18 20 17 21 17 18 19 19 18 21 19 17 21 21 14 16 17 18 21 17 21 17
Usia pernikahan pertama (tahun) 16 15 17 16 15 17 17 17 17 17 16 17 15 16 17 17 16 17 17 16 17 16 14 15 16 17 17 16 17 15
63
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Wulandari yang dilahirkan di Cirebon pada tanggal 10 Februari 1992. Penulis adalah anak kedua dari pasangan Bapak Jana Kristiana dan Ibu Lina Rodiah. Penulis menempuh pendidikan formal sejak di TK Aisyiyah Sindang Laut pada tahun 1996. Pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri IV Cipeujeuh Wetan, Lemahabang, Kabupaten Cirebon sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Karang Sembung selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 2 Cirebon sampai tahun 2010. Pada bulan Februari 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) Aktivitas penulis selama di IPB tidak hanya di perkuliahan, tetapi juga di organisasi. Penulis adalah anggota dari Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC) dari tahun 2010 sampai 2011. Pada tahun yang sama penulis aktif sebagai wartawan magang Koran Kampus. Pada Tahun 2012, penulis menjabat sebagai anggota departemen pengembangan masyarakat dari divisi sosial dan lingkungan BEM FEMA IPB. Semenjak tingkat pertama, penulis aktif ikut serta dalam berbagai pertandingan bola voli yang diselenggarakan di dalam kampus. Semenjak 2011-2013, penulis aktif sebagai anggota tim bola voli putri Fakultas Ekologi Manusia. Selain itu, penulis aktif sebagai volunteer di berbagai kegiatan kepanitiaan baik di dalam maupun di luar kampus.