ANALISIS PENGARUH SOSIAL EKONOMI TERHADAP PENGELUARAN KONSUMSI KELUARGA MISKIN (Studi pada Masyarakat Pesisir di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo)
JURNAL ILMIAH Disusun oleh :
Fathia Rizky Ananda 115020100111010
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015
ANALISIS PENGARUH SOSIAL EKONOMI TERHADAP PENGELUARAN KONSUMSI KELUARGA MISKIN (STUDI PADA MASYARAKAT PESISIR DI DESA GISIKCEMANDI DAN DESA TAMBAKCEMANDI KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO) Fathia Rizky Ananda Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dapat digambarkan melalui pendapatan nyata perkapita, sedangkan mutu kehidupan tercermin dari pengeluaran konsumsi dengan tujuan mempertahankan derajat hidup manusia secara wajar. Pendapatan perkapita merupakan rata-rata pendapatan untuk setiap individu. Individu-individu akan mempergunakan pendapatannya untuk menkonsumsi berbagai barang dan jasa. Pada umumnya, kesejahteraan akan dicapai apabila seseorang dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga dengan pendapatan yang dihasilkan. Pengeluaran konsumsi merupakan salah satu instrumen dalam menetapkan garis kemiskinan. Menurut BPS, Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Kemudian terjadinya konsumsi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya faktor ekonomi dan faktor sosial. Dari segi ekonomi, konsumsi secara langsung dapat dipengaruhi oleh pendapatan. Semakin tinggi pendapat kepala keluarga maka akan meningkatkan konsumsi keluarganya. Sedangkan dari segi sosial, konsumsi dapat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan jam kerja. Apabila suatu keluarga memiliki banyak anggota keluarga yang tertanggung maka akan semakin tinggi pula kebutuhan yang harus terpenuhi. Kemudian apabila memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka seseorang akan lebih memilih meningkatkan konsumsi non pangan daripada konsumsi pangan yang merupakan cerminan kesejahteraan. Sedangkan dari segi jam kerja, apabila seseorang memiliki jam kerja tinggi maka semakin besar beban kerja yang diterima yang secara langsung akan mempengaruhi konsumsi pangan maupun non pangan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi terhadap pengeluaran konsumsi keluarga miskin. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah kepala keluarga miskin di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo, dimana secara wiayah dan karakteristik penduduknya masuk dalam indikator kemiskinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan metode analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan jam kerja mempengaruhi pengeluaran konsumsi keluarga miskin. Kata kunci: Pengeluaran Konsumsi, Pendapatan, Jumlah Anggota Keluarga, Pendidikan, Jam Kerja.
A. PENDAHULUAN Tujuan penting dan mendasar yang akan dicapai untuk mengurangi ketidakmerataan pembangunan antar daerah adalah pengurangan kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat antar daerah. Dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dapat digambarkan melalui pendapatan nyata perkapita, sedangkan mutu kehidupan tercermin dari tingkat dasar konsumsi yang meliputi unsur pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan dengan tujuan mempertahankan derajat hidup manusia secara wajar. Pendapatan perkapita merupakan rata-rata pendapatan untuk setiap individu atau untuk setiap anggota keluarga yang diperoleh dengan membandingkan rata-rata pendapatan rumah tangga perbulan dengan jumlah anggota keluarga pada suatu wilayah tertentu (Aufa, 2013). Semakin tinggi pendapatan yang diterima, semakin tinggi daya beli penduduk, dan kemampuan yang bertambah ini meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk memperoleh kesejahteraan, individu-individu setiap rumah tangga akan mempergunakan pendapatannya untuk membeli berbagai barang dan jasa yang disebut dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Masalah kemiskinan merupakan persoalan pokok bangsa Indonesia yang selalu menjadi prioritas pemerintah dan menjadi agenda rutin dalam Rencana Pembangunan Nasional. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Angka kemiskinan yang cenderung menurun secara melambat selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa strategi penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah belum optimal. Hal ini tergambar dari belum meratanya pembangunan antar daerah di Indonesia. Meskipun demikian, permasalahan kemiskinan memang tidak dapat teratasi dengan mudah, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensi yang mencakup berbagai aspek kehidupan, tidak hanya mencakup sisi ekonomi, tetapi juga sisi sosial dan budaya. Perkembangan kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada pada gambar dibawah ini: Gambar 1: Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, 2004-2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan karena adanya inflasi sebesar 17,95 persen, kemudian hingga maret 2013 jumlah penduduk miskin menurun kembali. Selanjutnya pada periode Maret-September 2013 jumlah dan persentase penduduk miskin mengalami kenaikan kembali. Peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi karena meningkatnya harga beberapa komoditas bahan pokok di pasaran dan naiknya harga bahan bakar minyak. Dari sekian banyak jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebagian besar penduduk miskin berada di Pulau Jawa. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak. Salah satu daerah di Jawa Timur yang masih banyak terjadi kesenjangan dan kemiskinan adalah Kabupaten Sidoarjo. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo, perekonomian di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2013 mulai menunjukan adanya pemulihan yang ditandai dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dibanding tahun sebelumnya. Untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah, maka digunakan PDRB perkapita atau pendapatan regional perkapita. PDRB Sidoarjo yang besarnya 20 kali PDRB Mojokerto tidak bisa menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Sidoarjo 20 kali lebih baik. Apabila dilihat dari sisi PDRB perkapita di kedua wilayah tersebut, dimana PDRB perkapita Sidoarjo ternyata hanya 1,2 kali saja dibanding PDRB perkapita Mojokerto. Hal ini terjadi karena PDRB Sidoarjo harus dinikmati oleh jumlah penduduk yang lebih banyak. Jumlah penduduk miskin di Sidoarjo terus mengalami naik turun dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 2010 sampai 2013 jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sidoarjo terus mengalami penurunan, tetapi jumlah tersebut mengalami kenaikan kembali pada tahun 2013 yaitu dari 130.000 jiwa menjadi 137.600 jiwa. Ukuran untuk mengukur kesenjangan pengeluaran disebut sebagai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1). Berdasarkan tabel 1, nilai P1 mengalami peningkatan pada tahun 2012, dari 0,80 pada tahun 2013 menjadi 0,93. Peningkatan nilai P1 menunjukkan rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin jauh. Semakin besar nilai dari P1 berdampak pada semakin sulit penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan atau terjebak dalam kemiskinan yang terlalu dalam. Jika ditinjau dari daerah tempat tinggal, nilai P1 perdesaan lebih tinggi dari perkotaan. Ini menunjukkan bahwa penduduk
perdesaan lebih banyak terjebak dalam kondisi miskin “terlalu dalam” dibandingkan daerah perkotaan. Ukuran lainnya untuk melihat kondisi kemiskinan adalah Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). P2 memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Berdasarkan data selama 2010-2013, nilai P2 mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2012, nilai P2 meningkat cukup signifikan dari tahun 2013, yaitu dari 0,14 menjadi 0,22. Semakin besar nilai P2 mengindikasikan bahwa ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin tinggi. Kemudian, ditinjau dari daerah tempat tinggal, nilai P2 perdesaan lebih tinggi daripada daerah perkotaan. Ini menunjukkan bahwa penduduk miskin di perdesaan memiliki ketimpangan pengeluaran lebih besar daripada penduduk miskin di perkotaan. Adapun jumlah penduduk miskin di Sidoarjo dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1: Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010-2013 Uraian 2010 2011 2012 2013 Jumlah Penduduk (000)
1949,6
1983,3
2017,0
2.049,0
Jumlah Penduduk Miskin (000)
145,46
136,30
130,00
137,60
% Penduduk Miskin Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) Kedalaman Kemiskinan (p1)
7,45 248.856
6,97 277.776 0,81
6,42 301,675 0,80
6,69 329,946 0,93
0,16
0,14
0,22
Keparahan Kemiskinan (p2) Sumber: BPS Kabupaten Sidoarjo, 2012
Salah satu wilayah yang dapat dikatakan masih memiliki ketimpangan dari segi kualitas hidup tetapi secara wilayah berpotensi cukup baik di Kabupaten Sidoarjo adalah Kecamatan Sedati. Pada wilayah tersebut terdapat potensi besar dibidang perikanan. Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi merupakan desa yang kaya sumber daya alam di laut. Hasil yang didapatkan oleh penduduk tersebut bergantung pada musim saja. Musim nelayan di desa tersebut juga tidak pernah menentu akibat itu juga sering terjadinya musim paceklik yang datang tidak disangka-sangka. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan yaitu jika musim ikan atau ada potensi ikan relatif baik di wilayah perairan pesisir, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan ketika tidak musim ikan atau laep, nelayan akan menghadapi kesulitankesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berbagai kesulitan hidup yang memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari merupakan tekanan ekonomi yang harus dihadapi oleh warga menyebabkan semakin rendahnya kesejahteraan bagi masyarakat sana. Masyarakat Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi merupakan masyarakat yang masih miskin, kurang kesejahteraan dan dipandang masih rendah karena disebabkan banyaknya angka kemiskinan yang mempererat kehidupan kerja mereka sebagai nelayan dan petani. Jika ditinjau dari daerah tempat tinggal, penduduk miskin masih didominasi oleh penduduk yang tinggal di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di perdesaan hampir dua kali dari penduduk miskin di perkotaan. Masih banyaknya jumlah penduduk miskin perdesaan disebabkan oleh kurangnya infrastruktur yang mendukung, serta masalah keterbatasan akses penduduk terhadap sarana dan prasarana transportasi, kesehatan, dan pendidikan. Penyebab lebih spesifik dari masalah kemiskinan ini dapat terlihat dari kondisi sosial demografi, pendidikan dan ketenagakerjaan dari kepala rumahtangga. Sebagian kehidupan masyarakat disana juga banyak berprofesi nelayan, buruh tambak atau yang bekerja di sektor informal. Pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang taraf hidupnya sangat relatif rendah terutama mengacu kepada tempat tinggal mereka merupakan tempat untuk bekerja dan tempat hidupan di sana, untuk besanding dengan laut dan kekayaan alam yang masih melimpah. Penduduk miskin tersebut pada umumnya memiliki pendapatan yang relatif rendah, sehingga terjadi ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya baik kebutuhan pangan maupun non pangan. Pengeluaran konsumsi keluarga tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan 4 variabel untuk menganalisis seberapa besar pengaruhnya terhadap pengeluaran konsumsi, menurut Gilarso (2004), antara lain: besarnya pendapatan, jumlah anggota keluarga, jam kerja, dan taraf pendidikan.
Pendapatan keluarga yang tinggi cenderung akan mengalokasikan sedikit pendapatannya untuk belanja kebutuhan pangan, sedangkan pendapatan keluarga yang rendah akan lebih besar mengalokasikan untuk kebutuhan pokoknya. Apabila dilihat dari tingkat jumlah anggota keluarga, semakin sedikit anggota keluarga berarti semakin sedikit pula kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga, begitu pula sebaliknya. Sehingga dalam keluarga yang jumlah anggotanya banyak, akan diikuti oleh banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika ditinjau dari segi tingkat pendidikan keluarga, maka pendidikan yang tinggi dan berkualitas akan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Berdasarkan asumsi dasar teori human capital, seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang. Seseorang yang berpendidikan tinggi maka perekonomiannya akan semakin membaik dan hal ini akan diikuti dengan alokasi pengeluaran konsumsi non pangan yang lebih besar, karena untuk mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat. Kemudian dari jumlah jam kerja, semakin tinggi jam kerja yang dilakukan oleh kepala keluarga maka dapat mempengaruhi besar kecilnya konsumsi pangan maupun non pangan. Hal ini terjadi karena pada saat jam kerja bertambah maka beban kerja seseorang akan meningkat, dengan demikian akan dibutuhkan lebih banyak asupan energi untuk menyelesaikan suatu pekjerjaan. Disisi lain jam kerja yang tinggi akan membutuhkan modal kerja yang semakin besar. Hal tersebut di atas yang menjadi dasar ketertarikan penulis mengadakan penelitian dengan objek keluarga atau rumah tangga dalam hal ini keluarga miskin yang dalam kenyataanya mempunyai pendapatan yang rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya. Peneliti juga ingin menganalisis seberapa besar pengaruh pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan jam kerja terhadap pengeluaran konsumsi. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Pengeluaran Konsumsi Keluarga Miskin (Studi pada Masyarakat Pesisir di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo)
B. TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Kemiskinan merupakan gambaran kondisi ketiadaan kepemilikan dan rendahnya pendapatan, atau secara lebih rinci menggambarkan suatu kondisi tidak dapat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, papan, dan sandang. Beberapa definisi menggambarkan kondisi ketiadaan tersebut. Salah satunya adalah definsi kemiskinan yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Kemiskinan absolut Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. 2. Kemiskinan relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya. Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. BPS menggunakan 14 kriteria kemiskinan yang mana jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu keluarga dikategorikan miskin. Kriteria tersebut adalah: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14.
Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Konsumsi Mankiw (2006), mendefiniskan konsumsi sebagai pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga. Barang mencakup pembelanjaan rumah tangga pada barang yang tahan lama, kendaraan dan perlengkapan dan barang tidak tahan lama seperti makanan dan pakaian. Jasa mencakup barang yang tidak berwujud konkrit, termasuk pendidikan. Beberapa ahli ekonomi pun mengidentifikasi konsumsi secara lebih mendalam, diantaranya sebagai berikut: 1. Teori Konsumsi dari John Maynard Keynes Besar kecilnya konsumsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan unsur tabungan tidak terlalu berdampak terhadap perubahan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. 2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Milton Friedman) Tidak ada hubungan antara pendapatan/konsumsi sementara dengan pendapatan/konsumsi permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara. 3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Daur/Siklus Hidup (Franco Modigliani) Konsumsi seseorang sangat dipengaruhi oleh kekayaan atau besarnya pendapatan yang diperoleh. Kecenderungan mengkonsumsi nilainya berdasarkan pada umur, selera dan tingkat bunga yang dimiliki oleh konsumen itu sendiri. 4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (James Dusenberry) Pengeluaran konsumsi masyarakat ditentukan oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapai. Jika pendapatan bertambah maka konsumsi akan bertambah, dengan proporsi tertentu. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah nilai belanja yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhanya dalam satu tahun tertentu. Pendapatan yang diterima rumah tangga akan digunakan untuk membeli makanan, membiayai jasa angkutan, membayar pendidikan anak, membayar sewa rumah dan membeli kendaraan. Barang-barang tersebut dibeli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhanya, dan pembelanjaan tersebut dinamakan konsumsi. Tidak semua transaksi yang dilakukan oleh rumah tangga digolongkan sebagai konsumsi rumah tangga, misalkan membeli rumah digolongkan investasi. Seterusnya sebagai pengeluaran mereka, seperti membayar asuransi dan mengirim uang kepada orang tua atau anak yang sedang bersekolah tidak digolongkan sebagai konsumsi karena ia tidak merupakan pembelanjaan terhadap barang atau jasa yang dihasilkan dalam perekonomian (Sukirno 2004). Konsumsi Pangan dan Konsumsi Non Pangan Berikut ini disajikan daftar alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat berdasarkan publikasi resmi BPS:
Tabel 2: Alokasi Pengeluaran Konsumsi A. PANGAN 1.Padi-padian 2.Umbi-umbian 3.Ikan 4.Daging 5.Telur dan susu 6.Sayur-sayuran 7.Buah-buahan 8.Minyak dan Lemak 9.Bahan Minuman 10.Bumbu-bumbuan 11.Bahan Pangan Lain 12.Bahan Minuman 13.Makanan Jadi 14.Minuman Beralkohol 15.Tembakau dan Sirih
B. NON PANGAN 1. Perumahan dan Bahan Bakar 2. Aneka Barang dan Jasa Barang Perawatan badan Bacaan Komunikasi Kendaraan bermotor Transportasi Pembantu Rumah Tangga dan Sopir 3. Biaya Pendidikan 4. Kesehatan 5. Pakaian,Alas Kaki Tutup Kepala 6. Barang-barang Tahan Lama 7. Pajak Dan Premi Asuransi 8. Keperluan Pesta dan upacara
Sumber: Badan Pusat Statistik
Pendapatan Pendapatan atau income adalah uang yang diterima oleh seseorang dan perusahaan dalam bentuk gaji, upah, sewa bunga, dan laba termasuk juga beragam tunjangan, seperti kesehatan dan pensiun. (Reksoprayitno, 1985) Menurut Sunuharyo (1982), dilihat dari pemanfaatan tenaga kerja, pendapatan yang berasal dari balas jasa berupa upah atau gaji disebut pendapatan tenaga kerja (Labour Income), sedangkan pendapatan dari selain tenaga kerja disebut dengan pendapatan bukan tenaga kerja (Non Labour Income). Untuk membedakan antara pendapatan tenaga kerja dan pendapatan bukan tenaga kerja dalam perhitungan pendapatan migran dipergunakan beberapa pendekatan tergantung pada lapangan pekerjaannya. Untuk yang bekerja dan menerima balas jasa berupa upah atau gaji dipergunakan pendekatan pendapatan (Income Approach), bagi yang bekerja sebagai pedagang, pendapatannya dihitung dengan melihat keuntungan yang diperolehnya. Untuk yang bekerja sebagai petani, pendapatannya dihitung dengan pendekatan produksi (Production Approach). Apabila pendapatan lebih ditekankan pengertiannya pada pendapatan rumah tangga, maka pendapatan merupakan jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, informal dan pendapatan subsistem. Pendapatan formal adalah segala penghasilan baik berupa uang atau barang yang diterima biasanya sebagai balas jasa. Pendapatan informal berupa penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan tambahan diluar pekerjaan pokoknya. Sedangkan pendapatan subsistem adalah pendapatan yang diperoleh dari sektor produksi yang dinilai dengan uang dan terjadi bila produksi dengan konsumsi terletak disatu tangan atau masyarakat kecil. Pengeluaran konsumsi dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pendapatan keluarga. Menurut Teori Engel, semakin membaiknya pendapatan keluarga, biasanya akan diiringi dengan alokasi pengeluaran untuk keperluan pangan yang cenderung menurun dan sebaliknya pengeluaran untuk keperluan non pangan cenderung akan meningkat. Dengan demikian keluarga tersebut dapat dikatakan sejahtera. Jumlah Anggota Keluarga Menurut BkkbN, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri atau suami isteri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2009). Jumlah jiwa dalam keluarga adalah jumlah semua anggota keluarga yang terdiri dari kepala keluarga sendiri, isteri/suaminya dan atau dengan anak (anak-anak) nya serta orang lain atau anak angkat yang ikut dalam keluarga tersebut yang belum berkeluarga, baik yang tinggal serumah maupun yang tidak tinggal serumah. Jumlah seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungan dalam rumah tangga dapat memberikan indikasi beban rumah tangga. Semakin besar jumlah anggota keluarga berarti semakin banyak anggota keluarga yang pada akhirnya akan semakin berat beban rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya.
Menurut Sediaoetama (1985) dalam Sijrat (2004), kebutuhan sehari-hari dalam suatu rumah tangga tidak merata antar anggota rumah tangga, karena kebutuhan setiap anggota rumah tangga tergantung pada struktur umur mereka. Artinya, setiap anggota rumahtangga memerlukan porsi makanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang ditentukan berdasarkan umur dan keadaan fisik masing-masing. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian juga dapat meningkatkan produktivitas kerja. Dalam kaitannya dengan konsumsi masyarakat, menurut Survey Biaya Hidup (SBH) yang dilakukan BPS bahwa semakin tinggi rata-rata pendidikan kepala rumahtangga semakin kecil persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan. Cara lain yang melekat pada rumah tangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara status sosial ekonomi dalam hal ini pendidikan terhadap konsumsi. Menurut Mahmud dalam Wahyuni (2011), status sosial ekonomi antara lain meliputi tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, jenis pekerjaan, jabatan, orang tua, fasilitas khusus dan barang -barang berharga yang ada di rumah. Pekerjaan adalah akibat dari pendidikan dan merupakan salah satu faktor penentu. Pendidikan seseorang sangat mempengaruhi perilaku konsumsi. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula kebutuhan yang harus terpenuhi. Dengan kondisi status sosial ekonomi yang berbeda-beda akan mengakibatkan perbedaan gaya hidup, termasuk mengkonsumsi barang dan jasa. Bagi seseorang yang mempunyai status social ekonomui tinggi, maka ada kecenderungan bergaya hidup mewah dan memungkinkan dapat memenuhi kebutuhan yang ada. Dalam perilaku konsumsinya juga berbeda dengan seseorang yang memiliki status sosial ekonomi menengah ke bawah atau kurang mampu, karena lebih berpikir dalam melakukan konsumsi dan bergaya hidup. Jam Kerja Menurut Layard dan Walters (1978) jam kerja sebagai jumlah barang yang dapat dibeli dengan uang yang diperoleh dari kerja. Dengan demikian, waktu yang tersedia akan terdiri dari waktu kerja dan waktu luang. Jumlah jam kerja dalam sehari adalah 16 jam dikurangi dengan waktu luang. Keputusan individu untuk menambah atau mengurangi waktu luang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat upah, pendapatan tidak didapat dari aktivitas bekerja, dan faktor lainnya seperti selera atau karakteristik (Ehrenberg dan Smith, 2000). Pengaruh kenaikan upah terhadap jam kerja dibedakan atas efek pendapatan dan efek substitusi. Peningkatan tingkat upah yang menyebabkan peningkat dalam pendapatan disebut income effect. Dengan anggapan bahwa upah konstan, maka besarnya efek pendapatan ini adalah sebesar perbandingan antara perubahan waktu kerja yang terjadi dengan perubahan pendapatan. Kemudian nilai waktu kerja yang lebih tinggi sebagai akibat meningkatnya tingkat upah mendorong individu mensubstitusikan waktu senggangnya untuk lebih banyak bekerja. Penambahan waktu bekerja sebagai akibat kenaikan tingkat upah disebut dengan substitution effect, dengan anggapan pendapatan dan faktor lain konstan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2013) menunjukkan bahwa, ada hubungan signifikan antara beban kerja (jam kerja dan jenis kegiatan) dengan status gizi pekerja, dalam hal ini dapat diartikan sebagai konsumsi pangan. Pekerja yang menggunakan waktu bekerja lebih dari 8 jam sehari cenderung memiliki status gizi kurang dan sebaliknya pekerja yang menggunakan waktu kerja kurang dari 8 jam sehari cenderung memiliki status gizi baik. Pekerja yang menggunakan waktu bekerja lebih dari 8 jam sehari cenderung memiliki status gizi kurang dan sebaliknya pekerja yang menggunakan waktu kerj kurang dari 8 jam sehari cenderung memiliki status gizi baik. Secara teoritis apabila waktu kerja berlebih atau memperpanjang waktu kerja akan menambah beban kerja dan beban kerja berat harus diimbangi dengan asupan kalori sesuai pekerjaannya, pekerjaan memerlukan tenaga yang sumbernya dari makanan yang mana kebutuhan akan gizi tenaga kerja harus sesuai dengan pekerjaannya. Munandar (2008) menyatakan bahwa beban kerja berlebih, mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap pekerja, karena itu kebutuhan akan zat gizi sesorang tenaga kerja, harus sesuai dengan berat ringannya beban kerja yang diterimanya, seperti beban kerja berlebih, akan membutuhkan sumber energi yang lebih banyak.
Tenaga kerja membutuhkan kalori untuk melaksanakan pekerjaan, keadaan gizi sangat berpengaruh dengan pekerjaannya, semakin berat pekerjaan dan semakin lama waktu bekerja yang digunakan, maka semakin banyak jumlah energi yang digunakan.
C. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif untuk mengetahui pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo. Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Sidoarjo saat ini meliputi 18 kecamatan dan 353 kelurahan atau desa. Lokasi penelitian yang diambil adalah Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi Kecamatan Sedati. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai dengan Juli 2015. Definisi Operasional 1. Miskin adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lain-lain. 2. Keluarga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. 3. Konsumsi pangan adalah jumlah pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikeluarkan setiap bulan untuk kebutuhan bahan makanan, yaitu makanan pokok, protein hewani, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan, dan kelompok kebutuhan lain-lain (teh, kopi, gula, minyak goreng, bumbu-bumbu dapur dan lain-lain) yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. 4. Konsumsi Non Pangan adalah jumlah pengeluaran konsusmi rumah tangga yang dikeluarkan setiap bulan untuk kebutuhan di luar bahan makanan yaitu berupa sandang, papan, penddikan, kesehatan, transportasi, elektronika, hiburan, minyak tanah, gas, rekening (listrik, telepon, air) dan lain-lain yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. 5. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang ditanggung yang tinggal dalam satu rumah. Satuan ukuran yang digunakan adalah orang. 6. Pendidikan adalah lama pendidikan terakhir yang pernah diikuti oleh kepala keluarga yang bekerja. Satuan ukuran yang digunakan adalah tahun. 7. Jam Kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Satuan ukuran yang digunakan adalah jam per hari. 8. Pendapatan adalah sejumlah uang atau penghasilan yang diterima dari pekerjaan yang dilakukan oleh kepala keluarga miskin. Pendapatan diperhitungkan melalui jumlah pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan pokok yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi linear berganda dengan variabel-variabel yaitu: 1. Variabel dependen (Y) yaitu jumlah pengeluaran konsumsi keluarga miskin (Rupiah per bulan) 2. X1 adalah jumlah anggota keluarga (orang) 3. X2 adalah pendidikan (tahun) 4. X3 adalah jam kerja yang ditempuh kepala keluarga dalam sehari (jam per hari) 5. X4 adalah jumlah pendapatan dari pekerjaan kepala keluarga (Rupiah per bulan) Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari individu-individu yang menjadi subyek penelitian. Dalam penelitian ini populasi terdiri dari seluruh kepala keluarga miskin yang terdapat di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi. Dari suatu populasi ditarik lagi sebagian elemen yang akan dijadikan subyek penelitian yang disebut sampel. Teknik sampling yang digunakan adalah probability sampling yaitu teknik sampling dimana setiap anggota populasi memiliki peluang sama dipilih menjadi sampel. Metode probability sampling yang digunakan adalah Systematic Random Sampling. Pengambilan sampel
tersebut melibatkan aturan populasi dalam urutan sistematika tertentu. Proses pengambilan sampel, setiap urutan ke “K” dari titik awal yang dipilih secara random, yaitu: K = N (jumlah anggota populasi) (1) n (jumlah anggota sampel) Dalam menentukan jumlah sampel, menurut Suharsimi Arikunto (2006) jika subjeknya lebih dari 100, maka dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih dari populasi yang ada. Pada penelitian ini, populasi di Desa Gisikcemandi sebesar 268 KK dan Desa Tambakcemandi sebesar 367 KK, sehingga total populasi dari kedua desa tersebut adalah 635 KK. Sesuai dengan ketentuan jika subjeknya lebih dari 100 maka akan diambil 10% dari total populasi sebesar 635 KK dan didapatkan 64 KK yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan Systematic Random Sampling dimana pengambilan sampel tersebut melibatkan aturan populasi dalam urutan sistematika tertentu maka proses pengambilan sampel akan digunakan rumus sebagai berikut: K= 635 (2) 64 = 9,92 Berdasarkan hasil perhitungan diatas K = 9,92 dan akan dibulatkan menjadi 10 maka sampel akan diambil setiap urutan ke 10 sehingga memenuhi persyaratan Systematic Random Sampling. Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang digunakan Untuk menganalisa pengaruh dari variabel yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo adalah: 1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari penduduk miskin melalui wawancara langsung tersetruktur yang berpedoman pada kuisioner dan melakukan observasi terhadap objek yang diteliti. Data yang dibutuhkan meliputi jumlah pengeluaran konsumsi per bulan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, jam kerja dan pendapatan. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait berupa data maupun arsip. Dalam penelitian ini akan dilakukan pada kantor desa, kantor kecamatan dan dinas terkait jika diperlukan. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan metode: 1. Wawancara yang berpedoman pada daftar pertanyaan (kuesioner). 2. Dokumentasi yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis dan mencatat secara langsung data-data yang tersedia. 3. Penelitian Studi Pustaka melalui sumber-sumber seperti jurnal-jurnal, buku-buku ilmiah, dan penelitian-penelitian terdahulu. Metode Analisis Model analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square), yaitu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang terjadi antara variabel bebas dan variabel terikat. Model persamaan regresi linier berganda dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e (3) Di mana : Y = Pengeluaran Konsumsi Keluarga Miskin (Rupiah per bulan) βo = Penaksir/konstan β1, β2, β3, β4 = Koefisien regresi X1 = Jumlah Anggota Keluarga (orang) X2 = Pendidikan (tahun) X3 = Jam Kerja (jam per hari) X4 = Pendapatan (Rupiah per bulan) e = Residual
Uji Statistik Uji t Uji t-statistik digunakan untuk menguji pengaruh parsial dari variabel-variabel independen terhadap variabel dependennya atau pengujian ini dilakukan untuk menguji tingkat signifikansi setiap variabel bebas (independent) dalam mempengaruhi variabel tak bebas (dependent). Hipotesis dirumuskan sebagai berikut: 1. H0 : β = 0, Variabel bebas tidak mempengaruhi variabel tidak bebasnya. 2. H1 : β ≠ 0, Variabel bebas mempengaruhi variabel tidak bebasnya. (Gujarati, 2010) Kriteria Pengujian : 1. Jika: (t-tabel) ≤ (t-stat) ≤ (t-tabel), maka hipotesis nol tidak ditolak 2. Jika: t-stat < -(t-tabel) atau t-stat > t-tabel, maka hipotesis nol ditolak H0 tidak ditolak jika -t-tabel ≤ t-hitung ≤ t-tabel, artinya pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependennya adalah tidak signifikan. Tolak H0 jika t-hitung < -ttabel atau t hitung > t-tabel, artinya pengaruh independent terhadap variabel dependent-nya adalah signifikan. Uji F Uji F-statistik digunakan untuk mengukur goodness of fit dari persamaan regresi atau untuk mengetahui apakah semua variabel independen yang terdapat dalam persamaan secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Hipotesis dari uji ini adalah : 1. H0 : β0 = β1 = β2 = β3 = 0, semua variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya. 2. H1 : Minimal ada satu βi ≠ 0, atau setidaknya ada satu variabel bebas yang mempengaruhi variabel tidak bebasnya. (Gujarati, 2010) Kriteria Pengujian : 1. H0 tidak ditolak jika F-stat < F tabel 2. H0 ditolak jika F-stat > F-tabel Dengan demikian hasil uji F yang signifikan akan menunjukkan bahwa minimal satu dari variabel bebas memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebasnya. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi atau koefisien penentu R2 merupakan suatu bilangan yang dinyatakan dalam bentuk persen, yang menunjukkan besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya. Koefisien determinasi R2 digunakan untuk mengukur kebenaran hubungan dari model yang dipakai yaitu angka yang menunjukkan besarnya kemampuan varians atau penyebaran dari variabel independen yang menerangkan variabel dependen. Besarnya nilai R 2 adalah 0 ≤ R2 ≤1, di mana semakin mendekati 1 berarti model tersebut dapat dikatakan baik karena semakin dekat hubungan antar variabel independent dengan variabel dependent, demikian sebaliknya. Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Model regresi yang baik adalah yang mempunyai ditribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak dapat dilakukan dengan cara Jarque Bera Test. Pada Jarque Bera test mempunyai distribusi chi square dengan derajat bebas dua. Jika hasil Jarque Bera test lebih besar dari nilai chi square pada α=5% maka Ho ditolak yang berarti tidak berdistribusi normal. Sebaliknya jika hasil Jarque Bera test lebih kecil dari nilai chi square pada α=5% maka Ho diterima yang berarti data berdistribusi normal. Untuk mendeteksi apakah data berdistribusi normal atau tidak dengan membandingkan nilai Jarque Bera (JB) dengan X2 tabel, yaitu: Jika nilai JB > X2 tabel maka tidak berdistribusi normal Jika nilai JB < X2 tabel maka berdistribusi normal
Uji Multikolinearitas Menurut Ghozali (2006), uji multikolinearitas bertujuan menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independent. Pada model regresi yang baik antar variabel independen seharusnya tidak terjadi kolerasi. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikoliniearitas dalam model regresi diilakukan dengan melihat nilai tolerance dan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Sebagai dasar acuannya dapat disimpulkan: 1. Jika nilai tolerance > 10 persen dan nilai VIF < 10, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolineritas antar variabel bebas dalam model regresi. 2. Jika nilai tolerance < 10 persen dan nilai VIF > 10, maka dapat disimpulkan bahwa ada multikolinaeritas antar variabel bebas dalam model regresi. Uji Autokorelasi Autokorelasi digunakan untuk menguji suatu model apakah antara variabel pengganggu masing-masing variabel bebas saling mempengaruhi. Autokorelasi lebih mudah timbul pada data yang bersifat runtut waktu karena data masa sekarang dipengaruhi oleh data pada masa-masa sebelumnya. Meskipun demikian, tetap dimungkinkan autokorelasi dijumpai pada data yang bersifat cross section. Untuk mengetahui apakah pada model regresi mengandung autokorelasi dapat digunakan pendekatan D-W (Durbin Watson) dengan membandingkan dtabel dan dhitung. Sedangkan nilai dtabel diperoleh dari tabel Durbin Watson Statistic berupa nilai dL (dLower) dan dU (dUpper). Menurut Santoso (2001) kriteria autokorelasi ada 3, yaitu: 1. Nilai D-W di bawah -2 berarti diindikasikan ada autokorelasi positif. 2. Nilai D-W di antara -2 sampai 2 berarti diindikasikan tidak ada autokorelasi. 3. Nilai D-W di atas 2 berarti diindikasikan ada autokorelasi negatif. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi lain yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model bersifat BLUE maka var (µt) harus sama dengan α (konstan) dengan kata lain semua residual mempunyai varian yang sama. Kondisi seperti itu disebut homoskedastisitas. Sedangkan jika varian tidak konstan disebut dengan heteroskedastisitas. Model regresi yang baik harus terhindar dari heteroskedastisitas. Utuk mengetahui apakah suatu data bersifat heteroskedastisitas atau tidak perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan Breusch Pagan Godfrey dengan hipotesis: H0: Tidak ada Heteroskedastisitas H1: Ada Heteroskedastisitas Jika pada output breusch pagan godfrey nilai kritis (probabilitasnya) lebih besar dari α=5% maka H0 diterima yang artinya tidak ada heteroskedastisitas.
D. PEMBAHASAN Hasil Analisis Berganda Penelitian ini meliputi lima variabel yang terdiri atas satu variabel dependent yaitu Pengeluaran Konsumsi Keluarga Miskin di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi dan empat variabel independent yaitu jumlah anggota keluarga, pendidikan, jam kerja, dan pendapatan. Berdasarkan hasil pengolahan data melalui E-views di dapat hasil regresi sebagai berikut: Tabel 3: Hasil Analisis Regresi Linear Berganda X1 X2 X3 X4 Coefficient 84105.03 59387.61 66735.18 0.947164 Standard Error 16667.75 13125.35 17666.96 0.095943 t-statistics 5.045975 4.524649 3.777400 9.872201 Prob 0.0000 0.0000 0.0004 0.0000 Sumber : Data Primer diolah, 2015
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas, dapat dibuat persamaan regresi linier berganda dari variabel jumlah anggota keluarga, pendidikan, jam kerja, dan pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi keluarga miskin di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi. Y=-1021924+84105.03X1+59387.61X2+66735.18X3+0.947164X4 (4) Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
2.
3. 4.
Jika jumlah anggota keluarga (X1) semakin banyak atau mengalami pertambahan sebesar 1 orang maka pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 84.105,03 rupiah Jika tingkat pendidikan (X2) mengalami peningkatan selama 1 tahun maka pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 59.38,61 rupiah Jika jam kerja (X3) mengalami peningkatan selama 1 jam maka pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 66.735,18 rupiah Jika pendapatan (X4) mengalami kenaikan sebesar 1 rupiah maka pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0,947164 rupiah
Hasil Pengujian Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur besarnya pengaruh dari variabel independent terhadap variabel dependent. Makin besar koefisien model regresi, maka model yang diperoleh akan semakin baik. Berikut ini adalah hasil dari pengujian koefisien determinasi (R2) sebagai berikut : Tabel 4: Hasil Pengujian Koefisien Determinasi R-square (R2) 0,880 Adjusted R Square 0,872 Sumber : Data Primer diolah, 2015
Berdasarakan Tabel 4 dapat diketahui nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 88% yang artinya bahwa pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin di Desa Tambakcemandi dan Desa Gisikcemandi dapat dijelaskan oleh variabel jumlah anggota keluarga, pendidikan, jam kerja dan pendapatan sedangkan sisanya sekitar 12% dijelaskan oleh variabel-bariabel lain yang tidak termasuk dalam model penelitian ini. Hasil Pengujian Uji F Uji f digunakan untuk mengetahui pegaruh variable independent secara simultan terhadap variabel dependent. Untuk mengetahui apakah variabel independent berpengaruh secara simultan atau tidak terhadap variabel dependent yaitu dengan cara membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Dimana kriteria pengujiannya yaitu jika Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak. Tabel 5: Hasil Uji Simultan Df1 (k-1) 4 Df2 (n-k) 59 Fhitung 108,97 Ftabel 2,53 Sumber : Data Primer diolah, 2015
Dari hasil analisis regresi berganda dengan menggunakan Df1 = 4 dan Df2 = 59 dan dengan confident interval sebesar 95% (α=5%) diperoleh Ftabel sebesar 2,53. Dan berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai Fhitung analsis regresi tersebut adalah 108,97 dan, dimana ini membuktikan nilai Fhitung > Ftabel dengan perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa Ho ditolak. Sehingga variabel jumlah anggota keluarga (X1), pendidikan (X2), jam kerja (X3), dan pendapatan (X4) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran konsumsi pada masyarakat pesisir di desa tambakcemandi dan desa gisikcemandi. Hasil Pengujian Uji T Uji T digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independent terhadap variabel dependent. Cara menganalisis hasil uji T dengan cara membandingkan nilai t hitung dengan ttabel. Dengan confident interval sebesar 95% (α=5%) dan degree of freedom sebesar 59, maka diperoleh ttabel sebesar 1,671. Masing-masing variabel independent dapat berpengaruh signifikan apabila nilai thitung lebih besar dari ttabel
Tabel 6: Perbandingan Antara Nilai thitung dengan ttabel Variabel thitung Jumlah 5,045 Anggota Keluarga (X1) Pendidikan 4,524 (X2) Jam Kerja 3,777 (X3) Pendapatan 9,872 (X4)
ttabel 1,671
Keterangan Signifikan
1,671
Signifikan
1,671
Signifikan
1,671
Signifikan
Sumber : Data Primer diolah, 2015
Berdasarkan hasil pada tabel 6 dapat diketahui bahwa secara parsial variabel jumlah anggota keluarga, pendidikan, jam kerja, dan pendapatan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terhadap pengeluaran konsumsi pada keluarga miskin di desa tambakcemandi dan desa gisikcemandi. Hasil Pengujian Asumsi Klasik Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel yang digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal. Pengujian normalitas dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: Ho: data variabel dependen berdisribusi normal H1: data variabel dependen tidak berdistribusi normal Tingkat kepercayaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 95% atau dengan kata lain tingkat signfikansinya α=5%. Untuk melakukan pengujian asumsi normalitas data tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian metode Jarque Berra (JB). Gambar 2: Hasil Uji Normalitas 20
Series: Residuals Sample 1 64 Observations 64
16
12
8
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5.59e-11 44446.98 190443.0 -619545.4 155368.7 -2.082803 7.553939
Jarque-Bera Probability
101.5750 0.000000
0 -600000
-400000
-200000
1
200001
Sumber : Data Primer diolah, 2015
Dari histogram diatas nilai JB sebesar 101,57 sementara nilai X 2tabel dengan melihat jumlah variabel independen yang kita pakai dalam hal ini 4 variabel independent dan nilai signifikan yang digunakan dalam hal ini 0,05 atau α=5%. Didapat nilai X 2tabel sebesar 7,82 yang berarti nilai JB lebih besar dari nilai X2tabel yaitu 101,57 > 7,82. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini berdistribusi normal. Uji Multikolineritas Uji multikolineritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independent. Jika antar variabel terjadi korelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogan. Dimana variabel ortogan adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol. Adapun hasil uji asumsi multikolineritas untuk masing-masing item variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7 berikut:
Tabel 7: Hasil Pengujian Multikolineritas R2 X1 0,177 X2 0,035 X3 0,424 X4 0,459
VIF 1,215 1,036 1,736 1,848
Sumber : Data Primer diolah, 2015
Berdasarkan hasil pengujian multikolineritas dapat diketahui bahwa nilai VIF masingmasing variabel bebas <10. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keseluruhan variabel bebas yang digunakan yaitu jumlah anggota keluarga, pendidikan, jam kerja, dan pendapatan tidak terdapat masalah multikolineritas (bebas multikolineritas). Uji Autokorelasi Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena resiudal (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari suatu observasi ke observasi lainnya. Dan untuk mengetahui adanya autokorelasi dapat digunakan uji Durbin Watson (DW-test). Berdasarakan hasil uji durbin-watson didapat nilai Durbin Watson test sebesar 2,003, sedangkan DW tabel untuk α=5% dengan variabel bebas (k)=4 dan jumlah pengamatan (n)=64 diperoleh nilai dL = 1,465 dan dU=1,730 maka : 1) dU < dhitung< 4-dL 2) 1,730< 2,003 < (4-1,465) 3) 1,730< 2,003< 2,535 Dari hasil perhitungan terlihat bahwa nilai DW untuk semua variabel adalah 2,003 yaitu lebih besar dari dU=1,730 dan lebih kecil dari 4-dL=2,535. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi, dengan demikian asumsi regresi linear klasik dapat diterima. Uji Heterokedestisitas Uji heterokedestisitas digunakan untuk menguji apakah di dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varaians dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lain tetap maka disebut homokedestisitas. Jika variannya berbeda, maka disebut heterokedestisitas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heterokedestisitas dalam model regresi bisa dilihat dari tabel dibawah ini: Tabel 8: Hasil Pengujian Heteroskedastisitas F-statistic 0,986352 Obs*R-squared 4,011510 Scaled explained SS 11,17183 Prob. F 0,4221 Prob. Chi Square 0,4045 Prob. Chi Square 0,0247 Sumber : Data Primer diolah, 2015
Dari tabel 8 yang merupakan output dari uji Breusch Pagan Godfrey dapat dilihat bahwa p value lebih besar dari tingkat signifikasi (α=0,05) yaitu 0,422 > 0,05, maka hipotesis nol diterima artinya model regresi pada pengeluaran konsumsi tidak terdapat heteroskedastisitas. Pembahasan Hasil Penelitian Jumlah Anggota Keluarga (X1) terhadap Pengeluaran Konsumsi Pada Keluarga Miskin di Desa Tambakcemandi dan Desa Gisikcemandi Berdasarkan data primer yang diperoleh melalui kuisioner dan telah disebar ke 64 responden yaitu keluarga miskin di desa tambakcemandi dan desa gisikcemandi sebagian besar masyarakat pesisir memiliki anggota keluarga yang tertanggung tergolong sedang antara 3 hingga 6 orang yang akan memberikan pengaruh terhadap pengeluaran konsumsi mereka. Dimana semakin banyak anggota keluarga yang tertanggung maka akan berdampak pada pengeluaran konsumsi. Dari hasil ini disimpulkan bahwa besar kecilnya jumlah anggota keluarga maka akan mempengaruhi pengeluaran konsumsi dalam suatu keluarga.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pande Putu Erwin Adiana (2012) yang menyatakan jumlah anggota keluarga mempunyai pengaruh postif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi. Dalam sebuah keluarga, jumlah anak yang tertanggung dalam keluarga dan anggota-anggota keluarga yang lanjut usia akan berdampak pada besar kecilnya pengeluaran suatu keluarga. Mereka tidak bisa menanggung biaya hidupnya sendiri sehingga bergantung pada kepala keluarga dan istrinya. Anak-anak yang belum dewasa perlu di bantu biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup lainnya. Menurut Sediaoetama (1985) dalam Sijrat (2004), kebutuhan sehari-hari dalam suatu rumah tangga tidak merata antar anggota rumah tangga, karena kebutuhan setiap anggota rumah tangga tergantung pada struktur umur mereka. Misalkan kebutuhan akan makanan bagi anggota keluarga yang masih anak-anak, bekerja, maupun lanjut usia akan berbeda-beda. Disisi lain, masing-masing anggota rumah tangga belum tentu mempunyai selera yang sama. Pendidikan (X2) terhadap Pengeluaran Konsumsi Pada Keluarga Miskin di Desa Tambakcemandi dan Desa Gisikcemandi Hasil sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pande Putu Erwin Adiana (2012) yang mengatakan pendidikan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi. Disi lain menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara status sosial ekonomi dalam hal ini pendidikan terhadap konsumsi. Seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi akan memiliki kebutuhan yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah seperti kebutuhan pendidikan, teknologi, transportasi dan lain-lain. Kondisi ini disebabkan karena yang harus mereka penuhi bukan hanya sekedar kebutuhan untuk makan dan minum, tetapi juga kebutuhan informasi, pergaulan di masyarakat, dan kebutuhan akan pengakuan orang lain terhadap keberadaannya. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada keluarga miskin di wilayah pesisir yang mayoritas berpendidikan rendah, sehingga alokasi konsumsi non pangannya lebih kecil. Kemudian apabila melihat dari kondisi kepala keluarga miskin dimana memiliki tingkat pendidikan yang rendah maka kondisi tersebut dapat menurun kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Spicker (2002) tentang penyebab kemiskinan yaitu familial explanation dimana kemiskinan disebabkan oleh faktor keturunan. Orang tua yang berpendidikan rendah tidak akan mampu untuk menyekolahkan anak lebih tinggi, hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran akan pendidikan dan ketiadaan biaya yang diakibatkan oleh rendahnya pendapatan yang diterima. Selain tidak mampu memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak, kepala keluarga miskin juga tidak mampu memberikan kesehatan yang layak, hiburan, teknologi, dan barangbarang mewah kepada keluarganya.
Jam Kerja (X3) terhadap Pengeluaran Konsumsi Pada Keluarga Miskin di Desa Tambakcemandi dan Desa Gisikcemandi Hasil ini sependapat dengan teori yang menyatakan bahwa apabila ingin meningkatkan penghasilan maka dibutuhkan penambahan jam kerja. Jika penghasilan seseorang mengalami peningkatan maka konsumsi juga akan meningkat. Sebaliknya, apabila lebih banyak menggunakan waktu senggang bukan untuk bekerja, hal ini akan menyebabkan penurunan pada konsumsi karena penghasilan berkurang. Seseorang dengan jam kerja tinggi maka konsumsinya akan semakin meningkat. Apabila jam kerja bertambah, maka beban kerja yang diterima akan semakin besar. Menurut penelitian Ginting (2013), ada hubungan signifikan antara beban kerja (jam kerja dan jenis kegiatan) dengan status gizi pekerja, dalam hal ini dapat diartikan sebagai konsumsi pangan. Jika melihat dari sisi konsumsi pangan, seseorang yang memiliki beban kerja tinggi akan membutuhkan asupan energi lebih banyak melalui makanan dan minuman supaya orang tersebut dapat memaksimalkan pekerjaannya. Sedangkan dari sisi konsumsi non pangan seperti kebutuhan akan modal untuk bekerja akan semakin tinggi. Seperti pekerjaan di wilayah pesisir yang mayoritas kepala keluarga melaut, maka kebutuhan akan solar untuk menjalankan perahu akan semakin meningkat jika jam kerja tinggi. Kemudian perawatan akan mesin maupun perahu akan semakin besar karna barangbarang tersebut lebih sering digunakan untuk melaut.
Pendapatan (X4) terhadap Pengeluaran Konsumsi Pada Keluarga Miskin di Desa Tambakcemandi dan Desa Gisikcemandi Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Khairil Anwar (2007) dan Munparidi (2011) yang mengatakan pendapatan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi. Proporsi alokasi pengeluran untuk konsumsi pangan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan, artinya semakin besar pendapatan maka proporsi alokasi untuk konsumsi pangan semakin berkurang. Sebaliknya proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi non pangan berbanding lurus dengan besarnya pendapatan, artinya proporsi alokasi untuk konsumsi non pangan bertambah seiring dengan pertambahan pendapatan total keluarga. Hasil tersebut juga sesuai dengan teori konsumsi Keynes yang mengedepankan variabel utama dalam analisinya yaitu konsumsi dipengaruhi oleh tingkat pendapatan C= f(Y). Fungsi konsumsi tersebut menjelaskan hubungan antara besarnya pengeluaran dengan tingkat pendapatan pada suatu periode tertentu. Secara garis besar terori konsumsi Keynes dapat disimpulkan bahwa besar atau kecil konsumsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan. Apabila pendapatan naik maka akan digunakan untuk meningkatkan konsumsi, sebaliknya apabila pendapatan turun maka rumah tangga akan mengurangi konsumsi. Menurut kondisi di wilayah pesisir, pendapatan setiap bulan yang diterima oleh kepala keluarga miskin masih tergolong rendah dan masih jauh dari standar Upah Minimum Regional Kabupaten Sidoarjo. Hal ini semakin pelik karena pendapatan kepala keluarga selalu berfluktuasi karena dipengaruhi oleh faktor alam seperti cuaca. Kepala keluarga yang mayoritas memiliki pekerjaan melaut, tentu saja pendapatan yang diterima sangat tergantung pada hasil tangkapan yang diperoleh setiap harinya. Ketika pendapatan mereka menurun, maka konsumsinya akan dikurangi. Disisi lain, alokasi pengeluaran konsumsi pangan pada keluarga miskin lebih besar daripada konsumsi non pangan. Karena pendapatan yang diterima kepala keluarga miskin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja, sedangkan kebutuhan non pangan pada keluarga miskin dikurangi bahkan diabaikan. Berdasarkan wawancara langsung kepada keluarga miskin di Desa Gisikcemandi dan Desa Tambakcemandi ditemukan bahwa dengan pendapatan yang rendah ada beberapa kebutuhan non pangan yang dikurangi atau dihilangkan diantaranya kebutuhan terhadap sandang, kendaraan, telepon, hiburan, air yang masih menggunakan sumur, biaya pendidikan dan kesehatan yang masih bergantung pada bantuan pemerintah. Pada konsumsi pangan, keluarga miskin menggunakan beras yang diperoleh dari bentuan beras miskin. Disisi lain asupan protein diperoleh dari tahu, tempe, dan ikan yang diperoleh dari sisa hasil tangkapan, sedangkan daging merupakan bahan makanan yang jarang dikonsumsi yaitu sekitar 1-2 kali dalam sebulan.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Jumlah anggota keluarga di wilayah pesisir tergolong sedang rata-rata sebesar 3-6 orang per keluarga. Akan tetapi mayoritas dari jumlah anggota keluarga miskin didominasi banyaknya anak yang masih bersekolah dan lanjut usia, sehingga mereka bergantung pada kepala keluarga karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemudian kebutuhan antar anggota keluarga cukup berariasi. 2. Pendidikan kepala keluarga miskin di wilayah pesisir tergolong rendah yaitu hanya lulus SD. Kondisi tersebut akan berbanding terbalik dengan seseorang yang berpendidikan tinggi dimana cenderung mengkonsumsi barang-barang yang mampu menunjang status sosial, sedangkan pada kepala keluarga miskin memiliki alokasi konsumsi pangan lebih besar daripada konsumsi non pangan. Disisi lain rendahnya pendidikan kepala keluarga, kemungkinan besar akan berpengaruh terhadap kebutuhan pendidikan anak. 3. Kepala keluarga miskin di wilayah pesisir yang mayoritas bekerja di laut memiliki jam kerja yang cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan kepala keluarga membutuhkan lebih banyak asupan energi berupa makanan karena beban kerja yang diterima semakin besar. Kemudian konsumsi non pangan juga meningkat terutama pada modal untuk bekerja karena pada pekerjaan melaut dan jam kerja yang tinggi, kebutuhan akan solar dan perawatan mesin yang sering digunakan semakin meningkat.
4. Pendapatan merupakan variabel utama dalam menentukan besar kecilnya konsumsi. Pada konsumsi keluarga miskin, alokasi pengeluaran konsumsi pangan lebih besar daripada konsumsi non pangan. Hal ini terjadi karena rendahnya pendapatan yang diterima oleh keluarga miskin, sehingga sebagian besar pendapatan hanya cukup memenuhi kebutuhan makan saja, yang kemudian mereka harus mengurangi atau mengabaikan kebutuhan non pangan seperti pendidikan, kesehatan, hiburan, teknologi, dan lainnya. 5. Rata-rata pendapatan kepala keluarga miskin di wilayah pesisir relatif rendah bahkan jauh dari Upah Minimum Regional Kabupaten Sidoarjo. Pendapatan yang diterima setiap bulan hanya diperoleh dari pekerjaan melaut yang terus berfluktuasi karena tergantung pada faktor alam seperti cuaca. 6. Hasil regresi ditemukan bahwa pada model pengeluaran konsumsi semua variabel independen berpengaruh positif dan signifikan. Secara statistik variabel jumlah anggota keluarga (X1), pendidikan (X2), jam kerja (X3), dan pendapatan (X4) signifikan mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi keluarga miskin, baik dari pengujian secara parsial maupun simultan. Saran Berdasarakan kesimpulan dari hasil penelitian maka diajukan beberapa saran yaitu sebagai berikut : 1. Pemerintah daerah turut berperan aktif dalam perekonomian rakyat terutama sektor perikanan agar pada saat kondisi cuaca tidak baik masyarakat pesisir dapat membiayai kebutuhan keluarga. Semisal dengan cara pemberian bantuan modal untuk membuka usaha lain diluar sektor perikanan. 2. Mengadakan program pemberdayaan masyarakat pesisir dengan melibatkan kelompok masyarakat dengan cara memberikan pembekalan agar dapat melanjutkan keahlian dalam pengolahan hasil tangkapan yang akan menjadi daya saing tinggi. Dalam hal ini diharapkan para masyarakat pesisir terus meningkatkan produktivitasnya dan mampu memperbaiki ekonomi masyarakat pesisir yang terpinggirkan oleh persaingan ekonomi yang tinggi. 3. Beban keluarga miskin ternyata lebih berat karena di dalamnya terdapat anggota yang banyak dan tidak produktif. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan adanya pengendalian kelahiran, terutama pada keluarga miskin yang memiliki banyak anak. Adanya beban yang lebih besar maka dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di keluarga miskin akan semakin sulit. Dengan meningkatkan sumber daya manusia anggota keluarga miskin merupakan suatu proses yang dalam waktu relatif lama dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. 4. Kemudian perlunya bantuan dana bagi pendidikan anggota keluarga yang masih bersekolah dan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan karena mayoritas pendidikan di kawasan tersebut relatif rendah. Dengan adanya peningkatan taraf pendidikan diharapkan akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di kawasan tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga panduan ini dapat terselesaikan.Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada Asosiasi Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya dan Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang memungkinkan jurnal ini bisa diterbitkan. DAFTAR PUSTAKA Adiana, Pande Putu Erwin, Ni Luh Karmini. 2012. Pengaruh Pendapatan, Jumlah Anggota Keluarga, dan Pendidikan terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Gianyar. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Universitas Udayana. Vol.1 (No.1): 1-60. Anwar, Khairil. 2007. Analisis Determinan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Masyarakat Miskin Di Kabupaten Aceh Utara. Tesis: Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Aufa, Safarul, Raja Masbar, dan Muhammad Nasir. 2013. Pengaruh Pendapatan Perkapita, Pertumbuhan Penduduk, Dan Tingkat Upah Terhadap Biaya Hidup Di Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Vol.1 ( No.1): 64-76.
Badan Pusat Statistik. 2015. Kemiskinan. http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/IndikatorKesejahteraan-Rakyat-2015.pdf diakses pada 3 November 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo. 2012. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Sidoarjo Tahun 2008-2013. http://sidoarjokab.bps.go.id/ diakses pada 23 Juli 2015. .2013. Konsumsi dan Pengeluaran, Sidoarjo. http://sidoarjokab.bps.go.id/LinkTabelStatis/view/id/23 diakses pada 23 Juli 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2012. Profil Kemiskinan di Jawa Timur Maret 2012. http://jatim.bps.go.id/ diakses pada 30 Agustus 2015. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Batasan MDK. http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/BatasanMDK.aspx diakses pada 1 November 2015 Cahyat, Ade. 2004. Governance Brief: Bagaimana Kemiskinan Diukur. Jakarta: Center for International Forestry Research. Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Batam. 2014. Persyaratan dan Perizinan. http://skpd.batamkota.go.id/sosial/persyaratan-perizinan/14-kriteria-miskin-menurutstandar-bps/ diakses pada 9 November 2015. Ehrenberg, Ronald G, Robert S. Smith, 2000. Modern Labor Economic. Seventh Edition, Addison Wesley Longman, Inc. USA. Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Sess. Cetakan Keempat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Gilarso, T. 2004. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ginting, Surita. 2013. Pengaruh Beban Kerja Terhadap Status Gizi Pekerja Peternakan Ayam Di Desa Silebo-Lebo Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013. http://www.ebookspdf.org/download/pengaruh-beban-kerja.html diakses pada 31 Desember 2015. Gujarati, Damodar. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika. Jakarta: Penerbit Erlangga. . 2010. Dasar-dasar Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat. Layard, P.R.G. and A.A. Walters, 1978. Micro Economic Theory. Mc. Graw-Hill Book Company. Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makro Ekonomi. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga . 2006. Makro Ekonomi. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga Nanga, Muana. 2001. Makro Ekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga. . 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor Tidak Dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor. Nicholson, Walter. 1995. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi Kelima. Terjemahan dari Intermediate Microeconomics, oleh Agus Maulana. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Maipita, Indra. 2013. Memahami Konsep Kemiskinan. http://www.scribd.com/doc/181959239/Memahami-Konsep-kemiskinan-01-pdf#scribd diakses pada 15 Agustus 2015 Mangkoesoebroto, Guritno dan Algifari. 1998. Teori Ekonomi Makro. Yogyakarta: STIE YKPN. Munandar, A.S. 2008. Psikologi Industri Dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press). Munparidi. 2010. Pengaruh Pendapatan Dan Ukuran Keluarga Terhadap Pola Konsumsi Studi Kasus : Desa Ulak Kerbau Lama Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Ogan Ilir. Vol.2 (No.3) Reksoprayitno, Soediyono. 1985. Ekonomi Makro (Analisa IS-LM dan Permintaan-Penawaran Agregatif). Edisi Ketiga. Yogyakarta: Liberty. Santoso, Singgih. 2001. Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo. Sijrat, Muchlis. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Rumahtangga Miskin Perkotaan di Sumatera Barat. Skripsi: Padang. Simanjuntak, Payaman. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Spicker, Paul. 2002. Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths. A Catalyst Working Paper. London: Catalyst Sujarno. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Kabupaten Langkat. Tesis S2 PPS USU: Medan. Sukirno, Sadono. 2004. Makro Ekonomi Teori dan Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Sunuharjo. Bambang Swasto. 2009. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta : Yayasan Ilmu Sosial. Sunuharyo. 1982. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pegawai Golongan Rendah di Perumnas Klender, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: Rajawali Press. Todaro, Michael P. 1987. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketiga. Jakarta:Penerbit Erlangga. Usman, Bonar M. Sinaga dan Hermanto Siregar. 2006. Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal. Jurnal Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, Endang Tri. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas PGRI Yogyakarta. Jurnal Akmenika Edisi ke 4. Vol.2 (No.3): 1-15