Pengaruh Situasi Audit, Etika, Pengalaman Dan Keahlian Terhadap Skeptisisme Pofesional Auditor (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik Se-Sumatera) By Giovanny Vermico Aritof Riau University Dr. Rita Anugerah, MAFIS, Ak, CA Dr. M. Rasuli, SE, M.Si, Ak, CA The Influence of Audit Situation, Ethics, Experience and Expertise of Auditor Professional Skepticism Economic Faculty University of Riau
[email protected] Abstract This research is aims to get empirical prove about influence of audit situation, ethics, experience and expetise toward auditor professional skepticism in public accounting office (KAP) in Sumatera Population of this research is all off auditor who work at public accounting office (KAP) in Sumatera who list at Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2014 on all province in Sumatera island. The entire polpulation was made a reserarch sample. The data obtained through the dissemination of a questionaire and based on predeterminated criteria there are 70 quesionaire that can be proceed. The data obtained were analyzed by multiple regression by using Statistical Product Services Solution (SPSS) version 17. The result of this research indicated that audit situation , ethics, experience and expertise effect on auditor professional skepticism at public accounting office (KAP) in all province on Sumatera island. The magnitude of adjusted R squareis 69,70 give the sense that the 69,70% auditor proffesional skepticism influence by audit situation , ethics, experience and expertise, whereas 30,30% influence by other variable. Keywords
: Auditor Professional Skepticism, Audit Situation , Ethics, Experience and Expertise
Latar Belakang Skeptisisme berasal dari kata skeptis yang berarti kurang percaya atau raguragu. Skeptisisme profesional auditor adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara skeptis terhadap bukti audit (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Skeptisisme perlu diperhatikan oleh auditor profesional agar hasil pemeriksaan
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
laporan keuangan dapat dipercaya oleh orang yang membutuhkan laporan tersebut. Auditor menggunakan kemahiran profesionalitas skeptisnya, ketika memberikan opini. Agar opini yang diberikan itu sesuai, auditor memerlukan seluruh bukti-bukti yang kompeten yang cukup dan untu memperoleh bukti-bukti tersebut diperlukan sikap yang skeptis.
1
Shaub & Lawrence (1996) memberikan definisi tentang skeptisisme profesional sebagai berikut “Professional skepticism is a choise to fulfill the professional auditor`s duty to prevent or reduce or harmfull consequences of another person`s behavior”. Artinya skeptisisme profesional auditor digunakan oleh auditor profesional sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dari perilaku orang lain. Secara khusus, ini berarti menjadi baik untuk meragukan, bertanya atau tidak setuju dengan asersi klien atas pernyataan yang berlaku umum. Dari definisi di atas dapat disimpulkankan bahwa skeptisisme profesional auditor adalah adanya suatu sikap yang kritis terhadap bukti dalam bentuk keraguan, pernyataan atau ketidak setujuan dengan pernyataan klien atau kesimpulan yang dapat diterima umum. Pemeriksaan tambahan atau dan menanyakan langsung merupakan bentuk perilaku auditor dalam menindaklanjuti keraguannya terhadap klien. Skeptisime profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain situasi audit, etika, pengalaman, keahlian audit, independensi auditor dan profesionalitas auditor (Loebbeck,et al, 1984). Empat faktor dari keenam faktor diatas antara lain situasi audit, etika, pengalaman dan keahlian/kompetensi berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor (Simamora, 2012). Faktor-faktor tersebut juga akan mempengaruhi pemberian opini auditor terhadap kliennya (Maghfirah, 2008). Jadi skeptisisme profesional sangat penting dimiliki oleh seorang auditor untuk menunjang pekerjaannya agar tetap kritis terhadap bukti audit yang diberikan kliennya. Dalam penugasan audit, auditor sering menjumpai situasi-situasi audit.
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
Dimana situasi audit ini memiliki pengaruh juga terhadap skeptisisme auditor (Christina, 2010). Situasi audit yang dimaksud adalah resiko audit yang akan dihadapi oleh auditor itu sendiri. Dalam penugasan, auditor sering menjumpai situasi audit dimana resiko terjadinya kesalahan/ irregularities dan penyajian yang salah dalam akun dan laporan keuangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan situasi biasa. Oleh sebab itu, auditor harus selalu waspada jika menghadapi situasi audit yang mengandung resiko besar seperti adanya hubungan istimewa, pengendalian intern yang lemah, kondisi keuangan yang tidak sehat, manajemen yang tidak dapat dipercaya, dan usaha yang bersifat spekulatif. Jika semakin besar resiko audit yang dihadapi oleh auditor maka seharusnya rasa skeptis perlu dikembangkan dalam diri seorang auditor. Dampaknya bagi auditor adalah auditor akan semakin kritis terhadap bukti audit sehingga dapat memberikan opini yang sesuai untuk kliennya. Faktor lain yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor adalah etika (Yuhendola, 2005). Socrates menyatakan yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Nilai-nilai kebenaran yang dimaksud yaitu dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai. Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), baik auditor keuangan publik maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan. Dalam kode etik juga diatur tentang masalah prinsip, bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggung jawab,
2
berintegritas, bertindak secara objektif dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak, dan hatihati dalam menjalankan profesi. Hasil penelitian Yuhendola (2005) menyatakan etika berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Semakin tinggi etika seorang auditor, maka semakin tinggi pula sikap skeptis seorang auditor tersebut. Kusharyanti (2003) menyatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industri klien. Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek audit (SPAP, 2001). Selain itu auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Keahlian auditor juga berpengaruh terhadap skeptisisme auditor. Kompetensi atau keahlian yang memerlukan pengetahuan pengauditan (umum atau khusus) dalam bidang auditing dan akuntansi (Kusharyanti, 2003). Dalam mengaudit, auditor tersebut haruslah ahli dalam auditing dan akuntansi. Misalnya dalam mengaudit laporan keuangan sebuah perusahaan.
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
Dalam mengaudit laporan keuangan, seorang auditor wajib untuk menggunakan keahliannya dalam mengaudit. Semakin tinggi keahlian seorang auditor maka semakin peka pula auditor tersebut dalam menganalisis laporan keuangan tersebut. Sehubungan dengan tingginya keahlian atau kompetensi auditor tersebut, maka sikap skeptisnya juga akan semakin bertambah. Karena dengan menganalisis laporan keuangan tersebut auditor memakai sikap skeptis untuk menemukan wajar atau tidaknya laporan keuangan dengan tidak meninggalkan keahliannya dalam mengaudit laporan keuangan tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maghfirah (2008) yaitu tentang hubungan skeptisisme profesional auditor dan situasi audit, etika, pengalaman, serta keahlian audit dengan ketepatan pemberian opini auditor akuntan publik. Dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor punya hubungan signifikan dengan pemberian opini auditor. Pemberian opini sangatlah penting bagi klien dan auditor itu sendiri, jadi sikap skeptis sangat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai auditor. Skeptisisme profesional itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain situasi audit, etika, pengalaman dan keahlian yang akan diteliti ulang pada penelitian ini tetapi dengan populasi yang lebih luas dari sebelumnya. Hal-hal di atas sesuai dengan hasil penelitian oleh Suraida (2005) yang mengemukakan bahwa etika, kompetensi, pengalaman audit dan resiko audit berpengaruh signifikan terhadap skeptisime profesional dan ketepatan pemberian opini akuntan publik.
3
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Skeptisisme Profesional Auditor 1. Pengertian Skeptisisme Profesional Auditor Skeptisisme profesional auditor adalah suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi kritis terhadap bukti audit (SPAP, 2011). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), skeptisisme itu berasal dari kata skeptis yang memiliki arti kurang percaya atau bersikap raguragu. Mc. Milan dan White (1993)dalam penelitiannya menyatakan bahwa: Professional skepticism implies that auditors focus more on error related evidence. An Approach that is too conservative may lead to the performance of unnecessary audit procedures and there by reduce audit efficiency. Skeptisisme profesional adalah suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Skeptisisme profesional auditor atau keraguan terhadap pernyataan dan informasi klien baik secara tertulis maupun secara lisan merupakan bagian intrinsik dari proses audit (Simamora, 2012) Dari penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa skeptisisme profesional auditor itu merupakan suatu sikap yang kritis terhadap bukti audit dalam bentuk keraguan, pertanyaan, dan ketidaksetujuan dengan pernyataan klien atau kesimpulan yang dapat diterima umum. Pemeriksaan tambahan dan atau menanyakan langsung merupakan bentuk prilaku auditor dalam menindaklanjuti keraguannya terhadap klien yang diaudit (Simamora, 2012)
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
2.
Skeptisisme Profesional Auditor dalam Auditing Standar umum ketiga dari standar auditing menyatakan bahwa : Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (SA Seksi 230, Paragraph 01) Dalam standar ketiga ini terlihat bahwa auditor dituntut untuk menggunakan sikap profesionalnya dalam melaksanakan tugasnya secara cermat dan seksama. Penggunaan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama menekankan bahwa adanya tanggung jawab setiap auditor yang bekerja dalam organisasi auditor independen untuk mengamati standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. (SA Seksi 230, Paragraph 02) B. Situasi Audit Situasi audit merupakan suatu keadaan dimana adanya suatu penugasan audit, auditor dihadapkan pada keadaan yang mengandung resiko rendah(regularities) dan keadaan resiko tinggi (irregularities). Irregularities merupakan suatu keadaan dimana adanya ketidakberesan atau kecurangan yang dilakukan dengan sengaja. Kecurangan ini dapat menyangkut dua hal yaitu adanya tekanan atau dorongan dalam melakukan kecurangan maupun suatu peluang untuk melaksanakan kecurangan tersebut. 1. Jenis-Jenis Situasi Audit Dalam melakukan audit, auditor biasanya dihadapkan pada situasi audit yang secara umum dibagi atas dua macam. Yaitu situasi audit yang memiliki resiko rendah (situasi regularities) dan situasi audit yang memiliki resiko tinggi (situasi irregularities). Irregularities sering diartikan sebagai suatu situasi dimana terdapat ketidakberesan atau kecurangan
4
yang dilakukan dengan sengaja. Dalam situasi audit yang beresiko rendah (regularities) auditor tidak begitu mengalami kesulitan tapi dalam situasi yang memiliki resiko yang tinggi (irregularities), auditor harus memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap kecurangan yang mungkin terjadi agar audit yang dilakukannya efektif. 2.
Situasi Irregularitas a. Related Party Transaction Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan (SAK, 1999). Pihakpihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa adalah bila suatu pihak mempunyai mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional (SAK, 1999). Auditor yang berpengalaman akan selalu mempertanyakan transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan melakukan prosedur tambahan untuk memperoleh keyakinan yang memadai. Hubungan istimewa dalam PSA 34 (SA 334) didefinisikan sebagai perusahaan afiliasi, pemilik utama perusahaan klien atau pihak lainnya yang berhubungan dengan klien dimana salah satu pihak dapat mempengaruhi manajemen atau kebijakan operasi pihak lainnya. Karena transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus diungkapkan dalam laporan keuangan, penting artinya bahwa seluruh pihak yang mempunyai hubungan diidentifikasi dan dimasukkan dalam arsip permanen pada awal penugasan. Cara umum yang dilakukan auditor
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
untuk mengidentifikasi pihak yang mempunyai hubungan istimewa misalnya bertanya pada pihak manajemen, menelaah arsip pasar modal, dan memeriksa daftar pemegang saham. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa off-balance sheet financing yang berkaitan dengan related parties telah menyebabkan bangkrutnya Enron, sebuah perusahaan raksasa berbasis bisnis energi, yang juga melibatkan firma audit terkenal Arthur Andersen. Transaksi off-balance sheet yang dilakukan Enron banyak yang difasilitasi dengan mendirikan perusahaan afiliasi, asosiasi dalam bentuk limited partnership dan spesial purpose enterprise (SPE). Pada IAS No. 24 paragraf 23 poin C mengharuskan pengungkapan pricing policies untuk setiap pengungkapan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Yang menjadi permasalahan bagi auditor adalah bagaimana melakukan audit untuk mengetahui suatu transaksi merupakan related party transactions atau tidak. Auditor akan menemui kesulitan untuk dapat mengatahui suatu transaksi merupakan related party transaction atau tidak jika seandainya pihak related parties melakukannya melalui tangan pihak ketiga. Dalam situasi ini auditor diharapkan dapat meningkatkan skeptisisme profesionalnya. b. Motivasi Manajemen Motivasi yang memungkinkan terjadinya irregularitas digambarkan oleh Loebbecke et al. (1989) sebagai “sebuah kondisi dimana seseorang yang memiliki kekuasaan atau tanggung jawab di dalam perusahaan mempunyai alasan atau motivasi untuk melakukan kecurangan manajemen atau penyalahgunaan kekayaan perusahaan atau sering disebut sebagai penggelapan (delfaction)”. Motif ini dilakukan untuk
5
keuntungan klien (karyawan) atau untuk kepentingan pribadi karyawan itu sendiri. Jika manajemen tidak memiliki integritas yang tinggi, motivasi tertentu bisa mendorong mereka untuk mensalahsajikan laporan keuangan perusahaan. Dalam situasi ini auditor dihadapkan pada kondisi manajemen dan motivasi manajemen itu sendiri yang memungkinkan terjadinya kecurangan atau kesalahan. Auditor diharapkan dapat memahami aspek bisnis kliennya dan juga attitude manajemen. Auditor perlu mengkaji attitude manajemen dalam melakukan bisnis dimana analisa tersebut dapat dilakukannya berdasarkan kejadian-kejadian masa lampau serta iklim Good Corporate Governance yang dimiliki oleh perusahaan klien tersebut. c. Kualitas Komunikasi (Klien tidak Kooperatif) Situasi ini bisa menunjukkan sikap klien yang merahasiakan atau tidak menyajikan informasi yang akan menyebabkan keterbatasan ruang lingkup audit yang akan dilaksanakan auditor. Dalam menghadapi situasi ini diharapkan auditor bisa meningkatkan skeptisisme profesionalitasnya. d. Klien Pertama Kali (Initial Audit) Sebelum audit atas laporan keuangan dilaksanakan, auditor perlu mempertimbangkan apakah ia akan menerima atau menolak penugasan audit. Jika auditor memutuskan untuk menerima penugasan audit dari calon kliennya, ia akan melaksanakan proses audit dalam 4 tahap, yaitu: (1) penerimaan penugasan audit, (2) perencanaan audit, (3) pelaksanaan pengujian dan (4) pelaporan audit. Penerimaan penugasan audit merupakan langkah awal pekerjaan audit berupa pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak penugasan audit dari calon klien atau untuk melanjutkan
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
atau menghentikan penugasan audit dari klien. Dalam penerimaan penugasan audit, auditor menempuh proses sebagai berikut: 1. Mengevaluasi integritas manajemen. 2. Mengidentifikasi keadaan khusus dan beresiko luar biasa. 3. Menentukan kompetensi untuk melaksanakan audit. 4. Menilai independensi. 5. Menentukan kemampuan untuk menggunakan kecermatan dan keseksamaan. 6. Membuat surat penugasan audit. Untuk klien yang pertama kali diaudit, sebagian besar Kantor Akuntan Publik menyelidiki perusahaan tersebut untuk memutuskan apakah klien itu dapat diterima. Selain itu juga dievaluasi prospektif klien dalam lingkungan usaha, stabilitas keuangan dan hubungan dengan Kantor Akuntan Publik sebelumnya. Untuk calon klien yang sebelumnya diaudit oleh Kantor Akuntan Publik lain, auditor pengganti diwajibkan oleh PSA 16 (SA 315) untuk berhubungan dengan auditor sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk membantu auditor pengganti dalam mengevaluasi apakah menerima penugasan itu. Inisiatif untuk mengadakan komunikasi terletak pada auditor pengganti. Dari komunikasi itu, mungkin akan diperoleh informasi misalnya klien tidak mempunyai integritas atau terjadi perselisihan mengenai prinsip akuntansi, prosedur audit atau honorarium. Standar Auditing mewajibkan auditor untuk memahami bisnis kliennya sebelum menerima suatu penugasan. PSA 67 menekankan pada resiko apa yang potensial bagi auditor bila kurang memahami bisnis kliennya. Resiko yang dihadapi akuntan dapat berupa klaim atau tuntutan hukum dari klien atau pengguna laporan hasil audit dan jasa akuntan. Bisnis klien merupakan bagian
6
integral yang tidak terpisahkan dengan pekerjaan auditor agar hasil auditnya dapat memenuhi standar mutu auditing. Pemahaman atas pengetahuan yang terkait dengan industri, hak kepemilikan, manajemen, dan operasi entitas, digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menerima dan melaksanakan penugasan audit. Melalui pemahaman ini dapat terungkap apakah klien sedang bermasalah dan menjadi perhatian publik atau tidak. Dengan begitu auditor dapat memutuskan akan menerima penugasan atau menolak. Pengetahuan bisnis klien yang memadai, bermanfaat bagi auditor sendiri untuk memberikan berbagai pertimbangan. Tentunya pertimbangan agar terhindar dari hal-hal yang merugikan kelangsungan hidup bisnis jasa profesionalnya dan klaim dari klien. e. Klien Bermasalah Jika pada saat auditor mempertimbangkan penerimaan penugasan audit, auditor mendapatkan informasi bahwa klien sedang menghadapi tuntutan pengadilan, maka auditor dapat mempertimbangkan untuk menolak menerima penugasan audit tersebut karena diperkirakan auditor akan terlibat secara mendalam dalam perkara tersebut. Auditor juga dapat mempertimbangkan untuk menolak penugasan audit, jika ia mendapat informasi bahwa calon kliennya sedang mengalami kesulitan keuangan yang dapat mendorong manajemen dalam melakukan salah saji material dalam laopran keuangannya. Dalam keadaan seperti ini, auditor harus memperthankan pendapatnya atas laporan keuangan auditan dan mutu pekerjaan audit yang telah dilaksanakannya. 3.
Komponen Risiko Audit Dalam praktik, seorang auditor tidak hanya harus mempertimbangkan risiko audit untuk setiap saldo akun dan
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
golongan transaksi saja, tetapi juga setiap asersi yang relevan dengan saldoakun dan golongan transaksi yang material. Faktor risiko yang relevan dengan suatu asersi biasanya berbeda dengan faktor risiko yang relevan dengan asersi lainnya untuk saldo akun atau golongan transaksi yang sama.
C. Etika 1. Pengertian dan Prinsip Etika Etika merupakan serangkaian prinsip atau nilai-niai moral. Dalam hal ini, etika audit merupakan prinsip atau nilai-nilai moral dalam melaksanakan pekerjaan audit. Boynton (2003) mengatakan bahwa: Ethics consist of moral principles and standard of conduct. In general use, the word ethics relates to the philosophy of human conduct and principles of human morality and duty. Morality, in turn, focuses on the “right” and wrong of human behavior. 2. Etika dalam auditing Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya (Elfa, 2004). Dengan adanya etika profesiakuntan, maka fungsi akuntan sebagai penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis dapat dijalankan oleh para pelaku bisnis. 3. Penerapan Etika Agar terjadi keharmonisan dan keteraturan dalam bermasyarakat maka sikap etika harus lebih diperhatikan dan wajib hukumnya. Apa yang akan terjadi apabila kita tidak memiliki kepercayaan kepada orang-orang di sekitar kita yang telah berlaku jujur. Akan mustahil tercapai sebuah komunikasi yang efektif jika para orang tua, guru, para pemilik
7
perusahaan, saudara kita, para rekan kerja, serta teman-teman kita selalu berkata bohong (Arens,2003) D. Pengalaman Audit 1. Pengertian Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pengalaman didefinisikan sebagai berikut: Sesuatu yang pernah dialami dalam kehidupan ini Dalam bidang auditing, Taylor dan Glezen (2010;50) dalam dalam bukunya Auditing Intergrated Concept and Procedurs menjelaskan pengalaman sebagai berikut: The type and length of experience required depend on the state’s requirement some state allow accounting experience in industry, government, and academic at subtitutes for experince in public accounting. 2. Pengalaman Auditor Dalam Auditing Standar umum pertama dari standar auditing Seksi 210 (paragraf 01) menyatakan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan penelitian teknis yang cukup sebagai auditor. E. Keahlian Auditor Keahlian didefinisikan sebagai keberadaan dari pengetahuan tentang suatu lingkungan tertentu, pemahaman terhadap masalah yang timbul dalam lingkungan tersebut, dan keterampilan untuk memecahkan masalah tersebut ( Hayes-Roth et al. 1983 dalam Chow dan Rice, 1987). Dalam bidang auditing keahlian sering diukur dengan pengalaman, namun Ashton (1991) mengatakan bahwa ukuran keahlian tidak cukup hanya pengalaman, tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain, karena manusia dalam pengambilan keputusan mempunyai sejumlah unsurunsur lain disamping pengalaman. Keahlian lebih didasarkan pada tingkat
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
pendidikan dan pengetahuan (knowledge) yang dimiliki. Secara praktik keahlian sering ditunjukkan dengan pengakuan resmi (official recognition). Keahlian ini juga akan berpengaruh pada skeptisisme profesional auditor. Skeptisisme profesional auditor ini akan meningkat pada auditor-auditor yang ahli. G. Kerangka Pemikiran 1. Pengaruh situasi audit terhadap skeptisisme profesional auditor Dalam pelaksanaan audit, auditor sering menjumpai situasi audit dalam keadaan resiko tinggi atau resiko rendah. Dalam hal situasi audit yang beresiko tinggi, auditor harus mampu mengumpulkan bukti audit atau informasi yang relevan. Auditor harus selalu waspada jika menghadapi situasi audit yang mengandung resiko besar seperti adanya hubungan istimewa, pengendalian intern yang lemah, kondisi keuangan yang tidak sehat, manajemen yang tidak dapat dipercaya, dan usaha yang bersifat spekulatif. Jika semakin besar resiko audit yang dihadapi oleh auditor maka seharusnya rasa skeptis perlu dikembangkan dalam diri seorang auditor. Diana Sesilia (2004), yang meneliti mengenai hubungan keahlian audit dan situasi audit dengan skeptisisme profesional auditor pada KAP di Jakarta. Dari penelitian tersebut didapat kesimpulan bahwa keahlian audit dan situasi audit memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan skeptisisme profesional auditor. Hipotesis 1 : Situasi audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor 2.
Pengaruh etika terhadap skeptisisme profesional auditor Etika mmiliki pengertian yaitu perbuatan yang mengandung salah
8
benarnya perbuatan. Etika pada dasarnya memiliki persamaan dengan moralitas, dimana keduanya memiliki sebuah ikatan yang mengatur tingkah laku manusia baik dalam aturan lisan maupun tulisan. Begitu pentingnya etika tersebut dipahami oleh auditor agar dapat menghindari dilemma etis yang kmungkinan akan dihadapi ketika penugasan berlangsung. Sebagai contoh adalah dimana ketika proses audit berlangsung, seorang manajemen menawarkan imbalan besar yang tidak semestinya. Sehingga memiliki dilemma etis. Jika auditor itu memilih menerima imbalan tersebut, maka dengan kata lain auditor tersebut tidak memiliki jiwa etis dan secara bersamaan sikap skeptisisme juga berangsur-angsur berkurang dan malahan tidak ada apabila terjadi tekanan yang luar biasa dari manajemen itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Christina (2010) dan Lusianita (2009) menunjukkan bahwa sikap etis tersebut memiliki hubungan yang positif terhadap skeptisisme professional auditor tersebut. Hipotesis 2 : Etika berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor 3.
Pengaruh pengalaman auditor terhadap skeptisisme profesional auditor Auditor yang berpengalaman juga memiliki tingkat selektifitas yang lebih tinggi terhadap informasi yang relevan. Pengalaman yang lebih banyak dalam mengaudit, akan lebih banyak memiliki informasi yang lebih banyak daripada orang yang masih kurang berpengalaman. Setiap mengaudit, auditor akan sedikit banyak memiliki hambatan dalam mengaudit. Dari setiap hambatan inilah auditor akan memiliki jiwa skeptis yang akan secara bersamaan akan lebih baik lagi.
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
Penelitian yang dilakukan oleh Butt (1998) menunjukkan bahwa pengalaman auditor tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dan relative memiliki Judgment positif dalam tugas profesionalnya daripada auditor yang kurang berpengalaman. Penelitian ini juga didukung oleh peneliti Lusianita (2009) dimana pengalaman auditor yang semakin banyak akan berdampak positif terhadap perkembangan skeptisisme professional auditor itu sendiri. Hipotesis 3 : Pengalaman auditor berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor 4.
Pengaruh keahlian terhadap skeptisisme profesional auditor. Pada saat seorang auditor dituntut dalam melaksanakan skeptisisme profesionalnya, maka auditor tersebut harus bisa melihat situasi audit yang beresiko tinggi bagi dirinya. Dengan kompetensi yang tinggi dalam diri auditor tersebut, maka auditor itu akan mampu melakukan koreksi dari kekeliruan yang pernah terjadi dalam pelaksanaan audit. Kompetensi auditor tersebut dapat ditingkatkan dengan adanya pelatihan-pelatihan yang memadai dan memiliki keahlian dalam mengaudit. Dengan adanya pelatihan tersebut maka sedikit banyak akan mampu melakukan koreksi dari kekeliruan yang pernah terjadi dalam pelaksanaan audit sekaligus meningkatkan rasa skeptis yang ada dalam diri auditor itu sendiri. Penelitian yang dilakukan Avrini (2004) menyatakan bahwa keahlian audit tersebut memiliki hubungan yang positif terhadap skeptisisme professional auditor itu sendiri. Hipotesis 4 : Keahlian berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor.
9
METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah partner dan auditor senior yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik yang ada di Sumatera. Menurut data yang diperoleh dari Institut Akuntan Publik Indonesia, Directory KAP dan AP tahun 2013 terdapat 55 KAP dan 82 Auditor. Oleh karena jumlah populasi yang sedikit yaitu 82 orang, maka semua populasi dipilih untuk dijadikan sampel. B. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan kuesioner yang pertanyaannya dibagi menjadi beberapa bagian dan merupakan gabungan dari beberapa penelitian terdahulu. Sebagian instrumen penelitian yang terdapat pada Avrini (2004) digunakan untuk mengukur variabel keahlian audit, sebagian instrumen penelitian pada Maghfirah (2008) dan Christina (2010) untuk mengukur variabel skeptisisme profesional auditor, situasi audit, etika dan pengalaman audit. C. Variabel Penelitian dan Pengukuran Dalam operasionalisasi variabel, diperlihatkan indikator yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian baik variabel dependen maupun variabel independen. Sementara skala yang digunakan untuk mengukur instrumen adalah tipe skala likert. 1. Faktor Situasi Audit (X1) didefinisikan sebagai variabel independen pertama. 2. Fakor Etika (X2) didefinisikan sebagai variabel independen kedua. 3. Pengalaman (X3) didefinisikan sebagai variabel independen ketiga. 4. Keahlian Audit (X4) didefinisikan sebagai variabel independen keempat. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah skeptisisme professional auditor (Y). Skeptisisme profesional didefinisikan sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit agar diperoleh bukti-bukti yang
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
meyakinkan sebagai dasar pemberian opini. Skala pengukurannya adalah skala likert yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran situasi audit. Hipotesis akan diuji dengan alat analisis regresi linear berganda (Multiple regression analysis) dengan persamaan: Keterangan: = skeptisisme auditor = Konstanta = Situasi Audit = Etika = Pengalaman = Keahlian Audit
professional
HASIL PENELITIAN Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan secara parsial. Pengujian variabel independen secara parsial dilakukan untuk megetahui pengaruh masin-masing variabel independen (situasi audit, etika, pengalaman, keahlian) terhadap variabel dependen (skeptisisme profesional auditor). Dengan tingkat keyakinan 95% dan dengan pengujian dua arah (two tail test), tingkat signifikansi ditetapkan sebesar 5% dengan degree of freedom (df) = n-k. Dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau melihat p value masing-masing variabel dilakukan untuk tujuan hipotesis secara parsial (uji t). Apabila nilai t hitung > dari t tabel atau p value < α maka Ha diterima dan Ho ditolak, dengan kata lain variabel independen secara individual berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sebaliknya apabila nilai t hitung < dari t tabel atau p value < α maka Ha ditolak dan Ho diterima, dengan kata lain variabel independen secara individual tidak berpngaruh signifikan terhadap vaibel dependen. 1. Situasi Audit (X1) Berdasarkan hasil perhitungan regresi pada Tabel IV.16 diperoleh koefisien situasi audit sebesar 0,314
10
yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara situasi audit terhadap skeptisisme profesional auditor. Semakin tinggi adanya situasi audit dalam pengambilan keputusan maka akan semakin tinggi skeptisisme profesional auditor. Untuk mengetahui tingkat perbandingan signifikansi variabel situasi audit, hasil pengujian uji t diperoleh sebagai berikut: t hitung = 2.943 t tabel = 1.994 t hitung > t tabel, Ha diterima, Ho ditolak Pengambilan keputusan juga dapat dilakukan dengan melihat probabilitas variabel, dimana nilainya 0,005 (p < 0,5). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Maghfirah (2005). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor situasi audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Dimana dalam pelaksanaan auditnya seorang auditor menemukan situasi audit yang beresiko besar, maka dalam pengumpulan bukti audit diperlukan sikap skeptisisme profesional auditor yang lebih tinggi karena audit dirancang untuk memberi keyakinan yang memadai atas pendeteksian salah saji dalam material dalam laporan keuangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis pertama yaitu situasi audit berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. 2. Etika (X2) Berdasarkan hasil perhitungan regresi pada Tabel IV.16 diperoleh koefisien etika sebesar 0,188 yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara etika terhadap skeptisisme profesional auditor. Semakin tinggi tingkat kesadaran etis atau tidak etisnya tindakan yang dipakai dalam pengambilan keputusan maka akan semakin tinggi skeptisisme profesional auditor. Untuk mengetahui tingkat perbandingan signifikansi variabel etika, hasil pengujian uji t diperoleh sebagai berikut:
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
t hitung = 3.130 t tabel = 1.994 t hitung > t tabel, Ha diterima, Ho ditolak Pengambilan keputusan juga dapat dilakukan dengan melihat probabilitas variabel, dimana nilainya 0,003 (p < 0,5). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Yurniawati (2004). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor kecondongan etika berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Akuntan secara terus menerus akan berhadapan dengan dilema etika yang melibatkan pilihan antara nilai-nilai yang bertentangan terhadap prinsip etika auditor. Maka dengan pertimbangan profesional auditor maka sikap skeptisisme sangat penting dalam memegang teguh prinsip etika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis kedua yaitu etika berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. 3. Pengalaman (X3) Berdasarkan hasil perhitungan regresi pada Tabel IV.16 diperoleh koefisien pengalaman sebesar 0,154 yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara pengalaman terhadap skeptisisme profesional auditor. Semakin lama pengalaman seorang auditor maka akan semakin tinggi skeptisisme profesional auditor. Untuk mengetahui tingkat perbandingan signifikansi variabel pengalaman, hasil pengujian uji t diperoleh sebagai berikut: t hitung = 2.801 t tabel = 1.994 t hitung > t tabel, Ha diterima, Ho ditolak Pengambilan keputusan juga dapat dilakukan dengan melihat probabilitas variabel, dimana nilainya 0,026 (p < 0,5). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Yuhendola (2005). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengalaman berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Auditor yang berpengalaman memiliki tingkat selektifitas yang lebih tinggi
11
terhadap informasi yang relevan, sehingga mempengaruhi seorang auditor untuk memiliki sikap skeptisime profesional auditor yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis ketiga yaitu pengalaman berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. 4. Keahlian (X4) Berdasarkan hasil perhitungan regresi pada Tabel IV.16 diperoleh koefisien keahlian sebesar 0,327 yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara keahlian terhadap skeptisisme profesional auditor. Semakin bertambah keahlian seorang auditor maka akan semakin tinggi skeptisisme profesional auditor. Untuk mengetahui tingkat perbandingan signifikansi variabel keahlian, hasil pengujian uji t diperoleh sebagai berikut: t hitung = 2.885 t tabel = 1.994 t hitung > t tabel, Ha diterima, Ho ditolak Pengambilan keputusan juga dapat dilakukan dengan melihat probabilitas variabel, dimana nilainya 0,031 (p < 0,5). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Sony (2010). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa keahlian berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Auditor yang berkompetensi akan memiliki keahlian-keahlian yang diperoleh dari beberapa seminar atau pelatihanpelatihan dalam hal pengauditan, sehingga mempengaruhi seorang auditor untuk memiliki sikap skeptisisme profesional auditor. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis keempat yaitu keahlian berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. KESIMPULAN, KETRERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sebagaimana telah diuraikan pada bab 1 bahwa penelitian ini bertujuan
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor, diantaranya situasi audit, etika, pengalaman dan keahlian pada kantor akuntan publik di semua provinsi di pulau Sumatera. Berdasarkan analisis yang dilakukan pada bagian sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Secara umum hasil pengujian validitas dan reliabilitas untuk seluruh butir pertanyaan penelitian telah memberikan hasil yang baik dan patut dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya. Pengujian validitas terhadap seluruh butir pertanyaan dengan menggunakan korelasi pearson menunjukkan bahwa setiap butir pertanyaan memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang sesuai dengan korelasi pearson yaitu mendekati angka +1. 2. Normalitas jawaban responden yang menjasi data dalam penelitian ini dilihat dari normal probability plot menunjukkan bahwa distribusi jawaban responden adalah normal, sehingga persyaratan normalitas data terpenuhi. 3. Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa variabel situasi audit berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Maghfirah (2008). Peneliti tersebut menyatakan bahwa faktor situasi audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis pertama. Artinya situasi audit berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. 4. Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa variabel etika berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan
12
Yurniawati (2004). Peneliti tersebut menyatakan bahwa faktor etika berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis kedua. Artinya etika berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. 5. Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa variabel pengalaman berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Yuhendola (2004). Peneliti tersebut menyatakan bahwa faktor situasi audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis ketiga. Artinya pengalaman berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. 6. Hasil pengujian hipotesis keempat menunjukkan bahwa variabel keahlian berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Sony (2010). Peneliti tersebut menyatakan bahwa faktor situasi audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis keempat. Artinya keahlian berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. 7. Koefisien determinasi atau R square (R²) sebesar 0.564 memberi pengertian bahwa 56,40% skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh variabel situasi audit, etika, pengalaman dan keahlian sedangkan 43,60% dipengaruhi oleh variabel lainnya. Dari persentase tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat faktor 43,60% terdapat faktor individual
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
lain yang dapat mempengaruhi skeptisisme profesional auditor. B. Keterbatasan Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki beberapa kelemahan atau keterbatasan, yaitu sebagai berikut : 1. Sebagian besar responden ketika diadakan penelitian di KAP yang bersangkutan meminta agar kuesioner ditinggalkan, sehingga peneliti tidak bisa melihat secara langsung jawaban responden dan tidak mampu mengendalikan jawaban responden. Oleh karena itu, jawaban responden belum tentu memberikan gambaran yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan oleh kesibukan auditor itu sendiri. 2. Hasil penelitian ini hanya menjangkau KAP yang berada di semua provinsi di pulau Sumatera saja karena keterbatasan waktu dan dana. Jadi, belum tentu menganalisir daerah lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti selanjtunya dapat lebih mengoptimalkan kemampuan generalisasi penelitian ke seluruh Indonesia. 3. Peneliti hanya meneliti empat variabel dari enam variabel yang mengaruhi skeptisisme profesional auditor (Maghfirah,2008). Sehingga penelitian yang diperoleh belum menggambarkan semua faktorfaktor yang berpengaruh kuat terhadap skeptisisme profesional audit itu sendiri. C. Saran 1. Auditor dalam melaksanakan audit tidak hanya memperhatikan keempat faktor yang akan mempengaruhi peningkatan skeptisisme profesional auditor yaitu situasi audit, etika, pengalaman dan keahlian. Akan tetapi perlu juga memperhatkan faktor lainnya yaitu kecakapan dan pengetahuan tentang audit (Maghfirah,2008). Dengan adanya faktor yang akan
13
mempengaruhi skeptisisme profesional audit dan akan mempengaruhi pengumpulan bukti audit itu juga. Dimana dalam pengumpulan bukti audit, auditor dituntut untuk memiliki skeptisisme profesional auditor yang tinggi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi opini yang akan diberikannya. 2. Peneliti selanjutnya dapat memperluas area survey yang tidak hanya di semua provinsi di pulau Sumatera saja, tetapi seluruh wilayah Indonesia dari ujung barat sampai unjung timur. Hal ini akan dapat lebih mewakili seluruh populasi auditor di Indonesia. 3. Peneliti selanjutnya dapat menambahkan variabel penelitian yang akan meningkatkan skeptisisme profesional auditor. Misalnya adalah kecakapan dan pengetahuan tentang audit (Maghfirah,2008). Karena dengan adanya faktor-faktor tersebut maka akan dapat mempengaruhi tingkat skeptisisme profesional yang dimiliki oleh auditor. 4. Peneliti selanjutnya agar meluangkan waktu yang lebih banyak untuk penelitian, agar mampu menjangkau semua daerah-daerah dalam provinsi di seluruh Indonesia yang memiliki KAP. Hal ini akan memperbesar sampel penelitian yang ada dan pastinya akan menggambarkan hasil yang mempengaruhi sikap skeptisisme profesional auditor yang sesungguhnya. DAFTAR PUSTAKA Anderson J.C., Kraushaar J.M. 1986. Measurement Error and Statical Sampling in Auditing: The Potensial Effects. The Accounting Review Vol. LXI No. 3 July 1986 Anderson U., Marchant G. 1989. The Auditor’s Assesment of the Competence and Integrity of Auditee Personnel. Auditting: A
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
Journal of Practise and Theory. 8 (Supp). 1-16 Arens A.A., Loebbecke J.K. 2008. Auditing Pendekatan Terpadu. Jakarta: Erlangga. Avrini R. 2004. Hubungan Keahlian dan Pengalaman dengan Skeptisisme Profesional Auditor. Padang: Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Skripsi. Bazerman M.H., Morgan K.P., Loewenstein G. 1997. The impossibility of auditor Independence. Sloan Management Review, 38 (Summer): 89-94. Boynton W.C., Kell W.G. 2003. Modern Auditing, Edisi Ketujuh. Jakarta: Erlangga. Christiawan Y.J. 2003. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik. Refleksi Hasil Penelitian Empiris. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol.4 No. 2 (Nov) Hal. 79-92 Christina. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi Skeptisisme Profesional Audior pada KAP se Sumatera. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Riau. Dani, Awil. 2008. Pengaruh Pengalaman dan Kesadaran Etis terhadap Skeptisisme Profesional Auditor pada KAP di Pekanbaru. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Damodar G. 2005. Ekonometrika Dasar. Penerjemah: Zein S. Jakarta: Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Elfarini E.C. 2007. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Skripsi. Elfa. 2004. Hubungan Kesadaran Etis dan Situasi Audit dengan Skeptisisme Profesional Auditor.
14
Padang: Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Skripsi. Fanny M., Saputra S. 2005. Opini Audit Going Concern: Kajian Berdasarkan Model Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, dan Reputasi Kantor Akuntan Publik (Studi Pada Emiten Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi VIII. Fitriana, Dini Riska. 2009. Tugas Auditing I. http//APAuditing.blogspot.com /2009/10/tugas-2-ump.2009.html, (diakses 14 Februari 2012). Glezen, dan Taylor. 2010. Auditing Integrated Concept and Procedure. Second Edition. New York; John Wiley & Sons. Gusti M., Syahril A. 2006. Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor Dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman Serta Keahlian Audit Dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor Oleh Akuntan Publik. Simposium Nasional Akuntansi XI. Hudayani, Nurul. 2004. Hubungan Pengalaman dan Kesadaran Etis terhadap Skeptisisme Profesional Auditor. Skripsi S1 (Tidak diterbikan). Fakultas Ekonomi UNAND, Padang. Ikatan Akuntan Indonesia. 1999. Standar Akuntansi Keuangan. PSAK No 17. Cetakan keempat. Jakarta: Salemba Empat. Ikatan Akuntan Indonesia. 2011. Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik. 2013. Directory 2013. Jakarta: Graha Akuntan. Irawati Y., Petronila T.A. 2005. Hubungan Karakteristik Personal Auditor Terhadap Tingkat Penerimaan Penyimpangan Perilaku
JOM FEKON Vol 1 No. 2 Oktober 2014
Dalam Audit. SNA VIII Solo, 15-16 September 2005 Koroy T.R. 2005. Pengaruh Preferensi Klien dan Pengalaman Audit terhadap Pertimbangan Auditor. Simposium Nasional Akuntansi VIII, September : 917 – 928. Kusharyanti. 2003. Temuan penelitian mengenai kualitas audit dan kemungkinan topik penelitian di masa datang. Jurnal Akuntansi dan Manajemen (Desember). Hal.25-60 Lusianita. 2009. Pengaruh Situasi Audit, Etika, Pengalaman Terhadap Skeptisisme Profesional Auditor. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Riau. Maghfirah dan Syaril.2008. Hubungan Skeptisisme Professional Audit dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman serta Keahlian Audit dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor oleh Akuntan Publik. Simposium Nasional Akuntansi XI. Pontianak. Mayangsari S. 2003. Pengaruh Keahlian Audit dan Independensi terhadap Pendapat Audit: Sebuah Kuasiaeksperimen. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol 6 No. 1 hal 1-22. Mulyadi. 2002. Auditing Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Nasution M. 2003. Akuntansi Guna Usaha (Leasing) Menurut Pernyataan SAK No. 30. Medan: USU digital library Nugroho B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: Penerbit Andi. Nurindriantoro dan Bambang Supomo. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan Manajemen. BPFE: Yogyakarta Said S. 2002. Enron dan Akuntan Publik. Majalah Tempo. No. 49/XXX. Pebruari.
15