PENGARUH SEDIMEN TERHADAP KOMUNITAS KARANG BATU (SCLERACTINIAN CORALS) DI KEPULAUAN DERAWAN, KALIMANTAN TIMUR
DEDE SUHENDRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Sedimen Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) Di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2006
Dede Suhendra NRP. C651030101
ABSTRACT DEDE SUHENDRA. Effect Of Sediment on Scleractinian Corals Community in Derawan Islands, East Kalimantan. Under the direction of NEVIATTY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA There are some indications that run-off from Berau River gives negative impact on scleractinian corals community in Derawan Islands. Many activities occured in the upland beside of the Berau River such as deforestation, coal and sand mining increased the sedimentation in the Derawan Islands waters, direct or indirectly. Sediment through shading and smothering cause corals in stress condition and eventually death for some species. The purpose of this research is to study about the effect of sedimentation on scleractinian corals in Derawan Islands, East Kalimantan. The quadrate transects placed at each station to estimate live coral coverage. The stations represent distance from Berau River. Rapid Ecological Assessment (REA) used to get coral species richness by The Nature Conservancy (TNC) in 2003. A sediment trap placed for 14 days in each station to have sedimentation rate. Sample of sediment were analyzed in the laboratory. Sedimentation rate (mg/cm2/day) decrease in number from station Panjang Island to Maratua Island. The coverage and species richness of coral reefs have negative correlation to sedimentation rate, which mean high sedimentation tend to cause low species richness and coral coverage. The lowest number of species richness and scleractinian coral coverage found in Station 1 which nearest distance to Berau River with high sedimentation rate. Keyword: Sedimentation, scleractinian corals, coral community, Derawan Islands, Berau River
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut PErtanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebaginya.
PENGARUH SEDIMEN TERHADAP KOMUNITAS KARANG BATU (SCLERACTINIAN CORALS) DI KEPULAUAN DERAWAN, KALIMANTAN TIMUR
DEDE SUHENDRA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Pengaruh Sedimen Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) Di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur Nama Mahasiswa : Dede Suhendra NRP : C651030101 Program Studi : Ilmu Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 13 Oktober 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul Pengaruh Sedimen Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) Di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan proses penyusunan tesis ini dapat berlangsung dengan baik atas kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan saran selama penyusunan tesis ini. 2. The Nature Conservancy (TNC) Marine Portfolio Bali; Joint Program TNC – WWF Kabupaten Berau dan seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan serta dukungan baik moril maupun materil selama pelaksanaan penelitian. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. 4. Bidang INSDAL, Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut BAKOSURTANAL beserta seluruh stafnya yang banyak membantu dalam proses pengambilan dan pengolahan data lapangan. 5. Keluarga tercinta (Ayahanda Atang Adipraja, Ibunda Mursih, Kakanda Sutriaman, dan Kakanda Dewi Laelasari) yang senantiasa memberikan doa dan restu selama penulis menempuh pendidikan. 6. Mbak Katrin, Toni dan Pak Made secara pribadi yang telah membantu penulis dalam proses pengambilan data di lapangan 7. Bapak Hamdani, teman seperjuangan yang telah banyak memberikan masukan selama analisis data dan proses penulisan tesis. 8. Rekan-rekan kuliah Program Studi Ilmu Kelautan Angkatan 2003 (B.R. Febriana, Baharudin, Cut Rosa, Laode Alirman, Mustamin, Sussana, Sussana
Rafiani, Yuli Erina, Lilik Maslukah, Riska Eka Putri) serta kakak kelas Wike Ayu Eka Putri yang telah memberikan inspirasi dan menjadi teman diskusi. 9. Teman-teman satu kost (Hawis H. Madduppa, Ramadian Bachtiar, dan M. Yazid) yang telah menjadi keluaraga selama penulis menempuh pendidikan. 10. Serta personal dan lembaga yang telah memberikan kontribusi dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulus mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga hasil dari penelitian dan tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu kelautan di masa yang akan datang.
Bogor, Oktober 2006 Dede Suhendra
RIWAYAT HIDUP
Dede Suhendra dilahirkan di Ciamis (Jawa Barat) pada tanggal 6 Febuari 1979 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis mengawali pendidikan dasar di SD Negeri Pangandaran 5 (1986 – 1992). Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Pangandaran pada tahun 1992 – 1995, dan pada tahun 1995 – 1998 dilanjutkan di SMU Negeri 1 Ciamis. Selanjutnya penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 1998, dan lulus pada tahun 2003). Selama di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER), Fisheries Diving Club (FDC - IPB) dan Aquatic Mountain Zone (AMAZON). Penulis juga tercatat sebagai asisten luar biasa pada mata ajaran Biologi Perikanan dan Biologi Laut. Penulis juga banyak mengikuti kegiatan penelitian di dalam maupun di luar akademik. Kegiatan tersebut antara lain: Reef Check 2001 di Pangandaran (2001), monitoring terumbu karang di Daerah Perlindungan Laut (DPL) Pulau Sebesi, Lampung (2002), tergabung dalam team Ekspedisi Zooxantellae VI di Kepulauan Belitung (2002). Untuk menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK – IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul “Studi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung. Penulis dinyatakan lulus dan memperoleh gelar sarjana pada tanggal 17 Januari 2003. Pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Ilmu Kelautan IPB. Selama menjadi mahasiswa pascasarjana, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan menjadi ketua umum Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS) periode 2003/2004. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Sedimentasi Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................................
1
Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................
3
Hipotesis ......................................................................................................
3
Pendekatan Masalah ....................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................
7
Deskripsi Lokasi Penelitian .........................................................................
7
Administrasi dan kependudukan .........................................................
7
Perekonomian .......................................................................................
8
Kondisi iklim dan oseanografi ............................................................
9
Sungai Berau ....................................................................................... 10 Terumbu Karang .......................................................................................... 11 Anatomi karang ................................................................................... 11 Reproduksi karang .............................................................................. 12 Alga simbion - zooxanthellae .............................................................. 13 Tipe-tipe terumbu karang ..................................................................... 15 Sebaran dan faktor lingkungan ............................................................ 15 Bentuk pertumbuhan ............................................................................ 17 Terumbu karang di Kepulauan Derawan ............................................. 19 Sedimen ........................................................................................................ 21 Karakteristik alami ............................................................................... 21 Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang ....................................... 23 Adaptasi karang terhadap sedimen ....................................................... 24
i
BAHAN DAN METODE .................................................................................. 26 Waktu dan lokasi penelitian ......................................................................... 26 Peralatan yang digunakan ............................................................................ 28 Tahapan Penelitian ....................................................................................... 28 Metode Pengambilan Data ........................................................................... 29 Pengamatan terumbu karang ................................................................ 29 Pengamatan sedimen dan parameter kualitas air ................................. 30 Preparat histologis karang .................................................................... 31 Analisis Data ............................................................................................... 33 Persentase penutupan dan mortalitas karang batu ............................... 33 Padatan tersuspensi (TSS) .................................................................... 33 Analisis Sedimen .................................................................................. 34 Pengelompokan jenis karang batu ........................................................ 35 Analisis Komponen Utama (PCA) ....................................................... 35 Analisis ragam (ANOVA) .................................................................... 36 Analisis regresi ..................................................................................... 36
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 39 Parameter oseanografi .................................................................................. 39 Suhu ..................................................................................................... 39 Salinitas ................................................................................................ 40 Kecerahan ............................................................................................. 40 Padatan tersuspensi (TSS) ..................................................................... 41 Nutrien ................................................................................................ 42 Arus permukaan ................................................................................... 43 Sedimen ........................................................................................................ 45 Analisis ukuran butir ............................................................................ 45 Laju sedimentasi ................................................................................... 48 Terumbu Karang .......................................................................................... 49 Persentase penutupan dan tingkat kematian karang batu ..................... 49 Analisis bentuk pertumbuhan karang batu ........................................... 51 Analisis Komponen Utama (PCA) ................................................................ 57
ii
Hubungan antara laju sedimentasi dengan karang batu ............................... 60 Pengelompokan spesies karang batu ............................................................ 62 Analisis Tingkat Jaringan ............................................................................. 64
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 70 Kesimpulan ................................................................................................. 70 Saran ............................................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 72 LAMPIRAN ....................................................................................................... 76
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jumlah penduduk dan pendapatan per kepala keluarga di Kecamatan Derawan dan Maratua (Sumber: Profil Kepulauan Derawan) ................................................................................................
7
2
Kategori bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1994) ..................
18
3
Sepuluh spesies karang tertinggi yang ditemukan pada masing-masing tipe komunitas (Turak, 2003). .................................................................
20
Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth (Dyer, 1986; Davis, 1993).......................................................................
22
5
Posisi geografis stasiun penelitian ..........................................................
26
6
Peralatan dan metode yang digunakan untuk pengamatan parameter perairan ...................................................................................
28
4
7
Rerata dan standar deviasi parameter oseanografi pada masing-masing stasiun pengamatan ........................................................... 39
8
Sebaran persentase fraksi sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan ............................................................................................. ... 46
9
Laju sedimentasi pada masing-masing stasiun pengamatan ...................... 48
10
Penutupan karang batu (%) pada masing-masing stasiun pengamatan ................................................................................................ 50
11
Indeks mortalitas karang keras pada masing-masing stasiun pengamatan ................................................................................................. 50
12
Uji taraf nyata (signifikansi) pada masing-masing stasiun berdasarkan persentase penutupan karang batu (P<*0,05) ..................... ... 60
13
Densitas zooxanthellae pada spesimen karang Acropora formosa dan Porites cyllindrica ............................................................................ ... 66
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Peta sebaran sedimen dari Sungai Berau menuju perairan Kepulauan Derawan (Sumber: Citra Landsat ETM, 8 Juni 2001) ............
4
2
Kerangka konseptual pendekatan masalah................................................
6
3
Anatomi karang (Veron, 2000) ................................................................. 12
4
Tipe-tipe terumbu karang (Sumber: Microsoft Encarta, 2006) ................. 16
5
Variasi bentuk pertumbuhan Pocillopora damicornis di Great Barrier Reef dalam kaitannya dengan lingkungan (Veron, 1995) ........................ 17
6
Peta stasiun pengamatan ........................................................................... 27
7
Diagram alur tahapan penelitian ............................................................... 29
8
Metode pengambilan data karang dengan transek kuadrat ....................... 30
9
Pengukuran parameter oseanografi ........................................................... 31
10
Peta prediksi rata-rata bulanan arus dan suhu permukaan Laut Sulawesi (sumber: TNC) ........................................................................... 44
11
Karang batu yang mengalami kematian pada bagian tertentu akibat sedimen .......................................................................................... 51
12
Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 1 ............................. 52
13
Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 2 ............................. 53
14
Penutupan sedimen pada bentuk Acropora tabulate di Stasiun 2 ............. 54
15
Grafik persen penutupan karang batu di Stasiun 3.................................... 54
16
Mekanisme pembersihan sedimen pada karang bentuk foliose (Riegl et al, 1996)...................................................................................... 55
17
Grafik persentase penutupan karang keras di Stasiun 4 ........................... 56
18
Zonasi berdasarkan distribusi sedimen dan bentuk pertumbuhan karang batu di Kepulauan Derawan ......................................................... 57
v
19
Grafik hasil analisis komponen utama (PCA): (a) korelasi antar variabel. (b) distribusi individu (stasiun penelitian) pada masing-masing kuadran ............................................................................ 59
20
Grafik regresi antara (a). laju sedimentasi dengan persentase penutupan karang batu, (b). laju sedimentasi dengan jumlah jenis karang batu ................................................................................................ 61
21
Foto jaringan polip Acropora formosa (a: spesimen Acropora formosa; b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x). .................................... 68
22
Foto jaringan polip Porites cyllindrica (a: spesimen Porites cyllindrica; b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x) ..................................... 69
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Bentuk pertumbuhan karang batu (English et al. 1994) ........................... 77
2
Peta TSM hasil interpretasi citra Sea Wifs (Sumber: TNC) ..................... 80
3
Hasil analisis Gradistat.............................................................................. 82
4
Persentase penutupan karang dan biota penyusun substrat dasar lainnya ....................................................................................................... 84
5
Hasil pengolahan data dengan menggunakan PCA ................................. 86
6
Spesies karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun .................. 87
7
Hasil Cluster Analisis dengan menggunakan SPSS.10 ............................. 97
8
Profil terumbu karang di Stasiun 1........................................................... 103
9
Profil terumbu karang di Stasiun 2........................................................... 104
10
Profil terumbu karang di Stasiun 3........................................................... 105
11
Profil terumbu karang di Stasiun 4........................................................... 106
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai salah satu ekosistem pantai, terumbu karang memiliki peranan penting dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat pesisir. Disadari maupun tidak, sebagian besar masyarakat pesisir menggantungkan perekonomian mereka pada sektor perikanan. Ekosistem terumbu karang hadir dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, baik keanekaragaman jenis biota karang sebagai penyusun utama ekosistem tersebut maupun keanekaragaman biota laut lainnya. Berbagai macam jenis ikan, Moluska, Krustasea, serta Ekhinodermata yang memiliki nilai ekonomis tinggi hidup berasosiasi dalam ekosistem tersebut. Biota laut ekonomis merupakan target utama penangkapan nelayan yang telah menghidupi mereka secara turun temurun. Selain memiliki fungsi ekonomis, ekosistem terumbu karang juga memiliki fungsi secara ekologis. Fungsi ekologis ekosistem terumbu karang diantaranya adalah sebagai pelindung pantai dari energi mekanik gelombang yang dapat menyebabkan abrasi. Dalam kaitannya dengan siklus dan keberlanjutan hidup biota laut, ekosistem terumbu karang berperan sebagai daerah perlindungan, pemijahan, asuhan, dan tempat mencari makan. Ekosistem terumbu karang di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Lebih dari 480 jenis karang batu telah teridentifikasi di bagian timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang sudah dideskripsikan (Burke et al. 2002). Namun demikian kondisi saat ini berbagai ancaman baik dari faktor alam maupun manusia semakin meningkat. Sedimentasi merupakan salah satu bentuk ancaman yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan degradasi terumbu karang. Kasus di Kepulauan Derawan, berbagai aktifitas seperti penebangan hutan, kegiatan pertambangan serta kegiatan pengerukan pasir yang terjadi di sepanjang aliran Sungai Berau disinyalir sebagai pemasok terbesar sedimen di perairan Kepulauan Derawan (Wiryawan et al. 2005). Hal ini tentunya akan menjadi ancaman serius tehadap komunitas terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Derawan.
Kajian mengenai pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti di dunia. Melalui mekanisme shading dan smothering sedimen dapat menyebabkan pertumbuhan karang terhambat atau bahkan
mematikannya
(Hubbard,
1997).
Efek
dari
sedimentasi
dapat
menyebabkan bioerosi pada karang oleh berbagai organisme macroboring seperti spons, cacing, bivalva (Macdonald dan Perry 2003). Sedimentasi juga merupakan faktor utama yang mengakibatkan kematian karang batu pada saat proses rekrutmen melalui mekanisme smothering (Fabricius et al. 2003). Pada tingkat jaringan, sedimentasi mempengaruhi ketebalan jaringan polip karang (Barnes dan Lough, 1999). Kondisi stress pada karang yang diakibatkan oleh sedimentasi juga dapat terlihat dari menurunnya densitas zooxanthellae dan konsentrasi klorofil pada jaringan polip karang (Philipp dan Fabricius, 2003). Bagaimanapun juga beberapa jenis karang batu masih dapat beradaptasi pada tingkat sedimentasi tertentu melalui sediment rejection. Sedimen rejection dilakukan secara aktif melalui destensi jaringan, aksi sillia dan tentakel, serta produksi mucus (Barnes dan Lough, 1999), atau secara pasif melalui morfologi koralum dan bentuk pertumbuhannya (Stafford-Smith dan Ormond 1992 dalam Tomascik et al. 1997). Terdapat beberapa jenis karang yang rentan terhadap sedimentasi, namun terdapat pula jenis karang yang tahan terhadap sedimentasi, yang tentunya akan berpengaruh terhadap ekologi serta komposisi dari komunitas karang batu (Stafford-Smith, 1993). Hingga saat ini belum dilakukan penelitian yang secara khusus mengkaji mengenai pengaruh sedimentasi terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan Derawan. Di sisi lain informasi ini sangat diperlukan sebagai dasar evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Derawan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian dengan tujuan: (1) Mengetahui sebaran parameter oseanografi dan sedimen pada area terumbu karang; (2) Mengetahui perbedaan komunitas karang batu yang didasarkan atas kondisi sedimentasi pada masing-masing lokasi penelitian; (3) Mengkaji pengaruh sedimentasi terhadap komunitas karang batu.
2
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian adalah ini adalah untuk: 1.
Mengetahui sebaran parameter oseanografi dan sedimen pada area terumbu karang secara spasial.
2.
Mengetahui perbedaan komunitas karang batu yang didasarkan atas kondisi sedimentasi pada masing-masing lokasi penelitian.
3.
Mengkaji pengaruh sedimentasi terhadap komunitas karang batu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pengaruh masukan sedimen dari darat terhadap ekosistem terumbu karang. Selanjutnya seluruh informasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk mengkaji dan mengevaluasi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di Kepulauan Derawan.
Hipotesis Pada penelitian kali ini, hipotesis yang dikemukakan adalah terdapatnya pengaruh sedimentasi terhadap karakteristik karang batu (sclerectinia) di Kepulauan Derawan. Semakin tinggi laju sedimentasi akan menyebabkan keragaman spesies karang batu semakin rendah.
Pendekatan Masalah Di Kabupaten Berau mengalir dua sungai utama, yaitu Sungai Kelay dan Sungai Segah yang mulai dan berakhir di Kabupaten yang sama. Sistem sungai ini membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 15.000 kilometer persegi. Berbagai aktifitas terjadi di sepanjang aliran sungai tersebut, mulai dari kegiatan rumah tangga, transportasi, industri hingga penebangan hutan. Selanjutnya Sungai-sungai tersebut bergabung membentuk Sungai Berau di kota Tanjung Redeb, Iibu Kota Kabupaten Berau, dan mengalir sekitar 40 kilometer ke arah timur menuju Laut Sulawesi dimana Kepulauan Derawan berada. Faktor anthropogenik yang menjadi ancaman terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan Derawan memang cukup kompleks, diantaranya adalah kegiatan pengeboman, penggunaan trawl, sampah, serta kegiatan bekarang, yaitu
3
kegiatan masyarakat sekitar yang berjalan diatas terumbu karang untuk mengambil biota-biota yang berasosiasi di daerah tersebut. Akan tetapi faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap ekosistem terumbu karang adalah sedimentasi yang sebagian besar merupakan pasokan dari keberadaan Sungai Berau. Hal ini didukung juga dengan semakin banyaknya kegiatan pembukaan hutan di daerah atas, serta iklim dimana hujan di daerah ini berlangsung sepanjang tahun dan jarang sekali terjadi bulan-bulan kering. Berdasarkan citra Landsat ETM tanggal 8 Juni 2001, sedimen yang berasal dari Sungai Berau mencapai perairan di sekitar Pulau Panjang dan Pulau Derawan. Secara visual sedikit sekali dan bahkan tidak ada kandungan sedimen dari Sungai Berau yang mencapai Pulau Sangalaki dan Maratua (Gambar 1) Atas dasar sebaran sedimen tersebut penelitian difokuskan di Pulau Panjang, Pulau Derawan, Pulau Sangalaki, dan Pulau Maratua.
Hal ini dimaksudkan untuk
melihat perbedaan komunitas karang batu pada daerah yang terkena dampak sedimen berat hingga daerah yang tidak terekspose oleh sedimen.
Gambar 1. Peta sebaran sedimen dari Sungai Berau menuju perairan Kepulauan Derawan (Sumber: Citra Landsat ETM, 8 Juni 2001). Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung sedimen yang terdeposit akan menutupi permukaan polip karang sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi metabolik untuk menghilangkannya kembali. Secara tidak langsung sedimen yang
4
tersuspensi dapat menghalangi masuknya penetrasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis alga simbion karang zooxanthellae. Apabila jumlah sedimen cukup tinggi dan melebihi batas kemampuan polip karang untuk beradaptasi, maka akan terjadi kematian dan penurunan penutupan terumbu karang pada daerah tersebut. Di sisi lain apabila sedimen mengandung sejumlah besar bahan organik akan terjadi invasi oleh alga. Jenis-jenis karang tertentu dapat beradaptasi terhadap kondisi sedimen di sekitarnya sampai pada kisaran tertentu. Karang yang memiliki ukuran polip yang lebih besar akan lebih bertahan pada kondisi yang keruh daripada karang dengan ukuran polip yang kecil. Bentuk adaptasi lain dari terumbu karang terhadap sedimentasi adalah melalui adaptasi morfologi, yaitu dengan memiliki bentuk pertumbuhan tertentu. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sedimentasi baik yang terdeposit maupun yang tersuspensi akan berpengaruh terhadap struktur komunitas terumbu karang (kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi). Mengacu pada praduga interaksi di atas, secara lebih lanjut akan dilakukan kajian mengenai struktur komunitas karang pada daerah yang diduga mengalami sedimentasi tinggi, moderat, hingga sedimentasi rendah di Kepulauan Derawan. Selanjutnya kerangka pendekatan masalah dalam mengkaji hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
5
Sungai Berau
Sedimen Laut Dangkal
Tersuspensi
Terdeposit
Penetrasi Cahaya
Penutupan Polip
Faktor Anthropogenik
Karang Batu (sclerectinia)
Mortalitas
Faktor Alami
Adaptasi
Komunitas Karang Penutupan Karang Batu Jumlah dan Komposisi Jenis
Gambar 2. Kerangka konseptual pendekatan masalah
6
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Lokasi Penelitian Administrasi dan kependudukan Kepulauan Derawan yang terdiri dari Kecamatan Pulau Derawan dan Kecamatan Maratua termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten Berau bagian utara dan barat berbatasan dengan Kabupaten Bulungan, bagian timur berbatasan langsung dengan Selat Makassar, serta bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur. Secara keseluruhan Kabupaten Berau terdiri dari 13 kecamatan, yaitu Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung, Derawan, Maratua, Tabalar, Biatan Lempake, Talisayan, Batu Putih, dan Biduk-biduk. Kepulauan Derawan secara geografis terletak di semenanjung utara dari wilayah perairan laut Kabupaten Berau yang terdiri dari beberapa pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Rabu-rabu, Pulau Samama dan Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban dan Pulau Maratua serta beberapa gosong karang seperti gosong Muaras, Pinaka, Buliulin, Masimbung, Tababinga dan beberapa gosong pulau lainnya. Kecamatan
Pulau
Derawan
dan
Maratua
terdiri
dari
beberapa
desa/kampung, secara rinci sebaran penduduk berdasarkan Kepala Keluarga (KK) dan jiwa dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Jumlah penduduk di Kecamatan Derawan dan Maratua (Sumber: Hasil survei Program Bersama Kelautan, 2005) Kecamatan Pulau Derawan
Pulau Maratua
Kampung Pulau Derawan Tanjung Batu Kasai Teluk Semanting Pegat Batumbuk Payung payung Bohe Silian Teluk Harapan Teluk Alulu
Jumlah KK 371 547 472 80 131 118 182 162 126
Jumlah jiwa 1.370 2.188 1.960 458 450 538 682 707 558
Perekonomian Secara umum perekonomian di Kepulauan Derawan sudah berkembang dengan baik, sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tangkap. Hasil tangkapan nelayan Kepulauan Derawan merupakan pemasok terbesar perekonomian Kabupaten Berau dari sektor perikanan. Jumlah kapal penangkapan yang ada di Kecamatan Derawan dan Maratua pada tahun 2001 sebanyak 426 unit, dengan jumlah perahu tanpa motor sebanyak 77 unit, motor tempel 93 unit, dan kapal motor sebanyak 256 unit. Jenis alat tangkap yang digunakan bermacam-macam, diantaranya adalah payang, purse sein, gill net, jaring angkat, pancing dan bubu. Selain dari kegiatan perikanan, masyarakat Kepulauan Derawan juga menggantungkan hidupnya pada sektor perdagangan dan pariwisata dan perkebunan. Masyarakat membuka toko untuk menjual kebutuhan sehari-hari, peralatan rumah tangga, bahkan ada yang menjadi penjual bahan bakar seperti bensin dan solar untuk keperluan nelayan setempat. Perkebunan diusahakan sebatas untuk kebutuhan internal. Kondisi alam di Kepulauan Derawan yang eksotis sangat mendukung kegiatan pariwisata di daerah tersebut. Masyarakat Pulau Derawan terlibat dalam kegiatan ekonomi dibidang pariwisata hanya pada skala kecil, mereka menyediakan penginapan, rumah makan, serta menyediakan jasa angkutan, baik untuk memancing, diving, maupun sarana transportasi ke darat. Masyarakat lokal yang sudah memiliki dive licence biasanya bekerja pada pengusaha resort sebagai dive guide. Di Pulau Maratua masih belum ada kegiatan pariwisata yang diusahakan masyarakat setempat. Untuk skala yang lebih besar kegiatan pariwisata diperankan oleh pihak swasta. Sampai saat ini terdapat 4 dive resort yang sudah berkembang di Kepulauan Derawan, yaitu: PT Bumi Manimboran Interbuwana (BMI) di P. Derawan, PT Sangalaki Dive Lodge (SDL) di P. Sangalaki, PT Nabucco Island Dive Resort dan PT Paradise Dive Resort di P. Maratua. Mereka menjual paket-paket wisata terutama wisata selam.
8
Kondisi iklim dan oseanografi Kondisi iklim dan oseanografi kawasan Kepulauan Derawan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di Samudra Pasifik. Secara umum iklim akan dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur, dan untuk oseanografi akan dipengaruhi pergerakan arus secara musiman dan Arus Lintas Indonesia dari Samudra Pasifik Menuju Samudra Hindia yang melewati Selat Makasar. Arah angin secara umum di kawasan Kepulauan Derawan akan mengikuti musim yang ada di Indonesia yaitu musim barat dan musim timur. Kecepatan angin yang paling rendah di Kepulauan Derawan pada bulan Oktober dan November yang mencapai 4,3 knot dengan arah rata-rata 330o dan kecepatan angin maksimum terjadi pada bulan Juli dan Agustus dengan arah 270o. Suhu udara berkisar antara 22,3 oC sampai 32 oC. Iklim di kawasan Kepulauan Derawan berdasarkan klasifikasi Koppen diklasifikasikan sebagai iklim tipe alpha, menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson kawasan Kepulauan Derawan termasuk golongan iklim A yaitu hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kering. Curah hujan harian di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,6 mm sampai 21,8 mm dengan jumlah hari hujan antara 4 sampai 28 hari. Kondisi oseanografi Kepulauan Derawan dipengaruhi oleh dinamika aliran Sungai Berau dan dinamika laut lepas Selat Makasar. Kisaran suhu permukaan air laut yang ada Kepulauan Derawan berkisar antara 29,5 oC sampai 30,5 oC untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau dan berkisar antara 29,5 oC sampai 30 oC untuk kawasan yang berhadapan dengan laut lepas. Kisaran suhu rata-rata pada dasar perairan untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau berkisar antara 27,5 oC sampai 29 oC dan untuk kawasan yang berhadapan dengan laut lepas berkisar 21 oC sampai 28 oC. Salinitas pada kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau berkisar antara 32,5 ppt sampai 33 ppt dan pada kawasan yang berdekatan dengan laut lepas mempunyai salinitas 33,5 ppt. Salinitas pada kedalaman 100 meter untuk kawasan yang berhadapan dengan sungai Berau adalah 33,5 ppt dan pada kawasan yang berhadapan dengan laut lepas berkisar antara 34 sampai 34,5 ppt.
9
Sungai Berau Sungai Kelay adalah sungai yang terpanjang di Berau, sejauh 254 kilometer dari Gunung Mantam area di sebelah barat daya Berau, sebelah hulu kampung Dayak Long Gi. Sungai Kelay dan anak-anak sungainya mengaliri setengah area Berau sebelah selatan sampai bergabung dengan Sungai Segah di Tanjung Redeb membentuk Sungai Berau. Secara tradisional, Sungai Kelay melayani rute pengangkutan utama bagi penumpang dan barang ke bagian selatan Berau. Industri skala besar sepanjang Sungai Kelay tidak sebanyak seperti di sepanjang Sungai Segah, meskipun beberapa kegiatan HPH terbukti ada di sepanjang antara Tanjung Redeb dan kampung Pagat Bukur. Industri yang paling terkemuka sepanjang Sungai Kelay adalah PT Berau Coal di Desa Pagat Bukur. Pelayanan jalan yang ditingkatkan antara masyarakat sepanjang Sungai Kelay ke Tanjung Redeb dan daerah pesisir sekarang menjadi jalur utama untuk pengangkutan kayu dan batu bara. Kebanyakan lahan di dekat Sungai Kelay, ditanami beberapa jenis produk pertanian, yang paling mencolok adalah perkebunan pisang ekstensif antara Pagat Bukur dengan Tumbit Melayu. Beberapa area sekitar Tumbit Dayak dan Long Lanuk telah dibuka untuk padang penggembalaan sapi dan babi. Di kalangan masyarakat ini sungai melayani fungsi pengangkutan tradisional, membantu pengangkutan produk pertanian masyarakat lokal menuju pasar di bagian hilir. Kegiatan yang mencolok lainnya di sepanjang Sungai Kelay, bagian hulu Tumbit Melayu adalah pendulangan emas. Sungai Segah membentang sepanjang 152 kilometer dari hulu sungainya, di area Gunung Kundas, bagian hulu kota Malinau di sudut timur laut Berau, ke arah Tanjung Redeb. Sungai Segah mengaliri setengah area Berau sebelah utara, dan di pasok oleh beberapa sungai yang lebih kecil seperti Sungai Malinau (58 kilometer), Pura (72 kilometer), Siagung (38 km) dan Siduung (83 km). Sungai menjadi saluran utama untuk pengangkutan kayu dari pedalaman ke kapal, dan banyak jalan menghubungkan HPH dengan fasilitas pembongkaran sepanjang sungai Segah tampak antara Labanan dan Tanjung Redeb. PT Berau Coal juga menggunakan sungai untuk mengangkut batubara dari lokasi operasional dekat Teluk Bayur ke Tanjung Redeb dan sekitarnya. Pembabatan vegetasi dan lalu
10
lintas kendaraan pada fasilitas pembongkaran memberi kontribusi terhadap erosi tanah dan meningkatkan sedimentasi sungai. Sungai Kelay dan Sungai Segah bergabung di Tanjung Redeb menjadi Sungai Berau. Sungai Berau lebar, berarus lambat dibatasi terutama oleh Nipah dan mangrove sepanjang 40 km dari Laut Sulawesi. Sungai tersebut merupakan koridor pengangkutan industri yang penting dengan banyak stasiun pembongkaran untuk kayu dan batu bara, dan menjadi rute utama untuk pengangkutan barang dan orang dari Tanjung Redeb ke Samarinda, Balikpapan dan tempat lain. Sungai tersebut juga merupakan rute pengangkutan penting bagi fasilitas wisata di Kepulauan Derawan (misalnya dive resort di pulau Derawan, Sangalaki, Kakaban dan Maratua). Di samping pengangkutan batu bara dan kayu, industri lokal sepanjang Sungai Berau antara lain penambangan pasir (misalnya pasir yang dikeruk dari dasar sungai) dan perikanan. Konversi hutan Nipah menjadi tambak terjadi di sepanjang sungai, dan terutama di dekat kampung Kassai.
Terumbu Karang Anatomi karang Komponen terpenting terumbu karang adalah karang keras. Karang merupakan hewan sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono, 1996). Daerah datar yang berada sekitar mulut disebut oral disc. Mulut karang dikelilingi oleh rangkaian tentakel-tentakel berkapsul yang dapat melukai (nematokis) dan berfungsi sebagai penangkap makanan berupa plankton (Nybakken, 1993). Mulut dan rongga perut dihubungkan oleh tenggorokan yang pendek. Rongga perut berisi semacam usus disebut filamen mesentari yang berfungsi sebagai alat pencernaan (Suharsono, 1996). Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak yang disebut septa, septa tersusun dari bahan organik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang. Dinding polip karang terdiri dari 3 lapisan, yaitu ektodermis, mesoglea dan endodermis.
11
1. Ektodermis: Jaringan terluar dimana banyak dijumpai sel glandula yang berisi mukus dan sel knidoblast yang berisi sel nematokis. Nematokis merupakan sel penyengat
yang
berfungsi
sebagai
alat
penangkap
makanan
dan
mempertahankan diri dari pemangsaan. 2. Mesoglea: Merupakan jaringan yang di bagian tengahnya berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam otot. 3. Endodermis: Lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang (zooxanthellae). Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan silia dan flagella, yang berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel dan di dalam sel mesenteri. Karang mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Selanjutnya gambaran mengenai anatomi karang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Anatomi karang (Veron, 2000)
Reproduksi karang Karang memiliki dua cara dalam reproduksi, yaitu dengan cara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual karang menghasilkan larva planula yang berenang bebas dalam kolom perairan untuk sementara waktu, yang kemudian melekat pada substrat dan mengalami tahap perkembangan selanjutnya.
12
Menurut Harrison dan Wallace (1990) in Tomascik at al. (1997), karang sclerectinia memiliki empat prinsip dasar dalam reproduksi seksual. Hal ini berkaitan anatara hubungan hermaphrodit - gonochorisme dengan pemijahan (pembuahan eksternal) - melahirkan (pembuahan internal). Mayoritas (60%) karang sclerectinia yang memiliki sel kelamin ganda (hermaphrodit) melakukan pembuahan diluar (eksternal). Hanya 15% karang hermaphrodit yang melakukan pembuahan di dalam dan mengeluarkan planula dalam tahap awal reproduksinya. Demikian halnya dengan karang yang memiliki sel kelamin terpisah (gonochorisme) atau dioceous, mereka juga memiliki dua macam pembuahan (eksternal dan internal). Sekitar 70% dari gonochorisme yang diketahui melakukan pembuahan dengan cara eksternal. Penelitian secara ekstensif yang dilakukan di Great Barier Reef, Laut Merah, dan di beberapa tempat di Laut Karibia memperlihatkan bahwa 70% karang sclerectinia yang diteliti melakukan pembuahan diluar, hanya 23% yang melakukan pembuahan didalam (Harrison dan Wallace, 1990 in Tomascik at al., 1997). Setelah karang melekat pada substrat maka ia akan mengalami perubahan struktur dan histologi. Ketika polip menjadi dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentacular budding maupun extratentacular budding. Intratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu yang lama dan hasilnya terdapat dua individu yang identik. Extratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama.
Alga simbion - zooxanthellae Zooxanthellae
merupakan
istilah
umum
yang
dipakai
untuk
menggambarkan alga simbiotik yang hidup bersimbiosis dengan hewan, termasuk karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan nama genus Symbiodinium, dan yang bersimbiosis dengan karang adalah Symbiondium midroadriaticum. Selain memiliki klorofil a dan c, zooxanthellae juga memiliki pigmen (diadinoxanthine dan piridin) yang berguna dalam fotosintesis. Mereka
13
umumnya berwarna cokelat atau merah kecokelatan sehingga umumnya karang terlihat berwarna cokelat (Brikeland,1998) Selanjutnya Brikeland (1998) menjelaskan bahwa zooxanthella ditransfer ke dalam tubuh individu karang baru melalui proses reproduksi, baik reproduksi aseksual maupun seksual. Dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae secara langsung ditransmisi dalam fragmen dasar koloni baru. Sedangkan melalui reproduksi secara seksual, zooxanthellae diperoleh secara langsung dari induk karang atau secara tidak langsung dari lingkungan. Pada saat reproduksi secara seksual,
zooxanthellae langsung ditransfer ke dalam telur atau larva yang
dikeluarkan. Zooxanthellae juga diperoleh secara tidak langsung dari lingkungan atau sisa dari organisme pemakan karang dan pemakan zooplankton yang didalamnya mengandung zooxanthellae. Hubungan simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae adalah simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan untuk keduanya. Zooxanthellae mendapatkan beberapa keuntungan dari hubungan ini, terutama tempat hidup yang cukup baik dan terlindung (jaringan karang). Selain itu mereka juga memperoleh suplai nutrien dasar yang keberadaannya berlanjut (PO4 dan NH3) serta produk metabolik lainnya (Urea dan Asam Amino) hasil ekskresi hewan karang. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO2 sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam proses fotosintesis (Tomascik et al. 1997). Keuntungan dari hubungan ini bagi hewan karang adalah sejumlah gula dan oksigen sebagai hasil fotosintetis zooxanthellae yang dibutuhkan karang sebagai makanan dan respirasi (Byatt et al. 2001). Keuntungan paling penting dari simbiosis antara karang – zooxanthellae bagi karang adalah dalam proses kalsifikasi, sebagai proses perkembangan struktur skeleton karang (Pearse dan Muscatine, 1971 dan Muscatine et al. 1972 dalam Tomascik et al. 1997). Pada kondisi lingkungan yang tidak normal, zooxanthellae dapat mengalami ekspulsi (keluar dari jaringan karang) sebagai indikator stress pada karang. Penelitian mengenai hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang telah banyak dilaporkan oleh beberapa author. Peristiwa pemutihan karang (bleaching) sebagai konsekuensi keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip
14
karang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu, perubahan salinitas, limbah panas, masukan lumpur, polusi minyak (Brown dan Howard, 1985), serta short-term sedimentasi (Philipp dan Fabricius, 2003).
Tipe-tipe terumbu karang Sumich (1992) menyebutkan pengelompokkan tipe-tipe terumbu karang berdasarkan tahap pembentukan formasi dari yang termuda, fringing reef, kemudian barrier reef, hingga yang terakhir atoll (Gambar 4). 1.
Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.
2.
Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman 40 – 70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai.
3.
Atoll, merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah.
Sebaran dan faktor lingkungan Terumbu karang tersebar di laut dangkal baik daerah tropis maupun subtropis, yaitu antara 35o LU dan 32o LS mengelilingi bumi. Garis lintang tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh. Dari berbagai belahan dunia, terdapat tiga daerah besar terumbu karang yaitu: laut Karibia, laut Hindia, dan Indo-pasifik. Di laut Karibia terumbu karang tumbuh di tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Di laut Hindia sebaran karang meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, teluk Aden, teluk Persia, teluk Oman. Sebaran karang di laut Pasifik meliputi laut Cina Selatan sampai pantai timur Australia, pantai Panama sampai pantai selatan teluk California (Suharsono, 1996). Sebaran karang tidak hanya terdapat secara horisontal, tetapi juga secara vertikal. Pertumbuhan, penutupan, dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Beberapa faktor lingkungan yang
15
mempengaruhi pertumbuhan ekosistem terumbu karang antara lain: suhu, salinitas, cahaya, sedimentasi, arus dan gelombang.
1
2
3
Gambar 4. Tipe-tipe terumbu karang: 1. Fringing reef; 2. Barrier reef; 3. Atoll (Sumber: Microsoft Encarta, 2006)
16
Bentuk pertumbuhan Bentuk pertumbuhan karang batu umumnya merupakan refleksi dari kondisi lingkungan di sekitarnya, morfological plasticity memberikan kesempatan bagi terumbu karang untuk beradaptasi secara lokal. Contohnya spesies karang dengan bentuk percabangan yang ramping umumnya terdapat pada area dengan energi gelombang yang rendah, koloni karang di daerah dengan konsentrasi cahaya rendah umumnya sprawl atau berbentuk seperti tabung, dan banyak terumbu karang pada daerah keruh memiliki bentuk pertumbuhan yang lebih vertikal (ke atas) dibanding bentuk pertumbuhan yang datar atau flat (Riegl, 1996) Variasi bentuk koloni dari spesies karang yang sama sangat tergantung dari kondisi lingkungan perairannya.
Veron (1995) mememperlihatkan
keragaman bentuk dan morfologi jenis karang Pocillopora damicornis. Di Great Barier Reef, karang jenis Pocillopora damicornis memiliki morfologi dan bentuk pertumbuhan yang berbeda antara daerah karang depan mangrove, laguna, reef flat hingga karang bagian dalam. Karang di daerah yang keruh seperti laguna dan mangrove bentuk percabangan lebih ramping sebagai adaptasi terhadap sedimen. Di daerah reef flat dengan adanya energi gelombang, bentuk koloni lebih padat dan kokoh. Dan di daerah slope bagian dalam percabangan kembali ramping, tetapi tidak seramping daerah yang keruh di bagian darat (Gambar 5).
Reef flat
Reef back
Mangrove Turbid lagoon
Upper reef slope
Lower reef slope
Gambar 5. Variasi bentuk pertumbuhan Pocillopora damicornis di Great Barrier Reef dalam kaitannya dengan lingkungan (Veron, 1995)
17
English et al. (1994) menggolongkan bentuk pertumbuhan karang menjadi dua kelompok besar, yaitu Acropora dan Non-acropora. Secara lengkap bentuk pertumbuhan dari masing-masing kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Kategori bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1994) Kategori Dead Coral
Kode DC
Dead Coral with Alga Hard Coral: Acropora
DCA
Non Acropora
Other Fauna Soft Coral Sponge Zoanthids Others
Branching
ACB
Encrusting
ACE
Submassive
ACS
Digitate
ACD
Tabular
ACT
Branching
CB
Encrusting
CE
Foliose
CF
Massive
CM
Submassive
CS
Mushroom
CMR
Millepora
CME
Heliopora
CHL
SC SP ZO OT
Keterangan Karang yang baru mati, Berwarna putih Karang mati yang ditumbuhi alga
Bercabang seperti ranting. contoh: A. Formosa, A. palmata Bentuk merayap, seperti Acropora yang belum sempurna. Contoh : A. cuneata Bercabang lempeng dan kokoh. Contoh : A..palifera Percabangan rapat seperti jari tangan. Contoh : A. digitifera, A. humilis Percabangan arah mendatar. Contoh : A. hyacinthus Bercabang seperti ranting pohon. Contoh : Seriatopora hystrix Bentuk merayap, menempel pada substrat. Contoh : Montipora undata Bentuk menyerupai lembaran. Contoh : Merulina ampliata Bentuk seperti batu besar. Contoh : Platygyra daedalea Bentuk kokoh dengan tonjolan. Contoh : Porites lichen Bentuk seperti jamur, soliter. Contoh : Fungia repanda Semua jenis karang api, warna kuning diujung koloni. Karang biru, adanya warna biru pada skeleton. Karang dengan tubuh lunak
Anemon, teripang, gorgonian, kima
18
Algae
Abiotik
Kategori Alga Assemblage Coralline Algae Halimeda Macroalgae Turf Agae Sand Rubble Silt Water Rock
Other
Kode AA
Keterangan Terdiri lebih dari satu jenis alaga
CA
Alga yang mempunyai struktur kapur Alga dari genus Halimeda Alga berukuran besar Menyerupai rumput-rumput halus Pasir Pecahan karang yang berserakan Lumpur Kolom air /celah dengan ketdalaman lebih dari 50 cm
HA MA TA S R SI WA RCK DDD
Data tidak tercatat atau hilang
Terumbu karang di Kepulauan Derawan Tipe terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Derawan adalah: fringing reef (terumbu karang tepi), barrier reef (terumbu karang penghalang), atoll (terumbu karang cincin) dan patch reef (gosong terumbu karang). Gosong terumbu karang yang terdapat di daerah ini meliputi gosong Pulau Panjang, gosong Masimbung, gosong Buliulin, gosong Pinaka, gosong Tababinga, dan gosong Muaras. Atoll yang terdapat di Kepulauan Derawan telah terbentuk menjadi pulau, yaitu Maratua dengan luasan 690 km2 dan Muaras dengan luas 288 km2; serta ada pula yang terbentuk menjadi danau air asin, yaitu Kakaban dengan luas 19 km2 (Wiryawan et al. 2004). Hasil dari REA (Rapid Ecologycal Assesment), tercatat sebanyak 444 spesies karang yang telah teridentifikasi, serta 63 spesies tambahan yang belum teridentifikasi dan statusnya masih dalam menunggu konfirmasi dari museum Tropical of Queensland, Australia. Apabila spesies tersebut telah terkonfirmasi, ini akan menambah kekayaan spesies karang di Kepulauan Derawan menjadi 507 spesies. Hal ini akan menjadikan Kepulauan Derawan menduduki urutan kedua dunia dalam keanekaragaman spesies terumbu karang setelah Raja Ampat, Irian dengan jumlah 523 spesies terumbu karang (Turak, 2003). Selanjutnya Turak (2003) mengelompokkan komunitas terumbu karang di Kepulauan Derawan ke dalam 6 tipe komunitas yang terdiri dari 3 komunitas dangkal (Tipe A, B, C) dan 3 komunitas dalam (tipe D, E, F). Pengelompokan ini
19
didasarkan atas komposisi serta kelimpahan dari spesies-spesies karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun. Komunitas dangkal tipe A dicirikan dengan perairan yang jernih, ditemukan pada daerah jauh dari pantai dan cenderung berasosiasi dengan komunitas dalam tipe E. Komunitas dangkal tipe B ditemukan pada daerah flat, slope bagian atas dengan pengadukan yang moderat. Komunitas dangkal tipe C ditemukan pada daerah yang tertutup pada flat bagian luar serta reef crest dan upper slope, dicirikan dengan turbiditas yang tinggi. Komunitas dalam tipe D ditemukan pada daerah slope bagian dalam dan terlindung, turbiditas tinggi sebagai pengaruh dari sungai Berau. Komunitas dalam tipe E dicirikan dengan perairan yang jernih di bagian luar dan di sekitar atoll, biasanya berasosiasi dengan komunitas dangkal tipe A. Komunitas dalam tipe F ditemukan pada daerah lebih ke luar dimana pengaruh dari pantai masih cukup kuat. Komposisi dari masing-masing tipe komunitas kemungkinan besar dipengaruhi oleh adanya Sungai Berau. Masukan sedimen dan materi lain yang terbawa dari darat menjadi faktor pembatas bagi spesies-spesies karang tertentu, sehingga penyebaran karang membentuk pola tersendiri pada area terumbu karang yang dekat dengan daratan hingga area terumbu karang pada bagian luar (atoll). Selanjutnya sepuluh spesies-spesies karang tertinggi yang ditemukan pada masing masing tipe komunitas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Sepuluh spesies karang tertinggi yang ditemukan pada masing-masing tipe komunitas (Turak, 2003). Tipe A Kelimpahan Porites massive 28 Porites cylindrical 27 Acropora millepora 24 Galaxea fasicularis 23 Acropora palifera 35 Acropora formosa 30 Stylophora pistillata 26 Pocillopora verrucosa 24 Acropora subulata 23 Acropora nasuta 21
Tipe B Kelimpahan Favia matthai 31 Favites abdita 27 Porites massive 32 Pocillopora verrucosa 28 Montipora grisea 27 Pocillopora danae 26 Acropora digitifera 23 Symphyllia recta 23 Acropora humilis 22 Seriatopora caliendrum 31
Tipe C Fungia concinna Fungia repanda Favia pallida Porites cylindrical Porites nigrescens
Tipe D Herpolitha limax Oxypora glabra Favia favus Montipora florida Galaxea fasicularis
Kelimpahan 15 15 13 13 13
Kelimpahan 14 13 13 12 12
20
Fungia horrida Echinopora lamellosa Merulina ampliata Platygyra daedelea Acropora Formosa
12 12 10 10 9
Tipe E Kelimpahan Pavona varians 29 Platygyra daedelea 29 Echinopora lamellosa 28 Favia matthai 26 Hydnophora exesa 22 Acropora horrida 31 Porites vaughani 31 Acropora divaricata 30 Porites massive 30 Stylophora pistillata 29
Pectinia alcicornis Pavona cactus Seriatopora hystrix Plerogyra simplex Pachyseris foliosa
12 15 13 11 11
Tipe F Kelimpahan Favia matthai 29 Favites russelli 27 Diploastrea heliopora 21 Pachyseris speciosa 24 Galaxea fasicularis 22 Goniasatrea pectinata 22 Porites massive 26 Seriatopora caliendrum 24 Porites lichen 23 Mycedium elephantotus 21
Sedimen Karakteristik alami Secara umum terdapat dua macam sedimen yang terdapat dalam air laut. Pertama adalah terrigenous sediment, yang terbentuk dari hasil pelapukan; erosi dari daratan yang kemudian ditransfer masuk ke laut melalui sungai; gletser dan angin. Mereka terdiri dari gravel, pasir, lumpur dan tanah liat (clay). Kedua adalah biogenous sediment, yang terbentuk dari hasil proses-proses biologis organisme planktonik (dominan) yang mensekresikan skeleton dari kalsium karbonat atau silica (Bearman, 1989). Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa terrigenous sediment lebih dominan terdapat di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Pada daerah ini (misalnya: pantai utara Jawa dan selatan Kalimantan), masukan lumpur dan pasir (yang kaya akan clay mineral) banyak dijumpai sebagai penyusun habitat dasar. Untuk daerah yang lebih kering serta kawasan non-vulkanik (Banda Arc bagian luar), sedimen pada perairan dangkalnya lebih didominasi oleh biogeous sediment. Komposisi dan jumlah sedimen yang masuk ke daerah pantai (termasuk kawasan terumbu karang) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah kondisi geologis yang meliputi lithologi dan fisiografi, dimana dengan kondisi geologis yang berbeda akan menghasilkan sedimen yang berbeda dalam hal jumlah dan kualitas (ukuran partikel, minerologi). Faktor kedua yang tidak kalah
21
pentingnya adalah iklim yang dapat mempengaruhi laju pelapukan serta erosi tanah, intensitas dan durasi curah hujan. Faktor lainnya yang mempengaruhi masukan sedimen adalah angin yang membawa debu dan pasir, kapasitas infiltrasi dari tanah dan batuan, serta adanya penutupan oleh tanaman vegetasi di sekitarnya (Meijerink, 1977 dalam Tomascik et al. 1997; Milliman, 2001). Selanjutnya berdasarkan ukuran butirnya, sedimen dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yakni batu (stone), pasir (sand), lumpur (silt), dan lempung (clay). Klasifikasi ini didasarkan pada Skala Wentworth seperti yang disajikan pada Tabel 4. Skala tersebut menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi berukuran mikron sampai beberapa mm dengan spektrum yang bersifat kontinyu (Wibisono, 2005). Tabel 4. Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth (Wibisono, 2005)) Nama Batu (stone)
Pasir (sand)
Lumpur (silt)
Lempung (clay)
Partikel Bongkah (boulder) Krakal (coble) Kerikil (peble) Butiran (granule) Pasir sangat kasar (v. coarse sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sangat halus (v. fine sand) Lumpur kasar (coarse silt) Lumpur sedang (medium silt) Lumpur halus (fine silt) Lumpur sangat halus (v. fine silt) Lempung kasar (coarse clay) Lempung sedang (medium clay) Lempung halus (fine clay) Lempung sanat halus (v. fine clay)
Ukuran (mm) > 256 64 – 256 4 – 64 2–4 1–2 ½–1 ¼–½ 1/8 – ¼ 1/16 – 1/8 1/32 – 1/16 1/64 – 1/32 1/128 – 1/64 1/256 – 1/128 1/640 – 1/256 1/1024 – 1/640 1/2360 – 1/1024 1/4096 – 1/2360
Keterangan: v = very; istilah lumpur umumnya disebut lanau
Ukuran-ukuran partikel tersebut diatas sangat mungkin untuk menutupi polip karang yang memiliki variasi ukuran dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Penutupan oleh sedimen seperti ini secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan polip karang. Sirkulasi sedimen di daerah pantai serta transport dari dan ke arah laut lepas lebih dipengaruhi oleh angin, arus, gelombang dan pasang surut. Hasil dari pelapukan dan erosi terbawa oleh aliran sungai dalam bentuk padatan tersuspensi,
22
kemudian melalui proses mekanik sebagian didepositkan dan terakumulasi pada lapisan dasar, peristiwa ini disebut sedimentasi (Bates and Jackson, 1980 in Tomascik, 1997). Selanjutnya Tomasik (1997) menyebutkan bahwa laju sedimentasi dari padatan tersuspensi ini dipengaruhi oleh struktur fisik dari partikel itu sendiri (contoh: volume, luas permukaan, densitas, dan porositas), sifat fisik dari air (contoh: densitas), serta kondisi hidrologis di sekitar lokasi (contoh: velositas arus, shear stress, pengadukan). Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang Komunitas terumbu karang identik dengan kondisi lingkungan dengan perairan yang jernih, oligotropik, dan substrat dasar yang keras. Sedimen yang tersuspensi maupun yang terdeposit umumnya diketahui memberikan efek yang negatif terhadap komunitas karang (McLaughin et al. 2003). Rogers (1990) in Tomascik et al. (1997) menyebutkan bahwa laju sedimentasi dapat menyebabkan kekayaan spesies yang rendah, tutupan karang rendah, mereduksi laju pertumbuhan dan laju recruitment yang rendah, serta tingginya pertumbuhan karang bercabang. Pengaruh sedimen terhadap komunitas karang secara garis besar terjadi melalui beberapa mekanisme. Pertama, partikel sedimen menutupi permukaan koloni/individu karang sehingga polip karang memerlukan energi yang lebih untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut. Kedua, sedimen menyebabkan peningkatan kekeruhan dan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan spesies-spesies karang yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya (Salvat, 1987). Ketiga, selain mampu mengikat unsur hara, sedimen juga dapat mengadsorpsi bahan toksik dan penyakit yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan karang. Selanjutnya Hubbard (1997) menyebutkan bahwa sedimentasi juga dapat menghalang-halangi penempelan larva karang pada substrat dasar. Sebagaimana diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel, dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya tidak dapat tercapai.
23
Dalam banyak kasus, adanya sedimentasi di daerah terumbu karang menyebabkan kematian dan degradasi bagi beberapa spesies karang. Hubbard (1997) mengemukakan bahwa pertumbuhan karang (dan mungkin penutupan) di sepanjang terumbu karang Costa Rica mengalami penurunan secara gradual dengan meningkatnya tekanan lingkungan, terutama sedimentasi sebagai pengaruh dari lahan pertanian sejak 1950. Selanjutnya aktivitas pengerukan yang terjadi di pelabuhan Castle, Bermuda sekitar 30 tahun yang lalu, telah memyebabkan kematian karang di beberapa area karang sekitarnya yang dipengaruhi sistem sirkulasi perairan dari daerah pengerukan tersebut (Dodge dan Vaisnys, 1977 dalam Hubbard, 1997). Di Ko Phuket, Thailand pengerukan pada daerah dalam selama 8 bulan secara signifikan telah menyebabkan reduksi penutupan karang pada area terumbu karang intertidal yang berdekatan dengan aktifitas tersebut (Brown et al. 1990 dalam Hubbard, 1997). Di Indonesia, Sungai Solo di Jawa Timur memasok sekitar 1200 ton.km-2 /thn sedimen (Hoekstra et al. 1989 dalam Tomascik et al. 1997). Selanjutnya masukan sedimen dari Sungai Solo ini berpengaruh terhadap degradasi dan penyebaran karang di pantai utara Jawa dan Madura (Tomascik et al. 1997). Berdasarkan data yang tersedia, terlihat bahwa pengaruh yang paling kuat terjadi di bagian timur, selama puncak run off yaitu pada muson barat laut, ketika arus dari laut jawa mengalir ke arah timur (Wyrtki, 1961; Hoekstra, et al. 1989 dalam Tomascik et al. 1997). Adaptasi karang terhadap sedimen Bagaimanapun juga jenis karang tertentu masih memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap sedimentasi pada lingkungan perairannya, baik secara fisiologi maupun morfologi. Adaptasi secara fisiologi merupakan bentuk adaptasi secara aktif dari karang dalam menolak sedimen (active sediment rejection), sedangkan adaptasi secara morfologi merupakan kemampuan karang secara pasif dalam menolak sedimen (passive sediment rejection). Kondisi hidrologi lokal dan bentuk umum corallum karang merupakan dua faktor kunci kemampuan karang dalam menolak sedimen secara pasif (Tomascik et al. 1997). Kenyataan bahwa setiap jenis karang memiliki kemampuan yang berbeda untuk beradaptasi terhadap keberadaan sedimen, akan menyebabkan pola penyebaran dari jenis-jenis
24
karang serta struktur komunitas benthic lainnya berbeda pula antara daerah dengan sedimentasi tinggi hingga daerah yang sedikit sekali mengalami sedimentasi ( Litz et al. 1985; Hallock, 1998 dalam Hallock et al. 2004). Sebagai contoh karang dari jenis Fungia dapat beradaptasi secara morfologi dan fisiologi terhadap kondisi perairan dengan turbiditas tinggi. Turbinari peltata dan Echinopora mammiformis merupakan jenis karang yang mampu bertahan pada kondisi perairan dengan turbiditas tinggi, yaitu dengan memiliki morfologi corallum (unifacial lamine) yang memfasilitasi untuk menolak sedimen secara pasif (Stafford-Smith dan Ormond, 1992 dalam Tomascik et al. 1997). Dengan memiliki kemampuan tersebut, keduanya mengalami kesuksesan yang cukup tinggi untuk bertahan di area karang dengan turbiditas tinggi di Kepulauan Berau, bahkan keberadaannya sangat melimpah (Tomascik et al. 1997). Jenis-jenis karang yang memiliki kemampuan secara aktif dalam menolak sedimen telah banyak diteliti oleh beberapa peneliti (Marshall dan Orr, 1931; Hubbard dan Pacock, 1972; Bak dan Elgershuizen, 1976; Rogers, 1978, 1983; Logan, 1988 dalam Tomascik et al. 1997). Hasilnya mengindikasikan bahwa terdapat variasi dalam kempuan penolakan sedimen diantara masing-masing grup taksa. Selanjutnya Stafford-Smith dan Ormond (1992) dalam Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa terdapat 42 spesies karang yang diteliti di Great Barier Reef yang memiliki kemampuan aktif dalam menolak sedimen. Sebagai contoh, Leptoria phyriga, yang umumnya terdapat pada daerah upper reef slope yang jernih, tapi masih memiliki kemampuan mentolerir sedimentasi hingga 25 mg.cm-2 /hari tanpa mengalami kerusakan (Stafford-Smith, 1993 dalam Tomascik et al. 1997). Jenis lain yang memiliki kemampuan tinggi dalam menolak sedimen adalah Diploastrea heliopora, Gardineroseris planulata dan Favia pallida, dan keberadaannya cukup melimpah pada daerah turbiditas tinggi di Kepulauan Berau dengan kedalaman kurang dari 5 meter (Tomascik et al. 1997).
25
BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilakukan secara berkala dengan tiga periode pengambilan data. Pengambilan data pertama dilakukan pada bulan Mei, 2005, kemudian pengambilan data kedua dilakukan pada bulan September, 2005, dan pengambilan data ketiga dilakukan pada bulan Februari, 2006. Tiga periode pengambilan data ini dianggap sebagai ulangan yang mewakili musim barat dan musim timur. Stasiun pengambilan data ditetapkan pada empat pulau di Kepulauan Derawan, yaitu Pulau Panjang, Pulau Derawan, Pulau Sangalaki, dan Pulau Maratua (Gambar 6). Selanjutnya posisi geografis dari masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Posisi geografis stasiun penelitian Stasiun 1 2 3 4
Lokasi Pulau Panjang Pulau Derawan Pulau Sangalaki Pulau Maratua
Jarak dari Muara Sungai Berau (km) 34,6 37,2 43,6 69,5
Posisi Geografis 2° 18’ 05” LU, 118° 14’ 14” BT 2° 17’ 05” LU, 118° 14’ 55” BT 2° 05’ 23” LU, 118° 23’ 38” BT 2° 11’ 43” LU, 118° 35’ 38” BT
Pertimbangan pemilihan lokasi adalah jarak terhadap sumber utama masukan sedimen (Sungai Berau), dimana diduga terjadi degradasi sedimentasi dari sedimentasi tinggi, moderat hingga sedimentasi kecil. Dengan terdapatnya perbedaan
kondisi sedimen diharapkan dapat dilihat pengaruhnya terhadap
struktur komunitas terumbu karang pada masing-masing stasiun. Pertimbangan lainnya adalah lokasi tersebut merupakan titik-titik penyelaman yang telah dilakukan pada kegiatan Rapid Ecologycal Assesment (REA) oleh The Nature Conservancy (TNC) sehingga selain ketersediaan mengenai data awal kondisi terumbu karang di Kepulauan Derawan, juga titik-titik tersebut relatif aman untuk dilakukan penyelaman.
Peralatan yang digunakan Alat bantu utama yang digunakan dalam pengamatan terumbu karang adalah peralatan selam SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), roll meter, transek kuadrat dengan ukuran 1 x 1 m, serta alat tulis bawah air (underwater paper dan pensil). Alat pendukung lainnya yang digunakan untuk mengamati terumbu karang diantaranya adalah kamera bawah air Canon Powershot S50, tetrapod, pasak besi yang digunakan untuk memasang transek permanen, serta speed boat sebagai alat transportasi dalam pengambilan data. GPS digunakan untuk mencatat posisi geografis lokasi stasiun pengamatan. Alat yang digunakan untuk mengukur sedimen adalah sedimen traps yang terbuat dari pipa PVC dengan diameter dalam 8 cm. Alat yang digunakan untuk mengambil contoh air adalah Van Dorn Water Sampler. Selanjutnya peralatan serta metode yang digunakan untuk mengukur parameter perairan secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 6). Tabel 6. Peralatan dan metode yang digunakan untuk pengamatan parameter oseanografi Parameter Arah arus Kecepatan arus Kedalaman Suhu Kecerahan Salinitas Nitrat Posphat TSS Fraksi sedimen Laju sedimentasi
Satuan o
m/dt m °C m ppt mg/l mg/l mg/l m3/hari
Metode/Alat Kompas Floating drouge Deep gauge SCT-meter Secchi disc SCT-meter Tetrimetrik Tetrimetrik Gravimetrik Pipet Sediment traps
Keterangan in situ in situ in situ in situ in situ in situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium in situ
Tahapan Penelitian Secara umum penelitian kali ini meliputi 3 tahap, yaitu (1) penentuan stasiun yang didasarkan atas jarak terhadap muara Sungai Berau, kemudian dilanjutkan dengan pengamatan karang batu, sedimen dan parameter oseanografi di lapangan. (2) Analisis laboratorium untuk parameter nutrien, tekstur sedimen, dan pembuatan preparat histologis karang. (3) Analisis dan interpretasi data. Selengkapnya alur penelitian tersaji pada diagram berikut (Gambar 7)
28
Mulai
Penentuan stasiun
Karang batu
Sedimen
Parameter oseanografi
Persentase penutupan , Indeks mortalitas dan struktur jaringan
Laju Sedimentasi dan Tekstur sedimen
Suhu, salinitas, kecerahan, TSS, nitran, ortofosfat
Analisis komponen utama (PCA)
Mengetahui sebaran stasiun dan hubungan antar variabel penelitian
Analisis ragam (ANOVA)
Menguji perbedaan persentase penutupan karang diantara stasiun penelitian
Analisis regresi dan korelasi
Mengetahui pengaruh sedimentasi terhadap karang batu
Selesai
Gambar 7. Diagram alur tahapan penelitian
Metode pengambilan data Pengamatan terumbu karang Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan modifikasi dari metode transek kuadrat (English et al. 1994). Metode ini cocok digunakan untuk mengamati penutupan terumbu karang dengan periode waktu yang lama.
29
Dalam metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek. Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai, kemudian pemasangan transek kuadrat dilakukan setiap selang 5 meter. Sebelum pengambilan foto transek, terlebih dahulu dilakukan pemasangan pasak besi di setiap sudut transek kuadrat dengan tujuan sebagai tanda untuk pengamatan berikutnya. Selanjutnya pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air. Agar jarak pengambilan gambar selalu konstan maka setiap pengambilan foto dibantu dengan menggunakan tetrapod. Pengolahan foto dilakukan didarat dengan menggunakan software Image-G sampai pada taraf bentuk pertumbuhan karang batu (Lampiran 2). Output yang dihasilkan berupa data kondisi penutupan karang yang terdapat dalam transek kuadrat.
Gambar 8. Metode pengambilan data karang dengan transek kuadrat
Pengamatan sedimen dan parameter kualitas air Pengamatan sedimen yang terdeposit dilakukan dengan menggunakan sedimen traps yang terbuat dari pipa PVC dengan tinggi 20 cm dan diameter 3 inci. Sedimen traps dipasang pada masing-masing stasiun selama 14 hari. Pengamatan dilakukan pada hari terakhir setelah pemasangan dengan mencatat
30
volume dan mengambil sedimen yang terperangkap selama periode waktu pemasangan. Selanjutnya volume yang didapat dikonversi ke dalam mg/cm2/hari sebagai laju sedimentasi. Untuk mengetahui fraksi sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan maka contoh sedimen dianalisis di laboratorium Pusat Penelitian Tanah dengan menggunakan metode pipet. Contoh air diambil dengan menggunakan Van Dorn Water Sampler, yang kemudian dipindahkan ke dalam botol sample untuk dilakukan analisis Nitrat, Posphat, dan TSS di laboratorium. Pengukuran parameter suhu dan salinitas dilakukan secara langsung dilapangan dengan menggunakan SCT-meter. Demikian juga dengan parameter fisika-kimia lainnya seperti kecerahan, dan arus dilakukan secara langsung di lapangan (Gambar 9).
Gambar 9. Pengukuran parameter oseanografi Preparat histologis karang Untuk melihat pengaruh dari sedimen terhadap struktur jaringan polip karang maka perlu adanya pengamatan terhadap struktur jaringan polip tersebut. Pembuatan preparat histologis polip karang dilakukan dengan mengikuti langkahlangkah sebagai berikut: 1. Untuk memisahkan polip karang dari kerangka kapur, terlebih dahulu dilakukan Decaltifikasi dengan menggunakan larutan Formik Acid 100 ml, HCL pekat 80 ml, Akuades 820 ml kemudian ditambah larutan Formalin 10%.
31
2. Lakukan fiksasi dengan menggunakan larutan Bouin, yaitu larutan yang terdiri dari Formaldehid 25%, Asam pikarat 75% dan Asam asetat glasial 5% selama 24 jam. Kemudian ganti larutan dengan Alkohol 75%. 3. Lakukan dehidrasi dengan menggunakan larutan Alkohol dengan konsentrasi berturut-turut sebagai berikut: 70% selama 24 jam, 80% selama 2 jam, 90% selama 2 jam, 95% selama 2 jam, 95% selama 2 jam. Kemudian masukkan dalam Alkohol 100% selama 12 jam, Alkohol 100% selama 1 jam. 4. Tahap selanjutnya adalah memasukkan
polip karang ke dalam larutan
Alkohol dan Xilol selama 30 menit. Kemudian pindahkan ke dalam larutan Xilol selama 3 kali 30 menit. 5. Sebelum dilakukan infiltrasi, masukkan terlebih dahulu polip karang ke dalam larutan
Xilol
dan
Parafin.
Selanjutnya
dilakukan
infiltrasi
dengan
menggunakan parafin yang telah dicairkan beberapa minggu sebanyak 3 kali ganti, masing-masing selama 45 menit. 6. Selanjutnya dilakukan blocking (pencetakan) kemudian didinginkan. Pada proses pencetakan ini bidang permukaan yang akan dipotong diletakkan menghadap ke bawah dengan menggunakan forcep atau pinset. 7. Setelah pencetakan kemudian dilakukan proses section atau pemotongan menggunakan microtom dengan ketebalan 4 – 6 mikron. 8. Langkah terakhir adalah pewarnaan. Preparat terlebih dahulu direndam dalam larutan Xilol 2 kali selama 3 – 5 menit. Selanjutnya masukkan dalam Alkohol dengan konsentrasi berturut-turut 100%, 100%, 95%, 90%, 80%, 70%, 50%, masing-masing selama 2 menit. Kemudian masukkan dalam Haematoxylin (5 – 7 menit), air mengalir (5 – 7 menit), Eosin (3 – 5 menit.). Kemudian masukkan dalam alkohol dengan konsentrasi seperti diatas tetapi urutannya dibalik dari 50% hingga 100%. Selanjutnya masukkan kembali ke dalam Xilol 2 kali bergantian masing-masing selama 2 menit. Kemudian di-mounting dengan cover glass. Preparat siap untuk diamati.
32
Analisis Data Persentase penutupan dan mortalitas karang batu Persentase penutupan karang beserta penyusun substrat dasar lainnya dianalisis dengan menggunakan software Image-G. Prinsip kerja dari metode ini adalah: pertama mengkonversi foto yang diambil dengan menggunakan kamera Canon Powershot S50 dari satuan meter (mengacu pada transek kuadrat dengan dengan luas 1x1m) ke dalam satuan pixel; selanjutnya melakukan digitasi terhadap bentuk pertumbuhan karang beserta substrat dasar lainnya yang telah diketahui genusnya. Hasil akhir dari pengolahan ini adalah berupa persentase penutupan baik bentuk pertumbuhan ataupun genus karang serta penyusun substrat dasar lainnya yang terdapat dalam transek kuadrat. Untuk melihat tingkat kematian karang batu pada masing-masing stasiun penelitian didekati dengan indeks mortalitas. Nilai indeks mortalitas karang didapatkan dari persentase penutupan karang mati dan patahan karang dibagi dengan persentase karang hidup (modifikasi dari Gomez and Yap, 1988):
MI =
A A+ B
Keterangan : MI = Indeks mortalitas
A = Persentase karang mati dan patahan karang B = Persentase karang hidup
Padatan tersuspensi (TSS) Penentuan sedimen yang tersuspensi di dalam air dilakukan berdasarkan metode gravimetrik yang dikembangkan oleh Banse et al. (1963) serta Strickland dan Parson (1968) dalam Hutagalung et al. (1997). Metode ini didasarkan pada selisih berat kertas saring sesudah dan sebelum penyaringan contoh air. Selanjutnya proses analisis dilakukan melalui langkah-langkah berikut: 1. Siapkan kertas saring (millipore dengan porositas 0,45µm), keringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 103 – 105
o
C kemudian dinginkan dalam
desikator. Timbang dan dicatat beratnya (W1).
33
2. Ambil 100 ml air contoh dengan gelas ukur, aduk, kemudian disaring dalam
Vacuum Pump dengan menggunakan kertas saring yang telah ditimbang sebelumnya. 3. Keringkan kertas saring dan residu dalam oven 103 – 105 oC selama kurang lebih 1 jam, dinginkan dalam desikator, kemudian timbang (W2). 4. Hitung nilai TSS dengan menggunakan rumus:
TSS (mg / l ) = W2 − W1
1000 ml sampel
dimana: W1 = Berat filter sebelum digunakan untuk menyaring (mg) W2 = Berat filter setelah digunakan untuk menyaring (mg) Analisis Sedimen
Laju sedimentasi dinyatakan dalam mg/cm3/hari (Roger et al, 1994). Pengamatan dilakukan dengan mengkoleksi sedimen yang terperangkap dalam sediment traps yang dipasang selama 14 hari. Selanjutnya dihitung berat kering sedimen (dalam mg) dengan menggunakan timbangan analitik. Perhitungan laju sedimentasi dilakukan melalui pesamaan berikut LS =
BS Jumlah hari x π r 2
dimana: LS = Laju sedimentasi (mg/cm2/hari) Bs = Berat kering sedimen (mg)
π = konstanta (3,14) r
= Jari jari lingkaran sedimen traps (cm)
Selanjutnya contoh sedimen diambil untuk kemudian dilakukan analisis fisik sedimen berupa diameter partikel di laboratorium. Berdasarkan hasil nalisis fisik tersebut di atas, selanjutnya dilakukan analisis lanjutan menggunakan software GRADISTAT versi 4.0 (Blot 2000). Keluaran dari analisis GRADISTAT adalah berupa parameter statistik sedimen yang meliputi ukuran partikel sedimen, sorting, skewness, kurtosis dan persentase jenis sedimen. Selanjutnya pengelompokan klasifikasi menurut Skala Wenworth seperti yang
34
disajikan pada Tabel 3. Skala tersebut menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi berukuran mikron sampai beberapa mm dengan spektrum yang bersifat kontinyu.
Pengelompokan jenis karang batu
Cluster analisis dengan menggunakan indeks jarak euclidean dilakukan untuk melihat terdapatnya pengelompokan jenis karang batu yang didasarkan atas keberadaannya pada stasiun penelitian. Dengan ini akan terlihat adanya jenis yang menjadikan ciri dari masing-masing stasiun penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan software Statistica 6.0. Indeks ini dihitung berdasarkan jumlah kuadrat perbedaan antara individu-individu (baris) untuk variabel (kolom) yang sesuai melalui persamaan: p
d 2 (i, i ' ) = ∑ ( xij − xi ' j ) j =1
dimana: i dan i’
= indeks untuk individu atau baris
j (1 sd p) = indeks variabel atau kolom p
= banyaknya peubah yang diamati dari setiap individu
Analisis Komponen Utama (PCA) Untuk melihat sebaran spasial terumbu karang beserta karakteristik perairan di sekitarnya dilakukan analisis menggunakan statistik multivariabel PCA (Principal Components Analysis) dengan software Statistica 6.0 (Ludwig and Reynolds, 1988). Analisis Komponen Utama (PCA) merupakan metode analisis statistika deskriptif untuk merepresentasikan data dalam bentuk grafik informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu (baris), serta penutupan karang dan parameter fisika-kimia perairan sebagai variabel (kolom). Parameter yang dilibatkan dalam analisis ini adalah persentase penutupan karang serta parameter fisika-kimia perairan di sekitarnya seperti suhu, salinitas, kecerahan dan sedimen. Karena parameter-parameter tersebut tidak memiliki satuan yang sama maka harus dilakukan penormalan data melalui serangkaian
35
proses pemusatan dan pereduksian. Pemusatan dilakukan dengan melihat selisih antara nilai parameter inisial tertentu dengan nilai rata-rata parameter tersebut. Pereduksian merupakan hasil bagi antara nilai pemusatan dengan standar deviasi parameter tersebut. R=
Ni − x S
dimana: R = nilai hasil reduksi Ni = nilai parameter awal
x = nilai rataan dari parameter S = standar deviasi
Agar pengelompokan dapat dilakukan, harus diketahui dahulu kedekatan antar komponen, untuk itu digunakan jarak Euclidean yang merupakan jumlah kuadrat perbedaan antara stasiun (baris) terhadap variabel/parameter (kolom) yang berhubungan.
Analisis ragam (ANOVA) Analisis ragam digunakan untuk mengkaji apakah terdapat perbedaan persentase penutupan karang batu diantara stasiun penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan software SPSS 10, dalam taraf nyata 95%. Hipotesis yang akan dibuktikan melalui uji kali ini adalah: H0: Tidak terdapat perbedaan penutupan karang batu diantara masing-masing stasiun H1: Sekurang-kurangnya dua stasiun memiliki penutupan karang batu yang berbeda dengan stasiun lainnya Uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis nol adalah dengan uji F. Apabila F hitung lebih besar daripada F tabel maka H0 ditolak. Sebaliknya apabila F hitung lebih kecil daripada F tabel maka H0 diterima.
Analisis regresi Untuk menganalisis hubungan antara sedimentasi dengan karang batu, dilakukan analisis Regresi dengan menggunakan software Microsoft Excel 2003. Regresi merupakan suatu model matematika yang dapat digunakan untuk memprediksi suatu variabel dengan variabel lainnya. Variabel yang diprediksi
36
disebut variabel dependent yang umumnya ditulis dengan lambang y, sedangkan variabel yang memprediksi disebut variabel independent, yang biasa ditulis dengan simbol x (Walpole, 1995, Kountur, 2006). Dalam kaitannya dengan penelitian kali ini, yang menjadi variabel dependent adalah jenis dan penutupan karang batu, sedangkan yang menjadi variabel independent adalah laju sedimentasi. Secara matematis rumus regresi dapat ditulis sebagai berikut (Walpole 1995) :
yˆ = a + bx n ⎛ n ⎞⎛ n ⎞ n∑ xiyi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟ ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠ b = i =1 2 n ⎛ n ⎞ n∑ xi 2 − ⎜ ∑ xi ⎟ i =1 ⎝ i =1 ⎠
a = y − bx Dimana: yˆ
= jumlah jenis dan penutupan karang batu yang diprediksi
x
= laju sedimentasi
a, b
= koefisien regresi
y
= rata-rata y
x
= rata-rata x
Setelah diketahui persamaan regresi, selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara sedimentasi dengan penutupan dan jumlah jenis karang batu. Analisis dilakukan dengan penghitungan koefisien korelasi (r). Persamaan untuk koefisien korelasi dapat dituliskan sebagai berikut (Walpole, 1995):
r=
n ⎛ n ⎞⎛ n ⎞ n∑ xiyi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟ i =1 ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠
⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤ ⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤ ⎢n∑ xi − ⎜ ∑ xi ⎟ ⎥ ⎢n∑ yi − ⎜ ∑ yi ⎟ ⎥ ⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ i =1 ⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ i =1
Dalam menginterpretasi model regresi digunakan koefisien determinasi 2
(R ). Koefisien determinasi menunjukkan berapa besar perubahan pada variabel
37
dependent yang dapat dijelaskan oleh variabel independent. Penghitungan
koefisien determinasi dilakukan melalui persamaan berikut:
R2 = Dimana: Sy n
JKG 2 (n − 1) s y
= simpangan baku y = jumlah data
JKG = jumlah kuadrat (n – 1) (sy2 – (b2sx2))
38
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter oseanografi Salinitas memiliki kecenderungan semakin tinggi menuju ke arah laut lepas. Kecerahan di setiap stasiun masih mampu menembus dasar perairan. Kandungan TSS pada stasiun yang dekat dengan aliran sungai lebih tinggi dibandingkan stasiun yang jauh dari aliran sungai. Stasiun 1 dan 2 memiliki nilai rerata TSS yang sama akan tetapi fluktuasi secara periodik berbeda. Konsentrasi TSS paling rendah terdapat pada Stasiun 3. Berbeda dengan parameter lainnya, kandungan ortofosfat paling tinggi justru ditemukan di Stasiun 4. Hal ini kemungkinan disebabkan pengukuran dilakukan pada lokasi yang dekat dengan aktifitas penduduk. Kecepatan arus paling tinggi terdapat di Stasiun 3 sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1. Hasil pengukuran-pengukuran tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Rerata dan standar deviasi parameter oseanografi pada masing-masing stasiun pengamatan Parameter Suhu (ºC) Salinitas (ppt) Kecerahan (m) TSS (mg/l) NO3 (mg/l) PO4-orto (mg/l) Kec. Arus (m/s)
Stasiun 1 Rerata St.dev 29,567 0,058 29,833 0,874 5,237 0,071 12,667 5,508 0,182 0,115 0,004 0,005 0,207 0,043
Stasiun 2 Rerata St.dev 29,833 0,321 30,267 0,208 8,893 0,430 12,667 9,018 0,167 0,105 0,003 0,004 0,238 0,064
Stasiun 3 Rerata St.dev 29,933 0,513 31,467 0,503 5,993 0,190 6,667 2,309 0,068 0,071 0,004 0,005 0,290 0,028
Stasiun 4 Rerata St.dev 30,133 0,709 31,833 0,777 7,173 0,162 5,000 4,359 0,128 0,077 0,039 0,065 0,284 0,064
Suhu Pengukuran suhu sangat tergantung dari waktu pengukuran dan cuaca pada saat itu. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa secara umum suhu di Kepulauan Derawan memiliki kisaran yang tidak terlalu lebar, yaitu berkisar antara 29,567 oC – 30,133 oC. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983) suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 oC – 30 oC . Selanjutnya Nybakken (1993) mengatakan bahwa terumbu karang masih dapat mentolerir suhu tahunan maksimum 36 oC – 40 oC dan tahunan minimum 18 oC. Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan karang. Kebanyakan karang kehilangan
kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33,5 oC dan dibawah 16 o
C (Mayor, 1918 dalam Supriharyono, 2000). Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam Supriharyono (2000)
mengatakan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 oC – 6 oC dibawah atau diatas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya. Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa terumbu karang pada suatu lokasi hanya dapat mentolelir perubahan suhu sekitar 2 o
C – 3 oC.
Salinitas Tabel 4 memperlihatkan salinitas paling tinggi terdapat di Stasiun 4 (31,833 ± 0,777 ppt) sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1 (29,833 ± 0,874 ppt). Semakin tingginya salinitas pada stasiun yang menjauhi Sungai Berau memperlihatkan adanya pengaruh dari Sungai Berau terhadap distribusi salinitas di Kepulauan Derawan. Salinitas permukaan air laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain runoff, presipitasi, epavorasi, dan pola arus permukaan. Fluktuasi salinitas permukaan terutama di perairan pantai berkaitan erat dengan keberadaan sungai dan hujan lebat. Salinitas akan mempengaruhi distribusi terumbu karang. Menurut Tomascik et al. (1997) terumbu karang yang dekat dengan sungai besar seperti Sungai Berau akan memperlihatkan keragaman rendah yang didominasi oleh beberapa spesies karang. Spesies dominan antara lain Porites lobata, P. lutea, P. cylindrica, Montipora turlensis, M. mollis, M. hispida, Goniastrea favulus, G. aspera, Goniopora djibuotiensis, G. stokesi, dan G. lobata. Spesies-spesies tersebut merupakan spesies karang yang umumnya toleran terhadap salinitas yang rendah dan turbiditas yang tinggi.
Kecerahan Hasil pengukuran memperlihatkan terdapat perbedaan kecerahan antara masing-masing stasiun penelitian. Hal ini terlihat pada saat penyelaman, dimana visibilitas perairan di Stasiun 1 dan 2 lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Kondisi seperti ini kemungkinan disebabkan jarak kedua stasiun tersebut yang
40
lebih dekat dengan muara Sungai Berau. Namun demikian secara umum kecerahan pada masing-masing stasiun selama tiga periode pengamatan masih mampu menembus dasar perairan. Perubahan nilai kecerahan pada masing-masing periode pengamatan terjadi karena pengaruh waktu pengukuran yang terkait dengan pasang surut. Meskipun demikian nilai tersebut masih berkisar di sekitar nilai kedalaman perairan Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi (Hubbard, 1997). Kecerahan berbanding terbalik dengan padatan tersuspensi (TSS), dimana semakin meningkat TSS maka kecerahan dan penetrasi cahaya matahari semakin berkurang. Hal ini menurut Hubbard (1997) dapat berpengaruh terhadap morfologi karang.
Padatan tersuspensi (TSS) Selain berpengaruh terhadap salinitas, aliran sungai Berau juga mempengaruhi total padatan tersuspensi (TSS) perairan Kepulauan Derawan. Di perairan, TSS berpengaruh terhadap penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dasar perairan dimana terumbu karang berada. Pengaruh ini berbanding terbalik dengan kecerahan, yaitu semakin tinggi nilai TSS maka penetrasi cahaya semakin berkurang. Kaitannya dengan keberadaan terumbu karang, TSS menyebabkan terhalangnya penetrasi cahaya matahari . Sebagaimana disebutkan diatas bahwa cahaya matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan karang terkait dengan fotosintesis alga simbion zooxanthellae. Menurut Hubbard (1997) dengan tingginya nilai TSS maka kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang akan terhambat, selanjutnya TSS juga dapat menyebabkan kematian karang secara individu, serta pada akhirnya dapat membangun pola zonasi secara alami. Konsentrasi TSS paling tinggi terdapat di Stasiun 1 dan 2. Di Stasiun 1 TSS sebesar 12,677 ± 5,508 mg/l dan Stasiun 2 sebesar 12,677 ± 9,018 mg/l. Sedangkan konsentrasi TSS paling rendah dijumpai di Stasiun 4 (5,000 ± 4,359 mg/l). Pada Stasiun 1 tidak terdapat aktifitas penduduk sehingga sumber utama
41
pasokan TSS berasal dari Sungai Berau. Pada Stasiun 2 selain masukan dari Sungai Berau, pada stasiun ini terdapat perkampungan penduduk yang sedikit banyak dapat menyumbangkan konsentrasi TSS ke perairan di sekitarnya. Kajian yang dilakukan oleh TNC mengemukakan bahwa berbagai aktifitas di sepanjang Sungai Berau seperti penggundulan hutan, penambangan batubara dan penambangan pasir diduga merupakan faktor utama kontribusi TSS pada kedua stasiun tersebut.
Nutrien Nutrien merupakan suatu elemen mikro yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Di perairan pesisir, dua nutrien yaitu nitrogen and fosfor hadir dengan konsentrasi rendah sehingga mereka akan menghalangi pertumbuhan yang penuh (full growth). Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan yang merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae, dimana keberadaannya sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Fosfor dalam bentuk ortofosfat merupakan elemen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh alga dan tumbuhan air, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis terlebih dahulu membentuk ortofosfat sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Keberadaan fosfor secara berlebihan dengan diiringi keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae. Kadar nitrogen dalam bentuk nitrat di Kepulauan Derawan paling tinggi terjadi di Stasiun 1 (0,182 ± 0,115 mg/l) sedangkan paling rendah ditemukan di Stasiun 3 (0,068 ± 0,071 mg/l). Menurut Effendi (2003) kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas manusia. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat. Kadar nitrat di beberapa stasiun yang melebihi 0,1 mg/l bersumber dari masukan Sungai Berau dan aktifitas penduduk setempat. Meskipun kandungan nitrat di pada beberapa stasiun di Kepulauan Derawan mencapai nilai yang berpeluang menyebabkan terjadinya pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat, namun hal ini tidak terjadi karena tidak
42
diimbangi dengan tingginya nilai ortofosfat. Kadar ortofosfat di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,003 ± 0,004 mg/l (stasiun 2) hingga 0,039 ± 0,065 mg/l (Stasiun 4). Nutrien seperti nitrogen dan fosfor dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh terumbu karang terkait dengan kebutuhan alga simbion zooxanthellae. Secara alami terumbu karang mampu mengkonservasi keberadaan nutrien dengan memiliki katabolisme protein yang rendah serta mengkatabolis lipid dan karbohidrat. Dalam jumlah yang cukup banyak justru akan membahayakan bahkan dapat menyebabkan kematian terumbu karang. Terumbu karang tidak dapat beradaptasi pada saat pengkayaan nutrien terjadi, umumnya mereka tidak mampu berkompetisi dengan makroalga bentik. Pengkayaan nutrien juga dapat menurunkan laju kalsifikasi karena fosfat akan mengikat kristal aragonite pada saat proses kalsifikasi (Parker and D’Elia, 1997).
Arus permukaan Berdasarkan Tabel 4 diatas, arus permukaan di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,207 ± 0,043 m/detik (Stasiun 1) hingga 0,290 ± 0,028 m/detik (Stasiun 3). Gerakan air di permukaan laut terutama dipengaruhi oleh adanya angin yang bertiup di atasnya. Dalam kenyataannya hubungan tersebut tidak sesederhana itu, karena pergerakan arus juga dipengaruhi paling tidak oleh beberapa faktor, yaitu topografi dasar dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya, serta adanya gaya coriolis dan arus ekman. Menurut Wiryawan et al. (2005) secara umum arah angin di perairan laut Berau mengikuti musim yang ada di Indonesia, yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim barat di perairan laut Berau akan memicu terjadinya angin utara, sedangkan pada musim timur bertiup angin selatan. Kecepatan angin yang paling rendah terjadi pada bulan Oktober dan November, sedangkan kecepatan angin paling tinggi terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Selanjutnya Wiryawan et al. (2005) juga mengemukakan bahwa kondisi oseanografi laut Berau dipengaruhi oleh arus musiman dan Arus Lintas indonesia (Arlindo). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh TNC secara umum pergerakan arus Laut Sulawesi yang melintasi perairan Kepulauan Derawan memiliki kecenderungan menuju ke bagian selatan (Gambar 10)
43
Gambar 10. Peta prediksi rata-rata bulanan arus dan suhu permukaan Laut Sulawesi (sumber: TNC)
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, arus berperan terutama dalam transport sedimen. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Wibisono, 2005 dimana disamping ukuran partikel sedimen, arus juga merupakan komponen yang sangat penting dalam distribusi sedimen baik secara vertikal maupun horizontal. Makin kecil ukuran partikel yang akan diendapkan maka pengaruh arus laut akan semakin besar. Hal ini berarti tempat terjadinya sedimentasi partikel yang lebih kecil mungkin terletak cukup jauh dari sumber dimana partikel tersebut berasal. Biasanya sedimen lithogenous akan diendapkan di daerah sekitar muara sungai .
Sedimen Analisis ukuran butir Sedimen merupakan microscale control bagi terumbu karang, yaitu suatu faktor yang mempengaruhi perkembangan terumbu karang dalam area yang relatif sempit. Pengaruh sedimen terhadap perkembangan terumbu karang umumnya adalah pengaruh negatif dimana melalui shading dan covering dapat menyebabkan
perkembangan
terumbu
karang
terhambat
atau
bahkan
mematikannya. Keseluruhan pengaruh tersebut dapat berperan bersama-sama sebagai kontrol alami dalam penyebaran karang (Hubbard, 1997). Dalam ekosistem terumbu karang terutama di daerah tropis dan subtropis sedimen yang dominan adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3). Sedimen tersebut berasal dari biogenik berupa pecahan halus terumbu karang, moluska, serta coralline algae. Kondisi seperti ini ditandai dengan perairan yang hangat dan cukup jernih seperti yang dibutuhkan oleh terumbu karang untuk tumbuh dan berkembang. Pasir karbonat dan lumpur anorganik dapat juga eksis di daerah ini, sebagai hasil presipitasi secara langsung kalsium karbonat dari air laut yang hangat. Di daerah lintang tinggi karbonat anorganik tidak terbentuk akan tetapi karbonat biogenik masih dapat terbentuk (Bearman, 1999). Dominasi pasir karbonat terjadi apabila terrigenous sedimen sebagai masukan dari darat sedikit. Pada area terumbu karang yang dekat dengan muara sungai besar dimana suplai terrigenous sedimen cukup besar maka sedimen yang lebih halus juga dapat eksis dengan jumlah yang cukup banyak.
45
Berdasarkan hasil analisis ukuran butir diperoleh sebaran fraksi sedimen di Kepulauan Derawan adalah sebagai berikut: pasir sangat kasar (VCS) dengan kisaran 3,8 – 7,3%; pasir kasar (CS) dengan kisaran 13,9 – 18,5%; pasir sedang (MS) dengan kisaran 27,2 – 35,1%; pasir halus (FS) dengan kisaran 30,0 – 36,8%; pasir sangat halus (VFS) dengan kisaran 1,4 – 4,2%; Lumpur sangat kasar (VCSi) dengan kisaran 0,3 – 2,5%; Lumpur kasar (CSi) dengan kisaran 0,5 – 2,2%; Lumpur sedang (MSi) dengan kisaran 0,5 – 2,5%; Lumpur halus (FSi) dengan kisaran 3,7 – 7,6%. Lebih lengkap sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran persentase fraksi sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan Stasiun 1 2 3 4
VCS 7,3 6,1 5,0 3,8
CS 18,5 15,8 16,2 13,9
MS 27,9 27,2 35,1 33,1
Keterangan: VCS : Very Coarse Sand CS : Coarse Sand MS : Medium Sand FS : Fine Sand VFS : Very Fine Sand
Fraksi Sedimen (%) FS VFS VCSi 30,0 4,2 2,5 36,8 4,1 2,4 33,6 1,4 1,9 36,2 2,9 0,3 VCSi CSi MSi FSi
CSi 0,5 1,3 1,2 2,2
MSi 1,4 2,5 0,5 1,5
FSi 7,6 3,7 5,1 6,1
Jenis Sedimen Fine Sand Fine Sand Medium Sand Fine Sand
: Very Coarse Silt : Coarse Silt : Medium Silt : Fine Silt
Pada keempat stasiun memiliki jenis sedimen hampir sama, mulai dari pasir halus (fine sand) hingga pasir sedang (medium sand). Stasiun 1, 2, dan 4 memiliki jenis sedimen yang sama yaitu pasir halus sedangkan stasiun 3 memiliki jenis sedimen pasir sedang. Secara umum di semua stasiun pengamatan memiliki fraksi sedimen yang bervariasi mulai dari pasir sangat kasar hingga lumpur halus, akan tetapi komposisinya tidak merata. Pada Stasiun 1, 2, dan 4 lebih didominasi oleh pasir halus dengan komposisi masing-masing 30,0%, 36,8%, dan 36,2%. Pada Stasiun 3 lebih didominasi pasir sedang dengan komposisi 35,1%. Indikasi terjadinya masukan sedimen dari darat dapat dilihat dari komposisi fraksi lumpur yang terdapat pada masing-masing stasiun. Pada Stasiun 1 fraksi lumpur paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 12,0% dengan komposisi lumpur sangat kasar 2,5%, lumpur kasar 0,5%, lumpur sedang 1,4%, dan lumpur
46
halus 7,6%. Hal ini dimungkinkan karena Stasiun 1 jaraknya paling dekat dengan daratan utama dimana terdapat muara Sungai Berau. Pada saat musim hujan dengan sirkulasi arus yang kurang kuat (paling lemah dibanding stasiun lainnya) maka sedimen yang terbawa melalui Sungai Berau akan terdeposit di daerah ini. Stasiun yang memiliki fraksi lumpur paling sedikit adalah Stasiun 3 di Pulau Sangalaki. Fraksi lumpur pada stasiun ini sebesar 8,7% dengan komposisi lumpur sangat kasar sebesar 1,9% , lumpur kasar 1,2% , lumpur sedang 0,5%, dan lumpur halus 5,1%. Pada stasiun ini selain cukup jauh dari daratan, juga tidak terdapat pemukiman penduduk melainkan hanya terdapat resort penyelaman dan stasiun monitoring penyu. Dengan sirkulasi arus yang cukup baik, sedimen yang terbawa menuju daerah ini akan lebih sulit untuk terdeposit. Fraksi lumpur pada Stasiun 2 dan Stasiun 4 hampir sama, yaitu masingmaing sebesar 9,9% dan 10,1%. Diduga pada Stasiun 2 selain masukan dari Sungai Berau, sedikit banyak terdapatnya pemukiman penduduk juga turut memberikan kontribusi pasokan sedimen. Pada Stasiun 4 jarak dari Sungai Berau paling jauh serta sirkulasi arus yang cukup kuat, sehingga kontribusi sedimen paling besar disinyalir berasal dari aktifitas penduduk yang terdapat di pulau tersebut. Menurut Wiryawan et al. (2005) peningkatan pasokan sedimen ke dalam ekosistem perairan pesisir Kepulauan Derawan disebabkan oleh tingginya laju erosi tanah akibat penggundulan hutan, pertanian dan kontruksi bangunan di sepanjang hulu Sungai Berau. Dengan kondisi penyangga sempadan sungai yang memprihatinkan maka masalah sedimentasi akan menjadi ancaman yang serius terhadap ekosistem pesisir dan laut di Kepulauan Derawan. Selanjutnya berdasarkan citra Sea Wifs (Lampiran 2) dapat dilihat secara umum sedimen dari Sungai Berau terdistribusi hingga mencapai Stasiun 1 dan 2. Pada bulan-bulan tertentu sedimen mencapai Stasiun 3 akan tetapi dengan konsentrasi yang cukup kecil, yaitu sekitar 2 – 3 mg/l. Pada bulan Juni dan Juli 2001, yaitu pada saat debit air sungai minimum, batas sedimen (sedimen plume) telah mendekati sekitar 20 km, atau setengah jalan menuju Kepulauan Derawan
47
dengan kisaran 40 – 150 mg/liter. Sekitar 9 – 12 mg/l terdistribusi hingga Pulau Panjang dan Pulau Derawan.
Laju sedimentasi Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengendapan sedimen yang tersuspensi dalam air laut atau sebagai suatu proses pembentukan dan akumulasi sedimen pada lapisan permukaan dasar perairan (Tomascik et al. 1997). Laju sedimentasi dari bahan tersuspensi tergantung dari struktur fisik bahan itu sendiri (volume, permukaan, densitas, dan porositas), sifat fisik air laut (densitas), kondisi hidrologi dari area yang bersangkutan (velositas arus, shear stress, turbulensi). Umumnya efek smothering terhadap terumbu karang adalah akibat dari terjadinya pengendapan sedimen tersuspensi ke dasar perairan dimana terumbu karang berada. Besar kecilnya efek tersebut terhadap kondisi terumbu karang tergantung dari banyaknya sedimen yang terdeposit serta lamanya peristiwa itu berlangsung (Hubbard, 1997). Laju sedimentasi rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 8,67 – 30,50 mg/cm2/hari (Tabel 9). Laju sedimentasi yang paling tinggi terjadi Stasiun 1 sebesar 30,50 mg/cm2/hari. Nilai tersebut menurut kategori Pastorok dan Bilyard (1985) memiliki dampak sedang sampai berat terhadap terumbu karang. Di Stasiun 3 laju sedimentasi paling rendah dibanding stasiun lainnya, yaitu sebesar 8,67 mg/cm2/hari. Hal ini berarti laju sedimentasi memiliki dampak yang ringan sampai sedang terhadap terumbu karang. Tabel 9. Laju sedimentasi pada masing-masing stasiun pengamatan Stasiun 1 2 3 4
Laju sedimentasi (mg/cm2/hari) 30,50 22,72 8,67 9,91
Tingkat dampak sedang-berat sedang-berat ringan - sedang ringan - sedang
Kategori Pastorok & Bilyard 1985 10 - 50 mg 10 - 50 mg 0 - 10 mg 0 - 10 mg
Pada penelitian kali ini laju sedimentasi berbanding terbalik dengan kecepatan arus. Stasiun 1 dengan kecepatan arus paling rendah memiliki nilai laju sedimentasi paling tinggi. Stasiun 1 di Pulau Panjang merupakan daerah yang
48
terlindung dan menghadap ke daratan utama, dengan kecepatan arus paling rendah ketika mendapat masukan sedimen kemungkinan terjadi pengendapan lebih besar. Sementara Stasiun 3 dengan kecepatan arus paling tinggi, laju sedimentasi yang terjadi lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Celah antara Pulau Sangalaki dengan Karang Baliulin menyebabkan kecepatan arus pada daerah ini relatif tinggi, sehingga sedimen yang masuk akan lebih sulit untuk mengendap. Pada area karang dengan arus dan turbulent mixing dalam keadaan baik maka sedimen dan nutrien akan dilewatkan sehingga pertumbuhan karang akan lebih baik (Hubbard, 1997). Sebaliknya dalam keadaan energi mekanik dari arus dan gelombang yang rendah, sedimen akan terdeposit ke dasar perairan dan menutupi permukaan terumbu karang dan organisme lainnya (Phillip dan Febricius, 2003).
Terumbu Karang Persentase penutupan dan tingkat kematian karang batu Terumbu karang di Kepulauan Derawan tersebar luas diantara pulau dan gosong terumbu karang. Atoll yang terdapat di Kepulauan Derawan telah berkembang membentuk daratan dan danau air asin. Secara umum kondisi terumbu karang di Kepulauan Derawan masih baik dengan keanekaragaman yang cukup tinggi. Pada daerah yang dekat daratan dengan tingkat kekeruhan tinggi banyak ditemukan karang lunak dan gorgonian serta beberapa karang eksotis yang memiliki tentakel dengan ukuran besar. Dalam perkembangannya karang lunak masih mampu mentolelir kondisi perairan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi, demikian juga dengan terumbu karang yang memiliki tentakel lebih besar memiliki
kemampuan
yang
lebih
untuk
membersihkan
sedimen
yang
menutupinya. Persentase penutupan karang keras di daerah penelitian berkisar antara 41, 72 – 90,1% pada pengamatan pertama bulan Mei 2005; Pada pengamatan ke dua bulan September 2005 penutupan karang keras berkisar antara 39,50 – 90,36%; dan pada pengamatan ke tiga bulan Februari 2006 penutupan karang keras berkisar antara 41,97 – 91,57% (Tabel 10).
49
Tabel 10. Penutupan karang batu (%) pada masing-masing stasiun pengamatan. Periode Pengamatan T1 T2 T3
Stasiun 1 41,72 39,50 41,97
Penutupan karang batu (%) Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 47,80 90,10 48,21 49,35 90,36 47,33 48,78 91,57 46,94
Keterangan: T1: Bulan Mei 2005 T2: Bulan September 2005 T3: Bulan Februari 2006
Berdasarkan tabel diatas secara umum terlihat bahwa kondisi terumbu karang paling tinggi terdapat di Stasiun 3 dengan penutupan berkisar antara 90,10 – 91,57% sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1 dengan penutupan 39,50 – 41,97%. Kondisi penutupan karang keras di Stasiun 2 dan Stasiun 3 relatif sama berkisar pada angka 47%. Untuk mengukur tingkat kematian karang batu didekati dengan indeks mortalitas (MI). Indeks mortalitas merupakan perbandingan antara karang mati dan patahan karang dengan karang hidup yang menunjukkan besarnya resiko kematian karang. Secara umum resiko kematian karang lebih tinggi terjadi pada stasiun yang dekat dengan pemukiman penduduk, yaitu Stasiun 2 dan 4. Tingkat kematian karang paling tinggi terdapat di Stasiun 2 dengan nilai MI berkisar 0,21 – 0,22, sedangkan paling rendah di Stasiun 3 dengan nilai MI berkisar 0,06 – 0,08 (Tabel 11). Tabel 11. Indeks mortalitas karang batu pada masing-masing stasiun pengamatan Periode Pengamatan T1 T2 T3
Stasiun 1 0,15 0,19 0,19
Indeks mortalitas (MI) Stasiun 2 Stasiun 3 0,21 0,07 0,22 0,08 0,21 0,06
Stasiun 4 0,18 0,21 0,21
Keterangan: T1: Bulan Mei 2005 T2: Bulan September 2005 T3: Bulan Februari 2006
Kematian karang akibat sedimentasi terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, sedimen yang tersuspensi menghalangi penetrasi cahaya yang diperlukan untuk fotosintesis zooxanthellae. Densitas zooxanthellae dan konsentrasi klorofil per unit area menjadi berkurang akibat adanya ekspos sedimen, selanjutnya terjadi
50
pemutihan yang diikuti kematian pada beberapa koloni karang (Phillip dan Fabricius, 2003). Kedua, sedimen menutupi permukaan koloni karang dan menyebabkan kerusakan pada jaringan yang kemudian diikuti oleh kematian. Mekanisme untuk menghilangkan sedimen dari permukaan koloni melalui silia, pergerakan tentakel dan sekresi mukus memerlukan waktu dan energi yang lebih sehingga akan berpengaruh terhadap aktifitas menangkap makanan ( Barnes dan Lough, 1999). Pada penelitian kali ini ditemukan karang yang ditutupi sedimen pada bagian permukaan koloni dan mengalami kematian secara lokal. Beberapa jenis karang
ditemukan
mengalami
pemutihan
(bleaching)
akibat
hilangnya
zooxanthellae (Gambar 11).
Gambar 11. Karang batu yang mengalami kematian pada bagian tertentu akibat sedimen Analisis bentuk pertumbuhan karang batu Bentuk pertumbuhan karang batu di Stasiun 1 ditemukan sebanyak 12 jenis dengan persentase penutupan karang massive yang paling tinggi (9,15 – 9,38%) kemudian diikuti karang bentuk foliose dengan penutupan berkisar antara 8,14 – 8,97%. Karang bentuk branching baik Acropora maupun non-Acropora ditemukan dengan penutupan yang relatif sama, yaitu antara 6 – 7%. Bentuk pertumbuhan karang batu yang lainnya ditemukan dengan penutupan dibawah 5%. Secara lengkap persentase penutupan bentuk pertumbuhan karang di stasiun 1 tersaji dalam grafik berikut (Gambar 12). Banyak karang masif yang ditemukan memiliki pertumbuhan ke arah samping dan membentuk microatoll, sementara pada bagian atas koloni mengalami kematian dan ditutupi partikel sedimen.
51
40
% Penutupan
35 30 25 20 15 10 5 0
ACB
ACD
ACS
ACT
CB
CE
CF
CM
CS
CM R
CHL
CTU
T1
7,88
0,17
0,16
1,90
7,74
2,99
8,97
9,16
0,47
0,11
1,49
0,70
T2
6,58
0,32
0,18
1,72
7,65
3,12
8,14
9,38
0,31
0,16
1,12
0,82
T3
7,15
1,36
0,15
1,88
6,25
3,04
8,74
9,25
0,48
1,62
1,37
0,68
Gambar 12. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 1
Di stasiun 1 banyak ditemukan karang lunak terutama genus Sarcophyton, Lobophytum, Sinularia, Nephthea, dan Xenia. Karang lunak pada stasiun ini ditemukan mencapai 21,68 – 24,65%. P2O LIPI (2003) mengemukakan jumlah genera karang lunak di perairan Berau menunjukkan kesamaan dengan perairan Sulawesi dan Ambon. Pada perairan dangkal kurang dari 15 meter , dekat muara Sungai Berau banyak ditemukan gorgonian serta karang lunak dari famili Ellisellidae. Alasan mengapa karang lunak masih mampu untuk bertahan pada daerah dengan tingkat sedimentasi tinggi telah dikemukakan oleh Cornish dan DiDonato (2003). Jenis karang lunak famili Alcyonidae seperti Sarcophyton dan Sinularia memiliki laju pertumbuhan yang lambat dengan tingkat mortalitas yang kecil serta dapat tumbuh stabil dalam waktu yang lama. Dalam kondisi perairan tertekan karang lunak mampu bersaing dengan karang batu dengan menghalangi recruitment larva karang batu disekitarnya. Karang lunak juga mampu memproduksi metabolit sekunder yakni senyawa terpen yang dapat menyebabkan kematian karang batu dalam skala lokal. Disamping itu predator karang lunak sangat sedikit serta kematian yang disebabkan oleh predator sepertinya tidak terlalu berpengaruh terhadap kelimpahannya. Adanya masukan sedimen dari darat dengan berbagai muatannya terutama nutrien, dapat berpeluang menyebabkan
52
peningkatan predator karang batu, misalnya Acanthaster plancii. Tetapi hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap karang lunak. Di stasiun 2 ditemukan sebanyak 10 bentuk pertumbuhan karang batu. Persentase penutupan paling tinggi adalah karang massive, yaitu 15,14 – 15,82%, diikuti bentuk karang branching dengan persentase penutupan 13,15 – 15,21%. Bentuk pertumbuhan karang batu lainnya ditemukan dengan persentase penutupan dibawah 10% (Gambar 13). 40
% Penutupan
35 30 25 20 15 10 5 0 T1
ACB
ACD
ACS
ACT
CB
CE
CF
CM
CS
CM E
0,48
0,20
0,76
6,81
13,15
5,64
0,69
15,82
3,81
0,44
T2
1,08
0,18
1,28
5,42
15,21
5,29
0,12
16,14
3,96
0,67
T3
0,97
0,36
1,73
5,68
15,08
3,35
0,52
16,48
4,07
0,54
Gambar 13. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 2 Pada beberapa karang Acropora bentuk tabulate ditemukan tertutup sedimen di bagian permukaannya, serta pada bagian tertentu sudah mengalami kematian. Karang yang memiliki ukuran polip kecil memiliki kemampuan relatif kecil untuk membersihkan sedimen yang menutupinya. Kemampuan karang yang memiliki ukuran polip kecil umumnya memiliki adaptasi morfologis untuk dapat bertahan pada daerah dengan tingkat sedimentasi tinggi (Tomascik et al. 1997). Karang dengan betuk pertumbuhan tabulate memiliki kemampuan yang lemah dalam mereduksi sedimen.
53
Gambar 14. Penutupan sedimen pada bentuk Acropora tabulate di Stasiun 2
Di stasiun 3, dari 10 bentuk pertumbuhan karang batu yang ditemukan, bentuk foliose memiliki persentase penutupan paling tinggi, yaitu sebesar 32,36 – 34,05%. Selanjutnya karang bentuk branching dan karang bentuk encrusting dengan persentase penutupan 19,49 – 19,82% untuk karang branching dan 15,45 – 19,25% untuk karang bentuk encrusting. Bentuk pertumbuhan karang lainnya memiliki persentase penutupan dibawah 10%. 40
% Penutupan
35 30 25 20 15 10 5 0
ACB
ACS
ACT
CB
CE
CF
CM
CS
CM R
CHL
7.37
1.75
2.01
19.82
19.25
32.36
2.17
4.65
0.71
0.00
T2
6.12
2.33
2.84
19.68
16.45
32.91
3.05
4.33
1.13
1.52
T3
6.24
2.16
3.01
18.49
18.11
34.05
2.88
4.17
1.34
1.12
T1
Gambar 15. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 3 Tingginya penutupan karang foliose disebabkan pergerakan arus yang cukup kencang di stasiun 3, sehingga sedimen di daerah tersebut yang menutupi koloninya dapat dilewatkan.. Menurut Riegl et al. (1996) pada daerah berarus kencang, karang dengan bentuk pertumbuhan foliose mampu menciptakan arus mikro di bagian dalam, sehingga secara pasif mampu membersihkan sedimen yang menutupi permukaan koloninya (Gambar 16).
54
Arah aliran
vortex dan arah vortex shedding
Arah transport sedimen dalam koloni daerah akumulasi sedimen
Gambar 16. Mekanisme pembersihan sedimen pada karang bentuk foliose (Riegl et al. 1996)
Selain kondisi terumbu karang yang masih sangat baik, Stasiun 3 dikenal sebagai tempat agregasi manta ray yang datang untuk memangsa zooplankton. Pulau ini juga merupakan tempat peneluran penyu hijau terbesar di Asia Tenggara. Sekitar 20 ekor penyu betina bertelur di Sangalaki per malamnya. Dengan luas 180 ha, Pulau Sangalaki ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi. Melalui SK Menteri Pertanian tahun 1982 kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut. Dengan adanya status ini, disamping kondisi perairannya yang lebih baik dibanding stasiun lainnya telah memberikan kesempatan kepada terumbu karang untuk tumbuh dan berkembang dengan lebih baik. Stasiun 4 merupakan bagian terluar dari dari cakupan wilayah penelitian kali ini. Atoll yang telah berkembang menjadi daratan ini memiliki laguna yang cukup luas pada bagian dalamnya. Kontur dasar mulai dari slope pada bagian yang menghadap daratan hingga bentuk wall pada bagian yang menghadap Laut Sulawesi. Penempatan transek dilakukan di bagian barat laut pulau ini dengan kemiringan sekitar 40o. Di bagian darat stasiun ini terdapat pemikiman penduduk Desa Payung payung yang memiliki kepadatan 541 jiwa. Penutupan karang batu di Stasiun 4 berkisar antara 48,21 – 47,33% dengan masing-masing persentase penutupan bentuk pertumbuhan seperti yang terdapat pada grafik berikut (Gambar 17)
55
% Penutupan
40 35 30 25 20 15 10 5 0 ACB
ACD
ACS
ACT
CB
T1
1,12
0,10
T2
1,14
0,21
T3
1,27
0,14
CE
CF
CM
2,08
1,17
12,87
2,15
1,81
10,29
2,20
1,55
12,09
4,46
CS
CM E
CHL
3,53
3,41
17,63
4,28
3,19
17,35
5,18
0,93
0,18
6,02
0,77
3,11
15,27
6,51
0,12
0,18
0,16
Gambar 17. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 4
Berdasarkan grafik diatas, bentuk pertumbuhan karang batu ditemukan sebanyak 11 jenis. Penutupan karang massive ditemukan paling tinggi, yaitu berkisar antara 15,27 – 17,63%, kemudian diikuti dengan karang branching dengan penutupan antara 10,29 – 12,87%. Karang dengan bentuk pertumbuhan submassive ditemukan dengan penutupan sebesar 5,18 – 6,51%, sedangkan bentuk pertumbuhan lainnya memiliki penutupan kurang dari 5%. Secara umum tipikal karang batu yang ditemukan di Stasiun 4 memliki bentuk yang kokoh sebagai strategi adaptasi terhadap ekspos dari energi mekanik gelombang yang biasa terjadi pada daerah karang di pulau bagian luar. Sebagai gambaran mengenai kondisi terumbu karang di Stasiun 4 dapat dilihat pada lampiran 11. Dengan mengkaitkan distribusi sedimen dan karakteristik bentuk pertumbuhan karang batu pada masing-masing stasiun, maka dapat ditarik garis imajiner yang memperlihatkan adanya zonasi dari lokasi yang dekat dengan muara sungai hingga lokasi yang jauh dari muara sungai. Terdapat 3 zonasi yang terbentuk, yaitu zona 1 yang didalamnya terdapat stasiun 1, zona 2 yang mencakup stasiun 2, dan zona 3 yang mencakup stasiun 3 dan stasiun 4 (Gambar 18). Pada zona 1 masukan sedimen dari sungai paling tinggi, terumbu karang massive banyak ditemukan dengan arah pertumbuhan ke samping. Biota lain yang mendominasi pada daerah ini adalah karang lunak.
56
1
2
3
1 2
3
Gambar 18. Zonasi berdasarkan distribusi sedimen dan bentuk pertumbuhan karang batu di Kepulauan Derawan Di zona 2 masukan sedimen relatif berkurang, bentuk pertumbuhan massive dan branching paling tinggi ditemukan, karang bentuk tabulate banyak ditemukan tertutup sedimen pada permukaan koloni. Di zona 3 yang relatif bebas dari masukan sedimen, bentuk pertumbuhan karang batu lebih teradaptasi dengan kondisi energi mekanik yang kuat seperti bentuk padat dan percabangan yang kokoh.
Analisis komponen utama (PCA) Bagaimanapun juga keberadaan terumbu karang tidak lepas kaitannya dengan kondisi perairan di sekitarnya. Untuk mengetahui keterkaitan antara terumbu karang dengan parameter perairan di sekitarnya, serta hubungan antara parameter yang satu dengan lainnya maka dilakukan analisis komponen utama (PCA). Hasil pengolahan data memperlihatkan beberapa variabel yang memiliki hubungan dengan variabel lainnya, baik yang berbanding lurus (korelasi positif)
57
maupun yang berbanding terbalik (korelasi negatif). Berdasarkan lingkaran korelasi (sumbu 1 dan 2) dapat dijelaskan bahwa penutupan karang memiliki kontribusi yang hampir sama pada kedua sumbu. Di sisi lain sedimen, TSS, arus dan salinitas memiliki kontribusi yang besar terhadap sumbu 1 (horizontal), sedangkan PO4 dan kecerahan memilki kontribusi terhadap sumbu 2 (vertikal) . Selanjutnya gambaran mengenai hubungan antar variabel dapat dilihat pada Gambar 19 (a). Dari matrik korelasi dapat dilihat bahwa persentase penutupan karang batu (HC) memiliki korelasi negatif yang kuat terhadap kematian karang (MI). TSS dan laju sedimentasi mempunyai pengaruh yang tidak kuat terhadap penutupan
karang
batu,
akan
tetapi
pola
hubungan
terlihat
memiliki
kecenderungan berbanding terbalik (negatif). Parameter yang memiliki korelasi positif dengan terumbu karang antara lain arus dan salinitas (sal). Besarnya nilai korelasi antar variabel secara lengkap tersaji dalam matriks korelasi pada lampiran 5. Dengan melihat sudut korelasi antara arus dengan TSS dan laju sedimentasi dapat dijelaskan bahwa di Kepulauan Derawan konsentrasi TSS berbanding lurus dengan laju sedimentasi, artinya semakin tinggi TSS maka akan menyebabkan semakin tinggi pula sedimen yang terdeposit. Kondisi seperti ini berhubungan dengan kecepatan arus yang terjadi pada masing-masing lokasi stasiun penelitian. Semakin tinggi kecepatan arus maka akan semakin kecil konsentrasi TSS dan laju sedimentasi yang terjadi pada lokasi yang bersangkutan. Analisis PCA juga menggambarkan bahwa stasiun penelitian di Kepulauan Derawan memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Hal ini terlihat pada Gambar 20 dimana masing-masing stasiun penelitian menempati kuadran yang berlainan.
Apabila kedua grafik diatas dilakukan overlay maka akan terlihat
bahwa Stasiun 1 lebih dicirikan dengan konsentrasi TSS dan laju sedimentasi. Stasiun 2 lebih dicirikan dengan laju indeks kematian karang (MI) kandungan NO3. Stasiun 3 dicirikan dengan persentase penutupan karang batu, dimana penutupan pada stasiun ini mencapai 90%. Selanjutnya pada Stasiun 4 lebih dicirikan oleh variabel PO4 dan temperatur.
58
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1.0
HC
Factor 2 : 30.35%
0.5
TSS Sed 0.0
Arus Sal NO3 Tem
-0.5
Vis
MI
PO 4 -1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Active
Factor 1 : 62.33%
(a) Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0.00 3.0 2.5 3
2.0 1.5
1
Factor 2: 30.35%
1.0 0.5 0.0 -0.5 2
-1.0 -1.5
4
-2.0 -2.5 -3.0 -3.5 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
Active
Factor 1: 62.33%
(b) Gambar 19. Grafik hasil analisis komponen utama (PCA): (a) korelasi antar variabel. (b) distribusi individu (stasiun penelitian) pada masingmasing kuadran
59
Hubungan antara laju sedimentasi dengan karang batu Untuk membuktikan terdapatnya perbedaan persentase penutupan karang batu pada masing-masing stasiun penelitian digunakan analisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa secara umum stasiun penelitian berbeda nyata satu sama lain berdasarkan persentase penutupan karang batu. Selanjutnya dengan melihat hasil Post Hoc Test melalui analisis Tukey HSD dapat dilihat stasiun mana saja yang berbeda nyata (Tabel 12). Tabel 12. Uji taraf nyata (signifikansi) pada masing-masing stasiun berdasarkan persentase penutupan karang batu (P<*0,05) Beda rata-rata Standar eror Signifikansi
St.1 vs St.2 7,580 * 0,764 0,000
St.1 vs St.3 49,623 * 0,764 0,000
St.1 vs St.4 6,430 * 0,764 0,000
St.2 vs St.3 42,033 * 0,764 0,000
St.2 vs St.4 1,150 0,764 0,477
St.3 vs St.4 43,183 * 0,764 0,000
Dari tabel diatas terlihat bahwa pada selang kepercayaan 95% perbandingan setiap stasiun berbeda nyata kecuali perbandingan antara Stasiun 2 dengan Stasiun 4. Pada penelitian ini perbedaan antara Stasiun 2 dengan Stasiun 4 hanya dapat diterima pada selang kepercayaan 60%. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh terdapatnya aktifitas penduduk yang terdapat pada kedua stasiun tersebut seperti kegiatan transportasi laut, kegiatan bekarang dan lain lain. Setelah
diketahui
perbedaan
masing-masing
stasiun
berdasarkan
penutupan karang batu, selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk mengetahui pengaruh sedimentasi terhadap persentase penutupan dan jumlah jenis karang batu. Dari hasil analisis diketahui bahwa laju sedimentasi lebih berpengaruh terhadap kekayaan jenis dibanding pengaruhnya terhadap persentase penutupan. Pengaruh sedimentasi terhadap persentase penutupan karang batu: Keeratan hubungan selanjutnya dilihat berdasarkan koefisien determinasi 2
(R ). Dari hasil analisis dapat dikatakan bahwa laju sedimentasi berpengaruh terhadap persentase penutupan karang hanya sebesar 44% (R2 = 0,4421), sementara sekitar 56% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Berbeda dengan persentase penutupan, besarnya pengaruh sedimentasi terhadap kekayaan jenis hanya dijelaskan sebesar sekitar 94% (R2 = 0,9447), sisanya sekitar 6%
60
dipengaruhi oleh faktor lain. Selanjutnya grafik masing-masing hubungan disajikan pada Gambar 20. y = 82.775 - 1.4377x R2 = 0.4421
Penutupan enutupan HC (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Laju sedim entasi (m g/cm ²/hari)
(a) y = 239.56 - 3.778x R2 = 0.9447
250
Jumlah jenis
200
150
100
50
0 0
5
10
15
20
25
30
35
Laju sedim entasi (m g/cm ²/hari)
(b) Gambar 20. Grafik regresi antara (a). laju sedimentasi dengan persentase penutupan karang batu, (b). laju sedimentasi dengan jumlah jenis karang batu
61
Pengelompokan spesies karang batu Data mengenai spesies karang yang ditemukan pada stasiun penelitian di Kepulauan Derawan yang mencakup Pulau Panjang, Pulau Derawan, Pulau Sangalaki, dan Pulau Maratua diperoleh dari hasil survei yang dilakukan oleh TNC pada tahun 2003. Survei dilakukan dengan metode time swim. Pengamat berenang secara zig zag, mencacah spesies karang dengan menggunakan peralatan SCUBA. Pengamatan dilakukan mulai dari titik terdalam dimana masih ditemukan terumbu karang hingga titik terdangkal dari keberadaan terumbu karang. Secara keseluruhan di kepulauan Derawan (termasuk wilayah selatan) ditemukan sebanyak 507 spesies. Terumbu karang pada lokasi penelitian kali ini ditemukan sebanyak 306 spesies. Jumlah spesies karang batu paling tinggi ditemukan di Pulau Sangalaki, yakni sebanyak 209 spesies. Selanjutnya Pulau Maratua menempati urutan kedua dengan ditemukan sebanyak 205 spesies karang batu. Di Pulau Derawan tercacah 140 jenis karang batu, sementara di Pulau Panjang spesies karang batu ditemukan dengan jumlah paling kecil, yakni 133 spesies. Secara rinci spesies karang batu yang ditemukan pada masing-masing stasiun tersaji pada lampiran 6. Untuk mengetahui karakteristik dan penyebaran spesies terumbu karang pada masing-masing stasiun penelitian maka dilakukan cluster analisis. Hasil analisis tersebut memperlihatkan beberapa pengelompokan jenis karang terhadap stasiun (lampiran 7). Sedikitnya 58 jenis karang dapat ditemukan di setiap stasiun penelitian, beberapa diantaranya adalah Porites cylindrica, P. massive, P. lichen, Pocillopora verrucossa, P. danae, Pachyseris speciosa, Mycedium elephantotus, Montipora tuberculosa, M. informis, Lobophyllia hemprichii, Goniopora tenuidens, Goniopora lobata, Galaxea fascicularis, Acropora pallifera, Favites russelli, F. abdita, Favia speciosa, F. pallida, F. matthai. Beberapa spesies karang hanya dapat ditemukan pada stasiun tertentu saja dan tidak ditemukan pada stasiun lainnya. Hal ini dapat dijadikan ciri dari masingmasing stasiun penelitian di Kepulauan Derawan. Spesies karang yang terdapat pada Stasiun 1 dengan karakteristik perairan yang dicirikan oleh TSS dan laju
62
sedimentasi ditemukan sebanyak 15 spesies karang. Beberapa diantaranya adalah Turbinaria patula, T. reniformis, Alveopora gigas, Psammocora explanulata, Scolymia australis, Montipora millepora, Pectinia maxima, Favia maxima, Favites paraflexuosa, Euphyllia cristata, dan Cynarina lacrymalis. Terdapat 16 pesies karang yang hanya ditemukan di Stasiun 2, dimana karakteristik perairan lebih dicirikan oleh variable NO3, TSS, dan laju sedimentasi. Spesies karang tersebut antara lain Psammocora digitata, P. superficialis, Acropora elseyi, A. nana, A. spicifera, Favia danae, Favites spinosa, Goniopora stokesi, Leptoria irregularis, Pocillopora kelleheri, Montipora nodosa, dan Porrites evermanni. Spesies karang yang hanya ditemukan di Stasiun 3 sebanyak 36 spesies, yang dicirikan oleh arus dan persentase penutupan karang, antara lain Scolymia vitiensis, Seriatopora hystrix, Psammocora contigua, Polyphyllia talpina, Psammocora contigua, Porites solida, Pectinia paeonia, Platygyra yayamaensis, Oulophyllia levis, Montipora plawanensis, M. samarensis, , M. floweri, Montastrea colemani, Hydnophora pilosa, Leptoseris foliosa, Euphyllia divisa, Cycloseris cyclolites, Alveopora minuta, Acropora robusta, A. latistella, A.a echinata, A.. aspera, dan Acanthastrea regularis. Stasiun 4 yang merupakan lokasi paling luar dari penelitian kali ini memiliki variabel ciri kandungan PO4 dan temperatur. Karang batu yang hanya ditemukan pada lokasi ini sebanyak 37 spesies. Spesies tersebut diantaranya adalah Stylocoeniella armata, Zoopilus echinatus, Psammocora haimeana, Porites cumulates, Porites horizontalata, Pectinia teres, Pocillopora ankeli, Montipora hispida, M. mactanensis, M. calcarea, M. aequituberculata, Leptoseris mycetoseroides, Goniopora stutchburyi, Halomitra clavator, Galaxea horrescens, Echinopora
mammiformis,
Euphyllia
yaeyamensis,
Anacropora
matthai,
Acropora caroliniana, A. plumose, A. mirabilis, dan A. bifurcate. Beberapa jenis karang yang menjadi spesies ciri di perairan keruh seperti Pulau Panjang merupakan jenis karang yang memang lebih teradaptasi dan umum hidup di perairan dengan turbiditas tinggi. Beberapa karang polip besar seperti Alveopora gigas, Scolymia australis, Euphyllia cristata dan Cynarina lacrimalis
63
Menurut Tomascik et al. (1997) merupakan jenis yang mampu bertahan di perairan keruh, bahkan untuk genus Euphyllia bisa membentuk hamparan pada kondisi perairan seperti itu dimana jenis yang lain terhambat pertumbuhannya. Selanjutnya spesies ciri yang ditemukan di Pulau Panjang yang memang penghuni perairan keruh adalah genus Turbinaria patula dan T. reniformis. Turbinaria mudah dikenali dengan koralit yang membulat, setengah tenggelam atau berupa tabung kecil dengan dinding yang porus, septa kecil dan pendek, kolumela besar dan padat, polip relatif besar dan padat (Suharsono, 2004). Turbinaria patula dan T. Reniformis sering ditemukan di dekat tubir pada daerah yang agak terlindung dan sangat keruh (Suharsono, 2004; Tomascik et al. 1997). Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa di bagian utara Sungai Berau dengan kekeruhan yang sangat tinggi ditemukan Turbinaria frondens dengan koloni yang besar dan kelimpahan tinggi. Jenis Turbinaria lainnya yang mencirikan daerah karang dengan kadungan sedimen tinggi adalah Turbinaria mesenterina yang memiliki bentuk foliose lebih mendatar.
Analisis tingkat jaringan Analisis mengenai pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang telah banyak dilaporkan oleh para peneliti terumbu karang. Salah satu penelitian mengenai pengaruh sedimentasi terhadap penutupan dan kelimpahan terumbu karang di Laut Merah dilaporkan oleh Wielgus et al. (2003). Penelitian mengenai pengaruh partikel dan sedimen lumpur terhadap recruitment karang batu telah dikemukakan oleh Fabricius et al. (2003). Analisis kelimpahan organisme pengebor pada terumbu karang yang dapat menyebabkan degradasi secara biologi, dalam kaitannya dengan sedimentasi pada beberapa laguna telah dilaporkan oleh Macdonald dan Perry (2003). Selanjutnya penelitian mengenai pengaruh sedimentasi terhadap respon pada taraf jaringan telah banyak dipublikasikan pada berbagai jurnal ilmiah di berbagai belahan dunia. Respon pada tingkat jaringan merupakan salah satu pendekatan yang efektif untuk mengestimasi pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang. Pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang dan endosimbion zooxanthellae
64
umumnya dilakukan untuk melihat respon terumbu karang. Beberapa jenis karang mampu secara efektif
membersihkan sedimen yang terdeposit menutupi
permukaan koloni dan memperlihatkan tidak adanya kerusakan berarti (Wesseling et al. 1999). Pada jenis yang lain dengan adanya sedimentasi telah menyebabkan penurunan laju fotosintesis, peningkatan respirasi, dan produksi mucus (Yentsch et al. 2002; Phillipp dan Fabricius, 2003). Dengan peningkatan sedimentasi pertumbuhan
karang
terhambat,
karang
mengalami
penurunan
densitas
zooxanthellae, dan memperlihatkan terjadinya kerusakan jaringan (Roger, 1990). Hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang dapat menyebabkan berkurangnya laju fotosintesis. Phillip dan Fabricius (2003) melaporkan bahwa ekspos dari sedimentasi telah menyebabkan perubahan laju fotosintesis. Karang yang paling sensitif adalah karang bentuk foliose atau karang yang memiliki ukuran polip kecil, seperti Echinopora lammellosa, Montipora spp., dan Porites spp. Umumnya laju fotosintesis berkurang setelah terekspos selama kurang dari 24 jam. Sementara terumbu karang yang memiliki ukuran polip lebih besar atau karang yang memiliki struktur skeleton terbuka, seperti Fungia crassa, Galaxea fascicularis, atau Pectinia lactuca tampak tidak terpengaruh oleh sedimentasi. Pada penelitian kali ini, analisis pada tingkat jaringan dilakukan untuk mengetahui secara visual indikasi pengaruh sedimentasi yang terjadi terhadap komposisi zooxanthellae sebagai indikator stress terumbu karang. Contoh jaringan diambil dari fragmen karang jenis Acropora formosa dan Porites cyllindrica yang terdapat di Stasiun 1 dengan tingkat sedimentasi paling tinggi dibanding stasiun lainnya. Kedua jenis karang tersebut memiliki bentuk bercabang sehingga memudahkan dalam pengambilan fragmen. Hasil sayatan preparat jaringan polip pada dua jenis karang batu (Acropora formosa dan Porites cyllindrica) memperlihatkan adanya perubahan struktur jaringan polip akibat tekanan lingkungan. Pengaruh dominan dari faktor lingkungan tersebut diduga endapan sedimen, TSS dan NO3. Hal ini didukung oleh hasil analisis PCA dimana korelasi negatif dari kedua ketiga parameter tersebut cukup tinggi terhadap terumbu karang.
65
Dari hasil perhitungan, densitas zooxanthellae pada spesimen Acropora formosa lebih rendah dibanding Porites cyllindrica. Rata-rata densitas zooxanthellae pada spesimen Acropora formosa sekitar 1,07 x 105 sel/cm2, sementara Porites cyllindrica 1,27 x 105 sel/cm2.
Lebih lengkap densitas
zooxanthellae pada masing-masing spesimen dapat dilihat pada Tabel 13. Secara visual pada kedua spesimen tersebut tidak memperlihatkan terjadinya bleaching. Indikasi stress akibat sedimentasi terlihat pada sejumlah sel zooxanthellae yang keluar dari lapisan endodermis ke dalam coelenteron. Pada lapisan endodermis tampak beberapa bagian sel yang kosong dimana sebelumnya ditempati oleh zooxanthellae. Densitas zooxanthelae yang keluar pada Acropora formosa lebih tinggi dibanding Porites cyllindrica, hal ini terlihat dari susunan zooxanthellae pada lapisan endodermis dan banyaknya ruang-ruang kosong pada jaringan kedua spesies karang tersebut (Gambar 21 dan 22). Tabel 13. Densitas zooxanthellae pada spesimen karang Acropora formosa dan Porites cyllindrica. Spesimen Acropora formosa
Porites cyllindrica
Lp. pandang 1 2 3 1 2 3
DZ (sel/cm2) 120755 91824 110063 128931 134591 116981
Rerata DZ 107547
126834
DZ: Densitas Zooxanthellae
Sedimentasi di Pulau Panjang yang menyebabkan tingginya penutupan karang lunak juga disinyalir memicu keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip karang. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Aceret et al. (1995) dimana karang lunak melalui senyawa diterpennya telah menyebabkan berkurangnya aktifitas polip karang, selanjutnya terjadi pengeluaran zooxathellae yang diikuti dengan keluarnya nematokis dari jaringan polip karang. Dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa pada konsentrasi 5 ppm senyawa diterpen flexibide sejumlah sel zooxanthellae keluar dari jaringan polip karang Acropora formosa dan Porites cyllindrica, kemudian pada 10 ppm keluarnya zooxanthellae meningkat secara
66
signifikan. Konsentrasi keluarnya zooxanthellae pada Porites cyllindrica lebih sedikit dibanding Acropora formosa. Lebih lanjut Phillip dan Fabricius (2003) mengemukakan bahwa penutupan sedimen terhadap fragmen karang memperlihatkan penurunan komposisi zooxanthellae dan konsentrasi klorofil terhadap unit luas dan waktu. Dilaporkan setelah 36 jam komposisi zooxanthellae pada terumbu karang yang terekspos sedimen memiliki densitas 1,5 – 1,9 x 106 sel/cm2, sementara pada terumbu karang kontrol densitas mencapai 2,6 – 4,1 x 106 sel/cm2. Disisi lain konsentrasi klorofil pada terumbu karang kontrol berkisar antara 4,0 – 8,6 µg/cm2, sedangkan pada terumbu karang yang terekspos sedimen selama 36 jam konsentrasi klorofil berkisar 1,3 – 2,5 µg/cm2.
67
a
b
c
Gambar 21. Foto jaringan polip Acropora formosa (a: spesimen Acropora formosa; b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x).
68
a
b
c
Gambar 22. Foto jaringan polip Porites cyllindrica (a: spesimen Porites cyllindrica; b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x).
69
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Secara spasial salinitas mengalami peningkatan mulai dari stasiun yang dekat dengan aliran Sungai Berau menuju ke stasiun yang paling jauh dari aliran Sungai Berau. Konsentrasi TSS dan nitrat justru memiliki kecenderungan semakin menurun menuju stasiun yang jauh dari daratan. Sementara itu kadar ortofosfat lebih tinggi di Pulau Maratua dan Pulau Derawan. 2. Berdasarkan citra Landsat ETM tahun 2001 sebaran sedimen dari muara Sungai Berau di perairan Kepulauan Derawan mencapai Pualu Panjang dan Pulau Derawan, bahkan dengan konsentrasi yang relatif rendah mencapai Pulau Sangalaki. Sedimen dari Sungai Berau tidak terdistribusi hingga Pulau Maratua yang merupakan stasiun terluar dari penelitian ini. 3. Terdapat perbedaan persentase penutupan karang batu diantara masing-masing stasiun penelitian yang dibandingkan, kecuali perbandingan antara Stasiun 2 dengan Stasiun 4. 4. Bentuk pertumbuhan karang batu pada daerah dekat muara Sungai Berau memiliki karakteristik yang dipengaruhi sedimen, sementara pada daerah yang jauh ke arah laut, bentuk pertumbuhan karang batu lebih teradaptasi terhadap energi mekanik yang ditimbulkan arus dan gelombang. 5. Laju sedimentasi paling tinggi terjadi di daerah yang dekat dengan muara Sungai Berau. Selain jarak terhadap sumber, arus diduga merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap penyebaran sedimen dan laju sedimentasi. Sedimentasi lebih berpengaruh terhadap kekayaan jenis daripada persentase penutupan karang batu.
Saran Setelah dilakukan penelitian ini terdapat beberapa ide yang disarankan untuk dilakukan, yaitu: 1. Penelitian lanjutan mengenai pengaruh sedimen terhadap perubahan struktur komunitas karang akibat sedimentasi. Akan tetapi hal ini membutuhkan waktu yang sangat lama 2. Kajian terhadap kompetisi karang batu dengan organisme lain di dalam ekosistem terumbu karang yang terekspos oleh sedimen 3. Studi mengenai pengaruh sedimen terhadap karang batu melalui pendekatan biologis 4. Dalam pengelolaan, adanya treatment yang serupa dengan Pulau Sangalaki terhadap daerah terumbu karang yang lain sehingga akan memperbanyak jumlah area karang dengan penutupan yang sangat tinggi.
71
DAFTAR PUSTAKA
Aceret TL, Sammarco PW, Coll JC. 1995. Toxic Effect of Alcyonacean Deterpens on Sclerectinian Corals. Journal of Experimental Marine Biology And Ecology (188): 63 – 78. Baghdasarian G, and Muscatine L. 2000. Prefertial Expultion of Dividing Algal Cell As A Mechanism For Regulating Algal Cnidarian Symbiosis. Biol. Bull. (1998): 278 – 286. Barnes DJ, Lough JM. 1999. Porites Growth Characteristics In A Changed Environment: Misima Island, Papua New Guinea. Coral Reef (18): 213 – 218. Bearman G. 1999. Waves, Tides, And Shallow Water Processes. Open University, Walton Hall, Milton Keynes, MK7 6AA, And Butterworth-Heinemann. England. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh Dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jakarta. Burke L, Elisabeth S, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara Diterjemahkan Dari Reef Of Risk In South East Asia. World Resources Institute. Washington DC.USA. Cervino JM, Hayes RL, Honovich M, Goreau TJ, Jones S, Rubec PJ. 2003. Changes In Zooxanthellae Density, Morphology, And Mytotic Index In Hermatypic Corals And Anemones Exposed To Cyanide. Marine Pollution Bulletin (46): 573 – 586. Clark, Jhon R. 1998. Coastal Management (Hand Book). Lewis Publisher. Boca Raton, New York, London, Yokyo. Connel DW, Hawker DW (Ed). Pollution In Tropical Aquatic System. CRC Press, Inc. London. Cornish AS and DiDonato EM. 2003. Resurvey Of A Reef Flat In American Samoa After 85 Years Reveals Devastation To A Soft Coral (Alcyonacea) Community. Marine Pollution Bulletin (In Press). Dahuri
R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.xxxiii + 412 halaman.
Davis RA Jr. 1993. An Introduction to Sedimentology and Stratigraphy Depositional System. New York: Prencite Hall-Englewood Cliffs.
Dyer KR. 1986. Coastal and Estuarine Sediment Dynamics. New York: John Wiley dan Sons Ltd,. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institut of Marine Science. Townsville. p.34-80. Fabricius KE. 2004. Efect of Terestrial Runoff On The Ecology of Coral and Coral Reef: Review and Synhesis. Elsevier Ltd. All right reserved. Australia. Febricius KE, Wild C, Wolanski E, Abele D. 2003. Effect of Transparent Exopolymer Particles And Muddy Sediments On The Survival of Hard Coral Recruits. Estuarine Coastal And Shelf Science (57): 613 – 621. Hallock P, Barnes K, Fisher EM. 2004. Coral Reef Risk Assessment From Satelites To Molecules: A Multiscale Approach To Environmental Monitoring And Risk Assessment of Coral Reef. Environmental Micropaleontology, Microbiology and Meiobenthology. University of South Florida. USA. p 11-39. Hubbard DK. 1997. Reef as Dynamic System. Edited by Charles Brikeland. Life and Death of Coral Reef. Champman and Hall. USA. p.43 – 67. Kountur, R. 2006. Statistik Praktis. Pengolahan Data Untuk Penyusunan Skripsi Dan Tesis. PPM. Jakarta Pusat. Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row Publisher. New York. 694 p. Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ekology. A Primer On Methods And Computing. John Wiley and Sons. USA. MacDonald IA, Perry CT. 2003. Biological Degradation Of Coral Framework In Turbid Lagoon Environmrnt, Discovery Bay, North Jamaica. Coral Reefs (22): 523 – 535. Mapstone GM. 1990. Reef Coral and Sponges of Indonesia: A Vedeo-Based Learning Module. Division of Marine Science. United Nation Educational Scientific and Cultural Organization. Netherlands. McLaughlin CJ, Smith CA, Buddermeier BA, Bartley JD, Maxwell BA. 2003. River, Runoff, And Reef. Global And Planetary Change (39): 191 – 199. Nybakken JW. 1993. Marine Biology An Ecological Approach. Third Edition. Harper Collins College Publisher. USA. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. WB Sounders Co. Philadelphia.
73
Philip E and Katharina F. 2003. Photophysiological Stress In Sclerectinian Corals In Response To Short Term Sedimentation. Jurnal of Experimental Marine Biology and Ecology (287): 57 – 78. Riegl, B, C Heine, GM Branch. 1996. Function Of Funnel-shaped Coral Growth In A High Sedimentation Environment. Marine Ecology Progress Series (145): 87 – 93. Roger CS. 1990. Responses Of Coral Reef And Reef Organism To Sedimentation. Marine Ecology Progress Series (62): 185 – 202. Salvat B. 1987. Human Impacts On Coral Reef: Facts And Recomendation. Impacts Des Activities Humaines Sur Les Recifs Coralliens: Connaissances Et Recomendatuions. Antene de Tahiti Museum E.P.H.E. B.P. 1013. Papetoai, Moorea, Polynese Francaise. Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. Springer - Verlag Berlin Heidelberg. Germany. Stafford-Smith MG. 1993. Sediment Rejection Efficiency Of 22 Species Of Australian Sclerectinian Corals. Marine Biology (115): 229 – 243. Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. P3O- LIPI. Jakarta. p. 2-13. Sumich JL. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm.C.Brown Publisher. USA. Susanto HA. 2004. Study Kelayakan Pengembangan Perikanan Ramah Lingkungan di Pulau Derawan. The Nature Conservancy, East Kalimantan Portfolio. Indonesia. Sya’rani L. 1982. Semarang.
Karang : Determinasi Genus.
Universitas Diponegoro.
Szamant AM. 2002. Nutrient Enrichment on Coral Reef: Is It A Major Couse of Coral Reef Decline?. Estuarine Research Federation. North Carolina. p. 743 – 766. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas: Part One. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. Turak E. 2003. Coral Biodiversity and Reef Status. For The Nature Conservancy East Kalimantan. Veron, JEN. 1995. Corals In Space And Time. The Biogeography And Evolution Of The Sclerectinia. UNSW Press. Sidney. Veron, JEN. 1986. Corals of Australian and Indopacific. Angus and Robertson. Australia
74
Walpole, RE. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. Alih Bahasa Oleh B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Wesseling I, Uychiaoco AJ, Alino PM, Aurin T, Vermaat JE. 1999. Damage And Recovery Of Four Philippine Corals From Short-Term Sediment Burial. Marine Ecology Progress Series (176): 11 – 15.Wielgus, J., D. Glassom, L. Fishelson. 2003. Long-term Persistence of Low Coral Cover And Abundance On A Disturbed Coral Reef In The Nothern Red Sea. Journal of Experimental Marine Biology And Ecology (297): 31 – 41. Wibisono, MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Wiryawan B, Stanley SA, Yulianto I, Susanto HA. 2004. Profil Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kerjasama The Nature Conservancy dan Pemerintah Kabupaten Berau, Tanjung RedebKalimantan Timur. Indonesia. 71 pp.
75
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Bentuk pertumbuhan karang batu (English et al. 1994)
77
Lampiran 1. Lanjutan
78
Lampiran 1. Lanjutan
79
Lampiran 2. Peta TSM hasil interpretasi citra Sea Wifs (Sumber: TNC)
80
Lampiran 2. Lanjutan
81
Lampiran 3. Hasil analisis Gradistat Stasiun 1 Gravel: 0.0%
Gravel
SAMPLE IDENTITY: P Panjang1
Sand: 87.9%
TEXTURAL GROUP: Muddy Sand
Mud: 12.1%
SEDIMENT NAME: Fine Silty Fine Sand Gravel
Very Coarse 0.0% Coarse Gravel: 0.0%
80%
Medium Gravel: 0.0% Fine Gravel: 0.0% Very Fine Gravel: 0.0% Sandy Gravel Muddy Gravel
Gravel %
Very Coarse Sand: 7.3% Coarse Sand: 18.5%
Muddy Sandy Gravel
Medium 27.9% Fine Sand: 30.0% Very Fine 4.2% Very Coarse Silt: 2.5% Coarse Silt: 0.5% Medium Silt: 1.4%
30%
Fine Silt: 7.6% Gravelly Mud
Gravelly Sand
Gravelly Muddy Sand
Very Fine Silt: 0.0% Clay: 0.0%
5% Slightly Gravelly Mud
Trace
Slightly Gravelly Sandy Mud
Mud
Mud
Slightly Gravelly Sand
Slightly Gravelly Muddy Sand
Sandy Mud
Sand
Muddy Sand
1:9
1:1
Sand
9:1
Sand:Mud Ratio
Stasiun 2 Gravel: 0.0%
Gravel
SAMPLE IDENTITY: P Derawan
Sand: 90.0%
TEXTURAL GROUP: Sand
Mud: 10.0%
SEDIMENT NAME: Poorly Sorted Fine Sand Gravel
Very Coarse 0.0% Coarse Gravel: 0.0%
80%
Medium Gravel: 0.0% Fine Gravel: 0.0% Very Fine Gravel: 0.0% Sandy Gravel
Gravel %
Muddy Gravel
Very Coarse Sand: 6.1% Coarse Sand: 15.8%
Muddy Sandy Gravel
Medium 27.2% Fine Sand: 36.8% Very Fine 4.1% Very Coarse Silt: 2.4% Coarse Silt: 1.3% Medium Silt: 2.5%
30%
Fine Silt: 3.7% Gravelly Mud
Gravelly Sand
Gravelly Muddy Sand
Very Fine Silt: 0.0% Clay: 0.0%
5%
Trace
Slightly Gravelly Mud Mud
Mud
Slightly Gravelly Sandy Mud Sandy Mud
1:9
Slightly Gravelly Sand
Slightly Gravelly Muddy Sand
Sand
Muddy Sand 1:1
9:1
Sand
Sand:Mud Ratio
82
Lampiran 3. Lanjutan Stasiun 3 Gravel: 0.0%
Gravel
SAMPLE IDENTITY: P Sangalaki
Sand: 91.3%
TEXTURAL GROUP: Sand
Mud: 8.7%
SEDIMENT NAME: Poorly Sorted Medium Sand Gravel
Very Coarse 0.0% Coarse Gravel: 0.0%
80%
Medium Gravel: 0.0% Fine Gravel: 0.0% Very Fine Gravel: 0.0% Sandy Gravel
Gravel %
Muddy Gravel
Very Coarse Sand: 5.0% Coarse Sand: 16.2%
Muddy Sandy Gravel
Medium 35.1% Fine Sand: 33.6% Very Fine 1.4% Very Coarse Silt: 1.9% Coarse Silt: 1.2% Medium Silt: 0.5%
30%
Fine Silt: 5.1% Gravelly Mud
Gravelly Sand
Gravelly Muddy Sand
Very Fine Silt: 0.0% Clay: 0.0%
5% Slightly Gravelly Mud
Trace
Mud
Mud
Slightly Gravelly Sandy Mud
Slightly Gravelly Sand
Slightly Gravelly Muddy Sand
Sandy Mud
Sand
Muddy Sand
1:9
1:1
Sand
9:1
Sand:Mud Ratio
Stasiun 4 Gravel: 0.0%
Gravel
SAMPLE IDENTITY: P Maratua
Sand: 89.9%
TEXTURAL GROUP: Muddy Sand
Mud: 10.1%
SEDIMENT NAME: Fine Silty Fine Sand Gravel
Very Coarse 0.0% Coarse Gravel: 0.0%
80%
Medium Gravel: 0.0% Fine Gravel: 0.0% Very Fine Gravel: 0.0% Sandy Gravel
Gravel %
Muddy Gravel
Very Coarse Sand: 3.8% Coarse Sand: 13.9%
Muddy Sandy Gravel
Medium 33.1% Fine Sand: 36.2% Very Fine 2.9% Very Coarse Silt: 0.3% Coarse Silt: 2.2% Medium Silt: 1.5%
30%
Fine Silt: 6.1% Gravelly Mud
Gravelly Sand
Gravelly Muddy Sand
Very Fine Silt: 0.0% Clay: 0.0%
5%
Trace
Slightly Gravelly Mud Mud
Mud
Slightly Gravelly Sandy Mud Sandy Mud
1:9
Slightly Gravelly Sand
Slightly Gravelly Muddy Sand
Sand
Muddy Sand 1:1
9:1
Sand
Sand:Mud Ratio
83
Lampiran 4. Persentase penutupan karang dan biota penyusun substrat dasar lainnya
Kategori Karang Keras (HC) Acropora ACB ACD ACE ACS ACT Non Acropora CB CE CF CM CS CMR CME CHL CTU Fauna Lain SC SP ZO ASC OT Alga CA MA Abiotik DC DCA R RCK S
P. Panjang
P. Derawan
T1
T2
T3
T1
T2
T3
7.88% 0.17% 0.16% 1.90%
6.58% 0.32% 0.18% 1.72%
7.15% 1.36% 0.15% 1.88%
0.48% 0.20% 0.76% 6.81%
1.08% 0.18% 1.28% 5.42%
0.97% 0.36% 1.73% 5.68%
7.74% 2.99% 8.97% 9.16% 0.47% 0.11% 1.49% 0.70%
7.65% 3.12% 8.14% 9.38% 0.31% 0.16% 1.12% 0.82%
6.25% 3.04% 8.74% 9.25% 0.48% 1.62% 1.37% 0.68%
13.15% 5.64% 0.69% 15.82% 3.81% 0.44% -
15.21% 5.29% 0.12% 16.14% 3.96% 0.67% -
15.08% 3.35% 0.52% 16.48% 4.07% 0.54% -
21.68% 1.74% 3.55%
24.65% 1.84% 4.16%
24.24% 1.57% 2.98%
2.67% 0.59% 0.03% 0.87%
2.15% 1.54% 2.10%
2.92% 1.97% 1.44%
2.26% 0.19%
2.90% 1.25%
1.05% 2.11%
1.30% -
0.21% -
0.15% -
0.27% 7.00% 12.98% 8.62%
0.32% 9.14% 9.52% 6.72%
0.23% 9.36% 10.20% 6.29%
12.13% 20.72% 1.24% 12.65%
14.04% 18.37% 1.69% 10.55%
12.59% 18.72% 1.12% 12.31%
84
Lampiran 4. Lanjutan
Kategori Karang Keras (HC) Acropora ACB ACD ACE ACS ACT Non Acropora CB CE CF CM CS CMR CME CHL CTU Fauna Lain SC SP ZO ASC OT Alga CA MA Abiotik DC DCA R RCK S
P. Sangalaki
P. Maratua
T1
T2
T3
T1
T2
T3
7.37% 1.75% 2.01%
6.12% 2.33% 2.84%
6.24% 2.16% 3.01%
1.12% 0.10% 2.08% 1.17%
1.14% 0.21% 2.15% 1.81%
1.27% 0.14% 2.20% 1.55%
19.82% 19.25% 32.36% 2.17% 4.65% 0.71% -
19.68% 16.45% 32.91% 3.05% 4.33% 1.13% 1.52% -
18.49% 18.11% 34.05% 2.88% 4.17% 1.34% 1.12% -
12.87% 3.53% 3.41% 17.63% 5.18% 0.93% 0.18% -
10.29% 4.28% 3.19% 17.35% 6.02% 0.77% 0.12% -
12.09% 4.46% 3.11% 15.27% 6.51% 0.18% 0.16% -
2.12% -
1.85% -
1.26% 0.19%
1.15% 8.15% 0.06%
1.58% 7.79% 0.04% 0.17%
2.06% 7.41% 0.06% -
0.29% -
0.16% -
0.21% -
1.19% -
2.05% -
1.59% -
1.24% 5.11% 1.14% -
1.30% 6.12% 0.21% -
1.36% 4.37% 1.04% -
10.46% 19.52% 2.77% 8.49%
12.25% 18.41% 2.08% 8.30%
12.36% 15.28% 1.97% 12.33%
85
Lampiran 5. Hasil pengolahan data dengan menggunakan PCA Statistika dasar Variabel Sed HC NO3 PO4 TSS Tem Sal Arus Vis
Mean 11,39 56,97 0,14 0,02 9,25 29,87 30,85 0,25 6,82
Std, Dev, 6,67 22,72 0,05 0,02 4,00 0,24 0,95 0,04 1,59
Matriks korelasi Sed HC NO3 PO4 TSS Tem Sal Arus Vis
Sed 1,00 -0,66 0,89 -0,31 0,93 -0,90 -0,97 -1,00 -0,10
HC
NO3
PO4
TSS
Tem
Sal
Arus
Vis
1,00 -0,92 -0,43 -0,47 0,30 0,50 0,68 -0,21
1,00 0,15 0,78 -0,60 -0,79 -0,89 0,18
1,00 -0,33 0,69 0,42 0,31 0,73
1,00 -0,86 -0,98 -0,92 0,12
1,00 0,93 0,90 0,40
1,00 0,97 0,05
1,00 0,11
1,00
Diagonalisasi Baris 1: Akar ciri (ragam pada sumbu utama) Baris 2: Kontribusi variasi total (persentase yang dijelaskan oleh sumbu utama) Sumbu 1 5,9635 66,26%
Sumbu 2 2,3308 25,90%
Sumbu 3 0,7055 7,84%
Vektor ciri (koefisien variabel dalam fungsi linier sumbu utama) Variabel Factor 1 Factor 2 Factor 3 Sed -0,4092 0,0067 0,0421 HC 0,2637 -0,4192 -0,4992 NO3 -0,3593 0,2937 0,2028 PO4 0,1331 0,6158 0,1206 TSS -0,3859 0,0087 -0,3983 Tem 0,3713 0,2748 0,0524 Sal 0,4012 0,0559 0,2149 Arus 0,4088 -0,0095 -0,0686 Vis 0,0369 0,5291 -0,6936
86
Lampiran 6. Spesies karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun Takson Family Astrocoeniidae Genus Stylocoeniella Stylocoeniella armata Stylocoeniella guentheri Family Pocilloporidae Genus Pocillopora Pocillopora ankeli Pocillopora damicornis Pocillopora danae Pocillopora elegans Pocillopora eydouxi Pocillopora kelleheri Pocillopora meandrina Pocillopora verrucosa Pocillopora woodjonesi Genus Seriatopora Seriatopora aculeata Seriatopora caliendrum Seriatopora guttatus Seriatopora hystrix Seriatopora stellata Genus Stylophora Stylophora pistillata Stylophora subseriata Family Acroporidae Genus Montipora Montipora aequituberculata Montipora altasepta Montipora cactus Montipora calcarea Montipora capitata Montipora cebuensis Montipora confusa Montipora corbetensis Montipora crassituberculata Montipora danae Montipora digitata Montipora florida Montipora floweri Montipora foliosa Montipora foveolata Montipora friabilis Montipora grisea Montipora hispida
P. Panjang
P. Derawan
P. Sangalaki
P. Maratua
+
+
+
+ +
+ + + -
+ + + + + -
+ + + + -
+ + + + -
+ -
+ + +
+ + + +
+ + +
+ -
+ -
+ -
+ -
+ + + + -
+ + + + + -
+ + + + + + + + -
+ + + + + + + + + +
87
Lampiran 6. Lanjutan Montipora hodgsoni Montipora hoffmeisteri Montipora incrassata Montipora informis Montipora mactanensis Montipora malampaya Montipora millepora Montipora monasteriata Montipora nodosa Montipora plawanensis Montipora samarensis Montipora spongodes Montipora stellata Montipora tuberculosa Montipora turgescens Montipora turtlensis Montipora undata Montipora verriculosa Montipora vietnamensis Genus anacropora Anacropora forbesi Anacropora matthai Anacropora puertogalerae Anacropora reticulata Genus Acropora Acropora abrotonoides Acropora aculeus Acropora acuminata Acropora aspera Acropora austera Acropora awi Acropora bifurcata Acropora bruggemanni Acropora carduus Acropora caroliniana Acropora cerealis Acropora clathrata Acropora cophodactyla Acropora cytherea Acropora derewanensis Acropora digitifera Acropora divaricata Acropora echinata Acropora elegans Acropora elseyi
+ + + + + + -
+ + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + +
-
-
+ -
+ + -
+ + + -
+ + + + + +
+ + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
88
Lampiran 6. Lanjutan Acropora florida Acropora formosa Acropora gemmifera Acropora grandis Acropora granulosa Acropora hoeksemai Acropora horrida Acropora humilis Acropora hyacinthus Acropora indonesia Acropora insignis Acropora kirstyae Acropora latistella Acropora listeri Acropora loripes Acropora lutkeni Acropora microclados Acropora microphthalma Acropora millepora Acropora mirabilis Acropora nana Acropora nasuta Acropora nobilis Acropora palifera Acropora paniculata Acropora plumosa Acropora robusta Acropora samoensis Acropora sarmentosa Acropora secale Acropora selago Acropora seriata Acropora solitaryensis Acropora speciosa Acropora spicifera Acropora striata Acropora subglabra Acropora subulata Acropora tenuis Acropora valenciennesi Acropora valida Acropora verweyi Acropora williase Acropora yongei
+ + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
89
Lampiran 6. Lanjutan Genus Astreopora Astreopora expansa Astreopora gracilis Astreopora listeri Astreopora myriophtalama Astreopora ocellata Astreopora randalli Astreopora suggesta Family Euphyllidae Genus Euphyllia Euphyllia ancora Euphyllia cristata Euphyllia divisa Euphyllia glabrescens Euphyllia yaeyamensis Genus Plerogyra Plerogyra simplex Plerogyra sinuosa Genus Physogyra Physogyra lichstenteini Family Oculindae Genus Galaxea Galaxea archelia Galaxea astreata Galaxea fascicularis Galaxea horrescens Galaxea longisepta Galaxea paucisepta Family Siderasteridae Genus Psammocora Psammocora contigua Psammocora digitata Psammocora explanulata Psammocora haimeana Psamocora niestraszi Psammocora profundacella Psammocora superficialis Genus Coscinaraea Coscinaraea columna Coscinaraea exesa Coscinaraea wellsi Family Agaricidae Genus Pavona Pavona bipartita Pavona clavus
+ + -
+ + + -
+ + + + -
+ + + -
+ + + -
+ -
+ + -
+ +
+ + +
+ -
+ + +
+ + +
+ -
+ -
+ + -
+ + + +
+ + -
+ + +
+ + -
+ + + -
-
+ -
+
+ -
+ +
-
-
+ +
90
Lampiran 6. Lanjutan Pavona decussata Pavona duerdeni Pavona explanulata Pavona varians Pavona venosa Genus Leptoseris Leptoseris explanata Leptoseris foliosa Leptoseris hawaiiensis Leptoseris incrustans Leptoseris mycetoseroides Leptoseris papyracea Leptoseris scabra Leptoseris yabei Genus Gardineroseris Gardineroseris planulata Genus Coeloseris Coeloseris mayeri Genus Pachyseris Pachyseris foliosa Pachyseris gemmae Pachyseris rugosa Pachyseris speciosa Family Fungiidae Genus Cycloseris Cycloseris cyclolites Genus Heliofungia Heliofungia actiniformis Genus Fungia Fungia concinna Fungia corona Fungia danai Fungia fralinae Fungia fungites Fungia granulosa Fungia gravis Fungia horrida Fungia moluccensis Fungia paumotensis Fungia repanda Fungia scabra Fungia scruposa Fungia scrutaria Genus Ctenactis Ctenactis albitentaculata
+ + + + -
+ +
+ + +
+ + + + +
+ + -
+ + -
+ + + + -
+ + + + + -
-
-
-
+
+
+
+
+
+ + +
+ +
+ +
+ + + +
-
-
+
-
+
-
+
+
+ + + -
+ + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
-
-
+
+
91
Lampiran 6. Lanjutan Ctenactis crassa Ctenactis echinata Genus Herpolitha Herpolitha limax Genus Polyphyllia Polyphyllia talpina Genus Sandalolitha Sandalolitha robusta Genus Halomitra Halomitra clavator Halomitra pileus Genus Zoopilus Zoopilus echinatus Genus Lithophyllon Lithophyllon mokai Genus Podabacia Podabacia crustacea Podabacia motuporensis Family Pectinidae Genus Echinophyllia Echinophyllia aspera Echinophyllia echinata Echinophyllia echinoporoides Genus Oxypora Oxypora crassispinosa Oxypora glabra Oxypora lacera Genus Mycedium Mycedium elephatotus Mycedium robokaki Mycedium mancaoi Mycedium steeni Genus Pectinia Pectinia alcicornis Pectinia elongata Pectinia lactuca Pectinia paeonia Pectinia teres Pectinia maxima Family Merulinidae Genus Hydnophora Hydnophora exesa Hydnophora microconos Hydnophora pilosa Hydnophora rigida
-
+ +
+ +
+ +
+
+
+
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
+
+
+ +
-
-
-
+
-
-
-
+
+ -
+ -
+ +
+ +
+ +
+
+ + +
+ +
+ +
+
+ + +
+ +
+ -
+ -
+ + + +
+ + + -
+ + +
+ + -
+ + + -
+ + + -
+ -
+ + -
+ + + +
+ + +
92
Lampiran 6. Lanjutan Genus Merulina Merulina ampliata Merulina scabricula Genus Scapophyllia Scapophyllia cylindrica Family Dendrophyllidae Genus Turbinaria Turbinaria irregularis Turbinaria mesenterina Turbinaria patula Turbinaria peltata Turbinaria reniformis Turbinaria stellulata Family Mussidae Genus Acanthastrea Acanthastrea echinata Acanthastrea hemprichii Acanthastrea regularis Acanthastrea subechinata Genus Lobophyllia Lobophyllia flabelliformis Lobophyllia hataii Lobophyllia hemprichii Lobophyllia robusta Genus Symphyllia Symphyllia agaricia Symphyllia radians Symphyllia recta Symphyllia valenciennesii Genus Scolymia Scolymia australis Scolymia vitiensis Genus Australomussa Australomussa rowleyensis Genus Cynarina Cynarina lacrymalis Family Faviidae Genus Favia Favia danae Favia favus Favia lizardensis Favia matthai Favia maxima Favia pallida Favia rotundata
+ +
+
+ -
+ +
-
+
+
+
+ + + + +
-
+ +
+ -
+ +
+
+ + + +
+
+ + -
+ +
+ + +
+ + +
+ + + -
+ -
+ + +
+ + + +
+ -
-
+
-
+ +
-
-
-
+ + + + + +
+ + + + -
+ + + + +
+ + + + +
93
Lampiran 6. Lanjutan Favia speciosa Favia stelligera Favia truncatus Genus Barabottoia Barabottoia amicorum Barabattoia laddi Genus Favites Favites acuticulis Favites abdita Favites complanata Favites flexuosa Favites halicora Favites micropentagona Favites paraflexuosa Favites pentagona Favites russelli Favites spinosa Genus Goniastrea Goniastrea aspera Goniastrea australensis Goniastrea edwardsi Goniastrea pectinata Goniastrea retiformis Genus Platygyra Platygyra acuta Platygyra contorta Platygyra daedalea Platygyra lamellina Platygyra pini Platygyra sinensis Platygyra verweyi Platygyra yayamaensis Genus Oulophyllia Oulophyllia bennettae Oulophyllia crispa Oulophyllia levis Genus Leptoria Leptoria irregularis Leptoria phyrigia Genus Montastrea Montastrea colemani Montastrea curta Montastrea magnistellata Montastrea salebrosa Genus Plesiastrea
+ + +
+ + -
+ + +
+ + -
+ -
+
+ +
-
+ + + + + + + -
+ + + + + +
+ + + + + + + + -
+ + + + + -
+ -
+ + + +
+ + + +
+ + + +
+ + + + + -
+ + + -
+ + + + + + + +
+ + + + -
+ + -
-
+ + +
+ -
-
+ +
+
+
+ + +
+ -
+ + + +
+ -
94
Lampiran 6. Lanjutan Plesiastrea versipora Genus Diploastrea Diploastrea heliopora Genus Leptastrea Leptastrea pruinosa Leptastrea purpurea Leptastrea transversa Genus Cyphastrea Cyphastrea chalcidium Cyphastrea decadia Cyphastrea japonica Cyphastrea microphtalama Cyphastrea serailia Genus Echinopora Echinopora gemmacea Echinopora horrida Echinopora lamellosa Echinopora mammiformis Echinopora pacificus Echinopora taylorae Family Poritidae Genus Porites Porites cumulatus Porites cylindrica Porites deformis Porites evermanni Porites horizontalata Porites lichen Porites monticulosa Porites napopora Porites negrosensis Porites nigrescens Porites rugosa Porites rus Porites solida Porites tuberculosa Porites vaughani Porites massive Genus Goniopora Goniopora burgosi Goniopora columna Goniopora djibuotiensis Goniopora fruticosa Goniopora lobata Goniopora minor
-
+
+
+
-
+
+
+
+ + -
+ + +
+ +
+ + +
+ + +
+ +
+ +
+ + +
+ + + -
+ -
+ + + +
+ + + + + -
+ + + + + + + +
+ + + + + + + + +
+ + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + +
+ -
+ -
+ + +
+
+ +
+ -
+ -
+ +
95
Lampiran 6. Lanjutan Goniopora pendulus Goniopora somaliensis Goniopora stokesi Goniopora stutchburyi Goniopora tenuidens Genus Alveopora Alveopora gigas Alveopora minuta Alveopora spongiosa Alveopora tizardi Total Total Spesies
+ +
+ + +
+ +
+ + +
+ + -
-
+ +
+ +
133
140
209
205
306
96
Lampiran 7. Hasil Cluster Analisis dengan menggunakan SPSS.10 Cluster Analisis
Dendrogram using Average Linkage (Between Groups) Rescaled Distance Cluster Combine C A S E Label Num
0 5 10 15 20 25 +---------+---------+---------+---------+---------+
Stylocoeniella armata Zoopilus echinatus Acropora awi Psammocora haimean Psamocora niestraszi Porites cumulates Porites horizontalata Pectinia teres Pocillopora ankeli Montipora malampaya Montipora turtlensis Montipora hispida Montipora mactanensis Montipora cactus Montipora calcarea Lithophyllon mokai Montipora aequituberculata Leptoseris incrustans Leptoseris mycetoseroides Goniopora stutchburyi Halomitra clavator Gardineroseris planulata Goniastrea australensis Galaxea horrescens Galaxea paucisepta Echinopora mammiformis Euphyllia yaeyamensis Astreopora ocellata Cyphastrea decadia Acropora solitaryensis Anacropora matthai Acropora plumosa Acropora selago Acropora insignis Acropora mirabilis Acropora bifurcata Acropora caroliniana Symphyllia agaricia Turbinaria irregularis Alveopora spongiosa Porites monticulosa Porites negrosensis Pavona duerdeni Pavona explanulata Pavona bipartita Pavona clavus Goniopora minor Pachyseris foliosa Echinopora pacificus Plerogyra sinuosa Symphyllia radians Acropora nasuta Physogyra lichstenteini Plerogyra simplex Oulophyllia crispa Pavona decussata Merulina ampliata Montipora danae Fungia scruposa
4
1,4
97
Heliofungia actiniformis Favia rotundata Favites flexuosa Euphyllia ancora Favia lizardensis Echinophyllia aspera Echinopora gemmacea Astreopora gracilis Porites napopora Symphyllia valenciennesii Acropora aculeus Platygyra contorta Podabacia motuporensis Pectinia elongate Platygyra acuta Oxypora crassispinosa Pachyseris gemmae Mycedium mancaoi Mycedium robokaki Montipora corbetensis Montipora vietnamensis Leptoseris hawaiiensis Lobophyllia hataii Goniopora djibuotiensis Hydnophora rigida Fungia repanda Galaxea archelia Fungia gravis Fungia moluccensis Ctenactis albitentaculata Echinopora horrida Alveopora tizardi Anacropora puertogalerae Acropora striata Acropora subglabra Acropora kirstyae Acropora microphthalma Acropora horrida Acropora Indonesia Acropora bruggemanni Acropora grandis Pachyseris rugosa Pectinia lactuca Acropora tenuis Merulina scabricula
1,3,4
3,4
1,2,4
Montipora confuse Leptastrea purpurea Symphyllia recta Stylophora pistillata Stylocoeniella guentheri Seriatopora caliendrum Psammocora profundacella Porites vaughani Porites rugosa Porites massive Porites lichen Porites cylindrica Podabacia crustacea Pocillopora verrucosa Pocillopora danae Platygyra sinensis Platygyra daedalea Pavona varians Pachyseris speciosa Oxypora lacera Mycedium elephatotus Montipora turgescens Montipora tuberculosa Montipora spongodes Montipora informis
98
Montipora hoffmeisteri Montipora grisea Montastrea curta Lobophyllia hemprichii Leptoseris scabra Leptastrea pruinosa Acanthastrea subechinata Leptoseris explanata Hydnophora exesa Goniopora tenuidens Goniopora somaliensis Goniopora lobata Goniastrea pectinata Galaxea fascicularis Fungia horrida Fungia concinna Favites russelli Favites complanata Favites abdita Favia stelligera Favia speciosa Favia pallida Favia matthai Favia favus Echinopora lamellose Echinophyllia echinoporoides Cyphastrea serailia Cyphastrea microphtalama Coeloseris mayeri Acropora palifera Acropora humilis Acropora granulose Acropora divaricata Acropora florida Acropora digitifera Montipora cebuensis Porites rus Acropora hyacinthus Acropora yongei Coscinaraea columna Acropora secale
1,2,3,4
2,4
Acropora valida Acropora listeri Seriatopora aculeate Seriatopora stellata Acropora austere Pocillopora damicornis Scapophyllia cylindrical Pavona venosa Plesiastrea versipora Montipora foliosa Montipora monasteriata Leptoria phyrigia Lobophyllia robusta Hydnophora microconos Leptastrea transversa Goniastrea retiformis Halomitra pileus Fungia paumotensis Goniastrea edwardsi Fungia fungites Fungia granulose Favites pentagona Fungia danai Ctenactis echinata Diploastrea heliopora Astreopora listeri Ctenactis crassa Acropora subulata Acropora valenciennesi
99
Acropora microclados Acropora millepora Acropora Formosa Acropora loripes Acropora clathrata Acropora cytherea Psammocora digitata Psammocora superficialis Acropora elseyi Pocillopora kelleheri Porites evermanni Montipora incrassate Montipora nodosa Goniopora stokesi Leptoria irregularis Favites spinosa Fungia corona Acropora verweyi Favia danae Acropora nana Acropora spicifera Acropora hoeksemai Montipora undata Porites nigrescens Acropora nobilis Goniopora columna Montipora digitata Favites micropentagona Goniastrea aspera Astreopora randalli Barabattoia laddi Acropora sarmentosa Scolymia vitiensis Seriatopora hystrix Acanthastrea hemprichii Psammocora contigua Sandalolitha robusta Polyphyllia talpina Porites solida Pectinia paeonia Platygyra yayamaensis Mycedium steeni Oulophyllia levis Montipora plawanensis Montipora samarensis Montipora floweri Montipora friabilis Montastrea colemani Montipora altasepta Hydnophora pilosa Leptoseris foliosa Euphyllia divisa Fungia scabra Echinophyllia echinata Echinopora taylorae Coscinaraea wellsi Cycloseris cyclolites Alveopora minuta Astreopora expansa Acropora robusta Acropora speciosa Acropora latistella Acropora paniculata Acropora echinata Acropora elegans Acropora aspera
2,3,4
2
2,3
3
Acropora derewanensis Acanthastrea regularis Pocillopora eydouxi
100
Porites tuberculosa Herpolitha limax Pectinia alcicornis Platygyra pini Turbinaria peltata Turbinaria stellulata Acanthastrea echinata Platygyra lamellina Platygyra verweyi Oulophyllia bennettae Oxypora glabra Montastrea magnistellata Montastrea salebrosa Favites halicora Goniopora burgosi Favia truncates Favites acuticulis Acropora samoensis Barabottoia amicorum Acropora cerealis Turbinaria patula Turbinaria reniformis Alveopora gigas Psammocora explanulata Scolymia australis Montipora millepora Pectinia maxima Lobophyllia flabelliformis Montipora foveolata Favia maxima Favites paraflexuosa Cyphastrea chalcidium Euphyllia cristata Australomussa rowleyensis Cynarina lacrymalis Astreopora myriophtalama Euphyllia glabrescens Acropora gemmifera
1,2,3
1,3
1
1,2
101
Lampiran 8. Profil terumbu karang di Stasiun 1
103
Lampiran 9. Profil terumbu karang di Stasiun 2
104
Lampiran 10. Profil terumbu karang di Stasiun 3
105
Lampiran 10. Profil terumbu karang di Stasiun 3
105
Lampiran 11. Profil terumbu karang di Stasiun 4
106
Referensi Sediment efect Riegl dan Bloomer (1995) menemukan bahwa sediment memberikan efek histopologi yang serius terhadap karang scleractinia dan alcyonacea. Efek tersebut lebih sering ditemukan dalam alcyonacea dibanding scleractinia. Efek sedimentasi umumnya mudah terlihat dalam necroses jaringan karang baik scleractinia maupun alcyonacea. Necross pada jaringan berkaitan dengan terjadinya akumulasi sedimen pada permukaan koloni. Necroses selalu terjadi pada area dimana sediment terakumulasi.