PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK
PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK Bedjo, Sri Wahyuni Indiati, dan Suharsono Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak Km. 8. Kotak Pos 66 Malang 65101.
ABSTRAK Ulat grayak Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) adalah hama yang sering menimbulkan kerusakan pada pertanaman kedelai di Indonesia, khususnya pada musim kemarau. Serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan vegetatif mampu menurunkan hasil sampai dengan 80%, sehingga ulat grayak dipandang sebagai salah satu kendala produksi kedelai. Komponen-komponen pengendalian ulat grayak yang telah diketahui efektif terhadap ulat grayak adalah NPV (nuclear polyhedrosis virus), pestisida nabati (serbuk biji mimba) dan penanaman varietas/galur kedelai tahan ulat grayak. Untuk mengetahui efektifitas masing-masing komponen pengendalian terhadap aspek biologi ulat grayak, dilakukan penelitian di laboratorium Entomologi BALITKABI pada 2011. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan dan masingmasing perlakuan diulang empat kali. Perlakuan meliputi : (1). Pakan Wilis (kontrol var. rentan), (2). Pakan G100H (kontrol var. tahan), (3). Pakan G100H + SBM 50 g/l, (4). Pakan G100H + NPV 2 g/l, dan (5). Pakan G100H + SBM 50 g/l + NPV 2 g/l., tiap perlakuan menggunakan 100 ekor larva. Hasil penelitian menunjukkan perkembangan larva dari instar tiga sampai instar enam dipengaruhi oleh jenis pakan. Pakan varietas rentan (Wilis) menyebabkan perkembangan larva dari instar tiga sampai instar enam lebih pendek dibanding dengan pakan varietas tahan (G100H). Pada perlakuan pakan G100H+SBM 50 g/l, untuk mencapai instar enam dibutuhkan waktu sekitar 10 hari, tiga hari lebih pendek bila dibanding dengan larva yang hanya diberi pakan G100H saja. Selain umur periode larva, jenis pakan juga mempengaruhi umur periode pupa, bobot larva dan bobot pupa. Semakin sesuai jenis pakan, semakin panjang periode pupa dan semakin berat bobot larva maupun pupanya. Adanya penambahan SBM maupun NPV menyebabkan laju kematian semakin cepat. Pada perlakuan G100H+NPV 2 g/l, umumnya larva mengalami kematian pada saat baru mencapai awal instar lima. Total mortalitas larva pada pakan G100H yang diperlakukan dengan NPV 2 g/l dan SBM 50 g/l+NPV 2 g/l masing-masing mencapai 100% terjadi pada sembilan HSA, sedangkan G100H yang diperlakukan dengan SBM 50 g/l hanya mencapai 97%, terjadi pada 21 HSA. Total mortalitas pada pakan Wilis hanya mencapai 27% terjadi pada 15 HSA yaitu
113
Bedjo et al. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
pada fase pupa, sedang pada perlakuan pakan G100H mencapai 78%, terjadi pada 21 HSA pada fase imago. Kata
kunci:
Pengendalian
ramah
Spodoptera litura.
lingkungan,
biopestisida,
residu,
PENDAHULUAN Ulat grayak Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) adalah hama yang sering menimbulkan kerusakan pada pertanaman kedelai di Indonesia, khususnya pada musim kemarau. Serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan vegetatif mampu menurunkan hasil sampai dengan 80%, sehingga ulat grayak dipandang sebagai salah satu kendala produksi kedelai. Hama ini tersebar luas khususnya di daerah yang beriklim panas dan lembab, dari subtropis sampai daerah tropis. Informasi luas, intensitas serangan, dan kehilangan hasil karena ulat grayak masih terbatas, dan belum tercatat dengan baik. Pada tahun 2009 di KP Muneng terjadi defoliasi/kerusakan daun dan kehilangan hasil hingga 100%. Populasi ulat grayak di beberapa sentra produksi kedelai di Jawa Timur, yaitu di kabupaten
Jombang,
Ponorogo, Pasuruan,
dan
Banyuwangi
telah
berkembang menjadi tahan terhadap insektisida golongan endosulfan dan dekametrin yang digunakan petani secara terus menerus (Marwoto dan Bedjo 1996). Masalah ini terjadi akibat penggunaan insektisida sejenis dengan dosis tinggi, dan konsentrasi bahan aktif yang rendah secara terus menerus sehingga mendorong terbentuknya strain-strain baru yang mampu berkembang lebih tinggi dan cepat (resurgence). Salah satu faktor pemicu resurgensi tersebut adalah penggunaan dosis dan konsentrasi yang rendah secara berlanjutan. Seperti terungkap dari penelitian sebelumnya bahwa 6570% petani kedelai di Ponorogo, Pasuruan Jombang dan Banyuwangi menggunakan volume semprot
kurang dari 300 l/ha dengan konsentrasi
kurang dari 2 ml/l (Marwoto dan Suharsono 1988). Sebagai akibatnya adalah
keefektifan pengendalian
ulat
grayak
secara kimiawi makin
berkurang sehingga serangan ulat grayak masih menjadi ancaman yang serius. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan produktifitas kedelai di lapangan akibat senjang hasil yang tinggi dengan potensi hasil yang sebenarnya. Norris et al. (2003) menyatakan bahwa hama berdampak pada penurunan 114
PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK
kuantitas maupun kualitas hasil akibat kerusakan secara fisik, racun kimia, vektor penyakit, meningkatkan biaya produksi, sosial, dan lingkungan, hingga penolakan oleh konsumen. Oleh karena itu alernatif pengendalian yang efektif perlu dikaji lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian varietas tahan terhadap ulat grayak yang dikemukanan oleh Suharsono et al. (2007) dan Suharsono dan Suntono (2005) bahwa peluang besar terbuka untuk mendapatkan varietas tahan hama perusak daun khususnya terhadap ulat grayak, setelah dua galur introduksi dari Brazilia, yaitu IAC-100 dan IAC-80596-2 ditemukan tahan terhadap hama pengisap polong juga mempunyai tingkat ketahanan tertentu terhadap ulat grayak (Suharsono dan Suntono 2007). Salah satu hasil persilangan yang juga mempunyai tingkat ketahanan lebih tinggi terhadap ulat grayak adalah G100 H (Suharsono dan Suntono 2007). Adapun bioinsektisida Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) adalah salah satu jenis virus patogen yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam mengendalikan ulat grayak, karena bersifat spesifik, selektif, efektif untuk hama hama yang telah resisten terhadap insektisida dan aman terhadap lingkungan. NPV telah dikembangkan secara in vivo di laboratorium Balitkabi, untuk pengendalian hayati hama Lepidoptera. NPV diketahui efektif mengendalikan hama ulat grayak pada kedelai (Bedjo et al. 2000). Sebagai bioinsektisida, virus tersebut dapat mengendalikan serangga hama sasaran secara tepat karena bersifat spesifik, mempunyai membunuh cukup tinggi, biaya relatif murah lingkungan.
Hasil
rekayasa
NPV
dengan
dan bahan
kemampuan
tidak mencemari pembawa
dapat
mempertahankan virulensi NPV, sehingga dapat menekan populasi ulat grayak pada tanaman kedelai di lapang sampai 90% (Bedjo 2003) Mimba (Azadirachta indica A. Juss), merupakan salah satu tumbuhan sumber bahan insektisida (insektisida nabati)
yang dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Bagian tanaman mimba yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah daun dan bijinya. Senyawa aktif tanaman mimba tidak membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh terhadap daya makan, pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan komunikasi seksual, menurunkan daya tetas telur, dan menghambat pembentukan kitin. Selain itu juga 115
Bedjo et al. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
berperan sebagai pemandul (Schmutterer dan Singh 1995). Selain bersifat sebagai insektisida, tumbuhan tersebut juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida dan rodentisida. Senyawa aktif tersebut telah dilaporkan berpengaruh terhadap lebih kurang 400 jenis serangga (Howatt 1994). Indiati (2006) melaporkan hasil pengamatan di KP. Kendalpayak pada musin tanam (MT) 2007 menunjukkan bahwa populasi ulat grayak, Spodoptera litura dan kutu kebul, Bemisia tabaci pada tanaman kedelai varietas Burangrang, Kaba, Ijen, dan Anjasmoro yang disemprot insektisida kimia cukup tinggi, rata-rata enam ekor ulat/enam ayunan dan 1300-1500 ekor kutu kebul/enam ayunan dibanding satu ekor ulat/enam ayunan
dan 100-700 ekor kutu kebul/enam ayunan pada varietas yang
sama yang disemprot dengan serbuk biji mimba 50 g/l air. Adapun keunggulan pengendalian hama dengan menggunakan mimba sebagai insektisida nabati mempunyai beberapa keunggulan antara lain: (a) di alam senyawa aktif mudah terurai, sehingga kadar residu relatif kecil, peluang untuk membunuh serangga bukan sasaran rendah dan dapat digunakan beberapa saat menjelang panen, (b) cara kerja spesifik, sehingga aman terhadap vertebrata (manusia dan ternak), (c) tidak mudah menimbulkan resistensi, karena jumlah senyawa aktif lebih dari satu. Salah satu pendekatan untuk pengendalian OPT kedelai adalah melalui melalui integrasi varietas tahan, NPV, dan pestisida nabati dengan menentukan efektifitas pengendalian masing-masing komponen yang diukur dari aspek biologi ulat grayak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan faktor yang penentu efektifitas pengendalian masing-masing komponen yang diukur dari aspek biologi ulat grayak.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilakukan di laboratorium Hama dan Penyakit Balitkabi. Seluruh benih kedelai ditanam secara bersamaan pada polybag : tebal 0,20 mm, tinggi 40 cm dan Ø 20 cm di dalam kurungan kasa 4 m x 3 m x 2 m. Pada setiap polybag
ditanami dua benih kedelai. Pemupukan
dilakukan bersamaan tanam masing-masing menggunakan pupuk 5 g Urea, 10 g SP-36 dan 5 g KCl/ polybag . Setelah tanaman berumur 1,5 bulan diambil satu daun trifoliat dari masing-masing varietas/galur 116
PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK
kedelai, diambil kemudian diaplikasi secara semprot larutan serbuk biji mimba (SBM) 50 g/l, dan NPV 2 g/l. Setelah potongan daun trifoliat dikering anginkan kemudian digunakan sebagai pakan larva ulat grayak instar dua hasil pemeliharaan di laboratorium. Larva-larva tersebut dimasukkan ke dalam vial plastik dengan ukuran Ø = 5 cm, tinggi 5 cm. Tiap vial plastik diisikan satu ekor larva instar dua. Pemeliharaan dilakukan sampai larva berkembang menjadi dewasa/larva mati. Pakan daun yang diberi perlakuan diganti apabila daun mulai kering atau telah habis dimakan oleh larva. Tiap perlakuan menggunakan 100 ekor larva. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang empat kali. Perlakuan meliputi : 1. Pakan Wilis (kontrol var. rentan); 2. Pakan G100H (kontrol var. tahan); 3. Pakan G100H + SBM 50 g/l; 4. Pakan G100H + NPV 2 g/l; 5. Pakan G100H + SBM 50 g/l + NPV 2 g/l. Pengamatan dilakukan terhadap aspek biologi larva yang meliputi lama perkembangan larva tiap instar, laju kematian larva, berat larva dan berat pupa. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F pada taraf 5% dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, digunakan Uji Jarak Berganda Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perkembangan larva dari instar tiga sampai instar enam sangat dipengaruhi oleh jenis pakan. Pakan varietas rentan (Wilis) menyebabkan perkembangan larva dari instar tiga sampai instar enam lebih pendek bila dibanding dengan pakan varietas tahan (G100H). Pada varietas Wilis, perkembangan larva mulai instar tiga sampai instar enam membutuhkan waktu sekitar sembilan hari, sedang pada G100H lebih panjang yaitu sekitar 13 hari (Gambar 1). Suharsono (1986) menyatakan bahwa ulat grayak yang memakan galur-galur tahan seperti PI 17144, PI 227687 menyebabkan kematian larva yang tinggi, bobot larva dan pupa makin rendah dan perkembangan larva menjadi lebih lama. Dengan semakin panjangnya fase yang dibutuhkan suatu larva menunjukkan bahwa pakan
tersebut
kurang
sesuai
untuk
perkembangan
larva,
hal
ini 117
Bedjo et al. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
kemungkinan disebabkan karena pakan tersebut mengandung zat yang bersifat antibiosis. Pada perlakuan pakan G100H+SBM 50 g/l, untuk mencapai instar enam dibutuhkan waktu sekitar 10 hari, tiga hari lebih pendek bila dibanding dengan larva yang hanya diberi pakan G100H saja. Lebih pendeknya fase larva tersebut kemungkinan disebabkan karena SBM bersifat antifidant terhadap larva, sehingga larva enggan makan dan mengakibatkan G100H yang dikonsumsi oleh larva berkurang/lebih sedikit. Dengan semakin rendahnya konsumsi G100H yang bersifat antibiosis akan berpengaruh terhadap umur larva sehingga menjadi lebih pendek. Pada perlakuan G100H+NPV 2 g/l, umumnya larva mengalami kematian pada saat baru mencapai awal instar lima, hal ini disebabkan karena sifat dari NPV dimana setelah virus tersebut tertelan oleh larva, maka dalam organ percernaan virus tersebut akan berkembang biak dan selanjutnya akan mengakibatkan kematian larva, sehingga umur larva menjadi pendek, sekitar enam hari (Gambar 1). Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan G100H+SBM 50 g/l+NPV 2 g/l, umumnya larva mengalami kematian saat mencapai akhir instar empat (larva berumur ± 6 hari). Berdasarkan analisis sidik ragam perkembangan larva antar perlakuan pakan yang diuji berbeda nyata, kecuali antara perlakuan G100H+NPV 2 g/l
dan G100H+SBM 50
g/l+NPV 2 g/l yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Gambar 1. Aplikasi SBM, NPV, dan penggunaan galur tahan terhadap perkembangan larva S. litura. Laboratorium Entomolgi, MK. 2011. 118
PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK
Selain umur periode larva, jenis pakan juga mempengaruhi umur periode pupa. Semakin sesuai jenis pakan semakin panjang periode pupa. Larva dengan pakan varietas Wilis membutuhkan waktu sekitar 11 hari untuk berpupa, sedang pada G100H hanya membutuhkan waktu enam hari untuk berpupa, selanjutnya pada perlakuan G100H+SBM 50 g/l, periode pupa semakin pendek yaitu hanya lima hari (Gambar 2). Sehingga dari larva sampai menjadi imago dibutuhkan waktu sekitar 20 hari untuk pakan Wilis, 19 hari untuk G100H dan 16 hari untuk G100H+SBM 50 g/l. Pengaruh senyawa yang terkandung dalam serbuk biji mamba yang paling penting pada serangga adalah sebagai penghambat pertumbuhan (growth inhibitor) dan penolak makan (feeding deterrent/antifeedant) (Gupta dan Birah 2001), sehingga menyebabkan kematian yang tinggi pada ulat H. armigera, menghambat pertumbuhan dan perkembangan ulat yang masih hidup yaitu menurunkan bobot ulat dan pupa, serta memperpanjang stadia ulat maupun pupa (Isman etal. 1990; Verkerk et al. 1998; Ma-Deling et al. 2000; Weathersbee dan Tang 2002).Sedang untuk perlakuan G100H+NPV 2 g/l dan G100H+SBM 50 g/l+NPV 2 g/l pupa tidak sampai terbentuk karena larva telah mati sebelum mencapai instar enam. Perlu kami informasikan bahwa kebanyakan larva pada perlakuan G100H dan G100H+SBM 50 g/l mengalami kematian pada periode prapupa. Berdasarkan analisis sidik ragam perkembangan larva sampai akhir pembentukan pupa antar perlakuan pakan yang diuji menunjukkan perbedaan yang nyata. 25
Umur (hari)
20
15
a 10
b
c
5
d
d
G + NP V
G+SB M +NP V
0 Wilis
G100H
G + SB M U pupa
U lrv-pupa
Gambar 2. Aplikasi SBM, NPV, dan penggunaan galur tahan terhadap umur pupa S. litura. Di Laboratorium Entomolgi, MK. 2011. 119
Bedjo et al. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
Hasil pengamatan bobot larva instar enam menunjukkan bahwa larva yang diberi pakan varietas Wilis memberikan rata-rata bobot larva paling tinggi yaitu 0,8 g/ekor, sedang pada perlakuan G100H bobot larva sekitar 0,6 g/ekor, dan pada perlakuan
G100H+SBM 50 g/l bobot larva paling
rendah, yaitu hampir mencapai 0,4 g/ekor (Gambar 3). Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Kogan (1982) bahwa
adanya pengaruh buruk pada
beberapa aspek biologi serangga antara lain laju kematian yang tinggi, pengaruh buruk terhadap sebagian atau seluruh stadia perkembangan serangga (antibiosis), misalnya penurunan bobot ulat, bobot kepompong, dan perkembangan yang tidak sempurna. Tingginya bobot larva pada perlakuan Wilis membuktikan bahwa Wilis merupakan pakan yang paling sesuai/cocok untuk perkembangan larva. Pada Gambar 1. dapat dilihat bahwa pada varietas Wilis, perkembangan larva mulai instar tiga sampai instar enam membutuhkan waktu paling singkat yaitu sekitar 9 hari, namun dalam periode waktu yang singkat tersebut dapat menghasilkan bobot larva paling tinggi (0,8 g/ekor). Bobot larva pada perlakuan G100H+NPV 2 g/l dan G100H+SBM 50 g/l+NPV 2 g/l tidak dapat dilakukan karena larva telah mati sebelum mencapai instar enam. Berdasarkan analisis sidik ragam bobot larva antar perlakuan pakan yang diuji menunjukkan perbedaan yang nyata.
1.0
Berat larva instar 6 (g)
a 0.8
b 0.6
c 0.4
0.2
d
d
0.0 Wilis
G100H
G + SBM
G + NPV
G+SBM+NPV
Gambar 3. Aplikasi SBM, NPV, dan penggunaan galur tahan terhadap berat larva S. litura instar 6. Laboratorium Entomolgi, MK. 2011 120
PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK
Hasil pengamatan bobot pupa menunjukkan bahwa larva yang diberi pakan varietas Wilis memberikan rata-rata bobot pupa paling tinggi yaitu 0,3 g/ekor, sedang pada perlakuan G100H bobot pupa sekitar 0,28 g/ekor, dan pada perlakuan G100H+SBM 50 g/l bobot pupa paling rendah, yaitu hampir mencapai 0,2 g/ekor (Gambar 4). Ada kecenderungan bahwa bobot pupa berbanding lurus dengan bobot larva, kerena ke dua fase tersebut sangat berhubungan erat dengan kemampuan makan pada saat fase larva. Bobot pupa pada perlakuan G100H+NPV 2 g/l dan G100H+SBM 50 g/l+NPV 2 g/l tidak dapat dilakukan karena larva telah mati sebelum mencapai fase pupa. Berdasarkan analisis sidik ragam bobot pupa antar perlakuan pakan yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada umumnya integrasi perlakuan dengan NPV tidak mencapai pupa hal ini dikarenakan masa infeksi NPV (JTM 97C) berlangsung antara 1 – 3 HSI, seperti yang dikemukakan oleh Bedjo (2008), bahwa SlNPV JTM 97C merupakan isolat SlNPV yang sangat efektif gejala infeksi SlNPV pada larva S. litura terlihat 1 – 3 hari setelah SlNPV tertelan. Oleh karena itu larva tidak akan mencapai pupa. 0.4
a a Berat pupa (g)
0.3
a 0.2
0.1
b
b
0.0 Wilis
G100H
G + SBM
G + NPV
G+SBM+NPV
Gambar 4. Aplikasi SBM, NPV, dan penggunaan galur tahan terhadap berat pupa S. litura. Laboratorium Entomolgi, MK. 2011 Dari laju kematian dapat dilihat bahwa pakan Wilis kematian terjadi pada 15 HSA sebanyak 15%. Kematian larva ini kemungkinan disebabkan karena kondisi larva yang kurang sehat dan bukan karena pengaruh pakan. Pada galur tahan G100H laju mortalitas tertinggi terjadi pada 14 HSA sampai 121
Bedjo et al. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
18 HSA yaitu pada fase pupa (Gambar 5). Hal ini menurut Kogan 1982 kemungkinan bisa disebabkan karena: (1) adanya metabolit toksik pada jaringan daun yang dapat berupa alkaloid, glikosida dan quinon, (2) unsurunsur hara utama tidak ada atau kurang tersedia, (3) perbandingan antara unsur-unsur hara yang tidak seimbang, (4) adanya enzym yang mampu menghalangi proses pencernaan makanan dan pemanfaatan unsur hara, (5) adanya antimetabolit yang menghalangi ketersediaan beberapa unsur hara bagi serangga. Pada pakan G100H yang diaplikasi dengan SBM 50g/l laju mortalitas terjadi antara lima HSA sampai sembilan HSA dan antara 14 HSA sampai 18 HSA (Gambar 5), sedang pada perlakuan pakan G100H yang diaplikasi dengan
NPV 2g/l dan perlakuan pakan G100H yang diaplikasi
dengan SBM 50 g/l+NPV 2 g/l laju mortalitas terjadi lebih cepat yaitu mulai 3 HSA sampai 8 HSA dengan puncak laju mortalitas pada enam HSA yaitu sebesar 42-48% (Gambar 5). 60 w ilis
G100H
G + SBM
G + NPV
G+SBM+NPV
Mortalitas (%)
50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu kematian larva/pupa (hari ke-)
Gambar 5. Aplikasi SBM, NPV, dan penggunaan galur tahan terhadap laju mortalitas (larva atau pupa) S. litura. Laboratorium Entomolgi, MK. 2011 Hasil pengamatan mortalitas menunjukkan bahwa pada varietas Wilis mortalitas larva sebesar 2% terjadi pada umur delapan hari setelah aplikasi (HSA), begitu juga pada galur tahan G100H mortalitas larva baru terjadi 122
PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK
pada tujuh HSA, sebesar 3%. Pada pakan G100H yang diaplikasi dengan SBM 50g/l, NPV 2g/l dan SBM 50 g/l+NPV 2 g/l mortalitas larva terjadi lebih awal yaitu pada tiga HSA dengan mortalitas berturut-turut sebesar 2, 2, dan 3%. Pada lima HSA total motalitas telah menjadi 8, 23, dan 20%; dan pada tujuh HSA total mortalitas larva telah meningkat menjadi 32, 87, dan 98% (Gambar 6). 105
a
100
a
a
95 90 85
b
80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
c
25 20 15 10 5 0 w ilis hari ke1 hari ke 8 15
G100H hari ke 2
hari ke 3
9
10
16
17
G + SBM hari ke 4
G + NPV
G+SBM+NPV
hari ke 5
hari ke 6
hari ke 7
11
12
13
14
18
19
20
21
Gambar 6. Aplikasi SBM, NPV, dan penggunaan galur tahan terhadap mortalitas larva S. litura. Laboratorium Entomolgi, MK. 2011 Pada hari ke sembilan (9 HSA) total mortalitas larva pada pakan G100H yang diperlakukan dengan NPV 2g/l dan SBM 50 g/l+NPV 2 g/l masing-masing telah mencapai 100%, sedangkan G100H yang diperlakukan dengan SBM 50g/l total mortalitas akhir hanya mencapai 97%, terjadi pada 21 HSA. Pada pakan Wilis total mortalitas hanya mencapai 27% terjadi pada 15 HSA yaitu pada fase pupa, sedang pakan G100H total mortalitas mencapai 78%, mortalitas terakhir terjadi pada 21 HSA yaitu pada fase imago (Gambar 6). Dalam penelitian ini larva tidak diberi kesempatan untuk memilih pakan yang disukai, akan tetapi dipaksa untuk makan pakan yang ada, sehingga pada akhirnya larva/pupa akan mati karena pakan mengandung 123
Bedjo et al. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
zat antibiosis. Ini membuktikan bahwa varietas tahan dapat digunakan sebagai salah satu komponen pengendalian hama, karena apabila hal tersebut diterapkan dilapangan, G100H akan terhindar dari serangan larva karena larva tidak menyukai G100H sebagai pakan sehingga intensitas serangannya menjadi rendah. Sebaliknya Wilis sangat disukai sebagai pakan sehingga akan mengalami serangan dengan intensitas serangan yang parah.
KESIMPULAN Perkembangan larva dari instar tiga sampai instar enam sangat dipengaruhi oleh jenis pakan. Pakan varietas rentan (Wilis) menyebabkan perkembangan larva dari instar tiga sampai instar enam lebih pendek bila dibanding dengan pakan varietas tahan (G100H). Pada perlakuan pakan G100H+SBM 50 g/l, untuk mencapai instar enam dibutuhkan waktu sekitar 10 hari, tiga hari lebih pendek bila dibanding dengan larva yang hanya diberi pakan
G100H
saja. Selain
umur periode larva,
jenis pakan
juga
mempengaruhi umur periode pupa, bobot larva dan bobot pupa. Semakin sesuai jenis pakan, semakin panjang periode pupa dan semakin berat bobot larva
maupun
pupanya.
Adanya
penambahan
SBM
maupun
NPV
menyebabkan laju kematian semakin cepat. Pada perlakuan G100H+NPV 2 g/l, umumnya larva mengalami kematian pada saat baru mencapai awal instar lima, Total mortalitas larva pada pakan G100H yang diperlakukan dengan NPV 2g/l dan SBM 50 g/l+NPV 2 g/l masing-masing mencapai 100% terjadi pada sembilan HSA, sedangkan G100H yang diperlakukan dengan SBM 50g/l hanya mencapai 97%, terjadi pada 21 HSA. Total mortalitas pada pakan Wilis hanya mencapai 27% terjadi pada 15 HSA yaitu pada fase pupa, sedang pada perlakuan pakan G100H mencapai 78%, terjadi pada 21 HSA pada fase imago
PUSTAKA Bedjo, M. Arifin, M. Rahayu dan Sumartini. 2000. Pemanfaatan Nuclear Polyhedrosis Virus, Bacillus thuringiensis dan Metarhizium anisopliae sebagai biopestisida untuk pengendalian hama 124
PENGARUH PESTISIDA NABATI, NPV DAN GALUR TAHAN TERHADAP ASPEK BIOLOGI ULAT GRAYAK
kedelai. Laporan Hasil Penelitian The Participatory Development of Agricultural Technology Project (PAATP). Balitkabi. 32 hal. Bedjo. 2003. Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) untuk pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai. Lokakarya Pemanfaatan Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama pemakan daun kedelai Spodoptera litura F. 4 Nopember 2003 Balitkabi. 16 hal. Bedjo. 2008. Potensi, Peluang, dan Tantangan Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) untuk Pengendalian Ulat Grayak pada Tanaman Kedelai. Agritek. 16 : 1137-1145. Gupta, G.P. and A. Birah. 2001. Growth inhibitory and antifeedant effect of azadirachtin-rich formulations on cotton bollworm (Helicoverpa armigera). Indian Journal of Agricultural Sciences 71: 325-328. Howatt, K., 1994. Azadirachta indica: One tree’s Arsenal against pests, www.colostate.edu/Depts/ Entomology/ courses/ en570/papers/howatt.html Isman, M.B., O. Koul, A. Luezynski, and J. Kaminski. 1990. Insektisidal and antifeedant bioactivities of neem oils and their relationship to azadirachtin content. J. Agric. Food Chem. 38: 1407-1411. Indiati, S.W. 2006. Peningkatan efektifitas penggunaan biji mimba dan insektisida kimia untuk pengendalian hama lalat kacang pada tanaman kedelai. Laporan Hasil Penelitian Teknik Pengendalian OPT secara Kimiawi, Biologi, Kultur Teknis dan Pestisida Nabati 2006. Belum diterbitkan. Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan aplikasi. Cetakan ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta. 88 hal. Kogan, M. 1982. Plant resistance in pest management. In Metcalf and W.H. Luckman (eds.) Introduction to pest management. Jonh Wiley & Sons. 93-134 p. Ma-Deling, G. Gordh, M.P. Zalucki, dan D.L. Ma. 2000. Biological effects of azadirachtin on Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) fed on cotton and artificial diet. Australian Journal of Entomology 39: 301-304. Marwoto dan Suharsono. 1988. Pengendalian hama kedelai di tingkat petani. Seminar Intern. Balai penelitian Tanaman Pangan Malang. 8 hal. Belum Diterbitkan. Marwoto dan Bedjo. 1996. Resistensi hama ulat grayak terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Seminar Hasil 125
Bedjo et al. Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
Penelitian Balai penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Norris, R.F., E.P. Caswell-Chen, dan M. Kogan. 2003. Concept in Integrated Pest Management. Prentice Hall. Upper Sadle River, New Jersey. 586 p. Suharsono, 1986. Kajian antibiosis tanaman kedelai terhadap terhadap Spodoptera litura dan Orgya sp. Penelitian Palawija 1:58-63. Suharsono dan Tridjaka, 1993. Uji Ketahanan Varietas Kedelai terhadap Ulat Grayak Spodoptera litura. Makalah Seminar Regional HPTI Jawa Timur di UPN Veteran Surabaya 19 Desember 1993. Suharsono dan Suntono. 2005. Efektivitas beberapa jenis insektisida kimia dan galur tahan untuk mengendalikan hama perusak daun. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2005. Suharsono, M. Rahayu, S. Hardaningsih, W. Tengkano, S.W. Indiati, Marwoto, Bedjo dan Y. Baliadi. 2007. Perbaikan dan evaluasi komponen teknologi pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) pada tanaman kedelai. 2007. Laporan Akhir Hasil Penelitian Tahun 2007. Suharsono, M. Rahayu, S. Hardaningsih, W. Tengkano, S.W. Indiati, Marwoto, Bedjo dan Y. Baliadi. 2008. Perbaikan dan evaluasi komponen teknologi pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) pada tanaman kedelai. 2007. Laporan Akhir Hasil Penelitian Tahun 2008. Schmutterer, H. dan R. P. Singh. 1995. List of insect pest susceptible to neem products. In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree- Source of Unique Natural products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 326-365. VCH, Weinheim, New York, Basel, Cambridge, Tokyo. Verkerk, R.H.J., S.R. Leather dan D.J. Wright. 1998. The potential for manipulating interactions for improved insect pest management. Bulletin of Entomological Research 88: 493 501. Weathersbee III, A.A. and Y.Q. Tang. 2002. Effects of neem seed extract on feeding, growth, survival, dan reproduction of Diaprepes abbreviatus (Coleoptera: Curculionidae). J. Econ. Entomol. 95: 661-667.
126