PENGARUH PERSEPSI AKAN ANCAMAN ATAS HARGA DIRI PADA INTENSI BERGOSIP Richard Antoni Erita Narhetali Program Studi Sarjana Reguler Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh Persepsi Akan Ancaman (Perceived Threat) atas Harga Diri (Self-esteem) pada Intensi Bergosip. Pengukuran perceived threat to self-esteem dilakukan dengan menggunakan self-report scale atas skenario eksperimen yang diberikan kepada para partisipan dengan skala likert 6, dan pengukuran intensi bergosip menggunakan adaptasi alat ukur tendency to gossip scale (Massar et al., 2011). Partisipan berjumlah 120 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang sudah berkuliah sekurang-kurangnya 1 (satu) semester dan aktif bersosialisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh positif yang signifikan antara perceived threat to self-esteem pada intensi bergosip pada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (t = 24.869; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, ketika seseorang mempersepsikan adanya ancaman atas harga dirinya, maka semakin ia merasakan intensi untuk bergosip. Kata Kunci: Intensi Bergosip, Perceived Threat to Self-esteem.
ABSTRACT This research was conducted to find the effect of perceived threat to self-esteem on intention to gossip. Perceived Threat to Self-esteem was measured with a 6 likert scale self-report inventory on the experiment scenarios that was given to the participants. Intention to Gossip was measured using an inventory named Intention to Gossip scale which is a modified inventory from Tendency to Gossip (Massar et al.,2011). The participants of this research were 120 University of Indonesia Faculty of Law students who have studied for at least 1 (one) semester and actively socializing. The main results of this research show that perceived threat to selfesteem has a significant positive effect on intention to gossip (t = 24.869; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). This research’s result shows that, when someone perceived that their self-esteem being threatened, they will feel higher intention to gossip. Keywords: Intention to Gossip, Perceived Threat to Self-esteem.
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
Pendahuluan Ruhut sitompul belakangan ini seringkali mencecar dan mejelek-jelekkan Jokowi, bahkan sempat terlontar perkataan “Pedagang mebel mau jadi calon presiden, belum levelnya. Memang mudah jadi presiden? Aku tidak mau bodohi rakyat, aku mau cerdaskan rakyat” (merdeka.com, 2013). Mengapa Ruhut bisa sampai mengeluarkan ucapan tersebut? Apakah Jokowi memprovokasi Ruhut sehingga ia bereaksi demikian? Faktanya, Jokowi sama sekali tidak pernah berbicara mengenai Ruhut secara pribadi, baik secara positif maupun negatif. Maka apa yang mendorong Ruhut hingga dia mengeluarkan pernyataan bernada negatif bahkan menyerang secara pribadi mengenai Jokowi di muka publik? Foster (2004) mendefinisikan gosip sebagai „pembicaraan mengenai pihak ketiga yang tidak hadir saat pembicaraan tersebut berlangsung‟ dimana terlepas isi pembicaraan tersebut negatif atau positif. Di sisi lain, Rosnow (2001) secara lebih gamblang mengatakan bahwa gosip “dapat mencuri impian, menghancurkan hubungan, dan menimbulkan masalah” yang artinya Rosnow mendefinisikan gosip lebih sebagai suatu hal yang bersifat negatif. Peneliti sendiri memilih untuk mempergunakan definisi Rosnow dalam penelitian ini, karena berdasarkan pertimbangan bahwa dalam kultur masyarakat Indonesia gosip sendiri lebih dipandang negatif. Selain itu, Crick dan Grotpeter (1995) mengategorikan gosip sebagai verbal relational aggression. Gosip sendiri sebenarnya juga dapat menjadi sebuah strategi dalam persaingan untuk memperebutkan sumber daya terbatas dengan
menggunakan
informasi
untuk
merusak
reputasi
lawannya
dan
meningkatkan reputasi mereka sendiri (Barkow, 1992; Buss & Dedden, 1990; Emler, 1994; Hess & Hagen, 2006). Maka, berdasarkan definisi-definisi yang telah dijelaskan di atas, perbuatan Ruhut berbicara negatif mengenai Jokowi termasuk bergosip. Fenomena Ruhut vs Jokowi ini dalam bidang ilmu psikologi sosial dapat dijelaskan dengan self-serving bias dan self-defense mechanism dalam usaha mempertahankan self-esteem. Dalam konteks persaingan, ketika seseorang bergosip, maka pada kenyataannya mereka melakukan derogasi kepada subjek gosip mereka dalam upaya untuk secara relatif merendahkan nilai pesaing dibandingkan dirinya sendiri. Dengan kata lain, gosip disebabkan persepsi pelaku gosip bahwa subjek gosip mengancam harga diri mereka (perceived threat to self-
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
esteem). Kenapa orang melakukan hal ini? Jawaban mudahnya adalah, karena setiap orang menginginkan self-esteem yang positif. Dengan self-esteem yang positif, seseorang akan merasa nyaman dengan dirinya, dan membuat seseorang mampu mengatasi kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial (Vaughan & Hogg, 2002). Sehingga sudah sewajarnya jika seseorang merasa harga dirinya terancam, mereka akan berusaha untuk menghilangkan sumber ancaman tersebut, salah satunya dengan menggosipkan orang lain yang dianggap sebagai penyebabnya. Memang selama beberapa dekade belakangan, harga diri (self-esteem) menjadi sebuah tema yang banyak diteliti. Self-esteem atau harga diri adalah penilaian atau evaluasi baik secara positif maupun negatif yang dimiliki seseorang akan dirinya dan bagaimana dia bersikap pada dirinya (Hewitt, 2009) atau dengan kata lain harga diri adalah bagaimana seseorang bersikap terhadap dirinya sendiri. Konstruk Harga Diri atau self-esteem seringkali dicampuradukan dengan konstruk Konsep Diri atau self-concept, padahal keduanya adalah dua konstruk yang berbeda. Konsep Diri merupakan gambaran atau anggapan yang dimiliki oleh seseorang akan dirinya (Leflot, G., Onghena, P., & Colpin, H., 2010) sedangkan Harga Diri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan penilaian atau evaluasi yang dimiliki seseorang akan dirinya. Smith dan Mackie (2007) mendefinisikan kedua konstruk tersebut dalam satu kalimat sebagai berikut “Konsep diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri, harga diri adalah penilaian positif atau negatif tentang diri, atau bagaimana perasaan kita tentang diri.” Perbedaan kedua konstruk yang mirip ini akan jelas terlihat ketika dilakukan pengukuran pada keduanya. Konstruk selfconcept dinilai dalam bentuk “ diri ideal- diri sesungguhnya” sedangkan konstruk self-esteem dinilai dengan seberapa suka atau tidaknya seseorang akan diri mereka sendiri “tinggi-rendah”. Kebanyakan penelitian terdahulu menghubungkan harga diri yang tinggi dengan resiliensi pribadi dan kemampuan berhubungan dengan orang lain yang baik (Murray, Griffin, Rose, & Bellavia., 2003; Stinson et al., 2008; Trzesniewski et al., 2006). Karena itu dimasa modern ini, orang tua juga banyak mendorong anak-anak mereka untuk membangun harga diri yang tinggi. Namun, harga diri yang tinggi tidak selalu memberikan pengaruh positif. Beberapa penelitian di awal abad 21 secara jelas menunjukan bahwa harga diri juga memiliki sisi antisosial, ketika mengalami ancaman, orang-orang dengan harga diri tinggi cenderung menjadi antagonis dan mau menang sendiri kepada mereka yang memiliki perspektif yang berbeda (Heatherton & Vohs, 2000; McGregor, Nail,
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
Marigold, & Kang, 2005; Park & Crocker, 2005; Vohs & Heatherton, 2001). Selain itu, berdasarkan pandangan evolusioner (e.g. Buss & Dedden, 1990; Campbell, 1999, 2004; Dunbar 2004) gosip juga dipandang sebagai sebuah strategi yang digunakan dalam persaingan, yaitu sebagai sebuah bentuk derogasi terhadang pesaing, terlebih pada wanita. Derogasi pesaing merujuk pada tindakan apapun yang dilakukan dengan tujuan untuk merendahkan daya saing lawan dibandingkan diri pelaku, dan difokuskan pada aspek-aspek yang dikagumi orang lain, contohnya kecantikan pada para wanita atau kemampuan finansial pada para pria (Buss & Dedden, 1990). Lebih jauh, pandangan evolusioner juga menyatakan bahwa orangorang lebih tertarik akan kegiatan orang lain yang sekelamin, dan bahwa isi gosip lebih dipusatkan untuk menghancurkan reputasi dan harga diri lawannya, karena hal tersebutlah yang merupakan karateristik utama dalam kehidupan sosial seseorang. Memang, kedua dugaan tersebut telah dibuktikan oleh penelitian-penelitian belakangan ini (Massar et al., 2011; Buss & Dedden, 1990). Penelitian-penelitian terdahulu menduga bahwa orang dengan harga diri yang rendahlah yang dekat dengan memakai narkoba, berprestasi akademis jelek, depresi, ataupun tindak kekerasan (Baron, Byrne, Branscome, 2006). Namun hasil penelitian baru-baru ini malah menunjukan bahwa harga diri yang tinggi malah berkaitan dengan perilaku bullying, narsisme, dan eksibisionisme (Sarwono, Sarlito W., 2009). Hal ini dikaitkan dengan perasaan superioritas, dimana harga diri yang tinggi merupakan cerminan perasaan superioritas atas orang lain sehingga orang terdorong untuk terus mempertahankannya. Ketika ada situasi yang dipersepsikan mengancam perasaan tersebut, maka muncul tingkah laku agresif yang ditujukan untuk mempertahankannya. Dengan demikian peningkatan intensi bergosip, adalah reaksi yang muncul sebagai upaya untuk menghilangkan persepsi akan adanya ancaman terhadap harga diri yang tujuannya adalah untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman yang dirasakan individu. Self serving bias merupakan sebuah istilah psikologis yang merujuk pada kecenderungan orang untuk menjustifikasi keberhasilan dan kegagalan mereka. Dalam mekanisme ini, orang cenderung untuk menilai bahwa keberhasilan yang didapatkannya merupakan hasil dari faktor internal dirinya, sedangkan kegagalan yang dideritanya merupakan hasil faktor eksternal yaitu orang lain atau situasi (Sarwono, Sarlito W., 2009). Mekanisme ini berfungsi untuk menjaga saliensi harga diri mereka, dengan mengatribusikan keberhasilan yang mereka peroleh kepada diri
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
mereka maka akan meningkatkan harga diri mereka, sedangkan mempersalahkan orang lain atau situasi saat mendapatkan hasil negatif akan mengurangi goncangan atas harga diri mereka. Selain itu mekanisme yang juga bekerja ketika harga diri seseorang dipersepsikan menghadapi ancaman adalah self defense mechanism, atau mekanisme pertahanan diri. Tidak jauh berbeda dengan self-serving bias, peranan
self
defense
mechanism
dalam
hal
harga
diri
adalah
untuk
mempertahankan harga diri, namun berbeda dengan self-serving bias yang mengatribusikan keberhasilan yang diperoleh kepada diri sendiri dan kegagalan kepada faktor lingkungan, self defense mechanism lebih reaktif dimana bukan saja mempersalahkan, namun menyerang balik orang atau hal yang dianggap sebagai sumber perasaan negatif atau terancam yang dirasakan oleh individu. Berdasarkan pendahuluan yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah, “Apakah partisipan yang mempersepsikan adanya ancaman atas harga diri mereka akan merasakan intensi yang lebih besar untuk bergosip dibandingkan dengan partisipan yang tidak mempersepsikan adanya ancaman atas harga diri mereka?”
Tinjauan Teoritis Seseorang dapat memiliki harga diri yang tinggi dan tidak perlu diyakinkan (reassurance) dari orang lain untuk menjaga harga dirinya tetap positif, namun ada juga orang-orang dengan harga diri yang tinggi tapi rapuh dan rentan akan kritik. Orang dengan harga diri yang rapuh menginternalisasikan keraguan diri secara tidak sadar dan insekuritas menyebabkan mereka bereaksi sangat negatif terhadap kritik sekecil apapun yang mereka terima. Orang-orang semacam itu memiliki kebutuhan untuk terus menerus menerima umpan balik positif dari orang lain untuk mempertahankan perasaan berharga (self-worth). Kebutuhan akan pujian terus menerus dapat diasosiasikan dengan perilaku sombong, sesumbar, dan bahkan dengan
perasaan
agresif
dan
bermusuhan
terhadap
siapapun
yang
mempertanyakan self-worth mereka, sebuah contoh dari ego yang terancam (Jordan, C. H., Spencer, S. J., & Zanna, M. P., 2003). Kenapa orang melakukan hal ini? Jawaban mudahnya adalah, karena setiap orang menginginkan self-esteem yang positif. Dengan self-esteem yang positif, seseorang akan merasa nyaman dengan dirinya, dan membuat seseorang mampu mengatasi kecemasan, kesepian, dan
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
penolakan sosial (Vaughan & Hogg, 2002). Sehingga sudah sewajarnya “jika” seseorang merasa harga dirinya terancam, mereka akan berusaha untuk menghilangkan sumber ancaman tersebut, salah satunya dengan menggosipkan orang lain yang dianggap sebagai penyebabnya. Sebenarnya, Persepsi Ancaman Atas Harga Diri telah dikenal sejak lama, namun dengan nama lain, seperti self-threat, threat to self-esteem, threatened ego dan lain sebagainya. Namun pada penelitian ini, tidak diambil satupun definisi yang telah ada sebelumnya, karena dari penjelasan yang telah diberikan sebelumnya telah ditekankan kata bahwa “jika” seseorang merasa harga dirinya terancam maka mereka akan bereaksi negatif, bahkan agresif. Kata jika tersebutlah kemudian peneliti jadikan dasar untuk penambahan kata perceived atau dipersepsikan. Hal ini dilakukan peneliti karena terkadang pemberian sebuah stimulus yang sama sekalipun, dapat diterima atau ditanggapi berbeda per individu, maka dari itu dimasukkan nuansa persepsi subjektif, yang memiliki artian bahwa bagi individu tertentu stimulus yang diberikan relatif mengancam. Intensi didefinisikan sebagai sejauh mana orang bermaksud untuk melakukan sesuatu, jadi intensi bergosip adalah sejauh mana seseorang bermaksud untuk bergosip. Dalam psikologi sendiri, gosip muncul untuk membantu memperat kelompok yang terus bertambah anggotanya. Untuk dapat bertahan, individu membutuhkan sekutu; namun seiring berkembangnya persekutuan tersebut, semakin sulit untuk bersatu dengan semua anggota. Perbincangan dan bahasa dapat menjembatani batasan tersebut. Gosip juga menciptakan ikatan antara penggosip dan pendengar, karena mereka menghabiskan waktu bersama. Dalam sisi negatifnya, gosip dapat menjadi sarana untuk secara sosial mengucilkan (social castration) orang tertentu. Maka tidaklah mengherankan jika dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Massar (2011) diketemukan bahwa dalam konteks persaingan, keinginan untuk mengetahui informasi negatif mengenai pesaing lebih tinggi. Hal ini diduga
bahwa
dengan
adanya
informasi
negatif
tentang
pesaing
dapat
meningkatkan perasaan mendominasi dibandingkan informasi positif. Intensi bergosip sendiri banyak dijelaskan dalam berbagai istilah yang hampir serupa, mulai dari tendency to gossip, verbal relational aggression, verbal bullying, dan lain sebagainya. Namun kembali di sini peneliti menghindari penggunaan istilah-
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
istilah tersebut, karena tidak ada satupun istilah tersebut yang sesuai dengan budaya dan kebiasaan masyarakat di Indonesia, dimana aspek perilaku negatif selalu berusaha dihindari dan disembunyikan. Maka pemilihan istilah intensi bergosip dilakukan untuk memperkuat alat ukur dan penyesuaian budaya yang dilakukan dalam penelitian ini. Self-esteem atau harga diri adalah penilaian atau evaluasi baik secara positif maupun negatif yang dimiliki seseorang akan dirinya dan bagaimana dia bersikap pada dirinya (Hewitt, 2009) atau dengan kata lain harga diri adalah bagaimana seseorang bersikap terhadap dirinya sendiri. Setiap orang menginginkan harga diri yang positif, sehingga terkadang orang akan menempuh cara apapun untuk mempertahankannya. Jordan et al., (2003) bahkan mengatakan bahwa beberapa orang akan begitu agresif dan defensif ketika dikritik. Self-serving bias merujuk pada kecenderungan mengatribusikan keberhasilan kepada faktor internal seperti diri sendiri dan mempersalahkan faktor eksternal seperti orang lain atau lingkungan jika gagal (Sarwono, Sarlito W., 2009). Mekanisme pertahanan diri merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Sigmund Freud, yaitu strategi psikologis yang diciptakan pikiran tidak sadar (unconscious mind) untuk melawan perasaan cemas dan ketidaknyamanan. Robert Plutchik (1979) mengatakan bahwa mekanisme pertahanan ini merupakan kebutuhan dasar bagi pikiran manusia untuk dapat terus berfungsi dengan baik. Maka dalam menghadapi ancaman terhadap harga diri, intensi bergosip berperan sebagai mekanisme pertahanan untuk menjaga agar harga diri tetap positif. Kultur Indonesia secara umum masih termasuk kedalam kultur timur, dimana menurut Markus & Kitayama (1991) dalam masyarakat dengan kultur timur, lebih ditekankan
kebersamaan
daripada
keindividu
yang
artinya,
secara
umum
masyarakat Indonesia memiliki interdependent self-construal, berbeda dengan independent
self-construal
yang
kebanyakan
dimiliki
oleh
orang
barat.
Interdependent self-construal membuat masyarakat Indonesia lebih mementingkan peranan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Karena itu pula, di kultur Indonesia, orang lebih cenderung untuk memilih posisi netral atau tengah, agar tidak dinilai ekstrem, selain itu orang Indonesia selalu menghindari pernyataan yang terkesan sombong atau menimbulkan kesan buruk akan diri mereka, dan jika pertanyaannya merupakan pertanyaan mengenai hal sensitif, maka akan orang Indonesia akan
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
cenderung memilih posisi ekstrem kiri agar tidak dianggap menyalahi norma kesusilaan atau menyakiti perasaan orang lain. Selain itu di Indonesia, setiap warga negara diwajibkan untuk beragama. Hal ini tertuang di Pancasila dan UUD 45, sehingga pelajaran agama pun selalu diberikan sejak dari SD hingga Perguruan Tinggi, terlebih di Institusi berorientasi keagamaan (Pesantren, Madrasah, Kolese Jesuit, Sekolah Minggu, Perguruan Tinggi Theology dan lain sebagainya) pendidikan keagamaan menjadi fokus utama. Karena itu, dapat dikatakan bahwa nilai agama sedikit banyak mempengaruhi masyarakat Indonesia. Inilah sebabnya mengapa dalam penelitian kali ini, dilakukan adaptasi kultural atas alat ukur Tendency to Gossip Massar (2011) menjadi alat ukur Intensi untuk Bergosip, yang mengubah seluruh butir pertanyaan yang terlalu bermuatan di ubah menjadi lebih halus dan menghilangkan kesan sombong atau egois ataupun terlalu sensitif. Untuk menghindari pengaruh nilai keagamaan yang melarang bahkan mengutuk gosip, maka dipilihlah mahasiswa fakultas hukum UI yang cukup dikenal lebih moderat dan sekuler dibandingkan beberapa fakultas lain di lingkungan UI. Sekilas mengenai priming, istilah priming pertama kali diperkenalkan oleh Karl Lashley pada tahun 1951, yang mengatakan bahwa priming merujuk kepada kecenderungan aktivasi internal suatu respon tertentu dalam sementara waktu (Bargh & Chartrand, 2000). Bargh, Chen, dan Burrows (1996) memberikan definisi priming, sebagai berikut : The incidental activation of knowledge structures, such as trait concept and stereotypes, by the current situational context. (hal. 230) Priming
dalam
penelitian
psikologi
mulai
berkembang
ketika
metodemetode untuk meneliti kognisi manusia dirasa belum cukup ilmiah oleh para peneliti saat itu. Dahulu, metode yang dapat digunakan untuk meneliti kognisi manusia hanyalah self-introspect dan self-report, namun kedua hal ini dikatakan tidak bisa dibuktikan secara independen dan tidak bisa diukur oleh observer, sehingga kedua cara ini dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah ilmu pengetahuan (Bargh & Chartrand, 2000). Hal inilah yang mengawali munculnya sebuah teknik untuk meneliti kognisi manusia dengan lebih ilmiah, dimana
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
teknik ini kemudian disebut sebagai priming. Priming merujuk kepada teraktivasinya suatu informasi atau konsep di dalam otak, dimana aktivasi ini mampu mempengaruhi individu baik dalam hal stereotype, sifat, atau bahkan tingkah lakunya. Aktivasi ini bersifat sementara, dimana efek dari
priming
ini tidak akan bertahan lama
atau menetap.
Pengaruh yang diberikan setelah aktivasi (priming) hanya merupakan pengaruh jangka pendek. Secara umum, Bargh dan Chartrand (2000) membagi priming ke dalam tiga jenis, yaitu : 1. Conceptual Priming Conceptual tertentu, dimana
priming konsep
melibatkan aktivasi mental terhadap konsep ini
akan
mempengaruhi
individu
dalam
pengerjaan tugas berikutnya. Contoh dari conceptual priming dapat dilihat pada penelitian Duncker (1945)
dimana
diceritakan
seseorang
yang
mampu meraih kedua tali yang berjauhan setelah melihat animasi tali berayun atau misalnya, seseorang yang dipaparkan kata “jujur” akan cenderung
melihat
orang
conceptual
priming
ini,
lain
sebagai
manipulasi
orang
digunakan
yang “jujur”. Dalam untuk
mengaktifkan
representasi mental dari individu dengan cara tertentu, dimana individu tersebut tidak menyadari hubungan antara cara aktivasi tersebut dengan pengaruh sedapat
yang akan mungkin
dialaminya.
Priming
yang
diberikan
haruslah
tidak berkaitan dengan tugas yang akan diberikan
selanjutnya. 2. Mindset priming Dalam priming ini, partisipan benar-benar terlibat dalam proses berpikir terhadap
suatu
konteks
tertentu,
dimana
hal
ini
akan
mengarahkan mindset partisipan terhadap konteks tertentu. Contoh dari priming jenis ini adalah penelitian dari Gollwitzer, Heckhausen, dan Steller (1990). Pada penelitian ini, partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, dimana kedua kelompok diminta untuk berpikir mengenai cara pemecahan masalah pribadinya. Satu kelompok diminta untuk memecahkan masalah dengan cara mempertimbangkan kerugian dan keuntungan (pro dan kontra)
dari solusi
pemecahan masalah (deliberative atau disengaja),
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
sedangkan dengan masalah
kelompok
lainnya
cara merumuskan
satu
diminta
untuk
rencana
memecahkan
sebagai
(implemental atau penerapan). Kemudian,
solusi
masalah
pemecahan
partisipan
diberikan
sebuah potongan cerita dongeng dan diinstruksikan untuk menyelesaikan potongan tersebut sesuai keinginan mereka. Sesuai dugaan, partisipan pada kelompok implemental mindset memilih untuk menyelesaikan cerita sesuai dengan apa yang memang dilakukan oleh tokoh dalam cerita untuk mencapai tujuannya, sedangkan mindset
partisipan dengan deliberative
memilih untuk menyelesaikan cerita dengan tokoh utama
yang
memilih satu diantara banyak kemungkinan yang dihadapkan padanya. 3. Supraliminal Priming Supraliminal
priming
ini
juga
disebut
“priming sadar”.
Dimana
partisipan menyadari stimulus priming itu sendiri, namun mereka tidak menyadari pola tersembunyi yang merupakan sasaran priming utama. Dalam Supraliminal priming ini, ada prosedur berupa uji kesadaraan (awareness check), yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk melihat apakah partisipan mengetahui tujuan penelitian sejak awal atau
tidak.
Jika
partisipan menyadari tujuan dari priming tersebut, maka data partisipan tidak akan diikutsertakan dalam analisis. Dengan kata lain, dikatakan berhasil
hanya dan hanya jika
hubungan antara tugas
priming
partisipan tidak mengetahui
priming dengan tugas berikutnya. Contoh dari
supraliminal priming ini adalah Scramble Sentence Test yang dikembangkan oleh Bargh, Chen, dan Burrows (1996). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan supraliminal priming untuk mengaktivasi perasaan terancam pada harga diri partisipan. Hal ini dilakukan karena peneliti menduga bahwa jika partisipan merasa bahwa harga diri mereka terancam, maka akan meningkatkan intensi bergosip yang mereka miliki dibandingkan dengan partisipan yang tidak merasa harga diri mereka terancam. Maka, peneliti berusaha meberikan priming dalam penelitian ini untuk membuat partisipan merasa bahwa harga diri mereka terancam. Teknik priming ini (supraliminal) yang digunakan dalam penelitian ini adalah priming keterancaman yang diadaptasi dari penelitian Massar (2011). Teknik ini dipilih karena dapat menimbulkan perasaan terancam pada
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
partisipan. Dengan partisipan merasa bahwa harga diri mereka terancam, peneliti memprediksi bahwa intensi bergosip mereka akan meningkat dibandingkan mereka yang tidak merasa harga diri mereka terancam. Teknik
priming akan ancaman atas harga diri dilakukan dengan cara
memberikan skenario yang telah diujikan sebelumnya mengenai kedatangan orang baru ke dalam geng. Skenario ini telah terbukti efektif pada penelitian pilot sebelumnya dimana kebanyakan partisipan yang diberikan skenario dengan ancaman sebagian besar merating skenario dengan skala 3,34 dari 6 yang menunjukan bahwa secara relatif skenario dianggap mengancam bagi harga diri partisipan. Metode Penelitian Partisipan dalam penelitian ini digunakan dalam penelitian ini mesti memenuhi 2 kriteria. Penentuan kriteria ini berdasarkan pertimbangan praktis. Kriteria tersebut adalah: 1. Mahasiswa 2. Telah sekurang-kurangnya menempuh pendidikan di fakultasnya selama 1 (satu) semester. Hal ini untuk memastikan bahwa calon partisipan telah mendapatkan gambaran tentang pergaulan di kampus sehingga dapat dengan lebih mudah membayangkan skenario yang diberikan nantinya oleh peneliti sebagai priming persepsi ancaman atas harga diri partisipan. 3. Bukan merupakan mereka yang hanya kuliah-pulang, melainkan mereka yang aktif bersosialisasi, baik kuliah-rapat (organisasi) ataupun kuliahnangkring (bergaul). Variabel bebas dalam penelitian ini ada satu yaitu persepsi akan ancaman terhadap harga diri, dimana kelompok kontrol tidak diberikan ancaman -dalam bentuk skenario- pada self-esteem mereka, sedangkan kelompok ekperimen diberikan skenario yang dapat dipersepsikan mengancam self-esteem partisipan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah intensi bergosip yang diukur melalui pengukuran rata-rata (mean) dari skala intention to gossip (ITG) yang diisi oleh semua partisipan baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen. Adapun
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
ITG itu sendiri diukur dengan mengadaptasi inventory Tendency to Gossip scale, yang diciptakan oleh Massar, Buunk & Rempt (2011) dalam penelitian mereka mengenai kecenderungan bergosip dalam konteks persaingan romantis. Dalam pengolahan data, pertama-tama skor intention to gossip (ITG) masingmasing partisipan dijumlahkan dari pengisian keenambelas butir pertanyaan kuesioner ITG. Total skor ITG dari masing-masing partisipan di setiap kelompok kemudian dibandingkan menggunakan program SPSS dengan teknik Independent ttest untuk mengetahui apakah persepsi akan ancaman terhadap harga diri berpengaruh terhadap skor ITG tersebut. Hasil Penelitian Pertama-tama dilakukan manipulation check yang dalam penelitian ini berdasarkan skor rating keterancaman yang diberikan pada partisipan di akhir rangkaian penelitian. Hasilnya sesuai dengan yang ada di tabel yaitu signifikan, yang artinya partisipan yang mendapatkan priming ancaman merasa terancam sedangkan yang tidak mendapat priming ancaman tidak merasa terancam. Tabel Manipulation Check T Skor Tingkat Keterancaman Kelompok 22.362
Sig (p)
df
.000**
118
Kontrol dengan Kelompok Eksperimen **Signifikan pada LoS 0.01 Setelah dipastikan bahwa manipulasi yang diberikan dalam bentuk priming sukses, maka dihitunglah pengaruh Persepsi Akan Ancaman Atas Harga Diri Pada Intensi Bergosip dengan membandingkan skor total kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil yang didapatkan adalah signifikan dengan T sebesar 24.869 dengan df sebesar 118. Hasil tersebut berarti bahwa Persepsi Akan Ancaman Atas Harga Diri mempengaruhi Intensi Bergosip, dimana jika seseorang mempersepsikan harga dirinya terancam,maka intensinya untuk menggosipkan subjek yang dianggap sumber ancaman akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak.
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
Hasil independent t-test intensi bergosip Kelompok
N
Mean
Sd
Signifikansi
Keterangan
Kontrol
60
25.13
7.331
t = 24.869
Signifikan
Eksperimen
60
52.53
4.351
p = .000*
df=118
*Signifikan pada L.o.S .001 Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi akan ancaman atas harga diri meningkatkan intensi bergosip pada individu. Hal ini sesuai dengan hasil yang di dapatkan Massar (2011), bahwa jika seseorang merasa terancam maka intensi untuk „menyerang‟ subjek yang menimbulkan perasaan tidak nyaman tersebut akan meningkat. Dengan penelitian ini, semakin memperkuat hasil Massar (2011) tersebut, bahwa bukan dalam konteks persaingan romatis sajalah mekanisme tersebut berjalan. Bahkan dalam konteks pergaulan sosial-akademis pun, jika seseorang merasa terancam harga dirinya, intensi bergosip mereka akan meningkat. Hasil ini membuat peneliti menduga bahwa terlepas dari konteks apapun, jika seseorang merasa harga diri mereka terancam maka intensi bergosip (yang dalam hal ini berfungsi sebagai indikator self-defense dan self-serving mechanism) mereka pun akan meningkat. Kesimpulan ini, didukung oleh teori yang mengatakan bahwa jika seseorang merasa harga dirinya terancam maka akan bersikap antagonistik dan agresif terhadap mereka yang bertentangan dengan mereka atau dianggap sebagai sumber penyebab ketidaknyamanan yang mereka rasakan (Heatherton & Vohs, 2000; McGregor, Nail, Marigold, & Kang, 2005; Park & Crocker, 2005; Vohs & Heatherton, 2001). Namun demikian, bukan berarti bahwa penelitian ini telah menutup kemungkinan bahwa terdapat perbedaan yang mungkin saja tidak terukur di penelitian ini.
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
Saran Mengenai hasil dari penelitian ini, bahwa persepsi akan ancaman terhadap harga diri secara signifikan meningkatkan intensi bergosip pada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mungkin akan berbeda jika dilakukan pada kelompok orang dengan nilai kereligiusitasan yang tinggi, karena pada pilot test yang peneliti lakukan pertama kali, cukup banyak terdapat orang dengan jawaban rata kiri yang ketika ditanya mengapa, mereka menjawab bahwa hal tersebut dilarang dalam agamanya. Hal ini jugalah yang kemudian mendorong peneliti untuk mengambil sampel dari Fakultas Hukum yang cukup terkenal sekuler dikalangan Mahasiswa Universitas Indonesia. Selain itu, peneliti awalnya curiga bahwa harga diri sendiri juga berpengaruh pada intensi bergosip, namun sayangnya ketika pengambilan data penelitian dilakukan, hampir semua partisipan merupakan orang-orang dengan harga diri yang tinggi sehingga pengujian tersebut batal peneliti lakukan. Selain itu, dari data demografis dapat dilihat bahwa peneliti telah menetapkan beberapa variabel yang sekira dapat mempengaruhi intensi bergosip yaitu, usia, gender dan keaktifan sosial. Maka bagi yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut mengenai intensi bergosip, ketiga variabel tersebut dapat dijadikan variabel bebas penelitan. Selain itu, walaupun dalam penelitian ini peneliti mempergunakan metode statistika
independent
t-test,
mungkin
untuk
penelitian
berikutnya
dapat
mempergunakan within group design regression. Yaitu dengan meregresi data yang diadministrasikan berulang pada partisipan yang sama (tidak ada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen) sehingga hasil yang didapatkan dapat lebih diyakini tingkat korelasinya, karena berasal dari satu subjek yang sama dengan perlakuan yang berbeda.
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
Kepustakaan Bargh, J. A., & Chartrand, T. L. (2000). Studying the mind in the middle: A practical guide to priming and automaticity research. Handbook of research methods in social psychology, 253–285. Bargh, J. A., Chen, M., & Burrows, L. (1996). Automaticity of social behavior: Direct effects of trait construct and stereotype activation on action. Journal of Personality and Social Psychology, 71 (2), 230 – 244. Barkow, J. H., Cosmides, Leda., & Tooby, John. (1992). The Adapted Mind: Evolutionary Psychology and the Generation of Culture. Oxford & New York: Oxford University Press. Baron, Robert A., Byrne, Donn., & Branscombe, Nyla R. (2006) Social Psychology. Buss, D. M., & Dedden, L. (1990). Derogation of competitors. Journal of Social and Personal Relationships, 7, 395–422. Campbell, A. (2004). Female competition: Causes, constraints, content, and contexts. Journal of Sex Research, 41, 16–26. Campbell, A. (1999). Staying alive: Evolution, culture and women‟s intra-sexual aggression. Behavioural and Brain Sciences, 22, 203–252. Crick, N. R., Grotpeter, J. K. (1995). Relational aggresion, gender, and socialpsychological adjusment. Child Dev, 66(3). 710-22. Dunbar, R. I. M. (2004). Gossip in evolutionary perspective. Review of General Psychology, 8, 100–110. Emler, N. (1994). Gossip, reputation, and social adaptation. In R. F. Goodman & A. Ben-Ze‟ev (Eds.),Good gossip (pp. 117–138). Lawrence, KS: University Press of Kansas. Erick, K. Foster. (2004). Research on Gossip: Taxonomy, Methods, and Future Directions. Review of General Psychology, 8(2). 78-99 Hess, N. H., & Hagen, E. H. (2006). Sex differences in indirect aggression: Psychological evidence from young adults. Evolution and Human Behavior, 27, 231–245. Hewitt, John P. (2009). Oxford Handbook of Positive Psychology (pp. 217-224). Oxford University Press. Hogg, M. A. & Vaughan, G. M. (2002). Social Psychology (3rd ed). London: Prentice Hall.
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
Jordan, C. H., Spencer, S. J., & Zanna, M. P. (2004). “I love me...I love me not”: Implicit self-esteem, explicit self-esteem, and defensiveness. In S.J. Spencer, S. Fein, M. P. Zanna, & J. M. Olson (Eds), Motivated Social cognition: The Ontario Symposium, 9, 117-145. Mahwah, NJ: Erlbaum. Leflot, G., Onghena, P., & Colpin, H. (2010). Teacher-Child Interaction: Relations with children‟s self-concept in second grade. Infant and Child Development, 19(4). 385-405. Markus, H., & Kitayama, S. (1991). Culture and self. Psychological Review, 98, 224253. Massar, Karlijn., Buunk, Abraham P., & Rempt, Sanna. (2011). Age differences in women‟s tendency to gossip are mediated by their mate value. Personality and Individual Differences, 52, 106-109. McGregor, I., Nail, P. R., Marigold, D. C., & Kang, S-J. (2005). Defensive pride and consensus: strength in imaginary numbers. Journal of Personality and Social Psychology, 89, 978-996. Murray, S. L., Griffin, D. W., Rose, P., & Bellavia, G. M. (2003). Calibrating the sociometer: The relational contingencies of self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 63-84. Rosnow, R. L. (2001). Rumor and Gossip in interpersonal interaction and beyond: A social exchange perspective. In R. M. Kowalski (Ed), Behaving Badly: Aversive Behaviors in Interpersonal Relationships (pp. 203-232). American Psychological Association, Washington, DC. Sarwono, Sarlito W., Meinarno, Eko A., et al. (2009). Psikologi Sosial. Penerbit Salemba Humanika. Smith, E. R., Mackie, D. M. (2007). Social Psychology (pp. 107-108). Stinson, D. A., Logel, C., Zanna, M. P., Holmes, J. G., Cameron, J. J., Wood, J. F., et al. (2008). The cost of lower self-esteem: Testing a self- and social-bonds model of health. Journal of Personality and Social Psychology, 94, 412-428. Syafirdi, Didi. (2013). 5 Caci maki Ruhut untuk Jokowi. www.merdeka.com/jakarta/5caci-maki-ruhut-untuk-jokowi.html. Diakses pada tanggal 20 Juni 2013. Trzesniewski, K. H., Donnellan, M. B., Moffitt, T. E., Robins, R.W., Caspi, A., & Poulton, R. (2006). Low self-esteem during adolescence predicts poor health, criminal behavior, and limited economic prospects during adulthood. Developmental Psychology, 42(2), 381.
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013
Vohs, Kathleen D., & Heatherton, Todd F. (2000). Self-Regulatory Failure: A Resource-Depletion Approach. Psychological Science. Vohs, Kathleen D., & Heatherton, Todd F. (2001). Self-Esteem and threats to self: implications for self-construals and interpersonal perceptions. Journal of Personality and Social Psychology, 81(6), 1103-1118.
Pengaruh persepsi..., Richard Antoni, FPSI UI, 2013