Tingkat Intensi Agresi Pada Siswa Pria Di Sekolah Menengah Atas Kusbandiami Dosen Bimbingan Konseling Universitas PGRI Adi Buana Surabaya Abstrak Penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat agresivitas siswa pada kelas – kelas yang berbeda komposisi muridnya. Penelitian ini untuk mengetahui kontribusi komposisi jenis kelamin murid sebuah kelas terhadap tingginya tingkat agresivitas anggotanya yang diasumsikan sebagai faktor potensial untuk membawa pelakunya dalam perkelahian. Kesimpulan: pertama, Tidak ada beda tingkat disiplin kedua tipe sekolah yang sama-sama ketat dan tidak terdapatnya ruang yang cukup bagi responden untuk mengembangkan intensi agresinya meski komposisi jenis kelamin muridnya berbeda, memicu segala bentuk keonaran dengan sanksi yang berat, dan tiap bentuk perkelahian akan mengakibatkan pelakunya dikeluarkan. Kedua, tidak tersedianya ruang yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan interaksi dengan kelompok sebayanya selama berlangsung waktu sekolah merupakan faktor penunjang terhadap tidak berbedanya intensi agresi diantara mereka. Kata kunnci : Intensi, Agresi siswa pria di SMA PENDAHULUAN Semua bangsa di dunia ini memiliki penghargaan terhadap anak-anaknya. Bentuknya berbeda-beda pada setiap kebudayaan, namun pada dasarnya sama. Sebuah penghargaan akan masa depan yang lebih baik dan harapan akan hadirnya kemungkinankemungkinan sebagai pembawa kebahagiaan. Pada beberapa kebudayaan, pembedaan biasanya terjadi terhadap perbedaan jenis kelamin.Seorang anak laki-laki yang hadir di tengah masyarakat yang hidup di daerah yang keras alamnya,biasanya mendapat penghargaan lebih disbanding sebayanya yang perempuan. Hal tersebut menunjukkan besarnya penghargaan dan penghargaan budaya tersebut terhadap peran dan nilai kaum lakilaki. Pendidikan non-formal yang diterapkan dalam keluarga, biasanya mendahulukan anak laki-laki. Baik dengan mainan maupun dengan cerita-cerita tentang betapa hebatnya seorang tokoh, yang biasanya laki-laki. Secara tradisional, sorang ibu selalu mengrahkan anaknya pada figure sang ayah, baik ketangguhan,maupun sifat-sifatnya. Tanpa sadar hal itu juga diterapkan pada anak-anak perempuannya. Pendidikan formal yang dijadikan muatan pelajarannya banyak berisikan aspekaspek maskulin. Misalnya penekanan pada pelajaran-pelajaran yang banyakmemerlukan aspek kognifif (matematika, fisika, kimia dan biologi). Hal ini disebkan karena tuntutan glbal akan keharusan penguasaan bidang sain dan teknologi di satu sisi, dan di sisi lain karena dunia adalah maskulin, sehingga penguasaan atas aspek-aspek maskulin disadai atau tidak, menjadi keharusan. Hal serupa juga berlaku pada pola asuh yang secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga pola, yaitu authoritarian, permisif dan aotoritatif ( Baumrind, dalam Sukardji dan Badingah, 1994 ). Banyak sekali orang tua dengan mengatasnamakan disiplin,
menggunakan perlakuan keras [opal authoritarian ] guna menanamkan iali-nilai mereka pada anak-anaknya. Padaa akhirnya dapat dilihat ahwa kebudayaan, pendidikan serta norma, mementuk lingungan menjadi bernuansa sangat sesuai untuk laki-laki. Adapun salah satu sisi budaya yang maskulin ini adalah agretifitas. Agresi biasa didefinisikan sebagai segala tindakan yang bertujuan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Byrne &Kelly, dalam Sukardji dan Badingah, 1999). Namun demikian agresi tidak berlaku berkaitan dengan emosi permusuhaan atau perasaan kebencian. Bahkan kekerasan dan agesi dipandang hingga taraf tertentu, bergantung pada “kedudukan” pengamat dalam masyarakat ( Corning, dalam Sukardji dan Badingah,199). Kesulitan yang biasaanya muncul dalam penelitian seputar agresivitas adalah upaya pembatasan makna kata tersebut. Agresi, agresif dan agresivitas, merupakan kata-kata yang keras serta jamak terdengar di kehidupan sehari-hari. Namun demikian, kejamakan dan kekerapan penggunaan tidaklah menjalin keakuratan pengertiannya. Konsekuensi yang timbul adalah ketidakjelasan arti ataupun batasan defiisi operasional dari kata tersebut. Berbagai pengguna variasi kata agresi dalam konteks yang berbeda-beda, hanya semakin menambah ketidakjelasan dari definisi yang sesungguhnya. Dikemukakan oleh Blumental,Khan,Andrew & Head (1992);Tedeschi, Smith&Brown (1998) (dalam Pariman &Cozby, 1993), bahwa dalam bahasa sehari-hari,kata agresi digunakan untuk merujuk kepada sebuah rentang yang luas dari perilaku, seikap dan bahkan emosi. Salah satu fenomena yang sedang mengejala akhir-akhir ini adalah kenalan remaja. Fenomena ini ssungguhnta adalah fenomena klasik yang terus adadari masa ke masa. Kenakalan tesebut seiring dengan berjalannya waktu, kian bertambah canggih dan memprihatinkan. Misalnya menggunakan obat terlaeang, sebuah kenakalan yang aksessnya bisa sangat destruktif baik bagi pengguna maupun lingkungannya. Merujuk penelitian WHO, bahwa di Indonesia saja sudah terdapat 150.000 remaja yang terlibat penyalahgunaan obat terlarang(Dwiprahasto,1998). Dari sekian jumlah itu, terungkap dalam penelitian Adisukarto, bahwa kaum remaja merupakan segmen terbesar, yaitu 14-16 tahun (47,7 persen), 17-20 tahun (51,3 persen) dan sisinya oleh mereka yang berusia 21 tahun keatas ( Kedaulatan Rakyat, 21 November1998). Kenakalan lain adalah yang menyangkut agresivitas remaja, baik yang ringan (perkelahian) hingga yang berat (penganiayaan hingga pembunuhan), yang juga merupakan bagian dari sebuah gejalah besar yang disebut kenakalan remaja. Sebagian kenakalan jenis ini sehubungan dengan tingkat kekerasannya, dianggap pelanggaran dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan. Melihat kuantitasnya, kenakalan remaja akhir-akhir ini juga memberikan keprihatinan yang mendalam, sebab dalam tahun 1990 di Yogyakarta dari 322 kasus kejahatan berat yang tercatat, 221 diantaranya dilakukan oleh remaja, tahun berikutnya tercatat 66,3 persen kejahatan dengan pelaku remaja. Kecenderugan itu terus berlangsung pada tahun 1992 yang mencatat 58,9 persen, 1993 mencatat 53,9 persen, dan 1994 mencapai 66,9 persen ( dalam Seminar Seengah Hari Tentang “Tingkah Laku Sosial, Penyebab dan Penanggulangannya”,Juni 1999). Sementara kualitasnya yang meningkat membuat kita cemas dan takut. Sebagian dari kita lantas bertanya-tant bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu. Sebagian yang lain sibuk menunjuk berbagai hal yamh dianggap pantas sebagai suimber belajar mereka hingga mampu menjadi seperti itu. Data kepolisisan Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun1998 mencatat 42,209 pelanggaran lalu lintas yang 22,634 diantaranya dilakukan oleh pelajar/mahasiswa(remaja). Pelanggaran remaja lain yang sudah dalam kategori kejahatan ialah (Seminar Menyingkap Problem Sosial-Psikologi di Sekolah, September 1998, dalam Ekowarni,1998): a. penganiayaan 12 kasus b. pencurian 7 kasus
c. d. e. f.
pencurian dengan kekerasan 5 kasus kejahatan bidang seks 10 kasus corat-coret baju dengan arak-arakan sepeda motor mabuk-mabukan di kampong, tempat keramaian/umum (gedung bioskop, bola sodok, gang-gang pemukiman, gardu dll ). Dalam 34 kasus yang terpantau di atas, diketahui bahwa pelaku berusia 12-21 tahun. Sebagian besar (30 kasus) dilakukan oleh remaja usia 16-19 tahun. Harian Kedaulatan Rakyat, pernah memuat pengakuan seorang pelaku penusukan (korban meninggal) yang mengatakan bahwa ia tidak bermaksud membunuh melainkan hanya ingin melampiaskan rasa marah (Kedaulatan Rakyat, Agustus 1998). Hal ersebit dapat merupakan gambaran ketidakmampuan remaja untuk menyatakan sikapnya secara tepet, namun sangat disesalkan bahwa agresif dan rasa marah menjadi alasan utama tperbuatan terkutuk tersebut. Bagi mereka yang beruntung, sekolah merupakan tempat yang menyenangkan karenakebutuhan dirinya dimengerti dan disanalah seorang remaja tidak merasa bersalah, karena semua temannya sebaya.Schneider dan Coutts (dalam Lirgg,1998) dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah dipersepsi oleh murid sebagai more gregarious, group-centered, and copndutive to self-confidenceand self-respect. Persepsi tersebut membawa serta konsekuensi=konsekuensi baik maupun buruknya. Adalah konsekuensi buruk dari persepsi tersebut yang mendasari penelitian ini. Sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya memilih bentuk koedukasi (campuran) dalam pelaksanaannya. Namun beberapa jenis sekolah karena kekhususannya memiliki mayoritas jenis kelamin tertentu yang mendominasi komposisi muridnya. Misalnyas Sekolah Tehnik Menengah (STM) yang rata-rata kelasnya didominasi oleh jenis kelamion laki-laki. Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) sebaliknya memmiliki komposisi murid yang seluruhnya sejenis kelamin (nonkoedukasi). Perbedaan hingga kini masih berlangsung dengan mempertanyakan mana yang lebih efektif antara keduanya (Smith, dalam Lirgg, 1999). Pendukung tipe koedukatif mengguanakan dalih kenormalan lingkungan yang disediakan oleh suasana koedukasi ( Dale; Schneider & Coutts, dalam Lirgg, 1999). Penentangnya memakai dalih terlalu dekatnya koedukasi pada keadaan nyata dimana dalam keadaan ini superioritas laki-laki menemukan tempatnya, sehingga bagi,murid wanita hal ini merupakan keadaan yang secara social dan akademis tidak adil (Mahoney, Sarah,Scott, & Spender, dalam Lirgg, 1999). Pada banyak berita-berita yang kita baca, mengatakan bahwa sebagian perkelahian pelajar melibatkan siswa-siswa pria Sekolah Tehnik Menengah sebagai salah satu pihak(yang biasanya berisikan laki-laki seluruhnya atau yang berjumlah laki-lakinya mayoritas). Namun belum pernah tercatat adanya pelajar dari sebuah SMEA atas sekolah yang mayoritas perempuan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat miungkin disebabbkan oleh dominannya jumlah siswa laki-laki dalam interaksi social kelompok sebaya maupun peer group di dalam suatu SMA atau STM. Sebab dalam interaksi yang didominasi laki-laki, maka nilai-nilai yang terikut dalam interaksi sebagian terbesar adalah nilai-nilai maskulin uyang termasuk di dalamnya adalah agresivitas. Sebaliknya pada komunitas di mana jumlah wanitanya dominant, maka nilai-nilai yang terikut dalam interaksi juga akan banyak berwarna feminim. Dalam hal ini jika warna agresi di dalam interaksinya, akan berbeda dengan agresi maskulin yang lebih banyak bersifgat fisik. Berangkat dari uraian di atas ma penulis berkeinginan meneliti adakah komposisi kelaskelas yang mayoritas muridnya jenis kelamin laki-laki (termasuk yang seluruhnya lak-lai) menimbulkan perbedaan tingkat agrsivitas disbanding dengan kelas-kelas yang seimbang komposisi jenis kelamin muridnya
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat agresivitas pada kelas-kelas yang berbeda komposisi muridnya. Melalui penelitian ini diharapkan akan dapat diketahui kontribusi komposisi jenis kelamin murid sebuah kelas terhadap tingginya tingkat agresivitas anggotanya yang diasumsikan sebagai factor potensial untuk membawa pelakunya dalam perkelahian. Manfaat penelitian sebagai masukan bagi kalangan yang berhuibungan dan bertanggung jawab atas masalah-masalah perkelahian antara pelajar. Jika terbukti benar, akan didapat sebuah gambaran akan ukuran ideal komposisi sebuah kelas yangh potensial untuk tidak berkembang ke arah kekerasan antara anggotanya. Hasil dari perbandingan kelas-kelas yang mayoritas anggotanya laki-laki dan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan diharapkan dapat memberi gambaran akan dinamika psikologi di dalam kelas-kelas di atas yang pada gilirannya akan dapat membantu para pendidik untuk mengambil langkah-langkah yang perlu guna mencegah kemungknan terjadinya perkelahian pelajar yang bisa jadi bermula pada kelas-kelas mereka. Secara teori, diharapkan peneliti ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita megenai agresi dan dinamika secara kelompok bila dikaiykan dengan perbedaan komposisi jenis kelamin.
METODE PENELITIAN A.Identifikasi Variabel Penelitian Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel Tergantung : Intensi agresi 2. Variabel Bebas : Tipe sekolah B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Intensi agresi adalah indikasi besarnya kecenderungan subjektif untuk bersikap, maupun secara verbal, melakukan perbuatan yang mengandung unsur-unsur perilaku kemarahan, permusuhan,juga penyerangan terhadap orang lain, yang dinyatakan oleh skor skala intensi agresi. Semakin tinggi skor intensi berarti semakin tinggi pula intensi subjek untuk berperilaku agresif. 2. Tipe sekolah dalam penelitian ini aalah perimbangan jumlah antara siswa pria dan siswai wanita dalam satu kelas pada suatu sekolah. Tipe pertama adalah tipe berimbang, yaitu yang jumlah murid-mrid pria dan wanitanya memiliki perimbangan yang hampir sama. Tipe kedua adalah tipe mayoritas, yaitu yang jumlah terbanyak murid adalah pria (80-90 persen atau [2/3]+1 dari seluruh siswanya berjenis kelamin pria). C. Subjek Penelitian Ciri-ciri subjek peneitian ini adalah siswa SLTA berusia 16-18 tahun berjenis kelamin pria. Subjek penelitian ini adalah murid-murid setingkat Seklah Lanjutan Tingkat Atas di daerah Surabaya, dengan memasukkana SMA-SMA negeri yang mewakili sekolah yang berimbang jumlah murid pria dan wanitanya, serta Sekolah Teknologi Menengah yang mewakili sekolah mayoritas pria. Tipe pertama akan diwakili oleh SMA Negeri 2 dan 4. Tipe kedua diwakili oleh STM Negeri 1 dan 2. Metode pengambilan subjek dengan cara memilih subjek berdasar atas cirri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai kaitan yang telah diketahui sebelumnya. Mereka merupakan wakil dari tipe sekolah yang bersangkutan. Coztanso dan Shaw (dalam Fuhrmann, 1999) mengatakan bahwa pengaruh peer group terjadi pada rentang umur 11-17 tahun. Besarnya pengaruh akan semakin stabil pada kurun remaja akhir.
(Conger, 1999; Hurlock, 1998) Asumsi bahwa umur rata-rata usia sekolah dimulai pada umur 7 tahun, maka mereka yang berumur 17 tahun rata-rata akan menempati kelas 2 SMA. Hal tersebut membatasi pengambilan subjek penelitian pada murid-murid kelas 2 saja. Deskripsi Subjek Penelitian: pengambilan sampel data penelitian dilakukan pada kelas dua STM I dan II Yogyakarta dengan mengambil masing-masing suatu kelas, sementara pada kelas dua SMU 4 Yogyakarta. Berdasarkan kelengkapan jawaban subjek dari seluruh 125 eksemplar skala intensi agresi yang dibagikan, diperoleh 103 eksemplar skala yang layak dianalisis. Jumlah tersebut terdiri dari 55 eksemplar yang merupakan siswa pria dari sekiolah mayoritas pria, dan 48 esksemplar yang merupakan siswa pria dari sekolah berimbang. Ada bebrapa kendala yang dihadapi peneliti dalam melaksanakan penelitian. Kendala utama adalah sulitnya menyeimbangkan proporsi subjek penelitian.Kendala lainnya yang cukup menghambat penelii adalah kesulitan dalam menyesuaikan jadwal kalender akademik masing-masing sekolah. D. Metode Pengambilan Data Penelitian ini menggunakan metode Pernyataan Diri (self-report) sebagai alat pengumpul data. Instrumen untuk tujuan tersebut adalah sebuah skala Intensi agresi dapat diukur secara tidak langsung maupun secara langsung (Ajzen, 1998) dengan skala yang mengungkapkan isi dan kekuatan intensinya. Isi intensi ditentukan oleh perilaku yang akan dilakukan, sedang kekuatannya diukur dari besarnya probabilitas melakukan perilaku tersebut. Skala intensi agresi yang disusun akan memiliki dua bagian. Bagian pertama pada kulit muka adalah pernyataan identitas subjek dan petunjuk umum cara pengisian angket. Bagian kedua adalah empat buah cerita pendek mengenai bebrapa peristiwa yang terjadi dalam lingkup remaja SLTA, dan kemudian masing-masingnya diikuti sejumlah butir pertanyaan berbentuk tidaklangsung untuk mengungkapkan intensi agresif sebjek. Pertanyan Intensi Tidak Langsung Agresi dalam penelitian ini mengadaptasi dan memodifikasi tiga dikotomi Buss (1991), yaitu menjadi fisik/verbal, dan aktif/pasif. Hal tersebut karena dikotomi agresi langsung/tak langsung menurut peneliti kurang memiliki relevansi dengan topic penelitian ini. Sedangkan intensi sendiri memiliki tiga anteseden yaitu sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan penghayatan kendali perilaku. Sikap terhadap perilaku agresi memiliki dua anteseden, yaitu keyakinan akan akibat berperilaku agresif, dan evaluasi subjek terhadap akibat tersebut. Pengukuran kedua anteseden ini tertuang ke dalam 10 pasang butir, terdiri dari 9 butir favourable dan 11 butir unfavourable. Pada anteseden evaluasi subjek akan akibat tersebut nilai favourable/unfavourable jawabannya akan bergantung pada nilai favourable/anfavourable-nya jawaban pada butirbutir anteseden keyakinan akan akibat berperilaku agresif. Jawaban positif pada butir favourable anteseden keyakinan akan akibat berperilaku agresif akan menjadi nilai pada butir anteseden evaluasi akan akibat tersebut bernilai favourable, dan sebaliknya jawaban negatif akan menjadikannya bernilai positif, maka butir pasangannya (pada anteseden evaluasi akan akibat tersebut) akan bernilai unfavourable, dan sebaliknya jawaban negatif akan menjadikannya bernilai favourable. Norma subjektif memiliki dua anteseden pendahulunya, yaitu keyakinan normative dan motivasi subjekmuntuk berperilaku sesuai keyakinannya tersebut (Fishbein dan Ajzen, 1995, 1998). Pengukuran kedua anteseden ini dijabarkan dalam 10 pasangan butir, yang berarti 10 butir untuk mengungkapkan keyakinan normatif dan 10 butir mengungkap
motivasi subjek untuk berperilaku sesuai keyakinan normatifnya. Terhadap butir-butir kedua anteseden ini tidak dilakukan pemilihan favourable/unfavourable, disebabkan penentuan nilai tersebut akan sangat bergantung pada jawaban masing-masing subjek. Jawaban tiap,butir akan berupa pasangan kata bi-polar yang merupakan penerapan tehnik bedaan semantic (Osgood,1997, dalam Ajzen ,1998). Tehnik tersebut merupakan metode yang digunakan dalam mengukur arti psikologi suatu konsep. Munculnya tehnik ini antara lain sebagai pemecahan akan masalah seringnnya individu mengalami kesulitan dalam mmengungkapkan definisi dari suatu konsep meski sebenarnya ia mengetahui arti dari konsep tersusun (Kerlenger, 1993). Melalui penilaian terhadap pasangan kata tertentu, diharapkan individu akan lebih mudah dalam menyatakan arti dari suatu konsep menurut dirinya dibanding jika harus memilih dari sejumlah jawaban yang telah ditentukan kadarnya.Tehnik yang sama digunakan oleh Fishbein dan Ajzen(1995,1998) dalam penelitiannya tentang keyakinan, sikap,dan intensi. Setiap pasangan kata pada setiap butir memiliki 7 skala pilihan dengan skor berkisar dari -3 sampai +3, mengadaptasi m,odel scoring serupa dalam penelitianpenelitian Fishbein dan Ajzen (1995, 1998), seperi terlihat pada contoh. Setuju .
.
.
.
.
.
.
.
Tidak setuju
Penghayatan kendali perilaku memiliki dua anteseden yang mendahului, yaitu internal dan eksternal. Anteseden internal dapat dijabarkan ke dalam aspek-aspek : 1) informai; 2) ketrampilan; 3) kemampuan; dalam satu kelompok, dan : a) emosi; b) kompulsi; dalam kelompok berikutnya. Anteseden eksternal dapat dijabarkan menjadi : 1) kesempatan; 2) ketergantungan pada orang lain. Pengukuran terhadap anteseden ini tertuang ke dalam total 68 butir. Bagan keseluruhan kisi-kisi yang akan dipakai sebagai dasar penyusunan skala Intensi Agresi disajikan pada table Selengkapnya perincian butir-butir terseleksi dapat dilihat pada Tabel Absensi Intensi Sikap terhadap peri Norma Penghayatan Jumlah laku agresi subyektif kembali perilaku Variabel Aktif (1),4,13,(31),43 2,5,14,32,44 3abcd,6abcd,15, 24 33abcd,45 Pasif (7),(10),(34),(37), 8,11,35,38, 9abcd,12abcd,36ab 30 40 41 cd,39abcd,42abcd Fisik Aktif 916),(22),28,(46),5 17,23,29,47, 18abcd,24abcd,30, 26 5,(58) 56 48abcd,57abcd Pasif 19,(25),49,(52) 20,26,50,53, 21abcd,27abcd,51a 26 59 bcd,54abcd,60 20 20 68 108
Jumlah butir keseluruhan adalah 108, dengan pembagian 20 butir mengungkap anteseden sikap terhadap perilaku agresif, 20 butir mengungkap anteseden norma subjektif, dan 68 butir mengungkap anteseden penghayatan kendali perilaku yang sebagian akan terdistribusi menjadi subn-sub a, b, c, d. Secara keseluruhan butir-butir tesebut terbagi menjadi 54 butir mewakili agresi verbal dan agresi fisik. Butir-butir pada anteseden sikap terhadap perilaku agresi terbagi menjadi butir-butir favourable dan unfavourable (dengan tanda kurung [(*)] sebagai lambang unfavourable) sebanyak masing-masing 9 dan11 butir. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Kesahihan atau disebut juga validitas atau validity, adalah kemampuan alat ukur untuk secara cermat melaksanakan fungsi ukurnya (Azwar, 1986). Guna menguji dan mengetahui validitas alat ukur, diperlukan suatu kreteria pembanding. Penelitian ini hanya menggunakan kriterium validitas isi, yaitu melihat kesesuaian dan kecocokan masingmasing item dengan teori yang digunakan. Selanjutnya untuk melihat kualitas butir, dilakukan analisis daya beda butir. Daya beda butir dalam penilaian ini diuji dengan mengkorelasikan skor butir dan skor total, yang dilaksanakan setelah uji normalitas sebelumnya. Uji normalitas ini dilakukan mengingat responden try-out yang terjaring hanya sebanyak 45 siswa. Uji normalitas menggunakan tehnik Kolmogorov-Smirnov Goodness of Fit Test inimenghasilkan angka signifikan 0,690. Angka tersebut berarti tidak terdapanya perbedaan yang sognifikan antara sebaran hasil uji coba skala penelitian ini dengan sebaran normal. Hasil analisis daya beda butir memperlihatkan sebaran koeisien koreksi butir total yang bergerak anatara -0,191 hingga 0,798. Dengan menggunakan kreiteria seloeksi r> 0,300 maka terseleksi sebanyak 80 butir yang berdaya beda tinggi. Kemudian skala terpilih ini disusun ulang guna mncapai bentuk yang ringkas ddan efisien menjadi sebanyak 50 butir untuk digunakan di dalam skala intensi agresi pada penelitian yang sesungguhnya nanti. Keandalan alat ukur atau reliabilitas atau reliability ialah keajegan ataukosistensi alat ukur di dalam fungsi pengukurannya, atau dalam kata lain, sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 1992). Reliabilitas skala diuji menggunakan tehnik alpha Cronbach. Uji reliabilitas terakhir menghasilakan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,962. Selengkapnya perincian butir-butir terseleksi dapat dilihat pada Tabel Absensi Intensi Sikap terhadap peri Norma Penghayatan laku agresi subyektif kembali perilaku Variabel Aktif (1),4,(25),36 2,12,26,37 3,5,6,27,28 13 Pasif (7),(29),45,(49) 8,30 9,10,11,31,32,33, 12 34 Fisik Aktif (13),24,45,(49) 14,21,46 15,16,38,39,47,48 13 Pasif 17,(22) 18,23,42,50 19,20,40,41,43,44 12 13 13 24 50 Bentuk skala setelah mengalami validitas maupun reabilitas adalah sebagai berikut : 1. Tigabelas butir untuk mengungkapkan sikap subjek terhadap perilaku agresif, yang terbagi menjadi 8 butir unfavourable dan 5 butir favourable. 2. Duapuluh empat butir untuk mengungkap penghayatan subjek terhadap kendali perilaku agresif. E. Metode Analisis Data Analisis data yang dilakukan adalah analisis perbedaan tingkat intensi agresi antara kedua tipe sekolah dengan mengguakan tehnik atatistika, yaitu t-test. Jika dari analisis tersebut didapatkan hasil yang signifikan berbeda, maka analisis akan dilanjutkan untuk melihat tingginya perbedaan tersebut serta tipe sekolah mana yang lebih tinggi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Intensi Agresi Siswa
Guna memberikan gambaran secara umum mengenai data intensi agresi pada subjek peneliti, aka sebelum dilaksanakan analisis pengujian terhadap hipotesis disajikan terlebih dulu ekspresi data mengenai masing-masing kelmpok subjek. Adapun deskripsi data kelompok sekolah berimbang disajikan di dalam tabel Tabel Deskripsi Data Pada Sekolah Berimbang Variabel Rerata Dev. Std Minimum TOTAL -65,38 48,51 -138,0 VER AK -20,04 11.63 -39,0 VER PAS -12,23 16,33 -36,0 FIS AK -16,31 16,14 -39,0 FIS PAS -16,79 13.20 -36,0
Maksimum 27.0 7,0 34,0 19,0 15,0
Adapun tabel berisikan deskripsi data kelompok sekolah mayoritas laki-laki. Tabel Deskripsi Data Pada Sekolah Mayoritas Laki-laki Variabel Rerata Dev. Std Minimum TATAL --59,13 56,11 -136,0 VER AK -19,25 13,34 -38,0 VER PAS -13,22 16,55 -35,0 FIS AK -13,67 17,26 -39,0 FIS PAS -12,98 16,84 -36,0
Maksimum 129,0 36,0 36,0 36,0 30,0
Renata hipotesis data tersebut adalah 0, yang diperoleh melalui perhitungan:
r h=
skor max. + skor min. 3 + (-3) 2 x butir = 2
x 50 = 0
Sebaran hipotetik penelitian berkisar (-150) s/d 150. Pada tabel 4 dan 5 terlihat bahwa rerata empiric sebesar -65,38 dan -59,13 masih lebih kecil dari rerata hipotetik. Sementara sebaran empiriknya berkisar antara (-138) s/d 129. Karena itu subjek penelitian ini dikatakan memiliki intensi sgresi yang rendah, seperti terlihat dari r e
Tabel Perbedaan Intensi Agresi Menurut Tipe Sekolah Nilai P Estimasi varian gabungan Estimasi Varian Terpisah
F
2 ekor
1,34 0,310
Nilai Derajat t kebebasan -0,60 101
p 2 ekor 0,550
Nilai t 0,61
Derajat kebebasan 100,99
P 2 ekor 0,546
Dari hasil analisis pada kelompok berimbang diketahui reratanya sebesar X = 65,375; N = 48, dan kelompok mayoritas X = -59,127, N = 55. Nilai p stu ekor sebesar 0,275. Melihat tabel tersebut dapat kiranya dijelaskan bahwa antara siswa laki-laki sekolah mayoritas laki-laki dan siswa laki-laki sekolah berimbang, tidakm terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal intensi agresi. Selanjutnya tael berikut berisikan hasil analisis uji-t antar tipe sekolah pada agresi verbal aktif.
Perbedaan Intensi Agresi Variabel Aktiv menurut Tipe Sekolah Nilai Estimasi Estimasi P varian Varian F gabungan Terpisah 2 ekor Nilai Nilai Derajat Derajat p P t t kebebasan kebebasan 2 ekor 2 ekor 1,32 -0,32 101 0,32 0,337 0,752 101,00 0,750 Rerata kelompok berimbang sebesar X = -20,041; N = 48 dan rerata kelompok mayoritas X = -10,254; N = 55. Nilai p satu ekor sebesar 0,376. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa dalam hal intensi berbagai secara variable aktif tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok 1 dan 2. Tabel Perbedaan Intensi Agresi Variabel Pasif menurut Tipe Sekolah Nilai P Estimasi varian gabungan Estimasi Varian Terpisah F 2 ekor Nilai Derajat p Nilai Derajat P t kebebasan 2 ekor t kebebasan 2 ekor 1,03 0,931 -0,30 101 0,761 0,30 96,46 0,761 Angka rerata pada kelompok berimbang diketahui sebesar X=-12,229; N= 48, dan pada kelompok mayoritas X = -13,218; N = 55. Nilai p satu ekor sebesar 0,361. Tabel tersebut menunjukan bahwa dalam hal ini beragresi secara variable pasif, tidak terdapat berbedaan yang signifikan antar kedua kelompok. Tabel Perbedaan intensi Agresi Fisik Aktif Menurut Tipe sekolah Nilai P Estimasi varian gabungan Estimasi Varian Terpisah F 2 ekor Nilai Derajat p Nilai Derajat P t kebebasan 2 ekor t kebebasan 2 ekor 1,14 0,644 -0,80 101 0,427 0,80 100,49 0,425 Pada kelompok berimbang, diketahui angka reratanya sebesar X = -16,312 ; N = 48, dan pada kelompok mayoritas sebesar X = -13,673; N = 55, Nilai p saqtu ekor sebesar 0,214.
Dalam tabel tersebut terlihat bahwa besarnya nilai t menunjukkan tidak perbedaan secara signifikan antara kedua kelompok responden.
terdapatnya
Tabel Perbedaan intensi Agresi Fisik Pasif Menurut Tipe Sekolah Nilai P Estimasi varian gabungan Estimasi Varian Terpisah F 2 ekor Nilai Derajat p Nilai Derajat P t kebebasan 2 ekor t kebebasan 2 ekor 1,63 0,091 -1,26 101 0,209 -1,29 99,91 0,202 Angka rata-rata pada kelompok berimbang diketahui sebesar X = -16,792; N = 48, dan pada kelompok mayoritas diketahui sebesar X = -12,982; N = 55, Nilai P satu ekor sebesar 0,104. Jadi tabel tersebut memperlihatkan bahwa dalam hal intensi beragresi secara fisik pasif juga tidak ada perbedaan uang signifikan antara kedua kelompok responden. C. Pembahasan Intensi Agresi Siswa Pada Tipe Sekolah Yang Berbeda Melihat hasil analisis data, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama bahwa hipotesa utama penelitian ini yang berbunyi bahwa ada perbedaan tingkat intesi agresi antara murid laki-laki sekolah mayoritas laki-laki dan murid laki-laki seklah beimbang, ditolak. Demikian pula hipotesis-hipotesis alternative bahwa dalam hal intensi beragresi secara verbal aktif, verbal pasif, fisik aktif, dan fisik pasif, murid laki-laki sekolah m,ayoritas laki-laki lebih tinggi daripada murid laki-laki sekolah beimbang, seluruhnya ditolak. Menarik untuk disimak adalah bahwa dari hasil analisis terlihat bahwa rerata yang dicapai kedua kelompok seluruhnya bernilai negative, yang berarti bahwa seluruh responden darim,kedua kelompok memiliki intensi yang rendah. Namun rerata yang dicapai oleh murid sekolah mayoritas selalu lebih tinggi kecuali dalam agresi verbal pasif. Pembangunan yang dilaksanakan secara merata, diantaranya kesempatan kerja yang terbuka meski penuh dengan persaingan, serta pendidikan, dapat dinkmatimoleh sebagian besar mayarakat. Namun jika mengingat bahwa hasil pembangunan ini harus dibagi oleh = 159 juta jiwa, terlihat bahwa masih banyak yang harus kita lakukan untuk mencapai pemerataan. Menurut perhitungan terakhir, masih ada 10-15 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan(berdasarkan pendapatan perkapita). Hal inm berarti bahwa bagi mereka untuk hidup meskipun, mereka belum mampu, tanpa perlu kemudian menghitung berapa juta jiwa yang sudah hidupdi atas garis kemiskinan, seharusnya sudah disadari kewajiban akan masing-masing untuk berdaya upaya mengatasi,masalah krusial ini. Oleh karena diketahui bahwa kemiskinan merupakan salah satu sksr tumbuhnya agresi, termausuk pada anak-anak (Jonhson & Medinnus, 1994). Semua bangsa yang telah mampu mengangkat rakyatnya ke kemakmuran, memiliki senjata ampuh yang sama, yaitu pendidikan. Hanya melalui pendidikan terletak harapan 8ntuk dapat mensejahterakan kehidupan rakyat. Pendidikan pula yamg akan memberikan bekal pengetahuan kepada rakyat untuk dapat mencari kehidupan meeka yang layak. Di sisi lain diketahui bahwa pemegang kesempatan beharga tersebut adalah kaum muda yang tidak lama lagi akan menerima tuga berat untuk membewa bangsa inimkek kesejahteraan. Kaum muda tersebut yanmg kini sedang mendalami pendidikan, mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun disadari bahwa tidaksemua kaum muda beruntung dapat mengenyam pendidikan yang cukup untuk diandalkan sebagai masa depan. Sementara hal lain yang memprihatikan adalah banyaknya kaum muda yang beruntung dapat bersekolah namun tidak dapat mengambil manfaatnya. Sebaliknya meeka mengisi hari-hari belajar mereka dengan hal-hal yang bertentanganm dengan tujua belajar mereka sendiri.
Salah satu contoh fenomena ini adalah banyaknya terjadi perkelahian antar pelajar yang beberapa kali menghiasi halamn-halaman surat kabar. Beberapa kejadian, berawal dari yang sngat ringan, namun berlangsung begitu brutal sehungga berdampak korban jiwa di antara mereka dan bahkan telah tidakmengindahkan keselamatan mereka yang berusaha untuk melerai. Perkelahian antar pelajar ini pastilah berangkat dari suatu masalah yang berlangsung kompleks dan berdampak pada peningkatan agresivitas mereka. Menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kemungkinan keterkaitan antara komposisi murid suatu seklah dengan peningkatan intensi agresi mereka. Berangkat dengan eori tentang kelomok teman sebaya maupun peer group yang sejenis kelamin (terutama laki-laki) dan teori belajar social pada peningkatan agresivitas di dalam lingkungan sekolah, maka penelitan ini mencoba untuk membandingkan tingginya intensi agresi siswa pria sekolah yang mayoritas muridnya adalah laki-laki, dengan siswa pria di sekolah yang komposisi muridnya berimbang antara laki-laki dan wanita. Hasil analisis data ternyata menunjukkan bahwa dari kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal intensi agresi, meski angka-angka reratanya menunjukkan bahwa intensi agresi pada kelompok pertama (mayoritas) lebih tinggi disbanding kelompok kedua. Hal ini dapat terjadi mengingat penelitian ini tidak mencakup semua kondisi ideal seperti yang ada dalam teori tersebut. Melainkan terdapat hal-hal lain yang turut mempengaruhi hingga diperolehnya hasil analisis tersebut Lokasi penelitian ini mencakup dua tipe sekolah yang memiliki beberapa kesamaan maupun perbedaan. Gambaran umum keduanya adalah : 1. Sekolah Menengah Umum Negeri (dulu SMAN). Sekolah Menengah Umum Negeri adalah tipe sekolah pendidikan umum yang pelajarannya mencakup semua mata pelajaran yang berkesinambungan hingga ke perguruan tinggi kelak. Sebagian besar pelajarannya berupa teori dan hanya sedikit pelajaran prakek. Menurut penuturan kepala sekolah, melihat kapasitas muridnya (atau jumlah kelas pararelnya), kedua SMUN penelitian masuk dalam kategori A. Kategori ini berarti pada tiap tingkatannya memiliki kelas pararel antara 6-9 kelas (kategori B : 4-5 kelas; kategori C : 1-3 kelas). Pada tipe A, komposisi kelas dapat mencakup semua program yang diadakan Depdikbud ( IPA, IPS, dan Bahasa). Selain kelasnya beranggotakan siswa sebanyak 36-38 orang yang kadang berisi separuh lebih sedikit wanita dengan sisanya pria, dan kadang separuh kurang sedikit wanita dengan sisanya pria. Tetapi perbandingan secara keseluruhan eimbang antara murid pria dan wanita. Pada tingkat departemen, sekolah jenis ini diatur oleh Kanwil Depdikbud bagian Dikmenum (Pendidikan Menengah Umum). 2. Sekolah Tehnologi Menengah Negeri (STMN). Tipe sekolah ini lebih menitikberatkan pemberian pelajaran yang bersifat aplikasi dan siap untuk diterapkan di lapangan kerja. Pendidikan semacam ini memang menjadi tujuan sekolah jenis ini yaitu untuk mencetak tenaga kerja madya siap pakai tanpa harus memperdalam pelajaran lebih jauh. Konsekwensi dari pendidikan ini adalah lebih banyaknya porsi praktek disbanding teori. Siswa lebih banyak berada pada situasi dan menghadapi peralatan kerja disbanding buku dan alat tulis. Untuk itu pihak sekolah banyak menjalin kerja sam dengan Balai-Balai Latihan Kerja dan perusahaan-perusahaan yang mau menerima siswanya untuk sarana praktek. Hal tersebut disamping utukl semakin mendekatkan siswa dengan situasi kerja nyata, juga untuk menekan biaya yang seharusnya dikeluarkan pihak sekolah jika harus membangun sarana-sarana kerja praktek yang beragam dan membutuhkan biaya yang sangat banyak. Meskpun demikian, keseluruhan pelajarannya tidak begitu berbeda dengan sekolah umum. Perbedaan utama terletak pada jumlah jam praktek pelajaran-pelajaran yang bekaitan dengan teknologi. Namun demi terbentuknya
individu yang bekualitas, pelajaran-pelajaran yang bersifat membangun naionalisme, kebangsaan,dan wawasan individu, tetap tidak dihilangkan, hanya porsinya yang disesuaikan. Jumlah anggota masing-masing kelas antara 36-38 murid dengan jumlah murid wanita antara 3-5 orang pada jurusan-jurusan yang masih dapat ditangani oleh tenaga seorang wanita (listrik, elektro).Pada tingkat departemen, sekolah jenis ini berada di bawah Kanwil Depdikbud bagian Dikmenum (Pendidikan Menengah Kejuruan).
Kelompok teman sebaya yang oleh Muller dan Cooper (dalam Furhmann, 1999) disebut sebagai banyak berperan dalam membentuk watak anggota kelompoknya, tampaknya tidakbanyak menciptakan interaksi di antara mereka dalam rentang jam sekolah. Hal ini berarti, kelompok sebaya baik dalam kelompok mayoritas maupoun berimbang yang menjadi objek penelitian ini, kurang saling berinterasi. Sejak jam pelajaran pertama dimulai (07.30)hingga 6 jam berikutnya saat pelajaran terakhir selesai, hanya terdapat + 30 hungga 40 menit pada saat istirahat untuk mereka dapat saling bebas berinteraksi. Selebihnya, perhatian mereka tercurah pada pelajaran, yang berarti tidak bebas bicara diluar kontes pelajaran maupun beraktifitas di luar kaitan bahan pelajaran. Dengan demikian intensitas, kualitas, dan kuantitas kebersamaan mereka dalam kelompoksebaya jauh lebih kecil dan sedikit dari yang bisa diharapkan untuk dapat menumbuhkan pengaruh. Karenanya, dengan siapa mereka sebenarnya lebih banyak berinteraksi dalam kualitas dan kuantitas yang cukup, menjadi karakteristik pembeda yang tidak terpantau oleh penelitian ini. Suasana kelas sendiri bukanlah satu-satunya fakor yang mempengaruhi dinamika psikologis dalam sebuah kelas. Para psikolog dan sosiolog melalui penelitian yang berbeda telah mendapatkan data yang mendukung hipotesis bahwa anstitusi dan klasifikasi social yang laus dapat mmemberi pengaruh yang kuat pada keyakinan dan perilaku anak (Muller & Swanson, dalam Di Vesta & Thompson, 1970). Ini berarti bahwa suasana kelas yang bagaimanapun dapat dipersepsi dan direspon secara berbeda oleh mereka yang berada di dalamnya. Hal ini berbeda dengan pengaruh teman sebaya ketika berinteraksi secara cukup di luar kelas. Di dalam kelas, peran guru amat menentukan dalam pembentukan dinamika kelas yang dipimpinnya. Penelitian Wickman (1928), Griffith (1952), Schrupp & Gerde (1953), dan Stouffer (1952) (dalam Die Vesta & Tompson, 1970) menemukan bahwa guru lebih memperhatikan masalah-masalah disiplin,hubungan otoritas, dan sikap sereta perilaku seksual. Hal tersebut berarti tidak terdapatnya model maupun kesempatan bagi murid (terrutama saat berada dalam pelajaran) untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang agresif. Pada respondn, hal tersebut tampak diberlakukannya peraturan yang ketat mengenai disiplin dan tata tertib. Disiplin sendiri merupakan faktor yang efektif untuk menekan agresivitas di dalam para murid (Handayani 1992). Namun demikian hal tersebut tidaklah identik dengan sekedar pemberian hukuman, karena seperti terbukti dalam penelitian, hukuman yang tidak terarah hanya akan semakin memperkuat agresi. Hal-hal yuang potensial untuk menjadi pemicu mauoun pemacu agresi merupakan larangan yang diamcam dengan sanksi berat, oleh sekolah. Hal-hal potensi seperti merokok, minum-minuman keras, senjata tajam,bahkan perhiasan dan kendaraan yang mahal, dilarang untuk dibawa ke dalam lingkungan sekolah. Khusus mengenai kasus perkelahian yang mungkin terjadi, dengan dalih apapun akan mendapatkan sanksi dikeluarkan tanpa peringatan lebih dahulu pada SMU 2, dengan didahilui peringatan keras pada STMN 1 dan 2. Hal tersebut juga dikuatkan dengan edaran dan penataran dari Kanwil Depdikbud yang diberikan kepada para kepala sekolah.
Pada pihak lain, keadaan ini ditunjang oleh peran aktif positif yang dilakukan oleh pihak Bimbingan dan Penyuluhan/Bimbingan Karir (BP/BK) sekolah setempat.Hasil kerjasama kedua pihak ini (guru dan BK) tercermin dari banyaknya prestasi yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang bersanghkutan. Prestasi adalah salah satu kunci untuk dapat menghasilakan suasana kelas dan seklah yang sehat. Di sisi lain suasana yang sehat juga merupakan kondisi awal yang diperlukan bagi tercapainya prestasi. Kedua preseden ini banyak dipengaruhi oleh dedikasi guru, yang pada praktekteknya harus lebih mngutamakan kooperasi dartipada kompetisi dui dalam kelas, yang pada gilirannya akan menghasilkan suatu proses belajar positif daripada sekedar hasil yang dirediksi (Jhnson, ddalam Glover and Bruning, 1999)Untuk itu, penghayan seorang guru terhadap hubungannya dengan murid merupakan faktor penting dalam pencapaian prestai sekolah dan penangulangan masalah-masalah perilaku yang timbul. Hal tersebut karena kemajuan kualitas sekolah secara keseluruhan adalah faktor penentu pencapaian prestasi murid (Di Vesta & Thompson, 1990). Keadaan ideal ini yang akan menekan tumbuhnya perasaan-perasaan bosan, marah, tidakberguna, tidak diperhatikan, dan ditolak pada murid (Jackson & Getaels, dalam Di Vesta & Thompson, 1990). Persaan –perasan tersebut yang jika dibiarkan tumbuh akan mengarah pada perasaan prustasi dan yang pada akhirnya dapat bermuara pada timbulnya agresi (Lazarus, 1991; Sukadji, 1997;Dollard dalam Sears dkk, 1991). Di sisi lain bagaimana murod merspon sekolah banyak bergantung pada pengalaman di rumah sebagai anteseden (Mc Clelland, 1998), dan dalam subkultur sosioekonomi (Coleman, dalam Di Vesta & Tompson, 1999). Oleh karena itu di sekolah mereka perlu mendapatkan model dan contoh yang baik dari para guru karena setiapperilaku mereka akan menjadi bahan observai dan imitai muridnya. Melihat semua penjelasan di atas, dapatlah kiranya dimengerti mengenai diperolehnya hasil intensi agresi yang tidak berbeda secara signifikan. Melihat angka reratanya yang seluruhnya negative, menunjukkan bahwa responden memiliki tingkat intensi agresi yang sama-sama rendah. Hal tesebut dijelaskan oleh situasi sekolah yang berdisiplin ketat dan pada gilirannya sangat baik, suportif, dan kondusif terhadap pencpaian prestasi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data serta penjelasan yang telah dijabarkan, dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini. Yaitu ditolaknya hipotesisyang mengatakjan bahwa ada perbadaan tingkat intensi agresi antara siswapri pada sekolah mayoritas pria dengan siswa pria dengan pada sekolah yang berimbang antara pria dan wanitanya (sekolah mayoritas lebih tinggi intensi agresinya dibanding sekolah berimbang). Ada bebrapa hal yang diduga menjadi penyebabnya, yaitu : 1. Tidak bebedanya tingkat disiplin kedua tipe sekolah yang sama-sama ketat dan tidak terdapatnya ruang yang cukup bagi responden untuk mengembangkan intensi agresinya meski komposisi jenis kelamin muridnya berbeda. Kedua tipe sekolah mengancam segala benmtuk keonaran dengan sanksi yang berat, dan tiap bentuk perkelahian akan mengakibatkan pelakunya dikeluarkan. 2. Tiada tersedianya model serta ruang yang cukup bagi responden untuk mengem,bamnghkan interaksi ddengan kelompok sebayanya selama berlangsung waktu sekolah merupakan faktor penunjang terhadap tidak berbedanya intensi agresi diantara mereka. Perhatian mereka lebih banyak dan lebih kerap tertuju pada pelajaran yang diberikan, pada gilirannya hal tersebut mengakibatkan suasana sekolah lebih sesuai pada pengembangan prestasi dibanding agresivitas. Prestasi mereka yang cukp tinggi juga merupakan cermin kualitas para pendidik pada
sekolah tersebut yang mampu memimpin dan membimbing kelas dengan baik dan menimbulkan suasana yang positif untuk kegiatan belajar mengajar sehari-hari.
SARAN Melihat hasil penelitian yang telah dilakukan pada intensi agresi murid, peneliti berkeinginan untuk mengajukan saran. Saran ini lebih berkaitan dengan upaya untuk setidaknya mempertahankan suasana positif yang telah berhasil dibangun selama ini atau kepala peneliti lain yang ingin mengungkap permasalahan yang senada. Perkembangan social pada remaja di kota, terutama kota besar, saat ini telah mengarah pada semakin menurunnya semangat belajar murid untuk mengasah pemikran dan pengembangan diri mereka.Semakin banyak terjadi perkembangan mengkhawatirkan seputar kenakalan remaja baik yang mudah terpantau (perkelahian), maupun yang sukar dideteksi (penyalahgunaan obat, minuman keras, kriminlitas). Keduanya perlu mendapatkan pengawasan karena dampaknya sudah tidak ringan lagi. Beberapa perkelahian yang terjadi telah berubah menjadi tindak kriminal dengan terbunuhnya beberapa pelaku di tangan mereka. Perkembangan ini tidak dapat kita harapkan untuk berhenti hanya di kota besar saja. Di samping kenyataan bahwa Yogyakarta sudah bukan kota kecil lagi, juga banyak para pendatang di kota ni yang semakin menambah keragaman komposisi budaya penduduk maupun murid sekolah. Kemajuan komunikai yang semakin medekatkan jarak juga turut memiliki andil besar pada pergeseran dan peubahan nilai yangh jika salah diantisipasi akan mengakibatkan kemerosotan nilai-nilai individu. Nilai-nilai social tentang stereotip lak-laki yang selama ini, telah tertanam kuat dan berakar dalam merupakan sakah satu kontributor terhadap negatifnya peran jenis laki-laki dalam beberapa hal. Imaji sempit ini dapat dengan mudah berkembang kea rah negative jika dimiliki oleh individu-individu yang tidak bertanggungjawab. Imaji sepertilaki-laki harus lebih dominant, keras, dan tangguh akan dengan mudah menjadi pendorong perilaku agresi tidakbertanggungjawab pada individu yang tidak dewasa. Untuk itu antisipasi yang tepat hanya dapat dilakukan jika seseorang memiliki bekal yang cukup guna memelah dan memilih semuanilai yang ada di sekitarnya. Disinilah institusi seperti sekolah dapat mengambil peran. Sebab disamping nilai dasar yang diperoleh seseorang dari keluarga, sekolah merupakan pihak terdekat kedua yang dapat membentuk nlai-nilai seseorang dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA Ajzen, I. 1998, Attitudes, Personanlity and Behavior, Stony Stratfoed, GB : Open University Press. Allen, E.D., Guy, R.F., and Edgly, K.C. 1999. Social Psychology as Social Prosess, Belmont, California : Wadsworth Publishing Company. Aroson, E. 1992. The Social Animal. San Fransisco: W.H Freeman and Company. Azwar, S. 1996. Releabilitas dan Validitas, Seri Pengukuran Psikologi, Interpretasi dan Komputasi, Yogyakarta : Liberty.
Azwar, S. 1998. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Liberty. Baron, R.A. and Byrne, D. 1984. Social Psychology, Anderstanding Human Interaction. Boston : Allyn and Bacon. Brehm, S.S., and Kassin, S.M. 1990. Social Psychology, USA : Houghton Mifflin Company. Daradjat, Z. 1999. Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung. Di Vesta, F.J., AND Thompson, G.G. 1998. Educational Psychology, Instruction and Behavioral Change. New York : Appleton Century Crofts. Dwiprahasto, I. 1998. Aspek Farmakologik Alkohol dan Narkotika. Makalah Seminar. Tidak diterbitkan. IDI Cabang Sleman, Yogyakarta. Ekowarni, E. 1998. Kenakalan Remaja : Suatu Tinjauan Psikologi Perkembangan. Buletin Psikologi. Tahun 1 dan 2, Desember 1998, 24-27. Fakultas Psikologi UGM. Pedoman Penyusunan Usulan Penelitian dan Skripsi S I. Fakultas Psikologi UGM. Feather, N.T. 1994. Coeducation, Values, and Satisfaction With School. Journal of Educational Psychology. 66, 9-15. Feldman, R.S. 1999. Social Psychology, Teories, Reseach, and Applications. USA : Mc Graw-Hill, Inc. Fishbein, M., and Ajzen, I. 1999. Belief, Attitude, Intention and Behavior : An Introduction to Theory and Research. Sydney : Addison- Wesly Publishing Co. Furhmann, S.B 1998. Adolescence, Adolescents. Second Edition. IIIinois : A Division of Scott, Foresman & Company Gibson, J.T. 1999. Psychology For The Classroom. New Jersey : Prentice-Hall. Inc. Glover, J.A., and Bruning, R.H 1999. Educational Psychology, Principles and Application. USA : Harper Collins. Handayani,L. 1993. Pengaruh Disiplin Sekolah Terhadap Perilaku Agresi Di Sekolah Pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Hurlock, E.B. 1993. Adolescent development. Fourth edition. Tokyo : M c Graw Hill, Kogakusha, Ltd. Hurlok, E.B. 1998a. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (terjemahan). Jakarta : Erlangga.
Johnson, R.C. and Medinnus. G.R. 1993. Child and Adolescence psychology. New York : John Wiley and Sons Inc. -----------------------, 1998. Statistik (jilid I).Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. ----------------------, 1998. Mahalnya Sebuah Harga Diri. Yogyakarta a; akaedaulatan Rakyat, Agustus 1993. --------------------, 1998.Penyalahgunaan Alkohol, Obat, dan Narkotika di Masa Datang akan Menjadi Masalah Serius. Kedaulatan Rakyat, 21 November 1998. --------------------, 1998. Pengumuman Ebtanas SLTA di DKI Diwarnai Vandalisme. Jakarta : Kompas, 5 Juni 1998. --------------------, 1999. Tawuran Pelajar di Tanah Abang, Jakarta : Kompas, 9 Juni 1998. -----------------,1999. Kenakalan Remaja Telah Sampai Taraf Mengkhawatirkan. Jakarta : Kompas, 13 Juni 1998. Koeswar, E. 1998. Agresi Manusia. Bandung : PT. Eresco. Lee, E.V., and Bryk, A.S. 1996.Effects of Single-Sex Secondary Schools on Student Achievement and attitudes. Journal of Educational Psychology. 74, 5, 381-195. Lirgg, C.d. 1999. Environmental Peercepotions of Students in Same-Sex and Coeducatinal Physikal Education Classes. Journal of Educational Psychology. 86, 183-192. Maha, A.S. 1999. Hubungan Antara Minat Terhadap Beri Kriminalitas Dengan Perilaku Agresi Paa Remaja Di Sekolah Menengah Atas Negeri 70 Jakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Fakulas Psikology UGM. Marsh, A.S. 1999. Effects of Attending Single-Sex and Coeducational Heigh Schools on Achievement, Attitudes, Behaviors, and Sex Differences. Journal of Educational Psychology. 81, 1, 70-85. Morgan, C.T. 1987.Introduction to Psychology. Tokyo : Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd. Nadia, a. 1998. Kompetensi Sosial Remaja Di Sekolah Koedukasi Dan Nonkoedukasi. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM Nuramaliah, L. 1999. PERSEPSI Tehadap Suasana Rumah, Kelompok Teman Sebaya, dan Intensi Perilaku Agresi Pada Remaja –Penyalahguna Narkotika dan Remaja Bukan Penyalahguna Narkotika. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Perlman, D. and Cozby, P.C. 1998. Social Psychology. New York : CBS College Publishing. Pikunas, J. 1976. Human Development, Emergence Science. Third Edition. Tokyo : Mc Graw Hill, Kogakusha, Ltd.
Samuel, W. 1999. Psychology. Tokyo : Mc Graw Hill Inc Sears, D.O., Freedman, J.L. and Peplau, L.A. 1995. Social Psychology. New Jersey : Prentice Hall. Sears,D.O., Freedman, J.L.and Peplau, L.A. 1999. Psikologi Sosial (terjemahan) Jakarta : Erlangga. Schneiders,A. 1996. Social Psychology. California : Addison Wesley Publishing Co. Inc. Sukadji, S. dan Badingah, S. 1998. Pola Asuh, Perilaku Agresif Orang Tua, dan Kegemaran Menonton Film Kekerasan Sebagai Prediktor Pelaku Agresif. Jurnal Psikologi. Tahun XXI No. 1, Juni 1998. Sukadji, S. 1997. Ceramah Psikologi Remaja, Tidak diterbitkan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai. Wrghtsman and Deaux, 1999. Social Psychology. Third Edition, Monterey : Brooks/Cole Publishing Co.