PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PETANI TERHADAP KINERJA USAHA PADA SISTEM INTEGRASI TANAMAN DAN TERNAK (Kasus:di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat)
KHAIRUM RAHMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani terhadap Kinerja Usaha pada Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (Kasus: di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Khairum Rahmi NIM H351130041
RINGKASAN KHAIRUM RAHMI. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani terhadap Kinerja Usaha pada Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (Kasus: di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat). Dibimbing oleh LUKMAN M. BAGA dan ANNA FARIYANTI. Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu daerah pelaksana program sistem integrasi tanaman dan ternak di Provinsi Sumatera Barat. Usaha yang dijalankan petani yaitu pengintegrasian tanaman padi, kakao, jagung dengan ternak sapi. Pada saat ini teknologi yang digunakan petani masih sederhana dan adanya kendala berupa keterbatasan modal, bahan baku pakan (produk sampingan ternak), ketidakpastian pasar, dan risiko usaha yang besar, namun petani memiliki aset berupa tenaga kerja dalam keluarga, daya juang, semangat gotong royong, pengetahuan, dan pengalaman dalam usahatani yang mereka geluti. Meskipun mengalami beberapa kendala petani masih bertahan untuk menjalankan usaha integrasi, karena usaha ini dijalankan oleh petani yang memiliki semangat tinggi yang tercermin dalam eksistensinya menjalankan usaha. Perilaku tersebut menjadi keunikan pada petani dalam menjalankan usaha meskipun perkembangan usahanya tidak signifikan. Keberhasilan sistem integrasi tanaman dan ternak dapat dicapai melalui kewirausahaan dengan cara mengembangkan sikap maupun kompetensi petani. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik petani yang menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak; (2) menganalisis faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan petani; dan (3) menganalisis pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usaha. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang dilaksanakan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Sampel penelitian ini berjumlah 115 orang petani. Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan kuantitatif dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM). Pengolahan data kuantitatif menggunakan Lisrel 8.72. Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik petani yang menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak terdiri dari: (1) secara umum berjenis kelamin laki-laki dan berada pada umur produktif yaitu berkisar antara 40-55 tahun, (2) usaha yang dijalankan petani masih tergolong kecil dan mayoritas berorientasi pada kebutuhan sehari hari, (3) pada umumnya pendapatan petani dibawah Rp 1 000 000, dan (4) status kepemilikan lahan petani sebagian besar adalah milik sendiri dan ternak yang diusahakan adalah milik kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun rata-rata petani berada pada umur yang produktif, tetapi belum mampu meningkatkan kinerja karena perilaku petani dalam berusaha masih bersifat subsisten. Faktor individu berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaaan, dengan koefisien pengaruh sebesar 0.25. Faktor individu yang paling dominan mempengaruhi perilaku kewirausahaan adalah pengalaman dan keinginan berusaha dengan muatan faktor (λ) sebesar 0,89. Berdasarkan hasil diskusi dengan responden bahwa pemahaman petani mengenai manajemen dalam pelaksanaan usaha integrasi didapatkan dari pengalaman bekerja sehingga petani berkeinginan untuk terus berkomitmen menjalankan usaha integrasi agar menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi dirinya maupun orang lain. Faktor Lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaan
dengan koefisien pengaruh (ɣ=0.52). Faktor lingkungan yang paling dominan mempengaruhi perilaku kewirausahaan petani adalah kekompakan antar petani dengan nilai muatan faktor (λ) sebesar 0.90. Kekompakan tersebut terlihat dari pengelolaan usaha tanaman dan ternak yang dilakukan secara bergotongroyong serta petani saling berbagi informasi mengenai teknologi pengolahan produk sampingan. Hasil lainnya menunjukkan bahwa kinerja usaha petani pada integrasi tanaman dan ternak dipengaruhi oleh perilaku kewirausahaan yang berpengaruh positif dan signifikan. Sementara faktor lingkungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja usaha. Hal ini disebabkan karena petani selama ini mengandalkan kemampuan yang melekat pada dirinya masing-masing, seperti tanggap terhadap peluang, inovatif, berani mengambil risiko, mandiri dan tekun berusaha yang memiliki pengaruh terbesar yaitu (λ) 0.90. Kebijakan dari pemerintah yang ada saat ini belum mampu membantu petani dalam menjalankan usaha, misalnya lembaga keuangan yang belum tersedia untuk membantu permodalan bagi petani dalam mengembangkan usaha integrasi, petani masih menggunakan alat yang sederhana dalam mengolah produk sampingan dan permasalahan lainnya, sehingga petani cenderung hanya mengandalkan kemampuan pada dirinya. Oleh sebab itu, pelatihan sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dirinya dalam mengelola usaha agar menjadi petani wirausaha yang sukses. Salah satu pembinaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu mengadakan pelatihan yang dapat merubah orientasi petani yang sebelumnya hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menjadi berorientasi bisnis dan menyediakan bantuan modal bagi petani melalui koperasi atau kelompok tani.
Kata Kunci: kewirausahaan, perilaku petani, Structural Equation Modelling (SEM)
SUMMARY KHAIRUM RAHMI. The Effect of Farmers‟ Entrepreneurship Behaviour on Enterprise Performance on Integrated Farming and Livestock System (Case: Lima Puluh Kota Regency, West Sumatera Province). Supervised by LUKMAN M BAGA and ANNA FARIYANTI. Lima Puluh Kota Regency is one of the implementers of system integration of crops and livestock in the West Sumatra Province. The business that carried on by farmers, namely the integration of the rice plant, cocoa, corn with cattle. At this time the technology used by farmers still simple and the constraints on this business such as lack of capital, raw material feed (side products of cattle), market uncertainties and high business risks, nevertheless the farmers have assets in the form of labor in the family, fighting spirit, the spirit of mutual cooperation, knowledge, and theirs experience in farming. Although having some problems, farmers still persist to carry on business integration, because this business is run by farmers who have a passion that is reflected in their existence on this business. Such behavior becomes unique to the farmer in running a business even though the growth of business is not significant. The success of the integration of crop and livestock systems can be achieved through entrepreneurship by developing the attitude and competence of farmers. The purpose of this study are: (1) to identify the characteristics of farmers who run the business integration of crops and livestock; (2) to analyzing the individual and environmental factors that influence entrepreneurial behavior of farmers; and (3) to analyze the effect of entrepreneurial behavior on the performance of the business. This study was conducted using a survey in the Lima Puluh Kota Regency with 115 farmers. The analysis used is descriptive and quantitative analysis using Structural Equation Modelling (SEM). Quantitative data processing using lisrel 8.72. These results indicate the characteristics of farmers who run the business integration of crops and livestock consists of: (1) the male sex which are in the productive age ranged between 40-55 years, (2) a business carried on farmers is still relatively small and the majority oriented on daily needs, (3) in general, the income of farmers under Rp 1 million, and (4) the majority status of farmers' land ownership is self-owned and livestock that are cultivated are the property of the group. This result showed that although the average farmer are at a productive age, but have not been able to improve performance due to the behavior of farmers in integration still subsistent. Individual factors have significant positive effect on the behavior of entrepreneural, the influence coefficient is 0.25. The most dominant individual factors affecting entrepreneurial behavior is the experience and desire trying with load factor (λ) 0.89. Based on discussions with the respondents, the farmers' understanding of the management in the implementation of the integration of business gained from the experience of working so that the farmer wishes to continue to be committed to run the business integration in order to produce something of value for themselves and others. Environmental Factors have positive and significant effect on entrepreneurial behavior with the influence coefficient (ɣ=0.52). The most dominant environmental factors that affect the behavior of the entrepreneurial farmer is cohesiveness among farmers with a value of load factor (λ) 0.90. Compactness is evident from the business management of
crops and livestock were carried cooporate and farmers share information regarding processing technology of side products. Other results showed that the business performance of farmers on the integration of crops and livestock is affected by entrepreneurial behavior that is positive and significant impact. While environmental factors significant negative effect on the performance of the business. This happen because farmers have been relying on the inherent capabilities of themselves such as responsiveness to opportunities, innovative, risk-taking, self-contained and persevere that has the greatest influence, with load factor (λ) 0.90. The current policy of the government that not able to help farmers in running the business, such as financial institutions are not yet available to assist capital for farmers in developing integration business, farmers are still using simple tools in processing side products and other problems, so farmers tend to rely ability on themselves. Therefore, training is needed to improve her skills in managing the business in order to become a successful entrepreneur farmers. Training is need by farmer from the government to change the orientation of farmers who previously only to meet the daily needs into business-oriented and to provide capital assistance for farmers through cooperatives or farmer groups.
Keywords: entrepreneurship, farmers„ behavior, Structural Equation Modelling (SEM)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PETANI TERHADAP KINERJA USAHA PADA SISTEM INTEGRASI TANAMAN DAN TERNAK (Kasus: di Kabupaten Lima Pulu Kota Provinsi Sumatera Barat)
KHAIRUM RAHMI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Henny Kuswanti Suwarsinah, MEc Penguji Program Studi
: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Maret 2015 ini adalah Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani terhadap Kinerja Usaha pada Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (Kasus: di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat). Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada: 1. Dr Ir Lukman M. Baga MAEc, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr Ir Wahyu Budi Priatna, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 3. Dr Ir Rr Heny K. Daryanto, MEc selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis. 4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis. 5. Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIRJEN DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negri sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah magisternya. 6. Petani yang menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota yang telah bersedia menjadi responden peneliti. 7. Sahabat Rumah Agribisnis, JWJ dan teman-teman seperjuangan Magister Sains Agribisnis 4 atas masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan. 8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Zulkifli, Ibunda Zainibar, Kakanda Josep Hendri, adik Willi Brand dan March Akmal, serta sepupu tersayang Toni Ardi dan Donal Ardi. 9. Idris dan keluarga yang telah memberikan semangat dan do‟a. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2015 Khairum Rahmi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Usaha Integrasi Tanaman dan Ternak Kewirausahaan pada Petani Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kewirausahaan Perilaku Kewirausahaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Kerangka Pemikiran Konseptual Kerangka Pemikiran Operasional 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Responden Variabel dan Pengukuran Faktor Individu Petani Integrasi Tanaman dan Ternak Faktor Lingkungan Petani Integrasi Tanaman dan Ternak Perilaku Kewirausahaan Kinerja Usaha Analisis Data 5 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Perkembangan Usaha Integrasi Tanaman dan Ternak Usaha Budidaya Tanaman Usaha Ternak Sapi Pengolahan dan Pemanfaatan Produk Sampingan Tanaman dan Ternak Pengembangan Usaha Penerima Manfaat Sitem Integrasi Tanaman dan Ternak
1 3 7 7 7 7 7 9 11 12 12 12 14 16 19 20 21 21 21 22 22 22 22 23 24 25 27 27 30 31 32 33 34
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Responden Jenis Kelamin Umur Luas Lahan Pendapatan Kepemilikan Lahan dan Ternak Faktor Individu Pendidikan Pengalaman Motivasi Berprestasi Persentase terhadap Usaha Keinginan Berusaha Faktor Lingkungan Ketersediaan Input Penyuluhan dan Pelatihan Permodalan Promosi dan Pemasaran Dukungan Pemerintah Kekompakan Antar Petani Perilaku Kewirausahaan Tekun Berusaha Tanggap terhadap Peluang Inovatif Berani Mengambil Risiko Bersikap Mandiri Kinerja Usaha Perluasan Pemasaran Peningkatan Pendapatan Keunggulan Bersaing Analisis Perilaku Kewirausahaan Petani terhadap Kinerja Usaha dengan Pendekatan Structural Equation Models (SEM) Analisis Kecocokan Keseluruhan Model Uji Validitas Uji Reliabilitas Kecocokan Model Struktural Analisa Model Struktural Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani dan Kinerja Usaha Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha Integrasi Tanaman dan Ternak
35 35 35 35 36 37 39 41 41 42 42 43 43 44 44 45 45 46 46 47 47 47 48 49 49 50 51 51 52 52 53 53 54 57 57 57 59 60 63
Implikasi Kebijakan 7 SIMPULAN DAN SARAN
67 69
Simpulan Saran
69 70
DAFTAR PUSTAKA
70
LAMPIRAN
76
RIWAYAT HIDUP
88
DAFTAR TABEL 1. Populasi ternak (ekor) di Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008 - 2012 2. Luas panen (Ha) dan produksi (ton) tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008-2012 3. Variabel indikator / Manifest faktor individu (X1) 4. Variable indikator / Manifest faktor lingkungan (X2) 5. Variabel manifest perilaku kewirausahaan (Y1) 6. Variabel manifest kinerja usaha (Y2) 7. Rincian pemberian dana bantuan 8. Pendapatan usaha integrasi tanaman dan ternak per ha per musim tanam 9. Persentase penilaian petani terhadap faktor individu 10. Persentase penilaian petani terhadap faktor lingkungan 11. Persentase penilaian petani terhadap perilaku kewirausahaan 12. Persentase penilaian petani terhadap kinerja usaha 13. Hasil uji kecocokan model (Goodness of Fit Test) sebelum respesifikasi 14. Hasil uji kecocokan model (Goodness of Fit Test) setelah respesifikasi 15. Muatan faktor dan t-hitung variabel manifest 16. Pengujian reliabilitas model pengukuran 17. Evaluasi terhadap koefesien model struktural dan kaitannya dengan hipotesis penelitian 18. Komposisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan petani dan kinerja usaha 19. Daftar lokasi kegiatan integrasi tanaman ternak ruminansia tahun 2012
4 4 22 23 23 24 30 39 41 44 47 51 54 54 55 57 58 60 76
DAFTAR GAMBAR 1. Model umum dari perilaku kewirausahaan dan kinerja bisnis 2. Kerangka berpikir tentang kewirausahaan 3. Kerangka pemikiran konseptual pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha 4. Kerangka pemikiran operasional 5. Structural Equation Model (SEM) pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha 6. Sebaran responden menurut jenis kelamin 7. Sebaran responden menurut umur 8. Luas lahan responden 9. Sebaran pendapatan responden 10. Kepemilikan lahan responden 11. Kepemilikan ternak responden 12. Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha 13. Nilai t hitung struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha
18 18 19 20 24 35 36 37 38 39 40 58 59
14. Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha 15. Nilai t hitung struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha 16. Model sistem integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota 17. Peta Kabupaten Lima Puluh Kota
85 85 86 87
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Daftar lokasi kegiatan integrasi tanaman dan ternak ruminansia 2012 Rumus untuk menghitung construct reliability dan variance extracted Hasil pengolahan data dengan Lisrel 8.72 Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha sebelum di respesifikasi Model sistem integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota Peta Kabupaten Lima Puluh Kota
76 77 78 85 86 87
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Program integrasi tanaman dan ternak merupakan program nasional dalam rangka mengatasi persoalan semakin sempitnya lahan dan semakin tingginya permintaan masyarakat akan produk ternak serta menciptakan pertanian yang ramah terhadap lingkungan, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi diwilayah pedesaan. Daerah penerima bantuan pengembangan program integrasi tanaman dan ternak dapat dilihat pada Lampiran 1. Fungsi pokok integrasi tanaman dan ternak yaitu memperbaiki kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan pangan dan memelihara keberlanjutan lingkungan, dengan ciri utamanya adalah terdapat keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masingmasing komponen yang merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Dikjennak 2012). Model sistem integrasi tanaman dan ternak tidak hanya mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainable), tetapi juga aspek ramah lingkungan (environmentally tolerable). Sehingga model tersebut dapat diterima secara sosial (socially acceptable), secara ekonomi (economically feasible) dan politis (politically desirable) serta di masa depan akan terus dikembangkan. Sehingga dengan melakukan sistem integrasi tanaman dan ternak dapat memberikan added value bagi petani jika mampu mengelolanya. Hal tersebut dapat dicapai dengan memberikan inovasi, kreativitas dan bersedia menanggung risiko usaha yang dijalankan. Melalui inovasi dan teknologi pertanian yang baik, petani dapat mengubah produk sampingan tanaman dan ternak menjadi sumberdaya. Teknologi yang diintroduksikan dalam sistem integrasi tanaman dan ternak menurut Diwyanto et al. (2001) mencakup teknologi pengelolaan limbah untuk pakan ternak dan pengelolaan kotoran ternak untuk pupuk organik. Inovasi yang mendukung keberhasilan pengembangan pola ini yaitu sistem perkandangan, inovasi veteriner, serta pemanfaatan plasma nutfah yang tepat dan strategi peningkatan mutu genetik. Sistem usahatani terintegrasi dapat dijadikan model untuk meningkatkan efesiensi usahatani sehingga menghasilkan produk yang lebih berdaya saing dan kemudian dapat meningkatkan pendapatan petani. Konsep integrasi memberikan suatu keuntungan yang sinergis, yakni suatu keuntungan yang berlipat ganda yang diperoleh dari tanaman dan ternak hasil interaksi keduanya. Interaksi dari kedua komoditas usahatani tersebut terjadi melalui pemanfaatan hasil sampingan tanaman (sisa-sisa hasil tanaman) untuk pakan ternak dan sebaliknya ternak memberikan pupuk kandang pada tanaman, selain itu petani dapat memperluas dan memperkuat sumber pendapatan sekaligus menekan risiko kegagalan usaha. Pendapatan utama tidak hanya dari usahatani saja namun juga dari sektor peternakan. Sektor peternakan juga dapat dijadikan simpanan agar suatu saat jika terjadi risiko kegagalan usahatani, ternak dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaiannya (Dinakeswan Kabupaten Lima Puluh Kota 2012).
2 Potensi lahan dan pakan ternak yang tersedia dari subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan kehutanan tersedia cukup banyak dan melimpah. Hal tersebut terlihat dari ketersediaan lahan seperti lahan sawah, lahan pasang surut, lahan perkebunan dan lahan lainnya (Kusnadi 2008). Produksi produk sampingan dari lahan pertanian tersebut berdasarkan bahan kering menunjukkan nilai yang cukup besar yakni 2 126 606 ton setara dengan hampir delapan kali produksi hijauan dari lahan pengembalaan. Tetapi pada kenyataannya, saat ini pemanfaatan produk sampingan pertanian sangat rendah dan pengembangan ternak ruminansia masih didasarkan pada rumput atau hijuan yang ada (Syamsyu et al. 2009). Menurut beberapa penelitian, kombinasi antara pengusahaan ternak dan berbagai jenis tanaman, perikanan dan kehutanan terbukti dapat meningkatkan hasil usahatani. Petani yang mengusahakan integrasi tanaman dan ternak pendapatannya dapat meningkat hingga 100 persen apabila dibandingkan dengan dengan tanaman yang diusahakan tanpa ternak, sekitar 40 persen hasil tersebut berasal dari nilai tambah pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi, akan tetapi pada umumnya sistem integrasi tanaman dan ternak belum dirasa maksimal dalam meningkatkan usahatani di pedesaan (Diwyanto et al. 2001). Hal tersebut diduga karena keterbatasan faktor pendidikan, sikap dan pengaruh sosial budaya petani. Sehingga kegiatan ini perlu terus didorong di wilayah-wilayah pengembangan peternakan yang mempunyai potensi dalam mengusahakan integrasi tanaman dan ternak melalui transfer teknologi dan inovasi. Transfer teknologi dan inovasi dapat dilakukan dengan keragaman sosial, ekonomi, pendidikan dan pengalaman petani melalui proses perubahan sikap dan kompetensi petani. Oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia yaitu petani menjadi salah satu kunci untuk mencapai tujuan dari program integrasi tanaman dan ternak melalui kewirausahaan, dimana kewirausahaan petani merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan usaha yang berorientasi pasar (Darmadji 2012), karena pertanian saat ini bukan hanya sekedar usahatani saja tetapi menyangkut pengolahan, pemasaran dengan harga yang bersaiang dan distribusi. Sehingga petani dituntut untuk memiliki jiwa kewirausahaan agar dapat menciptakan produk pertanian yang memiliki nilai tambah. Seorang petani wirausaha akan mempertimbangkan aspek pasar, memperhitungkan analisis usahatani, mampu melihat dan mengelola peluang, serta memiliki kemampuan manajemen, berpikir dan bertindak untuk terus mengembangkan hal-hal baik dari yang diusahakan saat ini sehingga diperoleh hasil yang lebih menguntungkan. Seorang petani wirausaha akan mampu menghasilkan produk yang bersaing dipasar dan membuka peluang bisnis bagi dirinya sendiri. Namun saat ini petani yang mampu menghasilkan produk turunan pertanian masih sangat sedikit, karena pada umumnya patani belum mempunyai jiwa kewirausahaan. Sebagaimana menururt hasil penelitian Dumasari (2014), petani yang belum dan kurang mempunyai jiwa kewirausahaan senantiasa kesulitan mengelola dan mengembangkan diversifikasi usaha secara produktif ditengah potensi sumberdaya lokal yang melimpah. Untuk itu, tidak dapat dipungkiri kewirausahaan memang mempunyai fungsi penting sebagai motor penggerak petani dalam mengembangakan usaha pertanian, sehingga kinerja petani tidak lagi hanya diukur melalui teknik budidaya saja.
3 Menurut Krisnamurthi (2001) kewirausahaan dipandang bukan hanya sekedar sebagai pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsip-prinsip tertentu yang akan mempengaruhi kinerja usaha, jika konsep ini dimiliki oleh semua pelaku pertanian, maka dapat dipastikan pertanian akan lebih berkembang dan tumbuh dengan pesat. Hal tersebut dapat tercermin melalui perilaku kewirausahaan yang dimiliki petani, diantaranya yaitu gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya yang tersedia, mampu memanfaatkan perubahan dan perkembangan tren serta preferensi konsumen sebagai sumber inovasi peluang bisnis, mampu mencari peluang baru di tengah persaingan, inovatif dengan menciptakan produk dan teknik usaha baru, bekerja dengan lebih efektif dan efisien, serta berani mengambil risiko untuk mengembangkan bisnisnya (Dirlanudin 2010). Berdasarkan pemaparan di atas diduga bahwa adanya perilaku kewirausahaan pada petani dapat berpengaruh terhadap kinerja usaha. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam untuk mengetahui perilaku kewirausahaan petani, serta melihat pengaruhnya terhadap kinerja petani, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap perkembangan kinerja sistem integrasi tanaman dan ternak.
Rumusan Masalah Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu daerah pelaksana program sistem integrasi tanaman dan ternak di Provinsi Sumatera Barat. Program ini dilaksanakan dari tahun 2011 melalui penerapan berbagai macam teknologi dan inovasi pengolahan bahan baku pakan dan kotoran ternak sebagai sumber bahan baku organik. Produk teknologi pengolahan diharapkan mampu mendukung kegiatan usahatani melalui penyediaan pupuk organik dan penyediaan bahan pakan ternak yang berkelanjutan untuk sapi potong. Pengembangan sistem integrasi tanaman dan ternak dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) mendukung upaya mempertahankan dan sekaligus memperbaiki struktur dan tekstur lahan pertanian serta menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman pertanian yang seimbang; (2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman padi (sebagai produk utama) dan daging (sebagai produk ikutan); (3) peningkatan populasi ternak sapi yang sekaligus; dan (4) meningkatkan pendapatan petani. Sedangkan keluaran atau output langsung yang diharapkan pemerintah dari kegiatan ini adalah: (1) penambahan populasi ternak sapi pada lokasi integrasi; (2) adanya kelompok penerima kegiatan; dan (3) pemanfaatan lima jenis bahan pakan yaitu jerami padi, limbah jagung, dedak, limbah sawit, dan limbah sorghum (Dinakeswan Kabupaten Lima Puluh Kota 2013). Usaha integrasi yang dilakukan didaerah ini yaitu pengintegrasian antara tanaman (pangan, holtikultura dan perkebunan) dengan ternak sapi. Hal tersebut didukung dengan keberadaan ternak sapi yang lebih mendominasi dibandingkan dengan ternak lainnya (Tabel 1). Namun demikian, meskipun ternak sapi mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan, tetapi populasinya terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal tersebut diakibatkan karena produktivitas ternak yang masih rendah dan ketersediaan hijauan sebagai pakan ternak semakin sulit didapatkan. Semestinya pakan ternak dapat dipenuhi melalui peningkatan mutu gizi pakan
4 dengan melakukan pengolahan bahan baku (hasil sampingan tanaman) menggunakan teknologi dan memberikan inovasi sehingga populasi ternak sapi dapat terus ditingkatkan. Dimana dengan adanya daya dukung lahan, 1 ekor sapi per hektar akan mengasilkan daging 73-109.5 kg/ha/tahun (Kusnadi 2008). Tabel 1 Populasi ternak (ekor) di Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008 - 2012 Tahun 2012 2011 2010 2009 2008
Populasi Ternak Kambing Sapi 21 242 33 994 27 218 32 625 25 561 65 577 23 768 63 214 22 214 61 735
Kuda 93 118 116 195 253
Kerbau 13 330 12 952 22 643 21 560 21 363
Sumber: BPS Kabupaten Lima Puluh Kota ( 2013)
Mata pencarian utama masyarakat dibidang pertanian mencapai 62 persen, hal ini merupakan peluang yang sangat besar untuk mendukung penyediaan pakan baik berupa hijauan maupun produk sampingan pertanian. Pada Tabel 2 dapat dilihat gambaran luas panen dan produksi tanaman di wilayah ini. Potensi yang cukup besar dari produk sampingan tanaman tersebut, dapat mengurangi ketergantungan sarana produksi dari luar, sehingga keberlanjutan ternak dapat terjamin. Keputusan dalam pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya pertanian dimulai dari tingkat yang paling rendah, yakni tingkat pengambilan keputusan dari rumahtangga petani. Hal ini terkait dengan karakteristik petani yang spesifik dari sistem integrasi tanaman dan ternak terhadap perilaku petani yang dilakukan. Tabel 2 Luas panen (Ha) dan produksi (ton) tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008-2012 Tahun
Tanaman Pangan
Tanaman Hortikultura
Luas panen Produksi Luas panen Produksi
Tanaman Perkebunan Luas panen Produksi
2012
686
497.12
1 330.68
11 317.9
6 821.75
2 835.07
2011
564
298.32
2 098.71
14 744.46
5 395.56
4 192.43
2010
473
345.30
1 576.77
12 563.20
5 518.38
3 334.84
2009
1 127
232.01
1 418.14
10 278.30
5 899.95
3 073.01
2008
1 173
189.00
1 093.33
7 478.20
3 164.00
3 236.04
Sumber: BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2013)
Pada pelaksanaannya, penggunaan teknologi dan inovasi dalam pengolahan produk sampingan tanaman dan ternak pada sistem integrasi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Pemanfaatan produk sampingan tanaman dan ternak akan dapat dioptimalkan jika petani memiliki kreativitas serta aktivitas penunjang melalui unit pengolahan limbah, karena beberapa dari produk sampingan tersebut tidak dapat dimanfaatkan
5 secara langsung dalam aktivitas usahatani. Jerami sebagai produk sampingan tanaman padi dapat diperoleh untuk setiap hektar adalah 4 ton dan setelah melewati proses fermentasi dapat menyediakan bahan pakan untuk sapi sebanyak 2 ekor per tahun. Jumlah produk ikutan jagung berupa daun, batang dan tongkol dapat diperoleh bekisar antara 2.5 sampai 3.4 ton bahan kering per hektar. Jumlah tersebut dapat menyediakan bahan baku pakan pengganti hijauan sejumlah 1 ST (bobot hidup setara 250 kg, konsumsi bahan kering 3 persen bobot hidup) dalam setahun (Dinas Peternakan Sumatera Barat 2013). Pada saat ini teknologi yang digunakan petani masih sederhana dan adanya kendala berupa keterbatasan modal, bahan baku pakan (produk sampingan ternak), ketidakpastian pasar, dan risiko usaha yang besar, namun petani memiliki aset berupa tenaga kerja dalam keluarga, daya juang, semangat gotong royong, pengetahuan, dan pengalaman dalam usahatani yang digeluti. Meskipun mengalami beberapa kendala petani masih bertahan untuk menjalankan usaha integrasi, karena usaha ini dijalankan oleh petani yang memiliki semangat tinggi yang tercermin dalam eksistensinya menjalankan usaha. Perilaku tersebut menjadi keunikan pada petani dalam menjalankan usaha meskipun perkembangan usahanya tidak signifikan. Aset yang sudah dimiliki petani seperti pengetahuan dan pengalaman dalam menjalankan usahatani merupakan peluang besar dalam pengembangan integrasi tanaman dan ternak. Melalui pengalaman seseorang dapat belajar banyak hal, karena bila hanya dengan satu pengalaman seorang wirausaha tidak akan sanggup menghadapi, memecahkan permasalahan, dan mencapai peluang yang akan dihadapi (Ucbasaran et al. 2005). Selanjutnya yang harus dikembangkan oleh petani adalah semangat wirausaha, karena saat ini kewirausahaan merupakan salah satu kebutuhan strategis bagi petani dalam mengelola usaha. Kemampuan petani baik sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diaktualisasikan dalam menjalankan usahataninya mulai dari persiapan tanam sampai pemasaran produk yang dihasilkan akan menentukan keberhasilan petani mencapai kinerja usaha yang tinggi, yang juga didukung oleh pendidikan, luas lahan dan adopsi teknologi (Darmadji 2012). Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan dan beberapa studi literatur diketahui bahwa penerapan sistem integrasi tanaman dan ternak diwilayah ini tidak hanya terbatas pada pembagian lahan tetapi telah sampai pada pemanfaatan masing-masing limbah pertanian dan peternakan. Meskipun deminian, berdasarkan program Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Lima Puluh Kota (2013) diketahui masih terdapat masalah dalam penerapan teknologi budidaya tanaman, ternak dan pemanfaatan limbah serta masih lemahnya dukungan kelembagaan petani seperti lembaga permodalan (perbankkan, KUD, maupun Lumbung Pitih Nagari atau LPN). Disamping itu, secara umummasih rendanya kinerja petani dalam mengusahakan integrasi tanaman dan ternak disebabkan karena masih kurangnya kompetensi yang dimiliki petania, seperti: (1) kurangnya penguasaan terhadap teknologi pengolahan hasil; (2) kurangnya koordinasi antar petani dan penyuluh terkait dengan pengembangan usaha; dan (3) kurang tanggap terhadap informasi pasar yang berguna untuk peningkatan produksi dan mutu, jaminan kontinuitas pasokan, dan pengelolaan usaha secara profesional. Kinerja petani yang kurang optimal dalam pengelolaan saprotan, manajemen usaha, permodalan, dan pemasaran hasil mengakibatkan peningkatan
6 pendapatan tidak tercapai. Peningkatan kinerja petani dalam usaha integrasi tanaman dan ternak dipengaruhi oleh faktor sumberdaya manusia (SDM), sebagaimana yang diungkapkan oleh Pambudy dan Dabukke (2010) pengembangan SDM pertanian atau pengusahatani (wirausaha-agribisnis) merupakan prioritas yang perlu diperhatikan, sebab SDM pertanian tersebut yang merencanakan, melaksanakan dan menanggung risiko produksi, juga memutuskan untuk mengadopsi atau menunda penerapan suatu teknologi untuk mendapatkan nilai tambah. Selain itu pentingnya peran sumberdaya manusia dalam pencapaian keunggulan kompetitif juga diungkapkan oleh Krisnamurthi (2001), yaitu faktor manusia menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian keunggulan kompetitif, karena pada manusia akan diperoleh kreativitas dan inovasi, pada manusia juga melekat kemampuan dan keberanian serta sikap memanfaatkan peluang dan mengatasi kesulitan. Penguasaan dan pemanfaatan teknologi serta inovasi juga akan terletak pada manusia, disamping kemampuan untuk mendapatkan modal, informasi dan jaringan usaha. Inovasi pada sistem integrasi tanaman padi dan ternak ruminansia dipengaruhi oleh entrepreneurial skill yaitu berupa diversifikasi, pola integratif, orientasi pemanfaatan sumber daya lokal, dan teknologi pengolahan hasil (Ningsih 2014). Penerapan konsep perilaku kewirausahaan pada petani yang menjalankan sistem integrasi, diharapkan dapat mempengaruhi kinerja usahanya. Perilaku kewirausahaan yang melekat pada petani akan terbangun menjadi lebih aktif dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi bisnis, inovatif dalam proses produksi maupun penciptaan produk baru, serta berani mengambil risiko usaha. Berdasarkan model pengembangan kewirausahaan petani pada integrasi tanaman dan ternak yang diteliti oleh Ningsih (2014), mengatakan bahwa pembentukan entrepreneur farmer yang memiliki kapasitas kewirausahaan entrepreneurial skill (professional, management, cooperative, opportunity, strategy) dalam level yang cukup akan tercapai apabila penerapan adopsi inovasi yang dilakukan oleh petani disertai dengan entrepreneurial learning process serta didukung oleh lingkungan yang kondusif. Penelitian ini dimulai dengan mengetahui hubungan karakteristik personal yang tercermin dari perilaku petani dengan kinerja usaha. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan perilaku yang melekat pada diri wirausaha petani dengan kinerja usaha. Ini dikarenakan untuk menilai apakah suatu kinerja usaha berjalan baik atau tidak dilihat dari perilaku petani, sebelum dipengaruhi oleh jiwa kewirausahaan yang ada pada tiap individu dan pengaruh lingkungan yang senantiasa berubah-ubah. Selanjutnya analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usaha yang dijalankan petani juga diperlukan untuk mengetahui sejauh mana perilaku kewirausahaan mempengaruhi kinerja petani dalam usaha integrasi tanaman dan ternak. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini difokuskan pada perilaku kewirausahaan petani melalui sifat dan kebiasaannya dalam menjalankan usaha. Adapun yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah karakteristik petani yang menjalankan integrasi tanaman dan ternak? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan petani dalam integrasi tanaman dan ternak? 3. Bagaimanakah pengaruh perilaku kewirausahaan petani dapat meningkatkan kinerja usaha pada sistem integrasi tanaman dan ternak?
7 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik petani yang menjalankan integrasi tanaman dan ternak. 2. Menganalisis faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan petani. 3. Menganalisis pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pembinaan dan pengembangan sistem integrasi tanaman dan ternak yang berdaya saing khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota. Diharapkan dari penelitian ini dapat diketahui apakah dengan menganalisis perilaku kewirausahaan petani dapat dijadikan alternatif pendekatan lain dalam peningkatan kinerja usaha petani. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmiah dibidang kewirausahaan, dan dapat digunakan sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dalam meningkatkan dan mengembangkan kewirausahaan.
Ruang Lingkup Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai studi kasus, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat menyimpulkan kondisi di wilayah lain. Selain itu petani responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah petani yang menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak yang mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat.
2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Usaha Integrasi Tanaman dan Ternak Program sistem integrasi tanaman dan ternak dicanangkan oleh pemerintah Indonesia secara nasional dalam rangka mengatasi penurunan populasi ternak ruminansia yang diduga terjadi karena semakin sempitnya lahan panganan ternak, yang dikonversi menjadi lahan-lahan perkebunan dan semakin kecilnya kepemilikan lahan usaha bagi petani. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut beberpa praktisi dari peternakan dan pertanian memberikan beberapa solusi teknologi berupa integrasi tanaman (holtikultura, pangan, dan perkebunan) dan ternak ruminansia (Dinas Peternakan Sumatera Barat 2013). Jika dikaitkan dengan kebijakan pengembangan usaha ternak sapi potong, pada dasarnya juga mempunyai hubungan yang sinergis dengan usaha pertanian khususnya tanaman pangan di mana hubungan tersebut selain memberikan manfaat ekonomi, juga
8 memberikan keuntungan dalam konversi lahan dan meningkatkan produktivitas lahan 1 . Sinergisme tersebut dapat terlihat dari keterpaduan antara tanaman dan ternak dengan mengoptimalisasikan sumberdaya lokal sehingga dapat memaksimalkan produksi dalam jangka panjang melalui diversifikasi usaha. Konsep integrasi tanaman dan ternak (zero waste) yang dilakukan dibeberapa tempat telah terbukti dapat melestarikan lingkugan. Hal ini dapat dilihat bahwa limbah hasil dari kegiatan usaha menjadi input bagi kegiatan usaha atau produksi lain, dimana jerami padi digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternak menjadi biogas dan pupuk organik yang digunakan untuk tanaman. Berdasarkan hasil analisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya, serta aspek lingkungan yang dilakukan Sumantri dan Anna (2011) menunjukkan hasil bahwa kegiatan pengembangan usaha tanaman (padi) yang berintegrasi dengan sapi potong pada kondisi normal dan incremental net benefit layak untuk diusahakan. Selain itu, analisis kelayakan finansial pengembangan usaha padi yang berintegrasi dengan sapi potong pada kondisi risiko produksi dan harga output padi juga layak untuk diusahakan. Kegiatan pengembangan usaha padi yang berintegrasi dengan sapi potong sangat sensitif terhadap perubahan produktivitas padi dan tingkat risiko yang paling tinggi ada pada risiko produksi. Hal ini dapat dilihat dari indikator kriteria investasi yang menunjukkan nilai NPV mencapai Rp 511 329 761.71, IRR mencapai 19.8 persen, Net B/C mencapai 1.24, dan payback period mencapai 6 tahun 2 bulan 16 hari. Menurut Suwandi (2005) jika dibandingkan dengan petani yang tidak mengadopsi pola sistem integrasi tanaman dan ternak, usaha padi sawah dengan pola ini mampu meningkatkan produksi padi sebesar 23.6 persen dengan keuntungan 14.7 persen lebih tinggi. Peningkatan penggunaan pupuk kandang sebesar satu unit dapat meningkatkan produksi padi sebesar 0.125 dengan peningkatan keuntungan usahatani sebesar 0.134. Penerapan model integrasi yang lebih baik dapat mencapai total keuntungan yang maksimum melalui aktivitas-aktivitas usahatani, salah satunya yaitu sistem integrasi tanaman dan ternak yang berskala wilayah melalui hubungan kerjasama. Maudi (2010) menyebutkan bahwa sangat besarnya skala ekonomi masing-masing aktivitas usahatani yang diusahakan menyebabkan setiap aktivitas usaha yang diintegrasikan perlu diusahakan pada tingkat kelompok tani. Cara ini dapat memudahkan pemerintah dalam memberikan penyuluhan, pelatihan dan mengintensifkan komunikasi di antara anggota kelompok maupun antara anggota kelompok dan pemerintah (Elly et al. 2008). Kerjasama antara pemerintah dengan petani-peternak sangat dibutuhkan dalam pengembangan pola integrasi ini. Kebijakan pemerintah untuk mendorong pengembangan sistem integrasi tanaman dan ternak dapat berupa strategi agresif dan diversifikatif. Pemerintah juga perlu memberikan bantuan modal, penyuluhan, pelatihan, dan introduksi tanaman hijauan pakan unggul yang dapat ditanam oleh petani. Pemerintah telah aktif mendorong pelaksanaan integrasi tanaman dan ternak di kawasan yang cocok sebagai pengembangan dan sesuai dengan konsep tersebut (Makka 2012) karena hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensi dalam 1
Haryati Y, Nuhati I dan Gustiani E. Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman Ternak Mendukung Pertanian Organik. Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman–Ternak. [Internet]. [diakses pada 26 Juli 2015]. Tersedia pada: http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/psitt07-35.pdf?secure=1
9 pengembangan integrasi tanaman dan ternak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Diwyanto et al. (2001) bahwa sistem integrasi tanaman dan ternak berpeluang untuk terus dikembangkan baik di daerah dengan luasan lahan pertanian yang terbatas (Jawa dan Bali) maupun di daerah dengan potensi lahan pertanian yang luas (Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua) karena dapat diterima oleh petani. Sistem integrasi tanaman dan ternak dikembangkan untuk mengoptimalkan usaha agribisnis, dan efisiensi input produksi dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya alam untuk menghasilkan produk pertanian (tanaman atau ternak) yang berdaya saing sekaligus peningkatan pendapatan petani. Namun sistem integrasi tanaman dan ternak tidak dapat dikatakan berhasil karena sebagian daerah yang menerima program tidak dapat menjalankan prinsip ini dan pada akhirnya kembali kepada bentuk tradisional (Muslim 2006). Untuk mengatasi masalah tersebut Arfa‟i (2001) mengatakan ada beberapa strategi yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan program integrasi diantaranya: (a) peningkatan modal usaha melalui pemberian kredit lunak pada petani; (b) penerapan teknologi tepat guna berbasis petani dalam manajemen pemeliharaan, budidaya reproduksi, dan pengolahan limbah ternak; (c) pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengembangan sistem kelembagaan kelompok sehingga akan membantu mempercepat pencapaian swa-sembada daging sapi; (d) peningkatan efisiensi melalui peningkatan skala usaha; dan (e) optimalisasi fungsi kelompok melalui penguatan fungsi koperasi, penerapan manajemen yang transparan, dan pendampingan yang intensif. Sedangkan program yang dapat dilaksanakan pemerintah terdiri dari; penguatan modal usaha, menjalin kemitraan dengan instansi terkait terutama dibidang pemasaran, penguatan lembaga keuangan mikro, peningkatan kualitas SDM khususnya petani dengan mengadakan pelatihan, pendamping, petugas teknis, penataan kawasan sentra pembibitan melalui sistem kelembagaan kelompok dan penyediaan bibit.
Kewirausahaan pada Petani Salah satu variabel human capital dari petani yang diabaikan selama ini adalah kewirausahaan. Hal ini karena wirausaha selalu dikonotasikan dengan pelaku bisnis di luar pertanian. Wirausaha dan petani dianggap sebagai individu yang berbeda kutub, sehingga tidak mungkin ada istilah wirausaha pertanian atau kewirausahaan petani 2 . Padahal kewirausahaan merupakan faktor kunci bagi kelangsungan hidup bagi petani skala kecil dalam perubahan ekonomi yang semakin kompleks. Agar petani dapat mengembangkan usahanya dengan baik dan mendapatkan laba yang selalu meningkat, maka petani harus memahami dan menerapkan jiwa-jiwa kewirausahaan, antara lain mempunyai tujuan ke depan, percaya diri, mau bekerja keras, mampu menghadapi risiko, mau bekerjasama dengan orang lain, menghargai kritik dan saran, selalu mempunyai ide-ide yang
2
Burhanuddin. Petani Bukan Wirausaha? Salah Kaprah!. [Internet]. [diakses pada 26 Juli 2015]. Tersedia pada: http://suaraagraria.com/detail-20299-petani-bukan-wirausaha-salahkaprah.html#.VbTlxPmqqko
10 baru, mencari dan memanfaatkan peluang 3 . Untuk menjadi seorang wirausaha, petani kecil (gurem) sangat membutuhkan sifat-sifat tersebut dan dituntut untuk mempunyai wawasan agar mampu berinovasi. Menurut Kahan (2012), seorang petani wirausaha akan melihat usaha pertanian yang dilakukan petani sebagai bisnis, petani melihat pertanian sebagai sarana mendapatkan keuntungan, mempunyai gairah dalam usaha pertanian, dan bersedia untuk mengambil risiko yang diperhitungkan untuk mencapai keuntungan serta mengembangkan usaha. Pembangunan kewirausahaan petani berawal dari kualitas petani itu sendiri sebagai pelaku utama. Petani yang berkualitas merupakan wujud kompetensi yang dimilikinya. Kompetisi tersebut dapat berupa keterampilam, yang dapat ditingkatkan melalui pengetahuan dan sikap petani. Sehingga keterbatasan petani yang dikarenakan sempitnya lahan yang dimiliki, tingkat pendidikan yang rendah, tidak adanya kepastian harga dan pasar dapat diatasi (Mcelwee 2006 dan Damihartini et al. 2005). Oleh karena itu, dalam pengembangan jiwa kewirausahaannya, petani membutuhkan dukungan dari pemerintah. Misalnya, menghapus kebijakan impor produk pertanian, menyediakan asuransi untuk petani, menjalankan reforma agraria, menambah alokasi dana APBD untuk sektor pertanian, menyediakan informasi pasar, serta perbaikan infrastruktur pedesaan (jalan, listrik, sarana komunikasi, dan irigasi) dan menyediakan akses modal/kredit yang biasa menjadi alasan klasik mengapa petani kesulitan megembangkan usaha pertaniannya 4 . Dalam menjalankan usahatani yang lebih intensif dan memiliki risiko tinggi membutuhkan modal besar serta membutuhkan kewirausahaan yang lebih tinggi (Darmadji 2012). Alternatif yang dapat dilakukan yaitu menyediakan kredit untuk petani melalui koperasi atau kelompok tani serta mengembangkan pemasaran berupa kemitraan yang saling menguntungkan untuk melindungi petani dari persaingan yang tidak seimbang. Perubahan di bidang pertanian juga berdampak pada kewirausahaan petani di negara maju. Sebagaimana yang digambarkan oleh Lauwere et al. (2002), dalam penelitiannya mengenai kewirausahaan petani di Belanda yang difokuskan pada karakteristik pribadi pengusaha, pada berbagai strategi yang mereka gunakan untuk menghadapi perubahan radikal dalam pertanian, pengetahuan penggunaan infrastruktur dan akibatnya, serta penggunaan jaringan sosial dan inovasi. Dimana hasil awalnya menggambarkan bagaimana fitur pertanian, seperti cara pertanian, faktor lingkungan seperti daerah, dan fitur pribadi seperti usia, dapat mempengaruhi kewirausahaan. Petani dari bagian Barat Belanda tampak lebih berorientasi sosial dan proaktif daripada petani di daerah lainnya, sementara petani dari Utara kurang begitu berorientasi sosial dan proaktif dibandingkan petani lain di Belanda. Hal ini dikarenakan petani di Barat hidup dalam persaingan dengan urbanisasi, sementara petani di Utara tinggal di daerah semi pertanian.
3
Enggar Paramita. Upaya Menumbuhkan Semangat Wirausaha pada Petani. [Internet]. [diakses pada 26 Juli 2015]. Tersedia pada: http://worldagroforestry.org/newsroom/highlights/upayamenumbuhkan-semangat-wirausaha-pada-petani 4 Anonim. Wirausaha Petani Membangun Ekonomi Komunitas [Internet] [diakses pada 4 November 2014]. Tersedia pada: http://www.agriculturesnetwork.org/ magazines/indonesia/29kewirausahaan-pedesaan/editorial/at_download/article_pdf
11 Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Kewirausahaan memiliki peranan yang penting dalam perekonomian, termasuk pembangunan pertanian di dalamnya. Kewirausahaan dibidang pertanian sangat berdampak pada kinerja petani dalam menjalankan usahanya. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Sadjudi (2009); Sumantri (2013); Ariesa (2013); dan Puspitasari (2013) menyatakan bawha perilaku kewirausahaan pada petani mempunyai pengaruh terhadap kinerja usaha secara signifikan. Faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan antara lain sifat individu, lingkungan ekonomi, dan lingkungan fisik, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usahatani, antara lain kerpibadian individu, lingkungan ekonomi, lingkungan politik, lingkungan fisik, dan perilaku kewirausahaan. Pada penelitian Ariesa (2013) mengenai pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usahatani tembakau Virginia di Jawa Timur yang dianalisis melalui regresi linear berganda, menunjukkan hasil bahwa sifat individu dan faktor lingkungan mempengaruhi perilaku kewirausahaan dengan pengaruh terbesar berasal dari sifat individu. Perilaku kewirausahaan berpengaruh signifikan terhadap kinerja usaha, namun bukan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi kinerja pertanian. Lingkungan ekonomi menjadi variabel yang paling berpengaruh terhadap kinerja pertanian karena umumnya petani tembakau sangat responsif pada perubahan harga. Perilaku kewirausahaan saja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karena komoditas tembakau menghadapi industri rokok dengan struktur pasar oligopsoni yang membuat petani tidak memiliki posisi tawar sehingga membutuhkan lingkungan yang mendukung dalam mengusahakan tembakau. Penelitian Verhees et al. (2008) menguji secara empiris apakah entrepreneurial proclivity (EP) memberikan kontribusi terhadap kinerja peternakan. Peneliti membuat hipotesis mengenai hubungan EP dengan kinerja dengan unit analisis petani Belanda dan Slovenia, dimana hasilnya menunjukkan bahwa EP berpengaruh positif pada kinerja dan kinerja yang diharapkan petani Belanda dan Slovenia dan pengaruh yang mendasari dimensi EP terdiri dari inovasi, proaktif serta pengambilan risiko. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan yang mampu mendorong seseorang menjadi wirausaha yang sukses. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi faktor individu dan lingkungan. Faktor individu menurut Sapar (2006) dapat berupa usia, pendidikan, pengalaman, serta motivasi. Sementara faktor lingkungan berupa kepemilikan modal, keluarga, serta lingkungan. Sementara menurut Inggrawati dan Arnold (2010) faktor individual juga dapat mempengaruhi intensi untuk mengembangkan usaha, dalam konteks usaha mikro, karakteristik psikologis yang cenderung mendominasi seseorang untuk berperilaku entrepreneurial (mengembangkan usaha) adalah motivasi awal mendirikan usaha dan self-efficacy. Bila usaha didirikan karena dorongan dari dalam diri si pengusaha maka terdapat keinginan yang relatif lebih tinggi untuk mengembangkan usaha. Demikian pula, semakin tinggi derajat self-efficacy si pengusaha, semakin tinggi pula intensi untuk mengembangkan usaha. Dengan kata lain, keberanian mengambil tindakan untuk mengembangkan usaha menjadi tidak relevan tanpa adanya dorongan motivasi awal yang kuat yang terkait dengan tindakan mendirikan usaha. Berbeda dengan pendapat Puspitasari (2013) yang mengkaji mengenai faktor individu dan ekternal yang mempengaruhi perilaku
12 kewirausahaan pada usaha anggrek menggunakan Structural Equation Models (SEM), menyatakan bahwa faktor individu yang signifikan mempengaruhi perilaku kewirausahaan adalah keinginan berwirausaha, motif berprestasi, serta persentase terhadap usaha. Sementara faktor ekternalnya adalah dukungan pemerintah berupa penyuluhan dan pelatihan, regulasi usaha, serta ketersediaan informasi pasar ternyata berpengaruh negativ terhadap perilaku kewirausahaan. Variabel laten perilaku kewirausahaan berpengaruh positif dan langsung secara signifikan terhadap kinerja usaha. Dengan demikian perilaku kewirausahaan berperan penting dalam peningkatan kinerja usaha, sehingga dengan ketekunan, ketanggapan terhadap peluang, inovatif, keberanian mengambil risiko dan kemandirian pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja usaha. Dengan mengunakan alat analisis yang sama yaitu SEM, Burhanuddin (2014) mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi aktivitas kewirausahaan peternak ayam boiler. Faktor individu yang mempengaruhi aktivitas kewirausahaan peternak yaitu intensitas inovasi peternak, intensitas penelitian peternak, keberanian mengambil risiko dalam berinvestasi, efisiensi produksi peternakan, pengendalian biaya-biaya peternakan, pengetahuan produksi tenaga kerja dan sikap tenaga kerja. Sedangkan faktor lingkungannya adalah kebijakan pemerintah dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan bantuan teknis peternakan.
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kewirausahaan Kewirausahaan secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses penciptaan sesuatu yang baru bernilai ekonomis dengan menggunakan kreativitas dan inovasi, dan menemukan peluang untuk mengembangkan usaha. Individu yang mampu meciptakan suatu produk yang bernilai disebut wirausaha. Wirausaha atau entrepreneur adalah orang yang mencari peluang yang menguntungkan dan mengambil risiko seperlunya untuk merencanakan dan mengelola suatu bisnis (Boone dan Kurtz 2002). Definisi ini senada dengan Kasmir (2006); Zimmerer dan Scarborough (2002) yang menyatakan bahwa wirausahawan adalah orang yang menciptakan usaha baru di tengah risiko dan ketidakpastian untuk mendapatkan keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan mengelola sumber daya yang ada. Wirausaha tidak hanya menghasilkan barang yang baru tetapi juga dapat berupa sistem, metode, strategi, dan aspek-aspek lain dalam usaha sehingga dapat mewujudkan efisiensi dan efektivitas kerja. Berani mengambil risiko berarti memiliki mental mandiri dan berani memulai usaha tanpa takut walaupun dalam kondisi tidak pasti. Wirausaha selalu berusaha mencari, memanfaatkan, serta menciptakan peluang yang dapat memberikan keuntungan. Wirausaha tidak takut pada risiko dan bahkan semakin besar risiko kerugian yang akan dihadapi maka semakin besar pula peluang keuntungan yang dapat diraih. Tidak ada istilah rugi selama wirausahawan tersebut melakukan usaha dengan penuh perhitungan dan keberanian (Widodo 2005). Oleh karena itu, wirausahawan adalah orang yang
13 memahami peluang bisnis yang ditindaklanjuti dengan pembentukan organisasi bisnis untuk mewujudkan peluang tersebut menjadi kenyataan. Entrepreneur dapat berasal dari berbagai macam latar belakang pendidikan, kondisi keluarga, dan pengalaman kerja. Wirausaha potensial dapat berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Walaupun sudah banyak aspek dari latar belakang pengusaha yang telah dieksplorasi, hanya sedikit yang membedakan pengusaha dari masyarakat umum atau manajer. Latar belakang wirausahawan yang dieksplorasi meliputi lingkungan keluarga masa anak-anak, pendidikan, nilai pribadi, dan pengalaman kerja. Wirausahawan dapat ditemukan pada semua jenis pekerjaan antara lain pendidikan, kesehatan, penelitian, hukum, arsitektur, keteknikan, pekerja sosial, dan distribusi (Hisrich dan Peters 2008). Kewirausahaan dari beberapa pendapat dapat disimpulkan sebagai suatu perilaku yang meliputi pengambilan keputusan, pengaturan dan pengorganisasian mekanisme sosial ekonomi dalam merubah sumber daya atau situasi menjadi suatu hal yang berguna, dan berani mengambil risiko. Hal tersebut merupakan sesuatu yang baru atau unik ataupun yang sudah ada namun ada nilai yang dimasukkan oleh wirausahawan dengan cara menerima dan mengalokasikan kemampuan dan sumber daya yang diperlukan. Beberapa definisi kewirausahaan memiliki sedikit perbedaan tetapi mengandung gagasan yang sama, yaitu kebaruan, pengorganisasian, penciptaan, pendapatan, dan pengambilan risiko. Pada prakteknya, wirausahawan dapat digolongkan menjadi entrepreneur (wirausahawan sebagai pemilik bisnis), intrapreneur (wirausaha di dalam perusahaan), ecopreneur, ultrapreneur, collective entrepreneur, academic entrepreneur, dan beberapa jenis wirausahawan yang lain (Hubeis 2009). Wirausahawan berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Peran mereka dalam perekonomian lebih dari peningkatan output per kapita dan pendapatan, mereka memulai perubahan dalam struktur bisnis dan masyarakat. Perubahan ini diikuti oleh pertumbuhan dan peningkatan output yang memungkinkan dimiliki oleh banyak orang. Salah satu teori pertumbuhan ekonomi menggambarkan inovasi sebagai kunci, tidak hanya dalam mengembangkan produk baru atau jasa untuk pasar tetapi juga merangsang minat investasi di usaha baru. Investasi baru ini bekerja pada kedua sisi permintaan dan pasokan dari persamaan pertumbuhan. Pada sisi penawaran modal baru dibuat untuk memperluas kapasitas pertumbuhan dan di sisi permintaan pengeluaran menghasilkan kapasitas dan output baru (Hisrich dan Peters 2008). Perkembangan kewirausahaan akan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang belum dieksploitasi, menghasilkan wirausaha, dan ekonomi mandiri. Wirausaha dapat melihat peluang dan merubahnya menjadi suatu yang bernilai baik berupa produk baru, proses produksi yang baru, pasar baru, sumber daya yang baru atau sistem manajemen yang baru. Dengan adanya jiwa kewirausahaan dapat mendorong minat seseorang untuk mendirikan dan mengelola usaha secara profesional, untuk berwirausaha dapat dilakukan dengan cara: (1) memiliki modal sekaligus menjadi pengelola; (2) menyetor modal dan pengelolaan ditangani oleh pihak mitra; dan (3) hanya menyerahkan tenaga namun dikonversikan ke dalam bentuk saham sebagai bukti kepemilikian usaha (Kasmir 2006).
14 Perilaku Kewirausahaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Perilaku merupakan semua kegiatan manusia, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati secara langsung oleh pihak luar (Notoatmodjo 2003). Perilaku kewirausahaan merupakan bagian penting di dalam proses kewirausahaan. Perilaku kewirausahaan merupakan perilaku manusia dalam mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang melalui pembentukan dan pengembangan usaha (Bird dan Schjoedt 2009), maupun mengeksplorasi dan menciptakan peluang di dalam kegiatan usaha yang sedang dijalankan (Gartner, Carter dan Reynold 2010) melalui tindakan yang mengarah pada konsep-konsep kewirausahaan yaitu tindakan yang menunjukkan kreativitas, inovasi dan berani berisiko (Delmar 1996 dan Kasmir 2006). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku kreatif dan inovatif merupakan karakteristik utama dari perilaku kewirausahaan. Sifat (personality trait) seseorang dapat menentukan dan menjadi prediktor bagi perilaku kewirausahaan (Rauch dan Freese 2007). Seseorang yang mempunyai perilaku kewirasahaan memiliki peluang untuk mengembangkan dan menambah pemahaman, pengetahuan serta kemampuan untuk meningkatkan potensi sumberdaya manusia terutama dalam mencapai kapasitas sebagai seorang wirausaha (Ucbasaran et al. 2005). Selain itu, perilaku kewirausahaan juga dapat mendukung perubahan sosial dan memfasilitasi inovasi dalam organisasi usaha (Kuratko 2009). Pendekatan perilaku memandang penciptaan suatu usaha sebagai hasil dari berbagai pengaruh. Gartner (1988) mengemukakan bahwa fokus pada apa yang dilakukan oleh wirausahawan lebih penting daripada siapa wirausahawan. Pada pendekatan perilaku, wirausaha dilihat sebagai satu set aktivitas dalam menciptakan organisasi usaha sedangkan pendekatan sifat melihat wirausaha sebagai satu set sifat dan karakter. Proses kewirausahaan melibatkan banyak fungsi, aktivitas, tindakan yang berhubungan dengan mengamati peluang dan menciptakan usaha untuk mewujudkan tujuan. Sifat yang dapat memprediksi perilaku kewirausahaan adalah sifat yang sesuai dengan karakteristik pekerjaan. Winardi (2008) menyatakan bahwa karakteristik wirausaha yang berhasil dapat tercermin dari perilakunya dalam berusaha. Perilaku tersebut diantaranya bekerja keras, berorientasi kedepan, kompeten secara teknikal, kesediaan untuk mendelagasi, dan orang yang dapat menggerakkan diri. Melalui keterlibatan perilaku kewirausahaan dapat menyebabkan berkembangnya motivasi dan caracara berfikir yang diinginkan dalam menjalankan usaha. Gartner (1988) memandang bahwa apa yang dilakukan oleh wirausahawan tersebut lebih penting dibandingkan dengan sifat apa yang mereka miliki. Kegiatan wirausaha berkontribusi dalam mendorong perekonomian karena tindakan yang dilakukan oleh wirausaha, bukan karena sifatnya. Beberapa literatur kewirausahaan mendefinisikan parameter mendasar pada perilaku kewirausahaan yaitu wirausaha harus dapat mendeteksi dan mengeksploitasi peluang, dapat membuat keputusan cepat di bawah ketidakpastian dan kendala sumber daya, dapat bekerja lebih keras dibandingkan pegawai, serta harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan termasuk kepemimpinan, manajemen, pemasaran, dan inovasi (Rauch dan Frese 2007). Kecenderungan sifat yang berbeda dapat menghambat atau memfasilitasi tindakan dan perilaku pemilik usaha. Aspek individu merupakan faktor penting dalam membentuk perilaku kewirausahaan (Bird 1988; Gartner 1985; Greenberger dan Sexton 1988, diacu
15 dalam Mazzarol et al. 1999). Sifat yang dapat menjadi prediktor bagi perilaku kewirausahaan, antara lain need for achievement, inovatif, proaktif, self efficacy, stress tolerance, need for autonomy, individu locus of control, dan kecenderungan mengambil risiko (Rauch dan Frese 2007). Berdasarkan beberapa penelitianpenelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor-faktor demografis seperti gender, umur, pendidikan, jenis kelamin, pengalaman bekerja dan latar belakang orang tua akan mempengaruhi keinginan seseorang untuk menjadi wirausaha (Mazzarol et al. 1999; Shane et al. 2003; dan Ucbasaran et al. 2005). Bird (1996) menyebutkan ada empat elemen yang membentuk perilaku wirausaha yaitu: (1) faktor individu meliputi kondisi orang-orang yang ada dalam organisasi; (2) faktor organisasi menyangkut kondisi individu, keberadaan serta daya tahan lembaga tersebut; (3) faktor lingkungan meliputi faktor yang berada di luar organisasi dan dapat mempengaruhi keberadaan organisasi; dan (4) faktor proses, sebagai aktivitas kerja yang terjadi dalam organisasi termasuk terjadinya interaksi antara individu yang satu dengan yang lainnya. Bird (1996) merinci faktor individu tersebut ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) karakteristik biologis (umur, jenis kelamin, pendidikan); (2) latar belakang wirausaha (pengalaman usaha, alasan berusaha, pekerjaan keluarga); dan (3) motivasi, ketekunan, kegigihan, dan kemauan keras untuk berhasil. Alma (2010) juga menyebutkan lima unsur karakteristik individu yang melatarbelakangi perilaku seseorang menjadi wirausaha, yaitu: (1) lingkungan keluarga (silsilah dalam keluarga dan pekerjaan orang tua); (2) pendidikan; (3) nilai-nilai personal; (4) usia; dan (5) riwayat pekerjaan. Serta Riyanti (2003) mengemukakan beberapa karakteristik individu (faktor demografi) wirausaha terkait dengan keberhasilan usaha skala kecil, yaitu: (1) usia; (2) keterlibatan dalam pengelolaan usaha sejenis (pengalaman usaha); (3) pendidikan; dan (4) perilaku inovatif. Selain faktor individu, perilaku kewirausahaan juga dipengaruhi oleh lingkungan. Kewirausahaan terjadi karena proses interaktif antara individu dengan lingkungannya yang pada akhirnya akan mempengaruhi keputusannya dalam melakukan usaha. Perilaku merupakan fungsi dari individu dan situasinya, dan sifat hanya dapat mempengaruhi perilaku jika situasi memungkinkan mereka mengekspresikan tindakannya (Lewin 1951; Mischel 1968, diacu dalam Rauch dan Frese 2007). Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan terdiri dari lingkungan fisik (Priyanto 2009), lingkungan ekonomi, lingkungan sosial dan lingkungan politik (Mazzarol et al. 1999; Kumar et al. 2003). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi kewirausahaan berdasarkan (Mazzarol 1999; Kumar 2003; Fereidouni et al. 2010) , antara lain: (1) lingkungan ekonomi, berpengaruh secara langsung dan tidak langsung pada kewirausahaan dan pertumbuhan usaha. Beberapa variabel ekonomi yang berpengaruh pada kewirausahaan antara lain harga input output, akses modal, dan struktur pasar; (2) lingkungan sosial, merupakan salah satu faktor yang mendorong kewirausahaan. Lingkungan sosial terdiri dari latar belakang keluarga, pendidikan, sikap masyarakat, dan nilai budaya; (3) lingkungan politik. Pengusaha sukses berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang berkaitan dengan berbagai aspek-ekonomi seperti harga, ketersediaan dari pendapatan modal, tenaga kerja dan input lainnya, struktur permintaan, perpajakan, dan distribusi mempengaruhi pertumbuhan kewirausahaan; (4) lingkungan fisik dapat berupa ketersediaan sumber daya yang akan mendorong tumbuhnya kewirausahaan.
16 Cuaca yang mendukung, tanah yang subur, dan adanya sarana prasarana akan menunjang usaha yang dilakukan petani dan juga meningkatkan motivasi dalam berusahatani. Faktor-faktor lingkungan fisik yang mendukung juga meningkatkan kreativitas dan keberanian petani dalam mengambil risiko (Priyanto 2009). Petani membutuhkan informasi (informasi inovasi teknologi dan pelaksanaan bisnis baru), mereka harus memahami kemana arah dari satu alur dan keputusan seperti apa yang harus diambil untuk mencapai tujuan (Licht dan Jordan 2005). Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Kinerja merupakan hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan selama periode tertentu dalam melaksanakan pekerjaan dibandingkan dengan berbagai kemungkinan seperti standar hasil kerja, target atau kriteria yang telah ditentukan (Rivai dan Basri 2005; Dessler 2000; Mangkunagara 2002). Menurut pendekatan perilaku dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan (Luthans 2005). Sedangkan Mathis dan Jackson (2006) menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. Dengan demikian, pengertian kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam upaya pencapaian tujuan usaha. Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berjalan sendiri. Kinerja berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, serta dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan, dan sifat-sifat individu. Pada dasarnya, kinerja dipengaruhi oleh harapan mengenai imbalan, dorongan, kemampuan, kebutuhan dan sifat, persentase terhadap tugas, imbalan individu dan lingkungan, serta persentase terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Karakteristik orang yang mempunyai kinerja tinggi menurut (Mangkunegara 2002) adalah sebagai berikut: (1) memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi; (2) berani mengambil dan menanggung resiko yang dihadapi; (3) memiliki tujuan yang realistis; (4) memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuannya; (5) memanfaatkan umpan balik (feed back) yang konkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukannya; dan (6) mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. Secara umum indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu menurut (Robbins 2006) adalah: (1) kualitas, diukur dari persentase karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan; (2) kuantitas, yaitu jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan; (3) ketepatan waktu, yaitu tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain; (4) efektivitas, yaitu tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya; dan (5) kemandirian, yaitu tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan fungsi kerjanya. Merupakan suatu tingkat dimana karyawan
17 mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor. Perilaku kewirausahaan berpengaruh positif pada kinerja, hipotesis ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kuratko (1999) bahwa kewirausahaan berimplikasi positif pada pertumbuhan usaha dan kinerja. Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan suatu pekerjaan yang diminta (Rivai dan Basri 2005). Oleh karena itu, kinerja dilihat dari produktivitas, kualitas, dan keuntungan. Riyanti (2003) menyatakan bahwa kinerja usaha atau keberhasilan usaha juga sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kepribadian yang dimiliki, faktor kepribadian ini mempengaruhi hingga 49 persen yaitu seperti sifat keinginan melakukan pekerjaan dengan baik, motivasi diri yang kuat, percaya diri, berfikir positif, memiliki komitmen dan sabar. Bentuk lain yang juga dapat meningkatkan kinerja kewirausaahan adalah faktor individu yang ada pada diri wirausaha itu sendiri berupa tingkat pendidikan, usia dan pegalaman (Ucbasaran et al. 2005). Dengan pendidikan wirausaha dapat memberikan outlet yang sangat produktif bagi ketermapilan dan kinerja mereka. Faktor usia menggambarkan kestabilan wirausaha dalam menghadapi goncangan karena mereka cenderung lebih banyak mendapatkan pelatihan serta pengalaman membawa mereka langsung berhadapan dengan masalah dalam usaha yang sedang mereka jalani. Sanchez dan Marin (2005) mengukur kinerja usaha dengan melihat dari aspek profitabilitas, produktivitas, dan pasar. Lee dan Tsang (2001) mengukur kinerja usaha dari tiga indikator yaitu pertumbuhan penjualan (sales growth), pertumbuhan profit (profit growth), dan pertumbuhan modal (capital growth). Keberhasilan usaha dapat dilihat dari peningkatan atau perkembangan kinerja usaha setiap periode waktu tertentu. Suatu usaha dapat dinyatakan berhasil jika mengalami sedikitnya 6-10 persen pertumbuhan per tahun (Ghost et al. dalam Meng dan Liang 1996). Menurut Jauch dan Glueck (1998), kinerja perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, pengembalian modal, dan pangsa pasar yang diraihnya. Sementara itu, menurut Praag (2005) keberhasilan kinerja usaha dapat dilihat dari adanya keberlangsungan dan pertumbuhan usaha, penambahan tenaga kerja, dan peningkatan keuntungan dan pendapatan. Keberhasilan usaha (performance outcomes) menurut Day (1990) meliputi: (1) satisfaction (kepuasan) terkait dengan semakin banyak pihak merasa terpuaskan oleh keberadaan perusahaan, (2) loyality (loyalitas) menyangkut kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) market share (pangsa pasar) berhubungan dengan kemampuan memperluas pangsa pasar, dan (4) profitability (pendapatan), ditandai dengan adanya peningkatan profit yang signifikan. Delmar (1996) menggambarkan model umum perilaku kewirausahaan dan kinerja usaha yang dapat dilihat pada Gambar 1. Model ini terdiri dari empat komponen utama, yaitu individu, lingkungan, kewirausahaan, dan kinerja. Kewirausahaan dibentuk oleh individu dan lingkungan. Individu mencakup kemampuan dan motivasi, sedangkan komponen lingkungan meliputi lingkungan individu dan lingkungan. Individu juga dipengaruhi oleh lingkungan dan lingkungan juga memiliki pengaruh langsung pada kinerja. Kinerja perusahaan bergantung pada lingkungan karena bisnis akan berjalan, jika terdapat permintaan akan barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan. Berdasarkan model pada
18 Gambar 1, kinerja terbentuk dari kewirausahaan dan lingkungan usaha, yaitu berupa tindakan-tindakan yang dilakukan wirausaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor Individu Perilaku Kewirausahaan
Kinerja Bisnis
Faktor Lingkungan
Gambar 1 Model umum dari perilaku kewirausahaan dan kinerja bisnis Sumber: Diadopsi dari Delmar (1996)
Selain itu, Suryana dan Kartib (2011) menyimpulkan bahwa kerangka berpikir mengenai kewirausahaan dapat dilihat pada Gambar 2. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kewirausahaan merupakan kemampuan untuk memberikan tanggapan yang positif terhadap peluang memperoleh keuntungan untuk diri sndiri atau pelayanan yang lebih baik pada pelanggan. Pola tanggap tersebut dapat dilihat melalui karakteristik perorangan atau individu dan karakteristik kelompok sosial, sedangkan pola peluang dapat muncul dari kebutuhan ekonomi dan kemajuan teknologi. Dengan adanya tanggapan dan peluang tersebut memberikan semangat kepada wirausaha berupa perilaku wirausaha dengan selalu berusaha mencari dan melayani langganan lebih banyak dan lebih baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efesien melalui keberanian mengambil risiko, kreativitas, dan inovasi, serta kemampuan manajemen. Tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif, dan inovatif pada akhirnya dapat memberikan hasil kinerja usaha yang lebih baik. Kewirausahaan Pola tanggapan 1. Karakteristik perorangan 2. Karakteristik kelompok sosisal Perilaku kewirausahaan 1. Mendirikan 2. Mengelola 3. Mengembangkan Kinerja usaha 1. Tepat guna 2. Efesiensi usaha 3. Mutu unggul
Pola Peluang 1. Kebutuhan ekonomi 2. Kemajuan teknologi
4. Membudayakan 5. Melembagakan
4. Pembaruan 5. Konsumen puas
Gambar 2 Kerangka berpikir tentang kewirausahaan Sumber: Suryana dan Kartib (2011)
19 Kerangka Pemikiran Konseptual Penerapan konsep perilaku kewirausahaan dapat mempengaruhi kinerja usaha menjadi lebih baik dan berkembang. Perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor individu yang berasal dari diri pribadi, dan faktor lingkungan yang berasal dari lingkungan. Fokus pada penelitian ini adalah melihat apa yang dilakukan petani wirausaha dalam kegiatan usahanya dan pengaruhnya pada kinerja, sedangkan sifat dan karakteristik wirausaha menjadi salah satu faktorfaktor pembentuk perilakunya. Berdasarkan teori maupun studi empirik dan penelitian terdahlu, pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa ada hubungan antara perilaku kewirausahaan dengan kinerja usaha. Perilaku kewirausahaan akan sangat dipengaruhi oleh faktor dari individu itu sendiri dan juga lingkungan atau dapat disebut faktor lingkungan. Faktor lingkungan juga tidak hanya mempengaruhi perilaku tetapi juga berpengaruh terhadap individu dan kinerja usaha, sementara kinerja usaha juga dipengaruhi oleh perilaku kewirausahaan.
`
Faktor individu : 1. Pendidikan 2. Pengalaman Kepemilikan modal 3. Motivasi berprestasi 4. Persentase terhadap usaha 5. Keinginan berusaha Sumber: Bird (1996); Alma (2010); Delmar (1996); Kasmir (2006)
Perilaku kewirausahaan petani yang mengusahakan integrasi tanaman dan ternak: Tekun Berusaha Tanggap terhadap peluang Inovatif Berani mengambil risiko Bersikap Mandiri Sumber: Bird (1996); Alma (2010); Delmar (1996); Kasmir
(2006);
Faktor lingkungan : 1. Ketersediaan bahan input 2. Penyuluhan dan pelatihan 3. Modal dan saprotan 4. Promosi dan pemasaran 5. Regulasi usaha 6. Kekompakan antar petani 7. Akses terhadap informasi pasar Sumber: Bird (1996); Alma (2010); Delmar (1996); Kasmir (2006)
Kinerja usaha petani : Meningkatnya pendapatan Perluasan wilayah pemasaran Keunggulan bersaing Sumber: Delmar (2006); Robbins (2006); Mangkunegara (2002)
Gambar 3
Kerangka pemikiran konseptual pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha
Faktor-faktor individu yang akan diteliti dan dikaji pada penelitian ini diantaranya: pendidikan, pengalaman, motivasi berprestasi, keinginan berwirausaha, persentase terhadap usaha. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya, ketersediaan bahan input, dukunganpenyuluhan dan pelatihan,
20 bantuan modal usaha, dukungan promosi danpemasaran, dukungan regulasi usaha, kekompakan petani dan aksesterhadap informasi pasar. Indikator bagi perilaku kewirausahaan adalah tekunberusaha, tanggap terhadap peluang, inovatif, berani mengambil risiko danbersikap mandiri. Indikator kinerja usaha yang digunakan adalah peningkatanpendapatan, perluasan wilayah pemasaran, dan keunggulan bersaing.
Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan lingkungan bisnis telah menuntut petani memiliki jiwa kewirausahaan sehingga diperoleh nilai tambah yang lebih besar dari produk pertanian yang dihasilkan. Seorang petani wirausaha menggerakan dan mengkombinasikan faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai jual. Untuk menjadi petani wirausaha, pengembangan sumber daya manusia menjadi salah satu kunci dalam menjawab permasalahan ini karena untuk menempati pasar yang bersaing dibutuhkan petani yang kreatif dan inovatif agar mampu bertahan dan menghasilkan sesuai standar yang diinginkan konsumen. Oleh karena itu, dilihat hubungan dan pengaruh antara sifat individu petani yaitu hubungan antara faktor individu (individu), faktor lingkungan (lingkungan), perilaku kewirausahaan terhadap kinerja usahatani. Kerangka pemikiran operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Kualitas SDM rendah Sumberdaya yang tersedia tidak dikelola dengan baik Pemanfaatan teknologi dan inovasi produk sampingan (byproduct) Keterbatasan sumberdaya manusia dan pertanian belum optimal input produksi (pupuk dan pakan ternak) Beternak hanya sebagai usaha sampingan Pengembangan SDM (petani) menjadi prioritas karena petani yang merencanakan, melaksanakan menanggung risiko dan memutuskan apakah mengadopsi teknologi dan inovasi atau menundanya Perlu petani wirausaha untuk mengelola usaha integrasi tanaman dan ternak melalui perilaku kewirausahaan dalam peningkatan kinerja usahatani
Faktor individu Faktor lingkungan
Perilaku kewirausahaan
Kinerja
Saran untuk pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak
= Analisis SEM (Structural Equation Models) Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional
21 Faktor kewirausahaan menentukan berhasil tidaknya petani dalam menyesuaikan dengan perubahan lingkungan bisnis. Perilaku kewirausahaan dibentuk oleh sifat individu dan faktor lingkungan yang terdiri dari lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, lingkungan politik, dan lingkungan fisik. Selain mempengaruhi perilaku kewirausahaan, sifat individu dan lingkungan juga mempengaruhi kinerja usaha integrasi tanaman dan ternak. Dimensi-dimensi diperoleh dengan menjabarkan variabel sifat individu dan lingkungan yang berpengaruh pada kewirausahaan. Variabel-variabel tersebut diidentifikasi berdasarkan hasil kajian literatur dan penelitian terdahulu kemudian dikembangkan menjadi suatu daftar pertanyaan terstruktur pada kuesioner yang akan dinilai oleh responden yang telah ditentukan.
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada bulan Januari sampai Maret 2015. Pemilihan tempat ini dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan Lima Puluh Kota merupakan salah satu kabupaten yang menerima program integrasi tanaman dan ternak dari tahun 2011 di Sumatera Barat, selain itu sapi juga merupakan salah satu komoditas unggulannya. Populasi sapi menurut data terakhir pada tahun 2013 mencapai 33.994 ekor (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2014). Pelaksanaan integrasi tanaman dan ternak dilaksanakan oleh kelompok tani yang tersebar dibeberapa kecamatan yaitu di Kecamatan Payakumbuh, Harau, Guguk, dan Situjuh (Dinakeswan Kabupaten Lima Puluh Kota 2013). Disamping itu, juga terdapat petani yang secara swadaya melakukan integrasi tanaman dan ternak. Pada kondisi ini petani awalnya memelihara salah satu komponen integrasi, kemudian diikuti dengan integrasi tanaman dengan ternak dalam hal pembagian lahan. Pada tahap selajutnya terjadi perkembangan integrasi dengan saling memanfaatkan limbah komponen sistem integrasi.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Sumber data primer mencakup seluruh metode pengumpulan data dari sumber asal (original sources) dan dikumpulkan secara khusus untuk tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani, serta penggalian informasi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat. Sedangkan data sekunder adalah data yang sudah dipublikasikan dan dikumpulkan untuk tujuan yang lain daripada tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Data sekunder diperoleh dari Badan Litbang Pertanian, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota.
22 Metode Pengambilan Responden Metode pengambilan responden dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling. Hal ini dikarenakan responden yang diambil sesuai dengan maksud atau tujuan tertentu dari peneliti. Sampel pada penelitian ini adalah petani yang mengusahakan integrasi tanaman (pangan, hortikultura, dan perkebunan) dengan ternak sapi. Jumlah responden yang diambil pada penelitian ini berjumlah 115 responden berdasarkan pada alat analisis yang digunakan yaitu SEM. Penghitungan (n) x 5 observasi untuk setiap estimated parameter, jumlah (n) = 23 maka besarnya responden adalah 115 orang. Ukuran responden yang digunakan harus dalam jumlah yang besar agar hasil analisis yang diperoleh dapat mendekati dan menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kewirausahaan pada sistem integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Variabel dan Pengukuran Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel laten dan variabel manifest sebagai indikator dari variabel laten. Pengukuran peubah variabel-variabel berdasarkan teori yang telah terbukti secara empiris dan penelitian terdahulu, sehingga dapat diimplementasikan di lapangan serta mampu diukur sebagaimana seharusnya. Faktor Individu Petani Integrasi Tanaman dan Ternak Faktor individu adalah faktor penyebab perilaku yang berasal dari atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal. Indikator dari faktor individu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Variabel indikator / Manifest faktor individu (X1) Variabel Manifest Pendidikan (X1,1) Pengalaman (X1,2) Motivasi berprestasi (X1,3) Persentase terhadap usaha (X1,4) Keinginan berusahatani (X1,5)
Keterangan Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal Lamanya berusahatani (tahun) Dorongan atau keinginan petani untuk mencapai kesuksesan dalam berusahatani Pandangan petani terhadap usaha integrasi tanaman dan ternak Sejauh mana keinginan petani untuk menjalankan dan mempertahankan usaha
Sumber: Riyanti (2003); Sapar (2006); Dirlanudin (2010)
Faktor Lingkungan Petani Integrasi Tanaman dan Ternak Faktor lingkungan adalah faktor penyebab perilaku yang berasal dari lingkungan atau situasi. Indikator dari faktor lingkungan dapat dilihat pada Tabel 4. Pada faktor lingkungan, pengukuran variabel menggunakan skala likert, yang menghasilkan nilai skala ordinal.
23 Tabel 4 Variable indikator / Manifest faktor lingkungan (X2) Variabel Manifest Ketersediaan bahan input (X2,1) Dukungan penyuluhan dan pelatihan (X2,2) Bantuan modal (X2,3) Dukungan promosi dan pemasaran (X2,4) Dukungan pemerintah (X2,5) Kekompakan antar petani (X2,6)
Keterangan Ketersediaan bahan input adalah tingkat kemudahan dalam mendapatkan bahan input untuk berusahatani, bahan input berupa benih, pupuk, ternak (sapi), dan lain sebagainya. Perhatian pemerintah berupa penyuluhan dan pelatihan mengenai usahatani yang sudah pernah diberikan selama ini. Bantuan dari pemerinta dalam bentuk modal Dukungan pemerintah dalam kegiatan promosi dan kemudahan dalam mengolah sistem integrasi Kebijakan atau regulasi yang mendukung pengembangan usaha Sikap saling membantu diantara petani
Sumber: Riyanti (2003); Sapar (2006); Dirlanudin (2010); Puspitasari (2013)
Perilaku Kewirausahaan Perilaku kewirausahaan (Y1) pada penelitian ini adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang wirausaha (petani) dalam menjalankan usahanya, yang didasari pada karakteristik kewirausahaan. Pengukuran variabel perilaku kewirausahaan adalah dengan menggunakan skala likert yang menghasilkan nilai skala ordinal. Indikator perilaku kewirausahaan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Variabel manifest perilaku kewirausahaan (Y1) Variabel Manifest Tekun berusaha (Y1.1)
Keterangan Tingkat kegigihan menekuni usaha, serta kesabaran menjalankan dan menghadapi kesulitan dalam berusaha Ketanggapan terhadap peluang Kemampuan untuk mengenali peluang atau (Y1.2) berorientasi pada peluang Inovatif (Y1.3) Kemampuan petani untuk menciptakan gagasan, produk atau proses yang baru Berani mengambil risiko (Y1.4) Keberanian menghadapi risiko dalam menjalankan usaha, dengan memperhitungkan secara cermat dan menyiapkan antisipasi penyelesaian Mandiri (Y1.5) Bekerja sendiri tidak tergantung pada orang lain atau pada instansi pemerintah dan dapat mengambil keputusan strategis dalam menjalankan usahanya Sumber: Riyanti (2003); Delmar (2006); Dirlanudin (2010); Puspitasari (2013)
24 Kinerja Usaha Kinerja usaha adalah hasil yang diperoleh dalam menjalankan suatu usaha untuk mencapai tujuan. Variabel-variabel indikator dari kinerja usaha dapat dilihat pada Tabel 6. Pada variabel kinerja usaha, pengukuran variabel dilakukan berdasarkan persentase petani dengan menggunakan skala likert, yang menghasilkan nilai skala ordinal. Tabel 6 Variabel manifest kinerja usaha (Y2) Variabel Manifest Keterangan Perluasan pemasaran (Y2,1) Mampu memperoleh pangsa pasar baru atau wilayah pemasaran semakin luas Peningkatan pendapatan Pendapatan meningkat dari yang sebelumnya (Y2,2) Keunggulan bersaing (Y2,3) Produk yang dihasilkan memiliki kelebihan atau keunggulan dibandingkan produk petani lain, tidak mudah ditiru, dan tidak mudah digantikan Sumber: Riyanti (2003); Praag (2005); Delmar (2006); Dirlanudin (2010); Puspitasari (2013); Sumantri (2013)
Model awal persamaan struktural yang menunjukkan pengaruh perilaku kewirausahaan petani dalam meningkatkan kinerja usaha dapat dilihat pada Gambar 5. Dimana FI adalah faktor individu, FE adalah faktor lingkungan, PK adalah perilaku kewirausahaan, dan KU adalah kinerja usaha.
X1.1
Y1.1
X1.2
Y1.2
X1.3
FI
PK
X1.4
Y1.3 Y1.4
X1.5 Y1.5
X2.1 X2.2 Y2.1
X2.3 FE X2.4 X2.5
KU
Y2.2 Y2.3
X2.6 X2.7
Gambar 5 Structural Equation Model (SEM) pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha
25 Analisis Data Data yang telah dikumpulkan akan diolah lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang dijadikan jawaban dari permasalahan penelitian. Data diolah secara kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif diolah secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif diolah dengan menggunakan analisis Structural Equation Modelling (SEM). Alasan peneliti menggunakan SEM dalam menganalisis data yaitu dikarenakan SEM dapat menggambarkan semua hubungan diantara konstruk yang membangun model. Data yang diperoleh melalui penelitian terlebih dahulu melewati proses scoring dan codding (Wijanto 2008). Codding adalah proses pemberian kode atau simbol pada setiap kategori jawaban responden untuk menyederhanakan jawaban responden dalam bentuk simbol atau kode tertentu agar lebih mudah dalam menganalisisnya. Scorring meliputi proses penyederhanaan jawaban responden yang dibuat konsisten dalam bentuk ordinal pada masing-masing jawaban pertanyaan. Selanjutnya untuk menjabarkan karakteristik personal kewirausahaan, faktor lingkungan individu, dan lingkungan usaha yang dimiliki petani digunakan analisis deskriptif. Data yang dianalisis secara deskriptif disajikan dalam bentuk uraian secara naratif. Penelitian ini menggunakan analisis data menggunakan SEM (Structural Equation Model) dengan bantuan software Lisrel 8.72. Melalaui SEM peneliti dapat menggambarkan semua hubungan di antara konstruk yang membangun model (variabel dependen dan independen) di dalam suatu analisis. SEM merupakan analisis yang mampu menjelaskan pengaruh langsung dan tidak langsung peubah-peubah laten, baik exogenous maupun endogenous. Peubah exogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan dipengaruhi oleh pengaruh di luar model kausal, sedangkan peubah endogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan dipengaruhi oleh peubah exogenous dan peubah-peubah di dalam sistem (Wijanto 2008). Penggunaan model SEM dapat memberikan informasi tentang hubungan kausal simultan antar variabel serta informasi mengenai muatan faktor dan kesalahan pengukuran. SEM juga mampu menunjukkan konsep-konsep yang tidak teramati (unobserved concepts) serta hubungan yang ada di dalamnya. Komponen dalam model SEM terdiri dari : 1. Dua jenis variabel yaitu variabel laten dan variabel teramati (manifest variable) 2. Dua jenis model yaitu model struktural (structural model) dan model pengukuran (measurement model) 3. Dua jenis kesalahan yaitu kesalahan struktural (structural error) dan kesalahan pengukuran (measurement error). Variabel laten (unobserved variable) adalah variabel yang tidak dapat langsung diamati, variabel ini dapat diamati dengan adanya bantuan variabel indikator (manifest). Dalam SEM variabel ini dilambangkan dalam bentuk bulat atau elips ( ), sementara observed variable digambarkan dengan simbol kotak ( ), digunakan untuk mengukur variabel laten. Bagian dari SEM terdiri dari analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis), analisis jalur (path analysis) dan regresi (regression). Analisis faktor konfirmatori (CFA) digunakan untuk mengidentifikasi konstruk atau ide dasar dari sejumlah variabel independen, kemudian dikombinasikan dengan analisis regresi yang akan mengungkap seberapa kuat konstruk tersebut mempengaruhi satu atau lebih variabel dependen.
26 Struktur faktor ditentukan berdasarkan teori yang telah ada dan data empiris digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa struktur tersebut telah terbukti secara empiris. SEM memiliki tujuan menguji atau mengkonfirmasi model yang telah ada, bukan untuk menghasilkan model. Beberapa tahapan dalam penggunaan SEM menurut Bollen dan Long 1993 (Wijanto, 2008), yaitu : 1. Spesifikasi model (model specification) Tahap ini merupakan pembentukan model awal persamaan struktural sebelum dilakukan estimasi. Model awal ini berdasarkan pada teori yang telah ada maupun berdasarkan dari penelitian sebelumnya. 2. Identifikasi (Identification) Tahap ini adalah tahapan mengkaji adanya kemungkinan diperolehnya nilai yang unik pada setiap parameter yang ada di dalam model. 3. Estimasi (Estimation) Tahap ini adalah tahapan estimasi terhadap model untuk menghasilkan nilainilai parameter dengan menggunakan salah satu metode estimasi. 4. Uji kecocokan (Testing Fit) Tahap ini adalah pengujian kecocokan antara model dengan data, beberapa kriteria ukuran kecocokan (goodness of fit) dapat dilaksanakan pada tahap ini. 5. Respesifikasi (Respecification) Tahap ini berkaitan dengan respesifikasi model berdasarkan atas hasil uji kecocokan pada tahap sebelumnya. Model struktural menggambarkan hubungan-hubungan yang ada diantara variabel-variabel laten. Hubungan tersebut serupa dengan sebuah persamaan regresi linier diantara variabel-variabel laten tersebut. Beberapa persamaan regresi linier tersebut membentuk sebuah persamaan simultan variabel-variabel laten. Parameter yang menunjukan regresi variabel laten endogen pada variabel laten eksogen diberi label γ (gamma). Sedangkan untuk regresi variabel laten endogen pada variabel endogen yang lain diberi label β (beta). Dalam SEM variabelvariabel laten eksogen dapat ber-“covary” secara bebas dan matrik kovarian variabel ini diberi tanda φ (phi). Model pengukuran menghubungkan variabel laten dengan variabel-variabel teramati atau indikator yang berbentuk analisis faktor. Muatan faktor atau “factor loadings” yang menghubungkan variabelvariabel laten dengan variabel teramati diberi label λ (lambda). Untuk mengukur variabel teramati (manifest) pada kuesioner digunakan skala likert. Skala likert dikenal sebagai summated ratings method. Ciri khas dari skala likert adalah bahwa makin tinggi skor yang diperoleh, merupakan indikasi bahwa penilaian terhadap suatu objek semakin positif, demikian sebaliknya. Secara matematis, formulasi model persamaan struktural dirumuskan sebagai berikut : 1. Model persamaan struktural 1 = 11 + 22 + 1 .......................................................... (1) 2 = 1. 1 + 22 + 2 ....................................................... (2) 2. Model pengukuran variabel laten eksogen X1.1 = x1.1 + 1.1 ................................................................ (3) X1.2 = x1.2 + 1.2 ................................................................ (4) X1.3 = x1.3 + 1.3 ................................................................ (5) X1.4 = x1.4 + 1.4 ................................................................ (6)
27 X1.5 = x1.5 + 1.5 ................................................................ (7) X1.6 = x1.6 + 1.6 ................................................................ (8) X1.7 = x1.7 + 1.7 ................................................................ (9) X1.8 = x1.8 + 1.8 ................................................................ (10) X2.1 = x2.1 + 2.1 ................................................................ (11) X2.2 = x2.2 + 2.2 ................................................................ (12) X2.3 = x2.3 + 2.3 ................................................................ (13) X2.4 = x2.4 + 2.4 ................................................................ (14) X2.5 = x2.5 + 2.5 ................................................................ (15) X2.6 = x2.6 + 2.6 ................................................................ (16) X2.7 = x2.7 + 2.7 ................................................................ (17) 3. Model pengukuran variabel laten endogen Y1.1 = y1.1 + 1.1 ................................................................. (18) Y1.2 = y1.2 + 1.2 ................................................................. (19) Y1.3 = y1.3 + 1.3 ................................................................. (20) Y1.4 = y1.4 + 1.4 ................................................................. (21) Y1.5 = y1.5 + 1.5 ................................................................. (22) Y2.1 = y2.1 + 2.1 ................................................................. (23) Y2.2 = y2.2 + 2.2 ................................................................. (24) Y2.3 = y2.3 + 2.3 ...................................................................(25)
Dimana : 1 = variabel laten endogen perilaku kewirausahaan 2 = variable laten endogen kinerja usaha 1 = koefisien hubungan = koefisien hubungan model persamaan struktural = komponen error 1,2,..n = variabel laten eksogen faktor individu dan lingkungan X1,2,..n = variabel indikator pada laten eksogen Y1.2,...n = variabel indikator pada laten endogen x.1,2,..n = muatan faktor variabel indikator pada laten eksogen y1,2,..n = muatan faktor variabel indikator pada laten endogen , = error pada model hubungan variabel indikator
5 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Perkembangan Usaha Integrasi Tanaman dan Ternak Kabupaten Lima Puluh Kota adalah salah satu kabupaten di Sumatera Barat yang terletak antara 0025'28,71''LU dan 0022'14,52'' LS serta antara 100015'44,10" - 100050'47,80'' BT. Luas daratan mencapai 3 354.30 Km2 yang berarti 7.94 persen dari daratan Provinsi Sumatera Barat yang luasnya 42 229.64 km2. Topografi daerah Kabupaten Lima Puluh Kota bervariasi antara datar,
28 bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian dari permukaan laut antara 110 meter dan 2 261 meter. Didaerah ini terdapat 3 buah gunung berapi yang tidak aktif yaitu Gunung Sago (2 261 m), Gunung Bungsu (1 253 m), Gunung Sanggul (1 495 m) serta17 buah sungai besar dan kecil yang mengalir dan telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengairan/irigasi. Lebih dari setengah wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki topografi yang bergunung (dengan kelerengan lebih dari 40 persen) yaitu sekitar 56.3 persen dari luas wilayah kabupaten. Sedangkan kelerengan dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya pertanian, perkebunan dan peternakan yaitu dibawah 40 persen sekitar 46.7 persen dari luas wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Subsektor tanaman pangan merupakan subsektor yang memiliki jumlah rumah tangga jasa pertanian terbanyak. Hasil sensus pertanian 2013 mencatat bahwa jumlah rumah tangga jasa pertanian subsektor tanaman pangan adalah sebesar 1 073 rumah tangga. Sedangkan jumlah rumah tangga jasa pertanian paling sedikit tercatat pada subsektor hortikultura, yaitu sebanyak 48 rumah tangga. Subsektor perkebunan tercatat memiliki jumlah rumah tangga jasa pertanian sebanyak 170 rumah tangga, sedangkan subsektor peternakan, perikanan, dan kehutanan memiliki jumlah rumah tangga jasa pertanian masing-masing sebanyak 88. 76, dan 123 rumah tangga (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2014). Usaha pertanian di kabupaten ini didominasi oleh jenis usaha rumah tangga. Berdasarkan hasil sensus pertanian pada tahun 2013 jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Tahun 2013 tercatat sebanyak 69 793 rumah tangga petani, namun jumlah ini menurun sebanyak 0.70 persen jika dibandingkan dengan hasil sensus pertanian tahun 2003 yang mencatat sebanyak 70 288 rumah tangga. Penurunan jumlah rumah tangga pertanian terbesar berada pada subsektor peternakan yaitu sebesar 4.53 persen (1 800 rumah tangga). Penurunan ini disebabkan oleh semakin sempitnya lahan pengembalaan yang dikonversi menjadi perumahan dan lahan tambang dan semakin sempitnya kepemilikan lahan produksi tanaman pangan yang merupakan sumber pakan potensial bagi ternak. Untuk mengatasi penurunan populasi ternak dan hasil pertanian, maka pada tahun 2007 pemerintah mulai mengimplementasikan program integrasi tanaman dan ternak dengan memberikan bantuan kepada petani melalui program “Satu Petani Satu Sapi” dan bantuan pengembangan sapi melalui SMD (Sarjana Membangun Desa). Pada tahun 2011 pemerintah pusat mengadakan program nasional yaitu Program Integrasi Tanaman dan Ternak. Program ini memberikan bantuan berupa dana bantuan sosial dari Kementrian Pertanian kepada kelompok tani dengan harapan dapat meningkatkan produktifitas tanaman dengan memanfaatkan limbah kotoran ternak. Pengelolaan ternak dalam hal ini dilaksanakan oleh keluarga petani yang dalam waktu bersamaan melaksanakan produksi tanaman. Pasokan untuk menunjang pengelolaan ternak sebagian besar berasal dari hasil sampingan kebun atau tanaman. Sebagai konsekwensinya adalah keluarga petani tanaman yang akan mengusahakan integrasi ternak dalam tanamannya, harus menguasai teknik pemeliharaan dan pemanfaatan ternak secara baik, disamping pengetahuan praktek usahatani tanamannya, terutama pengetahuan dalam mengintegrasikan berbagai manfaat ternak pada tanaman dan sebaliknya.
29 Kelompok penerima bantuan adalah kelompok yang telah diidentifikasi dan seleksi oleh tim teknis dengan kriteria yang telah ditentukan. Kriteria tersebut adalah: 1. Kelompok sapi potong atau sapi perah yang sudah lama berdiri atau kelompok baru yang mempunyai minat untuk beternak dapat berupa sub kelompok dari gapoktan (padi dan jagung), sub kelompok dari gapokbun pada perkebunan kelapa sawit atau perkebunan plasma. 2. Jika memungkinkan dapat dipilih kelompok baru yang dibentuk di lokasi perkebunan kelapa sawit besar (BUMN atau swasta) namun hal ini perlu koordinasi intensif dengan pihak perkebunan yang bersangkutan. 3. Mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. 4. Lokasi mudah dijangkau untuk pendampingan. 5. Jumlah anggota kelompok minimal 20 orang. 6. Mempunyai organisasi dan kepengurusan yang aktif, minimal ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi dibidang usaha pertanian. 7. Tingkat kemampuan kelompok tani paling tidak satu tingkat di atas pemula yaitu lanjut, madya atau utama yang dinyatakan dengan surat keputusan. 8. Membuat surat pernyataan kesanggupan kelompok untuk melaksanakan kegiatan yang ditanda tangani oleh ketua kelompok yang bersangkutan di atas kertas bermatrai Rp 6 000. Kelompok yang terpilih kemudian ditetapkan oleh Kepala Dinas Peternakan. Program Integrasi Tanaman dan Ternak Ruminansia di Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota telah dilaksanakan dengan dana sejumlah Rp 300 juta untuk kelompok yang terpilih pada tahun 2011. Dana bantuan tersebut digunakan untuk pengadaan ternak sapi, pengadaan alat pengolahan pakan, peningkatan SDM, serta untuk administrasi dan pelaporan. Namun pada tahun 2012 dan 2013 bantuan yang diberikan pada kelompok tani bukan lagi dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam bentuk anakan sapi. Hingga sekarang tercatat lima kelompok tani yang sudah menerima bantuan dan tersebar dibeberapa kecamatan. Penerima pada tahun 2011 adalah kelompok tani Sakinah dan Fadhilah yang berada di Kecamatan Harau. Tahun 2012 penerimanya adalah Kelompok Wanita Tani (KWT) Lakuak Dama yang berada di Kecamatan Situjuah dan kelompok tani Pemuda Setia yang berada di Kecamatan Payakumbuh. Penerima bantuan pada 2013 adalah kelompok tani Simental Jaya yang berada di Kecamatan Guguak dan kelompok tani Saiyo Sakato yang berada di Kecamatan Payakumbuh. Penerima bantuan pada tahun 2014 adalah kelompok tani Tani Saraso yang berada di Kecamatan Payakumbuh. Pelaksanaan bantuan program integrasi tanaman dan ternak sesuai dengan petunjuk teknis pada tahun 2012 dilakukan sebanyak tiga tahap dan revisi Rencana Kerja Kelompok (RUK). Pencairan dana yang diberikan dibagi dalam beberapa tahap dimaksudkan agar kelompok tidak menjadikan dana untuk kegiatan lain di luar dari kegiatan program yang telah ditentukan pada RUK, sedangankan kegiatan revisi RUK dilaksanakan dengan tujuan unuk memanfaatkan dana program yang masih tersisa. Rincian dana setiap tahap pada RUK dapat dilihat pada Tabel 7. Setiap RUK yang diajukan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan memberikan rekomendasi dana yang akan dicairkan. Rekomendasi tersebut dilakukan untuk dapat memastikan penggunaan dana sesuai
30 dengan kebutuhan dalam menjalankan usaha integrasi, seperti pembelian sapi, pembelian mesin pengolahan pakan, dan biaya administrasi pelaksanaan program. Tabel 7 Rincian pemberian dana bantuan Tahap Tahap 1 Bagian 1 Bagian 2 Tahap 2 Bagian 1 Bagian 2 Tahap 3 Bagian 1 Bagian 2 Bagian 3 Bagian 4 Revisi
Target RUK Rekomen(Rp) dasi (Rp)
Realisasi (Rp)
Sisa (Rp)
Dana Persentase (%)
120 000 000
60 000 000
48 797 000
11 203 000
60 000 000
60 000 000
56 800 000
3 200 000
90 000 000 40 000 000
50 000 000 40 000 000
46 350 000 37 395 000
3 650 000 2 605 000
90 000 000 40 000 000 10 000 000 3 000 000 26 151 400
50 000 000 30 000 000 7 000 000 3 000 000 26 151 400
48 000 000 30 000 000 5 300 600 1 206 000 26 151 400
2 000 000 0 1 699 400 1 794 000 26 151 400
35.20
27.91
28.17
8.72
Sumber: Pembukuan kelompok tani yang menerima bantuan program integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota (2013)
Usaha Budidaya Tanaman Setiap kelompok tani memiliki lahan kelompok rata-rata 13.25 Ha. Jenis tanaman yang diusahakan yaitu padi, jagung dan kakao. Sedangkan untuk lahan pribadi sebagian besar petani memiliki luas lahan kecil dari 500 m2. Lahan tersebut terbagi atas lahan basah dan lahan kering. Untuk lahan basah ditanami padi dengan jenis junjuang, sungkam, dan anak daro. Jenis padi ini dalam sekali musim tanam dapat menghasilkan 7-8 ton/hektar gabah kering panen (GKP). Sedangkan hasil sampingan jerami yang dihasilkan dalam 1 hektar sawah mencapai 3 ton. Pada lahan kering petani mengusahakan tanaman kakao dan jagung. Jumlah hasil produksi kakao yang diperoleh petani tidak menentu karena hanya ditanam dipekarangan. Untuk mendapatkan 1 kg biji kering kakao petani membutuhkan waktu antara 1-2 minggu karena kematangan setiap buah kakao berbeda-beda. Petani baru mampu menghasilkan kakao dalam bentuk biji kering, sedangkan proses fermentasi biji kakao tidak dilakukan oleh petani karena peningkatan mutu kakao melalui fermentasi tidak diikuti dengan peningkatan harga kakao dan petani memasarkan kakao secara sendiri-sendiri karena kelompok tani belum mampu memberikan kemudahan akses untuk pemasaran hasil kakao. Jika petani melakukan fermentasi biji kakao maka akan dapat meningkatkan mutu kakao dengan daya tahan simpan yang lama dan pada akhirnya akan meningkatkan nilai jualnya. Tanaman jagung yang diusahakan oleh petani adalah jagung pipilan jenis
31 Hibrida P-27. Tanaman jagung hanya diusahakan oleh petani dalam waktu tertentu saja untuk melakukan rotasi tanaman dan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Rata-rata hasil yang didapatkan petani dalam 1 Ha adalah 8 ton, dengan produksi yang demikian petani telah mendapatkan keuntungan jika harga beli petani diatas Rp 2 000 per kilogram.
Usaha Ternak Sapi Dalam sistem integrasi tanaman dan ternak, sapi yang potensial diintegrasikan dengan tanaman adalah sapi lokal. Hal ini disebabkan sapi lokal memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kualitas pakan yang kurang baik. Berbeda dengan jenis sapi simental yang memerlukan kualitas pakan yang baik dan harus didukung dengan pemberian kosentrat yang cukup agar pertumbuhannya cepat. Pada sistem integrasi tanaman dan ternak, produk sampingan berupa jerami, kulit kakao, batang jagung dan sisa pemangkasan merupakan pakan alternatif bagi sapi. Sebagian besar petani telah mengusahakan ternak sebelum mendapatkan bantuan program integrasi tanaman dan ternak, baik ternak besar maupun ternak kecil. Setiap anggota kelompok tani sudah memiliki sapi yang diusahakan sendiri, jadi petani sudah mempunyai pengetahuan yang cukup dalam pemeliharaan sapi. Dengan adanya program ini, semangat petani untuk mengusahakan ternak semakin terpacu. Dimana konsep dari integrasi tanaman dan ternak mendorong penggunaan produk sampingan tanaman untuk dijadikan pakan ternak, sehingga petani sangat terbantu dalam pemenuhan pakan. Setiap kelompok yang telah lolos seleksi diberikan bantuan berupa modal untuk pembelian sapi. Pada umumnya kelompok tani membeli sapi melalui toke ternak atau membeli ke pasar ternak. Untuk dua tahun terakhir pemerintah memberikan bantuan bukan dalam bentuk modal (uang tunai), tapi dalam bentuk anakan sapi yang diberikan langsung oleh Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota dan Dinas Pertanian. Selain itu pemerintah, khususnya Dinas Peternakan setempat juga memberikan bimbingan mengenai teknologi budidaya sapi, yaitu teknologi mengenai komponen teknik budidaya, mulai dari bibit dan reproduksi, pemeliharaan, kesehatan dan pemberian pakan. Petani juga diarahkan dalam penggunaan pakan alternatif agar tidak tergantung pada pakan konvensional seperti pakan hijaun segar. Sebagian besar petani telah menggunakan jerami sebagai pakan sapi, karena petani telah mendapatkan bimbingan mengenai pengolahan jerami dengan cara difermentasi. Namun penggunaan produk sampingan kulit kakao masih jarang digunakan karena membutuhkan waktu yang lama dalam proses fermentasinya dan petani mengalami kesulitan untuk mendapatkan kulit kakao sehingga mengurangi minat petani dalam penggunaan kulit kakao sebagai pakan ternak. Sedangkan produk sampingan jagung dimanfaatkan hanya pada saat petani mengusahakan jagung saja. Jadi pakan utama yang diolah oleh petani dari produk sampingan tanaman pada umumnya adalah jerami. Pengelolaan ternak sapi dilakukan oleh masing-masing kelompok tani didekat sekretariat kelompok yang bertujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam pengelolaan usaha. Bangunan-bangunan untuk pelaksanaan usaha integrasi tanaman dan ternak terdiri dari kandang koloni untuk mengandangkan sapi seluas
32 25m x 15m, bangunan untuk pembuatan pupuk kompos seluas 10m x 10m dan bak penampungan kotoran sapi selaus 3m x 6m. Tujuan dari pembuatan bangunan tersebut adalah agar mudah dalam pengumpulan kotoran ternak. Atap dari kandang koloni berbentuk kuncup dan kedua sisinya miring. Lantai kandang dibuat padat dengan semen, lebih tinggi dari tanah dan dibuat agak miring ke arah selokan luar kandang. Sehingga air yang ada dan urine sapi mudah mengalir keluar dan lantai kandang tetap kering. Tempat makanan untuk sapi dibuat permanen dari semen dan lebih tinggi dari permukaan lantai sekitar 50 cm, ini dilakukan untuk menghindari terinjaknya pakan oleh sapi. Lahan yang digunakan untuk kegiatan ini sebagian besar disewa oleh kelompok tani dengan rata-rata harga sewanya adalah Rp 2 juta per tahun. Usaha ternak ini dilakukan dengan baik oleh anggota kelompok tani. Kegiatan yang dilakukan oleh petani diantaranya pemberian makan pada sapi sebanyak dua kali sehari, pembersihan kandang, dan pengecekan kondisi fisik sapi jika terdapat kelainan atau penyakit.
Pengolahan dan Pemanfaatan Produk Sampingan Tanaman dan Ternak Program integrasi tanaman dan ternak membawa dampak yang sangat besar bagi usaha petani. Sebelum adanya program ini produk sampingan tanaman maupun ternak dibuang begitu saja. Namun setelah berjalannya program integrasi, petani mulai memanfaatkan produk sampingan tersebut. Produk sampingan tanaman dijadikan pakan ternak dan produk sampingan ternak dijadikan pupuk kompos dan biogas. Pemanfaatan produk sampingan didorong dengan promosi dari pemerintah dalam hal introduksi teknologi. Teknologi pengolahan limbah ternak terdiri dari komponen pengumpulan limbah padat dan limbah cair, pengolahna limbah padat menjadi kompos dan biogas, pengolahan limbah cair menjadi pupuk cair. Dari berbagai komponen tersebut petani baru melaksankan pengumpulan limbah dan mengolah menjadi kompos, sedangkan pengolahan untuk biogas belum dilaksanakan petani. Hasil penelitian menunjukan seluruh petani telah mengumpulkan kotoran padat dan telah melakukan pengomposan, sedangkan baru sebagian kecil petani kelompok yang mengumpulkan limbah cair namun pengolahannya masih jarang dilakukan. Setiap kelompok tani memiliki fasilitas dalam pembuatan pupuk kompos. Diantaranya bak penampung kotoran ternak sapi yang memiliki luas 3m x 6m, ruangan pembuatan pupuk kompos yang berukuran 10m x 10m dan mesin chopper yang berfungsi untuk mengaduk pupuk agar tercampur dengan sempurna. Pupuk yang telah selesai dikompos akan dikemas dalam karung, setiap karungnya mempunyai berat rata-rata 50 kg. Pengolahan pupuk kompos dilakukan dengan cara mencampurkan 750 kg kotoran sapi, 80 kg serbuk gergaji, 80 kg abu sekam, 25 kg kotoran ayam dan fermentor 6 liter. Setelah diaduk didiamkan selama seminggu dan diaduk lagi sekali seminggu sampai tiga minggu selanjutnya. Sedangkan untuk pakan ternak, produk sampingan yang dimanfaatkan adalah jerami dan kulit kakao. Pengolahan dilakukan dengan cara melakukan fermentasi agar pakan dapat bertahan lama dan meningkatkan nilai gizinya. Bahan untuk membuat pakan dari jerami adalah jerami 1 ton, urea 2 kg, starbio 2 kg. Cara membuat pakan ini adalah dengan membuat tumpukan jerami setinggi 30 cm, untuk memadatkannya tumpukan jerami ini dinjak-injak setelah diinjak-injak
33 taburkan urea dan starbio yang telah dicampurkan terlebih dahulu. Ratakan pada seluruh bagian jerami, setelah rata ditumpuk kembali setinggi 30 cm sampai semua jerami habis. Setelah selesai tumpukan jerami ditutup menggunakan terpal, biarkan selama 15 hari, setelah 15 hari tumpukan jerami tersebut dianginanginkan agar kering. Bahan untuk membuat pakan dari kulit kakao adalah kulit kakao 1 ton, gula 1 gr, ragi 1 gr, urea 1 gr, dan air 10 liter. Cara membuat pakan ini adalah kulit kakao dipotong halus, buat tumpukan setinggi 10 cm, selanjutnya siramkan campuran gula 1 gr, ragi 1 gr, urea 1 gr, dan air 10 liter tadi ke atas kulit kakao tersebut tumpukkan kembali kulit kakao yang tersisa setinggi 10 cm lalu berikan kembali campuran gula, ragi, urea dan air sampai semua kulit kakao habis. Setelah itu biarkan ditutupi terpal selama 15 hari. Setelah 15 hari tumpukan kulit kakao tersebut diangin-anginkan agar kering. Penerapan teknologi pengolahan produk sampingan tanaman diantaranya adalah mengumpulkan jerami, kulit kakao, mencincang dan melakukan fermentasi. Pengolahan produk sampingan tanaman menjadi pakan ternak dengan cara difermentasi mempunyai banyak manfaat diantaranya pakan yang besifat tahan lama dan memudahkan petani dalam pemberian pakan pada saat musim hujan karena pada saat musim hujan petani mengalami kesulitan dalam mencari pakan hijauan. Dengan adanya kelompok memudahkan petani dalam pembuatan pakan ternak dari produk sampingan tanaman, karena untuk melakukan fermentsi dibutuhkan dekomposer yang merupakan modal tambahan dalam usaha ini. Namun petani tetap memerlukan penyuluhan secara kontiniu dari dinas terkait mengenai dampak pemberian produk sampingan tanpa melakukan pengolahan dan manfaat jika dilakukan pengolahan produk sampingan. Sehingga penyuluhan tersebut dapat dijadikan wadah pembelajaran minat dan penelitian petani untuk memudahkan dalam mengakses teknologi dan terus berdaya sebagai usaha pengolahan produk sampingan tanaman dan ternak.
Pengembangan Usaha Bantuan program integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota diberikan kepada petani yang tergabung dalam kelompok tani. Setiap kelompok tani yang menerima bantuan tersebut diarahkan untuk menjalankan usaha dengan pendekatan sistem agribisnis yang dilakukan secara terpadu. Pengembangan usaha ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan keuntungan kelompok dan menambah pendapatan anggota. Usaha yang dikembangkan oleh setiap kelompok adalah pembuatan pupuk kompos. Dalam melakukan satu kali pengolahan pupuk kompos, kelompok dapat menghasilkan lebih kurang 20 karung pupuk dengan berat per karungnya 40 kg. Pupuk yang dihasilkan dijual dengan harga Rp 750 per kg jika dibeli ditempat, sedangkan jika ada konsumen yang meminta untuk diantarkan ke alamat pupuk dijual dengan harga Rp 800 per kg dan pendapatan bersih yang diterima lebih kurang Rp 150 000. Keuntungan dalam penjualan pupuk belum dirasakan maksimal oleh petani jika dibandingkan dengan proses pembuatannya karena harga pupuk kompos yang masih rendah. Pengolahan produk sampingan ternak ini merupakan subsitem hilir. Sedangkan pada subsitem penunjang, pelaksanaannya masih dirasakan kurang oleh petani. Hal ini terlihat dari kurang terencananya pemasaran pupuk kompos karena masih
34 terdapatnya pupuk yang tidak terjual meskipun pada waktu tertentu saja. Pemasaran pupuk kompos akan tersendat pada saat musim panas. Masalah lainnya adalah kurangnya kapasitas produksi pupuk, sehingga petani kesulitan dalam melakukan kerjasama dengan unit usaha lainnya seperti usaha penjualan bunga dan usaha pembibitan tanaman lainnya. Pupuk kompos yang dapat dihasilkan oleh setiap kelompok rata-rata setiap minggunya adalah 4 ton per minggunya. Sedangkan permintaan dari konsumen rata-rata perminggunya adalah 20 ton per minggu. Ketidaksanggupan kelompok tani ini dikarenakan oleh keterbatasan hasil produk sampingan ternak. Seharusnya kendala tersebut bisa diatas jika setiap kelompok tani yang menerima bantuan integrasi tanaman dan ternak saling bekerjasama dan bergabung menjadi suatu gapoktan. Dengan adanya kerjasama tersebut kekurangan bahan baku dalam pembuatan pupuk kompos bisa diatasi sehingga permintaan pasar dapat dipenuhi dan dapat meningkatkan pendapatan petani pada akhirnya.
Penerima Manfaat Sitem Integrasi Tanaman dan Ternak Penerima manfaat pada program integrasi tanaman dan ternak menurut petunjuk pelaksanaanya adalah kelompok tani yang telah lolos seleksi. Manfaat yang diharapkan adalah usaha integrasi tanaman dan ternak dapat dikembangkan secara berkelanjutan dengan sistem yang disepakati bersama anatara kelompok dengan dinas peternakan kabupaten dan bersifat spesifik lokal berdasarkan kondisi sosial budaya setempat. Manfaat langsung yang dirasakan petani adalah dana bantuan dan sapi yang diberikan bersifat hibah tanpa harus mengembalikan biaya penggantian. Namun demikian peraturan yang mengikat tetap diberlakukan dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak agar petani lebih termotivasi dan sepenuh hati menjalankan usaha ini. Peraturan tersebut diantaranya, jika sapi memiliki anak keuntungan yang didapatkan petani sebesar 70 persen sedangkan 30 persen keuntungan lagi dibagi 13 persen untuk penguatan modal kelompok dan 2 persen untuk kas nagari serta 15 persen untuk biaya operasional pengurus. Jika anak sapi ini tidak dijual oleh anggota yang memiliki sapi tersebut, maka anggota harus membayar 30 persen dari harga anak sapi pada saat itu kepada kelompok dan anak sapi itu akan menjadi milik pribadi. Jika penjualan sapi dilakukan karena induk afkir atau mandul maka keuntungan yang didapatkan oleh petani sebesar 60 persen dan 40 persen keuntungan lainnya 18 persen untuk penguatan modal, 2 persen untuk kas nagari, dan 20 persen lagi untuk biaya operasional pengurus. Namun jika sapi ini mati karena kelalaian pemilik, maka pemilik harus mengganti sapi tersebut. Manfaat lain yang dapat dirasakan oleh petani adalah perubahan sikap dan kebiasaan dalam memanfaatkan produk sampingan tanaman dan ternak. Sebelumnya produk sampingan pertanian tersebut hanya dibuang begitu saja oleh petani, namun dengan adanya program integrasi tanaman dan ternak yang diadakan oleh pemerintah petani telah mampu memberikan nilai tambah pada produk sampingan pertanian tersebut sehingga dapat menguntungkan secara ekonomi.
35
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Responden Penelitian ini menggunakan responden petani wirausaha yang tergabung dalam kelompok tani yang mendapatkan bantuan program Sitem Integrasi Tanaman dan Ternak dari Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota. Adapun petani wirausaha yang menjadi responden penelitian ini sebanyak 115 orang dan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Latar belakang responden dapat menjadi suatu pengetahuan mengenai latar belakang sosial dan ekonomi dari setiap responden. Latar belakang yang menjadi faktor pembeda antara reponden antara lain pendidikan, jenis kelamin, usia, pengalaman berusahatani dan keikut sertaan dalam pelatihan kewirausahaan. Jenis Kelamin Jenis kelamin petani yang mengusahakan integrasi tanaman dan ternak didominasi oleh laki-laki yaitu mencapai 76 persen (Gambar 6), dalam usaha ini terkadang istri dan anggota keluarga lainnya juga membantu sebagai tenaga kerja tambahan. Sebagian kecil petani wanita yang menggeluti usaha ini adalah yang menjalankan usaha turun temurun dari orang tua atau suami, namun ada juga yang tertarik untuk menggeluti usaha integrasi tanaman dan ternak karena ingin menambah pendapatan bagi keluarga ataupun karena tidak ingin berpangku tangan dirumah. Partisipasi perempuan yang sedikit dalam usaha ini menunjukkan bahwa kaum perempuan dalam menyatakan sikap misalnya dalam penambilan keputusan masih rendah. Meskipun demikian pengaruh jenis kelamin tidak banyak berperan terhadap munculnya perilaku kewirausahaan (Setyorini 2008). Perempuan 24%
Laki-laki 76%
Gambar 6 Sebaran responden menurut jenis kelamin Umur Usaha integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota mayoritas dijalankan oleh petani yang masih produktif yaitu berusia diatas 40 tahun sebanyak 72 persen (Gambar 7). Usia pada tingkatan tersebut adalah usia produktif dalam mencapai keberhasilan, sebagaimana yang dijelaskan oleh (Riyanti 2003), bahwa keberhasilan usaha dapat dicapai pada usia empat puluhan dan lima pulahan, dapat disimpulkan bahwa seharusnya petani responden sudah
36 mencapai puncak prestasi dan kesuksesan dalam menjalankan integrasi. Dengan demikian petani dalam kategori umur produktif, memiliki kemampuan fisik yang memadai akan memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi. >56 thn 12%
≤25 thn 2% 26-40 thn 26%
41-55 thn 60%
Gambar 7 Sebaran responden menurut umur Responden pada kisaran usia 26 - 40 tahun sebanyak 26 persen, hanya 2 persen yang berumur di bawah 25 tahun (Gambar 7). Hal ini memperlihatkan bahwa masih minimnya minat tenaga usia muda bekerja di sektor pertanin. Oleh karena itu diperlukan pembinaan yang dapat meningkatkan motivasi agar petani tertarik untuk berkecimpung di sektor pertanian, terutama pada usaha integrasi tanaman ternak. Dari tingkatan umur responden yang menjalankan usaha integrasi, maka dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya usia petani, maka makin banyak pula yang menjadi petani wirausaha. Secara umum umur memegang peranan penting dalam perilaku kewirausahaan dalam meningkatkan kinerja usaha (Setyorini 2008) dan berkaitan dengan prestasi kerja seseorang. Selain itu, menurut Riyanti (2003) bukan hanya umur kronologis saja yang berpengruh terhadap keberhasilan usaha tetapi juga terkait dengan umur mengelola usaha dan bertambahnya pengetahuan, sehingga dengan bertambahnya umur seorang wirausaha maka keberhasilan mengelola usaha juga sangat besar. Luas Lahan Luas lahan garapan usahatani mempunyai arti yang sangat penting karena berkaitan dengan besar kecilnya pendapatan yang diterima petani. Luas lahan dapat mempengaruhi sikap petani dalam percepatan alih teknologi yang sesuai dengan skala ekonomis sehingga usahatani menjadi efisien. Sebagian besar petani memiliki luas lahan 500 m2 yaitu sebanyak 53 persen, petani dengan luas lahan pada kisaran 501 – 1 000 m2 yaitu sebanyak 23 persen, dan sisanya memiliki luas lahan diatas 1 000 m2. Hal ini menunjukan bahwa umumnya usahatani masih diusahakan pada skala usaha yang kecil (Gambar 8). Lahan yang diusahakan petani tidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan erat dengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumbersumber bantuan teknis, dan kepemilikan lahan yang berhubungan dengan kekuasaan baik ditingkat lokal maupun tingkat yang lebih tinggi sehingga menyebabkan ketimpangan pemilikan lahan di tingkat petani. Meskipun lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan
37 lahan pertanian, namun seiring berjalannya waktu lahan pertanamannya semakin terbatas karena terjadi alih fungsi lahan menjadi kawasan ruko dan perumahan. Dengan dicanangkannya usaha sistem integrasi tanaman dan ternak sebagai program pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota, diharapkan usaha integrasi tanaman dan ternak akan tetap bertahan dan berkembang sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat di daerah tersebut. 1501 m22000 m2 6%
>2001 m2 5%
1001 m21500 m2 13%
≤500 m2 53%
501 m2 1000 m2 23%
Gambar 8 Luas lahan responden Pendapatan Usaha integrasi yang dijalankan oleh petani pada umumnya adalah sebagai pekerjaan utama. Pendapatan yang diperoleh petani dari usaha ini paling banyak berada dibawah 1 juta per bulan yang mencapai 51 persen, diikuti dengan petani yang berpendapatan Rp 1 juta – Rp 2 juta per bulan yang mencapai 41 persen (Gambar 9). Besarnya pendapatan yang diterima oleh petani tergantung luas lahan usahatani yang dimiliki, semakin kecil luas lahan semakin kecil pula pendapatan yang diterima petani. Sehingga hasil yang diterima hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, namun pada setiap pendapatan yang diterima petani masih berusaha menyisihkan pendapatannya untuk dijadikan modal pada usahatani berikutnya. Perbedaan pendapatan dari hasil produksi ini selain karena faktor fisik seperti luas lahan juga karena perbedaan kemampuan sumber daya petani masing-masing dalam melakukan kegiatan usaha integrasi. Disisi lain, meskipun pendapatan petani masih rendah, petani merasa diuntungkan dalam biaya produksi dan tersedianya tabungan untuk masa depan berupa ternak sapi. Sebagaimana menurut Ahmadi (2010) yang mengatakan bahwa ternak merupakan aset penting bagi petani, antara lain adalah sebagai tabungan hidup (pendapatan) dan keberadaan ternak bagi petani sudah sangat dirasakan bagi yang mempunyai lahan sempit sebagai tambahan pendapatan, maupun sebagai pengelolaan lahan sawah. Sebagai tabungan, ternak merupakan suatu aset produktif karena setiap saat dapat dijual untuk keperluan keluarga. Keberadaan ternak sebagai komponen usahatani sangat diharapkan untuk kontribusi penerimaan (pendapatan). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pola usaha integrasi tanaman dan ternak sapi juga dapat meningkatkan produksi dan keuntungan petani yag memiliki lahan sempit.
38 21000003000000 4%
3100000400000 4% <1000000 51%
10000002000000 41%
Gambar 9 Sebaran pendapatan responden Pengusahaan tanaman dan ternak secara terintegrasi memberikan keuntungan bagi petani, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan penelitian Basuni et al. (2010), usaha integrasi padi sawah dengan luas lahan 5 ha yang diintegrasikan dengan sapi dapat meningkatkan produksi padi menjadi 5.34 ton per ha GKG, meningkat 16 persen dibandingkan pola petani tradisional yang produksinya hanya 4.60 ton per ha GKG. Penggunaan pupuk urea menurun menjadi 100 kg/ha (71%), pupuk SP36 menurun 50 kg per ha (50%) dan KCl menjadi 50 kg per ha (50%). Tambahan bobot hidup sapi rata-rata 0.89 kg per ekor per hari dan C/N ratio jerami yang dikomposkan 19 persen. Pendapatan usahatani integrasi padi per hektar dan 2 ekor sapi mencapai Rp 9 417 907 dengan R/C ratio 1.61. Pupuk organik yang dihasilkan rata-rata 5 kg per ekor per hari serta jerami padi 13 ton/ha/musim, C/N ratio pupuk organik 19 persen. Kontribusi tambahan penerimaan dari fine compost selama setahun sebesar 9.7 persen dari total pendapatan usahatani. Pendapatan dari usahatani padi (5 ha) dan sapi (20 ekor) dengan cara integrasi masing-masing sebesar Rp 24 867 500 dan Rp 60 675 333 per musim. Nilai R/C yang dihasilkan sistem integrasi sebesar 1.44, sedang dari petani tradisional 1.33. Sistem usahatani integrasi dengan skala padi seluas 5 ha dan sapi 20 ekor meningkatkan pendapatan sebesar 69 persen per musim, dibanding usahatani tradisional. Sistem usahatani integrasi-padi-ternak perlu dikembangkan pada usahatani skala kecil untuk meningkatkan pendapatan petani. Pendapatan maksimal petani yang mengusahakan integrasi tanaman hortikultura seluas 4.22 ha dengan ternak sapi 21 ekor dan kambing 12 ekor adalah sebesar Rp 3 961 425 perbulan, petani dapat meningkatkan pendapatan dari hasil penjualan sayuran yang diperoleh setiap hari dengan B/C ratio tanaman hortikultura 1.68, B/C ratio ternak 1.7 yang berarti usaha integrasi tersebut menguntungkan dan layak untuk dilanjutkan (Siswati 2013). Pada integrasi tanaman dengan ternak kambing, pola efesiensi usaha terjadi pada pemanfaatan leguminosa dari teras miring dan limbah pertanian yang mampu menghemat tenaga kerja untuk mengambil rumput yang mencapai 50 persen. Sebaliknya pola efisiensi pengelolaan usahatani terjadi pada penghematan biaya penggunan pupuk yang mencapai 40 persen (Silalahi dan Tambunan 2008). Selanjutnya Ilham dan Handewi (2011), menyatakan bahwa usahatani pembibitan sapi yang diintegrasikan dengan perkebunan sawit dengan skala kepemilikan sapi masingmasing 30 ekor, yang diusahakan dengan pola penggembalaan, pola kemitraan
39 dan pola kelompok petani kebun sawit memberikan keuntungan dengan nilai R/C berkisar 1.05 – 2.84, artinya usaha pembibitan sapi potong yang terintegrasi dengan perkebunan sawit yang diusahakan dengan pola penggembalaan, pola kemitraan dan pola kelompok petani kebun sawit layak secara finansial. Kriteria kelayakan tersebut terlihat dari nilai NPV lebih besar dari nol, nilai IRR berkisar antara 21 – 29 persen, nilai B/C antara 1.35 – 2.67, dan lama pengembalian modal 4.91 – 6.4 tahun. Dari beberapa penelitian tersebut dapat dilihat pendapatan ratarata integrasi tanaman dan ternak per ha per musim tanam pada Tabel 8. Tabel 8 Pendapatan usaha integrasi tanaman dan ternak per ha per musim tanam Jenis Tanaman Padi Hortikultura Sawit
Jenis Ternak Sapi Kambing Sapi
Pendapatan/musim tanam (Rp) 9 417 907 3 961 425 19 804 571
R/C 1.61 1.68 1.56
Kepemilikan Lahan dan Ternak Status kepemilikan lahan petani sebagian besar merupakan lahan milik pribadi yaitu mencapai 73 persen, lahan sewa 10 persen dan sisanya 17 persen merupakan lahan milik pribadi ditambah dengan lahan sewa (Gambar 10). Meskipun sebagian besar petani memiliki lahan pribadi untuk menjalankan usahanya, namun lahan yang dikelola tersebut sangat kecil yang berkisar antara 0.2 ha – 0.5 ha sehingga hal tersebut menjadi kendala bagi petani dalam meningkatkan produksi dan produktivitas lahannya. Kepemilikan lahan yang kecil disebabkan karena adanya pembagian warisan atas lahan untuk anak-anak petani. Selain itu, alih fungsi lahan juga menyebabkan luas lahan petani semakin berkurang, petani tergiur untuk menjual tanahnya kepada pihak-pihak tertentu karena harga yang ditawarkan cukup tinggi dimata petani. Oleh karena itu perlu dukungan dari pemerintah untuk memotivasi petani berupa kebijakan menghentikan sementara alih fungsi lahan dan regulasi mengenai tata ruang agar lahan-lahan pertanian dapat dipertahankan serta mendidik anak-anak petani menjadi pengusaha pengelolaan hasil pertanian, melalui beasiswa pendidikan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara umum taraf hidup dan kesejahteraan petani masih tergolong rendah dengan usaha yang masih bersifat subsisten, atau berorientasi pada pemenuhan kebutuahan sehari-hari. Milik sendiri dan sewa 17%
Sewa 10% Milik sendiri 73%
Gambar 10 Kepemilikan lahan responden
40 Kepemilikan ternak sebagaian besar adalah milik kelompok tani. Petani yang mengelola ternak kelompok mencapai 83 persen sedangkan 17 persen lagi memiliki ternak pribadi (Gambar 11), namun demikian petani tersebut tetap ikut serta dalam pengelolaan dan pemeliharaan ternak karena tergabung dalam kelompok tersebut. Jenis ternak yang diusahakan oleh petani adalah sapi. Usaha ternak sapi yang dijalankan anggota kelompok yaitu: (1) usaha pembibitan sapi potong dengan tujuan pemeliharaannya adalah agar induk sapi mempunyai penampilan reproduksi yang optimal sehingga dapat menghasilkan anak yang sehat, dan (2) usaha penggemukan sapi bakalan dengan tujuan agar ternak sapi bakalan yang dipelihara mengalami kenaikan berat badan secara cepat dalam waktu yang relatif singkat sehingga dapat dijual sebagai sapi potong. Kedepannya, usaha ternak yang dijalankan oleh petani diharapkan dapat menjadi usaha agribisnis mulai dari hulu ke hilir, yakni pengelolaan pakan ternak secara mandiri oleh kelompok. Kelompok dituntut untuk mampu melaksanakan kegiatan pengelolaan usaha dan aset yang dimiliki sebagai modal yang harus dikembangkan yang nantinya akan mensejahterakan anggota, melalui sejumlah unit yang saling mendukung diantaranya unit usaha pupuk kompos, pakan ternak, pembibitan, penggemukan, dan tempat pelayanan anggota kelompok.
Milik sendiri 17%
Milik kelompok 83%
Gambar 11 Kepemilikan ternak responden Dalam pemberian pakan sapi, petani memanfaatkan produk sampingan tanaman seperti jerami, kulit kakao dan batang jagung. Sebelum djadikan pakan, produk sampingan tanaman diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai gizinya. Disisi lain petani juga dapat memanfaatkan produk sampingan ternak berupa feses menjadi pupuk kompos dan urine diolah menjadi biogas. Dari sifat yang saling menguntungkan antara ke dua usaha tersebut, dengan pengelolaan usaha yang baik integrasi tanaman dan ternak dapat dikembangkan melalui pendekatan agrbisnis. Pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak tidak hanya dilakukan pada subsistem usahatani saja (on farm), tetapi juga pada subsistem pengadaan sarana produksi (off farm) atau subsistem hulu, kegiatan usaha tani (on farm), hingga kegiatan industri, distribusi dan pemasaran atau subsistem hilir, didukung oleh subsistem kelembagaan sebagai penunjangnya. Melalui subsistem kelembagaan, diharapkan pemerintah dapat memberikan penyuluhan kepada petani secara intens terkait teknologi dan inovasi dalam peningkatan mutu gizi pakan, mengolah pupuk kompos dan biogas.
41 Faktor Individu Faktor individu petani yang mengusahakan integrasi tanaman dan ternak (individu causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal yang diperlihatkan dalam menjalankan usahanya. Indikator faktor individu atau variabel manifest pada penelitian ini diukur dari pendidikan, pengalaman, motivasi untuk berprestasi, persentase terhadap usaha dan keinginan untuk mengusahakan integrasi tanaman dan ternak. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 9, dapat dinyatakan bahwa pada umumnya persentase petani terhadap indikator faktor individu menunjukan kecenderungan yang cukup tinggi dan telah cukup memadai bagi pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak. Tabel 9 Persentase penilaian petani terhadap faktor individu Persentase Petani (%) Faktor Idividu Pendidikan Pengalaman Motivasi berprestasi Persentase terhadap usaha Keinginan berusaha
Tidak Sangat Setuju 0.70 2.40 0 0 0
Tidak Netral Setuju
Setuju
Sangat Setuju
1.00 7.40 7.60 0.60 0.80
46.50 53.70 51.50 60.20 68.70
40.80 23.50 24.40 23.90 25.30
11.00 13.00 16.50 15.30 5.20
Pendidikan Berdasarkan banyaknya responden yang memilih jawaban setuju 46.50 persen dan sangat setuju 40.80 persen, dapat dikatakan bahwa petani memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi. Pendidikan petani wirausaha banyak terdapat di tingkat SMA yaitu sebesar 54 persen. Secara berturut-turut tingkat pendidikan petani wirausaha lainnya adalah tidak lulus SD (5.2%), lulus SD (7.8%), tidak lulus SMP (8.7%), lulus SMP (14%), dan tidak lulus SMA (4.3%), lulus S1 (5.2%) dan lulus S2 (0.8%). Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan yang melatarbelakangi petani di Kabupaten Lima Puluh Kota sangat beragam yaitu tinggi, sedang dan rendah. Hal ini menunjukkan pengelolaan usaha integrasi tanaman dan ternak relatif lebih mudah serta memberikan prospek yang baik bagi petani yang terlihat dari sebagian petani yaitu sebanyak 59 persen sudah mampu menganalisis masalah dengan baik, 50 persen dari petani mempunyai keterampilam berkomunikasi, 52 persen dari petani mempunyai pola pikir yang kreatif, dan 40 persen dari petani sudah mampu menyampaikan pendapat atau ide yang mereka miliki. Pendidikan yang dimiliki petani wirausaha akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengimplementasikan ide-ide baru dalam usahanya. Pernyataan tersebut senada dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa pendidikan sangatlah penting dalam keberhasilan suatu usaha. Pada penelitian Suryanti (2011) mengenai penerapan integrasi tanaman dan ternak serta kebutuhan penyuluhan pertanian menyatakan bahwa adopsi petani terhadap teknologi cenderung baik pada budidaya tanaman dan ternak namun adopsi teknologi masih rendah pada pengolahan limbah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan faktor pendidikan dan pengaruh sosial budaya pada petani (Diwyanto
42 et al. 2001). Faktor pendidikan mempunyai peranan penting dalam berwirausaha karena sikap dan keterampilan yang lebih tinggi umumnya dimiliki oleh orang yang berpendidikan tinggi (Pambudy 2010). Pendapat yang berbeda dinyatakan oleh Riyanti (2013), yang menyatakan bahwa pendidikan tidak menentukan dalam keberhasilan suatu usaha karena tidak adanya keterkaitan ilmu pada pendidikan formal dengan ilmu yang diperlukan dalam mengelola usaha. Namun demikian tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh petani menjadi peluang dalam aktivitas pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak. Pengalaman Keputusan seseorang untuk menjalani profesi sebagai wirausaha dipengaruhi oleh pengalaman yang dimilikinya. Berdasarkan jawaban responden yang memilih setuju 53.7 persen dan sangat setuju 23.5 persen. Hal ini menggambarkan bahwa dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak, petani sudah memiliki cukup pengalaman sehingga peluang petani untuk berhasil dalam mengembangkan usahanya cukup besar. Lamanya usaha yang dijalankan petani masuk dalam kategori yang tinggi atau lama sehingga proses pengendalian atas aktivitas produksi dapat dilakukan oleh petani sendiri. Rata-rata pengalaman terbanyak yang dimiliki petani adalah 5-10 tahun yaitu sebesar 52.2 persen. Petani yang memiliki pengalaman dibawah 5 tahun yaitu sebesar 32.2 persen dan petani yang memiliki pengalaman diatas 5 tahun yaitu sebesar 15.6 persen. Pemahaman petani mengenai manajemen dalam pelaksanaan integrasi tanaman dan ternak didapatkan dari pengelaman bekerja di lingkungan petani, karena sebagian besar usaha integrasi ini merupakan usaha turun temurun dengan luas lahan yang tidak terlalu besar sehingga usaha ini dilakukan oleh petani itu sendiri dan dibantu oleh anggota keluarganya. Sebagian besar petani yaitu sebanyak 62 persen menganggap pengalaman dalam berusahatani dan beternak sangatlah penting. Melalui pengalaman petani memiliki peluang dalam pengembangan usahanya Karena dianggap telah memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Jika dihubungkan dengan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan maka tidak mengurangi minat responden untuk mengusahakan integrasi tanaman dan ternak. Hal ini sangat menarik sekali karena tingkat pendidikan tidak mempengaruhi responden dalam memilih pekerjaan. Motivasi Berprestasi Berdasarkan banyaknya responden yang memilih jawaban setuju 51.5 persen dan sangat setuju 24.4 persen, dapat dikatakan bahwa petani memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi petani yang sukses. Adanya motivasi dapat mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu. Menurut Suryana dan Kartib (2011), motivasi merupakan proses psikologis yang mendasar dan merupakan salah satu unsur yang dapat menjelaskan perilaku seseorang yang menjadi penentu dalam pencapaia tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut wirausaha harus memiliki karakter yaitu pekerja keras, tidak pernah menyerah, memiliki semangat dan memiliki komitmen yang tinggi. Keadaan dilapangan menunjukkan bahwa orientasi sebagian besar petani dalam menjalankan usahanya untuk pemenuhan kebuthan sehari-hari. Oleh karena itu petani harus mempunyai motivasi untuk mencapai suatu target dalam berusaha agar menjadi petani yang sukses. Sebagian besar responden yaitu 69 persen selalu menggali berbagai informasi mengenai
43 usaha integrasi tanaman dan ternak melalui sesama petani dan PPL setempat karena 46 persen dari petani ingin menjadi petani wirausaha yang sukses dengan alasan memiliki waktu yang lebih luas dan bebas dalam menjalankan usaha. Hal ini merupakan salah satu upaya petani untuk mencapai kesuksesan dalam berusaha dengan didukung oleh keberaniannya dalam menghadapi risiko dan belajar dari pengalaman sebelumnya untuk meningkatkan kreativitas petani. Sebagian besar petani bekerja sebagai petani wirausaha karena ingin bekerja untuk diri sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak manapun dan waktu dalam bekerja sangat leluasa. Persentase terhadap Usaha Persentase petani terhadap keyakinan akan keberhasilan mengusahakan integrasi tanaman dan ternak, menunjukan keyakinan yang tinggi, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju 60.2 persen. Berdasarkan data di lapangan, 82 persen petani menganggap usaha ini menguntungkan dan memiliki prospek yang cerah karena sebagian besar dari petani selalu menyisihkan sebagian dari hasil usahanya untuk tambahan modal pada usaha berikutnya. Adanya persentase tersebut mampu meningkatkan kepercayaan diri petani untuk terus menekuni usaha integrasi tanaman dan ternak. Menurut Inggarwati dan Kaudin (2013), bila usaha didirikan karena dorongan dari dalam diri si pengusaha maka terdapat keinginan yang relatif lebih tinggi untuk mengembangkan usaha. Demikian pula, semakin tinggi derajat self-efficacy si pengusaha, semakin tinggi pula intensi untuk mengembangkan usaha. Di daerah ini pertumbuhan usaha integrasi tanaman dan ternak sangat lambat, karena 46 persen dari petani tidak mempunyai keyakinan yang cukup akan keberhasilan usahanya, namun demikian peningkatan produksi tanaman dan ternak serta hasil olahan produk sampingan terjadi secara bertahap. Oleh karena itu dukungan pemerintah sangat dibutuhkan oleh petani dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi keberlangsungan usaha integrasi tanaman dan ternak seperti penyediaan sarana dan prasarana serta informasi bagi perkembangan usahanya. Keinginan Berusaha Keinginan berusaha integrasi tanaman dan ternak diukur melalui seberapa besar keinginan petani untuk menjalani dan mempertahankan usaha. Dari hasil penelitian diketahui bahwa keinginan petani dalam berusaha cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju 68.7 persen. Komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang digeluti sangat diperlukan oleh petani untuk mencapai kesuksesan sehingga menghasilkan sesuatu yang bernilai baik bagi dirinya dan orang lain. Berdasarkan pengamatan di lapangan, usaha ini merupakan pekerjaan utama dan merupakan sumber utama pendapatan keluarga bagi sebagian besar petani 97.4 persen dan petani mempunyai keinginan yang besar untuk mempertahankan usaha integrasi tanaman dan ternak, sedangkan sebagian lainnya menjadikan usahatani ini sebagai usaha sampingan dengan pekerjaan utama sebagai pegawai dan ibu rumah tangga. Petani yang menjalankan usaha integrasi ini tidak berkeinginan untuk pindah usaha karena menurut petani usaha integrasi tanaman dan ternak mempunyai prospek yang cerah, selain itu petani juga tidak memiliki kemampuan dalam usaha lainnya.
44 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan atau lingkungan (external causality) merupakan faktor penyebab perilaku yang terdapat dalam lingkungan atau situasi. Indikator faktor lingkungan diantaranya adalah ketersediaan input, penyuluhan dan pelatihan, permodalan, dukungan pemerintah dan kekompakan antar petani yang mengusahakan integrasi tanaman dan ternak. Pada Tabel 10 dapat dilihat persentase petani terhadap indikator-indikator faktor lingkungan wirausaha petani secara umum menunjukan kecenderungan yang baik. Tabel 10 Persentase penilaian petani terhadap faktor lingkungan Faktor Lingkungan Ketersediaan input Penyuluhan dan pelatihan Permodalan Promosi dan pemasaran Dukungan pemerintah Kekompakan antar petani
Persentase Petani (%) Tidak Sangat Tidak Sangat Netral Setuju Setuju Setuju Setuju 0 9.90 21.70 55.30 13.10 0 10.70 18.00 63.80 7.50 0 3.90 30.00 53.00 13.10 0 26.50 17.40 48.70 7.40 0 35.10 33.60 29.90 1.40 0 4.80 20.80 53.90 20.50
Ketersediaan Input Ketersediaan bahan input seperti lahan, bibit, pupuk, pestisida, anakan sapi, pakan, tenaga kerja dan modal selama ini dianggap relatif mudah didapatkan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada Tabel 10, dimana sebagian besar responden memilih jawaban setuju 55.30 persen. Dalam usahatani padi, benih yang digunakan oleh petani adalah benih jenis lokal yaitu junjuang, sungkam, dan anak daro. Dalam mendapatkan benih padi, ada hal unik yang dilakukan petani yaitu saling bertukar jenis benih yang akan ditanam atau sistem barter. Jika seorang petani ingin menanam padi jenis anak daro, maka dia dapat menukar benih yang dimilikinya dengan petani yang memiliki benih jenis anak daro dalam takaran yang sama. Untuk mendapatkan benih jagung biasanya petani membeli benih di toko pertanian setempat dan bibit kakao didapatkan petani dari bantuan pemerintah. Pupuk yang digunakan petani untuk meningkatkan produksi dan kesuburan tanaman, khususnya padi petani menggunakan pupuk kandang dan pupuk kompos yang dihasilkan dari produk sampingan ternak. Sedangkan penggunaan pupuk kimia sangat diminimalisasikan oleh petani meskipun mereka masih menggunakannya dalam dosis yang rendah. Pupuk kimia yang digunakan tersebut adalah urea, TSP, dan KCL yang didapatkan dari toko pupuk atau dari agen pupuk setempat. Selain itu, untuk mengembangkan usaha integrasi tanaman dan ternak pemerintah juga menyediakan mesin dan peralatan untuk mengolah limbah pertanian dan peternakan. Ketersediaan input dalam menjalankan usaha ternak juga mudah didapatkan oleh petani. Bibit sapi didapatkan dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah, sedangkan pakan ternak didapatkan petani dari hasil produk sampingan tanaman yang diolah terlebih dulu untuk meningkatkan nilai gizinya. Semakin baik pakan, produktivitas ternak semakin meningkat. Pakan merupakan sarana produksi yang
45 sangat penting bagi ternak karena berperan sebagai pemacu pertumbuhan. Namun, dalam usaha penggemukan, selain pakan juga perlu diperhatikan aspek pemeliharaan, seperti perbaikan kandang dan pemanfaatan limbah untuk pakan. Suryana (2009) menyatakan, untuk menjamin keberlanjutan usaha, perlu upaya menanam tanaman pakan seperti rumput dan jerami. Selain itu, pasar dan harga yang kompetitif juga dapat merangsang petani untuk meningkatkan produktivitas ternak, termasuk yang dikelola secara tradisional. Penyuluhan dan Pelatihan Persentase petani terhadap dukungan pemerintah dalam kegiatan penyuluhan dan pendidikan bagi bagi petani dapat dikatakan memadai. Data Tabel 10 menunjukan 63.80 persen petani menjawab netral, dan 7.50 persen petani menjawab sangat setuju. Dukungan pemerintah berupa penyuluhan dan pendidikan sudah pernah dirasakan oleh seluruh petani, yaitu berupa pelatihan pembuatan pupuk kompos, pelatihan pemeliharaan dan cara melakukan inseminasi buatan (IB) pada ternak sapi, pelatihan pengolahan produk sampingan ternak menjadi biogas, dan penyuluhan mengenai penggunaan teknologi dalam pengolahan byproduct. Dalam penerapan sistem integrasi tanaman ternak keberadaan kelompok tani secara umum baru difungsikan sebagai wadah pembelajaran. Fungsi kelompok tani sebagai media kerjasama, pengembangan unit usaha dan penunjang akses terhadap lembaga lain masih lemah. Penerapan sistem integrasi tanaman ternak membutuhkan penyuluhan pertanian dalam hal transfer teknologi budidaya tanaman berkaitan dengan pemangkasan dan pengendalian hama, dalam teknologi budidaya ternak berkaitan dengan penggunaan bibit dan pemberian pakan. Sedangkan dalam pengolahan produk sampingan berkaitan dengan pengolahan produk sampingan dengan proses fermentasi. Selain itu juga dibutuhkan pengembangan kelompok tani agar dapat menjalankan fungsi kerjasama, unit usaha dan penunjang akses terhadap lembaga lain (Suryanti 2011). Penerapan usaha integrasi tanaman dan ternak memerlukan penyuluhan dan pelatihan yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evalusai. Pelatihan yang telah diberikan pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk meningkatkan pengetahuan petani mengenai sistem integrasi tanaman dan ternak diantaranya: (1) pelatihan pembuatan makanan ternak; (2) pelatihan pembuatan biogas; (3) pelatihan mengenai jejaring integrasi; (4) pelatihan pembuatan kompos; dan (5) pelatihan mengenai penggunaan benih bersertifikasi. Dukungan pemerintah berupa pelatihan dirasa belum memadai oleh petani karena pelatihan tersebut tidak dilakukan secara kontiniu, namun demikian pelatihan tersebut memberikan peluang kepada petani untukmengembangkan usahanya melalui monitoring, pembinaan dan evaluasi yang dialakukan oleh penyuluh. Permodalan Persentase petani terhadap keberadaan bantuan modal dari pemerintah menunjukan hasil yang memadai. Hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju 53.00 persen. Selama ini perhatian pemerintah berupa bantuan modal sudah didapatkan oleh petani dari tahun 2011 hingga saat ini melalui program integrasi tanaman dan ternak. Modal diberikan melalui proses pengajuan melalui masing-masing kelompok. Kelompok yang memenuhi kriteria akan diberikan bantuan modal yang digunakan untuk membeli sapi, pembuatan
46 kandang koloni, pembelian peralatan pengolahan produk sampingan (chopper) dan untuk keperluan lainnya dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak. Namun disisi lain petani masih kesulitan dalam mengakses kredit untuk mengembangkan usahanya, selama ini sebagian besar petani bergantung pada rentenir yang tidak jujur sehingga petani mengalami kesulitan dalam pengembalian modal. Petani mengalami banyak kendala dalam memperoleh kredit diantaranya tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara meperoleh kredit (pembayaran dan bunga). Petani perlu memahami perbedaan antara kredit untuk investasi jangka panjang (seperti peralatan dan mesin) dan untuk modal operasi input produksi serta biaya lainnya. Selain itu keahlian dalam negosiasi kontrak sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa kredit yang didaptkan akan memberikan keuntungan pada usaha. Promosi dan Pemasaran Dukungan promosi dan pemasaran dirasakan telah memadai bagi sebagaian petani, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju 48.70 persen dan tidak setuju 26.50 persen. Dukungan tersebut dirasa telah cukup memadai dengan adanya program pertanian organik di Kabupaten Lima Puluh Kota yang mengharuskan petani menggunakan pupuk kompos ataupun pupuk kandang, sehingga permintaan akan pupuk kompos terus meningkat bahkan dari luar daerah yaitu Riau dan Jambi. Untuk hasil produk tanamannya seperti padi, kakao, dan jagung pipilan dijual oleh petani melalui tengkulak dan pedagang pengumpul. Oleh karena itu perlu adanya dukungan promosi dari pemerintah agar petani lebih bersemangat meningkatkan mutu dan kualitas produknya. Kontribusi pemerintah sebagai fasilitator dalam memperluas jaringan usaha (network) sangat diharapkan oleh petani, seperti pengadaan pameran dan promosi produk yang dihasilkan petani melalui kegiatan kedinasan maupun acara lainnya, memfasilitasi petani untuk bisa bermitra serta menyediakan informasi pasar secara intensif. Selain bantuan dari pemerintah, sebagai petani wirausah mereka juga dituntut untuk dapat mengkases informasi mengenai usahanya sendiri, karena untuk memajukan suatu usaha diperlukan berbagai informasi. Informasi itu bisa didapat petani melalui melalui radio, poster, famplet dan pembelajaran kelompok. Hal tersebut memberikan peluang kepada petani, dimana sebagian petani yaitu 64 persen menyatakan dukungan pemasaran, promosi dan informasi penting dalam pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak. Dukungan Pemerintah Dukungan pemerintah dirasakan cenderung kurang memadai bagi petani, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban tidak setuju 35.10 persen dan netral 33.60 persen. Perlindungan pemerintah terhadap petani yang menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak belum optimal, seperti regulasi yang terkait dengan harga, pemasaran dan informasi pasar yang sulit didapatkan oleh petani, sehingga petani merasa kurang dapat bersaing dengan petani wirausaha lainnya. Dalam penerapan integrasi tanaman dan ternak pengetahuan petani masih perlu ditingkatkan baik dalam budidaya tanaman, sapi dan pengolahan produk sampingan. Oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga dapat menggerakkan perekonomian petani.
47 Kekompakan Antar Petani Kekompakan diantara petani menunjukan hasil yang sangat baik, hal ini ditunjukan dari banyaknya responden yang memilih jawaban setuju 53.90 persen dan sangat setuju 53.90 persen. Sebagian petani bekerja sama menghadapi permasalahan dan tantangan dalam berusaha integrasi tanaman dan ternak untuk kemajuan bersama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap petani saling berbagi informasi mengenai teknologi pengolahan produk sampingan tanaman dan ternak serta bergotongroyong dalam mengelola tanaman dan ternak. Setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengelola aset yang dimiliki oleh kelompok tani. Melalui kerjasama tersebut usaha integrasi yang dijalankan petani lebih efesien dan lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, gangguan serta lebih menguntungkan. Hampir sebagian besar petani yaitu 53 persen manyatakan bahwa banyak manfaat yang didapatkan melalui kerjasama antar anggota kelompok tani. Menurut Tohir (2015) untuk meningkatkan usaha diperlukan pengembangan kelompok tani yang mengarah pada: (1) penguatan kelompok tani menjadi kelembagaan petani yang kuat dan mandiri; (2) peningkatan kemampuan anggota dalam pengembangan agribisnis; dan (3) peningkatan kemampuan kelompok tani dalam menjalankan fungsinya. Usaha yang dilaksanakan oleh masing-masing petani secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi usaha, dengan menjaga kuantitas, kualitas maupun kontinuitas.
Perilaku Kewirausahaan Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa persentase petani terhadap perilaku kewirausahaan secara keseluruhan menunjukan kecenderungan yang tinggi. Persentase petani pada perilaku tekun berusaha, tanggap terhadap peluang dan bersikap mandiri menunjukan kecenderungan yang tinggi, hanya saja pada perilaku mampu berinovasi dan keberanian dalam mengambil risiko masih menunjukan hasil yang rendah. Tabel 11 Persentase penilaian petani terhadap perilaku kewirausahaan Persentase Petani (%) Perilaku Kewirausahaan Tekun berusaha Tanggap terhadap peluang Inovatif Berani mengambil risiko Mandiri
Tidak Tidak sangat setuju setuju 0 5.80 0 3.20 1.20 13.30 0.60 24.00 0 5.20
Netral 14.50 14.80 37.40 28.60 18.30
Setuju 52.20 60.60 39.40 36.20 60.00
Sangat setuju 27.50 21.40 8.70 10.60 16.50
Tekun Berusaha Kejujuran dan ketekunan merupakan kunci sukses untuk menjadi seorang wirausaha. Secara umum usaha pertanian sangat membutuhkan ketekunan, begitu juga dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak. Ini merupakan usaha
48 yang membutuhkan ketekunan dalam mengelola tanaman, ternak dan produk sampingannya serta ketekunan dalam mencari ide-ide baru yang lebih kreatif dalam merintis usaha agar berkembang. Hasil penelitian menunjukkan persentase petani terhadap perilaku tekun berusaha sangat baik. Hal ini ditunjukan dengan mayoritas petani memilih jawaban setuju 52.20 persen dan sangat setuju 27.50 persen. Perilaku tekun ini ditunjukan dengan kegigihan menekuni usaha integrasi tanaman dan ternak, serta kesabaran dalam menjalankan dan menghadapi kesulitan dalam berusaha. Melalui ketekunan petani juga dapat menciptakan sesuatu yang baru dalam usahanya, seperti memberikan inovasi pada packing (karung) beras sehingga kebutuhan petani untuk berprestasi hampir terpenuhi karena 66 persen dari petani menyatakan setuju dan menjadikan hal tersebut sebagai motivas untuk menjadi wirausaha yang sukses. Para petani menyadari bahwa jujur dan sabar merupakan hal yang sangat penting dalam menjalankan usaha ini. Jujur dalam mengelola aset kelompok, bertanggung jawab atas tugas yang diamanahkan, tekun dalam (memelihara ternak, membudidayakan tanaman, mengolah produk sampingan tanaman dan ternak) karena petani membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendaptkan hasilnya. Ternak sapi baru bisa dijual rata-rata pada umur 4 tahun, petani harus menunggu selama 6 bulan untuk memanen padi dan membutuhkan waktu satu bulan dalam mengolah kompos. Tanggap terhadap Peluang Persentase petani terhadap perilaku tanggap terhadap peluang menunjukan hasil yang sangat baik. Hal ini ditunjukan dengan sebagian besar petani memilih jawaban setuju 69 persen yaitu selalu mencari peluang untuk pengembangan usaha integrasi, 52 persen setuju melakukan kegiatan promosi agar produk diketahui oleh konsumen dan 61 persen setuju bahwa peningkatan daya beli masyarakat merupakan suatu peluang. Kenyataan di lapangan menunjukan petani cukup tanggap terhadap peluang, namun hanya sebagian kecil yang mampu memanfaatkan peluang tersebut untuk mengembangkan usaha petani. Dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak, petani mempunyai banyak peluang, seperti besarnya potensi produk sampingan tanaman (jerami, batang jagung dan kulit kakao) yang dapat dijadikan pakan ternak, begitu juga dengan produk sampingan ternak (feses dan urine) yang dapat diolah menjadi pupuk organik. Selain itu menurut Arfa‟i et al. (2009), Kabupaten Lima Puluh Kota juga mempunyai potensi pengembangan usaha sapi potong karena tingginya kapasitas peningkatan pengembangan ternak ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga kerja keluarga, terdapatnya wilayah basis ternak sapi potong di empat kecamatan (Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari, Luhak, dan Bukit Barisan), telah berfungsinya Balai Inseminasi Buatan (BIBDaerah) dalam menghasilkan bibit, dan adanya kebijakan dari pemerintah untuk pengembangan sapi potong melalui program BPLM. Saat ini pemerintah juga menyediakan bantuan modal kepada kelompok tani yang mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan. Petani harus memanfaatkan peluang-peluang yang diberikan oleh pemerintah usaha yang dimilikinya. Kemampuan untuk mengakses bantuan pemerintah dengan memanfaatkan bantuan permodalan untuk mengembangkan usaha merupakan salah satu perilaku kewirausahaan. Jika semua petani tanggap akan peluang ini, maka akan memberikan kontribusi yang lebih terhadap pengemabangan usaha integrasi tanaman dan ternak, hal ini juga harus
49 ditindaklanjuti dengan tindakan kreatif dan inovatif, serta keberanian dalam mengambil risiko usaha. Inovatif Berdasarkan hasil penelitian menunjukan persentase petani terhadap perilaku inovatif adalah masih rendah. Hal tersebut ditunjukkan dengan sebagian besar petani memilih jawaban netral 37.40 persen dan setuju 39.40 persen. Sebagian besar petani masih mepertahankan cara berusaha integrasi tanaman dan ternak secara tradisional dan kebiasan lama dalam melakukan budidaya tanaman, pemeliharaan ternak serta tidak memanfaatkan teknologi pengolahan hasil. Petani telah merasa puas akan hasil kinerja selama ini sehingga cenderung tidak melakukan inovasi karena tidak mempunyai cukup keberanian mengambil risiko dalam menerapkan inovasi yang prospeknya tidak mempunyai kejelasan. Namun demikian sebagain petani yaitu 42 persen tetap aktif mencari informasi perkembangan teknologi pengolahan limbah pertanian dan peternakan. Bagi seorang wirausaha inovasi merupakan salah satu faktor penting dalam membuat rencana kedepan, menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan persoalan dan menangkap peluang serta kemauan dalam mengambil risiko untuk menghasilkan produk yang bersaing. Menurut Krisnamurti (2011), seorang wirausaha adalah orang yang mau belajar dan menerapkan inovasi secara sistematis agar dapat mengantisipasi segala risiko yang mungkin akan timbul jauh sebelum terjadi sehingga risiko tersebut berada dalam pengendaliannya. Seyogyanya perkembangan teknologi khususnya dalam usaha integrasi tanaman dan ternak harus diikuti oleh petani. Misalnya dengan menerapkan teknologi mengenai pengayaan nutrisi jerami, penyediaan dan pola pemberian pakan ternak, teknologi tatalaksana perkandangan dan pengolahan kotoran ternak (feses, urine dan sisa pakan) serta pengolahan kesehatan lingkungan atau sanitasi dan pengobatan terhadap ternak yang sakit. Begitu juga dalam penerapan teknologi pengolahan produk ikutan tanaman jagung, sebelum dipergunakan sebagai bahan baku pakan sumber serat dapat diolah menjadi hay atau silase, baik dengan ataupun tanpa aplikasi teknologi bio-proses (fermentasi, amoniasi atau kombinasi perlakuan). Perlakuan khusus dilakukan, selain untuk tujuan dapat dipergunakan dalam satuan waktu yang cukup lama, ditujukan pula untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kandungan nutrisi produk ikutan tersebut. Perilaku inovatif tidak harus selalu menghasilkan sesuatu yang baru untuk menciptakan nilai tambah, tetapai dengan menerapakan teknologi sesuai dengan teknis usaha telah dapat mencerminkan perilaku inovatif pada petani. Dengan demikian untuk menerapkan inovasi dalam penggunaan teknologi tersebut, petani harus diberdayakan melalui peyuluhan dan pendampingan yang intensif dari pemerintah atau dinas pertanian setempat. Berani Mengambil Risiko Sebagian besar kegiatan yang dialakukan oleh manusia mengandung risiko dan ketidak pastian termsuk usaha dibidang pertanian. Risiko yang dihadapi petani sangat tinggi karena usaha pertanian tergantung pada keadaan alam yaitu kondisi cuaca, serangan hama dan penyakit yang kemunculannya sulit untuk diprediksi. Demikian juga dengan usaha integrasi tanaman dan ternak yang mempunyai risiko, baik dari sisi on farm maupun kepastian pasarnya. Dari hasil
50 penelitian menunjukan sebagian petani memilih jawaban setuju 36.20 persen, hal ini mengindikasikan bahwa persentase petani terhadap perilaku berani mengambil risiko menunjukan hasil yang rendah. Dalam menjalankan usahatani ini petani belum mampu memperhitungkan risiko yang mungkin timbul karena baru 56 persen dari petani mampu belajar dari kesalahan sebelumnya. Oleh karena itu, pengalaman yang dimiliki petani dalam menjalankan usaha integrasi belum dapat dijadikan pengetahuan dalam pengendalian risiko usaha tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar petani 87 persen menganggap tidak mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha ini. Risiko yang dialami petani selama ini masih dianggap dalam batas kewajaran yang mampu petani atasi, dimana permasalahan utamanya adalah faktor cuaca yang ekstrim, tingkat hama dan penyakit tanaman, gagal panen dan kematian pada ternak dengan frekuensi jarang terjadi. Bersikap Mandiri Persentase petani terhadap perilaku bersikap mandiri menunjukan hasil yang tinggi. Hal tersebut berdasarkan data di lapangan bahwa sebagian besar petani memilih jawaban setuju 60 persen. Perilaku kemandirian ini terlihat dari keteguhan petani yang terus menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak dalam keterbatasan modal dan sarana prasarana. Dengan keterbatasan tersebut petani berusaha menjalankan usahanya secara swadaya, seperti melakukan pengolahan produk sampingan tanaman dan ternak menjadi kompos dan pakan ternak secara berkelompok tanpa pendampingan dari penyuluh ataupun dinas terkait. Petani tidak serta merta mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk menjalankan usaha ini. Sikap untuk tidak menggantungkan keputusan akan apa yang harus dilakukan kepada orang lain dan mengerjakan sesuatu dengan kemampuan sendiri-sendiri sekaligus berani mengambil risiko dalam bisnis merupakan bentuk kemandirian dari seorang wirausahawan. Seseorang dikatakan mandiri apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalam mengambil keputusan atau bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya5. Maka dapat disimpulkan bahawa petani telah menunjukkan perilaku kewirausahaan yang cukup tinggi, namun masih kurang kemampuannya dalam berinovasi serta menanggung risiko, dan belum sepenuhnya berorientasi bisnis karena umumnya masih bersifat subsisten. Agar menjadi wirausaha yang berhasil petani harus mempunyai tekad yang kuat dan mempu membaca peluang. Melalui sikap mandiri, diharapkan petani dapat menghasilkan ide-idenya yang realistis, percaya pada diri sendiri, selalu percaya pada ide dan kemampuannya dan tidak bisa dipengaruhi oleh pendapat orang lain.
5
Anonim. Perilaku Kewirausahaan. [Internet] [diakses pada 10 Juli 2015]. Tersedia pada: http://id.wikipedia.org/wiki/kewirausahaan
51 Kinerja Usaha Indikator-indikator kinerja usaha integrasi tanaman dan ternak diantaranya, perluasan wilayah pemasaran, peningkatan pendapatan dan keunggulan bersaing. Persentase petani terhadap variabel-variabel indikator kinerja usaha menunjukan kecenderungan yang tidak mengalami peningkatan (Tabel 12). Tabel 12 Persentase penilaian petani terhadap kinerja usaha Persentase Petani (%) Kinerja Usaha Perlusan pemasaran Peningkatan pendapatan Keunggulan bersaing
Tidak Tidak sangat setuju setuju 2.00 37.40 6.00 34.20 9.10 35.60
Netral 43.60 29.90 33.90
Setuju
Sangat setuju
15.90 22.40 14.00
1.10 7.50 7.40
Perluasan Pemasaran Berdasarkan data Tabel 12 mayoritas reponden memilih jawaban tidak setuju 37.40 persen dan netral 43.60 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa persentase petani terhadap meningkatnya wilayah pemasaran menunjukan kecenderungan yang kurang baik. Hal tersebut terjadi karena petani belum mampu memenuhi permintaan konsumen akan pupuk kompos, ini disebabkan oleh keterbatasan hasil produk sampingan ternak sapi yaitu feses yang merupakan bahan baku pembuatan kompos, sehingga peeluasan pemasaran produk tersebut sangat lamban. Meskipun demikian petani pernah beberapa kali memasarkan pupuk kompos ke daerah Riau dan Jambi sebelum terjadi peningkatan permintaan pupuk kompos. Seyogyanya petani bisa memenuhi permintaan pupuk kompos dengan cara bekerja sama dengan kelompok tani lain yang juga mengusahakan integrasi tanaman dan ternak. Disisi lain petani belum mampu mengolah produk sampingan tanaman menjadi silase, yaitu pakan ternak pakan berkadar air tinggi hasil fermentasi yang diberikan kepada hewan ternak ruminansia atau dijadikan biofuel melalui digesti anaerobik. Silase umumnya dibuat dari tanaman rerumputan, termasuk jagung, sorghum, dan serealia lainnya dengan memanfaatkan seluruh bagian tanaman. Silase juga bisa dibuat dari hijauan kelapa sawit, singkong, dan jerami6. Silase dapat dibuat dengan menempatkan potongan hjauan di dalam wadah yang besar, menumpuknya dengan ditutup plastik, atau dengan membungkusnya membentuk gulungan besar. Agar kinerja usaha petani dalam sistem integrasi tanaman dan ternak meningkat, maka sangat dibutuhkan pendampingan dan peyuluhan dari pemeritah untuk memenui permintaan konsumen dengan membentuk kerjasama antar kelompok tani dan menjalin kemitraan dengan pengusaha ternak serta pelatihan mengenai penggunaan teknologi untuk menghasilkan produk yang bernilai tinggi.
6
Anonim. Silase. [Internet]. https://id.wikipedia.org/wiki/Silase
[diakses
pada
23
Juli
2015].
Tersedia
pada:
52 Peningkatan Pendapatan Persentase petani terhadap peningkatan pendapatan dari usaha integrasi tanaman dan ternak menunjukan hasil yang belum memuaskan. Hal ini ditunjukan dari mayoritas petani yang memilih jawaban tidak setuju 34,20 persen dan netral 29.90 persen. Peningkatan pendapatan dirasakan kurang memuaskan karena keterbatasan produksi produk sampingan yang dihasilkan, profil petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dan belum fokus pada pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak. Berdasarkan keterangan petani responden, meskipun pendapatan meraka belum meningkat 100 persen, usaha ini tetap dijalankan karena petani sudah mampu membiayai pendidikan anak-anak dan kebutuhan sehari-hari sudah dapat terpenuhi, meskipun demikian petani belum mampu mengurangi beban hutang yang dimilikinya sehingga petani mengalami kesulitan dalam mengalokasikan keuntungan untuk dijadikan modal usaha pada periode berikutnya. Petani didaerah ini tidak hanya mengharapkan materi dari usaha integrasi tanaman dan ternak, keuntungan petani juga meningkat dari sisi lain yaitu bisa mengembaliakn kesuburan lahan melalui pemanfaatan pupuk kandang dan pupuk kompos, pengetahuan dan kemampuan petani meningkat dalam mengintegrasikan tanaman dan ternak dan petani bisa menabung untuk masa depan dengan memelihara sapi. Hal tersebut juga disampaikan oleh Rota (2010), bahwa keuntungan dari usaha integrasi tanaman dan ternak adalah membantu meningkatkan keuntungan dengan mengurangi biaya produksi, petani miskin dapat menggunakan pupuk dari usaha ternak terutama ketika terjadi kenaikan harga pupuk kimia, dan menyediakan sumber pendapatan dari usaha diversifikasi yang dapat menjadi pegangan hidup pada saat fluktuasi harga dan iklim. Keunggulan Bersaing Keunggulan bersaing dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menciptakan nilai unggul suatu produk guna menghadapi persaingan. Persentase petani terhadap keunggulan produk petani yaitu hasil tanaman (padi, kakao dan jagung), hasil ternak (sapi) dan hasil produk sampingan (kompos) adalah tidak setuju 35.60 persen dan netral 33.90 persen. Hasil penelitian menunjukkan produksi petani cenderung tidak memiliki perbedaan dengan petani lainnya. Hal ini disebabkan karena petani menjual hasil produknya langsung ketengkulak tanpa memberikan perlakuan pasca panen. Padi yang dijual petani kepada tengkulak hanya dikemas dengan karung biasa, tanpa memberikan inovasi sedikitpun seperti pelabelan. Sehingga harga yang diterima petani sama dengan harga padi non organik meskipun produk yang dihasilkan petani adalah padi organik. Jika petani mampu berinovasi dengan memberikan nilai tambah pada produk yang petani hasilkan, maka petani akan mendapatkan daya tawar yang lebih tinggi. Saat ini, jika dilihat dari aspek permintaan pasar, ada kecenderungan konsumen lebih suka memilih produk-produk pertanian organik sekalipun dengan harga yang jauh lebih tingi karena pertimbangan kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada pemasaran kompos, harga yang diterima petani sangat rendah yaitu hanya berkisar Rp 750 sampai Rp 800. Pupuk kompos hanya dikemas dalam karung biasa tanpa adanya label, merek dan lisensi dari badan penelitian tertentu terkait dengan kandungan yang terdapat dalam pupuk tersebut. Untuk pakan yang dihasilkan dari olahan produk sampingan tanaman,
53 petani belum memasarkannya karena hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi yang petani miliki. Sedangkan untuk pemeliharaan sapi, pada umumnya petani belum fokus untuk mengembangkannya menjadi suatu usaha peternakan. Saat ini tujuan petani memelihara sapi hanya dijadikan tabungan untuk keperluan diamasa datang. Dengan alasan menabung, banyak keuntungan yang diteriama oleh dalam memelihara sapi. Sebagaimana yang dikatakan Diwyanto et al. (2001) keuntungan tersebut antara lain nilai sapi praktis tidak terkena inflasi atau depresiasi, mampu menciptakan kegiatan yang memang tidak ada di pedesaan, ternak akan tumbuh atau berkembang sehingga nilainya bertambah, risiko kematian sapi relatif kecil. Namun demikian, inovasi dan kreasi tetap harus dimiliki oleh seorang petani wirausaha dalam menciptakan keunggulan baik dalam bentuk produk, penyajian maupun pemasaran. Inovasi merupakan karakteristik utama dari kewirausahaan dan kunci dari keunggulan bersaing untuk meningkatkan pertumbuhan suatu usaha. Inovasi dapat timbul karena adanya persaingan dari luar dan persaingan dengan dirinya sendiri, yaitu keinginan untuk menghasilkan produk yang lebih baik dari produk-produk yang dihasilkan sebelumnya. Oleh karena itu agar dihasilkan produk yang memiliki keunggulan bersaing, diperlukan pembinaan dan pelatihan dari pemerintah yang mampu meningkatkan kreativitas dan inovasi petani. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui gerakan pemasyarakatan produk pertanian dalam bentuk lomba, pameran dan promosi (festival agribisnis). Upaya tersebut diharapkan akan mampu lebih memperkenalkan keberadaan produk yang dihasilkan petani kepada masyarakat dengan segala keunggulan dan pemanfaatannya.
Analisis Perilaku Kewirausahaan Petani terhadap Kinerja Usaha dengan Pendekatan Structural Equation Models (SEM) Konsep-konsep teoritis yang tidak dapat diukur atau diamati secara langsung dalam teori dan model dalam ilmu sosial dan perilaku (social and behavioral sciences) dapat ditemukan indikator dan gejalanya melalaui Structural Equation Models (Wijanto 2008). Adapun tujuan penyusunan model SEM lebih banyak bersifat teoritis sesuai dengan bidang terapan serta diarahkan nantinya untuk evaluasi kesesuaiannya dengan data yang diperoleh. Melalui analisis SEM, akan dapat menjelaskan keterkaitan variabel secara kompleks dan efek lagsung maupun tidak langsung yang dapat didekati melalui variabel-variabel indikatornya. Analisis Kecocokan Keseluruhan Model Tahap pertama dari uji kecocokan ini ditujukan untuk mengevaluasi secara umum derajat kecocokan atau Goodness of Fit (GOF). Beberapa ukuran derajat kecocokan yang dapat digunakan secara saling mendukung untuk memperlihatkan bahwa model secara keseluruhan sudah baik, yaitu dengan mencocokkan kriteria absolute measures (ukuran kecocokan absolut), incremental fit measures (ukuran kecocokan inkremental), dan parsimonious fit measures (ukuran kecocokan parsimoni) yang sudah ditetapkan. Kebaikan model secara keseluruhan dievaluasi menggunakan beberapa ukuran, seperti; statistic chi square, Root Mean Square Residual (RMR), Root Mean square Error of Approximation (RMSEA), Adjusted
54 Goodness of fit index (AGFI), Goodness of fit Index (GFI), Comparative Fit Index (CFI) dan Normed Fit Index (NFI), Non-Normed Fit Index (NNFI), Incremental Fit Index (IFI) dan Relative Fit Index (RFI). Berdasarkan Tabel 13 GOF dapat dilihat sebagian besar indikator menunjukkan bahwa model SEM pada tahap pertama belum fit atau tidak baik dengan data sampel dan memiliki ketidakcocokan yang baik dengan model penelitian (Tabel 13). Maka untuk mendapatkan kecocokan dengan model dilakukan respisifikasi model. Tabel 13 Hasil uji kecocokan model (Goodness of Fit Test) sebelum respesifikasi Goodness-of-Fit RMR RMSEA GFI(Goodness of Fit) AGFI CFI (Comparative Fit Index) Normed Fit Index (NFI) Non-Normed Fit Index (NNFI) Incremental Fit Index (IFI) Relative Fit Index (RFI)
Cutt-off-Value ≤ 0,05 atau ≤ 0,1 ≤ 0,08 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90
Hasil 0.700 0.744 0.77 0.72 0.67 0.61 0.65 0.68 0.58
Keterangan Poor fit Poor fit Poor fit Poor fit Poor fit Poor fit Poor fit Poor fit Poor fit
Adapun hasil goodness of fit statistics hasil estimasi model setelah direspesifikasi seperti pada Tabel 14. Hasil tersebut menggambarkan bahwa hasilnya sudah fit atau baik dengan data sampel dan memiliki kecocokan yang baik dengan model penelitian. Tabel 14 Hasil uji kecocokan model (Goodness of Fit Test) setelah respesifikasi Goodness-of-Fit RMR RMSEA GFI(Goodness of Fit) AGF CFI (Comparative Fit Index) Normed Fit Index (NFI) Non-Normed Fit Index (NNFI) Incremental Fit Index (IFI) Relative Fit Index (RFI)
Cutt-off-Value ≤ 0,05 atau ≤ 0,1 ≤ 0,08 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,90
Hasil 0.092 0.075 0.94 0.89 0.96 0.90 0.93 0.96 0.83
keterangan Good fit Good fit Good fit Marginal fit Good fit Good fit Good fit Good fit Good fit
Uji Validitas Uji validitas dilakukan untuk mendapatkan bukti bahwa variabel teramati memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebagai pengukuran. Melalui uji validitas dapat diketahui hubungan dan kemampuan indikator-indikator suatu konstruk (variabel laten) bisa menjadi indikator pengukuran secara akurat (Wijanto 2008). Indikator dengan loading factor yang tinggi memiliki konstribusi yang lebih tinggi untuk menjelaskan konstruk latennya. Sebaliknya pada indikator dengan loading factor rendah memiliki konstribusi yang lemah untuk menjelaskan konstruk latennya. Menurut Ringdon dan Ferguson suatu indikator dikatakan
55 mempunyai validitas terhadap konstruk atau variabel latennya jika nilai t muatan faktornya (loading factors) lebih besar dari nilai kritis atau ≥ 1,96 atau untuk praktisnya ≥ 2 dan muatan faktor standarnya (standardized loading factors) ≥ 0,70 (Haryono dan Wardoyo 2012). Pada penelitian ini model mengalami respisifikasi, namun pada uji validitas setelah respesifikasi tidak perlu dilakukan lagi karena telah mengalami penghilangan variabel indikator yang tidak valid pada saat pelaksanaan respesifikasi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semua variabel indikator telah valid. Tabel 15 Muatan faktor dan t-hitung variabel manifest Variabel
Fator individu
Faktor lingkungan
Perilaku kewirausahaan
Kinerja usaha
Indikator Pendidikan Pengalaman Motivasi berprestasi Persentase terhadap usaha Keinginan berusaha Ketersediaan input penyuluhan dan pelatihan Permodalan Promosi dan pemasaran Dukungan pemerintah Kekompakan antar petani Tekun berusaha Tanggap terhadap peluang Inovatif Berani mengambil risiko Mandiri Perlusan pemasaran Peningkatan pendapatan Keunggulan bersaing
Outer Loading 0.18 0.89 0.68 0.54 0.89 0.88 0.61 0.73 0.87 0.77 0.90 0.90 0.89 0.53 0.64 0.89 0.89 0.90 0.82
T-Hitung Keterangan 0.75* Tidak valid 13.00* Valid 7.82* Valid Valid 6.44* 12.11* Valid 14.94* Valid Valid 9.83* 10.81* Valid 11.83* Valid 7.91* Valid Valid 15.01* 11.06* Valid Valid 11.79* 7.99* Valid Valid 8.24* 10.95* 7.82* 7.91* 6.85*
Valid Valid Valid Valid
*signifikan pada taraf nyata 5%
Dari hasil pengujian (Tabel 15), variabel indikator pada faktor lingkungan yang memiliki nilai kontribusi yang tinggi dengan nilai muatan faktor 0.89 adalah variable pengalaman dan keinginan berusaha. Hasil yang tidak valid ditunjukkan oleh variabel pendidikan, sehingga variabel manifest tersebut tidak dapat disertakan dalam pengujian selanjutnya karena tidak cukup merepresentasikan faktor individu. Tingkat pendidikan merupakan hal yang menyumbang besar bagi keberhasilan usaha. Pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha dan berperan penting bagi petani wirausaha pada saat mengatasi masalah-masalah dan mengoreksi penyimpangan
56 yang terjadi pada usaha. Pada penelitian ini tingkat pendidikan petani yang menjalankan integrasi tanaman dan ternak belum mampu membawa perubahan yang berarti, karena masih terbatasnya pengetahuan petani dan usaha yang dijalankan masih bersifat subsisten serta sebagian besar petani masih mempertahankan cara pengolahan tradisional karena tidak memanfaatkan teknologi yang tersedia semaksimal mungkin, seperti chooper alat yang bisa digunakan untuk mencacah makanan ternak dan mengolah kompos. Hal serupa juga terjadi pada petani anggrek, sebagaimana hasil penelitian Puspitasari (2013) indikator yang tidak valid yang mempengaruhi karakteristik petani salah satunya adalah pendidikan, hal tersebut diakibatkan karena sektor pertanian dinilai kurang dapat memberikan insentif dibanding sektor lain, sehingga cenderung kurang diminati oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Pada model pengukuran variabel laten eksogen faktor lingkungan, variabel indikator yang memiliki nilai kontribusi yang tinggi dengan nilai muatan faktor 0.90 adalah variabel kekompakan antar petani. Seluruh petani pada penelitian ini tergabung dalam kelompok tani. Melalui kelompok tani tersebut petani dapat memperkuat kerjasama baik diantara sesama petani dalam kelompok dan antar anggota kelompok lainnya sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang mandiri. Variabel lainnya seperti; ketersediaan input, penyuluhan dan pelatihan, permodalan, promosi dan pemasaran, serta dukungan pemerintah cukup merepresentasikan faktor lingkungan. Pengukuran pada variabel perilaku kewirausahaan direpresentasikan oleh tekun berusaha dan mandiri dalam menjalankan usaha yang memiliki nilai kontribusi tertinggi dimana hasil muatan faktornya adalah 0.90 dan 0.89. Kemandirian merupakan suatu karakter yang akan memberikan kekuatan bagi petani untuk bertindak, terutama dalam mengahadapi tantangan. Hal ini akan dapat membebaskan diri petani dari pengaruh lain seperti ketergantungan pada bantuan pemerintah. Petani bisa memberdayakan sumberdaya yang ada disekitar secara bersama-sama. Hal senada juga diungkapkan oleh Ahmad (2012), bahwa ada pengaruh positif dari variabel kemandirian pribadi terhadap perilaku kewirausahaan pedagang pasar Tegowanu, jika kemandirian pribadi semakin baik maka perilaku kewirausahaan pedagang akan semakin meningkat. Variabel yang kurang merepresentasikan perilaku kewirausahaan dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak adalah variabel inovatif. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani belum mampu menghasilkan inovasi, baik inovasi produksi, peningkatan nilai tambah produk sampingan, maupun pemasaran. Pada kenyataannya inovasi merupakan faktor penting dalam mencapai keunggulan bersaing. Sebagaimana Hadiyati (2011) menyatakan bahwa inofasi sangat berpengaruh terhadap kewirausahaan usaha kecil secara parsial terhadap variabel kewirausahaan, dimana inovasi tersebut meliputi menganalisis peluang, apa yang harus dilakukan untuk menangkap peluang secara sederhana dan terarah mulai dari yang kecil. Sementara pada variabel kinerja usaha, tingkat keeratan hubungan atau kontribusi tertinggi ditunjukkan oleh variabel peningkatan pendapatan, dengan nilai loading faktor 0.90. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja usaha integrasi tanaman dan ternak lebih direprsentasikan oleh pendapatan yang semakin
57 meningkat. Peningkatan pendapatan ini bersumber dari produk sampingan tanaman dan ternak yang diolah oleh petani menjadi kompos dan pakan ternak. Sedangkan variabel perluasan pemasaran kurang merepresentasikan kinerja usaha. Hal ini dikarenakan meskipun wilayah pemasaran tidak meningkat, tetapi produk yang dihasilkan oleh petani terjual habis, bahkan petani tidak dapat memenuhi permintaan dari konsumen karena keterbatasan produksi. Adapun variabel keunggulan bersaing juga kurang merepresentasikan kinerja usaha petani. Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan oleh petani tidak beragam, saat ini petani hanya memproduksi pupuk kompos, sedangkan petani belum mengolah produk sampingan ternak berupa urine menjadi biogas dan produk sampingan tanaman menjadi silase. Jika petani mampu dan mau mengolah urine sapi menjadi biogas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka pendapatan petani akan lebih tinggi. Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah konsistensi suatu pengukuran (Haryono dan Wardoyo 2012) yang bertujuan untuk menguji konsistensi dari tiap pernyataan yang ada dalam kuesioner sebagai pengukuran suatu variabel laten (Wijanto, 2008). Uji reliabilitas menunjukan sejauh mana suatu alat ukur dapat memberikan hasil yang relatif sama apabila dilakukan pengukuran kembali pada variabel yang sama. Pengujian reliabilitas dapat menggunakan composite realibility measure (ukuran reliabilitas komposit) dan variance extracted measure (ukuran ekstrak varian). Reliabilitas konstruk pembentuk model pengukuran dianalisis dengan menggunakan kriteria construct reliability (CR) > 0,70 dan variance extracted (VE) > 0,50. Cara penghitungan construct reliability (CR) dan variance extracted (VE) dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 16 Pengujian reliabilitas model pengukuran Variabel Laten
CR
Reliabilitas
VE
Reliabilitas
Faktor individu Faktor lingkungan Perilaku kewirausahaan Kinerja usaha
0.84 0.91 0.88 0.90
Baik Baik Baik Baik
0.58 0.63 0.62 0.76
Baik Baik Baik Baik
Berdasarkan hasil pengujian reabilitas yang sudah direspesifikasi pada Tabel 16, dapat dikatakan bahwa masing-masing variabel laten memiliki nilai CR dan VE yang mendukung realibilitas adalah baik. Artinya indikator-indikator yang digunakan memiliki kekonsistenan tinggi, sehingga jika dilakukan penelitian ulang pada waktu yang berbeda, responden akan memberikan jawaban yang reliabel atau konsisten.
Kecocokan Model Struktural Analisa Model Struktural Analisis terhadap model struktural pada SEM bertujuan untuk memeriksa signifikansi koefesien-koefesien yang diestimasi sehingga dapat menjelaskan kausal antara variabel laten eksogen dan variabel laten endogen. Dalam penelitian
58 ini, model struktural yang diperoleh menjelaskan pengaruh antara faktor individu dan faktor lingkungan terhadap perilaku kewirausahaan, perilaku kewirausahaan (PK) dengan kinerja usaha (KU), serta pengaruh tidak langsung antara faktor individu dan lingkungan terhadap kinerja usaha. Tabel 17 Evaluasi terhadap koefesien model struktural dan kaitannya dengan hipotesis penelitian Hipotesis H1 X1 Y1 H2 X2 Y1 H3 Y1 Y2
Koefisien 0.25 0.52 0.44
T-Hitung 5.37 11.91 9.23
Keterangan Signifikan Signifikan Signifikan
Dari Tabel 17 dapat dilihat hasil evalusasi model struktural dengan asumsi hipotesis-hipotesis dari model penelitian yaitu: (1) hipotesis 1: faktor individu (X1) mempunyai pengaruh positif terhadap perilaku kewirausahaan petani (Y1); (2) hipotesis 2: faktor lingkungan (X2) mempunyai pengaruh positif terhadap perilaku kewirausahaan petani (Y1); dan (3) hipotesis 3: perilaku kewirausahaan petani (Y1) mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja usaha petani (Y2). Model hubungan kausal antara faktor-faktor yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku kewirausahaan petani dan kinerja usaha dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13. Penglmn
Tekun Motivasi Peluang
Persenta se Keinginan
FI
PK
Risiko
Input Pepel Modal
Inovatif
FL
KU
Mandiri
Pmsrn
Promosi Pendptn Pmernth Bersaing Kompak
Gambar 12 Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha Dari model tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh antara variabel laten yang satu terhadap variabel laten lainnya adalah positif dan nyata. Namun ada variabel laten yaitu pendidikan yang mempunyai nilai standardized loading factor sebesar 0.18 yang berarti variabel tersebut tidak valid, maka dilakukan respesifikasi pada model. Sebagaimana yang dikatakan Wijanto (2008) bahwa jika dilihat dari uji validitas, variabel-variabel yang teramati yang mempunyai t-
59 value dari standardized loading factor < 1.96, dan standardized loading factor < 0.50 atau < 0.70 dikeluarkan dari model dengan cara merespesifikasi model. Respesifikasi model dapat dilakukan dengan cara menghilangkan variabel yang tidak signifikan atau yang mempunyai nilai goodnes of fit yang tidak baik. Respesifikasi yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan menghilangkan salah satu variabel indikator yang tidak signifikan yaitu pendidikan (X1.1). Model yang belum megalami respisifikasi dapat dilihat pada Lampiran 3 Gambar 16 dan Gambar 16. Penghilangan variabel indikator yang memiliki nilai muatan faktor terkecil akan membuat GOF model menjadi semakin baik. Hasil analisis SEM setelah mengalami proses respesifikasi dalam hasil estimasi standardized loading factor dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 diperoleh model struktural hasil respesifikasi yang menunjukkan bahwa kriteria uji kecocokan model berkategori baik artinya model telah baik dalam menggambarkan data dan kondisi yang sebenarnya sehingga dapat disesuaikan dengan teori yang melandasinya. Validitas nilai t hitung pada Gambar 13 juga menunjukkan bahwa variabel pada model mampu mengukur apa yang seharusnya diukur atau model mampu menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel. Penglmn
Tekun Motivasi Peluang
Persenta se FI
PK
Keinginan
Risiko
Input
Pepel
Inovatif
FE
-1.93
KU
Mandiri
Modal Pmsrn Promosi Pendptn Pmernth Bersaing Kompak
Gambar 13 Nilai t hitung struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani dan Kinerja Usaha Analisis pengaruh antar peubah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Structural Equation Models (SEM) dengan Program Lisrel 8.72. Hasil pengolahan data menunjukan komposisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan petani dan kinerja usaha (Tabel 18).
60 Tabel 18 Komposisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan petani dan kinerja usaha
Faktor Individu Faktor Lingkungan
DE
IE
Perilaku Kewirausahaan 0.25
Kinerja Usaha 0.11
0.52
0.23
TE 0.36
RSquare 0.36 19
0.75
Keterangan: TE (Total Effefct; DE (Direct Effect); dan IE (Indirect Efect) *pengaruh nyata pada α 0.05
Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Kewirausahaan Petani Berdasarkan komposisi faktor-faktor yang berpengaruh (Tabel 18) dapat diketahui bahwa faktor individu dan lingkungan berpengaruh langsung terhadap perilaku kewirausahaan petani. Faktor Individu berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaaan, dengan koefisien pengaruh (ɣ=0.25). Faktor individu diukur berdasarkan indikator pendidikan, pengalaman, motivasi berprestasi, persentase terhadap usaha, dan keinginan berusaha. Hal ini menunjukkan peningkatan indikator faktor individu tersebut akan meningkatkan perilaku kewirusahaan petani. Adapun variabel indikator yang paling dominan mengukur karakteristik personal petani wirausaha adalah pengalaman dan keinginan berusaha dengan muatan faktor (λ) sebesar 0.89. Pengalaman petani rata-rata berkisar antara 5-10 tahun. Dari pengalaman yang cukup petani dapat memahami manajemen dalam pelaksanaan usaha integrasi dan berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menghindari risiko. Hal tersebut terlihat dari perilaku petani dalam keteraturan membagi waktu dalam sehari untuk mengolah lahan selama 4 jam dan pemeliharaan ternak selama 3 jam serta menanam jenis tanaman yang disesuaikan dengan keadaan cuaca agar tidak mengalami gagal panen. Pada saat musim hujan pertama sekitar bulan November petani sudah melakukan tanam benih padi, selanjutnya pada bulan Februari menanam benih padi lagi, dan pada musim kemarau biasanya petani lebih memilih untuk menanam jagung. Komitmen petani yang cukup tinggi dalam mempertahankan dan menjalankan usaha integrasi mengindikasikan petani memiliki keinginan yang besar untuk terus berusaha meskipun dihadapi masalah seperti keterbatasan modal dan input dalam pengolahan pupuk kompos, harga pupuk yang dihasilkan masih rendah yaitu Rp 700 per kg, serta tidak adanya kepastian pasar. Keadaan dilapangan menunjukkan keberagaman tingkat pendidikan petani, meskipun demikian pengalaman dan keinginan berusaha integrasi tanaman dan ternak yang dimiliki petani dapat meningkatkan motivasi, meningkatkan inovasi dan kemampuan menghadapi risiko untuk terus meningkatkan kinerja usaha petani. Melalui pengalaman dalam berusaha integrasi tanaman dan ternak petani dapat mencari cara yang lebih baik untuk menjalankan dan mengatur usaha mereka. Dengan adanya keinginan untuk terus berusaha petani harus terus mencari informasi tentang bibit unggul, ternak yang lebih baik dan teknologi alternatif dalam pengolahan produk sampingan tanaman dan ternak untuk meningkatkan keuntungan dan produktifitas mereka.
61 Variabel pendidikan pada faktor individu tidak dapat merepresentasikan perilaku kewirausahaan karena hasil pengolahan pada SEM menunjukkan hasil yang tidak valid. Tingkat pendidikan petani yang menjalankan integrasi ini belum mampu membawa perubahan yang berarti karena masih terbatasnya pengetahuan petani dalam penerapan teknologi dan inovasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa selama ini dalam melakukan kegiatan usaha integrasi, petani lebih mengutamakan pengalaman yang dimilikinya apabila dibandingkan dengan pendidikan formalnya. Jadi kemampuan dalam berkreativitas dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan selama ini lebih dikarenakan adanya pengalaman yang dimiliki. Hal senada juga dikemukakan oleh Ahmat et al. (2015), bahwa ada pengaruh positif dari pengetahuan kewirausahaan, motif berprestasi dan kemandirian pribadi terhadap perilaku kewirausahaan, artinya jika pengetahuan kewirausahaan, motivasi berprestasi dan kemandirian pribadi semakin baik maka perilaku kewirausahaan akan semakin meningkat. Jika dilihat dari persentase petani terhadap usaha, petani mengalami kendala dalam pengembangan teknologi yaitu masih belum banyaknya alat pengolahan limbah baik untuk pakan ternak maupun yang diolah untuk pupuk organik. Hal itu terlihat dari nilai muatan faktornya yang rendah (λ=0.54) yang diakibatkan oleh ketersediaan alat yang terbatas. Setiap kelompok tani hanya memiliki satu unit chooper untuk mengolah produk sampingan tanaman dan ternak. Dengan keterbatasan alat pengolahan tersebut berpengaruh terhadap output yang dihasilkan. Sedangkan kendala dari aspek sosial ekonomi adalah permodalan, yaitu kurangnya ketersediaan akses ke sumber permodalan serta modal usaha yang terbatas dalam pengembangan usahanya. Hal ini senada dengan hasil kajian Sudana (2005) bahwa masalah utama yang dihadapi petani dalam mengadopsi suatu teknologi adalah terbatasnya modal petani, disamping itu sumber modal berupa kredit usahatani baik formal mupun non formal tidak tersedia di lokasi kajian. Keadaan ini cukup mempersulit petani didalam mengadopsi suatu teknologi, karena adopsi teknologi baru membutuhkan biaya tambahan. Selain itu, adopsi teknologi dan inovasi yang lamban pada petani juga diakibatkan oleh faktor lingkungan yaitu masih kurangnya pelatihan dan pembinaan dari dinas terkait. Selama menjalankan usaha integrasi, pelatihan mengenai: (1) pembuatan makanan ternak; (2) pembuatan biogas; (3) pembuatan kompos; (4) pelatihan mengenai jejaring integrasi; dan (5) pelatihan mengenai penggunaan benih bersertifikasi, hanya didapatkan petani satu kali saja. Setelah itu, pemerintah belum memberikan pelatihan dan penyuluhan terkait pengembangan usaha integrasi sampai saat ini. Faktor lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaan dengan koefisien pengaruh (ɣ=0.52). Berdasarkan nilai koefesien terebut terlihat bahwa faktor lingkungan mempengaruhi perilaku kewirausahaan karena nilai faktor loadingnya cukup besar. Faktor lingkungan diukur berdasarkan ketersediaan input, penyuluhan dan pelatihan, permodalan, promosi dan pemasaran, dukungan pemerintah dan kekompakan antar petani. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, bahwa yang dapat memotivasi petani dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak diantaranya adalah ajang promosi dan pemasaran yang diadakan oleh dinas pertanian dan dinas peternakan setempat, kemudahan memperoleh input (bibit, anakan sapi, pupuk dan pakan ternak) dan ketersediaan modal. Oleh karena itu untuk memotifasi petani,
62 penguatan manejemen secara individu sangat dibutuhkan sehingga dapat meningkatkan kreativitas petani dan menjadi petani wirausaha yang sukses. Adapun variabel yang paling dominan mengukur faktor lingkungan adalah kekompakan antar petani dengan nilai muatan faktor (λ) sebesar 0.90. Berdasarkan hasil penelitian interaksi antar petani terlihat dalam pengelolaan aset yang dimiliki kelompok, seperti adanya jadwal piket bagi anggota kelompok untuk memberi pakan dan memandikan ternak. Tidak hanya itu kekompakan petani juga dapat dilihat dalam pengolahan lahan, petani melakukan pengolahan lahan bersama-sama secara bergantian tanpa mengeluarkan biaya tenaga kerja melalui sistem julo-julo atau arisan. Kekompakan menunjukkan adanya kebersamaan antar petani dalam menajalakan usaha. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Pichardo (2012), bahwa hal yang sangat dibutuhkan petani wirausaha untuk mengembangkan dan meningkatkan usahanya adalah suatu kelompok yang efektif melalui kerjasama tim dan rasa saling percaya. Tujuan dan keinginan yang satu untuk berbagi manfaat dan mengatasi risiko dapat melatarbelakangi terbentuknya kewirausahaan petani. Dengan adanya kelompok, petani yang mempunyai kesulitan seperti keterbatasan modal sangat terbantu karena petani bisa saling berbagi sumberdaya khususnya tenaga kerja. Agar menjadi petani wirausaha yang sukses semua anggota harus mempunyai keterampilan, semangat, motivasi, dan kemampuan untuk mencari peluang serta harus bersedia untuk bekerjasama dan bertangung jawab atas usaha yang dijalankan. Modal sosial yang dimiliki petani seperti semangat gotong royong, rasa saling percaya, jaringan dan sikap, mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan prilaku kewirausahaan, seperti meningkatnya kepercayaan masyarakat yang dimanifestasikan dalam perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasrkan norma-norma yang dianut bersama. Dalam kegiatan kewirausahaan modal sosial juga dapat berfungsi sebagai pendorong berhasilnya kegiatan usaha, karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai kerjasama. Adapun kekuatan kerjasama ini akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya (Thobias et al. 2013). Perilaku petani yang tertuang dalam modal sosial tersebut juga harus didukung dengan penyuluhan dan pelatihan dari dinas pertanian dan peternakan setempat. Dalam pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota, penyuluhan dan pelatihan belum mampu mempengaruhi perilaku kewirausahaan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai muatan faktor pengaruh penyuluhan dan pelatihan sebesar (λ=0.61) yang lebih rendah dibanding dengan faktor lingkungan lainnya. Penyebabnya yaitu: (1) pelatihan yang diadakan pemerintah terkait dengan pengembangan usaha integrasi sangat jarang dilakukan, dan (2) petani kurang menghubungi penyuluh jika ada persoalan usahatani dengan alasan karena jarak yang jauh, penyuluh tidak selalu ada di tempat, dan menurut petani informasi yang disampaikan penyuluh belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan masalah petani. Akibatnya saat ini sebagian besar petani tidak mendapatkan akses informasi sesuai kebutuhan seperti informasi pemasaran pupuk kompos dan pendayagunaan teknologi yang ada untuk menciptakan produk baru dari limbah tanaman dan ternak (selain kompos dan
63 pakan fermentasi). Febrian dan Dewi (2014) mengatakan bahwa petani yang sering mengikuti pelatihan akan memiliki kemampuan dalam pemasaran produksi pertanian yang lebih tinggi, karena dalam keikutsertaan dalam pelatihan pertanian dapat memberikan masukan pengetahuan, informasi teknologi, informasi pemasaran, dan lainnya bagi petani dalam mengelola produksi pertaniannya menjadi lebih baik dan memperoleh pengetahuan dalam akses untuk menyalurkan hasil produksi pertaniannya. Selain dilihat dari nilai koefisien dan t-value, evaluasi terhadap model struktural juga dapat dilihat melalui koefesien determinasi (R2) pada persamaan struktural. Dimana hasil persamaan (Lampiran 2) menunjukan R2 pada persamaan perilaku kewirausahaan sebesar 1.00. Artinya variansi pada faktor individu dan lingkungan secara bersama-sama mampu menjelaskan 100 persen perubahan pada variabel laten perilaku kewirausahaan. Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukan bahwa perilaku kewirausahaan dipengaruhi secara langsung oleh faktor individu yang merupakan faktor dari individu petani, dan faktor lingkungan yang berasal dari lingkungan. Jadi dapat dikatakan bahwa perilaku kewirausahaan sangat penting bagi petani yang dapat ditumbuhkan dengan cara menumbuhkembangkan keinginan untuk berwirausaha terutama malalui faktor lingkungan karena pengaruh faktor lingkungan terhadap perilaku petani pada analisis SEM lebih tinggi dibandingkan dengan faktor individu yaitu pengaruhnya sebesar 0.52. Salah satu faktor lingkungan yang perlu ditingkatkan yaitu motivasi petani agar mencapai kesuksesan. Pada penelitian Balasaravanan dan Vijayadurai (2012) menyatakan bahwa kemampuan petani dalam mengambil keputusan, tingkat inovasi dan keberanian menanggung risiko sangat mempengaruhi perilaku kewirausahaan petani sehingga perlu diberikan pelatihan untuk meningkatkan wawasan petani dalam menjalankan usahanya. Untuk itu sangat dibutuhkan dukungan dari pemerintah agar memberikan pelatihan dan pendampingan secara berkala kepada petani dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak. Dukungan berupa jaminan ketersediaan bahan input, bantuan permodalan, regulasi yang mendukung iklim usaha yang baik, promosi yang intensif dan pemasaran yang efisien, serta tersedianya informasi pasar juga sangat dibutuhkan petani untuk membangkitkan motivasi berwirausaha melalui koperasi ataupun kemitraan. Dengan adanya motivasi tersebut akan memberi kekuatan kepada petani dalam menghadapi risiko yang lebih besar dan berkeinginan untuk mendaptkan hasil yang tinggi sehingga perilaku kewirausahaan akan berkembang sejalan dengan pertambahan skala usaha, yang diikuti dengan pertambahan modal usaha, serta semakin memadainya sarana dan prasarana produksi. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha Integrasi Tanaman dan Ternak Berdasarkan Tabel 18 dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha adalah faktor lingkungan dan perilaku kewirausahaan, sedangkan faktor individu berpengaruh tidak langsung. Variabel laten faktor lingkungan berpengarh langsung sebesar ß=-0.14 sedangkan perilaku kewirausahaan berpengaruh langsung dan positif terhadap kinerja usaha dengan dengan nilai hubungannya lebih besar dibandingkan faktor lingkungan yaitu ß=0.44. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan ketekunan, ketanggapan
64 terhadap peluang usaha, inovatif, keberanian mengambil risiko dan bersikap mandiri dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak pada akhirnya akan berpengaruh pada peningkatan kinerja usaha. Sebagaimana hasil penelitian Puspitasari (2013) menujukan bahwa perilaku wirausaha berpengaruh langsung dan bernilai positif terhadap kinerja usaha, yaitu perluasan pangsa pasar, kemampuan bersaing, dan peningkatan pendapatan. Kinerja usaha tergantung pada tindakan (perilaku) yang diambil oleh pengusaha dan kondisi individu pribadi yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bisnis. Perilaku tersebut adalah tindakan yang dilakukan petani untuk meraih tujuan di dalam usaha yang meliputi mendeteksi dan mengeksploitasi peluang, membuat keputusan dibawah ketidakpastian, bekerja keras, dan manajemen usaha (Ariesa, 2013). Variabel yang paling tinggi mencerminkan perilaku kewirausahaan petani adalah tekun berusaha dengan nilai muatan faktor sebesar (λ=0.90), dapat dilihat pada Gambar 12. Petani mempunyai komitmen dan tekad yang bulat serta mencurahkan semua perhatiannya pada usaha integrasi tanaman dan ternak. Hal tersebut terlihat melalui tekad yang kuat petani terus mangusahakan usaha integrasi meskipun pendapatan yang diterima belum sesuai dengan harapan petani. Usaha integrasi tanaman dan ternak membutuhkan kerja keras, mulai dari pembudidayaan tanaman, pemeliharaan ternak, serta pengolahan produk sampingan tanaman dan ternak. Pada budidaya tanaman petani harus memperhatikan kapan padi mulai ditanam hingga proses pemanenannya, kapan kakao bisa dipetik, dan menentukan kapan waktu melakukan pergiliran tanaman dengan jagung. Sedangkan untuk pemeliharaan ternak, petani harus memelihara sapi mulai dari memandikan, mebersihkan kandang, pemberian pakan, dan melakukan inseminasi buatan (IB) pada waktu yang tepat. Dalam pengolahan produk sampingan, petani mengolah feses sapi menjadi kompos dan mengolah produk sampingan tanaman menjadi pakan ternak dengan melakukan fermentasi. Keseluruhan proses budidaya mulai dari pembenihan hingga panen membutuhkan kerja keras dan ketekunan karena berdampak sangat besar pada output yang dihasilkan oleh petani. Pernyataan tersebut senada dengan Sumarlan (2012) bahwa penentu kinerja petani pada sistem agroforestri pada lahan kritis dalam meningkatkan pendapatan, persentase luas lahan yang ditanami, dan banyaknya tanaman yang tumbuh subur dan sehat, terdiri dari motivasi, kesempatan, dan kemampuan yang tercermin dari motivasi petani, ketekunan, kesempatan yang dimiliki petani cukup tersedia, dan petani memiliki kemampuan atau keterampilan yang cukup memadai. Perilaku petani yang dicerminkan oleh variabel inovatif dapat dikatakan masih rendah yang terlihat dari nilai muatan faktornya sebesar (λ=0.53), dapat dilihat pada Gambar 12. Pada umumnya petani masih enggan mencari informasi dan pengolahan produk, khususnya dalam mengolah produk sampingan tanaman dan ternak. Petani baru mampu mengolah feses sapi menjadi pupuk kompos, sedangkan untuk urinenya belum dimanfaatkan sama sekali oleh petani. Perkembangan teknologi khsusnya dalam usaha integrasi tanaman dan ternak harus diikuti oleh petani untuk menghasilkan diversifikasi produk. Contohnya dengan menerapkan teknologi mengenai pengayaan nutrisi jerami dan pengolahan produk ikutan tanaman baik dengan ataupun tanpa aplikasi teknologi bio-proses (fermentasi, amoniasi atau kombinasi perlakuan), penyediaan dan pola pemberian
65 pakan ternak, teknologi tatalaksana perkandangan dan pengolahan kotoran ternak (feses, urine dan sisa pakan) serta pengolahan kesehatan lingkungan atau sanitasi dan pengobatan terhadap ternak yang sakit. Perilaku inovatif tidak harus selalu menghasilkan sesuatu yang baru untuk menciptakan nilai tambah, tetapai dengan menerapakan teknologi sesuai dengan teknis usaha telah dapat mencerminkan perilaku inovatif pada petani. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2014), petani yang menjalakan usaha integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Bogor telah mampu melakukan inovasi, berupa inovasi produk (perubahan hasil, kualitas dan produktivitas, dan ciri khas), inovasi teknologi (zero waste, teknologi maju) dan inovasi proses (LEISA, sistem organisasi, orientasi pemanfaatan sumberdaya lokal, pasca panen). Pada inovasi produk, kualitas produktivitas dan ciri khas terlihat pada produksi beras yang menjadi identitas bagi para petani dengan melakukan proses pasca panen padi secara lebih lanjut pada proses penyortiran, pelabelan, dan pengepakan apabila petani anggota benar menerapkan SPT padi ternak. Artinya, petani telah melakukan prinsipprinsip pertanian terintegrasi berbasiskan tekno ekologis dan inovasi yang mengedepankan prinsip usahatani organik. Faktor individu berpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja usaha. Dengan demikian faktor individu petani berpengaruh terhadap kinerja usaha yang terwujud malalui perilaku kewirausahaan dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak. Sebagaimana menurut Rante (2010) faktor penentu kesuksesan UKM terdiri dari faktor individu dan lingkungan. Penentu sukses individu adalah penentu yang berasal dari perusahan itu sendiri, seperti manajemen keuangan, manajemen perusahaan, lokasi usaha, proses produksi, manajemen personalia, dan ketersediaan dana. Sedangkan Penentu sukses lingkungan adalah kebijakan pemerintah, situasi pasar, infrastruktur, serta informasi pasar. Lebih lanjut Malta (2011) menyatakan faktor yang penting diperhatikan untuk meningkatkan kinerja petani, khususnya petani jagung di lahan gambut adalah peningkatan kompetensi petani, pengoptimalan interaksi petani dengan penyuluh, penyediaan sarana produksi, dan keterlibatan petani dalam kelompok tani. Strategi penyuluhan yang dpat dilakukan untuk meningkatkan kinerja petani yaitu: (1) memotivasi petani khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar, tingkat berhubungan sosial, dan tingkat berprestasi petani; (2) kesempatan yang tersedia khususnya kepastian pasar, peran institusi lokal, dan pengaruh kepemimpinan lokal; (3) kemampuan yang dimiliki oleh petani khususnya keterampilan dalam penyiapan lahan, penanaman, pengembangan pemasaran, dan tumbuhnya kerja sama; dan (4) kelembagaan penyuluhan dan kerja sama pelaksanaan penyuluhan (Sumarlan et al. 2012). Selain itu, pembentukan kemitraan dalam menunjang pengembangan usaha juga sangat dibutuhkan oleh petani. Saptana et al. (2004) menyatakan bahwa agar kemitraan yang dibangun bisa berjalan seimbang maka perlu adanya konsolidasi kelompok, baik dari keanggotaannya maupun manajemen (pengadaan saprodi, pascapanen, pemasaranserta permodalannya). Kinerja usaha petani pada sistem integrasi tanaman dan ternak dijelaskan oleh perluasan pemasaran, keunggulan bersaing, dan penigkatan keuntungan. Dalam perkembangan usahanya, petani belum mampu melakukan perluasan pasar terhadap output yang dihasilkannya. Hal tersebut terjadi karena petani belum mampu memenuhi permintaan konsumen akan pupuk kompos, ini disebabkan
66 oleh keterbatasan hasil produk sampingan ternak sapi yaitu feses yang merupakan bahan baku pembuatan kompos. Meskipun demikian petani pernah beberapa kali memasarkan pupuk kompos ke daerah Riau dan Jambi sebelum terjadi peningkatan permintaan pupuk kompos. Selain itu, produk yang dihasilkan petani belum mampu bersaing dipasar. Petani menjual padi hanya mengemas dengan karung biasa, tanpa memberikan inovasi sedikitpun seperti pelabelan. Sehingga harga yang diterima petani sama dengan harga padi non organik meskipun produk yang dihasilkan petani adalah padi organik. Jika petani mampu berinovasi dengan memberikan nilai tambah pada produk yang mereka hasilkan, maka petani akan mendapatkan daya tawar yang lebih tinggi. Pupuk kompos hanya dikemas dalam karung biasa tanpa adanya label, merek dan lisensi dari badan penelitian tertentu terkait dengan kandungan yang terdapat dalam pupuk tersebut. Sedangkan untuk pemeliharaan sapi, pada umumnya petani belum fokus untuk mengembangkannya menjadi suatu usaha peternakan. Saat ini tujuan petani memelihara sapi hanya dijadikan tabungan untuk keperluan dimasa datang. Penigkatan keuntungan menyumbangkan faktor loading terbesar pada kinerja usaha, yaitu nilai muatan faktor (λ) sebesar 0.90. Meskipun pendapatan petani belum mengalami peningkatan secara signifikan, namun petani bisa mencukupi biaya kebutuhan sehari-hari dan memperoleh manfaat lainnya dari usaha ini seperti meningkatnya kesuburan lahan melalui pemanfaatan pupuk kandang dan pupuk kompos, meningkatnya pengetahuan dan kemampuan petani dalam mengintegrasikan tanaman dan ternak, serta sapi yang dipelihara dapat dijadikan tabungan dimasa depan. Hal tersebut juga disampaikan oleh Rota (2010), bahwa keuntungan dari usaha integrasi tanaman dan ternak adalah meningkatkan keuntungan dengan mengurangi biaya produksi, petani miskin dapat menggunakan pupuk dari usaha ternak terutama ketika terjadi kenaikan harga pupuk kimia, dan menyediakan sumber pendapatan dari usaha diverifikasi yang dapat menjadi pegangan hidup pada saat fluktuasi harga dan iklim. Secara umum perilaku kewirausahaan petani dapat dikatakan tinggi tetapi kinerja usaha petani masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku kewirausahaan hanya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja usaha petani. Baum dalam Ariesa (2013) menyatakan bahwa terdapat lima faktor yang menentukan suksesnya suatu bisnis, yaitu sifat individu, motivasi, kemampuan, strategi bisnis, dan faktor lingkungan. Oleh karena itu perilaku kewirausahaan petani, belum cukup untuk meningkatkan kinerja mereka, namun harus didukung oleh lingkungan ekonomi, politik, dan organisasi. Pentingnya pengaruh lingkungan organisasi dan kelembagaan juga dikemukakan oleh Priyanto (2009) bahwa seseorang yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan organisasi yang kondusif dan menantang, terbuka dan fleksibel akan menjadi seorang wirausaha yang berhasil yang memiliki motivasi yang besar, mandiri dan responsif terhadap risiko. Kinerja usaha petani pada usaha integrasi tanaman dan ternak, akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ketekunan, ketanggapan terhadap peluang, keberanian mengambil risiko, kemandirian, dan yang paling utama adalah dengan menumbuhkembangkan perilaku inovatif. Serta didukung dengan adanya bantuan dan upaya pemerintah melalui dinas setempat untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan usaha. Priyanto (2009) menyimpulkan bahwa elemen kewirausahaan seperti individu locus of control, need for achievement, extroversion, education experience dan self reliance
67 mempengaruhi pertumbuhan usaha. seorang yang memiliki kewirausahaan tinggi dan digabung dengan kemampuan manajerial yang memadai akan menyebabkan dia sukses dalam usahanya. Sebagaimana menurut Krisnamurthi (2001) tantangan pembangunan agribisnis adalah untuk membangun kemampuan agribisnis memenuhi kebutuhan hidup pelakunya, terutama petani, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini akan dapat dilakukan jika dapat dibangun keunggulan kompetitif pertanian berbasis keunggulan komparatifnya. Keunggulan kompetitif tersebut akan mampu dicapai jika faktor pendorong perkembangannya adalah inovasi dan kreativitas (innovation driven) yang sejalan dengan peran tenaga kerja berbasis pengetahuan (knowledge-based labour) yang lebih dominan. Implikasi Kebijakan Berdasarkan karakteristik yang dimiliki petani responden, yaitu berhubungan dengan kepemilikan dan luas lahan yang semakin berkurang akibat alih fungsi lahan yang berimbas pada pendapatan petani, maka dibutuhkan kebijakan yang terkait dengan lahan sperti land reform. Kebijakan tersebut harus dilaksanakan, bukan hanya sekedar wacana atau janji belaka. Kondisi saat ini memeperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada petani, tetapi justru memihak pemodal kuat atau besar. Hal tersebut harus dikoreksi kembali sehingga kedaulatan petani benar benar ditegakkan. Selain itu, diharapkan kepada pemerintah untuk memberikan bantuan berupa biaya pendidikan kepada anakanak petani, sehingga dapat memunculkan petani muda terdidik dan mempunyai keahlian untuk memajukan pertanian. Faktor individu petani yang menyangkut (pendidikan, pengalaman berusaha, motivasi berprestasi, persentase terhadap usaha, dan keingian berusaha) dan faktor lingkungan yang menyangkut (ketersediaan input, penyuluhan dan pelatihan, permodalan, promosi dan pemasaran, dukungan pemerintah, dan kekompakan antar petani) pada dasarnya sudah dapat dijadikan sebagai modal untuk pengembangan usaha integrasi tanaman dan ternak. Sehingga perlu adanya dukungan dan perhatian dari pemerintah yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, yang pada akhirnya mampu memotivasi petani untuk terus berusaha dan meningkatkan kesejahteraannya, diantaranya dengan: 1. Memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada petani mengenai cara berusaha seperti cara mengidentifikasi, mempersiapkan, merancang dan mengimplementsikan usaha pertanian yang efesien serta keterampilan berwirausaha melalui suatu lembaga yang efektif. Penyuluhan tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui apa saja yang dibutuhkan petani dalam menjalankan usahanya sehingga petani dapat merencanakan usaha sesuai dengan kapasitan mereka. Petani yang telah mampu membuat perencanaan usaha dan berani mengambil suatu keputusan akan memandang usahanya sebagai bisnis dan menyisihkan (berinvestasi) sebagian dari pendapatannya untuk mengembangkan usaha dalam jangka panjang. 2. Memberikan dukungan kepada petani dalam menjalankan usahanya sesuai dengan kebutuhan, diantaranya: 1) Melakukan perbaikan infrastruktur pedesaan (jalan, listrik, sarana komunikasi, dan irigasi). Sektor publik tersebut memiliki peran penting bagi petani, seperti dengan adanya jaminan kemudahan transportasi untuk pengangkutan produk dapat menata rantai pemasaran produk dan
68 meningkatkan promosi. Selama ini petani mengalami kesulitan untuk mengakses pasar, salah satunya diakibatkan oleh infrastruktur yang buruk (komunikasi yang tidak lancar, fasilitas pemasaran yang tidak memadai, tidak adanya kejelasan mengenai informasi pasar dan sikap yang negatif dari konsumen). Namun demikian dengan atau tanpa adanya dukungan pemerintah, seharusnya petani tetap dapat menjalankan usahanya dengan cara mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki petani malalui pelatihan dan penyuluhan yang didapatkan serta bertindak sebagai seorang wirausaha dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak. 2) Dukungan lewat penyediaan akses modal atau kredit dan didampingi oleh PPL dalam pengelolaannya. Selama ini modal merupakan suatu alasan yang klasik mengapa petani kesulitan mengembangkan usaha pertaniannya. Alternatif bagi petani untuk mendapatkan akses kredit untuk memulai usaha atau memperbesar usaha pertaniannya adalah lembaga seperti koperasi atau kelompok tani yang mengelola UBSP (Usaha Bersama Simpan Pinjam). Pemerintah juga bisa membantu dengan mengembangkan bentuk pemasaran yang melindungi atau berpihak kepada petani dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Kemitraan ini dapat dilakukan petani dengan pengusaha tanaman hias, pengusaha pembibitan tanaman dan produsen pupuk. 3) Pemberdayaan kelompok tani. Melalui kelompok tani yang berdaya, petani dapat menjadi wirausaha yang sukses dengan membentuk usaha bersamasama, memiliki tujuan yang sama serta tujuan dan kemauan untuk berbagi manfaat dan risiko. Kepemilikan dan pengelolaan aset yang dimiliki kelompok dilakukan oleh setiap petani yang tergabung dalam kelompok. Dengan adanya kelompok tani, petani yang tidak mampu menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak dapat terbantu melalui kegiatan kelompok seperti berbagi sumberdaya, berbagi risiko dalam mengembangkan usahnya. Petani yang tergabung dalam suatu kelompok akan memiliki keterampilan kewirausahaan sehingga termotivasi untuk melakukan sesuatu yang baru dengan semangat yang sama, kemauan untuk menanggung risiko bersama, selalu mencari peluang, bekerja secara produktif dan bertanggung jawab atas hasil yang dicapai. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa perilaku kewirausahaan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja usaha. Sebagai pelaku utama dalam usaha integrasi tanaman dan ternak, maka perlu dilakukan pengembangan kemampuan, kreativitas dan inovasi petani. Pada kenyataannya, keberhasilan petani dalam mencapai kinerja tidak hanya ditentukan oleh kegiatan budidaya dan pemeliharaan tanaman dan ternak saja, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan keterampilan petani dalam menjalankan usahanya mulai dari subsistem on farm sampai subsistem pemasaran dan penunjang. Dengan kata lain, petani wirausaha harus memiliki kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai-nilai serta perilaku yang diperlukan untuk selalu bekomitmen terhadap pekerjaan yang dilaksanakan. Wirausaha yang sukses pada umumnya ialah mereka yang memiliki kompetensi (ilmu pengetahuan dan keterampilan) dalam hal manajerial (managerial skill), melihat persoalan secara menyeluruh dan komprehensif dan menganalisisnya (conceptual skill), berkomunikasi, mengerti,
69 memahami dan menjalin relasi (human skill), keterampilan merumuskan masalah dan mengambil keputusan (decision marking skill), keterampilan mengatur dan menggunakan waktu (time management skill) serta keterampilan teknis kekhususan7. Faktor penting lainnya yang harus dimiliki petani wirausaha adalah kemampuan kreatif dan inovatif, hal tersebut yang akan dijadikan dasar bagi petani untuk mencari peluang sukses. Proses kreatif dan inovatif tersebut biasanya diawali dengan memunculkan ide-ide dan pemikiran baru untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Kreativitas dapat diasah dengan mengikuti seminar-seminar kewirausahaan, berdiskusi dengan petani atau pengusaha yang lebih berpengalaman, dengan mengikuti ajang promosi dan pameran, dan lain sebagainya.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
7
Karakteristik petani yang mengusahakan integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota secara umum antara lain: (1) sebagian besar petani berjenis kelamin laki-laki, (2) petani responden pada umumnya berada pada umur produktif yaitu berkisar antara 40-55 tahun, (3) usaha yang dijalankan petani masih tergolong kecil dan mayoritas dari petani hanya berorientasi pada kebutuhan sehari hari dan membiayai pendidikan anak-anak, (4) petani memiliki pengalaman yang cukup dalam berusaha integrasi tanaman dan ternak, (5) bagi sebagian besar petani usaha ini merupakan mata pencaharian utama, (6) modal usaha yang didapatkan petani umumnya berasal dari bantuan pemerintah, namun demikian masih dirasa kurang memadai, oleh karena itu petani juga menggunakan modal sendiri dalam usahanya. Faktor individu dan faktor lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewirausahaan, hal ini menunjukan bahwa faktor individu (pengalaman, motivasi untuk berprestasi, motif berprestasi, persentase terhadap usaha dan keinginan berusaha yang tinggi) dan faktor lingkungan (kemudahan dalam memperoleh input produksi, adanya bantuan modal dari pemerintah, dan kekompakan antar petani) dapat meningkatkan perilaku kewirausahaan. Namun demikian petani tetap membutuhkan dukungan dari pemerintah karena pengaruh faktor lingkungan terhadap perilaku kewirausahaan cukup besar. Dukungan tersebut dapat berupa penyuluhan dan pelatihan untuk mempercepat penyerapan teknologi dan inovasi untuk meningkatkan kreativitas petani, promosi dan pemasaran, serta regulasi usaha. Perilaku kewirausahaan petani berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku kewirausahaan berperan penting dalam peningkatan kinerja usaha, sehingga dengan ketekunan,
Anonim. Pelatihan Kewirausahaan Agribisnis Bagi Petani. [Internet]. [diakses pada 24 Juli 2015]. Tersedia pada: http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/berita/pelatihan/206-pelatihankewirausahaan-agrbisnis-bagi-petani
70 ketanggapan terhadap peluang, inovatif, keberanian mengambil risiko dan kemandirian yang berpengaruh terhadap kinerja usaha petani.
Saran 1. Karakteristik wirausaha yang dimiliki petani sangat unik yang tercermin dari perilaku kewirausahaannya, meskipun sebagian aset, sarana dan prasarana yang dimiliki petani terbatas namun petani masih mampu bertahan dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dan perhatian dari pemerintah atau dinas terkait dalam menciptakan lingkungan bisnis pertanian yang kondusif sehingga petani semakin termotivasi untuk menjadi petani wirausaha yang sukses. Pembinaan dapat dilakukan oleh pemerintah, salah satunya yaitu mengadakan pelatihan yang dapat merubah orientasi petani yang sebelumnya hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menjadi berorientasi bisnis dan menyediakan bantuan modal bagi petani melalui koperasi atau kelompok tani. Variabel yang dapat dijadikan kunci untuk meningkatkan motivasi petani berwirausaha melalui pemanfaatan teknologi dan inovasi adalah pengalaman, persentase terhadap usaha yang tinggi serta kekompakkan yang solid antar petani. 2. Kinerja usaha petani perlu ditingkatkan melalui perilaku kewirausahaan, terutama pada variabel inovasi. Karena indikator tersebut mempunyai nilai yang paling rendah dalam membentuk perilaku kewirausahaan. Inovasi dapat muncul dari diri petani itu sendiri maupun melalui bantuan pihak terkait terlebih dulu. Sebagai pelaku utama dalam menjalankan usaha integrasi tanaman dan ternak, maka petani membutuhkan pembinaan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kreativitas petani untuk berinovasi. Diharapkan dari pengetahuan dan kreativitas akan muncul inovasi baru, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja usaha dan meningkatkan kesejahteraan petani. 3. Pada penelitian ini peneliti belum melihat perbedaan perilaku petani yang mengelola usaha secara berkelompok dan petani yang mengelola usaha secara individu, untuk itu disarankan pada penelitian selanjutnya untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan perilaku kewirausahaan dalam pengelolaan usaha secara berkelompok dan secara individu.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad S, Patricia D, Moh Mukery W. 2015. Pengaruh Antara Pengetahuan Kewirausahaan, Motif Berprestasi, Kemandirian Pribadi terhadap Perilaku Kewirausahaan Pedagang di Pasar Tegowanu. Artikel dapat diakses pada: http://jurnal.unpad.ac.id/index.php/MS/article/download/312/308 Ahmadi. 2010. Analisis Sistem Usahatani Integrasi Tanaman Ternak pada Sawah Irigasi di Kabupaten Bantul Yogyakarta. [Tesis]. Yogyakarta (ID). Universitas Gadjah Mada. Alma B. 2010. Kewirausahaan Edisi Revisi. Bandung. Alfabeta.
71 Arfa‟i, Wardhono K, AM Fuah, A Syaefudin. 2009. Potensi Pengembangan Usaha Sapi Potong dalam Sistem Usahatani di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. Jurnal Indom. Trop. Anim. Agric. 34(1) Maret 2009. Arfa‟i. 2001. potensi dan strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ariesa FN. 2013. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usahatani Tembakau Virginia di Jawa Barat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Balasaravanan K, J Vijayadurai. 2012. Entrepreneurial Behavior Among Farmers – an Empirical Study. IJEMR – January 2012- 2(1). Basuni R, Muladno, Cecep K, dan Suryahadi. 2010. Sistem Integrasi Padi-Sapi Potong di Lahan Sawah. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 5(1) 2010. Bird MJ. 1996. Entrepreneurial Behaviour. McGraw-Hill Irwin, Singapore. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota. 2013. Kabupaten Lima Puluh Kota Dalam Angka. Kabupaten Lima Puluh Kota: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota. 2014. Potret Usaha Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota Menurut Subsektor. Kabupaten Lima Puluh Kota: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota. Burhanuddin. 2014. Pengaruh Aktivitas Kewirausahaan Peternakan Ayam Broiler terhadap Pertumbuhan Ekonomi. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Damihartini RS, Amri J. 2005. Hubungan Karakteristik Petani dengan Kompetensi Agribisnis pada Usahatani Sayuran di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan. September 2005. 1(1). Darmadji. 2011. Analysis of farmers entrepreneurship. Jurnal AGRIKA. 6(1). Mei 2012. Day GS. 1990. Market-Driven Strategy : Processes For Creating Value. New York : The Free Press A. Division of Mc Millan Inc. Delmar F. 1996. Entrepreneurial Behavior and Business Performance. Dissertation. Ekonomiska Forknings Institute. Stockholm. [Dikjenkeswan] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman Umum Integrasi Ternak Sapi. Jakarta. [Dinkeswan] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota. 2012. Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) Pengembangan Integrasi Tanaman-Ruminansia. Padang. Dirlanudin. 2010. Perilaku Wirausaha dan Keberdayaan Pengusaha Kecil Industri Agro: Kasus di Kabupaten Serang Provinsi Banten. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Diwyanto K, Bambang RP, Darwinsyah L. 2001. Integrasi Tanaman dan ternak Dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing, Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Disampaikan pada: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001. Tersedia pada: http: //kalteng. litbang. pertanian.go.id/ind/pdf/all- pdf/peternakan/fullteks/semnas/pronas-2.pdf Dumasari. 2014. Kewirausahaan Petani Dalam Pengelolaan Bisnis Mikro di Pedesaan. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan. 3(3):196-202 September 2014.
72 Elly F, Hadidjah, Bonar MS, Sri UK, dan Nunung K. 2008. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian. 27(2) 2008. Febrian BM dan Dewi ST. 2014. SDM Manusia dan Kinerja Petani Sebagai Basis Pengembangan Ekonomi Lokal (Studi Kasus: Desa Tegallega, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. A SAPPK V1N2 | 517 Fereidouni HG, Masron TA, Nikbin D, dan Amiri RE. 2010. Consequence of External Environment on Entrepreneurial Motivation in Iran. Asian Academy of Management Journal. 15(2): 175-196. Fogel K, Ashton H, Randall M and Bernard Y. 2005. Institutional Obstacles to Entrepreneurship. Oxford Handbook of Entrepreneurship. Oxford University Press. Gartner WB. 1988. “Who Is an Entrepreneur?” Is Wrong Question. American Journal of Small Bussiness. 13(1): 11-32. Hadiyati E. 2011. Kreativitas dan Inovasi Pengaruhnya Terhadap Pemasaran Kewirausahaan Pada Usaha Kecil. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan. 1(3): 135-151 September 2012. Haryono S, Wardoyo P. 2012. Structural Equation Modeling. Bekasi. PT Intermedia Personalia Utama. Hisrich, R.D. M.P. Peters, and D.A. Sheperd. 2008. Kewirausahaan (Entrepreneurship). Edisi 7. Salemba Empat. Jakarta. Hubeis M. 2009. Prospek Usaha Kecil dalam Wadah Inkubator Bisnis. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Ilham N dan Handewi PS. 2011. Kelayakan Finansial Sistem Integrasi Sawit-Sapi Melalui Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (Feasibility of The Oil PalmCattle Integration System Through Cows-Breeding Business Credit Program). Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 9(4) : 349-369 Desember 2011. Inggarwati K, Arnold Kaudin. 2010. Peranan Faktor-faktor Individual dalam Mengembangkan Usaha. Studi Kuantitatif pada Wirausaha Kecil di Salatiga. Integritas. Jurnal Manajemen Bisnis. 3(2.) Agustus - November 2010 (185 202). Jauch LR, Glueck WF. 1988. Business Policy and Strategic Management. McGraw Hill, New York. Kahan D. 2012. Entrepreneurship in Farming. Farm Management Extension Guide. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Tersedia Pada: http://www.fao.org/docrep/018/i3231e/i3231e.pdf Kasmir. 2006. Kewirausahaan. Jakarta (ID). PT. Raja Grafindo Persada Krisnamurthi B. 2001. Agribisnis. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Bogor. Kumar SA, SC Poornima and MK Abraham. 2003. Entrepreneurship Development. New Delhi (IN): New Age International. Kuratko D. 2009. Introduction to Entrepreneurship. Eight Edition. International Student Edition. Canada. Kusnadi U. 2008. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sitem Integrasi TanamanTernak Untuk Menunjang Swasembada Daging Sapi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3), 2008: 189-205.
73 Lauwere CK, Ina E, Peter V and Kees V. 2002. Modern Agricultural Entrepreneurship. Paper prepared for presentation at the 13th International Farm Management Congress, Wageningen, The Netherlands, July 7-12, 2002. Lee DY dan Tsang EWK. 2001. The effects of Entrepreneurial Personality, Background and Network Activities on Venture Growth. Journal of Management Studies. 38(4): 582-602. Licht, Amir N and Jordan IS. 2005.The Social Dimensions of Entrepreneurship. Oxford Handbook of Entrepreneurship. Oxford University Press. Luthans F. 2005. Organizational Behavior. New York: McGraw-hill. Makka D. 2012. Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Peternakan yang Berdaya Saing (Prospect for Developing Competitive Integrated Livestock Production Systems). Disampaikan pada Seminar Nasional Sitem Integrasi Tanaman dan Ternak. Dapat diakses pada: http://kalteng.litbang.pertanian.go.id/ind/pdf/allpdf/peternakan/fullteks/lokakarya/loli04-2.pdf Malta. 2011 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petani Jagung di Lahan Gambut. Jurnal MIMBAR, XXVII(1) Juni 2011: 67-78 Mangkunegara AP. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Remaja Rosdakarya. Bandung Mathis RL. & J.H. Jackson. 2006. Human Resource Management: Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan Dian Angelia. Jakarta: Salemba Empat. Maudi F. 2010. Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang,Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mazzarol T, Volery T, Doss N, dan Thein V. 1999. Factors Influencing Small Business Start-Ups. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 5(2): 48-63. Mcelwee G. 2006. Farmers as Entrepreneurs: Developing Competitive Skills. Journal Dev. Entrepreneurship. 11(187) 2006. Muslim C. 2006. Pengembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak Dalam Upaya Pencapaian Swasembada Daging di Indonesia: Suatu tinjauan evaluasi. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 4(3) September 2006 : 226-239 Ningsih DL. 2014. Model Pengembangan Kewirausahaan Petani Dan Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi Sistem Pertanian Terintegrasi Padi Ternak Ruminansia. Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pambudy R, Frans BM Dabukke. 2010. Tantangan dan Agenda Masa Depan Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Indonesia. Dalam Refleksi Agribisnis 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih. Bogor (ID). IPB Press Pichardo RD, Cecillia CG, Patricia LP, Gerard M. 2012. From Farmers to Entrepreneurs: The Importance of Collaborative Behaviour. Journal of Entrepreneurship 2012 21: 91. Praag CM. 2005. Succesessful Entrepreneurship. United Kingdom: Edward Elgar Publishing Limited. Priyanto SH. 2009. Mengembangkan Pendidikan Kewirausahaan di Masyarakat. Jurnal PNFI. 1(1): 57-82. Puspitasri. 2013. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Petani Anggrek terhadap Kinerja Usaha: Kasus di Kecamatan Gunung Sindur dan Parung, Kabupaten
74 Bogor, dan Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rante Y. 2010. Pengaruh Budaya Etnis dan Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Mikro Kecil Agribisnis di Provinsi Papua. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 12(2) September 2010: 133-141 Rauch A dan Frese M. 2007. Let‟s Put the Person Back into Entrepreneurship Research: A Meta-Analysis on the Relationship between Business Owner‟s Personality Traits, Business Creation, and Success. European Journal of Work and Organizational Psychology. 16: 353-385. Rivai V , Basri AF. 2005. Performance Appraisal: Sistem yang Tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta (ID): PT RajaGrafindo Persada. Riyanti BP .2003. Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT.Grasindo. Robbins SP. 2006. Perilaku Organisasi. PT Indeks, Kelompok Gramedia, Jakarta. Sadjudi. 2009. Pengaruh Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usahatani Tembakau di Kecamatan Gantiwarno Kabupaten Klaten. Jurnal Aplikasi Manajemen. 7(2): 401-410. Sapar. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang Kaki Lima [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setyorini D. 2008. Perilaku Kewirausahaan Pedagang Usaha Kecil di Kotamadia Semarang (Studi Komparasi Multi Etnis). Psikomedimensia 7(1) Januari-Juni 2008, 1-11. Shane S, Edwin AL, Christoper JC. 2003. Entrepreneurial Motivation. Human Resource Management Review. 13. 257-279. Silalahi M dan RD Tambunan. 2008. Analisa Usaha Pola Integrasi Tanaman Ternak Kambing di Lahan Kering Desa Buana Sakti Lampung Timur (The Economic Analysis on Food Crop-Goat Integrated System in Dryland of Buana Sakti Village, East Lampung). Disampaikan pada: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008. Tersedia pada: http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/semnas/pro0880.pdf?secure=1 Siswati L. 2013. Pendapatan Petani Melalui Pertanian Terpadu Tanaman Hortikultura dan Ternak di Kota Pekanbaru. Artikel tersedia pada: http://unilak.ac.id/media/file/97656270163ARTIKEL_UNTUK_JURNAL_FA K.pdf Sudana, W. 2005. Evaluasi Kinerja Diseminasi Teknologi Integrasi Ternak Kambing dan Kopi di Bongancina, Bali. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA. 5(3):326-333. Sumantri B dan Anna F. 2011. Kelayakan Pengembangan Usaha Integrasi Padi Dengan Sapi Potong Pada Kondisi Risiko di Kelompok Tani Dewi Sri. Forum Agribisnis. 1(2) September 2011. Sumantri B. 2013. Pengaruh Jiwa Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha Wirausaha Wanita Pada Industri Pangan Rumahan di Bogor. Jurnal Manajemen Teknologi. 12(3), 2013. Sumarlan, Sumardjo, Prabowo T, dan Darwis SG. 2012. Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Pegunungan Kendeng Pati. Jurnal Agro Ekonomi. 30(1) : 25-39, Mei 2012.
75 Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian. 28(1); 2009. Suryana Y, Kartib B. 2011. Kewirausahaan Pendekatan Karakteristik Wirausahawan Sukses. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Suryanti R. 2011. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman dan Ternak Serta Kebutuhan Penyuluhan Pertanian (Kasus Integrasi Usaha Kakao dan Sapi di Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota). [Tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas. Sutanto A. 2002. Kewiraswastawan. Jakarta (ID) : Ghalia Indah. Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah- Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Thobias E, AK Tungka, dan JJ Rogahang. 2013. Pengaruh Modal Sosial terhadap Perilaku Kewirausahaan (Suatu Studi Pada Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah di Kecamatan Kabaruan Kabupaten Kepulauan Talaud). Journal ACTA DIURNA. Edisi April 2013. Tohir W. 2015. Petani Sebagai Penyuluh Swadaya dalam Pengembangan Pertanian dan Agribisnis. Di dalam: Dabbuke F, editor. Membumikan Paradigma Agribisnis. Jakarta (ID). Pusat Pangan Agribisnis. Ucbasaran D, Paul W and Mike W. 2005. Habital Entrepreneurs. Oxford Handbook of Entrepreneurship. Oxford University Press. Verhees FJHM, Klopcic M, Kuipers A. 2008. Entrepreneurial Proclivity and the Performance of Farms: The Cases of Dutch and Slovenian Farmers. Paper prepared for presentation at the 12th EAAE Congress, (Gent) Belgium, 26-19 August 2008. Volna J, Jan P. 2013. Analysis of The Behavior of Slovak Entreprises in The Context of Low Innovation Performance. International Journal Social and Behavioral. Sciences of 9th International Strategic Management Conference. 2013.10.530. Wadeson, Nigel S. 2005. Cognitive Aspects of Entrepreneurship: DecisionMaking and Attitudes to Risk. Oxford Handbook of Entrepreneurship. Oxford University Press. Widodo. 2005. Jendela Cakrawala Kewirausahaan. Bogor (ID): IPB Press. Wijanto, SH. 2008. Structural Equation Modelling dengan Lisrel 8.8: Konsep dan Tutorial. Yogyakarta (ID).Graha Ilmu. Wijaya T. 2009. Analisis Structural Equation Modelling Menggunakan AMOS. Penerbit Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. Winardi. 2008. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Jakarta (ID) : Kencana. Zimmerer, T and Norman M. Scarborough. 2008. Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil. Salemba Empat. Jakarta.
76
LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar lokasi kegiatan integrasi tanaman dan ternak ruminansia 2012 Tabel 19 Daftar lokasi kegiatan integrasi tanaman ternak ruminansia tahun 2012 Provinsi Sumatera Barat Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tenga Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Gorontalo
Kabupaten / Kota Tanah Datar dan Lima puluh kota Seluma dan Kaur Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Wai Kanan Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Bekasi, dan Kerawang Demak, Kebumen, Grobongan, Pati, Sukoharjo Bantul dan Gunung Kidul Ponorogo, Pacitan, Nganjuk, Ngawi, Mojokerto Lebak, dan Serang Karang Asem Lombok Timur, Bima, Dompu, dan Sumbawa Belu dan Ngada Pontianak dan Melawi Tanah Laut Kutaikertanegara Minahasa dan Bolaang Mangandow Banggal, Donggala, Parigi Moutong, dan Tolitoli Kolaka dan Konawe Mamuju Utara dan Polewali Mandar Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Buru Kota Tidore Kep, dan Kep. Sula Bone Balango, Gorontalo, dan Boalemo
Sumber: Pedoman Umum Integrasi Ternak Sapi Tahun (2012)
77 Lampiran 2 Rumus untuk menghitung construct reliability dan variance extracted
(Σ Std. Loading)2 Construct reliability CR = (Σ Std. Loading)2 + Σej (Σ Std. Loading)2 Variance extracted (VE) = (Σ Std. Loading)2 + Σej
78 Lampiran 3 Hasil pengolahan data dengan Lisrel 8.72 DATE: 7/2/2015 TIME: 16:57 L I S R E L
8.72
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2005 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\MIMISEM\DATA.SPJ: Observed Variables X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y2.1 Y2.2 Y2.3 Correlation Matrix From File D:\MIMISEM\DATA.COR Sample Size = 115 Latent Variables X1 X2 Y1 Y2 Relationships X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 = X1 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 = X2 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 = Y1 Y2.1 Y2.2 Y2.3 = Y2 Y1 = X1 X2 Y2 = Y1
SET THE set set set set set set set set set set set set
Path Diagram OPTIONS ME=UL AD=OFF IT=500 CORRELATION BETWEEN X1 AND X2 EQUAL TO 0.1 the error variance of Y1.1 equalto 0.2 the error variance of Y1.2 equalto 0.2 the error variance of Y2.1 equalto 0.2 the error variance of X1.2 equalto 0.2 the error variance of X1.5 equalto 0.2 the error variance of X2.1 equalto 0.2 the error variance of X2.4 equalto 0.2 the error variance of X2.5 equalto 0.2 the error variance of X2.6 equalto 0.2 the error variance of Y1.5 equalto 0.2 the error variance of Y2.2 equalto 0.2 the error variance of Y2.3 equalto 0.3
set the error covariance between X1.2 and X1.4 to free set the error covariance between X1.2 and X1.5 to free set the error covariance between X1.3 and X1.5 to free set set set set set set set set set set
the the the the the the the the the the
error error error error error error error error error error
covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance
between between between between between between between between between between
X2.1 X2.1 X2.1 X2.2 X2.2 X2.3 X2.3 X2.3 X2.4 X2.4
and and and and and and and and and and
X2.4 X2.5 X2.6 X2.5 X2.6 X2.4 X2.5 X2.6 X2.5 X2.6
to to to to to to to to to to
free free free free free free free free free free
set set set set
the the the the
error error error error
covariance covariance covariance covariance
between between between between
Y1.1 Y1.1 Y1.1 Y1.2
and and and and
Y1.2 Y1.4 Y1.5 Y1.4
to to to to
free free free free
79 set the error covariance between Y1.2 and Y1.5 to free set the error covariance between Y1.3 and Y1.5 to free set the error covariance between Y2.1 and Y2.2 to free set the error covariance between Y2.1 and Y2.3 to free set the error covariance between Y2.2 and Y2.3 to free set set set set set set set set set set
the the the the the the the the the the
error error error error error error error error error error
covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance
between between between between between between between between between between
X1.2 X1.2 X1.3 X1.3 X1.4 X1.4 X1.4 X1.5 X1.5 X1.5
and and and and and and and and and and
X2.1 X2.2 X2.1 X2.6 X2.4 X2.5 X2.6 X2.4 X2.5 X2.6
to to to to to to to to to to
free free free free free free free free free free
set set set set
the the the the
error error error error
covariance covariance covariance covariance
between between between between
Y1.2 Y1.4 Y1.5 Y1.5
and and and and
Y2.3 Y2.2 Y2.1 Y2.3
to to to to
free free free free
set set set set set set set
the the the the the the the
error error error error error error error
covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance
between between between between between between between
X1.2 X1.2 X1.2 X1.2 X1.3 X1.3 X1.3
and and and and and and and
Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y1.2 Y1.3 Y2.3
to to to to to to to
free free free free free free free
set set set set set set Set Set Set Set Set
the the the the the the the the the the the
error error error error error error error error error error error
covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance covariance
between between between between between between between between between between between
X1.4 X1.4 X1.5 X2.1 X2.1 X2.2 X2.3 X2.3 X2.3 X2.6 X2.6
and and and and and and and and and and and
Y2.1 Y1.1 Y2.1 Y1.1 Y1.5 Y1.1 Y1.3 Y2.2 Y2.3 Y2.2 Y2.3
to to to to to to to to to to to
free free free free free free free free free free free
End of Problem Sample Size =
115
Correlation Matrix
Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y2.1 Y2.2 Y2.3 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6
Y1.1 -------1.00 0.69 0.45 0.51 0.30 0.45 0.50 0.37 0.14 0.29 0.35 0.23 0.16 0.04 0.26 0.36 0.30 0.60
Y1.2 --------
Y1.3 --------
Y1.4 --------
Y1.5 --------
Y2.1 -------
1.00 0.53 0.56 0.32 0.19 0.34 0.12 -0.13 -0.04 0.25 0.15 0.40 0.28 0.45 0.31 0.15 0.56
1.00 0.29 0.13 0.12 0.09 0.16 -0.21 -0.24 0.25 0.21 0.26 0.05 -0.02 0.30 0.22 0.35
1.00 0.51 0.33 0.56 0.24 -0.11 -0.01 0.11 0.19 0.35 0.22 0.30 0.15 0.18 0.44
1.00 -0.01 0.49 0.06 0.08 0.12 0.01 0.35 0.19 0.39 0.28 0.27 0.25 0.47
1.00 0.37 0.38 0.07 0.20 0.19 -0.10 0.16 -0.04 0.22 0.15 0.25 0.19
80 Correlation Matrix
Y2.2 Y2.3 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6
Y2.2 -------1.00 0.33 0.02 0.21 -0.03 0.16 0.17 0.22 0.34 0.13 0.23 0.49
Y2.3 -------1.00 0.19 0.25 0.17 0.06 -0.17 -0.15 0.04 0.05 0.21 0.18
X1.2 --------
X1.3 --------
X1.4 --------
X1.5 --------
1.00 0.57 0.33 0.30 -0.33 -0.17 -0.08 0.20 0.24 0.10
1.00 0.37 0.21 -0.19 -0.14 0.14 0.08 0.15 0.27
1.00 0.45 0.12 0.00 -0.01 0.47 0.25 0.44
1.00 -0.09 0.25 0.02 0.43 0.41 0.30
Correlation Matrix
X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6
X2.1 -------1.00 0.45 0.53 0.06 -0.11 0.27
X2.2 --------
X2.3 --------
X2.4 --------
X2.5 --------
X2.6 --------
1.00 0.57 0.47 0.38 0.19
1.00 0.20 0.14 0.23
1.00 0.59 0.31
1.00 0.12
1.00
Number of Iterations = 11 LISREL Estimates (Unweighted Least Squares) Measurement Equations Y1.1 = 0.93*Y1, Errorvar.= 0.20, R² = 0.81 Y1.2 = 0.89*Y1, Errorvar.= 0.20, R² = 0.80 (0.075) 11.79 Y1.3 = 0.53*Y1, Errorvar.= 0.72 , R² = 0.28 (0.066) (0.14) 7.99 5.02 Y1.4 = 0.64*Y1, Errorvar.= 0.59 , R² = 0.41 (0.077) (0.17) 8.24 3.58 Y1.5 = 0.88*Y1, Errorvar.= 0.20, R² = 0.80 (0.081) 10.95 Y2.1 = 0.88*Y2, Errorvar.= 0.20, R² = 0.80 Y2.2 = 0.94*Y2, Errorvar.= 0.20, R² = 0.81 (0.12) 7.91 Y2.3 = 0.78*Y2, Errorvar.= 0.30, R² = 0.67 (0.11) 6.85 X1.2 = 0.87*X1, Errorvar.= 0.20, R² = 0.79 (0.067) 13.00 X1.3 = 0.68*X1, Errorvar.= 0.54 , R² = 0.46 (0.087) (0.18) 7.82 2.94 X1.4 = 0.54*X1, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.29 (0.083) (0.16) 6.44 4.38 X1.5 = 0.89*X1, Errorvar.= 0.20, R² = 0.80 (0.074) 12.11 X2.1 = 0.81*X2, Errorvar.= 0.20, R² = 0.77 (0.054) 14.94 X2.2 = 0.61*X2, Errorvar.= 0.63 , R² = 0.37 (0.062) (0.16) 9.83 3.97
81 X2.3 = 0.73*X2, Errorvar.= 0.47 , R² = 0.53 (0.067) (0.17) 10.81 2.76 X2.4 = 0.78*X2, Errorvar.= 0.20, R² = 0.75 (0.066) 11.83 X2.5 = 0.55*X2, Errorvar.= 0.20, R² = 0.60 (0.069) 7.91 X2.6 = 0.90*X2, Errorvar.= 0.20, R² = 0.80 (0.060) 15.10 Error Covariance for Y1.2 and Y1.1 = -0.14 (0.12) -1.18 Error Covariance for Y1.4 and Y1.1 = -0.09 (0.12) -0.72 Error Covariance for Y1.4 and Y1.2 = -0.01 (0.12) -0.04 Error Covariance for Y1.5 and Y1.1 = -0.53 (0.12) -4.29 Error Covariance for Y1.5 and Y1.2 = -0.46 (0.12) -4.02 Error Covariance for Y1.5 and Y1.3 = -0.34 (0.11) -3.18 Error Covariance for Y2.1 and Y1.5 = -0.35 (0.100) -3.55 Error Covariance for Y2.2 and Y1.4 = 0.30 (0.10) 2.93 Error Covariance for Y2.2 and Y2.1 = -0.46 (0.13) -3.47 Error Covariance for Y2.3 and Y1.2 = -0.18 (0.100) -1.84 Error Covariance for Y2.3 and Y1.5 = -0.24 (0.099) -2.42 Error Covariance for Y2.3 and Y2.1 = -0.31 (0.13) -2.39 Error Covariance for Y2.3 and Y2.2 = -0.40 (0.13) -3.02 Error Covariance for X1.2 and Y1.2 = -0.37 (0.10) -3.61 Error Covariance for X1.2 and Y1.3 = -0.35 (0.098) -3.56 Error Covariance for X1.2 and Y1.4 = -0.28 (0.10) -2.76 Error Covariance for X1.2 and Y1.5 = -0.16 (0.100) -1.58 Error Covariance for X1.3 and Y1.2 = -0.22 (0.10) -2.20 Error Covariance for X1.3 and Y1.3 = -0.36 (0.097) -3.66
82 Error Covariance for X1.3 and Y2.3 = 0.18 (0.095) 1.88 Error Covariance for X1.4 and Y1.1 = 0.19 (0.10) 1.89 Error Covariance for X1.4 and Y2.1 = 0.13 (0.095) 1.35 Error Covariance for X1.4 and X1.2 = -0.14 (0.13) -1.11 Error Covariance for X1.5 and Y2.1 = -0.20 (0.095) -2.15 Error Covariance for X1.5 and X1.2 = -0.47 (0.12) -3.90 Error Covariance for X1.5 and X1.3 = -0.40 (0.13) -3.16 Error Covariance for X2.1 and Y1.1 = -0.25 (0.11) -2.41 Error Covariance for X2.1 and Y1.5 = -0.21 (0.10) -1.98 Error Covariance for X2.1 and X1.2 = -0.40 (0.094) -4.24 Error Covariance for X2.1 and X1.3 = -0.24 (0.094) -2.59 Error Covariance for X2.2 and Y1.1 = -0.27 (0.10) -2.60 Error Covariance for X2.2 and X1.2 = -0.22 (0.094) -2.33 Error Covariance for X2.3 and Y1.3 = -0.23 (0.100) -2.33 Error Covariance for X2.3 and Y2.2 = 0.18 (0.097) 1.81 Error Covariance for X2.3 and Y2.3 = -0.10 (0.096) -1.00 Error Covariance for X2.4 and X1.4 = 0.43 (0.094) 4.59 Error Covariance for X2.4 and X1.5 = 0.36 (0.094) 3.87 Error Covariance for X2.4 and X2.1 = -0.57 (0.12) -4.97 Error Covariance for X2.4 and X2.3 = -0.37 (0.12) -3.19 Error Covariance for X2.5 and X1.4 = 0.23 (0.094) 2.40 Error Covariance for X2.5 and X1.5 = 0.36 (0.094) 3.82 Error Covariance for X2.5 and X2.1 = -0.55 (0.11) -4.89 Error Covariance for X2.5 and X2.2 = 0.048 (0.11) 0.44
83 Error Covariance for X2.5 and X2.3 = -0.26 (0.11) -2.29 Error Covariance for X2.5 and X2.4 = 0.16 (0.11) 1.51 Error Covariance for X2.6 and Y2.2 = 0.29 (0.096) 3.00 Error Covariance for X2.6 and Y2.3 = 0.014 (0.096) 0.14 Error Covariance for X2.6 and X1.3 = 0.21 (0.094) 2.23 Error Covariance for X2.6 and X1.4 = 0.39 (0.094) 4.14 Error Covariance for X2.6 and X1.5 = 0.22 (0.094) 2.29 Error Covariance for X2.6 and X2.1 = -0.47 (0.12) -4.06 Error Covariance for X2.6 and X2.2 = -0.36 (0.11) -3.24 Error Covariance for X2.6 and X2.3 = -0.43 (0.12) -3.68 Error Covariance for X2.6 and X2.4 = -0.39 (0.12) -3.30 Structural Equations Y1 = 0.25*X1 + 0.52*X2, Errorvar.= 0.64 , R² = 0.36 (0.047) (0.044) (0.084) 5.37 11.91 7.52 Y2 = 0.44*Y1, Errorvar.= 0.81 , R² = 0.19 (0.047) (0.11) 9.23 7.16 Reduced Form Equations Y1 = 0.25*X1 + 0.52*X2, Errorvar.= 0.64, R² = 0.36 (0.047) (0.044) 5.37 11.91 Y2 = 0.11*X1 + 0.23*X2, Errorvar.= 0.93, R² = 0.070 (0.023) (0.025) 4.93 9.16 Correlation Matrix of Independent Variables X2 --------
X1
X1 -------1.00
X2
0.10
1.00
Covariance Matrix of Latent Variables
Y1 Y2 X1 X2
Y1 -------1.00 0.44 0.31 0.55
Y2 -------1.00 0.13 0.24
X1 -------1.00 0.10
X2 --------
1.00
84 Goodness of Fit Statistics W_A_R_N_I_N_G: Chi-square, standard errors, t-values and standardized residuals are calculated under the assumption of multivariate normality. Degrees of Freedom = 90 Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 147.01 (P = 0.00014) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 57.01 90 Percent Confidence Interval for NCP = (27.67 ; 94.25) Minimum Fit Function Value = 1.29 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.50 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.24 ; 0.83) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.075 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.052 ; 0.096) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.038 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.71 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.45 ; 3.04) ECVI for Saturated Model = 3.00 ECVI for Independence Model = 13.44 Chi-Square for Independence Model with 153 Degrees of Freedom = 1496.30 Independence AIC = 1532.30 Model AIC = 309.01 Saturated AIC = 342.00 Independence CAIC = 1599.71 Model CAIC = 612.35 Saturated CAIC = 982.38 Normed Fit Index (NFI) = 1.00 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.11 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.59 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.06 Relative Fit Index (RFI) = 1.00 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.092 Standardized RMR = 0.12 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.94 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.89 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.50 The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate X2.1 Y2.3 13.0 -0.35 X2.2 Y2.3 8.5 -0.28 X2.5 X2.5 21.2 0.94 X2.6 X2.5 28.0 -0.67 Time used:
0.375 Seconds
85 Lampiran 4 Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha sebelum di respesifikasi Pnddkan
Tekun Penglmn Peluang Motivasi
Persenta se Keinginan
Inovatif
Risiko
Input Mandir i
Pepel
Pmsrn Modal Promosi Pmernth
Pendptn
Bersaing
Kompak
Gambar 14
Standardized loading factor model struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha
Pendidikn
Tekun Penglmn Peluang Motivasi
Persenta se Keingin an
Inovatif
Risiko
Input Mandiri Pepel Pmsrn Modal
Promosi
Pmernth
Pendptn
Bersaing
Kompak
Gambar 15 Nilai t hitung struktural pengaruh perilaku kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha
86 Lampiran 5 Model sistem integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota
Padi, kakao dan jagung
Usahatani tanaman
Penjualan hasil tanaman: Padi gabah kering dan beras kakao biji kering yang belum di ferementasi jagung jagung pipilan untuk pakan unggas
Pakan ternak berupa: jerami, kulit kakao yang telah difermentasi serta batang jagung yang dicincang dengan chooper
Limbah tanaman
Beli limbah tambahan berupa dedak dan sekam untuk pakan ternak
Usahaternak
Produksi kotoran ternak (feses)
Penggunaan pupuk kompos Gambar 16
Hijauan yang tersedia
Penjualan sapi
Penjualan pupuk kompos Model sistem integrasi tanaman dan ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota
87 Lampiran 6 Peta Kabupaten Lima Puluh Kota
Gambar 17 Peta Kabupaten Lima Puluh Kota
88
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Padang pada tanggal 7 September 1990 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Zulkifli dan Ibu Zainibar. Penulis menyelesaikan studi menengah atas di SMA Negeri 9 Padang. Pada tahun 2008 penulis diterima di Universitas Andalas Fakultas Pertanian melalaui jalur SNMPTN. Penulis lulus dari Jurusan Agribisnis, Universitas Andalas, sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 2012. Selama kuliah di Universitas Andalas penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Analisis Proyek dan pada mata kuliah Kewirausahaan Sosial dan Teknologi, mengikuti kegiatan di organisasi kemahasiswaan Agricultural Information Technolgy Club (AgITC) Fakultas Pertanian UNAND dan menjabat sebagai sekretaris umum pada tahun 2010, serta pernah menjadi enumerator dalam proyek pengembangan gandum dan pemasaran hasil produk turunan gandum berupa terigu di Sumatera Barat. Pada tahun 2013 penulis memperoleh Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negri (BPPDN) dari Dirjen Kemenristek-Dikti RI untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Selama kuliah di pascasarjana IPB penulis pernah mengikuti organisasi Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Minang dan karya ilmiah penulis yang berjudul Perilaku Kewirausahaan Petani pada Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat akan diterbitkan pada Jurnal Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S2 penulis.