PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG DAUN SEMBUNG (Blumea balsamifera) DALAM RANSUM TERHADAP PROFIL DARAH AYAM BROILER PERIODE FINISHER
SKRIPSI NELI ROSMALAWATI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NELI ROSMALAWATI. D24104024. 2008. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Sembung (Blumea balsamifera) dalam Ransum terhadap Profil Darah Ayam Broiler Periode Finisher. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sumiati, MSc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. Ayam broiler merupakan ayam ras pedaging yang mengalami pertumbuhan cepat tetapi mudah mengalami stres dan rentan terhadap penyakit. Untuk menghindari hal tersebut, peternak biasanya memberikan antibiotik sintetik. Sekarang ini, banyak penelitian yang menggunakan tanaman herbal sebagai pengganti antibiotik sintetik. Tanaman herbal dalam penelitian ini adalah daun sembung yang diduga dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ayam karena mengandung zat aktif berupa saponin dan tanin yang dapat berperan sebagai pengganti antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai taraf penggunaan tepung daun sembung 2%, 4%, dan 6% dalam ransum sebagai antibiotik alami untuk mengevaluasi profil darah ayam broiler periode finisher. Penelitian ini menggunakan 150 ekor DOC (day old chicks) strain Ross dan dipelihara selama 5 minggu. Ayam yang diambil untuk analisis darah sebanyak 15 ekor dari masing-masing kandang 1 ekor ayam. Pengambilan darah dilakukan pada ayam umur 32 hari. Perlakuan yang digunakan yaitu 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan ini terdiri dari R0 (Ransum kontrol/tanpa antibiotik bacitracin Methylene Disalicylate/MD dan tanpa tepung daun sembung), R1 (Ransum R0 + antibiotik bacitracin MD dalam air minum), R2 (ransum mengandung tepung daun sembung 2%), R3 (ransum mengandung tepung daun sembung 4%), dan R4 (ransum mengandung tepung daun sembung 6%). Analisis darah dilakukan pada ayam broiler periode finisher. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan apabila ada perbedaan dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung daun sembung yang mengandung zat aktif saponin dan tanin tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Penggunaan tepung daun sembung berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah leukosit. Penggunaan tepung daun sembung yang mengandung zat aktif saponin dan tanin sampai taraf 4% mampu meningkatkan jumlah leukosit sehingga berperan sebagai immunostimulator tetapi pada taraf 6% nyata menurunkan jumlah leukosit sehingga dapat berperan sebagai immunosupresor dibandingkan dangan taraf 2% dan 4% tepung daun sembung. Penggunaan tepung daun sembung dalam ransum yang mengandung zat aktif saponin dan tanin tidak berpengaruh nyata terhadap persentase limfosit, heterofil, monosit, rasio heterofil/limfosit dan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase eosinofil. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung daun sembung sampai dengan taraf 6% dalam ransum tidak mempengaruhi nilai eritrosit, nilai hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCHC, limfosit, heterofil, monosit, dan rasio heterofil/limfosit. Penggunaan tepung daun sembung sampai taraf 4% meningkatkan jumlah leukosit sehingga dapat dijadikan sebagai pengganti antibiotik bacitracin MD. Penggunaan tepung daun sembung pada taraf 6% dalam
jangka waktu lama menurunkan jumlah leukosit yang mengakibatkan kekebalan tubuh menurun namun persentase eosinofil meningkat. Kata-kata Kunci : daun sembung (Blumea balsamifera), broiler, antibiotik bacitracin MD, profil darah
ABSTRACT The Effect of Utilization Sembung (Blumea balsamifera) Leaf Meal in the Diet on Hematological Profile of Finisher Broiler Rosmalawati, N., Sumiati, and D. A. Astuti This research was conducted to study the effect of usage sembung leaf meal in the diet on hematological profile of finisher broilers. The treatments diet were R0 (negatif control wihtout sembung leaf meal), R1 (positif control with bacitracin MD antibiotic in drinking water), R2 (diet contained 2% sembung leaf meal), R3 (diet contained 4% sembung leaf meal), dan R4 (diet contained 6% sembung leaf meal). Parameters observed were erythrocyte, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), leukocyte, hemoglobin, hematocrit (PCV), lymphocytes, heterophile, monocyte, eosinophil and heterophile/lymphocyte. The experiment used Completely Randomized Design and any significant difference was further tested with Duncan Multiple Range Test. The experiment consisted of 5 treatments and 3 replicates and 10 broilers of each. The results showed that there was no significant difference in erythrocyte, hematocrit, hemoglobin, limphocyte, heterophile, and monocyte due to the treatments. The treatment diets (R2 and R3) highly significantly increased (P<0.01) the leukocyte number and significantly increased (P<0.05) the percentage of eosinophile. It is concluded that usage sembung leaf meal did not effect the value of erythrocyte, MCV, MCHC, hemoglobin, hematocrit (PCV), lymphocytes, heterophile, monocyte, and heterophile/lymphocyte ration. Usage sembung leaf meal up to 4% can replace bacitracin MD antibiotic contained in the vitachick to improve the leukocyte while the dosage of 6% decrease leukocyte but on the other hand improve the percentage of eosinophile. Keywords : Sembung Leaf Meal, Broilers, Bacitracin MD, Hematological Profile
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG DAUN SEMBUNG (Blumea balsamifera) DALAM RANSUM TERHADAP PROFIL DARAH AYAM BROILER PERIODE FINISHER
NELI ROSMALAWATI D24104024
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG DAUN SEMBUNG (Blumea balsamifera) DALAM RANSUM TERHADAP PROFIL DARAH AYAM BROILER PERIODE FINISHER
Oleh NELI ROSMALAWATI D24104024
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 5 Maret 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Sumiati, MSc. NIP. 131 624 182
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. NIP. 131 474 289
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Neli Rosmalawati dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1986 di Sumedang. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Iskandar, SPd dan Tati Rohaeti. Penulis mulai menempuh pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri Cimaningtin pada tahun 1991-1998. Pemulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 4 Wado pada tahun 1998-2001, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Cimalaka pada tahun 2001-2004. Setelah lulus SMU, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Keprofesiaan yaitu Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) sebagai pengurus Biro Kreatifitas Ilmiah Mahasiswa pada tahun 2005-2006. Penulis juga aktif diberbagai kegiatan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IPB dan Fakultas Peternakan serta HIMASITER.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat-Nya yang telah diberikan pada penulis sehingga dapat menuangkan pikirannya dalam tulisan yang berupa skripsi dengan judul “Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Sembung (Blumea balsamifera) dalam Ransum terhadap Profil Darah Ayam Broiler Periode Finisher”. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai taraf penggunaan tepung daun sembung 2%, 4%, dan 6% dalam ransum sebagai antibiotik alami untuk mengevaluasi profil darah ayam broiler periode finisher. Penelitian ini menggunakan daun sembung dalam bentuk tepung yang dicampurkan dengan bahan makanan lain yang diberikan kepada ayam broiler selama 5 minggu. Penggunaan tepung daun sembung ini diharapkan dapat memperbaiki atau mempertahankan profil darah ayam broiler agar proses didalam tubuh dapat bekerja dengan normal. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2007 di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan. Penelitian ini terlaksana atas bantuan dana dari Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI) dalam Program Kreatifitas Mahasiswa. Penggunaan tepung daun sembung sampai dengan taraf 6% dalam ransum tidak mempengaruhi nilai eritrosit, nilai hemoglobin, nilai hematokrit, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), limfosit, heterofil, monosit, dan rasio heterofil/limfosit. Penggunaan tepung daun sembung dapat meningkatkan jumlah leukosit sampai taraf 4% sehingga dapat dijadikan sebagai pengganti antibiotik bacitracin MD. Penggunaan tepung daun sembung pada taraf 6% meningkatkan persentase eosinofil. Skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi kalangan akademik maupun kalangan peternak yang ingin menggunakan tepung daun sembung. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangannya.
Bogor, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................... i ABSTRACT ......................................................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
v
KATA PENGANTAR ......................................................................................
vi
DAFTAR ISI .....................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xi
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................... Perumusan Masalah .............................................................................. Tujuan ................................................................................................... Manfaat .................................................................................................
1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
4
Sembung (Blumea balsamifera L. DC) ................................................ Zat Aktif dalam Daun Sembung ............................................... Antibiotik Bacitracin ............................................................................. Ayam Broiler ........................................................................................ Darah ..................................................................................................... Eritrosit ..................................................................................... Hemoglobin .............................................................................. Hematokrit ................................................................................ MCV dan MCHC ...................................................................... Leukosit .................................................................................... Heterofil ............................................................................. Limfosit .............................................................................. Monosit .............................................................................. Eosinofil .............................................................................
4 5 6 7 8 9 10 10 11 11 11 12 12 12
METODE ..........................................................................................................
14
Lokasi dan Waktu ................................................................................. Materi .................................................................................................... Ternak, Kandang, dan Peralatan ............................................... Ransum dan Air Minum ........................................................... Vaksinasi ................................................................................... Antibiotik .................................................................................. Metode .................................................................................................. Pembuatan Tepung Daun Sembung .......................................... Analisis Daun Sembung ............................................................
14 14 14 14 15 15 16 16 17
Pemberian Tepung Daun Sembung dan Formulasi Ransum .... Rancangan Percobaan ........................................................................... Model dan Analisis Data ........................................................... Peubah yang Diamati ................................................................ Prosedur Analisis Darah ....................................................................... Pengambilan Darah ................................................................... Jumlah Eritrosit ......................................................................... Nilai Hematokrit ......................................................................... Kadar Hemoglobin .................................................................... MCV dan MCHC........................................................................ Jumlah Leukosit ........................................................................ Differensiasi Leukosit ...............................................................
17 20 20 20 20 20 21 21 22 22 22 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
24
Profil Darah ........................................................................................... Eritrosit ..................................................................................... Nilai Hematokrit ....................................................................... Kadar Hemoglobin .................................................................... MCV dan MCHC ...................................................................... Leukosit .................................................................................... Differensiasi Leukosit ............................................................... Heterofil ............................................................................. Limfosit .............................................................................. Monosit .............................................................................. Eosinofil .............................................................................
24 24 26 27 28 29 31 32 32 33 33
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
35
Kesimpulan ........................................................................................... Saran .....................................................................................................
35 35
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
37
LAMPIRAN ......................................................................................................
40
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Antibiotik, Vitamin dan Mineral Sintetik dalam Vitachick
16
2. Komposisi Tepung Daun Sembung (Blume balsamifera) ....................
17
3. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Periode Starter (Umur 0-3 Minggu) Berdasarkan Perhitungan ....................................
18
4. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Periode GrowerFinisher (Umur 3-5 Minggu) Berdasarkan Perhitungan .....................
19
5. Rataan Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit, Kadar Hemoglobin dan Jumlah Leukosit dalam Darah Ayam Broiler Periode Finisher ...........
24
6. Nilai MCV dan MCHC Darah Ayam Periode Finisher .......................
28
7. Rataan Persentase Heterofil, Limfosit, Monosit, Eosinofil dan Heterofil/Limfosit dalam Darah Ayam Broiler Periode Finisher ....
32
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Tanaman Sembung (Blumea balsamifera) ...........................................
5
2. Struktur Bacitracin (Johnson et al., 1945) ..............................................
6
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Analisis Ragam Jumlah Eritrosit Ayam Broiler Periode Finisher .......
40
2. Analisis Ragam Nilai Hematokrit Ayam Broiler Periode Finisher ......
40
3. Analisis Ragam Hemoglobin Ayam Broiler Periode Finisher .............
40
4. Analisis Ragam Jumlah Leukosit Ayam Broiler Periode Finisher .......
40
5. Koefisien Uji Duncan Jumlah Leukosit Ayam Broiler Periode Finisher
40
6. Analisis Ragam Mean Corpuscular Volume (MCV) Ayam Broiler Periode Finisher ....................................................................................
41
7. Analisis Ragam Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) Ayam Broiler Periode Finisher .............................................
41
8. Analisis Ragam Persentase Heterofil Ayam Broiler Periode Finisher .
41
9. Analisis Ragam Persentase Limfosit Ayam Broiler Periode Finisher .
42
10. Analisis Ragam Persentase Monosit Ayam Broiler Periode Finisher ..
42
11. Analisis Ragam Persentase eosinofil Ayam Broiler Periode Finisher .
42
12. Koefisien Uji Duncan Persentase eosinofil Ayam Broiler Periode Finisher .................................................................................................
42
13. Analisis Ragam Rasio Heterofil dan Limfosit Ayam Broiler Periode Finisher .................................................................................................
43
14. Rataan Konsumsi Ransum Konsumsi Air M inum, Vita Chick dan Bacitracin MD pada Perlakuan Kontrol Positif (R1) selama Empat Minggu Pemeliharaan per Ekor ............................................................
43
15. Total Konsumsi Ransum, Konsumsi Saponin, Konsumsi Tanin pada Perlakuan R2, R3 dan R4 selama 4 Minggu Pemeliharaan per Ekor .................................................................................................
43
16. Rata-rata Suhu Kandang C setiap Minggu Berdasarkan Pengukuran ..
44
17. Komposisi Premiks MASAMIX-FS .......................................................
44
PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan ayam broiler merupakan salah satu sumber komoditi yang mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi manusia.
Keberadaan
peternakan
ayam
broiler
perlu
dikembangkan
dan
pemeliharaannya perlu mendapat perhatian khusus dalam penanggulangan kesehatan ayam broiler agar produktivitasnya meningkat. Hal ini disebabkan wilayah Indonesia beriklim tropis yang memiliki suhu pada siang hari sekitar 29,8–36,9 0C (BPS, 2004). Kondisi ini merupakan tempat yang cocok untuk perkembangbiakan mikroorganisme patogen berupa virus, bakteri dan mikroorganisme lainnya yang mampu menurunkan daya tahan tubuh ayam, sehingga mengakibatkan penurunan produksi dan meningkatkan mortalitas. Ayam broiler memiliki banyak kelebihan yaitu pertumbuhannya cepat, efisien dalam mengubah makanan menjadi daging, dan memiliki rasa serta aroma yang khas. Namun, ayam broiler juga memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami stress akibat cekaman dan mudah terserang penyakit akibat virus, bakteri, kapang dan lain-lain. Untuk mengatasi hal tersebut, peternak memberikan obat-obatan sintetik seperti antibiotik. Namun, hal ini dinilai kurang efektif karena akan meninggalkan residu pada daging ayam yang dikonsumsi manusia sehingga akan menyebabkan resistensi mikroorganisme jika penggunaannya tidak sesuai dosis. Untuk mengatasi masalah ini harus dicari suatu antibiotik alami. Saat ini sudah banyak penelitian tentang obat tradisional yang berasal dari tanaman (herbal medicine) sebagai pengganti antibiotik sintesis seperti kunyit, temulawak, temu putih, bawang putih, dan lengkuas. Akan tetapi penelitian herbal medicine berupa dedaunan masih sangat sedikit dan yang sudah diteliti saat ini adalah berupa daun beluntas sebagai obat anti stres sampai taraf 6% dan pada taraf 2% daun beluntas dalam ransum menghasilkan penampilan produksi paling baik (Solikhah, 2006). Penggunaan tepung daun kelor 5% dan 10% dalam ransum yang mengandung zat aktif saponin dapat meningkatkan jumlah leukosit sebesar 46,6 x 103/mm3 dan 55,4 x 103/mm3 pada ayam umur 4 minggu dan tidak mengganggu eritrosit, hemoglobin, hematokrit, differensiasi leukosit. Peningkatan leukosit ini dimungkinkan aktivitas saponin pada daun kelor bertindak sebagai immunomodulator yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Budi
2005). Penambahan 0,2-0,8 % tepung daun sambiloto selama pemeliharaan (5 minggu) dapat menurunkan jumlah sel darah putih ayam pedaging sehingga menyebabkan rendahnya respon kebal, sedangkan pada umur 3 minggu penambahan 0,2-0,8 % tepung daun sambiloto meningkatkan jumlah sel-sel darah putih yang menimbulkan adanya respon tanggap kebal (Triyanto, 2006). Hal ini yang mendorong untuk melakukan penelitian dengan tanaman obat berupa daun lainnya yaitu daun sembung. Daun sembung merupakan salah satu jenis tanaman obat yang belum dimanfaatkan secara optimal. Daun sembung mengandung zat aktif berupa saponin 7,08% dan tanin 4,96%. Daun sembung memiliki khasiat sebagai anti radang, memperlancar peredaran darah, dan mematikan pertumbuhan bakteri patogen (bakterisidal) (Mursito, 2002). Penambahan tepung daun sembung dalam ransum ini diharapkan dapat menggantikan antibiotik bacitracin akibat adanya kerja zat aktif daun sembung berupa saponin dan tanin tanpa mengganggu profil darah ayamProfil darah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator ada tidaknya gangguan tubuh secara fisiologis. Perumusan Masalah Ayam broiler merupakan ternak yang mudah mengalami stres akibat terpapar suhu panas dan terserang penyakit akibat virus, bakteri, kapang, dan mikroorganisme patogen lainnya. Untuk mengatasi hal ini, peternak menggunakan antibiotik sintetik yang dapat meninggalkan residu. Hal ini perlu adanya antibiotik alami agar produk terbebas dari residu yang berbahaya. Daun sembung dijadikan sebagai alternatif antibiotik alami karena mengandung zat aktif berupa saponin dan tanin yang bersifat bakterisidal dan memperlancar peredaran darah. Zat aktif daun sembung berupa saponin dan tanin diharapkan mampu mempertahankan kondisi fisiologis normal ayam broiler dan meningkatkan kekebalan tubuh. Komponen fisiologis yang berperan dalam tubuh adalah darah. Darah sebagai salah satu indikator adanya gangguan tubuh secara fisiologis.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai taraf penggunaan tepung daun sembung 2%, 4%, dan 6% dalam ransum sebagai antibiotik alami untuk mengevaluasi profil darah ayam broiler periode Finisher. Manfaat Penelitian ini diharapkan bahwa penggunaan tepung daun sembung dalam ransum dapat dijadikan sebagai alternatif antibiotik alami dalam upaya mempertahankan kondisi tubuh secara fisiologis sehingga kondisi ayam broiler sehat.
TINJAUAN PUSTAKA Sembung (Blumea balsamifera L. DC) Sembung termasuk perdu yang tumbuh tegak, tingginya dapat mencapai 4 m. Batang berkayu lunak, berbulu halus, daun tunggal, dan duduk daun berseling. Daun membentuk bulat telur sampai lonjong, bagian pangkal dan ujungnya lancip, pinggir daun bergerigi, permukaan daun bagian atas berbulu agak kasar dan kaku, sedangkan bagian bawah berbulu halus seperti beludru (Mulyani dan Gunawan, 2002). Apabila diremas, daun sembung beraroma seperti kamfer. Bunga berbentuk malai yang keluar dari ujung cabang, berbulu halus, dan berwarna kuning. Buah berukuran kecil, berwarna putih, dan berbulu pendek. Tanaman ini tumbuh di daerah berketinggian hingga 2200 m diatas permukaan laut. Perkembangbiakan dapat dilakukan dengan menggunakan biji atau memisahan tunas yang keluar dari akar (Mursito, 2002). Menurut Sulaksana dan Darmono (2005) daun sembung diklasifikasikan ke dalam: kingdom Plantae; subkingdom Tracheobionta; superdivisi Spermatophyta; divisi Magnoliopyta; kelas Magnoliopsida; subkelas Asteridae; ordo Asterales; famili Asteraceae; genus Blumea; spesies Blumea balsamifera. Tanaman ini tumbuh baik di tempat terbuka maupun di tempat yang agak terlindungi seperti di tepi-tepi sungai, tanah tanpa diolah, dan pekarangan (Mulyani dan Gunawan, 2002). Sembung (Blumea balsamifera L. DC) memiliki berbagai macam nama di setiap daerah, seperti di Sumatra terkenal dengan nama sembung dan capa sedangkan di Pulau Jawa terkenal dengan sembung, sembung utan, sembung gantung, sembung gula, sembung kuwuk, kamandhin (Mursito, 2002). Produksi daun sembung segar di Vietnam adalah 50 ton/ha (Susiarti, 2000) sedangkan di Indonesia, tanaman sembung belum dibudidayakan secara optimal sehingga produksi per hektarnya belum diketahui. Tanaman sembung banyak ditanam oleh para pengusaha jamu tetapi dalam jumlah sedikit. Sembung dikenal memiliki banyak kegunaan terutama sebagai tanaman obat tradisional. Bagian tubuh yang digunakan adalah bagian daun. Daun sembung memiliki khasiat sebagai anti radang, memperlancar peredaran darah, dan mematikan pertumbuhan bakteri patogen (bakterisidal) (Mursito, 2002). Tanaman sembung dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Sembung Zat Aktif dalam Daun Sembung Sembung memiliki kandungan zat aktif yaitu minyak atsiri 0,5% berupa sineol, borneol, landerol, juga mengandung senyawa lain seperti kamper, tanin, saponin, damar, dan ksantoksilin (Mursito, 2002) serta flavonoid berupa flavonoid blumeatin (Agroforestry database, 2007). Tanin merupakan suatu zat metabolik sekunder yang terkandung dalam tumbuhan yang mempunyai senyawa fenol dan rasanya sepat. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak karena tanin dapat mengikat energi, protein, asam amino yang spesifik, dan mineral fosfor (Kumar et al., 2005). Kadar tanin dalam daun sembung sebesar 4,96% (Balitnak, 2007). Menurut Kumar et al. (2005) bahwa batas toleransi kadar tanin dalam ransum ayam broiler sebesar 2,6 g/kg. Menurut Robinson (1995), tanin dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen (bakteriostatik). Saponin bekerja sebagai anti mikroba tetapi juga dapat berfungsi sebagai racun ikan (Robinson, 1995). Saponin yang tinggi dapat merugikan ternak nonruminansia karena material pati akan berikatan bersama saponin (Sen et al., 1998). Saponin termasuk kedalam golongan senyawa steroid dan terpenoid. Menurut Francis et al. (2002) bahwa saponin mempunyai kemampuan merangsang sel immun yaitu meningkatkan pembentukan antibodi sehingga dapat berperan sebagai immunostimulator.
Antibiotik Bacitracin Antibiotik merupakan komponen kimia yang diproduksi secara biologi oleh tumbuhan atau mikroorganisme yang mempunyai sifat bakteriostatik atau bakterisidal (Leeson dan Summer, 2000). Bacitracin Methylene Disalisylate (MD) merupakan suatu campuran yang berkaitan dengan kumpulan polipeptida yang diproduksi oleh organisme kelompok licheniformis bernama Bacillus subtilis. Bacitracin disintesis melalui Nonribosomal Peptide Synthetases (NRPSs) yang tidak melibatkan ribosom dalam sintesisnya. Bacitracin MD bertentangan dengan defosforilasi dari C55 - isoprenyl pyrophosphat, yaitu suatu molekul yang dapat menghalangi dinding sel bakteri peptidoglikan di luar selaput bagian dalam (Johnson et al., 1945). Struktur kimia antibiotik bacitracin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Bacitracin (Johnson et al., 1945) Bacitracin bersifat bakterisidal terhadap bakteri gram positif dan tidak aktif terhadap bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif terdiri dari Escherichia coli penyebab penyakit colibacillosis, Salmonella pullorum, Salmonella gallinarum, Salmonella typhimurium penyebab penyakit salmonellosis, Pasteurella gallinarum penyebab penyakit kolera unggas, dan Haemophilus paragallinarum penyebab penyakit infectious coryza (pilek). Bakteri gram positif terdiri dari Mycobacterium tuberculosis penyebab penyakit TBC ayam, Staphylococcus aureus penyebab
penyakit
staphylococcosis,
dan
Streptococcus
faecalis
penyebab
penyakit
streptococcosis (Retno et al., 1998). Menurut Wahyuwardani dan Soeripto (1997) bacitracin dan vankomisin dalam penelitian tidak mampu menghambat pertumbuhan Mycoplasma gallisepticum. Mycoplasma gallisepticum bukan merupakan bakteri gram positif. Menurut Retno et al. (1998) bahwa Mycoplasma gallisepticum penyebab penyakit chronic respiratory disease (ngorok). Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan melalui pakan dapat meningkatkan efisiensi produksi ternak, hal ini dikarenakan terdapat beberapa efek dari penggunaan antibiotik antara lain meningkatkan sintesa nutrien dan menghambat kerusakan nutrien oleh mikroba, menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang memproduksi amonia dan nitrogen toksik didalam saluran pencernaan, meningkatkan kemampuan mengabsorbsi zat makanan, efisiensi pakan, dan mencegah penyakit pada saluran pencernaan (Leeson dan Summer, 2000). Daging dari hewan yang telah mendapat antibiotik dapat mengandung residu zat-zat penganabolis dalam daging. Hal ini bisa menyebabkan hal-hal yang tidak dikehendaki bagi konsumen apabila termakan dalam jumlah tertentu (Parakkasi, 1999). Penggunaan antibiotik perlu dihentikan beberapa hari sebelum ayam hidup dipasarkan (Amrullah, 2004). Salah satu syarat yang dikehendaki dalam penggunaan zat-zat perangsang tubuh (antibiotik) adalah sehat untuk ternak dan sehat pula untuk manusia yang akan mengkonsumsi produk dari hewan tersebut. Penggunaan antibiotik berupa koksidiostat tidak mengganggu differensiasi leukosit ayam broiler umur 30 hari karena jumlah yang diberikan sesuai dosis (Sitorus, 2004). Penggunaan antibiotik dalam ransum unggas secara umum sebesar 5-50 gram/ton ransum. Level tertinggi antibiotik digunakan untuk kontrol penyakit sebesar 100-400 gram/ton ransum (Ensminger, 1991). Penggunaan antibiotik dalam ransum ayam untuk memperbaiki pertumbuhan sekitar 5-10 mg/kg ransum (Scott et al., 1982). Ayam Broiler Ayam broiler termasuk kedalam ordo Galliformes, famili Phasianidae, genus Gallis, dan spesies Gallus domesticus. Ayam broiler merupakan ayam tipe berat pedaging yang lebih muda dan berukuran lebih kecil. Ayam ini dipilih dari ayam yang berdada lebar, berasal dari bangsa ayam tipe berat Cornish. Bangsa ayam ini
dipilih yang berbulu putih dan seleksi diteruskan hingga dihasilkan ayam broiler seperti yang sekarang kita lihat. Ayam broiler tumbuh sangat cepat sehingga dapat dipanen pada umur 4 minggu. Pada minggu-minggu terakhir, broiler tumbuh sebanyak 50-70 gram per hari. Ayam broiler ditujukan untuk menghasilkan daging yang dapat menguntungkan secara ekonomis. Performa ayam broiler akan berbeda menurut tempat dimana ayam broiler itu dipelihara. Perbedaan ini muncul karena perbedaan ketinggian atau suhu lingkungan sekitar kandang. Di daerah dataran tinggi suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah. Selain faktor suhu, status penyakit suatu wilayah juga mempengaruhi performans terutama angka mortalitas. Data pendukung ini akan berguna untuk melakukan penyesuaian spesifikasi ransum. Daerah yang suhunya tinggi lebih cocok jika menggunakan ransum dengan kandungan energi yang lebih rendah. Wilayah yang endemik dengan penyakit tertentu akan mendapat perhatian dalam progran vaksinasi, jenis vaksin, dan obat yang digunakan (Amrullah, 2004). Menurut Williamson dan Payne (1993) ayam-ayam yang dipelihara pada temperatur lingkungan dibawah 18,30C agak lebih berat daripada ayam yang sama dipelihara pada temperatur lingkungan berkisar dari 18,3 sampai 350C, tetapi efisiensi pengubahan makanannya lebih kecil. Menurut Williamson dan Payne (1993) bahwa pada temperatur berkisar -5 sampai 300C ada suatu pengurangan kirakira 1,6% dalam jumlah makanan yang dikonsumsi untuk setiap kenaikan temperatur 100C, sehingga mempengaruhi penampilan ayam pedaging. Darah Darah terdiri dari sel-sel yang terendam di dalam cairan yang disebut plasma. Sebagian besar sel-sel darah berada di dalam pembuluh-pembuluh, akan tetapi leukosit dapat bermigrasi melintasi dinding pembuluh darah guna melawan infeksi (Frandson, 1992). Frandson (1992) menyatakan bahwa darah memiliki beberapa fungsi yaitu: 1) Membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan, menuju ke jaringan tubuh, 2) Membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan, 3) Membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru,
4) Membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke ginjal untuk diekskresikan, 5) Mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit. Selain itu, Menurut Dellmann dan Brown (1992), fungsi utama darah adalah untuk mempertahankan homeostatis tubuh. Menurut Guyton dan Hall (1997), jika tubuh hewan mengalami gangguan fisiologis maka gambaran darah dapat mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dapat disebabkan faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stress, siklus estrus dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal misalnya akibat infeksi kuman dan perubahan suhu lingkungan. Keadaan-keadaan tersebut dapat mempengaruhi proses pembentukan darah, adapun mekanisme pembentukan darah secara normal berlangsung dalam sumsum tulang. Fisiologi antara darah unggas dan mamalia tidak memiliki banyak perbedaan. Perbedaan utama antara darah unggas dan mamalia adalah ada tidaknya inti sel pada eritrosit. Eritrosit pada unggas secara umum berbentuk oval yang didalamnya terdapat nukleus (Sturkie dan Griminger, 1976). Sedangkan, inti sel darah merah pada mammalia akan hilang sebelum memasuki sirkulasi (Ganong, 1995). Eritrosit Eritrosit merupakan sel darah merah yang berperan membawa hemoglobin di dalam sirkulasi. Eritrosit pada unggas intinya terletak ditengah dan berbentuk oval. Eritrosit dibentuk di sumsum tulang dan limfa. Limfa turut berperan dalam membentuk eritrosit tetapi dalam jumlah yang sedikit. Pada kondisi tertentu setelah lahir, hati dan kelenjar limfe dapat berfungsi sebagai penghasil eritrosit (Swenson, 1984). Eritrosit merupakan produk proses erithropoesis, proses tersebut terjadi dalam sumsum tulang merah (medulla asseum rubrum) yang antara lain terdapat dalam berbagai tulang panjang. Erithropoesis membutuhkan bahan dasar protein, glukosa, dan berbagai aktivator. Beberapa aktivator proses erithropoesis adalah mikromineral Cu, Fe, dan Zn. Pemberian unsur Cu dan Fe dengan rasio tertentu mampu meningkatkan status hematologis dan pertumbuhan ayam (Praseno, 2005). Unsur Cu, Fe, dan Zn berperan dalam metabolisme protein. Khususnya Cu berperan dalam
pembentukan protein kollagen, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam pembentukan protein pada umumnya (Praseno, 2005). Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Selain itu, dipengaruhi juga oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, produksi telur, bangsa, panjang hari, suhu lingkungan dan faktor iklim (Swenson, 1984). Jumlah eritrosit normal pada ayam 2,95 x 106/mm3 (Sturkie dan Griminger, 1976) atau 2,5-3,5 x 106/mm3 (Swenson, 1984). Jumlah eritrosit normal pada ayam yaitu 2,0–3,2 x 106/mm3 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Hemoglobin Hemoglobin adalah senyawa yang berasal dari ikatan komplek antara protein dan Fe yang menyebabkan timbulnya warna merah pada darah. Hemoglobin diproduksi oleh sel darah merah yang disintesis dari asam asetat (acetic acid) dan glycine
menghasilkan
porphyrin.
Porphyrin
dikombinasikan
dengan
besi
menghasilkan satu molekul heme. Empat molekul heme dikombinasikan dengan molekul globin membentuk hemoglobin (Rastogi, 1977). Frandson (1992), Hemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab timbulnya warna merah pada darah. Suatu rangsangan tidak hanya mempengaruhi konsentrasi hemoglobin, tapi juga hematokrit dan eritrosit per unit volume. Rendahnya oksigen dalam darah menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan jumlah eritrosit (Swenson, 1984). Penurunan kadar hemoglobin dapat terjadi karena adanya gangguan pembentukan eritrosit (erithropoesis). Erithropoesis di sumsum tulang dikendalikan oleh kadar oksigen dalam jaringan (Frandson, 1992). Menurut Swenson (1984) kadar hemoglobin normal adalah 6,5 sampai 9 g/ml. Hematokrit Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah suatu persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Hewan normal memiliki PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit dapat diperoleh dengan mensentrifuse darah yang telah dicampur dengan antikoagulan (Sastradipradja et al., 1989). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jumlah sel dan ukuran sel. Volume sel mungkin mengalami perubahan akibat peningkatan air plasma (hemodilution) atau penurunan air plasma (hemoconcentration) tanpa
mempengaruhi jumlah sel sepenuhnya (Sturkie dan Griminger, 1976). Nilai hematokrit normal pada ayam adalah 24-43 % (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). MCV dan MCHC MCV (Mean Corpuscular Volume) merupakan volume eritrosit rata-rata di dalam darah. Peningkatan jumlah MCV di atas normal dapat mengindikasikan anemia makrositik, sedangkan nilai MCV yang kecil di bawah normal dapat mengindikasikan adanya anemia akibat defisiensi zat besi, thalasemia dan anemia sekunder (Hodges, 1977). MCHC
(Mean
Corpuscular
Hemoglobin
Concentration)
merupakan
konsentrasi hemoglobin rata-rata tiap sel eritrosit. Nilai MCHC yang abnormal sangat penting dalam pemeriksaan klinis, karena menunjukkan adanya indikasi kekurangan dalam sintesa hemoglobin seperti tidak cukupnya hemoglobin yang terbentuk di dalam tiap sel darah merah (Hodges, 1977). Leukosit Sel-sel darah putih di dalam aliran darah kebanyakan bersifat non-fungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dan dimana dibutuhkan saja (Frandson, 1992). Sel darah putih dibagi menjadi 2 kelompok yaitu granulosit yang terdiri dari heterofil, eosinofil, basofil dan kelompok ke-2 yaitu agranulosit yang terdiri dari limfosit dan monosit (Dallas, 2002). Secara umum jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah eritrosit. Jumlah leukosit yang normal adalah berkisar antara 20-30 x 103/mm3 (Swenson, 1984) atau 29,4 x 103/mm3 (Sturkie dan Griminger, 1976). Peningkatan jumlah leukosit dapat digunakan sebagai indikasi adanya atau terjadinya suatu infeksi dalam tubuh. Hal ini dapat dilihat pada gambaran diferensiasi leukosit yang mempunyai fungsi yang berbeda dalam pertahanan tubuh (Guyton, 1996). Jumlah leukosit dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, pakan, lingkungan, hormon, obat dan penyakit. Pakan yang kekurangan folic acid akan mengakibatkan penurunan jumlah leukosit yang diikuti dengan penurunan limfosit, heterofil, basofil, dan monosit (Sturkie dan Griminger, 1976). Heterofil. Heterofil pada ayam biasanya berbentuk bulat dengan diameter 10-15 µm, dengan granula sitoplasmanya berbentuk batang pipih seperti jarum dan bersifat
asidofilik (Sturkie dan Griminger, 1976). Tizzard (1982) menyebutkan bahwa heterofil mempunyai sifat fagositosis, bekerja secara cepat, tetapi menjadi lelah sehingga dianggap sebagai garis pertahanan pertama. Persentase heterofil normal pada ayam adalah 20,9% (Sturkie dan Griminger, 1976). Persentase heterofil ayam normal adalah 25-30 % (Swenson, 1984). Jumlah heterofil meningkat disebabkan oleh pakan yang kekurangan riboflavin (B2) dan akibat infeksi bakteri (leukocytosis) (Swenson, 1984). Limfosit. Limfosit adalah leukosit agranulosit dan merupakan leukosit terbanyak di dalam darah unggas, mempunyai ukuran dan bentuk bervariasi (Sturkie dan Griminger, 1976). Limfosit diproduksi dalam tulang belakang, limfa, saluran limfa, dan timus. Fungsi utama limfosit adalah merespon adanya antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan seluler). Apabila T-limfosit mengalami ekspose terhadap antigen, T-limfosit akan dirangsang untuk berganda dengan cepat dan menghasilkan lebih banyak lagi, yang dapat bekerja langsung melawan antigen spesifik (Tizzard, 1982). Menurut Francis et al. (2002) bahwa saponin mempunyai kemampuan merangsang pembentukan antibodi dan dosis yang rendah dibutuhkan dalam aktivitas adjuvant. Persentase limfosit normal pada ayam adalah 24-84 % (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Rasio heterofil/limfosit merupakan peubah yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat stress. Rasio heterofil/limfosit akan meningkat seiring dengan meningkatnya level stres. Rasio heterofil/limfosit normal pada ayam adalah 0,32 (Sturkie dan Griminger, 1976) dan 0,5 (Swenson, 1984). Monosit. Monosit merupakan fagosit aktif serta mengandung peroksidase dan enzim lisosom. Monosit dimobilisasi bersama dengan heterofil sebagai bagian respon peradangan dan membentuk garis pertahanan kedua terhadap bakteri. Monosit memasuki sirkulasi dari sumsum tulang, tetapi setelah sekitar 24 jam ia memasuki jaringan untuk menjadi makrofag jaringan (Ganong, 1995). Monosit digolongkan sebagai sel sistem mononuklir yang berperan melakukan fagositosis, menghancurkan partikel asing dan jaringan mati kemudian mengolah bahan asing sedemikian rupa sehingga bahan asing itu dapat membangkitkan tanggap kebal (Tizzard, 1982). Persentase monosit normal adalah 10 (Swenson, 1984). Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa jumlah monosit dalam darah ayam adalah 0-30 %.
Eosinofil. Eosinofil bersifat amuboid dan fagositik. Fungsi utamanya adalah untuk toksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan oleh bakteri dan parasit. Eosinofil berkembang dalam sumsum tulang dengan waktu hanya 30 menit, sebelum bermigrasi ke dalam aliran darah tempat beredarnya. Kemudian bermigrasi ke dalam jaringan tubuh dimana memiliki waktu sekitar 12 hari. Eosinofil memiliki dua fungsi yaitu kesatu, cocok untuk menyerang dan menghancurkan larva cacing yang menyusup dan kedua, enzim eosinofil mampu menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dan karena itu mengatur perbarahan yang disebabkan oleh sel-sel ini (Tizzard, 1982). Kondisi normal persentase eosinofil adalah 3-8 % (Swenson, 1984).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2007 di Kandang C Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Fisiologi Departemen Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak, Kandang, dan Peralatan Penelitian ini menggunakan 150 ekor ayam broiler umur satu hari (DOC/day old chicks) strain Ross dan dipelihara selama lima minggu. Penelitian ini dibagi menjadi 5 perlakuan dengan 3 ulangan dengan masing-masing ulangan 10 ekor. Ayam yang digunakan untuk mengukur gambaran darah dalam penelitian ini diambil sebanyak 15 ekor pada umur 32 hari dengan masing-masing 1 ekor setiap kandang. Kandang yang digunakan berupa kandang dengan sistem litter yang telah difumigasi beralaskan sekam padi. Kandang terdiri dari 15 petak dengan ukuran 1m x 1m untuk sepuluh ekor ayam setiap kandang. Setiap petak kandang dilengkapi dengan satu tempat pakan dan satu tempat air minum serta lampu pijar 60 watt sebagai pemanas buatan. Peralatan yang digunakan diantaranya timbangan untuk menimbang tepung daun sembung, bahan baku pakan, konsumsi ransum tiap minggu, bobot badan ayam tiap minggu, plastik ransum, seng sebagai lingkar pembatas, dan termometer untuk mengukur suhu kandang. Peralatan analisis darah yang digunakan diantaranya syringe, tabung reaksi, kertas parafilm, mikroskop, termos es, pipet, seperangkat alat analisis butir darah merah, butir darah putih, hemoglobinometer Sahli, gelas objek, microcentrifuge, dan microcapillary hematokrit reader. Ransum dan Air Minum Ransum penelitian yang digunakan berdasarkan nisbah energi dan protein (energy protein ratio) yang direkomendasikan NRC (1994). Ransum dibagi menjadi dua periode yaitu periode starter (0-3 minggu) dengan kandungan energi metabolis (ME) sebesar 3000 Kal/kg dan kandungan protein 21,56% (EM/P = 139,13)
disajikan pada Tabel 3 serta periode grower-finisher (3-5 minggu) dengan kandungan energi metabolis (ME) sebesar 3000 Kal/kg dan kandungan protein 18,75% (EM/P = 160) disajikan pada Tabel 4. Bahan baku ransum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Indofeed-Bogor. Bahan-bahan tersebut adalah jagung kuning, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan, minyak kelapa, CaCO3, Dicalcium Phospat (DCP), Corn Gluten Meal (CGM), Meat and Bone Meal (MBM), Dl-methionin, L-lisin, dan premiks. Daun sembung segar yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Jatinunggal-Sumedang. Pembuatan ransum dilakukan setelah analisis daun sembung. Penelitian ini menggunakan lima perlakuan dengan masing-masing perlakuan 3 kali ulangan. Ransum perlakuan tersebut adalah : R0
: Ransum kontrol/tanpa diberi antibiotik bacitracin MD dan tepung daun sembung
R1
: Ransum R0 + antibiotik bacitracin MD dalam vitachik diberikan melalui air minum
R2
: Ransum mengandung tepung daun sembung 2%
R3
: Ransum mengandung tepung daun sembung 4%
R4
: Ransum mengandung tepung daun sembung 6% Air minum yang diberikan merupakan air yang berasal dari penampungan.
Ransum dan air minum diberikan ad libitum. Vaksinasi Vaksinasi yang dilakukan adalah vaksin ND (Newcastle Diseases) 1, ND 2, dan Gumboro. Vaksin ND 1 melalui tetes mata pada umur 3 hari. Dosis yang diberikan satu tetes setiap ekor ayam. Vaksin ND 2 pada umur 21 hari diberikan melalui air minum untuk mencegah penyakit ND (tetelo). Vaksin gumboro diberikan pada ayam umur 10 hari melalui air minum untuk mencegah penyakit gumboro. Dosis vaksin ND 2 dan vaksin gumboro berdasarkan label 500 ekor dilarutkan pada air sebanyak 5 liter, kemudian untuk 150 ekor diambil sebanyak 1,5 liter dari larutan tersebut. Jadi, setiap ekor ayam memperoleh 10 ml larutan vaksin. Setelah kurang lebih dua jam, vaksin diganti dengan air minum. Antibiotik Antibiotik yang digunakan pada penelitian ini berupa antibiotik bacitracin Methylene Disalisylate (MD) yang terdapat pada vitachick (dosis 35 g/250 g). Pada
perlakuan kontrol positif (R1), vitachick diberikan dua kali setiap hari selama 4 minggu melalui air minum Setiap pemberian air minum, pembuatan larutan vitachick yang diberikan selama 3 minggu yaitu dengan cara 3 g vitachick dilarutkan dalam 4,2 liter air untuk 30 ekor ayam (100 mg/l antibiotik bacitracin MD) sedangkan larutan vitachick yang diberikan pada minggu ke-4 yaitu dengan cara 3 g vitachik dilarutkan dalam 7,2 liter air untuk 30 ekor ayam (58,3 mg/l antibiotik bacitracin MD). Komposisi antibiotik, vitamin dan mineral sintetik dalam Vitachick disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Antibiotik, Vitamin dan Mineral Sintetik dalam Vitachick Tiap 250 g
Komposisi
35 g
Bacitracin MD
5.000.000 IU
Vitamin A
500.000 IU
Vitamin D3
2.500 IU
Vitamin E Vitamin K3
1g
Vitamin B1
2g
Vitamin B2
4g
Vitamin B6
1g
Vitamin B12
1 mg
Vitamin C
20 g
Nicotinic acid
15 g 5g
Calcium-D-pantothenate Sumber : PT. Medion (2007)
Metode Pembuatan Tepung Daun Sembung Daun sembung dilayukan di dalam ruangan (kering udara) selama 48 jam kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60°C selama 24 jam. Setelah itu daun sembung kering digiling sampai menjadi tepung daun sembung. Selanjutnya, tepung daun sembung dicampurkan dengan bahan makanan menjadi ransum komplit.
Analisis Daun Sembung Daun sembung dianalisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, IPB. Menurut Amrullah (2004) metode ini dikenal dengan nama Analisis Proksimat Weende. Selain Analisis Proksimat dilakukan juga Analisis Energi Bruto, Ca dan P terhadap tepung daun sembung. Komposisi tepung daun sembung hasil analisis laboratorium disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Tepung Daun Sembung (Blume balsamifera)* Kandungan Nutrisi
Tepung Daun Sembung
Bahan Kering (%)
88,86
Abu (%)
8,04
Protein Kasar (%)
19,76
Serat Kasar (%)
10,26
Lemak Kasar (%)
3,73
Beta-N (%)
47,07
Calsium (%)
1,22
Phospor (%)
0,34
Energi Bruto (Kal/Kg)
3952
Saponin (%)**
7,08
Tannin (%)**
4,96
Keterangan : * : ** :
Hasil analisis laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan INTP Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2007) Hasil Analisis Laboratorium Balai Penelitian Ternak (2007)
Pemberian Tepung Daun Sembung dan Formulasi Ransum Pemberian tepung daun sembung pada penelitian ini dengan cara mencampurkan tepung daun sembung dengan bahan makanan menjadi ransum komplit dalam bentuk crumble. Kadar tepung daun sembung yang dicampurkan sesuai dengan perlakuan masing-masing yaitu 2% (R2), 4% (R3) dan 6% (R4). Komposisi dan kandungan zat makanan ransum periode starter disajikan pada Tabel 3 dan periode grower-finisher pada Tabel 4.
Tabel 3. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Periode Starter (Umur 0-3 Minggu) Berdasarkan Perhitungan Bahan Makanan Jagung kuning
R0
R1
R2
R3
R4
............................................(%)............................................ 54,93 54,93 54,12 53,27 52,48
Dedak padi
3,34
3,34
3
2
2
Pollard
5
5
4,93
5
4,01
CGM
8
8
8
7,94
7,12
Daun Sembung
0
0
2
4
6
Bungkil kedelai
15
15
14
14,37
15
Tepung ikan
2
2
2
2
2
6,64
6,64
6,99
6,32
6,35
4
4
4
4
4
CaCO3
0,18
0,18
0,03
0,16
0,09
Dl-Methionin
0,21
0,21
0,21
0,21
0,22
L-lisin
0,20
0,20
0,22
0,23
0,23
Premiks*
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
MBM Minyak kelapa
Bacitracin MD (mg/l)** Jumlah
100 100
100
100
100
100
EM (Kal/kg)
3000
3000
3000
3000
3000
Bahan kering (%)
89,30
89,30
89,31
89,26
89,25
Protein kasar (%)
21,56
21,56
21,56
21,56
21,56
Serat kasar (%)
2,61
2,61
2,70
2,70
2,80
Lemak kasar (%)
6,64
6,64
6,99
6,21
6,24
Ca (%)
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
P tersedia (%)
0,47
0,47
0,45
0,45
0,45
Lisin (%)
1,1
1,1
1,1
1,1
1,1
Methionin (%)
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Sistin + Methionin
1,01
1,01
1,01
1,00
0,98
Kandungan Zat Makanan :
Keterangan: R0=Ransum kontrol/tanpa antibiotik bacitracin MD dan tepung daun sembung; R1=Ransum R0+antibiotik bacitracin MD dalam air minum; R2=ransum mengandung tepung daun sembung 2%; R3=ransum mengandung tepung daun sembung 4% dan R4=ransum mengandung tepung daun sembung 6%. * Komposisi premiks dapat dilihat pada lampiran 17 ** Bacitracin MD dalam vitachick (35 g/250 g) diberikan melalui air minum
Tabel 4. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Periode Grower Finisher (Umur 3-5 Minggu) Berdasarkan Perhitungan Bahan Makanan Jagung kuning
R0
R1
R2
R3
R4
..........................................(%)........................................... 59,59 59,59 59,30 59 58,30
Dedak padi
4
4
4,96
3
3
Pollard
4
4
2
2,28
1,59
Daun Sembung
0
0
2
4
6
Bungkil kedelai
13,70
13,70
13
14,60
14,55
Tepung ikan
10,50
10,50
11,23
9,39
8,80
2
2
1,8
2
2
Minyak kelapa
5,5
5,5
5
5
5
CaCO3
0,13
0,13
0,13
0,13
0,13
Dl-Methionin
0,08
0,08
0,08
0,10
0,11
0
0
0
0
0,02
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
100
100
100
100
MBM
L-lisin Premiks* Bacitracin MD (mg/l)** Jumlah
58,3 100
Kandungan Zat Makanan : EM (Kal/kg)
3003
3003
3001
3004
3002
Bahan Kering (%)
89,37
89,37
89,30
89,31
89,30
Protein Kasar (%)
18,81
18,81
18,88
18,90
18,76
Serat Kasar (%)
2,53
2,53
2,68
2,56
2,68
Lemak Kasar (%)
8,54
8,54
8,18
7,96
7,94
Ca (%)
0,92
0,92
0,95
0,91
0,90
P tersedia (%)
0,49
0,49
0,50
0,46
0,44
Lisin (%)
1,06
1,06
1,06
1,02
1,00
Methionin (%)
0,38
0,38
0,38
0,38
0,38
Sistin + Methionin (%)
0,69
0,69
0,69
0,70
0,70
Keterangan: R0=Ransum kontrol/tanpa antibiotik bacitracin MD dan tepung daun sembung; R1=Ransum R0+antibiotik bacitracin MD dalam air minum; R2=ransum mengandung tepung daun sembung 2%; R3=ransum mengandung tepung daun sembung 4% dan R4=ransum mengandung tepung daun sembung 6%. * Komposisi premiks dapat dilihat pada lampiran 17 ** Bacitracin MD dalam vitachick (35 g/250 g) diberikan melalui air minum
Rancangan Percobaan Model dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan, apabila berbeda antar perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan. Analisis data menggunakan program statistik dengan komputer yaitu program SPSS 12.0. Model matematika dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993): Yij = µ + τi + Єij Keterangan: Yij
= Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
τi
= Efek perlakuan
Єij
= Error perlakuan ke-i dan ke-j
Peubah yang Diamati 1. Jumlah Eritrosit (106/mm3) 2. Hematokrit (PVC/Packed Cell Volume) (%) 3. Hemoglobin (g %) 4. MCV (fl) dan MCHC (%) 5. Jumlah Leukosit (103/mm3) 6. Differensiasi leukosit (%) Prosedur Analisis Darah Pengambilan darah Pengambilan darah dilakukan pada ayam broiler umur 32 hari. Setiap kandang diambil sebanyak satu ekor ayam untuk dijadikan sampel. Pengambilan darah dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan berupa syringe, tabung reaksi, kapas, Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA), termos es, es batu, dan alkohol. Pengambilan darah dilakukan dengan cara membersihkan leher ayam dengan alkohol 70%, kemudian syringe disuntikkan pada pembuluh darah vena jugularis. Darah diambil sebanyak 2 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang telah diberi antikoagulan berupa EDTA untuk menghindari pembekuan darah, kemudian disimpan dalam termos es sampai dilakukan analisis (Sastradipradja et al., 1989).
Jumlah Eritrosit Menurut Sikar et al. (1984) pengambilan darah dari tabung menggunakan pipet eritrosit dengan bantuan alat pengisap (aspirator) sampai batas angka 1,0. Ujung pipet dibersihkan dengan tisu. Larutan pengencer Rees and Ecker diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet eritrosit, kemudian pipa aspirator dilepaskan. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan, kemudian isi pipet dikocok dengan membentuk gerakan angka 8, dan cairan yang tidak ikut terkocok dibuang. Setetes cairan dimasukkan kedalam kamar hitung dan biarkan butir-butir yang ada di dalam kamar hitung mengendap. Butir darah merah dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400 kali (a). Untuk menghitung eritrosit dalam hemocytometer neubeur, digunakan kotak eritrosit yang berjumlah 25 buah dengan mengambil bagian sebagai berikut: satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak di tengah, satu kotak pojok kanan bawah dan satu kotak pojok kiri bawah. Untuk membedakan kotak eritrosit dengan kotak leukosit dapat berpatokan pada tiga garis pemisah pada kotak eritrosit serta luas kotak eritrosit yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kotak leukosit. Setelah jumlah eritrosit didapatkan maka jumlah darah dikalikan dengan 5000, untuk mengetahui jumlah eritrosit dalam 1 mm3 darah. Angka 5000 merupakan perkalian dari tebal kamar hitung 1/10 mm, panjang kamar hitung 1/5 mm, lebar 1/5 mm dan 5 kotak kamar hitung dalam mm3 kemudian dikalikan dengan larutan pengencer 100. Jumlah eritrosit dapat dihitung dengan rumus dibawah ini: Jumlah Eritrosit per mm3 darah = a x 5 x 103 butir Hematokrit Menurut Sastradipradja et al. (1989) nilai hematokrit ditentukan dengan metode mikrohematokrit. Darah dari tabung ditempelkan dengan ujung mikrokapiler yang bertanda (merah atau biru). Darah dibiarkan mengalir sampai 4/5 bagian pipa kapiler terisi kemudian ujung pipa kapiler disumbat dengan crestaseal (penyumbat). Pipa kapiler tersebut ditempatkan di microcentrifuge selama lima menit dengan kecepatan 12.000 rpm, kemudian terbentuk lapisan plasma, lapisan putih abu, dan lapisan merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit
(lapisan merah) dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (microcapillary hematokrit reader). Hemoglobin Kadar hemoglobin dihitung dengan menggunakan metode Sahli. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0,1N sampai angka 10. Darah diisap sampai batas 20 cmm (0,02 ml) dengan pipet Sahli dan aspirator. Darah dimasukkan ke dalam tabung Sahli
dan
diletakkan
diantara
kedua
bagian
standar
warna
dalam
alat
hemoglobinometer, kemudian dibiarkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin berwarna coklat. Ditambahkan setetes demi setetes aquadestilata dengan pipet sambil diaduk, sampai warna larutan darah sama dengan warna standar. Perhitungan kadar hemoglobin dilakukan dengan membaca tinggi permukaan cairan pada tabung Sahli, dengan melihat skala g % yang berarti banyaknya hemoglobin dalam gram per 100 ml darah (Sastradipradja et al., 1989). MCV dan MCHC Menurut Sastradipradja et al. (1989) nilai MCV dan MCHC dihitung dengan menggunkan rumus berikut ini, MCV (fl) adalah : Hematokrit X 10 Σ Eritrosit MCHC (%) adalah : Hemoglobin X 100 Σ Hematokrit Jumlah Leukosit Menurut Sikar et al. (1984) pengambilan darah dilakukan menggunakan pipet eritrosit dengan bantuan alat pengisap (aspirator) sampai batas angka 1,0. Ujung pipet dibersihkan dengan tissu. Larutan pengencer Rees and Ecker diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet eritrosit, kemudian pipa aspirator dilepaskan. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan, Isi pipet dikocok dengan membentuk gerakan angka 8, dan cairan yang tidak ikut terkocok dibuang. Setetes cairan dimasukkan ke dalam kamar hitung dan dibiarkan butir-butir yang ada di dalam kamar hitung mengendap. Butir darah putih dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400 kali. Untuk menghitung leukosit dalam
hemocytometer neubauer, digunakan kotak leukosit yang berjumlah 5 buah dari 9 kotak utama dengan mengambil bagian sebagai berikut : satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak di tengah, satu kotak pojok kanan bawah dan satu kotak pojok kiri bawah. Jumlah leukosit yang didapat dari hasil perhitungan dengan mikroskop (b) dikalikan 200 untuk mengetahui jumlah leukosit setiap 1 mm3 darah. Angka 200 diperoleh dengan cara mengalikan 5 kotak ruang hitung, panjang 1 mm, lebar 1 mm, dan tebal 1/10 mm kemudian dijadikan 1 mm3 setelah itu dikali faktor pengencer sebesar 100. Jumlah leukosit dapat dihitung dengan rumus dibawah ini. Jumlah Leukosit per mm3 darah = b x 2 x 102 butir
Differensiasi leukosit Darah dibuat preparat ulas ±2 cm dari ujung gelas objek. Preparat ulas difiksasi dengan metanol 75% selama 5 menit kemudian diangkat sampai kering udara. Ulasan darah direndam dengan larutan giemsa selama 30 menit, diangkat dan dicuci dengan menggunakan air kran yang mengalir untuk menghilangkan zat warna yang berlebihan, kemudian dikeringkan dengan kertas isap. Preparat ulas diletakkan dibawah mikroskop pembesaran 1000 kali dan ditambahkan minyak imersi kemudian dihitung limfosit, heterofil, monosit, basofil, dan eosinofil secara jigjag dengan pembesaran 1000 kali sampai jumlah total 100 butir leukosit (Sastradipradja et al., 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Darah Darah merupakan suatu cairan dalam tubuh yang mengalir melalui pembuluh darah ke seluruh organ tubuh. Darah sangat berperan dalam proses pengangkutan sari-sari makanan, sisa-sisa metabolisme, oksigen, karbondioksida, memiliki kemampuan respon kebal dan mempertahankan homeostasis tubuh. Darah dalam tubuh dibagi menjadi tiga yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit. Darah dapat dijadikan sebagai indikasi adanya gangguan fisiologi dalam tubuh ternak karena darah berperan sebagai media homeostasis. Penelitian ini mengamati profil darah ayam broiler periode finisher meliputi eritrosit, leukosit, hemoglobin, hematokrit, dan differensiasi leukosit. Rataan jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar hemoglobin dan jumlah leukosit dalam darah ayam broiler periode finisher disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit, Kadar Hemoglobin dan Jumlah Leukosit dalam Darah Ayam Broiler Periode Finisher Perlakuan R0
Eritrosit (106/mm3) 2,53±0,29
Nilai Hematokrit Hemoglobin (%) (g %) 24,83±0,76 8,07±0,23
Leukosit (103/mm3) 21,07A±5,55
R1
2,64±0,41
23,50±1,64
7,93±0,42
27,07A±7,30
R2
2,25±0,51
24,58±3,26
8,07±0,64
44,00B±1,83
R3
2,54±0,27
25,33±3,75
8,00±0,53
42,60B±5,57
R4
2,58±0,14
26,08±0,80
7,73±0,12
22,93A±6,92
Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) R0=Ransum kontrol/tanpa antibiotik bacitracin MD dan tepung daun sembung; R1=Ransum R0+antibiotik bacitracin MD dalam vitachick diberikan melalui air minum (kontrol positif); R2=ransum mengandung tepung daun sembung 2%; R3=ransum mengandung tepung daun sembung 4% dan R4=ransum mengandung tepung daun sembung 6%.
Eritrosit Eritrosit merupakan sel darah yang mempunyai nukleus dan berperan dalam membawa hemoglobin dengan mengikat oksigen ke seluruh tubuh. Rataan jumlah eritrosit ayam hasil penelitian (Tabel 5) berkisar 2,25-2,64 x 106/mm3. Berdasarkan hasil analisis ragam, penggunaan tepung daun sembung (Blumea balsamifera) dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap rataan jumlah eritrosit ayam broiler.
Jumlah eritrosit ayam pada semua perlakuan masih berada dalam kisaran normal sesuai dengan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa jumlah eritrosit berada pada kisaran normal yaitu 2,0–3,2 x 106/mm3. Hal ini menandakan bahwa zat aktif yang terkandung dalam daun sembung berupa saponin dan tanin tidak mengganggu jumlah eritrosit sehingga kondisi ayam sehat. Menurut Sturkie dan Griminger (1976) menyatakan bahwa jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, hormon, dan hipoksia (kekurangan oksigen). Semakin dewasa umur ayam maka jumlah eritrositnya meningkat. Ayam dengan jenis kelamin jantan jumlah eritrositnya lebih tinggi dibandingkan betina. Produksi sel darah merah diatur oleh salah satu hormon eritropoietin yang dihasilkan di ginjal. Keadaan hipoksia (kekurangan oksigen) akan merangsang pembentukan eritrosit karena oksigen diikat oleh hemoglobin dan dibawa oleh eritrosit. Swenson (1984) bahwa ketebalan dan diameter eritrosit dipengaruhi oleh status nutrisi dan spesies hewan. Jumlah eritrosit setiap perlakuan adalah normal. Hal ini menandakan bahwa proses metabolisme dalam tubuh berlangsung normal dan nutrisi yang dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah terutama protein dan vitamin sudah mencukupi kebutuhan ayam sehingga kesehatan tubuh ayam optimal. Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006) bahwa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi pembentukan eritrosit adalah protein, vitamin B2, B12, dan folic acid. Protein berperan sebagai komponen sel darah merah. Vitamin B2 berperan dalam mengaktifkan asam folat menjadi koenzim. Vitamin B12 berperan dalam pematangan sel darah merah serta asam folat berperan dalam sintesis DNA (Deoxyribonucleatide acid) dan pematangan sel darah merah. Penambahan tepung daun sembung dalam ransum yang mengandung zat aktif saponin dan tanin tidak mengganggu pembentukan eritrosit sehingga jumlah eritrosit masih dalam keadaan normal. Menurut Sulaksana dan Darmono (2005) bahwa daun sembung dapat membantu peningkatan sirkulasi darah dalam memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi organ. Selain itu, kandungan saponin dan tanin yang disumbangkan oleh tepung daun sembung sampai taraf 4% dalam ransum masih berada dibawah batas toleransi untuk ayam broiler, sehingga tidak mengganggu metabolisme dalam tubuh. Besarnya tanin dalam ransum pada perlakuan 2% sebesar 1 g/kg dan perlakuan 4% sebesar 2 g/kg. Batas toleransi
tanin dalam ransum ayam broiler sebesar 2,6 g/kg (Kumar et al., 2005). Besarnya saponin dalam ransum pada perlakuan 2% tepung daun sembung sebesar 1,4 g/kg dan pada perlakuan 4% sebesar 2,83 g/kg. Batas toleransi saponin dalam ransum ayam broiler sebesar 0,37% yang setara dengan 3,7 g/kg ransum (FAO, 2005). Penggunaan tepung daun sembung pada taraf 6% sudah melebihi batas toleransi yaitu kandungan tanin sebesar 3 g/kg dan saponin 4,25 g/kg, namun tidak mengganggu jumlah eritrosit. Darah selalu mempertahankan kondisi yang stabil agar proses fisiologi dalam tubuh berfungsi normal. Menurut Dellmann dan Brown (1992), fungsi utama darah adalah untuk mempertahankan homeostatis tubuh. Adanya tanin dan saponin yang mempunyai kemampuan mengikat protein dalam ransum tidak mempengaruhi jumlah eritrosit sehingga jumlah eritrosit tetap normal. Hal ini disebabkan karena protein yang dibutuhkan untuk pembentukan darah selain dari ransum juga diambil dari cadangan protein dalam tubuh. Hal tersebut terlihat pada semakin tinggi penambahan tepung daun sembung periode grower-finisher mengakibatkan pertambahan bobot badan menurun sehingga bobot badan ayam broiler kecil. Nilai Hematokrit Nilai
hematokrit
merupakan
suatu
istilah
yang
artinya
persentase
(berdasarkan volume) dari darah yang terdiri dari sel-sel darah merah setelah disentrifusi (Frandson, 1992). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran sel darah merah (Sturkie dan Griminger, 1976). Rataan nilai hematokrit ayam broiler periode finisher disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai hematokrit ayam broiler, yang artinya pemberian tepung daun sembung sebagai antibiotik tidak mengganggu nilai hematokrit. Nilai hematokrit hasil penelitian ini berkisar antara 23,50-26,08 % yang masih berada pada kisaran normal. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa nilai hematokrit normal pada ayam berkisar antara 24-43 %. Nilai hematokrit berada pada kisaran normal. Hal ini disebabkan jumlah eritrosit dan hemoglobin ayam dalam keadaan normal. Hematokrit merupakan persentase volume darah yang mengandung sel darah merah (Ganong, 1995). Zat aktif daun sembung berupa saponin dan tanin tidak mengganggu nilai hematokrit ayam broiler.
Kadar Hemoglobin Hemoglobin berkaitan erat dengan eritrosit dan hematokrit. Hemoglobin merupakan protein sederhana, pemberi warna merah pada eritrosit, dan berfungsi dalam mengikat oksigen. Rataan hemoglobin ayam broiler periode finisher disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan analisis ragam bahwa setiap perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar hemoglobin. Hal ini menunjukan bahwa penambahan tepung daun sembung tidak mengganggu nilai hemoglobin ayam. Kadar hemoglobin ayam setiap perlakuan berkisar antara 7,73-8,07 g % yang masih berada pada kisaran normal. Menurut Swenson (1984) bahwa kadar hemoglobin normal adalah 6,5-9 g %. Penggunaan tepung daun sembung sampai level 6% mampu mempertahankan kadar hemoglobin dalam kondisi normal sehingga fisiologi ayam tidak mengalami gangguan. Hal ini disebabkan karena ransum mengandung protein, vitamin, dan mineral seperti zat besi 150,5 ppm, Cu 10,31 ppm, dan Zn 106 ppm. Penambahan tepung daun sembung dalam ransum tidak mengganggu kadar hemoglobin karena daun sembung mengandung protein kasar yang tinggi sekitar 19,76% yang membantu mencukupi kebutuhan protein dalam ransum. Zat besi merupakan pembentuk molekul hemoglobin sedangkan Cu merupakan koenzim dalam pembentukan hemoglobin (Swenson, 1984). Pembentukan hemoglobin dimulai dari succinyl-co yang dibentuk dalam siklus kreb yang berikatan dengan asam amino glysin untuk membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung membentuk protoporfirin IX dan bergabung dengan besi membentuk molekul heme. Heme bergabung dengan protein globin membentuk rantai hemoglobin (Guyton dan Hall, 1997). Menurut Frandson (1992) hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang komplek terdiri dari empat figmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular. Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006) bahwa asam pantothenat berperan dalam mensintesis porphyrin untuk pembentukan hemoglobin. Zat aktif daun sembung berupa tanin sebesar 4,96% dan saponin 7,08% tidak mempengaruhi kadar hemoglobin tetapi tetap mempertahankan kadar hemoglobin dalam kisaran normal. Kadar hemoglobin ayam broiler yang diberi penambahan tepung daun sembung 6% mengalami penurunana sebesar 4% dari R0. Hal ini diduga karena daun sembung
mengandung saponin yang diatas batas toleransi. Saponin memiliki kemampuan berikatan dengan atom ion bervalensi 2, dalam hal ini yaitu ion Fe2+ membentuk senyawa komplek (Francis et al. 2002). Saponin membentuk senyawa komplek dengan Fe2+ menyebabkan ketersediaan Fe2+ menjadi berkurang sehingga mengakibatkan kadar Hb rendah. Selain itu, adanya tanin yang mampu berikatan dengan protein juga dapat mengganggu pembentukan hemoglobin. Hemoglobin masih dalam kisaran normal walaupun protein dan Fe2+ berikatan dengan tanin dan saponin. Untuk menstabilkan hemoglobin, pemenuhan kebutuhan sumber protein dan Fe2+ dalam pembentukan hemoglobin diambil dari cadangan tubuh sehingga terlihat pada ayam periode grower-finisher mengalami pertumbuhan yang lambat karena nutrisinya untuk pertumbuhan berkurang. MCV dan MCHC MCV dan MCHC berperan dalam menetukan tipe anemia. MCV adalah suatu cara yang sering digunakan untuk mengukur volume rata-rata dari sel darah merah dengan membagi hematokrit dengan sel darah merah sedangkan MCHC mengukur konsentrasi rata-rata hemoglobin dalam sel darah merah. Ukuran ini diperoleh dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Data Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) dari darah ayam penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai MCV dan MCHC Darah Ayam Periode Finisher Parameter
R0
R1
R2
R3
R4
MCV (fl)
98,72
89,81
110,98
99,43
101,30
MCHC (%)
32,49
33,84
32,98
31,91
29,66
Keterangan : R0=Ransum kontrol/tanpa antibiotik bacitracin MD dan tepung daun sembung; R1=Ransum R0+antibiotik bacitracin MD dalam vitachick diberikan melalui air minum (kontrol positif); R2=ransum mengandung tepung daun sembung 2%; R3=ransum mengandung tepung daun sembung 4% dan R4=ransum mengandung tepung daun sembung 6%.
MCV mengkategorikan sel darah merah berdasarkan ukuran. Sel yang mempunyai ukuran normal disebut normositik, sel yang mempunyai ukuran kecil disebut mikrositik dan sel yang mempunyai ukuran besar disebut makrositik. Ukuran sel darah merah ini juga digunakan untuk mengklasifikasikan anemia. Pada anemia normositik sel darah merah berukuran normal dan MCV normal, pada anemia
mikrositik sel darah merah berukuran kecil dan MCV menurun serta pada anemia makrositik sel darah merah berukuran besar dan MCV meningkat (Nordenson, 2007). Berdasarkan hasil analisis ragam bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai MCV. Nilai MCV berkisar antara 89,81-110,98 fl. Nilai MCV pada semua perlakuan berada pada kisaran normal. Menurut Hodges (1977), MCV normal berkisar antara 90-140 fl. MCV pada penelitian ini menggambarkan sel darah merah yang mempunyai ukuran normal sehingga dikategorikan sebagai anemia normositik. Hal ini menandakan bahwa ayam tidak menderita anemia. MCHC
mengkategorikan
sel
darah
merah
berdasarkan
konsentrasi
hemoglobin. Sel darah merah dengan konsentrasi hemoglobin yang normal disebut normokromik dan sel darah merah dengan konsentrasi hemoglobin yang rendah disebut hipokromik (Nordenson, 2007). Nilai MCHC merupakan hasil pengukuran konsentrasi rata-rata hemoglobin dalam sel darah merah. Ukuran ini diperoleh dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit dikalikan 100. Nilai MCHC pada penelitian ini (Tabel 6) berkisar antara 29,66-33,84 %. Nilai MCHC masih berada pada kisaran normal sesuai dengan pernyataan Hodges (1977) yaitu berkisar antara 26-35 %. Sel darah merah dan hemoglobin pada penelitian ini berada pada kisaran normal sehingga dikategorikan anemia normokromik. Hal ini menandakan bahwa ayam tidak menderita anemia. Zat aktif saponin dan tanin yang terdapat dalam tepung daun sembung tidak menganggu jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan hemoglobin walaupun zat aktif diberikan sampai periode grower-finisher sehingga tidak mempengaruhi nilai MCV dan MCHC. Hal ini disebabkan karena jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan hemoglobin berperan dalam mengatur sirkulasi dalam tubuh terutama membawa oksigen dan zat makanan yang diperlukan oleh tubuh. Leukosit Leukosit merupakan sel darah yang memiliki inti sel dan memiliki kemampuan gerak yang independen (Frandson, 1992). Leukosit berperan dalam merespon kekebalan tubuh. Berdasarkan analisis ragam bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rataan jumlah leukosit. Rataan jumlah leukosit ayam broiler penelitian berkisar antara 21,07-44,00 x 103/mm3. Jumlah
leukosit pada kontrol, penambahan antibiotik bacitracin dan penambahan tepung daun sembung 6% nyata lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah leukosit pada ayam yang diberi tepung daun sembung 2% dan 4%. Penggunaan antibiotik bacitracin MD mampu mempertahankan jumlah leukosit dan tubuh ayam menjadi lebih tahan terhadap serangan penyakit. Antibiotik bacitracin MD merupakan obat sintetik yang digunakan untuk membunuh bakteri terutama bakteri gram positif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sturkie dan Griminger (1976) bahwa jumlah leukosit dipengaruhi oleh jenis kelamin, stress, pakan, umur, lingkungan, dan obat-obatan. Pemberiaan tepung daun sembung sebesar 2% (R2) dan 4% (R3) dalam ransum sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan R0, R1, dan R4. Rataan jumlah leukosit pada ayam yang diberi perlakuan tepung daun sembung pada level 2% dan 4% sebesar 44 x 103/mm3 dan 42,60 x 103/mm3, sedangkan pada level 6% menjadi menurun yaitu sebesar 22,93 x 103/mm3. Peningkatan jumlah leukosit pada level 2% dan 4% tepung daun sembung berturut-turut lebih tinggi sebesar 62,50% dan 57,37% dari kontrol (R1). Hal ini disebabkan adanya respon kebal pada ayam akibat penambahan tepung daun sembung dalam ransum yang mengandung zat aktif saponin dan tanin. Daun sembung mengandung zat aktif saponin yang dapat merangsang kekebalan tubuh ayam. Hasil ini sesuai dengan pemberian daun kelor 5% dan 10% dalam ransum yang dilakukan oleh Budi (2005), rata-rata jumlah leukosit pada umur ayam 4 minggu naik sebesar 46,6 x 103/mm3 dan 55,4 x 103/mm3 disebabkan oleh daun kelor yang mengandung zat aktif berupa saponin. Menurut Francis et al. (2002) bahwa saponin mempunyai kemampuan merangsang sel immun untuk meningkatkan pembentukan antibodi sehingga dapat berperan sebagai immunostimulator. Selain itu, saponin yang terdapat dalam daun sembung sampai taraf 4% dalam ransum masih berada dibawah batas toleransi. Batas toleransi saponin dalam ransum ayam broiler sebesar 0,37% yang setara dengan 3,7 g/kg ransum (FAO, 2005). Kandungan saponin pada level daun sembung 2% adalah 1,4 g/kg dan perlakuan 4% sebesar 2,83 g/kg. Rataan jumlah leukosit pada ayam broiler dengan pemberian tepung daun sembung 6% mengalami penurunan 15,29% dibandingkan kontrol (R1). Hal ini disebabkan karena terjadi penekanan kekebalan tubuh akibat adanya zat aktif berupa saponin pada daun sembung. Kandungan saponin tepung daun sembung pada taraf
6% dalam ransum berada diatas normal pada ayam broiler yaitu sebesar 4,25 g/kg sedangkan batas toleransi penggunaan saponin adalah 3,7 g/kg (FAO, 2005). Saponin dalam jumlah banyak mempunyai kemampuan membentuk ikatan komplek dengan protein sehingga menyebabkan penurunan protein yang dapat dicerna (Francis et al., 2002). Protein merupakan molekul pembentuk antibodi. Jenis protein sebagai komponen pembentuk antibodi adalah globulin (Tizzard, 1982). Protein yang dapat dicerna rendah menyebabkan protein globulin yang dibutuhkan juga rendah sehingga antibodi yang terbentuk sedikit dan berpengaruh terhadap penurunan jumlah leukosit. Jumlah leukosit menurun menyebabkan penurunan respon kekebalan sehingga daya tahan tubuh ayam menurun. Selain itu, diperkuat dengan adanya kematian ayam broiler pada perlakuan pemberian tepung daun sembung 6% yang mengalami immunosupresi. Selain itu, tanin dalam tepung daun sembung pada taraf 6% juga berada diatas batas toleransi yaitu sebesar 3 g/kg sedangkan batas toleransi tanin dalam ransum ayam broiler sebesar 2,6 g/kg (Kumar et al., 2005). Adanya tanin ini akan mempengaruhi proses pembentukan jumlah leukosit karena tanin mampu berikatan dengan protein. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak karena tanin dapat mengikat protein (Kumar et al., 2005). Protein ini merupakan komponen utama pembentuk leukosit sehingga jika protein berikatan dengan tanin, maka ketersediaan protein untuk pembentukan akan sedikit. Faktor ini juga yang akan menyebabkan produksi leukosit menurun. Differensiasi Leukosit Differensiasi leukosit diklasifikasikan sedikitnya 100 leukosit berdasarkan jenis sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih normal dikelompokan menjadi granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari heterofil, eosinofil, dan basofil sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit (Swenson, 1984). Rataan persentase heterofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan heterofil/limfosit disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Persentase Heterofil, Limfosit, Monosit, Eosinofil, dan Heterofil/Limfosit dalam Darah Ayam Broiler Periode Finisher Perlakuan R0
Heterofil (%) 27,67±4,04
Limfosit (%) 64,33±4,73
Monosit (%) 5,33±0,58
Eosinofil (%) 2,67±0,58a
Heterofil/ Limfosit 0,43±0,10
R1
27,33±1,53
62,33±3,79
6,00±2,00
4,33±2,31ab
0,44±0,03
R2
24,67±4,73
63,00±4,36
5,67±1,15
6,67±1,53bc
0,39±0,11
R3
24,67±2,52
65,67±3,21
4,33±2,08
5,33±1,53abc
0.38±0,05
R4
29,67±3,06
56,67±4,16
6,33±1,15
7,33±1,15c
0,52±0,10
Keterangan: Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) R0=Ransum kontrol/tanpa antibiotik bacitracin MD dan tepung daun sembung; R1=Ransum R0+antibiotik bacitracin MD dalam vitachick diberikan melalui air minum (kontrol positif); R2=ransum mengandung tepung daun sembung 2%; R3=ransum mengandung tepung daun sembung 4% dan R4=ransum mengandung tepung daun sembung 6%.
Heterofil. Heterofil memiliki peranan sebagai penghancur bahan asing melalui proses fagositosis dan sebagai garis pertahanan pertama bagi tubuh. Fagositosis merupakan proses pemakanan oleh sel yang mencakup proses kemotaksis, pelekatan, penelanan, dan pencernaan partikel (Tizzard, 1982). Rataan persentase heterofil pada ayam penelitian berkisar antara 29,67% dan 24,67%. Persentase heterofil ini berada pada kisaran normal menurut Swenson (1984) yaitu 25-30 % (Swenson, 1984). Berdasarkan analisis ragam, penggunaan tepung daun sembung dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap persentase heterofil. Penggunaan tepung daun sembung sampai taraf 6% tidak mengganggu persentase heterofil. Hal ini disebabkan karena daun sembung yang mengandung tanin dan saponin berfungsi sebagai antibakteri (bakterisidal) (Mursito, 2002) sehingga kerja heterofil dalam memfagositosis berkurang. Zat aktif saponin dan tanin dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Menurut
Francis et
al.
(2002)
bahwa
saponin
dapat
berperan
sebagai
immunostimulator. Limfosit. Limfosit memasuki aliran darah dari kebanyakan bagian melalui pembuluh limfe. Limfosit berperan dalam merespon antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan seluler). Rataan persentase limfosit berkisar antara 56,67-65,67 %. Berdasarkan analisis ragam bahwa setiap perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap persentase limfosit. Persentase limfosit berada pada kisaran normal yaitu sekitar 24-84 % (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Penggunaan tepung daun sembung tidak mengganggu persentase limfosit. Hal ini disebabkan karena saponin mempunyai kemampuan merangsang respon kebal dengan membentuk antibodi (Francis et al., 2002). Rasio heterofil dan limfosit pada penelitian ini berkisar antara 0,39-0,52. Rasio heterofil limfosit ini berada pada kisaran normal bahwa kisaran normal yaitu antara 0,32-0,50 (Sturkie dan Griminger, 1976; Swenson, 1984). Hal ini diduga bahwa zat aktif berupa saponin dan tanin dalam daun sembung dapat meredam stres sehingga tidak mengganggu kesehatan ayam akibat stres. Monosit. Monosit merupakan sel darah putih yang menyerupai heterofil, bersifat fagositik; yaitu kemampuan untuk menerkam material asing, seperti bakteria (Frandson, 1992). Berdasarkan analisis ragam bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase monosit. Rataan persentase monosit ayam berkisar antara 4,33-6,33 % masih dalam keadaan normal. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa jumlah monosit dalam darah ayam adalah 0-30 %. Penggunaan tepung daun sembung tidak menimbulkan pengaruh buruk terhadap kondisi ayam karena respon ayam yang diberi ransum tanpa daun sembung dan penambahan daun sembung tidak memberikan pengaruh yang berbeda. Ayam broiler pada semua perlakuan tidak mengalami infeksi. Monosit bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut (Frandson, 1992). Monosit dimobilisasi bersama dengan heterofil sebagai respon peradangan dan membentuk garis pertahanan kedua terhadap infeksi bakteri (Ganong, 1995). Eosinofil. Eosinofil merupakan sel darah putih yang sitoplasmanya bergranula berwarna eosin (Tizzard, 1982). Rataan persentase eosinofil ayam penelitian berkisar antara 2,67-7,33 %. Berdasarkan analisis ragam, perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase eosinofil. Persentase eosinofil ayam broiler berbeda pada perlakuan tanpa penggunaan tepung daun sembung dengan penggunaan tepung daun sembung. Persentase eosinofil pada ayam yang mengkonsumsi ransum dengan ditambahkan tepung daun sembung sampai level 6% lebih tinggi dibandingkan dengan ransum tanpa tepung daun sembung. Perlakuan tanpa penggunaan antibiotik bacitracin MD dan tanpa tepung daun sembung memiliki persentase eosinofil yang
rendah yaitu dibawah kisaran normal. Kondisi normal persentase eosinofil adalah 3-8 % (Swenson, 1984). Persentase eosinofil ayam yang mengkonsumsi ransum dengan penambahan tepung daun sembung sampai taraf 6% nyata mengalami peningkatan dibandingkan dengan kontrol. Fungsi eosinofil berperan dalam mengatur peradangan yang disebabkan oleh sel-sel (Tizzard, 1982). Adanya kandungan saponin yang tinggi sebesar 4,25 g/kg pada perlakuan tepung daun sembung 6% mengakibatkan iritasi mukus saluran pencernaan sehingga merangsang terbentuknya eosinofil yang meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Francis et al. (2002) bahwa saponin dalam jumlah banyak dan diberikan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan iritasi mukus saluran pencernaan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung daun sembung sampai dengan taraf 6% dalam ransum: 1) Tidak mempengaruhi nilai eritrosit, nilai hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCHC, limfosit, heterofil, monosit, dan rasio heterofil/limfosit. 2) Penggunaan tepung daun sembung sampai taraf 4% dapat meningkatkan jumlah leukosit sehingga dapat dijadikan sebagai pengganti antibiotik bacitracin MD. 3) Penggunaan tepung daun sembung pada taraf 6% dapat menurunkan jumlah leukosit yang dapat mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh ayam. 4)
Peningkatan eosinofil pada perlakuan penggunaan tepung daun sembung 6% diduga karena terjadinya iritasi mukus saluran pemcernaan akibat tingginya saponin. Saran Penggunaan tepung daun sembung pada taraf 6% tidak dianjurkan diberikan
kepada ayam broiler sampai periode finisher karena mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh ayam.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi sebagai salah satu syarat mendapat gelar kesarjanaan dari program studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam senantiasa penulis curahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW. Atas selesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1) Bapak (Iskandar, S.Pd) dan Mamah (Tati Rohaeti) sebagai orangtua yang telah membantu dalam berbagai hal baik berupa finansial maupun kasih sayangnya yang tulus, kakak saya (Ope Permana, S.Hut) yang selalu memberikan dukungan, bantuan, dan kasih sayang, adik-adik saya (Euis dan Ramdan) yang selalu memicu semangat. Saudara sepupu (Asep) yang membantu kelancaran penelitian dan semua keluarga besar saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu 2) Dr. Ir. Sumiati, MSc.dan Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. selaku pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan motivasinya, serta Dr. Ir. Hj. Nuraeni R. Sigit, MS selaku pembimbing akademik yang selalu membimbing 3) Dr. Ir. Rita Mutia, MSc dan Ir. Bambang Pangestu, MS selaku dosen penguji pada ujian sidang sarjana 4) Teman-teman satu penelitian, Heksa, Siti Maelani, dan Arif yang bersama-sama berjuang dalam penelitian ini. Temen-teman yang telah membantu kelancaran penelitian ini yaitu Yusup, mas Mulyanto, Mahareni, Alfian, feedlot, WBA, temen-temen INTP 41 dan 40 atas dukungannya 5) Bu Lanjar atas bantuan dan dukungan dalam penelitian ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga atas selesainya tugas akhir ini, gelar kesarjanaan penulis dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya untuk semua kalangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Agroforestry database .2007. Blumea balsamifera.http://www.worldagroforestrycentre.org/SEA/Product/AFDbase/AF/asp/Speciesinfo.asp?SpID=18102 [7 April 2007] Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Ketiga. Lembaga Gunungbudi. Bogor. BPS. 2004. Statistik Indonesia 2001. Jakarta. Budi, A. S. 2005. Gambaran hematologi ayam broiler yang diberi pakan mengandung 5% dan 10% tepung daun kelor (Moringa oleifera Lamk). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dallas, S. E. 2002. Animal Biology and Care. Blackwell Publishing. Oxford. Dellman, H. D. dan E. M. Brown. 1992. Histologi Veteriner. Terjemahan: R. Hartono. Universitas Indonesia, Jakarta. Ensminger, M. E. 1991. Animal Science (Animal Agricultur Series). 9th Edition. Interstate Publishers, INC. Danville, Illinois. FAO. 2005. Endogenous and exogenous feed toxins. http://www.fao.org/docrep /article/agrippa/659 en-10.htm#TopOfPage [10 Februari 2008] Francis, G., Z. Kerem., H. P. S. Makkar., dan K. Beker. 2002. The biological action of saponin in animal system: a review. J. Brit of Nut. Vol 88: 587-605 Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Ke-4 Terjemahan: B. Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Ganong, W. F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-14. Terjemahan: P. Andrianto. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Guyton, AC. 1996. Buku Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-8. Bagian I. Terjemahan: Ken Ariata Tengadi.. EGC. Jakarta. Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 1997. Sel Darah Merah, Anemia, dan Poloisitemia. Didalam Fisiologi Kedokteran. Terjemahan: dr. Irawati, dr. L. M. A. Ken Arita Tengadi dan dr. Alex Santoso. Penerbit Buku Kedokteran, E. G. C. Jakarta. Hodges, R. D. 1977. Normal aviant haemotology. Dalam : RK. Archer and LP Jeffcom. Editor. Comperative Clinical Haemotology. Blackwell Scientific Publication. Oxford. Johnson, B., Anker and Meleney . 1945. Bacitracin: a new antibiotic produced by a member of the B. Subtilis Group. http://en.wikipedia.org/wiki/Bacitracin. [30 April 2007].
Kumar, V., A. V. Elangovan, dan A. B. Mandal. 2005. Utilization of reconstituted high-tannin sorghum in the diets of broiler chicken. J. Anim. Sci. 18 (4); 538544. Leeson, S and J. D. Summers. 2000. Broiler Breeding Production. University Books, Guelph, Ontario. Mulyani, S dan D. Gunawan. 2002. Ramuan Tradisional Untuk Penderita Asma. Penerbit Swadaya. Jakarta. Mursito, B. 2002. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Jantung. Penerbit Swadaya. Jakarta. NRC. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Press. Washington DC. Nordenson, N. J. 2007. Red Blood Cell Indices . http : // www.ahealthyme.com / topic / topic100587391 [16 Februari 2008] Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press. Jakarta. Piliang, W. G dan S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. IPB Press. Bogor. Praseno, K. 2005. Respon erithrosit terhadap perlakuan mikromineral Cu, Fe, dan Zn pada Ayam (Gallus gallus domesticus). J. Indon. Trop. Anim. Agric. 30 (3): 179-185. Rastogi, S. C. 1977. Essentials of Animal Physiology. Wiley Eastern Limited.New Delhi. Retno, F. D., J. Jahja., dan T. Suryani. 1998. Penyakit-Penyakit Penting Pada Ayam. Edisi Ke-4. Bandung. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Edisi ke-6. Terjemahan : K. Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Sastradipradja D., S. H. S. Sikar, R. Wijayakusuma, T. Ungerer, A. Maad, H. Nasution, R. Suriawinata, dan R. Hamzah. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sikar, S. H. S., R. Suriawinata., T. Ungerer., dan D. Sastradipradja. 1984. Larutan pengencer darah unggas untuk menghitung jumlah leukosit secara langsung. Laporan Penelitian. Jurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Scott, M. L., M. L. Nesheim and R. J. Young. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd Edition. M. L. Scott and Associates Publisher. Ithaca, New York.
Sen, S., Harinder P. S., dan Klaus B. 1998. Alfalfa saponins and their implication in animal nutrition. J. Agric. Food Chem. 46: 131-140. Sitorus, E. M. T. 2004. Gambaran differensiasi leukosit dan hematokrit ayam broiler setelah pemberian saponin. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Smith, J, B dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta. Solikhah, S. H. 2006. Evaluasi penambahan tepung daun beluntas (Pluchea indica L.) dalam ransum terhadap tampilan produksi ayam broiler pada kepadatan kandang yang tinggi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Steel, R. G. D dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan prosedur statistika. Edisi ke-2. Terjemahan.: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sturkie, P. D. and P. Griminger. 1976. Blood : physical characteristics, formed elements, hemoglobin and coagulation. Dalam: Sturkie, P. D. (Editor). Avian Physiology. 3rd Edition. Springer-Verlag NewYork, Inc, Heidelberg, Berlin. Sulaksana, J dan W. A. Darmono. 2005. Sembung, Budidaya dan Pemanfaatan Untuk Obat. Penerbit Swadaya. Jakarta. Susiarti, S. 2000. Sembung (Blumea balsamifera (L.) DC.). Dalam: H. Sutarno dan S. Atmowidjojo (Editor). Potensi dan Cara Pemanfaatan Bahan Tanaman Obat. Prosea Indonesia-Yayasan Prosea, Bogor. Swenson, M. J. 1984. Duke`s Physiology of Domestic Animals. 10th Edition. Publishing Assocattes a Division of Cornell University. Ithaca and London. Tizzard, I. R. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi ke-2. Penerjemah: M Partodiredjo. Airlangga University Press. Surabaya. Triyanto, A. 2006. Profil darah putih dan kolesterol ayam pedaging yang diberi ransum mengandung tepung daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut pertanian Bogor. Bogor. Wahyuwardani, S dan Soeripto. 1997. Kepekaan Beberapa Isolat Lokal Mycoplasma Gallisepticum Terhadap Antibiotik. J. Balitvet. Bogor. Widjajakusuma, R. dan Sikar H. 1986. Fisiologi Hewan Laboratorium. Fisiologi dan Farmakologi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Williamson, G dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ke-3.Universitas Gajah Mada Press. Jogjakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Ragam Jumlah Eritrosit Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
0,28
0,07
0,58
3,48
5,99
Error
10
1,20
0,12
Total
14
1,48
Lampiran 2. Analisis Ragam Nilai Hematokrit Ayam Broiler Periode Finisher SK
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
4
10,94
2,74
0,48
3,48
5,99
Error
10
57,29
5,73
Total
14
68,23
Perlakuan
db
Lampiran 3. Analisis Ragam Hemoglobin Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
0,23
0,06
0,31
3,48
5,99
Error
10
1,87
0,19
Total
14
2,10
Lampiran 4. Analisis Ragam Jumlah Lekosit Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
1444,05
361,01
10,85
3,48
5,99
Error
10
332,72
33,27
Total
14
1776,77
Lampiran 5. Koefisien Uji Duncan Jumlah Leukosit Ayam Broiler Periode Finisher R4
R0
R1
R3
R2
21,07
22,93
27,07
42,6
44
Sx
3,33
p
2
3
4
5
JNS
4,48
4,73
4,88
4,96
JNT
14,92
15,75
16,25
16,52
Beda antara Nilai Jumlah Leukosit Ayam Broiler Periode Finisher Perlakuan
Mean
Xi -4
Xi-0
Xi -1
Xi - 3
R2
44,00
22,93
21,07
16,93
1,40
R3
42,60
21,53
19,67
15,53
R1
27,07
6,00
4,14
R4
22,93
1,86
R0
21,07
Superskrip Rataan Jumlah Leukosit Ayam Broiler Antar Perlakuan R0
R1
R2
R3
R4
21,07A
27,07A
44,00B
42,60B
22,93A
Keterangan : Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 6. Analisis Ragam MCV Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
684,31
171,08
2,35
3,48
5,99
Error
10
729,01
72,90
Total
14
1413,33
Lampiran 7. Analisis Ragam MCHC Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
29,65
7,41
1,50
3,48
5,99
Error
10
49,50
4,95
Total
14
79,14
Lampiran 8. Analisis Ragam Persentase Heterofil Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
55,07
13,77
1,21
3,48
5,99
Error
10
113,33
11,33
Total
14
168,40
Lampiran 9. Analisis Ragam Persentase Limfosit Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
142,93
35,73
2,14
3,48
5,99
Error
10
166,67
16,67
Total
14
309,60
Lampiran 10. Analisis Ragam Persentase Monosit Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
7,07
1,77
0,78
3,48
5,99
Error
10
22,67
2,27
Total
14
29,73
Lampiran 11. Analisis Ragam Persentase Eosinofil Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
41,60
10,40
4,46
3,48
5,99
Error
10
23,33
2,33
Total
14
64,93
Lampiran 12. Koefisien Uji Duncan Persentase Eosinofil Ayam Broiler Periode Finisher R0 2,67 Sx p JNS JNT
R1 4,33 0,88 2 3,15 2,78
R2 6,67
R3 5,33
R4 7,33
3 3,30 2,91
4 3,37 2,97
5 3,43 3,02
Beda antara Nilai Persentase Eosinofil Ayam Broiler Periode Finisher Perlakuan R4 R2 R3 R1 R0
Mean 7,33 6,67 5,33 4,33 2,67
Xi -0 4,67 4,00 2,67 1,67
Xi-1 3,00 2,33 1,00
Xi -3 2,00 1,33
Xi - 2 0,67
Superskrip Rataan Persentase Eosinofil Ayam Broiler Antar Perlakuan R0
R1
R2
R3
R4
2,67a
4,33ab
6,67bc
5,33abc
7,33c
Keterangan :
Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Lampiran 13. Analisis Ragam Rasio Heterofil dan Limfosit Ayam Broiler Periode Finisher SK
db
JK
KT
F hitung
F0,05
F0,01
Perlakuan
4
0,04
0,01
1,49
3,48
5,99
Error
10
0,07
0,01
Total
14
0,11
Lampiran 14. Rataan Konsumsi RansumKonsumsi Air Minum, Vitachick dan Bacitracin MD pada Perlakuan Kontrol Positif (R1) selama Empat Minggu Pemeliharaan per Ekor Minggu ke-
Konsumsi Ransum (g/minggu)
Konsumsi Air Minum (ml/minggu)
Konsumsi Vitachick (mg/minggu)
Konsumsi Bacitracin MD (mg/minggu)
1
115,37
276,11
200
28
2
253,53
458,89
330
46
3
345,70
778,76
320
45
4
582,23
1146,73
480
67
Jumlah
1296,83
2660,49
1330
186
Konsumsi/hari
46,32
95
47,5
6,6
Lampiran 15. Total Konsumsi Ransum, Konsumsi Saponin, Konsumsi Tanin pada Perlakuan R2, R3 dan R4 selama Empat Minggu Pemeliharaan per Ekor Perlakuan Konsumsi Ransum (g)
Konsumsi Saponin (g)
Konsumsi Tanin (g)
R2
1331,03
1,88
1,41
1,32
0,99
R3
1334,13
3,78
2,83
2,65
1,98
R4
1330,17
5,65
4,25
3,96
2,93
Lampiran 16. Rata-Rata Suhu Kandang C setiap Minggu Berdasarkan Pengukuran Minggu
Suhu Minimum (oC)
Suhu Maksimum (oC)
1 2 3 4 5 Rata-rata
24,8 25,0 25,3 25,6 24,3 25,0
32,7 30,4 30,8 32,8 31,9 31,7
Lampiran 17. Komposisi Premiks MASAMIX-FS Komposisi
Tiap 1 Kg
Vitamin A
4.000.000 IU
Vitamin D3 Vitamin E
800.000 IU 4.500 mg
Vitamin K3
450 mg
Vitamin B1
450 mg
Vitamin B2
1.350 mg
Vitamin B6
480 mg
Vitamin B12 Ca-d pantothenate Folic Acid Nicotinic Acid
6 mg 2.400 mg 270 mg 7.200 mg
Cholin Chloride
28.000 mg
Dl-Methionine
28.000 mg
L-Lysine
50.000 mg
Ferros Copper
8.500 mg 700 mg
Manganese
18.500 mg
Zinc
14.000 mg
Cobalt
50 mg
Iodine
70 mg
Selenium
35 mg
Sumber : PT. Mensana Aneka Satwa (2007)