PENGARUH PENAMBAHAN NATRIUM METABISULFIT TERHADAP MUTU TEPUNG BENTUL (Colocasia esculenta (L.) Schott)
KARYA TULIS ILMIAH
OLEH LELY KUSUMAWATI NEGRI NIM 13.029
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG AGUSTUS 2016
PENGARUH PENAMBAHAN NATRIUM METABISULFIT TERHADAP MUTU TEPUNG BENTUL (Colocasia esculenta (L.) Schott)
KARYA TULIS ILMIAH Diajukan kepada Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program D-3 bidang Analis Farmasi dan Makanan
OLEH LELY KUSUMAWATI NEGRI NIM 13.029
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG AGUSTUS 2016
PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA TULIS ILMIAH
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, Nama : Lely Kusumawati Negri NIM
: 13.029
di dalam Naskah Karya Tulis Ilmiah ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain dan disebutkan dalam sumber kutipan dan pustaka.
Apabila terdapat di dalam naskah KTI ini dapat dibuktikan terdapat unsurunsur PLAGIASI, saya bersedia KTI ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (A.Md, Si) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 tahun 2003, Pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Malang, 20 Juli 2016
Lely Kusumawati Negri
Negri, Lely Kusumawati. 2016. Pengaruh Penambahan Natrium Metabisulfit Terhadap Mutu Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott). Karya Tulis Ilmiah. Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang. Pembimbing : Ambar Fidyasari, STP., MP.
Kata kunci : browning enzimatis, colocasia esculenta (L.) Schott, tepung bentul, natrium metabisulfit
ABSTRAK
Umbi bentul merupakan umbi-umbian yang memiliki banyak kandungan yang bermanfaat. Dengan kandungan zat gizi yang tinggi, bentul dapat diolah menjadi tepung. Pada proses pembuatan tepung dengan bahan baku umbi, sering dijumpai masalah yang menyebabkan proses pencoklatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan natrium metabisulfit tehadap mutu tepung bentul. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Pertama yaitu pembuatan tepung bentul. Kedua pengujian mutu fisik dan kimia tepung bentul. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode Analysis of Variance (ANOVA). Parameter yang diamati meliputi pengujian organoleptis, rendemen, warna serta pengujian mutu kimia yaitu kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) memberikan pengaruh terhadap mutu fisik dan kimia yang meliputi warna (dengan nilai L berturut-turut (62,0, 63,7 dan 65,7), kadar abu (1,95%, 1,93% dan 2,27%), kadar air (7,42%, 8,97%, dan 8,63%) dan kadar karbohidrat (86,35%, 85,26% dan 85,17%) tepung bentul (Colocasia Esculenta L. Schott). Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) maka memperbaiki warna dari tepung yang dihasilkan. Namun, konsentrasi natrium metabisulfit tidak berpengaruh terhadap kadar lemak dan kadar protein tepung bentul (Colocasia Esculenta L. Schott). Kesimpulan : Penambahan natrium metabisulfit (Na2S2O5) memberikan pengaruh terhadap mutu tepung bentul meliputi warna, kadar abu, kadar air dan kadar karbohidrat.
i
Negri, Lely Kusumawati. 2016. The Influence of Additional Natrium Metabisulfit to The Quality of Bentul Flour (Colocasia esculenta (L.) Schott).Scientific Of Paper. The Academy Pharmaceutcal Analyst and Food Putra Indonesia Malang. Advisor : Ambar Fidyasari, STP., MP Keywords: browning enzimatic, colocasia esculenta (L.) Schott, bentul flour, natrium metabisulfit
ABSTRACT
Bentul is the tubers which has lots of useful content. With a high content of nutrients, bentul can be processed into flour. In the process of making flour with raw bulbs, often encountered the problem in the process is browning. This research aims to know the influence of addition of sodium metabisulfit taking action against the quality of the flour bentul which this study consisted of two main stages. First, the manufacture of flour bentul. Second, testing the quality of the physical and chemical bentul flour. The data obtained were analyzed by the method of Analysis of Variance (ANOVA). The observed parameters include the test organoleptis, yield, colour and chemical quality testing including the levels of protein, fat content, water content, levels of ash and carbohydrate levels. The results showed that concentrations of sodium metabisulfit (Na2S2O5) give influence on the quality of physical and chemical flour including the colour with L value (62,0, 63,7 and 65,7), grey levels (1,95%, 1,93% and 2,27%), water content (7,42%, 8,97%, and 8,63%) and levels of carbohydrates (86,35%, 85,26% and 85,17%) of the flour bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott). The higher concentration of sodium metabisulfit (Na2S2O5) then fix the colour of the flour produced. However, the concentration of sodium metabisulfit has no effect against the fat content and the protein flour bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott). Conclusion: Additional of sodium metabisulfit (Na2S2O5) give influence on the quality of flour bentul includes colour, the levels of ash, moisture content and carbohydrate levels
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Pengaruh Penambahan Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) Terhadap Mutu Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott)” ini tepat pada waktunya. Tujuan penulis Karya Tulis Ilmiah ini sebagai persyaratan untuk menyelesaikan D-3 di Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang. Sehubungan dengan terselesaikannya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut: 1. Ibu Dra. Wigang Solandjari selaku Direktur Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang. 2. Ibu Ambar Fidyasari, STP., MP. selaku Dosen Pembimbing. 3. Ibu Fitri Eka Lestari., S.Gz selaku Dosen Penguji. 4. Ibu Dra.Wahyu Wuryandari., M.Pd. selaku Dosen penguji. 5. Bapak dan Ibu Dosen Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang beserta staf. 6. Orang tua tercinta yang telah memberikan dorongan secara spiritual maupun materil serta restunya dalam menuntut ilmu. 7. Rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang langsung/ tak langsung telah memberikan bimbingan, bantuan, serta arahan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini mempunyai beberapa kekurangan. Oleh karena itu, saran-saran akan sangat diharapkan. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat.
Malang, Juli 2016
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................................ ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3
Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
1.4
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................... 6
1.5
Definisi istilah ................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 8 2.1
Umbi Bentul (Colacasia Esculenta (L.) Schott) ............................... 8
2.2
Sifat Fisika Umbi Bentul ................................................................... 9
2.3
Sifat Kimia Umbi Bentul ................................................................ 10
2.4
Tepung Terigu ................................................................................. 11
2.5
Tepung Umbi-umbian ..................................................................... 13
2.6
Tepung Bentul ................................................................................. 21
2.7
Reaksi Pencoklatan (Browning) ...................................................... 21
2.8
Blanching ........................................................................................ 23 iv
2.9
Natrium Metabisufit ........................................................................ 25
2.10 Kerangka Teori................................................................................ 26 2.11 Hipotesis.......................................................................................... 28 2.12 Kerangka Konsep ............................................................................ 29 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 30 3.1
Rancangan Penelitian ...................................................................... 30
3.2
Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................... 30
3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 30
3.4
Definisi Operasional Variabel ......................................................... 31
3.5
Pengumpulan Data .......................................................................... 32
3.6
Analisis Data ................................................................................... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 40 4.1
Pengujian Organoleptis Tepung Bentul .......................................... 40
4.2
Pengujian Rendemen Tepung Bentul .............................................. 42
4.3
Pengujian Mutu Kimia Tepung Bentul ........................................... 43
4.4
Pengujian Warna Tepung Bentul ................................................... 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 54 5.1
Kesimpulan ..................................................................................... 54
5.2
Saran ................................................................................................ 54
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 56 LAMPIRAN - LAMPIRAN .............................................................................. 59
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kandungan gizi yang terdapat pada 100 gr umbi bentul ...................... 11 Table 2.2 Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan ............................. 13 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ............................................................... 31 Tabel 4.1 Pengujian Organoleptis Tepung Bentul ................................................ 41 Tabel 4.2 Pengujian Kimia Tepung Bentul ........................................................... 41 Tabel 4.3 Pengujian Warna Tepung Bentul .......................................................... 51
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar Umbi Bentul .......................................................................... 8 Gambar 2.2 Reaksi Antara Quinon dengan Ion Bisulfit ....................................... 26 Gambar 4.1 Grafik Kadar Protein ......................................................................... 45 Gambar 4.2 Grafik Kadar Lemak.......................................................................... 45 Gambar 4.3 Grafik Kadar Air ............................................................................... 47 Gambar 4.4 Grafik Kadar Abu .............................................................................. 49 Gambar 4.5 Grafik Kadar Karbohidrat ................................................................. 50 Gambar 4.5 Grafik Pengujian Warna .................................................................... 52
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Kegiatan KTI ........................................................................ 59 Lampiran 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Bentul..........................................60 Lampiran 3. Proses Pembuatan Tepung Bentul .................................................... 61 Lampiran 4. Data Perhitungan Rendemen Tepung Bentul ................................... 63 Lampiran 5. Hasil Pengujian Mutu Fisik dan Kimia Tepung Bentul ................... 64 Lampiran 6. Analisis Data Kadar Protein ............................................................. 65 Lampiran 7. Hasil Analisis Data Kadar Lemak .................................................... 66 Lampiran 8. Hasil Analisis Data Kadar Air .......................................................... 67 Lampiran 9. Hasil Analisis Data Kadar Abu ........................................................ 68 Lampiran 10. Hasil Analisis Data Kadar Karbohidrat .......................................... 69 Lampiran 11. Hasil Analisis Data Uji Warna ....................................................... 70
viii
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Kepanjangan PLA
Polisakarida Larut Air
L
Lightness atau Tingkat Kecerahan
a
Redness atau Tingkat Kemerahan
b
Yellowness atau Tingkat Kekuningan
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Umbi-umbian merupakan pangan yang dapat memberi banyak sumber karbohidrat. Banyak varietas umbi-umbian yang mudah diperoleh, seperti umbi jalar, umbi kayu atau singkong, umbi bentul, dan umbi ganyong. Saat ini tingkat penggunaan bahan-bahan hasil pertanian selain padi, jagung, umbi kayu, umbi jalar masih tergolong rendah. Penggunaan selama ini hanya direbus, digoreng atau dibakar. Dari aspek ketersediaan umbi-umbian tersebut, maka tanaman umbiumbian dapat menjadi salah satu alternatif dalam memenuhi bahan pangan penduduk. Salah satu contoh umbi-umbian yang tersedia melimpah namun belum dimanfaatkan secara optimal adalah umbi bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott). Di Indonesia, bentul menjadi bahan makanan yang cukup populer dan produksinya cukup tinggi terutama di daerah Papua dan Jawa yakni Bogor, Sumedang dan Malang. Menurut Koswara, hasil rata-rata per hektar dari umbi bentul yang dipanen pada saat tanaman berumur sekitar 6-8 bulan mencapai 5-7 ton umbi basah, sedangkan jika panen antara umur 9-10 bulan hasilnya mencapai 8-10 ton umbi basah. Bentul merupakan tanaman umbi yang banyak memiliki kandungan yang bermanfaat. Tanaman bentul merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang
1
2
memiliki peranan cukup strategis tidak hanya sebagai sumber bahan pangan, dan bahan baku industri tetapi juga untuk pakan ternak. Bentul dikonsumsi sebagai makanan pokok dan makanan ringan di Indonesia. Bentul mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Umbi bentul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi seperti pati (18.02%), gula (1.42%), mineral terutama kalsium (0.028%), dan fosfor (0.061%) (Muchtadi & Sugiyono, 1992). Kandungan zat gizi yang tertinggi dalam bentul adalah pati meskipun bervariasi antar kultivar bentul (Hartati & Prana, 2003). Pada penelitian Subhas et al., (2012) menyatakan Colocasia esculenta mengandung polisakarida larut air namun belum diketahui berapa kadar didalamnya. Polisakarida larut air merupakan serat pangan larut air yang didefinisikan sebagai komponen dalam tanaman yang tidak terdegradasi secara enzimatis menjadi sub unit-sub unit yang dapat diserap dilambung dan usus halus. PLA memiliki beberapa manfaat bagi tubuh untuk mengobati penyakit degeneratif. Menurut Lunn, 2007 asupan tinggi serat direkomendasikan bagi penderita diabetes. Sifat PLA yang kental dan membentuk gel dapat menghambat penyerapan makronutrien dan menurunkan respon glukosa postprandial. Fermentasi PLA di kolon menghasilkan asam lemak rantai pendek (SCFA, short chain fatty acids) seperti asetat, propionat, dan butirat. Melihat kandungan yang cukup potensial dari umbi bentul, maka umbi ini memiliki peranan cukup penting dalam diversifikasi pangan sehigga perlu dibuat sediaan dalam bentuk tepung. Menurut Djoni Wibowo (2012), tepung merupakan partikel padat yang berbentuk butiran halus bahkan sangat halus tergantung pada pemakaiannya.
3
Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dan lebih cepat dimasak. Tepung biasanya digunakan untuk bahan baku industri, keperluan penelitian, maupun dipakai dalam kebutuhan rumah tangga, misalnya membuat kue dan roti. Kebutuhan tepung di Indonesia masih diperoleh dengan cara mengimpor dalam jumlah besar. Menurut Ketua Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), kebutuhan rata-rata tepung terigu Indonesia 3,9 juta ton/tahun. Sebagian besar kebutuhan ini diperoleh dengan cara mengimpor dari negara produsen gandum terutama Turki (Tempo, 2012). Dengan kandungan zat gizi yang tinggi, bentul dapat dibuat menjadi produk olahan seperti tepung bentul. Tepung bentul diharapkan dapat mengurangi import tepung dari luar negeri. Pada proses pembuatan tepung dengan bahan baku umbi, seringkali dijumpai masalah yaitu timbulnya getah yang menyebabkan proses pencoklatan. Menurut Uritani (1982), getah umbi banyak mengandung senyawa-senyawa odifenol yang berupa senyawa asam klorogenat, asam isoklorogenat, asam kafeat dan turunannya. Oksidasi senyawa-senyawa fenol tersebut menghasilkan senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Hal ini menyebabkan tepung mempunyai warna kecoklatan dan kurang diminati masyarakat. Selain itu, proses terjadinya perubahan warna tidak diharapkan, karena akan menurunkan mutu tepung. Menurut Kumalaningsih dkk., (2001) pencegahan proses pencoklatan atau browning dapat dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan cara perendaman dalam air setelah umbi dikupas, namun hal tersebut dapat menurunkan rendeman tepung karena pati akan ikut terlarut dalam air rendaman.
4
Cara yang lebih efektif dalam pencegahan proses pencoklatan atau browning dalam pembuatan tepung ialah dengan penambahan natrium metabisulfit. Dalam teknologi pengolahan pangan, Sulfit (dalam bentuk garam kalium atau natrium bisulfit atau metabisulfit), termasuk bahan tambahan pangan dalam kelompok yang bertujuan sebagai bahan pemutih dan pengawet. Menurut Darmajana., 2010 penambahan natrium metabisulfit pada saat perendaman tepung jagung cara mencegah reaksi pencoklatan dari tepung jagung dan menghasilkan pati yang lebih putih. Senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat tinggi dan bersifat irreversibel, sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase (Eskin dkk., 1971). Penambahan natrium metabisulfit pada saat perendaman dalam pembuatan tepung bentul diharapkan dapat mencegah terjadinya proses pencoklatan atau proses browning. Penambahan natrium metabisulfit didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan Purwanto., 2013 yaitu dengan konsentrasi 0,3% menghasilkan tepung labu kuning yang paling putih. Konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan ialah 0%, 0,3% dan 0,6%. Pemilihan tersebut dilakukan dengan melihat karakteristik dari umbi bentul yang berbeda dengan labu kuning sehingga kosentrasinya perlu dinaikkan sebesar 2 kali dari penelitian terdahulu. Dalam konteks pangan, pengujian mutu merupakan suatu proses menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan secara aman dengan produksi yang baik. Pengujian mutu fisik tepung bentul meliputi
5
organoleptis, rendemen, dan warna sedangkan mutu kimia meliputi kadar air, kadar karbohidrat, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Penelitian tentang mutu fisik dan kimia perlu dilakukan sehingga tepung bentul dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk ketersediaan pangan fungsional dan sebagai bahan baku industri.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pendahuluan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah mutu fisik yang meliputi organoleptis, rendemen serta warna dari tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit
2.
Bagaimanakah mutu kimia yang meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat dari tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui mutu fisik yang meliputi organoleptis, rendemen serta warna dari tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit
6
2.
Untuk mengetahui mutu kimia yang meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat dari tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit
1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1.4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi pembuatan tepung bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) dengan penambahan natrium metabisulfit. Pengujian mutu fisik tepung bentul meliputi rendemen, derajat putih, dan nilai pH. Sedangkan pengujian mutu kimianya meliputi uji proksimat yaitu kadar air, kadar abu, kadar karbohidrat, kadar protein dan kadar lemak. 1.4.2 Keterbatasan Masalah Keterbatasan pada penelitian ini adalah umbi bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) yang digunakan berbeda-beda, selain itu tidak dilakukannya pengujian mutu fisik densitas kamba.
1.5 Definisi istilah Untuk menghindari adanya kurang pemahaman dan salah penafsiran antara peneliti dan pembaca maka diperlukan definisi istilah sebagai berikut : 1.
Tepung bentul adalah tepung yang dibuat dari umbi bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) yang menggunakan keseluruhan bagian dari umbi
7
bentul yang kemudian melewati proses grinding sehingga didapatkan tepung dengan derajat kehalusan 60 mess. 2.
Natrium metabisulfit merupakan garam sulfit yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang biasanya digunakan untuk pemutih dalam produk tepung
3.
Uji mutu fisik merupakan pengujian yang dilakukan secara organoleptis yaitu bentuk, warna dan aroma,menggunakan indera, rendemen serta warna dengan menggunakan alat colour reader.
4.
Uji mutu kimia merupakan pengujian yang dilakukan tehadap kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu, dan kadar karbohidrat dari tepung bentul
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umbi Bentul (Colacasia Esculenta (L.) Schott) Bentul merupakan tanaman pangan berupa herba menahun. Bentul termasuk dalam suku bentul-bentulan (Araceae), berperawakan tegak, tingginya 1 cm atau lebih dan merupakan tanaman semusim atau sepanjang tahun. Bentul mempunyai beberapa nama umum yaitu Taro, Old cocoyam, 'Dash(e)en' dan 'Eddo (e)'. Di beberapa negara dikenal dengan nama lain, seperti: Abalong (Philipina), Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaya), Satoimo (Japan), Tayoba (Spanyol) dan Yu-tao (China). Asal mula tanaman bentul berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke China dalam abad pertama, ke Jepang, ke daerah Asia Tenggara lainnya dan ke beberapa pulau di Samudra Pasifik, terbawa oleh migrasi penduduk. Di Indonesia bentul bisa di jumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan di atas 1000 m dpl., baik liar maupun di tanam.
Gambar 2.1 Umbi bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) (Anonim, 2016) 8
9
2.1.1
Taksonomi Umbi Bentul Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Class
: Monocotyledoneae
Ordo
: Arecales
Famili
: Araceae
Genus
: Colocasia
Spesies
: Colocasia esculenta L. Schott
2.2 Sifat Fisika Umbi Bentul Tanaman bentul banyak
mengandung asam perusai (asam biru atau
HCN). Sistem perakaran serabut, liar dan pendek. Umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih, berbentuk silinder atau bulat, berukuran 30 cm x 15 cm, berwarna coklat.
Daunnya berbentuk perisai atau hati, lembaran daunnya 20-50 cm
panjangnya, dengan tangkai mencapai 1 meter panjangnya, warna pelepah bermacam-macam. Perbungaannya terdiri atas tongkol, seludang dan tangkai (Anonim, 2010).
10
2.3 Sifat Kimia Umbi Bentul Bentul mengandung banyak senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolisme sekunder seperti alkaloid, glikosida, saponin, minyak essensial, resin, gula dan asam-asam organik. Umbi bentul mengandung pati yang mudah dicerna kira-kira sebanyak 18,2 %, sukrosa serta gula pereduksinya 1,42 % dan karbohidrat sebesar 23,7 %. Umbi bentul mengandung kristal kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal di mulut. Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi karena akan menghambat penyerapan kalsium pada tubuh. Banyak perlakuan yang dilakukan untuk mereduksi kadar kalsium oksalat pada umbi bentul, agar tidak menimbulkan gatal-gatal pada saat dikonsumsi. Kristal kalsium oksalat dapat dikurangi bahkan dapat dihilangkan dengan perendaman dalam larutan garam selama 20 menit, pengukusan, perebusan, penggorengan, pemanggangan, dan kombinasi perlakuan tersebut. Umbi bentul ( Colocasia esculenta (L.) Schott ) dari mulai daun dan umbinya mempunyai kandungan gizi yang cukup baik. Daunnya mengandung protein 23% berat kering serta kaya akan unsur hara Ca, P, Fe, Vitamin A, riboflavin dan niasin. Daun dan batang talas sering dimanfaatkan sebagai sayuran. Umbi bentul ( Colocasia esculenta (L.) Schott ) berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi. Umbi bentul ( Colocasia esculenta (L.) Schott ) juga mengandung lemak, vitamin (A, B1 dan sedikit vitamin C), dan mineral dalam jumlah sedikit. Menurut Subhas et al., (2012) menyatakan Colocasia esculenta mengandung polisakarida larut air namun belum diketahui berapa kadar
11
didalamnya. Polisakarida larut air merupakan serat pangan larut air yang didefinisikan sebagai komponen dalam tanaman yang tidak terdegradasi secara enzimatis menjadi sub unit-sub unit yang dapat diserap dilambung dan usus halus. PLA memiliki beberapa manfaat bagi tubuh untuk mengobati penyakit degeneratif. Kandungan kimia dalam bentul dipengaruhi oleh varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi bentul segar sebagian besar terdiri dari air dan karbohidrat. Kandungan gizi yang tedapat pada 100 gr umbi bentul terdapat dalam tabel 2.1 Tabel 2.1 Kandungan gizi yang terdapat pada 100 gr umbi bentul
Kandungan Gizi Bentul Mentah Energi (kal) 120 Protein (g) 1,5 Lemak (g) 0,3 Hidrat arang total (g) 28,8 Serat (g) 0,7 Abu (g) 0,8 Calsium (mg) 31 Phospor (mg) 67 Zat besi (mg) 0,7 Karoten total 0 Vitamin B (mg) 0,05 Vitamin C (mg) 2 Air (g) 69,2 Bagian yang dapat dimakan 85% Sumber : Direktorat gizi depkes RI, 1981
Bentul Rebus 108 1,4 0,4 25,0 0,9 0,8 47 67 0,7 0 0,06 4 72,4 100%
2.4 Tepung Terigu Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan hasil panen, terutama untuk komoditas yang berkadar air tinggi, seperti aneka umbi dan buah. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi yaitu, sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi
12
pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Widowati, 2009). Tepung adalah bubuk halus terbuat dari sereal atau produk lain berbasis pati. Tepung biasanya terbuat dari gandum, dan merupakan bahan utama pembuatan roti. Tepung tidak hanya dibuat dari gandum, tetapi juga dari kacangkacangan dan umbi seperti uwi, ketela pohon, kentang, dan lain-lain. Tepung yang tidak berasal dari gandum, biasa disebut tepung komposit (Adeleke, 2010). Tepung terigu yang baik ialah tepung terigu yang memeuhi persyatan mutu tepung yang telah ditetapkan. Pedoman yang dipergunakan dalam penentuan mutu tepung terigu adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3751-2009 tentang syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan terdapat pada tabel 2.2
13
Table 2.2 Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan
No 1
2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jenis Uji Keadaan a. Bentuk b. Bau
Satuan -
c. Warna Benda asing Serangga dan semua bentuk stadia dan potongan-potongan yang tampak Kehalusan lolos ayakan 212 (mesh No. 70) (b/b) Kadar air Kadar abu Protein Keasaman Falling number (atas dasar kadar air 14%) Besi (Fe) Seng (Zn) Vitamin B1 (Thiamin) Vitamin B2 (Riboflavin) Asam folat Cemaran logam a. Timbal (Pb) b. Raksa (Hg) c. Cadmium (Cd)
-
Persyaratan Serbuk Normal (bebas dari bau asing) Putih khas terigu Tidak boleh ada Tidak boleh ada
%
Min. 95
% % % mg KOH/100g Detik
Maks. 14,5 Maks. 0,70 Min. 7,0 Maks. 50 Min. 300
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Min. 50 Min. 30 Min. 2,5 Min. 4 Min. 2 Maks. 1,0 Maks. 0,05 Maks. 0,1
mg/kg Koloni/g APM/g Koloni/g Koloni/g
Maks. 0,50 Maks. 1x106 Maks. 10 Maks. 1x104 Maks. 1x104
16 17
Cemaran arsen Cemaran mikroba a. Angka lempeng total b. Escherichia coli c. Kapang d. Basillus cereus Sumber : SNI 3751:2009
2.5 Tepung Umbi-umbian Tepung umbi ialah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pada proses penggilingan, ukuran bahan diperkecil dengan cara diremuk yaitu ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Perbedaan dengan proses pati terletak pada adanya proses ekstraksi
14
dengan cara pengepresan, pengendapan untuk memisahkan patinya (Fellows, 2000). 2.5.1 Sifat Fisika Tepung Umbi Karakteristik fisik tepung umbi dan tepung pati meliputi rendemen, granula pati, absorbsi air, dan absorbsi minyak. Hal tersebut berkaitan erat dengan komposisi kimia. Secara spontan granula pati basah dapat terdespersi dalam air dan minyak, hal ini menunjukkan bahwa granula pati dapat memberikan gugus hidrofilik dan hidrofobik. Sifat birefringence ialah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. French (1984) menyatakan warna biru dan kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati. Indeks refraktif dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati (Zhou et al., 1998). Menurut Dubat (2004), sifat fisik tepung meliputi rendemen, densitas kamba, derajat putih, dan nilai pH. 2.5.1.1 Rendemen Menurut Fellows (2000), rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh terhadap berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan dari bahan dasar awalnya.
15
2.5.1.2 Warna Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena pada produk pangan warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya. Warna tepung dapat diamati secara kuantitatif dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuran yaitu L, a dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L mendekati 0. Nilai a merupakan pengukuran warna kromatik campuran merahhijau. Nilai b merupakan pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999). Warna tepung yang diperdagangkan bervariasi mulai dari putih sampai putih keabu-abuan atau agak coklat dan kuning. Menurut syarat mutu SNI tidak ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, warna sesuai bahan baku jagung (putih, kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi bahan aslinya. Umumnya konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih (L) yang tinggi. 2.5.2 Sifat Kimia Tepung Umbi-umbian Sifat kimia pada bahan pangan menunjukkan perubahan komposisi kimia yang terkandung setelah mengalami proses pengolahan maupun penyimpanan. Sifat kimia tepung meliputi kadar air, abu, protein total, lemak, pati, dan amilosa. Pengujian karakteristik kimia juga bertujuan untuk memperoleh tepung sesuai standar mutu yang teregulasi. 2.5.2.1 Karbohidrat Karbohidrat merupakan polimer besar yang tersusun oleh pengulangan unit gula sederhana. Karbohidrat mengandung atom hydrogen, karbon, dan
16
oksigen. Pada manusia dan hewan, karbohidrat umumnya disimpan dalam bentuk glikogen atau gula otot. Sedangkan pada karbohidrat umumnya ditemukan dalam bentuk pati dan selulosa, dimana keduanya merupakan pembentuk struktur dan komponen utama dinding sel. Karbohidrat
juga ditemukan pada bakteri. Secara biokimiawi
karbohidrat merupakan molekul polihidroksil aldehidatau polihidroksil keton atau senyawa yang menghasilkan salah satu maupun kedua jenis senyawa tadi bila dihidrolisis. Karbohidrat mengandung gugus karbonil ( dalam bentuk aldehid atau keton) dengan gugus hidroksil. Fungsi karbohidrat antara lain : sebagai sumber kalori, dapat membantu metabolism dalam tubuh, dapat membantu proses pencernaan, sebagai penyusun DNA ( mempunyai gula ribose dan penyusun RNA (mempunyai gula dioksiribosa). Secara alami,ada tiga bentuk yang terpenting dari karbohidrat, yaitu: 1. Monosakarida Merupakan golongan paling sederhana yang tidak dapat dihidrolisis lagi. Monosakarida menduga banyak gugus –OH. Rumus empiris monosakarida yaitu CH2O. Karakteristik : Berbentuk Kristal Dapat larut dalam air Memiliki rasa manis Tidak larut dalam pelarut non polar Dapat berikatan membentuk senyawa yang lebih kompleks Monosakarida umumnya terdiri dari 3-6 atom karbon
17
Penamaan susuai jumlah atom Dapat berbentuk rantai terbuka atau bentuk cincin Memiliki isomer optis karena adanya beberapa atom karbon kiral Bila gugus karbonil terletak paling ujung disebut gula aldosa sedangkan bila berada di tengah disebut gula ketosa. Berikut ini adalah contoh dari monosakarida : a. Glukosa Sering disebut dekstrosa dan gula anggur, merupakan monomer amilum, selulosa, dan glikogen, sifatnya dapat memutar bidang polarisasi ke kanan. b. Galaktosa Bersifat memutar bidang rotasi kekanan, teroksidasi oleh asam nitrat pekat dan dalam keadaan panas akan menghasilkan asam musat. c. Fruktosa Disebut juga levulosa, sifatnya lebih manis dari glukosa maupun sukrosa 2. Disakarida Disakarida memiliki sifat-sifat yang sama dengan monosakarida, jenis disakarida adalah : a. Sukrosa : tersusun dari glukosa dan fruktosa yang terikat ikatan a-1,4-glikosida b. Laktosa : jika dihidrolisis akan menghasilkan galaktosa dan glukosa sebagai monosakarida. Penyusunan galaktosa dan gllukosa terikat dengan ikatan (3(nu)-glikosida) c. Maltose : mudah larut dalam dan memiliki rasa yang lebih manis dari pada laktosa namun karuang manis dibandingkan sukrosa. Maltose tersusun atas 2
18
glukosa dengan ikatan a- (1,4)- glikosida merupakan hasil hidrolisi pati oleh enzim β – amylase. 3. Oligosakarida Merupakan jenis karbohidrat gabungan dari beberapa monosakarida yang terikat oleh ikatan kovalen. Penamaan golongan karbohidrat golongan ini didasarkan dari jumlah monosakarida yang menyusunnya. Contoh : disakarida ( 2 monosakarida). 2.5.2.2 Protein Protein adalah molekul raksasa yang terdiri dari satuan-satuan kecil penyusunnya yang disebut asam amino yang tersusun dalam urutan tertentu, dengan jumlah dan struktur tertentu. Molekul-molekul ini merupakan bahan pembangun sel hidup. Protein yang paling sederhana terdiri atas 50 asam amino, tetapi ada beberapa protein yang memiliki ribuan asam amino. Hal yang terpenting adalah ketidakhadiran, penambahan, atau penggantian satu saja asam amino pada sebuah struktur protein dapat menyebabkan protein tersebut menjadi gumpalan molekul yang tidak berguna. Setiap asam amino harus terletak pada urutan yang benar dan struktur yang tepat (Poedjiadi, 1994). Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883. Dalam penentuan protein seharusnya hanya nitrogen dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat kandungan senyawa lain selain protein biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang
19
ada. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara kjedahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude oil).
2.5.2.3 Lemak Lemak merupakan salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform(CHCl3), benzena, dan hidrokarbon lainnya. Lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut yang disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan pelaut tersebut. Bahan-bahan dan senyawa kimia akan mudah larut dalam pelarut yang sama polaritasnya dengan zat terlarut. Tetapi polaritas bahan dapat berubah karena adanya proses kimiawi. 2.5.2.4 Kadar Air Meskipun sering diabaikan, air merupakan salah satu unsur penting dalam makanan. Air sendiri meskipun bukan merupakan sumber nutrien seperti bahan makanan lain, namun sangat esensial dalam kelangsungan proses biokimia organisme hidup. Salah satu pertimbangan penting dalam penentuan lokasi pabrik pengolahan bahan makanan adalah adanya sumber air yang secara kualitatif memenuhi syarat. Dalam pabrik pengolahan pangan, air diperlukan untuk berbagai keperluan misalnya : pencucian, pengupasan umbi atau buah, penentuan kualitas bahan (tenggelam atau mengambang), bahan baku proses, medium pemanasan atau pendinginan, pembentukan uap, sterilisasi, melarutkan dan mencuci bahan sisa (Sudarmadji,2003).
20
Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobilogis, kimiawi, ensimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak (Sudarmadji,2003). Jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme dinyatakan dalam besaran aktivitas air (Aw = water activity). mikroorganisme memerlukan kecukupan air untuk tumbuh dan berkembang biak. Seperti halnya pH, mikroba mempunyai niali Aw minimum, maksimum dan optimum untuk tumbuh dan berkembang biak. 2.5.2.5 Kadar Abu Abu adalah zat organic sisa hasil pembakaran suatu bahan organic. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi baik macam dan jumlahnya. Sebagai gambaran dapat dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut :
Kalsium (Ca)
Fosfor (P)
Besi (Fe)
Sodium (Na)
Potasium (K)
Magnesium (Mg)
Belerang (S)
Kobalt (Co)
Zink (Zn)
21
Penentuan abu total perlu untuk dilakukan karena memiliki tujuan untuk : 1. Menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan 2. Mengetahui jenis bahan yang digunakan 3. Parameter nilai gizi bahan makanan
2.6 Tepung Bentul Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak. Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Saat ini produk olahan umbi bentul dengan bahan baku tepung bentul masih terbatas karena tepung bentul belum banyak tersedia dipasaran. Padahal penggunaan tepung bentul memungkinkan munculnya produk olahan bentul yang lebih sebagai bahan pangan berpati non beras cukup besar dan terus didorong oleh pemerintah maupun lembaga lainnya. Konversi umbi segar bentul menjadi bentuk tepung yang siap pakai terutama untuk produksi makanan. Disamping mendorong berkembangnya produk-produk yang lebih beragam juga dapat mendorong berkembangnya industri berbahan dasar tepung sehingga dapat meningkatkan nilai jual komoditas bentul.
2.7 Reaksi Pencoklatan (Browning) Reaksi pencoklatan dalam makanan merupakan kejadian umum, dan menjadi jelas ketika bahan mengalami pengolahan. Pencoklatan dapat mengakibatkan perubhana yang tidaak diinginkan seperti kenampakan produk
22
menjadi tidak baik dan timbulnya citra rasa lain sehinggan menurunkan kualitas produk. Ada dua macam reaksi yang dapat menyebabkan pencoklatan yaitu pencoklatan enzimatis dan pencoklatan non enzimatis. Pencoklatan enzimatis disebabkan oleh komponen oksigen, enzim dan substrat. Jaringan bahan yang rusak mejadi gelap warnanya akbita terkena udara. Hal ini disebabkan oleh terjadinya konversi senyawa fenolik oleh enzim fenolase menjadi senyawa melanin (melanoidin) yan berwarna coklat. Pencoklatan enzimatis terjadi dalam jaringan buah-buahan dan sayuran yang banyak mengandung substrat fenolik, yang dirusak dengan adanya pemotongan, pengupasan dan penggilangan. Menurut Kiranawati., 2013 pencoklatan enzimatis disebabkan pecahnya sel bahan akibat kerusakan mekanis, sehingga menyebabkan senyawa fenol yang ada dalam vakola keluar dan bertemu dengan enzim yang ada dalam sitoplasma. Dengan adanya oksigen dengan katalis logam akan terbentuk senyawa quinon. Reaksi selanjutnya terjadi spontan dan tidak lagi tergantung oleh enzim atau oksigen. Bentuk quinon mengalami polimerisasi dan menjadi polimer berwarna coklat yang akhirnya menjadi melanin berwarna coklat. Fenol terdapat pada dinding sel, apabila sel rusak, fenol akan bereaksi dengan oksigen kemudian membentuk melanoidin berwana coklat. Senyawa fenol didiuga berasal dari metabolise asam amino aromatik sehingga termasuk produk sekunder. Asam fenolik secara universal ditemukan pada tumbuhan dan telah menjadi subyek sejumlah besar studi kimia, biologi, pertanian dan obat.
23
2.8 Blanching Blansing
adalah
proses
sebelum
pembekuan,
pengalengan
atau
pengeringan pada sayur dan buah dengan cara pemanasan untuk inaktivasi enzim, memperbaiki tekstur, warna, rasa, nutrisi dan menghilangkan gas terikat (Corcuera et al., 2004). Pencoklatan enzimatis merupakan suatu masalah dan tahapan penyiapan sayuran yang akan diolah lebih lanjut. Sayuran yang telah dipotong atau dikupas dan dibiarkan lama akan nampak pencoklatan pada jaringannya. Gejala ini ditimbulkan oleh polimer coklat kehitaman yang terbentuk sebagai reaksi antara senyawa polifenol dengan oksigen dan pertolongan enzim polifenol oksidase. Pada prinsipnya pencegahan pencoklatan enzimatis didasarkan pada usaha inaktivasi enzim polifenol-oksidase, usaha untuk mencegah atau mengurangi kontak dengan oksigen atau udara dan logam serta tembaga. Inaktivasi enzim dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan cara blansing. Menurut Asgar (2006), tujuan utama blansing yaitu: Menginaktivasi enzim-enzim dalam bahan yang dapat menimbulkan reaksirekasi yang merugikan Membersihkan produk dari partikel-partikel atau kotoran-kotoran yang melekat Mengurangi jumlah mikroorganisme Menghilangkan udara yang terdapat dalam rongga-rongga antarsel dalam jaringan bahan agar Melenturkan jaringan agar bahan mudah dikemas.
24
Blansing menggunakan air panas dan uap adalah metode yang sering digunakan dalam industri untuk meningkatkan kualitas produk, hasil dan memfasilitasi proses produk yang memiliki sifat termal berbeda. Blansing menghilangkan gas terikat dan gas metabolik diantara sel buah atau sayuran dan menggantikannya dengan air, membentuk fase air semikontinyu yang dapat membentuk kristal es lebih seragam selama pendinginan. Penghilangan gas merupakan fungsi blanching sebelum pengalengan karena akan memudahkan pengisian kaleng dan mengurangi korosi. Blansing juga dapat memudahkan pengupasan, pemotongan dan mengurangi mikroba. Buah biasanya diblansing pada suhu rendah, karena blansing juga menyebabkan perubahan tekstur yang tidak diinginkan (Corcuera et al., 2004). Blansing menggunakan air panas dilakukan pada suhu 70oC – 100oC. Metode blansing ini menghasilkan produk yang lebih seragam. Blansing air membutuhkan waktu lebih lama sehingga banyak mineral yang terlarut dan nutrisi yang mengalami kerusakan seperti vitamin. Sedangkan blansing menggunakan uap digunakan untuk bahan-bahan berukuran kecil dan membutuhkan waktu lebih pendek daripada blansing dengan air karena koefisien transfer uap lebih besar daripada air panas. Tetapi, karena proses ini menyebabkan gradien suhu yang besar antara permukaan dan bagian tengah bahan, produk bisa mengalami overblanched di permukaannya dan underblanched di tengahnya. Blansing uap membutuhkan energi yang lebih sedikit dan kerusakan nutrisi lebih kecil daripada blansing air (Rahman dan Conrad, 1999). Blansing dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi rasa dengan cara menginaktifkan enzim yang menyebabkan perubahan rasa,
25
seperti misalnya lipoxygenase. Blansing juga menyebabkan pelunakan tekstur sayur dan buah. Kalsium sering ditambahkan untuk mengurangi pelunakan. Peroksidase dan kabentule merupakan target blansing karena enzim tersebut tahan terhadap panas dibandingkan enzim lain (Corcuera et al., 2004). Blansing adalah proses yang menyebabkan imersi sayuran mentah dalam cairan panas (air, minyak atau asam) dalam suatu waktu. Blansing dapat menyebabkan gula keluar dari sel ke permukaan kentang. Proses ini menyebabkan warna yang lebih seragam pada kentang goreng. Blansing juga mengekstrak gula reduksi dan asparagin dari permukaan kentang untuk mengurangi pencoklatan atau yang menyebabkan bintik coklat. Blansing mengurangi glukosa dan asparagin pada kentang sampai 76 dan 68% (Elfnesh et al., 2011).
2.9 Natrium Metabisufit Natrium Metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan kamir (Chichester and Tanner, 1975). Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2 , garam Na atau K-sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH dibawah 3. Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil, hasil reaksi melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati, 1998). Senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat
26
tinggi dan bersifat irreversibel, sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase (Eskin dkk., 1971). Penggunaan sulfit dalam pencegahan reaksi browning melalui cara mereduksi secara langsung hasil oksidasi quinon menjadi senyawa fenolat sebelumnya.
Gambar 2.2 Reaksi Antara Quinon dengan Ion Bisulfit Batas maksimum penggunaan SO2 dalam makanan yang dikeringkan, di Amerika Serikat telah ditetapkan oleh Food Drug Administration, yaitu antara 2000-3000 ppm atau 200-300 mg/100mL. Namun, menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan batas maksimum penggunaan natrium metabisulfit adalah sebesar 0–0,7 mg/kg berat badan. Jumlah penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang dikeringkan dipengaruhi oleh varietas, kemasakan dan ukuran bahan, konsentrasi SO2 yang digunakna, waktu sulfuring, suhu, kecepatan aliran udara dan kelembapan udara selama pengeringan serta keadaaan penyimpanan.
2.10 Kerangka Teori Umbi bentul (Colocasia Esculenta (L.) Shcott) merupakan umbi-umbian yang melimpah di Indonesia, namun tingkat pengolahannya hanya terbatas dengan cara dikukus dan digoreng. Umbi bentul mengandung kandungan metabolit sekunder yang bermanfaat bagi tubuh yaitu alkaloid, glikosida, saponin, minyak essensial, resin, gula dan asam-asam organik. Umbi bentul mengandung pati yang mudah dicerna kira-kira sebanyak 18,2 %, sukrosa serta gula preduksinya 1,42 %
27
dan karbohidrat sebesar 23,7 %. Selain itu umbi bentul mengandung polisakarida larut air namun belum diketahui berapa kadar didalamnya. Polisakarida larut air diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit degeneratif. Umbi-umbian saat ini bermanfaat sebagai makanan tambahan maupun sebagai penyangga bahan pangan bagi daerah-daerah pada saat terjadi kelangkaan pangan. Di dalam program diversifikasi pangan, umbi-umbian merupakan salah satu pangan sumber penghasil karbohidrat non beras yang memiliki peran yang cukup penting untuk penganekaragaman pangan. Kandungan yang memiliki banyak manfaat tersebut maka umbi bentul diolah menjadi tepung bentul yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pangan fungsional. Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Prosedur dan pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasasrkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Proses pembuatan tepung bentul dilakukan dengan cara pengupasan umbi bentul, selanjutnya umbi bentul dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan zat-zat pengotor. Selanjutnya umbi bentul dipotong-potong untuk mempermudah pada proses penghalusan. Umbi bentul yang telah dipotong selanjutnya direndam dengan garam dengan tujuan untuk menghilangkan kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal pada mulut selama 30 menit. Umbi bentul ditiriskan, dan selanjutnya direndam kembali dengan natrium metabisulfit selama 20 menit. Setelah perendaman dengan natrium metabisulfit, bentul dikeringkan dengan cara
28
dijemur dibawah sinar matahari atau di oven pada suhu 60oC. Setelah kering, bentul dihaluskan dengan blender dan diayak menggunakan mesh 60. Dalam hal ini, proses pembuatan tepung dengan penambahan natrium metabisulfit bertujuan mencegah proses browning. Mekanisme kerja sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi sulfit akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan. Sulfit yang digunakan dalam bentuk garam Na atau K-sulfit dan metabisulfit, bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdisosiasi. Molekul sulfit lebih mudah menembus sel dinding mikroba bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfit enzim, dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksisulfonat sehingga dapat menghambat mekanisme bakteri. Melihat potensi tersebut, maka umbi bentul perlu dikembangkan menjadi produk setengah jadi menjadi tepung. Tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit yang diperoleh selanjutkan diuji mutu fisik dan mutu kimianya. Uji mutu fisik tepung bentul meliputi uji organoleptis, uji rendemen, dan uji derajat putih. Uji kimia tepung bentul meliputi uji karbohidrat, lemak, protein, air dan abu.
2.11 Hipotesis H0 =
Penambahan natrium metabisulfit tidak mempengaruhi mutu
tepung bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott). H1 = Penambahan natrium metabisulfit dapat mempengaruhi mutu tepung bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott).
29
2.12 Kerangka Konsep
Umbi Bentul
Keterbatasan pengolahan
Kandungan PLA, serat pangan, indeks glkemik yang rendah
Diversifikasi Pangan
Tepung bentul
Penambahan Natrium Metabisulfit
Mutu fisik
Mutu kimia
Diperoleh tepung dengan hasil terbaik
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen berdasarkan pengujian pengaruh penambahan natrium metabisulfit terhadap mutu tepung bentul (Colacasia Esculenta L Schott). Tahap penelitian meliputi persiapan alat dan bahan untuk pembuatan tepung bentul sebagai bahan pangan fungsional, pengujian mutu fisik tepung bentul, pengujian mutu kimia tepung bentul, serta penyimpulan data yang diperoleh dari pengujian mutu fisika dan kimia tepung bentul.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah tepung bentul, sedangkan sampel dalam penilitian ini adalah sebagian tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0%, 0,3% dan 0,6% yang digunakan dalam pengujian mutu fisik dan kimia tepung bentul.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1 Lokasi Penelitian Penelitian Pengaruh Penambahan Natrium Metabisulfit Terhadap Mutu Tepung Bentul dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi dan Mikrobiologi 30
31
Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang serta di Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang. 3.3.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan mulai penyusunan proposal bulan Desember 2015 hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah bulan Agustus 2016.
3.4 Definisi Operasional Variabel Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi natrium metabisulfit. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah mutu fisik dan mutu kimia tepung bentul. Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Variabel
Sub Variabel
Definisi Operasional
Variabel bebas Konsentrasi Natrium Metabisulfit Variabel terikat
Natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0%, 0,3%, dan 0,6%
Banyaknya natrium Timbangan metabisulfit yang ditambahkan pada proses perendaman umbi bentul
Mutu fisik
1. Organoleptis Warna Bau Bentuk Rasa 2.Uji Rendemen
Pengujian yang melibatkan panca indera
Pengujian yang didasarkan perbandingan antara berat sampel dengan berat bahan baku
Alat ukur
Hasil ukur Nominal
Indra Ordinal penglihatan, indra perasa, indra peraba dan indra penciuman.
Timbangan
Nominal
32
3.Uji Warna
Pengujian yang didasarkan pada tingkat kecerahan suatu sampel
Colour Reader Nominal
Mutu kimia
Analisa proksimat Uji Nilai total karbohidrat karbohidrat berdasarkan perhitungan Carbohydrate By Difference Uji lemak
Uji protein
Uji kadar air
Uji kadar abu
Nominal
Nilai berdasarkan jumlah Soxhlet lemak total
Nominal
Nilai berdasarkan jumlah Kjedahl nitrogen total
Nominal
Nilai kandungan air yang terkandung dalam sampel Gravimetri
Nominal
Nilai kandungan mineral dalam sampel Tanur Pengabuan
Nominal
3.5 Pengumpulan Data 3.5.1
Alat Alat yang digunakan yaitu loyang, blender, timbangan, ayakan 60 mesh
dan 80 mesh, seperangkat alat gelas, pisau, panci.
33
3.5.2
Bahan Bahan yang digunakan antara lain bentul, H2SO4(p), NaOH, K2SO4,
alkohol, tablet Kjedhal, asam borat, HCl(p), indicator PP, kloroform, toluene, aquadest, natrium metabisulfit. 3.5.3
Pembuatan Tepung Bentul mengacu pada Mayasari, 2010 1. Bentul dicuci dengan air bersih. 2. Bentul dipotong dengan ketebalan 1-2 mm agar mempermudah saat proses penghancuran. 3. Bentul direndam dengan garam untuk menghilangkan kalsium oksalat (rasa gatal) dalam umbi bentul. 4. Meniriskan umbi bentul yang telah direndam menggunakan air garam. 5. Merendam bentul dengan natrium metabisulfit dengan perbandingan konsentrasi 0%, 0,3% dan 0,6% selama 20 menit 6. Meniriskan umbi bentul yang telah direndam menggunakan larutan natrium metabisulfit 7. Umbi bentul yang telah direndam diblanching dengan waktu 10-15 menit. 8. Dikeringkan dan dijemur di bawah sinar matahari atau dioven pada suhu 600C hingga kering. 9. Bentul kering diblender dan diayak dengan ayakan 60 mesh.
3.5.4
Pengujian Mutu Fisik Tepung Bentul
3.5.4.1 Uji Organoleptis 1. Diambil sebagian tepung bentul kemudian diamati warna, bentuk, aroma, dan rasa.
34
2. Dicatat hasil pengamatan. 3.5.4.2 Uji Rendemen 1. Disiapkan alat dan bahan 2. Ditimbang hasil tepung bentul menggunakan timbangan analitik 3. Dibandingkan dengan berat hasil tepung bentul dengan berat bahan baku 3.5.4.3 Uji Warna 1. Disiapkan alat dan bahan 2. Colour Reader dinyalakan menggunakan sistem L, a, b 3. Colour Reader dikalibrasi dan dipilih warna putih 4. Sampel siap untuk diuji dengan menempelkan ujung reseptor sampai lampu reseptor menyala 5. Hasil yang diperoleh kemudian dicatat 3.5.5
Pengujian Mutu Kimia Tepung Bentul
3.5.5.1 Pengujian Serat Kasar 1. Dihaluskan sampel hingga dapat melalui ayakan diameter 1 mm. Jika sampel tidak dapat dihaluskan, hancurkan kembali. 2. Ditimbang 2 g sampel kering 3. Diekstraksi lemaknya dengan soxhlet. Jika sampel sedikit mengandung lemak, misal sayur gunakan 10 g sampel , tidak perlu dikeringkan dan diekstraksi lemaknya 4. Dipindahkan ke dalam labu dasar bulat. Jika ada tambahkan 0,5 g asbes yang telah dipijarkan dan 3 tetes zat anti buih ( antifoam agent)
35
5. Ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih (1,25 g H2SO4 pekat/100 ml = 0,255 N H2SO4) dan tutuplah dengan pendingin balik (refluk) 6. Dididihkan selama 30 menit dengan kadangkala digoyang-goyang 7. Disaring suspensi dengan kertas saring, residu yang tertinggal di erlenmeyer dicuci dengan aquades mendidih 8. Dicuci residu dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus) 9. Dipindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer kembali dengan spatula, dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH mendidih (1,25 g NaOH/100 ml = 0,313 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. 10. Dididihkan dengan menggunakan pendingin balik (refluk) sambil kadangkala digoyang-goyangakan selama 30 menit 11. Disaring dengan kertas saring (timbang) kering yang diketahui beratnya atau krus Gooch yang telah dipijarkan dan diketahui beratnya, sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. 12. Dicuci kembali residu dengan aquades mendidih dan kemudian dengan lebih kurang 15 ml alkohol 95% 13. Dikeringkan kertas saring atau krus dengan isisnya pada 1100 C sampai berat konstan (1-2 jam) 14. Didinginkan dalam deksikator dan timbang. 3.5.5.2 Pengujian Protein Cara Makro Kjeldahl yang Dimodifikasi (AOAC, 1970) 1. Ditimbang 1 gram bahan yang telah dihaluskan dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.
36
2. Ditambahkn 7,5 gram K2S2O4 dan 0,35 gram HgO (Awas : zat ini beracun) dan akhirnya tambahkan 15 mL H2SO4(p). 3. Semua bahan dipanaskan dalam labu Kjeldahl dalam almari asam sampai berhenti berasap. Pemanasan diteruskan dengan api besar sampai mendidih dan cairan menjadi jernih. Pemanasan diteruskan lebih kurang satu jam. Alat pemanas dimatikan dan dibiarkan bahan menjadi dingin. 4. Ditambahkan 100 mL akuades dalam labu Kjeldahl yang didinginkan dalam air es dan beberapa lempeng Zn. 5. Ditambahkan 15 mL larutan K2S 4% (dalam air) dan ditambahkan perlahan-lahan larutan NaOH 50% sebanyak 5 mL yang sudah didinginkan dalam almari es. Dipasang labu Kjeldahl dengan segera pada alat destilasi. 6. Dipanaskan labu Kjeldahl perlahan-lahan sampai dua lapisan cairan tercampur, kemudian dipanaskan dengan cepat sampai mendidih. 7. Distilat ditampung dalam Erlenmeyer yang telah diisi dengan 50 mL larutan standar HCl 0,1 N dan 5 tetes indicator metal merah. Lakukan distilasi sampai distilat yang tertampung sebanyak 75 mL. 8. Distilat yang diperoleh dititrasi dengan standar NaOH 0,1 N sampai warna kuning. 9. Dibuat larutan blanko dengan mengganti bahan dengan akuades, lakukan destruksi, distilasi, dan titrasi seperti pada bahan sampel.
37
Perhitungan % N:
% protein = % N x faktor
3.5.5.3 Pengujian Lemak dengan Soxhlet (Woodman, 1941) 1.
Ditimbang 2 gram bahan yang telah dihaluskan (sebaiknya yang kering dan lewat 40 mesh).
2.
Dicampur dengan pasir yang telah dipijarkan sebanyak 8 gram dan dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi Soxhlet dalam Thimble.
3.
Dialirkan air pendingin melalui kondensor.
4.
Dipasang tabung ekstraksi pada alat destilasi Soxhlet dengan pelarut petroleum eter secukupnya selama 4 jam. Setelah residu dalam tabung ekstraksi diaduk, ekstraksi dilanjutkan lagi selama 2 jam dengan pelarut yang sama.
5.
Petroleum eter yang telah mengandung ekstrak lemak dipindahkan ke dalam botol timbang yang bersih dan diketahui beratnya kemudian diuapkan dengan penangas air sampai agak pekat. Teruskan pengeringan dalam oven 1000 C sampai berat konstan.
6.
Berat residu dalam botol timbang dinyatakan sebagai berat lemak.
3.5.5.4 Pengujian Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
38
1.
Ditimbang dengan seksama 2-3 gram contoh ke dalam sebuah cawan porselen (atau platina) yang telah diketahui bobotnya.
2.
Diarangkan di atas nyala pembakar, lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 5500C sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pinyu tanur dibuka sedikit agar oksigen bias masuk).
3.
Didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang sampai bobot tetap. Perhitungan :
Dimana : w : bobot sampel sebelum diabukan (g) w1 : bobot sampel + cawan sesudah diabukan (g) w2 : bobot sampel kosong (g) 3.5.5.5 Analisa Kadar Air cara Thermogravimetri (AOAC, 2005) 1.
Sampel ditimbang sebanyak 2-5 gram pada cawan porselin yang telah diketahui beratnya.
2.
Cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven selama 3- 4 jam pada suhu 100-105 °C atau sampai beratnya menjadi konstan.
3.
Sampel kemudian dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator dan segera ditimbang setelah mencapai suhu kamar.
4.
Dimasukkan kembali bahan tersebut ke dalam oven sampai tercapai berat yang konstan (selisih antara penimbangan berturut-turut 0,0002 gram)
39
5.
Kehilangan berat tersebut dihitung sebagai presentase kadar air dan dihitung dengan rumus :
3.6 Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengolahan umbi bentul menjadi tepung bentul pada uji mutu kimia yang meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat serta uji warna menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor, sehingga digunakan analisa One Way Annova menggunakan program SPSS 16.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang serta di Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan diperoleh data analisa pengujian organoleptis, pengujian mutu fisik yang meliputi uji rendemen dan uji warna, pengujian mutu kimia yang meliputi uji karbohidrat, protein, lemak, kadar air, dan kadar abu.
4.1 Pengujian Organoleptis Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) Pembuatan tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit ini dilakukan dengan merendam umbi bentul dengan menggunakan tiga konsentrasi natrium metabisulfit yang berbeda yaitu 0%, 0,3% dan 0,6%. Hal tersebut mengacu pada penelitian Purwanto dkk., (2013) dimana pemberian natrium metabisulfit dapat mencegah terjadinya reaksi pencoklat pada tepung labu kuning. Tepung bentul yang dihasilkan diamati organoleptisnya. Pengujian organoleptis tepung bentul meliputi bentuk, warna dan aroma. Adapun pengujian organoleptis tepung bentul tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1
40
41
Tabel 4.1 Pengujian Organoleptis Tepung Bentul
Parameter
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,3%
Konsentrasi 0,6%
Bentuk
Serbuk
Serbuk
Serbuk
Warna
Coklat muda
Coklat muda keputihan
Coklat muda hampir putih
Aroma
Bau khas
Bau khas
Bau khas
Bentuk dari ketiga tepung bentul yang dihasilkan adalah sama yaitu berbentuk serbuk. Warna yang dihasilkan dalam pembuatan tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit 0% lebih gelap dibandingkan dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6%. Tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan penambahan konsentrasi 0%, namun warna yang dihasilkan lebih gelap dibanding dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,6%. Pada penelitian ini, semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan maka akan menghasilkan tepung bentul yang memiliki warna yang lebih putih. Hal tersebut dikarenakan senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat tinggi dan bersifat irreversibel, sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase. Penggunaan sulfit dalam pencegahan reaksi browning melalui cara mereduksi secara langsung hasil oksidasi quinon menjadi senyawa fenolat sebelumnya. Warna
coklat
pada
tepung akan teratasi dengan penambahan larutan natrium metabisulfit yang dianjurkan untuk
produk pangan. Semakin
tinggi
konsentrasi
natrium
metabisulfit maka tepung memiliki warna yang lebih putih. Menurut Syarief dan
42
Irawati, (1998), selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi ini akan mengikat melanoida sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Selain itu, aroma yang dihasilkan dari masing-masing tepung bentul memiliki aroma yang khas yaitu berbau khas umbi bentul. Namun, dengan penambahan natrium metabisulfit, aroma dari tepung bentul lebih tajam. Hal tersebut dikarenakan sifat dari natrium metabisulfit yang memiliki bau khas seperti gas sulfur dioksida dan sedikit asam.
4.2 Pengujian Rendemen Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) Rendemen merupakan berat bahan setelah proses dibandingkan dengan berat bahan sebelum proses. Pembuatan tepung bentul ini dilakukan dengan menggunakan tiga konsentrasi natrium metabisulfit yang berbeda. Konsentrasi pertama adalah 0%, 0,3% dan 0,6%. Umbi bentul yang digunakan dalam pembuatan tepung bentul adalah sebanyak 300 gram. Air yang digunakan masingmasing adalah sebanyak 1000 mL. Hasil pengujian rendemen tepung bentul adalah sebesar 29,33%. Perhitungan hasil rendemen dapat dilihat pada lampiran 4. Hasil rendemen yang kecil diakibatkan kandungan air yang besar yang terdapat pada umbi bentul yaitu 69,2 gram per 100 gram. Pada proses pengeringan, air pada umbi bentul akan menguap sehingga rendemen yang dihasilkan akan rendah.
43
4.3 Pengujian Mutu Kimia Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) Pengujian mutu kimia tepung bentul meliputi pengujian tentang kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu serta kadar karbohidrat dari masingmasing tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0%, 0,3% dan 0,6%. Adapun hasil pengujian mutu kimia tepung bentul dapat dilihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2 Pengujian Mutu Kimia Tepung Bentul (Colocasia Esculenta (L) Schott) dalam 65 gram
4.3.1
Parameter
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,3%
Konsentrasi 0,6%
Protein (%)
4,00
3,50
3,58
Lemak (%)
0,28
0,34
0,35
Air (%)
7,42
8,97
8,63
Abu (%)
1,95
1,93
2,27
Karbohidrat (%)
86,35
85,26
85,17
Kadar Protein Kadar protein pada tepung bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schoot)
yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit (Na2S2O3) pada proses perendaman memberikan hasil yang tidak berbeda jauh dengan tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit. Kadar protein tepung bentul yang dihasilkan tanpa penambahan natrium metabisulfit ialah 4,00 % sedangkan kadar protein tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6% berturut-turut adalah 3,50% dan 3,58%. Hasil kadar protein pada tepung bentul penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan
44
umbi Dioscorea alata ungu dan kuning sebesar 1,57 % dan 2,71 % pada penelitian Fahmi dan Antarlina, 2007. Kadar protein dalam tepung diperlukan untuk aplikasinya, apabila tepung berkadar protein tinggi maka dalam aplikasinya tidak perlu menambahkan substitusi lagi (Richana, 2004). Berdasarkan hasil analisa data one way anova, konsentrasi natrium metabisulfit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein tepung bentul dengan nilai sig 0,084 (Sig > 0,05). Hasil analisa data one way anova dapat dilihat pada lampiran 6. Hal tersebut menunjukkan, bahwa tepung perlakuan pendahuluan baik berupa blanching maupun perendaman dalam natrium metabisulfit tidak memberi pengaruh besar terhadap kadar protein dalam tepung bentul.
Gambar 4.1 Grafik Kadar Protein
Proses blanching dapat mencegah atau mengurangi kehilangan nutrisi selama proses pengolahan sedangkan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit diduga dapat mencegah terjadinya pemecahan senyawa protein
45
menjadi asam-asam amino (Putri dkk, 2014). Selain itu, blanching merupakan salah satu proses pemanasan. Proses pemanasan dapat mendenaturasi dan merubah struktur protein yang ada. Meskipun demikian kandungannya tetap karena dengan analisa kadar protein yang diketahui sebenarnya adalah jumlah dari N total, sehingga proses pemanasan hanya dapat mengakibatkan denaturasi struktur protein saja, namun kadar N dalam bahan masih dalam jumlah yang tetap (Suprapto, 2006). 4.3.2
Kadar Lemak Besarnya konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O3) tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kadar lemak tepung bentul. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisa data yang diperoleh nilai Sig 0,050 (Sig > 0,05). Hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada lampiran 7. Pada tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit konsentrasi 0% memiliki kandungan kadar lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak pada tepung bentul dengan konsentrasi natrium metabisulfit 0,3% dan 0,6%.
Gambar 4.2 Grafik Kadar Lemak
46
Kadar lemak pada tepung bentul yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan penambahan natrium metabisulfit. Kadar lemak pada tepung bentul berkisar antara 0,28 – 0,35. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian Lebo et al., (2005) yang mendapatkan kadar lemak pada tepung ubi kelapa sekitar 0,2 – 0,5 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi natrium metabiulfit yang digunakan dalam proses perendaman umbi bentul maka semakin besar kandungan lemak yang dihasilkan dikarenakan proses sulfitasi dapat menyebabkan sel-sel jaringan pada bahan menjadi berlubang sehingga diduga menyebabkan lemak dalam umbi bentul memecah menjadi asam-asam lemak yang terdeteksi pada proses analisis lemak (Rahman dan Parera, 1998). Dari kandungan lemak yang rendah tersebut menyebabkan umbi bentul ini menjadi bahan makanan pokok yang cocok untuk diet atau penyakit degenerative. 4.3.3
Kadar Air Kadar air tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium
metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6% berturut-turut adalah 8,97% dan 8,63%. Penambahan natrium metabisulfit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar air yang dihasilkan pada masing-masing tepung bentul. Berdasarkan hasil analisa data one way anova, nilai sig yang dihasilkan adalah 0,001 (Sig < 0,05 ). Hasil analisa data tersebut dapat dilihat pada lampiran 8. Hasil kadar air tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5), maka kadar air yang terkandung akan semakin rendah. Rendahnya kadar air disebabkan karena natrium metabisulfit dapat merusak jaringan pada umbi bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schoot). Perendaman dalam natrium metabisulfit mengakibatkan sel-sel jaringan pada bahan menjadi
47
berlubang sehingga mempercepat proses pengeringan, proses pengeringan yang cepat tersebut menyebabkan air dalam bahan cepat teruapkan. (Purwanto., 2013). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Herudiyanto, dkk (2007) bahwa rendahnya kadar air pada tepung bentul berkaitan dengan perusakan bahan oleh natrium metabisulfit.
Gambar 4.3 Grafik Kadar Air
Pada tepung bentul yang dihasilkan tanpa penambahan natrium metabisulfit atau dengan konsentrasi 0%, hasil kadar air yang diperoleh semakin rendah yaitu 7,42%. Hal tersebut dikarenakan tepung bentul tersebut tidak melalui proses perendaman dengan natrium metabisulfit yang dapat merusak sel-sel jaringan sehingga dapat mempercepat proses pengeringan. Pada proses pengeringan tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 2 hari dibandingkan dengan tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit baik dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6% yang memerlukan waktu lebih singkat yaitu 1 hari.
48
Oleh karena itu, akibat memerlukan waktu yang lebih lama umbi bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit melalui proses pengeringan dalam kurun waktu 2 hari. Hal tersebut mengakibatkan semakin berkurangnya kandungan air pada tepung bentul yang dihasilkan. Kandungan air tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan kandungan air dalam tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit baik dengan konsentrasi 0,3% atau dengan konsentrasi 0,6%. Kadar air mempengaruhi efektifitas pengemasan dan juga daya simpan bahan. Semakin tinggi kadar air, bahan akan semakin mudah rusak. Sedangkan Standar kadar air tepung ubi jalar di Indonesia adalah 7-8%, (Ambarsari, 2009) dan standar tepung oleh SNI (3751-2009) kadar air tepung maksimal adalah 14% (BSN, 2009). Artinya kadar air tepung umbi bentul pada penelitian ini masuk dalam persyaratan yang ditentukan. 4.3.4
Kadar Abu Kadar abu menunjukkan kandungan mineral dalam suatu bahan, dan
kadarnya tergantung pada jenis tanah, kadar air, serta kematangan saat panen. Penambahan natrium metabisulfit pada proses perendaman dalam umbi bentul mempengaruhi kadar abu dari tepung bentul yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisa data one way anova, nilai sig yang dihasilkan adalah 0,05 (Sig < 0,05 ). Hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada lampiran 9. Kadar abu yang terdapat pada tepung bentul dengan konsentrasi natrium metabisulfit 0% atau tanpa penambahan natrium metabisulfit adalah sebesar 1,95%. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan kadar abu yang terkandung dalam tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit konsentrasi 0,3%. Kadar abu yang diperoleh dari konsentrasi tersebut adalah sebesar 1,93%.
49
Gambar 4.4 Grafik Kadar Abu
Kandungan kadar abu lebih besar pada tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit dibandingkan dengan kadar abu yang dihasilkan tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3%, hal tersebut diduga dikarenakan akibat proses pembuatan tepung bentul. Pada proses pembuatan tepung bentul, umbi bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit (konsentrasi 0%) memiliki waktu kering yang lebih lama. Hal tersebut dapat mengakibatkan kadar abu yang diperoleh semakin besar karena adanya mineral yang ikut terkandung dalam tepung bentul yang dihasilkan, seperti pada saat pengolahan, pengeringan dll. Nilai kadar abu pada tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,6% merupakan nilai kadar abu yang paling besar yaitu 2,27%. Hal tersebut menunjukkan natrium metabisulfit dapat mempengaruhi kadar abu dalam hasil tepung bentul yang dibuat karena adanya kandungan mineral Na dan S pada natrium metabisulfit (Rahman, 2007). Seperti
50
yang telah diketahui bahwa kadar abu suatu bahan berhubungan dengan kandungan mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. 4.3.5
Kadar Karbohidrat Pada pengujian kadar karbohidrat, tepung bentul yang dibuat tanpa
penambahan natrium metabisulfit memiliki kadar yang lebih tinggi yaitu 86,35% dibandingkan dengan tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit, baik dengan konsentrasi 0,3% maupun 0,6%. Berdasarkan hasil analisa data one way anova, penambahan natrium metabisulfit berpengaruh terhadap kadar karbohidrat dari tepung yang dihasilkan, hal tersebut dikarenakan nilai signifikannya 0,018 (Sig < 0,05) . Hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada lampiran 10.
Gambar 4.5 Grafik Kadar Karbohidrat
Penurunan kadar karbohidrat diduga dikarenakan selama proses perendaman dengan natrium metabisulfit, dinding sel dari umbi bentul larut dalam air. Umbi bentul akan mengembang dan bersifat semipermiabel, sehingga
51
molekul-molekul senyawa organik seperti gula dengan bebas dapat menembus dinding-dinding sel masuk ke air. Selama proses perendaman akan terjadi pelarutan zat-zat yang dapat larut seperti karbohidrat dan vitamin (Sunarti, 2013). Hal tersebut berarti bahwa semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan untuk proses perendaman dalam pembuatan tepung bentul maka semakin kecil kadar karbohidrat yang dihasilkan.
4.4 Pengujian Warna Tepung Bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schott) Pengujian warna pada tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerahan yang dihasilkan dari masing-masing tepung bentul tersebut. Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan alat colour reader. Alat ini membedakan warna berdasarkan tiga nilai yaitu L* (Lightness atau kecerahan), a* (Redness atau tingkat kemerahan) dan b* (Yellowness atau tingkat kekuningan). Hasil pengujian tingkat kecerahan dari masing-masing tepung bentul dengan penambahan natrium metabislufit dengan konsentrasi 0%, 0,3% dan 0,6% terdapat pada tabel 4.3 Tabel 4.3 Pengujian Warna Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott)
Parameter
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,3%
Konsentrasi 0,6%
Warna. L
62,0
63,7
65,7
a*
15,6
15,5
15,4
b*
13,6
12,5
11,9
52
Penambahan natrium metabisulfit pada proses pembuatan tepung bentul memberikan pengaruh terhadap nilai L* , a* dan b* pada warna tepung bentul yang dihasilkan. L* menyatakan warna kecerahan, dengan nilai 0 (hitam gelap) sampai 100 (putih terang). Penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,6% menghasilkan nilai L* (Lightness atau kecerahan) yang paling tinggi dibandingkan dengan penambahan natrium metabisulfit konsentrasi 0% dan 0,3%. Hal tersebut disebabkan oleh fungsi sulfit yang dapat menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir reaksi pembentukan senyawa 5-hidroksi metal furfural dari D-glukosa penyebab warna coklat (Fenema, 1996).
Gambar 4.5 Grafik Pengujian Warna
Selain itu, penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,6% menghasilkan nilai a* (Redness atau tingkat kemerahan) dan nilai b* (Yellowness atau tingkat kekuningan) yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi 0% dan 0,3%. Pengaruh tersebut didukung dengan hasil analisa data yang
53
menghasilkan nilai Sig 0,000 (Sig < 0,05). Hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada lampiran 11. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan dapat mencegah reaksi pencoklatan enzimatis.
54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Penambahan
Natrium
Metabisulfit
pada
tepung
bentul
dapat
mempengaruhi sifat fisik dari tepung bentul. Secara organoleptis berbentuk serbuk, berbau khas bentul dan pada penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi paling tinggi yaitu 0,6% menghasilkan warna terbaik yaitu coklat hampir putih. Pengujian warna dengan colour reader konsentrasi 0,6% didapatkan hasil terbaik dengan data L*,a* dan b* yaitu 65,7, 15,4 dan 11,9. 2. Penambahan Natrium Metabisulfit pada tepung bentul mempengaruhi sifat kimia dari tepung bentul. Dimana analisa data one way anova menunjukkan bahwa hasil protein, dan lemak tidak berpengaruh signifikan dengan penambahan Natrium Metabisulfit. Sedangkan kadar air, abu dan karbohidrat
berpengaruh
signifikan
dengan
penambahan
Natrium
Metabisulfit. 5.2 Saran Hal yang dapat dikembangkan terkait hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Perlu dilakukannya pengujian tentang pengaruh lama perendaman dalam natrium metabisulfit terhadap mutu tepung bentul yang dihasilkan.
55
2.
Perlu dilakukannya pengujian tentang sifat fisik tepung bentul meliputi daya serap air, kelarutan tepung dan daya dispersi.
DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2016. Umbi Bentul.http://www.google.com/talas+bogor.jpg Adeleke, R.O. and J.O. Odedeji. 2010. Functional Properties of Wheat and Sweet Potato Flour Blends. Pakistan Journal of Nutrition 9(6): 535-538 Ambarsari, I, Sarjana, dan A. Choliq., 2009. Rekomendasi Dalam Penetapan Standar Mutu Tepung Ubi Jalar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah. Anna Poedjiadi, 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI-Press: Jakarta. Asgar, A. dan Musaddad, D. 2006. Optimalisasi Cara, Suhu dan Lama Blansing Sebelum Pengeringan pada Wortel. Jurnal Hortikultura vol. 16 (3): 245-252 BSN. 1992. SNI 01–2891–1992 tentang Cara Uji Makanandan Minuman. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta Chichester, C.E. and F.W. Tanner, 1975. Anti Microbial and Food Additives, Chemical Rubber, Co., Amsterdam. Corcuera, J. I. R., Cavalieri, R. P., dan Powers, J. R. 2004. Blanching of Foods. Marcel Dekker, USA. Darmajana, D.A, 2010. Upaya Mempertahankan Derajat Putih Pati Jagung Dengan Proses Perendaman Dalam Natrium Metabisulfit. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B01) : 1-5 Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 2009. Tepung Terigu (SNI 01-3751-2009). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Direktorat Gizi Depkes R.I 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara, Jakarta
Elfnesh F, Tekalign T, and Solomon W. 2011. Processing quality of improved potato (Solanum tuberosum L.) cultivars as influenced by growing environment and blanching. African Journal of Food Science 5:6, 324-332
56
57
Eskin, N.A.M., H.M Henderson. 1971. Biochemistry of Food. New York : Academic Press Fellows, P. 2000. ‘Blanching’ in Food Processing Technology: Principles and Practice.Woodhead Publishing Limited: England Hartati, S dan Prana. 2003. Analisa Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung beberapa Kultivar Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Jurnal Natur Indonesia 6 (1): 29-33 Herudiyanto, Marleen, Debby M. Sumanti dan Ria Nurul Ahadlyah. 2007. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Dalam Larutan Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) Terhadap KarakteristikTepung Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Varietas Sumenep. Jurnal Teknotan Vol. 1 No. 1 Januari 2007 Hutchings, JB. 1999. Food Colour and Appearance 2nd edition. Maryand : Aspen Pub. Di dalam Lutfika, Efrin. (2006). Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Panggang Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon Unggul BB00105.10. Skripsi, Institut Pertanian Bogor Kumalaningsih, Sri., dkk. 2012. Pencegahan Pencoklatan Umbi Ubi Jalar
(Ipomoea batatas (L). Lam.) untuk Pembuatan Tepung : Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Asam Askorbat dan Sodium Acid Pyrophosphat. Universitas Brawijaya : Malang Prabasini, Hehmaning., dkk. 2013. Kajian Sifat Kimia dan Fisik Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata) dengan Perlakuan Blanching dan Perendaman dalam Natrium Metabisulfit (Na2S2O5). Jurnal Teknologi Pangan Vol 2 : 93-102 Purwanto. C. C., dkk. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Tepung Labu Kuning (Cucurbita maxima) dengan Perlakuan Blanshing dan Perendaman dengan Natrium Metabisulfit. Universitas Sebelas Maret. Surakarta Putri, Widya Dwi Rukmi, Elok Zubaidah dan N. Sholahudin. 2004. Ekstraksi Pewarna Alami Daun Suji, Kajian Pengaruh Blanching dan Jenis Bahan Pengekstrak. J. Tek. Pert. Vol 4 (1) : 13 – 24. Rahman, A. M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocal (Modified Cassava Flour) sebagai Penyalut Kacang pada Produk Kacang Salut. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
58
Rahman, M.S. and Conrad O.P. 1999. Drying and Food Preservation in Handbook of Food Preservation. Marcell Dekker Inc.: New York
Richana, N. dan T. C. Sunarti. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal Pascapanen. 1(1): 29-37
Sudarmadji, Slamet, H.Bambang, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Syarief, R dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Uritani, I. 1982. Postharvest Physiology and Pathology of Sweet Potato from The Biochemical View Point. In Sweet Potato. Proc. of The First International Simposium. Villareal, R.L. and T.D. Griggs (Eds.), 421428. AVRDC, Shanhua, Tainan, Taiwan, China.
Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian dalam Tabloid Sinar Tani. Woodman, 1941. Food Analysis 4th Edition. Mc. Graw Hill Book Company, Inc. New York
59
Lampiran 1. Jadwal Kegiatan KTI Kegiatan
Tanggal Pelaksanaan
Penulisan proposal KTI
November – 09 Januari 2016
Ujian proposal KTI
14 - 15 Januari 2016
Revisi proposal KTI
1 – 24 Februari 2016
Pembuatan Tepung Bentul
17 Februari – 24 Februari 2016
Pengujian Organoleptis
24 Februari 2016
Pengujian Rendemen
24 Februari 2016
Pengujian Mutu Fisik dan Kimia
25 Februari – 14 Maret 2016
Tepung Bentul Penyusunan naskah KTI
25 Maret – 08 Juli 2016
Ujian hasil KTI
19 – 21 Juli 2016
60
Lampiran 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Bentul Umbi Bentul dikupas
Umbi bentul dicuci dengan air bersih
Umbi bentul dipotong kecil-kecil
Umbi bentul direndam dengan larutan garam 2 % selama 20 menit Ditiriskan
Direndam dengan Larutan Natrium Metabisulfit dengan konsentrasi 0%, 0,3% dan 0,6%
Ditiriskan
Diblanching dengan air panas selama 10-20 menit
Ditiriskan
Dijemur dibawah sinar matahari
Setelah kering, dihaluskan dengan menggunakan blender
Diayak dengan ayakan 60 mess
61
Lampiran 3. Proses Pembuatan Tepung Bentul
Pengupasan Umbi Bentul
Perendaman dengan NaCl
Pelarutan Natrium metabisulfit dengan air
Pencucian umbi bentul
Perajangan umbi bentul
Perendaman dengan Natrium metabisulfit
62
Proses blanshing
Proses Pengayakan
Tepung Bentul
Proses pengeringan
Proses penghalusan
63
Lampiran 4. Data Perhitungan Rendemen Tepung Bentul Berat Umbi Bentul : 300 gram Berat Tepung Bentul : 88 gram
64
Lampiran 5. Hasil Pengujian Mutu Fisik dan Mutu Kimia Tepung Bentul
65
Lampiran 6. Analisis Data Kadar Protein
66
Lampiran 7. Hasil Analisis Data Kadar Lemak
67
Lampiran 8. Hasil Analisis Data Kadar Air
68
Lampiran 9. Hasil Analisis Data Kadar Abu
69
Lampiran 10. Hasil Analisis Data Kadar Karbohidrat
70
Lampiran 11. Hasil Analisis Data Uji Warna