PENGARUH PENAMBAHAN NANOPARTIKEL ZnO DAN ASAM STEARAT TERHADAP SIFAT FUNGSIONAL KEMASAN FILM NANOKOMPOSIT BERBASIS KITOSAN
GUNAWAN SANJAYA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZnO dan Asam Stearat Terhadap Sifat Fungsional Kemasan Film Nanokomposit Berbasis Kitosan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 3 Desember 2014 Gunawan Sanjaya NIM F24100026
ABSTRAK GUNAWAN SANJAYA. Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZnO dan Asam Stearat Terhadap Sifat Fungsional Kemasan Film Nanokomposit Berbasis Kitosan. Dibimbing oleh NUGRAHA EDHI SUYATMA Kitosan merupakan bahan pembuatan kemasan film yang baik. Film dari kitosan memiliki sifat mekanis dan antimikroba yang unggul dibandingkan biopolimer lain. Kelemahan film kitosan adalah sensitif terhadap kelembaban dan elongasi yang terbatas. Penambahan nanopartikel ZnO (NPZ) dapat meningkatkan kuat tarik, ketahanan terhadap kelembaban dan kemampuan antimikroba dari kitosan film. Sementara penambahan asam stearat berguna untuk menurunkan tingkat permeabilitas uap air pada film. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakter sifat fungsional kemasan film kitosan yang dikomposisikan dengan penambahan NPZ dan juga asam lemak stearat. Hasil penelitian sementara menunjukkan aktivitas antimikroba dari film mampu mencegah pertumbuhan pada bakteri pathogen Gram positif maupun Gram negatif. Selain itu, performa kuat tarik dan elongasi dari film memiliki korelasi positif dengan penambahan NPZ hingga kadar 1%. Penambahan NPZ hingga 1% dan asam lemak stearate juga mampu menurunkan laju permeabilitas uap air sehingga meningkatkan kualitas film sebagai bahan pengemas. Namun keberadaan asam lemak stearat pada film bionanokomposit kitosan-NPZ mengurangi tingkat aktivitas antimikroba film, kuat tarik film, dan elongasi. Sehingga didapatlah formula dengan penambahan NPZ sebanyak 1% tanpa penambahan asam stearat sebagai formulasi paling optimum.
Kata kunci : Sifat Fungsional, Kitosan, Nanopartikel ZnO (NPZ), Asam stearat, Aktivitas antimikroba
ABSTRACT GUNAWAN SANJAYA. Enhancement of Functional Properties of Chitosanbased Nanocomposite by incorporation with ZnO Nanoparticle and Stearic Acid. Supervised by NUGRAHA EDHI SUYATMA Chitosan is good substance for making good film packaging. Film made from chitosan has better antimicrobial and mechanical properties than other biopolymers. But chitosan film has high humidity sensitiveness and also limited elongation. The addition of ZnO Nanoparticle can increase tensile strength, resilience against moisture and antimicrobial capability of Chitosan film. Meanwhile, stearic acid incorporation in Chitosan-ZnO NP bionanocomposite is useful for decreasing the level of water vapor permeability on the film. This research aimed to study the character of the functional properties of film packaging made by Chitosan-ZnO NP bionanocomposite incorporated with stearic acid. The results of the study showed antimicrobial activity of the film could prevent Gram positive and Gram negative growth. Furthermore, tensile strength and elongation performance of film had positive correlation with the addition of NPZ up to levels of 1%. The incorporation of ZnO NP and stearic reduced the water vapor permeability value thereby it enhance the quality of the film as packaging materials. However, the presence of stearic fatty acid in Chitosan-ZnO NP bionanocomposite films reduced the level of antimicrobial activity, tensile strength, and elongation. So the optimum formula of Chitosan-ZnO NP bionanocomposite manufacturing is formula with addition of 1% ZnO NP without the stearic acid. Keywords: Functional Properties, Chitosan, ZnO Nanoparticles, Stearic acid, Antimicrobial activity
PENGARUH PENAMBAHAN NANOPARTIKEL ZnO DAN ASAM STEARAT TERHADAP SIFAT FUNGSIONAL KEMASAN FILM NANOKOMPOSIT BERBASIS KITOSAN
GUNAWAN SANJAYA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZnO dan Asam Stearat Terhadap Sifat Fungsional Kemasan Film Nanokomposit Berbasis Kitosan Nama : Gunawan Sanjaya NIM : F24100026
Disetujui oleh
Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah kemasan film untuk produk pangan, dengan judul Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZnO dan Asam Stearat Terhadap Sifat Fungsional Kemasan Film Nanokomposit Berbasis Kitosan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma STP, DEA selaku pembimbing, para Teknisi laboratorium tempat penelitian ini berlangsung, serta teman-teman ITP angkatan 47 yang telah banyak memberi saran dan bantuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 3 Desember 2014 Gunawan Sanjaya
DAFTAR ISI ABSTRAK
ii
PRAKATA
viii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kitosan
3
ZnO (Seng Oksida)
4
Bionanokomposit Kitosan-ZnO
4
METODE
5
Bahan
5
Alat
5
Metode
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL 1. Data pengukuran pH dan Viskositas 2. Jumlah awal bakteri uji 3. Suhu Titik Leleh, Suhu Transisi Gelas, dan Entalpi Pelelehan Film
13 17 20
DAFTAR GAMBAR 1. Reaksi Pembentukan Kitosan dari Kitin (Linawati 2006) 2. Diagram alir poses pembuatan nanokomposit kitosan-NPZ dengan penambahan asam stearat (Vodjani dan Torres (1989) 3. Diagram alir persiapan kultur uji 4. Diagram alir pengujian aktivitas anti mikroba metode sumur 5. Biofilm yang dihasilkan dari bionanokomposit kitosan-NPZ 6. Penurunan nilai aW pada tiap penambahan NPZ 7. Kenaikan nilai kuat tarik pada tiap penambahan NPZ 8. Diagram Persen Elongasi pada tiap Perlakuan 9. Diagran nilai WVTR tiap perlakuan 10.Besar zona penghambatan bionanokomposit pada beberapa jenis bakteri patogen 11. Penampakan dinding sel bakteri Gram positif (a) dan Gram negatif (b) 12. Hasil pengamatan visual SEM 13. Termogram bionanokomposit kitosan-NPZ 14. Pengamatan FT-IR pada film bionanokomposit kitosan-NPZ
3 7 9 11 12 14 15 16 16 18 19 20 22 22
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil Analisis Statistik pada Data pH 2. Hasil Analisis Statistik pada Data Viskositas 3. Hasil Analisis Statistik pada Data aw 4. Hasil Analisis Statistik pada Data Kuat Tarik 5. Hasil Analisis Statistik pada Data Elongasi 6. Hasil Analisis Statistik pada Data WVTR 7. Hasil Analisis DSC
27 28 279 30 31 32 33
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemasan film berguna untuk mencegah penurunan mutu dengan bertindak sebagai barrier yang mengendalikan transfer uap air, pengambilan oksigen, kehilangan komponen volatil, atau transfer lipid (Baldwin et al. 1995) Bahan dasar pembuatan kemasan film yang sering digunakan adalah polimer seperti pati, selulosa, alginat, karagenan, zein, gluten, beeswax, dan juga kitosan (Odilio et al. 2010). Diantara itu semua, kitosan diakui sebagai bahan dasar pembuatan kemasan film paling menjanjikan karena sifat film yang baik meskipun tanpa penambahan plastisizer dan aktivitas antimikroba yang dimilikinya (Hirano 1999 ; Coma et al. 2002). Film kitosan bersifat keras, transparan, tahan lama, fleksibel, dan sulit dirobek. Berdasarkan sifat mekanis dan barrier terhadap oksigen, kitosan film dapat dijadikan pengemas produk pangan. Film kitosan memiliki kelemahan yang sangat kritis yaitu mudah menyerap uap air dan elongasi yang terbatas (Stefana 2011; Cheng et al. 2003) Untuk mengatasi kelemahan tersebut, dapat diaplikasikan pemanfaatan teknologi nanopartikel dengan penambahan nanopartikel untuk membentuk nanokomposit dengan suspensi kitosan. Menurut Petersson dan Oksman (2006), pembuatan nanokomposit ini akan mengubah sifat mekanis dan barrier film menjadi lebih kuat dan tidak sensitif terhadap kelembaban. Logam-logam oksida seperti ZnO, MgO, CaO, dan lainnya dapat digunakan sebagai bahan pengisi dari polimer kitosan penyusun matriks kemasan. Adapula hasil penelitian Paula et al. (2012) yang menyatakan bahwa pembuatan film dari bionanokomposit dengan penambahan logam-logam oksida memiliki sifat antimikroba, sehingga kemasan film yang dihasilkan dari bionanokomposit ini dapat digolongkan menjadi kemasan antimikroba. Selain itu, menurut Xiang dan Anderson (1997) penambahan asam lemak ke dalam film organic akan meningkatkan tingkat permeabilitas uap air. Asam lemak stearat menjadi pilihan utama dalam penelitian ini, selain karena ketersediaannya yang melimpah, harga murah, juga merupakan asam lemak jenuh yang tidak mudah berinteraksi kimia dengan unsur lain termasuk ZnO sehingga tidak mengganggu penetrasi ZnO ke dalam matriks film (Winarno, 2008). Zn merupakan zat kimia yang aman. Badan pangan Amerika (FDA) menyatakan bahwa Zn tergolong bahan GRAS (Generally Recognized as Safe) yaitu bahan yang diketahui secara aman digunakan sebagai bahan pangan. Zn dalam bentuk oksida memiliki aktivitas antimikroba yang kuat (Vodjani dan Torres 1989). Selain itu juga, adanya NPZ dalam suspensi kitosan dapat mengurangi transmisi sinar UV. Sinar UV dapat mempercepat proses oksidasi pada produk pangan, sehingga penghambatan transmisinya dapat mengurangi kecepatan oksidasi pada produk pangan. Penelitian ini berfokus pada pengembangan kemasan produk pangan baru, yakni kemasan film dari suspensi kitosan dengan penambahan NPZ dan asam stearat. Berbagai analisis dilakukan untuk menentukan kadar ZnO dan asam stearat yang paling efisien dalam pembentukan kemasan film dengan sifat fungsional yang terbaik.
2
Perumusan Masalah Penggunaan kitosan sebagai bahan dasar pembuatan kemasan film telah banyak dilakukan. Namun inovasi melalui pendekatan nanoteknologi dengan penggunaan logam nanopartikel belum dilaksanakan. Kemasan film yang telah dibuat belakangan ini masih memiliki kekurangan terkait sifat fisiologi, mekanik, dan juga antimikrobiologi. Sementara itu, penggunaan nanopartikel ZnO dan asam lemak stearat dalam polimer kitosan memiliki potensi dalam memperbaiki sifat fungsional dari kemasan film kitosan. Oleh Karena itu, penting sekali untuk melihat karakter yang terbentuk dari film dengan berbagai formulasi kitosan dengan rangkaian penambahan NPZ dan asam lemak stearat.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik sifat fungsional film dari berbagai formulasi pembuatan bionanokomposit kitosan-NPZ dengan rangkaian penambahan NPZ dan asam lemak stearat, sehingga akan didapatkan formulasi yang tepat dalam menghasilkan film dari bionanokomposit kitosan dan NPZ dengan sifat fungsional yang terbaik.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat : 1. Mengetahui formulasi bionanokomposit dari kitosan-NPZ ditambah asam lemak stearat yang tepat untuk membuat kemasan film dengan karakter fungsional yang terbaik 2. Memberikan suatu inovasi terbaru pada kemasan produk pangan dengan pendekatan ilmu nanoteknologi
3
TINJAUAN PUSTAKA Kitosan Kitosan merupakan bahan alami turunan dari polisakarida kitin. Kitosan mempunyai nama kimia poli D-glukosamin (beta (1-4) 2-amino-2-deoksi-Dglukosa), bentuk kitosan adalah padatan amorf putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin murni, namun rantai yang lebih pendek daripada rantai kitin. Kelarutan Kitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer (Linawati 2006). Kitosan itu sendiri merupakan produk turunan kitin yang merupakan biopolimer terbanyak kedua setelah selulosa. Dalam cangkang udang, kitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh kitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi). Sedangkan untuk mendapatkan Kitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi. Reaksi Pembentukan Kitosan dari kitin :
Gambar 1 Reaksi Pembentukan Kitosan dari Kitin (Linawati 2006) Proses deasetilisasi kitin menghasilkan senyawa kitosan yang memiliki gugus aktif yaitu amina dan hidroksil (Cheng et al. 2003). Kandungan gugus amino (NH2) membuat senyawa kitosan menjadi bersifat kationik yang mampu dijadikan sebagai adsorben melalui pembentukan ikatan hidrogen. Oleh karena itu, kitosan mempunyai potensi untuk mengikat banyak komponen seperti protein. Muatan positif dari gugus NH3+ pada kitosan dapat berinteraksi dengan muatan negatif pada permukaan sel bakteri (Stefana et al. 2011). Interaksi ionik antara kitosan dengan permukaan sel bakteri dapat merusak struktur utama dari sel mikroba seperti dinding sel, sitoplasma, membran sitoplasma, atau ribosom. Adanya kerusakan pada dinding sel mengakibatkan pelemahan kekuatan dinding sel, bentuk dinding sel menjadi abnormal, dan poripori dinding sel membesar. Hal tersebut mengakibatkan dinding sel tidak mampu mengatur pertukaran zat-zat dari dan ke dalam sel, kemudian membran sel
4 menjadi rusak dan mengalami lisis sehingga aktifitas metabolisme akan terhambat dan pada akhirnya akan mengalami kematian. Dengan sifat tersebut kitosan dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen sehingga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba (Singeton 2004). Kitosan juga aman dari segi kimiawi, karena dalam prosesnya cukup dilarutkan dengan asam asetat (1%) hingga membentuk larutan Kitosan homogen yang relatif lebih aman.
ZnO (Seng Oksida) Nanopartikel seng oksida (ZnO) secara luas digunakan sebagai bahan anorganik fungsional untuk coating di banyak aplikasi. Selain sebagai bahan pembuatan coating, ZnO merupakan sumber untuk suplementasi Zn dan fortifikasi yang aman, karena akan terurai menjadi ion Zn setelah konsumsi. Oleh karena itu, ZnO umum digunakan untuk memperkuat pangan dalam industri makanan termasuk pembuatan edible packaging. Pada awal tahun 1950an para ilmuwan sudah memulai penelitian mengenai aktivitas antibakteri dari partikel ZnO. Penelitian para ilmuwan kala itu berfokus pada efek ZnO terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Sawai 2003). Menurut Yamamoto et al (1998), area permukaan dan konsentrasi dari partikel ZnO berperan penting dalam menginaktivasi mikroorganisme. Mereka juga menemukan bahwa area permukaan yang luas dan konsentrasi ZnO yang tinggi menghasilkan sifat antimikroba yang lebih baik. Studi pendahuluan efek biosida dan internalisasi seluler nanopartikel ZnO pada bakteri L. monocytogenes, S. enteritidis, dan Escherichia coli O157:H7 yang dilakukan oleh Jin et al (2009) menunjukan bahwa nanopartikel ZnO dengan sistem Quantum dots dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk suspensi dengan gel poliviniprolidon (ZnO-PVP), secara signifikan memiliki sifat antimikroba untuk menghambat pertumbuhan ketiga mikroba patogen tersebut dalam cairan putih telur dan media kultur. Dari penelitian-penelitian yang telah disebutkan sebelumnya dapat terlihat bahwa ZnO merupakan salah satu nano oksida yang memiliki efek antimikroba dalam dunia pangan dan dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana efek antimikroba dari ZnO jika ditambahkan pada edible coating yang berasal dari Kitosan dengan memperhatikan pula batas konsumsi Zn yang diperbolehkan, karena RDA pada Zn adalah 40 mg/hari untuk orang dewasa (NIH 2007), sehingga dalam aplikasinya di pembuatan edible coating bionanokomposit tersebut tidak hanya berguna sebagai antimikroba namun juga tetap memperhatikan kesehatan dari konsumen. Bionanokomposit Kitosan-ZnO Skurtys et al (2009) mendefinisikan edible film sebagai sebagai lapisan tipis yang dapat dikonsumsi dan digunakan sebagai pelapis ataupun penghalang antara makanan dan lingkungan sekitarnya. Edible film diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berdasarkan sifat komponen yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida), lemak (asam lemak, asilgliserol atau malam), dan komposit (campuran hidrokoloid dan lemak). Mekanisme utama pembentukan film pada polisakarida adalah pemutusan segmen polimer dan pembentukan kembali rantai
5 polimer ke dalam matriks lapisan atau gel yang biasanya dicapai dengan penguapan pelarut sehingga menciptakan ikatan hidrogen yang hidrofilik maupun ikatan silang elektrolit dan ionik (Butler et al., 1996). Pembuatan edible film kitosan dilakukan dengan melarutkan kitosan dalam pelarut asam. Penggunaan asam pada pelarutan kitosan telah dipelajari oleh Nadarajah et al. (2006) yang menggunakan beberapa jenis asam, seperti asam asetat, laktat, formiat, malat, dan propionat dalam pembentukan edible film. Namun hanya asam asetat dan formiat yang menghasilkan film yang fleksibel, transparan, dan sesuai sebagai bahan pengemas. Hal itu disebabkan karena asam laktat dan malat memiliki gugus hidroksil yang lebih banyak sehingga meningkatkan sifat hidrofil pada kitosan. Pada penelitian kali ini menggunakan asam asetat yang bertujuan untuk menurunkan tingkat permeabilitas dari film kitosan. Tahap selanjutnya adalah penambahan plasticizer. Penambahan plasticizer ini adalah salah satu tahap yang membedakan proses pembuatan edible coating dengan edible film. Edible coating tidak menggunakan plasticizer sedangkan edible film menggunakan plasticizer yang berfungsi untuk mengurangi kekakuan polimer sehingga diperoleh lapisan yang elastis dan fleksibel. Selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan partikel yang tidak larut dari larutan kitosan. Pada pembuatan edible film kitosan, larutan kitosan kemudian dibentuk menjadi lapisan tipis, dikeringkan, lalu dilepaskan dari cetakan setelah terbentuk lapisan kering. Sedangkan pada pembuatan edible coating kitosan, bahan yang akan dilapisi oleh kitosan, seperti ikan segar, dapat langsung dilakukan perendaman dalam larutan kitosan, selanjutnya dikeringkan hingga diperoleh ikan segar yang terlapisi oleh kitosan.
METODE Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan, materi anorganik nanopartikel ZnO, dan asam lemak stearat. Bahan kimia yang dipakai dalam pembuatan fim antara lain pelarut asam asetat 2%, plasticizer gliserol, dan surfaktan Tween 80. Sementara bahan-bahan yang digunakan untuk uji aktivitas antimikroba, yaitu Nutrient Agar, Nutrient Broth, alkohol 70% dan kultur uji koleksi SEAFAST CENTER IPB yaitu Bacillus cereus (ATCC 11778), Eschericia coli (ATCC 25922), dan Staphylococcus aureus (ATCC 25923). Kitosan yang dipakai adalah kitosan yang dikeluarkan Biosurindo Indonesia dengan derajat deasetilasi 97%.
Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan film yang terbuat dari akrilik, desikator, hot plate dan magnetic stirrer, gelas pengaduk, termometer, gelas kimia, cawan petri, ose, tabung reaksi, neraca analitik, gunting, penggaris, erlenmeyer, pipet, botol semprot, inkubator 37 0C, plat kaca akrilik, oven 45 0C, aw–meter Shibaura WA-360, pH-meter, micrometer sekrup, Tensile
6 Strength and Elongation Tester Industries, kaleng Water Vapor Transmission (WVT), JEOL Model JSM 5310 LV Scanning Microscope, Differential Scanning Calorimetry, dan Fourier Transform Infra Red. Metode Pembuatan Bionanokomposit Kitosan – NPZ (Vodjani and Torres ) Bionanokomposit Kitosan–NPZ dibuat dengan modifikasi metode yang dikembangkan oleh Vodjani dan Torres (1989) (Gambar 2). Materi NPZ terlebih dahulu dihomogenisasi kemudian ditambahkan asam asetat sebanyak 2%, asam lemak stearat, tween 80, dan gliserol. Kemudian dihomogenisasi kembali selama 5 menit. Larutan asam lemak stearat dan ZnO terbentuk secara homogen. Suhu selama proses homogenisasi adalah suhu ruang, yakni berkisar antara 25-30 0C. Kemudian larutan tersebut diaduk dengan magnetic stirrer dan ditambahkan bubuk kitosan sedikit demi sedikit. Pengadukan ini dilakukan dengan skala kecepatan medium dengan penggunaan suhu ruang. Pengadukan dilakukan hingga 3 jam hingga suspensi bionanokomposit terbentuk sempurna. Untuk melihat perlakuan-perlakuan pembuatan film bionanokomposit Kitosan-NPZ, dapat dilihat Tabel 1 di bawah ini. Table 1 Formulasi Pembuatan film bionanokomposit Kitosan-NPZ No
Kitosan (% b/v)
Gliserol (% v/b)*
ZnO (% b/b)*
1 0 2 3 0.5 4 3 10 5 1 6 7 3 8 *Persen berdasarkan bobot Kitosan yang dipakai
Asam Stearat (% b/b)* 0 5 0 5 0 5 0 5
Perlakuan KZ0S0 KZ0S5 KZ0.5S0 KZ0.5S5 KZ1S0 KZ1S5 KZ3S0 KZ3S5
Suspensi bionanokomposit kitosan-NPZ yang terbentuk selanjutnya dituang ke dalam cetakan akrilik yang sudah dibersihkan dengan alkohol 96% hingga ketebalan 3 cm. kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering bersuhu 40-45 oC. Suhu yang digunakan untuk pengeringan akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembentukan film biokomposit kitosan–NPZ dan penguapan bahan pelarut. Suhu terlampau tinggi akan mengakibatkan film menjadi sangat tipis, kering, dan retak. Hal ini karena proses pengeringan berjalan lebih cepat dibandingkan proses pembentukan film. Bahan-bahan pembentuk film akan cepat menguap sebelum terjadi pembentukan film. Sedangkan apabila suhu yang digunakan sangat rendah akan mengakibatkan lamanya proses pengeringan larutan sehingga terjadi kontaminasi. Film yang sudah kering kemudian dilepas dari cetakan, dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukkan ke dalam desikator pada RH yang distabilkan (75%) dengan Silica gel sebelum di analisis. Prosedur pembuatan film bionanokomposit kitosan-NPZ dengan penambahan asam lemak dapat dilihat pada gambar 2, dengan perlakuan KZ1S5 sebagai contoh.
Nanopartikel ZnO (30 mg)
7
Nanodispersi dalam air destilata (95.5 ml) Asam stearat (150 mg) Tween 80 (6µl) Homogenisasi
Asam asetat glasial (1ml) Gliserol (0,3 ml) O
Stirring ± 120 menit pada suhu ruang (25 C)
Penambahan bubuk kitosan secara perlahan (3 g)
Suspensi nanokomposit
Pembersihan cetakan film dengan alkohol 96 %
Penuangan suspensi nanokomposit ke dalam cetakan
Pengeringan dengan oven pengering 40 ± 5 OC selama 24 jam
Kemasan film nanokomposit kitosan-NPZ dengan penambahan asam stearat
Gambar 2 Diagram alir poses pembuatan nanokomposit kitosan-NPZ dengan penambahan asam stearat perlakuan KZ1S5 (Vodjani dan Torres (1989) (basis 100 ml) Keterangan : KZ1S5 adalah Nanokomposit kitosan-NPZ dengan penambahan NPZ sebanyak 1% dan asam stearat sebanyak 5% dari bobot kitosan yang dipakai.
8
Penentuan Karakterisasi Bionanokomposit Kitosan–ZnO a. Pengukuran Nilai pH Pengukuran pH edible film dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Adapun prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: larutan yang telah homogen diukur nilai pH dengan menggunakan pH–meter yang telah dikalibrasi dengan dua macam buffer, yaitu buffer pH 4 dan pH 7. b. Pengukuran Aktivitas Air (aw) (AOAC 1984) Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan menggunakan aw-meter Shibaura WA–360. Sebelum dilakukan pengukuran, terlebih dahulu alat dikalibrasi dengan menggunakan larutan garam jenuh NaCl. Pencatatan dilakukan terhadap nilai a w dan suhu saat pengukuran. c. Pengukuran Kuat Tarik dan Elongasi (ASTM D 882-09) Kuat tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan Tensile Strength and Elongation Tester Industries model SSB 0500. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat film pecah dan persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan film saat film pecah. Kuat tarik = F/ A ; % Elongasi = b a x100 % a
Keterangan: F : gaya kuat tarik (N); A : luas contoh (m2) a : panjang awal; b : panjang setelah putus d. Penentuan Laju Transmisi Uap Air dengan Menggunakan Metode Gravimetri (ASTM E-96-99)` Laju transmisi uap air terhadap film diukur dengan menggunakan metode gravimetri. Bahan penyerap uap air (CaCl2) diletakkan dalam kaleng. Kemudian sampel diletakkkan di atas kaleng tersebut sedemikian rupa sehingga menutupi kaleng tersebut. Tutup dengan malam untuk menutupi bagian antara wadah dengan sampel sehingga tidak ada udara masuk. Cawan ditimbang dengan ketelitian 0.0001 g kemudian diletakkan dalam desikator yang berisi garam K2SO4. Cawan ditimbang tiap 2 jam sekali dan ditentukan panambahan berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat dan waktu. Nilai WVTR dihitung dengan rumus : WVTR = slope / luas sampel (m2) = g/m2/24 jam (97% RH, 30oC) k/x = WVTR / [(P2-P1) x RH desikator] Keterangan: P2 : tekanan uap air jenuh di luar kaleng (mm Hg) P1 : tekanan uap air jenuh di dalam kaleng (mm Hg) e.
Pengamatan Mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy Film biokomposit kitosan–NPZ dilapiskan pada plat alumunium dengan menggunakan pelekat. Kemudian divakum selama 5 menit. Selanjutnya proses coating dengan emas selama 15 menit. Edible film kitosan siap di foto dengan JEOL Model JSM 5310 LV Scanning Microscope. f. Analisis Sifat Termal menggunakan Differential Scanning Calorimetri Sampel ditimbang sebesar 10 mg kemudian dimasukan kedalam pen tempat sampel kemudian dilakukan pengepresan lalu dimasukan kedalam tempat pen.
9 Analisis dilakukan pada suhu -30 ºC sampai dengan 230 ºC dengan percepatan suhu 10 ºC per menit. Analisis sifat termal ini menggunakan DSC yang dimiliki oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Dramaga, Bogor. g. Pengamatan Spektra Infrared menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) Sampel berupa film ditempatkan di dalam tempat sampel kemudian spektrum hubungan bilangan gelombang dengan persen transmitan ditentukan pada panjang gelombang 4000-650 cm⁻¹. Pengamatan dilakukan menggunakan FTIR yang berada di Laboratorium Biofarmaka IPB, Taman Kencana, Bogor. Pengujian Aktivitas Antimikroba Terhadap Beberapa Bakteri Patogen Pengujian aktivitas antimikroba Bionanokomposit Kitosan–NPZ terhadap bakteri patogen dilakukan dengan metode sumur a. Persiapan Kultur Uji Untuk mengetahui sifat antimikroba dari Bionanokomposit kitosan-NPZ perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa bakteri patogen. Disiapkan terlebih dahulu kultur uji dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrient Agar (NA) ke dalam 10 ml medium cair Nutrient Broth (NB) secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Kultur uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus, Eschericia coli, dan Staphylococcus aureus. Diagram alir persiapan kultur uji dapat dilihat pada Gambar 3. b.
Regenerasi Bakteri Bakteri yang akan digunakan harus diregenerasi terlebih dahulu sebelum dipakai. Biakan dari stok bakteri tersebut digoreskan ke permukaan agar miring yang masih baru. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Biakan tersebut merupakan aktivitas awal dari stok bakteri yang telah disimpan pada suhu 4–5 0C, dari biakan tersebut diambil 1 ose dan diinokulasikan ke tabung reaksi yang berisi 10 ml akuades.
Kultur bakteri
Inokulasi kultur ke dalam Nutrient Broth
Inkubasi pada suhu 37 OC selama 24 jam
Kultur uji
Gambar 3 Diagram alir persiapan kultur uji
10 c.
Pengujian Jumlah Mikroba Awal dengan Mengatur tingkat kekeruan dibandingkan dengan Standar McFarland Prinsip metode ini adalah memanfaatkan sifat kekeruhan (turbidity) dari suspensi bakteri uji yang akan digunakan. 10 ml standar McFarland dibuat dengan mencampurkan 0.05 ml Barium klorida dihidrat 1.175% (BaCl2.2H2O) dengan 9.95 asam sulfat berkonsentrasi 1%. Kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600nm untuk mendapatkan nilai absorbansi. Nilai absorbansi 0.08-0.1 menunjukkan nilai absorbansi pada suspensi keruh mikroba sebanyak 1x108 CFU/ml. Kemudian suspensi bakteri uji diencerkan dengan peptone 0.1 % hingga memiliki rentang absorbansi antara 0.08-0.1 yang berarti jumlah mikroba awal yang ada di dalamnya adalah berkisar 1x108 CFU/ml (Sutton 2011) d. Pengujian Aktivitas Antimikroba Dengan Metode Sumur Kultur uji diinokulasikan sebanyak 0.2 ml ke dalam media NA 100 ml sehingga diperoleh konsentrasi 0.2% yang telah siap dituang ke cawan petri steril. Selanjutnya 20 ml media NA yang telah berisi kultur uji dituangkan ke cawan petri dan dibiarkan menjadi padat. Setelah memadat, 5 bagian dilubangi dengan dengan alat pembolong yang sudah disterilkan untuk membuat sumur. Kelima sumur terebut diisi oleh 4 perlakuan larutan bionanokomposit dan satu (di bagian tengah) diisi oleh air steril sebagai standar. Kemudian dilakukan proses inkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Zona penghambatan adalah diameter luar dibandingkan dengan diameter dalam dari zona bening yang terbentuk di sekitar sumur yang diukur dengan jangka sorong dengan satuan milimeter (mm). Diagram alir proses pengujian aktivitas antimikroba dengan metode sumur dapat dilihat pada Gambar 4.
11
Nutrient Agar
Sterlisasi dengan autoklav
Pendinginan dengan suhu ruang hingga ±35 OC Kultur uji
Inokulasi kulur uji sebanyak 0.2 %
Pembuatan sumur dengan pembolong steril
Pelabelan tiap sumur
Isi 4 sumur dengan suspensi tiap perlakuan sebanyak 20 µl, sementara sumur tengah diisi oleh air steril sebagai kontrol
Inkubasi pada suhu 37 OC selama 24 jam
Pengukuran diamaeter dalam dan diameter luar zona bening (mm) Gambar 4 Diagram alir pengujian aktivitas anti mikroba metode sumur
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan pembuatan edible film berbahan dasar kitosan dengan perlakuan penambahan asam lemak stearat dan nanopartikel ZnO dengan rancangan percobaan faktorial acak lengkap. Suspensi bionanokomposit yang terbentuk diukur nilai pH dan viskositasnya. Kemudian dari hasil pengeringan akan dihasilkan edible film. Semua edible film yang terbentuk diukur sifat karakteristik, yaitu aktivitas air (aW), kuat tarik (tensile strength), elongasi, laju transmisi uap air dan aktivitas antimikroba. Selanjutnya dipilih formula terbaik dari bionanokomposit berdasarkan analisis diatas untuk dilanjutkan pada analisis karakterisasi tahap II. Gambar 5 menyajikan contoh edible film yang dihasilkan.
Gambar 5 Biofilm yang dihasilkan dari bionanokomposit kitosan-NPZ Analisis karakterisasi tahap II bertujuan untuk melihat kondisi visual, fisiko-kima, dan memastikan terbentuknya NPZ pada nanostruktur film yang terbentuk dengan ukuran yang sudah memenuhi syarat nano, yakni besar molekul kurang dari 100nm. Tahapan II ini terdiri dari karakterisasi dengan pengamatan nanostruktur dengan Scanning Electrone Microscope (SEM), DSC, dan FTIR. Nilai pH dan Viskositas Suspensi Bionanokomposit Kitosan-NPZ Sebelum dilakukan pengeringan sebagai tahapan pembentukan edible film, suspensi homogen bionanokomposit kitosan-NPZ diukur nilai pH dan Viskositasnya. Analisis kedua faktor ini penting sebagai informasi awal jika bionanokomposit ini akan diaplikasikan sebagai edible coating pada produk pangan seperti buah, sayur, atau produk olahan pangan lainnya. Informasi pH akan berguna untuk menentukan produk pangan yang sesuai untuk mengaplikasikan bionanokomposit ini sebagai edible coating. Pengukuran nilai pH dilakukan juga untuk melihat perbedaan yang terbentuk antara penambahan asam lemak stearate dengan yang tidak ditambahkan asam lemak stearat. Asam stearat sendiri merupakan asam lemah yang ketika dilarutkan kedalam air akan mengeluarkan ion H+. Oleh karena itu, penambahan konsentrasi asam lemak stearat akan secara langsung memperbanyak konsentrasi ion H+ di dalam suspensi bionanokomposit, sehingga derajat keasaman yang terbentuk akan semakin rendah dibandingkan suspensi tanpa penambahan asam stearat. Pada beberapa pengamatan, seperti pada pengamatan formula KZ1S5 dan
13 KZ1S5, dapat dilihat hasil analisis ANOVA pada selang kepercayaan 5% bahwa suspensi yang ditambahkan asam stearat dengan yang tidak ditambahkan memiliki nilai pH yang berbeda signifikan. Hal ini dapat dilihat pada hasil pengamatan Tabel 1. Tabel 1. Data pengukuran pH dan Viskositas Komposisi (%) Perlakuan pH ZnO A.stearat KZ0S0 0 0 4.40ab KZ0S5 0 5 4.32a KZ0.5S0 0.5 0 4.42ab KZ0.5S5 0.5 5 4.35a KZ1S0 1 0 4.56c KZ1S5 1 5 4.47b KZ3S0 3 0 4.73d KZ3S5 3 5 4.59c
Viskositas (cP) 29.40a 30.10a 32.80b 33.90bc 33.40bc 35.90d 34.10c 36.50d
Penambahan NPZ juga mempengaruhi nilai pH yang terbentuk. ZnO itu sendiri merupakan logam oksida basa yang penambahannya terhadap suatu suspensi berbasis air akan menaikkan derajat keasaman suspensi tersebut. Teori tersebut sesuai dengan hasil pengamatan pada Tabel 1, bahwa semakin banyak NPZ yang ditambahkan maka semakin tinggi pH suspensi bionanokomposit yang dihasilkan. Derajat keasaman tertinggi dimiliki oleh suspensi dengan penambahan NPZ terbanyak. Pengukuran nilai viskositas bertujuan untuk melihat kekentalan dari larutan bionanokomposit yang terbentuk. Terlihat bahwa terbentuk pola antara penambahan NPZ ataupun asam stearat terhadap nilai viskositas. Semakin banyak jumlah NPZ ataupun asam lemak stearat yang ditambahkan, maka semakin tinggi nilai viskositas dari suspensi. Hal tersebut dikarenakan viskositas dari suatu larutan akan berubah semakin besar jika semakin banyak partikel yang ditambahkan ke dalamnya. Pengukuran Aktivitas Air (aW) Setelah dilakukan pengeringan terhadap suspensi bionanokomposit KitosanNPZ maka terbentuklah edible film bionanokomposit kitosan-NPZ dengan berbeda kadar formulasi. Film-film tersebut selanjutnya dianalisis untuk diketahui karakteristik kimia, fisik, mekanik, dan mikrobiologis. Salah satunya adalah analisis aktivitas air atau aW. Pengukuran aktivitas air (aW) bertujuan untuk melihat kemudahan film bionanokomposit ini untuk ditumbuhi mikroba seperti bakteri, khamir, ataupun kapang. Semakin rendah nilai aW yang terbentuk maka umumnya semakin susah mikroba tumbuh diatasnya. Nilai aW 0.650 merupakan nilai aW yang popular sebagai batas keamanan pangan. Nilai tersebut biasanya dipakai sebagai target untuk mencegah tumbuhnya mikroba. aW diatas 0.650 rentan terhadap tumbuhnya mikroba terutama kapang dan khamir, sementara nilai aW dibawahnya tergolong aman. Data hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2 yang memuat diagram penurunan nilai aW yang terjadi akibat perlakuan penambahan asam lemak stearat dan NPZ. Dapat dilihat bahwa nilai aW dari film-film tersebut kurang dari 0.650,
14 meskipun dengan berbagai perlakuan penambahan asam stearat dan NPZ. Nilai aW seperti sudah cukup menghambat pertumbuhan mikroba, dengan kata lain film hasil dari bionanokomposit ini cocok untuk dipakai sebagai pengemas produk pangan. 0.75 0% a. stearat 0.70
Nilai aW
0.65
c
c
c
c
5% a. stearat b
bc
ab a
0.60 0.55 0.50 0.45 0%
0.50%
1%
3%
NPZ
Gambar 6. Penurunan nilai aW pada tiap penambahan NPZ Dari diagram tersebut dapat dilihat bahwa secara umum penambahan NPZ akan menurunkan aktivitas air dari film. Kondisi ini dikarenakan partikel ZnO yang berada dalam matriks polimer kitosan akan mengikat air dan menjadikannya dalam kondisi air terikat yang tidak memiliki aktivitas seperti air bebas. Namun dengan adanya penambahan asam lemak stearat mengakibatkan nilai aW lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penambahan asam lemak stearat. Kondisi tersebut kemungkinan terjadi karena adanya asam lemak akan mengganggu reaksi pengikatan air bebas oleh partikel ZnO. Pengukuran Kuat Tarik dan Elongasi Pengukuran kuat tarik dan persen elongasi bertujuan untuk mengetahui sifat mekanis dari film. Pengukuran ini dilakukan secara serempak sehingga kemungkinan kesalahan data bisa dapat ditekan. Kuat tarik itu sendiri memiliki definisi sebagai besarnya gaya tarik maksimum yang dapat diterima oleh suatu material sampai material tersebut putus. Pada edible film nilai kuat tarik merupakan salah satu parameter mutu yang penting. Film yang memiliki nilai kuat tarik yang terlalu rendah kurang bagus untuk digunakan sebagai bahan pengemas karena sifatnya yang rapuh dan mudah putus. Sedangkan film yang memiliki nilai kuat tarik yang terlalu tinggi akan menghasilkan film yang sangat tidak plastis dan keras. Standar yang harus dimiliki oleh edible film agar dapat mengemas bahan pangan dengan baik adalah memiliki besaran kuat tarik antara 10 hingga 100 MPa (Krochta 1992). Untuk melihat data hasil pengamatan kuat tarik pada beberapa macam film dengan formula berbeda dapat dilihat diagram pada Gambar 3 di bawah ini.
15 100
Kuat Tarik (MPa)
80
0% a. stearat 5% a. stearat
f
60
e
e d
40
c
bc
b
20 a 0 0%
0.5
1%
3%
NPZ ZnO
Gambar 7. Kenaikan nilai kuat tarik pada tiap penambahan NPZ Data hasil pengamatan menggambarkan bahwa semakin banyak kadar NPZ yang ditambahkan maka film yang terbentuk memiliki kuat tarik yang semakin besar. keberadaan NPZ akan mengisi struktur matriks dari polimer kitosan yang secara langsung akan meningkatkan integritas dari film. Penambahan NPZ hingga 3% ke dalam suspens bionanokomposit menghasilkan kondisi kuat tarik film yang terbaik, cukup plastis dan kuat sebagai pengemas produk pangan. Penambahan asam stearat ke dalam suspensi bionanokomposit menghasilkan dampak kualitas film yang berbeda dari penambahan NPZ. Penambahan asam stearat menurunkan nilai kuat tarik film jika dibandingkan dengan formula sejenis tanpa penambahan asam stearat. Keberadaan asam lemak stearat dapat menghambat masuknya NPZ ke dalam struktur matriks polimer kitosan, sehingga integritas film tidak sebaik film tanpa penambahan asam stearat. Berdasarkan analisis ANOVA dengan taraf kepercayaan 5%, diketahui pula bahwa penambahan asam lemak stearat menghasilkan perbedaan nilai kuat tarik yang signifikan terhadap nilai kuat tarik film tanpa penambahan asam lemak stearat. Hal ini memberi gambaran bahwa keberadaan asam lemak stearat berpengaruh signifikan untuk mengganggu integritas film yang didukung dengan keberadaan NPZ. Sementara nilai elongasi yang terbentuk tidak membentuk susunan linear. Nilai persen elongasi semakin tinggi mengikuti penambahan NPZ hingga 1%, kemudian menurun pada penambahan 3% NPZ. Hal ini menggambarkan bahwa formula dengan penambahan NPZ 1% menghasilkan nilai persen elongasi terbaik. Dari data persen elongasi juga dapat dilihat bahwa penambahan asam lemak stearat membentuk pola penurunan nilai persen elongasi. Hal tersebut disebabkan oleh hal yang sama pada pengukuran kuat tarik, yakni keberadaan asam lemak mampu menghambat masuknya NPZ masuk ke dalam struktur polimer kitosan. Sehingga integritas dari nanostruktur kitosan–NPZ tidak maksimal.
16 70
f
Persen Elongasi (%)
60
0% a. stearat 5% a. stearat
50
e d
40
cd
bc
bc
b
30
a 20 10 0 0%
0.5%
1%
NPZ 3% ZnO
Gambar 8. Diagram Persen Elongasi pada tiap Perlakuan Uji Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri (ASTM E-9699) Nilai laju transmisi uap air (WVTR) menggambarkan kemudahan uap air melewati film. Semakin tinggi nilai WVTR maka semakin mudah uap air melewati film. Sementara film yang diinginkan adalah film yang mampu menjadi barrier dari kondisi eksternal termasuk uap air, sehingga film yang diinginkan harus memiliki nilai WVTR terendah. Setelah dilakukan penimbangan kenaikkan berat kaleng setiap 2 jam selama 3 hari, kemudian dicari nilai slope dari kurva kenaikkan berat kaleng. Nilai slope yang didapat mendefinisikan nilai kenaikkan berat kaleng (g) tiap jam. Nilai slope tersebut diolah untuk mendapatkan nilai WVTR dengan cara membaginya dengan luas film (m2). 60
Nilai WVTR (g/m2/hari)
50
0% a. stearat
d c
c
40
5% a. stearat
c b
30
ab
ab
a
20 10 0 0%
0.50%
1%
3%
NPZ
Gambar 9. Diagran nilai WVTR tiap perlakuan Perbandingan nilai WVTR tiap penambahan NPZ disajikan dalam bentuk diagram diatas. Terlihat bahwa terbentuk susunan nilai WVTR yang semakin
17 rendah seiring dengan penambahan NPZ. Terlihat pula bahwa nilai WVTR terendah terdapat pada formula D dengan penambahan ZnO sebanyak 3% yakni sebesar 27.23 g/m2/hari. Namun setelah diuji secara statistik dengan taraf kepercayaan 5%, nilai WVTR pada formula C tidak berbeda signifikan terhadap nilai WVTR formula D. Oleh karena itu penambahan NPZ sebanyak 1% merupakan formula yang paling efisien untuk menghasilkan film dengan kekuatan barrier terhadap uap air yang baik. Sementara penambahan asam lemak stearat mengakibatkan penurunan nilai WVTR dibandingkan dengan formula sejenis tanpa asam stearat. Meskipun pada formula A terlihat penurunan signifikan pada nilai WVTR. Secara umum penurunan nilai WVTR tidak berbeda signifikan antara formula dengan penambahan asam lemak stearat dengan yang tidak ada penambahan. Penentuan Jumlah Awal pada Bakteri Uji Penentuan jumlah awal bakteri uji dilakukan dengan memanfaatkan standar McFarland. Nilai absorbansi standar McFarland pada panjang gelombang 600 nm yang didapat adalah 0.094±0.01. Sementara didapatlah nilai rasio pengenceran tiap-tiap suspensi bakteri uji dengan menepatkan nilai absorbandi sesuai dengan nilai absorbansi standar McFarland. Nilai rasio ini digunakan dalam mempersiapkan bakteri uji untuk analisis aktivitas antimikroba. Data hasil penentuan jumlah awal bakteri uji dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Jumlah awal bakteri uji No
Bakteri uji
1 2 3 4
McFarland Standard Bacillus cereus Staphylococcus aureus Escherichia coli
Nilai Absorbansi 0.094±0.010 0.095±0.008 0.095±0.005 0.094±0.012
Rasio pengenceran 1:1 1:20 1:10 1:50
Jumlah mikroba awal 1x108 1x108 1x108 1x108
Analisis Aktivitas Antimikroba Penentuan aktivitas antimikroba dilakukan dengan metode sumur pada suspensi bionanokomposit. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan aktivitas antimikroba pada berbagai formula bionanokomposit kitosan dengan rangkaian penambahan NPZ serta asam stearat. Analisis ini juga berguna untuk mengetahui konsentrasi NPZ paling efisien dalam mencegah pertumbuhan mikroba patogen. Sementara itu, bakteri patogen yang dipakai dalam penentuan aktivitas antimikroba dari bionanokomposit ini adalah Bacillus cereus (+), Staphylococcus aureus (+), dan Escherichia coli (-). Data lengkap hasil pengamatan disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 10.
18 1.4 o ghino
Besar Zona Penghambatan (cm)
1.2 1.0
lmn Bacillus cereus Staphylococcus aureus
cde
0.8
bc
b
bc
bcd
ijk
def
ghi cde efg
def jkl jkl jkl hij
fgh mno
ghi efg
bcd
0.6 0.4 0.2 aaa 0.0 cont
0% 0%
0% 5%
0.5 % 0%
0.5% 5%
1% 0%
1% 5%
3% 0%
3% ZnO 5% a.stearat
Gambar 10. Besar zona penghambatan bionanokomposit pada beberapa jenis bakteri patogen Perbedaan dinding sel pada bakteri Gram positif dan Gram negatif akan mengakibatkan perbedaan efek aktivitas antimikroba dari bionanokomposit. Analisis ini juga berguna untuk mengetahui dampak antimikroba dari bionanokomposit terhadap masing-masing bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri. Escherichia coli merupakan jenis bakteri Gram negatif yang diuji. Sementara Gram positif diwakilkan oleh bakteri patogen Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus. Analisis terhadapa ketiga bakteri tersebut diatas akan memperlihatkan pola efek aktivitas antimikroba dari bionanokomposit KitosanNPZ terhadap kedua kelompok bekteri menurut jenis dinding selnya. Dinding sel bakteri didesain untuk memproteksi sel dari gangguan osmostik dan kerusakan mekanis (Brayner et al. 2006). Berdasarkan struktur, komponen, dan fungsinya, dinding sel bakteri dibagi menjadi dua yaitu Gram positif (+) dan Gram negatif (-). Dinding sel Gram positif memiliki ketebalan peptidoglikan (PG) berkisar 20–50 nm dan mengandung asam teikoat yang bersifat khas pada dinding sel Gram positif (Gambar 11) (Mohhamad et al. 2012). Berbeda dengan Gram positif, bakteri Gram negatif memiliki komponen dinding sel yang lebih kompleks dari segi struktur maupun secara kimia. Dinding sel Gram negatif memiliki lapisan PG yang tipis dan mempunyai membran luar yang dapat melindungi membran permukaan. Membran luar tersebut bersifat resisten terhadap senyawa hidrofobik termasuk deterjen dan lipopolisakarida. Lipopolisakarida sangat penting untuk integritas sruktur dan viabilitas dari bakteri (Singeton 2004). Bakteri-bakteri Gram positif diketahui sensitif terhadap jenis nanopartikel dari logam oksida13. Namun sifat antimikroba larutan kitosan sendiri lebih efektif terhadap bakteri Gram negatif (Cheng et al. 2003).
19
Gambar 11. Penampakan dinding sel bakteri Gram positif negatif (b) (Mohhamad et al 2012)
(a)
dan Gram
Tolok ukur aktivitas antimikroba dari bionanokomposit adalah besar zona bening atau disebut kemudian sebagai zona penghambatan yang dihasilkan. Semakin besar zona penghambatan yang dihasilkan maka semakin tinggi aktivitas antimikroba dari bionanokomposit. Secara teori, bakteri Gram positif (B. cereus dan S. aureus) akan lebih mudah terkena dampak dari sifat antimikroba bionanokomposit, karena bakteri dinding sel bakteri Gram positif tidak memiliki membran luar yang dapat mencegah masuknya senyawa hidrofobik seperti suspensi kitosan kedalam sel . Namun ada tingkat sensitif bakteri yang tidak hanya bergantung pada jenis dinding sel. Beberapa faktor lain dapat mempengaruhi toleransi bakteri terhadap nanopartikel. Seperti yang dilaporkan Fang et al. (2006) bahwa Escherichia coli (-) sangat mudah terkena efek bakterisidal dari NP CuO, namun tidak banyak berpengaruh untuk Staphylococcus aureus (+) dan Bacillus subtillis (+). Menurut Mayachiew et al. (2010), diketahui bahwa mekanisme aktivitas antimikroba dari NPZ yang terjadi bersifat bakterisidal. Efek antimikroba pada NPZ disebabkan oleh tiga mekanisme utama, yaitu: 1) ZnO akan mengeluarkan ion-ion bersifat antimikroba, 2) Interaksi nanopartikel dengan mikroorganisme yang dapat merusak integritas dari sel bakteri, dan 3) Kemampuan membentuk reactive oxygen species (ROS) dengan efek radiasi cahayanya. Hasil pengamatan aktivitas antimiroba dari bionanokomposit kitosan-NPZ disajikan dalam bentuk diagram dan dapat dilihat pada Gambar 10. Data hasil pengujian terhadap bakteri patogen Gram positif maupun negatif membentuk pola kenaikan berdasarkan penambahan kadar NPZ. Namun pola kenaikan tersebut terjadi hanya sampai kadar ZnO 1% dan terjadi penurunan pada kadar ZnO 3%. Sementara penambahan asam stearat akan menurunkan tingkat aktivitas antimikroba dari NPZ jika dibandingkan dengan kadar NPZ sejenis.
20 Pengamatan nanostruktur film dengan Scanning Electrone Microscope Pengamatan dengan Scanning Electrone Microscope (SEM) menghasilkan data visual nanopartikel yang berada dalam film yang terbentuk. Dengan melihat visual dari film dengan pembesaran 5000x yang memungkinkan untuk melihat objek hingga ukuran nanopartikel, sangat memudahkan dalam penentuan keberhasilan penelitian ini. Nanopartikel ZnO dan asam lemak stearat akan mengubah karakteristik visual dari film. Tersebarnya ZnO sebagai nanopartikel di dalam biofilm ini, akan dapat terlihat secara visual, begitu pula pada asam lemak stearat. KZ0S0
KZ1S0
KZ0S5
KZ1S5
Gambar 12. Hasil pengamatan visual SEM A Keterangan : 2 - KZ0S0 adalah Nanokomposit kitosan tanpa penambahan NPZ ataupun asam stearat - KZ0S5 adalah Nanokomposit kitosan dengan penambahan asam stearat sebanyak 5% dari bobot kitosan yang dipakai dan tanpa penambahan NPZ - KZ1S0 adalah Nanokomposit kitosan-NPZ dengan penambahan NPZ sebanyak 1% dari bobot kitosan yang dipakai dan tanpa penambahan asam stearat - KZ1S5 adalah Nanokomposit kitosan-NPZ dengan penambahan NPZ sebanyak 1% dan asam stearat sebanyak 5% dari bobot kitosan yang dipakai dan tanpa penambahan NPZ sebanyak 1% dan C C Penampakan yang diperoleh dari formula A1, film kitosan tanpa 2 1 penambahan NPZ ataupun asam stearat, memperlihatkan kondisi film yang bersih, tidak terlihat adanya agregat-agregat asam lemak stearat seperti yang tampak pada A2 (formula dengan penambahan 5% asam stearat tanpa NPZ) atau pun C1
21 (formula dengan penambahan 1% NPZ tanpa penambahan asam stearat), serta C2 (formula dengan penambahan 5% asam stearat dan 1 % NPZ). Sebaliknya jika dapat dibandingkan, visual formula A2 dan C1 memiliki penampakan yang berbeda. Pada film A2 terlihat bintik-bintik hitam yang kemunkinan adalah asam lemak stearat. Sementara pada C2, terlihat jelas terbentuk bintik-bintik putih yang ditengarai merupakan NPZ. Nanopartikel ZnO yang terbentuk memiliki ukuran dibawah 100 nm atau 0.1 µm. hal ini dapat diukur secara manual berdasarkan skala yang tersedia pada Gambar 12. Hasil yang baik ini merupakan keberhasilan dalam aplikasi nanoteknologi ke dalam film untuk kemasan pangan. Hasil Pengamatan DSC Differential Scanning Calorimetry (DSC) adalah suatu teknik yang digunakan untuk mempelajari apa yang terjadi pada suatu polimer ketika dipanaskan. Prinsip kerja DSC adalah mengukur energi yang diserap oleh sampel sebagai fungsi waktu atau suhu. Hal ini dibutuhkan untuk analisis suhu transisi gelas dan evolusi pada suatu film polimer seperti kitosan selama masa penyimpanan. Penggunaan teknik ini dibutuhkan untuk melihat bagaimana transisi panas yang terjadi pada film bionanokomposit kitosan yang ditambahkan dengan NPZ. Puncak suhu titik leleh (Tm), suhu transisi gelas (Tg), dan nilai entalpi pelelehan (Δhm), dari film dapat diasosiasikan dengan kristalinitas sampel film. Tabel 3 dan Gambar 13 menunjukkan bahwa terjadi penurunan Tm, Tg, dan Δhm pada film kitosan yang ditambahkan NPZ. Menurut Joana dkk (2012), kenaikan Δhm diasosiasikan dengan kenaikan nilai kristalinitas dari film kitosan. Sebelumnya telah diketahui dari studi yang dilakukan oleh Ziani dkk (2008) bahwa film kitosan itu sendiri merupakan film semikristalin. Penambahan NPZ dapat meningkatkan efek kristalinitas. Hal ini dapat dikarenakan penambahan NPZ meningkatkan jumlah relatif struktur kristalin film kitosan. Tabel 3. Suhu Titik Leleh, Suhu Transisi Gelas, dan Entalpi Pelelehan Film Kode
Perlakuan
KZ0S0 KZ0S5 KZ1S0
Kontrol Penambahan asam stearat (5%) Penambahan NPZ (1%)
Titik Leleh (OC) Onset Peak 173,90 175,02 143,95 162,41 163,33 165,31
Suhu Transisi Gelas (OC) 92,64 80,43 74,16
Entalpi pelelehan (J/g) -272,09 -296,46 -199,70
Sementara itu, penambahan asam stearat menghasilkan kondisi film kitosan yang mudah meleleh, dengan nilai transisi gelas dan entalpi pelelehan yang meningkat. Tidak hanya itu, dapat dilihat pada termogram ketika kenaikan suhu dibawah suhu puncak titik leleh terlihat bahwa terdapat lekukan-lekukan yang diperkirakan merupakan titik-titik leleh dari asam lemak stearat yang ditambahkan. Hal ini dikarenakan titik leleh asam lemak sterat berada di bawah Tm film kitosan.
22
DSC mW
DSC mW
0.00
-10.00
KZ0S0 KZ0S5 KZ1S0
0.00
KZ0S0
Peak
0C 175.02 x10
Onset
169.07 0C x10
Endset
0 186.06 x10 C
Heat
0 -2.55 x10 J 0 -265.42 x10 J/g
KZ0S5 KZ1S0
-20.00 -10.00
-30.00
Melting point peak dari asam lemak stearat -40.00 -20.00
-0.00
100.00 Temp [C]
50.00
200.00
100.00 Temp [C]
Gambar 13 Termogram bionanokomposit kitosan beberapa perlakuan Hasil Pengamatan dengan FT-IR Spectroscopy Fourier Transform Infra Red atau biasa disingkat FT-IR adalah salah satu metode spektroskopi dengan menggunakan gelombang infra merah. Pada spektroskopi infra merah ini, radiasi Infra Red (IR) menembus melalui sampel. Sebagian dari radiasi akan diserap oleh sampel dan sebagian terlepas atau ditransmisikan. Spektrum yang dihasilkan menggambarkan absorpsi dan transmisi, selanjutnya menghasilkan sebuah sidik jari molekul dari sampel. Seperti halnya sidik jari pada umumnya, tidak ada sidik jari struktur molekul yang menghasilkan spektrum infra merah yang sama. Hal ini membuat spektroskopi infra merah sangat berguna untuk mengetahui molekul spesifik yang berada pada suatu materi. Demi mengetahui apakah NPZ sudah benar berada tersebar dalam matriks polimer kitosan di film. Maka dilakukanlah pengujian keberadaan NPZ dengan menggunakan konsep spektroskopi infra merah ini. Hasil yang didapat disajikan dalam bentuk gambar dibawah ini.
Peak
0 165.31x10 C
Onset
0 162.71x10 C
Endset
0 179.54x10 C
Heat
0 -1.86x10 J 0 -193.71x10 J/g
659 cm-1
Absorbansi
465cm-1
______ Kitosan – NPZ (1%) ______ Kitosan
Wavelength (cm-1)
Gambar 14. Pengamatan FT-IR pada film bionanokomposit kitosan-NPZ Analisis dengan infra merah ini menggambarkan FTIR dari film kitosan dengan film kitosan-NPZ. Dibandingkan dengan film kitosan, dari film kitosanNPZ terdapat peak baru pada panjang gelombang 659 cm-1 dan 465 cm-1. Peak
23 tersebut merupakan tanda keberadaan gugus amida dan ZnO. Hasil ini sesuai dengan penelitian studi yang dilakukan oleh Abdelhady (2011), bahwa keberadaan NPZ akan mengakibatkan stretching pada spektrum di panjang gelombang 465 cm-1. Sehingga dapat dikatakan bahwa NPZ sukses terinkorporasi ke dalam matriks polimer kitosan. Gambar diatas dapat menggambarkan ikatan ZnO pada gugus amida dari polimer kitosan.
24
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Inovasi kemasan film dari bionanokomposit kitosan dengan memanfaatkan NPZ, sebagai materi nanopartikel, secara umum mampu memberikan peningkatan kualitas yang signifikan, baik secara fisik, fisikokimia, mekanik, maupun mikrobiologi. Sementara itu, penggunaan asam lemak stearat ke dalam bionanokomposit baik untuk meningkatkan pencegahan transmisi uap air film. Penambahan asam lemak stearat cenderung mengurangi sifat fungsional film dibandingkan dengan bionanokomposit dengan penambahan kadar NPZ sejenis. Penambahan NPZ hingga 1% dari bobot kitosan yang ditambahakan merupakan formulasi yang paling optimum berdasarkan berbagai pengamatan yang telah dilakukan. Film yang diamati mengalami kenaikan nilai viskositas pada suspensi bionanokomposit, sifat kuat tarik, elongasi, dan kristalinitas dari film yang semakin besar, penurunan nilai aW, transmisi uap air, titik leleh, dan suhu transisi gelas. Selain itu pula daya antimikroba film menjadi semakin kuat. Saran Saran yang dapat diberikan untuk pengembangan film dari bionanokomposit kitosan-ZnO adalah : a. Penggunaan kontrol asam asetat untuk melihat pengaruh asam asetat terhadap efek antimikroba dari bionanokomposit b. Aplikasi film bionanokomposit kitosan-NPZ pada komoditas hortikultura atau olahan pangan.
25
DAFTAR PUSTAKA Abdelhady, M M. 2011. Preparation and Characterization of Chitosan/Zinc Oxide Nanoparticle for Imparting Antimicrobial and UV Protection to Cotton Fabric. International J Carbohydrate Chem. Vol 20 hal 155-159. ASTM. 2005. Standard test method for water vapour transmission of materials (E 96- 05). Philadelphia, PA, USA. ASTM. 2009. Standard test method for tensile properties of thin plastic sheeting (D 882-09). Philadelphia, PA, USA. Baldwin EA, Nisperos CM, dan Baker RA. 1995. Use of Edible Coatings to Preserve Quality of Lightly and Slightly Processed Product. Crit Rev Food Sci Nutr. Vol 35 hal 509-524. Brayner R et al.. 2006. Toxicologal Impact Studies Based on Escherichia coli Bacteria in Ultrafine ZnO Nanoparticles Colloidal Medium Nanoletter. Appl. Pol. Sci.Vol 6(4) hal 866-870. Butler BL, Vernago PJ, Testin RF, Bunn JM, dan Wiles JL. 1996. Mechanical and Barier Properties of Edible Chitosan Films as affected by Composition and Storage. J. Food Science. Vol 61(5) hal 953-955. Cheng M, Deng J, Yang F, Gong Y, Zhao N, dan Zhang X. 2003. Study on Physical Properties and Nerve Cell Affinity of Composite Films from Chitosan and Gelatin Solutions. Biomaterial. Vol 24 hal 2871-2880. Coma V et al.. 2002. Edible Antimicrobial Film Based on Chitosan Matrix. Food Sci. Vol 67 hal 1162-1169. Fang M, Chen JH, Xu FH, dan Yang HF. 2006. Antibacterial Activities of Inorganic Agents on Six Bacteria Associated with Oral Infections by Two Susceptibility Test. International J Antimicrobial Agent. Vol 27 hal 512-517. Han JH. 2005. Edible Films and Coatings from Non-Starch Polysaccharides. J Innovations in Food Packaging, Vol 31 hal 338-361. London: Elsevier Academic Press. Hirano S. 1999. Chitin and Chitosan as Novel Biotechnological Materials. Polym Int. Vol 48 hal 732-734. Jin T et al. 2009. Antimicrobial Efficacy of Zinc Oxide Quantum Dots Against Listeria monocytogenes, Salmonella Enteritidis, and Escherichia coli 0157:H7. J Food Microbiol & Safety. Vol 74 Hal 46-51 Joana TM et al. 2012. Influence of α-tocopherol on physicochemical properties of chitosan-based films. Journal of Food Hydrocolloids. Vol 27 hal 220-227 Krochta J M. 1992. Control of Mass Transfer in Food With in Edible Coating and Film. Di dalam: Singh R P, Wiratakusumah M A. Adv In Food Eng. Vol 23 hal 517-538 Linawati, H. 2006. Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin. Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) Marins JT, Cerquera MA, Vicente AA. 2012. Influence of a-tocopherol on physicochemical properties of chitosan-based films. J Food Hydrocolloids vol. 27 hal 220-227
26 Mayachiew P et al.. 2010. Effects of Drying Methods and Conditions on Antimicrobial Activity of Edible Chitosan Films with Galangal Extract. Food Research Int. Vol 43 hal 125-132 Mohhamad JH et al.. 2012. Antibacterial Properties of Nanoparticles. J Trends in Biotec. Vol 30 hal 499-511 Nadarajah K, W Prinyawiwatkul HK, and Z Xu. 2006. Sorption Behavior of crawfish chitosan films as affected by chitosan extraction processses and solvent type. Vol 71 (2) hal 33-39 Odilio B, Garrido A, Douglas B. 2010. Evaluation of the Antifungal Properties of Chitosan Coating on Cut Apples Using a Non-Invasive Image Analysis Technique. Food Sci adv. Vol 17 hal 12-23 Paula JP et al.. 2012. Zinc Oxide Nanoparticle: Synthesis antimicrobial activity and Food Packaging Applications. Food Bioprocess Technol. Vol 5 hal 14471464 Petersson L dan Oksman K. 2006. Biopolymer Based nanocomposites : Comparing Layered Silicates and Microcrystalline Cellulose as Nanoreinforcement. Composite Sci and Tecnol. Vol 66 hal 2187-2196 Sawai, J. 2003. Quantitative Evaluation of Antibacterial Activities of Metallic Oxide Powders (ZnO, MgO and CaO) by Conductimetric Assay. Journal of Microbiological Methods. Vol 54 hal 177-182. Singeton P. 2004. Bacteria in Biology, Biotechnology, and Medrone (6th ed). John Wiley and Suns LTD: Westsussex, England. Stefana M et al.. 2011. Innovative Composite Films of Chitosan, Methyl Cellulose and Nanoparticle. J Food Sci. Vol 76 hal 54-60 Skurtys O, Acevedo C, Pedreschi F, Enrione J, Osorio F, & Aguilera JM. 2009. Food Hydrocolloid Edible Films and Coatings. Department of Food Science and Technology, Universidad de Santiago de Chile. Chile. pp 34. Sutton S. 2011. Measurement of Microbial Cells by Optical Density. Journal of Validation Technology. Vodjani, F. and Torres, J.A. 1989. Potassium sorbate permeability of polysaccharide films: chitosan, methyl cellulose, and hydroxypropylmethyl cellulose. J Food Proc. Eng. Vol 58 hal 33-48. Yamamoto O, Hotta M, Sawai J, Sasamoto T & Kojima H. 1998. Influence of powder characteristic of ZnO on antibacterial activity: effect of specific surface area. Journal of the Ceramic Society of Japan vol 106 hal 1007–1011. Ziani K, Oses J, Coma V & Maté JI. 2008). Effect of the presence of glycerol and Tween 20 on the chemical and physical properties of films based on chitosan with different degree of deacetylation. Food Sci & Technol. Vol 41 hal 21592165.
27
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Analisis Statistik pada Data pH
28 Lampiran 2 Hasil Analisis Statistik pada Data Viskositas
29 Lampiran 3 Hasil Analisis Statistik pada Data aW
30 Lampiran 4 Hasil Analisis Statistik pada Data Kuat Tarik
31 Lampiran 5 Hasil Analisis Statistik pada Data Elongasi
32 Lampiran 6 Hasil Analisis Statistik pada Data WVTR
33 Lampiran 7 Hasil Analisis Statistik pada Data Aktivitas Antimikroba
34 Lampiran 8 Hasil Analisis DSC DSC Peak Analysis
Glass Transition Analysis
35
RIWAYAT HIDUP Penulis memiliki nama lengkap Gunawan Sanjaya yang dilahirkan dari pasangan Bapak A. Sihotang dan Ibu Rosti Situmorang di Jakarta pada tanggal 11 Februari 1992. Penulis adalah putra ketiga dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan mulai dari SD Negeri 01 Way Mengaku (1998-2004), SMP Negeri 01 Liwa (2004-2007), SMA Negeri 01 Liwa (2007-2010). Penulis kemudian melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan memilih Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2010-2014) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalani masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia untuk jenjang Tahapan Persiapan Bersama (TPB) pada tahun 2011 dan 2012. Kemudian dilanjutkan menjadi asisten praktikum di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan mata kuliah Prinsip Teknik Pangan (2013). Penulis juga aktif dalam kegiatan kepanitian yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) dan Badan Ekskutif Mahasiswa Fakultas, serta Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Selama masa perkuliahan, penulis berkesempatan mewakili Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan se-Indonesia di berbagai ajang kompetisi tingkat International. Gelar Runner up 2 ASEAN Undergraduate Quiz Bowl Competition di 13rd ASEAN Food Conference di Singapore Expo, Singapura. Selain itu, penulis juga berkesempatan mengikuti final di ajang kompetisi paling bergengsi untuk mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan se-dunia, yaitu Developing Solutions for Developing Countries (DSDC) Competition di New Orleans, LA, USA. Kompetisi ini diadakan langsung oleh Institute of Food Technologist (IFT) dengan bantuan IFTSA. Dan pada kesempatan itu, penulis bersama tim mendapatkan gelar juara 3. Satu semester mengerjakan research project di luar negeri pernah penulis cicipi dengan mengikuti program kegiatan pertukaran mahasiswa Asean International Mobility for Students (AIMS), tepatnya di Prince of Songkla University Surat Thani Campus, Surat Thani. Saat mengerjakan research project tersebut, penulis dibimbing oleh Dr. Somwang Songsaeng dan Laboratory Assistant Pee Waranya Potsalee. Banyak pembelajaran yang penulis dapatkan, tidak hanya bidang akademik, melainkan juga pembelajaran skill bekerja di dalam lab dan juga bagaimana beradaptasi diluar negeri yang budayanya berbeda dari budaya tanah air. Selama 4,5 tahun menjalani masa perkuliahan di IPB, penulis mengaku telah banyak mendapatkan kesempatan, pembelajaran, juga pembentukan karakter yang mudah-mudahan bisa mengarahkan penulis menjadi orang yang berguna di kehidupan bermasyarakat kedepannya.