PENGARUH MORFOLOGI KAPAS TERHADAP POPULASI DAN TINGKAT KERUSAKAN OLEH Sundapteryx. biguttula Oleh: Umiati,SP dan Ayu Endah Anugraini ,SP A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara penghasil tekstil dan produk tekstil (TPT) no. 13 terbesar di dunia, nomor lima di Asia dan terbesar di Asia Tenggara , yang membutuhkan dan menggunakan serat alam dan serat sintetis dengan volume yang sangat besar (Anonim, 2005). Pengembangan tanaman kapas di Indonesia dilakukan untuk mengimbangi kebutuhan bahan baku tekstil yang tinggi , namun produksi kapas Indonesia di tingkat petani masih sangat rendah (Anonim, 2005).
Sedangkan kebutuhan kapas sebagai bahan baku
tekstil masih dipenuhi dengan produk impor (Anonim, 2007). Rendahnya produksi kapas di Indonesia salah satu penyebabnya adalah lemahnya sistem perbenihan, yang juga terjadi pada hampir semua komoditas perkebunan. Di negara negara produsen utama kapas , benih kapas sudah menjadi barang komersial , tetapi di Indonesia masih berstatus benih yang membutuhkan subsidi, dimana peran pemerintah dalam memproduksi benih masih sangat diperlukan. Penggunaan varietas unggul yang berasal dari hasil pemuliaan dan ketersediaan benih bermutu merupakan salah satu faktor utama kemajuan pertanian di seluruh dunia. Ketersediaan varietas unggul akan bermanfaat jika di dukung oleh industri benih yang efisien dalam menghasilkan benih bermutu secara tepat jumlah, tepat waktu secara berkesinambungan. Penggunaan
dan tepat tempat
varietas unggul bertujuan untuk meningkatkan
mutu benih , sehingga berdampak terhadap pertumbuhan tanaman yang seragam dan hasil panen yang tinggi (Rizain, 1994) Persyaratan benih yang bermutu adalah sebagai berikut :
Murni dan diketahui nama varietasnya
Daya tumbuh tinggi (minimal 80 %) dan vigornya baik
Biji sehat, bernas, tidak keriput , dipanen pada saat biji telah matang
dipanen dari tanaman yang sehat , tidak terinfeksi penyakit (cendawan, bakteri dan virus)
Benih tidak tercampur biji tanaman lain atau biji rerumputan
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi hasil kapas adalah dengan menanam varietas unggul yang tahan terhadap Sundapteryx biguttula . Pengaruh sifat fisik/morfologi tanaman kapas terhadap ketahanannya pada serangga hama telah dimanfaatkan untuk merakit teknologi varietas tahan terhadap S. biguttula.
Di
India,pemanfaatan karakter morfologi tanaman kapas untuk memperoleh varietas tahan S. biguttula telah dilakukan sejak lama (Bhat et al., 1982). Demikian pula di Afrika dan Asia, pendekatan secara morfologis untuk merakit varietas kapas tahan S. biguttula telah dipraktekkan secara intensif (Thomson, 1987).Di Indonesia, perakitan varietas kapas unggul juga memasukkan kriteria ketahanan terhadap S. biguttula sebagai salah satu persyaratan rekomendasi danpelepasannya kepada pengguna. Deskripsi hama ini penting karena hingga saat ini belum ada satupun varietas kapas Indonesia (Kanesia) yang benar-benar tahan terhadap S. biguttula, sehingga informasi tersebut dapat dijadikan dasar pertimbangan apabila diperlukan tindakan pengendalian.
Respon tanaman kapas terhadap serangan S.biguttula
ditunjukkan oleh ada tidaknya kerusakan (Smith, 1992; Brody dan Karban, 1992; Rudgers et al., 2004).Biasanya tinggi rendahnya tingkat kerusakan tanaman ditentukan oleh skor yang diberikan (Nageswara-Rao, 1973, dalam Uthamasamy, 1994).Semakin tinggi skor semakin tinggi tingkat kerusakan, demikian pula sebaliknya.Biasanya kerusakan tinggi dialami oleh varietas yang kerapatan bulu daunnya rendah hingga tidak berbulu.Sebagaimana pernyataan Anthony dan Rayburn (1989) dan Jenkins dan Wilson (1996), bahwa varietas kapas dengan tingkat kerapatan bulu daun tinggi menunjukkan lebih tahan serangan S. biguttuladibanding varietas yang tidak berbulu. Posisi daun yang tepat dengan tingkat kerapatan bulu tertinggi pada saat populasi nimfa S. biguttula juga tinggi adalah daun ketiga dari bagian atas tanaman pada batang utama dan telah membuka sempurna (Maite et al., 1980; Soenaryo et al., 1989; Bourland et al., 2003). Menurut Singh et al. (1972) dan Uthamasamy, (1985), kerapatan bulu pada bagian permukaan bawah daun menunjukkan korelasi tertinggi dengan ketahanan terhadap S. biguttula. Berkaitan dengan pendapat tersebut, Bourland et al. (2003) menyatakan bahwa kerapatan bulu daun tertinggi dijumpai pada daun-daun muda bagian atas tanaman dan semakin ke bawahposisi daun, terutama pada batang utama, semakin berkurang kerapatan bulunya karena ukuran daun semakin melebar dan juga karena berhentinya fase pertumbuhan bulu disebabkan umur tanaman semakin tua.
Tinggi
rendahnya populasi nimfa S. biguttula sangat mempengaruhi tingkat kerusakan tanaman kapas, selain itu juga menentukan ambang kendali atau ambang ekonomi (Mahmood et al., 2002). Soenaryo et al. (1989) menentukan ambang kendali S. biguttula, yaitu apabila pada 50% daun ditemukan nimfa dan terjadi kerusakan, atau pada 13 dari 25 satuan tanaman contoh ditemukan nimfa dan terjadi kerusakan. Bindra dan Mahal (1981) menyatakan bahwa parameter populasi nimfa sangat penting dalam uji ketahanan kapas, selain tingkatkerusakan
dan kerapatan bulu daun.
Hal ini disebabkan setiap aksesi cenderung memiliki sifat
fisik/morfologi yang berbeda-beda, termasuk kerapatan bulu daun, ketebalan lamina daun, atau kekerasan tulang daun, sehingga tingkat populasi nimfa yang efektif menyebabkan kerusakan juga berbeda-beda antara varietas Kapas merupakan salah satukomoditas penting, karena menjadi bahan baku utama industri tekstil. Namun kemajuan industri kecil belum sepenuhnya mendapat dukungan dalam penyediaan bahan baku. Kebutuhan bahan baku serat terus meningkat mencapai sekitar 464.000 ton pertahun, sedangkan produksi nasional hanya mampu menyediakan sekitar 2600 t (+ 0,6 %), dari kebutuhan tersebut, sehingga setiap tahunnya diperlukan impor kapas sebesar 99,4 % dari kebutuhan . Rendahnya produksi kapas dalam negeri, selain karena menurunnya areal tanaman kapas sejak 1984/1985 seluas 46.380 ha, menjadi sekitar 16000 ha pada tahun terakhir, juga karena rendahnya produktivitas yang dicapai yaitu sekitar 500 kg/ha kapas berbiji (Ditjenbun, 2001). Tanamankapas(GossypiumhirsutumL.)diminatiberbagaijenisserangga
hama.
Salah
satu serangga hama yang aktif merusak mulai awal hingga akhir pertumbuhan kapas adalah hama pengisap daun, S. biguttula. Serangan tinggi pada saat tanaman kapas masih muda(2– 4 minggu setelah tanam) mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, dan bahkan menyebabkan tanaman mati muda. B. Hama Sundapteryx biguttula Sundapteryx biguttula merupakan hama utama penghisap daun tanaman kapas, menyerang daun tanaman kapas , menyerang tanaman mulai tumbuh sampai tanam. Serangan S. biguttula
pada tanaman muda mengakibatkan gangguan pertumbuhan ,
serangan dengan populasi tinggi mengakibatkan kematian tanaman . Serangan S. biguttula yang berbahaya pada fase nimfa dengan cara menghisap cairan permukaan bagian bawah daun sehingga daun akan mengkerut dan berwarna kecoklatan. Hama ini merusak dengan cara mengisap cairan daun sehingga daun menjadi berwarna kuning kecokelatan, dan pada serangan tinggi daun menjadi berwarna kecokelatan seperti terbakar. Stadia yang aktif merusak adalah nimfa yang hidup di permukaan bawah Masalah utama perkapasan adalah tingginya intensitas serangan hama kapas terutama hama pengisap daun.Kehilangan hasil akibat hama pengisap daun dapat mencapai 53,9 % (Isdiyoso & Subandrio 1988)).
Sedangkan varietaskapas yang dikembangkan selama ini rentan terhadap serangan hama tersebut. Salah satu alternatif yang diperkirakandapat mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan benih kapas transgenik, Untuk mengurangi ketergantungan import dan menghemat secara
terus
devisa negara, perlu ditingkatkan produksi kapas dalam negeri
menerus melalui pembinaan petani kapas dengan mendekatkan paket
teknologi PHT.
Gambar. 1. Gejala serangan Sundapteryx biguttula pada tanaman muda tepi daun mulai mengkerut. Gejala serangan:Sundapteryx bigutulla • Ujung daun menguning dan berkerut • Pertumbuhan kerdil • Kuncup membuka lebih awal dan gugur Hama pengisap daun ini sangat dominan merusaktanaman kapas di Indonesia dibanding hama pengisap lainnya, seperti hama kutuputih (Bemisia tabaci) atau kutu daun (Aphis spp). Serangan parah pada fase vegetatif mengakibatkan gangguan fatal pada fase generatif, yaitu penurunan produksi 40-50% (Bhat at al.,1986;Jiskan,2001). Pengendalian S. biguttula pada kapas selama ini dilakukan dengan menanam varietas tahan.Galur 98050/9/2/4 dan KI 645 termasuk galur-galur baru kapas, sedangkan Kanesia 10 adalah varietas yang sudah mulai ditanam secara luas. Ketiganya mewakil kapas dengan tingkat serangan S.biguttula rendah, tinggi, dan sedang (INDRAYANI et al., 2009). Sebagian besar varietas kapas yang
tersedia hanya mempunyai tingkat ketahanan sedang (sedikittahan) terhadap S.biguttula sehingga
kerusakan pada tanaman masih relative tinggi. Untuk mengurangi serangan,
terutama pada awal pertumbuhan tanaman kapas ,maka dianjurkan perlakuan benih dengan insektisida sistemik (TOMIZAWA dan CASIDA ,2003; NAULT et al.,2004).Di negara-negara penghasil kapas dunia, seperti Amerika Serikat ,Pakistan, India, atau China sebagian besar pengendalian hama-hama pengisap dilakukan dengan perlakuan benih sebelum tanam (ABDULLAH .et al., 2002 ; SREENIVAS dan NARGUND,2006). Pengendalian S.biguttula pada kapas melalui perlakuan benih efektif menurunkan populasi hingga di bawah
populasi ambang
ekonomi selama
lebih dari 40 hari setelah tanam
(KANNANet al., 2003),bahkan ada yang mencapai hingga 60 hari setelah tanam (DANDALE et al, 2001;MURUGANet al., 2003). Namun petani kapas di Indonesia masih menyemprot tanamannya dengan insektisida yang tidak hanya mematikan S.biguttula tetapi juga musuh alaminya. Tanaman kapas merupakan habitat dari beraneka ragam hayati dari banyak spesies serangga yang hidup pada kanopinya, termasuk serangga predator terhadap S.biguttula. Konservasi musuh alami sangat penting dalam mengatur populasi hama secara alami. Pengendalian
S.biguttula melalui penyemprotan insektisida sistemik pada kanopi
tanaman kapas akan berdampak pada konservasi musuh alami serangga hama tersebut (UDIKERIet al.,2007),tetapi hal tersebut masih kurang dipahami
oleh petani kapas di
Indonesia. Serangga hama pengisap daun, Sundapteryx biguttula atau dikenal sebagai kepik penghisap daun tanaman kapas merupakan salah satu hama utama kapas yang sangat potensial menurunkan produktivitas kapas. Serangan yang tinggi terutama pada awal pertumbuhan kapas seringkali mengakibatkan tanaman tidak mampu berkembang lebih lanjut. Hal ini disebabkan bersamaan pada saat mengisap cairan daun hama ini mengeluarkan semacam
racun
yang
berpotensi menghambat proses fotosintesis, sehingga tepi daun
menjadi kering, menggulung ke bawah, berubah warna menjadi kekuningan,
kemudian
memerah seperti terbakar sebelum mengering dan gugur. Serangan yang lebih parah akan mengakibatkan pertumbuhan maupun perkembangan tanaman terhenti dan menurun.
Selama ini untuk mengendalikan
serangan S. biguttula
produktivitas
telah
dilakukan
penanaman varietas-varietas kapas yang relatif tahan terhadap hama ini, misalnya LRA 5166 dan seri Kanesia 1-9 yang telah ditanam luas di beberapa lokasi pengembangan kapas di Indonesia.
Namun demikian,
pengendalian
hama ini hanya dengan varietas tahan
tampaknya belum cukup sehingga perlu dipertimbangkan alternatif lain, yaitu pengendalian secara hayati Dengan memanfaatkan faktor-faktor mortalitas biotik, seperti musuh alami terutama predator. Sejumlah hasil penelitian membuktikan bahwa predator sangat potensial sebagai faktor mortalitas serangga hama (SUNDERLAND et al., 1997; SCHEU, 2001; SYMONDSON et al.,
2002). Menurut VENILLA (1998) dan SHIVALINGS-WAMY et al. (2002), bahwa beberapa predator umum yang diketahui sering memangsa nimfa S. biguttla antara lain: laba-laba, Paederus sp., rober fly, dan sebagainya.
Meskipun semua predator tersebut sering kali
djumpai di semua pertanaman kapas dan memangsa nimfa S. biguttula, tetapi hingga saat ini belum diketahui secara jelas predator mana yang lebih dominan memangsa S. biguttula, dan berapa kemampuan memangsanya dalam satu generasi predator. C. KESIMPULAN Sundapteryx biguttula merupakan hama utama penghisap daun tanaman kapas, yang sangat potensial menurunkan produksi kapas. Beberapa cara pengendalian telah dilakukan, salah satu cara pengendalian yang relatif murah dan mudah serta aman terhadap lingkungan adalah
pengendalian secara hayati dengan memanfaatkan faktor-faktor mortalitas biotik,
seperti musuh alami terutama predator. Beberapa predator yang sering memangsa nimfa sundapteryx biguttula antara lain laba laba,paederus sp, dan rober fly.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, K., M.U. Farooq,and a. Latif. 2002. Protecting cotton crop from sucking pests in the early growingstage. Asian Journal of Plant Sciences.1(3):279-280. Lab Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta. Abdul Wahid Rizain,dkk 1994. Pengantar Praktikum Ilmu dan Teknologi Benih Ache,B. W. 1982. “Chemoreception and Thermoreception in The Biology ofCrustacea”. Academic Press New York : 369-393. Anonim. 2007. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan yang Dikelola oleh Petani. http://feati.deptan.go.id/dokumen/pedoman_fma.pdf>. Diakses tanggal 7 Maret 2013.
Anonim, 2005. The Journal, Vol 76, International Federation Of Anti Leprosy Associations.
Anthony, W.S. and S.T. Rayburn. 1989. Cleanability of smooth and hairy-leaf cottons – quality effects. Trans. ASAE 32: 1127-1130.
Bindra, O.S. and S. Mahal. 1981. Varietal resistance in eggplant to cotton jassid (Amrasca biguttula biguttula). Phytoparasitica 9: 119-131. Bhat, M.G., A.B.JoshI, and M. Singh. 1986. Relative loss ofseed cotton yield by jassid and bollworms in somecotton genotypes (Gossypium hirsutum).Ind. J.Entomol. 46: 169173. Bourland, F.M., J.M. Hornbeck, A.B. McFall, and S.D. Calhoun. 2003. A rating system for leaf pubescens of cotton. Journal of Cotton Science 7: 8-15. Dandale, H.G., a.y. Thakare, S.N.Tikar, n.g.v.rao,and S.A. Nimbalkar. 2001. Effect of seed treatment onsucking pests of cotton and yield of seed cotton.Pestology. 25: 20-23 Direktorat Jenderal Perkebunan. 2001. Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa.Kementerian Pertanian. Indrayani,Igaa.,S. Sumartini,dan Deciyanto Soetopo.2009. Ketahanan aksesi kapas terhadap hama pengisap daun,Amrasca biguttula (Ishida). BuletinTanaman Tembakau, Serat Dan Minyak Industri.1(2): 69-81. Isdiyoso & Subandrio 1988 .dalam BPTP Sulawesi Selatan, 2002. Departemen Pertanian. Petunjuk Teknis Pengendalian Hama Terpadu Kapas, Makasar. Jenkins.Brian..Peter Cooke,& Peter Quest.1992.AnuditApplicationToComputers.London .Cooper&LybrandDeloitte(UK); Jiskan, M.M.2001. Crop protection and economy ofcountry.Econ. Survey Pak., 1999-2000, PP .1-6 Mahmood, T., S.I. Hussain, K.M. Khokhar, G. Jeelani, and M. Ahmad. 2002. Population dynamic of leaf hopper (Amrasca biguttula) on brinjal and effects of abiotic factors on its dynamics. Asian Journal of Plant Sciences 1 (4): 403-404. Maite, R.K., F.R. Bidinger, K.V. Seshu Redhy, and J.C. Davies. 1980. Nature and occurence of trichomes in sorghum lines with resistance to sorghum shoot fly. Joint Progress Reports.Sorghum Physiology-3, Gossypium hirsutum. Annals of Agricul-tural Biology Research 1(1-2): 181-186.
Murugan, M., N. Sathiah, N. Dhandapani, R.J . Rabindra,ands. Mohan. 2003. Laboratory assays on the roleof Indiantransgenic Bt cotton in hemanage Mentof Helicoverpa armigera (Hubner) (Noctuidae:Lepidoptera). IndianJ. Plant Prot. 31: 1-5 Nageswara-Rao. 1973. An index for jassid resistance in cotton. Madras Agricultural Journal 60: 264-266. NAULT, B.A., A.G. TAYLOR, M. URWILER,T. RABAEY,and W.D.HUTCHINSON.2004. Neonicotinoid seed treatments. Shivalingswamy, T.M., S. Satpathy, B. Singh, K. Akhilesh, and A. Kumar. 2002. Predator-prey interaction between jassid, Amrasca biguttula biguttula, Ishida and staphylinid in okra. Vegetable Science 29 (2): 167-169. Singh AR, Lawrence WH, Austin J, 1972.Teratogenecity of phthalate esters in rats. J Pharmacuet Sci. 61: 51. Smith, C.W. 1992. History and status of host plant resistance in cotton to insects in the United States. Advances in Agronomy 48: 251-296.
Soenaryo, E., C.H. Rendell, O.S. Bindra, Subiyakto, dan Soebandrijo. 1989. Petunjuk pemanduan serangga hama kapas. Prosiding Lokakarya Teknologi Kapas Tepat Guna. 1: 79-86.
Sunderland, K.D., J.A. Axelsen, K. Dromph, B. Freier, J.l. Hemptinne, N.H. Holts, p.j.m. mols, m.k. petersen, w. Powell, p. Ruggle, H. Trilsch, and L. Winder. 1997. Pest control by a community of natural enemies. Acta Jutlandica 72: 271-326. Symondson, W.O.C., K.D. Sunderlan D, and H.M. Greenstone. 2002. Can generalist predators be effective biocontrol agents? Annual Review of Entomology 47: 561-594.
Rudgers, J.A., S.Y. Strauss, and J.F. Wendel. 2004. Trade-offs among anti-herbivore resistance traits: Insights from Gossypiae (Malvaceae). American J. of Botany 91 (6): 871-880. Thomson, N.J., P.E. Reid, and E.R. Williams. 1987. Effects of the okra leaf, nectariless, frego bract and glabrous conditions on yield and quality of cotton lines. Biomedical and Life Sciences 36 (2). Abstract.
Tomizawa, M.andj.E. Casida. 2003.Selective toxicity ofneonicotinoids attributable to specificity of insectandmammalian nicotinic receptors.Annual Reviewof Entomology.48: 339-364.
Udikeri, S.S., S.B. Patil, L. K. Naik, V. Rachappa, F. Nimbal, and S.guruprasad.2007.Poncho 600 FS–A newseed dressing formulation for sucking pest mana-gement in cotton. Karnataka J. Agric. Sci. 20(1):51-53. Uthamasamy, S. 1994. Host resistance to the leafhopper, Amrasca devastans (Distant) in cotton, Gossypium spp. Challenging the Future. Proceedings of the World Cotton Conference 1, Brisbane, Australia. 5pp. .Venilla, S. 1998. Relationship between sucking pests (Amrasca biguttula biguttula, Aphis gossypii) and their predators (Cheilomenes sexmaculata, Chrysoperla carnea) on cotton cultivars. J. Ento-mological Research 22 (4): 349-353.