KAJIAN HERITABILITAS KARAKTER PENDUKUNG KETAHANAN AKSESI KAPAS TERHADAP HAMA WERENG KAPAS (Amrasca biguttula Ishida) Bambang Heliyanto dan IG.A.A. Indrayani Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Malang
ABSTRAK Perakitan varietas kapas tahan terhadap hama wereng kapas (Amrasca biguttula Ishida) merupakan salah satu target utama program pemuliaan kapas nasional. Telah diketahui bahwa keefektifan seleksi terhadap suatu sifat melalui karakter pendukungnya tergantung antara lain pada nilai heritabilitas (daya waris) dan korelasinya terhadap sifat tersebut. Nilai duga heritabilitas beberapa karakter ketahanan aksesi kapas terhadap hama wereng Amrasca biguttula (Ishida) dikaji pada kegiatan penelitian yang dilakukan di Kebun Percobaan Asembagus, mulai bulan Januari hingga Desember 2006. Tiga puluh aksesi kapas ditanam dalam plot berukuran 10 m x 3 m, dengan jarak tanam 100 cm x 25 cm per lubang, satu tanaman per lubang. Setiap aksesi disusun dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Karakter pendukung ketahanan yang diamati adalah jumlah nimfa A. biguttula per daun pada 30 HST, 40 HST, 50 HST, 60 HST, 70 HST, 80 HST, 90 HST, 100 HST, dan 110 HST, kerapatan bulu daun pada 45 HST, 75 HST, dan 105 HST, serta produksi kapas berbiji per ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tiga karakter pendukung ketahanan yang diamati hanya karakter kerapatan bulu daun yang menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi (>0,5) dan konsisten pada pengamatan 45 HST, 75 HST, dan 105 HST. Karakter ini juga memiliki korelasi yang tinggi dengan sifat ketahanan kapas. Dengan demikian karakter kerapatan bulu daun sesuai untuk digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi dini dalam program perakitan kapas tahan terhadap A. biguttula. Kata kunci: Heritabilitas, ketahanan, aksesi, wereng, A. biguttula, Gossypium hirsutum
HERITABILITY STUDY ON CHARACTERS CONFERRING RESISTANCE OF COTTON ACCESSIONS TO JASSID (Amrasca biguttula Ishida) ABSTRACT Development of cotton variety resistance to jassid (Amrasca biguttula Ishida) is one of the ultimate goals in national cotton development program. It has been known that success of any selection program through secondary characters is depended upon heritability estimate of the character sought and strong correlation between primary and secondary characters. Heritabilities estimates of several characters conferring resistance to jassid in cotton accessions have been conducted at Asembagus Experimental Garden, from January to December 2006. Thirty cotton accessions were grown in a plot size 10 m x 3 m, with spacing 100 cm x 25 cm apart, one plant per hole. Treatment was arranged in randomized block design with three replications. Characters observed include no of nymph per leaf at 30 DAP, 40 DAP, 50 DAP, 60 DAP, 70 DAP, 80 DAP, 90 DAP, 100 DAP, and 110 DAP, hair density at 45 DAP, 75 DAP, and 105 DAP and cotton seed yield per ha. Result showed that amongs three characters observed only hair density showed high heritabilities estimates and consistent across observation, from 45 DAP to 105 DAP. This character also showed strong correlation with resistance character. Therefore, hair density character could be used as one of the early selection criteria for development of cotton variety resistance to A. biguttula. Keywords: Heritability, resistance, accession, jassid, A. biguttula, Gossypium hirsutum
PENDAHULUAN Wereng kapas (Amrasca biguttula) merupakan salah satu hama utama tanaman kapas, menyerang sejak awal pertumbuhan hingga panen. Pe120
riode kritis serangan A. biguttula terjadi selama fase vegetatif, karena serangan tinggi sangat potensial menghambat pertumbuhan dan pengembangan tanaman kapas, bahkan gagal berproduksi. Siklus hidup hama ini relatif cepat, yaitu 18 hari dengan
mengalami lima kali pergantian kulit terutama pada stadia nimfa (Kalshoven 1981). Nimfa dan dewasanya mengisap cairan daun sehingga mengakibatkan gejala fitotoksik atau dikenal dengan hopperbum, yaitu daun kering seperti terbakar karena kehabisan cairan (Narayanan dan Singh 1994). Serangan lebih parah mangakibatkan daun gugur dan pertumbuhan tanaman kapas terhambat, atau bahkan terhenti. Mencegah serangan A. biguttula pada awal fase pertumbuhan tanaman kapas sangatlah penting, sebab menurut Ratchford dan Burris (1985); Parker dan Huffman (1991), pertumbuhan awal yang baik merupakan jaminan produksi tinggi. Upaya pengendalian secara kimiawi menimbulkan masalah terkait lingkungan, terutama terhadap perkembangan serangga hama utama dan serangga berguna, misalnya musuh alami. Solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah dengan perakitan varietas tahan. Varietas tahan juga merupakan bagian integral dari pengendalian hama terpadu (PHT), karena memiliki peran penting dalam mengurangi serangan hama dan penggunaan insektisida kimia. Sebagian besar varietas kapas yang telah dilepas atau direkomendasikan kepada petani belum dapat dikategorikan sebagai varietas tahan terhadap A. biguttula, karena belum mampu mengendalikan serangan A. biguttula secara optimal sehingga hanya sebatas toleran. Hal tersebut disebabkan masih terbatasnya sumber gen ketahanan terutama yang berasal dari karakter morfologi tanaman kapas. Keberhasilan pengembangan varietas tahan salah satunya sangat dipengaruhi oleh validitas kriteria seleksi yang digunakan pemulia. Karakter tersebut harus mempunyai korelasi yang erat dengan sifat ketahanan dan pewarisannya diatur secara genetik, yang ditunjukkan oleh nilai heritabilitasnya yang tinggi. Salah satu karakter morfologi tanaman kapas yang cukup potensial sebagai sumber ketahanan terhadap A. biguttula adalah kerapatan bulu pada permukaan bawah daun (Agarwal et al. 1978; Norris dan Kogan 1980). Agarwal et al. (1978); Leghari et al. (2001); Afzal dan Ghani (dalam Agarwal et al. 1978) menyatakan bahwa varietas kapas dengan jumlah bulu <120 helai/cm2 cenderung lebih peka terhadap serangan A. biguttula dibandingkan dengan yang berbulu banyak (>120 helai/cm2).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya waris beberapa karakter ketahanan kapas terhadap serangan hama pengisap daun A. biguttula, sehingga dapat diketahui efektivitas seleksi melalui karakter tersebut.
BAHAN DAN METODE Data diperoleh dari hasil pengujian 30 aksesi kapas di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur mulai Januari sampai Desember 2006. Perlakuan terdiri atas 30 aksesi kapas, yaitu (1) AC 134, (2) Acalla Messila Valley, (3) Stoneville 7, (4) Delta Queen, (5) Compinas 81/4, (6) HL 1, (7) ISA 205 B, (8) DZA-71, (9) NuCOTN 35 B, (10) Zhong Mian, (11) DP Acala, (12) ASB PN-1, (13) NF-62, (14) Khan Kao 1, (15) Fai Nai, (16) NF-BT-3, (17) MA-IA, (18) SHR, (19) KK-3, (20) CRD I-1, (21) HSC 200-203, (22) Cina Cotton 661, (23) MCLS-6, (24) KK-14, (25) NIAB, (26) PJS I, (27) PJS II, (28) Kanesia 5, (29) Kanesia 8, dan (30) Kanesia 9. Ukuran plot setiap perlakuan adalah 10 m x 2 m. Di antara 2 perlakuan terdapat 1 baris varietas peka Tamcot SP 37 yang digunakan sebagai tanaman penarik A. biguttula. Jarak tanam kapas 100 cm x 25 cm, satu tanaman per lubang. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Parameter yang diamati adalah populasi nimfa A. biguttula, jumlah bulu/cm2, dan hasil panen (ton/ha). Jumlah nimfa diamati pada satu daun per tanaman, yaitu daun ketiga dari atas yang telah membuka sempurna (Uthamasamy 1994), masing-masing pada 10 tanaman contoh per aksesi yang dipilih secara acak. Pengamatan ini dilakukan mulai 30 HST hingga 110 HST, dengan interval 10 hari. Tingkat kerapatan bulu daun ditentukan secara kuantitatif, yaitu dengan cara menghitung jumlah bulu per cm2 luas lamina daun pada daun ketiga dari atas tanaman yang telah membuka sempurna pada 45 HST, 75 HST, dan 105 HST, yang kemudian dikelompokkan sesuai tata cara pengelompokan menurut Kartono (1990). Pendugaan nilai heritabilitas (daya waris) diturunkan dari analisis varians (Tabel 1), sesuai de-
121
ngan metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1985) dan Falconer (1989). Tabel 1. Analisis varians rancangan acak kelompok model acak Sumber variasi
db
MS (Varians)
Varians harapan
Ulangan
r−1
Aksesi
A−1
M1
σ2e + r σ2g
(r − 1)(a − 1)
M2
σ2e
Error (galat)
Dimana: σ2g = M1 − M2/2 σ2p = σ2e + r σ2g H = σ2g/ σ2p Keterangan: σ2g = varians genetik σ2p = varians fenotipik H = heritabilitas
HASIL DAN PEMBAHASAN Telah umum diketahui bahwa fenotipe suatu karakter ditentukan oleh faktor genetik dan faktor non-genetik (lingkungan) (Singh 1980). Faktor genetik merupakan faktor yang mendapatkan perhatian pemulia tanaman, karena faktor genetik tersebut diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Heritabilitas (H) menunjukkan proporsi atau persentase dari keragaman fenotipik yang disebabkan oleh keragaman genetik dan sangat terkait dengan efektivitas suatu seleksi (Ruchjaningsih et al. 2000). Semakin tinggi nilai H dapat diartikan bahwa keragaman karakter lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan genotipe tanaman dalam populasi, dan hanya sedikit pengaruh keragaman lingkungan. Dengan demikian efektivitas seleksi melalui karakter yang mempunyai heritabilitas yang tinggi diharapkan akan sangat signifikan. Menurut Preston dan Willis (1974) klasifikasi nilai heritabilitas adalah: H rendah jika kurang dari 0,25; sedang jika nilainya 0,25–0,50; dan H besar jika bernilai lebih dari 0,50. Nilai duga heritabilitas tiga karakter ketahanan kapas terhadap serangan A. biguttula disajikan pada Tabel 2. Nilai duga heritabilitas untuk karakter populasi nimfa bervariasi dari -0,001 s.d. 23; untuk karakter kerapatan bulu daun dari 0,87 s.d. 0,92;, sedangkan untuk hasil kapas adalah sebesar 0,21. Berdasarkan kriteria Preston dan Willis (1974), hanya karakter kerapatan bulu daun saja yang memiliki nilai heritabilitas tinggi dan konsisten pada pengamatan 45 HST, 75 HST, dan 105 HST, yang ditunjukkan oleh 122
nilai koefisien heritabilitas di atas 0,5. Hal ini menunjukkan bahwa penampilan karakter jumlah bulu pada aksesi kapas sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Dengan demikian karakter ini berpeluang untuk dijadikan kriteria seleksi pada program perakitan varietas kapas tahan A. biguttula. Di samping nilai heritabilitas yang tinggi, keeratan hubungan antara karakter pendukung ketahanan dengan sifat ketahanan itu sendiri juga merupakan persyaratan mutlak agar suatu karakter pendukung bisa digunakan sebagai kriteria seleksi. Korelasi antara karakter jumlah bulu per cm2 luas daun dengan populasi nimfa dan skor kerusakan tanaman dipelajari secara terpisah dan telah dilaporkan oleh Indrayani et al. (2007). Berdasarkan kajian Indrayani et al. (2007) diketahui bahwa ada korelasi negatif (dengan koefisien determinasi R2 = 0,2425) antara jumlah bulu daun dan populasi nimfa A. biguttula dan antara jumlah bulu dengan skor kerusakan tanaman (dengan koefisien determinasi R2 = 0,2027). Hasil studi korelasi ini menunjukkan bahwa aksesi kapas dengan jumlah bulu daun rendah cenderung mendukung perkembangan jumlah nimfa A. biguttula dan memiliki skor kerusakan yang lebih tinggi. Dengan kata lain aksesi kapas dengan jumlah bulu daun rendah cenderung peka terhadap serangan hama A. biguttula. Faktor genetik yang menyebabkan terjadinya korelasi (positif/negatif) antara lain adanya pleiotropi, yaitu satu atau beberapa gen (modifier gen) yang mengendalikan ekspresi lebih dari satu karakter (Ruchjaningsih et al. 2000) atau pengaruh “complementary gene” lainnya (Singh 1980; Heliyanto 1993; Heliyanto et al. 1998a). Lebih lanjut dijelaskan bahwa korelasi yang terjadi merupakan hasil akhir dari pengaruh gen yang bersegregasi atau faktor lingkungan yang mengendalikan karakter-karakter yang berkorelasi. Korelasi positif terjadi bila gen-gen yang mengendalikan dua karakter yang berkorelasi tersebut meningkatkan keduanya, sedangkan korelasi negatif terjadi bila yang terjadi kebalikannya (Falconer 1989). Kajian genetik sifat ketahanan kapas telah banyak dilaporkan. Menurut Knight (1952) gen pengendali sifat ketahanan hama kapas terhadap wereng, yang diekspresikan melalui kelebatan bulu, diatur oleh gen mayor H1. Di samping H1, dilapor-
kan pula serangkaian gen-gen yang mengendalikan karakter bulu pada kapas seperti gen H2 mengendalikan kerapatan daun berbulu pendek, gen H3 mengendalikan bulu pada batang, gen H4 mengendalikan bulu di permukaan bawah daun, dan H5 mengendalikan panjang bulu daun. Selain itu masih ada satu seri gen minor (modifier) yang mengurangi kelebatan bulu daun yaitu Sm1, Sm2, dan Sm3 (Singh 2004; Syed et al. 2003).
ngan hasil penelitian sebelumnya pada komoditas lain, yaitu kenaf (Hibiscus cannabinus L.) (Heliyanto et al. 1998a; 1998b). Efektivitas seleksi melalui karakter dengan nilai heritabilitas yang rendah umumnya tidak signifikan dan direkomendasikan untuk dilakukan pada generasi lanjut (Ruchjaningsih et al. 2000; Singh 1985).
KESIMPULAN Tabel 2. Nilai duga heritabilitas beberapa karakter ketahanan kapas
1.
Populasi nimfa 30 HST
Nilai duga heritabilitas 0,095
2.
Populasi nimfa 40 HST
0,23
3.
Populasi nimfa 50 HST
-0,0007
Rendah
4.
Populasi nimfa 60 HST
-0,0005
Rendah
5.
Populasi nimfa 70 HST
-0,0006
Rendah
6.
Populasi nimfa 80 HST
-0,0005
Rendah
7.
Populasi nimfa 90 HST
-0,0002
Rendah
8.
Populasi nimfa 100 HST
-0,0010
Rendah
9.
Populasi nimfa 110 HST
-0,00006
Rendah
10.
Kerapatan bulu 45 HST
0,88
Tinggi
11.
Kerapatan bulu 75 HST
0,97
Tinggi
12.
Kerapatan bulu 105 HST
0,92
Tinggi
13.
Hasil kapas
0,21
Rendah
No.
Karakter
Kriteria Rendah Rendah
Tingginya nilai heritabilitas karakter kerapatan bulu daun, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, dan adanya korelasi negatif yang tinggi antara kerapatan bulu daun dengan populasi nimfa dan skor kerusakan (Indrayani et al. 2007), secara bersama-sama memastikan bahwa karakter jumlah bulu daun per cm2 merupakan salah satu karakter penduga yang valid untuk sifat ketahanan terhadap A. biguttula. Kajian lebih lanjut terhadap konsistensi nilai heritabilitas yang tinggi pada 3 kali pengamatan, yaitu 45 HST, 75 HST, dan 105 HST memberikan indikasi bahwa seleksi untuk karakter ini cukup dilakukan 1 kali saja dan pengamatannya dapat dilakukan seawal mungkin yaitu pada saat tanaman masih berumur 45 hari, sehingga program pemuliaan kapas terhadap hama wereng kapas dapat dilakukan dengan lebih efisien. Rendahnya nilai heritabilitas karakter hasil (hasil serat kapas per ha) (Tabel 2) menunjukkan tingginya pengaruh non-genetik (lingkungan) pada keragaan karakter ini. Hasil penelitian ini sejalan de-
Karakter kerapatan bulu daun pada kapas menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi (>50%) dan konsisten pada pengamatan 45 HST, 70 HST, dan 90 HST. Karakter ini juga dilaporkan memiliki keeratan hubungan dengan sifat ketahanan terhadap A. biguttula. Dengan demikian karakter tersebut sesuai untuk digunakan sebagai kriteria seleksi dini dalam program perakitan kapas tahan terhadap A. biguttula.
DAFTAR PUSTAKA Agarwal, R.A., S.K. Banerjee & K.N. Katiyar. 1978. Resistance to insects in cotton to Amrasca devastans (Distant). Cott. Fib. Trop. 33(4):409−414. Falconer, D.S. 1989. Introduction to Quantitative Genetics. John Wiley and Sons, Inc., New York. 438p. Heliyanto, B. 1993. Evaluation of IJO Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Germplasm Through Breeding Test. M.Sc. Thesis. BCKVV. India. Heliyanto, B., M. Hossain & S.L. Basak. 1998a. Genetic evaluation of several kenaf (Hibiscus cannabinus L.) germplasm through diallel crossing. Indonesian Journal of Crop Science 13(1):15−22. Heliyanto, B., R.D. Purwati, Marjani & U. Setyo-Budi. 1998b. Parameter genetik komponen hasil dan hasil serat pada aksesi kenaf potensial. Zuriat (1):6− 12. Indrayani, IG.A.A., S. Sumartini & B. Heliyanto. 2007. Ketahanan beberapa aksesi kapas terhadap hama pengisap daun (Amrasca biguttula Ishida). Jurnal Littri. 13(3):81−87. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. 701 p. Kartono, G. 1990. Peranan Gosipol Dalam Ketahanan Kapas Terhadap Helicoverpa armigera. Disertasi Doktor, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 238 hlm.
123
Knight R.L. 1952. The genetics of jassid resistance in cotton. I. The genes H1 and H2. J. Genet. 51:46− 66. Leghari, M.A., A.M. Kairro & A.B. Leghari. 2001. Studies on host plant resistance to evaluate the tolerance/susceptibility against cotton pests. Pakistan Journal of Biological Sciences 4(12):1506−1508. Narayanan, S.S. & P. Singh. 1994. Resistance to Heliothis and other resistance characters. In Pest Management in Cotton (1989), (Ed). M.B. Green & J.J. De B. Lyons, Ellis Horwood Limited, England. pp. 50. Norris D.M. & M. Kogan. 1980. Biochemical and morphological bases of resistance. In Breeding Plants Resistance to Insects. F.G. Maxwell & P.R. Jennings (eds.), John Willey and Sons, Inc., New York. pp. 683. Parker, R.D. & R.L. Huffman. 1991. Effect of early seasons aphis infestations on cotton yield and quantity under dryland conditions in the Texas coastal belt. Proceeding 44 th Beltwide Cotton Conference Nat. Cotton Council of America 2:702−704. Preston, T.K. & W.B. Willis. 1974. Intensive Beef Production. 2nd Ed. Pergamon Press, Oxford, New York, Toronto, Sidney, Paris, Frankfurt. p. 181− 183. Ratchford K. & E. Burris. 1985. Effect of early seasons pesticides in cotton. Louisiana Agric. 28:14−15.
124
Ruchjaningsih, A. Imran, M. Thamrin & M.Z. Kanro. 2000. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik delapan kultivar kacang tanah pada lahan sawah. Zuriat 11: 8−15. Singh, B.D. 1980. Plant Breeding Methods. Kalyani Publishers, Ludhiana, New Delhi.. Singh, P. 2004. Cotton Breeding. Kalyani Publishers, Ludhiana, New Delhi. 342 p. Singh, R.K. & B.D. Chaudhary. 1985. Biometrical Methods on Quantitative Genetical Analysis. Kalyani Publications. p. 54−57. Syed, T.S., G.H. Abro, R.D. Khuro & Dhouroo. 2003. Relative resistance of cotton varieties against sucking pest. Pakistan Journal of Biological Science 6(14):1232–1233. Uthamasamy, S. 1994. Host resistance to the leaf hopper, Amrasca devastans (Distant) in cotton, Gossypium spp. Challenging the future. Proceeding of the World Cotton Conference 1, Brisbane, Australia. 5 pp.
DISKUSI
Tidak ada pertanyaan.